penyalahgunaan napza

32
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa sumber jurnal terkait dengan Penyalahgunaan NAPZA. Dan harapan saya nantinya tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai materi pada blok neuropsikiatri ini. Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun, demi penyempurnaan tugas-tugas saya selanjutnya. Mataram, 8 Mei 2015 Penyusun

Upload: baiqhulhizatilamni

Post on 15-Jan-2016

90 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hfgdfvcv

TRANSCRIPT

Page 1: penyalahgunaan napza

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa

sumber jurnal terkait dengan Penyalahgunaan NAPZA. Dan harapan saya nantinya

tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai materi

pada blok neuropsikiatri ini.

            Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari

sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya

sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun, demi penyempurnaan

tugas-tugas saya selanjutnya.

Mataram, 8 Mei 2015

Penyusun

Page 2: penyalahgunaan napza

BAB I

PENDAHULUAN

Penggunaan alkohol, rokok dan zat adiktif saat ini merupakan masalah di

banyak negara. Penggunaan alkohol, rokok dan zat adiktif juga merupakan masalah

bagi Indonesia. Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia telah mencapai 0,06% dari

jumlah penduduk Indonesia. Jumlah kasus narkoba meningkat dari 3.478 kasus pada

tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004 atau meningkat rata-rata 28,9% per tahun

(Kurniawati et al. 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja

sama dengan lembaga penelitian dari salah satu perguruan tinggi negeri pada tahun

2006 hingga 2007 menyebutkan, dari 3,2 juta pengguna NAPZA di Indonesia, 1,1 juta

di antaranya adalah mahasiswa. Dari data yang ada diketahui bahwa penyalahgunaan

NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun (Kurniawati et al. 2010).

Sebagian besar pengguna alkohol, rokok dan zat adiktif adalah remaja, karena

remaja merupakan kelompok rawan yang berisiko terhadap penyalahgunaan alkohol,

rokok dan zat adiktif, karena sifatnya yang energik, dinamis dan ingin mencoba hal-

hal yang baru, menyenangi petualangan, mudah tergoda oleh tekanan dan pengaruh

dari kelompoknya, cepat putus asa sehingga mudah terjerumus ke dalam

penyalahgunaan alkohol, rokok dan zat adiktif. Hal ini di dukung oleh belum

matangnya mental untuk lebih memperhitungkan akibat dari suatu perbuatan

(Kurniawati et al. 2010).

Menurut World Health Organization (WHO) remaja (adolescence) adalah

mereka yang berusia 10-19 tahun, tetapi kemudian WHO membagi lagi remaja

menjadi remaja dini usia 15-19 tahun dan remaja lanjut yang berusia 20-24 tahun.

Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut anak muda (youth) untuk

usia 15-24 tahun, sedangkan pandangan umum di Indonesia tentang remaja adalah

individu yang berusia antara 11-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam terminology

kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun (Kurniawati et al. 2010).

Page 3: penyalahgunaan napza

BAB II

ISI

NARKOTIKA

CODEIN

Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam Oppium

poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan

dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive

dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif,

termasuk morfin, kodein dan papaverin (Nielsen, 2010).

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium.

Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung sekitar 20 jenis

alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama

digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga

memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik

dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan

obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya

kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat (Pharmacy Board

Victoria, 2010).

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik

alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat

yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Tetapi semua analgesik

opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang

ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat

dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Nielsen, 2010).

Yang termasuk golongan obat opioid adalah :

1. obat yang berasal dari opium-morfin

2. senyawa semisintetik morfin

3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat

terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.

Page 4: penyalahgunaan napza

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 23,5 juta orang berusia 12 atau lebih tua memerlukan pengobatan untuk

masalah penggunaan obat-obatan terlarang pada tahun 2009. Dalam laporan

kumpulan data, penyalahgunaan opiat, termasuk kodein, menyumbang persentase

terbesar dari penerimaan terkait Narkotika (sekitar 20 persen). Di Amerika,

kecanduan dan penyalahgunaan kodein sudah sangat umum, dan diperkirakan

mencapai 33 juta pengguna setiap tahun (Robinson, 2010).

