penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan...pelayanan kefarmasian sesuai standar, 2015-2016 35...

50
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 06 KAJIAN SEKTOR KESEHATAN PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN

Upload: others

Post on 14-Jul-2021

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

0 6

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN

Page 2: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

PengarahDr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

PenulisSyarifah Liza Munira, PhD

Reviewer dan EditorInti Wikanestri, SKM, MPASidayu Ariteja, SE, MPP Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MScPungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhDProf. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2019ISBN: 978-623-93153-3-7

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Page 3: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • viv • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

KATA PENGANTAR

Dengan diselenggarakannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), semakin terbuka peluang pemerintah untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan (farmalkes) yang terjangkau, merata dan berkualitas. Dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia, evaluasi dan upaya untuk mengatasi tantangan dalam proses perencanaan, penganggaran, pengadaan, distribusi, rantai suplai, manajemen stok, pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah, dan penilaian terhadap farmasi dan alat kesehatan pada Program JKN harus terus diupayakan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Hal-hal penting yang perlu menjadi fokus pemerintah ke depan adalah mengoptimalkan sistem manajemen rantai suplai farmalkes, menjamin sustainabilitas industri farmasi di Indonesia yang berdampak pada akses masyarakat terhadap produk farmalkes serta kemandirian produksi farmalkes. Kajian Sektor Kesehatan di bidang farmasi dan teknologi kesehatan ini merupakan reviu dan analisis terhadap berbagai peraturan, kebijakan dan program pemerintah saat ini, serta identifikasi tantangan pembangunan ke depan termasuk faktor-faktor eksternal, sebagai masukan dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasonal (RPJMN 2020 – 2024).

Kajian ini sangat bermanfaat untuk para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah, serta pembaca lain pada umumnya seperti akademisi, mahasiswa, praktisi kesehatan dan pihak lain terkait, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Page 4: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • vii

DAfTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Singkatan xiv

Ringkasan Eksekutif xvi

1. PENDAHuLuAN 1

2. ANALISIS SITuASI 5

2.1. Ketersediaan dan Akses Obat dan Vaksin 6

2.1.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin 6

2.1.2. Akses Masyarakat Terhadap Produk Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes) 10

3. TATA KELOLA OBAT, VAKSIN DI ErA JAmINAN KESEHATAN NASIONAL (Supply Chain ManagEMEnt) 13

3.1. Proses Pemilihan dan Seleksi 14

3.1.1. Formularium Nasional (Fornas) 14

3.1.2. Nomor Izin Edar (NIE) 15

3.1.3. E-katalog dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) 16

3.1.4. Perencanaan dan Pembiayaan 17

3.1.5. Pengadaan 26

3.1.6. Pemasok 28

3.1.7. Distribusi 28

3.1.8. Penggunaan Pelayanan Kefarmasian 34

3.1.9. Penghapusan 39

3.1.10. Monitoring dan Evaluasi 39

3.1.11. Kasus Obat/Vaksin/Alkes/PKRT Palsu 40

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat – Bappenas, lnti Wikanestri, SKM, MPA, Sidayu Ariteja, SE, MPP, serta tim Direktorat KGM lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan; tim penulis dan sekretariat HSR 2018; Yuyun Yuniar, SSi, Apt., MA (Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI), Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt., M.Biomed (Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan), Deputi Bidang Monitoring Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi- LKPP, Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM, Budiono Santoso, M.D.,PhD., SpFK, Dra. Sadiah, Apt., M.Kes (Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan), Roy Himawan, S.Si., Apt., MKM. (Kepala Bagian Program dan Informasi, Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan), GP Farmasi, Gakeslab Indonesia, serta para narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.

Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja

4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

vi • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Page 5: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • ixviii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

5. ISu STrATEgIS 65

5.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin yang Belum Memadai 66

5.2. Permasalahan Terkait Tata Kelola Obat, Vaksin dan Alkes (Supply Chain Management) 66

5.3. Praktik Penggunaan Obat Rasional (POR) yang Masih Kurang & Anti-Microbial Resistance (AMR) yang Semakin Tinggi 66

5.4. Kurangnya Kapasitas Health Technology Assessment (HTA) 67

5.5. Minimnya Kapasitas Produksi Bahan Baku 67

5.6. Minimnya Kapasitas Produksi Alkes dalam Negeri 67

5.7. Kurangnya Daya Saing Industri Obat Tradisional (IOT) 68

6. ArAH KEBIJAKAN, STrATEgI DAN PrOgrAm 69

6.1. Arah Kebijakan 70

6.2. Strategi 70

6.3. Program/Kegiatan 71

referensi 74

3.2. Penggunaan Obat Rasional (POR) & Anti-Microbial Resistance (AMR) 41

3.2.1. Penggunaan Obat Rasional (POR) 41

3.2.2. Anti-Microbial Resistance (AMR) / Resistensi Antimikroba 43

3.3. Penilaian Teknologi Kesehatan/Health Technology Assessment (HTA) 45

3.3.1. Sekilas HTA 45

3.3.2. Struktur dan Tugas Komite PTK 45

3.3.3. Aspek dan Penilaian Teknologi Kesehatan 46

3.4. Bahan Baku Obat 47

3.5. Alkes dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) 48

3.5.1. Sustainabilitas Industri Farmasi 53

3.5.2. Kemandirian dan Produksi 54

3.5.3. Dukungan Pemerintah Untuk Inovasi 55

3.5.4. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian 55

3.5.5. Jaminan Produk Halal 55

3.5.6. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian 56

3.5.7. Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan 56

3.6. Industri Obat Tradisional (IOT) 56

3.7. Pemberdayaan Masyarakat 59

3.8. Digitalisasi Farmalkes 59

4. TANTANgAN 61

4.1. Transisi Demografi dan Epidemiologi Penyakit 62

4.2. Target SDGs dan Universal Health Coverage (UHC) 62

4.3. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah 63

4.4. Masyarakat Ekonomi ASEAN 63

4.5. Letak dan Kondisi Geografis 64

4.6. Desentralisasi 64

Page 6: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • xix • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

DAfTAR GAMBAR

Gambar 1 Indikator kesehatan Indonesia, 1960-2016 2

Gambar 2 Tata kelola Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan 3

Gambar 3 Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di puskesmas 6

Gambar 4 Persentase puskesmas Perawatan dan Non Perawatan menurut Ketersediaan Obat dan Vaksin Indikator, Tahun 2015 dan 2016 7

Gambar 5 Ketersediaan Obat dan Vaksin di puskesmas Tahun 2017 per Provinsi 8

Gambar 6 Ketersediaan Vaksin dan Alat Kesehatan Pendukung di puskesmas (Perbandingan data Rifaskes 2011 dan QSDS 2016) 9

Gambar 7 Pengeluaran Kesehatan di Indonesia berdasarkan Sumber Pendanaan 10

Gambar 8 Pengeluaran Kesehatan serta Komponen Pengeluaran Farmasi 11

Gambar 9 Estimasi Pengeluaran Kesehatan di Indonesia Saat Ini dan Masa Depan, berdasarkan Sumber Pendanaan 11

Gambar 10 Nilai Pengobatan Adult Respiratory Infection berdasarkan Pilihan Obat Generik dan Paten 12

Gambar 11 Penyampaian RKO oleh Fasilitas Kesehatan Tahun 2017 dan 2018 17

Gambar 12 Tren Harga Beberapa Obat Sebelum dan Sesudah JKN 23

Gambar 13 Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler untuk Program Imunisasi 2012-2016 24

Gambar 14 Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan 32

Gambar 15 Pelaksanaan Manajemen Rantai Dingin di Seluruh Fasilitas Kesehatan berdasarkan Regionalisasi 32

Gambar 16 Kondisi VVM pada Berbagai Tingkat 33

Gambar 17 Acuan Pelayanan Kefarmasian yang Sesuai Standar 34

Gambar 18 Persentase puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar 35

Gambar 19 Capaian Indikator Presentase puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35

DAfTAR TABEL

Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18

Tabel 2 50 item Obat Teratas dalam RKO Tahun 2014-2016 20

Tabel 3 Skema Pembiayaan Obat 22

Tabel 4 Anggaran Penyediaan Vaksin Reguler dan Vaksin Lainnya serta Kebutuhan Logistik Untuk Imunisasi Tahun 2016 25

Tabel 5 Obat yang Dilaporkan Stock-out di puskesmas, 2016 27

Tabel 6 Obat yang Dilaporkan Stock-out di Rumah Sakit, 2016 27

Tabel 7 Waktu Tunggu Obat di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota 30

Tabel 8 Pelayanan Farmasi Klinik yang Dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian di Rumah Sakit, puskesmas dan Apotik 37

Tabel 9 Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian di Rumah Sakit, puskesmas dan Apotik 38

Tabel 10 10 Besar Produk dengan Permintaan Ekspor Tertinggi Tahun 2015 51

Tabel 11 10 Besar Produk dengan Permintaan Nilai Impor Tertinggi Tahun 2015 52

Tabel 12 Produk Obat Tradisional yang Diproduksi Industri Obat Tradisional di Provinsi Jawa Tengah 58

Page 7: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • xiiixii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Gambar 20 Persentase puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar 36

Gambar 21 Tampilan Aplikasi E-monev Obat 40

Gambar 22 Indikator POR di puskesmas 42

Gambar 23 Persentase puskesmas yang Memenuhi Standar POR 42

Gambar 24 AMR Surveillance 2016, Prevalensi E. coli dan K. pneumonia (ESBL+) 44

Gambar 25 Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT 49

Gambar 26 Kondisi Ekspor-Impor Alkes di Indonesia Tahun 2011-2015 50

Gambar 27 Rencana Aksi Pengembangan Industri Alkes 2016-2035 53

Gambar 28 Indeks Kemudahan Berusaha 55

Gambar 29 Skema Digitalisasi Farmalkes 60

Gambar 30 Sektor Kesehatan dalam SDGs 63

Page 8: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

xiv • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

DAfTAR SINGKATAN

AB Antibiotik

Amr Anti-Microbial Resistance

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Bareskrim Badan Reserse Kriminal

BBO Bahan Baku Obat

BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

BLuD Badan Layanan Umum Daerah

BmHP Bahan Medis Habis Pakai

BmI Business Monitoring International

BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

BPOm Badan Pengawasan Obat dan Makanan

BPS Badan Pusat Statistik

CDOB Cara Distribusi Obat yang Baik

CPBBAOB Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik

DAK Dana Alokasi Khusus

DAu Dana Alokasi Umum

ESBLs Extended-spectrum-beta-lactamases

Ina-CBgs Indonesia Case Based Groups

Farmalkes Farmasi dan Alat Kesehatan

Fornas Formularium Nasional

gema Cermat Gerakan Masyarakat Cerdas Minum Obat

HPS Harga Perkiraan Sendiri

HSr Health Sector Review

HTA Health Technology Assessment

IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia

IOT Industri Obat Tradisional

JKN Jaminan Kesehatan Nasional

KIE Komunikasi Informasi Edukasi

KPK Komisi Pemberantasan Korupsi

KPrA Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

KPTK Komite Penilaian Teknologi Kesehatan

Kajian Sektor Kesehatan • xv

LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

monev Monitoring dan Evaluasi

NIE Nomor Izin Edar

NSAID Non-Steroid Anti-Inflammation Drug

OECD Organization for Economic Co-operation and Development

OOP Out-of-pocket

PADK Pusat Analisis Determinan Kesehatan

PAK Penyalur Alat Kesehatan

PBF Pedagang Besar Farmasi

PKrT Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

POr Penggunaan Obat Rasional

PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil

PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis

PPrA Program Pengendalian Resistensi Antimikroba

PrB Program Rujuk Balik

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

QSDS Quantitative Service Delivery Survey

rifaskes Riset Fasilitas Kesehatan

rIPIN Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional

rKO Rencana Kebutuhan Obat

rPJmN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

SCm Supply Chain Management

SDgs Sustainable Development Goals

SIrKESNAS Survei Indikator Kesehatan Nasional

SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah

SLE Systemic lupus erythematosus

SrB Surat Rujuk Balik

STr Surat Tanda Registrasi

TNP2K Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan

VVm Vaccine Vial Monitor

WHO World Health Organization

Page 9: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

RINGKASAN EKSEKUTIf

Laporan ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan Indonesia pada tahun 2018 yang mengetengahkan analisis terhadap penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia. Analisis ini meliputi kajian mengenai akses dan ketersediaan, tata kelola (pemilihan dan seleksi, perencanaan, pembiayaan, pengadaan, pemasok, distribusi, penggunaan, penghapusan dan monitoring evaluasi), Penggunaan Obat Rasional (POR), Anti-Microbial Resistance (AMR), penilaian teknologi kesehatan/Health Technology Assessment (HTA), Bahan Baku Obat (BBO), alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), Industri Obat Tradisional (IOT), pemberdayaan masyarakat dan digitalisasi farmalkes. Analisis didasarkan pada berbagai laporan penilaian atau studi/kajian, dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah, tinjauan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta berbagai pedoman dan rencana aksi nasional dan internasional.

Berdasarkan target yang ditetapkan dalam RPJMN 2014 – 2019 dalam hal ketersediaan, keterjangkauan (harga), mutu, keamanan dan khasiat dari obat-obatan dan teknologi kesehatan, kondisi penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia secara umum telah mengalami peningkatan kinerja secara signifikan, namun, masih terdapat kesenjangan yang mencolok antardaerah, level pemerintahan maupun fasilitas kesehatan juga jenis farmalkes. Kondisi ini terlihat pada belum meratanya ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di beberapa daerah, dimana terdapat kelebihan maupun kekosongan di berbagai fasilitas kesehatan. Beberapa obat pernah ditemukan kosong di antaranya amlodipine, antacid, allopurinol, asam mefenamat dan obat-obat psikotropika terutama diazepam. Jenis vaksin/serum yang paling banyak tidak tersedia adalah Serum Anti Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS), Polio suntik (IPV), vaksin Rabies serta tetanus toxoid (TT). Upaya untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia yang terjangkau, merata dan berkualitas akan mendukung pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terutama target ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia.

Terkait tata kelola obat, vaksin dan alkes, masih ditemukan banyak permasalahan. Penyusunan RKO mayoritas hanya berdasarkan metode konsumsi, belum mempertimbangkan metode morbiditas atau epidemiologi penyakit, juga belum mempertimbangkan jenis obat slow moving dan fast moving yang seharusnya memiliki rumus yang berbeda untuk perhitungan kebutuhan obatnya. Selain itu, diperlukan transparansi dalam penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penentuan perusahaan farmasi sebagai pemenang tender hanya berdasarkan harga penawaran terendah. Diharapkan dapat diterapkan pendekatan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) dalam menentukan pemenang tender tersebut. E-katalog juga belum menayangkan semua obat yang ada di Fornas. Pemesanan obat yang dilakukan oleh faskes sering tidak dipenuhi oleh perusahaan farmasi walaupun sudah tertulis dalam kontrak, dan tidak ada sanksi terhadap perusahaan farmasi yang gagal menyediakan obat tersebut. Kemudian, obat yang didistribusikan ke faskes, lead time-nya kadang terlalu lama, bahkan ada yang mencapai lebih dari 6 bulan. Sistem informasi juga belum mendukung, dengan jaringan internet yang sering terputus.

Penggunaan obat rasional di puskesmas baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di Indonesia. Dari kabupaten/kota yang sudah melaksanakan tersebut, penggunaan obat rasional baru mencapai 70%. Beberapa permasalahan terkait POR yaitu belum optimalnya penggunaan obat secara rasional di faskes, misalnya adanya polifarmasi, penggunaan antibiotik irrasional, swamedikasi tidak tepat; gencarnya iklan dan pemasaran obat yang mempengaruhi peresepan

obat dan swamedikasi oleh masyarakat; penggunaaan antibiotik tidak rasional oleh tenaga kesehatan dan masyarakat; serta masih kurangnya jumlah dan kompetensi tenaga farmasi, khususnya di faskes dasar. Pada tingkat faskes dasar seperti puskesmas, permasalahan POR ini masih terjadi di keempat indikator POR yaitu persentase antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia, persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase injeksi pada mylgia dan rerata item obat dalam satu resep. Diperlukan peningkatan kapasitas SDM terkait POR dan penciptaan sistem monev yang efektif.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menjadi penyebab timbulnya Anti-Microbial Resistance (AMR). Indikasi tingginya AMR terlihat dari prevalensi E. coli dan K. pneumonia mengandung ESBLs yang mencapai 50-82% di beberapa kota di Indonesia. Belum ada jejaring laboratorium yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional terkait dengan AMR, kapasitas laboratorium terkait pemeriksaan kesehatan hewan maupun manusia juga masih sangat terbatas. Permasalahan lainnya adalah terbatasnya dukungan dari pemerintah daerah dalam penganggaran program yang terkait peningkatan POR; kurangnya koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah serta dengan unit lainnya yang terkait; terbatasnya sebaran media promosi kepada masyarakat sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang POR masih terbatas; kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis tentang POR kepada tenaga kesehatan di puskesmas; serta belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang penggunaan antibiotika yang tidak rasional, termasuk pembelian antibiotika secara bebas oleh masyarakat.

Perkembangan penilaian teknologi kesehatan/Health Technology Assessment (HTA) mulai terlihat pada lima tahun terakhir, terutama sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.171/Menkes/SK/IV/2014 tentang Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK). Aspek Penilaian Teknologi Kesehatan mencakup keamanan, efikasi, efektivitas, aspek ekonomi, aspek sosial, etika, legal, politis, dan agama, kesetaraan/ekuitas (egalitarian equity), keterjangkauan (affordability), dan Analisis Dampak Anggaran (BIA). Dalam rangka pelaksanaan penilaian teknologi kesehatan (PTK) di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah membuat panduan penilaian teknologi kesehatan yang disusun oleh Komite PTK. Dengan adanya panduan ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian teknologi kesehatan. Beberapa studi HTA telah dilaksanakan yang hasilnya telah diserahkan kepada para pembuat keputusan, terutama terkait dengan JKN. Namun demikian, dirasakan perlunya membuat kelembagaan HTA yang lebih dapat menjamin ketersediaan sumberdaya, termasuk sumber daya keuangan dan SDM agar dapat menerapkan HTA secara lebih luas. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan terkait HTA yaitu pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pengembangan regulasi dan peraturan, kerjasama dengan jejaring internasional, pendataan untuk data klinis dan ekonomi (data registry) dan pengembangan database HTA nasional.

Bahan baku obat yang lebih dari 90% adalah produk impor menjadi isu dan permasalahan utama industri farmasi di Indonesia. Nilai impor bahan baku ini mencapai 25% dari total nilai bisnis farmasi nasional. Negara pengimpor bahan baku obat utama ke Indonesia adalah Tiongkok, Indian dan Eropa. Saat ini terdapat 8 industri produsen Bahan Baku Obat (BBO) yang telah tersertifikasi dan 9 industri BBO lainnya yang masih dalam proses pembangunan/sertifikasi. Namun demikian, kapasitas ini masih sangat kurang dari yang dibutuhkan Indonesia.

Kajian Sektor Kesehatan • xviixvi • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Page 10: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Permasalahan utama lain terkait kefarmasian dan alkes adalah 94% dari alkes yang beredar di Indonesia adalah produk impor, sehingga masih jauh dari terwujudnya kemandirian alkes dalam negeri. Alkes yang diproduksi di dalam negeri sampai saat ini didominasi oleh produk-produk dasar dengan teknologi sederhana yang kemudian produk ini yang diekspor. Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes berbasis teknologi tinggi. Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk alkes dan PKRT yang komprehensif dan terakreditasi masih terbatas.

Terkait dengan obat tradisional, Indonesia sangat berpeluang mengembangkan industri obat tradisional karena Indonesia masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Tantangan utama adalah memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar internasional terkait keamanan, mutu dan khasiatnya. Selain itu, produk illegal obat tradisional yang marak beredar juga menjadi permasalahan tersendiri. Saat ini, separuh dari industri obat tradisional terkonsentrasi di Provinsi Jawa Tengah. Masih diperlukan peningkatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi herbal yang berorientasi ekspor hingga tahun 2024.

Laporan ini selanjutnya merumuskan dua arah kebijakan yang utama yaitu: 1) peningkatan akses, pemerataan, ketersediaan, distribusi rantai suplai obat, vaksin dan alat kesehatan serta penggunaannya secara rasional oleh faskes dan konsumen/masyarakat. 2) penguatan pengendalian obat, obat tradisional, vaksin, alkes dan PKRT pra dan pasca pemasaran untuk memastikan keamanan, efektivitas dan mutu.

Untuk pelaksanaan dua arah kebijakan utama tersebut maka diperlukan beberapa strategi yaitu sebagai berikut:

1. Penguatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur baik di pusat maupun daerah untuk peningkatan akses, pemerataan dan ketersediaan serta pengendalian obat-obatan, vaksin, alkes dan PKRT

2. Optimalisasi penggunaan dan proses sistem informasi kesehatan (digitalisasi farmalkes serta aplikasi e-monev obat) dalam perencanaan, pengadaaan hingga pengendalian produk farmalkes sehingga memberikan kepastian kebutuhan serta anggaran baik bagi pemerintah maupun bagi pihak swasta

3. Perbaikan sistem pricing (misalnya penentuan HPS obat) dan penetapan tarif JKN (kapitasi dan INA CBGs) yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mendukung sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi sehingga menjamin ketersediaan produk farmalkes yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat

4. Penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah di tingkat pusat untuk tata kelola obat, vaksin, alkes dan PKRT (Supply Chain Management) yang lebih baik, terutama koordinasi peran dan fungsi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM dan LKPP

5. Koordinasi informasi, kolaborasi sumberdaya serta kemitraan strategis lainnya antara ABGCM (akademisi, business/swasta, government /pemerintah, community dan media) agar dapat mendorong kemandirian produksi farmalkes dalam negeri yang berbasis riset dan inovasi

6. Penetapan paket insentif untuk membangun dan meningkatkan daya saing industri obat, obat tradisonal dan alat kesehatan

7. Harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk peningkatan akses, ketersediaan dan pemerataan obat, vaksin dan alkes serta peningkatan industri obat, obat tradisional (termasuk bahan baku) dan alkes dalam negeri

1. PENDAHuLuAN

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

xviii • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Page 11: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

1. Pendahuluan • 32 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Upaya pemerintah dalam menyelenggarakan suatu sistem kesehatan nasional telah mencapai banyak kemajuan dalam pencapaian indikator kesehatan serta dengan diimplementasikannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014. Namun demikian, berbagai tantangan masih ada seperti dalam hal tingkat kematian ibu, kekurangan gizi serta prevalensi tuberkulosis (TBC), malaria dan HIV/AIDS, serta akses pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil di Indonesia.

gambar 1. Indikator Kesehatan Indonesia, 1960-2016

Sumber: World Bank, 2019

Dalam konteks tersebut, ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan (farmalkes) yang terjangkau, merata dan berkualitas menjadi unsur yang penting dalam penyelenggaraan sistem kesehatan nasional. Proporsi pengeluaran untuk sektor farmasi, baik oleh pemerintah maupun individu (out-of-pocket) terhadap total pengeluaran kesehatan di Indonesia cukup signifikan yaitu 33.8 persen (data 2010), dan kontribusi pengeluaran farmasi oleh sektor pemerintah adalah 15.2 persen (OECD, 2015). Di negara berpendapatan menengah ke bawah pada umumnya, pengeluaran sektor farmasi berkisar antara 20 – 60 persen dari anggaran kesehatan, dan 80 - 90 persen dari pengeluaran sektor farmasi tersebut berasal dari out-of-pocket spending, sehingga timbul resiko yang tinggi pada masyarakat untuk pengeluaran kesehatan catastrophic (de Joncheere, 2015).

