penggunaan analisis kovariansi dalam … · penerapan model pembelajaran creative problem solving...
TRANSCRIPT
i
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuwarto dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi penulis Gema Pendidikan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan sebagainya.
Gema Pendidikan diterbitkan sejak 01 Januari 1994 oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi
Pengaruh Kompensasi, Motivasi, dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta. Izlan Sentryo………………….. 1
Dampak Intervensi Model Penurunan Unmet Need KB dan Peningkatan KB Pria terhadap Pencapaian Sasaran Program DHS-I pada Program KB di Prov. Sultra
Kadir Tiya ............................... 12 Kualitas Pengajaran, Sikap :Positif, Self-Efficacy dan Kinerja Akademis Mahasiswa FKIP Unhalu
Muliha Halim ………..……… 21
Project-Based Learning for EFL Vocabulary Class Nurnia ………….…..………..31
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya Nilai UN Matapelajaran Ekonomi Koperasi SMA di Kabupaten Buton Tahun 2011
Abdullah Igo B.D ..………… 38
Pengujian Akurasi Alat Pengukur Suhu dan Kelembaban menggunakan Sensor SHT11 dan Mikrokontroler Atmega 8
Vivi Hastuti ……………..…… 45
Analisis Nilai Ujian Nasional Kimia dan Identifikasi Faktor Penyebab Menurunnya Nilai UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2010
La Rudi…………….………….55
Persepsi Mahasiswa Universitas Halu Oleo tentang Latar belakang Demonstrasi Barlian & Muh. Abas .………………..………….….65
Penerapan Metode Pemecahan Masalah dalam Penigkatan Hasil Belajar Matematika Nana Sumarna & Eric Roni Hasmudin....................................77
Penerapan Model Pembelajaran Search Solve Create and Share (SSCS) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Materi Gerak Lurus siswa Kelas X SMAN 1. Kabangka Tahun Ajaran 2012-2013.
La Harudu……………………..…………..….84
Identifikasi Miskonsepsi Siswa Kelas XII IA SMAN 6 Kendari pada Matapelajaran Biologi Materi Transport Membran
M. Sirih, Murni S. Martini …………………….…. 91
Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbantuan Slide Show Animation untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa
Kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari La Sahara....................... 97
Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kec. Poasia Kota Kendari
Asmawati Munir, Lili Darlian, Niluh Sri Buana ………… 105
Penanggung Jawab Dekan FKIP Unhalu
Pemimpin Redaksi
Pembantu Dekan I FKIP
Redaktur Pelaksana Kepala Perpustakaan FKIP
Penyunting Ahli
H. Zalili Sailan (Unhalu) H. Barlian Usman (Unhalu)
H. Hilaluddin Hanafi (Unhalu) La Maronta Galib (Unhalu)
Amiruddin (Unhalu) Nurlansi (Unhalu)
La Harudu (Unhalu) Moh. Salam (Unhalu) Muh. Yuris (Unhalu)
Albert (Unhalu) Darnawati (Unhalu) La Sawali (Unhalu)
Aris Munandar (UNM Makassar) Ahmad Tolla (UNM Makassar) Hamsu Gani (UNM Makassar)
H. Nurhadi (UNM Malang) Sumadi (UNM Malang)
Bambang Yulianto (Unesa) Ratna Sayekti (UNJ)
Pelaksana Layout
La Rudi Muh. Abas
Pendais Haq Rahmat
Gema Pendidikan Volume 20 Nomor 2, JUli 2013
Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan konseptual di bidang Pendidikan. ISSN : 0854 – 9044
ii
PENGANTAR REDAKSI
Gema Pendidikan Volume 20 Nomor 2, Juli 2013 menampilkan tiga belas artikel yang
merupakan hasil penelitian, yang membahas berbagai permasalahan aktual dan telah
disajikan pada pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar dan semacamnya.
Para penulis adalah dosen Universitas Haluoleo yang menampilkan karya tulis dengan
bekerja sama Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo dan lembaga-lembaga ilmiah
lainnya. Permasalahan-permasalahan berfokus pada aktualisasi bidang pendidikan
pengajaran dan sains.
Pada terbitan-terbitan selanjutnya “Gema Pendidikan” berusaha tetap tampil dengan
berbagai karya tulis serta mempertahankan eksistensinya pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan pendidikan pengajaran dan sains.
Usaha yang dimaksud tidak terlepas dari kesadaran bahwa hanyalah sebagian upaya
dalam rencana yang selalu disertai dengan keterbatasan pihak penyunting dan rekan para
penulis.
Oleh karena itu untuk memperbaiki segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, pihak
penyunting mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak demi
kesempurnaan untuk terbitan berikutnya yang merupakan harapan kita semua.
Semoga pada terbitan-terbitan selanjutnya “Gema Pendidikan” tampil lebih baik lagi
utamanya dari kualitas keilmuan dan relevansinya dengan pembangunan dalam dunia
pendidikan.
Kendari, Juli 2013
Penyunting
1
PENGARUH KOMPENSASI, MOTIVASI, DAN KOMITMEN ORGANISASI
TERHADAP KINERJA KARYAWAN DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI DKI JAKARTA1
Oleh:
Izlan Sentryo2
Abstract This research aims to discover the impacts of compensation, motivation, and the
organization’s commitment on the performance of the employees of the Education Agency - the
Province of Jakarta Special Capital Region. The population of this research are 285 employees
of the Education Agency - the Province of Jakarta Special Capital Region in 2010. The population
reached totals 110 people, namely the employees that belong to category III, college graduates,
and have minimal service period of 5 years. Samples of the research are 70 people or 64 percent
of the population reached. Sampling is conducted by means of simple random sampling technique.
The research method employed is survey; the research instrument is questionnaire, and data
analysis is performed by means of descriptive analysis and inferential analysis. The descriptive
analysis is employed to describe the state of data on each variable in the form of average,
median, modus, standard deviation, variance, frequency distribution, and histograms. Whereas
the inferential analysis is employed to test the hypothesis through path analysis.
Based on the results of the hypothesis testing through Path Analysis, this research
discovers that: (1) Compensation has a direct positive impact on performance, (2) Compensation
has a direct positive impact on the organization’s commitment, (3) Motivation has a direct
positive impact on performance, (4) Motivation has a direct positive impact on the organization’s
commitment; and (5) the organization’s commitment has a direct positive impact on
performance.
Keywords: performance, compensation, motivation, and the organization’s commitment.
1 Ringkasan Disertasi di UNJ. Promotor: Prof. Dr. H. Djaali dan Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA. 2 Dosen Luar Biasa Pada Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Halu Oleo
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan hak bagi setiap
warga negara, sebagaimana dijamin dalam UUD
1945. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Hak warga negara atas pendidikan
juga telah dipertegas dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, yakni
dengan penekanan pada pendidikan bermutu.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003
menyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
Mutu pendidikan diukur dari kompetensi
lulusannya. Kompetensi lulusan ditentukan oleh
kualitas proses pembelajaran di kelas dan proses
pendidikan di lingkungan sekolah, dan
dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga
kependidikan, kualitas dan relevansi isi
pendidikan, sistem penilaian, pengelolaan,
sarana dan prasarana, serta pembiayaan (Djaali,
2011: 1). Dengan demikian, tugas tenaga
kependidikan (karyawan Dinas Pendidikan)
cukup strategis dan merupakan salah satu
variabel yang ikut menentukan tinggi rendahnya
mutu pendidikan nasional. Kementerian
Pendidikan Nasional mempertegas bahwa tenaga
kependidikan memegang peranan penting dalam
meningkatkan mutu pendidikan dan akuntabilitas
penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan (Rencara Strategis Kemdiknas 2010-
2014: 95).
Tugas tenaga kependidikan adalah
melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pembinaan, pengawasan, dan
pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan (Pasal 173
2
Ayat (2) PP No. 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan).
Sebagai bagian dari tenaga kependidikan,
karyawan Dinas Pendidikan harus ditingkatkan
kinerjanya agar semakin optimal dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
merupakan perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pendidikan. Tugas utamanya
adalah menyelenggarakan pendidikan secara
bermutu. Selain itu, lembaga ini berfungsi: (1)
Menyusun dan melaksanakan rencana kerja dan
anggaran Dinas Pendidikan; (2) Merumuskan
kebijakan teknis pelaksanaan urusan pendidikan;
(3) Memberikan pelayanan, pembinaan,
pengembangan, pengawasan, dan pengendalian
pendidikan; serta (4) Melakukan pembinaan dan
pengembangan terhadap tenaga kependidikan
(Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8
Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan Provinsi
DKI Jakarta).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi
Dinas Pendidikan yang sangat urgen tersebut di
atas, maka berbagai upaya untuk meningkatkan
kinerja karyawan harus terus dilakukan. Kinerja
karyawan Dinas Pendidikan harus ditingkatkan,
karena mereka merupakan bagian dari
penyelenggara pendidikan dan berkontribusi
secara langsung maupun tidak langsung terhadap
peningkatan mutu pendidikan dasar dan
menengah. Artinya, untuk meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah selain harus
menyediakan sarana dan prasarana pendidikan
yang memadai, guru yang profesional, dan biaya
pendidikan yang cukup, juga harus menyediakan
karyawan Dinas Pendidikan yang berkinerja
tinggi. Tentu saja, kinerja karyawan Dinas
Pendidikan ini dipengaruhi banyak faktor, baik
faktor internal maupun faktor eksternal, di
antaranya adalah kompensasi, motivasi, dan
komitmen organisasi. Sehubungan dengan uraian di atas,
permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: (1) Apakah kompensasi berpengaruh
langsung terhadap kinerja?; (2) Apakah
kompensasi berpengaruh langsung terhadap
komitmen organisasi?; (3) Apakah motivasi
berpengaruh langsung terhadap kinerja?; (4)
Apakah motivasi berpengaruh langsung terhadap
komitmen organisasi?; (5) Apakah komitmen
organisasi berpengaruh langsung terhadap
kinerja?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui: (1) pengaruh langsung kompensasi
terhadap kinerja; (2) pengaruh langsung
kompensasi terhadap komitmen organisasi; (3)
pengaruh langsung motivasi terhadap kinerja; (4)
pengaruh langsung motivasi terhadap komitmen
organisasi; dan (5) pengaruh langsung komitmen
organisasi terhadap kinerja.
TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja
Konsep kinerja didefinisikan sebagai nilai
dari seperangkat perilaku karyawan yang
berkontribusi, baik secara positif atau negatif
terhadap pemenuhan tujuan organisasi (Colquitt,
LePine, dan Wesson, 2009: 37). Mathis dan
Jackson (2006: 114) mengemukakan tiga faktor
utama yang mempengaruhi kinerja individu
dalam organisasi, yaitu kemampuan individu
untuk melakukan pekerjaan, tingkat usaha yang
dicurahkan, dan dukungan organisasi.
Kinerja merupakan terjemahan dari
performance, yang berarti: (1) perbuatan,
prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang
berdaya guna; (2) pencapaian atau prestasi
seseorang berkenan dengan tugas yang diberikan
kepadanya; (3) hasil kerja seorang pekerja,
sebuah proses manajemen atau suatu organisasi
secara keseluruhan, di mana hasil kerja tersebut
harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit
dan dapat diukur (dibandingkan dengan standar
yang telah ditentukan); (4) cacatan mengenai
out-come yang dihasilkan dari suatu aktivitas
tertentu selama kurun waktu tertentu pula; (5)
hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu organisasi
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka mencapai tujuan
organisasi (Sedarmayanti, 2009: 259-260).
Penilaian kinerja bertujuan untuk: (1)
mengidentifikasi kemampuan dan kekuatan
karyawan; (2) mengidentifikasi potensi
perkembangan karyawan; (3) memberikan
informasi bagi perkembangan karyawan; (4)
membuat organisasi lebih produktif; dan (5)
memberikan data bagi penyesuaian kompensasi
karyawan (Neal, 2004: 3-4). Robbins dan Judge
3
(2009: 629) mengemukakan bahwa penilaian
kinerja dalam organisasi bertujuan untuk
keputusan sumber daya manusia, promosi,
transfer, dan pemutusan hubungan kerja.
Sedangkan Stoner dan Freeman (1992: 392)
berpendapat bahwa penilaian kinerja bertujuan
untuk: (1) memberi tahu karyawan secara formal
bagaimana nilai kinerjanya, (2) menentukan
karyawan yang berhak mendapatkan kenaikan
gaji, (3) menentukan karyawan yang
memerlukan pelatihan tambahan, dan (4)
menentukan calon karyawan yang dapat
dipromosikan.
Ada lima tahapan dalam proses penilaian
kinerja, yaitu: (1) mengidentifikasi sasaran-
saranan kinerja, (2) menetapkan kriteria kinerja
dan mengkomunikasikannya dengan bawahan;
(3) memeriksa pekerjaan yang dilakukan; (4)
menilai kinerja; dan (5) mendiskusikan
penilaian bersama karyawan (Mondy, 2008:
260). Selain itu, Dessler (2010: 327)
mengemukakan tiga tahapan dalam proses
penilaian kinerja, yaitu (1) mendefinisikan
pekerjaan (memastikan bahwa atasan dan
bawahan setuju dengan kewajiban dan standar
pekerjaannya); (2) menilai kinerja
(membandingkan kinerja bawahan dengan
standar yang telah ditetapkan); dan (3)
memberikan umpan balik (atasan dan bawahan
mendiskusikan kinerja dan kemajuan bawahan,
serta membuat rencana untuk pengembangan
yang dibutuhkan).
Berdasarkan kajian teori di atas, yang
dimaksud dengan kinerja dalam penelitian ini
adalah unjuk kerja karyawan dalam organisasi
sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya untuk mencapai tujuan organisasi,
dengan indikator: (1) kuantitas pekerjaan, (2)
kualitas hasil kerja, (3) kemampuan
menyelesaikan pekerjaan, (4) usaha dalam
menyelesaikan pekerjaan, (5) inisiatif, dan (6)
kehadiran di kantor.
Kompensasi
Kompensasi merupakan salah satu fungsi
yang penting dalam manajemen sumber daya
manusia, karena kompensasi merupakan salah
satu aspek yang paling sensitif di dalam
hubungan kerja. Sistem kompensasi yang baik
akan membantu memberikan penguatan terhadap
nilai-nilai organisasi dan mendukung pencapaian
tujuan organisasi.
Kompensasi merupakan bentuk
penghargaan (berupa uang dan bukan uang) yang
diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa
atas kontribusinya kepada organisasi. Menurut
Luthans (2008: 94), organisasi memberi
penghargaan kepada karyawan untuk mencoba
memotivasi kinerja mereka dan mendorong
loyalitas. Penghargaan organisasi memiliki
sejumlah bentuk yang berbeda, meliputi uang
(gaji, bonus, insentif), penghargaan, dan benefit.
Jika sistem gaji dirancang secara tepat untuk
memenuhi strategi, ia dapat memiliki dampak
positif terhadap kinerja individu, tim, dan
organisasi.
Robbins dan Coulter (2007: 369)
mengemukakan bahwa tujuan organisasi
merancang sebuah sistem kompensasi yang
efektif adalah untuk menarik dan
mempertahankan orang-orang yang kompeten
dan berbakat yang dapat membantu organisasi
mencapai misi maupun sasaran-sasarannya.
Selain itu, sistem kompensasi sebuah organisasi
telah terbukti mempunyai dampak terhadap
kinerja. Oleh karena itu, pimpinan organisasi
harus mengembangkan sistem kompensasi yang
mencerminkan sifat pekerjaan dan tempat kerja
agar supaya menjaga karyawan tetap termotivasi.
Kompensasi mencakup semua imbalan
yang diberikan kepada karyawan sebagai timbal
balik atas jasa mereka terhadap organisasi.
Imbalan tersebut dapat berupa salah satu atau
kombinasi dari: (1) kompensasi finansial
langsung, yaitu bayaran yang diterima seseorang
dalam bentuk upah, gaji, komisi, dan bonus;
(2) kompensasi finansial tidak langsung
(tunjangan), yaitu semua imbalan finansial yang
tidak termasuk dalam kompensasi langsung,
seperti cuti dibayar, absen karena sakit, liburan,
dan asuransi pengobatan; serta (3) kompensasi
nonfinansial, yaitu kepuasan yang diperoleh
seseorang dari pekerjaan itu sendiri (Mondy,
2008: 6).
Sistem kompensasi dalam organisasi harus
dihubungkan dengan tujuan dan strategi
organisasi. Program kompensasi yang efektif
dalam organisasi memiliki empat tujuan: (1)
4
kepatuhan pada hukum dan peraturan yang
berlaku; (2) efektivitas biaya bagi organisasi; (3)
keadilan internal, eksternal, dan individual bagi
para karyawan, dan (4) peningkatan kinerja bagi
organisasi (Mathis dan Jackson, 2006: 419).
Salah satu tujuan dari sistem kompensasi
dalam organisasi adalah memberikan
penghargaan yang memadai dan adil bagi
karyawan agar mereka tetap bertahan bekerja
dalam organisasi, meningkatkan motivasi kerja
dan kinerjanya. Menurut Ivancevich,
Konopaske, dan Matteson (2007: 226), tujuan
utama dari program penghargaan adalah: (1)
menarik orang yang memiliki kualifikasi untuk
bergabung dengan organisasi; (2)
mempertahankan karyawan agar terus datang
untuk bekerja; dan (3) memotivasi karyawan
untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang
dimaksud dengan kompensasi dalam penelitian
ini adalah penghargaan berupa finansial tidak
langsung yang diberikan kepada karyawan
sebagai balas jasa atas kontribusi mereka
terhadap organisasi, dengan indikator: (1)
promosi, (2) kendaraan dinas, (3) tunjangan
perumahan, (4) jaminan pelayanan kesehatan, (5)
dana pensiun, dan (6) bantuan biaya pendidikan
tugas belajar.
Motivasi
Motivasi adalah kekuatan dorongan untuk
melakukan suatu tindakan (Davis dan Newstrom,
1998: 91). Greenberg dan Baron (1993: 114)
mengemukakan bahwa motivasi adalah
seperangkat proses yang menggerakkan,
mengatur, dan memelihara perilaku manusia
untuk mencapai suatu tujuan. Robbins dan
Judge (2009: 209) mendefinisikan motivasi
sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah,
dan ketekunan seseorang untuk mencapai
tujuannya. Sedangkan Mondy dan Premeaux
(1993: 294) mendefinisikan motivasi sebagai
keinginan menumbuhkan usaha terus-menerus di
dalam pencapaian tujuan organisasi. Dari
beberapa definisi motivasi tersebut, terlihat
dengan jelas bahwa ada tiga unsur utama dalam
motivasi, yaitu upaya, tujuan organisasi, dan
kebutuhan. Ketiga unsur tersebut merupakan
penyebab timbulnya kekuatan yang mendorong
manusia untuk melakukan tindakan.
Para ahli perilaku organsiasi telah
mengemukakan sejumlah teori motivasi yang
berkaitan dengan kebutuhan individu, di
antaranya adalah teori hierarki kebutuhan
Maslow, teori harapan (expectancy theory), dan
teori keadilan (equity theory). Masing-masing
teori tersebut memiliki dampak terhadap
organisasi.
Teori Maslow mengatakan bahwa dalam
setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima
kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan fisiologis,
meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual,
dan kebutuhan fisik lainnya; (2) kebutuhan rasa
aman, meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya
fisik dan emosional; (3) kebutuhan sosial,
meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan,
penerimaan, dan persahabatan; (4) kebutuhan
penghargaan, meliputi faktor-faktor penghargaan
internal seperti hormat diri, otonomi, dan
pencapaian, dan faktor-faktor penghargaan
eksternal seperti status, pengakuan, dan
perhatian; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri,
yaitu dorongan untuk menjadi seseorang sesuai
kecakapannya, meliputi pertumbuhan,
pencapaian potensi seseorang, dan pemenuah
diri sendiri (Bateman dan Snell, 1999: 446-447).
Teori harapan (expectancy theory) yang
dikembangkan oleh Victor Vroom, mengatakan
bahwa motivasi adalah hasil dari tiga faktor,
yaitu seberapa besar seseorang menginginkan
imbalan (valensi), perkiraan orang itu tentang
kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan
menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan),
dan perkiraan bahwa prestasi itu akan
menghasilkan perolehan imbalan
(instrumentalitas). Hubungan ini dinyatakan
dalam rumus: Motivation = Expectancy (E) x
Valence (V) x Instrumentality (I) (Davis dan
Newtrom, 2003: 90).
Sedangkan teori keadilan (equity theory)
didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama
dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi atas
keadilan yang diterima, yaitu rasio antara input
pekerjaan individu (seperti usaha atau
keterampilan) dan imbalan pekerjaan (seperti
gaji atau promosi). Orang menilai keadilan dari
imbalan yang diterima dan membandingkannya
5
dengan imbalan yang diterima orang lain untuk
input yang serupa (Stoner, Freeman, dan
Gilbert, 1996: 145).
Newstrom dan Davis (1998: 117-120)
mengemukakan empat pola motivasi yang sangat
penting, yaitu (1) motivasi prestasi (achievement
motivation), yaitu dorongan dalam diri orang-
orang untuk mengatasi segala tantangan dan
hambatan dalam upaya mencapai tujuan; (2)
motivasi afiliasi (affiliation motivation), yaitu
dorongan untuk berhubungan dengan orang lain
atas dasar sosial; (3) motivasi kompetensi
(competence motivation), yaitu dorongan untuk
mencapai keunggulan kerja, meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah dan berusaha
keras untuk inovatif; dan (4) motivasi kekuasaan
(power motivation, yaitu dorongan untuk
mempengaruhi orang lain dan mengubah situasi
organisasi.
Berdasarkan analisis dari beberapa teori di
atas, maka yang dimaksud dengan motivasi
dalam penelitian ini adalah kekuatan yang
mendorong karyawan dalam melaksanakan
tugasnya untuk mencapai tujuan organisasi,
dengan indikator: (1) motivasi berprestasi, (2)
motivasi afiliasi, (3) motivasi kompetensi, (4)
tanggung jawab terhadap pekerjaan, (5)
pengakuan hasil kerja, dan (6) kondisi kerja.
Komitmen Organisasi
Komitmen adalah sebuah rasa yang
diekspresikan karyawan mengenai indentifikasi,
loyalitas, dan keterlibatan melalui organisasi
(Gibson, 2009: 183). Komitmen menjelaskan
hasil di mana seorang karyawan secara internal
menyetujui keputusan dan memberikan
dukungan penuh untuk melaksanakan keputusan
secara efektif (Yukl, 2002: 43). Komitmen
organisasi didefinikan sebagai keinginan
sebagian karyawan untuk tetap menjadi anggota
organisasi (Colquitt, LePine, dan Wesson (2009:
67)
Robbins dan Judge (2009: 113-114)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
suatu keadaan di mana seorang karyawan
memihak pada tujuan organisasi serta
keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organsiasi. Robbins dan
Judge membagi komitmen organisasi menjadi
tiga macam, yaitu (1) komitmen afektif (affective
commitment), yakni perasaan emosional untuk
organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya;
(2) komitmen berkelanjutan (continuance
commitment), yakni nilai ekonomi yang dirasa
jika bertahan dalam organisasi bila
dibandingkan dengan meninggalkan organisasi
tersebut; dan (3) komitmen normatif (normative
commitment), yakni kewajiban untuk bertahan
dalam organisasi untuk alasan-alasan moral dan
etis. Selanjutnya, Robbins dan Judge
mengemukakan pula bahwa ada hubungan positif
antara komitmen organisasi dengan
produktivitas kerja dan kinerja.
Menurut Mathis dan Jackson (2006: 122),
komitmen organisasi adalah tingkat di mana
karyawan yakin dan menerima tujuan organisasi,
serta berkeinginan untuk tetap tinggal bersama
organisasi. Sejalan dengan itu, Ivancevich,
Konopaske, dan Matteson (2008: 234)
mengemukakan bahwa komitmen terhadap suatu
organisasi melibatkan tiga sikap, yaitu (1) rasa
identifikasi dengan tujuan organisasi; (2)
perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi;
dan (3) perasaan setia terhadap organisasi.
Dengan demikian, salah satu faktor penting
mengenai komitmen organisasi adalah
keterlibatan karyawan dalam tugas-tugas
organisasi.
Komitmen organisasi sering didefinisikan
juga sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap
sebagai anggota organisasi; (2) keinginan untuk
berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan
(3) keyakinan tertentu, penerimaan nilai, dan
tujuan organisasi (Luthans, 2008: 147).
Sters berpendapat bahwa komitmen
organsiasi dapat dilihat dari tiga faktor: (1)
kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas
tujuan dan nilai-nilai organsiasi; (2) kemauan
untuk mengusahakan tercapainya kepentingan
organisasi; dan (3) keinginan yang kuat untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Sejalan dengan itu, Lincoln dan Bashav
mengemukakan komitmen organisasi memiliki
tiga indikator: (1) kemauan karyawan; (2)
kesetiaan karyawan; dan (3) kebanggaan
karyawan pada organisasi (Sopiah, 2008: 156).
Berdasarkan analisis dari beberapa teori di
atas, maka yang dimaksud dengan komitmen
organisasi dalam penelitian ini adalah suatu
6
keadaan di mana seseorang karyawan
mendukung tujuan dan nilai-nilai organisasi,
berpihak pada organisasi, dan mempertahankan
keanggotaannya dalam organsiasi, dengan
indikator (1) keterlibatan dalam tugas-tugas
organisasi, (2) keberpihakan pada organisasi; (3)
dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai
organisasi, (4) keinginan untuk bertahan sebagai
anggota organisasi, (5) kebanggaan pada
organisasi, dan (6) kesetiaan pada organisasi.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas,
maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: (1) Kompensasi berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja; (2) Kompensasi
berpengaruh langsung positif terhadap komitmen
organisasi; (3) Motivasi berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja; (4) Motivasi
berpengaruh langsung positif terhadap komitmen
organsiasi; (5) Komitmen organisasi
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Dihitung
sejak penyusunan proposal, disain instrumen, uji
coba instrumen, pengumpulan data, pengolahan
data, sampai pada penyusunan Disertasi,
penelitian ini dilaksanakan selama 1 tahun (Maret
2010 sampai Maret 2011).
Populasi penelitian adalah karyawan Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tahun 2010
sebanyak 285 orang. Populasi terjangkau
sebanyak 110 orang, yaitu karyawan golongan
III, berpendidikan sarjana, dan masa kerja
minimal 5 tahun. Sampel penelitian sebanyak 70
orang atau 64 persen dari populasi terjangkau.
Penarikan sampel menggunakan teknik acak
sederhana (simple random sampling) dengan cara
undian.
Metode penelitian adalah survey.
Pengumpulan data penelitian menggunakan
instrumen kuesioner. Pengujian validitas butir
instrumen uji coba menggunakan rumus korelasi
Product Moment (Djaali dan Pudji Muljono,
2008: 49), dan pengujian reliabilitas instrumen
menggunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono,
2009: 365).
Teknik analisis data menggunakan analisis
deskriptif dan analisis inferensial. Analisis
deskriptif digunakan untuk menggambarkan
keadaan data masing-masing variabel dalam
bentuk rata-rata, median, modus, standar deviasi,
simpangan baku, distribusi frekuensi, dan
histogram. Sedangkan analisis inferensial
digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian
melalui Analisis Jalur (Path Analysis).
HASIL PENELITIAN
Sebelum pengujian hipotesis, maka
terlebih dahulu dilakukan pengujian model.
Pengujian model persamaan struktural dalam
penelitian ini menggambarkan hubungan yang
bersifat kausalitas, yang berarti adanya hubungan
sebab akibat antara variabel eksogen dengan
variabel endogen, yang terdiri dari variabel
kompensasi (X1), motivasi (X2), komitmen
organisasi (X3) dan kinerja (X4). Penyusunan
model persamaan struktural yang dibentuk
didasarkan atas matriks koefisien korelasi
Product Moment (r).
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien
korelasi dengan rumus Product Moment,
diperoleh nilai-nilai koefisien korelasi antar
variabel, yaitu r14 = 0,738; r13 = 0,563; r24 =
0,604; r23 = 0,616; dan r34 = 0,711.
Selanjutnya, dengan menggunakan
program LISREL 8.80 for Windows, dilakukan
perhitungan untuk mendapatkan besarnya
koefisien jalur (p) dan thitung yang menyatakan
hubungan kausal antar variabel. Besarnya
koefisien jalur (p) dan thitung tersebut dirangkum
pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa semua
koefisien jalur (p) dan thitung pada model yang
dihipotesiskan adalah sangat signifikan pada α =
0,01.
8
Tabel 1. Hasil Perhitungan dan Pengujian Koefisien Jalur
No. Jalur Koefisien thitung
ttabel
(α = 0,05)
ttabel
(α = 0,01) Keterangan
1 ρ41 0,40 5,33**
1,67 2,39 Sangat signifikan
2 ρ42 0,14 2,54**
1,67 2,39 Sangat signifikan
3 ρ43 0,38 3,91**
1,67 2,39 Sangat signifikan
4 ρ31 0,28 3,16**
1,67 2,39 Sangat signifikan
5 ρ32 0,43 4,22**
1,67 2,39 Sangat signifikan
Keterangan: ** Koefisien jalur sangat signifikan pada α = 0,01
Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis
penelitian ini secara rinci diuraikan sebagai
berikut:
Hipotesis pertama:
Kompensasi (X1) berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja (X4)
Untuk membuktikan bahwa kompensasi
(X1) berpengaruh langsung positif terhadap
kinerja (X4), maka dilakukan pengujian
hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah:
H0: ρ41 ≤ 0; H1: ρ41 > 0. Berdasakan hasil
perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ41 =
0,40, nilai thitung = 5,33, dan nilai ttabel = 2,39
(α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka
H0 ditolak, yang berarti bahwa kompensasi (X1)
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja
(X4). Artinya, jika kompensasi ditingkatkan,
maka akan mengakibatkan meningkatnya kinerja.
Hipotesis kedua:
Kompensasi (X1) berpengaruh langsung
positif terhadap komitmen organisasi (X3)
Untuk membuktikan bahwa kompensasi
(X1) berpengaruh langsung positif terhadap
komitmen organisasi (X3), maka dilakukan
pengujian hipotesis. Adapun hipotesis yang
diuji adalah: H0: ρ31 ≤ 0; H1: ρ31 > 0.
Berdasakan hasil perhitungan koefisien jalur
diperoleh nilai ρ31 = 0,28, nilai thitung = 3,16
dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01). Karena nilai
thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak, yang berarti
bahwa kompensasi (X1) berpengaruh langsung
positif terhadap komitmen organisasi (X3).
Artinya, jika kompensasi ditingkatkan, maka
akan mengakibatkan meningkatnya komitmen
organisasi.
Hipotesis ketiga:
Motivasi (X2) berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja (X4)
Untuk membuktikan bahwa motivasi (X2)
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja
(X4), maka dilakukan pengujian hipotesis.
Adapun hipotesis yang diuji adalah: H0: ρ42 ≤
0; H1: ρ42 > 0. Berdasakan hasil perhitungan
koefisien jalur diperoleh nilai ρ42 = 0,14, nilai
thitung = 2,54 dan nilai ttabel = 2,39 (α = 0,01).
Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka H0 ditolak,
yang berarti bahwa motivasi (X2) berpengaruh
langsung positif terhadap kinerja (X4). Artinya,
jika motivasi ditingkatkan, maka akan
mengakibatkan meningkatnya kinerja.
Hipotesis keempat:
Motivasi (X2) berpengaruh langsung positif
terhadap komitmen organisasi (X3)
Untuk membuktikan bahwa motivasi (X2)
berpengaruh langsung positif terhadap komitmen
organisasi (X3), maka dilakukan pengujian
hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah:
H0: ρ32 ≤ 0; H1: ρ32 > 0. Berdasakan hasil
perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ32 =
0,40, nilai thitung = 4,22, dan nilai ttabel = 2,39
(α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka
H0 ditolak, yang berarti bahwa motivasi (X2)
berpengaruh langsung positif terhadap komitmen
organisasi (X3). Artinya, jika motivasi
ditingkatkan, maka akan mengakibatkan
meningkatnya komitmen organisasi.
Hipotesis kelima:
Komitmen organisasi (X3) berpengaruh
langsung positif terhadap kinerja (X4)
Untuk membuktikan bahwa komitmen
organisasi (X3) berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja (X4), maka dilakukan pengujian
8
hipotesis. Adapun hipotesis yang diuji adalah:
H0: ρ43 ≤ 0; H1: ρ43 > 0. Berdasakan hasil
perhitungan koefisien jalur diperoleh nilai ρ43 =
0,38, nilai thitung = 3,91, dan nilai ttabel = 2,39
(α = 0,01). Karena nilai thitung > nilai ttabel, maka
H0 ditolak, yang berarti bahwa komitmen
organisasi (X3) berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja (X4). Artinya, jika komitmen
organisasi ditingkatkan, maka akan
mengakibatkan meningkatnya kinerja.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di
atas, maka model hubungan kausal antar variabel
ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Hubungan Kausal Antar Variabel
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menemukan bahwa
kompensasi berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja, yang ditunjukkan oleh nilai
koefisien jalur ρ41 = 0,40 dan nilai thitung = 5,33
> ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh
positif kompensasi terhadap kinerja adalah
16,00 %. Hal ini berarti bahwa kompensasi
merupakan salah satu variabel yang harus
diperhatikan dalam upaya meningkatkan kinerja.
Dengan demikian, indikator-indikator
kompensasi dalam penelitian ini, yaitu promosi,
kendaraan dinas, tunjangan perumahan, jaminan
pelayanan kesehatan, dana pensiun, dan bantuan
biaya pendidikan tugas belajar, merupakan
faktor-faktor yang harus mendapat perhatian
pimpinan organisasi dalam upaya meningkatkan
kinerja karyawan. Untuk itu, harus ada upaya
melakukan perbaikan sistem kompensasi serta
memperhatikan unsur keadilan dalam pemberian
kompensasi kepada karyawan agar dapat
mendorong peningkatan kinerja karyawan
maupun kinerja organsiasi. Temuan tersebut
didukung oleh beberapa teori dari para ahli
perilaku organisasi. Luthans (2008: 179)
mengatakan bahwa penghargaan yang sesuai
dengan kebutuhan karyawan pada akhirnya akan
mengaitkan penghargaan tersebut dengan
peningkatan kinerja karyawan maupun
organisasi. Ivancevich, Konopaske dan
Matteson (2007: 226) mengatakan bahwa salah
satu tujuan utama dari program penghargaan
dalah memotivasi karyawan untuk mencapai
tingkat kinerja yang tinggi.
Selain berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja, kompensasi juga berpengaruh
langsung positif terhadap komitmen organisasi.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ31
= 0,28 dan nilai thitung = 3,16 > ttabel = 2,39 (α =
0,01). Besarnya pengaruh kompensasi terhadap
komitmen organsiasi adalah 7,84 %. Dengan
demikian, indikator-indikator kompensasi
tersebut di atas juga mendapat perhatian dalam
upaya meningkatkan komitmen karyawan
terhadap organsiasi. Temuan ini diperkuat oleh
pendapat Robbins dan Coulter (2007: 369),
yang menyatakan bahwa tujuan merancang
sebuah sistem kompensasi yang efektif adalah
X1
X2
X3 X4
r23= 0,62 ρ32
= 0,43
r34 = 0,71 ρ43 = 0,38
r24 = 0,60
ρ42= 0,14
r14 = 0,74 ρ41 = 0,40
r13 = 0,56
ρ31 = 0,28
9
menarik dan mempertahankan orang-orang yang
kompeten dan berbakat yang dapat membantu
organisasi mencapai misi maupun sasarannya.
Selain itu, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson
(2007: 226) mengatakan bahwa salah satu tujuan
utama dari program penghargaan (kompensasi)
adalah menarik orang yang memiliki kualifikasi
untuk bergabung dengan organisasi, dan
mempertahankan karyawan agar terus datang
untuk bekerja. Kedua hal ini merupakan
indikator-indikator dari komitmen organisasi.
Selanjutnya, penelitian ini menemukan
bahwa motivasi berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
koefisien jalur ρ42 = 0,14 dan nilai thitung = 2,54
> dari ttabel = 2,39 (α = 0,01). Besarnya pengaruh
motivasi terhadap kinerja adalah 1,96 %. Dengan
demikian, indikator-indikator motivasi dalam
penelitian ini, yaitu motivasi berprestasi,
motivasi afiliasi, motivasi kompetensi, tanggung
jawab terhadap pekerjaan, pengakuan hasil
kerja, dan kondisi kerja harus ditingkatkan
dalam upaya meningkatkan kinerja. Salah satu
teori yang mendukung temuan penelitian ini
adalah model teori harapan (expectancy theory)
dari Victor Vroom. Teori ini menyatakan
bahwa karyawan lebih mungkin termotivasi
ketika mereka mempersepsikan usaha mereka
akan menghasilkan kinerja yang berhasil dan
pada akhirnya menghasilkan penghargaan dan
hasil yang diinginkan (Ivancevich, Konopaske,
dan Matteson, 2007: 156). Sedangkan model
penghargaan individu dari Ivancevich,
Konopaske, dan Matteson (2005: 227),
menyatakan bahwa motivasi untuk melakukan
usaha berpengaruh langsung terhadap hasil
kinerja individu.
Selain berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja, penelitian ini juga menemukan
bahwa motivasi berpengaruh langsung positif
terhadap komitmen organisasi. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ32 = 0,43
dan nilai thitung = 4,22 > ttabel = 2,39 (α = 0,01).
Besarnya pengaruh motivasi terhadap komitmen
organisasi adalah 16,00 %. Dengan demikian,
indikator-indikator motivasi tersebut di atas juga
harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan
komitmen karyawan terhadap organisasi.
Adanya pengaruh motivasi terhadap komitmen
organisasi mengindikasikan bahwa motivasi
merupakan faktor yang harus ditingkatkan dalam
meningkatkan komitmen karyawan terhadap
organisasi. Temuan ini diperkuat oleh Model
Integratif Perilaku Organisasi dari Colquitt,
LePine, dan Wesson (2009: 8), yang
menggambarkan bahwa mekanisme individu (di
antaranya adalah motivasi, kepuasan kerja, stres,
dan pengambilan keputusan) berpengaruh
langsung terhadap komitmen organisasi.
Selain itu, penelitian ini menemukan
bahwa komitmen organisasi berpengaruh
langsung positif terhadap kinerja. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai koefisien jalur ρ43 = 0,38
dan nilai thitung = 3,91 > ttabel = 2,39 (α = 0,01).
Besarnya pengaruh komitmen organisasi
terhadap kinerja adalah 14,44%. Dengan
demikian, komitmen organisasi dengan indikator
keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi,
keberpihakan pada organisasi, dukungan
terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi,
keinginan untuk bertahan sebagai anggota
organisasi, kebanggaan pada organisasi, dan
kesetiaan pada organisasi merupakan factor-
faktor yang harus diperhatikan dalam upaya
meningkatkan kinerja. Temuan ini didukung
oleh teori Robbins dan Judge (2009: 114),
yang mengatakan bahwa ada hubungan positif
antara komitmen organisasi dengan produktivitas
kerja dan kinerja. Selain itu, temuan penelitian
ini juga didukung oleh teori Luthans (2008:
149), yang menyatakan bahwa ada hubungan
positif antara komitmen organsiasi dan hasil
yang diinginkan seperti kinerja tinggi, tingkat
pergantian karyawan yang rendah, dan tingkat
ketidakhadiran yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Kompensasi berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan kompensasi akan mengakibatkan
peningkatan kinerja.
2. Kompensasi berpengaruh langsung positif
terhadap komitmen organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan kompensasi
10
akan mengakibatkan peningkatan komitmen
organisasi.
3. Motivasi berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan motivasi akan mengakibatkan
peningkatan kinerja.
4. Motivasi berpengaruh langsung positif
terhadap komitmen organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan motivasi
akan mengakibatkan peningkatan komitmen
organisasi.
5. Komitmen organisasi berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan komitmen organisasi akan
mengakibatkan peningkatan kinerja.
Saran
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan
kesimpulan penelitian ini, maka sebagai upaya
meningkatkan mutu pendidikan, penulis
mengajukan saran sebagai berikut:
1. Dinas Pendidikan diharapkan melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja
karyawannya. Kinerja karyawan dapat
ditingkatkan dengan cara: (1) mengerjakan
seluruh tugas-tugas pokok dengan penuh
tanggung jawab dan tepat waktu, (2)
memperbaiki kualitas hasil kerja dengan tekun
dan teliti, (3) sering belajar (membaca) untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
dalam menyelesaikan pekerjaan, (4) berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan pekerjaan, (5) berinisiatif
dalam melaksanakan pekerjaan, dan (6) hadir
di kantor dan pulang tepat waktu (disiplin).
2. Dinas Pendidikan diharapkan memperbaiki
kebijakan dan sistem kompensasi agar lebih
dirasakan layak dan adil bagi karyawan,
mendorong karyawan untuk meningkatkan
motivasinya dalam menjalankan tugas, serta
meningkatkan komitmen karyawan terhadap
organisasi, sehingga kinerja dapat
ditingkatkan. Caranya dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Kompensasi dapat ditingkatkan dengan
cara: (i) memperbaiki sistem promosi, (ii)
menyediakan kendaraan dinas bagi
karyawan sesuai dengan aturan yang
berlaku, (iii) menyediakan tunjangan
perumahan, terutama bagi karyawan
golongan rendah, (iv) memperbaiki sistem
pelayanan jaminan kesehatan dan askes di
rumah sakit dan puskesmas, (v)
meningkatkan dana pensiun untuk
menunjang kebutuhan karyawan di masa
tua, dan (vi) menyediakan bantuan biaya
kepada karyawan yang mengikuti
pendidikan tugas belajar.
b. Motivasi dapat ditingkatkan dengan cara:
(i) berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk meningkatkan prestasi kerja dengan
mempelajari berbagai sumber bacaan
untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan, (ii) membina hubungan
sosial dan kerja sama yang lebih baik
dengan atasan dan karyawan lain; (iii)
berusaha meningkatkan keahlian dan
kemampuan memecahkan masalah, (iv)
menyelesaikan pekerjaan dengan penuh
tanggung jawab, (v) tidak menunda
pekerjaan, (vi) memperbaiki hasil kerja
agar mendapatkan pengakuan dari atasan
dan karyawan lain, (vii) memberikan
insentif dan penghargaan bagi karyawan
yang berprestasi, dan (viii) membangun
kondisi kerja yang kondusif.
c. Komitmen organisasi ditingkatkan dengan
cara: (i) terlibat dalam penyusunan,
pembahasan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program kerja organisasi, (ii)
berpihak pada organisasi, (iii) memberikan
dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai
yang berlaku dalam organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Colquitt, Jason A, Jeffery A. Lepine, and
Michael J. Wesson, Organizational
Behavior: Improving Performance and
Commitment in the Workplace, New
York: McGraw-Hill Companies, 2009.
Davis, Keith dan John W. Newstrom, Perilaku
Dalam Organisasi, Alih Bahasa Agus
Dharma, Jakarta: Erlangga, 2003.
11
Dessler, Garry, Manajemen Sumber Daya
Manusia, Alih Bahasa Paramita Rahayu,
Jakarta: Indeks, 2009.
Djaali, Implementasi Standar Nasional
Pendidikan, Makalah Ilmiah yang
Disampaikan pada Seminar Nasional
“Telaah Kritis Pelaksanaan Pendidikan
Nasional”, yang diselenggarakan oleh
Forum Mahasiswa Pascasarjana UNJ, di
Jakarta, 5 April 2011.
Gibson, James L., Organization: Behavior,
Structure, Processes, Singapore:
McGraw-Hill International, 2009.
Ivancevich, John M., Robert Konopaske, and
Michael T. Matteson, Organizational
Behavior Management, New York:
McGraw-Hill, 2008.
Ivancevich, John M., James H. Donnelly, and
James L. Gibson, Management:
Principles and Foundation, India:
Richard D. Irwin Inc., 2004.
Luthans, Fred, Organizational Behavior, New
York: McGraw Hill, 2008.
Mathis, Robert L. Dan John H. Jackson, Human
Resource Management, Terjemahan
Diana Angelica, Jakarta: Salemba
Empat, 2006.
Mondy, R. Wayne and Shane R. Premeaux.
Management: Concepts, Practices and
Skills. New York: A.Division of Simon
& Schuster, 1993.
Mondy, R. Wayne, Manajemen Sumber Daya
Manusia, Alih Bahasa Bayu Airlangga,
Jakarta: Erlangga, 2008.
Neal, James E., Panduan Evaluasi Kinerja
Karyawan, Alih Bahasa Wawan
Setiawan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Newstrom, John W. and Keith Davis.
Organizational Behavior: Human
Behavior at Work. New York:
McGraw-Hill, Inc., 1993.
Peraturan Pemerintan No. 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010-2014.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8
Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan
Provinsi DKI Jakarta.
Rencana Strategis (Renstra) Departemen
Pendidikan Nasional 2010-2014
Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge,
Organizational Behavior, New Jersey:
Pearson Prentice Hall, 2009.
Robbins, Stephen P. and Mary Coulter,
Management, New Jersey: Pearson
Pretince Hall, 2007.
Sedarmayanti, Manajemen Sumber Daya
Manusia: Reformasi Birokrasi dan
Manejemen Pegawai Negeri Sipil,
Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Sopiah, Perilaku Organisasional, Yogyakarta:
ANDI, 2008.
Stoner, James A.F., R. Edward Freeman dan
Daniel R. Gilbert JR, Manajemen, Alih
Bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: PT.
Prenhallindo, 1996.
Sutrisno, Edy, Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Kencana, 2009.
Undang-Undang Dasar (UUD) Republik
Indonesia 1945.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Yukl, Gary, Leadership in Organiz, New Jersey:
Pretince-Hall, 2002.
12
DAMPAK INTERVENSI MODEL PENURUNAN Unmet Need KB dan PENINGKATAN
KB PRIA TERHADAP PENCAPAIAN SASARAN PROGRAM DHS-I PADA PROGRAM
KB DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA1
Oleh :
Kadir Tiya2
Abstrak : Studi dalam penelitian ini adalah Cross Sectional dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk memperoleh data PUS dan kesertaan KB pria yang
diperoleh dari data sekunder laporan pencapaian PA. Sedang pendekatan kualitatif untuk menggali
informasi tentang mekanisme operasional intervensi. Kesimpulan yang dapat dikemukakan, antara
lain : PUS Unmet Need memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap user/penggunanya,
terlihat dari tingginya kesadaran bagi pengelola program dalam memberikan pelayanan maupun
peserta KB, sehingga berdampak pada menurunnya angka PUS Unmet Need secara bertahap.
Disamping itu, dukungan yang diberikan oleh stakeholder, cukup memberikan andil dalam
mengadvokasi program PUS Unmet Need terhadap publik. Alat kontrasepsi pria memberikan
dampak yang cukup signifikan terhadap user, inipun terlihat dari tingginya kesadaran bagi
pengelola program dalam memberikan layanan terhadap user. Dengan kondisi ini tentunya
memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada tingginya angka penggunaan alat kontrasepsi
pria, khususnya vasektomi dan kondom. Juga dukungan yang diberikan oleh stakeholder dan media
massa secara bertahap cukup antusias dalam mengadvokasi program KB pria. Berdasarkan
kesimpulan yang diperoleh dari kedua program pada tahap evaluasi program, memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam menurunkan angka PUS Unmet Need maupun peningkatan
penggunaan KB Pria. Dengan demikian maka, program tersebut diharapkan dapat dilaksanakan
secara berkesinambungan melalui proyek DHS. Rekomendasi yang dapat dikemukakan
berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, yaitu : Frekuensi penyuluhan kepada publik akan PUS
Unmet Need dan penggunaan alat kontrasepsi pria masih perlu ditingkatkan. Alat kontrasepsi
seyogyanya diberikan secara gratis kepada masyarakat luas, pengelola program diberikan
bimbingan/pelatihan secara kontinu, agar pemberian pelayanan kepada masyarakat lebih optimal,
Kata Kunci : Model penurunan Unmet Need, KB Pria dan program DHS-1
1 Ringkasan hasil Penelitian 2 Dosen Tetap Pendidikan Matematika FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Pelaksanaan program KB secara
nasional membuahkan hasil yang sangat
menggembirakan, karena bangsa Indonesia telah
mampu mengendalikan jumlah penduduk secara
signifikan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari
peran serta BKKBN baik ditingkat pusat maupun
daerah, serta antusiasme masyarakat dalam ber-
KB. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak
seperti yang diharapkan, karena banyak peserta
KB yang selama ini setia menggunakan alat
kontrasepsi terpaksa harus drop out (DO) karena
berbagai hal. Angka DO di Sultra tercatat
sebanyak 45.594 atau 18,04 %. Angka Pasangan
Usia Subur (PUS) Unmet Need pun sangat tinggi
sebesar 67.125 atau 22,21 %, angka ini berada
jauh di atas rata-rata nasional sebesar 14,06 %.
Peserta Program Keluarga Berencana
Nasional di Indonesia selama ini lebih
didominasi oleh kaum perempuan (istri).
Kesertaan ber-KB bagi kaum pria masih sangat
rendah, ini terlihat dari hasil temuan Lembaga
Demografi Indonesia dimana peserta vasektomi
hanya 4,4 %, kondom 0,4 %. Sedangkan data
peserta KB pria Provinsi Sulawesi Tenggara
sampai dengan tahun 2002 berada di bawah skala
nasional, yaitu 0,56 % (BKKBN Prov. Sultra,
2004).
Pada tahun 2002 hingga tahun 2006
BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara
bekerjasama dengan Universitas Haluoleo telah
13
melaksanakan penelitian Operasional Research
(OR) pada tahap identifikasi hingga tahap
intervensi, baik penelitian PUS Unmet Need
maupun penggunaan alkon pria dalam ber-KB.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh,
diantaranya kualitas pelayanan perlu
ditingkatkan, mekanisme operasional
pendistribusian alkon masih perlu diperbaiki dan
pemenuhan alkon secara gratis bagi PUS unmet
need miskin perlu ditingkatkan. Sedangkan untuk
OR penggunaan alkon pria disimpulkan bahwa,
terdapat 34 % pria tidak memahami alat
kontrasepsi, pengetahuan pria tentang alat
kontrasepsi kondom 67 %, sedangkan vasektomi
dan senggama terputus relatif masih rendah
(masing-masing 5 % dan 3 %), secara umum
suami/pria masih menghendaki istrinya ber-KB,
alat kontrasepsi pria dianggap kurang nyaman
dan merepotkan serta mengganggu hubungan
seksual.
