penilaian ekon wisata bahari di pul provins t sekolah institut pe b

158
PENILA WISATA BAH IN AIAN EKONOMI DAN DAYA DUKU HARI DI PULAU PARI KEPULAUA PROVINSI DKI JAKARTA TRIYONO SEKOLAH PASCASARJANA NSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 UNG AN SERIBU

Upload: truongcong

Post on 31-Dec-2016

241 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

TRIYONO

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2013

PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

TRIYONO

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2013

PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

TRIYONO

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBERINFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Ekonomi dan

Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI

Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Triyono

NIM H352100021

ABSTRACT

TRIYONO. The Economic Assessment and Carrying Capacity of Pari IslandMarine Tourism in Thousand Islands of DKI Jakarta Province. Supervised byACHMAD FAHRUDIN and SUHARSONO.

The economic assessment and carrying capacity of Pari island marinetourism in Thousand islands of DKI Jakarta province are intended to determinethe land suitability of Pari island for the marine tourism, to estimate the physicalcarrying capacity of Pari island for the marine tourism, to estimate the economicvalues of Pari island for the marine tourism and the economic impacts for thelocal people. The analysis of tourism land suitability shows that the group of Pariisland in accordance with the parameter of brightness and flow velocity is reallyappropriate with the parameter of the types of coral reefs and reef fish species, isappropriate with margin and is sufficiently appropriate with the live coral cover;and in accordance with the width parameter is of the potential for 361,5 ha divingand 939,55 ha snorkeling activities. The carrying capacity of the group of Pariisland for diving tourism is 1.287 people/day, for snorkeling tourism is 2.787people/day, for mangrove tourism is 504 people/day, and for beach tourim is2.572 people/day. The results showed the total economic value of marine tourismin Pari island about 12.365.824.221,25 IDR or 192.314.529,10 IDR perhectare/year. Keynesian Local Income Multiplier value of cash flow marinetourism activities in Pari Island showed a value of 1,48, Income Multiplier RatioType I and Income Multiplier Ratio Type II with value of 1,09, and 1,14.Therecommendations for the marine tourism development in Pari island are amongother: the settlement of land ownership status; involvement, capacitydevelopment, and community empowerment; the opening of direct transportaccess toward Pari island; the improvement of infrastructures and tourismsupporting facilities.

Keywords : Carrying Capacity, Economic Assessment, Economic Impacts,Marine Tourism, Pari Island

RINGKASAN

TRIYONO. Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau PariKepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDINdan SUHARSONO.

Pulau Pari adalah gugusan pulau yang di atas terumbu karangnya berdiriPulau Pari itu sendiri dan pulau-pulau kecil lainnya yakni Pulau Burung, PulauTikus, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi. Kawasan ini memiliki potensi alam yangindah serta memiliki tiga ekosistem tropis yang lengkap yakni hutan mangrove,padang lamun, dan terumbu karang termasuk keanekaragaman sumberdaya hayatilainnya. Gugusan pulau yang berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan inisedang berkembang wisata baharinya. Perkembangan wisata bahari yang ditandaidengan meningkatnya jumlah pengunjung tentunya membawa dampak ekonomibagi masyarakat sekitar. Mengingat potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pariuntuk kegiatan pariwisata maka penelitian yang berkaitan dengan penilaianekonomi dan daya dukung wisata bahari di wilayah ini sangat penting dilakukan.Penelitian ini memiliki tujuan yaitu : (1) menentukan kesesuaian lahan Pulau Pariuntuk wisata bahari, (2) mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untukwisata bahari, (3) mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dandampak ekonominya bagi masyarakat lokal.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Pari Kecamatan Kepulauan SeribuSelatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta yangdipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa wisata bahari sedangberkembang di wilayah ini. Evaluasi lahan digunakan untuk mengetahuikesesuaian lahan di Pulau Pari untuk wisata bahari. Konsep daya dukung kawasandigunakan untuk mengetahui daya dukung fisik kawasan wisata bahari di PulauPari. Estimasi nilai ekonomi keberadaan wisata bahari di Pulau Pari menggunakanmetode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM) dan dampakekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal diukur menggunakan efekpengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi.

Potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari menjadi daya tarikwisatawan sebagai objek wisata bahari. Analisis kesesuaian lahan untukpariwisata bahari menunjukkan gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameterkecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis terumbukarang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai untuk tutupankarang hidupnya serta menurut parameter kedalamannya memiliki potensi untukkegiatan selam seluas 361,5 ha dan snorkeling seluas 939,55 ha. Daya dukungfisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari menunjukkan jumlahmaksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakanatau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari untuk wisata selam, 2.787orang/hari untuk wisata snorkeling, 504 orang/hari untuk wisata mangrove, dan2.572 orang/hari untuk wisata pantai.

Wisata bahari di Pulau Pari memberikan dampak ekonomi yang nyata bagimasyarakat lokal dengan munculnya unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhanwisatawan yang berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lokal dari masyarakatPulau Pari. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objekwisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp.

192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilaidaya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp.171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per hektar per tahun.

Besarnya dampak ekonomi langsung, tidak langsung, dan inducedditunjukkan oleh nilai multiplier dimana Nilai keynesian local multiplier darialiran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti bahwadengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjungdan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- makapengeluaran wisatawan setiap bulannya akan memberikan dampak pendapatanpada masyarakat lokal sebesar Rp. 576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuaidengan nilai daya dukung fisik akan memberikan dampak peningkatanpendapatan masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio incomemultiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinyapeningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran pengeluranwisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada totalpendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung(berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio incomemultiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinyapeningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatansebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampaklangsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha,pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Rekomendasibagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya antara lain :penyelesaian status kepemilikan lahan; pelibatan, peningkatan kapasitas, danpemberdayaan masyarakat; penguatan peraturan dan kelembagaan; pembukaanakses langsung transportasi menuju Pulau Pari; peningkatan pra sarana dan saranapendukung wisata; dan kajian spasial serta dampak wisata bahari terhadap kualitaslingkungan dan perairan Pulau Pari.

Kata Kunci : Dampak Ekonomi, Daya Dukung, Pulau Pari, Penilaian Ekonomi,Wisata Bahari

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganIPBDilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

TRIYONO

TesisSebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Sainspada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Judul Tesis : Penilaian Ekonomi dan Daya DukungWisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan SeribuProvinsi DKI Jakarta

Nama : TriyonoNIM : H352100021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Prof (R) Dr SuharsonoKetua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program StudiEkonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 8 Januari 2013 Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012 ini

adalah wisata bahari, dengan judul Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata

Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin dan

Bapak Prof (R) Dr Suharsono selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Luky

Adrianto, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan

penulis sampaikan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah

memberikan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan studi pascasarjana pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana

IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Tridoyo

Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi dan rekan-rekan PS. ESK 2010

yang selalu memberikan motivasi dan dukungan. Tak lupa pula penghargaan

penulis sampaikan kepada seluruh staf UPT Loka Pengembangan Kompetensi

Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan pelaku usaha wisata bahari

serta semua pihak di Pulau Pari yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang

telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

Triyono

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 2 April 1983 dari ayah

Sochib Hadi Pranoto dan Ibu Sriningsih (Alm). Penulis merupakan putra ketiga

dari tiga bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari Program Studi Manajemen Agribisnis IPB

dan pada tahun 2006 lolos sebagai calon PNS di UPT Loka Pengembangan

Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan sampai saat

ini tercatat sebagai PNS dengan jabatan sebagai Kandidat Peneliti di satuan kerja

tersebut. Pada tahun 2010 melalui program beasiswa dari Kementrian Negara

Riset dan Teknologi, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi

pascasarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan

Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkulihaan, penulis tetap aktif membantu Program

Pendidikan dan Kesiapsiagaan Masyarakat menghadapi bencana atau disebut

Program Community Preparedness (COMPRESS) LIPI dan menghasilkan

beberapa buku terkait kesiapsiagaan bencana. Penulis berkesempatan mengikuti

kerjasama dengan peneliti Jepang dalam proyek penelitian tentang bencana gempa

bumi dan gunung api serta berkesempatan mengikuti simposium internasional di

Jepang.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

I. PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang 11.2. Perumusan Masalah 41.3. Tujuan Penelitian 51.4. Manfaat Penelitian 51.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 6

II. TINJUAN PUSTAKA 72.1. Ekonomi Pariwisata 72.2. Wisata Bahari 122.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung

Wisata Bahari 162.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 222.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN 30

IV. METODE PENELITIAN 334.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 334.2. Jenis dan Sumber Data 334.3. Metode Pengambilan Contoh 354.4. Metode Analisis 35

4.4.1.Kesesuaian Lahan 354.4.2.Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari 364.4.3.Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 374.4.4.Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi

Masyarakat Lokal 39

V. KONDISI UMUM PULAU PARI 415.1. Lokasi Penelitian 415.2. Kondisi Kependudukan 42

5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 425.2.2.Tingkat Pendidikan Penduduk 445.2.3.Mata Pencaharian 46

5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari 47

VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNGFISIK KAWASAN WISATA BAHARI 546.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk

Pariwisata Bahari 546.1.1.Kecerahan Perairan 556.1.2.Kedalaman 576.1.3.Kecepatan Arus 596.1.4.Tutupan Karang Hidup 606.1.5. Jenis Terumbu Karang 646.1.6. Jenis Ikan Karang 65

6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata BahariPulau Pari 67

VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI 737.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari 73

7.1.1.Mangrove 737.1.2.Terumbu Karang 747.1.3.Padang Lamun 767.1.4.Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove,

Lamun dan Terumbu Karang 767.2. Karakteristik Wisatawan 777.3. Persepsi Wisatawan terhadap Wisata Bahari 817.4. Pendugaan Fungsi Permintaan 857.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari 89

VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAPMASYARAKAT LOKAL 928.1. Dampak Ekonomi Langsung 978.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung 1038.3. Dampak Ekonomi Induced 1058.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier 1068.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat

di Pulau Pari 109

IX. SIMPULAN DAN SARAN 1129.1. Simpulan 1129.2. Saran 113

DAFTAR PUSTAKA 115

LAMPIRAN 119

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Sumber Data 34

2 Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari 36

3 Jumlah Penduduk Menuruh Kelompok Umur danJenis Kelamin Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 43

4 Jumlah Penduduk Menurut Pulau-Pulau yangBerpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 44

5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurutTingkat Pendidikan Tahun 2012 45

6 Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-PulauBerpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 46

7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurutMata Pencaharian Tahun 2012 46

8 Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari padaDua Stasiun Penelitian selama Bulan Pengamatan 56

9 Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman 57

10 Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahariberdasarkan Parameter Tutupan Karang Hidup 63

11 Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari 66

12 Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untukSetiap Kategori Wisata Bahari 68

13 Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di GugusanPulau Pari untuk Setiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari 71

14 Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear 86

15 Hasil Estimasi Parameter Model PermintaanWisata Bahari Pulau Pari 88

16 Hasil Estimasi Surplus Konsumen 90

17 Perkiraan komponen Biaya Paket Wisatake Pulau Pari (per Orang) 95

18 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal 106

19 Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari 107

20 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit UsahaWisata Bahari di Pulau Pari 107

21 Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai MultiplierWisata Bahari di Pulau Pari 108

22 Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Baharidi Pulau Pari Tahun 2012 108

DAFTAR GAMBAR

1 Sistem Kepariwisataan 7

2 Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tidak Terbayar 10

3 Kegiatan wisata bahari 14

4 Kerangka Pemikiran Penelitian 32

5 Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari 56

6 Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari 58

7 Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan KondisiTerumbu Karang di Gugusan Pulau Pari 60

8 Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari 69

9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau PariTahun 2012 78

10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah 78

11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari 80

12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari 81

13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata 82

14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra Sarana dan Saranadi Pulau Pari 84

15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata dan Aksestabilitas 85

16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Paridalam Wisata Bahari 92

17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusaha di BidangWisata Bahari 93

18 Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurutJenis dan Jumlah Pemilik 99

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Responden Wisatawan Pulau Pari 120

2 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Linear 122

3 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Double-Log 124

4 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Double-Log (Step Wise) 126

5 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi PermintaanWisata Bahari Pulau Pari : Model Linear 134

6 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi PermintaanWisata Bahari Pulau Pari : Model Double-Log 139

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan

mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (WRI 2001)

memiliki 17.504 pulau-pulau kecil (KKP 2011). Kawasan pulau-pulau kecil

menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang produktif sebagai modal

dalam pelaksanaan pembangunan nasional seperti terumbu karang, hutan

mangrove, padang lamun (seagrass), perikanan, kawasan konservasi, dan wisata

bahari maupun lainnya. Di masa yang akan datang dengan meningkatnya jumlah

penduduk dan potensi pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia, maka

sumberdaya alam dan jasa yang berada di kawasan ini semakin memegang

peranan penting.

Pulau-pulau kecil memiliki potensi kelautan yang cukup besar. Pulau-pulau

kecil memiliki potensi perikanan didukung oleh adanya ekosistem terumbu

karang, padang lamun dan hutan mangrove yang memiliki keanekaragaman hayati

tinggi serta bernilai ekonomi. Keunikan, keindahan, dan nilai yang ada di pulau-

pulau kecil berupa keanekaragaman kekayaan alam maupun sosial budaya dapat

dimanfaatkan bagi pengembangan wisata bahari sebagai daerah tujuan wisata.

Potensi ini berpeluang menghasilkan devisa bagi Indonesia dari kunjungan

wisatawan mancanegara (Kemenbudpar 2004).

Data statistik menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang

datang ke Indonesia selama tahun 2011 sebanyak 7.649.731 wisman atau naik

sebesar 9,24 persen dibandingkan tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2011

terjadi peningkatan pada rata-rata pengeluaran wisman dari tahun sebelumnya

(2010), yaitu US$ 1.118,26 per kunjungan (US$ 142,69 per hari). Penerimaan

devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2011 juga menunjukkan peningkatan

sebesar 12,51 persen dibandingkan tahun 2010, dimana selama tahun 2011

penerimaan devisa sebesar US$ 8.554,39 juta. Lain halnya dengan wisatawan

nusantara (wisnus), jumlah wisnus pada tahun 2011 tercatat sebanyak 89.112 ribu

orang, dimana jumlah tersebut lebih rendah dari tahun 2010 yang tercatat

2

sebanyak 122.312 ribu orang. Hal ini disebabkan baru angka sementara yang

dihimpun dari triwulan I-III. Dilihat dari rata-rata perjalanan wisnus, pada tahun

2011 rata-rata perjalanan wisnus tercatat 1,94 hari dengan pengeluaran per

perjalanan sebesar Rp. 662,68 ribu atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya

dimana rata-rata perjalanan wisnus pada tahun 2010 tercatat hanya sebanyak 1,92

hari dengan pengeluaran per perjalanan sebesar Rp. 641,76 ribu (Kemenparekraf

2012). Keseluruhan angka tersebut diatas, mencerminkan kemampuan sektor

pariwisata dalam meningkatkan pendapatan nasional baik dalam bentuk

pemasukan devisa negara dari wisman maupun perputaran uang di dalam negeri.

Salah satu kawasan wisata bahari di Indonesia adalah Kepulauan Seribu.

Kepulauan Seribu terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta merupakan suatu

wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI

Jakarta lainnya. Secara administratif melalui UU No. 34/1999 dan PP No.

55/2001, Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari sebuah kecamatan menjadi

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Wilayah ini merupakan gugusan

pulau-pulau yang terdiri atas 110 pulau dengan luas lautan 6.997,50 km2 dan luas

daratan pulaunya sekitar 864,59 hektar. Secara administrasi Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dua kecamatan yakni Kecamatan

Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kepulauan

Seribu yang terbentang dari Kawasan Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira memiliki

potensi sumberdaya alam berupa pulau-pulau karang yang kecil dengan keindahan

alam yang bagus serta kawasan perairan dangkal yang potensial untuk budidaya

laut. Di beberapa pulau-pulaunya terdapat berbagai ekosistem seperti terumbu

karang, padang lamun, dan mangrove serta berbagai jenis ikan. Didukung

letaknya yang dekat dengan daratan Jakarta, maka Kepulauan Seribu memiliki

potensi untuk pemanfaatan wisata bahari.

Selama tahun 2010, Kepulauan Seribu dikunjungi oleh 231.020 orang

pengunjung. Dari jumlah tersebut, wisatawan nusantara (wisnus) masih

mendominasi sebagai pengunjung di Kepulauan Seribu, dimana jumlah wisnus

selama tahun 2010 sebanyak 226.234 orang sedangkan jumlah wisatawan

mancanegara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Seribu tercatat sebanyak

3

4.786 orang. Dari 9 pulau di Kepulauan Seribu yang dikunjungi wisatawan, Pulau

Tidung merupakan pulau yang mencapai jumlah pengunjung terbanyak selama

tahun 2010 yakni 99.295 orang. Pulau yang paling sedikit dikunjungi wisman

adalah Pulau Harapan hanya 41 orang dan pulau yang paling sedikit dikunjungi

wisnus adalah Pulau Putri, yaitu sebanyak 784 orang pengunjung (BPS 2011).

Salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang sedang berkembang

wisata baharinya adalah Pulau Pari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Pulau ini merupakan gugusan pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil di

sekitarnya seperti Pulau Pari, Pulau Burung, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan

Pulau Kongsi. Tiga ekosistem tropika lengkap yang dimiliki oleh gugusan Pulau

Pari seperti mangrove, padang lamun, karang merupakan daya tarik wisata dari

gugusan pulau ini di samping keanekaragaman sumberdaya hayati, panorama

alam dan keindahan bawah lautnya. Lokasinya yang dapat diakses dari berbagai

alternatif dengan jarak tempuh yang singkat dari Jakarta semakin memudahkan

wisawatan untuk berkunjung ke kawasan tersebut.

Selama ini kawasan gugusan Pulau Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk

objek penelitian sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan

Pulau Pari juga merupakan tempat mata pencaharian penting bagi hampir seluruh

masyarakat Pulau Pari terutama dari budidaya rumput laut selain menangkap ikan.

Jumlah produksi dan lahan potensial yang dimiliki untuk kegiatan budidaya

rumput laut pernah menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu sentra produksi

rumput laut di Kepulauan Seribu. Adanya berbagai penyakit yang menyerang

rumput laut menyebabkan jumlah produksi rumput laut mulai menurun dan

sebagian besar masyarakat mulai beralih dengan membuka usaha di bidang wisata

bahari, disamping melihat pesatnya kegiatan wisata bahari di Pulau Tidung.

Mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki Pulau Pari untuk

wisata bahari maka penilaian ekonomi wisata bahari perlu dilakukan. Suatu

penilaian ekonomi pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata bahari

penting dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana aktivitas pariwisata di

wilayah ini memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal

di Pulau Pari. Di sisi lain, agar pengembangan wisata bahari di Pulau Pari dapat

4

dilakukan secara lestari dan berkelanjutan maka analisis daya dukung fisik sangat

diperlukan. Diharapkan dari analisis tersebut diatas dapat menghasilkan informasi

untuk digunakan dalam rangka pengembangan wisata bahari di Pulau Pari,

Kepulauan Seribu.

1.2. Perumusan Masalah

Gugusan Pulau Pari yang terletak di utara Teluk Jakarta memiliki keunikan

ekosistem tropika yang khas dan lengkap berupa ekosistem mangrove, lamun, dan

terumbu karang berikut sumberdaya hayati yang dikandungnya. Secara

keseluruhan ekosistem tersebut telah memberikan produk dan jasa lingkungan

penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya maupun masyarakat pada

umumnya. Gugusan Pulau Pari merupakan tempat mata pencaharian penting bagi

hampir seluruh masyarakat Pulau Pari sebagai pembudidaya rumput laut dan

nelayan. Keunikan dari Gugusan Pulau Pari tersebut menyebabkan pulau ini

dikenal sebagai laboratorium hidup/alam dan digunakan sebagai lokasi penelitian

serta pusat pendidikan dan pelatihan di bidang ilmu kelautan oleh berbagai

perguruan tinggi maupun instansi/lembaga terkait.

Lokasinya yang dekat dari Teluk Jakarta menyebabkan gugusan Pulau Pari

mendapat tekanan dan ancaman lingkungan sehingga berdampak pada

menurunnya kualitas air dan hasil budidaya rumput laut yang menjadi tumpuan

hidup sebagian besar masyarakat di Pulau Pari. Faktor lain yang diduga menjadi

penyebab menurunnya produksi rumput laut di pulau ini antara lain penanganan

pasca panen yang tidak memperhatikan lingkungan laut sebagai lahan budidaya.

Pembudidaya membuang air limbah yang digunakan untuk mencuci rumput laut

langsung ke laut. Hal tersebut diduga memperburuk kualitas air di sekitar lahan

budidaya rumput laut yang selanjutnya mempengaruhi produksi rumput laut.

Menyadari potensi gugusan Pulau Pari yang memiliki keindahan alam dan

ekosistem tropika yang lengkap serta didorong oleh berkembangnya sektor

pariwisata bahari di pulau lainnya seperti di Pulau Tidung, maka sebagian

masyarakat mulai mengembangkan usaha wisata bahari di Pulau Pari dengan

pertimbangan ekonomi. Apabila beralihnya matapencaharian masyarakat

5

dikarenakan oleh faktor ekonomi semata dan pemanfaatan untuk kegiatan wisata

bahari dilakukan secara berlebihan serta cenderung merusak lingkungan (dengan

jumlah pengunjung yang tidak dibatasi tanpa memperhitungkan daya dukung

lingkungan) maka dapat menurunkan kelestarian lingkungan Pulau Pari yang

memiliki ekosistem tropika yang lengkap. Pemanfaataan berlebih ini pada jangka

panjang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kesesuian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari?

2. Berapa besar daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari?

3. Berapa besar nilai ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi bagi

masyarakat lokal di Pulau Pari?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari.

2. Mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untuk wisata bahari.

3. Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dan dampak

ekonomi bagi masyarakat lokal.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk :

1. Menghasilkan informasi mengenai kesesuaian lahan dan daya dukung fisik

Pulau Pari untuk wisata bahari, serta potensi ekonomi wisata bahari dan

dampak ekonomi bagi masyarakat lokal.

2. Menunjukkan apakah wisata bahari yang dikelola oleh masyarakat Pulau Pari

memiliki peluang memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat lokal

disesuaikan dengan kesesuaian lahan dan daya dukungnya.

6

3. Memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu dalam pengelolaan dan pengembangan kegiatan wisata

bahari di Pulau Pari ke depan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi kesesuaian lahan, daya dukung fisik

kawasan, penilaian dan dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari. Evaluasi

kesesuaian lahan dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau dengan

kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk

pariwisata bahari. Penghitungan daya dukung fisik kawasan meliputi aktivitas

selam, snorkeling, wisata mangrove serta wisata pantai sebagai kegiatan utama

yang dapat dilakukan wisatawan di Pulau Pari. Penelitian ini membatasi pada

usaha wisata bahari yang dilakukan/dikelola oleh masyarakat lokal Pulau Pari.

Pengukuran nilai ekonomi hanya dilakukan secara parsial pada direct use value

dan tidak pada total economic value. Dampak dari kegiatan wisata bahari yang

diteliti adalah dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Penghitungan dampak

ekonomi kegiatan wisata bahari yang dilakukan hanya dampak dari perputaran

uang di tingkat lokal dari pengeluaran wisatawan. Penilaian dampak ekonomi

tidak meliputi dampak dari proyek pembangunan pariwisata secara keseluruhan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekonomi Pariwisata

Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu

aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar

masyarakat. Sebagai suatu aktivitas manusia, pariwisata adalah fenomena

pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangan kompleks (Damanik & Weber

2006). Dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling

terkait erat atau menjalin hubungan yakni : 1) permintaan atau kebutuhan, 2)

penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri, 3) pasar dan

kelembagaan yang berperan untuk menfasilitasi keduanya, dan 4) pelaku atau

aktor yang menggerakan ketiga elemen tersebut. Pada Gambar 1 ditampilkan

keterkaitan antar unsur tersebut sebagai sistem pariwisata.

Gambar 1 Sistem Kepariwisataan(Sumber : Steak et al. 1999 in Damanik & Weber 2006)

KEBIJAKANPARIWISATA

PRODUK

PE

NA

WA

RA

N

PE

RM

INT

AA

N

PASAR/PELAKUPARIWISATA

cc

ba

d e

Keterangan :a. Mendorong; b. Mengendalikan; c. Mempengaruhi;d. Mengembangkan dan memasarkan ; e. Membeli

8

Motivasi yang kuat untuk melakukan perjalanan wisata dijadikan dasar

dalam mempelajari permintaan wisata. Unsur-unsur penting dalam permintaan

wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya

(produk dan jasa) wisata (Damanik & Weber 2006). Perjalanan wisata merupakan

kegiatan manusia yang memiliki kebutuhan, keinginan, harapan yang berbeda-

beda setiap orang. Mengadakan perjalanan wisata dimungkinkan karena ada

faktor uang yang dapat digunakan secara bebas (disposable income), tersedianya

waktu senggang (leisure time) pada saat kesehatan mendukung serta adanya

kemauan untuk melakukan perjalanan (Yoeti 2008).

Preferensi dan anggaran individu merupakan faktor kunci penentu

permintaan terhadap pariwisata. Individu akan mempertimbangkan menghabiskan

sejumlah uang untuk pengeluaran liburan/wisata atau mengkonsumsi barang dan

jasa lain. Ukurannya tergantung pada jumlah jam kerja yang terbayar per periode

waktu (pasokan tenaga kerja), dan penghasilan dikenakan pajak yang tersedia

untuk pembelian barang dan jasa. Individu akan mengalami pilihan (trade off)

antara waktu yang terbayar untuk bekerja dengan waktu yang tak terbayar.

Beberapa orang akan memilih memperoleh lebih banyak pendapatan yang

dihasilkan dari pekerjaan yang dibayar, sementara yang lain lebih memilih lebih

banyak waktu yang tak terbayar untuk kegiatan rekreasi atau rumah tangga dan

oleh karena itu akan menghabiskan waktu tak terbayar daripada waktu yang

terbayar untuk bekerja. Jika individu memilih waktu yang terbayar untuk bekerja,

tingkat pendapatan akan naik tetapi akan mengorbankan waktu luang dan rumah

tangga. Sebaliknya, jika individu memilih waktu luang maka akan mengurangi

pendapatan. Bagaimanapun, waktu luang untuk melepas ketegangan melalui

kegiatan rekreasi (pariwisata) diperlukan sehingga antara waktu luang dengan

pendapatan diperhitungkan sebagai biaya korbanan (opportuinity cost) (Cooper

2008 in Stabler et al. 2010).

Setiap kombinasi dari waktu yang terbayar dengan waktu yang tak

terbayar memberikan jumlah yang berbeda dalam menghasilkan pendapatan yang

dapat digunakan untuk konsumsi barang dan jasa. Kombinasi yang berbeda dari

konsumsi dan waktu terbayar serta tak terbayar diilustrasikan pada Gambar 2.

9

Sumbu vertikal menunjukkan nilai konsumsi dan pendapatan. Sumbu horisontal

menunjukkan waktu yang terbayar dan tak terbayar yang berlainan arah. Titik OC

menunjukkan konsumsi maksimum yang dapat dicapai, sehingga menghabiskan

waktu maksimum yang dibayar untuk bekerja. Individu yang tidak dibayar dalam

pekerjaan memiliki kombinasi konsumsi dan waktu yang tak terbayar ditunjukan

oleh B, dengan titik OC* merupakan nilai konsumsi yang diperoleh individu

ketika menganggur melalui tunjangan pengangguran. Garis CBU merupakan garis

anggaran dengan kemiringan menunjukkan tingkat remunerasi dimana jika tingkat

upah naik maka akan semakin curam. Individu akan menerima kepuasan yang

sama dari kombinasi pilihan konsumsi dengan waktu yang tak terbayar pada

kurva indiferen yang digambarkan oleh kurva I1I1 dan I2I2. Maksimisasi

kepuasan akan terjadi pada pilihan antara konsumsi dan waktu tak terbayar

dimana kurva indeferen bersinggungan dengan garis anggaran yakni titik D (pada

kurva indefern I1I1) dan titik E (pada kurva I2I2). Pendapatan yang dihasilkan

dari waktu yang terbayar untuk bekerja dan pilihan antara konsumsi yang

dibelanjakan dari pekerjaan yang dibayar serta waktu yang tak terbayar (luang)

untuk melakukan wisata merupakan hal yang dipertimbangkan secara bersamaan.

Perubahan tingkat remunerasi untuk bekerja akan membawa perubahan dalam

konsumsi dan waktu yang tak terbayar.

10

Gambar 2. Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tak Terbayar

(Sumber : Stabler et al. 2010)

Antara satu faktor dengan faktor lain yang mempengaruhi permintaan

berwisata terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Mempunyai waktu

luang saja tidak cukup, karena untuk berwisata perlu uang, meskipun tidak selalu

dalam jumlah besar. Waktu luang dan uang juga belum menjamin munculnya

permintaan wisata jika, misalnya, sarana untuk mewujudkan aktivitas wisata itu

tidak tersedia. Jadi orang ingin berwisata, dalam arti bersedia untuk melakukan

wisata, apabila mereka mempunyai waktu luang dan uang serta sarana yang

tersedia berfungsi baik. Waktu luang, uang, sarana dan pra sarana merupakan

permintaan potensial wisata (Freyer 1993; Mundt 1998 in Damanik & Weber

2006).

Permintaan dalam pariwisata dibagi atas dua yaitu permintaan potensial

dan permintaan aktual. Permintaan potensial adalah sejumlah orang yang

berpotensi untuk melakukan perjalanan wisata (karena memiliki waktu luang dan

punya tabungan relatif cukup). Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan

aktual adalah orang-rang yang sedang melakukan perjalanan wisata pada suatu

U2 U1 U

I2

I2

I1

I1

E

D

C*

C1

C2

C

Waktu Tak Terbayar

Waktu Terbayar

Kon

sum

si, P

enda

pata

n

B

O

11

daerah tujuan wisata tertentu (Yoeti 2008). Permintaan potensial harus

ditransformasikan menjadi permintaan aktual yakni pengambilan keputusan

wisata.

Pengambilan keputusan wisata berlangsung secara bertahap, mulai dari

tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan itu

sendiri. Munculnya kebutuhan untuk berwisata didorong oleh berbagai faktor

sosial, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Proses pengambilan keputusan untuk

berwisata merupakan proses yang kompleks karena banyak hal yang harus

dipertimbangan oleh wisatawan. faktor kepribadian, daya tarik objek daerah

tujuan wisata, ketersediaan sumberdaya, jarak dan kondisi lingkungan wisata,

semuanya menentukan keputusan tersebut. Freyer (1993) in Damanik & Weber

(2006) menyebutkan bahwa pertimbangan penting yang dilakukan orang sebelum

mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan yaitu biaya, daerah tujuan

wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lama berwisata, akomodasi yang digunakan,

dan moda transportasi. Yoeti (2008) menyatakan terdapat dua faktor penentu

permintaan pariwisata yakni : 1) general demand factors dan 2) factors

determining spesific demand. Faktor yang pertama merupakan faktor secara

umum permintaan terhadap barang dan jasa industri pariwisata tergantung antara

lain oleh purchasing power, demographic structure and trends, social and

cultural factors, travel motivations and attitudes, serta opportunities to travel dan

tourism marketing intensity. Faktor kedua merupakan faktor secara khusus yang

menentukan permintaan terhadap daerah tujuan wisata yakni diantaranya harga,

daya tarik wisata, kemudahan berkunjung, informasi dan layanan sebelum

kunjunga, serta citra.

Berbeda dengan permintaan terhadap barang dan jasa yang biasa,

permintaan dalam industri pariwisata memiliki karakter tersendiri yang tidak

dijumpai pada barang dan jasa pada umumnya (Yoeti 2008). Dalam industri

pariwisata yang ditawarkan adalah produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah

semua produk yang diperuntukan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama

melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima

wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut

12

(Damanik & Weber 2006). Menurut Yoeti (2008) ciri atau karakter dari industri

pariwisata: sangat dipengaruhi oleh musim; terpusat pada tempat-tempat tertentu;

bersaing dengan permintaan akan barang-barang mewah; tergantung tersedianya

waktu senggang; tergantung teknologi transportasi; dan aksesibilitas.

Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan

mendasar antara produk dan jasa wisata dengan potensi wisata. Produk dan jasa

wisata harus sudah siap dikonsumsi oleh wisatawan. Sebaliknya potensi wisata

adalah semua objek (alam, buatan, budaya) yang memerlukan banyak penanganan

agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan. Elemen penawaran wisata

terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Atraksi diartikan sebagai objek

wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan

kenikmatan kepada wisatawan. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur

transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan

wisata mulai dari darat, laut, sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut

aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan

keselamatan. Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung

terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan.

Semakin lengkap dan terintegrasinya ketiga unsur penawaran wisata yakni

atraksi, aksesibilitas, dan amenitas maka semakin kuat posisi penawaran dalam

wisata kepariwisataan. Karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil

memperkuat posisi penawaran tersebut namun kualitas produk yang ditawarkan

harus mutlak diperhatikan. Kualitas produk terkait dengan empat hal yakni

keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Oleh karenanya karakteristik

pulau-pulau kecil yang telah dimiliki harus dipertahankan sehingga keunggulan

produk dan jasa yang ditawarkan dapat dipertahankan dalam persaingan pasar

untuk mendukung peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.

2.2. Wisata Bahari

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang

kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan

13

oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk

tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik

wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pulau-Pulau Kecil yang

didefinisikan dalam Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas kecil atau sama

dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya merupakan daya tarik wisata

yang memiliki keunikan, keindahaan, dan nilai yang berupa keanekaragaman

kekayaan alam, budaya, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Kepentingan pariwisata merupakan salah satu yang diprioritaskan dalam rangka

pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya.

Wisata bahari adalah salah satu bentuk khusus dari ekowisata yang

kegiatannya berlangsung di dalam kawasan pesisir, lingkungan laut maupun

dikeduanya. Kegiatan ekowisata memungkinkan orang untuk merasakan

lingkungan alam dengan konsisten dengan menggunakan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan. Wisata bahari merupakan kegiatan yang mencoba

untuk membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan

lingkungan laut yang alami. Wisata bahari dapat dilakukan di laut dan bagian

daratan pulau maupun keduanya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan dalam

wisata bahari meliputi : melihat ikan paus, lumba-lumba, hiu, anjing laut ataupun

hewan laut lainnya; menyelam dan snorkeling; perjalanan wisata berbasis alam

dengan kapal permukaan ataupun kapal selam; berjalan-jalan menyusuri pesisir

dan pantai serta mengunjungi kehidupan masyarakat (Hoctor 2001).

Basiron (1997) mendefinisikan pariwisata secara umum sebagai aktivitas

orang/manusia yang melakukan perjalanan jangka pendek dan sementara di luar

lingkungan dan kegiatan normal yang biasanya dilakukannya. Definisi ini

kemudian diperluas untuk wisata bahari yang menunjukkan perjalanan jangka

pendek dan sementara yang dilakukan oleh orang di luar lingkungan dan kegiatan

normal dalam lingkup laut. Sektor wisata bahari mencakup kegiatan di laut dan

pesisir, transportasi, hotel dan restaurant, resort pulau dan pantai, serta olahraga

dan rekreasi pantai.

