pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai …

58
i LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING TAHUN I TAHUN ANGGARAN 2014 PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI DENGAN TEKNIK RAMAH LINGKUNGAN KETUA : Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, MSi NIDN: 0020025402 ANGGOTA: 1. Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP NIDN: 0009106204 2. Dr. Ir. Gede Suastika, MSc NIDN: 0007066210 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR NOVEMBER 2014 153/ILMU HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

i

LAPORAN AKHIR

HIBAH BERSAING TAHUN I

TAHUN ANGGARAN 2014

PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN

CABAI DENGAN TEKNIK RAMAH LINGKUNGAN

KETUA :

Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, MSi

NIDN: 0020025402

ANGGOTA:

1. Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP

NIDN: 0009106204

2. Dr. Ir. Gede Suastika, MSc

NIDN: 0007066210

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

NOVEMBER 2014

153/ILMU HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Page 2: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengendalian Penyakit Virus pada Tanaman

Cabai dengan Teknik Ramah Lingkungan

Peneliti / Pelaksana

a. Nama Lengkap : Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, MSi

b. NIDN : 0020025402

c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Program Studi : Agroekologi Pertanian

e. Nomor HP : 08123910101

f. Alamat surel (e-mail) : [email protected]

Anggota Peneliti (1)

a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP

b. NIDN : 0009106204

c. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

Anggota Peneliti (2)

a. Nama Lengkap : Dr. Ir. Gede Suastika, MSc

b. NIDN : 0007066210

c. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor (IPB)

Institusi Mitra (jika ada)

Nama Institusi Mitra : -

Alamat : -

Penanggung Jawab : -

g. Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun

h. Biaya Tahun Berjalan : Rp. 68.500.000,00

i. Biaya Keseluruhan : Rp. 212.865.000,00

Page 3: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

iii

RINGKASAN

Serangan penyakit virus pada tanaman cabai merupakan masalah utama dalam

menurunkan produksi cabai di Indonesia. Terjadinya ledakan penyakit virus pada

pertanaman cabai sampai saat ini belum bisa dihindari, yang berdampak sangat besar

pada ketidakcukupan suplay cabai bagi kebutuhan dalam maupun permintaan luar negeri.

Tiga jenis gejala yang umum sebagai penyebab penyakit virus pada tanaman cabai yaitu

dengan gejala mosaik, kuning dan khlorosis yang diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda.

Perbedaan sifat bioekologi dari virus-virus ini membawa konsekuensi kerumitan dalam

penanggulangan penyakit yang ditimbulkannya.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengembangkan strategi

pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat-sifat bioekologi dari

virus yang terlibat dalam menginduksi gejala, melalui serangkaian percobaan yang

meliputi: (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan penyakit virus pada tanaman

cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang

berasosiasi dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama

yang berperan sebagai vektor virus di pertanaman; serta (3) untuk mengetahui gulma

yang berperan sebagai inang alternatip cabai

Peledakan penyakit virus pada cabai telah terjadi hampir di semua daerah

penghasil cabai di Indonesia, dan sebagian besar menunjukkan gejala virus berat.

Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus yang terlibat menginduksi

penyakit pada tanaman cabai menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan

selama ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan

yang sia-sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah

dari potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat

berkurang. Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan

sifat-sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat

dalam menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat

lebih mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna

menentukan penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat

melalui ELISA maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini

akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.

Pada pertanaman cabai di daerah Bali didapatkan ada tiga jenis penyakit yaitu

mosaik, kuning dan klorosis yang masing-masing mempunyai gejala khas dan penyebab

yang berbeda.Penyakit kuning berasosiasi dengan infeksi PepYLCV, penyakit klorosis

karena infeksi PeVYV, dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau

ChiVMV.Pada pertanaman cabai di daerah Bali juga ditemukan terkoloni oleh serangga

yang telah dilaporkan dapat menjadi vektor virus; dari kelompok kutu kebul ditemukan

Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii dan Mysus

persicae. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus spinous, Bidens

pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea

trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar pertanaman cabai memperlihatkan

gejala seperti pada tanaman cabai. Semua jenis gulma bergejala terdeteksi mengandung

virus dan oleh karena itu dapat menjadi sumber virus bagi serangga vektor dalam

menularkannya ke tanaman cabai.

Kata kunci: Bioekologi, cabai, gulma, virus, vektor

Page 4: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

iv

PRAKATA

Terjadinya ledakan penyakit virus pada pertanaman cabai sampai saat ini belum

bisa dihindari, yang berdampak sangat besar pada ketidakcukupan suplay cabai bagi

kebutuhan dalam maupun permintaan luar negeri. Tiga jenis gejala yang umum sebagai

penyebab penyakit virus pada tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan

khlorosis yang diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda. Perbedaan sifat bioekologi dari

virus-virus ini membawa konsekuensi kerumitan dalam penanggulangan penyakit yang

ditimbulkannya.

Peledakan penyakit virus pada cabai telah terjadi hampir di semua daerah

penghasil cabai di Indonesia, dan sebagian besar menunjukkan gejala virus berat.

Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus yang terlibat menginduksi

penyakit pada tanaman cabai menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan

selama ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan

yang sia-sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah

dari potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat

berkurang. Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan

sifat-sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat

dalam menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat

lebih mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna

menentukan penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat

melalui ELISA maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini

akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional yang telah berkenan memberikan dukungan dana

penelitian untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit virus pada tanaman

cabai dengan teknik ramah lingkungan. Penulis berharap penelitian ini dapat

menghasilkan luaran yang bermanfaat.

Page 5: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

RINGKASAN ................................................................................................ iii

PRAKATA ..................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................. v

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi

I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ . 3

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ....................................... 6

3.1 Tujuan ........................................................................................... 6

3.2 Manfaat Penelitian ....................................................................... 6

IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 9

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 18

5.1 Penyakit Virus pada Tanaman Cabai ......................................... 18

5.2 Serangga Vektor Virus Tanaman Cabai ..................................... 22

5.3 Gulma Inang Alternatif Virus .................................................... 26

VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ............................................ 31

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 32

7.1 Kesimpulan ................................................................................ 32

7.2 Saran ........................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 33

LAMPIRAN .................................................................................................. 37

Page 6: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Prevalensi penyakit mosaik kuning dan klorosis pada tanaman cabai

berdasarkan hasil survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai

dengan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali ..................... 19

5.2 Keberadaan Cucumber mosaic virus (CMV), Chili pepper vein

mottle virus (ChiVMV) dan Tobacco mosaic virus (TMV) pada

tanaman cabai yang memperlihatkan gejala mosaik ............................. 21

5.3 Kelimpahan serangga vector Myzus persicae, Aphis gossypii dan

Bemisia tabaci pada tanaman cabai berdasarkan hasil survei yang

dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2014 di sembilan

kabupaten dan kota di Bali .................................................................... 26

5.4 Jenis gulma yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai berdasarkan

hasil survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2014

di sembilan kabupaten dan kota di Bali .................................................. 27

5.5 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari

lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui

ELISA menggunakan antiserum CMV ................................................... 28

5.6 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari

lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui

ELISA menggunakan antiserum ChiVMV ............................................. 29

Page 7: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

5.1 Tanaman cabai dengan gejala klorosis (A), tanaman cabai dengan

gejala mosaik (B) dan tanaman cabai dengan gejala kuning (C) ........... 18

5.2 Kondisi pertanaman cabai yang terinfeksi virus (A), Pengambilan

Pengambilan sampel pada tanaman yang bergejala virus (B) ............... 20

5.3 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR ...................................... 22

...............................................................................................................

5.4 Kutukebul (a dan b) dan kutudaun (c dan d) yang ditemukan dominan

mengkoloni tanaman cabai di daerah sentra produksi cabai di Bali ....... 22

5.5 Preparat kutu daun Aphis gossypii .......................................................... 23

5.6 Preparat kutu daun M. persicae ............................................................. 23

5.7 Tuberkel tidak berkembang (undevelop) pada A. gossypii, b:Tuberkel

berkembang pada M. persicae, c: Kornikel A. gossypii lebih pendek,

sedangkan d; kornikel M. persicae lebih panjang .................................. 24

5.8 Bemisia tabaci, imago (a), puparium (b), preparat puparium (c),

garis puparium sebagai kunci determinasi Bemisia(d)

( Martin1987) .......................................................................................... 25

5.9 Gulma Commelina diffusa yang ditemukan di sekitar pertanaman

cabai ....................................................................................................... 27

5.10 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR ..................................... 30

Page 8: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “Seminar Nasional

Sains dan Teknologi 2014”, di Ruang Theatre Lt 4 FK Unud

Denpasar pada tanggal 18-19 September 2014 .............................. 38

2. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “The International

Society for Southeast Asean Agricultural Sciences, Inc (ISSAAS)

at Tokyo University of Agriculture, Setagaya, Tokyo Japan”, pada

tanggal 8-10 November 2014 ..................................................... 41

3. Buram artikel ilmiah yang akan dipublikasikan ................................ 43

4 Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya ......................... 50

Page 9: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

1

BAB I. PENDAHULUAN

Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara

komersial di daerah tropis. Cabai menduduki areal paling luas, yaitu 20,6% di antara

sayuran lain di Indonesia (DBPH, 2009). Menurut Nawangsih dkk. (1999) terdapat lima

spesies cabai yang umum dibudidayakan di Indonesia, yaitu Capsicum annuum (cabai

merah), C. frutescens (cabai rawit), C. chinensis, C. bacctum, dan C. pubescens (cabai

gendot). Jenis cabai yang memiliki potensi ekonomis adalah C. annuum dan C.

frutescens.

Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional

sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton per

tahun (DBPH, 2009). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton /ha,

sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih dari 10 ton/ha. Salah satu kendala

dalam peningkatan produksi cabai di Indonesia adalah penyakit tanaman yang terjadi

selama proses produksi di lapangan. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan

patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka

usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat perhatian

(Suryaningsih dkk., 1996).

Pengamatan yang pernah dilakukan peneliti di beberapa daerah sentra produksi

cabai di Indonesia seperti di Cianjur, Garut (Jawa Barat), Brebes, Sragen (Jawa Tengah),

Malang (Jawa Timur), dan Bali menemukan bahwa penyakit pada tanaman cabai yang

disebabkan oleh virus selalu menjadi masalah di daerah tersebut. Diagnosis yang

dilakukan melalui enzyme-linked immunosorbentassay (ELISA) menemukan bahwa

penyakit yang menginduksi gejala mosaik tersebut berasosiasi dengan infeksi tiga jenis

virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic virus (TMV) dari golongan Tobamovirus,

Cucumber mosaic virus (CMV) dari golongan Cucumovirus atau Chili veinal motle virus

(ChiVMV) dari golongan Potyvirus, gejala kuning diinduksi oleh Begomovirus

sedangkan gejala khlorosis diinduksi oleh Luteo Virus dari golongan Luteovirus.

Gejala awal yang ditemukan umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun

muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna

hijau normal atau hijau tua. Bagian yang berwarna hijau muda biasanya lebih tipis,

sedangkan yang berwarna hijau tua lebih tebal dari normal. Seiring dengan

perkembangan daun, bentuk daun menjadi berubah (malformasi) seperti berkerut atau

Page 10: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

2

asimetris, dan ukurannya mengecil. Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan oleh

karenanya tanaman tampak kerdil. Buah yang dihasilkan oleh tanaman sakit sangat

menurun, bahkan pada tanaman yang sangat kerdil tidak menghasilkan buah. Rata-rata

tanaman yang sakit hanya mampu berproduksi 30% dari tanaman sehat (Dolores, 1996;

Duriat, 1997). Kerugian akibat penyakit virus ini sudah banyak terjadi terutama di

daerah-daerah sentra produksi cabai di Indonesia (Duriat, 1997). Kerugian akan semakin

besar apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian yang tepat.

Sampai sekarang tindakan pengendalian yang dilakukan masih kurang

memberikan hasil yang memadai karena beberapa alasan. Tanaman cabai yang sudah

terlanjur terinfeksi tidak dapat disembuhkan karena belum ada bahan kimia yang bersifat

kuratif; hampir semua varietas cabai yang dibudidayakan di Indonesia rentan terhadap

infeksi virus (Duriat, 1997; Sulandari 2004; Taufik, 2005); sumber inokulum virus di

lapang selalu tersedia karena pola penanaman cabai yang umumnya tidak serempak;

serangga vektor selalu pada tingkat populasi yang efektif menularkan virus, sehingga

kedua faktor terakhir ini memberikan tekanan infeksi yang sangat berat pada tanaman

cabai muda yang baru dipindahtumbuhkan (transplanting).

Sifat-sifat bioekologi dari ketiga gejala virus ini (mosaik, kuning dan khlorosis)

sudah banyak dipelajari (Taufik, 2005; Laemmlen, 2004; Palukaitis et al. 1992).

