pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual...
TRANSCRIPT
i
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN
SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF
TASAWUF
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd)
Oleh:
NOVIA HANDAYANI
NIM: 111-12-057
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
Segala sesuatu ada zakatnya (penyuciannya), sedangkan zakat jiwa adalah
berpuasa. Dan berpuasa merupakan separuh kesabaran.
(HR. IbnuMajjah)
ائمون وهو موعود بلقاء هللا تعالى فى يان ليدخله ال الص للجنة باب يقال له الر
جزاء صومه
Di surga ada pintu bernama Rayyan . Hanya orang-orang yang berpuasa saja
yang dapat masuk pintu itu. Selain orang yang berpuasa tidak ada yang dapat
memasukinya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
vii
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku Moh Batal Aidi dan Umi Hanik yang tidak pernah lelah
memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga saat ini penulis dapat
merasakan kesempatan mengenyam pendidikan yang tidak bias dirasakan
semua orang, penulis persembahkan skripsi ini sebagai bukti ketulusan dan
bakti penulis.
2. Kakek nenekku Damsuri Jamal dan Siti Romlah yang tak henti hentinya
mengirimkan doa untuk penulis, serta adik-adikku Selma Aulia dan
Muhammad Hildan R yang selalu memberikan doa, semangat, dan tawa
kebahagiaan dalam mengarungi perjalanan hidup.
3. Akhi Ikhsan Dany F yang senantiasa memberikan support, doa serta bantuan
dalam bentuk apapun.
4. Sahabat kampusku Eryn Febriana, Ika Tyas Andini, Fajri Rahmatul, Nur
Latifah, Risky Septia, yang telah setia menemani dan menjalin persahabatan
yang utuh.
5. Teman-temanku pendidik di MINU Siti Hajar yang selalu memberikan
semangat , motivasi dan doa, serta ustadh Zafir dan ustadhah Evi yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencari pengalaman dalam
mengabdi di MINU Siti Hajar.
6. Teman-temanku PAI B banyak kenangan yang kita lalui bersama dalam
keadaan suka maupun duka.
viii
7. Dan semua yang telah hadir dalam hidupku yang senantiasa mengajarkanku
bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik dan telah memberikan lukisan
indah di setiap hari-hariku serta memberikan dukungan serta motivasinya
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di
dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung
Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga
zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di hari
kiamat kelak. Puji syukur penulis panjatkan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN NILAI-
NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA
PERSPEKTIF TASAWUF.”
Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah
penulis lalui dengan baik. Tidak aka penggambaran lain yang dapat penulis
utarakan selain ucapan syukur yang tiada tara kepada Allah SWT kerena hanya
atas ridho dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan ikhlas
kepada:
1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Bapak Dr. Rahmat
Hariyadi, M.Pd.
2. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Bapak Suwardi, M.Pd.
3. Ketua Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Rukhayati, M.Ag.
4. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd selaku dosen pembimbing akademik.
x
5. Dosen pembimbing Bapak Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd, selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya
serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluargaku yang telah mencurahkan pengorbanan dan doa restu yang tiada
henti bagi keberhasilan studi penulis.
8. Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam
penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulishanya bias berdoa, semoga amal dan kebaikan semua
pihak dapat diterima oleh Allah sebagai amal sholeh dan mendapatkan balasan
sebaik-baiknya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini melainkan Dia yang Maha
Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak
untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap
semoga tulisan ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis khusunya dan
bagi pembaca umumnya.
Salatiga, 26 September 2016
Penulis
NoviaHandayani
NIM. 111-12-057
xi
ABSTRAK
Handayani, Novia. 2016. Pengembangan Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual dalam
Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.Pembimbing: Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd.
Kata kunci:Nilai, Kecerdasan Spiritual, Puasa, dan Tasawuf
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan nilai-nilai kecerdasan
spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf. Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah konsep kecerdasan
spiritual?, 2) Bagaimanakah konsep puasa perspektif tasawuf?, 3) Bagaimanakan
pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf?
Penelitianinimenggunakanmetodelibrary research ya itu penelitian dimana objek
penelitiannya digali dengan cara membaca, memahami serta menelaah buku-buku,
kitab-kitab tafsir serta sumber-sumber yang berkenaan dengan permasalahan yang
ada. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi,
yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa buku, catatan, surat
kabar, note tulen, agenda dan lain-lain. Sedangkan analisis datanya menggunakan
metode deskriptif dan metode induktif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk
memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-
langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan
memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah. Kecerdasan
spiritual merupakan kecerdasan ruhani, maka takwa adalah efek dari kecerdasan
ruhani itu. Untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dapat dilakukan dengan
melaksanakan ibadah salah satunya adalah puasa. Akan tetapi puasa yang dapat
menumbuhkan kecerdasan spiritual bukan hanya puasa yang sekedar dilakukan
oleh fisik manusia hanya dengan menahan makan, minum dan hubungan
sekdalam waktu yang ditentukan (makna Fiqih), namun lebih dari itu puasa yang
dapat menumbuhkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang melibatkan hati, dan
menjaga segala nafsu yang mengajak kepada kemaksiatan dan dianggap batal
puasanya apabila sedikit saja hati lalai kepada Allah (makna Tasawuf).
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………...... i
HALAMAN BERLOGO …………………………………………………... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….. iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN…………………………..... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………………….. v
MOTTO …………………………………………………………………...... vi
PERSEMBAHAN…………………………………………………………... vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………... ix
ABSTRAK ………………………………………………………………….. xi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 12
D. Manfaat Penelitian 12
xiii
E. Definisi Operasional 13
F. Metode Penelitian 15
G. Sistematika Penelitian 18
BAB II KECERDASAN SPIRITUAL
A. Kecerdasan Spiritual 20
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual 20
2. Indikator Kecerdasan Spiritual 22
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual 27
4. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual 30
5. Manfaat Kecerdasan Spiritual 39
BAB III IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF
A. Ibadah Puasa 40
1. Pengertian Ibadah 40
2. Macam-macam Ibadah 41
3. Tujuan Ibadah 43
4. Pengertian Puasa 44
a. Puasa dalam Aspek Fiqih 44
b. Puasa dalam Aspek Tasawuf 47
B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf 54
C. Dimensi Puasa 56
1. Dimensi Spiritual 56
xiv
2. Dimensi Moral 59
3. Dimensi Sosial 60
4. Dimensi Jasmani 61
D. Syarat, Rukun, Sunah, Dan Hal yang Membatalkan Puasa dalam Aspek
Fiqih 63
1. Syarat Puasa 63
2. Rukun Puasa 64
3. Sunah Puasa 66
4. Hal yang Membatalkan 68
E. Macam-macam Puasa 69
F. Hikmah dan Rahasia Puasa 72
BAB IV PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL
DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF
A. Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Puasa 76
B. Indikator Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf 82
1. Memiliki Visi 83
2. Autentik 84
3. Memiliki Kesadaran yang Tinggi 85
4. Merasakan Kehadiran Allah 88
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia
tanpa kebencian 90
6. Memiliki Kualitas Sabar 92
7. Berdzikir dan Berdoa 94
xv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 98
1. Konsep Kecerdasan Spiritual 98
2. Konsep Puasa Perspektif Tasawuf 99
3. Pengembangan Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif
Tasawuf 99
B. Saran-saran 100
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Daftar Riwayat Hidup
2. Daftar SKK
3. Nota Pembimbing Skripsi
4. Lembar Konsultasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia yang diciptakan Allah dengan bekal berupa
potensi. Potensi inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk
lain. Allah memberikan potensi kepada manusia meliputi beberapa
kategori, diantaranya adalah potensi yang berkaitan dengan kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ),
dan kecerdasan emosional spiritual (ESQ). Potensi berupa kecerdasan
intelektual inilah yang menjadikan manusia memahami akan suatu ilmu
pengetahuan, atau singkatnya kecerdasan intelektual adalah kecerdasan
yang berkaitan dengan aspek kognitif.
Adapun kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkaitan
dengan emosi manusia seperti inisiatif, ketangguhan, optimisme dan
kemampuan beradaptasi. Kecerdasan inilah yang menjadi bekal seseorang
dalam menjalin hubungan dengan manusia yang lain seperti misalnya
dalam hal pekerjaan. Kemudian makna kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang berkaitan erat antara hubungan manusia dengan Tuhan,
atau singkatnya kecerdasan yang berkaitan dengan perjalanan rohani
manusia. Sedangkan kecerdasan emosional spiritual adalah penggabungan
antara kecerdasan emosi dan kecerdasan rohani manusia. Toto Tasmara
(2001:5) menyebut kecerdasan spiritual dengan kecerdasan ruhaniah.
Beliau menjelaskan bahwasanya kunci dari kecerdasan ruhaniah berada
2
pada hati nurani. Kemudian mampu menanggapi bisikan nurani kita
tersebut dengan memberdayakan dan mengarahkan seluruh potensi qalbu.
Tentu saja tidak cukup hanya dengan mendengarkan hati nurani, tetapi
adalah menyatakan bisikan tersebut dengan keyakinan. Karena, nurani
tidak bisa kita bohongi, kecuali kita menyaksikan hati yang terasa pedih
bertambah sakit karena sikap penghianatan yang kita lakukan. Seorang
yang cerdas ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung jawabnya
dengan terus-menerus berorientasi pada kebajikan. Kecerdasan ruhaniah
sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip lalu
bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan
tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang
berkesuaian. Mereka yang cenderung memiliki kecerdasan spiritual rendah
akan cenderung mudah putus asa, tidak bersemangat, dan akhirnya akan
mengahiri keputus asaan tersebut dengan cara yang instan, tanpa lebih
jauh berfikir tentang akibat dari perbuatannya tersebut.
Dari beberapa kecerdasan yang telah dijelaskan diatas sedikit akan
diuraikan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
potensi spiritualitas diantaranya dengan menjalankan prinsip rukun Islam
kelima prinsip tersebut merupakan landasan atau jalan manusia dalam
mendekatkan diri kepada Allah. Rukun Islam ini mencakup 5 aspek ibadah
yakni Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Adapun hadits yang
berkaitan dengan kelima rukun Islam tersebut adalah sebagai berikut:
3
قج ث صل :ثل صي ػي هللا صو ههللا شذص هسص ث هللا لثى ث
هللا ه سص ذث ح ص ق صص ثىزمجر صؤص لر ثىص صحج عج س
ش ثصثىذ صذلث ضطؼشثى
Artinya: Rosulullah bersabda “Islam adalah menyaksikan bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah
dan sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh Allah dan
melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melakukan
puasa pada bulan Ramadhan serta berhaji ke Baitullah jika
mampu menuju jalannya (HR Bukhari Muslim).”
Berkaitan dengan hadits diatas jelas bahwa disebut sebagai orang
Islam apabila sudah membaiat diri untuk menyembah Allah dan tidak
menyekutukanNya, serta mempercayai Rosul Muhammad sebagai
utusanNya (syahadat). Kemudian menunaikan shalat, dalam hal ini shalat
yang termasuk dalam hadits diatas adalah shalat 5 waktu atau shalat
maktubah yakni (isya‟, subuh, dhuhur, asar dan maghrib) dan hukumnya
adalah wajib bagi setiap hamba Allah yang telah bersyahadat dan baligh.
Sedangkan untuk menyempurnakan pahalanya seseorang dapat
melaksanakan shalat-shalat sunah seperti shalat tahajud, shalat duha, shalat
witir, shalat hajat dll.
Selanjutnya adalah zakat, zakat berarti memberikan sebagian harta
yang kita miliki untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya,
dengan tujuan untuk mengajarkan diri kita peduli terhadap sesama karena
pada dasarnya harta yang diberikan oleh Allah terdapat sedikit bagian
untuk yang lain. Dan jika tidak dikeluarkan akan menjadi penyakit untuk
diri seorang hamba.
4
Kemudian yang keempat adalah puasa, puasa pada hakekatnya
adalah ibadah yang amat tinggi kedudukannya di sisi Allah, karena ibadah
ini merupakan penerapan sifat ihsan seorang hamba. Kemudian rukun
Islam yang terakhir adalah menunaikan haji, dan rukun Islam yang kelima
ini diwajibkan bagi hamba yang mampu. Apabila kelima aspek ibadah
tersebut telah dijalankan dengan sempurna dalam artian tidak lain hanya
untuk mencari keridhoan Allah serta dijalankan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan, syarat dan rukun yang menjadi batasan maka akan
tampak pada diri seorang hamba kedekatan dengan Tuhannya.
Sejalan dengan eksistensi manusia yang diciptakan oleh Allah swt.
tak lain adalah untuk mengabdikan diri atau beribadah kepada Allah Swt.
sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 56 :
ج خيقش شٱىج ٱل ىؼذذ ()إل
Artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”
Dari ayat diatas dijelaskan bahwasanya manusia hukumnya wajib
untuk mengabdi kepada Allah dengan menjalankan apa yang
diperintahkan Allah serta menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya.
Keterangan tersebut diperkuat dengan QS. Al-Imron ayat 104 yang
berbunyi:
ىضن إى زذػ أ ن ش دٱىخ ش ؤ ؼشف ٱى ػ نش ٱى
تل ى أ فيح ()ٱى
5
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yangmenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” Sedangkan jalan yang dapat dilakukan sebagai bukti pengabdian
diri kepada Allah Swt. adalah dengan melaksanakan salah satu rukun
Islam yang telah diuraikan diatas, diantaranya adalah ibadah puasa,
sebagaimana dijelaskan diatas puasa merupakan ibadah yang sifatnya
rahasia. Sebagaimana Husein Bahreisj (1992:206) menjelaskan bahwa
puasa merupakan satu rahasia pribadi antara hamba dengan Tuhannya.
Kembali mengacu pada pengertian sebelumnya bahwa kecerdasan spiritual
berhubungan dengan perjalanan rohani manusia. Adapun pengembangan
kecerdasan ini dapat dilakukan dengan media satu diantaranya adalah
puasa. Karena puasa merupakan bagian dari ibadah yang dapat
menghubungkan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apabila seseorang
itu berpuasa dengan sebenar-benarnya maka ia akan mendapatkan
petunjuk Allah akibat taat yang dialaksanakan. Dalam puasa itu tidak
diperlukan seorang pengawas, sebab puasa kaitannya dengan sifat ihsan.
Rosulullah bersabda yang artinya: ”ihsan adalah engkau beribadah
kepada Allah seolah-lah engkau melihat-Nya jika engkau tidak dapat
melihat-Nya maka rasakan bahawa Allah melihatmu”.
Dalam tarjamah kitab Ihya‟ Ulumuddin karangan imam Al-Ghazali
(1982:85) menerangkan bahwa ibadah puasa mendapat keistimewaan
dengan kekhususan nisbat kepada Allah ta‟ala dari seluruh rukun-rukun
6
Islam karena Allah Ta‟ala telah berfirman dalam apa yang diceritakan oleh
Nabi saw:
ثجثجز ى فج ج ثىص آةزظؼفثل غجىجثىصذؼ حضزدؼششث مو
د
Yang artinya: “Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai
tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa
itu untuk-Ku dan aku membalasnya” (H.R Al Bukhari
Muslim).
Allah menyempurnakan pahala orang yang berpuasa secara
sempurna dan membalasnya dengan balasan yang tak terkira, maka tidak
masuk dibawah dugaan dan perkiraan. Dan pantas dengan keadaan
demikian itu karena puasa hanya untuk-Nya dan dimuliakan dengan
penisbatan kepada-Nya meskipun seluruh ibadah itu baginya, sebagaimana
dimuliakan Baitullah (Ka‟bah) dengan menisbatkan kepada diriNya.
Sedangkan seluruh bumi ini milikNya karena dua makna yaitu (Al-
Gozhali, 1982:89):
1. Bahwasanya puasa itu mencegah dan meninggalkan. Puasa itu sendiri
rahasia yang padanya tidak ada amal yang dipersaksikan. Seluruh amal
dan ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan puasa
hanya dilihat oleh Allah Swt, karena puasa itu amal didalam batin
dengan semata-mata kesabaran.
2. Bahwasannya puasa itu memaksa musuh Allah Swt. karena
perantaraan syaitan, semoga mendapat kutukan Allah adalah syahwat.
Syahwat itu hanyalah makan dan minum sebagaimana sabda rosul
7
yang artinya : “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam
(manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalanya dengan
lapar”.
Dan akan datang keutamaan lapar didalam kitab “Rakus terhadap
makanan dan pengobatannya” dari Rubu‟ muhlikat (hal-hal yang
membinasakan amal) sebagaimana telah dikutip oleh Ismail dalam
tarjamah Imam al-Ghozali (1982:90). Ketika puasa secara khusus itu
mencegah Syaitan dan menutup jalan-jalan yang ditempuhnya dan
menyempitkan tempat-tempat jalannya, maka puasa itu berhak mendapat
kekhususan dengan dinisbatkan kepada Allah Swt. Syahwat merupakan
tempat permainan syaitan, maka selama syahwat itu subur maka kerugian
mereka tidak akan pernah terputus, dan selama mereka ragu-ragu maka
tidak terbuka bagi hamba itu akan kekuasaan Allah Swt dan ia terhalang
dari bertemu denganNya.
Dari segi ini, puasa merupakan pintu ibadah dan perisai.
Dijelaskan oleh Nasruddin Razak (1996:206) bahwa puasa yang dilakukan
dengan sebenar-benarnya puasa adalah suatu latihan mental dan fisik
mendidik manusia berakhlak mulia, menciptakan insan berwatak, dengan
demikian menciptakan kesehatan rohani. Dari buku fiqih karangan
Wahbah al-Zuhayly (1996:84-85) menjelaskan pengertian puasa secara
syara‟, bahawasannya puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang-orang yang
bersangkutan pada siang hari mulai terbit fajar sampai terbenamnya
8
matahari. Yang berarti secara fiqih puasa diartikan secara praktik saja
dengan memperhatiakn rukun, syarat, sunah dan hal-hal yang perlu
diperhatikan supaya puasa tidak batal.
