pengendalian mutu dalam proses pembuatan … · dan 6) mempelajari aplikasi haccp plan dalam proses...

79
PENGENDALIAN MUTU DALAM PROSES PEMBUATAN MAKANAN ENTERAL DI RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI, JAWA BARAT HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: duongkhanh

Post on 08-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

PENGENDALIAN MUTU DALAM PROSES PEMBUATAN MAKANAN ENTERAL DI RUMAH SAKIT DUSTIRA

KOTA CIMAHI, JAWA BARAT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2012

ii

PENGENDALIAN MUTU DALAM PROSES PEMBUATAN MAKANAN ENTERAL DI RUMAH SAKIT DUSTIRA

KOTA CIMAHI, JAWA BARAT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI

Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu GiziDepartemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUASIA

INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR

2012

iii

Judul : Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteraldi Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat

Nama : Hanna Triana Puspa HapsariNIM : I14096039

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.ScNIP. 19620406 198603 1 002 NIP. 19660527 199203 2 003

MengetahuiKetua Departemen Gizi Masyarakat,

Dr. Ir. Budi Setiawan, MSNIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus :

iv

ABSTRACT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI. Quality Control Process during Enteral Feeding Production in Dustira Hospital, Cimahi, West Java. Under direction of RIMBAWAN and CESILIA METI DWIRIANI.

The goal of this research is to analyze the quality control process for each enteral feeding production step in Dustira Hospital. The design used in this research was cross sectional. This research was taken place from October until November 2011 in Dustira Hospital. The observation method use refered to Permenkes No.1096/Menkes/PER/V1/2011. The results showed that 90% food handler have good hygienic sanitation knowledge, but generally lacking in proper behavior. The result also showed that based on physical and sanitation facilities, the hospital is categorized as group B (total score 83.6%). Hygienic sanitation in the enteral nutrition production process does not meet the requirement (88.5%). Critical Control Point (CCP) was found in the processing step along with the risk which have to be controlled, that are physical (hair), biological (Salmonella, Shigella and Echericia colii), and cross contamination (food handler and utensil).

Key words: enteral feeding, quality control, hygiene sanitation

v

RINGKASAN

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI. Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat. Di bawah bimbingan RIMBAWAN dan CESILIA METI DWIRIANI.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan pengendalian mutu pada tahapan produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira Cimahi. Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu : 1) Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan rumah sakit, 2) Mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, 3) Mengetahui perilaku higiene sanitasi penjamah makanan enteral, 4) Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan Permenkes, 5) Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral pada setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, dan 6) Mempelajari aplikasi HACCP plan dalam proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study. Pengambilan data dilakukan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat. Penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah penjamah makanan enteral bahan pangan pembuat makanan enteral, dan makanan enteral yang disajikan. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekuder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara menggunanakan alat bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi data pengetahuan higiene sanitasi penjamah, perilaku higiene sanitasi penjamah, fasilitas fisik dan sanitasi, pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi, angka kuman patogen, dan penerapan HACCP plan. Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum Rumah Sakit Dustira dan hasil pemeriksaan air.

Penjamah makanan enteral (70%) berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 80% memiliki umur sekitar 30-49 tahun. Tingkat pendidikan penjamah makanan enteral sebagian besar (50%) tingkat pendidikannya yaitu SMA dan sederajat dengan lama bekerja selama 7-11 tahun sebesar 37%. Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan pelatihan mengenai higiene sanitasi. Sebagian besar (90%) penjamah makanan enteral memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene sanitasi.

Penjamah makanan enteral (20%) menggunakan sarung tangan saat bekerja dan 70% menggunakan penutup kepala. Penjamah makanan enteral tidak ada yang menggunakan masker pada saat pengolahan. Seluruh penjamah menggunakan apron atau pakaian kerja khusus, dan sebanyak 40% penjamah makanan enteral terutama penjamah wanita masih menggunakan perhiasan pada saat mengolah makanan. Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi sudah memenuhi laik fasilitas fisik dan sanitasi dan termasuk dalam tingkat mutu Golongan B berdasarkan persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011 tentang persayaratan higiene sanitasi jasaboga yaitu sebesar 83.6%.

Perencanaan menu makanan enteral bagi pasien di Rumah Sakit Dustira tidak dibedakan berdasarkan kelas perawatan, namun berdasarkan kondisi kesehatan masing-masing pasien. Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira melakukan pengadaan bahan pangan melalui rekanan. Rekanan memasok bahan pangan

vi

sesuai dengan kriteria mutu yang telah dibuat oleh instalasi gizi, baik jumlah, mutu maupun kualitas. Kriteria mutu yang ditetapkan oleh instalasi gizi Rumah Sakit Dustira adalah kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga dan belum menunjukkan kualitas bahan makanan yang sebenarnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, pelaksanaan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan (87.5%), tahap persiapan dan pengolahan (84%), tahap pewadahan (86.6%), belum memenuhi syarat dengan skor minimal yaitu 90.2%. Pada tahap penerimaan bahan pangan (93.3%), tahap pengangkutan (93.3%) sudah memenuhi syarat. Secara keseluruhan upaya higiene sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira yaitu sebesar 88.5%. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan tidak terdapat mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella dan Escherichia coli pada makanan enteral yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba patogen <1 atau negatif.

Penerapan HACCP di Rumah Sakit Dustira pada penyelenggaraan makanan enteral dilakukan mulai dari tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan, pewadahan dan pendistribusian makanan enteral ke pasien. Titik kendali kritis (CCP) pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira yaitu pada tahap pengolahan dan resiko bahaya yang harus dikendalikan adalah kontaminasi fisik (rambut), biologi (Salmonella, Shigella, Escherichia coli) dan kontaminasi silang (penjamah makanan dan peralatan).

Pengawasan sanitasi higiene pada penjamah yang terlibat dalam tahap produksi harus diperhatikan. Pencegahan kontaminasi silang di gudang penyimpanan harus lebih ditingkatkan. Selain itu, sistem FIFO yang diterapkan sebaiknya dilengkapi dengan pencatatan tanggal masuk dan tanggal keluar setiap bahan pangan. Sebaiknya penerapan HACCP dilakukan oleh Instalasi Gizi RS Dustira sebagai suatu alat pengawasan, pengendalian dan prosedur pengaturan untuk menjaga makanan tidak tercemar sebelum disajikan.

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit

Dustira Kota Cimahi, Jawa Barat”. Penelitian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rimbawan dan Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku

pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan

pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan dan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku penguji dan Ibu Tiurma Sinaga

B.Sc, M.FSA selaku dosen pemandu.

3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pembimbing akademik.

4. Kepala Rumah Sakit Dustira dan Kepala Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

yang telah memberikan izin penelitian.

5. Bapak dan Mama, serta keluargaku yang tercinta yang selalu memberikan

dukungan, doa dan motivasinya.

6. Ahli gizi di Rumah Sakit Dustira, teh Iren, Icank, teh Dede, teh Ceria, teh

Maretha, teh Efa, teh Elok, serta pegawai pengolahan yang telah

membantu penulis dalam proses pengambilan data.

7. Teman-teman seperjuangan (Indang, Mira, Widya, Epin, Lesipha, Uni, Lina,

dan Tata) terima kasih atas kebersamaannya dan rekan-rekan mahasiswa

alih jenis angkatan III yang telah membantu dengan memberikan saran dan

kritik dalam pembuatan skripsi ini.

8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala

bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai taraf sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis

juga berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, Maret 2012

Hanna T. P. Hapsari

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1988 di Bandung, Jawa

Barat. Penulis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak

Machfudin dan Ibu Ida Kania Rufaedah. Penulis menyelesaikan pendidikan di

SDN Pasirkaliki 139, Bandung, Jawa Barat pada tahun 2000. Kemudian

melanjutkan pendidikan ke SMP Istiqomah, Bandung dan lulus pada tahun 2003.

Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 2 Bandung, Jawa Barat

dan lulus pada tahun 2006.

Penulis diterima di program Diploma Poltekkes Depkes Bandung Jurusan

Gizi pada tahun 2006 dan mendapatkan gelar Ahli Madya Gizi pada tahun 2009.

Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Program

Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, kegiatan yang

dilakukan penulis antara lain melakukan kegiatan konsultasi gizi di Puskesmas

Warung Jambu Bogor bulan April tahun 2011, menjadi panitia Seminar Nasional

Gizi “Lebih Sehat, Muda, dan Menarik dengan Minuman Antioksidan dan Susu”

pada bulan Juni tahun 2011, serta menjadi peserta Seminar Nasional “Strategi

Swasembada Garam” pada bulan November 2011 dan Seminar Pangan dan Gizi

“Pangan dan Gizi Mewujudkan Generasi Sehat, Cerdas, dan Kuat Menuju

Indonesia Prima” pada bulan Januari 2012.

ix

DAFTAR ISI

HalamanDAFTAR TABEL................................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................xi

PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................................ 1 Tujuan......................................................................................................... 3

Kegunaan Penelitian................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA Penyelenggaraan Makanan ....................................................................... 4 Makanan Enteral......................................................................................... 4 Keamanan Pangan ..................................................................................... 5 Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit............................ 6

HACCP.......................................................................................................11Higiene Sanitasi..........................................................................................12Fasilitas Fisik dan Sanitasi..........................................................................14Pengetahuan ..............................................................................................16

KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................................18

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................20 Penarikan Sampel.......................................................................................20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................20 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................22 Batasan Istilah ............................................................................................26

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Rumah Sakit Dustira ..………………………………….….27 Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit Dustira..........................27 Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral.......................................28

Pengetahuan Higiene Sanitasi Penjamah ...................................................30 Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah ...........................................................32

Fasilitas Fisik dan Sanitasi..........................................................................35Penyelenggaraan Makanan Enteral di Instalasi Gizi ...................................40

Perencanaan Menu...............................................................................40 Pengadaan Bahan Makanan.................................................................42 Penerimaan Bahan Makanan................................................................43 Penyimpanan Bahan Makanan .............................................................45 Persiapan dan Pengolahan Makanan Enteral .......................................48 Pewadahan dan Pengemasan ..............................................................51 Pengangkutan (Distribusi).....................................................................52

Kualitas Makanan Enteral di Instalasi Gizi .................................................52 HACCP plan pada proses produksi makanan enteral ................................54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.................................................................................................59 Saran..........................................................................................................60

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................61

LAMPIRAN .......................................................................................................64

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Variabel, data dan cara pengumpulan data ……………………………….. 22

2 Variabel dan kategori pengukuran ………………………………………….. 23

3 Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi.………………………………………………………………………… 24

4 Tingkat mutu pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral diInstalasi Gizi Rumah Sakit Dustira …………………………………………. 25

5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteraldi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira …………………………………....... 29

6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawabanbenar terhadap pertanyaan higiene sanitasi ……………………………… 30

7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteraldi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………… 32

8 Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……… 36

9 Formulasi menu makanan cair biasa …………………………………........ 41

10 Formulasi menu makanan cair diet khusus ……………………………….. 41

11 Spesifikasi mutu pada bahan pangan pembuat makanan enteraldi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………… 44

12 Kriteria mutu pada bahan pangan………………………………………….. 43

13 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira………….. 45

14 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……..…… 48

15 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan danpengolahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……. 50

16 Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada bulan April 2011…………... 50

17 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahanmakanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……………..……. 51

18 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pendistribusian bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira…….…..... 52

19 Data pemeriksaan makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira..……… 53

20 HACCP pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………………………. 55

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Struktur Organisasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira..........................65

2. Denah Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.............................................66

3. Dokumentasi Penelitian………………………………………………………..67

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem

pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk

memenuhi kebutuhan pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah

sakit. Instalasi gizi sebagai unit PGRS melaksanakan empat kegiatan pokok

terdiri dari asuhan gizi pasien rawat inap (pelayanan gizi di instalasi rawat inap),

asuhan gizi pasien rawat jalan (konsultasi dan penyuluhan gizi),

penyelenggaraan makanan, penelitian dan pengembangan gizi (Depkes 2003).

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan agar penderita yang

dirawat memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya serta

mempercepat proses penyembuhan, sehingga dalam proses persiapan,

pengolahan hingga distribusi makanan harus berada dalam kondisi aman untuk

dikonsumsi (Anom 2001). Selain itu, pasien juga berhak untuk mendapatkan diet

yang bermutu, yaitu sesuai dengan saran dari dokter/konsultan gizi dan aman,

tidak terkontaminasi bahaya yang dapat menyebabkan status kesehatan pasien

menjadi semakin buruk.

Salah satu kegiatan penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah

memproduksi makanan enteral. Makanan enteral merupakan metode

pemenuhan zat gizi menggunakan saluran pencernaan, baik secara alami

melalui mulut ataupun dengan bantuan alat (tube). Makanan enteral diberikan

pada pasien di rumah sakit terutama penderita sakit berat seperti pasien pasca

bedah, penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, dan luka bakar,

karena umumnya penderita tidak dapat atau tidak mungkin makan secara oral

akibat kondisi penyakitnya. Apabila saluran cerna masih berfungsi, dukungan

makanan enteral diperlukan untuk meningkatkan sistem imun saluran cerna dan

dapat mencegah komplikasi yang timbul (Silberman & Eisenberg 1982).

Klasifikasi makanan enteral salah satunya dibuat di rumah sakit (hospital

made) (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat di rumah sakit selain memiliki

kelebihan seperti harga lebih ekonomis, juga memiliki kekurangan yaitu higienitas

yang kurang terjamin, kurang praktis dan cara penyiapan serta cara penyajian

harus menurut standar yang baku.

Mikroorganisme serta tenaga pengolah menjadi salah satu faktor risiko

yang membuat higienitas makanan enteral kurang terjamin. Kerusakan makanan

enteral oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman

2

untuk dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Bahan

pangan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan enteral umumnya

merupakan makanan yang mudah rusak dan mudah tercemar bakteri. Selain itu,

tenaga pengolah makanan juga dapat menjadi sumber kontaminan bakteri

terbesar penyebab keracunan pada makanan dan carrier dari beberapa penyakit

(Jenie 2000). Pengetahuan tenaga pengolah mengenai higiene dan sanitasi

dapat mempengaruhi penerapan higiene dan sanitasi dalam pengolahan

makanan untuk terjaminnya keamanan pangan. Higiene dan sanitasi yang tidak

memadai dalam tahapan produksi dapat menimbulkan tumbuh dan

berkembangnya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan.

Menurut Afrienti (2002), pengawasan terhadap higiene dan sanitasi baru

ditekankan pada industri makanan dan minuman serta industri jasa boga

komersial, sedangkan pengawasan higiene dan sanitasi untuk penyelenggaraan

makanan di rumah sakit belum dilakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena

itu, pengawasan higiene dan sanitasi di rumah sakit harus lebih ditekankan

karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang relatif lebih rentan terhadap

infeksi penyakit yang ditularkan melalui makanan. Selain itu, pasien tidak selalu

dapat menentukan makanannya sendiri melainkan tergantung pada makanan

yang diberikan di rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem

pengendalian mutu yang dapat memberikan jaminan bahwa makanan yang

dikonsumsi aman bagi pasien.

Instalasi Gizi rumah sakit yang bertugas membuat makanan enteral

harus memiliki kepedulian dan tanggung jawab di sepanjang rantai pengolahan

makanan hingga akhirnya makanan disajikan kepada pasien. Konsep HACCP

dapat dijadikan acuan agar bisa mewujudkan hal itu. Berdasarkan uraian diatas,

sangatlah penting untuk dilakukan penelitian tentang sejauh mana tindakan

pengendalian mutu dan higiene sanitasi, tingkat pengetahuan higiene sanitasi

penjamah serta aplikasi Hazard Anaysis and Critical Control Point (HACCP) plan

dalam penyelenggaraan makanan enteral di rumah sakit. Tindakan pengendalian

mutu dan higiene sanitasi pada makanan enteral di Rumah Sakit Dustira belum

pernah dikaji sebelumnya.

Rumah Sakit Dustira merupakan salah satu rumah sakit yang

menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made, selain itu

Rumah Sakit Dustira juga merupakan rumah sakit rujukan bagi anggota TNI.

Makanan yang disajikan harus aman agar dapat membantu pemulihan

3

kesehatan pasien, agar mereka dapat melakukan aktifitas seperti semula

sehingga diharapkan adanya peningkatan dan pencapaian status kesehatan

pasien.

Tujuan

Tujuan umum.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan

pengendalian mutu pada setiap tahapan produksi makanan enteral di Instalasi

Gizi Rumah Sakit Dustira Cimahi.

Tujuan khusus.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan Rumah Sakit Dustira.

2. Mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi

penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

3. Mengetahui perilaku higiene sanitasi penjamah makanan enteral.

4. Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi

Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan Permenkes.

5. Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral pada

setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

6. Mempelajari aplikasi HACCP Plan dalam proses produksi makanan

enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan

informasi pelaksanaan upaya pengendalian mutu serta pelaksanaan sanitasi

higiene dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit sebagai upaya

mencegah adanya kontaminasi makanan yang dapat menyebabkan keracunan

makanan. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam

menentukan langkah-langkah atau kebijakan dalam pengawasan kualitas pangan

di rumah sakit, khususnya makanan enteral dan dapat digunakan untuk

perbaikan kualitas sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dari makanan

yang disajikan.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu kegiatan pokok yang

ada di rumah sakit. Kegiatan ini meliputi kegiatan pengadaan makanan hingga

penyalurannya kepada pasien dengan mutu, jenis, dan jumlah yang sesuai

dengan rencana kebutuhan. Unit yang bertanggung jawab dalam melaksanakan

kegiatan tersebut adalah instalasi gizi (Depkes 2003).

Kegiatan pelayanan gizi memiliki tujuan yaitu untuk memberi terapi diet

yang sesuai dengan perubahan sikap dan untuk mencegah kambuhnya penyakit

pasien (Depkes 2003). Pengaturan makanan bagi orang sakit bukan merupakan

tindakan yang berdiri sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan.