ETIOLOGI

Kecanduan kodein dan zat-zat lain yang merupakan kombinasi dari sejumlah faktor

yang bekerja bersama-sama, yaitu (Chew, 2001):

1. Genetik: Individu yang memiliki kerabat - terutama orang tua - yang

kecanduan zat lebih mungkin untuk mengalami masalah kecanduan di

kemudian hari.

2. Otak Kimia: Codeine bekerja dengan berinteraksi dengan neurotransmitter di

otak. Satu teori adalah seseorang yang menyalahgunakan kodein

melakukannya untuk mengatasi kurangnya neurotransmitter yang terjadi

secara alamiah. Kodein dapat digunakan sebagai bentuk pengobatan sendiri

untuk mengatasi kekurangan.

3. Lingkungan: Hipotesis lain adalah anak-anak yang tumbuh di lingkungan

rumah stabil dan dapat terkena penyalahgunaan narkoba dengan melihat orang

tua mereka atau saudara yang lebih tua menggunakan. Mereka belajar bahwa

penyalahgunaan narkoba adalah cara yang dapat diterima untuk mengatasi

masalah emosional dan peristiwa kehidupan yang penuh stres.

4. Psikologis: Kadang-kadang orang yang menjadi kecanduan zat seperti kodein

adalah self-mengobati untuk berurusan dengan gangguan mental yang tidak

diobati. Codeine digunakan dalam upaya untuk mengendalikan efek samping

yang tidak menyenangkan dari gangguan mental yang mendasari.

PATOMEKANISME

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip

morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah

Page 5: penyalahgunaan napza

narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid

endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat

campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantunganfisik

akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian

farmakologik tidak sesuai lagi (Simmons, 2010).

Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui

kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik

menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan

dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada transmisi saraf,

meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal

dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi

anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin

(POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengadung

sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid

yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan (Joyce, 1996; Simmons, 201).

Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid yaitu

mu ( µ ), delta ( δ ), kappa ( ҡ ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis reseptor

yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2, mu3, delta1,

delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan

potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih

dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid

dapat memiliki efek farmakologi yang beragam (Joiyce, 1996; Pharmacy Board

Victoria, 2010).

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong

opioid dibagi menjadi :

1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama

pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor k (contoh : morfin)

2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua

resepor (contoh : nalokson)

3. Opioid dengan kerja campur :

a.       Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa

reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh :

nalorfin, pentazosin)

b.      Agonis parsial (contoh : buprenorfin)

Page 6: penyalahgunaan napza

Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi

nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ diduga meperantarai

analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas

yang tidak adekuat agonis µ. Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor

δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon) yang sangat selektif

terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin.terdapat

bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor δ memegang peranan dalam

menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan oleh opioid. Dari penelitian pada

tikus reseptor δ dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan

reseptor µ dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis

yaitu reseptor µ1 , yang hanya didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan

analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan

reseptor µ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesic

yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan ҡ (Pharmacy

Board Victoria, 2010).

MANIFESTASI KLINIS

Seseorang yang mengalami ketergantungan codeine mungkin mengalami efek

menyenangkan pada saat pemakaian dihentikan. Sementara sebagian besar gejala

dapat dilewati dalam beberapa hari, mungkin diperlukan durasi bebrapa bulan

sebelum merasa secara fisik normal kembali. Efek withdrawal kodein meliputi:

(Simmons, 2010)

1. sakit kepala

2. Nyeri otot

3. insomnia

4. demam

5. Mual dan Muntah

6. berkeringat

7. dehidrasi

8. kelemahan

9. masalah pencernaan

Gejala gejala lain yang menunjukkan gejala ketergantungan codein yaitu

(Simmons, 2010):

