peran indonesia dalam membangun global health governance berkeadilan

7

Click here to load reader

Upload: ira

Post on 07-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

1

Peran Indonesia dalam

Membangun Global Health Governance yang Berkeadilan ∗∗∗∗)

Ganjar Widhiyoga1

Pendahuluan

Masalah kesehatan sering kali dipandang sebagai masalah privat. Namun, sebenarnya pengaruh kesehatan sebagai suatu permasalahan publik telah menyejarah. Kesehatan, meski terkait erat dengan kondisi internal individu, memiliki efek sosial yang tidak terelakkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, efek ini melintasi batas negara dan menjadi sebuah fenomena global yang mengubah sejarah. Pada abad ke-14, kita dapat melihat fenomena penyebaran Black Death sebagai sebuah contoh masalah kesehatan global. Wabah penyakit ini ditengarai berawal dari daerah China, kemudian menyebar ke Mediterania, hingga memuncak di Eropa (Ziegler: 1998, 233-235). Wabah ini merenggut 30-60% populasi dunia pada saat itu. Akibat dari wabah ini, timbul goncangan ekonomi, sosial budaya dan keagamaan di Eropa (Nelson, 2001). Kemajuan teknologi kesehatan ternyata tidak membuat pandemi menjadi artifak sejarah. Seiring dengan perkembangan teknologi, penyakit-penyakit baru pun muncul menjadi sumber ancaman bagi manusia. Pada tahun 1918-1920, dunia dikejutkan dengan munculnya wabah Spanish flu. Diperkirakan 50-130 juta orang meninggal dunia akibat flu ini, sementara 500 juta lainnya terinfeksi (Knobler, Mack, Mahmoud dan Lemon, eds.: 2005, 72). Lima atau enam dekade silam, HIV/AIDS merupakan penyakit lokal di daerah pedesaan Afrika Tengah. Namun kini, penyakit ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, menelan korban hingga jutaan nyawa. Sampai tahun 2006, HIV/AIDS telah menyebabkan kematian 20 juta jiwa di Sub-Sahara Afrika. (Youngerman; 2008, 65). Tubercolosis masih menjadi penyakit yang menjadi momok di seluruh dunia. Kawasan yang banyak terjadi kasus tubercolosis adalah Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan Pasifik Barat (20%). WHO melaporkan, pada tahun 2009 sekitar 1,6 juta orang meninggal dunia akibat penyakit ini (Global Tubercolosis Control: 2010, 7). Ketika Friedman (2007) mengatakan ‘the world is flat’, ia merujuk pada proses integrasi dunia menjadi satu kesatuan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa efek samping dari integrasi ini berarti penyakit semakin mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dapat kita lihat pada penyebaran SARS. Penyakit yang awalnya muncul di China ini dalam hitungan pekan menyebar ke Hong Kong, dan akhirnya menjadi pandemi global. Tidak hanya menyerang negara-negara dunia ketiga, SARS juga menyerang Amerika Serikat dan Kanada. WHO (2003) melaporkan, 8.273 orang terinfeksi virus ini, dengan korban meninggal mencapai 775 orang (diakses dari : http://www.who.int/csr/sars/country/en/index.html, 18 Juni 2012). Berbagai pandemi yang terus terjadi, hingga kasus avian flu beberapa tahun silam, merupakan bukti bahwa masalah kesehatan tidak hanya menimpa individu, namun juga dapat berimbas pada kepentingan publik. Bahkan, dapat berkembang menjadi masalah trans-nasional akibat tingginya ∗) disampaikan dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) Kementrian Luar Negeri, di Solo, 21 Juni 2012. 1 Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Page 2: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

