penilaian ekon wisata bahari di pul provins t sekolah institut pe b
TRANSCRIPT
PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2013
PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2013
PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBERINFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Ekonomi dan
Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI
Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Triyono
NIM H352100021
ABSTRACT
TRIYONO. The Economic Assessment and Carrying Capacity of Pari IslandMarine Tourism in Thousand Islands of DKI Jakarta Province. Supervised byACHMAD FAHRUDIN and SUHARSONO.
The economic assessment and carrying capacity of Pari island marinetourism in Thousand islands of DKI Jakarta province are intended to determinethe land suitability of Pari island for the marine tourism, to estimate the physicalcarrying capacity of Pari island for the marine tourism, to estimate the economicvalues of Pari island for the marine tourism and the economic impacts for thelocal people. The analysis of tourism land suitability shows that the group of Pariisland in accordance with the parameter of brightness and flow velocity is reallyappropriate with the parameter of the types of coral reefs and reef fish species, isappropriate with margin and is sufficiently appropriate with the live coral cover;and in accordance with the width parameter is of the potential for 361,5 ha divingand 939,55 ha snorkeling activities. The carrying capacity of the group of Pariisland for diving tourism is 1.287 people/day, for snorkeling tourism is 2.787people/day, for mangrove tourism is 504 people/day, and for beach tourim is2.572 people/day. The results showed the total economic value of marine tourismin Pari island about 12.365.824.221,25 IDR or 192.314.529,10 IDR perhectare/year. Keynesian Local Income Multiplier value of cash flow marinetourism activities in Pari Island showed a value of 1,48, Income Multiplier RatioType I and Income Multiplier Ratio Type II with value of 1,09, and 1,14.Therecommendations for the marine tourism development in Pari island are amongother: the settlement of land ownership status; involvement, capacitydevelopment, and community empowerment; the opening of direct transportaccess toward Pari island; the improvement of infrastructures and tourismsupporting facilities.
Keywords : Carrying Capacity, Economic Assessment, Economic Impacts,Marine Tourism, Pari Island
RINGKASAN
TRIYONO. Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau PariKepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDINdan SUHARSONO.
Pulau Pari adalah gugusan pulau yang di atas terumbu karangnya berdiriPulau Pari itu sendiri dan pulau-pulau kecil lainnya yakni Pulau Burung, PulauTikus, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi. Kawasan ini memiliki potensi alam yangindah serta memiliki tiga ekosistem tropis yang lengkap yakni hutan mangrove,padang lamun, dan terumbu karang termasuk keanekaragaman sumberdaya hayatilainnya. Gugusan pulau yang berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan inisedang berkembang wisata baharinya. Perkembangan wisata bahari yang ditandaidengan meningkatnya jumlah pengunjung tentunya membawa dampak ekonomibagi masyarakat sekitar. Mengingat potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pariuntuk kegiatan pariwisata maka penelitian yang berkaitan dengan penilaianekonomi dan daya dukung wisata bahari di wilayah ini sangat penting dilakukan.Penelitian ini memiliki tujuan yaitu : (1) menentukan kesesuaian lahan Pulau Pariuntuk wisata bahari, (2) mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untukwisata bahari, (3) mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dandampak ekonominya bagi masyarakat lokal.
Penelitian ini dilakukan di Pulau Pari Kecamatan Kepulauan SeribuSelatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta yangdipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa wisata bahari sedangberkembang di wilayah ini. Evaluasi lahan digunakan untuk mengetahuikesesuaian lahan di Pulau Pari untuk wisata bahari. Konsep daya dukung kawasandigunakan untuk mengetahui daya dukung fisik kawasan wisata bahari di PulauPari. Estimasi nilai ekonomi keberadaan wisata bahari di Pulau Pari menggunakanmetode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM) dan dampakekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal diukur menggunakan efekpengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi.
Potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari menjadi daya tarikwisatawan sebagai objek wisata bahari. Analisis kesesuaian lahan untukpariwisata bahari menunjukkan gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameterkecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis terumbukarang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai untuk tutupankarang hidupnya serta menurut parameter kedalamannya memiliki potensi untukkegiatan selam seluas 361,5 ha dan snorkeling seluas 939,55 ha. Daya dukungfisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari menunjukkan jumlahmaksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakanatau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari untuk wisata selam, 2.787orang/hari untuk wisata snorkeling, 504 orang/hari untuk wisata mangrove, dan2.572 orang/hari untuk wisata pantai.
Wisata bahari di Pulau Pari memberikan dampak ekonomi yang nyata bagimasyarakat lokal dengan munculnya unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhanwisatawan yang berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lokal dari masyarakatPulau Pari. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objekwisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp.
192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilaidaya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp.171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per hektar per tahun.
Besarnya dampak ekonomi langsung, tidak langsung, dan inducedditunjukkan oleh nilai multiplier dimana Nilai keynesian local multiplier darialiran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti bahwadengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjungdan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- makapengeluaran wisatawan setiap bulannya akan memberikan dampak pendapatanpada masyarakat lokal sebesar Rp. 576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuaidengan nilai daya dukung fisik akan memberikan dampak peningkatanpendapatan masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio incomemultiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinyapeningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran pengeluranwisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada totalpendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung(berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio incomemultiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinyapeningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatansebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampaklangsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha,pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Rekomendasibagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya antara lain :penyelesaian status kepemilikan lahan; pelibatan, peningkatan kapasitas, danpemberdayaan masyarakat; penguatan peraturan dan kelembagaan; pembukaanakses langsung transportasi menuju Pulau Pari; peningkatan pra sarana dan saranapendukung wisata; dan kajian spasial serta dampak wisata bahari terhadap kualitaslingkungan dan perairan Pulau Pari.
Kata Kunci : Dampak Ekonomi, Daya Dukung, Pulau Pari, Penilaian Ekonomi,Wisata Bahari
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganIPBDilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNGWISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
TesisSebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sainspada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2013
Judul Tesis : Penilaian Ekonomi dan Daya DukungWisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan SeribuProvinsi DKI Jakarta
Nama : TriyonoNIM : H352100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Prof (R) Dr SuharsonoKetua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program StudiEkonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 8 Januari 2013 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012 ini
adalah wisata bahari, dengan judul Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata
Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin dan
Bapak Prof (R) Dr Suharsono selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Luky
Adrianto, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah
memberikan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan studi pascasarjana pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana
IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Tridoyo
Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi dan rekan-rekan PS. ESK 2010
yang selalu memberikan motivasi dan dukungan. Tak lupa pula penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staf UPT Loka Pengembangan Kompetensi
Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan pelaku usaha wisata bahari
serta semua pihak di Pulau Pari yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang
telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2013
Triyono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 2 April 1983 dari ayah
Sochib Hadi Pranoto dan Ibu Sriningsih (Alm). Penulis merupakan putra ketiga
dari tiga bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari Program Studi Manajemen Agribisnis IPB
dan pada tahun 2006 lolos sebagai calon PNS di UPT Loka Pengembangan
Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan sampai saat
ini tercatat sebagai PNS dengan jabatan sebagai Kandidat Peneliti di satuan kerja
tersebut. Pada tahun 2010 melalui program beasiswa dari Kementrian Negara
Riset dan Teknologi, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi
pascasarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan
Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkulihaan, penulis tetap aktif membantu Program
Pendidikan dan Kesiapsiagaan Masyarakat menghadapi bencana atau disebut
Program Community Preparedness (COMPRESS) LIPI dan menghasilkan
beberapa buku terkait kesiapsiagaan bencana. Penulis berkesempatan mengikuti
kerjasama dengan peneliti Jepang dalam proyek penelitian tentang bencana gempa
bumi dan gunung api serta berkesempatan mengikuti simposium internasional di
Jepang.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
I. PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang 11.2. Perumusan Masalah 41.3. Tujuan Penelitian 51.4. Manfaat Penelitian 51.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 6
II. TINJUAN PUSTAKA 72.1. Ekonomi Pariwisata 72.2. Wisata Bahari 122.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung
Wisata Bahari 162.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 222.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari 25
III. KERANGKA PEMIKIRAN 30
IV. METODE PENELITIAN 334.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 334.2. Jenis dan Sumber Data 334.3. Metode Pengambilan Contoh 354.4. Metode Analisis 35
4.4.1.Kesesuaian Lahan 354.4.2.Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari 364.4.3.Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 374.4.4.Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi
Masyarakat Lokal 39
V. KONDISI UMUM PULAU PARI 415.1. Lokasi Penelitian 415.2. Kondisi Kependudukan 42
5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 425.2.2.Tingkat Pendidikan Penduduk 445.2.3.Mata Pencaharian 46
5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari 47
VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNGFISIK KAWASAN WISATA BAHARI 546.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk
Pariwisata Bahari 546.1.1.Kecerahan Perairan 556.1.2.Kedalaman 576.1.3.Kecepatan Arus 596.1.4.Tutupan Karang Hidup 606.1.5. Jenis Terumbu Karang 646.1.6. Jenis Ikan Karang 65
6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata BahariPulau Pari 67
VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI 737.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari 73
7.1.1.Mangrove 737.1.2.Terumbu Karang 747.1.3.Padang Lamun 767.1.4.Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove,
Lamun dan Terumbu Karang 767.2. Karakteristik Wisatawan 777.3. Persepsi Wisatawan terhadap Wisata Bahari 817.4. Pendugaan Fungsi Permintaan 857.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari 89
VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAPMASYARAKAT LOKAL 928.1. Dampak Ekonomi Langsung 978.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung 1038.3. Dampak Ekonomi Induced 1058.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier 1068.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat
di Pulau Pari 109
IX. SIMPULAN DAN SARAN 1129.1. Simpulan 1129.2. Saran 113
DAFTAR PUSTAKA 115
LAMPIRAN 119
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan Sumber Data 34
2 Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari 36
3 Jumlah Penduduk Menuruh Kelompok Umur danJenis Kelamin Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 43
4 Jumlah Penduduk Menurut Pulau-Pulau yangBerpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 44
5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurutTingkat Pendidikan Tahun 2012 45
6 Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-PulauBerpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 46
7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurutMata Pencaharian Tahun 2012 46
8 Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari padaDua Stasiun Penelitian selama Bulan Pengamatan 56
9 Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman 57
10 Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahariberdasarkan Parameter Tutupan Karang Hidup 63
11 Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari 66
12 Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untukSetiap Kategori Wisata Bahari 68
13 Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di GugusanPulau Pari untuk Setiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari 71
14 Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear 86
15 Hasil Estimasi Parameter Model PermintaanWisata Bahari Pulau Pari 88
16 Hasil Estimasi Surplus Konsumen 90
17 Perkiraan komponen Biaya Paket Wisatake Pulau Pari (per Orang) 95
18 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal 106
19 Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari 107
20 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit UsahaWisata Bahari di Pulau Pari 107
21 Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai MultiplierWisata Bahari di Pulau Pari 108
22 Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Baharidi Pulau Pari Tahun 2012 108
DAFTAR GAMBAR
1 Sistem Kepariwisataan 7
2 Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tidak Terbayar 10
3 Kegiatan wisata bahari 14
4 Kerangka Pemikiran Penelitian 32
5 Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari 56
6 Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari 58
7 Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan KondisiTerumbu Karang di Gugusan Pulau Pari 60
8 Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari 69
9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau PariTahun 2012 78
10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah 78
11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari 80
12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari 81
13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata 82
14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra Sarana dan Saranadi Pulau Pari 84
15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata dan Aksestabilitas 85
16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Paridalam Wisata Bahari 92
17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusaha di BidangWisata Bahari 93
18 Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurutJenis dan Jumlah Pemilik 99
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Responden Wisatawan Pulau Pari 120
2 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Linear 122
3 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Double-Log 124
4 Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari : Model Double-Log (Step Wise) 126
5 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi PermintaanWisata Bahari Pulau Pari : Model Linear 134
6 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi PermintaanWisata Bahari Pulau Pari : Model Double-Log 139
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan
mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (WRI 2001)
memiliki 17.504 pulau-pulau kecil (KKP 2011). Kawasan pulau-pulau kecil
menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang produktif sebagai modal
dalam pelaksanaan pembangunan nasional seperti terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun (seagrass), perikanan, kawasan konservasi, dan wisata
bahari maupun lainnya. Di masa yang akan datang dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan potensi pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia, maka
sumberdaya alam dan jasa yang berada di kawasan ini semakin memegang
peranan penting.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi kelautan yang cukup besar. Pulau-pulau
kecil memiliki potensi perikanan didukung oleh adanya ekosistem terumbu
karang, padang lamun dan hutan mangrove yang memiliki keanekaragaman hayati
tinggi serta bernilai ekonomi. Keunikan, keindahan, dan nilai yang ada di pulau-
pulau kecil berupa keanekaragaman kekayaan alam maupun sosial budaya dapat
dimanfaatkan bagi pengembangan wisata bahari sebagai daerah tujuan wisata.
Potensi ini berpeluang menghasilkan devisa bagi Indonesia dari kunjungan
wisatawan mancanegara (Kemenbudpar 2004).
Data statistik menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang
datang ke Indonesia selama tahun 2011 sebanyak 7.649.731 wisman atau naik
sebesar 9,24 persen dibandingkan tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2011
terjadi peningkatan pada rata-rata pengeluaran wisman dari tahun sebelumnya
(2010), yaitu US$ 1.118,26 per kunjungan (US$ 142,69 per hari). Penerimaan
devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2011 juga menunjukkan peningkatan
sebesar 12,51 persen dibandingkan tahun 2010, dimana selama tahun 2011
penerimaan devisa sebesar US$ 8.554,39 juta. Lain halnya dengan wisatawan
nusantara (wisnus), jumlah wisnus pada tahun 2011 tercatat sebanyak 89.112 ribu
orang, dimana jumlah tersebut lebih rendah dari tahun 2010 yang tercatat
2
sebanyak 122.312 ribu orang. Hal ini disebabkan baru angka sementara yang
dihimpun dari triwulan I-III. Dilihat dari rata-rata perjalanan wisnus, pada tahun
2011 rata-rata perjalanan wisnus tercatat 1,94 hari dengan pengeluaran per
perjalanan sebesar Rp. 662,68 ribu atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya
dimana rata-rata perjalanan wisnus pada tahun 2010 tercatat hanya sebanyak 1,92
hari dengan pengeluaran per perjalanan sebesar Rp. 641,76 ribu (Kemenparekraf
2012). Keseluruhan angka tersebut diatas, mencerminkan kemampuan sektor
pariwisata dalam meningkatkan pendapatan nasional baik dalam bentuk
pemasukan devisa negara dari wisman maupun perputaran uang di dalam negeri.
Salah satu kawasan wisata bahari di Indonesia adalah Kepulauan Seribu.
Kepulauan Seribu terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta merupakan suatu
wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI
Jakarta lainnya. Secara administratif melalui UU No. 34/1999 dan PP No.
55/2001, Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari sebuah kecamatan menjadi
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Wilayah ini merupakan gugusan
pulau-pulau yang terdiri atas 110 pulau dengan luas lautan 6.997,50 km2 dan luas
daratan pulaunya sekitar 864,59 hektar. Secara administrasi Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dua kecamatan yakni Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kepulauan
Seribu yang terbentang dari Kawasan Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira memiliki
potensi sumberdaya alam berupa pulau-pulau karang yang kecil dengan keindahan
alam yang bagus serta kawasan perairan dangkal yang potensial untuk budidaya
laut. Di beberapa pulau-pulaunya terdapat berbagai ekosistem seperti terumbu
karang, padang lamun, dan mangrove serta berbagai jenis ikan. Didukung
letaknya yang dekat dengan daratan Jakarta, maka Kepulauan Seribu memiliki
potensi untuk pemanfaatan wisata bahari.
Selama tahun 2010, Kepulauan Seribu dikunjungi oleh 231.020 orang
pengunjung. Dari jumlah tersebut, wisatawan nusantara (wisnus) masih
mendominasi sebagai pengunjung di Kepulauan Seribu, dimana jumlah wisnus
selama tahun 2010 sebanyak 226.234 orang sedangkan jumlah wisatawan
mancanegara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Seribu tercatat sebanyak
3
4.786 orang. Dari 9 pulau di Kepulauan Seribu yang dikunjungi wisatawan, Pulau
Tidung merupakan pulau yang mencapai jumlah pengunjung terbanyak selama
tahun 2010 yakni 99.295 orang. Pulau yang paling sedikit dikunjungi wisman
adalah Pulau Harapan hanya 41 orang dan pulau yang paling sedikit dikunjungi
wisnus adalah Pulau Putri, yaitu sebanyak 784 orang pengunjung (BPS 2011).
Salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang sedang berkembang
wisata baharinya adalah Pulau Pari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.
Pulau ini merupakan gugusan pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil di
sekitarnya seperti Pulau Pari, Pulau Burung, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan
Pulau Kongsi. Tiga ekosistem tropika lengkap yang dimiliki oleh gugusan Pulau
Pari seperti mangrove, padang lamun, karang merupakan daya tarik wisata dari
gugusan pulau ini di samping keanekaragaman sumberdaya hayati, panorama
alam dan keindahan bawah lautnya. Lokasinya yang dapat diakses dari berbagai
alternatif dengan jarak tempuh yang singkat dari Jakarta semakin memudahkan
wisawatan untuk berkunjung ke kawasan tersebut.
Selama ini kawasan gugusan Pulau Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk
objek penelitian sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan
Pulau Pari juga merupakan tempat mata pencaharian penting bagi hampir seluruh
masyarakat Pulau Pari terutama dari budidaya rumput laut selain menangkap ikan.
Jumlah produksi dan lahan potensial yang dimiliki untuk kegiatan budidaya
rumput laut pernah menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu sentra produksi
rumput laut di Kepulauan Seribu. Adanya berbagai penyakit yang menyerang
rumput laut menyebabkan jumlah produksi rumput laut mulai menurun dan
sebagian besar masyarakat mulai beralih dengan membuka usaha di bidang wisata
bahari, disamping melihat pesatnya kegiatan wisata bahari di Pulau Tidung.
Mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki Pulau Pari untuk
wisata bahari maka penilaian ekonomi wisata bahari perlu dilakukan. Suatu
penilaian ekonomi pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata bahari
penting dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana aktivitas pariwisata di
wilayah ini memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal
di Pulau Pari. Di sisi lain, agar pengembangan wisata bahari di Pulau Pari dapat
4
dilakukan secara lestari dan berkelanjutan maka analisis daya dukung fisik sangat
diperlukan. Diharapkan dari analisis tersebut diatas dapat menghasilkan informasi
untuk digunakan dalam rangka pengembangan wisata bahari di Pulau Pari,
Kepulauan Seribu.
1.2. Perumusan Masalah
Gugusan Pulau Pari yang terletak di utara Teluk Jakarta memiliki keunikan
ekosistem tropika yang khas dan lengkap berupa ekosistem mangrove, lamun, dan
terumbu karang berikut sumberdaya hayati yang dikandungnya. Secara
keseluruhan ekosistem tersebut telah memberikan produk dan jasa lingkungan
penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya maupun masyarakat pada
umumnya. Gugusan Pulau Pari merupakan tempat mata pencaharian penting bagi
hampir seluruh masyarakat Pulau Pari sebagai pembudidaya rumput laut dan
nelayan. Keunikan dari Gugusan Pulau Pari tersebut menyebabkan pulau ini
dikenal sebagai laboratorium hidup/alam dan digunakan sebagai lokasi penelitian
serta pusat pendidikan dan pelatihan di bidang ilmu kelautan oleh berbagai
perguruan tinggi maupun instansi/lembaga terkait.
Lokasinya yang dekat dari Teluk Jakarta menyebabkan gugusan Pulau Pari
mendapat tekanan dan ancaman lingkungan sehingga berdampak pada
menurunnya kualitas air dan hasil budidaya rumput laut yang menjadi tumpuan
hidup sebagian besar masyarakat di Pulau Pari. Faktor lain yang diduga menjadi
penyebab menurunnya produksi rumput laut di pulau ini antara lain penanganan
pasca panen yang tidak memperhatikan lingkungan laut sebagai lahan budidaya.
Pembudidaya membuang air limbah yang digunakan untuk mencuci rumput laut
langsung ke laut. Hal tersebut diduga memperburuk kualitas air di sekitar lahan
budidaya rumput laut yang selanjutnya mempengaruhi produksi rumput laut.
Menyadari potensi gugusan Pulau Pari yang memiliki keindahan alam dan
ekosistem tropika yang lengkap serta didorong oleh berkembangnya sektor
pariwisata bahari di pulau lainnya seperti di Pulau Tidung, maka sebagian
masyarakat mulai mengembangkan usaha wisata bahari di Pulau Pari dengan
pertimbangan ekonomi. Apabila beralihnya matapencaharian masyarakat
5
dikarenakan oleh faktor ekonomi semata dan pemanfaatan untuk kegiatan wisata
bahari dilakukan secara berlebihan serta cenderung merusak lingkungan (dengan
jumlah pengunjung yang tidak dibatasi tanpa memperhitungkan daya dukung
lingkungan) maka dapat menurunkan kelestarian lingkungan Pulau Pari yang
memiliki ekosistem tropika yang lengkap. Pemanfaataan berlebih ini pada jangka
panjang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kesesuian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari?
2. Berapa besar daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari?
3. Berapa besar nilai ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi bagi
masyarakat lokal di Pulau Pari?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari.
2. Mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untuk wisata bahari.
3. Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dan dampak
ekonomi bagi masyarakat lokal.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk :
1. Menghasilkan informasi mengenai kesesuaian lahan dan daya dukung fisik
Pulau Pari untuk wisata bahari, serta potensi ekonomi wisata bahari dan
dampak ekonomi bagi masyarakat lokal.
2. Menunjukkan apakah wisata bahari yang dikelola oleh masyarakat Pulau Pari
memiliki peluang memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat lokal
disesuaikan dengan kesesuaian lahan dan daya dukungnya.
6
3. Memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu dalam pengelolaan dan pengembangan kegiatan wisata
bahari di Pulau Pari ke depan.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang dilakukan meliputi kesesuaian lahan, daya dukung fisik
kawasan, penilaian dan dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari. Evaluasi
kesesuaian lahan dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau dengan
kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk
pariwisata bahari. Penghitungan daya dukung fisik kawasan meliputi aktivitas
selam, snorkeling, wisata mangrove serta wisata pantai sebagai kegiatan utama
yang dapat dilakukan wisatawan di Pulau Pari. Penelitian ini membatasi pada
usaha wisata bahari yang dilakukan/dikelola oleh masyarakat lokal Pulau Pari.
Pengukuran nilai ekonomi hanya dilakukan secara parsial pada direct use value
dan tidak pada total economic value. Dampak dari kegiatan wisata bahari yang
diteliti adalah dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Penghitungan dampak
ekonomi kegiatan wisata bahari yang dilakukan hanya dampak dari perputaran
uang di tingkat lokal dari pengeluaran wisatawan. Penilaian dampak ekonomi
tidak meliputi dampak dari proyek pembangunan pariwisata secara keseluruhan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekonomi Pariwisata
Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk
melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu
aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar
masyarakat. Sebagai suatu aktivitas manusia, pariwisata adalah fenomena
pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangan kompleks (Damanik & Weber
2006). Dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling
terkait erat atau menjalin hubungan yakni : 1) permintaan atau kebutuhan, 2)
penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri, 3) pasar dan
kelembagaan yang berperan untuk menfasilitasi keduanya, dan 4) pelaku atau
aktor yang menggerakan ketiga elemen tersebut. Pada Gambar 1 ditampilkan
keterkaitan antar unsur tersebut sebagai sistem pariwisata.
Gambar 1 Sistem Kepariwisataan(Sumber : Steak et al. 1999 in Damanik & Weber 2006)
KEBIJAKANPARIWISATA
PRODUK
PE
NA
WA
RA
N
PE
RM
INT
AA
N
PASAR/PELAKUPARIWISATA
cc
ba
d e
Keterangan :a. Mendorong; b. Mengendalikan; c. Mempengaruhi;d. Mengembangkan dan memasarkan ; e. Membeli
8
Motivasi yang kuat untuk melakukan perjalanan wisata dijadikan dasar
dalam mempelajari permintaan wisata. Unsur-unsur penting dalam permintaan
wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya
(produk dan jasa) wisata (Damanik & Weber 2006). Perjalanan wisata merupakan
kegiatan manusia yang memiliki kebutuhan, keinginan, harapan yang berbeda-
beda setiap orang. Mengadakan perjalanan wisata dimungkinkan karena ada
faktor uang yang dapat digunakan secara bebas (disposable income), tersedianya
waktu senggang (leisure time) pada saat kesehatan mendukung serta adanya
kemauan untuk melakukan perjalanan (Yoeti 2008).
Preferensi dan anggaran individu merupakan faktor kunci penentu
permintaan terhadap pariwisata. Individu akan mempertimbangkan menghabiskan
sejumlah uang untuk pengeluaran liburan/wisata atau mengkonsumsi barang dan
jasa lain. Ukurannya tergantung pada jumlah jam kerja yang terbayar per periode
waktu (pasokan tenaga kerja), dan penghasilan dikenakan pajak yang tersedia
untuk pembelian barang dan jasa. Individu akan mengalami pilihan (trade off)
antara waktu yang terbayar untuk bekerja dengan waktu yang tak terbayar.
Beberapa orang akan memilih memperoleh lebih banyak pendapatan yang
dihasilkan dari pekerjaan yang dibayar, sementara yang lain lebih memilih lebih
banyak waktu yang tak terbayar untuk kegiatan rekreasi atau rumah tangga dan
oleh karena itu akan menghabiskan waktu tak terbayar daripada waktu yang
terbayar untuk bekerja. Jika individu memilih waktu yang terbayar untuk bekerja,
tingkat pendapatan akan naik tetapi akan mengorbankan waktu luang dan rumah
tangga. Sebaliknya, jika individu memilih waktu luang maka akan mengurangi
pendapatan. Bagaimanapun, waktu luang untuk melepas ketegangan melalui
kegiatan rekreasi (pariwisata) diperlukan sehingga antara waktu luang dengan
pendapatan diperhitungkan sebagai biaya korbanan (opportuinity cost) (Cooper
2008 in Stabler et al. 2010).
Setiap kombinasi dari waktu yang terbayar dengan waktu yang tak
terbayar memberikan jumlah yang berbeda dalam menghasilkan pendapatan yang
dapat digunakan untuk konsumsi barang dan jasa. Kombinasi yang berbeda dari
konsumsi dan waktu terbayar serta tak terbayar diilustrasikan pada Gambar 2.
9
Sumbu vertikal menunjukkan nilai konsumsi dan pendapatan. Sumbu horisontal
menunjukkan waktu yang terbayar dan tak terbayar yang berlainan arah. Titik OC
menunjukkan konsumsi maksimum yang dapat dicapai, sehingga menghabiskan
waktu maksimum yang dibayar untuk bekerja. Individu yang tidak dibayar dalam
pekerjaan memiliki kombinasi konsumsi dan waktu yang tak terbayar ditunjukan
oleh B, dengan titik OC* merupakan nilai konsumsi yang diperoleh individu
ketika menganggur melalui tunjangan pengangguran. Garis CBU merupakan garis
anggaran dengan kemiringan menunjukkan tingkat remunerasi dimana jika tingkat
upah naik maka akan semakin curam. Individu akan menerima kepuasan yang
sama dari kombinasi pilihan konsumsi dengan waktu yang tak terbayar pada
kurva indiferen yang digambarkan oleh kurva I1I1 dan I2I2. Maksimisasi
kepuasan akan terjadi pada pilihan antara konsumsi dan waktu tak terbayar
dimana kurva indeferen bersinggungan dengan garis anggaran yakni titik D (pada
kurva indefern I1I1) dan titik E (pada kurva I2I2). Pendapatan yang dihasilkan
dari waktu yang terbayar untuk bekerja dan pilihan antara konsumsi yang
dibelanjakan dari pekerjaan yang dibayar serta waktu yang tak terbayar (luang)
untuk melakukan wisata merupakan hal yang dipertimbangkan secara bersamaan.
Perubahan tingkat remunerasi untuk bekerja akan membawa perubahan dalam
konsumsi dan waktu yang tak terbayar.
10
Gambar 2. Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tak Terbayar
(Sumber : Stabler et al. 2010)
Antara satu faktor dengan faktor lain yang mempengaruhi permintaan
berwisata terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Mempunyai waktu
luang saja tidak cukup, karena untuk berwisata perlu uang, meskipun tidak selalu
dalam jumlah besar. Waktu luang dan uang juga belum menjamin munculnya
permintaan wisata jika, misalnya, sarana untuk mewujudkan aktivitas wisata itu
tidak tersedia. Jadi orang ingin berwisata, dalam arti bersedia untuk melakukan
wisata, apabila mereka mempunyai waktu luang dan uang serta sarana yang
tersedia berfungsi baik. Waktu luang, uang, sarana dan pra sarana merupakan
permintaan potensial wisata (Freyer 1993; Mundt 1998 in Damanik & Weber
2006).
Permintaan dalam pariwisata dibagi atas dua yaitu permintaan potensial
dan permintaan aktual. Permintaan potensial adalah sejumlah orang yang
berpotensi untuk melakukan perjalanan wisata (karena memiliki waktu luang dan
punya tabungan relatif cukup). Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan
aktual adalah orang-rang yang sedang melakukan perjalanan wisata pada suatu
U2 U1 U
I2
I2
I1
I1
E
D
C*
C1
C2
C
Waktu Tak Terbayar
Waktu Terbayar
Kon
sum
si, P
enda
pata
n
B
O
11
daerah tujuan wisata tertentu (Yoeti 2008). Permintaan potensial harus
ditransformasikan menjadi permintaan aktual yakni pengambilan keputusan
wisata.
Pengambilan keputusan wisata berlangsung secara bertahap, mulai dari
tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan itu
sendiri. Munculnya kebutuhan untuk berwisata didorong oleh berbagai faktor
sosial, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Proses pengambilan keputusan untuk
berwisata merupakan proses yang kompleks karena banyak hal yang harus
dipertimbangan oleh wisatawan. faktor kepribadian, daya tarik objek daerah
tujuan wisata, ketersediaan sumberdaya, jarak dan kondisi lingkungan wisata,
semuanya menentukan keputusan tersebut. Freyer (1993) in Damanik & Weber
(2006) menyebutkan bahwa pertimbangan penting yang dilakukan orang sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan yaitu biaya, daerah tujuan
wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lama berwisata, akomodasi yang digunakan,
dan moda transportasi. Yoeti (2008) menyatakan terdapat dua faktor penentu
permintaan pariwisata yakni : 1) general demand factors dan 2) factors
determining spesific demand. Faktor yang pertama merupakan faktor secara
umum permintaan terhadap barang dan jasa industri pariwisata tergantung antara
lain oleh purchasing power, demographic structure and trends, social and
cultural factors, travel motivations and attitudes, serta opportunities to travel dan
tourism marketing intensity. Faktor kedua merupakan faktor secara khusus yang
menentukan permintaan terhadap daerah tujuan wisata yakni diantaranya harga,
daya tarik wisata, kemudahan berkunjung, informasi dan layanan sebelum
kunjunga, serta citra.
Berbeda dengan permintaan terhadap barang dan jasa yang biasa,
permintaan dalam industri pariwisata memiliki karakter tersendiri yang tidak
dijumpai pada barang dan jasa pada umumnya (Yoeti 2008). Dalam industri
pariwisata yang ditawarkan adalah produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah
semua produk yang diperuntukan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama
melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima
wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut
12
(Damanik & Weber 2006). Menurut Yoeti (2008) ciri atau karakter dari industri
pariwisata: sangat dipengaruhi oleh musim; terpusat pada tempat-tempat tertentu;
bersaing dengan permintaan akan barang-barang mewah; tergantung tersedianya
waktu senggang; tergantung teknologi transportasi; dan aksesibilitas.
Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
mendasar antara produk dan jasa wisata dengan potensi wisata. Produk dan jasa
wisata harus sudah siap dikonsumsi oleh wisatawan. Sebaliknya potensi wisata
adalah semua objek (alam, buatan, budaya) yang memerlukan banyak penanganan
agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan. Elemen penawaran wisata
terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Atraksi diartikan sebagai objek
wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan
kenikmatan kepada wisatawan. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur
transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan
wisata mulai dari darat, laut, sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut
aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan
keselamatan. Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung
terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan.
Semakin lengkap dan terintegrasinya ketiga unsur penawaran wisata yakni
atraksi, aksesibilitas, dan amenitas maka semakin kuat posisi penawaran dalam
wisata kepariwisataan. Karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil
memperkuat posisi penawaran tersebut namun kualitas produk yang ditawarkan
harus mutlak diperhatikan. Kualitas produk terkait dengan empat hal yakni
keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Oleh karenanya karakteristik
pulau-pulau kecil yang telah dimiliki harus dipertahankan sehingga keunggulan
produk dan jasa yang ditawarkan dapat dipertahankan dalam persaingan pasar
untuk mendukung peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.
2.2. Wisata Bahari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan
13
oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pulau-Pulau Kecil yang
didefinisikan dalam Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas kecil atau sama
dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya merupakan daya tarik wisata
yang memiliki keunikan, keindahaan, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Kepentingan pariwisata merupakan salah satu yang diprioritaskan dalam rangka
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya.
Wisata bahari adalah salah satu bentuk khusus dari ekowisata yang
kegiatannya berlangsung di dalam kawasan pesisir, lingkungan laut maupun
dikeduanya. Kegiatan ekowisata memungkinkan orang untuk merasakan
lingkungan alam dengan konsisten dengan menggunakan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Wisata bahari merupakan kegiatan yang mencoba
untuk membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan
lingkungan laut yang alami. Wisata bahari dapat dilakukan di laut dan bagian
daratan pulau maupun keduanya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan dalam
wisata bahari meliputi : melihat ikan paus, lumba-lumba, hiu, anjing laut ataupun
hewan laut lainnya; menyelam dan snorkeling; perjalanan wisata berbasis alam
dengan kapal permukaan ataupun kapal selam; berjalan-jalan menyusuri pesisir
dan pantai serta mengunjungi kehidupan masyarakat (Hoctor 2001).
Basiron (1997) mendefinisikan pariwisata secara umum sebagai aktivitas
orang/manusia yang melakukan perjalanan jangka pendek dan sementara di luar
lingkungan dan kegiatan normal yang biasanya dilakukannya. Definisi ini
kemudian diperluas untuk wisata bahari yang menunjukkan perjalanan jangka
pendek dan sementara yang dilakukan oleh orang di luar lingkungan dan kegiatan
normal dalam lingkup laut. Sektor wisata bahari mencakup kegiatan di laut dan
pesisir, transportasi, hotel dan restaurant, resort pulau dan pantai, serta olahraga
dan rekreasi pantai.
14
Menurut Tourism Development International (2007) wisata bahari (marine
tourism) adalah bagian dari sektor industri pariwisata dimana wisatawan
mengambil bagian di kegiatan rekreasi aktif dan pasif dalam liburan atau
perjalanan yang dilakukan di perairan pantai, garis pantai, maupun di daerah
pedalaman daratan pulau. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
lokal, wisatawan dan pengunjung per hari tersebut dikategorikan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.
