pengukuran indeks efisiensi teknik usaha …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=... ·...
TRANSCRIPT
PENGUKURAN INDEKS EFISIENSI TEKNIK
USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN STATUS HUKUM
MENJADI PERSERO
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam penyelesaikan studi pada
Magister Prencanaan dan Kebijaksanaan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Oleh:
Nanan Tribuana
NPM: 6601220409
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
2004
Nama
Tempat/tanggal lahir
NPM
Judul tesis
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Nanan Tribuana
Cirebon, 25 Oktober 1966
6601220409
Pengukuran Indeks Efisiensi Teknik Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik Sebelum dan Sesudah
Perubahan Status Hukum Menjadi Persero
Menyetujui,
Pembimbing
Mengetahui,
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
/ (Dr. Robert A. Simanjuntak)
NIP. 131.679.316
ABSTRAK
Sejak diberlakukannya UU 19/1960, dimana ditentukan hanya
ada satu kategori perusahaan milik negara, pemerintah telah
melakukan beberapa langkah restrukturisasi BUMN. Langkah
mendasar pertama adalah pengklasifikasian perusahaan negara
berdasarkan sifat dan fungsi kegiatanya menjadi Perjan, Perum dan
Persero yang dituangkan dalam UU 9/1969. Langkah perbaikan
berikutnya adalah mengenai Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan
BUMN yag tertuang dalam Inpres No. 5/1988, dan ditindak lanjuti
dengan SK Menkeu No. 740/1989 dan No. 741/1989, mengenai
ketentuCJn-ketentuan peningkatan efisiensi dan produktifitas yang
didalamnya termasuk satu sistem evaluasi kinerja.
Sementara itu, perbaikan institusional usaha penyediaan tenaga
listrik dimulai tahun 1972, dengan terbitnya PP No. 18/1972 tentang
perusahaan umum listrik negara. Perbaikan berikutnya terjadi tahun
1994, mengenai perubahan status PLN dari Perum menjadi Persero,
berdasarkan PP No. 23/1994. Dengan perubahan status tersebut, PLN
tidak lagi mempunyai tugas pemerintahan tetapi fungsi PLN berubah
menjadi menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan
sekaligus meraih keuntungan berdasarkan prinsif pengelolaan
perusahaan.
Studi ini mengukur indeks efisiensi teknik dan indeks efisiensi
biaya usaha penyediaan tenaga listrik sebelum dan sesudah
perubahan status hukum PLN menjadi persero. Pendekatan yang
digunakan untuk mengukur indeks efisiensi adalah dengan menguji
fungsi produksi maupun fungsi biaya penyediaan tenaga listrik oleh
PLN.
Hasil studi menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 10%,
efisiensi PLN secara teknik memang telah berubah signifikan,
sedangkan secara biaya tidak ada perbedaan. Diantara faktor yang
mempengaruhi indeks efisiensi teknik adalah ukuran unit pembangkit
rata-rata, faktor kapasitas, rasio elektrifikasi dan porsi pembangkit
term a I.
Selanjutnya, efisiensi biaya sangat dipengaruhi oleh harga jual
(tarif) listrik rata-rata, harga satuan bahan bakar minyak rata-rata,
dan harga pembelian listr!k swasta.
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka apabila efisiensi teknik
maupun efisiensi biaya PLN ingin lebih ditingkatkan di masa datang,
hal-hal berikut perlu dilakukan: (i) ukuran unit pembangkit rata-rata
(average unit size) perlu diperbesar, (ii) faktor kapasitas (capasity
factor) perlu dinaikkan (iii) porsi pembangkit termal (therr.1al
generation share) perlu dikurangi, (iV) program sosial listrik pedesaan
(rasio elektrifikasi) perlu ada pemisahan yang tegas antara misi sosial
dan misi bisnis perusahaan, (v) harga jual (tarif) listrik perlu
disesuaian pada nilai keekonomiannya, (Vi) harga pembelian bahan
bakar minyak perlu dicari alternatif pasokan dari pasar internasional
guna menekan harga pembeliannya yang selama ini dipasok oleh
Pertamina, (Vi) harga pembelian listrik swasta perlu dinegosiasi ulang.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan hidayat-Nya penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat dalam menyelesaikan studi 52 Program Magister Perencanaan
dan Kebijaksanaan Pub:ik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
dengan kosentrasi Organisasi Industri.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Anton Hendranata, M.Si, sebagai pembimbing penulisan
tesis.
2. Bapak Iman Rozani, SE., MSoc.Sc, sebagai pembimbing penulisan
tesis.
3. Bapak Dr. Robert A. Simanjuntak, sebagai ketua Program Magister
Perencanaan dan Kebijaksanaan Publik FEU!.
4. Ibu Ine S. Ruky, SE, ME, sebagai Sekretaris Program Magister
Perencanaan dan Kebijaksanaan Publik FEU!.
5. Bagian Administrasi Program Magister Perencanaan dan
Kebijaksanaan Publik FEU!.
6. Proyek Pelatihan dan Pendidikan Aparatur Negara OTO Bappenas
Akhirnya penulis mengharapkan masukan dan saran perbaikan
dari berbagai pihak. Penulis berharap tesis ini ada manfaatnya.
Jakarta, 12 Januari 2004
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................... ................... v
DAFTAR TABEL .......... ............. ................................. .......................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. .. 1
I.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
!.2. Tujuan dan Manfaat Studi......................................................... 3
I.3. Metodologi Studi.......................................................... ................ 4
I.4. Sistematika Penulisan................................................................. 4
BAB II TINJAUAN LITERATUR BUMN.......................................... 6
II.l. Sejarah dan Perkembangan ............................... .................... 6
II.2. Struktur dan Karakteristik........................................................ 13
II.3. Beberapa Argumentasi Membedakan Kinerja .................... 15
II.4. Perkembangan Restrukturisasi ........................ .................... 18
II.5. Kinerja ........................................................................................ 21
BAB III USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK ....................... 23
III.l. Sejarah dan Perkembangc:m .................................................. 23
III.2. Program Restrukturisasi .... ........................... ........................ 25
III.3. Kinerja dan Program Peningkatan Kinerja ............ ............. 28
BAB IV KERANGKA TEORJ DAN SPESIFIKASI MODEL............... 30
IV.l. Fungsi Produksi dan Pengertian Efisiensi............................... 30
IV.2. Metoda Estimasi dan Hipotesa..................................... ............ 33
v
BAB V AN.L\LISIS INDEKS EFISIENSI USAHA PENYEDIAAN
TENAGA LISTRIK: 1987-2001.......................................... 37
V.1. Analisis Indeks Efisiensi Teknik................................................. 38
V.2. Analisis Indeks Efisiensi Biaya................................................... 43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 47
VI.1. Kesimpulan................................................................................... 47
VI.2. Saran............................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 49
LAMPIRAN..................................... ............................................................ 51
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1. Pengelompokan BUMN berdasarkan penjualan 14
2. Tabel 2. Pengelompokan BUMN berdasarkan asset ................ 14
3. Tabel 3. Pengelompokan BUMN berdasarkan laba ................... 14
4. Tabel 4 Tingkat kesehatan BUMN tahun 1987-1996 21
5. Tabel 5. Tingkat kesehatan PLN tahun 1992-2001 .................. 28
6. Tabel 6. Indeks Efisiensi Teknik Tahun 1987-2001.................. 41
7. Tabel 7. Indeks Efisiensi Biaya Tahun 1987-2001..................... 45
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lampiran 1 : Data produksi energi, Penjualan tenaga listrik,
penggunaan tenaga kerja dan nilai buku
barang modalfaktiva tetap serta penggunaan
BBM tahun 1987-2001 ........................................... 51
2. Lampiran 2 : Indeks harga konsumen dan Deflator PDB
menggunakan harga konstan 1993 .................... 51
3. Lampiran 3 : Faktor-faktor internal yang mempengaruhi
indeks efisiensi teknik ............................................ 52
4. Lampiran 4 : Faktor-faktor internal yang mempengaruhi
indeks efisiensi biaya .... ......................................... 52
5. Lampiran 5 : Hasil regresi fungsi produksi Cobb-Douglas
1987-2001 ································································ 53 6. Lampiran 6 : Hasil regresi fungsi produksi Cobb-Douglas
terrestriksi ........ ............. ...... ............................ ......... .54
7. Lampiran 7 : Hasil regresi variable dummy intersep
(pengujian kemungkinan adanya perbedaan
dalam indeks efisiensi)............................................ 55
8. Lampiran 8 : Hasil regresi indeks efisiensi teknik vs factor-
faktor internal: 1987-2001 ................................... 56
9. Lampiran 9 : Hasil regresi indeks efisiensi biaya vs factor
faktor yang mempengaruhinya: 1987-2001 ..... 56
1.1. LATAR BELAKANG
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak diberlakukannya UU 19/1960, pemerintah telah
melakukan beberapa langkah restrukturisasi BUMN. Langkah
mendasar pertama adalah pengklasifikasian perusahaan negara
berdasarkan sifat dan fungsi kegiatanya menjadi perusahaan jawatan
(perjan), perusahaan umum (perum) dan perusahaan perseroan
(persero), yang dituangkan dalam UU 9/1969. UU ini merupakan
penguatan dari Inpres No. 17/1967, yang dikeluarkan sebagai tindak
lanjut Tap MPRS XXIII/1966, pasal 40. UU 9/1969, kemudian
dilengkapi dengan dikeluarkannya PP No. 3/1983 yang
memformulasikan kembali fungsi BUMN, serta mencoba memperbaiki
struktur pengawasan dan kemampuan pengendalian pemerintah
terhadap BUMN.
Langkah perbaikan berikut yang dilakukan pemerintah adalah
mengenai Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN, yang
tertuang dalam Inpres No. 5/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK
Menkeu No. 740/1989 dan No. 741/1989, mengenai ketentuan
ketentuan peningkatan efisiensi dan produktifitas. Secara substansial
terlihat bahwa Inpres No. 5/1988, SK Menkeu No. 740/1989 dan SK
Menkeu No. 741/1989 tersebut merupakan dasar dari restrukturisasi
dengan pendekatan perbaikan institusional atau korporatisasi dan
privatisasi BUMN di Indonesia.
Perbaikan institusional usaha penyediaan tenaga listrik dimulai
pada tahun 1972, dengan terbitnya PP No. 18/1972 tentang
perusahaan umum listrik negara. PP tersebut memberikan tugas-tugas
pemerintah dibidang ketenagalistrikan kepada PLN untuk mengatur,
membina, mengawasi dan melakukan perencanaan umum kelistrikan
nasional disamping tugas-tugasnya sebagai perusahaan.
2
Langkah perbaikan selanjutnya terjadi pada tahun 1994, mengenai
perubahan status PLN dari Perum menjudi Persero, berdasarkan PP
No. 23/1994. Dengan perubahan status tersebut, PLN tidak lagi
mempunyai tugas pemerintahan tetapi fungsi PLN berubah menjadi
menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan urnum dan sekaligus
meraih keuntungan berdasarkan prinsif pengelolaan perusahaan.
Perubahan status tersebut bertujuan agar sektor ketenagalistrikan
dapat berkembang untuk menjawab tantangan masa kini dan masa
depan.
Salah satu aspek penting yang terkait dengan pem!Jangunan
sektor tenaga listrik adalah masalah efisiensi usaha PLN.
Perkembangan struktur usaha penyediaan tenaga listrik tidak akan
berarti apabila efisiensi PLN, yang hingga saat ini masih disorot dan
dikritik berbagai pihak, tidak meningkat. Selain itu, efisiensi memang
semakin perlu mendapat perhatian mengingat efisiensi semakin
penting dalam era globalisasi, dimana persaingan semakin ketat.
Masaiah efisiensi merupakan isu penting bagi banyak pelaku
ekonomi. Pa1·a pengambil kebijakan ditingkat pemerintah menaruh
perhatian pada kebijakan ekonomi makro yang dapat meningkatkan
efisiensi pada tingkat unit usaha. Bagi para konsumen, mereka akan
menikmati manfaat dari unit usaha yang beroperasi dengan efisien
sehingga menghasilkan barang dan jasa yang lebih murah pada
tingkat produksi yang lebih tinggi.
Pengertian efisiensi dari unit usaha itu sendiri menurut ekonomi
manajemen terutama berkaitan dengan konsep efisiensi produksi,
yaitu dimana jika dalam proses produksi dapat menghasilkan lebih
banyak output dengan jumlah input yang sama, atau dapat
menurunkan penggunaan input untuk menghasilkan jumlah output
yang sama.
Dalam perencanaan produksi unit usaha, efisiensi yang dapat
dikontrol adalah efisiensi produktif, yang terdiri dari efisiensi teknik
dan efisiensi biaya. Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output
maksimal yang secara teknik produksi dapat dicapai dari penggunaan
3
kombinasi input tertentu. Sedangkan efisiensi biaya mengacu pada
kombinasi penggunaan input yang secara ekonomis mampu
menghasilkan output tertentu dengan biaya seminimal mungkin pada
tingkat harga input yang berlaku.
Hasil audit yang dilakukan oleh konsultan terhadap kinerja PLN
mengindikasikan telah terjadinya inefisiensi pada kegiatan operasi
(operational expenditure) dan investasi (capital expenditure) sebesar
5,2 Trilyun rupiah selama periode tahun 1995-1998. Sejak tahun 2000
sampai saat ini, "PLN telah melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi inefisiensi tersebut melalul kegiatan yang diberi nama
efficiency drive program (EDP). Kegiatan EDP merupakan program
optimalisasi sumber daya (manusia, keuangan, mesin, metoda dan
material) yang meliputi seluruh fungsi bisnis utama PLN yaitu
pembangkitan, transmisi, distribusi dan fungsi penunjang (sumber
daya manusia, keuangan dan teknologi informasi). Upaya tersebu~
telah berhasil menghemat pengeluaran pada tahun 2000, 2001 dan
2002 masing-masing sebesar 804,6, 897,8 dan 1.559,1 milyar rupiah.
Penulis melihat bahwa studi mengenai kinerja PLN, terutama
masalah efisiensi, sangat menarik diteliti.
!.2. TUJUAN DAN MANFAAT STUD!
Tujuan studi ini adalah sebagai berikut:
1. Melacak indeks efisiensi teknik dan biaya usaha penyediaan tenaga
listrik olel1 PLN dan berupaya menemukan apakah ada perbedaan
dalam efisiensi tersebut untuk dua sub periode sebelum (1987-
1994) dan sub periode sesudah (1994-2001) perubahan status
hukum PLN dari perum menjadi persero.