Sedangkan kaitannya dengan tasawuf imam Al-Gazhali (1982:98)
membagi tingkatan puasa menjadi tiga yakni puasa umum, puasa khusus
dan puasa khususul khusus. Adapun pengertian puasa umum adalah
menahan perut dan kemaluan dari menunaikan kebutuhan sebagaimana hal
ini berkaitan dengan fiqih. Adapun puasa khusus adalah menahan
pandangan penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan
dari dosa-dosa. Adapun puasa khususul khusus adalah puasa hati dari cita-
cita yang rendah dan fikiran-fikiran duniawi, dan mencegah hati dari apa
yang selain Allah Swt. secara keseluruhan, puasa inilah tingkat para nabi,
shiddiqqien dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
Jika diringkas pengertian puasa secara tasawuf berarti puasa yang
dapat mengarahkan hati seseorang menuju Allah, serta pensucian batin
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak ada lagi baginya dunia
yang menarik selain untuk beribadah mencari ridho dari Allah Swt. Jadi
secara fiqih puasa berorientasi kepada praktek fisik dan secara tasawuf
puasa berorientasi pada pensucian batin dari segala sesuatu yang mengarah
pada selain Allah. Allah pun berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 183
tentang ibadah puasa, yang bunyinya:
ؤج مضٱىز ث ءث ن خػي ج جمضخػيٱىص م ٱىز ىؼين قذين
(٨)صضق
9
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”
Dari ayat diatas nampak jelas bahwa ibadah puasa merupakan
salah satu ibadah yang diwajibkan oleh Allah untuk hambaNya dengan
tujuan bagi seorang hamba untuk dapat mencapai derajat ketaqwaan.
Nasruddin Razak (1996:204) menjelaskan bahwa taqwa adalah suatu sikap
mental yang tumbuh atas dasar jiwa tauhid dan berkembang dengan
ibadah-ibadah yang dilakukan kepada Allah Swt. jadi taqwa adalah buah
dari ibadah. Akan tetapi derajat ketaqwaan dapat diperoleh seorang hamba
apabila seseorang yang menjalankan puasa dengan memperhatikan hal-hal
yang menjadikan sempurna puasanya serta menjauhkan diri dari hal-hal
yang sifatnya makruh bahkan haram dilakukan ketika puasa. Sehingga
dengan puasa yang sempurna, seseorang akan dapat mencapai derajat
ketakwaan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
ؤج ٱىجس إ ث قذجةوىضؼجسف شؼدج ن جؼي أغ رمش ن خيق إج
ػذ ن أمش ٱلل إ ن أصقى خذشٱلل ()ػي
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat di atas merupakan ayat yang menjelaskan bahwa setiap
manusia berkedudukan sama akan tetapi yang membedakan satu dengan
yang lain adalah ketaqwaannya. Membahas mengenai ketaqwaan
10
sesungguhnya tidak ada indikasi yang dapat membedakan ciri-ciri orang
yang bertaqwa dan tidak, karena yang dapat menilai hanyalah Allah Swt.
Karena nilai ketaqwaan letaknya adalah di dalam hati manusia, kemudian
di tunjukkan melalui sikap ibadah yang dikerjakan. Melalui ketaqwaan
inilah orang akan sadar terhadap kebutuhan manusia yang harus imbang
antara kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Kebutuhan fisik dengan
cara mengatur porsi makan, minum, juga terpenuhinya perihal sandang
dan tempat tinggal. Sedangkan berkaitan dengan rohani yang bisa
dilakukan adalah dengan menjalankan ibadah-ibadah yang sifatnya
mahdoh maupun ghoiru mahdoh.
Melalui firman Allah tentang puasa di atas maka ibadah puasa
merupakan salah satu cara menumbuhkan ketaqwaan atau istilah dalam
pendidikan umumnya adalah kecerdasan spiritual. Karena mengacu pada
pengertian sebelumnya yang menyatakan kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang berkaitan dengan perjalanan rohani seorang hamba
menuju Tuhannya. Dalam hal ini ketaqwaan merupakan sifat rohani
seorang hamba yang ditunjukkan dengan perilaku ibadah yang dikerjakan.
Berkaitan dengan penjelasan diatas mengenai puasa, sebenarnya
puasa merupakan ibadah yang amat mudah untuk dikerjakan, kemudian
dengan puasa akan banyak diperoleh hikmah/manfaat. Bahkan ibadah
puasa tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja akan tetapi beberapa
umat non muslim juga mengerjakan puasa meskipun orientasi mereka
berbeda dengan umat muslim pada umumnya. Dengan berpuasa orang
11
tidak membutuhkan modal untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
namun banyak juga orang muslim yang enggan melaksanakan puasa
karena beberapa alasan. Mungkin hal itu terjadi karena mereka kurang
mengetahui rahasia/hikmah/faedah dibalik ibadah puasa yang amat luar
biasa. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hikmah ibadah puasa yang kaitannya dengan kecerdasan
spiritual dengan mengacu pada ilmu tasawuf, kemudian mengkaji kedua
aspek tersebut yaitu kecerdasan spiritual dan puasa prespektif tasawuf
secara kritis dan obyektif dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Untuk
itu penulis membuat skripsi dengan judul : ” PENGEMBANGAN
NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH
PUASA PERSPEKTIF TASAWUF.”
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan akan dikaji
melalui penelitian ini. Beberapa masalah itu adalah:
1. Bagaimanakah konsep kecerdasan spiritual?
2. Bagaimana kosep puasa perspektif tasawuf?
3. Bagaimanakah pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah
puasa perspektif tasawuf?
12
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji, maka peneliti
memiliki tujuan antara lain adalah:
1. Untuk mengetahui konsep kecerdasan spiritual.
2. Untuk mengetahui konsep puasa perspektif tasawuf.
3. Untuk mengetahui pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah
puasa perspektif tasawuf.
D. Manfaat Penelitian
Setiap pengkajian suatu ilmu pengetahuan diharapkan dapat
memberikan informasi baru yang mengandung beberapa manfaat, manfaat
bagi yang meneliti maupun khalayak umum. Dalam skripsi ini diharapkan
dapat menghasilkan beberapa manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis, adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritik
Secara teoritis dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan sumbangan berupa wawasan ilmu pengetahuan Islam
khususnya dalam ilmu fiqih dan tasawuf.
b. Dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang kecerdasan
spiritual secara mendalam.
c. Untuk memberikan masukan terutama kepada setiap diri manusia
tentang pentingnya puasa dalam meningkatkan kecerdasan
spiritual.
13
2. Manfaat Praktik
Secara praktik dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat:
a. Menambah motivasi kepada setiap muslim untuk lebih giat dalam
menjalankan puasa serta lebih berhati-hati dalam menjaga
kesempurnaan puasa yang dijalankan.
b. Agar setiap diri manusia menggunakan dan mengembangkan
kecerdasannya dengan baik serta dapat menjadi pribadi yang
bermakna dengan ibadah yang dijalankan.
c. Memberi kontribusi positif dalam proses kehidupan dengan ibadah
puasa yang memiliki fungsi dapat meningkatkan kecerdasan
spiritual sebagai pencegahan terhadap gejala penyakit jiwa atau
stres dengan memanfaatkan dan memfungsikan kecerdasan
spiritual.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kemungkinan kesalah pahaman
pengertian dan penafsiran dalam istilah yang digunakan dalam judul
penelitian, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat
dalam judul ini, antara lain sebagai berikut:
1. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah pengetahuan akan kesadaran diri,
makna hidup, tujuan hidup atau nilai-nilai tertinggi. Kecerdasan ini
berupa kemampuan mengelola “suara hati” sehingga terekspresikan
14
secara tepat dan efektif, yang memungkinkan kita bekerja sama dengan
lancar menuju sasaran yang lebih luas dan bermakna. Makna yang
dituju dalam kecerdasan spiritual mengacu pada fitrah, kesadaran akan
kefitrahan diri atau suara hati itu yang terus mendorong manusia ke
arah perubahan yang lebih bermakna dan bernilai (Ahmad Taufiq
Nasution, 2009:4). Dari pengertian di atas jelas bahwa kecerdasan
spiritual bisa menjadikan manusia lebih kuat dalam memaknai
kehidupan.
2. Ibadah puasa perspektif tasawuf
Menurut bahasa, kata „ibadah berarti patuh (at-tha‟ah), tunduk (al-
khudu‟). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri (al-tazallul).
Menurut Ibn Taimiyah, ibadah berarti merendahkan diri (ad-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan dalam agama itu bukan
sekedar ketaatan atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah
mengandung pengertian apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya
kepada apa pun dan memuliakanNya lebih dari segala yang lain-Nya.
Bahkan ia harus meyakini tidak ada yang hak atas cinta dan kepatuhan
yang sempurna kecuali Allah SWT, dikutip dari buku karangan Dr.
Lahmuddin Nasution (1997: 2-3).
Dalam buku karangan Dr. Yusuf Qardawi (2006:18) menjelaskan
pengertian puasa menurut syara‟ adalah menahan dan mencegah diri
secara sadar dari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan
hal-hal semisalnya, selama sehari penuh, yakni dari kemunculan fajar
15
hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan
taqarrub kepada Allah SWT. Dalam buku karangan Sokhi Huda
(2008:25) yang mengutip pendapat dari Abul Wafa al-Taftazani
menjelaskan bahwa tasawuf merupakan usaha mempersenjatai diri
dengan nilai-nilai ruhaniyah yang sekaligus menegakkannya pada saat
menghadapi kehidupan materialis.
Dari pengertian di atas ibadah puasa prespektif tasawuf berarti
kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya atas dasar
rasa cinta untuk dapat menahan diri dari nafsu serta penyucian batin
sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian literatur, karena
mendasarkan pengertian Iqbal Hasan (2006:5) yang menjelaskan
bahwa penelitian kepustakaan/library research adalah penelitian
yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan)
baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dan
peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mendasarkan tulisan
skripsi ini dengan mengacu pada pendapat para ulama‟ dan
ilmuwan.
2. Sumber Data
16
Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan
data pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka dengan mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan
topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua bentuk sumber
diantaranya:
a. Sumber Primer
Menurut Winarno Surakhmad (1989:163) sumber primer yaitu
data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data
penyelidik untuk tujuan khusus itu. Dalam hal ini peneliti
mengacu sumber primernya diantaranya adalahAl-Qur‟an dan
Hadits, tarjamah kitab Ihya‟ Ulumuddin karya Al-Ghozali,
fiqih puasa karya Yusuf Qardhawi, Hasbi Ash Shiddiqy
dengan judul pedoman puasa dan juga buku karangan Ary
Ginanjar, Toto Tasmara yang menjelaskan tentang SQ.
b. Sumber Sekunder
Mengandung arti yakni sumber yang mendukung dan
melengkapi sumber data primer. Adapun sumber data
sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan
Danah Zohar dan Ian Marshall, serta buku-buku fiqih yang
berhubungan dengan ibadah puasa seperti fiqih 1 karya Dr.
Lahmuddin Nasution, serta pendukung lain yang berhubungan
dengan tasawuf.
17
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan
metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Suharsimi
Arikunto, 2010:274). Karena obyek dalam penelitian ini tentang
kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf maka
penulis memfokuskan kajian untuk menelaah dan memahami
pendapat para ulama‟ dan ilmuwan yang ditulis dalam buku untuk
dijadikan sebagai bahan penelitian.
4. Analisis Data
Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong (2009:248) analisis data
adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam
pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Dalam menganalisis
penelitian tentang nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa
prespektif tasawuf penulis menggunakan beberapa metode,
diantaranya metode diskriptif analisis dan metode induktif.
Metode diskriptif yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan
menyusun data, kemudian diusahakan pula dengan analisa dan
interpretasi atau penafsiran terhadap data-data tersebut (Winarno
Surakhmad, 1989:139). Sedangkan metode Induktif menurut
Sutrisno Hadi (1993:42) adalah metode yang berangkat dari fakta-
18
fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian
dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik
genralisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.
Berdasarkan pengertian tersebut penulis melakukan telaah
terhadap pengertian-pengertian yang ada atau berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas kemudian penulis menarik
kesimpulan tentang permasalahan tersebut. Atau singkatnya
adalah penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat
khusus selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahsan dan memahami isi skripsi ini, maka
peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini disusun dalam
lima bab, secara sitematis akan dijabarkan sebagai berikut:
BAB I , dibahas mengenai Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II , dibahas mengenai beberapa hal yang berkaitan kecerdasan
spiritual diantaranya meliputi pengertian kecerdasan sipritual,
indikator kecerdasan spiritual, faktor yang mempengaruhi
kecerdasan spiritual, langkah meningkatkan kecerdasan
spiritual, serta manfaat kecerdasan sipritual.
19
BAB III, dibahas mengenai ibadah puasa yang meliputi pengertian ibadah,
macam-macam ibadah, tujuan ibadah, juga mengenai pengertian
puasa, dimensi-dimensi puasa syarat dan rukun puasa, sunah-
sunah dalam puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, macam-
macam puasa, serta hikmah puasa.
BAB IV, dibahas mengenai analisis tentang kecerdasan spritual dalam
ibadah puasa perspektif tasawuf yang meliputi nilai kecerdasan
spiritual dalam ibadah puasa, serta indikator kecerdasan spiritual
dalam puasa perspektif tasawuf.
BAB V, Penutup, pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan akhir dari
hasil penelitian dan saran.
Bagian akhir, terdiri dari: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran, Daftar
Riwayat Hidup Penulis.
20
BAB II
KECERDASAN SPIRITUAL
A. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Pada awal abad 20, IQ pernah menjadi isu besar karena pada masa
itu muncul pendapat bahwa semakin tinggi IQ seseorang maka semakin
tinggi pula kecerdasannya. Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel
Goleman mempopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog
yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama pentingnya
dengan IQ. Menurutnya EQ merupakan persayaratan dasar untuk
menggunakan IQ secara efektif. Saat ini akhir abad 20 menunjukkan
adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat
dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual “SQ”.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih
luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Zohar dan Marshall,
2001:3-4).
Dalam buku karangan Sudirman (2004:24) yang mengutip
pendapat Marsha Sinetar menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan
21
efektivitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Sedangkan dalam buku karangan
Triantoro (2007:16) yang mengutip pendapat dari Michael Levin yang
menjelaskan kecerdasan spiritual adalah sebuah prespektif “spirituality is
a perspective” artinya mengarahkan cara berfikir kita menuju kepada
hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada sang
Maha Suci dan Maha Meliputi. Menurut Levin kecerdasan spiritual
tertinggi hanya bisa dilihat jika individu telah mampu mewujudkannya dan
terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap hidup
individu mencerminkan penghayatannya akan kebajikan dan
kebijaksanaan yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada sang
Pencipta. Menurut Akhmad Muhaimin (2010:31) bependapat bahwa
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa
sebagai internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat makna yang ada di balik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu.
Adapun kecerdasan spiritual menurut Khalil Kavari yang dikutip
oleh Danah Zohar dan Ian Marshall (2001:27) adalah fakultas dari dimensi
nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita
semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya,
menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan
menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti
kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga
22
diturunkan. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya
tidak terbatas.
Pendapat lain mengenai kecerdasan spiritual diuraikan oleh Ary
Ginanjar (2005:47) sebagaimana berikut, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan
kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah
menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta
berprinsip hanya karena Allah. Dari beberapa pengertian di atas
kecerdasan spiritual yang di paparkan oleh para ilmuan belum sampai pada
nilai-nilai ketuhanan namun lebih kepada otak. Pengertian di atas
menunjukkan bahwa spritual berkaitan dengan hati, seiring dengan temuan
Got Spot ini baru sampai pada otak manusia dan belum sampai kepada
intinya yakni (hati). Namun seiring dengan datangnya pengertian dari Ary
Ginanjar diharapkan mampu membuat spiritual yang kering untuk bisa
menjadi lebih hidup karena dia memberi makna spiritual dalam setiap
pemikiran, perilaku dan tindakan.
B. Indikator Kecerdasan Spiritual
Menurut Zohar dan Marshall (2001:14), kecerdasan spiritual itu adalah
kemampuan seseorang dalam memaknai hidupnya. Ciri-ciri orang yang
memiliki kecerdasan spiritual menurut mereka diantaranya adalah:
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran yang tinggi
23
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
8. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang
mandiri” yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Pendapat di atas ditambah Frances Vaughan (1992) yang dikutip oleh
Triantoro (2007:29-31) menyatakan bahwa ciri-ciri kecerdasan spiritual
yang tinggi adalah:
1. Autentik, yang berarti bertanggung jawab dan jujur terhadap diri
sendiri.
2. Mampu melepaskan masa lalu dan memusatkan perhatian pada masa
kini dan masa depan.
3. Mampu menghadapi ketakutan sendiri dengan tanggung jawab.
4. Pemahaman untuk mengembangkan visi dan misi hidup serta
mengembangkan sikap memaafkan sebagai wujud empati.
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi kehidupan
manusia tanpa kebencian dan ketakutan untuk dikuasai.
