pengembangan budaya akademik dosen: hasil kajian teoritis

390
ISBN: 978-602-6804-15-0 Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil Penelitian Bunga Rampai Forum Diskusi Dosen Tahun 2017 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Editor: Gelar Dwirahayu Dimyati Sajari Eny Supriati Rosyidatun Diterbitkan Oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

ISBN: 978-602-6804-15-0

Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil Penelitian

Bunga Rampai Forum Diskusi Dosen Tahun 2017

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Editor:

Gelar Dwirahayu

Dimyati Sajari

Eny Supriati Rosyidatun

Diterbitkan Oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018

Page 2: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

ii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Katalog dalam Terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Judul Buku : Pengembangan Budaya Akademik

Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil

Penelitian

Bunga Rampai

Forum Diskusi Dosen Tahun 2017

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

ISBN

: 978-602-6804-15-0

Hak cipta : pada penulis

Penerbit : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ir H. Juanda No 95

Telp. +6221 7443328

Cover, Layout dan Tata Letak : 1. Mauludin Hafiz

2. Gelar Dwirahayu

Editor : 1. Gelar Dwirahayu

2. Dimyati Sajari

3. Eny Supriyati Rosyidatun

Copyright : Jakarta, Februari 2018

Page 3: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

iii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SAMBUTAN DARI DEKAN

Bismillâhirrahmânirrahîm

Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, setidaknya saya memiliki dua alasan untuk menyambut

kehadiran buku bunga rampai ini secara antusias. Pertama, buku ini merupakan

hasil pemikiran dan penelitian dosen-dosen FITK yang telah didiskusikan dalam

Forum Diskusi Dosen FITK pada Tahun 2017. Terselenggaranya diskusi dosen ini

berarti menunjukkan telah adanya upaya membangun tradisi dialog secara

akademis dan ilmiah tentang hasil pemikiran dan penelitian yang dilaksanakan

dosen FITK di FITK.

Kedua, buku bunga rampai ini bukan saja bukti terdokumentasinya secara

baik hasil pemikiran dan penelitian dosen FITK, tetapi juga terpublikasikannya

karya mereka sehingga dapat dibaca oleh siapa saja, khususnya oleh dosen dan

mahasiswa FITK, dan umumnya oleh guru-guru dan dosen yang berkomitmen di

bidang pendidikan.

Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-

rekan Dekanat, Panitia Diskusi Dosen, para dosen dan semua pihak yang telah

melakukan perintisan tradisi dialogis-akademis dan ilmiah di lingkungan FITK. Saya

berharap tradisi ini berkelanjutan. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada

dosen-dosen yang tulisannya dimuat di buku ini dan semua pihak yang

mengakibatkan diterbitkannya buku bunga rampai ini. Mudah-mudahan semua ini

dicatat sebagai amal saleh di sisi Allah Swt.

Jakarta, Februari 2018

Dekan FITK,

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.

Page 4: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

iv

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah

memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga buku bunga rampai ini dapat

terselesaikan. Salawat serta salam teruntuk nabi kita, Nabi Muhammad saw.,

keluarga, kerabat, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Salah satu visi dan misi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan adalah

mengembangkan komitmen dan budaya akademik bagi para sivitas akademika

dan melaksanakan penelitian dan pengembangan keilmuan untuk menghasilkan

karya inovasi di bidang pendidikan. Di antara upaya untuk mencapai visi dan misi

inilah di FITK diselenggarakan rangkaian diskusi dosen yang dilaksanakan sejak

bulan Maret 2017 sampai bulan Desember 2017.

Mengingat terbatasnya jumlah buku hasil karya dosen, maka buku ini

dibuat untuk mengapresiasi dosen yang memiliki ide yang tertuang dalam sebuah

makalah yang merupakan hasil pemikiran maupun hasil penelitian, yang

kemudian dijadikan bahan diskusi dosen FITK Tahun 2017. Buku ini merupakan

kumpulan artikel diskusi dosen dimaksud, yang ditulis oleh Dosen Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan, Para Wakil Dekan, dan seluruh pegawai FITK yang selalu memberikan

dukungan dan bantuan pada pelaksanakan diskusi dosen periode tahun 2017.

2. Kawan-kawan Tim Panitia Diskusi Dosen yang menunjukkan komitmen untuk

melaksanakan diskusi dosen secara konsisten dan terjadwal.

3. Para penulis, para pembahas dan para moderator yang telah memandu acara

diskusi dosen sehingga acara berjalan dengan baik dan lancar.

4. Kawan-kawan dosen yang senantiasa menghadiri dan menyemarakkan acara

diskusi dosen sehingga terjadi pertukaran ide dan perdebatan pada suasana

yang akademis dan dinamis.

Akhirnya, kami berdoa semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca, khususnya dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan

umumnya dosen di seluruh Indonesia. Tiada kesempurnaan yang dimiliki oleh

manusia karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu, kami

mohon maaf atas segala kekurangan.

Ciputat, Februari 2018

Ketua Panitia

Page 5: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

v

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

EDITORIAL

Buku Bunga Rampai yang berjudul Pengembangan Budaya Akademik

Dosen: Hasil Kajian Teoritis dan Hasil Kajian Penelitian merupakan ide-ide

pemikiran dari dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Sebagaimana judul

buku, isi dari buku ini terbagi menjadi empat bab yaitu bab 1 mengkaji tentang

Keislaman dan Kependidikan Islam, bab 2 mengkaji tentang Pendekatan

Pembelajaran, bab 3 mengkaji tentang Media, Model dan Strategi pembelajaran,

dan bab 4 mengkaji tentang Bahasa dan Pengembangan Literasi.

Pada kajian tentang Keislaman dan Kpenedidikan Islam diisi oleh hasil kajian

pemikiran Abuddin Nata, bahwa Islam Mazhab Ciputat adalah pemikiran dan

gagasan tentang keislaman yang lahir di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan organisasi-organisasi yang berada di sekitarnya dengan ciri-ciri rasional,

toleran, moderat, demokratis, aktual, kontekstual, dinamis, progressif dan inovatif

bertransmisi luas baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Islam

Mazhab Ciputat terkait erat dengan isu kemoderan, kemanusiaan dan

keIndonesia. Islam Mazhab Ciputat selanjutnya menjadi ikon dan visi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yaitu menjadi perguruan tinggi yang unggul dan terdepan

dalam mengintegrasikan keislaman, kemanusiaan, kemoderan dan keindonesiaan

yang digagas oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, Islam mazhab Ciputat

lahir dilatar belakangi oleh kegalauan dari sejumlah tokoh agama, pemimpin

politik, dan pemimpinan nasional yang memiliki keprahatinan atas

keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai akibat

dari adanya pemahaman Islam yang sempit, sektarian, dikhotomis, jumud,

eksklusif, normatif dan ideologis sehingga Islam tidak dapat diartikulasikan,

dikontekstualisasikan, diaplikasikan dan transformasikan ke dalam berbagai

kehidupan.

Achmad Ghalib, menjelaskan tentang pengertian dari tatanan masyarakat

Islami, yaitu masyarakat yang memberikan keselamatan, perasaan aman dan

kedamaian bagi sekalian alam, ditata atas dasar akhlakul karimah, persaudaraan,

persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna membangun tatanan

masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat lima hal yang mesti

dipersiapkan, antara lain: menjadikan masyarakat yang menempatkan kehendak

Allah diatas segalanya, menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah

dan persaudaraan, menjadikankan masyarakat bersatu, menjadikan masyarakat

berkeadilan dan menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah

Page 6: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

vi

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Disisi lain, Dimyati Sadjari, menjelaskan keberadaan ilmu tasawuf atau ilmu

yang bersifat batiniah dan munculnya pengingkaran dari sekelompok ulama

lahiriah. Pengingkaran tersebut muncul dikarenakan para ulama belum pernah

memiliki kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para wali, maka mereka

mengumpat para wali Allah. Merekapun belum pernah menempuh jalan para

wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah yang dituju para wali.

Akibatnya, mereka melakukan kesalahan besar disebabkan mereka mengumbar

lidahnya untuk mengumpat para wali. Dalam kerangka inilah al-Sarrâj

menjelaskan kepada mereka untuk membela ilmu tasawuf dan para wali Allah.

Wallâhu a‘lamu bi al-shawâb.

Abuddin Nata, dalam pemikiran yang lainnya, bahwa secara umum

pendidikan Islam baik pada dataran teoritis konseptual, maupun praktis empiris

masih dihadapkan pada sejumlah masalah yang belum dapat dipecahkan.

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masalah pendidikan belum dapat

dipecahkan, antara lain belum hilangnya sisa-sisa penyakit mental abad

pertengahan (abad ke-13 sd 18) yang antara lain, pandangan dikotomis tentang

ilmu agama dan ilmu umum, tertutupnya pintu ijtihad, hilangnya tradisi debat dan

kritik, hilangnya tradisi membaca, meneliti, dan menulis, sikap dan pandangan

yang sektarian, hilang tradisi ilmiah, dan lemahnya kemauan untuk meneliti,

mengkaji untuk menemukan inovasi-inovasi baru. Pemecahan masalah pendidikan

Islam melalui epistimologi pendidikan Islam dinilai sebagai cara yang paling

mendasar, manun belum banyak dilakukan. Epistimologi pendidikan Islam saat ini

sudah ada yang menulis, namun belum dipraktekkan. Secara teoritis, Islam

memiliki bahan-bahan dan metodologi bagi penyusunan epistimologi pendidikan

yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahan-bahan dan metodologi yang

dimiliki Barat. Selain menggunakan sumber yang terdapat di dalam al-Qur’an dan

Hadis, Islam menggunakan sumber ayat kauniyah (alam jagat raya), ayat insaniyah

(perilaku manusia dan perilaku masyarakat), akal pikiran dan hati nurani (intuisi).

Selain menggunakan metode bayani untuk merumuskan ilmu pendidikan Islam

yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, juga dapat menggunakan metode

ijbari untuk memahami ayat-ayat alam jaga raya: fauna, flora, hutan, , metode

burhani untuk fakta-fakta sosial, metode irfani untuk memahami ayat-ayat yang

berada dalam batin manusia. Sebagian besar pengembangan epistimologi

pendidikan Islam didominasi oleh metode bayani dan irfani. Sedangkan metode

yang ijbari, burhani dan jadali masih kurang. Sementara sebagian besar

pengembangan epistimologi pendidikan umum didominasi oleh metode ijbari

(eksperimen), metode burhani (observasi), dan metode jadali (logika filosofis).

Untuk itu perlu adanya kolaborasi antara keduanya. Epistimologi pendidikan Islam

Page 7: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

vii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dilengkapi dengan metode ijbari, burhani dan jadali. Sedangkan epistimologi

pendidikan umum dilengkapi dengan metode bayani dan irfani.

Pada kajian tentang pendekatan pembelajaran dibahas oleh Yudhi

Munadi, mengembangkan pembelajaran Konstruktivisme di perguruan tinggi,

sebagaimana tuntutan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Riset,

Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015

Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi tidak akan tercapai bila hanya

mengandalkan aktivitas di dalam ruang yang dibatasi oleh dinding kelas. Dosen

harus menyelenggarakan pembelajaran secara kreatif hingga mampu menembus

sekat-sekat ruang, yakni pembelajaran yang memberikan kesadaran kepada

mahasiswa bahwa pengetahuan tidak hanya diperoleh di dalam ruang kelas.

Pembelajaran ini disebut dengan pembelajaran tanpa batas. Strategi

pembelajaran konstruktivistik dan strategi metakognitif menjadi salah satu cara

membelajarkan mahasiswa, sehingga mereka dapat menjadi pembelajar yang

mampu melakukan pembelajaran sepanjang hayat. Pembelajaran tanpa batas

juga mengandung arti bahwa tujuan belajar tidak hanya dibatasi oleh tujuan-

tujuan duniawi, seperti ingin memperoleh ijazah, ingin memperoleh pekerjaan

yang layak, ingin membahagiakan orang tua, dan lain-lain, tetapi tujuan belajar

harus menembus sampai kepada Sang Khaliq, Maha Pencipta alam semesta, Allah

swt. yakni untuk memperoleh ridha-Nya, karena belajar adalah perilaku untuk

memohon ilmu-Nya. Perilaku belajar haruslah memiliki muatan nilai-nilai Ilahiyah.

Wallāhu a‘lam bi-ṣ ṣawāb. Gelar Dwirahayu, sebagai salah satu pengajar di jurusan pendidikan

matematika mengembangkan pendekatan analogi dalam pembelajaran

matematika, siswa dilatih kemampuan penalarannya yaitu ketika siswa diminta

untuk menemukan kesamaan ataupun perbedaan antara konsep lama dengan

konsep yang baru, selanjutnya siswa diminta untuk mengkomunikasikan ide

tersebut dan membuat representasinya sehingga orang lain akan lebih memahami

dan mengerti. Setelah konsep atau model dibuat, siswa

menghubungkan/mengkoneksikan konsep tersebut dengan konsep lain yang

pernah mereka fahami atau mungkin saja dihubungkan dengan kehidupan sehari-

hari sehingga secara keseluruhan, setelah siswa mengerti konsep baru mereka

mampu menyelesaikan permasalahan matematika dengan menggunakan konsep

tersebut. pendekatan analogi tersebut tidak menutup kemungkinan dapat

diterapkan pada bidang studi lainnya, mengingat bahwa setiap mata pelajaran

yang disajikan di sekolah semuanya bertujuan untuk menjadikan siswa manusia

yang mampu bersaing dan menjadi sumber daya yang berkualitas. Penerapan

Page 8: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

viii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pendekatan analogi pada mata pelajaran di luar matematika perlu dipelajari lebih

lanjut sesuai dengan karakteristik materi pelajaran yang akan disajikan.

Gusni Satriawati, melakukan analisis dari skripsi mahasiswa yang berkaitan

dengan peningkatan kemampuan komunikasi matematika dengan menggunakan

pendekatan konstruktivisme. Terdapat lima Strategi pembelajaran yang dianalisis

antara lain metode TAPPS, pendekatan induktif, model pembelajaran treffinger,

Open Ended dan Pembelajaran berbasis masalah. Hasil analisis terhadap beberapa

skripsi yang berkaitan dengan penggunaan strategi pembelajaran dalam

meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh kesimpulan

yaitu rata-rata dari persentase semua indikator kemampuan komunikasi

matematis siswa dengan pembelajaran konstruktivisme mencapai > 75%, ini dapat

dikatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis pada pembelajaran

konstruktivisme sudah dapat dikategorikan tuntas dalam pembelajaran

matematika.

Gelar Dwirahayu dan Afidah Mas’ud menjelaskan tentang banyaknya siswa

yang merasa cemas dalam belajar matematika, kecemasan matematika

merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan prestasi belajar

matematika rendah, sikap cemas anak terhadap matematika dapat ditunjukkan

melalu berbagai sikap dan perilaku. Adapun empat hal yang perlu diperhatikan

guru untuk mengurangi kecemasan matematika siswa yaitu: (1) Memperhatikan

kesiapan siswa dalam belajar, (2) Mendesain pembelajaran matematika yang

menyenangkan dan tidak membebani siswa, (3) Menyiapkan alat peraga/media

pembelajaran sehingga matematika lebih mudah difahami dan dimengerti, dan (4)

Memberikan relaksasi kepada siswa di sela-sela proses pembelajaran, sehingga

siswa menjadi fokus kembali dalam belajarnya.

Selanjutnya kajian tentang model, media dan strategi pembelajaran dibahas

oleh Baiq Hana Susanti melalui penelitiannya di jurusan pendidikan biologi

menyimpulkan bahwa Perkuliahan vertebrata dapat dikemas dan disajikan

menggunakan learning object sehingga proses perkuliahan menjadi lebih menarik,

dan respon mahasiswa terhadap materi yang disajikan termasuk kedalam kategori

sangat baik, pada aspek desain masuk pada kategori baik, dan aspek kualitas

teknis secara umum masuk kedalam kategori cukup.

Fery Muhamad Firdaus, Penelitian ini dilaksanakan di enam sekolah dasar

negeri di Bandung Raya pada siswa kelas V dengan materi geometri dan

pengukuran. Sejalan dengan rumusan masalah, studi ini memperoleh kesimpulan

yang berkenaan dengan hasil studi empirik tentang peningkatan literasi dan

disposisi matematis siswa kelas V sekolah dasar dengan menggunakan problem

Page 9: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

ix

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

based learning dan direct instruction. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,

maka dapat diambil kesimpulan yaitu: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan

mengenai peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM Siswa.

(2) Terdapat efek interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM

terhadap peningkatan literasi matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa

telah mengalami peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun

pembelajaran yang menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi matematis yang

mengalami perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL

dan siswa yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa.

Siti Masyithoh, Perkembangan keterampilan sosial sebagaimana

perkembangan yang lainnya, sangat dipengaruhi oleh internal/bawaan individu

dan stimulus-stimulus yang diberikan lingkungan terhadap individu tersebut. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa faktor bawaan (hereditas) berpengaruh jauh

lebih besar dibandingkan pengaruh lingkungan terhadap keterampilan sosial. Bagi

pemerhati Pendidikan Dasar, agar dilakukan kajian terus menerus tentang

bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional murid, menerapkan pola asuh

yang tepat, dan bagaimana meningkatkan keterampilan sosial murid di sekolah

dasar. Hendaknya mereka terus mengkaji dan menggali baik secara empiris

maupun teoritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan

kecerdasan emosional, peningkatan keterampilan sosial, dan penerapan pola asuh

terhadap murid di sekolah dasar. Bagi orangtua agar memperhatikan dan

merangsang pengembangan kecerdasan emosional murid, karena variabel ini

lebih besar pengaruhnya terhadap keterampilan sosial murid dibandingkan

dengan variabel pola asuh.

Fidrayani, melalui hasil penelitiannya, menyimpulkan bahwa Penerapan

Expert Model Concept (EMC) melalui empat tahapan siklikal yaitu immersion,

attention, practical, integration melalui pembelajaran Bahasa Indonesia berhasil

meningkatkan tanggung jawab belajar siswa dalam belajar yang dilaksanakan

sebanyak tiga siklus. Pada siklus pertama belum ada siswa yang mencapai kategori

baik, yang ada hanya kategori sedang sebanyak 64,9% dan kategori kurang

sebanyak 35,1%. Pada siklus kedua siswa yang berada pada kategori baik

mencapai 28,2 dan sedang mencapai 70,2% dan tidak ada lagi siswa yang berada

pada kategori kurang. Pada siklus terakhir jumlah siswa yang masuk kategori baik

sebanyak 80,6% dan sisanya masuk pada kategori sedang dan tidak ditemukan lagi

siswa pada kategori kurang. Dan penerapan Expert Model Concept (EMC) dalam

pembelajaran efektif meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan.

Berdasarkan fokus yang dilakukan pada masing-masing pertemuan membawa

dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Fokus

Page 10: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

x

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memahami bacaan yang dibagi dalam empat kegiatan yaitu: a) kemampuan

menjawab pertanyaan bacaan, b) kemampuan menemukan gagasan/ide pokok, c)

kemampuan meringkas isi bacaan, d) kemampuan membuat simpulan isi bacaan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kemampuan siswa menguasai materi

pembelajaran berada di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh

guru yaitu sebesar 97,2%.

Tri Harjawati, membahas tentang perancangan strategi pembelajaran

secara teoritis, karena pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan

terencana yang mengkondisikan atau merangsang siswa agar bisa belajar dengan

baik agar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran pada satuan

pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai

dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan dituntut

memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu mengemas proses

pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Maka dari itu, pada proses

penerapan atau taktis pelaksanaan pembelajaran setiap satuan pendidikan

dituntut untuk mampu melakukan perencanaan pembelajaran dengan baik,

sehingga pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal mungkin,

serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan efisiensi

dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang guru dituntut

untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar. Peranan

seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu mengatur strategi

pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.

Bab terakhir tentang bahasa dan pengembangan literasi di kaji oleh Muhbib

Abdul Wahab melalui pemikirannya tentang jihad, menyimpulkan bahwa Jihad

sosial merupakan manifestasi dari kesalehan personal yang hadir dalam spektrum

lintas-kultural dan pluralitas sosial yang luas dan tak terbatas. Ilmuwan berjihad

dengan memanfaatkan dan mengembangkan ilmunya, pemimpin berjihad dengan

pedang keadilannya , pengusaha berbisnis dengan kejujurannya, orang kaya

berjuang dengan kedermawanannya, pendidik/guru berjuang dengan dedikasi

kependidikannya, dan sebagainya. Semua komponen masyarakat Muslim dapat

mengambil peran-positif dalam berjihad sosial, sesuai dengan posisi dan potensi

masing-masing. Jihad sosial tidak hanya menarik diwacanakan dalam konteks

pengembangan pemikiran Islam, melainkan juga potensial didesain sebagai

teknologi gerakan sosial tepat guna untuk mengatasi berbagai persoalan sosial

politik yang ada. Mengingat visi-misi profetik Nabi adalah mensosialisasikan ajaran

kasih sayang, keadilan dan perdamaian, maka jihad sosial perlu diorientasikan

kepada pembumian visi-misi Islam secara dialogis dan damai, dengan tetap

berlandaskan nilai-nilai etika. Dengan jihad sosial yang dialogis, Islam sebagai

rahmatan li al-`âlamîn, niscaya dapat diaktua-lisasikan dalam masyarakat madani

Page 11: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

xi

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berkeadaban dan mempunyai kepastian sistem hukum dan keadilan yang

dapat diandalkan. Wallahu a`lam bi al-shawâb!

Makyun Subuki, melalui hasil penelitiannya terhadap fatma MUI ditinjau

dari aspek sematiknya, menyimpulkan bahwa Pertama, secara struktur,

argumentasi dalam fatwa sebagai sebuah macrostructure direalisasikan oleh

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam superstructure yang berbeda-beda.

Dari segi format, terdapat dua macam format, yaitu yang berformat surat

keputusan dan yang berformat langsung. Kebanyakan fatwa memanfaatkan lebih

dari satu jenis hubungan argumentatif, misalnya convergent argument dengan

linked argument atau convergent argument dengan serial argument. Pemanfaatan

hubungan antarpremis yang rumit seperti ini tampaknya sulit dihindari, karena

sebagian besar fatwa menggunakan dasar penetapan hukum lebih dari satu. Dari

segi kualitas, sebagian besar fatwa memanfaatkan lebih dari satu macam skema

argumentasi yang digunakan lebih dari satu, misalnya dengan memanfaatkan

argument from popular opinion, argument from expert opinion, argument from

expert opinion, dan argument from analogy sekaligus. Kondisi seperti ini terdapat

pada fatwa yang memanfaatkan banyak sumber sebagai dasar penetapan hukum

dari sebuah persoalan. Selanjutnya, analisis kualitas argumentasi juga tidak dapat

dilakukan terhadap fatwa yang premisnya tidak dapat diidentifikasi.

Anis Fuadah, yang mengungkap bahwa membaca sebagai upaya untuk

melihat cakrawala dunia. Melalui kegiatan membaca, serapan ilmu pengetahuan

dan informasi menerobos ke akar pikiran seseorang; menjadikannya dasar

berpikir, bersikap, dan memutuskan. Membaca sejatinya kebutuhan pokok

manusia, dengannya, pembaharuan dalam aspek ilmu dan informasi mudah

diterima. Arus kemajuan peradaban tak akan pernah surut atau berhenti, namun

proses tersebut akan seimbang manakala diikuti semangat menempatkan budaya

membaca menjadi dasarnya. Budaya membaca, merupakan bagian dari literasi

atau keberaksaraan, sebuah nilai penting yang harus dimiliki bangsa Indonesia

guna membangun generasi muda yang menakjubkan. Menumbuhkan nilai literasi

tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak. Peran semua aspek di negeri ini

menjadi kekuatan menjadikannya budaya menuju keberpihakan pada kehidupan

yang lebih baik. Kebiasaan membaca mengawali penginvestasian perbendaharaan

kata. Melalui budaya membaca, pola fikir terangkai, sehingga menjadikannya

mudah menulis aksara. Jika membaca dan menulis telah menjadi bagian yang tak

terpisahkan dari kehidupan intelektual Indonesia, maka kemajuanpun dirasa

mudah digapai elemen bangsa.

Page 12: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

xii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendukung Kegiatan Diskusi Dosen

A. Tim Panitia Diskusi Dosen Dr. Dimyati Sajari, MA

Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd

Eny Supriyati Rosyidatun, S.Si., MA

Neneng Sunengsih, M.Pd

Anis Fuadah, M.Pd.I

B. Narasumber

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA; Dr. Kadir, M.Pd; Yudhi Munadi, M.Pd;

Dwinanto, MSc., Ph.D; Dr. Ratnasari Dewi, M.Pd; Dr. Bahrissalim, MA

Dr. Yanti Herlanti, M.Pd; Dr. Alek, M.Pd ; Mukhshon Nawawi, M.Ag

Dr. Hindun, M.Pd; Dr. Fery Ahmad Firdaus, M.Pd; Dr. Muhbib, M.Ag;

Dr. Tita Khalis Maryati, M.Kom; Dr. Abdul Muin, M.Pd;

Dr. Siti Masyithoh, M.Pd; Dr. Zulfiani, M.Pd; Dr. Makyun Subuki, M.Hum

Ahmad Golib, MA; Dr. Baiq Hana Susanti, S.PI, M.Sc.; Siti Khadijah, MA;

Dr. Fidrayani M.Pd., M.Si

C. Pembahas Prof. Dr. Armai Arief , M.Ag.; Prof. Dr. Ulfa Fajarini M.Si;

Prof. Dr. Suwito, MA; Drs. Muarif, M.Pd; Dr. Asril Dt. Paduko Sindo, M.Pd

Dr. Lia Kurniawati M.Pd; Dr. Ahmad Sofyan, MA; Tonih Feronika M.Pd

Siti Nurul Azkiyah M.Sc., Ph.D; Dr. Muhamad Arif, M.Pd,

Teguh Haerudin M.App.Ling; Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D

Firdausi S.Si., M.Pd; Zaenal Muttaqin, MA; Dr. Sita Ratnaningsih, M.Pd

Dedek Kustiawati, M.Pd; Drs. Syamsul Arifin, M.Pd; Dr. Khalimi, MA

Muhammad Nida' Fadlan, M.Hum; Dr. Yayah Nurmaliah

Kinkin Suartini, M.Pd; Dr. Abdul Ghofur, M.Ag; Ramdani Miftah, M.Pd;

D. Moderator Iwan Permana, M.Pd; Tri Harjawati, S.Pd., M.Si; Annisa Windarti, M.Sc;

Lu'luil Maknun, M.Pd; Dindin Ridwanudin, M.Pd; Dila Fairusi, M.Si

Asep Ediana Latip, M.Pd; Novi Diah Haryanti, M.Hum; Nur Syamsiyah, M.Pd

Andri Noor Ardiansyah, M.Si; Gusni Satriawati, M.Pd; Nafia Wafiqni, M.Pd;

Meiry Fadillah Noor, S.Si., M.Si,; Desmaliza, M.Si., M.Ed

Page 13: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

xiii

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR ISI

hal

Sambutan Dekan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

Kata Pengantar dari Ketua Pelaksana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

Editorial. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Pendukung Kegiatan Diskusi Dosen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xii

Daftar Isi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii

BAB I. KEISLAMAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM

1

Islam Madzhab Ciputat yang Menasional dan Mendunia Abuddin Nata . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2-36

Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat Islami Achmad Ghalib . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

37-52

Memahami Ilmu Tasawuf Dimyati Sajari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

53-73

Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam Abuddin Nata. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

74-102

BAB II. PENDEKATAN PEMBELAJARAN

103

Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran di

Perguruan Tinggi Yudhi Munadi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

104-122

Pendekatan Analogi dalam Mengembangkan Kemampuan

Matematika Siswa Gelar Dwirahayu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

123-147

Page 14: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

xiv

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

ditinjau dari berbagai Pembelajaran Matematika

berbasis Pendekatan Konstruktivisme Gusni Satriawati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

148-174

Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa dalam

Pembelajaran Gelar Dwirahayu & Afidah Mas’ud . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

175-194

BAB III. MEDIA, MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN

195

Pengembangan dan Implementasi Program Perkuliahan

Vertebrata Berbasis Learning Object dengan Sistem

E- Learning di Program Studi Pendidikan Biologi FITK UIN

Jakarta Baiq Hana Susanti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

196-218

Peningkatan Literasi dan Disposisi Matematis Siswa

Sekolah Dasar melalui Problem Based Learning dan Direct

Instruction Fery Muhamad Firdaus. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

219-239

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan Emosional

terhadap Keterampilan Sosial Murid SD

Siti Masyithoh. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

240-259

Penerapan Expert Model Concept untuk Meningkatkan

Tanggung Jawab Belajar dan Prestasi Akademik Siswa

Kelas 5 SDN Sogaten Madiun Fidrayani . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

260-272

Peranan Strategi Pembelajaran dalam pengoptimalan Pembelajaran di Kelas Tri Harjawati. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

273-305

Page 15: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

xv

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV. BAHASA DAN PENGEMBANGAN LITERASI

307

Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi Dalalah (Makna)

Ayat-ayat JIHAD Muhbib Abdul Wahab . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

308-330

Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah

Kajian Wacana Makyun Subuki . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

331-363

Pengembangan Nilai Literasi Bagi Generasi Masa Depan Anis Fuadah Z. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

364-375

Page 16: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

1

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

KEISLAMAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM

Page 17: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

2

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Islam Madzhab Ciputat yang Menasional dan

Mendunia

Abuddin Nata

Pendidikan Agama Islam - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak : Islam yang dipraktekan di bumi tampil dalam beragam mazhab. Yaitu

hasil olah pikir dari sejumlah ulama yang memiliki kemampuan

metodologis dan kapasitas intelektual, moral serta pribadi untuk

menggali kandungan al-Qur’an dan Hadis. Ia merupakan solusi yang

ditawarkan para mujtahid terhadap sejumlah problema yang dihadapi

ummat. Hal ini dilakukan karena umat pada umumnya tidak memiliki

kemampuan intelektual untuk untuk memecahkan berbagai masalah

dengan mengakses langsung al-Qur’an dan Hadis. Mazbah inilah yang

kemudian menjadi pegangan bagi umat pada umumnya dalam

melaksanakan kegiatan keagamaanya, dan menjadi referensi bagi

peneliti dalam menemukan jawaban atas assumsi dan teori-teori yang

dibangunnya. Mazhab memiliki sisi positif dan negatif. Mazhab memiliki

positif ketika dilihat sebagai hasil olah pikir yang serba terbatas,

dengan tetap dihargai dan dihormati agar terus berkembang dan dapat

menjawab tantangan zaman serta mencairkan kebekuan. Mazhab

memiliki posisi negatif ketika dianggap sebagai hasil olah pikir yang

sudah final dan doktrin yang serba sempurna, dipegang teguh

sepanjang zaman, satu dan lainnya bersikap eksklusif, mengklaim yang

paling benar dan yang lainnya dianggap sesat.

Kata Kunci: mazhab, intelektual, doktrin, inklusif

Page 18: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

3

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Sejak tahun 1957 sampai sekarang, di Ciputat terdapat Perguruan Tinggi

Agama Islam Negeri bernama IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di

dalamnya terdapat sejumlah orang yang dianggap memiliki kapasitas dan otoritas

intelektual dan kecendekiakawanan untuk melahirkan gagasan dan pemikiran

dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Pendapat mereka diikuti dan

dikembangkan tidak hanya oleh mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan Islam

melainkan bertransimisi ke hampir semua propinsi di Indonesia. Karakter ini pada

tarap selanjutnya melahirkan semacam Islam Mazhab Ciputat.

Dengan menggunakan studi kepustkaan (library research) dan pendekatan

sosiologis dan historis, tulisan ini akan menjelaskan pengertian Islam mazhab

Ciputat, latar belakang timbulnya, para pelopor, dan pengaruhnya baik lokal,

nasional, bahkan internasional.

Islam dapat diartikan sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan

Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.

Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu

segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia (Nasution, 1979, h. 24).

Dengan demikian, Islam memiliki sisi yang bersifat teologis dan sisi yang bersifat

sosiologis-historis. Dari sisi teologis, Islam tampil sebagai sistem nilai dan ajaran

yang bersifat ilahiah, dan karena itu sekaligus bersifat transendent. Selain itu dari

sisi teologis Islam berisi amalan-amalan keagamaan untuk mendidik manusia agar

memiliki pengalaman dan kesadaran ketuhanan serta menanamkannya dalam

jiwa sedalam-dalamnya. Dari kesadaran ketuhanan itu berpangkal, bersumber dan

memancar seluruh sikap hidup yang benar; dan dengan kesadaran Ketuhanan itu

pula manusia akan dibimbing ke arah kebajikan dan amal saleh yang membawa

kebahagiaan dunia dan akhirat (Majid, 1995, h. 189). Sedangkan dari sisi sosiologis

historis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam

kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial historis ini tidak sekedar berisi

sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal), tetapi

mengejawantah dalam institusi-nstitusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan

dinamika ruang dan waktu (Azra, 1996, h. i). Islam dalam perpaduan pendekatan

normatif, teologis, sosiologis, historis dan moral spiritual inilah yang selanjutnya

dapat digunakan untuk mengidentifikasi Islam Mazhab Ciputat.

Terkait dengan kosakata mazbah dalam istilah Islam Mazhab Ciputat ini,

selain mengandung arti sebagai haluan mengenai hukum Islam yang menjadi

anutan (Poerwadarminta, 1991, h. 640) juga sebagai aliran atau sekte keagamaan

yang memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang teologi, dan lainnya. Mazhab

Page 19: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

4

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ini dalam sejarah pemikiran Islam cukup banyak jumlahnya. Para pengikut

(followers) mazhab memilih di antara pendapat-pendapat mazhab tersebut sesuai

dengan keadaan kebutuhannya. Jika di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara

pada umumnya masyarakat Islam memilih mazhab Syafi i dalam bidang fikih, dan

mazhab Asy ari dalam bidang teologi, maka di India, Mesir dan di negara-negara

kawasan Timur Tengah ada yang memilih mazhab Maliki, Hanafi atau Hambali

dalam bidang fikih, dan memilih mazhab Asy ari atau Maturi Bukhara dalam

bidang teologi. Penggunaan mazhab dalam Islam Mazhab Ciputat lebih luas dari

itu, yaitu pengertian mazhab yang lebih dekat dengan makna generiknya. Yaitu

mazhab dalam arti going to leave (tempat yang dituju), departure (arah yang

dituju), way out (jalan keluar), escape (lahan atau wilayah), manner followed

(ajaran pokok yang diikuti), adapted procedure or policy (tata cara dan kebijakan

yang sudah disesuaikan dengan keadaan), road entered upon (jalur untuk

memasuki sebuah kawasan), opinion (gagasan atau pendapat), view (pandangan),

belief (keyakinan), ideology (sistem keyakinan), trend (kecenderungan), religious

creed (ajaran pokok keagamaan), faith (keimanan), dan denomination (pilihan)

(Wehr, 1974, h.313).

Selanjutnya, Ciputat adalah nama sebuah Kecamatan di Kota Tangerang

Selatan, Banten. Lima belas tahun yang lalu, ketika Banten masih termasuk

wilayah Jawa Barat, posisi Ciputat berada di wilayah pinggiran, yakni di ujung

Utara Jawa Barat; dan di ujung Selatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Sekarang ketika Ciputat masuk wilayah Tangerang Selatan, Banten, wilayah ini

sesungguhnya lebih tepat disebut berada di ujung Timur Banten. Pada tahun 60-

an, Ciputat masih termasuk wilayah yang tersisolir, bahkan orang menyebutnya

sebagai tempat jin buang anak. Ketika penulis mulai menginjakkan kaki ke

Ciputat di tahun 75-an, kondisi Ciputat masih sepi. Kendaraan umum yang biasa

mengangkut penumpang pada saat itu masih sangat terbatas, antara lain

kendaraan roda empat bus Swift yang tarifnya antara Ciputat Kebayoran Lama,

sekitar 15 rupiah perorang. Ketika masuk waktu maghrib, kendaraan umum yang

melewati Ciputat nyaris tidak ada. Para pedagang yang mengangkut barang

dagangan berupa buah-buahan, sayur mayur atau hewan ternak dari Parung ke

Kebayoran Lama atau ke Pasar Ciputat yang diadakan setiap hari Sabtu dan Selasa,

menggukan gerobak dari kayu, dengan roda besar yang dilapisi besi dan ditarik

satu atau dua ekor sapi. Alat angkut lainnya saat itu sepeda ontel. Kiri kanan jalan

masih ditumbuhi pohon karet dan buah-buahan, dan harga tanah per-meter

persegi waktu masih sangat murah. Masyarakat pada waktu itu masih jarang yang

memiliki televisi, karena rumah mereka masih belum mendapatkan aliran listrik.

Page 20: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

5

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hiburan favorit masyarakat pada waktu itu layar tancep , sebuah pertunjukan

film layar lebar yang ditancapkan di ruang terbuka, dan penontonnya duduk di

rumput atau halaman di sekitar layar tersebut. Bersyukur kalau tidak hujan,

karena penonton dapat menikmati hiburan gratis. Namun celaka, ketika hujan

turun. Penonton harus menyelamatkan diri berteduh di emperan rumah atau

lainnya.

Pada tahun 1957 Kementerian Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu

Agama (ADIA) di Ciputat. Selain bertujuan menghasilkan tenaga ahli ilmu agama

untuk memenuhi lembaga-lembaga di lingkungan Kementerian Agama, lembaga

pendidikan tinggi ini juga didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang

akan mengisi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, lembaga dakwah, dan

lainnya. Pada tahun 1960, ADIA digabung dengan Perguruan Tinggi Agama Islam

Negeri (PTAIN) yang ada di Jogjakarta dengan nama Institut Agama Islam Negeri

(IAIN). Fakultas Syari ah dan Ushuluddin berlokasi di Jogjakarta; sedangkan

Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab berlokasi di Jakarta. Pada tahun 1963,

fakultas-fakultas yang ada di Jogjakarta setelah ditambah dengan fakultas lainnya

berubah menjadi IAIN Sunan Kaligaja, dan fakultas-fakultas yang ada di Jakarta

setelah ditambah fakultas lainnya berubah menjadi IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penambahan fakultas-fakultas ini sesuai dengan ketentuan, bahwa pada

sebuah IAIN minimal harus ada empat fakultas. Selanjutnya pada tahun 2002, IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

pada tahun 2003, IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta berubah menjadi UIN Sunan

Kalijaga, Jogjakarta.

Bersamaan dengan itu, di sekitar kampus IAIN (UIN) Ciputat berdiri pula

organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berbasis keislaman, keindonesiaan dan

kemodernan. Sebagian organisasi tersebut ada yang berafiliasi dengan organisasi

sosial keagamaan, dan ada yang independent. Organisasi Pergerakan Mahasiswa

Islam misalnya berafiliasi dengan Nahdhatul Ulama (NU); sedangkan Organisasi

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berafiliasi kepada Muhammadiyah. Sedangkan

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi kemahasiswaan Islam

yang bersifat independent.

Keterkaitan Ciputat dengan Islam mazhab Ciputat ini, antara lain karena di

Ciputat terdapat sejumlah tokoh, ulama, dan pemikir Islam yang gagasan dan

pemikirannya tidak hanya diikuti oleh orang-orang yang ada di Ciputat, melainkan

juga oleh berbagai propinsi lainnya di Indonesia, bahkan manca negara. Sejumlah

tokoh, ulama dan pemikir Islam itu menimba, meneliti, mengembangkan dan

mentransfer ilmunya melalui lembaga pendidikan tinggi Islam yang bernama UIN

Page 21: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

6

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktifitas para tokoh, ulama dan pemikir Islam tersebut

mendapat dukungan kuat dari sejumlah organisasi kemahasiswaan Islam yang

berada di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, sebagaimana

disebutkan di atas.

Dalam realitanya, Islam Mazhab Ciputat memang tidak pernah dirumuskan

secara eksplisit, karena kalau dirumuskan boleh jadi akan jatuh pada doktrin dan

yang justru akan mematikan budaya dan tradisi kebebasan berolah pikir

sebagaimana yang digagas dan dikembangkan para tokoh pendirinya. Islam

Mazhab Ciputat nampaknya tidak mau terjebak pada formula-formula atau

rumusan yang baku sebagaimana yang terdapat pada mazhab-mazhab fikih atau

teologi sebagaimana yang dijumpai dalam sejarah. Ketidak-mauan Islam Mazhab

Ciputat untuk merumuskan formula-formula baku tentang berbagai produk

ijtihad, dikhawatirkan keberadaannya akan dijadikan doktrin yang dipegang teguh

yang pada akhirnya akan mengikat, mengurung, mengungkung, dan menjerat para

pengikutnya dengan akibatnya membawa kemunduran, sebagaimana yang

dijumpai pada berbagai gagasan dan pemikiran yang dikeluarkan seorang ulama,

tokoh atau berbagai organisasi keagamaan Islam lainnya. Islam Mazhab Ciputat

ingin tetap berada pada karakter Islam yang original sebagaimana yang dijumpai

dalam al-Qur an. Yaitu Islam yang berpegang teguh pada spirit wahyu al-Qur an

dan al-Sunnah, spirit ajaran yang seimbang antara agama (wahyu), ilmu (akal), dan

amal (sikap dan perbuatan), ajaran yang menghargai akal sebagai anugerah Tuhan

yang harus digunakan secara maksimal. Islam Mazhab Ciputat bersikap terbuka

(inklusif), moderat, toleran, rasional (mencari makna dan hikmah, serta faktor-

faktor yang bisa diterima akal) atas sebuah ajaran atau fenomena sosial,

memahami sunnatullah sebagai takdir Tuhan yang tidak dapat diubah, namun

dalam waktu yang bersamaan manusia diberikan kebebasan untuk berkreasi

(berikhtiar) dalam batas-batas sunnatullah (takdir) tersebut. Islam Mazhab Ciputat

tidak memilih paham takdir yang membawa akibat sikap fatalistik, jumud, beku,

pasrah dan menyerah, mengandalkan Tuhan tanpa usaha, sebagaimana yang

dijumpai dalam masyarakat Islam tradisional. Islam mazhab Ciputat memilih

paham takdir sebagai sunnatullah tempat di mana manusia melalui kreatifitas,

inovasi dan kajian yang menghasilkan berbagai temuan ilmiah guna diabdikan bagi

kesejahteraan ummat manusia. Islam Mazhab Ciputat berbicara berdasar data

(berbasis research), menghargai pendapat orang lain, dan memandang mazhab

sebagai kumpulan hasil olah pikir (ijtihad) yang tidak pernah final, dan karenanya

dapat diperbaharui setiap saat. Islam mazhab Ciputat memiliki karakter berfikir

keislaman yang utuh, komprehensif, integrated dan menggunakan berbagai

Page 22: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

7

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sudut pendekatan (multi approaches). Selain menggunakan pendekatan normatif,

teologis, spiritual, dan moral, Islam Mazhab Ciputat menggunakan pendekatan

sosiologis, antropologis, historis, filosof, kultural, dan sebagainya. Islam Mazhab

Ciputat adalah Islam yang menampilkan wajah yang utuh, komprehensif, holistik,

dan integrated dari ajaran al-Qur an dan al-Sunnah, dalam nuansa keindonesiaan,

kemodernan, keilmuan dan kemanusiaan.

Dengan demikian, Islam Mazhab Ciputat dapat diartikan sebagai Islam yang

digali melalui proses dialogis yang intent, saling menghargai dan menghormati

antara ajaran al-Qur an dan al-Sunnah dengan berbagai fenomena dan realitas

sosial yang sifatnya saling mengisi dan melengkapi. Hasil proses dialogis ini

dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai, melainkan akan terus

diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Islam mazhab Ciputat menjangkau

spektrun ajaran Islam yang dipahami secara aktual dan kontekstual, sehingga

Islam dapat berdialog, berkolaborasi, bekerja sama, dan bertransformasi ke dalam

berbagai kehidupan sosial. Islam mazhab Ciputat membekali setiap orang untuk

mampu mentransformasikan, mengkontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan

ajaran Islam dengan berbagai kehidupan masyarakat, serta dapat bergandeng-

tangan dengan semua umat dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya,

aliran, golongan dan lain sebagainya yang memiliki kesamaan visi untuk

memajukan kehidupan yang berbudaya, beradab dan mensejahterakan seluruh

umat manusia. Islam mazhab Ciputat pada akhirnya berujung pada

mengupayakan terwujud missi Islam yang rahmatan lil alamin.

B. Pembahasan

Latar Belakang dan Tokoh Penggagas Lahirnya Islam Mazhab Ciputat

Latar belakang lahirnya Islam Mazhab Ciputat dapat dihubungkan dengan

adanya kegalauan sejumlah tokoh Islam dan pemimpin nasional terhadap

keadaan umat Islam Indonesia yang terbelakang dan tertinggal dibandingkan

dengan kelompok sosial lainnya. Menurut mereka umat Islam harus dibina

kemampuannya agar mencapai kemajuan dengan cara memberikan pendidikan

tinggi, seperti Sekolah Tinggi Islam yang bermutu, unggul dan modern. Dalam

hubungan ini, Mohammad Natsir (Jabali, 2003, h. 3) misalnya mengatakan:

Pendidikan pondok pesantren dan madrasah memang dapat menghasilkan orang

yang beriman dan beprilaku baik, tetapi acuh terhadap perkembangan dunia.

Sementara itu Mohammad Hatta (Jabali, 2003, h. 6) mengatakan, bahwa

tujuan pendidikan tinggi Islam adalah: Harus mampu menghasilkan para sarjana

Muslim yang mengerti tentang masyarakat yang selalu berubah. Jika mereka tak

Page 23: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

8

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memahami perubahan masyarakat di sekitarnya, mereka tidak layak memimpin.

Alasan tersebut membuat filsafat, sejarah dan sosiologi merupakan komponen-

komponen yang sangat penting dimasukan dalam kurikulum Sekolah Tinggi

Islam .

Sementara itu Satiman (Jabali, 2003, h. 4) mengemukakan 4 hal yang

melatar-belakangi lahirnya Sekolah Tinggi Islam (STI), yaitu: Pertama, kesadaran

bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan

dibandingkan dengan non-Muslim. Kedua, masyarakat non-Muslim maju karena

mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka. Ketiga, perlunya

mengembangkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional. Keempat,

dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperkenalkan. Sekolah Tinggi

Islam diusulkan perlu untuk menjawab keempat persoalan tersebut .

Sejalan dengan itu, mendiang Presiden Pertama Indonesia, Soekarno

(Yatim, 1994, h. 112-118) melihat, bahwa keadaan umat Islam di Indonesia pada

tahun 60-an berada dalam jurang kemunduran, kekolotan dan keterbelakangan.

Dalam hubungan ini, Soekarno menyebutkan 5 faktor yang menyebabkan umat

Islam dalam keadaan demikian. Pertama, karena berubahnya demokrasi menjadi

aristokrasi, dan republik menjadi dinasti; kedua, taqlid yang mematikan

kehidupan berfikir dalam Islam; ketiga, berpedoman pada hadits-hadits dhaif

(lemah); Keempat, aristokrasi dalam masyarakat Islam, dan kelima, kurangnya

kesadaran sejarah. Selain itu Bung Karno juga galau dengan ajaran Islam yang

dianut ummat Islam pada saat itu. Menurut Bung Karno, bahwa ajaran Islam yang

dianut oleh umat Islam saat itu umumnya adalah ajaran Islam yang sudah

kehilangan spiritnya sebagaimana dikehendaki al-Qur an dan Hadis. Yaitu ajaran

Islam yang tinggal abu nya, sedangkan spiriti atau apinya sudah padam. Mereka

menganggap cukup sudah mengamalkan ajaran Islam jika sudah shalat, puasa,

pergi haji, mengaji al-Qur an, berzikir, berdo a, berziarah kubur, dan melakukan

ritualitas lainnya. Sedangkan pesan moral, spiritual, disiplin, dan kerja keras dari

ajaran ritual yang dipraktekannya itu tidak nampak. Sementara itu paham teologi

yang dianut umat Islam juga adalah teologi kepasrahan, fatalistik, dan

keterpaksaan. Mereka percaya bahwa nasib manusia di dunia sudah ditakdirkan

Tuhan sejak zaman azali. Paham takdir yang sesungguhnya dikehendaki al-Qur an

adalah, bahwa dalam seluruh ciptaan Tuhan ada batas-batas atau ketentuan yang

serba pasti yang selanjutnya disebut sunnatullah. Air mengalir ke bawah, api

mengarah ke atas dan panas, pertumbuhan fisik manusia, tumbuh-tumbuhan,

binatang dan lainnya berjalan sesuai aturan Tuhan (Sunnatullah) Tuhan. Adanya

Sunnatullah itu merupakan arena bagi manusia untuk melakukan riset dan kajian

Page 24: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

9

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk menemukan hikmah, berupa teori-teori yang selanjutnya diuji dan divalidasi

serta dirumuskan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Kegalauan yang dirasakan para tokoh Islam dan pemimpin nasional di

Indonesia juga dirasakan oleh sejumlah tokoh di berbagai dunia Islam lainnya,

seperti Muhammad Iqbal, dan Syed Amer Ali dari India, Fazlur Rahman dari

Pakistan, Lodrop Stoddard dan lain-lain. Muhammad Iqbal misalnya memiliki

pandangan Islam yang dapat membangkitkan spiritualitas dan moralitas yang

tinggi. Ia misalnya memahami Isra Mi raj sebagai upaya memadukan ajaran langit

di bumi. Itulah sebabnya apa yang diperoleh Nabi Muhammad SAW dari Mi raj

harus membawa kemajuan di bumi. Sementara itu Syeed Amer Ali melihat bahwa

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaur Rasyidin

adalah ajaran yang sudah sangat maju; ajaran yang menyuruh manusia bekerja

keras, memeras otak, membanting tulang, berorientasi pada mutu, egaliter,

terbuka, menegakkan kedamaian, keadilan, kesederajatan dan berorientasi pada

mutu dan kemampuan (meritokrasi). Inilah yang oleh Robert Bellah disebut

sebagai Masyarakat Muslim Klasik, yaitu masyarakat yang terbuka, demokratis

dan partisipatif, dan bahwa keadaan itu berubah total setelah tampilnya dinasti

Bani Umayyah. Oleh karena itu, kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan

realitas dalam masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang

dilihat Bellah, sebagai kegagalan di masa awal itu sendiri, karena belum adanya

prasarana untuk menopang prinsip-prinsipn yang disebutnya modern itu (Madjid,

1993, h. 63-64).