Kegiatan WisataBahari
Kegiatan rekreasi yang tidakterspesialisasi
-Eksplorasi/Berjalan di pesisir
pantai
-Renang dan aktivitas di pantai
-Berkendara di pantai (termasuk
melihat laut dari titik pandang
tertentu)
-Trip/Kunjungan menggunakan
perahu (termasuk ke pulau)
-Trip menggunakan kapal ferri
-Kunjungan menggunakan kapal
pesiar
-Pergi ke pusat kunjungan
(akuarium, museum, bangunan
bersejarah, dll)
-Kegiatan dan festival yang
berhubungan dengan laut
-Terapi kesehatan (misalnya :
Thallasotherapy)
Kegiatan rekreasi yangterspesialisasi
Perairan :
Motor :
-Trip perahu :
cepat/petualangan
-Trip perahu : satwa
liar
-Akses perahu :
menyelam
-Memancing di laut
menggunakan
perahu
-Ski air
-Jet ski
Non Motor :
-Selancar angin
-Berperahu kayak di
laut (termasuk surfing
dengan kayak)
-Berperahu kayak dan
kano di sungai
-Berlayar/jelajah/balap
menggunakan perahu,
keelboat
-Balap dayung
-Rafting (menggunakan
perahu karet)
-Surfing
-Snorkeling
Pantai :-Panjat tebing-Melintasi permukaan
laut-Berkuda-Parasailing-Memancing-Arkeologi kelautan-Berlayar dengan
model boat-Menonton dan
mengamati
satwa liar dan burung
Gambar 3 Kegiatan Wisata Bahari
Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di pulau-
pulau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang
berbasis sumberdaya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun
pantai) dan sumberdaya laut (seperti terumbu karang, gua, gunung api bawah
laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya
(cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana,
15
maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau
tradisi budaya masyarakat (Kemenbudpar 2004).
Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan langsung potensi
sumberdaya (alam dan budaya), juga terdapat wisata buatan yang pada intinya
juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya
merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi
kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek
dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, atau
taman rekreasi (theme park).
Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang
alam, olahraga pantai, pengamatan satwa, jelajah hutan, mendaki gunung, dan lain
sebagainya. Kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving),
selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air,
berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya.
Kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan,
mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat
istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah
nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain
sebagainya.
Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata
minat khusus dan wisata umum. Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk
perjalanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat
atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang ditemui atau
dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata minat
khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan fisik
atau komunitas yang dikunjunginya.
Sementara itu kegiatan wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat
dikatakan sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan
menyenangkan. Dalam kegiatan rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin
dicapai dan memang untuk bersenang-senang. Pengembangan kegiatan rekreasi
saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi edukatif, yang bertujuan agar wisatawan
mendapatkan tambahan pengalaman atau pengetahuan yang bermanfaat.
16
Mengingat karakteristik pulau pulau kecil dan keterbatasan daya
dukungnya, maka pengembangan kegiatan wisata di pulau-pulau kecil lebih
diarahkan pada pengembangan kegiatan wisata minat khusus sebagai kegiatan
utama, dan kegiatan wisata rekreasi edukatif sebagai kegiatan pendukung.
Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan
keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam,
serta sensistif terhadap budaya masyarakat lokal (Kemenbudpar 2004). Oleh
karena itu konsep marine ecotourism sedang digalakkan.
Sejak 1970-an, konsep pertama dari ekowisata dan kemudian pariwisata
berkelanjutan telah dikembangkan dalam upaya untuk melawan pariwisata massal
dan menawarkan model yang memberikan negatif namun memberikan manfaat
nyata bagi masyarakat lokal dan konservasi, sekaligus menawarkan pengalaman
yang lebih bagi para wisatawan (Honey & Krantz 2007). Menurut Garrod et al.
(2002) Wisata bahari dengan pendekatan konsep ekowisata difokuskan kepada :
kenyamanan dan apreasiasi terhadap alam yang melibatkan partisipasi masyarakat
lokal dalam perencanaan dan manajemen; memaksimalkan keberlanjutan;
memprioritaskan perlindungan lingkungan; mengutamakan pendidikan
lingkungan; kerjasama antar pemangku kepentingan; pemasaran yang
bertanggungjawab; dan pemantauan dan evaluasi yang sesuai.
2.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Wisata Bahari
Kecenderungan meningkatnya pasar pariwisata internasional untuk berwisata
di kawasan yang masih alami memberikan peluang pengembangan pariwisata di
pulau-pulau kecil. Di lain pihak pulau-pulau kecil memiliki daya dukung yang
terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu
kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata. Karakteristik pulau yang kecil, umumnya
berakibat pada keterbatasan sumberdaya air, kerentananan terhadap ancaman
bencana alam, penduduk yang relatif miskin, serta keterisolasian dari wilayah
lain, sehingga pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu pulau-
pulau kecil perlu diberdayakan secara optimal dan lestari sesuai dengan
17
karakteristik dan potensinya masing-masing. Pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan menjadi hal yang harus
diprioritaskan (Kemenbudpar 2004).
Tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil
yaitu : batasan fisik (luas pulau); batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan
terisolasi); dan keunikan budaya. Secara biofisik pulau kecil memiliki
karakteristik yang menonjol yaitu : tangkapan air yang terbatas dan
sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; peka dan rentan
terhadap berbagai tekanan dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia; dan memiliki sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik
dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen 2000; Ongkosongo
1998; Sugandhy 1998 in Kemenbudpar 2004). Oleh karena itu dengan
karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil dan untuk meminimalkan
dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan pariwisata, maka pengembangan
pariwisata bahari harus memperhatikan kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup.
Permasalahan yang sering muncul di dalam pembangunan di suatu kawasan
adalah tumpah tindihnya peruntukkan lahan dan atau pembangunan yang tidak
mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Pengembangan
pariwisata di pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara
ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumberdaya alam
dan sosial, namun dipertahankan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan
(Kemenbudpar 2004).
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan
lahan tertentu. Terdapat dua kategori kesesuain lahan menurut Hardjowigeno dan
Widiatmaka (2001) yakni kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Kesesuaian
lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan pada pemadanan kriteria
masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan sifat-sifat lahannya, sedangkan
kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan
angka-angka nilai masing-masing karakteristik lahan.
18
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan.
Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh
tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas
lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan
diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe
penggunaan lahan tersebut. Penggunaan lahan dapat dibedakan dalam dua
kategori yakni penggunaan lahan secara umum dan penggunaan lahan secara rinci.
Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara
umum dan biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam
survei tinjau (reconaissance). Penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe
penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu
daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Evaluasi lahan dapat
dibedakan dalam tiga intensitas kerincian yaitu : reconaissance (tinjau), semi
detail (setengah rinci, sedang), dan detail (rinci). Evaluasi lahan reconaissance
dilakukan secara kualitatif dan analisa hanya dilakukan dengan sangat umum.
Evaluasi lahan semi detail dilakukan dengan tujuan-tujuan yang lebih khusus,
misalnya studi kelayakan untuk suatu proyek dan evaluasi lahan dilakukan
sebaiknya secara kuantitatif. Evaluasi detail merupakan survei untuk perencanaan
yang telah pasti, biasanya dilakukan setelah kepastian melaksanakan proyek
tersebut dipastikan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001).
Dalam pembangunan di suatu kawasan, penggunaan lahan untuk tujuan
tertentu seharusnya sesuai dengan peruntukannya. Penyusunan rencana kawasan
pariwisata merupakan kegiatan inti selanjutnya dari seluruh perencanaan
pengembangan pariwisata (Kemenbudpar 2004). Salah satu aspek penting dalam
perencanaan kawasan adalah penyusunan dan penetapan zonasi kawasan.
Diperolehnya informasi mengenai kesesuaian lahan maka penetapan zonasi
kawasan untuk penggunaan tertentu dapat dilakukan. Pengertian zonasi adalah
membagi area dalam suatu tapak ke dalam beberapa area (zona) yang sesuai
dengan tata guna lahan. Jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam
pengembangan pariwisata adalah (Kemenbudpar 2004) :
19
1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima
kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang
luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat
dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang
umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan
daya dukung lingkungan.
2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima
kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter
sumberdaya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol
dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung
kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandangm papan
penunjuk dan informasi.
3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak
menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya
merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau
memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Kawasan yang dikembangkan kegiatan wisata bahari dengan konsep
ekowisata sangat tergantung dari aspek kesesuaian dan daya dukung, utamanya
daya dukung ekologi yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya yang menjadi
objek wisata. Aspek kesesuaian akan menentukan jenis kegiatan wisata yang akan
dikembangkan, termasuk layak atau tidaknya suatu kawasan untuk dijadikan
objek wisata, atau justru sebaliknya dilakukan konservasi. Penentuan kesesuaian
suatu kawasan untuk dikembangkan sebagai objek wisata berdasarkan setiap
parameter kesesuaian (Yulianda 2007). Setelah melakukan analisis terhadap
kesesuaian kegiatan wisata bahari, maka langkah selanjutnya adalah mengitung
kemampuan daya dukung lingkungan untuk masing-masing kegiatan yang akan
dikembangkan.
Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem
untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di
dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya
yang berperan di alam. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda
20
sehingga perencanaan pariwisata di pulau-pulau kecil secara spatial akan
bermakna dan menjadi penting (Kemenbudpar 2004).
Secara umum ragam daya dukung wisata di pulau-pulau kecil dapat meliputi
(Kemenbudpar 2004) :
1. Daya Dukung Ekologis yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu
pulau.
2. Daya Dukung Fisik yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau
kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan
kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamananan
pengunjung.
3. Daya Dukung Sosial yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah
dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat
kualitas pengalaman atau kepuasaan pengunjung di pulau-pulau kecil.
Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran
bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan
suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau
degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dibedakan atas :
1. Daya Dukung Ekologis, dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan
suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang
diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas
ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama
dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem
yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara
lain rawa.
Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan
ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang
antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada
vegetasi, habitat satwa, degredasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam
dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan
21
teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan
daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau
lingkungan suatu tempat.
2. Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan
yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan
atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah
melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari
tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air
sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik
sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau
pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya
daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap
aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek
sosial, ekonomi, dan juga ekologis.
3. Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang
memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara
ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.
4. Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam
menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai
kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan
suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan
(comfortability) dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau
pengaruh over-crowding pada suatu kawasan.
Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat
maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan
dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan
menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau
kepuasaan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola,
tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (individu, kelompok) pemakai
22
ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan
gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut.
Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasaan pemakai
kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies
biota di suatu kawasan.
2.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari
Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga menghasilkan jasa-jasa
(services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya
manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat-manfaat
tersebut sering tidak dikuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap
nilai sumberdaya. Mengingat pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan non-ekonomi
dari sumberdaya alam, tantangannya adalah bagaimana memberikan nilai yang
komprhensif terhadap sumberdaya alam tersebut. Dalam hal ini nilai tersebut
tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari suatu
sumberdaya, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh
sumberdaya tersebut. Permasalahan-permasalahab tersebut kemudian menjadi
dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non pasar
(Fauzi 2004).
Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat
dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan
perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah
surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus
oleh konsumen (consumers surplus/CS) dan surplus oleh produsen (producers
surplus/PS) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 in Adrianto 2006).
Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen
bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan
barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak
dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu,
produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih
23
besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau
jasa.
Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah
maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh
barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar
(willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi 2004). Nilai ekonomi suatu komoditas
(goods) atau jasa (services) diartikan sebagai “berapa yang harus dibayar”
dibanding “berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa
tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdaya eksis dan
menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka “kemampuan membayar
(willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa
mempermasalahkan apakah kita secara nyata melakukan proses
pembayaran/payment atau tidak (Barbier et al. 1997 in Adrianto 2006).
Secara terminologi, nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total
Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan penjumlahan dari
nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunanaan (Use Value/UV) dan nilai
ekonomis berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non Use Value/NUV). Use
Value terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value/DUV), nilai
ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value/IUV), dan nilai pilihan
(Bequest Value). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan
(NUV) terdiri dari dua komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value/BV)
dan nilai eksistensi (Existence Value/EV) (Barton 1994; Barbier 1993; Freeman
III 2002 in Adrianto 2006).
Secara umum, valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan
dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu releaved preference methods dan
stated preference methods. Releaved preference methods merupakan teknik
valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap
melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah travel cost, hedonic pricing, dan random utility model.
Sedangkan stated preference methods merupakan teknik valuasi yang didasarkan
24
pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari
responden. Salah satu teknik yang dikenal luas dalam kategori ini adalah teknik
Contingent Valuation (Fauzi 2004).
Salah satu metode yang digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah
komoditas yang tidak memiliki nilai pasar adalah metode biaya perjalanan (travel
cost method). Metode ini beranjak dari asumsi dasar bahwa setiap individu baik
aktual maupun potensial bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan
manfaat tertentu tanpa harus membayar biaya masuk (entry fee). Namun
demikian, walaupun asumsinya tidak ada biaya masuk, namun secara aktual
ditemukan pengunjung yang berasal dari lokasi yang jauh dari objek yang
dikunjungi. Dalam konteks ini terdapat perbedaan “harga” yang harus dibayar
antar pengunjung untuk mendapatkan manfaat yang sama. Kondisi ini dalam teori
ekonomi dianggap sebagai representasi dari permintaan (demand) pengunjung
(konsumen) terhadap manfaat tersebut (Adrianto 2006).
Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari
sumberdaya alam melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang
dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai
proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut. Asumsi mendasar yang
digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen
terhadap aktivitas bersifat dapat dipisahkan (Fauzi 2004).
Secara umum terdapat dua teknik sederhana yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM yakni : pendekatan sederhana
melalui zonasi dan pendekatan individual TCM dengan menggunakan data
sebagian besar dari survei. Asumsi dasar yang digunakan dalam TCM agar
penilaian sumberdaya alam tidak bias antara lain : (a) biaya perjalanan dan biaya
waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (b) waktu perjalanan bersifat
netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (c) biaya
perjalanan merupakan perjalanan tunggal (Fauzi 2004).
25
2.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari
Pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi
memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak tersebut dapat
dilihat dari segi fisik alami, sosial, budaya, maupun ekonomi. Dalam Pedoman
Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil, pengembangan pariwisata
di pulau-pulau kecil harus melalui pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang
berdaya saing global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
bidang ekonomi dan budaya serta pembangunan daerah. Penyelenggaraan
pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus menggunakan prinsip
berkelanjutan dimana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan
kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya
masyarakat lokal.
Analisis dampak ekonomi memberikan perkiraan yang nyata dari saling
ketergantungan ekonomi dan peran pentingnya pariwisata dalam perekonomian
suatu daerah. Kegiatan pariwisata melibatkan biaya ekonomi, termasuk biaya
langsung yang dikeluarkan oleh bisnis pariwisata, biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk pengembangan infrastruktur serta biaya terkait yang ditanggung
oleh individu dalam masyarakat. Dampak ekonomi pariwisata merupakan
pertimbangan penting dalam perencanaan dan pembangunan ekonomi suatu
negara, daerah dan masyarakat. Dampak ekonomi juga merupakan faktor penting
dalam keputusan pemasaran dan manajemen. Masyarakat perlu memahami
kepentingan relatif dari pariwisata ke daerahnya termasuk kontribusi pariwisata
terhadapat kegiatan ekonomi di daerahnya tersebut (Stynes 1997).
Sebuah analisis dampak ekonomi kegiatan pariwisata menggambarkan
kontribusi kegiatan pariwisata terhadap perekonomian di suatu daerah. Analisis
dampak ekonomi menelusuri arus pengeluaran yang terkait dengan kegiatan
pariwisata di suatu daerah untuk mengidentifikasi perubahan dalam penjualan,
penerimaan pajak, pendapatan dan pekerjaan karena aktivitas pariwisata. Metode
yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tersebut meliputi : survei
pengeluaran pengunjung; analisis data statistik ekonomi dari pemerintah; model
basis ekonomi; model input-output; dan pengganda (Frechtling 1994).
26
Pariwisata memiliki berbagai dampak ekonomi. Dampak ekonomi tersebut
berasal dari kontribusi para wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata.
Kontribusi tersebut antara lain dalam bentuk penjualan, keuntungan, pekerjaan,
pendapatan pajak, dan pendapatan bagi masyarakat lokal di daerah wisata.
Kontribusi wisatawan merupakan pengaruh langsung dari pengeluaran wisatawan
seperti penginapan, makan, transportasi, hiburan, dan perdagangan ritel. Analisis
dampak ekonomi kegiatan pariwisata di suatu daerah biasanya berfokus pada
perubahan dalam hal penjualan, pendapatan dan pekerjaan dari sektor wisata
(Stynes 1997).
Menurut Stynes (1997) analisis dampak ekonomi dilakukan dengan
menelusuri aliran arus uang dari pengeluaran wisatawan. Aliran pertama (efek
langsung) dari arus uang wisatawan dilakukan dengan melihat kemana arus uang
dari pengeluaran wisatawan tersebut. Alternatif aliran uang dapat langsung ke
penyedia jasa wisata; dalam bentuk gaji atau upah untuk rumah tangga yang
menyediakan tenaga kerja di sektor pariwisata; serta pajak dan biaya yang
dibayarkan oleh wisatawan, rumah tangga, dan pengusaha tersebut. Aliran kedua
dari arus uang di sektor pariwisata adalah dengan melihat adakah kebocoran atau
uang mengalir ke daerah lain yang disebabkan wisatawan, rumah tangga,
pengusaha ataupun pemerintah membelanjakan uangnya ke luar daerah wisata
tersebut.
Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni
dampak langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced. Dampak
ekonomi total merupakan penjumlahan dari dampak langsung, tidak langsung dan
induced dalam suatu wilayah. Dampak langsung adalah perubahan yang
berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan. Misalnya,
peningkatan jumlah wisatawan yang menginap semalam di hotel langsung akan
meningkatkan penjualan kamar di sektor hotel. Penjualan akomodasi hotel dan
terkait dalam pembayaran hotel untuk upah, gaji, pajak, perlengkapan dan jasa
adalah efek langsung dari pengeluaran wisatawan. Dampak tidak langsung
merupakan perubahan yang dihasilkan dari perputaran pengeluaran dari
penerimaan di sektor industri pariwisata. Perubahan dalam penjualan dan
pendapatan industri yang memasok sektor pariwisata misalnya merupakan efek
27
tidak langsung dari perubahan dalam penjualan hotel. Perubahan di sektor industri
yang memasok sektor pariwisata juga akan menyebabkan perubahan di sektor lain
yang mendukung sektor yang memasok sektor pariwisata tersebut. Dampak
induced merupakan perubahan aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari
pengeluaran rumah tangga yang pendapatannya diperoleh secara langsung atau
tidak langsung sebagai akibat dari pengeluaran wisatawan. Misalnya tenaga kerja
yang bekerja di hotel maupun sektor pendukung pariwisata menghabiskan
pendapatan mereka untuk perumahan, makanan, transportasi, dan lainnya di
daerah lokal (Stynes 1997). Namun jika industri yang memperoleh dampak
langsung mendatangkan input dari luar lokasi maka perputaran uang tidak
menimbulkan dampak tidak langsung melainkan kebocoran (leakage) manfaat
yang pada akhirnya menciptakan kebocoran ekonomi di daerah wisata tersebut
(Linberg 1996 in Wijayanti 2009).
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi
pariwisata. Hunt (2008) melakukan studi untuk melihat dampak ekonomi dari
kegiatan yang berhubungan dengan Rodney Cape-Okkari Marine Reserve di
Selandia Baru. Dampak ekonomi diukur dengan variabel seperti total output, nilai
tambah, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja. Survei menunjukkan bahwa
sekitar 60 persen pengunjung di Rodney merupakan wisatawan harian atau tidak
menginap dan menghabiskan rata-rata $ 29 per orang. Sekitar 30 persen
pengunjung bermalam di wilayah tersebut dan menghabiskan rata-rata $ 137 per
perjalanan. Total output di Rodney tergantung pada keberadaan marine reserve
diperkirakan bernilai $ 18,6 juta per tahun. Terkait dengan ouptput tersebut, total
nilai tambah dari kegiatan pariwisata di Rodney sebesar $8,2 juta per tahun dan
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 173 Full Time Equivalent (FTE) dan
menyediakan sepuluh jenis pekerjaan cadangan yang berhubungan dengan wisata
laut.
Selanjutnya Cisneros et al. (2011) mengkaji kegiatan ekowisata di Belize
yang merupakan sektor penting dan sedang berkembang pesat. Analisis dilakukan
dengan melihat perputaran aliran uang dari kegiatan ekowisata untuk
memperkirakan manfaat ekonomi tahunan yang dihasilkan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setiap tahun, hampir 160.000 pengunjung telah
28
menghasilkan lebih dari US$ 128 juta dan menyerap 4.000 pekerja. Kegiatan
ekowisata yang dilakukan termasuk memancing, melihat ikan hiu dan paus,
menyelam dan snorkeling di pantai dan terumbu karang. Semua kegiatan tersebut
telah memberikan kontribusi terhadap ekonomi pesisir dan memperkuat citra
Belize sebagai tujuan wisata menarik.
International Centre for Tourism and Hospitality Research, Bounemouth
University (2010) telah melakukan penilaian dampak dan kontribusi ekonomi
pariwisata satwa liar di Skotlandia. Penilaian dampak ekonomi tersebut meliputi
estimasi nilai pariwisata satwa liar dari jumlah dan pengeluaran pengunjung,
memperkirakan kontribusi nilai pariwisata satwa liar terhadap perekonomian di
Skotlandia, dan memperkirakan dampak ekonomi bersih yang berasal dari
pariwisata satwa liar. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak ekonomi bersih
dari pariwisata satwa liar mencapai £ 65 juta dengan penyerapan tenaga kerja
sebanyak 2.763 FTE. Dampak ekonomi tertinggi berada di kawasan dataran
tinggi dan kepulauan senilai £ 32 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak
1.386 FTE. Secara total sebanyak 1,12 juta perjalanan yang dibuat setiap tahun
tujuan utamanya adalah melihat satwa liar, dimana 56 persen perjalanan tersebut
dibuat oleh wisatawan domestik dan £ 276 juta dihabiskan dalam perjalanan
tersebut atau sekitar 75 persen dihabiskan oleh wisatawan domestik. Secara
regional, pariwisata satwa liar terkonsentrasi di dataran tinggi dan kepulauan
dengan sekitar 50 persen melakukan perjalanan satwa liar dan 45 persen
pariwisata satwa liar pada malam hari. Penelitian ini membagi pariwisata satwa
liar menjadi tiga kelompok yaitu di daratan, laut dan pantai. Dari ketiga kelompok
tersebut pengeluaran wisatawan terbesar adalah di daratan yakni sebesar £ 114
juta, lalu diikuti oleh pariwisata satwa liar di pantai dengan pengeluaran
wisatawan sebesar £ 100 juta dan terendah dalah pengeluaran wisatawan di laut
dengan pengeluaran sebesar £ 63 juta. Dari dampak ekonominya, pariwisata satwa
liar di daratan memiliki dampak ekonomi bersih terbesar yakni mencapai £ 27 juta
dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.136 FTE. Sementara itu dampak
ekonomi bersih dari pariwisata satwa liar di pantai sebesar £ 24 juta dengan
menyerap sebanyak 995 FTE pekerja tambahan. Dan pariwisata satwa liar di laut
memberikan dampak ekonomi bersir sebesar £ 15 juta dengan menyerap 633 FTE
29
pekerja tambahan. Karena pengeluaran tambahan yang dibuat seperti untuk
akomodasi, barang dan jasa lebih tinggi maka dampak ekonomi bersih didominasi
oleh wisatawan yang menginap daripada yang tanpa bermalam. Wisatawan tanpa
menginap memberikan dampak ekonomi hanya sebesar £ 3 juta dengan menyerap
140 FTE pekerja tambahan, sedangkan wisatawan yang menginap telah
memberikan dampak ekonomi sebesar £ 62 juta dengan penyerapan tenaga kerja
sebesar 2.623 pekerja tambahan.
Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pariwisata telah
memberikan dampak ekonomi di suatu wilayah. Dampak ekonomi tersebut dilihat
dari aliran uang wisatawan dalam hal ini pengeluaran yang memberikan dampak
pada penyediaan tenaga kerja di sektor-sektor pendukung kegiatan wisata.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Pulau Pari yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan gugusan yang
terdiri dari beberapa pulau di sekitarnya yakni Pulau Pari itu sendiri, Pulau
Kongsi, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan Pulau Burung. Sebagai gugusan pulau,
Pulau Pari memiliki ekosistem yang khas dan lengkap dari sebuah ekosistem
tropika seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, maupun sumberdaya
hayati lainnya seperti ikan, moluska, ekhinodermata, dan lain-lain. Kelengkapan
ekosistem yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini sebagai
laboratorium alam bagi penelitian di bidang kelautan oleh berbagai
instansi/lembaga maupun perguruan tinggi. Perairan Pulau Pari juga menjadi
lahan bagi penduduk yang bermukim di pulau ini maupun disekitarnya untuk
mencari ikan maupun membudidayakan rumput laut. Beberapa dekade Pulau Pari
dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Kepulauan Seribu.
Lokasinya yang dekat dengan daratan DKI Jakarta, menjadikan perairan
Pulau Pari mendapat tekanan berupa limbah/sampah yang berasal dari tiga belas
sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Perairan Pulau Pari juga mendapat
tekanan dari dalam sendiri berupa limbah rumah tangga penduduk di pulau ini
yang langsung dibuang ke laut. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab
produksi rumput laut di pulau ini merosot drastis bahkan tidak menghasilkan sama
sekali. Di samping itu, faktor lain seperti penanganan pasca panen rumput laut
(yakni membuang air yang digunakan untuk mencuci rumput laut langsung ke
laut) juga diduga turut memperburuk produksi rumput laut di Pulau ini.
Melihat kondisi tersebut dan perkembangan usaha wisata bahari di pulau
sekitarnya seperti Pulau Tidung, serta potensi alam yang dimiliki oleh Pulau Pari,
menjadikan sebagian masyarakat mulai beralih mata pencaharian dengan
membuka usaha di bidang wisata bahari. Masyarakat Pulau Pari membuka usaha
wisata bahari seperti penginapan, penyewaan perlengkapan snorkeling dan selam,
penyewaan sepeda maupun penyewaan kapal. Masyarakat di pulau ini juga mulai
berbenah diri menyiapkan lingkungan untuk mendukung kegiatan wisata bahari di
31
Pulau Pari di antaranya dengan membuka wisata pantai yang dahulunya semak
belukar maupun lainnya yang dapat dijadikan daya tarik wisata.
Potensi keindahan alam dan kelengkapan ekosistem tropika yang dimiliki
serta berkembangnya sektor pariwisata bahari di Kepulauan Seribu menjadikan
Pulau Pari sebagai salah satu alternatif tujuan wisata bahari. Namun, apabila
matapencaharian masyarakat Pulau Pari di sektor wisata bahari hanya alasan
ekonomi dikhawatirkan pemanfaatan sumberdaya untuk kegiatan wisata bahari
berlebihan dan cenderung merusak dengan tidak adanya pembatasan jumlah
wisatawan yang sesuai dengan daya dukung. Kondisi tersebut dapat berpotensi
merusak lingkungan sehingga dapat menurunkan fungsi Pulau Pari sebagai tujuan
wisata bahari yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat di
Pulau Pari. Oleh karena itu dengan kondisi yang ada perlu dilakukan penilaian
ekonomi dan daya dukung wisata bahari di Pulau Pari.
Berdasarkan alur pikir yang telah diuraikan di atas maka pendekatan
penelitian yang akan dilakukan adalah dengan kesesuaian lahan dan daya dukung
kawasan untuk wisata bahari, nilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan
(travel cost method (TCM)), dan dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat
lokal. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 4. Pendekatan ini
diharapkan menghasilkan informasi potensi ekonomi, kesesuaian lahan, dan daya
dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari, serta dampak ekonomi
wisata bahari bagi masyarakat lokal. Informasi ini diharapkan dapat digunakan
sebagai landasan bagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya.
32
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Sumberdaya diGugusan Pulau Pari :-Terumbu Karang-Mangrove-Padang Lamun-Sumberdaya hayatilainnya
Laboratoriumalam untukpenelitian dibidang kelautanolehinstansi/lembaga/perguruan tinggi
Lahan budidayaRumput laut bagimasyarakat lokal
PotensiWisataBahari
Pulau Pari
KesesuaianLahan untukwisata bahari
Daya DukungFisik KawasanWisata Bahari
NilaiEkonomiWisataBahari
DampakEkonomi
Wisata Baharibagi Masyarakat
Lokal
UsahaWisataBahari
Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pari
AnalisisDeskrip
tif
Faktor-faktoryangmendorongusaha wisatabahari
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan pada Bulan Mei-Oktober 2012 di Pulau Pari,
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi dipilih secara sengaja dengan pertimbangan
bahwa Pulau Pari sudah dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut,
namun belakangan ini produksi menurun bahkan tidak menghasilkan sama sekali
dikarenakan oleh berbagai faktor. Melihat pesatnya perkembangan wisata bahari
di Pulau Tidung dan pulau sekitarnya, masyarakat lokal Pulau Pari mulai berusaha
di sektor pariwisata dengan potensi wisata bahari yang dimiliki pulau tersebut.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer
dan data sekunder. Data primer dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian
mengenai penilaian ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi wisata bahari
bagi masyarakat lokal. Data ini diperoleh dengan menyebarkan daftar pertanyaan
berupa kuisioner kepada pengunjung dan pelaku usaha (masyarakat lokal) wisata
bahari di Pulau Pari. Selain itu untuk mendapatkan informasi yang lebih detail
dilakukan wawancara mendalam kepada masyarakat lokal yang berusaha di sektor
wisata bahari di Pulau Pari.
Data sekunder dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian mengenai
kesesuaian lahan dan daya dukung fisik kawasan. Data sekunder lain yang relevan
dalam mendukung pembahasan penelitian diperoleh dari laporan berbagai
instansi/lembaga seperti Badan Pusat Statistik, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, maupun dari studi
literatur berupa jurnal, buku, hasil penelitian. Secara ringkas mengenai jenis dan
sumber data disajikan dalam Tabel 1.
34
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data
No Tujuan Penelitian SumberData
Jenis Data Data
1 Mengetahuikesesuaian lahanuntuk wisata baharidi Pulau Pari
DataSekunder
Kuantitatif Tutupan karang hidup Genus karang Genus ikan karang Kecerahan perairan Kecepatan arus Kedalaman terumbu karang Ketebalan mangrove Kerapatan mangrove Jenis mangrove Jenis biota Tinggi pasang surut Luas Area
2 Mengetahui dayadukung fisikkawasan
Dataprimer dansekunder
Kuantitatif Luas Area yang dapatdimanfaatkan
Waktu yang dihabiskan olehpengunjung
Waktu yang disediakan olehkawasan untuk kegiatanwisata
Unit area untuk kategoritertentu
3 Mengestimasi nilaiekonomi wisatabahari di PulauPari
DataPrimer
Kuantitatif Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Umur Jarak Biaya transportasi,
akomodasi, dan biaya lainnya
4 Dampak ekonomiwisata bahariterhadapmasyarakat lokal diPulau Pari
Dataprimer
Kuantitatif Pendapatan pemilik usaha Upah tenaga kerja Biaya modal Retribusi (pajak) Jumlah resturant/warung
makan
5 Faktor-faktor yangmendorong usahawisata bahari
Dataprimer
Kualitatif Pendapat responden (petanirumput laut/pemilikusaha/masyarakat lokal)tentang hal-hal yangmendorongbermatapencaharian di sektorwisata bahari
35
4.3. Metode Pengambilan Contoh
Responden dalam penilaian ekonomi wisata bahari di Pulau Pari adalah
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Sebanyak 33 wisawatan yang sedang
berkunjung pada saat penelitian menjadi responden dan diambil secara sengaja
(accidental sampling). Responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata bahari
di Pulau Pari adalah penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha wisata bahari.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yakni memilih
penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha di sektor wisata bahari. Sebanyak 30
penduduk lokal menjadi responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata
bahari.
4.4. Metode Analisis
4.4.1. Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan di Pulau
Pari bagi wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan
persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan
dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan
digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Evaluasi kesesuaian lahan
dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau (reconaissance) dengan
kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk
pariwisata bahari. Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk pariwisata bahari
secara umum dengan menggunakan parameter-parameter yaitu kecerahan
perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang, tutupan karang hidup, kecepatan
arus, dan kedalaman (Modifikasi Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda
2007). Kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari disajikan pada Tabel 2.
Sifat atau kualitas lahan yang dimiliki di Pulau Pari dibandingkan dengan kriteria
kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari yang kemudian dibagi dan didefinisikan
secara kualitatif serta dikelompokkan sebagai berikut :
36
S1 = Sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang
besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai
pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan
tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
S2 = Cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas-
pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan
yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau
keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.
S3 = Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-
pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang
harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan
atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.
N = Tidak sesuai. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar atau
permanen, masih memungkinkan diatasi tetapi tidak dapat diperbaiki
dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas
sedemikian besar atau permanen, sehingga mencegah penggunaan lahan
yang lestari dalam jangka panjang.
Tabel 2 Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari
Parameter S1 S2 S3 NKecerahan perairan (m) 15-20 10-15 5-10 <5Jenis terumbu karang (Sp) >100 75-100 20-75 <20Jenis ikan karang (Sp) >70 50-70 20-50 <20Tutupan karang hidup (%) >70 50-70 20-50 <20Kecepatan Arus (m/det) 0-0,17 0,17-0,34 0,34-0,51 >0,51Kedalaman (m) :-Selam 6-15 >15-20 >20-30 >30-Snorkeling 1-3 >3-6 >6-10 >10&<1
Sumber : Dimodifikasi dari Hardjowigeno & Widiatmaka (2001) danYulianda (2007)
4.4.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari
Analisis daya dukung fisik kawasan wisata bahari di Pulau Pari
menggunakan konsep daya dukung kawasan (Yulianda 2007). Daya dukung
kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung
37
dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan
pada alam dan manusia. Daya dukung kawasan (DDK) dihitung menggunakan
formulasi sebagai berikut := .................................................................................... (4.1)
Dimana :
DDK = Daya Dukung Kawasan (orang)
K = Potensi ekologis pengunjung per unit area (orang)
Lp = Luas area yang dapat dimanfaatkan (m2)
Lt = Unit area untuk kategori tertentu (m2)
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu
hari (jam/hari)
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
(jam/hari)
4.4.3. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari
Untuk menduga nilai ekonomi wisata bahari di Pulau Pari digunakan
metode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM). Metode ini
mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat
rekreasi. Dengan mengetahui pola dari pengeluaran konsumen, maka dapat
mengkaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen terhadap sumberdaya
alam dan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari
sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari
sumberdaya tersebut (Fauzi 2004).
