peran guru pai dalam pendidikan karakter...

163
PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER RELIGIUS ANAK TUNADAKSA DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT JAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh: Rahmi Fathiyas Syah NIM. 11150110000061 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1441 H

Upload: others

Post on 15-Mar-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

    RELIGIUS ANAK TUNADAKSA

    DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT

    JAKARTA

    SKRIPSI

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

    Sarjana Pendidikan (S.Pd)

    Oleh:

    Rahmi Fathiyas Syah

    NIM. 11150110000061

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2019 M/1441 H

  • i

    ABSTRAK

    Rahmi Fathiyas Syah (NIM. 11150110000061). Peran Guru PAI dalam

    Pendidikan Karakter Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan

    Pembinaan Anak Cacat Jakarta.

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam

    pendidikan karakter religius anak tunadaksa dan faktor pendukung serta faktor

    penghambat yang dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak

    tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta. Penelitian ini

    dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2019.

    Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.

    Prosedur pengumpulan data yang digunakan menggunakan observasi, wawancara,

    dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi

    data, triangulasi data terbagi menjadi tiga tahap yaitu triangulasi teknik, waktu,

    dan sumber. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu reduksi data,

    penyajian data, dan verifikasi kesimpulan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran guru PAI dalam pendidikan

    karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat

    Jakarta, yaitu: pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan evaluator.

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi guru PAI dalam pendidikan karakter

    religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta, di

    antaranya yaitu: a. Faktor pendukung: 1) Faktor keluarga; 2) Faktor lingkungan

    sekolah; 3) Faktor sarana dan prasarana sekolah; 4) Faktor pendekatan guru

    kepada anak tunadaksa dengan menggunakan beberapa metode dalam pendidikan

    karakter religius, di antaranya metode hiwar atau percakapan, metode qishash

    atau cerita, metode uswah atau keteladanan, metode ceramah, metode pendidikan

    dengan nasihat, dan metode pembiasaan. b, Faktor penghambat: 1) Faktor

    keterbatasan waktu; 2) Faktor lingkungan yang tidak mendukung; 3) Faktor

    kondisi fisik mereka yang sulit bergerak, mudah merasa lelah, dan sulit untuk

    menerima materi pembelajaran; 4) faktor sosial/emosional yang menimbulkan

    problem emosi.

    Kata Kunci: Peran Guru PAI, Pendidikan Karakter Religius, Anak Tunadaksa

  • ii

    KATA PENGANTAR

    بسم اهلل الّر حمن الّر حيم

    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dengan memuji-Nya

    terbuka pintu segala ilmu, dengan mengingat-Nya keluar segala perkataan yang

    baik, dengan mensyukuri-Nya semua orang beriman merasakan nikmat-Nya di

    dunia dan akhirat serta dengan izin-Nya pula lah penulis dapat menyelesaikan

    penulisan skripsi yang berjudul “Peran Guru PAI Dalam Pendidikan Karakter

    Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat

    Jakarta”. Skripsi ini penulis ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

    Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat mendapatkan

    gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).

    Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan

    bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis

    mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

    1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas

    Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    4. Drs. Rusdi Jamil, MA., selaku dosen pembimbing akademik dan sekretaris

    Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    5. Dr. Siti Khadijah, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan

    waktu dan dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta arahan yang

    sangat bermanfaat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

  • iii

    6. Ayahanda Moh. Syahri dan Ibunda Asniah, Kakanda Adi Okta Muafiq

    Rahman Syah, Siti Munawaroh dan Dwiyana Syah Fitri, serta kedua

    Keponakan Dicka Ryan Irhamsyah dan Alikha Laila Musyarofah yang telah

    memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah berhenti, motivasi yang

    tidak pernah terkira, dan kasih sayang yang begitu besar.

    7. Bapak Heru Heriawan, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SLB D-D1 YPAC

    Jakarta, yang telah mengizinkan saya dan membantu dalam penelitian ini,

    sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

    8. Bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., selaku guru mata pelajaran Pendidikan Agama

    Islam di SLB D-D1 YPAC Jakarta yang telah bersedia membantu peneliti

    dalam memperoleh data, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

    dengan baik.

    9. Teman-teman siswa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, terima kasih atas sambutan,

    keramahan, kehangatan, dan penerimaan kalian. Semangat kalian menuntut

    ilmu menjadi sumber inspirasi bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

    Semoga Allah selalu menjaga kalian dimanapun kalian berada.

    10. Kamalia Istifadati, Vica Tanzia Farsyam, Dina Aryani, tiga sahabat yang

    selalu menemani, membantu, dan memberikan semangat sejak semester awal

    hingga kini. Terima kasih telah menemani dan mewarnai hari-hari di UIN

    Jakarta selama ini.

    11. Nurafifah Astria (Aci), Eva Dianidah (Eva), Septian Hadi (Mas Hadi), Asep

    Kurniawan (Kaksep), Zezen Sukrillah (Abang Zen), dan Ibrahim Hanafi

    (Ibam), terima kasih karena telah membantu dalam perjalanan panjang

    penelitian ini. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan kalian.

    12. Elmiani Rahmah Hayati (Kak El), Indini Rahmawati (Teh Indin), Tunjung

    Magenta (Unjung), Husnul Khatimah (Unul), Farhatul Maftuhah (Atul),

    terima kasih selaku senior selalu mau membantu dan menjadi teman

    berdiskusi yang baik. Semoga Allah jaga silaturrahim kita sampai akhir hayat.

    13. Teman-teman PHP, Agie Anditia Felangi, Rintan Puspita Reynaldi, Tiara

    Nofiana, dan Siti Maslan Ritonga, sahabat sejak masa SMA yang selalu

    menjadi tempat keluh kesah dan tempat untuk mencari hiburan. Terima kasih

  • iv

    telah menemani sampai sejauh ini. Semoga Allah jaga tali persahabatan kita

    sampai jannah-Nya.

    14. Teman-teman AKSARA RT 003 RW 03 yang setia membantu,

    menyemangati, memotivasi dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi

    ini.

    15. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Agama Islam kelas C (APACHE)

    2015 yang telah menemani saya dari awal perkuliahan hingga saat ini dan

    selalu memberikan dukungan kepada saya. Terima kasih untuk semua kisah

    yang kita lalui selama ini.

    16. Teman-teman Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

    Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015.

    Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, peneliti

    ucapkan terima kasih atas dukungan, doa, dan bantuannya. Semoga semua pihak

    yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini mendapat balasan kebaikan

    dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat

    bermanfaat bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh

    tenaga pendidik khususnya, serta masyarakat pada umumnya agar dapat lebih

    memahami dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.

    Jakarta, 06 November 2019

    Penulis

    Rahmi Fathiyas Syah

  • v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ............................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii

    DAFTAR GAMBAR viii

    DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9

    C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 9

    D. Rumusan Masalah ................................................................................... 10

    E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 10

    BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................... 12

    A. Guru Pendidikan Agama Islam ............................................................... 12

    a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam ........................... 12

    b. Syarat-syarat Guru dalam Pendidikan Islam ................................... 13

    c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam..................................... 14

    d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam .............................................. 16

    e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam ......... 17

    B. Pendidikan Karakter Religius ................................................................. 19

    1. Pendidikan Karakter .........................................................................19

    a. Pengertian Pendidikan Karakter................................................19

    b. Faktor-faktor Pembentukan Karakter.......................................24

    c. Strategi Pendidikan Karakter....................................................27

    d. Metode Pendidikan Karakter....................................................30

    e. Nilai-nilai Pendidikan Karakter................................................33

    2. Karakter Religius..............................................................................37

    a. Pengertian Karakter Religius....................................................37