14

Menurut Tourism Development International (2007) wisata bahari (marine

tourism) adalah bagian dari sektor industri pariwisata dimana wisatawan

mengambil bagian di kegiatan rekreasi aktif dan pasif dalam liburan atau

perjalanan yang dilakukan di perairan pantai, garis pantai, maupun di daerah

pedalaman daratan pulau. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat

lokal, wisatawan dan pengunjung per hari tersebut dikategorikan seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 3.

Kegiatan WisataBahari

Kegiatan rekreasi yang tidakterspesialisasi

-Eksplorasi/Berjalan di pesisir

pantai

-Renang dan aktivitas di pantai

-Berkendara di pantai (termasuk

melihat laut dari titik pandang

tertentu)

-Trip/Kunjungan menggunakan

perahu (termasuk ke pulau)

-Trip menggunakan kapal ferri

-Kunjungan menggunakan kapal

pesiar

-Pergi ke pusat kunjungan

(akuarium, museum, bangunan

bersejarah, dll)

-Kegiatan dan festival yang

berhubungan dengan laut

-Terapi kesehatan (misalnya :

Thallasotherapy)

Kegiatan rekreasi yangterspesialisasi

Perairan :

Motor :

-Trip perahu :

cepat/petualangan

-Trip perahu : satwa

liar

-Akses perahu :

menyelam

-Memancing di laut

menggunakan

perahu

-Ski air

-Jet ski

Non Motor :

-Selancar angin

-Berperahu kayak di

laut (termasuk surfing

dengan kayak)

-Berperahu kayak dan

kano di sungai

-Berlayar/jelajah/balap

menggunakan perahu,

keelboat

-Balap dayung

-Rafting (menggunakan

perahu karet)

-Surfing

-Snorkeling

Pantai :-Panjat tebing-Melintasi permukaan

laut-Berkuda-Parasailing-Memancing-Arkeologi kelautan-Berlayar dengan

model boat-Menonton dan

mengamati

satwa liar dan burung

Gambar 3 Kegiatan Wisata Bahari

Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di pulau-

pulau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang

berbasis sumberdaya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun

pantai) dan sumberdaya laut (seperti terumbu karang, gua, gunung api bawah

laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya

(cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana,

15

maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau

tradisi budaya masyarakat (Kemenbudpar 2004).

Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan langsung potensi

sumberdaya (alam dan budaya), juga terdapat wisata buatan yang pada intinya

juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya

merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi

kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek

dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, atau

taman rekreasi (theme park).

Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang

alam, olahraga pantai, pengamatan satwa, jelajah hutan, mendaki gunung, dan lain

sebagainya. Kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving),

selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air,

berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya.

Kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan,

mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat

istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah

nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain

sebagainya.

Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata

minat khusus dan wisata umum. Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk

perjalanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat

atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang ditemui atau

dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata minat

khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan fisik

atau komunitas yang dikunjunginya.

Sementara itu kegiatan wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat

dikatakan sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan

menyenangkan. Dalam kegiatan rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin

dicapai dan memang untuk bersenang-senang. Pengembangan kegiatan rekreasi

saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi edukatif, yang bertujuan agar wisatawan

mendapatkan tambahan pengalaman atau pengetahuan yang bermanfaat.

16

Mengingat karakteristik pulau pulau kecil dan keterbatasan daya

dukungnya, maka pengembangan kegiatan wisata di pulau-pulau kecil lebih

diarahkan pada pengembangan kegiatan wisata minat khusus sebagai kegiatan

utama, dan kegiatan wisata rekreasi edukatif sebagai kegiatan pendukung.

Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan

keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam,

serta sensistif terhadap budaya masyarakat lokal (Kemenbudpar 2004). Oleh

karena itu konsep marine ecotourism sedang digalakkan.

Sejak 1970-an, konsep pertama dari ekowisata dan kemudian pariwisata

berkelanjutan telah dikembangkan dalam upaya untuk melawan pariwisata massal

dan menawarkan model yang memberikan negatif namun memberikan manfaat

nyata bagi masyarakat lokal dan konservasi, sekaligus menawarkan pengalaman

yang lebih bagi para wisatawan (Honey & Krantz 2007). Menurut Garrod et al.

(2002) Wisata bahari dengan pendekatan konsep ekowisata difokuskan kepada :

kenyamanan dan apreasiasi terhadap alam yang melibatkan partisipasi masyarakat

lokal dalam perencanaan dan manajemen; memaksimalkan keberlanjutan;

memprioritaskan perlindungan lingkungan; mengutamakan pendidikan

lingkungan; kerjasama antar pemangku kepentingan; pemasaran yang

bertanggungjawab; dan pemantauan dan evaluasi yang sesuai.

2.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Wisata Bahari

Kecenderungan meningkatnya pasar pariwisata internasional untuk berwisata

di kawasan yang masih alami memberikan peluang pengembangan pariwisata di

pulau-pulau kecil. Di lain pihak pulau-pulau kecil memiliki daya dukung yang

terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu

kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata. Karakteristik pulau yang kecil, umumnya

berakibat pada keterbatasan sumberdaya air, kerentananan terhadap ancaman

bencana alam, penduduk yang relatif miskin, serta keterisolasian dari wilayah

lain, sehingga pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi

memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu pulau-

pulau kecil perlu diberdayakan secara optimal dan lestari sesuai dengan

17

karakteristik dan potensinya masing-masing. Pengembangan pariwisata yang

berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan menjadi hal yang harus

diprioritaskan (Kemenbudpar 2004).

Tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil

yaitu : batasan fisik (luas pulau); batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan

terisolasi); dan keunikan budaya. Secara biofisik pulau kecil memiliki

karakteristik yang menonjol yaitu : tangkapan air yang terbatas dan

sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; peka dan rentan

terhadap berbagai tekanan dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat

kegiatan manusia; dan memiliki sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik

dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen 2000; Ongkosongo

1998; Sugandhy 1998 in Kemenbudpar 2004). Oleh karena itu dengan

karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil dan untuk meminimalkan

dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan pariwisata, maka pengembangan

pariwisata bahari harus memperhatikan kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup.

Permasalahan yang sering muncul di dalam pembangunan di suatu kawasan

adalah tumpah tindihnya peruntukkan lahan dan atau pembangunan yang tidak

mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Pengembangan

pariwisata di pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara

ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumberdaya alam

dan sosial, namun dipertahankan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan

(Kemenbudpar 2004).

Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan

lahan tertentu. Terdapat dua kategori kesesuain lahan menurut Hardjowigeno dan

Widiatmaka (2001) yakni kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Kesesuaian

lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan pada pemadanan kriteria

masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan sifat-sifat lahannya, sedangkan

kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan

angka-angka nilai masing-masing karakteristik lahan.

18

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan.

Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh

tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas

lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan

diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe

penggunaan lahan tersebut. Penggunaan lahan dapat dibedakan dalam dua

kategori yakni penggunaan lahan secara umum dan penggunaan lahan secara rinci.

Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara

umum dan biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam

survei tinjau (reconaissance). Penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe

penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu

daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Evaluasi lahan dapat

dibedakan dalam tiga intensitas kerincian yaitu : reconaissance (tinjau), semi

detail (setengah rinci, sedang), dan detail (rinci). Evaluasi lahan reconaissance

dilakukan secara kualitatif dan analisa hanya dilakukan dengan sangat umum.

Evaluasi lahan semi detail dilakukan dengan tujuan-tujuan yang lebih khusus,

misalnya studi kelayakan untuk suatu proyek dan evaluasi lahan dilakukan

sebaiknya secara kuantitatif. Evaluasi detail merupakan survei untuk perencanaan

yang telah pasti, biasanya dilakukan setelah kepastian melaksanakan proyek

tersebut dipastikan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001).

Dalam pembangunan di suatu kawasan, penggunaan lahan untuk tujuan

tertentu seharusnya sesuai dengan peruntukannya. Penyusunan rencana kawasan

pariwisata merupakan kegiatan inti selanjutnya dari seluruh perencanaan

pengembangan pariwisata (Kemenbudpar 2004). Salah satu aspek penting dalam

perencanaan kawasan adalah penyusunan dan penetapan zonasi kawasan.

Diperolehnya informasi mengenai kesesuaian lahan maka penetapan zonasi

kawasan untuk penggunaan tertentu dapat dilakukan. Pengertian zonasi adalah

membagi area dalam suatu tapak ke dalam beberapa area (zona) yang sesuai

dengan tata guna lahan. Jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam

pengembangan pariwisata adalah (Kemenbudpar 2004) :

19

1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima

kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang

luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat

dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang

umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan

daya dukung lingkungan.

2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima

kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter

sumberdaya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol

dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung

kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandangm papan

penunjuk dan informasi.

3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak

menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya

merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau

memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Kawasan yang dikembangkan kegiatan wisata bahari dengan konsep

ekowisata sangat tergantung dari aspek kesesuaian dan daya dukung, utamanya

daya dukung ekologi yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya yang menjadi

objek wisata. Aspek kesesuaian akan menentukan jenis kegiatan wisata yang akan

dikembangkan, termasuk layak atau tidaknya suatu kawasan untuk dijadikan

objek wisata, atau justru sebaliknya dilakukan konservasi. Penentuan kesesuaian

suatu kawasan untuk dikembangkan sebagai objek wisata berdasarkan setiap

parameter kesesuaian (Yulianda 2007). Setelah melakukan analisis terhadap

kesesuaian kegiatan wisata bahari, maka langkah selanjutnya adalah mengitung

kemampuan daya dukung lingkungan untuk masing-masing kegiatan yang akan

dikembangkan.

Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem

untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di

dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya

yang berperan di alam. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda

20

sehingga perencanaan pariwisata di pulau-pulau kecil secara spatial akan

bermakna dan menjadi penting (Kemenbudpar 2004).

Secara umum ragam daya dukung wisata di pulau-pulau kecil dapat meliputi

(Kemenbudpar 2004) :

1. Daya Dukung Ekologis yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu

pulau.

2. Daya Dukung Fisik yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau

kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan

kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamananan

pengunjung.

3. Daya Dukung Sosial yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah

dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat

kualitas pengalaman atau kepuasaan pengunjung di pulau-pulau kecil.

Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran

bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan

suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau

degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dibedakan atas :

1. Daya Dukung Ekologis, dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan

suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang

diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas

ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama

dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem

yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara

lain rawa.

Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan

ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang

antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada

vegetasi, habitat satwa, degredasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam

dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan

21

teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan

daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau

lingkungan suatu tempat.

2. Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan

yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan

atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah

melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari

tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air

sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik

sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau

pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya

daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap

aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek

sosial, ekonomi, dan juga ekologis.

3. Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang

memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara

ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.

4. Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam

menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai

kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan

suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan

(comfortability) dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau

pengaruh over-crowding pada suatu kawasan.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat

maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan

dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan

menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau

kepuasaan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola,

tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (individu, kelompok) pemakai

22

ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan

gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut.

Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasaan pemakai

kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies

biota di suatu kawasan.

2.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari

Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat

dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga menghasilkan jasa-jasa

(services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya

manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat-manfaat

tersebut sering tidak dikuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap

nilai sumberdaya. Mengingat pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan non-ekonomi

dari sumberdaya alam, tantangannya adalah bagaimana memberikan nilai yang

komprhensif terhadap sumberdaya alam tersebut. Dalam hal ini nilai tersebut

tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari suatu

sumberdaya, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh

sumberdaya tersebut. Permasalahan-permasalahab tersebut kemudian menjadi

dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non pasar

(Fauzi 2004).

Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat

dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan

perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah

surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus

oleh konsumen (consumers surplus/CS) dan surplus oleh produsen (producers

surplus/PS) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 in Adrianto 2006).

Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen

bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan

barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak

dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu,

produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih

23

besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau

jasa.

Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah

maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh

barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar

(willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh

sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi 2004). Nilai ekonomi suatu komoditas

(goods) atau jasa (services) diartikan sebagai “berapa yang harus dibayar”

dibanding “berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa

tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdaya eksis dan

menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka “kemampuan membayar

(willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa

mempermasalahkan apakah kita secara nyata melakukan proses

pembayaran/payment atau tidak (Barbier et al. 1997 in Adrianto 2006).

Secara terminologi, nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total

Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan penjumlahan dari

nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunanaan (Use Value/UV) dan nilai

ekonomis berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non Use Value/NUV). Use

Value terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value/DUV), nilai

ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value/IUV), dan nilai pilihan

(Bequest Value). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan

(NUV) terdiri dari dua komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value/BV)

dan nilai eksistensi (Existence Value/EV) (Barton 1994; Barbier 1993; Freeman

III 2002 in Adrianto 2006).

Secara umum, valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan

dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu releaved preference methods dan

stated preference methods. Releaved preference methods merupakan teknik

valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap

melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam

kelompok ini adalah travel cost, hedonic pricing, dan random utility model.

Sedangkan stated preference methods merupakan teknik valuasi yang didasarkan

24

pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari

responden. Salah satu teknik yang dikenal luas dalam kategori ini adalah teknik

Contingent Valuation (Fauzi 2004).

Salah satu metode yang digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah

komoditas yang tidak memiliki nilai pasar adalah metode biaya perjalanan (travel

cost method). Metode ini beranjak dari asumsi dasar bahwa setiap individu baik

aktual maupun potensial bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan

manfaat tertentu tanpa harus membayar biaya masuk (entry fee). Namun

demikian, walaupun asumsinya tidak ada biaya masuk, namun secara aktual

ditemukan pengunjung yang berasal dari lokasi yang jauh dari objek yang

dikunjungi. Dalam konteks ini terdapat perbedaan “harga” yang harus dibayar

antar pengunjung untuk mendapatkan manfaat yang sama. Kondisi ini dalam teori

ekonomi dianggap sebagai representasi dari permintaan (demand) pengunjung

(konsumen) terhadap manfaat tersebut (Adrianto 2006).

Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari

sumberdaya alam melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang

dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai

proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut. Asumsi mendasar yang

digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen

terhadap aktivitas bersifat dapat dipisahkan (Fauzi 2004).

Secara umum terdapat dua teknik sederhana yang dapat digunakan untuk

menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM yakni : pendekatan sederhana

melalui zonasi dan pendekatan individual TCM dengan menggunakan data

sebagian besar dari survei. Asumsi dasar yang digunakan dalam TCM agar

penilaian sumberdaya alam tidak bias antara lain : (a) biaya perjalanan dan biaya

waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (b) waktu perjalanan bersifat

netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (c) biaya

perjalanan merupakan perjalanan tunggal (Fauzi 2004).

25

2.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari

Pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi

memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak tersebut dapat

dilihat dari segi fisik alami, sosial, budaya, maupun ekonomi. Dalam Pedoman

Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil, pengembangan pariwisata

di pulau-pulau kecil harus melalui pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang

berdaya saing global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

bidang ekonomi dan budaya serta pembangunan daerah. Penyelenggaraan

pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus menggunakan prinsip

berkelanjutan dimana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan

kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya

masyarakat lokal.

Analisis dampak ekonomi memberikan perkiraan yang nyata dari saling

ketergantungan ekonomi dan peran pentingnya pariwisata dalam perekonomian

suatu daerah. Kegiatan pariwisata melibatkan biaya ekonomi, termasuk biaya

langsung yang dikeluarkan oleh bisnis pariwisata, biaya yang dikeluarkan oleh

pemerintah untuk pengembangan infrastruktur serta biaya terkait yang ditanggung

oleh individu dalam masyarakat. Dampak ekonomi pariwisata merupakan

pertimbangan penting dalam perencanaan dan pembangunan ekonomi suatu

negara, daerah dan masyarakat. Dampak ekonomi juga merupakan faktor penting

dalam keputusan pemasaran dan manajemen. Masyarakat perlu memahami

kepentingan relatif dari pariwisata ke daerahnya termasuk kontribusi pariwisata

terhadapat kegiatan ekonomi di daerahnya tersebut (Stynes 1997).

Sebuah analisis dampak ekonomi kegiatan pariwisata menggambarkan

kontribusi kegiatan pariwisata terhadap perekonomian di suatu daerah. Analisis

dampak ekonomi menelusuri arus pengeluaran yang terkait dengan kegiatan

pariwisata di suatu daerah untuk mengidentifikasi perubahan dalam penjualan,

penerimaan pajak, pendapatan dan pekerjaan karena aktivitas pariwisata. Metode

yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tersebut meliputi : survei

pengeluaran pengunjung; analisis data statistik ekonomi dari pemerintah; model

basis ekonomi; model input-output; dan pengganda (Frechtling 1994).

26

Pariwisata memiliki berbagai dampak ekonomi. Dampak ekonomi tersebut

berasal dari kontribusi para wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata.

Kontribusi tersebut antara lain dalam bentuk penjualan, keuntungan, pekerjaan,

pendapatan pajak, dan pendapatan bagi masyarakat lokal di daerah wisata.

Kontribusi wisatawan merupakan pengaruh langsung dari pengeluaran wisatawan

seperti penginapan, makan, transportasi, hiburan, dan perdagangan ritel. Analisis

dampak ekonomi kegiatan pariwisata di suatu daerah biasanya berfokus pada

perubahan dalam hal penjualan, pendapatan dan pekerjaan dari sektor wisata

(Stynes 1997).

Menurut Stynes (1997) analisis dampak ekonomi dilakukan dengan

menelusuri aliran arus uang dari pengeluaran wisatawan. Aliran pertama (efek

langsung) dari arus uang wisatawan dilakukan dengan melihat kemana arus uang

dari pengeluaran wisatawan tersebut. Alternatif aliran uang dapat langsung ke

penyedia jasa wisata; dalam bentuk gaji atau upah untuk rumah tangga yang

menyediakan tenaga kerja di sektor pariwisata; serta pajak dan biaya yang

dibayarkan oleh wisatawan, rumah tangga, dan pengusaha tersebut. Aliran kedua

dari arus uang di sektor pariwisata adalah dengan melihat adakah kebocoran atau

uang mengalir ke daerah lain yang disebabkan wisatawan, rumah tangga,

pengusaha ataupun pemerintah membelanjakan uangnya ke luar daerah wisata

tersebut.

Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni

dampak langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced. Dampak

ekonomi total merupakan penjumlahan dari dampak langsung, tidak langsung dan

induced dalam suatu wilayah. Dampak langsung adalah perubahan yang

berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan. Misalnya,

peningkatan jumlah wisatawan yang menginap semalam di hotel langsung akan

meningkatkan penjualan kamar di sektor hotel. Penjualan akomodasi hotel dan

terkait dalam pembayaran hotel untuk upah, gaji, pajak, perlengkapan dan jasa

adalah efek langsung dari pengeluaran wisatawan. Dampak tidak langsung

merupakan perubahan yang dihasilkan dari perputaran pengeluaran dari

penerimaan di sektor industri pariwisata. Perubahan dalam penjualan dan

pendapatan industri yang memasok sektor pariwisata misalnya merupakan efek

27

tidak langsung dari perubahan dalam penjualan hotel. Perubahan di sektor industri

yang memasok sektor pariwisata juga akan menyebabkan perubahan di sektor lain

yang mendukung sektor yang memasok sektor pariwisata tersebut. Dampak

induced merupakan perubahan aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari

pengeluaran rumah tangga yang pendapatannya diperoleh secara langsung atau

tidak langsung sebagai akibat dari pengeluaran wisatawan. Misalnya tenaga kerja

yang bekerja di hotel maupun sektor pendukung pariwisata menghabiskan

pendapatan mereka untuk perumahan, makanan, transportasi, dan lainnya di

daerah lokal (Stynes 1997). Namun jika industri yang memperoleh dampak

langsung mendatangkan input dari luar lokasi maka perputaran uang tidak

menimbulkan dampak tidak langsung melainkan kebocoran (leakage) manfaat

yang pada akhirnya menciptakan kebocoran ekonomi di daerah wisata tersebut

(Linberg 1996 in Wijayanti 2009).

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi

pariwisata. Hunt (2008) melakukan studi untuk melihat dampak ekonomi dari

kegiatan yang berhubungan dengan Rodney Cape-Okkari Marine Reserve di

Selandia Baru. Dampak ekonomi diukur dengan variabel seperti total output, nilai

tambah, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja. Survei menunjukkan bahwa

sekitar 60 persen pengunjung di Rodney merupakan wisatawan harian atau tidak

menginap dan menghabiskan rata-rata $ 29 per orang. Sekitar 30 persen

pengunjung bermalam di wilayah tersebut dan menghabiskan rata-rata $ 137 per

perjalanan. Total output di Rodney tergantung pada keberadaan marine reserve

diperkirakan bernilai $ 18,6 juta per tahun. Terkait dengan ouptput tersebut, total

nilai tambah dari kegiatan pariwisata di Rodney sebesar $8,2 juta per tahun dan

mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 173 Full Time Equivalent (FTE) dan

menyediakan sepuluh jenis pekerjaan cadangan yang berhubungan dengan wisata

laut.

Selanjutnya Cisneros et al. (2011) mengkaji kegiatan ekowisata di Belize

yang merupakan sektor penting dan sedang berkembang pesat. Analisis dilakukan

dengan melihat perputaran aliran uang dari kegiatan ekowisata untuk

memperkirakan manfaat ekonomi tahunan yang dihasilkan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa setiap tahun, hampir 160.000 pengunjung telah

28

menghasilkan lebih dari US$ 128 juta dan menyerap 4.000 pekerja. Kegiatan

ekowisata yang dilakukan termasuk memancing, melihat ikan hiu dan paus,

menyelam dan snorkeling di pantai dan terumbu karang. Semua kegiatan tersebut

telah memberikan kontribusi terhadap ekonomi pesisir dan memperkuat citra

Belize sebagai tujuan wisata menarik.

International Centre for Tourism and Hospitality Research, Bounemouth

University (2010) telah melakukan penilaian dampak dan kontribusi ekonomi

pariwisata satwa liar di Skotlandia. Penilaian dampak ekonomi tersebut meliputi

estimasi nilai pariwisata satwa liar dari jumlah dan pengeluaran pengunjung,

memperkirakan kontribusi nilai pariwisata satwa liar terhadap perekonomian di

Skotlandia, dan memperkirakan dampak ekonomi bersih yang berasal dari

pariwisata satwa liar. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak ekonomi bersih

dari pariwisata satwa liar mencapai £ 65 juta dengan penyerapan tenaga kerja

sebanyak 2.763 FTE. Dampak ekonomi tertinggi berada di kawasan dataran

tinggi dan kepulauan senilai £ 32 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak

1.386 FTE. Secara total sebanyak 1,12 juta perjalanan yang dibuat setiap tahun

tujuan utamanya adalah melihat satwa liar, dimana 56 persen perjalanan tersebut

dibuat oleh wisatawan domestik dan £ 276 juta dihabiskan dalam perjalanan

tersebut atau sekitar 75 persen dihabiskan oleh wisatawan domestik. Secara

regional, pariwisata satwa liar terkonsentrasi di dataran tinggi dan kepulauan

dengan sekitar 50 persen melakukan perjalanan satwa liar dan 45 persen

pariwisata satwa liar pada malam hari. Penelitian ini membagi pariwisata satwa

liar menjadi tiga kelompok yaitu di daratan, laut dan pantai. Dari ketiga kelompok

tersebut pengeluaran wisatawan terbesar adalah di daratan yakni sebesar £ 114

juta, lalu diikuti oleh pariwisata satwa liar di pantai dengan pengeluaran

wisatawan sebesar £ 100 juta dan terendah dalah pengeluaran wisatawan di laut

dengan pengeluaran sebesar £ 63 juta. Dari dampak ekonominya, pariwisata satwa

liar di daratan memiliki dampak ekonomi bersih terbesar yakni mencapai £ 27 juta

dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.136 FTE. Sementara itu dampak

ekonomi bersih dari pariwisata satwa liar di pantai sebesar £ 24 juta dengan

menyerap sebanyak 995 FTE pekerja tambahan. Dan pariwisata satwa liar di laut

memberikan dampak ekonomi bersir sebesar £ 15 juta dengan menyerap 633 FTE

29

pekerja tambahan. Karena pengeluaran tambahan yang dibuat seperti untuk

akomodasi, barang dan jasa lebih tinggi maka dampak ekonomi bersih didominasi

oleh wisatawan yang menginap daripada yang tanpa bermalam. Wisatawan tanpa

menginap memberikan dampak ekonomi hanya sebesar £ 3 juta dengan menyerap

140 FTE pekerja tambahan, sedangkan wisatawan yang menginap telah

memberikan dampak ekonomi sebesar £ 62 juta dengan penyerapan tenaga kerja

sebesar 2.623 pekerja tambahan.

Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pariwisata telah

memberikan dampak ekonomi di suatu wilayah. Dampak ekonomi tersebut dilihat

dari aliran uang wisatawan dalam hal ini pengeluaran yang memberikan dampak

pada penyediaan tenaga kerja di sektor-sektor pendukung kegiatan wisata.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Pulau Pari yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan gugusan yang

terdiri dari beberapa pulau di sekitarnya yakni Pulau Pari itu sendiri, Pulau

Kongsi, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan Pulau Burung. Sebagai gugusan pulau,

Pulau Pari memiliki ekosistem yang khas dan lengkap dari sebuah ekosistem

tropika seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, maupun sumberdaya

hayati lainnya seperti ikan, moluska, ekhinodermata, dan lain-lain. Kelengkapan

ekosistem yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini sebagai

laboratorium alam bagi penelitian di bidang kelautan oleh berbagai

instansi/lembaga maupun perguruan tinggi. Perairan Pulau Pari juga menjadi

lahan bagi penduduk yang bermukim di pulau ini maupun disekitarnya untuk

mencari ikan maupun membudidayakan rumput laut. Beberapa dekade Pulau Pari

dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Kepulauan Seribu.

Lokasinya yang dekat dengan daratan DKI Jakarta, menjadikan perairan

Pulau Pari mendapat tekanan berupa limbah/sampah yang berasal dari tiga belas

sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Perairan Pulau Pari juga mendapat

tekanan dari dalam sendiri berupa limbah rumah tangga penduduk di pulau ini

yang langsung dibuang ke laut. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab

produksi rumput laut di pulau ini merosot drastis bahkan tidak menghasilkan sama

sekali. Di samping itu, faktor lain seperti penanganan pasca panen rumput laut

(yakni membuang air yang digunakan untuk mencuci rumput laut langsung ke

laut) juga diduga turut memperburuk produksi rumput laut di Pulau ini.

Melihat kondisi tersebut dan perkembangan usaha wisata bahari di pulau

sekitarnya seperti Pulau Tidung, serta potensi alam yang dimiliki oleh Pulau Pari,

menjadikan sebagian masyarakat mulai beralih mata pencaharian dengan

membuka usaha di bidang wisata bahari. Masyarakat Pulau Pari membuka usaha

wisata bahari seperti penginapan, penyewaan perlengkapan snorkeling dan selam,

penyewaan sepeda maupun penyewaan kapal. Masyarakat di pulau ini juga mulai

berbenah diri menyiapkan lingkungan untuk mendukung kegiatan wisata bahari di

31

Pulau Pari di antaranya dengan membuka wisata pantai yang dahulunya semak

belukar maupun lainnya yang dapat dijadikan daya tarik wisata.

Potensi keindahan alam dan kelengkapan ekosistem tropika yang dimiliki

serta berkembangnya sektor pariwisata bahari di Kepulauan Seribu menjadikan

Pulau Pari sebagai salah satu alternatif tujuan wisata bahari. Namun, apabila

matapencaharian masyarakat Pulau Pari di sektor wisata bahari hanya alasan

ekonomi dikhawatirkan pemanfaatan sumberdaya untuk kegiatan wisata bahari

berlebihan dan cenderung merusak dengan tidak adanya pembatasan jumlah

wisatawan yang sesuai dengan daya dukung. Kondisi tersebut dapat berpotensi

merusak lingkungan sehingga dapat menurunkan fungsi Pulau Pari sebagai tujuan

wisata bahari yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat di

Pulau Pari. Oleh karena itu dengan kondisi yang ada perlu dilakukan penilaian

ekonomi dan daya dukung wisata bahari di Pulau Pari.

Berdasarkan alur pikir yang telah diuraikan di atas maka pendekatan

penelitian yang akan dilakukan adalah dengan kesesuaian lahan dan daya dukung

kawasan untuk wisata bahari, nilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan

(travel cost method (TCM)), dan dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat

lokal. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 4. Pendekatan ini

diharapkan menghasilkan informasi potensi ekonomi, kesesuaian lahan, dan daya

dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari, serta dampak ekonomi

wisata bahari bagi masyarakat lokal. Informasi ini diharapkan dapat digunakan

sebagai landasan bagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya.

32

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumberdaya diGugusan Pulau Pari :-Terumbu Karang-Mangrove-Padang Lamun-Sumberdaya hayatilainnya

Laboratoriumalam untukpenelitian dibidang kelautanolehinstansi/lembaga/perguruan tinggi

Lahan budidayaRumput laut bagimasyarakat lokal

PotensiWisataBahari

Pulau Pari

KesesuaianLahan untukwisata bahari

Daya DukungFisik KawasanWisata Bahari

NilaiEkonomiWisataBahari

DampakEkonomi

Wisata Baharibagi Masyarakat

Lokal

UsahaWisataBahari

Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pari

AnalisisDeskrip

tif

Faktor-faktoryangmendorongusaha wisatabahari

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada Bulan Mei-Oktober 2012 di Pulau Pari,

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan

Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi dipilih secara sengaja dengan pertimbangan

bahwa Pulau Pari sudah dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut,

namun belakangan ini produksi menurun bahkan tidak menghasilkan sama sekali

dikarenakan oleh berbagai faktor. Melihat pesatnya perkembangan wisata bahari

di Pulau Tidung dan pulau sekitarnya, masyarakat lokal Pulau Pari mulai berusaha

di sektor pariwisata dengan potensi wisata bahari yang dimiliki pulau tersebut.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer

dan data sekunder. Data primer dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian

mengenai penilaian ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi wisata bahari

bagi masyarakat lokal. Data ini diperoleh dengan menyebarkan daftar pertanyaan

berupa kuisioner kepada pengunjung dan pelaku usaha (masyarakat lokal) wisata

bahari di Pulau Pari. Selain itu untuk mendapatkan informasi yang lebih detail

dilakukan wawancara mendalam kepada masyarakat lokal yang berusaha di sektor

wisata bahari di Pulau Pari.

Data sekunder dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian mengenai

kesesuaian lahan dan daya dukung fisik kawasan. Data sekunder lain yang relevan

dalam mendukung pembahasan penelitian diperoleh dari laporan berbagai

instansi/lembaga seperti Badan Pusat Statistik, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, maupun dari studi

literatur berupa jurnal, buku, hasil penelitian. Secara ringkas mengenai jenis dan

sumber data disajikan dalam Tabel 1.

34

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data

No Tujuan Penelitian SumberData

Jenis Data Data

1 Mengetahuikesesuaian lahanuntuk wisata baharidi Pulau Pari

DataSekunder

Kuantitatif Tutupan karang hidup Genus karang Genus ikan karang Kecerahan perairan Kecepatan arus Kedalaman terumbu karang Ketebalan mangrove Kerapatan mangrove Jenis mangrove Jenis biota Tinggi pasang surut Luas Area

2 Mengetahui dayadukung fisikkawasan

Dataprimer dansekunder

Kuantitatif Luas Area yang dapatdimanfaatkan

Waktu yang dihabiskan olehpengunjung

Waktu yang disediakan olehkawasan untuk kegiatanwisata

Unit area untuk kategoritertentu

3 Mengestimasi nilaiekonomi wisatabahari di PulauPari

DataPrimer

Kuantitatif Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Umur Jarak Biaya transportasi,

akomodasi, dan biaya lainnya

4 Dampak ekonomiwisata bahariterhadapmasyarakat lokal diPulau Pari

Dataprimer

Kuantitatif Pendapatan pemilik usaha Upah tenaga kerja Biaya modal Retribusi (pajak) Jumlah resturant/warung

makan

5 Faktor-faktor yangmendorong usahawisata bahari

Dataprimer

Kualitatif Pendapat responden (petanirumput laut/pemilikusaha/masyarakat lokal)tentang hal-hal yangmendorongbermatapencaharian di sektorwisata bahari

35

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Responden dalam penilaian ekonomi wisata bahari di Pulau Pari adalah

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Sebanyak 33 wisawatan yang sedang

berkunjung pada saat penelitian menjadi responden dan diambil secara sengaja

(accidental sampling). Responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata bahari

di Pulau Pari adalah penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha wisata bahari.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yakni memilih

penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha di sektor wisata bahari. Sebanyak 30

penduduk lokal menjadi responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata

bahari.

4.4. Metode Analisis

4.4.1. Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan di Pulau

Pari bagi wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan

persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan

dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan

digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Evaluasi kesesuaian lahan

dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau (reconaissance) dengan

kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk

pariwisata bahari. Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk pariwisata bahari

secara umum dengan menggunakan parameter-parameter yaitu kecerahan

perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang, tutupan karang hidup, kecepatan

arus, dan kedalaman (Modifikasi Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda

2007). Kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari disajikan pada Tabel 2.

Sifat atau kualitas lahan yang dimiliki di Pulau Pari dibandingkan dengan kriteria

kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari yang kemudian dibagi dan didefinisikan

secara kualitatif serta dikelompokkan sebagai berikut :

36

S1 = Sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang

besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai

pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan

tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

S2 = Cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas-

pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan

yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau

keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

S3 = Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-

pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang

harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan

atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

N = Tidak sesuai. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar atau

permanen, masih memungkinkan diatasi tetapi tidak dapat diperbaiki

dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas

sedemikian besar atau permanen, sehingga mencegah penggunaan lahan

yang lestari dalam jangka panjang.

Tabel 2 Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari

Parameter S1 S2 S3 NKecerahan perairan (m) 15-20 10-15 5-10 <5Jenis terumbu karang (Sp) >100 75-100 20-75 <20Jenis ikan karang (Sp) >70 50-70 20-50 <20Tutupan karang hidup (%) >70 50-70 20-50 <20Kecepatan Arus (m/det) 0-0,17 0,17-0,34 0,34-0,51 >0,51Kedalaman (m) :-Selam 6-15 >15-20 >20-30 >30-Snorkeling 1-3 >3-6 >6-10 >10&<1

Sumber : Dimodifikasi dari Hardjowigeno & Widiatmaka (2001) danYulianda (2007)

4.4.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari

Analisis daya dukung fisik kawasan wisata bahari di Pulau Pari

menggunakan konsep daya dukung kawasan (Yulianda 2007). Daya dukung

kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung

37

dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan

pada alam dan manusia. Daya dukung kawasan (DDK) dihitung menggunakan

formulasi sebagai berikut := .................................................................................... (4.1)

Dimana :

DDK = Daya Dukung Kawasan (orang)

K = Potensi ekologis pengunjung per unit area (orang)

Lp = Luas area yang dapat dimanfaatkan (m2)

Lt = Unit area untuk kategori tertentu (m2)

Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu

hari (jam/hari)

Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu

(jam/hari)

4.4.3. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari

Untuk menduga nilai ekonomi wisata bahari di Pulau Pari digunakan

metode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM). Metode ini

mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat

rekreasi. Dengan mengetahui pola dari pengeluaran konsumen, maka dapat

mengkaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen terhadap sumberdaya

alam dan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari

sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari

sumberdaya tersebut (Fauzi 2004).