Dengan diselenggarakannya program JKN, anggota masyarakat yang terdaftar dan melakukan pengobatan pada fasilitas kesehatan dalam sistem dapat meminimalisir pengeluaran out-of-pocket tersebut terutama untuk sediaan farmasi yang tercantum dalam daftar Formularium Nasional (Fornas). Namun, jika pengelolaan untuk seleksi, pengadaan dan manajemen distribusi tidak dapat dilaksanakan dengan efisien maka berbagai masalah dapat timbul pada pelayanan farmasi di fasilitas kesehatan seperti misalnya kurangnya persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan hingga terjadinya stock-out, substitusi obat dan juga timbulnya pengeluaran out-of-pocket (Hidayat et al., 2015). Berikut ini adalah manajemen rantai suplai pada tata kelola obat-vaksin dan alkes:

gambar 2. Tata Kelola Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a

Tata kelola obat-vaksin (Supply Chain Management/SCM) dimulai dengan pemilihan/seleksi obat/vaksin/alkes, yaitu pertama kali diajukan oleh fasilitas kesehatan (faskes) dan organisasi profesi kepada Dit Yanfar dengan melampirkan bukti ilmiah dan NIE Badan POM. Kemudian akan ditelaah oleh Komnas Fornas, jika diiterima maka akan terdaftar di Fornas.

Siklus selanjutnya adalah perencanaan dan pembiayaan yaitu dengan membuat Rencana Kebutuhan Obat (RKO) oleh faskes dasar dan faskes rujukan.

· Selanjutnya dilakukan pengadaan, yaitu dengan e-purchasing (e-katalog) dan pengadaan cara lainnya sesuai Perpres Pengadaan B/J Pemerintah.

· Tahapan berikutnya adalah distribusi obat, vaksin dan alkes ke faskes dasar dan faskes rujukan. Proses pengadaan dan distribusi ini melibatkan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Penyalur Alat Kesehatan (PAK).

· Pada tahapan penggunaan, maka harus merupakan penggunaan obat yang rasional (POR), praktik peresepan yang baik, praktik pelayanan kefarmasian yang baik, kepatuhan terhadap formularium nasional.

· Selanjutnya dilakukan Monev dalam pelaksanaan tata kelola obat-vaksin dan alkes ini yang kemudian akan merekomendasikan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam siklus tata kelola obat ini.

Page 12: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

4 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Saat ini Indonesia telah berada di akhir RPJMN 2015-2019, sehingga perlu segera menyusun RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahap akhir dari RPJPN 2005-2025. Untuk kepentingan penyusunan RPJMN berikutnya ini, Bappenas melakukan Kajian Analisis Sektor Kesehatan atau Health Sector Review (HSR) pada tahun 2018, dengan salah satu topik yang dibahas adalah mengenai persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan. Tinjauan sektor farmasi dan alat kesehatan ini adalah untuk menganalisis pengelolaan oleh pemerintah pusat dan daerah, dalam hal perencanaan, penganggaran, pengadaan, distribusi, manajemen stok, dan perimbangan kewajiban antara pemerintah pusat dan daerah.

Tujuan dari kajian tentang persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan dalam rangka HSR adalah untuk mengidentifikasi pokok isu dan tantangan bidang penyediaan farmasi dan alat kesehatan, menganalisa capaian dan usulan rekomendasi dalam bentuk opsi kebijakan dalam kerangka RPJMN 2020-2024 untuk bidang farmasi dan alat kesehatan. Kajian ini akan menjadi masukan dalam rangka penyusunan studi latar belakang Renstra K/L bidang Persediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 2020-2024.

Kerangka acuan untuk kajian tematik 6 tentang persediaan obat, vaksin dan alat kesehatan mengacu pada aspek berikut: 1. Ketersediaan dan akses obat dan vaksin2. Tata Kelola Obat dan Vaksin (Supply Chain Management)

a. Proses pemilihan dan seleksi i. Formularium Nasional ii. Nomor Izin Edar (NIE) iii. E-katalog dan HPSb. Perencanaan dan pembiayaan i. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) ii. Pembiayaan obat iii. Pembiayaan vaksinc. Pengadaand. Pemasoke. Distribusi i. One gate policy ii. Lead time iii. Biaya distribusi iv. Manajemen kualitas vaksinf. Penggunaan pelayanan kefarmasian i. Pelayanan kefarmasian sesuai standar ii. Pelayanan Program Obat Rujuk Balik (PRB)g. Penghapusanh. Monitoring dan evaluasi

3. Penggunaan Obat Rasional (POR) & Anti-Microbial Resistance (AMR)4. Penilaian Teknologi Kesehatan / Health Technology Assessment (HTA)5. Bahan baku obat6. Alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)7. Industri Obat Tradisional (IOT)8. Pemberdayaan masyarakat9. Digitalisasi farmalkes

2. ANALISIS SITuASI

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

Page 13: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

2. Analisis Situasi • 76 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas masih menemui beberapa permasalahan. Berdasarkan Laporan Kinerja DitJen Farmalkes tahun 2016, item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di puskesmas Tahun 2016 adalah Garam Oralit dengan ketersediaan sebesar 95,32% (terdapat di 1.080 puskesmas dari 1.133 puskesmas yang melapor), sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah Diazepam injeksi 5 mg/ml dengan ketersediaan sebesar 53,22% (terdapat di 603 puskesmas dari 1.133 puskesmas yang melapor). Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 2015 dimana item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di puskesmas adalah Parasetamol 500 mg tablet, sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah Magnesium Sulfat Injeksi 20%.

gambar 4. Persentase Puskesmas Perawatan dan Non Perawatan menurut Ketersediaan Obat dan Vaksin Indikator, Tahun 2015 dan 2016

Tahun 2015 Tahun 2016

2.1. KETErSEDIAAN DAN AKSES OBAT DAN VAKSIN

2.1.1. Ketersediaan Obat dan Vaksin

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

Secara keseluruhan, kondisi penyediaan obat, vaksin dan alat kesehatan telah mengalami peningkatan secara signifikan, dari 75,50% di tahun 2014 menjadi 85,99% di tahun 2017. Di akhir tahun 2019 diharapkan ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas mencapai 90%.

gambar 3. Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a

Hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes (Yuniar, 2017), ketersediaan obat dan vaksin di tahun 2016 berkisar antara 66,7-86,7% di Dinas kesehatan (Dinkes) provinsi, 77 – 83,9% di dinkes kabupaten/kota, 84,1 – 89,5% di rumah sakit, 83,3 – 96,7% di puskesmas rawat jalan dan 82,9 – 90,6% di puskesmas rawat inap. Sedangkan tingkat ketersediaan mencapai 13 – 23,6 bulan di dinkes kabupaten/kota, 3,1 – 13,9 bulan di rumah sakit, 3,6 – 10,8 bulan di puskesmas rawat jalan, dan 4,6 – 11,4 bulan di puskesmas rawat inap. Rentang waktu yang tinggi dan beragam di fasilitas kesehatan primer dan sekunder mengindikasikan perlunya perhatian kepada proses distribusi obat dan vaksin dari gudang farmasi kabupaten/kota ke fasilitas kesehatan yang dilayaninya. Sedangkan jenis obat yang ditemukan pernah atau masih kosong antara lain amlodipin, antasid, diazepam, allopurinol dan asam mefenamat.

Permasalahan ketidaktersediaan obat banyak terjadi pada kelompok obat-obat psikotropika (obat kejiwaan) terutama diazepam. Untuk jenis vaksin/ serum yang paling banyak tidak tersedia adalah Serum Anti-Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS), Polio suntik (IPV), vaksin Rabies serta tetanus toxoid (TT). Hal ini mengindikasikan mis-match yang mungkin terjadi pada sistem perencanaan dan seleksi obat.

Page 14: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

2. Analisis Situasi • 98 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Selain itu perbedaan antar daerah juga masih terjadi dimana menurut Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun 2017, provinsi dengan persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas tertinggi pada tahun 2016 adalah Maluku, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Bali, Bangka Belitung, Sumatera Barat, dan Bengkulu (100%) sedangkan provinsi dengan ketersediaan terendah adalah Sumatera Selatan (52,40%).

gambar 5. Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2017 per Provinsi

Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017a

Berdasarkan Quantitative Service Delivery Survey (QSDS) tahun 2016 oleh Bank Dunia, ketersediaan vaksin wajib di puskesmas berkisar antara 80-90 persen, seperti untuk Campak, DPT, Polio dan BCG. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan data survei

fasilitas kesehatan Kemenkes tahun 2011 (Kemenkes & World Bank, 2014) yaitu 94-96 persen (World Bank, 2017). Peralatan cold chain berfungsi di lebih dari 90 persen puskesmas, namun alat suntik hanya tersedia di kurang dari 70 persen puskesmas. Fasilitas kesehatan swasta memiliki tingkat ketersediaan vaksin yang amat timpang dibandingkan dengan milik pemerintah, yaitu hanya 44 persen dari fasilitas swasta. Hal ini mungkin diakibatkan kurangnya permintaan untuk imunisasi di fasilitas tersebut.

gambar 6. Ketersediaan Vaksin dan Alat Kesehatan Pendukung di Puskesmas (Perbandingan data rifaskes 2011 dan QSDS 2016)

Sumber: World Bank, 2017

Kemudian, terkait dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial maka pada tahun 2017 mencapai 85,99% dan triwulan I di 2018 mencapai 86,63%. Demikian pula dengan bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri maka sampai triwulan pertama 2018 baru mencapai 23 buah.

Untuk pengelolaan obat dan vaksin, Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar cukup meningkat dari 57,34% di tahun 2015 hingga 81,52% pada triwulan pertama 2018. Namun demikian hingga saat ini baru 25,18% Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang menerapkan aplikasi logistik obat dan bahan medis habis pakai (BMHP).

Page 15: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

2. Analisis Situasi • 1110 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

2.1.2. Akses masyarakat Terhadap Produk Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes)

Masalah ketersediaan produk obat dan vaksin dapat mengakibatkan semakin tingginya pengeluaran Out-of-Pocket (OOP) untuk produk farmalkes. Data menunjukkan bahwa pengeluaran OOP masyarakat mencapai setengah dari total pengeluaran kesehatan di Indonesia sebelum JKN dan kemudian kemudian turun menjadi sekitar 35%, dimana 20-30% dari total pengeluaran kesehatan dihabiskan untuk produk farmasi. Studi oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan bahwa estimasi pengeluaran out-of-pocket dapat mencapai 55% pada tahun 2040 (Institute for Health Metrics and Evaluation, 2018). Studi oleh World Health Organization (2011) menunjukkan bahwa dampak pilihan obat (generik dan paten) sangat berpengaruh terhadap biaya pengobatan, dimana biaya pengobatan untuk adult respiratory infection1

dengan obat generik nilainya setara dengan 1 hari bekerja sedangkan dengan obat paten setara dengan 17 hari bekerja (gambar 10). Walaupun harga obat generik di Indonesia dapat ditetapkan rendah oleh pemerintah, namun jika suplai obat tidak tersedia melalui jalur publik, maka masyarakat akan terdorong kepada pasar swasta dan OOP yang tinggi.

gambar 7. Pengeluaran Kesehatan di Indonesia berdasarkan Sumber Pendanaan

54.8%54.7%

50.9%

46.7%

41.0%38.1%

35.0%

Sumber: PPJK, Kemenkes, 2018

gambar 8. Pengeluaran Kesehatan serta Komponen Pengeluaran Farmasi

Catatan: * Estimasi BMI.

Sumber: Laporan Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Q1 2018, BMI Research (2017)

gambar 9. Estimasi Pengeluaran Kesehatan di Indonesia Saat Ini dan masa Depan, berdasarkan Sumber Pendanaan

Sumber: Laporan Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Q1 2018, BMI Research (2017)

1 Studi ini menggunakan perbandingan biaya pengobatan dengan jumlah hari bekerja yang dibutuhkan oleh seorang pegawai negeri berpendapatan terrendah untuk membiayai pengobatan adult respiratory infection selama 7 hari dengan menggunakan obat Ciprofloxacin dengan dosis 500 mg dua kali sehari.

Page 16: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

12 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

gambar 10. Nilai Pengobatan adult Respiratory infection berdasarkan Pilihan Obat generik dan Paten. Nilai Pengobatan Diekspresikan dalam Jumlah Hari Bekerja Seorang

Pegawai Negeri Berpendapatan Terendah

Sumber: World Health Organization, 2011

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

3. TATA KELOLA OBAT-VAKSIN

DI ErA JAmINAN KESEHATAN NASIONAL

(Supply Chain ManagEMEnt)

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

Page 17: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 1514 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menetapkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan produk farmalkes bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak tantangan dalam mengimplementasikan hal tersebut. Faktor kebijakan yang signifikan mengubah sistem kesehatan di Indonesia adalah implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014. Kebijakan ini telah banyak mempengaruhi kebijakan dalam penyediaan dan pelayanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Beberapa kebijakan yang telihat dampaknya secara signifikan yaitu: Formularium Nasional (Fornas), Rencana Kebutuhan Obat (RKO), sistem e-katalog dan e-purchasing serta sistem e-monev dan e-logistik. Terakit tata kelola obat-vaksin dan alat kesehatan di era JKN ini akan dibahas berdasarkan manajemen rantai suplai (Supply Chain Management).

3.1. PrOSES PEmILIHAN DAN SELEKSI

3.1.1. Formularium Nasional (Fornas)

Formularium Nasional (Fornas) merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan tersedia di faskes sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan utama pengaturan obat dalam Fornas adalah meningkatkan efisiensi pengobatan sehingga tercapai penggunaan obat rasional. Bagi tenaga kesehatan, Fornas bermanfaat sebagai “acuan” bagi penulis resep, mengoptimalkan pelayanan kepada pasien, memudahkan perencanaan dan penyediaan obat di faskes.

Banyak obat dengan bukti ilmiah terbatas atau tanpa bukti ilmiah yang valid untuk indikasi tertentu. Dalam Fornas hanya tercantum obat-obat dengan bukti ilmiah untuk indikasi tujuan pengobatan. Pemilihan obat berdasarkan pertimbangan Benefit-Risk Ratio dan Benefit-Cost Ratio. Untuk obat-obat berbiaya tinggi dilakukan pula pemilihan berdasarkan pertimbangan Cost-Effectiveness Ratio. Obat yang masuk Fornas juga harus memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh Badan POM (Safety, Efficacy dan Quality).

Manajemen logistik farmalkes diawali dengan proses pemilihan dan seleksi obat, vaksin dan alat kesehatan yang dilakukan melalui sistem informasi e-katalog dan e-procurement, dimana pembiayaan untuk obat dan vaksin melalui program JKN mengacu pada daftar Formularium Nasional (Fornas) yang meliputi obat esensial (exhaustive list dari Daftar Obat Esensial Nasional/DOEN2) dan non-esensial sebagai suatu kendali mutu. Namun proses tersebut pada pelaksanaannya belum berlangsung secara realistis, dimana masih terjadi ketidaksesuaian antara Fornas dengan e-katalog (sebagai upaya kendali biaya). Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam perencanaan kebutuhan obat serta proses pembayaran klaim. Paparan oleh (Komisi Pemberantasan Korupsi (2016) menunjukkan masih terdapat selisih antara obat yang tercantum dalam Fornas dan e-katalog, walaupun dengan gap yang semakin mengecil yaitu 78% (2014), 84% (2015) dan 91% (2016). Adanya selisih tersebut mengakibatkan adanya obat yang tidak memiliki acuan harga BPJS Kesehatan untuk pembayaran klaim (misalnya untuk obat rujuk balik) dan serta menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak semua obat yang dibutuhkan tersedia.

2 DOEN adalah daftar obat yang esensial atau harus dimiliki setiap fasilitas kesehatan, untuk memenuhi standar pelayanan minimum.

Tahapan rantai pengadaan obat JKN dimulai dari terbitnya Fornas, kemudian penyusunan Rencana Kebutuhan Obat (RKO), penetapan harga perkiraan sendiri (HPS), dan diikuti oleh proses lelang dan negosiasi harga dimana pemenang dinotifikasi, dimana kemudian informasi produk serta harga ditayangkan dalam e-katalog. Namun, pada praktiknya, jeda waktu antar proses tersebut masih belum optimal. Pertama, durasi waktu untuk penerbitan dan sosialisasi Fornas masih kurang, sehingga RKO yang disampaikan oleh faskes tidak dapat disusun dengan acuan Fornas yang relevan/terkini sehingga lebih mengacu kepada anggaran daripada kebutuhan (Yuniar, 2017). Namun demikian, dari tahun 2014 hingga 2017, persentase kesesuaian obat dengan Fornas di rumah sakit terus meningkat yaitu berturut-turut 64,92%; 73,84%; 80,28%; dan 83,91% (Kementerian Kesehatan RI, 2018b). Kedua, produsen yang menang tender hanya diberikan waktu singkat yaitu sekitar satu bulan sebelum harga dan produknya ditayangkan dalam e-katalog walaupun waktu yang diperlukan untuk menyusun proses produksi adalah minimal 3 bulan (Hendarwan, Yuniar, & Despitasari, 2018). Hal ini berdampak pada ketidaksediaan obat terutama di awal tahun berjalan (Januari – April). Bagi pelaku industri farmasi, kepastian akan jumlah dan jenis obat yang diproduksi, kepastian hasil produksi obat yang dipesan oleh user, dan kepastian pembayaran adalah signifikan untuk keberlangsungan usaha industri farmalsi. Selain itu, adanya kepastian demand dari obat yang diperlukan akan mempermudah perencanaan produksi oleh industri farmasi serta proses lelang/negosiasi antara pemerintah (LKPP) dan industri farmasi. Hasil evaluasi implementasi Fornas di 137 rumah sakit di 34 provinsi menunjukkan proporsi obat Fornas yang belum masuk dalam e-katalog adalah 7,6%, di 2016, menunjukkan masih ada sejumlah obat dengan HPS yang kurang menarik (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b).

Khusus untuk alat kesehatan, fungsi Fornas digantikan oleh suatu kompendium alat kesehatan yang memuat daftar dan spesifikasi alat kesehatan dan bahan medis habis pakai terpilih dengan persyaratan standar spesifikasi minimal keamanan, mutu dan manfaat untuk digunakan di fasilitas kesehatan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kompendium Alat Kesehatan tahun 2014 memuat 83 alkes elektromedik, 85 alkes non elektromedik dan 60 alkes diagnostik in-vitro (Kementerian Kesehatan RI, 2018b). Namun dikarenakan alkes yang tercantum dalam Kompendium tidak mengacu pada nama generik/zat aktif sebagaimana pada obat, yang menyebabkan pemilihan alkes menjadi sulit terutama dengan banyaknya ragam jenis dan merk alkes yang beredar. Pada tahun 2015 sampai 2017 jumlah ijin edar alkes berturut-turut adalah 10.780, 12.811 dan 14.444 buah (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

3.1.2. Nomor Izin Edar (NIE)

Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi bagi produk obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan, dan makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia agar produk tersebut secara sah dapat diedarkan di wilayah Indonesia. Obat yang memiliki izin edar harus memiliki kriteria tertentu:

1. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan

2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih

Page 18: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 1716 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3. Penendaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dana aman

4. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat5. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan

kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim

6. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proses registrasi obat untuk mendapatkan NIE memakan waktu yang lama yaitu 100-300 hari kerja atau 5-15 bulan, dengan biaya registrasi obat baru antara US$ 20-300. Selain itu, data izin edar (NIE) obat di BPOM tidak update sebagai dasar pengadaan e-katalog obat oleh LKPP dan Kemenkes. Bahkan, ditemukan adanya 49 sediaan obat di Fornas yang tidak terdaftar di BPOM (5% dari total sediaan obat Fornas tahun 2015). Rata-rata tingkat penyelesaian layanan registrasi obat dalam 3 tahun (2014-2016) masih rendah yaitu 42%, yang disebabkan oleh belum semua registrasi obat dilaksanakan secara online (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017).

3.1.3. E-katalog dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), e-katalog berisi daftar item obat [berasal dari Fornas], harganya, dan perusahaan farmasi yang memenangkan penawaran. Dalam tender nasional terbuka, LKPP menggunakan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai dasar bagi perusahaan farmasi untuk mengajukan penawaran. Untuk setiap item obat yang dialokasikan untuk provinsi tertentu, hanya ada satu pemenang — dan pemenangnya adalah perusahaan farmasi yang melakukan penawaran terendah (harga adalah satu-satunya kriteria untuk menang tender). RKO dan / atau HPS yang ditetapkan terlalu rendah dapat membuat item obat tidak menarik bagi perusahaan farmasi untuk mengajukan penawaran atau mengikuti tender, sehingga tidak dapat masuk ke dalam e-katalog.

Di tingkat nasional, RKO untuk setiap provinsi ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dengan menyusun RKO yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (PHO) dan rumah sakit vertikal (RSUP). Berdasarkan RKO, Kementerian Kesehatan juga menetapkan HPS untuk setiap provinsi sebagai batas harga. Sementara rumah sakit vertikal menetapkan RKO-nya berdasarkan obat-obatan yang digunakan pada tahun sebelumnya, PHO menetapkan RKO-nya dengan menyusun RKO yang diajukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota (DKK) dan rumah sakit umum umum (RSUD) dalam wilayah administrasi. Di sisi lain, Dinkes Kabupaten/Kota menetapkan RKO-nya dengan menyusun RKO yang diajukan oleh puskesmas dan klinik di wilayah administratifnya. Dalam menetapkan HPS, Kementerian Kesehatan mempertimbangkan biaya distribusi yang bervariasi menurut provinsi. Namun, jika RKO provinsi jauh dari akurat, HPS juga akan jauh dari harga yang wajar dan masuk akal — terlalu rendah atau terlalu tinggi. RKO provinsi yang terlalu tinggi akan mengarah ke HPS provinsi yang terlalu rendah dan, oleh karena itu, tidak menarik bagi perusahaan farmasi. RKO provinsi yang terlalu rendah dan tidak dikompensasi dengan HPS yang cukup tinggi juga tidak akan menarik karena opportunity cost-nya cukup tinggi.

Dalam e-purchasing melalui e-katalog, sebuah faskes dapat membuat pemesanan online — dan, pesanan online yang disetujui oleh perusahaan-perusahaan farmasi disebut “e-order.” Untuk mewujudkan komitmennya dengan faskes, sebuah perusahaan farmasi membuat pengiriman produk-produknya dalam jumlah yang disepakati, pada tanggal yang disepakati, dengan harga sebagaimana tercantum dalam e-katalog, melalui distributor yang ditunjuknya. Perlu dicatat bahwa, sejak September 2016, faskes swasta telah mendapatkan akses untuk pengadaan obat melalui e-katalog. Namun demikian, karena masih ada beberapa pesanan manual [bahkan oleh faskes publik], e-purchasing atau e-order dipenuhi oleh industri farmasi hanya mencerminkan beberapa pengadaan obat JKN.