Page 7: penyalahgunaan napza

1. Mengantuk terus-menerus

2. kelelahan

3. Keluhan kulit gatal

4. Kehilangan selera makan

5. tidur berlebihan

6. Warna kebiru-biruan pada bibir dan kuku

7. Mual dan pusing

8. Otot berkedut tak terkendali

9. Penarikan dari kegiatan sosial, kehilangan minat dalam hobi

10. Berulang kali meminjam atau meminta uang untuk mendukung kecanduan

TATALAKSANA

Obat sakit seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil) dapat

digunakan untuk membantu meringankan rasa sakit saat terjadi efek withdrawal

ringan. Loperamide (Imodium) dapat membantu mengobati diare. Hydroxyzine

(Vistaril, Atarax) dan obat lain dapat membantu dengan mual. (Nielsen, 2010;

Robinson, 2010)

Jika terjadi efek withdrawal yang berat, clonidine (Catapres, Kapvay, dan lain-lain)

sering digunakan untuk mengurangi kecemasan. Hal ini juga dapat meringankan

(Nielsen 2010):

nyeri otot

berkeringat

ingusan

haid

agitasi

Penggunaan lainnya, opiat yang memiliki efek adiktif ringan dapat mengurangi

beberapa gejala penarikan. Buprenophine (Suboxone, Subutex) adalah antagonis

opioid yang dapat digunakan untuk kodein detoksifikasi.

Untuk kecanduan dan ketergantungan yang berat, beralih ke opioid pmeliharaan

seperti metadon mungkin dapat digunakan. Perawatan detoksifikasi cepat di bawah

anestesi dapat mengurangi intensitas beberapa gejala penarikan. Metode ini juga

menggunakan blocker opioid seperti naltrexone. Namun, prosedur ini datang dengan

Page 8: penyalahgunaan napza

risiko muntah di bawah anestesi, yang merupakan kejadian yang mengancam jiwa

(Robinson, 2010).

PSIKOTROPIKA

AMFETAMIN

Amfetamin (1-metil-2-phenethylamine) pertama disintesis pada tahun 1887

dan merupakan anggota pertama dari kelompok senyawa yang memiliki struktur

serupa dan sifat biologis dan secara kolektif disebut "amfetamin". Kelompok ini juga

termasuk methamphetamine, disintesis enam tahun kemudian, dan 3-4

methylenedioxymethamphetamine (MDMA), dipatenkan pada tahun 1914.

Amfetamin menghasilkan efek utama mereka dengan meningkatkan tingkat sinaptik

dari amine biogenik, dopamin, norepinefrin dan serotonin, melalui beberapa

makanisme (Berman et al, 2008).

Epidemiologi

Penggunaan metamfetamin di Kanada, Meksiko dan Amerika Serikat telah

dikaitkan erat dalam hal produksi dan pasokan obat. Menurut survei nasional mereka,

prevalensi tahunan untuk pemakaian di Kanada pada tahun 2004 adalah 0,8%,

sedangkan di Meksiko pada tahun 2002 0,3% untuk amfetamin dan 0,1% untuk

metamfetamin (Berman et al, 2008).

Mekanisme Kerja

Amfetamin adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak

langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan

katekolamin endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta

adrenergik disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter dari daerah presinap.

Amfetamin klasik mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh

neuron presinap dan menginhibisi aktivitas monoamin oksidase, sehingga konsentrasi

dari neurotransmitter terutama dopamin cenderung meningkat dalam sinaps. Efek

tersebut terutama kuat pada neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental

ventralis ke korteks serebral dan area limbik. Jalur tersebut disebut jalur hadiah

(reward pathway) dan aktifasinya kemungkinan merupakan mekanisme adiksi utama

bagi amfetamin. Amfetamine memiliki waktu paruh (T½) 12-15 jam (Berman et al,

2008; Bramness et al, 2012).

Page 9: penyalahgunaan napza

Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh amfetamine

terhadap ketiga biogenik amin tersebut yaitu (Berman et al, 2008):

Dopamin

Amfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin

yang baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo

amfetamine mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik

dari sinaptosom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.

Norepinefrin

Amfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan

pelepasan norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin

fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamine pada pelepasan re uptake

norepinefrin

Serotonin

Secara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem

serotoninergik. Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5

hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksi indolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar

norepinefrin dan dopamine tidak berubah.