Pengobatan, perawatan dan pengaturan makanan merupakan suatu kesatuan

dalam penyembuhan penyakit seperti juga dengan obat harus sesuai dengan

ketentuan yang diberikan (Moehyi 1999).

Makanan Enteral

Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di

rumah sakit untuk pasien dengan sakit berat seperti pasien pasca bedah,

penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, luka bakar, yang tidak

dapat makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang

berfungsi dengan baik. Pemberiannya dengan cara menggunakan sonde (Hill

2000).

Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain

memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki

toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan

memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit (Hartono

2000). Menurut Tanra (1998), makanan enteral memiliki beberapa syarat yang

harus dipenuhi, yaitu:

1. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1kkal/ml

cairan.

2. Kandungan makanannya seimbang. Makanan enteral harus mengandung

semua komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak,

vitamin, mineral, dan trace elements lain yang memenuhi jumlah kebutuhan.

5

3. Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.

Osmolalitas yang ideal untuk makanan enteral adalah 350-400 m Osmol

sesuai dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.

4. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat makanan enteral sebaiknya terdiri

dari komponen-komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya

sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi.

5. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Untuk menghindari intoleransi

laktosa sering terjadi pada penderita malnutrisi sebaiknya suatu makanan

enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa atau paling tinggi kandungan

laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.

6. Bebas dari bahan-bahan yang dapat mengembang purin dan kolesterol.

Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu makanan enteral

formula rumah sakit (hospital made) dan makanan enteral formula komersial

(commercial made). Rumah sakit yang membuat sendiri makanan enteral harus

memperhatikan faktor higiene dan cara penyiapan serta cara penyajian harus

menurut standar yang baku (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat sendiri

oleh rumah sakit umumnya hanya bisa disimpan selama empat jam dalam

lemari es sehingga makanan tersebut harus segera diberikan setelah dibuat

(Hartono 2000).

Makanan enteral formula komersial terbuat dari bahan baku yang

diformulasikan seimbang, telah distandarisasi dan dikontrol serta kandungan

makanan yang seimbang antara protein, lemak, hidrat arang, vitamin dan mineral

sesuai dengan standar tertentu. Makanan enteral formula komersial dapat

disajikan setiap saat (Kurnia 2005).

Menurut Depkes (2002), ruangan tempat diproduksinya makanan enteral

hendaknya dalam ruangan khusus (ruangan berdinding kaca) yang bebas dari

mikroorganisme patogen, dan tidak dipakai untuk kegiatan lain. Semua peralatan

dan perlengkapan harus steril, dan tenaga penjamah makanan harus mempunyai

baju dan atribut khusus yang steril (tutup kepala, masker dan sarung tangan).

Keamanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,

baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan,

bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU RI No.7 1996).

6

Mengingat definisi pangan menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 yang

mempunyai cakupan yang luas, maka upaya untuk mencegah pangan dari

kemungkinan tercemar baik dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang

yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia

merupakan suatu keharusan.

FAO (1997) menjelaskan pengertian keamanan pangan sebagai jaminan

bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu

dipersiapkan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau

dikehendaki. Menurut Hariyadi (2007), keamanan pangan merupakan prasyarat

bagi pangan yang bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa

dan nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk

tersebut tidak aman dikonsumsi.

Cemaran mikrobiologis sering terjadi pada makanan yang dibuat secara

massal, dan setiap tahapan dalam proses tersebut memungkinkan mikroba

berkembang biak dan memperbanyak diri. Cemaran mikrobiologis dapat terjadi

akibat pemakaian alat untuk mengolah bahan pangan yang kurang bersih dan

lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya (Hartono & Palupi 2006).

Terdapat kelompok yang lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan

intoksikasi bawaan makanan, yaitu orang yang rentan dengan alasan fisiologis

atau alasan lainnya lebih mudah terkena infeksi bawaan makanan. Kelompok

tersebut mencakup bayi dan anak-anak, lansia, ibu hamil, pasien malnutrisi,

pasien dengan penyakit utama (misalnya penyakit hati dan diabetes), dan pasien

gangguan kekebalan akibat mengalami infeksi atau pasien yang sedang

menjalani pengobatan (kanker) (Hartono & Palupi 2006).

Beberapa ketentuan perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat mutu

keamanan pangan mulai dari penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan,

penyimpanan, pengangkutan/pendistribusian sampai makanan tersebut siap

disajikan, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menekan atau

menghilangkan setiap mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya dalam bahan

makanan (Supardi & Sukamto 1998).

Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem mencakup kegiatan

atau sub sistem penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu,

pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan atau pembelian bahan

makanan, penerimaan dan penyaluran bahan makanan, persiapan, pemasakan

7

makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan laporan dan evaluasi

yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok

masyarakat di institusi (Depkes 2003).

Manajemen makanan institusi adalah penyediaan makanan bagi

konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok masyarakat yang

terorganisir di institusi seperti perkantoran, perusahaan, pabrik industri, asrama,

rumah sakit, panti sosial, lembaga permasyarakatan (Depkes 2003). Tujuan

penyelenggaraan makanan institusi yaitu untuk : 1) Menghasilkan makanan yang

berkualitas baik, dipersiapkan dan dimasak dengan layak, 2) Pelayanan yang

cepat dan menyenangkan, 3)Menu seimbang dan bervariasi, 4) Harga layak,

serasi dengan pelayanan yang diberikan, 5) Standar kebersihan dan sanitasi

yang tinggi (Mukrie et al 1990).

Pengadaan Bahan Makanan.

Pengadaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara membeli

sendiri atau melalui pemasok bahan makanan. Pembelian bahan makanan

adalah proses penyediaan bahan makanan melalui prosedur dan ketentuan yang

berlaku, dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan makanan untuk

penyelenggaraan makanan bagi banyak orang (Subandriyo 1993).

Produksi makanan yang berkualitas tergantung pada bahan baku yang

digunakan. Penggunaan bahan baku yang berkualitas rendah akan

menghasilkan produk makanan yang berkualitas rendah pula, sedangkan

makanan yang berkualitas tinggi berasal dari bahan baku yang berkualitas tinggi

(Wirakusumah 1999). Cara untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas

tinggi perlu memperhatikan mengenai jenis, jumlah, dan spesifikasinya (kualitas)

bahan baku yang dibeli. Selain itu, perlu diketahui pula mengenai karakteristik

pemasok, tempat pembelian, dan fungsi atau kegunaan bahan baku tersebut

dalam proses produksi (Keister 1990).

Standar kualitas bahan makanan merupakan daftar informasi mengenai

deskripsi bahan makanan yang meliputi penampilan, kualitas atau mutu

organoleptik, dan komposisi bahan makanan. Penentuan kualitas dapat berupa

grade atau kelas mutu, penampakan luar, varietas, bentuk/ukuran, dan kemasan

(Sambas 1991). Subandriyo (1993) menyatakan bahwa cara pembelian bahan

makanan yang tepat akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan

dana yang tersedia. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman standar yang

8

dapat mengontrol proses pembelian sehingga mendapatkan kualitas bahan

seperti yang diharapkan.

Penerimaan.

Penerimaan bahan makanan adalah suatu proses kegiatan yang meliputi

pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan

spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993). Metode

pembelanjaan yang efisien membutuhkan prosedur penerimaan yang baik.

Penerimaan makanan pada penyelenggaraan makanan di institusi dipusatkan

pada suatu ruangan yang cukup besar dengan peralatan seperti timbangan dan

peti kemas (container untuk menampung bahan makanan). Bahan makanan

yang diterima ada yang segera digunakan tetapi ada juga yang disimpan terlebih

dahulu.

Penerimaan bahan makanan menurut Subandriyo (1993) harus

memperhatikan beberapa prinsip, yaitu :

1. Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan jumlah bahan

makanan yang tertulis dalam daftar permintaan dan fraktur pembelian.

2. Mutu bahan makanan harus sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang

ada dalam pedoman standar pembelian.

3. Harga bahan makanan yang tercantum pada fraktur pembelian harus sama

dengan harga yang tercantum pada saat penawaran.

Penanganan bahan makanan saat kegiatan penerimaan harus

memperharikan tindakan sanitasi dengan baik sehingga terjadinya kontaminasi

dapat dihindari. Petugas harus melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap

spesifikasi mutu, deskripsi bahan makanan, penimbangan dan pengukuran

bahan makanan (Sambas 1991).

Penyimpanan.

Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut

pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan serta penyaluran

bahan makanan sesuai dengan permintaan untuk persiapan pemasukan bahan

makanan. Menurut Subandriyo (1993), tujuan penyimpanan bahan makanan

yaitu untuk : 1) Menjaga agar persediaan stok tidak kurang, 2) Dapat digunakan

sewaktu-waktu bila dipelukan, 3) Menjaga agar kondisi bahan makanan tidak

rusak atau hilang, dan 4) Menjaga kondisi bahan makanan tetap baik, tidak ada

perubahan tekstur, bau, warna, maupun rasa, dan terhindar dari hewan perusak.

9

Tempat penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam

keadaan bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan

hewan lain (Depkes 2002). Menurut Sambas (1991) prinsip pengaturan

penyimpanan adalah setiap jenis makanan harus disimpan secara terpisah satu

dengan yang lainnya. Moehyi (1992) menambahkan bahwa bahan makanan

yang disimpan sebaiknya disusun dengan teratur, tidak bertumpuk-tumpuk agar

suhu penyimpanan tersebar merata pada seluruh bagian makanan. Semakin luas

permukaan bahan makanan, semakin merata temperature.

Suhu gudang penyimpanan harus dijaga tetap stabil untuk

mempertahankan kualitas bahan makanan. Sistematika penyimpanan dan

penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip first in first out (FIFO), artinya

bahan makanan yang terlebih dahulu masuk harus keluar lebih dulu dengan

penyusunan menurut jenis dan frekuensi pemakaian (Fardiaz 1999).

Gudang penyimpanan harus memiliki konstruksi yang baik dan kokoh

untuk mencegah masuknya hama perusak, kering, dan mempunyai ventilasi

yang baik untuk menjaga sirkulasi udara. Sirkulasi udara yang cukup dapat

mengurangi kelembaban, menurunkan temperatur, dan mengurangi bau yang

tidak sedap. Penempatan wadah seperti kantong dan karton makanan dalam

ruang penyimpanan disusun bertumpuk di rak. Tinggi rak sebaiknya minimal 15

cm dari atas lantai dan berjarak lebih dari 5 cm dari dinding sehingga sirkulasi

udara dapat berjalan baik (Moehyi 1992).

Persiapan.

Persiapan merupakan kegiatan mempersiapkan bahan makanan dan

bumbu-bumbu sebelum dilakukan kegiatan pemasakan (Sambas 1991). Menurut

Subandriyo (1993), tujuan persiapan yaitu tersedianya bahan makanan serta

bumbu-bumbu yang sesuai dengan teknik persiapan bahan makanan dan

standar resep. Sebelum persiapan, bahan makanan dicuci bersih dengan air

mengalir. Pencucian dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada.

Pengolahan.

Pengolahan makanan adalah proses membentuk dari bahan bahan

mentah menjadi makanan siap saji. Tujuan pengolahan adalah mengurangi atau

menghilangkan bahaya sampai ke titik aman, mencegah pertumbuhan mikroba

patogen, dan pembentukan bahan kimia beracun serta menjaga agar tidak terjadi

kontaminasi silang (Marriot 1999). Menurut Subandriyo (1993), tujuan dari

pengolahan makanan adalah untuk mempertahankan nilai gizi, meningkatkan

10

nilai cerna, meningkatkan dan mempertahankan warna, bau, rasa, keempukan,

dan penampakan makanan, serta bebas dari organisme yang berbahaya bagi

kesehatan.

Dalam pengolahan termasuk proses penyiapan bahan makanan dan alat

yang akan digunakan. Penyiapan makanan merupakan prosedur yang

melibatkan berbagai aktifitas dan diantaranya dipengaruhi oleh kebiasaan

kultural. Bukan hanya aktifitas itu sendiri yang mungkin membahayakan, seperti

memasak makanan setengah matang, memegang makanan pada suhu kamar

dan memegang makanan dengan tangan yang terkontaminasi tetapi urutan

penyiapan juga dapat menjadi faktor risiko yang dapat menyebabkan masuknya

kembali patogen ke dalam makanan (Hartono & Palupi 2006).

Permenkes (2011) menetapkan bahwa semua peralatan yang digunakan

untuk penanganan dan pengolahan produk pangan harus selalu diperhatikan

kebersihannya. Selain itu harus selalu berada pada keadaan bersih, bebas dari

karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas dan kotoran-kotoran yang lain (sisa-

sisa pengolahan sebelumnya).

Penyajian dan Pengemasan.

Pengemasan bahan pangan memegang peranan penting dalam

pengendalian dari kemungkinan kerusakan dan infeksi mikroorganisme terhadap

produk pangan. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya

mikroorganisme patogen dalam makanan akibat terkontaminasi silang melalui

wadah maupun penjamah makanan. Setiap makanan masak harus mempunyai

wadah dan tempat yang terpisah untuk menekan kontaminasi silang. Pemisahan

didasarkan pada saat makanan diolah dan sesuai jenis makanan, selain itu

setiap wadah mempunyai tutup berventilasi yang dapat mengeluarkan uap

(Depkes 1996).

Kondisi pengemasan harus sedemikian rupa sehingga dapat menekan

kemungkinan kontaminasi bahaya mikroorganisme serendah mungkin.

Pengemasan yang baik dapat mencegah penularan bahan pangan oleh

mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Supardi 1998).

Distribusi atau Pengangkutan.

Pengangkutan makanan merupakan salah satu titik rawan terhadap

kontaminasi sehingga diperlukan pengangkutan dan perlakuan yang hati-hati.

Prinsip makanan siap santap yang perlu diperhatikan adalah setiap makanan

mempunyai wadah yang berbeda dan harus mempunyai tutup serta ventilasi.

11

Menurut Anwar et al (1986), syarat-syarat pengangkutan makanan adalah

yang memenuhi aturan sanitasi sebagai berikut : 1) alat atau tempat pengangkut

harus bersih, 2) cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi

pengotoran saat di angkut, 3) pengangkutan makanan yang langsung dapat

dimakan harus ditempatkan dalam suatu wadah yang tertutup, 4) pengangkutan

makanan yang yang melewati daerah atau tempat yang mudah terkontaminasi

harus dihindari, dan 5) cara pengangkutan makanan harus dilakukan dengan

mengambil jalan paling singkat.

HACCP

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menurut Food and Drug

Administration (1997), merupakan sistem manajemen untuk mengurangi risiko

bahaya pada makanan pada setiap prosesnya sejak tahap produksi, distribusi,

pengolahan, penyajian, hingga konsumsi. Fardiaz (1994) mengemukakan bahwa

HACCP adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk atau

proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus

mendapatkan pengawasan yang ketat untuk menjamin bahwa produk pangan

yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Menurut Thaheer (2008), HACCP dapat diterapkan pada rantai produksi

makanan yang dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan makanan,

penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan, sampai

penyajian. Selain itu, HACCP dapat memberikan komponen penting dalam

sistem manajemen keamanan pangan maupun Good Manufacturing Practices

(GMP) dengan cara yang sistematis dan mudah diterapkan sehingga HACCP

dapat diterapkan dalam berbagai industri pangan dan seluruh rantai produksi.

Terdapat tujuh prinsip dalam sistem HACCP yang diungkapkan oleh

Winarno dan Surono (2002) yaitu :

Prinsip 1 :Analisis bahaya dan penetapan risiko yang berhubungan dengan

produk bahan mentah, pengolahan, distribusi, penjualan, persiapan,

dan konsumsi.

Prinsip 2 :Penetapan Critical Control Point (CCP) untuk mengendalikan bahaya

yang mungkin terjadi.

Prinsip 3 :Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa

setiap CCP terjamin.

Prinsip 4 :Penetapan prosedur untuk memantau CCP dengan cara pengujian

dan pengamatan.

12

Prinsip 5 :Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi

penyimpangan selama pemantauan.

Prinsip 6 :Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem

HACCP telah berhasil.

Prinsip 7 :Pengembangan dokumentasi mengenai semua prosedur dan

pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.

Tahapan keenam dan ketujuh dalam prinsip sistem HACCP tidak perlu

dilakukan bagi penyelenggaraan makanan berskala kecil atau menengah,

sedangkan tahap pertama sampai tahap kelima dapat dilakukan dengan cara

sederhana dan mudah dilakukan (Fardiaz 1994).

Higiene dan Sanitasi Penjamah

Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada

usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang

tersebut berada. Sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan

fisik manusia yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, dan

sosial termasuk pengawasan terhadap makanan (Purnawijayanti 2001).

Proses produksi makanan dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang

meliputi persiapan, pengolahan dan penyajian makanan. Sanitasi meliputi

pengawasan mutu bahan makanan mentah, penyimpanan bahan, suplai air yang

baik, pencegahan kontaminasi makanan dari lingkungan, peralatan dan pekerja

pada semua tahapan proses (Purnawijayanti 2001).

Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah

satu penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan. Selain itu, pegawai

dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti kulit, mulut, rambut,

kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik dapat

menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba.

Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh akan mengancam

kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba, akan menjadi

lemah dan akhirnya menjadi sakit. Para pegawai yang terinfeksi mikroba dapat

mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila pegawai dilatih

untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik (Jenie 2000).

Penggunaan Sarung Tangan.

Makanan dapat terkontaminasi oleh pekerja yang terinfeksi mikroba

patogen dengan cara memegangnya. Tangan pegawai yang telah tercemar

mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau

13

serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000).

