pengembangan institusi dan pemberdayaan · pdf filediketahui bahwa raja purnawarman dari...

18
1 PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI 1 Sigit Supadmo Arif 2 dan Dede Sulaeman 3 PENGANTAR Dari banyak pustaka telah banyak diketahui bahwa irigasi telah menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat Indonesia yang beriklim tropis. Dari tinjauan kesejarahan dapat diketahui bahwa sistem irigasi pada awal mulanya dibangun masyarakat dengan satu sistem sangat sederhana baik infrastruktur maupun institusi pengelolanya. Tetapi dengan semakin maju kehidupan manusia maka pengelolaan sistem irigasi tidak lagi hanya sebagai satu sistem yang berakitan dengan produksi pangan saja tetapi juga telah berkaitan dengan persoalan pengembangan masyarakat, pengembangan wilayah bahkan juga dengan persoalan- persoalan sosial, ekonomi dan politik suatu negara (Arif, 2009). Dengan demikan persoalan yang muncul dalam pengelolaan irigasi akan lebih kompeks dan tidak hanya berkaitan dengan pembangunan infrastruktur saja karena infrastrktur hanya merupakan satu bagian saja dari pengelolaan sistem irigasi secara keseluruhan. PENGEMBANGAN INSTITUSI IRIGASI DARI ZAMAN KE ZAMAN 4 Dari satu prasasti yang diketemukan di daerah Tugu, di Jakarta Utara telah diketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak banjir sepanjang kurang lebih 10 km. Apabila kita telaah lebih lanjut tentang ilmu dasar keteknikan, pembangunan sistem pengelak banjir tentu lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan sistem irigasi. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa kemampuan nenek moyang kita membangun satu sistem irigasi beserta tata cara pengelolaannya telah berlangsung lama sebelum abad ke 5. Sebagai satu negara yang terletak di wilayah tropis basah maka Indonesia mempunyai watak klimatik sangat khas, yaitu dicirikan dengan banyak hujan dan hampir merata sepanjang tahun, meski secara garis besar terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik klimat tersebut telah menyebabkan tanaman padi menjadi pilihan utama masyarakat untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan pokok dengan budidaya sawah sangat khas. Perkembangan budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk 1 Bahan Pelatihan “Peningkatan Kemampuan Perencanaan Teknis Irigasi, Air Baku, dan Air Tanah”, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian Pekerjaan Umum tanggal 23-15 Maret 2014 di Yogyakarta 2 Guru Besar Teknik dan Manajemen Irigasi. Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta 3 Kementerian Pertanian dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 4 Bahasan tentang pengembangan insititusi irigasi dari zaman ke zaman ini sebagian telah ditulis dalam Arif (2009) dan Arif dkk (2010)

Upload: trinhdien

Post on 14-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

1

PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI1

Sigit Supadmo Arif2 dan Dede Sulaeman3

PENGANTAR

Dari banyak pustaka telah banyak diketahui bahwa irigasi telah menjadi satu

bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat Indonesia

yang beriklim tropis. Dari tinjauan kesejarahan dapat diketahui bahwa sistem irigasi

pada awal mulanya dibangun masyarakat dengan satu sistem sangat sederhana baik

infrastruktur maupun institusi pengelolanya. Tetapi dengan semakin maju kehidupan

manusia maka pengelolaan sistem irigasi tidak lagi hanya sebagai satu sistem yang

berakitan dengan produksi pangan saja tetapi juga telah berkaitan dengan persoalan

pengembangan masyarakat, pengembangan wilayah bahkan juga dengan persoalan-

persoalan sosial, ekonomi dan politik suatu negara (Arif, 2009). Dengan demikan

persoalan yang muncul dalam pengelolaan irigasi akan lebih kompeks dan tidak hanya

berkaitan dengan pembangunan infrastruktur saja karena infrastrktur hanya

merupakan satu bagian saja dari pengelolaan sistem irigasi secara keseluruhan.

PENGEMBANGAN INSTITUSI IRIGASI DARI ZAMAN KE ZAMAN4

Dari satu prasasti yang diketemukan di daerah Tugu, di Jakarta Utara telah

diketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah

memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak banjir sepanjang kurang lebih

10 km. Apabila kita telaah lebih lanjut tentang ilmu dasar keteknikan, pembangunan

sistem pengelak banjir tentu lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan sistem

irigasi. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa kemampuan nenek moyang kita membangun

satu sistem irigasi beserta tata cara pengelolaannya telah berlangsung lama sebelum

abad ke 5.

Sebagai satu negara yang terletak di wilayah tropis basah maka Indonesia

mempunyai watak klimatik sangat khas, yaitu dicirikan dengan banyak hujan dan

hampir merata sepanjang tahun, meski secara garis besar terdapat dua musim yaitu

musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik klimat tersebut telah menyebabkan

tanaman padi menjadi pilihan utama masyarakat untuk dikembangkan sebagai tanaman

pangan pokok dengan budidaya sawah sangat khas.

Perkembangan budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya

jaringan irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk

1 Bahan Pelatihan “Peningkatan Kemampuan Perencanaan Teknis Irigasi, Air Baku, dan Air Tanah”, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian Pekerjaan Umum tanggal 23-15 Maret 2014 di Yogyakarta 2 Guru Besar Teknik dan Manajemen Irigasi. Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta 3 Kementerian Pertanian dan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 4 Bahasan tentang pengembangan insititusi irigasi dari zaman ke zaman ini sebagian telah ditulis dalam Arif (2009) dan Arif dkk (2010)

Page 2: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

2

mengantisipasi kegagalan panen akibat terjadinya banjir ataupun kekeringan.

Pengetahuan ini diperoleh masyarakat berdasarkan pengalaman empiris.

Pembangunan sistem irigasi ataupun prasarana bangunan air secara utuh seperti

telah dilakukan oleh raja Purnawarwan membutuhkan banyak tenaga kerja. Sudah

barang tentu tenaga-tenaga kerja itu perlu diatur oleh suatu sistem kepemimpinan

terpusat yang menjadi sumber kekuasaan sehingga dapat mengorganisasikan secara

sepadan. Masyarakat berbudaya hidrolika tersebut disebut dengan masyarakat hidrolika

(Wittfogel, 1975). Demikianlah manusia Indonesia hidup sejak ratusan tahun yang lalu

dalam suasana agraris berbasis padi telah membentuk suatu budaya masyarakat

hidrolika yang sangat kental dengan budaya agraris.