6. Memiliki sikap tanggung jawab sosial.
Toto Tasmara (2001:6) mengungkapkan bahwa ada 8 indikator
kecerdasan spiritual, yaitu:
1. Memiliki Visi
24
Visi adalah cara seseorang melihat gambar diri di hari esok. Visi
tersebut didasari oleh pengalaman, pengetahuan dan harapan. Visi
atau tujuan setiap muslim yang cerdas secara spiritual, akan
menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari visi pribadinya
yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang
terukur dan terarah. Hal ini mendorong dirinya untuk menjadikan
dunia hanya sebuah perantauan yang harus kembali pulang ke
akhirat dengan membawa bekal serta memenuhi seluruh tanggung
jawab kepada Allah SWT.
2. Merasakan Kehadiran Allah
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual selalu merasakan
kehadiran Allah dimana saja. Mereka meyakini adanya kamera
ilahiah yang terus menyoroti qalbunya, dan mereka merasakan
serta menyadari bahwa seluruh detak hatinya diketahui dan dicatat
Allah tanpa ada satupun yang tercecer.
3. Berdzikir dan Berdoa
Dzikir bermakna penyebutan atau penghadiran. Penyebutan
dengan lidah dan penghadiran dengan hati. Makna yang dimaksud
ialah penghadiran Allah baik dzat, sifat dan af‟al-Nya. Dzikir
bagaikan kompas dan seluruh peralatan mesin kapal bagi nahkoda
kapal. Yaitu petunjuk agar misi dan pelayarannya selamat. Do‟a
merupakan dzikir dan ibadah, karena do‟a memiliki keutamaan
yang sama seperti dzikir dan ibadah. Dan di dalam do‟a terdapat
25
kelapangan bagi jiwa dan penyembuhan kesulitan, duka cita dan
gelisah karena orang yang berdo‟a selalu mengharap do‟anya
dikabulkan oleh Allah.
4. Memiliki Kualitas Sabar
Sabar berasal dari bahasa arab sabr yang artinya menahan atau
mengekang. Bersabar artinya menahan diri dari segala sesuatu
yang disukai dan tidak di sukai dengan tujuan mengharap ridho
dari Allah (Yudy Effendy, 2012:6). Sabar juga berarti kemampuan
untuk mengendalikan diri yang mengajak ke hal-hal negatif. Sabar
berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai
cita-cita sehingga membuat diri manusia menjadi makhluk yang
kuat dan tidak putus asa dalam menghadapi cobaan atau ujian dari
Allah. Sesungguhnya orang yang dapat menghadapi musibah dan
situasi-situasi yang sulit dengan sabar dan teguh adalah orang yang
berkepribadian kuat yang sehat jiwanya. Allah memerintahkan kita
untuk bersabar seperti dalam firmanNya:
ؤج ثٱىز ذشدٱصضؼثءث ر ٱىص ي ٱىص إ غٱلل ذش ٱىص
()
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.”
Di dalam nilai-nilai sabar, sikap yang palingdominan yaitu,
sikap percaya diri, optimis, mampu menahan beban ujian dan
terus berusaha sekuat tenaga.
26
5. Cenderung Pada Kebaikan
Orang-orang yang bertaqwa adalah tipe manusia yang selalu
cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Sabda Rasulullah
SAW.: “Jadikanlahhidup hari ini lebih baik dari hari kemarin dan
hariesok lebih baik lagi dari hari ini”. Dan orang-orang tersebut
merasakan kerugian apabila waktunya berlalu begitu saja tanpa
ada satu pun kebaikan yangdilakukan.
6. Memiliki Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untukmemahami orang lain.
Merasakan rintihan danmendengar debaran jantungnya, sehingga
mampuberadaptasi dengan merasakan kondisi batiniah oranglain.
7. Berjiwa Besar
Berjiwa besar adalah keberanian untukmemaafkan dan sekaligus
melupakan perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang lain.
Orang yang cerdassecara ruhaniah (spiritual) adalah mereka yang
mampu memaafkan, betapapun pedihnya kesalahan yang dibuat
orang pada dirinya. Karena menyadari bahwa sikap pemberian
maaf sebagai bukti kesalehan dan salah satu bentuk tanggung
jawab hidup. Karenahal itu diharapkan bisa mempengaruhi orang
lain agarberbuat yang sama.
8. Bahagia Melayani
Budaya melayani dan menolong merupakanbagian dari citra diri
seorang muslim. Melayani atau menolong merupakan bentuk
27
kesadaran dan kepedulian terhadap nilai kemanusiaan. Orang
tersebut akan melayani manusia dan alam lingkungannya dengan
penuh rasa cinta dan kelembutan. Hal ini merupakan investasi
yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat
saja melainkan di dunia juga.
Dari beberapa indikator kecerdasan spiritual yang telah diuraikan oleh
ilmuwan maupun tokoh agama (ulama‟) diatas penulis menyimpulkan
bahwsanya manusia yang memiliki kecerdasan spiritual hendaknya
memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya adalah:
1. Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai
2. Autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri)
3. Memiliki kesadaran hidup yang tinggi
4. Merasakan kehadiran Allah
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap
manusia tanpa kebencian
6. Memiliki kualitas sabar
7. Berdzikir dan berdoa
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual
Pada dasarnya kecerdasan spiritual ini harus di tanamkan pada diri.
Karena kesuksesan itu tak hanya dipengaruhi oleh IQ dan EQ saja. Tapi
SQ juga berpengaruh besar dalam kesuksesan seorang individu.
Kecerdasan spiritual juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
28
sebagai berikut, sebagaimana dipaparkan oleh Zohar dan Marshall faktor
yang mempengaruhi kecerdasan spiritual adalah:
1. Sel saraf otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan batin dan lahiriah kita.
Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an membuktikan
bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi
kecerdasan spiritual.
2. Titik Tuhan
Dalam penelitian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam
otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman
religious atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik
Tuhan atau God Spot. Tapi titik tuhan ini bukan syarat mutlak dari
kecerdasan spiritual. Melainkan butuh integrasi antara seluruh bagian
otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.
Adapun pendapat lain menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual berasal dari dalam diri individu
juga dari luar individu sebagaimana berikut dikutip dari Triantoro,
(2007:55):
1. Faktor internal
Spiritual itu adalah jiwa atau ruh. Jadi pribadi sendiri akan
mempengaruhi kecerdasan spiritual itu sendiri. Karena jika dalam
diri kita tak ada sidikitpun ruh yang ingin memaknai sebenarnya
29
apa hidup itu, maka kecerdasan spiritual itu akan sulit untuk ada.
Meskipun lingkungan mendukung.
2. Faktor eksternal
a) Lingkungan keluarga
Keluarga adalah madrasah pertama bagi pribadi seseorang.
Untuk itu segala kecerdasan bermula dan dipengaruhi oleh
keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual seseorang.
Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan
spiritual seseorang .
b) Lingkungan sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga formal yang juga
mempengaruhi kecerdasan spiritual. Karena disekolah ini
seseorang banyak memperoleh pengetahuan. Tak hanya
pengetahuan tapi juga nilai. Jika guru memberi
nilai kehidupan yang baik, maka itu akan membuat kecerdasan
spiritual meningkat. Sehingga seseorang mampu memaknai
hidupnya dengan baik. Disamping itu semua pihak sekolah
bekerja sama dalam memberikan pengetahuan yang mampu
meningkatkan kecerdasan.
30
c) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat akan mempengaruhi kecerdasan
spiritual seseorang. Karena disamping tinggal dilingkungan
keluarga, seseorang juga hidup dalam masyarakat. Jika
masyarakat mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka
akan terbiasa juga untuk melakukan hal –hal yang baik.
Sehingga secara tak langsung kecerdasan spiritual seseorang
akan muncul dan berkembang. Contohnya masyarakat yang
selalu melakanakan kewajiban agama, masyarakat yang selalu
menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berada
disekitar mereka.
d) Kelompok teman sebaya
Faktor teman sebaya sangat berpengaruh pada perkembangan
spiritual, karena yang terjadi saat ini banyak terjadi
kriminalitas yang disebabkan oleh sekelompok orang yang
bergabung dalam komunitas pelaku kejahatan. Disinlah peran
kecerdasan spiritual untuk membentengi manusia dari pelbagai
hal-hal negatif. Sehingga seseorang akan memilki keteguhan
hati memegang prinsip atau nilai spiritual yang diyakininya.
D. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual
Menurut Zohar dan Marshall (2001:231) tujuh langkah praktis
mendapatkan kecerdasan spiritual lebih baik:
31
1. Menyadari di mana saya sekarang
Dengan cara menyisihkan beberapa waktu untuk berdiam diri,
bermeditasi setiap hari, atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum
tertidur di malam hari.
2. Merasakan dengan kuat bahwa ingin merubah diri, bertekad dan berjaji
dalam hati untuk menjadi lebih baik.
3. Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi yang
paling dalam dalam perubahan hidup.
4. Menemukan dan mengatasi rintangan.
5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju.
6. Menetapkan hati saya pada sebuah jalan.
7. Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
Adapun Ary Ginanjar (2005: 64-354) juga merumuskan beberapa langkah
yang dapat dilakukan seseorang untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual dalam dirinya yang dijabarkan dari prinsip 1 ihsan, 6 rukun iman
dan 5 rukun islam yakni sebagai berikut:
1. Zero Mind Process (proses penjernihan emosi) menerangkan
bagaimana rumusan 1 ihsan. Dalam upaya untuk melakukan
penjernihan emosi (ZMP), yaitu antara lain:
a. Hindari selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik
terhadap orang.
b. Berprinsiplah selalu kepada Allah yang Maha Abadi.
32
c. Bebaskan diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu
pikiran, berpikirlah merdeka.
d. Dengarlah suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah,
berpikirlah melingkar sebelum menentukan kepentingan dan
prioritas.
e. Lihatlah semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara
hati yang bersumber dari asmaul husna.
f. Periksa pikiran terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu,
jangan melihat sesuatu karena pikiran anda tetapi lihatlah sesuatu
karena apa adanya.
g. Ingatlah bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari
Allah.
Hasil akhir dari zero mind proces atau penjernihan emosi
adalah seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka
negatif, prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, pengalaman yang
mempengaruhi pikiran, egoisme kepentingan dan prioritas,
pembanding-pembanding yang subjektif, dan terbebas dari
pengaruh belenggu literatur-literatur yang menyesatkan.
Dibutuhkan kejernihan hati sebelum mencari dan menemukan
kebenaran. Pemaknaan ihsan seperti ini jelas berbeda dengan
seperti pemaknaan yang telah dikenal sebelumnya. Karena makna
ihsan yang dikenal sebelumnya merupakan bentuk ibadah yang kita
lakukan sepenuhnya diperhatikan oleh Allah dan Allah akan selalu
33
mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ary Ginanjar
tentang ihsan ini merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan
dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat yang ada.
2. 6 Asas Pembangunan Mental, antara lain:
a. Prinsip Bintang (Iman Kepada Allah), merupakan penjabaran dari
makna iman kepada Allah dalam rukun iman. Prinsip seorang
bintang adalah memiliki rasa aman, kepercayaan diri yang tinggi,
integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan memiliki motivasi
yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada
Allah.
b. Prinsip Malaikat (Iman Kepada Malaikat), orang yang berprinsip
seperti malaikat akan menghasilkan orang yang sebagai berikut
yakni seseorang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen
yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi,
suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan
mempraktekkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di
dalam kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia
yang paripurna.
c. Prinsip Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah), Pemimpin
sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian
kepada orang lain sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang
kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing
dan mempelajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan
34
konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah.
Dengan meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita
memiliki prinsip kepemimpinan yang menentramkan masyarakat.
d. Prinsip Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah), hasil dari proses
pembelajaran antara lain: (1) Memiliki kebiasaan membaca buku
dan situasi dengan cermat, (2) Selalu berpikir kritis dan mendalam,
(3) Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, (4) Bersikap
terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, (5) Memiliki pedoman
yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah. Hasil
dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang
sesuai dengan konteks yang harus dilakukan oleh semua orang
dalam mempraktekkan iman kepada kitab-kitab Allah, sehingga
kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan
manusia.
e. Prinsip Visi ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir), berorientasi
kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melangkah
secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan
sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya hari kemudian,
memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan
batiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyakinannya akan adanya
hari pembalasan. Dengan kesadaran visi akan hari akhir tersebut,
akan mendorong manusia terus berbuat dan berjuang dengan
35
sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu diri
merasa berhenti.
f. Prinsip Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar), hasil dari
prinsip keteraturan akan memiliki kesadaran, ketenangan dan
keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan kepastian
hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting
sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada
pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang
telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh orang yang
menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih
bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya
dari Allah.
3. 5 Prinsip Ketangguhan, 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian
yakni 3 prinsip ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial.
a. 3 Prinsip Ketangguhan Pribadi, seseorang yang telah memiliki
prinsip 6 asas pembentukan mental. Kemudian untuk menjadi
pribadi yang sukses, ditambah dengan 3 langkah sukses yaitu:
1) Prinsip Penetapan Misi (Syahadat), merupakan penjabaran
makna dari syahadat dalam rukun Islam. Penetapan misi
melalui syahadat akan menciptakan suatu dorongan kekuatan
untuk mencapai keberhasilan. Syahadat akan membangun
suatu keyakinan dalam berusaha, syahadat akan menciptakan
suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan,
36
syahadat akan membangkitkan suatu keberanian dan
optimisme sekaligus menciptakan ketenangan batiniah dalam
menjalankan misi hidup.
2) Prinsip Pembangunan Karakter (Shalat), shalat sebagai
tempat untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pikiran,
dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa
menambah energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi
suatu kumpulan dorongan dahsyat untuk segera berkarya dan
mengaplikasikan pemikirannya ke dalam realita. Shalat
adalah suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri
agar tetap memiliki cara berpikir fitrah, sebuah metode yang
dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara
terus menerus, shalat adalah suatu teknik pembentukan
pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan
shalat merupakan suatu cara untuk terus mengasah dan
mempertajam kecerdasan emosi dan spiritual yang diperoleh
dari rukun iman.
3) Prinsip Pengendalian Diri (Puasa), merupakan penjabaran
makna dari rukun Islam ketiga yakni puasa. Puasa adalah
kemampuan menahan dan mengendalikan diri untuk tidak
hanya berkeinginan menjadi seorang pemimpin dengan
mengatasnamakan orang lain untuk tujuan pribadi serta
keuntungan tertentu. Akan tetapi menyadari bahwa
37
pemimpin adalah salah satu tugas yang maha berat untuk
membawa umat ke arah kebahagiaan dengan hati nurani.
Hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu metode
pelatihan untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk
meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu
yang tidak terkendali, puasa yang baik akan memelihara
aset kita yang paling berharga yakni fitrah diri, tujuan puasa
lainnya untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan
untuk menjaga prinsip-prinsip yang telah dianut
berdasarkan rukun iman.
b. 2 Prinsip Ketangguhan Sosial, merupakan penjabaran dari prinsip
zakat dan haji di dalam rukun Islam.
1) Prinsip Stategi Kolaborasi (Zakat), suatu upaya untuk
memanggil dan mengangkat ke permukaan suara hati untuk
menjadi dermawan dan untuk memberi rezeki kepada orang
lain. Pada prinsipnya, zakat bukan hanya sebatas memberi
2,5% dari penghasilan bersih yang kita miliki. Akan tetapi,
prinsip zakat dalam arti luas seperti memberi penghargaan dan
perhatian kepada orang lain, menepati janji yang sudah anda
berikan, bersikap toleran, mau mendengar orang lain, bersikap
empati, menunjukkan integritas, menunjukkan sikap rahman
dan rahim kepada orang lain.
38
2) Prinsip Aplikasi Total (Haji), suatu wujud kesalarasan antara
idealisme dan praktek, keselarasan antara iman dan Islam. Haji
adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total
(thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i), evaluasi
dari prinsip dan langkah yang telah dibuat dan visualisasi masa
depan melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah
(wukuf). Haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam
skala tertinggi dan haji adalah persiapan fisik secara mental
dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar
jumrah).
ESQ merupakan gabungan emotional, spriritual dan
quontient, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di
dalam konsep ESQ, semua manusia punya intelektual dan
punya emosional, tapi kedua hal tersebut tidak sempurna kalau
tidak disatukan dengan kecerdasan spriritual. Dengan ESQ way
165 membentuk karakter yang mengetahui jati dirinya,
mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut
agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terbentuk
nilai dasar yang jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama,
adil, peduli, visioner, rasa saling menghormati, rasa saling
menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling
membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku
dengan suku lain.
39
E. Manfaat Kecerdasan Spiritual
Winarno (2013:20) menjelaskan beberapa buah dari kesehatan spiritual
diantaranya:
1. Memiliki kemampuan untuk memahami persoalan hidup
2. Mendapatkan solusi yang solutif dari segala persoalan kehidupan
3. Hidup tanpa kegelisahan dan kesedihan
4. Mampu membedakan yang baik dan yang buruk
5. Lebih siap dalam menghadapi kehidupan
6. Kecerdasan spiritual menjadikan seseorang lebih tahu akan hikmah
kejadian yang ia alami dan dijadikan pelajaran dan renungan.
7. Mengembangkan fitrah (potensi) yang ada dalam diri manusia
menjadi lebih kreatif. Orang yang cerdas secara spiritual dapat
memandang hidup yang lebih besar sebagai suatu visi. Pandangan
hidup ini mendorong manusia untuk berjuang keras, menjadikan
dia kreatif dan bisa menjadi apa saja dengan dirinya sendiri sampai
akhirnya ia sukses.