Sarung tangan dapat melindungi kontak makanan dengan bakteri pada tangan,

tetapi bakteri akan terakumulasi ketika tangan berkeringat dan berkembang biak

di tangan tertutup oleh sarung tangan untuk periode yang lama.

Penggunaan sarung tangan tidaklah penting dan tidak dianjurkan karena

mudah robek, mahal, dan mudah kotor. Sarung tangan yang robek menyebabkan

risiko kontaminasi yang lebih besar. Cara yang mudah untuk menghindari

kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang makanan

langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat pengambil

makanan lainnya (Moehyi 1992).

Kebiasaan Mencuci Tangan.

Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan

membersihkan tangan dan jari jemari dengan menggunakan air ataupun cairan

lainnya oleh penjamah dengan tujuan untuk menjadi bersih. Mencuci tangan

sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah bekerja, setelah melepas sarung

tangan, sesudah menangani bahan makanan mentah/kotor atau terkontaminasi,

setelah dari kamar kecil, setelah tangan digunakan untuk menggaruk, batuk atau

bersin dan setelah makan atau merokok. Karyawan yang menangani bahan

makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga

tidak ada organisme patogen atau toksin yang dapat hidup didalamnya.

Menurut Jenie (2000), metode mencuci tangan yang baik adalah

menggunakan air hangat yang mengalir, diberi sabun dan digosok selama 15

detik. Selanjutnya dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas. Efektivitas

pencucian tangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan antiseptik yang tepat

setelah pencucian.

Penutup Kepala.

Pegawai yang terlibat dalam tahap pengolahan harus menggunakan

penutup kepala. Rambut yang berasal dari kepala kadang-kadang terkontaminasi

oleh bakteri, tetapi bukan merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada

makanan. Kontaminasi dapat terjadi akibat kebiasaan pegawai yang menyisir

dan memegang rambut saat bekerja, sehingga mikroba pada rambut berpindah

ke tangan dan ke makanan yang sedang diolah (Jenie 2000).

Penutup Muka (Masker).

Penutup muka efektif dalam menahan kontaminasi yang berasal dari

udara, namun tidak nyaman dipakai. Mulut dan hidung yang terlalu lama ditutup

14

akan mengakumulasi mikroba pada keringat sekitar mulut dan hidung, sehingga

risiko kontaminasi makanan lebih besar pada pemakaian masker (Jenie 2000).

Apron dan Perhiasan.

Menurut Jenie (2000), pakaian khusus (apron) pegawai sebaiknya terbuat

dari bahan yang bersifat tidak mudah menyerap keringat. Pakaian yang bersifat

menyerap seperti kain wol dapat menimbun mikroorganisme dan bahan

makanan. Penggantian dan pencucian pakaian secara periodik akan mengurangi

risiko kontaminasi. Pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan

higiene pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau kotoran yang

melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat mencemari makanan

(Moehyi 1992).

Sebelum memasuki daerah pengolahan, pegawai harus melepaskan

perhiasan, seperti cincin, kalung, jam tangan atau anting. Sisa-sisa makanan

dapat menempel pada perhiasan sehingga mikroba dapat tumbuh dan berpindah

ke makanan (Sambas 1991). Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci

sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar

perhiasan.

Kebiasaan Pegawai.

Kebiasaan pegawai seperti makan, merokok dan mengunyah selama

penanganan makanan akan memberikan peluang perpindahan organisme

dengan tangan dari bibir dan mulut pada makanan. Selain itu, mengunyah

tembakau dan merokok akan mendorong keluarnya ludah yang dapat

mengkontaminasi makanan (Jenie 2000).

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

Fasilitas fisik merupakan sarana yang dapat membantu kelancaran

proses produksi bahan makanan menjadi makanan yang siap disajikan,

mencakup bangunan, ruangan, dan perabotan/peralatan yang ada dalam

ruangan. Fardiaz (1999) mengungkapkan fasilitas fisik dalam penyelenggaraan

makanan harus sesuai dengan fungsinya dan memerlukan desain khusus untuk

mencegah kontaminasi makanan, memudahkan pemeliharaan, pembersihan,

desinfektan, dan mencegah kontaminasi udara.

Konstruksi.

Bangunan untuk kegiatan pengolahan makanan harus memenuhi

persyaratan teknis konstruksi bangunan yang berlaku (Depkes 2002). Bangunan

yang digunakan untuk penyelenggaraan makanan harus berlangsung pada lantai

15

yang sama, sehingga dapat meminimalkan jarak antara tempat produksi hingga

tempat penyajian makanan. Desain bangunan berorientasi pada sanitasi,

keselamatan kerja, dan memperhatikan alur lalu lintas barang dan manusia, serta

harus menyesuaikan dengan fungsi alat yang digunakan (Wirakusumah 1999).

Lantai dan dinding.

Menurut Depkes (2002), lantai bangunan untuk penyelenggaraan

makanan permukaannya harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan

mudah dibersihkan. Bahan bangunan yang dianjurkan untuk lantai dapur antara

lain bata keras, teraso ataupun tegel (Subandriyo 1993). Dinding dapur

hendaknya halus, mudah dibersihkan, tahan terhadap cairan dan dapat

memantulkan cahaya yang cukup bagi ruangan (Subandriyo 1993). Dinding

sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, kering, tidak menyerap air, dipasang

rata tanpa celah atau retak. Permukaan dinding yang sering terkena percikan air

hendaknya diberi lapisan porselin agar tidak mudah ditumbuhi jamur atau

kapang. Tinggi porselin menurut Depkes (2002) minimal 2 m dari lantai sebagai

batas jangkauan tangan dalam posisi berdiri dan berwarna terang.

Langit-langit.

Langit-langit harus menutup seluruh atap bangunan dan dilengkapi

dengan peredam suara untuk bagian-bagian tertentu. Langit-langit dibuat dari

bahan asbes, triplek, ataupun bahan kayu lainnya. Warna langit-langit sebaiknya

memberikan pantulan cahaya. Tinggi langit-langit sekurang-kurangnya 2,4 m

diatas lantai. Kontruksi langit-langit harus dapat mencegah akumulasi debu dan

kondensat, tidak mudah terkelupas yang dapat menimbulkan partikel halus

(Depkes 2002).

Pencahayaan dan ventilasi.

Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan

pemeriksaan dan pembersihan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan secara

efektif. Intensitas pencahayaan sedikitnya 200 lux pada bidang kerja. Ventilasi

bertujuan untuk menjaga kenyamanan suhu dan kelembaban dalam ruangan,

mencegah udara dalam ruangan terlalu panas, mencegah kondensasi uap air

atau lemak pada lantai, dinding atau langit-langit, membuang bau, asap dan

pencemaran lainnya (Depkes 2002).

Tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m dari lantai. Ventilasi pada

bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan dilengkapi dengan kawat kasa

untuk mencegah masuknya serangga (Subandriyo 1993). Kontrol suhu udara

16

juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan).

Mekanisme kerja exhauster fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari

tempat kotor ke tempat bersih (Fardiaz 1999).

Pintu dan Jendela.

Seluruh pintu dan jendela pada bangunan yang dipergunakan untuk

pengolahan harus membuka ke arah luar. Pintu ruangan pengolahan harus dapat

menutup sendiri. Hal ini untuk memudahkan penyelamatan diri pada waktu

keadaan darurat (Depkes 2002).

Tempat Pencucian Peralatan dan cuci tangan.

Tempat pencucian terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, dan

mudah dibersihkan. Bak pencucian peralatan sedikitnya terdiri dari 3 bak pencuci

yaitu bak untuk merendam, bak menyabuni, dan bak untuk membilas (Depkes

2002). Tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan

makanan yang dilengkapi dengan kran, saluran pembuangan tertutup, bak

penampungan, sabun dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan disesuaikan

dengan banyaknya karyawan. Sebuah tempat cuci tangan dipergunakan

maksimal 10 orang, dan terletak sedekat mungkin dengan tempat kerja (Depkes

2002).

Tempat Sampah.

Tempat sampah dibbuat dari bahan yang kuat, kedap air, dan tidak

mudah berkarat. Mempunyai tutup dan memakai kantong plastik khusus untuk

sisa bahan makanan dan makanan jadi yang cepat membusuk. Sampah yang

telah penuh segera dibuang dalam waktu 1x24 jam (Depkes 2002).

Pengetahuan Higiene Sanitasi

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari

pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.

Pengetahuan sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

disadari pengetahuan (Notoatmodjo 1993). Menurut Soekanto (1981),

pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil

penggunaan panca indera.

Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku

seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan

mengenai objek tertentu. Pengetahuan higiene sanitasi yang memadai dapat

17

menimbulkan kecenderungan untuk menyetujui praktek-praktek yang menunjang

keamanan pangan. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan

formal, informal dan non formal (Gaston 1999).

Pengetahuan higiene sanitasi yang diatur oleh Menteri Kesehatan no.

1096/Menkes/PER/VI/2011 bagi penjamah makanan terdiri dari enam pokok

bahasan, yaitu 1) bahan pencemar terhadap makanan yang meliputi rantai

perjalanan makanan, perkembangan bakteri pada makanan, cara bakteri

menyebabkan penyakit pada manusia, mengenal pencemar lain; 2) penyakit

bawaan makanan meliputi penyebab oleh mikroba, bahan kimia, zat toksin dan

zat alergi; 3) prinsip higiene sanitasi makanan yang meliputi sumber dan

penyebaran pencemar makanan, pemilihan, penyimpanan, pengolahan,

pengangkutan, penyajian, dan konsumsi, aspek higiene sanitasi makanan,

pegendalian waktu dan suhu makanan; 4) pencucian dan penyimpanan

peralatan pengolahan makanan yang meliputi peralatan masak memasak,

peralatan makan dan minum, sarana dan cara pencucian, bahan pencuci,

penyimpanan peralatan; 5) pemeliharaan kebersihan lingkungan meliputi air

bersih, pembuangan limbah dan sampah, pengendalian serangga dan tikus,

pemeliharaan dan pembersihan ruangan, fasilitas sanitasi; 6) higiene perorangan

yang meliputi sumber pencemar dari tubuh, pengamatan kesehatan,

pengetahuan, sikap dan perilaku sehat, serta alat pelindung diri/alat pelindung

pencemaran.

18

KERANGKA PEMIKIRAN

Kegiatan PGRS dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat

rumah sakit yaitu pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah

sakit. Peranan penyelenggaraan makanan di rumah sakit sangat penting.

Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan yang

diselenggarakan instalasi gizi di rumah sakit untuk pasien yang tidak dapat

makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang berfungsi

dengan baik. Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua yaitu hospital made

dan commercial made. Makanan enteral hospital made yang karakteristiknya

dibuat sendiri umumnya merupakan makanan yang mudah rusak. Kerusakan

oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman untuk

dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Oleh karena itu,

pengendalian mutu makanan sangat penting dilakukan karena konsumen yang

dilayani adalah pasien yang relative lebih rentan terhadap penyakit yang

ditularkan melalui makanan.

Pelaksanaan pengendalian mutu pada penyelenggaraan makanan

dirumah sakit terutama dilakukan berdasarkan alur penyelenggaraan makanan

mulai dari pengadaan makanan, pengolahan, pewadahan hingga distribusi.

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah fasilitas fisik dan sanitasi serta

perilaku higiene sanitasi penjamah. Perilaku higiene dan sanitasi penjamah

dipengaruhi oleh pengetahuan. Pengetahuan merupakan kesan yang ada dalam

pikiran manusia, dimana kesan tersebut merupakan hasil dari penggunaan

pancainderanya (Soekanto 2002). Pada proses penanganan bahan, pengolahan

dan penyajian makanan, penjamah makanan memiliki peranan yang penting.

Oleh karena itu, penjamah makanan seharusnya memiliki pengetahuan dan

keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan dan penyajian

makanan hingga makanan yang disajikan dapat terjamin keamanannya. Dengan

dipenuhinya syarat-syarat tersebut diharapkan akan menghasilkan makanan

enteral yang berkualitas dan menjamin keamanan pangan.

19

Gambar 1 Kerangka Pemikiran PenelitianKeterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Makanan Enteral

Hospital made

Pengendalian Mutu

(HACCP)

Keamanan Pangan

Pengetahuan Sanitasi Higiene

Penjamah

Perilaku Sanitasi Higiene

Penjamah

Penyelenggaraan Makanan

Pengadaan Bahan

Makanan

Penerimaan Bahan

Makanan

Penyimpanan Bahan

Makanan

Persiapan dan

Pengolahan

Pewadahan dan

Distribusi

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

Commercial made

20

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study, yaitu

data dikumpulkan pada satu waktu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan

Oktober sampai November 2011 yang berlokasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit

Dustira Kota Cimahi. Rumah Sakit Dustira adalah salah satu rumah sakit yang

menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made dan merupakan

rumah sakit rujukan bagi anggota TNI yang sakit.

Penarikan Sampel

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga, yaitu penjamah makanan

enteral, bahan pangan untuk membuat makanan enteral, dan jenis makanan

enteral terpilih. Penarikan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria

inklusi sebagai berikut : 1) Sampel penjamah makanan enteral yaitu penjamah

makanan yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan enteral pada tahap

pengadaan bahan makanan hingga pendistribusian di Instalasi Gizi, meliputi

petugas di tahap pengadaan bahan makanan, petugas penerimaan bahan

makanan, petugas penyimpanan bahan makanan (gudang), petugas persiapan,

petugas pengolahan, petugas pewadahan dan petugas pendistribusian. 2)

Sampel bahan pangan diambil dengan kriteria inklusi yaitu bahan pangan yang

biasa digunakan untuk membuat makanan enteral meliputi tepung beras, tepung

susu, wortel, labu siam, bayam, melon, pepaya, semangka, gula, telur, dan

minyak atau margarin. 3) Sampel makanan enteral dipilih menggunakan kriteria

makanan enteral yang paling sering dan paling banyak disajikan kepada pasien

serta makanan enteral yang terbuat dari bahan yang berisiko tinggi

terkontaminasi mikroba seperti makanan enteral yang mengandung bahan

makanan telur dan susu.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data

primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi

langsung. Data primer meliputi: 1) data karakteristik umum sampel penjamah

yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, lama bekerja dan pengalaman

pelatihan sanitasi higiene, 2) data pengetahuan sampel penjamah makanan

enteral mengenai higiene sanitasi, 3) data perilaku higiene sanitasi penjamah

makanan enteral, 4) data fasilitas fisik dan sanitasi ruang penyelenggaraan

21

makanan enteral, 5) data pelaksanaan higiene sanitasi yang meliputi data

pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi, 6) hasil pemeriksaan

angka kuman patogen pada sampel makanan enteral, dan 7) data penerapan

HACCP pada tahapan produksi pembuatan makanan enteral.

Data karakteristik umum sampel penjamah makanan enteral meliputi

nama, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan pengalaman

mengikuti pelatihan sanitasi higiene diperoleh melalui wawancara menggunakan

kuesioner. Pengetahuan sampel penjamah, yang mengacu pada Peraturan

Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, diperoleh melalui wawancara

menggunakan kuesioner, dengan pertanyaan mengenai bahan pencemar

makanan, penyakit bawaan makanan, prinsip higiene sanitasi makanan,

pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan, pemeliharaan

kebersihan lingkungan, dan higiene perorangan .

Perilaku sanitasi higiene penjamah yang diteliti meliputi penggunaan

sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan

mulut, penggunaan apron, serta kebiasaan penjamah saat mengolah seperti

mengobrol, menggunakan kosmetik dan menggunakan perhiasan diperoleh

dengan metode observasi langsung. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan

penyelenggaraan makanan enteral diperoleh melalui metode observasi langsung

yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/

PER/VI/2011. Fasilitas fisik dan sanitasi yang diamati adalah kondisi konstruksi

bangunan, lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan, ventilasi, pintu dan jendela,

tempat pencucian peralatan, tempat cuci tangan, dan tempat sampah.

Data pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral pada tiap tahapan

produksi, meliputi : 1) pengadaan bahan makanan, 2) penerimaan bahan

makanan, 3) penyimpanan bahan makanan, 4) pengolahan yang terdiri dari

persiapan dan pemasakan, dan 5) penyajian yang terdiri dari pewadahan dan

pendistribusian. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi menggunakan

kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/

PER/VI/2011.

Data hasil pemeriksaan mikroba pada makanan enteral diperoleh dengan

menghitung angka kuman patogen pada cawan yang mengandung makanan

enteral. Data penerapan HACCP diperoleh dengan cara observasi langsung

tahapan produksi pembuatan makanan enteral. Data tersebut dikumpulkan

22

dengan membuat HACCP plan yang meliputi CCP, risiko bahaya, cara

pengendalian, target, batas kritis, tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Data sekunder meliputi data hasil pemeriksaan kualitas air dan profil

umum Rumah Sakit Dustira yang diperoleh dari buku laporan tahunan Rumah

Sakit tahun 2011. Variabel, data dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, data dan cara pengumpulan data

No. Variabel Data Cara Pengumpulan

1. Gambaran umum lokasi

Sejarah, struktur organisasi, jenis pelayanan

Data Sekunder dan observasi

2. Pengetahuan higiene sanitasi

Pengertian tentang bahan pencemar makanan, penyakit bawaan makanan, prinsip higiene sanitasi makanan, pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan, pemeliharaan kebersihan lingkungan, higieneperorangan

Wawancara menggunakan kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

3. Perilaku higiene sanitasi penjamah

Penggunaan sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan mulut, penggunaan apron, dan kebiasaan penjamah saat pengolahan seperti mengobrol, menggunakan kosmetik dan penggunaan perhiasan.

Observasi langsung

4. Fasilitas fisik dan sanitasi

Keadaan konstruksi, lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan, ventilasi, pintu dan jendela, tempat pencucian peralatan, tempat cuci tangan, dan tempat sampah.