Tahap pertama dari TCM (Adrianto 2006) adalah menduga jumlah

kunjungan berdasarkan fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang

terkait dengan permintaan terhadap kunjungan seperti yang ditampilkan dalam

persamaan (4.5):

38

= ( , , , …… . . , ) + ..................................................... (4.5)

Dimana :

V = Tingkat kunjungan (Kali)

X1 = Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata (Rp/Kunjungan)

X2 = Biaya yang dikeluarkan menuju lokasi alternatif (Rp/Kunjungan)

X3 = Jumlah rombongan (Orang)

X4 = Lama menginap (Malam)

X5 = Waktu yang dibutuhkan ke Pulau Pari (Menit)

X6 = Waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (Jam)

X7 = Waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (Menit)

X8 = Usia (Tahun)

X9 = Pendidikan (Tahun)

X10 = Pendapatan (Rp/Bulan)

Kemudian langkah kedua adalah menduga fungsi biaya perjalanan dengan

persamaan := + + ………+ +∈ ..................................................... (4.6)

Dengan menggunakan teknik regresi (Ordinary Least Square), maka

parameter β0, β1........., β10 dapat diestimasi. Surplus rata-rata individu kemudian

dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan :

= ......................................................................................................... (4.7)

Dimana :

Vi = Tingkat kunjungan individu

β1 = Nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan

Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat

diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen rata-rata individu pada

persamaan diatas dengan total kunjungan pada tahun tertentu dengan

menggunakan persamaan :

39

= .................................................................................................. (4.8)

Dimana :

TCS = Total consumers surplus

CSi = Konsumen surplus individu

Vt = Total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke-t)

4.4.4. Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi Masyarakat Lokal

Faktor-faktor yang mendorong masyarakat lokal berusaha di sektor wisata

bahari diperoleh dari pendapat/alasan responden melalui pertanyaan dalam

kuisioner maupun wawancara mendalam. Jawaban dari responden dianalisis

secara deskriptif dilengkapi dengan tabulasi/diagram.

Dampak ekonomi wisata bahari terhadap masyarakat lokal dilakukan

dengan menelusuri arus pengeluaran uang dari wisatawan yang terkait dengan

wisata bahari di Pulau Pari. Langkahnya dimulai dari identifikasi perubahan

dalam pendapatan pelaku usaha wisata bahari, serta pendapatan dan pengeluaran

penduduk lokal yang bekerja di usaha wisata bahari. Dampak ekonomi diukur

dengan menggunakan efek pengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi.

Efek pengganda ini dihitung menggunakan Program Microsoft Excel 2007. Dalam

mengukur dampak ekonomi kegiatan wisata bahari di tingkat lokal, digunakan

dua tipe pengganda, yaitu (META 2001) :

1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa

besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan

masyarakat.

2. Ratio Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar

dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak

pada keseluruhan ekonomi lokal (dampak tidak langsung dan dampak

induced).

40

Secara matematis dirumuskan :

= .................................................. (4.2)

, = ................................................. (4.3)

, = ................................................ (4.4)

Dimana :

E = Jumlah pengeluaran wisatawan (Rupiah)

D = Pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari E (Rupiah)

N = Pendapatan lokal yang diperoleh secara tidak langsung dari E (Rupiah)

U =Pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari E (Rupiah).

V. KONDISI UMUM PULAU PARI

5.1. Lokasi Penelitian

Secara geografis Pulau Pari terletak antara 050 50’ LS hingga 050 52’ LS

dan 1060 34’ BT hingga 1060 38’ BT. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya

di sebelah utara DKI Jakarta dan Tangerang. Berdasarkan Peraturan Daerah

Propinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan Kecamatan

Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu, Pulau Pari termasuk ke dalam Kelurahan Pulau

Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kelurahan Pulau Pari merupakan

gugusan pulau dan perairan laut dengan 12 pulau yang tersebar di perairan lautnya

termasuk Pulau Pari itu sendiri. Sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi DKI

Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dua

pulau yang diperuntukan sebagai kawasan pemukiman di Kelurahan Pulau Pari

adalah Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari itu sendiri. Kelurahan Pulau Pari

terdiri atas 4 Rukun Warga (RW) dan 14 Rukun Tetangga (RT), adapun RW 04

terletak di Pulau Pari.

Lokasi Pulau Pari dapat ditempuh dari tiga akses utama yakni dermaga

Rawasaban-Tangerang, dermaga Kali Adem-Muara Angke Jakarta, dan dermaga

Muara Angke-Jakarta (pada hari libur saja). Perjalanan dari dermaga Rawasaban-

Tangerang dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal kayu reguler

yang beroperasi dengan jadwal pemberangkatan pukul 12.00 wib tiap harinya dan

keesokan harinya kembali ke Tangerang dari dermaga Pulau Pari pada pukul

06.00 wib tiap harinya. Tarif kapal per orang dari dermaga Rawasaban-Tangerang

dikenakan Rp. 15.000,-. Dari dermaga Kaliadem-Muara Angke Jakarta, Pulau Pari

dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal speedboat Kerapu milik

Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta yang beroperasi tiap hari dengan

dua waktu pemberangkatan yakni pukul 08.00 wib dan pukul 12.00 wib. Jika

kondisi cuaca tidak memungkinkan keberangkatan yang kedua yakni pada pukul

12.00 wib dapat dibatalkan. Untuk menggunakan kapal ini, per orangnya

dikenakan tarif Rp. 26.000,- dan orang yang akan berangkat diharuskan mengantri

42

lebih dini agar mendapat kursi sebab kapal kerapu ini tidak hanya melayani tujuan

ke Pulau Pari saja tetapi dalam satu perjalanan juga melayani tujuan ke pulau-

pulau lain di Kepulauan Seribu. Kapal kerapu tersebut akan kembali ke Jakarta

pada hari yang sama yakni pada pukul 10.00 wib dan 15.00 wib dari Pulau Pari.

Pada akhir pekan atau hari libur, penumpang dapat menggunakan kapal kayu yang

berangkat dari dermaga Muara Angke pada pukul 07.00 wib dan dikenakan tarif

Rp. 35.000,- per orang. Kapal kayu tersebut melayani berbagai tujuan pulau-pulau

di Kepulauan Seribu. Kapal ini akan kembali lagi ke Jakarta pada keesokan

harinya pada pukul 12.00 wib dari Pulau Pari.

5.2. Kondisi Kependudukan

5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Kelurahan Pulau Pari merupakan gugusan pulau dan perairan laut yang

mempunyai luas wilayah daratan 94,67 hektar. Berdasarkan statistik

kependudukan di RT sampai bulan Januari 2012, jumlah penduduk di Kelurahan

Pulau Pari mencapai sebanyak 2.372 jiwa yang terdiri dari 1.229 laki-laki dan

1.143 perempuan. Meskipun tidak ada perbedaan yang cukup mencolok antara

jumlah penduduk laki-laki dan perempuan namun jumlah penduduk laki-laki

memiliki proporsi yang lebih banyak yakni mencapai 51,81 persen dibanding

penduduk perempuan yang hanya mencapai 48,19 persen. Rasio jenis kelamin

adalah 107, yang berarti pada setiap 100 perempuan terdapat 107 laki-laki.

Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok umur

dan jenis kelamin terlihat di Tabel 3.

43

Tabel 3 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis KelaminKelurahan Pulau Pari Tahun 2012

Kelompok Umur(Tahun)

Laki-Laki(Jiwa)

Perempuan(Jiwa)

Jumlah(Jiwa)

0-4 110 114 2245-9 125 118 243

10-14 112 118 23015-19 111 99 21020-24 105 92 19725-29 127 116 24330-34 109 105 21435-39 102 97 19940-44 89 81 17045-49 66 67 13350-54 57 45 10255-59 42 33 7560-64 26 26 5265-69 30 20 5070-74 11 5 16

75 keatas 7 7 14Jumlah 1.229 1.143 2.372

Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)

Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok

umur yang terlihat dari Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi penduduk

cenderung semakin kecil pada kelompok umur yang lebih tua. Penduduk yang

berusia di bawah 15 tahun sebanyak 697 jiwa atau sebesar 29,38 persen. Struktur

penduduk Kelurahan Pulau Pari termasuk kategori umur ‘sedang’. Penduduk usia

produktif (15-64 tahun) mencapai 1.595 jiwa atau 67,24 persen. Penduduk lanjut

usia/lansia (65 ke atas) sebanyak 80 jiwa atau 3,37 persen.

Kelurahan Pulau Pari memiliki dua pulau yang berpenduduk yakni Pulau

Lancang Besar dan Pulau Pari. Pulau Pari merupakan pulau berpenduduk yang

lebih luas dibanding Pulau Lancang Besar. Adapun luas Pulau Pari sendiri

mencapai 41,32 hektar atau 73,20 persen sedangkan luas Pulau Lancang Besar

hanya mencapai 15,13 hektar atau 26,80 persen. Berdasarkan jumlah penduduk,

meskipun Pulau Pari adalah pulau terluas namun jumlah penduduknya lebih

sedikit dibanding Pulau Lancang Besar yang luas pulaunya lebih kecil. Hal ini

dikarenakan Pulau Lancang Besar menjadi pusat pemerintahan Kelurahan Pulau

44

Pari dimana berdiri kantor Kelurahan Pulau Pari. Jumlah penduduk di Kelurahan

Pulau Pari menurut pulau-pulau yang berpenduduk terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah Penduduk menurut Pulau-Pulau yang Berpenduduk diKelurahan Pulau Pari Tahun 2012

Nama Pulau Laki-Laki(Jiwa)

Perempuan(Jiwa)

Jumlah(Jiwa)

Pulau Lancang Besar 761 693 1.454Pulau Pari 468 450 918Jumlah 1.229 1.143 2.372

Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)

Jumlah penduduk menurut pulau-pulau yang berpenduduk di Kelurahan

Pulau Pari seperti yang tercatat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa Pulau Lancang

Besar berpenduduk lebih banyak dibanding dengan Pulau Pari. Penduduk di Pulau

Lancang Besar mencapai 1.454 jiwa atau 61,30 persen dengan kepala keluarga

(KK) sebanyak 444 KK sedangkan penduduk di Pulau Pari hanya mencapai 918

jiwa atau 38,70 persen dengan kepala keluarga (KK) sebanyak 265 KK.

Berdasarkan luas dan jumlah penduduk, maka kepadatan penduduk di Pulau

Lancang Besar lebih padat dibanding Pulau Pari dengan kepadatan penduduk

mencapai 96 jiwa/ha sedangkan kepadatan penduduk di Pulau Pari mencapai 22

jiwa/ha. Penduduk yang relatif tidak padat di Pulau Pari berpeluang terjadinya

migrasi ke pulau tersebut.

5.2.2. Tingkat Pendidikan Penduduk

Jumlah penduduk dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan tingkat pendidikan penduduk di

Kelurahan Pulau Pari masih rendah. Keadaan ini digambarkan dengan jumlah

penduduk yang berpendidikan tamat akademi/perguruan tinggi hanya mencapai

1,52 persen dari jumlah penduduk keseluruhan di Kelurahan Pulau Pari yang

berjumlah 2.372 jiwa. Meskipun demikian penduduk di Kelurahan Pulau Pari

kebanyakan telah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Keadaan ini

digambarkan dengan jumlah penduduk yang berpendidikan tamat SLTP mencapai

20,40 persen sedangkan yang berpendidikan tamat SMA mencapai 17,92 persen

45

dari total penduduk di Kelurahan Pulau Pari. Tingginya persentase penduduk di

Kelurahan Pulau Pari yang berpendidikan SMP dikarenakan SMA hanya berdiri

di pulau tertentu saja di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sehingga

penduduk yang berkeinginan melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA

mengharuskan menuju ke pulau dimana SMA tersebut berada.

Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurut TingkatPendidikan Tahun 2012

Uraian Jumlah (Jiwa)Belum Sekolah 247Belum Tamat SD 375Tidak Tamat SD 424Tamat SD 381Tamat SLTP 484Tamat SLTA 425Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 36

Total 2.372Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)

Pulau Pari merupakan pulau yang memiliki bangunan sekolah sampai

dengan jenjang pendidikan SMP. Di pulau ini terdapat SD dan SMP yang berada

di lokasi yang sama sehingga penduduk mengenalnya dengan sekolah satu atap.

Tingkat pendidikan penduduk Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 6 yang

menunjukkan bahwa penduduk di Pulau Pari kebanyakan berpendidikan tamat SD

yakni mencapai 20,26 persen dari jumlah penduduk Pulau Pari yang mencapai

918 jiwa. Penduduk Pulau Pari yang berpendidikan akademi/perguruan tinggi

hanya mencapai 1,31 persen atau sebanyak 12 orang, sedangkan jumlah penduduk

yang berpendidikan SLTP sama dengan SMA masing-masing mencapai 17,21

persen dari jumlah penduduk di Pulau Pari.

46

Tabel 6 Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-Pulau Berpendudukdi Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012

Uraian Pulau Lancang Besar(Jiwa)

Pulau Pari(Jiwa)

Belum Sekolah 139 108Belum Tamat SD 256 119Tidak Tamat SD 247 177Tamat SD 195 186Tamat SLTP 326 158Tamat SLTA 267 158Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 24 12

Jumlah 1.454 918Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)

5.2.3. Mata Pencaharian

Penduduk Kelurahan Pulau Pari dari angkatan kerja pada usia produktif

(15 s/d 60 tahun) mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan lainnya sebagai PNS,

TNI, Polri, Buruh, Pedagang dan Wiraswasta. Jumlah penduduk di Kelurahan

Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai nelayan meencapai 64,34 persen.

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terlihat Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari Menurut MataPencaharian Tahun 2012

Mata Pencaharian Jumlah (Orang)Nelayan 543

Tani (rumput laut) 115

Pedagang 27

Karyawan swasta 16TNI/Polri 8

Pegawai Negeri Sipil 32

Buruh 26

Pensiunan 2Lainnya 75

Total 844Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)

47

Tabel 7 menunjukkan bahwa selain sebagai nelayan, terdapat penduduk di

Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut. Jumlah

penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut

mencapai 13,63 persen. Kelurahan Pulau Pari pernah dikenal sebagai salah satu

sentra produksi rumput laut di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Mata

pencaharian penduduk Kelurahan Pulau Pari lainnya adalah sebagai Pegawai

Negeri Sipil. Jumlah Penduduk yang berprofesi sebagai PNS mencapai 3,79

persen. Seiring berkembangnya kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu,

terdapat penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang mulai bermatapencaharian di

bidang wisata bahari misalnya penyedia kebutuhan-kebutuhan wisatawan

(penginapan, makanan, sewa kapal snorkeling, sepeda), pendamping wisatawan

(guide) maupun lainnya. Tabel 6 hanya memperlihatkan jumlah penduduk di

Kelurahan Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai pedagang yang mencapai

3,20 persen dari jumlah angkatan kerja pada usia produktif (15 s/d 60 tahun). Data

yang ada belum membedakan menurut pulau-pulau yang berpenduduk (Pulau

Lancang Besar dan Pulau Pari). Hasil penelitian Whouthuyzen (2008)

menunjukkan bahwa bidang pekerjaan utama penduduk di Pulau Pari adalah

petani rumput laut (43%), nelayan (31%), sedangkan sisanya bermacam-macam

pekerjaan antara lain guru, PNS, wiraswasta dan lainnya.

5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 1986

Tahun 2000 tentang pemecahan, pembentukan, penetapan, batas dan luas

kecamatan-kecamatan di Kepulauan Seribu, gugusan Pulau Pari terdiri dari tujuh

buah pulau dengan peruntukan masing-masing yaitu Pulau Karang Kudus

(pariwisata), Pulau Biawak (penghijauan), Pulau Tengah (rekreasi/penghijauan),

Pulau Kongsi (rekreasi/pariwisata), Pulau Burung (rekreasi/pariwisata), Pulau Pari

(Perumahan), dan Pulau Tikus (penghijauan Laut) (Mulia 2004). Selama ini

kawasan gugusan Pulau Pari lebih dikenal sebagai tempat untuk melakukan

penelitian, sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Kawasan

gugusan Pulau Pari dengan keunikan ekosistemnya memiliki potensi untuk wisata

bahari. Keberadaan gugusan Pulau Pari dengan segala potensi yang dimilikinya

48

diharapkan mampu menjadi salah satu kawasan wisata yang handal dan

memberikan kontribusi peningkatan kesejahteraan bagi penduduk lokal.

Berkembangnya wisata bahari di Kepulauan Seribu dan di saat menurunnya hasil

panen rumput laut membuat penduduk lokal mulai menjadikan gugusan Pulau

Pari sebagai lokasi tujuan wisata bahari. Berawal dari dorongan biro perjalanan

wisata, penduduk lokal membuka kawasan di Pulau Pari untuk dijadikan sebagai

objek wisata bahari.

Pengelolaan kawasan wisata di Pulau Pari tidak terlepas pula dari

permasalahan lama yang terjadi di wilayah ini. Status kepemilikan dan

penggunaan lahan di Pulau Pari menjadi permasalahan yang sampai saat ini belum

tuntas antara penduduk lokal dengan pihak yang mengklaim memiliki hak

kepemilikan serta izin menggunakan dan mengembangkan lahan di Pulau Pari.

Ketiadaan dokumen sah yang dimiliki, menjadikan penduduk lokal sulit leluasa

mengembangkan dan menggunakan lahan di Pulau Pari terutama untuk

mendirikan bangunan atau mengembangkan/memperluas bangunan pada lahan

baru. Dalam pemanfaatannya penduduk lokal hanya dapat menggunakan lahan

secara terbatas. Penduduk tidak diperbolehkan membuat bangunan baru secara

permanen di lahan lain selain yang ditempati selama ini oleh penduduk.

Landasan bagi penduduk lokal untuk mengembangkan wisata di Pulau

Pari adalah Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta Nomor 1592

Tahun 1982 tentang pembagian lahan atau tanah di Pulau Pari. Dalam surat

keputusan tersebut Pulau Pari dibagi kedalam tiga zonasi pemanfaatan yaitu 50

persen untuk kawasan pariwisata, 40 persen untuk daerah pemukiman dan sekitar

10 persen untuk daerah penelitian kelautan (Mulia 2004). Legal formal inilah

yang sampai dengan saat ini masih menjadi landasan bagi sebagian penduduk

lokal dalam memanfaatkan Pulau Pari sebagai kawasan wisata di tengah berbagai

permasalahan mengenai status kepemilikan dan hak guna lahan yang masih belum

tuntas sampai saat penelitian ini dilakukan.

Terdapat beberapa lokasi yang menjadi objek wisata khususnya di Pulau

Pari. Lokasi tersebut antara lain Pantai Pasir Perawan yang terletak di sisi utara-

timur Pulau Pari dan Pantai Kresek yang terletak di sisi barat-selatan serta ujung

49

barat Pulau Pari yang merupakan lokasi dimana pusat penelitian kelautan milik

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada. Pantai perawan di sisi utara-

timur Pulau Pari dahulunya merupakan lahan dengan tutupan semak belukar yang

kemudian oleh penduduk lokal dibenahi dan saat ini menjadi tujuan utama wisata

bahari di Pulau Pari. Pasir putih dan ombak yang tenang serta pemandangan

mangrove di depan pantainya menjadikan pantai pasir perawan ramai dikunjungi

oleh wisatawan. Lokasi pantai pasir perawan merupakan lahan yang diklaim

menjadi hak milik penduduk setempat dan turun-temurun diwariskan kepada

keturunannya. Oleh karena itu pengelolaan wisata di pantai pasir perawan dikelola

oleh keluarga yang umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan

pemilik lahan tersebut. Di Pantai pasir perawan berdiri beberapa warung makan

yang pemiliknya mempunyai hubungan keluarga. Fasilitas-fasilitas yang terdapat

di pantai ini antara lain tempat duduk umum dilengkapi dengan saung-saung

beratapkan jerami serta fasilitas umum seperti toilet umum, lapangan olahraga

volley maupun sepak bola kecil (futsal). Untuk masuk ke pantai pasir perawan,

wisatawan dikenakan tarif masuk sebesar Rp. 3.500,- per orang. Umumnya biaya

tarif masuk ini sudah termasuk di dalam harga paket wisata dari biro perjalanan

sehingga apabila wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan tinggal

menyebutkan nama biro perjalanannya. Selanjutnya, pengelola pantai perawan

akan menagihkan pada guide yang membawa wisatawan tersebut. Tarif masuk

yang dikenakan ini kemudian dikelola untuk digunakan dalam pengembangan

fasilitas maupun kebersihan pantai pasir perawan. Untuk kebersihan pantai

perawan terdapat petugas yang setiap pekannya akan membersihkan pantai

perawan setelah wisatawan kembali ke Jakarta.

Berbeda dengan pantai pasir perawan, kawasan wisata pantai kresek yang

terletak di sisi selatan-barat Pulau Pari tidak dikelola secara kekeluargaan dan

merupakan kawasan yang masih open access dimana belum dikenakan tarif

masuk. Pantai kresek juga menawarkan pantai berpasir putih dengan

pemandangan langsung ke arah daratan Jakarta. Di lokasi ini berdiri warung yang

menyediakan minuman dan makanan kecil seperti mie rebus dan lainnya dimana

pemilik warung adalah penduduk lokal setempat yang sekaligus membersihkan

pantai ini setiap pekan setelah wisatawan kembali ke Jakarta.

50

Di sisi ujung barat Pulau Pari, berdiri fasilitas penelitian milik LIPI

dimana memiliki daya tarik sebagai objek wisata bagi wisatawan. Selain

pantainya di sisi selatan dan utara, lokasi di dermaga barat LIPI sering pula

dijadikan oleh wisatawan sebagai lokasi menunggu waktu terbenamnya matahari.

Lokasi ini dikelola oleh satuan kerja LIPI bernama Unit Pelaksana Teknis Loka

Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari dengan

fasilitas penelitian seperti laboratorium maupun pra sarana pendukung seperti

penginapan untuk peneliti, ruang rapat serta ruang display koleksi biota laut. Pra

sarana dan sarana yang berada di lokasi tersebut difungsikan untuk kegiatan

khusus penelitian kelautan serta untuk pendidikan dan pelatihan dalam

peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang kelautan. Lokasi LIPI di

Pulau Pari sering pula digunakan oleh LIPI untuk mengadakan wisata edukasi

kelautan dengan peserta seperti berasal dari sekolah, perguruan tinggi maupun

perusahaan swasta.

Untuk memasuki lokasi LIPI, wisatawan tidak dikenakan tarif dan masih

diperkenankan masuk untuk menikmati objek wisata di lokasi tersebut.

Wisatawan umum dapat menyewa penginapan LIPI sebagai tempat menginap

selama di Pulau Pari jika fasilitas tersebut tidak sedang digunakan. Sebelum

berkembangnya rumah-rumah penduduk lokal yang disewakan sebagai tempat

menginap, fasilitas penginapan LIPI menjadi satu-satunya alternatif menginap

bagi masyarakat umum yang berkunjung ke Pulau Pari.

Berkembangnya kegiatan wisata bahari dengan meningkatnya jumlah

pengunjung ke Pulau Pari dapat berpotensi mengganggu kegiatan penelitian

kelautan yang sedang dilakukan khususnya penelitian yang harus terhindar dari

pengaruh kegiatan manusia. Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan konflik

pemanfaatan antara LIPI dengan pengunjung serta masyarakat lokal. Oleh karena

itu pengelolaan kawasan LIPI perlu mempertimbangkan berbagai kepentingan

dari stakeholder terkait. Lokasi LIPI memiliki daya tarik wisata namun di sisi lain

seperti sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta

Nomor 1592 Tahun 1982 merupakan bagian dari 10 persen Pulau Pari yang

diperuntukan untuk daerah penelitian kelautan. Oleh karena itu solusi dari potensi

51

permasalahan yang akan muncul tersebut perlu diselesaikan secara bersama-sama

melibatkan stakeholder terkait (LIPI, operator wisata, masyarakat) untuk

mendapatkan solusi yang terbaik tanpa ada pihak yang dirugikan.

Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah memberikan dampak berupa

terciptanya unit-unit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari.

Unit-unit usaha tersebut antara lain penyewaan homestay, kapal, alat snorkeling,

sepeda, catering maupun warung-warung makan. Kegiatan wisata bahari telah

pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal menjadi operator

wisata, pemandu wisatawan (guide) dan tenaga memasak.

Homestay mulai bermunculan seiring dengan meningkatnya jumlah

wisatawan ke Pulau Pari. Homestay di Pulau Pari merupakan rumah penduduk

lokal yang difungsikan/disewakan sebagai tempat menginap bagi wisatawan. Jenis

homestay di Pulau Pari terdiri dari homestay ber-AC dan non-AC. Pengelolaan

homestay tersebut langsung dikelola oleh pemilik rumah yang menjadikan

rumahnya sebagai tempat penginapan bagi wisatawan. Beberapa pemilik rumah

memasang papan nama yang menunjukkan bahwa rumahnya disewakan sebagai

tempat penginapan. Dalam pengelolaan homestay tersebut, pemilik rumah

sebagian besar sudah memiliki hubungan dengan operator wisata yang juga

merupakan penduduk lokal Pulau Pari. Hubungan kekeluargaan dan kedekatan

umumnya melatarbelakangi bentuk hubungan antara operator wisata dengan

pemilik homestay. Pemilik rumah tidak kesulitan mencari wisatawan karena

umumnya operator wisata akan mengarahkan wisatawan tersebut ke homestay-

homestay yang memiliki hubungan dengan operator wisata tersebut. Pada kondisi

peak season pemilik rumah hanya tinggal menyiapkan dan menunggu wisatawan

masuk ke dalam rumahnya. Pemilik rumah umumnya akan keluar dan

menggunakan halaman belakang rumah untuk hunian sementara atau menumpang

pada sanak saudara lainnya apabila rumahnya disewakan sebagai tempat

menginap. Pemilik homestay umumnya juga memiliki unit usaha lain seperti

penyewaan alat snorkeling dan sepeda. Sama halnya pemilihan homestay,

operator wisata juga akan mengutamakan menyewa alat snorkeling maupun

sepeda dari pelaku usaha yang memiliki hubungan kedekatan/kekeluargaan.

52

Unit usaha lain yang muncul dengan adanya kegiatan wisata bahari di

Pulau Pari adalah penyewaan kapal untuk snorkeling. Unit usaha ini umumnya

dimiliki oleh penduduk lokal yang memiliki kapal. Sama halnya dengan

pengelolaan homestay, pengusahaan penyewaan kapal untuk kegiatan snorkeling

berhubungan langsung dengan operator wisata yang telah memiliki kedekatan

maupun hubungan keluarga. Artinya operator wisata akan mengutamakan

menggunakan kapal untuk snorkeling dari penduduk lokal yang memiliki

hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya. Pengoperasian kapal untuk

kegiatan snorkeling tersebut juga umumnya dijalankan bukan oleh pemilik kapal.

Pemilik kapal akan mempekerjakan sanak saudaranya untuk mengoperasikan

kapal dan nantinya akan bagi hasil dengan pemilik kapal tersebut. Khusus untuk

kapal yang digunakan sebagai wisata olahraga air (water sport) adalah milik

investor dari Jakarta yang dititipkan kepada penduduk lokal untuk dioperasikan

dan nantinya berbagi hasil dari pendapatan yang diperoleh.

Kegiatan wisata bahari turut pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi

penduduk lokal diantara sebagai operator wisata, pemandu wisatawan maupun

tenaga memasak. Dahulu, operator wisata merupakan penduduk lokal yang

menjadi pemandu wisatawan (guide), karena pengalamannya sebagai guide maka

memutuskan untuk menjadi operator wisata. Operator wisata umumnya menerima

limpahan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta maupun menerima

wisatawan langsung yang akan berkunjung ke Pulau Pari. Penduduk lokal yang

menjadi guide umumnya merupakan sanak saudara dari operator wisata maupun

teman dekat atau tetangga dekat rumahnya. Demikian pula penduduk lokal yang

menjadi tenaga memasak umumnya merupakan tetangga rumah dari pemilik

usaha catering.

Unit-unit usaha yang muncul akibat adanya kegiatan wisata bahari di

Pulau Pari akan dipungut iuran oleh Forum Pemuda Wisata Bahari Pulau Pari

(FORSIR). Adapaun unit usaha yang dipungut iuran adalah pemilik homestay,

kapal, alat snorkeling, dan usaha catering. Besaran tarif iuran tersebut berbeda

menurut jenis usahanya. Pemilik homestay akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp.

15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik kapal yang kapalnya digunakan

53

untuk aktivitas snorkeling akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai

dengan Rp. 20.000,- tergantung besar kapasitas kapal. Tarif iuran yang dikenakan

kepada pemilik kapal adalah untuk per kapal per sekali snorkeling, sedangkan

pemilik usaha water sport akan digunakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang

dan untuk pemilik sampan akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per

sampan untuk sekali jalan. Pemilik usaha penyewaan alat snorkeling akan

dikenakan tarif iuran Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling per sekali pakai,

sedangkan iuran sebesar Rp. 500,- per orang akan dikenakan kepada pemilik

usaha catering.

Forum Pemuda Wisata Bahari (FORSIR) Pulau Pari dibentuk pada tanggal

1 April 2012 dikukuhkan dengan SK Lurah Pulau Pari No. 04/1.823.621/2012

tentang pembentukan dan pengukuhan FORSIR Pulau Pari. Kepengurusan

FORSIR terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara dengan anggota

merupakan para pemilik unit usaha wisata bahari di Pulau Pari. Anggota FORSIR

yang merupakan pemilik unit usaha wisata bahari akan dikenakan iuran per

pekannya apabila unit usaha yang dimiliki digunakan oleh wisatawan. Adapun

pemilik unit usaha akan dikenakan iuran dengan besaran tarif seperti pada uraian

sebelumnya. Iuran ini selanjutnya akan dikelola oleh pengurus FORSIR untuk

digunakan dalam pengembangan fasilitas di Pulau Pari. Iuran yang dipungut dari

para pemilik unit usaha kemudian dialokasikan sebanyak 70 persen yang terdiri

dari 50 persen untuk peningkatan kapasitas di Pulau Pari seperti penambahan

tempat sampah dan kebersihan ataupun lainnya yang berhubungan dengan

fasilitas pendukung wisatawan, sedangkan 20 persennya digunakan untuk

kegiatan masyarakat yang terbagi atas lima pos yakni untuk ke Rukun Warga,

masjid, madrasah, santunan anak yatim, dan pemakaman.

VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK

KAWASAN WISATA BAHARI

6.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun

2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 merupakan produk hukum

terbaru yang mengatur mengenai tata ruang dan peruntukan wilayah di Provinsi

DKI Jakarta termasuk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dalam

peraturan daerah tersebut pola ruang daratan (pulau) di Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu meliputi sebagai kawasan terbuka hijau; kawasan permukiman;

kawasan taman arkeologi; kawasan pariwisata; kawasan lindung yang berada di

Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa. Menurut peraturan daerah

tersebut penggunaan ruang daratan Pulau Pari ditetapkan sebagai kawasan

permukiman. Untuk mendukung perwujudan kawasan permukiman sebagai

kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan wisata dapat dibangun wisma

dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat pelayanan jasa

wisata.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun

2012 tersebut tidak tersurat secara detail menyebutkan pulau-pulau mana saja

yang diperuntukan untuk kawasan pariwisata. Peraturan Daerah tersebut hanya

menyebutkan bahwa rencana pengembangan kawasan pariwisata dilaksanakan di

pulau peruntukan pariwisata, dan pemanfaatan diarahkan untuk usaha pariwisata

yang bersifat terbuka untuk umum. Usaha pariwisata yang dimaksud didukung

dengan peningkatan kualitas lingkungan daratan pulau dan perairan laut

sekitarnya, dengan wajib menjaga dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang,

hutan mangrove, dan padang lamun agar tetap baik, tumbuh dan lestari.

Kawasan gugusan Pulau Pari adalah daerah yang memiliki keunikan

tersendiri dengan ekosistem khas perairan tropis yang lengkap seperti terumbu

karang, hutan mangrove dan padang lamun. Selama ini kawasan gugusan Pulau

Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk objek penelitian sedangkan aspek

pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan Pulau Pari dapat menjadi tujuan

wisata bahari bagi penduduk dari luar pulau. Wisata utama dari Pulau Pari adalah

55

keindahan laut dan ekosistem khas perairan tropis yang dimilikinya. Wisatawan

yang datang mengunjungi Pulau Pari dapat melakukan berbagai aktivitas

diantaranya snorkeling dan scuba diving sambil mengenal beragam tumbuhan dan

hewan di ekosistem terumbu karang, memancing ikan, mengunjungi tempat

budidaya rumput laut dan ikan maupun perkampungan penduduk lokal. Potensi

yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari tersebut menjadikan daerah ini mulai

dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Melihat potensi yang

dimiliki oleh Pulau Pari untuk kegiatan wisata bahari maka analisis kesesuaian

lahan Pulau Pari untuk wisata bahari dilakukan.

Evaluasi lahan digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan Pulau Pari

untuk wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan

persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan

dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan

digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Analisis kesesuaian lahan

dilakukan untuk pariwisata bahari secara umum dengan menggunakan parameter-

parameter yaitu kecerahan perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang,

tutupan karang hidup, kecepatan arus, dan kedalaman (Dimodifikasi dari

Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda 2007).

6.1.1. Kecerahan Perairan

Kecerahan perairan gugusan Pulau Pari menggunakan data yang

dikumpulkan oleh Abrar (2011). Kecerahan gugusan Pulau Pari diukur di dua

lokasi yakni ST1-pari dan ST2-tikus. Stasiun penelitian ST1-pari berada antara

selatan-barat Pulau Pari atau selatan-Timur Gugus Pulau Pari pada posisi 050 52’

212’’ LS dan 1060 36’ 754’’ BT. Sementara itu ST2-tikus berada pada sisi utara

Pulau Tikus atau utara-barat Gugus Pulau Pari dengan posisi 050 51’ 168’’ LS dan

1060 34’ 795’’ BT. Peta lokasi pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5.

Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu bulan yaitu Maret

sampai Agustus 2010 (T0-T5) dan interval waktu 3 bulan yaitu September sampai

November 2010 (T5-T6).

56

Gambar 5 Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)

Hasil pengukuran kecerahan perairan pada ST1-pari menunjukkan adanya

variasi setiap bulan pengamatan. Secara umum nilai kecerahan semakin menurun

selama bulan pengamatan, walaupun terjadi fluktuatif dengan kisaran tertinggi

mencapai 14 meter pada saat T0 dan terendah adalah 5 meter pada saat T6.

Kondisi kecerahan yang sama juga terlihat pada stasiun ST2-tikus yaitu cenderung

menurun selama bulan pengamatan walaupun terjadi kenaikan saat akhir

pengamatan. Nilai kecerahan paling tinggi mencapai 17 meter pada waktu T1 dan

nilai paling rendah yaitu 8 meter pada T3 dan T6 (Abrar 2011). Kecerahan

perairan pada dua lokasi pengamatan selama bulan pengamatan terlihat pada

Tabel 8.

Tabel 8 Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari pada Dua Stasiun Penelitianselama Bulan Pengamatan

Stasiun T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

ST1-pari 14 12 7 7 10 13 5

ST2-tikus 9 17 11 8 10 12 8

Sumber : Abrar (2011)

Kecerahan perairan Pulau Pari pada dua stasiun penelitian selama bulan

pengamatan yang terbaca dari Tabel 8 menunjukkan bahwa kecerahan perairan

Pulau Pari 5-17 meter. Kecerahan perairan terendah yakni 5 meter terukur pada

T6 di ST1-pari sedangkan kecerahan perairan tertinggi yakni 17 meter terukur

ST2-Tikus

ST1-Pari

57

pada T1 pada ST2-tikus. Dari data di kedua stasiun peneltian selama bulan

pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kecerahan perairan Pulau Pari adalah

10,21 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan pariwisata bahari maka

kecerahan perairan pulau pari masuk kedalam kategori S2 yang berarti sesuai

untuk kegiatan parwisata bahari.