Berdasarkan peta bioekologi ini beberapa disain tindakan pengendalian mungkin dapat

disusun. Jenis-jenis gulma yang menjadi inang alternatif virus cabai perlu dibersihkan

disekitar areal pertanaman cabai, baik sebelum maupun setelah cabai ditanam dilapangan

sehingga dapat menghilangkan sumber inokulum primer. Penanaman bibit cabai bebas

virus dilakukan dengan membuat bibit di rumah kaca kedap serangga untuk menghindari

bibit terinfeksi oleh virus. Di samping itu, dua pendekatan yang mungkin dapat dilakukan

agar kutudaun infektif tidak mendatangi pertanaman cabai yaitu dengan pemasangan

mulsa yang bersifat menolak (repellent) kedatangan kutudaun dan menggunakan paranet

(net) penghalang.

Page 11: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit virus pada tanaman cabai di Indonesia dapat terjadi di semua daerah

dimana cabai ditanam dan dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. Kondisi ini terjadi

karena kesulitan dalam penanggulangannya karena beberapa alasan. Di daerah tropis

seperti Indonesia tidak terdapat musim dingin yang dapat memutus siklus penyakit;

tanaman cabai ditanam dalam plot-plot sempit dalam suatu areal yang tanpa isolasi pula

(Laemmlen, 2004; Hadidi et al., 1998). Alternatif pengendalian virus pada tanaman cabai

tetap diusahakan untuk dapat mencari solusi mengatasi semua kendala yang telah

disebutkan di atas. Strategi pengendalian yang berlandaskan pada sifat bioekologi virus

penyebab penyakit mosaik, kuning dan khlorosis diharapkan dapat lebih efektif

memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan mengenai sifat bioekologi virus-virus yang

terlibat dalam menginfeksi tanaman cabai mungkin akan memberikan arah yang tepat

dalam menentukan strategi pengendalian yang dirancang dalam penelitian ini.

Tanaman cabai yang terinfeksi virus pada umumnya menunjukkan gejala mosaik,

kuning dan khlorosis. Gejala mosaik yang terjadi pada tanaman cabai umumnya

disebabkan oleh beberapa patogen virus, yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus),

ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TMV (Tobacco Mosaic Virus) (Nyana, 2012).

Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies lain.

Lebih dari 1800 spesies tanaman dilaporkan dapat terserang virus yang sama dengan

virus yang menyerang tanaman cabai. Untuk pengendalikan virus yang menyerang

tanaman, hal yang sangat penting dilakukan adalah mendiagnosis virus yang menyerang

tanaman tersebut. Dengan hasil diagnosis tersebut, dapat digunakan sebagai panduan

untuk pemberantasan (eradikasi) beberapa sumber virus yang potensial, sehingga tanamn

cabai maupun tanaman dari spesies lain terhindar dari infeksi virus yang menyerang

tanaman cabai (Edwarson dan Christie, 1997).

Tanaman cabai seringkali terserang virus dengan menunjukkan gejala mosaik,

sehingga dapat menurunkan produksi buah cabai. Penyakit virus tersebut pada umumnya

tersebar karena adanya vektor misalnya, Myzus persicae (aphids), Bemisia tabaci (lalat

putih), Thrips tabaci. TMV merupakan virus yang diketahui dapat ditularkan melalui

benih (seed transmission). TMV adalah virus dari golongan Tobamovirus, berbentuk

batang kaku (tongkat), berukuran diameter sekitar 30 nm dan panjang sekitar 600 – 670

nm (Fauquet et al., 2005). TMV adalah virus yang sangat stabil yang diketahui sampai

Page 12: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

4

saat ini. Virus ini telah dilaporkan dapat bertahan dalam tanah dan sisa tanaman

terinfeksi juga pada benih sebagai kontaminan dalam waktu cukup lama. Di samping itu,

juga diketahui bahwa TMV dalam serpihan sisa tanaman mengkontaminasi baju pekerja

dan dapat bertahan selama dua tahun. Demikian juga produk tembakau seperti rokok atau

ceutu dapat membawa TMV dan dia dapat bertahan pada tangan beberapa jam setelah

menyentuh produk tembakau tersebut (Igwegbe and Ogungbade, 1985). Dan oleh karena

TMV dapat dengan mudah ditularkan dari dengan cara mekanik, maka virus akan

terambil dari tanaman terinfeksi selama melakukan kegiatan budidaya dan tertular ke

tanaman sehat dengan sentuhan tangan atau alat pertanian yang terkontaminasi. Tidak

diketahui bahwa TMV mempunyai serangga vektor, sehingga penularan mekanik

menjadi cara yang sangat penting untuk penyebaran penyakit.

CMV adalah virus dari golongan Cucumovirus, berbentuk bulat dengan diameter

sekitar 30 nm, dan mempunyai empat jenis asam nukleat yang masing-masing berupa

RNA utas tunggal (Palukaitis et al. 1992; Fauquet et al., 2005). Sedangkan ChiVMV

adalah virus dari golongan Potyvirus, berbentuk panjang lentur dengan panjang sekitar

650-750 nm dan diameter 12-13 nm, mempunyai satu jenis asam nukleat berupa RNA

utas tunggal (Ong, 1995; Fauquet et al., 2005). Kedua virus ini mempunyai banyak jenis

tanaman inang (untuk CMV lebih dari 800 spesies tanaman inang) termasuk beberapa

gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama (Palukaitis et al. 1992; Ong,

1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan memudahkan virus ini untuk bertahan pada

saat tanaman inang utama tidak ada di lapangan. Penyebaran ke dua virus ini dapat

dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus

persicae secara non-persisten (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Virus ini bisa

ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari

satu menit. Kemampuan virus ini untuk ditranslokasikan menurun kira-kira setelah 2

menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan

kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu tapi tetap dapat

ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang

virus ini, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain,

termasuk tanaman cabai (Khetarpal et al., 1998).

Cara penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian

penyakit mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan

insektisida. Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan

segera menularkan virus pada tanaman baru yang dihinggapinya, sehingga walaupun

Page 13: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

5

kutudaun tersebut mungkin mati akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman

sudah terlanjur tertular virus.

Penyakit kuning di Indonesia diketahui disebabkan oleh infeksi begomovirus,

Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV), family Geminiviridae, genus Begomovirus

yang ditularkan oleh serangga Bemisia tabaci secara persisten (De Barrow et al., 2008).

Gejala yang muncul antara lain helaian daun yang diserangnya mengalami “vein

clearing” dimulai dari daun-daun pucuk, kemudian berkembang menjadi warna kuning

yang jelas, tulang daun menebal dan daun-daunn menggulung ke atas dan apabila

serangan nya sudah lanjut (infeksi lanjut), menyebabkan daun-daunnya mengecil dan

berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah.Vektor dari virus ini (Bemisia

tabaci) banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropik, yang terbersebar luas sampai

jarak yang jauh dibawa oleh angin. Priode makan akuisisi berkisar antara 24-48 jam pada

tanaman yang sakit dan umumnya cukup membuat serangga ini sangat infektif. Virus

kuning memiliki periode laten dalam tubuh serangga antara 4 sampai 20 jam, dan tetap

infektif setelah makan sampai beberapa hari hingga 35 hari atau lebih (Palukaitis et al.

1992).

Virus Luteo ditularkan oleh kutu daun secara persisten, dan virus ini tidak dapat

ditransmisikan secara mekanis kecuali dengan teknik khusus, seperti penusukan dengan

jarum halus. Spesies dari genus Luteo dapat ditemui di seluruh dunia dan menginfeksi

berbagai tanaman monokotil dan tanaman dikotil, dan virus ini bereplikasi diri di

jaringan floem (Frederick, 2003).

Penularan virus yang dilakukan oleh serangga sebagai vektor yang dapat

langsung menularkan virus ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman

sakit sumber virus dapat dihindari dengan mengitari tanaman cabai dengan menggunakan

net. Kutudaun bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai akan

dihalangi oleh net sehingga tidak bisa masuk ke pertanaman cabai.

Pada kondisi udara tenang, telah diketahui bahwa kutudaun akan lebih banyak

terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman. Dan telah

diketahui pula bahwa kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan warna yang

disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Dari spesies-

spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan

cahaya abu-abu (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya abu-abu ini

memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik abu-abu metalik sebagai

pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutudaun.

Page 14: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

6

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengembangkan strategi

pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat-sifat bioekologi dari

virus yang terlibat dalam menginduksi gejala, melalui serangkaian percobaan yang

meliputi: (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan penyakit virus pada tanaman

cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang

berasosiasi dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama

yang berperan sebagai vektor virus di pertanaman; (3) mencegah sumber inokulum

primer di pertanaman cabai dan (4) menghalau kedatangan serangga vektor ke dalam

pertanaman cabai.

Di samping itu, hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan pada

pengkayaan ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain melalui publikasi hasil penelitian

yang diusulkan pada jurnal ilmiah nasional atau internasional. Dan hasil samping dari

kegiatan penelitian ini adalah memberi bantuan kepada beberapa mahasiswa yang sedang

menyelesaikan tugas akhirnya dengan melibatkannya dalam penelitian ini.

3.2 Manfaat Penelitian

Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara

komersial di daerah tropis. Cabai menduduki areal paling luas, yaitu 20,6% di antara

sayuran lain di Indonesia. Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan

cabai nasional sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari

16.000 ton per tahun. Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton /ha,

sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih dari 10 ton/ha. Salah satu kendala

dalam peningkatan produksi cabai di Indonesia adalah penyakit tanaman yang terjadi

selama proses produksi di lapangan. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan

patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka

usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat perhatian.

Peledakan penyakit mosaik pada cabai telah terjadi di banyak daerah penghasil

cabai di Indonesia seperti di daerah Cianjur, Garut (Jawa Barat), Brebes, Sragen (Jawa

Tengah), Malang (Jawa Timur), dan Bali (hasil pengamatan pengusul). Dari pengamatan

tersebut juga diketahui bahwa hampir semua varietas cabai komersial seperti Cakra

Page 15: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

7

Putih, Hot Beauty, Jatilaba, Laris, Meteor, TM-999, Rama, Taruna, Tegar dan TIT Super

menunjukkan gejala virus berat. Hasil pengamatan ini memberi gambaran bahwa hampir

semua varietas cabai komersial di Indonesia rentan terhadap infeksi virus. Oleh karena

itu, strategi pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai selain menggunakan

varietas resisten perlu diusahakan.

Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus-virus yang terlibat

menginduksi penyakit virus menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan selama

ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan yang sia-

sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah dari

potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat

berkurang.

Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan sifat-

sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat dalam

menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat lebih

mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna menentukan

penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat melalui ELISA

maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini akan

memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.

Penyakit virus pada tanaman cabai yang mempunyai banyak jenis tanaman inang,

strategi pengendaliannya didekati dengan pengendalian gulma sebagai tanaman inang,

dan pencegahan sumber inokulum primer di pertanaman cabai dilakukan dengan

membuat bibit bebas virus dengan melakukan pembibitan di rumah kaca kedap serangga,

sedangkan untuk menghalau kedatangan serangga vektor ke dalam pertanaman cabai

dilakukan dengan pemasangan mulsa plastik hitam perak dan barier paranet. Semua

strategi pengendalian ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama tergantung

dari jenis virus yang mendominasi di daerah bersangkutan.

Signifikansi yang sangat penting dari penelitian ini adalah bahwa petani yang

menginvestasikan modalnya pada tanaman cabai dapat mengimplementasikan strategi

pengendalian penyakit virus yang didapatkan dalam penelitian ini. Untuk mencapai

sasaran ini maka penelitian akan dilakukan di daerah penanaman sayur-mayur atau sentra

produksi cabai, sehingga petak penelitian akan secara langsung menjadi demontrasi plot

bagi petani di sekitar lokasi penelitian sehingga mereka secara langsung dapat melihat

hasilnya dan diharapkan akan termotivasi untuk mengadopsi teknologi yang didapatkan.

Di samping itu, tim peneliti juga akan memberikan penyuluhan kepada kelompok tani

Page 16: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

8

setempat mengenai bioekologi virus tanaman sehingga diharapkan dapat merubah

tingkah laku budidaya tanaman cabai yang mengarah pada pengendalian virus.

Di samping menyiapkan perangkat pengendalian penyakit virus pada tanaman

cabai yang dapat diaplikasikan oleh petani, hasil penelitian ini juga akan memperkaya

kasanah ilmu pengetahuan dengan mendistribusikannya dalam bentuk publikasi di dalam

jurnal dalam maupun luar negeri. Penelitian ini juga melibatkan beberapa mahasiswa

dengan harapan dapat membantu dalam penyediaan kebutuhan penelitian untuk

penyusunan tulisan tugas akhir mereka.

Page 17: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

9

BAB IV. METODE PENELITIAN

Kegiatan Penelitian pada Tahun Pertama (2014)

Percobaan 1: Pemetaan Kejadian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengukur kejadian penyakit virus pada

tanaman cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, (2) mengukur intensitas serangan

penyakit virus pada tanaman cabai yang dibudidayakan petani Bali, (3) mengidentifikasi

virus-virus yang berasosiasi dengan penyakit cabai, (4) mengukur dominansi virus-virus

yang berasosiasi dengan penyakit cabai.