  • vi

    b. Aspek Karakter Religius...........................................................37

    c. Komponen Karakter Religius....................................................38

    d. Dimensi Karakter Religius........................................................38

    e. Domain Karakter Religius.........................................................39

    f. Prinsip Pendidikan Karakter Religius........................................42

    C. Anak Tunadaksa...................................................................................... 43

    a. Pengertian Anak Tunadaksa.............................................................43

    b. Faktor Penyebab Ketunadaksaan.....................................................44

    c. Klasifikasi Anak Tunadaksa.............................................................45

    d. Karakteristik Anak Tunadaksa.........................................................49

    D. Peran Guru PAI dalam Pendidikan Karakter..........................................52

    E. Penelitian yang Relevan..........................................................................61

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 64

    A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 64

    B. Metode Penelitian ................................................................................... 64

    C. Sumber Data............................................................................................ 65

    D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 66

    E. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................................. 67

    F. Analisis Data.............................................................................................68

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 69

    A. Deskripsi Data ......................................................................................... 69

    B. Pembahasan 98

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 107

    A. Kesimpulan ........................................................................................... 107

    B. Saran ..................................................................................................... 109

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110

    LAMPIRAN.........................................................................................................114

  • vii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter............................34

    Tabel 2.2: Domain Budi Pekerti Islami menurut al-Quran dan Hadis...............39

    Tabel 4.1: Daftar YPAC di seluruh Indonesia.......................................................71

    Tabel 4.2: Guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta................................................73

  • viii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 4.1: Guru melakukan kegiatan pembelajaran anak tunadaksa.................84

    Gambar 4.2: Guru melakukan kegiatan mengajar anak tunadaksa........................87

    Gambar 4.3: Guru membimbing anak tunadaksa dalam membaca al-Quran........89

    Gambar 4.4: Guru dan anak tunadaksa berdoa sebelum memulai pelajaran.........91

    Gambar 4.5: Guru melakukan kegiatan refleksi kepada anak tunadaksa..............93

  • ix

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1: Kisi-Kisi Wawancara dan Observasi

    Lampiran 2: Instrumen Wawancara

    Lampiran 3: Lembar Observasi

    Lampiran 4: Hasil Wawancara

    Lampiran 5: Hasil Observasi

    Lampiran 6: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

    Lampiran 7: Uji Referensi

    Lampiran 8: Biodata Penulis

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

    suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

    mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

    keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

    keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Dari

    definisi tersebut terlihat bahwa pendidikan merupakan suatu proses bimbingan

    yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk mengembangkan segala

    potensi yang ada di dalam diri seseorang.

    Proses pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai luhur suatu

    bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan

    tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai bangsa. Pendidikan

    memiliki dua misi utama, yaitu “transfer of values” dan “transfer of

    knowledge”.2 Oleh karena itu, pendidikan dikatakan sebagai agent of change

    yang dapat membawa perubahan untuk menciptakan manusia yang cerdas dan

    memiliki karakter.

    Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku

    (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter

    meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan yang terbaik, kapasitas

    intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan

    bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi

    penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang

    memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan,

    dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.

    1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

    (http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 2 Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,

    Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.123

    http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/

  • 2

    Adapun landasan filosofis dalam pengembangan karakter di sini harus jelas,

    yaitu nilai-nilai agama, etika, dan moral.3

    Dalam pembentukan karakter diperlukan proses yang terus-menerus

    tiada henti. Sebagai proses yang tiada berhenti, pembentukan karakter dibagi

    menjadi empat tahap. Pertama, pada usia dini disebut tahap pembentukan

    karakter. Kedua, pada usia remaja disebut tahap pengembangan. Ketiga, pada

    usia dewasa disebut tahap pemantapan. Keempat, pada usia tua disebut tahap

    pembijaksanaan.4 Proses pembentukan karakter yang berlangsung terus-

    menerus sepanjang hidup manusia melibatkan semua pihak baik rumah tangga

    dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Oleh

    karena itu perlu dibangun jaringan educational networks (jejaring kerja

    pendidikan). Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama

    antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.5

    Orientasi pendidikan karakter yang dilembagakan melalui kurikulum

    2013 diharapkan untuk melahirkan manusia yang berkepribadian utuh, bukan

    kepribadian terbelah, kepribadian ganda atau yang dalam bahasa agama

    disebut munafik. Kepribadian utuh merupakan orang yang bersatunya ucapan,

    sikap dan perbuatan.6

    Pendidikan agama Islam merupakan sebuah proses pembentukan

    manusia seutuhnya, baik dari segi jasmani maupun rohaninya. Sejalan dengan

    itu, pendidikan Islam memiliki tujuan, yaitu kepribadian seseorang yang

    membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya

    manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar

    dan normal karena takwanya kepada Allah Swt. Ini mengandung arti bahwa

    pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi

    dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan

    3 Ngainun Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam

    Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2012), h.55 4 Ibid,.h.57

    5 Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi

    Prima. 2012), h.198 6 Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan

    Karakter, (Jakarta: CV Suri Tatu’uw. 2015), h.8

  • 3

    mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan

    sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam

    semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.7

    Dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan

    pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

    manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

    berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

    negara yang demokratis serta bertanggung jawab.8 Rumusan tujuan

    pendidikan nasional tersebut, walaupun secara eksplisit tidak menyebutkan

    kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran Islam. Dalam rumusan

    tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang

    telah mentransformasi ke dalam nilai-nilai yang telah disepakati dalam

    kehidupan nasional.9

    Pendidikan Islam wajib diberikan kepada seluruh umat manusia

    tanpa memandang adanya kesempurnaan fisik. Anak-anak yang memiliki

    kelainan dan kekurangan fisik atau mental tetap mempunyai hak yang sama

    dalam mendapatkan pendidikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-

    Nur ayat 61,

    لَّْيَس َعَلى ْاأَلْعَمى َحرٌَج َواَلَعَلى ْاأَلْعرَِج َحرٌَج َواَلَعَلى اْلَمرِيِض َحرٌَج َواَلَعَلى أَنُفِسُكْم َأن تَْأُكُلوا ِمن بُ ُيوِتُكمْ

    “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang

    pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu

    sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri.”

    Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 disampaikan bahwa setiap warga

    negara tanpa terkecuali apakah dia mengalami kelainan atau tidak memiliki

    hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.10

    Selain itu, dalam Undang-

    Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan

    7 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia. 1997), h.41

    8 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

    (http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 9 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.64

    10 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1

    http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/

  • 4

    bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

    pendidikan yang bermutu dan bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik,

    emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan

    khusus.11

    Dengan kata lain, anak-anak yang memiliki kelainan dalam hal fisik

    maupun mental tetap mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak untuk

    mengembangkan potensi dirinya.

    Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan

    pendidikan yang sesuai karena mereka memiliki hambatan perkembangan dan

    hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat yang

    memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikannya, agar

    hambatan belajarnya dapat berkurang bahkan dihilangkan. Adapun yang

    termasuk ke dalam klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah

    tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, anak

    hiperaktif (ADHD), anak berbakat, tunaganda, dan autisme.12

    Tunadaksa merupakan salah satu yang termasuk dalam klasifikasi

    anak berkebutuhan khusus. Anak yang mengalami tunadaksa adalah anak

    yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna, dalam artian mereka

    mengalami kelainan pada fisik dan bukan inderanya. Kelainan fisik ini

    disebabkan dari luka, penyakit, atau pertumbuhan anggota tubuh yang tidak

    sempurna sehingga menyebabkan ketidakmampuan anggota tubuh untuk

    melaksanakan fungsinya dengan seharusnya. Anak tunadaksa memiliki

    kelainan fisik pada tulang, sendi, dan otot. Mereka mengalami gangguan

    gerakan akibat kelayuhan pada fungsi syaraf otak yang disebut cerebral palsy

    (CP). Anak yang mengalami tunadaksa memiliki kesulitan dalam menjalankan

    aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, bagi anak-anak yang megalami kelainan

    cerebral, mereka mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi

    sehingga menyebabkan kesulitan dalam memahami sesuatu.13

    11

    Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

    (http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 12

    Asep Karyana dan Sri Widati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa:

    Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Gerak, (Jakarta: Luxima, 2013), h.7-8 13

    Ibid., h.38

    http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/

  • 5

    Di Indonesia berdasarkan data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi

    Nasional) tahun 2009 menyatakan bahwa jumlah penduduk penyandang

    tunadaksa sebesar 33,75% dari 2,13 juta jiwa penyandang disabilitas.