3.1.4. Perencanaan dan Pembiayaan

3.1.4.1. rencana Kebutuhan Obat (rKO)Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dibuat oleh Satker dan faskes untuk menetapkan item/jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Di samping itu, RKO digunakan juga sebagai salah satu pertimbangan dalam proses e-katalog obat.

Metode perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu metode konsumsi dan morbiditas. Dikatakan metode konsumsi jika perhitungan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan didasarkan atas analisis data konsumsi/pemakaian obat tahun sebelumnya, sedangkan metode morbiditas jika perhitungan mempertimbangkan pola penyakit dan perkiraan kenaikan kunjungan ke faskes.

Dari tabel di bawah ini terlihat bahwa jumlah Satker dan faskes yang mengirimkan RKO Tahun 2017 dan 2018 meningkat signifikan.

gambar 11. Penyampaian rKO oleh Fasilitas Kesehatan Tahun 2017 dan 2018

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Page 19: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 1918 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Secara umum, dalam tiga tahun pertama implementasi JKN terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara Fornas dan RKO, RKO dan e-katalog, serta RKO dan e-order. Namun, kesenjangan antara Fornas, RKO, dan e-katalog agak menyempit di tahun ketiga. Pada tahun 2014, di antara item obat yang terdaftar di Fornas (923) sekitar 86,7% (800) dan 78,4% (724) masing-masing terdaftar di RKO dan e-katalog. Pada 2015, kesenjangannya sedikit melebar — di antara item obat yang terdaftar di Fornas (930) hanya 85,5% (795) diajukan dalam RKO dan 74,0% (781) terdaftar di e-katalog. Namun demikian, pada tahun 2016 kesenjangan menyempit di antara item obat yang terdaftar di Fornas (1.018) sebesar 93,0% (947) ada dalam RKO dan 92,4% (941) tercantum di e-katalog (TNP2K, 2018). (Tabel 1). Namun, pada sisi permintaan, gambaran umumnya tampak berbeda. Pada tahun 2015, proporsi item obat yang terdaftar di e-katalog (781) yang mendapat e-order (dipesan oleh faskes) mencapai 83,5% (650), jauh lebih tinggi daripada tahun 2014 ketika di antara item obat yang terdaftar di e-katalog (724) hanya 53,6% (388) yang mendapat pesanan. Dengan kata lain, pada 2015 kesenjangan antara e-katalog dan e-order menyempit cukup signifikan karena proporsi nol e-order sangat menurun menjadi 16,5% dari 41,4% pada tahun 2014. Namun, pada tahun 2016 kesenjangan melebar kembali — proporsi nol e-order (tidak dipesan sama sekali oleh faskes) meningkat menjadi 31,9% karena di antara item obat yang terdaftar dalam e-katalog (941) hanya 68,1% (641) yang mendapat e-order dari faskes.

Tabel 1. Produk Obat Dalam Fornas dan E-Katalog: 2014 – 2016

Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b

Studi TNP2K (2018) pada Tabel 2 menganalisis lebih detil pada 50 item obat teratas di RKO. Dalam tiga tahun pertama implementasi JKN, nol e-order (obat yang sama sekali tidak di[pesan) terlihat menurun, yaitu dari 12 item obat (24,0%) pada tahun 2014 menjadi 3 (6,0%, pada 2015) menjadi 2 (4,0%, pada 2016). Selanjutnya, e-order yang <60% dari RKO juga menurun, dari 48 item obat (96,0%) pada 2014 menjadi 44 (88,0%, pada 2015) menjadi 13 (26,0%, pada 2016). Namun, jumlah item obat dengan proporsi e-order yang terlalu tinggi,> 100% RKO, pada tahun 2016 menunjukkan bahwa mekanisme pembuatan RKO masih perlu beberapa perbaikan.

Pada tahun 2016, item obat dengan RKO tertinggi adalah tablet antianemik, yaitu tablet yang mengandung kombinasi Fe (II) sulfat dan asam folat, posisi kedua tertinggi adalah tablet parasetamol 500mg dan asam mefenamat 500mg di posisi kesembilan. Dua obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) adalah item obat dengan RKO tertinggi pada tahun 2015 (parasetamol 500mg) dan 2014 (asam mefenamat 500mg). Pergeseran peringkat kemungkinan karena kenyataan bahwa ketika dua item obat di posisi paling atas di RKO, pesanan online masing-masing oleh faskes sangat rendah — pada 2015, e-order pada parasetamol 500mg hanya 44,1% dan, pada 2014, e-order pada asam mefenamat 500mg hanya 4,5% - dan dengan demikian dalam RKO 2016 kedua obat NSAID tersebut dikurangi jumlahnya.

Tahun 2016 juga melihat peningkatan progresif pada RKO obat untuk penyakit kronis, termasuk HIV/AIDS. Pada tahun 2014 RKO kaptopril 25 mg (116,47 juta tablet) berada di peringkat ke-19, pada 2015 naik ke posisi 16 (dengan RKO yang juga meningkat menjadi 142,57 juta tablet) dan pada 2016 ke posisi 14 (meskipun dengan RKO lebih rendah 97,58 juta tablet). Lebih lanjut, pada tahun 2016 sebuah obat antiretroviral (ARV), yaitu kombinasi lamivudine (atau 3TC) dan zidovudine (AZT), masuk menjadi Top 50 item obat dalam e-katalog, yaitu di posisi ke-39 (dengan RKO 40,53 juta tablet). Perlu dicatat bahwa, sejak implementasi kebijakan obat nasional tentang ARV pada tahun 2004, obat lini pertama untuk terapi HIV/AIDS telah disediakan oleh PT Kimia Farma Tbk. sebagai pemasok tunggal yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dampak dari e-order yang lebih tinggi dari RKO terhadap industri farmasi mungkin tidak seburuk jika e-order lebih rendah dari RKO. Namun, e-order yang berlebihan juga dapat memberikan alasan bagi industri farmasi untuk tidak memenuhi - setidaknya beberapa e-orders, sehingga dapat menyebabkan kehabisan obat di fasilitas kesehatan. Secara teoritis, ada beberapa kemungkinan penyebab “over” e-order atau e-order yang [jauh] lebih tinggi dari RKO di antaranya:

1. Sejumlah besar fasilitas kesehatan, membuat pesanan online lebih tinggi daripada RKO masing-masing dan akibatnya, meskipun RKO mereka telah ditetapkan berdasarkan metode dan data yang valid, e-order mereka masih sangat tinggi. Penyebab tingginya pesanan online oleh faskes bisa eksternal (seperti adanya kejadian epidemi luar biasa) atau internal (seperti keinginan untuk menyalurkan obat JKN ke pasien reguler, non-JKN, atau bahkan ke rumah sakit lain / klinik, dan memanfaatkan harga obat JKN yang lebih rendah dari harga regular)

2. Sejumlah fasilitas kesehatan yang tidak atau belum menyerahkan RKO, misalnya rumah sakit swasta yang pada tahun 2016 baru saja menandatangani kontrak dengan BPJS Kesehatan tetapi melakukan e-order dan dipenuhi oleh perusahaan Farmasi/Distributor. Sejak September 2016, rumah sakit swasta telah diberikan akses ke e-katalog oleh LKPP, yang memungkinkan mereka untuk melakukan e-order

3. Sebagian Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, mendapatkan dana lebih tinggi dari yang diharapkan, memungkinkan mereka untuk melakukan e-order untuk puskesmas-puskesmas yang lebih tinggi dari RKO atau kebutuhan mereka

4. RKO yang dikirimkan tidak cukup akurat, setidaknya beberapa item obat yang tidak memiliki data yang reliable saat membuat RKO

Page 20: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 2120 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Tabel 2. 50 Item Obat Teratas dalam rKO, Tahun 2014 – 2016

no. Drug item 2014Drug item

2015Drug item

2016

RKO e-order RKO e-order RKO e-order

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

Asam mefenamat 500

Parasetamol 500

CTM 4

Gliseril guaiakolat 100

Amoksisilin 500

Vitamin B kompleks

Antasida DOEN I

Deksametason 0,5

Kalsium laktat 500

Besi [II] sulfat + folat

Vitamin C 50

Piridoksin 10

Tiamin 50

Metampiron 500

Prednison 5

Dekstrometorfan 15

Sianokobalamin 50 μg

Kotrimoksasol DOEN I

Kaptopril 25

Ranitidin 150

Ibuprofen 400

Amoksisilin 250

Siprofloksasin 500

Ambroksol 30

CHKM cairan

Tiamin 100

Kaptopril 12.5

Metformin 500

Ibuprofen 200

Kloramfenikol 250

Retinol 200.000 IU

Efedrin 25

Tetrasiklin 250

Alopurinol 100

Sefadroksil 500

Metronidazol 500

Glibenklamida 5

Piroksikam 10

1,249,981,785

763,599,036

623,495,752

548,901,167

527,318,839

439,531,634

355,621,068

342,729,731

337,260,020

332,550,872

308,976,438

246,395,285

234,792,108

204,581,436

202,219,724

186,429,586

137,815,053

124,333,607

116,468,264

104,350,274

97,556,415

91,969,561

88,633,251

80,728,069

80,715,320

79,040,601

74,274,254

59,531,274

58,715,014

58,288,240

55,687,318

54,166,309

53,824,149

52,670,910

50,677,807

48,974,046

48,626,213

45,837,515

4.5

25.2

0.2

~0

38.6

27.6

0.2

20.1

3.7

~0

39.7

~0

5.0

0.1

~0

~0

~0

0.4

43.6

50.1

16.7

14.8

18.9

0.4

~0

14.8

48.7

30.9

27.1

9.6

35.7

~0

24.0

43.5

25.5

42.4

0.2

1.2

Parasetamol 500

CTM 4

Amoksisilin 500

Vitamin B kompleks

Deksametason

Antasida DOEN I

Vitamin C 50

Tiamin 50

Asam mefenamat 500

Piridoksin 10

Tiamin 50

Kalsium laktat 500

Prednison 5

Metampiron 500

Besi [II] sulfat + folat

Kaptopril 25

Dietilkarbamazin 100

Ranitidin

Kotrimoksasol DOEN I

Sianokobalamin 50 μg

Ibuprofen 400

Siprofloksasin 500

Kaptopril 12,5

Besi [II] sulfat 300

Metformin 500

Triheksifenidil 2

Ibuprofen 200

Na diklofenak 50

Kloramfenikol 250

Retinol 200.000 IU

Metronidazol 500

Alopurinol 100

Tetrasiklin 250

Glibenklamid 5

Zinc dispersible 20

Amlodipin 5

Salbutamol 2

Metilprednisolon 4

809,708,943

645,129,609

620,650,077

432,796,601

392,010,034

379,906,695

352,598,146

318,245,383

295,654,918

275,638,482

234,792,108

231,403,459

207,815,095

204,581,436

157,336,221

142,568,345

138,548,520

133,922,047

133,646,717

118,615,698

103,629,248

101,790,222

90,230,029

83,811,338

81,520,567

75,611,464

66,938,570

66,357,803

65,872,195

65,330,744

62,478,870

56,405,466

54,893,254

53,166,614

51,449,458

50,813,452

48,954,808

46,950,403

44.1

22.6

25.4

32.9

33.8

35.3

27.1

1.2

9.5

12.7

1.6

34.6

27.1

~0

111.0

39.6

13.4

51.4

34.2

33.0

53.7

1.5

33.1

208.4

41.3

~0

40,5

46,1

8.7

92.7

35.7

56.0

12.9

27.1

62.3

66.1

51.5

28.7

Besi [II] sulfat + folat

Parasetamol 500

Amoksisilin 500

CTM 4

Vitamin B kompleks

Deksametason

Antasida DOEN I

Vitamin C 50

Asam mefenamat 500

Piridoksin 10

Ranitidin 150

Kalsium laktat 500

Prednison 5

Kaptopril 25

Retinol 200.000 IU

Tiamin 50

Sianokobalamin 50 μg

Metformin 500

Kotrimoksasol DOEN I

Ibuprofen 400

Siprofloksasin 500

Triheksifenidil 2

Kaptopril 12,5

Besi [II] sulfat 300

Albendazol 400

Alopurinol 100

Amlodipin 5

Zinc dispersible 20

Na diklofenak 50

Ibuprofen 200

Sefadroksil 500

Amlodipin 10

Salbutamol 2

Garam Oralit I

Simvastatin 10

Glibenklamid 5

Omeprasol 20

Kloramfenikol 250

1,379,904,245

398,720,840

340,609,581

261,434,723

250,470,811

218,421,973

200,714,557

197,108,224

194,836,481

165,089,980

129,604,516

128,330,710

109,452,379

97,583,281

96,117,458

95,027,469

94,823,108

91,370,955

84,730,314

77,642,084

77,451,434

66,494,336

66,375,233

59,899,786

59,899,055

59,639,216

59,068,276

53,869,006

53,705,400

52,976,079

47,942,020

46,106,215

45,759,538

45,466,045

43,803,818

43,619,270

43,432,508

42,959,979

1.7

171.2

132.4

177.5

118.2

126.0

150.1

92.6

148.1

96.3

102.8

114.4

45.7

37.7

1.4

182.1

41.2

103.0

105.4

145.3

102.5

72.4

81.7

~0

93.8

100.0

118.4

81.2

120.3

96.4

107.2

95.2

67.1

77.8

116.9

~0

119.8

0.5

no. Drug item 2014Drug item

2015Drug item

2016

RKO e-order RKO e-order RKO e-order

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

Triheksifenidil 2

Na bikarbonat 500

Na diklofenak 50

Diazepam 2

Garam Oralit I

Zinc dispersible 20

Besi [II] sulfat 200

Fenobarbital 30

Salbutamol 2

Hidroklorotiazid 25

Parasetamol 100

Ringer laktat infus

45,321,326

45,092,727

43,454,364

43,451,313

40,059,019

39,906,647

39,547,785

39,446,504

38,899,932

37,384,872

37,155,421

34,341,244

~0

~0

55.3

4.2

48.6

74.1

118.6

~0

22.9

~0

0.1

26.3

Tetrasiklin 500

Vitamin C 250

Garam Oralit I

Na bikarbonat 500

Diazepam 2

Hidroklorotiazid 25

Domperidon 10

Omeprasol 20

Salbutamol 4

Simvastatin 10

Griseofulvin 125

Amlodipin 10

45,817,188

45,578,967

45,045,201

45,028,838

42,440,839

41,194,059

39,676,322

38,988,063

38,498,717

38,394,140

38,265,313

33,574,882

23.3

19.3

56.4

~0

25.2

13.6

44.9

53.3

27.7

53.9

26.4

61.8

3TC-AZT 300/150*

Isosorbid dinitrat 5

Furosemid 40

Metilprednisolon 4

Ringer laktat infus

Dietilkarbamazin 100

Asam folat 1

Diazepam 2

Risperidon 2

Domperidon 10

Klorpromazin 100

Hidroklortiazid 25

40,533,223

39,624,147

38,445,516

36,766,352

35,947,939

35,805,698

35,410,458

34,670,189

33,150,575

33,130,201

32,451,230

30,468,932

119.4

47.6

67.6

108.4

80.1

384.1

17.1

12.7

48.0

105.9

62.3

59.2

Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b

3.1.4.2. Pembiayaan obatDengan adanya desentralisasi, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan mengalami pergeseran pengelolaan dana dari pusat ke daerah, dimana sumber pembiayaan kesehatan untuk daerah bisa melalui berbagai sumber, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat, serta iuran dari masyarakat sendiri. Jika pembiayaan kesehatan di suatu daerah memadai, diharapkan dapat menunjang terselenggaranya subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.

Sumber pembiayaan obat untuk puskesmas antara lain adalah: 1) dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan (dana dari pusat yang turun ke APBD untuk pembelian obat), 2) dana kapitasi yang diterima dari BPJS Kesehatan (maksimal 40% untuk biaya operasional, salah satunya untuk belanja kebutuhan obat) dan 3) dana bersumber APBD dari kabupaten yang mampu secara fiskal dapat mengalokasikan lebih banyak untuk biaya kesehatan di daerahnya termasuk obat. Sedangkan obat-obatan program vertikal oleh Kemenkes (APBN), seperti untuk Tuberculosis (TB), HIV, malaria, filiariasis, kesehatan Ibu dan anak, disediakan oleh pemerintah pusat. Sementara untuk faskes dasar swasta, sumber pembiayaan obat berasal dari dana kapitasi dan APBN yaitu untuk obat program melalui Dinas Kesehatan.

Sumber pembiayaan obat untuk rumah sakit lebih bersifat mandiri, yaitu sumber utama pendanaannya berasal dari BPJS Kesehatan melalui sistem Ina-CBGs untuk pelayanan JKN sedangkan untuk obat program vertikal disediakan dari Kemenkes (APBN). Melalui sistem Ina-CBGs, rumah sakit diberikan penggantian biaya pelayanan berdasarkan tarif Ina-CBGs yang ditetapkan untuk jenis diagnostik pelayanan yang dilakukan. Tarif tersebut meliputi biaya pelayanan kesehatan dan juga biaya obat, dimana alokasi yang dilakukan oleh rumah sakit kepada vendor tidak diatur oleh BPJS Kesehatan. Namun keleluasaan ini seringkali menimbulkan risiko mismanagement oleh pihak rumah sakit dimana, jika

Page 21: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 2322 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

penggantian biaya kepada supplier obat ditunda atau tidak direncanakan dengan baik, dapat berakibat tunggakan yang menumpuk dan menimbulkan risiko finansial baik kepada rumah sakit dan penyedia obat tersebut. Dalam hal ini, sistem tersebut berakibat teralihnya risiko finansial dari BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Selain itu, belum adanya akses informasi mengenai besaran alokasi biaya obat oleh rumah sakit dari tarif Ina-CBGs yang diberikan oleh BPJS kepada instansi lain seperti Kemenkes, sehingga analisa mengenai manajemen pembiayaan tarif Ina-CBGs sulit dilakukan. Tunggakan pembayaran rumah sakit kepada penyedia obat dikeluhkan oleh asosiasi perusahaan farmasi kepada pemerintah pada pertengahan 2018 dengan besaran tunggakan yang disinyalir mencapai sebesar Rp 3,5 triliun (Basith, 2018). Pembayaran klaim rumah sakit mitra BPJS Kesehatan yang terlambat ini berpotensi mengganggu likuditas keuangan dan berpengaruh terhadap pembayaran jasa pelayanan, pengadaan obat kepada supplier (Hendarwan et al., 2018). Padahal, Perpres No.111 Tahun 2013 pasal 38 ayat 2 mengatur bahwa pembayaran paling lambat dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada faskes dasar tanggal 15 setiap bulannya dan kepada faskes rujukan 15 hari sejak dokumen klaim lengkap diterima, jika tidak maka BPJS Kesehatan dapat terkena denda sebesar 1% dari total klaim untuk setiap bulan keterlambatan pembayaran.

Pembiayaan untuk obat program rujuk balik bersumber dari BPJS Kesehatan berupa klaim tersendiri dimana harga obat mengacu pada harga e-katalog. Penyakit kronis yang termasuk dalam program rujuk balik ini adalah diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, PPOK, epilepsi, skizofren, stroke dan SLE.

Secara ringkas, skema pembiayaan obat adalah seperti tabel berikut ini:

Tabel 3. Skema Pembiayaan Obat

FASKES DASAr

Puskesmas- Obat program (APBN)- Obat PKD (DAK)- Biaya Operasional (Kapitasi)- Alat kontrasepsi (BKKBN)

Klinik/Dokter Praktik- Dana Kapitasi- Obat program melalui Dinkes

(APBN)- Out-of-pocket

FASKES ruJuKAN

rS Pemerintah- Pembayaran INA-CBG- Pembayaran Non INA-CBG- Obat program TB & HIV (APBN)- Out-of-pocket

rS Swasta- Pembayaran INA-CBG- Pembayaran Non INA-CBG- Out-of-pocket

OBAT PrOgrAm ruJuK BALIK

- Sumber pembiayaan: BPJS Kesehatan

- Penyedia: Instalasi Farmasi Faskes Rujukan, Farmasi Faskes Dasar, Apotek

- Klaim tersendiri & Harga Obat: e-katalog

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Selain itu, salah satu faktor penentu pembiayaan obat adalah harga obat. Berdasarkan analisis harga obat sebelum dan sesudah JKN, di tahap awal era JKN pada umumnya terjadi penurunan harga obat dibandingkan dengan harga DPHO 2013. Namun untuk obat dengan harga yang sudah sangat rendah seperti HCT 25mg pada obat kardiovaskuler, mengalami kenaikan sebesar 300% (gambar 12).

gambar 12. Tren Harga Beberapa Obat Sebelum dan Sesudah JKN

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018a

Untuk semua jenis sumber pembiayaan (obat program, DAK, klaim obat on CBGs/on top, CBGs), maka total pembiayaan obat di era JKN naik sejak tahun 2014 hingga 2017 yaitu berturut-turut Rp 8,8 triliun, Rp12,5 triliun, Rp15,8 triliun dan Rp 20,2 triliun. Dari analisis harga obat, peningkatan pembiayaan obat ini bukan disebabkan kenaikan harga obat, melainkan dari peningkatan jumlah penduduk/kepesertaan serta peningkatan akses pelayanan kesehatan. Penggunaan obat generik juga relative besar di rumah sakit, berkisar 60% sampai 64%, sehingga cukup mengendalikan biaya obat CBGs (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

Beberapa tantangan yang timbul di lapangan sehubungan dengan puskesmas, berkaitan dengan peraturan mengenai penggunaan dana kapitasi serta status BLUD dari puskesmas. Sebelum diterbitkannya Permenkes No. 21 Tahun 2016 yang mengizinkan penggunaan dana kapitasi untuk pembelian obat, terdapat dua regulasi yang bertentangan dan menimbulkan kerancuan, yaitu 1) Peraturan Presiden No.32 Tahun 2014 tentang pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah; yang kemudian disusul oleh 2) Peraturan Menteri kesehatan No.19 Tahun 2014 tentang penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah. Dari dua peraturan tersebut, puskesmas diberi pilihan oleh Pemda untuk memiliki status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dimana jika status puskesmas berubah menjadi BLUD, maka kapitasi akan diturunkan langsung ke puskesmas dan tidak lagi melalui kas daerah dan konsekwensinya adalah puskesmas diberikan kewenangan untuk mengatur dana kapitasi sesuai dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ini diperuntukan untuk faskes dasar milik pemerintah (puskesmas) yang belum menerapkan pola pengelolaan

Page 22: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 2524 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

keuangan BLUD. Untuk penganggaran, Kepala puskesmas diminta menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN tahun berjalan yang mana mengacu pada jumlah peserta yang terdaftar di puskesmas dan besaran kapitasi JKN kepada kepala SKPD dinas kesehatan. Sehingga Peraturan Presiden ini semakin jauh dari upaya preventif dan promotif. Dengan memiliki status BLUD, puskesmas dapat menggunakan dana sesuai dengan kebutuhan dan tidak tergantung dari dinas kesehatan, sehingga lebih fleksibel mengelola keuangan dan bisa lebih berkembang. Namun dengan BLUD, tambahan penghasilan yang selama ini diterima semua staf puskesmas dihapus. Selain itu, untuk mengelola dana sendiri dibutuhkan kompetensi yang sesuai, misalnya bendahara pemegang keuangan harus mendapatkan pelatihan tertentu yang berkaitan dengan penggunaan dana.