Amfetamin menghambat reuptake dopamin dengan berinteraksi dengan

transporter dopamin (DAT), sehingga meningkatkan konsentrasi dopamin di celah

sinaps [. Amfetamin juga berinteraksi dengan vesikular monoamine transporter 2

(VMAT2), yang menyebabkan peningkatan jumlah dopamine dalam sitosol. Efek

neurotoksik terlihat juga di neuron serotonergik dan noradrenergic (Bramness et al,

2012).

Dosis tinggi amphetamine dan methamphetamine mengubah neuron

dopaminergik yang menginervasi striatum (caudatus-putamen). Pada hewan coba,

dosis tinggi MDMA mengubah neuron serotonergik. Toksisitas dopaminergik

disimpulkan dari defisit dalam penanda fenotip untuk syaraf dopaminergic terminal,

termasuk dopamin itu sendiri, enzim biosintesis yang hidroksilase tirosin dan asam

amino L-aromatik dekarboksilase, dan kedua transporter membran plasma dopamin

(DAT) dan transporter monoamina vesikular (VMAT) . Pada tikus yang diberikan

MDMA, penipisan berlarut-larut dari reseptor 5-HT (serotonin), penurunan

membangkitkan rilis 5-HT, perubahan sekresi hormon, dan perilaku kecemasan yang

terus-menerus juga telah ditafsirkan sebagai bukti neurotoksisitas, meskipun

penafsiran ini tidak konklusif (Berman et al, 2008).

Page 10: penyalahgunaan napza

Manifestasi Klinis

Amfetamine dan metamfetamine dapat memperpanjang masa kewaspadaan,

meningkatkan fokus dan peraasaan berenergi serta mengurangi kelelahan.

Amphetamine dan metamfetamine dapat menghasilkan euforia, menginduksi

anoreksia. Efek samping termasuk kecemasan, agresi, paranoid, hiperaktif,

mengurangi nafsu makan, takikardia, peningkatan denyut, dilatasi pupil takipneu,

peningkatan tekanan darah, sakit kepala, insomnia, jantung berdebar, aritmia dan lain-

lain (Bramness et al, 2012).

Gejala-gejala psikosis yang disebabkan oleh amfetamin sangat mirip dengan

akut psikosis spektrum skizofrenia dan meliputi: kurangnya konsentrasi, delusi,

peningkatan aktivitas motorik, disorganisasi pikiran, insight yang buruk, kecemasan,

kecurigaan dan halusinasi pendengaran (Bramness et al, 2012).

Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk intoksikasi amfetamin menurut DSM-V (Maslim,

2013):

A. Pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan (misalnya methylphenidate)

yang belum lama terjadi.

B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis

(misalnya euforia atau penumpulan afektif, perubahan sosiabilitas,

kewaspadaan berlebihan, kepekaan interpersonal, kecemasan, ketegangan,

atau kemarahan, perilaku stereotipik, gangguan pertimbangan, atau gangguan

fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah

pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan.

C. Dua (atau lebih) hal berikut berkembang selama atau segera sesudah

pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan;

(1) takikardia atau bradikardia

(2) dilatasi pupil

(3) peninggian atau penurunan tekanan darah

(4) berkeringat atau menggigil

(5) mual atau muntah

(6) tanda-tanda penurunan berat badan

(7) agitasi atau retardasi psikomotor

Page 11: penyalahgunaan napza

(8) kelemahan otot, depresi pernapasan, nyeri dada, atau aritmia jantung

(9) konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma

D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental lain

Kriteria diagnostik untuk putus amfetamin menurut DSM-IV (Maslim, 2013):

Penghentian (atau penurunan) amfetamin (atau zat yang berhubungan) yang

sudah lama atau berat

Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, yang

berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:

(1) kelelahan

(2) mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan

(3) insomnia atau hipersomnia

(4) peningkatan nafsu makan

(5) retardasi atau agitasi psikomotor

Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara

klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain

Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan

oleh gangguan mental lain

ZAT ADIKTIF

ALKOHOL

Alkohol adalah sekelompok senyawa yang terdiri atas ethyl alcohol, methyl

alcohol, ethylene glycol, isopropyl alcohol; dimetabolisme oleh alcohol

dehidrogenase. Etanol/etil alkohol merupakan cairan tidak berwarna, jernih, berbau

khas dan merupakan komponen minuman keras dengan berbagai konsentrasi. Zat ini

banyak dipakai di bidang kesehatan sebagai desinfektans. Etilen glikol adalah larutan

alkohol yang tidak berbau, terasa manis dan sering dipakai untuk antifreezing dan

deicing. Etilen glikol biasa digunakan untuk cairan transmisi, rem dan kosmetik

tertentu. Keracunan alkohol dapat mengakibatkan gangguan sistim saraf pusat yang

berat, gangguan abdomen dan ginjal bahkan kematian (Wibisono, AS. 2012).

Epidemiologi

Page 12: penyalahgunaan napza

Di indonesia terutama di daerah Indonesia Timur dan beberapa tempat di

daerah Sumatera, terdapat antara 2-3 juta orang yang menggunakan minuman alkohol

dari ringan sampai berat. Laki-laki lebih banyak mengkonsumsi alkohol dari

perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dari tahun ke tahun dan

pengguna alkohol usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan

(Kaplan & Sadock. 2007; Husin. 2013).

Etiologi

Ada beberapa teori yang mendasari penyebab dari penyalahgunaan alcohol

antara lain (Kaplan & Sadock. 2007) :

Teori psikologi

Banyak teori mengatakan pengunaan alkohol adalah untuk mengurangi stress,

meningkatkan percaya diri, dan menurunkan rasa sakit secara psikologi.

Penggunaan alkohol juga dikatakan dapat melegakan kekecewaan ataupun

frustasi yang dapat mengembalikan fungsi hidup seseorang

Teori perilaku

Harapan terhadap efek alkohol yang menyenangkan dan perilaku kognitif

seseorang terhadap tanggungjawabnya yang berkurang memperkuat dorongan

untuk mengkonsumsi alkohol.

Teori sosio-kultural

Di indonesia terutama di daerah Indonesia Timur dan beberapa tempat di

daerah Sumatera mengkonsumsi alkohol atas dasar adat-adat tertentu.

Penggunaan alkohol dipengaruhi oleh sifat atau bentuk hubungan dari

kelompok teman. Makin seseorang berhubungan dengan kelompok, makin

berorientasi pada kelompok tersebut. Oleh karena itu, penyalahgunaan alkohol

banyak terjadi pada remaja, karena remaja lebih mengutamakan teman.

Teori masa anak

Anak yang mempunyai orang tua yang menghidap gangguan penyalahgunaan

alkohol mempunyai risiko yang tinggi untuk menyalahgunakan alkohol.

Page 13: penyalahgunaan napza

Mekanisme kerja

Berikut beberapa mekanisme kerja dari alcohol ( DSM-IV, 1994) :

a) Absorpsi

Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan

sisanya di usus kecil. Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai

dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam 45-60 menit, tergantung apakah

alkohol diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan absorbsi atau

diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi.

Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga

merupakan suatu faktor selama alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat

menurunkan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat

15-30% (kemurnian -30 sampai -60).

Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai

contoh, jika konsentrasi alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung,

mukus akan disekresikan dan katup pilorik ditutup, hal tersebut akan

memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi,

sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama

berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan

muntah.

Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Jaringan yang mengandung proporsi

air yang tinggi memiliki konsentrasi alkohol yang tinggi. Efek intoksikasi

menjadi lebih besar jika konsentrasi alkohol didalam darah tinggi.

b) Metabolisme

Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya

dieksresikan tanpa diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di

hati konstan dan tidak tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu

memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan rentan berkisar antara

10-34 mg/dl per jamnya.

Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol

dehidrogenase (ADH) dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi

konversi alkohol menjadi asetilaldehida yang merupakan senyawa toksik.