2. Melacak faktor-faktor yang mempengaruhi indeks efisiensi teknik
dan indeks efisiensi biaya tersebut.
3. Memberikan saran kebijakan untuk perbaikan usaha penyediaan
tenaga listrik di Indonesia, terutama yang terkait dengan efisiensi.
Manfaat studi ini adalah sebagai informasi awal untuk
menyusun program serta rencana investasi pembangunan sektor
4
tenaga listrik sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kondisi yang
sebenarnya.
!.3. METODOLOGI STUD!
Pengukuran indeks efisiensi akan dilakukan dengan
mengestimasi intersep (a) fungsi produksi Cobb-Douglas. Penelitian ini
akan menggunakan data sekunder yang dipublikasikan oleh PT. PLN
untuk periode 1987-2001. Metoda estimasi yang digunakan adalah
metoda OLS (Ordinary Least Square). Untuk meyakinkan apakah
bentuk fungsi Cobb-Douglas memang merupakan bentuk fungsi yang
paling tepat digunakan untuk data ini, pengujian restriksi Cobb
Douglas akan pula dilakukan. Selanjutnya dari fungsi yang paling
tepat ini, dilakukan pengujian Chow untuk rnelihat apakah ada
perbedaan yang signifikan indeks efisiensi antara sub periode sebelum
dan sesudah perubahan status PLN menjadi persero. Selanjutnya
regresi terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi indeks
efisiensi akan pula dilakukan.
I.4. SISTEMATIKA PENULISAN
Studi ini dibagi atas 6 bab, yang intinya akan mengurnikan hal
hal sebagai berikut:
• Bab I "Pendahuluan". Bab 1ni menguraikan latar belakang
pemikiran yang mendasari dilakukannya studi ini, serta metodologi
yang digunakan untuk menganalisis data.
• Bab II "Tinjauan literatur BUMN". Bab ini merupakan studi literatur
mengenai sejarah tumbuhnya di Indonesia. Salanjutnya, bab ini
juga membahas stru!<tur dan karakteristik dalam perekonomian
saat ini, argumentasi membandingkan kinerja, perkembangan
restrukturisasi, dan kinerja BUMN.
• Bab III " Usaha penyediaan tenaga listrik". Selain menguraikan
sejarah dan perkembamgan, program restrukturisasi, bab III ini
juga menjelaskan program peningkatan kinerja yang dijalankan
usaha tersebut.
5
• Bab IV "Kerangka teoritis dan spesifikasi model". Bab ini
menguraikan fungsi produksi dan pengertian efisiensi serta
menjelaskan metode estimasi pengukuran efisiensi dan beberapa
hipotesa yang dibuat penulis.
• Bab V "Analisis indeks efisiensi usaha penyediaan tenaga listrik:
1987-2001". Bab ini merupakan rangkuman dari hasil pengukuran
indeks efisiensi usaha penyediaan tenaga listrik periode 1987-
2001. Hasil tersebut kemudian dianalisa serta menyimpulkannya
dengan memanfaatkan hasil temuan empiris.
• Bab VI "Kesimpulan dan saran".
BAB II
TINJAUAN LITERATUR BUMN
II.1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Sejarah perkembangan BUMN telah dimulai sejak masa
penjajahan, bahkan sejak VOC didirikan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1602 dan memberikan hak monopoli untuk
perdagangan komoditi primer dan kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan kolonial di Indonesia. Kemudian usahanya diperluas
dengan usaha ulititi publik lainya seperti listrik, gas, air :11inum, kereta
api, perkapalan dan beberapa perusahaan perdagangan. Selama
pemerintahan kolonial, BUMN diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
BUMN dibawah undang-undang perusahaan milik negara yang disebut
IBW (indonesische bedriven wet) dan BUMN yang didirikan dibawah
undang-undang keuangan negara yang disebut ICW (indonesische
comtabiliteit wet). Jenis pertama ditugasi untuk masalah komersial
sedangkan jenis kedua ditugasi untuk melayani publik sehingga
kurang lebih sama seperti fungsi kantor pemerintah. Anggaran untuk
jenis kedua termasuk dalam anggaran negara, sedang keuntungan
dari kedua jenis usaha dimasukakan sebagai pendapatan negara.
Setelah kemerdekaan, sesuai pasal 33 UUD 1945, negara
diberikan mandat · untuk mengambil peranan penting dalam
perekonomian nasional. Pada masa permulaan kemerdekaan,
beberapa perusahaan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
menjadi dibawah kontrol pemerintah dan beber~pa perusahaan
lainnya dinasionalisasi atas dasar perundingan, seperti Perusahaan
Listrik, Tambang Timah, Perusahaan Penerbangan, dan Javansche
Bank yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Atas dasa'"
pertimbangan sosio-politis dan pragmatisme ekonomi, pemerintah
kemudian mendirikan BUMN baru dibidang perdagangan, pabrik
semen, pabrii< kertas dan lain-lain. Selama periode ini, peranan BUMN
7
dalam perekonomian nasional masih belum signifikan kecuali di sektor
utiliti publik sedangkan perusahaan asing dengan mayoritas
perusahaan belanda tetap mendominasi sektor perkebunan,
perbankan, perminyakan, industri dan· asuransi. Pada akhir tahun
1950, pemerintah menasionalisasi beratus-ratus perusahaan milik
Belanda. Pertumbuhan sektor BUMN selama periode ini sangat
dipengaruhi oleh iklim politik etatisme yang mendominasi kebijakan
pemerintah. Selanjutnya pada tahun 1960-an beberapa perusahaan
milik Inggris dan Amerika juga dinasionalisasi, sehingga jumlah BUMN
bertambah dengan cepat menjadi 822 pada tahun 1960-an.
Kebanyakan dari BUMN ini tidak beroperasi dengan baik karena
kurangnya pengalaman dalam menjalankan usaha komersial. Hal ini
semakin diperburuk oleh keadaan perekonomian yang semakin jelek.
Pemerintah orde baru yang mulai memerintah pada tahun 1967
secara berangsur-angsur mengurangi etatisme dengan mendorong
sektor swasta untuk berperan lebih banyak dalam perekonomian, dan
juga dengan melakukan nasionalisasi terhadap beberapa BUMN yang
sebelumnya merupai<an rnilik asing. Untuk menarik lebih banyak
investor baik asing maupun domestik, dikeluarkan kebijakan investasi
yang baru antara lain diberikannya beberapa fasiitas sep2rti
keringanan pajak, percepatan depresiasi, dan berbagai insentif
lainnya. Sementara itu, pemerintah juga berusaha melakukan
restrukturisasi BUMN dan rnemperbaiki kinerja dengan pendekatan
pendekatan institusional. Pada tahun 1960-an hanya ada satu kategori
perusahaan negara, seperti diatur dalam UU 19/1960, yaitu semua
kategori dalam bentuk apapun yang modal seluruhnya merupakan
kekayaan negara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Melalui
pasal 40 Tap MPRS XXIII/1966, diletakkan dasar untuk meningkatkan
kemandirian Bi.JMN. Ketetapan ini antara lain mengatakan bahwa
pemerintah perlu mengurangi keikutsertannya dalam manajemen
BUMN, dan sebaliknya memberikan otonomi yang lebih luas. Kecuali
untuk BUMN yang menjalankan kemanfaatan umum dan dengan
jumlah yang terbatas, subsidi pemerintah agar dihentikan. Dengan
8
dasar ketetapan tersebut, presiden mengeluarkan Inpres No.
12/1967, agar semua BUMN direstrukturisasi kedalam tiga bentuk,
yaitu perusahaan jawatan (perjan), perusahaan umum (perum), dan
perusahaan perseroan (persero). Inpres ini kemudian pada akhir
tahun 1969 diperkuat dengan UU 9/1969 yang memuat
pengklasifikasian perusahaan negara berdasarkan sifat kegiatanya.
Dalam UU 9/1969 tersebut, BUMN Indonesia dibagi menjadi tiga
kategori:
1. Perusahaan jawatan (Perjan), terdiri dari perusahaan negara yang
tunduk pada ICW selama masa kolonial, mengutamakan pelayanan
masyarakat, berada dibawah satu departemen dan dibiayai dengan
anggaran negara, contohnya Perjan Kereta Api yang berada
dibawah departemen perhubungan.
2. Perusahaan umum (Perum), terdiri dari perusahaan negara yang
tunduk pada IBW selama masa kolonial, atau perusahaan negara
lain yang seluruhnya dimiliki negara, beroperasi di sektor yang
dianggap vital untuk kesejahteraan masyarakat. Perusahaan ini
diharapkan dapat membiayai dirinya dari pendapatan op•=rasinya
bahkan dapat memperoleh keuntungan, contohnya Perum Listrik
Negara, Perum Telkom dan lain-lain.
3. Perusahaan perseroan (Persero), perusahaan negara yang diubah
menjadi berstatus badan hukum perdata dan bentuk PT yang
sebagaian besar atau seluruh sahamnya dimiliki negara dan
beroperasi sebagai badan usaha yang berorientasi keuntungan.
Perlu ditambahkan bahwa ada juga BUMN yang diatur secara
terpisah berdasarkan undang-undang tersendiri seperti Pertamina
dengan UU 8/1971, dem;kian juga dengan bank-bank milik negara
yang diatur dengan UU 14/1967.
Tahun 1970-an, hasil born rninyak telah meningkatkan
kemampuan pemerintah untuk rnelakukan investasi secara berarti,
sehlngga mengurangl tekanan untuk segera melakukan restrukturlsasl
BUMN, malah sebaliknya, pemerintah memberi tugas pada BUMN
untuk mengambil peranan penting dalam mempercepat program
9
industrialisasi. Dengan sernakin menurunya pendapatan dari sektor
migas serta timbulnya masalah neraca pembayaran dan masalah
ekonomi lainnya pada tahun 1982, pemerintah tidak mampu
mendorong BUMN untuk tetap sebagai penggerak pembangunan.
Sebagai jawaban terhadap keadaan ini, pemerintah mulai
mengeluarkan paket deregulasi perekonomian untuk meningkatkan
peranan sekt0r swasta. Dalam paket ini juga termasuk satu strategi
tentang peranan BUMN dalam perekonomian serta program
restrukturisasinya, sistem kompensasi dan insentif, sistem evaluasi
kinerja dan kualitas manajemen, ser\:a kaualitas SDM di BUMN.
Sebagai langkar awal, pemerintah meng~luarkan PP No. 3/1983
yang memformulasikan kembali fungsi BUMN, serta mencoba
memperbaiki struktur pengawasan dan kemampuan pengendalian
pemerintah terhadap BUMN. Mengenai fungsi BUMN, disebutkan
antara lain: (1) Perj::m, berusaha d!bidang penyediaan jasa-jasa bagi
masyarakat, (2) Perum, berusaha dibidang pelayanan kemanfaatan
umum, disamping mendapatkan untung, (3) Persero, bertujuan
memupuk keuntungan dan berusaha dibidang-bidang yang dapat
mendorong perkembangan sektor swasta dan/atau koperasi, diluar
bidang usaha Perjan dan Perum. Mengenai pengawasan dan
pengendalian disebutkan bahwa instansi utamu yang mengawasi dan
mengendalikan BUMN adalah Departemen Keuangan dan Departemen
Teknis, dimana Menteri Keuangan adalah pemegang saham dan
Menteri Teknis adaluh kuasa pemegang saham. Berbeda dengan
pengertian umum, dalam hal BUMN sesuai PP No. 3/1983 ini, kuasa
pemegang saham tidak dapat diberhentikan oleh pegang saham, yang
berimplikasi kedua menteri ini mempunyai wewenang yang sama
terhadap BUMN atau BUMN berada dibawah dua atasan yang setara.
Langk<lh perbaikan berikutnya yang dilakukan pemerintah
adalah mengenai pedoman penyehatan dan pengelolaan BUMN yang
tertuang dalam Inpres No. 5/1988. Sebagal pelaksamaan darl Inpres
No. 5/1988, Menteri Keuangan mengeluarkan SK No. 740/1989
mengenai ketentuan-ketentuan peningkatan efisiensi dan produktifitas
10
yang didalamnya termasuk satu sistem evaluasi kinerja berdasarkan
penilaian rentabilitas, solvabilitas dan likuiditas, sedangkan mengenai
rencana jangka panjang, rencana kerja, anggaran · perusahaan dan
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan tertuang dalam 5K
Menkeu No. 741/1989. Berdasarkan sistem evaluasi versi 5K Menkeu
No. 740/1989 diatas, kinerja BUMN diklasifikasikan dalam empat
ketegori sehat sekal; (55), sehat (5), kurang sehat (K5), dan tidak
sehat (T5). 5istem evaluasi berdasarkan rentabilitas, solvabilitas dan
likuiditas diatas kemudian dilengkapi dengan beberapa indikator yang
berbeda untuk setiap jenis industri dan setiap karakter perusahaan,
yang tertuang dalam 5K Menkeu No. 826/1992.
Didalam Inpres No. 5/1988 dicantumkan juga pilihan bentuk
restrukturisasi yang sesuai untuk setiap BUMN, yang akan dipilih oleh
pemerintah. Beberapa pilihan terse but an tara lain: (1) perubahan
status hukum, (2) kerjasama operasi atau kontrak manajemen
dengan pihak ketiga, (3) konsolidasi atau merjer, (4) pemecahan
badan usaha, (5) penjualan saham melalui pasar modal, (6) penjua~an
saham secara langsung (direct placement), (7) pembentukan
perusahaan patungan, ataL' (8) likuidasi perusahaan.
5ecara substansial, terlihc.t bahwa Inpres No. 5/1988, 5K
Menkeu No. 740 dan 741/1989 adalan merupakan dasar dari aplikasi
konsep korporatisasi dan privatisnsi BUMN di Indonesia. 5ebagai
insentif untuk privatisasi, pemer:ntah memberi otonomi yang lebih
luas bagi BUMN yang telah melakukan penawaran saham perdana
(IPO), sebagaimana tP.rtuang dalam PP No. 55/1990 dimana
pemerintah akan: (1) menghapus kewajiban bagi BUMN yang telah
masuk pasar moC:al untuk minta persetujuan menteri keuangan
sebagaimana tercc:ntum dalam PP No.3/1988, Kepres No. 59/1988,
Kepres No. 29/1988, Inpres No. 9/1988, dan Inpres No. 1/1988; (2)
mengijinkan BLJMN diaudit oleh akuntan publik.
