pengusaha client
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kata klien atau client berasal dari kata cliens yang berarti pengikut. Dalam
konteks Pengusaha Klien berarti hubungan antara pengusaha dengan klien atau
orang-orang yang dekat dengan pengambil kebijakan atau pemerintah. Hubungan ini
biasanya disertai dengan imbalan tertentu. Hubungan ini terjadi bahwa disatu sisi
pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tentu hal ini dapat
terjadi dengan bantuan para pengusaha atau penanam modal. Disisi lain pengusaha
tentu mengharapkan keuntungan dari kekayaan yang ia investasikan dengan
sebesar-besarnya.
Pada negara berkembang hubungan pengusaha klien ini sangat terlihat jelas.
Sebagai contoh di Indonesia hubungan ini terlihat pada masa pemerintahan Orde
Baru. Hubungan ini juga terjadi Pada masa pemerintahan yang lain. Maka makalah
yang kami susun ini akan dapat memberikan gambaran bagaimana hubungan antara
pengusaha dan klien terjadi. Bagaimana hubungan itu berkembang, karakteristiknya
dan tipe pengusaha klien akan dapat pembaca pahami disini.
1
BAB II
PENGUSAHA KLIEN
A. PENGANTAR
Fenomena pengusaha klien dapat dijumpai di berbagai tempat dibelahan
dunia ini, terutama di negara-negara sedang berkembang. Akan tetapi, yang
terjadi di Indonesia tampak jelas keberadaannya jika dibandingkan dengan
negara-negara lain. Seperti yang kita maklum bahwa di negara yang menganut
sistem ekonomi pasar (terbuka) prinsip kompetitif bagi para pelaku ekonomi
sangat diperlukan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan
ekonominya kehadiran kelompok pengusaha yang mempunyai jiwa
kewiraswastaan dan mandiri sangat diharapkan. Dari kelompok pengusaha yang
demikian ini negara dapat mengandalkannya untuk menjadi tulang punggung
perekonomian nasional, baik untuk berkompetisi dalam skala nasional maupun
secara internasional.
Sejak bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya hingga saat ini, meskipun
telah diupayakan dengan berbagai kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik,
kelompok pengusaha dengan klasifikasi seperti itu belum tampak. Yang muncul
adalah jenis pengusaha yang keberadaannya tergantung pada fasilitas
pemerintah atau yang lebih dikenal dengan pengusaha klien. Analisis fenomena
ini dapat dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Namun pada hakikatnya
perhatian kita lebih difokuskan untuk melihat keterkaitan antara negara termasuk
di dalamnya para birokrat dan elit politik dengan para pengusaha dalam melihat
kasus yang terjadi di Indonesia, meskipun pengusaha klien juga ada pada masa
sebelum Orde Baru, tetapi penekanan pembahasan lebih banyak dilakukan pada
era Orde Baru.
B. NEGARA DAN PEMBANGUNAN
Peran negara sangat menentukan pada fase-fse awal pembangunan, seperti
yang telah dilakukan oleh Jepang atau negara-negara industri maju lainnya. 2
Perbedaannya yang mendasar adalah bahwa peran negara yang dilakukan oleh
negara-negara maju menghasilkan perekonomian nasional yang kuat, yaitu
antara lain didukung oleh kelompok pengusaha yang mandiri melalui
industrialisasi. Sementara itu yang terjadi di negara berkembang seperti
Indonesia, peran negara, baru sampai pada suatu titik di mana negara
melahirkan suatu hubungan patron-klien antara pengusaha birokrasi dengan para
pengusaha.
Pengusaha birokrasi sebagai kekuatan yang dominan atau sering disebut
sebagai rezim otoriterisme birokratik, berkaitan erat (mempunyai korelasi positif)
dengan proses pembangunan yang dilaksanakan di negara berkembang.
Ada 5 indikator dari suatu rezim birokratik otoriter menurut Guilermo
O’Donnell :
1. Tidak berlakunya hipotesis modernisasi dengan demokratisasi.
2. Negara sebagai variabel penting untuk melaksanakan perubahan tanpa
dipengaruhi oleh kekuatan sosial lainnya.