2

tingkat mobilitas pada era global ini. Untuk itu, perlu adanya kebijakan luar negeri terkait kesehatan, terlebih mengingat posisi Indonesia yang menjadi salah satu jalur mobilitas di tataran global. Global Health Governance Globalisasi mengubah pola penyebaran penyakit dan permasalahan kesehatan dunia. Lee, Buse dan Fustukian (2002, 6-7) mengidentifikasikan beberapa imbas globalisasi terhadap kesehatan: a) teknologi transportasi yang murah menyebabkan mudahnya mobilitas antar-negara. Ini membuat pandemi menjadi lebih mudah terjadi; b) eksploitasi alam membuat degradasi lingkungan, yang berperan pada penyebaran penyakit baru atau menurunnya tingkat imunitas manusia; c) adanya trans-national crimes seperti narkoba dan human trafficking berakibat pada menularnya penyakit, baik via penggunaan narkoba maupun aktivitas perdagangan seks bebas; d) krisis ekonomi global mengakibatkan melonjaknya tingkat kemiskinan dan berdampak pada kemampuan memenuhi kebutuhan kesehatan. Kompleksnya permasalahan kesehatan dan penanganan penyakit menuntut penanganan yang bersifat komprehensif dan global. Upaya demikian ini kemudian disebut sebagai global health

governance. Kay dan Williams (2009, 2) menyatakan bahwa global health governance (GHG) adalah segala upaya dan mekanisme yang dilakukan oleh aktor publik maupun privat, pada segala level, yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi dan menyembuhkan penyakit. Dodgson (2002, 6) menyebutkan bahwa GHG meliputi setiap tindakan kolektif, mulai dari komunitas lokal, organisasi nasional, sampai pada tingkat global seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB. Struktur GHG yang saat ini menguasai dunia kesehatan kita memiliki beberapa aktor kunci. Yang pertama adalah negara. Sebagai unit utama dalam hubungan internasional, negara memiliki peran signifikan dalam menyelesaikan masalah kesehatan ini. Sebagai bagian dari komitmen untuk terus meningkatkan kesehatan masyarakat, negara-negara anggota PBB mengadopsi Millenium Development Goals (MDGs). Tiga dari delapan tujuan MDGs secara langsung terkait dengan kesehatan, yakni Tujuan 4 : Mengurangi Angka Kematian Anak; Tujuan 5 : Meningkatkan Kesehatan Ibu; Tujuan 6 : Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Lain.

Sumber : Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Oktober 2008

Page 3: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

3

Aktor kedua adalah lembaga internasional, terutama yang bergerak di bidang kesehatan. WHO merupakan aktor utama penggerak global health governance. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan organisasi internasional lain memiliki peran dalam GHG. Aktor ketiga adalah perusahaan, terutama perusahaan yang mampu memproduksi obat, vaksin dan peralatan medis. Kebutuhan akan obat dan vaksin membuat aktivitas GHG tidak dapat memisahkan diri dari perusahaan farmasi. Buse dan Walt (2000, 550) memberikan istilah akan keterlibatan perusahaan farmasi ini sebagai Global Public-Private Partnership. Terlebih lagi, riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahan farmasilah yang menjamin adanya inovasi dalam pengobatan. (Wang: 2009, 26; 61-67). Kritik terhadap GHG Kritik terhadap GHG berpusat pada kegagalan GHG menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh warga dunia. Ada beberapa hal yang disinyalir menyebabkan kegagalan ini seperti kurangnya political will aktor-aktor dalam GHG, bangun GHG yang tidak berkesinambungan, kegagalan organisasi atau kekurangan sumber dana. Namun, ada satu penjelasan lain yang menarik untuk disimak : bagaimana struktur ekonomi neoliberal ‘bermain’ dalam GHG. Masuknya paham neoliberalisme memunculkan commodification. Aktivitas kesehatan bukan lagi pelayanan, melainkan barang dagangan yang memiliki nilai ekonomis tertentu. Jika seseorang tidak mampu membayar sesuai nilai ekonomis tersebut, maka ia “tidak berhak” mendapatkan “komoditas” kesehatan. Kata kunci kedua dalam proses neoliberalisasi kesehatan adalah proses liberalisation. Liberalisasi menuntut agar pelayanan kesehatan diserahkan sepenuhnya pada pasar. Meski argumen awal liberalisasi adalah untuk menjaga kompetisi dan kualitas penyediaan layanan kesehatan, pada akhirnya liberalisasi justru akan menciptakan kesenjangan akses dan kualitas layanan kesehatan. Si miskin tidak akan mampu mengakses layanan kesehatan dasar dan obat-obatan (Kay dan William: 2009, 6-11). Adanya paham neoliberalisme dalam masalah kesehatan global terlihat pada skema Global