40
BAB III
IBADAH PUASA
A. Pengertian Ibadah Puasa
1. Pengertian Ibadah
Zakiyah Darajat (1993:1) mengutip pendapat dari Hasbi Ashidieqi
dalam kitab kuliah ibadah yang membagi arti ibadah dalam dua arti,
yakni secara bahasa dan secara istilah.
a. Ibadah secara bahasa berarti: taat, mengikut dan atau menurut.
Sebagaimana pendapat ini dikuatkan dalam firman Allah dalam
QS. Yaasiin ayat 60:
أػ أى صؼذذث ل أ ءثد ذ ن إى ذ ط ٱىش ۥإ ذ ػذ ىن
()
Artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani
Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan?
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
kamu."
Di samping arti etimologis (secara bahasa), ibadah mempunyai arti
berdasarkan istilah yang dipergunakan oleh ahli warisnya.
b. Menurut istilah ahli Tauhid, ibadah itu meng-Esakan Allah,
mentakzimkanNya dengan penuh takzhim serta menghinakan diri
kita dn menundukkan jiwa kepadaNya. Hal ini didasarkan pada
firman Allah dalam QS An Nisa ayat 36:
41
ٱػذذث ٱلل د صششمث ل د شۦ ج ىذ ٱى دز ج إحض ٱىقشد
ٱىض ن ض ٱىججسٱى ر جحخٱىجخٱىججسٱىقشد ٱىص
خد ٱىج ذوٱد نٱىض أ ينش ج إ ٱلل مج حخ ل
خضجلفخسث ()
Artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.”
Dalam buku karangan Slamet Abidin dan Moh. Suyono
(1998:11) mengartikan ibadah dengan penyembahan seorang
hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan merendahkan
diri serendah-rendahnya, dengan hati yang ikhlas menurut cara-
cara yang ditentukan oleh agama.
2. Macam-macam ibadah
Macam-macam ibadah ditentukan oleh dasar pembagiannya
Zakiyah Darajat)1993:3-4).
a. Pembagian ibadah didasarkan umum dan khususnya dibedakan
menjadi dua macam, yakni ibadah khasah dan ibadah „aamah.
1) Ibadah khasah ialah ibadah yang ketentuannya telah
ditetapkan oleh nash, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji.
42
2) Ibadah „aamah ialah semua pernyataan baik yang
dilakukan dengan niat baik dan semata-mata karena Allah,
seperti makan dan minum dengan niat melaksanakan
perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniyah dalam
rangka agar dapat beribadah kepada Allah.
b. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan
pelaksanaanya, dibagi menjadi tiga:
1) Ibadah jasmaniyah ruhiyah, sepert shalat dan puasa.
2) Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat.
3) Ibadah jasmaniyah ruhiyah dan amaliyah, seperti
mengerjakan haji.
c. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau
masyarakat, maka dibagi dua:
1) Ibadah fardhu, seperti shalat dan puasa.
2) Ibadah ijtima‟i, seperti zakat dan haji.
d. Pembagian ibadah dari segi bentuk dan sifatnya:
1) Ibadah yang berupa perkataan atau lidah seperti: membaca
do‟a, membaca Al-Qur‟an, mambaca dzikir, dan
mendoakan orang yang bersin.
2) Ibadah yang berupa perbuatan tertentu bentuknya meliputi
perbuatan dan perkataan, seperti: shalat, zakat, puasa, haji.
43
3) Ibadah berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya
seperti: menolong orang lain, berjihad, membela diri dari
gangguan, takhizul jenazah.
4) Ibadah yang pelaksanaanya menahan diri, seperti ihram,
puasa, i‟tikaf.
5) Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti
membebaskan hutang orang lain.
3. Tujuan Ibadah
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan
paling sempurna baik secara jasmani ataupun rohani dibandingkan
dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. sebagaimana firman Allah
dalam QS Attiin ayat 4:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya”.
Karena itu oleh Allah diciptakan manusia bukan sekedar untuk hidup
di dunia ini dan mati tanpa pertanggung jawaban, akan tetapi manusia
diciptakan oleh Allah hidup di dunia ini untuk beribadah.
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa firmanAllah dibawah ini:
Surat Al-Mu‟minun ayat 115:
44
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”.
Surat Adz Dzariyat ayat 56:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembahKu”.
Surat Al-Bayyinah ayat 5:
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh krcuali supaya menyembah
Alah dengan memurnikan keta‟atan kepadaNya dalam
(menjalankan) agama yang lurus”.
Karena Allah Dzat Maha Mengetahui tentang kejadian manusia,
maka agar manusia terjaga hidupnya, taqwa, diberi kewajiban ibadah.
Tegasnya manusia diwajibkan beribadah, agar manusia itu mencapai
taqwa (Zakiyah Darajat, 1993: 4-6).
4. Pengertian Puasa
a. Puasa Dari Aspek Fiqih
Dalam buku karangan Hassan Saleh )2008:174( dijelaskan
bahwa secara bahasa puasa dikenal dengan istilah “shiyam” atau
“shaum” (berasal dari bahasa arab) yang berarti berpantang atau
45
manahan diri dari sesuatu. Sebagaimana dalam QS Maryam ayat 26
dijelaskan:
ٱششدفني صش ج فئج ػ قش ٱىذشش إ فقى أحذث
أمي جفي ص ح زسسىيش جٱى ()إض
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika
kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.”
Dalam buku karangan Zakiyah Darajat (1993: 251( pengertian
syar‟i, puasa berarti menahan diri dari makan minum dan hubungan
seksual dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Pengertian ini
diperjelas oleh berbagai hadits seperti:
Hadits Abu Hurairah :
ذع أ ف حججز شلل في ثىجو د و ثىؼ س ثىز ه ق ذع ى
ششثد غؼج
Atinya: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan zur (dusta,
umpat, fitnah, segenap perkataan yang mendatangkan
kemarahan Allah, yang membuat sengketa dan onar) dan
tidak meninggalkan pekerjaan-pekerjaan itu, maka tidak ada
hajat bagi Allah (walaupun) ia meninggalkan makan dan
minum (HR. Al Bukhari).
Dalam hadits Abu Hurairah yang lain disebutkan:
ش ى ثلمو ج فظثىص ثىش ثىيغ ج جثىص شحث ثىش
Artinya: “Bukankah puasa itu hanya dari makan dan minum, tetapi
juga puasa dari perkataan kotor dan caci maki”. (HR. Ibnu
Huzaimah)
46
Sedangkan para ahli fiqih juga memberikan pengertian puasa secara
syar‟i sebagaimana ditulis dalam kitab Subulus Salam berikut ini:
ثىششعف سدد ج شج غ جع ثىج ثىششح ثلمو ضجكػ ثل
ثىيغ ػ ضجك ثل رثىل ضذغ ع شش ثى حذ ثى ػي جس فظثى ثىش
غ صدشش خص قش ف نش ثى حش ثى ثىنل ج ش غ
صز خص
Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual
dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri
padanya sepanjang hari menurut cara yang telah
disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-
sia, perkataan yang merangsang (porno), perkataan-
perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada
waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah
ditentukan.”
Dari pengertian secara syara tersebut dapat ditarik makna puasa secara
fiqih berarti suatu ibadah kepada Allah swt. dengan syarat dan rukun
tertentu melalui jalan menahan diri dari makan, minum, hubungan
seksual dan lain-lain baik perbuatan yang dapat merugikan atau
mengurangi makna atau nilai dari pada puasa, semenjak terbitnya fajar
hingga terbenamnya matahari. Atau secara istilah puasa berarti
menahan diri dari beberapa perbuatan tertentu, dengan niat dan
menurut aturan tertentu (Lahmuddin Nasution, 1997:183)
47
b. Puasa Dari Aspek Tasawuf
Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah, yang dalam
dirinya terdapat potensi untuk berhubungan dengan dunia material
juga dunia spiritual. Manusia merupakan makhluk yang memiliki
potensi untuk menjadi baik ataupun buruk, karena oleh Allah manusia
diberikan bekal berupa akal dan nafsu. Ketika manusia diperbudak
oleh nafsu maka dirinya akan nampak lebih buruk dari seekor hewan.
Sehingga barangsiapa mampu mengendalikan nafsunya dengan akal
maka sinergi spiritual akan mudah masuk dalam hatinya. Dalam buku
karangan Jalaluddin Rakhmat (1999:37) dijelaskan untuk memperoleh
cahaya yang terang diperlukan upaya yakni dengan madrasah
ruhaniah, madrasah ini untuk mendidik manusia-manusia takwa.
Madrasah ruhaniah ini adalah dengan berpuasa. Pelajaran yang
diberikan melalui madrasah ruhaniah diantaranya adalah ikhlas,
pembersihan diri, ihsan dan ibadah. Ikhlas menunjukkan sucinya niat,
bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia.
Karena memiliki pandangan bahwa keridhaan Allah lebih besar dari
segala-galanya. Sedangkan melalui pembersihan diri dengan puasa
akan menghasilkan manusia yang takwa karena cahaya ruhaniah tidak
akan menembus hati yang dipenuhi dosa dan maksiat.
Dalam kitab tarjamah Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali
(1982:84) menjelaskan dari sebuah hadits bahwa puasa adalah
sebagian dari sabar dan sabar adalah separoh iman. Maka ibadah
48
puasa merupakan seperempat iman. Allah memberikan kekhususan
dan keistimewaan puasa sebagaimana yang terdapat dalam hadits
dibawah:
ى فج ج ثىص ثل ظؼف ؤةز صذؼ ثى ىج غج ث دؼششث حضز مو
)ثىذخجس( ثجثجزد
Artinya: ”Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai
tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa
itu untuk-Ku dan Aku membalasnya.”(H.R Al-Bukhari)
Nabi saw. juga bersabda dalam haditsnya yang berbunyi
sebagaimana berikut:
ضل حثى س ذهللا ثغخػ جة ثىص فف ىخي ثىزفضدذ
ج ث جو ػز هللا ه فجق لجي ششثد غؼج ص ش س ز
ثجثجزد ى ثىص
Artinya : ”Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, sesungguhnya bau
mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah
daripada bau kasturi. Allah Azza wa Jalla berfirman ia
meninggalkan syahwatnya, makanan dan minuman karena
Aku. Maka puasa itu bagiKu dan Aku yang aka
membalasnya” (H.R Al-Bukhari Muslim)
Nabi saw. juga bersabda sebagaimana berikut:
دجحثىؼذجدرثىص بدجح ش ىنو
Artinya: “Setiap sesuatu memiliki pintu dan pintu ibadah adalah
puasa.” (HR Ibnu Mubarak)
Dalam hadits lain Rosulullah menerangkan bahwasanya “puasa
dan al-Qur‟an memberi syafaat kepada hamba Allah di hari
49
kiamat. Puasa berkata: “Wahai Tuhan aku telah mencegahnya
makan dan menahan syahwatnya di siang hari maka
perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya. Dan al-Qur‟an
pun berkata: “Wahai Tuhanku aku telah menahannya tidur di
malam hari maka perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya.
Akhirnya syafaat keduanya diterima Allah.”(Hassan Shaleh,
2008:183)
Pada dasarnya semua ibadah adalah baik, akan tetapi puasa
menjadi istimewa bagi Allah karena di dalam prakteknya dapat
mendidik sifat ihsan dalam diri manusia. Manusia harus
meninggalkan segala nafsu yang berasal dari mata, telinga, perut
serta kemaluan agar di terima puasanya oleh Allah. Padahal
kesemua yang dilarang oleh Allah dalam ibadah puasa adalah hal
yang amat dekat dengan manusia, bahkan menjadi kebutuhan
pokok dalam kehidupan manusia. Maka dari itu oleh Allah
diberikan keistimewaan yang agung bagi manusia yang mampu
menahan dan meninggalkan untuk beberapa saat dengan tujuan
menaati perintah Allah. Letak ihsan dalam ibadah puasa adalah
ketika seseorang puasa bisa saja dengan bersembunyi untuk makan,
minum atau bahkan meluapkan syahwatnya. Akan tetapi dengan
sifat ihsan yang dimilikinya, bahwa Allah senantiasa melihat dan
mengawasi setiap ucapan dan perbuatan manusia yang dohir
maupun yang batin, maka seseorang tidak akan terpengaruh dengan
50
apapun karena di balik itu ada pengawas yang melebihi dari segala
pengawas yang ada di dunia ini, yaitu Allah.
Ihsan letaknya adalah di dalam hati manusia, sehingga
ketika manusia mampu mengendalikan hatinya, secara otomatis
akan melahirkan akhlak yang baik dalam dirinya. Puasa merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan sebagai pengendali perilaku
manusia. Puasa yang dilakukan dengan benar akan membuka hati
dan mengosongkannya dari penyakit penyakit yang ada di
dalamnya. Adapun Imam Al Ghozali (1982 :90) membagi puasa ke
dalam tiga tingkatan yaitu umum, khusus dan khususul khusus.
Pada tingkat pertama yakni puasa orang awam, yaitu puasa yang
hanya semata-mata menahan kebutuhan fisik seperti lapar, dahaga,
hubungan biologis saja, dari terbit matahari hingga terbenam.
Namun belum terjaga dari pelanggaran-pelanggaran anggota tubuh
juga dosa-dosa hati. Pada tingkatan khusus ini beliau
mendefinisikan bahwa puasa yang dilakukan tidak hanya mencegah
dari makan minum dan syahwat, akan tetapi manusia dituntut untuk
mampu mengendalikan semua indera seperti mata, telinga, tangan,
kaki dari pada kemaksiatan. Adapun tingkatan yang ketiga adalah
puasa khususul khusus yaitu puasa mereka yang tidak lagi sekadar
menahan lapar dan dahaga saja, juga bukan lagi sekadar menjaga
diri dan hati dari dosa-dosa anggota tubuh dan batin, karena mereka
telah terjaga dari itu, tapi puasa mereka adalah menjaga hati dan
51
perasaan daripada musyahadah kepada selain keagungan dan
keindahan Ilahi, dan daripada cinta kepada Allah Azza wa jalla.
Apabila seseorang yang berpuasa hatinya lalai sedikit saja maka
puasanya akan menjadi batal, tingkatan ini merupakan tingkatan
para nabi, rosul, dan para ulama‟.
Sebagaimana istilah puasa dalam bahasa arab: shaumun,
artinya menahan diri dari segala sesuatu, maka berdasarkan nilai
aslinya Nabi meletakkan nilai yang sebenarnya tentang puasa.
Beliau bersabda: “bukankan puasa itu sekedar menahan diri dari
makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri
dari segala perpuatan yang sia-sia/ tidak bermanfaat dan menjauhi
perkataan kotor dan keji.” Dalam definisi tasawuf puasa berarti
menahan diri dari syahwat dan nafsu dengan niat untuk mencari
ridho Allah melalui jalan pencegahan tersebut. Sebagaimana Al-
Ghozali membagi tingkatan puasa, secara tasawuf puasa bukan lagi
sekedar menahan diri dari makan minum dan berhubungan sex,
akan tetapi tasawuf mengajarkan lebih kepada hati yang terjaga
dari keadaan lalai kepada Allah. Tasawuf mengajarkan manusia
untuk tidak terjerat pada materi dan mampu melibatkan jiwa dalam
setiap akifitas dengan cara menghiasi hati dengan nilai-nilai
ruhaniah. Sebagaimana puasa yang dijalankan seseorang
merupakan salah satu cara yang dapat membentengi manusia dari
52
gemerlapnya dunia. Al-Ghozali (1982:89) menerangkan
bahwasanya Rosulullah Saw. Bersabda:
طثىشث شجىج قعفثىذشجدثثد عججىدجسجث
Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam
(manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah
jalannya itu dengan lapar.” (HR Mutafaqun Alaih)
Ketika puasa secara khusus itu mencegah syaitan dan menutup
jalan-jalan yang ditempuhnya dan menyempitkan tempat-tempat
jalannya, maka puasa mendapatkan kekhususan dari Allah. Dikutip
dari (http//.tasawufkemurnianislam.blogspot.co.id pada hari Jumat
1 juli 2016: 14.33) bahwasanya orang yang terus-menerus
melakukan latihan ruhaninya dengan lapar, yang bertujuan
mendapatkan ridha dari Allah SWT dan melepaskan diri dari ikatan
duniawi derajatnya tidak sama dengan orang biasa. Kerusakan
akhlak yang saat ini terjadi disebabkan karena manusia mengejar
kesenangan-kesenangan duniawinya. Puasa menjadikan manusia
rendah hati dan mawas diri, sebaliknya ketika kenyang, manusia
akan merasa angkuh dan sombong. Sesungguhnya makhluk tidak
mempunyai hak untuk itu karena hanya Allah lah yang memiliki
kesempurnaan dalam segala aspek. Tak ada sesuatupun, kecuali
lapar yang membuat jiwa rendah menyatakan penghambaannya.
Puasa adalah sebaik-baik tameng untuk berperang, puasa adalah
penjagaan terbaik dari serangan-serangan yang dahsyat. Ada
sesuatu didalam diri manusia yang selalu meronta-ronta untuk
53
segera dilaksanakan, hal itu adalah syahwat. Syahwat adalah
kendali syaitan, biang keladi robohnya bangunan iman.
Barangsiapa tidak dapat mengendalikan, maka dialah budaknya.
Oleh sebab itu, bukan golongan orang biasa yang mampu
mengalahkan syahwatnya, latihan untuk mengekang syahwat yang
paling jitu adalah puasa, diawali dengan menahan syahwat ingin
makan dan minum, lalu melawan syahwat mengantuk yang
mengajak segera tidur, kemudian syahwat mata bila mamandang
lawan jenisnya, syahwat telinga yang ingin mendengar
pergunjingan, syahwat hidung yang ingin segera melontarkan
kekejian, dan syahwat mulut yang segera ingin berbicara bak orang
yang terpandai. Lalu menahan syahwat dari cakap-cakap hati yang
tidak berguna, dan hanya untuk Allah semata. Menahan syahwat
bagi orang-orang yang bertasawuf dikenal dengan istilah
mujahadah.
Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin berkata: “Barang
siapa seseorang melakukan mujahadah maka Allah akan
membayarnya secara kontan.” Penasihat ruh adalah akal, dan
panglima hawa nafsu adalah jiwa rendah, sifat akal adalah cahaya
(nuur) dan sifat jiwa rendah adalah kegelapan (dhulumaat),
bilamana seseorang tidak mampu menahan makan sebanyak-
banyaknya maka akan bertambah kuatlah jiwa rendahnya, semakin
kelamlah kegelapan jiwanya, dan semakin kokohlah ikatan
54
duniawinya, sedangkan bila seseorang berpantang dari makan
(berpuasa) maka jiwa rendah menjadi lemah dan ikatan duniawai
menjadi longgar, sehingga akal mendapatkan kekuatan (cahaya)
dan rahasia-rahasia dan bukti Illahi menjadi tampak, dan setiap saat
benaknya dipenuhi oleh perenungan tentang Tuhan.
B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf
Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya oleh Zakiyah
Darajat, (1993: 251) dari kitab Subulussalam, bahwasanya puasa secara
fiqih berarti:
ثىششعف سدد ج شج غ جع ثىج ثىششح ثلمو ضجكػ ثل
فظ ثىش ثىيغ ػ ضجك ثل رثىل ضذغ ع شش ثى حذ ثى ػي جس ثى
نش ثى حش ثى ثىنل ج ش غ غ صدشش خص قش ف
صز خص
Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual
dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri
padanya sepanjang hari menurut cara yang telah
disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-
sia, perkataan yang merangsang (porno), perkataan-
perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada
waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah
ditentukan.”
Dari pengertian diatas berarti puasa secara fiqih adalah terletak
pada praktiknya yang mencakup segala aspek yang dilakukan oleh fisik
manusia dengan menjaga tujuh lubang yakni mata, telinga, mulut dan
55
kemaluan dari perbuatan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Seperti
meninggalkan segala sesuatu yang dapat masuk ke dalam tubuh berupa
makan, minum, serta hubungan seksual. Serta menjaga diri dari hal-hal
yang dilarang seperti berkata kotor, menggunjing, memfitnah, mencuri
dalam batas waktu yang telah ditentukan yakni sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari.
Sedangkan secara tasawuf puasa berarti sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Al-Ghozali (1982:90) dalam tingkatan-tingkatan orang yang
berpuasa adalah puasa awam, puasa khas dan khawasulkhawas adapun
yang termasuk dalam pengertian puasa secara tasawuf adalah puasa tingkat
khas dan khawasul khawas. Karena dalam tingkatan tersebut puasa bukan
lagi hanya mencegah seseorang dari makan, minum dan sek saja namun
lebih dari itu bahawasanya puasa golongan ini adalah mencegah indera
dari segala perbuatan yang menjerumuskan kepada kemaksiatan dan lebih
dari itu bahwasanya puasa tasawuf berarti menjaga hati dari keadaan lalai
kepada Allah. Karena jika lalai maka puasa tersebut hukumnya batal.
Dalam hal ini Rosulullah bersabda: “Bukankan puasa itu sekedar
menahan diri dari makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu adalah
mencegah diri dari segala perpuatan yang sia-sia/ tidak bermanfaat dan
menjauhi perkataan kotor dan keji”. Secara Tasawuf puasa juga berarti
menahan diri dari syahwat dan nafsu dengan niat untuk mencari ridho
Allah dengan meninggalkan kebutuhan fisik yang berkaitan dengan dunia.
56
C. Dimensi Puasa
Dalam Al-Qur‟an ayat 183 dijelaskan:
ؤج ٱىز ن ثمضخػي ءث ج جمضخػيٱىص م ٱىز ىؼين قذين
(٨)صضق
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”
Dari ayat diatas di jelaskan bahwa puasa ini diwajibkan kepada orang-
orang dahulu. Karena puasa telah disyariatkan kepada umat beragama
khususnya agama samawi (Islam, Yahudi, Nasrani) walaupun motif
pelaksanaan puasa berbeda pada setiap agama berbeda mengingat iklim,
ras, kebudayaan dan keadaan-keadaan sekitar. Melihat pentingnya tujuan
puasa yakni untuk menjadi insan yang bertaqwa maka Islam
mensyariatkan puasa salah satunya sebagai media untuk mencapai
spiritualitas yang tinggi. Karena menurut Islam ibadah puasa berfungsi
terutama sebagai disiplin spiritual. Selain itu, puasa juga akan
menumbuhkan beberapa dimensi kehidupan. Adapun dimensi-dimensi
dalam puasa diantaranya adalah:
1. Dimensi Spiritual
Dalam QS At-Taubah:112 yang bunyinya sebagaimana berikut:
57
تذ ٱىض ذذ ٱىؼ ذ ٱىح تح
ٱىض مؼ ٱىش جذ ٱىض ش ٱل
ؼشفد ٱى ٱىج نشػ ٱى فظ ىحذدٱىح شٱلل دش ؤ ٱى
()
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku´, yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah
berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.
Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.”
Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwasanya amal yang paling
utama adalah shaum yaitu meninggalkan kelezatan- kelezatan makan,
minum dan berjima‟. Itulah yang dikatakan siyahah dalam ayat ini,
bahwa orang yang berpuasa dikatakan “sa‟ih”(berasal dari kata saha
yang artinya orang yang sedang berjalan, atau orang yang berjalan
menuju ke arah kesempurnaan ruhani). Sebenarnya tidak ada daya
tarik yang lebih besar daripada daya tarik pemuasan dahaga dan lapar
yang dirasakan orang apabila minuman dan makanan itu ia miliki.
Orang-orang yang memiliki makanan dan ia memilih lapar, ia
memiliki minum akan tetapi memilih haus tidak menyentuh makanan
dan minuman hanya karena yaqin bahwa itu adalah perintah Allah
yang harus ditaati. Keyakinan ini menunjukkan bahwa orang yang
berpuasa akan sampai pada keyakinan hati yang menyatakan bahwa
dirinya harus mampu melakasanakan perintah Allah serta menjauhi
apa yang dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dikutip oleh Dahlan
(2010:40) para fuqoha berpendapat bahwasanya taqwa adalah
58
melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan segala larangaNya.
Sedangkan Al Ghozali membagi taqwa dalam dua bentuk yakni taqwa
lahir dan taqwa batin, taqwa lahir adalah taqwa yang sebagaimana
pendapat para fuqaha. Adapun taqwa batin adalah kemampuan selalu
menjaga hati agar tetap bersih dan suci dari penyakit-penyakit hati
seperti dengki, sombong dan riya. Keduanya saling mempengaruhi
karena takwa lahir tidak akan sempurna tanpa taqwa batin dan takwa
batin tidak akan nampak tanpa taqwa lahir.
Introspeksi dan tanggung jawab akan selalu menjadi landasan dan
bahan perhitungan untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah.
Taqwa adalah salah satu syarat mutlak bagi manusia yang beriman
dengan harapan mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah.
Puasa merupakan perintah Allah dalam kewajiban agama, maka puasa
dalam arti ketaatan kepada Allah merupakan salah satu aktivitas agama
sebagai manifestasi dari iman. Dengan demikian puasa merupakan
sarana pemeliharaan komunikasi dengan Allah sebagai pengabdian diri
untuk mencapai derajat ketakwaan ( Imam Musbikin, 2004:108).
Karena dirinya sadar bahwa Allah selalu bersamanya dan mengawasi
setiap perbuatan yang dilakukannya. Kehadiran Allah yang mungkin
bagi orang lain merupakan suatu kepercayaan namun bagi orang yang
berpuasa hal itu adalah suatu realitas dan ini dimungkinkan karena
disiplin spiritual yang mendasari puasa itu. Kesadaran baru tentang
hidup yang lebih tinggi, suatu kehidupan yang lebih tinggi daripada
59
kehidupan yang diperoleh daripada kehidupan makan dan minum.
Orang yang puasanya berhasil dan jiwanya stabil, maka kejiwaan
seperti ini akan kondusif untuk melaksanakan norma agama. Sehingga
orang yang berpuasa akan cenderung beragama dengan baik
(Nurcholis, 2000: 8).
2. Dimensi Moral
Moral merupakan aspek yang sangat dibutuhkan untuk
menentukan nilai baik dan buruk, benar dan salah dari setiap tindakan
seseorang (Zainal Abidin, 1975:157). Dalam puasa, terdapat pula
dimensi moral, karena puasa merupakan latihan yang kepada manusia
diajarkan ajaran moral yang paling tinggi dalam kehidupannya,
pelajaran bahwa ia harus siap untuk menderita kekurangan dan harus
melintasi cobaan yang paling berat lebih daripada tenggelam dalam
apa yang tidak diperbolehkan kepadaya. Dengan puasa orang dilatih
untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diijinkan, dan hal itu dapat
memperkokoh segi moral dalam kehidupan manusia. Sehingga ide
bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan harus dijauhi
dan perbuatan dosa harus ditinggalkan, hal itu berkembang dengan
perantara puasa.
Aspek lain dari perkembangan moral manusia dengan jalan puasa
adalah orang itu diajarkan untuk melawan keinginan-keinginan fisik.
Orang yang mampu melawan keinginanya maka dirinya tidak akan
60
diperbudak oleh nafsu, sehingga orang akan dapat mencapai kebesaran
moral sebenarnya. Selain itu, moral yang dapat dikembangkan dengan
puasa adalah sifat kejujuran. Dalam ibadah puasa, kejujuran yang
dituntut adalah kejujuran terhadap dirinya sendiri di samping jujur
kepada orang lain, orang yang tahu persis apakah seseorang itu
berpuasa atau tidak, adalah dirinya sendiri, orang lain dapat
dibohonginya (Zakiyah Darajat, 1996:32). Puasa juga melatih diri
untuk bersifat amanah. Pada dasarnya puasa merupakan amanat Allah
yang berat dan sukar memeliharanya. Maka apabila kita dapat
memelihara amanah Allah dengan sempurna, terdidiklah kita untuk
memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita (Hasby
Ash Shiddiqi, 1973:324).
3. Dimensi Sosial
Selain dari nilai spiritual, dan moral, berpuasa sebagaimana
diterangkan dalam Al-Qur‟an juga memiliki nilai-nilai sosial yang
lebih efektif. Puasa melatih seseorang untuk merasakan pedihnya rasa
lapar yang dirasakan kebanyakan orang miskin diluar sana. Mengingat
dan merasakan penderitaan orang lain merasakan lapar dan haus juga
memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan
yang dirasakan orang lain. Rasa lapar ini memberikan gambaran bagi
orang Islam yang kaya maupun yang miskin pada kondisi kesamaan
(Imam Musbikin, 2001:110).
61
Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan
rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami
penderitaan. Masih begitu banyak saudara kita yang hidup di bawah
garis kemiskinan, yang tidak setiap hari bisa makan. Bahkan bukan
tidak mungkin mereka hidup dalam lingkungan tetangga kita sendiri.
Sehingga dengan puasa akan menumbuhkan rasa simpati kepada
orang-orang miskin, bagi orang yang mampu untuk mendermakan
sebagian hartanya untuk disedekahkan kepada mereka. Nurcholis,
(2000:9) berpendapat, dalam konteks sosial yang lain, orang yang
berpuasa akan lebih bisa mengendalikan diri. Terutama dalam
melaksanakan norma sosial menurut agama, dia tidak akan menyakiti
atau merusak harta benda orang lain.
4. Dimensi jasmani
Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan pokok dari kehidupan
manusia. Jika kebutuhan itu tidak dipenuhi akan terjadi kegoncangan,
atau terasa sakit. Diantara kebutuhan yang pokok bagi manusia adalah
makan, minum dan seks. Diantara hikmah puasa yang paling penting
adalah memperkuat mental, sehingga dapat menguasai dorongan yang
datang dari dalam diri, baik berupa dorongan biologis, maupun
kegoncangan emosi, yang diakibatkan oleh tidak tersalurkannya
dorongan biologis itu. Selain itu puasa juga dapat menghindarkan diri
dari beberapa penyakit. Sebagaimana beberapa penelitian yang
dilakukan oleh para pakar kesehatan dan kedokteran, bahwa riset yang
62
mereka lakukan terbukti bahwa puasa dapat menyembuhkan dan
menghindarkan diri dari beberapa penyakit seperti (Syarifah
Salwasalsabila, 2008:70):
a. Membangun jaringan-jaringan sel yang telah rusak.
b. Mencegah dari penyakit tumor.
c. Menjaga kadar gula dalam darah.
d. Mencegah dan menyembuhkan penyakit-penyakit kulit.
e. Meminimalisir alergi kulit dan membatasi masalah kulit berlemak.
f. Mencegah sakit persendian tulang.
Berkaitan dengan jasmani, puasa merupakan media yang dapat
dimanfaatkan untuk melemahkan hawa nafsu. Puasa mengurangkan
kesempatan untuk makan, yang biasanya tiga kali sehari, menjadi dua
kali yakni pada saat sahur dan berbuka. Dengan berkurangnya
makanan dan minuman yang masuk maka akan mempengaruhi saraf
dan otot dalam tubuh manusia sehingga dorongan hawa nafsu akan
menurun. Apabila manusia menghentikan larangan Allah pada waktu
puasa, yaitu sejak terbit fajar hingga terbenam matahari berarti bahwa
ia telah mampu menahan kebutuhan-kebutuhan jasmani yang
mendesak, atau dengan perkataan lain, ia mampu menahan dirinya.
63
D. Syarat, rukun, Sunah dan Hal yang Membatalkan Puasa Dalam
Aspek Fiqih
1. Syarat Puasa
Para ulama‟ fiqih membedakan syarat-syarat puasa atas 2 hal:
a. Syarat wajib
1) Berakal sehat (aqli)
2) Baligh (sampai umur)
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa‟i
menyebutkan:
حض ج ثى ػ قع ضض حض ثىجة علط:ػ ػ سفغثىقي
ذيغ)سثددثدثىضجا( حض ثىصذ ػ ق, ف
Artinya: “Tiga orang yang terlepas dari pada hukum, yaitu
orang-orang yang tidur hingga ia bangun, orang gila
sampai ia smbuh dan kanak-kanak sampai mereka
dewasa.”(HR. Abu Daud dan An- Nasa‟i)
3) Kuat berpuasa (Moh. Rifa‟i dan Kyai Baghawi
Mas‟udi,1986:144) Kewajiban ini berdasarkan QS. Al-Baqarah
ayat 183:
ؤج مضخٱىز ث ءث ن ػي ج ٱىص ػي مضخ ج م ٱىز
صضق ىؼين (٨)قذين
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum
kamu, supaya kamu semua bertaqwa kepada Allah swt.”
64
b. Adapun syarat sah puasa diantaranya adalah:
1) Islam
Orang yang bukan Islam(kafir) tidak sah puasanya, demikian
pula orang yang murtad.
2) Mumayyiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik
dengan yang tidak baik).
3) Suci daripada haid, nifas dan wiladah. Wanita yang mengalami
haid maka digugurkan tas dia kewajiban bepuasanya akan
tetapi diwajibkan untuk mengqadha sebanyak puasa yang
ditinggalkan setelah selesai bulan puasa. Nifas dan wiladah
disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu menyusui
anaknya ia boleh membayar fidyah. Di sinilah letak perbedaan
antara meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa bagi
orang yang sedang haid.
4) Dikerjakan dalam waktu/hari yang diperbolehkan puasa.
2. Rukun Puasa
Rukun puasa meliputi:
a. Niat
Niat berarti bermaksud untuk mengerjakan puasa tanpa harus
dilafalkan. Kedudukan niat dalam ajaran Islam penting sekali,
karena ia menyangkut dengan kemauan. Hadits Nabi s.a.w yang
diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan:
65
ج شا ث جىنو إ جس, جهدجثى جثلػ إ
Artinya: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung
kepada niat, dan setiap niat hanya memperoleh
menurut apa yang diniatkannya.”(HR Bukhari)
Dengan amalan hati, maka orang yang berniat puasa adalah
orang yang mulai mengarahkan hatinya dengan tekad akan
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam puasa baik yang
bersifat anjuran maupun yang bersifat larangan untuk mendapat
ridho-Nya.
b. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit
fajar sampai terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah
QS. Al-Baqarah ayat 187:
أحو يز ى ىن ج فظٱىص ىذجسٱىش أض ىذجسىن ضجةن إى
ػي ى ٱلل ػن ػفج ن ػي فضجح أفضن صخضج مض ن أ
ف ـ ٱى شش جمٱدضغثد خض ٱلل ميث ٱششدثىن ضذ حض
ػىن ٱلدطٱىخ ػ دٱىخ ٱلص ٱىفجش ث أص ع ج ٱىص
و إى فٱى نف ػ أض شش لصذ جذ ض ٱصيلحذدٱى فللل
ىلذ مز صقشدج ٱلل ض ۦءث ضق (٨١)ىيجسىؼي
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
66
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.”
Sabda Nabi s.a.w
ثىقبفيش سػ ر : صج. ههللا سص قجه شر أدش ػ
ذثفيقط)سثثددثسد.......( ثصضقجءػ قعجء, ػي
Artinya: Dari Abu Hurairah telah bersabda Rosulullah s.a.w:
“Barang siapa terpaksa muntah tidaklah wajib
mengqadla puasanya, dan barang siapa yang
mengusahakan muntah dengan sengaja, maka
hendaklah dia mengqadla puasanya.”