3. Militer sebagai lembaga pendukung ekonomi, yang sebenarnya untuk
memperkuat posisi militer sendiri dalam mewujudkan negara yang kuat.
4. Pentingnya koalisi antara kekuatan dominan yang mendukung rezim tersebut.
5. Memasukkan variabel internasional.
Dibanyak negara, rezim otoriter birokratik muncul sebagai akibat dari adanya
krisis ekonomi. Oleh karena itu, rezim Orde Baru tidak sebatas melakukan
pengendalian pada masalah-masalah politik tetapi juga mencampuri masalah
bisnis dan ekonomi.
C. SIFAT REZIM ORDE BARU
1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktator pribadi, tetapi sebagai
lembaga yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil;
3
2. Ia didukung oleh pengusaha oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi
dengan masyarakat bisnis internasional;
3. Pengambilan keputusan bersifat birokratik-teknokratik;
4. Massa dimobilisasikan;
5. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan represif.
Dengan sifat dan ciri-ciri rezim Orde Baru seperti tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa dalam konteks hubungan pengusaha dan pengusaha, akan
terwujud suatu sistem patrimonial di mana pengusaha birokrasi melalui
kekuasaan yang dimiliki menjadi patron terutama bagi kelompok-kelompok
pengusaha yang diajak bekerja sama.
D. TERBENTUKNYA PENGUSAHA KLIEN
Ketika pemerintah Meiji di Jepang akan melakukan industrialisasi pada abad
XIX, kebijaksanaan Pemerintah Meiji adalah untuk memberikan proteksi dan
subsidi kepada para pengusaha agar dapat terbentuk kelompok borjuasi industri
nasional. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan pada pemerintahan
Rhee atau Park Chung Hee pada pertengahan abad XX ini.
Kedua negara kemudian memang berhasil membentuk suatu negara industri
yang berbasis pada kekuatan kelompok pengusaha yang mandiri. Sementara itu
yang terjadi di Indonesia belum tampak fenomena seperti itu, meskipun kebijakan
yang sama telah dilaksanakan. Kebijaksanaan proteksi dan subsidi yang
diberikan pemerintah meskipun telah melahirkan kelompok kapitalis baru tetapi
keberadaannya masih sangat tergantung pada fasilitas pemerintah. Pengusaha
klien yang sejak kelahirannya memang disubsidi oleh pemerintah, dalam
mengoperasikan usahanya diberi dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan
kekuasaan pemerintah. Jadi, meskipun pengusaha ini berada di luar birokrasi
tetapi keberadannya sangat tergantung pada birokrasi.
Sejauh ini meskipun Indonesia dinilai cukup berhasil melaksanakan
industrialisasi, perusahaan-perusahaan besar yang tangguh belum lagi muncul.
4
Konglomerasi yang ada dinilai hanya jago kandang, karena mereka hanya lebih
mengandalkan pada permintaan dalam negeri, tetapi kurang mampu bersaing di
pasaran internasional. Hal ini tidak mengherankan karena konglomerasi yang
tumbuh di Indonesia bukan berasal dari seleksi alam, melainkan dari praktik-
praktik patronase politik yang melibatkan para pengusaha dan kalangan elit
birokrasi.
E. KARAKTERISTIK PENGUSAHA ORDE BARU
Ketika pemerintah Orba yang didukung oleh militer mulai menjalankan
kekuasaannya, kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan karena inflasi
mencapai 600%, sedangkan utang yang macet hinggal $ 2 milyar, dan kegiatan
investasi praktis lumpuh.