Page 14: penyalahgunaan napza

Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida menjadi asam

asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram ( An-tabuse), yang

sering digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH

yang lebih rendah dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita

cenderung menjadi lebih terintoksikasi dibanding laki-laki setelah minum

alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim yang

memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi

intoksikasi alkohol dan gejala toksik.

c) Ekskresi

Alkohol yang dikonsumsi 10% akan dikeluarkan dalam bentuk utuh melalui

urin, keringat dan udara napas. Dari jumlah ini sebagian besar dikeluarkan melalui

urin (90%).

Farmakodinamik

Alkohol menyebabkan presipitasi dan dehidrasi sitoplasma sel sehingga

bersifat sebagai astringen. Makin tinggi kadar alkohol makin besar efek tersebut. Pada

kulit alkohol menyebabkan penurunan temperatur akibat penguapan, sedangkan pada

mukosa, alkohol akan menyebabkan iritasi dan inflamasi.

Manifestasi Klinis

Ada beberapa gambaran klinis dari penyalahgunaan alkohol antara lain (Husin. 2013):

Intoksikasi: euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi, hipotensi, kejang,

koma. Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif.

Keadaan putus alkohol: halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, Delirium

Tremens, gementar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan

hipertensi.

Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus

peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin, fetal

alcohol syndrome.

Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia.

Page 15: penyalahgunaan napza

Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan

tindak kekerasan.

Terdapat perbedaan antara penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol, antaranya

(Husin. 2013):

Pada penyalahgunaan, seseorang akan mengkonsumsi alkohol dengan banyak

dan berlebihan tetapi tidak ada sindrom putus alkohol.

Pada ketergantungan, seseorang itu harus minum setiap setiap hari, atau tiap

masa ataupun dia harus minum dalam dosis yang lebih tinggi untuk

mendapatkan efek yang sama. Dapat terjadi sindrom putus alkohol.

Diagnosis

A. Menurut DSM-IV-TR

Kriteria DSM-IV-TR menyatakan, semua gangguan terkait zat menggunakan

kriteria yang hampir sama untuk penyalahgunaan dan ketergantungan. Kebutuhan

mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak untuk hidup normal, pola

pengambilan yang banyak yang terbatas pada hujung minggu dan memakan waktu

yang lama untuk kembali tenang, adalah antara manifestasi ketergantungan dan

penyalahgunaan alcohol (APA. 2000)

Tabel 1. Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan AlkohoL (APA. 2000)

Satu atau lebih daripada kriteria dibawah ini terlihat kapan saja dalam

periode 12 bulan:

A. Penggunaan alkohol menyebabkan kegagalan untuk memenuhi kewajiban

yang utama.

B. Penggunaan yang berulang pada situasi yang berbahaya secara fisik

(seperti membawa mobil dalam keadaan mabuk).

C. Berulang kali terkait dengan masalah hukum berkenaan dengan alkohol.

D. Menggunakan secara berterusan meskipun terdapat masalah sosial atau

interpersonal yang berulang.

Page 16: penyalahgunaan napza

E. Tidak memenuhi kriteria untuk ketergantungan alkohol.

Tabel 2. Kriteria DSM-IV-TR untuk Intoksikasi Alkohol (APA. 2000)

A. Mengkonsumsi alkohol baru-baru ini

B. Perubahan psikologi atau perilaku maladaptif, yang berarti secara klinis

(contohnya, perilaku seksual yang tidak normal atau tindakan kekerasan,

perubahan mood, daya pertimbangan terganggu, fungsi sosial atau pekerjaan

terganggu) yang terjadi ketika, atau setelah mengkonsumsi alkohol.

C. Satu (atau lebih) gejala, berkembang setelah, atau pada saat mengkonsumsi

alkohol:

1. Bicara cadel/tidak jelas

2. Kehilangan koordinasi

3. Cara berjalan yang goyah/tidak stabil

4. Nistagmus

5. Penurunan perhatian atau memori

6. Stupor atau koma

D. Gejala tidak disebabkan oleh keadaan medis umum dan tidak disebabkan oleh

gangguan mental lainnya

B. Menurut PPDGJ-III

Pedoman diagnostik untuk intoksikasi akut (F10.0):

1. Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis zat yang digunakan

(dose-dependent), individu dengan kondisi organik tertentu yang

mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil

dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional.

2. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu

dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara

keagamaan).

3. Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat

penggunaan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan

Page 17: penyalahgunaan napza

kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan

respons psikofisiologis lainnya.

Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya

efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian

orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang

rusak atau terjadi komplikasi lainnya.

Pedoman diagnostik untuk penggunaan yang merugikan (F10.1):

1. Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat

berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui

suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi

sekunder karena konsumsi berat alkohol).

2. Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan

seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan.

3. Tidak ada sindrom ketergantungan (F10.2), gangguan psikotik (F10.5) atau

bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat

atau alkohol.

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

A. Detoksifikasi

Benzodiazepin adalah obat pilihan bagi untuk detoksifikasi karena mempunyai

efek samping yang relatif kecil. Benzodiazepin kerja lama seperti chlordiazepoxide

dan diazepam adalah standar untuk detoksifikasi tanpa komplikasi. Bila dosis inisial

cukup tinggi (>60 mg diazepam dalam 24-36 jam) digunakan, obatan ini akan di

tapering sendiri. Benzodiazepin kerja cepat seperti lorazepam direkomendasikan

hanya untuk pasien dengan penyakit hati, gangguan kognitif, masalah medis yang

tidak stabil atau lansia. Obat ini harus di tapered dalam waktu 4 hingga 8 hari, akan

tetapi ia dimetabolisme menjadi bentuk glukoronid dan dengan cepat diekskresi oleh

ginjal, memberikan flexibility dalam mengobati pasien yang tidak stabil (Renner &

Bierer. 1999).

B. Medikasi jangka panjang

Page 18: penyalahgunaan napza

Naltrekson adalah sejenis antagonis opiad yang digunakan untuk menurunkan rasa

keinginan dan relaps. Diberikan dengan dosis 50 mg per hari, obat ini sangat baik

untuk pasien yang mengaku mempunyai keinginan yang kuat untuk minum alkohol.

Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien pecandu opiat atau dengan penyakit

hati.Disulfiram menghambat metabolisme alkohol, dan menyebabkan peningkatan

kadar asetaldehid. Dosis 250 mg per hari secara oral dapat menyebabkan takikardi,

dipsnea, mual dan muntah jika pasien mengkonsumsi alkohol. Obat ini baik buat

pasien yang mempunyai motivasi tinggi. Disulfiram juga menghambat dopamine

beta-hydroxylase dan akan mengakibatkan gejala psikosis pada pasien skizofrenia

(Renner&Bierer1999).

Non Medika Mentosa

Antara salah satu pengobatan non medika mentosa adalah dengan memberikan

motivasi dan kaunseling kepada pasien. Motivasi diberikan sewaktu proses intervensi

dan juga rehabilitasi. Langkah-langkah ini antara lain (Schuckit, 2000) :

Memberi edukasi kepada pasien dan juga keluarganya tentang

penyalahgunaan alkohol dan juga masalah yang mungkin dihadapi pada

masa depan. Keluarga memainkan penting dalam memastikan keberhasilan

pasien untuk berobat.

Menekankan soal tanggungjawab diri, keluarga dan sosial kepada pasien

dan segala perkara yang dilakukan adalah hasil daripada perbuatannya

sendiri.

Memberi motivasi kepada pasien tentang obatan lain yang diberikan

(contohnya disulfiram) dapat membuatkan pasien sukar untuk kembali

mengkonsumsi alkohol dan memudahkan proses rehabilitasi.

Tidak cukup sekedar motivasi, pasien harus menjalani fase aktif berhenti minum

alkohol. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain harus fokus dalam terapi

berdasarkan perilaku pasien itu sendiri. Berikan pasien tersebut obatan yang dapat

membuatkannya tenang, dan disamping itu cubalah untuk berhenti daripada bertemu

dengan peminum lainnya. Berikan juga dukungan dan berfikir positif dalam setiap

aspek supaya pasien dapat melalui hari-hari tanpa mengkonsumsi alcohol ( Renner &

Bierer. 1999).