3.1.4.3. Pembiayaan vaksinSementara itu, dana pengadaan dan penyediaan vaksin di Indonesia bersumber dari APBN Pusat yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan RI di bawah Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Alokasi anggaran penyediaan vaksin reguler untuk program imunisasi tahun 2012-2016 adalah sebagai berikut:

gambar 13. Anggaran Penyediaan Vaksin reguler untuk Program Imunisasi 2012-2016

900.000.000.000

800.000.000.000

700.000.000.000

600.000.000.000

500.000.000.000

400.000.000.000

300.000.000.000

200.000.000.000

100.000.000.000

Angg

aran

(Rp)

0

Pagu Anggaran (Rp)2012 2013 2014 2015 2016

512.912.590.0 461.571.216.0 511.730.655.0 808.404.114.1565.000.000.0

Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b

Anggaran penyediaan vaksin tahun 2013 dan 2014 sempat menurun dibandingkan tahun 2012 kemudian meningkat kembali pada tahun 2015 menjadi Rp 511.730.655.000 dan Rp 808.404.114.134 pada tahun 2016. Perhitungan anggaran kebutuhan vaksin meningkat karena peningkatan perencanaan secara umum di dinas kesehatan kabupaten dan provinsi. Perencanaan vaksin di dinas kesehatan kabupaten dihitung dengan menggunakan dasar estimasi untuk kebutuhan tahunan. Estimasi ini juga memperhitungkan stok cadangan, misalnya di dinas kesehatan kabupaten untuk stok dua bulan dan juga memperhitungkan kebutuhan vaksin untuk rumah sakit.

Alokasi penyediaan vaksin regular menempati posisi terbesar dalam alokasi anggaran penyediaan obat dan vaksin tahun 2015 dan 2016 yaitu berturut-turut sebesar 35% dan 43% dari total alokasi anggaran penyediaan obat dan vaksin (Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b).

Selain vaksin regular, pemerintah juga menyediakan alokasi anggaran untuk vaksin lain tertentu serta kebutuhan logistik imunisasi. Anggaran penyediaan vaksin regular dan vaksin lainnya serta kebutuhan logistik untuk imunisasi tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Anggaran Penyediaan Vaksin reguler dan Vaksin lainnya serta Kebutuhan Logistik untuk Imunisasi Tahun 2016

Penyediaan Obat dan Vaksin Pagu Anggaran (rp)

Vaksin Reguler 808.404.114.134

Vaksin Gaji dan Umroh 314.000.000.000

Vaksin Influenza 2.973.056.000

Penyediaan Vaksin Yellow Fever 2.133.105.000

Penyediaan Obat dan Vaksin Hepatitis 90.000.000.000

Penyediaan Auto Disable Syringe (ADS) and Safety Box 188.027.203.178

Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b

Alokasi dana untuk perbekalan kesehatan bersumber APBD harus lebih diperhatikan kebutuhannya. Dari keseluruhan perencanaan pengadaan farmasi/obat-obatan, tidak semua dapat terpenuhi dari APBD. Penerapan otonomi daerah pada tahun 2000 berdasarkan UU 22/1999, yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengakibatkan beberapa peran pemerintah pusat dialihkan kepada pemerintah daerah sebagai urusan wajib dan tugas pembantuan, salah satunya adalah bidang pelayanan kesehatan. Hal ini mengakibatkan penyediaan dan atau pengelolaan anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan masyarakat di sektor publik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah yang sebelumnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program kesehatan dan persediaan penyangga (bufferstock), serta menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat. Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan mendasar yang perlu dicermati agar ketersediaan obat esensial bagi masyarakat tetap terjamin untuk daerah-daerah terpencil, perbatasan, kepulauan dan daerah rawan bencana, perlu dikembangkan sistem pengelolaan obat secara khusus berdasarkan SK Menkes no.189/Menkes/SK/III/2006 (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Page 23: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 2726 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3.1.5. Pengadaan

Penggunaan e-katalog untuk pengadaan obat JKN diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) No.4 / 2015 tentang Perubahan Keempat dari Perpres No.54 / 2010 tentang Pengadaan Barang / Layanan dan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 167/2014. Pengadaan menggunakan sistem e-katalog dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dan pemerataan obat yang aman, berkhasiat, berkualitas di fasilitas kesehatan secara transparan, efektif, efisien, dan akuntabel. Sementara itu, proses persiapan e-katalog didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.523 / 2015 yang telah ditingkatkan dengan Kepmenkes No.137 / 2016 tentang Formularium Nasional (Fornas) dan terakhir dengan Kepmenkes No HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional.

Penggunaan Fornas yang memprioritaskan obat generik (OGB) sebagai referensi untuk resep dalam sistem JKN adalah bagian penting dari strategi dalam pengendalian biaya perawatan kesehatan. Pembatasan jenis dan jumlah obat yang diganti menggunakan formularium, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai penelitian oleh WHO dan HAI Global, cukup efektif untuk mengendalikan pengeluaran obat dan penggunaan obat yang tidak hemat biaya (Faden, Vialle-Valentin, Ross-Degnan, & Wagner, 2011). Obat-obatan yang tercantum dalam formularium, termasuk Fornas, diperbarui secara berkala. Dikarenakan harus digunakan oleh faskes, semua item obat yang terdaftar di Fornas semuanya harus ada di e-katalog. Faktanya, di tahun 2016, hanya 74,9% dari obat-obatan yang terdaftar di Fornas dimasukkan dalam e-katalog, antara lain, ada item obat yang izin edarnya telah kadaluwarsa. Penyebab umum lainnya untuk item obat tidak dapat membuatnya menjadi e-katalog adalah HPS yang terlalu rendah bagi perusahaan farmasi mana pun untuk mengajukan penawaran.

Obat-obatan non-e-katalog harus dibeli dengan pembelian reguler, dan biasanya dengan harga lebih mahal. Di antara obat-obatan non-e-katalog adalah piracetam dan beberapa nootropic lainnya sering diresepkan oleh ahli saraf tetapi tidak terdaftar dalam Fornas dan tidak ada bukti ilmiah yang cukup untuk khasiat mereka. Untuk obat-obatan e-katalog yang pesanannya tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan farmasi yang menang tender atau distributornya, pengadaan juga harus dilakukan dengan pembelian reguler, dengan harga yang lebih mahal. Harus dicatat bahwa klaim obat yang tidak ada dalam e-katalog tidak dapat diterima oleh BPJS Kesehatan, dan bahkan jika item obat tersedia di pasar dengan harga reguler, fasilitas kesehatan tidak akan mendapatkan penggantian.

HPS yang terlalu rendah [sehingga perusahaan farmasi tidak mengikuti tender] atau, sebaliknya, terlalu tinggi [sehingga membuat faskes harus membayar harga lebih tinggi], adalah masalah yang belum diselesaikan dalam sistem pengadaan obat JKN. HPS dari item obat antara lain ditentukan oleh RKO-nya, di samping harga item obat di tahun sebelumnya dan informasi harga yang relevan lainnya.

Tercatat beberapa obat yang stock-out di tahun 2016 atau sebelumnya yang sebagian besar bukan karena manajemen persediaan yang buruk di puskesmas, tetapi kurangnya pasokan obat di Dinas Kesehatan karena industri farmasi tidak dapat memenuhi e-order. Beberapa item obat yang mengalami stock-out disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Obat yang Dilaporkan Stock-out di Puskesmas, 2016

No. Item Obat Sediaan Tahun

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Antibacterial DOEN Combination 5g

Antifungi DOEN Combination 30g

Aqua destilata 1.000 mL

Phenylbutazone 200mg

Glucose 5%

Supra Livron

Iron [II] sulfate 300mg

Thiamphenicol 500mg

Phenobarbital 30mg

Folic acid 0.4mg; 1mg; 5 mg

Trihexylphenidyl HCl 2mg

Salep

Salep

Cairan

Tablet

Infus steril

Tablet salut gula

Tablet

Kapsul

Tablet

Tablet

Tablet

2016

2016

2016

2015 hingga 2016

Tidak dipesan

2016

2016

2016

2016

-

2016

Sumber: (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b)

Kejadian stock-out juga dialami beberapa rumah sakit di tahun 2016, terutama di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua. Hal ini menunjukkan faktor geografis wilayah juga berpengaruh terhadap kejadian stock-out. Wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Tenggara, diketahui hanya memiliki jumlah kabupaten/kota yang sedikit yang jarak satu sama lainnya berjauhan, serta dengan populasi yang kecil, yang menyebabkan faskes hanya akan memesan obat dalam volume sedikit. Selain itu sarana transportasi juga kurang mendukung yang menyebabkan biaya distribusi obat juga tinggi.

Tabel 6. Obat yang Dilaporkan Stock-out di rumah Sakit, 2016

No. Item Obat Jawa Barat Sumbar Kalsel Sultra Papua Barat

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Furisemide

Cextriaxon

Phenobarbital

Trihexylphenidyl

Oxitocin

Tramadol

Carbamazepine

Phenytoin

Cefotaxim

Ringer lactate

Antalgin

Amoxicillin

Clindamycin

Mefenamic acid

Acetosal

Bicarbonate / activated charcoal

Sumber: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b

Page 24: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 2928 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3.1.6. Pemasok

Walaupun pemerintah berupaya untuk menyediakan produk farmasi yang terjangkau melalui sistem e-katalog, namun penelitian oleh Hendarwan et al. (2018) menunjukkan bahwa beberapa RSUD masih mengalami kekosongan obat dan lead time yang terlalu panjang. LKPP sebagai lembaga yang berwenang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dapat memberlakukan sanksi terhadap penyedia obat yang wanprestasi sebagaimana diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun jika pemenang dari proses tender adalah single-winner dengan harga yang diprioritaskan rendah, maka akan timbul disinsentif bagi LKPP untuk menerapkan sanksi tersebut. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya tingkat kepatuhan penyedia obat di level provinsi dan kabupaten/kota. berwenang untuk terdapat LKPP belum diberlakukannya sanksi atas penyedia obat yang wanprestasi oleh LKPP meskipun sanksi telah diatur dalam Perka LKPP. Masalah dalam performa supplier tersebut membuat faskes harus mencari obat pengganti dengan harga yang setara dengan harga e-katalog, dan ini membuat total biaya pengadaan obat yang diperlukan menjadi lebih besar.

Pemerintah juga menetapkan bahwa hanya ada satu pemasok yang dapat menang tender untuk satu jenis obat dalam e-katalog, untuk setiap provinsi. Namun hal ini dapat menimbulkan masalah ketika pemenang tender tersebut tidak memenuhi jumlah kebutuhan obat seperti yang telah disepakati. Hal ini dapat di atasi dengan memperbolehkan adanya multi-supplier dan multi-year sebagaimana contoh best practices secara internasional (Hendarwan et al., 2018). Sejak tahun 2018 kategori multiwinner sudah diperluas penerapannya ke jenis obat lainnya, setelah sebelumnya hanya untuk obat sitotoksik. Demikian juga dengan penetapan multiyear, per tahun 2018 kontrak berlaku untuk 2 tahun sehingga RKO juga disusun untuk rencana tahun 2018-2019.

3.1.7. Distribusi

3.1.7.1. One gate policyPemerintah menetapkan suatu kebijakan satu pintu (one gate policy) untuk tahap distribusi serta pengadaaan dan anggaran obat dan vaksin melalui pembentukan unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan atau Instalasi Farmasi. Dari 11 provinsi yang diteliti dalam studi Badan Litbangkes (Yuniar, 2017) hanya empat provinsi yang sudah melaksanakan kebijakan satu pintu, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Kalsel, ditambah beberapa kabupaten/kota di Papua dan Maluku Utara. Permasalahan dalam pelaksanaan one gate policy tersebut antara lain bahwa proses tersebut dapat memperpanjang proses birokrasi, sehingga berdampak pada tertundanya pelaksanaan proses pelayanan kesehatan seperti misalnya imunisasi. Kemudian kebijkan tersebut belum disertai dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendukung, gudang farmasi masih terbatas sehingga beberapa obat-obatan dititipkan pada gudang-gudang penyedia (proses penyimpanan tidak efektif atau tidak sesuai dengan tata kelola yang standar). Keterbatasan lainnya dari segi sumber daya manusia (khusus yang menangani proses pengadaan) di tingkat pusat terbatas sehinga mempengaruhi lambatnya proses pengadaan berdampak terhadap ketersediaan obat dan vaksin.

Penelitian oleh Yuniar (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar dinkes provinsi mengirimkan vaksin ke dinkes kabupaten/kota tetapi dari kabupaten/kota ke puskesmas hampir semuanya diambil langsung oleh petugas puskesmas. Sistem distribusi obat dari dinkes kabupaten/kota ke puskesmas bervariasi antara dinkes mengirimkan ke puskemas, atau puskemas mengambil serta ada yang kombinasi antara keduanya.

Permasalahan lain terkait one gate policy ini adalah adanya obat yang dijual jauh lebih mahal dibandingkan harga referensi Internasionalnya, misalnya obat Antiretroviral (ARV) jenis kombinasi Tenofovir, Lamivudin dan Efavirenz (TLE), yang dijual di Indonesia oleh Kimia Farma ke Pemerintah seharga Rp 404.350, sedangkan di pasar Internasional harganya hanya US$ 8 atau sekitar Rp 112.000. Selisih harga berlipat ini mengakibatkan pemborosan negara hingga Rp 210 miliar per tahun, yang sebenarnya uang sejumlah ini dapat digunakan untuk menambah akses 150.000-200.000 pasien ODHA yang membutuhkan obat TLE tersebut. Obat TLE ini diproduksi oleh perusahaan farmasi India yang dipasarkan ke Indonesia oleh Kima Farma. PT Kimia Farma ini merupakan satu-satunya distributor obat ARV di Indonesia, sejak 2004, hingga masuknya PT Indofarma Global Medika di pasaran serupa mulai Juli 2018. Diperlukan transparansi dalam hal pengadaan obat melalui one gate policy ini agar tidak terjadi monopoli yang merugikan negara.

Terkait pendisribusian obat, Kepala Badan POM mengeluarkan peraturan nomor HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Berdasarkan studi KPK (2017), belum semua Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Hanya sekitar 304 PBF yang memiliki sertifikat CDOB dari sekitar 2000 PBF (pusat dan cabang) yang terdaftar atau hanya 15% saja yang memiliki sertifikat CDOB.

3.1.7.2. lead timePeriode pengiriman obat secara e-purchasing seringkali lebih lama dari waktu yang ditetapkan (2 minggu - 90 hari kerja sesuai kontrak) dan bervariasi (Tabel 7), misalnya 1 – 8 bulan untuk Jayapura, 6 – 7 bulan di Manado dan Jawa Barat yang bisa sampai dengan 1 tahun. Sedangkan untuk vaksin pada umumnya lebih cepat sampai karena sebagian besar diambil langsung oleh dinkes kabupaten/kota ke provinsi (Yuniar, 2017). Waktu lead time yang panjang tersebut seringkali berakibat obat yang diterima dalam keadaan cacat, dan sudah dekat waktu kadaluwarsa (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018b).

Page 25: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 3130 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Tabel 7. Waktu Tunggu Obat di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota

Provinsi/ Kabupaten/Kota Durasi antara pemesanan sampai obat diterima

Jawa Barat Bisa sampai 1 tahun

Kota Bandung 30-90 hari, ada yang tidak datang

Kab. Garut 1-2 bulan, atau sampai akhir tahun

Kab. Bogor Rata-rata 90 hari

Jawa Timur 57-218 hari untuk e-purchasing, pembelian langsung 21-30 hari

Kota Surabaya 3-6 bulan untuk e-purchasing, pembelian langsung 1-2 bulan

Kab. Trenggalek Paling lama 4 bulan

Kab. Bondowoso 60-90 hari, maksimal 120 hari

NTB 2 minggu

Kota Mataram 1-3 bulan, pada 2016 lebih lama yaitu 6-9 bulan, untuk lelang 90 hari, pembelian langsung 45 hari

Kab. Lombok Timur Tahun 2016 lama, 2017 hanya 1-2 bulan

Sumsel Paling cepat 3 bulan

Kota Palembang Sebulan atau lebih, untuk non e-katalog lebih cepat

Kab. Muratara 90 hari

Kab. OKI 3-4 bulan

Kota Banda Aceh Bisa sampai setahun

Kota Sabang 2-6 bulan, bahkan lebih

Kab. Aceh Singkil 2 minggu- 2bulan bahkan lebih

Sulut 30-180 hari kerja

Kota Manado 6-7 bulan

Kab. Bolaang Mong 5 bulan

Kab. Kep Talaud 2-3 bulan sampai tidak datang, untuk lelang 10 hari-1 bulan

Sulsel 5 bulan

Kota Makassar 3 bulan

Kab. Jeneponto 3-6 bulan, pembelian langsung sekitar 3 bulan

Kab. Selayar 1-8 bulan

Kalsel 1 bulan

Kota Banjarmasin ½ bulan sampai tidak datang, rata-rata 3 bulan, untuk lelang 2 bulan

Kab. Hulu Sungai Utara 6 bulan

Kab. Tanah Bumbu 60-90 hari kerja

Kota Palangkaraya 3-4 bulan, rata-rata 1 bulan

Kab. Gunung Mas 1-5 bulan

Kab. Seruyan Sekitar 4 bulan, untuk pembelian langsung kurang dari 3 bulan

Maluku Utara Untuk pembelian langsung hanya 2-3 minggu

Kota Ternate 90 hari

Kota Tidore 3 bulan

Kab. Morotai 4-5 bulan

Kota Jayapura 1-8 bulan

Kab. Mimika 1-8 bulan, rata-rata 3 bulan

Kab. Merauke 1 bulan paling cepat, paling lama sampai Desember

Sumber: (Yuniar, 2017)

3.1.7.3. Biaya distribusiPada dasarnya biaya distribusi obat dan vaksin sampai dengan puskesmas sudah dialokasikan oleh Kemenkes, kepada dinkes kabupaten/kota, dimana harga yang tertera dalam e-katalog sudah termasuk biaya distribusi sampai dengan kabupaten/kota dan kemudian masing-masing Dinkes kabupaten/kota menerima alokasi dana dari pemerintah pusat melalui DAK non-fisik untuk melakukan distribusi obat sampai ke puskesmas. Alokasi biaya distribusi sampai ke puskesmas, walaupun memasukkkan kondisi geografis dan frekuensi pengiriman, seringkali tidak mencapai nilai riil di lapangan, terutama untuk daerah yang sulit dan terpencil, ataupun tidak memasukkkan semua komponen misalnya seperti biaya bongkar muat (Yuniar, 2017). Idealnya, dinkes kabupaten/kota dapat mengatur dana lain yang dimiliki untuk distribusi obat. Dana lain tersebut bisa berasal dari dana kapitasi maupun dana APBD jika pemerintahan daerah setempat mempunyai alokasi fiskal yang cukup. Namun pada kenyataannya, sosialisasi penggunaan dana kapitasi belum meluas juga adanya juknis mengenai dana DAK non-fisik dari pemerintah pusat yang tidak memperolehkan realokasi anggaran yang sudah ditetapkan.

3.1.7.4. manajemen kualitas vaksin Terkait dengan penyimpanan vaksin, dibutuhkan perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Pada umumnya vaksin disimpan pada suhu 2 – 8° C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak aktif dalam keadaan beku. Vaksin yang disimpan atau diangkut secara tidak benar juga akan kehilangan potensinya, untuk itu perlu disertakan brosur/informasi produknya. Berdasarkan Permenkes No. 12 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi, sarana penyimpanan vaksin di setiap tingkat administrasi akan berbeda. Di tingkat pusat, sarana penyimpan vaksin adalah kamar dingin/cold room. Ruangan ini seluruh dindingnya diisolasi untuk menghindarkan panas masuk ke dalam ruangan. Ada 2 kamar dingin yaitu dengan suhu 2oC sampai dengan 8oC dan suhu -20oC sampai dengan -25oC. Sarana ini dilengkapi dengan generator cadangan untuk menjaga apabila aliran listrik mati. Di tingkat provinsi: Coldroom, freeze room, Vaccine Refrigerator dan freezer. Di tingkat Kabupaten/kota: Coldroom, Vaccine Refrigerator dan freezer sedangkan di puskesmas cukup Vaccine Refrigerator.

Berdasarkan aspek SDM, sistem prosedur, peralatan rantai dingin dan pengiriman, lokasi penyimpanan kulkas/refrigerator dan pencatatan suhu di lapangan, ditemukan oleh studi (Yuniar, 2017) dapat disimpulkan bahwa masalah utama rantai dingin lebih pada aspek persyaratan dan ketersediaan peralatan rantai dingin dan pengiriman serta pencatatan suhu. Salah satu permasalahan pada peralatan adalah tidak adanya catatan kalibrasi alat dan pada pencatatan suhu sering tidak ditandatangani atau tidak direviu. Untuk pengelolaan rantai dingin di puskesmas umumnya lebih baik daripada rumah sakit dan klinik terutama dari jenis alat yang digunakan untuk penyimpanan dan tidak adanya dokumen sistem dan prosedur standar yang dijadikan acuan. Pengelolaan rantai dingin di daerah barat Indonesia juga umumnya lebih baik dibandingkan di daerah timur (Yuniar, 2017).

Page 26: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 3332 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

gambar 14. Pelaksanaan manajemen rantai Dingin Berdasarkan Jenis Faskes

Sumber: Yuniar, 2017

gambar 15. Pelaksanaan manajemen rantai Dingin di Seluruh FaskesBerdasarkan regionalisasi

Sumber: Yuniar, 2017

Tiga dari enam Dinkes Kab/Kota dan 8 dari 18 puskesmas yang di observasi tidak memiliki freeze tag. Sepuluh dari delapan belas puskesmas tidak memiliki genset, padahal empat puskesmas di antaranya tidak memiliki pasokan listrik 24 jam dari PLN. Distribusi vaksin juga masih bermasalah, hal ini terlihat dari persediaan yang tidak merata dalam satu provinsi (Susyanty, Supardi, Herman, & Lestary, 2014). Penelitian mengenai vaksin tahun 2012 menunjukkan bahwa pengelolaan vaksin di institusi pemerintah masih mengalami beberapa kendala dalam penanganan rantai dingin dan masalah ini lebih terlihat di

fasilitas kesehatan swasta. Ketersediaan vaksin juga masih belum efektif dan efisien sesuai ketentuan. Hal ini terbukti dari masih adanya fasilitas yang memiliki vaksin dalam jumlah yang berlebih (Susyanty, Sasanti, Syaripuddin, & Yuniar, 2014).