    Penyandang tunadaksa yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir sebanyak

    32,75%, kecelakaan 29,04%, kusta 0,91%, penyakit lainnya 36,23%, dan

    kurang gizi sebanyak 1,08%.14

    Angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat

    penyandang tunadaksa dengan berbagai sebab, baik dari faktor bawaan lahir,

    kecelakaan, ataupun penyakit.

    Penyandang disabilitas di Indonesia masih dipandang kurang

    terfasilitasi bahkan mendapatkan perlakuan diskriminatif dan dianggap

    merepotkan. Kondisi disabilitas seseorang berdampak pada kemampuan untuk

    berpartisipasi di tengah masyarakat. Penyandang disabilitas mengalami

    hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan

    pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.15

    Menjadi manusia yang berbeda tentu membuat seseorang memiliki

    perasaan tertentu terhadap lingkungan, perasaan tersebut sering kali

    menjadikan ABK tidak memiliki kepercayaan diri ketika berada di lingkungan

    sekolah dan lingkungan masyarakat. Perbedaan perlakuan, cara berbicara,

    kepedulian terhadap anak-anak difabel, diakui atau tidak, ada rasa yang

    berbeda jika dibanding dengan manusia normal lainnya. Perlakuan berbeda

    inilah yang kemudian mendorong seseorang melakukan sesuatu yang dapat

    melukai anak difabel, baik secara fisik maupun psikis. Perlakuan melukai

    secara psikis ini dapat terwujud dalam bentuk ujaran kebencian atau hate

    speech dan bullying.16

    Penyandang tunadaksa memiliki resiko yang tinggi mendapatkan

    stres, karena mereka sangat peduli pada body image, penerimaan dari teman-

    temannya, kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian

    14

    Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Perbedaan Resiliensi pada Tunadaksa

    ditinjau dari Perbedaan Usia, Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, Vol.7, 2017, h.131 15

    Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas,

    (Jakarta: Lembaga Bahtsul Masail, 2018), h.3 16

    Muhammad Arfan Mu’ammar, Hate Speech dan Bullying pada Anak Berkebutuhan

    Khusus, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.8, 2017, h.20

  • 6

    prestasi. Penyandang tunadaksa tidak jarang mengalami gangguan psikologis

    terkait perasaan tidak berguna, tidak mampu, malu, minder, kecemasan dan

    permasalahan psikologis lainnya.17

    Dalam konteks pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dari

    sistem pendidikan yang sedang berlangsung. Pendidik merupakan orang

    terdepan dalam peningkatan sumber daya manusia, sebab pendidik adalah

    ujung tombak bagi keunggulan manusia.18

    Sehingga, dapat dikatakan bahwa

    pendidik memiliki peranan yang penting dalam pendidikan karakter dan

    peningkatan sumber daya manusia.

    Guru sebagai orang yang digugu dan ditiru memiliki peran

    menanamkan, menumbuhkan, dan mendidik nilai-nilai dan norma yang

    berlaku dalam masyarakat. Guru sebagai raw model menjadi teladan dalam

    bersikap dan berperilaku. Guru memiliki peran yang penting dalam

    mengembangkan potensi siswa. Pengembangan potensi siswa tersebut dalam

    bahasa sosio-religius sebagai upaya untuk melahirkan siswa yang bermoral

    dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern peran guru

    sebagai pelopor yang menampilkan contoh teladan dan pemimpin informal

    untuk menciptakan suasana pembelajaran yang berorientasi pada materi yang

    berisikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.19

    Dalam upaya mencapai pendidikan agama Islam berkualitas, harus

    dimulai dengan guru pendidikan agama Islam yang berkualitas. Peranan guru

    pendidikan agama Islam sangatlah penting untuk menanamkan pendidikan

    karakter terutama karakter religius pada siswa. Guru sebagai suri tauladan atau

    panutan bagi siswa-siswanya dengan memberikan contoh perilaku yang baik

    sehingga bisa mencetak dan membentuk generasi yang memiliki kepribadian

    yang baik pula. Oleh sebab itu di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik

    yang berkualitas baik secara akademik, keahlian, kematangan emosional,

    mental dan spiritual.

    17

    Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Op.Cit, h.131 18

    Anas Shalahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan

    Berbasis Agama dan Budaya Bangsa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.123 19

    Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Op.Cit., h.84

  • 7

    Guru dalam Islam menurut Ahmad Tafsir adalah siapa saja yag

    bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Mereka harus dapat

    mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik kognitif,

    afektif, maupun psikomotorik. Potensi-potensi ini sedemikian rupa

    dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal

    berdasarkan ajaran Islam.20

    Dalam konsepsi Islam, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam

    merupakan al-mu‟allim al-awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah

    dididik oleh Rabb al-„Alamin. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam

    pribadi Rasulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi,

    akhlak yang luhur dan menggunakan metode dan alat yang tepat. Dalam QS.

    Al-Qalam ayat 4 bahkan disebutkan bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang

    agung.21

    Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan sebaik-baiknya

    teladan sebagai seorang pendidik. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam

    konsepsi Islam harus memilki kompetensi personal-religius (kepribadian

    berdasarkan Islam), kompetensi sosial-religius (kepedulian terhadap masalah-

    masalah sosial yang selaras dengan Islam), dan kompetensi profesional-

    religius (kemampuan menjalankan tuggasnya secara profesional yang

    didasarkan atas ajaran Islam).22

    Mengingat guru sebagai orang yang harus

    menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam bersikap dan berperilaku, maka

    kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan pendukung penting

    agar tugas yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang baik.

    Dapat dikatakan bahwa guru agama mempunyai tugas yang cukup

    berat, yaitu ikut membina pribadi anak disamping mengajarkan pengetahuan

    agama kepada anak. Guru agama harus memperbaiki pribadi anak dan

    membawa anak didik kepada arah pembinaan pribadi yang sehat dan baik.

    Guru agama harus menyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya merupakan

    unsur pembinaan bagi anak didik. Di samping pendidikan dan pengajaran

    yang dilaksanakan dengan sengaja oleh guru agama dalam pembinaan anak

    20 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.114

    21 Ibid., h.114

    22Ibid., h.117

  • 8

    didik, yang sangat penting dan menentukan pula adalah kepribadian, sikap dan

    cara hidup guru itu sendiri, bahkan cara berpakaian, cara bergaul, berbicara

    dan menghadapi setiap masalah, yang secara langsung tidak tampak

    hubungannya dengan pengajaran, namun dalam pendidikan atau pembinaan

    pribadi si anak, hal-hal itu sangat berpengaruh.23

    Salah satu sekolah luar biasa khusus yang menyelenggarakan

    pendidikan bagi anak tunadaksa adalah Yayasan Pembinaan Anak Cacat

    (YPAC) Jakarta. YPAC memberikan perhatian kepada anak-anak yang

    memiliki cacat tubuh (tunadaksa). Anak-anak yang memiliki cacat tubuh

    ketika pertama kali masuk ke yayasan ini tidak memiliki kemampuan untuk

    melakukan ibadah, seperti salat, mengaji, dan berpuasa dikarenakan mereka

    memiliki rasa rendah diri yang tinggi, rasa tidak percaya diri, rasa minder,

    merasa dikucilkan dan dibedakan dari lingkungan sekitar, serta rendahnya

    kemampuan orang tua dalam membimbing anak tunadaksa untuk melakukan

    kegiatan ibadah. Hal ini tentu akan berdampak pada kondisi kejiwaan anak

    tunadaksa tersebut.