Daerah sebar penyakit virus pada tanaman cabai perlu dipetakan untuk dapat

menentukan daerah-daerah di wilayah Pulau Bali yang perlu menerapkan teknologi

pengendalian yang efektif sehingga tepat sasaran dalam penanggulangan penyakit virus

cabai. Sesuai dengan sifat bioekologi virus yang terlibat maka laju penyebaran penyakit

virus sangat bergantung pada dinamika populasi serangga vektor yang menyebarkannya,

jumlah dan jarak tanaman sumber infeksi serta keberadaan gulma sebagai inang alrenatif

dari virus cabai. Untuk memetakan sebaran penyakit virus pada tanaman cabai di Pulau

Bali maka dalam penelitian ini dilakukan survei berdasarkan wilayah pemerintahan di

Bali, yaitu: Kabupaten Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli,

Klungkung, Karangasem dan Kota Denpasar. Pada setiap kabupaten/kota ditentukan dua

kecamatan yang dipilih yang menjadi sentra penanaman cabai. Pada setiap kecamatan

ditentukan dua desa berdasarkan populasi tanaman cabai terbanyak. Pada setiap desa

ditentukan empat kebun petani berdasarkan kejadian penyakit mosaik terbanyak. Untuk

verifikasi jenis virus yang terlibat dalam induksi gejala penyakit mosaik maka dilakukan

pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman-tanaman cabai yang menunjukkan

gejala spesifik terinfeksi virus seperti : perubahan warna daun seperti mosaik atau motel,

perubahan bentuk daun menyerupai tali sepatu nekrotik pada daun, atau nekrotik pada

buah.

Jumlah individu tanaman cabai yang diambil sebagai sampel adalah lima persen

dari populasi tanaman yang bergejala mosaik yang ada di kebun tersebut. Segera setelah

dipetik, daun-daun pucuk cabai tersebut secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung

gelas berdiameter 2,5cm dan panjang 15cm yang telah diisi separuh volumenya dengan

serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat sampai kedap udara. Bahan higroskopis ini

Page 18: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

10

akan menyebabkan sampel daun mengering terawetkan namun tidak mempengaruhi

viabilitas maupun sifat intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya.

Identifikasi virus. Mengingat bahwa gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh

virus yang berlainan, maka pengumpulan isolat virus hanya berdasarkan pada gejala di

lapang seperti yang diuraikan diatas, tentu mengandung resiko bahwa isolat yang

diperoleh mungkin bukan dari spesies virus yang dimaksud dan mungkin juga isolat yang

diperoleh bercampur dengan isolat virus lain (infeksi ganda). Untuk menghindari

kesalahan ini, setiap sampel daun diuji melalui enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) menggunakan serum anti-CMV, -PVY, -TMV, dan -ChiVMV sesuai dengan

prosedur yang disarankan oleh perusahaan penyedia antiserum (Agdia, USA) atau uji

molekuler dengan teknik PCR. Anti-CMV, -TMV, dan -ChiVMV digunakan karena

virus ini telah dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai dan tipe gejalanya kadang-

kadang mirip, yaitu dengan gejala mosaik. Untuk virus Gemini (PepYLCV) juga telah

dilaporkan dapat menyerang tanaman cabai (Nyana.,2012), tetapi gejala infeksi virus ini

dapat dibedakan secara jelas dengan gejala CMV, sehingga dalam penelitian ini tidak

dilakukan pengujian ELISA terhadap PepYLCV. Berdasarkan hasil penelitian

pendahuluan yang peneliti lakukan bekerja sama dengan Peneliti Virologi dari IPB dan

Utsunomia University Japan menemukan bahwa disalah satu sentra tanaman cabai di

Bali telah ditemukan virus baru pada tanaman cabai yaitu virus Luteo yang menginduksi

gejala khlorosis. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan tersebut peneliti ingin lebih

mendalam mengetahui dan mengidentifikasi virus-virus yang berasosiasi dengan

penyakit cabai di Bali. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala yang telah

dikoleksi dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler.

Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Pengujian Serologi. Untuk mengkonfirmasi infeksi

virus pada jaringan tanaman cabai dilakukan melalui uji ELISA sebagai berikut:

Sebanyak 0,5 ul antiserum terhadap virus TMV, CMV dan ChiVMV (Agdia, USA) di

campurkan ke dalam 100 ul coating buffer (0.1 g magnesium klorid, 0,2 g sodium azid,

dan 97 ml dietanolamin dilarutkan dalam 1000 ml dengan ph akhir 9,8) dan dimasukkan

ke plat mikrotiter sebanyak 100 ul tiap sumuran plat kemudian diinkubasikan pada suhu

37ºC selama 2 jam atau -4ºC selama semalam. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci

sebanyak 6 kali dengan bafer PBST 1X (8 g sodium klorid, 1,15 g sodium fosfat dibasic,

0,2 g potassium fosfat monobasic, dan 0,5 g tween-20 yang dilarutkan dalam 1 l air

Page 19: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

11

dengan pH 7,4). Sebanyak 0,1 g jaringan daun pisang bergejala dilumatkan dengan

mortar dalam 1 ml general extract buffer ( 1,3 g sodium sulfite, 20 g

polyvinylpyrolidone, 0,2 g sodium azide, 2 g powdered egg (chiken) albumin, dan 20 g

tween-20 yang dilarutkan ke dalam 1 l PBST 1X dengan pH 7,4. Cairan perasan (sap)

yang dihasilkan diambil sebanyak 100 ul kemudian dimasukkan ke dalam sumuran plat

mikrotiter dan kemudian diinkubasikan selama waktu seperti tahap sebelumnya.

Selanjutnya plat mikrotiter dicuci lagi sebanyak 6 kali dengan PBST 1X. Setelah dicuci

dengan bufer PBST 1X, pada sumuran yang sama diisi 100 ul enzim konjugat yang sudah

diencerkan dengan buffer ECI (2 g bovine serum albumin, 20 g polyvinylpyrrolidone, dan

0,2 g sodium azide yang dilarutkan dalam 1 l PBST 1X dan ph 7,4) dan diinkubasi pada

37ºC selama 2 jam. Setelah pencucian, sumuran kemudian ditambah 100 ul larutan PNP

(1 mg/ml p-nitrophenyl phosphate dalam 10% triethanolamine, pH 9,8) dan diinkubasi

sampai muncul warna kuning (+ 30 menit). Nilai absorban diukur pada 405 nm dengan

ELISA Reader.

Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Uji Molekuler. Total RNA diekstrak dari 100 mg

jaringan daun tanaman cabai menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc.,

Chatsworth, CA., USA). Sampel RNA yang telah dimurnikan diresuspensikan dengan 40

µl air bebas RNase, kemudian disimpan pada suhu -80°C sampai akan digunakan.

Amplifikasi sebagian genom virus dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik

untuk virus bersangkutan. Reaksi RT dilakukan pada volume 20 µl terdiri dari 3 µl RNA

hasil ekstraksi, 0,75 pmol primer, 500 mM dNTPs, 5 mM MgCl2, 4 µl bufer RT (250

mM Tris-HCl, pH 8,3, 375 mM KC, 15 mM MgCl2, 50 mM DTT), 20 unit RNAsin

Ribonuclease inhibitor (Promega, Madison, WI, USA), dan 65 unit MMLV reverse

transcriptase (Promega, Madison, WI, USA). Reaksi RT dilakukan pada kondisi 25 °C

selama 5 menit, 42 °C selama 60 menit, diikuti dengan inaktivasi pada 72 °C selama 15

menit. Reaksi PCR dilakukan pada volume 50 µl terdiri dari 0,75 pmol forward primer

dan reverse primer, 3 µl bufer reaksi (500 mM KCl, 100 mM Tris-HCl [pH 9,0 pada

25°C], 1,0% [vol/vol] triton X-100), dan 0,5 µl taq DNA polimerase (Promega, Madison,

USA). Kondisi PCR awalnya adalah denaturasi pada suhu 94°C selama 4 menit,

kemudian dilanjutkan dengan 45 siklus pada 94 °C selama 1 menit, 50 °C selama 1

menit, dan 72 °C selama 1 menit, dan diikuti dengan perpanjangan pada 72 °C selama 10

menit pada mesin PCR (Perkin Elmer 9700 thermocycler). Separasi DNA produk RT-

PCR dilakukan pada gel agarose 1% dalam larutan penyangga TBE (54 g Tris base, 27,5

Page 20: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

12

g Asam Borat, 20 ml EDTA 0,5 M, pH 8,0 dalam 1000 ml air) pada kondisi 70 V selama

2 jam. Amplicon divisualisasi dengan 2 µg/ml ethidium bromida dalam larutan

penyangga TBE untuk elektroforesis. Setelah pewarnaan, gel kemudian difoto di atas

cahaya ultra violet (310 nm) menggunakan kamera polaroid Direct Screen DS34 dan film

polaroid FP-3000B SS.

Percobaan 2: Pengukuran Kelimpahan Serangga Vektor Virus pada Pertanaman

Cabai

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis serangga hama yang terdapat

di pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengukur kelimpahan serangga yang telah

diketahui berperan sebagai vektor virus.

Laju penyebaran penyakit virus sangat bergantung pada dinamika populasi

serangga vektor yang menyebarkannya, jumlah dan jarak tanaman sumber infeksi serta

keberadaan gulma sebagai inang alrenatif dari virus cabai. Pengamatan dinamika

populasi serangga vektor dilakukan sama seperti survey pemetaan penyakit virus, yaitu

dilakukan di sentra penanaman cabai di seluruh Bali terhadap jenis dan kelimpahan

serangga yang telah diketahui sebagai vektor penyakit virus.

Perhitungan kelimpahan dan komposisi spesies vektor dihitung berdasarkan

jumlah individu satu spesies vektor di bagi dengan jumlah total individu seluruh spesies

selama satu hari (Michael, 1994), atau dapat ditulis dengan rumus :

Penghitungan populasi pada tanaman cabai secara langsung juga dilakukan dengan

bantuan hand counter. Baik imago maupun larva, semua dihitung sebagai satu populasi.

Setelah itu beberapa sampel vektor diambil dimasukkan dalam botol yang berisi 70%

alkohol untuk kemudian dipreparasi dan diidentifikasi di Laboratorium Hama dan

Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Unud. Identifikasi dilakukan dengan mengamati

spesimen serangga awetan. Identifikasi spesimen menggunakan ciri-ciri morfologi sayap,

antena dan toraks.

Page 21: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

13

Percobaan 3: Menentukan Jenis-Jenis Gulma yang dapat Menjadi Inang Alternatif

Virus Cabai

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis gulma yang kerap

terdapat pada pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengidentifikasi gulma-gulma yang

dapat menjadi inang alternatif bagi virus cabai.

Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif

terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya kompetisi

merupakan pengaruh langsung dari keberadaan gulma sedangkan pengaruh tidak langsung

adalah peranannya sebagai inang alternatif beberapa patogen (Satroutomo, 1990).

Koleksi gulma dilakukan sama seperti survey pemetaan penyakit virus, yaitu

dilakukan di sentra penanaman cabai di seluruh Bali dengan metode pengamatan langsung

dan mengumpulkan gulma yang bergejala mosaik, kuning dan khlorosis yang tumbuh

disekitar pertanaman cabai. Selanjutnya dilakukan identifikasi gulma tersebut dengan cara

membandingkan dengan ilustrasi gulma yang telah tersedia (Everaarts, 1981; Soerjani et al.

1987).Segera setelah dipetik, daun-daun pucuk gulma tersebut secara terpisah

dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5cm dan panjang 15 cm yang telah

diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat sampai

kedap udara dan selanjutnya diisi label. Untuk menentukan jenis virus yang menginfeksi

gulma, maka dilakukan pengujian dengan teknik serologi atau uji molekuler seperti

prosedur yang sudah diuraikan sebelumnya.

Kegiatan Penelitian pada Tahun Kedua (2015)

Percobaan 4: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Melalui Penggunaan Bibit Bebas

Virus dan Tanpa Gulma

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus melalui penanaman

bibit bebas virus pada lahan yang selalu diusahakan bebas gulma.

Penyemaian Benih dan Penanaman Bibit Cabai. Varietas cabai yang

digunakan dalam percobaan ini adalah cabai rawit lokal yang biasa ditanam petani

setempat, yang sangat rentan terhadap penyakit virus. Setelah direndam semalam, benih

cabai disemai dalam media steril dalam sebuah tray dan dilakukan penyiraman setiap

hari. Pembibitan dilakukan di rumah kaca kedap serangga untuk menghindari terjadinya

infeksi bibit dengan virus sebelum ditanam di lapangan. Setelah bibit cabai mencapai

stadia berdaun empat (umur bibit 3 minggu), segera dipindahkan kedalam pot individu

Page 22: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

14

dengan diameter 5 cm dan dipelihara sampai bibit siap dipindahkan ke lapangan ( umur

bibit 5 minggu).