Jumlah petugas pengelola vaksin masih kurang, beberapa dinas kesehatan kabupaten/kota hanya memiliki satu pengelola Program Imunisasi yang merangkap sebagai pengelola vaksin, begitu juga dengan beberapa puskesmas yang hanya memiliki satu pengelola program imunisasi yang merangkap pengelola vaksin dan juru imunisasi. Sementara dalam pedoman penyelenggaraan imunisasi dibutuhkan minimal dua tenaga pelaksana. Pengetahuan pengelola vaksin di puskesmas masih kurang, terutama dalam hal pengenalan vaksin dan pengenalan rantai vaksin. Pengelola vaksin di Dinkes Provinsi sudah mendapatkan pelatihan, namun pengelola vaksin Dinkes Kabupaten/Kota dan puskesmas belum semua mendapat pelatihan. Pengetahuan pengelola vaksin di puskesmas masih kurang, terutama dalam hal pengenalan vaksin dan pengenalan Coldchain (Yadav, Tata, & Babaley, 2011).

Pada umumnya pengelolaan rantai dingin vaksin di tingkat provinsi sudah lebih baik dibandingkan tingkat kab/kota dan puskesmas. Hal ini terlihat dari hasil kualitas vaksin yang ditunjukkan oleh VVM, yaitu dari provinsi ke kabupaten/kota terlihat penurunan VVM dari persentase VVM A menurun ke VVM B dan VVM C. Penurunan kondisi VVM terutama terjadi pada vaksin polio oral yang memang sensitif panas. Hasil uji potensi vaksin pentabio dan polio oral menunjukkan bahwa potensi vaksin pertusis dan polio masih memenuhi syarat di semua lokasi sampel penelitian baik di fasilitas pemerintah (dinkes, rumah sakit dan puskesmas) maupun fasilitas swasta (rumah sakit swasta dan klinik), dengan catatan sampel yang diambil memiliki kondisi VVM A atau B. Dengan demikian dapat disimpulkan dari hasil uji potensi tersebut bahwa meskipun ada perbedaan pengelolaan rantai dingin namun secara umum tidak mempengaruhi potensi vaksin, kualitas vaksin secara biologis masih terjamin (Yuniar, 2017).

gambar 16. Kondisi VVm pada Berbagai Tingkat

Sumber: Yuniar, 2017

Page 27: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 3534 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3.1.8. Penggunaan Pelayanan Kefarmasian

3.1.8.1. Pelayanan kefarmasian sesuai standarPelayanan kefarmasian dilakukan pada unit pelayanan kefarmasian di berbagai fasilitas kesehatan seperti pada instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, dan apotek. Pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan yaitu yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang berhubungan dengan masyarakat. Kedua kegiatan ini perlu didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan peralatan yang memadai dalam rangka mencapai tujuan terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping obat. Hingga 2018 triwulan pertama, puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar baru mencapai 50%, dan pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang sesuai standar juga baru 57,63%.

gambar 17. Acuan Pelayanan Kefarmasian yang Sesuai Standar

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Laporan dari Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun 2017 menunjukkan bahwa persentase rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar mencapai 56,80% (target 55%), namun target 50% pada tingkat puskesmas belum tercapai karena baru mencapai 45,74%.

gambar 18. Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar (2017 Data Triwulan II)

Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b

Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa pencapaian pelayanan kefarmasian belum merata antar provinsi (gambar 19). Dari data 34 provinsi, 52,9% masih di bawah rerata nasional untuk tahun 2015 (capaian 40%) dan pada tahun 2016, 47,1% yang masih berada di bawah rerata nasional (capaian 45,4%).

gambar 19. Capaian Indikator Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015 – 2016

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016

Page 28: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 3736 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Beberapa permasalahan di lapangan yang disampaikan dalam laporan tersebut, antara lain adalah: 1) pengelola obat di puskesmas bukan apoteker atau tenaga teknis kefarmasian (TTK); 2) pembinaan dari Kemenkes mengenai standar pelayanan kefarmasian di puskesmas belum merata; 3) walaupun tenaga farmasi di puskesmas sudah melakukan pelayanan kefarmasian, namun pencatatan masih belum rutin dilakukan.

Selain itu hasil dari Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 untuk indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas dengan definisi operasional pelayanan informasi obat, konseling, gabungan keduanya atau salah satunya menunjukkan bahwa persentase puskesmas yang melaksanakan masih rendah.

gambar 20. Persentase Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar

Catatan: Baseline 2014 = 30%. Target capaian 2015 = 40%. Sirkesnas 2016 = 19.8% (PIO &

Konseling); 46.1% (PIO atau Konseling)

Sumber: Sirkesnas 2016

Hasil penelitian Badan Litbangkes (Yuniar, 2017) menunjukkan variasi yang besar dalam implementasi standar pelayanan kefarmasian; dimana pelayanan farmasi klinik di RS berkisar 4,7 – 95,3% dan yang kurang terutama dalam hal pemantauan kadar obat dalam darah; di puskesmas berkisar 4,5 – 42,4% dan yang kurang terutama dalam hal PTO serta di apotik berkisar 47,6 – 95,2% dan yang kurang dalam hal PTO dan homecare. Analisis hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan hanya 35,8% puskesmas melakukan pemberian informasi obat yang terdokumentasi dan 30,3% puskesmas melakukan konseling.

Standar jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan RS, puskesmas dan apotik mengindikasikan masih kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di ketiga fasilitas kesehatan tersebut.

Kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap dibutuhkan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien, sedangkan di rawat jalan dibutuhkan rasio 1 apoteker untuk 50 pasien. Hasil perhitungan penelitian menunjukkan bahwa standar jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan RS, puskesmas, dan apotik masih belum terpenuhi pada ketiga fasilitas kesehatan tersebut terutama di puskesmas dimana kurang dari 17% puskesmas yang diteliti memenuhi standar jumlah ketenagaan kefarmasian.

Tabel 8. Pelayanan Farmasi Klinik yang Dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian di rumah Sakit, Puskesmas dan Apotik

PELAYANAN FArmASI KLINIKDilakukan oleh tenaga kefarmasian

% rS % Apotik % Puskesmas

1 Pengkajian dan pelayanan Resep 95.3 76.2 42.4

2 Rekonsiliasi Obat 60.5

3 Pelayanan Informasi Obat (PIO) 88.4 95.2 40.9

4 Konseling 74.4 85.7 30.3

5 Visite 60.5

6 Pemantauan Terapi Obat (PTO) 37.2 47.6 12.1

7 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) 44.2 13.6

8 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) 44.2 19.7

9 Dispensing sediaan steril 25.6

10 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah 4.7

11 Home care 47.6

12 Swamedikasi 90.5

13 Pencatatan Patient Medical Record 52.4

Sumber: Yuniar, 2017

Praktik farmasi klinik dan keselamatan pasien masih sangat terbatas karena alasan sumber daya manusia dan dokumentasi yang belum memadai, dimana informasi obat dan konseling terkadang dilakukan tanpa fasilitas yang cukup juga apoteker terlibat dalam berbagai tim di rumah sakit seperti penanggulangan infeksi nosokomial serta komite farmasi dan terapi (Yuniar, 2017).

Permasalahan yang terjadi dalam penempatan apoteker di puskesmas antara lain: 1) Dinkes kabupaten/kota mengetahui persyaratan adanya apoteker di puskesmas, namun dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, tenaga apoteker masih belum diprioritaskan; 2) pengusulan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Dinkes kabupaten/kota belum didasarkan atas perhitungan beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan; 3) Jumlah belanja pegawai dalam DAU sudah cukup besar, sehingga

Page 29: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 3938 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

formasi yang disetujui oleh BKN terbatas, dengan formasi yang terbatas, penempatan tenaga kesehatan tidak berdasarkan kompetensinya; dan 4) kurangnya pelatihan akibat keterbatasan anggaran.

Hasil survei Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 17,5% puskesmas di Indonesia yang memiliki apoteker sedangkan 32,2% puskesmas tidak memiliki tenaga kefarmasian sama sekali. Variasi ketersediaan tenaga kefarmasian antar puskesmas terjadi pada lokasi puskesmas, jenis puskesmas, keterpencilan wilayah dan status kepegawaian tenaga kefarmasian.

Tabel 9. Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian di rumah Sakit, Puskesmas dan Apotik

KrITErIA rumAH SAKIT(n = 43)

APOTIK(n = 21)

Puskesmas(n = 66)

Jumlah apoteker 383 39 35

Jumlah tenaga teknis kefarmasian 881 91 95

Jumlah total tenaga kefarmasian 1264 130 130

% Faskes dengan tenaga kefarmasian cukup

69.8% 66.7% 16.7%

Sumber: Yuniar, 2017

3.1.8.2. Pelayanan obat Program rujuk Balik (PrB)Program rujuk balik merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atas rekomendasi/rujukan dari dokter spesialis/sub-spesialis yang merawat. Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan memberikan surat rujuk balik (SRB) kepada peserta guna meneruskan pemeriksaan dan pengobatan hingga kondisi terkontrol dan stabil. Jenis penyakit yang termasuk Program Rujuk Balik adalah diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), epilepsi, schizophrenia, stroke dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

Pada awal pelaksanaan JKN, pemberian obat bagi penderita penyakit kronis dibatasi untuk 3 – 7 hari dan harus diambil di rumah sakit melalui mekanisme rujukan dari fasilitas kesehatan primer. Hal ini mengakibatkan pasien harus bolak balik mengantri dan seringkali tidak tuntas menghabiskan obat. Saat ini obat PRB dapat diberikan untuk kebutuhan maksimal 30 hari setiap kali peresepan dan harus sesuai dengan Daftar Obat Formularium Nasional untuk Program Rujuk Balik serta ketentuan lain yang berlaku. Perubahan/penggantian obat program rujuk balik hanya dapat dilakukan oleh Dokter Spesialis/sub spesialis yang memeriksa di faskes rujukan. Dokter di faskes dasar melanjutkan resep yang ditulis oleh Dokter Spesialis/sub-spesialis dan tidak berhak mengubah resep obat PRB. Dalam kondisi tertentu Dokter di Faskes dasar dapat melakukan penyesuaian dosis obat sesuai dengan batas kewenangannya. Obat PRB dapat diperoleh di Apotek/depo

farmasi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan Obat PRB. Jika peserta masih memiliki obat PRB, maka peserta tersebut tidak boleh dirujuk ke faskes rujukan, kecuali terdapat keadaan emergency atau kegawatdaruratan yang menyebabkan pasien harus konsultasi ke faskes rujukan (BPJS Kesehatan, 2014).

3.1.9. Penghapusan

Penghapusan adalah rangkaian kegiatan pemusnahan sediaan farmasi dalam rangka pembebasan barang milik/kekayaan negara dari tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penghapusan sediaan farmasi adalah 1) bentuk pertanggungjawaban petugas terhadap sediaan farmasi/obat-obatan yang dikelolanya, yang sudah ditetapkan untuk dihapuskan/dimusnahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 2) menghidarkan pembiayaan (biaya penyimpanan, pemeliharaan, penjagaan dan lain-lain) atau barang yang sudah tidak layak untuk dipelihara, 3) menjaga keselamatan dan terhindar dari pengotoran lingkungan (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Pada siklus manajemen logistik obat, penghapusan dilakukan jika terdapat obat rusak ataupun kadaluwarsa. Terjadinya obat rusak dan kadaluwarsa mencerminkan kurang baiknya pengelolaan obat. Nilai obat rusak dan kadaluwarsa yang ada di Unit Pengelola Obat Publik baik di Kabupaten maupun puskesmas dicantumkan dalam Laporan Persediaan Barang sebagai bahan penyusunan Laporan Keuangan Daerah. Nilai persediaan obat rusak dan kadaluwarsa di dalam pelaporan menggunakan nilai perolehan terakhir sehingga dengan harga obat yang terus naik setiap tahunnya, nilai obat rusak dan kadaluwarsa menjadi lebih tinggi dari nilai perolehannya (Widiasih, Zahrulfa, Rustamaji, & Suryawati, 2018).

3.1.10. monitoring dan Evaluasi

Pemerintah telah mengeluarkan Permenkes Nomor 33 Tahun 2017 tentang Monitoring dan Evaluasi Terhadap Perencanaan, Pengadaan Berdasarkan Katalog Elektronik dan Pemakaian Obat. E-monev ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara efektif dan efisien terhadap kegiatan perencanaan obat, pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik dan pemakaian obat yang dilaksanakan oleh institusi pemerintah dan swasta. E-monev ini juga dilakukan terhadap pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik yang dilaksanakan secara manual. Pelaksanaannya adalah secara daring melalui aplikasi pada alamat situs web www.monevkatalogobat.kemkes.go.id.

Bagi faskes pemerintah dan swasta (Dinas Kesehatan, faskes dasar, faskes rujukan, apotek PRB) maka diminta untuk mengisi beberapa data dalam aplikasi e-monev yaitu data perencanaan obat, realisasi penerimaan, realisasi pembayaran dan pemakaian obat. Untuk industri farmasi dan PBF/distributor diminta untuk meng-input data realisasi pendistribusian obat. Namun demikian, belum ada studi yang mengevaluasi pelaksanaan e-monev yang sudah masuk tahun kedua pelaksanaannya.

Page 30: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 4140 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

gambar 21. Tampilan Aplikasi E-monev Obat

Sumber: Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017b

Dalam proses tata kelola obat di era JKN ini, terdapat 3 instansi pusat yang memegang peranan penting yaitu Kemenkes, Badan POM dan LKPP. Namun koordinasi antar 3 lembaga ini masih belum optimal. Hingga saat ini, belum ada SOP bersama yang mengatur secara jelas jadwal dan mekanisme penyampaian RKO serta pengadaan e-katalog obat yang dapat mengakibatkan keterlambatan dan kegagalan dalam proses lelang; terdapat ketidaksinkronan data yang dimiliki LKPP dan Kemenkes terkait e-katalog; terdapat permasalahan terkait perizinan (NIE) dan pengawasan obat di Badan POM yang berdampak pada proses pengadaan e-katalog obat, misalnya masih terdapat obat yang tayang dalam e-katalog yang ternyata tidak memiliki NIE (Ariati, 2017). Beberapa permasalahan ini menunjukkan perlunya penguatan koordinasi antar 3 lembaga utama yang berperan dalam tata kelola obat JKN.

3.1.11. Kasus Obat/Vaksin/Alkes/PKrT Palsu

Pada tahun 2016 ditemukan adanya vaksin palsu. Hasil pengujian Badan POM menunjukkan bahwa 25 sampel palsu, yang terdiri atas 21 vaksin palsu, 2 antisera palsu dan 2 tuberculin palsu. Penelusuran lebih lanjut di seluruh Indonesia mendapati bahwa 37 fasilitas kesehatan dari 9 provinsi memperoleh vaksin bukan melalui sumber resmi, dari 60 sampel vaksin/antisera yang kemudian diuji terdapat 12 sampel vaksin/antisera palsu terdiri atas 5 vaksin palsu dan 7 antisera palsu. Selanjutnya Kementerian Kesehatan (Ditjen Farmalkes) melakukan pembentukan satuan tugas dalam pemberantasan vaksin palsu bekerjasama dengan Badan POM, Bareskrim dan IDAI untuk penetapan strategi yang efektif. Satgas ini kemudian menetapkan strategi pemberantasan vaksin palsu yaitu: pembinaan dan penawasan dalam hal pengelolaan obat termasuk pengadaan dari sumber resmi, dan pengendalian limbah vaksin dan wadah bekas vaksin yang sudah digunakan atau yang sudah kedaluwarsa sesuai peraturan yang berlaku; penetapan regulasi terkait; KIE kepada masyarakat; dan pendataan dalam rangka pemberian ulang vaksin (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

Setahun sebelumnya yaitu tahun 2015 dalam Operasi Pangea, ditemukan berbagai contact lens palsu. Kegiatan Operasi PANGEA VII dilaksanakan bersama anggota Satgas Penegakan Hukum Pemberanatasan Obat, Makanan dan Alat Kesehatan illegal. Tim Operasi Pangea (INCB, Badan POM dan POLRI) kemudian melakukan investigasi terhadap peredaran produk tanpa izin edar di dunia maya (daring), maka pada tanggal 10 Juni 2015 sesuai surat tugas Direktur Bina Prodis Alkes ditemukan berbagai merek produk soft lens yang tidak memiliki Nomor Izin Edar, di antaranya Luxe, Eyecome, V1 Expose, V1 Amore yang kesemuanya dengan berbagai jenis warna. Sejumlah 303 box besar produk soft lens illegal ini kemudian disita dan disegel oleh Tim (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

Dalam bidang kesehatan kemudian dibentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tidak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. PPNS ini dalam melaksanakan peran dan tugasnya mengacu pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 189 dan pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan pidana yaitu pasal 190-201, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bekerjasama dengan Bareskrim, telah dilaksanakan Dilat PPNS dengan pola 400 JP (jam pelajaran) selama 60 hari. Sejumlah 27 orang di tahun 2016 dan 26 orang di tahun 2017 menjadi peserta Diklat PPNS (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

3.2. PENgguNAAN OBAT rASIONAL (POr) & anti-MiCRObial RESiStanCE (Amr)

3.2.1. Penggunaan Obat rasional (POr)

Menurut WHO (2015b), penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan, untuk jangka waktu yang cukup dan pada biaya yang terjangkau untuknya (individu) dan komunitas/masyarakat. Prinsip penggunaan obat rasional (POR) adalah berbasis bukti ilmiah terkini (evidence based medicine/EBM), tepat manfaat (high benefit-risk ratio) dan tepat biaya (high benefit-cost ratio) (Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI & Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017).

Penggunaan obat secara tidak rasional menjadi masalah utama di seluruh dunia. WHO memperkirakan bahwa lebih dari setengah obat-obatan diresepkan, diberikan atau dijual secara tidak tepat, dan setengah dari pasien gagal untuk mengkonsumsinya dengan benar. Penggunaan obat-obatan secara berlebihan, kurang dari seharusnya atau disalahgunakan mengakibatkan pemborosan sumber daya dan berbahaya bagi kesehatan. (Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI & Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2017; World Health Organization, 2015b)

Indikator peresepan merupakan salah satu indikator POR yang ditetapkan WHO. Terdapat 4 indikator peresepan pada penggunaan obat rasional di puskesmas yaitu: 1. persentase antibiotik pada ISPA non-pneumonia (batas toleransi 20%)2. persentase antibiotik pada diare non-spesifik (batas toleransi 8%)3. persentase injeksi pada myalgia (batas toleransi 1%)4. rerata item obat per lembar resep (batas toleransi 2,6 item)

Page 31: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 4342 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Hasil SIRKESNAS 2016 memperlihatkan permasalahan penggunaan obat rasional dalam hal penggunaan antibiotik.

gambar 22. Indikator POr di Puskesmas

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016

gambar 23. Persentase Puskesmas yang memenuhi Standar POr

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016

Data Ditjen Farmalkes menunjukkan bahwa penggunaan obat rasional di puskesmas di tahun 2015 dan 2016 tidak berbeda jauh yaitu sekitar 70%. Penggunaan obat rasional di puskesmas ini baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di Indonesia (Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2018). Hingga saat ini, belum terdapat pengukuran penggunaan obat rasional di faskes rujukan / rumah sakit.

3.2.2. anti-Microbial Resistance (Amr) / resistensi Antimikroba

Resistensi antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Resistensi berkembang lebih cepat disebabkan penyalahgunaan atau penggunaan berlebihan dari antimikroba. Penggunaan antibiotik untuk kesehatan manusia dilaporkan meningkat secara substansial. Survei di banyak negara menunjukkan bahwa banyak pasien percaya bahwa antibiotik akan menyembuhkan infeksi virus yang menyebabkan batuk, pilek dan demam. Antibiotik diperlukan untuk mengobati hewan yang sakit, tapi juga banyak digunakan pada hewan sehat untuk mencegah penyakit, dan pada banyak negara, untuk mempercepat pertumbuhan fisik hewan ternak. Agen antimikroba juga biasa digunakan di lahan pertanian dan peternakan ikan dan hasil laut komersial. Potensi dampak antimikroba di lingkungan juga menjadi perhatian banyak orang (World Health Organization, 2015a).

Pengendalian resistensi antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Pemerintah telah membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA yaitu komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasyankes maupun di masyarakat (Permenkes Nomor 8 Tahun 2015) (Kementerian Kesehatan RI, 2015a).

Data terkait AMR di Indonesia berdasarkan beberapa studi yang dilaksanakan oleh laboratorium atau universitas, karena belum ada jejaring laboratorium di level nasional yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional. Upaya-upaya awal untuk surveilans AMR dan penggunaan antibiotik, terutama pada sektor kesehatan hewan belum dilakukan secara terorganisir. Kurangnya kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan kesehatan hewan dan manusia adalah permasalahan yang harus segera di atasi.

Berdasarkan AMR Surveillance (2017) yang diadakan di beberapa kota di Indonesia, maka prevalensi Eschericia coli dan Klebsiella pneumoniae yang memproduksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) berkisar antara 50%-82%. ESBLs adalah enzim yang diproduksi oleh beberapa tipe bakteri, di mana enzim ini dapat menginaktivasi zat aktif di banyak antibiotik.

Page 32: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 4544 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

gambar 24. Amr Surveillance 2016, Prevalensi E. coli dan K. pneumonia (ESBL+)

Sumber: Paraton, 2018

Dalam Global Action Plan on Anti-Microbial Resistance (World Health Organization, 2017) yang diadopsi oleh National Action Plan on Anti-Microbial Resistance in Indonesia 2017-2019 terdapat lima tujuan strategis:

· Meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap pengendalian resistensi antimikroba melalui komunikasi, pendidikan dan pelatihan yang efektif

· Meningkatkan pengetahuan dan data melalui surveilans dan penelitian· Menurunkan insiden infeksi melalui sanitasi, hygiene dan pencegahan pengendalian

infeksi yang efektif· Mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan· Membangun investasi penemuan obat, alat diagnostik dan vaksin baru untuk

menurunkan penggunaan antimikroba

Selanjutnya, strategi peningkatan penggunaan obat rasional dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia terbagi atas:

· Strategi terkait pengembangan kebijakan/regulasi yaitu dengan pembatasan penyediaan antimikroba (khususnya antibiotika) melalui kebijakan Fornas; dikembangkannya standar dan pedoman seperti Pedoman Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di RS dan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik; serta regulasi dan kebijakan bidang produksi, distribusi dan penyerahan obat

· Strategi edukasi/pembinaan yaitu edukasi dan pemberdayaan masyarakat di antaranya dengan GeMa CerMat, penyebaran informasi melalui berbagai media dan workshop/seminar

· Strategi manajerial, yaitu advokasi dan monitoring evaluasi

3.3. PENILAIAN TEKNOLOgI KESEHATAN/hEalth tEChnOlOgy aSSESSMEnt (HTA)

3.3.1. Sekilas HTA

Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) atau Health Technology Assessment (HTA) adalah suatu analisis yang terstruktur dari teknologi kesehatan, dan hal yang berhubungan teknologi kesehatan yang digunakan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan. Didalamnya termasuk safety, efficacy (benefit), costs dan cost-effectiveness, implikasi terhadap organisasi, sosial dan isu etika.

HTA dalam JKN merupakan amanat Perpres No.12 Tahun 2013 pasal 43 ayat (1), “Dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment), Pertimbangan klinis (clinical advisory) dan Manfaat Jaminan Kesehatan, Perhitungan standar tarif, Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan Jaminan Kesehatan”.