Lebih lanjut dikatakan oleh Wittfogel (1975) bahwa masyarakat hidrolika

tersebut selalu dibangun oleh pemerintahan otoriter. Teori Wittfogel ini mungkin benar

untuk masyarakat di belahan dunia lain tetapi tidak untuk masyarakat Indonesia (Arif,

2009). Pendapat Arif (2009) ini didasarkan fakta bahwa sistem irigasi di Indonesia

dikembangkan pertama kali oleh masyarakat dengan luas relatif kecil dan biasanya

pelaksanaan pembangunanya dipimpin oleh tetua desa. Pembangunan sistem irigasi

secara tradisional tersebut masih dapat ditelusuri jejaknya di banyak tempat di seluruh

Indonesia.

Apabila sejak awal pembangunan sistem irigasi dilakukan masyarakat secara

mandiri, pertanyaannya adalah sejak kapan pemerintah ikut teribat dalam

pembangunan dan pengelolaan irigasi. Dari fakta empiris pembangunan sistem irigasi

secara utuh dapat ditelusuri tahapan pembangunan sistem irigasi di Indonesia. Paling

tidak secara garis besar evolusi pengembangan irigasi dapat dipilah menjadi empat

tahapan, yaitu: (i) tahap awal, (ii) pembentuk akhir, (iii) pengembangan kawasan, dan

(iv) penguasaan oleh negara (Lombard,1996; van der Meer. 1979).

Pada masa terbentuknya suatu kerajaaan, semua tahapan pembangunan jaringan

irigasi dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali (P3PK,

1995; Windya, 1993). Baru pada tahap keempat setelah terbentuk sistem pemerintahan

yang kuat, negara baru ikut dalam proses pembangunan sistem irigasi. Dalam

pembangunan sistem irigasi sering dijumpai suatu kolaborasi antara pemuka agama,

masyarakat dan penguasa kerajaan. Kerjasama terjadi karena masing-masing pihak

saling berkepentingan dan saling menguntungkan serta mempunyai nuansa politik dan

ekonomi. Masyarakat memperoleh keuntungan karena adanya pertambahan produksi

pangan dan pendapatan, sedangkan negara akan mendapat pengakuan kekuasaan

wilayah serta memperoleh tambahan pendapatan pajak dari penduduk (FTP-UGM,

2006). Namun sering terjadi apabila masyrarakat desa dianggap berjasa pada negara

maka desa tersebut dapat diberikan keringanan pajak atau bahkan dibebaskan sama

sekali. Desa bebas pajak tersebut disebut dengan Sima atau sekarang berubah manjadi

Siman.

Dalam pelaksanaan pembangunan sistem irigasi tersebut pemerintah hampir

tidak pernah mencampuri urusan pembangunan dan pengelolaan suatu sistem irigasi.

Page 3: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

3

Pemerintah hanya memberikan fasilitasi, hampir semua urusan dikerjakan masyarakat

sendiri meski terdapat pejabat negara yang ditugasi untuk mengurusi. Kemandirian ini

menyebabkan bahwa institusi irigasi beserta infrastrukturnya masih berfungsi dengan

baik meskipun sistem kerajaan dan pemerintahannya telah berganti beberapa kali (van

der Meer. 1979; Prasodjo. 2004).

Adanya fakta keberhasilan nenek moyang kita dalam pengelolaan aset irigasi

disebabkan oleh adanya beberapa hal, yaitu: (i) masyarakat menganggap hakekat

pemilikan air sebagai milik bersama, (ii) adanya kearifan lokal sehingga masyarakat

berkemampuan membangun infrastruktur yang berkeseimbangan dengan

lingkungannya, (iii) adanya institusi partisipasif yang kuat dalam penyelenggaraan

irigasi secara mandiri, serta (iv) tidak adanya dominasi oleh suatu pihak termasuk

negara dalam penguasan teknologi irigasi. Fenomena ini terjadi selama masa kerajaan

Hindu-Budha bahkan kerajaan Islam sebelum masa kolonial datang, meskipun demikian

jejak-jejak keempat fenomena tersebut masih dapat dijumpai sampai sekarang.

Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan kebijakan pembangunan sistem

irigasi teknis di Indonesia pada abad ke 19 dan bagian dari pelaksanaan kebijakan

Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan ke pasar Eropa.

Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami kesulitan keuangan akibat

perang Diponegoro. Pengembangan sistem perkebunan itu membutuhkan suatu sistem

irigasi teknis untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman perkebunan terutama tebu

dan tembakau.

Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda itu tidak dilakukan secara

serentak. Para Insinyur kolonial Belanda yang terbiasa dengan iklim empat musim tidak

serta merta dapat melakukan pembangunan sistem irigasi tropis untuk komoditi

perkebunan. Pembangunan itu dilakuan secara bertahap melalui proses belajar yang

panjang. Seperti halnya pada masa kerjaaan, paling tidak terdapat tiga tahap periode

pentahapan, yaitu: (i) masa tahun 1830-1885, merupakan masa pembangunan fisik

bangunan utama, (ii) masa tahun 1885-1920, tahap pembangunan jaringan irigasi secara

utuh, dan (iii) periode 1920–1942 merupakan pelaksanaan operasional sistem secara

mantap. Pada masa-masa awal, pemerintah Kolonial baru mengembangkan fasilitas

bangunan utama (head work) yang dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi

bangunan irigasi yang telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat

tidak sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan

melalui perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001).

Tahapan-tahapan pembangunan irigasi yang dilakukan pemrintah kolonial

Belanda selama kurang lebih 150 tahun telah memberikan banyak sekali pembelajaran

bagi pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Sistem operasi dan pemeliharaan

(O&P), faktor K ataupun Nilai Palawija Relatif (NPR), sistem golongan dan ulu-ulu,

sistem pengelolaan irigasi bersama antara pemerintah di jaringan utama dan petani di

tersier, sistem pengelolaan irigasi berbasis wilayah sungai -semuanya merupakan sistem

pengelolaan dan institusi irigasi yang berlaku sampai sekarang, merupakan peninggalan

dari masa pemerintahan kolonial Belanda.

Page 4: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

4

Memasuki zaman kemerdekaan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno

hampir tidak ada pembangunan irigasi yang dilakukan karena pemerintah disibukkan

dengan masalah politik dan keamanan yang banyak menguras energi menyebabkan

sistem sosial politik dan ekonomi tidak berkembang. Pembangunan sistem irigasi

sebagai masukan produksi pangan juga tidak berkembang. Indonesia memasuki tahap

kritis karena kemiskinan dan kekurangan pangan.

Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka

pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno memfokuskan

pembangunan Indonesia pada pembangunan sektor sumberdaya air terutama

pembangunan irigasi. Adapun tujuan pembangunan itu adalah agar segera dapat

memotong garis kemiskinan melalui peningkatan produksi pertanian. Untuk mencapai

tujuan, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu: (i)

pembangunan infrastruktur, (ii) pemberian insentif pada petani, dan (iii) pengembangan

institusi, termasuk penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya

(Afif, 1992).

Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan

Undang-undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan kolonial AWR 1936

menyusul kemudian penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang irigasi tahun 1982

(Wirosumarto, 2001). Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat

dilihat dari kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia, sampai dengan tahun

1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) hampir separuhnya terletak

di Pulau Jawa.

Pada masa Oder Baru asas-asas pengelolaan irigasi pada masa kolonial masih

tetap dipakai. Tetapi desentralisasi O&P kepada daerah yang dulu pernah dilakukan

pemerintah kolonial tidak diberlakukan lagi. Hampir semua kewenangan dalam

pembangunan dan pengelolan irigasi dimiliki pemerintah pusat (Arif, 2001). Meskipun

pembangunan irigasi dilakukan berbasis pembangunan insfrastruktur, tetapi secara

normatif masalah pembinaan masyarakat mulai menjadi perhatian pemerintah. Pada

tahun 1969 dikeluarkan suatu Instruksi Presiden tentang pembentukan Perkumpulan

Petani Pemakai Air (P3A) dan disusul dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang

Pembinaan P3A. Dengan demikian secara legal berakhirlah peran ulu-ulu sebagai

pengelola irigasi di aras tersier maupun ulu-ulu golongan tanam dan digantikan oleh

suatu organisasi petani.

Tiga strategi pembangunan irigasi masa Orde Baru sebetulnya menganut paham

modernisasi dan dekolonisasi yang muncul pada dekade 60’an. Keberhasilan

pelaksanaan konsep pembangunan diukur dengan adanya laju pembangunan ekonomi

yang cepat. Untuk mencapai tujuannya maka digerakkanlah mesin birokrasi sehingga

dominasi pemerintah akan sangat besar. Konsep ini secara global berlangsung sampai

akhir dekade 80’an. Pada dekade pertengahan mulai muncul paradigma pembangunan

yang berbasis kemanusiaan dan pertisipasi serta demokratisasi (Shepherd, 1998; van

Ufford, Giri dan Moos, 2004; Pieterse, 2001).

Page 5: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

5

Perubahan paradigma pembangunan global itu ternyata juga berimbas pada

kebijakan irigasi secara nasional. Pada tahun 1987 dikeluarkan kebijakan pemerintah

tentang O&P yang berisi: (i) penyerahan irigasi kecil pada petani (PIK), (ii) penetapan

Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) untuk daerah irigasi (DI) yang lebih besar dari 500 ha,

(iii) pelaksanaan efficient operation and maintenance (EOM). Pada tahun yang sama juga

dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian

Urusan Pemerintah Di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. Urusan O&P irigasi

diserahkan pada pemerintah provinsi sedangkan pemerintah kabupaten diserahi tugas

kewenangan pemberdayaan.

Hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa Orde Baru ini disebut

sebagai manajeman produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan

menekankan pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan

menentukan tujuan manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi secara

keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu ciri pelaksanaan manajemen

produksi ini adalah pelaksanaan manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan

finansial (Huppert et al. 2001). Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya

Indonesia berhasil mencapai swa sembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan ini juga

diuntungkan dengan adanya revolusi hijau.

Banyak hal terjadi menyebabkan prestasi itu tidak berlangsung lama. Salah

satunya adalah kurangnya pemahaman budaya pemeliharaan kental di kalangan

birokrasi pelaksana irigasi. Mereka sebih senang membangun dari pada memelihara

maka munculah paradok O&P. Semua orang mengatakan O&P penting tetapi selalu

mengabaikannya. Akibatnya ialah terjadinya suatu kemerosotan kinerja sistem irigasi

yang berlangsung sangat cepat (FTP-UGM, 1992, 2001).

Perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya air berjalan lebih cepat seiring

dengan adanya aksi reformasi sosial politik pada tahun 1998. Pada bulan April 1999

dikeluarkan sebuah Instruksi Presiden (INPRES) no 3/1999 tentang pembaharuan

kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI). Kebijakan menyangkut lima kebijakan yang intinya

melakukan redefinisi tugas dan peran lembaga pengelola irigasi, pemberdayaan

organisasi petani pemakai air, penyerahan pengelolaan irigasi kepada organisasi petani,

terbentuknya sistem pembiayaan pengelolaan irigasi termasuk iuran air dari petani, dan

tercapainya keberlajutan sistem irigasi.

Dua tahun kemudian INPRES ini dikukuhan dengan sebuah PP no 77/2001

tentang Irigasi menggantikan PP no 23/1982. Melalui PP 77/2001 maka sifat

manajemen irigasi gabungan antara pemerintah dan petani digantikan oleh menajemen

tunggal oleh petani. Peran pemerintah dibatasi pada pemberian fasilitasi O&P serta

rehabilitasi apabila petani tidak dapat melakukannya. (Arif, 2003). Pada periode ini bagi

sebagian pelaksana birokrasi irigasi merupakan satu kemunduran dalam pengelolaan

irigasi. Pada masa-masa itu pergulatan pikiran terus terjadi sampai terbitnya Undang-

undang no 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan untuk Irigasi diterbitkan

Peraturan Pemerintah no 20 tentang Irigasi pada tahun 2006. Inilah babak baru dalam

pengelolaan irigasi di Indonesia.

Page 6: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

6

PENGELOLAAN IRIGASI DENGAN UU 7/2004 dan PP 20/2006

Pemahaman tentang pengelolaan irigasi dari perspektif kesejarahan juga

memberikan pemahaman bahwa negara dapat melakukan intervensi secara politik

melalui serangkaian kebijakan untuk kepentingan para penguasa. Pada masa

pembaharuan ini pelaksanaan pengelolaan irigasi harus dikembalikan pada tujuan yang

sebenarnya yaitu untuk melayani petani.

