peran dokter muda
DESCRIPTION
oTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan
sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Rumah
sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain adalah tempat dimana orang sakit
mencari pertolongan untuk mengatasi penyakitnya. Penderita yang datang ke
tempat pelayanan kesehatan, khususnya di Indonesia, sebagian besar adalah
penderita penyakit infeksi, sehingga tidak mengherankan bila tempat pelayanan
kesehatan pada umumnya dan rumah sakit pada khususnya adalah lingkungan
yang sangat berpotensi bahaya dalam hal penularan penyakit infeksi. Sebagian
besar pengidap penyakit akut berhasil memperoleh perbaikan. Namun, adakalanya
terutama pada pengidap penyakit kronis atau yang keadaan umumnya buruk justru
acapkali terkena infeksi yang baru. Infeksi yang didapatkan di rumah sakit
tersebut dikenal sebagai infeksi rumah sakit atau infeksi nosokomial
Infeksi yang didapatkan di rumah sakit ini merupakan masalah yang pelik
yang makin sering terjadi, serta tidak mudah mengatasinya tidak hanya di Negara-
negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat tetapi juga negara-negara
berkembang. Di Amerika Serikat tiap tahun hampir 40 juta orang masuk rumah
sakit. Lima sampai sepuluh persen di antaranya atau 2-4 juta orang berpeluang
menderitainfeksi nosokomial. Pusat pengawasan penyakit dan survey infeksi
1
nosokomial Amerika serikat melaporkan bahwa tahun 1995, infeksi nosokomial
berperan dalam kematian sekitar 88.000 orang selama setahun atau 1 orang tiap
menit dan menyebabkan penghabisan dana sekitar 4,5 miliar dolar Amerika
Serikat. Pada penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS)
dan Center DiseaseControl and Prevention didapatkan 5 sampai 6 kasus infeksi
nosokomial dari setiap100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus
infeksi nosokomial terjadisetiap tahun di Amerika Serikat dengan menghabiskan
dana sebesar 2 milyar dolar.Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi
nosokomial meningkatkan angkakematian menjadi 2 kali lipat.
Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang
cukup serius. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang pada tahun
1989 mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi
nosokomial 18,46% pada pasien yang di rawat penyakit dala RSUP M. Jamil,
Padang. Apad penelitianlain pada tahun yang sama di RS Hasan Sadikin
Bandung, didapatkan insidensi infeksi nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD
dr. Sutomo adalah sebesar 9,85%
The Journals of Infections Control Nursing sebagaimana yang ditulis
oleh Nancy Roper (1996) mengadakan survey prevalensi pada 43 rumah sakit di
Inggris yang menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien rumah sakit terkena
infeksi dan dari jumlah tersebut kurang lebih 10% adalah dari infeksi komunitas,
yang sudah ada pada saat pasien masuk rumah sakit, serta 10% lagi adalah infeksi
nosokomial. Lokasi dan presentasi infeksi yaitu : (1) saluran kemih (30%), (2)
luka operasi (20%), (3) saluran pernafasan (20%), (4) luka lain (30%).
2
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan
yang terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Di rumah sakit atau dan
saranakesehatan lainnya, infeksi dapat terjadi antara pasien, dari pasien ke
petugas, dari petugas ke petugas, dan dari petugas ke pasien. Infeksi sering terjadi
pada pasien beresiko tinggi yaitu pasien dengan karakteristik luka bakar, pada usia
tua, berbaringlama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya tahan
tubuh turun pada pasien yang dilakukan prosedur invasif, infus lama atau
pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi nosokomial pada luka operasi.
Sebagai sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan, jarum
suntik, kateter IV, kateter urin, kain kasa atau verban., cara keliru menangani luka,
peralatan operasi yang terkontaminasi,dan lain-lain
Infeksi nosokomial di rumah sakit yang sering terjadi pada penderita
memberikan dampak kerugian yang besar. Infeksi rumah sakit yang terjadi
pada penderita umumnya akan menyebabkan penyakit yang parah dan
membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Hal ini disebabkan karena daya
tahan tubuh dan status gizi penderita yang jelek, disamping kenyataan bahwa
sebgaian besar penyebab adalah bakteri komensal yang sudah kebal terhadap
antibiotik. Ini akan menyebabkan waktu perawatan yang lama atau kematian
penderita, sehingga morbiditas dan mortilitas di rumah sakit meningkat dan ini
akan menurunkan mutu rumah sakit yang bersangkutan. Rumah sakit juga akan
merugi karena masa perawatan penderita menjadi lebih panjang sehingga hunian
rumah sakit rendah. Perusahaan atau orangyang menanggung biaya perawatan
penderita merugi karena kehilangan waktunya yang produktif selama di rawat di
rumah sakit.
3
Mengingat hal-hal tersebut di atas, sudah saatnya untuk melakukan
tindakan-tindakan pengendalian infeksi nosokomial di tempat-tempat pelayanan
kesehatan pada umumnya dan di rumah sakit pada khususnya. Kewaspadaan
universal merupakan salah satu pengendalian infeksi rumah sakit yang oleh
Departemen Kesehatan telah dikembangkan sejak tahun 1980-an melalui program
di Sub Direktorat isolasi di bawah direktorat epidemiologi dan imunisasi Ditjen
P3M saat itu. Maka untuk hal tersebut dibutuhkan gambaran atau karakteristik
dari infeksinosokomial itu sendiri.
Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting
mengingat dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien dalam melaksanakan
tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi
nosokomial adalah menerapkan universal precaution dalam semua tindakan, imunisasi
guna meningkatkan kekebalan tubuh, alat perlindungan diri dalam bekerja,
profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan dengan benar serta managemen setelah terpapar sumber infeksi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial
selama bertugas di bagian bedah?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mempelajari cara pencegahan infeksi nosokomial pada bagian
bedah.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tentang infeksi nosokomial.
2. Mengetahui tentang cara pencegahan infeksi nosokomial.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit pada
seseorang baik saat dia sakit atau sedang berobat karena sesuatu penyakit
sedangkan pada saat ke rumah sakit tersebut penderita tidak dalam masa inkubasi
penyakit itu. Gejala yang sering dijumpai adalah demam yang disebut demam
rumah sakit (hospital fever) padahal sebelumnya tidak menderita demam. Pada
bangsal selain demam sering pula dijumpai gejala batuk. Menurut CDC (Center
for Disease Control and Prevention) infeksi nosokomial adalah Infeksi yang
didapatkan di rumah sakit dan terjadi setelah 48 jam perawatan di rumah sakit,
atas dasar gejala klinis maupun laboratorium dan pada penderita tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi atau masa inkubasi dari penyakit yang bersangkutan, pada saat
penderita mulai dirawat.
2.2 Epidemiologi
Di negara maju kejadian infeksi ini diperkirakan 5 % dan angka ini makin
tinggidi negara-negara berkembang. Menurut Ibrahim Abdul Samad angka infeksi
nosokomial ditiap rumah sakit atau negara bisa berbeda, tapi ia menyebutkan
bahwa infeksi nosokomial di bagian bedah merupakan yang tertinggi dan di
bagian anak merupakan yang terendah. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh
WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
6
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%. Walaupun
ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3
dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi
semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromise,
bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur
invasif, masih menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak
88.000 kasus setiap tahunnya.
Pada penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS)
dan Center Disease Control and Prevention didapatkan 5 sampai 6 kasus infeksi
nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus
infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dengan menghabiskan
dana sebesar 2 milyar dolar. Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi
nosokomial meningkatkan angka kematian menjadi 2 kali lipat.
Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang
cukup serius. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang pada tahun
1989 mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi
nosokomial 18,46% pada pasien yang di rawat penyakit dala RSUP M. Jamil,
Padang. Pada penelitian lain pada tahun yang sama di RS Hasan Sadikin
Bandung, didapatkan insidensi infeksi nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD
dr. Sutomo adalah sebesar 9,85%
The Journals of Infections Control Nursing sebagaimana yang ditulis
oleh Nancy Roper (1996) mengadakan survei prevalensi pada 43 rumah sakit di
Inggris yang menunjukkan bahwa kira-kira 20% pasien rumah sakit terkena
infeksi dan dari jumlah tersebut kurang lebih 10% adalah dari infeksi komunitas,
7
yang sudah ada padasaat pasien masuk rumah sakit, serta 10% lagi adalah infeksi
nosokomial. Lokasi dan presentasi infeksi yaitu : (1) saluran kemih (30%), (2)
luka operasi (20%), (3) saluran pernafasan (20%), (4) luka lain (30%)
Infeksi nosokomial yang paling sering melibatkan saluran kencing dan
padaumumnya menyertai manipulasi urologis, termasuk penggunaan kateter tetap
saluran kencing. Beberapa infeksi nosokomial saluran kencing mengakibatkan
bakteriemia kecuali pada adanya obstruksi. Walaupun wanita lebih sering
terinfeksi, tetapi pada laki-laki tua lebih sering terjadi bakteriemia.
Pneumonia menggambarkan terutama suatu bentuk infeksi nosokomial
yang menyulitkan dan orang tua atau penderita amat mudah berisiko tinggi.
Determin lain dari kecenderungan infeksi termasuk status mental yang tertekan
menyebabkan aspirasi flora faring dan intubasi endotrakea. Selama masa pasca
bedah penderita sangat mudah terkena infeksi paru. Penderita sering tidak
bergerak (yang memudahkan aspirasi); tidak terventilasi penuh dan mendapat
pengobatan untuk batuk, refleks batuk dan penelanan. Insisi thoraks atau
abdomen atas, mendahului infeksi pernafasan dan obesitas juga menambah risiko.
Infeksi kulit dan jaringan lemak terjadi di rumah sakit sebagai akibat dan
imobilisasi dan terjadinya luka tekanan (ulkus dekubitus) atau tindakan invasif
yang mengganggu keutuhan kulit (infeksi luka). Beberapa ulkus dekubitus atau
luka infeksi berhubungan dengan bakterimia. Risiko tertinggi untuk kemungkinan
komplikasi yang mematikan ini adalah penderita lama yang tidak bergerak
dan penderita yang baru saja mengalami pembedahan usus besar, rektum atau
urologi.
8
Infeksi luka operasi merupakan komplikasi paling serius yang terjadi
pada penderita pasca bedah. Morbiditas dan mobilitas penderita infeksi pasca
bedah dan penderita akibat kecelakaan sangat ditentukan oleh ada tidaknya sepsis.
Infeksi jugadapat mempengaruhi penyembuhan jika dan dapat menyebabkan
terjadinya parut lukayang secara kosmetik sangat mengganggu. Pemberian
antibiotik untuk profilaktik sebenarnya tidak menurunkan kejadian infeksi luka
operasi, malah dapat menambah jumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotika
di rumah sakit.