Dalam lingkup ASEAN, the Malaysian Health Technology Assessment Section (MaHTAS; Malaysia) adalah agen atau komite HTA yang pertama kali didirikan di wilayah ASEAN pada tahun 1995, diikuti pendirian Health Intervention and Technology Assessment Program (HITAP; Thailand), dan Center for Drug Evaluation/ Health Technology Assessment (CDE/HTA; Chinese Taipei) tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 didirikan National Evidence-based Healthcare Collaborating Agency (NECA; the Republic of Korea) dan China National Health Development Research Center (CNHDRC; China). The Health Strategy and Policy Institute (HSPI/HSPI-HITA; Vietnam) didirikan tahun 2013 dan Komite Penilaian Teknologi Kesehatan/KPTK (Indonesia) didirikan tahun 2014. Saat ini tujuh negara ASEAN memiliki setidaknya satu komite/agen HTA termasuk Komite PTK di Indonesia dan Health Strategy and Policy Institute (HSPI) di Vietnam. Walaupun demikian, hanya tiga negara yaitu Chinese Taipei, the Republic of Korea, dan Indonesia yang menunjuk Badan PTK berdasarkan peraturan perundang-undangan (Sarocha, 2016).

3.3.2. Struktur dan Tugas Komite PTK

Komite PTK/HTA di Indonesia dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 171/Menkes/SK/IV/2014 tentang Komite Penilaian Teknologi Kesehatan dan diperbaharui menjadi Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/Menkes/422/2016 tentang Komite Penilaian Teknologi Kesehatan.

Komite PTK terdiri atas pembina, pengarah, ketua, sekretaris, anggota komite, tenaga teknis, dan sekretariat. Anggota Komite PTK terdiri atas akademisi dan profesional kesehatan. Surat Keputusan diperbaharui setiap tiga tahun.

Komite PTK memiliki tugas sebagai berikut:a. Mempersiapkan dan mengembangkan kelembagaan Komite PTKb. Menetapkan pedoman dan standar untuk pelaksanaan Komite PTK yang baikc. Menyusun rencana kegiatan Komite PTKd. Menetapkan topik prioritas untuk dilakukan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK)

berdasarkan review topik yang telah disusun oleh tenaga teknis dan dapat melibatkan institusi dan ahli terkait untuk memberikan masukan jika diperlukan

Page 33: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 4746 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

e. Membentuk panel ahli untuk melaksanakan Asesmen Teknologi Kesehatan (ATK) terhadap topik PTK yang telah ditetapkan (sebelum adanya agen PTK yang melaksanakan ATK). Panel ahli merupakan tim multidisiplin terdiri atas pakar dari organisasi profesi, akademisi, dan pakar lain yang relevan melakukan ATK secara komprehensif

f. Membentuk Panel adhoc untuk memberikan pandangan dan masukan kepada Komite PTK terhadap hasil studi PTK pada saat proses penilaian teknologi kesehatan (appraisal)

g. Melakukan penilaian (appraisal) terhadap hasil ATK berdasarkan efikasi, efektivitas, keamanan, analisis biaya serta nilai sosial-budaya dan agama (bila diperlukan) dari teknologi kesehatan yang dikaji

h. Merumuskan hasil akhir dan rekomendasi PTK dalam suatu laporan yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan

i. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan jenis teknologi yang dijamin atau menjadi prioritas dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasarkan ketetapan hasil penilaian (appraisal) terhadap ATK

j. melakukan diseminasi hasil PTK dan rekomendasi kebijakan yang telah disepakati;k. mengembangkan kerjasama dengan berbagai badan PTK yang telah berkembang

di negara-negara lainl. berkoordinasi dan melaporkan kepada Kementerian Kesehatan setiap hasil

kegiatan/pertemuan yang dihadiri dalam rangka mewakili Komite PTK pada kegiatan/pertemuan yang diadakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri

Teknologi kesehatan yang perlu dinilai oleh Komite PTK adalah setiap teknologi kesehatan yang belum dijamin dalam Jaminan Kesehatan atau sudah dijamin dalam Jaminan Kesehatan Nasional tetapi dinilai tidak efektif dalam manfaat maupun biaya.

3.3.3. Aspek dan Penilaian Teknologi Kesehatan

Aspek Penilaian Teknologi Kesehatan mencakup keamanan, efikasi, efektivitas, aspek ekonomi, aspek sosial, etika, legal, politis, dan agama, Kesetaraan/ekuitas (egalitarian equity), Keterjangkauan (affordability), dan Analisis Dampak Anggaran (Budget Impact Analysis/BIA). Dalam rangka pelaksanaan penilaian teknologi kesehatan (PTK) di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah membuat panduan penilaian teknologi kesehatan yang disusun oleh Komite PTK. Dengan adanya panduan ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian teknologi kesehatan.

Pada tahun 2017 telah dilaksanakan empat Studi Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) oleh Agen dari Universitas dan Tenaga Teknis PTK. Keempat studi tersebut berjudul: 1) Pentingnya review pemanfaatan obat sebagai bagian dari proses klaim dalam JKN: sebuah kasus dari nilotinib untuk pasien Leukemia Granulositik Kronik (LGK); 2) Penilaian terhadap luaran klinis dan biaya insulin analog dibandingkan dengan insulin human untuk diabetes tipe 2 : literature review dan survei biaya; 3) Efektivitas klinis dan evaluasi ekonomi terapi cetuximab untuk pasien kanker kolorektal dengan metastasis (mCRC); 4) Evaluasi ekonomi bevacizumab sebagai terapi tambahan terhadap kemoterapi untuk mCRC di Indonesia. Hasil studi PTK 2017 sudah diadopsi sebagai kebijakan berbasis bukti oleh pemerintah Indonesia. Mulai tahun 2018 hingga saat ini sedang berlangsung

tiga Studi Penilaian Teknologi Kesehatan di bawah koordinasi KPTK yaitu: 1) evaluasi ekonomi Lapatinib sebagai terapi untuk pasien kanker payudara metastase; 2) evaluasi ekonomi Trastuzumab sebagai terapi untuk pasien kanker payudara metastase; dan 3) evaluasi ekonomi Rituximab sebagai terapi untuk pasien kanker Limphoma Non-Hodgkin (LNH). Masih banyak studi HTA yang perlu dilakukan untuk menganalisis produk farmalkes yang akan diusulkan ke dalam Fornas maupun untuk produk farmalkes yang sudah terdapat dalam daftar Fornas, agar arah kebijakan lima tahun ke depan dapat ditetapkan berbasis bukti.

Berdasarkan penilaian tujuh ahli HTA/PTK dari tujuh negara, ada beberapa milestone terkait sistem HTA nasional di Indonesia yang sangat perlu ditingkatkan, yaitu HTA yang belum menjadi bagian dari kurikulum program studi S1 kesehatan, pelaksanaan konferensi HTA nasional, pelatihan-pelatihan terkait HTA, peraturan perundang-undangan terkait dengan HTA dan keanggotaan agen HTA domestik dalam jejaring HTA internasional. Selain itu terdapat beberapa milestone yang sudah sebagian tercapai namun masih dapat ditingkatkan yaitu publikasi di jurnal internasional oleh peneliti Indonesia, pendataan untuk data klinis dan ekonomi (data registry) terkait HTA, dan database HTA nasional untuk laporan-laporan terkait HTA (Chootipongchaivat, 2016).

3.4. BAHAN BAKu OBAT

Yang dimaksud Bahan Baku Obat (BBO) adalah mencakup bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif obat adalah tiap bahan atau campuran bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif obat tersebut. Ia memiliki khasiat farmakologi atau efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit atau untuk mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

Sedangkan bahan/zat tambahan adalah suatu bahan, bukan berupa zat aktif, yang telah dievaluasi dengan benar keamanannya, dan termasuk dalam sistem pengantaran obat (drug delivery system) untuk:

· Membantu dalam memroses sistem pengantaran obat selama pembuatan obat tersebut· Melindungi, mendukung atau meningkatkan stabilitas obat, ketersediaan hayati

(biovailability), atau akseptabilitas pasien· Membantu identifikasi produk · Meningkatkan atribut lain yang berkaitan dengan keamanan dan efektivitas obat selama

penyimpanan atau penggunaan

Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Peta jalan ini bertujuan untuk meningkatkan pengembangan dan produksi bahan baku obat dalam negeri dan mengurangi angka impor, yang dijamin bermutu tinggi. Selain Kemenkes, maka pemangku kepentingan lain yang terkait adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkoekuin, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, Universitas dan industri farmasi.

Page 34: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 4948 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Di Indonesia saat ini telah ada 8 industri produsen BBO yang telah tersertifikasi CPBBAOB (Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik). BBO yang diproduksi antara lain: bulk vaksin campak, bulk vaksin BCG, bulk toksoid difteri, bulk toksoid tetanus, bulk vaksin polio, bulk pertussis, bulk antisera; cangkang kapsul gelatin; bulk EPO; omeprazole beku kering; garam farmasi natrium klorida; serbuk steril seperti ampicillin sodium, kloksasilin natrium hidrat, benzyl penisilin kalium, sulbaktam natrium; dan garam kina dan turunannya.

Sementara itu, terdapat juga 9 industri BBO di Indonesia yang masih dalam proses pembangunan/sertifikasi. BBO yang diproduksi antara lain: parasetamol, acyclovir, glimepiride, fenofibrate atau ciprofloxacine; produk biosimilar (EPO); garam farmasi; attapulgit; cangkang kapsul; simvastatin, pantoprazole, clopidogrel, atorvastatin, rasuvastatin, esomeprazole, rabemeprazole, saprogelate; fraksi protein bioaktif, serbuk micronized bahan aktif; salicylamide, dan guafenesin.

Namun demikian, lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor, yang nilai impornya mencapai 25% dari total nilai bisnis farmasi nasional. Indonesia saat ini mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni sekitar Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%) (Simanjuntak, 2016).

3.5. ALKES DAN PErBEKALAN KESEHATAN rumAH TANggA (PKrT)

Alat kesehatan (alkes) merupakan salah satu komponen penting dalam sarana pelayanan kesehatan di samping tenaga kesehatan dan obat. Alkes adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Termasuk di dalamnya adalah alkes diagnostik in vitro, yaitu setiap reagen, produk reagen, kalibrator, material kontrol, kit, instrumen, aparatus, peralatan atau sistem, baik digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan reagen lainnya, produk reagen, kalibrator, material kontrol, kit, instrumen, aparatus, peralatan atau sistem yang diharapkan oleh pemilik produknya untuk digunakan secara in vitro untuk pemeriksaan dari setiap spesimen, termasuk darah atau donor jaringan yang berasal dari tubuh manusia, semata-mata atau pada dasarnya untuk tujuan memberikan informasi dengan memperhatikan keadaan fisiologis atau patologis atau kelainan bawaan, untuk menentukan keamanan dan kesesuaian setiap darah atau donor jaringan dengan penerima yang potensial, atau untuk memantau ukuran terapi dan mewadahi spesimen. Teknologi alkes berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi informasi, dari teknologi sederhana sampai teknologi tinggi, dan digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di rumah tangga. Alkes juga sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), di mana peran alkes untuk mendukung pencapaian khususnya tujuan ketiga, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia (Kementerian Kesehatan RI, 2017c, 2017b).

Kebutuhan akan alkes yang semakin meningkat belum diikuti dengan peningkatan industri alkes dalam negeri. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki), 94% alkes yang beredar adalah produk impor. Hal ini tentunya tidak

mendukung kemandirian alkes dalam negeri sesuai dengan sasaran dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. (Kementerian Kesehatan RI, 2015b, 2017c).

Hingga tahun 2016 terdapat 7 alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri, sedangkan jika dilihat dari jenis/variannya, terdapat 17 varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2018).

Pengawasan alat kesehatan dan PKRT juga dilakukan untuk melindungi end user (masyarakat dan faskes) agar menggunakan alat kesehatan dan PKRT yang aman, bermutu dan berkhasiat. Pengawasan dilakukan baik sebelum alkes beredar maupun sesudah beredar. Pengawasan sebelum edar meliputi standardisasi sarana produksi dan distribusi, sedangkan pengawasan sesudah edar mencakup pengawasan sarana produksi dan distribusi (inspeksi rutin dan khusus) dan pengawasan produk alkes dan PKRT (sampling dan pengujian, surveilans, pengawasan iklan) (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2016, terdapat 94,69% produk alkes dan 94,9% produk PKRT di peredaran yang memenuhi syarat. Namun demikian ketika menelaah cara pembuatannya, hingga triwulan pertama 2018, hanya 58,34% sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik. Hasil pengujian terhadap 540 sampel alat kesehatan dan PKRT di 34 Provinsi menunjukkan penilaian pre-market alat kesehatan dan PKRT yang diselesaikan tepat waktu sesuai Good Review Practices adalah 94,57% (Ditjen Farmalkes, 2018).

gambar 25. Pengawasan Alat Kesehatan dan PKrT

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Page 35: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 5150 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri sampai saat ini didominasi oleh produk-produk dasar dengan teknologi sederhana, seperti sarung tangan bedah, kasa, peralatan ortopedi dan furniture rumah sakit. Selain perusahaan dalam negeri, dalam beberapa kurun waktu terakhir perusahaan multinasional telah mendirikan sarana produksi alkes di Indonesia, yang hasil produksinya cenderung diekspor karena memanfaatkan biaya produksi yang rendah (Fitriani, 2018).

Berdasarkan data perdagangan ekspor-impor Indonesia, terlihat bahwa pertumbuhan permintaan ekspor alkes, maupun permintaan impor cukup tinggi. Tercatat pada tahun 2015 ekspor alkes Indonesia mencapai 676 juta US$ atau setara dengan 9 trilyun rupiah, sementara impor mencapai 1,28 miliar US$ atau setara dengan 17,2 trilyun rupiah. Angka pertumbuhan ekspor alkes Indonesia tahun 2011-2015 mencapai 11,5% per tahun, sementara rata-rata pertumbuhan permintaan impor mencapai 20% per tahunnya. Angka tersebut dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan akan terus tumbuh dengan mempertimbangkan pertumbuhan kepesertaan JKN hingga tahun 2019 (Kementerian Kesehatan RI, 2017b).

gambar 26. Kondisi Ekspor-Impor Alkes di Indonesia Tahun 2011 – 2015

Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b

Berdasarkan data perdagangan luar negeri Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir, produk-produk sarung tangan memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 7,6% per tahun, sementara untuk lensa kontak dan sejenisnya serta disposable sanitary towel memiliki pertumbuhan masing-masing 13,2% dan 35,8% per tahun. Sedangkan untuk 20 (dua puluh) jenis produk alkes dengan permintaan ekspor terbesar tahun 2015, dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Besar Produk dengan Permintaan Ekspor Tertinggi Tahun 2015

No. Nama Produk (kode HS) Nilai (uS$) Nilai (milyar rupiah)

1 Gloves, mittens & mitts, for other 247,890,309 3,321.73

2 Contact lenses 91,356,637 1,224.18

3 Oth disposable sanitary towel, tampon 88,897,203 1,191.22

4 Other instruments and appliances 45,524,586 610.03

5 Other electro-diagnostic apparatus 40,702,300 545.41

6 Parts & acc incl.pea of head 9027, 21,210,637 284.22

7 Oth furniture designed for medical 17,059,143 228.59

8 Cannulae and the like 16,501,533 221.12

9 Oth parts of footwear of rubber/plastic 12,848,785 172.17

10 Oth appl. which are worn/carried/ implant 11,597,336 155.40

11 Oth instruments & app oth than 9,904,457 132.72

12 Tooth brushes, incl. dental-plate brushes 8,912,079 119.42

13 Ozone therapy, oxygen therapy, aerosol 5,221,300 69.97

14 Disposable syringes, with or without 5,100,340 68.34

15 Chemical contraceptive prep based 3,861,593 51.75

16 Spectacle lenses of glass 3,591,181 48.12

17 Part & accessories, oth water meter 3,138,883 42.06

18 Wadding & similar articles, impregnated/coa 3,080,662 41.28

19 Other elements of glass not 2,912,153 39.02

20 Oth chandeliers & oth elecceiling/wall 2,580,241 34.58

Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b

Page 36: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 5352 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes berbasis teknologi tinggi. Tercatat pada tahun 2015, impor alkes Indonesia didominasi oleh alat operasional digital dan portable yang mencapai angka 16,5% dari total impor alkes Indonesia. Selengkapnya untuk daftar 20 jenis produk alkes dengan nilai impor terbesar tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

Tabel 11. Besar Produk dengan Nilai Impor Tertinggi Tahun 2015

No. Nama Produk (kode HS) Nilai (uS$) Nilai (milyar rupiah)

1 Oth portable digital automatic data 211,657,868 2,836.22

2 Other instrument and appliances 91,880,675 1,231.20

3 Other disposable sanitary towel, tampons 88,358,181 1,184.00

4 Electronic instruments and appliances 73,585,832 986.05

5 Oth diagnostic/lab reagents & prepared 68,091,321 912.42

6 Ozone therapy, oxygen therapy, aerosol 47,498,824 636.48

7 X-ray app for medical, surgical 41,223,260 552.39

8 Ultrasonic scanning apparatus 26,183,033 350.85

9 Tooth brushes, incl.dental-plate brushes 22,939,850 301.39

10 Catheters 22,287,155 298.65

11 Plate, sheet, film, foil&strip of plastic 21,502,183 288.13

12 Other electro-diagnostic apparatus 20,590,298 275.91

13 Oth ophthalmic instruments & app 20,214,111 270.87

14 Furniture designed for medical, surgical 19,858,572 266.10

15 Intravenous administration set 19,449,754 260.63

16 Spectro/ spectrophotometer 18,650,975 249.92

17 Oth chandelier & oth elec ceiling wall 18,427,108 246.92

18 Oth parts of footwear of rubber/plastic 17,604,615 235.90

19 Computed tomography apparatus 16,616,229 222.66

20 Producer gas/water gas generators 15,942,096 213.62

Sumber: BPS, Kemendag, dalam Kementerian Kesehatan RI, 2017b

Pemerintah juga telah menyusun Rencana Aksi Pengembangan Industri Alat Kesehatan 2016-2035. Mulai tahun 2016 hingga 2020, fokus pengembangan lebih ke industri alat kesehatan berteknologi rendah, kemudian meningkat ke teknologi menengah hingga tahun 2024. Baru pada tahun 2025 hingga 2035 akan dikembangkan industri alat kesehatan berteknologi tinggi (gambar 27).

gambar 27. rencana Aksi Pengembangan Industri Alkes, 2016-2035

Implant OrtopediBare Metal StentIntra Oculer LensFetal Doppler

Drug Eluting StentPatient MonitorAlat Bantu DengarIUDImplant GlaucomaSlit LampX-X-Ray PortableClinical Chemistry AnalyzerKeratometer, dll

Implant Hip & KneePacemakerInstrumen Bedah MataDermafillerCT ScanEndoscopyMesin HemodialisaMesin HemodialisaAuto Refractometer, dll

Kursi GigiIncubator BayiDisposable SyringeInfusion SetHospital BedRRapid Test, dll

Low Tech

Medium Tech

High Tech

2016 - 2020

2016 - 2024

2025 - 2035

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

3.5.1. Sustainabilitas Industri Farmasi

Kebijakan pembiayaan farmalkes dalam sistem JKN yang menitikberatkan pada harga yang rendah dapat mengganggu sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi, sehingga mengurangi ketersediaan suplai dan mutu dari produk farmalkes. Data periodik e-katalog tahun 2015 – 2018 menunjukkan turunnya pagu harga obat generik yang tersedia. Walaupun ini dapat mendukung keterjangkauan produk farmalkes, pemerintah harus mempertimbangkan mekanisme pasar dan biaya produksi, sehingga tidak menimbulkan disinsentif bagi industri farmasi di Indonesia dan mempengaruhi keberlangsungan suplai farmalkes dalam jangka panjang. 7.6% dari obat Fornas belum masuk ke dalam e-katalog (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018a) dan mengindikasikan HPS yang kurang menarik bagi produsen. Kemudian, jika dibandingkan dengan International Reference Price (IRP), penetapan harga pada e-katalog umumnya lebih rendah atau sama nilainya, padahal diketahui bahwa kandungan impor bahan baku obat masih tinggi. Contohnya, paracetamol yang harganya 15% % dari IRP3. Selain itu, penetapan tarif INA-CBGs melalui Permenkes No.59 tahun 2014 yang mengacu pada kasus diagnosa dimana komponen obat tidak didasarkan pada data harga obat dan volume penggunaan berpotensi menimbulkan reimbursement kepada supplier obat yang tidak realistis. Terbukti pada saat ini industri farmasi yang men-suplai sistem JKN mengungkapkan terlambatnya pembayaran yang diterima, sehingga mempersulit produksi selanjutnya serta keberlangsungan produksinya4 (Yuniar, 2017).

3 Data perbandingan antara https://e-katalog.lkpp.go.id/backend/katalog/lihat_produk/68890 dan http://mshprice-guide.org/en/single-drug-information/?DMFId=592&searchYear=2015. Wawancara dengan ahli farmasi Prof Budiono Santoso (UGM).

4 http://www.beritasatu.com/nasional/510040-harga-obat-untuk-program-jknkis-diusulkan-naik.html

Page 37: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 5554 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

3.5.2. Kemandirian dan Produksi

Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi untuk mendorong kemandirian bahan baku sediaan farmasi seperti PP No. 17 Tahun 1986, PP No. 62 Tahun 1998, Permenkes No. 87 Tahun 2013, Permenkes No. 88 Tahun 2013, Inpres No. 6 Tahun 2016 dan sebagainya. Upaya ini dirasakan penting terutama karena tingginya ketergantungan industri farmasi dalam negeri terhadap konten impor, dimana lebih dari 90% dari bahan baku obat di Indonesia adalah produk impor (Ariati, 2017). Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah adalah mengeluarkan industri farmasi dari Daftar Negatif Investasi (DNI) pada bulan April 20165 dengan tujuan agar investasi asing yang masuk dapat menggerakkan industri hulu farmasi (Antara, 2016). Dengan meningkatnya jumlah produsen bahan baku obat di Indonesia diharapkan harga obat yang tinggi dapat ditekan sehingga akses terhadap obat dapat ditingkatkan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Data dari Ditjen Farmalkes menunjukkan bahwa pasar farmasi nasional tumbuh rata-rata 11,23% per tahun (CAGR) selama 2010 – 2014, dengan pertumbuhan perusahaan domestik (11,30%) yang lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan multinasional (11,03%). Pertumbuhan pasar farmasi pada tahun 2014 secara absolut turun dari tahun-tahun sebelumnya, walaupun secara nilai naik sebesar Rp 58 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 55 triliun. Kontribusi Indonesia pada pasar farmasi di ASEAN adalah sekitar 27%, dimana 70% dari nilai tersebut didominasi oleh industri nasional. Namun, nilai ekspor industri farmasi Indonesia sekitar Rp 2 trilliun (2013), sedangkan nilai impor kurang lebih kurang Rp 21 trilliun dan didominasi oleh impor bahan baku obat (94%).