Begitu pentingnya keberadaan sistem irigasi bagi kehidupan masyarakat, maka

banyak teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan keberadaan irigasi, salah satunya

dengan memakai analisis sistem. Sebagai bagian dari sistem pembangunan masyarakat

dan poltik suatu negara, keberadaan sistem irigasi dapat dipandang sebagai sistem

berkalang, yaitu : (i) pengelolaan irigasi, (ii) sistem pertanian beirigasi, (iii)

pembangunan pedesaan, (iv) pembangunan wilayah, dan (v) irigasi sebagai bagian dari

kebijakan politik nasional (Small dan Swendsen, 1992).

Dengan melihat karakteristik jumlah dan mutu air dalam suatu sistem pengelolaan

irigasi, maka sistem irigasi juga dapat dipandang sebagai suatu sistem polisentrisitas dan

common pool resouces (CPR). Pedekatan CPR dan polisentrisitas ini mengatakan bahwa

jumlah dan mutu air semakin ke hilir akan semakin berkurang karena banyak para pihak

terlibat dalam pelaksanaan irigasi Hampiran ini sangat penting untuk ditahui bagi para

pelaku irigasi karena pengeloaan irigasi merupakan sesuatu yang rumit dan apabila

tidak dilakukan secara bijak akan menimbulkan koflik antar pelaku.

Satu hampiran sistem yang sangat penting juga disampaikan oleh Pusposutarjo

(1995) yang mengatakan bahwa sistem irigasi merupakan transformasi sistem sosio

kutural masyarakat dan digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Irigasi sebagai sistem tranformasi sosio kultural masyarakat

Aturan &

budaya org.

Finansial

Ekonomi

Artefak

EKOLOGI

SOS-EK

KEBIJAKAN

FISIK

Lingkungan strategis

Lingkungan strategis

Non human

Page 7: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

7

Hampiran ini muncul karena pada masa lalu pembanguanan dan pengelolaan

sistem irigasi hanyalah dipandang sebagai masalah infrastrktur saja. Dalam Gambar 1

terlihat bahwa sistem irigasi terdiri atas: (i) pola pikir masyarakat yang menimbulkan

budaya masyarakat, (ii) artefak termasuk teknologi, (iii) sosial ekonomi, dan (iv) sistem

non human termasuk pilihan pola tanam. Keempat subsistem tersebut akan saling

berkaitan dan berkesesuaian dengan lingkungannya baik lingkungan ekologis maupun

lingkungan stategisnya. Masing-masing subsistem mempunyai peran sendiri dan tidak

dapat diabaikan. Bahkan Subekti (2013) menyatakan bahwa subsistem sosial ekonomi

dan perubahan lingkungan strategis seperti adanya kebijakan otonomi daerah sangat

berperan terhadap baik buruknya kinerja pengelolaan sistem irigasi.

Sebagai bentuk pengaliran air untuk memproduksi tanaman PP no 20/2006

tentang irigasi memuat lima pilar irigasi, yaitu berturut-turut: (i) ketersediaan air irigasi,

(ii) infrastruktur, (iii) pengelolaan irigasi, (iv) institusi irigasi, dan (v) manusia pelaku.

Sesuai dengan keberlanjutannya maka lima pilar ini ditambahkan lagi dengan satu pilar

pembiayaan dan norma hukum yang berlaku., seperti di gambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep lima pilar irigasi + 1 dalam PP no 20/2006 (Arif dan Subekti, 2013)

Menunjukkan konsep lima pilar + 1 dalam PP no 20/2006 dan setiap daerah irigasi

akan mempunyai permasalahan sendiri-sendiri tergantung pada beberapa unsur sebagai

sebuah sistem transformasi sosio-kultral masyarakat.

Di dalam suatu sistem irigasi keberlanjutan lima pilar tersebut akan dapat

berbentuk siklik seperti terlihat pada Gambar 3.

pe infrasruktur Ketersediaan air

penglolaan institusi

Manusia pelaku

pembiayaan

Norma hukum

Produksi pertanian

Kesejah teraan petani

Lingkungan

Page 8: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

8

Gambar 3 Konsep lima pilar dalam keberlanjutan irigasi yang bersifat siklik

Dalam Gambar 3 tersebut terlihat meskipun bersifat siklik tetapi masing-masing

pilar dapat menjadi penyebab atau memicu ketidak berlanjutan suatu sistem irigasi dan

arah putaran siklik akan dapat juga berbalik arah. Apabila manusia pelaku kurang dapat

berperan maka institusi juga menampilkan kinerja yang bagus pula dan demikian

seterusnya. Gambar-gambar 1, 2, dan 3 juga memberikan arti penting bahwa di dalam

pengelolaan irigasi masing-masing pilar mempunyai arti sama penting. Bahkan di masa

depan persoalaan institusi dan manusia pelaku irigasi akan menjadi sangat penting jauh

dari masalah infrasruktur dan ketersediaan air, karena krisis ketersediaan air yang

terjadi selama ini sebagian besar disebabkan oleh lebih pada kelajakan manusia.

Pembangunan infrastrktur secara sepadan akan dapat dilakukan apabila manusia dan

institusi pelaku irigasi juga dapat berlaku secara baik sesuai dengan tata aturan yang

berlaku.

Mencermati karaktersistik PP no 20/2006 tersebut untuk dapat mencapai tujuan

yang dicita-citakannya sebetulnya merupakan satu proses dan cukup rumit seperti

ditunjukkan Gambar 4. Dalam Gambar 4 tersebut terlihat bahwa pelaksanaan PP no

20/2006 sampai tujuannya tercapai melibatkan banyak pihak dan suatu koordinasi yang

sangat kuat dalam pelaksanaaanya. Padahal pelaksanaan koordinasi antar intitusi di

Indonesia merupakan suatu tindakan yang mahal. Kesulitan akan bertambah dalam

karena tidak ada satupun institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

koordinasi pembangunan dan pengelolaan irigasi di aras nasional.

ketersediaan air

infrastrukrtur

pengelolaan irigasi

institusi irigasi

manusia pelaku

Page 9: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

9

Gambar 4. Pelaksaksanaan PP no 20/2006 yang kompleks (Arif, 2007)

Terbitnya PP no 20 tahun 2006 tentang irigasi memberikan satu babak baru dalam

pengelolaan irigasi di Indonesia. Meski masih merupakan pengelolaan gabungan antara

pemerintah dan petani seperti pada masa kolonial dan orde baru tetapi pada

pengelolaan irigasi menurut PP no tahun 2006 dilakukan secara partisipatif atau lebih

Sumber air irigasi

Pengelolaan DAS

manusia

Kebuth.lahan dan sumberdaya lain

air sungai

Sikap lajak manusia

Kebut. Sektor lain

Hak atas air

Pengelolaan sistem jaringan utama

Ketersediaan lahan

SDM dan institusi

Kondisi dan fungsi Prasarana irigasi

Ketersediaan air irigasi di petak tersier

Pola & luas tanam

Pengelolaan sistem jaringan tersier

SDM dan institusi

Kondisi dan fungsi Prasarana irigasi

Ketersediaan air irigasi di petak sawah

Pengelolaan sistem pertanian

Produksi

pasar

Kebij.. pemerinta

Fakt. Peng aruh

lain

hargaa

Pendapatan petani

Kebutuhan belanja petani

Kesejah petani

teknologi

teknologi

hujan

Kebij.. pemerinta

Page 10: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

10

dikenal dengan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). Satu

syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengeloaan irigasi adalah masing-masing

pihak harus setara. Tidak boleh satu pihak mendominasi pihak lain.