3. Sunah Puasa
Kesempurnaan puasa lebih banyak ditentukan oleh kesempurnaan
dalam menjalankan tata aturan puasa itu sendiri. Berikut hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam berpuasa diantaranya:
67
a. Berniat akan berpuasa secara ikhlas dalam rangka pengabdian diri
kepada Allah Swt.
b. Makan sahur, hal ini sesuai sabda nabi yang artinya: Dari Anas,
Rasulullah bersabda: “makan sahurlah kamu, sesungguhnya
makan sahur itu berkah.”(HR. Al Bukhari dan Muslim)
c. Menjauhkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa ataupun
sesuatu yang dapat mengurangi pahala puasa.
d. Segera berbuka puasa apabila sudah tiba waktunya. Sesuai sabda
nabi yang artinya: Manusia selalu dalam kebaikan selama mereka
menyegerakan berbuka puasa.(HR. Al Bukhari dan Muslim)
e. Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis atau dengan air
lalu sembahyang. Sesuai sabda Rosul yang artinya:
“Rasulullah s.a.w berbuka sebelum sembahyang dengan lutab
(kurma tua), bila tidak ada, dengan „tamar‟(kurma biasa) dan
bila tidak ada beliau minum beberapa teguk air.”(HR. At
Tarmidzi)
f. Berdoa sebelum berbuka puasa
g. Memberi makan orang yang berpuasa (ta‟jilan)
h. Memperbanyak sedekah
i. Sembahyang tarawih dan witir (khusus pada bulan Ramadhan)
j. Beriktikaf di masjid (khusus pada bulan Ramadhan)
68
4. Hal-hal yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa
a. Yang membatalkan
Tiga hal yang jelas disebutkan dalam Al-Qur‟an diantara hal yang
menyebabkan batalnya puasa adalah makan, minum dan
berhubungan seks. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah
ayat 187:
ثلدط ثىخػ ىن ضذ حض ث ثىششد ث مي د ثلص ثىخػ
و ثىثى ج ثثىص ثص ثىفجش,ع .........
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa
bercampur dengan isteri kamu.... dan makan,
minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih
dari benang hitam dari fajar.......”
Selain dari ketiga hal tersebut ada pula hal-hal yang membatalkan
puasa diantaranya:
1) Muntah dengan sengaja
2) Keluar darah haid dan nifas
3) Bila datanganya waktu sedang menjalankan puasa seperti salah
satunya adalah gila.
b. Hal-hal yang mengurangi pahala puasa
Sedangkan selain batal puasa seseorang juga bisa terkurangi
pahalanya diantara hal yang menyebabkan ialah:
1) Bila meninggalkan hal-hal yang sunat dan dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh seseorang yang sedang puasa.
69
2) Bila mata, mulut, telinga, tangan dan anggota tubuh yang lain
melakukan hal yang kurang baik.
3) Bila hati tidak sepenuhnya tertuju kepada Allah Swt.
Kita sebagai umat manusia tentunya memiliki keinginan
untuk mendapatkan pahala secara sempurna karena jika
dipertimbangkan, tentunya seseorang akan rugi dengan puasa
yang dijalankan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari
dengan menahan nafsu akan tetapi hanya mendapat lapar dan
dahaga saja tanpa mendapat pahala. Maka dari itu mari
melaksanakan puasa dengan mempertimbangkan apa yang
menjadi rukun, syarat, sunah dan hal-hal yang mengurangi pahala
bahkan yang membatalkan puasa.
E. Macam-macam Puasa
Puasa dari segi pelaksanaannya hukumnya dibagi atas:
1. Puasa wajib
Yang meliputi puasa ramadhan, puasa kifarat, puasa nadzar dan puasa
qodlo.
a. Landasan hukum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah firman
Allah swt, dalam QS. Al-Baqarah ayat 183:
ؤج ٱىز ن ثمضخػي ءث ج جمضخػيٱىص م ٱىز قذين
صضق (٨)ىؼين
70
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
b. Sedangkan landasan hukum diwajibkannya puasa kifarat adalah
firman Allah QS. Maryam ayat 26:
ٱششدفني صش ج فئج ػ قش ٱىذشش إ فقى أحذث
جفي ص ح زسسىيش أمي جٱى ()إض
Artinya: Maka katakanlah:“Sesungguhnya aku telah bernadzar
berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah , maka aku
tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini.”
c. Puasa Qadla adalah puasa yang wajib dikerjakan karena
meninggalkan puasa di bulan Ramadahan karena uzur, sakit atau
berpergian sebanyak hari yang ditinggalkan. Seperti firman Allah
dalam QS. Al-Baqarah ayat 184:
ج فؼذأج صفش ػي أ شعج ن مج ف س ؼذد أج ر
ػي أخش ۥطقٱىز شثف عخ صط ف ضن فذزغؼج
شى ۥ خ صؼي إمض شىن ثخ أصص (٨)
Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
71
2. Puasa sunat atau puasa tathawu’
Beberapa macam puasa sunat diantaranya adalah:
a. Puasa 6 hari bulan syawal Sebagaimana sabda Rosulullah s.a.w
yang artinya: “Dari Abu Ayyub, Rasulullah s.a.w telah berkata:
Barang siapa puasa pada bulan Ramadhan, kemudian ia puasa
pula enam hari di bulan Syawal dalah seperti puasa sepanjang
masa”.(HR. Muslim)
b. Puasa hari Senin dan Kamis Sebagaimana sabda Rasulullah
s.a.w yang artinya, Dari Aisyah: ”Nabi Muhammad s.a.w memilih
waktu puasa pada hari Senin dan Kamis.”(HR. at. Tarmidzi)
c. Puasa hariArafah (9 Zulhijjah), sebagaimana sabda Rasulullah
s.a.w yang artinya, Dari Abu Qatadah: Nabi besar s.a.w telah
bersabda: “Puasa hari Arafah itu menghapuskan doa dua tahun,
satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang kan datang.”(HR.
Muslim)
d. Puasa pada hari Asyura (1 Muharam)Sebagaimana sabda
Rosulullah s.a.w yang artinya: Dari Abu Qatadah Nabi
Muhammad s.a.w bersabda“Puasa hari Asyura itu
menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.”
e. Puasa pada bulan Sya’ban, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w
yang artinya, Kata Aisyah: ”Saya telah melihat Rasulullah s.a.w
menyempurnakan puasa satu bulan cukup selain dari bulan
Ramadahan, dan saya tidak melihat beliau pada bulan-bulan lain
72
berpuasa lebih banyak pada bulan Sya‟ban.”(HR. Bukhari dan
Muslim)
f. Puasa tengah bulan 13,14,15 bulan Qamariyah, sabda
Rasulullah s.a.w yang artinya, Dari Abu Zar: “ Rasulullah s.a.w
telah bersanda: “Hai Abu Zarr, apabila engkau hendak puasa
hanyatiga hari dalam satu bulan, hendaklah engkau puasa pada
tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas”.(HR. Ahmad
dan An Nasa‟i)
3. Puasa makruh
Yaitu puasa yang dilaksanakan terus menerus sepanjang masa
kecuali pada bulan haram, di samping itu makruh puasa pada setiap
hari Sabtu atau setiap Jua‟at saja.
4. Puasa haram yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu:
a. Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)
b. Hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah)
c. Hari-hari Tasyriq (11,12,13 zulhijjah)
Hal itu telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w yang artinya:
“Dari Anas, bahwasanya Nabi s.a.w telah melarang berpuasa
dalam lima hari setahun yaitu Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul
Adha, Hari Tasyriq.”(HR. Ad Daruqthni)
F. Hikmah dan Rahasia Puasa
Faedah puasa sangatlah banyak, baik bersifat spiritual maupun material.
Puasa merupakan madrasah moralitas yang besar dan dapat dijadikan
73
sarana latihan untuk menempa berbagai macam sifat terpuji. Berikut
adalah faedah puasa diantaranya Wahbah al-Zuhaily (1995:86):
1. Puasa mendidik seseorang bersikap jujur dan merasa diawasi oleh
Allah Swt.
2. Puasa dapat memperkuat kemauan, mempertajam kehendak,
mendidik kesabaran, membantu kejernihan akal, menyelamatkan
pikiran, dan mengilhami ide-ide yang cemerlang.
3. Puasa mengajarkan sikap disiplin dan ketepatan.
4. Puasa dapat menimbulkan rasa solidaritas di kalangan umat Islam.
5. Puasa dapat menumbuhkan naluri kasih sayang, ukhuwah dan
persaudaraan sesama umat Islam.
6. Puasa merupakan perjuangan menahan nafsu serta
membebaskannya dari cengkraman dan dosa dunia.
Sedangkan Zakiyah Darajat (1996:258) mengelompokkan faedah
puasa atas nilai rohani dan jasmani.
1. Nilai Rohani
Dalam Islam puasa mengajarkan diri untuk melatih disiplin rohani,
melatih diri terhadap batasan-batasan yang telah ditentukan.
Diantaranya ajaran-ajran akhlaq puasa akan tampak nilai-nilai
berikut:
a. Persamaan derajat selaku hamba Allah
b. Peri kemanusiaan dan suka memberi
c. Ketabahan menghadapi cobaan dan godaan
74
d. Amanah (dapat dipercaya)
e. Jujur dan disiplin
2. Nilai Jasmani
Sedangkan secara jasmani puasa mengandung hikmah seperti saat
berpuasa ada proses pengistirahatan perut dan organ
kelengkapannya, ibarat sebuah mesin yang dipakai setiap hari,
bulan sampa bertahun-tahun makan akan rusak. Puasa merupakan
norma Allah untuk mengatasi dan mengurangi proses “aus” alami
tersebut. Adapun rahasia puasa menurut Imam Al-Gozali dalam
tarjamah kitab Ihya „Ulumuddin (1982:89) diantaranya:
Yang pertama, adalah karena puasa merupakan ibadah yang
bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia,
tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang
melakukan puasa, tidak seperti shalat, zakat dan lain sebagainya.
Yang kedua, adalah puasa sendiri merupakan cara mencegah dan
melemahkan musuh Allah, dan seburuk-buruk musuh Allah adalah
syaithan. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali
hanya dengan perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan
manusia. Dalam hal ini rasa lapar dapat mengalahkan syahwat dan
hawa nafsu. Nabi pernah bersabda:
طثىشإ شجىج قعفثىذشجآدثد سججث عجىجد
75
Artinya: "Sesungguhnya syaithan mengalir dari dalam darah Bani
Adam seperti mengalirnya darah, maka semptikakanlah
jalannya dengan rasa lapar!" (H.R Mutafaqun „Alaih).
Maka ruh dan rahasia puasa itu adalah melemahkan kekuatan yang
menjadi perantaraan syaitan dalam kembali kepada keburukan-
keburukan, dan hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan
menyedikitkan makanan yang biasa dimakan setiap malam
seandainya tidak berpuasa.
76
BAB IV
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM
IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF
A. Nilai Kecerdasan Spiritual Dalam Puasa
Kecerdasan spiritual merupakan pelengkap dari kecerdasan-
kecerdasan yang muncul sebelumnya yakni kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional. Munculnya pendapat baru mengenai kecerdasan
spiritual salah satunya dikarenakan banyak orang yang berilmu namun
merasa dirinya banyak merasakan keresahan hati. Banyak orang pandai
namun berperilaku ataupun bekerja melanggar norma-norma agama. Dari
masalah tersebut beberapa ilmuwan mengungkapkan ada kecerdasan baru
yang mampu mengatasi beberapa masalah diatas. Akhirnya ditemukannya
kecerdasan baru yakni kecerdasan spiritual, kecerdasan inilah yang
dianggap mampu mengatasi beberapa masalah di atas. Untuk memiliki
kecerdasan spiritual diperlukan beberapa upaya, salah satunya dengan
melakasanakan ibadah, baik ibadah yang kaitanya dengan Allah maupun
kepada sesama manusia. Dengan jalan ibadah seseorang akan lebih dekat
dengan tuhannya. Karena hakekat kecerdasan spiritual adalah ketika
seseorang merasa hatinya damai, sedangkan kedamaian tersebut akan
dirasakan ketika diri dekat dengan Allah. Hal itu didasarkan kepada
sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwasanya
Rosulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman yang artinya :
77
“Aku berada pada prasangka hambaKu, dan Aku selalu bersamanya jika
ia mengingatKu, jika ia mengingatKu dalam dirinya, maka Aku
mengingatnya dalam diriKu, dan jika ia mengingatKu dalam
perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih
baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepadaKu sejengkal maka
Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri
kepadaKu sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia
mendatangiKu dengan keadaan berjalan, maka Aku mendekatinya dalam
keadaan berlari.”
Dari keterangan hadits diatas bahwasanya Allah berada dekat dengan
hamabNya, ketika hamba mau mendekatkan diri kepadaNya. Melihat
eksistensi manusia yang berkedudukan sebagai makhluk spiritual,
kebahagiaan manusia tidak bisa lagi diukur dengan uang, kesuksesan,
kepuasan seksual dan lain-lain, tetapi kebahagiaan yang diletakkan dalam
wilayah spiritual (hati nurani). Kecerdasan spiritual mampu
mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai
kebermaknaan (SQ) yang tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya
berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan
didapatkan. Jika hati telah tenang (EQ) maka aliran darah menjadi teratur
sehingga individu akan dapat berfikir secara optimal (IQ) (dikutip dari
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/04/opi03.htm. pada hari selasa
14 juni 2016, 09:35)
Beberapa ilmuwan mengatakan begitu pentingnya kecerdasan
spiritual bagi keberlangsungan hidup manusia. Beberapa pendapat juga
mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang
paling penting bagi manusia karena saat ini yang diperlukan bukan orang
pandai dan berilmu saja akan tetapi saat ini dibutuhkan orang yang mampu
78
mengelola dirinya dari segala sesuatu yang mengarahkan kepada
keburukan. Semua kecerdasan pada dasarmya dapat dikembangkan
termasuk kecerdasan spiritual. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa
upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual
diantaranya adalah dengan melakukan ibadah, salah satunya dengan
mengerjakan rukun Islam (sholat, zakat, puasa dan haji). Dengan demikian
kecerdasan spiritual seseorang akan terasah dan berkembang. Dalam rukun
Islam salah aspekya adalah puasa, berkaitan dengan kecerdasan spiritual
puasa menjadi salah satu metode untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual. Namun puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual
adalah puasa yang dilakukan dengan kebersihan jiwa dan kesucian hati,
atau istilahnya puasa yang melibatkan nurani. Puasa dengan hati nuranilah
yang menjadi cara penting untuk menyucikan hati. Dikutip dari buku
karangan Dahlan, (2010: 112) Istilah puasa dengan hati nurani oleh imam
Ghozali dikenal dengan puasa tingkat khususul khusus yakni puasa hati
dari keprihatinan agama dan berpikir urusan duniawi serta menjaga hati
dari berprasangka kepada selain Allah SWT. Karena hakekat puasa pada
tingkat ini adalah menghadapkan dirinya secara total kepada Allah.
Puasa seperti ini, selain menghindari nafsu berupa makan, minum,
melakukan hubungan seksual, juga menghindarkan indera dari perbuatan
dosa. Puasa ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari Allah,
baik berupa pahala, kesehatan, balasan atau bahkan surga. Puasa tersebut
dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena perintah Allah. Sebab jika
79
suatu ibadah dilaksanakan karena motivasi-motivasi lain, maka yang
didapat hanyalah apa yang diharapkan, sedang yang lain tidak akan
diperolehnya (Humaidi, 2001:15). Oleh karena itu, ikhlas adalah kata
kunci pelaksanaan ibadah puasa (juga ibadah yang lain). Jika ibadah puasa
dilaksakan dengan ikhlas (semata-mata melaksanakan perintah Allah),
maka rentetan manfaatnya bukan hanya berupa pahala, surga, kesehatan
atau apa pun yang diharapkan. Lebih dari itu, Allah akan memberikan
keridhaan kepadanya. Siapa pun yang memperoleh ridha, maka apa pun
yang dimiliki oleh Allah akan diberikan kepadanya, diminta atau tidak.
Jika seorang muslim berpuasa dengan ikhlas, maka kelak ia akan
mendapatkan hak-haknya berupa kebahagian dan ketenangan hidup.
Puasa hati nurani inilah yang akan memancarkan cahaya
ketuhanan, yang terpancar dari dalam jiwa manusia. Jiwa manusia yang
tenang, akan mudah menerima hidayah dan cahaya keagungan Tuhan
dalam menjalani kehidupan. Hidayah inilah yang akan menuntun dan
mempermudah manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup
yang semakin kompleks. Apa yang ingin ditekan di sini adalah bahwa hati
yang bersih lebih mudah menerima kecerdasan spiritual yang dipancarkan
oleh Allah. Puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual adalah
puasa yang dilakukan oleh orang yang melihat segala sesuatu dengan mata
hati. Mata hatilah yang dapat menyingkap hakikat kebenaran yang tak
tampak oleh mata. Puasa yang dilakukan tanpa melibatkan mata hati
adalah puasa yang hampa, kehilangan nilai ilahiahnya. Dengan demikian,
80
indikator keberhasilan puasa seseorang bukan pada bentuk lahiriah
ibadahnya, tetapi pada kegiatan amaliah dan sikap hidupnya (Abu
Rakhmad dan Umar Ma‟ruf dalam harian suara merdeka, 14 Juni 2016,
9:35).