    Di YPAC Jakarta terdapat berbagai jenjang pendidikan bagi anak

    tunadaksa, mulai dari pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB sampai pada

    SMALB. Adapun penelitian ini lebih difokuskan pada anak tunadaksa tingkat

    SMPLB. Di dalam satu kelas anak tunadaksa terdiri dari 5 – 6 orang siswa.

    Ketika proses pembelajaran PAI berlangsung, anak tunadaksa kadang

    mengalami kesulitan dalam memahami materi yang guru sampaikan. Hal ini

    dikarenakan anak tunadaksa terutama yang mengalami Cerebral Palsy (CP)

    memiliki gangguan kognisi, persepsi, dan simbolisasi.

    Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peranan yang penting

    untuk membentuk karakter religius pada anak tunadaksa. Adapun kegiatan

    yang dapat membentuk karakter religius anak tunadaksa dengan melakukan

    kegiatan seperti berdoa sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran,

    menghapal surat-surat pendek, kegiatan solat berjamaah, melaksanakan puasa,

    dan belajar untuk saling berbagi. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk

    23

    Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010), h.68

  • 9

    mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana peran guru PAI dalam

    membentuk karakter anak tunadaksa, sehingga para siswa memilki kemauan

    dan kemampuan untuk menjalankan ibadah keagamaan yang telah diajarkan.

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik

    membahas hal tersebut dalam penelitian yang berjudul, “PERAN GURU

    PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

    ANAK TUNADAKSA DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK

    CACAT JAKARTA.”

    B. Identifikasi Masalah

    Dari realita yang ada dan berdasarkan latar belakang masalah di atas,

    maka diperoleh masalah yang teridentifikasi sebagai beikut.

    1. Keterhambatan gerak membuat anak tunadaksa sulit melakukan kegiatan

    secara mandiri

    2. Rendahnya kemampuan dan pemahaman anak tunadaksa dalam

    menjalankan kegiatan keagamaan

    3. Rendahnya kepercayaan diri anak tunadaksa di YPAC Jakarta

    4. Rendahnya penerimaan masyarakat terhadap anak tunadaksa

    5. Rendahnya pemahaman orang tua dalam membangun karakter religius

    anak tunadaksa

    C. Pembatasan Masalah

    Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka

    peneliti membatasi masalah sebagai berikut.

    1. Anak berkebutuhan khusus yang akan diteliti adalah anak dengan

    gangguan tunadaksa tingkat SMPLB.

    2. Pembelajaran yang akan diteliti adalah peran guru pendidikan agama

    Islam sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan

    evaluator dalam pendidikan karakter religius pada anak tunadaksa.

    3. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI dalam

    pendidikan karakter religius anak tunadaksa.

  • 10

    D. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian

    ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimana peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak

    tunadaksa di YPAC Jakarta?

    2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI

    dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta?

    E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    a. Tujuan Penelitian

    Mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam

    penelitian ini adalah:

    1. Untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam pendidikan karakter

    religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta

    2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan faktor penghambat yang

    dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa

    di YPAC Jakarta

    b. Kegunaan Penelitian

    Adapun kegunaan penelitian ini, di antaranya yaitu:

    1. Kegunaan Teoritis

    Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan khazanah

    keilmuan khususnya mengenai peranan Guru PAI dalam pendidikan

    karakter religius pada anak tunadaksa di lembaga formal, nonformal,

    maupun informal.

    2. Kegunaan Praktis

    a) Bagi Peneliti

    Dengan penelitian ini diharapkan memberikan ilmu

    pengetahuan yang baru kepada peneliti, serta dapat memberikan

    pengalaman dan pembelajaran mengenai peranan guru PAI dalam

    pendidikan karakter religius siswa bagi anak tunadaksa kepada

    peneliti untuk masa yang akan datang.

  • 11

    b) Bagi Lembaga Pendidikan

    Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi

    dan sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan khususnya

    lembaga pendidikan agama Islam agar dapat mengembangkan dan

    memperkaya khazanah keilmuan dalam rangka peningkatan mutu

    dan kualitas pendidikan agama Islam.

    c) Bagi Peneliti Lain

    Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam

    penelitian yang dilakukan.

  • 12

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Guru Pendidikan Agama Islam

    a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam

    Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

    disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama

    mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

    mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

    pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.1

    Dalam konteks pendidikan Islam pendidik atau guru sering disebut

    dengan ustaz, murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid.

    Setiap sebutan tersebut memiliki karakteristik tugas pendidik yang

    berbeda, seperti ustaz merupakan seorang guru yang dituntut untuk

    komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya; Murabbi

    merupakan orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar

    mampu berkreasi serta mampu mengatur, dan memelihara hasil kreasinya

    untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam

    sekitar; Mu’allim yaitu orang yang menguasai ilmu dan mampu

    mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,

    sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta

    implementasi; Mu’addib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta

    didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang

    berkualitas di masa depan; Mudarris yaitu orang yang memiliki kepekaan

    intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan

    keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserra

    didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan

    sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; Mursyid adalah orang

    1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

    (www.jdih.kemenkeu.go.id), dipublikasikan pada 30 Desember 2005

    http://www.jdih.kemenkeu.go.id/

  • 13

    yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi

    pusat panutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.

    Ahmad Tafsir yang dikutip Sukring mengatakan bahwa pendidik

    dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap

    perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh

    potensi peserta didik, baik ptensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun

    psikomotorik (karsa). Pendidik juga memiliki arti orang dewasa yang

    bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam

    perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,

    mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu

    mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah

    SWT., mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai

    makhluk individu yang mandiri.2

    b. Syarat-Syarat Guru dalam Pendidikan Islam

    Syarat-syarat guru menurut Zakiyah Drajat yang dikutip Novan Ardy

    Wahana dan Barnawi antara lain:

    1. Syarat Kepribadian, yakni memiliki kepribadian yang terpadu

    sehingga dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat.

    Pengertian terpadu adalah segala unsur dalam pribadinya (pikiran,

    perasaan, dan tingkah laku) bekerja secara seimbang dan serasi.

    2. Syarat Profesional, yakni guru memilki pengetahuan yang cukup

    memadai khususnya ilmu yang diajarkan.

    3. Syarat teknis, yakni guru harus memilki kemampuan memilih dan

    menggunakan metode mengajar yang tepat guna, artinya sesuai

    dengan tujuan materi, anak didik yang dihadapi, situasi, dan alat-alat

    yang tersedia.3

    2 Sukring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha

    Ilmu, 2013), h.80-81 3 Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

    Media, 2016), h.109

  • 14

    Sedangkan, menurut Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa syarat guru

    dalam pendidikan Islam, yaitu:

    1. Tentang umur, harus sudah dewasa

    2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani

    3. Tentang kemampuan mengajar, harus ahli dalam bidangnya

    4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.4

    c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam

    Kompetensi menurut KBBI adalah kewenangan (kekuasaan) untuk

    menentukan (memutuskan sesuatu).5 Sedangkan menurut Zakiah Daradjat

    dikutip Sukring mengemukakan bahwa kompetensi adalah kewenangan

    untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang

    tertentu di sekolah di tempat guru itu mengajar.6

    Berdasarkan pengertian kompetensi di atas, dapat dipahami bahwa

    calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai ilmu

    pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terkait dengan

    profesinya. Berikut kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru

    yaitu:

    1. Kompetensi Pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran

    peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,

    perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar

    dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai

    potensi yang dimilikinya. Artinya, guru harus mampu mengelola

    kegiatan pembelajaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan

    mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai

    manajemen kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat

    kurikulum, melaksanakan kurikulum, dan mengevaluasi kurikulum,

    4 Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT

    Remaja Rosdakarya, 2014), h. 172 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019

    6 Sukring, Op.Cit., h. 88

    http://www.kbbi..web.id/

  • 15

    serta memiliki pemahaman tentang psikologi pendidikan, terutama

    terhadap kebutuhan dan perkembangan peserta didik agar kegiatan

    pembelajaran lebih bermakna.

