penyakit paru obstruktif kronis

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor. PPOK memiliki suatu karakteristik berupa keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Namun pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4% dan angka kematian mencapai 6%, sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan angka kematian 4%, dengan umur penderita di atas 45 tahun. National Health Interview Survey mendapatkan, sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat inap di rumah sakit. Dan berdasarkan temuan The Tecumseh Community Health Study, PPOK menyumbang 3% dari seluruh kematian dan merupakan urutan kelima penyebab kematian di Amerika. Pada tahun 1992, 1

Upload: prima-randisa-sativa

Post on 02-Jul-2015

1.367 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu gangguan

yang kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor. PPOK memiliki suatu

karakteristik berupa keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya

reversibel. Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang kekerapan

PPOK. Namun pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI

1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkitis kronis dan

emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di

Indonesia. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4% dan

angka kematian mencapai 6%, sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan

angka kematian 4%, dengan umur penderita di atas 45 tahun. National

Health Interview Survey mendapatkan, sebanyak 2,5 juta penderita

emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan

30% lebih memerlukan rawat inap di rumah sakit. Dan berdasarkan temuan

The Tecumseh Community Health Study, PPOK menyumbang 3% dari

seluruh kematian dan merupakan urutan kelima penyebab kematian di

Amerika. Pada tahun 1992, Thoracic Society of the Republic of China (ROC)

menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun

1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi, serta

menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan.3

Berbagai faktor dapat berperan dalam peningkatan kejadian PPOK,

baik sebagai faktor resiko serta sebagai faktor pencetus timbulnya PPOK.

Faktor paling utama sebagai faktor resiko PPOK adalah kebiasaan merokok.

Di Negara-negara maju tercatat bahwa 80-85% penderita PPOK adalah

perokok. Namun hanya 15% perokok yang menderita PPOK dengan gejala

1

Page 2: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

klinis nyata sedangkan sisanya bermanifestasi keterbatasan jalan napas

tanpa disertai sesak, batuk dan produksi sputum berlebihan. Kebiasaan

merokok yang masih tinggi ini terjadi pada umur diatas 15 tahun yaitu sekitar

60-70%. Tidak hanya kebiasaan merokok, paparan asap rokok pada perokok

pasif juga dapat menjadi faktor yang dapat menimbulkan PPOK, meskipun

belum ada studi khusus yang meneliti tentang PPOK dan perokok pasif.

Faktor-faktor lain yang dapat menjadi pemicu adalah faktor lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, partikel yang dapat menjadi

pencetus timbulnya PPOK antara lain debu, gas, asap kendaraan, dan

bahan-bahan antigen lain. Pengaruh industrialisasi dan pengaruh paparan

polusi udara terutama di kota-kota besar juga dapat memiliki dampak yang

cukup besar terhadap penyebab timbulnya PPOK.3

Faktor jenis kelamin juga dapat menjadi faktor resiko, data dari

National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) I dan

NHANES III memperkirakan kemungkinan terjadinya PPOK lebih tinggi pada

laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kesimpulan ini diambil dari data

spirometri. Dan angka kejadian akan terus meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Usia juga dapat sebagai faktor resiko timbulnya PPOK.

Adanya peningkatan usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-

an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an dapat menjadi penyebab

peningkatan pasien PPOK.3

B. Tujuan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk memberikan

gambaran secara singkat mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

meliputi definisi, faktor resiko, patogenesis, penegakan diagnosis dan

penatalaksanaan terhadap Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

2

Page 3: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang

bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.4

B. Penyebab PPOK

Ada 2 (dua) penyebab dari penyumbatan aliran udara pada penyakit

ini, yaitu emfisema dan bronkitis kronis.

Gambar I. Paru normal dibandingkan PPOK

3

Page 4: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

1. Emfisema

Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh

pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding

alveoli atau suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang

disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal,

sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli),

membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap

terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga

bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat

udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara

menyempit dan sifatnya menetap.4

Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli.

Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang

menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih

yang akan menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang

akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli.Merokok akan

mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu

dengan cara merusak sel-sel seperti rambut (silia) yang secara normal

membawa lendir ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan

beracun.2

Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang

peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase.

Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang

tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga

emfisema terjadi pada awal usia pertengahan (terutama pada perokok). 2

Gambar II. Gambaran paru emfisema

4

Page 5: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

2. Bronkhitis kronis

Bronkitis kronis adalah Kelainan saluran napas yang ditandai oleh

batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya

dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. merupakan

batuk menahun yang menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak

dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui

(misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan

jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan

kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara.2

Gambar III. Gambaran paru bronkhitis

5

Page 6: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

C. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang

menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.

Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan

faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas

dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1

antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga

dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru

dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.

Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan

dengan risiko mendapatkan PPOK.5

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.

Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru

6

Page 7: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan

perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok

akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor

genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor

risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang

cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok.5

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose

response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan

lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang

ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat

pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan

jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun

artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan

menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,

asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor),

seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan,

dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi,

gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara

merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor

polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi

dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar

biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor

risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya

PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat

pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan

sosioekonomi.5

Gambar IV. Mekanisme rokok menyebabkan PPOK

7

Page 8: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

D. Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu

pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran

karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga

tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan

keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas

antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi

darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan

restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi

berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering

dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),

sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi

paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama

terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).4

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen

asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.

8

Page 9: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau

disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil

mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan

menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian

mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang

memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya

peradangan.4

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya

peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara

progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya

elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.

Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi

akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan

demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di

dalam paru dan saluran udara kolaps.4

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK

predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk

melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak

diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan

(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran

gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi

berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi,

dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi

hipoksik pada arteriol.4

9

Page 10: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

E. Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan

dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK

sesuai derajat penyakit.

1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),

dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun

polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab

kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien

merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.

Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu

perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama

merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200),

sedang (200-600), dan berat ( >600).6

b. Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi

ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala

yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang

timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.

Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa

disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering

dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien

sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif

lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak

10

Page 11: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala

sesak menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 1).4

Tabel I. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1

tingkat3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah

beberapa menit5 Sesak bila mandi atau berpakaian

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

Penggunaan otot bantu napas

Hipertropi otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis

leher dan edema tungkai

Penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada emfisema,

penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips

breathing) atau blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik,

penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di

basal paru, sianosis sentral dan perifer)

b. Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

c. Perkusi

11

Page 12: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

d. Auskultasi

suara napas vesikuler normal, atau melemah

terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa

ekspirasi memanjang

bunyi jantung terdengar jauh 6

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak

tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,

dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi

dan sore, tidak lebih dari 20%.4

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa

hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun

kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK

ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan

diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari

keluhan pasien.4

c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum

12

Page 13: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan

klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu:

Tabel II. Klasifikasi PPOK.

Klasifikasi Penyakit

Gejala Klinis Spirometri

PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk-Dengan atau tanpa produksi

sputum-Sesak napas derajat sesak 1

sampai derajat sesak 2

-VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)

-VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk-Dengan atau tanpa produksi

sputum-Sesak napas derajat 3

-VEP1/KVP < 70%-50% ≤ VEP1 < 80%

prediksi

PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5

-Eksaserbasi lebih sering terjadi

-VEP1/KVP < 70%-30% ≤ VEP1 < 50%

prediksi

PPOK Sangat Berat

-Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas

kronik-Eksaserbasi lebih sering

terjadi-Disertai komplikasi kor

pulmonale atau gagal jantung kanan

-VEP1/KVP <70%-VEP1 < 30% prediksi,

atau-VEP1 < 50% dengan

gagal napas kronik

Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial

(biasanya karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung,

aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak

tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat,

penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk,

lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada

stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).6

13

Page 14: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien

sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Faktor risiko yang signifikan

adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien

dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367

meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan

perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg,

dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.

Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi

sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum.

Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga

tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II

(eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III

(eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi

saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan

batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%

baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.6

F. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma

pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau

gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal

jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel III. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK,

asma bronkial dan gagal jantung kronik

PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung Kronik

Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usiaRiwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak ada

14

Page 15: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Pola sesak napas

Terus menerus, bertambah berat dengan aktivitas

Hilang timbul Timbul pada waktu aktivitas

Ronki Kadang-kadang + ++Mengi Kadang-kadang ++ +

Vesikular Melemah Normal MeningkatSpirometri Obstruksi ++

Restriksi +Obstruksi ++ Obstruksi +

Restriksi ++Reversibilitas < ++ +

Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung kongestif

G. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan :

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kualitas hidup penderita

Tatalaksana PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana

eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya.

Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang

pada PPOK. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.

Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari

edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan

perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat

reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari

edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.6

15

Page 16: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

c. Mencapai aktiviti optimal

d. Meningkatkan kualiti hidup

2. Obat – obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator

dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada

penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).6

Macam - macam bronkodilator :

Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai

bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,

tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi

subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,

karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah

penderita.

16

Page 17: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka

panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa

atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan

bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka

panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.1

c. Antibiotika

Lini I :

- Amoksisilin

- Makrolid

Lini II :

- amoksisilin dan asam klavulanat

- sefalosporin

- kuinolon

- makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih

Amoksilin dan klavulanat

Sefalosporin generasi II & III injeksi

Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas

Aminoglikose per injeksi

17

Page 18: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Kuinolon per injeksi

Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,

digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi

yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.6

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan

sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,

tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.1

f. Antitusif

Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.

Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.1

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen

merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi

seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ

lainnya. Manfaat oksigen1 :

Mengurangi sesak

Memperbaiki aktiviti

Mengurangi hipertensi pulmonal

Mengurangi vasokonstriksi

Mengurangi hematokrit

Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

Meningkatkan kualiti hidup

18

Page 19: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Indikasi :

Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor

Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal

jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.

Macam terapi oksigen :

Pemberian oksigen jangka panjang

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.

Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat

berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen

diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat

ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di

rumah dibedakan :

Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =

LTOT )

Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan

stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap

hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada

waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita

tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak

napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan

analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai

saturasi oksigen di atas 90%.

19

Page 20: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Alat bantu pemberian oksigen

Nasal kanul

Sungkup venture

Sungkup rebreathing

Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan

kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan

gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada

pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat

digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik

dapat dilakukan dengan cara 1 :

ventilasi mekanik dengan intubasi

ventilasi mekanik tanpa intubasi

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena

bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang

meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi

hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena

berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis

gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan1 :

Penurunan berat badan

Kadar albumin darah

20

Page 21: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Antropometri

Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot

pipi)

Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak

akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat

mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan

keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila

perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)

dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa

tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya,

protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan

respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK

dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan

kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK

karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari

gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah 1 :

Hipofosfatemi

Hiperkalemi

Hipokalsemi

Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan

pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan

waktu pemberian yang lebih sering.

H. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor

21

Page 22: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah

berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal.

Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas

dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam,

dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang

berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi

infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi

lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor

pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat

disertai gagal jantung kanan.6

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Paru Obtruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang bersifat

progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel

atau gas yang beracun / berbahaya. Kebiasaan merokok, usia pertengahan

dan hidup dilingkungan dengan kondisi udara yang kurang sehat bisa

menjadi faktor resiko terjadinya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Penatalaksanaan PPOK yang baik akan meningkatkan kualitas hidup

penderitanya.

22

Page 23: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society and European Respiratory Society.

Standart for the diagnosis and management of patients with

COPD; 2001.

2. Baratawidjaja, G.K. Bronchitis kronis, dalam Soeparman Ilmu

Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI ; 1990.

3. Candly. Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Eksaserbasi Akut di RSUP H Adam Malik Medan. Medan :

Universitas Sumatera Utara ; 2010.

4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global

Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of

Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical

Communications Resources ; 2009. Available from:

http://www.goldcopd.org [Accessed 23 march 2011].

23

Page 24: Penyakit Paru Obstruktif Kronis

5. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C. Risk

Factors. In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of

Chronic Obstructive Pulmonary Disease. London: BC Decker

Inc ; 2002.

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi

Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia ; 2003. Available from:

http://www.klik pdpi .com/konsensus/konsensus- ppok / ppok .pdf

[Accessed 23 March 2011]

24