6.1.2. Kedalaman

Kedalaman di sekitar gugusan Pulau Pari berdasarkan data yang

dikumpulkan oleh Whouthuyzen et al. (2008). Pemetaan perairan dangkal

gugusan Pulau Pari dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi

kedalaman. Pemetaan perairan dangkal dilakukan menggunakan data citra satelit

FORMOSAT beresolusi 8 meter dengan mengaplikasikan algoritma. Pada

algoritma tersebut dibutuhkan data kedalaman in situ yang diukur menggunakan

Echo Sounder Garmin 420-C yang dipasang pada perahu motor kerja yang

dilengkapi pula dengan GPS, sehingga diperoleh data kedalaman berikut

koordinatnya (lintang dan bujur). Luasan perairan dangkal di gugusan Pulau Pari

menurut kedalaman dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 6.

Tabel 9 Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman

Kedalaman (m) Luas (Ha)

<1 6,62

1-2 452,31

2-4 400,44

4-6 86,80

6-8 61,64

8-10 54,60

10-20 245,27

20-30 212,54

>30 4089,57

Sumber : Wouthuyzen et al. (2008)

58

Gambar 6 Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)

Gugusan Pulau Pari merupakan gugusan pulau-pulau yang termasuk ke

dalam tipe pulau karang timbul dan pulau dataran rendah. Terumbu karang

mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut (Asriningrum 2005 in Abrar

2011). Rataan terumbu adalah bagian terumbu paling luas yaitu dengan panjang

berkisar 400-1500 meter tegak lurus garis pantai pulau terdekat arah ke laut lepas.

Saat pasang, rataan terumbu digenangi air sampai kedalaman 1 meter dan dapat

terpapar 0,3-0,4 meter di atas permukaan laut saat surut terendah. Pada bagian

tertentu, di rataan terumbu ditemukan cekungan-cekungan (goba) yang selalu

tergenang saat air laut surut dengan kedalaman berkisar 2-15 meter (Abrar 2011).

Luas perairan gugusan Pulau Pari menurut kedalaman yang terlihat pada

Tabel 9 menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari memiliki kedalaman perairan

yang beragam. Dari Tabel 9 terlihat bahwa perairan gugusan pulau pari

berkedalaman > 30 m merupakan yang terluas yakni mencapai 4089,57 hektar

kemudian diikuti oleh perairan yang berkedalaman 1-2 m dan 2-4 m dengan luas

masing-masing berturut-turut seluas 452,31 hektar dan 400,44 hektar. Abrar

(2011) menyatakan bahwa perairan gugus Pulau Pari termasuk gugusan

Kepulauan Seribu dengan tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalaman berkisar

antara 15-40 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari,

59

maka kedalaman perairan gugusan pulau Pari dapat dikelompokan kedalam

kategori kesesuaiannya menurut aktivitasnya antara lain selam dan snorkeling.

Sesuai dengan matrik kesesuaian lahan, kedalaman yang cocok untuk kegiatan

selam adalah 6-20 meter sedangkan kedalaman yang cocok untuk kegiatan

snorkeling adalah 1-6 meter. Menurut kriteria tersebut maka luasan gugusan Pulau

Pari yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan selam seluas 361,51 hektar dan

untuk kegiatan snorkeling seluas 939,55 hektar.

6.1.3. Kecepatan Arus

Perairan gugus Pulau Pari termasuk kedalam perairan pedalaman semi

terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk

Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massar air dari Laut Cina Selatan dan

Timur Indonesia. Tipe perairan seperti ini sangat dinamis dan turbulensi tinggi

sehingga kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, kondisi

lokal geologisnya dan pengaruh aktivitas dan pengembangan di daratan dan

pulau-pulau kecil sekitarnya. Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan

karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus. Pola arus secara

umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesia yang sangat terpengaruh oleh

musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan diantaranya (Abrar

2011).

Kecepatan arus untuk menganalisis kesesuaian lahan pariwisata bahari

Pulau Pari menggunakan data yang diukur oleh Abrar (2011). Peta lokasi

pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5. Kecepatan arus yang diukur

merupakan kecepatan arus permukaan. Pada stasiun ST1-pari kecepatan arus

permukaan tertinggi mencapai 0,3 m/dt pada bulan pengamatan T4 dan terendah

0,01 m/dt pada bulan pengamatan T2. Variasi kecepatan arus permukaan di

stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan tidak begitu berbeda dengan rata-

rata 0,13 m/dt. Fluktuasi kecepatan arus permukaan yang terjadi pada stasiun

ST2-tikus juga tidak terlalu bervariasi dengan rata-rata cenderung sama dengan

stasiun ST1-pari yaitu 0,1 m/dt. Kecepatan arus permukaan terendah pada ST-2

tikus mencapai 0,025 m/dt pada T1 sedangkan tertinggi mencapai 0,2 m/dt pada

T4. Berdasarkan parameter kesesuaian lahan pariwisata bahari Pulau Pari, maka

60

kesesuaian kecepatan arus di Pulau Pari berada pada kategori S1 artinya sangat

sesuai.

6.1.4. Tutupan Karang Hidup

Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis

yang juga ada di perairan gugusan Pulau Pari. Penilaian status dan kondisi

terumbu karang di Pulau Pari menggunakan data Wouthouyzen, dkk (2008) yang

dilakukan pada empat stasiun yang mewakili sisi Utara-Barat dan Selatan-Timur

Gugus Pulau Pari. Data ini digunakan untuk mengetahui parameter kesesuaian

lahan yakni tutupan karang. Empat stasiun yang dimaksud terdiri dari Pulau

Kudus-Utara (PRL01), Pulau Tikus-Barat (PRL02), Pulau Pari-Selatan (PRL03)

dan Pulau Pari-Timur (PRL04). Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7 Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan Kondisi TerumbuKarang di Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)

PRL03

PRL04

PRL02

PRL01

61

Pulau Kudus terletak pada bagian sisi utara gugus Pulau Pari. Status lahan

merupakan hak milik perorangan yang saat ini dimanfaatkan sebagai tempat

peristirahatan dengan bangunan rumah dan dermaga, sedangkan pada rataan

terumbunya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan budidaya rumput laut.

Perairan Pulau Kudus sangat terbuka dengan gelombang dan arus kuat, terutama

musim timur, perairannya jernih dengan jarak pandang 8-10 meter. Rataan

terumbu pendek dengan jarak dari pantai ± 300 meter, didominasi oleh dasar

berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi lamun dan makro algae.

Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman mencapai 15-20 meter. Koloni

karang mulai ditemukan pada daerah belakang tubir dan semakin berkembang

pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalam 10 meter.

Tutupan bentik terumbu Pulau Kudus cukup bervariasi dan didominasi

oleh pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 54 peresen, terutama dari

kelompok turf algae. Biota bentik lain yang berasosiasi dengan terumbu jarang

dengan tutupan hanya mencapai 2 persen. Tutupan karang mati baik yang sudah

ditumbuhi lumut ataupun belum sangat terendah dengan tutupan hanya mencapai

3 persen namun bentik abiotik tidak ditemukan. Total tutupan karang hidup di

Pulau Kudus mencapai 41 persen terdiri dari Acropora 5 persen dan non Acropora

36 persen.

Stasiun PRL02 berada pada sisi barat Pulau Tikus yang merupakan

perairan terbuka relatif tenang dengan gelombang dan arus tidak terlalu kuat dan

dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut dan perikanan tangkap terutama

dari alat tangkap sero dan bagan tancap. Pantai sangat landai berpasir putih

dengan vegetasi cemara laut dan ketapang serta perdu-perduan. Rataan terumbu

karang cukup luas dengan panjang mencapai ± 700-800 meter dari pantai

memiliki dasar berpasir dan substrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan

laut antara pulau dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15

meter. Tubir dan lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan

kedalaman mencapai 20 meter.

Bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan algae dengan tutupan

mencapai 39 persen terutama dari kelompok turf algae. Bentik terumbu dalam

bentuk karang mati cukup rendah dengan tutupan hanya mencapai 2 persen

62

sedangkan bentik abiotik cukup tinggi yaitu 25 persen terutama dari dasar berpasir

dan patahan karang mati. Biota lainnya yang berasosiasi dengan terumbu jarang

dengan tutupan hanya mencapai 2 persen terutama dari kelompok soft coral dan

biota benthos lainnya. Tutupan karang hidup di lokasi ini mencapai 32 persen

yang terdiri dari 2 persen Acropora dan 30 persen non Acropora.

Stasiun PRL03 berada pada sisi selatan Pulau Pari yang merupakan

perairan terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim

timur, keruh dengan jarak pandang 5-6 meter. Rataan terumbu cukup luas dan

panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan patahan karang mati

ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di belakang tubir lebih

didominiasi oleh substrat keras dari bongkahan karang mati serta ada endapan

patahan karang (rampat karang) yang muncul kepermukaan saat air surut. Tubir

karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter.

Pada stasiun ini bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan karang

keras dengan tutupan 50 persen terutama keompok Non Acropora, sedangkan

kelompok Acropora tidak ada. Dominasi bentik terumbu berikutnya adalah

pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 38 persen yakni dari kempok turf

algae, sedangkan tutupan biota lain sangat rendah yaitu hanya 1 persen dari

kemunculan biota sponge. Bentik terumbu dari tutupan karang mati dan abiotik

rendah, masing-masing 6 persen dan 5 persen.

Stasiun PRL04 berada pada sisi timur Pulau Pari yang merupakan perairan

terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim timur, relatif

jernih dengan jarak pandang mencapai 8-10 meter. Rataan terumbu tidak terlalu

luas dengan panjang mencapai 300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan

terumbu didominiasi oleh pasir dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan

makro algae. Tubir karang tidak jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai

kedalaman 20-25 meter.

Pada stasiun ini tutupan bentik algae dan biota yang berasosiasi lainnya

sangat rendah masing-masing 6 persen dan 2 persen ditandai dengan kemunculan

turf algae, sponge, dan soft coral. Karang mati cukup tinggi dengan tutupan

mencapai 17 persen sedangkan bentik abiotik juga cukup tinggi mencapai 20

persen. Di lokasi ini tutupan karang hidup paling tinggi dibanding ketiga lokasi

63

(PRL01, PRL02, PRL03) yang mencapai 55 persen dengan didominasi oleh

tutupan karang keras yaitu mencapai 40 persen dari non Acropora dan 15 persen

dari Acropora.

Hasil pengamatan pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa

persentase tutupan karang hidup tertinggi mencapai 55 persen yakni pada sisi

timur Pulau Pari (PRL04) sedangkan tutupan karang hidup terendah berada pada

Pulau Tikus (PRL02) dengan tutupan karang mencapai 32 persen. Kondisi

terumbu karang pada sisi selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada dalam

kondisi yang lebih baik dibanding sisi utara baratnya. Tabel 10 menunjukkan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan

karang hidup untuk menunjukkan kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari di

Pulau Pari.

Tabel 10 Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari berdasarkanParameter Tutupan Karang Hidup

No Lokasi Tutupan Karang

Hidup (%)

Kategori* Kondisi**

1 Stasiun PRL01 (Pulau

Kudus-Utara)

41 S3=sesuai

marginal

Sedang

2 Stasiun PRL02 (Pulau

Tikus-Barat)

32 S3=sesuai

marginal

Sedang

3 Stasiun PRL03 (Pulau

Pari Selatan

50 S2=cukup

sesuai

Baik

4 Stasiun PRL04 (Pulau

Pari-Timur)

55 S2=cukup

sesuai

Baik

Sumber : Whouthuyzen et al. (2008)Keterangan :*) >70% : S1, 50-70% : S2, 20-50 : S3, <20% : N; (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001)**)75-100% : Sangat Baik, 50-74,9% : Baik, 25-49,9% : Sedang, 0-24,9% : Rusak(Kepmen LH No. 4 Tahun 2001)

Kesesuaian lahan Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan karang hidup

seperti yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sisi Utara-Barat Pulau

Pari sesuai marginal untuk pariwisata bahari sedangkan sisi Selatan-Timur Pulau

64

Pari cukup sesuai. Berdasarkan kondisinya, sisi Selatan-Timur Pulau Pari

memiliki kondisi terumbu karang yang baik dibandingkan sisi Utara-Barat yang

kondisinya cukup. Oleh karena itu daerah sisi Selatan-Timur Pulau Pari

merupakan salah satu area (spot) yang dapat direkomendasikan sebagai lokasi

untuk menikmati keindahan pesona bawah laut.

6.1.5. Jenis Terumbu Karang

Pengamatan keanekaragaman karang di gugusan Pulau Pari telah dimulai

sejak 20 tahun yang lalu. Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Suharsono dan

Kiswara tahun 1981 ditemukan 87 jenis karang batu. Sebaran jenis lebih tinggi

ditemukan pada sisi selatan Pulau Pari yaitu 87 jenis, sedangkan pada sisi utara

mencapai 57 jenis. Jenis karang Montipora ramose merupakan jenis utama diikuti

oleh Heliopora coerulea (Kiswara & Suharsono 1991). Selanjutnya Suharsono

(1995) dari hasil inventarisasi panjang selama periode 1985-1994 melaporkan

bahwa 187 jenis dari 59 genera ditemukan di sepanjang gugus Pulau Pari.

Brown et al. (1983) melakukan pengamatan jenis-jenis karang di

sepanjang rataan terumbu gugus Pulau Pari yakni 3 stasiun pada sisi utara-barat

dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Hasil pengamatan mencatat 88 total jenis

dari 28 genera dimana 74 jenis ditemukan pada sisi selatan-timur (2 stasiun) dan

43 jenis pada sisi utara-barat (3 stasiun). Genus Acropora mendominasi dan

menunjukkan pola zonasi pada bagian terluar rataan terumbu (dekat tubir) pada

semua stasiun pengamatan. Jenis Acropora pulchra memperlihatkan dominasi dan

menunjukkan pola tidak bergabung dengan zonasi yang ada pada bagian rataan ke

arah daratan dari rataan terumbu terluar. Acropora digitifera menempati rataan

bagian tengah ke arah laut lepas, sedangkan Acropora hyacinthus mengkoloni

pada pinggiran rataan yang menghadap ke arah laut lepas.

Santoso (1985) juga telah melakukan pengamatan keanekaragaman jenis

karang batu di rataan, goba dan lereng terumbu Pulau Tikus Gugus Pulau Pari

selama bulan Mei-Juni 1984. Hasil penelitian mencatat total 46 jenis karang batu

dari 24 genera dan 12 famili. Genus Porites dan Montipora mempunyai sebaran

paling luas dan merupakan jenis yang dominan.

65

Manuputty et al. (1998) telah melakukan pengamatan sebaran jenis karang

batu secara vertikal pada bulan April 1995 di dua stasiun yaitu sisi selatan (back

reef) dan sisi utara (front reef) gugus Pulau Pari. Total jumlah jenis yang

ditemukan sebanyak 156 jenis dimana kedua stasiun memperlihatkan hasil yang

berbeda yaitu 105 jenis dari 12 suku pada sisi selatan dan 125 jenis dari 12 suku

pada sisi utara. Pada sisi selatan, karang batu dari suku Faviidae dan Acroporidae

berkembang baik dan mendominasi pada kedalaman di bawah 5 meter. Di sisi

utara didominasi oleh suku Acroporidae dan Faviidae terutama pada kedalaman

1-5 meter. Suku Acroporidae memperlihatkan jumlah jenis yang beragam pada

kedua sisi terutama dari pertumbuhan bercabang (19 jenis) dan Montipora (5

jenis).

Studi pengamatan jenis karang juga telah dilakukan pada tahun 2008 oleh

Whouthuyzen et al. (2008). Pengamatan dilakukan pada 4 stasiun yaitu 2 stasiun

pada sisi utara-barat dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Total jumlah jenis

karang batu yang ditemukan adalah 135 jenis dimana jumlah jenis pada sisi

selatan timur lebih tinggi yaitu 121 jenis dibanding sisi utara barat yang sebanyak

97 jenis. Famili Faviidae mendominasi jumlah jenis yaitu mencapai 31 jenis

diikuti oleh jenis-jenis dari Famili Acroporidae yaitu 30 jenis.

Keragaman jenis karang dari hasil berbagai pengamatan yang diuraikan

menunjukan bahwa catatan keragaman jenis karang tertinggi mencapai 187 jenis

dari 59 genera dari inventarisasi yang dilakukan selama periode 1985-1994

(Suharsono 1995). Hasil inventariasi terakhir yang dilakukan oleh Whouthuyzen

et al. (2008) menunjukkan bahwa keragaman jenis karang mencapai 135 jenis.

Hasil evaluasi terakhir ini telah menunjukkan penurunan keanekaragaman jenis,

namun berdasarkan pengamatan yang terakhir ini memperlihatkan bahwa

kesesuaian lahan Pulau Pari untuk pariwisata bahari berada pada kategori S1

artinya sangat sesuai berdasarkan parameter jenis terumbu karangnya yang

mencapai lebih dari 100 jenis.

6.1.6. Jenis Ikan Karang

Parameter lainnya untuk kesesuaian lahan pariwisata bahari adalah jenis

ikan karang. Data potensi ikan karang yang digunakan dalam analisis ini

66

menggunakan data sekunder yang merupakan hasil kajian potensi ikan karang

yang dilakukan pada bulan Mei 2008 oleh Whouthuyzen et al. (2008) di Pulau

Pari. Data potensi ikan karang dilakukannya dengan menggunakan 2 pendekatan

yaitu menggunakan line intercept transect (LIT) dan metode secara cepat yakni

rapid reef assessment (RRA) untuk mendapatkan gambaran secara spasial tentang

potensi ikan karang di gugusan Pulau Pari. Ikan dikelompokan menjadi 3

kategori, yakni ikan indikator (ikan yang dapat menunjukkan kesehatan suatu

terumbu karang), ikan mayor (ikan di luar ikan target dan ikan indikator,

berukuran kecil dan bergerombol atau soliter, serta berpotensi sebagai ikan hias

yang juga memiliki nilai ekonomis), dan ikan target (ikan yang menjadi target

penangkapan karena memiliki potensi ekonomis), Kelimpahan ikan karang pada

tubir terumbu karang di gugusan Pulau Pari terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari

Parameter Kelompok IkanIndikator Mayor Target

LIT RRA LIT RRA LIT RRA

Jumlah Famili 1 1 20 11 12 11

Jumlah Spesies 12 8 93 67 61 46

Total Spesimen 153 63 4.651 1.142 2.641 630

Densitas (ekor/m2) 0,08 0,16 2,33 2,86 1,32 1,58

Densitas rata-rata (ekor/m2) 0,12 2,59 1,45

Kelimpahan (ekor) 30.873 686.483 383.720

Keterangan : LIT =line intercept transect, RRA=rapid reef assessmentSumber : Whouthuyzen et al. (2008)

Kelimpahan ikan karang di gugusan Pulau Pari yang terlihat pada Tabel 11

menunjukkan bahwa kelimpahan ikan terbanyak adalah pada jenis ikan mayor

dengan kelimpahan mencapai 686.483 ekor. Jenis ikan karang dengan kelimpahan

ikan terendah di gugusan Pulau Pari adalah jenis ikan indikator dengan

kelimpahan mencapai 30.873 ekor. Berdasarkan dua metode pengamatan yakni

LIT dan RRA, jumlah spesies ikan karang di gugusan Pulau Pari masing-masing

berturut-turut sebanyak 166 spesies (LIT) dan 121 spesies (RRA). Berdasarkan

67

dua metode pengamatan baik LIT maupun RRA, jenis ikan mayor merupakan

jenis ikan yang memiliki jumlah spesies terbanyak (tercatat 93 spesies (LIT) dan

67 spesies (RRA)) sedangkan ikan indikator merupakan jenis ikan yang memiliki

jumlah spesies terendah (tercatat 12 spesies (LIT) dan 8 spesies (RRA)). Dengan

jumlah spesies ini maka berdasarkan kriteria parameter jenis ikan karang

kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari gugusan Pulau Pari berada pada kategori

S1 artinya sangat sesuai untuk pariwisata bahari yang memiliki jenis ikan karang

>70.

Adapun komposisi jenis ikan mayor didominasi dari dua famili yakni

Labridae dengan jenis Cirrhilabrus cyanopleura, Thalassoma lunare,

Halichoeres hortulanus, dan famili Pomacentridae, dengan jenis berbagai ikan

betok laut seperti Amblyglyphidodon curacao, A. Leucogaster, Abudefduf

sexfasciatus, Chromis weberi dan Neopomacentrus azysron. Ikan target

didominasi oleh jenis-jenis ikan ekor kuning (Caesio terres dan Pterocaesio

pisang) dari famili Caesionidae, ikan kakatua (Scarus ghoban) serta ikan

beronang/samandar (Siganus virtagus) dari famili Siganidae. Untuk ikan indikator

didominasi oleh Chaetodon octofasciatus yang merupakan jenis kepe-kepe yang

lebih dapat beradaptasi pada perairan dekat pantai dengan sedimen cukup tinggi

atau dekat dengan padang lamun (Whouthuyzen et al. 2008).

6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari Pulau Pari

Berkembangnya Pulau Pari sebagai salah satu tempat tujuan wisata bahari

memberikan peluang ekonomi bagi penduduk lokal dengan meningkatnya jumlah

pengunjung. Di sisi lain, Pulau Pari sebagai pulau kecil memiliki daya dukung

yang terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu

kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata agar terjaga kelestarian lingkungannya.

Jumlah maksimum pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem di Pulau Pari

diperlukan untuk diketahui agar pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem

khususnya untuk kegiatan wisata bahari tidak menyebabkan kerusakan atau

penurunan kualitas fisik dan tingkat kenyamanan pengguna sumberdaya terhadap

suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya

dukung fisik kawasan dilakukan dengan menghitung jumlah maksimum

68

pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada

waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Dasar

kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun

1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan

taman nasional dan taman wisata alam, dimana areal yang diizinkan untuk

dikelola yakni 10 persen dari luas zona pemanfaatan. Dasar ini digunakan

mengingat gugusan Pulau Pari dimanfaatkan pula sebagai laboratorium alam

untuk lokasi penelitian sehingga kelestariannya harus tetap dipertahankan.

Adapun perhitungan daya dukung fisik kawasan menggunakan nilai parameter

untuk setiap kategori wisata bahari yang disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untuk Setiap KategoriWisata Bahari

Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Waktu yang

Dibutuhkan

(Wp)

Total

Waktu 1

hari (Wt)

Wisata Selam 2 1000 m2 2 jam 8 jam

Wisata Snorkeling 1 300 m2 3 jam 6 jam

Wisata Mangrove 1 100 m2 3 jam 8 jam

Wisata Pantai 1 50 m2 3 jam 6 jam

Sumber : Hutabarat et al. (2009); de Vantier and Turak (2004) in Hilyana (2011);Yulianda (2007)

Dilihat dari klasifikasi habitatnya, gugusan Pulau Pari memiliki ekosistem

khas perairan tropis yang khas khususnya ekosistem mangrove, padang lamun dan

terumbu karang. Hasil citra satelit ALOS AVNIR-2 tanggal 3 Agustus 2009

menunjukkan klasifikasi habitat di gugusan Pulau Pari yang mencakup 6 kelas

yakni : 1) perairan, 2) terumbu karang, 3) padang lamun, 4) mangrove, 5)

hamparan pasir putih, dan 6) habitat lainnya yakni daratan (Whouthuyzen et al.

2009), sehingga tidak salah bahwa gugusan pulau ini dimanfaatkan sebagai

laboratorium penelitian dan akhir-akhir ini dikunjungi oleh wisatawan sebagai

tujuan wisata bahari. Klasifikasi habitat (ekosistem) di gugusan Pulau Pari terlihat

pada Gambar 8. Potensi alam yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari dimanfaatkan

69

oleh wisatawan melalui berbagai aktivitas kegiatan wisata diantara menikmati

pantai, snorkeling dan selam, jelajah hutan mangrove maupun aktivitas lainnya.

Daya dukung fisik kawasan dihitung dengan membatasi kategori kegiatan wisata

bahari yang dapat dilakukan di gugusan Pulau Pari yakni hanya untuk wisata

selam, wisata snorkeling, wisata mangrove dan wisata pantai. Hal ini disebabkan

kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari.

Keterangan :Laut/lagoon, dalam dan dangkal lagoon total luas: 296,1 ha;Terumbu : terumbu luar, dalam, beting karang total luas : 172,4 ha;Lamun lebat, sedang campur pasir total luas : 288,9 ha;Mangrove total luas : 18,9 ha;Daratan total luas : 64,3 ha;Pasir putih total luas : 221 ha.

Gambar 8 Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2009)

70

Data untuk perhitungan daya dukung fisik kawasan kegiatan wisata selam

dan snorkeling menggunakan luasan menurut kesesuaian kedalamannya. Luasan

menurut kesesuaian kedalaman untuk kegiatan selam dan snorkeling berturut-turut

adalah 361,51 ha dan 939,55 ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18

Tahun 1994, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10 persen dari luas

zona pemanfaatan, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam

dan snorkeling masing-masing berturut-turut adalah 36,15 ha dan 93,95 ha.

Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam dan snorkeling harus

mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang

menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang

di suatu kawasan memiliki tutupan karang 70 persen, maka luas areal selam di

terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 70 persen dari luas hamparan

karang. Rata-rata tutupan karang hidup di gugusan Pulau Pari menunjukkan 44,50

persen, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam maupun

snorkeling masing-masing berturut-turut adalah seluas 16,09 ha (44,50 persen x

36,15 ha) dan 41,81 ha (44,50 persen x 93,95 ha).

Mangrove di gugusan Pulau Pari mencakup mangrove sejati maupun

vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove. Mangrove di gugusan Pulau Pari

memiliki luas 18,9 ha yang menyebar di sisi utara garis pantai Pulau Pari,

sekeliling Pulau Burung, Pulau Tengah dan spot-spot di Pulau Kongsi. Jika

mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka areal

mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata adalah 10 persen, sehingga luas

mangrove yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 1,89 ha.

Luasan habitat lainnya yang digunakan sebagai data untuk menghitung

daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai adalah daratan. Luasan

daratan digunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa meskipun pada

umumnya wisatawan melakukan wisata pantai di pantai yang berpasir putih tetapi

terdapat pasir putih di gugusan Pulau Pari hanya berupa gosong yang hanya akan

muncul ketika air laut surut dan tidak nampak lagi ketika air laut pasang (lihat

Gambar 5). Data luasan pantai di Pulau Pari yang dapat dimanfaatkan untuk wista

pantai juga belum tersedia. Oleh karena itu luas daratan digunakan sebagai data

untuk menghitung daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai. Data

71

klasifikasi habitat menunjukkan daratan di gugusan Pulau Pari memiliki luas 64,3

ha. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka luas

pantai yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 6,43 ha. Nilai

daya dukung fisik kawasan di gugusan Pulau Pari untuk setiap kategori kegiatan

wisata bahari ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di Gugusan Pulau Pari untukSetiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari

No Jenis KegiatanNilai DDK

(orang/hari)

1 Wisata Selam 1.287

2 Wisata Snorkeling 2.787

3 Wisata Mangrove 504

4 Wisata Pantai 2.572

Sumber : data diolah (2012)

Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai daya dukung fisik kawasan untuk

kegiatan wisata selam dan snorkeling dengan jumlah kunjungan yang dapat

ditolerir berturut-turut adalah 1.287 orang/hari dan 2.787 orang/hari. Untuk

kegiatan wisata mangrove jumlah kunjungan yang dapat ditolerir adalah 504

orang/hari, sedangkan untuk kegiatan wisata pantai, jumlah kunjungan yang dapat

ditolerir adalah 2.572 orang/hari. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Forum

Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau Pari menunjukkan bahwa rata-rata

jumlah pengunjung selama bulan April sampai dengan Agustus 2012 mencapai

1.482 orang/bulan atau 370 orang setiap pekannya (sabtu-minggu). Jika

diasumsikan bahwa pengunjung melakukan kegiatan per kategori wisata bahari

pada waktu yang bersamaan maka kondisi pemanfaatan saat ini masih berada di

bawah daya dukung fisik kawasan untuk kategori kegiatan wisata selam,

snorkeling, dan mangrove serta pantai sehingga masih dapat ditingkatkan

kuantitasnya sampai dengan batas nilai daya dukung fisik kawasan yang tersajikan

pada Tabel 13. Demikian pula pada kondisi peak season dimana jumlah

pengunjung tercatat sebanyak 2.950 orang (data bulan Agustus 2012) atau

72

sebanyak 737 orang setiap pekan (sabtu-minggu) menunjukkan bahwa kondisi

saat ini masih di bawah daya dukung daya dukung fisik kawasan untuk kategori

kegiatan wisata selam, snorkeling, dan mangrove serta pantai. Namun mengingat

keterbatasan jumlah penginapan maka wisatawan perlu untuk dibatasi. Hal ini

untuk menghindari pula meningkatnya sampah maupun limbah air karena adanya

aktivitas wisawatan yang dapat berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan dan

perairan di Pulau Pari.

VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI

7.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari

Gugusan Pulau Pari memiliki potensi sebagai objek wisata bahari. Potensi

tersebut berupa keindahan alam darat maupun bawah laut berupa tiga ekosistem

lengkap yang mencirikan ekosistem khas perairan tropis yakni terumbu karang,

mangrove dan padang lamun. Pada rataan terumbunya dijumpai pula

keanekaragaman sumberdaya hayati yang cukup melimpah seperti ikan, krustasea,

moluska, dan ekhinodermata. Gugusan Pulau Pari memiliki pantai dengan pasir

putih seluas 221 ha yang menjadi daya tarik menarik bagi wisatawan yang ingin

menikmati wisata bahari. Di Pulau Pari sendiri, beberapa pantai dengan pasir

putih mulai dikembangkan dan dibuka oleh penduduk lokal menjadi objek wisata

diantaranya seperti Pantai Pasir Perawan yang berada di sisi timur-utara Pulau

Pari dan menjadi salah satu objek wisata utama yang menjadi daya tarik

wisatawan. Pantai dengan pasir putih lainnya yang dapat dijumpai di Pulau Pari

adalah Pantai Kresek yang berada di sisi barat-selatan Pulau Pari. Di beberapa

pulau lain masih dalam gugusan Pulau Pari juga menawarkan pantai dengan pasir

putih seperti Pulau Tikus. Berikut diuraikan potensi wisata bahari utama yang

dapat ditemui di gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata.

7.1.1. Mangrove

Mangrove bersama padang lamun dan terumbu karang merupakan

ekosistem di wilayah tropis. Selain memiliki fungsi ekologis, mangrove

belakangan ini mulai meningkat dikunjungi sebagai tujuan ekowisata. Di gugusan

Pulau Pari, mangrove dapat ditemukan di empat pulau yakni Pulau Pari itu

sendiri, Pulau Burung, Pulau Tengah, dan Pulau Kongsi dengan keanekaragaman

jenis yang cukup tinggi. Total luas mangrove di gugusan Pulau Pari mencapai

18,9 ha. Hasil pengamatan mangrove dengan metode check-list menunjukkan

bahwa terdapat 30 jenis mangrove di gugusan Pulau Pari yang terdiri atas 11 jenis

mangrove sejati dan 19 jenis vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove atau

mangrove ikutan/palsu. Ditinjau dari keanekaragaman jenis mangrove baik jenis

mangrove sejati, maupun mangrove ikutan pada keempat pulau di Gugusan Pulau

74

Pari, maka Pulau Pari memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tertinggi,

yaitu 28 jenis (93,3 persen), disusul Pulau Tengah dengan 22 jenis (73,3 persen),

Pulau Kongsi dengan 11 jenis (36,7 persen) dan terendah Pulau Burung dengan 6

jenis (20 persen). Ditinjau dari presentasi kehadirannya, maka jenis mangrove

sejati, Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba merupakan jenis mangrove yang

memiliki nilai persentase kehadiran tertinggi (100 persen), disusul R. apiculata,

Lumnitzera racemosa dan Pemphis acidula dengan persentase kehadiran masing-

masing 75 persen. Dari jenis mangrove ikutan, Cerbera manghas merupakan jenis

dengan persentase kehairan tertinggi (100 persen), disusul oleh Morinda citrifolia,

Pandanus odoratissima, Pongamia pinnata, Stachitarpheta jamaicensis,

Terminalia catappa dan Thespesia populnea dengan persentase kehadiran masing-

masing 75 persen (Whouthuyzen et al. 2009).

Hasil pengamatan mangrove di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa

jumlah spesies mangrove baik mangrove sejati maupun ikutan yang teramati

cukup banyak namun kerapatan tegakannya tidak merata antara satu spesies

dengan spesies lain. Rhizopora stylosa sangat dominan sedangkan yang lainnya

sedikit sekali ditemukan. Dilihat dari kepadatan poon, walaupun Pulau Pari

memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tinggi namun kepadatan

pohonnya relatif rendah dibandingkan Pulau Burung yang memiliki kepadatan

tertinggi disusul oleh Pulau Tengah. Data basal area menunjukkan pula bahwa

mangrove yang ditemui di Pulau Pari memiliki pohon berukuran kecil, jika

dibandingkan dengan Pulau Kongsi yang memiliki ukuran pohon lebih besar

disusul Pulau Burung dan Pulau Tengah. Ditinjau dari kelebatan maka vegetasi

mangrove yang termasuk kategori cukup lebat hanya terdapat di Pulau Pari, Pulau

Tengah dan Pulau Burung, sedangkan di Pulau Kongsi mangrove hanya terdapat

di beberapa spot pada tepi pantau dengan lebar hanya beberapa meter saja, dan di

Pulau Tikus tidak terdapat mangrove dalam bentuk koloni melainkan hanya

beberapa batang pohon saja.

7.1.2. Terumbu Karang

Ekosistem khas tropis lainnya yang dapat menjadi objek wisata bahari di

gugusan Pulau Pari adalah terumbu karang. Gugusan Pulau Pari memiliki total

75

luas terumbu mencapai 172,4 ha. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh

Whouthuyzen et al. (2008) pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa

status terumbu karang berada dalam kategori sedang dan baik. Terumbu pada sisi

selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada pada kondisi yang lebih baik

dibanding sisi utara-baratnya. Kondisi terumbu karang di sisi utara barat

digambarkan di dua pulau yakni Pulau Kudus dan Pulau Tikus. Rataan terumbu di

Pulau Kudus memiliki jarak pendek dengan jarak dari pantai kurang lebih 300

meter, didominisi oleh dasar berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi

lamun dan makro algae. Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman

mencapai 15-20 meter. Koloni karang mulai ditemukan pada daerah belakang

tubir dan semakin berkembang pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalaman

10 meter. Total tutupan karang hidup di Pulau Kudus mencapai 41 persen

sehingga berada dalam kondisi sedang dengan tutupan tertinggi didominasi oleh

jenis non Acropora. Sementara itu di Pulau Tikus, rataan terumbu cukup luas

dengan panjang mencapai kurang lebih 700-800 meter dari pantai dengan dasar

berpasir dan subtrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan laut antara pulau

dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15 meter. Tubir dan

lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan kedalaman mencapai 20

meter. Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Tikus berada dalam kondisi

sedang dengan total tutupan karang hidup mencapai 32 persen yang didominasi

oleh jenis non Acropora.