Public-Private Partnerships (GPPP). Buce dan Walt (2000, 550) menyampaikan definisi tentang GPPP sebagai sebuah kerja sama lintas batas negara yang melibatkan sekurang-kurangnya tiga pihak. Salah satu pihak dalam kerja sama tersebut adalah perusahaan, sedangkan satu pihak lain adalah organisasi internasional. Kerja sama ini untuk mencapai sebuah tujuan kesehatan tertentu, sesuai kesepakatan bersama dan berdasarkan pada prinsip pembagian kerja. Kritik terhadap GPPP muncul dalam beberapa argumen. Pertama, hubungan antara sektor publik dan privat semacam ini, di mana privat memberikan donasi, dana untuk penelitian atau kerja sama ekonomi, berpotensi menghancurkan integritas lembaga publik. Kedua, adanya kerja sama ini memungkinkan perusahaan memberikan ‘pesan titipan’ pada para pemangku kebijakan. Ketiga, perusahaan farmasi yang diajak bekerja sama sebagian besar berada di negara maju. Ini membuat sumbangan saran dari perusahaan farmasi bias, karena tidak (atau kurang) mewakili suara dari negara miskin dan berkembang. Kesimpulan dari ketiga argumen ini adalah, program GPPP sering kali tidak berdasarkan pada kepentingan riil, melainkan pada kepentingan donor (Johnson: 2011, 174-175). Bahkan, bisa saja GPPP ini justru merugikan negara miskin dan berkembang karena menyedot sumber daya yang dimilikinya (Garret: 2007).

Page 4: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

4

Akibat “proyek pesanan donor” ini, keuntungan perusahaan farmasi selalu meningkat dari tahun ke tahun (Wang: 2009, 25). Pada tahun 2003, penjualan obat menggunakan resep meningkat 7% di seluruh dunia, mencapai US$ 602 miliar. Pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia mendapatkan untung di atas US$ 20 juta. (IMS Report, 17 Februari 2004). Meski mendapatkan keuntungan melimpah, perusahaan farmasi masih merasa “terhambat” dengan aturan yang dirasakan semakin mengikat. Setidaknya ada empat “hambatan” yang dirasakan perusahaan farmasi dalam aturan-aturan mengenai obat, yakni keamanan, efektivitas, kualitas dan efisiensi harga (Wang: 2009, 33). Dukungan terhadap semangat pemburuan rente oleh perusahaan farmasi global ini tidak hanya muncul dari proyek penelitian farmakologi. Penelitian yang dilakukan Lee, Buse dan Fustukian (2002, 29-34) menunjukkan bahwa multilateral trade agreements (MTA) WTO ternyata banyak berpengaruh terhadap GHG. Sebagai contoh, perjanjian Trade-Related aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPS) memiliki imbas pada perdagangan obat dan vaksin. Adanya TRIPS membuat harga obat dan vaksin menjadi lebih mahal. Akibatnya, negara-negara miskin dan berkembang tidak mampu mengkonsumsi obat dan vaksin untuk kesehatan mereka. (Dreyfuss: 2010, 35-55). Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa 75% penduduk dunia hidup di negara berkembang/miskin, dan hanya mengkonsumsi 14% dari produksi obat dan vaksin dunia. Lebih lagi, 80% pabrik produsen obat dan vaksin berada di negara-negara maju. Dengan demikian, keuntungan yang muncul dari TRIPS secara eksklusif akan mengalir ke negara-negara maju. Peran Indonesia : Membangun GHG yang Berkeadilan Saat menyadari bahwa kondisi rezim kesehatan global saat ini tidaklah ideal, pemerintah Indonesia perlu menjadi kekuatan transformatif. Indonesia perlu menjadi aktor pengusung nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana pun, kesehatan terkait langsung dengan hajat hidup seorang manusia. Untuk itu, masalah kesehatan tidak dapat dipertukarkan dengan nilai ekonomi atau kemampuan finansial seseorang untuk membeli obat dan vaksin. Terlebih, secara filosofis Indonesia memiliki mandat melalui Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 untuk terus menegakkan “ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Untuk melaksanakan proses transformasi menuju global health governance yang berkeadilan ini, ada beberapa langkah yang penulis rekomendasikan : Pertama, terus memperjuangkan keterbukaan dalam berbagai hal yang menyangkut masalah kesehatan. Indonesia perlu mempelopori kajian khusus terkait kesehatan global dalam setiap keputusan lembaga multinasional yang diikutinya. Keterbukaan akan akses informasi kesehatan, tiadanya biaya tambahan atau aturan penghalang bagi obat, vaksin dan alat medis, serta perlunya bantuan, hibah atau kondisi khusus bagi negara-negara miskin dan/atau berkembang merupakan tiga hal yang harus terus Indonesia perjuangkan dalam tataran multinasional. Kembali menggarisbawahi, kesenjangan akses terhadap kesehatan tercipta tidak hanya karena political will pada issue kesehatan, namun juga karena struktur neoliberalisme dunia. Dengan

