pengembangan ilmu hukum dalam perspektif filsafat ilmu

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa “berfilsafat” sebagai manifestasi kegiatan intelektual telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah. Hal ini juga berlaku bagi ilmu hukum yang selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Dalam hal ini diperlukan suatu cara berpikir yang filsafati untuk mengenal lebih jauh esensi dari hukum itu yang pada gilirannya dapat digunakan utnuk mengembangkan ilmu hukum yang telah ada. Dalam prakteknya orang hanya menganggap hukum itu sebagai produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, berlaku mengikat terhadap seluruh masyarakat dan mempunyai ciri khusus berupa adanya 1

Upload: bagas-geestelijk-gezond

Post on 30-Jan-2016

46 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa “berfilsafat” sebagai manifestasi kegiatan

intelektual telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam

kehidupan masyarakat ilmiah. Hal ini juga berlaku bagi ilmu hukum yang selalu

berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Dalam hal

ini diperlukan suatu cara berpikir yang filsafati untuk mengenal lebih jauh esensi

dari hukum itu yang pada gilirannya dapat digunakan utnuk mengembangkan ilmu

hukum yang telah ada.

Dalam prakteknya orang hanya menganggap hukum itu sebagai produk

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, berlaku mengikat

terhadap seluruh masyarakat dan mempunyai ciri khusus berupa adanya sanksi

kepada orang yang melanggarnya (hukum positif). Di lain pihak filsafat tidak

hanya melihat hukum sebagai hukum positif saja, akan tetapi juga meliputi hukum

dalam arti inabstrakto, hukum dalam arti inkonkreto, living law, dan hukum dalam

arti keseutuhan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa pandangan filsaafat terhadap

hukum tidak hanya satu sisi saja, tetapi sangat mendalam dan meninjaunya dari

beberapa aspek yang berbeda.

1

Page 2: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Sebelum berbicara mengenai filsafat ilmu, seharusnya diketahui terlebih

dahulu pengertian dari filsafat itu sendiri. Filsafat bukanlah sesuatu yang mudah

untuk didefinisikan. Oleh karena itu setiap orang dapat mempunyai definisi yang

berbeda mengenai filsafat.

Menurut pendapat A. Paperzak mengatakan :

“Apakah filsafat itu, baru dapat dikatakan pada akhirnya; tidak pada permulaan seperti barang kali diharapkan oleh seorang pemula.....satu-satunya kemungkinan agar kita merasa dekat dengannya adalah bahwa kita dengan keberanian cukup memasukinya.1

Dari pernyataan di atas nampaklah bahwa untuk mengerti filsafat secara

benar dan utuh kita diharuskan untuk memasukinya dalam arti mengalami dengan

cara berfilsafat itu sendiri. Sebab dengan membaca buku-buku filsafat belumlah

berarti bahwa kita sudah mengerti benar apa hakikat filsafat, mungkin ini dapat

disamakan dengan seseorang yang senang membaca buku cerita silat tetapi jika

disuruh melakukannya (bersilat) belum tentu bisa. Berikut ini akan diberikan

beberapa pengertian filsafat menurut logatnya dan menurut pengertian praktis.

1. Menurut logatnya

Menurut logatnya, kata “filsafat” merupakan bentuk kata “Arab” yakni

“falsafah”. Akan tetapi jika ditelusuri kata falsafah itu sendiri merupakan

kata yang berasal dari perkataan Yunani, yakni “philosophia”2.

Philosophia sendiri merupakan rangkaian kata yang terpisah pada

mulanya, yaitu terdiri dari kata “philo” dan “sophia”. Philo artinya cinta,

1 Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Terjemahan R.A. Rivai, Erlangga, Jakarta, 1984, hal. 11.

2 Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Wijaya, Jakarta, 1970, hal. 20.2

Page 3: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

sedangkan sophia artinya hikmah. Dengan demikian philosophia artinya

cinta akan hikmah, dan filsuf itu sendiri merupakan orang yang mencintai

hikmah dan karena itu berusaha untuk mencapainya.Adapun yang

dimaksud dengan perkataan hikmah di sini adalah dalam arti yang umum,

yaitu pengetahuan, dan juga kebijaksanaan atau kecakapan.

2. Menurut pengertian praktis

Menurut pengertian praktis, filsafat berarti “alam pikiran” atau “alam

berpikir”. Jadi dapat disimpulkan bahwa berfilsafat itu adalah “berpikir”.3

Namun apakah yang dimaksud dengan berpikir dalam arti “berfilsafat”,

apakah berpikir di sini sama dengan kebanyakan orang berpikir atau

setiap orang berpikir. Dalam hal ini berpikir dalam arti “berfilsafat” pada

dasarnya tidak sama dengan berpikir pada umunya.