Dari hasil temuan di Kabupaten Buton
dan Kolaka, diperoleh angka sebanyak 1.766
PUS yang merupakan perwujudan kegiatan
intervensi hasil OR peningkatan pelayanan PUS
Unmet Need tahun 2002. Sehingga total di
Provinsi Sulawesi Tenggara yang berhasil
diturunkan/dikurangi sebanyak 9.965 PUS (15
%) dari jumlah PUS Unmet Need tahun 2002
dari total 67.125. Dari kedua hasil penelitian
tersebut baik pada tahap identifikasi maupun
pada tahap intervensi, ternyata belum dapat
menekan angka PUS unmet need maupun
meningkatkan penggunaan alkon KB pria. Oleh
karena itu, dengan berakhirnya program DHS-I,
diharapkan akan dapat memberikan kontribusi
positif bagi lembaga dalam perencanaan program
pada DHS-II dan seterusnya, maupun
kepentingan masyarakat dalam arti luas baik
melalui sosialisasi maupun advokasi.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penelitian ini akan melihat sejauhmana
dampak Penurunan Unmet Need dan
Peningkatan Peserta KB Pria sebagai variabel
yang berkontribusi terhadap peningkatan Current
Users (CU). Program KB yang dikelola oleh
berbagai sektor terkait, ikut memberikan peranan
terhadap pencapaian CU. Oleh karena itu, perlu
digali informasi sejauhmana peran pengelola
program pelaksana mass media dan stakeholder
dalam peningkatan Current Users (CU)/peserta
KB aktif di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan
adanya dukungan proyek ADB DHS-I.
TINJAUAN PUSTAKA
Unmet Need KB
Pengertian unmet need meliputi
keinginan wanita untuk ber KB yang tidak
terpenuhi. Dalam perhitungan PUS unmet need
melibatkan wanita yang sedang ber KB maupun
yang berkeinginan untuk ber KB yang dirinci
menurut tujuannya, yaitu untuk menjarangkan
ataupun membatasi kelahiran. Keinginan ber KB
yang tidak terpenuhi termasuk kehamilan yang
waktunya tidak diinginkan, wanita yang belum
haid sejak melahirkan anak terakhir dan tidak
memakai alat kontrasepsi tetapi ingin menunngu
2 tahun atau lebih sebelum kelahiran anak
berikutnya, wanita tidak dapat hamil lagi atau
tidak dapat haid, dan wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi tetapi ingin menunggu
2 atau 3 tahun lagi untuk kelahiran anak
berikutnya. Tujuan membatasi kelahiran
termasuk kehamilan yang tidak diinginkan,
wanita yang tidak dapat hamil atau tidak dapat
haid dan wanita yang tidak menggunakan alat
kontrasepsi dan yang tidak ingin anak lagi.
Kategori keinginan ber KB yang tidak terpenuhi
tidak termasuk wanita hamil dan wanita tidak
haid, tetapi menjadi hamil ketika memakai suatu
alat/cara KB (wanita tersebut ingin memilih alat
kontrasepsi yang lebih baik), juga tidak termasuk
wanita yang menopause atau mati haid dan
wanita yang tidak subur.
Unmet Need KB terbagi dua menurut
Rohadi Haryanto, Djarot Santoso dan James
Palmore (1992), yaitu : Manifest Unmet Need
KB dan Latent Unmet Need KB terdiri dari :
a. Manifest Unmet Need KB dikategorikan,
sebagai berikut :
1. Wanita kawin usia subur, tidak hamil,
menyatakan tidak ingin punya anak lagi dan
tidak memakai kontrasepsi modern seperti
IUD, PIL, suntik, implant, obat vaginal dan
kontrasepsi mantap untuk suami atau dirinya
sendiri.
2. Mereka yang ingin menunda kehamilan
berikutnya tetapi tidak memakai alat
kontrasepsi seperti tersebut di atas.
14
3. Mereka yang sedang hamil tetapi kehamilan
tersebut tidak dikehendaki lagi pada saat itu
dan pada waktu sebelum hamil tidak memakai
alat kontrasepsi.
4. Mereka yang sedang hamil tetapi saat
terjadinya kehamilan itu belum sesuai dengan
waktu yang dikehendaki dan sebelumnya
tidak memakai alat kontrasepsi.
b. Latent Unmet Need, yaitu mereka yang tidak
memakai alat kontrasepsi di luar kelompok
manifest Unmet Need KB tersebut, yaitu :
1. Mereka yang ingin masih tambah anak lagi,
tetapi jumlah anak yang diinginkan lebih dari
dua orang.
2. Mereka yang menunda untuk anak berikutnya
(anak kedua), tetapi lama waktu penundaan
kurang dari tiga tahun.
3. Mereka yang sedang hamil atau menopause
setelah kelahiran anak kedua, tetapi jarak
antara kehamilan kedua dengan kelahiran
anak pertama kurang dari dua tahun.
Disamping pengertian di atas, terdapat
pembagian unmet need, yaitu : ” unmet need for
spacing ” (untuk menjarangkan) dan ” unmet
need for limiting ” (untuk membatasi atau
mengakhiri kesuburan). Unmet need for spacing,
yaitu mereka yang tidak memakai alat
kontrasepsi, tetapi masih menginginkan
tambahan anak pada masa yang akan datang
(bukan saat ini).
Partisipasi Pria dalam Kesertaan Ber - KB
Dalam rangka mewujudkan keluarga
berkualitas pada tahun 2015, maka salah satu
upaya untuk mewujudkan paradigma tersebut,
adalah melaksanakan program peningkatan
partisipasi pria dalam program KB dan
Kesehatan Reproduksi yang merupakan program
baru dan strategis pada pelayanan keluarga
berencana dimasa yang akan datang. Program
keluarga berencana adalah program yang
dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan
perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi
mereka, mencegah kehamilan yang tidak
diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan
beresiko tinggi, kesakitan dan kematian,
membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau,
diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang
yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat,
komunikasi, informasi, edukasi, konseling dan
pelayanan, meningkatkan partisipasi dan
tanggung jawab pria dalam ber KB dan
meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan
kehamilan ( ICPD dalam Petunjuk Teknis
BKKBN Prov. Sultra Tahun 2002 ).
Rendahnya penggunaan alat kontrasepsi
oleh pria terutama, karena keterbatasan macam
dan jenis alat kontrasepsi serta rendahnya
pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak
dan kesehatan reproduksi. Faktor-faktor lain
yang turut mempengaruhi rendahnya penggunaan
alat kontrasepsi bagi pria, yaitu : (a) Kondisi
lingkungan sosial, budaya masyarakat dan
keluarga yang masih menganggap kesertaan pria
ber-KB belum atau tidak perlu dilakukan, (b)
Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya
dalam ber-KB masih rendah dan (c)
Keterbatasan penerimaan aksesibilitas pelayanan
kontrasepsi.
Bentuk partisipasi pria/suami dalam KB
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain :
a. Partisipasi pria/suami secara langsung
dengan menggunakan salah satu cara atau
metode pencegahan kehamilan, yaitu :
1. Kontrasepsi kondom
2. Vasektomi ( kontap pria )
3. Metode Senggama Terputus/ azal
4. Metode Pantang Berkala/ sistem kalender
b. Partisipasi pria/suami secara tidak
langsung, yaitu :
Mendukung dalam Ber – KB
Jika istri ber KB, maka peran suami
adalah mendukung dan memberikan kebebasan
kepada istri untuk menggunakan salah satu
cara/metode kontrasepsi. Dukungan yang
dimaksudkan meliputi :
1. Memilih kontrasepsi yang cocok, yaitu
kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan
dan kondisi istrinya.
2. Membantu istrinya dalam menggunakan
kontrasepsi secara benar, seperti
mengingatkan saat minum pil KB dan
mengingatkan istri untuk.
3. Mengantar istri ke fasilitas pelayanan
kesehatan untuk kontrol atau rujukan.
4. Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang
digunakan saat ini terbukti tidak
memuaskan.
15
5. Membantu menghitung waktu subur, bila
menggunakan metode pantang berkala
6. Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila
keadaan kesehatan istri tidak
Memungkinkan. (Anonim, 2004 : 10-11).
Pelayanan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi
Pelayanan kontrasepsi dan kesehatan
reproduksi khusus pria dimaksudkan agar
kesertaan pria dalam ber KB dapat ditingkatkan,
serta upaya peningkatan mutu pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi. Pelayanan KB dan
Kesehatan Reproduksi mencakup pelayanan
medis dan non medis. Adapun metode/alat yang
dapat dipilih oleh pria/suami dalam
meningkatkan kesertaan dalam program KB dan
Kesehatan Reproduksi, antara lain :
a. Vasektomi
Vasektomi merupakan cara ber KB yang
mantap melalui operasi kecil pada saluran sel
mani dengan mempergunakan pisau operasi atau
tanpa pisau operasi. Pada pelaksanaan vasektomi,
saluran kelamin mani yang berfungsi
menyalurkan sperma ( sel mani ) keluar, diikat
atau dipotong sehingga spermatozoa tidak
dikeluarkan dan tidak dapat bertemu dengan sel
telur, sehingga tidak akan terjadi kehamilan yang
disebabkan karena tidak terjadi pertemuan antara
sperma suami dengan sel telur pada istri.
b. Kondom
Kondom merupakan salah satu alat
kontrasepsi yang paling mudah dipakai dan
diperoleh. Kondom terbuat dari karet/ lateks,
berbentuk tabung dan tidak tembus cairan,
dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan
dilengkapi kantong untuk menampung sperma.
Kondom mempunyai tiga fungsi, yaitu selain
sebagai alat KB juga dapat digunakan untuk
mencegah penyakit menular seksual termasuk
HIV/ AIDS serta dapat membantu pria/ suami
yang mengalami ejakulasi dini.
c. Senggama Terputus
Senggama terputus merupakan metode
pencegahan terjadinya kehamilan yang dilakukan
dengan cara menarik penis dari liang senggama
sebelum ejakulasi, sehingga sperma dikeluarkan
diluar liang senggama. Metode ini akan sangat
efektif, jika dilaksanakan dengan baik dan benar.
METODE PENELITIAN
Desain Studi
Studi dalam penelitian ini adalah
cross-sectional dengan pendekatan kualitatif
dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah
untuk memperoleh data PUS dan kesertaan
KB pria yang diperoleh dari data sekunder
laporan pencapaian PA. Sedang pendekatan
kualitatif untuk menggali informasi tentang
mekanisme operasional intervensi. Data
kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam
kepada pengelola dan pelaksana program KB
(Widodo JP, 1993 : 14).
Sasaran Penelitian
Adapun yang menjadi sasaran dalam
penelitian ini adalah, responden dilokasi tempat
pelaksanaan penelitian pada tahap identifikasi
dan tahap intervensi program, dengan harapan
untuk mendapatkan informasi menyangkut
dampak dari realisasi pelaksanaan program DHS-
I selama 5 (lima) tahun terakhir.
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
Lokasi yang dijadikan sebagai area
penelitian tersebar di empat kabupaten, yaitu :
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka
dan Kabupaten Muna di Prov. Sulawesi
Tenggara. Sedang waktu pelaksanaan penelitian
dimulai pada bulan Februari s/d Juni 2008.
Distribusi responden menurut wilayah penelitian
Operational Research di 4 (empat) Kabupaten
berjumlah 400 responden.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam pelaksanaan
Operasional Studi pada tahap evaluasi dilakukan
dengan menggunakan wawancara mendalam dan
data sekunder pencapaian PA Tahun 2007
(Irawan Soehartono, 1995 : 65-71).
16
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden ( PUS Unmet Need )
Tabel-1. Umur Responden dan Jumlah Anak
Umur
( Tahun ) Frekuensi
(F)
Persentase
(%)
Jumlah Anak
( Orang ) Frekuensi
(F)
Persentase
(%)
21 – 30
31 – 40
41 – 50
> 50
53
78
33
2
31,93
46,99
19,88
1,20
1
2 – 3
4 – 5
> 5
15
96
50
5
9,04
57,83
30,12
3,01
Jumlah 166 100 Jumlah 166 100
Sumber : Data Lapangan Tahun 2008.
Dari data tersebut diperoleh bahwa
usia termuda responden yang mengikuti program
KB berumur 21-30 tahun sebanyak 31,93% ,
sedaangkan yang tertua berumur > 50 tahun
sebanyak 1,20%. Dari hasil penelitian juga
diperoleh bahwa sebahagian besar responden
menyatakan bahwa, istri ber KB 119 (71,7 %)
dan rata-rata lamanya ber KB berada pada
interval 1-2 tahun (25,9 %) dan di atas 5 tahun
terdapat 17 (10,24 %).
2. Kesertaan PUS Unmet Need
Terdapat 164 responden (98,8 %)
menyatakan ada petugas PLKB di wilayah yang
menjadi sasaran dalam penelitian serta petugas
KB tersebut aktif melakukan penyuluhan di
daerah dimana mereka berdomisili. Hal ini juga
terlihat dari besarnya persentase yang mengikuti
penyuluhan, diantaranya 96,39 % mendapatkan
informasi dari petugas KB maupun dari
dokter/bidan/perawat kesehatan dan selebihnya
dari sumber yang lain. Tempat pelaksanaan
penyuluhan masing-masing dilakukan di Balai
Desa dengan 65,66 %, Puskesmas/Klinik 26,51
% dan di Posyandu sebesar 13,25 %. Persentase
responden menyatakan rencana ber KB,
bilamana diberikan pelayanan secara gratis
dengan 88 ( 53,01 % ), setelah mendapatkan
anak sebesar 31,33 % dan baru ikut ber KB
sebesar 0,06 %. Selanjutnya alasan responden
tidak/belum ber KB, karena masih menginginkan
anak lagi dengan persentase sebesar 28,92 %,
tidak ada alat kontrasepsi sebesar 1,81 % serta
tidak mempunyai uang untuk membeli alat
kontrasepsi dengan persentase sebesar 6,63 %.
Alat kontrasepsi yang banyak
dipergunakan oleh responden adalah PIL dengan
persentase 32,91 %, suntik sebesar 29,75 %,
implant/susuk sebesar 26,58 % sedang
MOW/Tubektomi hanya sebesar 0,63 %.
Responden PUS Unmet Need menyatakan mau
ber KB sebesar 62,5 % dan sebahagian
menyatakan tidak ber KB karena sedang hamil,
ingin menambah anak, suami tidak setuju dan
anak sudah cukup. Stock alat kontrasepsi selalu
tersedia di klinik dengan jumlah yang cukup
tersedia dan pernah mendroping ke PPKBD.
3. Karakteristik Responden ( KB Pria )
Tabel-2. Deskripsi Rentang Umur Responden dan Jumlah Anak
Umur
( Tahun ) Frek
Persentase
(%)
Jumlah Anak
( Orang ) Frek
Persentase
(%)
21 – 30
31 – 40
41 – 50
> 50
19
74
70
7
11,18
43,53
41,18
4,12
1
2 – 3
4 – 5
> 5
6
80
75
9
3,53
47,06
44,12
5,29
Jumlah 170 100 Jumlah 170 100
Sumber : Data Lapangan Tahun 2008
17
Responden yang berada pada umur 31-
40 tahun dengan %tase sebesar 43,53 %, umur
21-30 tahun sebesar 11,18 %, 41-50 tahun
sebesar 41,18 % dan persentase terkecil berada
pada usia di atas 50 tahun, yaitu sebesar 4,12 %.
Kemudian responden yang memiliki jumlah 1
orang anak sebesar 3,53 %, 2-3 orang anak
sebesar 47,06 %, 4-5 orang anak sebesar 44,12 %
dan di atas 5 orang anak sebesar 5,29 %.
Responden memiliki jenjang pendidikan tamat
SLTA/Sederajat dengan 50,60 %, tamat SD
25,30 %, tamat SLTP/Sederajat 22,89 % dan
terendah adalah S1 sebesar 1,81 %.
Sebahagian besar responden menyatakan
bahwa, istri ber KB 165 ( 97,06 % ) dan lamanya
ber KB pada interval 1-2 tahun ( 45,40 % ), 3-5
tahun ( 38,65 % ) dan di atas 5 tahun 9,82 %
dan selebihnya tidak memberikan komentar.
4. Kesertaan KB Pria
Sebahagian besar responden sangat
setuju bila pria yang ber KB, hal ini terlihat dari
besarnya persentase yang menyatakan setuju
sebesar 64,50 %. Responden sangat setuju
bilamana menggunakan vasektomi/kondom
dengan persentase sebesar 94,19 % dan tidak
setuju memiliki persentase sebesar 3,49 %. Istri
sangat memberikan dukungan bila suami
menggunakan vasektomi/kondom, dengan
dukungan sebesar 94,12 %. Kemudian alasan
tidak memberikan dukungan, karena istri sudah
ber KB, suami sudah menggunakan kondom dan
takut karena efek samping.
Tabel-3. Alasan Pria Ber KB dan Alat Kontrasepsi yang lebih Cocok/Aman
No. Alasan ber KB Jumlah Persen
(%) Alkon Jumlah
Persen
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
Sayang istri
Anak sdh cukup
Pria lebih cocok
Bany. anak repot
Istri tdk ada yg cocok
78
26
5
8
36
50,98
16,99
3,27
5,23
23,53
Kondom
Vasektomi
Sengg. Terputus
Sistem Kalender
-
42
128
7
10
-
22,46
68,45
3,74
5,35
-
Jumlah 153 100 Jumlah 187 100
Sumber : Data Lapangan Tahun 2008
Alasan pria ber KB karena menyayangi
istri dengan persentase sebesar 50,98 %, istri
tidak ada yang cocok dengan salah satu alkon
yang tersedia. Secara umum KB pria yang lebih
aman adalah vasektomi dengan persentase 68,45
%, kondom sebesar 22,46 %, sistem kalender
sebesar 5,35 % dan senggama terputus sebesar
3,74 %. Umumnya responden menyatakan
vasektomi/kondom lebih aman bila dibandingkan
dengan KB pria yang lain serta tidak
mengganggu hubungan seksual suami/istri.
Kalaupun ada keluhan yang terkait disaat
berhubungan, maka keluhan itu disampaikan
kepada petugas ( melalui : dokter, mantri dan
konselor ). Bagi pria yang menggunakan
vasektomi/kondom sering diberikan konseling
oleh petugas KB, dengan pemberian konseling
yang sangat signifikan, yaitu sebesar 98,64 %.
Responden yang menyatakan perlu dilakukan
sosialisasi terdapat 166 atau sebesar 98,81 % dan
penyuluhan sebaiknya dilaksanakan semaksimal
mungkin.
Secara umum responden menyatakan
bahwa, penggunaan alat kontrasepsi
kondom/vasektomi tidak mempunyai kelemahan,
hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase,
yaitu sebesar 61,58 % dan selebihnya
menyatakan bahwa, kondom mudah bocor,
kurang nyaman dan repot. Sedang kelebihan dari
kondom/vasektomi masing-masing adalah
aman/praktis, tidak repot, tidak ada perasaan
khawatir, frekuensi senggama meningkat dan
dapat mencegah kehamilan. Disamping itu ada
beberapa kesan responden tentang penggunaan
KB Pria, diantaranya : frekuensi
penyuluhan/sosialisasi ditingkatkan, tidak ada
efek samping, praktis/tidak repot, pelayanan
sebaiknya diberikan secara gratis. Responden
yang menyatakan bahwa, vasektomi/kondom
adalah KB Pria dengan 82,35 %. Memotivasi
18
suami untuk ber KB dengan persentase sebesar
92,16 %. Suami tidak ber KB karena ingin cari
anak dan istri sedang hamil sedang kondom
selalu tersedia dalam jumlah yang cukup di
klinik KB/PPKBD/Sub PPKBD dengan
persentase sebesar 87,04 %, tidak dipungut
bayaran dari petugas KB/PPKBD serta KB Pria
yang sudah terlayani di wilayah masing-masing
adalah sejumlah 50 responden.
PEMBAHASAN
1. PUS Unmet Need
Pada umumnya umur responden
berada pada usia produktif, yaitu 31-40 tahun
dengan persentase sebesar 46,99 % dan pada usia
tidak produktif sebesar 1,20 %, lebih dari
separuhnya atau 57,83 % jumlah anak responden
antara 2-3 orang anak.Sebahagian besar
responden menyatakan bahwa, istri ber KB
dengan 71,7 % dan rata-rata lamanya ber KB
pada interval 1-2 tahun sebesar 25,9 % dan di
atas 5 tahun sebesar 10,24 %. Terdapat 98,8 %
menyatakan ada petugas PLKB di wilayah yang
menjadi sasaran dalam penelitian dan petugas
KB tersebut aktif melakukan penyuluhan di
daerah dimana mereka berdomisili. Hal ini
terlihat dari besarnya persentase responden yang
mengikuti penyuluhan, diantaranya 96,39 %
mendapatkan informasi dari petugas KB maupun
dari dokter/bidan/perawat kesehatan. Sedang
pelaksanaan penyuluhan masing-masing
dilakukan di Balai Desa, Puskesmas/Klinik dan
di Posyandu. Responden yang menyatakan
rencana ber KB, bilamana diberikan pelayanan
secara gratis dengan persentase 53,01 % dan
setelah mendapatkan anak. Kemudian responden
tidak/belum ber KB, karena masih menginginkan
anak dan tidak mempunyai uang untuk membeli
alat kontrasepsi.
Alat kontrasepsi yang banyak
dipergunakan adalah PIL dengan 32,91 %, suntik
29,75 %, implant/susuk sebesar 26,58 % sedang
MOW/Tubektomi sebesar 0,63 %. Besarnya
biaya yang dikeluarkan oleh peserta KB sangat
beragam, tergantung alat kontrasepsi yang
dipergunakan. Pendistribusian alkon yang
diberikan secara gratis kepada masyarakat cukup
besar, dengan 81,33 % dan selebihnya 16,87 %
membayar. Responden yang mempunyai rentang
umur 31-40 tahun adalah 43,53 %, direntang
umur ini merupakan usia produktif. Responden
yang memiliki jumlah 1 orang anak hanya 3,53
% dan pada rentang 2-3 orang anak dengan
persentase sebesar 47,06 %. Sebahagian besar
responden menyatakan bahwa, istri ber KB
sebesar 97,06 % dan lamanya ber KB pada
interval 1-2 tahun adalah 45,40 % dan selebihnya
tidak memberikan komentar. Sehingga
kesimpulan yang dapat dikemukakan
berdasarkan hasil analisis di atas, bahwa
kesertaan ber KB bagi peserta KB sangat
signifikan.
2. Alat Kontrasepsi Pria
Separuhnya responden yang memiliki
jenjang pendidikan tamat SLTA/Sederajat
dengan 50,60 % dan pekerjaan responden masih
dominan petani, yaitu 51,81 %. Responden
sangat setuju bila pria yang ber KB, hal ini
terlihat dari besarnya persentase yang
menyatakan setuju sebesar 64,50 %. Responden
yang menyatakan setuju, bilamana menggunakan
vasektomi/kondom dengan persentase cukup
signifikan, yaitu 94,19 % dan istri sangat
memberikan dukungan bila suami menggunakan
vasektomi/kondom, dengan %tase dukungan
sebesar 94,12 %. Kemudian alasan tidak
memberikan dukungan, karena istri sudah ber
KB, suami sudah menggunakan kondom dan
takut karena efek samping.
Umumnya responden menyatakan
vasektomi/kondom lebih aman, bila
dibandingkan dengan KB pria yang lain serta
tidak mengganggu hubungan seksual suami/istri.
Kalaupun ada keluhan yang terkait disaat
berhubungan, maka keluhan itu disampaikan
kepada petugas ( diantaranya : dokter, mantri dan
konselor ). Bagi pria yang menggunakan
vasektomi/kondom sering diberikan konseling
oleh petugas KB, dengan pemberian konseling
yang sangat signifikan, yaitu 98,64 %.
Responden yang menyatakan perlu dilakukan
sosialisasi terdapat 98,81 % dan penyuluhan
sebaiknya dilaksanakan sesering mungkin.
Petugas yang dominan memberikan konseling
adalah PLKB dengan 66,25 % sedang dokter
hanya sebesar 23,13 %. Sedang institusi yang
banyak memberikan penyuluhan adalah BKKBN
19
dengan 76,70 %, Dinas Kesehatan sebesar 18,45
% dan selebihnya Departemen Agama, LSM dan
Penyuluhan Terpadu masih relatif rendah.
Secara umum responden menyatakan
bahwa, penggunaan alat kontrasepsi
kondom/vasektomi tidak mempunyai kelemahan,
hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase,
yaitu 61,58 % dan selebihnya menyatakan
bahwa, kondom mudah bocor, kurang nyaman
dan repot, sedangkan vasektomi tidak akan
mempunyai anak lagi. Adapun kelebihan dari
kondom/vasektomi masing-masing adalah
aman/praktis, tidak repot, tidak ada perasaan
khawatir, frekuensi senggama meningkat dan
dapat mencegah kehamilan. Disamping itu ada
beberapa kesan responden tentang penggunaan
KB Pria, diantaranya : frekuensi
penyuluhan/sosialisasi masih perlu ditingkatkan,
tidak adanya efek samping, praktis/tidak repot,
pelayanan sebaiknya diberikan secara gratis dan
frekuensi senggama menjadi lebih meningkat.
3. PUS Unmet Need dan KB Pria
Persentase petugas yang berdomosili
di daerah masing-masing diantaranya,
dokter/bidan 21,05 %, Lurah/Desa 21,05 % dan
Camat 21,05 %. Lamanya bertugas bagi petugas
KB dan stakeholder untuk waktu 5-6 tahun
sebesar 42,11 %, di atas 6 tahun sebesar 31,58
%, sedang 1-2 tahun dan 3-4 tahun mempunyai
persentase masih rendah. Responden yang
menyatakan bahwa, PUS Unmet Need adalah
tidak ber KB dengan 43,75 %, ingin dilayani dan
selebihnya menyatakan tidak tahu. Responden
PUS Unmet Need menyatakan mau ber KB
cukup besar dan sebahagian menyatakan tidak
ber KB karena sedang hamil, ingin menambah
anak, suami tidak setuju dan anak sudah cukup.
Responden yang menyatakan bahwa,
vasektomi/kondom adalah KB Pria cukup
signifikan. Memotivasi suami untuk ber KB
sangat tinggi dengan persentase 92,16 %. Suami
tidak ber KB karena, alasan ingin cari anak dan
istri sedang hamil sedang kondom selalu tersedia
dalam jumlah yang cukup di klinik
KB/PPKBD/Sub PPKBD dengan 87,04 %, tidak
dipungut bayaran dari petugas KB/PPKBD serta
KB Pria yang sudah terlayani di wilayah masing-
masing adalah sejumlah 50 responden.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
1. PUS Unmet Need memberikan dampak yang
cukup signifikan terhadap user/penggunanya,
hal ini terlihat dari tingginya kesadaran bagi
pengelola program dalam memberikan
pelayanan, sehingga berdampak pada
menurunnya angka PUS Unmet Need secara
bertahap di 4 (empat) kabupaten di Prov.
Sultra. Disamping itu dukungan yang
diberikan oleh stakeholder cukup
memberikan peran dalam
mengadvokasi/mensosialisasikan program
PUS Unmet Need terhadap publik.
2. Alat kontrasepsi pria memberikan dampak
yang cukup signifikan terhadap
user/penggunanya, inipun terlihat dari
tingginya kesadaran bagi pengelola program
dalam memberikan layanan terhadap
user/penggunanya. Dengan kondisi ini
tentunya memberikan kontribusi yang cukup
signifikan pada tingginya angka penggunaan
alat kontrasepsi pria, khususnya vasektomi
dan kondom di 4 (empat) kabupaten.
Dukungan yang diberikan oleh stakeholder
secara bertahap, cukup positif dalam
mengadvokasi/mensosialisasikan program
KB pria terhadap publik..
Program PUS Unmet Need maupun
KB Pria pada tahap evaluasi program,
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
menurunkan angka PUS Unmet Need maupun
peningkatan penggunaan KB Pria. Dengan
demikian maka, program tersebut diharapkan
dapat dilaksanakan secara berkesinambungan
melalui proyek DHS. Hal ini terlihat dari MOP
tertinggi di Konsel dengan persentase sebesar
48,52 % dan terendah di Kolut dan Wakatobi
masing-masing 0,25 % Penggunaan kondom
tertinggi di Kab. Buton dengan persentanse
52,93 % dan terendah di Kab. Konut dengan
persentase 0,10 %. Keempat kabupaten yang
menjadi sasaran program DHS 1, maka hasil
kegiatan program sebelum dan sesudah program
DHS-I, rata-rata mengalami peningkatan yang
sangat signifikan.
20
REKOMENDASI
Beberapa rekomendasi yang dapat
dikemukakan berdasarkan hasil evaluasi
program, yaitu :
1. Frekuensi penyuluhan/sosialisasi kepada
publik akan PUS Unmet Need dan
penggunaan alat kontrasepsi pria perlu
ditingkatkan,
2. Alat kontrasepsi telah diberikan secara gratis
kepada masyarakat luas, hanya saja beberapa
oknum dari petugas lapangan perlu dihimbau
agar tidak memungut bayaran dari peserta
KB.
3. Pengelola program diberikan
bimbingan/pelatihan secara kontinu, agar
pemberian pelayanan kepada masyarakat
lebih optimal,
4. Proyek DHS-II, DHS-III dst. masih sangat
diharapkan, agar kedua program baik PUS
Unmet Need dan Alkon Pria dapat lebih
ditingkatkan di daerah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, ( 1993 ), Kontrasepsi Bagi Pasangan
Yang Baru Menikah, Badan
Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional ( BKBN ), Jakarta
Anonim, (2001), Laporan Pelaksanaan
Program KB Nasional Provinsi
Sulawesi Tenggara, BKKBN Sulawesi
Tenggara.
Anonim, (2006), Buku Pedoman Operasional
Research, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi BKKBN.
Biro Pusat Statistik Indonesia, (1997), Badan
Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional, Departemen Kesehatan, dan
Marco Internasional Inc. ( MI ), Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia,
1997.
Columbia Maryland, BPS dan MI.
Hariyanto, Rohadi, et. al, (1992). Manifest dan
Latent Unmet Need Keluarga
Berencana di Indonesia, 1991. BKKBN,
East-West Population
Institute, East-West Centre, Honolulu.
( 2004 ), Peningkatan Partisipasi Pria
dalam Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi, BKKBN Jakarta.
( 2004 ), Panduan Pelayanan KB dan
Kesehatan Reproduksi Berwawasan
Gender di Tempat Kerja ( Klinik KIAS ),
BKKBN Jakarta.
Soehartono Irawan ( 1995 ), Metode Penelitian
Sosial ( Suatu Teknik
Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial
dan Ilmu Sosial lainnya ), penerbit PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Widodo JP ( 1993 ), Metode Penelitian dan
Statistika Terapan, Airlangga
University Press, Surabaya.
21
KUALITAS PENGAJARAN, SIKAP POSITIF, Self-Efficacy DAN KINERJA AKADEMIS
MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS HALUOLEO1
Oleh:
Muliha Halim2
e-mail: [email protected]
ABSTRAK. Masalah penelitian adalah Seberapa besar kontribusi: (1) kualitas pengajaran
terhadap sikap positif mahasiswa tentang proses pengajar; (2) kualitas pengajaran terhadap efikasi
diri mahasiswa; (3) kontribusi kualitas pengajaran terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai
mahasiswa; (4) sikap positif mahasiswa tentang proses pengajaran terhadap kinerja akademis yang
dapat dicapai mahasiswa; (5) self efficacy terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai
mahasiswa; (6) kualitas pengajaran, sikap positif dan efikasi diri secara serempak terhadap kinerja
akademis yang dapat dicapai mahasiswa?.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Semakin tinggi kualitas pengajaran fakultas semakin tinggi pula
kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya; (2) Tinggi rendahnya kinerja
akademis yang dicapai oleh mahasiswa dipengaruhi langsung oleh sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran; (3) Self-efficacy berpengaruh positif terhadap kinerja akademis yang dicapai oleh mahasiswa.
Artinya semakin tinggi self-efficacy mahasiswa semakin tinggi pula kinerja kademis yang dapat dicapai oleh
mahasiswa, begitu pula sebaliknya; (4) Kualitas pengajaran fakultas, Sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran Self-efficacy secara serempak berpengaruh signifikan terhadap kinerja akademis; (5) Untuk
meningkatkan kinerja akademis mahasiswa diperlukan pemberian stimulus yang mengarah pada
peningkatan efikasi diri mahasiswa. Stimulus yang dimaksud adalah terkait dengan upaya untuk
meningkatkan kemauan diri mahasiswa mengikuti proses perkuliahan dengan baik; dan (6) Pemberian
stimulus yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pengajaran fakultas adalah upaya yang sungguh-
sungguh untuk meningkatkan kualitas materi perkuliahan termasuk keahlian dosen dalam
membawakan materi perkuliahan.
Kata Kunci: Kualias Pengajaran, Sikap Positif, Self-Efficacy dan Kinerja Akademis Mahasiswa
1 Ringkasan hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Ekonomi Koperasi FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran merupakan
interaksi edukatif antara peserta didik, dengan
dosen dan lingkungan belajarnya. Dalam proses
pembelajaran terdapat kebebasan untuk memilih
model, strategi, metode, dan teknik-teknik
pembelajaran yang paling efektif sesuai dengan
karakteristik mata kuliah, karakteristik
mahasiswa, karakteristik pengajar serta kondisi
sumberdaya yang tersedia. Adanya kebebasan
tersebut akan memberi peluang dosen untuk
berinovasi dan berkreasi dalam menentukan
model model dan metode pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik dan kemampuan
peserta didik. Namun demikian dalam praksisnya
masih banyak pengajar atau dosen yang belum
mampu memanfaatkan peluang tersebut dan tetap
melaksanakan pembelajaran dengan paradigma
lama yang kurang memperhatikan karakteristik
peserta didiknya. Hal ini disebabkan oleh
berbagai factor, baik dari segi fasilitas kampus
yang belum memadai maupun ketersediaan
bahan dan belum berubahnya wawasan dosen itu
sendiri untuk melaksanakan pembelajaran
inovatif.
Pembelajaran merupakan proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Surya, 2004:7). Efikasi diri bagi
seseorang merupakan hal yang sangat penting.
Efikasi diri mendorong seseorang memahami
secara mendalam atas situasi yang dapat
menerangkan tentang mengapa seseorang ada
22
yang mengalami kegagalan dan atau yang
berhasil.
Sikap merupakan semacam kesiapan
untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-
cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan
yang dimaksudkan merupakan kecenderungan
yang potensial untuk bereaksi dengan cara
tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon.
Menurut teori presepsi diri, dari Bem
(1967), dalam Taylor, et.al (2009: 175-176) bahwa
“orang menyimpulkan sikap mereka berdasarkan
perilaku dan presepsinya tentang situasi eksternal,
bukan berdasarkan keadaan internal (bathin)
mereka”. Sedangkan Teori Expectancy Value, dari
Edwards (1954), dalam Taylor, et.al (2009 : 177)
bahwa ”keputusan didasarkan pada nilai-nilai dari
hasil yang mungkin terjadi dan kemungkinan
bahwa hasil itu akan benar-benar terjadi”.
Studi pendahuluan menunjukkan bahwa
kualitas pengajaran akademis (academic
teaching) merupakan isu yang menarik untuk
dikaji, dalam kaitannya dengan upaya
peningkatan kinerja fakultas. Oleh karena itu,
dibutuhkan kajian empiris untuk menguji
keefektifannya melalui penelitian dan pengujian
ilmiah.
Melalui studi ini diharapkan
menghasilkan model dasar pengukuran
instrument yang valid dan reliabel. Dengan
demikian hasil penelitian ini dapat dijadikan
dasar pijakan dalam pengambilan kebijakan bagi
fakultas maupun program studi dalam lingkup
FKIP Unhalu yang dapat dipertanggung
jawabkan secara akademis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui: (1) kontribusi kualitas pengajaran
terhadap sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran; (2) kontribusi kualitas pengajaran
terhadap efikasi diri (self efficacy) mahasiswa;
(3) kontribusi kualitas pengajaran terhadap
kinerja akademis yang dapat dicapai mahasiswa;
(4) kontribusi sikap positif mahasiswa tentang
proses pengajaran terhadap kinerja akademis
yang dapat dicapai mahasiswa; (5) kontribusi
efikasi diri (self efficacy) terhadap kinerja
akademis yang dapat dicapai mahasiswa; (6)
kontribusi kualitas pengajaran dan sikap positif
dan efikasi diri mahasiswa dalam proses
pengajaran terhadap kinerja akademis yang
dapat dicapai mahasiswa.
Pengembangan model dilakukan, mengingat
belum ada insrumen-instrumen yang digunakan
sebagai pegangan untuk meningkatkan kinerja
fakultas (program studi) yang telah teruji
keefektifitasnya secara empiris. Oleh karena itu,
melalui pengembangan model ini akan terlihat
secara nyata bagaimana cara dan strategi yang
ditempuh untuk meningkatkan peran dosen
dalam pengembangan materi perkuliahan,
sehingga mahasiswa terlayani kebutuhannya
secara individual berdasarkan potensi masing-
masing dan meningkatkan prestasi akademis
mahasiswa
Rasionalitas lain tentang pentingnya
penelitian ini adalah perkembangan Program studi
dilingkungan perguruan tinggi FKIP Unhalu, maka
dipandang memiliki keutamaan terutama;
1. Memberikan terobosan baru pembelajaran yang
mampu menumbuhkan semangat dan
kepercayaan diri mahasiswa sehingga tercipta
lingkunga kampus yang harmonis.
2. Menerapkan pendekatan dan strategi
pembelajaran bermakna dalam mengedepankan
proses interaksi sosial antara dosen dan
mahasiswa sehingga tumbuh kecerdasan social.
3. Model pendidikan dan pembelajaran bermakna
membantu dosen dalam mengelola proses
pembelajaran menjadi lebih faktual, efisien dan
efektif, terutama dalam membangun/
mengkonstruksi kemampuan mahasiswa yang
dapat berpikir ekonomis dan ekonom yang
berpikir pendidik.
4. Memberikan kontribusi bagi Indonesia dalam
mengatasi ketimpangan sosial dan memberikan
model instrumen pengukuran yang dapat
dijadikan pilihan dalam mengidentifikasi
indikator-indikator kualitas fakultas.
5. Urgensi lain dari penelitian ini adalah berupa
luaran yang hendak dihasilkan dalam penelitian
ini, yaitu; a. penelitian ini adalah bagian dari
rencana program studi pendidikan ilmu
pengetahuan sosial (Ekonomi) FKIP Unhalu,
dalam rangka pengembangan kemampuan
penelitian Dosen terutama produk atau luaran
dari penelitian ini berupa pemodelan instrumen
kualitas pengajaran fakultas (program studi
pendidikan ekonomi);
23
TINJAUAN PUSTAKA
Kinerja diartikan sebagai hasil kerja
yang dapat dicapai dalam priode waktu tertentu.
Menurut Caster dan Gulledge (1999) dalam
Haryanto (2009: 152) bahwa secara akademis,
kinerja diartikan sebagai nilai-nilai akademis
yang dapat dicapai oleh mahasiswa dalam priode
waktu tertentu, biasanya dalam kurun waktu satu
semester.
Studi mengenai sikap merupakan studi
yang penting dalam bidang psikologi sosial.
Konsep tentang sikap sendiri telah melahirkan
berbagai macam pengertian diantara para ahli
psikologi. Sikap pada awalnya diartikan sebagai
suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan.
Konsep itu kemudian berkembang semakin luas
dan digunakan untuk menggambarkan adanya
suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan
dengan kontrol terhadap respon pada keadaan
tertentu.
Sikap sebagai kesediaan yang diarahkan
untuk menilai atau menanggapi sesuatu.
Kesiapan yang dimaksudkan merupakan
kecenderungan yang potensial untuk bereaksi
dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya
respon. Dasar pemikiran ini bahwa suatu sikap
merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif
dan konatif yang saling berinteraksi di dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
suatu objek. Sejalan dengan itu menurut Secord dan
Bacman (1964) dalam Mueller (1996) membagi
sikap menjadi tiga komponen yang dijelaskan
sebagai berikut:
a. Komponen kognitif, adalah komponen yang
terdiri dari pengetahuan Pengetahuan inilah
yang akan membentuk keyakinan dan
pendapat tertentu tentang objek sikap.
b. Komponen afektif, adalah komponen yang
berhubungannya dengan perasaan senang
atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif.
Komponen ini erat hubungannya dengan
sistem nilai yang dianut pemilik sikap.
c. Komponen konatif, adalah komponen sikap
yang berupa kesiapan seseorang untuk
berperilaku yang berhubungan dengan objek
sikap.
Menurut teori ekspetasi nilai
menyatakan bahwa pengadopsian sikap, orang
cenderung untuk memaksimalkan penggunaan
subjektif atas berbagai hasil yang diperkirakan,
yang merupakan produk dari (1) nilai hasil
tertentu; dan (2) penghargaan (ekspetasi) bahwa
posisi ini akan menimbulkan hasil yang bagus
pula (Edwards, 1945).
Efikasi diri bagi seseorang merupakan
hal yang sangat penting. Efikasi diri mendorong
seseorang memahami secara mendalam atas
situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa
seseorang mengalami kegagalan dan atau
berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan
mampu mengungkapkan efikasi diri. Efikasi diri
merupakan panduan untuk tindakan yang telah
dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman
interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri
yang berasal dari pengalaman tersebut akan
digunakan untuk memprediksi perilaku orang
lain dan memandu perilakunya sendiri.
Efikasi diri merupakan cara pandang
seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik
atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat
dibangun sesuai karakteristik seseorang dan
bersifat khusus (Ratna, 2008). Cara pandang
individu dalam usaha untuk memunculkan
keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang ada pada diri individu.
Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal
dan satu-satunya, yang memungkinkan untuk
membangkitkan suatu kekuatan dari sumber
energi tanpa batas di dalam diri dan
mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi
kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan
suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau
diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus
menerus lewat pikiran dan perkataan positif,
sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran
bawah sadar.
Efikasi diri mempengaruhi tingkat
seseorang, yaitu ketahananya terhadap tugas,
pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan prilaku.
Aspek-aspek yang terdapat dalam keyakinan diri
(self- efficacy) menurut Bandura dalam
Hambawany (2007) ada tiga aspek dalam efikasi
diri yaitu a. Magnitude, Aspek ini berkaitan
dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang
dibebankan pada individu disusun menurut
tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri
24
secara individual mungkin terbatas pada tugas-
tugas yang sederhana, menengah atau tinggi.
Individu akan melakukan tindakan yang
dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan
akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas
kemampuan yang dimilikinya; b. Generality,
Aspek ini berhubungan dengan bias bidang tugas
atau tingkah laku. Beberapa pengalaman
berangsur-angsur menimbulkan penguasaan
terhadap pengharapan pada bidang tugas atau
tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman
yang lain membangkitkan keyakinan yang
meliputi berbagai tugas; dan c Strength, Aspek
ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau
kemantapan seseorang terhadap keyakinannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desian
korelasional dengan pendekatan kuantitatif,
metode survey. Uni analisis terbatas pada
mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo Jurusan
Pendidikan IPS, yaitu; pendidikan ekonomi,
pendidikan akuntansi; Pendidikan Sejarah;
Pendidikan Geografi; dan pendidikan PKn.
Selanjutnya sampel diambil sebanyak 312 dari
ukuran populasi mahasiswa dengan
menggunakan teknik esidentil, yaitu mahasiswa
sedang berada dikampus.
Proses pengumpulan data dilakukan
dengan kuesioner, dan setiap item pernyataan
menggunakan skala Likert 5 opsi pilihan.
Selanjutnya analisis menggunakan Uji Regresi
Linier Berganda (SPSS v 17).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mahasiswa FKIP Unhalu terdiri atas
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
terdiri atas; (Pendidikan Ekonomi, Pendidikan
Akuntansi, Pendidikan Pariwisata, Pendidikan
Sejarah, Pendidikan Geografi, dan Pendidikan
Kewarganegaraan), Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam, terdiri atas: (Pendidikan
Biologi, Pendidikan Matematika, Pendidikan
Kimia, Pendidikan Fisika) Jurusan Pendidikan
Bahasa (Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris) Jurusan
Psikologi (Bimbingan dan Konseling,
Pendidikan Jasmani dan Rekreasi) dan Jurusan
PGSD.
Penelitian ini dilaksanakan pada
mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial yakni Program Studi
Pendidikan Ekonomi dengan jumlah mahasiswa
kurang lebih 835 orang yang terdiri dari keahlian
akuntansi dan keahlian pariwisata, pendidikan
sejarah sebanyak 425 orang, pendidikan geografi
sebanyak 253 orang dan PKn sebanyak 554
orang.
1. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap
Sikap Postif Mahasiswa Tentang Proses
Pengajaran
Hasil pengujian regresi yang dilakukan
menunjukkan hasil yang signifikan dan positif (β
= 0,502; thitung = 5,949; probabilitas 0,000).
Dengan demikian Ho ditolak, artinya semakin
tinggi kualitas pengajaran semakin tinggi sikap
positif mahasiswa tentang proses pengajaran.
Sedangkan kualitas pengajaran fakultas
memberikan kontribusi sebesar 25,2% terhadap
sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran dan sisanya 74,8% dijelaskan oleh
variable lain yang tidak dimodelkan dan
tertampung dalam variable gangguan acak .
Hasil pengujian tersebut
mengindikasikan bahwa kualitas pengajaran
fakultas dalam kaitannya dengan kompetensi
dosen menjadi variansi yang menumbuhkan
beragam presepsi kepada mahasiswa. Sikap
adalah evaluasi terhadap objek, isu atau orang.
Sikap didasarkan pada informasi afektif,
beharvior, dan kognitif. Dengan demikian hasil
studi ini, sejalan dengan Cristes, Fabrigar, dan
Petty (1994) yang meyatakan bahwa komponen
kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang
objek tertentu seperti fakta, pengetahuan dan
keyakinan. Maksud dari pendapat tersebut adalah
bahwa sikap sebagai variable endogen/ dependen
dipengaruhi oleh ekspetasi nilai artinya
seseorang akan bersikap lebih menguntungkan
dirinya
Juga, sejalan dengan teori belajar dari Carl
(1953) dalam Taylor (2009: 167) bahwa sikap
dapat dipelajari melaluiimitation (peniruan,
imitasi) artinya orang akan meniru orang lain,
khususnya jikanorang lain itu (dosen) adalah
orang yang kuat (cakap, dan cerdas) dn penting
(berkualitas, professional). Presepsi dan sikap
25
positif mahasiswa tentang proses pengajaran
ditentukan oleh kualitas pengajaran. Hal ini
memberikan pemaknaan bahwa sikap mahasiswa
berkorelasi positif dengan etika profesionalisme
dosen sebagai pengampu mata kuliah
Dengan demikian disimpulkan bahwa
sikap positif adalah suatu bentuk evaluasi
perasaan dan kecenderungan potensial untuk
bereaksi kearah yang dikehendaki sebagai efek
dari hasil interaksi antara komponen kognitif,
afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
suatu objek. Jadi, sikap adalah penjelmaan dari
paradigma yang pada gilirannya akan melahirkan
nilai-nilai yang dianut seseorang. Dan sikap
orang bisa menentukan kualitas nilai perilaku
seseorang.
2. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap
Efikasi Diri Mahasiswa
Hasil pengujian regresi yang dilakukan
menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang
signifikan dan positif (β = 0,412; thitung = 5,949;
probabilitas 0,0170). Dengan demikian Ho
ditolak, artinya semakin tinggi kualitas
pengajaran semakin tinggi pula self efficacy
mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan
pemahaman bahwa kualitas pengajaran
memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap
self efficacy mahasiswa dan sisanya 83%
dijelaskan oleh variable lain yang tidak
dimodelkan dan tertampung dalam variable
gangguan acak .
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
efikasi diri bagi seseorang merupakan hal yang
sangat penting. Efikasi diri mendorong seseorang
memahami secara mendalam atas situasi yang
dapat menerangkan tentang mengapa seseorang
mengalami kegagalan dan atau berhasil. Dari
pengalaman itu, seseorang akan mampu
mengungkapkan efikasi diri. Efikasi diri
merupakan panduan untuk tindakan yang telah
dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman
interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri
yang berasal dari pengalaman tersebut akan
digunakan untuk memprediksi perilaku orang
lain dan memandu perilakunya sendiri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendapat Crick & Dodge dalam Kurniawan (2004:
6) bahwa efikasi diri adalah skema spesifik,
keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi yang
terintregrasi dalam sistem keyakinan akan
mempengaruhi intrepretasi individu terhadap
situasi spesifik. Proses intrepretasi individu
terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya
diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang.
Efikasi diri merupakan cara pandang
seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri, baik
atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat
dibangun sesuai karakteristik seseorang dan
bersifat khusus (Ratna, 2008). Cara pandang
individu dalam usaha untuk memunculkan
keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang ada pada diri individu terkait
dengan kualitas pengajaran fakultas. Keyakinan
itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-
satunya, yang memungkinkan untuk
membangkitkan suatu kekuatan dari sumber
energi tanpa batas di dalam diri dan
mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi
kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan
suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau
diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus
menerus lewat pikiran dan perkataan positif,
sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran
bawah sadar.
Menurut Wicaksono (2008) efikasi diri
adalah "sebuah unsur yang bisa mengubah
getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang
terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang
masuk ke dalam koridor spiritual; dan
merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta
mindset yang tidak bisa dianalisis dengan cara-
cara ilmu pengetahuan".
Lebih jauh, Spears dan Jordon dalam
Ferdyawati (2007: 7) berpendapat efikasi diri
yaitu "kenyakinan seseorang bahwa dirinya akan
mampu melaksanakan tingkah laku yang
dibutuhkan dalam suatu tugas. Pikaran individu
terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar
usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama
individu akan tetap bertahan dalam menghadapi
hambatan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan."
Dengan demikian disimpulkan bahwa
tinggi rendahnya efikasi diri dipengaruhi
langsung oleh kualitas pengajaran dengan
menggunakan dimensi (1) isi (content) yang
distimulis oleh kompetensi profesionalisme
26
dosen; (2) pedagogic; (3) interaksi dalam
pembelajaran; (4) pemanfaatan teknologi
pembelajaran; dan penilaian (assessment).