Infeksi nosokomial saluran pencemaan yang sering terjadi di rumah sakit
yang tersering dijumpai ialah dalam bentuk diare dan gastroenteritis. Cara
penularan utama infeksi nosokomial saluran pencemaan mi pada umumnya
melalui makanan (keracunan kontaminasi makanan). Infeksi nosokimial sistem
saraf pusat adalah infeksi yang terjadi pada intrakranial antara lain abses otak,
infeksi subdural atau epidural, dan ensefalitis. Beberapa gejala infeksi intrakranial
adalah terdapat kultur positif dari jaringan otak atau dura, ditemukannya abses
atau infeksi intrakranial lain selama operasi, sakitkepala, kejang, demam, defisit
neurologis, dan penurunan kesadaran.
Kontaminasi bisa terjadi pada setiap titik dan sistem intra-venous.
Misalnya,risiko terjadinya kontaminasi bisa bertambah pada penambahan obat ke
dalam botol intra-venous, suntikan ke dalain selang. Pemasangan manometer dan
alat-alat lain,saat penggantian botol, dan pengambilan spesimen dan sistem
intravenous. Cairan intravenous juga bisa terkontaminasi dengan masuknya udara
yang tidak difilter kedalam botol infus. Hal ini bila vakum dan botol pecah waktu
set dipasang dan udara masuk kedalam botol selama infus berjalan.
9
2.3 Etiologi
Infeksi nosokomial dapat berupa epidemik maupun endemik walaupun
kuman-kuman penyebabnya mungkin sama ialah Staphylococcus aureus,
Enterococcus, E.coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, Serratia,
Salmonella, dan Streptococcus pyogenes. Berdasarkan penelitian, kuman
penyebab infeksi nosokomialdan waktu kewaktu selalu berubah. Sebelum perang
dunia ke II, pada tahun 1940-an penyebab utama infeksi nosokomial adalah
golongan Streptococcus, setelah perang dunia ke II pada tahun 1950-an setelah
digunakannya antibiotik pinisillin secara luas penyebab utama infeksi nosokomial
adalah golongan Staphylococcus.
2.3.1. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang
sehat.Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari
datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan
infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap
mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai sebagai
penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih berbahaya dan
menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangrene.
Penyebab terbanyak dari infeksi Gram positif adalah MRSA (Methisilin Resisten
Staphylokokus Aureus). Bakteri gram-positif Staphylococcus aureus yang
menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru,
10
tulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap
antibiotika. Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli,
Proteus, Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas sering sekali ditemukan di air
dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan
pasienyang dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah
dari semua infeksi rumah sakit.
2.3.2 Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai
macam virus,termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari
transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi.
Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus yang
ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitisdan
HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah.
Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi
gastrointestinal,infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus
lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola,
influenza virus,herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat
ditularkan.
2.3.3. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke
orangdewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama
pemberianobat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi
11
dari Candidaalbicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans,
Cryptosporidium.
2.4 Faktor Predisposisi Infeksi Nosokomial
Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi nosokomial pada penderita. Faktor-faktor predisposisi terjadinya infeksi
nosokomial antara lain terdiri atas beberapa faktor, yaitu faktor endogen,
faktor rumah sakit, faktor penderita, dan faktor antibiotika.
2.4.1 Faktor Endogen
Tubuh manusia dalam keadaan normal dihuni oleh mikroba komensal
yang tidak berbahaya bagi yang bersangkutan, malah membantu misalnya dalam
mencegah infeksi dan bakteri patogen karena dihasilkannya zat-zat tertentu oleh
bakteri komensal yang berbahaya bagi mikroba lain.
Namun bila dilakukan tindakan invasif, misalnya pada pemasangan pipa
endotrakeal, infus, kateter, dan lain-lain, maka bisa terjadi kerusakan
pertahanantubuh setempat pada mukosa, sehingga memungkinkan invasi
mikroorganisme kedalam jaringan. Dengan menggunakan alat yang tidak steril,
maka mikroba komensal bisa dipindahkan ke lokasi yang bukan habitat normal
mikroba tersebut (translokasi),sehingga mikroba yang bersangkutan bisa berubah
menjadi patogen. Mikroba yang demikian dikenal sebagai mikroba yang
opportunistik patogen.
2.4.2 Faktor Rumah Sakit
Rumah sakit adalah tempat yang banyak dihuni oleh banyak mikroba
patogen,yang dapat dipindahkan dan seorang penderita ke penderita yang lain oleh
12
tindakan petugas di rumah sakit. Di rumah sakit banyak dilakukan tindakan medis
yang menggunakan alat yang dapat merupakan vechile bagi mikroba untuk
memasuki tubuh manusia.
Manajemen rumah sakit merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap kejadian infeksi nosokomial. Persediaan peralatan medis, keterampilan
dokter dan perawat dan asuhan keperawatan adalah sebagian faktor pencetus
terjadinya infeksi nosokomial. Karena itu angka kejadian infeksi nosokomial di
saturumah sakit dapat dijadikan salah satu tolak ukur untuk melihat pelayanan di
rumahsakit tersebut.
2.4.3 Faktor Penderita
Penderita yang masuk ke rumah sakit adalah orang-orang yang umumnya
sudah lama sakit, sehingga mempunyai daya tahan tubuh yang rendah, gizi yang
jelek dan dengan usia tua, yang semuanya merupakan faktor yang dapat lebih
mempermudah terjadinva infeksi. Pengobatan steroid atau terapi imunologis, juga
merupakan faktor yang dapat mempermudah infeksi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit
kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi
dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat
immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya
prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi,
intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.