Menurut Louis O. Kattsof terdapat tujuh ciri berpikir filsafat, yaitu :4

a. Ia harus merupakan suatu bagan konsepsional. b. Adanya saling hubungan antarjawaban-jawaban kefilsafatan. c. Pemikiran filsafat harus merupakan pemikiran secara rasional. d. Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren/runtut. e. Bersifat menyeluruh. f. Merupakan suatu pandangan dunia.g. Suatu definisi pendahuluan.

Dari ciri-ciri berfikir kefilsafatan di atas dapat diketahui bahwa ciri

berfikir kefilsafatan sangat ketat, sehingga tidak ada satupun yang luput dari

jangkauannya. Filsafat juga benar-benar jauh dan mendalam bahkan menukik

sampai ke relung-relung paling dasar, seakan-akan dunia ini ada dalam

3 Ibid.4 Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986, hal. 7 - 15.

3

Page 4: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

pikirannya. Oleh karena itu wajarlah jika seorang filsuf memandang penjara

bukan suatu nestapa, melainkan taman firdaus pikiran. Filsafat itu merupakan

wissenchaftlehre, artinya filsafat merupakan ilmu daripada ilmu. Maksudnya

bahwa filsafat itu adalah ilmu yang umum yang menjadi dasar segala ilmu yang

lain. Filsafat juga merupakan grundwissenchaft, yaitu ilmu dasar, yang hendak

menentukan kesatuan manusia dengan jalan menunjukkan dasar akhir yang sama

dan memikul sekaliannya.5

Kalau diteliti dari sejarah filsafat Yunani, maka dapat diketahui bahwa

filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini ilmu pengetahuan

yang dimaksud meliputi semua ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu

hukum. Dengan demikian untuk mengembangkan ilmu hukum orang harus

berpikir secara filsafat, khususnya filsafat ilmu. Tujuan filsafat ialah

mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan

menilai pengetahuan ini menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur

semuanya itu di dalam bentuk sistematis. Akhirnya filsafat dapat membawa kita

kepada pemahaman, dan pemahaman akan membawa kita kepada tindakan yang

lebih layak.6

Maka berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik mengambil judul

makalah : “PENGEMBANGAN ILMU HUKUM DIDALAM PERSPEKTIF

FILSAFAT ILMU”

5 Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing Kefilsafatan Fisika, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, hal. 2.

6 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar Kefilsafat Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 15.

4

Page 5: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis ambil adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengembangan ilmu hukum didalam prespektif filsafat

ilmu?

2. Bagaimanakah paham-paham filsafat tentang ilmu dan pengembangan

ilmu hukum dalam presfektif filsafat ilmu?

5

Page 6: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

a. Tinjauan mengenai Ilmu Hukum

Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum. Objeknya ialah hukum. Ilmu

hukum dilihat sebagai konsep ilmu juga melekat pada ilmu hukum. Ilmu hukum

dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmu-ilmu alam maka dalam hukum sama

seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, jika konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang

sebagai konsep yang khas yang berbeda dalam konsep ilmu pada ilmu-ilmu alam.

Apabila ilmu hukum dipandang sebagai suatu ilmu yang khas yang

bukan ilmu sosial maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang

kaidah. Dalam hal ini pandangan Hans Kelsen mewarnai sifat lmu hukum seperti

itu. Teori Hans Kelsen disebut Reine Rechtlehre atau The Pure Theory of Law

atau teori murni tentang hukum. Pandangan ini ingin melepaskan hukum dari

seperti yang diterapkan dalam ilmu-ilmu sosiologi, psikologi dan lain-lain

yang merupakan metode ilmu alam.7

Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner. Hakikat ini kita ketahui

dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu

menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di

7 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 19.

6

Page 7: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

masyarakat. Berbagai aspek dari hukum yang ingin kita ketahui ternyata tidak

dapat dijelaskan dengan baik tanpa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu

pengetahuan seperti politik, antropologi, ekonomi dan lain-lainnya. Anthropologi

misalnya membantu menjelaskan tentang kerja dari hukum itu yang tidak dapat

dilepaskan dari keseluruhan kehidupan masyarakat sebagai satu kesatuan budaya.8

Van Apeldoorn dalam bukunya Pengatur Ilmu Hukum (1980)

memasukkan ke dalam Ilmu Pengetahuan Hukum yakni sosiologi hukum, sejarah

hukum dan perbandingan hukum. Begitupun E. Utrecht dalam buku Pengantar

Dalam Hukum Indonesia (1966) memasukkan sejarah hukum, sosiologi hukum,

perbandingan hukum dan pelajaran hukum umum sebagai cabang-cabang ilmu

hukum bantu dari ilmu hukum positif. Sedangkan dalam ilmu hukum panduan

mahasiswa susunan JB. Dalio, S.H. cs. berjudul Pengantar Hukum dimasukkan

sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum, antropologi hukum,

psikologi hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Sedangkan DHM Meuwissen