Observasi menggunakan kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

5. Pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi

Pelaksanaan higiene sanitasi pada tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan yang terdiri dari persiapan dan pemasakan, serta penyajian yang terdiri dari pewadahan dan pendistribusian.

Observasi menggunakan kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

6. Angka kuman patogen pada makanan enteral

Jumlah koloni mikroba pada cawan Standard plate count (SPC)

7. Penerapan HACCP CCP, risiko bahaya, cara pengendalian, target, batas kritis, tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Observasi langsung

8. Pemeriksaan air Mikrobiologi (total coliform), fisik (bau, kekeruhan, warna, zat terlarut), kimiawi (Fe, F, CaCo3, Cl, Mn, Nitrat, nitrit, pH, S, Deterjen, KMnO4, sisa klor)

Data Sekunder

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari proses wawancara menggunakan kuesioner dan

observasi diolah dan dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan

menggunakan program Microsoft Excel 2007. Variabel dan kategori pengukuran

dapat dilihat pada Tabel 2.

23

Tabel 2 Variabel dan kategori pengukuran

Data Kategori PengukuranJenis kelamin 1. Laki-laki

2. Perempuan Umur(Hardinsyah & Tambunan 2004)

1. 19-29 tahun 2. 30-49 tahun 3. 50-64 tahun

Tingkat pendidikan 1. SD2. SMP3. SMA & sederajat 4. PT

Lama bekerja (Sugiono 2003)

1. 2-6 tahun 2. 7-11 tahun 3. 12-16 tahun 4. 17-21 tahun

Pengalaman pelatihan sanitasi higiene 1. Belum pernah 2. Pernah

Pengetahuan higiene sanitasi (Khomsan 2000)

1. Kurang (<60%)2. Sedang (60% - 80%)3. Tinggi (>80%)

Perilaku higiene sanitasi 1. Tidak melakukan 2. Melakukan

Fasilitas fisik dan sanitasi (Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011)

1. Golongan A1 jika 65-70%2. Golongan A2 jika 70-74%3. Golongan A3 jika 74-83%4. Golongan B jika 83-92%5. Golongan C jika 92-100%

Pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi (Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011)

1. Kurang memenuhi syarat (<90,2%)2. Memenuhi syarat (≥ 90,2%)

Angka kuman patogen pada makanan entera(Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011)

1. Tidak aman jika jumlah koloni positif (+)

2. Aman jika jumlah koloni negatif (-)

HACCP(Codex Alimentarius Commision)

1. CCP2. Risiko bahaya 3. Cara pengendalian4. Batas kritis 5. Tindakan pemantauan 6. Tindakan koreksi.

Data tingkat pengetahuan penjamah terdiri dari enam materi pokok yang

mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

yang kemudian dikembangkan menjadi 24 pertanyaan yang diajukan melalui

kuesioner. Setiap pertanyaan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk

jawaban salah. Selanjutnya dihitung jumlah skor setiap contoh dan skor rata-rata

serta dilihat persentase masing-masing aspek dari pengetahuan yang paling

tinggi dijawab dengan benar. Skor pengetahuan kemudian dikategorikan

berdasarkan kategori Khomsan (2000) yaitu baik jika skor >80%, sedang jika

skor 60-80%, dan kurang jika skor <60%.

24

Data perilaku sanitasi higiene penjamah yang meliputi penggunaan

sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan

mulut, penggunaan sepatu khusus, penggunaan pakaian dan perhiasan, serta

kebiasaan penjamah dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dilihat distribusi

frekuensinya. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan penyelenggaraan makanan

enteral diolah secara deskriptif kualitatif yang mengacu pada Peraturan Menteri

Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011. Penilaian dilakukan menggunakan

variabel-variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan

higiene dan sanitasi dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan

rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100%Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

Presentase yang diperoleh akan dinilai berdasarkan kategori. Data yang

telah dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Klasifikasi

golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi

Golongan SkorA1 65% - 70%A2 70% - 74%A3 74% - 83%B 83% - 92%C 92% - 100%

Data higiene sanitasi makanan pada tiap tahapan produksi diolah

berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan no.

1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dengan

memberikan skor penilaian. Penilaian dilakukan dengan menggunakan variabel-

variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan sanitasi dan

higiene dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100%Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

Presentase yang diperoleh akan dinilai berdasarkan kategori. Data yang

telah dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penilaian

higiene sanitasi untuk golongan rumah sakit termasuk kedalam golongan B,

dimana nilai minimum untuk memenuhi syarat adalah 90.2%. Kategori tingkat

mutu pelaksanaan higiene sanitasi disajikan pada Tabel 4.

25

Tabel 4 Tingkat mutu pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

Persentase Tingkat Mutu<90.2% Belum memenuhi syarat≥90.2% Memenuhi syarat

Pemberian bobot didasarkan pada titik rawan (kritis) dalam menimbulkan

kemungkinan kerusakan makanan yang mengacu pada Peraturan Menteri

Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, sebagai berikut :

1. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-1 diberikan jika terdapat <50% persyaratan yang

dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-1 jika terdapat ≥50% variabel memenuhi

persyaratan.

2. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-2 diberikan jika tidak terdapat satu pun

persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-2 diberikan jika

persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 2 dari r kisaran nilai 0-2 diberikan

jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

3. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-3 diberikan jika tidak terdapat satu pun

persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-3 diberikan jika

persyaratan yang dipenuhi adalah 33.3%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-3

diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 66.6%, nilai 3 dari kisaran

nilai 0-3 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

4. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-4 diberikan jika tidak terdapat satu pun

persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika

persyaratan yang dipenuhi adalah 25%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-4 diberikan

jika persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-4

diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 75%, nilai 4 dari kisaran nilai

0-4 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

5. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-5 diberikan jika tidak terdapat satu pun

persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika

persyaratan yang dipenuhi adalah 20%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-5 diberikan

jika persyaratan yang dipenuhi adalah 40%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-5

diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 60%, nilai 4 dari kisaran nilai

0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 80%, nilai 5 dari kisaran

nilai 0-5 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.

Data angka kuman patogen dalam penelitian ini diolah secara manual

dengan menghitung jumlah koloni yang terdapat dalam cawan petri. Dari data

tersebut lalu dipersentasekan dengan kategori aman dan tidak aman yang

26

dikategorikan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/

PER/VI/2011 dan diolah secara deskriptif kualitatif. Kategori memenuhi syarat

bila jumlah Salmonella, Shigella dan Escherichia coli negative (-) sedangkan

kategori tidak memenuhi syarat bila Salmonella, Shigella dan Escherichia coli

positif (+).

Hasil data diaplikasikan dalam konsep HACCP Plan. HACCP Plan yang

disusun terdiri dari CCP, risiko bahaya, tindakan pencegahan, batas kritis,

tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Batasan Istilah

Makanan enteral adalah makanan cair yang diberikan kepada pasien yang

saluran pencernaannya masih berfungsi dengan baik melalui jalur hidung-

lambung (nasogastric route) atau hidung-usus (nasoduodenal route).

HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya

masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap

penanganan dan proses produksi.

Pengendalian mutu adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga bahan pangan

hingga menjadi makanan enteral tetap baik pada setiap tahapan produksi

meliputi tahap pengadaan bahan pangan, penerimaan bahan pangan,

penyimpanan bahan pangan, persiapan dan pengolahan bahan pangan,

pewadahan serta pendistribusian.

Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya

kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan,

orang yang mengolah, tempat pengolahan dan peralatan yang digunakan

untuk mengolah agar aman dikonsumsi.

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Rumah Sakit

Rumah Sakit Dustira merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah

Kodam III Siliwangi. Rumah sakit menempati areal tanah seluas 14 Ha dengan

luas bangunan 54.481 m2. Rumah Sakit Dustira termasuk ke dalam tipe

pelayanan rumah sakit kelas B yang memiliki 17 ruang rawat inap dan 502

tempat tidur dengan kelas perawatan VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Selain

itu, Rumah Sakit Dustira menyediakan pelayanan rawat jalan yang terdiri dari 17

poliklinik yang dibuka umum setiap hari. Pelayanan rawat inap ditujukan bagi

pasien rujukan dari gawat darurat maupun unit rawat jalan. Rumah Sakit Dustira

juga dilengkapi ruang UGD, ICU, kamar bedah, unit hemodialisa dan endoscopy.

Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit Dustira didukung oleh beberapa instalasi

meliputi 1) Instalasi Rehab Medik, 2) Instalasi Radiologi, 3) Instalasi

Farmasi/Apotek, 4) Instalasi Penunjang Perawatan (Gizi), 5) Instalasi

Laboratorium Patologi Klinik, 6) Instalasi Pendidikan, dan 7) Instalasi

Laboratorium Forensik dan Kedokteran Kehakiman

Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit

Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem

pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk

memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit yaitu pasien rawat inap,

pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Pelayanan gizi bagi pasien rawat

inap merupakan terapi diit, sehingga makanan yang disajikan harus dapat

memenuhi kebutuhan gizi dan membantu proses penyembuhan pasien.

Sedangkan pelayanan gizi bagi pegawai berupa pemberian makanan yang dapat

memberikan tambahan zat gizi untuk meningkatkan kesehatan pegawai sehingga

pegawai dapat bekerja dengan baik. Instalasi Gizi di Rumah Sakit Dustira

merupakan instalasi penunjang perawatan (Jangwat).

Struktur Organisasi

Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dikepalai oleh seorang kepala instalasi

yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Rumah Sakit. Kepala

Instalasi Gizi dibantu oleh lima orang penanggungjawab yang membawahi unit

produksi dan distribusi makanan, unit rawat inap, unit rawat jalan, unit penelitian

dan pengembangan (Litbang) dan bagian administrasi. Setiap penanggungjawab

28

membawahi pegawai yang bertugas di sub unit gizi. Struktur organisai sub unit

gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Ketenagakerjaan

Pola ketenagaan Instalasi Gizi dalam melaksanakan tugasnya dipimpin

oleh seorang Kepala Instalasi Gizi. Tenaga kerja di Instalasi Gizi sebanyak 42

orang dengan perincian sebagai berikut : 3 orang petugas gudang, 2 orang

petugas buah, 4 orang pemasak snack, 13 orang pemasak menu utama, 5 orang

pemasak makanan diet dan makanan enteral, 5 orang pemasak makanan

pegawai, 9 orang ahli gizi, dan 1 orang petugas administrasi.

Sarana dan Prasarana

Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit Dustira.

Pemilihan lokasi ini memudahkan proses produksi terutama saat penerimaan dan

pendistribusian makanan ke pasien. Selain itu, tidak mengganggu pasien dan

unit lainnya dengan suara-suara dan aroma makanan saat proses produksi

(Keitser, 1990). Ruang Instalasi Gizi terbagi menjadi beberapa ruangan yaitu

ruang penerimaan, gudang, ruang persiapan, ruang pengolahan, ruang

penyajian, ruang administrasi, ruang karyawan, dan toilet. Denah Instalasi Gizi

dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambaran Umum Jenis Makanan

Secara umum jenis makanan yang dilayani di Instalasi Gizi terdiri dari

makanan pegawai dan makanan pasien yaitu makanan makanan biasa,

makanan lunak, makanan saring, makanan cair, dan makanan diit. Menu diit

yang diberikan berupa menu diit Rendah Garam (RG), Diabetes Mellitus (DM),

Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), Rendah Purin (RP) dan Rendah Protein.

Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral

Sampel penjamah dalam penelitian ini adalah penjamah yang menangani

proses pembuatan makanan enteral mulai dari tahap pengadaan bahan

makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan,

persiapan, pengolahan makanan enteral, pewadahan dan pengemasan serta

distribusi. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral

di Instalasi Gizi RS Dustira dapat dilihat pada Tabel 5.

Sampel penjamah makanan terdiri dari tiga orang laki-laki (30.0%) dan

tujuh orang perempuan (70.0%). Berdasarkan Tabel 5, lebih dari separuh sampel

penjamah (80.0%) berada pada usia 30-49 tahun dan sisanya (20.0%) berada

29

Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

No Karakteristik Penjamah Jumlahn %

1 Jenis Kelamina. Laki-lakib. Perempuan

37

30.070.0

Jumlah 10 100.02 Umur (tahun)

a. 19-29b. 30-49 c. 50-64

280

20.080.00.0

10 100.03 Pendidikan Terakhir

a. SDb. SMPc. SMA/SMK

145

10.040.050.0

Jumlah 10 100.04 Lama bekerja (tahun)

a. 2-6 b. 7-11c. 12-16d. 17-21 tahun

2341

20.030.040.010.0

Jumlah 10 100.05 Pelatihan Sanitasi Higiene

a. Pernahb. Belum pernah

010

0.0100.0

Jumlah 10 100.0

pada usia 19-29 tahun. Usia termuda sampel penjamah adalah 26 tahun dan

tertua yaitu 47 tahun dengan rata-rata umur sekitar 35 tahun.

Tingkat pendidikan sampel penjamah makanan enteral dibagi menjadi

SD, SMP, SMA/SMK dan akademi/PT. Separuh sampel penjamah makanan

enteral (50.0%) memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK, dan sebagian lainnya

adalah SD (10.0%) dan SMP (40.0%). Penjamah makanan seharusnya memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar mampu menangani pangan

secara higienis (Hartono 2006).

Lama bekerja dikategorikan menurut Sugiyono (2009) menjadi empat

berdasarkan interval kelas, yaitu 2-6 tahun, 7-11 tahun, 12-16 tahun, dan 17-21

tahun. Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 25% penjamah makanan enteral bekerja

selama antara rentang 2-6 tahun dan 12-16 tahun. Sebanyak 37.0% bekerja

selama 7-11 tahun dan sisanya (13.0%) bekerja selama 17-21 tahun. Lama

bekerja tersingkat sampel penjamah adalah dua tahun dan terlama adalah 18

tahun.

Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan

pelatihan mengenai higiene sanitasi. Pelatihan higiene sanitasi hanya diberikan

30

pada ahli gizi saja. Namun, ahli gizi memberikan pengetahuan yang mereka

dapat dari pelatihan kepada para penjamah makanan enteral sehingga secara

tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan mengenai higiene

sanitasi penjamah makanan enteral. Gunarsa S dan Gunarsa YS (2008)

menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat

pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola,

kerangka berpikir, persepsi dan pemahaman seseorang akan sesuatu. Selain itu,

Hartono (2006) menambahkan pendidikan bagi penjamah makanan mengenai

cara-cara penanganan makanan yang higienis merupakan unsur yang sangat

menentukan di dalam mencegah penyakit bawaan makanan.

Pengetahuan penjamah

Menurut Soekanto (2002), pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran

manusia sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh

seseorang melalui pendidikan formal dan informal. Pengetahuan higiene sanitasi

penjamah berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi

No. Materi Pengetahuan Persentase (%) Kategori

1. Bahan pencemar makanan 75.0 Sedang2. Penyakit bawaan makanan 95.0 Tinggi

3. Prinsip higiene sanitasi makanan 77.5 Sedang4. Pencucian dan penyimpanan peralatan

pengolahan makanan90.0 Tinggi

5. Pemeliharaan kebersihan lingkungan 92.5 Tinggi6. Higiene perorangan 90.0 Tinggi

Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 75.0% penjamah makanan enteral

mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai bahan pencemar

makanan. Makanan dapat menjadi tidak aman bila terdapat kontaminasi pada

makanan tersebut. Menurut Gaman dan Sherrington (1993), terdapat tiga

penyebab pangan menjadi tidak aman yaitu keracunan karena kimiawi

(pestisida), fisik (rambut dan batu), dan biologi (bakteri, virus, jamur). Pentingnya

penjamah mengetahui bahan pencemar makanan dengan tujuan untuk

meminimalisasi kontaminasi makanan.

Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit bawaan makanan,

penjamah makanan enteral sebanyak 95.0% mampu menjawab dengan benar.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah makanan enteral

31

telah memahami tentang penyakit bawaan makanan. Bahan makanan yang telah

terkontaminasi akan menyebabkan perubahan rasa, warna, aroma, dan tekstur.

Penjamah makanan enteral harus mengetahui keadaan bahan makanan yang

baik dan terkontaminasi untuk meningkatkan kualitas mutu makanan, karena

konsumen yang dilayani adalah pasien yang tergolong dalam kelompok rentan

dan lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan.

Penjamah makanan enteral sebanyak 77.5% mampu menjawab dengan

benar dan memahami pertanyaan mengenai prinsip higiene sanitasi makanan.

Prinsip sanitasi dan higiene makanan sangat penting untuk diterapkan dengan

tujuan untuk menghindari makanan menjadi tidak aman. Menurut Depkes (2004),

prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat factor

yaitu, tempat, peralatan, orang dan bahan makanan. Selain itu terdapat empat

prinsip sanitasi makanan yaitu : 1) pemilihan bahan makanan, 2) penyimpanan

bahan makanan, 3) pengolahan makanan, dan 4) penyimpanan makanan masak.

Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 90.0% penjamah makanan enteral

mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai pencucian dan

penyimpanan peralatan pengolahan makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

sebagian besar penjamah makanan enteral mampu memahami pencucian dan

penyimpanan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar. Bila

penjamah tidak melakukan pencucian dan penyimpanan peralatan dengan

benar, peralatan tersebut dapat menjadi sumber pencemar makanan.

Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan sebaiknya disimpan di tempat

yang tepat untuk menghindari pencemaran, karena peralatan yang dipakai untuk

mengolah makanan bila penanganannya tidak sesuai dapat menjadi sumber

pencemaran makanan (Moehyi 1992).