Penyiapan Lahan Tanpa Gulma. Lahan yang digunakan percobaan adalah

lahan dengan ketesediaan air yang mencukupi di sentra penanaman sayur mayur di Desa

Kerta Kecamatan Payangan Gianyar. Tempat ini dipilih agar tekanan infeksi virus dari

luar pertanaman cukup tinggi karena beberapa alasan. Daerah penanaman sayur mayur

menyediakan berbagai macam jenis tanaman yang dapat digunakan inang alternatif bagi

virus sehingga berfungsi sebagai sumber inokulum bagi tanaman percobaan. Daerah

penanaman sayur mayur menyediakan populasi berbagai jenis kutudaun (aphis) pada

tingkat yang cukup tinggi sebagai agen pembawa (vektor) bagi virus ke dalam

pertanaman percobaan. Disamping itu intensitas pengguaan lahan yang cukup tinggi akan

memberikan peluang tumbuhnya gulma pada setiap aktifitas, sehingga berpeluang

sebagai sumber inang alternativ virus.

Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m

dan lebar 1,0 m dengan jarak tanam 50 cm x 75 cm.Tanah guludan dicampur merata

dengan pupuk kandang (atau pupuk organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton

per hektar sebagai pupuk dasar. Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis

rekomendasi untuk daerah bersangkutan sebagai pupuk dasar. Selama pertumbuhan

tanaman cabai dilapangan diusahakan agar tidak sampai ada gulma yang tumbuh di petak

percobaan. Demikian juga sebagai perlakuan kontrol, lahan diolah sama seperti di atas

namun tidak melakukan penyiangan gulma. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian

rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok. Efektifitas

perlakuan ini terhadap perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan

dilakukan pengamatan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang

terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan

dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara

sistematis. Pengaruh perlakuan bibit bebas virus tanpa gulma terhadap produksi tanaman

cabai akan menentukan manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada

tanaman bergejala dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur

yang sudah diuraikan.

Page 23: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

15

Percobaan 5: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Melalui Penggunaan Paranet

Merah

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus melalui penanaman

cabai di dalam penghalang paranet berwarna merah.

Penyiapan Lahan Paranet Merah. Lahan yang digunakan percobaan adalah

lahan milik petani di Desa Kerta Kecamatan Payangan Gianyar, yang memiliki sumber

inokulum virus cukup tinggi.

Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m

dan lebar 1,0 m. Tanah guludan dicampur merata dengan pupuk kandang (atau pupuk

organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton per hektar sebagai pupuk dasar.

Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk daerah

bersangkutan sebagai pupuk dasar. Setiap empat guludan (petak) diitari dengan net

khusus yang berwarna merah (yang diperoleh dari Center for Bioscience Research &

Education, Utsunomiya University, 350 Mine-machi, Utsunomiya, Tochigi 321-8505,

Japan). Jarak tanam setiap petak adalah 50 cm x 75 cm sesuai dengan jarak tanam

kebiasaan petani setempat. Demikian juga sebagai perlakuan kontrol, lahan diolah sama

seperti di atas namun tidak menggunakan net. Setiap perlakuan terdiri dari empat petak,

dam masing-masing perlakuan diulang sembilan kali. Tata letak petak percobaan diatur

sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok.

Pengaruh Penggunaan Paranet Merah Terhadap Kejadian Penyakit Mosaik

dan produksi Tanaman Cabai. Bibit cabai yang sebelumnya telah disiapkan dengan

prosedur pembibitan seperti percobaan sebelumnya, selanjutnya dipindahtanamkan ke

lahan yang sudah disipakan. Percobaan dilakukan pada daerah sayur mayur dimana

terdapat banyak sumber inokulum virus dan kutudaun yang siap setiap saat membawa

virus ke dalam pertanaman cabai. Kutudaun yang membawa virus dari luar pertanaman

adalah faktor penting terjadinya penyakit di dalam pertanaman, sehingga bila dapat

mengurangi kedatangan kutudaun ke dalam pertanaman akan mengurangi dan bahkan

meniadakan penyebaran penyakit. Pemasangan net yang mengitari tanaman cabai dapat

mencegah masuknya kutudaun ke pertanaman cabai percobaan. Efektifitas net ini

terhadap kutudaun akan diukur dengan mengamati perkembangan penyakit virus pada

setiap petak percobaan. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat

perkembangan gejala virus yang terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak

Page 24: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

16

percobaan. Demikian juga akan dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman

contoh yang ditentukan secara sistematis. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman

bergejala dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang

sudah diuraikan sebelumnya.

Percobaan 6: Pengendalian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai dengan Mulsa

Plastik Abu-abu Metalik

Penyiapan Lahan Bermulsa dan Penanaman bibit. Lahan yang digunakan

percobaan adalah lahan milik petani di Desa Kerta Kecamatan Payangan Gianyar yang

memiliki sumber inokulum yang cukup tinggi

Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m

dan lebar 1,0 m. Tanah guludan dicampur merata dengan pupuk kandang (atau pupuk

organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton per hektar sebagai pupuk dasar.

Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk daerah

bersangkutan sebagai pupuk dasar. Setelah dirapikan, tanah guludan ditutup dengan

mulsa plastik yang berwarna abu-abu metalik (tersedia di toko pertanian) sedemikian

rupa sehingga tanah guludan dari ujung ke ujung dan dari samping kanan ke kiri tertutup

rapat. Lubang berdiameter 10 cm dibuat pada mulsa plastik dengan jarak tanam 50 cm

(kea rah lebar) x 75 cm (ke arah memanjang) sebagai jarak tanam. Demikian juga sebagai

perlakuan kontrol, lahan diolah sama seperti di atas namun tidak menggunakan mulsa

plastik. Bibit yang sebelumnya sudah disiapkan dengan prosedur pembibitan seperti yang

diuraikan sebelumnya selanjutnya dipindahtanamkan di masing-masing petak yang sudah

disiapkan.Tata letak petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah

rancangan percobaan acak kelompok.

Pengaruh Penggunaan Mulsa Terhadap Kejadian Penyakit Virus dan

produksi Tanaman Cabai. Percobaan dilakukan pada daerah sayur mayur dimana

terdapat banyak sumber inokulum virus dan kutudaun yang siap setiap saat membawa

virus ke dalam pertanaman cabai. Efektifitas repellent mulsa ini terhadap kutudaun akan

diukur dengan mengamati perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan.

Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang

terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan

dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara

sistematis. Pengaruh perlakuan mulsa terhadap produksi tanaman cabai akan menentukan

Page 25: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

17

manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala dilakukan

melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang sudah diuraikan

sebelumnya.

Kegiatan Penelitian pada Tahun Ketiga (2016)

Percobaan 7: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Secara Terpadu

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus pada tanaman cabai

dengan mengintegrasikan semua metode yang telah diuji pada Percobaan 4, 5 dan 6.

Penyemaian Benih Bebas Virus dan Penanaman Bibit Cabai. Varietas cabai

yang digunakan dalam percobaan ini adalah cabai rawit lokal yang biasa ditanam petani

setempat, yang diketahui sangat rentan terhadap penyakit virus. Setelah direndam

semalam, benih cabai disemai dalam media steril dalam sebuah tray dan dilakukan

penyiraman setiap hari. Pembibitan dilakukan di rumah kaca kedap serangga untuk

menghindari terjadinya infeksi bibit cabai dengan virus sebelum dipindahkan ke

lapangan. Setelah bibit cabai mencapai stadia berdaun empat (umur bibit 3 minggu),

segera dipindahtanamkan kedalam pot individu dengan diameter 5 cm dan dipelihara

sampai bibit siap dipindahkan ke lapangan ( umur bibit 5 minggu).

Penyiapan Lahan. Tempat dimana percobaan dilakukan, persiapan lahan, ukuran

guludan (petak), penggunaan pupuk dan jarak tanam sama seperti percobaan sebelumnya.

Adapun perlakuan yang diujikan dalam percobaan ini adalah: petak dengan perlakuan

bibit bebas virus tanpa gulma, petak dengan perlakuan net merah, petak dengan mulsa

plastic abu-abu perak dan petak kontrol. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian

rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok. Efektifitas

perlakuan ini terhadap perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan

dilakukan pengamatan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang

terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan

dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara

sistematis. Pengaruh perlakuan terhadap produksi tanaman cabai akan menentukan

manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala dilakukan

melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang sudah diuraikan.

Page 26: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

18

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

5.1.1 Kejadian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan untuk memetakan kejadian

penyakit virus di daerah sentra penanaman cabai di seluruh Kabupaten dan Kota di Bali

yaitu: Kabupaten Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung,

Karangasem dan Kota Denpasar ditemukan, bahwa ada tiga jenis virus utama yang

menyerang tanaman cabai yaitu virus dengan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti

terlihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Tanaman cabai dengan gejala klorosis (A), tanaman cabai dengan gejala

mosaik (B) dan tanaman cabai dengan gejala (C) kuning

Penyakit mosaik dan kuning tersebar secara merata di seluruh Kabupaten dan

kota di Bali, namun penyakit klorosis penyebarannya belum merata, dan bahkan baru

dijumpai di tiga kabupaten saja di Bali, seperti terlihat pada Tabel 5.1.Prevalensi

penyakit mosaik pada lokasi penanaman cabai di Bali paling tinggi dibandingkan dengan

penyakit kuning dan klorosis (Tabel 5.1). Rata-rata tanaman cabai yang memperlihatkan

gejala mosaik 34,56%, tanaman cabai yang memperlihatkan gejala kuning 29,1%.

sedangkan tanaman cabai yang memperlihatkan gejala klorosis paling rendah yaitu

sebesar 5,2%. Hasil ini memperlihatkan bahwa penyakit mosaik tampaknya lebih

memegang peranan penting di antara penyakit-penyakit virus sebagai salah satu

penghambat dalam produksi cabai di daerah ini.Tanaman cabai dengan gejala klorosis

pertama kali ditemukan di Bali, tepatnya di Kecamatan Payangan Gianyar pada tahun

A B C

Page 27: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

19

2011, dan belum ditemukan di daerah lain. Penyakit ini adalah merupakan pendatang

baru yang ikut menambah keragaman penyakit pada tanaman cabai di Bali.

Tabel 5.1 Prevalensi penyakit mosaik, kuning dan klorosis pada tanaman cabai

berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan

bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali

Gejala yang tampak pada tanaman dengan gejala mosaik adalah pada daunnya

belang hijau tua dan hijau muda. Bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih tebal

dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Kadang-kadang disertai dengan

perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang).Daun-daun muda

memperlihatkan belang pada tulang daunnya, daun-daun yang sudah mencapai

pertumbuhan maksimal biasanya lebih sempit dibandingkan daun yang lebih tua,

sedangkan daun-daun tua mengalami malformasi melengkung ke bawah (Agrios,

2005).Tanaman yang sakit menghasilkan buah yang kecil dan sering tampak berjerawat

(Semangun, 2000).Virus ini dapat menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%,

bahkan jika infeksi terjadi pada fase bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100%

(Duriat, 1997).

Tanaman cabai dengan gejala kuning, adalah helai daun mengalami klorosis di

antara tulang daun maupun pinggir daun, daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke

arah atas, tulang daun menebal, pinggir daun menjadi pucat sampai kuning terang.

No

Lokasi

pengambilan

sampel

Jumlah

tanaman

yang diamati

(x 1000)

Persentase tanaman yang bergejala

Mosaik Kuning Klorosis

1 Badung 5,12 32,4 23,5 0

2 Bangli 4,86 30,8 29,4 0

3 Buleleng 5,48 38,8 32,3 0

4 Denpasar 2,80 29,4 35,3 0

5 Gianyar 5,20 33,6 28,4 18,6

6 Jembrana 4,60 30,4 32,7 0

7 Karangasem 4,40 42,6 24,6 0

8 Klungkung 6,78 34,6 27,1 12,4

9 Tabanan 5,40 38,4 29,2 15,8

Rata-rata 34,56% 29,17% 5,20%

Page 28: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

20

Infeksi lanjut menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman

kerdil dan tidak berbuah (De Barrow et al., 2008).

Gejala klorosis pada tanaman cabai ditandai dengan gejala menguning pada

helaian daun karena klorosis antara tulang daun, tulang daun dan jaringan disekitarnya

tetap hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi pemendekan ruas

batang.Tanaman dengan gejala klorosis yang terinfeksi Polerovirus menghasilkan buah

dengan kualitas rendah dan hasil rendah (Gallitelli, 1998).