(dalam artikel yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidarta) yang berjudul Ilmu

Hukum membagi jenis-jenis ilmu hukum ke dalam ilmu hukum dogmatik dan

ilmu hukum empiris.9

Perlu pula dicatat bahwa Van Apeldoorn menyebutkan pula adanya ilmu

pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. Utrecht sendiri hanya menyebutkan

cabang-cabang tersebut hanya sebagai ilmu hukum positif.Malahan dalam buku

panduan dimasukkan juga politik hukum dan filsafat hukum. Jadi, dapat dikatakan

8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 7.9 Sugijanto Darmadi, op. cit., hal. 20.

7

Page 8: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

bahwa konsep ilmu dalam ilmu hukum yang banyak dianut ialah konsep ilmu

dalam arti luas, sebagai salinan atau terjemahan dari “Wissenschaft”.10

b. Tinjauan Tentang Filsafat Ilmu

Menurut pendapat Jujun :

“Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang

secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (ilmu pengetahuan ilmiah).”11

Di lain pihak menurut C.A. Von Peursen filsafat ilmu adalah suatu

perpanjangan dari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan

penerapan teori pengetahuan pada pengetahuan ilmiah.12

Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.

Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam

dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang

bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam

atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.

Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak

terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,

dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.Dengan demikian

terjadi gejala relatifitas dalam batas-batas antara ilmu dan filsafat. Walaupun

demikian adanya batas-batas itu masih begitu kuat. Para ahli masih membedakan

batas-batas ilmu dan filsafat. Ilmu dan filsafat masih memiliki otonomi dan batas-

10 Ibid.11 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1988, hal. 33.12Von Peursen, C.A., Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985, hal. 79.

8

Page 9: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

batasnya masih dapat ditarik.Dalam hal ini antara ilmu dan filsafat masih ada

beberapa hal yang memisahkan. Masih ada otonomi antara ilmu dan filsafat yang

membedakan tetapi tidak memisahkan.Filsafat ilmu adalah filsafat. Filsafat adalah

refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip. Maka filsafat ilmu adalah

refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu.13

Prinsip ilmu adalah sebuah fundamental dan kebenaran universal yang

lengket di dalam ilmu, yang pada akhirnya memberi jawaban tentang keberadaan

ilmu.14Dalam artian filsafat ilmu sebagai suatu cabang ilmu filsafat, fungsi dan

peranannya sebagai dasar dan arah penggalian serta pengembangan ilmu dengan

berbagai implikasinya.

B. Paham-Paham Filsafat Tentang Ilmu Dan Pengembangan Ilmu Hukum

Dalam Presfektif Filsafat Ilmu

Dengan menangkap dan menghayati pembicaraan tentang filsafat ilmu,

seorang ilmuan kiranya tidak akan lagi sekedar hanyut dalam “biduk tradisi” ilmu.

Ia akan lebih siap untuk tidak memandang ilmu sebagai barang jadi, sebagai

kumpulan bahan hapalan. Ia akan senantiasa gelisah dalam ikhtiar mencermatkan

kegiatan ilmiahnya. Simplisme pemikiran akan memuakkannya, sehingga

penalaran akan berkembang dan semangat ilmiah kembali berkobar dengan

pemahaman akan kendalanya.15Filsafat ilmu yang kini semakin disadari oleh

13 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 301.

14Ibid.15Ibid., hal. 303.

9

Page 10: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

masyarakat kita akan penting mutlaknya untuk diajarkan tidak saja ditingkat S1

melainkan juga program pasca sarjana, adalah suatu cabang filsafat yang sudah

lama dikenal dan dikembangkan di dunia barat semenjak abad ke-18, dengan

sebutan Philosophy Of Science, Wissenschaftlehre, atau Wetenschapsleer.16 Untuk

memperdalam refleksinya dan agar semakin menangkap nuansa-nuansa

masalahnya, maka seorang ilmuwan tidak boleh menghindari dari diskusi tentang

ilmu dimasa lalu atau kini. Paham-paham filsafat tentang ilmu, katakanlah dari

Sokrates, Aristoteles, Galileo, Descartes, Kant, Bachelard, Bunge, Winch,

Hundberg, Znaniecki, dan lain sebagainya dapat berfungsi sebagai pembuka mata.