Walaupun paket peraturan di atas sudah jauh lebih baik darl PP
No. 3/1983, tetapi hasilnya tidak seperti diharapkan. Adanya rencana
jangka panjang, rencana kerja dan anggaran perusahaan yang telah
11
disetujui pemegang saham, tetap tidak mengurangi campur tangan
dalam operasi. Usaha peningkatan kualitas kontrol maupun
pengurangan jenis kontrol belum menunjukan hasil.
Didalam penggolongan BUMN seperti tercantum pada SK
Menkeu 740/1989, ser.ara inplisit juga terkandung alasan-alasan dasar
pendirian dan pengoperasian BUMN yang antara lain: (1) usahanya
bersifat tug as -tugas perintisan dan pembangunan prasarana tertentu,
(2) menghasilkan barang yang karena pertimbangan keamanan dan
kerahasiaan harus dikuasai oleh negara, (3) didirikan atas
pertimbangan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tertentu dan
atau strategis, (4) didirikan untuk melindungi keselamaatan dan
kesejahteraan masyarakat, (5) didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku harus dimiliki dan dikelola
pemerintah, (6) usahaanya bersifat komersial dan fungsinya dapat
dilakukan swasta.
Salah satu kebijai<an perr.erintah yang tertuang dalam SK
Menkeu No. 1232/1989 adalah mengharuskan BUMN-BUMN yang
memperoleh keuntungan untuk menyalurkan 1 s/d 5% dari
keuntungan bersihnya bagi pengembangan usaha kecil. Program ini
juga tidak berjalan efektif, karena selain pola pengembangan usaha
kecil yang kurang jelas, pelaksanaan yang sering tidak dilandasi
perencanaan dan evaluasi yang baik, dan BUMN yang bersangkutan
kurang merasakan tanggung jawab akan keberhasilan program yang
ditanganinya.
Dilihat dari sejarah perkembangan BUMN di Indonesia seperti
dikemukakar, di atas, maka pendirian dan alasan mempertahankan
BUMN dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Argumen warisan historis. Indonesia diwarisi satu jaringan
keterlibatan pernerintuh dalam perekonomian seperti PN Garam,
PJKA, angkutan u.nun, air minum, demikian juga dengan usaha
tenaga listrik yang dulu.1ya diurusi oleh usaha swasta Belanda
(seperti NV. ANIEM), diserahkan kepada pemerintah dan setelah
penyerahan kedaulatan menjadi PLN.
12
2. Preferensi idiologi dan konsolidasi kekuatan politik dan ekonomis.
Evaluasi mendirikan BUMN untuk tujuan yang dianggap sesuai
dengan pasal 33 UUD 1945. Preferensi pemerintah untuk terlibat
langsung dalam industri migas misalnya, pemerintah mendirikan
perusahaan migas milik pemerintah yang kemudian menjadi
Pertamina. Selanjutnya pada tahun 1950-an, etatisme berkembang
menjadi sistem politik anti kapitalisme. Selama kampanye
pengembalian Irian Barr.1t, banyak perusahaan Belanda
dinasionalisas:i. Dalam konfro:1tasi politik dengan Malaysia,
beberapa perusahaan Singapura, Inggris dan Amerika juga
dinasionalisasi. Pemenntah orde baru juga melakukan nasionalisasi
dengan motif untuk konsolidasi kekuatan politik dan ekonomis,
diantaranya perusahaan milik Markan Aslam, yang kemudian
digabung menjadi usaha milik pemerint3h PT. Berdikari.
3. Jawaban pragmc..tis terhadap masalah ekonomi. Pemerintah
kadang-kadang memilih pendirian BUMN sebagai instrumen paling
tepat untuk campur tangan dalam perekonomian. Campur tangan
seperti ini sering dibenarkan sebagai jawaban atas kegagalan
enterprenurial dan kegagalan pasar. Satu contoh klasik adalah
beberapa kegiatan yang secara komersial menarik, tetapi tidak
dimasuki swasta, sehingga perr.erintah terpaksa campur tangan
untuk mempercepat pembangunan, misalnya BNI, Garuda, Pelni
dan Djakarta Lloyd.
4. Peranan institusi interr.asional dan negara donor. Kebanyakan
negara atau institusi donor seperti Bank Dunia, ADB percaya
bahwa penyaluran bantuan atau pinjaman lunak akan lebih efektif
dan efisien bila disalurkan kepada BUMN. Contoh kasus ini
misalnya BUMN industri pu~uk.
5. Pendirian anak perusat-.aan. Arg•Jmentasi yang mendasari pendirian
anak-anak perusahaan, disamping strategi bisnis murni, banyak
juga yang didasarkan atas pertimbangan untuk mengurangl
campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam operasi.
13
11.2. STRUKTUR DAN KARAKTERISTIK
Peranan BUMN dalam perekonomian nasional cukup tinggi. Jika
diukur dengan besarnya sumbangan BUMN, tidak termasuk migas,
pada PDB maka BUMN mernberi sumbangan sekitur 12% pada tahun
2000. Arus perubahan kebijaksanaan ekonomi pada dua dekade
terakhir ini, dimana penekanan lebih dipusatkan pada peran swasta
dalam pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan penurunan
sumbangan BUMN pada PDB. Pada tahun 1984 sumbangan tersebut
masih sekitar 15%, telah menjadi 12% pada tahun 2000. Investasi di
BUMN juga mengulami penurunan. Pada pertengahan tahun 1990,
persentase investasi BUMN non migas terhadap total investasi turun
dari 23% pada tahun 1985 menjadi 13% pada tahun 2000.
Pentingnya peranan BUMN dalam perekonomian nasional
tercermin juga dari beroperasinya BUMN dalam sektor-sektor kunci
seperti infrastruktur, utiliti publik, industri hulu dan indu.stri pionir dari
perekonomian nasional. Berdasa;kan jumlah BUMN, sektor industri
dan perdagangan termasuk industri strategis menempati urutan
pertama sebanyak 26,1 %, diikuti sektor keuangan sebesar 18,2%,
kemudian pertanian 13,3%. Dua sektor lainnya dalam bidang
pekerjaan umum dan komunikasi masing-masing menempati urutan
keempat dan kelima, sehingga 80% dari jumlah BUMN berada dalam
kelima bidang tersebut.
Berbeda dengan ukuran bedasarkan jumlah BUMN, dimana
departemen perindustrian menempati urutan pertama, maka jika
dilihat dari jumlah aktiva, departernen keuangan menempati tempat
tertinggi yaitu 52,4c.o/o, pertambangan dan energi 22,9%, pariwisata
pos dan tekomunikasi 6,1% dan kemudian dengan persentase yang
tidak jauh beda masing-masing perhubungan dan perindustrian dan
perdagangan. Lima besar bidang ini memiliki 90,7% dari keseluruh
aktiva BUMN.
Dilih~t dari nllai penjualan selama tahun 1996, walaupun aktlva
bidang pertambangan dan energi nilainya hanya sekitar 0,4% dari nilai
aktiva di bidang keuangan, akan tetapi penjualannya sekitar 1,5 kali
14
lebih tinggi, sebesar 37,5% dari nilai keseluruhan penjualan produksi
BUMN. Sektor keuangai1 menempati urutan kedua dengan nilai
penjualan 24,5%, perindustrian dan perdagangan 8,1% berikutnya
masing-masing bidang perhubungan, pariwisata pos dan
telekomunikasi. Jumlah penjualan BUMN dari kelima besar bidang ini
bernilai sekitar 83,5% dari seluruh nilai penjualan BUMN.
Tabel 1.
Pengelompokan BUMN berdasarkan penjualan (Rp milyar)
Kelompok Ju:nlah Penjualan Penjualan penjualan BUMN (Rp) (%)
>1000 12 44 536 71,7 500-1000 4 2 433 3,9 250-500 15 4 810 7,7 100-250 46 7 472 12 0
-<100 107 2 860 4,6 .. Sumber: Prof1l dan Anatom1 BUMN Ed1s1 ke-3. Vol.1
Tabel 2.
Pengelompokan BL:MN berdasarkan asset (Rp milyar)
Kelompok Jumlah Asset Asset asset BUMN (Rp) (%)
>1000 20 168 073 83,6 500-1000 13 8,363 42 250-500 20 6,323 3 1 100-250 45 7,249 36
<100 86 11 057 55 Sumber: Profil dan Anatomi BUMN Edisi ke-3. Vol.1
Tabel 3.
Pengelompokan BUMN berdasarkan laba (Rp milyar)
Kelompok Jumlah Lab a Laba lab a BUMN (Rp) (%) >500 2 1.622 33 1
100-500 8 1.253 25 6 50-100 13 885 18 1 25-50 15 532 10 8 <25 130 597 12 2 ..
Sumber: Prof1l dan AnatOIT'I BUMN Ed1s1 ke-3. Vol.1
15
Untuk mendapat gambaran BUMN, dilihat dari ukuran nilai aktiva, nilai
penjualan dan nilc:.i laba dengan menggunakan unit perusahaan pada
tahun 1991, disajikan dalam tabel 1, 2 dan 3 di atas. Dari tabel diatas,
paling sedikit terlihat dua karakteristik yang menonjol dalam BUMN
Indonesia, yaitu:
I. Dominasi perusahaan ukuran besar. Dari seluruh BUMN, dua puluh
BUMN terbesar (mewakili 11% dari jumlah) menguasai 83,6% nilai
aktiva seluruh BUMN. Selanjutnya dari sisi penjualan, 12
perusahaan terbesar (7% dari jumlah perusahaan) menguasai
penjualan sebesar 71,7% dari jumlah seluruh BUMN. Dominasi
perusahaan besar lebih menonjol lagi bila dilihat dari laba, dimana
10 perusahaan terbesar (5,5% dari jumlah perusahaan)
mengkontribusi laba sebesar 58,7% dari jumlah laba seluruh
BUMN.
2. Padat modal. Komposi asset cari BUMN, diluar sektor keuangan,
didominasi oleh tiga sektor yaitu sektor pertambangan dan egergi,
perhubungan-telekomunikasi, d::m industri dasar yang pada
dasarnya sangat padat modal. Selain itu, sebagian besar sektor
industri dimana BUMN dominan adalah industri hulu, infrastruktur
dan utiliti puplik yang bersifat high forward linkage.
!!.3. BEBERAPA ARGUMENTASI MEMBANDINGKAN KINERJA
Walaupun masih harus dibuktikan, terdapat persepsi luas bahwa
sebagai akibat kepemilikan negara maka BUMN tidak bisa 5eefisien
usaha swasta dalam menghasilkan output yang sama. Hal ini didukung
oleh kenyataan banyaknya BUMN yang mengalami kerugian sehingga
menimbulkan kesan umum bahwa kinerja usaha swasta lebih baik dari
kinerja usaha BUMN. Kesan ini semakin nyata dengan maraknya
upaya privatisasi di Inggris, Jerman, Chili, Meksiko, Malaysia dan
negara-negara lainnya, yang memberikan indikasi semakin
bertumpunya perekonomian negara tersebut pada peran swasta.
Ramainya perdebatan tentang pengaruh kepemilikan terhadap efisensi
operasi suatu badan usahc., terlebih-lebih dengan semakin populernya
16
konsepsi dan program dan pelaksanaan privatisasi sejak akhir tahun
1970-an seperti diuraikan di atas, mengundang kesimpulan seolah
olah ada teori ekonomi yang jelas yang dapat mendukung pendapat
luas mengenai superioritas kinerja usaha BUMN dibandingkan dengan
non BUMN.
Menurut Adam dkk (1992), dengan menggunakan pendekatan
teori prinsipal-agen, berpendapat bahwa perbedaan kinerja antara
BUMN dan non BUMN itu sifatnya tidak selalu intrinsik tetapi didasari
atas: (1) perbedaan fungsi obyektif pemerintah dengan fungsi obyektif
swasta, masing-masing sebagai pemilik. Disatu pihak fungsi obyektif
dari pemerintah sebagai pemilik, lebih bersifat pendekatan
keseimbangan umum, yang membuatnya menjadi demikian
kompleksnya. Dilain pihak, fungsi obyektif dari swasta sebagai pemilik
lebih sederhana, karena pendekatannya lebih mengarah pada
keseimbangan parsial. (2) perbedaan bentuk hubungan keagenan
(agency) sebagai akibat struktur kepemilikan. BUMN biasanya
memiliki hubungan (mata rantai) keagenan yang kompleks dengan
adanya jenjang yang berlapis-lapis, dimana satu agen sering harus
bertanggung jawab kepada beberapa prinsipal. Dilain pihak, hubungan
keagenan swasta lebih sederhana dan fleksibel. Swasta relatif lebih
bebas dalam menerapkan sistem penggajian berdasarkan prestasi,
lebih bebas dalam memperdagangkan saham, lebih rawan terhadap
ancaman kebangkrutan dan hostile takeover, sehingga memudahkan
prinsipal dalam melakukan pengawasan terhadap para manajer.
Hal senada juga dikemukakan oleh Jones (1982), menganggap
bahwa tuduhan inefisiensi terhadap BUMN bukanlah sesuatu yang
mengherankan mengingat BUMN pada hakekatnya merupakan hibrida
dari birokrasi pemerintahan disa~u pihak dan perusahaan swasta di
pihak lain. Disatu pihak, sebagai badan usaha, manajer BUMN harus
menghadapi ujian pasar agar produk mereka diterima pasar, yang
merupakan sumber tekanan bagi manjemen. Dilain pihak, sebagai
organisasi publik, mereka harus bertanggungjawab terhadap
kebutuhan kekuatan utama politik dalam keadaan dibatasi oleh
17
kesempatan dan kendala sebagai bagian dari jajaran pegawai
pemerintah. Dengan adanya trade off diantara kedua tekanan diatas,
bukan hanya tidak mengherankan tetapi secara positif dapat diduga
bahwa hasil kerja BUMN sering suboptimal.