Langkah pertama yang dilakukan dalam membenahi perekonomian nasional
yakni memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (1967) dan
Dalam Negeri (1968). Kesempatan investasi diberikan kepada siapa saja yang
memiliki modal untuk membuat usulan proyek dengan hanya menyediakan 25%
modal, sementara 75% kekurangannya ditutupi dengan bantuan dana berbunga
lunak dari pemerintah. Secara formal, kredit murah ini berlaku bagi siapa saja,
tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan. Karena fasilitas yang
diberikan relatif sedikit, sementara peminatnya jauh lebih banyak, praktis hanya
mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan pejabat yang memperoleh
fasilitas tersebut. Tercatat, perusahaan yang sejak lama membina kerja sama
dengan Angkatan Darat dan perusahaan negara yang memperoleh kredit
terbesar, sedangkan lebih spesifik individu seperti Liem Siou Liong dan The Kian
Siang (Bob Hasan) memperoleh berbagai kemudahan.
Tahun 1970-an Indonesia mulai dibanjiri modal asing, terutama dari Jepang
dalam bentuk perusahaan patungan. Yang paling banyak diminati oleh para
pengusaha pada waktu itu adalah lisensi impor berbagai kebutuhan bahan pokok.
Selain adanya fasilitas atau kemudahan yang diberikan pemerintah, bidang ini
dinilai paling banyak mendatangkan keuntungan. Kegairahan usaha yang
5
ditambah dengan bom minyak ini telah mengatrol pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 7% per tahun dari target 5%.
Dengan keberhasilannya dibidang ekonomi ini pemerintah Orba melalui
asisten presiden pada waktu itu, Sudjono Humardani mulai melakukan kerja
sama dengan beberapa pengusaha untuk menjadi rekanan utama, yakni antara
lain Liem Siou Liong dan Bob Hasan. PT Berdikari, perusahaan TNI AD dengan
cepat tumbuh menjadi perusahaan besar. Pada pertengahan 1970-an disusul
oleh perusahaan negara lain yaitu Pertamina yang banyak menikmati keuntungan
dari bom minyak. Bahkan, untuk repelita I dan II Pertamina menjadi tulang
punggung perekonomian nasional.
Selain perusahaan negara seperti Panca Niaga, Kerja Niaga (milik Dep.
Perdagangan), perusahaan yang berkembang pesar adalah perusahaan yang
mempunyai akses dengan elit birokrasi. Ada beberapa perusahaan yang berada
di luar lingkungan tetapi tumbuh cukup baik antara lain adalah Gudang Garam
H.M. Samperna dan Bakrie. Namun secara umum pengusaha-pengusaha yang
baru muncul pada era 1970-an lebih banyak ditandai oleh kedekatan
hubungannya dengan elit penguasa. Kemudahan-kemudahan yang diberikan
pemerintah melalui kredit investasi sering dimanfaatkan oleh para pengusaha
untuk kepentingan pribadi. Seperti yang diungkapkan oleh Kwiek Kian Gie,
beberapa cara licik yang dimanfaatkan oleh para pengusaha yaitu :
1. overpricing, yaitu melipatgandakan harga produk impor untuk investasi
sehingga seorang pengusaha dapat memperoleh barang yang dibutuhkan
sekaligus, memperoleh keuntungan dari selisih dana impor yang dibiayai oleh
kredit pemerintah;
2. mengeduk pinjaman dari bank sebanyak mungkin;
3. memanipulasi pembukuan dan prospektus perusahaan guna menguras dana
murah masyarakat dari bursa saham.
Dengan kondisi seperti di atas, yang muncul sebagai perusahaan nasional
berasal dari lingkaran yang tidak jauh dari patronase politik BUMN jelas sebagai
anak kandung pemerintah akan memperoleh fasilitas yang cukup besar. Namun,
kenyataannya bahwa dari sekian banyak BUMN (ada 420 pada 1987) sebagian 6
besar tidak efisien dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Akar kelemahan dari
BUMN ini berasal dari korupnya birokrasi yang mengelolanya. Dengan kondisi
BUMN yang seperti ini, peran pemerintah untuk melahirkan kelompok pengusaha
menjadi sulit.
Disisi lain semakin kuatnya pengusaha klien dapat dilihat dari tampilnya
pengusaha instan yang berasal dari lingkungan keluarga pimpinan pemerintah.