Diskusi-diskusi tersebut tentu dapat menambah bobot pada refleksinya,

memungkinkan pemahaman yang lebih dalam terhadap seluk-beluk ilmu.17

Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab

sosial yang terpikul dibahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat

yang kepentingannya telibat secara langsung dimasyarakat namun yang lebih

penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup

bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan

keilmuan secara induvidual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk

keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Adapun Bidang-

bidang garapan Filsafat Ilmu

1. Ontologi16Koento Wibisono Siswamihardjo, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai

Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, Makalah ini disajikan pada internship dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Yogyakarta, tanggal 22 - 29 Agustus 1999, hal. 11.

17 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, loc. cit. 10

Page 11: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Ontologi ilmu, meliputi apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran dan

kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas

dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu (being,

sein, het, zijn) faham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau

spritualisme, dan materialisme, faham dualisme, pluralisme dengan

berbagai nuansanya, merupakan faham ontologi yang pada akhirnya akan

menentukan pendapat bahkan “keyakinan” kita masing-masing mengenai

apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagai manifestasi yang kita cari.18

Ontologi adalah sebagai pengkajian mengenai hakekat realitas dari objek

yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan. Aksiologi diartikan sebagai teori

nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti

diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunya tiga dasar

yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk

mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode

ilmiah.19

Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filsafat

sejak dahulu kala. Tersedia segudang filsafat dalam menjawabnya. Kita bisa

setuju dengan mereka dan kita pun bisa tidak setuju dengan mereka, kita juga

boleh mengajukan jawaban fisafati kita.

2. Epistemologi

18 Koento Wibisono Siswamihardjo, op. cit., hal. 11 - 12.19Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 234.

11

Page 12: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Epistemologi ilmu, meliputi sumber sarana dan tata cara menggunakan

sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan

mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya

mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan dipilih.

Akal (vestanda), akal budi (vernunft), pangalaman atau kombinasi antara

akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam

epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti

rasionalisme, empirisme, kristisme, atau rasionalisme kritis, positivisme,

fenomologi dengan berbagai variasi.20

Ilmu sebagai alat, tanpa agama sebagai kompas, tidaklah akan membawa

manusia kearah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya ilmu akan berbalik

membawa malapetaka dan kesengsaraan. Dipihak lain, agama tanpa ilmu, tujuan

yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkan, akan tetap merupakan utopia dan

angan-angan belaka.Itulah kiranya yang terjadi dalam pembentukan ilmu

pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, yang dikumpulkan lalu

diatur dan disusun. Diharapkan, bahwa apa yang tadinya sudah diketahui secara

umum, dalam ilmu pengetahuan akan diketahui dengan lebih masuk akal. Jika

dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya, jelaslah bahwa hasil

pengetahuan semakin mengorbankan sifat konkret pengetahuan langsung demi

semakin nampaknya suatu susunan menyeluruh yang bersifat abstrak.Proses ini

menjadi jelas dalam upaya setiap ilmu untuk menyusun beberapa modal. Modal

20 Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 12.12

Page 13: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

itu dimaksud sebagai penghadiran kembali yang padat dan ringkas dari apa yang

sudah dikumpul dalam pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah.

3. Aksiologi

Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam

pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai

dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,

kawasan simbolik, ataupun dunia materil. Lebih dari nilai-nilai juga ditujukan

oleh aksiologi ini sebagai suatu Conditio Sine Quano yang wajib dipatuhi dalam

kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan

ilmu.21

Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menentukan

alternatif dari objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand

Russell umpamanya mengemukakan sebagai contoh berapa uang yang dipakai

untuk persenjataan dapat dipergunakan untuk meningkatkan dan mendistribusikan

bahan makanan serta mengurangi ledakan penduduk. Kemampuan analisis

seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan nonproduktif

menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.22

Memang kita harus bangga dengan julukan kita selaku manusia : Homo

Sapiens, makhluk yang berpikir. Segera terbayang di benak kita, makhluk yang

tercenung dengan tinju di dagu, menghadapi berbagai masalah secara rasional.

Namun bayangan ini kemudian luntur. Kemanusiaan berhutang budi kepada

21Ibid.22 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, op. cit., hal. 241.

13

Page 14: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Sigmund Freud yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai

membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi.23Proses

menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang

ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi

sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran

sebagai tujuan akhir mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral.

Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan

hidupnya.

Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran ialah yang mengharuskan

ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi bagaimana penemuan itu digunakan.