Tahap pertama dari TCM (Adrianto 2006) adalah menduga jumlah
kunjungan berdasarkan fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang
terkait dengan permintaan terhadap kunjungan seperti yang ditampilkan dalam
persamaan (4.5):
38
= ( , , , …… . . , ) + ..................................................... (4.5)
Dimana :
V = Tingkat kunjungan (Kali)
X1 = Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata (Rp/Kunjungan)
X2 = Biaya yang dikeluarkan menuju lokasi alternatif (Rp/Kunjungan)
X3 = Jumlah rombongan (Orang)
X4 = Lama menginap (Malam)
X5 = Waktu yang dibutuhkan ke Pulau Pari (Menit)
X6 = Waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (Jam)
X7 = Waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (Menit)
X8 = Usia (Tahun)
X9 = Pendidikan (Tahun)
X10 = Pendapatan (Rp/Bulan)
Kemudian langkah kedua adalah menduga fungsi biaya perjalanan dengan
persamaan := + + ………+ +∈ ..................................................... (4.6)
Dengan menggunakan teknik regresi (Ordinary Least Square), maka
parameter β0, β1........., β10 dapat diestimasi. Surplus rata-rata individu kemudian
dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan :
= ......................................................................................................... (4.7)
Dimana :
Vi = Tingkat kunjungan individu
β1 = Nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan
Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat
diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen rata-rata individu pada
persamaan diatas dengan total kunjungan pada tahun tertentu dengan
menggunakan persamaan :
39
= .................................................................................................. (4.8)
Dimana :
TCS = Total consumers surplus
CSi = Konsumen surplus individu
Vt = Total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke-t)
4.4.4. Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi Masyarakat Lokal
Faktor-faktor yang mendorong masyarakat lokal berusaha di sektor wisata
bahari diperoleh dari pendapat/alasan responden melalui pertanyaan dalam
kuisioner maupun wawancara mendalam. Jawaban dari responden dianalisis
secara deskriptif dilengkapi dengan tabulasi/diagram.
Dampak ekonomi wisata bahari terhadap masyarakat lokal dilakukan
dengan menelusuri arus pengeluaran uang dari wisatawan yang terkait dengan
wisata bahari di Pulau Pari. Langkahnya dimulai dari identifikasi perubahan
dalam pendapatan pelaku usaha wisata bahari, serta pendapatan dan pengeluaran
penduduk lokal yang bekerja di usaha wisata bahari. Dampak ekonomi diukur
dengan menggunakan efek pengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi.
Efek pengganda ini dihitung menggunakan Program Microsoft Excel 2007. Dalam
mengukur dampak ekonomi kegiatan wisata bahari di tingkat lokal, digunakan
dua tipe pengganda, yaitu (META 2001) :
1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa
besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat.
2. Ratio Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar
dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak
pada keseluruhan ekonomi lokal (dampak tidak langsung dan dampak
induced).
40
Secara matematis dirumuskan :
= .................................................. (4.2)
, = ................................................. (4.3)
, = ................................................ (4.4)
Dimana :
E = Jumlah pengeluaran wisatawan (Rupiah)
D = Pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari E (Rupiah)
N = Pendapatan lokal yang diperoleh secara tidak langsung dari E (Rupiah)
U =Pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari E (Rupiah).
V. KONDISI UMUM PULAU PARI
5.1. Lokasi Penelitian
Secara geografis Pulau Pari terletak antara 050 50’ LS hingga 050 52’ LS
dan 1060 34’ BT hingga 1060 38’ BT. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya
di sebelah utara DKI Jakarta dan Tangerang. Berdasarkan Peraturan Daerah
Propinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, Pulau Pari termasuk ke dalam Kelurahan Pulau
Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kelurahan Pulau Pari merupakan
gugusan pulau dan perairan laut dengan 12 pulau yang tersebar di perairan lautnya
termasuk Pulau Pari itu sendiri. Sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi DKI
Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dua
pulau yang diperuntukan sebagai kawasan pemukiman di Kelurahan Pulau Pari
adalah Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari itu sendiri. Kelurahan Pulau Pari
terdiri atas 4 Rukun Warga (RW) dan 14 Rukun Tetangga (RT), adapun RW 04
terletak di Pulau Pari.
Lokasi Pulau Pari dapat ditempuh dari tiga akses utama yakni dermaga
Rawasaban-Tangerang, dermaga Kali Adem-Muara Angke Jakarta, dan dermaga
Muara Angke-Jakarta (pada hari libur saja). Perjalanan dari dermaga Rawasaban-
Tangerang dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal kayu reguler
yang beroperasi dengan jadwal pemberangkatan pukul 12.00 wib tiap harinya dan
keesokan harinya kembali ke Tangerang dari dermaga Pulau Pari pada pukul
06.00 wib tiap harinya. Tarif kapal per orang dari dermaga Rawasaban-Tangerang
dikenakan Rp. 15.000,-. Dari dermaga Kaliadem-Muara Angke Jakarta, Pulau Pari
dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal speedboat Kerapu milik
Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta yang beroperasi tiap hari dengan
dua waktu pemberangkatan yakni pukul 08.00 wib dan pukul 12.00 wib. Jika
kondisi cuaca tidak memungkinkan keberangkatan yang kedua yakni pada pukul
12.00 wib dapat dibatalkan. Untuk menggunakan kapal ini, per orangnya
dikenakan tarif Rp. 26.000,- dan orang yang akan berangkat diharuskan mengantri
42
lebih dini agar mendapat kursi sebab kapal kerapu ini tidak hanya melayani tujuan
ke Pulau Pari saja tetapi dalam satu perjalanan juga melayani tujuan ke pulau-
pulau lain di Kepulauan Seribu. Kapal kerapu tersebut akan kembali ke Jakarta
pada hari yang sama yakni pada pukul 10.00 wib dan 15.00 wib dari Pulau Pari.
Pada akhir pekan atau hari libur, penumpang dapat menggunakan kapal kayu yang
berangkat dari dermaga Muara Angke pada pukul 07.00 wib dan dikenakan tarif
Rp. 35.000,- per orang. Kapal kayu tersebut melayani berbagai tujuan pulau-pulau
di Kepulauan Seribu. Kapal ini akan kembali lagi ke Jakarta pada keesokan
harinya pada pukul 12.00 wib dari Pulau Pari.
5.2. Kondisi Kependudukan
5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk
Kelurahan Pulau Pari merupakan gugusan pulau dan perairan laut yang
mempunyai luas wilayah daratan 94,67 hektar. Berdasarkan statistik
kependudukan di RT sampai bulan Januari 2012, jumlah penduduk di Kelurahan
Pulau Pari mencapai sebanyak 2.372 jiwa yang terdiri dari 1.229 laki-laki dan
1.143 perempuan. Meskipun tidak ada perbedaan yang cukup mencolok antara
jumlah penduduk laki-laki dan perempuan namun jumlah penduduk laki-laki
memiliki proporsi yang lebih banyak yakni mencapai 51,81 persen dibanding
penduduk perempuan yang hanya mencapai 48,19 persen. Rasio jenis kelamin
adalah 107, yang berarti pada setiap 100 perempuan terdapat 107 laki-laki.
Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok umur
dan jenis kelamin terlihat di Tabel 3.
43
Tabel 3 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis KelaminKelurahan Pulau Pari Tahun 2012
Kelompok Umur(Tahun)
Laki-Laki(Jiwa)
Perempuan(Jiwa)
Jumlah(Jiwa)
0-4 110 114 2245-9 125 118 243
10-14 112 118 23015-19 111 99 21020-24 105 92 19725-29 127 116 24330-34 109 105 21435-39 102 97 19940-44 89 81 17045-49 66 67 13350-54 57 45 10255-59 42 33 7560-64 26 26 5265-69 30 20 5070-74 11 5 16
75 keatas 7 7 14Jumlah 1.229 1.143 2.372
Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok
umur yang terlihat dari Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi penduduk
cenderung semakin kecil pada kelompok umur yang lebih tua. Penduduk yang
berusia di bawah 15 tahun sebanyak 697 jiwa atau sebesar 29,38 persen. Struktur
penduduk Kelurahan Pulau Pari termasuk kategori umur ‘sedang’. Penduduk usia
produktif (15-64 tahun) mencapai 1.595 jiwa atau 67,24 persen. Penduduk lanjut
usia/lansia (65 ke atas) sebanyak 80 jiwa atau 3,37 persen.
Kelurahan Pulau Pari memiliki dua pulau yang berpenduduk yakni Pulau
Lancang Besar dan Pulau Pari. Pulau Pari merupakan pulau berpenduduk yang
lebih luas dibanding Pulau Lancang Besar. Adapun luas Pulau Pari sendiri
mencapai 41,32 hektar atau 73,20 persen sedangkan luas Pulau Lancang Besar
hanya mencapai 15,13 hektar atau 26,80 persen. Berdasarkan jumlah penduduk,
meskipun Pulau Pari adalah pulau terluas namun jumlah penduduknya lebih
sedikit dibanding Pulau Lancang Besar yang luas pulaunya lebih kecil. Hal ini
dikarenakan Pulau Lancang Besar menjadi pusat pemerintahan Kelurahan Pulau
44
Pari dimana berdiri kantor Kelurahan Pulau Pari. Jumlah penduduk di Kelurahan
Pulau Pari menurut pulau-pulau yang berpenduduk terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah Penduduk menurut Pulau-Pulau yang Berpenduduk diKelurahan Pulau Pari Tahun 2012
Nama Pulau Laki-Laki(Jiwa)
Perempuan(Jiwa)
Jumlah(Jiwa)
Pulau Lancang Besar 761 693 1.454Pulau Pari 468 450 918Jumlah 1.229 1.143 2.372
Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Jumlah penduduk menurut pulau-pulau yang berpenduduk di Kelurahan
Pulau Pari seperti yang tercatat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa Pulau Lancang
Besar berpenduduk lebih banyak dibanding dengan Pulau Pari. Penduduk di Pulau
Lancang Besar mencapai 1.454 jiwa atau 61,30 persen dengan kepala keluarga
(KK) sebanyak 444 KK sedangkan penduduk di Pulau Pari hanya mencapai 918
jiwa atau 38,70 persen dengan kepala keluarga (KK) sebanyak 265 KK.
Berdasarkan luas dan jumlah penduduk, maka kepadatan penduduk di Pulau
Lancang Besar lebih padat dibanding Pulau Pari dengan kepadatan penduduk
mencapai 96 jiwa/ha sedangkan kepadatan penduduk di Pulau Pari mencapai 22
jiwa/ha. Penduduk yang relatif tidak padat di Pulau Pari berpeluang terjadinya
migrasi ke pulau tersebut.
5.2.2. Tingkat Pendidikan Penduduk
Jumlah penduduk dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan tingkat pendidikan penduduk di
Kelurahan Pulau Pari masih rendah. Keadaan ini digambarkan dengan jumlah
penduduk yang berpendidikan tamat akademi/perguruan tinggi hanya mencapai
1,52 persen dari jumlah penduduk keseluruhan di Kelurahan Pulau Pari yang
berjumlah 2.372 jiwa. Meskipun demikian penduduk di Kelurahan Pulau Pari
kebanyakan telah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Keadaan ini
digambarkan dengan jumlah penduduk yang berpendidikan tamat SLTP mencapai
20,40 persen sedangkan yang berpendidikan tamat SMA mencapai 17,92 persen
45
dari total penduduk di Kelurahan Pulau Pari. Tingginya persentase penduduk di
Kelurahan Pulau Pari yang berpendidikan SMP dikarenakan SMA hanya berdiri
di pulau tertentu saja di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sehingga
penduduk yang berkeinginan melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA
mengharuskan menuju ke pulau dimana SMA tersebut berada.
Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurut TingkatPendidikan Tahun 2012
Uraian Jumlah (Jiwa)Belum Sekolah 247Belum Tamat SD 375Tidak Tamat SD 424Tamat SD 381Tamat SLTP 484Tamat SLTA 425Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 36
Total 2.372Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Pulau Pari merupakan pulau yang memiliki bangunan sekolah sampai
dengan jenjang pendidikan SMP. Di pulau ini terdapat SD dan SMP yang berada
di lokasi yang sama sehingga penduduk mengenalnya dengan sekolah satu atap.
Tingkat pendidikan penduduk Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 6 yang
menunjukkan bahwa penduduk di Pulau Pari kebanyakan berpendidikan tamat SD
yakni mencapai 20,26 persen dari jumlah penduduk Pulau Pari yang mencapai
918 jiwa. Penduduk Pulau Pari yang berpendidikan akademi/perguruan tinggi
hanya mencapai 1,31 persen atau sebanyak 12 orang, sedangkan jumlah penduduk
yang berpendidikan SLTP sama dengan SMA masing-masing mencapai 17,21
persen dari jumlah penduduk di Pulau Pari.
46
Tabel 6 Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-Pulau Berpendudukdi Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012
Uraian Pulau Lancang Besar(Jiwa)
Pulau Pari(Jiwa)
Belum Sekolah 139 108Belum Tamat SD 256 119Tidak Tamat SD 247 177Tamat SD 195 186Tamat SLTP 326 158Tamat SLTA 267 158Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 24 12
Jumlah 1.454 918Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
5.2.3. Mata Pencaharian
Penduduk Kelurahan Pulau Pari dari angkatan kerja pada usia produktif
(15 s/d 60 tahun) mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan lainnya sebagai PNS,
TNI, Polri, Buruh, Pedagang dan Wiraswasta. Jumlah penduduk di Kelurahan
Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai nelayan meencapai 64,34 persen.
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terlihat Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari Menurut MataPencaharian Tahun 2012
Mata Pencaharian Jumlah (Orang)Nelayan 543
Tani (rumput laut) 115
Pedagang 27
Karyawan swasta 16TNI/Polri 8
Pegawai Negeri Sipil 32
Buruh 26
Pensiunan 2Lainnya 75
Total 844Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
47
Tabel 7 menunjukkan bahwa selain sebagai nelayan, terdapat penduduk di
Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut. Jumlah
penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut
mencapai 13,63 persen. Kelurahan Pulau Pari pernah dikenal sebagai salah satu
sentra produksi rumput laut di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Mata
pencaharian penduduk Kelurahan Pulau Pari lainnya adalah sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Jumlah Penduduk yang berprofesi sebagai PNS mencapai 3,79
persen. Seiring berkembangnya kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu,
terdapat penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang mulai bermatapencaharian di
bidang wisata bahari misalnya penyedia kebutuhan-kebutuhan wisatawan
(penginapan, makanan, sewa kapal snorkeling, sepeda), pendamping wisatawan
(guide) maupun lainnya. Tabel 6 hanya memperlihatkan jumlah penduduk di
Kelurahan Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai pedagang yang mencapai
3,20 persen dari jumlah angkatan kerja pada usia produktif (15 s/d 60 tahun). Data
yang ada belum membedakan menurut pulau-pulau yang berpenduduk (Pulau
Lancang Besar dan Pulau Pari). Hasil penelitian Whouthuyzen (2008)
menunjukkan bahwa bidang pekerjaan utama penduduk di Pulau Pari adalah
petani rumput laut (43%), nelayan (31%), sedangkan sisanya bermacam-macam
pekerjaan antara lain guru, PNS, wiraswasta dan lainnya.
5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 1986
Tahun 2000 tentang pemecahan, pembentukan, penetapan, batas dan luas
kecamatan-kecamatan di Kepulauan Seribu, gugusan Pulau Pari terdiri dari tujuh
buah pulau dengan peruntukan masing-masing yaitu Pulau Karang Kudus
(pariwisata), Pulau Biawak (penghijauan), Pulau Tengah (rekreasi/penghijauan),
Pulau Kongsi (rekreasi/pariwisata), Pulau Burung (rekreasi/pariwisata), Pulau Pari
(Perumahan), dan Pulau Tikus (penghijauan Laut) (Mulia 2004). Selama ini
kawasan gugusan Pulau Pari lebih dikenal sebagai tempat untuk melakukan
penelitian, sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Kawasan
gugusan Pulau Pari dengan keunikan ekosistemnya memiliki potensi untuk wisata
bahari. Keberadaan gugusan Pulau Pari dengan segala potensi yang dimilikinya
48
diharapkan mampu menjadi salah satu kawasan wisata yang handal dan
memberikan kontribusi peningkatan kesejahteraan bagi penduduk lokal.
Berkembangnya wisata bahari di Kepulauan Seribu dan di saat menurunnya hasil
panen rumput laut membuat penduduk lokal mulai menjadikan gugusan Pulau
Pari sebagai lokasi tujuan wisata bahari. Berawal dari dorongan biro perjalanan
wisata, penduduk lokal membuka kawasan di Pulau Pari untuk dijadikan sebagai
objek wisata bahari.
Pengelolaan kawasan wisata di Pulau Pari tidak terlepas pula dari
permasalahan lama yang terjadi di wilayah ini. Status kepemilikan dan
penggunaan lahan di Pulau Pari menjadi permasalahan yang sampai saat ini belum
tuntas antara penduduk lokal dengan pihak yang mengklaim memiliki hak
kepemilikan serta izin menggunakan dan mengembangkan lahan di Pulau Pari.
Ketiadaan dokumen sah yang dimiliki, menjadikan penduduk lokal sulit leluasa
mengembangkan dan menggunakan lahan di Pulau Pari terutama untuk
mendirikan bangunan atau mengembangkan/memperluas bangunan pada lahan
baru. Dalam pemanfaatannya penduduk lokal hanya dapat menggunakan lahan
secara terbatas. Penduduk tidak diperbolehkan membuat bangunan baru secara
permanen di lahan lain selain yang ditempati selama ini oleh penduduk.
Landasan bagi penduduk lokal untuk mengembangkan wisata di Pulau
Pari adalah Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta Nomor 1592
Tahun 1982 tentang pembagian lahan atau tanah di Pulau Pari. Dalam surat
keputusan tersebut Pulau Pari dibagi kedalam tiga zonasi pemanfaatan yaitu 50
persen untuk kawasan pariwisata, 40 persen untuk daerah pemukiman dan sekitar
10 persen untuk daerah penelitian kelautan (Mulia 2004). Legal formal inilah
yang sampai dengan saat ini masih menjadi landasan bagi sebagian penduduk
lokal dalam memanfaatkan Pulau Pari sebagai kawasan wisata di tengah berbagai
permasalahan mengenai status kepemilikan dan hak guna lahan yang masih belum
tuntas sampai saat penelitian ini dilakukan.
Terdapat beberapa lokasi yang menjadi objek wisata khususnya di Pulau
Pari. Lokasi tersebut antara lain Pantai Pasir Perawan yang terletak di sisi utara-
timur Pulau Pari dan Pantai Kresek yang terletak di sisi barat-selatan serta ujung
49
barat Pulau Pari yang merupakan lokasi dimana pusat penelitian kelautan milik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada. Pantai perawan di sisi utara-
timur Pulau Pari dahulunya merupakan lahan dengan tutupan semak belukar yang
kemudian oleh penduduk lokal dibenahi dan saat ini menjadi tujuan utama wisata
bahari di Pulau Pari. Pasir putih dan ombak yang tenang serta pemandangan
mangrove di depan pantainya menjadikan pantai pasir perawan ramai dikunjungi
oleh wisatawan. Lokasi pantai pasir perawan merupakan lahan yang diklaim
menjadi hak milik penduduk setempat dan turun-temurun diwariskan kepada
keturunannya. Oleh karena itu pengelolaan wisata di pantai pasir perawan dikelola
oleh keluarga yang umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
pemilik lahan tersebut. Di Pantai pasir perawan berdiri beberapa warung makan
yang pemiliknya mempunyai hubungan keluarga. Fasilitas-fasilitas yang terdapat
di pantai ini antara lain tempat duduk umum dilengkapi dengan saung-saung
beratapkan jerami serta fasilitas umum seperti toilet umum, lapangan olahraga
volley maupun sepak bola kecil (futsal). Untuk masuk ke pantai pasir perawan,
wisatawan dikenakan tarif masuk sebesar Rp. 3.500,- per orang. Umumnya biaya
tarif masuk ini sudah termasuk di dalam harga paket wisata dari biro perjalanan
sehingga apabila wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan tinggal
menyebutkan nama biro perjalanannya. Selanjutnya, pengelola pantai perawan
akan menagihkan pada guide yang membawa wisatawan tersebut. Tarif masuk
yang dikenakan ini kemudian dikelola untuk digunakan dalam pengembangan
fasilitas maupun kebersihan pantai pasir perawan. Untuk kebersihan pantai
perawan terdapat petugas yang setiap pekannya akan membersihkan pantai
perawan setelah wisatawan kembali ke Jakarta.
Berbeda dengan pantai pasir perawan, kawasan wisata pantai kresek yang
terletak di sisi selatan-barat Pulau Pari tidak dikelola secara kekeluargaan dan
merupakan kawasan yang masih open access dimana belum dikenakan tarif
masuk. Pantai kresek juga menawarkan pantai berpasir putih dengan
pemandangan langsung ke arah daratan Jakarta. Di lokasi ini berdiri warung yang
menyediakan minuman dan makanan kecil seperti mie rebus dan lainnya dimana
pemilik warung adalah penduduk lokal setempat yang sekaligus membersihkan
pantai ini setiap pekan setelah wisatawan kembali ke Jakarta.
50
Di sisi ujung barat Pulau Pari, berdiri fasilitas penelitian milik LIPI
dimana memiliki daya tarik sebagai objek wisata bagi wisatawan. Selain
pantainya di sisi selatan dan utara, lokasi di dermaga barat LIPI sering pula
dijadikan oleh wisatawan sebagai lokasi menunggu waktu terbenamnya matahari.
Lokasi ini dikelola oleh satuan kerja LIPI bernama Unit Pelaksana Teknis Loka
Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari dengan
fasilitas penelitian seperti laboratorium maupun pra sarana pendukung seperti
penginapan untuk peneliti, ruang rapat serta ruang display koleksi biota laut. Pra
sarana dan sarana yang berada di lokasi tersebut difungsikan untuk kegiatan
khusus penelitian kelautan serta untuk pendidikan dan pelatihan dalam
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang kelautan. Lokasi LIPI di
Pulau Pari sering pula digunakan oleh LIPI untuk mengadakan wisata edukasi
kelautan dengan peserta seperti berasal dari sekolah, perguruan tinggi maupun
perusahaan swasta.
Untuk memasuki lokasi LIPI, wisatawan tidak dikenakan tarif dan masih
diperkenankan masuk untuk menikmati objek wisata di lokasi tersebut.
Wisatawan umum dapat menyewa penginapan LIPI sebagai tempat menginap
selama di Pulau Pari jika fasilitas tersebut tidak sedang digunakan. Sebelum
berkembangnya rumah-rumah penduduk lokal yang disewakan sebagai tempat
menginap, fasilitas penginapan LIPI menjadi satu-satunya alternatif menginap
bagi masyarakat umum yang berkunjung ke Pulau Pari.
Berkembangnya kegiatan wisata bahari dengan meningkatnya jumlah
pengunjung ke Pulau Pari dapat berpotensi mengganggu kegiatan penelitian
kelautan yang sedang dilakukan khususnya penelitian yang harus terhindar dari
pengaruh kegiatan manusia. Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan konflik
pemanfaatan antara LIPI dengan pengunjung serta masyarakat lokal. Oleh karena
itu pengelolaan kawasan LIPI perlu mempertimbangkan berbagai kepentingan
dari stakeholder terkait. Lokasi LIPI memiliki daya tarik wisata namun di sisi lain
seperti sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta
Nomor 1592 Tahun 1982 merupakan bagian dari 10 persen Pulau Pari yang
diperuntukan untuk daerah penelitian kelautan. Oleh karena itu solusi dari potensi
51
permasalahan yang akan muncul tersebut perlu diselesaikan secara bersama-sama
melibatkan stakeholder terkait (LIPI, operator wisata, masyarakat) untuk
mendapatkan solusi yang terbaik tanpa ada pihak yang dirugikan.
Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah memberikan dampak berupa
terciptanya unit-unit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari.
Unit-unit usaha tersebut antara lain penyewaan homestay, kapal, alat snorkeling,
sepeda, catering maupun warung-warung makan. Kegiatan wisata bahari telah
pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal menjadi operator
wisata, pemandu wisatawan (guide) dan tenaga memasak.
Homestay mulai bermunculan seiring dengan meningkatnya jumlah
wisatawan ke Pulau Pari. Homestay di Pulau Pari merupakan rumah penduduk
lokal yang difungsikan/disewakan sebagai tempat menginap bagi wisatawan. Jenis
homestay di Pulau Pari terdiri dari homestay ber-AC dan non-AC. Pengelolaan
homestay tersebut langsung dikelola oleh pemilik rumah yang menjadikan
rumahnya sebagai tempat penginapan bagi wisatawan. Beberapa pemilik rumah
memasang papan nama yang menunjukkan bahwa rumahnya disewakan sebagai
tempat penginapan. Dalam pengelolaan homestay tersebut, pemilik rumah
sebagian besar sudah memiliki hubungan dengan operator wisata yang juga
merupakan penduduk lokal Pulau Pari. Hubungan kekeluargaan dan kedekatan
umumnya melatarbelakangi bentuk hubungan antara operator wisata dengan
pemilik homestay. Pemilik rumah tidak kesulitan mencari wisatawan karena
umumnya operator wisata akan mengarahkan wisatawan tersebut ke homestay-
homestay yang memiliki hubungan dengan operator wisata tersebut. Pada kondisi
peak season pemilik rumah hanya tinggal menyiapkan dan menunggu wisatawan
masuk ke dalam rumahnya. Pemilik rumah umumnya akan keluar dan
menggunakan halaman belakang rumah untuk hunian sementara atau menumpang
pada sanak saudara lainnya apabila rumahnya disewakan sebagai tempat
menginap. Pemilik homestay umumnya juga memiliki unit usaha lain seperti
penyewaan alat snorkeling dan sepeda. Sama halnya pemilihan homestay,
operator wisata juga akan mengutamakan menyewa alat snorkeling maupun
sepeda dari pelaku usaha yang memiliki hubungan kedekatan/kekeluargaan.
52
Unit usaha lain yang muncul dengan adanya kegiatan wisata bahari di
Pulau Pari adalah penyewaan kapal untuk snorkeling. Unit usaha ini umumnya
dimiliki oleh penduduk lokal yang memiliki kapal. Sama halnya dengan
pengelolaan homestay, pengusahaan penyewaan kapal untuk kegiatan snorkeling
berhubungan langsung dengan operator wisata yang telah memiliki kedekatan
maupun hubungan keluarga. Artinya operator wisata akan mengutamakan
menggunakan kapal untuk snorkeling dari penduduk lokal yang memiliki
hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya. Pengoperasian kapal untuk
kegiatan snorkeling tersebut juga umumnya dijalankan bukan oleh pemilik kapal.
Pemilik kapal akan mempekerjakan sanak saudaranya untuk mengoperasikan
kapal dan nantinya akan bagi hasil dengan pemilik kapal tersebut. Khusus untuk
kapal yang digunakan sebagai wisata olahraga air (water sport) adalah milik
investor dari Jakarta yang dititipkan kepada penduduk lokal untuk dioperasikan
dan nantinya berbagi hasil dari pendapatan yang diperoleh.
Kegiatan wisata bahari turut pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi
penduduk lokal diantara sebagai operator wisata, pemandu wisatawan maupun
tenaga memasak. Dahulu, operator wisata merupakan penduduk lokal yang
menjadi pemandu wisatawan (guide), karena pengalamannya sebagai guide maka
memutuskan untuk menjadi operator wisata. Operator wisata umumnya menerima
limpahan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta maupun menerima
wisatawan langsung yang akan berkunjung ke Pulau Pari. Penduduk lokal yang
menjadi guide umumnya merupakan sanak saudara dari operator wisata maupun
teman dekat atau tetangga dekat rumahnya. Demikian pula penduduk lokal yang
menjadi tenaga memasak umumnya merupakan tetangga rumah dari pemilik
usaha catering.
Unit-unit usaha yang muncul akibat adanya kegiatan wisata bahari di
Pulau Pari akan dipungut iuran oleh Forum Pemuda Wisata Bahari Pulau Pari
(FORSIR). Adapaun unit usaha yang dipungut iuran adalah pemilik homestay,
kapal, alat snorkeling, dan usaha catering. Besaran tarif iuran tersebut berbeda
menurut jenis usahanya. Pemilik homestay akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp.
15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik kapal yang kapalnya digunakan
53
untuk aktivitas snorkeling akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai
dengan Rp. 20.000,- tergantung besar kapasitas kapal. Tarif iuran yang dikenakan
kepada pemilik kapal adalah untuk per kapal per sekali snorkeling, sedangkan
pemilik usaha water sport akan digunakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang
dan untuk pemilik sampan akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per
sampan untuk sekali jalan. Pemilik usaha penyewaan alat snorkeling akan
dikenakan tarif iuran Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling per sekali pakai,
sedangkan iuran sebesar Rp. 500,- per orang akan dikenakan kepada pemilik
usaha catering.
Forum Pemuda Wisata Bahari (FORSIR) Pulau Pari dibentuk pada tanggal
1 April 2012 dikukuhkan dengan SK Lurah Pulau Pari No. 04/1.823.621/2012
tentang pembentukan dan pengukuhan FORSIR Pulau Pari. Kepengurusan
FORSIR terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara dengan anggota
merupakan para pemilik unit usaha wisata bahari di Pulau Pari. Anggota FORSIR
yang merupakan pemilik unit usaha wisata bahari akan dikenakan iuran per
pekannya apabila unit usaha yang dimiliki digunakan oleh wisatawan. Adapun
pemilik unit usaha akan dikenakan iuran dengan besaran tarif seperti pada uraian
sebelumnya. Iuran ini selanjutnya akan dikelola oleh pengurus FORSIR untuk
digunakan dalam pengembangan fasilitas di Pulau Pari. Iuran yang dipungut dari
para pemilik unit usaha kemudian dialokasikan sebanyak 70 persen yang terdiri
dari 50 persen untuk peningkatan kapasitas di Pulau Pari seperti penambahan
tempat sampah dan kebersihan ataupun lainnya yang berhubungan dengan
fasilitas pendukung wisatawan, sedangkan 20 persennya digunakan untuk
kegiatan masyarakat yang terbagi atas lima pos yakni untuk ke Rukun Warga,
masjid, madrasah, santunan anak yatim, dan pemakaman.
VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK
KAWASAN WISATA BAHARI
6.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 merupakan produk hukum
terbaru yang mengatur mengenai tata ruang dan peruntukan wilayah di Provinsi
DKI Jakarta termasuk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dalam
peraturan daerah tersebut pola ruang daratan (pulau) di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu meliputi sebagai kawasan terbuka hijau; kawasan permukiman;
kawasan taman arkeologi; kawasan pariwisata; kawasan lindung yang berada di
Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa. Menurut peraturan daerah
tersebut penggunaan ruang daratan Pulau Pari ditetapkan sebagai kawasan
permukiman. Untuk mendukung perwujudan kawasan permukiman sebagai
kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan wisata dapat dibangun wisma
dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat pelayanan jasa
wisata.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2012 tersebut tidak tersurat secara detail menyebutkan pulau-pulau mana saja
yang diperuntukan untuk kawasan pariwisata. Peraturan Daerah tersebut hanya
menyebutkan bahwa rencana pengembangan kawasan pariwisata dilaksanakan di
pulau peruntukan pariwisata, dan pemanfaatan diarahkan untuk usaha pariwisata
yang bersifat terbuka untuk umum. Usaha pariwisata yang dimaksud didukung
dengan peningkatan kualitas lingkungan daratan pulau dan perairan laut
sekitarnya, dengan wajib menjaga dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang,
hutan mangrove, dan padang lamun agar tetap baik, tumbuh dan lestari.
Kawasan gugusan Pulau Pari adalah daerah yang memiliki keunikan
tersendiri dengan ekosistem khas perairan tropis yang lengkap seperti terumbu
karang, hutan mangrove dan padang lamun. Selama ini kawasan gugusan Pulau
Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk objek penelitian sedangkan aspek
pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan Pulau Pari dapat menjadi tujuan
wisata bahari bagi penduduk dari luar pulau. Wisata utama dari Pulau Pari adalah
55
keindahan laut dan ekosistem khas perairan tropis yang dimilikinya. Wisatawan
yang datang mengunjungi Pulau Pari dapat melakukan berbagai aktivitas
diantaranya snorkeling dan scuba diving sambil mengenal beragam tumbuhan dan
hewan di ekosistem terumbu karang, memancing ikan, mengunjungi tempat
budidaya rumput laut dan ikan maupun perkampungan penduduk lokal. Potensi
yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari tersebut menjadikan daerah ini mulai
dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Melihat potensi yang
dimiliki oleh Pulau Pari untuk kegiatan wisata bahari maka analisis kesesuaian
lahan Pulau Pari untuk wisata bahari dilakukan.
Evaluasi lahan digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan Pulau Pari
untuk wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan
persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan
dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan
digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Analisis kesesuaian lahan
dilakukan untuk pariwisata bahari secara umum dengan menggunakan parameter-
parameter yaitu kecerahan perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang,
tutupan karang hidup, kecepatan arus, dan kedalaman (Dimodifikasi dari
Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda 2007).
6.1.1. Kecerahan Perairan
Kecerahan perairan gugusan Pulau Pari menggunakan data yang
dikumpulkan oleh Abrar (2011). Kecerahan gugusan Pulau Pari diukur di dua
lokasi yakni ST1-pari dan ST2-tikus. Stasiun penelitian ST1-pari berada antara
selatan-barat Pulau Pari atau selatan-Timur Gugus Pulau Pari pada posisi 050 52’
212’’ LS dan 1060 36’ 754’’ BT. Sementara itu ST2-tikus berada pada sisi utara
Pulau Tikus atau utara-barat Gugus Pulau Pari dengan posisi 050 51’ 168’’ LS dan
1060 34’ 795’’ BT. Peta lokasi pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5.
Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu bulan yaitu Maret
sampai Agustus 2010 (T0-T5) dan interval waktu 3 bulan yaitu September sampai
November 2010 (T5-T6).
56
Gambar 5 Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)
Hasil pengukuran kecerahan perairan pada ST1-pari menunjukkan adanya
variasi setiap bulan pengamatan. Secara umum nilai kecerahan semakin menurun
selama bulan pengamatan, walaupun terjadi fluktuatif dengan kisaran tertinggi
mencapai 14 meter pada saat T0 dan terendah adalah 5 meter pada saat T6.
Kondisi kecerahan yang sama juga terlihat pada stasiun ST2-tikus yaitu cenderung
menurun selama bulan pengamatan walaupun terjadi kenaikan saat akhir
pengamatan. Nilai kecerahan paling tinggi mencapai 17 meter pada waktu T1 dan
nilai paling rendah yaitu 8 meter pada T3 dan T6 (Abrar 2011). Kecerahan
perairan pada dua lokasi pengamatan selama bulan pengamatan terlihat pada
Tabel 8.
Tabel 8 Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari pada Dua Stasiun Penelitianselama Bulan Pengamatan
Stasiun T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
ST1-pari 14 12 7 7 10 13 5
ST2-tikus 9 17 11 8 10 12 8
Sumber : Abrar (2011)
Kecerahan perairan Pulau Pari pada dua stasiun penelitian selama bulan
pengamatan yang terbaca dari Tabel 8 menunjukkan bahwa kecerahan perairan
Pulau Pari 5-17 meter. Kecerahan perairan terendah yakni 5 meter terukur pada
T6 di ST1-pari sedangkan kecerahan perairan tertinggi yakni 17 meter terukur
ST2-Tikus
ST1-Pari
57
pada T1 pada ST2-tikus. Dari data di kedua stasiun peneltian selama bulan
pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kecerahan perairan Pulau Pari adalah
10,21 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan pariwisata bahari maka
kecerahan perairan pulau pari masuk kedalam kategori S2 yang berarti sesuai
untuk kegiatan parwisata bahari.