Sementara itu, Fazlur Rahman menemukan empat hal yang membawa

kemunduran umat Islam, yaitu kehilangan etos mencari ilmu sebagai ibadah,

pandangan yang dikhotomis tentang ilmu, tidak berani berijtihad, dan sikap

membeo, hafalan dan verbalistik dalam belajar. Rahman melihat bahwa umat

Islam merasa berdosa jika tidak shalat, namun tidak merasa berdosa jika tidak

belajar; umat Islam menganggap bahwa menuntut ilmu agama adalah fardlu ain,

sedangkan menuntut ilmu umum adalah fardlu kifayah; Islam dalam beragama

cukup mengikuti ajaran para ulama terdahulu. Dan dalam belajar yang terpenting

memahami, mengulang-ulang, menghafal dan memeliharanya. Sehubungan

dengan itu, Bung Karno memandang perlu untuk memperkenalkan gagasan dan

pemikiran Islam dari sejumlah tokoh tersebut kepada masyarakat Indonesia.

Untuk itu, Bung Karno merekomendasikan kepada sejumlah tokoh untuk

menerjemahkan berbagai buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Gagasan dan pemikiran Islam yang progressif dari sejumlah tokoh tersebut

itu termasuk di antara bahan bacaan yang dipelajari oleh para dosen dan

Page 25: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

10

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mahasiswa IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah yang ada di Ciputat. Dengan demikian,

terjadi semacam pertemuan antara gagasan Muhammad Natsir, Satiman,

Mohammad Hatta, Bung Karno, Muhammad Iqbal, Syeed Ameer Ali, Fazlur

Rahman, dengan pemikiran Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, H.M.

Quraisy Shihab, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fakhry Ali, dan lainnya.

Latar belakang dari kegalauan sejumlah tokoh inilah yang menjadi latar belakang

lahirnya Islam Mazhab Ciputat.

Para Pendiri Mazhab

Paling kurang ada dua tokoh utama yang dapat diidentifikasi sebagai pendiri

atau pelopor Islam Mazhab Ciputat, Yaitu Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.

Riwayat hidup, gagasan, pemikiran dan latar belakang kelahirannya dapat

dikemukakan sebagai berikut. Sedangkan Nurcholish Madjid banyak mengabdikan

hidupnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan HMI Pusat,

dosen Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, nara

sumber dan penulis yang produktif, serta Direktur Paramadina, pernah sebagai

anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan berbagai kepengurusan organisasi

kemahasiswaan dalam dan luar negeri. Tentang bagaimana corak gagasan dan

pemikiran keislaman kedua tokoh tersebut? serta faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi gagasan dan pemikiran kedua tokoh tersebut, lebih lanjut dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1. Harun Nasution

Harun Nasution banyak pengabdikan dirinya di IAIN (sekarang UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta dalam kedudukannya sebagai Rektor selama dua periode

(1975-1979) dan (1979-1983), Direktur Sekolah Pascasarjana (1983 hingga akhir

hayatnya 2004), dan juga sebagai dosen, nara sumber dan penulis yang produktif.

Ia lahir di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada hari

Selasa, 23 September 19919. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang

Ulama Kelahiran Mandailing yang berkecukupan dan pernah menduduki jabatan

sebagai Qadi, Penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di

Kabupaten Sumalungun. Sedangkan ibunya berasal dari Tanah Bato adalah

seorang puteri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya pernah bermukim di

Mekkah dan pandai Bahasa Arab. Harun Nasution memiliki pendidikan tradisional

Islam yang kuat semasa kecil (belajar mengaji, sembahyang di rumah), pendidikan

Modern Belanda (Holland Inlandsch School (HIS) selesai tahun 1934, dan Moderne

Islamietische Kweeksachool:MIK), pendidikan Timur Tengah Fakultas Ushuluddin

Universitas al-Azhar, Mesir Kairo), dan pendidikan Barat (American University

Page 26: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

11

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kairo; BA, dalam bidang Social Studies tahun1952, dan Islamic Studies di MacGill

University, Montreal, Kanada). Ia adalah tokoh utama penggagas Islam mazhab

Ciputat. Ia memiliki corak pemikiran Islamnya yang rasional, toleran, moderat,

inklusif, progressif, dan inovatif. Gagasan dan pemikirannya ini tidak hanya untuk

kepentingan akademik dan pengembangan wawasan akademik saja, melainkan

untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam. Ia misalnya sering mengatakan,

bahwa di antara penyebab kemunduran Islam adalah karena menganut teologi

jabariyah (fatalism), mendahulukan kepasrahan pada Tuhan sebelum usaha,

paham takdir yang tidak berbasis sunnatullah, sikap jumud, dan tertutupnya pintu

ijtihad. Untuk itu mewujudkan keadaan Islam yang demikian itu, Harun Nasution

mengajak umat Islam untuk bersikap toleran, tidak fanatik dan tidak sektarian,

menghormati dan menghargai pendapat orang lain, memasukan mata kuliah studi

Islam yang komprehensif dan berbagai aspeknya, serta mata kuliah umum, seperti

sosiologi, sejarah, filsafat, perbandingan agama dan statistik, merubah metode

pengajaran yang lebih dialogis; mengajak mahasiswa bersikap rasional, kritis,

objektif, dan komprehensif. Dalam hubungan ini, Harun Nasution, mengatakan,

bahwa dalam Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian

berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman

klasik Islam (650-1250 M.). Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada

zaman pertengahan Islam (1250-1800 M.). Harun Nasution (1975, h.9) juga

sangat mendorong perlunya melakukan pembaharuan dalam Islam. Upaya ini

didasarkan pada kegalauannya, tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi modern yang memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan

abad ke sembilan belas yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan

periode modern. Guna menumbuhkan berfikir rasional ini, Harun Nasution

memperkenalkan dan mengajarkan mata kuliah Filsafat, suatu mata kuliah yang di

tahun 70-an dianggap sebagai mata kuliah yang haram dipelajari oleh umat Islam

karena khawatir umat Islam menjadi murtad, dangkal imannya, mendewakan akal

pikiran, dan meninggalkan wahyu. Harun Nasution (1995, h. 7) justru sebaliknya

mengatakan, bahwa antara agama dan akal tidak saling bertentangan. Al-Qur an

mengajarkan manusia agar menggunakan akalnya. Dan Nabi mengatakan, bahwa

agama adalah sesuai dengan akal, dan tidak akan beragama bagi orang yang tidak

berakal. Bahkan ajaran-ajaran agama nampaknya melampaui kemampuan akal

manusia, atau bahkan ajaran Islam terlalu berat untuk dipahami oleh umat Islam.

Akibat dari keadaan yang demikian, umat Islam hanya memeluk agama secara

formalitas, emosionalitas, dan tidak tidak dapat menangkap ajaran yang dalam

guna membawa kemajuan. Umat Islam tak ubahnya seperti keledai yang

Page 27: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

12

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menggendong-gendong taurat di punggungnya, namun sampai mati keledai

tersebut tidak dapat memahami kandungan taurat itu. Guna membangkitkan

semangat rasionalitas, menghargai dan menggunakan akal dalam beragama,

Harun Nasution (1978) memperkenalkan pemikiran sejumlah filosof, seperti al-

Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan Ibn Tufail, melalui bukunya yang berjudul

Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Khusus untuk meyakinkan bahwa

menggunakan akal sangat dianjurkan dalam Islam, Harun Nasution menulis buku

Akal dan Wahyu. Di dalam buku tersebut Harun Nasution (1986) menyatakan

bahwa akal digunakan dalam memahami tauhid, fikih, dan tafsir. Berbagai

kalangan melihat banyak sisi yang ditampilkan Harun Nasution. Nurcholish Madjid

misalnya memandang Harun Nasution sebagai penganut paham teologi

Muhammad Abduh yang dekat ke teologi rasional Mu tazilah. Sementara yang

lainnya, menilai Harun Nasution (1980) sebagai orang yang mengembangkan

pemikiran toleransi dan moderat yang memungkinkan dilakukannya kerjasama

antar umat beragama.

Harun Nasution adalah tokoh utama penggagas Islam mazhab Ciputat. Ia

memiliki corak pemikiran Islamnya yang rasional, toleran, moderat, inklusif,

progressif, dan inovatif. Gagasan dan pemikirannya ini tidak hanya untuk

kepentingan akademik dan pengembangan wawasan akademik saja, melainkan

untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam. Ia misalnya sering mengatakan,

bahwa di antara penyebab kemunduran Islam adalah karena menganut teologi

jabariyah (fatalism), mendahulukan kepasrahan pada Tuhan sebelum usaha,

paham takdir yang tidak berbasis sunnatullah, sikap jumud, dan tertutupnya pintu

ijtihad. Untuk mewujudkan keadaan Islam yang demikian itu, Harun Nasution

(1995, h. 7) mengajak umat Islam untuk bersikap toleran, tidak fanatik dan tidak

sektarian, menghormati dan menghargai pendapat orang lain, memasukan mata

kuliah studi Islam yang komprehensif dan berbagai aspeknya, serta mata kuliah

umum, seperti sosiologi, sejarah, filsafat, perbandingan agama dan statistik,

merubah metode pengajaran yang lebih dialogis; mengajak mahasiswa bersikap

rasional, kritis, objektif, dan komprehensif. Dalam hubungan ini, Harun Nasution,

mengatakan, bahwa dalam Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi

kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang

pada zaman klasik Islam (650-1250 M.). Sedangkan pemikiran tradisional

berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M.). Harun Nasution

(1975, h. 9), juga sangat mendorong perlunya melakukan pembaharuan dalam

Islam. Upaya ini didasarkan pada kegalauannya tentang kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi modern yang memasuki dunia Islam, terutama

Page 28: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

13

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sesudah pembukaan abad ke sembilan belas yang dalam sejarah Islam dipandang

sebagai permulaan periode modern. Guna menumbuhkan berfikir rasional ini,

Harun Nasution memperkenalkan dan mengajarkan mata kuliah Filsafat, suatu

mata kuliah yang di tahun 70-an dianggap sebagai mata kuliah yang haram

dipelajari oleh umat Islam karena khawatir umat Islam menjadi murtad, dangkal

imannya, mendewakan akal pikiran, dan meninggalkan wahyu. Harun Nasution

justeru sebaliknya mengatakan, bahwa antara agama dan akal tidak saling

bertentangan. Al-Qur an mengajarkan manusia agar menggunakan akalnya. Dan

Nabi mengatakan, bahwa agama adalah sesuai dengan akal, dan tidak akan

beragama bagi orang yang tidak berakal. Bahkan ajaran-ajaran agama

nampaknya melampaui kemampuan akal manusia, atau bahkan ajaran Islam

terlalu berat untuk dipahami oleh umat Islam. Akibat dari keadaan yang demikian,

umat Islam hanya memeluk agama secara formalitas, emosionalitas, dan tidak

tidak dapat menangkap ajaran yang dalam guna membawa kemajuan.

Pertanyaan tentang mengapa Harun Nasution memiliki gagasan dan

pemikiran Islam seperti itu, dapat dilacak dari empat hal sebagai berikut.

Pertama, dipengaruhi watak dan karakter Harun Nasution yang dari sejak

kecil sudah kritis. Ia selalu mengajukan pertanyaan: mengapa terhadap sesutu.

Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang bersifat rasional, filofis dan logis. Ia

tidak suka pada hal-hal yang doktriner dan kurang masuk akal. Sikap kritis ini

misalnya ia perlihatkan pada saat ia belajar di Moderne Islamietische Kweekschool

(MIK), yaitu Sekolah Guru Menengah Swasta Pertama Modern milik Abd al-

Ghaffar Jambek, putera Syaikh Jamil Jambek di Bukittinggi. (Yatim, 2002, h. 7)

Pada saat itu ia berkata: Di sana aku memakai dasi, dan diajarkan bahwa

memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok. Kupikir,

mengapa harus berat-berat mengambil wudhu dahulu hanya untuk mengangkat

al-Qur’an. Terpikir pula, apa beda al-Qur’an dengan kertas biasa. Al-Qur’an yang

kupegang itu adalah kertas, bukan wahyu. Wahyunya tidak di situ. Apa salahnya

memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu. Begitu pula soal shalat, memakai

ushali atau tidak bagiku sama saja”.

Kedua, dipengaruhi oleh para tokoh pembaru pemikiran Islam Indonesia,

serta para pemikir Islam modern lainnya selama ia belajar di berbagai perguruan

tinggi di luar negeri. Ketika belajar di Bukittinggi misalnya Harun Nasution berkata:

Di Bukittinggi, aku mulai mengenal pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Hamka,

Zainal Abidin Ahmad dan Jamil Hambek, melalui tulisan-tulisan mereka di majalah

Pedoman Masyarakat dan khutbah-khutbah mereka (Tim penulis, 1989, h. 7).

Selain itu dipengaruhi pula sejumlah bacaan pada saat ia menulis Tesis MA-nya

Page 29: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

14

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berjudul The Islamic State in Indonesia: The Rise of the Ideology, The

Movement fir Its Creation and the Theory of Masyumi. Pada saat menulis ini ia

mengenal pemikiran para tokoh Masyumi seperti M. Natsir, Zainal Abidin Ahmad,

Isa Anshari, Osman Raliby, dan Kasman Singodimedjo (Nata, 268, 2004). Demikian

pula pada saat ia menulis disertasi untuk Ph.D-nya yang berjudul The Place of

Reason in Abduh’s, Its Impact on His Thelogical System and Views (Kedudukan

Akal dalam Teologi Muhammad Abduh), juga dipengaruhi oleh pemikiran Teologi

rasional seperti Mu tazilah yang dinilai sebagai teologi yang dianut Muhammad

Abduh.

Ketiga, dipengaruhi oleh gagasan dan pemikiran modern yang berkembang

di dunia Islam, khususnya Mesir, di mana Harun Nasution pernah belajar di Mesir.

Pemikiran Islam modern dari Muhammad Abduh dan para muridnya, al-Tahthawi,

dan Ali Abd al-Razik ikut mempengaruhinya. Pengaruh ini nampak terlihat pada

salah satu karya Harun Nasution (1978) tentang Aliran Modern dalam Islam.

Keempat, dipengaruhi oleh assumsi Harun Nasution terhadap penyebab

keterbelakangan ummat Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi dan

kebudayaan yang dihubungkan dengan paham keagamaan. Hal ini nampak dalam

pendapatnya yang menyatakan, bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam

bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik

dan statis. Menurutnya, teologi Ahl al-Sunnah dan Asy ariyah harus bertanggung

jawab atas kemandegan ini. Kaum muslimin berpandangan sempit dan tidak

terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan

umat (Nata, 2004, h. 269).

Kelima, semasa belajar di luar negeri Harun Nasution banyak memperoleh

informasi tentang pemikiran keislaman yang diajarkan di berbagai perguruan

tinggi Islam negeri yang dinilainya sangat sempit. Harun Nasution ingin merubah

paham Islam yang sempit ini dengan paham Islam yang luas. Dalam hubungan ini

Harun Nasution (Yatim, 2002, h. 172) berkata: …… sejak di luar egeri Saya telah mendengar kondisi IAIN. Pemikiran yang dikembangkan sangat sempit. Para

mahasiswa tidak diizinkan untuk membaca karya-karya Abduh. Saya tahu masalah

ini secara khusus, karena mendengar langsung dari lulusan IAIN yang ada di Mesir.

Mereka memberi tahu pengajaran yang dikembangkan di IAIN sangat tradisional

dan sangat fiqih oriented .

Namun, orang sering salah mengira, bahwa dengan pandangan-pandangan

keislaman yang demikian itu, Harun Nasution menjadi orang murtad, tidak taat

beragama, bersikap liberal, atau sudah keluar dari ajaran dasar al-Qur an dan

Hadis. Dugaan itu sepintas terkesan benar. Namun orang-orang yang dekat dan

Page 30: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

15

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengenal Harun Nasution lebih dalam, berpendapat, bahwa sikap Harun Nasution

yang demikian itu justeru merupakan pelaksanaan spirit ajaran al-Qur an dan

Hadis. Dalam bidang keagamaan, al-Qur an mengajarkan manusia memiliki iman

yang kokoh dan transformatif, taat beribadah yang berdampak pada

pembentukan akhlak mulia; Dalam bidang ilmu pengetahuan, al-Qur an dan Hadis

memiliki pandangan yang integralistik dan holistik; dalam bidang sosial, al-Qur an

mengajarkan sikap kesederajatan, keadilan, musyawarah, kemanusiaan,

persaudaraan, kerjasama dan toleransi; dalam bidang ekonomi, al-Qur an dan al-

Hadis mengajarkan kerja keras, disiplin, kreatif, inovatif, dan seimbang; dalam

bidang kebudayaan dan peradaban. Menurutnya al-Qur an dan Hadis

mengajarkan semangat melakukan kajian, penelitian, pengembangan dan

penciptaan karya-karya inovatif dan kreatif. Ajaran al-Qur an dan Hadis yang

demikian itulah yang ingin diwujudkan Harun Nasution, dan bukan ajaran-ajaran

Islam hasil ijtihad para ulama masa lalu yang sudah menyimpang dari ajaran al-

Qur an dan Hadis tersebut yang dibuktikan oleh adanya kemunduran ummat

Islam. Sungguhpun Harun Nasution mengajarkan pandangan Islam rasional,

inklusif, toleran, moderat, progressif dan inovatif, namun Harun Nasution adalah

seorang yang taat menjalankan ibadah, hidup sederhana, rendah hati, bersahaja,

asketis dan jauh dari perbuatan menyimpang. Hal ini nampak dipengaruhi oleh

didikan ayahnya Abdul Jabbar Ahmad, seorang Ulama kelahiran Mandailing yang

pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, kepala agama, Hakim Agama

dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun, serta dipengaruhi ibunya, seorang

puteri ulama asal Mandailing yang pada masa gadisnya pernah mukim di Mekkah

dan pandai berbahasa Arab. Harun Nasution (Tim penulis, 1989, h. 6)

menceritakan pengalaman keagamaan pada masa kecilnya sebagai berikut.

Suasana keagamaan yang ditanamkan ibuku di rumah benar-benar membekas

dalam hatiku. Ibuku menerapkan disiplin keras. Di rumah aku belajar mengaji

sejak pukul empat hingga lima sore. Seusai shalat Maghrib, aku mengaji al-Qur an

dengan suara keras sampai tiba waktu Isya. Kalau bulan puasa, bertadarrus di

masjid hingga pukul 12 malam. Setiap pagi aku bangun subuh untuk shalat

berjama ah .

Sikap keagamaan Islam Harun Nasution juga dipengaruhi saat ia pergi ke

Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama

di tanah suci itu yang ia lakukan pada tahun 1938, atau saat ia berusi sekitar 19

Tahun; dan semasa beliau kuliah di Fakultas Ushuluddin pada Universitas al-Azhar,

Kairo Mesir (Nata, 2004, h. 265).

Page 31: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

16

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26

Muharram 1358 H di Jombang, Jawa Timur. Keluarganya berasal dari kalangan

pesantren yang taat menjalankan agama. Sebagaimana halnya Harun Nasutian,

Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan kombinasi antara Islam

tradisional, Islam masa transisi, dan Islam modern. Islam tradisional ia peroleh

semasa Sekolah Ibtidaiyah di Mojoanyar dan di Pesantren Darul Ulum di Rejoso,

Jombang. Sedangkan pendidikan masa transisi (dari tradisional ke Modern), ia

peroleh semasa belajar di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan di Institut

Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Sastra

Arab, tamat tahun 1968. Sedangkan pendidikan modern, ia peroleh semasa kuliah

di Chicago University, Amerika Serikat, dengan salah seorang gurunya Fazlur

Rahman. Nurcholish Madjid adalah termasuk alumni generasi awal tamatan IAIN

Syarif Hidayatullah yang sangat terkenal dan fenomenal dengan gagasan-gagasan

modernisme Islamnya.

Selain pernah menjabat sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, Nurcholish

Madjid pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI). Terkait dengan gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid

dapat dijumpai dalam berbagai karya tulisnya. Menurut M. Dawam Rahardjo,

bahwa maksud dari berbagai tulisan Nurcholish Madjid (Madjid, 1993, h. 30),

adalah memberi landasan teologis, terutama bagi golongan intelektual, agar

mampu memberikan responsi positif terhadap modernisasi, tetapi tetap bertolak

dari mengacu kepada iman-Islam. Pendapat ini sejalan dengan yang dijumpai

dalam karya monumental Nurcholish Madjid yang berjudul Islam, Doktrin dan

Peradaban, sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan dan Kemodernan.

Dalam buku tersebut, Nurcholish memaparkan kajian mendalam tentang iman

yang jauh berbeda dengan kajian tentang iman sebagaimana yang dijumpai dalam

buku-buku keimanan yang terdapat dalam berbagai kitab kuning yang cenderung

teo-centris, membahas sifat-sifat Tuhan berdasarkan dalil naqli (al-Qur an dan

hadis) tanpa dihubungkan dengan kehidupan manusia secara kontekstual dan

aktual. Iman dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki keterkaitan dengan

tata nilai Rabbaniyah, emansipasi dan hakikat kemanusiaan, perwujudan

masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Iman menurut Nurcholish Madjid juga terkait dengan upaya

memajukan masyarakat. Di dalam buku itu juga Nurcholish berbicara tentang

disiplin ilmu keislaman tradisional:kalam, fiqih dan tasawuf; konsep kosmologi,

antropologi, hukum, universalisme Islam, Islam dan kedudukan bahasa Arab,

Page 32: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

17

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menangkap kembali dinamika Islam klasik dan kosmopolitanisme, makna

modernitas dan tantangannya, ajaran nilai etis dan kitab suci, penggunaan bahan-

bahan modern untuk memahami Islam, konsep keadilan dalam Qur an, masalah

teknologi, Islam dan budaya lokal, kaum Muslimin dan partisipasi sosial politik,

serta reaktualisasi nilai kultural dan spiritual dalam proses transformasi

masyarakat (Madjid, 1992). Gagasan-gagasan Nurcholish Madjid yang demikian

aktual, kontekstual, segar, responsif, inovatif dan modernis ini pada hakikatnya

merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan induk beliau yang tertuang

dalam buku Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi buku wajib dalam

pelatihan dan pengkaderan di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam, dan telah

dikaji lebih lanjut oleh Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Mazhab HMI

Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Namun sungguhpun Nurcholish

begitu berani mengemukakan gagasan dan pemikiran yang di tahun 70-an masih

tergolongan langka, bahkan bisa menimbulkan kejutan-kejutan, namun dari sejak

awal Nurcholish Madjid mengingatkan agar hat-hati dalam memahami agamanya.

Menurutnya berbicara tentang agama memerlukan sikap ekstra hati-hati. Sebab

sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat

bersifat individual yang dipengaruhi latar belakang dan kepribadiannya. Agama

adalah penyataan keluar sifat hanif manusia yang telah tertanam dalam alam

jiwanya. Maka beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan

manusia secara esensial (Madjid, 1993, h. 122-123). Guna memudahkan dalam

memetakan gagasan modernitasnya, Nurcholish terlebih dahulu mencoba

mengidentifikas komunitas Muslim yang ada di Indonesia ke dalam enam

kelompok. Pertama, gerakan al-takfir wa al-Hijrah di Mesir yang ultra ekstrim

(Q.S.3:193), mencukupkan segala kesalahan dan dosa yang telah terjadi baik

sengaja atau tidak sengaja. Kedua, kelompok revolusioner yang tidak percaya

pada pendekatan-pendekatan konstitusional dan legal untuk memperjuangkan

ide-ide mereka, tetapi hanya mempercayai cara-cara radikal dan revolusioner,

tetapi tidak sampai mengkafirkan orang lain. Ketiga, kelompok konstitusional yang

umumnya merupakan warisan kejayaan politik Islam di Indonesia zaman

Masyumi. Keempat, kelompok akomodasionis yaitu orang-orang yang

bekerjasama dengan Pemerintah. Kelima, kelompok oportunis yaitu orang yang

mengaku berjuang untuk Islam, tetapi sebenarnya tidak yakin akan ajaran Islam.

Keenam, kelompok silent majority, yaitu mreka banyak sekali, tetapi tidak

berfungsi apa-apa; mereka kelompok otomis, seperti unggukan pasir yang masing-

masing lepas (Madjid, 1979, h. 91). Dalam upaya memajukan kehidupan ummat

Islam, Nurcholish juga mengajukan gagasan tentang sekularisasi (bukan

Page 33: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

18

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sekularisme), yakni memperlakukan hal-hal yang agama sebagai agama, dan yang

bukan agama. Ketika orang-orang non Muslim mencapai kehidupan yang sukses

secara sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain sebagainya, sesungguhnya

karena ia mengikuti aturan-aturan Tuhan yang sifatnya universal yang apabila

dilakukan dengan benar, Tuhan akan memberikannya tanpa memandang

keagamaannya secara formal. Kegiatan dalam bertani, beternak, berdagang, dan

sebagainya ada operating prosedurnya atau sunnatullah-nya. Jika sunnatullah itu

dilakukan dengan benar dan konsisten, maka tanpa mempersolkan agamanya,

akan tetap sukses. Sunnatullah itulah yang disebutnya sebagai yang bukan agama

(bukan ajaran) tapi sesuatu yang bersifat teknis dan lintas agama. Selain itu

Nurcholish Madjid menyinggung gagasan tentang Islam sebagai agama yang

membawa rahmat bagi seluruh alam, mendorong perkembangangan ilmu

pengetahuan, kehadiran Tuhan dalam kehidupan, manusia sebagai makhluk

individu dan masyarakat, ikhtiar dan takdir yang dikembalikan kepada semangat

al-Qur an dan Hadis yang mendorong usaha keras dan sungguh-sungguh dari

manusia (Tarigan, 2007, h. ix). Nurcholish juga memandang, bahwa sebetulnya

tidak ada masalah apabila kita sebagai seorang Muslim berpedoman pada ajaran

Islam, melihay segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk terhadap

masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila (Tarigan, 2007, h. ix).

Selain itu Nurcholish juga punya perhatian terhadap citra partai politik yang

menggunakan label Islam, tapi prilakunya tidak Islami, seperti gontok-gontokan,

fitnah, caci maki dan tindakan tidak terpuji lainnya pada saat pemilihan ketua

partai, perebutan jabatan di dewan perwakilan rakyat, pemilihan kepala daerah

dan sebagainya. Untuk itu Nurcholish Madjid mengatakan: Islam Yes, Partai Islam

No. Islam yes dimaksudkan bahwa mengamalkan ajaran Islam secara substantif

dan kultural, walaupun tidak menggunakan label Islam, adalah sesuatu yang baik.

Sedangkan Partai Islam no”, dimaksudkan bahwa menggunakan label Islam tapi

tidak mengamalkan ajaran Islam adalah tidak baik, karena dapat merusak citra

Islam sebagai agama yang mulia. Menurut Cak Nur, demikian biasa Nurcholish

Madjid disapa, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, bahwa partai-partai yang

mengklaim sebagai pertai Islam malah sering sekali tak Islami. Bahkan terlihat

tidak memperjuangkan Islam, tetapi kepentingan elit politiknya dan kepentingan

pribadi. Jadi nilai-nilai Islam yang masuk dalam politik, hendaknya tidak dalam

bentuk klaim-klaim eksklusif sebagai partai Islam. Yang namanya partai Islam,

belum tentu tingkah laku elit politiknya Islami, sebagai contoh, mereka gontok-

gontokan memperebutkan kekuasaan. Padahal Islam mengajarkan supaya mereka

berdamai (Azra, 2000, h. 231).

Page 34: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

19

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gagasan modern Nurcholis Madjid lebih lanjut nampak pada bidang

pendidikan pondok pesantren. Pada bukunya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren

Nurcholish Madjid misalnya mengemukakan tentang berbagai kelemahan dunia

pesantren, antara lain pada aspek kepemimpinan yang sentralistik, manajemen

yang berbasis keluarga, kurikulum yang dikhotomis, lingkungan yang kumuh dan

semrawut, wawasan kebersihan dan kesehatan yang rendah, jiwa interpreneur

yang lemah, dan kurang percaya diri. Nurcholish Madjid banyak mengabdikan

hidupnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat dan HMI Pusat,

dosen Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat,

narasumber dan penulis yang produktif, serta Direktur Paramadina, pernah

sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan berbagai kepengurusan

organisasi kemahasiswaan dalam dan luar negeri.

Dengan memperhatikan berbagai gagasannya itu, kalangan intelektual pada

umumnya melihat bahwa gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid berkisar pada

masalah Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan secara harmonis. Dengan

kesederhanaannya, ia juga dinilai sebagai seorang muslim asketis yang berfikiran

modern berspirit perjuangan. Dan dari segi metode dan pendekatannya dalam

merumuskan gagasan dan pemikirannya, Nurcholish Madjid memiliki kemiripan

dengan Falur Rachman yang menggukana model double movement. Teknis

operasionalnya, model ini dilakukan dengan cara melacak, mengkaji dan

mendalami warasan khazanah Islam di masa klasik (Golden Age) dengan tujuan

bukan untuk sekeder nostalgia, romantisme, menghibur diri, atau berbangga-

bangga serta menutupi kekurangan dan ketidak berdayaan yang dirasakannya,

melainkan untuk diambil spirit dan inspirasinya untuk mengkontruksi gagasan dan

pemikiran baru guna mengatasi masalah yang dihadapi sambil mendialogkan dan

melengkapinya dengan ide-ide dan gagasan pemikir dari Barat untuk diambil

sebuah sintesis. Kemampuan Nurcholish Madjid yang mirip Fazlur Rahman,

terbilang sebagai sesuatu yang jarang bisa dilakukan para pakar Muslim atau para

ulama khususnya, sebagai akibat minimnya persyaratan kemampuan bahasa,

keluasan bacaan, serta kekuatan spirit penggalian ide-ide dan gagasan dari al-

Qur an dan hadis. Nurcholish dapat melakukan proses dialektika antara warisan

klasik Islam dan ide-ide modern dari Barat, karena Nurcholish memiliki modal

kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang kuat yang ia miliki selama belajar di

Pesantren Darul Ulum-Jombang, Jawa Timur, Pondok Modern Gontor Ponorogo,

Jurusan Sastra Arab selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta studi di

Chicago, Amerika Serikat. Dengan modal kemampuan bahasa Arab yang kuat, ia

dapat membaca berbagai literatur klasik berbahasa Arab karangan para tokoh

Page 35: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

20

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pemikir Islam kelas dunia, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ikhwan

al-Shafa, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, al-Mawardi,

Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi. Sedangkan dengan

kemampuan bahasa Inggrisnya, ia dapat membaca, memahami, dan menggali

gagasan-gagasan pemikiran modern Barat dalam berbagai bidang, seperti

pemikiran sosiologi dari Augus Comte, Thomas Aquinas, Schumacher; pemikiran

sejarah seperti dari Philip K. Hitti, H.A.R. Gibb, Thomas W. Arnold; pemikiran

empirisme eksperementalis dari Roger Bacon dan Pransic Bacon, pemikiran

politik John Locke dan Montesquiu, Robert Bellah, dan Snouck Hurgronye;

pemikiran agama dari Wilfred Canwil Smith, dan Joachim Wach; pemikiran

ekonomi dari Adam Smith; berbagai pemikiran aliran filsafat:naturalisme,

existensialisme, sosioalogis, pragmatisme, materialisme, humanisme, radikalisme,

liberalisme dan sebagainya dengan penuh hati-hati, memilah dan memilih,

sehingga ada yang ditolak, dan ada pula yang diakomodir. Kemampuan dalam

bidang bahasa, metodologi berfikir dan kesungguhan untuk memberikan jawaban

dan solusi untuk mengatasi keterbelakangan umat inilah yang menyebabkan

Nurcholish Madjid dalam melakukan model double movement atau dialektika

yang produktif. Hasil dialektika dan sintesis Nurcholish Madjid terkadang tidak

terjangkau oleh nalar para tokoh muslim dan ulama pada umumnya, sehingga

gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid itu terkadang menimbulkan resistensi

dan ketegangan-ketegangan, hingga karena yang disebut terakhir ini tidak mampu

mengimbangi kemampuan yang dicapai Nurcholish Madjid, sehingga sering

menuduhnya sebagai seorang yang sekuler, pluralis dan liberal. Seluruh gagasan

dan pemikiran Nurcholish Madjid ini diarahkan untuk memajukan Islam dan

umatnya. Pilihannya bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bahkan

memimpinnya sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1967-1969) dan

(1969-1971), karena organisasi ini memiliki tujuan: (1) membela negara RI dan

menaikan harkat masyarakat Indonesia, dan (2) menjaga dan memajukan agama

Islam. Melalui organisasi itu, Nurcholish melakukan pelembagaan ideoologi Islam

modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada tahun 1969 yang

menjadi panduan ideologis untuk semua kader HMI. Gagasan dan pemikiran

ideologisnya itu lebih lanjut ia sampaikan pada pidato tentang: Keharusan

pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat pada tanggal 2

Januari 1970. Dari gagasannya ini segera dapat diketahui hal-hal yang mendasari

lahirnya gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid, yaitu kegelisahan dan

kegalauannya atas kondisi umat Islam Indonesia yang telah mengalami

kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan

Page 36: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

21

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kehilangan daya tonjok psikologis dalam perjuangannya. Modernisasi yang

digagasnya dalam arti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berfikir

dan bekerja yang maksimal dinilai oleh Nurcholish Madjid sebagai perintah Tuhan

yang imperatif dan mendasar. Menurutnya, Islam selalu mengajak umat Islam

untuk menjauhkan diri dari sikap eksklusif dalam beragama dan lebih

menekankan ke arah sikap yang inklusif, dan bahkab pluralis di tengah keragaman

agama di Indonesia. Menurutnya, para penganut berbagai agama asalkan beriman

kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, maka mereka akan

memperoleh pahala dari Tuhan mereka (Kompas, Sabtu, 27 Agustus, 2016, hal. 7).

Pertanyaan tentang mengapa, Nurcholis Madjid memiliki gagasan dan pemikiran

Islam Mazhab Ciputat, dapat dijawab dengan beberapa hasil analisa sebagai

berikut.

Pertama, pengaruh dari pendidikan semasa ia belajar di lembaga

pendidikan transisional (KMI Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo) yang

memadukan unsur lokal tradisional keagamaan sebagaimana yang menjadi tradisi

pesantren pada umumnya dan unsur modern berupa pendidikan umum, bahasa

Inggris, bahasa Arab dan berbagai keterampilan kerja lainnya, dan semasa ia

kuliah pada program doktor di Chicago University, Amerika Serikat. Semasa kuliah

doktor di luar negeri ini, Nurcholish Madjid berguru kepada tokoh Islamis

modernis terkenal dari India/Pakistan, Fazlur Rahman.

Kedua, pengaruh dari lingkungan kegiatan organisasi sosial keagamaan, dan

politik dari orang tuanya yang aktif di Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)

yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Islam yang tergolong modern, seperti M.

Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Isa Anshari, Osman Raliby, Kasman Singodimedjo,

dan lainnya.

Ketiga, pengaruh dari pemikiran Islam modernis dari Timur Tengah,

khususnya Mesir, India/Pakistan dan Turki yang dibaca melalui buku-buku selama

kuliah pada Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab UIN (pada masa itu masih IAIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta. Yaitu buku-buku karangan Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Tanthawi Yahya, Ali Abd Raziq, Farid Wajdi dan

lainnya dari Mesir; Syaikh Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Syeed Ameer Ali,

Ahmad Amin dan lainnya dari India/Pakistan; dan Kemal Al-Tatruq, Zia Gokalp,

Namik Kemal dan lainnya dari Turki.

Keempat, pengaruh dari cita-cita dan ideologi perjuangan Himpunan

Mahasiswa Islam, yaitu(1)membela negara RI dan menaikan harkat masyarakat

Indonesia, dan (2)menjaga dan memajukan agama Islam.

Page 37: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

22

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kelima, pengaruh dari pemikiran sosial, ekonomi, politik, ilmu

pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan peradaban yang berkembangan di dunia

Islam pada khususnya dan dunia pada umumnya. Pengaruh ini masuk melalui

berbagai bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, jurnal dan sebagainya.

Jaringan Transmisi Islam Mazhab Ciputat

Gagasan dan pemikiran Islam Mazhab Ciputat yang digali, dirumuskan dan

dikembangkan Harun Nasution disalurkan melalui berbagai saluran. Pertama,

melalui jalur fungsi dan jabatan yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai dosen

dan tokoh cendekiawan Muslim yang disegani, Harun juga menduduki jabatan

sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1973-1981).

Dalam kedudukan sebagai dosen, Harun Nasution dengan istiqamah memberikan

kuliah pada mahasiswa seluruh strata. Pada mahasiswa strata 1 (S1) Harun

Nasution memberikan matakuliah pengantar studi Islam melalui buku Islam

Ditinjau dari Berbafai Aspeknya sebanyak dua jilid. Melalui mata kuliah ini, Harun

Nasution memberikan wawasan Islam yang luas, rasional, toleran dan modern.

Para mahasiswa yang pada umumnya memiliki latar belakang pemahaman Islam

yang sempit dan sektarian diubah menjadi memiliki wawasan Islam yang luas dan

moderat. Para mahasiswa tamatan pesantren dan madrasah pada waktu itu

umumnya diajarkan pemahaman Islam menurut mazhab tertentu, sedangkan oleh

Harun Nasution mereka diberikan pemahaman semua mazhab dan aliran. Dalam

bidang teologi mereka tidak hanya dikenalkan pada mazhab Syafi i, tetapi juga

mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, al-Dzahiri, bahkan mazhab yang terdapat dalam

kelompok Syi ah; dalam bidang teologi, mereka tidak hanya diberikan

pemahaman teologi Asy ariyah, melainkan juga teologi Mu tazilah, Maturidiayah,

dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang tasawuf, tafsir dan hadis

diperkenalkan berbagai paham dan corak aliran yang terdapat di dalamnya. Dalam

bukunya itu, Harun Nasution juga memperkenalkan aspek ajaran tentang filsafat,

sejarah, aliran modern, politik pemerintahan, pranata sosial, kebudayaan,

peradaban, dan sebagainya. Selanjutnya pada Program Pascasarjana, Harun

Nasution mengajarkan mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, Kalam, filsafat,

tasawuf dan aliran modern yang pada intinya merupakan pengembangan dan

pendalaman dari materi yang ia ajarkan pada mahasiswa program strata 1 (S1).

Tidak hanya itu, Harun Nasution juga mengajar berbagai mata kuliah tersebut

pada Program Pascasarjana di berbagai daerah, seperti pada IAIN, Padang,

Sumatera Barat, IAIN Palembang, IAIN Medan, IAIN Surabaya, IAIN Aceh dan

sebagiannya. Dalam pengajaran tersebut, Harun Nasution juga menggunakan

Page 38: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

23

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pendekatan dialog dan dialektika melalui diskusi dan seminar. Para mahasiswa

diminta membaca, memahami, menulis dan menyajikan makalah, memberikan

jawaban atas masalah atau pertanyaan pada saat diskusi, diajak untuk menggali

argumentasi baik dari al-Qur an, al-hadis, pendapat para ulama, menggunakan

data-data sejarah, fakta sosial, atau hasil ijtihadnya sendiri, kemudian diajak

menarik kesimpulan yang terkadang berbeda dengan pemahaman yang

sebelumnya sudah dimiliki mahasiswa. Sebagai contoh, semula mahasiswa

menyimpulkan, bahwa Mu tazilah adalah aliran sesat dan orang yang

mempelajarinya dapat menjadi kafir zindik. Setelah kuliah dengan Harun

Nasution, mereka mulai menghargai pendapat Mu tazilah, tidak menganggapnya

tersesat atau kafir, melainkan memandangnya sebagai setara dan sebangun

dengan aliran teologi lainnya, dan mereka tahu, bahwa aliran yang selama ini

dianutnya (Asy ariyah) pada mulanya berasal dari Mu tazilah, dan juga

menggunakan logika deduktif dari Aristoteles. Namun Harun Nasution tidak

memaksa mahasiswa untuk berpindah pada mazhab tertentu, karena tujuan yang

ingin dikejar oleh Harun Nasution adalah agar mahasiswa memiliki pemahaman

Islam yang luas, moderat, toleran dan tidak sektarian. Tidak hanya terbuka dan

semakin luas wawasan keislamannya, mahasiswa yang disentuh Harun Nasution

juga menjadi mahasiswa yang kritis, rasional, terbuka, moderat, toleran, dan

terbiasa berdialog dengan berbagai aliran baik dalam intern umat Islam, maupun

juga dengan kelompok agama lainnya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution

juga disalurkan melalui forum ilmiah, seperti diskusi, seminar, simposium,

sarasehan, konsorsium dan sebagainya. Gagasan dan pemikiran Harun Nasution

juga ditransmisikan melalui jabatan yang ia miliki. Pada saat ia menjabat sebagai

Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan jabatan yang dimilikinya itu,

Harun Nasution berhasil mengembangkan kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan memasukan mata kuliah umum, seperti sejarah dunia, sejarah

Indonesia, sosiologi, wawasan sains dan teknologi, antropologi, aliran modern,

metodologi penelitian, statistik, bahasa Indonesia, aliran politik, dan sebagainya.

Selain itu, Harun Nasution juga merubah pendekatan dan metode perkuliahan,

dari yang semula menggunakan pendekatan yang berbasis pada guru (teacher

centred) melalui kuliah dan ceramah; menjadi menggunakan pendekatan yang

berbasis mahasiswa (student centred) melalui diskusi, seminar dan pemecahan

masalah. Harun Nasution juga memasukan dosen dengan latar belakang disiplin

ilmu dan keahlian yang beragam, bukan hanya yang berasal dari lingkungan intern

IAIN sendiri, melainkan dari berbagai perguruan tinggi umum, dan lembaga-

lembaga kajian ilmiah lainnya. Dalam hubungan ini tercatat, nama Prof. Dr. Jujun

Page 39: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

24

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Suria Sumantri (ahli filsafat Ilmu), Prof. Dr. Sucipto, (ahli kurikulum), Prof. Dr.

Deliar Noer (ahli sejarah), dan Prof. Dr. Anah Suhaenah (ahli metodologi

pengajaran) yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta (dahulunya IKIP Jakarta);

Prof. Dr. Edi Swasono (ahli ekonomi), Dr. Panuti Sudjiman (ahli bahasa Indonesia),

dan Dr.Parsudi Suparlan (ahli antropologi dan sosiologi) yang berasal dari

Universitas Indonesia; Prof.Munawwir Sadzali (ahli ilmu tata negara) dari

Kementerian Luar Negeri; Prof. Dr. A. Baequni (ahli nuklir) dari Badan Tenaga

Atom Nasional (BATAN), Prof. Dr. Karel Stembring (peneliti sejarah) dan John

Moeleman (ahli sejarah dan antropologi) dari Belanda; Prof. Dr. Uner Turgey (ahli

perkembangan modern dalam Islam) dari MacGill University, Canada; dan masih

banyak lagi.

Murid-murid dan didikan Harun Nasution yang demikian banyak jumlahnya

itu pada tahap selanjutnya berupaya menggali, mengembangkan dan menyebar-

luaskan gagasan dan pemikiran Harun Nasution pada saat mereka melaksanakan

tugas sebagai dosen dan sebagai pemimpin pada berbagai perguruan tinggi Islam

dan Perguruan Tinggi umum di berbagai daerah di Indonesia. Di antara murid

Harun Nasution yang dapat disebutkan di dalam tulisan yang terbatas ini Prof. Dr.

Azyumardi Azra, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, dan

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dengan penjelasan sebagai berikut.

Melalui jabatannya sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama

dua periode (1998-2002) dan (2002-2006), Azyumardi Azra berhasil

mentransformasikan IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah. Transformasi yang

berdampak pada pengembangan kelembagaan, sarana prasarana, infrastruktur,

sumber daya manusia, dan lainnya ini terkait erat dengan gagasan, pemikiran dan

cita-cita Harun Nasution. Dalam berbagai perkuliahannya, Harun Nasution

misalnya menginginkan kembali menghidupkan spirit, dinamika dan keyaan Islam

dalam bidang ilmu, kebudayaan dan peradaban. Harun Nasution juga

mengatakan, bahwa di masa lalu tradisi keilmuan yang bersifat integrated,

terbuka dan rasional sangat berkembang dengan baik. Keadaan ini harus

dibangkitkan kembali dengan cara merubah IAIN (institut) menjadi UIN

(universitas). Implementasi gagasan dan pemikiran Harun Nasution ditambah

dengan gagasan pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemodernan dan

keindonesiaanini juga nampak dalam rumusan visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagaimana diketahui, bahwa visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah

Menjadi Universitas yang unggul dan terdepan, baik pada tingkat nasional

maupun internasional yang mengintegrasikan keislaman, keilmuan, kemodernan,

dan kemanusiaan. Namun demikian, Nurcholish pernah keberatan terjadinya

Page 40: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

25

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perubahan IAIN menjadi UIN ini dengan alasan yang tidak begitu jelas. Dari kabar

yang diperoleh, bahwa kekurang-setujuan perubahan IAIN menjadi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, karena beliau khawatir peran UIN dalam menghasilkan

lulusan ahli ilmu agama yang mumpuni dan diakui oleh masyarakat, baik pada

tingkat nasional maupun internasional akan memudar. Hal ini bisa didasarkan

pada pengalaman Nurcholish Madjid yang bisa mencapai sejumlah kompetensi

dalam menggali ilmu yang modern berdasarkan ilmu yang diberikan oleh UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui peran Azyumardi sebagai dosen, nara sumber

dan penulis buku, makalah dan lainnya yang bertemakan modernisme Islam,

demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan, kebangsaan, toleransi, radikalisme dan

lainnya, gagasan Harun Nasution makin berkembang. Namun demikian,

Azyumardi tidak sepenuhnya mencukupkan diri dengan gagasan Harun Nasution,

dalam berbagai aspeknya. Azyumardi misalnya tidak menginginkan adanya upaya

dogmatisasi atau sakralisasi gagasan dan pemikiran Harun Nasution. Azyumardi

misalnya mengajukan kritik terhadap Harun Nasution yang cenderung

menginginkan agar ajarannya diterima mahasiswa dan menghafalnya. Mata kuliah

di Pascasarjana yang dipimpin Harun Nasution misalnya mengajarkan mata kuliah

Filsafat Islam, Tasawuf Islam, Aliran Modern dalam Islam, dan Kalam dengan

menggunakan buku dan cara berfikir Harun Nasution. Pada saat Azyumardi Azra

jadi Direktur Pascasarjana, terjadi restrukturisasi mata kuliah di Pascasarjana

dengan model yang bersifat interdisipliner. Azyumardi tidak menggunakan

pendekatan subjek matter, atau pendekatan nama mata kuliah sebagaimana yang

dilakukan Harun Nasution, tetapi dengan merubah menjadi Kajian Islam (Islamic

Studies) yang didekatif dengan berbagai disiplin keilmuan, seperti sosiologi,

antropologi, sejarah, psikologi, ekonomi, kebudayaan, peradaban, dan lain

sebagainya. Azyumardi merubah orientasi dari yang semula Anglo Saxon Oriented

yang bercorak subjek matter oriented, menjadi Continental Oriented yang

berbasis pada pemberian kemampuan metodologis, atau dengan merubah dari

strategi memberikan ikan kepada mahasiswa, tetapi dengan strategi memberikan

kail kepada mahasiswa. Tidak hanya itu, Azyumardi juga melakukan

pengembangan ajaran Islam yang lebih kontekstual. Azyumardi misalnya bicara

tentang Islam dengan modernisasi, demokrasi, toleransi, hak-hak asasi manusia,

perdamaian dunia, mencegah ekstrimisme dan radikalisme. Dengan cara

demikian, nampak dari karakter Islam Mazhab Ciputat ini, yakni Mazhab yang

memberikan kebebasan kepada para pengikutnya untuk bersikap kritis, dan tidak

menjadikannya mazhab tersebut sebagai dogma atau ajaran yang diikuti tanpa

kritis. Hal ini dimaksudkan agar, mazhab tersebut tidak mematikan kreatifitas atau

Page 41: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

26

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tidak terjebak pada dogmatisme atau ortodoksi, sebagaimana yang pernah terjadi

dalam sejarah yang pengaruhnya masih terus berlangsung hingga sekarang.