3. Kontribusi Kualitas Pengajaran Terhadap
Kinerja Akademis yang Dapat Dicapai
Mahasiswa
Hasil pengujian regresi yang dilakukan
menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang
signifikan dan positif (β = 0,2000; thitung = 2,249;
probabilitas 0,027). Dengan demikian Ho
ditolak, artinya kualitas pengajaran berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja akademis
yang dapat diperoleh mahasiswa dengan asumsi
variable (X1 dan X2) diisolasi. Hasil uji tersebut
memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi
kualitas pengajaran semakin tinggi kinerja
akademis yang dapat diperoleh mahasiswa.
Kualitas pengajaran memberikan kontribusi
sebedsar 20% terhadap kinerja akademis yang
dapat dicapai oleh mahasiswa, dan sisanya 80%
dijelaskan oleh variable lain yang tidak
dimodelkan dan tertampung dalam variable
gangguan acak .
Hasil pengujian yang diperoleh dalam
penelitian ini, sejalan dengan pendapat
Enggelland (2004); Kidd, dkk (2004); Koul, dkk
(2006) dan Haryanto (2009). Dengan demikian
memperkuat temuan sebelumnya bahwa fakultas
perlunya peningkatan kinerja akademis
mahasiswa melalui peningkatak kualitas materi
perkuliahan, sebab salah satu keahlian dosen
adalah pengampu memperbaiki materi
pembelajaran. Studi ini memberikan pemahaman
tentang peningkatan kompetensi dosen dalam
berkomunikasi, berinterelasi dan memperbaiki
sistem pembimbingan, sistem penilaian yang
bermuara pada etika profesionalisme.
4. Kontribusi Sikap Positif Mahasiswa Tentang
Proses Pengajaran Terhadap Kinerja
Akademis yang Dapat Dicapai Mahasiswa
Hasil pengujian regresi yang dilakukan
menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang
signifikan dan positif (β = 0,227; thitung = 2,593;
probabilitas 0,011). Dengan demikian Ho
ditolak, artinya sikap positif mahasiswa tentang
proses pengajaran berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja akademis yang dapat
dicapai oleh mahasiswa dengan asumsi variable
(X1 dan X3) diisolasi. Hasil uji tersebut
memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi
sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran semakin tinggi kinerja akademis yang
dapat diperoleh mahasiswa. Sikap positif
mahasiswa tentang proses pengajaran
memberikan kontribusi sebedsar 22,7% terhadap
kinerja akademis yang dapat dicapai oleh
mahasiswa, dan sisanya 77,3% dijelaskan oleh
variable lain yang tidak dimodelkan dan
tertampung dalam variable gangguan acak .
Temuan ini sejalan dengan pendapat
Caster & Gulledge (1999); Jacob & Lefren
(2005); Koul, dkk (2006); Galetto (2009) yang
menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif
antara sikap dan prosese pengajaran fakultan,
dan tidak sejalan dengan Haryanto (2009) yang
menyatakan bahwa sikap tidak berpangaruh
positif dengan kinerja akademis yang dapat
dicapai oleh mahasiswa. Dengan demikian
memperkuat temuan sebelumnya, artinya sikap
sebagai pengevaluasian subjektif mahasiswa
terhadap proses pengajaran fakultas selama masa
perkuliahan yang diikuti. Oleh karena itu,
objektivitas pengevaluasian terhadap proses
pengajaran fakultas dapat dilakukan dengan
pengevaluasian mahasiswa terhadap perkuliahan.
Data empiris mengindikasikan bahwa
profesionalisme dosen pengampu mata kuliah
masih rendah.
Gagasan bahwa sikap mungkin
diaktifkan secara otomatis juga menunjukkan
bahwa objek sikap yang ada di lingkungan akan
secara otomatis mengaktifkan sikap kita tanpa
kita sadari. Jadi, banyak perilaku kita dibimbing
oleh sikap kita yang tidak kita sadari atau tanpa
kita niatkan. Menurut Bargh, Chaiken, Guvender
& Petty (1992); Smith, Fazion, & Cejka (1996)
bahwa manusia punya tendensi untuk secara
tidak sadar mengklasifikasikan sebahagian besar
atau mungkin semua, stimuli yang diterima
sebagian baik atau buruk. Salah satu akibatnya
adalah kita hampir secara langsung menciptakan
tendensi beharvioral untuk menghindari stimuli
yang kita labeli negatif dan mendekati stimuli
positif.
27
5. Kontribusi Efikasi diri (self efficacy)
Terhadap Kinerja Akademis yang dapat
Dicapai oleh Mahasiswa
Hasil pengujian regresi yang dilakukan
menunjukkan bahwa mengindikasikan hasil yang
signifikan dan positif (β = 0,405; thitung = 4,867;
probabilitas 0,000). Dengan demikian Ho
ditolak, artinya tinggi rendahnya kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa
secara positif dipengaruhi oleh self-efficacy
mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan
pemahaman bahwa semakin tinggi self-efficacy
mahasiswa semakin tinggi kinerja akademis yang
dapat dicapai oleh mahasiswa. Self-efficacy
mahasiswa memberikan kontribusi yang paling
dominan yakni sebesar 0, 40,5% terhadap kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa,
dan sisanya 56,3% dijelaskan oleh variable lain
yang tidak dimodelkan dan tertampung dalam
variable gangguan acak .
Temuan ini sejalan dengan pendapat
Koul, dkk (2006); Galetto (2007) dan Haryanto
(2009) yang menyimpulkan bahwa efikasi diri
berpengaruh positif terhadap kinerja akademis.
Studi ini memberikan justifikasi bahwa
peningkatan efikasi diri mahasiswa terhadap
penguasaan materi perkuliahan akan berkorelasi
positif dengan upaya untuk meningkatkan kinerja
akademis yang akan dicapai oleh mahasiswa,
namun hal itu, harus diikuit dengan pembentukan
sikap positif yang akan mestimulus (1)
kemampuan mahasiswa untuk memahami materi
perkuliahan; (2) kemampuan mahasiswa untuk
mendefinisikan materi perkuliahan; (3)
kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan
materi perkuliahan; (4) kemampuan mahasiswa
untuk mengingat materi perkuliahan, dan (5)
kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi
fenomena berdasarkan pengetahuan yang
diperolehnya.
Menurut Bandura efikasi diri adalah
kepercayaan tentang kemampuan diri yang
dimiliki oleh seseorang yang akan
mempengaruhi perilaku, motivasi, keberhasilan,
dan kegagalan. Individu yang memiliki efikasi
diri yang tinggi akan dapat berperilalcu tertentu
untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan pada
situasi tertentu. Selain itu, individu yang
memiliki efikasi diri yang tinggi dapat lebih giat
dan tekun dalam berusaha. Efikasi diri dianggap
sebagai bagian dad proses kognitif yang
mempengaruhi perilaku atau kinerja dengan
memberikan informasi tentang kemampuan
individu. Berdasarkan informasi tersebut
individu memilih tindakan yang sesuai dengan
tuntutan atau lingkungan tertentu. Apabila
informasi tentang kemampuan dalam
menghadapi tugas cukup positif (merasa cukup
mampu) maka individu akan terdorong untuk
menyelesaikan tsgas tersebut dan bertahan
menghadapi kesulitan. Sebaliknya, apabila
informasi tersebut negatif (merasa kurang
mampu) maka individu cenderung untuk
menghindari tugas yang dianggap sulit. Oleh
karena itu individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi, yakin dapat berperilaku tertentu
untuk dapat mencapai hasil atau dapat
menyelesaikan masalah. Selain itu, individu yang
memiliki efikasi diri yang tinggi juga lebih giat
dan lebih tekun dalam berusaha. Begitu pula
dalam menghadapi kesulitan, orang yang ragu
akan kemampuannya atau dengan kata lain
individu yang memiliki efikasi diri yang rendah
akan mengurangi usahanya dan menyerah,
sedangkan orang yang memiliki efikasi diri yang
kuat akan mengerahkan usaha yang lebih besar
untuk mengatasi tantangan yang dihadapinya.
(Albert Bandura, self-efficacy beliefs In Human
Functioning, p. 1, 1986, http://social
foundation.edu.com )
Berangkat dari berbagai definisi tentang
efikasi diri maka seseorang dengan efikasi diri
dapat mengarahkan tindakan-tindakan bukan
hanya kepada orang lain tetapi juga dengan
lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri memiliki
fungsi adaptif yang memungkinkan individu
memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural
dan tuntutan kognitif. Efikasi diri memungkinkan
individu dapat mengorganisasikan dunianya
dalam cara-cara yang konsisten secara
psikologis, melakukan prediksi, menemukan
kesamaan, dan menghubungkan pengalaman-
pengalaman baru dengan pengalaman-
pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan
kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga
kedalam alam bawah sadarnya. Efikasi diri
diyakini dapat mempengaruhi manusia untuk
merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri
untuk bertindak. Seseorang yang memiliki
28
efikasi diri dapat menyelesaikan masalah dan
merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah
tersebut, mereka juga selalu berusaha untuk
meraih kesuksesan dan berkomitmen untuk
mevvujudkannya. Efikasi diri mempengaruhi
tingkat ketahanan seseorang terhadap tugas,
pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan perilaku.
6. Kontribusi Kualitas pengajaran dan sikap
positif secara serempak Terhadap Kinerja
Akademis yang dapat Dicapai oleh
Mahasiswa
Hasil uji statistik diperoleh nilai F-star
sebesar 23.157 dan Koefisien Determinan R2 =
0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan,
yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau
dengan membandingkan antara nilai Fhitung
(23,157 > Ftabel 2,82) (ttabel (0,05;312) yang
mendekati 400 = 2,82. Kriteria keputusan adalah
Tolak Ho jika Fhitung > Ftabel, (df) = n-k-1 = 312-3-
1 = 308, taraf signifikansi 5%. Dengan demikian
Ho ditolak, artinya secara simultan kualitas
pengajaran dan sikap positif mahasiswa
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja akademis yang dapat dicapai oleh
mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan
pemahaman bahwa tinggi rendahnya kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa
dijelaskan secara serempak oleh kualitas
pengajaran melalui sikap positif mahasiswa
tentang proses pengajaran.
Dosen yang profesional diharapkan
memiliki kinerja yang tinggi yang dapat
memuaskan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders), yaitu mahasiswa, orang tua, dan
masyarakat dalam arti luas. Di samping
memuaskan stakeholders, kinerja yang tinggi ini
juga memuaskan diri sendiri. Bagi seorang
profesional, kepuasan rohani merupakan
kompensasi utama yang diharapkan dari
pekerjaan. Sedangkan, kepuasan material
merupakan hal yang sekunder.
Menurut Hall, profesionalisme terdiri
atas lima konsep, yaitu afiliasi komunitas,
kebutuhan untuk mandiri, keyakinan terhadap
peraturan sendiri/profesi, dedikasi pada profesi,
dan kewajiban sosial. Afiliasi komunitas
menuntut seorang profesional menggunakan
ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di
dalamnya organisasi formal dan kelompok-
kelompok kolega informal sebagai sumber ide
utama pekerjaan. Kebutuhan untuk mandiri
menuntut seorang profesional harus mampu
membuat keputusan secara mandiri. Keyakinan
terhadap peraturan sendiri/profesi mengacu pada
keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai
pekerjaan profesional adalah rekan sesama
profesi yang memiliki kompetensi dalam bidang
ilmu dan pekerjaan. Dedikasi pada profesi
mencerminkan pengabdiaan secara total dengan
menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang
dimiliki. Kewajiban sosial menuntut seorang
profesional menyadari pentingnya profesi dan
manfaatnya bagi masyarakat, di samping bagi
diri sendiri.
Profesionalisme ini merupakan elemen
dari motivasi yang berkontribusi terhadap kinerja
tugas yang tinggi (Guntur, Soepomo, dan Gitoyo,
2002). Adanya hubungan kontributif ini
mengimplikasikan perlunya peningkatan
profesionalisme bagi yang menggeluti suatu
bidang profesi, termasuk profesi dosen.
Dengan demikian kompetensi dosen
perlu dievaluasi melalui berbagai instrument
dengan tetap berpijak pada profesionalisme.
Dalam rangka penyelenggaraan Tridharma
Perguruan Tinggi, dosen melaksanakan tiga jenis
kegiatan, yaitu pendidikan dan pengajaran,
penelitian, dan pengabdiaan kepada masyarakat.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bidang
utama kegiatan dosen adalah melaksanakan
pendidikan dan pengajaran. Namun demikian,
kegiatan penelitian dan pengabdiaan masyarakat
juga wajib dilaksanakan oleh seorang dosen.
Kedua kegiatan ini akan sangat menunjang
kegiatan pendidikan dan pengajaran yang lebih
baik (Direktorat Penelitian dan Pengabdiaan
pada Masyarakat, 2002).
7. Kontribusi Kualitas pengajaran dan efikasi
diri secara serempak Terhadap Kinerja
Akademis yang dapat Dicapai oleh
Mahasiswa
Hasil uji statistik diperoleh nilai Fhitung
sebesar 23,157 dan Koefisien Determinan R2 =
0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan,
yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau
dengan membandingkan antara nilai Fhitung
29
(4,867> Ftabel 2,82) tabel distribusi (Ftabel
(0,05;320) yang mendekati 400 = 2,82. Kriteria
keputusan adalah Tolak Ho jika thitung > ttabel, (df)
= n-k-1 = 312-3-1 = 320, taraf signifikansi 5%.
Dengan demikian Ho ditolak, artinya secara
simultan kualitas pengajaran dan efikasi diri
berpengaruh signifikan terhadap kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa.
Hasil uji tersebut memberikan pemahaman
bahwa tinggi rendahnya kinerja akademis yang
dapat dicapai oleh mahasiswa ditentukan oleh
kualitan pengajaran dan self-efficacy mahasiswa.
8. Kontribusi Kualitas pengajaran sikap positif
dan efikasi diri secara serempak Terhadap
Kinerja Akademis yang dapat Dicapai oleh
Mahasiswa
Hasil uji statistik diperoleh nilai F-star
sebesar 23.157 dan Koefisien Determinan R2 =
0,308. Selanjutnya dilakukan uji kebermaknaan,
yakni nilai probabilitas (Sig.) = 0,000 < 0,05 atau
dengan membandingkan antara nilai Fhitung
(23,157 > Ftabel 2,82) (ttabel (0,05;312) yang
mendekati 400 = 2,82. Kriteria keputusan adalah
Tolak Ho jika Fhitung > Ftabel, (df) = n-k-1 = 312-3-
1 = 308, taraf signifikansi 5%. Dengan demikian
Ho ditolak, artinya secara simultan kualitas
pengajaran, sikap positif dan self efficacy
mahasiswa berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja akademis yang dapat dicapai
oleh mahasiswa. Hasil uji tersebut memberikan
pemahaman bahwa tinggi rendahnya kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa
ditentukan secara bersama-sama oleh kualitan
pengajaran, sikap postif dan self-efficacy
mahasiswa. Atau dengan kata lain kinerja
akademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa
30,8% dijelaskan secara serempak oleh kualitas
pengajaran, sikap positif dan self-efficacy
mahasiswa, dan sisanya 69,2% dijelaskan oleh
variable lain yang tidak dimodelkan dan
tertampung dalam variable gangguan acak .
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian dan
pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat
disimpulkan, bahwa: Semakin kualitas pengajaran
fakultas semakin tinggi kinerja akademis yang
dicapai oleh mahasiswa. Artinya semakin tinggi
kualitas pengajaran fakultas semakin tinggi pula
kinerja kademis yang dapat dicapai oleh mahasiswa,
begitu pula sebaliknya; Tinggi rendahnya kinerja
akademis yang dicapai oleh mahasiswa dipengaruhi
langsung oleh sikap positif mahasiswa tentang proses
pengajaran; Self-efficacy berpengaruh positif
terhadap kinerja akademis yang dicapai oleh
mahasiswa. Artinya semakin tinggi self-efficacy
mahasiswa semakin tinggi pula kinerja kademis yang
dapat dicapai oleh mahasiswa, begitu pula
sebaliknya; Kualitas pengajaran fakultas, Sikap
positif mahasiswa tentang proses pengajaran Self-
efficacy secara serempak berpengaruh signifikan
terhadap kinerja akademis; Hasil pengujian secara
umum dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan kinerja akademis mahasiswa
diperlukan pemberian stimulus yang mengarah
pada peningkatan efikasi diri mahasiswa. Stimulus
yang dimaksud adalah terkait dengan upaya untuk
meningkatkan kemauan diri mahasiswa mengikuti
proses perkuliahan dengan baik; Pemberian
stimulus yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
pengajaran fakultas adalah upaya yang sungguh-
sungguh untuk meningkatkan kualitas materi
perkuliahan termasuk keahlian dosen dalam
membawakan materi perkuliahan. Juga, dapat
diberikan melalui upaya-upaya peningkatan keahlian
dosen dalam berkomunikasi, keahlian berinterelasi,
penguasaan teknologi perigajaran, memperbaiki
pembimbingan, memperbaiki sistem penilaian, dan
meningkatkan etika-profesionalisme.
SARAN- SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas, maka dapat disarankan
kepada;
1. Pihak Fakultas, Pertama, sistem evaluasi
kompetensi dosen sebagai pengampu mata kuliah
perlu ditindak lanjuti, mengingat fakta empiris
memberikan gambaran bahwa tingkat kepuasan
mahasiswa terhadap sistem penilaian masih sangat
rendah
Kedua, dalam pengevaluasian kompetensi
pedagogic dosen, harus diikuti pemberian
sistimulir yang dapat memotivasi kinerja dosen
pengampu matakuliah
2. Untuk Kalangan Pendidik Dosen dan Guru
Rasionalitas tentang pentingnya pendidikan
dalam membangun kualitas pengajaran
fakultas Pertama. Memberikan terobosan
30
baru pembelajaran, agar mampu
menumbuhkan semangat dan motivasi belajar
bagi mahasiswa sehingga tercipta
kemandirian belajar yang lebih tinggi.
Kedua. Menerapkan pendekatan dan strategi
pembelajaran bermakna dalam
mengedepankan proses interaksi dan
interelasi pembelajaran yang faktual/empirik
dan memiliki kandungan edukasi yang
kekinian.
Ketiga. Model pendidikan dan pembelajaran
bermakna membantu dosen, dalam mengelola
proses pembelajaran menjadi lebih faktual,
efisien dan efektif, terutama dalam
mengkonstruksi kemampuan mahasiswa yang
dapat berperilaku pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A (1986). Self-Efficacy Belief in
Human Functioning. (Online); Tersedia:
http://social foundation.edocom. diakses
1 Agustus 2010.
Creswell, J.W (2003), Research Design:
Quantitative, Qualitative, and Mixed
Methods Approach, California: Sage
Ferdyawati, D (2007). Hubungan antara Efikasi
Diri dan Efektifitas Kepemimpinan
dengan Toleransi Terhadap Stres pada
Guru SD di Dorejo Pacitan. Skripsi
(tidak diterbitkan). Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hambawany, E (2007). Hubungan antara Self-
Efficacy dan Presepsi Anak terhadap
Perhatian Orang Tua dengan Prestasi
Belajar pada Penyandang Tuna Daksa.
Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta:
Universitas Muhammadiyah.
Haryanto, B (2009). “Effikasi Diri, Kualitas
Pengajaran, Sikap dan Kinerja Akademis
Mahasiswa” dalam Jurnal Ilmu
Pendidikan, Jilid 16: 152. Oktober 2009
Kurniawan, I.H (2004). Hubungan antara
Keyakinan Orang Tua atas Manajemen
Konflik antarsaudara, Jenis Kelamain
Orang Tua dan Status Ekonomi Orang
Tua dan Strategi Manajemen Konflik
dalam Interaksi antarsaudara Kandung.
Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Mueller, D.J (1992). Mengukur Sikap Sosial
Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi.
Jakarta: Bumu Aksara.
Palupiningdyah dan Widiyanto (2011). Strategi
peningkatan kualitas pembelajaran
Melalui pemanfaatan increasing
learning Motivation ( ILMO). Dalam
Jurnal “Ekplanasi Volume 6 Nomor 2
Edisi September 2011 (Online);
Tersedia:
http://www.kopertis6.or.id/journal/index.
php/eks/article//. akses 30/12/12
Ratna ((2008). Rasa Harga Diri dan Keyakinan
Diri. (Online): Tersedia:
http://ratnaz.multiply.com/jurnal/item/36
diakses 1 april 2010.
Suprijono, A (2010). “Cooperative Learning
pada Mata Pelajaran IPS Untuk
Mengembangkan Self- Efficacy dan
Keterampilan Sosial” dalam Prosiding
Makalah Seminar Nasional Pendidikan
IPS. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Surya, M (2004). Psikologi Pembelajaran dan
Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Taylor, SE, Peplau, LA & Sears, DO (2009).
Psikolosi Sosial. Jakarta: Prenada Media
Group.
Wicaksono (2008). Pentingnya Sebuah
Keyakinan Diri. (Online); Tersedia:
Error! Hyperlink reference not valid..
Diakses 1 april 2010.
31
PROJECT-BASED LEARNING FOR EFL VOCABULARY CLASS1
By:
Nurnia2
Abstract. This study is aimed at investigating the use of Project-Based Learning (PBL) in
promoting students’ vocabulary improvement which is shown from the number of words students
add during the implementation of PBL. The study was conducted with the English Department
freshmen students taking a vocabulary course during the second semester in their first year at
university. A total of 33 students were participating to learn and acquire words in context they
themselves provided through a creative product which they produced in groups and through which
assigned words could be easily learnt or acquired. The study shows that they increase in the
number of words or vocabulary size being, on average, 883 and 532 words respectively for
receptive and productive vocabulary. Even, the students individually could add more words up to
1,435 and 1,296 words for both types. This improvement is found to be much higher comparing to
the one found in another previous study.
Key words: project-based learning, receptive and productive vocabulary size
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen tetap Pend. Bahasa Inggris FKIP Universitas Halu Oleo
INTRODUCTION
In EFL context, most language teachers
concur that the very first complaint has been for
the lack of vocabulary students have. However,
the improvement of students’ number of words
or vocabulary size has not been a primary issue
to attend to as far as the improvement of English
language competence is concerned. Mainstream
issues have been for improving students’
competence in English skills as a whole. While
this is partly true in order to be successful in
communicating meanings, issues on this
language component deserve a critical attention
either from teachers or learners. Seldom do
students perform well in language skills without
enough knowledge of vocabulary. Hatch and
Cheryl (1995:74) observe, “When our first goal
is communication, when we have little of the
new language at our command, it is the lexicon
that is crucial … the words … will make basic
communication possible.”
At university level, the teaching of
vocabulary is not paid the attention it deserves.
The improvement of students’ vocabulary has
been left on the students’ individual effort or
assumed to be acquired through the process of
learning English skills. In the EFL context, even
at advanced level, the students need to be catered
in finding a systematic way or learning strategies
in order for them to easily learn vocabulary. Let
alone, in previous stages of learning such
concepts have not been specifically introduced
and applied. This might be one reason for the
students to merely use whatever way they know
such as memorization drill, dictionary use or
solely working out on vocabulary exercises.
Such activities do not fully develop the students’
potential to learn.
With abundant learning sources
nowadays, vocabulary learning should have been
easier for students. English context is available
within students’ life through the expansion of
digital technologies. This is particularly true
providing such phenomenon has to be used
properly. Thus, teaching and learning vocabulary
should lead the students to develop different
strategies to learn with the use of this venerable
media. All teachers do is to facilitate them in
such direction and scaffold them to explore their
own creativities in learning vocabulary. For
example, teachers need to let them firstly decide
what words they need to learn and how they
32
learn them in order to match with their learning
styles and multiple intelligences. Putinseva
(2006) suggests that teachers should be aware of
individual learning styles and learner diversity.
This has been for people are different in
processing information such as by seeing and
hearing, by reflecting and acting, and by
reasoning logically and intuitively.
Project-Based Learning has been an
approach in such a direction. It facilitates the
learning of English so as students can fully
participate and be responsible with their own
learning starting from deciding what words they
need to learn individually, up to choosing the
appropriate way to learn the words through the
making of a project. Here, benefiting from all
learning sources particularly the use digital-age
technologies is highly honored.
A. What is Project-Based Learning
The project-based learning approach or
so-called PBL suggests that students are much
more actively involved in a joint enterprise with
the teacher of constructing new meanings
(Atherton, 2011). It is developed from a
Vygotsky’s constructivism learning theory which
sees students as active makers of meanings and
deems that they construct their own knowledge
through learning environment. This theory is
based on the assumption that the children would
learn better when they were working in
collaboration with adults. Here, the adults do not
necessarily teach them how to perform the task
but the process of engagement with them which
facilitates the students in developing their
thinking or performance.
Through PBL, there is an involvement of
other categories of learners or community to
foster more learning. Accordingly, the emphasis
in PBL also includes team-up with communities
to achieve a certain goal. For example, students
can work with media specialist to analyze events
and artifacts of the pasts-just as real historians do
or learners of English in a family literacy
program can team up with a class at the middle
school to develop a joint project (Gaer, 1998).
Students and their learning communities may
convene to discuss, to debate and to exchange
ideas. It is believed that when students learn by
engaging in real-world projects, nearly every
aspect of their experience changes.
The collaboration between students and
other communities suggests a shift in the part of
teacher’s and students’ roles. In this sense, the
teachers are not the content expert any longer
and the students also change from recipients of
knowledge transfer into trailing their own
question to create their own meaning.
Accordingly, Boss and Krauss (2007:11) assert,
‘project-based learning -powered by
contemporary technologies-is a strategy certain
to turn traditional classrooms upside down.’
While, in the "old school" model, the teacher
masters the tasks but in the "new school" model
he/she facilitates the students to do tasks. In such
a model, some role changes include students as
teachers, teachers as coaches as well as parent
and community involvement. With a change in
their role, the students will increase more in their
learning participation. In classrooms, the
students could be assigned to check and correct
homework or to produce tests (Kavaliauskiene,
2003). By playing as teachers, students are
fostered to be autonomous learners as well.
The learning of new skills can also be
promoted from this change in role. For example,
the students will learn to develop language and
literary skills (Gaer, 1998) and reflective skills
(Stites, in Boss and Krauss, 2007) while playing
as teachers or producing authentic products.
Additionally, through the process of deciding
what and how to learn (the process done in
making a project in PBL), the students made a
lot of reflection such as critical thinking,
problem solving, decision making and other
higher level thoughts (Shermis, 1999). This
reflective thought, a concept introduced by John
Dewey in 1910 in his ‘How We Think”, suggests
that learning improves to the degree that it arises
out of the process of reflection. Through PBL,
those skills known as the 21st century skills are
well catered in order to achieve a project goal.
B. Using a Project in a Vocabulary Course
Using PBL in this course is a way to deal
with how a long list of important vocabulary
could be introduced to and learnt in a more
flexible way by students taken a vocabulary
course. While it is plausible for the students to
33
simply learn words from a list as applied by most
vocabulary courses, it is not wise enough for
they could be de-motivated, a bit frustrated and
desperate. Thus, the use of Project-Based
Learning is considered as one way to get rid of
the students from this discontented condition
into something as fun by playing as teachers or
observers or creators. By producing some works
showcasing vocabulary through a project, the
students themselves can provide context for
words which they could repeatedly come across
with and go back to anytime later to reinforce
their learning.
Through the project, students decided
on how they would learn a certain number of
words assigned to them. Using learning
strategies they had been exposed to into their
repertoires, they freely chose what strategies
they would appropriately use to make the words
be easily learnt or recalled. They chose
appropriate strategies according to their
preference, learning styles and multiple
intelligences to develop a creative product in
order to work or play with words. By producing
a creative product with words, the students were
not aware of having to learn but doing something
with them in order to complete a project. As a
result, they also acquired the word throughout
the project-making process such as during
finding out words’ meaning/pronunciation/part
of speech, writing them in a sentence or story,
matching them with pictures and so forth. At this
point, abundant contexts to the words were
provided.
The use of PBL in vocabulary class,
additionally, has been for the limited time given
and less emphasis on vocabulary learning within
other English courses in university. With 16
weeks time for the whole lecture, this language
component may not be potentially learnt by
students, let alone examining strategies that will
work best for them. Some teachers, even,, may
simply assign students to work on vocabulary
exercises from ready-made books. Gaer (1998)
asserts that in traditional teacher-centered
classroom, using a textbook, learners are always
dismayed at how little language they learn. A
research done previously (Nurnia, 2001) showed
that during university time, the students of
Haluoleo University did not increase a lot in the
total number of receptive vocabulary. Having
this in mind, it is of necessity for students to
explicitly learn vocabulary particularly those
necessary for them, in addition to indirect
vocabulary learning or extensive reading.
Project-based learning is considered to cater for
both aspects of vocabulary learning ways which
are explicitly and implicitly. By explicitly, it
means that through a project, the students decide
what vocabulary to learn and how to learn it. By
implicitly, it means that they provide context for
words through working on project during which
learning and acquisition are jointly manipulated.
Context here can be found in project products
produced by different groups such as short
stories, games and pictures, in classroom
sharing/discussions and in project exhibition.
Interestingly, this process is provided and
managed by students themselves which makes it
even more meaningful.
RESEARCH METHODOLOGY
Sample of the Study
The data for this pre- and post –design
study were obtained from the English
Department students taking a Vocabulary course
during their first year in their second semester at
university. A number of 33 students participated
in the study. The students were firstly given a
Vocabulary Levels test in the first meeting (pre-
test) and retook the test (post-test) at the end of
semester after about six months.
Research Instruments
The samples in the study were asked to take
vocabulary size tests consisting of two
instruments: the Vocabulary Levels Test (Nation
1983, 1990) and a productive version of the
Levels Test (Laufer and Nation 1995, 1999),
which was used to measure the students’
receptive and productive vocabulary size.
Teaching Procedure
This vocabulary course was aimed to
introduce students with vocabulary learning
strategies and to improve their receptive and
productive vocabulary size. The project was so-
called a vocabulary learning management which
34
allowed students to improve their vocabulary
through working with group to produce different
ways/products to compensate with vocabulary
learning. Students developed a story or games to
assign vocabulary in context. They also produced
some pictures, mapping, or other activities to
showcase the meaning of vocabulary and wrote
example sentences, parts of speech etc. These
creative works on vocabulary were firstly
presented in the classroom to receive input from
other groups.
The course was conducted for 16 weeks.
In week 1, they watched videos about the use of
PBL and provided their responses to the videos.
In weeks 2 and 3, discussion and sharing were
held among students regarding to issues on
vocabulary learning strategies. Written tasks
were also assigned for them to file it in portfolio.
In week 4, they formed a group of five (a few
six) for working collaboratively for a mid-term
project with English Vocabulary Levels List
(2,000 words from the first and second
thousand). Assigned with a list of 250 words per
group, each group chose and managed the
unfamiliar words from the list in a project. Some
students’ products produced in their project
included short stories, games, trees, origami,
quartet, pictures and others. Some created self-
made resources such as materials for games and
drawings for stories. Some even took their own
photographs or videotaped themselves to
showcase word meanings.
In weeks 5 up to 7, they worked on the
projects. Through the process, they divided roles,
searched for resources (some self-made),
discussed, managed the resources, produced
samples and shared it with other groups to
receive comments and inputs. In week 8, they
submitted the project report and made an
exhibition of their projects visited by not only
university students but also some from
elementary and secondary school students.
During weeks 9 up to 11, they re-learnt the
words from all group products hung in
classroom, wrote a mini summary and their
reflection of what they learnt each week in the
portfolio. In week 12, they planned for individual
project to be submitted in week 14. In week 15,
they took a vocabulary size test.
Data Analysis
Two types of data were obtained and these were
receptive vocabulary size and productive
vocabulary size. Then, the data were statistically
analyzed in two steps. The first step was to
compare the students’ score in pre-test and their
score in post-test using two-tailed t-tests (Hatch
and Lazaraton, 1992). The alpha level was set at
.05 for all t-tests. It was to determine whether the
students’ vocabulary size before and after the
implementation of PBL is significantly different
FINDINGS AND DISCUSSION
Findings
This section presents findings of the study in two
stages. The first stage (4.1) presents the students’
receptive vocabulary size and productive
vocabulary size. The second (4.2) presents
students’ classification in vocabulary size
category. The last (4.3) presents the comparison
between the students’ vocabulary score in pre-
test and theirs in post-test.
Students’ Vocabulary Size
The following is the students’ receptive
vocabulary size based on the result of vocabulary
size tests given in pre-test (prior to the
implementation of PBL- Project-Based Learning)
and post-test.
Table 1. Descriptive Analysis on the Students’
Receptive Vocabulary Size
Pre-Test Post-Test
Means 2027 2910
Min 625 1412
Max 4375 4676
Median 1898 2917
Range 3750 3264
Table 1 shows that in pre-test, the second
semester English major students have on average
2,027 words and in post-test 2910 or almost
3,000. The increase is found to be 883 words
after one semester-time or about six months.
This total is considered much higher than the
increase found in a previously relevant study
which was only about 411 (Nurnia, 2001).
Comparing the minimum and maximum scores,
it shows that the range is found to be smaller in
35
post-test which suggests that the students who
are at first quite heterogeneous in their
vocabulary size tend to score with a smaller
range afterwards. Having the median score, it
shows that half of the students only score above
2,000 in pre-test but 3,000 in post-test.
Table 2. Descriptive Analysis on the Students’
Productive Vocabulary Size
Pre-Test Post-Test
Means 1164 1696
Min 301 440
Max 3796 4213
median 1065 1667
Range 3459 3773
Table 2 shows that in pre-test the students’
productive vocabulary size is on average 1,164
words and 1,696 words respectively in pre-test
and post-test. The increase is found to be 532
words. The minimum score shows 301 in pre-test
being 440 in post test which suggests that there
are still students with very limited number of
productive vocabulary although a few students
score above 3,000. Having the median score, it
reveals that the half of the students still score
below 1,000 in pre-test and score higher almost
2,000 in post-test.
Table 3. Comparing Students’ Vocabulary Size
Vocabulary
Size
Pre-
Test
Post-
Test t-test
Means Means
Receptive 2027 2910 3.61*
Productive 1164 1696 2.54*
*significant at .05
Table 3 shows that the students’ vocabulary size
either receptive or productive in post-test is
found to be different or higher than that in pre-
test. To examine whether the difference was
statistically significant, a two-tailed test was
used. The t-statistics showed that the mean total
score of students’ post test was significantly
higher than that of the pre-test (t = 3.61, p .05)
for receptive and (t = 2.54, p .05) for
productive. This means that there is a significant
increase in the students’ vocabulary size after the
students being exposed to Project-Based
Learning.
Students’ Categorization in Vocabulary Size
This section presents some classifications of
vocabulary size from below-1,000 category up to
4,000-above category. Such categories are made
in conjunction to vocabulary levels suggested by
Nation (1990) who suggest that students need to
know what vocabulary to learn, where to start
and what learning strategies are required.
Table 4. Students’ Category in Receptive
Vocabulary Size (before & after PBL)
Vocabulary
Size
Category
Receptive Vocabulary Size
Pre-Test Post Test
Sum % Sum % Below-1,000 1 3% - 0% 1,000-above 16 48% 6 18% 2,000-above 12 36% 12 36% 3,000-above 3 9% 11 33% 4,000-above 1 3% 4 12%
Table 3 shows that in pre-test, about half of the
students (51%) are classified in below 2,000
category. Meanwhile, in post test, only 18%
remains with this category whereas 82% is
classified as above 2,000. Even, almost half
(45%) has been classified in 3,000-above
category with only 11% beforehand. This
suggests that these students would have been
easier in decoding academic reading materials
without major obstacles.
Table 5. Students’ Category in Productive
Vocabulary Size (before & after PBL)
Vocabulary
Size
Productive Vocabulary Size
Pre-Test Post Test
Sum % Sum %
Below-1,000 13 39% 6 18%
1,000-above 16 48% 16 48%
2,000-above 3 9% 10 30%
3,000-above 1 3% - 0%
4,000-above - 0% 1 3%
Table 4 shows that before PBL, there were about
39% of the students in below-1,000 category and
only 18% afterwards. Meanwhile, almost half
36
(48%) of them were in 1,000-above category and
a very limited number of students are in upper
category being only 12%. After PBL, however,
30% have been categorized in 2,000-above
category. Students with below-1,000 category
would hardly find it easy to express themselves
productively either in speaking or writing as they
only have very limited/little knowledge of
English.
DISCUSSION
In summary, the findings of the study
show that the students’ receptive and productive
vocabulary size of the second semester students
of the English Department is on average 2,910
word families for receptive vocabulary and 1,696
for productive vocabulary after the
implementation of Project-Based Learning. The
study also reveals that there is a significant
increase in the students’ vocabulary size being
on average 883 and 532 words for receptive and
productive respectively. While most students
(69%) are classified in 2,000-above and 3,000-
above categories for receptive vocabulary
knowledge, 78% of them are in 1,000-above and
2,000-above categories for the productive one.
The first finding of the study shows that
after the implementation of PBL the students’
receptive vocabulary size of the first year
students of the English Department is on average
2,910 word families. This is just similar to 7 year
old native speaker of English having Nation’s
(1990) summary of L1 vocabulary size
development. Meanwhile, native speakers with
corresponding age to the EFL students in the
present study have about 17.600 words which is
extremely much higher. However, the increase
about 883 within half a year found in the present
study is relatively astonishing providing the
vocabulary development with native speakers
suggested in Nation’s summary is rather linear,
about 1,000 words per year.
Such an increase also extends that found
in a previous study. While before PBL, they have
only about 2,027 which is much fewer than
possessed by the first year students found in
Nurnia’s (2001) study being 2,579 word
families, after PBL their vocabulary size have
been similar to that of the third year students
being 2,990 found in the said study. This shows
that after one semester (half a year) of learning
vocabulary through PBL, the students in the
present study increase the number of their
vocabulary size much higher than those in the
previous study. It is obvious that after one
semester these students add roughly 883 (44%)
word families. In contrast, the students in the
previous study only add about 411 (15.9%) even
after two years. The increase in the present study
is quite similar given the increase observed by
Laufer (1998), which was about 84% (1,600
word families) over one year. Such a difference
might be attributed to different language
classroom contexts such as classroom activities
and methods. In PBL the students learn assigned
words through contexts they themselves
provided through project activities which allow
them to decide what vocabulary to learn and how
to learn them through creative products they
produced. This suggests that the use of PBL to
the students in the present study has been much
more appropriate for the students in learning and
acquiring vocabulary.
As for the students’ productive
vocabulary, it is on average 1,696 words. This
number is similar to the productive vocabulary
size of the third year students (about
1,757words) investigated by Nurnia (2001). Still
in comparison to aforementioned study, the
increase found in this study after one semester is
532 words which is quite similar to increase
made by the third year students in the previous
study being 625 after two semesters. Again, the
present finding shows a much similar increase
with Laufer’s (1998) study. The results of her
study showed that her students added about 850
word families within one year to their productive
vocabulary. Even, the present study shows a
higher increase by being 532 within six months.
Another crucial finding is that the
students in the present study increase on average
about 44% and 46% to their receptive and
productive vocabulary receptively. This increase
is apparently much higher given the findings
from previous study being 23.7% and 55.2%
after two years. One possible explanation is that
the English majors in the present study are more
focused in their learning of words and during
project activities they make use of the words for
37
productive purposes such as talk about or explain
the words during exhibition activities. This
relates to the nature of vocabulary knowledge as
observed by Faerch, Haastrup and Philipson
(1984), which is defined “as a continuum
between the ability to make sense of a word and
ability to activate the word automatically for
productive purpose.” The second possible
explanation is that it may be unrealistic to expect
L2 lexical development to take place simply
through incidental learning although this works
for L1 acquisition. This is due to the fact that the
quantity of exposure is radically different in both
cases. Laufer (1994) claims that, even at
advanced level, learners have difficulty learning
new vocabulary incidentally.
CONCLUSION AND SUGGESTION
This study apparently shows that after the
implementation of Project-Based learning the
students’ vocabulary size have been promoted to
higher extent particularly when it is compared to
previous studies. This should have been the
nature of PBL which allows students to
participate more in their learning process, to be
responsible for their own learning, to know and
to decide what and how they should learn.
Although some individual students still do not
improve to the most of their vocabulary size,
they mostly do and enjoy the teaching learning
process. In addition, the students should be
aware of different strategies or ways in learning
a lesson so as to be independent learners,
problem solvers and creative thinkers. Thus,
using Project-based learning as a teaching
approach is one of the many ways to consider in
teaching vocabulary.
REFERENCES
Atherton J.S. 2011. Learning and Teaching;
Constructivism in learning. Retrieved 4
October 2011 from
http://www.learningandteaching.info/lea
rning/constructivism.html
Boss, Suzie and Krauss Jane. 2007. Reinventing
Project-Based Learning; Your Field
Guide to Real-World Projects in the
Digital Age. International Society for
Technology in Education: Eugene,
Oregon, Washington DC.
Gaer, Susan. 1998. Less Teaching and More
Learning. Vol. 2, Issue D
Hatch, Evelyn and Brown, Cheryl. 1995. Vocabulary, Semantics and Language Education. Cambridge, New York: Cambridge University Press.
Hatch, Evelyn and Lazaraton, A. 1992. The Research Manual: Design and Statistics for Applied Linguistics. Boston, MA: Heinle & Heinle Publishers.
Kang, Hee-Won and Golden, Anne. 1994.
Vocabulary Learning and Instruction in a
Second or Foreign Language.
International Journal of Applied
Linguistics 4:1, 57-77.
Kavaliauskiene, Galina. 2003. Two Activities for
Fostering Autonomous Learning. The
Internet TESL Journal, Vo. IX, No. 7.
http://iteslj.org/Articles/Putintseva-
Learning Styles.html
Laufer, Batia. 1994. The Lexical Profile of Second Language Writing: Does It Change Over Time? RELC Journal 25:2,21-33.
Laufer, Batia. 1998. The Development of Passive and Active Vocabulary in a Second Language. Applied Linguistics 19:2, 255-271.
Nation, I.S.P. 1990. Teaching and Learning Vocabulary. New York: Newbury House Publishers.
Nurnia, 2001. Students’ Vocabulary Size and
Their Lexical Richness in Composition.
Unpublished Thesis. National University
of Singapore.
Putintseva, Tatyana. 2006. The Importance of
Learning Styles in ESL/EFL. The
Internet TESL Journal,Vol.XII, No. 3.
http://iteslj.org/Articles/Putintseva-
Learning Styles.html
38
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA NILAI UN
MATA PELAJARAN EKONOMI SMA DI KABUPATEN BUTON
PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 20111
Oleh :
Abdullah Igo B.D2
Abstrak. Mutu UN ekonomi SMA di Kabupaten Buton masih rendah, salah satu indikatornya
adalah hasil Ujian Nasioal (UN) di Kabupaten Buton rata-rata klasifikasi C (sedang), ditinjau dari
perolehan nilai UN SMA Tahun Ajaran 2007/2008 – 2009/2010. Hasil penlitian menunjukan
bahwa nilai UN SMA tahun 2007/2008 sampai 2009/2010 untuk Kabupaten Buton, kemampuan
yang dimiliki peserta didik dari tahun ke tahun semakin menurun atau semakin banyak siswa yang
kemampuannya semakin rendah dalam menguasai kompetensi yang diujikan. Mata pelajaran
ekonomi yang paling rendah dikuasai siswa adalah Pengaruh ekspor impor terhadap
perekonomian dalam negeri dan permasalahan pokok ekonomi hanya 1,05% anak menjawab betul.
Faktor penyebabrendahnya kompetensi yang dimiliki peserta didik SMA di Kabupaten Buton
tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun ajaran 2009/2010 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor
yang mempengaruhi adalah faktor guru. SK/KD yang diajarkan guru kurang dipahami anak,
Materi yang kurang dipahami tidak diajarkan/dilewatkan, cara mengajar monoton dan masih
konvensional, Kurang menggunakan media pembelajaran, dan Suka merubah nilai siwa . Faktor
siswa: Siswa, Motivasi belajar rendah, Tidak mau mengikuti les /remedial, Tidak mempunyai
buku, Malas belajar. Faktor Sarana: Buku literatur kurang, 1 buku untuk 3 siswa, Alat Peraga
kurang. Faktor budaya Masyaraka: Motivasi masyarakat rendah, Minat baca kurang, Malas,
Nyontek, lebih baik membantu orang tua daripada sekolah. Faktor Manajemen sekolah: Disiplin
sekolah lemah, kurangnya kegiatan meningkatkan mutu, Supervisi klinis tidak jalan, MGMP
kurang difungsikan dan Pembagian jurusan tidak sesuai bakat dan minat siswa. Serta Faktor
ekonomi: penghasilan orang tua rendah.
Model Peningkatan Mutu Pendidikan Valid dan Siap Diimplementasikan Secara Konkret di
Kabupaten Buton Melalui Kegiatan Pengabdian Kepada masyarakat dapat melalui: penerapan
Model Leson Study berbasis MGMP.
Kata Kunci: Pemetaan Kompetensi, Mutu Pendidikan,Nilai UN, Model pengembangan
mutu.
1 Ringkasan Hasil Penelitian tahun 2011 2 Dosen Pend. Ekonomi Koperasi FKIP Universitas Halu Oleo
LATAR BELAKANG MASALAH
Mutu pendidikan merupakan masalah
yang dijadikan agenda utama untuk diatasi dalam
kebijakan pembangunan pendidikan, karena
hanya dengan pendidikan yang bermutu akan
diperoleh lulusan bermutu yang mampu
membangun diri, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Standar Nasional Pendidikan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005, dan merupakan penjabaran lebih
lanjut dari Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, telah menggariskan ketentuan
minimum bagi satuan pendidikan formal agar
dapat memenuhi mutu pendidikan.
Masalah yang ada di Kabupaten Buton
yakni rendahnya kualitas pendidikan, dan belum
meratanya peningkatan mutu pendidikan.
Masalah program peningkatan mutu pendidikan
dan tenaga kependidikan yang masih dianggap
paling lemah atau kurang dari delapan program
kerja yang ada. Delapan program kerja itu adalah
pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), wajib
belajar (wajar) 12 tahun, pendidikan menegah,
pendidikan nonformal, peningkatan mutu
pendidikan dan tenaga kependidikan, pendidikan
pembinaan kepemudaan, pembinaan
keolahragaan, dan pembinaan manajemen unit
terpadu. olehnya program utama 2012 dan
39
tahun tahun mendatang pihaknya akan
meningkatkan mutu pendidikan, sehingga bisa
berdaya saing bukan hanya di daerah sendiri,
tetapi juga dengan daerah-daerah lainnya.
Secara kualitas perkembangan nilai UN SMA
tahun 2007/2008 – 2009/2010 untuk Kabupaten
Buton tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa
kompetensi yang dimiliki peserta didik masih
rendah bahkan cenderung menurun pada tahun
ajaran 2009/2010. Klasifikasi rata-rata
perkembangan tiga tahun terakhir, nilai UN
ekonomi SMA masih rendah atau ≤ 6,0
Sebaran nilai UN mata pelajaran
ekonomi pada 3 tahun terakhir di Kabupaten
Buton ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Sebaran nilai terendah dan persentase
nilai < 6,00 pada mata pelajaran ekonomiyang
UN kan di kabupaten Buton 3 tahun terakhir.
Tahun
Ajaran
Nilai UN
terendah
% nilai
< 6,00
2007/2008 3, 00 15, 28
2008/2009 2,75 15, 62
2009/2010 4, 00 19, 62
Gambaran dalam tabel 1 di atas
memberikan gambaran bahwa masih terdapat
beberapa kompetensi yang dipersyaratkan dalam
UN yang belum dikuasai oleh siswa berdasarkan
nilai UN murni 3 tahun terakhir. Salah satu
realita hasil UN tahun 2007/2008 sampai
2009/2010 memberikan gambaran di Sulawesi
Tenggara wilayah Kabupaten Buton
menunjukkan klasifikasi C. Gambaran data di
atas, adalah sebagian kecil dari realitas UN yang
terjadi dari tahun ke tahun, dimana raihan nilai
tersebut pada dasarnya akan berhubungan
standar kompetensi lulusan (SKL) pada bidang
studi ekonomi yang diajarkan. Dari data tersebut,
dapat diasumsikan bahwa kompetensi dasar yang
dimiliki siswa yang mengikuti UN adaloah masih
memprihatinkan. Sehubungan dengan hal
tersebut, pada konteks ini, salah satu upaya
untuk memotret faktor-faktor penyebab
keberhasilan atau kegagalan pendidikan di
Kabupaten Buton dalam rangka memberikan
suatu alternatif model pemecahan masalah yang
bersifat fungsional, aplikatif yang relevan
dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di
jenjang Sekolah Menengah Atas, maka
penelitian ini yang diberi judul “faktor-faktor
yang mempengaruhi rendahnya nilai UN Mata
pelajaran Ekonomi SMA di Kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi TenggaraTahun 2011
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menghasilkan komponen-komponen:
1. Gambaran pemetaan kompetensi siswa SMA
yang belum memenuhi standar minimal di
Kabupaten Buton pada mata pelajaran
ekonomi yang di UN kan pada tahun
2007/2008 – 2009/2010
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
penguasaan kompetensi siswa SMA pada
pokok bahasan tertentu di Kabupaten Buton
untuk mata pelajaran ekonomi yang di UN
kan pada tahun 2007/2008 – 2009/2010
3. Rumusan model pengembangan mutu
pendidikan dalam rangka meningkatkan
kompetensi siswa yang belum memenuhi
standar minimal pada mata pelajaran
ekonomi yang di UN kan sebagai alternatif
solusi dalam mengatasi rendahnya
kompetensi dasar siswa SMA di Kabupaten
Buton tahun 2007/2008 – 2009/2010
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk :
1. Menghasilkan suatu dokumen yang
menggambarkan pemetaan kompetensi siswa
SMA di Kabupaten Buton tahun 2007/2008
– 2009/2010 yang dapat digunakan oleh
pihak Pendidikan Nasional untuk upaya
perencanaan peningkatan mutu pendidikan di
wilayah tersebut.
2. Memberikan gambaran mengenai kondisi riil
penguasaan materi ekonomi dan daya serap
siswa yang telah mengikuti kegiatan ujian
nasional di wilayah kabupaten Buton dan
Kabupaten Buton.
3. Memberikan acuan untuk pengembangan
suatu peningakatan mutu pendidikan
berdasarkan temuan-temuan dari penelitian
ini bagi pihak yang peduli, khususnya bagi
FKIP Unhalu sebagai salah satu LTPK yang
ikut bertanggung jawab dengan mutu
pendidikan di wilayah Sulawesi Tenggara
4. Meningkatkan kesadaran dan rasa ikut
40
bertanggungjawab kepada tenaga pendidik
dan dinas pendidikan, sehingga upaya
meningkatkan kompetensi siswa dapat
dioptimalkan oleh seluruh stake holder.