2.4.4 Faktor Antibiotika
13
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara
tahun1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi
dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan
penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak
mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri
dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien yang
immunocompromise. Resistensi dari bakteridi transmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya di pindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang
terus-menerus ini justru meningkatkan multipikasi dan penyebaran strain yang
resistan. Penyebab utamanya karena : Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai
dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan
menggunakan antibiotika yang terlalu singkat,
Kesalahan diagnosa. Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika
dan perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika, mengakibatkan
timbulnya multi resistensi kuman terhadap obat
obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan
profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strains
dari pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten
terhadap banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan Peudomonas aeruginosa
juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di
negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak
tersedia. Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan
mortalitas di rumah sakit,dan menjadi sangat penting karena : meningkatnya
jumlah penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,
14
pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi) dan meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika.
2.5 Sumber Infeksi
Sumber infeksi dapat dibagi menjadi : benda mati dan benda hidup
terutama manusia.
2.5.1. Benda mati
Ditularkan melalui kontak dengan alat-alat kedokteran seperti spoit, jarum
suntik, jarum biopsi, jarum punksi, termometer, alat-alat kebersihan (handuk, kain
lap, pakaian, seprei terutama yang basah), alat-alat intubasi (lambung, duodenum),
kapsul biopsi, spatel lidah, endoskop, colonoskop,rektosigmoidoskop, alat-alat
anestesi, kateter, dan sebagainya. Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial
tertama disebabkan infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran
nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan
kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Diruang penyakit dalam, diperkirakan
20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat
berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.
Komplikasi tersebut berupa
Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi
kanula
Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa
dapat dideteksi adanya gangguan lain.
Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang
vena .
15
Trombosis : Terdapat pembengkakan disepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus.
Kolonisasi kanul :Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari
bagian kanula yang adadalam pembuluh darah.
Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen darikanul. Supurasi :
Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Penularan juga dapat ditularkan melalui makanan, minuman, dan air yang
sudah terkontaminasi dengan kuman. Makanan di dapur rumah sakit dapat
terkontaminasi oleh kuman-kuman, baik sebelum, selaina maupun setelah diolah.
Sebelum diolah, misalnya daging dan ikan yang mengandung kuman Salmonella
spp,Clostridium spp, dan Vibrio spp. Selama diolah, misalnya pemotongan daging
dan ikan yang tidak sempurna (terlalu besar sehingga tidak dapat matangsemua),
pencucian bahan-bahan makanan sebelum dimasak yang tidak higienis dan tukang
masak yang merupakan karier dan suatu penyakit menular (typhus, salmonellosis,
amubiasis, hepatitis, kolera dan sebagainya). Sesudah diolah, misalnya
penyimpanan makanan yang tidak baik, mudahterkontaminasi oleh kuman,
tercampur dengan bahan-bahan makanan mentah,mudah dimasuki binatang
(kecoa, lalat, semut, cecak, dan sebagainya) tempat makanan yang kotor, makanan
yang sudah basi dan pegawai dapur yangmengedarkan makanan yang
mengandung karier atau kurang higienis.
2.5.2 Benda hidup terutama manusia
a. Manusia sehat, seperti pengunjung rumah sakit yang sehat, tenaga
kesehatan,seperti dokter, mahasiswa kedokteran, paramedis, analisis, teknisi,
16
fisioterapis, dan pegawai dapur merupakan sumber infeksi yang sudah
tak asing lagi.
b. Manusia sakit, seperti pengunjung rumah sakit dan tenaga kesehatan yang
sedang sakit dan terutama penderita sendiri merupakan sumber infeksi yang
sangat potensial. Binatang hidup dapat merupakan sumber infeksi terutama
dapat berperan sebagaivektor yang terkenal antaranya golongan serangga
(kecoa, lalat, nyamuk dan sebagainya).
2.6 Model Transmisi
Berdasarkan kajian terhadap cara transmisi mikroba, maka mayoritas
infeksinosokomial ini adalah tipe infeksi endogenous (autoinfeksi) yang
merupakan translokasi mikroba mukokutan ke tempat predileksi infeksi, dengan
frekuensi 80 % dan kejadian infeksi nosokomial. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap model transmisi ini diantaranya faktor umur (neonatus, geriatri),
penyakit dasar yang beratatau kegagalan organ (diabetes, gagal ginjal, sirosis),
status imun yang tidak adekuat (malnutrisi, terapi imunosupresi, AIDS) defek
barier mukokutan (trauma, endoskopi), serta mendapatkan terapi invasif (operasi,
ventilasi mekanik, protesa).
Model transmisi kedua adalah infeksi eksogenous (20%) yang berarti
infeksi berasal dari luar tubuh pasien. Reservoar dapat dari tenaga kesehatan yang
melayani pasien (healt care worker), pasien lain, lingkungan rumah sakit, atau dari
alat kesehatan yang terkontaminasi dan tenaga kesehatan ke pasien atau
sebaliknya (infeksi silang) paling sering terjadi (10-20%) yang disebabkan karena
budaya kerja yang tidak memenuhi syarat aseptik dan sterilitas.
17
2.7 Berbagai penyakit yang ditimbulkan infeksi nosokomial
2.7.1 Infeksi saluran kemih
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari infeksi
nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin.
Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan terjadinya
bakteremia dan mengakibatkan kematian. Organisme yang bisa menginfeksi
biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi
yang terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme endogen,
sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu yang lama biasanya karena
mikroorganisme eksogen.
Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme sepanjang
uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter. Kebanyakan pasien akan
terinfeksi setelah1-2 minggu pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah
kontaminasi tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang
digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang
gagal dan teknik septik dan aseptik.
Gambar 1.2 Pintu masuk mikroorganisme pada sistem drainage urine: urethral meatus-kateter junction; kateter-selang drainage junction; selang drainage-kantong kencing junction; dan pintu keluar urine dari kantong kencing. (3)
18
2.7.2 Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang menggunakan
ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi.
Kuman penyebab infeksi ini tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella,
dan Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung, kerongkongan,
dan perut. Keberadaan organisme ini dapat menyebabkan infeksi karena adanya
aspirasi oleh organisme ke traktus respiratorius bagian bawah.
Dari kelompok virus dapat disebabkan oleh cytomegalovirus, influenza
virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan corona virus.
Faktor resiko terjadinya infeksi pneumonia ini adalah tipe dan jenis
pernapasan, riwayat merokok, tidak sterilnya alat-alat bantu, obesitas, beratnya
kondisi pasien dan kegagalan organ, tingkat penggunaan antibiotika, penggunaan
ventilator dan intubasi dan penurunan kesadaran pasien.
2.7.3 Bakteremi Nosokomial
Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi nosokomial,
tetapidengan resiko kematian yang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh bakteri
yang resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat
muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.
2.7.4 Tuberkulosis
Penyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi-drugs resisten.
Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah identifikasi yang baik, isolasi, dan
pengobatan serta tekanan negatif dalam ruangan.
2.7.5 Diarrhea dan Gastroenteritis
Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella, Vibrio Cholerae
dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus lebih banyak disebabkan oleh
golongan enterovirus, adenovirus, rotavirus, dan hepatitis A. Bedakan antara
19
diarrhea dan gastroenteritis. Faktor resiko dari gastroenteritis nosokomial dapat
dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsik meliuti abnormalitas dari pertahanan mukosa, seperti
achlorhydria, lemahnya motilitas intestinal, dan perubahan pada flora normal.
Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi tindakan medis yang diberikan seperti
pemasangan nasogastrictube dan obat-obatan saluran cerna.
2.7.6 Infeksi pembuluh darah
Infeksi ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan infus, kateter jantung
dan suntikan. Virus yang dapat menular dari cara ini adalah virus hepatitis
B, virus hepatitis C, dan HIV.
Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:
Infeksi pembuluh darah primer, muncul tanpa adanya tanda infeksi
sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang ditemukan
dibagian tubuhnya yang lain.
Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme
yang sama dari sisi tubuh yang lain.
Gambar 1.3 Pintu masuk mikroorganisme pada sistem intra vena: kecacatan produksi botol infus,
kebocoran botol infus, zat tambahan pada cairan infus, botol infus-selang junction, tempat
masuknya obat per injeksi, stopcock, tempat insersi, infeksi sekunder dari tempat lain. (3)
2.7.7 Dipteri, Tetanus dan Pertusis
20
Corynebacterium diptheriae, gram negatif pleomorfik, memproduksi
endotoksin yang menyebabkan timbulnya penyakit, penularan terutama melalui
sistem pernafasan. Bordetella Pertusis, yang menyebabkan batuk rejan. Siklus tiap
3-5 tahun dan infeksi muncul sebanyak 50 dalam 100% individu yang tidak imun.
Clostridium tetani, gram positif anaerobik yang menyebabkan trismus dan kejang
otot.
2.7.8 Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak.
Luka terbuka seperti ulkus, bekas terbakar, dan luka bekas operasi
memperbesar kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya infeksi
sistemik. Dari golongan virus yaitu herpes simplek, varicella zooster, dan rubella.
Organisme yang menginfeksi akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan
pelayanan kesehatan yang diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki dan
perbedaan negara yang didiami.
2.7.9 Infeksi lainnya
Tulang dan Sendi
Osteomielitis, infeksi tulang atau sendi dan discus vertebralis
Infeksi sistem Kardiovaskuler
Infeksi arteri atau vena, endokarditis, miokarditis, perikarditis dan
mediastinitis
Infeksi sistem saraf pusat
Meningitis atau ventrikulitis, absess spinal dan infeksi intra kranial
Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut
Konjunctivitis, infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis
interna,mastoiditis, sinusitis, dan infeksi saluran nafas atas.
Infeksi pada saluran pencernaan
Gastroenteritis, hepatitis, necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal
Infeksi sistem pernafasan bawah
Bronkhitis, trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya
Infeksi pada sistem reproduksi
21
Endometriosis dan luka bekas episiotomy.
2.8 Diagnosis Infeksi Nosokomial
Menegakan diagnosis infeksi nosokomial tidaklah mudah. Diagnostik pada
umumnya hanya berdasar pada gejala klinik, sedangkan diagnosis etiologi lebih
sukar ditetapkan karena terbatasnya sarana dalam dana untuk menegakan
diagnosis infeksinosokomial tersebut.
Diagnosis klinik pada umumnya diduga ditegakkan bila sebelumnya penderita
tidak sedang dalam masa inkubasi penyakit tersebut. Sebelumnya tidak pernah
kontak dengan penyakit tersebut. Masa inkubasi penyakit tersebut lebih pendek
dan masa rawat penderita di rumah sakit.
Kriteria diagnosis infeksi nosokomial.
Infeksi bekas luka operasi : manifestasinya berupa pus pada luka insisi.