Dengan ungkapan yang sedikit berbeda, Ahmad Galal dkk
(1994) berpendapat bahwa sebenarnya perbedaan tersebut dapat
dirangkum kedalam perbedaan dalam tujuan (objektives) dan
perbedaan dalam kendala (constraints). Disatu pihak, usaha non
BUMN berusaha untuk memaksimisasi laba, dilain pihak usaha BUMN
berusaha untuk mencapai tujuan apapun yang ditugaskan pemerintah
kepadanya misalnya kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan bahwa perbedaan kinerja unit usaha milik BUMN
dengan non-BUMN seperti dikemukakan diatas bukan disebabkan
hanya oleh unsur kepemilikan saja. Menurut Vickers dan Yarrow
(1991), kepemilikan hanya merupakan salah satu dari sekian banyak
faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi satu unit usaha. Secara
khusus, menurut Vicker dan Yarrow, struktur persaingan disektor
industri dimana sektor tersebut beroperasi, dan kendala regulasi yang
dihadapi, mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja
ekonomi. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat bahwa, kinerja
ekonomi usaha dicentukan melalui interaksi yang kompleks dari
beberapa faktor antara lain kepemilikan, tingkat persaingan pasar dan
efektifitas regulasi.
Ekonom lain, Yair Aharoni (1982), berangkat dari asumsi
"ecomonic man" dimana pada saat kepentingan seseorang berbeda
dengan kepentingan kelompok dimana individu tersebut berada, maka
kepentingan diri sendiri aknn dominan. Oleh karena itu, para manjer
BUMN akan cenderung memaksimisasi kepentingan sendiri
dibandingkan dengan kepentingan pemerintah. Tanpa ada
pembatasan, para manajer tersebut akan memilih memaksimisasi
target pertumhuhan output dari pada efisiensi. Dengan cara tnt
mereka akan meningkatkan penghargaan birokratik atau penerimaan
sampingan yang akan mereka peroleh. Lebih lanjut dia mengatakan,
18
bahwa pemerintah kurang dilengkapi dengan instrumen untuk
mencegah para manjer untuk berbuat demikian, karena akses
terhadap informasi yang diperlukan sangat terbatas. Pemilik juga tidak
dapat melakukan kontml yang efektif. Hal ini ditambah lagi karena
publik tidak memiliki saham BUMN yang dapat diperjual belikan
sebagai reaksi terhadap kinerja perusahaan. Biaya kontrak, negosiasi
dan biaya pelaksanaa11 hak kepemilikan tinggi, dan perusahaan
menjadi tidak efisien karena susah membangun hubungan prinsipal
agen.
Dari tinjauan literatur diatas dirangkum titik pandang teoritis
yang secara garis besar mencakup argumentasi hak kepemilikan
(properti right), teori hubungan pelaksana-pemilik (teori prinsipal
agen) dan teori public choice.
11.4. PERKEMBANGAN RESTRUKTURISASI
Seperti telah dikemukakan dalam sub bab terdahulu, sejak
diberlakukannya UU 19/1960, dimana ditentukan hanya ada satu
kategori perusahaan milik negara, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang, pemerintah telah melakukan beberapa langkah
reformasi atau restrukturisasi 6UMN. Langkah mendasar pertama
adalah pengklasifikasian perusahaan negara berdasarkan sifat dan
fungsi kegiatanya menjadi Perjan, Perum dan Persero yang dituangkan
dalam UU 9/1969. UU 9/1969 ini merupakan penguatan dari Inpres
No. 17/1967, yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut Tap MPRS
XXIII/1966, pasal 40. UU 9/1969, kernudian dilengkapi dengan
dikeluarkannya PP No. 3/1983 yang memformulasikan kembali fungsi
BUMN, serta mencoba memperbaiki struktur pengawasan dan
kemampuan pengendalian pemerintah terhadap BUMN. Mengenai
fungsi BUMN, disebutkan antara lain : (1) Perjan berusaha dibidang
penyediaan jasa-jasa bagi masyarakat, (2) Perum, berusaha dibidang
pelayanan kemanfaatan umum, disamping mendapat untung, (3)
Persero, bertujuan memupuk keuntungan dan berusaha :iibidang-
19
bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan/ataL,
koperasi, diluar bidang usaha Perjan dan Perum.
Langkah perbaikan berikut yang dilakukan pemerintah adalah
mengenai Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN yag tertuang
dalam Inpres No. 5/1988, dan ditindak lanjuti dengan SK Menkeu No.
740/1989 dan No. 741/1989, mengenai ketentuan-ketentuan
peningkatan efisien5i dan produktifitas yang didalamnya termasuk
satu sistem evaluasi kinerja berdasarkan penilaian rentabilitas,
solvabilitas dan likuditas, penyusunan rencana jangka panjang,
rencana kerja, dan anggaran perusahaan. Selain itu, dicantumkan
juga pilihan bentuk restrukturisasi yang sesuai setiap BUMN, yang
akan dipilih oleh Pemerintah: (1) Perubahan status hukum, (2)
Kerjasama operasi atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga, (3)
konsolidasi atau merger, (4) Pemecahan badan usaha, (5) Penjualan
saham melalui pasar modal, (6) Penjualan sahan secara langsung
(direct placement), (7) Pembentukan perusahaan patungan, (8)
Likuidasi perusahaan. Secara substansial, terlihat bahwa Inpres No.
5/1988, SK Menkeu No. 740/1989 dan SK Menkeu No. 741/1989
merupakan dasar dari reformasi dengan pendekatan perbaikan
institusional atau korporatisasi dan privatisasi BUMN di Indonesia.
Sebagai inisiatif untuk privatisasi, pemerintah melalui PP No. 55/1990,
memberikan otonomi yang lebih luas bagi BUMN yang telah
melakukan pencatatan saham di pasar modal (initial public offering).
Walaupun kurang memberikan hasil yang memuaskan,
beberapa langkah-langkah untuk memperbaiki kinerja komersial
BUMN pada dekade terakhir telah dilakukan atas dasar SK Menkeu No.
740 dan 741/1989 yang an tara lain: Pembentukan sistem evaluasi
dengan kriteria rntabilitas, solvabilitas dan likuiditas yang pada tahun
1992 dilengakapi dengan indikator non finansial, pertanggung jawaban
keuangan yang lebih jela~ dengan diubahnya beberapa BUMN dari
Perjan menjadi Per!Jm, atau dar: Perum menjadi Persero. Usaha
merger seperti di sektor perkebunan sebanyak 34 PT perkebunan
dibagung menjadi 14 PT perkebunan nasional, trade sale seperti pada
20
PT Intirub pada tahun 1991 dan PT Aneka Gas pada tahun 1997,
penawaran sahan 6 BUMN di bursa efek, yaitu PT Semen Gresik,
Indosat, Telkom, Tambang Timah, BNI dan Aneka Tanibang.
Penjualan saham keenam BUMN telah mengumpulkan dana
sebesar 4.37 milyar dolar Ameri, dimana sekitar 55% masuk ke
pemerintah dan sisanya ke BUMN, yang dinilai cukup berhasil.
Keberhasilan tersebut terutama disebabkan oleh dua BUM:\1 terbaik
Indonesia yaitu Indosat dan Telkom.
Tanpa mengurangi nila; atas keberhasilan beberapa BUMN
dalam memperbaiki kinerjanya seperti PT Tambang Timah dalam
restrukturisasi perusahaan, keberhasilan BUMN kelas atas seperti
Indosat dan Telkom di bursa efek, dan keberhasilan perbaikan kinerja
beberapa BUMN lainnya, secara keseluruhan usaba restrukturisasi
dalam BUMN yang dilakukan sampai saat ini tidak banyak mengubah
kinerja operasi dan keuangan BUMN. Disektor perkebunan dilakukan
penciutan jumlah BUMN melalui merjer, tetapi disektor kehutanan
menjadi arus balik dengan pemekaran BUMN, menunjukkan tidak
adanya satu visi yang sama dalam pembinaan BUMN. Adanya Menteri
Meneg BUMN sebagai pemegang saham dan Menteri Teknis sebagai
kuasa pemegang saham yang tidak dapat diganggu gugat membuat
manajer BUMN harus menghadapi dua atasan langsung yang setara,
yang bagi manajer akan membingungkan bila kedua menteri tersebut
berbeda pendapat mengenai sesuatu kebijakan atau masalah dalam
satu BUMN. Selain itu, campur tangan pemerintah dalam operasi
masih tetap seperti semula, kontrol terhadap BUMN melalui instrumen
perizinan sangat distortif, sistem evaluasi kinerja yang kurang
berfungsi sebagai signaling system terhadap manajemen, sistem
pengadaan barang yang tidak efisien dan tidak efektif, antara lain
merupakan persoalan yang hampir Iaten sifatnya.
Sebagaimana dapat dilihat dari pengalaman restrukturisasi
BUMN di negara-negara lain, kebany:~kan negara yang berhasll sepertl
Inggris, Chili, Malaysia dan Jerman memasukkan program
restrukturisasi BUMN sebagai satu bagaian dari program reformasi
21
ekonomi nasional. Dengan melihat pengalaman restrukturisasi BUMN
di Indonesia dan di negara lain, serta mempelajari karakteristik BUMN
di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa diperlukan satu program
restrukturisasi BUMN Indonesia yang lebih mendasar, sebagai satu
bagian dari reformasi ekonomi nasional, sehingga penggunaan BUMN
sebagai instrumen intervensi pemerintah untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan optimal.
II.5. KINERJA
Berdasarkan kriteria rentabilitas, solvabilitas dan likuiditas
seperti dikemukakan di atas perkembangan tingkat kesehatan BUMN
tahun 1987 ·· 1992 digambarkan dalam tabel 4 di bawah ini. Dengan
mengambil persentase BUMN yang masuk dalam ketegori SS dan S,
maka pada periode sebelum SK Menteri Keuangan No. 740
diberlakukan pada tahun 1989, terlihat menaik dari 37% pada tahun
1987 menjadi 50% pada tahun 1989. lklim deregulasi perekonomian
Indonesia pada saat itu kemungkinan merupakan salah satu
pendorong perbaikan ini.
Tabel 4.
Tingkat Kesehatan BUt~N Tahun 1987 -1996
Kriteria 1987 '£18 '89 1990 '91 '92 1993 '94 '95 5ehat sekali (55) 40 45 53 63 54 43 43 52 49 5ehat(5) 27 32 41 40 50 52 38 33 43 Krg sehat (K5) 28 34 32 27 27 37 38 35 37 Tidak sehat (T5) 88 75 61 56 55 52 64 62 J 49 Jumlah 183 186 187 186 186 184 183 182 178 5umber: Bisnis Indonesia 25 Agt 1993 dan Wc.rta Ekonom1 No. 23/TH IX/ 27
Okt 1997
Pada tahun 1990, 55% BUMN termasuk kategori SS dan S,
demikian juga pada tahun berikutnya naik menjadi 56% tetapi mulai
menurun pada tahun 1992 dan seterusnya. Besar kemungkinan
kenaikan ini didorong oleh diberlakukannya sistem evaluasi dengan
kriteria rentabilitas, solvabilitas dan likuiditas. Penurunan pada tahun
1996 44 36 29 57 166
22
1992 ada kemungkinan disebabkan terlihatnya kelemahan dari sistem
evaluasi tersebut atau kurang berfungsinya sistem tersebut sebagai
signaling system pada pengelola BUMN. Dari beberapa dugaan ini
terindikasi restrukturisasi yang dilakukan sampai tahun 1992,
efektivitasnya kurang berkesinambungan sebagaimana dikemukakan
oleh penganut public choice theory.
BAB III
USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
III.l. SEJARAH DAN PEREKEMBANGAN
Usaha penyediaan tenaga listrik telah dimulai sejak masa
penjajahan, tetapi belum untuk kepentingan um:Jm. Pada saat itu
yang ada hanya tenaga listrik untuk keperluan sendiri baik untuk
kepentingan perusahaan rnaupun untuk kepentingan pabrik dengan
pusat-pusat listrik terpisah-pisah. Sedangkan usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum baru dimulai sejak
diundangkannya Ordonansi 1890 No.190, yang memberi kesempatan
kepada perusahaan swasta Belanda mengelola listrik untuk
kepentingan umum. Izin yang diberlkan itu berbentuk konsesi dan
dapat diberikan untuk suatu wilayah usaha. Kemudian Pemerintah
kolonial Belandi:l berdasarkan Staatsblad 1927 No.419 membentuk
perusahaan listrik negara yang disebut LWB (s'Lands Waterkracht
Bedrijven). Selain LWB yang merupakan perusahaan listrik
pemerintah, terdapat pula perusahaan-perusahaan listrik swasta
(misalnya NV NIGM, NV ANIEM) dan pemerintah daerah. Pada masa
pendudukan Jepang, perusahaan listrik dan gas yang ada diambil alih
Jepang, kemudian digabung menjadi satu badan, bernama Jawa Denki
Jigyo Kosha.
Setelah kemerdekaan, pemerintah mulai mengelola perusahaan
penyediaan tenaga listrik setelah terbentuknya jawatan listrik dan gas
pada Kementrian Pekerjaan Umum dan Tenaga bulan Oktober 1945.
Langkah berikutnya pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaun
perusahaan listrik Belanda. Pada tahun1953, keluar Keppres No.
163/1953 tentang nasionalisasi perusahaan listrik milik asing di
Indonesia. Beberapa perusahaan llstrlk dan gas swasta Belanda yang
dinasionalisasi antara lain: NV EMA Ambon, NV EMBP Balikpapan, NV
OGEM Jakarta, dan NV ANIEM Jatim. Selanjutnya untuk kelancaran
24
proses nasionalisasi tersebut dibentuk P3LG (penguasa perusahaan
perusahaan listrik dan gus negara) yang tertuang dalam UU 86/1958
dan PP No. 18/1953. Dengan adanya perundangan tersebut maka
sejak saat itu seluruh perusahaan listrik swasta Belanda menjadi milik
pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1958, jawatan listrik dan gas diubah menjadi
perusahaan listrik negara (PLN) melalui SK Menteri Pekerjaan Umum
dan Tenaga (PUTL) No P.25/1958, dan P3LG dibubarkan. Sementara
itu, pemerintah juga memperbaiki kinerja perusahaan milik negara
dengan pendekatan-pendekatan institusional. Pada tahun 1961,
dibentuk PU PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara)
yang kemudian, berdasarkan PP No. 19/1965, BPU PLN dibubarkan
dan sebagai gantinya dibentuk Perusahaan Listrik Negara (OLN) dan
Perusahaan Gas Negara (PGN).
Melalui Tap MPRS XXIII/1966 pasal 40, diletakkan dasar untuk
meningkatkan kemandirian BUMN. Ketetapan ini antara lain
mengatakan bahwa pemerintah perlu mengurangi · keikutsertannya
dalam manajemen BUMN, dan sebaliknya memberikan otonomi yang
lebih luas. Dengan dasar ketetapan tersebut, presiden mengeluarkan
Inpres No. 12/1967 yang kemudian diperkuat agar dengan UU No.