Page 19: penyalahgunaan napza

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Page 20: penyalahgunaan napza

Fenomena penyalahgunaan napza adalah fenomena ice berg (gunung es)

artinya jumlah penderita penyalahgunaan napza yang tampak dipermukaan lebih kecil

dibanding dengan yang tersembunyi (kasus yang tak nampak). Telah banyak usaha

yang dilakukan oleh banyak orang dan para ahli bahkan dari banyak negara tetapi

korban penyalahgunaan napza masih saja terus terjadi. Maraknya korban

penyalahgunaan napza dibanyak tempat itu membuktikan bahwa usaha yang

dilakukan belum mampu mencegah penyalahgunaan napza itu secara optimal. Banyak

hal dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan napza

tersebut, oleh karena itu penyalahgunaan napza selalu bersifat multifaktorial. Dengan

demikian pendekatan yang dilakukan harus pula bersifat multidisipliner, tidak

mungkin hanya dengan pendekatan disiplin tunggal.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental

disorders: DSM-IV-TR. Washington, DC; American Psychiatric Association:

2000.

Page 21: penyalahgunaan napza

Berman S, O’Neill J, Fears S, et al, 2008. Abuse of Amphetamine and Structural

Abnormalities in Brain. Ann N Y Acad Sci. 1141:195-220 Available from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2769923/ [Accessed on May 7th

2015

Bramness JG, Gundersen OH, Guterstam J, et al, 2012. Amphetamine-Induced

Psychosis – a Separate Diagnostic Entity or Primary Psychosis Triggered in the

Vulnerable. BMC Psychiatry. 12:221

Chew, M., White, J., Somogyi, A., Bochner, F., & , & Irvine, R. (2001). Precipitated

withdrawal following codeine administration is dependent on CYP genotype.

European journal of pharmacology, 425(3), 159 -164.

DSM-IV, Dignostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4. Hak cipta

American Psyciatric Association, Washington 1994

Husin BA, Siste K. Gangguan penggunaan zat. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta; FK UI:

ed. 2. 2013.

Joyce, L. dan Evelyne, H. 1996. Farmakologi. Jakarta: EGC

Kaplan, Harold I, MD, Sadock Benjamin J, MD,Sinopsis Psikiatri-ilmu pengetahuan

perilaku psikiatri klinis. Edisi ke-7.

Kurniawati et al. 2010. ALCOHOL, SMOKING AND SUBSTANCE

INVOLVEMENT SCREENING TEST AT D3 ENGINEERING FACULTY

STUDENTS OF GADJAH MADA UNIVERSITY. Page 90-99

Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-

III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Atma Jaya

Maslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT Nuh Jaya

Pharmacy Board Victoria. (2010). Guidelines for Good Pharmaceutical Practice 2010.

from http://www.pharmacybd.vic.gov.au/news.php

Renner JA, Bierer MF. Approach to the alcohol-abusing patient. The MGH Guide to

Psychiatry in Primary Care. New York; Mc Graw Hill: 1999. h. 47-57.

Robinson, G. M., Robinson, S., McCarthy, P., & Cameron, C. 2010. Misuse of over-

the-counter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse

effects. Journal of the New Zealand Medical Association, 123, 1317.

Simmons, A. (2010). Codeine Crackdown comes into effect. Diakses tanggal 8 Mei

2014, from

http://www.abc.net.au/news/stories/2010/2005/2001/2887640.htmKee Joyce

Page 22: penyalahgunaan napza

Schuckit MA. Drug and Alcohol Abuse, A Clinical Guide to Diagnosis and

Treatment, 5th ed. New York; Springer Science Business Media: 2000. h. 311-

315.

Wibisono, AS. 2012. Laporan kasus : keracunan “alcohol beracun”. Akses 08 Mei

2015 available at

http://perdici.org/wp-content/uploads/mkti/2012-02-02/mkti2012-0202-

109115.pdf