Sebagai dasar hukum pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif adalah PP no 20

tahun 2006 pasal 26, 27, dan 28. Sesuai dengan pasal 28 ayat 1 dan 2 maka sebagai

pelaksana penyusun strategi dan pelaksanaan pemberdayan adalah pemerintah

kabupaten, meskipun pemerintah provinsi dan pusat sesuai dengan kewenanganya

dapat memberikan bantuan kepada pemerintah kabupaten untuk dapat melakukan

tugasnya.

Mengacu pada ketiga pasal tersebut dan takrif tentang partisipasi yang telah

disebutkan oleh Okley (1991) maka partisipasi yang disebutkan dalam Pasal 26 PP

20/2006 tersebut termasuk kategori partisipasi sebagai mobilisasi sumberdaya dan

sebagai bentuk organisasi. Tetapi sebagai bagian dari azas good governance yang

mengacu pada pelaksanaan demokratisasi dan hak azasi manusia, PP 20/2006 pasal 4

sampai dengan pasal 6 maka bentuk partisipasi dalam pengelolaan irigasi harus terus

ditingkatkan menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat. Bentuk pemberdayaan

masyarakat tersebut akan dapat dicapai apabila petani memahami dan mengetahui

manfaat langsung keuntungan pelaksanaan irigasi di wilayahnya masing-masing. Salah

satu persyaratan pelaksanaan partisipasi adalah adanya kasetaraan antara dua pihak

pelaku dalam hak dan kewajiban serta adanya keuntungan yang akan diperoleh melalui

kegiatan bersama

Setelah PP no 20 tahun 2006 diterbitkan maka Menteri Pekerjaan Umum pada

tahun 2007 mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum secara

berturut-turut, yaitu Permen PU no 30/2007 tentang pedoma Komisi Irigasi, Permen PU

no 31/2007 tentang PPSIP, Permen PU no 32/2007 tentang O&P irigasi dan PP no

33/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan IP3A/GP3A/P3A. Keempat peraturan

menteri PU tersebut nenjadikan bukti keseriusan pemerintah terhadap pelaksanaan

PPSIP. Selain itu pemerintah juga memberikan ruang bagi daerah untuk dapat

mengembangkan partisipasi sesuai dengan kearifan lokal.

TEORI PARTISIPASI

Partisipasi merupakan hal sangat penting dalam pembangunan pertanian dan

perdesaan, dan salah satu komponen penting dalam rangka kesuksesan pengelolaan

sumber daya alam. Pengambilan keputusan dalam partisipasi petani diibaratkan sebagai

tuntunan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam produksi pangan dan pembangunan

(Alam et al., 2012).

Berdasarkan definisinya, partisipasi diartikan sebagai kemampuan seseorang

untuk ada dan bertindak bersama dengan yang lain tanpa kehilangan jatidirinya ketika

bergerak bersama (Mejos, 2007), menggabungkan kepentingan dan harapan para pihak

(Savva, 2002), terlibat aktif dalam proses-proses dan kegiatan (Wiyono dkk, 2012),

Page 11: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

11

berbagi, berkontribusi dan bertindak dengan saling bertanggung jawab untuk mencapai

tujuan bersama (Alam, et. al, 2012).

Partisipasi masyarakat di tingkat lokal dapat dianalisa menjadi tiga bagian yaitu

siapa yang berpartisipasi, institusi yang terlibat, dan tujuan serta fungsi dari partisipasi

(Chambers. 2007). Pada pengelolaan irigasi maka bagian dalam partisipasi masyarakat

meliputi petani, perkumpulan petani pengguna air (P3A/GP3A), dan tujuan yang ingin

dicapai oleh petani sebagai individu dan institusi petani ketika berpartisipasi.

Sebagai seorang individu, untuk dapat berpartisipasi petani juga harus siap untuk

suatu perubahan. Perubahan dimaksud adalah kebiasaan dalam sikap, perilaku, dan

tindakan pada kondisi awal menjadi sikap, perilaku dan tindakan yang sesuai dengan

objek partisipasi. Untuk mencapai perubahan tersebut, perlu ada suatu kesiapan.

Kesiapan (readiness) didefinisikan sebagai “prepared mentally and physically for an

experience or action” atau “preparation of a gun for immediate aim and firing” (Merriam-

Webster, 2005 dalam Walinga, 2008).

Pada pengelolaan irigasi, sikap petani untuk bertisipasi berkaitan dengan

berbagai aspek seperti persepsi petani terhadap proyek (Khalkheili & Zamani, 2008),

kemampuan diri, perhitungan untung rugi (Warsito, 1977 dalam Supadi. 2008), dan apa

manfaat langsung yang dapat diperoleh petani (FAO, 2001). Merujuk pada Alam et al.

(2012), berdasar berbagai literatur dan penelitian manajemen irigasi partisipatif

(participatory irrigation management/PIM), diperoleh alasan mengapa petani

berpartisipasi atau tidak berpartisipasi pada pengelolaan irigasi, meliputi:

a. Ketergantungan kehidupan pada skema irigasi.

b. Kehandalan dan efisiensi penyaluran air melalui irigasi.

c. Tingkat keuntungan dengan memanfaatkan skema irigasi.

d. Adanya desakan dan percaya pada kepemimpinan.

e. Pemahaman tentang hak, kewajiban dan pentingnya partisipasi.

f. Rasa memiliki dalam kelompok.

Berbeda dengan partisipasi petani sebagai individu, bila partisipasi dilakukan

pada tataran organisasi petani pemakai air (P3A), maka harus dibangun basis

kemandirian (develop a self-reliant basis) organisasi yang dipengaruhi oleh tindakan,

perilaku organisasi dan kepemimpinan dalam kelompok (Pradhan and Bandaragoda,

1997 dalam Abernethy CL. 2001).