    2. Kompetensi Personal, adalah kemampuan kepribadian yang mantap,

    stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,

    dan berakhlak mulia. Artinya, guru memiliki sikap kepribadian yang

    mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa.

    Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut

    diteladani, sehingga mampu melaksanakan tri-pusat yang

    dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung

    Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan

    guru memberi teladan/contoh, di tengah memberikan karsa, dan di

    belakang memberikan dorongan/motivasi).

    3. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan guru sebagai bagian dari

    masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan

    peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali

    peserta didik, dan masyarakat sekitar. Artinya, ia menunjukkan

    kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya

    maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, bahkan

    dengan masyarakat luas.

    4. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi

    pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan

    membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang

    ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Artinya, guru harus

    memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi atau

    subjek matter yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik

    dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritis, mampu memilih

    model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya

    dalam kegiatan pembelajaran.7

    7 Rusma, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalitas Guru, (Jakarta:

    PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.22-23

  • 16

    d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam

    Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, ada sepuluh sifat yang harus

    dimiliki oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam mengajarkan ilmu

    kepada muridnya, di antaranya:

    1. Tujuan hidup, tingkah laku, dan pola pikir pendidik hendaknya bersifat

    rabbani, yakni bersandar kepada Allah, menaati Allah, mengabdi

    kepada Allah, mengikuti syariat-Nya, dan mengenal sifat-sifat-Nya.

    2. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh keikhlasan.

    Pendidikan dengan keluasan ilmunya hendaknya menjalankan

    profesinya hanya bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dan

    menegakkan kebenaran.

    3. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh kesabaran, karena

    tujuan pendidikan tidak akan tercapai dengan tergesa-gesa. Pendidik

    tidak boleh menuruti hawa nafusnya, seperti ingin segera melihat hasil

    kerjanya sebelum pengajaran itu terserap dalam jiwa anak.

    4. Menyampaikan apa yang diserukan dengan penuh kejujuran. Apa yang

    disampaikan terlebih dahulu sudah diamalkan pendidik, baik perkataan

    maupun perbuatan, agar anak didik mudah mengikuti dan menirunya.

    5. Senantiasi membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan terus-

    menerus membiasakan diri untuk mempelajari dan mengkajinya.

    Pendidik tidak boleh puas dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

    6. Memiliki kemampuan pengelolaan belajar yang baik, tegas dalam

    bertindak dan mampu meletakkan berbagai perkara secara

    proporsionnal.

    7. Memilki kemampuan untuk menggunakan berbagai metode mengajar

    secara bervariasi, menguasainya dengan baik, dan pandai menentukan

    pilihan metode yang digunakan sesuai suasana mengajar yang

    dihadapinya.

    8. Mampu memahami kondisi kejiawaan peserta didik yang selaras

    dengan tahapan perkembangannya, agar dapat memperlakukan peserta

    didik sesuai kemampuan akal dan perkembangan psikologisnya.

  • 17

    9. Memilki sikap yang tanggap dan responsif terhadap berbagai kondisi

    dan perkembangan dunia, yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan,

    dan pola pikir peserta didik.

    10. Memperlakukan peserta didik dengan adil, tidak cenderung kepada

    salah satu dari mereka, dan tidak melebihkan seseorang atas yang lain,

    kecuali sesuai dengan kemampuan dan prestasinya.8

    e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam

    Al-Qur‟an telah mengisyaratkan peran para nabi dalam pendidikan

    dan fungsi fundamental mereka dalam mengikuti pengkajian ilmu-ilmu

    ilahi serta implikasinya. Isyarat tersebut terdapat dalam firman Allah

    dalam QS. al-Baqarah: 129

    ُلواََعَلْيِهْمََءايَاِتَكََويُ َعلُِّمُهُمَاْلِكَتاَبََواْلِحْكَمَةَرَب َّنََ ُهْمَيَ ت ْ مِّن ْ اََوابْ َعْثَِفيِهْمََرُسوالًَ

    يِهْمَِإنََّكََأنَتَاْلَعزِيُزَاْلَحِكيمَُ َويُ زَكِّ

    Artinya:

    “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan

    mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,

    dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al

    Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya

    Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

    Pada ayat di atas, Allah mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang

    diemban oleh Rasulullah adalah mengajarkan al-Qur‟an, hikmah, dan

    penyucian diri. Keutamaan profesi pendidik sangatlah besar, sehingga

    Allah menjadikannya sebagai tugas yang diemban Rasulullah. Demikian

    juga tugas pendidik yang mewarisi tugas yang diemban Rasulullah.

    Tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Selain itu,

    tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,

    meyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah. Menurut al-

    Ghazali ada empat tugas pendidik/pengajar, yaitu:

    8 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.92-93

  • 18

    1. Menunjukkan kasih sayang kepada peserta didik dan menganggapnya

    seperti anak sendiri.

    2. Mengikuti teladan Rasulullah SAW.

    3. Tidak menunda memberi nasihat dan ilmu yang diperlukan oleh para

    peserta didik.

    4. Menasihati peserta didik dan melarang dari akhlak tercela.

    Sedangkan, dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005

    tentang Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2 menyebutkan bahwa

    “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

    mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

    mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur

    pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

    Uraian tersebut menggaris bawahi bahwa, tugas pendidik adalah

    membimbing dan mengarahkan serta menyiapkan generasi penerus yang

    akan hidup pada zamannya di masa depan, maka tanggung jawab pendidik

    seperti yang dijelaskan Abdurrahman al-Nahlawi yakni mendidik individu

    supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik

    diri supaya beramal salah dan mendidik masyarakat untuk saling berpesan-

    pesan dalam melaksanakan kebenaran dan berpesan-pesan dalam

    kesabaran ketika menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah, serta

    menegakkan kebenaran. Jadi tanggung jawab pendidik bukan hanya

    terhadap moril peserta didik dan masyarakat, akan tetapi lebih besar adalah

    mempertanggungjawabkan segala aktivitas kependidikan kepada Allah.9

    9 Sukring, Loc.Cit., h. 83-85

  • 19

    B. Pendidikan Karakter Religius

    1. Pendidikan Karakter

    a. Pengertian Pendidikan Karakter

    Pendidikan berasal dari kata “didik”, yang selanjutnya

    ditambahkan imbuhan menjadi pendidikan yang artinya proses

    pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam

    usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

    pelatihan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, education (pendidikan)

    berasal dari kata educate (mendidik) yang berarti memberi

    peningkatan dan mengembangkan. Dalam pengertian yang sempit,

    education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan

    untuk memperoleh pengetahuan.10

    Berdasarakan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,

    pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

    suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

    aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

    spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

    akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

    bangsa dan negara.11

    Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Latin, yaitu

    kharakter, kharassaein, dan kharax. Sedangkan, dalam bahasa Yunani

    karakter berasal dari kata charassein, yang berarti membuat tajam dan

    membuat dalam.12

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter

    adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang

    membedakan seseorang dari yang lain. Karakter mengacu pada

    10

    Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 2013), h.10 11

    Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

    (http://kelembagaan.ristekdikti.go.id), dipublikasikan pada 22 Februari 2019 12

    Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,

    2012), h. 1

    http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/

  • 20

    serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviors), motivasi

    (motivations), dan keterampilan (skills).13

    Karakter secara istilah menurut Zubaedi meliputi sikap seperti

    keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual

    seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung

    jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh

    ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang

    memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai

    keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan

    masyarakatnya.