Tingginya konten impor pada produksi farmalkes ini menjadikannya rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Sekitar 90% dari bahan baku farmalkes di Indonesia masih diimpor. Pemerintah telah mengeluarkan industri bahan baku farmalkes dari Daftar Negatif Investasi (DNI), untuk meningkatkan minat investasi perusahaan asing kepada Indonesia. Data BPS juga menunjukkan masih rendahnya jumlah industri farmasi dalam negeri yang melakukan investasi R&D (12%, data tahun 2011). Pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi seperti Inpres No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan pengembangan industri farmasi dan Permenkes No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, namun belum didukung kepastian berusaha. Indeks cost of doing business di Indonesia masih relatif rendah yaitu 72 (2017). Walaupun rangking ini sudah meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya, namun masih di bawah rangking negara tetangga seperti Malaysia (24), Thailand (26) dan Vietnam (68) (World Bank, 2018).

5 Sebelumnya, kepemilikan asing pada industri bahan baku obat dibatasi maksimal 85 persen

gambar 28. Indeks Kemudahan Berusaha

Sumber: World Bank, 2018

3.5.3. Dukungan Pemerintah untuk Inovasi

Linkage antara inovasi (akademis/teknokrat) dengan pemerintah (birokrat) masih dirasakan lemah. Kemandirian bahan baku farmalkes di Indonesia meningkat, namun masih rendah dan masih terjadi mismatch antara produksi dan penggunaan Bahan Baku Obat (BBO). Data 2016 menunjukkan dari 23 bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi, hanya 4 industri yang menggunakan BBO produksi dalam negeri6. Selain itu, dari target penggunan produk alkes dalam negeri pada tahun 2019 sebesar 18%, saat ini baru tercapai 4 - 5%7. Kemudian, untuk produk alkes, produksi dalam negeri masih terbatas pada alkes golongan teknologi rendah seperti produk syringe. Produk alkes yang berteknologi lebih tinggi seperti USG dan inkubator sudah mulai dikembangkan namun masih pada tingkat riset, dan belum di produksi dalam skala besar atau industri. 3.5.4. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Dalam pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian dilihat jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri yang hingga tahun 2016 baru mencapai 4 industri. Selain itu baru 3 industri sediaan farmasi hingga 2018 yang bertransformasi dari industri formulasi menjadi industri berbasis riset. Dari sisi administratif, 91,4% layanan izin industri sediaan farmasi yang diselesaikan tepat waktu di tahun 2018, meningkat dari 85,1% di tahun 2017.

3.5.5. Jaminan Produk Halal

UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sedianya akan diberlakukan pada tahun 2019, namun banyak tantangan yang dirasakan untuk penerapannya pada industri obat dan vaksin. Persyaratan sertifikasi halal yang bukan hanya pada produk akhir saja

6 Data capaian tahun 2016 DitJen Farmalkes, Kemenkes RI7 Wawancara dengan ahli farmasi Prof Budiono Santoso (UGM)

Page 38: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 5756 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

tetapi juga pada bahan baku dan prosesnya akan menambah regulasi, biaya dan proses panjang tersedianya suatu produk obat dan vaksin untuk sampai kepada masyarakat. Selain itu, peluang yang dapat diharapkan oleh industri lokal untuk menambah niche pada pasar domestik bisa jadi sulit terwujud karena penambahan persyaratan tersebut akan menimbulkan kendala yang relatif lebih besar dan signifikan terhadap produsen yang kecil dan menengah dibandingkan kepada produsen yang besar dan mapan.

3.5.6. Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

Dalam pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian dilihat jumlah industri yang memanfaatkan bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri yang hingga tahun 2016 baru mencapai 4 industri. Selain itu baru 3 industri sediaan farmasi hingga 2018 yang bertransformasi dari industri formulasi menjadi industri berbasis riset. Dari sisi administratif, 91,4% layanan izin industri sediaan farmasi yang diselesaikan tepat waktu di tahun 2018, meningkat dari 85,1% di tahun 2017.

3.5.7. manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Dilihat dari sisi manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program kefarmasian dan alkes, maka di tahun 2016, kepuasan klien terhadap dukungan manajemen mencapai 87,03%. Selain itu masih di tahun yang sama, 95,95% layanan dukungan manajemen telah diselesaikan tepat waktu.

3.6. INDuSTrI OBAT TrADISIONAL (IOT)

Pengobatan tradisional adalah bagian dari pelayanan kesehatan, ditemukan hampir di setiap negara di dunia, permintaan untuk layanannya juga semakin meningkat. Obat tradisional, dengan kualitas, keamanan, dan khasiat yang terbukti, berkontribusi pada tujuan memastikan bahwa semua orang memiliki akses ke perawatan. Banyak negara sekarang mengakui adanya kebutuhan untuk mengembangkan pendekatan kohesif dan integratif untuk pelayanan kesehatan yang memungkinkan pemerintah, praktisi pelayanan kesehatan dan, yang paling penting, mereka yang menggunakan layanan kesehatan, untuk mengakses obat tradisional secara aman, hemat biaya dan secara efektif. Strategi global untuk mendorong integrasi yang tepat, regulasi dan pengawasan terhadap obat tradisional akan bermanfaat bagi negara yang ingin mengembangkan kebijakan proaktif terkait obat tradisional ini (World Health Organization, 2013).

WHO Traditional Medicine Strategy 2014-2023 diharapkan membantu para pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan memiliki visi luas dalam mengembangkan solusi untuk peningkatan derajat kesehatan dan otonomi pasien. Strategi ini memiliki dua goal/tujuan utama yaitu: untuk mendukung negara-negara memanfaatkan potensi kontribusi obat tradisional untuk kesehatan, kesejahteraan, dan pelayanan kesehatan berfokus pelanggan, dan untuk mempromosikan penggunaan obat tradisional yang aman dan efektif melalui regulasi terkait produk, praktisi dan praktik pengobatan. Tujuan utama ini akan dapat dicapai dengan menerapkan tiga

tujuan strategis: 1) membangun dasar pengetahuan dan merumuskan kebijakan nasional; 2) memperkuat keselamatan, kualitas dan efektivitas melalui regulasi; dan, 3) mempromosikan jaminan kesehatan nasional dengan mengintegrasikan layanan obat tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional.

Peluang Indonesia untuk mengembangkan obat tradisional sangat besar, mengingat Indonesia masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Di Indonesia Industri Obat Tradisional (IOT) merupakan salah satu sarana yang berperan penting dalam memproduksi dan mengembangkan obat tradisional yang aman, bermutu dan berkhasiat. Beberapa IOT di Indonesia telah memiliki profil berskala internasional.

Terdapat tiga jenis produk obat tradisional:• Jamu, yaitu bentuk asli obat herbal tradisional, menggunakan bahan baku herbal,

berdasarkan tradisi dan warisan nenek moyang. Jenis obat tradisional ini tidak memerlukan pendaftaran produk. Namun, terdapat kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan aspek kebersihan, keamanan dan kualitas jamu melalui sosialisasi dan edukasi ke publik

• Obat tradisional yang terstandarisasi. Bentuk obat tradisional ini diproduksi melalui proses manufaktur yang membutuhkan GMP. Bentuk obat tradisional ini memerlukan pendaftaran produk untuk produksi, distribusi dan penjualannya

• Fitofarmaka, yaitu obat tradisional terstandar yang telah digunakan dalam uji pra-klinis dan klinis. Bentuk obat tradisional ini diharapkan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal. Walaupun fitofarmaka ini telah melalui berbagai uji klinis, obat tersebut tidak otomatis dapat diterima dengan baik oleh praktisi kesehatan modern

Sektor industri obat tradisional merupakan salah satu sektor penggerak pembangunan ekonomi nasional karena mampu memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan daya saing berupa nilai tambah, lapangan kerja dan devisa. Pelaku industri obat tradisional tumbuh dari 76 industri di tahun 2015 menjadi 98 industri di tahun 2017. Pemerintah saat ini juga memiliki Gerakan Nasional Bugar dengan Jamu (Bude Jamu) yang sebagai implementasinya telah membina 5.374 pelaku Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racikan (UJR) di 62 kabupaten dan kota di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2018a). Gerakan Bude Jamu ini diharapkan dapat membentuk paradigma obat tradisional sebagai warisan budaya bangsa yang memiliki manfaat promotif dan preventif.

Di dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035, industri farmasi (termasuk di dalamnya Industri Obat Tradisional) menjadi salah satu industri prioritas yang masuk dalam kelompok Industri Andalan. Pada tahun 2015-2024, Indonesia melalui IOT-nya diharapkan dapat melakukan peningkatan kapasitas produksi herbal yang berorientasi ekspor (Kementerian Perindustrian RI, 2015).

Pertumbuhan ekspor obat tradisional Indonesia selama periode 2012-2016 mengalami kenaikan dari 8,9 juta US$ di tahun 2012 hingga mencapai 29,8 juta US$ di tahun 2016 (Kementerian Perdagangan RI, 2019). Terbukanya potensi pasar merupakan peluang sekaligus tantangan bagi IOT untuk terus berdaya saing memproduksi obat tradisional yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat, sehingga dapat bersaing di tingkat nasional maupun global.

Page 39: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

3. Tata Kelola Obat-Vaksin di Era Jaminan Kesehatan Nasional (Supply Chain Management) • 5958 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Terkait dengan produk obat tradisional maka meliputi beberapa jenis produk, yaitu obat tradisional yang diproduksi di dalam negeri (TR), obat Tradisional Impor (TI), obat Tradisional Lisensi (TL), Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka (FF) dengan total 8.772 produk. Dari jumlah tersebut, 2.960 (33,74%) di antaranya merupakan produk obat tradisional yang diproduksi oleh IOT di Indonesia. Dari 2.960 produk tersebut, 1.616 produk (54,59%) merupakan produk yang dihasilkan oleh IOT di Jawa Tengah (Diniarti & Iljanto, 2017).

Tabel 12. Produk Obat Tradisional yang Diproduksi Industri Obat Tradisionaldi Provinsi Jawa Tengah

NO NAmA INDuSTrIJumLAH PrODuK TErDAFTAr

JumLAHTr OHT FF

1 PT. Njonja Meneer 204 2 206

2PT. Industri Djamu dan Pharmasi Tjap Djago atau PT. DJAGO

153 1 154

3 PT. Leo Agung Raya 82 82

4PT. Industri Jamu dan Farmasi SIDO MUNCUL, Tbk.

300 1 301

5 PT. Phapros, Tbk. 11 1 2 14

6 PT. Erlimpex 2 2

7 PT. Marguna Tarulata APK Farma 9 9

8 PT. Perusahaan Jamu Air Mancur 124 1 125

9 PT. Deltomed Laboratories 118 3 121

10 PT. Industri Jamu Borobudur 452 18 470

11 PT. Graha Farma 5 5

12 PT. Konimex 35 35

13 PT. Capung Indah Abadi 44 44

14 PT. Ifars Pharmaceutical Laboratories 1 1

15 PT. Jamu Indonesia Simona 43 43

16 PT. Erlangga Edi Laboratories / PT. Erela 4 4

JumLAH 1.587 25 4 1.616

Sumber: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2012

3.7. PEmBErDAYAAN mASYArAKAT

Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat adalah GeMa CerMat yaitu upaya bersama melalui mewujudkan kepedulian, kesadaran, pemahaman, dan ketrampilan masyarakat dalam menggunakan obat secara tepat dan benar. Tujuan GeMa CerMat adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penggunaan obat secara benar; meningkatkan kemandirian dan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih, mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat secara benar; dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional, termasuk penggunaan antibiotik secara bijak. Dalam hal penggunaan antibiotik secara bijak, maka edukasi yang disampaikan adalah 5T yaitu: 1) tidak membeli antibiotik sendiri (tanpa resep dokter), 2) tidak menggunakan antibiotik untuk selain infeksi bakteri, 3) tidak menyimpan antibiotik di rumah, 4) tidak memberi antibiotik sisa kepada orang lain, 5) tanyakan pada apoteker informasi obat antibiotik. Sampai dengan Maret 2018, GeMa CerMat sudah dilaksanakan di 115 kabupaten/kota di 34 provinsi, dengan jumlah Agent of Change (AoC) 2.892 orang dan mencapai masyarakat 17.774 orang.

Bentuk lain pemberdayaan masyarakat yaitu KIE penggunaan alkes dan PKRT yang baik pada masyarakat dengan melibatkan kader-kader PKK di kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Selain itu dilaksanakan juga iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan. Telah dilakukan juga advokasi penggunaan alkes dan PKRT yang baik dan benar, yang telah dilakukan di 17 provinsi di Indonesia dari Sumatera Barat hingga Maluku Utara.

3.8. DIgITALISASI FArmALKES

Upaya reformasi melalui digitalisasi farmalkes juga sedang dilakukan, untuk jaminan akses sediaan farmasi dan alat kesehatan serta sustainabilitas sistem kefarmasian dan alkes yang terintegrasi dalam sistem kesehatan nasional. Beberapa integrasi yang dilakukan adalah:

a. Integrasi percepatan pelaksanaan berusaha: untuk kemudahan investasi serta mengawal kepastian hokum dalam pelaksanaan berusaha

b. Integrasi National Inventory control: agar data dan informasi terkait inventori sediaan farmasi dan alkes dapat diketahui secara realtime, akurat, valid dan representative

c. Integrasi Pembinaan dan Pengawasan: untuk optimalisasi sistem pembinaan dan pengawasan antar instansi pusat dan daerah secara realtime

d. Integrasi Siswas Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian: untuk optimalisasi sistem e-farmasi termasuk penyelenggaraan sistem elektronik farmasi, serta pengawasan dan pengendalian e-commerce farmasi sebagai bagian dari strategi pemanfaatan era digital

Keseluruhan integrasi tersebut didukung oleh sistem STR Apoteker online sebagai sistem informasi profesi Apoteker dalam hal optimalisasi peran professional. Dalam keseluruhan integrasi dan implementasi, Apoteker memegang peranan strategis dan tidak tergantikan untuk menciptakan sustainabilitas dan robustness sistem kefarmasian dan alkes yang terintegrasi dalam sistem kesehatan nasional. Namun demikian, belum dilakukan evaluasi implementasi dari sistem digitalisasi farmalkes ini.

Page 40: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

60 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

4. TANTANgAN

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

gambar 29. Skema Digitalisasi Farmalkes

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2018b

Page 41: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

4. Tantangan • 6362 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

4.1. TrANSISI DEmOgrAFI DAN EPIDEmIOLOgI PENYAKIT

Transisi epidemiologi yang paralel antara transisi demografi dan transisi teknologi, dewasa ini mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke Penyakit Tidak Menular (PTM). Terjadinya transisi epiemiologi ini disebabkan oleh terjadinya perubahan sosial ekonomi, lingkungan dan perubahan struktur penduduk seperti kebiasaan merokok, kurang aktifitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori serta konsumsi alkohol yang diduga berkontribusi menjadi penyebab dalam penyakit PTM. Hal ini tentunya akan berdampak pada tata kelola obat dan alkes terutama dari sisi kebutuhan jenis obat dan alkes yang akan lebih ke penanggulangan atau pengobatan penyakit PTM. Obat-obatan untuk penyakit PTM ini sebagian besar adalah obat berbiaya tinggi. Kebutuhan akan alkes juga lebih kepada alkes dengan teknologi tinggi, baik untuk alat diagnostik maupun treatment penyakit PTM. Namun di sisi lain, terdapat ancaman terkait meningkatnya resistensi antimikroba. Makin banyak antimikroba yang tidak efektif lagi terhadap beberapa bakteri, sehingga jumlah kasus Multidrug-Resistant (MDR) dan Extremely Drug Resistant (XDR) juga semakin tinggi, sementara itu riset dan pengembangan antimikroba generasi baru juga masih minim.

4.2. TArgET SDgS DAN univERSal hEalth COvERagE (uHC)

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah kesepakatan pembangunan global yang disahkan pada tanggal 25 September 2015 di New York dan dihadiri oleh 193 kepala negara, termasuk Indonesia. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 sasaran pembangunan yang diharapkan dapat menjawab ketertinggalan pembangunan negara-negara di seluruh dunia, baik di negara maju dan negara berkembang. Seluruh tujuan SDGs adalah sebuah kesatuan sistem pembangunan, atau disebut integrasi pembangunan nasional. Sektor kesehatan dalam SDGs setidaknya terdapat di 4 Goals, 19 Target dan 31 Indikator. Keempat Goals tersebut adalah Goal 2 – Zero Hunger; Goal 3 – Good Health and well-being; Goal 5 – Gender Equality dan Goal 6 – Clean Water & Sanitation.

Di dalam Goal 3 disebutkan salah satunya adalah mencapai Universal Health Coverage, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses kepada pelayanan kesehatan dasar berkualitas dan akses kepada obat-obatan dan vaksin dasar yang aman, efektif dan berkualitas bagi semua orang. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta maka pencapaian UHC adalah sebuah tantangan besar, termasuk di dalamnya yaitu menjamin akses kepada obat-obatan dan vaksin dasar.

Selain itu, dalam SDGs terdapat juga Goal 9 yaitu Industri, Inovasi dan Infrastruktur yang di dalamnya akan mencakup pengembangan industri bahan baku dan alat kesehatan di dalam negeri. Karenanya Indonesia perlu melakukan penelitian independen pada produk biotech and natural sebagai substitusi bahan baku obat berbasis kekayaan alam yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Hal ini menjadi salah satu langkah penting dalam pengembangan industri farmasi Indonesia menuju kemandirian produksi obat dan bahan baku obat.

gambar 30. Sektor Kesehatan Dalam SDgs

mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan [8 taget]

menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia [13 taget]

menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan perempuan [9 taget]

menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang [8 taget]

SANITASI DAN AIr BErSIH

SISTEm KESEHATAN NASIONAL

AKSES KESPrO, KB

gIzI mASYArAKAT

Sumber: Ermalena, 2017

4.3. FLuKTuASI NILAI TuKAr ruPIAH

Jika terjadi pelemahan Rupiah maka akan berdampak signifikan terhadap industri Farmasi di Indonesia mengingat lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor dari negara lain. Seperti untuk obat tanpa nama dagang maka kandungan impornya mencapai 70-75% sementara obat dengan nama dagang maka kandungan impornya bisa mencapai 30%. Naiknya biaya impor bahan baku tentunya akan berdampak juga kepada kenaikan harga obat. Perusahaan farmasi harus mengatur strategi agar beban produksi tidak melonjak, karena opsi untuk menaikkan harga obat tidak serta merta dapat dilakukan karena harus mempertimbangkan tingkat daya beli masyarakat dan peraturan penetapan harga obat generik dari pemerintah.

4.4. mASYArAKAT EKONOmI ASEAN

Industri Farmasi dalam negeri menghadapi tantangan yang cukup berat untuk dapat bersaing dengan negara-negara tetangga terutama pada saat pasar bebas ASEAN (MEA) seperti saat ini, apalagi 90 persen lebih bahan baku obat masih tergantung dengan impor. Bahan baku dalam negeri masih sangat kecil andilnya dalam mendukung industri farmasi nasional. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang hampir 260 juta jiwa membuat Indonesia menjadi magnet bagi seluruh industri dari seluruh sektor termasuk farmasi untuk menjadikan Indonesia sebagai target dalam memasarkan produknya.

Pada level ASEAN, pasar farmasi Indonesia mencapai 27 persen dari total pasar ASEAN. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen didominasi oleh pemain nasional yang menjadikan Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang didominasi oleh industri lokal. Diproyeksikan pasar produk farmasi Indonesia sendiri pada tahun 2016 ini sebesar Rp 69,07 triliun yang diharapkan meningkat menjadi Rp 102,05 triliun pada tahun 2020.

Page 42: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

5. Isu Strategis • 6564 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

4.5. LETAK DAN KONDISI gEOgrAFIS

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah mencapai 13 ribu pulau. Selain itu Indonesia terletak di area ring of fire yang artinya sangat rawan terjadi bencana. Kondisi ini tentunya merupakan tantangan dalam menjamin akses masyarakat terhadap obat, vaksin dan alat kesehatan, mulai dari perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatannya hingga distribusinya ke seluruh daerah di Indonesia. Terkait dengan bencana, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Pada Penganggulangan Bencana. Pedoman ini membahas pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana, saat terjadinya bencana, tanggap darurat, hingga rehabilitasi.

4.6. DESENTrALISASI

Risiko kebijakan desentralisasi terletak pada kemungkinan pemerintah daerah tidak akan memprioritaskan sektor kesehatan. Sejak era otonomi daerah, penyediaan dan atau pengelolaan anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan masyarakat di sektor publik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program kesehatan dan buffer stock. Sedangkan jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar masih tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, pembiayaan obat di sektor publik, terutama penyediaan obat esensial disediakan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan mendasar yang perlu dicermati untuk tetap menjamin ketersediaan obat esensial bagi masyarakat. Untuk daerah-daerah terpencil, perbatasan, kepulauan dan daerah rawan, perlu dikembangkan sistem manajemen obat secara khusus agar akses dan ketersediaan obat terjamin. Kapasitas fiskal tiap daerah tentunya juga mempengaruhi tersedianya anggaran untuk obat dan pada akhirnya dapat mempengaruhi akses dan ketersediaan obat di daerah.

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

5. ISu STrATEgIS

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

Page 43: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

5. Isu Strategis • 6766 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Beberapa isu strategis berhasil diidentifikasi terkait dengan obat, vaksin, alat kesehatan, HTA serta tata kelola obat di era JKN berdasarkan manajemen rantai suplai (Supply Chain Management).

5.1. KETErSEDIAAN OBAT DAN VAKSIN YANg BELum mEmADAI

Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas secara rata-rata masih di bawah 90%. Selain itu, beberapa obat pernah ditemukan kosong di antaranya amlodipine, antacid, allopurinol, asam mefenamat dan obat-obat psikotropika terutama diazepam. Jenis vaksin/serum yang paling banyak tidak tersedia adalah Serum Anti Bisa Ular (SABU), Anti Tetanus Serum (ATS), Polio suntik (IPV), vaksin Rabies serta tetanus toxoid (TT). Selain itu terjadi disparitas dalam ketersediaan obat dan vaksin antar provinsi di Indonesia, juga disparitas ketersediaan vaksin antara faskes swasta dibanding faskes pemerintah.

5.2. PErmASALAHAN TErKAIT TATA KELOLA OBAT, VAKSIN DAN ALKES (Supply Chain ManagEMEnt)

Tata kelola obat, vaksin dan alkes masih menemui banyak masalah. Penyusunan RKO mayoritas hanya berdasarkan metode konsumsi, belum mempertimbangkan metode morbiditas atau epidemiologi penyakit. Selain itu, diperlukan transparansi dalam penentuan HPS. Penentuan perusahaan farmasi sebagai pemenang tender hanya berdasarkan harga penawaran terendah. E-katalog juga belum menayangkan semua obat yang ada di Fornas. Pemesanan obat yang dilakukan oleh faskes sering tidak dipenuhi oleh perusahaan farmasi dan untuk obat yang didistribusikan ke faskes, lead time-nya kadang terlalu lama, bahkan ada yang mencapai lebih dari 6 bulan. Sistem informasi juga belum mendukung, dengan jaringan internet yang sering terputus. Masih ditemukan kurangnya kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur lainnya baik di Pusat maupun Daerah. Khusus di Pusat, masih terlihat kurangnya koordinasi antar lembaga yang berperan penting dalam tata kelola ini yaitu antara Kementerian Kesehatan, BPOM dan LKPP.