Infeksi dialami jika terjadi 30 hari setelah operasi. Infeski saluran napas :
manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan sputummenjadi purulen, foto
thorax berubah.
Infeksi sistemik: manifestasinya berupa gejala sepsis seperti demam (> 38
derajat C atau < 36,5 derajat C), hipotensi, bradikardi, oligouri, hasil kultur
darah tidak menunjukkan kuman yang spesifik.
Infeksi saluran kemih : manifestasinya demam (> 38 derajat C), nyeri
suprapubik,urgensi, frekuensi, dan kultur urin positif dengan jumlah
kuman • 10 per cm atau jenis kuman pada urin tidak lebih dari dua.
Infeksi sistem saraf pusat : manifestasinya berupa nyeri kepala, kejang,
demam(> 38o C), defisit neurologis, dan penurunan kesadaran. Hasil kultur
22
dari jaringan otak atau dura positif, pemeriksaan antigen pada darah atau
urin positif,didapatkan hasil terdapat infeksi dari pemeriksaan radiologi
(CT-Scan, danMRI).
Infeski saluran napas : manifestasinya berupa batuk, nyeri dada, dan
sputum menjadi purulen, foto thorax berubah.
Infeksi saluran cerna : Manifestasinya berupa diare akut (feses cair lebih
dari 12 jam) denagn atau tanpa muntah atau demam (> 38o C), dan kultur
kuman positif.
Infeksi Hepar : manifestasinya berupa demam (> 38o C), mual, muntah,
nyeriabdomen, ikterus, riwayat transfusi 3 bulan yang lalu. Kriterianya
harus memilikiminimal 2 gejala di atas. Hasil lab antigen atau antibodi
hepatitis A,B,C, atau D positif , peningkatan fungsi hati.
Infeksi kulit : manifestasinya berupa adanya pus, vesikel, atau bulla pada
kulit, yang dengan atau tanpa disertai nyeri, udem, merah, dan panas.
Dapat juga berupa ulkus dekubitus. Hasil lab dapat menunjukkan kultur
darah positif, antigen dari kultur jaringan atau darah seperti herpes
simpleks, varicella zooster positif.
Infeksi luka infus : terdapat flebitis
2.9 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Untuk meniadakan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang
dirawatdi rumah sakit perlu diperhatikan beberapa hal yang pokok. Pokok-pokok
dan penanganan infeksi nosokomial dapat dikelompokkan dalam beberapa butir
sebagai kewaspadaan universal.
23
Kewaspadaan universal adalah suatu konsep penanggulangan infeksi
dimanastrategi pelaksanaannya menitikberatkan pada pengendalian
penyeberangan infeksi yang terjadi melalui darah dan cairan tubuh secara
universal tanpa memandang statusinfeksi dan pasien. Hal ini didasarkan pada
keyakinan bahwa darah dan cairan tubuhsangat potensial menularkan penyakit,
baik yang berasal dari pasien maupun petugaskesehatan. Prinsip utama Prosedur
Kewaspadaan Universal kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu,
hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga pninsip tersebut
dijabarkan menjadi kegiatan pokok yaitu:
1. Cuci tangan
Cuci tangan guna mencegah infeksi silang. Tiga cara cuci tangan yang
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan yaitu: Cuci tangan higienik atau
rutin: dilakukan dengan air mengalir dan sabun antiseptik. Cuci tangan
mengurangi kotoran dan flora yang ada ditangan. Cuci tangan rutin
sebelum bekerja dimaksudkan untuk melindungi penderita, sedangkan
cuci tangan setelah bekerja disamping untuk melindungi penderita lain,
juga untuk melindungi din petugas sendiri dan infeksi.
Cuci tangan aseptik: sebelum tindakan aseptik pada pasien
denganmenggunakan antiseptik atau setelah tangan kontak dengan
darah atau duh tubuh penderita. Dilakukan dengan air mengalir dan
sabun antiseptik,kemudian larutan savlon, dan alkohol 70 %, atau
antiseptik yang lain.
Cuci tangan bedah : disamping tangan dicuci dengan sabun, antiseptik
danair, maka harus dilakukan penyikatan kulit tangan minimal 15
24
menit untuk menghilangkan sebanyak mungkin bakteri penghuni pori-
pori kulit. Cucitangan ini dilakukan sebelum melakukan tindakan
bedah.
Gambar 2.1. Teknik Cuci Tangan
2. Pemakalan alat pelindung.
Pada waktu bekerja harus selalu dijaga agar bagian tubuh petugas tidak
kontak dengan darah atau duh tubuh penderita. Hal ini bisa dilakukan dengan
memakai alat pelindung pada waktu melakukan pelayanan atau tidakan medis
yang memungkinkan terjadinya kontak antara tubuh petugas dengan darah atau
duh tubuh lain. Alat pelindung yang digunakan berupa : sarung tangan, pelindung
25
wajah atau masker atau kaca mata penutup kepala, gaun pelindung (baju kerja
atau celemek), sepatu pelindung. Baju kerja, gaun operasi, jas praktiukum atau celemek,
yang dipakai sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pada keadaan
dimana ada kemungkinan darah atau duh tubuh bisa mencemari kaki, maka harus
digunakan sepatu yang tertutup.
Sarung tangan dipakai untuk melindungi tangan dan pencemaran darah
atauduh tubuh. Jenis sarung tangan yang dipakai pun harus sesuai
dengan pekerjaan. misalnya sarung tangan operasi yang steril di pakai untuk
pekerjaan medis dan sarung tangan domestik dipakai pada pekerjaan non-medis,
misal pada saat perawat memandikan penderita atau pada saat melakukan
pekerjaan pembersihan Iingkungan.