Dengan berbekal surat pendirian perusahaan dari notaris, hanya dalam waktu
beberapa tahun mereka mampu membangun konglomerasi yang bernilai ratusan
juta dolar. Kunci kesuksesan mereka terutama pada hal monopoli dan
perlindungan kebijakan pemerintah. Mulai dari cengkeh, angkutan gas lewat laut,
jalan tol, produk plastik, baja, kimia, televisi hingga jasa satelit.
Dari profil konglomerasi yang ada saat ini, secara umum dapat dikelompokkan
menjadi :
1. pengusaha yang sejak zaman Sukarno seperti Sudarpo, Hasyim Ning dan
sebagainya, tetapi masih mampu bertahan karena dapat beradaptasi;
2. pengusaha yang dekat dengan elit birokrasi yang terbagi menjadi pertama
yang berasal dari keluarga pejabat dan kedua kebanyakan dari WNI
keturunan;
3. pengusaha yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan birokrasi,
tetapi mempunyai hubungan pribadi yang baik dengan keluarga pejabat.
Secara keseluruhan semua kelompok tersebut masih dalam lingkup sebagai
pengusaha klien karena ketergantungannya yang besar terhadap pemerintah.
F. MOMEN-MOMEN PENTING TERBENTUKNYA PATRON BISNIS
1. Program Benteng; program ini dimaksudkan untuk membantu mendorong
kaum pribumi agar mereka lebih aktif terjun dalam dunia usaha. Untuk itu,
pemerintah memberikan berbagai macam lisensi dan konsensi kepada
pribumi yang berminat dalam dunia usaha. Mereka juga diberi keleluasaan
7
untuk mendapatkan kredit yang murah dari pemerintah terutama mereka yang
tidak mempunyai modal.
2. Pemerintah mengakomodasi kekuatan militer dalam parlemen serta peran
politik lainnya sebagai dampak dari unjuk rasa yang dilakukan militer pada 17
Oktober 1952, dan ini menjadi momen penting bagi terbentuknya kekuatan
bagi militer menuju patronase bisnis.
3. Pemberontakan seperti DII/TII dan PRRI/Permesta mendorong peran militer
dalam politik semakin kuat terutama semenjak dikeluarkannya Undang-
Undang Darurat Militer (SOB).
4. UU Darurat Militer tidak hanya memberi peran yang kuat militer dalam politik,
juga dalam bidang ekonomi. Ketika perusahaan Belanda dinasionalisasi,
terutama perbankan, distribusi beras, valuta asing dan ladang-ladang minyak,
perwira militer manjadi pengelolanya. Yang manjalankannya terutama adalah
PT Tri Usaha Bhakti.
5. Perubahan peta politik sesudah 1965. Militer sangat mewarnai kehidupan
politik di Indonesia. Penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi
berkembang hampir semua sektor, seperti PT Berdikari, Firma dan PT Timah,
penebangan hutan, pengeboran minyak, petro kimia, industri baja dan obat-
obatan.
6. Pada masa pemulihan ekonomi, Orba mengundang modal asing untuk
memperoleh kepercayaan dari luar negeri. Pengendalian terhadap sektor
swasta domestik terus dilakukan. PT Berdikari digerakkan oleh Suhardiman,
Pertamina dipimpin oleh Ibnu Soetowo yang melakukan investasi di bidang
pengeboran minyak, petro kimia, industri baja, obat-obatan, infrastruktur dan
pengembangan pulau Batam. Selanjutnya dibangun induk koperasi AD, AU,
AL dan Kepolisian. Pengelolaan bisnis ini melibatkan sejumlah pengusaha
Tionghoa seperti Bob Hasan, Lim Siou Liong, Sofian Wanandi dan William
Suryadjaya.
7. Kelimpahan uang minyak merupakan lompatan besar dalam pembentukan
patronase bisnis. Kelimpahan minyak menjadikan negara sebagai tulang
8
punggung pembangunan nasional, antara lain dalam kebijakan ISI (Industri
Substitusi Impor) yang membatasi ruang gerak modal asing.