Azyumardi Azra memiliki corak pemikiran Islam yang modern, demokratis,

moderat, toleran, inklusif, terbuka dan rasional. Pemikiran moderni Azyumardi

Azra antara lain nampak dalam bidang pemikiran Islam, pendidikan, dan tasawuf.

Melalui kajiannya dalam bidang sejarah dan sosial, Azyumardi (1999, h. 229)

misalnya menunjukkan, bahwa modernisasi pemikiran Islam sesungguhnya telah

ada akar-akarnya pada ulama di abad ke XVII dan XVIII. Temuannya ini, beliau

tuangkan dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara-Haramain Abad ke-XVII dan

XVIII. Dalam kaitan ini ia mengatakan, bahwa agama memberikan kepada manusia

sejumlah konsep mengenai kontruksi realitas yang didasarkan bukan pada

pengetahuan dan pengalaman empirik kemanusiaa itu sendiri, melainkan dari

otoritas ketuhanan. Itulah sebabnya lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan,

bahwa persoalan interaksi Islam dan budaya termasuk budaya Melayu,

Kalimantan, pada intinya melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya,

ketegangan antara doktrin agama yang dipercayai bersifat absolut karena

berasal dari Tuhan, dengan nilai-nlai budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia

yang tidak selalu sejalan dengan ajaran-ajaran ilahiyah. Dalam melakukan

modernisasi pemikiran Islam, Azyumardi (2002, h. 17) juga menyarankan tentang

perlunya melihat keragaman yang terjadi dalam memahami Islam. Menurutnya,

berbagai sarjana dan peneliti tertentu mendefinisikan Islam dengan menggunakan

kriteria formal yang sederhana, seperti penyebutan syahadat atau pemakaian

nama Islam, Sedangkan yang lain mendefinisikan Islam dengan cara yang lebih

sosiolog, dan suatu masyarakat akan dianggap Islam, jika Islam telah aktual,

memberikan prinsip-prinsip yang berfungsi secara aktual bagi segenap lembaga

sosial budaya dan politik.

Azyumardi (1999) juga menaruh perhatian besar terhadap kemajuan

pendikan Islam. Pada bukunya yang berjudul Pendidikan Islam Tradisi dan

Modernisasi Menuju Millenium Baru, Azyumardi berbicara tidak kurang dari dua

belas topik tentang pendidikan. Antara lain pendidikan Islam dan kemajuan sains,

ilmu dan tradisi keilmuan dalam masyarakat Islam, modernisasi pendidikan Islam

dan epistimologi ilmu, missi profesi dan pendidikan Islam, kebangkitan sekolag elit

Muslim, pesantren dan pembaharuan, surau, pembaharuan IAIN dan

pengembangan intelektual Muslim. Selanjutnya Azyumardi juga mencacat

berbagai keunikan pesantren di Indonesia dalam melaksanakan agenda

pembaharuannya. Ia misalnya mengatakan, bahwa modernisasi pendidikan

pondok pesantren di Indonesia tergolong unik, yaitu menerapkan pola menolak

Page 42: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

27

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sambil sedikit-sedikit menerima dengan cara yang halus dan tidak menimbulkan

goncangan. Modernisasi pendidikan pondok pesantren di Indonesia tidak sampai

menghilangkan pendidikan pesantren sebagaimana yang terjadi di Turki melalui

gerakan sekularisasi Kemal Attaturk, atau gerakan nasionalisasi pendidikan di

Mesir yang dilakukan Gamal Abdul Nasher. Terkait dengan pembaharuan

pendidikan Islam ini, Azyumardi mengarakan: bahasa dalam dua dasawarsa

menjelang millinium ketiga berbagai lembaga Islam mengalami perkembangan

dan pembaharuan yang cukup observable. Perkembangan itu pada sebagian

lembaga dapat dikatakan sebagai konsolidasi dan pemantapan lembaga-lembaga

dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman.

Contoh yang observable adalah madrasah dan pesantren yang mengalami

penyempurnaan melalui Nomor 2 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak

hanya itu, Azyumardi juga memandang, bahwa modernisasi pendidikan Islam,

dalam batas-batas tertentu, sesungguhnya telah terjadi pada zaman yang oleh

Harun Nasution disebut sebagai periode pertengahan antara abad ke 13 sd akhir

abad ke-18. Azyumardi (1995) melihat, bahwa modernisasi pendidikan agama

telah terjadi pada abad ke-17 dan 18 M, antara lain munculnya neo sufisme yang

mengkonsolidasikan atara tasawuf dan fikih yang semula bermusuhan,

keterlibatan para ulama dalam kehidupan pemerintahan; dan timbulnya gerakan

intelektual di kalangan ulama nusantara, dalam bentuk penulisan buku-buku

keagamaan Islam.

Selanjutnya gagasan pemikiran tentang demokrasi Azyumardi Azra, banyak

dihubungkan dengan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan Pancasila, bukan

demokrasi yang berkembang di Barat. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi

yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang menghargai kemanusiaan, persatuan

Indonesia, musyawarah mufakah dan ditujukan untuk terciptanya keadilan sosial.

Itulah sebabnya ketika berbicara tentang nasionalisme dalam hubungannya

dengan demokrasi, Azyumardi mengutip pendapat Soekarno yang mengatakan.

Nasio alis e kita… buka asio alis e ya g ti bul dari keso bo ga ba gsa belaka. Ia adalah nasionalisme yang lebar. Nasionalisme yang tumbuh daripada

pengetahuan atau susunan dunia dan riwayat. Ia bukanlah : Jinggo nasionalisme:

atau Chauvanisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme

ya g e eri a rasa hidup ya sebagai wahyu… asio alis e kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakas Tuhan dan membuat kita

hidup dalam roch (Azra, 1999, h. 100). Dalam konteks demokrasi di Indonesia ini,

Azyumardi menulis gagasannya itu dalam berbagai buku dan artikel di Indonesia.

Page 43: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

28

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ia misalnya mengatakan, bahwa demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah

demokrasi yang nilainya rendah, atau demokrasi yang cacat, karena masih

diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak terpuji, seperti mony politic, konspirasi,

transaksional dan sebagainya. Selanjutnya gagasan dan sikap moderat Azyumardi

Azra, pada sikapnya yang kurang suka pada ajaran Islam yang fanatik dan

sektarian. Yaitu ajaran Islam yang hanya membenarkan pahamnya sendiri, tidak

menghargai dan bahkan menganggap sesat ajaran Islam yang dianut orang lain.

Azyumardi menginginkan suatu pandangan Islam yang moderat, kompromistis,

toleran, damai dan terbuka. Dalam kaitan ini, Islam yang moderat dan toleran,

Azyumardi mengemukakan hasil observasi sosiologis dan historinya dengan

mengakatan: Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur

budaya lokal itu membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-

tempat lain, sering dianggap sebagai pinggiran, selain secara geografis, Indonesia

adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami Arabisasi, misalnya tidak

menggunakan huruf Arab sebagai bahasa nasionalnya (Madjid,1993, h. 67).

Selanjutnya, Komaruddin Hidayat, lahir di Magelang, pada tanggal tahun

1952. Ia pernah menjadi murid Harun Nasution semasa kuliah di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan kuliah di Universitas Indonesia dan di Jurusan Filsafat

(1984-1990) pada Middle East Technical University (MET). Selain itu ia juga

pernah menjabat sebagai Rektor UiN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua

periode (2006-2010), dan (2010-2014) adalah murid generasi awal dari Harun

Nasution. Selama menjabat sebagai Rektor, Komaruddin Hidayat selain

melanjutkan program yang dicanangkan Azyumardi Azra, juga melakukan

pengembangan kelembagaan, kerjasama, dan sebagainya. Sebagai dosen,

Komaruddin Hidayat, banyak berbicara tentang Islam yang lebih transformatif,

inklusif, kultural, kemanusiaan dan damai, dengan menggunakan pendekatan

filsafat dan psikologis. Gagasan dan pemikiran Komaruddin Hidayat yang sejalan

dengan gagasan dan pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid ini terjadi.

Kedekatan Komaruddin Hidayat dengan Harun Nasution terjadi ketika

Komaruddin Hidayat sebagai murid langsung dari Harun Nasution. Sedangkan

kedekatan Komaruddin Hidayat dengan Nurcholish Madjid terjadi ketika

Komaruddin Hidayat sebagai aktivitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang

Ciputat, dan sebagai instruktur di Paramadina yang dipimpin Nurcholish Madjid.

Komaruddin Hidayat juga tergolong aktif sebagai wartawan Majalah Panji

Masyarakat, dan kolumnis pada harian Umum Kompas.

Sementara itu, Prof. Dien Syamsuddin selain tercatat sebagai dosen pada

Fakultas Ushuluudin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga banyak berperan di

Page 44: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

29

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berbagai organisasi sosial keagamaan, dan berbagai lembaga strategis lainnya baik

di dalam maupun luar negeri. Di antaranya, ia pernah menjadi Ketua Umum

Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan sangat luas

pengaruhnya baik di dalam maupun luar negeri. Ia juga pernah menjabat sebagai

Ketua Majelis Ulama Indonesia, sebuah organisasi yang menghimpun para ulama

dalam rangka memberikan jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa

Indonesia dalam hubungannya dengan masalah keagamaan. Di tengah-tengah

kesibukannya, Dien Syamsuddin juga banyak memberikan gagasan dan pemikiran

melalui buku dan makalah yang disampaikannya dalam berbagai forum ilmiah,

konperensi, dan semacam baik di dalam maupun luar negeri. Dien Syamsuddin

banyak bicara tentang soal demokrasi, toleransi, penyebaran Islam damai, dan

solidaritas sosial.

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara lahir di Tangerang, pada tanggal 10 Februari

1963. Ia pernah menjadi murid Harun Nasution selama di IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dan orang yang amat dekat dengan Nurcholis Madjid, Mulyadhi

Kartanegara yang mendalami filsafat Islam, memiliki ide-ide modern yang berbasis

pada warisan khazanah intelektual Muslim pada zaman kejayaan Islam. Ia begitu

mendalam berbagai gagasan dan pemikiran para tokoh filsafat dan tasawuf Islam.

Gagasan dan pemikiran modernnya, ia menginginkan memajukan umat Islam

dengan cara memiliki wawasan al-Qur an sesuai dengan al-Qur an dan al-Sunnah.

Dengan menggunakan pendekatan filsafat dan tasawuf Islam yang sejalan dengan

al-Qur an, Mulyadhi Kartanegara menggagas tentang Integrasi ilmu dengan

menggunakan tauhid sebagai basis integrasi, prinsip utama integrasi ilmu, basis

integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, objek-objek ilmu, integrasi bidang

ilmu, metafisika; integrasi sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi

metode ilmiahm integrasi teoritis dan praktis, dan psikologi sebagai sebuah studi

kasus (Kartanegara, 2004). Upaya memperkenalkan integrasi ilmu melalui filsafat

ini dilakukan pula dengan cara menerjemahkan buku Sejarah Filsafat Islam yang

ditulis Madjid Fakhry dan kata pengantarnya oleh Nurcholish Madjid.

Transmisisi gagasan Harun Nasution juga terjadi melalui sejumlah muridnya

yang pernah kuliah di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

dipimpin oleh Harun Nasution. Mereka itu antara lain, Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA.

(Mantan Rektor UIN Alauddin, Sulawesi Selatan); Prof. Dr. Asafri Jaya Bakri

(Mantar Rektor IAIN Jambi); Prof. Dr. Hadi (Mantan Rektor IAIN Medan), Prof. Dr.

(Mantan Rektor Riau); Prof. Dr. Nanat (Mantan Rektor Bandung), Prof. Dr. Munzir

Haitami (Mantan Rektor IAIN Pontianak), Prof. Dr. (Mantan Rektor UIN Sunan

Ampel, Surabaya); Prof. Dr. Haitami (Mantan Rektor Serang-Banten), dan

Page 45: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

30

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sejumlah Rektor IAIN dan STAIN lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya di

sini. Melalui jabatan, peran dan tugas yang mereka mainkan, gagasan dan

pemikiran Harun Nasution dapat ditransmisikan. Mereka selain dapat melahirkan

berbagai kebijakan, inovasi, dan pengembangan studi Islam melalui jabatan dan

tugas yang mereka miliki, serta melalui karya tulis yang mereka lakukan, seperti

buku, artikel di Jurnal, dan lain sebagainya.

Gagasan dan pemikiran Harun Nasution juga didukung oleh atmofsir

akademik yang dikembangkan para pakar dan tokoh Islam baik di dalam maupun

luar negeri. Deliar Noer (lahir di Medan 1926) dosen sejarah dan politik pada

School of Modern Asian Studies University Griffith, Brisbane Australia yang

pikirannya sejalan dengan Harun Nasution, hingga akhirnya Harun Nasution

menarik Deliar Noer mengajar di Pascasasarjana yang dipimpin Harun Nasution di

Ciputat. Demikian pula Thomas W. Arnold (1977) penulis buku The Preaching of

Islam, Harun Nasution memberikan sambutan. Harun Nasution berkata: Sejarah

Islam sesudah Bagdhdad biasanya dijumpai dalam karangan-karangan kaum

muslimin. Pengarang-pengarang Islam sendiri belum memberikan pemahaman

yang semestinya pada periode sejarah Islam yang kurang dikenal ini. Gagasan

Harun Nasution ini juga sejalan dengan pemikiran Gustave L. von Grunebaum

(1975), sebagaimana terlihat dalam kata pengantarnya sebagai berikut: Ia

mengatakan: Tidak semua kaum orientalis mempunyai sikap negatif terhadap

Islam. Di antara mereka ada yang bersikap netral, bahkan ada pula yang bersikap

simpatik. Sikap negatif, netral dan simpatik yang mereka unjukkan itu tidak

terlepas dari kondisi dan situasi yang ada pada masyarakat di masa mereka

menulis .

Pikiran Harun Nasution juga sejalan dengan gagasan dan pemikiran Noel J.

Coulson (1987) dalam bukunya Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah yang

memuat 14 bab yang berbicara tentang terbentuknya hukum syari at, pemikiran

dan praktek hukum Islam di abad pertengahan, dan hukum Islam di masa modern.

Demikian pula John L. Esposito seorang Proffessor Studi Islam pada College The

Holly Cross yang juga pernah mengunjungi berbagai negara Islam di Asia, Iran,

Pakistan, Afghanistan, Philipina, Soviet Central, China, India, Malaysia dan

Indonesia. Demikian pula Fazlur Rahman (1983) yang menggagas pembaharuan

dalam Islam juga sejalan dengan gagasan Harun Nasution.

Sejumlah ulama dan pakar Islam di Indonesia yang walaupun tidak pernah

menjadi murid Harun Nasution, namun pikiran dan gagasannya sejalan dengan

Harun Nasution. Mereka itu antara lain Munawwir Sjadzali, H.M. Quraish Shihab,

Taufik Abdullah, Deliar Noer, Taufik Abdullah, Sutan Takdir Ali Syahbana, A.

Page 46: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

31

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baiquni, Muhamad Atho Mudzhar, dan masih banyak lagu. Munawwir Sjadzali,

mantan Menteri Agama Ri yang memiliki basis pendidikan pesantren dan

pendidikan modern di London, juga memiliki pandangan keislaman yang modern.

Yaitu pemikiran Islam yang rasional, berwawasan hermeneutik, melihat Islam

berdasarkan pada spiritnya yang bersifat universal, seperti keadilan, demokrasi,

kemanusiaan, dan lainnya. Sementara itu H.M. Quraish (1996) tamatan doktor

Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir dan pernah mengambil Post Doctore di MacGill

University, Canada, juga memiliki pemikiran modern yang berbasis pada analisis

kebahasaan al-Qur an dan bantuan ilmu-ilmu modern. Dalam bukunya Wawasan

Al-Qur’an, Quraish Shihab berbicara tentang berbagai hal, antara lain: al-Qur an,

Tuhan, nabi, takdir, kematian, hari akhir, keadilan dan kesejahteraan, makanan,

minuman, pakaian, kesehatan, pernikahan, syukur, halal bi halal, akhlak, manusia,

perempuan, masyarakat, umat, kebangsaan, ahli kitab, agama, seni, ekonomi,

politik, ilmu dan teknologi, kemiskinan, masjid, musyawarah, ukhuwah, jihad,

puasa, lailatul qadar, dan waktu. Sementara itu Taufik Abdullah (1983) banyak

berbicara tentang hasil-hasil penelitian tentang pembaharuan Islam. Muhammad

Kamal Hassan (1987), dalam bukunya Modernisasi Indonesia berbicara tentang

respon ideologi terhadap modernitas, respon ideologis terhadap pembangunan

nasional, golongan akomodisianis, perubahan politik, kaum reformis terhadap

pembaharuan, protes dan beda pendapat muslim di Indonesia. Sementara itu

Muhamad Atho Mudzhar (2003) dalam bukunya, Islam and Islamic Law in

Indonesia, berbicara tentang berbagai produk hukum di Indonesia yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, politik, dan sebagainya.

Sedangkan transmisi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid lebih

banyak terjadi melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 60-an,

Nurcholish Madjid pernah menjadi Ketua HMI Cabang Ciputat dan berkesempatan

merumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang mejadi materi utama

kaderisasi HMI dan selanjutnya mendasari berbagai buku lainnya yang ditulis

Nurcholish Madjid. Pikiran dan gagasan Nurcholish Madjid yang ada di HMI

Ciputat ini bertemu dan berkolaborasi dengan pikiran dan gagasan Harun

Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat) sebagaimana disebutkan di

atas. Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan lainnya selain sebagai murid

Harun Nasution di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga sebagai aktivitas

HMI Cabang Ciputat. Melalui berbagai kader HMI baik pada tingkat Ciputat

maupun nasional, gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid dapat ditransmisikan.

Selain itu, gagasan Nurcholish Madjid juga disalurkan melalui murid-muridnya di

Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Yayasan Paramadina dan

Page 47: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

32

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Universitas Paramadina. Melalui berbagai karya tulisnya mereka ikut

mengembangkan Islam Mazhab Ciputat. Tradisi penggunaan nama kota atau

tempat sebagai mazhab sudah lama digunakan. Di kalangan para ahli fikih

misalnya dikenal nama mazhab Kufah dan Bashrah. Di Kufah ada Mazhab Hanafi

yang banyak berpegang pada al-ra’yu (akal sehat) dalam bentuk qiyas (analogi)

dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab Kufah, maka

yang ditimbulkan kesan rasionalnya. Sebaliknya Mazhab Bashrah yang kurang

berani menggunakan al-ra’yu (akal sehat) atau banyak menggunakan dalil naqli

(wahyu), dalam menetapkan hukum. Sehingga ketika orang menyebut Mazhab

Bashrah, maka yang ditimbulkan kesan tradisionalnya. Demikian pula, ketika

orang menyebut Islam Mazhab Ciputat, maka yang terkesan adalah rasional,

moderat, inklusif, kontekstual, aktual, integrated, substantif, kultural, holistik dan

komprehensif.

C. Penutup

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, maka dapat

ditarik kesimpulan dan catatan penutup sebagai berikut.

Pertama, Islam Mazhab Ciputat adalah pemikiran dan gagasan tentang

keislaman yang lahir di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan organisasi-

organisasi yang berada di sekitarnya dengan ciri-ciri rasional, toleran, moderat,

demokratis, aktual, kontekstual, dinamis, progressif dan inovatif. Islam Mazhab

Ciputat terkait erat dengan isu kemoderan, kemanusiaan dan keIndonesia. Islam

Mazhab Ciputat selanjutnya menjadi ikon dan visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yaitu menjadi perguruan tinggi yang unggul dan terdepan dalam

mengintegrasikan keislaman, kemanusiaan, kemoderan dan keindonesiaan.

Kedua, Islam Mazhab Ciputat digagas oleh dua tokoh utamanya, yaitu

Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Kedua tokoh ini selain memiliki latar

belakang keluarga yang agamis dan berbasis santri juga memiliki pendidikan

dalam dan luar negeri yang unggul, serta memiliki bakat, minat serta kemampuan

yang tinggi untuk menggali ajaran Islam dalam rangka memajukan Islam, umat

Islam, bangsa, negara, bahkan dunia.

Ketiga, Islam mazhab Ciputat lahir dilatar belakangi oleh kegalauan dari

sejumlah tokoh agama, pemimpin politik, dan pemimpinan nasional yang memiliki

keprahatinan atas keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan,

sebagai akibat dari adanya pemahaman Islam yang sempit, sektarian, dikhotomis,

jumud, eksklusif, normatif dan ideologis sehingga Islam tidak dapat

Page 48: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

33

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diartikulasikan, dikontekstualisasikan, diaplikasikan dan transformasikan ke dalam

berbagai kehidupan.

Keempat, Islam mazhab Ciputat bertransmisi luas baik pada tingkat lokal,

nasional maupun internasional. Hal ini terjadi melalui para mahasiswa yang kuliah

di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bergabung di berbagai organisasi

kemahasiswaan yang berada di sekitar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat,

lembaga-lembaga kajian keislaman, forum ilmiah, buku, tulisan di surat kabar,

majalah, dan jurnal ilmiah, siaran di telivisi, kajian agama, khutbah, dan lain

sebagainya.

Kelima, Islam Mazhab Ciputat diakui telah berperan besar dalam

memperluas pemahaman Islam yang rasional, moderat, toleran, damai, inklusif,

progressif dan inovatif. Islam Mazhab Ciputat telah berhasil membangun

hubungan yang harmonis antara agama dan negara, agama dengan isu-isu

demokrasi, kemanusiaan, kemoderanan dan Keindonesiaa. Dengan karakter yang

demikian, Islam Mazhab Ciputat diakui telah berperan besar dalam mewujudkan

hubungan yang harmonis antara agama dan negara, umat dan pemerintah,

kehidupan yang harmonis antar dan inter umat beragama di Indonesia,

mengeliminasi paham Islam yang sektarian, eksklusifm ekstrim dan radikal. Islam

Mazhab Ciputat telah berkontribusi dalam mentransformasikan Islam ke dalam

kehidupan bangsa Indonesia, serta mewujudkan kehidupan yang rukun, aman,

dan damai di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penghargaan negara berupa

pemberian Bintang Mahaputera Utama kepada Prof. Dr. Harun Nasutian, Prof. Dr.

Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

D. Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. (1989) Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia.

Jakarta: LP3ES

Abdullah, Taufik. (1983) Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu

Sosial, CV Rajawali

Ahmad, Akbar. (2003) Discovering Islam Making Sense of Muslim History and

Society. London and New York: Routledge

Ahmad, Ziauddin. (1996) Influence Islam on Wolrd Civilization. Delhi: Adam

Publication & Distributors

Arnold, Thomas W., (1977) The Preaching of Islam (Sejarah Da’wah Islam).

Jakarta: Widjaya

Azra, Azyumardi. (1991) Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad ke- XVII dan XVIII, Bandung:Mizan

Page 49: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

34

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Azra, Azyumardi. (1996) Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme,

Modernisme hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina

Azra, Azyumardi. (1996) Islam in The Indonesian World an Account of Institutional

Formation, Bandung: Mizan

Azra, Azyumardi. (1999) Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan,

Jakarta: Raja Grafindo Persada

Azra, Azyumardi. (1999) Pendidikan dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Azra, Azyumardi. (2002) Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung:

Mizan

Azra, Azyumardi. (2000) Islam Substantif, Agar Umar Islam Tidak Jadi Buih,

Bandung: Mizan,

Cooper, John, Ronald Wettler. (2000) Mohammed Mahmoud, (ed), Islam and

Modernity, Muslim Intellectuals Respons, London: New York: I.B Tauris

Publishers

Coulson, Neol J., (1987) Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M

Esposito, John, L., (1987) Islam In Asia, Religion, Politics, & Society, New York:

Oxford University Press

Fuller, Graham. (2010) A World Without Islam, New York, Boston, London: Little,

Brown and Company

Grunebaum, Gustave L. von, (1975) Islam Kesatuan dalam Keragaman, Cetakan ke

2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Lembaga Studia Islamika

Hasbullah, Moeflich. (2000) Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LSAF-IRIS,

Cedesindo, IIITI

Hassan, Muhammad Kamal. (1987) Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan

Muslim, (terj.) Ahmadie Thahir. Ciputat-Jakarta: Lingkaran Studi Islam

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, (2004) Menjadi Indonesia, 13 Abad

Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Bandung: Mizan

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, (2010), Psikologi Beragama

Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun, Jakarta: Hikmah

Horani, Albert. (2004) Sejarah Bangsa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan

Jabali, Fuad, dan Jamhari. (2003) IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:

UIN Jakarta Press

Kamaluddin, Laode M., (2010) on Islamic Civilization, Menyalakan Kembali Lentera

Peradaban Islam yang Sempat Padam. Jakarta:Unissula-Republikata

Kartanegara, Mulyadhi. (2005) Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik.

Bandung: Arasy Mizan dan UIN Jakarta Press

Kurzman Charles. (ed), (2001) Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer

tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina

Madjid, Nurcholish. (1979) Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam

Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Page 50: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

35

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Madjid, Nurcholish. (1993) Islam Kemodernan dan Keindonesia. Cetakan ke V.

Bandung: Mizan

Madjid, Nurcholish. (1992) Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah Telaah Kritis

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cetakan ke II. Jakarta:

Yayasan Wakaf Paramadina

Madjid, Nurcholish. (1995) Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina

Madjid, Nurcholish. (1995) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cetakan ke V.

Bandung: Mizan

Madjid, Nurcholish. (1995) Islam, Agama, Doktrin dan Peradaban. Jakarta:

Paramadina

Mudzhar, Mohamad Atho. (2003) Islam and Islamic Law in Indonesia, A Socio

Historical Approach. Jakarta: Office of Religious Research Development

and Training, Ministry of Religious Affair, Republik of Indonesia

Nasr, Sayyed Hossein. (1995) Menjelajah Dunia Modern Bimbingan untuk Kaum

Muda Muslim. Cetakan ke II. Bandung: Mizan

Nasuhi, Hamid, (ed.), (2007) Dari Ciputat Cairo hingga Columbia, UIN Jakarta

Menembus Masyarakat Global, Cetakan ke II. Jakarta: UIN Jakarta Press

Nasution, (1975). Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.

Jakarta: Bulan Bintang

Nasution, (1978). Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cetakan ke II. Jakarta:

Bulan Bintang

Nasution, (1979). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II. Jakarta: UI

Press

Nasution, (1980). Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun

Nasution. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun

Nasution dan LSAF

Nasution, (1985). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press

Nasution, (1986). Filsafat Agama. Jakarta: UI Press

Nasution, (1986). Teologi (Ilmu Kalam). Jakarta: UI Press

Nasution, (1995). Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Islam

Rasional. Cetakan ke III. Bandung: Mizan

Nata, Abuddin. (2004) Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.

Jakarta: Raja Grafindo Persada

Deliar, (1980) Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3Esm

Poerwadarmina, W.J.S., (1991) Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan ke XII.

Jakarta: Balai Pustaka

Rahman, Yusuf, (ed), (2006) Islam and Society in Contemporary Indonesia.

Jakarta: Depag, CIDA, McGill University, Canada, PPs-IIS UIN Syarif

Hidayatullah

Rahman, Fazlur, (1983) Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka

Page 51: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata (2018), Islam Madzhab Ciputat, hal. 2 - 36

36

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Renand, John. (1998) Windows on the House of Islam Muslim Sources on

Spirituality and Religious Life. Berkeley, Los Angeles, London:University of

California Press

Rosyada, Dede, (2016) Islam dan Sains Upaya Pengintegrasian Islam dan Ilmu

Pengetahuan di Indonesia. Jakarta: RM Books

Shihab, M. Quraish, (1996) Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai

Persoalan. Cetakan ke III. Bandung: Mizan

Stoddard, L., (1964) Dunia Baru Isllam. Jakarta: Gunung Agung

Tarigan, Azhari Akmal, (2007) Islam Mazhab HMI Tafsir Tema Besar Nilai dasar

Perjuangan (NDP). Jakarta: Kultura GP Press Group

Tim Penulis, (1995) Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Islam

Rasional. Cetakan ke II. Bandung: Mizan

Wahid, Abdurrahman. (2006) Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat

Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Foundation

Wahid, Abdurrahman. (2007) Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia &

Transformasi Kebudayaan. Jakarta:The Wahid Institute

Wehr, Hans. (1974) A Dictionary of Modern Written Arabic, (ed), by. J. Milton

Cowan. Third Printing Beirut: Librarie Du Liban; and London: MacDonald &

Evan Ltd

Yatim, Badri, (1994) Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke II. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Yatim, Badri, (1999) Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Cetakan ke II. Jakarta:

Logos Wacana Ilmu

Yatim, Badri dan Nasuhi, Hamid (ed), (2002) Membangun Pusat Keunggulan Studi

Islam Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-

2002. Jakarta: IAIN Jakarta Press

Page 52: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

37

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan Akhlak dalam Tatanan Masyarakat

Islami

Achmad Gholib

Pendidikan Agama Islam - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan

keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam.

Masyarakat Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul

karimah, persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan

kemerdekaan. Guna membangun tatanan masyarakat Islami

sebagaimana diharapkan, terdapat beberapa hal yang mesti

dipersiapkan, antara lain :

Pertama, menyiapkan masyarakat yang menempatkan kehendak Allah

diatas segalanya. Masyarakat yang seperti ini menyadari sepenuhnya

bahwa makna terdalam dari kalimah tauhid lailaha illalloh (tidak ada

Tuhan selain Allah) adalah bahwa hanya Allah yang penting, yang utama,

yang ujung dari segala ujung. Kesadaran semacam ini penting, karana

dalam kehidupan nyata, kendati banyak orang mengaku hanya

menuhankan Allah, tetapi realitasnya tidak sedikit yang

menuhankan selainNya. Kedua, menyiapkan masyarakat yang

menekankan prinsip ukuwah dan persaudaraan. Allah swt berfirman

dalam QS. 49 : 10, Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara,

karena itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua

saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat

rahmat. Ketiga, menyiapkan masyarakat bersatu. Implikasi lain yang

ditimbulkan oleh semangat ukuwah adalah munculnya kesadaran

akseptasi (kesediaan menerima keberadaan kelompok lain), apresiasi

Page 53: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

38

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(menghargai keyakinan kelompok lain) dan koeksistensi (kesediaan

untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain), tiga

sikap ini pada gilirannya akan mengantarkan masyarakat pada satu

tahap kedewasaan yang dengan lapang dada menerima keberagaman

atau kemajemukan sebagai sunatullah. Keempat, menyiapkan

masyarakat berkeadilan. Hal lain yang perlu dipersiapkan dalam rangka

mewujudkan masyarakat Islami adalah tegaknya keadilan di berbagai

sektor kehidupan. Dalam banyak riset ditemukan bahwa ketidak adilan

merupakan faktor utama timbulnya keributan kemanusiaan. Ketidak

adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial

memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Kelima,

menyiapkan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, untuk

mewujudkan masyarakat Islami hal yang paling utama disiapkan adalah

adanya masyarakat muttaqin. Yakni masyarakat yang imtitsalu

awamirillah wajtinabu nawahihi (melaksanakan semua perintah Allah

dan menjauhi laranganNya).

Kata Kunci: Masyarakat Islami, Tatanan

A. Pendahuluan

Keislaman masyarakat Indonesia pada umunya menjadi muslim karena

ketururunan yaitu karena kedua orang tua (ayah ibunya) muslim, bukan diawali

dengan keyakinan hati dan pengikralan rukun Islam yang pertama yaitu

pengucapan dua kalimat syahadat. Sedangkan muslim yang haq atau muslim yang

benar (muslim sejati), ialah muslim yang melalui pengikraran dua kalimat

syahadat, namanya mengikarkan bayiat ke hadapan Allah, disaksikan oleh minimal

dua orang muslim yang haq yang lain (muslimin yang sudah berbayiat). Berbayiat

ini kita temukan dalam Surat Al Haj ayat 78:

ل ين م في ي م جعل ع كم جت ه في الله حقه ج ه هيم ه ج ب م ه أبي ج م من حه ل ى ء ع ن ش ت م ي ي ع س ش ه ل في ه لي ل ين من ق س ل كم ه قي س ف

لك لله ه م عت ب ك ه ل آت هل ي )ل ه ل نعم لى ل عم ( م ف

Page 54: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

39

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang

sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan

untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu

Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari

dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas

dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka

Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali

Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-

baik penolong

Selanjutnya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya belajar mengenal

Islam biasanya diawali melalui menngaji kepada kiyahi,tuan guru,ustadz dan

lainnya di masjid, langgar,dan surau belajar membaca al-Quran. (informal),

sebagian ada yang formal melalui pondok pesantren, atau sekolah/madrasah, dan

yang beruntung bisa sampai di Perguruan Tinggi. Berlatar belakang pengetahuan

yang demikian tentunya akan tidak mudah untuk bisa mengetahui Islam secara

mendalam dan dalam koredor tatanan masyarakat Islami.

B. Pembahasan

Pengertian Akhlak

Secara bahasa (etimologi) Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim

mashdar (bentuk infinitif) dari kataakhlaqa, yukhliqu, ikhlâqan, sesuai dengan

wazan tsulasi mazid af ala, yuf ilu, if âlan, yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-

thabi ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al- adat (kebiasaan, kelaziman) al-

muru ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama) (Shaliba, 1978, h. 539; Ma’luf,

h. 194; Poerwadarminta, 1991, h. 19).

Namun dalam hal ini, kata akhlaq dari bentuk infinitif akhlaqa masih kurang

tepat, pasalnya isim mashdar dari akhlaqa adalah ikhlâqan bukan akhlâqan.

Sehingga muncul penadapat baru yang mengatakan bahwa akhlak tergolong

kedalam isim jamid (bentuk isim yang tidak memiliki asal kata) atau ghoir

musytaq. Jadi, kata akhlak merupakan bentuk kata yang tidak memiliki akar kata

dan bentuk kata tersebut memang sudah ada seperti demikian. Dengan pendapat

terakhir ini arti kata akhlak secara bahasa (etimologi) masih sama seperti

pendapat yang pertama.

Page 55: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

40

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Al-Akhlaq merupakan bentuk plural dari kata khuluq yang digunakan untuk

mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia.Kata ini

terdiri atas huruf Kha-la-qa yang bisa digunakan untuk menghargai sesuatu.

Ar-Raqib menyatakan, pada dasarnya, kata al-khalqu, al-khulqu, dan al-

khuluqu memiliki makna yang sama, al-khulqu lebih dikhususkan utuk bentuk yang

dapat dilacak panca indra, sedangkan al-khuluqu dikhususkan untuk kekuatan dan

tabiat yang bisa ditangkap oleh mata hati, Allah SWT. berfirman :

ق عظيم ) ى خ (نهك لع

Artinya: Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (Qs.

68: 4).

Akhlaq mulia di dalam ayat ini, sebagaimana dikemukakan Ath-Thabari,

bermakna tatakrama yang tinggi, yaitu tatakrama al-Qur’an yang telah Allah

tanamkan didalam jiwa rasul-Nya.Tatakrama ini tercermin melalui Islam dan

ajarannya.Makna ini diriwayatkan Ibnu Abbas ketika menjabarkan makna ayat

tersebut, yaitu dengan memeluk kepercayaan yang agung, dalam hal ini ialah

Islam . Mujahid mengatakan yang serupa dalam menafsirkan firman Allah swt.

tersebut ia berkata, yaitu beragama yang agung.

Diriwayatkan juga bahwa ketika Ummul Mukminin Aisyah r.a., ditanya

Sahbat Qatadah r.a. mengenai akhlak Nabi Saw., ia menjawab, Akhlak Rasulullah

adalah Al-Quran (HR. Ahmad; hadits shahih). Qatadah mengatakan bahwa akhlak

itu seperti apa yang diterangkan di dalam Al-Qur’an (Ghozali, 2005, h. 7).

Secara terminologi, akhlak dapat didefinisikan berdasarkan berbagai

pendapat dari para tokoh pemikir akhlak. Seperti diungkapkan oleh Al-Jahizh

mengatakan bahwa akhlak adalah jiwa seorang yang selalu mewarnai setiap

tindakan dan perbuatannya, tanpa adanya pertimbangan ataupun keinginan.

Dalam beberapa kasus, akhlak ini sangat meresap hingga menjadi watak atau

karakter seseorang. Namun, dalam kasus yang lain, akhlak ini merupakan

perpaduan dari hasil proses latihan dan kemauan keras seseorang. Sifat

dermawan, misalnya, bisa jadi telah tertanam dalam diri seseorang sebagai hasil

usaha membiasakan diri yang terus menerus tanpa henti untuk bersikap

demikian. Kondisi seperti itu juga berlaku bagi akhlak yang lain, seperti berani,

penyayang, selalu menjaga kesucian, dan bersikap adil .(Mahmudi, 2003, h. 6).

Page 56: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

41

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ibnu Miskawih (1934) sebagai pencetus Teori Pertengahan dan Filsafat,

mengatakan akhlak adalah:

ل من غي لى أفع عي ل فس ي ح ل ف ل

Artinya: Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk

melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan

Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Ghazali mengatakan bahwa akhlak

adalah :

س ع فس ل ي ع عن هي فى لى ف ج ل يس من غي ح لأفع بس ت

Artinya: Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-

macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran

dan pertimbangan. (al-Ghozali, t.t, h. 56).

Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para tokoh pemikir akhlak diatas

tidak menunjukkan pendapat yang saling bertentangan, melainkan terdapat

kemiripan dan saling melengkapi. Dengan demikian, dalam mengartikan akhlak

secara istilah dapat kita temukan lima ciri yang mengacu pada perbuatan yang

dapat dikatagorikan akhlak :

a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang sudah tertanam kuat dalam jiwa

seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian.

b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah (spontan),

tanpa memerlukan pemikiran.

c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang

tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh,

bukan karena sandiwara.

e. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar hanya karena

Allah SWT.atau ikhlas semata-mata karena-Nya.

Tujuan Pendidikan Akhlak

Akhlak memang disebut juga sebagai naluri manusia, namun akhlak juga

bisa dipelajari bahkan bisa dididik agar seseorang mempunyai akhlak yang baik.

Karena bagaimanapun manusia layaknya kertas putih tanpa coretan, coretan awal

Page 57: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

42

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan seterusnya-lah yang akan menentukan kertas itu berisi coretan baik atau pun

buruk. Maka para ahli bersepakat bahwa akhlak haruslah mendapatkan

pendidikan sehingga menjadi manusia yang berakhlak baik. Mata pelajaran aqidah

akhlak berfungsi memberikan kemampuan dan ketrampilan dasar kepada peserta

didik untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan

pengalaman akhlak Islami dan nilai-nilai keteladanan dalam kehidupan sehari-hari

sebagai pengamalan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. (Departemen Agama RI,

2001, h. 9)

Adapun tujuan pendidikan akhlak secara umum yang dikemukakan oleh

para pakar pendidikan Islam adalah sebagai berikut :

1. Tujuan pendidikan akhlak menurut Ahmad amin yang dikutip oleh Abudin

Nata dalam bukunya Akhlak tasawuf:

Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya menyebabkan

kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagian yang baik dan

sebagian perbuatan lainnya sebagian yang buruk. Bersikap adil termasuk

baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang

kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang

termasuk perbuatan buruk. (Nata, 2006, h. 13)

Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak

bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia

dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap yang baik

ia berusaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk

menghindarinya.

2. Tujuan pendidikan akhlak menurut M. Athiyah al Abrasyi :

Tujuan pendidikan budi pekerti adalah membentuk manusia yang

berakhlak (baik laki-laki maupun wanita) agar mempunyai kehendak yang

kuat, perbuatan-perbuatan yang baik, meresapkan fadhilah (kedalam

jiwanya) dengan meresapkan cinta kepada fadhilah (ke dalam jiwanya)

dengan perasaan cinta kepada fadhilah dan menjauhi kekejian (dengan

keyakinan bahwa perbuatan itu benar-benar keji). (Al Abrasy, 1992, h. 103)

3. Tujuan pendidikan akhlak menurut Hery Noer Aly :

Tujuan umum pendidikan islam yaitu berusaha mendidik individu

mukmin agar tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah,

sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat . (Aly, 2008, h.

142). Oleh karena itu untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan

Page 58: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

43

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pendidikan yang mengarah pada perilaku yang baik dan benar harus

diperkenalkan oleh para pendidik

Dari beberapa rumusan tentang tujuan pembentukan akhlak di atas,

dapat dipahami bahwa inti dari tujuan pendidikan akhlak adalah untuk

menciptakan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan sempurna

memiliki amal dan tingkah laku yang baik, baik terhadap sesama manusia,

sesama makhluk maupun terhadap Tuhannya agar mendapat kebahagiaan

hidup di dunia dan akherat. Tujuan di atas selaras dengan tujuan pendidikan

Nasional yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional

No. 20/Th. 2003, bab II, Pasal 3 dinyatakan bahwa : Pendidikan Nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab . Undang-undang RI

No. 20 Tahun 2003 tersebut mengisyaratkan bahwa fungsi dan tujuan

pendidikan adalah sebagai usaha mengembangkan kemampuan serta

meningkatkan mutu pendidikan dan martabat manusia baik secara

jasmaniah maupun rohaniyah.

Ruang Lingkup Akhlak

Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika. Etika dibatasi

oleh sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal ini belum tentu terjadi

pada lingkungan masyarakat yang lain. Etika juga hanya menyangkut perilaku

hubungan lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang pesisir, orang

pegunungan dan orang keraton akan berbeda, dan sebagainya. Akhlak

mempunyai makna yang lebih luas, karena akhlak tidak hanya bersangkutan

dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.

Akhlak menyangkut berbagai aspek diantaranya adalah hubungan manusia

terhadap Allah dan hubungan manusia dengan sesama makhluk (manusia,

binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa).

Berikut upaya pemaparan sekilas tentang ruang lingkup akhlak adalah:

Page 59: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

44

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Akhlak terhadap Allah, Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan

kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Adapun perilaku yang

dikerjakan adalah:

Bersyukur kepada Allah: Manusia diperintahkan untuk memuji dan

bersyukur kepada Allah karena orang yang bersyukur akan mendapat

tambahan nikmat sedangkan orang yang ingkar akan mendapat siksa.

Meyakini kesempurnaan Allah: Meyakini bahwa Allah mempunyai sifat

kesempurnaan. Setiap yang dilakukan adalah suatu yang baik dan terpuji.

Taat terhadap perintah-Nya: Tugas manusia ditugaskan di dunia ini adalah

untuk beribadah karena itu taat terhadap aturanNya merupakan bagian dari

perbuatan baik.

2. Akhlak terhadap sesama manusia, Banyak sekali rincian tentang perlakuan

terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal itu tidak hanya berbentuk

larangan melakukan hal-hal yang negatif seperti membunuh, menyakiti badan,

atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga menyakiti hati

dengan jalan menceritakan aib sesama. Di sisi lain, manusia juga didudukkan

secara wajar. Karena nabi dinyatakan sebagai manusia seperti manusia lain,

namun dinyatakan pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu Illahi.

Atas dasar itu beliau memperoleh penghormatan melebihi manusia lainnya.

3. Akhlak terhadap lingkungan, yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala

sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan

maupun benda-benda tak bernyawa. Dasar yang digunakan sebagai pedoman

akhlak terhadap lingkungan adalah tugas kekhalifahannya di bumi yang

mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar setiap

makhluk mencapai tujuan pencitaannya. (Shihab, 2000, h. 261-270)

Manfaat Mempelajari Akhlak

Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah agar manusia berada dalam

kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan

oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.

Proses pendidikan atau pembentukan akhlak bertujuan untuk melahirkan

manusia yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia akan terwujud secara kukuh

dalam diri seseorang apabila setiap empat unsur utama kebatinan diri yaitu daya

akal, daya marah, daya syahwat dan daya keadilan, Berjaya dibawa ke tahap yang

Page 60: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

45

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

seimbang dan adil sehingga tiap satunya boleh dengan mudah mentaati kehendak

syarak dan akal. Akhlak mulia merupakan tujuan pokok pembentukan akhlak Islam

ini. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-

nilai yang terkandung dalam al-Qur’an.

Secara umum Ali Abdul Halim Mahmud menjabarkan hal-hal yang termasuk

akhlak terpuji yaitu:

Mencintai semua orang. Ini tercermin dalam perkataan dan perbuatan.

Toleran dan memberi kemudahan kepada sesama dalam semua urusan dan

transaksi. Seperti jual beli dan sebagainya

Menunaikan hak-hak keluarga, kerabat, dan tetangga tanpa harus diminta

terlebih dahulu.

Menghindarkan diri dari sifat tamak, pelit, pemurah dan semua sifat tercela.

Tidak memutuskan hubungan silaturahmi dengan sesama.

Tidak kaku dan bersikap keras dalam berinteraksi dengan orang lain.

Berusaha menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. (Mahmud, 2004, h. 159)

Pentingnya Pendidikan Akhlak

Sangat penting sekali mempelajari ilmu akhlak karena Ilmu akhlak

mempunyai banyak tujuan-tujuan yang memberi manfaat bagi manusia,

diantaranya :

1. Akhlak bertujuan membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia.

Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji,

baik ketika berhubungan dengan Allah SWT. dengan sesama manusia,

makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan.

2. Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia

diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran.

Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas

akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena

itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh akhlak agar manusia terbebas atau

terhindar dari kehidupan yang sesat.

3. Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang

kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak

mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.

4. Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan

mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang

Page 61: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

46

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu

pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk

kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan

dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak

disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalah gunakan

yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.

5. Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya

yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk

melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada

akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan

dirinya

6. Akhlak juga merupakan mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia

dengan makhluk lainnya. Setiap orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk,

soal halal dan haram. Karena yang berperan dan berfungsi pada diri masing-

masing manusia adalah elemen syahwat (nafsu) nya yang telah dapat

mengalahkan elemen akal pikiran mengalahkan nafsunya, maka dia

derajatnya di atas malaikat

Adapun manfaatnya ilmu akhlak setidaknya memberikan pandangan

kepada setiap individu untuk (1) mengetahui sisi baik dan buruk pada diri sendiri,

(2) tidak mudah terguncang oleh perubahan situasi, (3) tidak mudah tertipu oleh

fatamorgana kehidupan dan (4) dapat menikmati hidup dalam segala keadaan.

Jadi pendidikan akhlak adalah proses perubahan tingkah laku menuju

pendewasaan, seseorang agar menjadi orang yang berpengetahuan, iman, taqwa

dan berbudi pekerti luhur serta bertanggung jawab. terhadap diirinya, keluarga

agama,bangsa dan negara.

Tatanan Masyarakat Islami

Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan

keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam. Masyarakat

Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul karimah,

persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna

membangun tatanan masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat

beberapa hal yang mesti dipersiapkan, antara lain:

Pertama, menjadikan masyarakat yang menempatkan kehendak Allah diatas

segalanya.