Masker, penutup kepala, dan kaca mata, dipakai sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan. Masker dan kaca mata dipakai bila ada kemungkinan adanya percikan
darah atau duh tubuh, misalnya pada operasi atau pencabutan gigi. Penutup kepala
dipakai bersama masker untuk menghindari penderita dan pencemaran bakteri
yang berasal dan tubuh petugas. Disamping itu masker juga dipakai untuk
melindungi petugas dari penularan bakteri lewat udara, misalnya bila bekerja path
bangsal atau poliklinik penyakit paru-paru, atau bekerja di laboratorium
mikrobiologi.
3. Pengelolaan alat kesehatan
Pengelolaan alat bertujuan meneegah penyebaran infeksi melalui alatkesehatan,
atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi stenil dan siap
pakai.Penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahapan yaitu:
dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau DTT dan penyimpanan.
26
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua
virusdan sebagian besar untuk vegetatif bakteri. Semua barang dan alat yang
terkontaminasi dengan darah dan duh tubuh penderita, sebelum dicuci harus
didekontaminasi dulu dengan merendamnya dalam cairan sunclin (chlorin)0,5-5
% selama 5-30 menit. Dengan merendam dalam cairan sunclin 5 %, maka semua
virus sudah dimatikan dalam 5 menit. Dekontaminasi initerutama bertujuan untuk
melindungi petugas dan kemungkinan tertular infeksi.
Pencucian alat, setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang
merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang
memadai maka pada umumnya proses disinfeksi atau sterilisasi selanjutnya
menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengamhi fungsinya
atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk kedalam tubuh pasien. Pada
pencucian digunakan deterjen dan air. Pencucian harus dilakukan dengan teliti
sehingga darah atau cairan tubuh lain, janingan, bahan organik dan kotoran betul-
betul hilang dari permukaan alat tersebut, Peralatan yang sudah bersih dibilas dan
dikeringkan dahulu sebelum diproses lebih lanjut.
27
Gambar 2.2 Pencucian dan Strilisasi Alat Medis
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mematikan semua
bentuk mikroorganisme. Cara sterilisasi yang balk untuk alat medis dan logam
adalah dengan panas basah diatas 100°C (autoclave), dan yang dan karet atau
plastik sebaiknya disterilkan dengan sinar ultraviolet.
Penyimpanan alat kesehatan, penyimpanan yang baik sama pentingnya
dengan proses sterilisasi atau disinfeksi itu sendini. Ada dua macam alat dilihat
dan cara penyimpanannya, yakni alat yang dibungkus dan yang tidak dibungkus.
Alat yang dibungkus, umur steril (shelf life) selama peralatan masih terbungkus,
semua alat steril dianggap tetap steril tergantung ada atau tidaknya kontaminasi.
Alat yang tidak dibungkus harus digunakan segera setelah dikeluarkan. Alat yang
tersimpan pada wadah steril dan tertutup apabila yakin tetap steril paling lama
untuk 1 minggu, tetapi kalau ragu-ragu harus disterilkan kembali.
28
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
Benda tajam sangat beresiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga
meringkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah.
Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam
harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas tidak boleh
digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan lain yang menembus
kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika
alat-alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan
untuk melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17 %
kecelakaan kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian,
70 % terjadi sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13 % sesudah
pembuangan. Hampir 40 % kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan
kecelakaan kerjaakibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah
penggunanya.
Seperti prosedur pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus
selalu mengenakan sarung tangan tebal, misalnya, saat mencuci alat dan alattajam.
Risiko kecelakaan sering teijadi pada saat memindahkan alat tajam dan satu orang
ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajam secara
langsung, melainkan menggunakan teknik tanpa sentuh (hands free) yaitu
menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil
sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat
ditekan dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan
mendapatkan pandangan bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan
pasien pada posisi yang mudah dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang
29
baik. Pada dasarnya adalah menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti
pada penggunaan forset atau pinset saat mengerjakan penjahitan.
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah padasaat
petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam
tutupnya. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum
suntik tersebut melainkan langsung saja dibuang ketempat penampungan
sementaranya, tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti
dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa
ditutupkembali (recapping ), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu
tangan( single handed recapping methode) untuk mencegah jari tertusuk jarum.
Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan,
maka diperlukan satu wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan
tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampungan janim suntik
bekas pakai harus dapat dipergunakan dengan satu tangan, agar pada waktu
memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah
tersebut ditutup dan di ganti setelah % bagian terisi dengan limbah, dan setelah
ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menghindari perlukaan pada pengelolaan sampah
selanjutnya.Limbah tajam ditangani bersama limbah medis. Wadah benda tajam
merupakan limbah medis dan harus dimasukkan kedalam kantong medis sebelum
insinerasi. Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak
mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lain. Apapun metode
yang akan digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan perlukaan benda
tajam.
30
Gambar 2.3 Pengelolaan Limbah Medis
2.10 Peran Dokter Muda Dalam Mencegah Infeksi Nosokomial
Dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien, oleh karena itu peran
dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat vital. Upaya-upaya yang
bisa dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah sebagai
berikut:
1. Menerapkan universal precaution dalam semua tindakan.
2. Imunisasi guna meningkatkan kekebalan tubuh.
3. Alat perlindungan diri dalam bekerja.
4. Profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik,
sterilisasi dan disinfektan dengan benar.