9/1969, semua BUMN direstrukturisasi kedalam tiga bentuk, yaitu
perusahaan jawatan, perusuhaan umum, dan perusahaan perseroan.
Sebagai tindak lanjut UU 9/1969 tersebut, pada tahun 1972
terbit PP No. 18/1972 tentang Perusahaan Umum Listrik Negara
dengan tugas disamping kedudukanya sebagai perusahaan umum,
mempunyai tugas pokok serta fungsi pemerinthan untuk
pembangunan. Dengan status PLN sebagai perum, PLN diberi tugas
tugas pemerintahan dibidang ketenagalistrikan untuk mengatur,
membina, mengawasi dan melakukan perencanaan umum dibidang
ketenaglistrikan nasional. Perkembangan selanjutnya, agar sektor
tenaga llstrik dapat berkembang dlmasa datang, pemerlntah
mengubah status PLN dari perusahaan umum (perum) menjadi
perusahaan perseroan (persero) berdasarkan PP No. 23/1994. Dengan
25
Perubahan status tersebut memungkinkan PLN memasuki pasar modal
dan pengembangkan kemitraan usaha dengan pihak ketiga. Dengan
status PLN sebagai persero, PLN tidak lagi mempunyai tugas
pemerintahan, Fungsi PLN berubah menjadi sebagai berikut: {1)
menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum dan sekaligus
meraih keuntungan berdasarkan prinsif pengelolaan perusahaan, (2)
mengusahakan penyediaan tenaga listrik dengan jumlah dan mutu
yang memadai, (3) merintis kegiatan-kegiatan usaha penyediaan
tenaga listrik, dan (4) menyelenggarakan usaha-usaha lain yang
menunjang usaha penyediaan tenaga listrik.
1!1.2. PROGRAM RETRUKTURISASI
Beberapa penyebab rendahnya kinerja BUMN yang sering
dikemukakan, yaitu fungsi ganda, kurangnya otonomi dan
akuntabilitas, serta kendala anggaran. Selain itu, karena BUMN dimiliki
oleh pernerintah, maka kepentingan dari para pemilik sangat homogen
karena pemerintah diwakili oleh beberapa kelompok yang berbeda dan
bahkan memiliki kepentingan yang bertentangan. Kepentingan
berbeda dari kepemilikan yang heterogen ini mengakibatkan
timbulnya tujuan-tujuan non komersial yang sering mengakibatkan
timbulnya tujuan-tujuan non komersial yang sering sulit
diforrnulasikan dengan baik dan dapat bertentangan satu sama lain
disamping tujuan komersial.
Pendekatan perbaikan kinerja yang telah dilakukan adalah
menggunakan perbaikan institusional dan pendekatan ekonomi makro.
Pendekatan ini didasarkan atas pendapat bahwa permasalahan kinerja
terutama terjadi disebabkan kurangnya disiplin pasar dan
ketidakmampuan untuk memberika,, tanggapan yang tepat terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, jalan keluar yang ditawarkan adalah
perbaikan sistem pengelolaan institusional serta perbaikan
pengelolaan dan kcbijakan makro pernerintah sepertl kebljakan
perdagangan, keuangan, harga dan kebijakan tenaga kerja.
Penyesuaian kebijakan makro dalam hubungan ini antara lain dengan
26
menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan kompetitif, liberalisasi
perdagangan dan mengakhiri perlakuan khusus terhadap BUMN,
perubahan kearah keuangan dan perbankan yang berdasarkan
mekanisme pasar, mengarah kepada harga pasar, memberlakukan
sistem kompensasi yang kompetitif bagi para karyawan, dan lain-lain.
Dengan demikian BUMN akan lebih mandiri dan lebih entrepreunerial
ditengah lingkungan makro yang lebih kompetitif.
Beberapa bentuk restrukturisasi yang termasuk dalam
kelompok pendekatan ini adalah:
•Korporatisasi dan komersialisasi, yaitu usaha untuk tunduk pada
undang-undang perusahaan yang berlaku, dan setelah itu
memperlakukan kriteria komersial sebagai dasar dari pengambilan
keputusan. Tujuannya adeilah untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dan meningkatkan efisiensi serta pelayanan masyarakat.
•Sistem kontrak, yang tercliri dari sistem kontrak kinerja dan sistem
kontrak program. Sebagaimana setiap sistem manajemen
berdasarkan hasil, kedua sistem ini mensyaratkan bahwa sasaran dan
target harus lebih dahulu disepakati pada permulaan periode sebagai
hasil diskusi kedua belah pihak. Prinsip pertama dari kedua jenis
sistem kontrak ini adalah bahwa kriteria kerja dan target harus
dijabarkan dari rencana perbaikan kinerja yang telah dipikirkan dan
disetujui bersama. Prinsip kedua adalah bahwa rencana perbaikan
kinerja tersebut harus konsisten dengan sasaran nasional dan bukan
hanya dengan sasaran perusahaan. Namun terdapat pula perbedaan
antara sistem kontrak dan kinerja dan program. Kontrak yang dibuat
dalam rangka sistem kontrak program lebih berbentuk perjanjian
hukum dibandingkan dengan sistem kontrak kinerja. Misalnya dalam
sistem kontrak program, pemerintah melakukan komitmen secara
formal untuk memberikan pendanaan, mengijinkan kenaikan tarif,
atau mengiji11kan pengurangan atau penambahan produk dan jasa,
dimana pada slstem kontrak kinerja tidak terdapat komitmen sepertl
itu. Dalam hal otonomi juga ada perbedaan, dimana untuk sistem
kontrak program otonomi disebutkan dengan lebih rinci misalnya
27
otonomi dalam penentuan tarif, investasi dan melakukan pinjaman,
sedangkan pada sistem kontrak kinerja disebutkan redefinisi dari
otonomi tetapi sebatas bahwu BUMN memiliki permasalahan yang
berbeda sehingga diperlukan penyesuaian. Dalam hal sistem insentif,
sistem kontrak kinerja menghubungkan antara penghargaan (reward)
dengan kinerja, sedangkan dalam sistem kontrak program tidak ada
hubungan antara hasil da11 penghargaan.
•Sistem signal. Sistem ini terdiri dari tiga kornponen, masing-masing
adalah: (1). sistem evaluasi kinerja, yang menjabarkan kinerja yang
dikehendaki dilihat dari sisi masyarakat; (2) sistem informasi kinerja,
untuk mengukur kinerja ekonomi; (3) sistem insentif, yang
memberikan penghargaan kepada manager atas dasar kinerja nyata
dibandingkan dengan target kinerja. Sistem evaluasi kinerja sendiri
terdiri dari 4 langkah, yaitu: pemilihan kriteria evaluasi kinerja secara
umum; pemilihan satuan khusus untuk mengukur kinerja; pemberian
bobot terhadap kriteria evaluasi; dan diskusi untuk penetapan kriteria "
penilaian untuk membedakan kinerja jelek dan kinerja baik. Kriteria
penilian inilah yang a~an merupakan basis dalam perhitungan kinerja
diakhir tahun dan penetapan reward untuk karyawan.
Pendekatan perbaikan kinerja lainnya akan dilakukan adalah
privatisasi anak-anak perusahaan pembangkitan tenaga listrik yang
dianggap sehat dan layak untuk go publik. Manfaat utama yang
diharapkan dari privatisasi antara lain adalah transparansi perusahaan
yang lebih terjamin dengan lebih dimungkinkannya monitoring yang
lebih optimal oleh pemilik (prinsipal) terhadap manajemen (agen),
adanya ancaman keb2ngkrutan, lebih berperannya mekanisme kontrol
pasar, serta berkurangnya tekanan dan campur tangan yang bersifat
politik. Namun demikian, kelemahan privatisasi ini, terutama untuk
negara berkembang, antara lain adalah kurang mampunya pemerintah
untuk melakukan proses privatisasi dengan transparan, serta
kekawatiran akan terjadinya pengalihan monopoli dari tangan
pemerintah ke tangan swasta yang kurang peka terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
23
11!.3. KINERJA DAN PROGRAM PENINGKATAN KINERJA
Berdasarkan kriteria rentabilitas, solvabilitas dan likuiditas
seperti dikemukakan di atas perkemban;}an kinerja/tingkat kesehatan
PLN tahun 1992 - 2001 digambarkan dalam tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5.
Tingkat Kesehatan PLN Tahun 1992 -2001
Indikatar Keuangan 1992 1993 1994 1995 1996 1997 Rasia tunai (kali) 0 91 0 88 0 49 0 40 0,83 0 44 Rasia rentabilitas(%) 4~ 3 29 1 35 3 96 3,70 -1,46 Rasia salvabilitas(%) 235,97 247,27 .249/69 239 46 251 67 220 92 Rasia likuiditas (%) 129,33 137 53 76 20 63 63 11193 62,22
1998 1999 2000 2001 0 30 0 21 0,34 31,05
-17,62 -18 38 -40 10 0 90 154,83 127,44 138 34 71,59 39 17 21 72 39 96 46,82
Sumber: Buku Stat1st1k PLN 1994-2001
Hasil audit yang dilakukan oleh konsultan terradap kinerja PLN
mengindikasikan telah terjadinya inefisiensi pada kegiatan operasi
(operational expenditure) dan investasi (capital expenditure) sebesar
5,2 Trilyun rupiah selama periode tahun 1995-1998. Sejak tahun 2000
sampai saat ini, PLN telah melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi inefisiensi tersebut melalui kegiatan yang diberi nama
efficiency drive program (EDP).
Kegiatan EDP merupakan program optimalisasi sumber daya
(manusia, keuangan, mesin, metoda dan material) yang meliputi
seluruh fungsi bisnis utama PLN yaitu pembangkitan, transmisi,
distribusi dan fungsi penunjang (sumber daya manusia, keuangan dan
teknologi informasi). Upaya tersebut telah berhasil menghemat
pengeluaran pada tahun 2000, 2001 dan 2002 masing-masing sebesar
804,6, 897,8 dan 1.559,1 milyar rupiah.
Pencapaian efisiensi tersebut diperoleh melalui berbagai
kegiatan, yaitu: efisiensi biaya bah an bakar, · biaya pelumas;
29
menaikkan faktor kesiapan unit pembangkitan (operating availability
factor); memperpendek waktu pelaksanaan pemeliharaan peralatan;
penggantian HSD (minyak diesel) dengan MFO (minyak bakar);
penurunan susut transmisi; penekanan jumlah gangguan;
memperpendek waktu pemeliharaan peralatan; penurunan susut
teknik dan susut non teknik; penekanan jumlah gangguan;
memperpendek lama gangguan; penekanan piutang; pemberdayaan
SDM; pemanfaatan material gudang secara lebih efektif dengan
bantuan teknologi informasi; efisiensi biaya kegiatan kantor;
memanfaatkan customer information system (CIS) untuk mendukung
kegiatan PLN dalam mempermudah dan memperpendek waktu
pelayanan kepada peianggan sekaligus menyediakan beberapa
fasilitas diantaranya: sistem pembayaran secara on-line melalui ATM
(khusus pelanggan Jakarta dan Jawa Timur), pernbayaran dapat
dilakukan di loket selain yang telah ditunjuk (khusus Manado,
Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan dan Denpasar); memanfaatkan
geographical information system (GIS) untuk membantu percepatan
hasil survey lapangan; memanfaatkan enterprise asset management
system untuk mengelola aset perusahaan agar lebih efisien;
menyediakan fasilitas call center untuk mernpermudah dan
mempercepat pelayanan kepada pelanggan melalui media elektronik
(telpon).
Pada tahun 2003 ini, PLN akan terus mengupayakan efisiensi di
berbagai bidang dan menjadikan tahun 2003 sebagai tahun
peningkatan pelayanan !Jelanggan.
BABIV
KERANGKA TEORI DAN SPESIFIKASI MODEL
IV.l. FUNGSI PRODUKSI DAN PENGERTIAN EFISIENSI
Ekonomi kemakmuran (welfare economics) berusaha mencoba
memberi jawaban atas pertanyaan bagaimana pemanfaatan terbaik
dari suatu sumberdaya, serta bagaimana sebaiknya hasil-hasil
produksi tersebut didistribusikan diantara anggota masyarakat. Pada
abad ke-18, Adam Smith membuka jalan dengan memperkenalkan
gagasan "invisibel hand" dari pasar, yang menghubungkan
pengalokasian sumberdaya secara efisien dengan pembentukan harga
yang bersaing untuk sumberdaya tersebut. Selanjutnya, pada abad
ke-19, Vifred Pareto memunculkan definisi situasi pareto efisien yang
optimal, yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menilai apakah
suatu pengalokasian sumberdaya sudah efisien atau belum.
Pengertian efisiensi dari unit usaha itu sendiri, menurut ekonomi
manajemen, terutama berkaitan dengan konsep efisiensi produksi,
yaitu dimana jika dalam proses produksi dapat menghasilkan lebih
banyak output dengan sejumlah input yang sama, atau dapat
menurunkan penggunaan input untuk menghasilkan sejumlah output
yang sama.
Dalam perencanaan produksi unit usaha, efisiensi yang dapat
dikontrol adalah efisiensi produktif, yang terdiri dari efisiensi teknik
dan efisiensi biaya. Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output
maksimal yang dapat dicapai dari penggunaan kombinasi input
tertentu. Sedangkan efisiensi biaya mengacu pada kombinasi
penggunaan input yang secara ekonomis mampu menghasilkan output
tertentu dengan biaya seminimal mungkin pada tingkat harga input
yang berlaku.
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan inefisiensi
dalam satu perekonomian. Keadaan tersebut antara lain adalah:
31
1. Terdapat informasi asimetrik. Informas: mengenai cara yang paling
efisien untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi umumnya mahal
dan penyebarannya tidak lengkap, sehingga unit pengambil
keputusan menjadi tidak mencapai efisiensi optimal. Dengan
demikian, terdapnt upaya untuk meningkatkan efisiensi teknis oleh
masing-masing individu perusahaan berdasarkan informasi yang
dimilikinya.