6.1.2. Kedalaman
Kedalaman di sekitar gugusan Pulau Pari berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh Whouthuyzen et al. (2008). Pemetaan perairan dangkal
gugusan Pulau Pari dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
kedalaman. Pemetaan perairan dangkal dilakukan menggunakan data citra satelit
FORMOSAT beresolusi 8 meter dengan mengaplikasikan algoritma. Pada
algoritma tersebut dibutuhkan data kedalaman in situ yang diukur menggunakan
Echo Sounder Garmin 420-C yang dipasang pada perahu motor kerja yang
dilengkapi pula dengan GPS, sehingga diperoleh data kedalaman berikut
koordinatnya (lintang dan bujur). Luasan perairan dangkal di gugusan Pulau Pari
menurut kedalaman dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 6.
Tabel 9 Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman
Kedalaman (m) Luas (Ha)
<1 6,62
1-2 452,31
2-4 400,44
4-6 86,80
6-8 61,64
8-10 54,60
10-20 245,27
20-30 212,54
>30 4089,57
Sumber : Wouthuyzen et al. (2008)
58
Gambar 6 Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)
Gugusan Pulau Pari merupakan gugusan pulau-pulau yang termasuk ke
dalam tipe pulau karang timbul dan pulau dataran rendah. Terumbu karang
mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut (Asriningrum 2005 in Abrar
2011). Rataan terumbu adalah bagian terumbu paling luas yaitu dengan panjang
berkisar 400-1500 meter tegak lurus garis pantai pulau terdekat arah ke laut lepas.
Saat pasang, rataan terumbu digenangi air sampai kedalaman 1 meter dan dapat
terpapar 0,3-0,4 meter di atas permukaan laut saat surut terendah. Pada bagian
tertentu, di rataan terumbu ditemukan cekungan-cekungan (goba) yang selalu
tergenang saat air laut surut dengan kedalaman berkisar 2-15 meter (Abrar 2011).
Luas perairan gugusan Pulau Pari menurut kedalaman yang terlihat pada
Tabel 9 menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari memiliki kedalaman perairan
yang beragam. Dari Tabel 9 terlihat bahwa perairan gugusan pulau pari
berkedalaman > 30 m merupakan yang terluas yakni mencapai 4089,57 hektar
kemudian diikuti oleh perairan yang berkedalaman 1-2 m dan 2-4 m dengan luas
masing-masing berturut-turut seluas 452,31 hektar dan 400,44 hektar. Abrar
(2011) menyatakan bahwa perairan gugus Pulau Pari termasuk gugusan
Kepulauan Seribu dengan tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalaman berkisar
antara 15-40 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari,
59
maka kedalaman perairan gugusan pulau Pari dapat dikelompokan kedalam
kategori kesesuaiannya menurut aktivitasnya antara lain selam dan snorkeling.
Sesuai dengan matrik kesesuaian lahan, kedalaman yang cocok untuk kegiatan
selam adalah 6-20 meter sedangkan kedalaman yang cocok untuk kegiatan
snorkeling adalah 1-6 meter. Menurut kriteria tersebut maka luasan gugusan Pulau
Pari yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan selam seluas 361,51 hektar dan
untuk kegiatan snorkeling seluas 939,55 hektar.
6.1.3. Kecepatan Arus
Perairan gugus Pulau Pari termasuk kedalam perairan pedalaman semi
terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk
Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massar air dari Laut Cina Selatan dan
Timur Indonesia. Tipe perairan seperti ini sangat dinamis dan turbulensi tinggi
sehingga kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, kondisi
lokal geologisnya dan pengaruh aktivitas dan pengembangan di daratan dan
pulau-pulau kecil sekitarnya. Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan
karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus. Pola arus secara
umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesia yang sangat terpengaruh oleh
musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan diantaranya (Abrar
2011).
Kecepatan arus untuk menganalisis kesesuaian lahan pariwisata bahari
Pulau Pari menggunakan data yang diukur oleh Abrar (2011). Peta lokasi
pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5. Kecepatan arus yang diukur
merupakan kecepatan arus permukaan. Pada stasiun ST1-pari kecepatan arus
permukaan tertinggi mencapai 0,3 m/dt pada bulan pengamatan T4 dan terendah
0,01 m/dt pada bulan pengamatan T2. Variasi kecepatan arus permukaan di
stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan tidak begitu berbeda dengan rata-
rata 0,13 m/dt. Fluktuasi kecepatan arus permukaan yang terjadi pada stasiun
ST2-tikus juga tidak terlalu bervariasi dengan rata-rata cenderung sama dengan
stasiun ST1-pari yaitu 0,1 m/dt. Kecepatan arus permukaan terendah pada ST-2
tikus mencapai 0,025 m/dt pada T1 sedangkan tertinggi mencapai 0,2 m/dt pada
T4. Berdasarkan parameter kesesuaian lahan pariwisata bahari Pulau Pari, maka
60
kesesuaian kecepatan arus di Pulau Pari berada pada kategori S1 artinya sangat
sesuai.
6.1.4. Tutupan Karang Hidup
Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis
yang juga ada di perairan gugusan Pulau Pari. Penilaian status dan kondisi
terumbu karang di Pulau Pari menggunakan data Wouthouyzen, dkk (2008) yang
dilakukan pada empat stasiun yang mewakili sisi Utara-Barat dan Selatan-Timur
Gugus Pulau Pari. Data ini digunakan untuk mengetahui parameter kesesuaian
lahan yakni tutupan karang. Empat stasiun yang dimaksud terdiri dari Pulau
Kudus-Utara (PRL01), Pulau Tikus-Barat (PRL02), Pulau Pari-Selatan (PRL03)
dan Pulau Pari-Timur (PRL04). Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7 Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan Kondisi TerumbuKarang di Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)
PRL03
PRL04
PRL02
PRL01
61
Pulau Kudus terletak pada bagian sisi utara gugus Pulau Pari. Status lahan
merupakan hak milik perorangan yang saat ini dimanfaatkan sebagai tempat
peristirahatan dengan bangunan rumah dan dermaga, sedangkan pada rataan
terumbunya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan budidaya rumput laut.
Perairan Pulau Kudus sangat terbuka dengan gelombang dan arus kuat, terutama
musim timur, perairannya jernih dengan jarak pandang 8-10 meter. Rataan
terumbu pendek dengan jarak dari pantai ± 300 meter, didominasi oleh dasar
berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi lamun dan makro algae.
Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman mencapai 15-20 meter. Koloni
karang mulai ditemukan pada daerah belakang tubir dan semakin berkembang
pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalam 10 meter.
Tutupan bentik terumbu Pulau Kudus cukup bervariasi dan didominasi
oleh pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 54 peresen, terutama dari
kelompok turf algae. Biota bentik lain yang berasosiasi dengan terumbu jarang
dengan tutupan hanya mencapai 2 persen. Tutupan karang mati baik yang sudah
ditumbuhi lumut ataupun belum sangat terendah dengan tutupan hanya mencapai
3 persen namun bentik abiotik tidak ditemukan. Total tutupan karang hidup di
Pulau Kudus mencapai 41 persen terdiri dari Acropora 5 persen dan non Acropora
36 persen.
Stasiun PRL02 berada pada sisi barat Pulau Tikus yang merupakan
perairan terbuka relatif tenang dengan gelombang dan arus tidak terlalu kuat dan
dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut dan perikanan tangkap terutama
dari alat tangkap sero dan bagan tancap. Pantai sangat landai berpasir putih
dengan vegetasi cemara laut dan ketapang serta perdu-perduan. Rataan terumbu
karang cukup luas dengan panjang mencapai ± 700-800 meter dari pantai
memiliki dasar berpasir dan substrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan
laut antara pulau dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15
meter. Tubir dan lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan
kedalaman mencapai 20 meter.
Bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan algae dengan tutupan
mencapai 39 persen terutama dari kelompok turf algae. Bentik terumbu dalam
bentuk karang mati cukup rendah dengan tutupan hanya mencapai 2 persen
62
sedangkan bentik abiotik cukup tinggi yaitu 25 persen terutama dari dasar berpasir
dan patahan karang mati. Biota lainnya yang berasosiasi dengan terumbu jarang
dengan tutupan hanya mencapai 2 persen terutama dari kelompok soft coral dan
biota benthos lainnya. Tutupan karang hidup di lokasi ini mencapai 32 persen
yang terdiri dari 2 persen Acropora dan 30 persen non Acropora.
Stasiun PRL03 berada pada sisi selatan Pulau Pari yang merupakan
perairan terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim
timur, keruh dengan jarak pandang 5-6 meter. Rataan terumbu cukup luas dan
panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan patahan karang mati
ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di belakang tubir lebih
didominiasi oleh substrat keras dari bongkahan karang mati serta ada endapan
patahan karang (rampat karang) yang muncul kepermukaan saat air surut. Tubir
karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter.
Pada stasiun ini bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan karang
keras dengan tutupan 50 persen terutama keompok Non Acropora, sedangkan
kelompok Acropora tidak ada. Dominasi bentik terumbu berikutnya adalah
pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 38 persen yakni dari kempok turf
algae, sedangkan tutupan biota lain sangat rendah yaitu hanya 1 persen dari
kemunculan biota sponge. Bentik terumbu dari tutupan karang mati dan abiotik
rendah, masing-masing 6 persen dan 5 persen.
Stasiun PRL04 berada pada sisi timur Pulau Pari yang merupakan perairan
terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim timur, relatif
jernih dengan jarak pandang mencapai 8-10 meter. Rataan terumbu tidak terlalu
luas dengan panjang mencapai 300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan
terumbu didominiasi oleh pasir dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan
makro algae. Tubir karang tidak jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai
kedalaman 20-25 meter.
Pada stasiun ini tutupan bentik algae dan biota yang berasosiasi lainnya
sangat rendah masing-masing 6 persen dan 2 persen ditandai dengan kemunculan
turf algae, sponge, dan soft coral. Karang mati cukup tinggi dengan tutupan
mencapai 17 persen sedangkan bentik abiotik juga cukup tinggi mencapai 20
persen. Di lokasi ini tutupan karang hidup paling tinggi dibanding ketiga lokasi
63
(PRL01, PRL02, PRL03) yang mencapai 55 persen dengan didominasi oleh
tutupan karang keras yaitu mencapai 40 persen dari non Acropora dan 15 persen
dari Acropora.
Hasil pengamatan pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa
persentase tutupan karang hidup tertinggi mencapai 55 persen yakni pada sisi
timur Pulau Pari (PRL04) sedangkan tutupan karang hidup terendah berada pada
Pulau Tikus (PRL02) dengan tutupan karang mencapai 32 persen. Kondisi
terumbu karang pada sisi selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada dalam
kondisi yang lebih baik dibanding sisi utara baratnya. Tabel 10 menunjukkan
persentase tutupan karang hidup di Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan
karang hidup untuk menunjukkan kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari di
Pulau Pari.
Tabel 10 Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari berdasarkanParameter Tutupan Karang Hidup
No Lokasi Tutupan Karang
Hidup (%)
Kategori* Kondisi**
1 Stasiun PRL01 (Pulau
Kudus-Utara)
41 S3=sesuai
marginal
Sedang
2 Stasiun PRL02 (Pulau
Tikus-Barat)
32 S3=sesuai
marginal
Sedang
3 Stasiun PRL03 (Pulau
Pari Selatan
50 S2=cukup
sesuai
Baik
4 Stasiun PRL04 (Pulau
Pari-Timur)
55 S2=cukup
sesuai
Baik
Sumber : Whouthuyzen et al. (2008)Keterangan :*) >70% : S1, 50-70% : S2, 20-50 : S3, <20% : N; (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001)**)75-100% : Sangat Baik, 50-74,9% : Baik, 25-49,9% : Sedang, 0-24,9% : Rusak(Kepmen LH No. 4 Tahun 2001)
Kesesuaian lahan Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan karang hidup
seperti yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sisi Utara-Barat Pulau
Pari sesuai marginal untuk pariwisata bahari sedangkan sisi Selatan-Timur Pulau
64
Pari cukup sesuai. Berdasarkan kondisinya, sisi Selatan-Timur Pulau Pari
memiliki kondisi terumbu karang yang baik dibandingkan sisi Utara-Barat yang
kondisinya cukup. Oleh karena itu daerah sisi Selatan-Timur Pulau Pari
merupakan salah satu area (spot) yang dapat direkomendasikan sebagai lokasi
untuk menikmati keindahan pesona bawah laut.
6.1.5. Jenis Terumbu Karang
Pengamatan keanekaragaman karang di gugusan Pulau Pari telah dimulai
sejak 20 tahun yang lalu. Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Suharsono dan
Kiswara tahun 1981 ditemukan 87 jenis karang batu. Sebaran jenis lebih tinggi
ditemukan pada sisi selatan Pulau Pari yaitu 87 jenis, sedangkan pada sisi utara
mencapai 57 jenis. Jenis karang Montipora ramose merupakan jenis utama diikuti
oleh Heliopora coerulea (Kiswara & Suharsono 1991). Selanjutnya Suharsono
(1995) dari hasil inventarisasi panjang selama periode 1985-1994 melaporkan
bahwa 187 jenis dari 59 genera ditemukan di sepanjang gugus Pulau Pari.
Brown et al. (1983) melakukan pengamatan jenis-jenis karang di
sepanjang rataan terumbu gugus Pulau Pari yakni 3 stasiun pada sisi utara-barat
dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Hasil pengamatan mencatat 88 total jenis
dari 28 genera dimana 74 jenis ditemukan pada sisi selatan-timur (2 stasiun) dan
43 jenis pada sisi utara-barat (3 stasiun). Genus Acropora mendominasi dan
menunjukkan pola zonasi pada bagian terluar rataan terumbu (dekat tubir) pada
semua stasiun pengamatan. Jenis Acropora pulchra memperlihatkan dominasi dan
menunjukkan pola tidak bergabung dengan zonasi yang ada pada bagian rataan ke
arah daratan dari rataan terumbu terluar. Acropora digitifera menempati rataan
bagian tengah ke arah laut lepas, sedangkan Acropora hyacinthus mengkoloni
pada pinggiran rataan yang menghadap ke arah laut lepas.
Santoso (1985) juga telah melakukan pengamatan keanekaragaman jenis
karang batu di rataan, goba dan lereng terumbu Pulau Tikus Gugus Pulau Pari
selama bulan Mei-Juni 1984. Hasil penelitian mencatat total 46 jenis karang batu
dari 24 genera dan 12 famili. Genus Porites dan Montipora mempunyai sebaran
paling luas dan merupakan jenis yang dominan.
65
Manuputty et al. (1998) telah melakukan pengamatan sebaran jenis karang
batu secara vertikal pada bulan April 1995 di dua stasiun yaitu sisi selatan (back
reef) dan sisi utara (front reef) gugus Pulau Pari. Total jumlah jenis yang
ditemukan sebanyak 156 jenis dimana kedua stasiun memperlihatkan hasil yang
berbeda yaitu 105 jenis dari 12 suku pada sisi selatan dan 125 jenis dari 12 suku
pada sisi utara. Pada sisi selatan, karang batu dari suku Faviidae dan Acroporidae
berkembang baik dan mendominasi pada kedalaman di bawah 5 meter. Di sisi
utara didominasi oleh suku Acroporidae dan Faviidae terutama pada kedalaman
1-5 meter. Suku Acroporidae memperlihatkan jumlah jenis yang beragam pada
kedua sisi terutama dari pertumbuhan bercabang (19 jenis) dan Montipora (5
jenis).
Studi pengamatan jenis karang juga telah dilakukan pada tahun 2008 oleh
Whouthuyzen et al. (2008). Pengamatan dilakukan pada 4 stasiun yaitu 2 stasiun
pada sisi utara-barat dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Total jumlah jenis
karang batu yang ditemukan adalah 135 jenis dimana jumlah jenis pada sisi
selatan timur lebih tinggi yaitu 121 jenis dibanding sisi utara barat yang sebanyak
97 jenis. Famili Faviidae mendominasi jumlah jenis yaitu mencapai 31 jenis
diikuti oleh jenis-jenis dari Famili Acroporidae yaitu 30 jenis.
Keragaman jenis karang dari hasil berbagai pengamatan yang diuraikan
menunjukan bahwa catatan keragaman jenis karang tertinggi mencapai 187 jenis
dari 59 genera dari inventarisasi yang dilakukan selama periode 1985-1994
(Suharsono 1995). Hasil inventariasi terakhir yang dilakukan oleh Whouthuyzen
et al. (2008) menunjukkan bahwa keragaman jenis karang mencapai 135 jenis.
Hasil evaluasi terakhir ini telah menunjukkan penurunan keanekaragaman jenis,
namun berdasarkan pengamatan yang terakhir ini memperlihatkan bahwa
kesesuaian lahan Pulau Pari untuk pariwisata bahari berada pada kategori S1
artinya sangat sesuai berdasarkan parameter jenis terumbu karangnya yang
mencapai lebih dari 100 jenis.
6.1.6. Jenis Ikan Karang
Parameter lainnya untuk kesesuaian lahan pariwisata bahari adalah jenis
ikan karang. Data potensi ikan karang yang digunakan dalam analisis ini
66
menggunakan data sekunder yang merupakan hasil kajian potensi ikan karang
yang dilakukan pada bulan Mei 2008 oleh Whouthuyzen et al. (2008) di Pulau
Pari. Data potensi ikan karang dilakukannya dengan menggunakan 2 pendekatan
yaitu menggunakan line intercept transect (LIT) dan metode secara cepat yakni
rapid reef assessment (RRA) untuk mendapatkan gambaran secara spasial tentang
potensi ikan karang di gugusan Pulau Pari. Ikan dikelompokan menjadi 3
kategori, yakni ikan indikator (ikan yang dapat menunjukkan kesehatan suatu
terumbu karang), ikan mayor (ikan di luar ikan target dan ikan indikator,
berukuran kecil dan bergerombol atau soliter, serta berpotensi sebagai ikan hias
yang juga memiliki nilai ekonomis), dan ikan target (ikan yang menjadi target
penangkapan karena memiliki potensi ekonomis), Kelimpahan ikan karang pada
tubir terumbu karang di gugusan Pulau Pari terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari
Parameter Kelompok IkanIndikator Mayor Target
LIT RRA LIT RRA LIT RRA
Jumlah Famili 1 1 20 11 12 11
Jumlah Spesies 12 8 93 67 61 46
Total Spesimen 153 63 4.651 1.142 2.641 630
Densitas (ekor/m2) 0,08 0,16 2,33 2,86 1,32 1,58
Densitas rata-rata (ekor/m2) 0,12 2,59 1,45
Kelimpahan (ekor) 30.873 686.483 383.720
Keterangan : LIT =line intercept transect, RRA=rapid reef assessmentSumber : Whouthuyzen et al. (2008)
Kelimpahan ikan karang di gugusan Pulau Pari yang terlihat pada Tabel 11
menunjukkan bahwa kelimpahan ikan terbanyak adalah pada jenis ikan mayor
dengan kelimpahan mencapai 686.483 ekor. Jenis ikan karang dengan kelimpahan
ikan terendah di gugusan Pulau Pari adalah jenis ikan indikator dengan
kelimpahan mencapai 30.873 ekor. Berdasarkan dua metode pengamatan yakni
LIT dan RRA, jumlah spesies ikan karang di gugusan Pulau Pari masing-masing
berturut-turut sebanyak 166 spesies (LIT) dan 121 spesies (RRA). Berdasarkan
67
dua metode pengamatan baik LIT maupun RRA, jenis ikan mayor merupakan
jenis ikan yang memiliki jumlah spesies terbanyak (tercatat 93 spesies (LIT) dan
67 spesies (RRA)) sedangkan ikan indikator merupakan jenis ikan yang memiliki
jumlah spesies terendah (tercatat 12 spesies (LIT) dan 8 spesies (RRA)). Dengan
jumlah spesies ini maka berdasarkan kriteria parameter jenis ikan karang
kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari gugusan Pulau Pari berada pada kategori
S1 artinya sangat sesuai untuk pariwisata bahari yang memiliki jenis ikan karang
>70.
Adapun komposisi jenis ikan mayor didominasi dari dua famili yakni
Labridae dengan jenis Cirrhilabrus cyanopleura, Thalassoma lunare,
Halichoeres hortulanus, dan famili Pomacentridae, dengan jenis berbagai ikan
betok laut seperti Amblyglyphidodon curacao, A. Leucogaster, Abudefduf
sexfasciatus, Chromis weberi dan Neopomacentrus azysron. Ikan target
didominasi oleh jenis-jenis ikan ekor kuning (Caesio terres dan Pterocaesio
pisang) dari famili Caesionidae, ikan kakatua (Scarus ghoban) serta ikan
beronang/samandar (Siganus virtagus) dari famili Siganidae. Untuk ikan indikator
didominasi oleh Chaetodon octofasciatus yang merupakan jenis kepe-kepe yang
lebih dapat beradaptasi pada perairan dekat pantai dengan sedimen cukup tinggi
atau dekat dengan padang lamun (Whouthuyzen et al. 2008).
6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari Pulau Pari
Berkembangnya Pulau Pari sebagai salah satu tempat tujuan wisata bahari
memberikan peluang ekonomi bagi penduduk lokal dengan meningkatnya jumlah
pengunjung. Di sisi lain, Pulau Pari sebagai pulau kecil memiliki daya dukung
yang terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu
kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata agar terjaga kelestarian lingkungannya.
Jumlah maksimum pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem di Pulau Pari
diperlukan untuk diketahui agar pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem
khususnya untuk kegiatan wisata bahari tidak menyebabkan kerusakan atau
penurunan kualitas fisik dan tingkat kenyamanan pengguna sumberdaya terhadap
suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya
dukung fisik kawasan dilakukan dengan menghitung jumlah maksimum
68
pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada
waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Dasar
kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan
taman nasional dan taman wisata alam, dimana areal yang diizinkan untuk
dikelola yakni 10 persen dari luas zona pemanfaatan. Dasar ini digunakan
mengingat gugusan Pulau Pari dimanfaatkan pula sebagai laboratorium alam
untuk lokasi penelitian sehingga kelestariannya harus tetap dipertahankan.
Adapun perhitungan daya dukung fisik kawasan menggunakan nilai parameter
untuk setiap kategori wisata bahari yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untuk Setiap KategoriWisata Bahari
Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Waktu yang
Dibutuhkan
(Wp)
Total
Waktu 1
hari (Wt)
Wisata Selam 2 1000 m2 2 jam 8 jam
Wisata Snorkeling 1 300 m2 3 jam 6 jam
Wisata Mangrove 1 100 m2 3 jam 8 jam
Wisata Pantai 1 50 m2 3 jam 6 jam
Sumber : Hutabarat et al. (2009); de Vantier and Turak (2004) in Hilyana (2011);Yulianda (2007)
Dilihat dari klasifikasi habitatnya, gugusan Pulau Pari memiliki ekosistem
khas perairan tropis yang khas khususnya ekosistem mangrove, padang lamun dan
terumbu karang. Hasil citra satelit ALOS AVNIR-2 tanggal 3 Agustus 2009
menunjukkan klasifikasi habitat di gugusan Pulau Pari yang mencakup 6 kelas
yakni : 1) perairan, 2) terumbu karang, 3) padang lamun, 4) mangrove, 5)
hamparan pasir putih, dan 6) habitat lainnya yakni daratan (Whouthuyzen et al.
2009), sehingga tidak salah bahwa gugusan pulau ini dimanfaatkan sebagai
laboratorium penelitian dan akhir-akhir ini dikunjungi oleh wisatawan sebagai
tujuan wisata bahari. Klasifikasi habitat (ekosistem) di gugusan Pulau Pari terlihat
pada Gambar 8. Potensi alam yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari dimanfaatkan
69
oleh wisatawan melalui berbagai aktivitas kegiatan wisata diantara menikmati
pantai, snorkeling dan selam, jelajah hutan mangrove maupun aktivitas lainnya.
Daya dukung fisik kawasan dihitung dengan membatasi kategori kegiatan wisata
bahari yang dapat dilakukan di gugusan Pulau Pari yakni hanya untuk wisata
selam, wisata snorkeling, wisata mangrove dan wisata pantai. Hal ini disebabkan
kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari.
Keterangan :Laut/lagoon, dalam dan dangkal lagoon total luas: 296,1 ha;Terumbu : terumbu luar, dalam, beting karang total luas : 172,4 ha;Lamun lebat, sedang campur pasir total luas : 288,9 ha;Mangrove total luas : 18,9 ha;Daratan total luas : 64,3 ha;Pasir putih total luas : 221 ha.
Gambar 8 Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari(Sumber : Whouthuyzen et al. 2009)
70
Data untuk perhitungan daya dukung fisik kawasan kegiatan wisata selam
dan snorkeling menggunakan luasan menurut kesesuaian kedalamannya. Luasan
menurut kesesuaian kedalaman untuk kegiatan selam dan snorkeling berturut-turut
adalah 361,51 ha dan 939,55 ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1994, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10 persen dari luas
zona pemanfaatan, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam
dan snorkeling masing-masing berturut-turut adalah 36,15 ha dan 93,95 ha.
Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam dan snorkeling harus
mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang
menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang
di suatu kawasan memiliki tutupan karang 70 persen, maka luas areal selam di
terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 70 persen dari luas hamparan
karang. Rata-rata tutupan karang hidup di gugusan Pulau Pari menunjukkan 44,50
persen, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam maupun
snorkeling masing-masing berturut-turut adalah seluas 16,09 ha (44,50 persen x
36,15 ha) dan 41,81 ha (44,50 persen x 93,95 ha).
Mangrove di gugusan Pulau Pari mencakup mangrove sejati maupun
vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove. Mangrove di gugusan Pulau Pari
memiliki luas 18,9 ha yang menyebar di sisi utara garis pantai Pulau Pari,
sekeliling Pulau Burung, Pulau Tengah dan spot-spot di Pulau Kongsi. Jika
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka areal
mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata adalah 10 persen, sehingga luas
mangrove yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 1,89 ha.
Luasan habitat lainnya yang digunakan sebagai data untuk menghitung
daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai adalah daratan. Luasan
daratan digunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa meskipun pada
umumnya wisatawan melakukan wisata pantai di pantai yang berpasir putih tetapi
terdapat pasir putih di gugusan Pulau Pari hanya berupa gosong yang hanya akan
muncul ketika air laut surut dan tidak nampak lagi ketika air laut pasang (lihat
Gambar 5). Data luasan pantai di Pulau Pari yang dapat dimanfaatkan untuk wista
pantai juga belum tersedia. Oleh karena itu luas daratan digunakan sebagai data
untuk menghitung daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai. Data
71
klasifikasi habitat menunjukkan daratan di gugusan Pulau Pari memiliki luas 64,3
ha. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka luas
pantai yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 6,43 ha. Nilai
daya dukung fisik kawasan di gugusan Pulau Pari untuk setiap kategori kegiatan
wisata bahari ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di Gugusan Pulau Pari untukSetiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari
No Jenis KegiatanNilai DDK
(orang/hari)
1 Wisata Selam 1.287
2 Wisata Snorkeling 2.787
3 Wisata Mangrove 504
4 Wisata Pantai 2.572
Sumber : data diolah (2012)
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai daya dukung fisik kawasan untuk
kegiatan wisata selam dan snorkeling dengan jumlah kunjungan yang dapat
ditolerir berturut-turut adalah 1.287 orang/hari dan 2.787 orang/hari. Untuk
kegiatan wisata mangrove jumlah kunjungan yang dapat ditolerir adalah 504
orang/hari, sedangkan untuk kegiatan wisata pantai, jumlah kunjungan yang dapat
ditolerir adalah 2.572 orang/hari. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Forum
Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau Pari menunjukkan bahwa rata-rata
jumlah pengunjung selama bulan April sampai dengan Agustus 2012 mencapai
1.482 orang/bulan atau 370 orang setiap pekannya (sabtu-minggu). Jika
diasumsikan bahwa pengunjung melakukan kegiatan per kategori wisata bahari
pada waktu yang bersamaan maka kondisi pemanfaatan saat ini masih berada di
bawah daya dukung fisik kawasan untuk kategori kegiatan wisata selam,
snorkeling, dan mangrove serta pantai sehingga masih dapat ditingkatkan
kuantitasnya sampai dengan batas nilai daya dukung fisik kawasan yang tersajikan
pada Tabel 13. Demikian pula pada kondisi peak season dimana jumlah
pengunjung tercatat sebanyak 2.950 orang (data bulan Agustus 2012) atau
72
sebanyak 737 orang setiap pekan (sabtu-minggu) menunjukkan bahwa kondisi
saat ini masih di bawah daya dukung daya dukung fisik kawasan untuk kategori
kegiatan wisata selam, snorkeling, dan mangrove serta pantai. Namun mengingat
keterbatasan jumlah penginapan maka wisatawan perlu untuk dibatasi. Hal ini
untuk menghindari pula meningkatnya sampah maupun limbah air karena adanya
aktivitas wisawatan yang dapat berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan dan
perairan di Pulau Pari.
VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI
7.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari
Gugusan Pulau Pari memiliki potensi sebagai objek wisata bahari. Potensi
tersebut berupa keindahan alam darat maupun bawah laut berupa tiga ekosistem
lengkap yang mencirikan ekosistem khas perairan tropis yakni terumbu karang,
mangrove dan padang lamun. Pada rataan terumbunya dijumpai pula
keanekaragaman sumberdaya hayati yang cukup melimpah seperti ikan, krustasea,
moluska, dan ekhinodermata. Gugusan Pulau Pari memiliki pantai dengan pasir
putih seluas 221 ha yang menjadi daya tarik menarik bagi wisatawan yang ingin
menikmati wisata bahari. Di Pulau Pari sendiri, beberapa pantai dengan pasir
putih mulai dikembangkan dan dibuka oleh penduduk lokal menjadi objek wisata
diantaranya seperti Pantai Pasir Perawan yang berada di sisi timur-utara Pulau
Pari dan menjadi salah satu objek wisata utama yang menjadi daya tarik
wisatawan. Pantai dengan pasir putih lainnya yang dapat dijumpai di Pulau Pari
adalah Pantai Kresek yang berada di sisi barat-selatan Pulau Pari. Di beberapa
pulau lain masih dalam gugusan Pulau Pari juga menawarkan pantai dengan pasir
putih seperti Pulau Tikus. Berikut diuraikan potensi wisata bahari utama yang
dapat ditemui di gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata.
7.1.1. Mangrove
Mangrove bersama padang lamun dan terumbu karang merupakan
ekosistem di wilayah tropis. Selain memiliki fungsi ekologis, mangrove
belakangan ini mulai meningkat dikunjungi sebagai tujuan ekowisata. Di gugusan
Pulau Pari, mangrove dapat ditemukan di empat pulau yakni Pulau Pari itu
sendiri, Pulau Burung, Pulau Tengah, dan Pulau Kongsi dengan keanekaragaman
jenis yang cukup tinggi. Total luas mangrove di gugusan Pulau Pari mencapai
18,9 ha. Hasil pengamatan mangrove dengan metode check-list menunjukkan
bahwa terdapat 30 jenis mangrove di gugusan Pulau Pari yang terdiri atas 11 jenis
mangrove sejati dan 19 jenis vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove atau
mangrove ikutan/palsu. Ditinjau dari keanekaragaman jenis mangrove baik jenis
mangrove sejati, maupun mangrove ikutan pada keempat pulau di Gugusan Pulau
74
Pari, maka Pulau Pari memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tertinggi,
yaitu 28 jenis (93,3 persen), disusul Pulau Tengah dengan 22 jenis (73,3 persen),
Pulau Kongsi dengan 11 jenis (36,7 persen) dan terendah Pulau Burung dengan 6
jenis (20 persen). Ditinjau dari presentasi kehadirannya, maka jenis mangrove
sejati, Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba merupakan jenis mangrove yang
memiliki nilai persentase kehadiran tertinggi (100 persen), disusul R. apiculata,
Lumnitzera racemosa dan Pemphis acidula dengan persentase kehadiran masing-
masing 75 persen. Dari jenis mangrove ikutan, Cerbera manghas merupakan jenis
dengan persentase kehairan tertinggi (100 persen), disusul oleh Morinda citrifolia,
Pandanus odoratissima, Pongamia pinnata, Stachitarpheta jamaicensis,
Terminalia catappa dan Thespesia populnea dengan persentase kehadiran masing-
masing 75 persen (Whouthuyzen et al. 2009).
Hasil pengamatan mangrove di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa
jumlah spesies mangrove baik mangrove sejati maupun ikutan yang teramati
cukup banyak namun kerapatan tegakannya tidak merata antara satu spesies
dengan spesies lain. Rhizopora stylosa sangat dominan sedangkan yang lainnya
sedikit sekali ditemukan. Dilihat dari kepadatan poon, walaupun Pulau Pari
memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tinggi namun kepadatan
pohonnya relatif rendah dibandingkan Pulau Burung yang memiliki kepadatan
tertinggi disusul oleh Pulau Tengah. Data basal area menunjukkan pula bahwa
mangrove yang ditemui di Pulau Pari memiliki pohon berukuran kecil, jika
dibandingkan dengan Pulau Kongsi yang memiliki ukuran pohon lebih besar
disusul Pulau Burung dan Pulau Tengah. Ditinjau dari kelebatan maka vegetasi
mangrove yang termasuk kategori cukup lebat hanya terdapat di Pulau Pari, Pulau
Tengah dan Pulau Burung, sedangkan di Pulau Kongsi mangrove hanya terdapat
di beberapa spot pada tepi pantau dengan lebar hanya beberapa meter saja, dan di
Pulau Tikus tidak terdapat mangrove dalam bentuk koloni melainkan hanya
beberapa batang pohon saja.
7.1.2. Terumbu Karang
Ekosistem khas tropis lainnya yang dapat menjadi objek wisata bahari di
gugusan Pulau Pari adalah terumbu karang. Gugusan Pulau Pari memiliki total
75
luas terumbu mencapai 172,4 ha. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Whouthuyzen et al. (2008) pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa
status terumbu karang berada dalam kategori sedang dan baik. Terumbu pada sisi
selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada pada kondisi yang lebih baik
dibanding sisi utara-baratnya. Kondisi terumbu karang di sisi utara barat
digambarkan di dua pulau yakni Pulau Kudus dan Pulau Tikus. Rataan terumbu di
Pulau Kudus memiliki jarak pendek dengan jarak dari pantai kurang lebih 300
meter, didominisi oleh dasar berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi
lamun dan makro algae. Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman
mencapai 15-20 meter. Koloni karang mulai ditemukan pada daerah belakang
tubir dan semakin berkembang pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalaman
10 meter. Total tutupan karang hidup di Pulau Kudus mencapai 41 persen
sehingga berada dalam kondisi sedang dengan tutupan tertinggi didominasi oleh
jenis non Acropora. Sementara itu di Pulau Tikus, rataan terumbu cukup luas
dengan panjang mencapai kurang lebih 700-800 meter dari pantai dengan dasar
berpasir dan subtrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan laut antara pulau
dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15 meter. Tubir dan
lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan kedalaman mencapai 20
meter. Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Tikus berada dalam kondisi
sedang dengan total tutupan karang hidup mencapai 32 persen yang didominasi
oleh jenis non Acropora.