5. Managemen setelah terpapar sumber infeksi.
31
Universal precaution penting perannya dalam mencegah terjadinya infeksi
nosokomial. Dengan waspada terhadap semua pasien membawa suatu penyakit
dalam tubuhnya yang bisa ditularkan melewati berbagai cara akan membuat
dokter muda bertindak dengan waspada terhadap segala sesuatu dari tubuh pasien
baik berupa darah, urin, air liur, fases dan muntahan. Tindakan- tindakan dalam
universal precaution meliputi :
a. Mencuci tangan setelah kontak langsung dengan pasien.
b. Menutup jarum dengan cara yang benar (tidak menggunakan dua
tangan)
c. Mengumpulkan dan membuang jarum, alat tajam pada tempat yang
telah disediakan.
d. Menggunakan sarung tangan ketika kontak dengan cairan tubuh,
kulit yang luka dan membran mukosa.
e. Menggunakan masker, pelindung mata dan gaun ketika
kemunkinan berhadapan dengan derah atau cairan tubah yang
menyembur.
f. Menutup semua luka atau irisan dengan bahan kedap air (linen).
g. Segera dan berhati-hati dalam membersihkan tumpahan darah atau
cairan tubuh yang lain.
Upaya universal precaution diatas diharapkan dokter muda tidak
terinfeksi penyakit dari pasien dan tidak akan menularkan penyakit kepada pasien
lainnya dengan demikian infeksi nosokomial dapat dicegah.
Imunisasi berperan dalam memberikan kekebalan terhadap serangan
penyakit. Profesi dokter muda yang selalu berkontak langsung dengan pasien
32
sangat rentan terhadap penularan penyakit dari pasien. Imunisasi yang dapat
diberikan kepada dokter muda salah satumya hepatitis B. HBV adalah agen yang
sangat menular diseluruh dunia yang menimbulkan sirosis dan carcinoma hepar.
Pemberian vaksinasi pada dokter muda dapat mencegah penyebaran infeksi HBV
khususnya dan infeksi nosokomial umumnya.
Alat perlindungan diri seperti masker sangat penting dalam mencegah
tertular penyakit pernafasan seperti TB. Alat perlindungan diri harus dipakai oleh
dokter muda guna mencegah terinfeksi dan menularkan penyakit.
Profesionalisme dalam bekerja, tidak melakukan kesalahan dan efektik
dalam segala tindakan medis akan menurunkan resiko tertularnya infeksi dari
penderita. Semisal dalam manajemen luka, tindakan aseptis harus benar dan skill
operator harus sesuai protap agar luka sembuh optimal dan tidak menjadi tempat
masuknya infeksi lainnya. Perlunya pematangan pengetahuan dan skill dokter
muda dalam segala tindakan medis besar perannya dalam mencegah infeksi
nosokomial.
Managemen setelah terpapar sumber infeksi meliputi darah dan cairan dari
pasien atau sumber lainnya besar manfaatnya guna mencegah terinfeksi penyakit.
Darah yang menempel harus dicuci bersih dan antiseptik dipakai guna membunuh
kuman penyakit. Alat – alat setelah selesai dipakai ditempatkan pada cairan
disinfektan dan dilakukan metide disinfeksi yang sesuai guna menghindari adanya
penularan penyakit pada pemakaia selanjutnya.
33
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit pada
seseorang baik saat dia sakit atau sedang berobat karena sesuatu
penyakit sedangkan pada saat ke rumah sakit tersebut penderita tidak
dalam masa inkubasi penyakit itu
2. Sumber penularan infeksi nosokomial dapat diperoleh dari berbagai
jalan dimana salah satunya adalah faktor manuasia atau yang
berkecimpung dalam pekerfjaan di rumah sakit seperti pengunjung
rumah sakit seperti dokter, mahasiswa kedokteran, paramedis, analisis,
teknisi, fisioterapis, dan pegawai dapur merupakan sumber infeksi
yang sudah tak asing lagi.
3. Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat penting
mengingat dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien dalam
melaksanakan tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan dokter
muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah menerapkan
universal precaution dalam semua tindakan, imunisasi guna
meningkatkan kekebalan tubuh, alat perlindungan diri dalam bekerja,
profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi dan disinfektan dengan benar serta managemen
setelah terpapar sumber infeksi.
34
3.2 Saran
1. Perlunya pembelajaran lebih lanjut kepada dokter muda sebelum mulai
bertugas di rumah sakit mengenai infeksi nosokomial.
2. Perlunya pelatihan tindakan septik, aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
3. Perlunya vaksinasi kepada dokter muda sebelum mulai bertugas di
rumah sakit.
4. Perlunya penerapan universal precaution dalam semua tindakan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Light RW. 2001.Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of Internal Medicine 15 Edition.-CD Room
Parhusip, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Serta Pengendaliannya Di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan.
dr. H Santoso Soeroso, SpA (K), MARS. 2010, Kewaspadaan Universal Pencegahan Infeksi Nosokomial, http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=16, diakses tanggal 1 Juni 2012.
Thamrin Hisbullah. 1993. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RS Persahabatan Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran
Ducel, G. et al. 2002. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response
Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Wenzel. 2002. Infection control in the hospital,in International society for infectious diseases, second ed. Boston
WHO. 2003. Health Care Worker Safety. http://www.who.int/injection_safety/toolbox/docs/en/AM_HCW_Safety.pdf, diakses tanggal 1 Juni 2012
36