Page 62: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

47

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Masyarakat yang seperti ini menyadari sepenuhnya bahwa makna terdalam

dari kalimah tauhid lailaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) adalah bahwa

hanya Allah yang penting, yang utama, yang ujung dari segala ujung. Kesadaran

semacam ini penting, karana dalam kehidupan nyata, kendati banyak orang

mengaku hanya menuhankan Allah, tetapi realitasnya tidak sedikit yang

menuhankan selainNya. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman :

ح ين آم أش له م كحب الله ن ه من يته من الله أن يح ل ين من له ي ل لله لع ) ي ه الله ش أ يع ه لله ج لق ه لع أ ي )

Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah

tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka

mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada

Allah Sekiraya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat,ketika mereka melihat

azab (pada hari kiamaat), bahwa kkekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa

Allah sangat besar azab-Nya(niscaya mereka menyesal) (Qs. 2: 165)

Ketika seseorang menganggap hanya Allah yang penting, maka dirinya

selalu menempatkan kehendak Allah diatas segalanya, mereka melakukan hijrah

dari penghambaan kepada sesama manusia pada penghambaan kepada Allah

semata, dari perhatian kepada dirinya menuju perhatian sepenuhnya kepada

Allah, dari ketergantungan pada materi kepada ketergantungan pada Allah.

Karena yang penting hanyalah Allah, maka selainNya menjadi tidak

penting, seperti : jabatan, ketenaran, perbedaan faham dan segala macam

rumbai-rumbai duniawiyah lainnya. Bagi mereka, kenikmatan bersama Allah jauh

lebih berharga dibanding apa saja yang ada di dunia ini. Implikasi selanjutnya

adalah mereka menyerahkan semua persoalannya kepada Allah dan yakin

sepenuhnya terhadap janji janji Allah, ridla atas segala yang terjadi yang menjadi

keputusan Allah, berprasangka baik kepadaNya dan menunggu dengan sabar

pertolonganNya. Inilah hal pertama yang mesti dipersiapkan dalam upaya

mewujudkan masyarakat Islami.

Kedua, menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah dan

persaudaraan.

Allah swt berfirman :

م إ ه تهق الله لع م ي ح بين أخ ص خ ف م ل ح )نه (ت

Page 63: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

48

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artinya : Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, karena itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah

terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat . (Qs. 49: 10)

Mengingat vitalnya posisi ukuwah sebagai sendi bangunan masyarakat

Islami, dalam sebuah riwayat Nabi saw bersabda yang artinya : Tahukah kalian

amal yang lebih besar pahalanya dari sholat dan puasa ? Tidak, jawab sahabat,

lalu Nabi bersabda : engkau damaikan orang orang yang bertengkar, engkau

sambung tali silatur rahiem yang terputus dan engkau jembatani berbagai

kelompok Islam yang bertikai serta engkau kukuhkan ukuwah diantara mereka.

(HR Buhori).

Posisi ukuwah disebut vital, karena dari ukuwah akan lahir semangat

persaudaraan sejati dimana satu sama lain saling mencintai, saling menguatkan

dan saling menolong. Dalam banyak riwayat Nabi saw menegaskan Tidak

beriman seseorang, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai

dirinya sendiri (Hr. Ibnu Majah) . Dalam riwayat lain disebutkan Persaudaraan

orang muslim yang satu dengan yang lain Ibarat satu bangunan, yang satu

menguatkan yang lainnya. (HR Ibnu Hibban)

Salah satu Implikasi dari semangat ukuwah adalah memberikan kebebasan

kepada semua pihak untuk berkreasi sesuai keyakinan dan kompetensinya masing

masing, ia jauh dari berbagai bentuk pemaksaan. Dalam firman Allah ditegaskan :

ش ل يهن ت ل ين ق ك في ل لع سك ب ست لله فق من ب ي غ ه ل ب ف ن ي لغي ف من يم ) يع ع الله س نف ل ثقى ل (ل

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat Barang

siapa ingkar kepada Thahut dan beriman kepada Allah, maka sungguh mereka

telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah

Maha mendengar, Maha Mengetahui .(Qs. 2: 256)

Keanekaragaman yang ada tidaklah menjadi penghalang bagi terwujudnya

ukuwah, tetapi sebaliknya dengan keberagaman tersebut, satu sama lain

diharapkan termotivasi untuk berkompetisi positif dalam kebaikan. Allah

berfiman:

Page 64: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

49

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

م أمه ء الله لجع ش يع ل م ج جع لى الله م ي ل ق ست كم ف كم في م آت ن لي ل ح ف ) ت تم فيه ت م ب ك (في

Artinya : Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu

umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya

kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan Hanya kepada Allah

kamu semua kembali lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang

dahulu kamu perselihkan . (Qs. 5: 48)

Ketiga, menjadikan masyarakat bersatu

Implikasi lain yang ditimbulkan oleh semangat ukuwah adalah munculnya

kesadaran akseptasi (kesediaan menerima keberadaan kelompok lain), apresiasi

(menghargai keyakinan kelompok lain) dan ko eksistensi (kesediaan untuk hidup

berdampingan secara damai dengan kelompok lain), tiga sikap ini pada gilirannya

akan mengantarkan masyarakat pada satu tahap kedewasaan yang dengan lapang

dada menerima keberagaman atau kemajemukan sebagai sunatullah.

Konsistensi terhadap sikap diatas, akan memudahkan terwujudnya

persatuan kaum muslimin, dan dengan semangat persatuan, akan muncul

kesadaran bahwa bukan zamannya sesama muslim berseteru pada persoalan

amatiran, yang lebih prinsip adalah mengerahkan energi untuk fokus pada soal

bagaimana Islam secara efektif dan elegan mampu menjawab semua persoalan

manusia global yang terus berkembang dinamis.

Allah swt berfirman:

ء ف تم أع ك م ي ت الله ع ك نع ق ه ل تف يع ل الله ج م له عت بح ب ف بين قي ن لك ي ك كم م نق ه ف ل ى شف حف من تم ع ك ن خ ته ع حتم ب ص م ف ه ته لع م آي الله ل

ت ) (ت

Artinya: Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah dan janganlah kalian

bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa

jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan

karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamua berada

ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikiaanlaah

Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu aggar kamu mendapat

petunjuk (Qs.3: 103)

Page 65: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

50

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ه ص م يح هب ت ع فتفش ل ت له س ين )أطيع الله ب ه ل (الله مع

Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu

berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang

kekuatanmu,sesunggunya Allah bersamma dengan orang-orang yang sabar . (Qs.

8: 46).

Dengan persatuan akan terbentuk kekuatan dan hanya dengan kekuatan

kemenangan akan dapat diraih, tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada

kekuatan tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa ukuwah dan tidak ada

ukuwah tanpa semangat persaudaraan.

Keempat, menjadikan masyarakat berkeadilan.

Hal lain yang perlu dipersiapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat

Islami adalah tegaknya keadilan di berbagai sektor kehidupan. Dalam banyak riset

ditemukan bahwa ketidak adilan merupakan faktor utama timbulnya keributan

kemanusiaan. Ketidak adilan merupakan kantong yang paling subur dan potensial

memunculkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Berbagai kasus kemanusiaan

di berbagai tempat di negeri ini adalah contoh nyata dari pelampiasan emosional

karena kecemburuan sosial ekonomi, Jika para pejabat berlomba mengkorup uang

rakyat ditengah megap megapnya rakyat jelata yang berjuang mempertahankan

hidup, maka normal jika terjadi protes, unjuk rasa dan kerusuhan dimana-mana,

itu juga termasuk contoh nyata ketidak adilan.

Karena itu Allah swt memerintahkan manusia untuk selalu berbuat adil

dan berbuat kebajikan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan

berbuat kebajikan. Dengan keadilan akan terwujud kehidupan yang damai yang

bersih dari berbagai bentuk kecemburuan dan kesenjangan sosial.

Kelima, menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah

Yang paling utama disiapkan dalam rangka mewujudkan masyarakat

Islami adalah adanya masyarakat muttaqin. Yakni masyarakat yang imtitsalu

awamirillah wajtinabu nawahihi (melaksanakan semua perintah Allah dan

menjauhi laranganNya), Masyarakat muttaqin ialah masyarakat yang bersegera

menuju ampunan Allah, yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang

atau sempit, yang mampu menahan marah, yang suka memaafkan kesalahan

Page 66: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

51

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

orang lain, yang suka berbuat baik pada orang lain, yang apabila berbuat salah

langsung segera bertobat kepada Allah dan tidak mengulangi kembali

kesalahannya. Dalam alqur’an Allah swt berfirman:

لق آم ه أهل أ هم ب ل ن خ هب ف ن ك ل لأ ء لسه ك من م ب ي لفتح ع تهق

س ) ن ي (ك

Artinya : Jika dalam sebuah komunitas masyarakat, penduduknya beriman dan

bertaqwa kepada Allah, niscaya akan dibukakan bagi mereka berkah dari langit

dan bumi, tetapi mereka ternyata mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami

siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. 7: 96)

Apabila kelima hal tersebut diatas dapat terpenuhi , maka insyaallah

harapan terwujudnya tatanan masyarakat Islami sebagaimana didambakan

bukanlah sekedar mimpi tetapi akan menjadi kenyataan, insyaallah.

C. Penutup

Tatanan masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberikan

keselamatan, perasaan aman dan kedamaian bagi sekalian alam. Masyarakat

Islami adalah masyarakat yang ditata diatas dasar akhlakul karimah,

persaudaraan, persamaan, toleransi, keadilan dan kemerdekaan. Guna

membangun tatanan masyarakat Islami sebagaimana diharapkan, terdapat

beberapa hal yang mesti dipersiapkan, antara lain: Pertama, menjadikan

masyarakat yang menempatkan kehendak Allah diatas segalanya. Kedua,

menjadikan masyarakat yang menekankan prinsip ukuwah dan persaudaraan.

Ketiga, menjadikankan masyarakat bersatu. Keempat, menjadikan masyarakat

berkeadilan. Kelima, menjadikan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah

D. Daftar Pustaka

Nata, Abuddin. (2002) Akhlak Tasawuf, Cetakan ke IV. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada

Mahmud, Ali Abdul Halim. (2004) Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani

Departemen Agama RI, (1999) Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Depertemen

Agama RI

Departemen Agama RI, (2001) Kurikulum Nasional: Kompentensi Dasar MI, MTS

dan MA Mata Pelajaran PAI. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan

Keagamaan

Page 67: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Achmad Gholib (2018), Pendidikan Akhlak, hal. 37 - 52

52

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Aly, Hery Noer. (2008) Watak Pendidikan Islam, Cetakan ke III. Jakarta: Friska

Agung Insani

Ibn Miskawih, (1934) Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir, al-Martha’ah al-

Mishriyah

Al-Ghazali, Imam. (t.t) Ihya Ulum al-Din, Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr

Al Abrasy, M. Athiyah. (1992) Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemahan.

Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry. Solo: CV Pustaka Mantiq

Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (terj.) Moh. Rifa’i dari judul asli,

Khuluq al-Muslim, Semarang, Wicaksana, 1993, ce IV.

Shihab, Quraish. (2000) Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan

Shaliba, Jamil. (1978) al-Mu jam al-Falsafi, Juz I. Mesir: Dar al-Kitab al-Misshri

Ma’luf, Luis. (t.t) Kamus al-Munjid. Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, (2003) Tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Cetakan ke IV. Semarang : Aneka Ilmu

Poerwadarminta, WJS. (1991) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke XII.

Jakarta: Balai Pustaka

Ghozali, Muhammad. (2005) Khuluqul Muslim. Mesir: Nahda Misr

Page 68: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

53

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Memahami Ilmu Tasawuf

Dimyati Sajari

Pendidikan Agama Islam - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email : [email protected]

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan tentang keotentikan eksistensi

ilmu tasawuf. Penyajian ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sampai

kini masih ada kelompok tertentu yang meragukan keotentikan ilmu

tasawuf. Melalui pandangan seorang sufi abad kesepuluh yang pernah

melakukan pembelaan terhadap tasawuf dan kaum sufi dengan

kitabnya Al-Luma , yaitu Abû Nashr al-Sarrâj (w. 378 H/988 M), maka

dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan ilmu batin, ilmu

hakikat iman, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, tetapi

justru merupakan bagian dari syariat Islam. Kaum sufi pendukung ilmu

ini pun merupakan bagian pewaris para nabi, sebagaimana ahli hadis

dan ahli fikih.

Kata kunci: tasawuf, sufi, batin, zhahir, syariat.

Page 69: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

54

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Perilaku hidup dan ajaran (ilmu) kaum sufi dikritik, dipandang sesat, dan

tidak bersumber dari Islam oleh sebagian kaum ulama. Pandangan sebagian kaum

ulama ini terjadi sejak sejarah sufisme yang cukup dini. Akibatnya, sejak awal

tokoh-tokoh sufi mendapatkan kritikan, bahkan penyesatan dan pengkafiran dari

sebagian kaum ulama. Kaum sufi atau para pendukung ilmu tasawuf pun tidak

tinggal diam. Sedari awal mereka melakukan pembelaan. Boleh dikatakan bahwa

pembelaan mereka itu menunjukkan hasilnya. Alih-alih kehidupan tasawuf itu

pupus dari kehidupan umat karena adanya kritikan dan penyesatan dari kaum

ulama, namun kehidupan tasawuf justru semakin berkembang dan tetap eksis

hingga zaman sekarang.

Masih eksisnya kehidupan tasawuf itu hingga sekarang dapat diasumsikan

bahwa tidak saja disebabkan adanya pembelaan, tetapi memang ajaran tasawuf

itu bukan ajaran yang sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan

dikatakan, ilmu tasawuf bukan saja tidak bertentangan dengan Ilmu Islam, tetapi

justru merupakan bagian dari Ilmu Islam. Fakta inilah yang membuat pembelaan

kaum sufi itu berhasil dan ilmu tasawuf tetap eksis hingga sekarang.

Dalam rangka memahami tentang ilmu tasawuf itu, tulisan ini akan

menyajikan penjelasan dan pembelaan salah satu sufi abad kesepuluh tentang

ilmu tasawuf tersebut. Penyajian diawali tentang adanya kritik dan tuduhan

tersebut, kemudian mengenai identitas tokoh yang bernama Abû Nashr al-Sarrâj

(w. 378 H/988 M), masyarakat di Indonesia belum banyak yang mengetahui

tentang identitas tokoh ini sehingga memperkenalkan jati diri tokoh ini

merupakan suatu keniscayaan, tentang karyanya, dan pandangannya mengenai

ilmu tasawuf.

B. Pembahasan

Kritik dan Tuduhan Kaum Ulama

Di atas telah dinyatakan bahwa perilaku kaum sufi dan ajarannya dikritik,

dipandang sesat, dan dinilai tidak bersumber dari Islam oleh sebagian kaum ulama

sehingga mereka mengingkari ilmu tasawuf. Sikap sebagian kaum ulama ini telah

terjadi sejak sejarah sufisme yang cukup dini. Di tulisan mengenai Loyalitas Kaum

Sufi terhadap Syariat telah dilakukan kategorisasi ulama dan ditunjukkan adanya

kritik, tuduhan dan pengingkaran ini. Merujuk kepada Abû Hâmid al-Ghazâlî dan

Fazlur Rahman (1979, h.134), yang dimaksud kaum ulama adalah ahli-ahli fikih

(fuqahâ , ahli hukum Islam) dan para teolog (mutakallim, ahli kalam dalam Islam)

(Sajari, 2014, h. 123; Al-Ghazâlî, Jilid 1, t.t., h. 23)

Page 70: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

55

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Akan tetapi, mengikuti pendapat Abû Nashr al-Sarrâj, mayoritas ulama tidak

melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi, orang yang

mengingkari ilmu tasawuf hanyalah sekelompok ulama yang memiliki ilmu lahir

(zhahir), para ulama ini tidak mampu mengetahui bahwa ilmu tasawuf ini berasal

dari Kitab Allah dan dari khabar Rasulullah Saw, mereka ini hanya mengetahui

tentang hukum-hukum yang zhahir, dan mereka ahli dalam ilmu tersebut (zhahir)

dan senang debat dengan siapa saja yang tidak sejalan dengan mereka (Al-Sarrâj,

t.t., h. 33; Sajari, 2014, h. 123-4).

Pendapat al-Sarrâj itu mungkin benar pada masanya, tetapi melihat

tokoh-tokoh yang melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi

tampaknya tidak semuanya tidak memahami tasawuf. Tiga tokoh kenamaan yang

tidak diragukan lagi pemahamannya terhadap tasawuf, meski melakukan kritik,

yaitu Ibn Sirrin (w. 110 H/728 M) yang melakukan kritik terhadap Hâsan Bashrî (w.

110 H/728 M); Ahmad Ibnu Hanbal (w. 241/885) terhadap Harits al-Muhâsibî (w.

243 H/857 M); dan Ibn Taimiyyat (w. 1328) terhadap Ibn Athâ illâh (w. 1309),

guru tarekat Syâdziliyyat. Akan tetapi, tiga tokoh yang melakukan kritik dan

tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi berikut mungkin benar tidak memahami

tasawuf dan kehidupan sufistik, yakni seorang Hanbaliyyah, Ghulâm al-Khalîl,

terhadap Abû al-Husain al-Nûrî (w. 295/908); Qadhi Mâlikî, Abû Umar, (didukung

sebagian besar penganut Mâlikî dan Zhâhirî) memvonis hukuman mati terhadap

Husain ibn Manshûr al-Hallâj al-Hallâj (26 maret 922); dan Muhammad ibn Abd

al-Wahhab (w. 1792 M) beserta gerakan Wahhabiyahnya berusaha melenyapkan

gerakan sufisme dari permukaan bumi.

Di tulisan tentang Keotentikan Ajaran Tasawuf ditunjukkan masih adanya

tuduhan terhadap tasawuf di era sekarang ini. Misalnya, Ahmad bin Abdul Aziz al-

Hushain dan Abdullah Mustofa Numsuk menyatakan bahwa tasawuf itu

merupakan ajaran Budha. Muhammad al-Abduh dan Thariq Abdul Halim

mengatakan bahwa tasawuf merupakan bid ah dalam Islam dan kaum sufi

dipandang sebagai ahli bid ah. Di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz, melalui

penukilannya terhadap fatwa-fatwa Saudi Arabia, menyetujui bahwa

tasawuf/tarekat itu tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur an dan Al-Sunnah,

sehingga tasawuf/tarekat dia vonis sebagai bid ah yang sesat menyesatkan.

Ahmad Jaiz juga mengkategorikan bid ah terhadap kegiatan dzikir bersama-sama

(Sajari, 2015, h. 145; Al-Hushain dan Numsuk, 2001, h. 6-8; Al-Abduh dan Halim,

2001, h. 1-5; dan Jaiz, 2002, h. 256-59).

Tokoh-tokoh itu hanyalah contoh dari kalangan ulama yang pernah

melakukan kritik dan tuduhan terhadap tasawuf/kaum sufi. Mungkin karena

Page 71: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

56

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

adanya kritik dan tuduhan itu terjadi sejak era Hâsan Bashrî hingga dewasa ini,

meski dengan intensitas yang berbeda-beda, maka tidak heran kalau Johansen

(1996, h. 1) menyatakan bahwa sufisme (tasawuf) merupakan khazanah spiritual

dan intelektual yang paling menyita perhatian hampir di sepanjang sejarah Islam.

Menurut Johansen, kontroversi senantiasa mewarnai sejarah tasawuf dan kaum

sufi. Hanya saja, sebagaimana dinyatakan di atas, meski kritik, tuduhan dan

pengingkaran itu berlangsung hampir di sepanjang sejarah tasawuf, tetapi

faktanya tasawuf (tarekat) tetap eksis dan massif hingga sekarang.

Jati Diri al-Sarrâj

Al-Sarrâj, tokoh sufi yang pandangan dan pembelaannya terhadap

tasawuf/kaum sufi akan disajikan di bawah nanti, bernama lengkap: Abd Allâh bin

Alî bin Muhammad bin Yahyâ Abû Nashr al-Sarrâj al-Thûsî al-Shûfî (Mahmûd, t.t.

h. 14-5). Sebutan al-Thûsî di belakang namanya menandakan bahwa ia lahir dan

meninggal di Thûs (Radtke, 1998, h. 692), Khurasan, Iran Timur, sementara gelar

al-Shûfî menunjukkan bahwa otoritasnya di dunia tasawuf diakui oleh sesama sufi,

baik sufi pada zamannya maupun pada masa sesudahnya. Tahun kelahiran al-

Sarrâj tidak diketahui secara pasti, tetapi kematiannya terjadi pada bulan Rajab

378 H/Oktober-Nopember 988 M. Konon dikisahkan bahwa sebelum meninggal

dunia al-Sarrâj mengatakan, Setiap orang (yang meninggal dunia) yang tandu

jenazahnya dibawa melewati kuburan saya, maka dosanya akan dimaafkan (oleh

Allah Swt). Akibatnya, sebagaimana dikatakan Nicholson, orang-orang Thûs yang

meninggal dunia terlebih dulu jenazahnya dibawa ke kuburan al-Sarrâj dan

diberhentikan sejenak di dekat makam al-Sarrâj sebelum dikuburkan di tempat

penguburannya (Nicholson, 1914).

Schimmel (1975, h. 84) dan Nicholson (1914) memandang al-Sarrâj itu

sebagai tokoh yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf praktis.

Schimmel dan Nicholson mendasarkan pandangannya ini pada sebuah cerita

tentang tidak terlukanya sedikitpun wajah al-Sarrâj ketika dirinya tersuruk ke

dalam kobaran api. Kisahnya, seperti dikutip Schimmel dan Nicholson, dalam

suatu diskusi dengan teman-temannya tentang beberapa persoalan sufistik al-

Sarrâj tercekam suatu rasa ekstase (kegembiraan spiritual yang meluap-luap luar

biasa) dan tanpa disadarinya dia menyurukkan dirinya dalam sikap bersujud ke

dalam kobaran api tanpa sedikitpun wajahnya terluka kena bakar. Tampaknya,

fakta ini dijadikan indikator oleh Schimmel dan Nicholson kalau al-Sarrâj telah

mencapai taraf tertinggi di dunia tasawuf praktis.

Page 72: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

57

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sementara itu, di dalam biografi-biografi Persia, al-Sarrâj dipandang sebagai

keluarga orang-orang fakir dan diberi nama (gelar) Burung Merak Orang-orang

Fakir (Thawûs al-Fuqarâ ) (Mahmûd, t.t. h. 14). Al-Hujwîrî (1974, h. 342)

menceritakan sebuah anekdot tentang al-Sarrâj. Dikisahkan bahwa al-Sarrâj

datang ke Baghdad pada bulan Ramadhan dan dia diberi kamar khusus di masjid

Syûnîziyyah, masjid agung Baghdad. Dia, kemudian, ditunjuk sebagai pemimpin

shalat para darwisy (sufi) selama bulan Ramadhan itu. Konon, selama mengimami

shalat tarawih di bulan Ramadhan itu ia mengkhatamkan al-Qur an sebanyak lima

kali setiap malamnya. Tatkala bulan Ramadhan telah usai, yang berarti hari raya

telah tiba, dan al-Sarrâj sudah pergi meninggalkan tempat (masjid), maka pelayan

yang setiap malam membawakan sebuah roti ke kamarnya mendapatkan ketiga

puluh buah roti pemberiannya masih utuh (di kamar al-Sarrâj).

Menurut Nicholson (1914) dan Al-Hujwîrî (1974, h. 368) guru-guru al-Sarrâj

adalah Abû Muhammad Ja far b. Nushîr al-Khuldî (w. 348 H). Sufi ini lahir di

Baghdad dan merupakan murid al-Junaid dan Ibrâhîm al-Khawwâsh. Kemudian,

Abû Bakr Muhammad bin Dâwud al-Duqqî al-Dînawarî (W. 350 H/961 M). Tokoh

ini lahir di Dînawar, hijrah dan hidup di Syiria, bersahabat dengan Ahmad al-Jallâ

dan al-Zaqqâq, dan hidup di atas seratus tahun. Nicholson (1914) mengatakan

bahwa sebelum hijrah ke Damaskus dan wafat di sana tahun 359 atau 360 H dia

pernah tinggal untuk beberapa waktu di Baghdad. Selanjutnya, Ahmad bin

Muhammad al-Sâyij. Diperkirakan oleh Nicholson (1914) bahwa nama al-Sâyij ini

merupakan kesalahan tulis bagi al-Sâlimî, yaitu Abû al-Hasan Ahmad b.

Muhammad b. Sâlim, pemimpin mazhab Sâlimiyyah. Di tulisan lain Nicholson

(1994, h. 10) mengemukakan garis spiritual al-Sarrâj melalui jalur yang lain, yakni

melalui Abû Muhammad al-Murta isy al-Naisâbûrî (w. 328/939).

Selain sufi-sufi itu, Schimmel mengatakan bahwa al-Sarrâj pernah menjadi

pengikut Abû Abd Allâh Muhammad bin Khafîf al-Syirâzî (w. 371 H/982 M), yang

merupakan salah satu figur sufi yang berupaya supaya sufisme mudah diterima

secara luas, termasuk di dalamnya oleh para ulama. Bahkan, bukan saja sebagai

pengikut, tetapi sufi yang berasal dari Syiraz, Iran, dan wafat dalam usia sekitar

100 tahun ini—menurut Seyyed Hossein Nasr—merupakan guru spiritual al-Sarrâj.

Menurut al-Qusyairî, dia (Ibn Khafîf) merupakan guru besar para syaikh dan alim

satu-satunya di masanya, yang berarti termasuk syeknya al-Sarrâj. Ibn Khafîf

bersahabat dengan Ruwaim, al-Jarîrî, Ahmad bin Athâ dan lain-lain. Ia dijadikan

al-Hujwirî sebagai salah satu pendiri aliran tasawuf dengan nama Khafîfî (Al-

Qusyairî, t.t, h. 120; Al-Hujwirî, 1974, h. 370; dan Nasr, 2003, h. 275-6).

Page 73: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

58

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Melihat garis silsilah guru-guru al-Sarrâj itu dapat diketahui bahwa garis

spiritual al-Sarrâj—selain Ibn Sâlim yang mewarisi silsilah al-Tustarî—adalah dari

jalur al-Junaid (Ja far al-Khuldî, murid al-Junaid; al-Duqqî murid Yahyâ al-Jallâ dan

al-Jallâ murid al-Junaid; al-Murta isy al-Naisâbûrî murid al-Junaid; dan Ibn

Khafîfpun melalui al-Junaid, yaitu Ibn Khafîf murid Abû al- Abbâs dan Abû al-

Abbâs murid Ibrâhîm al-Mârsatânî dan Ibrâhîm al-Mârsatânî murid al-Junaid atau

Ibn Khafîf murid al-Jarîrî dan al-Jarîrî murid al-Junaid). Dengan demikian, garis

spiritual al-Sarrâj hampir sepenuhnya melalui garis silsilah al-Junaid. Oleh karena

al-Junaid dipandang sebagai tokoh terpenting tradisi spiritualitas ketenangan

hati, tak mabuk (shahw), maka al-Sarrâj mewarisi tradisi spiritual ketenangan

hati atau tak mabuk ini. Dengan kata lain, tasawuf al-Sarrâj adalah tasawuf

ketenangan hati atau tak mabuk, sebuah tasawuf yang kemudian menjadi

anutan Abû Hâmid al-Ghazâlî. (Sebagian penulis tasawuf, seperti Herbert Mason

dan Terry Graham, membagi tasawuf ke dalam dua aliran/mazhab, yaitu mazhab

Baghdad dan Khurasan. Pembagian kepada mazhab Baghdad dan Khurasan ini

tidak didasarkan pada tempat domisili atau daerah asal-usul masing-masing sufi

yang masuk pada salah satu di antara dua aliran ini, tetapi lebih pada karakter

kedua belah pihak. Mazhab Baghdad lebih menekankan ketenangan hati,

shahw, dan berusaha berada di pihak ortodoksi, sedangkan mazhab Khurasan

lebih memilih mabuk, sukr. (Mason, 1999; Graham, 1999).

Karya al-Sarrâj

Satu-satunya karya al-Sarrâj yang tetap lestari hingga kini adalah al-Luma ,

meski—menurut Radtke—ada kemungkinan al-Sarrâj memiliki beberapa karya

tentang sufisme. Radtke mengatakan bahwa tidak ada karya-karya al-Sarrâj yang

lain yang lestari hingga sekarang atau yang diketahui masih ada hingga sekarang.

Bahkan, Lory memperkirakan bahwa al-Sarrâj tidak memiliki karya lain, meski ia

menyebutkan bahwa Jâmî mengatakan kemungkinan adanya karya lain al-Sarrâj

selain al-Luma . Alasan Lory adalah karena tidak ada judul buku lainnya yang

diatributkan kepada al-Sarrâj yang diketahui oleh kita sekarang. Dalam

Bibliography The Fihrist of al-Nadîm juga hanya menyebutkan kitab al-Luma ini

(Radtke, 1998, h. 692; Lory, 1997, h. 66; Ibn al-Nadîm, 1970, h. 869).

Kitab al-Luma itu, sebagaimana dikatakan Schimmel, merupakan kitab

pedoman tasawuf yang tertua. Senada dengan Schimmel ini, Hamiduddin

menyatakan bahwa al-Luma merupakan kitab pedoman tasawuf yang dipandang

tertua yang tetap lestari hingga sekarang. Kalaupun bukan merupakan kitab

pedoman tasawuf yang tertua, menurut Hamiduddin, paling tidak kitab ini

Page 74: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

59

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

merupakan kitab pedoman tasawuf yang tertua yang tersedia hingga sekarang

(Hamiduddin, 1995, h. 311). Sementara itu, Baldick menyebut kitab ini di urutan

pertama ketika ia menginformasikan tentang kitab pedoman tasawuf klasik yang

pertama (the first classic manuals of sufism) (Baldick, 1996, h. 55). Adapun bagi

Schimmel (1975, H. 84), kitab al-Luma ini merupakan kitab yang gemilang

mengenai pengantar ajaran tasawuf, yang dilengkapi dengan kutipan-kutipan dari

berbagai sumber.

Penilaian terhadap kitab al-Luma diberikan juga oleh al-Jabiri. Tokoh ini

mengemukakan bahwa al-Luma merupakan buku terpenting dan sumber utama

tentang sejarah tasawuf dalam Islam (Al-Jabiri, 2003, h. 461). Mahmûd (t.t.: 13)

mengatakan pula bahwa kitab ini merupakan kitab sejarah, madrasah ilmu

pengetahuan, jalan rasa (spiritual), cahaya penunjuk perjalanan sang pejalan

menuju Tuhan, dan guru para ulama. Dalam ungkapan Nicholson, kitab al-Luma

ini merupakan Perguruan Tinggi yang meluluskan orang-orang ternama dari para

sufi yang jujur.

Selain itu, munculnya kitab al-Luma itu dipandang Sells (2003, h. 306)

sebagai tanda babak baru sejarah tasawuf, yaitu periode formatif (pembentukan)

karya-karya tasawuf. Menurut Sells, periode ini berawal dari al-Sarrâj hingga al-

Qusyairî. Sells mengatakan pula bahwa kitab ini telah menjadi model bagi karya-

karya tasawuf lainnya, sebagaimana kitab yang ditulis al-Kalâbâdzî, al-Sulamî, al-

Qusyairî, Abû Nu aim al-Isfahânî, al-Ghazâlî, al-Attâr dan sejumlah karya lain

dalam kajian tasawuf.

Di samping itu, kitab al-Luma dijadikan sebagai salah satu rujukan kitab

Kasyf al-Mahjûb karya Alî al-Hujwîrî. Menurut Nicholson, Al-Hujwîrî yang menulis

dua puluh atau tiga puluh tahun setelah al-Sarrâj menulis al-Luma menggunakan

al-Luma ini secara bebas dan mengutip kata demi kata (quotes verbatim) satu

bagian tentang adab dalam al-Luma . Nicholsonpun mengatakan bahwa bagian

yang sama dikutip pula oleh al-Qusyairî, oleh Aththâr di dalam Tadzkirat al-

Awliyâ dan oleh Jâmi dalam Nafahât al-Uns (Nicholson, 1914). Selain sufi-sufi ini,

al-Qusyairî juga menjadikan al-Luma sebagian rujukan dalam kitabnya al-Risâlah.

Demikian pula al-Ghazâlî dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn, khususnya bab tentag samâ ,

merujuk al-Luma . Sebagai sumber rujukan sufi-sufi sesudahnya, terutama al-

Hujwîrî, al-Qusyairî dan al-Ghazâlî—tiga tokoh sufi yang sangat berpengaruh

dalam kehidupan tasawuf sunni—menunjukkan adanya pengaruh al-Sarrâj yang

cukup signifikan dalam sejarah tasawuf.

Page 75: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

60

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ilmu Tasawuf

Sebelum menjelaskan hakikat ilmu tasawuf dan perbedaannya dengan ilmu

lain, al-Sarrâj menjelaskan eksistensi ilmu tasawuf dan pendukungnya. Bagi umat

Islam, termasuk di dalamnya al-Sarrâj, al-Qur an adalah kitab suci yang sempurna,

yang kesempurnaannya diyakini umat sepanjang masa. Dari keyakinannya

semacam inilah pendapat al-Sarrâj tentang eksistensi ilmu tasawuf dapat

dipahami. Di dalam muqaddimah kitabnya al-Luma al-Sarrâj menyatakan bahwa

tidak ada ilmu yang diketahui dan sesuatu yang dipahami kecuali hal itu telah

terdapat di dalam Kitab Allah Azza wa Jalla, atau telah diriwayatkan dari

Rasulullah Saw., atau telah disingkapkan ke hati para wali-Nya (Al-Kalâbâdzî, 1969:

90-91). Dari sini al-Sarrâj berpendirian bahwa sumber ilmu dalam Islam,

khususnya ilmu tasawuf, ada tiga, yaitu al-Qur an, al-Sunnah dan ungkapan para

wali. Arberry (1979) menambahkan satu pilar lagi, yakni pengalaman-pengalaman

spiritual pribadi sang sufi. Atas dasar ini berarti eksistensi ilmu tasawuf, sebagai

bagian dari suatu ilmu yang diketahui dan dapat dipahami, tidak lain tidak bukan

berasal dari empat pilar ini.

Di samping itu, eksistensi para pendukung ilmu tasawuf pun tidak ada

bedanya dengan eksistensi ahli hadis dan ahli fikih. Dalam perspektif al-Sarrâj,

pendukung ilmu tasawuf (kaum sufi) merupakan bagian dari kelompok orang-

orang berilmu yang menegakkan keadilan (ulî al- ilm al-qâ imîn bi al-qisth),

seperti halnya ahli hadis dan ahli fikih. (Al-Sarrâj menyebut kaum sufi sebagai

ilmuwan penegak keadilan dan pewaris para nabi setelah menyebut ahli hadis dan

ahli fikih. Penyebutan pada posisi yang terakhir ini bukan berarti al-Sarrâj

memandang kaum sufi berada di ranking ketiga atau ranking yang terbawah, tapi

justeru sebaliknya: otoritas kaum sufi meliputi ahli hadis dan ahli fikih atau lebih

unggul dibanding ahli hadis dan ahli fikih). Bagi al-Sarrâj, ketiga kelompok ini,

yakni ahli hadis, ahli fikih dan kaum sufi, merupakan orang-orang berilmu penegak

keadilan dan, karenanya, mereka inilah yang disebut ulama pewaris para nabi

(waratsat al-anbiyâ ). Jadi, menurut al-Sarrâj, ulama pewaris para nabi adalah

ilmuwan-ilmuwan (orang-orang berilmu) yang menegakkan keadilan dan mereka

ini adalah ahli hadis, ahli fikih dan kaum sufi. Ketiga kelompok ini dibedakan bukan

berdasarkan derajat ketakwaan mereka, tetapi berdasarkan disiplin ilmu yang

mereka dalami dan mereka kuasai (fî takhshîshihim bi ilmih). Dalam penilaian al-

Sarrâj, kalaupun terdapat perbedaan antara kaum sufi dengan ahli hadis dan ahli

fikih di dalam melaksanakan syariat agama, maka perbedaan itu dinilai al-Sarrâj

tidak prinsipil. Penilaian al-Sarrâj ini atas dasar pandangannya bahwa kaum sufi

hanya menambahkan perhatiannya pada dimensi batin dan lebih memilih hal-hal

Page 76: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

61

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang paling utama dan paling sempurna di dalam melaksnakan ilmu-ilmu lahir

yang digeluti dan populer di kalangan ahli hadis dan ahli fikih. Dalam perspektif

Schimmel (1975, h. 83-4) orang-orang sufi itu seluruhnya merupakan orang-orang

Islam yang baik, sebagaimana penduduk Muslim lainnya di Baghdad, Nishapur dan

Mesir. Orang-orang sufi tidak menolak hukum agama, tapi hanya

menambahkannya dengan sesuatu, suatu tambahan yang menuntut pelaksanaan

yang lebih ketat dalam kehidupan personal mereka.

Pandangan al-Sarrâj mengenai ketiga kelompok ulama pewaris para nabi itu

tampaknya bukanlah pendapat umat secara umum. Di atas, dengan merujuk

pendapat al-Ghazâlî dan Rahman, telah disebutkan bahwa kaum ulama adalah

kaum teolog (ahli kalam) dan ahli fikih. Al-Sarrâj sendiri, kemudian, mensinyalir

adanya kelompok ulama yang dia sebut sebagai ulama lahiriah (ulama ahli zhahir),

yang melakukan kritik, tuduhan, dan pengingkaran terhadap ilmu tasawuf, yang

menjadi fokus penyajian tulisan ini. Dengan menyebut adanya ulama ahli zhahir

ini, yang bagi al-Sarrâj dapat berkemungkinan dari ahli hadis atau ahli fikih, maka

seolah-olah al-Sarrâj meralat pandangannya tentang kaum sufi sebagai bagian

dari kaum ulama. Hanya saja, dilihat dari maksud al-Sarrâj membela tasawuf dan

kaum sufi, maka pandangannya tentang kaum sufi sebagai bagian dari kaum

ulama dapat dimengerti.

Dalam perspektif ulama zhahiriah yang menyesatkan dan mengkafirkan

kaum sufi, ilmu lahir dianggap sebagai satu-satunya ilmu dalam Islam yang

mereka akui dan mereka ketahui. Bagi ulama lahiriah, ilmu di luar yang mereka

kuasai dipandang bukan sebagai ilmu Islam sehingga kaum sufi yang memiliki ilmu

batin di luar ilmu lahir dianggap sebagai ilmu sesat. Kemudian, kaum sufi yang

memiliki ilmu batin divonis sesat dan kafir.

Al-Sarrâj (t.t., h. 22) membantah tuduhan dan vonis itu. Menurut al-Sarrâj,

ilmu itu bukan saja bersifat lahiriah, tetapi ada pula yang bersifat batiniah. Al-

Sarrâj berargumen, ilmu agama itu terdiri dari tiga macam, yaitu ilmu al-Qur an,

ilmu al-Sunnah dan al-Bayân, dan ilmu hakikat keimanan. Ilmu yang disebut

terakhir ini, dalam penglihatan al-Sarrâj, bukan saja populer di kalangan kaum

sufi, tetapi populer juga di kalangan ahli hadis dan ahli fikih. Dalam pandangan al-

Sarrâj, ilmu hakikat iman adalah ihsan. Pandangan al-Sarrâj ini didasarkan pada

pembagian al-Sarrâj tentang Islam, Iman dan Ihsan. Dalam perspektif al-Sarrâj,

Islam itu bersifat lahiriah, Iman itu bersifat lahir dan batin, dan Ihsan merupakan

hakikat lahir dan batin. Jadi, menurut al-Sarrâj, Ihsan merupakan hakikat Iman,

yaitu hakikat lahir dan batin. Pendapat al-Sarrâj ini berdasarkan hadis tentang

keimanan di mana Jibril a.s. bertanya kepada Nabi Saw mengenai tiga prinsip

Page 77: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

62

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

agama: mengenai iman, Islam dan ihsan. Menurut al-Sarrâj, Islam itu lahir, iman

itu lahir dan batin, dan ihsan itu hakikat lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan

jawaban Rasulullah Saw atas pertanyaan Jibril a.s. tentang ihsan; Ihsan adalah

hendaknya engkau beribadah seakan-akan engkau melihat Allah. Bila engkau tidak

mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu (HR Bukhârî-Muslim,

Abû Dâwud, Ibn Mâjah dan Ahmad).

Itulah yang dimaksud al-Sarrâj: Ihsan sebagai hakikat iman. Bagi al-Sarrâj

(t.t., h.43) Bandingkan, Al-Sahamrânî (2000, h. 65), ihsan sebagai hakikat iman ini

populer di kalangan ahli hadis, ahli fikih dan, lebih-lebih, di kalangan sufi. Ihsan

sebagai hakikat iman inilah yang dimaksud al-Sarrâj dengan ilmu batin atau ilmu

tasawuf. Dengan demikian, dalam pandangan al-Sarrâj, ilmu hakikat keimanan

adalah ilmu batin yang berarti pula ilmu tasawuf.

Dalam perspektif al-Sarrâj, ilmu batin atau ilmu tasawuf itu merupakan

bagian integral dari Islam, seperti halnya ilmu al-Qur an serta ilmu hadis dan

bayân. Semua ilmu, menurut al-Sarrâj, merupakan ilmu yang memiliki batas

tertentu dan semuanya akan bermuara pada ilmu tasawuf. Sedangkan ilmu

tasawuf, di mata al-Sarrâj, merupakan ilmu yang tidak ada batasnya dan tidak

bermuara pada suatu ilmu kecuali ilmu tasawuf itu sendiri. Alasan al-Sarrâj (t.t., h.

37) dan al-Kalâbâdzî, (1969, h. 106), karena yang dituju ilmu tasawuf ini Allah Swt.

dan Allah Swt. itu tidak terbatas, maka bagi al-Sarrâj ilmu tasawuf tidak ada

batasnya. Artinya, sebab Yang Dituju ilmu tasawuf tidak terbatas, maka ilmu

tasawufpun tidak ada batasnya. Dari titik inilah al-Sarrâj memandang ilmu tasawuf

ini sebagai ilmu futûh, yaitu ilmu yang Allah singkapkan ke hati para wali-Nya

dalam rangka memahami Kalam-Nya dan menyimpulkan percakapan-Nya tentang

apa dan bagaimana kehendak-Nya. Al-Sarrâj menukil Firman Allah: Katakanlah,

sekira ya lauta e jadi ti ta… (Qs al-Kahfi: 109) dan Sesungguhnya jika kamu

bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu (Qs Ibrâhîm: 7).

Menurut al-Sarrâj, tambahan dari Allah itu tidak terbatas dan mensyukuri nikmat

menghasilkan ditambahnya nikmat yang tidak terbatas dari Allah Swt. Al-Sarrâj

menegaskan, ilmu futûh ini merupakan ilmu batin atau ilmu tasawuf, dan ilmu

kaum sufi ini, sebagaimana ilmu para ahli hadis dan ahli fikih, merupakan ilmu

agama. Penegasan al-Sarrâj ini mempertegas kembali tentang otentisitas ilmu

tasawuf. Dalam arti, kalau ilmu yang dikembangkan oleh ahli-ahli hadis dan ahli-

ahli fiqih dipandang sebagai ilmu agama yang otentik Islam, maka ilmu tasawuf

pun merupakan ilmu agama yang otentik Islam. Masing-masing disiplin ilmu ini

memiliki karya-karya monumental tersendiri dan imam-imam agung yang menjadi

Page 78: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

63

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

rujukan disiplin ilmu masing-masing. Merujuk kepada imam di luar bidang

ilmunya, dalam pandangan al-Sarrâj, merupakan suatu kekeliruan.

Al-Sarrâj mengakui bahwa ilmu tasawuf atau ilmu batin yang menurutnya

tidak terbatas itu diingkari oleh sekelompok ahli lahir. Dalam penglihatan al-

Sarrâj, karena mereka ini tidak mengenal suatu ilmu yang bersumber pada al-

Qur an dan al-Sunnah selain ilmu syariah yang lahir (lâ na rifu illâ ilm al-syarî ah

al-zhâhirah al-latî jâ a bihâ al-kitâb wa al-sunnah), maka mereka mengingkari ilmu

batin. Selanjutnya, mereka pun menuduh (mengatakan) bahwa pandangan akan

adanya ilmu batin atau ilmu tasawuf di luar ilmu yang mereka kuasai adalah

anggapan yang sesat disebabkan ilmu batin itu sama sekali tidak ada dasarnya di

dalam al-Qur an dan al-Sunnah.

Akan tetapi, al-Sarrâj membela adanya ilmu batin atau ilmu tasawuf itu. Al-

Sarrâj menjelaskan bahwa ilmu syari ah itu sesungguhnya merupakan ilmu yang

satu, yaitu nama yang satu, tetapi mengandung dua makna: al-riwâyat dan al-

dirâyat. Seseorang yang telah mengumpulkan dua makna ini dinilai al-Sarrâj telah

mengamalkan ilmu syari ah, yaitu ilmu yang mengajak kepada berbagai amal, baik

yang lahir maupun yang batin. Oleh karenanya, al-Sarrâj menyatakan tidak

bolehnya membedakan ilmu kepada dikhotomi yang lahir atau yang batin.

Ketidakbolehan ini disebabkan, menurut al-Sarrâj, ketika ilmu itu berada dalam

hati, maka ia merupakan ilmu batin. Namun, ketika mulut mengucapkannya, maka

ia merupakan ilmu lahir. Di sinilah al-Sarrâj berpendapat bahwa ilmu itu lahir dan

batin. Inilah, menurut al-Sarrâj, ilmu syari ah yang menunjukkan dan mengajak

kepada berbagai amal yang lahir dan sekaligus yang batin (Sajari, 2008, h. 107).

Sejalan dengan pandangan al-Sarrâj ini Al-Makki mengatakan bahwa ilmu batin

adalah ilmu yang berada di dalam hati dan ia merupakan ilmu yang bermanfaat,

sedangkan lahir dan batin itu merupakan dua ilmu yang saling membutuhkan dan

melengkapi. Kedua ilmu ini, menurut al-Makki, bagaikan tubuh dan hati (qalb). Al-

Kalâbâdzî (1969, h. 106) mengungkapkan pendapat Abû al-Hasan b. Abû Dzar yang

mengatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang tanpa batas (lâ nafâda lahu),

yang dia nilai sebagai ilmu yang tertinggi, ilmu langit (samâwî) dan ilmu

ketuhanan (rubûbî).

Pendapat al-Sarrâj ini dinukil Al-Taftâzânî (1983, h. 97) tentang amal-amal

yang lahir itu adalah amal-amal anggota tubuh yang lahir (luar) yang berkaitan

dengan ibadah-ibadah dan hukum-hukum. Amal lahiriah yang berkenaan dengan

ibadah, semisal bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain sebagainya.

Adapun amal anggota tubuh bagian luar yang berhubungan dengan hukum adalah

hudûd, thalaq, pemerdekaan budak, jual-beli, farâ id, qishâsh (hukum kesamaan

Page 79: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

64

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pembalasan) dan lain sebagainya. Semua amal ini berhubungan dengan anggota

badan bagian luar. Adapun amal-amal yang batin yang dimaksud al-Sarrâj adalah

amal-amal hati, yaitu maqâmât (kedudukan spiritual) dan ahwâl (keadaan-

keadaan spiritual), semisal tashdîq (pembenaran), iman, yaqin, jujur, ikhlas,

ma rifah, tawakkal, mahabbah, ridha dan sebagainya. Menurut al-Sarrâj, setiap

amal dari berbagai amal yang lahir dan yang batin ini terdapat ilmunya, fikihnya,

penjelasannya, fahamnya, hakikatnya dan ekstasenya. Keabsahan ilmu lahir dan

ilmu batin ini berasal dari ayat-ayat al-Qur an dan khabar dari Rasulullah Saw.

Selain itu, al-Sarrâj menjelaskan bahwa ilmu batin adalah ilmu amal-amal

batin atau ilmu amal-amal anggota badan yang batin, yaitu hati. Dengan demikian,

ilmu batin adalah ilmu hati: ilmu amalan-amalan hati dan atau ilmu yang

diperoleh melalui hati. Adapun ilmu lahir adalah ilmu amal-amal yang lahir (luar,

lahiriah) yang diamalkan anggota badan bagian luar (lahir). Al-Sarrâj mendasarkan

pendapatnya ini pada Firman Allah Swt. yang artinya: …da Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin… (Qs Luqmân: 20). Bagi

al-Sarrâj, nikmat lahir adalah nikmat yang Allah anugerahkan melalui anggota

badan yang lahir (bagian luar) dalam bentuk perbuatan ketaatan kepada Allah

Swt., sedangkan nikmat batin adalah nikmat yang Allah anugerahkan melalui hati

dalam wujud keadaan-keadaan spiritual. Menurut al-Sarrâj, nikmat yang lahir

tidak cukup tanpa yang batin dan, sebaliknya, nikmat yang batin pun tidak cukup

tanpa yang lahir.