Sebanyak 92.5% penjamah makanan enteral dapat menjawab dengan

benar pertanyaan-pertanyaan mengenai pemeliharaan kebersihan lingkungan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah memahami

pentingnya pemeliharaan kebersihan lingkungan. Pemeliharaan kebersihan

lingkungan meliputi frekuensi pembuangan sampah, fasilitas sanitasi yang harus

dimiliki tempat penyelnggaraan makanan, upaya pengendalian hama, dan

keadaan air bersih. Pentingnya mengetahui tentang pemeliharaan kebersihan

lingkungan yaitu untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih dan aman

dalam penyelenggaraan produksi makanan.

32

Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai higiene perorangan, sebanyak

90.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar. Hal

tersebut menunjukkan bahwa penjamah makanan enteral memahami pentingnya

kebersihan diri, penggunaan baju khusus, penutup kepala dan tidak memakai

perhiasan, serta kebiasaan yang tidak boleh dilakukan saat sedang mengolah

makanan. Pentingnya personal higiene adalah untuk menghindari penularan

penyakit yang berasal dari tubuh penjamah. Menurut Jennie (2000), penjamah

yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab

terjadinya kontaminasi silang pada makanan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada penjamah makanan

enteral kemudian diberi skor dan dikelompokkan menjadi ketegori rendah,

sedang dan tinggi. Pengkategorian pengetahuan ini didasarkan pada Khomsan

(2000), yakni baik atau tinggi dengan skor >80.0%, sedang dengan skor 60.0%

hingga 80.0%, dan kurang dengan skor <60.0%. Tingkat pengetahuan higiene

sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

Tingkat pengetahuan Jumlah

n %

Kurang (<60.0%) 0 0.0Sedang (60.0%-80.0%) 1 10.0Baik (>80.0%) 9 90.0

Total 10 100.0

Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar (90.0%) sampel penjamah

makanan enteral sudah memiliki pengetahuan yang baik dan hanya 10.0% yang

memiliki tingkat pengetahuan sedang. Menurut Soekanto (2002) tingkat

pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang kerana

berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek

tertentu.

Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah

Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan dapat menjadi

salah satu faktor risiko penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan.

Pegawai dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti: kulit, mulut,

rambut, kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik

dan kotor merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan dan

perkembangbiakan mikroba. Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh

33

akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba,

akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Penularan penyakit juga dapat

terjadi melalui bagian-bagian tubuh tersebut. Para pegawai yang terinfeksi

patogen dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila

pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik

(Jenie 2000).

Penggunaan apron.

Berdasarkan hasil pengamatan, seluruh penjamah menggunakan apron

atau pakaian kerja khusus. Apron yang digunakan penjamah terbuat dari bahan

katun dan berbentuk celemek. Apron hanya dipakai di Instalasi Gizi sehingga

dapat mencegah kontaminasi debu dari luar Instalasi Gizi. Pencucian apron tidak

dilakukan secara periodik. Apron tersebut dicuci bila sudah terlihat kotor. Menurut

Moehyi (1992), penggantian dan pencucian apron secara periodik akan

mengurangi risiko kontaminasi. Selain itu, apron yang bersih akan menjamin

higiene dan sanitasi pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau

kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat

mencemari makanan.

Penggunaan penutup rambut

Penjamah yang menggunakan penutup rambut sebanyak 70.0%. Penutup

kepala yang digunakan adalah jilbab dan topi (hair net) yang tidak menutupi

rambut secara keseluruhan, sehingga masih memungkinkan jatuhnya rambut ke

makanan. Rambut yang berasal dari kepala terkadang terkontaminasi oleh

bakteri seperti Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya, tetapi bukan

merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan (Jennie 2000).

Rambut yang jatuh dalam makanan enteral merupakan jenis kontaminan fisik

yang akan menurunkan kualitas makanan dan citra Instalasi Gizi.

Penggunaan sepatu kedap air

Penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi tidak menggunakan sepatu

kedap air, mereka lebih memilih menggunakan sandal karet dengan alasan lebih

nyaman dan lebih memudahkan untuk bergerak pada saat bekerja. Sandal yang

mereka gunakan khusus untuk digunakan di Instalasi Gizi. Tempat

penyimpanannya di loker khusus karyawan. Hal tersebut tidak sejalan dengan

peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (2011), bahwa atribut yang

sebaiknya digunakan saat mengolah makanan adalah penutup kepala, apron

34

dan sepatu karet. Atribut tersebut sebaiknya digunakan untuk melindungi

pencemaran terhadap makanan.

Penggunaan sarung tangan

Sebanyak 80.0% penjamah makanan enteral tidak menggunakan sarung

tangan saat bekerja. Penjamah yang menggunakan sarung tangan adalah

penjamah di bagian persiapan terutama penjamah yang menangani persiapan

buah. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran penjamah akan

pentingnya menghindari kontaminasi dari tangan ke makanan. Tangan pegawai

yang telah tercemar mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba

tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan

tersebut (Jennie 2000).

Kontaminasi dari tangan penjamah dapat dicegah dengan penggunaan

sarung tangan. Instalasi Gizi menyediakan sarung tangan dispossable dalam

jumlah yang cukup untuk seluruh pegawai, tetapi sarung tangan ini tidak

digunakan dengan baik oleh penjamah. Menurut Moehyi (1992), cara lain untuk

menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang

makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat

pengambil makanan lainnya.

Kebiasaan mencuci tangan

Seluruh penjamah selalu mencuci tangan setiap akan melakukan

pekerjaan, setelah keluar dari toilet, pada saat tangan kotor, dan setelah

menangani bahan makanan. Namun, penjamah tidak mencuci tangan ketika

beralih menangani bahan makanan lain seperti pada saat persiapan dan

pengolahan. Keenganan untuk mencuci tangan karena dirasakan memakan

waktu dan merasa bahwa tangan sudah besih. Pegawai yang menangani bahan

makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga

tidak ada organisme patogen yang dapat hidup didalamnya (Jennie 2000). Selain

itu menurut Arisman (2009) tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik

flora normal maupun cemaran, menempel di tempat tersebut dan mudah sekali

berpindah ke makanan yang tersentuh.

Kendala yang dihadapi untuk menghindari kontaminasi dari tangan

pegawai adalah tidak disediakannya fasilitas cuci tangan yang memadai

terutama sabun dan lap pengering, sehingga tangan pegawai yang sudah dicuci

masih berisiko mengandung mikroba dan akan mengkontaminasi makanan.

35

Pencucian yang baik menurut Fardiaz (1999) adalah dengan membasahi

tangan di bawah air hangat yang mengalir, tangan diberi sabun dan digosok

selama 15 detik, kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas.

Penggunaan penutup muka (masker)

Masker dapat menahan kontaminasi dari mulut dan hidung. Berdasarkan

hasil pengamatan, tidak ada pegawai yang menggunakan masker pada saat

pengolahan makanan enteral. Hal tersebut dikarenakan pihak Instalasi Gizi tidak

menyediakan masker untuk digunakan penjamah pada saat proses produksi.

Menurut Jennie (2000), mulut dan hidung merupakan media yang baik

untuk pertumbuhan mikroba terutama pada saat berkeringat. Mikroba ini dapat

mengkontaminasi makanan melalui udara. Penggunaan masker dapat

meningkatkan pertumbuhan mikroba. Udara akan menjadi lebih pengap atau

panas saat penggunaan masker, sehingga terjadi pengeluaran keringat yang

lebih banyak. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan mengurangi kebiasaan

berbicara, tertawa dan memegang muka saat bekerja (Marriot 1997).

Perilaku saat bekerja

Perilaku saat bekerja yang sering dilakukan penjamah adalah berbicara

saat bekerja. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran

lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jennie 2000). Selain itu

penggunaan perhiasan dan kosmetik pada pegawai wanita masih dilakukan.

Sebanyak 40.0% penjamah makanan enteral terutama penjamah wanita masih

menggunakan perhiasan pada saat mengolah makanan. Perhiasan yang sering

dipergunakan adalah cincin. Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci

sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar

perhiasan. Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga

mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Perhiasan

tidak boleh digunakan saat menangani makanan karena dikawatirkan masuk dan

jatuh dalam makanan tanpa dapat dicegah dan disadari, hal tersebut dapat

mencemari makanan (Depkes 2002).

Fasilitas Fisik dan Sanitasi

Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

diobservasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/

PER/VI/2011 yang diukur berdasarkan jumlah skor dan kategori. Hasil observasi

terhadap fasilitas fisik dan sanitasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dapat

dilihat pada Tabel 8.

36

Tabel 8 Fasilitas Fisik dan Sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit DustiraNo. Fasilitas Fisik dan Sanitasi Bobot Nilai Skor

(%)1 Halaman bersih, rapi, kering, dan berjarak sedikitnya 500

meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran

1 1 100

2 Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau barang sisa

1 1 100

3 Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara, dan mudah dibersihkan

1 1 100

4 Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu

1 1 100

5 Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 meter dari lantai

1 1 100

6 Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah, dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka kearah luar

1 1 100

7 Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja.

1 1 100

8 Ruang pengolahan maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap

1 1 100

9 Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan 5 4 8010 Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC

dan saluran air hujan lancer, baik dan tidak menggenang1 1 100

11 Jumlah fasilitas cuci tangan dan toilet cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan

3 3 100

12 Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastic yang selalu diangka setiap kali penuh

2 1 50

13 Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian

1 1 100

14 Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan, dan hewan pengganggu lainnya

4 3 75

15 Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. Barang tersebut disimpan rapi di gudang

1 0 0

16 Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus) 1 0 0

17 Ruang pengolahan tidak dipakai sebagai ruang tidur 1 1 100

18 Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) 1 1 100

Jumlah 23 17 83,6Berdasarkan Tabel 8, setelah dilakukan penilaian, skor yang didapat

adalah 83.6%. Total skor sebesar 83.6% berada dalam kisaran 83%-92%.

Artinya, rumah sakit secara umum laik fasilitas fisik dan sanitasi dengan tingkat

mutu golongan B berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/PER/VI/2011.

37

Lokasi.

Bangunan Instalasi Gizi tidak berdekatan dengan sumber pencemaran

seperti tempat sampah umum, WC umum, dan sumber pencemaran lainnya

sehingga tidak tercium bau busuk. Selain itu, halaman Instalasi Gizi terlihat

bersih, tidak bersemak, dan tidak banyak lalat. Hal tersebut sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan (2011).

Keadaan konstruksi.

Bangunan Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit

Dustira. Pemilihan lokasi di belakang gedung Rumah Sakit akan memudahkan

proses penerimaan bahan makanan maupun distribusi makanan ke pasien.

Bangunan dibagi menjadi beberapa ruangan yang didesain sedemikian rupa

sehingga arus kerja dan lalu lintas pegawai lancar dan teratur. Di beberapa

ruangan terdapat barang-barang yang tidak berguna seperti tumpukan kardus

dan plastik bekas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (2011), ruangan harus

bersih dari barang yang tidak berguna, karena dapat mengundang serangga atau

hewan pengerat.

Lantai dan dinding

Lantai ruang instalasi gizi tidak licin dan mudah dibersihkan, namun ada

beberapa lantai yang retak dan bolong sehingga memungkinkan adanya

timbunan kotoran di sela-sela lantai yang retak tersebut. Seharusnya lantai

dibuat kuat, tidak mudah rusak, permukaan lantai harus dibuat kedap air dan

tidak ada retakan dan sambungan, tidak licin dan tahan terhadap pembersihan,

jika terdapat retakan dan sambungan harus segera diperbaiki (Depkes 2002).

Jadwal pembersihan lantai selalu dilakukan setiap hari dan setiap lantai kotor.

Kegiatan pembersihan yang biasa dilakukan yaitu menyapu sampah-sampah

yang berserakan dan mengepel genangan air atau kotoran yang menempel.

Dinding pengolahan makanan enteral yang selalu terkena percikan air

menggunakan porselen dengan tinggi 2 m dan warnanya memantulkan cahaya.

Lapisan porselen tidak mudah kotor bila terkena asap atau debu dan mudah

dibersihkan. Sudut antara dinding dengan lantai tidak berbentuk lengkung

(conus). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko tertimbunnya debu diantara

sudut-sudut tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (2011) sudut

dinding dengan lantai berbentuk lengkung dimaksudkan untuk memudahkan

dalam pembersihan dan agar tidak menyimpan debu atau kotoran.

38

Langit-langit.

Bidang langit-langit di Instalasi Gizi menutupi seluruh atap bangunan dan

terbuat dari bahan yang permukaannya rata serta mudah dibersihkan. Tinggi

langit-langit >2,4m di atas lantai, kondisi langit-langit tidak mudah mengelupas

namun agak sedikit kotor. Pembersihan langit-langit dilakukan setiap 1 bulan

sekali. Menurut Permenkes (2011), langit-langit harus menutup seluruh atap

bangunan, serta tinggi langit-langit minimal 2,4 meter di atas lantai.

Pintu dan jendela.

Pintu di Instalasi Gizi mengarah ke luar. Pada saat proses pengolahan

berlangsung, pintu selalu terbuka lebar dan tidak pernah ditutup. Hal ini bertujuan

agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan pengolahan. Namun, hal

tersebut dapat meningkatkan risiko debu yang berada di luar ruangan dan

serangga (lalat) atau hewan lain dapat masuk dengan bebas ke ruang

pengolahan. Jendela di bangunan Instalasi Gizi tidak dilengkapi dengan kawat

kasa (anti serangga). Jadwal pembersihan jendela dilakukan setiap hari pada

saat pengolahan berlangsung.

Depkes (2002) menyatakan bahwa seluruh pintu dan jendela pada

bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar.

Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk

memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat.

Pencahayaan dan ventilasi.

Pencahayaan di ruang pengolahan cukup terang dan tidak menimbulkan

bayangan. Pencahayaan di ruang pengolahan lebih mengutamakan cahaya yang

berasal dari luar ruangan (cahaya matahari) karena pintu yang terbuka lebar.

Sedangkan pencahayaan di ruangan lain cukup terang karena dibantu oleh

lampu. Ruangan Instalasi Gizi memiliki ventilasi yang menjamin peredaran udara

dengan baik. Terdapat exhausher fan di ruang pengolahan yang berfungsi untuk

menjaga alur udara tetap baik dan menghilangkan asap atau debu yang masuk

ke ruangan. Menurut Subandriyo (1993), tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m

dari lantai. Ventilasi pada bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan

dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga. Selain itu

Fardiaz (1999) menambahkan, kontrol suhu udara juga dapat dilakukan dengan

menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan). Mekanisme kerja exhauster

fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari tempat kotor ke tempat

bersih.

39

Tempat pencucian.

Tempat pencucian alat kadang suka digabung dengan pencucian bahan

makanan, begitu juga sebaliknya. Tempat pencucian alat berbentuk wastafel dan

keadaannya agak berkarat. Tempat pencucian alat ada di ruang persiapan dan di

ruang pengolahan. Menurut Jennie (2000) dalam pengolahan pangan, wadah

dan alat pengolahan yang kotor serta mengandung mikroba merupakan salah

satu sumber kontaminasi. Mencuci peralatan menjadi bersih dapat menghindari

peluang terjadinya kontaminan.

Instalasi gizi memiliki tempat cuci tangan bagi pegawai, namun fasilitas

cuci tangan tersebut rusak sehingga pegawai mencuci tangan dimana saja,

terutama ditempat pencucian bahan makanan atau tempat pencucian alat. Di

tempat pencucian alat atau bahan makanan tidak ditemukan fasilitas cuci tangan

seperti lap kering untuk mengeringkan tangan. Tidak adanya lap pengering akan

menghambat pegawai untuk mencuci tangan dengan baik, maka tangan yang

digunakan untuk mengolah tidak terjamin bersih dan bebas dari mikroba dan

kotoran yang menempel. Tempat pencucian di Instalasi Gizi tidak dilengkapi

dengan saluran air panas. Idealnya tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci

peralatan maupun bahan makanan dilengkapi dengan air mengalir dan sabun,

saluran pembuangannya tertutup, bak penampung air dan alat pengering.

Sumber air bersih.

Sistem penyediaan air bersih di Instalasi Gizi berasal dari sumur,

sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali

untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya

kontaminasi dari air. Air bersih di Instalasi Gizi cukup untuk seluruh kegiatan

penyelenggaraan makanan. Kualitas air bersih berdasarkan kategori uji fisik dan

kimia sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku,

namun belum memenuhi syarat untuk kategori mikrobiologi. Pemasakan atau

perebusan air yang akan digunakan untuk pengolahan dapat meminimalisasi

atau menghilangkan mikroba yang ada pada air tersebut.

Tempat sampah.

Sarana tempat sampah yang digunakan di Instalasi Gizi kurang

memenuhi syarat. Tempat sampah yang ada di instalasi gizi berjumlah tiga

buah. Berdasarkan hasil pengamatan tempat sampah tidak dipisahkan antara

sampah basah (organic) dan sampah kering (anorganic). Tempat sampah terlihat

agak kotor dan kondisinya tidak tertutup. Kondisi tempat sampah yang terbuka

40

akan mengkontaminasi makanan melalui debu dan kotoran dari tempat sampah

yang terbawa udara. Debu dan kotoran tersebut mengandung mikroba dari

sampah di dalamnya. Menurut Depkes (2000), seharusnya tempat sampah

mempunyai tutup dan dilapisi plastik sehingga mudah dibersihkan dan tidak

mengkontaminasi makanan serta terlindung dari serangga serta hewan lainnya.

Jadwal pembuangan sampah dilakukan setiap hari dan saat tempat sampah

sudah penuh.

Penyelenggaraan Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

Makanan enteral diproduksi oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit diberikan

untuk pasien rawat inap yang tidak dapat mengkonsumsi makanan secara oral

dengan optimal. Penyelenggaraan makanan enteral di instalasi gizi melalui

beberapa tahapan produksi yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut :

1) Perencanaan menu, 2) Pengadaan bahan makanan, 3) Penerimaan bahan

makanan, 4) Penyimpanan bahan makanan, 5) Persiapan dan pengolahan, 6)

Pewadahan, dan 7) Distribusi.