Karena merupakan tindakan bersama, organisasi sebagai lembaga juga harus

secara nyata membentuk tindakan anggotanya pada tingkat individu maupun kolektif

(Hagedorn, 2008 dalam Wanga et. al, 2013). Sehingga memang ada keterkaitan dan

hubungan timbal balik antara partisipasi sebagai individu dan partisipasi yang dilakukan

oleh organisasi yang mengelola partisipasi secara kelompok, dan hal ini dipengarui oleh

tujuan yang ingin dicapai oleh individu maupun kelompok.

Untuk itu maka, tujuan dari dilakukannya tindakan partisipasi oleh kelompok

harus berbasis pada kebutuhan para anggota kelompoknya. Karena bila tidak

bersesuaian maka anggota kelompok dapat mengambil sikap sebagaimana digambarkan

Page 12: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

12

oleh Mejos (2007), yaitu tidak menyetujui atau berseberangan, menyesuaikan diri, atau

memilih tidak terlibat.

Menetapkan tujuan partisipasi petani bukan hal yang mudah. Perlu dikemukakan

alasan yang cukup kuat, logis, dan mampu mengungkit atau membangkitkan emosi

positif terhadap apa yang menjadi persoalan bersama. Partisipasi yang ditunjukkan oleh

petani di Bantul melalui kegiatan Gerakan Irigasi Bersih bermula dari bangkitnya emosi

petani menghadapi sampah yang menyumbat dan mencemari saluran irigasi.

GERAKAN IRIGASI BERSIH SEBAGAI WUJUD PARTISIPASI DENGAN KEARIFAN

LOKAL

Beragam hampiran dapat digunakan dalam partisipasi masyarakat. Hampiran

berbasis budaya dan kearifan lokal merupakan salah satu yang dapat dikembangkan

dalam peningkatan partisipasi pengelolaan irigasi. Mengacu pada Satria (2011) dapat

diidentifikasi hampiran partisipasi masyarakat berbasis budaya dan kearifan lokal

meliputi (Tabel 1): (a). Aturan adat; (b). Reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya

setempat yang telah pudar; dan (c). Internalisasi dan adaptasi budaya luar, yang

implementasinya berupa tindakan regulatif dan tindakan kognitif.

Tabel 1. Hampiran Partisipasi Masyarakat Pengelola Irigasi Berbasis Budaya Hampiran Tindakan Regulatif Tindakan Kognitif Aturan adat - Kodifikasi aturan adat

- Pengembangan kapasitas kelembagaan

- Penguatan jaringan - Sarana dan prasarana

- Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis aturan adat yang ada

- Kerjasama dengan sains Reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya setempat yang telah pudar

- Identifikasi, inventarisasi, dan revitalisasi nilai budaya lama yang telah pudar

- Pengembangan kapasitas kelembagaan

- Penguatan jaringan - Sarana dan prasarana

- Identifikasi, inventarisasi, dan formulasi secara tertulis pengetahuan lokal yang dulu pernah ada

- Kerjasama dengan sains

Internalisasi dan adaptasi budaya luar

- Pengembangan kapasitas kelembagaan

- Penguatan jaringan - Pembelajaran dari kisah

sukses komunitas lain

- Pendidikan dan pembelajaran dari kisah sukses komunitas lain

Sumber: adopsi dari Satria (2011)

Mencermati munculnya Gerakan Irigasi Bersih (GIB) di Kabupaten Bantul, dapat

diketahui bahwa gerakan ini dilandasi oleh protes terhadap belum optimalnya pengelolaan

irigasi oleh instansi pemerintah daerah dan minimnya kesadaran serta budaya

masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Kedua kondisi itu menyebabkan

saluran irigasi di Kabupaten Bantul dipenuhi sampah dan menyumbat aliran air ke

sawah petani.

Bentuk protes itu diejawantahkan dalam suatu gerakan sosial dan budaya untuk

membangun kesadaran kolektif yang luas yang pada akhirnya diharapkan mampu

Page 13: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

13

memperbaiki kondisi yang ada. Sulaeman, dkk (2013) menyebut gerakan itu sebagai

gerakan partisipasi masyarakat berbasis kebudayaan khas masyarakat Jogja (Jogja

Culture) yang secara simbolik mengajak masyarakat luas untuk mengembangkan budaya

bersih.

Secara konseptual memang terdapat berbagai cara individu atau masyarakat

untuk menyelesaikan masalahnya secara khas, dan pilihan masyarakat Kabupaten

Bantul mambantu menyelesaikan masalah irigasi melalui GIB perlu dipahami sebagai

respon atas kondisi yang ada yang mungkin berbeda dengan masyarakat di tempat lain.

Sebagaimana dinyatakan oleh Marten (2001) bahwa perbedaan persepsi perlu diakui

untuk membantu memahami mengapa individu dan masyarakat yang berbeda

memberikan respon terhadap lingkungan dengan cara-cara yang sangat berbeda pula.

Bila mengambil hampiran yang disampaikan olah Satria (2011), maka Gerakan Irigasi

Bersih masuk pada konteks “reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya setempat

yang telah pudar”.

Sulaeman, dkk (2013) mengidentifikasi adanya 4 (empat) tipologi aktifitas

partisipasi petani dalam pelaksanaan GIB pada saluran irigasi sekunder dan primer

(Tabel 2). Pada tipologi pertama, aktifitas dilakukan untuk memperlancar aliran air pada

saluran irigasi. Pada tipologi ini, saluran irigasi masih dapat mengalirkan air namun

terhambat oleh sedimen dan sampah. P3A/GP3A melakukan aktifitasnya agar pada saat

memulai musim tanam mendapatkan air yang lebih tepat jumlah, waktu dan kualitas.

Tipologi ini masih menerapkan hampiran teknis dan artificial culture ketimbang

hampiran budaya secara utuh.

Tipologi kedua yaitu aktifitas yang dilakukan untuk mengalirkan air irigasi pada

lokasi yang kesulitan mendapatkan aliran irigasi. Pada tipologi ini, P3A/GP3A

melakukan aktifitasnya karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan air melalui

saluran irigasi yang telah ada namun tidak berfungsi untuk mengalirkan air pada lahan

mereka. Tipologi ini murni menerapkan hampiran teknis.