Pengetahuan bisa merupakan berkah dan mungkin merupakan kutukan tergantung

bagaimana manusia memanfaatkan pengetahuan tersebut. Bila ilmu pengetahuan

dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, tidak membawa berkah kepada

kemanusiaan sebagaimana yang diharapkan dan bahkan merupakan kutukan,

maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan.24Orang

intelektual adalah orang yang kritis.Ia meneliti latar belakang sebuah kejadian, ia

mencari kecenderungan-kecenderungan spritual dan ideologis. Ia mempersoalkan

dampak sosial hasil-hasil penelitian ilmiah dan keputusan politik. Khas bagi orang

intelektual adalah sikap skeptis terhadap otoritas tradisional, norma dan lembaga

sosial. Ia menuntut pertanggung jawaban rasional.25

23Ibid., hal. 243.24Ibid., hal. 252.25 Franz Magnis - Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik Butir-butir Pemikiran Kritis,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal. 62. 14

Page 15: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

C. Tinjauan Filsafat Terhadap Hukum

Untuk menjawab tentang apakah hukum itu, sangat tergantung pada

metodologi yang digunakan. Filsafat mempunyai empat metode untuk mengkaji

hukum, yaitu hukum dalam arti inabstracto, hukum dalam arti inconcreto, living

law atau law is reality, dan teori keseutuhan.26

1. Hukum Inabstrakto (Inabstracto)

Menurut pengertian ini hukum sering diidentikkan dengan perangkat

peraturan tertulis dan dibuat oleh negara, seperti Undang-undang atau

Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah

dan lain-lain. Dengan kata lain hukum inabstrakto adalah merupakan

ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur dalam arti bagaimana

tingkah laku seharusnya. Oleh karena itu pengertian hukum dalam arti

tersebut di atas sangat mudah ditemukan, terutama karena sifatnya yang

tertulis.27

Walaupun demikian adanya, tetapi kadang kala keberhasilannya kurang

dirasakan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang pula kurang menyentuh

rasa keadilan masyarakat. Adapun konsekuensi logis dari semua itu

akhirnya hukum dirasakan hanya paksaan yang datang dari

penguasa/pemerintah semata, misalnya dilarang mengambil barang orang

lain sebagian atau seluruhnya tanpa hak dengan maksud untuk memiliki

(pencurian), atau dilarang mendirikan bangunan di sepanjang jalur hijau.

26 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, op. cit., hal. 53.27Ibid., hal. 54.

15

Page 16: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Jadi hukum di sini sering diidentikkan dengan hukum positif, yaitu

hukum yang berlaku pada suatu waktu di suatu tempat. Dari uraian di

atas nampaklah bahwa tinjauan yang digunakan untuk mengerti hukum

terlalu sepihak, karena titik berat tinjauannya hanya terbatas pada

pengertian hukum sebagai kaidah yang bersifat seharusnya (law as ought

to be) sedangkan bagaimana realitanya kuranglah begitu disinggung. Jika

kita pinjam istilah John Austin (1790 - 1859) yang membedakan hukum

buatan manusia (human law) ke dalam :

a. Hukum yang dengan tepat disebut hukum (laws property so called/positive law) yakni hukum yang dibuat oleh negara (penguasa politik); seperti Undang-undang/peraturan perundang-undangan.

b. Hukum yang tidak dengan tepat dikatakan hukum (laws improperty so called) seperti ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan tertentu maka hukum inabstracto dapat disejajarkan dengan pengertiannya yang pertama yakni laws property so called atau hukum yang dengan tepat disebut hukum.

Law property so called atau hukum positif di sini menurut John Austin

mempunyai 4 unsur, yaitu :

1) Perintah (command)2) Ancaman hukuman/sanksi (sanction)3) Kewajiban (duty) 4) Kedaulatan (soverignity)

Jadi pengertian hukum di sini hanya diartikan limitatif tidak universal,

karena terbatas atau dibatasi oleh perintah kedaulatan dari sang penguasa

(political sperior

2. Hukum Inkonkreto (Inconcreto)

16

Page 17: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Hukum dalam artian ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian

hukum inabstrakto, karena keduanya merupakan hukum dalam artian

ketentuan penguasa. Maksudnya baik hukum inkonkreto pembentuknya

sama yaitu negara. Cuma ada perbedaan di antara keduanya, jika yang

pertama bersifat normatif, abstrak dan unpersonal maka yang kedua

bersifat konkret dan umumnya juga individual dan kasuistis. Dengan kata

lain, bahwa adanya hukum dalam artian yang kedua (inkonkreto)

merupakan perwujudan nyata dari hukum inabstrakto dalam

penerapannya, misalnya saja keputusan dalam proses peradilan pidana

tentang pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).28

Kalau diperhatikan uraian di atas, sebenarnya seorang hakim di sini

hanya melaksanakan ketentuan aturan hukum inabstrakto dalam hal ini

KUHP khususnya Pasal 362. Tetapi secara tidak langsung iapun

merupakan pembentuk hukum yang mendapatkan delegasi kewenangan

dari aturan hukum yang lebih tinggi terhadap hal-hal yang konkret.