Perencanaan menu.

Perencanaan menu makanan enteral bagi pasien di Rumah Sakit Dustira

tidak dibedakan berdasarkan kelas perawatan, namun berdasarkan kondisi

kesehatan masing-masing pasien. Tatalaksana makanan enteral disesuaikan

dengan kondisi kesehatan dan status gizi pasien. Standar porsi yang diberikan

kepada pasien sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan tiap pasien.

Jenis menu makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira yaitu

untuk pasien dengan penyakit DM dan komplikasinya, ginjal dan komplikasinya,

jantung dan komplikasinya, hati, ODHA, gastritis, pasca operasi, dan stroke.

Perencanaan formulasi menu makanan enteral bagi pasien yang memerlukan

terapi diit khusus, seperti salah satunya diit diabetes mellitus (DM) yang

membedakan hanya penggunaan bahan pangan seperti gula dan susu. Pasien

DM akan diberikan bahan makanan khusus seperti susu dan gula khusus untuk

penyakit DM.

Menu makanan enteral terbagi menjadi dua, meliputi makanan enteral

diet khusus yaitu makanan enteral untuk pasien yang diberikan terapi diit khusus

seperti DM, ginjal, jantung dan lain-lain, serta makanan enteral biasa yaitu

makanan enteral untuk pasien yang tidak diberikan terapi diit khusus seperti

pasien luka bakar dan pasca operasi. Beberapa formulasi makanan cair biasa

dan makanan cair diet khusus disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

41

Tabel 9 Formulasi Menu Makanan Cair Biasa

Bahan Pangan URT Perkiraan Berat Kandungan Zat Gizi (kal)Tepung beras 12 sdm 75 gr 263Telur ayam 1 btr 55 gr 75Putih telur 2 btr 70 gr 100Susu full cream 9 sdm 45 gr 225Gula 7 sdm 90 gr 350Margarine 1.5 sdt 7.5 gr 75Air 1000 ml 1000 ml -Sumber : Resep makanan cair biasa Instalasi Gizi RS Dustira

Tabel 10 Formulasi Menu Makanan Cair Diet Khusus

Bahan Pangan

Jantung (2100 kkal) pemberian @140 ml (10x)

1 ml = 1.5 kal

Ginjal (1250 kkal) pemberian @200 ml (6x)

1 ml = 1 kal

DM (1400 kkal) pemberian @250 ml (6x)

1 ml = 1 kalURT Perkiraan

Berat Kandungan Energi (kkal)

URT Perkiraan Berat

Kandungan Energi (kkal)

URT Perkiraan Berat

Kandungan Energi (kkal)

Tepung beras 24 sdm 150 gr 525 30 sdm 187.5 gr 656 28 sdm 175 gr 613Telur ayam 3 btr 165 gr 300 2 btr 110 gr 150 2 btr 110 gr 150Putih telur 2 btr 70 gr 100 2 btr 70 gr 100 3 btr 105 gr 150Susu 9 sdm 45 gr 225 9 sdm 45 gr 225 12 sdm 60 gr 300Buah 4 ptg bsr 400 200 1 ptg bsr 150 gr 50 - - -Sayur 2 gls 200 50 - - - 1 gls 100 gr 25Gula 7.5 sdm 100 gr 384 2 sdm 26 gr 100 - - -Margarine 5 sdt 25 gr 250 2 sdt 10 gr 100 3 sdt 15 gr 150Air 1400 ml 1400 ml - 1250 ml 1250 ml - 1400 ml 1400 ml -Sumber : Resep makanan cair diet khusus Instalasi Gizi RS Dustira

41

42

Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa formulasi menu makanan enteral

yang ditetapkan oleh Instalasi Gizi disesuaikan dengan kebutuhan gizi masing-

masing pasien. Contohnya pasien dengan diit ginjal yang kebutuhan gizinya

sekitar 1250 kkal, maka pasien akan diberikan makanan enteral dengan volume

± 1250 ml untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Tanra (1998) menyatakan bahwa

salah satu syarat makanan enteral yang harus dipenuhi adalah memiliki

kepadatan kalori yang tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml cairan

dan Hartono (2000) menambahkan, 1 ml makanan enteral umumnya dibuat

setara dengan 1 kalori. Selain itu, ahli gizi juga mempertimbangkan jika asupan

cairan pasien harus dibatasi maka formula 1,5 atau 2 kkal/ml akan diberikan.

Contohnya pada pasien dengan penyakit jantung yang asupan cairannya harus

dibatasi, maka ahli gizi membuat formula sesuai dengan kebutuhan gizi pasien

yaitu 2100 kkal dengan volume cairan sebanyak 1400 ml. Hal tersebut

menunjukkan bahwa setiap 1 ml makanan enteral mengandung 1.5 kkal. Thaha

(1998) mengemukakan bahwa formula standar untuk kebanyakan pasien adalah

1 kkal/ml, namun jika cairan harus dibatasi maka lebih cocok diberikan formula

1.5 atau 2 kkal/ml.

Pengadaan bahan pangan.

Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira melakukan pengadaan bahan pangan

melalui rekanan. Rekanan memasok bahan pangan sesuai dengan kriteria mutu

yang telah dibuat oleh instalasi gizi, baik jumlah, mutu maupun kualitas.

Umumnya setiap penyelenggaraan makanan di rumah sakit selalu menetapkan

kriteria mutu bahan makanan yang dibuat oleh instalasi gizi. Hal ini bertujuan

untuk memperoleh mutu yang baik. Kriteria mutu antara lain segar, utuh, tidak

rusak, wadah/kemasan asli, terdaftar, dan tidak kadaluarsa. Bahan pangan

pembuat makanan enteral seperti sayur dan buah dipasok setiap hari, telur

dipasok setiap tiga hari sekali, sedangkan susu, margarin dan gula dipasok

setiap 15 hari sekali.

Kriteria mutu yang ditetapkan oleh instalasi gizi Rumah Sakit Dustira

adalah kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga dan

belum menunjukkan kualitas bahan makanan yang sebenarnya. Menurut Keister

(1990), spesifikasi tersebut kurang tepat bila digunakan untuk penyelenggaraan

makanan institusi karena tidak mendefinisikan secara lengkap kriteria mutu tiap

bahan makanan, terutama mengenai mutu organoleptik dan ciri fisik. Kriteria

43

mutu yang ditetapkan Instalasi Gizi untuk kelompok bahan makanan pembuat

makanan enteral dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Spesifikasi mutu pada bahan pangan pembuat makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

Bahan makanan Spesifikasi SatuanBeras Tidak berkutu, bersih, tidak ada kerikil KgTelur ayam Segar, kulit bersih, ±15-16 btr/kg, tidak busuk, warna

coklat muda.Kg

Susu Kemasan @400 gram, tidak kadaluarsa, tidak penyok, tidak apek

Dus

Gula Kering, putih, bersih, dalam negeri. Isi @49-50 kg per karung, karung bukan bekas pupuk atau bahan kimia lainnya, local, halus.

Kg

Margarine Berasal dari tumbuhan, murni berkualitas baik, izin depkes, kemasan 200 gr/kemasan

Kg

Papaya Segar, tua, manis, warna merah jingga, tidak busuk, tidak bonyok, bentuk beraturan, minimal 2 kg/buah

Kg

Melon Masak, manis, tua harum, min 2 kg/buah, tidak busuk, tidak bonyok, utuh

Kg

Wortel Segar, muda, bersih, tanpa batang, daun dan akar ±8-10 bh/kg

Kg

Bayam Segar, muda, bersih tidak berakar, batang ± 5 cm, tidak berbulu.

Kg

Labu siam Segar, muda, bersih, tidak berulat KgSumber : Spesifikasi bahan makanan Instalasi Gizi RS Dustira

Tabel 11 menunjukkan kriteria mutu untuk sayur dan buah tidak

mendefinisikan secara lengkap mengenai aspek mutu. Menurut Muchtadi dan

Sugiyono (1992) sayuran yang baik dapat diketahui dengan memperhatikan mutu

organoleptik seperti warna aroma tekstur. Sayuran yang segar akan berwarna

hijau atau orange cerah, tidak ada luka, cacat, atau noda, dan tidak berair.

Instalasi gizi tidak menetapkan spesifikasi untuk tepung beras karena tidak

memesan dari rekanan. Tepung beras yang digunakan oleh Instalasi gizi adalah

tepung beras hasil gilingan dari butiran beras yang dibuat menjadi tepung.

Kriteria umum mutu yang baik untuk bahan pangan disajikan pada Tabel 12.

Penerimaan Bahan Pangan.

Tahap penerimaan bahan pangan adalah suatu proses kegiatan yang

meliputi pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan

pelaporan spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993).

Kegiatan penerimaan bahan pangan dilakukan di ruangan penerimaan oleh

petugas penerimaan yang merangkap sebagai petugas gudang, tidak ada tim

atau bagian khusus yang menangani proses penerimaan. Kondisi yang ideal

adalah menempatkan orang yang memiliki pengetahuan mengenai kualitas

bahan pangan karena kegiatan ini berkaian dengan pemeriksaan kesesuaian

44

Tabel 12 Kriteria umum mutu pada bahan pangan

Bahan makanan Kriteria mutuBeras Warna agak putih dan sedikit mengkilat, butiran-butiran biji beras

tampak utuh dan tidak banyak yang patah, tidak mengeluarkan bau yang tidak wajar, bersih dari berbagai kotoran, seperti debu, ulat atau kutu beras, dan pasir.

Tepung beras Butiran kering, tidak lembab/basah, bersih dari berbagai kotoran seperti kutu/serangga dan kerikil.

Telur ayam Kulit telur masih utuh dan tidak retak, jika dilihat di sinar terang, telur tampak jernih, tenggelam jika dimasukkan ke dalam air, tidak berbunyi jika digoyang-goyang, kuning telur masih bulat dan terletak di tengah-tengah, tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap.

Tepung susu (komersial)

Butiran kering, tidak lembab/basah, aroma khas, tidak ada kutu atau serangga, tidak kadaluarsa, memiliki label dan merk, terdaftar dan mempunyai nomor daftar, kemasan tidak rusak.

Gula pasir Kering, putih, tidak lembab, tidak ada serangga, warna mengkilap, rasa manis

Margarine Kemasan utuh, berisi penuh, tidak ada bagian yang dimakan serangga, tidak kadaluarsa, warna kuning mengkilap, memiliki label dan merk, terdaftar dan mempunyai nomor daftar.

Papaya Warna sesuai warna bawaan, tidak ada warna tambahan, kulit utuh, tidak rusak/busuk, bersih, warna daging merah jingga, beraroma khas, tekstur lunak.

Melon Bentuk bulat, kulit utuh, tidak rusak/cacat, bersih, matang, manisWortel Warna orange cerah, tidak ada noda hitam, bersih, tekstur agak

keras/tidak lunak, tidak berairBayam Warna hijau cerah, tidak ada bagian yang terpotong yang berwarna

coklat, tidak ada yang busuk atau rusak, utuh, tidak layu, tidak berair, bersih, tidak berulat.

Labu siam Warna hijau, tidak ada bagian yang luka/berlubang, bersih, tidak lunak, tidak berulat, tidak berair, segar

Sumber : Muchtadi & Sugiyono (1992), Permenkes (2011)

bahan pangan yang diterima dengan yang dipesan. Kegiatan penerimaan yang

dilakukan berupa pemeriksaan surat jalan yang berisi jenis dan jumlah bahan

yang dipesan, jenis dan jumlah bahan yang dikirim, serta spesifikasi mutu setiap

bahan yang harus dipenuhi.

Peralatan yang tersedia di ruang penerimaan yaitu timbangan.

Timbangan digunakan untuk memeriksa kesesuaian berat bahan makanan yang

dipesan dengan berat bahan makanan yang diterima.

Telur yang diterima, diperiksa secara seksama oleh petugas penerima

bahan pangan dengan aspek yang di lihat yaitu keutuhan telur, kesegaran telur,

dan jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang dilakukan oleh petugas

penerima untuk bahan pangan telur yaitu dengan memeriksa secara seksama

kesegaran telur, bila ada telur yang busuk akan segera di buang dan segera

meminta ganti kepada rekanan. Penerimaan bahan makanan kemasan seperti

susu, gula, dan margarine diterima setiap 15 hari sekali, dan pemeriksaan

45

dilakukan dengan memeriksa label atau kemasan yang digunakan, tanggal

kadaluarsa, keutuhan serta jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang

dilakukan adalah meminta bahan pangan pengganti bila ditemukan bahan

pangan yang tidak layak pakai.

Penerimaan sayuran dan buah-buahan dilakukan dengan cara ditimbang

dan dicatat terlebih dahulu, namun karena tidak ada meja penerimaan sehingga

sayuran dan buah yang telah ditimbang diletakkan di lantai begitu saja.

Pemeriksaan sayur dan buah yang diperhatikan adalah kesesuaian jenis, jumlah

dan berat yang telah dipesan. Kesegaran dan keutuhan sayur dan buah kurang

diperhatikan.

Pemasok bahan makanan tidak memperhatikan suhu dalam alat angkut

maupun wadah yang digunakan saat pengiriman dari tempat pemasok ke

Instalasi Gizi, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan fisiologis yang

ditunjukkan dengan beberapa sayuran yang layu. Sayuran yang layu tidak

dikembalikan kepada pemasok, namun pengendalian mutu yang dilakukan oleh

petugas pada sayuran dilakukan pada saat tahap persiapan yaitu dengan cara

memilih bagian sayuran yang masih segar dan dapat dimakan.

Wadah yang digunakan oleh pemasok hanya berupa plastik. Sebaiknya

wadah yang digunakan dapat menjaga suhu dan keutuhan bahan pangan yang

akan digunakan serta dapat mencegah kontaminasi dari bahan pangan lain

ataupun dari hewan seperti serangga, maupun hama. Tabel 13 menunjukkan

hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan makanan

enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 13, higiene

sanitasi pada tahap penerimaan bahan pangan sudah memenuhi syarat menurut

Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.

Tabel 13 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahanmakanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Penerimaan KisaranNilai*

Nilai Pengamatan

Skor (%)

1. Bahan dan keutuhannya 0 – 5 4 80.02. Tenaga penanggung jawab 0 – 5 5 100.03. Peralatan 0 – 2 2 100.0

Jumlah 12 10 93.3*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

Penyimpanan bahan pangan.

Menurut Mukrie (1990), tujuan penyimpanan adalah mempertahankan

mutu, melindungi bahan makanan, melayani kebutuhan bahan makanan dalam

macam dan jumlah dengan mutu dan waktu yang tepat serta untuk menyediakan

46

persediaan bahan makanan dalam macam, jumlah, dan mutu yang memadai.

Menurut Moehyi (1992), penyimpanan bahan makanan harus dipisahkan

menurut jenisnya. Di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, penyimpanan bahan

makanan untuk membuat makanan enteral tersimpan dalam tiga gudang, yaitu

gudang kering, gudang basah dan gudang harian.

Gudang kering. Beras, tepung beras, gula pasir dan mentega disimpan

di gudang kering. Di gudang kering bahan pangan diletakkan dilantai dan tidak

terdapat rak penyimpanan. Gudang kering juga sering digunakan untuk

menyimpan bahan pangan seperti pisang. Pisang adalah buah yang mudah

busuk karena kadar airnya yang cukup tinggi. Penempatan buah pisang di

gudang kering dapat menimbulkan kontaminasi silang pada bahan pangan kering

lain, seperti tepung-tepungan. Penempatan buah pisang di gudang kering akan

membuat tekstur tepung menjadi lembab. Tepung yang lembab akan mudah

untuk ditumbuhi oleh jamur dan kapang. Selain itu, terdapat banyak kardus-

kardus kosong serta plastik bekas berserakan. Menurut Peraturan Menteri

Kesehatan (2011), ruangan harus bersih dari barang yang tidak berguna, karena

dapat mengundang serangga atau hewan pengerat.

Pemasukan bahan makanan dicatat dan dilaporkan setiap bulan. Gudang

selalu dikunci pada saat tidak ada kegiatan dan dibuka pada waktu-waktu

tertentu. Pegawai yang keluar masuk gudang hanya pegawai yang telah

ditentukan. Pencahayaan di gudang bahan makanan kering cukup terang.

Keadaan lantai cukup bersih, namun terdapat banyak kardus-kardus kosong

serta plastik bekas berserakan.

Gudang basah. Gudang basah digunakan untuk menyimpan bahan

pangan yang tidak tahan lama serta mudah busuk seperti hewani, sayur dan

buah. Gudang basah memiliki tiga jenis tempat penyimpanan yaitu freezer, chiler

dan rak terbuka. Namun untuk bahan pangan pembuat makanan enteral yang

digunakan hanya chiller dan rak terbuka. Sayur dan buah disimpan di chiller

dengan suhu 120C, adapula beberapa buah yang disimpan di rak terbuka. Buah

yang telah dipotong dan disimpan di rak terbuka dikemas dengan menggunakan

plastik wrapping. Selain itu, telur juga disimpan di rak terbuka. Telur disimpan

digudang penyimpanan paling lama 2 hari. Telur akan mengalami kerusakan jika

tidak disimpan pada suhu rendah atau refrigerator, tetapi Syarief dan Halid

(1992) menyatakan bahwa telur yang disimpan pada suhu kamar (25-290C)

47

masih berada dalam kondisi yang baik dan aman dikonsumsi dalam jangka

waktu satu hari.