2. Kecenderungan membentuk kolusi. Dalam hal kondisi persaingan
tidak sempurna, dimana perusahaan sadar akan saling
ketergantungan satu sama lain, maka pemikiran strategi
oligopolistik dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang
menyangkut masalah besaran skala operasi, tingkat pemakaian
input, atau cakupan kegiatan usaha. Dengan demikian, keunggulan
perusahaan secara individu hanya dapat diperoleh apabila
manajemen dapat meningkatkan efisiensi teknis dengan
memanfaatkan lebih baik faktor produksi lainnya.
3. Distorsi regulasi. Pada beberapa sektor, kendala peraturan dapat
menimbulkan inefisiensi dengan pembatasan masuknya pesaing ke
industri yang bersangkutan, pembatasan jenis kegiatan atau
daerah pemasaran dari perusahaan yang sudah ada, dan
pembatasan-pembatasan lainnya.
Pengukuran indeks efisiensi dengan sederhana dapat dijelaskan
menggunakan konsep dasar teori produksi. Dalam perusahaan,
produksi didefinisikan sebagai suatu proses transformasi nilai tambah
dari input menjadi output. Hubungan antara input yang digunakan dan
output yang dihasilkan dapat dinyatakan melalui suatu fungsi standar
yaitu fungsi produksi. Beberapa informasi penting diantaranya indeks
efisiensi dapat diperoleh langsung dari fungsi produksi. Indeks efisiensi
dinyatakan oleh konstanta/intersep (a.) yang mencerminkan hubungan
antara kuantitas output yang diproduksi (Q) dengan kuantitas input
yang digunakan (X). Perubahan tingkat teknologi dalam arti luas, tidak
terbatas pada penambahan peralatan produksi modern dan metoda
produksi semata, termasuk pula perubahan status hukum perusahaan,
32
akan tercermin melalui perubahan nilai intersep dalam fungsi produksi
tersebut.
Mengukur efisiensi tidak harus menggunakan fungsi produksi,
fungsi standar lain misalnya fungsi biaya atau fungsi laba, dapat
digunakan sebagai acuan dalam mengukur efisiensi. Pilihan diantara
fungsi-fungsi ini biasanya dilakukan atas dasar asumsi eksogenitas.
Bila besaran-besaran input digunakan sebagai variabel eksogen, maka
fungsi produksi merupakan pilihan yang tepat untuk diestimasi,
sebaliknya bila output digunakan sebagai variabel eksogen maka
fungsi biaya merupakan fungsi yang tepat untuk diestimasi.
Usaha penyediaan tenaga listrik tidak termasuk dalam usaha
yang outputnya ditentukan secara eksogen, sehingga pilihan yang
tepat ur.tuk mengukur etlsiensi adalah menggunakan fungsi produksi
Q= f(L,K). Apabila suda!l ditentukan akan menggunakan fungsi
produksi dalam menghitung efisiensr, maka terdapat beberapa bentuk
fungsi produksi yang palir.g sering digunakan, yaitu fungsi Cobb
Douglas dan Translog (transendental logaritma). Pemilihan bentuk
fungsi produksi dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan
diantaranya jenis analisis yang akan dilakukan dan tersedianya teknik
perhitungan yang memad'ai.
Banyak sekali pulikasi memilih fungsi Cobb~Douglas dengan
pertimbangan kesederhanaan pendekatan dan menunjukan hasil yang
memuaskan. Dilain pihak, beberapa publikasi memilih bentuk translog
yang pada hakekatnya tidak memaksakan pembatasan/restriksi dan
dianggap akan mengurangi kemungkinan kesalahan estimasi yang
secara substansial berbeda bentuknya. Namun demikian, estimasi
fungsi translog yang mengandung tingkat fleksibilitas tinggi ini akan
membiJtuhkan lebih banyak derajat kebebasan sehingga sering tidak
memadai secara statistik untuk data yang sangat terbatas periode
penelitiannya.
Dengan pertimbangan kesederhanaan pendekatan, data yang
terbatas, serta jangka waktu penelitian yang pendek, maka studi ini
memiHh untuk menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Bentuk umum
33
fungsi produksi Cobb-Douglas yang dfgunakan dinyatakan sebagai
berikut:
Qt = a Ll1 Kl2 ftP3ellt
dimana: Qt = Keluaran (output),
Lt, Ktdan ft = Input tenaga kerja, modal, dan bahan
bakar,
(l = Intersep atau parameter efisiensi dan
Jlt = Residu/error term.
Pendekatan bentuk linier dari fungsi di atas adalah:
Fungsi produksi tersebut menggambarkan hubungan antara variabel
output yang dapat dihasilkan dengan variabel-variabel input tertentu.
Efisiensi dalam proses produksi diatas, dapat didefinisikan
sebagai rasio antara output yang dapat dihasilkan dengan sejumlah
input yang diperlukan dalam proses produksi, yang secara matematis
dapat ditulis menjadi:
Efisiensi = Output/Input
= Qt I [ Ll1 Kl2 Fl3 ] = a . ellt
atau dalam bentuk logaritma:
= Lna + Jlt
Dengan demikian, parameter efisiensi atau yang sering disebut
sebagai indeks efisiensi (a), dapat diperoleh langsung dengan mudah
dari regresi fungsi produksi Cobb-Douglas tersebut.
IV.2. MF.TODA ESTIMASI DAN HIPOTESA
Fungsi produksi yang telah spesifikasikan ini pertama-tama
ditaksir dengan metoda OLS (Ordinary Least Squares). Untuk
34
meyakinkan apakah bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas memang
merupakan bentuk fungsi yang paling tepat digunakan untuk data
penelitian 1987-2001, maka penulis melakukan pengujian restriksi
Cobb-Douglas dengan hipotesa null berikut:
Ho : (lh +lh+l33) = 1 law an H1 : (131 +l32+l33) * 1
Kemudian dilakukan pengujian hipotesa null tersebut dengan
menggunakan uji statistik F. Formula statistik F yang relevan adalah:
F = [(R2 - R2r)/m] I [(1 - R2)/(n-k)]
dimana: R2 = adaluh nilai R2 fungsi CobbDouglas tanpa
pembatasan,
R2r = adalah nilai R2 fungsi Cobb-Douglas dengan
pembatas (terrestriksi),
m = adalah jumlah pembatas linier,
n = adalah jumlah data penelitian/observasi,
k = adalah jumlah parameter dalam persamaan regresi
tanpa pembatas.
Bila nilai F tersebut ternyata lebih besar dari pada nilai kritikal
distribusi F, hipotesa null yang menyatakan bahwa (131 +l32+l33)= 1,
ditolak. Tetapi bila menerima hipotesis null maka estimasi fungsi
produksi akan diulang dengan memanfaatkan prosedur kuadrat
terkecn yang dibatasi (retricted least squares), dimana (131 +l32+l33) = 1
dijadikan sebagai pembatas linier.
Studi ini menaksir fungsi produksi Cobb-Douglas tanpa
pembateis (tidak terrestriksi) sebagai berikut:
Qt = a Ll1 Kl2 Fl3e11t atau dalam bentuk logaritma adalah
LnQt = a + I31LnLt + I32LnKt+ I33LnFt + J..lt
Hasil estimasi fungsi produksi tersebut digunakan untuk menghitung
indeks efisensi dan informasi penting lainya.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan indeks efisensi antara
sub periode sebelum (1987-1994) dan sesudah (1995-2001)
perubahan status dari perum menjadi persero, dapat menggunakan
35
teknik statistik yang sesuai untuk menguji semua kemungkinan
apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam intersep/slop untuk
kedua sub periode tersebut. Teknik seperti itu, salah satunya adalah
pengujian Chow. Dalam studi ini, tidak digunakan pengujian Chow,
tetapi memanfaatkan variabel dummy untuk menguji kemungkinan
tersebut dengan mengestimasi model sebagai berikut:
LnQt = dimana : Qt =
Lt = Kt = Ft = Dt =
a + a1Dt + f3tlnlt + f3zlnKt + f33LnFt
output,
input tenaga kerja,
input modal,
input bahan bakar,
variabel dummy untuk membedakan sub periode
sebelum (1987-1994) dan sesudah (1995-2001)
perubahan status hukum dari perum menjadi
persero. Dt = 0 untuk sub periode 1987-1994, dan
Dt = 1 untuk sub periode 1995-2001.
Apabila hasil regresi koefisien variabel dummy intersep (at) signifikan
maka terdapat perbedaan dalam intersep atau indeks efisiensi antara
dua sub periode dalam persamaan regresi tersebut, dan sebaliknya
apabila tidak signifikan maka persamaan regresi tersebut sama (tidak
berbeda) dalam intersep/slop.
Selain mengukur perbedaan indeks efisiensi untuk dua sub
periode sebelum dan sesudah perubahan status, studi in1 juga melihat
hubungan antara indeks efisiensi tersebut dengan faktor-faktor
mempengaruhinya. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui indeks
efisiensi secara individu sepanjang periode penelitian. Indeks efisiensi
individu tersebut dapat diketahui melalui nilai residu/error term
sebagai berikut:
efungsi produksi:
LnQt = a + f3tlnlt + f32LnKt + I33LnFt + Jlt
•lndeks efisiensi individu:
Output/Input -- LnQt I [Jhlnlt + lhlnKt + P3Lnft]
-- 0. + ~Lt
36
Selanjutnya, model regresi dibuat untuk melihat hubungan
antara indeks efisiensi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan hubungan antara indeks efisiensi dengan faktor-faktor
eksternal diluar kendali perusahaan, tidak dibahas dalam studi ini.
BAB V
ANALISIS INDEKS EFISIENSI
USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK : 1987- 2001
Penyebab perbedaan efisiensi antara BUMN dan non BUMN yang
sering dikemukakan orang adalah bahwa BUMN di Indonesia memiliki
fungsi ganda, kurangnya otonomi dan akuntabilitas serta menghadapi
kendala anggaran. Selain itu karena BUMN dimiliki oleh pemerintah
maka kepentingan dari para pemilik sangat heterogen karena
pemerintah diwakili oleh beberapa kelompok yang berbeda dan
bahkan memiliki kepentingan yang bertentanqan. Kepentingan
berbeda dari kepemilikan yang homogen ini mengakibatkan timbulnya
tujuan-tujuan non komersial yang sering sulit diformulasikan dengan
baik dan dapat bertentangan satu sama yang lain disamping tujuan
komersial dari BUMN.
Beragam pendekatan perbaikan kinerja BUMN telah dilakukan
diantaranya melalui pendekatan institusional maupun pendekatan
privatisasi. Pendekatan institusional ini, tampaknya yang dipilih
pemerintah untuk memperbaiki kinerja usaha penyediaan tenaga
listrik. Pendekatun ini didasarkan pada pendapat bahwa permasalahan
BUMN terutama terjadi disebabkan oleh distorsi pasar dan ketidak
mampuan BUMN untuk memberikan tanggapan yang tepat terhadap
tuntutan lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan ini menawarkan
jalan keluar yang pada dasarnya terpusat pada perbaikan sistem
pengelolaan BUMN serta perbaikkan pengelolaan dan kebijakan makro
pemerintah. Penyesuaian kebijakan makro dalam hubungan ini antara
lain dengan menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan
kompetitif, liberalisasi perdagangan dan mengakhiri perlakuan khusus
terhadap BUMN, mengarah kepada harga pasar, memberlakukan
sistem kompensasi yang kompetitif bagi para karyawan BUMN, dan
38
lain-lain. Dengan demikian BUMN akan dapat lebih mandiri dan lebih
entrepreneurial ditengah li11gkungan makro yang lebih kompetitif.
Beberapa bentuk restrukturisasi BUMN melalui pendekatan
institusional ini adalah korporatisasi dal" komersialisasi, yaitu usaha
untuk mengubah status hukum BUMN menjadi status hukum
perusahaan yang tur.duk pada UU Perusahaan yang berlaku, setelah
itu memberlakukan Kriteria komersial sebagai dasar pengambilan
keputusan. Usaha restrukturisasi kelembagaan seperti ini yang
dilakukan pemerintah terhadap usaha penyediaan tenaga listrik
dengan mengubah status hukum PLN dari perum menjadi persero
pada tahun 1994, dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam
pelayanan masyarakat.
V.l. ANALISIS INDEKS EFISIENSI TEKNIK
Untuk mengetahui perbedaan indeks efisiensi teknik usaha
penyediaan tenaga listrik antara sub periode sebelum (1987-1994)
dengan sesudah (1995-2001) perubahan status menjadi persero.
Penulis mengestimasi fungsi produksi Cobb-Douglus menggunakan
sampel data tahun 1987-2001, dimana energi yang diproduksi (Q)
digunakan sebagai variabel terikat, sedangkan tenaga kerja (L), nilai
buku barang rnodal/aktiva tetap (K), dan pemakaian bahan bakar (F)
digunakan sebagai variabel bebas. Untuk menghindari pengaruh
kenaikan harga barang dan jasa terhadap seluruh variabel bebas,
maka dilakukan indeksasi dengan menggunakan harga konstan 1993.
Untuk variabel upah tenaga kerja indeksasi dilakukan dengan
menggunakan indeks harga konsumen. sedangkan untuk varia bel
barang modal dan biaya bahan bakar, indeksasi dilakukan dengan
menggunakan deflator PDB.
Fungsi produksi Cobb-Douglas yang diestimasi adalah sebagai
berikut:
dimana: Qt = energi yang diproduksi pad a peri ode t,
Lt = tenaga kerja dalam produksi pada periode t,
Kt = modal dalam produksi pada periode t,
ft = bahan bakar dalam produksi pada periode t,
39
a = intersep atau slop, mencerminkan ukuran efisiensi teknis
dalam proses produksi, dan
1-lt = nilai residu/error term.
Untuk meyakinkan apckah bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas
diatas memang merupakan bentuk fungsi yang palin9 tepat digunakan
untuk sampel data ini, maka penulis melakukan pengujian restriksi
Cobb-Douglas. Dari hasil pengujian ini diperoleh nilai F sebesar 39,02,
sedang nilai kritikal distribusi Fo,o1 (1,11) adalah 9,65. Dengan
demikian, hipotesa null yang menyatakan bahwa fungsi tersebut
menerima restriksi Cobb-Douglas secara statistik ditolak.