TINJAUAN PUSTAKA
Kualitas Pendidikan
Kualitas dalam pendidikan merupakan
salah satu isu utama di antara masalah-masalah
pokok seperti yang ditegaskan oleh Tilaar (1991)
dalam Achmad Munib (2007) menyatakan bahwa
dunia pendidikan kita mengalami 5 krisis pokok
yaitu : (1) kualitas; (2) relevansi; (3) elitisme; (4)
manajemen; (5) pemerataan pendidikan. Dalam
mengukur rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia sebenarnya sulit.
Peran guru merupakan peran yang penting
yang dilakukan melalui pengelolaan kelas yang
efektif seperti yang dikemukakan Titus Sri
Maryoto (dalam http://staff.blog.unnes.ac.id),
dari hasil penelitiannya diperoleh guru
mempunyai peran yang sentral dalam
peningkatan kualitas layanan pendidikan melalui
pengelolaan kelas yang baik yaitu sebagai
pengajar, pendidik dan manajer. Menurut nurito
(dalam harian media online beritajakarta.com
pada tanggal 18 November 2008), mengatakan
bahwa rendahnya kualitas layanan pendidikan
yang diberikan oleh sekolah-sekolah menengah
di Indonesia ditengarai karena lemahnya
kompetensi aparatur penyelenggara pendidikan.
Lebih lanjut dikatakan, masih terdapat jumlah
guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak
sesuai dengan kebutuhan guru. Belum
optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada
SMP dan SMA juga terungkap dari data
permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara
lain menunjukkan belum meratanya distribusi
guru di setiap sekolah serta belum meratanya
pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah.
Selain itu, juga masih banyak guru yang belum
mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap
guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga
masih terdapat ketidaksesuaian antara latar
belakang pendidikan yang dipunyai guru dengan
bidang studi yang diajarkan.
Selanjutnya dalam sebuah artikel yang
dtulis oleh Stevanie Elisabeth (dalam harian sore
online Sinar Harapan, 2008), dikatakan bahwa
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia
selain tergantung kepada kualitas guru juga harus
ditunjang dengan sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai. Tetapi sayangnya,
hingga sekarang ini, sarana dan prasarana
pendidikan yang dimiliki sebagian besar sekolah
di Indonesia masih kurang memadai seperti
fasiltas laboratorium dan sebagainya. Sarana dan
prasarana ini merupakan komponen yang sangat
vital dalam kegiatan proses belajar dan mengajar.
“Sebut saja peralatan laboratorium yang di
sebagian daerah masih sangat minim dimiliki
sekolah, apalagi kalau SMA itu milik swasta
sungguh sangat jarang yang memiliki sarana dan
prasarana seperti laboratorium yang memadai.
Peralatan laboratorium sudah menjadi suatu
keharusan bagi siswa SMA untuk memperdalam
ilmunya, menurut Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Sarana Pendidikan Indonesia (APSPI)
Iskandar Zulkarnain pada Deklarasi APSPI.
(www.sinarharapan.com) Pemberdayaan dan
peningkatan kualitas SDM pendidikan menurut
Kisdarto Atmosoeprapto (dalam Prof. Mantja,
2008) menyarankan untuk meningkatkan
efektifitas kepemimpinan dan perlunya efisiensi
manajemen.
Hakekat Mutu Pendidikan
Sebelum membahas tentang mutu
pendidikan terlebih dahulu akan dibahas tentang
mutu dan pendidikan. Banyak ahli yang
mengemukakan tentang mutu, seperti yang
dikemukakan oleh Edward Sallis (2006:33 )
mutu adalahSebuah filsosofis dan metodologis
yang membantu institusi untuk merencanakan
perubahan dan mengatur agenda dalam
menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang
berlebihan. Sudarwan Danim (2007:53 ) mutu
mengandung makna derajat keunggulan suatu
poduk atau hasil kerja, baik berupa barang dan
jasa. Sedangkan dalam dunia pendidikan barang
dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak
dapat dilihat, tetapi dan dapat dirasakan.
Selanjutnya Lalu Sumayang (2003:322)
menyatakan quality (mutu) adalah tingkat
dimana rancangan spesifikasi sebuah produk
barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan
41
penggunannya, disamping itu quality adalah
tingkat di mana sebuah produk barang dan jasa
sesuai dengan rancangan spesifikasinya.
Dalam pandangan Zamroni ( 2007: 2 )
dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah
adalah suatu proses yang sistematis yang terus
menerus meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan
dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target
sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan
efisien. Peningkatan mutu berkaitan dengan
target yang harus dicapai, proses untuk mencapai
dan faktor-faktor yang terkait. Dalam
peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu
mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil
dan aspek proses mencapai hasil tersebut. Aspek
kedua menyangkut cara mencapainya dan
berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM
yang terdiri atas : (a) focus pada pelanggan
(internal & eksternal), (b) berorientasi pada
kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah,
(d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja
sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara
berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan,
(h) menerapkan kebebasan yang terkendali,
( Ety Rochaety,dkk,200 :97 )
Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan
Mutu Pembelajaran di Sekolah
Untuk meningkatkan mutu sekolah
seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim
(2007: 56), yaitu dengan melibatkan lima faktor
yang dominan :
1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala
sekolah harus memiliki dan memahami visi
kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja
keras, mempunyai dorongan kerja yang
tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja,
memberikanlayananyang optimal, dan
disiplin kerja yang kuat.
2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan
adalah “anak sebagai pusat “ sehingga
kompetensi dan kemampuan siswa dapat
digali sehingga sekolah dapat
menginventarisir kekuatan yang ada pada
siswa
3. Guru; pelibatan guru secara maksimal ,
dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi
kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP,
lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari
kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4. Kurikulum; adanya kurikulum yang dinamis ,
dapat memungkinkan dan memudahkan
standar mutu yang diharapkan
sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara
maksimal;
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan
observasi ekslopratif dengan menggunakan
desain deskriptif analitis. Proses penelitian
menggunakan tahap (1) pra lapangan yang
bertujuan untuk mendapatkan peta kompetensi
siswa tiap pokok bahasan. (2) pekerjaan
lapangan untuk melakukan identifikasi factor
penyebab dari masalah rendahnya pencapaian
standar kompetensi siswa melalui kegiatan focus
grouf discussion (FGD), Indepth interview,
observasi kelas, wawancara dan observasi
kompetensi guru, analisis dokumen pendukung,
dan kegiatan lain yang mendukung tercapainya
tujuan penelitian, dan tahap (3) pasca lapangan
dengan kegiatan penentuan prioritas masalah dan
pembuatan peta kompetensi siswa tiap pokok
bahasan.
HASIL DAN PEMBEHASAN
Nilai UN SMA tahun 2007/2008 sampai
2009/2010 di Kabupaten Buton menunjukkan
bahwa kompetensi yang dimiliki peserta didik
dari tahun ke tahun semakin rendah dan masih
berklasifikasi C atau sedang.
Peta Kompetensi Mata Pelajaran
ekonomi Yang Paling Rendah Dikuasai Siswa Di
Kabupaten Buton Rendahnya kemampuan yang
diujikan pada UN SMA Kabupaten Buton dapat
dilihat pada SMA kelompok IPS mata pelajaran
ekonomi di Kabupaten Buton tahun 2007/2008
– 2009/2010.
42
Tabel 2: Pemetaan nilai UN SMA Kabupaten Buton tahun 2009/2010 materi ekonomi ≤ 60,00
KEMAMPUAN YANG DIUJIKAN NILAI UN PER KD
≤ 60,00
Rayon Prov. Nas
Menyelesaikan kasus koperasi sekolah 58,01 49.18 60.07
Menyelesaikan prilaku kewira usahawan memperluas usaha usaha 55,92 67.71 70.99
Memposting kedalam buku besar & buku besar pembantu 53,14 48.29 62.17
Menentukan fungsi fungsi manajemen menurut beberapa ahli 51,92 52.06 69.62
Membedakan pasar input bedasarkan fungsinya 48,43 65.93 75.39
Menyelesaikan kasus-kasus moneter pasca krisis 1997 46,34 68.37 64.41
Menghitung tingkat inflasi 43,38 60.99 60.65
Mencatat transaksi perusahaan jasa dalam jurnal umum 43,20 56.67 85.34
Menjelaskan peran konsumen & produsen dalam kegiatan ekonomi 42,51 59.76 67.85
Menentukan GNP, GDP, PDB, PNB, NNI/PI 38,68 45.36 72.16
Mencatat transaksi kedalam jurnal khusus 32,93 52.28 57.66
Mengidentifikasi mekanisme penjualan/pembelian produk dari bursa
efek
31,53 31.65 42.66
Menentukan surplus/deficit/dampak APBN/APBD terhagap kegiatan
ekonomi
31,18 13.69 52.74
Membandingkan kelebihan dan kekurangan peresoan terbatas dengan
perusahaan perorangan
28,05 53.86 75.22
Menentukan harga dan out put keseimbangan berdasarkan data dalam
bentuk table/fungsi
21,60 24.64 55.03
Menjelaskan cara mengatasi permasalahan pokok ekonomi 2,26 5.40 71.33
Menjelaskan dampak/pengaruh ekspor/impor barang terhadap
perekonomian
1,05 3.13 59.04
Sumber : Program PPMP Kemdiknas tahun 2011
43
Berdasarkan data daya serap mata pelajaran
Ekonomi Tahun ajaran 2010 dapat diketahui
bahwa dalam kemampuan yang diuji,
ditemukan pencapaian kemampuan siswa sangat
rendah atau hanya 42,50% soal ekonmi yang
memperoleh nilai >60 Sebagai contoh dapat
diuraikan disini sebagai berikut.
Butir soal No. 21 “Menjelaskan
dampak/pengaruh ekspor/impor barang
terhadap perekonomian” jawaban yang benar
Pada tingkat rayon ( Kabupaten Buton) adalah
1,05% hanya ada 1,05% siswa yang menjawab
benar, pada tingkat provinsi 3,13% siswa
menjawab benar, dan pada tingkat nasional
untuk nomor soal ini 59,04% siswa menjawab
benar. Butir soal no. 1 ” menjelaskan cara
mengatasi permasalahan pokok ekonom”, jawaban
yang benar Pada tingkat rayon ( Kabupaten
Buton) hanya 2,26% siswa menjawab benar,
pada tingkat provinsi 5,4% siswa menjawab
benar, dan pada tingkat nasional untuk nomor
soal ini 71,33% siswa menjawab benar.
Pada kasus ini, siswa tersesat dalam
memilih jawaban karena salah memahami
konsep yang ditanyakan. Kesalahan memahami
konsep antara lain dapat disebabkan karena
guru salah menjelaskan konsep tersebut, karena
guru kurang memahami kosep dengan baik,
sehingga salah menjelaskan konsep tersebut
kepada siswa. Berdasarkan informasi ini, guru
dan kepala sekolah perlu mengambil langkah-
langkah kebijakan lebih sistematis, untuk
memperbaiki proses pembelajaran di masa yang
akan datang, supaya siswa dapat memperoleh
pemahaman yang benar tentang yang
kompetensi yang diujikantersebut.
Informasi lain yang dapat dibaca dalam data
daya serap butir soal no. 4,6, 8,10,14,17,
20,21,23, 24, 25, 34, 35, dan 37 juga di bawah
60% siswa menjawab benar sesuai data tabel di
atas. . Hal tersebut bahwa baik pada tingkat
sekolah, rayon (Kabupaten Buton ) maupun
pada tingkat provinsi Sulawesi Tenggara , daya
serap siswa hanya berkisar pada 50-an %. Oleh
karena itu, baik pada tingkat rayon mapun pada
tingkat provinsi, pejabat yang berwenang perlu
mengambil langkah-langkah perbaikan.
Misalnya, dalam pelatihan guru mata pelajaran
perlu diberi penekanan pada materi yang
diujikan. Kompetensi yang diujikan kurang dari
60% yang belum dipahami anak yang perlu
mendapatkan perhatian semua pihak .
Dengan demikian, data hasil analisis
daya serap ini dapat dimanfaatkan sebagai
umpan balik bagi perbaikan proses pembelajaran
dan peningkatan mutu pendidikan secara
sistematis dan berkelanjutan pada semua
peringkat penyelenggaraan pendidikan.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya nilai UN SMA mata pelajaran
Ekonomi
Faktor penyebab rendahnya kompetensi
yang dimilki peserta didik SMA di Kabupaten
Buton tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun
ajaran 2009/2010 .
Faktor Guru: 42,5 % SK/KD yang diajarkan
guru kurang dipahami anak, Kurang Memahami
materi yang berkaitan dg matematika ekonomi,
Kurang memahami materi akuntansi, Materi
yang kurang dipahami tidak
diajarkan/dilewatkan, cara mengajar monoton
dan masih konvensional, Kurang menggunakan
media pembelajaran, dan Suka merubah nilai
siwa .
Faktor siswa: Siswa, Motivasi belajar rendah,
Tidak mau mengikuti les /remedial, Tidak punya
buku, Malas belajar.
Faktor Sarana: Buku literatur kurang, 1 buku
untuk 3 siswa, Kurangnya sarana belajar di
rumah , Alat Praga kurang.
Faktor budaya Masyarakat: Motivasi
masyarakat rendah, Minat baca kurang, Malas,
Nyontek, lebih baik membantu orang tua
daripada sekolah.
Faktor Manajemen sekolah: Disiplin sekolah
lemah, kurangnya kegiatan meningkatkan
mutu, Supervisi klinis tidak jalan, MGMP
kurang difungsikan dan Pembagian jurusan
tidak sesuai bakat dan minat siswa.dan
Faktor ekonomi: penghasilan orang tua/keluarga
rendah.
44
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa :
1. Hasil penlitian menunjukan bahwa nilai UN
SMA tahun 2007/2008 sampai 2009/2010
untuk Kabupaten Buton menunjukkan
bahwa kompetensi yang dimiliki peserta didik
masih berklasifikasi C atau sedang untuk
smata pelajaran ekonomi yang diujikan dalam
UN. Mutu UN setiap tahun semakin menurun
2. Faktor penyebab rendahnya kompetensi yang
dimilki peserta didik SMA di Kabupaten
Buton tahun ajaran 2007/2008 sampai tahun
ajaran 2009/2010 adala, serta faktor ekonomi
keluarga.
3. Model Peningkatan Mutu Pendidikan Valid
dan Siap Diimplementasikan Secara Konkret
di Kabupaten Buton Melalui Kegiatan
Pengabdian Kepada masyarakat Solusi yang
ditawarkan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengelolaan musyawarah
guru mata pelajaran (MGMP), melalui
pembinaan-pembinaan program kerja
yang mendukung pencapaian standar
kompetensi lulusan (SKL).
b. Meningkatkan monitoring pembelajaran
di kelas, dengan penyusunan dan
prosedur monitoring dan perangkat
monitoring yang diperlukan.
c. Meningkatkan kompetensi pedagogik
guru, melalui kegiatan worshop
pengembangan dan pengemasan
perangkat pembelajaran berbasis
karakter model PPG ( silabus, RPP,
bahan ajar, LKS, LP, media
pembelajaran dan instrumen penilaian),
agar sesuai standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD). Meningkatkan
kompetensi guru dalam menguasai materi
pembelajaran melalui pelatihan
pendalaman materi bidang studi yang
mendukung pencapaian standar
kompetensi lulusan (SKL).
Meningkatkan mutu pelaksanaan
pembelajaran melalui Pelatihan model-
model pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Edward Sallis. 2006. Total Quality Management
In Education (alih Bahasa Ahmad Ali
Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSD
Eti Rochaety,dkk.2005 . Sistem Informamsi
Manajemen Pendidikan. Jakarta : bumi
Aksara
Gage & Berliner, 1992, educational psychology
5 th ed, boston; houghtonmifflin
company Horlocki E.B, 1978, psykologi
Perkembangan; suatu pendekatan
sepanjangtentang kehidupan
jakata: erlangga
Indra Djati Sidi.2003. Menuju Masyarakat
Belajar. Jakarta : Logos.
Lalu Sumayang.2003. Manajemen produksi dan
Operasi. Jakarta : Salemba Empat
Republik
Omrod, Jeanne Ellis, 2006, Educational
psychology developing leaners 5 th ed.
Upper saddle River, new yersey.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Kloang klede Putra
Timur
Utami munandar, 1999 Kreatifitas dan
keberbakatan, Jakarta: Gramedia
pustaka utama
Sagala,Syaiful.2005.Administrasi Pendidikan
Kontemporer.Bandung:Alfabeta
______.2004. Manajemen Berbasis Sekolah
&Masyarakat. Bandaung : alfabeta
Sudarwan Danim.2007.Visi Baru Manajemen
Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara
Sukadji S, 2000 Psikologi pendidikan dan
psikologi sekolah, Jakarta; UI Press.
Zamroni. 2007 . Meningkatkan Mutu Sekolah .
Jakarta : PSAP Muhamadiyah
45
PENGUJIAN AKURASI ALAT PENGUKUR SUHU DAN KELEMBABAN MENGUNAKAN
SENSOR SHT11 DAN MIKROKONTROLER ATMEGA 81
Oleh :
Vivi Hastuti2
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkalibrasi pembuatan alat ukur suhu dan kelembaban,
untuk memperoleh alat ukur yang mempunyai presisi yang baik dan tingkat akurasi yang tinggi.
Sensor SHT11 terdiri dari polimer kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap sensor suhu
dan sensor kelembatan relatif. Sensor SHT11 dikalibrasi disebuah ruang kelembaban presisi.
Koefisien-koefisien kalibrasi diprogram ke dalam memori OTP. Koefisien-koefisien ini digunakan
secara internal selama pengukuran untuk mengkalibrasi sinyal dari sensor. Mikrokontroller AVR
jenis ATMega8 akan berfungsi sebagai otak yang menjalankan instruksi-instruksi yang tersimpan
dalam flash memorinya dengan kapasitas 8 Kbyte. Pembuatan perangkat lunak untuk pembuatan
program yang akan dimasukkan kedalam mikrokontroler ATMega8. Program yang akan
dimasukkan ke mikrokontroler dikembangkan dengan program BASCOM AVR versi 1.11.7.9 full
version, sedangkan untuk proses download program kedalam mikrokontroler digunakan software
Pony prog 2000. Pemrograman sistem akan membahas program pengukuran sensor suhu dan
kelembaban. Pin DATA sensor SHT11 dihubungkan pada Pin-Cl pada mikrokontroler. Pembacaan
sensor yang telah selesai diolah oleh mikrokontroler akan ditampilkan ke LCD. Berdasarkan hasil
analisis menggunakan uji-t diperoleh tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran suhu
menggunakan sensor SHT11 dan thermometer dan kelembaban mengunakan sensor SHT dan
hygrometer. Berdasar pada hasil analisis menggunakan taraf / interval kepercayaan 95% diperoleh
tingkat signifikansi 0,000 baik untuk suhu maupun kelembaban. Hasil ini menujukan bahwa hasil
pengukuran alat ukur sensor SHT11 dan suhu, sensor SHT11 dan hygrometer tidak ada bedanya
dengan interval kepercayaan 95%.
Kata Kunci : Sensor SHTII, Mikrokontroler ATMEGA 8, Suhu dan Kelembaban
1 Ringkasan hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Perkembangan peralatan elektronika
pada saat ini sudah cukup pesat. Peralatan rumah
tangga, kantor dan alat ukur sudah menggunakan
perangkat elektornika. Dalam perkembangan
peralatan elektronika semakin mudah
pengoprasiannya dan semakin komplek
kegunaannya. Khusus untuk alat ukur selalu
memaksimalkan akurasi dan presisi alat ukur.
Baik alat ukur analog maupun digital selalu
memperhatikan akurasi dan presisi dari alat ukur.
Walaupun alat ukur digital sudah menunjukan
angaka tetap ada keterbatasannya. Penunjukan
digit angkan merupakan keterbatasan maksimal
yang mampu terbaca alat pada sekala ter besar
dan terkecilnya.
Berbagai peralatan ukur analog pada saat
ini telah diganti dengan peralatan digital.
Pergeseran peralatan dari analog kedigital
diantanya disebabkan oleh:
1. kemudahan pembacaan pengukuran
2. skala terkecilnya lebihkecil disbanding
analog
3. pengoperasiannya mudah
4. berbagai alat ukur dapat dikemas jadi satu
alat ukur sesuai dengan keperluan.
Banyaknya peralatan digital yang ada sekarang
ini perlu suatu bekal kemampuan untuk
memahami. Pemahaman dapat dari segi
hardware dan software. Pemahaman keduanya
hardware dan softwer akan dapat merancang alat
sesuai sang dikehendaki atau dapat mereparasi
alat.
Dalam kehidupan ini tidak lepas dari
pemanfaatan ilmu fisika. Kegiatan dalam
aktifitas kehidupan selalu berkaitan dengan
variabel fisis. Pengaruh langsung dari variabel
46
fisis biasanya berusaha untuk dikendalikan.
Berbagai penelitian dilakukan untuk melakukan
pengendalian variabel fisis agar sesuai dengan
kondisi yang diharapakan. Pengendalian variabel
fisis bisa dalam skala lab atau sudah aplikasi
dilapangan. Secara kecil-kecilan pengujian ada
di lab kemudian diaplikasikan. Namun, untuk
mengetahuhi ketepatan suatu perlakuan variabel
fisis perlu diuji dilapangan (sesuai kebutuhan)
karena bisa jadi variabel lain berpengaru lebih
besar dibanding yang dikendalikan.
Pengendalian variabel fisis ini tidak
lepas dari peralatan. Baik peralatan analob
maupun digital dapat digunakan. Perkembangan
saat ini lebih banyak ke peralatan digital.
Pengendalian variabel fisis ini yang dikendalikan
adalah besarnya. Untuk mengetahui besarnya
perlu pengukuran dengan alat ukur yang
mempunyai akurasi dan presisi yang tinggi.
Kualitas alat ukur dapat diketahui dengan
melakukan kalibrasi dengan mengunakan alat
ukur standar. Pengendalian variable fisis bisa
dialakuakan lebih dari satu variabel.
Penggunaan mikrokontroler dapat memerintah
alat ukur secara otomatis melakukan
pengendalian sesuai dengan kondisi yang
diharakan. Ketika detektor variabel fisis yang
satu menunjukan ambang batas bawah atau
tinggi dengan peranan mikrokontroler untuk
memerintah peralatanan bekerja mengembalikan
kondisi sesuai yang diharapkan.
Variabel fisis yang dapat dikendalikan
salah satunya suhu dan kelembaban. Perlu
pungukuran suhu dan kelembaban untung
mengetahui apakah besarnya sesuai yang
diinginkan atau tidak. Pengukuran suhu dan
kelembaban dapat dilakukan dengan alat yang
terpisah atau jadi satu. Penggunaan sensor
SHT11 salah satu sensor yang tergabung
memjadi satu. Sensor SHT11 saja tidak cukup
untuk menampilkan besar dari suhu dan
kelembaban. Perlu komponen elektonika yang
lain agar sinyal dari sensor dapat ditampilkan.
yaitu penambahan rangkaian mikrokontroler dan
LCD.
Pembuatan alat ukur suhu dan
kelembaban dapat dibuat sendiri tanpa harus
dibuat oleh pabrik. Pembuatan alat ukur suhu
dan kelembaban perlu dikalibrasi dan diuji
akurasi dan presisinya. Pada penelitian ini akan
melakukan pengujian akurasi dari alat ukur suhu
dan kelembaban yang menggunakan sensar
SHT11 dan mikrokonroler ATMEGA 8.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakan masalah
diangkat suatu permasalah penelitian yaitu:
apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara
alat ukur suhu dan kelembapan dengan alat ukur
sekunder suhu dan kelembaban.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengkalibrasi pembuatan alat ukur suhu dan
kelembaban, untuk memperoleh alat ukur yang
mempunyai presisi yang baik dan tingkat akurasi
yang tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA
Sensor Suhu Dan Kelembaban SHTll
SHT11 adalah suatu modul chip multi
sensor suhu dan kelembaban relatif yang
menghasilkan keluaran digital yang terkalibrasi.
Sensor ini handal dan stabil, berupa polimer
kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap
sensor suhu dan kelembaban relatif. Kedua
sifatnya digabungkan tanpa lapisan dari 14bit
analog pada konverter digital dan suatu
rangkaian antarmuka serial pada chip yang sama.
Sensor ini menggunakan antarmuka serial 2-wire
dan regulasi tegangan internal, sehingga
memudahkan dan mempercepat integrasi sistem.
Sensor ini berukuran yang kecil dan konsumsi
dayanya rendah, sehingga banyak dimanfaatkan
dalam berbagai aplikasi.. Berikut merupakan
gambar blok diagram dari SHT11.
47
Gambar 1. Blok Diagram Sensor SHT11
Spesifikasi Antarmuka
Gambar 2. Rangkaian aplikasi sensor
dengan mikrokontroler
a. Pin Daya
SHT11 membutuhkan tegangan antara
2,4 hingga 5,5 V. Setelah hidup alat ini
membutuhkan waktu ll ms untuk mencapai
kondisi "tidur". Tidak ada perintah yang harus
dikirim sebelum waktu itu. Pin power suply
(VDD, GND) dapat dipasang dengan suatu
kapasitor l00 nF.
b. Antarmuka Serial 2-wire (Dwiarah)
Antarmuka serial dari SHT11
dioptimalkan untuk keluaran sensor dan
konsumsi daya, SHTl1 tidak kompatibel dengan
antarmuka 12C.
1) Serial Clock Input (SCK)
SCK digunakan untuk mensinkronkan
komunikasi antara mikrokontroller dan
SHT11. Karena alat penghubung ini terdiri
dari logika static sepenuhnya, maka tidak ada
frekuensi SCK yang minimum.
2) Data Serial (DATA)
Pin DATA tristate digunakan untuk transfer
data masuk dan keluar dari alat. DATA
berubah setelah penurunan dan berlaku pada
kenaikan dari serial clock SCK. Selama
transmisi, garis DATA harus tetap stabil saat
SCK pada kondisi high. Untuk menghindari
kekacauan sinyal, mikrokontroller hanya
perlu pengarah DATA low. Sebuah resistor
pull-up eksternal (contoh 10 kohm)
diwajibkan untuk menarik sinyal high. (Lihat
Gambar 2.12) Resistor pull-up biasanya
sudah termasuk dalam rangkaian I/O dari
mikrokontrollers.
3) Pengiriman Perintah
Untuk memulai suatu transmisi, sekuensial
"Transmission Start" harus dikeluarkan, yang
terdiri dari suatu penurunan garis DATA saat
SCK dalam keadaan high (berlogika 1),
kemudian diikuti oleh suatu pulsa rendah
(berlogika 0) di SCK dan mengangkat
DATA kembali saat SCK masih dalam
keadaan high (berlogika 1).
Perintah berikutnya terdiri dari 3 bit alamat
(bit "000") dan 5 bit perintah. SHT11
menunjukkan penerimaan yang tepat dari
setiap perintah dengan menarik pin DATA
low (ACK bit) setelah penurunan dari clock
SCK ke-8. Garis DATA dilepaskan (dan
menjadi high) setelah penurunan dari clock
SCK ke-9.
Tabel 1. Daftar perintah SHT ll
Command Code
Reserved 0000x
Measure Temperature 00011
Measure Humidity 00101
Read Status Register 00111
Write Status Register 00110
Reserved 0101x-1110x
Soft reset, resets the
interface, clears the status
register to default values,
wait minimum 11 ms
before next command
11110
4) Urutan Pengukuran Suhu dan Kelembaban
(T dan RH)
Setelah mengeluarkan perintah pengukuran
('00000101' untuk RH dan '00000011' untuk
Suhu) mikrokontroler harus menunggu untuk
penyelesaian pengukuran. Hal ini
membutuhkan rata-rata 11/55/210 ms untuk
48
pengukuran 8/12/14 bit. Ketepatan waktu
bervariasi hingga :1:15% dari kecepatan
osilator internal. Untuk penyelesaian sinyal
dari sebuah pengukuran, SHTll menurunkan
garis data dan masuk pada mode idle.
Mikrokontroler harus menunggu hingga
sinyal "data ready" sebelum SCK memulai
kembali untuk mengeluarkan data.
Pengukuran data disimpan hingga
dikeluarkan kembal. Selanjutnya,
mikrokontroler dapat melanjutkan tugas-
tugas berikutnya.
Dua byte dari pengukuran dan satu byte dari
CRC checksum yang kemudian akan
dikirimkan. Mikrokontroler harus menjawab
tiap byte dengan menarik garis DATA
menjadi low. Semua nilai-nilai pertama
adalah MSB (Contohnya SCK kelima adalah
MSB untuk nilai 12bit dan untuk hasil 8bit,
byte pertama tidak dipergunakan).
Komunikasi berakhir setelah menjawab bit
dari CRC data. Jika CRC - 8 checksum tidak
digunakan, maka pengontrol akan
mengakhiri komunikasi setelah pengukuran
data LSB dengan menyimpan ACK high.
Alat secara otomatis kembali pada mode
"sleep" setelah pengukuran dan komunikasi
telah berakhir. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 3. Contoh urutan pengukuran untuk
nilai "0000'1001 '0011 '000'
=2353=75.79%RH
Liquid Crystaldisplay (LCD) SEIKO M1632
Seiko M1632 merupakan LCD dot
matrix yang dapat menampilkan 16 karakter pada
baris atas dan 16 karakter pada baris
dibawahnya. Secara umum model LCD dot
matrix yang dapat menampilkan 2 x 16 karakter
dapat dilihat pada Gambar 4
Gambar 4. LCD Seiko M1632
Standar pin LCD dot matrix Seiko M1632
beserta fungsinya dijelaskan pada Tabel 2.7. Pin
15 hanya dimiliki tipe khusus yang digunakan
untuk mengatur sorot cahaya dari dalam LCD
(background light).
Tabel 2. Fungsi pin-pin LCD
PIN Nama Fungsi
1 Vss Ground
2 Vcc +5V
3 VEE Contrast
4 RS Register Select 0 =
instruction Register (mode
instruksi);
1 = Data Register (mode
Data)
5 R/W Read/Write 0 = mode tulis
(Write); 1 = mode baca
(Read)
6 E Enable 0 = mulai
mengunci data ke LCD; 1
= disable
7-14 DB7-
DB0
Jalur data MSB-LSB
15 BPL Black Plane Light
16 GND Ground voltage
Arsitektur ATMega8
Mikrokontroler ini adalah generasi AVR
(Alf and Vegard’s Risc Processor) dari keluarga
ATMega yang memiliki fasilitas lengkap dengan
arsitektur RICS (Reduced Instruction Set
Computing) 8 bit yang berdaya rendah (low-
power), dimana semua instruksi dikemas dalam
kode 16-bit (16-bit word) dan sebagian
dieksekusi dalam 1 (satu) siklus clock.
49
Gambar 5. pin ATMega8
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan
secara fungsional konfigurasi pin ATMega8
sebagai berikut :
1. VCC merupakan pin yang berfungsi sebagai
pin masukan catu daya
2. GND merupakan pin ground
3. port B (PB0…PB7)/xtal1/xtal2/tosc1/tosc2
merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi
khusus, yautu timer/counter, konparator
analog. Tergantung pada penggabungan
seting pilihan clock, PB6 dapat digunakan
sebagai input ke penguat osilasi inversi dan
input ke internal clock, PB7 dapat digunakan
sebagai output penguat osilasi inversi.
4. port C (PC0…PC5) merupakan pin I/O dua
arah dan pin masukan ADC
5. port D (PD0…PD7) merupakan pin I/O dua
arah dan pin fungsi khusus, yaitu komparator
analog, interupsi eksternal, dan komunikasi
serial
6. reset merupakan pin yang digunakan untuk
me reset mikrokontroler
7. PortC6/Reset, jika RSTDISBL diprogram,
PC6 digunakan sebagai pin I/O.
8. XTAL1 dan XTAL2 merupakan pin masukan
clok eksternal
9. AVCC merupakan pin masukan tegangan
untuk ADC, portC (3..0), dan ADC (7..6).
Note; prtC (5..4) menggunakan suplai
tegangan digital VCC.
10. AREF merupakan pin masukan tegangan
referensi ADC
METODE PENELITIAN
Perancangan Perangkat Keras (Hardware)
Gambar 6. Blok diagram rancangan system
control suhu dan kelembaban
a. Developmen Stystem AVR ATMEGA8
Mikrokontroller AVR jenis ATMega8
akan berfungsi sebagai otak yang menjalankan
instruksi-instruksi yang tersimpan dalam flash
memorinya dengan kapasitas 8 Kbyte.
Kornponen pendukung agar mikrokontroller
bekerja dengan baik maka digunakan juga kristal
dengan kapasitor keramik yang berfungsi sebagai
pembangkit frekuensi (clock generator) dengan
frekuensi 11.0592 MHz dan kaprsitor 22 pF.
Pada pin 20 dan 21 yaitu AVCC dan AREF tidak
dihubungkan ( Not Connected) karena sensor
yang digunakan mempunyai keluaran digital,
sehingga ADC internal yang ada pada
mikrokontroller tidak dipergunakan.
b. Modul Sensor Suhu Dan Kelembaban SHT11 Sensor SHT11 terdiri dari polimer
kapasitif yang men-sensing unsur untuk bandgap
sensor suhu dan sensor kelembatan relatif.
Sensor SHT11 dikalibrasi disebuah ruang
kelembaban presisi. Koefisien-koefisien kalibrasi
diprogram ke dalam memori OTP. Koefisien-
koefisien ini digunakan secara internal selama
pengukuran untuk mengkalibrasi sinyal dari
sensor. Modul sensor suhu dan kelembaban
SHT11 dari Parallax, terdiri dari resistor pull-up
dan resistor pull-down sebagai proteksi. Hal
tersebut dikarenakan sensor SHT11 dapat
berpotensi menjadi output pada saat yang
bersamaan dan pada saat yang berlawanan.
Resistor pull-up dibutuhkan pada garis sinyal
data, yang mana kolektor terbuka dan dapat
dinyatakan oleh salah satu yaitu dari
Modul sensor suhu dan kelembaban SHT11
Mikrokontroler AVR ATMega 8
Display LCD Seiko M1632
Catu Daya 5V
50
mikrokontroler atau sensor SHT11. Untuk
mikrokontroler AVR ATMega8 dapat
menggunakan resistor pull-up internal dengan
cara men-seing port-C menjadi high. Resistor
pull-down direkomendasikan pada garis sinyal
Clock.
Pin DATA sensor SHT11 dihubungkan pada Pin-
Cl pada mikrokontroler sedangkan pin Clock
dihubungkan pada Pin-C0. Sensor SHT11
membutuhkan catu daya 5 Volt.
Gambar 7. Rangkaian modul SHT11
c. Modul LCD M1632
Pembacaan sensor yang telah selesai
diolah oleh mikrokontroler akan ditampilkan ke
LCD. Data dikirim melalui port D ke pin-pin
data LCD, namun sebelumnya LCD harus
diinisialisasi dengan instruksi tertentu terutama
instruksi untuk menentukan lokasi penampil
karakter. Pada perancangannya LCD yang
dipakai menggunakan metode antarmuka 4 bit.
Berikut merupakan koneksi pin LCD dengan
mikrokontroler. Pada mode 4 bit, kondisi RS
berlogika 0 menunjukkan proses penulisan data
akan dikirim. Nible tinggi (bit 7 sampai bit 4)
terlebih dahulu dikirimkan diawali pulsa logika 1
pada pin E. selanjutnya nible rendah (bit 3
sampai bit 0) dikirimkan diawali pulsa logika 1
pada pin E.
Perancangan Perangkat Lunak (Software)
Pembuatan perangkat lunak berupa
program yang akan dimasukkan kedalam
mikrokontroler ATMega8. Program ini
dikembangkan dengan program BASCOM AVR
versi 1.11.7.9 full version, sedangkan untuk
proses download program kedalam
mikrokontroler digunakan software Pony prog
2000. Pemrograman sistem akan membahas
program pengukuran sensor suhu dan
kelembaban. Komunikasi dua arah antara sensor
dan mikrokontroler harus terlebih dahulu direset,
dengan memberikan sinyal high pada pin DATA
dan memberikan clock pada pin SCK sebanyak 9
kali atau lebih. Reset sensor cukup dilakukan
satu kali pada saat memulai program.
a. Program Pengukuran Sensor Suhu dan
Kelembaban
Sebelum melakukan pengukuran suhu dan
kelembaban maka terlebih dahulu harus
ditentukan resolusi bit pengukuran sensor. Pada
program ini resolusi bit dipilih 14 bit untuk suhu
dan 12 bit untuk kelembaban, yang merupakan
default dari resolusi pengukuran sensor SHT11.
Perintah “mulai” dikirim untuk memulai
program pengukuran suhu. Untuk pengukuran
suhu maka akan dikirim perintah ‘00000011’,
pada pin DATA sensor. Pengukuran suhu dengan
resolusi 14bit membutuhkan waktu 210 ms
hingga pengukuran selesai. Untuk penyelesaian
sinyal dari sebuah pengukuran, SHT11
menurunkan garis DATA dan masuk pada mode
idle. Mikrokontroler harus menunggu sinyal
“data ready” sebelum SCK memulai kembali
untuk mengeluarkan data, selanjutnya data
diterima dari sensor. Dua byte dari pengukuran,
yaitu nilai MSB dan LSB dan satu byte dari CRC
checksum yang kemudian akan dikirim.
Mikrokontroler harus menjawab tiap byte dengan
menarik garis DATA menjadi low, setelah itu
dua byte hasil pengukuran data diolah pada
rumus perhitungan suhu.
Suhu (T0C) = d1 + d2*SOT
Selanjutnya pengukuran kelembaban
dimulai dengan mengirimkan perintah “mulai”
yang disusul dengan perintah untuk mengukur
kelembaban yaitu ‘00000101’. Pengukuran
kelembaban dengan resolusi 12bit membutuhkan
waktu 55 ms hingga pengukuran selesai.
Selanjutnya penerimaan data pada pengukuran
kelembaban sama dengan penerimaan data untuk
pengukuran suhu, hanya saja data hasil
pengukurannya berbeda. Hasil pengukuran data
kemudian diolah pada rumus perhitungan
kelembaban.
RHlinier = c1 + c2*SORH + c3*SORH2
RHtrue = (T0C-25)*(t1 + t2*SORH) + RHlinier
Hasil pengolahan rumus ditampilkan
pada LCD. Sebelum menuju pada program
51
selanjutnya, diberi delay sekitar 500 ms. Berikut
diagram alir pengukuran suhu dan kelembaban.
b. Diagram alir pengukuran suhu dan kelembaban
Gambar 8. Diagram alir awal program
pengukuran suhu dan kelembaban Mulai
Konfigurasi
Register & Clock
Konfigurasi Lcd &
pin Lcd
Konfigurasi Tipe
data variabel
Konfigurasi data
konstan
Inisialisasi Port
Deklarasi
prosedur
Reset sensor
Subrutin akses
sensor suhu
Kalkulasi hasil
pembacaan data
Konversi karakter
numerik ke string
Subrutin akses
sensor
Kelembaban
Kalkulasi hasil
pembacaan data
Konversi karakter
numerik ke string
Tampilkan di baris
atas
Tampilkan di baris
atas
Gambar 9. Diagram alir utama program
pengukuran suhu dan kelembaban
Data di
terima semua oleh
sensor ?
Mulai
Konfigurasi Tipe
data variabel
Kirim sinyal start
Kirim data akses
sensor
konfigurasi pin
input
Tunda 10
mikrosekon
Kirim sinyal klok
Penunda
Tidak
Ambil data dari
sensor & salin ke
databyte
Ya
Salin databyte ke
datavalue
konfigurasi pin
output
Kirim sinyal
acknowledge
Ambil data dari
sensor & salin ke
databyte
Geser ke kiri 8X
nilai datavalue
Datavalue =
Datavalue
Or databyte
Dataword =
Datavalue
konfigurasi pin
input
konfigurasi pin
output
Kirim sinyal
acknowledge
konfigurasi pin
input
Ambil data dari
sensor & salin ke
databyte
konfigurasi pin
output
Kirim sinyal
acknowledge
Selesai
Gambar 10. Diagram alir sub rutin pengukuran
suhu dan kelembaban
c. Implementasi Rangkaian Berikut ini implementasi rangkaian
mikrokontroler mrngunakan ATMEGA 8:
Gambar 11. Rangkaian Mikrokontroler
Penulisan Program
Program yang dimasukkan ke
mikrokontroler ditulis dalam bahasa basic
dengan menggunakan editor BASCOM AVR
versi 1.11.7.9 full version. BASCOM AVR
adalah program BASIC compiler berbasis
window untuk mikrokontroler keluarga AVR.
BASCOM AVR merupakan pemrograman
dengan bahasa tingkat tinggi BASIC yang
dikembangkan dan dikeluarkan oleh MCS
Electronic. Penggunaan bahasa tingkat tinggi
BASIC memberikan bagi programmer untuk
melakukan pemrograman juga dilengkapi dengan
Start
C1 = -4 C2 = 0.0405
C3 = -0.0000028 T1 = .01
T2 = .00008 Ddrb =225 Portb = 0
Ddra = $B11111111 Cursor LCD Off
Clear Screen LCD
Tampilan Pada LCD
Reset komunikasi 2 arah
52
simulator yang memudahkan pengguna
mensimulasikan hasil pemrograman.
Gambar 12. Tampilan program BASCOM AVR
Sebelum penulisan program dimulai.
Gambar 13. Konfigurasi chip pada BASCOM
AVR options
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Pengujian Pengukuran Suhu dan
Kelembaban
Tabel 3. Look up table dari pembacaan oleh
ADC mikrokontrler dan pengukuran temperature
menggunakan thermometer.
Pembacaan ADC
Mikrokontroler
Pembacaan
Termometer 49.72 45
47.56 43
45.72 42
44.05 40
42.72 39
41.61 38
40.60 37
39.77 37
39.05 36
38.35 36
37.79 36
37.32 35
36.84 35
36.42 34
36.03 34
Tabel 4. Look Tabel IV.1 Look up table dari
pembacaan oleh ADC mikrokontrler dan
pengukuran temperature menggunakan
thermometer (lanjutan)
Pembacaan ADC
Mikrokontroler
Pembacaan
Termometer 33.91 33
33.70 32
33.54 32
33.34 32
33.17 32
33.04 32
32.86 32
32.70 32
32.60 31
Look up table dari pembacaan (lanjutan).
Pembacaan ADC
mikrokontroler
Pembacaan
Termometer (1) (2)
49.15 48
46.52 42
45.00 40
43.64 39
42.55 38
41.79 37
40.84 36
39.92 36
39.40 36
38.85 35
38.35 35
37.85 34
37.42 34
36.90 34
36.65 34
36.33 34
36.02 33
35.76 33
35.50 33
35.26 33
35.00 33
34.82 33
34.63 32
34.46 32
34.27 32
34.13 32
33.97 32
33.83 32
33.70 32
Tabel 5. Look up table dari pembacaan oleh
ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban
mennggunakan hygrometer
53
Pembacaan ADC
Mikrokontroler
Pembacaan
Hygrometer
29.93 43
32.02 43
34.30 44
36.28 44
37.96 45
39.70 46
41.16 46
42.68 47
43.78 47
44.88 49
45.88 50
46.68 50
47.54 51
48.36 52
49.05 52
49.65 53
50.21 54
50.54 54
51.10 54
51.56 55
51.96 56
52.36 56
Tabel 6. Look up table dari pembacaan oleh
ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban
mennggunakan hygrometer (lanjutan).
Pembacaan ADC
Mikrokontroler
Pembacaan
Hygrometer
52.78 56
53.08 57
53.45 57
53.75 58
54.05 58
54.35 58
54.59 59
54.82 59
55.00 59
Tabel 7. Look up table dari pembacaan oleh
ADC mikrokontrler dan pengukuran kelembaban
mennggunakan hygrometer (lanjutan).
Pembacaan ADC
mikrokontroler
Pembacaan
Hygrometer
29.75 47
32.96 48
34.61 48
36.35 48.5
37.90 49
39.01 49.5
40.31 50.5
41.36 51
Pembacaan ADC
mikrokontroler
Pembacaan
Hygrometer
42.37 51.5
43.25 52
44.09 53
44.87 53.5
45.54 54
46.15 54.5
46.88 55
47.42 55.5
47.88 56
48.33 56
48.76 56.5
49.13 56.5
Pengolahan Data
Pengolahan data dari hasil pengujian alat
ukur dengan menggunakan uji t. Hasil pengujian
sebagaimana pada lampiran 1.
Selain itu untuk pengujian presisi dan tingkat
akurasi alat ukur suhu dan kelembaban yaitu
dengan menggunakan kaleidaGraf.
Grafik hubungan antara suhu, dan kelembaban
pada akibat penyetelan sistem kontrol dan suhu
serta kelembaban akibat pembacaan pada
thermometer serta higrometer.
Grafik 1. hubungan antara temperatur dan
waktu
54
Grafik 2. hubungan antara kelembaban dan
waktu
PEMBAHASAN
Data yang diperoleh untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan yang signifikan dari kedua
alat ukur sensor SHT11 dan termoeter untuk
suhu, dan sensor SHT11 dan hygrometer
dilakukan uji t. hasli uji t ditunjukan pada
lampiran 1.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan
uji-t diperoleh tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam pengukuran suhu
menggunakan sensor SHT11 dan thermometer
dan kelembaban mengunakan sensor SHT dan
hygrometer. Berdasar pada hasil analisis
menggunakan taraf / interval kepercayaan 95%
diperoleh tingkat signifikansi 0,000 baik untuk
suhu maupun kelembaban. Hasil ini menujukan
bahwa hasil pengukuran alat ukur sensor SHT11
dan suhu, sensor SHT11 dan hygrometer tidak
ada bedanya dengan interval kepercayaan 95%.
Grafik 1V.1 menunjukan hubungan antara
temperatur dan waktu dengan alat ukur sensor
SHT11 dan termometer. Grafik ini menunjuk
respon sensor dan termometer terhadap sinyal.
Respon sensor SHT11 lebih baik dibandingkan
dengan termometer . Hal ini dapat ditunjukan
dengan kehalusan grafik/ titik-titik cenderung
mengumpul menbentuk garis. Semakin titik-titik
mengumpul menbentuk garis menunjukan bahwa
simpangan titik-titik data dari nilai sesungguhnya
adalah kecil. Grafik yang sudah titik-titiknya
mengumpul membentuk garis dapat dikatakan
hasil ukurnya akurat atau mendekati nilai
sebenarnya.
Pada grafik IV.1 time respon sensor SHT
dan termometer sama pada suhi yang tinggi yaitu
sekitar 50 0C. Hal ini menunjukan kedua alat
ukur akan sama-sama segera merespon sinyal
yang ada. Pada suhu rendah sensor SHT 11 lebih
cepat merespon yang ditukjukan dengan data
yang segera berubah ketika ada perubahan suhu.
Grafik hubungan antara kelembaban dan
waktu ditunjukan pada grafik IV.2. Perbandingan
time respon antara sensor SHT11 dan
hygrometer lebih baik sensor SHT11. Hal ini
ditunjukan data yangdiperoleh segera berubah
jika ada perubahan kelembaban. Grafik yang
ditunjukan oleh sensor SHT11 lebih cenderung
membentuk garis yang lebih mengumpul
membentuk garis. Bentuk grafik yang cenderung
lebih membentuk garis juga menunjukan hasil
ukurnya lebih akurat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data dengan
menggunakan uji t tidak ada perbedaan yang
signifikan antara sensor SHT11 dan
thermometer, serta hasil ukur antara sensor
SHT11 dengan hygrometer.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2008), Temperature and Hummidity
Sensor SHT1x,
http://www.sensirion.com, Akses
tanggal 30 April 2008
Anonim, (2008), Atmel 8bit AVR
Mocrocontroler with 8K Bytes in
System Programmable Flash
ATMega8, http://www.mcs-
electronic.com, Akses tanggal 30 April
2008
Rahmana D R, (2007), Prototipe Sistem Kendali
Suhu dan Kelembaban pada Growth
Chamber, Skripsi Jurusan Fisika UGM
Wardhana L, (2006), Belajar Sendiri
Mikrokontroler AVR Seri
ATMega8535, Penerbit Andi,
Yogyakarta
55
ANALISIS NILAI UJIAN NASIONAL MATAPELAJARAN KIMIA DAN
IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB MENURUNNYA NILAI UN KIMIA DI
KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 20101
Penelitian Pemetaan dan pengembangan Mutu Pendidikan Sultra (PPMP) tahun 2011.
Oleh:
La Rudi2
Abstrak. Perolehan Nilai Ujian nasional matapelajaran Kimia SMAN di Kabupaten
Konawe Selatan untuk tahun 2008 s.d 2010 cenderung menurun baik rentang perolehan
nilai maupun nilai rata-rata, dimana tahun 2008 yang memperoleh rentang nilai 9.00 -10
sebanyak 14,3%, tahun 2009 sebanyak 57,16% dan pada tahun 2010 tidak ada yang
mendapat nilai > 9. Sama halnya dengan rentang nilai 8.00 - 8,99 persentase jumlah
siswa juga menurun. Persentase yang meningkat adalah yang mendapaatkan nilai < 6.
Pada tahun ajaran 2009, tidak ada ssiswa yang mendapat nilai < 6, namun pada tahun
2010, jumlah siswa yang mendapat nilai < 6 sebanyak 14,1%. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi menurunya nilai UN matapelajaran Kimia berdasarkan hasil
penelitian melalui FGD diantaranya adalah sebagian guru matapelajaran kimia kurang
memperhatikan ketuntasan belajar siswa, materi yang susah dipahami siswa tidak
diperdalam pembahasanya, guru dalam mengajar umumnya menggunakan metode
ceramah dan latihan soal, minat siswa dalam belajar rendah, sangat sedikit siswa yang
mau bertanya pada saat pembelajaran, terbatasnya fasilitas laboratorium sehingga
kegiatan praktikum yang dapat meningkatkan minat siswa tidak terlaksana serta
terbatasnya buku paket yang dimiliki oleh siswa.
Kata Kunci: Nilai UN Kimia Konsel, Faktor penyebab rendahnya UN Kimia, FGD.
1 Ringkasan hasil Penelitian Tahun 2011 2 Dosen Pend. Kimia FKIP Universitas Halu Oleo
Latar Belakang
Hakikat kegiatan evaluasi di dunia
pendidikan (khususnya di sekolah) adalah untuk
mengetahui sejauh mana tujuan pelajaran yang
(dirumuskan) ingin dicapai oleh seorang
pengajar dapat tercapai. Hal tersebut bermanfaat
sebagai in-put kepada pendidik dalam merancang
menu pelajaran berikutnya. Jika peserta didik
belum memahami atau belum menguasai
pelajaran awal maka pengajar tersebut belum
dapat melanjutkan ke materi pelajaran
selanjutnya. Ia juga perlu melakukan refleksi
tentang apa yang kurang atau yang salah dari
proses pembelajaran yang sudah ia lakukan
kepada para pelajar tersebut.