Gudang harian. Gudang harian merupakan gudang untuk menyimpan

bahan kemasan atau alat makan disposable, makanan diet khusus, dan bahan

makanan kering yang tidak habis pakai seperti susu, agar-agar, tepung maizena,

dan lainnya. Gudang harian berupa lemari kaca tertutup yang terdapat dalam

ruangan komputer. Pengeluaran bahan pangan di gudang harian sudah

menggunakan sistem first in fist out (FIFO). Sistematika penyimpanan dan

penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip FIFO, artinya bahan

makanan yang terlebih dahulu masuk dan yang mendekati masa kadaluarsa

harus keluar lebih dulu dengan penyusunan menurut jenis dan frekuensi

pemakaian (Fardiaz 1999). Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya kode,

tanggal masuk, maupun tanggal kadaluarsa pada bahan yang disimpan, sistem

yang digunakan hanya memindahkan bahan makanan yang lama ke depan dan

menyimpanan bahan makanan yang baru di belakang.

Penyimpanan bahan makanan di lemari penyimpanan gudang harian

sudah perjenis bahan makanan, namun dikarenakan terlalu banyak bahan

makanan yang disimpan dalam lemari sehingga terdapat bahan makanan yang

tertutup atau terhalangi oleh bahan makanan lain yang berbeda jenis, seperti

penempatan susu komersial terhalangi oleh bahan pangan kemasan (tepung

maizena atau coklat bubuk). Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam

sistem FIFO yang mereka gunakan. Lemari penyimpanan berjarak kurang dari 2

cm dari dinding, dan berjarak kurang dari 15 cm dari lantai. Menurut Moehyi

(1992), tinggi rak sebaiknya berjarak 5 cm dari dinding dan minimal 15 cm dari

atas lantai sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik. Hasil

pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan makanan enteral

di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira disajikan pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan

pangan belum memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.

1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 85.0%. Berdasarkan pengamatan di gudang

harian banyak terdapat kardus yang tidak terpakai dan disimpan di bawah meja.

Hal ini dapat menjadi peluang bagi hewan seperti serangga atau hewan pengerat

untuk berkembang biak. Berdasarkan pengamatan terdapat serangga seperti

kecoa dan laba-laba di gudang harian. Menurut Depkes (2002), tempat

48

penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan

bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain.

Tabel 14 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Penyimpanan Kisaran Nilai*

Nilai Pengamatan

Skor (%)

1. Suhu dan waktu penyimpanan 0 – 5 5 100.02. Tempat untuk menyimpan makanan 0 – 2 2 100.03. Pencegahan kontaminasi silang 0 – 5 2 40.04. Fasilitas fisik dan sanitasi 0 – 1 1 100.0

Jumlah 13 11 85.0*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

Persiapan dan pengolahan makanan.

Proses pengolahan makanan enteral terdiri dari proses persiapan dan

pemasakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan yaitu mencuci alat

yang akan digunakan dengan sabun cuci. Menurut Subandriyo (1993), pencucian

dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada. Tahap persiapan lainnya

yaitu menggiling beras dengan alat penggilingan untuk menghasilkan tepung

beras, pencucian dan pemotongan sayur dan buah. Pengamatan menunjukkan

bahwa beberapa sayur tidak dicuci terlebih dahulu sebelum dipotong. Pencucian

sayur dilakukan setelah dipotong dengan menggunakan air mengalir. Hal ini akan

menyebabkan kehilangan sejumlah zat gizi.

Pengamatan pada proses persiapan menunjukkan kemungkinan

terjadinya kontaminasi silang yang berasal dari alat persiapan dan penjamah.

Alat persiapan yang akan digunakan tidak dibersihkan terlebih dahulu, selain itu

alat digunakan secara bergantian untuk berbagai jenis bahan pangan tanpa

dicuci kembali. Kontaminasi silang yang berasal dari penjamah adalah penjamah

tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum persiapan serta tidak

menggunakan sarung tangan. Hal ini akan memungkinkan berpindahnya kotoran

maupun mikroba yang menempel pada tangan berpindah ke bahan pangan atau

timbulnya kontaminasi silang antar bahan makanan dengan perantara tangan

penjamah.

Pembuatan makanan enteral dilakukan satu kali untuk memenuhi

frekuensi pemberian makanan enteral setiap hari, dan dilaksanakan oleh

penjamah makanan cair yang bertugas pada pagi hari.

Tahap pengolahan makanan enteral terdiri dari beberapa tahapan.

Pembuatan makanan enteral biasa di instalasi gizi yaitu dengan telur direbus

hingga matang ± 7 menit pada suhu 100ºC, setelah itu tepung beras di rebus

49

menggunakan air hingga mengental dan menjadi bubur tepung beras.

Selanjutnya semua bahan seperti telur rebus yang telah dikupas, bubur tepung

beras, susu bubuk, gula pasir, dan margarine dimasukkan kedalam blender

kemudian ditambahkan air panas selanjutnya diblender hingga halus. Berbeda

dengan makanan enteral biasa, makanan enteral diet khusus dibuat dengan

beberapa tahapan. Pertama mengukus sayuran ±10 menit kemudian sayuran

yang telah dikukus diblender dengan buah yang telah dipotong selanjutnya

disaring. Kemudian dicampur dengan bahan pangan lainnya seperti telur, susu,

gula, margarine dan tepung beras hingga homogen. Setelah tercampur rata,

dimasak dengan api kecil hingga mendidih. Pemasakan sayuran secara

berulang-ulang dapat menghilangkan kandungan gizinya, terutama vitamin dan

mineral.

Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah menakar bahan pangan

dengan ukuran yang tidak standar atau hanya menggunakan estimasi. Tidak

adanya standar porsi dapat mempengaruhi pemberian makanan yang tidak

sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. Menurut Hardjodisastro, Syam dan

Sukrisman (2006), prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian makan

enteral adalah kebutuhan gizinya harus tercukupi dan sesuai. Hal ini dikarenakan

kurangnya pengawasan terhadap petugas yang melakukan pemasakan makanan

enteral.

Higiene sanitasi penjamah menunjukkan hasil yang belum sesuai dengan

yang dianjurkan, yaitu pada kategori perilaku berbicara atau mengobrol saat

bekerja tanpa menggunakan masker, penggunaan sarung tangan dan periode

pencucian apron. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan

kotoran lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jenie 2000).

Alasan pejamah tidak menggunakan sarung tangan saat pengolahan adalah

tidak nyaman. Tangan pegawai yang telah tercemar mikroorganisme patogen

akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan

dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000). Tabel 15 menunjukkan

hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan

makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 15,

higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan belum memenuhi syarat

menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu

84.0%.

50

Tabel 15 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Persiapan dan Pengolahan makanan

Kisaran Nilai*

Nilai Pengamatan

Skor (%)

1. Peralatan yang digunakan 0 – 5 5 100.02. Pencucian 0 – 5 3 60.03. Pengaturan suhu dan waktu 0 – 5 5 100.04. Tenaga pengolah 0 – 5 3 60.05. Fasilitas fisik dan sanitasi 0 – 1 1 100.0

Jumlah 21 17 84.0*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

Sistem penyediaan air bersih pada Instalasi Gizi berasal dari sumur,

sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali

untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya

kontaminasi dari air. Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011

disajikan pada Tabel 16.

Tabel16 Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011

No

Parameter Metode SatuanHasil

PemeriksaanBatas

MaksimumFisik

1 Bau Organoleptis mg/L Tidak berbau Tidak berbau

2Zat Padat Terlarut (TDS) Elektrometri FAU 220 1500

3 Kekeruhan Tubidimetri skala TCU 6,04 254 Warna spektrofotometri 24 50

Kimia Anorganik5 Besi AAS mg/L 0,50 1,06 Fluorida spektrofotometri mg/L 0,04 1,57 Kesadahan CaCo3 Titrimetri mg/L 63,68 5008 Klorida Titrimetri mg/L 2,98 6009 Mangan AAS mg/L <LD (0,0046) 0,510 Nitrat, sebagai N spektrofotometri mg/L 0,01 1011 Nitrit, sebagai N spektrofotometri mg/L 0,00 1,012 pH Elektrometri - 7,71 6,5-9,013 Sulfat spektrofotometri mg/L 6,41 400

Kimia Organik14 Detergent spektrofotometri mg/L 0,00 0,5

15Zat Organik (KMnO4) Titrimetri mg/L 0,43 10

16 Sisa klor spektrofotometri mm 0,00 0,2-0,5Mikrobiologi

17 Total coliform Tabung ganda MPN/100 ml 350Air pipaan : 10Bukan air pipaan : 50

Hasil pemeriksaan mutu air pada bulan April 2011 di Instalasi Gizi RS

Dustira menunjukkan bahwa air telah memenuhi baku mutu air bersih dari uji fisik

dan kimia sesuai dengan peraturan Depkes, sedangkan hasil uji mikrobiologi

tidak memenuhi baku mutu air bersih Depkes. Hasil pemeriksaan tersebut

menunjukkan adanya mikroba coliform pada air. Pengendalian mutu yang

51

mereka lakukan pada hasil pemeriksaan mikrobiologi adalah dengan merebus air

yang akan digunakan untuk pengolahan hingga dapat meminimalisasi total

coliform yang terkandung dalam air tersebut.

Pewadahan makanan enteral.

Makanan enteral yang telah diolah segera diporsi dan disajikan dalam

wadah yang berupa gelas plastik disposable yang berukuran 200 ml. Pemorsian

makanan enteral biasa dilakukan dengan cara menuangkan langsung kedalam

gelas saji. Sedangkan pemorsian bahan makanan enteral diet khusus diporsi

dengan menggunakan spuit. Berdasarkan pengamatan, makanan enteral yang

sudah diporsi tidak segera di tutup, namun dibiarkan dahulu hingga beberapa

menit untuk menghilangkan uap panas. Setelah uap panasnya hilang, makanan

enteral di bungkus dengan plastik wrap (wrapping).

Berdasarkan hasil pengamatan, higiene sanitasi penjamah menunjukkan

hasil yang belum sesuai dengan yang dianjurkan, yaitu pada kategori kebiasaan,

mengobrol tanpa menggunakan masker dan menggunakan penutup kepala yang

tidak menutup rambut secara keseluruhan. Menurut Jenie (2000), pada saat

berbicara memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran lain dari mulut ke makanan

yang telah siap disajikan, padahal makanan masak merupakan titik rawan,

karena makanan sudah bebas bakteri patogen dan tidak lagi dipanaskan. Tabel

17 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan

makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Tabel 17 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Pewadahan Kisaran Nilai*

Nilai Pengamatan

Skor (%)

1. Keadaan makanan saat penyajian 0 – 5 5 100.0

2. Peralatan penyajian 0 – 2 2 100.03. Tenaga penyaji makanan 0 – 5 3 60.0

Jumlah 12 9 86.7*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

Penggunaan penutup kepala yang tidak menutupi rambut secara

keseluruhan dapat memungkinkan jatuhnya rambut ke makanan. Rambut dapat

membawa mikroorganisme Staphylococcus aureus. Jika rambut rontok atau jatuh

akan mengkontaminasi makanan dan merusak penampilan makanan.

Berdasarkan Tabel 17, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan

belum memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.

1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 86.7%.

52

Pengangkutan (distribusi)

Makanan enteral yang siap disajikan diletakkan dalam baki dan diantar ke

pasien dengan menggunakan trolley tertutup. Keadaan trolley cukup baik, kuat

dan bersih. Jadwal pembersihan trolley dilakukan seminggu sekali. Depkes

(2000) menyatakan pendistribusian dengan menggunakan trolley tertutup serta

peralatan yang dipakai selalu terjaga dapat menghindari pencemaran terhadap

makanan yang disajikan.

Tenaga pendistribusian makanan bekerjasama dengan petugas yang ada

pada masing-masing ruangan. Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah di

bagian pendistribusian berbicara dan mengobrol saat mendistribusikan makanan

enteral ke trolley. Tabel 18 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada

tahap pengangkutan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Berdasarkan Tabel 18, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan

sudah memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.

1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.

Tabel 18 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pengangkutan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

No. Pengangkutan Kisaran Nilai*

Nilai Pengamatan

Skor (%)

1. Wadah atau alat pembawa 0 – 2 2 100.0

2. Kendaraan yang digunakan 0 – 2 2 100.0

3. Tenaga yang membawa makanan 0 – 5 4 80.0

Jumlah 9 8 93.3

*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011

Kualitas Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

Makanan enteral diproduksi satu kali untuk memenuhi frekuensi

pemberian makanan enteral setiap hari. Makanan enteral yang telah diproduksi

pada pagi hari, sebagian akan diporsi dan disajikan kepada pasien dan sisanya

dimasukkan ke dalam refrigerator untuk digunakan pada periode makan

berikutnya. Pada periode makan berikutnya, makanan enteral dipanaskan

terlebih dahulu sebelum disajikan. Menurut Hartono (2000), makanan enteral

yang disimpan dilemari es harus dibiarkan pada suhu ruangan dahulu sebelum

diberikan kepada pasien. Suhu makanan enteral hanya sedikit pengaruhnya atas

molalitas lambung dan tidak mempengaruhi waktu transit. Pemanasan makanan

enteral hingga mencapai suhu tubuh dapat mempermudah pertumbuhan bakteri

mengingat makanan enteral merupakan media kultur yang baik.

53

Salah satu syarat mutu makanan enteral yaitu memiliki kepadatan kalori

yang tinggi. Instalasi gizi membuat formula makanan enteral sesuai dengan

kondisi pasien. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap 1 ml makanan enteral setara

dengan 1 kkal, atau bila ada pembatasan cairan maka setiap 1 ml makanan

enteral setara dengan 1.5 atau 2 kkal.

Makanan enteral yang diproduksi oleh Instalasi Gizi RS Dustira

mengandung komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak,

vitamin, mineral dan trace elements. Hal tersebut dapat dilihat dari bahan pangan

pembuat makanan enteral, antara lain tepung beras, telur, susu, margarin, sayur,

buah. Bahan baku makanan enteral terdiri dari komponen yang siap diabsorpsi

atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat

diabsorpsi seperti tepung beras, telur, gula, margarine, dan susu. Selain itu

bahan baku makanan enteral di Instalasi Gizi tidak ada yang mengandung purin.

Pemeriksaan mutu makanan enteral dilihat dari segi fisik dan

mikrobiologi. Makanan enteral yang diamati adalah makanan enteral biasa dan

makanan enteral diet khusus yang sudah siap disajikan kepada pasien.

Pemeriksaan sampel makanan enteral secara fisik dilakukan dengan cara

menuangkan sampel makanan cair ke tempat yang datar untuk melihat

teksturnya, sedangkan untuk melihat konsistensinya, makanan enteral

dimasukkan melalui sonde dan dilihat kelancaran alirannya.

Pemeriksaan sampel makanan enteral untuk melihat jumlah mikroba

dilakukan di salah satu perusahaan farmasi di Bandung. Selama perjalanan

makanan enteral dari rumah sakit ke laboratorium, sampel makanan enteral yang

diambil kemudian disimpan dalam box yang berisi es batu, menurut FDA (Food

and Drug Admistration) makanan yang akan dianalisa dapat disimpan pada suhu

0-40C tidak lebih dari 36 jam. Pemeriksaan mikroba Salmonella dan Shigella

menggunakan media agar Salmonella – Shigella (SSA), sedangkan untuk

mikroba Escherichia coli menggunakan media agar darah. Data pemeriksaan

makanan enteral di Instalasi Gizi dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Data pemeriksaan makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

Parameter Hasil pemeriksaanFisik Konsistensi encer, tidak terdapat gumpalan.Mikroba patogen

- Salmonella- Shigella- Eschericia coli

Negative (-)Negative (-)Negative (-)

54

Hasil pemeriksaan fisik makanan enteral menunjukkan konsistensi encer,

dan tidak terdapat gumpalan. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan tidak terdapat

mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella dan Escherichia coli pada kedua

sampel makanan enteral yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba patogen <1

atau negatif.

HACCP Plan pada Proses Produksi Makanan enteral

HACCP pada penyelenggaraan makanan enteral di Rumah Sakit Dustira

belum dilaksanakan pada setiap pengendalian mutunya. Namun, pengendalian

mutu yang selama ini dilakukan dapat dikatakan secara tidak langsung telah

menerapkan prinsip-prinsip HACCP, namun penanganannya belum maksimal,

belum secara benar dan tepat menerapkan HACCP sesuai dengan kondisi yang

disyaratkan.

Pada penelitian ini akan dicoba untuk menerapkan konsep HACCP

terhadap keseluruhan tahapan produksi secara umum. HACCP plan dibentuk

dalam tabel yang terdiri dari Critical Control Point (CCP), risiko bahaya, tindakan

pencegahan, batas kritis, prosedur pemantauan, dan tindakan koreksi.

Penerapan HACCP di Rumah Sakit Dustira pada penyelenggaraan makanan

enteral dilakukan mulai dari tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan

bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan,

pengolahan, pewadahan dan pendistribusian makanan enteral ke pasien.

HACCP plan dapat dilihat pada Tabel 20.

Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa CCP pada proses produksi

makanan di Instalasi Gizi ada pada tahap pengolahan. Pada tahap pengolahan,

titik kritis yang harus dikendalikan adalah suhu dan waktu pemasakan. Suhu dan

waktu pemasakan yang tidak tepat dapat memungkinkan pertumbuhan mikroba

thermotrof (mikroba tahan panas). Selain itu, pengendalian juga perlu dilakukan

berkaitan dengan prosedur kerja dan higiene penjamah, terutama tenaga

pengolah. Prosedur kerja yang tidak sesuai dengan Standard Operating

Procedure (SOP) dan higiene penjamah yang kurang baik dapat menimbulkan

kontaminasi silang ke dalam makanan yang diolah.