Tabel 2. Tipologi Kegiatan GIB-MTA Pada Saluran Irigasi Sekunder Dan Primer No Tipologi Pencetus Tujuan Hampiran 1. Memperlancar aliran

air pada saluran irigasi

Saluran irigasi masih dapat mengalirkan air namun terhambat oleh sedimen dan sampah

Mendapatkan air yang lebih tepat jumlah, waktu dan kualitas

Teknis dan artificial culture

2. Mengalirkan air irigasi pada lokasi yang kesulitan mendapatkan air irigasi

Keinginan untuk mendapatkan air melalui saluran irigasi yang telah ada namun tidak berfungsi untuk mengalirkan air pada lahan pertanian

Mendapatkan air irigasi

Teknis

3. Mengagitasi dan memotivasi petani/P3A/GP3A

Minimnya perhatian instansi pengelola irigasi, sampah dan lingkungan hidup dalam pengelolaan irigasi bersih

Menumbuhkan semangat dan kedisiplinan petani

Kerjasama institusi

4. Memperkenalkan budaya mencintai air

Masyarakat belum menjalankan budaya mencintai air

Mencari bentuk budaya mencintai air

Kesenian dan ritual

Sumber: Sulaeman, dkk (2013)

Page 14: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

14

Tipologi ketiga yaitu aktifitas dilakukan dengan melibatkan institusi sebagai cara

mengagitasi dan memotivasi petani/P3A/GP3A. Pada tipologi ini, GIB-MTA melibatkan

institusi Kodim 0729/Bantul untuk secara bersama-sama melakukan pembersihan

saluran irigasi. Pelibatan institusi militer tidak dimaksudkan sebagai bagian untuk

melibatkan militer dalam aktivitas masyarakat sipil, namun dimaksudkan sebagai cara

untuk menumbuhkan semangat dan kedisiplinan petani sebagaimana diterapkan oleh

anggota militer. Sedangkan tipologi keempat adalah aktifitas GIB-MTA yang mulai

memperkenalkan budaya mencintai air. Pada tipologi ini, P3A/GP3A memperlihatkan

aktifitas yang bukan sekedar upaya untuk membersihkan saluran irigasi secara fisik,

namun mulai memperkenalkan dan menggunakan suguhan budaya mencintai air

melalui kesenian dan ritual budaya setempat.

Partisipasi petani melalui GIB dalam pemeliharaan jaringan irigasi primer dan

sekunder tidak dimaksudkan untuk mengambil alih peran Pemerintah dan pemerintah

daerah. Partisipasi petani justru harus menjadi pemicu bahwa modal manusia sangat

berarti dalam pengelolaan irigasi dan masyarakat membutuhkan kehadiran negara dan

perangkat organisasinya untuk memberikan pelayanan yang sepadan atas kerja keras

petani memproduksi pangan.

MENATAP MASA DEPAN

Sebetulnya pada masa pergantian abad yang lalu, telah muncul pula suatu

paradigma baru dalam pelaksanaan ekonomi pembangunan yaitu munculnya

pemahaman terhadap knowledge economy, yaitu sistem ekonomi berbasis pengetahuan.

Hampiran ini mengatakan aset paling penting dalam sistem kerja suatu organisasi pada

abad 21 adalah pentingnya peran aset manusia dan nilainya jauh melebihi aset wujud.

Dengan hampiran knowledge economy tersebut manusia tidak lagi hanya dianggap

sebagai masukan dalam proses produksi saja tetapi dianggap sebagai manusia yang utuh

dan manusia dianggap sebagai modal yang dapat diinvestasikan untuk masa depan dan

disebut sebagai human capital.

Banyak sekali pustaka lainnya yang mentakrifkan tentang konsep human capital

dan kadang-kadang juga disebut sebagai modal virtual. Tetapai satu takrif yang dapat

dipakai dalam pengelolaan irigasi adalah takrif yang diberikan oleh Tjakraatdmadja dan

Lantu (2006):

Modal manusia (human capital) menganggap manusia sebagai makhluk khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional dan sosial-spritual secara utuh. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Pengembangan human capital menuntut pengembangan manusia agar dapat mencapai fitrahnya sebagai pemberi makna, sebagai sumber pengungkit dan penghela organisasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua pihak.

Page 15: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

15

Konsep tentang human capital ini sedang dirumuskan untuk dipakai dalam

kebijakan pengelolaan irigasi di masa depan. Meskipun masih dirasakan penting namun

kebijakan yang bersendikan pembangunan infrastuktur tidak lagi menjadi fokus utama

dalam PPSIP masa depan Gambar 5.

Gambar 5. Perkembangan inventasi irigasi dengan hampiran infrastruktur dan manajerial

CATATAN PENUTUP

Dari bahasan kesejarahan dapat diketahui bahwa peran irigasi sebagai satu

masukan kebijakan pangan menjadi sesuatu faktor penentu dalam sistem politik suatu

negara. Di masa lalu bahkan negara melakukan intenvensi sangat besar untuk

menjadikan pengelolaan irigasi di bawah dominasi pemerintah sehingga melakukan

hakekat dari pengelolaan irigasi adalah memberikan satu masukan air yang sangat

dibutuhkan untuk produksi bahan pertanian demi peningkatan kesejahteraan petani. Di

masa depan situasi tersebut tidak akan dapat ditoleransi lagi. Sesuai dengan azas

partisipasi sebagai satu pemberdayaan masyarakat maka petani harus memperoleh

manfaat dalam pengelolaan irigasi.

Partisipasi masyarakat dalam bingkai kearifan lokal seperti yang ditunjukan oleh

Gerakan Irigasi Bersih (GIB) di Kabupaten Bantul dapat dipakai sabagai salah satu

alternatif pelaksanaan PPSIP. Pemakaian hampiran pemberdayaan manusia pelaku

irigasi dapat dilakukan di masa depan karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk

paling sempurna diciptakan Allah di muka bumi.

Investasi pembangunan infrastruktur Investasi manajerial

Inve

stas

i

Waktu

Inv

esta

si

Waktu

Masa lalu Masa depan

Page 16: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

16

ACUAN

Abernethy CL. 2001. Managing irrigation systems in preparation for management transfer. ICID 19th European Conference, Brno, June 2001

Afiff, S. 1992. Keynote address. Dalam Proceeding the International Seminar on Water resources for sustainable use in Indonesia, Sponsored by National Planning Agency and Ministry of Public Works. Bogor, Cisarua, 29 Oktober-1 November 1992.