Undang-Undang No. 20/2003 Pasal 57
(1): evaluasi dilakukan dalam rangka
pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) : Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,
lembaga dan program pendidikan pada jalur
formal dan non formal untuk semua jenjang,
satuan dan jenis pendidikan.
Pasal 58 (1): Evaluasi peserta didik, satuan
pendidikan, dan program pendidikan dilakukan
oleh lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk
menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Tujuan evaluasi adalah untuk Menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
56
Dalam perspektif pendidikan
transformative, maka hakikat evaluasi adalah
untuk mengukur sejauh mana seorang pengajar
mampu mengubah wawasan, pengetahuan,
keterampilan dan perilaku peserta didik sesuai
yang ia harapkan. Untuk melakukan perubahan
tersebut, seorang pengajar melakukan dan
menggunkan berbagai trik, alat/tools, media,
strategi, pendekatan, dan metode. Ruang lingkup,
ritme dan tempo perubahan yang terjadi pada
peserta belajar antara lain ditentukan oleh faktor-
faktor tersebut (trik, alat/tools, media, strategi,
pendekatan, dan metode yang digunakan). Oleh
karena itu, kegiatan evaluasi sesungguhnya
adalah proses yang diperuntukkan kepada para
tenaga pengajar/guru/pendidik bahkan kepala
sekolah, bukan sebaliknya untuk pelajar/anak
sekolah. Jika hasil evaluasi menunjukkan hasil
belajar yang rendah, itu merupakan masukan
kepada para guru untuk merancang trik, metode,
dan pendekatan yang berbeda (baru) dalam
memberikan pelajaran, bukan lalu menghukum
atau menyalahkan siswa atau murid.
Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan
pengukuran dan penilaian kompetensi siswa
secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Ujian ini bertujuan menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu yaitu ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hasil UN digunakan sebagai salah
satu pertimbangan untuk pemetaan mutu
pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, serta sebagai penentuan kelulusan
siswa. Salah satu matapelajaran yang diujikan
secara nasional adalah matapelajaran kimia.
Berdasarkan data Nilai UN Murni dalam kurun
waktu pada tahun 2009 s.d tahun 2010 yang
diperoleh dari Data Laporan Hasil UN dari Tahun
Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat
Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas –
BNSP Tahun 2011, nilai UN Kimia di Kabupaten
Konawe Selatan cenderung menurun, dimana
tahun 2009 tidak ada siswa yang mendapat nilai <
6 dengan perolehan nilai tertinggi adalah 9,35.
Namun pada tahun 2010 siswa yang mendapat
nilai terendah adalah 2 dan yang tertinggi 8,31. Hal
ini diperkuat juga dari hasil diskusi dengan
beberapa guru matapelajaran kimia di kabupaten
konawe selatan, didapatkan informasi bahwa
tingkat penguasaan materi kimia masih rendah dan
setiap tahunnya nilai yang diperoleh siswa
berfluktuatif.
Dari data tersebut diatas, maka dilakukan
analisis pemetaan dan identifikasi faktor-faktor
penyebab menurunnya nilai UN Kimia tahun
2010 di Kabupaten Konawe Selatan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Gambaran pemetaan kompetensi dasar
matapelajaran Kimia siswa SMA di
kabupaten Konawe dalam UN tahun 2008 s.d
tahun 2010.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
nilai UN Kimia dalam UN tahun 2010 di
Kabupaten Konawe Selatan.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk :
1. Menghasilkan suatu dokumen untuk
mengidentifikasi penyebab rendahnya nilai
matapelajaran kimia
2. Memberikan acuan untuk pengembangan
suatu kaji tindak lanjut berdasarkan temuan-
temuan dari penelitian ini bagi pihak yang
peduli, khususnya bagi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo
sebagai salah satu LTPK yang ikut
bertanggung jawab dengan mutu pendidikan
di wilayah Sulawesi Tenggara.
3. Meningkatkan rasa ikut bertanggungjawab
kepada tenaga pendidik dan dinas
pendidikan, sehingga upaya meningkatkan
kompetensi siswa dapat dioptimalkan oleh
seluruh stake holder, utamanya yang
berhubungan secara langsung dengan proses
pembelajaran.
TINJAUAN PUSTAKA
Mutu Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, mutu adalah
agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang
paling penting. Para pakar pendidikan memiliki
kesimpulan yang berbeda tentang bagaimana
cara menciptakan lembaga pendidikan yang
bermutu dengan baik. Menurut Depdiknas,
(2002) Mutu secara umum di definisikan sebagai
gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
57
barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan
yang di harapkan. Dalam defenisi yang absolut,
sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari
istandar yang sangat tinggi dan tidak dapat
diungguli. Sedangkan mutu yang relatif
dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada
sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan
pelanggan. Untuk itu dalam defenisi relatif ini
produk atau layanan akan dianggap bermutu,
bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi ia
memiliki nilai misalnya keaslian produk, wajar
dan familiar.
Mutu dalam konteks "hasil pendidikan"
mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah
pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap
akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun,
bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau
hasil pendidikan (student achievement) dapat
berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya
ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula
prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu
cabang olahraga, seni atau keterampilan
tambahan tertentu, misalnya: komputer, beragam
jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat
berupa kondisi yang tidak dapat dipegang
(intangible), seperti: suasana disiplin, keakraban,
saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang
bermutu saling berhubungan. Akan tetapi, agar
proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu
dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan
lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target
yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun
waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus
selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang
ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab
sekolah dalam school based quality improvement
bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab
akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk
mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh
sekolah terutama yang menyangkut aspek
kemampuan akademik atau "kognitif" dapat
dilakukan benchmarking (menggunakan titik
acuan standar, misalnya: NEM oleh PKG atau
MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil
pendidikan pada tiap sekolah, baik yang sudah
ada patokannya (benchmarking) maupun yang
lain (kegiatan ekstrakurikuler) dilakukan oleh
individu sekolah sebagai evaluasi diri dan
dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu
dan proses pendidikan tahun berikutnya.
Sedangkan dalam konteks pendidikan
sebagai suatu sistem, maka pencapaian standar
proses untuk meningkatkan mutu pendidikan
dimulai dari menganalisis setiap komponen yang
dapat membentuk dan mempengaruhi proses
pendidikan tersebut. Terdapat banyak faktor
penentu mutu pendidikan yang dikemukakan
oleh Sanjaya (2006) meliputi:
a) Tujuan
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai
sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan
proses belajar mengajar berpangkal tolak
dari jelas tidaknya perumusan tujuan
pengajaran.
b) Guru
Guru adalah komponen yang sangat
menentukan dalam implementasi suatu
strategi pembelajaran. Keberhasilan
implementasi suatu strategi pembelajaran
akan tergantung pada kepiawaian guru dalam
menggunakan metode, teknik dan strategi
pembelajaran. Dunkin (1974)
mengemukakan beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi kualitas proses pembelajaran
dilihat dari faktor guru diantaranya: (1)
Teacher formative experience, meliputi jenis
kelamin serta semua pengalaman hidup guru
yang menjadi latar belakang sosial mereka;
(2) Teacher training experience, meliputi
pengalaman-pengalaman yang berhubungan
dengan aktivitas dan latar belakang
pendidikan guru misalnya pengalaman
latihan profesional, tingkatan pendidikan,
pengalaman jabatan; dan (3) Teacher
properties, adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru
misalnya, kemampuan atau intelegensi guru,
motivasi dan kemampuan dalam penguasaan
materi.
c) Anak Didik (siswa)
Menurut Dunkin (1974), faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembelajaran dilihat
dari aspek siswa meliputi : (1) Latar
belakang siswa (pupil formative experience);
58
dan (2) Sifat yang dimiliki siswa (pupil
properties).
d) Sarana dan prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang
mendukung secara langsung terhadap
kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan
prasarana adalah segala sesuatu yang secara
tidak langsung dapat mendukung
keberhasilan proses pembelajaran.
Kelengkapan sarana dan prasarana akan
membantu guru dalam menyelenggarakan
proses pembelajaran.
e) Kegiatan pembelajaran
Pola umum kegiatan pembelajaran adalah
terjadinya interaksi antara guru dan anak
didik dengan bahan sebagai perantaranya.
f) Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua
faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran yaitu: (1) Faktor organisasi
kelas, yang di dalamnya meliputi jumlah
siswa dalam satu kelas merupakan aspek
penting yang bisa mempengaruhi proses
pembelajaran dan (2) Faktor iklim sosial–
psikologis meliputi keharmonisan hubungan
antara orang yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
g) Bahan dan alat evaluasi
Bahan dan alat evaluasi adalah suatu bahan
dan alat yang terdapat di dalam kurikulum
yang sudah dipelajari oleh anak didik guna
kepentingan ulangan.
h) Suasana evaluasi
Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan
di dalam kelas. Semua anak didik dibagi
menurut kelas masing-masing dan tingkatan
masing-masing. Besar kecilnya jumlah anak
didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan
mempengaruhi suasana kelas sekaligus
mempengaruhi suasana evaluasi yang
dilaksanakan.
Lebih lanjut, komitmen pemerintah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
telah dituangkan dalam Permendiknas Nomor 63
tahun 2009 berupa suatu model sistem
penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Dalam
implementasinya model ini terdiri dari 3 (tiga)
kegiatan inti yang meliputi: pengkajian mutu,
analisis dan pelaporan, serta peningkatan mutu.
Sebagai acuan atau tolok ukur mutu pendidikan
adalah Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1)
Standar Isi; (2) Standar Kompetensi Lulusan; (3)
Standar Penilaian; (4) Standar Proses; (5)
Standar Pengelolaan; (6) Standar Sarana dan
Prasarana; (7) Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan; dan (8) Standar Pembiayaan.
Sehingga diharapkan dokumen delapan standar
nasional pendidikan ini menjadi dokumen wajib
bagi setiap sekolah untuk dimiliki, dikaji,
dianalisis dan diimplementasikan di sekolah
masing-masing.
Kompetensi siswa
Kompetensi adalah kemampuan yang
harus dikuasai seseorang. Becker, (1977) dan
Gordon, (1988) mengemukakan bahwa
kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam
dokumen kurikulum (Boediono, 2000:4)
mengemukakan bahwa kemampuan dasar
diartikan sebagai uraian kemampuan atas bahan
dan lingkup ajar secara maju dan berkelanjutan
seiring dengan perjalanan siswa untuk menjadi
mahir dalam bahan dan lingkup ajar yang
bersangkutan. Bahan ajar itu sendiri dapat
berupa : lahan ajar, gugus isi, proses, dan
pengertian konsep”. Kemudian, dokumen
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang
diterbitkan bulan Agustus 2001, Balitbang
mengganti istilah kemampuan dasar dengan
kompetensi. Kompetensi dirumuskan sebagai
berikut: “kompetensi dasar merupakan uraian
kemampuan yang memadai atas pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mengenai materi pokok.
Kemampuan itu harus dikembangkan secara
maju dan berkelanjutan seiring dengan
perkembangan siswa”. Selanjutnya dikemukakan
“dalam kurikulum berbasis kompetensi, metode,
penilaian, sarana dan alokasi waktu yang
digunakan tidak dicantumkan agar guru dapat
mengembangkan kurikulum secara optimal
berdasarkan kompetensi yang harus diicapai dan
disesuaikan dengan kondisi setempat.”
(Balitbang, 2001).
Pengertian kompetensi diartikan sebagai
kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta
didik. Dalam pengertian ini berbagai definisi
59
telah dikemukakan orang. Selanjutnya,
Tucker dan Coding, (1998) standar dirumuskan
sebagai pernyataan mengenai kualitas yang harus
dikuasai dan dapat dilakukan siswa dalam suatu
pelajaran, yang ditentukan sejak awal, disetujui
oleh para akhli pendidikan dan masyarakat,
terukur, dan digunakan untuk mengembangkan
materi, proses belajar serta evaluasi hasil belajar.
Sehubungan dengan kompetensi seorang siswa,
pemerintah telah menyatakan merumuskan
standar kompetensi lulusan (SKL) yang
merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap pengetahuan dan keterampilan
(Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab I
Pasal 1 butir 4).
Komponen SKL terdiri atas SKL Satuan
Pendidikan, SKL Kelompok Mata Pelajaran' dan
SKL Mata Pelajaran (Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006). Sedangkan SKL
Ujian merupakan representasi dari keseluruhan
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD) mata pelajaran; Standar Kompetensi
Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah digunakan sebagai pedoman penilaian
dalam menentukan kelulusan peserta didik (Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006'
pasal 1 ayat 1).
Dalam proses memberikan analisis SKL
dijelaskan sebagai berikut:
Analisis substansi SKL dan hubungannya dengan
Standar Isi untuk pengembangan KTSP' Silabus
dan RPP; Analisis Pemetaan Pencapaian SKL
untuk membandingkan antara kondisi ideal dan
kondisi riil SMA dalam mencapai pemenuhan
Standar Kompetensi Lulusan' dilanjutkan dengan
identifikasi kesenjangan dan perumusan rencana tindak
lanjut yang harus dilakukan oleh sekolah. Hasil
analisis ini digunakan sebagai bahan dalam
penyusunan rencana jangka menengah (RKJM -
4 tahunan) dan rencana kerja dan anggaran sekolah
(RKAS - tahunan).
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan
observasi eksploratif dengan menggunakan
teknik wawancara. Kegiatan wawancara
langsung dengan guru matapelajaran kimia untuk
melakukan identifikasi faktor penyebab
rendahnya nilai ujian nasional matapelajaran
kimia melalui kegiatan focus group discussion
(FGD), Indepth interview, observasi kelas,
wawancara dan observasi kompetensi guru,
analisis dokumen pendukung, dan kegiatan lain
yang mendukung tercapainya tujuan penelitian.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Oktober 2011 dan Bulan November 2012 di
wilayah kerja Dinas Pendidikan Kabupaten
Konawe Selatan pada sekolah yang dijadikan
sampel.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri
dari :
1. Data sekunder, yaitu hasil UN tahun 2008,
2009, dan 2010 pada sekolah rayon di
Kabupaten Konawe Selatan pada sekolah
yang dijadikan sampel, dan sumber lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Data primer, yaitu hasil kegiatan lapangan
yang diperoleh melalui FGD, angket, indepth
interview, observasi kelas, dan seluruh hasil
pengamatan dari tim peneliti selama
melaksanakan penelitian.
Sampel Penelitian
Untuk keperluan ke lapangan, maka
peneliti menggunakan sampel sekolah dan
sampel guru. Penentuan sampel sekolah dan guru
menggunakan teknik purposive sampling dengan
asumsi bahwa semua sekolah adalah jenjang
yang sama yaitu jenjang SMA dengan
menggunakan kurikulum KTSP. Sampel
penelitian tersebut meliputi 4 sekolah yang ada.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan
metode observasi kelas, studi dokumentasi, FGD,
indept interview, dan kuisioner.
1. Studi dokumentasi
Dokumen yang menadi data adalah
rombongan belajar, tenaga guru, fasilitas,
kurikulum, nilai-nilai siswa dan lainnya.
60
2. Observasi kelas
Observasi kelas yang dilakukan meliputi
proses belajar mengajar, kondisi sarana
prasarana, dan lainnya.
3. Focus Group Discussion
Kegiatan FGD adalah upaya untuk meminta
konfirmasi dan tanggapan terhadap data yang
berhasil dikumpulkan. Responden yang
terlibat dalam kegiatan FGD adalah guru
matapelajaran Kimia.
4. Kuisioner
Data yang dikumpulkan melalui kuisioner
adalah data tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi pencapaian kompetensi dasar
siswa. Responden adalah guru mata
pelajaran kimia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Nilai UN Murni Tahun 2008-2011
di kabupaten Konawe Selatan
Distribusi nilai ujian nasional untuk
matapelajaran kimia pada sekolah sampel yang
ada di kabupaten konawe selatan untuk tahun
2008 sampai 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase Rentang Nilai UN Kimia
pada sekolah sampel.
RENTANG TAHUN PELAJARAN
2008 2009 2010
9,00 - 10,00 14.30 57.16 0.00
8,00 - 8,99 52.00 30.79 26.55
7,00 - 7,99 20.70 6.71 41.50
6,00 - 6,99 7.70 0.15 20.87
5,00 - 5,99 3.45 0.00 5.50
4,00 - 4,99 1.55 0.00 3.04
3,00 - 3, 99 0.17 0.00 1.32
2,00 - 2, 99 0.00 0.00 1.55
Sumber Data: Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan
bahwa secara kumulatif rerata nilai UN
matapelajaran kimia tergolong kategori baik,
namun perolehan setiap tahunya cenderung
menurun, seperti tampak pada grafik berikut.
Sumber: data penelitian diolah
Grafik 1. Nilai UN Matapelajaran Kimia
di Kabupaten Konawe Selatan tahun ajaran
2008 s.d tahun 2010
Dari data tersebut diatas, diperoleh
bahwa nilai UN matapelajaran Kimia setiap
tahunya berfluktuatif. Rentang nilai pada tahun
ajaran 2009 tergolong tinggi, dimana rentang
nilai 8 – 10 sebanyak 87,95% siswa, sedangkan
nilai terendah rentang nilai 7,00 – 7, 99 sebanyak
0,15 % siswa, artinya tidak ada siswa yang
mendapat nilai < 7. Dengan nilai tertinggi pada
tahun ajaran 2009 adalah 9,35. Namun pada
tahun ajaran 2010 nilai siswa menurun drastis,
dimana nilai tertinggi adalah 8,31. Rentang nilai
yang diperoleh siswa juga menurun dimana yang
memperoleh rentang nilai 8-10 sebanyak
26,55%, rentang 7-7,99 sebanyak 41,50%, dan
rentang 6-6,99 sebanyak 20,87%.
Untuk perolehan nilai tertinggi
matapelajaran kimia setiap tahunnya juga
berfluktuatif disetiap sekolahnya seperti terlihat
pada tabel dan grafik dibawah ini.
05
101520253035404550556065
9,00 -10,00
8,00 -8,99
7,00 -7,99
6,00 -6,99
5,00 -5,99
4,00 -4,99
3,00 -3, 99
2,00 -2, 99
Pe
rse
nta
se
sis
wa
Rentang Nilai
KURVA PERSENTASE RENTANG PEROLEHAN NILAI UN KIMIA
KAB. KONSEL
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
61
Tabel 2. Perolehan nilai tertinggi UN Matapelajaran Kimia di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008
s.d tahun 2010
NO NAMA SEKOLAH NILAI TERTINGGI
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
7.57 8.48 7.57
2 SMA Negeri Angata 5.74 7.98 6.82
3 SMA Negeri Kolono 7.52 8.92 6.91
4 SMA Negeri 1 Konda 7.37 8.47 6.23
5 SMA Negeri 1 Lainea 8.52 9.27 7.2
6 SMA Negeri 1 Landono 8.51 8.89 5.63
7 SMA Negeri 1 Moramo 8.08 9 7.11
8 SMA Negeri 1 Palangga 7.9 8.87 7.15
9 SMA Negeri 1 Ranomeeto 8.46 9.35 8.31
10 SMA Negeri 1 Tinanggea 8.58 8.95 7.96
Sumber Data : Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
Grafik 2. Perolehan nilai tertinggi UN Kimia di Kabupaten Konawe Selatan tahun ajaran 2008 s.d tahun 2010
Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai pada Mata Pelajaran UN di Kabupaten Konawe
Selatan Tahun 2008-2010
Tabel 3. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008
Kemampuan Yang Diuji Rayon Prop Nas
Menentukan nama proses pembuatan/pengolahan unsur/senyawa dr
suatu wacana 11.55 15.47 63.42
Memilih kegunaan protein dr beberapa kegunaan makanan dlm tubuh 39.31 39.42 70.59
Menentukan isomer fungsi/posisi dr senyawa alkanol 43.62 40.14 67.51
Menentukan contoh penerapan sifat koloid tertentu 44.14 47.76 66.37
Menentukn diagram sel utk menggbrkan proses sel volta 48.10 65.04 77.28
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nila
i
Nama Sekolah
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
62
Kemampuan Yang Diuji Rayon Prop Nas
Dari tbl hasil pembakaran, tentukan bhn bakar yg bil oktannya
besar/kecil 53.10 60.45 72.87
Menentukan harga ph air limbah dr tbl uji beberapa air limbah dgn
indicator 59.83 61.26 42.53
Tabel 4. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kemampuan Yang Diuji Rayon Prop Nas
Menghitung DH reaksi jk parameternya diket dr proses
pelarutan/pembakaran zat hingga terjadi perubahan 53.74 49.51 49.87
Memilih gbr yg laju reaksinya dipengaruhi oleh faktor tertentu dr
beberapa gbr proses pelarutan 59.85 63.99 71.98
Tabel 5. Kompetensi Dasar Siswa yang Belum Tercapai Jurusan IPA Mata Pelajaran Kimia di
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2010
Kemampuan Yang Diuji Rayon Prop Nas
Menentukan sepasang data yg berhub scr tepat dr tabel batuan&unsur yg
dikandung 28.92 35.09 65.16
Menganalisis grafik PT sesuai sifat koligatif larutan dg tepat 30.12 37.64 57.30
Menentukan gbr hasil pergeseran kesetimbangan sesaat jika kondisinya
diketahui 34.04 51.66 78.09
Menghitung ?H reaksi jika parameternya diketahui dlm proses
pelarutan/pembakaran 35.24 41.66 67.25
Menentukan urutan kenaikan/penurunan nomor atom unsur-unsur 40.66 43.35 77.05
Menentukan kegunaan suatu makromolekul berdasarkan informasi yg
diberikan 41.87 52.27 62.12
Menentukan harga pH air limbah berdasarkan tabel hasil uji beberapa air
limbah 43.68 59.84 58.70
Menentukan nama proses pengolahan untuk memperoleh unsur tertentu 49.10 48.06 58.24
Menentukan gbr partikel zat terlarut pd larutan yg sukar menguap
memiliki sifat koligatif 50.30 62.31 66.15
Menentukan korosi yg paling cepat/lambat terjadi sesuai gambar 57.23 80.89 70.87
Menghitung laju reaksi pd konsentrasi dari data eksperimen &
persamaan reaksinya 57.53 78.70 79.10
Sumber Data: Laporan Hasil UN dari Tahun Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
63
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian Kompetensi Dasar UN Kimia di
Kabupaten Konawe Selatan.
Pada bagian ini akan disajikan faktor-
faktor yang mempengaruhi menurunya
pencapaian nilai UN Kimia di kabupaten
Konawe Selatan. Data data tentang faktor yang
mempengaruhi menurunya nilai UN Kimia pada
tahun 2010 dan banyaknya kompetensi yang
tidak tercapai, diperoleh dari hasil pengumpulan
data pada sekolah yang menjadi sampel
penelitian. Faktor-faktor yang digali
informasinnya berdasarkan delapan standar
pendidikan yaitu standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian.
Berdasarkan hasil temuan data lapangan
di SMA sampel dan acuan borang PPMP Dikti
Tahun 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi
menurunya pencapaian nilai UN Kimia di
kabupaten Konawe Selatan diuraikan sebagai
berikut:
Faktor siswa:
Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya nilai UN yang dicapai oleh siswa,
yang bersumber dari siswa sendiri antara lain;
Motivasi siswa untuk belajar rendah, siswa
tidak memiliki buku paket sendiri, Minat baca
siswa sangat kurang, dalam prosees
pembelajarn, siswa cenderung sebagai
pendengar, siswa kurang bertanya. Pada saat
Ujian, siswa kebanyakan mengandalkan
kerjasama dan menyontek. Hal itu disebabkan
oleh situasi dan kondisi pendidikan dalam
lingkungan keluarga yang kurang mendukung.
Serta merebaknya sikap instan yang melanda
kehidupan kaum remaja.
Faktor orangtua:
Kurangnya pemahaman orang tua
terhadap pendidikan, sehingga para orangtua
tidak memperhatikan kebutuhan penunjang anak
untuk belajar, serta kurangnya kontrol orangtua
terhadap anak dalam mengikuti pendidikan dan
belajar. orangtua yang seharusnya menjadi
kekuatan kontrol untuk ikut menanggulangi
berbagai persoalan sosial yang kurang sehat
cederung bersikap permisif dan masa bodoh.
Faktor Guru:
Dalam mengajar, guru kurang memperhatikan
tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa
terhadap materi yang diajarkan, materi yang
kurang dipahami tidak diajarkan/dilewatkan,
dalam mengajar, guru tidak memperhatikan
ketercapaian standar kompetensi yang diajarkan,
Cara mengajar guru masih mengandalkan
metode ceramah dan menyalin. guru dinilai
kurang kreatif dalam melakukan inovasi
pembelajaran, baik dalam pemilihan materi ajar,
metode pembelajaran, maupun media
pembelajaran, sehingga siswa didik cenderung
pasif dan bosan dalam menghadapi atmosfer
pembelajaran di kelas. Model pembelajarn yang
diterapkan adalah model ceramah dan soal-soal
sehingga suasana kelas bagaikan “kerangkeng
penjara” yang pengap dan sumpek; tanpa ada
celah “kebebasan” bagi peserta didik untuk
menikmati kegiatan pembelajaran yang menarik
dan menyenangkan. Pembelajaran 100%
berpusat pada guru. Siswa hanya sebagai
pendengar dan penonton. Dalam mengajar, guru
kurang menggunakan media pembelajaran,
dalam pemberian nilai akhir ssetiap semester,
guru sering menambah-nambah nilai yang
diperoleh siswa.
Faktor Sarana:
Fasilitas yang ada disekolah untuk menunjang
proses pembelajaran sangat kurang, seperti buku
paket yang sesuai yang dapat dipinjam oleh
siswa sangat terbatas jumlahnya, buku paket
yang dimiliki oleh siswa dengan yang dijadikan
bahan pembelajaran utama dikelas berbeda.
Sehingga dalam proses pembelajarn siswa harus
menulis ulang apa yang ditulis oleh guru. Faktor
lain yang mempengaruhi juga adalah tidak
adanya kegiatan praktikum. Hal ini disebabkan
karena kurang/tidak adanya fasilitas
laboratorium untuk proses kegiatan praktikum
Kimia. Kegiatan praktikum ini sangat penting
karena dapat meningkatkan minat dan daya tarik
siswa untuk belajar, serta dapat meningkatkan
pengetahuan siswa dari materi yang diajarkan
dalam konsep-konsep dalam kelas.
64
Di antara sekian banyak faktor
penyumbang rendahnya kualitas sekolah,
menurut Jalal dan Supriadi (dalam Depdiknas,
2007), guru merupakan faktor sentral atas baik-
buruknya mutu pendidikan. Oleh karena itu,
setiap usaha membenahi pendidikan harus
melibatkan penataan dan pembenahan terhadap
guru. Karier kependidikan seyogianya hanya bisa
ditempati oleh guru yang berprestasi. Jika
demikian halnya, setiap guru akan bekerja secara
optimal atas dasar kemampuan akademik yang
tinggi dan profesionalisme yang teruji. Apabila
keadaan itu terwujud, kualitas pendidikan dapat
dipastikan akan meningkat secara bertahap dan
berkesinambungan. Guru yang tidak memenuhi
standar atau melakukan tindakan yang tidak
terpuji harus diberi sanksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
adanya sebuah rumusan model alternatif kaji
tindak dalam upaya untuk meningkatkan
penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran
Kimia siswa SMA di kabupaten Konawe Selatan.
Hal ini sangat penting sebab dengan adanya
model alternatif peningkatan mutu maka
diharapkan penguasaan kompetensi dasar dalam
UN dapat meningkat. Salah satu upaya dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan, adalah
melalui pendekatan model serta kompetisi
perbaikan manajemen dan interaksi
pembelajaran, serta perbaikan dan peningkatan
implementasi strategi, metode, dan teknik
pembelajaran, serta inovasi kurikulum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan yang
telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
1. Dalam tiga tahun terakhir ini, nilai UN Kimia
siswa SMA di kabupaten Konawe Selatan
cenderung menurun. Meskipun pada tahun
2009 sedikit mengalami peningkatan, namun
secara keseluruhan adanya kecenderungan
penurunan nilai UN untuk Matapelajaran
kimia.
2. Penurunan nilai UN matapelajaran Kimia
siswa SMAN di Kabupaten konawe selatan
adalah guru dalam mengajar tidak
memperhatikan ketuntasan belajar siswa,
guru dalam mengajar kurang memperhatikan
aktivitas dan tingkat pemahaman siswa
selama proses pe,belajaran, Minat siswa
dalam belajar Kimia menurun dari tahun
ketahun, kurangnya buku penunjang bagi
siswa, serta tidak adanya kegiatan praktikum
yang dapat meningkatkan minat siswa untuk
belajar kimia.
Saran
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, maka
perlu adanya perhatian terhadap semua stok
holder yang terlibat dalam peningkatan mutu
pendidikan seperti guru bidang studi dalam hal
merencanakan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan minat siswa, kepala sekolah serta
pihak diknas dalam hal perlengkapan kebutuhan
penunjang pembelajaran seperti pengadaan alat-
alat laboratorium secara merata untuk setiap
bidang studi, pengadaan buku paket yang sesuai
diperpustakaan sekolah, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang 2011. Laporan Hasil UN dari Tahun
Pelajaran 2007/2008 – 2009/2010, Pusat
Penilaian Pendidikan Balitbang
Kemendiknas – BNSP Tahun 2011
Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly,
John, 1993. Benchmarking for
Competitive Advantage, Pitman
Publishing, London, United Kingdom.
Depdiknas. 2007. Kompetensi Guru dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan.
Laporan Kajian. Jakarta: Staf Ahli
Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah. Jakarta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta : Kencana
65
PERSEPSI MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS HALU OLEO TENTANG LATAR
BELAKANG DEMONSTRASI
Oleh :
Barlian1
Muhamad Abas2
Abstrak. Tulisan ini merupakan ringkasan salah satu masalah dari tiga fokus masalah
yang dikaji oleh penulis selama tiga bulan pada tahun 2012. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan tekhnik wawancara mendalam, pengamatan
dan studi dokumentasi. Informan penelitian ini adalah mahasiswa FKIP Unhlau
sebanyak 50 orang yang dianggap mewakili unsur aktivis, pelaku demonstrasi dan
mahasiswa yang tidak terlibat dalam demonstrasi tetapi ikut melihat dan mengamati
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa adalah demonstrasi yang terjadi
dilingkungan kampus Universitas Haluoleo menurut persepsi mahasiswa yang
menjadi informan penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor yang sangat
beragam dan saling terkait. Pertama, kesadaran yang muncul dari dalam diri
mahasiswa terutama para aktivisnya untuk selalu menjalankan peran-peran sosial
mahasiwa sebagai salah satu kekuatan civil society dalam mendorong tata kelola
kampus yang lebih baik dan bersih sekaligus sebagai wujud dalam menjalankan peran
mereka sebagi social control yang berbasis pada moral force. Kedua, kesadaran untuk
mengimplementasikan pengetahuan dan pengalaman mereka selama berinteraksi di
kampus baik itu kuliah tatap muka degan dosen, interaksi di lembaga kemahasiswa
maupun interkasi eksternal yang telah menata gagasan, pengetahuan dan pengalaman
mereka untuk selalu kritis dalam menyikapi berbagai fenomena maupun fakta sosial
yang terjadi disekitar atau dilingkungan mahasiswa baik itu yang terkait langsung
dengan kepentingan diri mahasiswa maupun kepentingan masyarakat luas yang juga
berdampak terhadap aktivitas kuliah mahasiswa. Ketiga, kesadaran dalam kerangka
aktualisasi diri mahasiswa.
Kata Kunci: Persepsi, Demonstrasi, dan Mahasiswa
1 Dosen Jurusan Ilmu Pendiddikan FKIP Universitas Halu Oleo 2 Dosen Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Halu Oleo.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejarah Indonesia modern telah
menunjukkan bahwa mahasiswa hampir selalu
tampil sebagai penentu perubahan-perubahan
besar yang terjadi dalam kehidupan berbangsa.
George McTurnan Kahin dalam Barlian (2012)
bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum
Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh-
tokoh yang mempelopori terjadinya perubahan
yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia
modern. Dalam perjalannya, demonstrasi
mahasiswa saat ini analog dengan perjuangan
intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari
tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia.
Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan
oleh kalangan muda kampus atau mahasiswa.
Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan
besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka,
66
umumnya berupaya untuk merobohkan
kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran
yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada
kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran,
misalnya perubahan besar berupa hancurnya
kekuatan-kekuatan totaliter Soekarno maupun
Soeharto dilakukan oleh kekuatan yang
dipelopori mahasiswa sebagai penentu, namun
sayangnya kemudian diambil alih dalam proses-
proses berikutnya oleh kekuatan pemegang
kekuasaan baru yang berkecenderungan juga
berkembang jadi totaliter dan kediktatoran. Tak
dapat dipungkiri bahwa konsentrasi demonstrasi
di kampus-kampus besar yang menjadi basis
perjuangan mahasiswa di Indonesia umumnya
terdapat di kota-kota besar yang lebih dekat
dengan pusat kekuasaan sekaligus suasana
kehidupan modern sehingga cenderung juga
menjadi titik star munculnya pemikiran dan
gagasan bagi kemajuan kehidupan bangsa
Indonesia modern.
Kenyataan menunjukkan bahwa kampus
sebagai pusat kekuatan modernisasi dan
kemajuan kehidupan bangsa nampaknya harus
selalu bersilang pendapat dengan pemegang
kekuasaan yang senantiasa menempatkan diri
sebagai kekuatan konservatif yang selalu
menolak gagasan pembaharuan untuk
meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan
masyarakat bangsa Indonesia. Fenomena ini
menunjukkan bahwa posisi demonstrasi
mahasiswa yang senantiasa menjadi kekuatan
koreksi yang membawakan hati nurani
masyarakat yang ditindas oleh orientasi
kekuasaan pemegang kekuasaan itu yang lebih
mengedepankan kepentingan pribadi dan
kelompoknya dari pada orientasi pada
kepentingan kemajuan bangsa. Bebebrapa hasil
penelitian juga menunjukan bahwa demonstrasi
mahasiswa juga terlahir dari kesadaran bersama
untuk mendorong terjadinya perubahan, tidak
hanya diluar kampus tetapi juga yang terjadi
didalam kampus terutama yang terkait langsung
dengan kepentingan mahasiswa itu sendiri.
Dalam kondisi seperti itulah demonstrasi
mahasiswa di Kampus, khususnya di Kampus
Universitas Haluoleo, menempati posisinya yang
strategis di tengah-tengah pergolakan korektif
terhadap penguasa yang menzalimi rakyatnya
sendiri. Kekuatan demontsrasi dalam bentuk
gerakan mahasiswa pada umumnya terletak pada
posisinya yang apolitis dan tidak bertujuan untuk
mencapai kekuasaan. Demonstrasi yang
dipelopori mahasiswa selalu menjadi pembuka
gagasan guna pemecahan kebekuan,
menimbulkan keberanian dalam melakukan
upaya-upaya koreksi terhadap pengambil
kebijakan. Di samping itu, seringkali gerakan
mahasiswa tidak memunculkan tokoh dan lebih
mengandalkan pada kekuatan gagasan, pemikiran
dan moral. Bahkan, mereka seringkali tidak
memperdulikan apakah gagasan itu diambil alih
oleh gerakan nasional mahasiswa yang kemudian
‘dipelintir’ oleh praktisi-praktisi politik sebagai
amunisi mereka dalam kompetisi kekuasaan
tetapi mehasiswa tetap bergerak dengan
semangat dan tujuan untuk perubahan sosial.
Menarik untuk dicermati, bahwa
demonstrasi mahasiswa yang sering dilakukan
oleh mahasiswa Universitas Haluoleo yang
berlangsung dari generasi ke generasi dalam
situasi dan kondisi berbeda. Dengan tema dan
tokoh yang berbeda-beda pula, namun seolah-
olah memiliki suatu rentang garis benang merah.
Garis benang sendiri selalu dekat dengan hati
dan perasaan umumnya masyarakat dalam era
dan zaman yang berbeda-beda itu, sehingga,
walaupun mungkin secara nyata tidak terjadi
komunikasi fisik langsung, terbuka maupun
tertutup, serta modus demonstrasi yang mungkin
berbeda-beda, tetapi ide dan tujuannya pada
dasarnya adalah kepentingan dan keinginan
masyarakat dan mahasiswa secara umum. Karena
itu, selama demonstrasi mahasiswa berada dalam
jalur benang merah yang sama, betapapun
buruknya kondisi yang dihadapi bangsa
Indonesia, akan selalu dimungkinkan terjadinya
perbaikan atau perubahan yang lebih baik.
Disamping itu mainstream aktivis mahasiswa,
banyak yang dikenal dan tumbuh murni dari
lingkungan intra kampus, tidak terkait dalam
kegiatan-kegiatan organisasi ekstra universitas
secara intensif dan karenanya bobot kegiatan
kemahasiswaannya cenderung lebih bercirikan
mahasiswa intra kampus yang tidak begitu suka
pada jabatan dan kegiatan politik.
Pada umumnya mereka lebih senang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian
daripada kegiatan-kegiatan berbau politik apalagi
berorientasi pada jabatan dan kekuasaan.
67
Berorganisasi dianggap sebagai bagian dari
usaha untuk mengembangkan kepribadian, lebih
mematangkan potensi-potensi kepemimpinan
yang diperlukan bagi penerapan kemampuan
akademik yang dimilikinya, agar dapat lebih
diamalkan setelah menyelesaikan studi dan
terjun kemasyarakat. Mahasiswa juga memiliki
kewajiban untuk memiliki jiwa sosial politik
didalam dirinya karena mahasiswa pada dasarnya
adalah bagian dari rakyat. Apapun yang terjadi
pada rakyat maka mahasiswa akan turut juga
merasakannya. Seperti kenaikan BBM, kenaikan
harga bahan pokok, listrik, dan air misalnya,
akan mempengaruhi aktifitas kuliah. Mahasiswa
memiliki kecerdasan berdasarkan fokus keahlian
yang diambilnya dan mahasiswa juga mampu
menerapkan keilmiahan pendidikan yang
diperolehnya di masyarakat. Maka dengan
membentuk organisasi baik itu dependent
maupun independent, mahasiswa memiliki
kewajiban moral untuk menerapkan apa yang
telah diperolehnya dari bangku perkuliahan itu
dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Atau dengan kata lain mampu menciptakan dan
memberi jawaban atas permasalahan-
permasalahan rakyat. Berbagai metode dapat
dilakukan yaitu dari membuat petisi, dengar
pendapat (public hearing), panggung rakyat,
mimbar bebas, sampai pada aksi (demonstrasi).
Biasanya aksi (demonstrasi) akan menjadi
pilihan terakhir, ketika aspirasi mereka
menemukan jalan buntu dan tidak adanya
tanggapan oleh pihak yang dituju.
Demonstrasi umumnya dilatarbelakangi
oleh matinya jalur penyampaian aspirasi atau
buntunya metode dialog. Demonstrasi dilakukan
dalam rangka pembentukan opini atau mencari
dukungan publik. jika aksi demonstrasi yang
dilakukan di dalam kampus, maka pembentukan
opini dan pencarian dukungan public dari
seluruh civitas akademik, yang salah satunya
adalah teman kuliah. Pada posisi ini, akan
menimbulkan gangguan public dalam proses
pembelajaran di kampus. Berdasarkan hal
tersebut, maka penelitian ini di rancang untuk
memperoleh data obyektif mengenai persepsi
mahasiswa pada saat adanya aksi demontrasi
yang dilaksanakan oleh teman-temanya di dalam
kampus, dengan mengambil sampel pada
mahasiswa FKIP Unhalu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran persepsi mahasiswa FKIP
Unhalu tentang latarbelakang demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa dari dalam kampus.
Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini berguna
untuk memperkaya khasanah penelitian dan
dapat memperluas cakrawala pengetahuan
peneliti serta mahasiswa mengenai pendapat
mahasiswa FKIP terhadap aksi mahasiswa di
dalam atau diluar kampus Unhalu. Secara
akademis, penelitian ini dapat disumbangkan
kepada Unhalu dalam menambah dan
memperkaya bahan penelitian serta sumber
bacaan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan. Secara praktis melalui penelitian
ini dapat memberikan masukkan bagi pimpinan
Universitas dan Fakultas dalam memberikan
respon terhadap demonstrasi yang dilaksanakan
di dalam kampus
TINJAUAN PUSTAKA
Individual Differences Theory, Komunikasi
Massa dan Opini Publik
Individual Differences Theory (Teori
Perbedaan Individual), teori dimotori oleh
Melvin D. Defleur. Menurut teori ini individu-
individu sebagai anggota khalayak sasaran media
massa secara selektif, menaruh perhatian kepada
pesan-pesan, terutama jika berkaitan dengan
kepentingannya konsisten dengan sikap-
sikapnya, sesuai dengan kepercayaannya yang
didukung oleh nilai-nilainya, sehingga
tanggapannya terhadap pesan-pesan tersebut
diubah oleh tatanan psikologisnya. Anggapan
dasar dari teori ini ialah bahwa manusia amat
bervariasi dalam organisasi psikologisnya secara
pribadi. Variasi ini sebagian dimulai dari
dukungan perbedaan secara biologis, tetapi ini
dikarenakan pengetahuan secara individual yang
berbeda. Manusia yang dibesarkan dalam
lingkungan yang secara tajam berbeda,
menghadapi titik-titik pandangan yang berbeda
secara tajam pula. Dari lingkungan yang
dipelajarinya itu, mereka menghendaki
68
seperangkat sikap, nilai, dan kepercayaan yang
merupakan tatanan psikologisnya masing-masing
pribadi yang membedakannya dari yang lain.
Teori perbedaan individual ini mengandung
rangsangan-rangsangan khusus yang
menimbulkan interaksi yang berbeda dengan
watak-watak perorangan anggota khalayak. Oleh
karena terdapat perbedaan individual pada setiap
pribadi anggota khalayak itu maka secara
alamiah dapat diduga akan muncul efek yang
bervariasi sesuai dengan perbedaan individual
itu. Individual Differences Theory menyebutkan
bahwa khalayak yang secara selektif
memperhatikan suatu pesan komunikasi,
khususnya jika berkaitan dengan
kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya,
kepercayaannya dan nilai-nilainya.
Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu
akan diubah oleh tatanan psikologisnya
(Effendy, 2003).
Komunikasi pasti terjadi pada setiap
manusia, karena pada dasarnya manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Hidup dengan makhluk lain otomatis membuat
makhluk hidup harus berkomunikasi.
Komunikasi harus dipandang dari dua sudut
pandang, yaitu komunikasi dalam pengertian
secara umum dan secara paradigmatik.
Komunikasi secara umum dibagi dua, yakni
pengertian komunikasi secara etimologis dan
secara terminologis. Secara etimologis atau
menurut asal katanya, komunikasi berasal dari
bahasa latin communicatio yang diambil dari
kata communis yang artinya sama atau dimaksud
dengan sama makna. Maka komunikasi yang
dimaksudkan disini akan berlangsung bila ada
kesamaan arti diantara dua atau lebih orang yang
berkomunikasi. Sedangkan secara terminologis
maksudnya adalah komunikasi melibatkan
sejumlah orang, dan lebih dikenal dengan
sebutan komunikasi manusia atau komunikasi
sosial. Disini hanya akan dibahas tentang
komunikasi yang hanya terjadi pada manusia-
manusia yang bermasyarakat. Komunikasi
secara paradigmatis mengandung tujuan tertentu
baik lisan maupun tulisan, baik langsung maupun
melalui media. Tujuan disini maksudnya adalah
memberikan informasi, merubah sikap, pendapat,
maupun perilaku dari komunikan. Menurut
Harold Lasswell cara yang baik untuk
menggambarkan komunikasi adalah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut; Who
Says What In Which Channel To Whom With
What Effect? atau Siapa, Mengatakan Apa,
Dengan Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan
Pengaruh Bagaimana? Jadi komunikasi
berlangsung apabila antara orang-orang terlibat
terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal
yang dikomunikasikan. Jelasnya, jika seseorang
mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang
lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung.
Dengan kata lain, hubungan diantara mereka
bersifat komunikatif. Selain komunikasi itu
dilakukan secara langsung atau dikenal dengan
komunikasi tatap muka, komunikasi juga
berlangsung dengan menggunakan media,
dikenal dengan nama komunikasi massa. Yang
dimaksudkan dengan komunikasi massa ialah
komunikasi yang menggunakan media massa,
baik itu media cetak maupun elektronik. Yang
dimaksudkan dengan komunikasi massa ialah
komunikasi melalui media massa modern seperti
surat kabar, film, radio, dan televisi. Hal ini perlu
dijelaskan, sebab ada sementara ahli komunikasi,
di antaranya Everett M. Rogers, yang
berpendapat bahwa, selain media massa modern,
ada media massa tradisional yang meliputi teater
rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun, dan
lain-lain. Jadi komunikasi massa ialah
penyebaran pesan dengan menggunakan media
yang ditujukan kepada massa yang abstrak,
yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si
penyampai pesan.
Opini adalah suatu ekspresi tentang
sikap mengenai suatu masalah yang bersifat
kontroversial. Opini tersebut timbul sebagai hasil
pembicaraan tentang masalah yang kontroversial
yang menimbulkan pendapat berbeda-beda.
Sedangkan perkataan publik melukiskan
sekelompok manusia yang berkumpul secara
spontan yang memiliki syarat-syarat : a).
Dihadapi oleh suatu persoalan; b). Berbeda
pendapatnya mengenai persoalan ini dan
berusaha untuk menanggulangi persoalannya; c).
Sebagai akibat keinginan mengadakan diskusi
dengan mencari jalan keluar. Disini publik masih
merupakan bentuk spontan yang tidak berbentuk,
yang tidak diorganisasikan. Pokok persoalan dari
pembentukan publik demikian ini adalah bahwa
mereka menghadapi persoalan, diikat
69
(sementara) oleh persoalan yang minta
pemecahan (Susanto, 1985). Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa opini publik atau dikenal
dengan pendapat umum adalah kesatuan
pendapat yang muncul dari sekelompok orang
yang berkumpul secara spontan, membicarakan
issue yang kontroversial, mendiskusikannya dan
berusaha untuk mengatasinya. Proses munculnya
opini ini harus melalui beberapa tahap, yaitu ;
efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif. Efek
kognitf berhubungan dengan pikiran atau
penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak
tahu, yang tadinya tidak mengerti menjadi
mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa
jelas. Efek afektif berkaitan dengan perasaan.
Akibat dari pemberitaan di media itu yang
akhirnya menimbulkan perasaan tertentu pada
khalayak, dan perasaan ini hanya bergejolak
didalam hati saja. Dan yang terakhir adalah efek
konatif, dimana efek ini berkaitan dengan niat,
tekad, upaya, usaha yang memiliki
kecenderungan memunculkan sebuah tindakan
atau kegiatan. Efek konatif tidak langsung
muncul sebagai akibat terpaan media massa,
melainkan harus melalui efek kognitf dan efek
afektif terlebih dulu. (Effendy, 2003). Gaya
penyampaian pesan merupakan cara atau model
seorang komunikator dalam usahanya untuk
menyampaikan pesan atau informasi kepada
komunikasikan. Kefin Hogan menyebutkan
dalam bukunya The Psichology Of Persuasion
bahwa ketika menetapkan gaya komunikasi dasar
seseorang kita harus pikirkan dua faktor.
Pertama adalah menetapkan apakah seseorang
sebagian besar merupakan orang yang logis atau
sebagian besar merupakan orang yang
emosional. Dan yang kedua adalah menetapkan
apakah seseorang sebagian besar merupakan
orang yang suka menampilkan diri atau tidak
suka menampilkan diri. Orang yang analitis
merupakan pekerja yang konsisten, mantap, dan
metodis. Mereka mempersiapkan diri dengan
baik dan sering pintar dengan angka, analisis,
proses, dan sistem. Orang analitis dapat ditandai
dengan sifat-sifatnya yang logis, sensoris,
nonasertif, dan introvert; Dari berbagai
penjelasan di atas, peneliti menarik kesimpulan
bahwa gaya komunikasi para demonstran
merupakan hal yang penting dalam menunjang
keberhasilan penyampaian pesan, apalagi
kemudian manusia mempunyai keinginan untuk
menyampaikan pengalamannya kepada orang
lain dalam jumlah yang besar sehingga unsur
retorika sama dengan unsur manusia.
Demonstrasi
Marbun menyebutkan dalam bukunya
komunikasi politik bahwa arti kata demonstrasi
adalah pernyataan protes yang dikemukakan
secara massal. Kata latin demonstrate berarti
mempertunjukkan. Demonstrasi adalah gerakan
bersama-sama untuk mempertunjukkan kehendak
atau pendapat, unjuk rasa. Biasanya dijalankan
untuk memprotes, menolak atau tidak setuju
terhadap keadaan atau tindakan suatu badan,
golongan atau seseorang. Demonstrasi menurut
kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh
departemen pendidikan dan kebudayaan
memiliki dua pengertian yang salah satunya
adalah pernyataan protes yang dikemukakan
secara masal. Dalam alam demokrasi, rakyat
berhak menilai dan mengkritik pemerintah dan
mengatakan kehendaknya melalui: a) Badan-
badan perwakilan rakyat yang berfungsi antara
lain untuk mengontrol eksekutif atau pemerintah.
B) Pers cetak maupun elektronik yang ikut
menyampaikan pendapat umum dengan
memberikan berita-berita obyektif dari mana
saja, lalu mengeluarkan suara rakyat dan bukan
hanya suara pejabat-pejabat pemerintah. c) Partai
dan golongan lain yang mewakili lapisan
masyarakat dalam badan-badan umum. Jika
dengan jalan biasa itu rakyat tidak berhasil
memperoleh perhatian yang wajar atau bila
pandangan serta masalah suatu masyarakat yang
menuntut didiamkan saja, maka timbul bentuk
kritik yang bercorak luar biasa dan yang
tergolong bentuk ini adalah demonstrasi, rapat
besar, aksi masal dan sebagainya.
Demonstrasi memiliki kedudukan yang
sah dalam demokrasi, melarang atau
menghapuskan hak untuk berdemonstrasi atas
hak untuk mengeluarkan pendapat adalah tidak
sehat dan oleh sebab itu sukar secara obyektif.