55

Tabel 20 HACCP pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

CCP Hasil

PengamatanRisikoBahaya

Cara Pengendalian

Batas Kritis Prosedur

Pemantauan TindakanKoreksi

Pengadaan bahan

makanan

Spsesifikasi mutu bahan pangan yang ditetapkan merupakan kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga

Mutu bahan pangan yang dipesan rendah

Spesifikasi mutu bahan pangan lebih lengkap

Spesifikasi mutu setiap bahan pangan kurang jelas

Membuat daftar rekanan yang dapat memberikan jaminan mutu

menolak bahan pangan yang tidak sesuai standar

Pemilihan lebih teliti terhadap pemasok yang dapat memberikan jaminan mutu pangan

Memilih pemasok yang dapat memberikan jaminan mutu

Penerimaan bahan

makanan

Sebagian bahan pangan seperti sayuran yang sudah agak layu tetap diterima

Bahan pangan yang diterima bermutu rendah

Pemantauan mutu bahan pangan sesuai standar yang telah ditetapkan

Bahan pangan yang diterima kadaluarsa, rusak atau busuk

Inspeksi proses penerimaan bahan pangan dan inspeksi label bahan pangan

Dibuang atau tidak digunakan serta meminta penggantian bahan yang sama atau bahan yang bernilai sama

Sortasi

Penyimpan-an bahan makanan

Bahan pangan yang telah diterima langsung di simpan

Kontaminasi fisik (kotoran/jerami, debu, hama)

Pencucian bahan pangan sebelum disimpan

Masih terdapat kotoran pada bahan pangan

Inspeksi hasil pencucian

Dicuci ulang

Bahan pangan tidak ditempatkan sesuai dengan jenisnya, seperti buah pisang ditempatkan di gudang kering bersama dengan tepung-tepungan dan beras.

Kontaminasi silang

Penyimpanan bahan pangan perjenis bahan pangan (gudang basah, kering/harian)

Penyimpan-an bahan pangan tidak disimpan sesuai dengan jenis bahan makanannya sendiri

Pemantauan sistem penyimpanan bahan pangan

Sistem penyimpan-annya ditata ulangdengan memberikan tempat terpisah untuk masing-masing jenis pangan

Rak penyimpanan berjarak <5 cm dari dinding dan <15 cm dari lantai

Menghambat aliran udara dan membuat udara dalam makanan menjadi lembab.

Kondisi gudang penyimpanan harus tertutup, berventilasi baik, sirkulasi udara lancar

Rak penyimpanan kurang dari 5 cm dari dinding dan kurang 15 cm dari lantai, SOP penyimpanan

Pemantauan jarak rak ke dindig maupun ke lantai

Menggeser rak hingga sesuai dengan standar yang berlaku

Sistem FIFO tidak menggunakan pencatatan

Kegagalan dalam sistem FIFO

Dilakukan pencatatan seperti tanggal masuk, tanggal keluar, tanggal kadaluarsa

Pencatatan tidak dilakukan

Pemantauan pencatatan setiap hari

Mencatat ulang barang yang masuk atau keluar gudang penyimpan-an

56

Tabel 20 (lanjutan)

CCP Hasil

PengamatanRisikoBahaya

Cara Pengendalian

Batas Kritis Prosedur

Pemantauan TindakanKoreksi

Penyimpan-an bahan pangan

Di gudang terdapat barang-barang yang tidakdigunakan, seperti dus-dus bekas, dan plastik yang sudah tidak digunakan

Kontaminasi fisik (hama)

Sanitasi gudang penyimpanan secara berkala (setiap hari)

Gudang masih terlihat kotor

Inspeksi kebersihan gudang

Tempat penyimpan-an segera dibersihkan ulang

Bahan pangan disusun secara bertumpuk dan beberapa bahan pangan kemasan tidak ditutup dengan baik

Kontaminasi silang

Kondisi penyimpanan bahan pangan dikemas tertutup, tidak bertumpuk-tumpuk, bebas hama

Kemasan tidak tertutup rapat

Pemantauan kondisi kemasan

Menutup ulang

Persiapan bahan

makanan

Masih terdapat kotoran yang berasal dari bahan baku (bahan pangan)

Kontaminasi fisik (kotoran/jerami, bagian tanaman yang rusak/busuk, hama)

Pencucian, pengupasan, pemotongan bahan pangan

Masih terdapat kotoran/jerami, bagian tanaman yang rusak atau busuk serta hama setelah pencucian

Inspeksi hasil pencucian

Dicuci ulang serta bahan pangan tidak digunakan bila masih ada bagian yang terkon-taminasi

Alat persiapan yang digunakan tidak dibersihkan terlebih dahulu dan alat persiapan yang digunakan secara bergantian untuk berbagai jenis bahan pangan tanpa dicuci terlebih dahulu

Kontaminasi silang (alat persiapan dan penjamah)

Sanitasi alat sebelum dan setelah digunakan

Pencucian alat persiapan dengan air <82⁰C dantidak menggunakan bahan sanitazer

Inspeksi suhu air dan hasil pencucian

Dicuci ulang

Penjamah tidak mencuci tangan saat akan berpindah menangani bahan pangan lain,

Higiene penjamah

Penjamah tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah persiapan serta saat berganti menangani bahan lain, penjamah sakit

Inspeksi cara kerja penjamah

Penjamah tidak diijinkan bekerja jika sakit

57

Tabel 20 (Lanjutan)

CCP Hasil Pengamatan

RisikoBahaya

Cara Pengendalian

Batas Kritis Prosedur

Pemantauan Tindakan Koreksi

Pengolahan bahan

makanan

30% penjamah menggunakan penutup kepala namun tidak menutupi rambut secara keseluruhan

Kontaminasi fisik (rambut)

Penjamah menggunakan atribut kerja

penjamah tidak mengguna-kan penutup kepala hingga menutupi rambut secara keseluruhan

Inspeksi cara kerja penjamah

Penjamah dianjurkan mengguna-kan penutup kepala hingga menutupi rambut secara keseluruhan

Pengolahan bahan pangan tidak dimasak sempurna

Kontaminasi biologi (E. coli, Salmonella, Shigella, Staphylococcus aureus)

Pemasakan Suhu pemasakan <85⁰C waktu proses kurang dari 30 menit

Pemantauan suhu dan waktu pemasakan

Diproses ulang

Beberapa alat yang akan digunakan tidak dicuci terlebih dahulu

Kontaminasi silang (alat persiapan dan penjamah)

Sanitasi alat pengolahan dan ruang pengolahan

Alat tidak dicuci dan tidak didesinfeksi sebelum digunakan

Inspeksi pencucian alat

Dicuci ulang

80% penjamah tidak menggunakan sarung tangan saat memegang bahan pangan seperti buah, penjamah tidak mencuci tangan saat akan berpindah menangani bahan pangan lain,

Higiene penjamah

Penjamah tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah persiapan serta saat berganti menangani bahan lain

Pemeriksaan kesehatan dan kebersihan penjamah

Penjamah dianjurkan mengguna-kan sarung tangan

Pewadahan Pewadahan

Makanan enteral yang telah diporsi bersuhu ±80⁰C

Kontaminasi ulang dari uap air

Makanan enteral didinginkan dahulu sebelum di tutup

Makanan enteral di tutup sebelum uap panasnya hilang

Pemantauan proses dan cara kerja

Di proses ulang

70% penjamah berbicara saat proses pewadahan

Kontaminasi silang (penjamah)

Higiene penjamah

Penjamah mengobrol saat pewadahan, penjamah sakit

Inspeksi cara kerja penjamah

Pengawasan pada saat proses pewadahan dan pengemasan

30% penjamah menggunakan penutup kepala namun tidak menutupi rambut secara keseluruhan

Kontaminasi fisik (rambut)

Penjamah menggunakan atribut kerja

penjamah tidak mengguna-kan penutup kepala hingga menutupi rambut secara keseluruhan

Inspeksi cara kerja penjamah

Penjamah dianjurkan mengguna-kan penutup kepala hingga menutupi rambut secara keseluruhan

58

Tabel 20 (Lanjutan)

CCP Hasil Pengamatan

RisikoBahaya

Cara Pengendalian

Batas Kritis Prosedur

Pemantauan Tindakan Koreksi

Pendistri-busian

Trolley dibersihkan satu minggu sekali

Kontaminasi fisik (debu dan kotoran yang menempel)

Sanitasi alat angkut sebelum digunakan

Alat angkut yang digunakan kotor

Pengontrolan alat angkut

Pembersih-an ulang alat angkut

59

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan

pelatihan mengenai higiene sanitasi. Sebagian besar (90%) penjamah makanan

enteral memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene sanitasi. Perilaku higiene

sanitasi penjamah makanan enteral secara umum kurang baik, hal tersebut

dikarenakan masih terdapatnya perilaku-perilaku penjamah makanan enteral

yang tidak higienis.

Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi sudah memenuhi laik fasilitas

fisik dan sanitasi dan termasuk dalam tingkat mutu Golongan B berdasarkan

persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011

tentang persayaratan higiene sanitasi jasaboga yaitu sebesar 83.6%. Tahap

pengadaan bahan pangan di Instalasi Gizi masih kurang dalam penetapan

spesifikasi mutu. Spesifikasi yang ditetapkan oleh pihak Instalasi gizi masih

merupakan kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga

dan belum menunjukkan kualitas bahan pangan yang sebenarnya.

Tahap penerimaan sudah memenuhi syarat upaya higiene sanitasi

(93.3%) berdasarkan Permenkes no.1096/Menkes/PER/VI/2011. Hasil

pengamatan pada tahap penyimpanan secara keseluruhan pada tiap tempat

masih belum memenuhi syarat (85.0%) terutama pada upaya pencegahan

kontaminasi silang dan sistem FIFO. Hasil pengamatan saat persiapan dan

pengolahan makanan enteral menunjukkan belum memenuhi syarat higiene

sanitasi (84%) berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, terutama

pada higiene personal penjamah yang terlibat, begitu pula upaya higiene sanitasi

pada tahap pewadahan belum memenuhi syarat higiene sanitasi (86.7%). Tahap

pendistribusian sudah memenuhi syarat upaya higiene sanitasi (93.3%).

Secara keseluruhan upaya higiene sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit

Dustira yaitu sebesar 88.5%. Berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/

PER/VI/2011 tentang persyaratan higiene sanitasi jasaboga golongan B

(pelayanan kesehatan) termasuk kategori kurang memenuhi syarat. Titik kendali

kritis (CCP) pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira

yaitu pada tahap pengolahan dan risiko bahaya yang harus dikendalikan adalah

kontaminasi fisik (rambut), biologi (salmonella, shigella, e.coli) dan kontaminasi

silang (alat dan penjamah).

60

Saran

Pengawasan personal higiene pada penjamah yang terlibat dalam tahap

produksi harus diperhatikan. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara

koordinator setiap unit mendampingi dan memberikan arahan pada penjamah

makanan saat produksi berlangsung. Pencegahan kontaminasi silang di gudang

penyimpanan harus lebih ditingkatkan. Selain itu, sistem FIFO yang diterapkan

sebaiknya dilengkapi dengan pencatatan tanggal masuk dan tanggal keluar

setiap bahan pangan. Sebaiknya penerapan HACCP dilakukan oleh Instalasi Gizi

RS Dustira sebagai suatu alat pengawasan, pengendalian dan prosedur

pengaturan untuk menjaga makanan tidak tercemar sebelum disajikan.

61

DAFTAR PUSTAKA

Afrienti. 2002. Higiene Sanitasi Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Jiwa Pekanbaru dan Rumah Sakit Jiwa Ibnu Sina Pekanbaru [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB, Bogor.

Anom A. 2001. Penerapan Sistem HACCP pada Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit, Buletin Bina Dinkes edisi no 40.

Anwar H., et al. 1986. Sanitasi Makanan dan Minuman pada Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi. Jakarta : Depkes RI.

Ariesman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. BPOM. Jakarta.

Depkes RI. 1996. Modul Pelatihan Penyehatan Makanan dan Minuman bagi Petugas Puskesmas. Jakarta : Depkes RI.

_________. 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

_________. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

[FAO] Food and Drug Admistration. 1997. Basic Texts on Food Hygiene. Rome, Italy.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Makanan Jilid 1. Jakarta : Gramedia.

_______. 1994. Pengendalian Keamanan dan Penerapan HACCP dalam Perusahaan Jasa Boga. Bulletin Teknologi dan Industri Pangan. 5(3). 71-78.

Fardiaz D. 1999. Praktek Pengolahan Pangan yang Baik. Di dalam : Hardinsyah dan Rimbawan, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta : PAPTI, PERGIZI Pangan, PDGMI, Persagi, dan proyek CHN III komponen dikti.

Gaman P.,& Sherrington 1993. Pengantar Ilmu Pangan, Makanan dan Mikrobiologi. Yogyakarta : Gajah Mada Universy Press.

Gaston G. 1999. Cleaning And Disinfecting System. Di dalam N. Chesworth, editor. Food Hygiene Auditing. Maryland : Aspen Publication.

Gunarsa S. & Y.S. Gunarsa. 1991. Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga. Bpk Gunung Mulia, Jakarta.

Hardjodisastro, D., Syam AF, Sukrisman L. 2006. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.

62

Hardinsyah & Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI.

Hariyadi P. 2007. Pangan dan Daya Saing Bangsa. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi, editor. Upaya Peningkatan Kemanan, Mutu, dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Seafast Center IPB. Bogor.

Hartono. 2000. Asuhan Makanan Rumah Sakit. Yogyakarta : Buku Kedokteran EGC.

Hartono A., & W. Palupi. 2006. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC,

Hill G.L, 2000. Makanan Enteral. Di dalam Darmawan, editor. Buku Ajar Makanan Bedah. Jakarta : Gramedia.

Jenie B.S.L. 1995. Sanitasi dalam Industri Jasa Boga. Laporan Akhir Kursus Mikrobiologi Makanan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.

__________. 2000. Sanitasi dan Higiene pada Pengolahan Pangan. Di dalam Hardinsyah dan Rimbawan, editor. Analisis Bahaya dan Pencegahan Keracunan Pangan. Jakarta : PAPTI, PERGIZI Pangan, PDGMI, Persagi, dan proyek CHN III komponen dikti.

Keitser D.C. 1990. Food and Beverage Control (2nd ed). USA : Prentice hall.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.

Kurnia N. 2005. Nutrisi. www.husada.co.id [9 September 2011]

Marriot N.G. 1999. Principle of Food Sanitation : 4 th edition. Maryland : Aspen Publication.

Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi Jasa Boga. Jakarta : Bharatara.

________. 1999. Pengaruh Makanan dan Diet untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Gramedia.

Muchtadi T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Mukrie N.A., A.B. Ginting, I. Ngadiarti, A. Hendrorini, N. Budiarti, & Tugiman.1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Notoatmodjo S. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rieka cipta.

63

[Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga.

Purnawijayanti H.A. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta : Kanisius.

Sambas E. S. 1991. Manajemen Makanan dan Gizi Institusi. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Siagian C. M. 1998. Dukungan Nutrisi Enteral dan Sistem Imun Saluran Cerna, dalam Daldiyono dan Thaha A.R., Kapita Selekta Makanan Klinik, Perhimpunan Makanan Enteral dan Parentral Indonesia (PERNEPARI), Jakarta.

Silberman H & D. Eisenberg. 1982. Parenteral and Enteral Nutrition for The Hospitalized Patient. USA : Prentice Hall. Inc.

Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI press.

Subandriyo V.U. 1993. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit [Diktat]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. IPB. Bogor.

_________. 1994. Sanitasi dan Keselamatan Kerja pada Usaha Jasa Boga. [Diktat]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. IPB. Bogor.

Sugiyono. 2009. Statistika untuk penelitian. Bandung : CV. Alfabeta

Supardi I. & Sukamto. 1998. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Cimahi : Alumni.

Syarief R & H. Halid. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Tanra A. H. 1998. Dasar-dasar Makanan Enteral, dalam Daldiyono dan Thaha A.R., Kapita Selekta Makanan Klinik, Perhimpunan Makanan Enteral dan Parentral Indonesia (PERNEPARI), Jakarta.

Thaha, A. R. 1998. Aspek Gizi Nutrisi Enteral, dalam Daldiyono dan Thaha A.R., Kapita Selekta Makanan Klinik, Perhimpunan Makanan Enteral dan Parentral Indonesia (PERNEPARI), Jakarta.

Thaheer, H. 2008. Sistem Manajemen HACCP. Bogor : Bumi Aksara.

Winarno, F.G. & Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor : M-Brio.

Wirakusumah, E.S. 1999. Pengendalian Mutu dan Keamanan Makanan Massal.Makalah Disajikan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan bagi Staf pengajar, Bogor.

64

LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

KARUMKIT

WAKARUMKIT

KA INSTALASI GIZI

PELAKSANA ADMINISTRASI

KEPALA UNIT LITBANG

KEPALA UNIT GIZI WATLAN

KEPALA UNIT GIZI WATNAP

KEPALA UNIT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI MAKANAN

KABAG PRODUKSI DAN DISTRIBUSI MAKANAN

PELAKSANA PENGOLAH MAKANAN

KABAG GUDANG MAKANAN

PELAKSANA GUDANG

KABAG GIZI WATNAP

PENYAJI

65

66

Lampiran 2 Denah Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

Keterangan :

A = R. Penerimaan G = Gudang harian N = Loker karyawanB = Gudang basah H = Dapur susu O = R. Kepala Instalasi GiziC = R. Pengolahan I = R. Pengolahan makanan cair P = R. Pengolahan makanan karyawanD = R. Distribusi J = Toilet Q = R. Pengolahan nasiE = Tempat pencucian K = Tempat sampah R = R. PeralatanF = R. Persiapan M = Gudang kering

67

Proses Penerimaan

Gudang Basah Gudang Kering Gudang Harian

Proses Penyimpanan

Proses Persiapan

Lampiran 3 Dokumentasi penelitian

Lampiran 3 (Lanjutan)

Proses Pengolahan

Proses Pewadahan

Proses Pendistribusian Makanan Enteral

68