Dengan demikian, hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas
yang paling tepat digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut:
LnQt = -3,9070 +0,4727 Lnlt +0,3546 LnKt + 0,1744 Lnft t-stat = (-9,8949) (8,8880) (4,5655) (3,3179)
R2 = 0.9938 F-stat = 587,5739 D-W stat = 1.8190
Usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia dari hasil regresi tersebut
terlihat cukup ba;k, mengalami increasing return to scale
(~1 +~2+~3> 1) selama periode 1987-2001. Indeks. efisiensi teknik
seluruh sampel penelitian, diperoleh angka sebesar e-3•9070 = 0,0201;
dan elastisitas keluaran (output) terhadap input tenaga kerja relatif
lebih besar bila dibandingkan dengan nilai elastisitas keluaran
terhadap input barang modal maupun bahan bakar.
Untuk melihat apakah estimasi fungsi produksi tersebut diatas
memiliki kemungkinan perbedaan dalam intercept/indeks efisiensi (a.).
Penulis memperkenalkan "variabel dummy" kedalam fungsi produksi
40
untuk menguji semua kemungkinan di atas dengan persamaan regresi
sebagai berikut:
dimana: Dt adalah "varia bel dummy" sebagai pemisah antara sub
periode sebelum (1987-1S94) dan sesudah (1995-2001)
perubahan status rnenjadi persero. Dt = 0 untuk sub periode
1987-1994, dan Dt =1 untuk sub periode 1995-2001.
Hasil estimasi persamaan di atas disajikan sebagai berikut:
LnQt = t-stat =
-2,5630 +0,0982 Dt +0,4895 Lnlt ( -3,4984) (2,0810) (10,3511)
+0,2256 LnFt ( 4,3209)
+0,2134 LnKt . (2,2207)
R2 = 0.9957 F-stat =-= 575.1908 D-W stat= 1.9379
Dari uji statistik t terhadap koefisien varia bel "dummy intercept" (a.1 = 0,0982, t-stat= 2,0810) terlihat bahwa variabel tersebut secara
statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 10%. Dengan demikian
dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa indeks efisiensi teknik
sebelum dan sesudah perubahan status PLN menjadi persero memang
ada perbedaannya.
Selanjutnya untuk memperoleh nilai indeks efisiensi tersebut
pada setiap tahunnya, selama periode analisis, maka dilakukan
dengan perhitungan seperti berikut:
•lndeks efisiensi teknik (lET) :
Output/Input = LnQJ[p1Lnlt+P2LnKt+P3LnFt]
= a+ f.l.t
Indeks efisiensi teknik pada setiap tahunnya tersebut adalah seperti
disajikan dalam tabel 6.
41
Tabel 6.
Indeks efisiensi teknik (IET) tahun 1987-1994
Tahun observc:si 1987 1988 1989 1990 Residu/error term (~t;) ··0.00522 -0.01387 0.00275 0.01164 Indeks 2fisiensi teknik (a+~1 ) 0.01488 0.00623 0.02285 0.03156
1991 1992 1993 1994 1995 1996 0.08155 -0.03658 -0.04720 -0.05523 -0.00459 0.07019 0.10165 -0.01648 -0.02710 -0.03513 0.01551 0.09029
1997 1998 1999 2000 2001 -0.00396 -0.02898 0.01188 -0.00731 0.02511 0.01614 -0.00888 0.03198 0.01279 0.04521
0.15
0.1 +-------....... ------..:::,-----------1 -+--Perum 0.05 -t------r--T-----f-_.._, ____ ___ -Persero
o+-~~~-~+-~-+~~~~~~~~~~
-0.05 ·-
Sesuai tujuan studi yang kedua, yaitu ingin melacak faktor
faktor yang mempengaruhi indeks efisiensi maka faktor-faktor berikut
diduga merupakan faktor-faktor internal yang paling berpengaruh
terhadap efisiensi teknik tersebut.
• Faktor be'Jan (load factor), yaitu rasio antara jumlah energi yang
diproduksi per tahun dengan beban puncak (beban tertinggi yang
pernah dicapai).
• Faktor kapasitas (capasity factor), yaitu rasio antara energi bruto
yang dibangkitkan dengan kapasitas terpasang (kapasitas
pembangkit sebagai mana tertera name plate) berdasarkan beban
dasar (base load).
Faktor beban dan kapasitas ini sebagai refleksi dari ukuran
efisiensi operasional.
• Susut energi (losses), tingkat kebocoran listrik pada jaringan
transmisi maupun distrbusi yang diukur antara pembangkit sampai
42
dengan sisi pelanggan, termasuk pencurian listrik. Susut energi ini
merefleksikan efisiensi manajemen dalam transportasi energi pada
pelanggan.
• Rasia eletrifikasi, yaitu rasio antara jumlah desa yang telah
dilistriki dengan total desa seluruh Indonesia. Rasia eletrifikasi ini
merupakan program sosial yang merefleksikan ukuran keadilan
pelayanan masyarakat.
• Ukuran unit pembangkit (average unit size ), yaitu jumlah
kapasitas terpasang pembangkit listrik dibagi dengan jumlah unit
pembangkit.
• Porsi pembangkit termal (thermal generation share), yaitu
persentasi pembangkit termal (menggunakan bahan bakar fosil
dalam memproduksi listrik) terhadap total pembangkit.
Ukuran unit pembangkit dan porsi pembagkit termal,
merepleksikan efisiensi manajemen dalam produksi.
Pelacakan atas faktor-faktor internal tersebut di atas dalam
mempengaruhi efisiensi, dilakukan dengan meregres indeks efisensi
teknik (lET) terhadap variabel faktor beban (FB), faktor kapasitas
(FK), susut energi (SE), rasio elektrifikasi (RE), ukuran unit
pembangkit (UP) dan porsi pembangkit termal (PT). Persamaan
regresinya dengan demikian adalah:
Hasil regresi:
IEt(-1) =
R2 = 0.6222
0,9685 +0,0009 FBt +0,0128 FKt t-stat = (0, 2298) (2,6402) -0,0102 REt +0,1827 UPt -0,0156 PTt (-2,4447) (2,4684) (-1,9820)
-0,0317 SEt ( -1, 7619)
F-stat = 1,9216 D-W stat = 2,4900
Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa ukuran unit
pembangkit, faktor kapasitas, rasio elektrifikasi dan porsi pembangkit
43
termal signifikan, pada tingkat kepercayaan 10%. Faktor lainnya, yaitu
faktor beban, dan susut energi, tidak signifikan.
V.2. ANALISIS INDEKS EFISIENSI BIAYA
Disamping efisiensi teknik, efisiensi biaya juga perlu dikaji,
sebab sebagai suatu unit usaha ekonomi masalah biaya tidak dapat
diabaikan. Variabel-variabel yang digunakan dalam mengestimasi
indeks efisiensi biaya ini soma dengan yang digunakan dalam analisis
indeks efisien3i teknis, hanya saja keseluruh variabelnya kini tidak
dalam satuan fisik melainkan dalam satuan uang (moneter).
Bentuk persamaan yang diestimasi hampir sama dengan
persamaan pada analisis indeks efisiensi teknik, hanya saja faktor
modal (kapital) tidak d:ikutsertakan karena selama periode analisis ini
harga penjualan tenaga listrik oleh PLN ditetapkan oleh pemerintah,
dan pada harga tersebut depresiasi modal tidak terlalu diperhitungkan.
Dengan demikian persamaan uji efisiensinya adalah sebagai berikut:
dimana: Ct = biaya pasokan tenaga iistrik pad a peri ode t,
Lt = pengeluaran tenaga kerja pada periode t,
Ft = pengeluaran bahan bakar pada periode t,
a = intersep atau slop, mencerminkan ukuran efisiensi biaya
dalam proses produksi, dan
llt = nilai residu/error term.
Hasil pengujia1 terhadap pe:-samaan ini adalah sebagai berikut:
LnCt = t-stat =
1,6107 (3,999)
+ 0, 7566 Lnlt (8,5674)
+ 0,2720 Lnft (3,5058)
R2 = 0. 9903 F-stat = 613,7169 D-W stat= 2,1268
44
Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa biaya pasokan tenaga
listrik oleh PLN berhubungan positif dengan pengeluaran tenaga kerja
dan bahan bakar, dan Elastisitas biaya terhadap pengeluaran tenaga
kerja relatif lebih besar bila dibandingkan dengan nilai elastisitas
bahan bakar.
Untuk menguji kemungkinan adanya perbedaan dalam tingkat
efisiensi maka digunakan persamaan sebagai berikut:
LnCt = a + a1Dt + j31Lnlt + I32LnFt
dimana: Dt adalah "varia bel dummy" sebagai pemisah antara sub
periode sebelum (1987-1994) dan sesudah (1995-2001)
perubahan status menjadi persero. Dt = 0 untuk sub periode
1987-1994, dan Dt =1 untuk sub periode 1995-2001.
Hasil estimasi model di atas disajikan sebagai berikut:
LnCt = 1.1256 t-stat = (1,5913
R2 = 0.9909
-0,0556 Dt ( -0,8402)
+0, 7792 Lnlt (8,3462)
+0,2859 LnFt (3,5614)
F-stat = 399,3539 o-w stat= 2,3402
Dari uji statistik t terhadap koefisien varia bel "dummy intercept" (a.1 =
-0,0556, t-stat= -0,8402), terlihat bahwa secara statistik tidak
signifikan. Artinya, duri aspek biaya juga tidak terjadi perubahan yang
signifikan sebagai akibat dari perubahan status hukum tersebut.
Indeks efisiensi biaya pada setiap tahunnya disajikan dalam
tabel 7.
Faktor-faktor yang diduga paling berpengaruh terhadap indeks
efisiensi biaya tersebut meliputi: (1) harga jual (tarif) listrik rata-rata,
(2) harga bahan bakar minyak, (3) pembelian tenaga listrik swasta,
dan ( 4) penyL'sutan barang modal/aktiva tetap.
Tabel 7.
Indeks efisiensi biaya (IEB) tahun 1987-1994
Tahun observasi 1987 1988 Residu/error term (~tj) -0.07586 -0.07233 Indeks efisiensi biaya (a+~!!l 4.93026 4.93379
1991 1992 1993 1994 0.11842 -0.00425 0.01212 -0.02701 5.12454 5.00187 5.01824 4.97911
1997 1998 1999 -0.06026 -0.00378 -0.08684 4.94586 5.00234 4.91928
~:~I ::<Y?~ : : : :~:: 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
1989 0.12472 5.13084
1995 0.00481 5.01093
2000 0.01486 5.02098
~Perum
-Persero
45
1990 -0.0178 4.98830
1996 0.00498 5.01110
2001 0.06824 5.07436
Untuk melacak sampai sejauh mana dugaan tE:rsebut benar
maka regresi antara indeks efisensi biaya (IEB) dengan variabel harga
jual listrik rata-rata {Tarif), harga satuan bahan bakar minyak rata
rata (BBM), pembelian lisrrik swasta (Swata), dan penyusutan aktiva
tetap (Depresiasi) dilakukan.
Persamaannya adalah :
Hasil regresi:
IEBt = t-stat =
R2 = 0.6106
4,4889 +0,0056 Tarift -0,0008 BBMt (31,4643) (3, 7956) ( -2,0690) -3,28.10-8 Swastat -3,28.10-8 Depresiasit
(-2,2124) (-1,4883)
F-stat = 3,9207 D-W stat = 1, 7536
Dari empat variabel tersebut, ternyata ada tiga variabel yang
signifikan (pada tingkat kepercayaan 10%) memepengaruhi indeks
46
efisiensi biaya, yaitu: tarif listrik rata-rata, harga bah an bakar minyak
rata-rata, dan pembelian listrik swasta.
Dari temuan uji statistik F di atas, baik dalam analisis indeks
efisiensi teknis (F-stat = 1,9216) maupun dalam analisis indeks
efisiensi biaya (F-stat = 3,9207), dirr.ana nilai kedua F-stat tersebut
tidak signifikan, tampaknya masih ada faktor-faktor lain selain faktor
faktor yang telah disebutkan di atas (seperti: faktor kapasitas, rasio
elektrifikasi, ukuran unit pembangkit dan porsi pembangkit termal,
tarif listrik, harga BBM, dan pembelian listrik swasta) yang
mempengaruhi indeks efisiensi produktif usaha tenaga listrik di
Indonesia. Selanjutnya faktor-faktor lain ini disebut faktor eksternal.
Faktor-faktor eksternal ( diluar kendali manajemen perusahaan)
yang diduga juga mempcngaruhi indeks efisiensi teknik dan efisiensi
biaya an tara lain meliputi: unsur hubungan kepemilikan, informasi dan
insentif akibat perubahan status badan hukum; tekanan finansial,
seperti adanya defisit anggaran pemerintah; krisis moneter tahun
1997; tekanan non ekonomi seperti keinginan untuk melakukan
berbagai perubahan melalui serikat pekerja; dan tekanan pihak asi'1g
seperti penyesuaian kebijakan da;i IMF, Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia. Analisis terhadap faktor-faktor internal tersebut
tidak dibahas dalam studi ini.
VI.l. KESIMPULAN
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berubahnya status hukum PLN menjadi persero telah
mengubah tingkat efisiens1 teknik. Indeks efisiensi teknik sesudah
perubahan status lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum
perubahan status, perbedaan tersebut sebesar L\a= (e-2.4648-e-2•5630)=
0,00795. Artinya, kiprah PLN secara teknik PLN beroperasi semakin
efisien.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan indeks efisiensi
teknik tersebut adalah ukuran unit pembangkit rata-rata, faktor
kapasitas, rasio elektrifikasi dan porsi pemban~kit termal.
Berbeda dengan aspek teknik, dalam aspek biaya operasi,
sesudah peruba:1an status tidak mengalami perubahan berarti. lndeks
efisiensi biaya PLN ternyata tidak meningkat signifikan dengan
berubahnya status hukum tersebut. Efisiensi PLN, dari sisi biaya,
sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh PLN dapat menekan harga
pembelian bahan bakar minyak dan pembelian listrik swasta
disamping menegosiasikan dengan pemerintah untuk menaikan harga
jual (tarif) listrik.
VI.2. SARAN
Dari hasil temuan empirik ini, agar PLN dapat beroperasi lebih
efisiensi lagi maka kendala regulasi terhadap tarif listrik sebaiknya
ditiadakan, mencari pasokan BBM di pasar internasional guna
menekan harga pembeliannya yang selama ini dipasok oleh
Pertamina, dan negosiasi ulang guna menurunkan harga pembelian
listrik swasta. Demikian pula dari aspek teknik, faktor-faktor yang
masih harus diperbaiki adalah meliputi: ukuran unit pemabangkit rata-
48
rata (average unit size) perlu diperbesar, faktor kapasitas (capasity
faktor) perlu dinaikkan, dan porsi pembangkit termal (thermal
generation share) perlu dikurangi, serta program sosial listrik
pedesaan (rasio elektrifikas:) perlu ada pemisahan yang tegas antara
misi sosial dan misi bisnis perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam C., W. Cavendish and P.S. Mistry (1992), "Adjusting
Privatisation: Case Studies from Developing Countries", London:
James Currey.