Demonstrasi yang dimaksud adalah unjukrasa
yang disertai dengan aksi turun ke jalan, dengan
kata lain, aksi massal yang di gelar dengan turun
ke jalanan dengan tujuan untuk menyampaikan
ketidaksepakatan atau penolakan terhadap
70
kebijakan-kebijakan para pemegang kekuasaan.
Aksi demonstrasi merupakan ajaran yang di
adopsi dari paham demokratisme yang di impor
dari barat. Demonstrasi dalam wujud aksi massa
yang turun ke jalan dengan membawa poster
serta meneriakkan yelyel tentu bukan bagian dari
sebuah ritual keagamaan. Masalah seperti itu
lebih dekat dimasukkan sebagai bagian dari
dinamika sosial politik yang kaitannya lebih erat
dengan kondisi sosial budaya yang ada di suatu
tempat. Karena bentuk-bentuk aksi massa seperti
itu hanyalah bentuk teknis dari sebuah tindakan
dalam masyarakat yang intinya memberikan
pengawasan kepada penguasa yang diberi amanat
untuk menjalankan roda pemerintahan.
Demokrasi dan Demokratisasi terkait
erat, bahkan mereka tidak dapat dipisahkan,
karena dalam berdemokrasi, haruslah ada
pelampiasan/penyaluran segala uneg-uneg
manusia yang dikuasai, sesuai dengan prinsip
keterbukaan dalam demokrasi. Ia tidak lebih dari
sekedar mekanisme yang sengaja dibiarkan
berkembang untuk membantu penguasa untuk
terus menguasai manusia dan menduduki
wilayah jajahan. Prinsip keterbukaan disodorkan
dalam rangka membangun prinsip lain dari
demokrasi, yaitu pluralisme dan atau
multiculturalisme. Dalam kajian Sosiologi
Komunikasi, Burhan Bunging telah menegaskan
tentang kelompok sosial yang membagi
kelompok sosial dalam dua jenis yaitu kelompok
teratur dan kelompok tidak teratur. Kelompok
teratur adalah kelompok sosial yang mudah
untuk diamati dan memiliki struktur yang jelas.
Persepsi
Teori-teori yang berhubungan dengan
persepsi banyak dikemukakan oleh para ahli
dengan berbagai istilah, namun pada dasarnya
pengertian persepsi adalah sama yakni suatu
proses yang kompleks yang berkaitan dengan
cara pandang individu secara subjektif terhadap
dunia sekitar. Oleh karena sifatnya yang
subjektif maka persepsi setiap individu tidaklah
sama. Persepsi menurut Irwanto, dkk (1997)
adalah proses diterimanya rangsang yang berupa
objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun
peristiwa sampai rangsang tersebut disadari dan
dimengerti. Melalui persepsi stimulus-stimulus
yang diterima menyebabkan individu mempunyai
suatu pengertian terhadap lingkungan.
Indrawijaya (1983) berpendapat bahwa persepsi
merupakan suatu cara pandang individu terhadap
suatu objek. Selanjutnya Irwanto, menjelaskan
bahwa proses diterimanya rangsangan yang
berupa objek, kualitas, hubungan antargejala
maupun peristiwa sampai rangsang tersebut
disadari dan dimengerti. Melalui persepsi
stimulus-stimulus yang diterima menyebabkan
individu mempunyai suatu pengertian terhadap
lingkungan. Persepsi adalah proses individu
dalam memilih, mengorganisasikan dan
menafsirkan masukan-masukan informasi untuk
menciptakan sebuah gambar yang bermakna
tentang dunia. Persepsi tergantung bukan hanya
pada sifat rangsangan fisik tetapi juga pada
hubungan rangsangan medan sekelilingnya dan
kondisi dalam diri individu. Hal tersebut
dapatdijelaskan bahwa persepsi sebagai proses
dimana individu mengorganisasikan dan
menafsirkan pola stimulasi dari lingkungan.
Proses persepsi berkaitan erat dengan proses
kognitif seperti ingatan dan proses berpikir.
Persepsi sebagai suatu proses yang didahului
oleh proses pengindraan terhdap suatu stimulus
yang kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan oleh individu, sehingga
individu menyadari, mengerti tentang apa yang
diinderakan. Dalamkaitan itu maka persepsi
merupakan respon terhadap suatu stimulus, suatu
tanggapan yang mengintegrasikan informasi
yang berada di luar stimulus itu sendiri.
Informasi ini diperoleh dari stimulus lainnya
yang tersedia atau disimpan dalam respon
emosional, konseptual, atau perilaku
sebelumnya. Karena perasaan, kemampuan
berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak
sama, maka dalam mempersepsi stimulus, hasil
persepsi akan berbeda antara satu individu
dengan lainnya. Berdasarkan pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu
proses ketika seseorang mengorganisasikan
informasi dalam pikirannya, mengalami, dan
mengolah pertanda atau segala sesuatu yang
terjadi di lingkungannya.
71
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif diskriptif
yang berparadigma konstruktivis. Karena itu
permasalahan dan tujuan penelitian ini
mengharuskan pencarian, analisis, dan penyajian
data informasi secara kualitatif, yakni berupaya
menganalisis dan mengkonstruksikan persepsi
mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo terhadap
latar belakang demonstrasi yang dilakukan oleh
mahasiswa dari dalam lingkungan kampus
Unhalu. Penggunaan pendekatan ini didasarkan
pada beberapa alasan, bahwa (a) menelaah
demonstrasi mahasiswa tidak sekadar
menyangkut pengetahuan yang dapat
dibahasakan (propositional knowledge),
melainkan juga menyangkut pengetahuan yang
tidak dapat dibahasakan (tacit knowledge), yang
hampir tidak mungkin diperoleh dengan
pendekatan kuantitatif. (b) Studi tentang
demonstrasi mahasiswa sangat kompleks, yang
tidak mungkin direduksi hanya dalam satu sudut
pandang saja. Apa yang hendak dicapai dalam
penelitian ini diwarnai adanya keharusan untuk
mengungkap secara mendalam berbagai
informasi sesuai dengan fakta dan realitas yang
akan diungkapkan oleh para informan yang
memahami substansi penelitian ini. (c)
Penggalian informasi akan dilakukan dengan
berinteraksi langsung dengan para informan
melalui sebuah proses wawancara mendalam
sehingga peneliti mampu merekonstruksi makna
dari setiap informasi yang diperoleh.
Penelitian ini dilaksanakan selama 3
bulan pada akhir tahun 2011 dengan informan
mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo.
Penetapan mahasiswa FKIP sebagai informan
dilakukan secara purposif dengan pertimbangan
bahwa FKIP Unhalu memiliki mahasiswa
terbanyak dan para aktivis mahasiswa sering
ikut serta melakukan demonstrasi baik itu di
lingkungan kampus maupun diluar kampus.
Fokus penelitian ini adalah menganalisis dan
mengkonstruksikan persepsi mahasiswa tentang
latar belakang demonstrasi dilingkungan kampus
Universitas Haluoleo, yang meliputi alasan-
alasan munculnya demonstrasi dalam pandangan
mahasiswa dan isu serta materi yang sering
diusung yang menjadi triger factor munculnya
demonstrasi. Dalam kaitan itu, maka jenis data
dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder yang diperoleh melalui wawancara
dengan para informan, studi dokumen baik dari
media masaa maupun hasil-hasil penelitian lain
yang relevan serta kajian pustaka. Sumber data
penelitian ini adalah para mahasiswa FKIP
unhalu baik itu yang terlibat dalam demonstrasi
maupun yang tidak terlibat tetapi pernah
menyaksikan demonstrasi mahasiswa dalam
lingkungan Unhlau. Instrumen penelitian ini
adalah panduan wawancara dan catatan harian
yang befungsi untuk mencatat hal-hal penting
terkait dengan isu atau focus penelitian. Dalam
kaitan itu, maka panduan wawancara dibuat
secara umum dan sangat fleksibel sehingga
peneliti dapat berimprovisasi dalam menggali
informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Analisis data dalam penelitian ini berjalan secara
paralel dengan proses pengumpulan data,
dimana peneliti secara hati-hati melakukan
pemilihan dan pemaknaan setiap informasi yang
diperoleh Setelah tahapan itu dilalui, peneliti
kemudian melakukan proses interpretasi dan
penulisan laporan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Demosntasi dalam Perspektif Mahasiswa.
Latar Belakang Demonstrasi
Demonstrasi yang dilakukan oleh
mahasiswa dilingkungan kampus seringkali
diklaim sebagai suatu cara dan upaya untuk
mendorong proses perubahan termasuk
memperjuangkan aspirasi mahasiswa terkait
dengan penyelenggaran proses-proses akdemik
yang berlangsung di kampus. Dalam banyak
fakta, demonstrasi mahasiswa selalu berhasil
mewujudkan perubahan baik itu perubahan
kebijakan pada tingkat universitas maupun
tingkat fakultas. Dalam persepsi mahasiswa,
faktor yang melatari terjadinya demonstrasi
mahasiswa dilingkungan kampus, yaitu faktor
yang berasal dari dalam diri mahasiswa atau
faktor individual (internal) dan situasi
lingkungan di mana mereka berada atau faktor
eksternal. Faktor yang berasal dari dalam diri
mahasiswa, lebih pada munculnya kesadaran
72
untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan
yang dirasakan tidak adil atas berbagai kebijakan
yang diambil birokrat kampus terkait dengan
proses akademik dan non akademik yang terjadi
dilingkungan kampus. Kesadaran itu muncul
sebagai dampak dari sebuah proses pencerahan
dan proses belajar secara intensif yang dilakukan
mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan di
kampus maupun melalui diskusi atau dialoq
anatar mahasiswa maupun dengan para senior di
lembaga-lembaga internal maupun eksternal
kampus. Kesadaran itu kemudian merangsang
mereka untuk menerapkan apa yang
diketahuinya dalam kehidupan akademiknya
sehingga kemudian melahirkan kesadaran
kolektif untuk melakukan demonstrasi. Dalam
persepsi mahasiswa, ada beberapa hal yang ikut
serta menfasilitasi munculnya kesadaran itu,
diantaranya (1) ingin mempraktekan ilmu dan
pengetahuan yang diperolehnya dari bangku
pendidikan ke dalam kehidupan sehari-hari untuk
semakin memantapkan pengetahuan yang
dimilikinya dengan pengalaman nyata; (2) ingin
menunjukkan kemampuannya kepada khalayak
atau mahasiswa lainnya dan dan para tenaga
pengajar dilingkungan kampus atas apa yang
dimilikinya sebagai bentuk aktualisiasi diri (3)
upaya mengembangkan karir intelektual untuk
menuju masa depan yang lebih baik. Termasuk
sebagai upaya untuk melatih diri dalam
mengembangkan kemampuan dan keterampilan
dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan
atau kelompoknya.
Sejalan dengan itu, ada beberapa hal yang
dominan melatari terjadinya demonstrasi
mahasiswa seperti kebijakan kampus yang
kurang menguntungkan mahasiswa seperti
kenaikan SPP. Sehingga kemudian demonstrasi
lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap
kebijakan kampus yang dianggap merugikan atau
tidak adil. Selain itu juga, adanya tindakan
sebagian tenaga akademik yang dianggap
melanggar panduan akademik seperti malas
mengajar, memperlakukan mahasiswa dalam
proses pembelajaran secara diskriminatif dan
pengelolaan administrasi dan keuangan yang
tidak transparan sehingga menghambat proses
perkuliahan mahasiswa seperti keterlambatan
dana praktikum. Selain itu juga, demonstrasi
dilakukan karena sarana dan prasarana
perkuliahan yang sudah tidak memadai seperti
tuntutan perbaikan gedung perkuliahan dan
fasilitas perkuliahan lainnya yang dianggap tidak
memadai lagi. Sikap kritis mahasiswa terhadap
para pengambil kebijakan ditingkat kampus,
biasanya mulai bangkit ketika mereka
menemukan hal-hal menyimpang atau terdapat
kebijakan yang tidak berpihak kepada
kepentingan mahasiswa. Kebijakan itu dianggap
berlangsung secara sistematis sehingga kemudian
merugikan kepentingan mahasiswa. Berbagai
ketimpangan yang selalu menjadi momentum
munculnya demonstrasi mahasiswa sebagaimana
disebutkan diatas ternyata juga menurut persepsi
sebagaian mahasiswa diduga seringkali
ditumpangi oleh kepentingan sekelompok orang
untuk melakukan bargaining baik secara politik
maupun ekonomis dengan pihak-pihak tertentu
pada tingkat pengambil kebijakan. Dalam
konteks ini, demonstrasi mahasiswa dapat
dipahami sebagai bentuk dari perlawanan
mahasiswa terhadap struktur negara yang
dianggap tidak mampu menciptakan keadilan
dilingkungan kampus disatu sisi tetapi disisi lain
juga demonstrasi dianggap sebagai upaya menata
dan melatih kecakapan dalam menyampaikan
aspirasi.
Motivasi mahasiswa melakukan
demonstrasi dalam konteks ini adalah untuk
mendorong terciptanya keadilan dan
kenyamanan dalam mengikuti kegiatan akdemik
di kampus. Demonstrasi mahasiswa seringkali
dilakukan oleh kelompok-kelompok aktivis
mahasiswa kampus baik itu yang berasal dari
BEM, DPM maupun HMPS atau lembaga-
lembaga intra kampus lainnya. Tujuan mereka
antara lain (1) membela mahasiswa atas
tindakan yang dianggap merugikan kepentingan
mahasiswa baik itu secara individual maupun
kelompok. (2) mengoreksi kebijakan pimpinan
universitas atau fakultas dalam rangka untuk
kepentingan mahasiswa; (3) melakukan protes
sebagai wujud dari kemarahan mereka, ketika
para pimpinan atau pengambil kebijakan
dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari
komitmen awal sebagaimana dijanjikan melalui
kampanye mereka pada saat mengajukan diri
sebagai calon pimpinan universitas maupun
fakultas.
73
Bagi para aktivis mahasiswa di lingkungan
kampus Unhalu, lahirnya kesadaran kritis untuk
terlibat, membangun dan mengembangkan
gerakan dalam bentuk demonstrasi, selalu
diawali dengan peningkatan kapasitas diri dalam
menimba ilmu dan pengetahuan, serta memahami
dan mendalami pemikiran-pemikiran kritis dari
para tokoh kritis yang diidolakan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui bacaan dan diskusi yang
berkembang dalam kelompok studi mahasiswa
telah menginspirasi lahirnya gerakan
demonstrasi dan perjuangan mahasiswa untuk
membela kepentingannya. Bahan bacaan atau
pengalaman para tokoh itulah kemudian yang
menginspirasi para mahasiswa di kampus dalam
membangun sebuah kekuatan untuk melakukan
perlawanan terhadap ketidakadilan terutama
yang dilakukan oleh pihak pengambil kebijakan
di kampus. Dengan membaca dan mahami isi
buku dan karya-karya hasil pemikiran tokoh-
tokoh dunia itu diakui dapat meningkatkan
kapasitas intelektualnya. Mereka menjadikan
organisasi yang diikutinya sebagai tempat
berdiskusi, mematangkan diri, mencari
pengalaman, serta belajar mengembangkan
pemikiran kritis dalam mamahami fenomena
lingkungannya. Para mahasiswa menjadikan
organisasi baik intra kampus maupun ekstra
kampus sebagai tempat berkiprah melakukan
aktivitas secara berkelompok. Melalui organisasi
itu para aktivis gerakan mahasiswa menyamakan
visi dan persepsi dalam menelaah isu-isu publik
yang menurut mereka menyimpang dari prinsip-
prinsip keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Kemudian mereka melakukan berbagai upaya
strategis untuk melakukan perubahan tatanan
sosial yang dianggap tidak merugikan
masyarakat yang pada gilirannya berdampak
pada aktivitas perkuliahan mahasiswa.
Dalam hubungan itu, para aktivis
mahasiswa senantiasa mencari atau membentuk
wadah pergerakan sebagai tempat mereka
berkiprah dalam rangka mewadahi aspirasi
mereka apabila wadah internal yang secara
formal tidak mampu memperjuangkan aspirasi
mahasiswa. Pembentukan wadah tersebut
didasari oleh kesamaan visi termasuk isu yang
dibangun. Namun secara formal wadah bagi
mahasiswa untuk mengembangkan gerakan
demonstrasi adalah lembaga kemahasiswaan
yang ada pada tingkat universitas/fakultas atau
organisasi intra kampus seperti MPM, Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau organisasi
kemahasiswaan lainnya. Lembaga
kemahasiswaan itu di nilai telah teruji sangat
efektif bagi para aktivis untuk tempat menempa
diri, tempat berdiskusi, mencurahkan gagasan
dalam menelaah berbagai persoalan yang terkait
dengan kepentingan mahasiswa. Umumnya para
aktivis mahasiswa kampus, senantiasa berupaya
menguasai lembaga kemahasiswaan sebagai
tempat bagi mereka melakukan pengembangan
gerakannya. Diakui bahwa lembaga
kemahasiswaan internal kampus dianggap
sebagai wadah yang cukup independen dan tidak
berada dalam kendali kekuasaan, sehingga
memungkinkan organisasi kemahasiswaan itu
berjuang sebagai oposan atau kelompok yang
kritis yang berada di luar struktur kekuasaan
negara atau kampus. Menurut para informan,
sebagai proses awal untuk mewujudkan
pragmatisasi ide dalam bentuk gerakan, salah
satu ruang yang paling utama untuk direbut
adalah lembaga kemahasiswaan. Perebutan
lembaga kemahasiswaan bukan karena ada
peluang ekonomi tetapi melalui lembaga itulah
mahasiswa berkiprah mengembangkan idealisme,
termasuk sebagai sarana untuk menempa diri
mereka untuk memperjuangkan kepentingan
mahasiswa. Merebut atau menjadi pengurus
lembaga kemahasiswaan dilakukan untuk
menjamin bahwa gerakan demonstrasi dilakukan
terlembagakan secara independen sehingga
dalam mengemban gerakan, mahasiswa memilki
posisi tawar yang kuat.
Gerakan demonstrasi mahasiswa di kampus
selalu dilakukan atas inisiatif mahasiswa sebagai
jawaban atas keresahan yang dirasakan oleh
mahasiswa selama menimbah ilmu dikampus.
Para mahasiswa dalam melakukan gerakan
demonstrasi disamping didorong oleh faktor-
faktor sebagaimana yang telah saya sebutkan
diatas, juga disebabkan oleh adanya fakta bahwa
telah terjadi ketimpangan yang dianggap
merugikan mahasiswa. Proses pembahasan isu
gerakan ridak hanya dilakukan di kampus,
melalui lembaga-lembaga yang telah disebut
diatas tadi tetapi juga pembahasan isu
demonstrasi dilakukan secara fleksibel baik itu di
tempat kost mahasiswa, maupun di warung kopi.
74
Fenomena seperti itu, dilkaukan untuk
menunjukan bahwa demonstrasi mahasiswa tetap
berbasis pada moral forces, tidak berbasis pada
econimic determenisme sebagaimana yang
diduga oleh sebagaian pihak belakangan ini.
Kemurnian demonstrasi mahasiswa dalam
kampus tersebut nampak dalam setiap gerakan
demonstrasi yang dilakukan, dimana mahasiswa
selalu tegas mendesak pengambil kebijakan
untuk memperhatikan aspirasi yang disampaikan
dan mahasiswa tidak berhenti mengusung satu
isu demonstrasi jika isu belum mendapatkan
tanggapan positif para pengambil kebijakan
dilingkungan kampus seperti halnya demonstrasi
penolakan kenaikan SPP beberapa tahun lalu.
Namun para mahasiswa mengakui bahwa
demonstrasi yang mereka bangun, sebagian
belum dilakukan secara terencana dan sitematis
tetapi mereka berharap dengan demonstrasi itu
ada kesadaran dari mahasiswa untuk melakukan
kontrol terhadap pengambil kebijakan termasuk
kesadaran dari pengambil kebijakan untuk selalu
memperhatikan aspek keadilan dalam setiap
keputusan yang diambil terkait dengan
kepentingan mahasiswa.
Dalam persepsi mahasiswa, keterlibatan para
mahasiswa dalam berbagai aksi demonstrasi
merupakan bagian dari cara mereka
mengembangkan potensi diri sekaligus menimba
pengalaman dalam memperjuangkan aspirasi
mahasiswa. Umumnya para mahasiswa yang
terlibat dalam demonstrasi adalah mereka yang
sudah berpengalaman dalam berorganisasi sejak
mereka masih berada di bangku Sekeloah
Menengah Umum (SMU). Hal itu menunjukan
bahwa tindakan mahasiswa dalam melakukan
demonstrasi, tidak hanya dimotivasi oleh
keinginan untuk mengembangkan potensi diri
tetapi juga merupakan bentuk kepedulian
terhadap permasalahan mahasiswa, terutama
terkait dengan kondisi kebijakan yang dianggap
tidak memihak kepada kepentingan mahasiswa.
Apalagi kemudian mereka sudah memiliki
pengalaman dan bakat untuk berorganisasi
sehingga dengan organisasi para aktivis itu bisa
membangun dan mengembangkan relasi dengan
berbagai pihak dengan tujuan untuk
memperjuangkan kepentingan mahasiswa.
Gerakan demonstrasi yang dilakukan oleh
mahasiswa merupakan bagian dari upaya yang
diharapkan dapat mewujudkan perubahan
dilingkungan kampus menjadi lebih baik
terutama dalam upaya menciptakan kampus
yang bersih dan akuntabel.
Demonstrasi mahasiswa, secara historis memang
seringkali berhasil dalam mendorong terjadinya
perubahan. Gerakan-gerakan yang dilakukan
mahasiswa sampai saat ini masih dipercaya
sebagai agent of change, dan juga merupakan
kontrol masyarakat sipil dalam penyelenggaraan
pemerintahan terutama lingkungan kampus.
Fenomena itu juga dapat ditemukan dalam
gerakan mahasiswa di Kampus Unhalu. Setiap
ada gerakan demonstrasi yang di kampus, pasti
dimotori oleh para aktivis mahasiswa. Mereka
selalu berada dilini terdepan untuk menyuarakan
kepentingan mahasiswa sekaligus untuk
mendorong perubahan. Sebagian besar
mahasiswa yang menjadi informan penelitian ini
mengakui bahwa demonstrasi mahasiswa yang
dibangun di kampus tidak bisa dilepaskan
dengan isu nasional, meskipun ada juga gerakan-
gerakan mahasiswa di Kampus yang membawa
atau menggandeng isu-isu lokal yang terjadi di
kampus. Dengan mengetahui fenomena yang
terjadi serta memiliki kesadaran dan mempunyai
kapasitas untuk bertindak, mereka dapat
melibatkan diri dalam gerakan mahasiswa.
Umumnya, mahasiswa terlibat dalam suatu
gerakan karena mereka tahu dan sadar bahwa ada
sesuatu yang tidak beres di luar sana (di
lingkunganya) yang terkait dengan sistem dan
praktek tata kepemerintahan di kampus. Aspek-
aspek itulah umumnya yang mendasari atau
melatar belakangi lahirnya gerakan demonstrasi
mahasiswa di kampus. Demonstrasi mahasiswa
yang tergabung dalam kelembagaan mahasiswa
atau gerakan yang dilakukan secara
terkonsolidasi diakui menjadi alat kontrol yang
efektif. Lingkungan kampus yang bebas untuk
mengembangkan demokrasi menjadikan aktivis
dalam lembaga kemahasiswaan juga merasa
bebas dalam mengeluarkan gagasan, pendapat
atau aspirasi untuk kemudian diperjuangkan.
Mereka mau mewujudkan idealismenya, asalkan
sistem dan tatanan yang ada juga tidak
mengkoptasi gerakan mahasiswa. Kalau sistem
yang ada mengekang atau membatasi ruang
gerak mahasiswa, maka untuk memudahkan
pengembangan gerakan, terlebih dahulu
75
mendorong perubahan sistem yang ada. Untuk
membangun gerakan yang efektif, kondisi
kelembagaan mahasiswa yang tidak netral atau
dikendalikan penguasa kampus harus disterilkan
terlebih dahulu.
Sebagian mahasiswa mengatakan bahwa
para aktivis mahasiswa yang sering terlibat
dalam aksi demonstrasi dilingkungan kampus
pada umumnya adalah mereka yang sering
terlibat dalam gerakan-gerakan demonstrasi
diluar kampus. Proses penguatan kapasitas diri
para mahasiswa dilakukan melalui berbagai cara
seperti sistim kaderisasi, diskusi, kajian,
membaca buku, koran, menulis artikel dimedia
dan lain-lain. Dengan demikian, para mahasiswa
memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu-
isu yang berkembang yang terjadi di lingkungan
kampus. Ruang demokrasi telah memberi
kebebasan kepada semua elemen masyarakat
terutama mahasiswa untuk selalu mewujudkan
keresahan mereka terhadap berbagai kebijakan
kampus yang dianggap merugikan mahasiswa
untuk selalu melakukan aksi perlawanan dalam
bentuk demonstrasi. Apalagi mereka
menganggap bahwa demonstrasi merupakan
salah satu cara terampuh untuk memperjuangkan
aspirasi mereka sehingga kemudian mendapatkan
perhatian dari para pengambil kebijkan
dilingkungan universitas maupun fakultas.
Namun sebagian mahasiswa juga menyandari
bahwa dalam setiap demonstrasi, fenomena pro
dan kontra dalam aksi demonstrasi selalu saja
muncul. Dan itu mereka anggap sebagai
dinamika dalam gerakan demonstrasi. Mereka
juga mengakui bahwa konflik kepentingan dalam
demonstrasi selalu mewarnai proses-proses aksi
atau gerakan yang dilakukan. Di satu sisi, ada
demonstrasi yang secara tegas mengoreksi
kebijakan yang dianggap merugikan mahasiswa
tetapi di sisi lain ada sekelompok orang yang
selalu berupaya untuk mempertahankan status
quo dengan melakukan berbagai upaya hingga
mengarah pada tindakan intimidatif. Kelompok
ini selalu beranggapan bahwa gerakan koreksi
yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa
dianggap sebagai upaya merongrong
kewibawaan para pengambil kebijakan di tingkat
kampus. Mereka biasanya berupaya melakukan
upaya-upaya loby untuk meredam demonstrasi
yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Bagi
sebagian informan mengatakan bahwa
pengalaman seperti ini sangat penting bagi
mahasiswa dalam rangka melatih diri dalam
memperjuangkan kepentingan yang lebih besar
untuk kepentingan bersama. Isu-isu yang sering
kali menjadi perhatian mahasiswa untuk
melakukan demonstrasi adalah seperti isu
beasiswa, kenaikan spp, perbaikan gedung
perkuliahan, biaya praktikum dan lain-lain yang
dianggap bersentuhan langsung dengan
lkepentingan mahasiswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat
dijelaskan bahwa menurut persepsi mahasiswa,
faktor yang melatari munculnya demonstrasi
mahasisswa adalah factor dari dalam (internal)
dan dari luar (eksternal). Faktro dari dalam
meliputi ; semangat untuk mempraktekan ilmu
dan pengetahuan yang diperoleh dari bangku
kuliah ke dalam kehidupan sosial sebagai bagian
dari cara memantapkan pengetahuan yang
dimiliki ke dalam pengalaman nyata; keinginan
untuk menunjukkan potensi dan kekuatan yang
dimiliki kepada mahasiswa lain sebagai bentuk
aktualisiasi diri; sebagai upaya mengembangkan
karir dan reputasi intelektual menuju masa depan
yang lebih baik. Faktor ini oleh sebagian
mahasiswa diakui sebagai perwujudan dari
kesadaran mahasiswa atas kapasitas dirinya
sehingga tidak mempersoalkan penilaian
mahasiswa atas tindakan yang dilakukan.
Sedangkan factor eksternal meliputi : semangat
untuk membela kepentingan mahasiswa atas
perlakuan yang dianggap merugikan kepentingan
mahasiswa, melakukan korekasi atas kebijakan
kampus yang dianggap bertentangan dengan
idealisme mahasiswa, dan perilaku dari para
pengambil kebijakan ditingkat kampus yang
dianggap telah menyimpang dari aturan
perundang-undangan seperti tidak transparan,
serta mendorong akuntabilitas dalam tata kelola
kampus.
76
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. Andriadi, 2007. Mahasiswa Hanya
Bisa Demo; Potret Gerakan
Mahasiswa Pasca Reformasi.
Mimpiku Bukusiana, Jakarta.
Barlian, 2011. Gerakan Mahasiswa di Kendari:
Disertasi program doktor sosiologi.
Universitas Negeri Makasar (tdk
dipublikasikan).
Blumer, Herbert, 1995. Attitude and Social Act:
Simbolic Interaction. Free Press, New
York.
Bogdan, Robert, and Steven J. Taylor.1975.
Introduction to Qualitative Research
Methods: A Phenomenological
Approach to Social Sciences. John
Wiley & Sons, New York.
Chaidar, Al, dan Sahrasad, Herdi, dan, Rahman,
M. Fajroel, 2000. Gerakan
Mahasiswa, Rezim Tirani dan
Ideologi Reformasi. Madani Press,
Jakarta.
Cresswell, John W. 1994. Research Design
Qualitative and Quantitative
Approaches. SAGE Publications,
London, New Delhi.
Culla, Adi Suryadi, 1999. Patah Tumbuh Hilang
Berganti Sketsa Pergolakan
Mahasiswa Dalam Politik Dan
Sejarah Indonesia (1908-1998). PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Denzin, Norman K and Lincoln Yvonna S. 1994.
Handbook of Qualitative Research.
Sage Publications. Internacional
Educational and Professional
Publisher. Thousand Oaks London
New Delhi.
Dody Rudianto, 2010. Gerakan Mahasiswa
Dalam Perspektif Perubahan
Nasional. Golden Terayon Press,
Jakarta.
JA, Deny, 1998. Menjelaskan Gerakan
Mahasiswa dalam Dedy Jamaluddin
Malik, Gejolak Reformasi Menolak
Anarki. Wacana Mulia, Bandung.
Magenda, Burhan D, 1995. Gerakan Mahasiswa
Dan Hubungannya Dengan Sistem
Politik: Suatu Tinjauan”, dalam
Analisis Kekuatan Politik di
Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia-
Jakarta.
77
PENERAPAN METODE PEMECAHAN MASALAH DALAM PENINGKATAN HASIL
BELAJAR MATEMATIKA
(Suatu studi di SDN 01 Poasia) Kota Kendari tahun 2012
Oleh:
Nana Sumarna1
Abstrak. Metode pemecahan masalah merupakan suatu metode ilmiah yang digunakan
dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan pemecahan masalah adalah cara penyajian
bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis
dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.
Studi ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013 di SDN 01 Poasia
dengan mengambil sampel kelas V. Prosedur penelitian menggunakan alur penelitian
tindakan kelas. Fokus materi adalah materi pecahan yang sedang dipelajari oleh siswa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa proses keterlaksanaan skenario pembelajaran aktivitas guru
pada siklus I pertemuan 1 sebesar 77,5% dan pada siklus I pertemuan 2 aktivitas guru
mencapai 85%, sedangkan pada siklus II pertemuan 1 sebesar 90% dan pada siklus II
pertemuan 2 meningkat menjadi 97,5%. Aktivitas siswa pada siklus I pertemuan 1 sebesar
76,42% dan pada siklus I pertemuan 2 mencapai 87,85%, sedangkn pada siklus II pertemuan
1 sebesar 95,71% dan pada siklus II pertemuan 2 meningkat menjadi 97,14%. Dari segi hasil
belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 52,5% atau sebanyak 21 orang dari 40
siswa yang tuntas memperoleh nilai ≥ 70 dengan nilai rata-rata 79,48, sedangkan pada
siklus II meningkat menjadi 82,5% atau sebanyak 33 orang dari 40 siswa yang tuntas
memperoleh nilai ≥ 70 dengan nilai rata-rata 89,84.
Kata kunci: Pemecahan masalah, hasil belajar, Pecahan
1 Dosen PGSD FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pembelajaran matematika adalah proses
pemberian pengalaman belajar kepada peserta
didik melalui serangkaian kegiatan yang
terencana sehingga peserta didik memperoleh
kompetensi tentang bahan matematika yang
dipelajari (Muhsetyo, 2008: 1.26). Oleh karena
itu, pembelajaran matematika hendaknya
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar
memperoleh hasil yang maksimal.
Namun pada kenyataannya untuk
pembelajaran matematika di Sekolah Dasar
belum sesuai dengan harapan. Salah satu
penyebabnya adalah cara pengajaran dari guru
yang kurang mengaktifkan siswa dalam proses
pembelajaran. Hal tersebut membuat siswa
menjadi kurang berminat dan termotivasi dalam
mengikuti proses pembelajaran. Akibatnya nilai
rata-rata hasil belajar siswa menjadi rendah. Hal
ini jelas sangat memperihatinkan mengingat
betapa pentingnya matematika dalam dunia
pendidikan.
Masalah yang sama sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya juga terjadi di SDN 01
Poasia. Berdasarkan data yang diperoleh
menujukkan bahwa nilai rata-rata ulangan harian
matematika pada materi operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan pecahan siswa
kelas V C semester genap tahun pelajaran
2011/2012 hanya sebesar 61,14. Nilai ini berada
dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang ditetapkan di Sekolah tersebut yaitu
minimal ≥ 70. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
78
belajar matematika di kelas V C SDN 01 Poasia
belum optimal dan masih perlu diperbaiki.
Berdasarkan maslah tersebut, upaya
mencari akar penyebab masalah dengan
melakukan beberapa kegiatan antara lain:
1. Melakukan observasi pada saat guru
mengajar. Dari hasil observasi tersebut,
peneliti menemukan bahwa salah satu faktor
yang menyebabkan rendahnya hasil belajar
siswa adalah karena pembelajaran lebih
berpusat pada guru (teacher centered).
Adapun metode pembelajaran yang
digunakan guru lebih didominasi oleh metode
ceramah. Akibatnya siswa cenderung pasif
dalam menerima materi pembelajaran yang
diberikan oleh guru.
2. Melakukan wawancara dengan siswa tentang
pelajaran yang diikuti. Dari hasil wawancara
tersebut, peneliti menemukan bahwa faktor
lain yang menyebabkan rendahnya hasil
belajar siswa adalah karena adanya rasa
jenuh dari siswa dengan pola pembelajaran
dari guru yang sama terus-menerus yakni
guru selalu menggunakan metode ceramah
terus-menerus. Akibatnya siswa menjadi
kurang berminat dan termotivasi dalam
mengikuti proses pembelajaran.
3. Melakukan observasi tentang hasil kerja
siswa pada materi penjumlahan dan
pengurangan pecahan. Tujuan dari kegiatan
ini adalah peneliti ingin mengetahui
penyebab rendahnya nilai rata-rata ulangan
harian matematika pada materi operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan pecahan siswa
kelas V C tahun pelajaran 2011/2012.
Dengan mengetahui hal tersebut peneliti
dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan
yang terjadi saat itu untuk tidak terulang lagi
pada kelas V C yang sekarang. Hasil
observasi menujukkan bahwa: (1) Siswa
kurang memahami masalah yang terdapat
pada soal. Hal ini dapat dilihat pada
pekerjaan siswa yang salah dalam
mengidentifikasi hal yang diketahui dalam
soal, (2) Siswa kurang teliti dalam
menyelesaikan soal. Hal ini terlihat dari
jawaban yang diperoleh siswa meskipun
model matematikanya sudah benar namun
masih ada kesalahan pada jawaban akhirnya,
(3) Siswa jarang memeriksa kembali jawaban
yang telah diperolehnya. Hal ini disebabkan
karena kurangnya pemahamanan dari siswa
tentang manfaat dari memeriksa kembali
jawaban yang telah diperolehnya.
Untuk dapat mengatasi masalah
sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya guru memerlukan suatu metode yang
tepat. Salah satu metode yang tepat untuk
mengatasi masalah tersebut adalah metode
pemecahan masalah. Metode ini mampu
menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam
belajar matematika. Hal ini disebabkan karena
metode ini memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada siswa untuk memecahkan
masalah matematika yang dihadapinya. Guru
hanya perlu membimbing siswa secara bertahap
agar siswa dapat menemukan solusi dari masalah
yang dihadapinya. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Hudojo
(dalam Kaimudin, 2008: 77) bahwa matematika
yang disajikan dalam bentuk masalah-masalah
akan memberikan motivasi bagi siswa untuk
mempelajari matematika dengan baik.
Selain itu, dengan menggunakan metode
pemecahan masalah pembelajaran yang semula
bepusat kepada guru (teacher centered) dapat
berubah menjadi berpusat pada siswa (student
centered). Hal ini disebabkan karena
pembelajaran dengan pemecahan masalah
menekankan pada tiga hal yaitu: (1)
meningkatkan sikap positif siswa terhadap
matematika, (2) mendorong siswa berpartisipasi
lebih aktif, dan (3) menghadapkan siswa pada
keterampilan yang menantang agar siswa terlatih
melakukan pemecahan masalah dan berfikir
analitik ( Chicko dalam Kaimudin, 2008: 79).
Akibatnya siswa akan cenderung berpatisipasi
lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Adapun langkah-langkah untuk
memecahkan masalah adalah sebagai berikut: (1)
pemahaman masalah (understanding the
problem), (2) merencanakan pemecahan atau
penyelesaian (devising a plan), (3) melaksanakan
rencana pemecahan atau perhitungan (carrying
out the plan), dan (4) memeriksa proses atau
hasil perhitungan (looking back) (Polya dalam
Kaimudin, 2008: 83). Dengan langkah-langkah
pemecahan masalah tersebut diharapkan siswa
mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah
khususnya dalam bentuk soal cerita.
79
Metode Pemecahan Masalah merupakan
metode mengajar yang lebih tinggi tingkatnya
dari cara belajar lainnya. Untuk memecahkan
masalah diperlukan aturan-aturan tingkat tinggi,
aturan-aturan dan konsep terdefinisi. Untuk
memperoleh aturan-aturan ini sudah harus
belajar konsep konkrit, dan untuk belajar konkret
harus menguasai diskriminasi-diskriminasi
(Dahar, 1989:135). Dalam bidang Pendidikan
Dasar Survey (PDS), pemecahan masalah dapat
berupa penyelesaian soal-soal, yang biasanya
lebih banyak pada soal-soal yang memerlukan
kemampuan pemahaman konsep dan aplikasinya.
Metode pemecahan masalah juga
memiliki beberapa keunggulan. Adapun
keunggulan dari metode pemecahan masalah
adalah sebagai berikut: (a) mengembangkan
kemampuan berpikir ilmiah, (b) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, (c) mempelajari
bahan pelajaran yang aktual dengan kebutuhan
dan perkembangan masyarakat, (d) jika
dilaksanakan secara kelompok dapat
mengembangkan kemampuan sosial siswa, (e)
mengoptimalkan kemampuan siswa (dalam
Anitah, 2009: 5.32). Oleh karena itu, metode ini
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas V C di SDN 01 Poasia.
Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah penerapan
metode pemecahan masalah dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas V C pada materi
pecahan di SDN 01 Poasia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V C pada
materi pecahan melalui penerapan metode
pemecahan masalah di SDN 01 Poasia.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Belajar
Menurut Gagne (dalam Ratna, 2011: 2)
belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisasi berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman. Sedangkan
Witherington (dalam Aunurrahman, 2009: 35)
mengemukakan bahwa belajar adalah suatu
perubahan di dalam kepribadian yang
menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari
reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepribadian atau suatu pengertian. Anitah (2009:
2.5) mendefinisikan bahwa belajar merupakan
suatu usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru, secara keseluruhan sebagai pengalaman
individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Hasil Belajar
Gagne (dalam Muhammad dan Arif, 2011:
22) mengemukakan bahwa hasil belajar berupa
hal-hal sebagai berikut:
1) Informasi verbal, yaitu kapabilitas
mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kemampuan merespons secara spesifik
terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan
tersebut tidak memerlukan manipulasi
simbol, pemecahan masalah, maupun
penerapan peraturan.
2) Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan
mempresentasikan konsep dan lambang.
Keterampilan intelektual terdiri dari
kemampuan mengategorisasi, kemampuan
analitis-sintetis fakta-konsep, dan
mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan.
Keterampilan intelektual merupakan
kemampuan melakukan aktivitas kognitif
bersifat khas.
3) Strategi kognitf, yaitu kecakapan
menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya. Kemampuan ini meliputi
penggunaan konsep dan kaidah dalam
memecahkan masalah.
4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan
melakukan serangkaian gerak jasmani dalam
urusan urusan dan koordinasi sehingga
terwujud otomatisme gerak.
5) Sikap adalah kemampuan menerima atau
menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap objek tersebut. Sikap berupa
kemampuan menginternalisasi dan
eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai
standar perilaku.
80
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar
Menurut Purwanto (dalam Muhammad
dan Arif, 2011: 31), hasil belajar dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor yang dibedakan
menjadi dua golongan sebagai berikut:
1) Faktor yang ada pada diri organisme tersebut
yang disebut faktor individual. Faktor
individual meliputi hal-hal sebagai berikut:
(a) Faktor kematangan atau pertumbuhan,
(b) Faktor kecerdasan atau intelegensi, (c)
Faktor latihan dan ulangan, (d) Faktor
motivasi, (e) Faktor pribadi.
2) Faktor yang ada di luar individu yang
disebut faktor sosial. Termasuk ke dalam
faktor di luar individual atau faktor sosial
antara lain sebagai berikut: (a) Faktor
keluarga atau keadaan rumah tangga, (b)
Suasana dan keadaan keluarga yang
bermacam-macam turut menentukan
bagaimana dan sampai mana belajar dialami
anak-anak, (c) Faktor guru dan cara
mengajarnya, (d) Faktor alat-alat yang
digunakan dalam belajar mengajar.
Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah merupakan
suatu metode ilmiah yang digunakan dalam
proses pembelajaran (Anitah, 2009: 5.31).
Menurut Sudirman, dkk (Aina Mulyana 2012,
diakses 6 Januari 2013) metode pemecahan
masalah adalah cara penyajian bahan pelajaran
dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak
pembahasan untuk dianalisis dan disintesis
dalam usaha mencari pemecahan atau
jawabannya oleh siswa.
Anitah (2009: 5.32) mengemukakan
beberapa keunggulan pembelajaran dengan
menggunakan metode pemecahan masalah
diantaranya:
1) Mengembangkan kemampuan berpikir
ilmiah
2) Mengembangkan kemampuan berpikir kritis
3) Mempelajari bahan pelajaran yang aktual
dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat
4) Jika dilaksanakan secara kelompok dapat
mengembangkan kemampuan sosial siswa
5) Mengoptimalkan kemampuan siswa
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah
penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam
kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan
tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai
guru sehingga hasil belajar siswa meningkat
(Wardhani dalam wina, 2010: 142).
Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
semester genap tahun pelajaran 2012/2013 di
kelas V C SDN 01 Poasia. Penelitian ini
dilakukan sebanyak dua siklus dan setiap siklus
terdiri dari dua kali pertemuan.
Subjek Penelitian
Adapun yang menjadi subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas V C di SDN 01
Poasia dengan jumlah siswa 40 orang, yang
terdiri dari 16 orang siswa laki-laki dan 24 orang
perempuan. Dengan sasaran utama meningkatkan
hasil belajar matematika di kelas tersebut.
Faktor yang Diteliti
Adapun faktor yang diteliti dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor guru, yaitu aktivitas guru pada saat
proses pembelajaran di kelas.
2. Faktor siswa, yaitu (a) aktivitas siswa, dan
(b) hasil pembelajaran siswa dalam
pembelajaran matematika pada materi
pecahan dengan menggunakan metode
pemecahan masalah.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) yang terdiri atas dua siklus. Adapun
langkah-langkah dalam siklus tersebut terdiri
dari perencanaan (planning), tindakan (acting),
pengamatan dan evaluasi (observing and
evaluation), serta refleksi (reflecting).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Belajar Siswa
Hasil tes siklus I menunjukan bahwa
pemahaman siswa tentang materi pembelajaran
81
yang diajarkan masih tergolong rendah karena
belum memenuhi standar ketuntasan minimal
yang ditetapkan oleh sekolah yaitu 80% siswa
telah mencapai nilai minimal 70. Berdasarkan
hasil evaluasi siklus I ini, diperoleh persentase
ketuntasan belajar klasikal sebesar 52,5%,
dimana dari 40 orang siswa yang menjadi subyek
penelitian hanya 21 orang siswa saja yang
mencapai ketuntasan belajar individual
sedangkan sisanya sebanyak 19 orang atau
sekitar 47,5% siswa belum mencapai ketuntasan
belajar. Berdasarkan dari hasil evaluasi pada
pelaksanaan tindakan siklus I yang belum
mencapai kriteria ketuntasan minimal yang
ditetapkan sekolah maka penelitian ini
dilanjutkan pada siklus II. Dengan harapan
pembelajaran dapat ditingkatkan dan mencapai
target ketuntasan belajar pada pelaksanaan
tindakan siklus II.
Selanjutnya, hasil tes siklus II
menunjukan bahwa terjadi peningkatan
ketuntasan hasil belajar klasikal siswa jika
dibandingkan dengan tes siklus I yaitu dari 40
orang siswa, yang dinyatakan tuntas adalah 33
orang siswa atau sekitar 82,5% sedangkan
sisanya sebanyak 7 orang atau sekitar 17,5%
siswa saja yang belum mencapai ketuntasan
belajar . Hal ini menunjukan bahwa ketuntasan
hasil belajar tersebut telah mencapai indikator
yang telah ditentukan yaitu 80% siswa telah
mendapatkan nilai minimal ≥70.
Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa pada pelaksanaan tindakan siklus
I, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan
pertama adalah 107 dari jumlah skor maksimum
140 dengan skor maksimum setiap kelompok
adalah 20. Untuk menentukan persentase
aktivitas siswa pada pertemuan pertama ini
caranya adalah jumlah skor perolehan semua
kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum
semua kelompok dan dikalikan dengan 100%,
sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa
pada pertemuan pertama siklus I ini adalah
76,42%.
Pada pertemuan kedua jumlah skor yang
diperoleh adalah 123 dari jumlah skor
maksimum 140 dengan skor maksimum setiap
kelompok adalah 20. Untuk menentukan
persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua
caranya adalah jumlah skor perolehan semua
kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum
semua kelompok dan dikalikan dengan 100%,
sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa
pada pertemuan kedua siklus I ini adalah
87,85%. Hal ini jika dibandingkan dengan
pertemuan pertama aktivitas siswa mengalami
peningkatan sebesar 11,43%.
Selanjutnya, berdasarkan hasil
pengamatan terhadap aktivitas siswa pada
pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah skor yang
diperoleh pada pertemuan pertama adalah 134
dari jumlah skor maksimum 140 dengan skor
maksimum setiap kelompok adalah 20. Untuk
menentukan persentase aktivitas siswa pada
pertemuan pertama ini caranya adalah jumlah
skor perolehan semua kelompok dibagi dengan
jumlah skor maksimum semua kelompok dan
dikalikan dengan 100%, sehingga diperoleh
persentase aktivitas siswa pada pertemuan
pertama siklus I ini adalah 95,71%.
Pada pertemuan kedua jumlah skor yang
diperoleh adalah 136 dari jumlah skor
maksimum 140 dengan skor maksimum setiap
kelompok adalah 20. Untuk menentukan
persentase aktivitas siswa pada pertemuan kedua
caranya adalah jumlah skor perolehan semua
kelompok dibagi dengan jumlah skor maksimum
semua kelompok dan dikalikan dengan 100%,
sehingga diperoleh persentase aktivitas siswa
pada pertemuan kedua siklus I ini adalah
97,14%. Hal ini jika dibandingkan dengan
pertemuan pertama aktivitas siswa mengalami
peningkatan sebesar 1,43%.
Aktivitas Guru dalam Pembelajaran
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
aktivitas guru pada pelaksanaan tindakan siklus
I, jumlah skor yang diperoleh pada pertemuan
pertama adalah 31 dari jumlah skor maksimum
40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4,
jadi diperoleh persentase keterlaksanaan
skenario pembelajaran oleh guru dengan
membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah
skor maksimum dan dikalikan 100 % maka,
diperoleh hasil 77,5%.
Pada pertemuan kedua jumlah skor yang
diperoleh adalah 34 dari jumlah skor maksimum
40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4,
82
jadi diperoleh persentase keterlaksanaan
skenario pembelajaran oleh guru dengan
membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah
skor maksimum dan dikalikan 100 % maka,
diperoleh hasil 85%. Hal ini jika dibandingkan
dengan pertemuan pertama aktivitas guru
mengalami peningkatan sebesar 7,5%.
Selanjutnya, berdasarkan hasil
pengamatan terhadap aktivitas guru pada
pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah skor yang
diperoleh pada pertemuan pertama adalah 36 dari
jumlah skor maksimum 40 dengan skor
maksimum setiap item adalah 4, jadi diperoleh
persentase keterlaksanaan skenario pembelajaran
oleh guru dengan membagi jumlah skor
perolehan dengan jumlah skor maksimum dan
dikalikan 100 % maka, diperoleh hasil 90%.
Pada pertemuan kedua jumlah skor yang
diperoleh adalah 39 dari jumlah skor maksimum
40 dengan skor maksimum setiap item adalah 4,
jadi diperoleh persentase keterlaksanaan
skenario pembelajaran oleh guru dengan
membagi jumlah skor perolehan dengan jumlah
skor maksimum dan dikalikan 100 % maka,
diperoleh hasil 97,5%. Hal ini jika dibandingkan
dengan pertemuan pertama aktivitas guru
mengalami peningkatan sebesar 7,5%.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Hasil belajar siswa kelas V C pada materi
pecahan di SDN 01 Poasia dapat ditingkatkan
melalui metode pemecahan masalah. Hal ini
ditunjukkan dengan hasil belajar siswa pada
siklus I yaitu dari 40 orang siswa yang
menjadi subyek penelitian sebanyak 52,5%
siswa atau sekitar 21 orang siswa yang
mencapai ketuntasan belajar individual, pada
siklus II meningkat menjadi 82,5% atau
sekitar 33 orang siswa yang mencapai
ketuntasan belajar individual, dengan
peningkatan sebesar 30%.
2. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus
I adalah 79,48 sedangkan hasil belajar siswa
pada siklus II adalah 89,84, dengan
peningkatan sebesar 10,36 poin.
3. Persentase aktivitas guru pada pelaksanaan
tindakan siklus I pertemuan pertama sebesar
77,5%, dan pada pertemuan kedua
meningkat menjadi 85%. Untuk persentase
pelaksanaan tindakan siklus II pertemuan
pertama aktivitas guru mengalami
peningkatan keberhasilan yaitu sebesar 90%.