Untuk verifikasi jenis virus yang terlibat dalam induksi gejala penyakit mosaik,

kuning dan klorosis maka dilakukan pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman

cabai rawit yang menunjukkan gejala mosaik, kuning, dan klorosis di seluruh sentra

pengamatan, seperti terlihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Kondisi pertanaman cabai yang terinfeksi virus (A), Pengambilan sampel

pada tanaman yang bergejala virus (B)

5.1.2 Virus-virus yang Berasosiasi dengan Penyakit pada Tanaman Cabai

Berdasarkan hasil uji serologi dengan teknik ELISA pada penelitian ini

ditemukan beberapa jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada tanaman

cabai yaitu CMV, ChiVMV, danTMV (Tabel 5.2). Di antara ketiga virus penyebab

penyakit mosaik, CMV adalah virus yang dominan dengan prevalensi 29,4%, diikuti oleh

ChiVMV dan TMV dengan prevalensi masing-masing 26,4% dan 14,7%. Tingginya

prevelensi CMV pada penelitian ini disebabkan karena CMV mempunyai kisaran inang

yang paling luas termasuk beberapa gulma yang dapat menjadi inang perantara dan dapat

menyediakan sumber inokulum kapan saja, dan dapat ditularkan oleh banyak spesies

aphid dan efektivitas penularannya yang sangat tinggi berperan dalam menyebarkan virus

(Escriu et al., 2000). Hasil ini mengindikasikan bahwa CMV adalah virus penting dan

merupakan penyebab utama penyakit mosaik pada tanaman cabai di Bali.

A B

Page 29: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

21

Tabel 5.2 Keberadaan Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco mosaic virus (TMV)

dan Chili pepper vein mottle virus (ChiVMV) pada tanaman cabai dengan

gejala mosaik

Lokasi

Pengambilan

sampel

Jumlah

sampel*

Persentase tanaman yang terinfeksi oleh virus**

CMV TMV ChiVMV

Badung 82 21,9 14,6 19,5

Bangli 73 30,1 12,3 27,4

Buleleng 104 30,7 17,3 21,2

Denpasar 41 34,1 21,9 29,3

Gianyar 86 25,5 11,6 28,5

Jembrana 69 28,9 11,6 31,8

Karangasem 92 34,8 15,2 30,4

Klungkung 115 28,7 12,1 26,0

Tabanan 103 30,0 15,5 23,3

Rata-rata 29,4%

14,7% 26,4%

*Jumlah sampel untuk uji ELISA diambil 5% dari jumlah sampel yang memperlihatkan

gejala mosaik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.

**Keberadaan virus ditentukan berdasarkan uji ELISA.

Uji molekuler terhadap virus dengan gejala klorosis dilakukan dengan teknik RT-

PCR dan virus dengan gejala kuning dilakukan dengan teknik PCR. Hasil elekroforesis

menunjukkan bahwa sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus PepYLCV

(700 bp), dan Polerovirus (650 bp) yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari

masing-masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang

digunakan (Gambar 5.3).

Pasangan primer untuk PepYLCV yaitu CPPROTEIN-V1 yaitu (5‟-TAATTCTA

GATGTCGAAGCGACCCGCCGA-„3) sedangkan CPPROTEIN-C1 yaitu: (5‟-GGCCG

AATTCT TAATTTTGAACAGAATCA-„3) (AVRDC, Taiwan), kedua pasangan primer

tersebut akan mengamplifikasi bagian gen protein selubung (CP) yang berukuran 700 bp,

dan hasil elekroforesis untuk PepYLCV ini sekitar 700 bp yang sangat bersesuaian

dengan prediksi dari primer yang didesain. Pasangan primer untuk Polerovirus yaitu

primer spesifik menurut Corre^a et al. (2005) adalah sebagai berikut yaitu primer F

dengan susunan basa atau sekuen nukleotida (5‟-AATTAAGGATCCAATACGGGA

Page 30: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

22

GGGGTTAGGAGAAAT-3‟) dan primer R dengan sekuen nikleotida (5‟-AATTAACT

GCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-3‟). Kedua primer tersebut merupakan

primer yang dapat mengamplifikasi bagian coat protein (CP) virus yang berukuran 650

bp dan hasil elekroforesis untuk Polerovirus ini sekitar 650 bp. Ukuran pragmen DNA

tersebut sangat sesuai dengan yang diharapkan.

Gambar 5.3 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp

(BioRad); (1)=PepYLCV;(2)= Polerovirus; (3)= Polerovirus;

(4)=PepYLCV (5)= kontrol negatif (tanaman sehat)

5.2 Serangga yang Berfungsi Sebagai Vektor Virus pada Pertanaman Cabai

5.2.1 Spesies Serangga Vektor Virus Pengkoloni Tanaman Cabai

Pada saat survei, pengamatan juga ditujukan pada serangga-serangga yang

mengkoloni tanaman cabai.Dari hasil pengamatan tersebut, dua jenis serangga yaitu

kutudaun dan kutukebul (Gambar 5.4), ditemukan sangat dominan terdapat pada

pertanaman cabai di seluruh sentra produksi cabai di daerah Bali. Berdasarkan hasil

penelitian terdahulu, kedua jenis serangga ini telah dikonfirmasi berperan sebagai vector

virus-virus pada pertanaman cabai di seluruh dunia.Oleh karena itu, pada penelitian ini

dilakukan identifikasi terbatas pada kedua jenis serangga ini.

Gambar 5.4 Kutukebul (a dan b) dan kutudaun (c dan d) yang ditemukan dominan

mengkoloni tanaman cabai di daerah sentra produksi cabai di Bali.

a b c

Page 31: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

23

Spesies Kutudaun.Hasil identifikasi dari imago kutu daun yang didapat dilokasi

pengamatan, dapat diketahui adanya dua spesies kutu daun yang menyerang tanaman

cabai.Spesies kutu daun tersebut adalahAphis gossypii danMysuspersicae.

Ciri-ciri A. gossypii (Gambar 5.5) pada preparat mikroskop yang ditemukan

adalah kepala tempat antenna melekat tidak berkembang (undevelop), kemudian warna

kornikel lebih gelap dari warna tubuhnya. Kauda berwarna gelap (coklat) tapi lebih pucat

dari kornikel.Kauda terdapat pada ujung abdomen dengan enam rambut.

Gambar 5.5 Preparat kutu daun Aphis gossypii; 1 =Tuberkel tidak berkembang

(undevelop), 2 = antenna, 3 = torak, 4 = abdomen, 5 = kornikel, 6 =

kauda.

Gambar 5.6 Preparat kutu daun M. persicae; 1= tuberkel (berkembang), 2= antenna,

3= torak, 4 = abdomen; 5 = kornikel (berambut 4 sampai 5 helai), 6 =

kauda

Page 32: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

24

Perbedaan antara A. Gossypii dengan M. persicaesecara morfologi dapat terlihat

dari tuberkelnya dimana tuberkel dari A. Gossypii tidak berkembang sedangkan tuberkel

M. Persicae berkembang dan dapat juga dibedakan dari kornikelnya, kornikel A.

Gossypii lebih pendek, sedangkan M. Persicae kornikrlnya lebih panjang (Gambar 5.7).

Gambar 5.7 Tuberkel tidak berkembang (undevelop) pada A. gossypii, b:Tuberkel

berkembang pada M. persicae, c: Kornikel A. gossypii lebih pendek,

sedangkan d; kornikel M. persicae lebih panjang.

Spesies Kutu Kebul. Hasil identifikasi B.tabaci berdasarkan pengamatan

preparat puparium yang didapat dari pertanaman cabai di Desa Kerta kecamatan

Payangan Gianyar dengan menggunakan kunci identifikasi Martin (1987), menunjukkan

bahwa populasi kutu kebul yang ditemukan adalah spesies B.tabaci. Ciri sfesifik yang

menunjukkan kutu kebul itu B.tabaci adalah pupa berbentuk bulat panjang, seta kauda

satu pasang yang terletak pada ujung puparium dengan ukuran yang sama panjang

dengan vasiform orifice. Vasiform orifice berbentuk segitiga serta lebih panjang dari alur

kaudal (caudal furrow) dan bagian samping orifice tersebut hampir lurus (gambar 5.8).

a b a

b

c d

Page 33: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

25

Gambar 5.8 Bemisia tabaci, imago (a), puparium (b), preparat puparium (c), garis

puparium sebagai kunci determinasi Bemisia(d) ( Martin1987)

Ciri karakter morfologi penting puparium B. tabaci yang perlu diperhatikan saat

melakukan identifikasi adalah sebagai berikut (a) seta kauda selalu kokoh dan biasanya

sama atau lebih panjang dari vasiform orifice, (b) vasiform orifice lurus lebih panjang

dari caudal furrow, (c) tidak ada papila, (Martin, 1999; Malumphy, 2004; Hodges et al.,

2005).

5.2.2 Kelimpahan Serangga Vektor Virus pada Pertanaman Cabai

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis serangga hama yang terdapat

di pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengukur kelimpahan serangga yang telah

diketahui berperan sebagai vektor virus. Serangga vektor virus yang dijumpai selama

survei didapatkan, bahwa ada dua jenis vektor virus yaitu dari jenis kutu daun dan kutu

kebul. Spesies dari kutu daun yang ditemukan adalah spesies dari Myzus persicae dan

Aphis gossypii sedangkan spesies dari kutu kebul yaitu spesies dari Bemisia tabaci,

Page 34: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

26

dengan penyebaran hampir merata di seluruh sentra penanaman cabai di Bali, seperti

terlihat dalam Tabel. 5.3.

Tabel 5.3 Kelimpahan serangga vector Myzus persicae, Aphis gossypii dan Bemisia

tabaci pada tanaman cabai berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari

bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota

di Bali

No

Lokasi

pengambilan

sampel

Populasi

Tanaman

(x100)

Populasi serangga Vektor (x100)

Myzus

persicae

Aphisgossypii Bemisia

tabaci

1 Badung 51,2 22,2 20,9 18,6

2 Bangli 48,6 17,6 16,8 15,8

3 Buleleng 54,8 20,4 22,2 17,9

4 Denpasar 28,0 10,6 8,4 5.8

5 Gianyar 52,0 24,4 21,9 18,8

6 Jembrana 46,0 19,6 20,8 14,5

7 Karangasem 44,0 22,4 26,3 16,2

8 Klungkung 67,8 28,2 24,7 20,8

9 Tabanan 54,0 20,2 22,6 14,8

Rata-rata 49,6 20,62 20,51 15,91

5.3 Gulma yang dapat Menjadi Inang Alternatif Virus Cabai

5.3.1 Jenis Gulma di Sekitar Pertanaman Cabai yang Memperlihatkan Gejala

Terinfeksi Virus

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis gulma yang kerap

terdapat pada pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengidentifikasi gulma-gulma yang

dapat menjadi inang alternatif bagi virus cabai.

Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif

terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung.Adanya kompetisi

merupakan pengaruh langsung dari keberadaan gulma sedangkan pengaruh tidak langsung

adalah sebagai inang alternatif beberapa pathogen.Adapun jenis gulma yang dijumpai selama

penelitian, yang menunjukkan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti terlihat dalam Tabel

Page 35: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

27

5.4. Gulma yang diduga terinfeksi dari ketiga jenis virus tersebut memiliki gejala yang

hampir sama dengan gejala yang ditunjukkan oleh tanaman cabai yang terinveksi virus.

Tabel 5.4 Jenis gulma yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai berdasarkan hasil

survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2014 di sentra produksi

cabai di Bali

No Famili Spesies Nama Lokal Gejala

Mosaik Kuning Klorosis

1 Amaranthaceae Amaranthus

gracilis D. Amaranthus

spinosus L.

Bayam Bayam berduri

+

+

-

+

+

+

2 Asteraceae Bidens pilosa L. Ageratum

conyzoide L. Synedrella

nodiflora

Ketul Bebandotan Jotang kuda

+ +

+

+ +

+

+ -

+

3 Caryophyllaceae Drimatia cordata Jukut ibun + + -

4 Convolvulaceae Ipomoea triloba Ubi jalar + + +

5 Commelinaceae Commelina

diffusa Aur-aur + - +

Keterangan: + = memperlihatkan gejala mosaic, kuning atau klorosis; - = tidak

memperlihatkan gejala

5.3.2 Gulma Sebagai Inang Alternatif Virus Cabai

Gulma-gulma disekitar pertanaman cabai dapat menjadi sumber virus bagi

serangga vektor untuk disebarkan ke tanaman cabai. Pada saat survei ditemukan

beberapa jenis gulma memperlihatkan gejala terinfeksi virus seperti mosaik, kuning

ataupun klorosis (Tabel 5.5; Gambar 5.9).

Gambar 5.9 Gulma Commelina diffusa yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai

memperlihatkan gejala mosaik (kiri), kuning (tengah) dan klorosis (kanan)

seperti terinfeksi virus.