Kondisi terumbu karang di sisi selatan-timur gugus Pulau Pari terwakili
oleh Pulau Pari sisi selatan dan timur. Pada sisi selatan Pulau Pari, rataan terumbu
cukup luas yang memiliki panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan
patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di
belakang tubir lebih didominasi oleh substart keras dari bongkahan karang mati
serta ada endapan patahan karang yang muncul ke permukaan saat air surut. Tubir
karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter.
Kondisi terumbu karang pada daerah ini berada dalam kondisi baik dengan total
tutupan karang mencapai 50 persen yang didominasi oleh jenis non Acropora. Di
sisi timur Pulau Pari, rataan terumbu tidak terlalu luas dengan panjang mencapai
300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan terumbu didominasi oleh pasir
76
dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makroalgae. Tubir karang tidak
jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20-25 meter. Tutupan
karang hidup di daerah ini merupakan yang tertinggi yaitu mencapai 55 persen
yang didominasi oleh jenis non Acropora, dengan demikian terumbunya berada
dalam kondisi baik. Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman jenis biota
karang di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tertinggi
tercatat sebanyak 187 jenis dari 59 genera yang diinventarisasi selama periode
1985-1994. Data terakhir yakni pada tahun 2008, tercatat keanekaragaman jenis
biota karang di gugusan Pulau Pari mencapai 135 jenis. Jenis-jenis biota karang di
gugusan Pulau Pari dapat dilihat pada uraian sub bab kesesuaian lahan.
7.1.3. Padang Lamun
Gugusan Pulau Pari dengan ekosistem khas tropis yang lengkap memiliki
padang lamun dengan luas mencapai 288,9 ha. Padang lamun tersebar di sekitar
garis pantai pulau-pulau yang berada di gugusan Pulau Pari yakni Pulau Pari,
Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Kongsi dan Pulau Tengah. Padang lamun di
gugusan Pulau Pari meskipun cukup luas, namun keanekeragamananya sedang.
Pada tahun 2009 tercatat hanya ada 5 jenis lamun yang terdapat di gugusan pulau
ini yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halopila ovalis, Siringodium
isoetifolium, dan Cymodocea rotundata dengan dominasi jenis adalah Enhalus
acoroides. Ditinjau dari frekuensinya, jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai
yang relatif tinggi di Pulau Burung Bagian Utara, Pulau Tengah dan Pulau Tikus,
sedangkan di lokasi lain yakni Pulau Burung bagian timur, barat dan Pulau
Kongsi nilainya lebih rendah.
7.1.4. Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove, Lamun dan Terumbu
Karang
Hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem
yang menjadi habitat bagi biota laut lainnya. Banyak biota laut berasosiasi dengan
ekosistem tersebut yang memiliki nilai ekonomis sebagai tangkapan penduduk
lokal maupun memiliki daya pikat yang tinggi yang dapat menarik wisatawan
77
untuk melihat maupun mempelajari lebih detail jenisnya. Jenis biota laut
berasosiasi dengan mangrove, lamun maupun terumbu karang yang dapat
dijumpai di gugusan Pulau Pari antara lain ikan karang, ekhinodermata dan
moluska. Jenis-jenis ikan karang yang dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari
telah diuraikan pada sub bab kesesuaian lahan.
Fauna yang tergolong dalam kelompok ekhinodermata di gugusan Pulau
Pari diantaranya adalah kelompok bintang laut, teripang, binatang mengular, bulu
babi dan lili laut. Pada rataan terumbu karang di beberapa lokasi di gugusan Pulau
Pari ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri : 1) bintang laut (7 jenis) yang
didominasi oleh sand dolar, 2) teripang (2 jenis) terdiri dari jenis Holuthuria atra
dan H. nobilis dengan H. atra merupakan jenis yang dominan, 3) Bintang
mengular (2 jenis) dengan jenis yang dominan adalah Synapta sp, 4) bulu babi (2
jenis) terdiri dari jenis Diadema setosum yang mendominasi dan Echinothrix.
Dilihat dari komposisi jenis ekhinodermata yang ada, bulu babi memiliki populasi
yang tinggi mencapai 5-241 individu per 20 m2. Dari dua lokasi yakni Pulau Tikus
dan Pulau Pari menunjukkan bahwa Pulau Tikus memiliki keanekaragaman fauna
ekhinodermata yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Pari. Biota lainnya yang
dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari adalah krustasea, moluska, spon dan
asedean. Pada tahun 2009 terdokumentasi 12 jenis kepiting dan 1 jenis udang-
udangan, 25 jenis gastropoda (kelompok keong-keongan), 23 jenis pelicipoda atau
bivalvia (kelompok kerang-kerangan). Spons dan asedean memiliki
keanekaragaman jenis yang cukup bervariasi, sedikitnya berhasil terdokumentasi
14 jenis spons dan 4 jenis asedean (Whouthuyzen et al. 2008, 2009).
7.2. Karakteristik Wisatawan
Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini
belakangan mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dibukanya pantai pasir
perawan yang berada di sisi timur dari Pulau Pari menjadikan lokasi ini menjadi
daya tarik utama bagi wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau
Pari berfluktuasi tiap bulannya. Pencatatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke
pulau ini mulai dilakukan oleh Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau
78
Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari
tersaji pada Gambar 9.
Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus
2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai
tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah
pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.
Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950
orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,
sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya
mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang
berkunjung ke Pulau Pari.
Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
April
1.212
3%
6%
6%15%
78
Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari
tersaji pada Gambar 9.
Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus
2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai
tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah
pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.
Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950
orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,
sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya
mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang
berkunjung ke Pulau Pari.
Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah
April Mei Juni Juli Agustus
1.2121.022 1.052 1.173
2.950
67%
15%
3%
Jakarta
Depok
Tangerang
Serpong
Bandung
Solo
78
Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari
tersaji pada Gambar 9.
Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus
2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai
tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah
pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan.
Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950
orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri,
sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya
mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang
berkunjung ke Pulau Pari.
Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah
Tangerang
Serpong
Bandung
79
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya berasal dari sekitar
Jakarta. Hasil penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan
sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berasal dari Jakarta
mencapai 67 persen. Pada saat penelitian dilakukan terdapat wisatawan yang
berasal dari luar Jakarta seperti dari Bandung dan Solo berturut-turut mencapai 15
persen dan 3 persen. Asal daerah wisatawan lainnya berasal dari Serpong,
Tangerang dan Depok. Wisatawan ke Pulau Pari umumnya datang bersama-sama
rombongan satu biro perjalanan berkisar 2-26 orang. Tujuan utama wisawatan
berkunjung ke Pulau Pari adalah untuk berekreasi dengan kegiatan rekreasi utama
yang dilakukan antara lain snorkeling, menikmati pantai dan bersepeda. Untuk
berekreasi di Pulau Pari, pengunjung umumnya menginap 1-2 malam.
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari dapat menggunakan berbagai
alternatif lokasi penyebrangan dan jenis transportasi. Hasil penelitian
menunjukkan mayoritas wisatawan menyebrang dari lokasi penyebrangan Muara
Angke-Jakarta dan Rawasaban-Tangerang. Lokasi penyebrangan yang menjadi
pilihan terbanyak pengunjung adalah dari Muara Angke-Jakarta meskipun dengan
lama tempuh di laut yang cukup lama dibandingkan dari Rawasaban-Tangerang.
Hal ini disebabkan wisatawan umumnya menggunakan jasa paket biro perjalanan
dan sebagian besar biro perjalanan tersebut memberangkatkan wisatawannya dari
Muara Angke-Jakarta yang lebih dikenal dibanding dermaga Rawasaban-
Tangerang. Dari daerah asal, wisatawan umumnya menggunakan kendaraan
umum untuk menuju lokasi penyebrangan yang kemudian melanjutkan perjalanan
sampai di Pulau Pari menggunakan kapal kayu.
Wisatawan yang menggunakan jasa biro perjalanan akan dikenakan tarif
harga paket wisata ke Pulau Pari antara Rp. 300.000,- sampai Rp. 475.000,- per
pengunjung untuk menginap 2 hari 1 malam. Tarif harga paket akan semakin
murah jika jumlah rombongan lebih banyak. Tarif yang dikenakan oleh biro
perjalanan ini umumnya sudah termasuk biaya transportasi kapal kayu, makan,
menginap, sepeda, snorkeling, barbeque dan guide. Wisatawan yang
menggunakan jasa ini berarti hanya akan mengeluarkan biaya untuk keperluan
pribadi selama di Pulau Pari. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan
selama berkunjung di Pulau Pari adalah sebesar Rp. 427.850,-. Biaya ini sudah
80
termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di
Pulau Pari.
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh
pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia
wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan
usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak
yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang
mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari
mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.
Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup
tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan
sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah
SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan
dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang
mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling
sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan
terendah yakni SMU mencapai 11 persen.
Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki
pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis
pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para
67%
80
termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di
Pulau Pari.
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh
pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia
wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan
usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak
yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang
mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari
mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.
Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup
tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan
sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah
SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan
dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang
mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling
sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan
terendah yakni SMU mencapai 11 persen.
Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki
pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis
pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para
11%
13%
67%
9%
SMU
D1/D3
S1
S2/S3
80
termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di
Pulau Pari.
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh
pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia
wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan
usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak
yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang
mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari
mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita.
Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada
Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup
tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan
sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah
SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan
dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang
mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling
sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan
terendah yakni SMU mencapai 11 persen.
Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki
pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis
pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para
81
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.
Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta
mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta
adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha
mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari
adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari
jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-
sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau
Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.
Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari
7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari
Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat
dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang
membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut
menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk
wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh
wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan
yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)
produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa
sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan
terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.
Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek
11%
81
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.
Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta
mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta
adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha
mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari
adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari
jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-
sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau
Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.
Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari
7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari
Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat
dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang
membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut
menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk
wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh
wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan
yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)
produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa
sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan
terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.
Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek
4% 2%
72%
7% 4%PNS
BUMN
Swasta
Wirausaha
Pelajar
Lainnya
81
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta.
Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta
mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta
adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha
mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari
adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari
jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,-
sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau
Pari sebesar Rp. 3.850.000,-.
Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari
7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari
Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat
dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang
membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut
menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk
wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh
wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan
yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi)
produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa
sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan
terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui.
Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek
BUMN
Swasta
Wirausaha
Pelajar
Lainnya
82
wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan
yang akan berkunjung ke Pulau Pari.
Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,
panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh
pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan
lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan
panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11
persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi
objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi
timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka
oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai
lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di
sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir
putih.
Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata
Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari
terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau
tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut
merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Panoramabawah laut
82
wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan
yang akan berkunjung ke Pulau Pari.
Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,
panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh
pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan
lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan
panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11
persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi
objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi
timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka
oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai
lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di
sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir
putih.
Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata
Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari
terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau
tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut
merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari
Pantai Mangrove
Sangat Buruk
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
82
wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan
yang akan berkunjung ke Pulau Pari.
Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai,
panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh
pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan
lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan
panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11
persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi
objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi
timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka
oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai
lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di
sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir
putih.
Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata
Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari
terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau
tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut
merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari
Sangat Buruk
Sedang
Sangat Baik
83
wisatawan. Demikian pula, aktivitas menikmati pantai dan panorama bawah laut
merupakan dua aktivitas utama yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan.
Aktivitas yang banyak dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari adalah snorkeling,
dimana sebanyak 94 persen wisatawan melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas
menikmati pantai merupakan aktivitas terbanyak kedua yang dilakukan oleh
wisatawan di Pulau Pari. Sebanyak 87 persen wisatawan mengemukakan bahwa
menikmati panti merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan selama di Pulau
Pari. Aktivitas lainnya yang dilakukan juga oleh wisatawan selama berwisata di
Pulau Pari diantaranya bersepeda (dilakukan oleh 68 persen wisatawan),
berperahu (dilakukan oleh 23 persen wisatawan), memancing (dilakukan oleh 9
persen wisatawan).
Hasil perhitungan nilai daya dukung fisik kawasan di Pulau Pari untuk
kegiatan wisata pantai maupun snorkeling sebagai aktivitas terbanyak yang
dilakukan oleh wisatawan menunjukkan bahwa pemanfaatan saat ini masih di
bawah nilai daya dukung fisiknya. Apabila pemanfaatan potensi Pulau Pari untuk
kegiatan wisata pantai atau snorkeling akan ditingkatkan sampai dengan batas
nilai daya dukung fisiknya maka perlu diiringi peningkatan pra sarana dan sarana
pendukung wisata di Pulau Pari. Peningkatan tersebut terutama pada atribut pra
sarana dan sarana yang masih dinilai buruk oleh pengunjung atau yang tidak
tersedia. Empat pra sarana dan sarana utama yang mendapatkan penilaian buruk
oleh wisatawan yakni penunjuk arah, toilet, toko cenderamata dan informasi (lihat
Gambar 14). Penunjuk arah mendapatkan penilaian buruk terbanyak dari
pengunjung. Penunjuk arah dinilai buruk oleh sebanyak 32 persen pengunjung
sedangkan toilet, toko cinderamata dan informasi dinilai buruk berturut-turut oleh
sebanyak 24 persen, 21 persen dan 19 persen pengunjung. Adapun pra sarana dan
sarana yang dinilai tidak tersedia menurut pengunjung antara lain toko
cinderamata, tempat sampah, dan penyewaan peralatan selam.
84
Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke
Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung
seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di
beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-
toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk
ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan
menambah kenyamanan bagi wisatawan.
Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,
faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan
pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam
pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti
akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian
buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal
dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap
harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di
Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang
pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari
kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
84
Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke
Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung
seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di
beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-
toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk
ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan
menambah kenyamanan bagi wisatawan.
Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,
faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan
pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam
pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti
akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian
buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal
dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap
harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di
Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang
pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari
kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut
Tidak Tersedia
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
84
Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Saranadi Pulau Pari
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke
Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung
seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di
beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti toko-
toko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk
ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan
menambah kenyamanan bagi wisatawan.
Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas,
faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan
pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam
pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya
mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti
akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian
buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal
dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap
harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di
Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang
pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari
kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut
Tidak Tersedia
Sangat Baik
85
waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah
wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.
Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas
7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan
Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan
kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi
permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui
proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.
Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan
fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan
terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi
tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan
untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama
menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang
dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju
lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model
permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-
log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear
0%
20%
40%
60%
80%
100%
85
waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah
wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.
Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas
7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan
Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan
kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi
permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui
proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.
Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan
fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan
terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi
tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan
untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama
menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang
dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju
lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model
permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-
log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
85
waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah
wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.
Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan,Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas
7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan
Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan
kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi
permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui
proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai.
Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan
fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan
terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi
tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan
untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama
menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang
dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju
lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model
permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan double-
log. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
86
sederhana atau Ordinary Least Square (OLS) dengan bantuan program Minitab 15
dan Microsoft Excel 2007. Untuk mendapatkan model yang terbaik maka kedua
model tersebut dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat
apakah estimasi parameter benar-benar sesuai dengan teori dan memuaskan secara
statistik. Uji asumsi dari model regresi linear digunakan untuk menentukan model
terbaik yakni uji normalitas regresi, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan
autokorelasi. Hasil uji asumsi dari model regresi linear pada dua model tersebut
ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear
Uji Asumsi Jenis Uji Nilai Hasil Uji Model Kesimpulan Ujiterhadap Asumsi
Linear Double-log Linear Double-logNormalitas Kolomogorov
SmirnovP-value=0,065 P-value<0,01 Terpenuhi Tidak
terpenuhi
Multikoline-aritas
VIF VIF=1,219-2,461 VIF=1,346-2,535 Terpenuhi Terpenuhi
Hetero-skedastisitas
Glesjer P-value=0,084 P-value=0,160 Terpenuhi Terpenuhi
Autokorelasi DurbinWatson
DW=2,27351 DW= 2,56828 Terpenuhi terpenuhi
Hasil uji asumsi model regresi linear seperti yang terlihat pada Tabel 14
menunjukkan bahwa dari keempat jenis uji asumsi yang dilakukan hanya model
linear yang memenuhi keempat asumsi model regresi linear. Model double-log
memenuhi asumsi model regresi linear kecuali untuk uji normalitas. Hasil uji
normalitas pada model double-log menunjukan bahwa sisaan dari model tersebut
tidak menyebar normal sehingga apabila model ini digunakan untuk menduga
dengan metode OLS maka menghasilkan dugaan parameter yang bersifat bias
dimana rata-rata dari semua kemungkinan dugaan tidak sama dengan nilai
parameter atau sebenarnya. Jika asumsi-asumsi model regresi lienar tidak
terpenuhi maka penduga OLS tidak bersifat BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator).
Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model linear merupakan model
yang terbaik untuk menduga fungsi permintaan wisata bahari di Pulau Pari.
87
Fungsi permintaan yang diperoleh adalah tingkat kunjungan wisatawan (V) yang
dalam hal ini frekuensi kunjungan (sebagai variabel tidak bebas) dipengaruhi oleh
variabel bebas seperti biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan untuk
alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama menginap
(X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang dihabiskan
untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi
alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Dengan
menggunakan regresi linear sederhana diperoleh model fungsi permintaan wisata
bahari ke Pulau Pari yaitu := 1,5551936 − 9,53489E − 07 X − 4,78448E − 08 X − 0,014464442 X+0,398488341 X − 6,02852E − 05 X − 0,003624112 X +0,00052631 X + 0,007890149 X − 0,029104889 X−2,75774E − 08 X ................................................................................ (7.1)
Hasil pemodelan regresi linear sederhana menggunakan Program
Microsoft Excel menunjukan bahwa fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari
memiliki nilai signifikansi F sebesar 0,002499911 yang artinya model signifikan
dengan tingkat kepercayaan 5 persen. Tingkat signifikansi model ditunjukan oleh
nilai R-square. Fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari memiliki nilai R-
square sebesar 0,654727101, yang dapat diartikan bahwa variabel tidak bebas
yakni tingkat kunjungan dapat dijelaskan oleh kesepuluh variabel bebas sebesar
65,47 persen sedangkan sisanya sebesar 34,53 persen dijelaskan oleh variabel
lainnya di luar model. Adapun hasil estimasi parameter dari model permintaan
wisata bahari Pulau Pari ditunjukkan oleh Tabel 15.
88
Tabel 15 Hasil Estimasi Parameter Model Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari
Variabel Koefisien t Stat P-valueIntercept 1,5551936 2,3086177 0,03074298X1
a -9,535E-07 -2,3686972 0,02705268X2
c -4,784E-08 -1,4756464 0,15420869X3
b -0,0144644 -1,6419997 0,11480901X4
a 0,39848834 2,7946296 0,01056357X5 -6,029E-05 -0,0549217 0,95669659X6
b -0,0036241 -1,7734370 0,09000167X7 0,00052631 0,9081339 0,37364855X8 0,00789015 0,5001765 0,62191727X9 -0,0291049 -0,7288623 0,47377422X10 -2,758E-08 -0,9614766 0,34676195
Keterangan : tanda a, b dan c menunjukkan taraf nyata koefisien regresi masing-masingvariabel berturut-turut pada α = 5%, 10% dan 20%
Hasil estimasi parameter dari model permintaan wisata bahari di Pulau
Pari pada Tabel 15 menunjukkan bahwa hanya beberapa parameter saja yang
mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Pari. Pada taraf nyata 5
persen hanya dua variabel saja yang mempengaruhi tingkat kunjungan yakni biaya
yang dikeluarkan (X1) dan lama menginap (X4) , sedangkan pada taraf nyata 10
persen variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisata bahari di
Pulau Pari adalah biaya yang dikeluarkan (X1), jumlah rombongan (X3), lama
menginap (X4), dan waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6). Pada
taraf nyata 20 persen selain variabel X1, X3, X4, dan X6, tingkat kunjungan juga
dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan untuk alternatif kunjungan ke tempat
lain (X2). Dari hasil estimasi fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari
menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu
yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9),
dan pendapatan (X10) tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kunjungan pada
taraf nyata 20 persen.
Kelima variabel yang berpengaruh nyata (α=5%) pada tingkat kunjungan
hanya variabel X4 yakni lama menginap yang berpengaruh positif, sedangkan
keempat variabel lain yakni X1, X2, X3, dan X6 berpengaruh negatif terhadap
tingkat kunjungan. Nilai koefisien X4 positif artinya semakin lama menginap
89
maka semakin tinggi tingkat kunjungan. Nilai koefisien dari variabel biaya yang
dikeluarkan (X1) menunjukkan negatif artinya semakin tinggi biaya yang
dikeluarkan maka semakin berkurang frekuensi kunjungan wisata. Variabel
berikutnya yang memiliki nilai koefisien negatif adalah X3 dan X6. Nilai koefisien
varibel X3 dan X6 menunjukkan nilai negatif artinya semakin banyak rombongan
maka frekuensi kunjungan akan semakin rendah dan semakin lama waktu yang
dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari maka semakin rendah tingkat kunjungan.
Varibel lain yang berpengaruh negatif adalah X2 yakni biaya yang
dikeluarkan untuk menuju ke lokasi alternatif lain. Nilai koefisien dari variabel X2
menunjukkan nilai negatif artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk
menuju ke lokasi alternatif tersebut maka semakin rendah tingkat kunjungan ke
Pulau Pari. Variabel X2 yang berpengaruh negatif bertentangan dengan asas
manfaat ekonomi dimana kecenderungan orang akan memilih biaya yang rendah
untuk berwisata, sehingga semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan
untuk ke lokasi alternatif maka wisatawan cenderung tidak akan memilih lokasi
wisata alternatif tersebut. Hal ini diduga oleh faktor kepuasan dan preferensi dari
wisatawan terhadap objek wisata, sehingga meskipun biaya yang dikeluarkan
mahal tapi jika memberikan/mendapatkan kepuasan, wisatawan akan tetap
melakukan perjalanan wisata ke lokasi alternatif tersebut. Dugaan ini dibuktikan
pula dari variabel tingkat pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat kunjungan wisatawan atau dengan kata lain tingkat kunjungan wisatawan
ke suatu lokasi tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dari wisatawan tersebut.
7.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari
Persamaan permintaan wisata bahari Pulau Pari yang diperoleh
sebelumnya digunakan untuk menghitung nilai ekonomi (economic value) dari
keberadaan objek wisata. Nilai Ekonomi dari keberadaan wisata bahari di Pulau
Pari diestimasi dengan menggunakan nilai surplus konsumen. Nilai ekonomi total
wisata bahari diestimasi dengan mengkalikan nilai suprlus konsumen rata-rata
individu dengan total kunjungan pada tahun tertentu. Hasil estimasi parameter
surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 16.
90
Tabel 16 Hasil Estimasi Surplus Konsumen
Keterangan Nilai EstimasiJumlah Kunjungan (orang/tahun)a 17.784,00Luas wilayah (ha)b 64,30Surplus konsumen rata-rata individu 695.334,25Total surplus konsumen dalam 1 tahun 12.365.824.221,25Total surplus konsumen dalam 1 tahun per hektar 192.314.529,10
Keterangan :a) Rata-rata jumlah pengunjung selama April-Agustus 2012 sebesar 1.482 orangdikalikan dengan 12 bulanb) Luas daratan (Whouthuyzen et al. 2009)
Hasil estimasi surplus konsumen seperti yang terlihat pada Tabel 15
menunjukkan bahwa surplus konsumen rata-rata individu sebesar Rp. 695.334,25.
Jumlah kunjungan per tahun diestimasi dari data Forum Pemuda Wisata Pesisir
(FORSIR) Pulau Pari yang baru melakukan pencatatan pada bulan April 2012
dengan total kunjungan rata-rata per bulannya selama bulan April sampai
September 2012 mencapai 1.482 orang sehingga total dalam satu tahun mencapai
17.784 orang. Dengan total kunjungan sebanyak tersebut maka total surplus
konsumen (nilai ekonomi total) untuk wisata bahari di Pulau Pari mencapai Rp.
12.365.824.221,25,- atau Rp. 192.314.529,10 per hektar per tahun.
Nilai ekonomi total dari adanya wisata bahari di Pulau Pari tersebut
merupakan nilai dari perhitungan jumlah aktual pengunjung yang datang
berdasarkan data FORSIR. Pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari masih
memberikan peluang untuk ditingkatkan. Pemanfaatan tersebut disesuaikan
dengan penilaian dan aktivitas yang sering dilakukan oleh wisatawan serta nilai
daya dukung fisik kawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, pantai merupakan
objek wisata yang mendapatkan penilaian sangat baik tertinggi dari pengunjung
dan aktivitas menikmati pantai merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh
pengunjung di Pulau Pari. Nilai daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk
kegiatan wisata pantai sebesar 2.572 orang/hari. Jika diasumsikan bahwa tiap
akhir pekan (sabtu-minggu) wisatawan datang hanya untuk menikmati pantai
maka dalam satu bulan jumlah pengunjung maksimal yang dapat ditampung
sebanyak 20.576 orang. Jumlah pengunjung potensial tersebut memberikan nilai
ekonomi total sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp.
91
2.670.083.520,- per hektar per tahun. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila
pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari (khususnya pantai) akan ditingkatkan
sampai dengan batas nilai daya dukungnya maka pemanfaatan tersebut akan
berpotensi memberikan nilai ekonomi total lebih besar. Potensi nilai ekonomi
total tersebut akan diperoleh jika diiringi dengan peningkatan pra sarana dan
sarana pendukung serta faktor-faktor lain seperti diuraikan pada pembahasan
sebelumnya.
VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP
MASYARAKAT LOKAL
Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah
mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk
menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa
efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak
hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat
yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber
penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan
pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata
pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari
maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.
Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari
Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat
Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58
persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan
mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden
menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.
Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang
beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai
pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.
Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya
VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP
MASYARAKAT LOKAL
Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah
mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk
menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa
efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak
hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat
yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber
penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan
pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata
pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari
maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.
Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari
Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat
Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58
persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan
mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden
menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.
Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang
beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai
pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.
Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya
58%
42%Utama
Sampingan
VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP
MASYARAKAT LOKAL
Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah
mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk
menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa
efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak
hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat
yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber
penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan
pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata
pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari
maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.
Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalamWisata Bahari
Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat
Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58
persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan
mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden
menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan.
Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang
beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai
pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain.
Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya
Sampingan
93
responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha
di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.
Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari
Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti
yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan
profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang
wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden
sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen
sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan
bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari
dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena
penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung
pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai
nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta
susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang
wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata
bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di
Jabodetabek.
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di
Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang
berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun
25%
25%
93
responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha
di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.
Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari
Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti
yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan
profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang
wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden
sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen
sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan
bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari
dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena
penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung
pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai
nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta
susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang
wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata
bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di
Jabodetabek.
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di
Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang
berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun
50%25%
25%Pembudidayarumput laut
Nelayan
Lainnya
93
responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha
di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.
Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusahadi Bidang Wisata Bahari
Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti
yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan
profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang
wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden
sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen
sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan
bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari
dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena
penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung
pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai
nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta
susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang
wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata
bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di
Jabodetabek.
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di
Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009).
Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang
berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun
94
dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari tercipta dari aliran uang dari
transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di Pulau Pari.
Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya
diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat, transportasi
lokal, souvernir maupun jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini dapat dipenuhi
oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka terjadi transaksi
ekonomi antara pendatang (wisatawan) dengan masyarakat lokal. Artinya terjadi
aliran uang dari luar pulau ke dalam pulau. Jika hal ini terjadi terus menerus dan
memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal, maka tercipta manfaat
ekonomi bagi masyarakat lokal dari kegiatan wisata namun sayangnya tidak
semua pengeluaran wisatawan dinikmati oleh masyarakat lokal.
Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa tidak semua
pengeluaran wisatawan sampai ke lokasi objek wisata di Pulau Pari. Hal tersebut
disebabkan oleh mayoritas wisatawan yang datang ke Pulau Pari umumnya
menggunakan jasa biro perjalanan dengan membeli harga paket yang ditawarkan
oleh biro perjalanan tersebut. Harga paket wisata yang ditawarkan oleh biro
perjalanan relatif beragam tergantung jumlah rombongan. Semakin banyak
rombongan semakin murah harga paket wisatanya. Harga paket yang ditawarkan
oleh biro perjalanan umumnya berkisar antara Rp. 300.000,- sampai dengan Rp.
475.000,- per orang untuk paket menginap 1 malam. Biro perjalanan selanjutnya
akan melempar tamunya tersebut ke operator di Pulau Pari untuk melaksanakan
kegiatan wisata bahari sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan dalam harga paket.
Operator di Pulau Pari yang merupakan penduduk lokal akan menyiasati budget
yakni harga paket yang sudah diambil keuntungan sebelumnya oleh biro
perjalanan di Jakarta dengan memberikan fasilitas-fasilitas sesuai yang ditawarkan
dalam harga paket tersebut. Perkiraan komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari
terlihat pada Tabel 17.
95
Tabel 17 Perkiraan Komponen Biaya Paket Wisata ke Pulau Pari (per Orang)
Keterangan Biaya (Rp) Proporsi*
Sepeda 15.000 4%Alat snorkeling 25.000 7%Konsumsi makan 50.000 14%Barbeque 10.000 3%Penginapan 50.000 14%Jasa pemandu (guide) 15.000 4%Kapal snorkeling 20.000 6%Kapal dari Jakarta 60.000 17%Tarif masuk pantai pasir perawan 3.500 1%Total biaya pengeluaran per wisatawan 248.500 71%Pendapatan operator wisata di Pulau Pari 21.500 6%Pendapatan biro jasa wisata di Jakarta 80.000 23%Harga Paket 2 hari 1 malam 350.000 100%
Keterangan : *) proporsi terhadap harga paket wisata ke Pulau Pari untuk 2 hari 1 malam
Komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari per orang seperti yang terlihat
pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa total biaya pengeluaran per wisatawan
untuk 2 hari 1 malam sebesar Rp. 248.500,-. Total biaya pengeluaran ini
menunjukkan bahwa tidak semua pengeluaran terjadi di Pulau Pari, terdapat biaya
pengeluaran yang terjadi di lokasi maupun di luar Pulau Pari. Adapun biaya
pengeluaran dari wisatawan yang sampai di lokasi Pulau Pari sebesar 53 persen
yang meliputi biaya pengeluaran untuk sepeda, alat snorkeling, konsumsi makan,
barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan kapal snorkeling. Transaksi ini
belum ditambah dengan transaksi lain yang sampai pula ke Pulau Pari yakni tarif
masuk ke Pantai Pasir Perawan sebesar 1 persen dan marjin keuntungan sebesar 6
persen yang merupakan pendapatan dari masyarakat Pulau Pari yang berprofesi
sebagai operator wisata bahari.
Pendapatan yang diterima oleh masyarakat Pulau Pari sebagai operator
wisata bahari tergantung dari jumlah pengunjung yang ditangani. Hasil
wawancara dengan operator wisata di Pulau Pari menyatakan bahwa umumnya
mereka akan menerima lemparan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta
pada harga kisaran Rp. 270.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-. Oleh karena itu
dengan asumsi harga paket yang ditawarkan per orangnya sebesar Rp. 350.000,-
dan operator wisata di Pulau Pari menerima lemparan wisatawan dari biro
96
perjalanan di Jakarta minimal pada harga Rp. 270.000,- maka dengan komponen
biaya pengeluaran pada Tabel 17, operator wisata akan memperoleh pendapatan
sebesar Rp. 21.500,- per wisatawan atau sebesar 6 persen. Uraian di atas
menyimpulkan bahwa transaksi yang terjadi di Pulau Pari mencapai sebesar 60
persen yang terdiri atas 53 persen transaksi berupa pengeluaran untuk sepeda, alat
snorkeling, konsumsi makan, barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan
kapal snorkeling; 6 persen pendapatan bagi operator wisata, dan 1 persen sebagai
tarif masuk ke pasir perawan yang digunakan untuk kebersihan dan pembenahan
fasilitas di pantai pasir perawan. Transaksi ini belum termasuk pengeluaran
pembelian souvenir oleh para wisatawan (yang besarnya tergantung masing-
masing wisatawan) maupun pengeluaran lainnya seperti sewa sampan.
Secara umum, dilihat dari proporsi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan
untuk berekreasi menunjukkan sebesar 40 persen terjadi di luar Pulau Pari.
Transaksi ini merupakan transaksi berupa pengeluaran untuk transportasi kapal
kayu dari Jakarta menuju ke Pulau Pari dan pendapatan yang diterima oleh biro
perjalanan wisata di Jakarta. Biaya transportasi kapal kayu dari Jakarta menuju
Pulau Pari sebesar Rp. 60.000,- atau mencapai 17 persen dari harga paket wisata
yang ditawarkan yakni sebesar Rp. 350.000,- per orang. Biro perjalanan
kebanyakan memberangkatkan wisatawannya dari Muara Angke-Jakarta sehingga
transaksi ini menjadi pemasukan bagi kapal kayu yang umumnya dioperasikan
oleh pemilik kapal dari pulau lain di Kepulauan Seribu. Komponen biaya
pengeluaraan wisatawan lainnya yang terjadi di luar Pulau adalah sebagai
pendapatan dari biro perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata memperoleh
pendapatan sebesar 23 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan sebesar
Rp. 350.000 per orang. Dilihat dari besarnya, maka pendapatan biro perjalanan
wisata bahari di Jakarta lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan yang
diperoleh oleh operator wisata di Pulau Pari yang hanya sebesar 6 persen dari
harga paket wisata yang ditawarkan (dengan asumsi harga paket yang ditawarkan
adalah Rp. 350.000,- per orang). Transaksi-transaksi yang terjadi di luar Pulau ini
belum ditambah dengan biaya transportasi dari masing-masing asal daerah
wisatawan yang besarnya tergantung dari jarak dan jenis transportasi yang
digunakan.
97
8.1. Dampak Ekonomi Langsung
Dampak ekonomi langsung dari kegiatan wisata bahari adalah perubahan
yang berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan.
Dampak ekonomi langsung merupakan manfaat yang langsung dirasakan oleh
masyarakat berupa pendapatan yang diterima dari transaksi pengeluaran
wisatawan. Ketika wisatawan mengeluarkan sejumlah uang untuk melakukan
permintaan terhadap produk dan jasa di tingkat lokal maka pada akhirnya akan
menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal yang menyediakan berbagai
pemenuhan kebutuhan para wisatawan di lokasi tersebut.
Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan
langsung oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan
pemilik dari unit usaha di Pulau Pari. Unit usaha yang ada di Pulau Pari
merupakan pihak penerima dampak langsung dari pengeluaran wisatawan.
Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah menciptakan aktivitas ekonomi dari
aliran uang yang berasal dari wisatawan. Aliran uang tersebut memberikan
dampak ekonomi dari transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di
Pulau Pari. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan
wisatanya diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat,
transportasi lokal, souvenir. Berbagai kebutuhan tersebut telah memunculkan unit-
unit usaha yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat Pulau Pari. Unit-unit
usaha tersebut umumnya hanya beroperasi pada akhir pekan (sabtu-minggu) dan
hari libur nasional mengingat hanya pada akhir pekan dan hari libur nasional
sajalah wisatawan banyak yang berkunjung ke Pulau Pari.
Berdasarkan persentase pengeluaran wisatawan di lokasi maka dapat
diperkirakan besarnya perputaran uang yang terjadi di dalam Pulau, khususnya
pada akhir pekan. Data yang tercatat oleh FORSIR Pulau Pari menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah pengunjung setiap bulannya mencapai 1.482 orang. Hasil
penelitian menunjukkan pengeluaran rata-rata wisatawan untuk satu kali
kunjungan adalah Rp. 427.848 per orang. Jika rata-rata jumlah pengunjung pada
akhir pekan adalah 371 orang maka total pengeluaran wisatawan sekitar Rp.
158.517.684,- dimana sekitar 60 persennya atau mencapai Rp. 95.110.610,-
merupakan perputaran uang terjadi di dalam pulau dan sisanya sekitar 40 persen
98
atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan perputaran uang yang terjadi di luar
pulau. Perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan akan jauh
lebih besar jika pemanfaataan wisata bahari di Pulau Pari ditingkatkan sampai
dengan batas nilai daya dukung fisiknya. Dari nilai daya dukung fisik wisata
pantai (sebagai objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertinggi dari
pengunjung) misalnya, menunjukkan jumlah wisatawan per pekan yang dapat
ditampung adalah sebanyak 5.144 orang. Dengan jumlah tersebut maka
perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan adalah sebesar
Rp. 2.200.850.112,- setiap pekannya dimana sebesar 60 persen atau Rp.
1.320.510.067,2 terjadi di lokasi Pulau Pari Pari dan sisanya sebesar 40 persen
atau Rp. 880.340.044,8 terjadi di luar lokasi Pulau Pari.
Tingginya perputaran uang yang terjadi membuka peluang usaha bagi
masyarakat lokal. Khususnya masyarakat lokal bermodal yang berinisiatif untuk
membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan wisatawan. Jumlah
pengunjung yang terus meningkat untuk melakukan kegiatan wisata bahari di
Pulau Pari menarik masyarakat lokal menyediakan hunian atau homestay bagi
wisatawan yang menginap. Sebelum kegiatan wisata bahari berkembang di Pulau
Pari akhir-akhir ini, hanya terdapat penginapan yang merupakan fasilitas milik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Umumnya yang menggunakan
fasilitas penginapan milik LIPI adalah mahasiswa dari perguruan tinggi maupun
peneliti yang akan melakukan penelitian di Pulau Pari. Data yang dihimpun oleh
FORSIR Pulau Pari sampai dengan bulan September 2012, di Pulau Pari terdapat
sebanyak 49 unit homestay terbagi atas 23 AC dan 26 non-AC yang dimiliki oleh
46 orang penduduk Pulau Pari. Homestay-homestay ini mayoritas merupakan
rumah penduduk yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai penginapan untuk
wisatawan. Jika pada akhir pekan maupun libur nasional rumah tersebut
disewakan sebagai penginapan maka pemilik beserta keluarga yang menghuni
akan keluar rumah dan menggunakan dapur atau halaman luar di belakang
rumahnya maupun menumpang ke rumah saudara sebagai tempat sementara untuk
tidur. Gambar 18 menunjukkan sebaran jumlah homestay di lingkungan RT Pulau
Pari menurut jenis dan pemilik.
99
Gambar 18 Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurut Jenisdan Jumlah Pemilik
Sebaran homestay di Pulau Pari seperti yang terlihat pada Gambar 11
menunjukkan bahwa jumlah homestay ber-AC lebih sedikit dibandingkan
homestay non-AC. Jumlah homestay terbanyak terdapat di lingkungan RT 02
yakni mencapai 19 homestay yang dimiliki oleh 17 orang pemilik dan terdiri dari
9 homestay non-AC dan 10 ber-AC, sedangkan jumlah homestay paling sedikit
berada di lingkungan RT 4 yang hanya dimiliki oleh 4 orang pemilik dan terdiri
dari 3 homestay non-AC dan 1 homestay ber-AC. Harga tarif homestay di Pulau
Pari bervariasi per malamnya tergantung dari tipe dan jumlah orang yang
menghuni homestay tersebut. Untuk homestay yang ber-AC tarifnya berkisar
antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 700.000,- per malam, sedangkan untuk homestay
yang non-AC tarifnya berkisar antara Rp. 300.000 sampai Rp. 350.000,- per
malam.
Homestay di Pulau Pari umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang
rumahnya sudah permanen dan layak untuk disewakan ke wisatawan. Untuk
menyewakan rumahnya menjadi homestay, penduduk lokal umumnya hanya
mengeluarkan modal untuk menambahkan pendingin ruang berupa AC maupun
kipas angin. Komponen biaya operasional tiap bulannya berupa biaya voucher
listrik, air dan pembelian peralatan kebersihan rumah seperti pengharum ruangan,
cairan pembersih kamar mandi, lantai ataupun lainnya. Selain pengeluaran
tersebut, pemilik homestay diwajibkan membayar iuran kepada FORSIR setiap
rumahnya dihuni oleh wisatawan. Besaran iuran yang dibayarkan tersebut adalah
sebesar Rp. 15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik homestay tidak
8 96
3
26
310 9
1
23
1017 15
4
46
0
10
20
30
40
50
RT 01 RT 02 RT 03 RT 04 Total
non-AC
AC
Pemilik
100
mengeluarkan biaya untuk membayar tenaga kerja sebab pada umumnya pemilik
homestay sendiri yang akan membersihkan dan menyiapkan rumahnya untuk siap
disewakan kepada wisatawan. Umumnya pemilik homestay ini juga memiliki unit
usaha lain di luar penyewaan homestay seperti penyewaan peralatan snorkeling,
kapal, dan catering.
Aktivitas wisata bahari di Pulau Pari telah memunculkan unit usaha untuk
kegiatan wisatawan yakni penyewaan kapal. Unit usaha penyewaan kapal yang
ada di Pulau Pari diantaranya adalah penyewaan kapal untuk snorkeling, kapal
untuk water sport (banana boat) dan perahu sampan untuk berkeliling antar
pulau. Unit usaha ini pada umumnya diusahakan oleh penduduk Pulau Pari yang
sebelumnya telah memiliki kapal. Penduduk pulau yang memiliki kapal
memanfaatkan peluang dari wisata bahari dengan menyewakan kapalnya untuk
keperluan kegiatan wisata bahari para wisatawan di Pulau Pari. Jumlah unit usaha
penyewaan kapal di Pulau Pari terdiri dari 20 unit kapal untuk snorkeling, 2 unit
kapal untuk water sport (banana boat), dan 10 unit sampan untuk berperahu
menjelajahi pulau-pulau di gugusan Pulau Pari.
Pemilik unit usaha kapal mendapatkan pendapatan dari penyewaan kapal.
Kapal yang disewakan untuk kegiatan snorkeling dari pukul 13.00 sampai dengan
pukul 17.00 dihargai Rp. 300.000,- sampai Rp. 600.000,- tergantung kapasitas
muatan kapal. Wisatawan yang akan melakukan water sport akan dikenakan tarif
Rp. 35.000,- per orang untuk satu kali permainan, sedangkan wisatawan yang
hendak berkeliling pulau-pulau di gugusan Pulau Pari akan dikenakan tarif Rp.
30.000,- per sampan dengan kapasitas sampan maksimal 6 orang. Adapun
komponen biaya yang dikeluarkan oleh pemilik unit usaha ini diantaranya adalah
biaya bahan bakar, biaya perawatan mesin dan kapal, dan iuran wajib ke FORSIR.
Bahan bakar yang dibutuhkan untuk sekali snorkeling adalah sebanyak 10-15
liter, sehingga dengan harga bahan bakar mencapai Rp. 6.000,- pemilik unit usaha
ini akan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 90.000,- (untuk 15 liter bahan bakar per
sekali snorkeling). Sementara itu, pemilik unit usaha water sport mengeluarkan
biaya bahan bakar sebanyak 30 liter untuk operasional kapal banana boat dalam
satu hari atau senilai Rp. 180.000,-. Biaya perawatan mesin dan kapal meliputi
biaya ganti oli 3 bulan sekali sebanyak 10 liter atau senilai Rp. 280.000,- dan
101
biaya pengecatan kapal 3 kali dalam setahun senilai Rp. 700.000,- per sekali
pengecatan. Iuran wajib dibayarkan kepada FORSIR dari jenis unit usaha
penyewaan kapal berbeda-beda. Pemilik kapal yang digunakan untuk snorkeling
akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- per
kapal untuk sekali snorkeling, sedangkan pemilik usaha water sport (banana
boat) akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang dan pemilik sampan
akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per sampan untuk sekali jalan.
Unit usaha lain sebagai dampak ekonomi langsung dari adanya aktivitas
wisatawan di Pulau Pari adalah jasa penyewaan alat seperti alat snorkeling, dan
sepeda. Di Pulau Pari terdapat sebanyak 20 orang yang memiliki usaha
penyewaan sepeda dan 15 orang pemilik usaha penyewaan alat snorkeling. Alat-
alat yang disewakan oleh pemilik usaha penyewaan alat snorkeling adalah berupa
satu set alat yang terdiri dari snorkel, fin dan leafjacket. Alat snorkeling
disewakan dengan tarif berkisar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- per set
sedangkan sepeda disewakan dengan tarif Rp. 15.000,- per sepeda. Saat penelitian
ini dilakukan belum terlihat penduduk lokal yang menyediakan penyewaan alat
diving. Komponen biaya yang dikeluarkan untuk pemilik unit usaha penyewaan
alat snorkeling umumnya tidak ada. Perawatan hanya dilakukan dengan
membersihkan menggunakan air tawar setelah digunakan. Jika ada alat snorkeling
yang hilang itupun menjadi tanggungjawab wisatawan. Berbeda dengan pemilik
alat snorkeling, pemilik sepeda harus mengeluarkan biaya ekstra mengingat
sepeda yang rentan korosi akibat air asin dan jika terdapat kerusakan akibat
pemakaian oleh wisatawan maka wisatawan tidak dikenakan biaya. Pemilik
sepeda akan mengeluarkan biaya perawatan berupa penggantian spare part yang
berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 165.000,- tiap bulannya. Sama
halnya dengan pemilik unit usaha lain, pemilik alat snorkeling juga dikenakan
iuran wajib ke FORSIR yang besarnya Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling
per sekali pakai, namun untuk pemilik sepeda tidak dikenakan iuran wajib oleh
FORSIR mengingat banyak biaya pengeluaran untuk perbaikan dan perawatan
oleh pemilik sepeda.
Adanya wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari memberikan peluang
ekonomi untuk menyediakan kebutuhan primer berupa makanan maupun
102
kebutuhan lainnya berupa oleh-oleh buah tangan dalam bentuk souvenir khas dari
Pulau Pari. Kebutuhan tersebut memunculkan unit-unit usaha seperti usaha
catering, warung makan dan toko souvenir. Data yang diperoleh dari FORSIR
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Pulau Pari yang berusaha di bidang
catering sebanyak 7 orang, sedangkan dari pantauan selama penelitian terdapat
sekitar 6 unit warung makan berdiri di Pantai Pasir Perawan dan 2 unit warung
makan di Pantai Kresek. Warung ini menyediakan makanan dan minuman ringan
seperti mie rebus, kopi, teh dan minuman kaleng/botol. Jumlah tersebut belum
termasuk warung-warung yang berdiri di jalan-jalan utama Pulau Pari. Sementara
itu, jumlah toko souvenir di Pulau Pari berkisar 3-5 unit dengan berbagai
cenderamata yang dijual seperti kaos, kerajinan dari kerang-kerangan, maupun
keripik sukun khas Pulau Pari.
Penghasilan pemilik usaha catering bervariasi tergantung dari jumlah
wisatawan yang dilayani. Umumnya untuk harga paket makan sebanyak 3 kali,
pemilik usaha catering akan mengenakan harga sebesar Rp. 50.000,- per orang.
Harga tersebut belum termasuk harga untuk barbeque dengan tarif per orang
sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- tergantung jumlah orang dan
jenis ikan yang diminta. Paket menu makanan dari pemilik catering meliputi nasi,
lauk, sayur, buah, kerupuk dan air mineral.
Komponen pengeluaran dari pemilik usaha catering dan warung makan
umumnya hampir sama diantaranya meliputi biaya input/bahan baku yang
besarnya tergantung jumlah wisatawan dan ramainya pengunjung, biaya
pemeliharaan alat makan dan masak berkisar Rp. 100.000,- sampai dengan Rp.
200.000,- per bulan, dan biaya transport ke darat berkisar Rp. 50.000,- setiap kali
belanja. Pemilik usaha catering akan merekrut tenaga kerja lokal apabila jumlah
wisatawan yang dilayani mengalami peningkatan, sehingga pemilik catering akan
mengeluarkan biaya upah tenaga kerja berkisar Rp 100.000,- sampai dengan Rp.
150.000,- per orang yang membantu masak. Pemilik usaha catering juga akan
mengeluarkan biaya untuk iuran wajib ke FORSIR dengan besaran Rp. 500,- per
orang.
Dampak ekonomi langsung lainnya dari adanya kegiatan wisata di Pulau
Pari adalah peningkatan pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata.
103
Seperti uraian sebelumnya, wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya
menggunakan jasa biro perjalanan wisata dari Jakarta. Biro perjalanan wisata di
Jakarta selanjutnya akan melimpahkan ke operator wisata di Pulau Pari untuk
melaksanakan paket wisata sesuai dengan fasilitas pada harga yang disepakati.
Pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata diperoleh dari selisih harga
bersih paket wisata dari biro perjalanan dikurangi biaya riil yang dikeluarkan bagi
keperluan wisatawan selama melakukan aktivitas wisata bahari ke Pulau Pari.
Besaran selisih ini dari uraian sebelumnya diperkirakan mencapai 6 persen.
Artinya penduduk lokal sebagai operator wisata akan memperoleh penghasilan
sebesar 6 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan kepada konsumen.
8.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung
Munculnya unit usaha di lokasi wisata Pulau Pari membuka kesempatan
kerja bagi penduduk lokal. Meskipun pada umumnya unit usaha dijalankan oleh
pemilik usaha sendiri, namun pemilik usaha akan membutuhkan tambahan tenaga
kerja dari penduduk lokal. Tambahan tenaga kerja tergantung pada jumlah
wisatawan dan kondisi musim. Umumnya pemilik unit usaha akan membutuhkan
tambahan pekerja pada musim libur panjang nasional seperti hari raya lebaran
maupun pergantian tahun. Unit usaha yang secara rutin membutuhkan tenaga
kerja adalah pemilik usaha catering dan operator wisata. Pemilik usaha catering
membutuhkan tenaga kerja untuk membantu memasak sedangkan operator wisata
membutuhkan tenaga kerja sebagai pendamping wisatawan (guide). Tenaga kerja
yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak langsung dari
pengeluaran wisata, yaitu berupa upah yang diterima dari unit usaha tempat
mereka bekerja.
Tingginya tingkat kunjungan terutama pada masa libur panjang
memberikan kesempatan bagi penduduk lokal untuk menjadi tenaga kerja di unit-
unit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari. Meskipun bersifat
musiman, namun pada masa musim kunjungan ramai, pemilik operator wisata
misalnya akan membutuhkan banyak tenaga pendamping wisatawan atau guide.
Wawancara yang dilakukan dengan ketua FORSIR menyatakan bahwa saat ini
terdapat 50 orang penduduk Pulau Pari yang berprofesi sebagai guide. Satu orang
104
guide biasanya akan menangani sebanyak 10-15 orang. Jika diasumsikan dalam
satu bulan rata-rata pengunjung sejumlah 1.482 sehingga dalam satu pekan jumlah
pengunjung sebanyak 371 maka kebutuhan tenaga pendamping atau guide adalah
sebanyak 38 orang (dengan asumsi 1 pendamping/guide mendampingi 10
wisatawan). Umumnya penduduk lokal yang menjadi tenaga pendamping atau
guide adalah pemuda dengan usia yang relatif masih muda yakni rata-rata berusia
24 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap sebelumnya. Sebagai tenaga
pendamping wisatawan atau guide, pemuda penduduk Pulau Pari akan
mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 150.000,- untuk 2 hari. Dalam satu bulan
dengan asumsi menjadi guide selama akhir pekannya, maka pendapatan yang
diperoleh pemuda Pulau Pari sebagai guide berkisar sebesar Rp. 600.000,- per
bulan.
Kebutuhan jumlah guide untuk mendampingi wisatawan akan meningkat
apabila jumlah wisatawan yang ditampung sesuai dengan nilai daya dukung
fisiknya. Berdasarkan nilai daya dukung fisik untuk wisata pantai, jumlah
pengunjung yang dapat ditampung sebanyak 2.572 orang/hari atau 5.144
orang/pekan (sabtu-minggu). Dengan jumlah tersebut maka kebutuhan guide yang
dibutuhkan untuk mendampingi wisatawan sebanyak 514 orang guide tiap
pekannya (dengan asumsi bahwa 10 wisatawan membutuhkan 1 orang guide).
Kebutuhan jumlah guide tersebut memberikan peluang kesempatan kerja yang
akhirnya memberikan total pendapatan bagi 514 orang penduduk lokal Pulau Pari
sebesar Rp. 77.100.000,- setiap pekannya.
Tingkat kunjungan yang meningkat pada musim ramai kunjungan telah
membuat kebutuhan konsumsi makan wisatawan juga meningkat. Kondisi ini
menyebabkan pemilik usaha catering akan menambah tenaga kerja untuk
memasak. Umumnya tenaga kerja yang direkrut untuk membantu memasak
adalah ibu-ibu rumah tangga tetangga rumah maupun memiliki hubungan
saudara/keluarga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan. Dari bekerja sebagai
tenaga memasak, ibu-ibu rumah tangga umumnya mendapatkan bayaran sekitar
Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- untuk memasak selama 2 hari.
Besaran bayaran dari pemilik usaha catering kepada tenaga kerja yang memasak
tergantung dari jumlah wisatawan yang dilayani. Seperti halnya kebutuhan guide,
105
apabila pemanfaatan wisata bahari di Pulau Pari akan ditingkatkan sampai dengan
nilai daya dukung fisiknya maka jumlah kebutuhan tenaga memasak untuk
melayani wisatawan juga meningkat.
Kebutuhan sumberdaya manusia untuk unit usaha sejauh ini masih dapat
dipenuhi oleh penduduk lokal Pulau Pari. Tidak seperti sumberdaya manusia yang
masih dapat dipenuhi dari dalam Pulau, kebutuhan akan input/bahan baku unit-
unit usaha wisata bahari di Pulau masih dipenuhi dari luar Pulau yakni daratan.
Bahan pangan utamanya dibeli oleh penduduk Pulau Pari di Tangerang. Pemilik
unit usaha di Pulau Pari umumnya berbelanja kebutuhan-kebutuhan usahanya di
Pasar Sepatan Tangerang. Bukan hanya bahan pangan, bahkan untuk ikan saat ini
juga sulit dipenuhi dari Pulau Pari. Sulitnya ikan ini disebabkan oleh jarangnya
ikan yang diperoleh oleh nelayan dan sebagian nelayan lebih memilih untuk
beralih profesi sebagai tenaga pendamping atau guide yang sudah pasti
menghasilkan dibandingkan harus menangkap ikan yang kadang tak menentu
hasilnya. Jika nelayan mendapatkan tangkapan ikan biasanya sudah dipesan
langsung oleh pemilik usaha catering.
8.3. Dampak Ekonomi Induced
Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak ekonomi
langsung dan tidak langsung, juga memberikan dampak ekonomi induced.
Dampak ekonomi induced merupakan dampak lanjutan dari pendapatan yang
diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit usaha dimana mereka bekerja. Dampak
ini berasal dari pengeluaran sehari-hari tenaga kerja lokal. Penghasilan yang
diterima oleh tenaga kerja lokal pada unit-unit usaha tersebut umunya sebagian
besar habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari yakni utamanya
pangan. Sebagai tenaga pendamping atau guide upah yang diterima sebesar Rp.
150.000,- dan jika setiap akhir pekan menerima pekerjaan sebagai guide maka
tenaga kerja lokal tersebut akan mendapatkan penghasilan sebanyak Rp. 600.000,-
per bulan. Ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai tenaga memasak jika
diasumsikan upah yang didapat minimal Rp. 100.000,- dan setiap akhir pekan
menerima pekerjaan sebagai tenaga pemasak maka akan mendapatkan
penghasilan sebesar Rp. 400.000,-. Penghasilan sebagai tenaga kerja lokal
106
tersebut terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan harian apalagi
kebutuhan lainnya sehingga terkadang bergantung kepada keluarga maupun
suami. Tabel 18 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal
dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari.
Tabel 18 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal
Komponen Proporsi PengeluaranKebutuhan Pangan 16%Listrik 7%Transport lokal 3%Lainnya 74%
Proposi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal seperti yang terlihat pada
Tabel 18 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran terbesar tenaga kerja lokal
dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari adalah
utamanya untuk kebutuhan lain yang mencapai 74 persen seperti untuk membantu
biaya anak sekolah. Proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan harian
mencapai 16 persen dan sisanya untuk membantu biaya listrik dan transport lokal.
8.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier
Wisata Bahari di Pulau Pari menunjukkan memberikan kontribusi
ekonomi terhadap penduduk lokal. Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari
ini berupa dampak ekonomi langsung, tidak langsung dan induced. Dampak
ekonomi langsung berupa terbukanya kesempatan usaha dengan berdirinya
berbagai unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama di Pulau
Pari seperti homestay, penyewaan alat snorkeling, catering, penyewaan kapal
snorkeling, water sport, penyewaan sepeda, warung makan/kelontong/souvenir,
dan operator wisata. Tabel 19 memperlihatkan perkiraan jumlah unit usaha wisata
bahari di Pulau Pari.
107
Tabel 19 Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari
Unit Usaha Jumlah (orang)Homestay 46Pemilik Alat Snorkeling 15Catering 7Kapal Snorkeling 20Water sport 2Pemilik Sepeda 20Warunga 30Operator wisata 20Total 160Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR dan pengamatan lapangan
atermasuk warung makan, kelontong, souvenir
Hadirnya unit-unit usaha di Pulau Pari berdampak pada terciptanya
lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal Pulau Pari sebagai tenaga pendamping
(guide) dan tenaga memasak. Penyerapan tenaga kerja pada unit-unit usaha ini
sebagai dampak ekonomi tidak langsung dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.
Selain dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, kegiatan wisata bahari juga
menghasilkan dampak ekonomi induced. Dampak ekonomi induced merupakan
dampak lanjut dari pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit
usaha tempat mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pengeluaran sehari-hari
tenaga kerja lokal. Tabel 20 memperlihatkan perkiraan jumlah tenaga kerja lokal
dari adanya kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.
Tabel 20 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit UsahaWisata Bahari di Pulau Pari
Pekerjaan JumlahGuide 50Tenaga masak 14a
Total 64Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR
aperkiraan per 1 unit catering mempekerjakan 2 orang
Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di Pulau Pari
dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier dari aliran
108
uang yang terjadi. Terdapat dua nilai pengganda berdasarkan META (2001) dalam
mengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal yaitu : 1)
keynesian local income multiplier yang menunjukkan seberapa besar pengeluaran
wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan 2) ratio
income multiplier yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang
dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak pada keseluruhan ekonomi
ekonomi lokal. Nilai efek pengganda atau multiplier dari kegiatan wisata bahari di
Pulau diestimasi dari nilai paramater seperti yang terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai Multiplier Wisata Baharidi Pulau Pari
Parameter Nilai (Rp/Bulan)Rata-rata pendapatan pemilik usaha 3.170.526Rata-rata pendapatan tenaga kerja lokal 748.000Rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal 339.000Rata-rata pengeluaran wisatawana 262.636Rata-rata pengunjungb 1.482
Keterangan : aPengeluaran per pengunjung yang terjadi di Pulau Pari per sekalikunjunganbData April-Agustus 2012 versi FORSIR
Nilai efek pengganda atau multiplier dari wisata bahari di Pulau Pari
kemudian diperoleh dengan mengestimasi jumlah pengunjung dan pelaku usaha
serta tenaga kerja lokal dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 22.
Tabel 22 Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Baharidi Pulau Pari Tahun 2012
Kriteria Nilai MutiplierKeynesian Local Income Multiplier 1,48Ratio Income Multiplier Tipe I 1,09Ratio Income Multiplier Tipe II 1,14
Nilai keynesian local multiplier dari aliran uang kegiatan wisata bahari di
Pulau Pari seperti yang terlihat pada Tabel 22 menunjukkan nilai sebesar 1,48
artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak
109
pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 1,48 rupiah. Nilai
keynesian local multiplier ini diperoleh dari penjumlahan antara pendapatan unit
usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal yang
kemudian dibagi dengan pengeluaran wisatawan. Dengan jumlah pengunjung
rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata
setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap
bulannya akan memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar
Rp. 576.852.210,53. Dampak ini akan lebih besar jika pemanfaatan wisata bahari
di Pulau Pari (khususnya wisata pantai) di tingkatkan sampai dengan batas nilai
daya dukung fisiknya. Dengan jumlah pengunjung maksimal yang dapat
ditampung sesuai nilai daya dukung fisik wisata pantai yakni 20.576 orang/bulan
maka pengeluaran wisatawan akan memberikan dampak peningkatan pendapatan
masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91.
Nilai ratio income multiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai
sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran
pengeluran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada
total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung
(berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ini dihasilkan
dari penjumlahan antara pendapatan pemilik unit usaha dan pendapatan tenaga
kerja lokal kemudian dibagi dengan pendapatan pemilik unit usaha. Nilai ratio
income multiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya
peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan
sebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak
langsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha,
pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Nilai ini
dihasilkan dari penjumlahan antara pendapatan unit usaha, pendapatan tenaga
kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal dibagi dengan pendapatan pemilik
unit usaha.
8.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat di Pulau Pari
Wisata bahari di Pulau Pari meskipun belum mendapat perhatian yang
memadai dari Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
110
namun kegiatan ini turut berkontribusi pada kesejahteraan masyakat lokal yang
ditunjukkan oleh nilai multiplier. Adanya wisata bahari menjadi alternatif
matapencaharian untuk mendapatkan pendapatan di saat terpuruknya budidaya
rumput laut maupun sulitnya hasil tangkapan ikan sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal Pulau Pari. Oleh karena itu wisata bahari di Pulau
Pari dapat dikembangkan dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung
ditengah terbatasnya fasilitas yang selama ini hanya dikembangkan oleh
masyarakat lokal Pulau Pari dari iuran yang masuk ke Forum Pemuda Wisata
Pesisir (FORSIR).
Hadirnya wisata bahari di Pulau Pari umumnya tidak menggangu bagi
masyarakat lokal. Responden masyarakat yang diwawancarai umumnya
menyatakan dengan keberadaan wisatawan dari adanya kegiatan wisata bahari
tidak merasa terganggu ataupun dirugikan. Sebanyak 80 responden masyarakat
menyatakan tidak merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan
sedangkan hanya 20 persen responden masyarakat yang menyatakan keberadaan
wisataan akan mengganggu atau merugikan. Responden yang menyatakan tidak
merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan umumnya
beralasan bahwa keberadaan wisatawan dapat membuka kesempatan usaha dan
lapangan pekerjaan sebagai tambahan pendapatan ditengah tidak adanya rumput
laut dan sulitnya ikan. Sementara responden yang merasa terganggu atau
dirugikan mengkhawatirkan bahwa keberadaan wisatawan akan membuat
keramaian atau keributan, mempengaruhi lingkungan laut dan membawa
perubahan budaya atau sosial di masyarakat.
Wisata bahari yang telah memberikan dampak ekonomi positif pada
masyarakat lokal diharapkan oleh responden masyarakat untuk dikembangkan.
Pengembangan yang diharapkan terutama fasilitas umum pendukung untuk
kenyamanan wisatawan di Pulau Pari. Peningkatan fasilitas umum pendukung
untuk wisatawan selama ini merupakan bentuk kontribusi mandiri masyarakat
lokal dari iuran yang dipungut oleh FORSIR. Untuk pengembangan wisata bahari
di Pulau Pari sebanyak 53 persen responden menghendaki pengolaan wisata
bahari di Pulau Pari tetap oleh masyarakat (community based) dengan alasan jika
diusahakan oleh swasta dikhawatirkan masyarakat tidak mendapatkan manfaat,
111
sedangkan sebanyak 43 persen menyatakan bahwa sebaiknya pengusahaan wisata
bahari di Pulau Pari dikelola bersamaan antara swasta dengan masyarakat dengan
harapan terdapat kerjasama dan adanya peningkatan fasilitas umum untuk
kegiatan wisata bahari.
Pengembangan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak
ekonomi positif bagi masyarakat lokal juga berpotensi memberikan dampak
terhadap lingkungan di daratan maupun perairan Pulau Pari. Persepsi responden
masyarakat lokal Pulau Pari yakni sebanyak 67 persen menyatakan bahwa
dengan adanya wisata bahari di Pulau Pari, kondisi lingkungan/perairan di pulau
semakin membaik, sedangkan 20 persen menyatakan tidak ada perubahan dan
sisanya 13 persen menyatakan terdapat kerusakan dengan adanya wisata bahari.
Alasan responden yang menyatakan kondisi lingkungan/perairan semakin baik
adalah dengan adanya wisata bahari tata kelola lingkungan semakin dibenahi oleh
masyarakat dalam upaya menerima kunjungan wisatawan dan masyarakat pulau
semakin rajin menjaga kebersihan. Kondisi lingkungan dan kualitas perairan
Pulau Pari perlu diteliti atau ditinjau untuk mengetahui pengaruh dari adanya
aktivitas wisatawan. Aktivitas wisatawan menghasilkan sampah dan kotoran pada
saluran pembuangan air sehingga akan berpengaruh pada kondisi lingkungan
maupun perairan laut Pulau Pari mengingat jumlah wisatawan terus meningkat
dan keterbatasan dari Pulau Pari sebagai pulau kecil.
IX. SIMPULAN DAN SARAN
9.1. Simpulan
1. Analisis kesesuaian lahan secara umum untuk pariwisata bahari
menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameter
kecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis
terumbu karang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai
menurut parameter tutupan karang hidupnya serta menurut parameter
kedalamannya memiliki potensi untuk kegiatan selam seluas 361,5 ha dan
snorkeling seluas 939,55 ha.
2. Daya dukung fisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari
menunjukkan jumlah maksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa
menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari
untuk wisata selam, 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, 504
orang/hari untuk wisata mangrove, dan 2.572 orang/hari untuk wisata
pantai.
3. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objek
wisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp.
192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai
dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total
sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per
hektar per tahun.
4. Perputaran uang dari pengeluaran wisatawan setiap pekannya memberikan
kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar 60 persen atau mencapai Rp.
95.110.610,- sebagai transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari, sisanya
sebesar 40 persen atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan transaksi
yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari. Pemanfaatan maksimal sesuai
dengan nilai daya dukung fisik setiap pekannya akan memberikan
kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar Rp. 1.320.510.067,2 sebagai
transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari dan sisanya sebesar Rp.
880.340.044,8 merupakan transaksi yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari.
113
5. Besarnya dampak ekonomi dari adanya wisata bahari di Pulau Pari
ditunjukkan oleh nilai multiplier. Nilai keynesian local multiplier dari
aliran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti
bahwa dengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482
orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar
Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap bulannya akan
memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar Rp.
576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung
fisik akan memberikan dampak peningkatan pendapatan masyarakat lokal
sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio income multiplier Tipe I
menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan
unit usaha dari pengeluaran pengeluran wisatawan akan mengakibatkan
peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang
meliputi dampak langsung dan tidak langsung (berupa pendapatan pemilik
unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio income multiplier Tipe II
menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran
wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,14 rupiah pada total
pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak
langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha, pendapatan
tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal).
9.2. Saran
1. Mengingat semakin berkembangnya wisata bahari di Pulau Pari maka di
masa yang akan datang potensi konflik antara masyarakat lokal dengan
pihak swasta yang selama ini mengklaim memiliki hak atas lahan di Pulau
Pari dapat terjadi. Oleh karenanya status kepemilikan dan hak guna
maupun pemanfaatan lahan di Pulau Pari mendesak perlu diselesaikan.
Pengembangan wisata bahari di masa yang akan datang tetap perlu
melibatkan masyarakat lokal dengan pertimbangan untuk kesejahteraan
masyarakat serta mengingat sejak awal masyarakat lokal yang telah
merintis pulau ini sebagai daerah tujuan wisata meskipun dengan
keterbatasan pra sarana dan sarana.
114
2. Pemda perlu mengatur dengan regulasi terkait batas tarif masuk ke pantai
perawan dan iuran yang ditarik oleh FORSIR kepada pelaku usaha di
Pulau Pari termasuk dalam penggunaannya sehingga akuntabilitas dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Akses langsung dari Jakarta menuju Pulau Pari selama ini menggunakan
kapal cepat milik Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta maupun
kapal kayu yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari pulau lain yang
terbatas dalam jadwal keberangkatan dan kapasitas penumpang. Oleh
karenanya Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta perlu
memberikan ijin pembukaan rute transportasi kapal dari Jakarta ke Pulau
Pari yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari Pulau Pari. Langkah ini
tentunya perlu didukung dengan peningkatan dan perbaikan fasilitas
dermaga penyebrangan serta insentif yang mendorong pemilik kapal Pulau
Pari mau beroperasi melayani rute tersebut.
4. Mengingat potensi wisatawan tidak hanya berasal dari dalam negeri
namun wisatawan mancanegara juga mulai berdatangan ke Pulau Pari
maka Suku Dinas Pariwisata maupun dinas terkait perlu memberikan
peningkatan kapasitas tenaga lokal sebagai pendamping dan memberikan
pembinaan kepada para pelaku usaha wisata bahari di Pulau Pari.
5. Perlu dilakukan kajian analisis spasial yang komprehensif untuk
menentukan zonasi peruntukan gugusan Pulau Pari sesuai dengan
kesesuaian/kecocokan lahan per kategori kegiatan wisata dan daerah
perlindungan laut.
6. Perlu dilakukan kajian kualitas air dan lingkungan gugusan Pulau Pari
untuk mengetahui dampak dari meningkatnya wisatawan yang melakukan
kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar M. 2011. Kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di perairangugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : InstitutPertanian Bogor.
Adrianto L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut.Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2011.Kepulauan Seribu dalam Angka 2011. Jakarta (ID) : BPS KabupatenAdministrasi Kepulauan Seribu.
Basiron MN. 1997. Marine tourism industry : trends and prospects. Di dalam :The National Seminar on The Development of Marine Tourism Industry inSouth East Asia; 1997 Sept 25-28; Langkawi, Malaysia.
Bengen DG. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam PengelolaanLingkungan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Kantor KementrianLingkungan Hidup RI dan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan danKelautan.