Walaupun demikian adanya wewenang yang didelegasikan untuk

membentuk aturan hukum inkonkreto ini tidaklah sama dengan

wewenang yang diberikan kepada hukum inabstrakto, sebab ia dibatasi

oleh hal-hal yang bersifat kasuistis dan konkret. Dengan demikian badan

yang berwenang hanya dapat membentuk satu aturan hukum inkonkreto,

terhadap suatu kejadian konkret. Sedangkan pada yang pertama

28Ibid., hal. 71.17

Page 18: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

(pembentukan aturan hukum inabstrakto) badan yang diberikan

wewenang tidak dibatasi, artinya bebas di dalam membentuk aturan

hukum tersebut. Akhirnya dapatlah dikatakan bahwa hukum dalam

pengertian tersebut di atas adalah merupakan ketentuan penguasa yang

bersifat konkret, kasuistis dan individual.

3. Hukum In Realita

Jika hukum inabstrakto dan hukum inkonkreto sulit dirasakan

keberadaannya oleh masyarakat, maka sebaliknya hukum dalam arti yang

hidup di tengah masyarakat sangat dirasakan keberadaannya. Memang

kalau kita menginginkan wujud konkret dari hukum dalam artian ini

nampaknya sulit karena tidak tertulis atau tersistematisir dalam satu

kodifikasi seperti UU No. 5 Th. 1960 atau yang lainnya. Hukum dalam

artian ini atau law is it umumnya tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat, oleh karena itu keberadaannya dirasakan, walaupun

terkadang tidak sesuai dengan dengan hukum dalam arti inabstrakto atau

kaidah bertingkah laku yang seharusnya.29

Jadi dapatlah dikatakan bahwa hukum in realita bukan hukum yang

dibentuk oleh kekuasaan baik dalam arti negara maupun lainnya, namun

sumber sejati dari hukum itu terletak jauh di dalam jiwa manusia yang

secara naluri mempunyai kesadaran yang benar dan patut. Dengan

demikian, sulitlah bagi kita untuk mengerti hukum dalam arti kenyataan

29Ibid., hal. 72.18

Page 19: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

ini tanpa kita mengenal lingkungan sosial dimana hukum itu berada,

sebab hukum sangat tergantung pada apa yang secara populer telah

diterima masyarakat di mana setiap kelompok masyarakat membangun

hukumnya sendiri (living law) yang mempunyai kekuatan kreatif. Jadi

kesimpulannya hukum adalah merupakan nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

4. Hukum dalam Arti Keseluruhan

Apakah hukum itu, kiranya kita tidak dapat hanya membaca pengertian

hanya dari satu sisi saja, sebab hukum itu terlalu luas ruang cakupannya

sehingga tidak dapat kita mengartikannya dengan ketentuan penguasa

(normatif) belaka. Apalagi jika kembali pada hakikat alam semesta yang

merupakan sesuatu yang teratur dalam arti segalanya selalu berada pada

jalurnya masing-masing sebagai satu kesatuan tata surya. Manusia

sebagai bagian dari alam semesta merupakan subsistem dan sistem itu

sendiri, di samping itu di dalam kedudukannya sebagai makhluk individu

dan sosial manusia tidak akan pernah terlepas dari manusia lainnya,

dalam arti bahwa manusia secara naluri tidak bisa hidup sendiri, oleh

karena itu ia sangat membutuhkan orang lain. Maksudnya ia akan

melakukan interaksi sosial, dalam interaksi sosial inilah supaya tidak

terjadi konflik dibutuhkan pedoman.

Sesuai dengan hakikat alam dan manusia sebagaimana yang diuraikan

tadi, maka hukum yang merupakan subsistem dari sistem yang ada harus ditinjau

19

Page 20: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

bukan dari satu sisi saja melainkan harus dari banyak wajah. Artinya baik dari

segi penyusunan dan pelaksanaan peraturan harus benar-benar dapat dipadukan

dengan kebutuhan yang nyata dari masyarakat yang aneka ragam dengan

kehidupan yang dikelola oleh penyelenggara negara dengan cita-cita luhur.

Sehingga keberadaan hukum tidak dianggap sebagai perintah penguasa terhadap

mereka yang dikuasai saja, tetapi lebih dirasakan sebagai instrumen hidup,

penggerak dan pengayom masyarakat (fungsi hukum). Dengan demikian hukum

bukan hanya ketentuan penguasa yang bersifat abstrak dan unpersonal (huukm

dalam arti inabstrakto) maupun ketentuan penguasa yang bersifat konkret,

kasuistis dan individual (hukum inkonkreto), tetapi juga nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat yang merupakan ukuran tingkah laku operasional (law as it is).