Page 36: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

28

Keberadaan virus pada gulma-gulma yang memperlihatkan gejala di lapangan

telah diverifikasi melalui uji serologi dengan teknik enzyme-linked immunosorbant assay

(ELISA) dengan menggunakan antiserum CMV dan ChiVMV. Berdasarkan hasil uji

ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati

terbukti bahwa Commelina spp.positif terinfeksi CMV dan ChiVMV.Hal ini dibuktikan

dengan uji serologi yang menunjukan nilai absorban sampel gulma dan cabai yang

bergejala CMV (Tabel 5.5) dan ChiVMV (Tabel 5.6). Pada pengujian tersebut nilai

absorban 2-3 kali lipat dari kontrol negatif.

Tabel 5.5 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi

pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan

antiserum CMV.

Sampel Absorbansi pada 405 nm

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Keterangan

Commelina 1 0.411 0.404 0.421 0.412 Positif

Commelina 2 0.399 0.398 0.389 0.395 Positif

Commelina 3 0.362 0.321 0.349 0.344 Positif

Commelina 4 0.355 0.323 0.361 0.346 Positif

Commelina 5 0.352 0.327 0.344 0.341 Positif

Cabai CMV 1 0.399 0.399 0.378 0.392 Positif

Cabai CMV 2 0.397 0.398 0.392 0.395 Positif

Cabai CMV 3 0.401 0.405 0.402 0.402 Positif

Cabai CMV 4 0.394 0.402 0.421 0.405 Positif

Cabai CMV 5 0.389 0.388 0.348 0.375 Positif

Kontrol negatif 0.106 0.104 0.109 0.106 Sebagai patokan

Bufer 0.118 0.121 0.123 0.120 Sebagai patokan

Kontrol positif 0.407 0.410 0.417 0.411 Sebagai patokan

Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan

dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.

Hasil uji serologi tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan nilai absorban

ELISA (NAE) dari masing-masing sampel.NAE pada Commelina spp. yang tinggi

diperoleh pada sampel Commelina 1 dengan rata-rata 0.412, sedangkan sampel cabai

menunjukkan NAE yang paling tinggi terinfeksi virus CMV pada cabai CMV 4 dengan

rata-rata 0.405 (Tabel 5.5). dan untuk ChiVMV NAE yang paling tinggi pada sampel

Page 37: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

29

Commelina 2 dengan rata-rata 0.412, sedangkan sampel cabai ChiVMV 5 dengan rata-

rata 0.423. Perbedaan NAE berhubungan dengan konsentrasi virus yang ada pada

masing-masing sampel melalui perubahan warna pada saat uji ELISA.Warna yang

terdapat pada sumuran menunjukkan adanya virus dalam sampel tersebut dan tingkat

warna yang dapat dilihat atau ukuran yang dapat terbaca pada kalorimeter sebanding

dengan ukuran jumlah virus yang terdapat dalam sampel tersebut.

Tabel 5.6 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi

pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan

antiserum ChiVMV.

Sampel Absorbansi pada 405 nm

Ulangan 1 Ulangan 2 Uiangan 3 Rata-rata Keterangan

Commelina 1 0.398 0.355 0.344 0.365 Positif

Commelina 2 0.423 0.411 0.404 0.412 Positif

Commelina 3 0.365 0.321 0.336 0.340 Positif

Commelina 4 0.378 0.414 0.393 0.395 Positif

Commelina 5 0.366 0.309 0.321 0.332 Positif

Cabai CMV 1 0.398 0.412 0.400 0.403 Positif

Cabai CMV 2 0.387 0.394 0.371 0.384 Positif

Cabai CMV 3 0.381 0.394 0.408 0.394 Positif

Cabai CMV 4 0.408 0.415 0.411 0.411 Positif

Cabai CMV 5 0.423 0.422 0.425 0.423 Positif

Kontrol negatif 0.118 0.120 0.122 0.120 Sebagai patokan

Bufer 0.115 0.124 0.122 0.120 Sebagai patokan

Kontrol positif 0.402 0.411 0.414 0.409 Sebagai patokan

Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan

dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.

Berdasarkan hasil uji ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi

berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa Commelina spp.positif terdeteksi

virus CMV dan ChiVMV.Ciri-ciri dari gulma Commelina spp.yang terinfeksi virus

(Gambar 5.8) memiliki gejala yang identik dengan gejala cabai yang ditemukan pada

lokasi pertanaman cabai.

Gulma Commelina spp.yang diinfeksi oleh CMV menunjukkan gejala mosaik

hijau tua pada daun serta warna tulang daun yang hijau tua, sedangkan gulma Commelina

spp.yang terinfeksi ChiVMV menunjukkan gejala berupa belang belang hijau gelap

Page 38: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

30

(mosaik), bercak-bercak hijau gelap dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke

tulang daun di dekatnya.

Hasil uji molekuler terhadap virus pada gulma Commelina dan tanaman cabai

dengan gejala mosaic dan klorosis dilakukan dengan teknik RT-PCR dan virus dengan

gejala kuning dilakukan dengan teknik PCR. Hasil elekroforesis menunjukkan bahwa

sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus CMV (657 bp), Polerovirus (650

bp) dan PepYLCV (700 bp), yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari masing-

masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang digunakan

(Gambar 5.10).

Gambar 5.10 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp

(BioRad); (1)= kontrol negatif (tanaman sehat);(2)= tanaman cabai

CMV; (3)= tanaman cabai PepYLCV; (4)= gulma Commelina PepYLCV

(5)= gulma Commelina Pe VYV; gulma Commelina CMV

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi pengendalian

penyakit oleh virus pada tanaman cabai yang ramah lingkungan. Strategi pengelolaan

penyakit tanaman semacam ini mengedepankan cara-cara yang tidak menimbulkan

dampak negatif terhadap lingkungan, demikian juga terhadap kesehatan masyarakat.

Keberhasilan metode pengendalian yang dipilih akan sangat bergantung pada

pemahaman mengenai sifat bioekologi dari setiap virus yang dihadapi (yang

menyebabkan penyakit pada tanaman cabai).

Langkah paling awal dan utama dari usaha mendapatkan metode pengendalian

yang tepat adalah mengetahui jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit-penyakit pada

tanaman cabai di daerah sasaran (Bali). Dari hasil survey yang telah dilakukan ditemukan

banyak variasi gejala penyakit di lapangan, namun dari analisis yang lebih detail,

penyakit pada tanaman cabai di daerah Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu

penyakit mosaik, penyakit kuning dan penyakit klorosis. Pengelompokan ini didasarkan

Page 39: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

31

pada ciri-cri khas dari masing-masing penyakit tersebut.Penyakit mosaik dicirikan

dengan mosaik hijau tua dan hijau muda, bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih

tebal dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Penyakit kuning mempunyai

gejala khas berupa menguningnya helai daun di antara tulang daun maupun pinggir daun,

daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke atas, tulang daun menebal, pinggir daun

menjadi pucat sampai kuning terang.Sedangkan penyakit klorosis dicirikan dengan

terjadinya klorosis pada helaian daun tetapi tulang daun dan jaringan disekitarnya tetap

hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi malformasi.Bagi yang sudah terlatih,

membedakan gejala penyakit semacam ini tidaklah sulit, dan hal ini dapat diperkenalkan

kepada petani dengan sangat mudah.

Ketiga penyakit ini telah terjadi di semua kabupaten/kota di daerah Bali dengan

kejadian penyakit yang relatif cukup tinggi yaitu rata-rata untuk penyakit mosaik, kuning

dan klorosis masing-masing sebesar 34,56%, 29,17% dan 5,20%. Kejadian penyakit

setinggi ini tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penurunan

hasil cabai secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat tepat apabila dalam penelitian ini

dapat dihasilkan suatu rekomendasi atau suatu formulasi pengelolaan penyakit virus yang

efektif.

Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk mendesain formulasi pengendalian

penyakit yang tepat adalah mengetahui dengan pasti jenis virus yang berasosiasi dengan

masing-masing penyakit yang telah ditemukan. Dari hasil deteksi pada penelitian ini

didapatkan informasi yang pasti bahwa gejala kuning pada tanaman cabai berasosiasi

dengan Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV; genus Begomovirus) dan penyakit

klorosis berasosiasi dengan infeksi Pepper vein yellow virus (PeVYV; genus

Polerovirus). Sedangkan penyakit mosaik bisa disebabkan oleh salah satu dari Chili

pepper vein mottle virus (ChiVMV; genus Potyvirus), Cucumber mosaic virus (CMV;

genus Cucumovirus) atauTobacco mosaic virus (TMV; genus Tobamovirus).

Pemahaman yang perlu dimiliki agar dapat mengendalikan dengan tepat penyakit

yang ditimbulkan oleh virus-virus tersebut adalah cara penyebarannya. Dalam penelitian

ini tidak dilakukan percobaan untuk mengetahui cara penyebaran dari masing-masing

virus ini karena data sudah tersedia dari peneliti sebelumnya. Seperti, misalnya,

PepYLCV hanya dapat ditularkan melalui kutu kebul, TMV tidak dapat ditularkan

melalui serangga vektor namun hanya melalui cara mekanik (cariran perasan sakit),

sedangkan CMV, ChiVMV dan PeVYV dapat ditularkan oleh berbagai jenis kutu daun.

Page 40: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

32

Dari hasil penelitian ini, sudah didapatkan informasi mengenai jenis-jenis

serangga yang mengkoloni tanaman cabai dan dapat menjadi vektor virus. Dari golongan

kutu kebul ditemukan dan diidentifikasi Bemisia tabaci, dari golongan kutu daun

ditemukan Aphis gossypii danMysus persicae. Cara hidup yang aktif dari kutu kebul

maupun kutu daun sangat memungkinkan kejadian penyakit pada tanaman cabai akan

tinggi sepanjang tahun karena tanaman cabai selalu tersedia.

Hal yang juga sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mendesain

pengelolaan penyakit yang tepat adalah informasi mengenai inang tempat virus bertahan

bila tidak ada pertanaman cabai di lapangan.Pada penelitian ini telah dilakukan survey

terhadap gulma-gulma di sekitar pertanaman cabai yang memperlihatkan gejala mirip

terinfeksi virus.Hasil survei menemukan berbagai jenis gulma seperti Amaranthus

gracilis, Amaranthus spinous, Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella

nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina diffusa yang

memperlihatkan gejala mosaik, kuning atau klorosis seperti yang terjadi pada

tanaman cabai.

Deteksi yang dilakukan terhadap sampel gulma bergejala memperlihatkan

bahwa gejala yang muncul pada gulma-gulma tersebut berasosiasi dengan

keberadaan virus. Hasil ini menandakan bahwa beberapa gulma di sekitar

pertanaman cabai dapat berfungsi sebagai inang alternatif virus dan oleh

karenanya dapat menjadi sumber virus bagi pertanaman cabai.

Page 41: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

33

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Penelitian pada tahun kedua (2015) akan difokuskan dalam mendesain

metode pengelolaan penyakit virus berdasarkan sifat bioekologi virus yang telah

dihasilkan dalam penelitian tahun pertama ini.

Page 42: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

34

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Pada penelitian di tahun pertama ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang

berkanaan dengan sifat bioekologi virus penyebab penyakit pada tanaman cabai di daerah

Bali:

1. Pada pertanaman cabai di daerah Bali telah terdapat tiga jenis penyakit yaitu

mosaik, kuning dan klorosis yang masing-masing mempunyai gejala khas dan

penyebab yang berbeda.

2. Penyakit kuning berasosiasi dengan infeksi PepYLCV, penyakit klorosis karena

infeksi PeVYV, dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau

ChiVMV.

3. Pada pertanaman cabai di daerah Bali juga ditemukan terkoloni oleh serangga

yang telah dilaporkan dapat menjadi vektor virus; dari kelompok kutu kebul

ditemukan Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii

danMysus persicae.

4. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus spinous,

Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella

nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar

pertanaman cabai memperlihatkan gejalaseperti pada tanaman cabai.

Semua jenis gulma bergejala terdeteksi mengandung virus dan oleh karena

itu dapat menjadi sumber virus bagi serangga vektor dalam menularkannya

ke tanaman cabai.

7.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk tahun ke dua untuk mendapatkan

formulasi metode pengelolaan penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat

bioekologi vius yang sudah didapatkan pada penelitian di tahun pertama ini.

Page 43: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

35

DAFTAR PUSTAKA

Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World’s Crop. An identification and

Information Guide 2nd

eds. New York : John Wiley and Sons.

Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the A VNET II Final

Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.

[DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas Panen, Rata-rata

Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian,

Jakarta.

Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS,

Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi

Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3

Duffus, J. E. 1972. Beet western yellows virus. CMI/AAB Descriptions of Plant Viruses

No. 89. Commonwealth Mycological Institute, Kew, England. 4 p.

De Barrow, P. J., S. H. Hidayat, D. Frohlich, S. Subandiyah, U. Shigenori. 2008. A Virus

and its Vector, Pepper Yellow Leaf Curl Virus and Bemisia tabaci, Two New

Invaders of Indonesia. Biological Invasions 10 (4): 411-433.

Edwardson, J.R., R.G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other Solanaceus

Crop. University of Florida. USA.