Puasa juga dapat membantu memperjelas pandangan mata, karena
pada saat puasa manusia dilatih untuk mencegah makan dan minum
sehingga racun yang ada dalam tubuh sedikit demi sedikit akan berkurang,
sehingga kecerdasan akan meningkat. Sebenarnya setiap ibadah yang
dilakukan dengan melibatkan hati tentu dapat menjadi landasan dalam
mengembangkan kecerdasan spiritual seperti misalnya ibadah sholat,
zakat/ shodaqoh, haji yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada
Allah tentu akan menghasilkan pribadi yang bersih hatinya. Karena
hakekat kecerdasan spiritual terletak pada sifat ihsan yakni adanya
kemampuan menempatkan hati dan selalu merasakan kebersamaan dirinya
dengan Allah dalam setiap aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Akan
tetapi dalam hal ini Allah mengkhususkan ibadah puasa dari ibadah yang
lain dikarenakan ibadah puasa kaitannya hanya antara Allah dan seorang
yang menjalankan. Jika ibadah lain seperti sholat, zakat dan haji misalnya
aktifitasnya masih bisa dilihat oleh manusia, sehingga diperkirakan
manusia masih bisa melakukan kecurangan dalam melaksanakannya. Pada
saat orang melaksanakan salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat,
dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada
orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.
81
Pada saat puasa seseorang juga dilatih jiwa spiritualnya, karena puasa
hanya berkaitan antara diri sendiri dan Allah, sehingga bisa saja seseorang
berbohong kepada yang lainnya dengan mengatakan dirinya berpuasa
padahal sebenarnya tidak. Dalam aktifitas puasa sifat ihsan amat
dibutuhkan untuk mencegah hal sedemikian rupa.
Dalam sebuah ayat Al-Qur‟an telah dijelaskan kurang lebih
bahwasanya orang yang berpuasa akan sampai pada derajat takwa.
Membahas mengenai takwa, pada dasarnya takwa merupakan aspek yang
erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual. Karena kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan ruhani manusia, maka takwa merupakan efek dari
kecerdasan ruhani tersebut. Indikator takwa salah satunya adalah
kemampuan untuk istiqomah dalam menjalankan ibadah, adanya semangat
untuk selalu menambah kebaikan. Tepat sekali apabila puasa menjadi
metode dalam meningkatkan ketakwaan seseorang. Dalam aktifitas puasa
seseorang dituntut untuk berperang dengan hawa nafsu, dengan
menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Sehingga ketika
nafsu melemah maka cahaya Allah akan masuk ke dalam hati manusia
yang menjadikan seseorang sampai kepada derajat takwa. Dalam nilai
spiritual puasa akan menepis sifat kebinatangan yang ada pada manusia,
yaitu sifat yang hanya bergairah kepada makan dan minum serta
semisalnya. Hal itu sebagai bentuk bagaimana Allah yang Maha Bijaksana
mengajarkan bagaimana cara mengemban amanat, tidak meninggalkan dan
tidak melampui batas.
82
Untuk itu Allah memerintahkan manusia khususnya yang beriman
untuk mau melaksanakan puasa dalam rangka menjaga manusia dari
segala perbuatan keji yang hanya berbau sifat binatang tadi. Sehingga
nantinya akan menjadi suatu alat yang mudah untuk mengangkat derajat
manusia untuk selalu di atas dibanding dengan makhluk-makhluk yang
lain, disebabkan manusia tersebut telah memiliki jiwa yang baik.
Kejiwaan yang baik akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah, di mana
manusia tesebut akan lebih mudah ke arah kebaikan (sifat malaikat)
daripada ke arah kejelekan (sifat kebinatangan), disebabkan kebiasaan
latihan kejiwaan pada saat berpuasa. Nilai spiritual lain dalam ibadah
puasa adalah ketika kehidupan zaman sekarang yang cenderung membuat
silau dan banyak dikuasai oleh materialisme (keduniaan) dari pada yang
bersifat keakhiratan. Maka dengan jalan berpuasa diharapkan orang akan
lebih bisa menghadapi kesenangan-kesenangan yang hanya akan
membawa menuju kemaksiatan. Dan akan lebih mudah memelihara,
menjaga, lebih-lebih bisa memagari dirinya dari segala godaan
keduniawian yang menyesatkan.
B. Indikator Kecerdasan Spiritual dalam Puasa Perspektif Tasawuf
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwasanya penulis
menyimpulkan indikator orang yang memiliki kecerdasan spiritual dari
beberapa pendapat para ilmuwan maupun ulama‟, kemudian dalam bab ini
indikator kecerdasan spiritual akan diuraikan melalui pandangan tasawuf
yang dikaitkan dengan ibadah puasa sebagaimana berikut:
83
1. Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai
Setiap orang dalam hidupnya tentu memiliki tujuan, meskipun
tujuan masing-masing orang adalah berbeda-beda. Khususnya bagi
orang yang beriman tujuan hidup yang harus dicapainya adalah tujuan
hidup di dunia dan di akhirat. Tujuan hidup di dunia tak lain adalah
untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang bersifat fisik sehingga
untuk mendapatkannya seseorang terlebih daluhu harus berusaha dan
bekerja. Sedangkan mengenai tujuan yang bersifat akhirat tak lain
adalah untuk sampai kepada keridhaan Allah, sehingga usaha yang
dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan ibadah, baik ibadah
yang sifatnya mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Adapun ibadah
mahdhoh adalah dengan melaksanakan rukun Islam seperti sholat,
puasa, zakat, dan haji. Diantara ibadah-ibadah mahdhoh diatas ibadah
yang paling istimewa bagi Allah adalah puasa, hal demikian terjadi
karena tujuan orang berpuasa hanyalah untuk mencari ridho Allah.
Puasa bagi para sufi tidak lagi dimaknai sebagai proses menahan
jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat perut dan
birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu. Bagi mereka, puasa
adalah perjuangan jiwa dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan
dosa-dosa batin. Dosa lahir bersumber dari tujuh anggota tubuh, dua
mata, dua telinga, mulut, perut, dan kemaluan. Dosa batin adalah
segala hal yang dapat menyeret hati ke lembah menduakan Tuhan
seperti, „ujub, takabbur, riya‟, sum‟ah, hasad, cinta dunia dan lain
84
sebagainya. Tapi bagi para sufi yang telah mencapai maqam (derajat)
akhir dalam perjalanan spiritual, puasa itu bukan lagi berkisar dalam
peperangan hati dari segala dosa-dosa batin, karena melalui perjalanan
(Thariqah) yang panjang, melintasi beberapa tangga untuk dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya (ma‟rifatullah).
Dalam buku karangan Amin Syukur, (2002:50) mengutip pendapat
dari Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi yang merinci jalan menuju
ma‟rifatullah diantaranya adalah: taubat, zuhud, sabar, wara‟,
kerendahan hati, taqwa, tawakkal, kerelaan, cinta dan ma‟rifat. Setelah
jalan tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap maka hati mereka
menjadi bening, bersih dari kotoran-kotoran batin. Sehingga puasa
bagi golongan sufi tingkat tinggi ini, adalah menahan hati dari
musyahadah kepada selain Allah, dan dari mencita-citakan sesuatu
selain Allah. Bagi mereka tiada yang disembah, diinginkan, dicintai,
dan dimaksud kecuali Allah. Sehingga jika terlintas dalam hati
keinginan atau cita-cita selain Allah maka rusaklah puasa mereka.
2. Autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri)
Indikator kecerdasan spiritual yang kedua ini jika dihubungkan
dengan ibadah puasa sangat berkaitan. Karena pada dasarnya sifat
orang yang berpuasa adalah adanya rasa tanggung jawab dan jujur
kepada dirinya sendiri. Meyakinkan hati untuk berniat melaksanakan
puasa hanya untuk Allah serta bertanggung jawab untuk menjaga
mata, telinga, perut serta kemaluan (nafsu) dari perkara yang dilarang
85
Allah. Adapun orang yang berpuasa harus jujur kepada dirinya sendiri
karena pelaksanaan puasa tidak diketahui kecuali dirinya sendiri dan
Allah yang Maha Melihat. Karena puasa bukanlah ibadah yang
dilakukan oleh gerakan badan. Maka dari itu Allah berfirman “Puasa
adalah untukKu dan akulah yang akan membalasnya”. Hal demikian
karena tiada orang yang tahu bagaimana ciri orang yang berpuasa,
hanya Allah yang dapat menilai dan membalasnya.
Dikutip dari (http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapa
pahala puasa tak ada malaikat_07.html pada hari Selasa 09 Agustus
2016, 10:30) Puasa adalah menyifati diri dengan sifat yang tidak kita
miliki, yaitu menyifati diri dengan sifat yang berlawanan dengan sifat
diri kita. Hakekat kita adalah zat dengan sifat yang membutuhkan (al-
faqir). Dengan puasa, sebenarnya kita lagi menyifati diri dengan sifat
yang tidak sesuai dengan zat diri kita, yaitu sifat tidak membutuhkan
(al-ghaniy), karena al-ghaniy adalah sifat Allah SWT semata. Berbeda
dengan sedekah, sholat, berbakti pada orang tua dan membaca Al-
Qur‟an pahalanya adalah sepuluh hingga tujuh puluh kali lipat.
Sementara ibadah puasa Allah tidak memberitahukan pahalanya.
3. Memiliki kesadaran hidup yang tinggi
Di dunia ini Allah menciptakan manusia sebagai seorang hamba,
yang memiliki kewajiban untuk mengabdi dengan melaksanakan
kewajiban-kewajibanNya seperti melaksanakan ibadah, baik ibadah
yang berkaitan dengan Allah maupun ibadah yang hubungannya
86
terhadap sesama makhluk. Allah berfirman dalam Q.S Al-A‟raf ayat
172:
إر ر ظس ءثد د أخزسدل أفض ػي أشذ ض س
صقىث أذج ش دي قجىث دشدن زأىضش زثٱىق ػ مج إج
في (١)غ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Dari ayat diatas jelas bahwa jauh sebelum anak dilahirkan, Allah
telah mempersaksikan kepada setiap calon manusia untuk bersaksi
bahwa hanya Allah Tuhan yang wajib di sembah tanpa
mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Allah juga berfirman
dalan Q.S Adz-Dzariat ayat 56:
ج خيقش شٱىج ٱل ىؼذذ ()إل
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembahKu”.
Dari ayat kedua ini manusia harus sadar bahwa penciptaan dirinya
di dunia ini adalah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan dunia hanya sebagai
pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup. Dikutip dari
(http://yuksholat5.blogspot.co.id/2011/12/berpuasayangberadab.html
87
pada hari Selasa 9 Agustus 2016 pukul 10:23) di kisahkan oleh
seorang sufi “Abu Abdillah Ahmad bin Jabban - rahimahullah –
beliau berpuasa selama lebih dari lima puluh tahun. Beliau tidak
pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian
maupun saat di rumah. Suatu hari teman-temannya memaksanya
untuk tidak berpuasa, akhirnya la membatalkan puasanya. Setelah
itu beliau sakit beberapa hari akibat dia membatalkan puasanya,
dan hampir saja tidak bisa melakukan yang fardhu.”
Dari kisah tersebut nampak bahwa kehidupannya benar-benar
hanya untuk beribadah kepada Allah. Pada dasarnya ibadah yang
dilakukan secara berkelanjutan akan terasa lebih mudah dan ringan,
karena nafsu sudah dapat terkendalikan. Akan tetapi, ketika nafsu
sudah terbiasa terpenuhi maka ibadah akan terasa berat untuk
dikerjakan. Berkaitan dengan ibadah puasa Nabi Muhammad saw
bersabda, “Sebaik-baik puasa adalah puasa saudaraku, Dawud a.s.
la sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa” (HR. Bukhari
Muslim dan Ashhabus-Sunan). Karena memang puasa Nabi Dawud
adalah puasa yang paling berat. Mereka juga mengatakan, bahwa
puasa ini lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada puasa setahun penuh.
Sebab nafsu seseorang yang telah terbiasa dengan puasa terus-
menerus akan berat bila la tidak berpuasa.
Demikian juga sebaliknya, jika nafsu seseorang telah terbiasa tidak
berpuasa, maka akan berat bila la berpuasa. Sedangkan puasa
88
Dawud, dimana sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa tidak akan
memberikan kebiasaan nafsu untuk berpuasa atau tidak berpuasa.
Oleh karenanya ada orang yang mengatakan, bahwa puasa Dawud
adalah puasa yang paling berat. Pentingnya kesadaran diri dalam
kehidupan ini sebagai upaya menempatkan kedudukan yang tepat
dan sesuai dalam keadaan juga situasi apapun.
4. Merasakan kehadiran Allah
ث ى فج ج ثىص ؤةزظؼفثل ثىصذؼ غجىج حضزدؼششثث جمو
)ثىذخجس( ثجزد
Artinya: ”Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai
tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa
itu untuk-Ku dan Aku membalasnya.”( H.R Al-Bukhari)
Maksudnya bahwa puasa seseorang karena kemuliaan yang
diberikan oleh Allah SWT bukan untuk memenuhi ibadah. Abu
Hasan al-Shadzili mengatakan tentang makna hadits itu bahawa
semua amal ketaatan kepada al-Haqq pahalanya surga sedangkan
puasa pahalanya bertemu dengan al-Haqq. Dia melihat orang yang
berpuasa sedangkan orang yang berpuasa dapat melihat al-Haqq. Dia
berbicara kepada al-Haqq dan al-Haqq berbicara langsung dengan
orang yang berpuasa tanpa perantara atau penerjemah (Dahlan
Tamrin, 2010: 109). Bagi para sufi puasa bukan lagi menjadi sebuah
kewajiban akan tetapi adalah sebuah kebutuhan untuk sampai kepada
89
ma‟rifatullah. Dalam ibadah puasa penting sekali ditanamkan sifat
ihsan dalam diri manusia. Ihsan itu adalah an ta'budallaha ka
annaka tarahu, fa in lam takun tarahu fa innahu yaroka. Ihsan inilah
yang diistilahkan dengan ma'rifat. Ma'rifat itu melihat Allah bukan
dengan mata kepala tetapi dengan mata hati.
Sebagaimana kenikmatan ukhrowi yang terbesar itu adalah melihat
Allah, begitu pula kenikmatan duniawi yang terbesar adalah melihat
Allah.
(http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapapahalapuasatakad
amalaikat_07.html diakses pada hari Selasa, 09 Agustus 2016,
10:23).
Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana memohon
pertolongan Allah. Dengan menjalankan puasa yang benar maka
seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran Allah kapanpun
dan dimanapun berada. Maka inilah yang dikandung dalam istilah
Taqwa. Bila suci hati maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang
bersih dari kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Orang yang
memiliki hati yang bersih akan mempeoleh pengetahuan tentang
rahasia ketuhanan. Untuk merasakan hubungan yang langsung
kepada Tuhan dapat dirasakan dengan kesucuan hati. Artinya
kesucian hati inilah yang dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah
(Septiawadi,2014:183).
90
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap
manusia tanpa kebencian
Manusia diciptakan Allah dengan kemampuan dan kelemahan,
dengan adanya kemampuan diharapkan seseorang dapat
memanfaatkannya untuk menghadapi persaingan yang ada di
lingkungan, dengan kemampuan seseorang diharapkan mampu
bangkit dari setiap permasalahan dalam kehidupan. Akan tetapi
dengan keadilan Allah di samping kemampuan Allah juga
memberikan kelemahan dalam diri manusia. Hal itu dimaksudkan
agar setiap manusia dapat beradaptasi antara satu dengan yang lain.
Sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial yakni makhluk
yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dari
kesadaran diri bahwa manusia memiliki kelemahan maka manusia
hendaknya memiliki empati. Empati adalah kemampuan seseorang
untuk memahami orang lain, merasakan rintihan dan mendengarkan
debar jantungnya, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan
merasakan kondisi batiniah dari orang lain (Toto Tasmara, 2001:34).
Dalam sebuah hadits Rosulullah bersabda, ”Hak (kewajiban)
seorang muslim atas orang muslim yang lain ada lima, yaitu:
menjawab salam, mendoakan orang bersin, memenuhi undangan,
mengunjungi orang sakit, dan mengiringi jenazah (HR. Bukhari).
91
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Fath:29 yang intinya bahwa
karakter orang muslim salah satunya adalah membagi kasih sayang
terhadap sesama. Begitu pentingnya empati sehingga ketika
menjalankan ibadah mahdah (yang telah diatur oleh Allah), Allah
pasti memerintahkan agar tetap memperhatikan perasaan orang lain.
Rosulullah Saw bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian
menjadi imam salat, maka pendekkanlah bacaannya. Sebab diantara
mereka ada orang-orang yang lemah, sedang sakit dan tua. Namun,
apabila shalat sendirian maka perpanjanglah sesukanya (HR
Jamaah). Betapa kemuliaan akhlaq Rosulullah Saw yang selalu
memperhatikan umat disekelilingnya. Dari hadits diatas nampak
bahwa Rosulullah memiliki sifat empati yang sangat tinggi kepada
siapapun tanpa memandang derajat. Adapun kaitan antara sikap
empati dan puasa adalah ketika seseorang berpuasa maka dirinya
dilatih untuk merasakan lapar dan haus yang dirasakan oleh orang-
orang miskin yang hampir setiap hari bahkan diluar bulan puasa.
Sehingga sikap empati seorang yang berpuasa pun akan muncul
dengan memberikan sedikit harta yang dimilikinya kepada fakir
miskin di sekitarnya.