G. PEMBANGUNAN DAN PEMERINTAHAN PATRONASE BISNIS
1. Golongan pengusaha dan pedagang di awal Orba tidak memiliki peran politik.
Kekuatan dominan satu-satunya dalam bidang permodalan dan kepemilikan
perusahaan adalah negara yang diwakili para pejabat unsur militer. Kelompok
birokrat ini menguasai kekuasaan negara tetapi juga perusahaan-perusahaan
negara. Polisi demikian menempatkan mereka sebagai patron politik
berhadapan dengan pengusaha yang lemah sebagai klien politiknya.
2. Dengan kekuatannya ini, patron politik mengalokasikan kekayaan negara
serta memberi konsensi negara kepada pengusaha klien yang bergantung
kepada birokrat politik. Pengusaha klien ini menjadi konco-konco bisnis para
pejabat dan keluarganya. Lewat pengusaha klien inilah para pejabat terjun
dan melibatkan dirinya dalam dunia bisnis guna memupuk kekayaan
pribadinya.
3. Terjunnya para pejabat tinggi ke dalam dunia bisnis tidak memperkuat
kedudukan mereka dalam kekuasaan politik dan birokratis, tetapi juga menjadi
pengusaha patron yang sekaligus memegang kendali politik, misalnya
Soeharto.
4. Keberhasilan bisnis di kalangan patron politik tidak ditentukan oleh
kemampuan modalnya memenangkan kompetisi tetapi ditentukan
sejauhmana hubungan pengusaha klien dengan pejabat tinggi yang
mengalokasikan konsensi negara kepada mereka. Jelas bahwa konsensi
perusahaan diberikan kepada pengusaha yang dekat hubungannya dengan
patron politik.
5. Perusahaan dagang yang dikuasai militer lebih sebagai lembaga untuk
mengalokasikan lisensi-lisensi impor dan pendistribusian kepada pengusaha
China dan asing. Kekuatan ekonomi perwira militer terletak pada akses ilegal
9
ke pasar melalui monopoli-monopoli negara terhadap aneka ragam kegiatan
ekonomi.
6. Para birokrat politik yang terjun dalam dunia bisnis bukanlah kalangan yang
memiliki modal, teknologi dan pengetahuan atau pengalaman mengelola
bisnis. Yang mereka miliki hanyalah lembaga kontrol terhadap sumber-
sumber ekonomi. Mereka yang membagi konsensi dan mengalokasikan
lisensi impor kepada pengusaha Cina dan asing yang mau bersekutu dengan
mereka.
7. Persekutuan ini mereka bangun tidak melalui saluran-saluran kebijakan umum
yang diatur dalam sebuah departemen, tetapi melalui hubungan langsung di
antara pusat-pusat kekuasaan dengan kelompok bisnis tertentu. Mereka
berhubungan langsung dengan Soeharto, Ibnu Soetowo atau Ali Moertopo.
8. Untuk konsensi pertambangan dan kehutanan, para birokrat politik yang terjun
dalam dunia bisnis tidak memerlukan dana dari negara, karena perusahaan
patungan mereka sepenuhnya didanai oleh modal asing. Di sini terjadi
pertukaran konsensi ekonomi yang dikontrol secara politik dengan imbalan
finansial. Para birokrat politik mendapat imbalan finansial dan mitra asing
mengelola dan mengeksploitasinya. (kasus Freeport di Timika).
9. Para pengusaha yang bergantung kepada patron politiknya selalu
memanfaatkan patron mereka untuk memperoleh akses usaha yang lebih
luas. Untuk memperoleh kredit yang besar dan lisensi-lisensi yang mereka
perlukan dalam membangun perusahaan mereka memberikan imbalan
pemilikan saham minoritas untuk patron politiknya atau keluarganya. Serta
fraksinya di politik. Misalnya, PT Bogasari yang dibangun dengan
mendapatkan kucuran kredit yang sangat besar berkat hubungan dekat Liem
dengan Soeharto. Karena itu Sudwikatmono ditempatkan sebagai direktur
utama, dan saham 4% serta laba 28% laba Bogasari dibagi untuk Yayasan
Dharma Putra Kostrad dan Yayasan Harapan Kita milik Tien Soeharto.