Fauquet C.M., Mayo M.A., Maniloff J., Desselberger U., Ball L.A. 2005. Virus

Taxonomy. Lassification and Nomenclature of Viruses. Elsevier Academic Press.

Amsterdam.

Everaarts AP. 1981. Weed of Vegetables in the Higlands of Java. Jakarta.Lembaga

Penelitian Hortikultura.

Frederick, E.G. 2003. Luteovirus Aphid Interactions. Annu. Rev. Phytopathol. 2003.

41:539–66

Hadidi A., Kheterpal R.K., Koganezawa H. 1998. Plant Virus Disease Control. APS

Press. St. Paul Minnesota.

Igwegbe, E. C. K. and O. K. Ogungbade. 1985. “Evaluation of pepper cultivars under

greenhouse conditions for resistance to a defoliation strain of tobacco mosaic

virus,” Plant Disease 69:899-900.

Kaper, J.M., M.E. Tousignant, and L.M. Geletka. 1990. Cucumber mosaic virus-

associated RNA-5. XII. Symptom modulating effect is codetermined by the helper

virus satellite replication support function. Res. Virol. 141: 487-503.

Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A.

Varma. 1998. Breeding for Resistance to Plant Viruses. In: Hadidi A, Khetarpal

RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press. pp: 14-32.

Laemmlen F. 2004. Viruses in pepper. Central coast agriculture highlights. Santa

Barbara county. University of California Cooperative Extension.

http://www.central.coast. agriculture.highlights6523.pdf. [22 juli 2006].

Michael, P. E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.

Universitas Indonesia : Jakarta.

Page 44: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

36

Matthews, REF. 1992. Foundamentals of plant virology. Academic Press, Inc.

California.

Nawangsih, A.A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty. Cetakan

kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nyana, D. N. 2012. Isolasi dan Identifikasi Cucumber Mosaic Virus untuk

Mengendalikan Penyakit Mosaik pada Tanaman Cabai (Capsicum spp.). Disertasi

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Ong C.A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET

II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.

Palukaitis P, Roossinck MJ, Dietzgen RG, Francki RI. 1992. Cucumber mosaic virus.

Adv Virus Res 41: 281-348.

Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisis Sidik Jari DNA Virus

Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi SPs IPB. Bogor.

Sastroutomo SS. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G. 1980. Weed of Rice in Indonesia.

Jakarta:Balai Pustaka.

Suryaningsih, R. Sutarya, A. S. Duriat .1996. Penyakit tanaman cabai merah dan

pengendaliannya. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. pp:

64-84.

Taufik M. 2005. Cucumber Mosaic Virus dan Chilli Veinal Mottle Virus: Karakterisasi

Isolat Cabai dan Strategi Pengendaliannya.

Page 45: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

37

LAMPIRAN

Page 46: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

38

Lampiran 1. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “Seminar Nasional Sains dan

Teknologi 2014”, di Ruang Theatre Lt 4 FK Unud Denpasar pada tanggal 18-

19 September 2014

Page 47: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

39

IDENTIFIKASI VIRUS YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT MOSAIK,

KUNING, DAN KLOROSIS PADA TANAMAN

CABAI DAN GULMA

IDN Nyana1,3)

, G Suastika2)

, IGRM Temaja1)

1)

Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar, Bali; 2)

Institut Pertanian

Bogor, Bogor Indonesia; 3)

Alamat Penulis: [email protected]; HP:

08123910101

ABSTRAK

Serangan virus pada tanaman cabai merupakan masalah utama dalam menurunkan

produksi cabai di Indonesia. Tiga jenis gejala yang umum sebagai penyebab penyakit

virus pada tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan khlorosis yang

diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini

adalah (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan virus pada tanaman cabai di

seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang berasosiasi

dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama yang

berperan sebagai vektor virus; serta (3) untuk mengetahui gulma yang berperan sebagai

inang alternatip. Deteksi yang dilakukan guna menentukan penyebab gejala virus pada

tanaman cabai maupun gulma dilakukan melalui uji serologi dengan teknik ELISA

maupun uji molekuler dengan teknik PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi

tinggi ini akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik. Hasil

penelitian di seluruh sentra penanaman cabai di Bali didapatkan ada tiga jenis virus yang

menginfeksi tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan klorosis. Penyakit

kuning berasosiasi dengan infeksi PeYLCV, penyakit klorosis karena infeksi PeVYV,

dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau ChiVMV.Pada pertanaman

cabai juga ditemukan serangga yang dapat menjadi vektor virus, dari kelompok kutu

kebul ditemukan Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii

dan Mysus persicae. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus

spinous, Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora,

Ipomoea trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar pertanaman cabai

memperlihatkan gejala seperti pada tanaman cabai dan terdeteksi mengandung virus.

Kata kunci:, cabai, gulma,virus, vector

Page 48: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

40

IDENTIFICATION OF VIRAL DISEASES ASSOCIATED WITH MOSAIC,

YELLOW, AND CHLOROSIS IN CHILI PEPPER AND WEED

IDN Nyana1,3)

, G Suastika2)

, IGRM Temaja1)

1)

Faculty of Agriculture Udayana University, Denpasar, Bali; 2)

Bogor

Agricultural University, Bogor West Java, Indonesia; 3)

Corresponding author:

[email protected]; HP: 08123910101

ABSTRACT

Virus attack in chili pepper is a major problem in reducing the production of chili in

Indonesia. Three common types of symptoms as the disease causing virus in chili that

with mosaic symptoms, yellow and chlorosis infected by different types of viruses. The

objectives of this study were (1) to measure the incidence and intensity of virus in chili in

the entire production center in Bali, as well as identify viruses associated with disease

chili; (2) determine the type and abundance of insect pests which act as vectors of the

virus; and (3) to determine the weeds that serve as hosts alternatives. Detection is

performed to determine the cause of the symptoms of the virus in chili and weeds is done

by serological testing with ELISA techniques and molecular testing by PCR. Diagnose

the cause of the disease with high accuracy will provide a guarantee of success better

control. The results of the research centers around the planting chili in Bali found there

are three types of viruses that infect pepper plants with mosaic symptoms, yellow and

chlorosis. Yellow symptom associated with PeYLCV infections, diseases due to infection

PeVYV chlorosis and mosaic disease by one of the TMV, CMV or ChiVMV. Chilli crop

also found that insects could be vectors of viruses, from ticks group found Bemisia tabaci

whitefly and aphids from class Aphis gossypii and Mysus persicae. Various types of

weeds such as Amaranthus gracilis, spinous Amaranthus, Bidens pilosa, Ageratum

conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina

diffusa found around the crop showed symptoms such as chili peppers and detected in

plants containing viruses.

Keyword: Chili pepper, Virus, vector, weed

Page 49: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

41

Lampiran 2. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “The International Society

for Southeast Asean Agricultural Sciences, Inc (ISSAAS) at Tokyo

University of Agriculture, Setagaya, Tokyo Japan”, pada tanggal 8-10

November 2014

Page 50: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

42

NEW STATUS ON VIRAL DISEASE INCIDENCES ON CHILI PEPPER IN BALI,

INDONESIA: EMERGING OF CHLOROSIS DISEASE

IDN Nyana1,3)

,T Rahayuningsih2)

,G Suastika2)

, IGRM Temaja1)

1)

Udayana University, Denpasar, Bali; 2)

Bogor Agricultural University, Bogor West Java,

Indonesia; 3)

Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

Surveys on chili pepper fields in all over growing area of Bali Island were conducted during 2012

– 2014 growing season to updating the status of viral diseases in the region. Observations were

done based on the symptom types expressed on the plants in the fields and some leaf samples

were collected from different plant with different symptoms to elucidate viral pathogen

associated with the symptoms. Virus detections and identifications were done by using enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA) or by reverse transcription and/or polymerase chain

reaction (RT-PCR). Two viral diseases namely yellowing and mosaic, as reported previously,

were found to be spread throughout the region. Based on the results of ELISA using sera anti-

respective viruses, mosaic disease was induced by one of three different viruses:Tobacco mosaic,

Cucumber mosaic and Chili veinal mottle viruses. Whereas, yellowing disease associated with

infection of Pepper yellow leaf curl virus as confirmed by PCR. A new emerging disease, namely

chlorosis, has typical symptoms and simply could be differentiate from mosaic and yellowing

diseases. This disease still spread to a certain restricted area in Bali. RT-PCR using a pair primers

specific to Pepper vein yellows virus (PeVYV) successfully amplified a DNA band of about 650

bp from the diseased sample plants. The nucleotide sequences read directly from the RT-PCR

product has a high homology (more than 90%) with those of PeVYV from other countries. This

result confirmed the association of PeVYV with a new emerging chlorosis disease on chili pepper

in Bali.

Keyword:Disease outbreak, identification, nucleotide sequence, Cucumovirus, Potyvirus,

Tobamovirus

Page 51: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

43

Lampiran 3. Buram artikel ilmiah yang akan dipublikasikan pada jurnal internasional

NEW STATUS OF VIRAL DISEASE INCIDENCES ON CHILI PEPPER IN BALI,

INDONESIA: EMERGING OF YELLOW VEIN BANDING DISEASE

IDN Nyana1,3)

,T Rahayuningsih2)

,IGRM Temaja1)

, GNAS Wirya1)

,

G Suastika2)

, 1)

Udayana University, Denpasar, Bali; 2)

Bogor Agricultural University, Bogor West Java,

Indonesia; 3)

Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

Surveys of viral disease on chili pepper fields in all over of growing area in Bali Island were

conducted during growing season of 2012 – 2013 to updating the status of viral diseases.

Observations were done based on the expression of symptom types on the plants in the fields, and

some leaf samples were collected from different plant with different symptoms to elucidate viral

pathogen associated with the symptoms. Virus detections and identifications were done by using

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) or by reverse transcription and/or polymerase

chain reaction (RT-PCR). Two viral diseases namely yellowing and mosaic, as reported

previously, were found to be spread throughout the region. Based on the results of ELISA using

sera anti-respective viruses, mosaic disease was induced by one of three different

viruses:Tobacco mosaic, Cucumber mosaic and Chili veinal mottle viruses. Whereas, yellowing

disease associated with infection of Pepper yellow leaf curl virus as confirmed by PCR. A new

emerging disease, namely yellow vein banding, has typical symptoms and simply could be

differentiate from mosaic and yellowing diseases. This disease still spread to a certain restricted

area in Bali. RT-PCR using a pair primers specific to Pepper vein yellows virus (PeVYV)

successfully amplified a DNA band of about 650 bp from the diseased sample plants. The

nucleotide sequences read directly from the RT-PCR product has a high homologies (more than

90%) with those of PeVYV from other countries. This result confirmed the association of

PeVYV with a new emerging chlorosis disease on chili pepper in Bali.

Keyword: Cucumovirus, Disease outbreak, identification, nucleotide, Potyvirus, sequence,

Tobamovirus

INTRODUCTION

Chili pepper being cultivated in Indonesia was mostly belongs to species Capsicum

annum L. and only a few belongs to C. frutescent L. Having a wide adaptability, chili pepper

could be found cultivated from lowland to upland of the area. The fruit can be classified as

vegetables and spices, depending on how it was used. As a seasoning, spicy chili pepper was very

popular in Indonesia as well as in Southeast Asia as a food flavor enhancer (Vos and Duriat,

1995).

In Bali and other area of Indonesia, most chili pepper crops are generally grown

throughout the year. In most area, the crop was grown in small plots and mixed with the

particular crop dependent on the season. Until now, low quality of seed materials, high

production costs, fluctuating market prices, and poor crop health management are still major

production constraints in the area.

Improvement of cultural techniques by intensive cultivation of chili pepper conducted to

increase production was still give no positive result because of high incidence of viral disease.

Viruses have been found as the most devastating disease causing agent sof chili pepper, causing

serious losses (Berke, 2002). Chili pepper is naturally susceptible to a wide range of viruses in all

South east Asian countries including Indonesia (Green, 1991).

There were two different viral diseases faced to chili pepper in the area: one was

yellowing disease that has been known to be associated with infection of Pepper yellow leaf curl

virus (PepYLCV), a begomovirus (De Barrow et al., 2008).

Page 52: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

44

Other disease is mosaic disease that has been observed in the last five years and it

becomes an important disease following a long dry season in 2013 throughout Bali. The disease

symptoms are characterized by light and dark green mottling on the leaves. Based on the type of

symptoms, more than one viral pathogen was suspected to be associated with the disease of chili

pepper in Bali Island.

Two years ago, a new disease on chili pepper was observed in restricted area of Bali.

Leaves of diseased plant exhibited yellowing appearance with interveinal chlorosis but the vein

still with normal green color (yellow vein banding disease). This disease symptom is different

from that of induced by viruses reported present in Indonesia before. The disease was similar

with that of induced by Polerovirus reported from other countries.

The present study was conducted to monitor viral diseases throughout Bali Island, to

assess the crop condition as well as to collect information regarding prevalence, distribution and

occurrence of viruses so that management strategies can be devised to minimize crop losses.