Alam, A., Kobayashi, H., Matsumura, I., Esham, M., Faridullah, and Siddighi, BB.. 2012. Factors Influencing Farmers’ Participation in Participatory Irrigation Management: A Comparative Study of two Irrigation Systems in Northern Areas of Pakistan. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol. 3 (9) April 2012

Arif. S.S..2003. Menggagas kembali kebijakan I Pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi, PKPI : redefinisi tugas dan peran kelembagaan irigasi. Dari telaah akademis ke pelaksanaan. Makalah disampaikan dalam sarasehan terbatas Fakultas teknologi Pertanian, UGM, 3 Oktober 2003.

Arif. S.S. 2009. Mengembalikan irigasi untuk kepentingan rakyat. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Univerisitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan.

................. 2013a. Pemberdayaan pelaku irigasi. Makalah disampaikan pada lokakarya pemberdayaan petani WISM II. BAPPENAS. Jakarta, 17 Oktober 2013

……………2013b. Sistem pertanian beririgasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang dan masa depan. Bagian dari buku Pokok-pokok pikiran anggota Dewan Riset, DIY (draft)

.............. E. Subekti. 2013. Roadmap partisipasi generasi muda dalam bidang pertanian: kasus sistem irigasi subak. Makalah disajikan pada Konggres Kebidayaan Bali24-25 September 2013. Denpasar, Bali

............... A. Prabowo. H. Ahimsaputra, C. Cahyono. 2010, Sumberdaya air: Budaya dan teknologi pada masa kolonial sampai reformasi, studi kasus masyarakat Jawa. Bappenas RI. 210 p.

Chambers, R. 2007. Ideas for Development. Earthscan UK.

FAO. 2001. Guidelines For Participatory Training & Extension in Farmers’ Water Management (PT&E-FWM)

FTP-UGM 1992. Kajian evaluatif pelatihan PTGA di sepuluh provinsi. Laporan akhir.Tidak dipublikasikan.

............ 2001. Pengembangan Perencanaan Manajemen Aset irigasi. (Laporan Akhir) Kerja sama dengan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air. Dept. KIMPRASWIL.

............2006. Laporan akhir Kajian teknologi dan budaya: studi kasus masyarakat Jawa. Laporan diserahkan pada BAPPENAS (tidak dipublikasikan).

Huppert.W.; M. Svendsen and D. Vermillion. 2001. Governing maintenance provision in Irrigation. A Guide to institutionally viable maintenance strategies. IWMI, IFPRI, GTZ. Wiesbaden.

Page 17: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

17

Khalkheili, TA and GH Zamani. 2008. Farmer participation in irrigation management: The case of Doroodzan Dam Irrigation Network, Iran. Agricultural Water Management (AGWAT) 2716

Lombard, D. 1976. vol. 3. Nusa Jawa: Silang budaya. Warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Terjemahan . Cetakan ke 2. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 346 p.

Marten, GG. 2001. Human Ecology - Basic Concepts for Sustainable Development, Earthscan Publication

Mejos, DEA. 2007. Against Alienation: Karol Wojtyla’s Theory of Participation. Kritikē Volume One Number One (June 2007) 71-85

Pieterse. J.N. 2001. Development theory: Deconstruction/reconstructions. Vistaar Publications.195 p.

Prasodjo, T. 2004. “Kemajuan Teknologi Masa Airlangga: Contoh Kasus Pembangunan Tambak Atau a uhan Dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M”. Disampaikan dalam: Diskusi Panel “Airlangga Sebagai Tokoh” diselenggarakan: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala bekerjasama dengan Pemda Tingkat II Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur, hlm.3-4.

Satria, A. 2011. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya Alam. Dalam Satria, A., Rustiadi, E., Purnomo, A.M. (ed). Menuju Desa 2030. Crestpent Press. Bogor

Savva, AP, Frenken, K. 2002. Irrigation Manual Module 1. Irrigation Development: a Multifaceted Process Social, Economic, Engineering, Agronomic, Health and Environmental Issues to be Considered in a Feasibility Study. Dalam Irrigation Manual: Planning, Development, Monitoring and Evaluation of Irrigated Agriculture with Farmer Participation. Volume 1. Module 1-6. FAO. Harare. 2002

Small, L.E dan M. Svendsen. 1992. A framework for assessing irrigation performance. Working papers on irrigation performance I. IFPRI. Washington D.C. August 1992.

Sulaeman, D., Arif, S.S., Bayudono, Sigit, E.T.N. 2013. Gerakan Irigasi Bersih Sebagai Gerakan Khas Partisipatif Pengelolaan Irigasi dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Komite Nasional Indonesia-ICID: Securing Water For Food And Rural Community Under Climate Change, Semarang 30 November 2013

Supadi. 2008. Menggalang Partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

van Mannen, T.D. 1978. Irrigasi di Hindia Belanda (Irrigation in Netherland-Indie). Terjemahan. PROSIDA. Jakarta.

van Setten van der Meer. 1979. Sawah cultivation in ancient Java: Aspects of development during the Indo-Javanese period, 5th to 15th century. Monogram, Australian National University. Canberra.

van Ufford. P. Q, A.K. Giri, D. Moose. 2004. Pendahuluan: Intervensi pembangunan. Dalam: Etika dan moral pembangunan. N. Ufford dan A.K. Giri (eds). Kanisius Yogyakarta.

Wanga, X., Ottoa, IM., Yub, L.. 2013. How physical and social factors affect village-level irrigation: An institutional analysis of water governance in northern China. Agricultural Water Management 119 (2013) 10-18

Page 18: PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN PEMBERDAYAAN · PDF filediketahui bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara pada abad ke 5 telah memerintahkan untuk membangun satu saluran pengelak

18

Walinga, J. 2008. Toward a Theory of Change Readiness: The Roles of Appraisal, Focus, and Perceived Control. Dalam The Journal of Applied Behavioral Science Vol. No. Month. NTL Institute

Windya. I.W. 1993. Intervensi pemerintah terhadap subak. Dalam Subak sistem irigasi tradisional di Bali: Sebuah Canangsari. I G. Pitana (Editor). PT. Upada Sastra. Denpasar. Bali

Wirosoemarto. S. 2001. Perkembangan Pembangunan Pengairan di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengairan, 2001.

Wittfogel, K. 1975. Oriental despotism, a comparative study of total power. New Haven: Yale University Press.

Wiyono, A., Legowo, S., Nugroho, J., Nugroho, CA. 2012. Kajian Peran Serta Petani Terhadap Penyesuaian Manajemen Irigasi untuk Usaha Tani Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) di Petak Tersier Daerah Irigasi Cirasea, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jurnal Teknik Sipil, Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. Vol. 19 No. 1 April 2012