Kondisi terumbu karang di sisi selatan-timur gugus Pulau Pari terwakili

oleh Pulau Pari sisi selatan dan timur. Pada sisi selatan Pulau Pari, rataan terumbu

cukup luas yang memiliki panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan

patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di

belakang tubir lebih didominasi oleh substart keras dari bongkahan karang mati

serta ada endapan patahan karang yang muncul ke permukaan saat air surut. Tubir

karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter.

Kondisi terumbu karang pada daerah ini berada dalam kondisi baik dengan total

tutupan karang mencapai 50 persen yang didominasi oleh jenis non Acropora. Di

sisi timur Pulau Pari, rataan terumbu tidak terlalu luas dengan panjang mencapai

300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan terumbu didominasi oleh pasir

76

dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makroalgae. Tubir karang tidak

jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20-25 meter. Tutupan

karang hidup di daerah ini merupakan yang tertinggi yaitu mencapai 55 persen

yang didominasi oleh jenis non Acropora, dengan demikian terumbunya berada

dalam kondisi baik. Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman jenis biota

karang di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tertinggi

tercatat sebanyak 187 jenis dari 59 genera yang diinventarisasi selama periode

1985-1994. Data terakhir yakni pada tahun 2008, tercatat keanekaragaman jenis

biota karang di gugusan Pulau Pari mencapai 135 jenis. Jenis-jenis biota karang di

gugusan Pulau Pari dapat dilihat pada uraian sub bab kesesuaian lahan.

7.1.3. Padang Lamun

Gugusan Pulau Pari dengan ekosistem khas tropis yang lengkap memiliki

padang lamun dengan luas mencapai 288,9 ha. Padang lamun tersebar di sekitar

garis pantai pulau-pulau yang berada di gugusan Pulau Pari yakni Pulau Pari,

Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Kongsi dan Pulau Tengah. Padang lamun di

gugusan Pulau Pari meskipun cukup luas, namun keanekeragamananya sedang.

Pada tahun 2009 tercatat hanya ada 5 jenis lamun yang terdapat di gugusan pulau

ini yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halopila ovalis, Siringodium

isoetifolium, dan Cymodocea rotundata dengan dominasi jenis adalah Enhalus

acoroides. Ditinjau dari frekuensinya, jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai

yang relatif tinggi di Pulau Burung Bagian Utara, Pulau Tengah dan Pulau Tikus,

sedangkan di lokasi lain yakni Pulau Burung bagian timur, barat dan Pulau

Kongsi nilainya lebih rendah.

7.1.4. Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove, Lamun dan Terumbu

Karang

Hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem

yang menjadi habitat bagi biota laut lainnya. Banyak biota laut berasosiasi dengan

ekosistem tersebut yang memiliki nilai ekonomis sebagai tangkapan penduduk

lokal maupun memiliki daya pikat yang tinggi yang dapat menarik wisatawan

77

untuk melihat maupun mempelajari lebih detail jenisnya. Jenis biota laut

berasosiasi dengan mangrove, lamun maupun terumbu karang yang dapat

dijumpai di gugusan Pulau Pari antara lain ikan karang, ekhinodermata dan

moluska. Jenis-jenis ikan karang yang dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari

telah diuraikan pada sub bab kesesuaian lahan.

Fauna yang tergolong dalam kelompok ekhinodermata di gugusan Pulau

Pari diantaranya adalah kelompok bintang laut, teripang, binatang mengular, bulu

babi dan lili laut. Pada rataan terumbu karang di beberapa lokasi di gugusan Pulau

Pari ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri : 1) bintang laut (7 jenis) yang

didominasi oleh sand dolar, 2) teripang (2 jenis) terdiri dari jenis Holuthuria atra

dan H. nobilis dengan H. atra merupakan jenis yang dominan, 3) Bintang

mengular (2 jenis) dengan jenis yang dominan adalah Synapta sp, 4) bulu babi (2

jenis) terdiri dari jenis Diadema setosum yang mendominasi dan Echinothrix.

Dilihat dari komposisi jenis ekhinodermata yang ada, bulu babi memiliki populasi

yang tinggi mencapai 5-241 individu per 20 m2. Dari dua lokasi yakni Pulau Tikus

dan Pulau Pari menunjukkan bahwa Pulau Tikus memiliki keanekaragaman fauna

ekhinodermata yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Pari. Biota lainnya yang

dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari adalah krustasea, moluska, spon dan

asedean. Pada tahun 2009 terdokumentasi 12 jenis kepiting dan 1 jenis udang-

udangan, 25 jenis gastropoda (kelompok keong-keongan), 23 jenis pelicipoda atau

bivalvia (kelompok kerang-kerangan). Spons dan asedean memiliki

keanekaragaman jenis yang cukup bervariasi, sedikitnya berhasil terdokumentasi

14 jenis spons dan 4 jenis asedean (Whouthuyzen et al. 2008, 2009).

7.2. Karakteristik Wisatawan

Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini

belakangan mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dibukanya pantai pasir

perawan yang berada di sisi timur dari Pulau Pari menjadikan lokasi ini menjadi

daya tarik utama bagi wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau

Pari berfluktuasi tiap bulannya. Pencatatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke

pulau ini mulai dilakukan oleh Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau

78

Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari

tersaji pada Gambar 9.

Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus

2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai

tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah

pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.

Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950

orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,

sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya

mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang

berkunjung ke Pulau Pari.

Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah

-

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

April

1.212

3%

6%

6%15%

78

Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari

tersaji pada Gambar 9.

Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus

2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai

tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah

pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.

Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950

orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,

sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya

mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang

berkunjung ke Pulau Pari.

Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah

April Mei Juni Juli Agustus

1.2121.022 1.052 1.173

2.950

67%

15%

3%

Jakarta

Depok

Tangerang

Serpong

Bandung

Solo

78

Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari

tersaji pada Gambar 9.

Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus

2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai

tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah

pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.

Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950

orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,

sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya

mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang

berkunjung ke Pulau Pari.

Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah

Tangerang

Serpong

Bandung

79

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya berasal dari sekitar

Jakarta. Hasil penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan

sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berasal dari Jakarta

mencapai 67 persen. Pada saat penelitian dilakukan terdapat wisatawan yang

berasal dari luar Jakarta seperti dari Bandung dan Solo berturut-turut mencapai 15

persen dan 3 persen. Asal daerah wisatawan lainnya berasal dari Serpong,

Tangerang dan Depok. Wisatawan ke Pulau Pari umumnya datang bersama-sama

rombongan satu biro perjalanan berkisar 2-26 orang. Tujuan utama wisawatan

berkunjung ke Pulau Pari adalah untuk berekreasi dengan kegiatan rekreasi utama

yang dilakukan antara lain snorkeling, menikmati pantai dan bersepeda. Untuk

berekreasi di Pulau Pari, pengunjung umumnya menginap 1-2 malam.

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari dapat menggunakan berbagai

alternatif lokasi penyebrangan dan jenis transportasi. Hasil penelitian

menunjukkan mayoritas wisatawan menyebrang dari lokasi penyebrangan Muara

Angke-Jakarta dan Rawasaban-Tangerang. Lokasi penyebrangan yang menjadi

pilihan terbanyak pengunjung adalah dari Muara Angke-Jakarta meskipun dengan

lama tempuh di laut yang cukup lama dibandingkan dari Rawasaban-Tangerang.

Hal ini disebabkan wisatawan umumnya menggunakan jasa paket biro perjalanan

dan sebagian besar biro perjalanan tersebut memberangkatkan wisatawannya dari

Muara Angke-Jakarta yang lebih dikenal dibanding dermaga Rawasaban-

Tangerang. Dari daerah asal, wisatawan umumnya menggunakan kendaraan

umum untuk menuju lokasi penyebrangan yang kemudian melanjutkan perjalanan

sampai di Pulau Pari menggunakan kapal kayu.

Wisatawan yang menggunakan jasa biro perjalanan akan dikenakan tarif

harga paket wisata ke Pulau Pari antara Rp. 300.000,- sampai Rp. 475.000,- per

pengunjung untuk menginap 2 hari 1 malam. Tarif harga paket akan semakin

murah jika jumlah rombongan lebih banyak. Tarif yang dikenakan oleh biro

perjalanan ini umumnya sudah termasuk biaya transportasi kapal kayu, makan,

menginap, sepeda, snorkeling, barbeque dan guide. Wisatawan yang

menggunakan jasa ini berarti hanya akan mengeluarkan biaya untuk keperluan

pribadi selama di Pulau Pari. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan

selama berkunjung di Pulau Pari adalah sebesar Rp. 427.850,-. Biaya ini sudah

80

termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di

Pulau Pari.

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh

pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia

wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan

usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak

yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang

mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari

mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.

Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup

tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan

sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah

SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan

dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang

mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling

sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan

terendah yakni SMU mencapai 11 persen.

Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki

pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis

pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para

67%

80

termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di

Pulau Pari.

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh

pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia

wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan

usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak

yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang

mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari

mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.

Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup

tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan

sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah

SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan

dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang

mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling

sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan

terendah yakni SMU mencapai 11 persen.

Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki

pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis

pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para

11%

13%

67%

9%

SMU

D1/D3

S1

S2/S3

80

termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di

Pulau Pari.

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh

pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia

wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan

usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak

yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang

mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari

mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.

Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada

Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup

tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan

sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah

SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan

dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang

mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling

sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan

terendah yakni SMU mencapai 11 persen.

Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari

Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki

pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis

pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para

81

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.

Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta

mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta

adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha

mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari

adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari

jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-

sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau

Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.

Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari

7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari

Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat

dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang

membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut

menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk

wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh

wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan

yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)

produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa

sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan

terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.

Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek

11%

81

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.

Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta

mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta

adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha

mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari

adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari

jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-

sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau

Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.

Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari

7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari

Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat

dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang

membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut

menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk

wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh

wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan

yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)

produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa

sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan

terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.

Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek

4% 2%

72%

7% 4%PNS

BUMN

Swasta

Wirausaha

Pelajar

Lainnya

81

wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.

Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta

mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta

adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha

mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari

adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari

jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-

sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau

Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.

Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari

7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari

Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat

dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang

membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut

menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk

wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh

wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan

yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)

produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa

sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan

terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.

Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek

BUMN

Swasta

Wirausaha

Pelajar

Lainnya

82

wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan

yang akan berkunjung ke Pulau Pari.

Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,

panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh

pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan

lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan

panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11

persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi

objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi

timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka

oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai

lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di

sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir

putih.

Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata

Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari

terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau

tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut

merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Panoramabawah laut

82

wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan

yang akan berkunjung ke Pulau Pari.

Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,

panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh

pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan

lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan

panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11

persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi

objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi

timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka

oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai

lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di

sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir

putih.

Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata

Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari

terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau

tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut

merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari

Pantai Mangrove

Sangat Buruk

Buruk

Sedang

Baik

Sangat Baik

82

wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan

yang akan berkunjung ke Pulau Pari.

Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,

panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh

pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan

lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan

panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11

persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi

objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi

timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka

oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai

lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di

sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir

putih.

Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata

Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari

terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau

tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut

merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari

Sangat Buruk

Sedang

Sangat Baik

83

wisatawan. Demikian pula, aktivitas menikmati pantai dan panorama bawah laut

merupakan dua aktivitas utama yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan.

Aktivitas yang banyak dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari adalah snorkeling,

dimana sebanyak 94 persen wisatawan melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas

menikmati pantai merupakan aktivitas terbanyak kedua yang dilakukan oleh

wisatawan di Pulau Pari. Sebanyak 87 persen wisatawan mengemukakan bahwa

menikmati panti merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan selama di Pulau

Pari. Aktivitas lainnya yang dilakukan juga oleh wisatawan selama berwisata di

Pulau Pari diantaranya bersepeda (dilakukan oleh 68 persen wisatawan),

berperahu (dilakukan oleh 23 persen wisatawan), memancing (dilakukan oleh 9

persen wisatawan).

Hasil perhitungan nilai daya dukung fisik kawasan di Pulau Pari untuk

kegiatan wisata pantai maupun snorkeling sebagai aktivitas terbanyak yang

dilakukan oleh wisatawan menunjukkan bahwa pemanfaatan saat ini masih di

bawah nilai daya dukung fisiknya. Apabila pemanfaatan potensi Pulau Pari untuk

kegiatan wisata pantai atau snorkeling akan ditingkatkan sampai dengan batas

nilai daya dukung fisiknya maka perlu diiringi peningkatan pra sarana dan sarana

pendukung wisata di Pulau Pari. Peningkatan tersebut terutama pada atribut pra

sarana dan sarana yang masih dinilai buruk oleh pengunjung atau yang tidak

tersedia. Empat pra sarana dan sarana utama yang mendapatkan penilaian buruk

oleh wisatawan yakni penunjuk arah, toilet, toko cenderamata dan informasi (lihat

Gambar 14). Penunjuk arah mendapatkan penilaian buruk terbanyak dari

pengunjung. Penunjuk arah dinilai buruk oleh sebanyak 32 persen pengunjung

sedangkan toilet, toko cinderamata dan informasi dinilai buruk berturut-turut oleh

sebanyak 24 persen, 21 persen dan 19 persen pengunjung. Adapun pra sarana dan

sarana yang dinilai tidak tersedia menurut pengunjung antara lain toko

cinderamata, tempat sampah, dan penyewaan peralatan selam.

84

Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke

Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung

seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di

beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-

toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk

ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan

menambah kenyamanan bagi wisatawan.

Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,

faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan

pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam

pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti

akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian

buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal

dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap

harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di

Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang

pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari

kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut

0%

20%

40%

60%

80%

100%

120%

84

Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke

Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung

seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di

beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-

toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk

ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan

menambah kenyamanan bagi wisatawan.

Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,

faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan

pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam

pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti

akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian

buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal

dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap

harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di

Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang

pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari

kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut

Tidak Tersedia

Buruk

Sedang

Baik

Sangat Baik

84

Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke

Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung

seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di

beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-

toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk

ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan

menambah kenyamanan bagi wisatawan.

Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,

faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan

pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam

pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya

mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti

akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian

buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal

dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap

harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di

Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang

pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari

kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut

Tidak Tersedia

Sangat Baik

85

waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah

wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.

Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas

7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan

Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan

kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi

permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui

proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.

Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan

fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan

terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi

tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan

untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama

menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang

dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju

lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model

permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-

log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear

0%

20%

40%

60%

80%

100%

85

waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah

wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.

Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas

7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan

Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan

kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi

permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui

proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.

Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan

fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan

terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi

tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan

untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama

menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang

dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju

lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model

permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-

log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear

Buruk

Sedang

Baik

Sangat Baik

85

waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah

wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.

Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas

7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan

Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan

kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi

permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui

proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.

Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan

fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan

terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi

tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan

untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama

menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang

dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju

lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model

permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-

log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear

Buruk

Sedang

Baik

Sangat Baik

86

sederhana atau Ordinary Least Square (OLS) dengan bantuan program Minitab 15

dan Microsoft Excel 2007. Untuk mendapatkan model yang terbaik maka kedua

model tersebut dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat

apakah estimasi parameter benar-benar sesuai dengan teori dan memuaskan secara

statistik. Uji asumsi dari model regresi linear digunakan untuk menentukan model

terbaik yakni uji normalitas regresi, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan

autokorelasi. Hasil uji asumsi dari model regresi linear pada dua model tersebut

ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear

Uji Asumsi Jenis Uji Nilai Hasil Uji Model Kesimpulan Ujiterhadap Asumsi

Linear Double-log Linear Double-logNormalitas Kolomogorov

SmirnovP-value=0,065 P-value<0,01 Terpenuhi Tidak

terpenuhi

Multikoline-aritas

VIF VIF=1,219-2,461 VIF=1,346-2,535 Terpenuhi Terpenuhi

Hetero-skedastisitas

Glesjer P-value=0,084 P-value=0,160 Terpenuhi Terpenuhi

Autokorelasi DurbinWatson

DW=2,27351 DW= 2,56828 Terpenuhi terpenuhi

Hasil uji asumsi model regresi linear seperti yang terlihat pada Tabel 14

menunjukkan bahwa dari keempat jenis uji asumsi yang dilakukan hanya model

linear yang memenuhi keempat asumsi model regresi linear. Model double-log

memenuhi asumsi model regresi linear kecuali untuk uji normalitas. Hasil uji

normalitas pada model double-log menunjukan bahwa sisaan dari model tersebut

tidak menyebar normal sehingga apabila model ini digunakan untuk menduga

dengan metode OLS maka menghasilkan dugaan parameter yang bersifat bias

dimana rata-rata dari semua kemungkinan dugaan tidak sama dengan nilai

parameter atau sebenarnya. Jika asumsi-asumsi model regresi lienar tidak

terpenuhi maka penduga OLS tidak bersifat BLUE (Best Linear Unbiased

Estimator).

Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model linear merupakan model

yang terbaik untuk menduga fungsi permintaan wisata bahari di Pulau Pari.

87

Fungsi permintaan yang diperoleh adalah tingkat kunjungan wisatawan (V) yang

dalam hal ini frekuensi kunjungan (sebagai variabel tidak bebas) dipengaruhi oleh

variabel bebas seperti biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan untuk

alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama menginap

(X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang dihabiskan

untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi

alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Dengan

menggunakan regresi linear sederhana diperoleh model fungsi permintaan wisata

bahari ke Pulau Pari yaitu := 1,5551936 − 9,53489E − 07 X − 4,78448E − 08 X − 0,014464442 X+0,398488341 X − 6,02852E − 05 X − 0,003624112 X +0,00052631 X + 0,007890149 X − 0,029104889 X−2,75774E − 08 X ................................................................................ (7.1)

Hasil pemodelan regresi linear sederhana menggunakan Program

Microsoft Excel menunjukan bahwa fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari

memiliki nilai signifikansi F sebesar 0,002499911 yang artinya model signifikan

dengan tingkat kepercayaan 5 persen. Tingkat signifikansi model ditunjukan oleh

nilai R-square. Fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari memiliki nilai R-

square sebesar 0,654727101, yang dapat diartikan bahwa variabel tidak bebas

yakni tingkat kunjungan dapat dijelaskan oleh kesepuluh variabel bebas sebesar

65,47 persen sedangkan sisanya sebesar 34,53 persen dijelaskan oleh variabel

lainnya di luar model. Adapun hasil estimasi parameter dari model permintaan

wisata bahari Pulau Pari ditunjukkan oleh Tabel 15.

88

Tabel 15 Hasil Estimasi Parameter Model Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari

Variabel Koefisien t Stat P-valueIntercept 1,5551936 2,3086177 0,03074298X1

a -9,535E-07 -2,3686972 0,02705268X2

c -4,784E-08 -1,4756464 0,15420869X3

b -0,0144644 -1,6419997 0,11480901X4

a 0,39848834 2,7946296 0,01056357X5 -6,029E-05 -0,0549217 0,95669659X6

b -0,0036241 -1,7734370 0,09000167X7 0,00052631 0,9081339 0,37364855X8 0,00789015 0,5001765 0,62191727X9 -0,0291049 -0,7288623 0,47377422X10 -2,758E-08 -0,9614766 0,34676195

Keterangan : tanda a, b dan c menunjukkan taraf nyata koefisien regresi masing-masingvariabel berturut-turut pada α = 5%, 10% dan 20%

Hasil estimasi parameter dari model permintaan wisata bahari di Pulau

Pari pada Tabel 15 menunjukkan bahwa hanya beberapa parameter saja yang

mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Pari. Pada taraf nyata 5

persen hanya dua variabel saja yang mempengaruhi tingkat kunjungan yakni biaya

yang dikeluarkan (X1) dan lama menginap (X4) , sedangkan pada taraf nyata 10

persen variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisata bahari di

Pulau Pari adalah biaya yang dikeluarkan (X1), jumlah rombongan (X3), lama

menginap (X4), dan waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6). Pada

taraf nyata 20 persen selain variabel X1, X3, X4, dan X6, tingkat kunjungan juga

dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan untuk alternatif kunjungan ke tempat

lain (X2). Dari hasil estimasi fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari

menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu

yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9),

dan pendapatan (X10) tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kunjungan pada

taraf nyata 20 persen.

Kelima variabel yang berpengaruh nyata (α=5%) pada tingkat kunjungan

hanya variabel X4 yakni lama menginap yang berpengaruh positif, sedangkan

keempat variabel lain yakni X1, X2, X3, dan X6 berpengaruh negatif terhadap

tingkat kunjungan. Nilai koefisien X4 positif artinya semakin lama menginap

89

maka semakin tinggi tingkat kunjungan. Nilai koefisien dari variabel biaya yang

dikeluarkan (X1) menunjukkan negatif artinya semakin tinggi biaya yang

dikeluarkan maka semakin berkurang frekuensi kunjungan wisata. Variabel

berikutnya yang memiliki nilai koefisien negatif adalah X3 dan X6. Nilai koefisien

varibel X3 dan X6 menunjukkan nilai negatif artinya semakin banyak rombongan

maka frekuensi kunjungan akan semakin rendah dan semakin lama waktu yang

dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari maka semakin rendah tingkat kunjungan.

Varibel lain yang berpengaruh negatif adalah X2 yakni biaya yang

dikeluarkan untuk menuju ke lokasi alternatif lain. Nilai koefisien dari variabel X2

menunjukkan nilai negatif artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk

menuju ke lokasi alternatif tersebut maka semakin rendah tingkat kunjungan ke

Pulau Pari. Variabel X2 yang berpengaruh negatif bertentangan dengan asas

manfaat ekonomi dimana kecenderungan orang akan memilih biaya yang rendah

untuk berwisata, sehingga semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan

untuk ke lokasi alternatif maka wisatawan cenderung tidak akan memilih lokasi

wisata alternatif tersebut. Hal ini diduga oleh faktor kepuasan dan preferensi dari

wisatawan terhadap objek wisata, sehingga meskipun biaya yang dikeluarkan

mahal tapi jika memberikan/mendapatkan kepuasan, wisatawan akan tetap

melakukan perjalanan wisata ke lokasi alternatif tersebut. Dugaan ini dibuktikan

pula dari variabel tingkat pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap

tingkat kunjungan wisatawan atau dengan kata lain tingkat kunjungan wisatawan

ke suatu lokasi tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dari wisatawan tersebut.

7.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari

Persamaan permintaan wisata bahari Pulau Pari yang diperoleh

sebelumnya digunakan untuk menghitung nilai ekonomi (economic value) dari

keberadaan objek wisata. Nilai Ekonomi dari keberadaan wisata bahari di Pulau

Pari diestimasi dengan menggunakan nilai surplus konsumen. Nilai ekonomi total

wisata bahari diestimasi dengan mengkalikan nilai suprlus konsumen rata-rata

individu dengan total kunjungan pada tahun tertentu. Hasil estimasi parameter

surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 16.

90

Tabel 16 Hasil Estimasi Surplus Konsumen

Keterangan Nilai EstimasiJumlah Kunjungan (orang/tahun)a 17.784,00Luas wilayah (ha)b 64,30Surplus konsumen rata-rata individu 695.334,25Total surplus konsumen dalam 1 tahun 12.365.824.221,25Total surplus konsumen dalam 1 tahun per hektar 192.314.529,10

Keterangan :a) Rata-rata jumlah pengunjung selama April-Agustus 2012 sebesar 1.482 orangdikalikan dengan 12 bulanb) Luas daratan (Whouthuyzen et al. 2009)

Hasil estimasi surplus konsumen seperti yang terlihat pada Tabel 15

menunjukkan bahwa surplus konsumen rata-rata individu sebesar Rp. 695.334,25.

Jumlah kunjungan per tahun diestimasi dari data Forum Pemuda Wisata Pesisir

(FORSIR) Pulau Pari yang baru melakukan pencatatan pada bulan April 2012

dengan total kunjungan rata-rata per bulannya selama bulan April sampai

September 2012 mencapai 1.482 orang sehingga total dalam satu tahun mencapai

17.784 orang. Dengan total kunjungan sebanyak tersebut maka total surplus

konsumen (nilai ekonomi total) untuk wisata bahari di Pulau Pari mencapai Rp.

12.365.824.221,25,- atau Rp. 192.314.529,10 per hektar per tahun.

Nilai ekonomi total dari adanya wisata bahari di Pulau Pari tersebut

merupakan nilai dari perhitungan jumlah aktual pengunjung yang datang

berdasarkan data FORSIR. Pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari masih

memberikan peluang untuk ditingkatkan. Pemanfaatan tersebut disesuaikan

dengan penilaian dan aktivitas yang sering dilakukan oleh wisatawan serta nilai

daya dukung fisik kawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, pantai merupakan

objek wisata yang mendapatkan penilaian sangat baik tertinggi dari pengunjung

dan aktivitas menikmati pantai merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh

pengunjung di Pulau Pari. Nilai daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk

kegiatan wisata pantai sebesar 2.572 orang/hari. Jika diasumsikan bahwa tiap

akhir pekan (sabtu-minggu) wisatawan datang hanya untuk menikmati pantai

maka dalam satu bulan jumlah pengunjung maksimal yang dapat ditampung

sebanyak 20.576 orang. Jumlah pengunjung potensial tersebut memberikan nilai

ekonomi total sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp.

91

2.670.083.520,- per hektar per tahun. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila

pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari (khususnya pantai) akan ditingkatkan

sampai dengan batas nilai daya dukungnya maka pemanfaatan tersebut akan

berpotensi memberikan nilai ekonomi total lebih besar. Potensi nilai ekonomi

total tersebut akan diperoleh jika diiringi dengan peningkatan pra sarana dan

sarana pendukung serta faktor-faktor lain seperti diuraikan pada pembahasan

sebelumnya.

VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP

MASYARAKAT LOKAL

Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah

mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk

menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa

efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak

hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat

yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber

penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan

pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata

pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari

maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.

Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari

Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat

Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58

persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan

mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden

menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.

Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang

beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai

pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.

Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya

VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP

MASYARAKAT LOKAL

Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah

mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk

menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa

efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak

hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat

yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber

penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan

pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata

pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari

maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.

Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari

Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat

Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58

persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan

mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden

menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.

Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang

beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai

pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.

Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya

58%

42%Utama

Sampingan

VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP

MASYARAKAT LOKAL

Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah

mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk

menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa

efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak

hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat

yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber

penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan

pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata

pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari

maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.

Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari

Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat

Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58

persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan

mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden

menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.

Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang

beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai

pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.

Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya

Sampingan

93

responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha

di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.

Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari

Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti

yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan

profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang

wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden

sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen

sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan

bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari

dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena

penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung

pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai

nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta

susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang

wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata

bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di

Jabodetabek.

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di

Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang

berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun

25%

25%

93

responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha

di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.

Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari

Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti

yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan

profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang

wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden

sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen

sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan

bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari

dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena

penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung

pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai

nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta

susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang

wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata

bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di

Jabodetabek.

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di

Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang

berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun

50%25%

25%Pembudidayarumput laut

Nelayan

Lainnya

93

responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha

di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.

Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari

Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti

yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan

profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang

wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden

sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen

sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan

bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari

dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena

penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung

pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai

nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta

susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang

wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata

bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di

Jabodetabek.

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di

Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).

Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang

berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun

94

dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari tercipta dari aliran uang dari

transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di Pulau Pari.

Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya

diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat, transportasi

lokal, souvernir maupun jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini dapat dipenuhi

oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka terjadi transaksi

ekonomi antara pendatang (wisatawan) dengan masyarakat lokal. Artinya terjadi

aliran uang dari luar pulau ke dalam pulau. Jika hal ini terjadi terus menerus dan

memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal, maka tercipta manfaat

ekonomi bagi masyarakat lokal dari kegiatan wisata namun sayangnya tidak

semua pengeluaran wisatawan dinikmati oleh masyarakat lokal.

Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa tidak semua

pengeluaran wisatawan sampai ke lokasi objek wisata di Pulau Pari. Hal tersebut

disebabkan oleh mayoritas wisatawan yang datang ke Pulau Pari umumnya

menggunakan jasa biro perjalanan dengan membeli harga paket yang ditawarkan

oleh biro perjalanan tersebut. Harga paket wisata yang ditawarkan oleh biro

perjalanan relatif beragam tergantung jumlah rombongan. Semakin banyak

rombongan semakin murah harga paket wisatanya. Harga paket yang ditawarkan

oleh biro perjalanan umumnya berkisar antara Rp. 300.000,- sampai dengan Rp.

475.000,- per orang untuk paket menginap 1 malam. Biro perjalanan selanjutnya

akan melempar tamunya tersebut ke operator di Pulau Pari untuk melaksanakan

kegiatan wisata bahari sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan dalam harga paket.

Operator di Pulau Pari yang merupakan penduduk lokal akan menyiasati budget

yakni harga paket yang sudah diambil keuntungan sebelumnya oleh biro

perjalanan di Jakarta dengan memberikan fasilitas-fasilitas sesuai yang ditawarkan

dalam harga paket tersebut. Perkiraan komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari

terlihat pada Tabel 17.

95

Tabel 17 Perkiraan Komponen Biaya Paket Wisata ke Pulau Pari (per Orang)

Keterangan Biaya (Rp) Proporsi*

Sepeda 15.000 4%Alat snorkeling 25.000 7%Konsumsi makan 50.000 14%Barbeque 10.000 3%Penginapan 50.000 14%Jasa pemandu (guide) 15.000 4%Kapal snorkeling 20.000 6%Kapal dari Jakarta 60.000 17%Tarif masuk pantai pasir perawan 3.500 1%Total biaya pengeluaran per wisatawan 248.500 71%Pendapatan operator wisata di Pulau Pari 21.500 6%Pendapatan biro jasa wisata di Jakarta 80.000 23%Harga Paket 2 hari 1 malam 350.000 100%

Keterangan : *) proporsi terhadap harga paket wisata ke Pulau Pari untuk 2 hari 1 malam

Komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari per orang seperti yang terlihat

pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa total biaya pengeluaran per wisatawan

untuk 2 hari 1 malam sebesar Rp. 248.500,-. Total biaya pengeluaran ini

menunjukkan bahwa tidak semua pengeluaran terjadi di Pulau Pari, terdapat biaya

pengeluaran yang terjadi di lokasi maupun di luar Pulau Pari. Adapun biaya

pengeluaran dari wisatawan yang sampai di lokasi Pulau Pari sebesar 53 persen

yang meliputi biaya pengeluaran untuk sepeda, alat snorkeling, konsumsi makan,

barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan kapal snorkeling. Transaksi ini

belum ditambah dengan transaksi lain yang sampai pula ke Pulau Pari yakni tarif

masuk ke Pantai Pasir Perawan sebesar 1 persen dan marjin keuntungan sebesar 6

persen yang merupakan pendapatan dari masyarakat Pulau Pari yang berprofesi

sebagai operator wisata bahari.

Pendapatan yang diterima oleh masyarakat Pulau Pari sebagai operator

wisata bahari tergantung dari jumlah pengunjung yang ditangani. Hasil

wawancara dengan operator wisata di Pulau Pari menyatakan bahwa umumnya

mereka akan menerima lemparan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta

pada harga kisaran Rp. 270.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-. Oleh karena itu

dengan asumsi harga paket yang ditawarkan per orangnya sebesar Rp. 350.000,-

dan operator wisata di Pulau Pari menerima lemparan wisatawan dari biro

96

perjalanan di Jakarta minimal pada harga Rp. 270.000,- maka dengan komponen

biaya pengeluaran pada Tabel 17, operator wisata akan memperoleh pendapatan

sebesar Rp. 21.500,- per wisatawan atau sebesar 6 persen. Uraian di atas

menyimpulkan bahwa transaksi yang terjadi di Pulau Pari mencapai sebesar 60

persen yang terdiri atas 53 persen transaksi berupa pengeluaran untuk sepeda, alat

snorkeling, konsumsi makan, barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan

kapal snorkeling; 6 persen pendapatan bagi operator wisata, dan 1 persen sebagai

tarif masuk ke pasir perawan yang digunakan untuk kebersihan dan pembenahan

fasilitas di pantai pasir perawan. Transaksi ini belum termasuk pengeluaran

pembelian souvenir oleh para wisatawan (yang besarnya tergantung masing-

masing wisatawan) maupun pengeluaran lainnya seperti sewa sampan.

Secara umum, dilihat dari proporsi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan

untuk berekreasi menunjukkan sebesar 40 persen terjadi di luar Pulau Pari.

Transaksi ini merupakan transaksi berupa pengeluaran untuk transportasi kapal

kayu dari Jakarta menuju ke Pulau Pari dan pendapatan yang diterima oleh biro

perjalanan wisata di Jakarta. Biaya transportasi kapal kayu dari Jakarta menuju

Pulau Pari sebesar Rp. 60.000,- atau mencapai 17 persen dari harga paket wisata

yang ditawarkan yakni sebesar Rp. 350.000,- per orang. Biro perjalanan

kebanyakan memberangkatkan wisatawannya dari Muara Angke-Jakarta sehingga

transaksi ini menjadi pemasukan bagi kapal kayu yang umumnya dioperasikan

oleh pemilik kapal dari pulau lain di Kepulauan Seribu. Komponen biaya

pengeluaraan wisatawan lainnya yang terjadi di luar Pulau adalah sebagai

pendapatan dari biro perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata memperoleh

pendapatan sebesar 23 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan sebesar

Rp. 350.000 per orang. Dilihat dari besarnya, maka pendapatan biro perjalanan

wisata bahari di Jakarta lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan yang

diperoleh oleh operator wisata di Pulau Pari yang hanya sebesar 6 persen dari

harga paket wisata yang ditawarkan (dengan asumsi harga paket yang ditawarkan

adalah Rp. 350.000,- per orang). Transaksi-transaksi yang terjadi di luar Pulau ini

belum ditambah dengan biaya transportasi dari masing-masing asal daerah

wisatawan yang besarnya tergantung dari jarak dan jenis transportasi yang

digunakan.

97

8.1. Dampak Ekonomi Langsung

Dampak ekonomi langsung dari kegiatan wisata bahari adalah perubahan

yang berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan.

Dampak ekonomi langsung merupakan manfaat yang langsung dirasakan oleh

masyarakat berupa pendapatan yang diterima dari transaksi pengeluaran

wisatawan. Ketika wisatawan mengeluarkan sejumlah uang untuk melakukan

permintaan terhadap produk dan jasa di tingkat lokal maka pada akhirnya akan

menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal yang menyediakan berbagai

pemenuhan kebutuhan para wisatawan di lokasi tersebut.

Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan

langsung oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan

pemilik dari unit usaha di Pulau Pari. Unit usaha yang ada di Pulau Pari

merupakan pihak penerima dampak langsung dari pengeluaran wisatawan.

Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah menciptakan aktivitas ekonomi dari

aliran uang yang berasal dari wisatawan. Aliran uang tersebut memberikan

dampak ekonomi dari transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di

Pulau Pari. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan

wisatanya diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat,

transportasi lokal, souvenir. Berbagai kebutuhan tersebut telah memunculkan unit-

unit usaha yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat Pulau Pari. Unit-unit

usaha tersebut umumnya hanya beroperasi pada akhir pekan (sabtu-minggu) dan

hari libur nasional mengingat hanya pada akhir pekan dan hari libur nasional

sajalah wisatawan banyak yang berkunjung ke Pulau Pari.

Berdasarkan persentase pengeluaran wisatawan di lokasi maka dapat

diperkirakan besarnya perputaran uang yang terjadi di dalam Pulau, khususnya

pada akhir pekan. Data yang tercatat oleh FORSIR Pulau Pari menunjukkan

bahwa rata-rata jumlah pengunjung setiap bulannya mencapai 1.482 orang. Hasil

penelitian menunjukkan pengeluaran rata-rata wisatawan untuk satu kali

kunjungan adalah Rp. 427.848 per orang. Jika rata-rata jumlah pengunjung pada

akhir pekan adalah 371 orang maka total pengeluaran wisatawan sekitar Rp.

158.517.684,- dimana sekitar 60 persennya atau mencapai Rp. 95.110.610,-

merupakan perputaran uang terjadi di dalam pulau dan sisanya sekitar 40 persen

98

atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan perputaran uang yang terjadi di luar

pulau. Perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan akan jauh

lebih besar jika pemanfaataan wisata bahari di Pulau Pari ditingkatkan sampai

dengan batas nilai daya dukung fisiknya. Dari nilai daya dukung fisik wisata

pantai (sebagai objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertinggi dari

pengunjung) misalnya, menunjukkan jumlah wisatawan per pekan yang dapat

ditampung adalah sebanyak 5.144 orang. Dengan jumlah tersebut maka

perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan adalah sebesar

Rp. 2.200.850.112,- setiap pekannya dimana sebesar 60 persen atau Rp.

1.320.510.067,2 terjadi di lokasi Pulau Pari Pari dan sisanya sebesar 40 persen

atau Rp. 880.340.044,8 terjadi di luar lokasi Pulau Pari.

Tingginya perputaran uang yang terjadi membuka peluang usaha bagi

masyarakat lokal. Khususnya masyarakat lokal bermodal yang berinisiatif untuk

membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan wisatawan. Jumlah

pengunjung yang terus meningkat untuk melakukan kegiatan wisata bahari di

Pulau Pari menarik masyarakat lokal menyediakan hunian atau homestay bagi

wisatawan yang menginap. Sebelum kegiatan wisata bahari berkembang di Pulau

Pari akhir-akhir ini, hanya terdapat penginapan yang merupakan fasilitas milik

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Umumnya yang menggunakan

fasilitas penginapan milik LIPI adalah mahasiswa dari perguruan tinggi maupun

peneliti yang akan melakukan penelitian di Pulau Pari. Data yang dihimpun oleh

FORSIR Pulau Pari sampai dengan bulan September 2012, di Pulau Pari terdapat

sebanyak 49 unit homestay terbagi atas 23 AC dan 26 non-AC yang dimiliki oleh

46 orang penduduk Pulau Pari. Homestay-homestay ini mayoritas merupakan

rumah penduduk yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai penginapan untuk

wisatawan. Jika pada akhir pekan maupun libur nasional rumah tersebut

disewakan sebagai penginapan maka pemilik beserta keluarga yang menghuni

akan keluar rumah dan menggunakan dapur atau halaman luar di belakang

rumahnya maupun menumpang ke rumah saudara sebagai tempat sementara untuk

tidur. Gambar 18 menunjukkan sebaran jumlah homestay di lingkungan RT Pulau

Pari menurut jenis dan pemilik.

99

Gambar 18 Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurut Jenisdan Jumlah Pemilik

Sebaran homestay di Pulau Pari seperti yang terlihat pada Gambar 11

menunjukkan bahwa jumlah homestay ber-AC lebih sedikit dibandingkan

homestay non-AC. Jumlah homestay terbanyak terdapat di lingkungan RT 02

yakni mencapai 19 homestay yang dimiliki oleh 17 orang pemilik dan terdiri dari

9 homestay non-AC dan 10 ber-AC, sedangkan jumlah homestay paling sedikit

berada di lingkungan RT 4 yang hanya dimiliki oleh 4 orang pemilik dan terdiri

dari 3 homestay non-AC dan 1 homestay ber-AC. Harga tarif homestay di Pulau

Pari bervariasi per malamnya tergantung dari tipe dan jumlah orang yang

menghuni homestay tersebut. Untuk homestay yang ber-AC tarifnya berkisar

antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 700.000,- per malam, sedangkan untuk homestay

yang non-AC tarifnya berkisar antara Rp. 300.000 sampai Rp. 350.000,- per

malam.

Homestay di Pulau Pari umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang

rumahnya sudah permanen dan layak untuk disewakan ke wisatawan. Untuk

menyewakan rumahnya menjadi homestay, penduduk lokal umumnya hanya

mengeluarkan modal untuk menambahkan pendingin ruang berupa AC maupun

kipas angin. Komponen biaya operasional tiap bulannya berupa biaya voucher

listrik, air dan pembelian peralatan kebersihan rumah seperti pengharum ruangan,

cairan pembersih kamar mandi, lantai ataupun lainnya. Selain pengeluaran

tersebut, pemilik homestay diwajibkan membayar iuran kepada FORSIR setiap

rumahnya dihuni oleh wisatawan. Besaran iuran yang dibayarkan tersebut adalah

sebesar Rp. 15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik homestay tidak

8 96

3

26

310 9

1

23

1017 15

4

46

0

10

20

30

40

50

RT 01 RT 02 RT 03 RT 04 Total

non-AC

AC

Pemilik

100

mengeluarkan biaya untuk membayar tenaga kerja sebab pada umumnya pemilik

homestay sendiri yang akan membersihkan dan menyiapkan rumahnya untuk siap

disewakan kepada wisatawan. Umumnya pemilik homestay ini juga memiliki unit

usaha lain di luar penyewaan homestay seperti penyewaan peralatan snorkeling,

kapal, dan catering.

Aktivitas wisata bahari di Pulau Pari telah memunculkan unit usaha untuk

kegiatan wisatawan yakni penyewaan kapal. Unit usaha penyewaan kapal yang

ada di Pulau Pari diantaranya adalah penyewaan kapal untuk snorkeling, kapal

untuk water sport (banana boat) dan perahu sampan untuk berkeliling antar

pulau. Unit usaha ini pada umumnya diusahakan oleh penduduk Pulau Pari yang

sebelumnya telah memiliki kapal. Penduduk pulau yang memiliki kapal

memanfaatkan peluang dari wisata bahari dengan menyewakan kapalnya untuk

keperluan kegiatan wisata bahari para wisatawan di Pulau Pari. Jumlah unit usaha

penyewaan kapal di Pulau Pari terdiri dari 20 unit kapal untuk snorkeling, 2 unit

kapal untuk water sport (banana boat), dan 10 unit sampan untuk berperahu

menjelajahi pulau-pulau di gugusan Pulau Pari.

Pemilik unit usaha kapal mendapatkan pendapatan dari penyewaan kapal.

Kapal yang disewakan untuk kegiatan snorkeling dari pukul 13.00 sampai dengan

pukul 17.00 dihargai Rp. 300.000,- sampai Rp. 600.000,- tergantung kapasitas

muatan kapal. Wisatawan yang akan melakukan water sport akan dikenakan tarif

Rp. 35.000,- per orang untuk satu kali permainan, sedangkan wisatawan yang

hendak berkeliling pulau-pulau di gugusan Pulau Pari akan dikenakan tarif Rp.

30.000,- per sampan dengan kapasitas sampan maksimal 6 orang. Adapun

komponen biaya yang dikeluarkan oleh pemilik unit usaha ini diantaranya adalah

biaya bahan bakar, biaya perawatan mesin dan kapal, dan iuran wajib ke FORSIR.

Bahan bakar yang dibutuhkan untuk sekali snorkeling adalah sebanyak 10-15

liter, sehingga dengan harga bahan bakar mencapai Rp. 6.000,- pemilik unit usaha

ini akan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 90.000,- (untuk 15 liter bahan bakar per

sekali snorkeling). Sementara itu, pemilik unit usaha water sport mengeluarkan

biaya bahan bakar sebanyak 30 liter untuk operasional kapal banana boat dalam

satu hari atau senilai Rp. 180.000,-. Biaya perawatan mesin dan kapal meliputi

biaya ganti oli 3 bulan sekali sebanyak 10 liter atau senilai Rp. 280.000,- dan

101

biaya pengecatan kapal 3 kali dalam setahun senilai Rp. 700.000,- per sekali

pengecatan. Iuran wajib dibayarkan kepada FORSIR dari jenis unit usaha

penyewaan kapal berbeda-beda. Pemilik kapal yang digunakan untuk snorkeling

akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- per

kapal untuk sekali snorkeling, sedangkan pemilik usaha water sport (banana

boat) akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang dan pemilik sampan

akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per sampan untuk sekali jalan.

Unit usaha lain sebagai dampak ekonomi langsung dari adanya aktivitas

wisatawan di Pulau Pari adalah jasa penyewaan alat seperti alat snorkeling, dan

sepeda. Di Pulau Pari terdapat sebanyak 20 orang yang memiliki usaha

penyewaan sepeda dan 15 orang pemilik usaha penyewaan alat snorkeling. Alat-

alat yang disewakan oleh pemilik usaha penyewaan alat snorkeling adalah berupa

satu set alat yang terdiri dari snorkel, fin dan leafjacket. Alat snorkeling

disewakan dengan tarif berkisar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- per set

sedangkan sepeda disewakan dengan tarif Rp. 15.000,- per sepeda. Saat penelitian

ini dilakukan belum terlihat penduduk lokal yang menyediakan penyewaan alat

diving. Komponen biaya yang dikeluarkan untuk pemilik unit usaha penyewaan

alat snorkeling umumnya tidak ada. Perawatan hanya dilakukan dengan

membersihkan menggunakan air tawar setelah digunakan. Jika ada alat snorkeling

yang hilang itupun menjadi tanggungjawab wisatawan. Berbeda dengan pemilik

alat snorkeling, pemilik sepeda harus mengeluarkan biaya ekstra mengingat

sepeda yang rentan korosi akibat air asin dan jika terdapat kerusakan akibat

pemakaian oleh wisatawan maka wisatawan tidak dikenakan biaya. Pemilik

sepeda akan mengeluarkan biaya perawatan berupa penggantian spare part yang

berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 165.000,- tiap bulannya. Sama

halnya dengan pemilik unit usaha lain, pemilik alat snorkeling juga dikenakan

iuran wajib ke FORSIR yang besarnya Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling

per sekali pakai, namun untuk pemilik sepeda tidak dikenakan iuran wajib oleh

FORSIR mengingat banyak biaya pengeluaran untuk perbaikan dan perawatan

oleh pemilik sepeda.

Adanya wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari memberikan peluang

ekonomi untuk menyediakan kebutuhan primer berupa makanan maupun

102

kebutuhan lainnya berupa oleh-oleh buah tangan dalam bentuk souvenir khas dari

Pulau Pari. Kebutuhan tersebut memunculkan unit-unit usaha seperti usaha

catering, warung makan dan toko souvenir. Data yang diperoleh dari FORSIR

menunjukkan bahwa jumlah penduduk Pulau Pari yang berusaha di bidang

catering sebanyak 7 orang, sedangkan dari pantauan selama penelitian terdapat

sekitar 6 unit warung makan berdiri di Pantai Pasir Perawan dan 2 unit warung

makan di Pantai Kresek. Warung ini menyediakan makanan dan minuman ringan

seperti mie rebus, kopi, teh dan minuman kaleng/botol. Jumlah tersebut belum

termasuk warung-warung yang berdiri di jalan-jalan utama Pulau Pari. Sementara

itu, jumlah toko souvenir di Pulau Pari berkisar 3-5 unit dengan berbagai

cenderamata yang dijual seperti kaos, kerajinan dari kerang-kerangan, maupun

keripik sukun khas Pulau Pari.

Penghasilan pemilik usaha catering bervariasi tergantung dari jumlah

wisatawan yang dilayani. Umumnya untuk harga paket makan sebanyak 3 kali,

pemilik usaha catering akan mengenakan harga sebesar Rp. 50.000,- per orang.

Harga tersebut belum termasuk harga untuk barbeque dengan tarif per orang

sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- tergantung jumlah orang dan

jenis ikan yang diminta. Paket menu makanan dari pemilik catering meliputi nasi,

lauk, sayur, buah, kerupuk dan air mineral.

Komponen pengeluaran dari pemilik usaha catering dan warung makan

umumnya hampir sama diantaranya meliputi biaya input/bahan baku yang

besarnya tergantung jumlah wisatawan dan ramainya pengunjung, biaya

pemeliharaan alat makan dan masak berkisar Rp. 100.000,- sampai dengan Rp.

200.000,- per bulan, dan biaya transport ke darat berkisar Rp. 50.000,- setiap kali

belanja. Pemilik usaha catering akan merekrut tenaga kerja lokal apabila jumlah

wisatawan yang dilayani mengalami peningkatan, sehingga pemilik catering akan

mengeluarkan biaya upah tenaga kerja berkisar Rp 100.000,- sampai dengan Rp.

150.000,- per orang yang membantu masak. Pemilik usaha catering juga akan

mengeluarkan biaya untuk iuran wajib ke FORSIR dengan besaran Rp. 500,- per

orang.

Dampak ekonomi langsung lainnya dari adanya kegiatan wisata di Pulau

Pari adalah peningkatan pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata.

103

Seperti uraian sebelumnya, wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya

menggunakan jasa biro perjalanan wisata dari Jakarta. Biro perjalanan wisata di

Jakarta selanjutnya akan melimpahkan ke operator wisata di Pulau Pari untuk

melaksanakan paket wisata sesuai dengan fasilitas pada harga yang disepakati.

Pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata diperoleh dari selisih harga

bersih paket wisata dari biro perjalanan dikurangi biaya riil yang dikeluarkan bagi

keperluan wisatawan selama melakukan aktivitas wisata bahari ke Pulau Pari.

Besaran selisih ini dari uraian sebelumnya diperkirakan mencapai 6 persen.

Artinya penduduk lokal sebagai operator wisata akan memperoleh penghasilan

sebesar 6 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan kepada konsumen.

8.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung

Munculnya unit usaha di lokasi wisata Pulau Pari membuka kesempatan

kerja bagi penduduk lokal. Meskipun pada umumnya unit usaha dijalankan oleh

pemilik usaha sendiri, namun pemilik usaha akan membutuhkan tambahan tenaga

kerja dari penduduk lokal. Tambahan tenaga kerja tergantung pada jumlah

wisatawan dan kondisi musim. Umumnya pemilik unit usaha akan membutuhkan

tambahan pekerja pada musim libur panjang nasional seperti hari raya lebaran

maupun pergantian tahun. Unit usaha yang secara rutin membutuhkan tenaga

kerja adalah pemilik usaha catering dan operator wisata. Pemilik usaha catering

membutuhkan tenaga kerja untuk membantu memasak sedangkan operator wisata

membutuhkan tenaga kerja sebagai pendamping wisatawan (guide). Tenaga kerja

yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak langsung dari

pengeluaran wisata, yaitu berupa upah yang diterima dari unit usaha tempat

mereka bekerja.

Tingginya tingkat kunjungan terutama pada masa libur panjang

memberikan kesempatan bagi penduduk lokal untuk menjadi tenaga kerja di unit-

unit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari. Meskipun bersifat

musiman, namun pada masa musim kunjungan ramai, pemilik operator wisata

misalnya akan membutuhkan banyak tenaga pendamping wisatawan atau guide.

Wawancara yang dilakukan dengan ketua FORSIR menyatakan bahwa saat ini

terdapat 50 orang penduduk Pulau Pari yang berprofesi sebagai guide. Satu orang

104

guide biasanya akan menangani sebanyak 10-15 orang. Jika diasumsikan dalam

satu bulan rata-rata pengunjung sejumlah 1.482 sehingga dalam satu pekan jumlah

pengunjung sebanyak 371 maka kebutuhan tenaga pendamping atau guide adalah

sebanyak 38 orang (dengan asumsi 1 pendamping/guide mendampingi 10

wisatawan). Umumnya penduduk lokal yang menjadi tenaga pendamping atau

guide adalah pemuda dengan usia yang relatif masih muda yakni rata-rata berusia

24 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap sebelumnya. Sebagai tenaga

pendamping wisatawan atau guide, pemuda penduduk Pulau Pari akan

mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 150.000,- untuk 2 hari. Dalam satu bulan

dengan asumsi menjadi guide selama akhir pekannya, maka pendapatan yang

diperoleh pemuda Pulau Pari sebagai guide berkisar sebesar Rp. 600.000,- per

bulan.

Kebutuhan jumlah guide untuk mendampingi wisatawan akan meningkat

apabila jumlah wisatawan yang ditampung sesuai dengan nilai daya dukung

fisiknya. Berdasarkan nilai daya dukung fisik untuk wisata pantai, jumlah

pengunjung yang dapat ditampung sebanyak 2.572 orang/hari atau 5.144

orang/pekan (sabtu-minggu). Dengan jumlah tersebut maka kebutuhan guide yang

dibutuhkan untuk mendampingi wisatawan sebanyak 514 orang guide tiap

pekannya (dengan asumsi bahwa 10 wisatawan membutuhkan 1 orang guide).

Kebutuhan jumlah guide tersebut memberikan peluang kesempatan kerja yang

akhirnya memberikan total pendapatan bagi 514 orang penduduk lokal Pulau Pari

sebesar Rp. 77.100.000,- setiap pekannya.

Tingkat kunjungan yang meningkat pada musim ramai kunjungan telah

membuat kebutuhan konsumsi makan wisatawan juga meningkat. Kondisi ini

menyebabkan pemilik usaha catering akan menambah tenaga kerja untuk

memasak. Umumnya tenaga kerja yang direkrut untuk membantu memasak

adalah ibu-ibu rumah tangga tetangga rumah maupun memiliki hubungan

saudara/keluarga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan. Dari bekerja sebagai

tenaga memasak, ibu-ibu rumah tangga umumnya mendapatkan bayaran sekitar

Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- untuk memasak selama 2 hari.

Besaran bayaran dari pemilik usaha catering kepada tenaga kerja yang memasak

tergantung dari jumlah wisatawan yang dilayani. Seperti halnya kebutuhan guide,

105

apabila pemanfaatan wisata bahari di Pulau Pari akan ditingkatkan sampai dengan

nilai daya dukung fisiknya maka jumlah kebutuhan tenaga memasak untuk

melayani wisatawan juga meningkat.

Kebutuhan sumberdaya manusia untuk unit usaha sejauh ini masih dapat

dipenuhi oleh penduduk lokal Pulau Pari. Tidak seperti sumberdaya manusia yang

masih dapat dipenuhi dari dalam Pulau, kebutuhan akan input/bahan baku unit-

unit usaha wisata bahari di Pulau masih dipenuhi dari luar Pulau yakni daratan.

Bahan pangan utamanya dibeli oleh penduduk Pulau Pari di Tangerang. Pemilik

unit usaha di Pulau Pari umumnya berbelanja kebutuhan-kebutuhan usahanya di

Pasar Sepatan Tangerang. Bukan hanya bahan pangan, bahkan untuk ikan saat ini

juga sulit dipenuhi dari Pulau Pari. Sulitnya ikan ini disebabkan oleh jarangnya

ikan yang diperoleh oleh nelayan dan sebagian nelayan lebih memilih untuk

beralih profesi sebagai tenaga pendamping atau guide yang sudah pasti

menghasilkan dibandingkan harus menangkap ikan yang kadang tak menentu

hasilnya. Jika nelayan mendapatkan tangkapan ikan biasanya sudah dipesan

langsung oleh pemilik usaha catering.

8.3. Dampak Ekonomi Induced

Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak ekonomi

langsung dan tidak langsung, juga memberikan dampak ekonomi induced.

Dampak ekonomi induced merupakan dampak lanjutan dari pendapatan yang

diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit usaha dimana mereka bekerja. Dampak

ini berasal dari pengeluaran sehari-hari tenaga kerja lokal. Penghasilan yang

diterima oleh tenaga kerja lokal pada unit-unit usaha tersebut umunya sebagian

besar habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari yakni utamanya

pangan. Sebagai tenaga pendamping atau guide upah yang diterima sebesar Rp.

150.000,- dan jika setiap akhir pekan menerima pekerjaan sebagai guide maka

tenaga kerja lokal tersebut akan mendapatkan penghasilan sebanyak Rp. 600.000,-

per bulan. Ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai tenaga memasak jika

diasumsikan upah yang didapat minimal Rp. 100.000,- dan setiap akhir pekan

menerima pekerjaan sebagai tenaga pemasak maka akan mendapatkan

penghasilan sebesar Rp. 400.000,-. Penghasilan sebagai tenaga kerja lokal

106

tersebut terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan harian apalagi

kebutuhan lainnya sehingga terkadang bergantung kepada keluarga maupun

suami. Tabel 18 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal

dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari.

Tabel 18 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal

Komponen Proporsi PengeluaranKebutuhan Pangan 16%Listrik 7%Transport lokal 3%Lainnya 74%

Proposi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal seperti yang terlihat pada

Tabel 18 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran terbesar tenaga kerja lokal

dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari adalah

utamanya untuk kebutuhan lain yang mencapai 74 persen seperti untuk membantu

biaya anak sekolah. Proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan harian

mencapai 16 persen dan sisanya untuk membantu biaya listrik dan transport lokal.

8.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier

Wisata Bahari di Pulau Pari menunjukkan memberikan kontribusi

ekonomi terhadap penduduk lokal. Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari

ini berupa dampak ekonomi langsung, tidak langsung dan induced. Dampak

ekonomi langsung berupa terbukanya kesempatan usaha dengan berdirinya

berbagai unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama di Pulau

Pari seperti homestay, penyewaan alat snorkeling, catering, penyewaan kapal

snorkeling, water sport, penyewaan sepeda, warung makan/kelontong/souvenir,

dan operator wisata. Tabel 19 memperlihatkan perkiraan jumlah unit usaha wisata

bahari di Pulau Pari.

107

Tabel 19 Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari

Unit Usaha Jumlah (orang)Homestay 46Pemilik Alat Snorkeling 15Catering 7Kapal Snorkeling 20Water sport 2Pemilik Sepeda 20Warunga 30Operator wisata 20Total 160Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR dan pengamatan lapangan

atermasuk warung makan, kelontong, souvenir

Hadirnya unit-unit usaha di Pulau Pari berdampak pada terciptanya

lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal Pulau Pari sebagai tenaga pendamping

(guide) dan tenaga memasak. Penyerapan tenaga kerja pada unit-unit usaha ini

sebagai dampak ekonomi tidak langsung dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.

Selain dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, kegiatan wisata bahari juga

menghasilkan dampak ekonomi induced. Dampak ekonomi induced merupakan

dampak lanjut dari pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit

usaha tempat mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pengeluaran sehari-hari

tenaga kerja lokal. Tabel 20 memperlihatkan perkiraan jumlah tenaga kerja lokal

dari adanya kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.

Tabel 20 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit UsahaWisata Bahari di Pulau Pari

Pekerjaan JumlahGuide 50Tenaga masak 14a

Total 64Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR

aperkiraan per 1 unit catering mempekerjakan 2 orang

Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di Pulau Pari

dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier dari aliran

108

uang yang terjadi. Terdapat dua nilai pengganda berdasarkan META (2001) dalam

mengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal yaitu : 1)

keynesian local income multiplier yang menunjukkan seberapa besar pengeluaran

wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan 2) ratio

income multiplier yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang

dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak pada keseluruhan ekonomi

ekonomi lokal. Nilai efek pengganda atau multiplier dari kegiatan wisata bahari di

Pulau diestimasi dari nilai paramater seperti yang terlihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai Multiplier Wisata Baharidi Pulau Pari

Parameter Nilai (Rp/Bulan)Rata-rata pendapatan pemilik usaha 3.170.526Rata-rata pendapatan tenaga kerja lokal 748.000Rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal 339.000Rata-rata pengeluaran wisatawana 262.636Rata-rata pengunjungb 1.482

Keterangan : aPengeluaran per pengunjung yang terjadi di Pulau Pari per sekalikunjunganbData April-Agustus 2012 versi FORSIR

Nilai efek pengganda atau multiplier dari wisata bahari di Pulau Pari

kemudian diperoleh dengan mengestimasi jumlah pengunjung dan pelaku usaha

serta tenaga kerja lokal dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari seperti yang

ditunjukkan oleh Tabel 22.

Tabel 22 Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Baharidi Pulau Pari Tahun 2012

Kriteria Nilai MutiplierKeynesian Local Income Multiplier 1,48Ratio Income Multiplier Tipe I 1,09Ratio Income Multiplier Tipe II 1,14

Nilai keynesian local multiplier dari aliran uang kegiatan wisata bahari di

Pulau Pari seperti yang terlihat pada Tabel 22 menunjukkan nilai sebesar 1,48

artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak

109

pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 1,48 rupiah. Nilai

keynesian local multiplier ini diperoleh dari penjumlahan antara pendapatan unit

usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal yang

kemudian dibagi dengan pengeluaran wisatawan. Dengan jumlah pengunjung

rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata

setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap

bulannya akan memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar

Rp. 576.852.210,53. Dampak ini akan lebih besar jika pemanfaatan wisata bahari

di Pulau Pari (khususnya wisata pantai) di tingkatkan sampai dengan batas nilai

daya dukung fisiknya. Dengan jumlah pengunjung maksimal yang dapat

ditampung sesuai nilai daya dukung fisik wisata pantai yakni 20.576 orang/bulan

maka pengeluaran wisatawan akan memberikan dampak peningkatan pendapatan

masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91.

Nilai ratio income multiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai

sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran

pengeluran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada

total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung

(berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ini dihasilkan

dari penjumlahan antara pendapatan pemilik unit usaha dan pendapatan tenaga

kerja lokal kemudian dibagi dengan pendapatan pemilik unit usaha. Nilai ratio

income multiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya

peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan

sebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak

langsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha,

pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Nilai ini

dihasilkan dari penjumlahan antara pendapatan unit usaha, pendapatan tenaga

kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal dibagi dengan pendapatan pemilik

unit usaha.

8.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat di Pulau Pari

Wisata bahari di Pulau Pari meskipun belum mendapat perhatian yang

memadai dari Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,

110

namun kegiatan ini turut berkontribusi pada kesejahteraan masyakat lokal yang

ditunjukkan oleh nilai multiplier. Adanya wisata bahari menjadi alternatif

matapencaharian untuk mendapatkan pendapatan di saat terpuruknya budidaya

rumput laut maupun sulitnya hasil tangkapan ikan sehingga dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal Pulau Pari. Oleh karena itu wisata bahari di Pulau

Pari dapat dikembangkan dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung

ditengah terbatasnya fasilitas yang selama ini hanya dikembangkan oleh

masyarakat lokal Pulau Pari dari iuran yang masuk ke Forum Pemuda Wisata

Pesisir (FORSIR).

Hadirnya wisata bahari di Pulau Pari umumnya tidak menggangu bagi

masyarakat lokal. Responden masyarakat yang diwawancarai umumnya

menyatakan dengan keberadaan wisatawan dari adanya kegiatan wisata bahari

tidak merasa terganggu ataupun dirugikan. Sebanyak 80 responden masyarakat

menyatakan tidak merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan

sedangkan hanya 20 persen responden masyarakat yang menyatakan keberadaan

wisataan akan mengganggu atau merugikan. Responden yang menyatakan tidak

merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan umumnya

beralasan bahwa keberadaan wisatawan dapat membuka kesempatan usaha dan

lapangan pekerjaan sebagai tambahan pendapatan ditengah tidak adanya rumput

laut dan sulitnya ikan. Sementara responden yang merasa terganggu atau

dirugikan mengkhawatirkan bahwa keberadaan wisatawan akan membuat

keramaian atau keributan, mempengaruhi lingkungan laut dan membawa

perubahan budaya atau sosial di masyarakat.

Wisata bahari yang telah memberikan dampak ekonomi positif pada

masyarakat lokal diharapkan oleh responden masyarakat untuk dikembangkan.

Pengembangan yang diharapkan terutama fasilitas umum pendukung untuk

kenyamanan wisatawan di Pulau Pari. Peningkatan fasilitas umum pendukung

untuk wisatawan selama ini merupakan bentuk kontribusi mandiri masyarakat

lokal dari iuran yang dipungut oleh FORSIR. Untuk pengembangan wisata bahari

di Pulau Pari sebanyak 53 persen responden menghendaki pengolaan wisata

bahari di Pulau Pari tetap oleh masyarakat (community based) dengan alasan jika

diusahakan oleh swasta dikhawatirkan masyarakat tidak mendapatkan manfaat,

111

sedangkan sebanyak 43 persen menyatakan bahwa sebaiknya pengusahaan wisata

bahari di Pulau Pari dikelola bersamaan antara swasta dengan masyarakat dengan

harapan terdapat kerjasama dan adanya peningkatan fasilitas umum untuk

kegiatan wisata bahari.

Pengembangan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak

ekonomi positif bagi masyarakat lokal juga berpotensi memberikan dampak

terhadap lingkungan di daratan maupun perairan Pulau Pari. Persepsi responden

masyarakat lokal Pulau Pari yakni sebanyak 67 persen menyatakan bahwa

dengan adanya wisata bahari di Pulau Pari, kondisi lingkungan/perairan di pulau

semakin membaik, sedangkan 20 persen menyatakan tidak ada perubahan dan

sisanya 13 persen menyatakan terdapat kerusakan dengan adanya wisata bahari.

Alasan responden yang menyatakan kondisi lingkungan/perairan semakin baik

adalah dengan adanya wisata bahari tata kelola lingkungan semakin dibenahi oleh

masyarakat dalam upaya menerima kunjungan wisatawan dan masyarakat pulau

semakin rajin menjaga kebersihan. Kondisi lingkungan dan kualitas perairan

Pulau Pari perlu diteliti atau ditinjau untuk mengetahui pengaruh dari adanya

aktivitas wisatawan. Aktivitas wisatawan menghasilkan sampah dan kotoran pada

saluran pembuangan air sehingga akan berpengaruh pada kondisi lingkungan

maupun perairan laut Pulau Pari mengingat jumlah wisatawan terus meningkat

dan keterbatasan dari Pulau Pari sebagai pulau kecil.

IX. SIMPULAN DAN SARAN

9.1. Simpulan

1. Analisis kesesuaian lahan secara umum untuk pariwisata bahari

menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameter

kecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis

terumbu karang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai

menurut parameter tutupan karang hidupnya serta menurut parameter

kedalamannya memiliki potensi untuk kegiatan selam seluas 361,5 ha dan

snorkeling seluas 939,55 ha.

2. Daya dukung fisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari

menunjukkan jumlah maksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa

menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari

untuk wisata selam, 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, 504

orang/hari untuk wisata mangrove, dan 2.572 orang/hari untuk wisata

pantai.

3. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objek

wisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp.

192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai

dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total

sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per

hektar per tahun.

4. Perputaran uang dari pengeluaran wisatawan setiap pekannya memberikan

kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar 60 persen atau mencapai Rp.

95.110.610,- sebagai transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari, sisanya

sebesar 40 persen atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan transaksi

yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari. Pemanfaatan maksimal sesuai

dengan nilai daya dukung fisik setiap pekannya akan memberikan

kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar Rp. 1.320.510.067,2 sebagai

transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari dan sisanya sebesar Rp.

880.340.044,8 merupakan transaksi yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari.

113

5. Besarnya dampak ekonomi dari adanya wisata bahari di Pulau Pari

ditunjukkan oleh nilai multiplier. Nilai keynesian local multiplier dari

aliran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti

bahwa dengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482

orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar

Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap bulannya akan

memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar Rp.

576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung

fisik akan memberikan dampak peningkatan pendapatan masyarakat lokal

sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio income multiplier Tipe I

menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan

unit usaha dari pengeluaran pengeluran wisatawan akan mengakibatkan

peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang

meliputi dampak langsung dan tidak langsung (berupa pendapatan pemilik

unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio income multiplier Tipe II

menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran

wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,14 rupiah pada total

pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak

langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha, pendapatan

tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal).

9.2. Saran

1. Mengingat semakin berkembangnya wisata bahari di Pulau Pari maka di

masa yang akan datang potensi konflik antara masyarakat lokal dengan

pihak swasta yang selama ini mengklaim memiliki hak atas lahan di Pulau

Pari dapat terjadi. Oleh karenanya status kepemilikan dan hak guna

maupun pemanfaatan lahan di Pulau Pari mendesak perlu diselesaikan.

Pengembangan wisata bahari di masa yang akan datang tetap perlu

melibatkan masyarakat lokal dengan pertimbangan untuk kesejahteraan

masyarakat serta mengingat sejak awal masyarakat lokal yang telah

merintis pulau ini sebagai daerah tujuan wisata meskipun dengan

keterbatasan pra sarana dan sarana.

114

2. Pemda perlu mengatur dengan regulasi terkait batas tarif masuk ke pantai

perawan dan iuran yang ditarik oleh FORSIR kepada pelaku usaha di

Pulau Pari termasuk dalam penggunaannya sehingga akuntabilitas dapat

dipertanggungjawabkan.

3. Akses langsung dari Jakarta menuju Pulau Pari selama ini menggunakan

kapal cepat milik Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta maupun

kapal kayu yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari pulau lain yang

terbatas dalam jadwal keberangkatan dan kapasitas penumpang. Oleh

karenanya Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta perlu

memberikan ijin pembukaan rute transportasi kapal dari Jakarta ke Pulau

Pari yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari Pulau Pari. Langkah ini

tentunya perlu didukung dengan peningkatan dan perbaikan fasilitas

dermaga penyebrangan serta insentif yang mendorong pemilik kapal Pulau

Pari mau beroperasi melayani rute tersebut.

4. Mengingat potensi wisatawan tidak hanya berasal dari dalam negeri

namun wisatawan mancanegara juga mulai berdatangan ke Pulau Pari

maka Suku Dinas Pariwisata maupun dinas terkait perlu memberikan

peningkatan kapasitas tenaga lokal sebagai pendamping dan memberikan

pembinaan kepada para pelaku usaha wisata bahari di Pulau Pari.

5. Perlu dilakukan kajian analisis spasial yang komprehensif untuk

menentukan zonasi peruntukan gugusan Pulau Pari sesuai dengan

kesesuaian/kecocokan lahan per kategori kegiatan wisata dan daerah

perlindungan laut.

6. Perlu dilakukan kajian kualitas air dan lingkungan gugusan Pulau Pari

untuk mengetahui dampak dari meningkatnya wisatawan yang melakukan

kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar M. 2011. Kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di perairangugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : InstitutPertanian Bogor.

Adrianto L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut.Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2011.Kepulauan Seribu dalam Angka 2011. Jakarta (ID) : BPS KabupatenAdministrasi Kepulauan Seribu.

Basiron MN. 1997. Marine tourism industry : trends and prospects. Di dalam :The National Seminar on The Development of Marine Tourism Industry inSouth East Asia; 1997 Sept 25-28; Langkawi, Malaysia.

Bengen DG. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam PengelolaanLingkungan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Kantor KementrianLingkungan Hidup RI dan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan danKelautan.