Pandangan al-Sarrâj itu didasarkan pula pada Firman Allah: Dan kalau

mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya

orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya

dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS al-Nisâ : 83). Al-Sarrâj pun menegaskan

bahwa ilmu itu lahir dan batin, al-Qur an itu lahir dan batin, hadis Rasulullah Saw

itu lahir dan batin, dan Islam pun lahir dan batin. Selanjutnya, al-Sarrâj—seperti

halnya Abû Thâlib Al-Makkî--menginformasikan bahwa sahabat-sahabatnya

(sesama sufi) di dalam memahami makna-makna itu berdasarkan dalil-dalil dan

argumen-argumen dari al-Qur an, al-Sunnah dan akal (argumen rasional) (Al-

Sarrâj, t.t., h. 44 dan al-Makkî, t.t., h. 139).

Dari penjelasan al-Sarrâj itu bisa diketahui bahwa ilmu syari ah—bagi al-

Sarrâj dan kaum sufi—adalah ilmu yang terdiri dari yang lahir dan yang batin,

bukan ilmu yang bersifat lahiriah saja dan bukan dikhotomis ilmu yang lahir atau

yang batin. Ilmu syari ah sebagai ilmu yang terdiri dari yang lahir dan yang batin

ini menunjukkan dan mengajak kepada berbagai amal perbuatan, baik amal

lahiriah maupun amal batiniah. Amal lahir adalah amal anggota badan bagian lahir

Page 80: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

65

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(luar) dan amal batin adalah amal anggota badan bagian dalam (batin), yaitu amal

hati. Keabsahan kedua ilmu ini dijelaskan al-Sarrâj berasal dari al-Qur an dan

Sunnah Rasulullah Saw. Kemudian, dipertegas bahwa ilmu atau amal yang batin

tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang lahir dan sebaliknya, ilmu atau

amal yang lahir tidak cukup tanpa adanya ilmu atau amal yang batin. Jadi, kedua

ilmu atau amal ini saling membutuhkan, saling melengkapi dan merupakan satu

kesatuan tak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang: ilmu itu lahir sekaligus

batin, al-Qur an itu lahir sekaligus batin, hadis itu lahir sekaligus batin, dan Islam

pun lahir dan batin.

Keberadaan kedua ilmu (lahir dan batin) itu keabsahannya digaransi al-

Sarrâj dinukil dari al-Qur an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, al-

Sarrâj membela keberadaan ilmu batin, ilmu tasawuf atau ilmunya kaum sufi, dari

orang yang mengingkari keberadaannya dan dari ulama zahiriah yang menyatakan

bahwa ilmu yang dipandang berasal dari al-Qur an dan al-Sunnah hanyalah ilmu

syari ah, yang mereka pahami hanya sebagai ilmu yang lahir. Padahal, al-Sarrâj

memahami ilmu syari ah itu bukan saja ilmu yang bersifat lahiriah, tetapi ilmu

yang bersifat lahiriah sekaligus batiniah. Dari perspektif al-Sarrâj ini berarti ilmu

batin atau ilmu tasawuf itu merupakan bagian dari ilmu syari ah, bukan ilmu yang

berbeda dengan syari ah, apalagi bertentangan dengan syari ah. Hanya saja, dapat

dipahami bahwa al-Sarrâj memaksudkan ilmu batin sebagai bagian dari ilmu

syari ah itu berarti ilmu batin adalah ilmu syari ah yang lebih menfokuskan diri

pada segi yang batin atau amalan-amalan batin (hati), meski sama sekali tanpa

meninggalkan pengamalan aspek syari ah yang lahiriah. Secara praktis, ilmu

syari ah yang lahir dan yang batin ini tidak bisa dipisahkan, tapi secara teoritis bisa

dibedakan.

Di situlah ilmu syari ah yang batin, yang disebut ilmu ahli tasawuf atau

kaum sufi, dapat dibicarakan tersendiri. Oleh karena secara teoritis dapat

dibicarakan tersendiri, maka ilmu batin kemudian dianggap sebagai ilmu yang

memiliki kekhasannya tersendiri, yang membedakannya dari ilmu lahir (Sajari,

2008: 108). Akibatnya, tidak dapat dihindarkan, kesan yang muncul kemudian

adalah ilmu batin itu dipahami sebagai ilmu yang berbeda, bahkan bertentangan,

dengan ilmu lahir. Kesan ini diperkuat dengan penggunaan kedua istilah ilmu ini,

yakni ilmu batin selanjutnya disebut sebagai ilmu tasawuf dan ilmu lahir

dinamakan sebagai ilmu syari ah. Akan tetapi, kesan ini tidak akan terjadi kalau

pandangan al-Sarrâj dijadikan rujukan.

Atas dasar itulah al-Sarrâj meminta orang-orang yang senang mengumbar

lidahnya mengumpat wali-wali Allah untuk tidak lagi mengumpat wali-wali Allah,

Page 81: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

66

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yaitu orang-orang pilihan di antara kaum sufi dan kaum sufi adalah orang-orang

pilihan di antara umat Islam (komunitas Muslim) (Nicholson, 1966, h. 122).

Permintaan al-Sarrâj ini dipertegas dengan pernyataannya bahwa tidak

seorangpun boleh mengumbar lidahnya untuk mengumpat wali-wali Allah. Al-

Sarrâj juga melarang mengkiaskan kata-kata atau ungkapan-ungkapan para wali

Allah yang mereka dengar dan sulit mereka pahami dengan pemahaman dan

pendapat mereka sendiri. Larangan pengkiasan ini disebabkan para wali itu, dalam

anggapan al-Sarrâj, berada pada waktunya masing-masing dan berada dalam

kondisi spiritual yang berbeda-beda. Di sinilah al-Sarrâj menyarankan kepada

orang yang tidak menempuh jalan mereka, tidak mengikuti jejak mereka, dan

tidak menuju ke arah yang mereka tuju untuk tidak mengingkari mereka, untuk

menyerahkan urusan mereka kepada Allah, dan untuk mengakui kekeliruannya

telah menyalahkan mereka. Doa pun dipanjatkan al-Sarrâj supaya semuanya

dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Al-Kalâbâdzî pun menjelaskan tentang ilmu

kamu sufi ini. Menurutnya, ilmu-ilmu kaum sufi ( ulûm al-shûfiyyat) adalah ilmu-

ilmu keadaan spiritual ( ulûm al-ahwâl), yang tidak bisa diketahui kecuali oleh

orang-orang yang menempuh dan mengalami keadaan-keadaan spiritual serta

menempati berbagai posisi spiritual (Al-Kalâbâdzî, 1969, h. 104-105).

Berkaitan dengan pelarangan pengingkaran terhadap ilmu tasawuf dan para

wali itu, al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding yang hanya

dipahami orang-orang yang cerdas (fahm al-fuhamâ ) dan yang didapatkan orang-

orang yang intelek ( uqûl al- uqalâ ). Dalam konteks inilah al-Sarrâj berpendirian

bahwa kisah Nabi Mûsâ a.s. dan Nabi Khidhir a.s. sudah cukup untuk dijadikan

sebagai pelajaran. Dalam kisah ini, Nabi Mûsâ a.s. tidak sanggup memahami

makna di balik apa-apa yang dilakukan Nabi Khidhir a.s., padahal Nabi Mûsâ

adalah Nabi dan Rasul Allah yang sudah tentu memiliki keagungan lebih tinggi dari

Nabi Khidhir dan Allah pun menganugerahkan kekhususan kepada Nabi Mûsâ

dengan percakapan (kalâm), kenabian, wahyu, dan kerasulan, yang tidak

dianugerahkan kepada Nabi Khidhir.

Lebih lanjut al-Sarrâj menuturkan kisah Nabi Mûsâ a.s. dan Nabi Khidhir a.s.

itu dari al-Qur an. Al-Sarrâj menyatakan bahwa telah dituturkan di dalam al-

Qur an melalui perkataan seorang Nabi yang lisannya sangat jujur, yang

kejujurannya diakui oleh semua orang, termasuk para musuhnya, yaitu Nabi

Muhammad Saw., tentang ketidakmampuan Nabi Mûsâ a.s. memahami ilmu

seorang yang diakui-Nya sebagai salah satu hamba-Nya, yang terkenal dengan

nama Khidhir. Informasi ini terlihat dari Firman-Nya bahwa Mûsâ bertemu dengan

seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya, yang telah diberi rahmat dari sisi-

Page 82: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

67

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nya, dan yang telah diajarkan ilmu dari sisi-Nya, Lalu mereka bertemu dengan

seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan

kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu

dari sisi Kami (Qs al-Kahfi: 65), sampai Nabi Mûsâ a.s. bertanya kepadanya:

Bolehkah aku mengikutimu? (Qs Al-Kahfi: 66). Ketika Nabi Mûsâ a.s.

mengajukan permintaan kepada seorang hamba-Nya—yang dikenal umat sebagai

Nabi Khidhir a.s.—untuk mengikutinya ini, maka Nabi Khidhir menyetujuinya

dengan syarat Nabi Mûsâ tidak boleh bertanya mengenai apapun kepada Nabi

Khidhir. Bersama Khidhir a.s., menurut al-Sarrâj, Mûsâ a.s. yang memiliki

kemuliaan dan posisi yang kuat di sisi Allah Swt. tidak sanggup memahami apa

yang dilakukan Khidhir a.s. dan tidak sabar untuk tidak mengajukan pertanyaan,

padahal selamanya Khidhir a.s. tidak mungkin akan mencapai derajat Mûsâ a.s.

dalam hal kenabian, kerasulan dan percakapan langsung dengan Allah (al-taklîm).

Kenyataannya, setelah Nabi Mûsâ menyaksikan Nabi Khidhir membetulkan

sebuah dinding rumah yang hampir roboh dan Khidhir tidak mau mengambil

upah—yang sebelumnya Khidhir melakukan perusakan terhadap sebuah perahu

dan membunuh seorang anak—maka Nabi Mûsâ tetap mengajukan pertanyaan

seperti halnya terhadap dua perbuatan Khidhir sebelumnya. Akhirnya, Khidhir

berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan

kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya (Qs al-Kahfi: 78) (Lebih jelasnya, baca Qs al-Kahfi: 60-82; Nicholson,

1966, h. 128-129).

Sehubungan dengan pendapatnya bahwa ilmu itu lebih banyak dibanding

yang hanya dipahami oleh orang-orang yang cerdas dan yang didapatkan oleh

orang-orang yang intelek di atas, al-Sarrâj menginformasikan bahwa Allah Swt.

mengistimewakan Nabi Saw dengan tiga ilmu, yaitu 1) ilmu yang dijelaskan

kepada umatnya yang khusus maupun yang umum, yakni ilmu tentang hudûd

(hukum-hukum pidana Islam), tentang perintah dan larangan; 2) ilmu yang

disampaikan kepada sekelompok sahabat tertentu dan tidak kepada sahabat

lainnya; dan 3) ilmu yang khusus untuk Rasulullah Saw dan tidak seorangpun

sahabat yang mengetahui ilmu ini. Al-Sarrâj memberikan contoh tentang ilmu

yang disampaikan kepada sahabat tertentu dan tidak ke sahabat yang lain seperti

ilmu yang diajarkan kepada sahabat Hudzaifat b. al-Yamân ra.a. tentang

kemunafikan sehingga sahabat Umar b. al-Khaththâb r.a. yang lebih agung dan

lebih mulia darinya pernah bertanya kepadanya: Wahai Hudzaifah, apakah aku

termasuk orang-orang yang munafik?

Page 83: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

68

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ilmu yang semacam itu tercermin pula dari perkataan Alî b. Abû Thâlib r.a.

yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah mengajarinya tujuh puluh bab ilmu

yang tidak diajarkan kepada seorangpun di antara sahabat selain kepada dirinya.

Oleh sebab inilah bila salah seorang sahabat Rasulullah Saw menghadapi suatu

persoalan yang mereka tidak tahu jawabannya, maka mereka bertanya kepada Alî

b. Abû Thâlib r.a. Kemudian, ilmu yang khusus untuk Rasulullah, menurut al-

Sarrâj, adalah ilmu yang dimaksud Rasulullah Saw dengan sabdanya yang

ditujukan kepada para sahabatnya, yaitu sabdanya: seandainya kalian tahu apa

yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, tidak

akan bermesra-mesraan dengan wanita, tidak akan betah berada di atas tempat

tidur, dan tentu kalian akan kabur ke gurun pasir untuk memohon pertolongan

Allah Swt. Nabi Muhammad Saw mengakhiri sabdanya itu dengan bersumpah,

Demi Allah, sungguh aku lebih suka menjadi pohon yang ditebang. (Hadis ini

diriwayatkan oleh al-Bukhârî, al-Hâkim dan al-Turmudzî. Hadis ini diriwayatkan

pula oleh Isrâ îl dari Ibrâhîm b. Muhâjir dari Mujâhid dari Mauriq dari Abû Dzar

dari Nabi Saw.).

Berdasarkan hadis itu al-Sarrâj membedakan antara yang diturunkan dan

yang diberitahukan , Nabi Saw disuruh menyampaikan apa yang diturunkan Allah

kepada Nabi, Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu

kepadamu (Qs al-Mâ idah: 67), bukan disuruh untuk menyampaikan apa yang

Allah beritahukan kepada Nabi Saw. Dengan demikian, al-Sarrâj memahami sabda

Rasulullah yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya andaikan kalian

mengetahui apa yang aku ketahui sebagai petunjuk adanya ilmu yang khusus

diberitahukan kepada Rasulullah yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk

disampaikan kepada umatnya. Ilmu yang diberitahukan khusus kepada Rasulullah

Saw ini merupakan ilmu yang khusus untuk Rasulullah dan Rasulullah tidak

diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya. Apa yang wajib disampaikan

kepada umatnya adalah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw., yang dikenalkan

dengan istilah wahyu.

Oleh sebab ilmu itu ada yang khusus untuk Rasulullah Saw., ada yang

khusus untuk sahabat tertentu, dan ada yang disampaikan untuk semua sahabat,

yang berarti untuk semua umat, maka al-Sarrâj menyatakan bahwa ilmu itu

banyak dan luas. Di sinilah al-Sarrâj menekankan tidak pantasnya seseorang

menyangka dirinya telah menguasai semua ilmu sehingga menyalahkan ucapan

orang-orang yang dikhususkan Allah (al-makhshûshîn), lalu mengkafirkan dan

menzindiqkan mereka. Padahal, dalam penilaian al-Sarrâj, dia tidak tahu

kedalaman keadaan-keadaan spiritual mereka (mumâratsat ahwâlihim),

Page 84: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

69

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tingkatan-tingkatan spiritual mereka (manâzilat haqâ iqihim), dan tidak tahu pula

amalan-amalan mereka (a mâlihim). Al-Kalâbâdzî (1969, h. 106-107)

mengungkapkan pula bahwa daripada menganggap bid ah atau

mengkufurkannya, maka sikap yang paling membawa keselamatan adalah

berprasangka baik.

Selain membagi menjadi lahir dan batin, al-Sarrâj juga membagi ilmu

syari ah menjadi empat macam, yaitu 1) ilmu riwayah, atsar dan khabar, yakni

ilmu yang ditransfer oleh orang-orang terpercaya dari orang-orang yang juga

terpercaya; 2) ilmu dirayah, yakni ilmu fiqh dan hukum-hukum: ilmu-ilmu yang

populer di kalangan ulama dan ahli fiqh; 3) ilmu kias (analogi), debat dan adu

argumentasi terhadap orang-orang yang beda pendapat, yakni ilmu perdebatan

dan pengokohan argumentasi yang melindungi agama dari orang-orang yang

melakukan perubahan agama (ahl al-bida ) dan dari orang-orang yang tersesat;

dan 4) ilmu yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding ketiga ilmu di atas. Ilmu ini

disebut al-Sarrâj sebagai ilmu tentang hakikat-hakikat (haqâ iq) dan tempat

tingkatan-tingkatan spiritual (manâzilât), ilmu tentang tingkah laku spiritual dan

perjuangan-perjuangan spiritual (mujâhadât), ilmu mengenai keikhlasan

melakukan ketaatan, dari segala segi menghadapkan diri kepada Allah Swt., dan

penggunaan seluruh waktu hanya untuk-Nya (Pembagian ilmu syari at yang

dikemukakan al-Sarrâj ini dikutip Taftâzânî ketika ia membahas tentang

perbedaan tasawuf dan fikih. Al-Taftâzânî, 1983, h. 96-8).

Beranjak dari pembagiannya tentang ilmu syari ah itu, al-Sarrâj (t.t., h. 457)

menegaskan bahwa orang yang keliru (ghalath) dalam suatu bidang ilmu tertentu

tidak boleh menanyakan kekeliruannya itu kecuali kepada ahlinya di bidang ilmu

itu. Al-Sarrâj memisalkan, orang yang keliru dalam bidang ilmu riwâyah tidak

diperbolehkan menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang

ilmu dirâyah. Sebaliknya, al-Sarrâj tidak memperbolehkan orang yang keliru dalam

bidang ilmu dirâyah menanyakan kekeliruannya itu kepada seseorang yang ahli di

bidang ilmu riwâyah. Berikutnya, seseorang yang keliru dalam ilmu qias dan debat

dilarang al-Sarrâj menanyakan kekeliruannya itu kepada orang yang ahli di bidang

ilmu riwâyah atau dirâyah. Hal yang sama bagi orang yang keliru dalam ilmu

hakikat dan keadaan-keadaan spiritual ( ilm al-haqâ iq wa al-ahwâl) al-Sarrâj tidak

membolehkan menanyakan kekeliruannya itu selain kepada orang yang

mengetahui maknanya secara sempurna ( âlimâ kâmilâ) di bidang ilmu itu. Di

tempat lain al-Sarrâj menyatakan bahwa seorang penanya selayaknya bertanya

kepada orang yang benar-benar memahami ilmu itu (ya lamu ilmahâ) atau

orang yang memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang ilmu itu

Page 85: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

70

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(mutabahhiran fî ilmihâ). Artinya, sebagaimana penegasan al-Sarrâj, orang yang

keliru dalam suatu bidang ilmu harus menanyakannya ke ahlinya di bidang ilmu

bersangkutan. Demikian pula, bagi al-Sarrâj, jika seseorang menemukan suatu

kekeliruan dalam ilmu realitas-realitas dan keadaan-keadaan spiritual, maka ia

harus bertanya kepada orang yang sempurna ilmunya di bidang ini.

Al-Sarrâj kemudian menegaskan kemungkinan unggulnya ahli hakikat

dibandingkan ahli-ahli di bidang lain. Dalam perspektif al-Sarrâj, seluruh ilmu itu

mungkin saja dapat ditemukan pada diri seorang ahli hakikat, tetapi tidak

mungkin ilmu hakikat dapat didapatkan pada orang-orang di bidang ilmu lain,

kecuali orang yang dikehendaki Allah Swt. Pendapat al-Sarrâj ini didasarkan pada

argumen bahwa ilmu hakikat merupakan buah dan akhir dari segala ilmu dan

puncak terakhir semua ilmu adalah ilmu hakikat. Dengan demikian, sangat

mungkin ahli hakikat itu menguasai berbagai ilmu lain, tetapi ahli-ahli di bidang

ilmu lain tidak mungkin menguasai ilmu hakikat. Al-Sarrâj memposisikan

kedudukan ilmu hakikat sebagai puncak terakhir segala ilmu ini atas dasar bahwa

tatkala seseorang telah sampai pada ilmu hakikat, maka telah sampai pada lautan

tanpa batas, yaitu ilmu hati, ilmu ma rifah, ilmu rahasia hati, ilmu batin, ilmu

tasawuf, ilmu keadaan spiritual, ilmu praktis atau ilmu apa saja yang engkau

kehendaki, maka maknanya sama. Al-Sarrâj lebih lanjut menegaskan bahwa bukan

ahli hakikat yang mengingkari ilmu-ilmu di luar ilmu hakikat, tetapi pendukung

ilmu di luar ilmu hakikat itulah yang mengingkari ilmu hakikat, kecuali yang

dikehendaki oleh Allah Swt. di antara mereka.

Setelah menegaskan ketidakmungkinan ahli ilmu hakikat mengingkari ilmu-

ilmu lain dan justru sebaliknya itu, Al-Sarrâj (t.t., h. 457-8) menyatakan bahwa

setiap orang yang benar-benar mendalami ilmunya dan pemahaman terhadap

ilmu di bidangnya sempurna, maka ia akan menjadi tuan (al-sayyid) bagi teman-

temannya: pasti dia akan menjadi rujukan teman-temannya ketika mereka

menemukan kesulitan di bidang ilmu yang digelutinya. Al-Sarrâj pun

memprediksikan bahwa orang yang terkumpul di dalam dirinya keempat bidang

ilmu itu, maka dia akan menjadi seorang imam yang sempurna (al-imâm al-kâmil),

akan menjadi poros dunia (quthb), sumber alasan (hujjah), dan pelopor

terdepan.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disebabkan mereka hanya

menguasai ilmu yang bersifat lahiriah dan menganggap ilmu hanyalah yang

mereka kuasai itu, maka sekelompok ulama lahiriah melakukan pengingkaran

Page 86: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

71

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap ilmu tasawuf, yang merupakan ilmu yang bersifat batiniah. Dikarenakan

mereka belum pernah memiliki kondisi spiritual sebagaimana yang dimiliki para

wali, maka mereka mengumpat para wali Allah. Merekapun belum pernah

menempuh jalan para wali, belum pernah mengikuti jejak dan menuju ke arah

yang dituju para wali. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan besar disebabkan

mereka mengumbar lidahnya untuk mengumpat para wali. Dalam kerangka inilah

al-Sarrâj menjelaskan kepada mereka untuk membela ilmu tasawuf dan para wali

Allah. Wallâhu a lamu bi al-shawâb.

D. Daftar Pustaka

Al-Sarrâj al-Thûsî, Abû Nashr, (t.t), Al-Luma , Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-

Dîniyyat

Al-Abduh, Muhammad dan Thariq Abdul Halim, (1998), Koreksi bagi Kaum Sufi,

terj. A. Bahauddin dan Muslim Muslih. Jakarta: Kalam Mulia

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid, (t.t) Ihyâ Ulûm al-Dîn, Jilid I, Semarang: Toha Putera

Al-Hujwirî, Alî bin Utsmân al-Jullâbî, Kasyf al-Mahjûb, (1974) Kairo: Muh. Taufiq

Uwaidhat

Al-Hushain, Ahmad bin Abdul Aziz dan Numsuk, Abdullah Mustofa. (2001)

Kesesatan Sufi: Tasawuf, Ajaran Budha!, Jakarta: Pustaka as-Sunnah

Al-Jabiri, Abed, (2003) Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri dari Takwîn al- Aql al-

Arabî, Yogyakarta: IRCiSoD

Al-Kalâbâdzî, Abû Bakr Muhammad, (1969) Al-Ta arruf li-Madzhab Ahl al-

Tashawwuf. Kairo: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyat

Al-Makkî, Abû Thâlib, (t.t) Qût al-Qulûb fî Mu âmalat al-Mahbûb wa Washf Tharîq

al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd, Dâr al-Fikr

Al-Sahamrânî, As ad, (2000) al-Tashawwuf: Mansya uhu wa Mushthalahâtuhu,

Beirut: Dâr al-Nafâ is

Al-Taftâzânî, Abû al-Wafâ al-Ghunaimî, (1983) Madkhâl ilâ al-Tashawwuf al-

Islâm, Kairo: Dâr al-Tsaqâfat li al-Nasyr wa al-Tawzî

Al-Qusyairî, Abû al-Qâsim Abd al-Karîm Hawazin, (t.t) al-Risâlat al-Qusyairiyyat,

Jilid 1, Kairo: Mathba at Uassân

Arberry, A.J., (1979) Sufism: An Account of the Mystics of Islam, London, Unwin

Paperbacks

Baldick, Julian, (1989) Mystical Islam: An Introduction to Sufism, London: I.B.

Tauris & Co Ltd Publishers

Hamiduddin, M., (1995) Early Sufis: Doctrine, dalam M.M. Sharif (Ed.), A History

of Muslim Philosophy, vol. 1. Delhi: Low Price Publications,

Page 87: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

72

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ibn al-Nadîm, (1970) The Fihrist of al-Nadîm: A Tenth-Century Survey of Muslim

Culture, Bayard Dodge (ed), vol 2, New York & London: Columbia

University Press

Jaiz, Hartono Ahmad, (2002) Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar

Johansen, Julian, (1996) Sufism and Islamic Reform in Egypt: The Battle for Islamic

Tradition, Oxford: Clarendon Press

Lory, P., (1997) Al-Sarrâj, dalam The Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill,

Vol. IX, 1997

Mahmûd, Abd al-Halîm dan Surûr, Thaha Abd al-Bâqî. (t.t) Kitâb al-Luma wa

Makânatuhu min al-Tashawwuf al-Islâmî (kata pengantar) dalam Abû

Nashr al-Sarrâj al-Thûsî, al-Luma , Kairo: Maktabat al-Tsaqâfat al-Dîniyyat

Mason, Herbert, (1999) Hallâj and the Baghdad School of Sufism dan Terry

Graham, Abû Sa îd ibn Abî al-Khair and the School of Khurâsân dalam

Leonard Lewisohn (Ed.), The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism

from its Origins to Rumi (700-1300), vol. 1, Oxford: One World

Nasr, Seyyed Hossein, (2003) Tasawuf dan Spiritualitas di Persia, dalam Seyyed

Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi,

Bandung: Mizan

Nicholson, Reynold A., (1996) The Mystics of Islam, London: Routledge and Kegan

Paul Ltd

Nicholson, Reynold A., (1914) Introduction, dalam The Kitâb al-Luma fî l-

Tashawwuf, terj. ke dalam Bahasa Inggris Reynold A. Nicholson, Leyden:

E.J. Brill

Rahman, Fazlur, (1979) Islam, Chicago dan London: University of Chicago Press

Radtke, B., (1998) Al-Sarrâj, dalam Encyclopedia of Arabic Literature, Julie Scott

Meisami dan Paul Starkey (Ed.), vol. 2, London Yew York: Routledge

Sajari, Dimyati, (2008) Pembelaan Abû Nashr al-Sarrâj terhadap Tasawuf dan

Kaum Sufi dalam Kitāb Al-Luma , Disertasi, Jakarta: Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah. Tidak dipublikasi

Sajari, Dimyati, (2014) Loyalitas Kaum Sufi terhadap Syariat dalam Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahkam: Jurnal Ilmu

Syariah, Vol. XIV No. 1, Januari 2014

Sajari, Dimyati, (2015) Keotentikan Ajaran Tasawuf, dalam Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI., Dialog: Jurnal Penelitian dan Kajian

Keagamaan, Vol.38, No.2, Des 2015

Page 88: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Dimyati, (2018) Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 53 - 73

73

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Schimmel, Annemarie, (1975) Mystical Dimension of Islam, Chapel Hill: The

University of North Carolina Press

Sells, Michael A. (Ed.), (2003) Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D.

Slamet Riyadi dari Early Islamic Mysticism, Bandung: Mimbar Pustaka

Page 89: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

74

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam

Abuddin Nata

Pendidikan Agama Islam - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Idealnya, pendidikan Islam harus lebih unggul dibandingkan pendidikan

di luar Islam. Namun dalam realitanya pendidikan Islam masih jauh

tertinggal dibandingkan pendidikan lainnya. Berbagai upaya untuk

mewujudkan pendidikan Islam yang unggul telah dilakukan, namun

hasilnya belum menggemberikan. Tentang sebab-sebab mengapa upaya

mengunggulkan pendidikan Islam tersebut belum berhasil, antara lain

karena upaya yang dilakukan itu masih bertumpu pada pemecahan yang

belum mendasar dan bersifat parsial. Upaya yang mendasar dan

integrated untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul antara lain

dengan membangun epistimologi pendidikan Islam yang unggul, yang

hingga saat ini dianggap belum pernah dirumuskan, termasuk oleh para

ulama dan ilmuwan Muslim di zaman kejayaannya di abad klasik. Melalui

studi terhadap berbagai literatur yang relevan dan otoritatif dengan

analisis kualitatif dan pendekatan filosofis, tulisan ini menawarkan

sebuah bangunan epistimologi pendidikan Islam dengan berbagai

aspeknya yang terkait. Namun sebelum itu, tulisan ini menggambarkan

kondisi objektif pendidikan Islam saat ini serta berbagai faktor yang

mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal.

Kata Kunci: Epistimologi, bayani, irfani, ijbari, burhani, jadali

Page 90: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

75

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Idealnya, pendidikan Islam saat ini baik secara teoritis-konseptual, maupun

empiri-praktikal lebih unggul dibandingkan dengan pendidikan Islam sebelumnya,

maupun pendidikan lainnya. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama,

bahwa kitab suci al-Qur an dan Hadis yang merupakan sumber utama ajaran Islam

memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ayat al-Qur an yang

pertama kali diturunkan misalnya, adalah perintah untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan melalui kegiatan pengajaran, pendidikan dan penelitian. Sementara

itu, di antara Hadis Rasulullah SAW antara lain ada yang berisi perintah belajar

dan mengajar seumur hidup (long life education) dan pendidikan untuk semua

(education for all). Kedua, bahwa keadaan ummat Islam saat ini secara sosial

maupun ekonomi jauh lebih banyak dan lebih kaya dibandingkan dengan ummat

Islam di masa lalu. Modal sosial dan ekonomi yang demikian itu seharusnya

memberi pengaruh yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan Islam.

Ketiga, secara historis, umat Islam memiliki modal sejarah dan contoh yang sangat

berharga bagi kemajuan pendidikannya, yaitu kemajuan dalam bidang

kebudayaan dan peradaban yang pernah dicapai umat Islam di zaman klasik dan

menjadi model bagi kemajuan Eropa dan Barat.

Namun berbagai hal yang dapat menjadi modal bagi keunggulan pendidikan

Islam tersebut belum sepenuhnya dipergunakan. Kondisi objektif pendidikan

Islam yang ada saat ini menunjukkan sebagian ada yang sudah mencapai

kemajuan, dan sebagian lainnya masih dalam ketertinggalan. Transformasi Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang dimulai

sejak tahun 2002 misalnya dapat dilihat sebagai bukti adanya kemajuan

pendidikan Islam. Saat ini sudah terdapat tiga belas Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) yang sudah berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dimulai

dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012; dilanjutkan oleh UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta; UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, UIN Alauddin

Makasassar; UIN Sultan Syarif Qashim Pekanbaru Riau; UIN Ar-Raniri, Banda Aceh,

UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Sunan Ampel, Surabaya; UIN Walisongo

Semarang; UIN Sumatera Utara, Medan, dan UIN Imam Bonjol Padang, dan UIN

Raden Intan Lampung.

Perubahan bentuk kelembagaan telah membawa implikasi pada perubahan

ke arah kemajuan pada berbagai komponen pendidikan Islam. Visi, misi, tujuan,

sasaran, kurikulum, sarana prasarana, sumber daya manusia, pembiayaan,

manajemen pengelolaan dan lainnya mengalami perubahan ke arah yang lebih

maju. Demikian pula beberapa hal yang digunakan sebagai indikator kemajuan

Page 91: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

76

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pendidikan, juga sudah banyak yang dicapai oleh perguruan Islam tersebut.

Adanya sejumlah program studi yang memperoleh rekognisi internasional, karya

tulis kalangan akademisi yang dimuat pada jurnal internasional yang terakreditasi,

hasil kajian dan temuan yang memperoleh hak paten dan hak kekayaan

intelektual, meningkatnya kepercayaan (trusted) masyarakat tingkat internasional

untuk belajar di perguruan tinggi Islam, serta sarana prasarana yang lengkap dan

modern, serta pengelolaan manajemen yang berbasis IT (information technology)

dan profesional, adalah merupakan bukti adanya kemajuan yang dicapai

pendidikan Islam di Indonesia. Kemajuan pendidikan Islam juga dapat dilihat dari

adanya sekolah-sekolah Islam atau Madrasah unggulan, seperti Madrasah Aliyah

Insan Cendekia (AIC) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, SMU Madania, Parung,

Bogor, SMU Al-Izhar, Kemang, Kebayoran Baru, dan SMU Muthahhari. Kemajuan

pendidikan Islam juga dicapai oleh sejumlah pondok pesantren, seperti Pondok

Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Pondok Pesantren

Darul Ulum Jombang, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, dan

sebagainya. Berbagai kemajuan yang dicapai sejumlah lembaga pendidikan Islam

dengan berbagai tingkatannya itu telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,

namun belum tercatat secara lengkap dalam sebuah laporan, mengingat belum

ada penelitian yang merekam tentang dinamika pendidikan Islam secara

komprehensif dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir ini.

Sementara itu kondisi objektif tentang ketertinggalan pendidikan Islam

dibandingkan pendidikan Islam lainnya antara lain dikemukakan para pakar.

Assegaf (t.t.,) misalnya mengatakan: Seharusnya dengan terjalinnya antara

sumber akal dan wahyu dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan

Islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya

pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan Islam yang telah berjalan sejak

dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang

sebagian masih bisa diakses hingga saat ini. Namun saat ini yang diidealkan ini

belum merata. Sebagian ada yang sudah maju, sebagian lagi masih terbelakang.

Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam, praktik dan teori pendidikan

Islam masih kalah dengan teori dan praktik pendidikan Barat. Memudarnya masa

kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan disebabkan olrh multi

faktor. Sementara itu, Idi dan Sumarto (2006), mengatakan: Mengapa kaum

Muslimin tempo dahulu mampu mencapai keberhasilan di bidang kesarjanaan

atau intelektualisme yang menjadi ciri utama masyarakat Muslim perkotaan,

namun kini pendidikan Islam seolah mengalami stagnasi, berjalan di tempat.

Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa ini dihadapkan pada

Page 92: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

77

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

problematika filosofis-epistimologis yang tak kunjung usai. Berbagai wacana dan

tawaran muncul, baik dari kalangan pendidik maupun dari pemerintah dan

peneliti pendidikan Islam dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah krusial ini.

Berbagai tawaran tentang proses, prosedur, metodologi, dan dpendekatan

diajukan dan diwacanakan oleh para pakar guna membangun suatu kerangka

epistimologi pendidikan Islam yang kokoh, dari yang normatif hingga yang historis.

Namun semua wacana dan tawaran ini belum memadai, sehingga tetap

menyisakan persoalan yang hingga kini belum jelas, apakah yang sebenarnya

disebut pendidikan Islam. Sementara itu Daulay (2004, h. 40-41) mengatakan,

bahwa problematika pendidikan Islam antara lain terkait dengan peserta didik

yang beragam latar belakangnya: pemahaman, pengamalan dan penghahayan

agama Islam, pendekatan kognitif, pendekatan parsial, pendidikan agama yang

hanya tanggung jawab guru agama, sarana dan fasilitas yang terbatas, dan

sebagainya. Secara nasional pendidikan Islam yang berada di bawah pengelolaan

Kementerian Agama, mulai dari tingat Taman-kanak atau Raudhatul Athfaal,

masih tertinggal dibandingkan dengan pendidikan umum yang berada di bawah

naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk tingkat dasar dan

menengah, dan tingkat Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kementerian

Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi. Jumlah Sekolah Dasar Negeri (SDN)

misalnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)

dengan perbandingan 95% (SDN):5% (MIN), Jumlah Sekolah Menengah Pertama

Negeri (SMPN) jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan Madrasah

Tsanawiyah Negeri (MTs) dengan perbandingan 10% (SMPN):10 MTs; dan jumlah

Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN/SMAN lebih banyak dibandingkan

Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dengan perbandingan SMUN/SMAN 85%:MAN

15%. Perbedaan status ini dapat dipastikan bahwa sumber daya manusia, sarana

prasarana, pembiayaan dan lainnya yang dimiliki sekolah negeri akan lebih

lengkap dibandingkan sekolah swasta. Keadaan ini juga berlaku pada jenjang

pendidikan tinggi. Secara internasional, ketertinggalan pendidikan Islam, dapat

dilihat dari belum adanya perguruan tinggi Islam yang menempati posisi top

dunia. Laporan World Bank misalnya menempatkan Indonesia pada posisi 113,

dari 147 negara di dunia dalam keunggulan di bidang pendidikan. Hal ini jauh

tertinggal dibandingkan dengan Singapura yang menempati posisi 37 atau

Malaysia yang menempati posisi ke 57.

Pada tataran operasional, pendidikan Islam juga masih belum sepenuhnya

mampu mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam seluruh aspek

kehidupan masyarakat Indonesia:sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain

Page 93: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

78

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagainya, sehingga berbagai aspek kehidupan tersebut bernuansa Islami, yang

pada gilirannya dapat meredam terjadinya penyimpangan moral dan etika yang

terkait dengan kehidupan tersebut, seperti menurunnya angka korupsi, perusakan

lingkungan, kriminalitas, dan berbagai pelanggaran lainnya. Dalam skala yang

mikro, pendidikan Islam sebagaimana yang dilaksanakan di sekolah misalnya

belum sepenuhnya dapat merubah budaya sekolah ke arah yang lebih baik,

seperti budaya menyontek, buang sampah sembarangan, pemerasan, pergaulan

bebas, dan tawuran pelajar. Selain itu, pendidikan Islam juga belum dapat

berkontribusi dalam pemberantasan narkoba, pencegahan lahirnya paham Islam

yang fanatik, eksklusif, fundamentalis, ekstrim, radikalisme, peningkatan wawasan

nasionalisme, patriotisme dan sebagainya. Pendidikan Islam juga belum

sepenuhnya mampu menjawab tantangan globalisasi yang diakibatkan kemajuan

dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam mencegah

terjadinya pergeseran nilai, seperti memudarnya nilai kesalihan, sakralisme,

kepada nilai yang dianggap provan, pragmatisme, sekularisme, permessivisme dan

sebagainya. Pendidikan Islam ditantang untuk mengatasi berbagai masalah

tersebut di atas.

Problema pendidikan Islam secara lebih komprehensif antara lain

dikemukakan Syamsul Affandi, S.S. (Haryono, 2010; 2010) Menurutnya, ada tujuh

belas problematika yang sedang dihadapi pendidikan Islam saat ini, yaitu:

Pertama, kurikulum yang tidak jelas orientasinya; kedua, implementasi pendidikan

Islam masih memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu

klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Ketiga, umat Islam cenderung terbuai

dengan romantisme masa lalu, sehingga mereka sulit dan enggan melakukan

reformasi dan pembaharuan. Keempat, model pembelajaran pendidikan Islam

masih menekankan dan mempertahankan pada pendekatan intelektual verbalistik

dan menegasi interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru dan

murid. Kelima, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Keenam,

persoalan konseptual-teoritis ditandai dengan adanya paradigma dikhotomis

dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal,

dunia dan akhirat. Ketujuh, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas

sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka.

Kedelapan, realitas pola pendidikan Islam yang selama ini dipakai cenderung

mematikan kreatifitas dan memenjarakan peserta didik. Kesembilan, interaksi

guru dan murid seperti subjek dan objek. Kesepuluh, materi dan bahan ajar sudah

tidak layak lagi diajarkan, karerna tidak sesuai lagi dengan literatur perkembangan

zaman. Kesebelas, metode pembelajaran yang selama ini digunakan lebih menitik-

Page 94: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

79

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beratkan pada sistem hafalan bukan proses berfikir logis. Keduabelas, adanya

kesalahan perspektif kebanyakan guru dan umat muslim terhadap anak yang baik.

Mereka menganggap anak yang baik adalah anak yang manis, patuh, pandai

menyesuaikan diri dan memiliki disiplin yang kuat. Sementara anak yang suka

mengkritik atau bandel dianggap anak yang nakal dan durhaka. Ketigabelas, tidak

harmonismya akal dan wahyu. Keempat belas, rendahnya kualitas intelektual dan

penguasaan terhadap teknologi serta profesionalitas tenaga pendidik. Kelima

belas, bentuk kurikulum pendidikan Islam masih sekuler.Keenambelas, terjadinya

proses imperialisme epistimologi Barat terhadap pemikiran Islam, dan

ketujuhbelas, kajian keisalaman saat ini masih banyak pada dataran rasional,

intelektual, etis, dan irfani, sedikit wilayah ilmu terapan, skill dan teknolog. Di

masa sekarang mungkin sebagian masalah pendidikan Islam tersebut sudah

berhasil diatasi, seperi pada orientasi kurikulum yang integrated, pembelajaran

yang kolaboratif, penggunaan bahan ajar yang aktual, dan guru yang profesional.

Namun demikian, masalah pendidikan lainnya masih banyak yang belum

terpecahkan, terutama sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi di era globalisasi.

Terdapat sejumlah masalah yang diduga oleh para pakar sebagai penyebab

tertinggalnya pendidikan Islam dibandingkan pendidikan lainnya, atau sebagai

penyebab pendidikan Islam belum dapat menyelesaikan berbagai masalah yang

dihadapi. Faktor penyebab tersebut antara lain dikemukakan para ahli sebagai

berikut. Abd. Rachmat Assegaf, misalnya mengatakan:

Memudarnya masa kejayaan umat Islam ini bersifat sistemik, kompleks dan

disebabkan oleh multi faktor. Namun unsur politik sebagai faktor dominan,

disusul penutupan pintu ijtihad, kejumudan berfikir, budaya taklid, alergi terhadap

filsafat, sektarianisme dan dikhotomi ilmu dalam lembaga pendidikan Islam

(Assegaf, t.t.,). Sementara itu ada pula yang mengatakan, bahwa di antara

penyebab terjadinya kemunduran pendidikan Islam adalah karena dikhotomi

Ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum. Dikhotomi ini disebabkan karena

berbagai faktor. Pertama, faktor perkembangan ilmu itu sendiri yang bergerak

demikian pesat, sehingga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak

cabangnya. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami

masa kemunduran (1250-1800), dominasi fuqoha yang membagi ilmu ke dalam

fardlu kifayah dan fardlu ain, ilmu pendidikan dianggap ilmu fardlu kifayah yang

apabila sudah diwakili kelompok lain sudah dianggap terwakili. Ketiga, faktor

internal kelemabagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya

pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik,

Page 95: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

80

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hukum, sosial, dan budaya yang dihadapi umat dan negara Islam (Muliawan,

2005).

Selain adanya problematikan dikhotomik pendidikan Islam sebagaimana

tersebut di atas, pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, juga

dipengaruhi oleh faktor hilangnya spirit melakukan riset ilmiah dan tradisi belajar.

Menurutnya orang merasa berdosa kalau tidak melaksanakan shalat, namun tidak

merasa berdosa kalau tidak melakukan kajian ilmiah dan penelitian, padahal

kedua-duanya, yakni shalat dan mengembangkan ilmu juga wajib. Ummat Islam

lebih suka meniru atau mengambil konsep atau teori pendidikan lainnya daripada

merancanya sendiri. Mengkaji dan mengembangkan memang berat karena butuh

kemampuan ekonomi, metodologi, kemauan yang kuat, dan etos ilmiah yang

kuat. Selain itu terdapat pula faktor yang sikap mental membeo, atau meniru atau

membebek tanpa kritis. Demikian pula hilangnya tradisi ilmiah yang pernah

dikembangkan dan dilaksanakan di zaman klasik, yakni selain membaca, menulis

dan meneliti adalah tradisi berbeda pendapat, berdialog, berdebat, rihlah ilmiah,

kritik, mendirikan perpustakaan, lembaga pendidikan, laboratoriuum dean lain

sebagainya, merupakan sebab lain tertinggalnya pendidikan Islam. Selanjutnya

sikap project oriented, tambal sulam, kurang percaya diri, dan malas, merupakan

sebab lain terjadinya ketertinggalan pendidikan Islam.

B. Pembahasan

Epistimologi sebagai Solusi Mengatasi Problema Pendidikan Islam

Selama ini telah banyak gagasan dan pemikiran yang ditawarkan para ahli

untuk mengatasi kelemahan dan berbagai masalah pendidikan Islam sebagaimana

tersebut. Namun berbagai upaya tersebut dipandang belum mendasar dan masih

parsial. Upaya yang bersifat mendasar dan strategis untuk mengatasi masalah

tersebut adalah melalui konsep epistimologis yang dibangun berdasaran ajaran

Islam. Menurut Iqbal, sebagaimana dikutip Idi dan Sumarto (2006), bahwa guna

mengatasi pendidikan Islam perlu dilakukan dengan rekonstruksi yang diberi

landasan filosofis epistimologis. Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dewasa

ini, dihadapkan pada problematika filofis epistimologis yang tak kunjung usai.

Epistimologi atau paradigma ilmu pendidikan Islam itu adalah suatu konstruksi

pengetahuan yan memungkinkan kita memahami realitas ilmu pendidikan sebagai

mana Islam memahaminya. Kontruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai

Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu

dibentuklah praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam.

Pada taraf ini, paradigma Islam epistimologi pendidikan Islam menuntut adanya

Page 96: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

81

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disain besar tentang ontologi epistimologi dan aksiologi pendidikan Islam. Fungsi

paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka

memahami realitas ilmu pendidikan Islam dengan ditopang oleh konstruk

pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada

gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan

realitas pendidikan. Islam sebagai paradigma ilmu pendidika juga memiliki arti

kontstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam,

dengan berpijak pada tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip

kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya ditanamkan

elemen-elemen pendidikan sebagai world view (Pandangan Keduniaan Islam)

terhadap pendidikan (Mujib dan Mudzakir, 2006).

Jika disepakati bahwa epistimologi pendidikan merupakan salah satu solusi

yang paling fundamental dalam mengatasi pendidikan ini, maka sebelum

dikemukakan tentang metode dan pendekatan epistimologi pendidikan Islam,

maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian, peran dan fungsinya,

sumbernya, langkah-langkah dan tokoh yang mengembangkannya sebagai

berikut.

Pengertian Epistimologi Pendidikan Islam

Syamsul Afandi, S.S (Haryono, 2010; Qomari, 2001) mendefinisikan

epistimologi sebagai teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara

mendapatkan pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Selain itu ada pula yang

mengartikan epistimologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat

dan lingkup pengetahuan dan pangandai-pengandaiannya. Sedangkan pendidikan

Islam adalah upaya sengaja untuk memberdayakan segenap potensi manusia

sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu, pendidikan Islam juga dapat

diartikan sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen

yang saling berhubungan yang didasarkan pada ajaran Islam. Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang

diperbaharui dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional

Pendidikan, menyebutkan bahwa komponen pendidikan terdiri dari: visi, misi,

tujuan, sasaran, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pendidik dan

kependidikan, mutu lulusan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan,

lingkungan, dan evaluasi pendidikan. Qomari (2001, h. 251), mengatakan, bahwa

epistimologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk

beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal

usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan

Page 97: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

82

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam macam-macam

pendidikan Islam dan sebagainya. Epistimologi pendidikan Islam bukan hanya

membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang

pendidikan Islam, melainkan mencakup banyak aspek. Dengan demikian,

epistimologi pendidikan Islam adalah kajian filsafat yang membahas tentang

sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan dalam menggunakan dan

mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari ilmu pendidikan Islam

tersebut.

Objek, Tujuan dan Karakter Epistimologi Pendidikan Islam

Objek epistimologi sebagaimana dikemukakan Suriasumantri (1998, h. 104)

dan Syamsul Afandi, S.S., (Haryono 2010, h. 70-71) adalah segenap proses yang

terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, dan sekaligus

mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab pertanyaan

apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang

memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh

pengetahuan, kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi

pusat perhatian dan tujuan epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk

memperoleh pengetahuan, yakni potensi untuk memperoleh pengetahuan

tentang pendidikan Islam. Sejalan dengan itu, Qomar (2001, h. 207) mengatakan,

bahwa epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para

pemikir pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam

secara konseptual, kemudian secara aplikatif.

Peran dan Fungsinya Epistimologi Pendidikan Islam

Melalui epistimologi, selain seseorang dapat mengetahui proses

tersusunnya suatu ilmu, juga memiliki kemampuan untuk menemukan dan

menyusun ilmu tersebut. Dengan epistimologi diharapkan dapat menumbuhkan

kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar memperoleh

pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh

pengetahuan, dan dengan cara demikian seseorang bukan hanya menjadi

konsumen ilmu yang bersifat pasif, melainkan menjadi produsen ilmu yang aktif,

kreatif dan dinamis, serta akan menjadi seorang pengikut, melainkan menjadi

seorang penemu Syamsul Afandi, S.S., (Haryono, 2010, h. 70-71).