Brown BE, MC Holley, L Sya’rani and M Le Tissier. 1983. Coral assemblages ofreef flats around Pulau Pari, Thousand Island, Indonesia. Washington DC(US) : The Smithsonian Institution.
Cisneros Montemayor AM, Sumaila UR. 2011. The economic value and potentialthreats to marine ecotourism in Belize. Di dalam : Palomares MLD, PaulyD, editor. Too Precious to Drill: the Marine Biodiversity of Belize [FisheriesCentre Research Reports 19(6)]. Columbia : University of British Columbia,Fisheries Centre [ISSN 1198-6727]. hlm 161-166.
Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata.Yogyakarta (ID) : CV Andi Offset.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID) : PTGramedia Pustaka Utama.
[FORSIR] Forum Pemuda Wisata Pesisir. 2012. Catatan jumlah wisatawan PulauPari April-Agustus 2012. Unpublished.
Frechtling, Douglas C. 1994. Assessing the economic impacts of travel andtourism-Measuring economic costs. Di dalam : Travel, Tourism andHospitality Research, second edition. J.R. Brent Ritchie and Charles R.Goeldner, editor. New York (US) : John Wiley and Sons Inc.
116
Garrod B, Julie C. Wilson, David M. Bruce. 2002. Defining Marine Tourism : ADelphy Study [Internet]. [diunduh 2012 Mar 21]. Tersedia pada :http://users.aber.ac.uk/bgg/wp4.pdf.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan TataGuna Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Jurusan Tanah FakultasPertanian.
Hilyana S. 2011. Optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi Gili Sulat-GiliLawang Kabupaten Lombok Timur [disertasi]. Bogor (ID) : InstitutPertanian Bogor.
Hoctor Z. 2001. Marine ecotourism a marketing initiative in West Clare. MarineResource Series No. 21 [ISSN 13934643].
Honey M, Krantz D. 2007. Global Trends In Coastal Tourism. Washington DC(US) : Stanford University and Washington DC, Center on Ecotourism andSustainable Development.
Hunt L. 2008. Economic Impact Analysis of the Cape Rodney Okakari Point(Leigh) Marine Reserve on the Rodney District. Wellington (AU) : MAFBiosecurity New Zealand.
International Centre for Tourism and Hospitality Research, BournemouthUniversity. 2010. The Economic Impact of Wildlife Tourism in Scotland.Scotland : The Scottish Government.
Kelurahan Pulau Pari. 2012. Profil Kelurahan Pulau Pari. Jakarta (ID) : KelurahanPulau Pari.
[Kemenbudpar] Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. PeraturanMenteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.67/UM.001/MKP/2004tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil.Jakarta (ID) : Kemenbudpar.
[Kemeneg LH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. KeputusanMenteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 tentang Kriteria BakuKerusakan Terumbu Karang. Jakarta (ID) : Kemeneg LH.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanandalam Angka 2011. Jakarta (ID) : Kementrian Kelautan dan Perikanan.
[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012.Perkembangan Wisatawan Mancanegara 2007-2011 [Internet]. [diunduh2012 Apr 3]. Tersedia pada :http://www.budpar.go.id/userfiles/file/perkembanganwisman2007-2011.pdf.
117
[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012.Perkembangan Wisatawan Nusantara 2006-2011 [Internet]. [diunduh 2012Apr 3]. Tersedia pada :http://www.budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=87&id=1191.
Kiswara W, Suharsono. 1991. Sebaran karang batu di rataan terumbu pantai PulauPari, Pulau-Pulau Seribu, Teluk Jakarta. Oseanologi di Indonesia No 24.Jakarta (ID) : LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Mannuputy A.E.W. 1998. Sebaran vertikal karang batu dan pertumbuhannya diPulau Pari, Pulau-Pulau Seribu : Inventarisasi dan Evaluasi Potensi LautPesisir III; Oseanografi, Lingkungan dan Biologi. Jakarta (ID) : LIPI, PusatPenelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Mannuputy A.E.W, Giyanto, Winardi, Sasanti, Djuwariah RS. 2006. ManualMonitoring Kesehatan Terumbu Karang (Reef Health Monitoring). Jakarta(ID) : LIPI, CRITC Coremap.
[META] Marine Ecotourism for Atlantic Area. 2001. Planning for MarineEcotourism in The EU Atlantic Area. University of The West Of England,Bristol.
Mulia D. 2004. Alternatif pengembangan gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribusebagai objek ekowisata bahari di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta (ID) : PemerintahRepublik Indonesia.
----------------------------------------. 2007. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia.
----------------------------------------. 2001. Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 55 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabupaten AdministrasiKepulauan Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID) :Pemerintah Republik Indonesia.
---------------------------------------. 1999. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah KhususIbukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Jakarta (ID) : PemerintahRepublik Indonesia.
--------------------------------------. 1994. Peraturan Pemerintah Republik Indonesiatentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan TamanNasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Jakarta (ID) :Pemerintah Republik Indonesia.
118
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi DaerahKhusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata RuangWilayah 2030. Jakarta (ID) : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Santoso U. 1985. Studi kepadatan dan penyebaran karang batu di Pulau Tikus,Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta [karya ilmiah]. Bogor(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Stabler M, Papatheudorou A, and Sinclair MT. 2010. The Economic of Tourism.2nd Edition. London: Routledge.
Stynes, Daniel J, Vanessa Arnold, editor. 1997. Economic Impacts of Tourism : AHandbook for Tourism Professionals. Illionis : Illionis Bereau of Tourism-Illionis Department of Commerce and Community Affairs.
Suharsono. 1995. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Didalam : Proceedings Fourth LIPI-JSPS Joint Seminar on Marine Science;1994 Nov 15-18; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID) : LIPI-JSPS. hlm 33-41.
Tourism Development International. 2007. A Strategy and Action Plan for TheDevelopment of Marine Tourism and Leisure in Lough Foyle andCarlingford Laough Areas. Carlingford : The Lough Agency East BorderRegion Commitee North West Region Cross Border Group.
Whouthuyzen S, Hindarti D, Yulianto K, Hermanto B, Abrar M, Mira S, Triyono,Pratiwi RS, Novianty H, Rosmawati A et al. 2009. Evaluasi statusekosistem dan sumberdaya hayati laut di perairan Pulau Pari, KepulauanSeribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPT loka Pengembangan KompetensiSumberdaya Manusia Oseanografi, Pulau Pari LIPI.
-----------------------. 2008. Evaluasi status ekosistem dan sumberdaya hayati lautdi perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPTloka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi, PulauPari LIPI.
Wijayanti P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alamberbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan SeribuProvinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
[WRI] World Resources Institute. 2001. Coastline Length. Virginia : WorldResources Institute.
Yoeti OA. 2008. Ekonomi Pariwisata : Introduksi, Informasi dan Implementasi.Jakarta (ID) : PT Kompas Media Nusantara.
Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan SumberdayaPesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen MSP-FPIK IPB.Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan.
120
r"sDtdH,JElrd.rttDH'*)
t-.*
U$D
sD
w${r)'Isosgr(Df.JiJ
{td.(ds0t.+tr{s0t{F.,
Ea*ll.il-rptrrosiHld.
zo
X
XhJ
X(.^)
K
XUI
Xo\
X{
X@
X\o
XO
f trtt- tt3(}?. ,fId r-)
&st{ u)B.
O. r-rtsi\^lE-e'tro,7r sosIrTJ OA
r{>t(DH
6.Hs$0ro
FtrE L.
ETEFEEf=.'tr = ,+ ='r, i+Ezr 6 r-
-.:. (D b
s r$$()'
686'FSE H T+Ft9 * E.sffi
*s- ;FF.€F=rtH S FFX
t+, Sl IJ- rroq
FtoH i-r5c'reFhnw=r*)
F1v)!e
r,olJa.l-r
6!.rfs)d
hdolr.aF,lJ.s"(,s,F+soh+
O\ Lfi S rrJ t'J h... (} \O CO { O\ Ur S t+J" t\) F'r
ur (Jt $ Lrt S Ut LJ u} uJ u) Ld w uJ t, td (JJ
# ; 6 tr O *I b.J t:} *-l + aP *.I qg \l t") tl}$> .o .o i5 F .<> S) .o .u, .c) .<> y ? P yr yt()booooaaaaaaaaaa66556600aaaaaaaa55566--eOOC)o(}ooo
S N !'.) !^, .+\ 1.t !.r 1..l*E cl Cl ur ,.h. (} O (n u) ut !4 A ? (1r hl tlu,-6q>oOOAQaaaaaaap p F F .6 p p s) s) s) s) p s) p ? Ioocl(}ooaaaaaaaaaa66666-OAAaaaaaaa6 6 5 - 6 6 O O O O O O,,O O C} O
I
I
1r,..1 lrl l-tOOooOoOoOooorjrjO
,-l 1...r t-l ,-l l-. i-lUJC)OOC}()O
l-l r*a t.r ,-l lrl t-r f.t) (7x) t-r )-l t*r N) tlJ t+r
b,J ur Lh (.n t,J L^ \O \O S Q\ !4 LJ !t + + S.'OOOOC}oOO<>OOC}OOO
-J { { -.1 -"t }-r F-.r r-.-r }-. LJ t. N E !P +t") t-t t.t t.J s tQ c) t{ +\ t,J s ct\ s o <} oo
|+rWSt.Jr-rhJ(rJLl)t-rlnrS-.e|.?t$ 6 t.; o' t..r s \o o\ o\ or tJ 5; \o W \1 \166b{jbOo<><>O<=OOOcrO
tQ FJ hJ b..J tr) tr} NJ hJ tr) N) t^) t, \J (, E t\)(--) }" Js. ..F, Fd (.rJ ol (lr (Jr +* or (}t S\ O\ \O Lh
NJ [,*} IQ N) l.l N) r-r li F-r t...r t-r t-. F-. t=r F-r lEr
.u, + .u, + + + .*l + !^ .u, !A 1J + !^ I'rO O O C) (} O O O a A A !4 b,J *-I 14 !46606OOO(}oaaa!t!.aapppS).<>.o9.oPPPPPPPPOOOO(}O(}OOAOAAAAA666-OOOclclaAaaaaA566-O()()(}(}OO(}OOOO
zo
X
Xt.J
X(}J
Xs
XLN
Xo\
X{
Xoo
X\o
X(}
E" ':jl- Ft5(D
L\T H
L- i-ti-) +n
EHI3 rd'
BEd0" s'trsH'<,f Fe$s i3$oa
hJiJ
flF#H'u e ir.(
$sE
g$B**x F
-j.(D =
o&fgr*tq.,/ pn Ii.<'-' E tid
(}-a*A'FFdg;BE'E*[fS
fa' r-.tD 3;W
s[=g*E S. h'Fx
*) $iJ- 50a
F1
oH t-JIJtr'rEl{ id
EEt{tJ
eV)
sD
4oO.trpq.p
FUol.{,)(}.FetY,
Olr.+0st{
t.rJ L$ (a, ral tJ t1) \) }1} trJ t$ tl'J tt"} N.} t"} h.r t..'* r*r(, t\) r*r O \O OO \.I O\ (,r ,.F. UJ tQ t-r (} \O OO {
,_...r
uJ r..}} uJ { u,} +L L^) s P .E h.} t* tJ }'J ur s tJrlOO OO OO O (, r-, OO O X (} \O S \O fi *.I m ::I!n !^ !^ S) .o :J !^ O .Y O O (} C) O O tr) OooooooobRoobclbclc>bO(}OOC}OOOX(}OOO(}(}OO6(}OOO()OC)\JOOOOOOOO
I
tt..} tQ t1} t J t{ r-r ,-r F-r(}r S\ Ch hJ { -J (Jr & (, (, S S S & ur Oo
t J tr) tQ }-r r-r r-, tr) t.") t{ t',,J hJ N l.-) t'J tJ NJ F"}
tJ N) hJ t'J hJ$.b.r$t\},.,FssN
i-l t-.J lEa l-l inlt$\oo'mL^oo\ot\)O(}OOOOO(}
t.J t'J FJ (r) tl) t'") t'J ttJ N) tr) tl) t{ tg tJ t'J t..} t\)(.1"} r*r ('1,) C) t, (;t1 -$ OO O\ Q1'-r lE rrr hJ { [r) (.r)
}\) b.J t\) Lh u)'r.... (}) .,E\ (,l C} t\} b $ $ b t"J (,rO q3 q3 q3 ur 1rr rJr (} O O O O (, (} () O Os) p s) 5) s) s) P p $) p .C) P p p s) p pOOAC)C)C}(}O(}OC}OO(}OO(}(}O(}OOOC)OO(}OOOOC}O(}O(}O()OOOAO(}(}PO(}OOO
hrr tEr l-l t-I 1...* tEr l-r l-l l-l t*l\O \O \O (}\ (a) tfi \O t*} (} $.J (l1 tJr (Jr (A N) \O OO(}(}OOL^(}OAtlTOOO(}O(}O(}
.$ F.r.r 1.* l.'.r t-.{ t1} NJt"trooO(}OO$$S
tr") &. l..i ).-.rr t, )-ro\o\&N0000oo\mOOO(}C)C)(}(}O
!^ I',) !=) :- 9, .oo r I\) po + I$ lrt + $O (Jr (rr Ur (..r O (.|r tJr O t'J {Jt { L}t (..r t$ (} (}O O O C) O (} O O O Lr O L.t () (} ur O (}s> p p .(} .o s) P P s) p .o p p P s) p s)OOOOOOOO(}CC}C)OOOC}OC}C}O(}OOOOOO(}()OOOOO(}OOO(}OOOOOOOOC}(}OC}
Fsa+!nset{,4
r(Jr
rfitJn
(J\
b.)
st\)*.I00Asosoo
{t\)t'-)
smAoo
(,-I(.,l..-ltJ|_.Io\
sO\oO\oC}\o
b.J.ooo\o\o\*,J
oo;"I(.}rt...1(}t\.1(Jroo
tt.J
"T\o(}\o
l*fCl'\st.-J&t$st\)
.wootJtsOCh
1.7L
122
Fcg n,,4r'H(_i iJ-iK #FU? H.11 h Fi
.F iJ
ct-l)-a{-+
TJ?/ara?+
fr(D
$aH(DwlJr
f?Jldt-.tdP
sqwlrd r
FUt}qt{r{l..Jld3t,{{(!.+80set{tJ
{)rl o
wso{.+swssl+rl-,$sFllrra .
rytrl-alrdsDttra
EpoEfrl .
tt
Koo'$l-ar|d.Hfl(}pDFt
l\..A)(tq(!faCa
o\h)
CaF}*lHtia -V1r\|.r:h
H ES:g] tr
* $*E,E* ag.H 5-OrIIfrVl.a a- 7i-, :lA:Tr/)
L.l +irl-a hl-a
lja
SDr-,1
t}
p "s) .p -s)t,) s o\ ootrt\OtJt(}QO-JS\OO-J{t-rt"rJ OO t$ LrISA{t.JC)OOrdO
f, F-. ...1 (} OOU) +r t-r OO
zoH,dfro(D(Ds 3.q3idPg
$?w!- |-to
lr{)J
q
!4v)
>,Ntr/)
)\.{J
UJtr)t-tt$ b_) o
tafi'\triJ
tt)c)s\riJ
s\
J= ,l- Jt,NS\.1.E Ch -.Ib') St {S-JO\NJ \O i.)) ,r
ssoib") t*r t-.*uhrt..}\J OO (.fl
O(}w\,O tJor-JC}r \.I(.lt *lmo\l-r (.r)L/T (}(.fl F-''r-r t\)
JNl-l*.J|r.J{-..1
p(3OtJ+L\o\o\o
s\strt..
\Jo
.(E\htra tf)$\rr)$a.\ca
hR{ra\hlsH\.i{\a{
f.ro.+J
$\
*ilt(b\\o(er'c>
s
XXXSs) sD s? flE 3 B i'I. I. iJ. (Ds0p$rc,(ffCI-F'ld lr* ldo(D(D(+}t.-}t*t
"b$"6O \.I (, Frrroolru+.Esurss@(/lTPTG&(}O(}Jtt)oo\ifi
o.s"s)"o .P '"o -olOt\)N}{OO A (Jr (,oo t$ uJ o\(}L0{SIrrdS(}O\Or-r OO *.I OO
,.,|.- ,L (, t'>"o. b i,; :rr&{O\Or.i.e (,.t OO OO\oo\olo\\o s \o r-r\oor{{{+tN){
"slpJsJ}l-r l-r O C)l-..-r tJr tr.} tr)SS\.lOOOt-}O{Oq}{Jt$\OOOl\Jt\JOO\O\\Or-r \o oo €
_&,!rpb l*, -j* ;*.t, Lh { LrrtQooom{ OO OO r''-(, o\ r.+) UJHTFE{O(}t+)Lrr -.I O\ td
rd r: NJ9uJ
-- \O l.rr \OOuJmurO \o o\ b,J(r) Ct\ { t'.JOo uJ m LrrBTTHIr)OOO\\o oo { *.I
OO(}A"o 'o "o J--(JJOO=
\J \I \./ L'\
l.r ':
Nuv{
-- \O F-.r \OOLalmLrtO\OO\tl)tr)O\{N}oou)m(JlETrH(,O(}(}\\OOo{-l
XXXXXXXs)$srslE)srs,Ft Fl Fl Fl Fl Ft Ft
-. -. -. -r F.
-. -.s)s?slB)E)ElFDcrqctFCrscrld l-r lJ lFa l-* ld |do(D(Dooo(Di-.-r \O OO { O\ (,Jr S
-e -a a *5 .4. .S).O '-O ..9 "O "O (rJt\)OOOt;)\O\O{OuJffiOoI-... & O O\ 1..1rr .}.O\O(,ltQt\)OoSOt*JArlrooOO rr O\ L.-r tt-' (+)OoSU)t-rOS\O \O t-. t.) t,r r-r
"s) p "s) JI} _s) "s)oo,=oo=r(.,r)F-d(}(},().s\O t.lt O t,J FF.t tt.J\O\tLrtOO(.,r(.rJ{*-.I&\O\Or.-i .'N \O (+) *-I (}\O { (/r Lft (}\ \.tSN(.}TLhUT(.,T
rttt
"P "S) .S) -S) ;* ;3 Ju\O *.1 tJt \O *.I C) *.I(}ltr}(}(}{t,Jr\Or*TmC)OOUJSs..}1 OO hir. r.:r .\ \O (}\*"1 O\ { t+J t+) t$ t'.)O\ t.J O\ (, -.t r-t \OorU)Ur\OO-JO\
p_s).ppppSolu)g>\OOqt'J{\O(rrHt+.tF..r(aJOO\(}*.I \O O\ O O\ (.^{}*r&O\O.n\$r { OO r-.i O\ L^}hJ t* (Jt O\ (..fi ('Atr){trr\.I\O{
Irll
"S) "$) "$) l* J3 ;ct-.r C1 q) .u q} rqrIEJttJOOOOr*r '$ O (} t..J tJ\OmO\-"IuJ{r-rt{{&uJ{oo{N(JrrCl.\(}\(4)O\ C}\ Cl.\ t$ O\ t\){(+)(}l-i0Or-rwS6OO\OL,.)
ppp-p"p"s)C)O<}C)OO\L^SOOO\Ot^)(}F..irO5;${ O\ *.I O\ N t\)C)OttJh'rr=r(}oo$oot$€\uJao\ot\)\oHs\O (, |'..} Ur l-r O\O\bJor*.Im\O
I
I')*.I(,_..I\-IsfrJIO
oo
})oao\oot\)(+)
frlIO
oo
.5) -p "s) "s) "s)FErC)OOOYF..NJOI-rO=\t/ \-/ \./ \.r' \J L)
"p "p p JC} "$) "s)OOOC)(}O\L^SOOO\O(,+) O |Er (} t1; A{O\{ChhJNO O t=J i-r F.ir Oqp*soowou)OO \O b,J \O F-, &\O t, t1} (,h |.--r O\O\ t\) O\ *.I Oo \O
,Ot&o\-.IOlF.r\oUr
t,oo\-lO(}\O\ornIOoo
,t"'}
\o(}o\F1I(}oo
pC)O
lE
\o(}o\F1tO
oo
t23
124
|c{ov t,-r Li FtEH fiFdV ts./-1 1} H
'W iJ
oFtt-ar'+rsFtt-ar+N(D
oarr1(}v7)rl r
PrJ1-trHi
0q(t)td.
Fdo'q t{l.{*,l-l rldi-}(.+s$ot{*)
{ldr
V)sDf'+$s
EdsDFtJ$i4|-f .
T3€l-ldstH
Es)4l-,aa
KoP,.old
Uo(iF
Cfld(}tro
sa
t\./6.)r\
DO\{(bhV)
s\s\.4Ftrarrrt\4.U2!\Lia.
ta
A?Pfr=il ESig.a sE EH*
=:li[[HEArun,--Hl-rrJ'w=w
ll FrH ltdtrs)Fl
o
(}(}OAVV{
-u (.ln --I mHOOHSfi(}1r.rto\N.) * \O l-rt'J O bJ N)(, \O l*r *-Iq3 tJ trJ tr.}t.}) CF\' { *.I OO(, r-r OO \O t+}
z,o
FtfrfrOIDIDs 3.q9i;' P g,
sDwtd l-'o
,J
UJ t$ l...rt\) b.JO
,].') "S) r()(JrS(, \t Lfioo \o \ohJ (} t\)OO r-.r -.IUt t".) b)ur \O LrrtE(Jt(JtsLnoo
p .F)OF'.N)SO\ Lrr(r) \Ol*r t$F\t-.I t\}{(,r*r (l\
v,(,ls&o\O{tJt\os
pOOC)(,^}\o\oHtQs
\J
(\rhha..A
(t\k)hlU1
CaH(\'rtl\raiJh
s..\sttq\-..{
\
f\L
Caha.sF,rr.
ltha
I\J
x*a\Gi'Is$
f"+l(\\\$(rtN)a\
Y\j$\\o(4\$a\
t-t-at$\\olr,q)s
\o(a'ss
XXXXXXFsrg?s)$srsr'iFlFtFtF-Br B.
-. Ll . LJ. rI . (}
DDD)$SD0s3r1tJggCrfgCfFnld Id ld ld lrd )-d(}t}(,0(D(}(D(}\ (Jt S l'.r) l*J r*r
tttC)AOOTO\uA.uuvAUO-v$i-rO-Vg1.&Ot+J+rt'JSSo\{\o{oto\oo\ssAF-.r\oOOf=iOOOt;"J{mur\O&{Ur&\O()&O*.IOOClr\OOO (Jt t, (.i) ,.'h, -..1 \O*.1 OO OO |-. \O *"I t.")
c)ooorrrb "p -,..- "O -p ",..- "U,(.1) r-, t$ O\ O t, U)$C)SO\t'JC)uJ\o t\} o\ oo oo LdItJ\O l.l) FJ .Fr -.I ,..'.. -..I(.*)HtJ(rJ(}.b,O\tdH\O(+)*'JOOOl',J *\ tr} H (, i'-r \O
tltr.l*FJTJQpJ^)$(.r}lILnttJ\oo\u)u) Nl tJ Cl C) O wsuro\(.,loosot J F....l t, (* r.ir* (}\ -.1ttJ r-r (, teJ (} O U)OO +' O Oo t,J Ur u)\O OO tJ C) (, \O C>Lh) O\ (} O\ \,1 t J t-.)rrr \O t"J \O rEr { (,
OOOC)OOVVU/-\UUVHSO-V(.A)OO\O\iO{)*-IOOur O\ t, t,111 F.-r O-.JO\OOOO\(JtttJr..I [1} O f-r (}\ .."I O\CI\sooosurooO r-i trr O OO \O \O\O Oo tr) \O & )..-. {O\ m |..r 0O trJ t*r rr-.
lttt.S).S),P*O I o
'-t(*)OOOOOAS\O OO )sr O\ OO 6; g.\t\)(}OOLhOOLh(}l-t[r-JAOF.iT(,^)OO\oooot$O-.ItJt $, *.1 r-r t+) { \OUr-.IOA+\Lht.a)(.l-l(.}tfio\(r)\-)lrr
<>G 5o5\oVVUUUVOt$-vOOFdOotJ OO O\ O L^) \O NJ(, c\ \o oo (, \o c)Oow{\.ILASOffi\O\OOOurOoOO(Jl.aE.=.lrn,t*O(, o\ \o tQ { *".1 o\-.I L$ L*} \O (, OO \-I\O(Jr-JO\HL$&
tttt*S)-e"Sl;c r <}r-r r-r r-r 1t'1 .$) \ J/J
\OOOI;rO\OOOg'tQ()OCIt"rTOOt;rt O r-r t1) OO l-r tl.)C)o\cooot9(}{(..1r1 .\ *"-l Fi{ (, { \OL^{Og\$LAUJ(j) (, O\ CF\ t+J *.I t"r
o<> 5o&\ouuvuvvONJ-*A()r-rOOt.JOOc}\O('})\ONJ(,tO\\OOOLr)\O(}Ootr{{tJrS()oo\o\oooLhoooO("l\&{rnrtr)Ot.a)O\\Otr){*.I ol{(rt+)\Ot+)AO*-I\O (Jr { (}\ F-..r tJJ S
XXXX$srg?pFlFrFtFt
-. d.
-t -.s, $D s, slCf CT CT CTt- ld t-i li*(D(?oot-t \O OO *.1
I
"t) *p pOOO()\t(}C}\ N) t...)g*\ l"ir \OO\ tr} l*rO\ S L+)t\) t\) tJOr-rS
"s) 'p "s)+\ tJ (}OO\O\\o \o rjr(,r\OOS F..i \O\o{o'*lCt\Ooo c,\ s(,..r{t$
I
"s) F "s)(}tJC)F...r O\ SO\{5hJ t,.) *.I*"i o Lho\00{\O tr) l-rt')OwSUrtlr
p .p "s)\O *.I \Ooo \o o\{}-r.$.O\ \O C)O\i$r-. { Otoo oo (}\HLd(.lr
tt,O(}C}u\,voo s F-r+ttrUJt,J *..1 {O\ot\OOOLh(}(}\ (} F-rOO *.I {PO\N\oN{
OOuvA.oo o\ -vLA(.r)HO\ F-.r (-{-)
OOOt\)\OO\O \O *"Itl} F..r (.rrI\)\Ot\Jr-r (rJ S
ttt-$) "p "s)OO S r*rS oo {.})tJ ..J \,1O\ (}\ \OOO Lfr OO\ (} r-..OO { -ir..r ch N)\o[*){
O(}UVA
Oo O\ *uLh UJ i""'rO I-. tj)oooN)l.r-. \O C)\o\o{tQ F.-r (rrtt.J \O t\)t...r(*)^b
IpOtJoo!-ls\ocho\(..t
F)CLNt*)s{ooChoo(Jr
I
s)(Jrt\}o\UJ{o\\.1."J
,oo\(}(l)
oo\oo\ool-ls
t
,O(.r.)\oo(rr{o\{
pOoot-}{(J|oat.r)$
Iplr.raw\oO(Jr{6*.I
"O(}oot,,J{(Jroor$s
125
126
cs F i,(' (-. =
II
=7- 3-
=qE S H4Es
F-fD,Tr-.\jr<=urw
ooq4(D(l)ir- 'FI1gHh,
oawl.'d.t-l,lJ(}33ld.t{,).+tr,sit{hJ
{lrl r
wSo?-|sD
wsDlqrrt)sDHlrrd r
H\Jt-/.t-.ldsetrEs)Hl*,
KoO'(Dfrd
Uol-l*-J
Cff=a
rDIf'{/A\./ra
CnF{*t\-\+t*.JUi(t
\..r/
>h./+)(t)ox(\caCAi.rl,
0\.aJ
CaRt\fiJq\
U2s\|!
oU2
*,tE**aHsxEo rnn FFl 1..+ r6 X rr)
\IArd *a'. 'dlErFoFt(}
PJsFPFr..r (rh { 0OS\\O(}So qJt \o t\)Ut (ilJ FE lrr&t\)s(3\o 00 N) (JlSL Lr) t'J OOUJ OOS+"..tr.U) S Lh OO F-r
zc'{frfrOr0bs ts.qgId*g
i) v)td id.'A
LJt{).J
q
H
|\c4
(-l) I.JbJ Ld \O
J}j*LfiS\o5tJ tJtoo&(Jt t-l)l.-.r .}.H L.")&{('}) F.i.
I.J(}(,oohJoo(JTUr-rs
\.{*J
caH.
$o\IrrJ
\IJnRr\{\rhJo(\r.J
p "s)(} Frr
tr) o\UrO*J O\{(}O\ UJrd, OOLr) ,-r{\O
o\"t*)Lr)O-".tt rra
-..Ib'-)(+){
p(}-\-JC}tdoooosooF")
\{t\\u\s$f$
XXXTsssqH E.H.8s s +Elrl Fd i.r-arDoo(, t{ t-r
a$$rri j$tri*.(t\hJStt\ra
rrt(3(3(}{L"<}b"c,SN}C\\O& tn *.I gr\\os(}J00l-d (,l b,J (})L|r (}\ [,".) (}\Lh S Ur LrtTr}OFJId\D *.1 O\ OO
U)t.'ct E..\.' \is $.\a rir{
I ibr
s.
P P P.r'*OOrrr(;lJO\ hJ t'J Oo(}\ OO 0O t*)c)s\o&O\ C,-\ F.) Ootrrr. { (rh q,|I
ts U) t"lr \O{oo\oooo\ \o \o o\
i\
C4lr*slrr
rlTOUJ(.rI
IJ "oo "o\ Lr-r \O tr.) N)\O**S\Owtr){o\O\ bJ S *.IUIC)L^{O\ F OO F-irJl\o(}\oHoot$\o
OOOU)\rv\rv(}u)(}u)r.}) oo o 00OO (} F-r (.r}O\,.h.FO\(, O\ t..) t..)o r_lTj(}Hi-.t,
\O hJ --,I O-".I { O\ (Jr
tllp,O.,O,\N)O{'Foo oo u) h")r-dS*rUJ(^ ("}) C) *"{+rN)OO("lJ Ur (.tl -.I*L O\ .$ -.I0O 0O *F -.ItJ *-I *.1 t")
ttJ}-p-ploC) O tJ \O(}U)OurOOUJOOOtJ +b (}\ *I(n (rJ F-r \O{ t.'J \O UrUr OO Ch UJ-I *.I (} t-d(Jt UJ (,|t CF\
rttPPP htJO\tJ-oo oo "bJ N)t-. *r 1b U){fi (-}) (} .h,{,*.t"JOOU) Lh Lfi *"I+.9\&{AO OO ..F *.It'J{{tr)
ttPJ}P}O(}(}bJ\OC)(+)(}Lrrooul(}oot..) .5 (}\ {(nUJH\O-.,1 tr) \O LrtLrr OO O\ (r)*.I \.1 (} Frr(";|1 (.,;l-) t_n (}\
\UI
*.J
a{\l*.(t
f"to+$\\ou\oo\
nB'\)ft\.
I
\ou\o$\
t'*..
sra$\\oI\$o\
\\cutb\ao\
XXXXXXgr o) s) or qD s,Ft Fl Fl FI Fl Fl
E'sa)s?A)nra)(]rcro-Efcrl-l l-..f Fd |-f F.rd |-loot}oo(Dr.-.r \O OO -.I O\ &O
llOOO,{{raAA\JA.\.1\J \J {, \-/ ,,
IlJ t$ Fr {+) \O
\O t-n $\ \O \Ord-lulsoSf_rOO\\O+O\OOo+A FJ -.I (, (.,r
-(} -F) -p *(} "s).s t'J O C) t=rC)LNLNt$(}+so\\ooo..FSt;rt.tlC>-.1 & \O N) ur0lo 0'o b,J { uJul -I Fd t\} C)tg OO l+) tJr U)trir. \O (|\ *..1 \O
ltl
-S) -p 13 p _l* J*)(nO(}UJl-r(1\--.I (+) & & (.1) O\SC)\OO\r**"oo u) u) oo 00 c)\O 0O LA OO *'I N")*r OOO(JTFi0ON) UIN)tsSOOt-{ -I Fr.r ts .}. h.*Ur OO N) 6 -.I +h
"slp"slp"pp(Jr \O \O --I t'J O{{c\{$o\c)O O\ t-r Fi.l \O F.ir\O C)OMUJNJAHO\b)t;r\O,{r, \O O\ Frr t-..t Otr") S l'") S OO (,}rUi { g\ tA} *L (J}tJ UJ (.,r F. Ur U)
rttt"ppFppW(^C>OF.r$, !.ri. \O \O -I\O U) -I (r} b-)(}oosoouJt-a i-.* (, O\ OO\DOOObJSclr.l){{{Frr OO t.) OO \O
J}pppp0OUrrd(}O\hJ (+-) t$ h") Fir*. OO O\ *.I \O.r\O-I.rSUJ tJ O -"I L.^)o\&ou)Ff-. Ut -".I (, t.r.rlrd t{ tlJ O\ \O\O t-* tr..+ OO Fd
ttttlppppp-s)t.r..t OO Ut C) (} FrdUJ {r. r_r \O \D -I\O \O Lr} --l U) t\)o\(}oo&oow{ F. }-i (d O\ OO{ \O(}Oot'J*'\o(}w{{{s. F- l.rr OO bJ (}\O Fi'r OO t*1 OO \O
FF"Slp"pOO (, i"rr O O\t"") UJ ($ b'J ii"d*" OO O\ -l \O+\o{ss(.1) t'J (} -.1 (,o\*\(}(,J&r-r{ tl} tr) O\ \O
IC},O
Lr)Ow-"It./nooF.r-I
pC)UrtJoow*.ItJtJoo
I
F>frd
Lr)\oo\{-"I\o&\o
'a-.
{oo\ot'.)6u)Fi..l
o\
s)(}{oo\ot\)o\(.^)
o\
127
a?,rC.)= tr. FE7 S
11 l}
-r F $9er.s
L,t?E
XJrtX\o
t4)(\)ox(\Vi%a\.ir}
CaqGr<F.L
U2q
$h
F S& 7,5
sie.xFoiijnfrFa trd '6 H cr)\., 1n
H ta.J'' '?/l-a
o]H$
C)O (}uu4\,tdq;l'-uOO
=I tr} O t'")F. Fir \O O-.I -I Fr.r \ON)5u)00NJ(}(}\OU.}-t\OUrO
zc-/1
tr
-1 frfro(Dirs B.qgtdSss)V)td l-'ol-ttJ
(*} ir.)bJ&00
-
H
ilb\osN) tJrm'*.\t F.&c)\o Lir50\(r\ -",1
I"J(}(.$oob,Joo(JrUrFr+*
PF(} ir'-rtQ OO&c)*.I O\(}{uJ o\F...rr t$bJ t'J(JJ F.j
JJ(,.l.)
t--.UJ\o(}6r.}}
IUls{ooo\rdI(}
lJr
q
!aq
!,s.C4j
\q{J
fr7
fi\r$:h(\a1\)(\(\\
128
\rG}t.l\ss$
\J\J(\iri:ot{.
a\iJsr1r)
ce.Hrt]A..a Ftd Rt"\l1Yt\i
clftai
1r..N,
[a1r.rLsl.rl{
f.Hlw
aF.
t\.(\
f'',$-ar*.t'!s\\cu\ss\
Fra '\)s(\\\o(4\oo\
l'\.\)t(t\\c34s\so\
\\cs,.