Keberhasilan ini juga meningkat menjadi
97,5% pada pertemuan kedua.
4. Persentase aktivitas siswa pada pelaksanaan
tindakan siklus I pertemuan pertama sebesar
76,42%, dan pada pertemuan kedua
meningkat menjadi 87,85%. Untuk
persentase pelaksanaan tindakan siklus II
pertemuan pertama aktivitas guru mengalami
peningkatan keberhasilan yaitu sebesar
95,71%. Keberhasilan ini juga meningkat
menjadi 97,14% pada pertemuan kedua.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka
peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi guru-guru sekolah dasar, dapat
menerapkan metode pemecahan masalah
dalam pembelajaran matematika karena
dengan menerapkan metode pembelajaran ini
dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa.
2. Bagi Sekolah, dapat mengadakan pelatihan
metode pembelajaran termasuk metode
pemecahan masalah sehingga dapat
memperkaya pengetahuan guru dalam
memperbaiki kinerjanya.
3. Bagi peneliti lain, yang hendak melaksanakan
penelitian yang relevan dengan judul
penelitian ini, dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini dengan mengkaji lebih luas
pembahasan yang ada di dalamnya.
83
DAFTAR PUSTAKA
Anitah W., Sri. 2009. Strategi Pembelajaran.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Adnan. 2012. Penerapan Metode Problem
Solving (PS) untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika pada Materi Operasi
Hitung Campuran Bilangan Bulat Siswa
Kelas IV B di SDN 01 Poasia Kota Kendari.
Skripsi Mahasiswa Program Studi PGSD
FKIP Universitas Haluoleo Kendari.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran.
Bandung: Alfabeta.
Aina Mulyana. 2012.
http://ainamulyana.blogspot.com/2012/02/m
etode-pemecahan-masalah-problem.html
(diakses 6 Januari 2013)
Idris, Nurfatanah. 2011. Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Siswa pada Materi
Pokok Operasi Hitung Penjumlahan dan
Pengurangan Pecahan Melalui Pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
di Kelas V SD Negeri 01 Poasia. Skripsi
Mahasiswa Program Studi PGSD FKIP
Universitas Haluoleo Kendari.
Kaimudin, L. 2008. Pengantar Dasar
matematika. Kendari: Universitas Haluoleo
Karim, Muchtar A. 2007. Pendidikan
Matematika II. Jakarta: Universitas Terbuka.
Muhsetyo, Gatot, dkk. 2008. Pembelajaran
Matematika SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Musfiqon, HM. 2012. Pengembangan Media dan
Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Sanjaya, Wina. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syamrilaode. 2010.
http://id.shvoong.com/writing-and-
speaking/presenting/2063168-konsep-
pecahan-dalam-matematika/ (diakses 6
Januari 2013).
Thobroni, Muhammad & Arif Mustofa. 2011.
Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wilis Dahar, Ratna. 2011. Teori-teori Belajar
dan Pembelajaran. Bandung: Gelora
Aksara Pratama.
84
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SEARCH SOLVE CREATE AND SHARE (SSCS) UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MATERI GERAK LURUS
KELAS X2 SMAN 1 KABANGKA TAHUN AJARAN 2012/2013
Oleh:
La Harudu1
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dibantu dengan
tujuan mendeskripsikan aktivitas hasil belajar IPA Fisika siswa kelas X SMA Negeri I Kabangka
pada materi pokok gerak lurus. Setelah diajarkan dengan model pembelajaran search, solve, create
and share (SSCS) diperoleh data hasil analisis bahwa : (I) aktivitas belajar siswa kelas X.2 SMA
Negeri I Kabangka tahun 2012/2013 meningkat dari kategori cukup berubah menjadi baik melalui
kegiatan proses belajar-mengajar siklus I dan siklus II, (II) hasil belajar IPA Fisika siswa kelas X.2
SMA Negeri I Kabangka yang diajar dengan menggunakan search, solve, create and share (SSCS)
diperoleh sebesar nilai keberhasilan sebagai berikut : pada siklus I skor terendah 42,5 dan tertinggi
82,5 dengan rata-rata 64,4 dimana 5 orang siswa atau 48,4% belum tuntas dan 16 orang siswa atau
51,6% belum tuntas ini berubah setelah proses pembelajaran pada siklus II dengan presentase
keberhasilan 77,4% siswa telah tuntas dan 22,6 % siswa belum tuntas dengan presentase peningkatan
ketuntasan sebesar 29%.
Kata kunci : pembelajaran search, solve, create and share (SSCS) melalui fase pembelajaran, hasil
belajar.
1 Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo
LATAR BELAKANG
Undang-undang republik Indonesia nomor
20 tahun 2003 tentang system pendidikan
nasional telah ditetapkan degan peraturan
pemerintah no 19 tahun 2005 telah digariskan
ketentuan minimum bagi satuan pendidikan
formal harus dapat memenuhi mutu pendidikan
yang dapat diatasi degan kebijakan pemerintah
berdasarkan data-data yang handal dari lembaga
pemerintahan maupun non pemerintahan.
Mutu adalah sebuah peroses struktur untuk
memperbaiki keluaran yang dihasilkan
(Jeromes.arcaro,2007), selajutnya umaedi (1999
mejelaskan bahwa mutu mengandung makna
derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil
kerja/upah) baik berupa barang maupun jasa.
Dalam konteks hasil pendidikan mutu mengacu
pada perstasi yang dicapai oleh sekolah dalam
pada kurun waktu tertentu .
Akan tetapi capaian pendidikan (hasil belajar)
tergantung pada bahan ajaran yang berkulitas
(mohamad nuh , uji publik kurikulum 2013;31
mei 2013) makin baik bahan ajaran yang
digunakan maka capaian pandidikan makin baik
pula. Bahan ajaran sesunguhanya direncanakan
dari model pembelajaran yang dipilih oleh guru
mata pelajaran. Salah satu indikator yang
meyebabkan ketidak capaian kompentensi yang
diajarkan guru fisika dikabupaten muna
khususnya SMAN 1 KABANGKA menunjaukan
bahwa guru kurang kereatif dalam melakukan
inovasi pembelajaran baik dalam pemilihan
materi ajaran, model pembelajaran, metode,
maupun media pembelajaran sehingga siswa
cenderung pasif dan bosan dalam menghadapi
atmosfer pembelajaran dikelas.suasana kelas
bagaikan penjara yang pengap,tanpa ada alas an
kebebasan bagi peserta didik untuk menikmati
kegiatan pembelajaran yang menarik dan
menyenagkan. (moh.salam dkk,2011). Hal ini di
jumpai oleh hasil penilitian bakwa guru fisika
yang mengajar di kelas 2 SMAN I KABANGKA
yakni sebagai berikut:
1. Siswa selalu ramai pada saat pembelajaran
berlangsung sehingga konsetraksi siswa
tidak terfokus
2. Keberadaan guru di kelas kurang mendapat
perhatian siswa.
3. Siswa kurang tertarik dengan cara guru
menyampaikan materi .
85
4. Tidak ada keberanian siswa dalam
mengajukaan pertanyaan
5. Proses pembelajaran fisika cenderung
berpusat pada guru ,Partisipasi siswa pada
saat pembelajara cenderung hanya mencacat
dan mendengarkan penjelasan
guru,cenderung diam sehingga intraksi
antara guru dengan siwa berlangsung satu
arah.Inilah yang menyebabkan nilai hasil
belajaran siswa pada kelas 2 SMAN I
KABANGKA .
Berdasarkan uraian di atas maka perluh
di upayakan untuk menerapkan model
pembelajaran agar sedapat mungkin bisa
mengatasi peingkatan hasil belajar siswa .
sehingga penelitian tertarik untuk menerapkan
model pembelajaran Search,Solve,Create,And
Share (SSCS). Di mana model pembelajaran ini
di fokuskan pada siswa dalam menyelidiki
sesuaatu,membangkitkan minat bertanya serta
memecahkan masalah-masalah nyata.
Materi gerak lurus sangat
membuhtuhkan alur proses model pembelajaran
(SSCS). Karena model pembelajaran ini sudah di
rancang mengajarakan sepuluh konsep kepada
siswa untuk berpikir tingkat tinggi. sehingga
terdapat beberapah masalah yang di pandang
sebagai latar belakang penelitian yakni sebagai
berikut:
1. Bagaimana gambaran aktifitas belajar fisika
siswa kelas X2 SMAN 1KABANGKA
.Materi gerak lurus di ajarakan dengan
model pembelajaraan
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS).
2. Bagaimana gambara hasil belajar fisika kelas
X2 SMAN 1 KABANGKA materi gerak
lurus setalah di ajara dengan menggunkan
model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS).
3. Bagaimana peningkatan hasil belajaran
fiksika siwa kelas X2 SMAN 1
KABANGKA materi gerak lurus setelah di
ajarkan model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS).
4. Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan
adalah untuk mendeskripsikan aktifitas
belajar siswa ,hasil belajar siswa ,dan
peningkatan hasil belajar siswa kelas X2
SMAN I KABANGKA dengan
menggunkaan model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS).
KAJIAN PUSTAKA
Model pembelajaran Search Solve Create
and Share ( SSCS) adalah model pembelajaran
yang melibatkan siswa dalam meyelidiki sesuatu,
membangkitkan minat bertanya serta
memecahkan masalah-masalah nyata
(Pizzin,Ramos,2010;15-19) yang terdiri dari
empat (4) fase yakni;
1. Fase search terfokus pada ide-ide yang dapat
memudahkan mengidentifikasi serta
mengembangkan pertanyan yang akan
diselidiki.
2. Fase solve berpusat pada masalah spesifik
yang telah diidentifikasi pada search
sehingga siswa dapat menghasilkan dan
menetukan jawaban yang benar . masalah
sepesifik yang sudah terjawab semianya
dihubungkan kedalam suatu sekema
konseptual siswa .
3. Fase create mengharuskan siswa untuk
menghasilkan suatu produk terkait
permasalahan,membandikan data degan
masalah, melakukan generalisasi,
memproduksi data mejadi tingkat paling
sederhana . sehingga dapat mengembangkan
suatu produk invofatif yang
mengkomunikasikan fase search ke fase
solva.
4. Fase share adalah melibatkan siswa dalam
megkomunikasikan jawaban terhadap
masalah / pertanyaan.
Aktifitas siswa pada kegiatan belajar
megajar dapat diamati dari seringnya siswa
bertanya pada guru, berani menjawab pertanyaan
, mau megerjakan tugas, mgemukakan pendapan
dan sebagainya. Sehingga aktifitas siswa
merupakan keterlibatan siswa dalam bentuk
sikapa, pikiran, dan perhatian, sedangkan guru
sebagai pembimbing dab meyediakan bahwa
pelajaran berperilaku sebagai mediator, dan
faselitator. Arikunto dalam iskandar (2008.128)
Aktifitas belajar siswa berujung pada
hasil belajar merupakan capaian pendidikan
dalam peroses belajar megajar dikelasifikasikan
dalam tiga keyakinan yakni sebagai berikut:
86
Ranah hasil belajarkongnitif berkenaan
degan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari enama aspek yakni pengetahuan,
pemahaman aplikasi, analisis, sintensis, dan
evalusi.
Ranah hasial belajar efektif berkenaan degan
partisipasi siswa dalam pelajaran, sikap
khusus siswa,respon siswa dalam kegiatan
membaca,meyimak, maupun menulis
(susanto,2009;7).
Ranah hasil belajar psikomotorik berkenaan
degan hasial belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak.menurut
Arikunto(2005) pengukuran ranah
pesikomotorik dilakukan degan hasil – hasil
belajar yang berupa penampilan seperti
keterampilan meyiapkan alat,
memperhatikan kebersihan serta kerja sama.
Hasil belajar menurut ahli psikologi
modern dibagi tiga perinsip ;
1) Belajar selalu di mulai degan suatu masalah
dan berlangsung sebagai usaha untuk
memecahkan masalah .
2) Peroses belajar selalu merupakan usaha
untuk memecahkan atau memahami
hubungan antara bagian –bagian masalah itu.
3) Belajar itu berhasil bila disadari telah
ditemikan hubungan di antara unsur-unsur
dalam masalah itu sehigga diperoleh insting
atau wawasan. (Rusyam ,at.1989;90).
Sedangkan menurut wawan (2009) ada
empat (4) perinsip belajar ;
1) Perinsip kesiapan; tingkat keberhasilan
belajar tergantung pada kemampuan siswa.
2) Prinsip asosi; tingkat keberhasilan
tergantung pada kemampuan siswa
megasosiasikan hubugan – hubugan apa
yang sedang dipelajari .
3) Prinsip latihan; mempelajari sesuatu itu
perlu berulang–ulang baik memepelajari
pengetahuan keterampilan.
4) Prinsip efek (akibat); situasi emosional pada
saat belajar akan memepegaruhi hasil
belajarnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini
dilaksanakan dalam dua siklus dengan
menerapkan Model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS),siklus 1
dua kali pertemuan dan siklu 2 satu kali
pertemuan dengan indicator ketuntasan minimum
sebesar 64, penelitian ini dilakasanakan pada
semester genap tahun 2012 dikelas x2 SMAN
1KABANGKA tahun ajaran 2011/2012 diikuti
oleh 31 orang siswa terdiri dari 11 siswa laki-laki
dan 15 orang siswi perempuan. Faktor yang
diselidiki yakni sebagai berikut ;
(1) Aktifitas belajar siswa
(2) Hasil belajar siswa dan
(3) Peningkatan hasil belajar siswa
Hasil observasi awal bersama guru bidang studi
fisika ditetapkan tindakan yang digunakan dapat
meningkatkan aktifitas belajar siswa dan hasil
belajar siswa adalah degan mengunakan Model
pembelajaran Search,Solve,Create,And Share (
SSCS) degan tahap-tahap.
1. Perencanan meliputi kegiatan sebagai
berikut ; membuat rencanan prosese
pembelajaran RPP01,lembar kegiatan siswa
(lks),instrument keaktivan siswa, keaktivan
guru, soal tes evaluasi hasil belajar besrta
kuncinya untuk tes siklus 1guru, soal tes
evaluasi hasil belajar besrta kuncinya untuk
tes siklus 1.
2. Pelaksanan tindakan ; meliputi pelaksanan
scenario pembelajaran dalam menerapakan
Model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS)
pada materi gerak lurus model degan
langkah-langkah kegiatan berikut ;
(1) Pendahuluan
(2) Kegiatan inti dan
(3) Kegiatan menutup pembelajaran
3. Observasi meliputu kegiatan ; mengamati
pelaksanaan Model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS)
yang dilakukan guru mengamati aktivitas
belajar siswa
4. Evaluasi ; dilaksaankan pada setiap akhir
siklus pelaksanaan tindakan dagan harapan
untuk ada tidaknya peningkatan hasil belajar
siswa terhadap konsep-konsep gerak lurus
87
degan meggunakan Model pembelajaran
Search Solve Create And Share ( SSCS)
serta aktivitas belajar siswa.
5. Refleksi ; data yang diperoleh pada tahap
observasi dan evaluasi dianalisis untuk
melihat kelemahan dan keuggulan
pelaksanan Model pembelajaran
Search,Solve,Create,And Share ( SSCS)
materi gerak lurus sehigga dapat menetapkan
langka – langkah lebih lanjut pada siklus
berikutnya. Degan target keberhasilan
penelitian dan ketentuan belajar klasikal
yang ditentukan minimal 75% dan skor hasil
belajar paling rendah kkm yang ditetapkan
sekolah adalah 65.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan
dalam dua siklus dengan menerapkan model
pembelajaran Search, Solve, Create, and Share
(SSCS), siklus I dua kali pertemuan dan siklus
II satu kali pertemuan yang diamati langsung
oleh guru fisika. Dengan indikator ketuntasan
minimum sebesar 64 ,Penelitian ini
dilaksanakan pada semester Genap tahun 2012 di
kelas X2 SMAN kabangka tahun ajaran
2011/2012 di ikuti oleh 3 orang siswa Terdiri
dari 11 siswa laki-laki dan 15 orang siswa
perempuan Faktor yang di diselidiki
yakni Sebagai berikut : (1) aktifitas belajar siswa
(2) hasil blajar siswa dan (3) peningkatan hasil
belajar siswa
Hasil observasi awal bersama guru bidang
studi fisika ditetapkan tindankan yg di gunakan
dapat Menigkatkan aktifitas belajar siswa dan
hasil belajar siswa adalah dengan menggunakan
model pembelajaran Search, Solve, Create, and
Share (SSCS) dengan tahap- tahap :
1. Perencanaan meliputi kegiatan berikut;
membuat rencana proses pembelajaran
RPP01, lembar Kegiatan siswa ( LKS),
instrument keaktifan siswa, keaktifan guru,
soal teks efaluasi hasil Belajar besrta
kuncinya untuk teks siklus 1.
2. Pelaksanaan tindakan ; meliputi kegiatan
pelaksannan sekenario pembelajaran dalam
menerapkan model pembelajaran searah:
Search, Solve, Create, and Share (SSCS)
dilakukan oleh dua orang guru model dengan
langkah-langkah berikut: (a) Pendahualua,
(b) kegiatan inti, dan (c) kegiatan menutup
pembelajaran.
3. Observasi meluputi kegiatan ; mengamati
pelaksanaan model pembelajaran Search,
Solve, Create, and Share (SSCS) yang
dilakukan guru mengamati aktifitas belajar
siswa.
4. Evalusai ; dilaksanakan pada setiap akhir
siklus pembelajaran tindakan dengan
harapan untuk mengetahui ada tidaknya
peningkatan hasil pelajar terhadap konsep-
konsep guru harus dengan menggunakan
model pembelajaran Search, Solve, Create,
and Share (SSCS) serta aktivitas belajar
siswa.
5. Refleksi ; data yang
diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi
di analysis untuk melihat kelemahan dan
keunggulan pelaksanaan model
pembelajaran Search, Solve, Create, and
Share (SSCS) materi gerak lurus sehingga
dapat menetapkan langkah-langkah lebih
lanjut pada siklus berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas siswa dalam proses belajar-
mengajar dengan menggunakan model
pembelajarn Search, Solve, Create, and Share
(SSCS) diamati disajikan pada tabel I.
Tabel I Rata-rata aktivitas siswa pada setiap
siklus
No Aspek yang dinilai Siklus
I II
1 Mendengarkan dan
memperhatikan pejelasan
guru
3,5 3,7
2 Melakaukan pendidikan
awal tentang suatu masalah
yang diberikan
2,8 3,5
3 Meletakkan ide-ide mereka
dalam sebuah daftar apa
yang diketahui dan apa
yang ditanyakan
3,0 3,4
4 Mencari solusi dan
masalah yang ada
2,7 3,3
5 Mengumpulkan data dan
menganalysis serta
2,7 3,4
88
No Aspek yang dinilai Siklus
I II
menyelesaikannya
6 Menghasilkan produk yag
berupa solusi masalah yang
di buat dalam daftar benar
atau salah
2,7 3,5
7 Menyusun hasil
penyelidikan
3,0 3,1
8 Memprestasekan hasil
penelitian
2,8 3,5
9 Menanggapi setiap hasil
penyelidika yang di
paparka oleh kelompok
lain
3,0 3,6
No Aspek yang dinilai Siklus
I II
10 Mengajukan pertanyaan
tenteng konsep/ perinsip
yang belum di mengerti
daari materi yang di
ajarkan
2,7 3,1
Rata-rata aktifitas siswa 2,9 3,4
Kategori cuk
up
Bai
k
Selanjutnya data hasil belajar siswa
setelah dianalisis secara deskritis pada materi
gerak lurus yang di laksanakan dua siklus di
sajikan pada tabel 2.
Tabel : 2 hasil belajar siswa dalam setiap siklus.
No Urutan siswa KKM Siklus I Siklus II
Nilai Kategori Nilai Kategori 1 AG 64 77,5 ST 90,9 ST
2 AK 64 70,0 ST 84,1 ST
3 AB 64 60,0 BT 63,6 BT
4 DP 64 62,5 BT 86,4 ST
5 DA 64 72,5 ST 86,4 ST
6 HJ 64 62,5 BT 75,0 ST
7 HN 64 72,5 ST 81,8 ST
8 HS 64 82,5 ST 81,8 ST
9 IP 64 61,0 ST 77,3 ST
10 IF 64 55,0 BT 99,1 BT
11 JA 64 80,0 ST 84,1 ST
12 JS 64 80,0 ST 84,1 ST
13 LS 64 82,5 ST 68,2 ST
14 LF 64 65,0 ST 68,2 ST
15 LD 64 47,5 BT 61,4 BT
16 LT 64 72,5 ST 79,5 ST
17 MU 64 62,5 BT 81,8 ST
18 MM 64 77,5 ST 86,4 ST
19 MB 64 47,5 BT 61,4 BT
20 MH 64 52,5 BT 79,5 ST
21 NR 64 57,5 BT 61,4 BT
22 NT 64 80,0 ST 95,5 ST
23 NA 64 60,0 BT 77,3 ST
24 RN 64 55,0 BT 63,6 BT
25 SR 64 42,5 BT 63,6 BT
26 SS 64 75,0 ST 79,5 ST
27 ST 64 70,0 ST 77,3 ST
28 SN 64 50,0 BT 77,3 ST
29 WE 64 50,0 BT 81,8 ST
30 WH 64 60,0 BT 77,3 ST
31 LI 64 65,0 ST 88,6 ST
89
Dari data pada tabel tersebut diatas, dapat diringkas sebagai berikut:
Nilai rata-rata 64,4 76,8
Nilai tertinggi 82,5 95,5
Nilai terendah 42,5 59,1
Standar deviasi 11,2 9,9
Jumlah ST 15 24
Jumlah BT 16 7
% sudah tuntas 48,4 77,4
% Belum Tuntas 51,6 22,6
Keterangan ; ST = SUdah Tuntas dan BT = Belum Tuntas
PEMBAHASAN
Analisis deskriptis menunjukkan rata-rata
aktivitas belajar siswa pada siklus I sebesar 2,9
berada pada kategori cukup yang didominasi
oleh indikator-indikator berikut: mencari solusi
dari masalah yang ada, mengumpulkan produk,
dan mengajukan pertanyaan.
Selain itu faktor lain yang mempengaruhi
model pembelajaran search, solve, create and
share (SSCS) yang dilaksanakan guru, hal baru
bagi siswa sehingga suasana kelas tidak
kondusif. Untuk mengatasi hal itu peneliti
bersama guru mata pelajaran fisika melakukan
refleksi yaitu sebagai berikut: memberikan
motivasi dan apresepsi, menciptakan situasi
membimbing dan mengarahkan siswa, membantu
siswa dalam mengaitkan pengalaman,
penguasaan kelas semuanya itu masih berada
pada kategori cukup. Indikator-indikator ini yang
diperbaiki pada siklus II menunjukkan adanya
peningkatan dimana dari kategori cukup
meningkat menjadi baik (2,9 berubah menjadi
3,4) ini terlihat indikator aktivitas siswa
semuanya berada dalam kategori baik dan sangat
baik.
Hasil belajar berdasarkan analisis
deskriptif yang ditunjukkan pada setiap siklus
mengalami peningkatan. Pada siklus I skor
capaian yang dicapai siswa bervariasi dengan
rincian skor minimum 42,5 dan skor maksimum
82,5 dan rata-rata skor hasil belajar siswa
sebesar 64,4, dimana 15 orang siswa atau 48,4%
telah mencapai KKM dan 16 orang siswa atau
51,6 % belum mencapai KKN. Pada siklus II,
skor minimum hasil belajar siswa sebesar 59,1,
skor maksimum 95,5 dan rata-rata hasil belajar
sebesar 76,8, dimana 24 orang siswa atau 77,4 %
telah memenuhi KKM dan 7 orang siswa atau
22,6% belum memenuhi KKM. Peningkatan
hasil belajar dari siklus I ke siklus II sebesar 12,4
ini adalah efek dari model pembelajaran search,
solve, create and share (SSCS) yang dilakukan
peneliti pada pokok bahasan gerak lurus.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis deskriptif terhadap data
penelitian ini maka dapat diungkapkan beberapa
kesimpulan:
1. Aktivitas belajar siswa kelas X.2 SMA
Negeri I Kabangka tahun ajaran 2012/2013
yang diajar dengan model pembbelajaran
search, solve, create and share (SSCS) yang
dilaksanakan melalui siklus I ke siklus II
mengalami peningkatan dari kategori cukup
(2,9) berubah menjadi baik (3,4)
2. Hasi belajar siswa pada siklus I cukup
bervariasi mulai dari skor 42,5 hingga 82,5
dengan skor rata-rata kelas 64,4. Ini
menunjukkan telah mencapai KKM yang
ditentukan sekolah sedang pada siklus II
juga bervariasi dari skor 59, hingga 95,5
dengan rata-rata sebesar 78,8.
3. Hasil belajar siswa setelah diajarkan dengan
model pembelajaran search, solve, create
and share (SSCS) meningkat dimana rata-
rata hasil belajar siswa pada siklus I 64,4
berubah pada siklus II 76,8 dengan
presentase ketuntasan juga meningkat dari
68,4 % menjadi 77,4 %.
90
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang
system pendidikan nasional. Jakarta.
Muh Salam dkk. 2011. Laporan Penelitian
Pemetaan Kompetensi Dan
Pengembanggan Mutu Pendidikan SMA di
Kota Kendari dan Kabupaten Muna
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Nuh Muhammad. 2013. Seminar Nasional Uji
Publik Kurikulum 2013. Unhalu Kendari.
Jamiludin. 2011. Laporan Penelitian Pemetaan
Kompetensi dan Pengembangan Mutu
Pendidikan SMA Kabupaten Bombana
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ramsan. 2010. Model Pembelajaran search,
solve, create and share (SSCS) untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep dan
Berpikir Kritis Siswa SMP topic Cahaya
Tesis Paada SP Supi Bandung.
Iskandar. 2008. Penelitian Tindak Kelas.
Cipayung Gaurg Persada Pers.
Susanto P. 2006. Pengajaran Mikro berbasis
Kompetensi Malang UPT PPL UM.
Rusyam, AT. Dkk. 1989 Pendekatan dalam
Proses belajar mengajar Bandung Remaja
Rosa Karya.
91
IDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA KELAS XII IA SMA
NEGERI 6 KENDARI PADA PELAJARAN BIOLOGI
MATERI TRANSPOR MEMBRAN
Oleh:
M. Sirih, Murni S. Martini,
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan miskonsepsi siswa
kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari pada materi transpor membran. Sampel dalam penelitian ini
yaitu siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari yang berjumlah 122 orang. Metode penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan miskonsepsi siswa pada materi
transpor membran. Pengumpulan data menggunakan tes tertulis berupa tes pilihan ganda beralasan
yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil analisis rerata persentase tingkat pemahaman
siswa menunjukan bahwa siswa memiliki tingkat pemahaman konsep sebesar 16,38%, miskonsepsi
sebesar 39,30% dan salah konsep sebesar 44,78%. Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa siswa
mengalami miskonsepsi terbesar pada konsep krenasi sebesar 63,11% dan terendah pada konsep
isotonik sebesar 8,19%. Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa siswa mengalami miskonsepsi
mengenai penggunaan istilah-istilah pada transpor membran seperti krenasi, plasmolisis, osmosis,
difusi, hipotonik, hipertonik, isotonik, endositosis, eksositosis, hidrofilik dan hidrofobik. Siswa juga
masih mengalami miskonsepsi dalam menentukan tinggi rendahnya konsentrasi suatu larutan serta
menentukan arah perpindahan molekul pada peristiwa difusi dan osmosis.
Kata Kunci: Miskonsepsi, siswa, transpor membran.
PENDAHULUAN
Dalam suatu kegiatan pembelajaran,
penguasaan dan pemahaman konsep merupakan
salah satu hal yang sangat penting bagi siswa.
Dalam pemahaman konsep ini, siswa terkadang
dapat mengalami miskonsepsi yaitu suatu
keadaan dimana siswa memiliki konsep-konsep
yang tidak tepat karena berbeda dari konsep yang
disajikan oleh para ilmuan (Fisher, 1985 dalam
Tekkaya, 2002: 259).
Menurut Tekkaya (2002: 259) siswa
sebelum datang ke sekolah sebenarnya telah
memiliki pengetahuan awal tentang fenomena
fisik yang diperoleh sebelum belajar, atau dari
interaksi mereka dengan dunia fisik dan sosial.
Menurut Gustone, et.al., dalam Sudiatmika
(1997: 69) konsep yang dimiliki siswa itu masih
bersifat pribadi dan tidak sesuai dengan konsep
ilmiah, sehingga sangat penting bagi guru dalam
memperhatikan konsep-konsep awal yang
dimiliki oleh siswa, kemudian guru
membenarkan konsep tersebut dengan
menanamkan konsep-konsep baru yang bersifat
ilmiah.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa guru cenderung kurang memperhatikan
mengenai upaya-upaya pemberian konsep-
konsep ilmiah kepada siswa. Guru hanya
berupaya memperbaiki pola dan metode
pembelajaran yang akan dilakukan di kelas.
Sementara itu Irawan dalam Sidauruk dalam
Kustiyah (2007:24) mengungkapkan bahwa salah
satu kelemahan pendidikan yang amat mencolok
tetapi kurang diperhatikan adalah tingkat
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
pembelajaran yang masih sangat buruk. Hal ini
disebabkan karena adanya miskonsepsi terhadap
materi-materi yang dipelajari. .
Pola pembelajaran yang sangat instan
juga sering diterapkan dalam kegiatan
pembelajaran, dimana siswa dituntun agar
mampu menghafal materi pembelajaran yang
dipelajari tetapi tidak ada penekanan kepada
siswa agar memahami setiap konsep yang ada.
Pola pembelajaran dengan cara menghafal ini
sering diterapkan pada pelajaran biologi, padahal
pemahaman konsep itu jauh lebih penting dari
sekedar menghafal materi.
92
Menurut Eckstein & Shemesh dalam
Adisenjaja (2007: 69) konsep awal siswa
merupakan faktor penting yang membantu siswa
memahami konsep-konsep IPA. Konsep awal
yang dimiliki oleh siswa terbentuk dari
pengalaman sehari-hari siswa itu sendiri. Sangat
penting untuk mengungkapkan mengenai
miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga
dapat dilakukan upaya perbaikan pada tahap
selanjutnya.
Banyak peneliti yang telah melakukan
penelitian tentang miskonsepsi yang dialami oleh
siswa, khususnya materi biologi salah satunya
mengenai transpor membran. Transpor membran
merupakan materi dengan konsep abstrak yang
menjelaskan mengenai pengangkutan dan
perpindahan molekul melalui membran plasma.
Siswa memiliki kesulitan dalam membedakan
setiap konsep-konsep mengenai transpor
membran. Konsep-konsep dalam materi transpor
membran ini menjadi dasar dalam penguasaan
konsep-konsep lainnya, sehingga sangat penting
bagi siswa dalam memahami konsep-konsep dari
materi ini.
Sekolah dengan akreditasi baik maupun
sekolah yang memiliki akreditasi kurang, tidak
menjadi patokan dalam menentukan miskonsepsi
siswa. Setiap siswa memiliki kemungkinan yang
sama untuk mengalami miskonsepsi, baik itu
siswa dari tingkatan sekolah dasar maupun
tingkat perguruan tinggi.
SMA Negeri 6 Kendari merupakan salah
satu sekolah di kota Kendari yang memiliki
sistem pengajaran baik dengan guru-guru yang
sudah berpengalaman. Berdasarkan observasi
dengan guru biologi di SMA Negeri 6 Kendari
diketahui bahwa siswa masih memiliki kesulitan
dalam memahami dan membedakan setiap
mekanisme pengangkutan pada transpor
membran. Hal ini terlihat dari kurangnya
kemampuan siswa dalam mengaitkan materi
transpor membran dengan materi selanjutnya
pada jenjang kelas yang lebih tinggi, dimana
siswa mengalami kesulitan dalam memahami
penerapan transpor membran seperti difusi,
osmosis, endositosis dan eksositosis ketika
dihadapkan pada contoh lain selain yang
diterangkan oleh guru. Ini menunjukan
kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep-
konsep tersebut.
METODOLOGI
Sampel dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas XII IA SMA Negeri 6
Kendari yang terdafar Tahun Ajaran 2012/2013
yang berjumlah 122 orang. Pengambilan sampel
ini dilakukan dengan teknik sampling jenuh
(sensus), yaitu suatu teknik pengambilan sampel
dimana semua anggota populasi dijadikan
sampel (Ramly, 2008: 61).
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
deskriptif, yang bertujuan untuk
mendeskripsikan mengenai miskonsepsi yang
dialami oleh siswa pada materi transpor
membran. Pada penelitian ini diberikan tes pada
siswa dengan menggunakan soal pilihan ganda
beralasan untuk mengidentifikasi adanya
miskonsepsi pada siswa pada materi transpor
membran.
Tes ini disusun berdasarkan pada silabus
dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
oleh guru. Tes ini diberikan pada siswa yang
telah mempelajari materi transpor membran yaitu
siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari yang
berjumlah 122 orang.
Tiap butir soal pada soal tes pilihan
ganda beralasan ini terdiri atas dua bagian yaitu
bagian pertama berisi pertanyaan dengan lima
alternatif jawaban dan bagian kedua yang berisi
alasan dari jawaban dengan lima alternatif alasan
pula. Berdasarkan hasil tes pilihan ganda
beralasan diperoleh tiga alternatif tingkat
pemahaman konsep siswa yaitu tidak paham
konsep apabila jawaban dan alasan salah,
miskonsepsi apabila jawaban benar alasan salah
maupun jawaban salah alasan benar, dan paham
konsep apabila jawaban dan alasan benar.
Pemberian skor untuk setiap butir soal
pilihan ganda pada tes pilihan ganda beralasan
yaitu 2 jika jawaban pertanyaan benar dan alasan
benar, 1 jika jawaban pertanyaan benar dan
alasan salah atau sebaliknya dan 0 jika jawaban
pertanyaan dan alasan salah.
HASIL PENELITIAN
Tingkat Pemahaman Siswa
Rerata persentase tingkat pemahaman
siswa mengenai konsep-konsep transpor
membran sebesar 16,38% tingkat paham konsep,
39,30% tingkat miskonsepsi dan 44,78% tingkat
93
belum paham konsep. Analisis tingkat
pemahaman siswa dari hasil penelitian seperti
terlihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Analisis Tingkat Pemahaman Siswa Mengenai Konsep- Konsep Transpor Membran
No
Tingkat pemahaman siswa
Nomor Item
Soal NSP %
Nomor
Item Soal NM % Nomor
Item Soal NBP %
1. 2. 0 0 12. 10 8.19 6. 13 10.65
2. 1. 1 0.81 3. 22 18.03 8. 25 20.49
3. 11. 3 2.45 2. 23 18.85 7. 26 21.31
4. 5. 5 4.09 15. 24 19.67 21. 31 25.40
5. 18. 5 4.09 9. 27 22.13 10. 36 29.50
6. 14. 7 5.73 4. 34 27.86 17. 40 32.78
7. 13. 8 6.55 23. 35 28.68 19. 43 35.24
8. 19. 8 6.55 22. 37 30.32 11. 45 36.88
9. 24. 8 6.55 7. 38 31.14 24. 49 40.16
10. 17. 9 7.37 18. 46 37.70 25. 49 40.16
11. 16. 11 9.01 14. 47 38.52 3. 54 44.26
12. 23. 11 9.01 16. 47 38.52 5. 59 48.36
13. 20. 15 12.29 20. 47 38.52 4. 60 49.18
14. 10. 17 13.93 13. 49 40.16 16. 63 51.63
15. 22. 18 14.75 8. 54 44.26 20. 63 51.63
16. 25. 19 15.57 1. 55 45.08 13. 65 53.27
17. 9. 25 20.49 6. 58 47.54 22. 65 53.27
18. 4. 27 22.13 5. 59 48.36 1. 66 54.09
19. 15. 31 25.40 21. 60 49.18 12. 66 54.09
20. 21. 31 25.40 24. 64 52.45 9. 68 55.73
21. 8. 43 35.24 10. 70 57.37 14. 68 55.73
22. 12. 43 35.24 19. 71 58.19 15. 68 55.73
23. 3. 46 37.70 25. 72 59.01 18. 72 59.01
24. 6. 51 41.80 17. 73 59.83 23. 75 61.47
25. 7. 58 47.54 11. 77 63.11 2. 96 78.68
Rerata 16.38 39.30 44.78
Pengelompokkan Tingkat Kemampuan Siswa
Persentase tingkat pemahaman siswa yang
dibagi dalam tiga tingkatan yaitu 16,39% tingkat
kemampuan tinggi dengan nilai 45,95 keatas,
63,93% tingkat kemampuan sedang dengan nilai
antara 24,44 dan 45,96 serta 19,67% tingkat
kemampuan rendah dengan nilai 24,44 kebawah.
Tabel 2. Analisis Tingkat Kemampuan Siswa
NO. Tingkat kemampuan siswa Jumlah siswa Persentase
(%) Rentang nilai
1. Kemampuan tinggi 20 16,39 >45,95
2. Kemampuan sedang 78 63,93 Antara 24,44 dan 45,96
3. Kemampuan rendah 24 19,67 <24,44
PEMBAHASAN
Berdasarkan data pengamatan diketahui
bahwa siswa mengalami miskonsepsi terhadap
konsep-konsep transpor membran. Dari data
pengamatan terlihat bahwa miskonsepsi terbesar
94
terdapat pada soal nomor 11 sebesar 63,11%
mengenai sebab terjadinya krenasi sedangkan
miskonsepsi terendah terdapat pada soal nomor
12 sebesar 8,19% mengenai larutan isotonik.
Miskonsepsi juga terjadi pada soal
nomor 17 sebesar 59,83% mengenai osmosis,
soal nomor 25 sebesar 59,01% mengenai contoh
proses eksositosis, soal nomor 19 sebesar
58,19% mengenai arah perpindahan molekul
pada proses osmosis, soal nomor 10 sebesar
57,37% mengenai proses difusi, soal nomor 24
sebesar 52,45% mengenai contoh proses
endositosis, soal nomor 21 sebesar 49,18%
mengenai arah perpindahan pelarut dari
hipotonik ke hipertonik, soal nomor 5 sebesar
48,36% mengenai letak protein perifer, soal
nomor 6 sebesar 47,54% mengenai dari molekul
penyusun membran plasma, soal nomor 1 sebesar
45,08% mengenai jenis molekul yang dapat
melewati membran plasma, soal nomor 8 sebesar
44,26% mengenai transpor aktif, soal nomor 13
sebesar 40,16% mengenai larutan hipotonik, soal
nomor 20 sebesar 38,52% perpindahan molekul
pada peristiwa osmosis, soal nomor 16 sebesar
38,52% mengenai penerapan proses osmosis,
soal nomor 14 sebesar 38,52% mengenai larutan
hipertonik, soal nomor 18 sebesar 37,70%
mengenai pertambahan volume larutan pada
peristiwa osmosis, soal nomor 7 sebesar 31,14%
mengenai transpor pasif, soal nomor 22 sebesar
30,32% mengenai penyebab terjadinya
plasmolisis, soal nomor 23 sebesar 28,68%
mengenai proses endositosis, soal nomor 4
sebesar 27,85% mengenai letak protein integral,
soal nomor 9 sebesar 22,13% mengenai
penentuan arah perpindahan molekul serta
penentuan konsentrasi larutan, soal nomor 15
sebesar 19,67% mengenai penerapan proses
osmosis, soal nomor 2 sebesar 18,85% mengenai
molekul yang dapat langsung melewati membran
sel serta jenis molekul hidrofobik dan hidrofilik,
dan soal nomor 3 sebesar 18,03% mengenai sifat
permeabilitas membran terhadap suatu molekul.
Adanya perbedaan persentase
miskonsepsi pada tiap item soal menunjukkan
adanya perbedaan penguasaan tiap konsep dari
materi transpor membran ini. Secara keseluruhan
siswa masih mengalami miskonsepsi terhadap
konsep-konsep transpor membran, dimana siswa
tidak mampu dalam membedakan setiap konsep
pada transpor membran. Misalnya perbedaan
antara konsep difusi dan osmosis, transpor aktif
dan transpor pasif, plasmolisis dan krenasi,
hidrofobik dan hidrofilik, isotonik, hipotonik dan
hipertonik, serta endositosis dan eksositosis.
Penemuan miskonsepsi yang dialami
siswa terhadap materi transpor membran,
didukung oleh penelitian yang memiliki pokok
masalah hampir sama yang telah dilakukan
Kustiyah (2007) pada siswa MAN Model
Palangkaraya. Hasil penelitian itu menyimpulkan
bahwa sebagian besar siswa MAN Model
Palangkaraya mengalami miskonsepsi terhadap
konsep difusi dan osmosis. Berdasarkan hal
tersebut, maka diketahui bahwa setiap siswa
memiliki kemungkinan yang sama untuk
mengalami miskonsepsi terhadap suatu konsep
yang sama. Hal ini diperjelas dengan pernyataan
Adeniyi (1985) dan Fisher (1985) dalam
Tekkaya (2002: 259), bahwa miskonsepsi
bersifat meluas yaitu dialami oleh individu yang
berbeda.
Berdasarkan hasil tes pilihan ganda
beralasan diketahui bahwa pemahaman
konseptual siswa masih relatif rendah, khususnya
mengenai difusi dan osmosis, arah perpindahan
pelarut selama osmosis, penentuan tinggi dan
rendahnya konsentrasi suatu larutan serta
keadaan sel jika berada pada larutan hipertonik
dan hipotonik. Adanya miskonsepsi yang dialami
oleh siswa kelas XII IA SMA Negeri 6 Kendari
terhadap konsep-konsep transpor membran,
menunjukkan bahwa miskonsepsi itu bersifat
stabil (Adeniyi, 1985 dan Fisher, 1985 dalam
Tekkaya, 2002: 259), sebab materi ini telah
diajarkan pada jenjang kelas XI. Ini
menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami
oleh siswa akan selalu terbawa oleh siswa
tersebut bahkan ketika siswa itu memasuki
jenjang kelas yang lebih tinggi.
Kegiatan pembelajaran biologi
khususnya pada konsep-konsep yang bersifat
abstrak, misalnya transpor membran lebih
menekankan pada penghafalan materi dari pada
pemahaman terhadap konsep. Ketika menghafal
siswa seringkali menumbuhkan pemahaman
sendiri terhadap konsep yang dipelajarinya.
Siswa juga menggunakan bahasa sehari-hari
yang akan memudahkan dalam memahami
konsep yang dibuat oleh siswa tersebut. Hal ini
95
dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi
sebab penggunaan bahasa sehari-hari akan
berbeda dari konteks ilmiah (Tekkaya, 2002:
260). Selain itu konsep yang dibangun sendiri
oleh siswa seringkali berbeda dengan konsep
ilmiah.
Miskonsepsi yang berhubungan dengan
transpor membran dapat berasal dari buku teks
dan penjelasan yang diberikan di kelas. Hal-hal
tersebut dapat terjadi mengingat dalam kegiatan
pembelajaran khususnya pelajaran biologi siswa
sangat tergantung pada informasi yang terdapat
pada buku teks, terlebih lagi informasi dari guru
yang diperoleh siswa melalui pembelajaran di
kelas. Guru menjadikan buku teks sebagai satu-
satunya sumber informasi dan pedoman dalam
kegiatan pembelajaran, padahal buku teks masih
banyak mengandung kesalahan dan miskonsepsi
(Adisendjaja, 2007: 9).
Seperti yang dikemukakan oleh Storey
(1990) dalam Adisendjaja (2007: 4) bahwa
terdapat kesalahan dan miskonsepsi pada buku
teks biologi tentang konsep struktur sel,
termasuk di dalamnya transpor membran. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Adisendjaja (2007), menyatakan
bahwa buku teks biologi masih mengalami
kesalahan dan juga mengalami miskonsepsi,
salah satunya tentang struktur dan fungsi sel.
Menurut Tekkaya (2002: 260), buku teks
mengandung banyak kekeliruan dan informasi
yang salah, sedangkan guru cenderung
tergantung pada buku teks dalam mengajar (hasil
penelitian Redhana dan Simamora, 2007). Jika
demikian, maka miskonsepsi yang dialami siswa,
selain berasal dari buku teks dapat juga
dikatakan berasal dari guru, dimana informasi
yang diperoleh guru melalui buku teks akan
diajarkan kepada siswa. Seperti yang
dikemukakan oleh Tekkaya (2002: 260) bahwa
salah satu penyebab terbentuknya miskonsepsi
adalah guru, dimana miskonsepsi diturunkan
oleh guru melalui kesalahan atau ketidak tepatan
dalam mengajar.
Pemberian ilustrasi-ilustrasi yang kurang
tepat mengenai materi transpor membran saat
kegiatan pembelajaran, juga memicu siswa
mengalami miskonsepsi, sebab siswa akan salah
dalam menafsirkan konsep yang sebenarnya.
Penggunaan charta/ gambar tanpa diiringi
penjelasan yang tepat dapat pula membuat siswa
mengalami miskonsepsi, dimana siswa akan
membentuk konsep berdasarkan apa yang
dilihatnya dari gambar. Hal ini dapat terjadi
sebab siswa akan membentuk konsepnya sendiri
hanya dengan memperhatikan aspek-aspek
tertentu dalam suatu situasi (Driver, 1985 dalam
Dahar, 2006: 154).
Selain itu, penyebab lain miskonsepsi
dapat pula berasal dari penggunaan istilah-istilah
selama pembelajaran, misalnya hidrofobik,
hidrofilik, isotonik, hipotonik, hipertonik.
Penjelasan istilah-istilah tersebut berbeda antara
buku teks yang satu dan yang lainnya. Jika
demikian, maka siswa akan mengalami kesulitan
dalam memahami setiap konsep, jika tidak ada
penanaman konsep yang tepat selama kegiatan
pembelajaran. Hal ini dapat terjadi mengingat
miskonsepsi tertanam dalam ekologi kognitif
siswa dan menimbulkan masalah konseptual
dalam pikiran siswa (Tekkaya, 2002: 260).
Guru juga harus memperhatikan
konsepsi awal yang dimiliki siswa mengenai
materi trasnpor membran, sebab salah satu
penyebab miskonsepsi adalah adanya konsepsi
awal siswa yang berbeda dengan konsepsi
ilmiah. Konsepsi awal ini dapat mempengaruhi
pembelajaran, sebab kadang konsepsi awal ini
sesuai dengan konsepsi ilmiah dan kadang pula
tidak sesuai atau bertentangan dengan konsepsi
ilmiah (Chinn, 2011: 66). Siswa terkadang
enggan untuk menerima konsepsi yang
sebenanrnya, sehingga siswa mengembangkan
konsepsi alternatif baru dengan menggabungkan
elemen dari konsepsi awal yang dimiliki siswa
dengan elemen dari konsepsi ilmiah (Chinn,
2011: 85). Maka, hal ini semakin memperbesar
miskonsepsi siswa terhadap suatu topik.
Karena itu sangat penting bagi guru
dalam memberikan konsep-konsep ilmiah kepada
siswa, terlebih lagi mengarahkan konsep yang
dibangun siswa agar sesuai dengan konsep
ilmiah. Guru juga harus memperhatikan
penggunaan buku teks, terutama penggunaan
istilah-istilah karena guru akan menyalurkan
informasi tersebut kepada siswa. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terbentuknya
miskonsepsi lebih lanjut.
96
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa siswa kelas XII IA SMA
Negeri 6 Kendari mengalami miskonsepsi
terhadap konsep-konsep transpor membran.
Siswa mengalami miskonsepsi mengenai
penggunaan istilah-istilah pada transpor
membran seperti krenasi, plasmolisis, osmosis,
difusi, hipotonik, hipertonik, isotonik,
endositosis, eksositosis, hidrofilik dan
hidrofobik. Siswa juga masih mengalami
miskonsepsi dalam menentukan tinggi rendahnya
konsentrasi suatu larutan serta menentukan arah
perpindahan molekul pada peristiwa difusi dan
osmosis.
Saran yang diajukan yaitu: 1) bagi
pemerintah, dalam kegiatan pelatihan guru,
sebaiknya menanamkan pemberian konsep-
konsep ilmiah kepada guru, agar guru memiliki
konsep-konsep ilmiah yang dapat diajarkan
kepada siswa, sehingga dapat mengurangi
miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa, 2) bagi
guru, dalam kegiatan pembelajaran
memperhatikan pemberian kosnep-konsep
terutama yang berhubungan dengan penggunaan
istilah selain bahasa Indonesia, dan 3) bagi
peneliti lain, yang berniat untuk melanjutkan
penelitian ini dengan menggunakan materi yang
sama dan instrument yang sama maka dapat
melakukan validasi kembali, selain itu dapat pula
menelusuri secara lebih lanjut mengenai
miskonsepsi terhadap konsep difusi dan osmosis.
DAFTAR PUSTAKA
Adisenjaja, Y.H., 2007. Identifikasi Kesalahan
dan Miskonsepsi Buku Teks Biologi
SMU. Jurusan Pendidikan Biologi
FPMIPA. Universitas Pendidikan
Indonesia, 25 –26, Mei.
Chinn, C.A., 2011. Education Psychology:
Understanding Students’ Thinking.
Rutgets University.
Dahar, R.W., 2006. Teori-Teori Belajar dan
Pembelajaran. Erlangga. Jakarta.
Kustiyah, 2007. Miskonsepsi Difusi dan Osmosis
pada Siswa MAN Model Palangkaraya.
Jurnal Ilmiah Guru kanderang Tingang,
Vol.1 NO.1, Desember.
Ramly, 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan.
Program Pasca Sarjana Universitas
Haluoleo. Kendari.
Redhana, I.W.. dan Simamora, M., 2007.
Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia
pada Pembelajaran Konsep Struktur
Atom. Jurusan Pendidikan Kimia
FMIPA. Undiksha, 1(2), 148-160.
Tekkaya, C., 2002. Misconception as Barrier to
Understanding Biology. Hacettepe
Universitesi Egitim Fakultesidergisi, 23,
259-266.