Melalui epistimologi, seseorang tidak lagi disuguhi sebuah ilmu yang sudah

jadi dan siap pakai, melainkan diberikan wawasan dan sekaligus pengalaman

dalam mengkonstruksi sebuah ilmu. Untuk itu setiap disiplin ilmu harus memiliki

Page 98: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

83

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

epistimologi. Kekokohan sebuah ilmu selanjutnya ditentukan pula oleh kekohan

epistimologinya. Jika dibandingkan dengan ilmu fiqh, maka epistimologi

merupakan ushul fiqih dan qawa id fiqhiyah-nya. Kekokohan ilmu fiqih ditentukan

oleh ushul fiqh dan qawa id fiqhiyahnya.

Epistimologi pendidikan Islam menuntut segera dibangun oleh para pemikir

pendidikan Islam, karena berfungsi mengembangkan pendidikan Islam secara

konseptual, kemudian secara aplikatif. Dalam kajian Islam selama ini, pendidikan

Islam belum dikembangkan atas kerangka epistimologinya yang jelas. Qomari

(2001, h. 207) misalnya mengatakan: Tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan,

bahwa hingga sekarang ini belum ada sebuah tawaran konseptual mengenai

bangunan epistimologi pendidikan Islam sebagai sarana atau pendekatan dalam

mengembangkan pendidikan Islam. Hal ini berbeda dengan hukum Islam (fiqh) di

mana melalui ushul al-fiqh banyak dikemukakan tawaran-tawaran konseptual

tentang pendekatan-pendekatan epistimologi fiqh seperti qiyas, maslahah

mursalah, istihsan, dan lain-lain.

Sejalan dengan itu, maka epistimologi pendidikan Islam memiliki fungsi

sebagai pengeritik, pemberi solusi, penemu dan pengembang Syamsul Afandi,

S.S., (Haryono, 2010, h. 5). Dengan epistimologi dapat menyadarkan peserta didik,

bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode

tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses pengetahuan di hadapan peserta

didik dibandingkan dengan hasilnya. Epistimologi dapat memberikan pemahaman

dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses

sesuatu kegiatan, pasti akan mengetahui hasilnya. Sebalik orang yang tidak

menguasai epistimologi, akan banyak mengetahui sesuatu, tetapi tidak

mengetahui prosesnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, epistimologi

memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar,yaitu sebagai penentu

atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam. Oleh sebab itu,

jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam pendidikan Islam, maka

yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah epistimologinya. Kekokohan

bangunan epistimologi melahirkan ketahanan dan kekokohan pendidikan Islam

dalam menghadapi pengaruh apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa

masa depan pendidikan Islam sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi

epistimologinya.

Dibandingkan dengan epistimologi pendidikan Barat, sesungguhnya

epistimologi pendidikan Islam jauh lebih kokoh. Namun, kemauan para pakar

pendidikan Islam untuk membangun epistimologi pendidikan Islam yang kokoh

belum nampak. Para pengelola pendidikan Islam saat ini pada umumnya belum

Page 99: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

84

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

melaksanakan pendidikan Islam berdasarkan bangunan epistimologi yang Islami.

Mereka cenderung menerima, meniru, menjiplak dan menggunakan berbagai

teori, konsep dan ilmu pendidikan yang berasal dari Barat tanpa kritik. Dalam

kaitan ini, Qomari (2001) mengatakan, agaknya umat Islam, khususnya para pakar

dan pemikir pendidikan Islam belum menyadari sepenuhnya terhadap

keberadaan, fungsi, peran dan pengaruh epistimologi pendidikan Islam terhadap

masa depan pendidikan Islam. Mereka belum memiliki upaya yang serius untuk

menggarap epistimologi pendidikan Islam. Ini menunjukkan bahwa upaya mereka

selama ini dalam mengembangkan pendidikan Islam tidak didasari proses,

tahapan dan arah yang jelas. Tindakan demikian itu seperti seorang dokter yang

mengobati pasiennya, namun dia tidak tahu penyakitnya, sehingga obat yang

diberikan bukan saja salah, melainkan bisa membahayakan pasien itu sendiri.

Semestinya, dia mengobati berdasaran penyakit yang diderita pasien. Dalam

mengatasi problem pendidikan Islam, seharusnya ditempuh langkah seperti itu.

Apa yang menjadi akar permasalahan itulah yang harus ditangani lebih dahulu.

Sedangkan akar permasalahan itu sendiri adalah epistimologi pendidikan Islam.

Sepanjang pengetahuan saya, demikian Qomari (2001, h. 253) mengatakan,

bahwa epistimologi pendidikan Islam ini belum pernah menjadi perhatian serius

para ilmuan dan pemikir Islam, sekalipun pada zaman kejayaannya. Lebih lanjut

Mujamil Qomari mengatakan: Kita belum pernah menjumpai pendekatan-

pendekatan epistimologi pendidikan Islam yang ditawarkan oleh para ulama atau

pemikir Islam untuk menjadi sarana mengembangkan dan memajukan pendidikan

Islam. Perhatian terhadap epistimologi justru terkalahkan oleh perhatian terhadap

tata krama dalam belajar atau kode etik pelajar yang telah dituangkan dalam Kitab

Ta lim al-Muta allim yang belakangan ini acapkali digugat. Kita mesti menyadari

sepenuhnya bahwa epistimologi pendidikan Islam itu harus menjadi perhatian

utama meskipun terlambat. Kita harus mentradisikan epistimologi itu menjadi

bahasan utama dalam proses pendidikan kita. Hal ini pula yang dianjurkan oleh

Abdul Munir Mulkan (1993, h.56) dengan mengatakan, jika sasaran utama

pendidikan Islam adalah diperolehnya sejumlah pengetahuan oleh peserta didik,

maka proses belajar mengajar seharusnya menempatkan epistimologi sebagai

pendekatan utama.

Karena umat Islam belum memiliki epistimologi pendidikan Islam, maka

secara terpaksa atau seenaknya menggunakan epistimologi pendidikan Barat.

Berbagai akibat negatif dari penggunakan ilmu pendidikan Barat terhadap sikap,

watak, kepribadian, karakter dan mental peserta didik lepas dari

pertimbangannya. Dalam keadaan ini pendidikan Islam terperangkap dalam

Page 100: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

85

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pepatah minyak babi cap onta , yakni mereknya unta yang menggambarkan

lambang kehalalan dan Islami, sedangkan isinya babi yang melambangkan

keharaman dan bertentangan dengan Islam (tauhid). Dalam kaitan ini Qomari

(2001) mengingatkan, bahwa pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan

Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetapi tidak layak dijadikan sebagai sebuah

model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun, dan ramah

terhadap kehidupan manusia. Pendidikan Barat hanya maju secara lahiriyah,

tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani lantaran bersifat kuantitatif.

Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut seberapa jauh

pengetahuan yang dapat diserap oleh peserta didik, tidak memperhatikan apakah

tumbuh kesadaran dari peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan

yang dikuasainya. Lebih lanjut Muhammad Mubarok, (Qomari, 2001) bahwa

karakteristi sistem pendidikan Barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan

kebudayaan abad XVII-XIX yang ditandai dengan isolasi agama, sekularisme

negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai

etika yang kemudian digantikan dengan pragmatisme. Dengan demikian, corak

pendidikan Barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu

pengetahuan. Di Barat, ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera,

sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindera dan

dinalar saja. Hal ini berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam

Islam, yang selain berdasarkan panca indera dan akal, juga berdasarkan wahyu

dan intuisi. Kata Islam yang terangkai dalam epistimologi pendidikan Islam tidak

untuk formalitas, tetapi memiliki implikasi-implikasi yang jauh, di mana wahyu

Allah, baik al-Qur an maupun al-Sunnah ditempatkan sebagai pemberi petunjuk

ke arah mana proses pendidikan digerakkan, apa bentuk tujuan yang ingin dicapai,

dan lain-lain. Di samping itu, wahyu juga dijadikan sebagai alat pemantau

perkembangan pendidikan Islam, apakah telah sesuai dengan petunjuk-

petunjuknya atau telah menyimpang sama sekali dari petunjuk itu. Jadi, dalam

epistimologi pendidikan Islam, wahyu diperankan secara aktif mendampingi akal

(Qomari, 2001, hal. 222) Di dalam al-Qur an surat al-Nahl, (16) atau 78 manusia

dianjurkan menggunakan tiga potensi yang dimilikinya dalam mengkaji dan

mengembangkan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut selengkapnya berarti: Dialah

Allah yang mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam ketiadaan

memiliki ilmu pengetahuan. Kemudian Allah menjadikan bagimu pendengaran

(salah satu dari pancaindera), pemikiran (al-abshaara) dan hati nurani (al-af idah)

agar kamu bersyukur. Selanjutnya dalam surat al-A raf, (7) ayat 179 dinyatakan

agar manusia tidak menjadi orang yang al-ghafilun (lalai dan lengah) dan

Page 101: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

86

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disamakan dengan binatang ternak, yaitu yang panca indera, akal dan hatinya

hanya dapat melihat hal-hal yang nampak, namun tidak mau melihat sesuatu di

balik yang nampak, yaitu wilayah metafisis dan wilayah ghaib yang dapat dilihat

dengan mata hati atau intuisi.

Sumber, Landasan dan Metode Epistimologi Pendidikan Islam

Sebagai bagian dari cabang ilmu keislaman, pendidikan memiliki sumber

yang berasal dari al-Qur an, hadis, alam jagat raya, fenomena sosial, akal pikiran

dan hati nurani, yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Sumber dan Landasan Epistimologi Pendidikan Islam

Dari kandungan surat al-Nisa (4) ayat 59 yang artinya: Wahai orang-orang

yang beriman Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri

(pemegang kekuasaan) diperoleh pengertian bahwa sumber pendidikan Islam

adalah al-Qur an dan hadis yang bersifat primer, dan produk pemikiran yang

dihasilkan para ulama atau umara sebagai sumber sekunder. Selanjutnya dari

surat al-Baqarah, (2) ayat 129 yang artinya: Ya Tuhan kami, utuslah di tengah

mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan

kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada

mereka; serta surat Ali Imran, (3) ayat 164, yang artinya: Sungguh, Allah telah

memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah)mengutus seorang

rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang

membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan

mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun

sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata; dapat diperoleh

petunjuk, bahwa sumber pendidikan Islam selain al-Qu an dan Hadis sebagai

sumber primer, juga ayat-ayat Allah yang ada di alam jagat raya yang selanjutnya

disebut ayat kauniyah, ayat-ayat Allah yang terdapat di dalam diri manusia, dan di

dalam masyarakat sebagai sumber sekunder. Di dalam berbagai ayat-Nya yang

sudah sangat dimaklumi bahwa penciptaan langit dan bumi serta pergantian

waktu siang dan malam adalah ayat-ayat Allah bagi ulul al-bab, yaitu orang yang

dapat mengintegrasikan daya fikir dan daya dzikir untuk menemukan temuan

ilmiah dan hikmah keagungan Allah. (Qs. Ali Imran, 3:190, al-Maidah, 5:75, al-

An am, 6:16-26, al-Ra d, 13:2) dan ayat lain. Demikian pula dari surat Fushilat (41)

ayat 53 yang artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami

di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka

bahwa Al-Qur an itu benar , dapat diketahui bahwa sumber ilmu ada pada ayat

dalam alam jagat raya, dan ayat dalam diri manusia.

Page 102: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

87

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari analisis terhadap beberapa ayat tersebut dapat diketahui sumber

pendidikan Islam, yakni al-Qur an, al-hadis, alam jagat raya, diri manusia dan

fenomena sosial. Dari kajian terhadap ayat-ayat al-Qu an, dapat diketahui

ideologi pendidikan Islam, yaitu humanisme teo-centred, orientasinya yang jangka

panjang dan masa depan, pendekatannya yang memadukan antara teacher

centred dan student centred, pengelolaannya yang memuaskan peserta didik dan

profesional, mutunya yang unggul; muatan kurikulumnya yang komprehensif

antara kecerdasan akal (head), kecerdasan hati nurani (heart), dan keterampilan

(hand), serta prinsip-prinsip lainnya. Sedangkan kajian terhadap alam jagat raya

dapat diperoleh informasi bahwa alam jagat raya merupakan sebuah kitab besar

yang apabila dibaca akan menghasilkan ilmu pengetahuan dan bahan ajar berupa

sains atau natural sciences. Kemudian kajian terhadap diri manusia akan

menghasilkan informasi tentang bakat, minat, instink, fithrah, akal, hati nurani,

amarah, syahwat, ruh, al-hawa, sirr, dzauq, dan berbagai potensi lainnya tentang

potensi intelektual, jiwa dan batin manusia yang diperlukan sebagai dasar dalam

melakukan komunikasi dan pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar.

Selanjutnya pemahaman terhadap fenomena sosial dapat ditentukan kebutuhan

dan harapan masyarakat terhadap pendidikan. Selanjutnya khusus terhadap

kajian terhadap hati nurani akan dihasilkan ilmu yang langsung diberikan oleh

Tuhan, yang disebut al-hikmah, al-ma rifah, al-mauhubah, al-laduni, al-

isyraqiyah, al-faid, dan al-mukasyafah (Omar Mohammad al-Tomy al-Syaibany,

1979).

Dengan menggunakan seluruh sumber ajaran Islam yakni al-Qur an, hadis,

alam jagat raya, diri mansia dan fenomena sosial secara komprehensif dan

seimbang, maka berbagai hal baik yang berkaitan dengan dasar, prinsip, sifat,

watak, karakter pendidikan Islam dapat dirumuskan. Penggunaan sumber

pendidikan Islam tersebut harus menggunakan landasan yang menurut Syamsul

Afandi, landasan tersebut adalah metode ilmiah. Dalam hubungan ini, ia

mengatakan:

Landasan epistimologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan

ilmu pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan

yang mapan jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistimologi ilmu adalah

metode ilmiah. Yaitu cara yang dilakukan ilmu dalm menyusun pengetahuan yang

benar (Haryono, 2010, h. 70-71). Qomari (2001) menyebutkan adanya lima

metode epistimologi pendidikan Islam, yaitu metode rasional, intuitif, dialogis,

komparatif dan kritik. Menyebutkan dialogis atau mujadalah, kritik dan

komparatif sebagai metode cukup tepat, karena banyak didukung para ahli.

Page 103: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

88

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Namun penggunaan rasional dan intuitif sebagai metode nampaknya kurang

tepat. Rasional adalah sifat atau sesuatu yang bersifat akal, atau masuk akal.

Sedangkan metodenya mujadalah, kritik, qiyas, dan istihsan. Demikian pula intuitif

merupakan sifat yang bersifat batiniyah atau hati nurani. Sedangkan metodenya

adalah irfani melalui tazkiyah al-nafs, atau melalui al-takhalli, al-tahalli dan al-

tajalli. Sedangkan metode yang digunakan untuk menggali sumber dari al-Qur an

disebut metode bayani; meode yang digunakan untuk menggali sumber alam

disebut metode ijbari, dan metode untuk menggali fenomena alam disebut

metode burhani. Sementara itu Kartanegara (2005) menyebutkan adanya lima

macam metode ilmu pengetahuan, yaitu pengamatan indra (observasi),

penyelidikan akal,pengalaman mistik atau pengamatan hati (intuisi), metode

irfani, dan metode bayani. Dalam pembagian metode ilmiah yang dikemukakan

Mulyadhi Kartanegara ini ada kemiripan dengan yang dikemukakan Qomari

(2001), yaitu pada metode rasional dan intuitif. Namun demikian, pada teori

metodologi yang dikemukakan Mulyadhi ini ada kerancuan atau pengulangan

antara pengalaman mistik atau pengamatan hati (intuisi) dengan metode Irfani.

Sementara itu pada metode yang rasional atau penalaran rasional, Mulyadhi

memasukan membaginya menjadi metode syi ri (puitis) sebagai yang terbawah,

diikuti dengan kithabi (rethorik), mughalithi (sofistik), dan jadali (dialektika), dan

puncaknya burhani (demonstratif). Sementara itu Adnin Armas (2013),

mengemukakan adanya dua pendekatan dalam memahami studi Islam, yaitu

pendekatan ilmiah, sebagaimana yang dilakukan para orientalis modern, dan

pendekatan teologis sebagaimana yang dilakukan dalam studi Islam dengan

berbagai cabangnya, yaitu metodologi yang berasal dari Hadis, Ushul Fiqh, dan

Tafsir. Pada tulisan Adnin Armas ini tidak disinggung tentang metode

pengamatan, eksperimen, rasional dengan berbagai bagiannya, intuisi dan

burhani, melainkan hanya difokuskan pada metode yang dapat dikategorikan

sebagai metode bayani atu ijtihdi.

Dengan melihat dan mengkaji pemikiran tersebut di atas, tulisan ini

memilih pembagian metode pengembangan ilmu pendidikan Islam ini meliputi

metode bayani, ijbari, burhani, jadali, dan irfani. Metode bayani diambil dari

kajian ilmu agama Islam; ijbari diambil dari kajian ilmu alam; burhani diambil dari

kajian ilmu sosial, jadali diambil dari kajian filsafat, dan irfani diambil dari tasawuf,

berbagai metode lainnya akan dimasukan ke dalam lima rumpun metode ini.

Kelima rumpun metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Page 104: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

89

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Metode Epistimologi Pendidikan Islam

Metode al-Bayani/al-Tabyin

Al-Bayani atau al-Tabyin berasal dari bahasa Arab, bayyana yang berarti

menerangkan atau menjelaskan. Kosakata ini antara lain digunakan dalam ayat:

Dan Kami turunkan al-zikra (al-Qur an) kepadamum agar engkau menerangkan

kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka

memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 44). Dan juga dapat dipahami dari ayat: Hai

orang-orang yang beriman, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu

membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak

mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu

menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurat, 49:6). Melalui proses tabayyun ini,

Nabi Muhammad SAW menjelaskan ayat-ayat al-Qur an yang bersifat mujmal

(global), mutlaq, aam (umum), mutaradif, dan yang secara lahiriyah terkesan

berlawanan, sehingga ajaran al-Qur an tersebut secara teoritis, teknis dan praktis

dapat dilaksanakan. Hasil penjelasan Nabi melalui metode tabayyun dituangkan

dalam hadisnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun persetujuan (Nata,

2011). Kartanegara (2005) mengatakan, bahwa metode bayani telah ditempuh

oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai

bahasa simbolis. Dengan metode ini, para pakar pendidikan Islam dapat

memahami, dan menghasilkan dasar-dasar, prinsip-prinsip, pedoman, orientasi,

visi, misi dan tujuan tentang berbagai aspekb pendidikan. Upaya ini umumnya

banyak dilakukan para pakar pendidikan dari Timur Tengah, seperti yang

dilakukan oleh Anwar al-Bazz melalui kitabnya yang berjudul Tafsir al-Tarbawiy,

sebanyak tiga jilid; Muhammad Quthb dengan bukunya Manhaj al-Tarbawy, Ali

Khalil Abu al-Ainain: Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur an; Salih Abdullah Shalih,

Islamic Education:Qur anic Outlook, Abuddin Nata, Tafsir al-Tarbawi, Pendidikan

dalam Perspektif al-Qur an, dan masih ada yang lainnya. Langkah-langkah yang

ditempuh pada umumnya sama dengan langkah yang ditempuh para mufassir.

Yaitu metode tahlili yang langkah-langkah dan urutannya mengikuti susunan surat

dan ayat di dalam al-Qur an, dimulai dari surat al-Fatihah diakhiri surat an-Naas,

menjelaskan hubungan antar surat dan ayat, sebab turun ayat, makna mufradat,

susunan kalimat dari segi nahwu sharaf, menggunakan ilmu bantu ushul fiqh dan

qawa id fiqhiyah, hadis-hadis Nabi, ilmu yang relevan, analisis dan kesimpulan.

Selain itu dapat pula digunakan cara muqarin:perbandingan pada ayat-ayat yang

memiliki kemiripan redaksional; metode ijmali dengan mengambil makna yang

umum, dan metode maudlui (tematik), misalnya bertema Konsep Kurikulum

dalam al-Qur an, dilanjutkan dengan menghimpun ayat sesuai tema, memilih

Page 105: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

90

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hadis, menjelaskan hubungan ayat, menggunakan ilmu bantu, menganalisis dan

menyimpulkan (Nata, 2011). Catatan yang unik di sini adalah, penggunaan istilah

bayani sebagai metodologi untuk menjelaskan kandungan al-Qur an yang dalam

prakteknya para ulama lebih suka menggunakan istilah tafsir atau ta wil. Belum

ada penjelasan tentang penggunaan istilah tafsir untuk kerja menjelaskan

kandungan al-Qur an. Sementara itu istilah tabayyun yang terdapat dalam surat a-

Hujurat (49) ayat 6 sebagaimana tersebut di atas lebih dekat kepada metode kritik

atau metode debat yang merupakan bagian dari metode jadali.

Metode Ijbari

Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab (Kamus Bahasa Arab) ajbara yujbiru

ijbaaran yang berarti memaksa, menekan atau merusak. Orang yang

melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat Tuhan adalah al-

Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama dengan eksperimen atau uji

coba, yang langkah-langkahnya antara lain: (1) menyusun hipotesis atau daftar

pertanyaan; (2) menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti

binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan, bahan makanan, minuman,

dan sebagainya; (3) menyiapkan peralatan laboratorium yang akan digunakan; (4)

melakukan langkah-langkah yang ditetapkan; (5) menganilisis dengan pendekatan

komparasi, dan (6) menyimpulkan (Nata, 2012). Metode ini digunakan untuk

pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran

klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli kedokteran klinik dan medik dengan

bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil penelitian eksperimen (Kartanegara,

2005). Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih

belum banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan

metode bayani, irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para

peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam

model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi

dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar

pendidikan Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan

menggunakan metode ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus

dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau

three in one, yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini

dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya

dikembangkan oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern

Darussalam, Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat

dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.

Page 106: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

91

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Metode Burhani

Kosakata burhan berasal dari kata baraha, yabrohu, buhaanan, yang

artinya keterangan, fakta atau data. Imam al-Zarqni misalnya menggunakan kata

burhan untuk kitabnya yang berjudul al-Burhan fi Ulum al-Qur an. Sebagai sebuah

metodologi, al-Burhan dapat diartikan observasi atau pengamatan dengan

menggunakan pancaindera. Dengan menggunakan pancaindera: penglihatan,

pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencicipan, dapat mengenal objek-objek

yang ada di se keliling kita dari lima dimensinya: bentuk, bunyi, bau, raba dan

rasanya. Selain itu dengan observasi juga dapat diperoleh informasi tentang

bahaya atau manfaat dari benda-benda tersebut bagi diri kita penelitian jenis ini

dianggap penelitian yang paling bisa diandalkan. Padahal hasil pengamatan

indriawi tidaklah cukup untuk memberi atau mencerap objek-objek fisik itu

sebagaimana adanya. Ibn Haitsan (w.1039) dalam bukunya al-Manazhir, telah

dengan cermat menjelaskan ketidakmampuan mata untuk bisarmemersepsi

objek-objeknya secara akurat, dengan menjelaskan beberapa sebabnya.

Menurutnya, akurasi pengamatan mata bisa terganggu oleh bebrapa faktor: (1)

jarak yang terlalu jauh; (2) ukuran yang terlalu kecil; (3) pencahayaan yang terlalu

terang; (4) pencahayaan yang terlalu redup; (5) terlalu lama memandang; (6)

kondisi mata yang tidak sehat, dan (7) transparansi. Ilmu-ilmu sosial, seperti

sosiologi, sejarah, arkeologi, antropologi, fenomenologi, dan etnografi misalnya

adalah hasil penelitian dengan metode burhani. Namun demikian, ada pula yang

memasukan metode burhani ini sebagai bagian dari metode jadali atau metode

rasional dan burhani diartikan demonstrative. (Kartanegara, 2005). Riset dengan

metode al-burhani banyak dilakukan oleh para sarjana Barat yang menghasilkan

buku tentang sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, sejarah pendidikan,

antropologi pendidikan, politik pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa pakar

pendidikan Islam yang meneliti pendidikan Islam dengan metode burhani ini

jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan metode ijbari. Hasilnya antara lain:

Sejarah Pendidikan Islam oleh Mahmud Yunus, yang dilanjutkan oleh Karel

Steenbrink, Deliar Noer, Zamakhsyari Dhofier, M. Maksum, Hanun Asrohah,

Abuddin Nata, dan yang lainnya.

Metode Jadali

Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti

perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana

dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling rendah pada yang tertinggi,

yaitu: syi ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik), jadali (dialektik) dan

Page 107: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

92

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

burhani (demonstratif). Qomari (2001) memasukan metode jadali sebagai salah

satu metode epistimologi pendidikan Islam yaitu upaya menggali pengetahuan

pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk

percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasaran

argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur an antara lain dengan kalimat

yas aluunaka (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah.

Misalnya tentang apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang

di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217), khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219)

anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2: 222), (Q.S. al-

Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra , 17:85).

Dialog menimbulkan sikap saling terbuka, saling memberi dan menerima,

memahami pola pikir orang lain yang diajak dialog, saling introspeksi diri,

menghargai pandangan atau pendapat orang lain. Dialog ilmiah tidak mengenal

kepentingan ideologi, politik dan sebagainya, melainkan hanya kebenaran

pengetahuan. Dialog ilmiah tersebut berperan dalam memperkaya peradaban,

kebudayaan atau lebih spesifik lagi ilmu pengetahuan, serta dapat melahirkan

pemahaman yang jernih, wawasan yang luas dankomprehensif serta pengetahuan

yang baru sama sekali. Dari tradisi dialog ini dapat ditumbuhkan ketajaman

analisis, ketajaman berfikir, ketajaman mengkritik dan ketajaman menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang duajukan. Melalui dialog dapat terjadi saling

pengertian antara konsep teoritis-empiris dengan konsep normatif agama; apa

yang dimaui oleh ilmu sosial dan apa yang dimaui oleh ilmu agama, yang

bermuara pada kemauan yang sama, yakni kebahagiaan dan ketenteraman hidup

manusia. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperoleh

jawaban-jawaban yang signifikan daam mengembangkan pendidikan Islam

tersebut. Dalam aplikasinya, metode dialog ini dapat dilakukan dengan pasangan

dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, atau

dengan mengundang para pakar pendidikan Islam untuk berdialog. Langkah

selanjutnya dengan mengidentifikasi tema-tema dialog yang berkaitan dengan

persoalan-persoalan pendidikan yang terdapat di dalam al-Qur an dan hadis yang

selanjutnya akan ditemukan prinsip-prinsip dan inspirasi-inspirasi yang

membutuhkan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut. Riset pendidikan Islam

dengan menggunakan metode jadali jadali antara lain dilakukan oleh Omar

Muhammad al-Toumy al-Syaibani, dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam,

Muzayyin Arifin dengan bukunya Filsafat Pendidikan Islam.

Page 108: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

93

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Metode jadali (kririk) adalah sebagai usaha menggali pengetahuan tentang

pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan suatu konsep atau aplikasi

pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya.

Dengan demikian, dasar atau motif timbulnya kritik bukan karena adanya

kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan

yang harus diluruskan. Kritik diperlukan dalam rangka menguji validitas

pengetahuan. Kritik lahir dari proses berfikir secara cermat, jernih dan mendalam,

sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori,

pemikiran-pemikiran maupun praktek-praktek yang dikritik. Dengan demikian,

melalui kritik ini sebuah konsep atau teori makin kokoh, karena hal-hal yang

lemah dari teori dan konsep tersebut akan dapat disingkirkan. Selama ini

bangunan ilmu pendidikan Islam masih terlihat rapuh, karena didasarkan pada

tiruan-tiruan pendidikan Barat yang diterimanya tanpa kritik. Metode kritik dapat

dimanfaatkan untuk menunjukan kelemahan-kelemahan dari bangunan ilmu

pendidikan Islam secara mendetail, kemudian memberikan dorongan untuk

melakukan pembongkaran terhadap bangunan ilmu pendidikan Islam itu. Dengan

cara demikian, bangunan ilmu pendidikan Islam akan kokoh.

Metode irfani

Kosakata irfani berasal dari bahasa Arab berasal dari kata arafa, yu rifu,

irfaanan, dan ma rifah, yang secara harfiah berarti pengetahuan tentang hakikat

segala sesuatu dengan menggunakan indera batin, hati nurani atau intuisi.

Kartanegara (2001), mengatakan, metode irfani tidak didasarkan pada

pengamatan indriawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intusi.

Di kalangan ulama atau sarjana Muslim pengunaan metode irfani yang berbasis

intuisi sudah tidak mengalami penolakan, melainkan sudah menerimanya, dengan

nama yang berbeda-beda. Al-Ghazali menyebutnya al-ma rifah, Ibn Sina

menyebutnya al-Faid (emanasi-limpahan), al-Syirbashy menyebutnya Ilmu

Mauhubah, Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, ulama menyebutnya ilmu

laduni.

Sementara itu metode intutitif adalah metode yang mendominasi kalangan

ilmuwan Muslim; sedangkan bagi ilmuan Barat, metode intuisi tidak mendapat,

dan karenanya mereka menolak keras dan meninggalkannya. Muhammad Iqbal

misalnya menyebut intuisi dengan peristilahan cinta, pengalaman kalbu,

sedangkan Ibn Arabi menamakannya sebagai pandangan, pukulan, lemparan atau

detik, dan tingkatan metode, maka metode intuitif ini biasa disebut metode

apriori. Yaitu adanya pengetahuan yang diperoleh sebelum didahului oleh

Page 109: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

94

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengalaman atau penelitian. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan

intuitif itu adalah pengetahuan yang tiba-tiba dianugerahkan Tuhan dan tidak

melalui pengalaman sama sekali. Namun demikian, dalam pengalaman yang

dilakukan para sufi sesungguhnya datangnya pengetahuan melalui intuisi ini ada

bermacam-macam. Mulai dari yang tertinggi, sedang dan yang biasa. Ketika

seseorang buang air, kemudian tiba-tiba datang ide, maka hal itu termasuk bagian

dari ilmu melalui intuisi yang sedang; namun ketika seseorang mendapatkannya

melalui shalat istikharah atau berdo a, maka hal itu termasuk pengetahuan intusi

dengan cara yang sedang. Dan jika menggunakan metode mujahadah, riyadhal,

inabah, mu aqabah, dan mukasyafah, maka hal itu termasuk dalam kategori

berat, dan proses inilah yang selanjutnya dikenal dengan kegiatan persiapan

(prefaration) atau idadiyah. Tentang adanya metode intuitif ini dijelaskan lebih

lanjut oleh Karthanegara (2001) sebagai berikut. Kita masih membutuhkan

sebuah pendekatan atau metode lain yang dalam khazanah epistimologi Islam

bisa disebut metode irfani atau intuitif, ketika hati (intuisi) memegang peranan

kunci. Ciri khas metode irfani ini adalah sifatnya yang langsung-tidak melalui

perantara sehingga sering disebut mukasyafah (penyingkapan) langsung dari

Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang

ada. Metode ini tidak dilakukan melalui pencerapan pancaindera atau penalaran

akal, tetapi melalui ilmunasi yang diarahkan Tuhan pada mati manusia. Caranya

bukan dengan mempertajam pengamatan indra, bukan pula misalnya dengan

menggunakan alat yang semakin canggih, melainkan mengasah kepekaaan hati

manusia dengan cara membersihkannya dari debu egoisme dan kotoran-kotoran

dosa. Jadi tugas manusia di sini adalah menjaga kebersihan hati seseorang

(tazkiyah al-nafs) yang biasanya telah diatur atau dirumuskan sedemikian rupa

oleh seorang sufi.

Sejalan dengan itu, Muthahhari (2010) mengatakan bahwa Al-Qur an tak

hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja yang mengingatkan manusia agar

memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial,

memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri manusia yang merupakan salah sau

dari alam ini, hal ini cukup jelas serta tidak perlu ada pembahasan lagi. Tetapi hal

itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala yang ada di

dalam dan yang batin. Al-Qur an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir,

dan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa al-Qur an hanya

menaruh perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi adalah suatu

ungkapan yang salah Hal itu, dikarenakan kita menganggap perhatian al-Qur an

Page 110: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

95

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafsiran atas pelbagai perkara

yang sifatnya, metafisik, batin, gaib, dan maknawiah.

Tidak hanya dari kalangan ulama Islam saja yang menerima intuisi sebagai

bagian dari metode epistimologi ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu

pendidikan Islam pada khususnya. Karl R. Popper sebagaimana dikutip Qomari

(2001) misalnya mengakui hal itu. Lebih lanjut ia mengatakan: Epistimologi tak

berpretensi untuk mereka-reka resep. Epistimologi hanya dapat memberikan

kerangka logis dan prosedur pengujiannya. Tak ada metode logis untuk

menelorkan ide-ide baru. Setiap penemuan memuat suatu elemen rasional atau

suatu intuisi kreatif. Penegasan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan,

bahwa teori-teori pengetahuan bisa terbentuk ternyata seringkali, karena

sumbangan intuisi yang disebut dengan intuisi kreatif yang menunjukkan bahwa

intuisi ini tidak pasif, sebagaimana diduga sebagian orang, melainkan bisa

digerakkan secara kreatf untuk menemukan sesuatu pengetahuan.

Terdapat berbagai istilah atau nama yang ditujukan kepada ilmu yang

dihasilkan melalui intuisi ini. Ahmad Asy-Syirbashi dalam Tarikh al-Tafsir (1985),

menyebutnya sebagai ilmu al-mauhubah dan memasukannya sebagai salah satu

syarat bagi seorang mufassir. Yaitu ilmu yang dikaruniakan Allah SWT langsung

kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Sehubungan dengan itu, sebuah hadis

menyebutkan, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, Allah akan mengaruniakan

kepadanya pengetahuan tentang sesuatu yang belum diketahuinya. Imam al-

Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, al-Ghazali menyebutnya ma rifah, Ibn

Sina menyebut al-faid (limpahan atau iluminasion), orang pesantren

menyebutnya ilmu laduni, orang jawa menyebutnya wangsit, dan seterusnya.

Di kalangan sarjana Barat sebagian besar menolak metode intuitif, dan ada

sebagian kecil yang meneimanya. Bagi yang menolak hal yang terjadi bukan hanya

kemampuan intuisi yang dinafikan oleh filsafat modern, melainkan keberadaan

intuisi itu sendiri. Perdebatan antara menerima dan menolak intuisi sebagai

bagian dari epistimologi ilmu hingga saat ini belum berakhir, tidak ada kata

sepakat, bertolak belakang, dan terus berjalan tanpa bertegur sapa. Di kalangan

filosof-filosof modern Barat, intuisi ini tidak diperhitungkan sama sekali. Mereka

begitu kokoh dalam memegangi metode rasional dan metode empiris. Mereka

sangat fanatik dengan metode empirik dan rasional. Mereka misalnya

mengatakan: Jika metode rasional dapat diuji dengan akal pikiran dan metode

empiris dapat diuji dengan bukti-bukti, maka bagaimana menguji metode intuisi.

John Stuart Mill misalnya mengatakan, bahwa cara kerja dan keabsahan intuisi

yang demikian akan jatuh di luar lingkup pengujian. Dengan kata lain, persepsi

Page 111: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

96

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat diuji. Di sinilah salah satu

letak problem intuisi ketika dijadikan sebagai suatu metode atau pendekatan

untuk menemukan pengetahuan. Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk

menguji kebenaran atau keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari intuisi. Di

samping itu, kelemahan lain dari intuisi adalah bahwa manusia menjadi bersikap

pasif sama sekali. Mestinya manusia harus dinamis atau progressif. Dalam berfikir

intuitif ini memang manusia berada pada posisi yang lemah. Padahal yang

dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan

sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan

pengetahuan yang dianugerahkan. Oleh sebab itu, bisa dipahami bila Ayer

menyangkal semua peranan yang bisa disebut sebagai intuisi intelektual.

Demikian pula al-Razi. Baginya tidak ada tempat bagi wahyu atau intuisi mistik.

Namun demikian, terdapat pula filosof Barat yang mau menerima intuisi sebagai

bagian dari metode epistimologi. Bergson, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki,

sebagaimana dikemukakan Qomari (2005) misalnya, termasuk yang menerima

intuisi. Bergson misalnya menyadari bahwa baik dengan budi maupun dengan

indera belaka kita tak mampu menyelami realitas sepenuhnya, ita harus

menggunakan intuisi. Demikian juga Bobbi DePorter dan Mike Hernaci misalnya

mengatakan, bahwa mungkin kecerdasan tertinggi-dan bentuk terbaik dari pikiran

yang kreatif adalah intuisi. Intuisi adalah kemampuan untuk menerima atau

menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indera kita. Intuisi

mampu melengkapi kelemahan budi maupun indera sebagai pendekatan ilmiah.

Intuisi memiliki kemampuan yang besar, terutama terhadap persoalan yang tidak

terjangkau oleh akal dan indera. Dengan hanya mengandalkan akal dan indera,

kita membiarkan adanya hal-hal yang tidak bisa dijangkau. Sedangkan dengan

menggunakan intuisi kita berusaha secara nyata, paling tidak untuk

mempersempit hal-hal yang tidak terjangkau. Pada dasarnya intuisi justru menjadi

penyelamat metodologis .

Sebaliknya berbeda dengan filosof Barat yang hanya mengakui intuisi

sebagai fakta psikologis semata, tetapi menolak digunakan sebagai metode ilmiah,

filosof Islam tidak ragu-ragu menjadikannya sebagai metode di samping

menggunakan metode metode lainnya. Tekanan metode yang dipakai para filosof

Muslim adalah intuitif, kritis, fenomenologis, dan analisis bahasa. Keberadaan

metode intuitif bukan hanya sebagai pelengkap (komplementer) dalam

merumuskan teori-teori maupun konsep filosofis, melainkan sebagai metode

yang berdiri otonom dalam menemukan pengetahuan. Otonomi metode intuitif

ini membuktikan, bahwa ia memiliki kemampuan yang terandalkan dalam

Page 112: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

97

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kapasitasnya sebagai alat memperoleh pengetahuan. Lahirnya para ulma dalam

bidang ilmu agama, dan para ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang

sebagaimana ditunjukan dengan karya-karya monumentalnya dalam bentuk kitab-

kitab yang berpuluh-puluh jilidnya, dan setiap ulama ada yang menulis lebih dari

lima puluh judul buku, dan pendapat mereka itu masih tetap aktual dan dijadikan

rujukan, sebagian besar adalah berdasarkan ilmu yang mereka peroleh melalui

intuisi, di samping menggunakan pengamatan pancaindera dan penalaran akal

pikiran. Dalam ilmu pengetahuan Islam-termasuk di dalamnya psikologi Islam-

bukan hanya menggunakan indera dan akal dalam merumuskan suatu konsep,

tetapi yang tak kalah strategisnya adalah menggunaan intuisi dan wahyu. Intuisi

memberikan sumbangan yang signifikan terhadap bangunan ilmu pengetahuan

Islam, karena intuisi dijadikan sebagai metode dalam memperoleh pengetahuan

tersebut. Dengan begitu, tradisi ilmu pengetahuan Islam telah mengangkat intuisi

dari sekadar fakta psikologis menjadi salah satu metode epistimologis. Bukti

paling meyakinkan tentang masalah ini adalah ketika kita mengalami jalan buntu

dalam memikirkan sesuatu berdasarkan indera dan akal, kemudian kita tiba-tiba

mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan batin/pikiran yang disebut intuisi.

Sebagai sebuah metode epistimologi, dapat dilihat dari banyaknya orang yang

menggunakannya, dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara

0bjektif, dan dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapa pun dengan usaha-usaha

yang intens dan terbimbing. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya

disederajtkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan

daripada keduanya. Pengetahuan yang dihadirkan (bersifat intuitif) lebih unggul

daripada pengetahuan yang dicapai (bersifat rasional), karena terbebas dari

kesalahan dan keraguan sebagaimana yang bisa terjadi pada temuan pancaindera

dan akal pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi memberikan

kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Hal ini misalnya

dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengatakan, bahwa al-zauq (intuisi) lebih tinggi

dan lebih dapat dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang

betul-betul diyakini kebenaranna. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan juga

al-buwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada mansia biasa

berbentuk ilham. Pengetahuan intuitif ini dicapai oleh manusia melalui hati yang

telah dibersihkan dari dosa, pengaruh hawa nafsu syahwat, hawa nafsu amarah,

bujukan syaithan dan pengaruh duniawi lainnya. Untuk bisa mendapatkan

kesucian, seseorang tidak perlu mengucilkan diri masyarakatnya, pergi ke bukit-

bukit, selama empat puluh hari bersila, tidak berurusan dengan berbagai aktivitas

masyarakat. Al-Qur an tidak menganjurkan cara seperti itu. (Muthahhari, tahun

Page 113: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

98

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

belum ada) Intuisi akan datang pada orang yang memelihara kesucian dirinya dan

selalu membangun hubungan dengan Tuhan di manapun mereka berada. Tentang

kemungkinan manusia yang demikian itu mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan

dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya: Allah memberi petunjuk

kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki. (Q.S. An-Nur, 24:35).

Namun demikian perlu dikemukakan, bahwa intuisi yang berasal dari Allah itu

pasti benar, tetapi bisa terjadi kesalahan pada pemahaman atau penafsiran orang

yang menerimanya, bukan pada substansi itu sendiri. Kesalahan ini wajar terjadi,

mengingat penafsiran atau pemahaman orang bisa macam-macam terhadap

intuisi yang diterima. Lagi pula belum ada kaidah yang baku dalam memahamkan

seseorang pada isi atau kandungan makna intusi yang dialaminya. Sejalan dengan

itu, maka setidaknya terdapay tiga fungsi dari intuisi: intuisi sebagai dasar

pengetahuan, intuisi sebagai sumber pengetahuan dan intuisi sebagai cara atau

metode mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan,

intuisi bersifat pasif, akan tetapi sebagai metode pendapatkan pengetahuan,

intuisi bersifat aktif. Oleh karena itu, intuisi bisa bersifat pasif dan aktif sekaligus,

tinggal diposisikan sebagai dasar, sumber atau metode pengetahuan. Sebagai

catatan terakhir pada bagian ini secara objektif dan proporsional ada hal yang

patut direnungkan dengan pikiran yang jernih. Pertama, adanya perbedaan antara

pengetahuan yang dihasilkan panca indera, akal dan intuisi tidak dapat dijadikan

alasan untuk menolak salah satu di antara ketiganya, melainkan ketiganya itu

harus diperlakukan secara seimbang, wajar dan tidak berlebihan. Perbedaan

antara ketiganya terlihat pada hasil temuan pancaindera yang bersifat kuantitatif;

temuan akal pikiran yang bersifat spekulatif dan rasional, dan temuan intuisi yang

bersifat kualitatif. Namun ketiganya mengandung kebenran, yakni kebenaran

inderawi, kebenaran akli, dan kebenaran intutif. Ketiga kebenaran tersebut dalam

penggunaannya oleh manusia biasa saja keliru. Kedua, bahwa setiap diri manusia,

muslim atau non muslim memiliki potensi pancaindera, potensi akal dan potensi

ruhaniah. Ketiga, bahwa dalam mengukur kebenaran intuitif, dengan kebenaran

pancaindera dan kebenaran akal pikiran tidak bisa digunakan alat yang sama.

Panca indera menggunakan metode eksperimen, akal pikiran menggunakan

metode analisis, studi kritis, perbandingan dan sebagainya; sedangkan hati nurani

dengan metode mukasyafah.

Metode Perbandingan

Metode komparatif adalah metode yang membandingkan teori atau

praktek pendidikan Isam dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh dengan

Page 114: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

99

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau

pemahaman untuk mendapatkan ketegasan maksud dari permasalahan

pendidikan. Metode komparatif sebagai salah satu metode epistimologi

pendidikan Islam memiliki objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu

meliputi perbandingan antara ayat al-Qur an tentang pendidikan, atau antara ayat

al-Qur an dengan hadis, atau antara sesama teori dari para pemikir pendidikan

Islam, antara teori dari para pakar pendidikan Islam dengan non Islam, antara

sesama lembaga pendidikan, antara lembaga pendidikan Islam dan non Islam, dan

seterusnya untuk mencari titik persamaan dan perbedaan, dalam hal keunggulan,

dan saling menerima dan memberi serta memperkaya, sehingga terjadi proses

saling belajar. Selain itu metode komparatif tersebut juga digunakan dalam

metode bayani sebagaimana terlihat dalam tafsir.

C. Penutup

Dari paparan dan analisa sebagaimana dikemukakan di atas, dapat

dikemukakan catatan penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, bahwa secara umum pendidikan Islam baik pada dataran teoritis

konseptual, maupun praktis empiris masih dihadapkan pada sejumlah masalah

yang belum dapat dipecahkan. Akibat dari keadaan ini, maka sejumlah

permasalahan yang memiliki pengaruh dan tujuan jangka panjang juga belum

dapat dipecahkan, mengingat keberhasilan dalam memecahkan masalah

pendidikan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam memecahkan

berbagai bidang kehidupan lainnya.

Kedua, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan masalah pendidikan

belum dapat dipecahkan, antara lain belum hilangnya sisa-sisa penyakit mental

abad pertengahan (abad ke-13 sd 18) yang antara lain, pandangan dikotomis

tentang ilmu agama dan ilmu umum, tertutupnya pintu ijtihad, hilangnya tradisi

debat dan kritik, hilangnya tradisi membaca, meneliti, dan menulis, sikap dan

pandangan yang sektarian, hilang tradisi ilmiah, dan lemahnya kemauan untuk

meneliti, mengkaji untuk menemukan inovasi-inovasi baru.

Ketiga, bahwa upaya yang dilakukan para pakar untuk memecahkan

permasalahan pendidikan Islam tersebut masih kurang mendasar dan kurang

strategis, sehingga tidak efektif. Pemecahan masalah pendidikan Islam melalui

epistimologi pendidikan Islam dinilai sebagai cara yang paling mendasar, manun

belum banyak dilakukan. Epistimologi pendidikan Islam saat ini sudah ada yang

menulis, namun belum dipraktekkan.

Page 115: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

100

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keempat, secara teoritis, Islam memiliki bahan-bahan dan metodologi

bagi penyusunan epistimologi pendidikan yang lebih lengkap dibandingkan

dengan bahan-bahan dan metodologi yang dimiliki Barat. Selain menggunakan

sumber yang terdapat di dalam al-Qur an dan Hadis, Islam menggunakan sumber

ayat kauniyah (alam jagat raya), ayat insaniyah (perilaku manusia dan perilaku

masyarakat), akal pikiran dan hati nurani (intuisi). Selain menggunakan metode

bayani untuk merumuskan ilmu pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur an

dan al-Hadis, juga dapat menggunakan metode ijbari untuk memahami ayat-ayat

alam jaga raya: fauna, flora, hutan, , metode burhani untuk fakta-fakta sosial,

metode irfani untuk memahami ayat-ayat yang berada dalam batin manusia.

Kelima, sebagian besar pengembangan epistimologi pendidikan Islam

didominasi oleh metode bayani dan irfani. Sedangkan metode yang ijbari, burhani

dan jadali masih kurang. Sementara sebagian besar pengembangan epistimologi

pendidikan umum didominasi oleh metode ijbari (eksperimen), metode burhani

(observasi), dan metode jadali (logika filosofis). Untuk itu perlu adanya kolaborasi

antara keduanya. Epistimologi pendidikan Islam dilengkapi dengan metode ijbari,

burhani dan jadali. Sedangkan epistimologi pendidikan umum dilengkapi dengan

metode bayani dan irfani.

D. Daftar Pustaka

Al-Ahwaniy, Ahmad Fu ad, (t.t) al-Tarbiyah fi al-Islam. Mesir: Dar al-Ma arif

Al-Jumbulati, Ali, (1994) Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press

Arifin, (1991) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Asseegaf, Abd. Rachman, (t.t) Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Hadharah,

Keilmuan, Tokoh Klasik sampai Modern

Daulay, Haidar Putra, (2004) Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

di Indonesia. Jakarta: Prenada Media

Daulay, Haidar Putra, (2009) Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta:

Rineka Cipta.

Daradjat, Zakiah, (1994) Pendidikan Islam dalam Sekolah Keluarga dan Sekolah.

Jakarta: Ruhama

Fahmi, Asma Hasan, (1979) Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan

Bintang

Freire, Paulo, (2000) Pendidikan Kaum Tertindas. Cetakan ke V. Jakarta: LP3ES

Haryono, Ari Dwi, (2010) Pendidikan Dasar Islam, Kajian Filosofi, Konsep dan

Aplikasi. Malang: Bani Hasyim Press

Page 116: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

101

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hidayat, Syarif, (2013) Teori dan Prinsip Pendikan. Jakarta: Pustaka Mandiri

Husaini, Adian, (ed.), (2013) Filsafat Ilmu Perpektif, Perspektif Barat dan Islam.