Jadi pengertian hukum yang utuh adalah sebagai ketentuan yang ditetapkan

penguasa (negara) melalui aparaturnya yang berwenang dan yang mencerminkan

nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti tidak ada lagi

kesenjangan hukum sebagai ketentuan yang seharusnya dengan hukum yang nyata

hidup dalam masyarakat.

D. Tahap Pengembangan Hukum

1. Tahap Teologi atau Fiktif

Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menentukan

sebab yang pertama dari tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Gejolak atau

fenomena yang menarik perhatian manusia selalu berusaha untuk

20

Page 21: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan

perbuatannya. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul

begitu saja, melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara

bertahap, yaitu tahap :30

a. Fetisyisme yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di sekeliling tadi mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, kali, pohon, batu,dan lain-lain, termasuk benda-benda yang dibuat sendiri oleh manusia seperti alat-alat, senjata, patung, cincin dan lain-lainnya.

b. Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia, karena itulah, maka sekarang, segala pikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dan diabadikan kepada keinginan para makhluk yang tidak kelihatan tadi. Dalam bentuk kehidupan semacam inilah kepercayaan timbul, bahwa setiap benda, setiap gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing, sehingga demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdikan dan menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.

c. Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang disadari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa yang menguasai dan mengatur benda-benda atau gejala-gejala alam, melainkan berasal dari satu kesatuan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian gejala pikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma-dogma agama yang dianut manusia.

30 Franz Magnis Suseno, op. cit., hal. 62.21

Page 22: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Baik fetisyisme maupun politeisme akan berkembang dalam suatu

masyarakat yang masih terkungkung (terisolir) dan memiliki kepercayaan adanya

kekuatan-kekuatan gaib yang juga menguasai kehidupan manusia. Suatu

masyarakat yang juga dikuasai oleh manusia-manusia dianggap mempunyai

“kelebihan” karena kemampuannya menjadi “perantara” dan “penterjemah” atas

rahasia-rahasia alam yang serba keramat itu. Suatu masyarakat yang juga dikuasai

oleh mite-mite.31Pada bentuk monoteisme, tahap teologi atau fiktif akan datang

pada saat keakhirannya, suatu saat yang menurut Auguste Comte digambarkan

sebagai saat klasik, atau tahap kuno yang ditandai dengan bentuk masyarakat yang

diatur oleh para raja dan para rohaniawan, di atas susunan masyarakat yang

bersifat militer.32

2. Tahap Metafisik (Abstrak)

Dalam tahap metafisik jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak

berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun di sini

manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati, dan

beralih kepada kekuatan abstraksinya. Auguste Comte mengatakan bahwa di

dalam penelitian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, biasanya kita

hanya berhenti sampai pada bentuk politeisme saja sehingga banyak di antara

kita mengira bahwa tahap metafisik ini sama tuanya dengan tahap teologi.

Menurut Auguste Comte selanjutnya, dalam sejarah kehidupan manusia, apa

yang dimaksud dengan tahap metafisik, adalah tahap ketika umat manusia

31 Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 13.32 Ibid.

22

Page 23: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

datang pada jaman pertengahan dan renaissance. Apabila pada tahap teologi,

kesatuan keluarga merupakan unsur yang merupakan dasar kehidupan

bermasyarakat, maka dalam tahap metafisik, negaralah yang merupakan

dasarnya. Rezim yang lama menjadi mundur karena tampilnya kritisisme

yang radikal.33

Perkembangan yang lebih lanjut akhirnya akal budi inilah yang merupakan

satu-satunya kekuatan yang dipergunakan manusia untuk menenangkan

adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan beradaptasi tadi manusia

mampu pula menerangkan hakekat atau substansi dari segala sesuatu yang

adaInti filsafati sejarah Hegel adalah bahwa ia memahami sejarah sebagai

gerak perkembangan kearah kemerdekaan yang semakin besar. Dobrakan

menentukan ditemukan Hegel pada agama (dimana ia memusatkan

perhatiannya pada agama Kristen). Bagi Hegel inti munculnya agama

Kristiani adalah masuknya faham subjektifitas.34 Semula kesadaran itu masih

abstrak, artinya hanya merupakan kepercayaan tentang hakekat manusia dan

panggilannya oleh Allah, tetapi belum mewujudkan struktur-struktur sosial.