    Suyanto mendefinisikan karakter, yaitu

    “Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang

    menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,

    baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan

    negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang

    bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan

    setiap akibat dari keputusan yang ia buat.”

    Sedangkan, Griek merumuskan definisi karakter sebagai

    panduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga

    menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu

    dengan yang lain. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai

    identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga

    seseorang atau sesuatu itu berbeda dengan yang lain.14

    Di pihak lain, Thomas Lickona yang dikenal sebagai “Bapak

    Pendidikan Karakter” menjelaskan bahwa makna karakter adalah “A

    reliable inner deposition to respond to situations in a morally good

    way”. Selanjutnya dia menambahkkan, “Character so conceived has

    three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and morang

    behavior”. Menurut Thomas Lickona, karakter mulia (good character)

    13

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019 14

    Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya Secara

    Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-

    Ruzz Media, 2016), h.28-29

    http://www.kbbi..web.id/

  • 21

    meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen

    (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan

    kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian

    pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi

    (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

    Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep

    moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku

    moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat

    dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan

    tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan

    perbuatan kebaikan.15

    Dikutip dari Muchlis Samani dan Hariyanto, Thomas Lickona

    mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya sungguh-sungguh

    untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan

    landasan nilai-nilai etis.16

    Secara sederhana, Lickona mendefinisikan

    pendidikan karakter merupakan usaha secara sengaja untuk mengolah

    kebaikan pada seseorang. 17

    Dalam pendidikan terdapat dua tujuan utama, yaitu untuk

    membantu siswa menjadi pintar dan baik. Para siswa memerlukan

    karakter bagi kedua hal tersebut. Para siswa ini memerlukan kekuatan

    dalam karakter, seperti etos kerja yang kuat, disiplin diri, dan

    ketekunan untuk sukses di sekolah dan kehidupannya. Mereka

    memerlukan kekuatan karakter seperti rasa hormat dan tanggung

    jawab untuk memiliki hubungan dan kehidupan antarpribadi yang

    positif dalam masyarakat.18

    15

    Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan Thomas

    Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol.14, 2014, h.271-272 16

    Thomas Lickona, Character Matters: Persoalan Karakter Bagaimana Membantu Anak

    Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya, terjemah dari

    Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other

    Essensial Virtues, (Jakarta: PTBumi Aksara. 2012), h.6 17

    Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011), h.44

    18 Thomas Lickona, Op.Cit., h.5

  • 22

    Thomas Lickona menyebutkan setidaknya ada tujuh unsur-

    unsur karakter esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada

    peserta didik, yaitu ketulusan hati atau kejujuran; belas kasih;

    kegagahberanian; kasih sayang; kontrol diri; kerja sama; dan kerja

    keras. Tujuh karakter inilah yang paling penting dan mendasar untuk

    dikembangkan pada peserta didik.19

    Adapun pendapat menurut Siswanto pendidikan karakter

    adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga

    sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

    kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik

    terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,

    lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan

    kamil.20

    Di dalam Islam karakter dikenal dengan “akhlak”. Akhlak

    berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khulq,

    yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,

    atau tabi‟at. Sedangkan secara istilah akhlak diartikan sebagai sikap

    yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik,

    mungkin buruk.21

    Imam Al-Ghozali berpendapat bahwa akhlak ialah sifat yang

    tertanam dalam hati yang dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan

    yang baik, dengan mudah dan tanpa menimbulkan pertimbangan-

    pertimbangan dan pemikiran-pemikiran22

    . Sedangkan, Ibn Miskawaih

    dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak

    adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan

    19

    Dalmeri, Op.Cit., h.273 20

    Siswanto, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Religius, Jurnal Tadris, Vol. 8,

    2013, h. 97 21

    Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

    2005), h. 346

    22

    Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduesa

    Media Jakarta, 2011), h. 7

  • 23

    perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan

    terlebih dahulu.23

    Menurut Abuddin Nata secara garis besar akhlak itu dibagi

    menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al akhlaq al-karimah)

    atau (al akhlaq mahmudah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al

    mazmumah).24

    Yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah

    segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji), sedangkan

    akhlak mazmumah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang

    buruk (tercela). Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak

    mahmudah jumlahnya cukup banyak, di antaranya adalah ikhlas

    (berbuat sesuatu semata-mata karena Allah); syukur (berterima kasih

    atas nikmat Allah); amanah (dapat dipercaya); „adl (adil); afw

    (pemaaf); wafa (menepati janji); Sidq (benar/jujur); tawakkal

    (berserah diri pada Allah); rahmah (kasih sayang); sakha (murah

    hati); ta’awun (penolong). Adapun sifat-sifat yang termasuk dalam

    kategori akhlak mazmumah diantaranya ananiyah (egoisme); bukhil

    (kikir); gadab (pemarah); takabur (sombong); kufr (ingkar terhadap

    nikmat Allah); tabdzir (boros); ghisysy (curang/culas); riya’ (ingin

    dipuji); kasal (malas); hasad (dengki); zulm (zalim/berbuat aniaya),

    dan lain sebagainya.25

    Penggunaan istilah karakter pada pembahasan kali ini didasari

    pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang

    Penguatan Pendidikan Karakter. Penguatan Pendidikan Karakter yang

    selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah

    tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta

    didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah

    raga dengan pelibayan dan kerja sama antara satuan pendidikan,

    23

    Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

    2006), h.151

    24

    Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Gradindo, 2015),

    h.37 25

    Didiek Ahmad Suoadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

    Persada, 2012), h.204-205

  • 24

    keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional

    Revolusi Mental (GNRM).26

    Dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan karakter

    merupakan cara yang dilakukan untuk merubah nilai-nilai perilaku

    manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama

    manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,

    sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma

    agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

    b. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter

    Adapun faktor-faktor pembentukan karakter secara umum

    digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor

    ekstern.

    1) Faktor Intern

    a. Insting atau Naluri

    Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan

    perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih

    dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu.

    Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan

    suatu pembawaan yang asli.27

    Naluri berfungsi sebagai motivator penggerak yang

    mendorong lahirnya tingkah laku, seperti naluri makan, naluri

    berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri berjuang, naluri ber-Tuhan.

    Selain itu, terdapat insting lain yang dikemukakan oleh para ahli

    Psikologi, misalnya insting ingin tahu dan memberi tahu, insting

    takut, insting suka bergaul, dan insting meniru. Naluri dan insting

    manusia tersebut sudah menjadi fitrah manusia sejak lahir dan akan

    26

    Perpres No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, diakses dari

    (https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-

    pendidikan-karakter), dipublikasikan pada 27 Februari 2018 27

    Heri Gunawan, Op.Cit., h. 20

    https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-pendidikan-karakterhttps://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-pendidikan-karakter

  • 25

    memproduksi berbagai corak perilaku sesuai dengan corak

    instingnya.

    b. Adat atau Kebiasaan

    Adat / kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan

    seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk

    yang sama sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan,

    tidur, dan olahraga. Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang

    sangat penting dalam membentuk dan membina karakter.