Jakarta: Gema Insani

Idi, Abdullah dan Sumarto, Toto (2006) Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Tiara Wacana

Kartanegara, Mulyadhi, (2005) Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik.

Jakarta: UIN Jakarta Press

Langgulung, Hasan, (terj.) (1979) Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan

Bintang

Langgulung, Hasan, (1985) Pendidikan dan Peradaban suatu Analisa Sosio-

Psikologis, Cetakan ke III. Jakarta: Pustaka al-Husna

Lestari, S., Ngatini, (2010) Pendidikan Islam Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Muhajirin, As aril, (2011) Ilmu Pendidikan Islam Kontekstual. Jakarta: Ar Ruzz

Media

Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf, (2006) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada

Media

Muliawan, Jasa Ungguh, (2005) Pendidikan Islam Integrated, Upaya

Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Islam dan Pendidikan Islam.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Muthahhari, Murthada, (2005) Konsep Pendidikan Islam. Jakarta: Iqra Kurnia

Gemilang

Muthahhari, Murthada, (2001) Pengantar Epistimologi Islam. Jakarta LShadra

Press

Nasution, Harun, (1978) Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan

Bintang

Nasution, Harun, (2005) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Nata, Abuddin, (2010) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media

Nata, Abuddin,(2011) Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media

Nata, Abuddin, (1994) Dirasat Islamiyah I (Al-Qur an Hadis). Jakarta: Raja Grafindo

Qomari, Mujamil, (2001) Epistimologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional

hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga

Saridjo, Marwan, (ed.), (2009) Mereka Bicara Pendidikan Islam sebuah Bunga

Rampai, Jakarta: Raja Grafindo Persadam

Shadra, Mulla, (2011) Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol I (4) tahun 2011

Steenbrink, Karel A., (1986) Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam

dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES

Page 117: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Abuddin Nata, Bangunan Epistimologi Pendidikan Islam hal. 74 - 102

102

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Suriasumantri, Jujun, (1988) Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke

V. Jakarta: Sinar Harapan

Usa, Muslih (ed), (1991) Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya.

Page 118: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

103

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

PENDEKATAN PEMBELAJARAN

Page 119: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

104

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran

di Perguruan Tinggi

Yudhi Munadi

Pendidikan Agama Islam - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Lahirnya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) mendorong para

pendidik di perguruan tinggi untuk lebih kreatif dalam mengembangkan

desain dan proses pembelajarannya, yakni pembelajaran yang mampu

mengantarkan mahasiswa sesuai dengan jenjang kualifikasinya sehingga

layak mendapatkan pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur

pekerjaannya. Atas dasar inilah tulisan ini disusun, yakni menyuguhkan

tahapan-tahapan pengembangan desain dan strategi pencapaiannya

yang sesuai dengan tuntutan KKNI yang mencakup capaian

pembelajaran (learning outcome) aspek sikap, pengetahuan, dan

Keterampilan. Pada aspek sikap terdapat 3 hal yang harus ada dalam

upaya internalisasi nilai, yaitu pra kondisi atau pengkondisian secara

mental, aktivitas, dan kontrol atau pengendalian. Aspek pengetahuan

diarahkan pada pembelajaran strategi konstruktivistik dan metakognitif.

Strategi konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menemukan

pengetahuannya secara mandiri, dan strategi metakognitif digunakan

mahasiswa untuk mengontrol proses berpikir yang terjadi dalam dunia

pikirnya sendiri. Aspek keterampilan dicapai melalui metode unjuk kerja,

meliputi rencana kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan kegiatan

tindak lanjut.

Kata Kunci: KKNI, Konstruktivisme, Metakognitif, Capaian Pembelajaran

Page 120: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

105

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Kelas merupakan institusi terkecil dalam penyelenggaraan pembelajaran

baik di jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan

tinggi. Pelaksanaan pembelajaran klasikal biasanya diadakan dalam sebuah ruang

tertutup dibatasi dinding. Kebanyakan ruang kelas di semua jenjang pendidikan di

Indonesia diisi antara 30 sampai dengan 40 orang peserta didik yang memiliki

karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Penyelenggaraan pembelajaran di

dalam ruangan ini berdurasi cukup panjang, yakni sejak pagi hari bahkan bisa

mencapai sore hari dengan sedikit waktu untuk istirahat. Dalam ruang tertutup

inilah sosok pendidik (guru/dosen) menjadi sosok yang paling bertanggung jawab

atas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran secara efektif untuk

pencapaian tujuan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan skill (keterampilan).

Secara faktual, populasi peserta didik lebih kecil bila dibanding populasi

penduduk negara ini, namun seluruh peserda didik (100%) merupakan penerus

bangsa ini. Peserta didik dimaksud termasuk di dalamnya adalah mahasiswa.

Mahasiswa adalah peserta didik yang hadir di perguruan tinggi atau di universitas.

Mereka dijaga oleh para pendidik yang disebut dosen atau para ilmuwan melalui

berbagai aktivitas keilmuan yang menjunjung tinggi nilai kebenaran. Dengan

demikian, perguruan tinggi bisa dikatakan sebagai rumah produksi ilmu

pengetahuan yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau

kebutuhan bangsa. Output perguruan tinggi diharapkan mampu menjawab atas

semua permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara di berbagai ranah

kehidupan. Akan tetapi kenyataan yang tampak sekarang ini, para dosen atau

ilmuan dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalah yang dihadapi baik

masalah yang muncul dari dalam dirinya maupun yang muncul dari luar dirinya, di

antaranya adalah:

1. Orientasi pendidik atau dosen. Banyak dosen memandang bahwa perguruan

tinggi sebagai lapak tempat bekerja atau tempat untuk mencari uang,

sehingga dengan orientasi seperti ini mereka banyak yang tertarik untuk

menduduki suatu jabatan dan lahirlah intrik politik, muncullah istilah laisa

minna . Suasana yang diciptakan sebagian kecil dosen ini telah melahirkan

suasana yang tidak nyaman untuk bekerja.

2. Permasalahan administrasi universitas yang mengganggu profesionalitas

dosen. Universitas secara administratif dikelola sama seperti kementerian.

Sehingga semua laporan kegiatan harus memiliki bukti pembayarannya

termasuk kegiatan yang dilakukan dosen, seperti kegiatan penelitian dan

Page 121: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

106

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengabdian kepada masyarakat. Dana penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat diterima dosen tapi dosen harus memberikan laporan keuangan

yang dilengkapi berbagai macam nota bukti pembayaran; sedangkan laporan

hasil penelitian dipandang sebagai lampiran dari laporan keuangan.

Tunjangan remunerasi memberikan dampak pada status kerja dosen, yakni

dosen menjadi tenaga administrasi layaknya pekerja kementerian atau

pekerja perusahaan.

3. Rendahnya reward. Reward yang diterima dosen dipandang belum memenuhi

haknya bila dibandingkan dengan beban kerja sebagaimana tertuang dalam

semua aturan yang mengikatnya. Tunjangan profesi untuk sebagian jabatan

fungsional diberikan kepada dosen dengan ancaman.

4. Politik identitas. Politik identitas dirasakan di hampir semua perguruan tinggi.

Universitas meneriakan slogan-slogan sebagai target yang harus dicapai agar

identitasnya tampak jelas seperti Research University , World Class

University , dan bentuk identitas lainnya seperti Ranking Dunia , Akreditasi

Internasional, dan lain-lain. Salah satu syarat untuk mencapai target adalah

jurnal terindeks Scopus yang harus ditulis dosen.

Permasalahan ini tentunya akan mengganggu tugas pokoknya sebagai

pendidik, penjaga ilmu pengetahuan, dan problem solver bagi permasalahan yang

dihadapi bangsa dan negara ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan menguraikan

tugas dosen pada aspek pembelajaran yang sesuai dengan standar nasional

pendidikan tinggi (SNPT). Penulis berpandangan, bila dosen melaksanakan tugas

sesuai dengan tugas-tugas pokoknya dalam arti tidak diganggu oleh permasalahan

yang penulis uraikan, maka dengan sendirinya universitas akan memperoleh

kehormatannya (identitasnya) baik secara nasional maupun internasional.

B. Pembahasan

Capaian Pembelajaran Menurut Kurikulum Berbasis KKNI

Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi

Nasional Indonesia menyebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

(KKNI), adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat

menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan

dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian

pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Dalam Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia) Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Penerapan Kerangka

Page 122: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

107

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi dalam pasal 10 ayat 4

disebutkan bahwa dalam menerapkan KKNI bidang pendidikan tinggi, perguruan

tinggi mempunyai tugas dan fungsi:

1. setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian pembelajaran minimal

mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai dengan jenjang.

2. setiap program studi wajib menyusun kurikulum, melaksanakan, dan

mengevaluasi pelaksanaan kurikulum mengacu pada KKNI bidang pendidikan

tinggi sesuai dengan kebijakan, regulasi, dan panduan tentang penyusunan

kurikulum program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.

3. setiap program studi wajib mengembangkan sistem penjaminan mutu internal

untuk memastikan terpenuhinya capaian pembelajaran program studi.

Capaian pembelajaran minimal sesuai jenjang yang harus dibuat oleh

program studi mengacu kepada deskripsi jenjang kualifikasi KKNI dalam lampiran

Perpres Nomor 8 tahun 2012. Sebagai contoh di bawah ini dikutip jenjang

kualifikasi strata 1 (S1) sebagai berikut:

Deskripsi Umum:

1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan

tugasnya.

3. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta

mendukung perdamaian dunia.

4. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang

tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya.

5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama

serta pendapat/temuan original orang lain.

6. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk

mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.

Jenjang Kualifikasi Level 6 (Jenjang Sarjana S1)

1. Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian

masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.

2. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan

konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara

mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah

prosedural.

Page 123: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

108

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan

data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif

solusi secara mandiri dan kelompok.

4. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab

atas pencapaian hasil kerja organisasi.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, program studi melakukan

penyusunan kurikulum berbasis KKNI melalui tahapan sebagai berikut:

1. Melakukan analisis SWOT program studi

2. Melakukan tracer study atau need assessment

3. Menyusun profil lulusan

4. Menyusun kompetensi lulusan

5. Menyusun bahan kajian

6. Membentuk mata kuliah dan menetapkan sks

7. Membangun struktur kurikulum (distribusi mata kuliah pada tiap semester)

8. Penyusunan rancangan pembelajaran (dilakukan oleh dosen)

9. Penyusunan rancangan metode pembelajaran (dilakukan oleh dosen)

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelaskan setiap tahapan, namun

hanya ingin mengulas beberapa hal penting yang terdapat dalam tahap ke-8 dan

ke-9 yang tertuang dalam RPS (Rencana Perkuliahan Semester) yang berdasarkan

Permenristek Dikti (Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Republik Indonesia) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan

Tinggi (SNPT), meliputi:

1. nama program studi, nama dan kode mata, semester, sks, nama dosen

pengampu;

2. capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah (meliputi

aspek sikap, pengetahuan, keterampilan umum, dan keterampilan khusus);

3. kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran untuk

memenuhi capaian pembelajaran lulusan;

4. bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan dicapai;

5. metode pembelajaran;

6. waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada tiap tahap

pembelajaran;

7. pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang

harus dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester;

8. kriteria, indikator, dan bobot penilaian; dan

9. daftar referensi yang digunakan.

Page 124: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

109

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Capaian pembelajaran atau learning outcome (LO) suatu mata kuliah

menurut permenristek dikti tentang SNPT harus memenuhi 3 unsur, yakni sikap,

pengetahuan, dan keterampilan.

1. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Sikap dan Strategi

Pencapaiannya

Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan

bahwa sikap merupakan perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari

internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan

spiritual dan sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa,

penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.

Definisi ini dijelaskan dalam lampirannya sebagaimana tampak dalam kolom 2

pada tabel 1. Rumusan sikap dalam lampiran permen masih bersifat umum dan

perlu dilakukan penyesuaian sehingga dosen mudah dalam melakukan

pengamatan terhadap sikap mahasiswa dalam mempersiapkan dirinya sebagai

guru profesional.

NO

RUMUSAN SIKAP SESUAI LAMPIRAN

PERMENDIKBUD NO 44 TH 2015 TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN TINGGI

PENYESUAIAN

RUMUSAN SIKAP

(SIKAP DASAR GURU)

1 2 3

1 bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan mampu menunjukkan sikap religius;

Memiliki soft skills yang

berhubungan dengan sikap

dasar pengembangan diri

secara personal/intrapersonal

dan interpersonal

berlandaskan pada nilai-nilai

al-akhlaqul karimah yang

mampu memaksimalkan

kinerja mahasiswa dalam

mempersiapkan dirinya

sebagai guru profesional.

Adapun indikator-

indikatornya adalah:

a. Indikator intrapersonal:

jujur, percaya diri,

tanggung jawab, disiplin,

2 menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam

menjalankan tugas berdasarkan agama,

moral, dan etika;

3 berkontribusi dalam peningkatan mutu

kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan kemajuan peradaban

berdasarkan Pancasila;

4 berperan sebagai warga negara yang

bangga dan cinta tanah air, memiliki

nasionalisme serta rasa tanggung-jawab

pada negara dan bangsa;

5 menghargai keanekaragaman budaya,

pandangan, agama, dan kepercayaan, serta

pendapat atau temuan orisinal orang lain;

Page 125: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

110

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6 bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial

serta kepedulian terhadap masyarakat dan

lingkungan;

mandiri, emosi stabil,

curriosity, menjaga harga

diri/muru ah, rendah hati,

layak dicintai.

b. Indikator interpersonal:

empati, adaptasi, hormat,

kerjasama, toleransi,

penyayang, terbuka,

mediator, komunikator,

motivator.

7 taat hukum dan disiplin dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara;

8 menginternalisasi nilai, norma, dan etika

akademik;

9 menunjukkan sikap bertanggung jawab

atas pekerjaan di bidang keahliannya

secara mandiri;

10 menginternalisasi semangat kemandirian,

kejuangan, dan kewirausahaan;

Dosen tidaklah cukup dengan menentukan sikap-sikap sebagaimana

tercantum dalam rumusan hasil penyesuaian dalam tabel, ia harus membantu

mahasiswa dalam pencapaiannya. Sebagai upaya capaian pembelajaran aspek

sikap ini dosen harus merekayasa pembelajaran yang diselenggarakannya

sehingga dalam prosesnya akan muncul perilaku-perilaku mahasiswa yang secara

kejiwaan terjadi proses internalisasi nilai-nilai sebagaimana tertera dalam

indikator-indikator interpersonal dan intrapersonal.

Terdapat 3 hal yang harus ada dalam upaya internalisasi nilai-nilai sikap

dalam proses pembelajaran pada mata kuliah media pembelajaran yang penulis

ampu, yakni pra kondisi (pengkondisian), aktivitas, dan kontrol atau

pengendalian. Ketiganya dilakukan melalui komunitas belajar yang

diciptakan/direkayasa oleh dosen.

Pertama, pra kondisi atau pengkondisian secara mental agar memiliki

kesiapan mental dalam melaksanakan aktivitas belajar. Di sini, semua mahasiswa

menyatakan sumpah atas nama Allah swt untuk belajar secara sungguh-sungguh

dan menyatakan kesanggupan untuk bersikap jujur dalam melaksanakan

penilaian terhadap teman sebaya (peer assessment) yakni untuk menjunjung

tinggi nilai-nilai kebenaran dan akhlakul karimah. Kemudian untuk membangun

diri dan membangun kesadaran sosial dibuatlah slogan No Compatition But

Collaboration . No compatition pada slogan ini tidak bermaksud menafikan

konsep fastabiqū-l-khairāt , tapi sebaliknya, ia dijadikan spirit atau dijadikan

aktivitas kejiwaan untuk terus melakukan hal yang terbaik dan selalu berupaya

lebih baik tanpa harus mengkompetisikannya dengan orang lain, seperti

Page 126: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

111

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pernyataan batin saya harus lebih baik dari si-A , pernyataan ini hanya ada

dalam pikirannya tanpa harus diketahui oleh si-A dan yang lainnya. Perbuatan

membantu kelompok lain dalam penyelesaian tugas (contoh, tugas produksi

media pembelajaran) agar kelompok yang dibantu bisa menyelesaikannya

dengan baik adalah perbuatan baik. Dengan demikian, spirit fastabiqū-l-khairāt

akan mampu membangun sikap collaboration, yakni sebuah sikap saling

membangun diri dan membangun komunitas atau qaum (...innallāha lā

yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyi ū mā bi a fusihi ..., Qs. Ar-Ra d [13]: 11)

Kolaborasi merupakan aktivitas praktis dalam mengaplikasikan konsep

persaudaraan dalam Islam. Ayat serupa dinyatakan dalam surat al-Hujurat ayat

10 disebutkan: innamā l-mu minūna ikhwatun fa aṣliḥū baina akhwaikum

wattaqullāha la allakum turḥamūn , dan dalam hadits riwayat Abu Musa

disebutkan: inna-l-mu mina li-l-mu mini ka-l-bunyā i yasyuddu ba ḍuhu ba ḍan,

wa syabbaka aṣābi ahu (Ibnu Hajar al-Asqalani, 2003, h. 249).

Kedua adalah langkah aktivitas belajar yang diaplikasikan dalam

komunitas belajar (learning community) yang diciptakan dosen melalui

penugasan secara kelompok yang tetap berbasis pada tugas individu.

Pengembangan aktivitas belajar ini dengan memperhatikan waktu yang dimiliki

oleh mata kuliah dengan cara mengkonversi sks menjadi jam (durasi waktu)

belajar mahasiswa di dalam dan luar ruang kelas dalam 1 minggu. Konversi

dimaksud adalah 1 sks = 50 menit tatap muka, 60 menit tugas terstruktur, dan 60

menit tugas mandiri perminggu. Konversi jam (durasi waktu) pada mata kuliah

dengan bobot 3 sks adalah sebagai berikut:

No Komponen sks Bobot

sks Menit/1 sks Jumlah

1 Aktivitas pembelajaran

pada tatap muka

3 50 menit 150 menit

2 Aktivitas pembelajaran

melalui tugas terstruktur

3 60 menit 180 menit

3 Aktivitas pembelajaran

melalui tugas mandiri

3 60 menit 180 menit

Jumlah dalam menit/minggu 510 menit

Jumlah dalam jam/minggu 8,5 jam

Jumlah dalam jam/16 minggu 136 jam

Page 127: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

112

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kegiatan tatap muka merupakan kegiatan mahasiswa secara terjadwal dan

terencana dalam bentuk aktivitas pembelajaran secara tatap muka dengan

dosen di dalam kelas atau dapat diselenggarakan sebanyak-banyaknya empat

kali non tatap muka yakni dengan perantaraan media belajar. Jenis-jenis

kegiatan tatap muka meliputi mendengar aktif, berpartisipasi dalam games,

diskusi kelompok kecil, diskusi kelas, presentasi hasil dikusi kelompok, presentasi

produk media pembelajaran, membuat rumusan teori dari media yang

diciptakannya, tanya jawab, dan kegiatan peer assessment.

Kegiatan terstruktur adalah kegiatan bukan tatap muka dan tidak

terjadwal namun terencana. Kegiatan terstruktur bagi mahasiswa pada mata

kuliah media pembelajaran lebih banyak melaksanakan tugas untuk pencapaian

tujuan mata kuliah, di antaranya adalah kerja kelompok produksi media audio,

visual, dan video dengan uraian tugas: membuat jadwal kerja kelompok,

membuat jadwal kerja individu sesuai dengan pembagian tugas pada kelompok,

membuat RPP, membuat desain produksi media, membuat naskah,

memproduksi media sesuai desain produksi, dan membuat berita acara kerja

kelompok; berikutnya dalah kerja individu, yakni membuat media presentasi

sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dosen. Total durasi waktu pada

tugas terstruktur ini adalah 48 jam dengan rincian, produksi media audio 14 jam,

proudksi media visual 8 jam, produki media video 16 jam, dan produksi media

presentasi 10 jam.

Kegiatan mandiri adalah kegiatan bukan tatap muka dan tidak terjadwal

namun terencana untuk mendalami dan memperkaya wawasan mata kuliah.

Kegiatan mandiri bagi mahasiswa adalah kegiatan yang diinisiasi oleh dirinya

sendiri dalam mendukung pencapaian learning outcome dari kegiatan tatap

muka dan kegiatan terstruktur yang diberikan dosen. Walaupun atas inisiatif

sendiri, namun tetap perlu bimbingan dari dosen. Oleh karena itu, mahasiswa

tetap diberi arahan dalam melaksanakan kegiatan mandiri ini. Arahan dimaksud

adalah berkaitan dengan produksi media pembelajaran, meluputi mahasiswa

diharapkan melakukan identifikasi tema, identifikasi contoh naskah, mempelajari

pembuatan naskah, identifikai contoh RPP, dan mempelajari pembuatan RPP,

identifikasi dan mempelajari contoh-contoh poster, komik, mock ups, media

grafis, media audio, media video, media presentasi dan segala hal yang

berhubungan dengan deskripsi tugas. Total durasi waktu pada tugas mandiri

adalah 48 jam dengan rincian: berkaitan dengan produksi 4 macam media

masing-masing 12 jam.

Page 128: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

113

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Komunitas belajar pada mahasiswa akan berjalan bila dosen membantu

mereka dalam menguraikan berbagai kegiatan sebagai bentuk aktivitas belajar

mereka. Dalam komunitas belajar yang seperti inilah akan muncul berbagai

macam perilaku dari mahasiswa. Sehingga dosen dapat melakukan pengamatan

terhadap perilaku mereka seperti telah yang telah digambarkan yakni meliputi

intrapersonal dan interpersonal yang harus dicapai oleh mahasiswa.

Ketiga, kontrol atau pengendalian. Kontrol terhadap ketercapaian tujuan

sikap dilakukan melalui dua cara, yakni observasi langsung yang dilakukan oleh

dosen terhadap aktivitas mahasiswa terutama di dalam kelas (kegiatan tatap

muka) dengan menggunakan format sebagaimana terlampir. Sedangkan untuk

kegiatan/tugas terstruktur dan mandiri (non tatap muka) dilakukan dengan cara

peer assessment. Satu orang mahasiswa melakukan pengamatan terhadap 3

(tiga) orang mahasiswa di dalam kelompoknya atau di dalam komunitas

belajarnya. Agar mahasiswa melakukan peer assessment tidak berada di bawah

tekanan dari teman yang dinilainya maka dosen membuat kode-kode agar

mahasiswa yang dinilai tidak mengetahui oleh siapa dia dinilai. Pelakanaan peer

assessment dilakukan dengan menggunakan format yang dibuat oleh dosen

sebagaimana terlampir.

2. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Pengetahuan dan Strategi

Pencapaiannya

Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan

bahwa pengetahuan merupakan penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau

falsafah bidang ilmu tertentu secara sistematis yang diperoleh melalui penalaran

dalam proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau

pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.

Secara praktis tidaklah mudah seorang dosen dapat membuat capaian

pembelajaran aspek pengetahuan bagi mata kuliahnya berdasarkan permenristek

44/2015, karena regulasi ini memuat berbagai macam aktivitas kognitif yang

cukup rumit. Oleh karena itu, dosen dituntut harus memiliki pengetahuan dasar

tentang kognitif, jenis-jenis pengetahuan, pengelolaan pengetahuan, dan strategi

perolehannya.

Pengetahuan tentang kognitif bagi dosen dibutuhkan untuk menetapkan

secara tepat pengalaman belajar yang harus dilalui mahasiswa. Pengalaman-

pengalaman belajar kognitif telah dibangun pertama kali oleh tim yang dipimpin

Benjamin S. Bloom (1956) yang menjelaskan bahwa pengalaman belajar pada

ranah kognitif mulai level rendah sampai level tinggi, yakni knowledge,

Page 129: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

114

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

comprehension, application, analysis, synthesis, evaluation. Dengan demikian,

seorang dosen harus menetapkan secara tepat capaian pembelajaran aspek

kogntif (pengetahuan) yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sebagai bekal

dirinya sebagai teknisi di bidangnya. Adapun hirarki pengalaman belajar aspek

pengetahuan yang sekarang digunakan adalah tahapan mengetahui, memahami,

mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Tahapan ini merupakan

hasil revisi dari taxonomi Bloom yang dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Lorin

W. Anderson dan David R. Krathwohl. (Yamin, 2008, h. 33-37).

Secara psikologis, kemampuan kognitif mahasiswa berada di atas siswa

pada jenjang dasar dan menengah. Oleh karena itu, untuk menentukan capaian

pembelajaran pada aspek pengetahuan perlu kiranya mengamati ilustrasi berikut

ini:

Berdasarkan gambar tampak bahwa area Knowledge (Pengetahuan) di

jenjang PT lebih besar dibanding jenjang di bawahnya. Hal ini sangatlah

dimaklumi, karena mahasiswa dipandang sudah memiliki kemampuan mental

yang lebih matang. Di samping itu, mahasiswa harus dibekali berbagai

pengalaman kognitif yang bisa mempersiapkan mereka sebagai tenaga teknis di

bidang pendidikan dan pembelajaran, seperti memberikan keterampilan

pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

(Yamin, 2008, h. 11). Dengan demikian, untuk mendukung kebutuhan, dipandang

tepat bila mahasiswa hendaknya diberi pengalaman kognitif level tinggi (high

level), yakni (C4) menganalisis, (C5) mengevaluasi, dan (C6) mencipta.

Berdasarkan pemikiran itu pada mata kuliah Media Pembelajaran PAI

dibuatlah capaian sebagai berikut: Mampu memadukan berbagai macam

Page 130: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

115

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengetahuan meliputi teori, prosedur pengembangan, dan aplikasi pemanfaatan

sehingga menghasilkan karya orisinal berupa media pembelajaran Pendidikan

Agama Islam di sekolah/madrasah berikut dengan berbagai perangkat pendukung

produksinya .

Capaian pembelajaran di atas mengindikasikan bahwa mahasiswa dituntut

mampu melakukan analisis dan evaluasi/menilai terhadap berbagai macam

pengetahuan. Kegiatan menganalisis akan menunjukkan bahwa mahasiswa

memiliki kemampuan dalam mengurai konsep-konsep yang ada pada

informasi/materi ajar ke dalam beberapa komponen dan kemudian

menghubungkannya kembali satu sama lain setelah melakukan kegiatan

evaluasi/menilai terhadap komponen-komponen tersebut untuk memperoleh

pengetahuan yang mendalam dari konsep-konsepnya. Sebagai hasil dari proses

analisis dan evaluasi, mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menghasilkan karya orisinalnya berupa media pembelajaran PAI.

Sesuai dengan kebutuhannya maka pencapaian tujuan pembelajaran aspek

pengetahuan menggunakan strategi pembelajaran konstruktivistik dan strategi

metakognitif. Strategi konstruktivistik membantu mahasiswa untuk menemukan

pengetahuannya secara mandiri, dan strategi metakognitif digunakan mahasiswa

untuk mengontrol proses berpikir yang terjadi dalam dunia pikirnya sendiri.

Strategi konstruktivistik secara sederhana bisa dikatakan sebagai proses

mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh diri seseorang atau dalam hal

ini oleh diri mahasiswa. Mengkontruksi pengetahuan merupakan aktivitas mental

atau aktivitas berpikir yang melibatkan berbagai pengetahuan yang telah

dimilikinya dan pengetahuan (informasi) yang sedang digelutinya. Sedangkan

metakognitif sebagaimana didefinisikan oleh Susan Metacognition is cognition

about thinking, including facts that are known about thinking and the monitoring

processes that produce understandings about cognition, understandings that can

impact subsequent cognitive self-regulation (Susan, h. 392-393).

Pengetahuan-pengetahuan yang dimaksudkan dalam konsep

konstruktivistik dan metakognitif setidaknya terdapat 3 macam, yakni declarative

knowledge, procedural knowledge, dan conditional knowledge. Declarative

knowledge (knowing that) adalah pengetahuan konseptual yang dibangun dari

fakta, pengalaman, teori dan lain-lain secara terkontrol dan terkumpul selama

proses belajar berlangsung (Timothy, 2004, h. 1). Ia juga disebut sebagai

pengetahun tentang pokok-pokok suatu deskripsi dan pengetahuan yang bisa

dinyatakan secara verbal. Procedural knowledge (knowing how) adalah

Page 131: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

116

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengetahuan tahapan, pengetahuan ini mencerminkan keterampilan dan

kemampuan. Pengetahuan ini sulit untuk diungkapkan dengan kata secara baik

karena pengetahuan tahapan ini terbangun secara otomatis sebagai fungsi dari

praktik-praktik yang berulang (Vincent, 1988, h. 233). Conditional knowledge atau

pengetahuan kondisional berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan

pengetahuan prosedural yakni tentang kapan dan bagaiamana kedua

pengetahuan ini digunakan atau diaplikasikan. Dalam prosesnya sangat

membutuhkan strategi metakognitif meliputi merencakan, memantau, dan

mengendalikan pikiran diri sendiri (Anat, 2012, h. 22-23).

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa metakognitif memiliki hubungan

erat dengan konstruktivisme, yakni dalam hal bahwa mahasiswa akan semakin

memiliki kesadaran bagaimana seharusnya ia belajar, ia akan mengembangkan

perangkat-perangkatnya untuk memahami dan mencipta sesuatu, dan ia akan

mengamati atau mengontrol diri terhadap perkembangan-perkembangan yang

telah dicapainya. Terkait hal ini, terdapat puisi dari Fritz Perls (1893-1970) yang

mengisyaratkan bahwa setiap orang mampu untuk membangun dirinya

sendirinya, yakni sebagai berikut:1

I do my thing, and you do your thing.

I am not in this world to live up to your expectations.

And you are not in this world to live up to mine.

You are you and I am I.

And if by chance we find each other, it s beautiful.

If not, it can t be helped

--Fritz Perls--

Tampaklah jelas bahwa capaian pembelajaran dalam prosesnya lebih

banyak didominasi oleh masing-masing mahasiswa (belajar adalah proses

individual). Jadi, sebagaimana telah di jelaskan bahwa walaupun manusia hidup

dalam sebuah komunitas, namun perubahan komunitas tergantung pada

individunya, ...innallāha lā yugayyiru mā bi au i ḥattā yugayyi ū mā bi anfusihim..., (QS. Ar-Ra d [13]: 11). Dengan demikian penciptaan learning

community merupakan sebagai –meminjam istilah Bruce Joyce (2009, h. 15)–

1Puisi Fritz Perls merupakan inti dari teorinya tentang Terapi Gestalt yang

dibangunnya, http://berpikirberbeda.blogspot.co.id/2011/03/orang-disini-dan-

kini-fritz-perls.html?m=1

Page 132: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

117

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

scaffolding . Karena dalam aktivitas learning community akan terdapat berbagai

cara yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. Dalam

prosesnya akan terjadi pergumulan jenis-jenis pengetahuan dari berbagai sumber.

Sumber pengetahuan secara garis besar terdapat dua macam dilihat dari segi

perolehannya yakni tacit knowledge dan explicit knowledge.

Explicit knowledge, yakni pengetahuan yang sudah terkodifikasi secara

sistematis dalam bentuk dokumen seperti buku, artikel, jurnal, dan lain-lain dan

biasanya bersifat formal-teoritis. Adapun tacit knowledge adalah pengetahuan

yang belum terkodifikasi, ia masih berada di alam ide di setiap individu sesuai

dengan pemahaman dan keahliannya, pengetahuan tersebut belum terstruktur

dan belum terdefiniskan dalam bahasa formal,2 pengetahuan ini diperoleh melalui

pengalaman dengar, lihat, dan rasa dari lingkungan dan fenomena alam semesta.3

Pada dasarnya apa dibaca mahasiswa dari buku dan didengar dari dosen

baru sebatas informasi, belum menjadi pengetahuan bagi mereka. Pengetahuan

akan mereka peroleh bila sudah terjadi proses mental/berpikir, sehingga mereka

memperoleh makna (kebermaknaan) dari informasi itu sebagai arah dalam

menjalani hidup dan kehidupannya.4

Sesuai learning outcome (LO) yang ingin dicapai dan sesuai kebutuhan

psikologis mahasiswa, maka ditetapkan beberapa strategi pembelajaran berikut:

1. Problem-Based Learning/Inquiry, yakni sebuah strategi pembelajaran

berbasis masalah atau penyelidikan berbasis masalah, yakni sebuah

strategi yang menekankan pada proses berpikir tingkat tinggi atau berpikir

kritis dan analitis untuk melakukan penyelidikan atau pencarian berbagai

pengetahuan guna penyelesaian masalah atau dalam hal ini tugas berupa

produksi media pembelajaran.

2 http://cahyo-welly.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-tacit-knowledge-

dan-explicit.html

3 Sebagaimana firman Allah Wallāhu akhrajakum min buṭū i

ummahātiku lā ta la ū a Syaia wa ja ala laku us-sa a wa-l abṣā a wa-l

af idata la allaku tasyku ū . (QS. An-Nahl [1 ]: ).

4 Sebagai a a fir a Allah swt: allażī a yasta i ū a-l qaula

fayattabi ū a aḥsa ahū, ulāika-l lażī a hadāhu ullahu wa ulāikahu ūlu-l albābi . (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik

di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan

mereka itulah orang-orang yang diberi akal sehat. (QS. Az-Zumar [39]: 18).

Page 133: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

118

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Self-Directed Learning, yakni pembelajaran yang dilakukan sesuai arahan

dirinya sendiri. Pada tataran praktis, setiap setiap kelompok (learning

community) melakukan pembagian tugas kepada setiap anggota

kelompoknya untuk penyelesaian tugas yang diberikan dosen dan setiap

individu dari anggota kelompok diminta dosen untuk membuat rencana

dan jadwal kerjanya. Sehingga mereka dengan sendirinya dapat

mengarahkan dan mengendalikan kinerja (belajarnya)

3. Cooperative Learning, yakni sebuah pembelajaran yang dilakukan secara

kelompok-kelompok, penulis mengaplikasikan strategi ini dengan cara

menciptakan learning community. Melalui komunitas belajar inilah

mahasiswa saling membangun satu sama lain, dosen memosisikan diri

sebagai fasilitator.

3. Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Aspek Keterampilan

Dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT disebutkan

bahwa keterampilan merupakan kemampuan melakukan unjuk kerja dengan

menggunakan konsep, teori, metode, bahan, dan/atau instrumen, yang diperoleh

melalui pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau

pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran, mencakup:

a. keterampilan umum sebagai kemampuan kerja umum yang wajib dimiliki

oleh setiap lulusan dalam rangka menjamin kesetaraan kemampuan

lulusan sesuai tingkat program dan jenis pendidikan tinggi; dan

b. keterampilan khusus sebagai kemampuan kerja khusus yang wajib

dimiliki oleh setiap lulusan sesuai dengan bidang keilmuan program studi.

Sesuai tuntutan yang ada dalam capaian pembelajaran pada aspek

pengetahuan, maka akan berimbas kepada capaian keterampilan ini.

Keterampilan umum diperoleh mahasiswa melalui aktivitas kerja produksi media

pembelajaran secara kelompok (dibuat 5 kelompok yang bersifat tetap) meliputi

produksi media audio, produksi media visual, dan produksi media video

(audiovisual). Secara implementatif semua tugas kelompok menggunakan metode

pembelajaran unjuk kerja. Pemilihan dan penetapan metodenya didasarkan pada

tuntutan dari Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015 tentang SNPT yang

mengatur capaian keterampilan umum yang dijelaskan dalam lampirannya

sebagai berikut:

Lulusan Program Sarjana wajib memiliki keterampilan umum sebagai

berikut:

Page 134: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

119

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam

konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi

yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan

bidang keahliannya;

2. mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur;

3. mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu

pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora

sesuai dengan keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan etika ilmiah

dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni, menyusun

deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk skripsi atau laporan tugas akhir,

dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi;

4. menyusun deskripsi saintifik hasil kajian dalam bentuk skripsi atau laporan

tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi;

5. mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian

masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data;

6. mampu memelihara dan mengembang-kan jaringan kerja dengan pembimbing,

kolega, sejawat baik di dalam maupun di luar lembaganya;

7. mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil kerja kelompok dan

melakukan supervisi dan evaluasi terhadap penyelesaian pekerjaan yang

ditugaskan kepada pekerja yang berada di bawah tanggungjawabnya;

8. mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok kerja yang berada

dibawah tanggung jawabnya, dan mampu mengelola pembelajaran secara

mandiri; dan

9. mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan, dan menemukan

kembali data untuk menjamin kesahihan dan mencegah plagiasi.

Berdasarkan regulasi, dipandang tepat bila penulis menetapkan metode

unjuk kerja. Unjuk kerja ini meliputi rencana kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja,

dan kegiatan tindak lanjut. Adapun keterampilan khususnya diunjukkan dalam

bentuk produk media pembelajaran.

1. Rencana Kerja. Rencana kerja dibuat oleh masing-masing kelompok.

Kegiatan penyusunan rencana kerja ini dibantu dengan format-format

yang dibuat oleh dosen (peran fasilitator) format-format tersebut adalah:

a. Format Rencana Kerja Kelompok

b. Format Jadwal Kerja Kelompok dan Distribusi Tugas

c. Format Rencana/Jadwal Kerja Individu

Page 135: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

120

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Pelaksanaan Kerja. Produksi media pembelajaran dilakukan mahasiswa

dengan cara merujuk pada Panduan Produksi Media Pembelajaran yang

telah dibuat dosen. Panduan ini meliputi:

a. Tahapan Produksi Media Audio, Visual, dan Video

b. Kriteria Produk Media Audio (Tugas Kelompok)

c. Kriteria Produk Media Visual (Tugas Kelompok)

d. Kriteria Produk Media Video (Tugas Kelompok)

e. Kriteria Produk Media Presentasi (Tugas Individu)

Di samping itu setiap individu harus mengisi Daftar Hadir Kerja Kelompok

Produksi Media (kehadiran mahasiswa di samping dibuktikan dengan

lembar daftar hadir juga dibuktikan dengan foto aktivitas/kegiatan

produksi yang dikirim melalui What s App Group yang dibuat perkelas)

3. Hasil Kerja. Dimaksud hasil kerja adalah semua produk media, perangkat

pendukungnya dan dokumen bukti kinerja.

a. Media audio

1) Produk : Media Audio

2) Perangkat Pendukung : Naskah Produksi dan RPP

3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu

4) Hasil Peer Assessment : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)

Hasil Peer Assessment Produk Media

Audio oleh individu, dan 3) Hasil

Moderasi oleh kelompok.

b. Produk media visual

1) Produk : Media Visual

2) Perangkat Pendukung : RPP

3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu

4) Dokumen Bukti Kinerja : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)

Hasil Peer Assessment Produk Media

Visual oleh individu, dan 3) Hasil

Moderasi oleh kelompok.

c. Produk media video

1) Produk : Media Video

2) Perangkat Pendukung : Naskah Produksi dan RPP

3) Laporan Kerja : Berita Acara Kerja Individu

Page 136: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

121

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Dokumen Bukti Kinerja : 1) Hasil Peer Assessment Sikap, 2)

Hasil Peer Assessment Produk Media

Video oleh individu, dan 3) Hasil

Moderasi oleh kelompok.

d. Produk media presentasi

4. Kegiatan Tindak Lanjut. Kegiatan tindak lanjut dilakukan di dalam kelas

pada kegiatan tatap muka. Di sini setiap kelompok melakukan

pembahasan terhadap media yang mereka produksi. Pembahasan

meliputi fungsi media pembelajaran, karakteristik media pembelajaran,

dasar pertimbangan pemilihan media pembelajaran, pemanfaatan media

pembelajaran, dan prosedur operasional produki media pembelajaran.

Hasil diskusi dituangkan dalam slide powerpoint (dibuat di luar tatap

muka) dan kemudian dipresentasikan di tatap muka berikutnya

C. Penutup

Bila memperhatikan uraian semua capaian pembelajaran, maka tuntutan

regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan

Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional

Pendidikan Tinggi tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan aktivitas di dalam

ruang yang dibatasi oleh dinding kelas. Dosen harus menyelenggarakan

pembelajaran secara kreatif hingga mampu menembus sekat-sekat ruang, yakni

pembelajaran yang memberikan kesadaran kepada mahasiswa bahwa

pengetahuan tidak hanya diperoleh di dalam ruang kelas.

Pembelajaran tanpa batas memiliki arti bahwa dosen harus memberikan

pengalaman praktis, bagaimana seharusnya mahasiswa belajar. Strategi

pembelajaran konstruktivistik dan strategi metakognitif menjadi salah satu cara

membelajarkan mahasiswa, sehingga mereka dapat menjadi pembelajar yang

mampu melakukan pembelajaran sepanjang hayat.

Pembelajaran tanpa batas mengindikasikan bahwa dosen sebagai salah satu

pelaku pembelajaran memiliki tugas pokok yang tak terbatas oleh dinding-dinding

ruang kelas dan dinding-dinding gedung kampus, tapi dosen memiliki area yang

sangat luas untuk menunaikan tugas-tugasnya. Ia harus memberikan layanan

kepada masyarakat, eksplorasi diri melalui aktivitas akademik seperti membaca

dan penelitian, memonitoring perkembangan belajar mahasiswanya melalui

dokumen tugas-tugas mahasiswa, memberikan penilaian terhadap hasil belajar

mahasisnya, dan lain-lain.

Page 137: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Yudi Munadi, (2018) Pendekatan Konstruktivisme, hal. 104 - 122

122

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pembelajaran tanpa batas juga mengandung arti bahwa tujuan belajar tidak

hanya dibatasi oleh tujuan-tujuan duniawi, seperti ingin memperoleh ijazah, ingin

memperoleh pekerjaan yang layak, ingin membahagiakan orang tua, dan lain-lain,

tetapi tujuan belajar harus menembus sampai kepada Sang Khaliq, Maha Pencipta

alam semesta, Allah swt. yakni untuk memperoleh ridha-Nya, karena belajar

adalah perilaku untuk memohon ilmu-Nya. Perilaku belajar haruslah memiliki

muatan nilai-nilai Ilahiyah. Wallāhu a lam bi-ṣ ṣawāb.

D. Daftar Pustaka

Anat Zohar and Yehudit Judy Dori (Ed.) (2012), Metacognition in Science

Education, Trends in Current Research, Springer Dordrecht Heidelberg

London New York.

Benjamin S. Bloom (1956) Taxonomy of Educational Objectives: The Classification

of Educational Goals – Handbook 1 Cognitive Domain, Canada:

Logmans, Green and Co Ltd.

Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009), Models of Teaching –

Model-model Pengajaran, Edisi Kedelapan, Penerjemah: Achmad

Fawaid dan Ateilla Mirza, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari Jilid 3,

Penerjemah Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Martinis Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik, 2008, Jakarta: Gaung

Persada Press

Susan E. Israel dkk. Metacognition in Literacy Learning (Theory, Assessment,

Instruction, and Professional Development), New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates, Publishers.

Timothy J. Perfect & Bennett L. Schwartz. 2004. Applied Metacognition,

Cambridge: Cambridge University Press.

Vincent Y. Yzerbyt, Guy Lories and Benoit Dardenne (ed.) (1998), Metacognition:

Cognitive and Social Dimensions, London, California, New Delhi: SAGE

Publication.

Page 138: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

123

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendekatan Analogi dalam Mengembangkan

Kemampuan Matematika Siswa

Gelar Dwirahayu

Pendidikan Matematika - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Kurikulum 2013 di Indonesia mengisayaratkan bahwa proses

pembelajaran di kelas haruslah berbasis pendekatan sain, banyak

strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh pakar pendidikan yang

dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Salah

satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas adalah

pendekatan analogi. Pendekatan ini secara teori dapat membantu guru

dalam mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Pendekatan analogi

ada dua karakteristik yaitu analogi dengan kehidupan sehari-hari dan

juga analogi konsep. Kedua karakteristik tersebut cocok dalam

pembelajaran matematika. Matematika merupakan konsep yang

abstrak, pada penyampaian materi awal, siswa memiliki kemampuan

berpikir non formal sehingga pembelajaran matematika lebih cocok

menggunakan analogi dengan kehidupan sehari-hari karena materi akan

lebih bermakna dan mudah difahami oleh siswa, sementara siswa yang

sudah pada level tinggi dengan konsep matematika yang sangat abstrak

maka akan sulit untuk mencari analogi dengan kehidupan sehari-hari,

maka untuk pelajaran matematika pada level tinggi lebih cocok

menggunakan analogi konsep, karena untuk mengajarkan konsep

matematika yang abstrak siswa diarahkan pada analogi konsep

matematika sederhana yang pernah dipelajari sebelumnya.

Kata Kunci: Analogi, Kemampuan Matematika.

Page 139: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

124

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu materi wajib yang diajarkan pada setiap

jenjang pendidikan formal yaitu pada tingkat sekolah dasar, sekolah menengah

maupun perguruan tinggi. Bahkan pada tingkat pra pendidikan atau pendidikan

informal matematika juga sudah mulai diperkenalkan. Pendidikan yang dilakukan

pada usia dini bertujuan untuk membentuk pola berpikir anak, karena pada usia

inilah anak mulai pada proses meniru dari apa yang mereka lihat. Hal ini senada

dengan pendapat Piaget (Dahar, 1996) bahwa proses berpikir manusia sudah

terjadi sejak dini, dan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu

yang berkembang berdasarkan usianya.

1. Tahap Sensori Motori, tahap sensori motori terjadi pada anak usia antara 0-2

tahun. Kaitannya dengan matematika, pada tahap ini kemampuan berfikir

anak digunakan untuk mengatur sendiri dunianya dengan menggunakan

indera-indera (baik sensoris maupun motoris) yang dimilikinya. Misalnya anak

menggunakan jari-jari tangannya sebagai alat bantu untuk menunjukkan

bilangan dari satu sampai sepuluh tanpa mereka fahami bahwa angka satu

sampai sepuluh menunjukkan banyaknya benda atau bacaan untuk suatu

symbol matematika, terkadang anak memahami bahwa angka satu adalah jari

telunjuk.

2. Tahap Pra-operasional, tahap Pra-operasional terjadi pada anak usia antara 2-

7 tahun. Tahap Pra-operasional terbagi menjadi dua sub tingkat yaitu antara

2-4 tahun disebut sub tingkat pra logis dan antara 4-7 tahun disebut sub

tingkat berfikir intuitif. Dalam pembelajaran matematika, terkadang anak

tidak tahu bahwa 5+5 = 10, tetapi mereka tahu bahwa jari mereka yang kiri

ada 5 dan yang kana nada 5 sehingga jumlah jari yang mereka miliki adalah

10. Anak yang berada pada tahap ini cenderung berfikir yang disertai dengan

sikap egosentris.

3. Tahap Operasi Konkrit, tahap operasi konkrit terjadi pada anak usia 7-11

tahun. Tahap ini merupakan permulaan berfikir rasional. Anak sudah memiliki

operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah yang

kongkrit. Dalam pembelajaran matematika, pra operasional kongkrit dikaitkan

dengan kemampuan anak dalam melakukan operasi matematika secara ril

dan kongkrit, misalnya untuk memahami operasi perkalian 2x5, mereka harus

dibantu dengan konteks ril. Jika di kelas ada 5 orang anak, dan setiap anak

akan diberikan 2 buah permen maka berapa banyak permen yang akan

dibagikan? Selain itu pada tahap ini anak sudah dapat membedakan dan

menyusun benda-benda secara seri berdasarkan ukurannya. Kemampuan ini

Page 140: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

125

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

biasanya ditunjukkan oleh kemampuan geometri siswa, mereka mampu

membedakan mana segitiga besar dan segitiga kecil.

4. Tahap Operasi Formal, tahap ini terjadi pada anak kira-kira 11 tahun ke atas.

Tahap operasi formal dianggap sebagai tahap berfikir yang paling tinggi,

karena pada tahap ini anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi

kongkrit untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Pada tahap ini anak

sudah dapat menggunakan kemampuan berfikirnya dalam menyelesaikan

persoalan-persoalan yang lebih abstrak yang membutuhkan penalaran. Proses

berpikir formal inilah yang banyak digunakan di tingkat sekolah formal.

Mempelajari matematika tidak hanya sekedar pada hitungan dan hafalan

rumus semata akan tetapi matematika dapat melatih dan mendisiplinkan

kebiasaan siswa, khususnya mendisiplinkan dalam pola berpikir dan bernalar.

Berfikir merupakan aktivitas mental seseorang yang menggunakan fikirannya

untuk mengumpulkan ide-ide atau informasi-informasi yang ada. Berfikir

dilakukan dengan cara menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang ada

pada diri seseorang dengan masalah yang sedang dihadapi. Setyabudi (1991)

mengatakan jika seseorang berfikir maka ia sedang melakukan aktivitas mental

yang sifatnya ideasional (merancang sesuatu namun masih ada dalam fikirannya)

bukan sensoris maupun motoris, meskipun dapat disertai keduanya.