Dobrakan subjektifitas berikut menurut Hegel terjadi dalam reformasi

Protestan. Reformasi mengakui bahwa dalam hal iman setiap orang Kristen

berhak membentuk penilaian sendiri, setiap orang adalah bebas untuk

membaca kitab suci sendiri dan menafsirkan, ia tidak sekedar mengikuti

33Ibid., hal. 14.34 Franz Magnis - Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta,

1993, hal. 106.23

Page 24: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

tafsiran pimpinan gereja.35Tahap metafisik merupakan perubahan yang amat

mendasar, karena tahap metafisik merupakan masa peralihan yang akan

mengantar jiwa manusia menuju perkembangannya pada akhirnya. Hegel di

sini berbicara tentang nilai manusia itu terletak dalam kualitas atau dalam

unsur lahir, melainkan dalam sikap batin pribadi.

3. Tahap Positif Atau Riel

Tahap positif merupakan tahap di mana jiwa manusia sampai pada

pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti jelas, dan bermanfaat.

Apabila tahap metafisik tumbuh dan berkembang dalam suatu susunan

masyarakat feodal, maka tahap positif ini menurut Auguste Comte merupakan

tahap yang ia sendiri harus berusaha untuk ikut membantu mewujudkannya,

yaitu suatu tahap yang dalam kehidupan bermasyarakatnya akan diatur oleh

kaum elit cendekiawan dan industrialis. Dengan rasa perikemanusiaan

sebagai dasar untuk mengatur kehidupan itu.36

Auguste Comte melihat tahap politik ini sebagai tahap perkembangan

masyarakat pada saat industrialisasi yang bersama-sama mengatur masyarakat

secara ilmiah. Apabila dalam tahap teologi kesatuan keluarga merupakan

dasar bagi kehidupan masyarakat, sedang dalam tahap metafisik negaralah

yang merupakan dasar, maka akhirnya dalam tahap positif ini, seluruh umat

manusialah yang merupakan dasar itu.37

35Ibid.36Ibid., hal. 16.37 Koento Wibisono Siswomihardjo, op. cit., hal. 16.

24

Page 25: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

25

Page 26: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan mempunyai pandangan yang bersifat

integral atau menyeluruh, Hal itu berarti dengan filsafat kita akan dibawa kepada

suatu pemasahaman yang sempurna, dengan demikian kita akan mampu melihat

sesuatu objek secara luas dan mendalam. Artinya dengan pemahaman filsafat

diharapkan kita tidak akan terjerumus ke dalam jurang taqlid (ikut-ikutan) yang

akhirnya dapat menjadikan kita manusia yang chauvinis. Apalagi jika

dihubungkan dengan hukum yang berlaku pada suatu wilayah negara. Oleh karena

itulah untuk mengembangkan hukum sangat perlu pengkajian secara filsafati yang

menyoroti suatu masalah secara mendalam dari berbagai aspek.

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan tidak saja bersifat teoritis, artinya

filsafat tidak saja membawa kita pada suatu pemahaman tetapi juga dengan

pemahaman ia akan membawa kepada suatu tindakan yang lebih layak. Dari apa

yang dikemukakan di atas jika dikaitkan dengan perkembangan hukum, maka

jelaslah bahwa adanya pola pikir yang filsafati dalam mengembangkan hukum

akan membawa pengembangan hukum kepada hukum yang lebih baik. Hal ini

dikarenakan berpikir secara filsafat sebenarnya adalah menguji secara kritis akan

kemestian sesuatu yang dianggap semestinya.

B. Saran

1. Semoga dengan memasukan paham filsafat dalam pengembangan ilmu

hukum di Indonesia akan menimbulkan efek cinta hukum, dimana seluruh

warga masyarakat tidak takut bila dihadapkan dengan hukum.

26

Page 27: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

2. Dan semoga cita-cita hukum untuk membuat manusia bahagia bisa

terlaksana dengan baik.

3. Bagi para penegak hukum semoga senantiasa menggunakan hukum

dengan hati nurani bukan hanya bunyi pasal. Karena filsafat ilmu

mengajarkan bagaimana hukum seharusnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku –Buku

Franz Magnis - Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik Butir-butir Pemikiran Kritis,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

27

Page 28: Pengembangan Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Terjemahan R.A. Rivai,

Erlangga, Jakarta, 1984

Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Wijaya, Jakarta, 1970

Jujun S. Suriasumantri,Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, Gramedia,

Jakarta, 1986

_______________, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1999.

__________________, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1988

Koento Wibisono Siswamihardjo, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum

Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk

Memahami Filsafat Ilmu, Makalah ini disajikan pada internship dosen-

dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Yogyakarta, tanggal 22 -

29 Agustus 1999.

Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986.

Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar

Kefilsafat Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992.

Von Peursen, C.A., Susunan Ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar

Maju, Bandung, 1998

Sutan Takdir Alisyahbana, Pembimbing Kefilsafatan Fisika, Dian Rakyat, Jakarta,

1977.

28