    Sehubungan kebiasaan merupakan kegiatan yang diulang-ulang

    sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan

    diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi

    kebiasaan dan akan terbentuk karakter yang baik pula28

    .

    c. Kehendak / Kemauan (Iradah)

    Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku

    adalah kehendak atau kemauan keras.Itulah yang menggerakkan

    dan merupakan kekuatan yang mendorong manusia dengan

    sungguh-sungguh untuk berperilaku.

    d. Suara Batin atau Suara Hati

    Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya

    perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping

    dorongan untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus

    didik dan dituntun akan menaiki jenjang kekuatan rohani.

    e. Keturunan

    Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat

    mempengaruhi perbuatan manusia. Sifat yang diturunkan pada garis

    besarnya ada dua macam, yaitu sifat jasmaniyah dan sifat ruhaniyah.

    Sifat jasmaniyah adalah kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat-

    urat saraf orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.

    Sedangkan sifat ruhaniyah adalah lemah dan kuatnya suatu naluri

    28

    Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga

    Pendidikan, (Jakarta: Kencana: 2012), h.178-179

  • 26

    dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi

    perilaku anak cucunya.29

    2) Faktor Ekstern

    a. Pendidikan

    Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah usaha

    meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Pendidikan mempunyai

    pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter, sehingga

    baik dan buruknya karakter seseorang sangat tergantung pada

    pendidikan. Pendidikan akan mematangkan kepribadian manusia

    sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah

    diterima oleh seseorang baik pendidikan formal, informal, maupun

    non formal.

    b. Lingkungan

    Lingkungan adalah segala sesuatu yang menjadi bagian dari

    kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara, dan

    pergaulan manusia. Manusia hidup selalu berhubungan dengan

    manusia lainnya atau dengan alam sekitar. Itulah sebabnya manusia

    harus bergaul dan dalam pergaulan itu saling mempengaruhi

    pikiran, sifat dan tingkah laku.30

    BagiPeter L Berger dan Luckmann , masyarakat merupakan

    kenyataan objektif dan sekaligus kenyataan subjektif. Sebagai

    kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan

    berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan

    subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang

    tidak terpisahkan. Individu adalah pembentuk masyarakat; dan

    masyarakat adalah pembentuk individu. Maka itu, kenyataan sosial

    bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan

    sekaligus subjektif.

    29

    Heri Gunawan, Loc.Cit., .h. 20-21 30

    Ibid., .h. 21-22

  • 27

    Adapun Berger dan Luckmann menyatakan bahwa

    hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan

    keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan

    berbagai aktivitas. Adanya keterhubungan manusia dengan

    llingkungannya seperti itu, membuat ia mengembangkan dirinya

    bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak macam kegiatan

    terus-menerus penuh variasi. Maka dari itu, dalam

    mengembangkan dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara

    timbal-balik dengan lingkungan alam tertentu tetapi juga dengan

    bantuan sosial dan budaya yang spesifik, yang dihubungkan

    melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh. Perkembangan

    manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan

    secara sosial.31

    Dalam hal ini Berger dan Luckmann merumuskan teori

    konstruksi sosial yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.

    Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann,

    mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari

    masyarakat sebagai kenyataan. Dalam teori ini terkandung pemahaman

    bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan

    pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.

    Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-

    fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga

    tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan

    adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki

    karakteristik yang spesifik.32

    c. Strategi Pendidikan Karakter

    Menurut Thomas Lickona, karakter terbentuk dari tiga macam

    bagian yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan moral, perasaan

    moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui

    31

    I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, Jurnal: Masyarakat

    Kebudayaan dan Politik, Vol. 21, 2008, h. 224 32

    Ibid., h. 221

  • 28

    kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan.

    Ketiganya penting untuk menjalankan hidup yang bermoral; ketiganya

    adalah faktor pembentuk kematangan moral.33

    Dalam dinamikanya, pendidikan karakter tentu tidak dapat

    mengabaikan kondisi peserta didik sebagai sasaran dari pendidikan

    tersebut. Berbagai aspek psikis yang berpotensi memiliki peran dalam

    memberi warna pada diri peserta didik tentu akan menjadi kontributor

    yang sangat berpengaruh dalam pencapaian tujuan dalam

    pembentukan karakter mereka. Salah satunya adalah aspek

    perkembangan moral peserta didik, dimana dengan memahami aspek

    moral tersebut mampu memberi support dalam pencapaian target dari

    proses pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter memiliki tiga

    komponen yang penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan

    moral action/moral behaviour. Ketiga komponen dasar ini merupakan

    satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak.

    Dengan demikian mempelajari perkembangan moral anak akan

    bermanfaat juga sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan

    pendidikan karakter.34

    Dalam pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia

    dalam diri setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilalui,

    diantaranya:

    1. Moral Knowing / Learning to know

    Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan

    karakter.Dalam tahapan ini tujuan dorientasikan pada penguasaan

    pengetahuan tentang nilai-nilai. Di antaranya siswa harus mampu

    memiliki kemampuan: a) membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan

    akhlak tercela serta nilai-nilai universal; b) memahami secara logis

    33

    Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi

    Pintar dan Baik, Diterjemahkan dari Educating for Character, (Bandung: Nusa Media. 2013), h.

    72 34

    Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg

    dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 8,

    2013, h. 274

  • 29

    dan rasioal (bukan secara dogmatis dan doktriner) pentingnya

    akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan; c)

    mengenal sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai figur teladan

    akhlak mulia melalui hadits-hadits dan sunahnya.

    2. Moral Loving / Moral Feeling

    Belajar mencintai dengan melayani orang lain. Belajar

    mencintai dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan

    untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai

    akhlak mulia. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran guru

    adalah dimensi emosional siswa, hati, atau jiwa, bukan lagi akal,

    rasio dan logika. Untuk mencapai tahapan ini guru bisa

    memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati,

    modelling, atau kontempelasi. Melalui tahap ini pun siswa

    diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin

    tahu kekurangan-kekurangannya.35

    3. Moral Doing / Learning to do

    Inilah puncak keberhasilan mata pelajaran akhlak, siswa

    mempraktikan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya

    sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, ramah, hormat,

    penyayang, jujur, disiplin, cinta, kasih dan sayang, adil serta

    murah hati dan seterusnya. Selama perubahan akhlak belum

    terlihat dalam perilaku anak walaupun sedikit, selama itu pula

    kita memiliki setumpuk pertanyaan yang harus selalu dicari

    jawabannya. Contoh atau teladan adalah guru yang paling baik

    dalam menanamkan nilai. Siapa kita dan apa yang kita berikan.

    Tindakan selanjutnya adalah pembiasaan dan permotivasian.36

    35 Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Pendidikan Karakter untuk Guru, (Ciputat: Islamic

    Research Publishing, 2010), h. 26 36

    Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT

    Remaja Rosdakarya. 2011), h.112-113

  • 30

    Sedangkan menurut Indonesian Heritage Foundation (IHF)

    menyebutkan beberapa strategi yang dapat digunakan dalam

    pembentukan karakter, di antaranya yaitu:

    1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif

    murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid.

    Karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan

    diberikan materi pelajaran yang kongkrit, bermakna, serta

    relevan dengan konteks kehidupanya.

    2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak

    bisa belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan

    rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberi

    semangat.

    3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis dan

    berkesinambungan, dengan melibatkan aspek knowing the good,

    loving the good, and acting the good.