Aharoni, Yair ( 1991), "On Measuring the Success of Privatisation",
Mimeo, Tel Aviv University.
Caves, D.W. and Christensen, L.R. (1980), "The Relative Efficiency of
Public and Private Firm in a Competitive Environment: the Case
of Canadian Railroads", Journal of Political Economic, 88, pp
958-976.
Galal Ahmed, Leroy P. Jones, P. Tandon and I. Vogelsang (1994),
"Welfare Consequences of Selling Public Enterprise: An
Empirical Analysis, New York, Oxford University Press.
Gaspers Vincent (2000), "Ekonomi Manajerial", Jakarta, Gramedia.
Gujarati, Damodar (1978), "Ekonometrika Dasar", Jakarta, Penerbit
Erlangga.
Jasmina Thia dan Goeltom Miranda S.(1995), "Analisisi Efisiensi
Perbankan Indonesia: Metode Pengukuran Fungsi Biaya
Frontier", Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, LPEM FEUI,
Jakarta.
Kadir Abdul, Kim Yoon Hyung and Uchida Mitsuho (1985),
"Management Efficiency in The Electric Power Supply Industry:
Experiences in Northeast Asian Utilities", East-West Centre,
Honolulu, Hawaii.
Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Badan Pengelola BUMN
(1998), "Masterplan Reformasi BUMN".
50
Lains Alfian (1990), "Fungsi Produksi Cobb-Douglas Pada Industri
Semen Di Indonesia", Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia,
Vol.38, No.3, LPEM FEU!, Jakarta.
PT PLN (Perse:-o) ( 1994 ), "Statistik PLN 1994, Jakarta.
PT PLN (Persero) (1997), "Statistik PLN 1997, Jakarta.
PT PLN (Persero) (2001), "Statistik PLN 2001, Jakarta.
Quantitave Micro Sofware (1998), "Eview 3 User's Guide", Irvine, CA.
Salvatore Dominick (2001), "Managerial Economic in Global Economy",
Orlando, FL, Harcourt College Publisher.
Shaikh, Abdul Hafeez ( 1985), "Efficiency in Production Under Private
and Public Ownership. Technique of Measurement and Evidence
from Pakistan", Boston University, Graduate School,
Unpublished Ph.D. Dissertation.
Siahaan Olean P (2000), "Efisiensi Teknik Unit Usaha BUMN: Ana lisa
Data Panel Usaha Industri Indonesia, 1981...:1991, Jakarta,
Universitas Indonesia, Disertasi.
Vickers, John and George Yarrow (1991), "Privatisation: An Economic
Analyses", Cambridge, M.A., MIT Press.
LAMPI RAN
51
Lampiran 1 : Data produksi energi, Penjualan tenaga listrik, penggunaan tenaga kerja dan nilai buku barang modal/aktiva serta penggunaan BBM tahun 1987-2001
Obs Produksi Penjualan Tenaga T enaga Kerja Nilai Buku Modal (GWh) Listrik Outa Rp) Outa Rp) _{juta R_Q}
1987 22,305.91 1,581,330.77 147,752.03 4,927,276.01 1&88 25,622.75 1,839,868.86 171,612.44 6,968,885.27 1989 29,570.10 2,674,038.27 211,869.96 8,829,473,94 1990 34,878.56 3,139,323.00 278,643.00 9,558,900.00 1991 38,731.23 4,062,661.00 307,715.00 10,513,250,89 1992 41,936.45 4,794.366.00 427,384.00 13,447,820.90 1993 46,718.75 5,922,138.00 504,368.00 17,403,787.60 1994 51,478.38 7,150,442.40 676,300.80 19,457,361.00 1995 59,404.22 8,109,711.36 758,291.49 27,210,609.98 1996 67,386.54 9,418,269.00 886,229.00 29,839,07 4.94 1997 76,619.56 10,877,278.00 1,068,055.00 42,529,493.10
1998 77,903.37 13,766,222.00 1,018,858.00 51,394,967.00 1999 84,775.80 15,670,551.68 1,335,615.91 51,819,419.92 2000 93,325.28 22,139,883.46 1,802,391.74 52,641,087.95 2001 101,653.90 28,275,982.65 2,086,329.98 53,048,329.78
Lampiran 2 : Indeks harga konsumen dan Deflator PDB menggunakan harga konstan 1993
lndeks Harga Deflator Tahun Konsumen PDB
_(1993=100) 1_1993=1001 1987 63.80 63.90 19e8 68.94 68.03 1989 73.36 73.38 1990 77.53 78.81 1991 84.80 84.14 1992 91.16 90.32 1993 100 100 ·-
1994 108.51 107.76 1995 118.75 117.15 1996 128.16 126.50
-1997 136.64 132.76 1998 215.71 114.64 1999 259.68 115.65 200::> 269.47 121.57 2001 300.47 126.17
Bahan bakar Outa Rp) 869,909.26 994,550.08
1,068,723.11 1,530,708.00 1 ,828,628.00 2,131 ,993.00 2, 783,017.00 2,864,023.20 2,969,994.86 3,361,080.00 4,338,836.00 9,408,965.00 9,691,812.97
10,375,827.00 14,007,295.53
52
Lampiran 3 : Faktor-faktor internal yang mempengaruhi indeks efisiensi teknik
Faktor Faktor Susut 1 Rasio Ukuran Obs be ban Kapasitas energi elektrifikasi pembangkit
(%) (%) (%) (%) (MW) 1987 63.27 34.00 18.73 27.39 2.6318 1988 63.32 33.38 16.88 30.70 3.0171 1989 63.48 36.09 15.82 33.79 3.1340 1990 67.51 41.76 15.63 38.57 3.0102 1991 70.14 41..76 14.12 43.72 2.8721 1992 72.75 43.11 12.38 47.94 3.2275 1993 74.88 38.17 12.53 53.03 3.8900 1994 68.01 39.89 12.38 61.00 3.9100 1995 66.82 44.34 12.33 61.75 3.8300 1996 68.59 47.75 11.89 68.94 4.2800 1997 70.08 46.15 12.10 73.20 4.7700 1998 68.90 43.21 12.34 80.82 5.1900 1999 67.60 44.63 12.22 82.33 5.0800 2000 69.54 46.29 11.65 83.96 5.1700 2001 71.13 47.90 13.52 82.39 5.0500
Lampiran 4 : Faktor-faktor internal yang mempengaruhi indeks efisiensi biaya
Obs Tarif Harga BBM Listrik Swasta Depresiasi
1987 92.6000 206.8900 11,205.62 869,909.26
1988 92.0300 206.4000 12,080.78 994,550.08
1989 114.1100 207.2800 15,992.91 1 ,068, 723.11
1990 113.1700 240.2400 21,260.00 1 ,530, 708.00
1991 129.0500 257.2600 22,661.00 1 ,828,628.00
1992 137.1200 292.8700 22,661.00 2,131,993.00
'1993 151.9900 322.9100 19,716.00 2, 783,017.00
1994 154.2800 323.4600 46,859.00 2,864,023.20
1995 163.0100 343.8500 30,679.00 2,969,994.86
1996 165.4300 352.0500 77,096.06 3,361,080.00
1997 169.1300 339.3600 325,162.00 4,338,836.00
1998 210.9400 405.6100 1 ,885,963.00 9,408,965.00
1999 219.6800 500.1200 5,082, 702.81 9,691,812.97
2000 279.6700 514.9600 9,395,365.45 10,375,827.00
2001 334.5500 803.7200 8,717,140.54 14,007,295.53
Porsi pgkt termal ·
(%) 77.17 75.26 76.75 75.48 75.44 78.67 82.55 82.67 83.43 84.53 85.23 83.63 83.61 83.74 83.45
Lampiran 5:
Hasil regresi fungsi produksi Cobb-Douglas 1987-2001
• Analisis indeks efisiensi teknik:
Dependent Variable: LNQ Method: Least Squares Date: 01/03/80 Time: 07:23 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable Coefficient
LNL 0.472666 LNK 0.354596 LNF 0.174373 c -3.906939
R-squared 0.993798 Adjusted R-squared 0.992107 S.E. of regression 0.042909 Sum squared resid 0.020253 Log likelihood 28.27217 Durbin-Watson stat 1.818999
Std. Error t-Statistic
0.053180 8.888020 0.077669 4.565504 0.052555 3.317934 0.394843 -9.894915
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
• Analisis indeks efisiensi biaya:
Dependent Variable: CT Method: Least Squares Date: 01/18/04 Time: 21:19 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable Coefficient
L 0.756630 F 0.271990 c 1.610662
R-squared 0.990318 Adjusted R-squared 0.988705 S.E. of regression 0.069456 Sum squared resid 0.057890 Log likelihood 20.39534 Durbin-Watson stat 2.126836
Std. Error t-Statistic
0.088316 8.567354 0.077582 3.505829 0.403682 3.989928
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Pro b.
0.0000 0.0008 0.0069 0.0000
10.84455 0.482979
-3.236289 -3.047475 587.5739 0.000000
Prob.
0.0000 0.0043 0.0018
15.72487 0.653522
-2.319378 -2.177768 613.7169 0.000000
53
Lampiran 6 :
Hasil regresi fungsi produksi Cobb-Douglas terrestriksi
• Analisis indeks efisiensi teknik:
Dependent Variable: LNQ-LNL Method: Least Squares Date: 01/03/80 Time: 07:28 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable Coefficient
LNK-LNL 0.355669 LNF-LNL 0.173817
c -3.888556
R-squared 0.971801 Adjusted R-squared 0.967101 S.E. of regression 0.041088 Sum squared resid 0.020258 Log likelihood 28.27019 Durbin-Watson stat 1.817188
Std. Error t-Statistic
0.071877 4.948311 0.049341 3.522756 0.189281 -20.54378
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
• Analisis indeks efisiensi biaya:
Dependent Variable: CT -L Method: Least Squares Date: 01/18/04 Time: 20:48 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable Coefficient
F-L 0.284983 c 1.968618
R-squared 0.519781 Adjusted R-squared 0.482842 S.E. of regression 0.069129 Sum squared resid 0.062124 Log likelihood 19.86593 Durbin-Watson stat 1.943230
Std. Error t-Statistic
0.075972 3.751134 0.129637 15.18563
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob.
0.0003 0.0042 0.0000
-2.218105 0.226526
-3.369359 -3.227749 206.7703 0.000000
Prob.
0.0024 0.0000
2.450273 0.096127
-2.382124 -2.287718 14.07101 0.002422
54
Lampiran 7: Hasil regresi \lariabel dummy intersep (penguji kemungkinan adanya perbedaan dalam indeks efisiensi)
• Analisis indeks efisiensi teknik:
Dependent Variable: LNQ Method: Least Squares Date: 01/03/80 Time: 07:33 Sample: 1987 2001 tncluded observations: 15
Variable Coefficient
c DUMMY
LNL LNK LNF
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
-2.563007 0.098183 0.489488 0.213400 0.225614
0.995672 0.993941 0.037594 0.014133 30.97073 1.937937
Std. Error
0.732626 0.047181 0 047288 0.096094 0.052215
t-Statistic
-3.498382 2.080995 10.35113 2.220736 4.320877
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob( F-statistic)
• Analisis indeks efisiensi biaya:
Dependent Variable: CT Method: Least Squares Date: 01/19/04 Time: 00:01 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable Coefficient
L 0.779173 F 0.285893
DT -0.055590 c 1.125596
R-squared 0.990902 Adjusted R-squared 0.988421 S.E. of regression 0.070323 Sum squared resid 0.054399 Log likelihood 20.86185 Durbin-Watson stat 2.340225
Std. Error t-Statistic
0.093356 8.346220 0.080274 3.561439 0.066163 -0.840203 0.707356 1.591272
Mean dependent var S.D. dependent var Akai!<e info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob( F-statistic)
Pro b.
0.0057 0.0641 0.0000 0.0506 0.0015
10.84455 0.482979
-3.462763 -3.226747 575.1908 0.000000
Prob.
0.0000 0.0045 0.4187 0.1399
15.72487 0.653522
-2.248246 -2.059433 399.3539 0.000000
55
Lampiran 8 : Hasil regresi indeks efisiensi teknik vs faktor-faktor internal: 1987-2001
Dependent Variable: INDEKS EFISIENSI TEKNIK(-1) Method: Least Squares Date: 01/03/80 Time: 07:59 Sample(adjusted): 1988 2001 Included observG~tions: 14 after a::ljusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic
FAKTOR BEBAN FAK. KAPASITAS SUSUT ENERGI ELEKTRIFIKASI
UKURAN PEMBKIT PORSI TERMAL
c R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.000915 0.012836
-0.031743 -0.010163 0.182732
-0.015575 0.968506
0.622223 0.298414 0.032505 0.007396 32.95587 2.490015
0.003983 0.004862 0.018016 0.004157 0.074030 0.007858 0.883558
0.229767 2.640158
-1.761891 -2.444665 2.468355
-1.982004 1.096144
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob( F-statistic)
Prob.
0.8248 0.0334 0.1215 0.0445 0.0429 0.0879 0.3093
0.018306 0.038807
-3.707981 -3.388452 1.921572 0.206339
• L. 9: Hasil regresi indeks efisiensi biaya vs faktor-faktor yang mempengaruhinya: 1987-2001
Dependent Variable: INDEKS EFISIENSI BIAYA Method: Least Squares Date: 01/18/04 Time: 23:41 Sample: 1987 2001 Included observations: 15
Variable
TARIF LISTRIK HARGABBM
LISTRIK SWASTA DEPRESIASI
c R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient
0.005589 -0.000839 -3.28E-08 -1.48E-08 4.488905
0.610633 0.454886 0.047476 0.022540 27.46976 1.753575
Std. Error
0.001472 0.000406 1.48E-08 9.96E-09 0.142667
t-Statistic
3.795562 -2.069026 -2.212386 -1.488287 31.46428
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob.
0.0035 0.0654 0.0514 0.1675 0.0000
5.006124 0.064303
-2.995968 -2.759951 3.920681 0.036273
56