MATERIAL AND METHODS

Surveys for viral disease incidence and sample collection Surveys of chili pepper crops for viruses recorded in Bali, as listed in Table 1, were

undertaken during 2013-2014 over the wet periods in representative crops and cropping areas

around districts of Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Jembrana, Karangasem,

Klungkung and Tabanan. Crops were surveyed along crop rows or in a “W” pattern and visual

estimates of virus incidence recorded. Incidence was estimated particularly from observations of

plant yellowing, yellow vein banding and mosaic symptoms, separately.

Chili pepper plants were examined at each location. Individual representative leaf and

plant specimens were collected from chili pepper plants showing symptoms characterized by

yellowing, yellow vein banding and mosaic similar to those caused by virus. Samples, consisting

of about 1 g fresh weight of young leaves or shoot tips showing disease symptoms were

desiccated over anhydrous calcium chloride (about 7 g) in sealed, 25 ml plastic vials. Samples

were stored at 4°C until fully desiccated. Laboratory examination included enzyme-linked

immunosorbent assays (ELISA) and reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR).

Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISA)

About 5% chili pepper showing mosaic symptom samples from all surveys were tested

for virus infection using double antibody sandwich (DAS)-ELISA and direct ELISA. DAS-

ELISA was performed for the detection of CMV and ChiVMV in the collected plant samples.

CMV-specific antibodies along with alkaline phosphatase-linked antibodies procured from

DSMZ (Germany) were subjected for ELISA as manufacturer's instruction and as method where

ELISA tests were performed using potyvirus group-specific polyclonal antibodies to detect

ChiVMV. Direct-ELISA was performed according to the manufacturer‟s protocols (Agdia Inc.,

USA) for TMV detection. All ELISA test samples were considered positive when absorbance

values exceeded three times the mean of appropriate healthy controls that were included on each

microtitre test plate.

Total RNAs Extraction

Total RNAs was isolated from yellow vein banding symptom showed chili pepper leaf

samples following manufacturer protocol (Thermo Scientific, Lithuania). Fresh tissue (0.1 g) was

ground in liquid Nitrogen to powder, 500 µl of Plant RNA Lysis Solution was added and the sap

was transferred to 1.5 ml clean tube, and then was vortexed 10 – 20 s thoroughly. The sap was

incubated in water bath at 56oC for 3 min, then centrifuged at 14 000 rpm for 5 min. The

supernatant was pipetted to 1.5 ml clean tube, 96% ethanol was added and mixed by pipetting.

The liquid was transferred to a purification column inserted in a collection tube and was

centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and then discarded flow-through. The purification column

was added 700 µl of Wash Buffer WB 1 then was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and then

discarded flow-through. The purification column was placed into a clean 2 ml collection tube and

was added 500 µl Buffer 2 then was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min. The solution was

Page 53: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

45

discarded flow-through and repeat the additional of 500 µl Buffer 2 using maximum speed of

centrifugation. The collection tube was discarded flow-through and the purification column was

transferred to aRNase-free 1.5 ml collection tube. The purification column was added 50 µl of

nuclease free water to elute the RNA. The column was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and

then discarded the purification column. The RNA which was kept on a collection tube was used

as template in RT-PCR.

Reversetranscriptase- polymerasechainreaction(RT-PCR)

RT-PCR was carried for polerovirus associated with yellow vein banding disease.

Amplification was conducted using one-step RT-PCR method. RT-PCR reaction contains 12.5

µl Go Taq Green PCR master mix (Fermentas, US), 10 µM each of primer, 2.0 µl DTT 50 mM,

0.1 µl RNAse Inhibitor, 0.1 µl MMuLV, 0.5 µl MgCl, 2.0 µl RNA total, and the reaction was

adjusted to 25 µl with nuclease free water. Amplifications was performed in GeneAmp PCR

System 9700 machine with 60 min at 42.0oC and 2 min at 94.0

oC for RT, 5 min at 94.0

oC for

pre-heating, followed by 30 cycles of denaturation (1 min at 94.0oC), annealing (1 min at

50.0oC), and extension (3 min at 72.0

oC). The last cycle was ended at 72.0

oC for 3 min and

cooled down to 4.0oC. Electrophoresis was done using 1% Agarose gel in 0.5 x TBE (Tris-Boric

acid-EDTA) buffer, run at 50 V for 50 min. Following electrophoresis, agarose gel then was

soaked on to 0.1% EtBr for 5 min, washed with H2O, and visualized under UV transilluminator.

RESULT AND DISCUSSION

Prevalence of Viral Disease on Chili Pepper in Bali

Major diseases showing yellowing and mosaic symptoms were found on chili pepper

growing areas in Bali. The plants with yellowing symptom exhibited leaf distortion, interveinal

and marginal leaf chlorosis, upward curling of leaf margins of older leaves, while the plants with

mosaic symptom showed difference appearance as shown on Figure 1.

The plants with mosaic symptoms showed light and dark green mottling on the leaves.

The dark green areas tend to be somewhat thicker than the lighter portions of the leaves. The leaf

mottling was obvious if the affected plant surface was partially shaded. Young leaves exhibited

vein mottling, lateral leaves were narrower than older ones, older leaves curl downward and may

be slightly distorted. The infected plants produced poor quality of fruits and low yields (Figure

1).

A new disease found in the area during observation is yellow vein banding. Leaves of

diseased plant exhibited yellowing appearance with interveinal chlorosis but the vein still with

normal green color (vein banding, Figure 1).

Figure 1 Three different viral symptom types, yellow vein banding (A), mosaic (B) and

yellowing (C) affected chili pepper in Bali region.

Page 54: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

46

Prevalence of the mosaic disease in the chili pepper growing areas in Bali was higher

than that of yellowing disease (Table 1). The average percentage of chili pepper plants showing

mosaic symptom was 34.6%, higher than that of the yellowing disease that only 29.2%. These

results suggested that mosaic disease may play the most important role as one of chili pepper

production constraints among viral diseases in the area. The new viral disease, yellow vein

banding, occur on chili pepper in Bali in a restricted area that was just in Gianyar, Klungkung

and Tabanan districts. The incidence was still low of average about 5.2%.

Table 1 Incidence of mosaic, yellow and chlorosis diseases on chili pepper in centre growing

region of Bali

Sampling

Location

Number of plant

observed (x1000)

Percentage of chili pepper plants showing symptom of

Mosaic Yellowing Yellow vein

banding

Badung 5.12 32.4 23.5 0.0

Bangli 4.86 30.8 29.4 0.0

Buleleng 5.48 38.8 32.3 0.0

Denpasar 2.80 29.4 35.3 0.0

Gianyar 5.20 33.6 28.4 18.6

Jembrana 4.60 30.4 32.7 0.0

Karangasem 4.40 42.6 24.6 0.0

Klungkung 6.78 34.6 27.1 12.4

Tabanan 5.40 38.4 29.2 15.8

Average 34.6 29.2 5.2

Viruses Associated with Mosaic Disease on Chili Pepper in Bali

In Indonesia, the yellowing disease has been known to be caused by infection of a

begomovirus, PepYLCV (De Barrow et al., 2008) that is transmitted by Bemisia tabaci. But, the

pathogen of the mosaic disease has not been confirmed until now. Based on ELISA test using

antisera corresponding to the viruses, the viruses found in the mosaic diseases in chili pepper in

this study were TMV, ChiVMV, and CMV (Table 2). Among them, CMV and ChiVMV were the

dominant viruses with prevalence by 29.4% and 26.4, respectively, followed by TMV with

prevalence by 14.7%. This result indicated that CMV and ChiVMV are important and the main

cause of mosaic disease on chili pepper in Bali.

Table 2. Percentage of chili pepper plants showing mosaic symptoms infected by Cucumber

mosaic virus (CMV), Tobacco mosaic virus (TMV) or Chili veinal mosaic virus

(ChiVMV) as verified by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using antisera

to respective viruses.

Sampling

Location

Number of plant

tested

Percentage of chili pepper plants infected by

CMV TMV ChiVMV

Badung 82 21.9 14.6 19.5

Bangli 73 30.1 12.3 27.4

Buleleng 104 30.7 17.3 21.2

Denpasar 41 34.1 21.9 29.3

Gianyar 86 25.5 11.6 28.5

Jembrana 69 28.9 11.6 31.8

Karangasem 92 34.8 15.2 30.4

Klungkung 115 28.7 12.1 26.0

Tabanan 103 30.0 15.5 23.3

Average 29.4 14.7 26.4

Yellow Vein Banding, A New Emerging Disease on Chili Pepper in Bali

PCR using Polerovirus universal primer successfully amplified a DNA band of about

650bp if subjected to total RNAs extracted from chili pepper showing yellow vein banding

symptoms (Figure 2). This evidence give a clue that the virus species is a member of Polerovirus.

Page 55: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

47

Figure 2 Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) using Polerovirus

universal primer subjected to total RNA extracted from interveinal chlorosis

exhibiting chili pepper plant sample 1, 2, and 3 obtained from Bali fields. M = 100 bp

DNA ladder (Promega, USA) and C = Negatif control (total RNA extracted from no

any symptom exhibiting chili pepper plant).

Nucleotide sequences were obtained directly from PCR product. Analysis of their identity by

comparing to sequences on the GenBank showed their high homology with Pepper vein yellow

virus from around the world (more than 97%,Table 3). Its homology to Potato leafroll virus,

another virus causing disease on chili, is only about 62%. This result indicated that the species of

Polerovirus inducing yellow vein banding disease on chili pepper in Bali was PeVYV.

Table 3 Percent identity matrix of nucleotide sequences among Pepper vein yellows virus

(PeVYV) isolates from Bali and around the world available in GenBank.

No PeVYV

isolate

GenBank

Acc. No.

Percent Identity

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

01 Bali - ID 99.1 99.0 98.6 98.6 98.5 98.1 98.0 98.0 62.4

02 Japan AB594828

ID 98.8 97.8 98.1 97.6 97.6 97.5 97.5 62.2

03 Taiwan JX427542

ID 98.0 98.6 97.8 97.8 97.6 97.6 62.4

04 Thailand1 JX427541

ID 98.0 99.5 99.1 98.6 98.6 62.4

05 Filipina JX427537

ID 97.8 97.5 97.3 97.3 62.4

06 Thailand2 JX427539

ID 99.3 98.5 98.5 62.6

07 India JX427531

ID 98.1 98.1 62.4

08 Mali1 JX427536

ID 100 62.6

09 Mali2 JX427535

ID 62.6

10 PLRV* NC_001747

ID

*Potato leafroll virus (PLRV) was used as out group.

Further phylogenetic analyses to study their relationship showed that PeVYV infecting chili

pepper from Bali belong to the same cluster with those of from Japan, Taiwan and the Philippine,

and separated with the other cluster composed by PeVYV isolates from Thailand, India and

Mali.This figure suggest that PeVYV in Bali may came from Japan, Taiwan or the Philippine

through plant materials or insect vector.

Page 56: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

48

Figure 3 Phylogenetic analysis based on alignment of partial nucleotide sequences of Pepper

vein yellows virus (PeVYV) isolates using Mega 6.06 (Algorithm Neighbour Joining

with 1000 bootstraps replicates). Potato leaf roll virus (PLRV) was used as out group.

CONCLUSSION

The finding sof the present study demonstrated the occurrence of most of the common

viruses causing severe damage in chili pepper in Bali region of Indonesia. Mosaic and yellowing

were dominant disease, but yellow vein banding was newly emerging disease on chili pepper

in Bali. CMV and ChiVMV played an important role in inducing mosaic disease. Yellow

vein banding was a newly emerging disease present in chili pepper in Bali and it was

confirmed that PeVYV infection was responsible for the disease.

ACKNOWLEDGEMENTS

The authors would like to thanks Udayana University and Directorate General of Higher

Education, Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia for providing research

grant to support this study in the fiscal year 2014.

LITERATURE CITED

Berke,T.2002.The Asian Vegetable Research Development Center Pepper Project. Proceeding of

the 16th international pepper conference 2002. November10-12; Tampico.Tamaulipas,

Mexico.

De Barro, P.J., S. H. Hidayat, D. Frohlich, S. Subandiyah, U. Shiginori. 2008. A virus and its

vector, Pepper yellow leaf curl virus and Bemisia tabaci, two new invaders of

Indonesia. Biological Invasions 10(4): 411-433.

Page 57: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

49

Green, S. K. 1991. Guidelines for diagnostic work in Plant virology. Asian Vegetable Research

and Development Center. Technical Bulletin No.15, Second Edition.

Vos, J. G. M., A. S. Duriat. 1995. Hot pepper (Capsicum spp.) production on Java, Indonesia:

toward integrated crop management. Crop Protection 14, 205-213

Page 58: PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN CABAI …

50

Lampiran 4. Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya

No Nama dan Gelar Akademik Bidang Penelitian Instansi

1 Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, M.Si Bioteknologi Fak. Pertanian Unud

2 Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, Virologi Fak. Pertanian Unud

3 Dr. Ir. Gede Suastika Virologi IPB