Brown BE, MC Holley, L Sya’rani and M Le Tissier. 1983. Coral assemblages ofreef flats around Pulau Pari, Thousand Island, Indonesia. Washington DC(US) : The Smithsonian Institution.

Cisneros Montemayor AM, Sumaila UR. 2011. The economic value and potentialthreats to marine ecotourism in Belize. Di dalam : Palomares MLD, PaulyD, editor. Too Precious to Drill: the Marine Biodiversity of Belize [FisheriesCentre Research Reports 19(6)]. Columbia : University of British Columbia,Fisheries Centre [ISSN 1198-6727]. hlm 161-166.

Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata.Yogyakarta (ID) : CV Andi Offset.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID) : PTGramedia Pustaka Utama.

[FORSIR] Forum Pemuda Wisata Pesisir. 2012. Catatan jumlah wisatawan PulauPari April-Agustus 2012. Unpublished.

Frechtling, Douglas C. 1994. Assessing the economic impacts of travel andtourism-Measuring economic costs. Di dalam : Travel, Tourism andHospitality Research, second edition. J.R. Brent Ritchie and Charles R.Goeldner, editor. New York (US) : John Wiley and Sons Inc.

116

Garrod B, Julie C. Wilson, David M. Bruce. 2002. Defining Marine Tourism : ADelphy Study [Internet]. [diunduh 2012 Mar 21]. Tersedia pada :http://users.aber.ac.uk/bgg/wp4.pdf.

Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan TataGuna Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Jurusan Tanah FakultasPertanian.

Hilyana S. 2011. Optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi Gili Sulat-GiliLawang Kabupaten Lombok Timur [disertasi]. Bogor (ID) : InstitutPertanian Bogor.

Hoctor Z. 2001. Marine ecotourism a marketing initiative in West Clare. MarineResource Series No. 21 [ISSN 13934643].

Honey M, Krantz D. 2007. Global Trends In Coastal Tourism. Washington DC(US) : Stanford University and Washington DC, Center on Ecotourism andSustainable Development.

Hunt L. 2008. Economic Impact Analysis of the Cape Rodney Okakari Point(Leigh) Marine Reserve on the Rodney District. Wellington (AU) : MAFBiosecurity New Zealand.

International Centre for Tourism and Hospitality Research, BournemouthUniversity. 2010. The Economic Impact of Wildlife Tourism in Scotland.Scotland : The Scottish Government.

Kelurahan Pulau Pari. 2012. Profil Kelurahan Pulau Pari. Jakarta (ID) : KelurahanPulau Pari.

[Kemenbudpar] Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. PeraturanMenteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.67/UM.001/MKP/2004tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil.Jakarta (ID) : Kemenbudpar.

[Kemeneg LH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. KeputusanMenteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 tentang Kriteria BakuKerusakan Terumbu Karang. Jakarta (ID) : Kemeneg LH.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanandalam Angka 2011. Jakarta (ID) : Kementrian Kelautan dan Perikanan.

[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012.Perkembangan Wisatawan Mancanegara 2007-2011 [Internet]. [diunduh2012 Apr 3]. Tersedia pada :http://www.budpar.go.id/userfiles/file/perkembanganwisman2007-2011.pdf.

117

[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012.Perkembangan Wisatawan Nusantara 2006-2011 [Internet]. [diunduh 2012Apr 3]. Tersedia pada :http://www.budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=87&id=1191.

Kiswara W, Suharsono. 1991. Sebaran karang batu di rataan terumbu pantai PulauPari, Pulau-Pulau Seribu, Teluk Jakarta. Oseanologi di Indonesia No 24.Jakarta (ID) : LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.

Mannuputy A.E.W. 1998. Sebaran vertikal karang batu dan pertumbuhannya diPulau Pari, Pulau-Pulau Seribu : Inventarisasi dan Evaluasi Potensi LautPesisir III; Oseanografi, Lingkungan dan Biologi. Jakarta (ID) : LIPI, PusatPenelitian dan Pengembangan Oseanologi.

Mannuputy A.E.W, Giyanto, Winardi, Sasanti, Djuwariah RS. 2006. ManualMonitoring Kesehatan Terumbu Karang (Reef Health Monitoring). Jakarta(ID) : LIPI, CRITC Coremap.

[META] Marine Ecotourism for Atlantic Area. 2001. Planning for MarineEcotourism in The EU Atlantic Area. University of The West Of England,Bristol.

Mulia D. 2004. Alternatif pengembangan gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribusebagai objek ekowisata bahari di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta (ID) : PemerintahRepublik Indonesia.

----------------------------------------. 2007. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia.

----------------------------------------. 2001. Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 55 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabupaten AdministrasiKepulauan Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID) :Pemerintah Republik Indonesia.

---------------------------------------. 1999. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah KhususIbukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Jakarta (ID) : PemerintahRepublik Indonesia.

--------------------------------------. 1994. Peraturan Pemerintah Republik Indonesiatentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan TamanNasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Jakarta (ID) :Pemerintah Republik Indonesia.

118

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi DaerahKhusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata RuangWilayah 2030. Jakarta (ID) : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Santoso U. 1985. Studi kepadatan dan penyebaran karang batu di Pulau Tikus,Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta [karya ilmiah]. Bogor(ID) : Institut Pertanian Bogor.

Stabler M, Papatheudorou A, and Sinclair MT. 2010. The Economic of Tourism.2nd Edition. London: Routledge.

Stynes, Daniel J, Vanessa Arnold, editor. 1997. Economic Impacts of Tourism : AHandbook for Tourism Professionals. Illionis : Illionis Bereau of Tourism-Illionis Department of Commerce and Community Affairs.

Suharsono. 1995. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Didalam : Proceedings Fourth LIPI-JSPS Joint Seminar on Marine Science;1994 Nov 15-18; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID) : LIPI-JSPS. hlm 33-41.

Tourism Development International. 2007. A Strategy and Action Plan for TheDevelopment of Marine Tourism and Leisure in Lough Foyle andCarlingford Laough Areas. Carlingford : The Lough Agency East BorderRegion Commitee North West Region Cross Border Group.

Whouthuyzen S, Hindarti D, Yulianto K, Hermanto B, Abrar M, Mira S, Triyono,Pratiwi RS, Novianty H, Rosmawati A et al. 2009. Evaluasi statusekosistem dan sumberdaya hayati laut di perairan Pulau Pari, KepulauanSeribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPT loka Pengembangan KompetensiSumberdaya Manusia Oseanografi, Pulau Pari LIPI.

-----------------------. 2008. Evaluasi status ekosistem dan sumberdaya hayati lautdi perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPTloka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi, PulauPari LIPI.

Wijayanti P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alamberbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan SeribuProvinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

[WRI] World Resources Institute. 2001. Coastline Length. Virginia : WorldResources Institute.

Yoeti OA. 2008. Ekonomi Pariwisata : Introduksi, Informasi dan Implementasi.Jakarta (ID) : PT Kompas Media Nusantara.

Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan SumberdayaPesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen MSP-FPIK IPB.Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan.

LAMPIRAN

120

r"sDtdH,JElrd.rttDH'*)

t-.*

U$D

sD

w${r)'Isosgr(Df.JiJ

{td.(ds0t.+tr{s0t{F.,

Ea*ll.il-rptrrosiHld.

zo

X

XhJ

X(.^)

K

XUI

Xo\

X{

X@

X\o

XO

f trtt- tt3(}?. ,fId r-)

&st{ u)B.

O. r-rtsi\^lE-e'tro,7r sosIrTJ OA

r{>t(DH

6.Hs$0ro

FtrE L.

ETEFEEf=.'tr = ,+ ='r, i+Ezr 6 r-

-.:. (D b

s r$$()'

686'FSE H T+Ft9 * E.sffi

*s- ;FF.€F=rtH S FFX

t+, Sl IJ- rroq

FtoH i-r5c'reFhnw=r*)

F1v)!e

r,olJa.l-r

6!.rfs)d

hdolr.aF,lJ.s"(,s,F+soh+

O\ Lfi S rrJ t'J h... (} \O CO { O\ Ur S t+J" t\) F'r

ur (Jt $ Lrt S Ut LJ u} uJ u) Ld w uJ t, td (JJ

# ; 6 tr O *I b.J t:} *-l + aP *.I qg \l t") tl}$> .o .o i5 F .<> S) .o .u, .c) .<> y ? P yr yt()booooaaaaaaaaaa66556600aaaaaaaa55566--eOOC)o(}ooo

S N !'.) !^, .+\ 1.t !.r 1..l*E cl Cl ur ,.h. (} O (n u) ut !4 A ? (1r hl tlu,-6q>oOOAQaaaaaaap p F F .6 p p s) s) s) s) p s) p ? Ioocl(}ooaaaaaaaaaa66666-OAAaaaaaaa6 6 5 - 6 6 O O O O O O,,O O C} O

I

I

1r,..1 lrl l-tOOooOoOoOooorjrjO

,-l 1...r t-l ,-l l-. i-lUJC)OOC}()O

l-l r*a t.r ,-l lrl t-r f.t) (7x) t-r )-l t*r N) tlJ t+r

b,J ur Lh (.n t,J L^ \O \O S Q\ !4 LJ !t + + S.'OOOOC}oOO<>OOC}OOO

-J { { -.1 -"t }-r F-.r r-.-r }-. LJ t. N E !P +t") t-t t.t t.J s tQ c) t{ +\ t,J s ct\ s o <} oo

|+rWSt.Jr-rhJ(rJLl)t-rlnrS-.e|.?t$ 6 t.; o' t..r s \o o\ o\ or tJ 5; \o W \1 \166b{jbOo<><>O<=OOOcrO

tQ FJ hJ b..J tr) tr} NJ hJ tr) N) t^) t, \J (, E t\)(--) }" Js. ..F, Fd (.rJ ol (lr (Jr +* or (}t S\ O\ \O Lh

NJ [,*} IQ N) l.l N) r-r li F-r t...r t-r t-. F-. t=r F-r lEr

.u, + .u, + + + .*l + !^ .u, !A 1J + !^ I'rO O O C) (} O O O a A A !4 b,J *-I 14 !46606OOO(}oaaa!t!.aapppS).<>.o9.oPPPPPPPPOOOO(}O(}OOAOAAAAA666-OOOclclaAaaaaA566-O()()(}(}OO(}OOOO

zo

X

Xt.J

X(}J

Xs

XLN

Xo\

X{

Xoo

X\o

X(}

E" ':jl- Ft5(D

L\T H

L- i-ti-) +n

EHI3 rd'

BEd0" s'trsH'<,f Fe$s i3$oa

hJiJ

flF#H'u e ir.(

$sE

g$B**x F

-j.(D =

o&fgr*tq.,/ pn Ii.<'-' E tid

(}-a*A'FFdg;BE'E*[fS

fa' r-.tD 3;W

s[=g*E S. h'Fx

*) $iJ- 50a

F1

oH t-JIJtr'rEl{ id

EEt{tJ

eV)

sD

4oO.trpq.p

FUol.{,)(}.FetY,

Olr.+0st{

t.rJ L$ (a, ral tJ t1) \) }1} trJ t$ tl'J tt"} N.} t"} h.r t..'* r*r(, t\) r*r O \O OO \.I O\ (,r ,.F. UJ tQ t-r (} \O OO {

,_...r

uJ r..}} uJ { u,} +L L^) s P .E h.} t* tJ }'J ur s tJrlOO OO OO O (, r-, OO O X (} \O S \O fi *.I m ::I!n !^ !^ S) .o :J !^ O .Y O O (} C) O O tr) OooooooobRoobclbclc>bO(}OOC}OOOX(}OOO(}(}OO6(}OOO()OC)\JOOOOOOOO

I

tt..} tQ t1} t J t{ r-r ,-r F-r(}r S\ Ch hJ { -J (Jr & (, (, S S S & ur Oo

t J tr) tQ }-r r-r r-, tr) t.") t{ t',,J hJ N l.-) t'J tJ NJ F"}

tJ N) hJ t'J hJ$.b.r$t\},.,FssN

i-l t-.J lEa l-l inlt$\oo'mL^oo\ot\)O(}OOOOO(}

t.J t'J FJ (r) tl) t'") t'J ttJ N) tr) tl) t{ tg tJ t'J t..} t\)(.1"} r*r ('1,) C) t, (;t1 -$ OO O\ Q1'-r lE rrr hJ { [r) (.r)

}\) b.J t\) Lh u)'r.... (}) .,E\ (,l C} t\} b $ $ b t"J (,rO q3 q3 q3 ur 1rr rJr (} O O O O (, (} () O Os) p s) 5) s) s) P p $) p .C) P p p s) p pOOAC)C)C}(}O(}OC}OO(}OO(}(}O(}OOOC)OO(}OOOOC}O(}O(}O()OOOAO(}(}PO(}OOO

hrr tEr l-l t-I 1...* tEr l-r l-l l-l t*l\O \O \O (}\ (a) tfi \O t*} (} $.J (l1 tJr (Jr (A N) \O OO(}(}OOL^(}OAtlTOOO(}O(}O(}

.$ F.r.r 1.* l.'.r t-.{ t1} NJt"trooO(}OO$$S

tr") &. l..i ).-.rr t, )-ro\o\&N0000oo\mOOO(}C)C)(}(}O

!^ I',) !=) :- 9, .oo r I\) po + I$ lrt + $O (Jr (rr Ur (..r O (.|r tJr O t'J {Jt { L}t (..r t$ (} (}O O O C) O (} O O O Lr O L.t () (} ur O (}s> p p .(} .o s) P P s) p .o p p P s) p s)OOOOOOOO(}CC}C)OOOC}OC}C}O(}OOOOOO(}()OOOOO(}OOO(}OOOOOOOOC}(}OC}

Fsa+!nset{,4

r(Jr

rfitJn

(J\

b.)

st\)*.I00Asosoo

{t\)t'-)

smAoo

(,-I(.,l..-ltJ|_.Io\

sO\oO\oC}\o

b.J.ooo\o\o\*,J

oo;"I(.}rt...1(}t\.1(Jroo

tt.J

"T\o(}\o

l*fCl'\st.-J&t$st\)

.wootJtsOCh

1.7L

122

Fcg n,,4r'H(_i iJ-iK #FU? H.11 h Fi

.F iJ

ct-l)-a{-+

TJ?/ara?+

fr(D

$aH(DwlJr

f?Jldt-.tdP

sqwlrd r

FUt}qt{r{l..Jld3t,{{(!.+80set{tJ

{)rl o

wso{.+swssl+rl-,$sFllrra .

rytrl-alrdsDttra

EpoEfrl .

tt

Koo'$l-ar|d.Hfl(}pDFt

l\..A)(tq(!faCa

o\h)

CaF}*lHtia -V1r\|.r:h

H ES:g] tr

* $*E,E* ag.H 5-OrIIfrVl.a a- 7i-, :lA:Tr/)

L.l +irl-a hl-a

lja

SDr-,1

t}

p "s) .p -s)t,) s o\ ootrt\OtJt(}QO-JS\OO-J{t-rt"rJ OO t$ LrISA{t.JC)OOrdO

f, F-. ...1 (} OOU) +r t-r OO

zoH,dfro(D(Ds 3.q3idPg

$?w!- |-to

lr{)J

q

!4v)

>,Ntr/)

)\.{J

UJtr)t-tt$ b_) o

tafi'\triJ

tt)c)s\riJ

s\

J= ,l- Jt,NS\.1.E Ch -.Ib') St {S-JO\NJ \O i.)) ,r

ssoib") t*r t-.*uhrt..}\J OO (.fl

O(}w\,O tJor-JC}r \.I(.lt *lmo\l-r (.r)L/T (}(.fl F-''r-r t\)

JNl-l*.J|r.J{-..1

p(3OtJ+L\o\o\o

s\strt..

\Jo

.(E\htra tf)$\rr)$a.\ca

hR{ra\hlsH\.i{\a{

f.ro.+J

$\

*ilt(b\\o(er'c>

s

XXXSs) sD s? flE 3 B i'I. I. iJ. (Ds0p$rc,(ffCI-F'ld lr* ldo(D(D(+}t.-}t*t

"b$"6O \.I (, Frrroolru+.Esurss@(/lTPTG&(}O(}Jtt)oo\ifi

o.s"s)"o .P '"o -olOt\)N}{OO A (Jr (,oo t$ uJ o\(}L0{SIrrdS(}O\Or-r OO *.I OO

,.,|.- ,L (, t'>"o. b i,; :rr&{O\Or.i.e (,.t OO OO\oo\olo\\o s \o r-r\oor{{{+tN){

"slpJsJ}l-r l-r O C)l-..-r tJr tr.} tr)SS\.lOOOt-}O{Oq}{Jt$\OOOl\Jt\JOO\O\\Or-r \o oo €

_&,!rpb l*, -j* ;*.t, Lh { LrrtQooom{ OO OO r''-(, o\ r.+) UJHTFE{O(}t+)Lrr -.I O\ td

rd r: NJ9uJ

-- \O l.rr \OOuJmurO \o o\ b,J(r) Ct\ { t'.JOo uJ m LrrBTTHIr)OOO\\o oo { *.I

OO(}A"o 'o "o J--(JJOO=

\J \I \./ L'\

l.r ':

Nuv{

-- \O F-.r \OOLalmLrtO\OO\tl)tr)O\{N}oou)m(JlETrH(,O(}(}\\OOo{-l

XXXXXXXs)$srslE)srs,Ft Fl Fl Fl Fl Ft Ft

-. -. -. -r F.

-. -.s)s?slB)E)ElFDcrqctFCrscrld l-r lJ lFa l-* ld |do(D(Dooo(Di-.-r \O OO { O\ (,Jr S

-e -a a *5 .4. .S).O '-O ..9 "O "O (rJt\)OOOt;)\O\O{OuJffiOoI-... & O O\ 1..1rr .}.O\O(,ltQt\)OoSOt*JArlrooOO rr O\ L.-r tt-' (+)OoSU)t-rOS\O \O t-. t.) t,r r-r

"s) p "s) JI} _s) "s)oo,=oo=r(.,r)F-d(}(},().s\O t.lt O t,J FF.t tt.J\O\tLrtOO(.,r(.rJ{*-.I&\O\Or.-i .'N \O (+) *-I (}\O { (/r Lft (}\ \.tSN(.}TLhUT(.,T

rttt

"P "S) .S) -S) ;* ;3 Ju\O *.1 tJt \O *.I C) *.I(}ltr}(}(}{t,Jr\Or*TmC)OOUJSs..}1 OO hir. r.:r .\ \O (}\*"1 O\ { t+J t+) t$ t'.)O\ t.J O\ (, -.t r-t \OorU)Ur\OO-JO\

p_s).ppppSolu)g>\OOqt'J{\O(rrHt+.tF..r(aJOO\(}*.I \O O\ O O\ (.^{}*r&O\O.n\$r { OO r-.i O\ L^}hJ t* (Jt O\ (..fi ('Atr){trr\.I\O{

Irll

"S) "$) "$) l* J3 ;ct-.r C1 q) .u q} rqrIEJttJOOOOr*r '$ O (} t..J tJ\OmO\-"IuJ{r-rt{{&uJ{oo{N(JrrCl.\(}\(4)O\ C}\ Cl.\ t$ O\ t\){(+)(}l-i0Or-rwS6OO\OL,.)

ppp-p"p"s)C)O<}C)OO\L^SOOO\Ot^)(}F..irO5;${ O\ *.I O\ N t\)C)OttJh'rr=r(}oo$oot$€\uJao\ot\)\oHs\O (, |'..} Ur l-r O\O\bJor*.Im\O

I

I')*.I(,_..I\-IsfrJIO

oo

})oao\oot\)(+)

frlIO

oo

.5) -p "s) "s) "s)FErC)OOOYF..NJOI-rO=\t/ \-/ \./ \.r' \J L)

"p "p p JC} "$) "s)OOOC)(}O\L^SOOO\O(,+) O |Er (} t1; A{O\{ChhJNO O t=J i-r F.ir Oqp*soowou)OO \O b,J \O F-, &\O t, t1} (,h |.--r O\O\ t\) O\ *.I Oo \O

,Ot&o\-.IOlF.r\oUr

t,oo\-lO(}\O\ornIOoo

,t"'}

\o(}o\F1I(}oo

pC)O

lE

\o(}o\F1tO

oo

t23

124

|c{ov t,-r Li FtEH fiFdV ts./-1 1} H

'W iJ

oFtt-ar'+rsFtt-ar+N(D

oarr1(}v7)rl r

PrJ1-trHi

0q(t)td.

Fdo'q t{l.{*,l-l rldi-}(.+s$ot{*)

{ldr

V)sDf'+$s

EdsDFtJ$i4|-f .

T3€l-ldstH

Es)4l-,aa

KoP,.old

Uo(iF

Cfld(}tro

sa

t\./6.)r\

DO\{(bhV)

s\s\.4Ftrarrrt\4.U2!\Lia.

ta

A?Pfr=il ESig.a sE EH*

=:li[[HEArun,--Hl-rrJ'w=w

ll FrH ltdtrs)Fl

o

(}(}OAVV{

-u (.ln --I mHOOHSfi(}1r.rto\N.) * \O l-rt'J O bJ N)(, \O l*r *-Iq3 tJ trJ tr.}t.}) CF\' { *.I OO(, r-r OO \O t+}

z,o

FtfrfrOIDIDs 3.q9i;' P g,

sDwtd l-'o

,J

UJ t$ l...rt\) b.JO

,].') "S) r()(JrS(, \t Lfioo \o \ohJ (} t\)OO r-.r -.IUt t".) b)ur \O LrrtE(Jt(JtsLnoo

p .F)OF'.N)SO\ Lrr(r) \Ol*r t$F\t-.I t\}{(,r*r (l\

v,(,ls&o\O{tJt\os

pOOC)(,^}\o\oHtQs

\J

(\rhha..A

(t\k)hlU1

CaH(\'rtl\raiJh

s..\sttq\-..{

\

f\L

Caha.sF,rr.

ltha

I\J

x*a\Gi'Is$

f"+l(\\\$(rtN)a\

Y\j$\\o(4\$a\

t-t-at$\\olr,q)s

\o(a'ss

XXXXXXFsrg?s)$srsr'iFlFtFtF-Br B.

-. Ll . LJ. rI . (}

DDD)$SD0s3r1tJggCrfgCfFnld Id ld ld lrd )-d(}t}(,0(D(}(D(}\ (Jt S l'.r) l*J r*r

tttC)AOOTO\uA.uuvAUO-v$i-rO-Vg1.&Ot+J+rt'JSSo\{\o{oto\oo\ssAF-.r\oOOf=iOOOt;"J{mur\O&{Ur&\O()&O*.IOOClr\OOO (Jt t, (.i) ,.'h, -..1 \O*.1 OO OO |-. \O *"I t.")

c)ooorrrb "p -,..- "O -p ",..- "U,(.1) r-, t$ O\ O t, U)$C)SO\t'JC)uJ\o t\} o\ oo oo LdItJ\O l.l) FJ .Fr -.I ,..'.. -..I(.*)HtJ(rJ(}.b,O\tdH\O(+)*'JOOOl',J *\ tr} H (, i'-r \O

tltr.l*FJTJQpJ^)$(.r}lILnttJ\oo\u)u) Nl tJ Cl C) O wsuro\(.,loosot J F....l t, (* r.ir* (}\ -.1ttJ r-r (, teJ (} O U)OO +' O Oo t,J Ur u)\O OO tJ C) (, \O C>Lh) O\ (} O\ \,1 t J t-.)rrr \O t"J \O rEr { (,

OOOC)OOVVU/-\UUVHSO-V(.A)OO\O\iO{)*-IOOur O\ t, t,111 F.-r O-.JO\OOOO\(JtttJr..I [1} O f-r (}\ .."I O\CI\sooosurooO r-i trr O OO \O \O\O Oo tr) \O & )..-. {O\ m |..r 0O trJ t*r rr-.

lttt.S).S),P*O I o

'-t(*)OOOOOAS\O OO )sr O\ OO 6; g.\t\)(}OOLhOOLh(}l-t[r-JAOF.iT(,^)OO\oooot$O-.ItJt $, *.1 r-r t+) { \OUr-.IOA+\Lht.a)(.l-l(.}tfio\(r)\-)lrr

<>G 5o5\oVVUUUVOt$-vOOFdOotJ OO O\ O L^) \O NJ(, c\ \o oo (, \o c)Oow{\.ILASOffi\O\OOOurOoOO(Jl.aE.=.lrn,t*O(, o\ \o tQ { *".1 o\-.I L$ L*} \O (, OO \-I\O(Jr-JO\HL$&

tttt*S)-e"Sl;c r <}r-r r-r r-r 1t'1 .$) \ J/J

\OOOI;rO\OOOg'tQ()OCIt"rTOOt;rt O r-r t1) OO l-r tl.)C)o\cooot9(}{(..1r1 .\ *"-l Fi{ (, { \OL^{Og\$LAUJ(j) (, O\ CF\ t+J *.I t"r

o<> 5o&\ouuvuvvONJ-*A()r-rOOt.JOOc}\O('})\ONJ(,tO\\OOOLr)\O(}Ootr{{tJrS()oo\o\oooLhoooO("l\&{rnrtr)Ot.a)O\\Otr){*.I ol{(rt+)\Ot+)AO*-I\O (Jr { (}\ F-..r tJJ S

XXXX$srg?pFlFrFtFt

-. d.

-t -.s, $D s, slCf CT CT CTt- ld t-i li*(D(?oot-t \O OO *.1

I

"t) *p pOOO()\t(}C}\ N) t...)g*\ l"ir \OO\ tr} l*rO\ S L+)t\) t\) tJOr-rS

"s) 'p "s)+\ tJ (}OO\O\\o \o rjr(,r\OOS F..i \O\o{o'*lCt\Ooo c,\ s(,..r{t$

I

"s) F "s)(}tJC)F...r O\ SO\{5hJ t,.) *.I*"i o Lho\00{\O tr) l-rt')OwSUrtlr

p .p "s)\O *.I \Ooo \o o\{}-r.$.O\ \O C)O\i$r-. { Otoo oo (}\HLd(.lr

tt,O(}C}u\,voo s F-r+ttrUJt,J *..1 {O\ot\OOOLh(}(}\ (} F-rOO *.I {PO\N\oN{

OOuvA.oo o\ -vLA(.r)HO\ F-.r (-{-)

OOOt\)\OO\O \O *"Itl} F..r (.rrI\)\Ot\Jr-r (rJ S

ttt-$) "p "s)OO S r*rS oo {.})tJ ..J \,1O\ (}\ \OOO Lfr OO\ (} r-..OO { -ir..r ch N)\o[*){

O(}UVA

Oo O\ *uLh UJ i""'rO I-. tj)oooN)l.r-. \O C)\o\o{tQ F.-r (rrtt.J \O t\)t...r(*)^b

IpOtJoo!-ls\ocho\(..t

F)CLNt*)s{ooChoo(Jr

I

s)(Jrt\}o\UJ{o\\.1."J

,oo\(}(l)

oo\oo\ool-ls

t

,O(.r.)\oo(rr{o\{

pOoot-}{(J|oat.r)$

Iplr.raw\oO(Jr{6*.I

"O(}oot,,J{(Jroor$s

125

126

cs F i,(' (-. =

II

=7- 3-

=qE S H4Es

F-fD,Tr-.\jr<=urw

ooq4(D(l)ir- 'FI1gHh,

oawl.'d.t-l,lJ(}33ld.t{,).+tr,sit{hJ

{lrl r

wSo?-|sD

wsDlqrrt)sDHlrrd r

H\Jt-/.t-.ldsetrEs)Hl*,

KoO'(Dfrd

Uol-l*-J

Cff=a

rDIf'{/A\./ra

CnF{*t\-\+t*.JUi(t

\..r/

>h./+)(t)ox(\caCAi.rl,

0\.aJ

CaRt\fiJq\

U2s\|!

oU2

*,tE**aHsxEo rnn FFl 1..+ r6 X rr)

\IArd *a'. 'dlErFoFt(}

PJsFPFr..r (rh { 0OS\\O(}So qJt \o t\)Ut (ilJ FE lrr&t\)s(3\o 00 N) (JlSL Lr) t'J OOUJ OOS+"..tr.U) S Lh OO F-r

zc'{frfrOr0bs ts.qgId*g

i) v)td id.'A

LJt{).J

q

H

|\c4

(-l) I.JbJ Ld \O

J}j*LfiS\o5tJ tJtoo&(Jt t-l)l.-.r .}.H L.")&{('}) F.i.

I.J(}(,oohJoo(JTUr-rs

\.{*J

caH.

$o\IrrJ

\IJnRr\{\rhJo(\r.J

p "s)(} Frr

tr) o\UrO*J O\{(}O\ UJrd, OOLr) ,-r{\O

o\"t*)Lr)O-".tt rra

-..Ib'-)(+){

p(}-\-JC}tdoooosooF")

\{t\\u\s$f$

XXXTsssqH E.H.8s s +Elrl Fd i.r-arDoo(, t{ t-r

a$$rri j$tri*.(t\hJStt\ra

rrt(3(3(}{L"<}b"c,SN}C\\O& tn *.I gr\\os(}J00l-d (,l b,J (})L|r (}\ [,".) (}\Lh S Ur LrtTr}OFJId\D *.1 O\ OO

U)t.'ct E..\.' \is $.\a rir{

I ibr

s.

P P P.r'*OOrrr(;lJO\ hJ t'J Oo(}\ OO 0O t*)c)s\o&O\ C,-\ F.) Ootrrr. { (rh q,|I

ts U) t"lr \O{oo\oooo\ \o \o o\

i\

C4lr*slrr

rlTOUJ(.rI

IJ "oo "o\ Lr-r \O tr.) N)\O**S\Owtr){o\O\ bJ S *.IUIC)L^{O\ F OO F-irJl\o(}\oHoot$\o

OOOU)\rv\rv(}u)(}u)r.}) oo o 00OO (} F-r (.r}O\,.h.FO\(, O\ t..) t..)o r_lTj(}Hi-.t,

\O hJ --,I O-".I { O\ (Jr

tllp,O.,O,\N)O{'Foo oo u) h")r-dS*rUJ(^ ("}) C) *"{+rN)OO("lJ Ur (.tl -.I*L O\ .$ -.I0O 0O *F -.ItJ *-I *.1 t")

ttJ}-p-ploC) O tJ \O(}U)OurOOUJOOOtJ +b (}\ *I(n (rJ F-r \O{ t.'J \O UrUr OO Ch UJ-I *.I (} t-d(Jt UJ (,|t CF\

rttPPP htJO\tJ-oo oo "bJ N)t-. *r 1b U){fi (-}) (} .h,{,*.t"JOOU) Lh Lfi *"I+.9\&{AO OO ..F *.It'J{{tr)

ttPJ}P}O(}(}bJ\OC)(+)(}Lrrooul(}oot..) .5 (}\ {(nUJH\O-.,1 tr) \O LrtLrr OO O\ (r)*.I \.1 (} Frr(";|1 (.,;l-) t_n (}\

\UI

*.J

a{\l*.(t

f"to+$\\ou\oo\

nB'\)ft\.

I

\ou\o$\

t'*..

sra$\\oI\$o\

\\cutb\ao\

XXXXXXgr o) s) or qD s,Ft Fl Fl FI Fl Fl

E'sa)s?A)nra)(]rcro-Efcrl-l l-..f Fd |-f F.rd |-loot}oo(Dr.-.r \O OO -.I O\ &O

llOOO,{{raAA\JA.\.1\J \J {, \-/ ,,

IlJ t$ Fr {+) \O

\O t-n $\ \O \Ord-lulsoSf_rOO\\O+O\OOo+A FJ -.I (, (.,r

-(} -F) -p *(} "s).s t'J O C) t=rC)LNLNt$(}+so\\ooo..FSt;rt.tlC>-.1 & \O N) ur0lo 0'o b,J { uJul -I Fd t\} C)tg OO l+) tJr U)trir. \O (|\ *..1 \O

ltl

-S) -p 13 p _l* J*)(nO(}UJl-r(1\--.I (+) & & (.1) O\SC)\OO\r**"oo u) u) oo 00 c)\O 0O LA OO *'I N")*r OOO(JTFi0ON) UIN)tsSOOt-{ -I Fr.r ts .}. h.*Ur OO N) 6 -.I +h

"slp"slp"pp(Jr \O \O --I t'J O{{c\{$o\c)O O\ t-r Fi.l \O F.ir\O C)OMUJNJAHO\b)t;r\O,{r, \O O\ Frr t-..t Otr") S l'") S OO (,}rUi { g\ tA} *L (J}tJ UJ (.,r F. Ur U)

rttt"ppFppW(^C>OF.r$, !.ri. \O \O -I\O U) -I (r} b-)(}oosoouJt-a i-.* (, O\ OO\DOOObJSclr.l){{{Frr OO t.) OO \O

J}pppp0OUrrd(}O\hJ (+-) t$ h") Fir*. OO O\ *.I \O.r\O-I.rSUJ tJ O -"I L.^)o\&ou)Ff-. Ut -".I (, t.r.rlrd t{ tlJ O\ \O\O t-* tr..+ OO Fd

ttttlppppp-s)t.r..t OO Ut C) (} FrdUJ {r. r_r \O \D -I\O \O Lr} --l U) t\)o\(}oo&oow{ F. }-i (d O\ OO{ \O(}Oot'J*'\o(}w{{{s. F- l.rr OO bJ (}\O Fi'r OO t*1 OO \O

FF"Slp"pOO (, i"rr O O\t"") UJ ($ b'J ii"d*" OO O\ -l \O+\o{ss(.1) t'J (} -.1 (,o\*\(}(,J&r-r{ tl} tr) O\ \O

IC},O

Lr)Ow-"It./nooF.r-I

pC)UrtJoow*.ItJtJoo

I

F>frd

Lr)\oo\{-"I\o&\o

'a-.

{oo\ot'.)6u)Fi..l

o\

s)(}{oo\ot\)o\(.^)

o\

127

a?,rC.)= tr. FE7 S

11 l}

-r F $9er.s

L,t?E

XJrtX\o

t4)(\)ox(\Vi%a\.ir}

CaqGr<F.L

U2q

$h

F S& 7,5

sie.xFoiijnfrFa trd '6 H cr)\., 1n

H ta.J'' '?/l-a

o]H$

C)O (}uu4\,tdq;l'-uOO

=I tr} O t'")F. Fir \O O-.I -I Fr.r \ON)5u)00NJ(}(}\OU.}-t\OUrO

zc-/1

tr

-1 frfro(Dirs B.qgtdSss)V)td l-'ol-ttJ

(*} ir.)bJ&00

-

H

ilb\osN) tJrm'*.\t F.&c)\o Lir50\(r\ -",1

I"J(}(.$oob,Joo(JrUrFr+*

PF(} ir'-rtQ OO&c)*.I O\(}{uJ o\F...rr t$bJ t'J(JJ F.j

JJ(,.l.)

t--.UJ\o(}6r.}}

IUls{ooo\rdI(}

lJr

q

!aq

!,s.C4j

\q{J

fr7

fi\r$:h(\a1\)(\(\\

128

\rG}t.l\ss$

\J\J(\iri:ot{.

a\iJsr1r)

ce.Hrt]A..a Ftd Rt"\l1Yt\i

clftai

1r..N,

[a1r.rLsl.rl{

f.Hlw

aF.

t\.(\

f'',$-ar*.t'!s\\cu\ss\

Fra '\)s(\\\o(4\oo\

l'\.\)t(t\\c34s\so\

\\cs,.