5.3. PrAKTIK PENgguNAAN OBAT rASIONAL (POr) YANg mASIH KurANg & anti-MiCRObial RESiStanCE (Amr) YANg SEmAKIN TINggI

Penggunaan obat rasional di puskesmas baru dilaksanakan di 23,93% kabupaten/kota di Indonesia. Dari kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pun penggunaan obat rasional baru mencapai 70%. Permasalahan POR ini masih terjadi di keempat indikator POR yaitu persentase antibiotik pada ISPA Non Pneumonia, persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase injeksi pada mylgia dan rerata item obat dalam satu resep.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menjadi penyebab timbulnya Anti-Microbial Resistance (AMR). Indikasi tingginya AMR terlihat dari prevalensi E. coli dan K. pneumonia mengandung ESBLs yang mencapai 50-82% di beberapa kota di Indonesia. Belum ada jejaring

laboratorium yang dikembangkan untuk penyediaan data nasional terkait dengan AMR, kapasitas laboratorium terkait pemeriksaan kesehatan hewan maupun manusia juga masih sangat terbatas.

Permasalahan lainnya adalah terbatasnya dukungan dari Pemerintah daerah dalam penganggaran program yang terkait peningkatan POR; kurangnya koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah serta dengan unit lainnya yang terkait; terbatasnya sebaran media promosi kepada masyarakat sehingga sasaran masyarakat yang menerima informasi tentang POR masih terbatas; kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis tentang POR kepada tenaga kesehatan di puskesmas; serta belum adanya kebijakan khusus dan sanksi yang tegas tentang penggunaan antibiotika yang tidak rasional, termasuk pembelian antibiotika secara bebas oleh masyarakat.

5.4. KurANgNYA KAPASITAS hEalth tEChnOlOgy aSSESSMEnt (HTA)

Kelembagaan HTA saat ini berupa Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) dibentuk dengan Keputusan Menteri Kesehatan, yang pembiayaan kegiatannya dibebankan kepada Anggaran Belanja Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Dengan tugas KPTK melakukan penilaian teknologi kesehatan yang memerlukan dana dan sumber daya lainnya yang besar, maka seharusnya dibentuk kelembagaan yang lebih dapat menjamin ketersediaan sumber daya, termasuk sumber daya keuangan dan SDM. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan terkait HTA yaitu pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pengembangan regulasi dan peraturan, kerjasama dengan jejaring internasional, pendataan untuk data klinis dan ekonomi (data registry) dan pengembangan database HTA nasional.

5.5. mINImNYA KAPASITAS PrODuKSI BAHAN BAKu

Lebih dari 90% bahan baku obat adalah diimpor, yang nilai impornya mencapai 25% dari total nilai bisnis farmasi nasional, yang diimpor sebagian besar dari Tiongkok, India dan Eropa. Saat ini terdapat 8 industri produsen Bahan Baku Obat (BBO) yang telah tersertifikasi dan 9 industri BBO lainnya yang masih dalam proses pembangunan/sertifikasi. Namun demikian, kapasitas ini masih sangat kurang dari yang dibutuhkan Indonesia.

5.6. mINImNYA KAPASITAS PrODuKSI ALKES DALAm NEgErI

Sebanyak 94% dari alkes yang beredar di Indonesia adalah produk impor, sehingga masih jauh dari kemandirian alkes dalam negeri. Alkes yang diproduksi di dalam negeri sampai saat ini didominasi oleh produk-produk dasar dengan teknologi sederhana yang kemudian produk ini yang diekspor. Sementara itu, kondisi impor alkes Indonesia didominasi oleh produk alkes berbasis teknologi tinggi. Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk alkes dan PKRT yang komprehensif dan terakreditasi masih terbatas.

Page 44: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

6. Arah Kebijakan, Strategi dan Program • 6968 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

6. ArAH KEBIJAKAN, STrATEgI

DAN PrOgrAm

Penyediaan Obat, Vaksin dan alat kesehatan

5.7. KurANgNYA DAYA SAINg INDuSTrI OBAT TrADISIONAL (IOT)

Indonesia sangat berpeluang mengembangkan industri obat tradisional karena Indonesia masuk sebagai lima besar mega biodiversity dunia. Tantangan utama adalah memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar internasional terkait keamanan, mutu dan khasiatnya. Selain itu, produk illegal obat tradisional yang marak beredar juga menjadi permasalahan tersendiri. Saat ini, separuh dari industri obat tradisional terkonsentrasi di Provinsi Jawa Tengah. Masih diperlukan peningkatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi herbal yang berorientasi ekspor hingga tahun 2024.

Page 45: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

6. Arah Kebijakan, Strategi dan Program • 7170 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

6.1. ArAH KEBIJAKAN

Upaya untuk menjamin ketersediaan obat, vaksin dan alat kesehatan di Indonesia yang terjangkau, merata dan berkualitas akan mendukung pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terutama target ketiga yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia, dengan sub-target: 3.8) terjaminnya ketersediaan dan akses kepada farmalkes yang aman, bermutu dan berkhasiat, serta 3.b) dukungan terhadap penelitian dan pengembangan (R&D) untuk obat dan vaksin.

Terdapat dua arah kebijakan yang utama yaitu: 1) peningkatan akses, pemerataan, ketersediaan, distribusi rantai suplai obat, vaksin dan alat kesehatan serta penggunannya secara rasional oleh faskes dan konsumen/masyarakat. 2) penguatan pengendalian obat, obat tradisional, vaksin, alkes dan PKRT pra dan pasca pemasaran untuk memastikan keamanan, efektivitas dan mutu.

6.2. STrATEgI

Untuk pelaksanaan dua arah kebijakan utama tersebut maka diperlukan beberapa strategi yaitu sebagai berikut:

1. Penguatan kapasitas SDM, sarana prasarana dan infrastruktur baik di pusat maupun daerah untuk peningkatan akses, pemerataan dan ketersediaan serta pengendalian obat-obatan, vaksin, alkes dan PKRT

2. Optimalisasi penggunaan dan proses sistem informasi kesehatan (digitalisasi farmalkes serta aplikasi e-monev obat) dalam perencanaan, pengadaaan hingga pengendalian produk farmalkes sehingga memberikan kepastian kebutuhan serta anggaran baik bagi pemerintah maupun bagi pihak swasta

3. Perbaikan sistem pricing (misalnya penentuan HPS obat) dan penetapan tarif JKN (kapitasi dan INA CBGs) yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mendukung sustainabilitas/keberlangsungan industri farmasi sehingga menjamin ketersediaan produk farmalkes yang terjangkau dan berkualitas bagi masyarakat

4. Penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah di tingkat pusat untuk tata kelola obat, vaksin, alkes dan PKRT (Supply Chain Management) yang lebih baik, terutama koordinasi peran dan fungsi antara Kementerian Kesehatan, Badan POM dan LKPP

5. Koordinasi informasi, kolaborasi sumberdaya serta kemitraan strategis lainnya antara ABGCM (akademisi, business/swasta, government/pemerintah, community dan media) agar dapat mendorong kemandirian produksi farmalkes dalam negeri yang berbasis riset dan inovasi

6. Penetapan paket insentif untuk membangun dan meningkatkan daya saing industri obat, obat tradisonal dan alat kesehatan

7. Harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk peningkatan akses, ketersediaan dan pemerataan obat, vaksin dan alkes serta peningkatan industri obat, obat tradisional (termasuk bahan baku) dan alkes dalam negeri

6.3. PrOgrAm/KEgIATAN

Dari enam strategi di atas maka disusun usulan program/kegiatan sebagai berikut:• Pengeluaran kebijakan dan harmonisasi kebijakan yang dapat menarik industri untuk

berinvestasi memproduksi bahan baku, obat, obat tradisional dan alat kesehatan di dalam negeri

• Pengoptimalan kelompok kerja (Pokja) Academic-Business-Goverment-Community-Media Colaboration (ABGCM) dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri. Untuk alat kesehatan mulai berfokus pada alat kesehatan berteknologi menengah. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui:

o Penegasan jenis-jenis produk yang akan dikembangkan dalam roadmap pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri, melalui penunjukkan instansi penanggungjawab dengan tahapan yang harus dicapai

o Penyusunan suatu strategic plan yang mengidentifikasi kebutuhan dan potensi bahan baku dalam negeri, dimana kebutuhan didasarkan pada beban penyakit dan tingkat biaya tertinggi untuk kelompok demografi dan geografis di Indonesia. Strategic plan ini kemudian perlu dikoordinasikan secara lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait riset dan teknologi (misalnya Kemenristek dan LIPI) untuk pengembangan produksi di dalam negeri, serta dengan pihak industri

o Melakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk setiap tahapan pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri

o Pengembangan mekanisme pasar push/pull untuk produksi dalam negeri, dimana push mechanism memberikan subsidi untuk melakukan riset, sedangkan pull mechanism memberikan reward terhadap hasil riset yaitu dengan menjamin demand atau pembelian dari hasil riset yang dilakukan

• Perluasan implementasi digitalisasi farmalkes untuk pengendalian pra dan pascapemasaran untuk menjamin keamanan, efektivitas dan mutu.

• Untukmenjaminketersediaanobatdisekitar2.700puskesmasdiDTPK,diperlukanpenetapan regulasi seperti fund-channeling (misalnya Dana Desa)

• MelakukanevaluasiterhadapprosessertajedawaktuantarapenyusunanFornasdanpenayangan e-katalog, dimana Fornas dapat diterbitkan dan sosialisasikan dalam waktu yang cukup sehingga dapat menjadi acuan untuk mengendalikan mutu, dan e-katalog dibuat untuk mengendalikan biaya

• Pengembangan metode penyusunan RKO yang mempertimbangkan metodemorbiditas/epidemiologi, serta sesuai dengan kategori obat (misalnya obat slow moving dan fast moving punya rumus yang berbeda dalam penghitungan RKO-nya), serta sesuai kondisi faskes disertai validasi serta monitoring dan evaluasi realisasi RKO yang sudah dibuat

Page 46: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • 7372 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

• MembuatregulasibahwahanyafaskesyangmemasukkanRKO-nyasajayangbolehmemesan melalui e-katalog

• MeningkatkansistemIT,termasukinfrastrukturnyadiDinasKesehatanProvinsi,DinasKesehatan Kabupaten, faskes dasar dan faskes rujukan

• Penyediaan SDM kefarmasian di puskesmas disertai dengan peningkatankompetensinya misalnya kompetensi pengadaan obat/alkes dan kompetensi terkait POR dan AMR

• MendorongpuskesmasuntukmendapatkanstatusBLUD,memungkinkanpengadaanobat JKN oleh Dinkes serta menurunkan ketergantungan pada Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD. Semakin rendah ketergantungan pengadaan obat JKN terhadap anggaran yang disetujui oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, pada gilirannya akan mempersempit kesenjangan antara volume obat yang direncanakan untuk dibeli (RKO) dan volume obat yang dapat dibeli dengan dana yang tersedia (anggaran yang disetujui)

• Meningkatkan komunikasi dan kerjasama yang lebih baik antara KementerianKesehatan RI dan LKPP, terutama dalam hal Fornas, penentuan HPS, dan mekanisme tender dan penentuan pemenang tender LKPP

• PedagangBesarFarmasi (PBF)yangmenang tenderperludiberikanwaktuminimal3 bulan untuk kepastian produksi (pembelian bahan baku, sertifikasi bahan baku, produksi, dan distribusi) sampai barang siap di pasar

• Evaluasiimplementasie-monev,mengingate-monevsudahdijalankanselama2tahun

• Pemberianaksese-purchasing yang lebih luas kepada Faskes swasta

• Penetapan HPS perlu dievaluasi kembali agar lebih realistis dan mengacu kepadainternational reference price dengan mempertimbangkan unsur biaya pajak, distribusi dan sebagainya

• Penentuan pemenang tender LKPP tidak hanya berdasarkan penawaran hargaterendah, tapi berdasarkan multikriteria, termasuk track record yang meyakinkan dari indutri farmasi. Dapat dilakukan pendekatan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) dalam menetapkan pemenang tender

• Penerapan sistem reward dan punishment oleh Kementerian Kesehatan terhadap perusahaan farmasi. Selama ini, tidak ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan farmasi yang tidak memenuhi permintaan sesuai yang tertulis di kontrak

• Dinas Kesehatan Provinsi diharapkan mengembangkan kebijakan regional yangmemungkinkan rumah sakit-rumah sakit di wilayahnya untuk mengadakan obat dengan metode lainnya yang cukup efisien, saat perusahaan farmasi tidak dapat memenuhi pesanan rumah sakit

• Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga diharapkan memiliki kebijakan yangmemungkinkan puskesmas di wilayahnya untuk mengadakan obat dengan metode lainnya yang cukup efisien, saat perusahaan farmasi tidak dapat memenuhi pesanan Dinkes Kab/Kota atau puskesmas

• DengankapasitasKPTKdanagenHTAdibawahnyasaatiniyangmenghasilkanhanya2-4 produk HTA per tahun, maka diperlukan pembentukan kelembagaan HTA yang dapat lebih menjamin ketersediaan SDM dan sumber daya lainnya untuk pengembangan HTA yang lebih luas di Indonesia

• PeningkatankapasitasSDMdanpembiayaansertakemitraanlintassektor(ABGCM)untuk implementasi HTA yang lebih luas dan mendukung pelaksanaan JKN

• PeningkatankapasitaslaboratoriumterakreditasidankapasitasSDMuntukpengujianalkes dan PKRT

• PenciptaanmekanismemonevuntukPORdanAMR(Anti-Microbial Resistance), baik di faskes dasar maupun di faskes rujukan

• PeningkatankesadarantentangAMRdanpromosiperubahanperilakumelaluiprogramkomunikasi publik untuk para praktisi dan konsumen di bidang kesehatan manusia, kesehatan hewan dan sektor pertanian

• Pembangunanlaboratoriumyangmemilikikapasitaspemeriksaankesehatanhewandan manusia yang terstandardisasi, kemudian mengembangkan jejaring laboratorium untuk penyediaan data nasional terkait AMR

• PembentukandanpengoperasiansistemperingatandininasionalterkaitAMR

• PelaksanaansurveilansAMR

• Peningkatanhygienedanpengendalianinfeksidifaskesmanusiadanhewan,disistemproduksi makanan (contoh: mulai dari pemotongan hewan hingga makanan terhidang di restoran) dan di komunitas lokal

• Investasiberkelanjutandanpeningkatan investasidalammemproduksiobat-obatanbaru (termasuk antibiotik baru), alat diagnostik, vaksin, dan lainnya untuk mengatasi AMR

Page 47: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • 7574 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

14. Faden, L., Vialle-Valentin, C., Ross-Degnan, D., & Wagner, A. (2011). Active pharmaceutical management strategies of health insurance systems to improve cost-effective use of medicines in low-and middle-income countries: a systematic review of current evidence. Health policy, 100(2–3), 134–143.

15. Fitriani, Y. (2018). Analisis Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017 Dalam Peningkatan Jumlah Industri Dan Kapasitas Produksi Alat Kesehatan Substitusi Impor (Tesis). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

16. Hendarwan, H., Yuniar, Y., & Despitasari, M. (2018). Harapan, Kenyataan dan Solusi JKN: dalam Rangkaian Diskusi Panel Indonesia Health Care Forum. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

17. Hidayat, B., Mundiharno, Němec, J., Rabovskaja, V., Rozanna, C. S., & Spatz, J. (2015). Out-of-Pocket Payments in the National Health Insurance of Indonesia: A First Year Review : Policy Brief 2. Jakarta. Diambil dari https://health.bmz.de/what_we_do/Universal-Health-Coverage/Indonesia_on_the_way_to_universal_health_coverage/Policy_Brief_GIZ_SPP_OOP_Spending_in_Indonesian_Health_Insurance.pdf

18. Institute for Health Metrics and Evaluation. (2018). Financing Global Health 2017 : Funding Universal Health Coverage and the Unfinished HIV/AIDS Agenda. University Of Washington. Seattle, WA: IHME. https://doi.org/10.1016/0022-2852(61)90347-2

19. Kementerian Kesehatan RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) Nomor 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

20. Kementerian Kesehatan RI. (2015a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan RI.

21. Kementerian Kesehatan RI. (2015b). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

22. Kementerian Kesehatan RI. (2016). Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

23. Kementerian Kesehatan RI. (2017a). Analisis Strategis Determinan Kesehatan : Upaya Mencapai Keseimbangan Harga Dan Pemerataan Distribusi Guna Menjamin Ketersediaan Obat Di Indonesia. Jakarta.

24. Kementerian Kesehatan RI. (2017b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Rencana Aksi Pengembangan Farmasi Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

25. Kementerian Kesehatan RI. (2017c). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

REfERENSI

1. Antara. (2016). Industri Farmasi Terbuka Penuh untuk Asing Demi Tekan Impor. Diambil 14 Februari 2018, dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/02/15/o2kqct382-industri-farmasi-terbuka-penuh-untuk-asing-demi-tekan-impor

2. Ariati, N. (2017). Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ). Integritas, 3(2), 231–243.

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. (2012). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat. BPOM RI. Jakarta, Indonesia: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

4. Basith, A. (2018). Soal tunggakan obat Rp 3,5 triliun, pemerintah review keuangan BPJS Kesehatan. Diambil 6 September 2018, dari https://nasional.kontan.co.id/news/soal-tunggakan-obat-rp-35-triliun-pemerintah-review-keuangan-bpjs-kesehatan

5. BPJS Kesehatan. (2014). Panduan Praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN. BPJS Kesehatan. Jakarta: BPJS Kesehatan.

6. de Joncheere, K. (2015). Access to Essential Medicines and Universal Health Coverage. In WHO Technical Briefing Seminar, November 23-27, 2015. World Health Organization. Diambil dari https://pdfs.semanticscholar.org/presentation/28e1/a88e192996dac5ec29abbd7628baccb23411.pdf

7. Departemen Kesehatan RI. (2007). Direktorat Bina Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.

8. Diniarti, I., & Iljanto, S. (2017). Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Obat Tradisional (IOT) Tahun 2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Nasional, 06(04), 184–192.

9. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2017a). Laporan Akuntanbilitas Kinerja 2016 Direktorat Pelayanan Kefarmasian. Jakarta.

10. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2017b). Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Farmalkes 2016. Jakarta.

11. Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2018). Data kinerja Ditjen Farmalkes hingga triwulan I - 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

12. Ditjen Pelayanan Kefarmasian Kemenkes RI, & Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. (2017). Kebijakan Peningkatan Penggunaan Obat Rasional (POR). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

13. Ermalena, M. (2017). Indikator Kesehatan SDGs di Indonesia (WHO Sustainable Development Goals). Disampaikan dalam Diskusi Panel “Pengendalian Tembakau dan Tujuan Pembangunan Indonesia” The 4th ICTOH, Balai Kartini, 15 Mei 2017. Jakarta.

Page 48: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Kajian Sektor Kesehatan • 7776 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

26. Kementerian Kesehatan RI. (2018a). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. (R. Kurniawan, B. Hardhana, & Yudianto, Ed.), Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. https://doi.org/10.1037/0022-3514.51.6.1173

27. Kementerian Kesehatan RI. (2018b). Mewujudkan Akses dan Kemandirian Farmasi dan Alat Kesehatan yang Bermutu 2012 - 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

28. Kementerian Perdagangan RI. (2019). Ekspor 10 Komoditi Potensial Tahun 2012-2017. Diambil 29 Januari 2019, dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities

29. Kementerian Perindustrian RI. (2015). Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.

30. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2016). Kajian Tata Kelola Obat Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jakarta: Direktorat Libang Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Diambil dari https://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_shortcodes/?view=download&id=4849acbcba136b3f2ef1c35ee1752c

31. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2017). Kajian Perizinan dan Pengawasan Obat Jaminan Kesehatan Nasional di BPOM. Jakarta: Direktorat Litbang Kedeputian Bidang Pencegahan.

32. OECD. (2015). “Out-of-pocket medical expenditure”, in Health at a Glance: OECD Indicators. In Health at a Glance. OECD Publishing: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/health_glance-2017-26-en

33. Paraton, H. (2018). Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia: Hasil Capaian dan Target ke Depan. Jakarta: Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan RI.

34. Simanjuntak, R. (2016). Pengawasan Bahan Baku Obat Untuk Mendukung Kemandirian Bahan Baku Obat. In Seminar Pentahelix Kemandirian Bahan Baku Farmasi serta Launching Information and Data Center. Jatinangor: Unpad.

35. Susyanty, A. L., Sasanti, R., Syaripuddin, M., & Yuniar, Y. (2014). Sistem Manajemen Dan Persediaan Vaksin Di Dua Provinsi Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 42(2), 108–121.

36. Susyanty, A. L., Supardi, S., Herman, M. J., & Lestary, H. (2014). Kondisi Sumber Daya Tenaga Pengelola Vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan puskesmas. Bul Penelit Sist Kesehat, 17(3), 285–296.

37. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018a). Jaminan Kesehatan Nasional Temuan Tingkat Nasional. Jakarta.

38. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018b). Reviews On Pharmaceutical Policy At Healthcare Facilities Under Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: TNP2K.

39. Widiasih, E. S., Zahrulfa, A., Rustamaji, & Suryawati, S. (2018). Analisis Dasar Hukum, Kebijakan dan Peraturan Penghapusan Obat Rusak dan Kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Yogyakarta. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 7(01), 34–41.

40. World Bank. (2017). Sustainability of Externally-Funded Health Programs in Indonesia: Issues and Priorities. World Bank.

41. World Bank. (2018). Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs Comparing. Washington DC. Diambil dari http://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/country/i/ireland/IRL.pdf

42. World Bank. (2019). Health Nutrition and Population Statistics. Diambil 19 Februari 2019, dari https://datacatalog.worldbank.org/dataset/health-nutrition-and-population-statistics

43. World Health Organization. (2011). The World Medicines Situation 2011: Medicines Prices, Availability and Affordability. Diambil 12 Desember 2018, dari http://www.who.int/medicines/areas/policy/ world_medicines_situation/WMS_ch6_wPricing_v6.pdf

44. World Health Organization. (2013). WHO Traditional Medicine Strategy: 2014-2023. Hongkong: World Health Organization. https://doi.org/10.1111/cdoe.12410

45. World Health Organization. (2015a). Global Action Plan on Anti-Microbial Resistance. Geneva: World Health Organization. https://doi.org/10.1016/0022-2852(61)90347-2

46. World Health Organization. (2015b). Rational use of medicines. Diambil 10 Februari 2019, dari https://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/

47. World Health Organization. (2017). National Action Plan on Anti-Microbial Resistance Indonesia 2017-2019. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

48. Yadav, P., Tata, H. L., & Babaley, M. (2011). The world medicines situation 2011. World Health Organization. Geneva: World Health Organization.

49. Yuniar, Y. (2017). Distribusi, Ketersediaan Serta Pelayanan Obat Dan Vaksin Dalam Menghadapi Jaminan Kesehatan Semesta 2019. Jakarta.

Page 49: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

78 • Penyediaan Obat, Vaksin dan Alat Kesehatan

Page 50: PENYEDIAAN OBAT, VAKSIN DAN ALAT KESEHATAN...Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar, 2015-2016 35 DAfTAR TABEL Tabel 1 Produk Obat dalam Fornas dan E-katalog: 2014-2016 18 Tabel 2 50

Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]