10.Para birokrat politik yang tumbuh menjadi pengusaha patron tidak
berkepentingan dengan akumulasi modal yang produktif. Yang mereka
10
pentingkan adalah keuntungan sebanyak mungkin dan dalam tempo yang
sesingkat mungkin.
11.Tergantungnya para pengusaha klien pada patron politik bersumber pada
posisi politik patron. Semakin kuat posisi patron, semakin bertambah besar
pula perkembangan bisnis mereka.
12.Dalam hubungannya dengan politik ekonomi perusahaan-perusahaan yang
dibangun dalam patronase bisnis memperoleh fasilitas proteksi tarif yang
tinggi dan hak memonopoli untuk menguasai pasar domestik (contoh mobil
Timor).
13.Tujan para pejabat dan keluarga terjun dalam dunia bisnis lebih bertujuan
memupuk kekayaan daripada melakukan investasi besar yang berjangka
panjang.
14.Patronase bisnis dibangun dan dipertahankan dengan jaminan politik tanpa
demokrasi dan perlindungan HAM (Suryadi A Radjab, 1999: 36-49).
H. TIPE PENGUSAHA KLIEN
1. Government Contractor : berbagai macam kontrak pemerintahan diberikan
kepada warga negara yang sering digunakan untuk mendapakan dukungan
dari pengusaha pribumi. Dengan tersedianya anggaran yang banyak pada era
1970-an, baik dalam industri maupun keuangan memungkinkan diberikannya
proyek industri kepada sektor swasta. Untuk mendapatkan sebuah proyek,
dibutuhkan sedikit modal dan teknologi sehingga muncullah kelompok bisnis
yang mendasarkan dirinya sebagai kontraktor. Salah satu syarat utama bagi
keberhasilan seorang kontraktor ialah koneksinya dengan negara. Sebagai
akibatnya, kontraktor yang berkaitan dengan pemerintah adalah mereka yang
mempunyai hubungan dengan elit-elit politk dan birokratik, dan kebanyakan
mereka adalah veteran militer.
2. Monopoly traders : mengumpulkan upeti dari para pedagang adalah metode
konvensional yang sudah berlaku semenjak para kolonial hingga saat ini
untuk membiayai kegiatan politik mereka. Ini adalah sistem yang paling
11
mudah untuk dilakukan yang hanya mengizinkan kepada sejumlah pedagang
yang berbatas untuk melakukan bisnis perdagangan tertentu. Berbeda
dengan masa prakolonial dan masa kolonial, pada masa Orde Baru monopoli
ekspor dan perpajakan hampir seluruhnya hilang sebab hal ini berpengaruh
terhadap perolehan ekspor yang sangat berharga. Sebaliknya, perdagangan
impor dan distribusi domestik untuk komoditi tertentu dilisensikan kepada
perusahaan terpilih, yang dalam banyak kasus dimotivasi oleh kepentingan
politik dari pada ekonomi. Lisensi diberikan kepada mereka yang telah
sepakat akan memberikan sebagian dari keuntungannya kepada pemegang
kekuasaan.
3. Concessionaires : negara memiliki wewenang untuk memberikan konsensi
kepada mereka yang berkeinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam
yang dimiliki negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Tidak seperti
kontrak, konsensi tidak mempunyai risiko dalam menghabiskan pengeluaran
negara, tidak seperti monopoli yang menimbulkan biaya produksi, dengan
demikian tidak menghancurkan ekonomi negara. HPH adalah sumber yang
populer bagi patron Orde Baru khususnya militer yang menjadi klien bisnis.
4. Licensed manufacture : Berbeda dengan kategori di atas, kategori ini
berkaitan dengan perencanaan ekonomi kebijakan intervensionis dari negara.