\()s\

XXXXXXXXT'E!HHHHEEHss s s s s s B- &Eo(}oooo(}ot...i OO { C\ .F (4} N) Frrr(}

ltttPPJ>PPPF;-tA(}OwFd(}*rC)(}Fdte)\OSbJO\\O\O \O t.r) O\ Ur Lh 0O L|)(.r) O\ L$ (} -.I .h +' U)OO C) { O\ F-. { \O Fd'r..d*s\o(}\&c).Ftr... t$ \O L$ (.r) t J OO \OUJNJ\OOO(}O\SO\Ut OO 0 \t OO L/h l-r (}\

CIOO(}FdA{{A.{{A{

.r-OO'-=OOtrz=UJt\) (Jh hJ Fr..r (Jn t.J Fd .htt*.J Ur OO C> \O { t.t.; \O{UJtdLhL$0OOO\Fri \D ld S\ C) O\ & t\)tr-{ (,l O\ Lh L}) NJ *-I Ssl O (J.t *. LA (}\ F.i ldl.-* c> \o (Jl oo N) F.r \o*' (*) F.rr (Jt O\ \O Or (.}t

tttttJ>J>J>,r*j,J};PJ,JY,Lfi OUJFi.i{&\O0ON}\ost.'loo+(J|hi{oo(J|(.r} Lr) 0O C) { F+ t,J 0O -.I(}\ o\ot\}t$bJooN){t$ tJt 0O r-r O +. O Fr.^r Ogt\ OO OO S Ln { __.t (n +rfi OOt.J(,rtN)O\S-lUJ

"s}J}"ppp p}J\O *I tr") (} O.,- (} r=rC,t\tJSC)t")UJ(}{{O\gt\q}FdO\(}{r-d Ln 0o \o o\ \o o\ rJr\OOL$\OHO\\OS(.lJ5(l.\F..*(Jt91.*J;'nOO OO O *.I UJ Lh) S \-'q}{.'$.r-rrEr\O\O(}\O { U) (+) \O tlJ \O Ur

ttlrrtt

"sl.,5}p"s).s)pppFr-.dSC)(}F-rb.JC){(eJuJ rJt\o\D{o\oordoo\ \osr-,oooobJ{{Ur UJ { & O F.rd \O i-} OO,1b' Lh N) C} c) hi=r \t t$ t,)r.lJ\c{lt&\oN)\or-,{\oAs{Fi'oo\o.=ul\O (1UJOOTd\OG\Or;lto\0o00{&&5b.Jr-r

<>OO &cr r \ou r, u -^ u u /r+ u,FFdC)*r-OO.r-OO{(eJbJO\FJUJtr)-.IOO UJ +" ld (*) tJ I-. OOr.d\O(}\SUJ(}\OOOFJ L$ La r-r Fr-r (.r) OO (}- UJ S N) \O FrJ ("r1 tt.")O\ * \t \O .'.J u) <} u)--I \O \O (}\ NJ { tJI OO\o Lh (Jr o\ tr) t.lJ \o rd

rrttttrpJ}"pJ}FpJ}pFh..... +" (} () Fi..r b,J C> *.1 (t)UJ (,h \O \O -".t O\ OO F-i. A(}\ \O F Frr OO OO t'..) { {(r1UJ-I-}s.(}hE\OF-r0Os t h N,J o C} rid .-.I uJ Ir.)U) \O(,t\+\Ot.J\OF.{\t\O +S*.IHOO\O(>UrO\ 0O0O-.t&s..b.Nlt=r

<=Oc>&Or\o".b. ",- "O P "O "O ;p "Oo

{ (}) t.} C}\ tr} UJ bJ -.tOOLr)St*(rtr)FdOOr{'1 \O(}\&(rJO\OOOhJ L$ tA F..r Fr.r (.1) OO 4}iid (.1) +" t$ \O fd, (.1l1 t J*,\0O{\O{L$Ot})\.I \O \O O\ N) { (J| OO\o rJt (i o\ l.J L$ \o rd

tO,(}(,l)

IJIo\\ooo@UJ

,OtJririUJso\(Jh{1.4

,(.^Ut-."IH*^..I

UJN)\.IrJJ

PC)*.t(.lrsOstJu)

F)-.I(xsC)$"tJLr)

2f\-X7 .=i> '{r,

?,ne

nE.cs-rt--l-l,.dxr-{ ut-\tl-J'J X

;-IX\o

f\-rt4l(\

oo\$(r:lrlo\(\acaqsRl\

3r.lrl(..L

t\u)

ASFWKH H,H?gfi a-''+ s:

$Eg.HEO tIIN 7Fll*f6 H cnUA.

HllJ., ,}l

HA)H(}

PJ3Pl-d o\' { .r-Lh b,J (} oo&ur{.u'(.r) { O\ rd\O $, Fir ldOO +I tJ \OO t,.) Ot {(.l.)+OSL.d

tr) Hl OO U) O\

zc)t

-l nfro bbS E.EIdSsg? (nl-. ld..A

lrJlrild

t.rJ t'",)t.Q LA {

a

+rIt\ti

t,J O"(} "u, .l*UJ \O +.0O Lrr St\) \O tJ0O (}\ (.lJtn OO FirUr CO O\r-. { (}\FSS

,1-\ ,ALr' \./

i:) -ttN)(}Li) O\oooUJSm(.rl{N}(.l|t U)(.rrS

(\a\lr}{\(tih.{t .l

oo"o\sUJhJcoooA

JTJt\,)Oooc\rfj

TOtJt

s\s(\

a(}$

r:(\tr)$t(a

CaFr{r\'i.{\Fr;l

s,Ll\.dFr{

r*l\*\)\

{r.rl

f4q(\talira

+.vI

11

atirr(u

f"0dtGn\cu\oo\

$TJ$\\ou\oo\

f"$-1Q$\\o34$\os\

\\oI*\oo\

XXXXXXXTqEHHHHHE-r

i. r. ir B. H. FJ. (}s s s s s s ss6'5"5.5'5'5'6"tr.ir OO O\ .$. (-l) 1...) FdO

ltllC}O(}OOO"O "(} f- irJ "t-- "C, "J}. J*IFJ f-r -- \O (n t".) --i t\)\OtJr(}\OLrrtl){(,N) O\ Lr) \O \O C) (.r) -.I(Jttt.)HFT*CF\(}\(}\O(}tdO-J{Lh*.1(Jrt.tJ(.lJ(.,tOO{(}(+}td \O F,{ (.1) OO Ln UJ F=rF...r (.11 F-i l.rr \O t.lt t.J tt )

(}(}C)C}(}OFTT-1-1 "g1 L "C, "6, ;.- iJt-+ tr.) O (;r t J r..r. (r\MO\(})ornur&S \O ttJ \O O\ -J UJ(.1) O & Fr.r OO (n tt.JN)OOC)HLrrN)Sr-rOO("}1SO\\tSth & t OO f-r S O\(}\ \O [,J OO O\ t-.] t.)

<>rtrJ,lr&S,qJr"(} ,l* "OO b "OO L \OUrLdhJ\C++t'.J (}1 Lh Lrt r.-. O (}bJ\ooot{s(}o\(Jr(}(}OooofiL^)A \O (+J O\ (-r.) tQ t-rUJ (, N) tr) (}\ -.I \OL'*)\ouJNJ\OCF!S

(}(}(3(}(}t*rr-S) "t-r b "C> i,; '<} bo\0urC){}\OO(}+OOO(,OOONJ&\JO\ESUJ\O(ns00\oN)o\i>t+!a!{\iorrl1...) O\ O tJ O td *;\O+LO\O{O(}{ { \.} (,rt F...r O\ O\

rlrtt'F>J>.S>J>;,-P-t>Ft-r$q}i-r*ruO{O\(1-)+"OOOAN{FrrQJtt.J t''J O\ *..I O\ {>, Ur bJ0O+rtab.JO\O{tE{OO(nCE^-JC\(}\.Ft\.) -.1 O l'.J { OO tQ OO

rrr O lFr (/h O { ()\ (J\S UJ t*J { O\ tJ U) \D

<><>c>O&<> \o"C> "e i:> t}' b -<> J* "oo*.1 { 1...) H (-,171 (.}) -u $,5 Ld & b,J H (} t'..) C)(rJ *"I tl1 (;1 q3 OO t$ \O(,r N) OO ("lJ O\ U.) 0O \O(}J {oooouJt\)\oooo\\o{A{{o\o\O \O F-d O f-r O\ \t t.Ib") tJ F-r {Jr 0O r* OO tr)

ttttO(}OTOO.r"s b "-'Jc "o \ "o'.tr.OOOOTJ{HL$NIot{O\St.rru}& l".lt tlJ (} \O { F.-rOOtJTOO-IO\O\5*.I O tr) --I OO t'J OO

O i-r{ (,h O { O\ (}\UJt\){O\TQIJ)\D

IPPJ3-s)o \D;F.b"fic}"oA"oo.*JtJtd(,(+)-v5bJSN)HOI',JO{tJt;TClOOUJ\ON)OOtJJSU)OO\O-.I OO 0O (.lJ tt) \O OO\o{s{{(}\(}\O lFr A Fd O\ { l..It1) r-r tjr OO F{ OO t,J

(,C)UJ(}00\o&H

IC)Ut00F-.rtJr\oo\o\wtj

,(}(no\o\&o\Hoou)

I

lrlwt-Joo{F,J-.Is

O{sw(Jt(-r)o\\otJ

129

130

ce ffq L- ir

LjFEl 7-t:Jl.>YFtr? S9b,fr

H's

cr(?E

X-utX;-lX-*X\o

F trE 4 Eq+a+Li.$H.gHEOtr]frFlrt L* r6 X u)

VA.li.a llJ'-

l.lODH

ppp-(}F.r.r O\ { OOLh+*(}..FH(}{i-r& C) l;r1 F.--rfi..r (}\ Ur O\s{sh.)O\ O\ \O ooLl) O\ *.I OO {UJ{srtJt\t

Z,otr

*1 frfro(Dt}s B.qgidPsq)ul-r lJ.

otd,)

h(\00\(isEA+2

ArlqRrsq?:!l..l\hr.(\%

q

!av)

Nv)

(.1) tr)tJ Oy S\

l'.t.r{l

Caila\rF.

irr ilh

Gt{

hI

\J

G\r

{

l..J fl I t...r\, v l'v

O Lh'SUJ \O$OO (7\ t'JtrJ (} F=roo 00 \o(Jt S\ \OLhSOf=r (, -..ts{o\

p -s)(}tJt"J At'J C)\O Ll)N) (]\O\{

(}:troost\)o\0\\os

Iu)oo(}0\(}\rnI

o\

N\tiia.

a$$

a\)(\rr.,i j(\s\lrilgtlq)

%tlls=r- \i

E$\r {\

I r:l

s"

e..l

Caq

s!,..L

\;IJstrl(\.t\

f-.\rs\\o(4\aa\

\\o(.rr\os\

fr(\?aQ(!\\c},,\ao\

\\o(,l

b\$o\

XXXXXXB'01s3olo)olo);.iFl Fl Fl F,t Ft Ft --J. dr

-. 'rd. !l . Hr (9s + s + + +E

O(}CD(}(D$Fd (l.\ $, UJ t -) F-.r

Itltt

',slFpppp;rO ClUlt-.O&N)t") (,J \O un N) -J Llr0O Fd -.1 {..1r1 Fd (}\ (.14

.$N)O*.I-.IOO\O tJr\O+UJN)O\(.lrS*"tt'J{&N}\O L$ O\ F-r' (.h *-.I t\)OO r-r LA O\ t-t r..I i}

(}C)O(}Oti.d"s "<> .F i3 ::> l-, \JS" tQ (} S b.) Fr... ri.rrOO O\\O\O'rtrrr-r.Etid (.;x) (';l) 0O { \O f-r(}\ U) (e) S\ CF\ S -.I\O hJ F*r { .$, H?OO.hO\*LrtSFirC)C> L$ * { F-r f.iir Soooo{o\\o{FJ

r*t.lrLrrJ* "t ) Jr) p Jt \Orir Ln F-r OO N) *.IOO (,rt tl) -I Lh L,rro\+L$\.Ir.tl)\O -..I F-r { O\ 96r-d { t$ \O \O --t

(}(}Ot\)\r9vv

TQO*,-OO\SO(.lJOtTJfJlo.,-rcos\O tJ (} OO N) C)\ouJO(}"tr.t\)Ut '\O }' '\O Fd FriO\AU)\OOOT'(.|) \O (Jr O\ OO C>S+.O\S{O\

lltllpJsJ}slpprF"tF,(}trJtrJ(}{-.IT\}OOO(Jr*"IOUr\i (..ttJTOONIO\\OtJr UJ I'J NJ (}\ rd NJ(} OoOO.F"*l.O\Oo\O Fr.r O\ O\ rd (.1) QJrd \o \o o\ oo (n 00w*bJoos&u){-.') N)o\s}.J@\c

O O& &u A. -\, \, /A \' .?O .r- (n O .r* N) .r\-.I(}OOtJtOS--tC)tr)0OtrJt'JUt(.rt(,rr I.',J \O hJ \O OO C)frr. OO C) L$ Frr. OO OOOO-IOOOo6.14.5lr{ (.1) N} F.rrr O\ OO pU)OO+"F.rr(}IlJ{Oo&{SO\t-r

ItttFpFpJ}FC) t'J t=") (} { \tOOOtJT*.I(}(JtLh tJt OO t'J (}\ \O(+J N.) t-J O\ rd t'..)000,o*so\oofri. (}\ O\ F...r t$ t l)\o \o o\ oo ur oo&t\)oo++(JJN)(}\+\t{&\O

tlOC) (}.F i/, "c, p \r JoO*La()F-IN)@(,tJ(nLhtJ \O t{ \O OO (}OOC)UJFdOOOO*.JOOOOO\SSU) N) hd O 0O rErOC)+FrrON)OOF{S(}ti-r

IO)(n\oF.i(J}}{.(}r./h(Jr\oF")&ooO!ldFJ

toFif

t\){tt(}\oFr.f

u)Lr)

s)O{OtrlF{ooF.il

UJ{

ow ffq (- ar\-{ Lj flEI '{

=t'lrlYru? $L>')fr

E

-\Jt?-XJxX;'IXsoXJoXl...t€)

AJ$

00!$r-2Ca

t\

hI

wi.*sF.rU2q

$(a

F $E N 5r'ux,Ei.0Fr

$HH.HEoiijNfrHH'-dHu)

\J F\ld tfl'a '4t-ao,H$

ppFpFr.r C}\ { OOss(}(,})\o oo u) ooLrt -.t O\ 0OOO UJ F 'r liEr(}Ldoo\oOO {$ -I OOtr) 5L$Ur{Jt(.1) { O\ t"J *I

zc{:tr

'-ifrfrOi"i"s E.q3'|-rs$o) v)ld lrj o

oHlJ

(.r) t\)t$ *"I tJt

*

>,N(.ll

N) C)b -o\ -l'-UJOF0O S Lr)tQ rd A-0O .= F:ir,l\o{Llr O\ Ut.$, +. F.d

.A A\J LJ

i3 "t")tJ OOt'J O\bJ oo{ (})#ur

ha,

ft*\.ti)

(t{J

l-l

J\.)ool..ri\o{r"Io\l+l\o

Fr"\o&(}\C)(JtrdI(}s

s\ha.stF(s

\J

aIhha,

$*a-(b\llrJ3\t.v2

Ca,hL

t5J s*FtdR\*r tl

I\

t-iFr{

!"i'

caqLsFr*.

|.F{

I

N]

tll

fs

f*\)ris\\ct4\$o\

**it5s\\ota\q)o\

fto#!+$\\cJ,,q)\$$\

shr\)s\\o-!a\$o\

XXXXXTs)o?o)oro)^E. 3. =. =. =. F6s).ol$$lirtrlCfffggFFlirJ l-. ld, H ldoflr)$oO\ +r (a.} t.'-) td

IrttJ>P"c:"SIP;rq} -'fr. r-r (} Lh U.)UJ hJ Or t'J t,.* (}tC\S\OLhH*..ttJOOq3F.t,}TO{ \O *. OO b.} O\& t+) *. C) bJ \O

oot$*\o+u)tJrteJOOm-{(a)

P P.P *(}.P -l*C)O(}O(}Fdt"J *.I # FJ \O OOA\O(J)(})U)5O\ O' \O -."I Ll.J -..It.') S { *"-l -i \OLhl".,rtFr\O{\O\O t.J UJ t.J Ld OIJt*E'NJ{idiFl(.ASA0OU)H

rUtttl6.;- "*, J*, 3_ JJt "N'S UJ OO (} + rr--..\tS+Ut-.I{uJoosoooo\oOhJS\O(}\Ot*..F.tJStJr-l

OF..iOAOOF4\, \, \, \, \, \,i....r h,J O 11) .}5 LdLAAO\OL^\ObJOO\OO\Li)bJ tlJ O\ O rr CI,..

-+.=3eOmO\\Ommh.J *r' \O { i- tr-\OO{&O(}tQ tJr \O rd O\ O\

ttt.s}"p"s)-F}FFJ t'J (} -I \Oo\{Jl{oq,rnr \O UJ U) ()\st{\o|-.(}*.I O\ { ii.r O\$r (.7r1 r..rr fi N){oooo\o\oOOur&C\UJN) Fr (, {"1}1 tr.")

I

'$}-SlP I PLAOO'P,\I*- oo \t FJ w \O(} OO OO U) trd OOH UJ0OCI\\O(}

*. Frir t J F-r \O {FJ Fi.r It. ) (} l.J O\(,rr OOSNJOOtJtLr) (}\ .}r. +r trd (.|)\O tJr S \O UJ Lrr

ttlT(}CI(}(}.F

,r-\ \t \, \t \, \,

--teN)O{\OO Cr\ tJt -I A Lr)0OH\O($Lr)O\C}\ ..F. t$ \O l..d C)OO { CI.\ ..-.1 r-t O\(} .F ur F.rr O\ t\)t$ {oooo\o\oO\OO(.aSorLl){ FJ i-r (.1r1 u t..J

lPJ>PAIof"14OO.r*\.I*,-Oo{t$w\OO OO OO U) t..r OOr..{ (+} OO $\ \O C}.$ F-i t..J F-r \O {bJHI..)C}NS\tJtOOSt$OOuruJ O\ S .b. i--.r (,\OUr+.\O(.lot..ln

I

,O(}0,oc\ooOt-.)o\{

131

132

o2 fSF E'JL>YFU'7 S

')fr EI -1.'sD*Ut}-XF^}

X3rr

X;'IXsoXJI}Xhr.-\-,

A)(t)a($f4C4

o\.!rr)

%qs!.rl,lht.gaq\t

(\d

F trE N 5fi; * E.o =, h'3F'E'* a&H 5'6 iiln 7f{LJ'6Hw

LJ A.t- llJ'. '-HotHt}

ppppr-d o\ €\ oo*bS\OUJ\O { Fd Fr'r'\otQt$s(}r!*OUt+O\O(}O\ \O t"rr t'JUJ U) tJr OO \Ot$o\60\id

{frfrooos E.q3'dAso?wl_a td.

ol.*tJ

(+) t-Jtsoos

!aV)

j} -l*O\St$ c>\o \ol-r (}\o oo\o o\\Ot-.tOO qJI

t\))

(-l)

00t\)ooIJtrJllirds

e

as\r\)aat]

ppo (.[)1..) t/rt..J t\)sN){{F.. N)

iF-atJl

b\r.I(}r+sl_llrds\

JJo\li..r\.I--lo\FJI!A!\-)

-..l

\<{*trt\a$"(\

e$

,(b\br\aJ(\rii.(t\hlSrrq

fr)hIN'\.' \E$vqat\r

s"

!..f

%!ia.

$kL

\rI

slrrl*\(\

t.'t\)tfu\\ou\(}o\

rablr.\)\)f[\\oh\(5o\

f.+s.iaJq(b\\os^\oo\

*rts\\ouq5\()$\

XXXXTB.E H H *$ S $ sfltd lE id tEoooosr.tJNlH

ttr-Fl.,C)-s)*OJ-Iq}'}.t...t"hN.)(J) F-r O\ UJ OOOO.F0o(}-I*.I Ut *.1 & O\Cl\ tJ (Jr (Jt OO\oooouJ\o\o \o tJl uJ oot+)LnS-.IO&(}\{Il)O\

(}O(}rd\t\JA.uv

OOu-'/-Ohr-rhJ{c)\oooS \O *. t'r"r {r(nN)*"oo\oO\rd(}&OOrrr N) o\ oo *r\oo\(Jl+r{\O O\ O\ t'.J \OS (}\ UJ *"I I'.)

Lrt I I O\.ir J*r J,r' ;t

fwm-.JtJr(;r t$ N) *"I (}OO Fr tJr (.a} t..)t$ {Jr LrJ F-r' OO

(} C) t"rJ Fr-r

L J- '"O "w "'tt.)

hJ .tr. C) t.rr t\)UIAOUIUJ-.I oF\ O\ O\ +(.tt O-. Ot t1; rd(.il Er \i F: Fr

I F i IrdC>SOOtQ ("n -.t O\ C\

Irt

"s)J}pp"}O tQ t.J *"I OOOO Lh tJr trr (}\\O tJ \O OO C)ON)O(.rrLl)\O C\ r=t \O t ll(} r-r 0O l..;t) tJr\D O\ \O & t")Frro\{...Foo

IpJ}p JoC>rrrOA{-{{r--.F... o\ oo L}J ur(..rt{*r+r(}tJt OO OO tQ t\)rd0O(}1L$Ht J -J i-r tr.r q3t'Js\o(}oo(+)(*\g\-F..F

rrlppp-(}F(:) tr) tQ \t m0O(Jr(nHO\\O tJ \O OO O(}bJOUrt/)\O O\ F'* \O t'ltF.rr \O & O\ OOC) F-r OO Lr) L/h\O O\ \O *r t'.)Frr O\ -.1 +. OO

Tsl- p \oO(aClA--IEr{{r--

fr.* O\ OO {.r) (Jrtlrtt-I{r...b.(}(,tr OO OO tJ N)HOOO\(JJr-rFJqFrF...Oh.) +" \O O OOUIUrO\SS

c2 f1"1 \- ii

=i 5')r.>YFUC sr>,Jfr

E

-\,-(DXhJ

XJxX-aX;-IXsaXJeXl.J.qY

t\HA)(\

DA\(\Uia,

\Gra

C4!rrr.(\t\l!\*ha.taq!.ri{.nv)

H Ht*lrt trff X E-o =ri5 IJ. i1* ' -

H.7F:+="dg a&H 5'Orr]NFl{i{,d H u)

\J A,H ttd'. '7r/|ras)Ho

p"F}"s}J},d (}r\ (}t\ OO(,rr F.J 6 rd,t.r) \O Lr) +{(}OO-.1C) { ("rr -.1\OC,.\OOt-.-r ($ -}. t-r

UJ (}\ OO -J \OL*; 1;tr F.\ tFd (.lr

zC<:

-tfrfrO?D?Ds ts.q3'id+$glwl-. Fr 'ot+tJ

(JJt.JtJ \O {JJ

!aqp.j*(}\ UJoo tJlUt t,Fa F-rO\ Fr\o{

I")OUJoot\)oo6

s\v)

o$\.t\la(\thr{J

FPC),StJ ("|rLrJ fdCl'\(}t$ u){\O

l_r\ob\o(:)(.$-I(}t\oF.-r

F\o{(Jrf-..\oF]IC)-.I

YA\*{\trra.

ss(\

n()rrh

%t}lss$\. frrar\ s

nt{.

Ca!|rl.si.l\

"uI

ss*$u

f"$"a(\\\ou\C)a\

}I\)\rfs\\cbr\Q$\

F\o.C?t\

I

\os,,\$$\

\\otJt

b\$(D\

XXXS'ssfqororori+-rrrvHr rd' rdr 1}+ + $Eld lrd |Ea(t(}(DS UJ F.ir

ttOO-I/.\ \, \, \,-U rr.t (..1|1 H

SO\u){li-rr \O O \Oc)h,Jssh,J \o tJl s(JI (J| C'.\ CF\UT(}OO(}r-r +r *"I OO& Ur O\ Lfi

O(}Fri'tl -., ,q '\,

O O'V t\)OO^$(}FFT

t.i t-r '}, O-..J 0O l=r t..-)

O\ w Oo t\)

Lh I Lrt-^. (.1) I *

8";J^S,ulsq\00\o o\ L$ o\tJ \D tJ +rU) F.r $r (,

hJOSFd\,\r\,uFr.r A UJ \Ooo(}oo\oLrJ (} Ut h.rLrt -"I UJ (JttJ \O \O O\rsrr(}t.JOQ(, \o o\ c,r\

I(}r(}&ir'S>\bS t'.) t\) \O.*.(}\Ll-)OOt*J F-.. (} uruJ{{u)t\)oLh6\S(+)Ur\O5 0,o\ow(.r) \t -{ \O

ltpFplo(,'T(}Llt)O\{-"I(.r)(}iO\O\{(}tr} oo oo uJ{@(})(.rr*-.l O\ oo (,OO tr} r-r t ')bJ t*J (Jr t'l.)-"I F... Ut t\)

IOrO.F.\r,A.uuN) .rv \t S+N)tJ\OSO\UJOON) r..r.r (} UrUJ { -.I U)t\)orJ}o\&(eJ(Jr\OS OO \O Ll)(1") -I \t \O

tlJ}pJ}lorn(}rro\{{rrq\O\ O\ -.t ON) 00 00 uJ{0ot$Lh{C}\OOtJtOO tJ rd N)(JJ NJ Lh t...D

{ F..a (-A hJ

133

134

Lampiran 5 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari Model Linear

————— 19/11/2012 10:09:08 ————————————————————

Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: V versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; X9; X10

The regression equation isV = 1,56 - 0,000001 X1 - 0,000000 X2 - 0,0145 X3 + 0,398 X4 - 0,00006 X5

- 0,00362 X6 + 0,000526 X7 + 0,0079 X8 - 0,0291 X9 - 0,000000 X10

Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 1,5552 0,6736 2,31 0,031X1 -0,00000095 0,00000040 -2,37 0,027 1,718X2 -0,00000005 0,00000003 -1,48 0,154 1,219X3 -0,014464 0,008809 -1,64 0,115 1,739X4 0,3985 0,1426 2,79 0,011 2,461X5 -0,000060 0,001098 -0,05 0,957 2,206X6 -0,003624 0,002044 -1,77 0,090 1,581X7 0,0005263 0,0005796 0,91 0,374 2,406X8 0,00789 0,01577 0,50 0,622 2,043X9 -0,02910 0,03993 -0,73 0,474 2,061X10 -0,00000003 0,00000003 -0,96 0,347 1,626

S = 0,258034 R-Sq = 65,5% R-Sq(adj) = 49,8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F PRegression 10 2,77763 0,27776 4,17 0,002Residual Error 22 1,46479 0,06658Total 32 4,24242

Source DF Seq SSX1 1 0,64389X2 1 0,06913X3 1 0,18927X4 1 1,38239X5 1 0,00654X6 1 0,32047X7 1 0,06420X8 1 0,00024X9 1 0,03994X10 1 0,06155

Unusual Observations

Obs X1 V Fit SE Fit Residual St Resid25 1000000 1,0000 0,6836 0,2094 0,3164 2,10R32 385000 2,0000 1,1564 0,1241 0,8436 3,73R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 2,27351

135

-Uji Normalitas

Uji Kolomogorov Smirnov digunakan untuk mengetahui distribusi data,

apakah mengikuti distribusi normal, poisson, uniform, atau exponential. Dalam

hal ini untuk mengetahui apakah distribusi residual terdistribusi normal atau tidak.

Kriteria Uji :

Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05.

1,000,750,500,250,00-0,25-0,50

99

95

90

80

70

60504030

20

10

5

1

RESI1

Perc

ent

Mean -1,05976E-15StDev 0,2140N 33KS 0,148P-Value 0,065

Probability Plot of RESI1Normal

Kesimpulan :

P-Value = 0,065 > taraf nyata 5% residual berdistribusi normal

-Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar

variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam

model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Ada beberapa metode

136

pengujian yang bisa digunakan diantaranya yaitu dengan melihat nilai inflation

factor (VIF) pada model regresi.

Kriteria Uji :

Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.

Kesimpulan :

Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,219-

2,461 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.

--Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan

varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang

harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala

heteroskedastisitas. Ada beberapa metode pengujian yang bisa digunakan

diantaranya yaitu Uji Glesjer. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan

antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya.

————— 19/11/2012 10:26:04 ————————————————————

Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: ABSI1 versus X1; X2; ...

The regression equation isABSI1 = 0,008 + 0,000000 X1 - 0,000000 X2 + 0,0116 X3 + 0,0479 X4

- 0,000199 X5 - 0,00016 X6 + 0,000274 X7 - 0,00507 X8 + 0,0032 X9- 0,000000 X10

Predictor Coef SE Coef T PConstant 0,0077 0,3593 0,02 0,983X1 0,00000019 0,00000021 0,87 0,393X2 -0,00000004 0,00000002 -2,35 0,028X3 0,011621 0,004698 2,47 0,022X4 0,04785 0,07605 0,63 0,536X5 -0,0001991 0,0005855 -0,34 0,737X6 -0,000160 0,001090 -0,15 0,885X7 0,0002736 0,0003091 0,89 0,386X8 -0,005065 0,008414 -0,60 0,553X9 0,00316 0,02130 0,15 0,884X10 -0,00000001 0,00000002 -0,86 0,396

S = 0,137627 R-Sq = 47,6% R-Sq(adj) = 23,8%

137

Analysis of Variance

Source DF SS MS F PRegression 10 0,37918 0,03792 2,00 0,084Residual Error 22 0,41670 0,01894Total 32 0,79588

Source DF Seq SSX1 1 0,00150X2 1 0,07413X3 1 0,19084X4 1 0,07661X5 1 0,00051X6 1 0,00141X7 1 0,00865X8 1 0,01114X9 1 0,00022X10 1 0,01417

Unusual Observations

Obs X1 ABSI1 Fit SE Fit Residual St Resid32 385000 0,8436 0,3865 0,0662 0,4571 3,79R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Kriteria Uji :

Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih

dari 0,05 (taraf nyata) maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.

Kesimpulan :

P-Value=0,084 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.

-Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara

residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi.

Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model

regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-

Watson (uji DW).

Kriteria Uji :

1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol

ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.

138

2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti

tidak ada autokorelasi.

3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak

menghasilkan kesimpulan yang pasti.

Nilai du dan dl dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang

bergantung banyaknya observasi dan banyaknya variabel yang menjelaskan.

Kesimpulan :

Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan

taraf nyata 5% maka nilai :

du=0,7955

dl=2,2806

4-du=3,2045

4-dl=1,7194

Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,27351

terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada

autokorelasi.

139

Lampiran 6 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari Model Double-Log

————— 19/11/2012 9:14:06 ————————————————————Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: ln V versus ln X1; ln X2; ...

The regression equation isln V = 6,64 - 0,470 ln X1 - 0,0261 ln X2 - 0,147 ln X3 + 0,439 ln X4

+ 0,074 ln X5 - 0,0467 ln X6 - 0,0029 ln X7 + 0,072 ln X8+ 0,007 ln X9- 0,0281 ln X10

Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 6,640 1,533 4,33 0,000ln X1 -0,4697 0,1303 -3,60 0,002 1,836ln X2 -0,02614 0,02878 -0,91 0,374 1,346ln X3 -0,14741 0,06684 -2,21 0,038 1,988ln X4 0,4395 0,1246 3,53 0,002 2,286ln X5 0,0742 0,1023 0,73 0,476 2,535ln X6 -0,04669 0,03499 -1,33 0,196 1,735ln X7 -0,00291 0,06509 -0,04 0,965 2,113ln X8 0,0721 0,2699 0,27 0,792 2,047ln X9 0,0067 0,4095 0,02 0,987 2,315ln X10 -0,02815 0,05348 -0,53 0,604 2,192

S = 0,162231 R-Sq = 71,6% R-Sq(adj) = 58,7%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F PRegression 10 1,45927 0,14593 5,54 0,000Residual Error 22 0,57901 0,02632Total 32 2,03829

Source DF Seq SSln X1 1 0,50242ln X2 1 0,00725ln X3 1 0,24659ln X4 1 0,62937ln X5 1 0,00027ln X6 1 0,06486ln X7 1 0,00005ln X8 1 0,00112ln X9 1 0,00005ln X10 1 0,00729

Unusual Observations

Obs ln X1 ln V Fit SE Fit Residual St Resid32 12,9 0,6931 0,1003 0,0750 0,5929 4,12R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Durbin-Watson statistic = 2,56828

140

-Uji Normalitas

0,60,40,20,0-0,2-0,4

99

95

90

80

70

60504030

20

10

5

1

RESI1

Perc

ent

Mean 4,508178E-16StDev 0,1345N 33KS 0,206P-Value <0,010

Probability Plot of RESI1Normal

Kriteria Uji :

Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05.

Kesimpulan :

P-Value < 0,01 sehingga dengan taraf nyata 5%, nilai P-Value lebih kecil dari

0,05 residual tidak berdistribusi normal.

-Uji Multikolinearitas

Kriteria Uji :

Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.

Kesimpulan :

Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,346-

2,535 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.

141

-Uji Heteroskedastisitas

————— 19/11/2012 10:04:27 ————————————————————

Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: ABS RESI1 versus ln X1; ln X2; ...

The regression equation isABS RESI1 = 0,585 + 0,0253 ln X1 - 0,0250 ln X2 + 0,0770 ln X3 + 0,0632

ln X4 - 0,0218 ln X5 + 0,0022 ln X6 - 0,0085 ln X7- 0,089 ln X8 - 0,047 ln X9 - 0,0092 ln X10

Predictor Coef SE Coef T PConstant 0,5847 0,9154 0,64 0,530ln X1 0,02526 0,07780 0,32 0,749ln X2 -0,02502 0,01718 -1,46 0,159ln X3 0,07697 0,03990 1,93 0,067ln X4 0,06317 0,07440 0,85 0,405ln X5 -0,02179 0,06109 -0,36 0,725ln X6 0,00220 0,02089 0,11 0,917ln X7 -0,00845 0,03886 -0,22 0,830ln X8 -0,0894 0,1611 -0,55 0,585ln X9 -0,0468 0,2445 -0,19 0,850ln X10 -0,00923 0,03193 -0,29 0,775

S = 0,0968523 R-Sq = 42,7% R-Sq(adj) = 16,6%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F PRegression 10 0,153698 0,015370 1,64 0,160Residual Error 22 0,206368 0,009380Total 32 0,360066

Source DF Seq SSln X1 1 0,000244ln X2 1 0,031570ln X3 1 0,074050ln X4 1 0,037446ln X5 1 0,001787ln X6 1 0,000232ln X7 1 0,001980ln X8 1 0,005124ln X9 1 0,000482ln X10 1 0,000784

Unusual Observations

Obs ln X1 ABS RESI1 Fit SE Fit Residual St Resid32 12,9 0,5929 0,2288 0,0448 0,3641 4,24R

R denotes an observation with a large standardized residual.

142

Kriteria Uji :

Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih

dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.

Kesimpulan :

P-Value=0,160 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.

-Uji Autokorelasi

Kriteria Uji :

1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol

ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.

2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti

tidak ada autokorelasi.

3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak

menghasilkan kesimpulan yang pasti.

Kesimpulan :

Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan

taraf nyata 5% maka nilai :

du=0,7955

dl=2,2806

4-du=3,2045

4-dl=1,7194

Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,56828

terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada

autokorelasi.