Page 5: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

5

demikian, perjuangan ini “tidak hanya” pada lingkup WHO, namun pada semua organisasi multinasional yang Indonesia menjadi anggota, termasuk WTO, PBB dan sebagainya. Delegasi Indonesia perlu mencermati setiap keputusan yang ada dalam perspektif global health. Juga utama adalah Indonesia harus terus berupaya untuk mencegah konsumerisme kesehatan. Dengan demikian, akses pada kesehatan akan tersedia untuk negara kaya, berkembang maupun miskin. Kedua, Indonesia perlu mengupayakan produksi dan distribusi obat, vaksin dan peralatan kesehatan yang murah. Sebagaimana telah disampaikan pada paparan di atas, sebanyak 80% produsen farmasi berada di negara-negara industri maju. Ketimpangan ini harus mulai diseimbangkan. Indonesia perlu menjadi inisiator program pengupayaan sarana kesehatan yang murah. Langkah-langkah yang dapat Indonesia lakukan adalah mengupayakan kerja sama antar-negara dunia ketiga dalam bidang :

a) Joint research laboratory

b) Joint pharmaceutical company

Penulis mengidentifikasi ada dua kekuatan yang dapat menjadi rekanan Indonesia dalam merintis obat murah bagi semua ini. Yang pertama adalah ASEAN. Sebagai kawasan dengan lintas mobilitas barang dan manusia yang sangat tinggi, ASEAN memiliki tingkat kerentanan terhadap pandemi. Kondisi ini terlihat pada kasus SARS dan flu burung. Yang kedua, Islamic Development Bank. IDB memiliki dana dari negara-negara Timur Tengah yang kaya minyak. Namun selama ini, dana IDB belum tersalurkan pada industri farmasi. Untuk itu, Indonesia perlu menjadi motor penggerak tercapainya joint research laboratory dan joint

pharmaceutical company dengan dana dari IDB. IDB tentu memiliki kepentingan akan akses terhadap obat, vaksin dan peralatan medis murah mengingat sebagian anggota IDB masih tergolong negara berkembang. Ketiga, menjadi pusat diskursus GHG dengan melakukan banyak kajian. Kajian-kajian penting untuk meningkatkan awareness terhadap masalah kesehatan dunia dan ketidakadilan sistemik yang selama ini terjadi. Kajian ini juga berperan sebagai sarana diseminasi ide akan GHG yang berkeadilan yang dipromosikan oleh Indonesia. Adanya kajian-kajian ini akan menjadi dasar ilmiah bagi tuntutan Indonesia untuk perbaikan regulasi global. Selain itu, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dan negara demokrasi besar, Indonesia memiliki standing position yang unik di dunia. Posisi ini harus dimanfaatkan Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam aneka issue kontemporer, terutama yang melibatkan komunitas umat beragama. Masalah yang hangat diperbincangkan adalah penyediaan vaksin halal. Indonesia perlu menjadi pelopor dalam bidang ini, baik sebagai kekuatan penekan industri farmasi global, maupun sebagai produsen vaksin halal skala internasional melalui joint project dengan mitranya.