Dikutip dari (http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapa
pahala puasa tak ada malaikat_07.html pada hari Selasa 09 Agustus
2016, 10:30) bahwa kaum Sufi dan orang-orang fakir yang
membersihkan diri dari selain Allah, dimana mereka telah memutus
92
hubungan dengan makhluk, meninggalkan hal-hal yang tidak baik,
rela dengan rezeki yang dibagikan Allah kepadanya, tidak tahu kapan
Allah akan mengirim rezekinya dengan penuh keghaiban dan lewat
tangan siapa rezekinya diberikan, maka waktu mereka adalah lebih
sempurna daripada waktu orang yang berpuasa yang makanannya
untuk berbuka telah diketahui. Jika mereka berpuasa maka tidak ada
yang sanggup menandingi keutamaan puasanya.
6. Memiliki kualitas sabar
ج ذشصفثل ذش,ثىص صفثىص ثىص
Artinya: “Puasa itu separuh kesabaran, sabar adalah separuh
iman.” (H.R Tirmidzi ,Abu Mas‟ud dan Al-Khatib)
Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia
terasa suci dan dekat dengan Allah yaitu puasa. Pengertian sabar
sebagai puasa juga dikemukakan oleh Taustari dalam tafsirnya
“Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani yang bersih.
Dengan berpuasa yang sesungguhnya mengharap ridha Allah maka
kesucian hati semakin meningkat.” Dijelaskan oleh Sa‟id Hawa
tentang makna sabar “Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian
tidak mengadukan persoalan sehingga Allah memberi kelapangan”.
Dalam sabar ini mengandung tawakkal dan ridha (Septiawadi,
2014:183). Tawakkal adalah kesadaran bahwa baik buruknya sesuatu
itu ditentukan oleh Allah (Abdullah,1999:207). Dikatakan oleh
93
Sayyid, bahwa Ridha adalah sikap lapangnya hati ketika menerima
pahitnya ketetapan Allah (Abdul Qadir Isa, 2011:251).
Sabar demikian mendorong seseorang untuk senantiasa merasa
dekat dengan Tuhan. Allah swt. berfirman dalam Q.S Az-Zumar ayat
10 yang berbunyi:
قو ؼذجد ٱىز ث ٱصقثءث ز ف أحضث ز ىي جسدن ٱىذ حضز
أسض ٱلل ف ج إصؼز ذش شحضجحٱىص ()أجشدغ
Artinya: "Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman.
Bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang
berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan
bumi Allah itu adalah luas. Hanya orang-orang yang
bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak
terbatas."
Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah lain yang
memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah
kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi
kebiasaannya, mengekang anggota badan dari seluruh
kesenangannya. Sehingga orang-orang yang berpuasa adalah
termasuk orang yang sabar. Jika seseorang telah terbiasa dengan
sesuatu maka la akan melakukannya karena kesukaan, dan bukan
karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini hendaknya
tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan
kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab nafsu akan
selalu cenderung pada kesukaannya dan tidak mampu memenuhi
kewajibannya, dimana la diciptakan secara kodratinya menghindar
94
dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika la telah terbiasa dengan suatu
bab atau bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu
tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang
ibadah dan tipu dayanya.
7. Berdzikir dan berdoa
Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan senantiasa
menghadirkan qalbu bersama al-Haqq (Ibnu Athaillah al-Sakandari,
2013:29). Toto Tasmara (2001:18) mengibaratkan Dzikir bagaikan
kompas dan seluruh peralatan mesin kapal bagi nahkoda tersebut.
Mereka diingatkan bahwa mereka diberi petunjuk yang jelas agar
misi pelayarannya dapat selamat. Nahkoda yang asyik dengan
pelayarannya tanpa mempedulikan kompas dan peralatan, akan
tersesat dan tidak mungkin dapat kembali dengan selamat, karena
bisa saja dia diterpa badai yang menghancurkan, itulah sebabnya
Allah berfirman dalam Q.S Al-Hasyr ayat 19:
ل مصنث ضثٱىز ٱلل تل ى أ أفض فؤضى ضق (١)ٱىف
Artinya: “Janganalah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah,lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri
mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang
fasik.”
Nahkoda yang profesional tentu saja akan selalu waspada dan
mengikuti presedur dari kapal yang menjadi tanggung jawabnya.
Dirinya menjadi tenteram karena segala sesuatu sesuai dengan
prosedurnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Ar-Rad
ayat 28:
95
قيددزمشٱىز ت صط ث ءث ألدزمشٱلل ٱلل ت (٨)ٱىقيحصط
Artinya: “ Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereke menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah lah hati menjadi tenang.”
Manusia yang diberkahi pengetahuan batin memandang dzikir
“senantiasa dan terus-menerus mengingat Allah”, sebagai metode
paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran
Ilahi. Objek semua ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus-
menerus mengingat Allah sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada
Allah serta mengkosongkan hati dari kecintaan dan ketertarikan pada
dunia fana ini. Tujuan puasa adalah menghancurkan sensualitas,
sebab jika hati dibersihkan dari kotoranya, maka ia akan dipenuhi
dengan mengingat Allah (Mir Valiudin,1997:85).
Adapun berdoa berarti memanggil diri sendiri, bagi mereka yang
cerdas secara ruhani menyadari bahwa doa mempunyai makna yang
sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa akan menumbuhkan
sikap optimis dalam hati. Puasa merupakan ibadah yang istimewa
bagi Allah, bagi manusia yang menyadari akan hal itu maka akan
memanfaatkan puasanya dengan menambah hal-hal yang positif.
Seperti memperbanyak dzikir serta doa, sebagaimana dalam sebuah
hadits dijelaskan bahwa :
ضجفش رثى دػ جة رثىص دػ ثىذ رثى دػ ثسلصشد علطدػ
Artinya: “Tiga doa yang tidak ditolak ; doa orang tua terhadap
anaknya ; doa orang yang sedang berpuasa dan doa
seorang musafir”. [Sunan Baihaqi, kitab Shalat Istisqa
96
bab Istihbab Siyam Lil Istisqa‟ 3/345. Dishahihkan oelh
Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1797].
Dikutip dari (https://almanhaj.or.id/97-orang-yang-dikabulkan-
doanya.html pada Senin, 15 Agustus 2016, 20:55) Dalam keadaan
lapar menjadikan hati dan anggota badan bercahaya. Tidaklah
seorang hamba Allah menyedikitkan makan dan minum kecuali
hatinya menjadi halus dan kedua matanya bercahaya. Dengan lapar
musuh Allah terdesak kalah, sebab perantara setan adalah syahwat,
sedangkan kuatnya syahwat dikarenakan makan dan minum. Lapar
memberikan kepada kita akhlaq Allah SWT yaitu asmadiyah
(sesuatu yang tidak memiliki lubang, tidak makan dan tidak minum,
Allah Maha Tinggi dengan ketinggian dan kemahabesaran) dan
menyerupai malaikat. Dengan lapar, terbukalah alam malakut untuk
kita, mendekatkan kita kepada Allah sehingga teranglah hati kita.
Para ulama‟ sufi menyatakan: “Sesungguhnya lapar adalah
setengah jalan menuju Allah. Apabila seorang muslim
menyempurnakan puasanya, insyaAllah dapat menyampaikannya
kepada jalan Allah. Sebab, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang
berat untuk diri manusia. Setiap ibadah yang berat secara fisik
maupun psikis, semakin mempercepat pelakunya untuk sampai
kepada Allah” (Abu Bakar, 1996:24). Secara substansial apa yang
dikuatkan oleh ahli makrifat itu adalah bahwa kenyang merupakan
penyebab segala maksiat, dan penyebab jauhnya diri seseorang dari
Allah. Dalam pandangan mereka, tidak ada sesuatu yang paling
97
dibenci oleh Allah kecuali perut yang penuh dengan makanan yang
halal. Adapun yang dimaksud dengan menyedikitkan makan dan
minum adalah memecahkan hawa nafsu dan syahwat, karena jiwa
seseorang menjaga ketakwaannya.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah peneliti melakukan penelitan melalui research library
menemukan hasil dari penelitian yang berjudul “pengembangan nilai-nilai
kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf” diantaranya
sebagai berikut:
1. Konsep Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna
ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah
dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan
memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah.
Adapun ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual diantaranya
adalah: Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai,
autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri), memiliki
kesadaran hidup yang tinggi, merasakan kehadiran Allah, cinta dan
kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa
kebencian, memiliki kualitas sabar, berrdzikir dan berdoa. Sedangkan
faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual berasal dari internal
juga eksternal yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat
dan kelompok teman sebaya.
99
2. Konsep Puasa Perspektif Tasawuf
Tasawuf adalah proses mendidik jiwa manusia untuk tidak lagi
terikat dengan dunia dan lebih berorientasi kepada akhirat. Pendidikan
tersebut dapat dilakukan dengan beberapa tahap seperti taubat, zuhud,
sabar, wara‟, kerendahan hati, takwa, tawakkal, kerelaan , cinta dan
ma‟rifat. Beberapa tahap tersebut disebut tariqah yang berarti jalan.
Puasa merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk
mendidik manusia dalam menempuh perjalanan spiritual, puasa itu
bukan lagi berkisar dalam peperangan hati dari dosa-dosa batin, karena
melalui perjalanan yang panjang melintasi tangga-tangga untuk dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Dalam definisi tasawuf puasa
berarti menahan diri dari nafsu yang berasal dari mata, telinga, mulut,
perut dan kemaluan dengan berusaha menata hati dari lalai kepada
Allah dengan harapan mendapatkan ridho Allah. Tasawuf juga
mengajarkan manusia untuk tidak terjerat pada materi dan mampu
melibatkan jiwa dalam setiap akifitas dengan cara menghiasi hati
dengan nilai-nilai ruhaniah. Sebagaimana puasa yang dijalankan
seseorang merupakan salah satu cara yang dapat membentengi
manusia dari gemerlapnya dunia.
3. Pengembangan Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa
Perspektif Tasawuf
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk memaknai hidup
dengan melakukan hal-hal yang bersifat positif yang akan
100
mengembangkan rasa percaya diri dan selalu berpositif thingking
dalam menghadapi setiap keadaan. Sedangkan oleh ilmuwan muslim
kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan ruhani manusia, maka
takwa merupakan efek dari kecerdasan ruhani tersebut. Indikator takwa
salah satunya adalah kemampuan untuk istiqomah dalam menjalankan
ibadah, adanya semangat untuk selalu menambah kebaikan. Tepat
sekali apabila puasa menjadi metode dalam meningkatkan ketakwaan
seseorang. Dalam aktifitas puasa seseorang dituntut untuk berperang
dengan hawa nafsu, dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi
laranganNya serta menjaga hati dari keadaan lalai kepada Allah.
Ketika nafsu melemah maka cahaya Allah akan masuk ke dalam hati
manusia yang menjadikan seseorang sampai kepada derajat takwa.
Dalam nilai spiritual puasa akan menepis sifat kebinatangan yang ada
pada manusia, yaitu sifat yang hanya bergairah kepada makan dan
minum serta semisalnya. Sehingga puasa termasuk media yang dapat
dikembangkan untuk mendidik manusia untuk cerdas secara spiritual.
B. Saran
1. Bagi Pendidikan Islam
Melihat betapa banyak hikmah dan manfaat yang didapatkan melalui
ibadah puasa, teruntuk bagi kecerdasan spiritual anak. Hendaknya
bagi seorang pendidik Islam untuk menekankan kepada siswa akan
pentingnya ibadah puasa serta mengajak siswa membiasakan
melaksanakan ibadah puasa. Karena dengan kecerdasan spiritual yang
101
baik maka secara otomatis akhlaq anak akan lebih baik dibandingkan
akhlaq anak yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Selain
itu, dengan ibadah puasa di saat kondisi perut yang kosong akan
menjadikan otak berfikir dengan jernih. Sehingga dengan puasa juga
dapat meningkatkan kecerdasan kognitif juga emosinal.
2. Bagi pembaca
Bagi pembaca, setelah membaca hasil penelitian ini diharapkan
memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk melaksanakan ibadah puasa
karena melihat eksistensi ibadah puasa yang sangat banyak ini.
3. Peneliti
Hasil dari kajian pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual
dalam ibadah puasa perspektif tasawuf ini masih terbatas dalam
kaitannya dengan pendidikan maupun bagi masyarakat umum.
Terdapat aspek-aspek lain yang belum tersentuh oleh peneliti, maka
dari itu diharapkan ada peneliti baru yang mengkaji lebih lanjut dari
hasil penelitian ini.
102
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Alawy Al-Haddad, Sentuhan-sentuhan Sufistik , Bandung: Pustaka
Setia, 1999.
Abidin, Ahmad Zainal, Konsepsi Negara Bermoral (Menurut Imam Al-Ghazali),
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Abidin, Slamet dan Moh Suyono, Fiqih Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Kajian Historis Tentang Mistik), Solo:
Ramadhani, 1996.
Agustian, Ary Ginanjar, ESQ (Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual), Jakarta: Arga, 2005.
Al- Ghozali, Ihya‟ Ulumuddin, Semarang: As-Syifa, 1982.
Al-Sakandari Athaillah, Zikir Penentran Hati, Kemang Timur: Zaman, 2013.
Al-Zuhayly, Wahbah, Puasa dan Iktikaf, Bandung: PT Rosdakarya, 1995.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik), Jakarta: Pt
Rhineka Cipta, 2010.
Ash Shiddiqy, Hasbi, Al-Islam 2, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977.
, Pedoman Puasa, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Bahreisj, Husein, Himpunan Fatwa, Surabaya: Usaha Offset Printing, 1992.
Darajat, Zakiyah, Ilmu Fiqih 1, Yogyakarta: PT Bhakti Wakaf, 1993.
, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Jakarta: CV Ruhama,
1996.
Effendy, Yudy, Sabar Dan Sukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses, Qultum
Media, 2012.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset ,1993.
103
Hassan, Iqbal, Analisis Data Penelitian dengan statistik, Jakarta: Bumi Aksara,
2006.
Huda, Sokhy, Tasawuf Kultural: Fenomena Sholawat Wahidiyah, Yogyakarta:
Lkis, 2008.
Jakub, Ismail, Tarjamah Ihya Ulumuddin jilid 2 (Karangan Imam Al-Ghozali),
Jakarta Selatan: CV Faizan, 1982.
Madjid, Nurcholis, Puasa Titian Menuju Rayyan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Muhaimin, Akhmad, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak,
Yogyakarta: Kata Hati, 2010.
Musbikin, Imam, Rahasia Puasa (Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Nasib, Muhammad, Kemudahan dari Allah (ringkasan Ibn Katsir jilid 2), Jakarta:
Gema Insani,1999.
Nasution, Lahmudin, FIQIH 1, Jakarta: Logos, 1997
Nasution, Taufiq Ahmad, Melejitkan SQ dengan Prinsip 99 Asmaul Husna,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2009.
Qadir, Isa Abdul, Hakekat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2011.
Qardawi, Yusuf, Fiqih Puasa, Surakarta: Intermedia,2006.
Rakhmat, Jalaluddin, Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan, 1999.
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1996.
Rifa‟i, Moh dan Baghawi Mas‟udi, Fiqih Menurut Mahdzab Syafi‟i, Semarang:
Cahaya Indah, 1986.
Safaria, Triantoro, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Salwasalsabila, Syarifah, Mendidik Anak Puasa, Jakarta: Harmoni, 2008.
104
Shaleh, Hasan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta:PT
Graffindo Persada, 2008.
Septiawadi, Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam Al-Asa Fi Al-Tafsir, Jakarta:
Lectura Press, 2013.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Tekhnik),
Bandung: Tarsito, 1989.
Syukur Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2001.
, Tasawuf Bagi Orang Awam, Yogyakarta:LPK-2 Suara Merdeka,
2006.
Tafsir, Ahmad, Zikrullah (Urgensinya Dalam Kehidupan), Bandung: Rosdakarya,
2013.
Tamrin, Dahlan, Tasawuf Irfani (Tutup Nusut Buka Lahut), Malang:UIN Maliki
Press, 2010.
Tasmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence), Jakarta:
Gema Insan Press, 2001.
Tata, Pangarsa Humaidi, Akhlaq Mulia, Jakarta:PT Bina Ilmu, 2000.
Tebba, Sudirman, Kecerdasan Sufistik (Jembatan Menuju Makrifat), Jakarta:
Prenada Media, 2004.
Valiuddin, Mir, Zikir dan Kompilasi dalam Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997.
Zohar Danah dan Ian Marshall, SQ: Memamfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam
Berpikir Integrilistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan,
Bandung: Mizan, 2000.
https://almanhaj.or.id/97-orang-orang-yang-dikabulkan-doanya.html
https://dobelden.wordpress.com/2013/07/30/puasa-mengasah-berbagai-kecerdasan
http://fajarkurnianto.blogspot.co.id/2015/06/puasa-sufi.html
105
http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapapahalapuasatakadamalaikat_07.
html
http//.tasawufkemurnianislam.blogspot.co.id
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/04/opi03.htm
http://yuksholat5.blogspot.co.id/2011/12/berpuasa-yang-beradab.html
106
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Novia Handayani
Tempat,tanggal lahir : Kab. Semarang, 14 November 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat Asal : Jalan Masjid Besar Tengaran RT 14/RW 03, Krajan
Tengaran, Kelurahan Tengaran, Desa Tengaran
Nama Ayah : Moh Batal Aidi
Pekerjaan : Buruh
Nama Ibu : Umi Hanik
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat Orang Tua : Jalan Masjid Besar Tengaran RT 14/RW 03, Krajan
Tengaran, Kelurahan Tengaran, Desa Tengaran
Jenjang Pendidikan : a. SD Negeri Tengaran 01 2000 - 2006
b. SMP Negeri 1 Tengaran 2006 - 2009
c. MAN Tengaran 2009 - 2012
d. IAIN Salatiga 2012 - sekarang
107
108
109
110
111