97
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBANTUAN
MEDIA SLIDE SHOW ANIMATION UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL
BELAJAR FISIKA PADA MATERI POKOK
GERAK LURUS SISWA KELAS X3 SMA NEGERI 2 KENDARI1
Oleh:
La Sahara2
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran aktivitas siswa dan peningkatan
hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus melalui
penerapan model pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa dan hasil belajar fisika siswa pada materi
pokok gerak lurus dapat ditingkatkan dari siklus I sampai siklus II dengan menerapkan model
pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation. Hal ini ditunjukkan
dengan skor rata-rata aktivitas siswa pada siklus I sebesar 2,56 (kategori cukup) dapat ditingkatkan
pada siklus II sebesar 3, 28 (kategori baik). Selanjutnya hasil belajar fisika siswa juga menunjukkan
peningkatan yang signifikan yakni nilai rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 72,5 dengan standar
deviasi 11,0 meningkat pada siklus II sebesar 79,0 dengan standar deviasi 7,1. Hal ini didukung pula
dengan meningkatnya persentase ketuntasan hasil belajar siswa dimana dari 40 siswa, yang mencapai
ketuntasan belajar pada siklus I sebesar 65,0% (26 orang), meningkat pada siklus II sebesar 75% (30
orang). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas X3
SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus dapat ditingkatkan dengan menerapkan model
pembelajaran creative problem solving berbantuan media slide show animation.
Kata Kunci: Aktivitas, hasil belajar, model pembelajaran creative problem solving berbantuan media
slide show animation
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2 Dosen Pend. Fisika FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Salah satu model pembelajaran yang
dikembangkan dari pendekatan konstruktivisme
adalah model pembelajaran creative problem
solving. Dalam model pembelajaran ini siswa
dihadapkan dengan suatu permasalahan atau
pertanyaan, selanjutnya siswa dapat melakukan
keterampilan memecahkan masalah dengan
memilih dan mengembangkan respon terhadap
masalah yang dihadapi sehingga siswa dapat
memperluas proses berpikirnya.
Fisika sebagai ilmu pengetahuan yang
erat kaitannya berbagai peristiwa dan kejadian di
alam dalam proses pembelajarannya tidak
terlepas dari masalah. Olehnya itu pemahaman
dan keterampilan memecahkan masalah
merupakan hal penting terhadap proses belajar
fisika. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gerace,
W.J & Beatty, I.D, (2005) bahwa pemecahan
masalah (problem solving) merupakan pusat
pembelajaran fisika.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh
siswa dalam mempelajari fisika adalah
kurangnya upaya guru untuk membangkitkan
motivasi siswa dalam mengembangkan atau
mengkonstruksi struktur dan konsep berpikirnya
melalui kegiatan penyajian masalah fisika dalam
materi yang disajikan pada proses pembelajaran
dan penyajian materi fisika di kelas secara
kontekstual (nyata) dengan melalui tampilan
animasi agar pembelajaran fisika lebih bermakna
dan mudah dipahami oleh siswa, sehingga pada
tataran aplikasinya siswa tidak hanya menuliskan
rumus/persamaan fisika tanpa memahami dengan
baik maknanya dan hubungan persamaan/rumus
tersebut dengan kejadian sehari-hari.
Hal tersebut juga dialami oleh siswa-
siswa di SMA Negeri 2 Kendari dalam kegiatan
pembelajarannya, dimana berdasarkan
wawancara dengan guru Fisika kelas X3 bahwa
98
pembelajaran Fisikakhususnya pada materi
pokok gerak lurus, proses pembelajaran
dilakukan menggunakan metode ceramah dan
sesekali diskusi informasi serta pemberian
pertanyaan atau tugas kepada siswa hanya
berdasarkan soal-soal yang ada di buku panduan
belajar atau buku cetak. Guru kurang menyajikan
permasalahan fisika untuk dipecahkan oleh siswa
dengan memilih dan mengembangkan respon
dari berpikirnya. Selain itu kurangnya inovasi
guru dalam mensimulasikan materi pelajaran
gerak lurus sehingga siswa mengalami kesulitan
dalam memahami materi tersebut dan bahkan
sulit membedakan antara konsep yang satu
dengan konsep lainnya, seperti jarak dan
perpindahan, akibatnya siswa cenderung pasif,
hanya menulis dan menerima apa yang diberikan
oleh guru. Hal ini berimplikasi terhadap
rendahnya nilai ulangan harian pada materi
pokok gerak lurus yang diperoleh siswa kelas X3
pada tahun ajaran 2011/2012 yaitu dengan nilai
rata-rata sebesar 60 dan persentase jumlah siswa
yang mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) adalah hanya 55,3% dari 38 orang siswa
dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal yang
ditetapkan sekolah sebesar 65 dengan persentase
ketuntasan secara klasikal sebesar > 75%
(sumber: guru bidang studi fisika).
Menyingkapi permasalahan yang
dihadapi tersebut, maka diperlukan inovasi
diantaranya dengan menerapkan model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation yang
diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa,
mengembangkan dan mengkostruksi konsep
berpikir siswa, meningkatkan kreativitas siswa
dalam memecahkan masalah fisika dan
memahami konsep fisika melalui simulasi dari
animasi konsep-konsep fisika khususnya pada
materi pokok gerak lurus.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut pandangan teori belajar
konstruktivis, belajar adalah proses untuk
menyesuaikan model mental untuk
mengakomodasi pengalaman. Teori belajar ini
menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya bila aturan
itu tidak lagi sesuai. Siswa benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan,
mereka harus bekerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan
berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivis, guru dapat
memberikan kemudahan untuk membangun
sendiri pengetahuannya dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri dan
menanamkan kesadaran menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Teori ini
berpandangan bahwa belajar adalah hasil
konstruksi sendiri untuk belajar (Trianto, 2007).
Model pembelajaran creative problem
solving adalah model pembelajaran yang
memusatkan proses pembelajaran pada
keterampilan memecahkan masalah dengan
penguatan keterampilan. Ketika siswa
dihadapkan dengan masalah/pertanyaan, maka
siswa dapat melakukan keterampilan
memecahkan masalah untuk memilih dan
mengembangkan responnya sehingga dapat
memperluas proses berpikirnya (Pepkin, 2004:1).
Langkah-langkah model pembelajaran
creative problem solving menurut Pepkin (2004:
2) adalah sebagai berikut: Pertama: Klarifikasi
masalah, yakni pemberian penjelasan tentang
masalah yang diajukan sehingga siswa dapat
memahami bagaimana penyelesaian masalah
yang diharapkan. Kedua: Pengungkapan
Pendapat, yakni siswa diberikan kebebasan untuk
mengungkapkan pendapat tentang berbagai
macam strategi penyelesaian masalah. Ketiga:
Evaluasi dan Pemilihan, pada tahap ini siswa
mendiskusikan berbagai pendapat atau strategi-
strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan
masalah.Keempat:Implementasi, yakni siswa
menerapkan strategi yang telah dipilih sampai
menemukan penyelesaian dari masalah yang
diberikan.
Secara Operasional menurut Saminanto
(2010: 106), langkah-langkah menerapkan model
pembelajaran creative problem solving dengan
media video compack disk sebagai berikut: (1)
Guru memberikan apersepsi tentang materi
pokok yang akan diajarkan, (2) Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran, (3) Guru
memutarkan CD Pembelajaran atau animasi
tentang konsep yang dipelajari, (4) Guru
99
memberikan soal/ masalah tentang konsep yang
dipelajari, (5) Dengan langkah creative problem
solving siswa diminta untuk menyelesaikan
masalah tersebut, (6) Guru memandu siswa
untuk menyamakan persepsi mereka, (7)
menyimpulkan kegiatan pembelajaran, (8) Guru
melakukan tes
Media merupakan wahana penyalur
informasi belajar atau penyalur pesan. Dalam
penggunaannya media harus sejalan dengan
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan,
karena salah satu fungsi media adalah untuk
memudahkan penyampaian materi pelajaran
yang sulit diajarkn oleh guru sehingga siswa
dapat memahaminya dengan baik. Dengan
demikian media adalah alat bantu apa saja yang
dapat dijadikan sebagai penyalur pesan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu
pembagian media ditinjau dari jenisnya adalah
media audiovisual yang memiliki unsur suara
dan gambar. Jenis media audiovisual juga terbagi
2 macam yakni (1) audiovisual diam yaitu media
yang menampilkan suara dan gmbar diam seperti
sound slides, film rangkai suara dan cetak suara,
dan (2) audiovisual gerak, yaitu media yang
dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang
bergerak seperti film suara dan video cassette
(Bahri, S.D, 2006).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (1)
Mendeskripsikan aktivitas belajar fisika siswa
kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi
pokok gerak lurus yang diajar melalui model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation, (2)
Mendekripsikan hasil belajar fisika siswa kelas
X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok
gerak lurus yang diajarkan melalui model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation. (3)
Mendekripsikan peningkatan hasil belajar fisika
siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari pada
materi pokok gerak lurus yang diajarkan melalui
model pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas ini
dilaksanakan di SMA Negeri 2 Kendari, dan
dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober 2012
sampai dengan 29 Oktober 2012 pada semester
ganjil tahun ajaran 2012/2013 pada materi pokok
Gerak lurus.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas
X3 SMA Negeri 2 Kendari, yang berjumlah 40
orang yang terdiri dari 17 orang laki-laki dan 23
orang perempuan.
Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan tindakan kelas ini
terdiri dari 2 (dua) siklus. Tiap siklus
dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang
ingin dicapai seperti yang dirancang dalam
rumusan masalah. Secara singkat prosedur
penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1. Perencanaan. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini meliputi: (a) Merancang
pembelajaran RPP, (b) Membuat Lembar
Kegiatan Siswa, (c) Membuat animasi
tentang konsep gerak lurus di komputer, (d)
Membuat instrumen observasi terhadap
siswa dan guru dalam proses pembelajaran,
(e) Menyusun soal evaluasi hasil belajar tes
siklus I dan II beserta kunci jawabannya.
2. Pelaksanaan Tindakan. Pada tahap ini guru
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
menerapkan model pembelajaran creative
problem solving berbantuan media slide
show animation pada materi pokok gerak
lurus guru sesuai dengan RPP yang telah
disusun sesuai dengan tahapan dalam model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation
3. Observasi dan Evaluasi. Pada tahap ini
dilakukan observasi terhadap pembelajaran
yang dilaksanakan guru dengan
menggunakan lembar observasi yang telah
dirancang sebelumnya. Selain itu dilakukan
evaluasi hasil belajar pada materi gerak
lurus dengan menggunakan tes hasil belajar.
4. Refleksi. Hasil yang diperoleh dari observasi
dan evaluasi selanjutnya dikumpulkan dan
100
dianalisis pada tahap ini. Berdasarkan hasil
analisis dan telaah, maka keunggulan-
keunggulan aktivitas guru dipertahankan dan
ditingkatkan, sedangkan kelemahan-
kelemahan yang terjadi diperbaiki pada
siklus berikutnya. Hasil refleksi tersebut
digunakan untuk menetapkan langkah-
langkah kegiatan pembelajaran pada siklus
berikutnya.
Teknik Analisis Data
1. Menentukan nilai rata-rata hasil belajar
siswa ( ) dan standar deviasi (Sd) dengan
rumus:
dan
(Sudjana, 1996)
Dengan :
X = Nilai rata-rata
Xi = Jumlah nilai yang diperoleh setiap siswa
N = Jumlah siswa
2. Menentukan persentase ketuntasan belajar
dengan rumus:
% tuntas = %100xN
TB
(Usman dan Setiawati, 2001)
Dengan:
TB = Jumlah siswa yang tuntas belajar
N = Jumlah siswa secara keseluruhan
3. Menghitung dan mengkategorikan rata-rata
aktivitas siswa dengan rumus:
i = N
XiN
i
1
Keterangan :
i = Rata-rata skor aktivitas siswa
Xi = Total nilai siswa
N = Total item per kelompok dengan kategori
aktivitas siswa sebagai berikut.
Kategori sangat baik : Xi = 4
Kategori baik : 3 ≤ Xi < 4
Kategori cukup : 2 ≤ Xi < 3
Kategori kurang : 1 ≤ Xi < 2
(Ramly, 2006)
Indikator Keberhasilan Tindakan
Indikator keberhasilan tindakan pada
penelitian ini meliputi indikator proses dan hasil
belajar selama guru menerapkan model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation, yakni:
(a) dari segi proses pembelajaran keberhasilan
tindakan ditandai oleh adanya rata-rata aktivitas
siswa lebih besar 70% dari rata-rata aktivitas
ideal 4. (b) dari segi hasil belajar, penelitian
tindakan ini berhasil jika persentase ketuntasan
belajar dari siswa yang memperoleh nilai ≥ 74
dari nilai ideal 100 dalam penelitian ini adalah
minimal 75% dengan jumlah subjek 40 orang
siswa.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Aktivitas Belajar Siswa
Sesuai dengan pengamatan aktivitas
belajar siswa dalam model pembelajaran creative
problem solving berbantuan media slide show
animation pada siswa kelas X3 SMA Negeri 2
Kendari ditunjukkan pada Gambar 1 berikut:
101
Gambar 1(a) Gambaran Skor Rata-rata Tiap Satuan Aktivitas Belajar Siswa pada
Setiap Siklus. (b) Gambaran Rata-rata Aktivitas Belajar Siswa pada
Setiap Siklus
Keterangan : 1: Mendengarkan/memperhatika
n penjelasan awal guru 5: Mengevaluasi dan memilih alternatif pemecahan
masalah. 2: Membaca dan menelaah buku
teks dan LKS. 6: Menerapkan alternatif pemecahan masalah
3: Meklarifikasi Masalah. 7: Mempresentasikan hasil yang diperoleh. 4: Mengungkapkan Pendapat. 8: Memberikan tanggapan terhadap hasil persentasi
dari kelompok lain.
Dari Gambar 1 tersebut dapat dijelaskan
bahwa aktivitas siswa pada siklus I pada
umumnya masih rendah, seperti aspek:
memberikan tanggapan terhadap hasil
persentasi dari kelompok lain dengan skor rata-
rata 2,0 dan aspek mengungkapkan pendapat,
memilih alternatif pemecahan masalah dan
menerapkan alternatif pemecahan masalah
dengan skor rata-rata 2,4 yang semuanya masih
berada pada kategori cukup. Sedang aktivitas
belajar siswa yang tinggi hanya aspek
mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru
dan membaca dan menelaah buku teks/LKS
dengan skor rata-rata 3,0 (kategori baik) dan
secara keseluruhan skor rata-rata aktivitas belajar
siswa sebesar 2,5 (kategori cukup). Namun,
secara umum semua aktivitas belajar siswa dari
siklus I sampai siklus II mengalami peningkatan
untuk aktivitas yang diamati dengan skor rata-
rata satuan aktivitas tertinggi pada aspek
mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru
dan membaca dan menelaah buku teks/LKS
dengan skor rata-rata 3,6 (kategori baik) dan
secara keseluruhan skor rata-rata aktivitas belajar
pada siklus II sebesar 3,2 (kategori baik). atau 80
% dari skor ideal 4.
Pengamatan Aktivitas Guru
Pada pembelajaran yang dilaksanakan
oleh guru yang menerapkan model pembelajaran
creative problem solving berbantuan media slide
show animation pada Siklus I umumnya sudah
cukup baik, hanya ada beberapa aspek yang
belum optimal yakni melakukan refleksi dan
penguatan terhadap hasil pemecahan masalah
dan melakukan evaluasi terhadap pemahaman
siswa serta membimbing siswa untuk
menyimpulkan materi yang dipelajari. Dengan
melalui kegiatan refleksi oleh guru maka pada
Siklus II, maka aktivitas guru yang kurang dan
102
aktivitas belajar siswa yang belum optimal
menjadi perhatian untuk diperbaiki dan
ditingkatkan pada siklus II, sehingga aktivitas
guru pada siklus II sebagian besar sudah sangat
baik dalam menerapkan model pembelajaran
creative problem solving berbantuan media slide
show animation.
Deskripsi Hasil Belajar Siswa
Deskripsi hasil belajar fisika siswa kelas
X3 SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok
gerak lurus dengan menerapkan model
pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation pada
siklus I diperoleh rata-rata hasil belajar fisika
sebesar 72, 5 dan standar deviasi 11,0. Setelah
dilakukan analisis sesuai indikator kinerja yang
ditetapkan dengan mengacu nilai KKM sekolah
sebesar 74, maka dari segi ketuntasan belajar
diperoleh bahwa siswa yang tuntas sebanyak 26
orang (65,0 %) dan siswa yang belum tuntas
sebanyak 14 orang (35,0%) dari 40 orang siswa
kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari. Selanjutnya
guru melakukan refleksi terhadap pelaksanaan
pembelajaran dan hasil analisis terhadap hasil
belajar siswa pada siklus I, maka dilakukan
perbaikan dan peningkatan aktivitas guru dan
aktivitas siswa yang belum optimal selama
proses pembelajaran pada siklus II. Upaya ini
berdampak terhadap hasil belajar fisika siswa
pada materi pokok gerak lurus pada siklus II,
dimana rata-rata hasil belajar fisika meningkat
dari 72,5 pada siklus I menjadi menjadi 79,0
pada siklus II dengan standar deviasi 7,1.
Ketuntasan belajar yang juga meningkat yakni
siswa yang tuntas belajar menjadi 30 orang
(75,0%) dan yang belum tuntas menurun menjadi
10 orang (25,0%) dari 40 orang siswa.
Secara lengkap gambaran hasil belajar
dan ketuntasan hasil belajar siswa kelas X3 SMA
Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus
disajikan pada Gambar 2 berikut:
Gambar2 (a) Deskripsi Hasil Belajar Siswa pada Setiap Siklus.
(b) Persentase Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Setiap Siklus
PEMBAHASAN
Sesuai dengan temuan hasil penelitian
yang menerapkan model pembelajaran creative
problem solving berbantuan media slide show
animation, menunjukkan bahwa pada siklus I
aktivitas belajar siswa belum optimal,
sebagaimana hasil refleksi yang dilakukan oleh
guru dimana pada siklus I sebagian besar
aktivitas belajar siswa masih rendah. Hal ini
disebabkan karena siswa belum terbiasa
mengikuti pembelajaran seperti model
pembelajaran ini, siswa kesulitan memilih dan
menerapkan alternatif pemecahan masalah yang
mereka pilih, disamping itu animasi konsep
gerak lurus yang di tampilkan belum mereka
optimalkan dan memahami konsep gerak lurus,
sehingga berdampak terhadap hasil belajar siswa
yang belum mencapai indikator kinerja secara
klasikal yakni hanya 65,0% siswa yang mencapai
ketuntasan belajar secara individu ≥ 74 dari yang
103
ditetapkan sebesar ≥75% dari 40 siswa, dengan
nilai rata-rata hasil belajar sebesar 72,5.
Olehnya itu melalui hasil refleksi pada
siklus I, maka guru berupaya memperbaiki
berbagai kelemahan aspek pembelajaran yang
terjadi pada siklus II dan meningkatkan aspek
pembelajaran lainnya serta mengoptimalkan
animasi konsep fisika dan pemilihan alternatif
pemecahan masalah dalam menyelesaikan
konsep gerak lurus. Hal ini berdampak
meningkatknya setiap satuan aktivitas siswa pada
siklus II dengan skor rata-rata sebesar 3,2. Selain
itu juga berdampak terhadap peningkatan rata-
rata hasil belajar siswa pada siklus II menjadi
79,0 dengan ketuntasan belajar secara klasikal
sebesar 75,0% . Meskipun persentase ketuntasan
belajar siswa hanya mencapai standar ketuntasan
belajar secara klasikal, hal ini terjadi karena
KKM yang ditetapkan sekolah pada materi
pokok gerak lurus adalah tinggi yakni 74
dibandingkan sebelumnya sebesar 65 dari nilai
ideal 100.
Peningkatan rata-rata hasil belajar yang
cukup tinggi sebesar 79 tersebut didukung oleh
aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam
menerapkan pembelajaran model creative
problem solving berbantuan media slide show
animation yang semakin meningkat pada siklus
II dan siswa memiliki motivasi tinggi dalam
belajar dengan senantiasa berlatih menyelesaikan
masalah pada konsep gerak lurus. Hal ini sejalan
dengan pendapat Gerace, J.W. (2005) bahwa
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah,
tidak hanya ditentukan oleh pola pikiran
melainkan dipengaruhi oleh kerja maupun
latihan.
Berdasarkan deskripsi data-data tersebut,
menunjukkan bahwa hasil penelitian ini telah
mencapai indikator keberhasilan kinerja baik
dari segi proses maupun dari segi hasil belajar.
Hal berarti bahwa model pembelajaran creative
problem solving berbantuan media slide show
animation yang diterapkan oleh guru menjadi
solusi yang tepat untuk meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar fisika siswa kelas X3 SMA
Negeri 2 Kendari pada materi pokok gerak lurus.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Gambaran aktivitas belajar siswa yang diajar
melalui model pembelajaran creative problem
solving berbantuan media slide show
animation dapat ditingkatkan pada setiap
satuan aktivitas belajar dari siklus I ke siklus
II dengan skor rata-rata pada siklus I sebesar
2,5 (kategori cukup) meningkat pada siklus II
menjadi 3,2 ( kategori baik).
2. Gambaran hasil belajar fisika siswa kelas X3
SMA Negeri 2 Kendari pada materi pokok
gerak lurus adalah pada siklus I diperoleh:
nilai maksimum 96,4 dan nilai minimum 51,8
dengan nilai rata-rata 72,5 dan standar deviasi
11,0 ; dan pada siklus II diperoleh: nilai
maksimum 96,0 dan nilai minimum 64,0
dengan nilai rata-rata 79,0 dan standar deviasi
7,1.
3. Model pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation
menjadi solusi yang tepat untuk meningkatkan
hasil belajar fisika materi pokok gerak lurus
pada siswa kelas X3 SMA Negeri 2 Kendari
dengan persentase ketuntasan belajar klasikal
pada siklus I sebesar 65% meningkat pada
siklus II menjadi 75% dari 40 siswa.
Saran
Agar penerapan model pembelajaran
creative problem solving berbantuan media slide
show animation optimal, maka diharapkan:
1. Model pembelajaran creative problem solving
berbantuan media slide show animation dapat
diterapkan pada materi pokok fisika lainnya
khususnya konsep-konsep yang berkaitan
dengan pemecahan masalah dengan berbagai
alternatif pemecahannya.
2. Dalam menerapkan model pembelajaran
creative problem solving berbantuan media
slide show animation, kiranya media animasi
yang ditampilkan dapat membantu siswa
untuk memahami konsep-konsep fisika
dengan tetap memperhatikan aspek
kontekstual konsep yang dipelajari dalam
kehidupan sehari-hari.
104
3. Kepada peneliti lainnya yang akan
menerapkan model pembelajaran creative
problem solving berbantuan media slide show
animation kiranya dapat memahami beberapa
alternatif pemecahan masalah dari suatu
konsep fisika agar dapat membantu siswa
dalam memecahkan masalah dalam konsep
fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Gerance, J. W. & Beatty, I.D, 2005. Develop
Problem Solving Skill: The McMaster
Problem Solving Program. Journal
Engineering Education.
Pepkin, K.L, 2004. Creative Problem Solving in
Math. Tersedia di:
http://www.uh.edu/hti/cu/2004/04/htm
[diakses 16 April 2012]
Ramly, 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan.
Kendari Universitas Haluoleo
Saminanto, 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian
Tindakan Kelas). Semarang: RaSAIL
Media Group
Sudjana, 1996. Metoda Statistika. Bandung:
Tarsito.
Usman dan Setiawati, 2001. Upaya Optimalisasi
Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran
Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Syaiful Bahri D. dan Aswan Zain., 2006.Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
105
JENIS-JENIS TUMBUHAN PAKU (Pteridophyta) DI KAWASAN HUTAN NANGA-NANGA
PAPALIA KELURAHAN ANDUONOHU KECAMATAN POASIA KOTA KENDARI1
Oleh:
Asmawati Munir2, Lili Darlian
3, Niluh Sri Buana
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku yang terdapat di
Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari.
Metode yang digunakan adalah metode eksplorasi dengan teknik jelajah dimana menjelajahi lokasi
penelitian sambil mengumpulkan sampel. Teknik analisis data secara deskriptif yaitu dengan
mendeskripsikan ciri-ciri morfologi setiap jenis tumbuhan Paku yang ditemukan di lokasi penelitian
dengan mengacu pada buku-buku identifikasi. Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis tumbuhan paku
(Pterydophyta) yang terdapat di lokasi penelitian adalah 12 familia, 20 genus, 27 jenis. Jenis-jenis
tumbuhan paku yang ditemukan yaitu: Adiantum cuneatum Lungs. dan Fisch, Anthrophyum
semicostatum Desv, Asplenium polyodon G. Forster, Amphineuron terminans (Hook.) Holttum,
Bolbitis sp., Ceratopteris thalictroides (L.) Borgn, Christella dentata (Forsk) Browsey & Jermy,
Christensenia aescufolia (Bl.) Maxon, Cyathea contaminans (Hook.) Copel, Davallia denticulata
(Burm.) Mett, Drynaria sparsisora (Desv.) Moore, Elaphoglossum angulatum (Blume),
Elaphoglossum rimbachii J, Gleichenia linearis (Burm.) Clarke, Grammitis sp., Lygodium circinatum
Sw, Lygodium flexuosum (L.) sw, Nephrolepis bisserata (Sw.) Schott, Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr, Pteris vittata L.spec, Pteris semipinnata L. Spec, Pteris umbrossa L.Spec, Selaginella plana
Hieron, Tectaria branchiata, Tectaria sp., Trichomanes javanicum Blume, Trichomanes sp.
Kata Kunci : Tumbuhan Paku (Pteridophyta), Hutan Nanga-Nanga Papalia
1 Ringkasan Hasil Penelitian 2,3 Dosen Pend. Biologi FKIP Universitas Halu Oleo
PENDAHULUAN
Sulawesi Tenggara merupakan suatu
daerah yang memiliki wilayah hutan yang sangat
luas, dengan beraneka ragam jenis tumbuh-
tumbuhan. Salah satu hutan di Sulawesi
Tenggara adalah Kawasan Hutan Nanga-Nanga
Papalia yang terletak di Kelurahan Anduonohu
Kecamatan Poasia Kota Kendari.
Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia
yang ada di kawasan pegunungan Nanga-Nanga
Kota Kendari merupakan salah satu kawasan
hutan hujan tropis di Sulawesi Tenggara dengan
total luas areal yakni 2.273 ha yang terdiri atas
973 ha hutan lindung dan 1.300 ha hutan
produksi. Kawasan hutan ini membentang dan
melingkari Kota Kendari Provinsi Sulawesi
Tenggara. Keberadaannya tidak hanya menjadi
ciri khas Kota Kendari, namun juga sebagai
daerah tangkapan air. Potensi flora dan fauna
cukup tinggi dengan komposisi flora yang
ditemukan hidup mulai dari lumut, paku-pakuan,
herba, liana, epifit dan tegakan.
Tumbuhan paku (Pterydophyta)
merupakan tumbuhan kormus, memiliki sistem
pembuluh sederhana, sistem transpor internal
dan hidup di tempat yang lembap. Tumbuhan
paku (Pterydophyta) memiliki ciri khas berupa
daun yang menggulung saat muda. Akar berupa
rhizoma, ujung akar dilindungi kaliptra. Sel-sel
akar membentuk epidermis, korteks, dan silinder
pusat (terdapat xilem dan floem).
Secara tidak langsung tumbuhan paku
bermanfaat dalam memelihara ekosistem hutan,
yaitu dalam hal pengamanan tanah terhadap
erosi, serta berperan membantu proses pelapukan
di dalam tanah. Tumbuhan paku (Pteridophyta)
yang mempunyai morfologi tubuh menarik dapat
digunakan sebagai tanaman hias. Selain itu,
beberapa jenis tumbuhan paku dapat pula
dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-
obatan tradisional, tali dan bahan baku kerajinan
106
seperti tas, tikar dan lain-lain (Sastrapradja,
1980:11).
Di Kawasan Hutan Nanga-Nanga
kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota
Kendari dijumpai berbagai jenis tumbuhan paku.
Akan tetapi banyak jenis tumbuhan paku yang
belum diketahui secara jelas jenis-jenis
tumbuhan paku apa saja yang tumbuh di daerah
ini. Oleh karena itu, untuk mengetahui jenis
tumbuhan paku (Pteridophyta) yang terdapat di
Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Jenis-Jenis Tumbuhan Paku
(Pteridophyta) di Kawasan Hutan Nanga-Nanga
Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan
Poasia Kota Kendari”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Jenis-Jenis Tumbuhan Paku
(Pteridophyta) apa sajakah yang terdapat di
Kawasan Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan
Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari?”
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui jenis-jenis tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang terdapat di Kawasan Hutan
Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu
Kecamatan Poasia Kota Kendari.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juni-Agustus 2012. Penelitian ini menggunakan
metode eksplorasi, yakni dengan menjelajahi
lokasi penelitian sambil mengumpulkan sampel
tumbuhan paku (Pteridophyta) yang dapat
mewakili setiap jenis tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang ditemukan dilokasi
penelitian.
Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan
menjelajahi sepanjang kawasan Hutan Nanga-
Nanga Papalia sampai tidak ditemukan lagi
spesies baru, dimana daerah yang dijelajahi yaitu
sebelah kiri dan kanan jalan setapak, dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Penjelajahan dimulai dari jarak 5 m dari
jalan raya mengikuti jalan setapak,
pengambilan sampel mulai dilakukan
setelah 1 m kekanan dan 0,5 m kekiri dari
jalan setapak dan masuk ± 1 km ke dalam
kearah kanan dan kearah kiri jalan setapak.
b. Mengumpulkan sampel tumbuhan paku
sambil mengamati ciri-ciri morfologi setiap
jenis sampel dan memberikan etiket gantung
pada setiap sampel yang ditemukan.
c. Melakukan pengukuran parameter
lingkungan (kelembaban udara, intensitas
cahaya dan pH tanah) pada titik awal, tengah
dan akhir tempat pengambilan sampel
dengan mempertimbangkan topografi lokasi
penelitian.
d. Mengoleksi sampel tumbuhan paku dengan
membuat herbarium
e. Selanjutnya sampel tumbuhan paku
diidentifikasi lebih lanjut dengan mengacu
pada buku identifikasi: van Steenis (2005),
Andrews, S. B., (1990), Sastrapradja (1980),
Holttum (1965). Holttum (1988). Holttum
(1991).
A. Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta)
yang Ditemukan di Lokasi Penelitian
Jenis-jenis tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang ditemukan di Kawasan
Hutan Nanga-Nanga Papalia Kelurahan
Anduonohu Kecamatan Poasia kota Kendari
dapat dilihat pada Tabel berikut.
107
Tabel Jenis-Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) yang Ditemukan di Lokasi Penelitian.
No. Familia Genus Species
1 Cyatheaceae Cyathea Cyathea contaminans (Hook.) Copel.
2 Dryopteridaceae Tectaria 1. Tectaria branchiata
2. Tectaria sp.
3 Gleicheniaceae Gleichenia Gleichenia linearis (Burm.) Clarke.
4 Grammitidaceae Grammitis Grammitis sp.
5 Hymenophyllaceae Trichomanes 1. Trichomanes javanicum Blume.
2. Trichomanes sp.
7 Lomariopsidaceae Bolbitis Bolbitis sp.
8 Parkeriaceae Ceratopteris Ceratopteris thalictroides (L.) Borgn.
9 Polypodiaceae Adiantum Adiantum cuneatum Lungs. dan Fisch.
Anthrophyum Anthrophyum semicostatum Desv.
Asplenium Asplenium polyodon G. Forster.
Davallia Davallia denticulata (Brum.) Mett.
Drynaria 1. Drynaria sparsisora (Desv.) Moore.
Elaphoglossum
2. Elaphoglossum angulatum (Blume).
Elaphoglossum rimbachii J.
Nephrolepis 1. Nephrolepis bisserata (Sw.) Schott.
2. Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Pteris 1. Pteris vittata L. Spec.
2. Pteris semipinnata L. Spec.
3. Pteris umbrossa L. Spec.
10 Thelypteridaceae Amphineuron Amphineuron terminans (Hook.) Holttum.
Christella Christella dentata (Forssk) Browsey & Jermy
11 Selaginellaceae Selaginella Selaginella plana Hieron.
12 Schizaeaceae Lygodium Lygodium circinatum Sw.
PEMBAHASAN
Kawasan hutan Nanga-Nanga papalia
memiliki kondisi lingkungan yang cukup lembab
sehingga memungkinkan tumbuhan paku
(Pteridophyta) dapat tumbuh dengan baik,
Tjitrosoepomo (1980) mengemukakan bahwa
tumbuhan paku menyukai tempat-tempat yang
teduh dan lembab.
Keberadaan tumbuhan paku di Hutan
Nanga-Nanga disebabkan oleh kemampuan
108
adaptasi yang baik dari masing-masing spesies
tumbuhan paku tersebut serta kemampuannya
dalam berinteraksi dengan kondisi lingkungan
dan tanah. Berdasarkan hasil penelitian faktor
lingkungan yang diukur adalah suhu udara antara
25-28 0C, kondisi ini sesuai dengan suhu yang
dibutuhkan oleh tumbuhan paku yang ditandai
dengan banyaknya jenis tumbuhan paku yang
dijumpai dilokasi penelitian. Kelembaban udara
47-58 %, suhu tanah 20-27 0C, pH tanah 6,2 -
6,8, intensitas cahaya 10.330-25.300 Lux dan
ketinggian tempat 60-130 m dpl. Syafei (1994:
180) keasaman tanah sangat penting untuk
menunjukkan kehadiran bahan-bahan mineral,
pada pH tanah sekitar 6,5 bahan-bahan mineral
yang terlarut dapat memenuhi kebutuhan
tumbuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pH tanah yang terukur di Kawasan Hutan Nanga-
Nanga Papalia sesuai untuk pertumbuhan
tumbuhan paku (Pteridophyta). Selain itu
Menurut Syafei (1994: 168) bertambah tingginya
suatu tempat berasosiasi dengan meningkatnya
keterbukaan, selain mengakibatkan penurunan
suhu juga mempengaruhi kelembaban.
Ketinggian mengakibatkan tumbuhan yang
berada didaerah-daerah pegunungan menerima
hujan lebih banyak daripada daerah rendah,
sehingga memungkinkan tumbuhan paku
(Pteridophyta) dapat tumbuh dengan baik.
Penyebaran habitat tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang ditemukan di Kawasan
Hutan Nanga-Nanga papalia terdiri atas habitat
terestrial, epifit dan paku air. Berdasarkan data
yang diperoleh, tumbuhan paku (Pteridophyta)
yang habitatnya terestrial yakni hidup di tanah
ditemukan 18 jenis, yang habitatnya epifit 3
jenis, yang dapat hidup pada habitat terestrial
dan epifit 5 jenis dan paku air 1 jenis. Dalam
penelitian ini dilakukan 3 titik pengukuran
parameter lingkungan untuk menandai
keberadaan tumbuhan paku. Dari titik awal
ketitik tengah sebelah kanan jalan setapak
ditemukan 11 sampel yakni Amphineuron,
Cyatheaceae, Chirtenssenia, Adiantum,
Asplenium, Davallia, Drynaria, Grammitis,
Elaphoglossum, dan Sellaginella. Selanjutnya
dari titik tengah sampai akhir dijumpai 6 sampel
yang termasuk dalam genus Nephrolepis, Pteris
dan Christella. Dari titik awal hingga tengah
sebelah kiri jalan setapak dijumpai 4 sampel dari
genus Ceratopteris, Gleichenia, dan Lygodium,
selanjutnya dari titik tengah sampai akhir
dijumpai 6 sampel yang termasuk dalam genus
Tectaria, Trichomanes, Anthrophyum dan
Bolbitis.
Familia Cyathaceae merupakan
tumbuhan paku yang berbentuk pohon. Spesies
yang ditemukan adalah Cyathea contaminans
(Hook.) Copel. Menurut Sastrapradja (1980:77),
jenis paku ini bentuknya khusus, hampir
menyerupai bentuk kelapa sehingga mudah
dibedakan dengan jenis paku yang lainnya. Paku
ini tumbuhnya tidak menyendiri, melainkan
bercampur dengan jenis-jenis lain. Kadang-
kadang berkelompok dan dapat dijumpai pada
lereng-lereng pegunungan baik yang terbuka
maupun tempat-tempat yang terlindung.
Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi
lingkungan dengan suhu 27 oC. Pada ketinggian
tempat 90- 120 m dpl. Intensitas cahaya 25.300
lux. Kelembaban udara 50% dan pH tanah yang
terukur 6,7. Sesuai dengan pernyataan
Sastrapradja (1980) tumbuhan ini menyukai
tempat yang tidak begitu kering, dekat dengan
aliran sungai, tanah dengan nutrisi cukup, dan
tumbuh baik di ketinggian 1- 2000 m dpl.
Familia Dryopteridacea yang ditemukan
di lokasi penelitian 2 jenis tumbuhan yaitu
Tectaria branchiata dan Tectaria sp. Tumbuhan
ini merupakan jenis tumbuhan paku yang hidup
didaerah agak terbuka dan tidak terlalu kering.
Jenis ini ditemukan di tepi aliran sungai pada
kondisi lingkungan dengan suhu tanah 25-27 oC.
Intensitas cahaya 10.330-10.800 Lux.
Kelembaban udara 50-58 oC, dengan pH tanah
yang terukur 6,2-6,4 pada ketinggian 60-90 m
dpl. Menurut Holttum (1965), jenis ini dapat
tumbuh berkelompok ditepi sungai hingga
pegunungan, di ketinggian 40- 1500 m dpl.
Familia Gleicheniaceae yang ditemukan
di lokasi penelitian yaitu Gleichenia linearis
(Burm.) Clarke. Jenis paku ini memiliki daun
panjang yang setiap cabangnya akan bercabang
lagi. Gleichenia merupakan tumbuhan paku
yang tempat hidupnya meliputi daerah-daerah di
tepi tebing, di pinggir-pinggir kali atau sungai.
Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi
lingkungan dengan suhu berkisar antara 27- 28 oC. Intensitas cahaya 10.440 - 25.300 lux.
Kelembaban udara 50 – 58% pada pH tanah yang
109
terukur 6,2 - 6,8 dan ketinggian tempat 60 - 80 m
dpl. Sesuai dengan pernyataan van Steenis
(2005: 76), tumbuhan ini banyak dijumpai di
daerah yang terkena cukup air seperti tepi
sungai, terkena cahaya matahari dan tumbuh
baik pada ketinggian 30 - 2.800 m dpl.
Familia Hymenophyllaceae yang
ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 2 jenis
yaitu Trichomanes javanicum Blume dan
Trichomanes sp. Tumbuhan ini dijumpai di tanah
yang lembab dan ternaung. Jenis tumbuhan ini
ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu
udara 25 - 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 -
25.300 Lux. Kelembaban udara 50 - 58 %
dengan pH tanah yang terukur 6,2 - 6,7 pada
ketinggian 60 - 120 m dpl. Menurut Sastrapradja
(1980), tumbuhan ini hidupnya di tanah, terdapat
di daerah terbuka maupun di daerah lembab,
dapat dijumpai didataran rendah hingga
pegunungan.
Familia Lomariopsidaceae merupakan
tumbuhan paku terestrial yang banyak dijumpai
di daerah ternaung dibawah pepohonan, dengan
intensitas cahaya rendah, kelembaban tinggi dan
berada di tepi sungai serta mengandung unsur
hara yang cukup. Pada familia ini dijumpai 1
spesies yakni Bolbitis sp. Tumbuhan ini
ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu
tanah 27 oC. Intensitas cahaya 10.330 lux.
Kelembaban udara 58% dengan pH tanah yang
terukur 6,4 pada ketinggian 90 m dpl. Menurut
van Steenis & Holttum (1982) jenis tumbuhan
dari suku Lomariopsidaceae ditemukan pada
ketinggian 50 - 1200 m dpl, hanya beberapa
spesies saja yang ditemukan pada ketinggian di
atas 1500 m dpl. Sangat baik tumbuh pada
daerah berbatu dan di tepi sungai.
Familia Marattiaceae yang ditemukan di
lokasi penelitian adalah jenis Christensenia
aescufolia (Bl) Maxon, merupakan jenis
tumbuhan paku terestrial yang dapat berkembang
di daerah terdedah maupun ternaung dan tanah
agak kering. Tumbuhan ini di temukan pada
kondisi lingkungan dengan suhu udara 27 - 28 oC, kelembaban udara 47 - 50 %, suhu tanah 25 -
27 oC, intensitas cahaya 10.330 - 25.300 Lux
dengan pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 pada
ketinggian 90 - 130 m dpl. Menurut
Tjitrosoepomo (1989), paku ini berupa paku
tanah, tumbuh diatas tanah yang agak kering dan
terkena sinar matahari.
Familia Parkeriaceae yang ditemukan
di lokasi penelitian adalah jenis Ceratopteris
thalictroides (L) Borgn, merupakan tumbuhan
paku air namun tetap mengambil zat makanan
dari dalam tanah. Tumbuhan ini ditemukan di
bagian tepi pada air yang tergenang, pada
kondisi lingkungan dengan suhu udara 27 oC.
Kelembaban udara 50 %. Intensitas cahaya
10.440 Lux pada ketinggian 60 m dpl. Menurut
Sastrapradja (1980), jenis paku ini tumbuh di air
yang tidak mengalir deras, di sawah, di rawa, di
tepi-tepi sungai yang berlumpur dan menyukai
daerah yang kena sinar matahari.
Familia Polypodiaceae merupakan
kelompok tumbuhan paku yang paling banyak
dijumpai jenisnya, karakteristik hidup dari
beberapa jenisnya menempel pada tumbuhan
yang ditumpanginya tetapi tidak bersifat
merugikan, tetapi dapat pula tumbuh diatas tanah
atau serasah. Banyaknya ditemukan jenis suku
ini disebabkan oleh kondisi faktor lingkungan
dilokasi penelitian sesuai bagi perkembangan
tumbuhan suku ini. Familia Polypodiaceae
banyak ditemukan di lokasi penelitian secara
terestrial maupun epifit. Menurut van Steenis
(2005: 84) tumbuhan pada familia ini menyukai
tempat ternaung dan terdedah. Selain itu familia
ini cocok pada struktur tanah dengan topografi
datar dan berbukit dapat dijumpai mulai
ketinggian 0 -1. 300 m dpl, dari daerah mangrove
sampai daerah gunung yang rendah. Selain itu
Holttum (1967) menyatakan bahwa suku
Polypodiaceae mempunyai jumlah anggota
terbesar di Kawasan Malesiana yang sebagian
besar terdapat di kepulauan Indonesia, dan
menyukai tempat ternaung maupun terdedah.
Pada familia Polypodiaceae ditemukan 9 genus
dan 12 spesies, yaitu genus Adiantum,
Anthrophyum, Asplenium, Davallia, Drynaria,
Elaphoglossum, Nephrolepis dan Pteris.
Anthrophyum, Drynaria dan Elaphoglossum
tumbuh sebagai paku epifit yang menempel pada
pohon, Nephrolepis, Asplenium, dan Davallia
tumbuh pada tanah yang lembab, tetapi ada juga
yang tumbuh sebagai epifit, sedangkan Adiantum
dan Pteris tumbuh pada tanah yang lembab,
agak kering dan tanah gembur. Pernyataan ini
didukung oleh Sastrapradja (1980: 44), bahwa
110
kelompok paku Polypodiaceae biasanya
menumpang pada tumbuhan lain, tetapi dapat
pula tumbuh di tanah cadas atau gembur
berpasir. Tumbuhan ini ditemukan pada kondisi
lingkungan dengan suhu berkisar antara 25 – 28
oC. Intensitas cahaya 10.330 - 13-980 lux.
Kelembaban udara 47 - 50% pada pH tanah
yang terukur 6,2 - 6,8 dan pada ketinggian 90 -
120 m dpl.
Familia Schizaceae yang ditemukan
sebanyak 2 spesies yaitu Lygodium circinatum
Sw., dan Lygodium flexuosum (L.) Sw. Paku ini
merupakan jenis paku yang tumbuh membelit.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrapradja
(1980:81), bahwa Lygodium merupakan
tumbuhan paku yang menjalar dan merambat
pada tumbuhan lain. Hidup di dataran rendah
terutama pada tempat-tempat yang terbuka yang
terkena cahaya matahari dan hujan yang cukup,
dapat tumbuh pada ketinggian 1 - 1.200 m dpl.
Di lokasi penelitian tumbuhan ini ditemukan
pada kondisi lingkungan dengan suhu berkisar
antara 25 – 27 o
C. Intensitas cahaya 10.330 -
25.300 lux. Kelembaban udara 50 - 56% pada pH
tanah yang terukur 6,2 - 6,8 dan ketinggian
tempat 60 - 80 m dpl.
Familia Selaginellaceae merupakan
tumbuhan paku terestrial yang tumbuh di lereng
bukit yang ternaung dan lembab, jenis yang
ditemukan adalah Selaginella plana Hieron.
Tumbuhan ini ditemukan pada kondisis
lingkungan dengan suhu tanah berkisar antara 20
– 27 oC. Intensitas cahaya 13..980 - 25-300 lux.
Kelembaban udara 47 - 50% dengan pH tanah
yang terukur 6,2 - 6,7 pada ketinggian 90 - 120
mdpl. Hal ini sesuai dengan (Sastrapradja,
1980:95) jenis Selaginella sering dijumpai
tumbuh dilereng bukit yang lembab dan teduh di
lereng-lereng bukit pada ketinggian 40 - 1.800 m
dpl.
Familia Thelypteridaceae merupakan
paku terestrial yang hidup pada lereng gunung
(Holttum, 1991: 509) bahwa paku ini, hidupnya
bercampur dengan jenis tumbuhan lain. Jenis
yang ditemukan adalah Christella dentata
(Forst.) Brawsney dan Jermy dan Amphineuron
terminans (Hook). Holttum familia ini
ditemukan pada kondisi lingkungan dengan suhu
berkisar antara 20 – 27 oC. Intensitas cahaya
10.330 - 25.300 lux. Kelembaban udara 47 –
50%, pH tanah yang terukur 6,2 - 6,8 pada
ketinggian 90 - 130 m dpl.
Keberadaan tumbuhan paku di kawasan
Hutan Nanga-Nanga didukung berbagai faktor
lingkungan diantaranya adalah suhu udara,
intensitas cahaya, kelembaban udara dan pH
tanah. Menurut Syafei (1994;128) Semua faktor
lingkungan tersebut bervariasi, organisme yang
hidup bereaksi terhadap variasi lingkungan,
sehingga hubungan yang nyata antara lingkungan
dan organisme hidup akan membentuk
komunitas dan ekosistem tertentu baik
berdasarkan ruang dan waktu. Kandungan
energi yang dibutuhkan tumbuhan di pengaruhi
oleh faktor lingkungan tersebut. Energi cahaya
dari lingkungan yang dapat ditangkap oleh
tumbuhan akan dimanfaatkan untuk proses-
proses metabolisme sedangkan yang tidak dapat
diabsorbsi akan direfleksikan ke lingkungan
sehingga ikut memanaskan lingkungan tersebut.
Hal ini ikut mempengaruhi jenis-jenis tumbuhan
apa saja yang dapat tumbuh pada komunitas
hutan tersebut, salah satunya adalah tumbuhan
paku (Pteridophyta).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa jenis-jenis tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang terdapat di Kawasan Hutan
Nanga-Nanga Papalia Kelurahan Anduonohu
Kecamatan Poasia Kota Kendari ditemukan 12
familia, 20 genus, 27 jenis. Tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang ditemukan tumbuh pada
tanah (terestrial) sebanyak 18 jenis, tumbuh di
air 1 jenis, menempel pada batang tumbuhan lain
(epifit) sebanyak 3 jenis, dan dapat hidup pada
keduanya (epifit maupun terestrial) sebanyak 5
jenis.
A. Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan
tentang jenis-jenis tumbuhan paku
(Pteridophyta) yang bermanfaat bagi kehidupan,
terutama yang dapat dikonsumsi atau paku yang
dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan,
khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi
penelitian dan masyarakat Sulawesi Tenggara
pada umumnya.
111
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, S. B., 1990. Ferns of Queensland
Departement of Primary. Brisbane.
BPS Kota Kendari, 2010. Kecamatan Poasia
dalam Angka 2009; Katalog BPS
1403.7471.020. Kendari.
Dinas Kehutanan Kota Kendari, 2011. Data
Kawasan Hutan. Kendari.
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara,
2012. Peta Kawasan Hutan Nanga-
Nanga. Kendari.
Hidayat, A., Jurnalitri. Keanekaragaman
Tumbuhan Paku di Sulawesi
Tenggara.12.80.2.
Holttum, R. E., 1965. Flora of Malaya Volume
II. Authority Government Printing
Office. Singapore.
Holttum, R. E., 1988. Ferns of Malaysia in
Colour. Tropical Press. Kuala Lumpur.
Holttum, R. E., 1991. Flora Malesiana Volume
II. Leyden University The Netherlands.
Amsterdams.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara.
Jakarta.
Loveless, A.R., 1989. Prisip-Prinsip Tumbuhan
Untuk Daerah Tropik Jilid II. Gramedia.
Jakarta.
Polunin, N., 1990. Pengantar Geografi
Tumbuhan dan Beberapa Ilmu
Serumpun. Gadjah Mada. University
Press. Yogyakarta.
Sastrapradja, 1980. Jenis Paku Indonesia. Balai
Pustaka. Bogor.
Steenis van C.G.G.J., 2005. Flora Untuk Sekolah
di Indonesia. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Syafei, E. S., 1994. Pengantar Ekologi
Tumbuhan. FMIPA. ITB. Bandung.
Yanney, J.E., 1990. Pengantar Ekologi Tropika.
Penerbit ITB. Bandung.
0
PETUNJUK BAGI PENULIS
GEMA PENDIDIKAN
1. Artikel yang dimuat harus berupa hasil penelitian dan belum pernah dimuat
dijurnal lain
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia/Bahasa Inggris, kertas ukuran A4,
maksimal 12 halaman dengan spasi 1.5.
3. Format Artikel sebagai berikut :
Judul Penelitian*
Nama Penulis **
(*=catatan Kaki)
Abstrak : maksimal 150 kata (Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris)
Kata-kata kunci :
A. PENDAHULUAN
(memuat latar belakang masalah dan tujuan penelitian)
B. KAJIAN PUSTAKA
C. METODE PENELITIAN
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
E. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
(Pustaka yang dimasukkan hanya yang dirujuk dalam uraian)
4. Artikel disetor kepada pengelola dalam bentuk CD dengan file ASII
Microsoft Word dan satu rangkap print out.
5. Artikel yang diusulkan harus sudah diterima oleh Pengelola selambat-
lambatnya satu bulan sebelum penerbitan (terbit : Januari dan Juli setiap
tahun).
6. Artikel yang diproses adalah yang memenuhi persyaratan di atas.
Informasi lain dapat diperoleh di Sekretariat Gema Pendidikan dengan alamat:
Kantor Perpustakaan FKIP Universitas Halu Oleo. Kampus Bumi Tridharma
Anduonohu Kendari KP. 93232 Telp/HP. 081343901405.