Menteri industri dan BKPM membuat klasifikasi sektor industri yang tertutup,
tanpa fasilitas dan yang menjadi prioritas sesuai dengan kategori yang
berbeda dari para investor. Sistem lisensi merupakan pilar utama dari
kepentingan negara. Sistem lisensi antara lain sektor pelayanan seperti
perkapalan. Departemen komunikasi antara lain ikut mengintervensi tentang
pembangunan industri perkapalan.
5. State-private joint venture : join venture antara sektor swasta dan negara
ditentukan oleh kebijakan pemerintah seperti mengembangkan industri
strategi, mengontrol monopoli swasta, kapitalisasi proyek berskala besar,
mengundang entrepreneur untuk mempelajari proses industri baru. Kasus
tentang yang dikontrol PT Gaya Motor (Jun Hwan Shin, 1989 : 275-288).
12
BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hubungan antara pengusaha dan klien terjadi di negara manapun di
dunia. Namun pada negara berkembang hubungan ini terlihat jelas. Pengusaha
berusaha menjalin hubungan dengan para pengambil kebijakan di pemerintahan.
Hal ini dilakukan untuk dapat perlakuan khusus/konsensi dari pemerintah.
Pemerintah pun tergantung pada pengusaha atau investor untuk dapat
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadi karena kebutuhan ini lah
terjadi hubungan antara pengusaha dan klien.
Ada banyak tipe pengusaha klien, diantaranya Government Contractor,
Monopoly Traders, Consessionaires, Licensed Manufacture dan State Privat
Joint Venture. Hubungan Government Contractor biasanya terjadi dengan
pemberian kontrak-kontrak kepada warga pribumi. Monopoly traders yaitu
dengan mengumpulkan upeti dari pedagang dan Consessionaires terjadi karena
pemerintah berkeinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Sedangkan
hubungan Licensed Manufacture terjadi karena adanya intervensi pemerintah
terhadap kebijakan ekonomi serta hubungan State Privat Joint Venture yaitu
antara sektor swasta dan negara dibentuk oleh kebijakan pemerintah seperti
mengembangkan industri strategis.
B. SARAN
Hubungan antara pengusaha dengan klien hendaknya dibangun atas dasar
peraturan perundang-undangan sehingga hubungan yang terjadi dapat
dibangun dengan baik. Apabila hubungan ini dibangun berdasarkan aturan-
aturan maka sekalipun terjadi permasalahan akan dapat diselesaikan secara
hukum.
13
DAFTAR PUSTAKA
Aini Nurul, 2004. Sosiologi dan Politik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
14
PENGUSAHA KLIEN
TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI POLITIK
DOSEN : IRFAN MALIN MUDO, S.Sos
Oleh :
KELOMPOK 2
1. REPLAISER
2. MINDA ROSITONIA
3. RATNA DESVITA SARI
4. ERNIKAWATI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
YAYASAN PENDIDIKAN PASAMAN (YAPPAS)
LUBUK SIKAPING
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
15
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya yang
selalu dilimpahkan kepada seluruh makhluk dan salawat beserta salam untuk Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umat dari alam kebodohan sampai kealam
yang penuh dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “PENGUSAHA KLIEN“, guna melengkapi tugas mata
kuliah Sosial Politik.
Tewujudnya makalah sederhana ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, baik langsung ataupun tidak langsung. untuk itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hari dan penuh penghargaan kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Irfan Malindo,S.Sos dan teman-teman
yang telah memberikan masukan dan sarannya untuk penyelesaian makalah ini
Kami telah berusaha dengan segenap kemampuan tenaga dan waktu agar
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, namun kami menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk
itu kami mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun dari pembaca
guna kelengkapan dan perbaikan makalah ini untuk masa– masa yang akan datang.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk kita
semua, terima kasih.
Lubuk Sikaping, November 2011
Penyusun
16
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan ............................................................................ 1
A. Pengusaha Klien ........................................................................ 4
1. Pengantar …………….............……………………..... 4
2. Negara dan Pembangunan..................................................... 10
3.
B. Penutup .....................................................................................
DAFTAR PERPUSTAKAAN
17
18