    4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-

    masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga

    9 aspek kecerdasan manusia.37

    d. Metode Pendidikan Karakter

    Dalam proses pembentukan karakter diperlukan metode-

    metode pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik

    kepada siswa, sehingga siswa bukan hanya tahu tentang moral (moral

    knowing), tetapi juga mereka mampu melaksanakan moral (moral

    action). Berikut metode-metode pembentukan karakter menurut

    Abdurrahman An-Nahlawi dalam karyanya yang berjudul “Ushuul Al

    Tarbiyah Al Islamiyyah Wa Salibuha” atau yang diterjemahkan ke

    dalam bahasa Indonesia, yaitu “Prinsip-Prinsip dan Metode

    Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat”, di

    antaranya adalah:

    37

    Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Op.Cit., h.27

  • 31

    1) Metode Hiwar atau Percakapan

    Metode hiwar (dialog) adalah percakapan silih berganti

    antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu

    topik dengan satu tujuan tertentu. Dalam proses pendidikan metode

    hiwar mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa

    pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percakapan secara

    seksama, karena permasalahan yang disajikan sangat dinamis,

    pembaca atau pendengar tertarik untuk terus mengikuti jalannya

    percakapan untuk mengetahui kesimpulan, dapat membangkitkan

    berbagai perasaan dan kesan seseorang, serta sikap orang yang

    yang terlibat akan mempengaruhi peserta sehingga akan

    menimbulkan berbagai pengaruh yang baik.

    2) Metode Qashash atau Cerita

    Menurut kamus Ibn Manzur dikutip dari Heri Gunawan,

    kisah berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qishshatan yang berarti

    potongan berita yang diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi

    kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam

    pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai metode

    pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat

    penting, karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan dan

    edukasi.38

    3) Metode Amtsal atau Perumpamaan

    Dalam mendidik umat manusia, Allah banyak

    menggunakan perumpamaan. Metode perumpaan ini juga baik

    untuk digunakan oleh para guru dalam memberikan pendidikan

    kepada peserta didiknya dalam menanamkan karakter kepada

    mereka. Metode perumpamaan ini menurut An-Nahlawi memiliki

    tujuan pedagogis, di antaranya mendekatkan makna pada

    pemahaman, merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan

    makana yang tersirat, mendidik akal supaya berpikir logis, dan

    38

    Heri Gunawan, Op.Cit., .h. 88-90

  • 32

    menggerakkan perasaan dan menghidupkan naluri untuk

    melakukan amal yang baik dan menjauhi segala yang buruk.

    4) Metode Uswah atau Keteladanan

    Dalam penanaman karakter kepada peserta didik,

    keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Hal

    ini karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani

    (meniru) guru atau pendidiknya. Oleh karena itu, pendidik maupun

    tenaga kependidikan perlu memberikan keteladanan yang baik

    kepada para peserta didiknya, agar penanaman karakter baik

    sehingga dapat menjadi panutan dan dapat diteladani.39

    5) Metode Pembiasaan

    Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara

    berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode

    pembiasaan ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan

    adalah sesuatu yang diamalkan dan inti kebiasaan adalah

    pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu

    yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan

    menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan itu

    dapat dilakukan setiap saat. `Metode pembiasaan ini perlu

    dilakukan oleh guru dalam rangka pembentukan karakter untuk

    membiasakan peserta didik melakukan perilaku terpuji.

    6) Metode „Ibrah dan Mau’idhoh

    „Ibrah berarti suatu kondisi psikir yang menyampaikan

    manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapkan

    dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.

    Adapun mau’idhoh adalah nasihat yang lembut yang diterima oleh

    hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.

    7) Metode Targhib dan Tarhib (Janji dan Ancaman)

    Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan

    akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib adalah ancaman

    39

    Ibid., h. 91-94

  • 33

    karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar manusia

    melakukan kebaikan yang diperintahkan Allah, sedangkan tarhib

    bertujuan agar manusia menjauhi perbuatan yang dilarang Allah.40

    e. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

    Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di

    Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber. Pertama, agama.

    Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena

    itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada

    ajaran agama dan kepercayaan. Karenanya, nilai-nilai pendidikan

    karakter juga harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang

    berasal dari agama.

    Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia

    ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan

    yang disebut pancasila. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam

    Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik,

    hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni.

    Ketiga, budaya. Posisi budaya yang sedemikian penting dalam

    kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai

    dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

    Keempat, tujuan Pendidikan Nasioal UU RI Nomor 20 tahun

    2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan

    tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam

    mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Tujuan pendidikan

    nsional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga

    negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah

    sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan

    budaya dan karakter bangsa.

    40

    Ibid., .h. 95-96

  • 34

    Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan

    karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional tahun

    201041

    No Nilai Deskripsi

    1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam

    melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,

    toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain,

    dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

    2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya

    menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu

    dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan

    pekerjaan.

    3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan

    agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan

    tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

    4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib

    dan patuh pada berbagai ketentuan dan

    peraturan.

    5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-

    sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan

    belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas

    dengan sebaik-baiknya.

    6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk

    menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu

    yang telah dimiliki.

    7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah

    tergantung pada orang lain dalam

    menyelesaikan tugas-tugas.

    8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang

    41

    Syamsul Kurniawan, Op.Cit., h. 39-42

  • 35

    menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan

    orang lain.

    9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

    mengetahui lebih mendalam dan meluas dari

    sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, atau

    didengar.

    10 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

    menempatkan kepentingan bangsa dan negara

    di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

    11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

    menempatkan kepentingan bangsa dan negara

    di atas diri dan kelompoknya.

    12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya

    untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi

    masyarakat dan mengauki serta menghormati

    keberhasilan orang lain.

    13 Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang

    berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan

    orang lain.

    14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang

    menyebabkan orang lain merasa senang dan

    aman atas kehadirannya.

    15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca

    berbagai bacaan yang memberikan kebajikan

    bagi dirinya.

    16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya

    mencegah kerusakan pada lingkungan alam di

    sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya

    untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah

    terjadi.

  • 36

    17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

    bantuan pada orang lain dan masyarakat yang

    membutuhkan.

    18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk

    melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang

    seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,

    masyarakat, dan lingkungan (alam, sosial, dan

    budaya), negara, dan Tuhan YME.

    2. Karakter Religius

    a. Pengertian Karakter Religius

    Religi berasal dari bahasa latin, yakni religere yang

    mengandung arti mengumpulkan, membaca. Adapula pendapat lain

    yang mengatakan bahwa religi berasal dari kata religare yang berarti

    mengikat.42

    Sedangkan, kata religius menurut Kamus Besar Bahasa

    Indonesia adalah bersifat religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut-

    paut dengan religi.43

    Sedangkan, karakter religius berarti sikap dan

    perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang

    dianutnya, toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain, dan hidup

    rukun dengan pemeluk agama lain.44

    Situasi dan kondisi tempat model serta penerapan nilai yang

    menjadi dasar penanaman religius, yaitu: 1) Menciptakan budaya

    religius (karakter religius) yang bersifat vertikal dapat diterapkan

    melalui kegiatan peningkatkan hubungan dengan Allah SWT baik

    secara kualitas atau kuantitasnya. Pelaksanaan kegiatan religius di

    sekolah yang bersifat ibadah, diantaranya sholat berjamaah, membaca

    ayat suci Al-Qur‟an, berdoa bersama dan lain sebagainya. 2)

    42

    Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-press.

    1985), h.2 43

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 8 Oktober 2019 44

    Syamsul Kurniawan, Loc.Cit., h. 39

    http://www.kbbi..web.id/

  • 37

    Menciptakan budaya religius (karakter religius) yang bersifat

    horizontal yaitu lebih menempatkan sekolah sebagai institusi sosial

    yang berbasis religius dengan menciptakan hubungan antar sosial

    yang baik. Jenis hubungan sosial antar manusia dapat dikelompokkan

    menjadi tiga, yaitu: (a) hubungan antara atasan dan bawahan, (b)

    hubungan profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela

    berdasarkan nilai-nilai religius, seperti persaudaraan, kedermawanan,

    kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.45

    b. Aspek Karakter Religius

    Aspek religius menurut kementerian dan lingkungan hidup RI

    tahun 1987 religius agama Islam terdiri dari:

    a. Aspek iman, yakni yang mengyangkut dan hubungan manusia

    dengan Tuhan, malaikat, par