Page 6: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

6

Penutup Masalah kesehatan menjadi sangat penting karena selain berpengaruh terhadap individu juga dapat menimbulkan pandemi yang berskala global. Hal yang saat ini mengganggu perwujudan kesehatan bagi semua adalah adanya upaya neoliberalisasi kesehatan dengan commodification dan liberalisation produk kesehatan. Neoliberalisasi kesehatan ini menimbulkan kesenjangan akses dan kualitas layanan kesehatan. Mayoritas penduduk dunia yang berada di negara miskin dan berkembang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar, apalagi obat-obatan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus terus mengadopsi politik luar negeri yang mendukung terciptanya global health governance yang berkeadilan. Pemerintah Indonesia setidaknya dapat melakukan tiga strategi. Pertama, mendorong perbaikan regulasi di lembaga internasional yang selama ini cenderung melanggengkan neoliberalisasi kesehatan. Kedua, mengupayakan pendirian perusahaan farmasi yang mendukung pemerataan akses kesehatan melalui kemitraan dengan ASEAN atau IDB. Ketiga, menjadi pusat kajian epistemik terkait global health governance. Daftar Pustaka

Buse, K., & Walt, G. (2000). “Global public–private partnerships: Part I—A new development in

health”. Bulletin World Health Organization, 78(4).

Dodgson, R., Lee K. dan Drager, N. (2002). ‘Global Health Governance: A Conceptual Review’. LSHTM/WHO Discussion Paper No. 1. February.

Dreyfuss, R. C., “TRIPS and essential medicines: must one size fit all? Making the WTO responsive to the global health crisis.” dalam Pogge, T., Rimmer, M., Rubenstein, K. (2010). Cambridge: Cambridge University Press.

Friedman, Thomas L. (2007). The World is Flat. Third Edition. New York: Picador.

Garrett, L. (2007). The challenge of global health. Foreign affairs. http://www.foreignaffairs.com/articles/62268/laurie-garrett/the-challenge-of-global-health, diakses pada 18 Juni 2012.

IMS Reports. 17 February 2004. “11.5 Percent Dollar Growth in ’03 U.S. Prescription Sales”.

Johnson, S. A. (2011). Challenges in Health and Development : From Global to Community

Perspectives. Springer.

Kay, A. dan Williams, O. (ed) (2009). Global Health Governance : Crisis, Institutions and

Political Economy. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Knobler, Stacey L., Mack, A., Mahmoud, A., dan Lemon, Stanley M. eds. (2005). Threat of

Pandemic Influenza: Are We Ready? Workshop Summary. Washington, D.C.: National Academies Press.

Lee, K., Buse, K. dan Fustukian, S. (2002). Health Policy in a Globalising World. Cambridge: Cambridge University Press.

Nelson (2001). “The Great Famine and the Black Death.” http://www.vlib.us/medieval/lectures/, diakses pada 18 Juni 2012.

UNDP. 1999. Human development report 1999: globalization with a human face. New York: Oxford University Press for the United Nations Development Programme.

Page 7: Peran Indonesia Dalam Membangun Global Health Governance Berkeadilan

7

Wang, Mei Ling (2009). Global Health Partnership : The Pharmaceutical Industry and BRICA. Hampshire: Palgrave Macmillan.

WHO (2010). Global Tubercolosis Control.

Youngerman, B. (2008). Pandemics and Global Health. New York: Infobase Publishing.

Ziegler, P. (1998). The Black Death. Penguin Books.