\()s\
XXXXXXXXT'E!HHHHEEHss s s s s s B- &Eo(}oooo(}ot...i OO { C\ .F (4} N) Frrr(}
ltttPPJ>PPPF;-tA(}OwFd(}*rC)(}Fdte)\OSbJO\\O\O \O t.r) O\ Ur Lh 0O L|)(.r) O\ L$ (} -.I .h +' U)OO C) { O\ F-. { \O Fd'r..d*s\o(}\&c).Ftr... t$ \O L$ (.r) t J OO \OUJNJ\OOO(}O\SO\Ut OO 0 \t OO L/h l-r (}\
CIOO(}FdA{{A.{{A{
.r-OO'-=OOtrz=UJt\) (Jh hJ Fr..r (Jn t.J Fd .htt*.J Ur OO C> \O { t.t.; \O{UJtdLhL$0OOO\Fri \D ld S\ C) O\ & t\)tr-{ (,l O\ Lh L}) NJ *-I Ssl O (J.t *. LA (}\ F.i ldl.-* c> \o (Jl oo N) F.r \o*' (*) F.rr (Jt O\ \O Or (.}t
tttttJ>J>J>,r*j,J};PJ,JY,Lfi OUJFi.i{&\O0ON}\ost.'loo+(J|hi{oo(J|(.r} Lr) 0O C) { F+ t,J 0O -.I(}\ o\ot\}t$bJooN){t$ tJt 0O r-r O +. O Fr.^r Ogt\ OO OO S Ln { __.t (n +rfi OOt.J(,rtN)O\S-lUJ
"s}J}"ppp p}J\O *I tr") (} O.,- (} r=rC,t\tJSC)t")UJ(}{{O\gt\q}FdO\(}{r-d Ln 0o \o o\ \o o\ rJr\OOL$\OHO\\OS(.lJ5(l.\F..*(Jt91.*J;'nOO OO O *.I UJ Lh) S \-'q}{.'$.r-rrEr\O\O(}\O { U) (+) \O tlJ \O Ur
ttlrrtt
"sl.,5}p"s).s)pppFr-.dSC)(}F-rb.JC){(eJuJ rJt\o\D{o\oordoo\ \osr-,oooobJ{{Ur UJ { & O F.rd \O i-} OO,1b' Lh N) C} c) hi=r \t t$ t,)r.lJ\c{lt&\oN)\or-,{\oAs{Fi'oo\o.=ul\O (1UJOOTd\OG\Or;lto\0o00{&&5b.Jr-r
<>OO &cr r \ou r, u -^ u u /r+ u,FFdC)*r-OO.r-OO{(eJbJO\FJUJtr)-.IOO UJ +" ld (*) tJ I-. OOr.d\O(}\SUJ(}\OOOFJ L$ La r-r Fr-r (.r) OO (}- UJ S N) \O FrJ ("r1 tt.")O\ * \t \O .'.J u) <} u)--I \O \O (}\ NJ { tJI OO\o Lh (Jr o\ tr) t.lJ \o rd
rrttttrpJ}"pJ}FpJ}pFh..... +" (} () Fi..r b,J C> *.1 (t)UJ (,h \O \O -".t O\ OO F-i. A(}\ \O F Frr OO OO t'..) { {(r1UJ-I-}s.(}hE\OF-r0Os t h N,J o C} rid .-.I uJ Ir.)U) \O(,t\+\Ot.J\OF.{\t\O +S*.IHOO\O(>UrO\ 0O0O-.t&s..b.Nlt=r
<=Oc>&Or\o".b. ",- "O P "O "O ;p "Oo
{ (}) t.} C}\ tr} UJ bJ -.tOOLr)St*(rtr)FdOOr{'1 \O(}\&(rJO\OOOhJ L$ tA F..r Fr.r (.1) OO 4}iid (.1) +" t$ \O fd, (.1l1 t J*,\0O{\O{L$Ot})\.I \O \O O\ N) { (J| OO\o rJt (i o\ l.J L$ \o rd
tO,(}(,l)
IJIo\\ooo@UJ
,OtJririUJso\(Jh{1.4
,(.^Ut-."IH*^..I
UJN)\.IrJJ
PC)*.t(.lrsOstJu)
F)-.I(xsC)$"tJLr)
2f\-X7 .=i> '{r,
?,ne
nE.cs-rt--l-l,.dxr-{ ut-\tl-J'J X
;-IX\o
f\-rt4l(\
oo\$(r:lrlo\(\acaqsRl\
3r.lrl(..L
t\u)
ASFWKH H,H?gfi a-''+ s:
$Eg.HEO tIIN 7Fll*f6 H cnUA.
HllJ., ,}l
HA)H(}
PJ3Pl-d o\' { .r-Lh b,J (} oo&ur{.u'(.r) { O\ rd\O $, Fir ldOO +I tJ \OO t,.) Ot {(.l.)+OSL.d
tr) Hl OO U) O\
zc)t
-l nfro bbS E.EIdSsg? (nl-. ld..A
lrJlrild
t.rJ t'",)t.Q LA {
a
+rIt\ti
t,J O"(} "u, .l*UJ \O +.0O Lrr St\) \O tJ0O (}\ (.lJtn OO FirUr CO O\r-. { (}\FSS
,1-\ ,ALr' \./
i:) -ttN)(}Li) O\oooUJSm(.rl{N}(.l|t U)(.rrS
(\a\lr}{\(tih.{t .l
oo"o\sUJhJcoooA
JTJt\,)Oooc\rfj
TOtJt
s\s(\
a(}$
r:(\tr)$t(a
CaFr{r\'i.{\Fr;l
s,Ll\.dFr{
r*l\*\)\
{r.rl
f4q(\talira
+.vI
11
atirr(u
f"0dtGn\cu\oo\
$TJ$\\ou\oo\
f"$-1Q$\\o34$\os\
\\oI*\oo\
XXXXXXXTqEHHHHHE-r
i. r. ir B. H. FJ. (}s s s s s s ss6'5"5.5'5'5'6"tr.ir OO O\ .$. (-l) 1...) FdO
ltllC}O(}OOO"O "(} f- irJ "t-- "C, "J}. J*IFJ f-r -- \O (n t".) --i t\)\OtJr(}\OLrrtl){(,N) O\ Lr) \O \O C) (.r) -.I(Jttt.)HFT*CF\(}\(}\O(}tdO-J{Lh*.1(Jrt.tJ(.lJ(.,tOO{(}(+}td \O F,{ (.1) OO Ln UJ F=rF...r (.11 F-i l.rr \O t.lt t.J tt )
(}(}C)C}(}OFTT-1-1 "g1 L "C, "6, ;.- iJt-+ tr.) O (;r t J r..r. (r\MO\(})ornur&S \O ttJ \O O\ -J UJ(.1) O & Fr.r OO (n tt.JN)OOC)HLrrN)Sr-rOO("}1SO\\tSth & t OO f-r S O\(}\ \O [,J OO O\ t-.] t.)
<>rtrJ,lr&S,qJr"(} ,l* "OO b "OO L \OUrLdhJ\C++t'.J (}1 Lh Lrt r.-. O (}bJ\ooot{s(}o\(Jr(}(}OooofiL^)A \O (+J O\ (-r.) tQ t-rUJ (, N) tr) (}\ -.I \OL'*)\ouJNJ\OCF!S
(}(}(3(}(}t*rr-S) "t-r b "C> i,; '<} bo\0urC){}\OO(}+OOO(,OOONJ&\JO\ESUJ\O(ns00\oN)o\i>t+!a!{\iorrl1...) O\ O tJ O td *;\O+LO\O{O(}{ { \.} (,rt F...r O\ O\
rlrtt'F>J>.S>J>;,-P-t>Ft-r$q}i-r*ruO{O\(1-)+"OOOAN{FrrQJtt.J t''J O\ *..I O\ {>, Ur bJ0O+rtab.JO\O{tE{OO(nCE^-JC\(}\.Ft\.) -.1 O l'.J { OO tQ OO
rrr O lFr (/h O { ()\ (J\S UJ t*J { O\ tJ U) \D
<><>c>O&<> \o"C> "e i:> t}' b -<> J* "oo*.1 { 1...) H (-,171 (.}) -u $,5 Ld & b,J H (} t'..) C)(rJ *"I tl1 (;1 q3 OO t$ \O(,r N) OO ("lJ O\ U.) 0O \O(}J {oooouJt\)\oooo\\o{A{{o\o\O \O F-d O f-r O\ \t t.Ib") tJ F-r {Jr 0O r* OO tr)
ttttO(}OTOO.r"s b "-'Jc "o \ "o'.tr.OOOOTJ{HL$NIot{O\St.rru}& l".lt tlJ (} \O { F.-rOOtJTOO-IO\O\5*.I O tr) --I OO t'J OO
O i-r{ (,h O { O\ (}\UJt\){O\TQIJ)\D
IPPJ3-s)o \D;F.b"fic}"oA"oo.*JtJtd(,(+)-v5bJSN)HOI',JO{tJt;TClOOUJ\ON)OOtJJSU)OO\O-.I OO 0O (.lJ tt) \O OO\o{s{{(}\(}\O lFr A Fd O\ { l..It1) r-r tjr OO F{ OO t,J
(,C)UJ(}00\o&H
IC)Ut00F-.rtJr\oo\o\wtj
,(}(no\o\&o\Hoou)
I
lrlwt-Joo{F,J-.Is
O{sw(Jt(-r)o\\otJ
129
130
ce ffq L- ir
LjFEl 7-t:Jl.>YFtr? S9b,fr
H's
cr(?E
X-utX;-lX-*X\o
F trE 4 Eq+a+Li.$H.gHEOtr]frFlrt L* r6 X u)
VA.li.a llJ'-
l.lODH
ppp-(}F.r.r O\ { OOLh+*(}..FH(}{i-r& C) l;r1 F.--rfi..r (}\ Ur O\s{sh.)O\ O\ \O ooLl) O\ *.I OO {UJ{srtJt\t
Z,otr
*1 frfro(Dt}s B.qgidPsq)ul-r lJ.
otd,)
h(\00\(isEA+2
ArlqRrsq?:!l..l\hr.(\%
q
!av)
Nv)
(.1) tr)tJ Oy S\
l'.t.r{l
Caila\rF.
irr ilh
Gt{
hI
\J
G\r
{
l..J fl I t...r\, v l'v
O Lh'SUJ \O$OO (7\ t'JtrJ (} F=roo 00 \o(Jt S\ \OLhSOf=r (, -..ts{o\
p -s)(}tJt"J At'J C)\O Ll)N) (]\O\{
(}:troost\)o\0\\os
Iu)oo(}0\(}\rnI
o\
N\tiia.
a$$
a\)(\rr.,i j(\s\lrilgtlq)
%tlls=r- \i
E$\r {\
I r:l
s"
e..l
Caq
s!,..L
\;IJstrl(\.t\
f-.\rs\\o(4\aa\
\\o(.rr\os\
fr(\?aQ(!\\c},,\ao\
\\o(,l
b\$o\
XXXXXXB'01s3olo)olo);.iFl Fl Fl F,t Ft Ft --J. dr
-. 'rd. !l . Hr (9s + s + + +E
O(}CD(}(D$Fd (l.\ $, UJ t -) F-.r
Itltt
',slFpppp;rO ClUlt-.O&N)t") (,J \O un N) -J Llr0O Fd -.1 {..1r1 Fd (}\ (.14
.$N)O*.I-.IOO\O tJr\O+UJN)O\(.lrS*"tt'J{&N}\O L$ O\ F-r' (.h *-.I t\)OO r-r LA O\ t-t r..I i}
(}C)O(}Oti.d"s "<> .F i3 ::> l-, \JS" tQ (} S b.) Fr... ri.rrOO O\\O\O'rtrrr-r.Etid (.;x) (';l) 0O { \O f-r(}\ U) (e) S\ CF\ S -.I\O hJ F*r { .$, H?OO.hO\*LrtSFirC)C> L$ * { F-r f.iir Soooo{o\\o{FJ
r*t.lrLrrJ* "t ) Jr) p Jt \Orir Ln F-r OO N) *.IOO (,rt tl) -I Lh L,rro\+L$\.Ir.tl)\O -..I F-r { O\ 96r-d { t$ \O \O --t
(}(}Ot\)\r9vv
TQO*,-OO\SO(.lJOtTJfJlo.,-rcos\O tJ (} OO N) C)\ouJO(}"tr.t\)Ut '\O }' '\O Fd FriO\AU)\OOOT'(.|) \O (Jr O\ OO C>S+.O\S{O\
lltllpJsJ}slpprF"tF,(}trJtrJ(}{-.IT\}OOO(Jr*"IOUr\i (..ttJTOONIO\\OtJr UJ I'J NJ (}\ rd NJ(} OoOO.F"*l.O\Oo\O Fr.r O\ O\ rd (.1) QJrd \o \o o\ oo (n 00w*bJoos&u){-.') N)o\s}.J@\c
O O& &u A. -\, \, /A \' .?O .r- (n O .r* N) .r\-.I(}OOtJtOS--tC)tr)0OtrJt'JUt(.rt(,rr I.',J \O hJ \O OO C)frr. OO C) L$ Frr. OO OOOO-IOOOo6.14.5lr{ (.1) N} F.rrr O\ OO pU)OO+"F.rr(}IlJ{Oo&{SO\t-r
ItttFpFpJ}FC) t'J t=") (} { \tOOOtJT*.I(}(JtLh tJt OO t'J (}\ \O(+J N.) t-J O\ rd t'..)000,o*so\oofri. (}\ O\ F...r t$ t l)\o \o o\ oo ur oo&t\)oo++(JJN)(}\+\t{&\O
tlOC) (}.F i/, "c, p \r JoO*La()F-IN)@(,tJ(nLhtJ \O t{ \O OO (}OOC)UJFdOOOO*.JOOOOO\SSU) N) hd O 0O rErOC)+FrrON)OOF{S(}ti-r
IO)(n\oF.i(J}}{.(}r./h(Jr\oF")&ooO!ldFJ
toFif
t\){tt(}\oFr.f
u)Lr)
s)O{OtrlF{ooF.il
UJ{
ow ffq (- ar\-{ Lj flEI '{
=t'lrlYru? $L>')fr
E
-\Jt?-XJxX;'IXsoXJoXl...t€)
AJ$
00!$r-2Ca
t\
hI
wi.*sF.rU2q
$(a
F $E N 5r'ux,Ei.0Fr
$HH.HEoiijNfrHH'-dHu)
\J F\ld tfl'a '4t-ao,H$
ppFpFr.r C}\ { OOss(}(,})\o oo u) ooLrt -.t O\ 0OOO UJ F 'r liEr(}Ldoo\oOO {$ -I OOtr) 5L$Ur{Jt(.1) { O\ t"J *I
zc{:tr
'-ifrfrOi"i"s E.q3'|-rs$o) v)ld lrj o
oHlJ
(.r) t\)t$ *"I tJt
*
>,N(.ll
N) C)b -o\ -l'-UJOF0O S Lr)tQ rd A-0O .= F:ir,l\o{Llr O\ Ut.$, +. F.d
.A A\J LJ
i3 "t")tJ OOt'J O\bJ oo{ (})#ur
ha,
ft*\.ti)
(t{J
l-l
J\.)ool..ri\o{r"Io\l+l\o
Fr"\o&(}\C)(JtrdI(}s
s\ha.stF(s
\J
aIhha,
$*a-(b\llrJ3\t.v2
Ca,hL
t5J s*FtdR\*r tl
I\
t-iFr{
!"i'
caqLsFr*.
|.F{
I
N]
tll
fs
f*\)ris\\ct4\$o\
**it5s\\ota\q)o\
fto#!+$\\cJ,,q)\$$\
shr\)s\\o-!a\$o\
XXXXXTs)o?o)oro)^E. 3. =. =. =. F6s).ol$$lirtrlCfffggFFlirJ l-. ld, H ldoflr)$oO\ +r (a.} t.'-) td
IrttJ>P"c:"SIP;rq} -'fr. r-r (} Lh U.)UJ hJ Or t'J t,.* (}tC\S\OLhH*..ttJOOq3F.t,}TO{ \O *. OO b.} O\& t+) *. C) bJ \O
oot$*\o+u)tJrteJOOm-{(a)
P P.P *(}.P -l*C)O(}O(}Fdt"J *.I # FJ \O OOA\O(J)(})U)5O\ O' \O -."I Ll.J -..It.') S { *"-l -i \OLhl".,rtFr\O{\O\O t.J UJ t.J Ld OIJt*E'NJ{idiFl(.ASA0OU)H
rUtttl6.;- "*, J*, 3_ JJt "N'S UJ OO (} + rr--..\tS+Ut-.I{uJoosoooo\oOhJS\O(}\Ot*..F.tJStJr-l
OF..iOAOOF4\, \, \, \, \, \,i....r h,J O 11) .}5 LdLAAO\OL^\ObJOO\OO\Li)bJ tlJ O\ O rr CI,..
-+.=3eOmO\\Ommh.J *r' \O { i- tr-\OO{&O(}tQ tJr \O rd O\ O\
ttt.s}"p"s)-F}FFJ t'J (} -I \Oo\{Jl{oq,rnr \O UJ U) ()\st{\o|-.(}*.I O\ { ii.r O\$r (.7r1 r..rr fi N){oooo\o\oOOur&C\UJN) Fr (, {"1}1 tr.")
I
'$}-SlP I PLAOO'P,\I*- oo \t FJ w \O(} OO OO U) trd OOH UJ0OCI\\O(}
*. Frir t J F-r \O {FJ Fi.r It. ) (} l.J O\(,rr OOSNJOOtJtLr) (}\ .}r. +r trd (.|)\O tJr S \O UJ Lrr
ttlT(}CI(}(}.F
,r-\ \t \, \t \, \,
--teN)O{\OO Cr\ tJt -I A Lr)0OH\O($Lr)O\C}\ ..F. t$ \O l..d C)OO { CI.\ ..-.1 r-t O\(} .F ur F.rr O\ t\)t$ {oooo\o\oO\OO(.aSorLl){ FJ i-r (.1r1 u t..J
lPJ>PAIof"14OO.r*\.I*,-Oo{t$w\OO OO OO U) t..r OOr..{ (+} OO $\ \O C}.$ F-i t..J F-r \O {bJHI..)C}NS\tJtOOSt$OOuruJ O\ S .b. i--.r (,\OUr+.\O(.lot..ln
I
,O(}0,oc\ooOt-.)o\{
131
132
o2 fSF E'JL>YFU'7 S
')fr EI -1.'sD*Ut}-XF^}
X3rr
X;'IXsoXJI}Xhr.-\-,
A)(t)a($f4C4
o\.!rr)
%qs!.rl,lht.gaq\t
(\d
F trE N 5fi; * E.o =, h'3F'E'* a&H 5'6 iiln 7f{LJ'6Hw
LJ A.t- llJ'. '-HotHt}
ppppr-d o\ €\ oo*bS\OUJ\O { Fd Fr'r'\otQt$s(}r!*OUt+O\O(}O\ \O t"rr t'JUJ U) tJr OO \Ot$o\60\id
{frfrooos E.q3'dAso?wl_a td.
ol.*tJ
(+) t-Jtsoos
!aV)
j} -l*O\St$ c>\o \ol-r (}\o oo\o o\\Ot-.tOO qJI
t\))
(-l)
00t\)ooIJtrJllirds
e
as\r\)aat]
ppo (.[)1..) t/rt..J t\)sN){{F.. N)
iF-atJl
b\r.I(}r+sl_llrds\
JJo\li..r\.I--lo\FJI!A!\-)
-..l
\<{*trt\a$"(\
e$
,(b\br\aJ(\rii.(t\hlSrrq
fr)hIN'\.' \E$vqat\r
s"
!..f
%!ia.
$kL
\rI
slrrl*\(\
t.'t\)tfu\\ou\(}o\
rablr.\)\)f[\\oh\(5o\
f.+s.iaJq(b\\os^\oo\
*rts\\ouq5\()$\
XXXXTB.E H H *$ S $ sfltd lE id tEoooosr.tJNlH
ttr-Fl.,C)-s)*OJ-Iq}'}.t...t"hN.)(J) F-r O\ UJ OOOO.F0o(}-I*.I Ut *.1 & O\Cl\ tJ (Jr (Jt OO\oooouJ\o\o \o tJl uJ oot+)LnS-.IO&(}\{Il)O\
(}O(}rd\t\JA.uv
OOu-'/-Ohr-rhJ{c)\oooS \O *. t'r"r {r(nN)*"oo\oO\rd(}&OOrrr N) o\ oo *r\oo\(Jl+r{\O O\ O\ t'.J \OS (}\ UJ *"I I'.)
Lrt I I O\.ir J*r J,r' ;t
fwm-.JtJr(;r t$ N) *"I (}OO Fr tJr (.a} t..)t$ {Jr LrJ F-r' OO
(} C) t"rJ Fr-r
L J- '"O "w "'tt.)
hJ .tr. C) t.rr t\)UIAOUIUJ-.I oF\ O\ O\ +(.tt O-. Ot t1; rd(.il Er \i F: Fr
I F i IrdC>SOOtQ ("n -.t O\ C\
Irt
"s)J}pp"}O tQ t.J *"I OOOO Lh tJr trr (}\\O tJ \O OO C)ON)O(.rrLl)\O C\ r=t \O t ll(} r-r 0O l..;t) tJr\D O\ \O & t")Frro\{...Foo
IpJ}p JoC>rrrOA{-{{r--.F... o\ oo L}J ur(..rt{*r+r(}tJt OO OO tQ t\)rd0O(}1L$Ht J -J i-r tr.r q3t'Js\o(}oo(+)(*\g\-F..F
rrlppp-(}F(:) tr) tQ \t m0O(Jr(nHO\\O tJ \O OO O(}bJOUrt/)\O O\ F'* \O t'ltF.rr \O & O\ OOC) F-r OO Lr) L/h\O O\ \O *r t'.)Frr O\ -.1 +. OO
Tsl- p \oO(aClA--IEr{{r--
fr.* O\ OO {.r) (Jrtlrtt-I{r...b.(}(,tr OO OO tJ N)HOOO\(JJr-rFJqFrF...Oh.) +" \O O OOUIUrO\SS
c2 f1"1 \- ii
=i 5')r.>YFUC sr>,Jfr
E
-\,-(DXhJ
XJxX-aX;-IXsaXJeXl.J.qY
t\HA)(\
DA\(\Uia,
\Gra
C4!rrr.(\t\l!\*ha.taq!.ri{.nv)
H Ht*lrt trff X E-o =ri5 IJ. i1* ' -
H.7F:+="dg a&H 5'Orr]NFl{i{,d H u)
\J A,H ttd'. '7r/|ras)Ho
p"F}"s}J},d (}r\ (}t\ OO(,rr F.J 6 rd,t.r) \O Lr) +{(}OO-.1C) { ("rr -.1\OC,.\OOt-.-r ($ -}. t-r
UJ (}\ OO -J \OL*; 1;tr F.\ tFd (.lr
zC<:
-tfrfrO?D?Ds ts.q3'id+$glwl-. Fr 'ot+tJ
(JJt.JtJ \O {JJ
!aqp.j*(}\ UJoo tJlUt t,Fa F-rO\ Fr\o{
I")OUJoot\)oo6
s\v)
o$\.t\la(\thr{J
FPC),StJ ("|rLrJ fdCl'\(}t$ u){\O
l_r\ob\o(:)(.$-I(}t\oF.-r
F\o{(Jrf-..\oF]IC)-.I
YA\*{\trra.
ss(\
n()rrh
%t}lss$\. frrar\ s
nt{.
Ca!|rl.si.l\
"uI
ss*$u
f"$"a(\\\ou\C)a\
}I\)\rfs\\cbr\Q$\
F\o.C?t\
I
\os,,\$$\
\\otJt
b\$(D\
XXXS'ssfqororori+-rrrvHr rd' rdr 1}+ + $Eld lrd |Ea(t(}(DS UJ F.ir
ttOO-I/.\ \, \, \,-U rr.t (..1|1 H
SO\u){li-rr \O O \Oc)h,Jssh,J \o tJl s(JI (J| C'.\ CF\UT(}OO(}r-r +r *"I OO& Ur O\ Lfi
O(}Fri'tl -., ,q '\,
O O'V t\)OO^$(}FFT
t.i t-r '}, O-..J 0O l=r t..-)
O\ w Oo t\)
Lh I Lrt-^. (.1) I *
8";J^S,ulsq\00\o o\ L$ o\tJ \D tJ +rU) F.r $r (,
hJOSFd\,\r\,uFr.r A UJ \Ooo(}oo\oLrJ (} Ut h.rLrt -"I UJ (JttJ \O \O O\rsrr(}t.JOQ(, \o o\ c,r\
I(}r(}&ir'S>\bS t'.) t\) \O.*.(}\Ll-)OOt*J F-.. (} uruJ{{u)t\)oLh6\S(+)Ur\O5 0,o\ow(.r) \t -{ \O
ltpFplo(,'T(}Llt)O\{-"I(.r)(}iO\O\{(}tr} oo oo uJ{@(})(.rr*-.l O\ oo (,OO tr} r-r t ')bJ t*J (Jr t'l.)-"I F... Ut t\)
IOrO.F.\r,A.uuN) .rv \t S+N)tJ\OSO\UJOON) r..r.r (} UrUJ { -.I U)t\)orJ}o\&(eJ(Jr\OS OO \O Ll)(1") -I \t \O
tlJ}pJ}lorn(}rro\{{rrq\O\ O\ -.t ON) 00 00 uJ{0ot$Lh{C}\OOtJtOO tJ rd N)(JJ NJ Lh t...D
{ F..a (-A hJ
133
134
Lampiran 5 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari Model Linear
————— 19/11/2012 10:09:08 ————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: V versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; X9; X10
The regression equation isV = 1,56 - 0,000001 X1 - 0,000000 X2 - 0,0145 X3 + 0,398 X4 - 0,00006 X5
- 0,00362 X6 + 0,000526 X7 + 0,0079 X8 - 0,0291 X9 - 0,000000 X10
Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 1,5552 0,6736 2,31 0,031X1 -0,00000095 0,00000040 -2,37 0,027 1,718X2 -0,00000005 0,00000003 -1,48 0,154 1,219X3 -0,014464 0,008809 -1,64 0,115 1,739X4 0,3985 0,1426 2,79 0,011 2,461X5 -0,000060 0,001098 -0,05 0,957 2,206X6 -0,003624 0,002044 -1,77 0,090 1,581X7 0,0005263 0,0005796 0,91 0,374 2,406X8 0,00789 0,01577 0,50 0,622 2,043X9 -0,02910 0,03993 -0,73 0,474 2,061X10 -0,00000003 0,00000003 -0,96 0,347 1,626
S = 0,258034 R-Sq = 65,5% R-Sq(adj) = 49,8%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 10 2,77763 0,27776 4,17 0,002Residual Error 22 1,46479 0,06658Total 32 4,24242
Source DF Seq SSX1 1 0,64389X2 1 0,06913X3 1 0,18927X4 1 1,38239X5 1 0,00654X6 1 0,32047X7 1 0,06420X8 1 0,00024X9 1 0,03994X10 1 0,06155
Unusual Observations
Obs X1 V Fit SE Fit Residual St Resid25 1000000 1,0000 0,6836 0,2094 0,3164 2,10R32 385000 2,0000 1,1564 0,1241 0,8436 3,73R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 2,27351
135
-Uji Normalitas
Uji Kolomogorov Smirnov digunakan untuk mengetahui distribusi data,
apakah mengikuti distribusi normal, poisson, uniform, atau exponential. Dalam
hal ini untuk mengetahui apakah distribusi residual terdistribusi normal atau tidak.
Kriteria Uji :
Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05.
1,000,750,500,250,00-0,25-0,50
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
RESI1
Perc
ent
Mean -1,05976E-15StDev 0,2140N 33KS 0,148P-Value 0,065
Probability Plot of RESI1Normal
Kesimpulan :
P-Value = 0,065 > taraf nyata 5% residual berdistribusi normal
-Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar
variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam
model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Ada beberapa metode
136
pengujian yang bisa digunakan diantaranya yaitu dengan melihat nilai inflation
factor (VIF) pada model regresi.
Kriteria Uji :
Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
Kesimpulan :
Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,219-
2,461 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
--Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan
varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang
harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala
heteroskedastisitas. Ada beberapa metode pengujian yang bisa digunakan
diantaranya yaitu Uji Glesjer. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan
antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya.
————— 19/11/2012 10:26:04 ————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ABSI1 versus X1; X2; ...
The regression equation isABSI1 = 0,008 + 0,000000 X1 - 0,000000 X2 + 0,0116 X3 + 0,0479 X4
- 0,000199 X5 - 0,00016 X6 + 0,000274 X7 - 0,00507 X8 + 0,0032 X9- 0,000000 X10
Predictor Coef SE Coef T PConstant 0,0077 0,3593 0,02 0,983X1 0,00000019 0,00000021 0,87 0,393X2 -0,00000004 0,00000002 -2,35 0,028X3 0,011621 0,004698 2,47 0,022X4 0,04785 0,07605 0,63 0,536X5 -0,0001991 0,0005855 -0,34 0,737X6 -0,000160 0,001090 -0,15 0,885X7 0,0002736 0,0003091 0,89 0,386X8 -0,005065 0,008414 -0,60 0,553X9 0,00316 0,02130 0,15 0,884X10 -0,00000001 0,00000002 -0,86 0,396
S = 0,137627 R-Sq = 47,6% R-Sq(adj) = 23,8%
137
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 10 0,37918 0,03792 2,00 0,084Residual Error 22 0,41670 0,01894Total 32 0,79588
Source DF Seq SSX1 1 0,00150X2 1 0,07413X3 1 0,19084X4 1 0,07661X5 1 0,00051X6 1 0,00141X7 1 0,00865X8 1 0,01114X9 1 0,00022X10 1 0,01417
Unusual Observations
Obs X1 ABSI1 Fit SE Fit Residual St Resid32 385000 0,8436 0,3865 0,0662 0,4571 3,79R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Kriteria Uji :
Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih
dari 0,05 (taraf nyata) maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Kesimpulan :
P-Value=0,084 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
-Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara
residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi.
Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model
regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-
Watson (uji DW).
Kriteria Uji :
1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol
ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.
138
2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti
tidak ada autokorelasi.
3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak
menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Nilai du dan dl dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang
bergantung banyaknya observasi dan banyaknya variabel yang menjelaskan.
Kesimpulan :
Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan
taraf nyata 5% maka nilai :
du=0,7955
dl=2,2806
4-du=3,2045
4-dl=1,7194
Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,27351
terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada
autokorelasi.
139
Lampiran 6 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata BahariPulau Pari Model Double-Log
————— 19/11/2012 9:14:06 ————————————————————Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ln V versus ln X1; ln X2; ...
The regression equation isln V = 6,64 - 0,470 ln X1 - 0,0261 ln X2 - 0,147 ln X3 + 0,439 ln X4
+ 0,074 ln X5 - 0,0467 ln X6 - 0,0029 ln X7 + 0,072 ln X8+ 0,007 ln X9- 0,0281 ln X10
Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 6,640 1,533 4,33 0,000ln X1 -0,4697 0,1303 -3,60 0,002 1,836ln X2 -0,02614 0,02878 -0,91 0,374 1,346ln X3 -0,14741 0,06684 -2,21 0,038 1,988ln X4 0,4395 0,1246 3,53 0,002 2,286ln X5 0,0742 0,1023 0,73 0,476 2,535ln X6 -0,04669 0,03499 -1,33 0,196 1,735ln X7 -0,00291 0,06509 -0,04 0,965 2,113ln X8 0,0721 0,2699 0,27 0,792 2,047ln X9 0,0067 0,4095 0,02 0,987 2,315ln X10 -0,02815 0,05348 -0,53 0,604 2,192
S = 0,162231 R-Sq = 71,6% R-Sq(adj) = 58,7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 10 1,45927 0,14593 5,54 0,000Residual Error 22 0,57901 0,02632Total 32 2,03829
Source DF Seq SSln X1 1 0,50242ln X2 1 0,00725ln X3 1 0,24659ln X4 1 0,62937ln X5 1 0,00027ln X6 1 0,06486ln X7 1 0,00005ln X8 1 0,00112ln X9 1 0,00005ln X10 1 0,00729
Unusual Observations
Obs ln X1 ln V Fit SE Fit Residual St Resid32 12,9 0,6931 0,1003 0,0750 0,5929 4,12R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 2,56828
140
-Uji Normalitas
0,60,40,20,0-0,2-0,4
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
RESI1
Perc
ent
Mean 4,508178E-16StDev 0,1345N 33KS 0,206P-Value <0,010
Probability Plot of RESI1Normal
Kriteria Uji :
Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05.
Kesimpulan :
P-Value < 0,01 sehingga dengan taraf nyata 5%, nilai P-Value lebih kecil dari
0,05 residual tidak berdistribusi normal.
-Uji Multikolinearitas
Kriteria Uji :
Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
Kesimpulan :
Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,346-
2,535 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
141
-Uji Heteroskedastisitas
————— 19/11/2012 10:04:27 ————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ABS RESI1 versus ln X1; ln X2; ...
The regression equation isABS RESI1 = 0,585 + 0,0253 ln X1 - 0,0250 ln X2 + 0,0770 ln X3 + 0,0632
ln X4 - 0,0218 ln X5 + 0,0022 ln X6 - 0,0085 ln X7- 0,089 ln X8 - 0,047 ln X9 - 0,0092 ln X10
Predictor Coef SE Coef T PConstant 0,5847 0,9154 0,64 0,530ln X1 0,02526 0,07780 0,32 0,749ln X2 -0,02502 0,01718 -1,46 0,159ln X3 0,07697 0,03990 1,93 0,067ln X4 0,06317 0,07440 0,85 0,405ln X5 -0,02179 0,06109 -0,36 0,725ln X6 0,00220 0,02089 0,11 0,917ln X7 -0,00845 0,03886 -0,22 0,830ln X8 -0,0894 0,1611 -0,55 0,585ln X9 -0,0468 0,2445 -0,19 0,850ln X10 -0,00923 0,03193 -0,29 0,775
S = 0,0968523 R-Sq = 42,7% R-Sq(adj) = 16,6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 10 0,153698 0,015370 1,64 0,160Residual Error 22 0,206368 0,009380Total 32 0,360066
Source DF Seq SSln X1 1 0,000244ln X2 1 0,031570ln X3 1 0,074050ln X4 1 0,037446ln X5 1 0,001787ln X6 1 0,000232ln X7 1 0,001980ln X8 1 0,005124ln X9 1 0,000482ln X10 1 0,000784
Unusual Observations
Obs ln X1 ABS RESI1 Fit SE Fit Residual St Resid32 12,9 0,5929 0,2288 0,0448 0,3641 4,24R
R denotes an observation with a large standardized residual.
142
Kriteria Uji :
Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih
dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Kesimpulan :
P-Value=0,160 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
-Uji Autokorelasi
Kriteria Uji :
1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol
ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.
2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti
tidak ada autokorelasi.
3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak
menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Kesimpulan :
Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan
taraf nyata 5% maka nilai :
du=0,7955
dl=2,2806
4-du=3,2045
4-dl=1,7194
Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,56828
terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada
autokorelasi.