Mengembangkan dan melatih kemampuan berpikir dan bernalar dalam

matematika akan melatih siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

mereka hadapi, baik masalah dalam matematika itu sendiri maupun masalah

dalam kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Locke (Miranti, 2004)

bahwa matematika merupakan sarana untuk menanamkan kebiasaan bernalar

dan anak yang senang melakukan matematika, kemampuan bernalarnya akan

terlatih dengan baik. Seperti diungkapkan pada NCTM (1989), tujuan

pembelajaran matematika di sekolah dasar dan menengah yaitu: (1) meyakinkan

siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang menarik dan bermakna,

bukan pelajaran yang membingungkan, abstrak, tidak masuk akal dan

membosankan; (2) dengan pembelajaran matematika diharapkan dapat

meningkatkan kepekaan siswa terhadap daya matematika (power of

mathematics); dan (3) pembelajaran matematika diharapkan juga dapat

meningkatkan kepercayaan siswa akan kemampuannya dalam berfikir.

Mengajar matematika yang abstrak perlu suatu cara atau strategi

pembelajaran tertentu agar memudahkan siswa dalam memahami matematika.

Mempelajari matematika juga bukan sekedar menghafal rumus dan

menyelesaikan soal-soal, namun ada lima kompetensi yang perlu dikembangkan

Page 141: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

126

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam belajar matematika yaitu kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi,

kemampuan koneksi, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan

representasi. kemampuan penalaran matematik biasanya melatih siswa untuk

lebih berpikir logis dan sistematis dalam memahami dan memecahkan soal-soal

matematika; kemampuan komunikasi biasanya berhubungan dengan kemampuan

siswa dalam mengungkapkan ide-ide matematis yang ada dalam pemikiran

mereka baik dalam bentuk gambar, simbol ataupun lisan, kemampuan koneksi

yaitu kemampuan siswa untuk menghubungkan konsep matematika dengan

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari atau menghubungkan konsep

matematika dengan konsep lain baik dalam matematika sendiri maupun dengan

ilmu lainnya, kemampuan pemecahan masalah menjad tujuan utama dalam

pembelajaran matematika, setiap konsep yang diajarkan dalam matematika dapat

digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah matematika yang lebih tinggi

lagi ataupun untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi siswa

dan kemampuan representasi adalah kemampuan siswa untuk menyajikan ide-ide

matematika yang ada pada pemikiran siswa dalam bentuk model-model

matematika atau persamaan matematika baik dalam bentuk semi formal maupun

formal sehingga memudahkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan

matematika.

Banyak strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan matematika

di kelas. Setiap strategi pembelajaran memiliki ciri khas dan karakteristik tertentu.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi siswa mengembangkan

kemampuan matematika yaitu pembelajaran dengan menggunakan analogi.

Analogi artinya membandingkan satu hal dengan hal lain yang sudah difahami

oleh siswa sehingga dengan menggunakan kesamaannya siswa akan memudahkan

memahami konsep yang baru.

B. Pembahasan

Kemampuan Matematika

Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar dan Menengah

(Siskandar, 2004) harus mencakup pada:

a. Melatih cara berfikir dan bernalar siswa dalam menarik kesimpulan, misalnya

melalui kegiatan penyelidikan atau eksplorasi, percobaan atau eksperimen,

menunjukkan kesamaan, perbedaan , konsistensi dan inkonsistensi.

b. Mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa yang melibatkan imajinasi,

intuisi dan penemuan dengan cara mengembangkan pemikiran secara

divergen, orsinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi, menduga dan mencoba .

Page 142: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

127

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

Pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah, guru harus

memperhatikan pada 5 aspek pengajaran matematika (dalam NCTM, 2000), yaitu:

kemampuan koneksi matematik, kemampuan penalaran matematik, kemampuan

komunikasi matematik, kemampuan pemecahan masalah matematik dan

kemampuan representasi matematik.

a. Kemampuan koneksi matematik,

Kemampuan koneksi dalam matematika diartikan sebagai kemampuan

menguhubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya, atau kemampuan

untuk menghubungkan antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Kemampuan koneksi perlu dipelajari dalam matematika, mengingat bahwa

matematika merupakan konsep abstrak, dan antara konsep yang satu akan saling

berkaitan dengan konsep lainnya. kemampuan koneksi perlu dilatihkan kepada

siswa sekolah. Apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika maka

pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena

mereka mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan

konteks selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari (NCTM,

2000).

Untuk memahami matematika, siswa harus menyadari bahwa matematika

bukanlah kumpulan materi atau pokok bahasan yang dipelajari secara terpisah,

meskipun pada kenyataannya penyampaian materi matematika di kelas dibuat

terspisah dengan membuat BAB secara tersendiri. Matematika merupakan ilmu

yang terintegrasi. Memandang matematika secara keseluruhan sangat penting

dalam belajar dan berfikir tentang koneksi diantara topik-topik dalam

matematika. Struktur koneksi yang terdapat di antara cabang-cabang matematika

memungkinkan siswa melakukan penalaran matematik secara analitik dan

sintesik. Melalui kegiatan ini, kemampuan matematik siswa menjadi berkembang.

Bentuk koneksi yang paling utama adalah mencari koneksi dan relasi diantara

berbagai struktur dalam matematika. Dalam pembelajaran matematika guru tidak

perlu membantu siswa dalam menelaah perbedaan dan keragaman struktur-

struktur dalam matematika, tetapi siswa perlu menyadari sendiri adanya koneksi

antara berbagai struktur dalam matematika. Struktur matematika adalah ringkas

dan jelas sehingga melalui koneksi matematik maka pembelajaran matematika

menjadi lebih mudah difahami oleh anak.

Koneksi matematika dapat dibagi ke dalam tiga aspek kelompok koneksi,

yaitu :

Page 143: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

128

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Aspek koneksi antar topik matematika, Aspek ini dapat membantu siswa

menghubungkan konsep–konsep matematika untuk menyelesaikan suatu

situasi permasalahan matematika.

2. Aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain, Aspek ini menunjukkan bahwa

matematika sebagai suatu disiplin ilmu, selain dapat berguna untuk

pengembangan disiplin ilmu yang lain, juga dapat berguna untuk

menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi

lainnya.

3. Aspek koneksi dengan dunia nyata siswa / koneksi dengan kehidupan sehari–hari. Aspek ini menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk

menyelesaikan suatu permasalahan di kehidupan sehari–hari.

Secara umum Coxford (1995) mengemukakan bahwa kemampuan koneksi

matematik meliputi: (1) mengoneksikan pengetahuan konseptual dan procedural,

(2) menggunakan matematika pada topik lain (other curriculum areas), (3)

menggunakan matematika dalam aktivitas kehidupan, (4) melihat matematika

sebagai satu kesatuan yang terintegrasi, (5) menerapkan kemampuan berfikir

matematik dan membuat model untuk menyelesaikan masalah dalam pelajaran

lain, seperti musik, seni, psikologi, sains, dan bisnis, (6) mengetahui koneksi

diantara topik-topik dalam matematika, dan (7) mengenal berbagai representasi

untuk konsep yangsama. Selanjutnya menurut NCTM (1989) tujuan koneksi

matematika adalah agar siswa dapat: (1) Mengenali representasi yang ekuivalen

dari suatu konsep yang sama, (2) Mengenali hubungan prosedur satu representasi

ke prosedur representasi yang ekuivalen, (3) Menggunakan dan menilai koneksi

beberapa topik matematika, (4) Menggunakan dan menilai koneksi antara

matematika dan disiplin ilmu yang lain.

Tujuan pembelajaran matematika di Indonesia yang bersesuaian dengan

NCTM, menekankan bahwa kemampuan yang diharapkan pada aspek koneksi

matematika yaitu :

1. Siswa dapat menggunakan koneksi antar topik matematika.

2. Siswa dapat menggunakan koneksi antara matematika dengan disiplin ilmu

lain.

3. Siswa dapat mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama.

4. Siswa dapat menghubungkan prosedur antar representasi ekuivalen.

5. Siswa dapat menggunakan ide–ide matematika untuk memperluas

pemahaman tetang ide–ide matematika lainnya.

6. Siswa dapat menerapkan pemikiran dan pemodelan matematika untuk

menyelesaikan masalah yang muncul pada disiplin ilmu lain.

Page 144: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

129

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Siswa dapat mengeksplorasi dan menjelaskan hasilnya dengan grafik, aljabar,

model matematika verbal atau representasi.

b. Kemampuan penalaran matematik,

Penalaran atau reasoning merupakan proses berfikir yang dilakukan untuk

menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Matematika

sebagai poses bernalar (NCTM, 1989), artinya jika seseorang mengerjakan

matematika atau menyelesaikan soal-soal matematika maka ia tidak terlepas dari

aktivitas bernalar. Penalaran atau logika merupakan bagian dalam matematika

yang perlu dikembangkan. Pembelajaran matematika yang dapat melatih

kemampuan bernalar siswa sebaiknya diperkenalkan sejak dini, karena akan

memberikan keuntungan pada pembelajaran matematika di masa yang akan

datang. (NCTM, 1989), meskipun penalaran yang diberikan hanya berupa

kemampuan berfikir informal, yaitu kemampuan siswa untuk membuat konjektur

dan memvalidasi kebenaran namun penalaran yang diberikan pada tingkat awal

diharapkan dapat membantu siswa untuk menyadari bahwa matematika itu

berguna bagi dirinya.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dalam matematika apabila siswa

diperkenalkan dengan penalaran menurut Baroody (Dahlan, 2004) antara lain:

1. Jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya

dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri

maka siswa akan lebih mudah memahaminya. Misalnya siswa diberikan

permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, siswa diminta untuk

melihat pola, mereformulasikan dugaan tentang pola yang sudah diketahui

dan mengevaluasinya sehingga hasil yang diperolehnya bersifat lebih

informatif. Hal ini akan lebih membantu siswa dalam memahami proses yang

telah disiapkan dengan cara doing mathematics dan eksplorasi matematika.

2. Jika siswa dituntut untuk menggunakan kemampuan bernalarnya, maka akan

mendorong mereka untuk melakukan guessing atau dugaan-dugaan. Hal ini

akan menimbulkan rasa percaya diri dan menghilangkan rasa takut salah

pada diri siswa ketika siswa diminta untuk menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh guru.

3. Membantu siswa untuk memahami nilai balikan yang negatif (negative

feedback) dalam memutuskan suatu jawaban. Artinya bahwa siswa perlu

memahami bahwa tebakan yang salah dapat menghilangkan kemungkinan

yang pasti dengan berbagai pertimbangan lebih jauh dan dapat melihat

informasi yang sangat bernilai (invaluable/extremely valuable). Anak juga

Page 145: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

130

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perlu menghargai bahwa keefektifan dari suatu tebakan tergantung pada

banyaknya kemungkinan yang dapat dihilangkan.

4. Secara khusus, dalam matematika anak harus memahami bahwa penalaran

intuisi, penalaran induktif (pendugaan) dan penalaran deduktif (pembuktian

logis) memainkan peranan yang penting. Mereka harus menyadari atau dibuat

sadar bahwa intuisi merupakan dasar untuk kemampuan tingkat tinggi dalam

matematika dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Siswa juga harus dibantu

untuk dapat memahami bahwa intuisi diperlukan secara substantif dalam

membuat contoh, mengumpulkan data dan dalam menggunakan logika

deduktif. Selain itu siswa juga perlu untuk memahami bahwa penemuan pola

dari berbagai contoh yang luas selalu terdapat suatu pengecualian sehingga

dapat dijustifikasi suatu pola dan pada akhirnya dapat dibuktikan secara

deduktif.

Selanjutnya NCTM (1989), menyebutkan beberapa aspek kemampuan

penalaran siswa yang perlu dikembangkan dalam kurikulum matematika di

sekolah dasar dan menengah yaitu: (1) mengenal dan menerapkan penalaran

induktif dan deduktif; (2) memahami dan menggunakan proses penalaran dengan

perhatian khusus pada penalaran keruangan serta penalaran dengan proporsi dan

grafik; (3) membuat dan mengevaluasi konjektur dan argumentasi matematika;

(4) memvalidasi fikiran mereka sendiri; dan (5) menghargai manfaat serta

kekuatan penalaran sebagai bagian dari matematika.

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari kita biasanya menggunakan

kemampuan berfikir kita untuk bernalar. Orang yang bernalar akan taat kepada

aturan logika. Dalam logika dipelajari aturan-aturan atau patokan-patokan yang

harus diperhatikan untuk berfikir dengan tepat, teliti dan teratur dalam mencapai

kebenaran secara rasional.

Shurter & Pierce (Dahlan, 2004) menyatakan bahwa penalaran (reasoning)

merupakan suatu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan

sumber yang relevan, pentransformasian yang diberikan dalam urutan tertentu

untuk menjangkau kesimpulan.

Menurut Suherman dan Winataputra (Alamsyah, 2000), penalaran adalah

proses berfikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan.

Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat

individual atau khusus. Tetapi dapat pula sebaliknya, dari hal yang bersifat umum

menjadi kasus yang bersifat individual.

Menurut Schonfeld (Sumarmo, 2002), matematika merupakan proses yang

aktif, dinamik, generatif dan eksploratif. Berarti bahwa proses matematika dalam

Page 146: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

131

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penarikan kesimpulan merupakan kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan

penalaran tingkat tinggi. Heningsen dan Stein (Sumarmo, 2002) mengatakan

bahwa beberapa kegiatan matematika yang merupakan berfikir dan bernalar

tingkat tinggi di antaranya adalah menemukan pola, memahami struktur dan

hubungan matematika, menggunakan data, merumuskan dan menyelesaikan

masalah, bernalar analogis, mengestimasi, menyusun alasan rasional,

menggeneralisasi, mengkomunikasikan ide matematika dan memeriksa

kebenaran jawaban.

Beberapa indikator penalaran matematik (Sumarmo, 2002) dalam

pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat:

1. Menarik kesimpulan logik;

2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan;

3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi;

4. Mengunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik;

5. Menyusun dan menguji konjektur;

6. Merumuskan lawan contoh (counter example);

7. Mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen;

8. Menyusun argumen yang valid;

9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi

matematik.

c. Kemampuan komunikasi matematik,

Komunikasi matematis adalah keterampilan lain yang perlu dikembangkan

dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis yaitu kemampuan untuk

mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru, dan

lainnya melalui bahasa lisan tulisan. Ini berarti dengan adanya komunikasi

matematis guru dapat lebih memahami kemampuan siswa dalam

menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep yang

mereka pelajari.

Matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir tetapi matematika

sebagai wahana komunikasi antar siswa dan guru dengan siswa. Semua orang

diharapkan dapat menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan

informasi maupun ide-ide yang diperolehnya. Banyak persoalan yang disampaikan

dengan bahasa matematika, misalnya dengan menyajikan persoalan atau masalah

kedalam model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika,

grafik dan tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru

lebih praktis, sistematis, dan efisien. Setiap siswa harus belajar matematika

Page 147: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

132

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat,

sistematis dan tepat karena matematika sangat erat dengan kehidupan kita.

Dengan berkomunikasi siswa dapat meningkatkan kosa kata, mengembangkan

kemampuan berbicara, menulis ide-ide secara

Van de Walle (2007) menyatakan bahwa: cara terbaik untuk berhubungan

dengan suatu ide adalah dengan mencoba menyampaikan ide tersebut pada

orang lain.’’ Kemampuan komunikasi matematika merupakan suatu hal yang

sangat mendukung untuk seorang guru dalam memahami kemampuan siswa

dalam pembelajaran matematika. Hal ini didukung oleh NCTM (2000) tanpa

komunikasi dalam matematika, guru akan memiliki sedikit keterangan, data, dan

fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi

matematika. Selanjutnya kemampuan komunikasi dalam matematika perlu

dibangun agar siswa dapat: (1) merefleksi dan mengklarifikasi dalam berpikir

mengenai gagasan-gagasan matematika dalam berbagai situasi; (2) memodelkan

situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik dan secara aljabar; (3)

mengembangkan pemahaman terhadap gagasan matematik termasuk peranan

definisi dalam berbagai situasi matematika, menggunakan keterampilan

membaca, mendengar, menulis; (4) menginterprestasikan dan mengevaluasi

gagasan matematik; (5) mengkaji gagasan matematik melalui konjektur dan

alasan yang meyakinkan, dan (6) memahami nilai dari notasi peran matematika

dalam pengembangan gagasan matematik.

Salah satu model komunikasi matematis yang dikembangkan adalah

komunikasi model Cai, Lane dan Jacobsin (1996) meliputi (1) Menulis matematis

(Written text). Pada kemampuan ini, siswa dituntut untuk dapat menuliskan

penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematis, masuk akal, jelas

serta tersusun secara logis dan sistematis, (2) Menggambar secara matematis

(Drawing). Pada kemampuan ini, dituntut untuk dapat melukiskan gambar,

diagram dan tabel secara lengkap dan benar, (3) Ekspresi Matematis

(Mathematical Expression). Pada kemampuan ini, siswa diharapkan untuk

memodelkan permasalahan matematis dengan benar atau mengekspresikan

konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau

symbol matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau

mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.

d. Kemampuan pemecahan masalah matematik

Pendidik harus bisa menempatkan dirinya sesuai keadaan siswa. Ia harus

mencoba memahami apa yang terjadi di dalam pikiran siswa dan meminta

Page 148: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

133

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pertanyaan atau menunjukkan langkah yang bisa terjadi pada siswa sendiri. Polya

dalam bukunya How to Solve It memberikan saran dalam mengajar mahasiswa

matematika. Menurut Polya (1985), terdapat empat prinsip-prinsip dasar dalam

memecahkan masalah yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan,

melaksanakan rencana, dan melihat kembali. Adapun penjelasan dari keempat

prinsip yang diajukan Polya yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah

dapat diuraikan sebagai berikut.

Tahap Pemahaman Masalah (Understanding Problem)

Tahap ini merupakan tahap awal dalam melatih siswa untuk

mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya. Pada tahap ini siswa

harus mampu memahami kondisi soal atau masalah yang disajikan, menurut

Polya, untuk mengetahui ciri apakah siswa memahami terhadap isi permasalahan,

maka guru harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada

kemampuan siswa dalam mengidentifikasi masalah, pertanyaan yang dapat

diajukan antara lain:

Apakah siswa mengerti semua kata atau istilah yang digunakan dalam

menyatakan masalah?

Apa yang siswa minta untuk menemukan atau menunjukkan?

Dapatkah siswa menyatakan kembali masalah dengan perkataannya

sendiri?

Dapatkah siswa memikirkan gambar atau diagram yang dapat

membantunya memahami masalah?

Apakah ada informasi yang cukup untuk memungkinkan siswa

menemukan solusi?

Tahap Perencanaan (Devising a Plan)

Pada tahap kedua, siswa mampu memikirkan langkah-langkah yang penting

dan saling menunjang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapkannya.

Kemampuan berpikir yang tepat hanya dapat dilakukan jika siswa telah dibekali

pengetahuan yang cukup sebelumnya, bukan hal yang baru sama sekali tetapi

pengetahuan yang serupa dengan permasalahan yang dihadapi. Polya

menyebutkan bahwa ada banyak cara yang masuk akal untuk memecahkan

masalah. Keterampilan dalam memilih strategi yang tepat dan terbaik adalah

belajar dengan memecahkan banyak masalah.

Selain itu, siswa juga harus bisa menemukan hubungan antara data dan

yang tidak diketahui. Siswa mungkin diwajibkan untuk mempertimbangkan

Page 149: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

134

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

masalah tambahan jika hubungan langsung tidak dapat ditemukan. Strategi yang

harus dilakukan oleh guru dalam tahapan ini guru menyiapkan pertanyaan-

pertanyaan yang mengarah pada kemampuan siswa dalam menemukan strategi

yang akan digunakan dalam pemecahan masalah, pertanyaan yang dapat diajukan

antara lain bersesuai dengan hal-hal sebagai berikut:

Pernahkah siswa melihat permasalahan ini sebelumnya? Atau siswa

melihat masalah yang sama dalam bentuk yang sedikit berbeda? Apakah

siswa tahu masalah yang terkait?

Apakah siswa tahu teorema yang bisa digunakan dalam menyelesaikan

masalah yang terkait?

Berikut ini adalah masalah yang berkaitan dengan siswa dan telah

dipecahkan sebelumnya.

Bisakah siswa menggunakannya? Bisakah siswa menggunakan hasilnya?

Bisakah siswa menggunakan metodenya? Dapatkah siswa

memperkenalkan beberapa elemen tambahan agar penggunaannya

memungkinkan? Bisakah siswa menyatakan kembali masalah?

Bisakah siswa menyatakan kembali masalah dengan cara yang berbeda?

Kembali kepada definisi, Jika siswa tidak dapat menyelesaikan masalah yang

diusulkan, cobalah pertama-tama menyelesaikan terlebih dahulu beberapa

masalah yang berhubungan.

Bisakah siswa membayangkan masalah terkait lebih mudah diakses?

Masalah yang lebih umum? Masalah khusus lainnya? Masalah yang

analog?

Bisakah siswa memecahkan bagian dari masalah? Bisakah siswa

mendapatkan sesuatu yang berguna dari data? Bisakah siswa memikirkan

data lain yang tepat untuk menentukan yang tidak diketahui?

Bisakah siswa mengubah data atu informasi yang tidak diketahui, atau

keduanya jika perlu, sehingga data baru dan informasi yang tidak

diketahui menjadi lebih dekat satu sama lain?

Apakah siswa menggunakan semua data? Apakah siswa menggunakan

seluruh kondisi?

Apakah siswa memperhitungkan semua gagasan penting yang terlibat

dalam masalah ini?

Page 150: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

135

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahap Pelaksanaan Rencana (Carrying Out The Plan)

Siswa melakukan perhitungan berdasarkan informasi atau data yang

diperlukan dengan menfaatkan konsep atau teorema yang sesuai. Pada tahap ini

siswa harus mampu membentuk sistematika yang lebih umum, dalam arti konsep

atau teorema yang akan digunakan sudah merupakan konsep atau teorema yang

siap untuk digunakan sesuai dengan permasalahan. Kemudian siswa mulai

memasukkan data-data hingga mengarahpada rencana pemecahannya. Siswa

melaksanakan langkah-langkah rencana sehingga permasalahan tersebut dapat

dibuktikan atau diselesaikan. Siswa harus mampu memeriksa setiap langkah

penyelesaian dan memastikan bahwa ia melakukan langkah yang benar. Selain itu,

siswa juga harus mampu membuktikan bahwa itu benar.

Tahap Pemeriksaan Kembali (Looking Back)

Siswa harus berusaha memeriksa kembali dan menganalisis kembali dengan

teliti setiap langkah penyelesaian yang telah dilakukan. Polya menyebutkan

bahwa banyak keuntungan yang bisa diperoleh dengan mengambil waktu untuk

memeriksa kembali pekerjaan yang telah dilakukan. Melakukan hal ini

memungkinkan siswa untuk memprediksi strategi yang sesuai yang dapat

digunakan untuk memecahkan masalah di masa depan. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam tahapan ini yaitu:

Dapatkah siswa memeriksa hasilnya?

Dapakah siswa memeriksa argument?

Dapatkah siswa memperoleh solusi yang berbeda?

Bisakah siswa melihatnya secara sekilas?

Dapatkah siswa menggunakan hasil atau metode untuk beberapa masalah

lain?

Pendekatan pemecahan masalah merupakan focus dalam pembelajaran

matematika. Salah satu negara yang mengembangkan pendekatan pemecahan

masalah dalam matematika adalah Singapura. Pemecahan masalah mencakup

masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak

tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Keterampilan

kemampuan memecahkan masalah meliputi keterampilan memahami masalah,

membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan

solusinya.

Page 151: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

136

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Kemampuan representasi matematik.

Representasi juga diperlukan dalam mempelajari matematika.

Menyelesaikan persoalan matematika tidak hanya menggunakan kemampuan

berpikir semata, namun hasil pemikiran tersebut harus direpresentasikan agar

memudahkan orang lain memahami apa yang sedang kita analisis. Banyak cara

yang dapat digunakan untuk merepresentasikan matematika, misalnya

representasi dalam bentuk model matematis sebagai pengganti dari suatu situasi

masalah (Fadilah, 2009), model dan interpretasi fenomena fisik, sosial, dan

matematika dengan penuh arti untuk meningkatkan penalaran (Kalathil & Sherin,

2000) dan pemahaman terhadap ide-ide matematika (Hatfield, 2008),

representasi lisan atau tulisan (Krees, 2001). Selanjutnya, representasi juga

diartikan sebagai bentuk ekspresi dari fenomena, objek, kejadian, konsep-konsep

abstrak, gagasan, proses mekanisme dan bahkan sistem (Chiu, 2009), ungkapan-

ungkapan dari ide matematis yang ditampilkan siswa yang digunakan untuk

menemukan solusi dari suatu masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari

interpretasi pikirannya (Fadillah, 2009)

Kemampuan representasi matematik merupakan salah satu komponen

standar proses dalam pembelajaran matematika (NCTM, 2000). Representasi

dalam matematika biasanya menggunakan objek fisik, gambar, charta, grafik dan

symbol-simbol lainnya yang digunakan oleh siswa untuk mengkomunikasikan apa

yang telah mereka pikirkan. Ketika siswa dihadapkan pada situasi masalah

matematika dalam pembelajaran di kelas, mereka akan berusaha memahami

masalah tersebut dan menyelesaikannya dengan cara-cara yang mereka ketahui

dengan cara membuat model atau representasi dari masa2lah tersebut.

Representasi yang dibuat siswa merupakan suatu bentuk ungkapan dari

gagasan atau ide-ide matematika yang mereka tampilkan dalam upaya

menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. NCTM (2000)

menetapkan ada tiga standar kemampuan representasi untuk pembelajaran

matematika di sekolah, yaitu:

1) Membuat dan menggunakan representasi untuk mengorganisasikan,

mencatat dan mengkomunikasikan ide-ide matematika.

2) Memilih, menerapkan, dan menterjemahkan representasi matematis untuk

memecahkan masalah

3) Menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan

fenomena fisik, sosial, dan matematika.

Representasi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu representasi internal

dan representasi eksternal (Haries, 2009), berpikir tentang ide matematika yang

Page 152: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

137

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dilakukan dalam proses pikiran seseorang, maka orang tersebut dapat dikatakan

sedang melakukan representasi internal, sedangkan berpikir tentang ide

matematika yang kemudian dikomunikasikan maka memerlukan representasi

eksternal yang wujudnya dapat menggunakan beberapa media antara lain: (1)

sajian visual seperti tabel, gambar, grafik, (2) pernyataan matematika atau notasi

matematika, (3) teks tertulis yang ditulis dengan bahasa sendiri baik formal

ataupun kombinasi semuanya (Fadillah, 2009), atau dapat juga menggunakan tiga

bentuk representasi lainnya, misalnya representasi verbal, representasi pictorial,

dan representasi simbolik (Villegas, 2009). Representasi verbal adalah

representasi yang berupa teks tulisan, representasi pictorial adalah representasi

yang berupa diagram, grafik, dan lainnya, sedangkan representasi simbolik adalah

representasi yang berupa simbol aljabar, operasi matematika dan relasi, angka,

dan berbagai jenis lain.

Lain halnya dengan pendapat Post & Behr (Van De Walle, 2007), yang

membagi representasi matematika kedalam lima jenis, yaitu representasi situasi

dunia nyata, representasi model manipulatif, representasi simbol tertulis,

representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik.

Pendekatan Analogi

Menurut Gerhard (Hulukati, 1997), ada tiga faktor yang perlu mendapatkan

perhatian dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di dalam kelas, yaitu:

1. Penciptaan suasana lingkungan yang responsif artinya suasana yang terjadi

dalam proses pembelajaran tampak lebih interaktif yaitu adanya interaksi baik

antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Siswa

diarahkan oleh guru untuk menjadi dirinya sendiri. Dalam hal ini siswa

menjadi pelajar yang otonom,

2. Penggunaan strategi-strategi mengajar yang memberi penekanan pada proses

penalaran. Yang terpenting dalam hal ini adalah pemberian kepada siswa

untuk melakukan penalaran yaitu dengan merancang kegiatan-kegiatan yang

menuntut siswa untuk berfikir dan bernalar,

3. Melakukan evaluasi diagnostik dan evaluasi berkesinambungan untuk

memantau perkembangan siswa. Evaluasi diagnostik dilakukan untuk

mengetahui pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki siswa. Hal ini

penting untuk menentukan materi ajar kemampuan-kemampuan yang

diperlukan, metode dan sumber belajar yang akan digunakan. Evaluasi

berkesinambungan dilakukan secara bersama antar guru dengan siswa untuk

melihat perkembangan siswa dalam kaitan denga pencapaian tujuan,

Page 153: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

138

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perangsangan dan perangsangan ulang pengalaman belajar bagi siswa,

sehingga tujuan yang diharapkan dapat diraih dan perkembangan siswa selalu

terpantau.

English (Herman, 2004) menyatakan bahwa The human ability to find

analogical correspondences is a powerful reasoning mechanism . Artinya bahwa

kemampuan manusia dalam menemukan kesamaan antara dua hal yang berlainan

merupakan salah satu kekuatan dalam proses penalaran. Selanjutnya Herman

(2004) menyebutkan bahwa penalaran analogi, metafora serta representasi

mental dan fisik merupakan alat berfikir yang seringkali menjadi sumber inspirasi

hipotesis, memecahkan permasalahan dan alat bantu untuk belajar dan transfer.

Menurut Dagher (Rusyana, 1998) analogi dapat disajikan secara: (1)

compound analogies artinya analogi secara bertingkat (2) narrative artinya bahwa

penalaran analogi dapat disajikan dalam bentuk cerita (3) prosedural artinya

analogi dapat dilakukan secara prosedur (4) peripheral artinya analogi dapat juga

diakukan dengan cara mengaplikasikan sesuatu dengan objek yang ada di

sekitarnya dan (5) simple artinya analogi dapat disajikan secara sederhana. Dalam

hal ini berarti bahwa menganalogikan sesuatu harus berdasarkan pada

pengalaman kehidupan sehari-hari atau pengalaman hidup yang dapat di

observasi, sains fiksi, cerita perseorangan dan objek-objek yang sifatnya umum.

Selanjtnya menurut Lawson (Rusyana, 1998), penggunaan pendekatan

analogi untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep secara teoritis

dapat disajikan dalam bentuk: (1) diagram, (2) kalimat-kalimat pendek, (3)

pengalaman fisik yang sifatnya aktual, (4) simulasi dan (5) kegiatan dengan

menggunakan komputer.

Sedangkan menurut Clement (Rusyana, 1998) model sederhana dari

penalaran analogi digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Model Penalaran Analogi

Kasus A dianalogikan dengan kasus T. Artinya bahwa kunci pemahaman

siswa ada di T yang ditandai dengan lingkaran titik-titik. Ada 3 persyaratan yang

diperlukan untuk memahami analogi yang dimaksudkan pada gambar 2.5, antara

lain:

A

T

Page 154: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

139

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hubungan antara p dengan

barisan:

a. p-2, p-4, p-6, p-8,...

b. p+2, p+4, p+6, p+8,...

c. p, 2p, 3p, 4p,...

d. p, p2, p

3, p

4,...

Hubungan antara

bilangan -2 dengan

barisan 8,6,4,2,…

1. siswa harus memahami kasus A secara meyakinkan,

2. siswa harus memahami bahwa kasus A sama dengan kasus T,

3. siswa harus bisa mengaplikasikan kasus A ke kasus T.

Untuk membantu siswa memahami bahwa kasus A sama dengan atau

serupa dengan kasus T, maka harus dibuat sebuah jembatan analogi (Dwirahayu,

2009), artinya bahwa jembatan analogi bukan hanya merupakan argumen

deduktif melainkan suatu penghubung untuk memudahkan siswa dalam

memahami suatu pengetahuan yang baru. Strategi mengajar yang menggunakan

pendekatan analogi adalah sebagai berikut:

1. menentukan konsep yang akan disajikan dalam hal ini konsep tersebut kita

misalkan sebagai A, kemudian memberikan penjelasan secara garis besar

mengenai konsep A sehingga disetujui dan diterima oleh siswa,

2. membentuk analogi,

3. menggunakan jembatan analogi yang dikombinasikan dengan diskusi

kelompok untuk mengaktifkan kemampuan berfikir siswa,

4. menggunakan sebuah model, dalam hal ini adalah T sehingga A dapat

dijelaskan oleh T.

Beberapa contoh pembelajaran matematika yang menggunakan

pendekatan analogi, misalnya:

1.

jawaban yang benar adalah c, sebab pada barisan 8,6,4,2,... angka -2 sebagai

beda, sehingga p juga berlaku sebagai beda pada barisan p, 2p, 3p, 4p,...

2. Didalam sebuah keranjang terdapat buah jeruk. Jika empat buah jeruk diperas

akan menghasilkan enam gelas air jeruk. Berapakah banyaknya jeruk yang

harus diperas untuk menghasilkan 15 gelas air jeruk? Berapakah banyaknya

air jeruk yang dihasilkan jika 20 buah jeruk yang diperas?

Penyelesaian pada kalimat pertama, siswa dapat menemukan perbandingan

4:6, selanjutnya dengan menggunakan analogi dengan kalimat pertama, maka

banyaknya jeruk yang harus diperas untuk menghasilkan 15 gelas adalah 10

analog

dengan

Page 155: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

140

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

buah jeruk. Masih menggunakan analogi dengan kalimat pertama, siswa

dapat menentukan banyaknya air yang dihasilkan jika memeras 20 jeruk.

3. Misalkan gambar persegi panjang berikut ini menunjukkan sebuah kartu.

Setiap kartu memiliki dua sisi, dan setiap sisi pada kartu memiliki tulisan yang

berbeda. Pada sisi yang satu bertuliskan huruf alfabet dan pada sisi yang

lainnya bertuliskan angka.

Jika diberikan aturan mengenai keempat kartu di atas sebagai berikut: Jika

sebuah kartu memiliki huruf vokal pada salah satu sisinya maka sisi lainnya

memiliki angka genap

Pertanyaannya: Kalian diminta untuk memutuskan kartu mana yang akan

kamu balik sehingga aturan di atas berlaku atau tidak berlaku..

a. E dan 6 c. F dan 6

b. E dan 7 d. F dan 7

Jawaban yang benar adalah b, sebab kartu yang bertuliskan huruf E

tentu saja benar dan tidak diragukan lagi, karena sesuai dengan peraturannya.

Dengan menggunakan negasi dari pernyataan diatas menjadi jika sisi yang

satu bilangan ganjil maka sisi lainnya adalah huruf konsonan . Dengan cara

analogi kartu yang bertuliskan angka 7 dibelakangnya pasti huruf konsonan.

Pengertian analogi menurut Duit (Guera dan Ramos, 2011): Analogies,

metaphors and model are common devices in everyday experience, spoken and

written communication when trying to make familiar the unfamiliar. Very often,

they are collectively considered to be analogies because of their potential to

compare one object or situation to another, and in that process, transfer either

details, relational information or both. Sedangkan Glynn (2007), An analogy is a

similarity between concepts. Analogies can help studets build conceptual bridges

between what is familiar and what is new .

Analogi merupakan suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu

gagasan terlihat baru dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang

mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Analogi merupakan suatu

peta pengetahuan dari suatu konsep (dasar/analog) ke konsep lain (target) yang

memperlihatkan suatu sistem hubungan yang dimiliki oleh konsep analog juga

7

6

J

E

Page 156: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

141

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dimiliki oleh konsep target (Gentner, 2012), atau analogi juga dapat diartikan

sebagai model penjelasan suatu konsep atau topik dengan cara menganalogikan

dengan suatu peristiwa yang mudah dimengerti oleh siswa secara konstruktif

(irawati, 2012).

Mengajar menggunakan pendekatan analogi akan membantu siswa

memahami matematika yang abstrak, (Dwirahayu, 2016) dimana ketika siswa

dihadapkan pada suatu permasalahan matematika, siswa akan membuat

representasi dari permasalahan yang disajikan baik representasi dalam bentuk

gambar maupun symbol sesuai dengan pemahaman mereka, sehingga

memudahkan mereka menyelesaikan soal-soal matematika. Namun demikian

keunggulan pendekatan analogi dalam pembelajaran matematika antara lain: 1.

Membantu siswa memahami konsep baru dengan mudah karena diajarkan

konsep lain yang lebih sederhana, 2. Melatih kemampuan penalaran siswa karena

siswa dihadapkan pada dua permasalahan serupa namun berbeda, siswa diminta

untuk menemukan persamaan dan perbedaannya, 3. pemahaman konsep yang

abstrak yang merujuk pada contoh-contoh dalam kehidupan nyata, 3. analogi

menuntut guru untuk mempertimbangkan pengetahuan/konsep awal yang

dimiliki siswa sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan mengurangi

ketidakpahaman siswa terhadap materi atau konsep yang diajarkan. Menurut

Zook (Slavin, 2008) penggunaan analogi dapat membantu siswa untuk memahami

informasi baru dengan menghubungkan konsep-konsep yang telah ada dalam

ruang memori pebelajar.

Kodratoff (Purwanti, 1990) mendefinisikan analogi melalui skema sebagai

berikut:

Misalkan A dan B dianggap sebagai konsep dasar yang digunakan untuk

mengajarkan konsep A’dan B’, r menyatakan hubungan antara konsep A dan

konsep B sehingga hubungan keduanya ditulis dalam bentuk (A, B), artinya B

tergantung secara kausal pada A. r akan menyebabkan terjadinya r’ yang

menyatakan relasi (A’, B’) yang artinya bahwa B’ tergantung secara kausal pada A’,

Page 157: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

142

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

s yang menyatakan kesamaan antara A dan A’, serta s’ yang menyatakan

kesamaaan antara B dan B’. Selanjutnya Nguyen (Purwanti, 1990) dalam penelitiannya membahas

penggunaan analogi antara konsep dan konsep, yaitu analogi antara vektor dalam

ruang untuk konsep target dan vektor dalam bidang sebagai konsep analog yang

di gambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1 Analogi antara vektor dalam ruang dan vektor dalam bidang

Materi Koordinat vektor dalam ruang Koordinat vektor dalam

bidang

Tahap

awal

Memperkenalkan Koordinat vektor

dalam ruang

Koordinat vektor dalam ruang

Sumbu

Koordinat

Koordinat Oxyz (O, , , ��) Koordinat Oxyz (O, , )

Vektor

Koordinat

= ; ;z ↔ = . + . + . ��

Diberikan: = (x;y;z), = ′, ′, ′ = { = ′= ′= ′ + = + ′; + ′; + ′ − = − ′; − ′; − ′ 𝑘 = (kx; ky; kz) . = . ′; . ′; . ′ ⊥ ↔ + ′; + ′; + ′= 0 cos , =. ′+ . ′+ . ′√ 2+ 2+ 2.√ ′2+ ′2+ ′2

= ; ;z ↔ = . + .

Diberikan: = (x;y), = ′, ′) = { = ′= ′ + = + ′; + ′ − = − ′; − ′ 𝑘 = (kx; ky) . = . ′; . ′ ⊥ ↔ + ′; + ′= 0 cos , =. ′+ . ′√ 2+ 2.√ ′2+ ′2

Koordinat

titik

M ; ;z ↔ = . + . + . ��

Diberikan :

M= (x;y;z), N= ′, ′, ′ = ′ − ; ′ − ; ′ −

M ; ;z ↔ = . + .

Diberikan :

M= (x;y), N= ′, ′ = ′ − ; ′ −

Page 158: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

143

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari kedua penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan

analogi dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui dua pendekatan

yaitu analogi terhadap kehidupan sehari-hari dan analogi terhadap konsep

sebelumnya. Agar pembelajaran dengan menggunakan pendekatan analogi dapat

berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan dalam 6 tahap pembelajaran (Glynn,

2007), yaitu:

1) Introduce the target concept

Memperkenalkan konsep target yang akan diajarkan melalui sumber

informasi karena konsep tidak boleh diajarkan secara langsung seperti yang

dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Pada tahap ini

guru dituntut berperan aktif dalam mencari somber informasi sebanyak

mungkin yang berkaitan dengan konsep dimaksud. Mengapa guru yang

harus mencari? Konsep target adalah konsep merupakan konsep baru yang

belum pernah diajarkan, sehingga yang bertugas untuk mencari informasi

adalah guru, kalau siswa yang diminta untuk mencari maka kemungkinan

kesalahan konsep akan terjadi atau siswa tidak tahu apa yang harus mereka

cari karena siswa belum mempelajari apapun tentang konsep dimaksud.

Dengan informasi yang diberikan oleh guru akan memberikan sedikit

informasi mengenai konsep yang akan dipelajari. Sehingga siswa mulai

mengenali, mengidentifikasi konsep target berdasarkan sumber informasi

yang diberikan guru pada situasi/masalah yang menjadi topik kunci dalam

pembelajaran.

2) Remind students of what they know of the analog concept

Mengingatkan siswa pada konsep yang pernah dipelajari dan analog dengan

konsep target, ini dimaksudkan agar siswa memahami konsep target yang

akan diajarkan melalui analog konsep sebelumnya. Kegiatan yang dapat

dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi

tentang konsep analog dan konsep target yang dipelajari, dengan

memunculkan pertanyaan-pertanyaan selama diskusi berlangsung

3) Identify relevant features

Siswa menemukan kesamaan bentuk, kesamaan model, maupun kesamaan

prinsip antara konsep analog dan konsep target melalui diskusi selanjutnya

masing-masing kelompok menyajikan temuannya. Tujuannya adalah

menyamakan persepsi antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya

dan kemudian guru mengarahkan pada konsep yang sebenarnya agar

seluruh siswa memiliki pemahaman yang sama terhadap konsep target.

4) Connect (map) the similar features of the law

Page 159: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

144

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Guru mengarahkan siswa untuk membuat hubungan atau keterkaitan

antara model-model, bentuk-bentuk kesamaan yang dimiliki oleh konsep

analog dan konsep target. Pada umumnya, tahapan ini guru dan siswa

mengidentifikasi ciri-ciri yang relevan dari konsep analog untuk menjelaskan

ciri-ciri yang bersesuai untuk konsep target.

5) Indicate where the analogy between the laws break down

Setelah siswa menemukan kesamaan dari konsep analog dan konsep target,

Pada tahap ini siswa membuat catatan tentang perbedaan antara konsep

analog dengan konsep target untuk menghindari munculnya kesalahan

konsep dalam menyimpulkan definisi dari konsep target

6) Draw conclusion about the law

Guru dan siswa mengidentifikasi ciri yang relevan dari konsep target dan

menjelaskan hubungan antar konsep dengan ciri yang sesuai dari konsep

analog, serta membuat kesimpulan tentang konsep target.

C. Penutup

Dengan menggunakan pendekatan analogi dalam pembelajaran

matematika, siswa dilatih kemampuan penalarannya yaitu ketika siswa diminta

untuk menemukan kesamaan ataupun perbedaan antara konsep lama dengan

konsep yang baru, selanjutnya siswa diminta untuk mengkomunikasikan ide

tersebut dan membuat representasinya sehingga orang lain akan lebih memahami

dan mengerti. Setelah konsep atau model dibuat, siswa

menghubungkan/mengkoneksikan konsep tersebut dengan konsep lain yang

pernah mereka fahami atau mungkin saja dihubungkan dengan kehidupan sehari-

hari sehingga secara keseluruhan, setelah siswa mengerti konsep baru mereka

mampu menyelesaikan permasalahan matematika dengan menggunakan konsep

tersebut.

Penjelasan tentang pendekatan analogi tersebut tidak menutup

kemungkinan dapat diterapkan pada bidang studi lainnya, mengingat bahwa

setiap mata pelajaran yang disajikan di sekolah semuanya bertujuan untuk

menjadikan siswa manusia yang mampu bersaing dan menjadi sumber daya yang

berkualitas. Penerapan pendekatan analogi pada mata pelajaran di luar

matematika perlu dipelajari lebih lanjut sesuai dengan karakteristik materi

pelajaran yang akan disajikan.

Page 160: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

145

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

D. Daftar Pustaka

Alamsyah (2000) Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Analogi Matematika. Tesis. Bandung: UPI.

Cai, Lane dan Jacobsin (1996) Assessing Students' Mathematical Communication

School Science Education. Volume 96, Issue 5

May 1996 Pages 238–246

Chiu, M., and Wu, H., (2009) The Roles of Multimedia in the Teaching and

Learning of the Triplet Relationship in Chemistry. Springer

Science+Business Media B.V. Tersedia di https://www.

researchgate.net/profile/Mei-HungChiu/publication/226079242 diakses

pada 6 Juni 2016

Coxford, A.F. (1995). The Case for Connections , dalam Connecting Mathematics

across the Curriculum. Editor: House, P.A. dan Coxford, A.F. Reston,

Virginia: NCTM.

Dahar. R.W., (1996) Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Dahlan, J.A., (2004) Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman

Matematika Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) melalui

Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi. Bandung: UPI

Dwirahayu, G., (2009) Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan

Pendekatan Analogi terhadap Kemampuan Penalaran Matematik Siswa

SMP. Tesis. Bandung: UPI.

Dwirahayu, G., Mubasyiroh, I., Afidah (2017) The Effectiveness of Teaching with

Analogy on Students’ Mathematical Representation on Derivative

Concept. Present on 3rd International Conference on Education in

Muslim Society. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25-26 October 2017

Fadillah, S. (2009) Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis,

Pemecahan Masalah Matematis, dan Self Esteem Siswa SMP dalam

Matematika Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended.

Bandung: Tesis UPI. Tidak diterbitkan.

Gentner, D. & Smith, L. (2012) Analogical reasoning. In V. S. Ramachandran (Ed.)

Encyclopedia of Human Behavior (2nd Ed.). Oxford, UK: Elsevier.

Glynn, S. (2007) Method and Strategies: Teaching with Analogies, Science and

Children.

Guerra and Ramos. (2011) Analogies as Tools for Meaning Making in Elementary

Science Education: How Do They Work in Classroom Settings?. Mexico:

Eurasia.

Page 161: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

146

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Harisson, Allan G. dan Richard K. Coll., (2013) Analogi dalam kelas Sains Panduan

FAR-Cara menarik untuk mengajar dengan menggunakan Analogi.

Jakarta: Indeks.

Harries, T. and Barmby, P. (2016) Representing and Understanding Multiplication.

United Kingdom: Durham University. 2009. tersedia di

http://dx.doi.org/10.1080/14794800008520169 diakses pada 31 Mei

2016

Hatfield, et al., (2008) Mahematics Method for Elementary and Middle School

Teachers Sixth Edition. Hoboken: John Wiley and Sons Inc.

Herman, T., (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Pembelajaran

Matematika Berbasis Masalah dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Siswa SMP . Bandung: UPI.

Hulukati, E.P. (1997) Kemampuan Penalaran Siswa tentang Konsep Listrik Statik.

Tesis. Bandung: IKIP.

Irawati, Intan (2012) Metode Analogi dan Analogi Penghubung (Bridging Analogy)

dalam Pembelajaran Fisika. In: Seminar Nasional FMIPA-UT 2012.

Kalathil & Sherin, (2000) Role of Student’s Representations in Mathematics

Classroom dalam B. Fishman dan S. O’ Connor Divelbiss (ed), Proceeding

of Fourth International Conference of Learning Science. Mahwah: NJ

Erlbaum.

Kress, G., et.al (2001) Multimodal Teaching and Learning: The Rhetorics of the

Science Classroom. London, UK: Continuum.

Miranti, G., (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peningkatan

Kemampuan Penalaran Matematika melalui Pembelajaran

Menggunakan Media Program Komputer . Bandung: UPI.

NCTM, (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

United States of America: The National Council of Teachers of

Mathematics, Inc.

NCTM, (2000) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

United States of America: The National Council of Teachers of

Mathematics, Inc.

Polya, George. (1985). How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method.

United States Of America: Pricenton University Press.

Purwanti, S. (1990) Analogi: Penambahan Basis Pengetahuan Sistem Pakar.

Depok: UI. Tidak diterbitkan.

Page 162: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Pendekatan Analogi, hal. 123 - 147

147

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rusyana, A., (1998) Penerapan Model Mengajar Induktif dengan Menggunakan

Pendekatan Analogi sebagai Upaya untuk Meningkatkan Prestasi Belajar

Siswa melalui Pengajaran Biologi. Tesis. Bandung: IKIP

Slavin, R.E. (2008) Educational Psychology Theory and Practice 8th

edition. Boston:

Pearson.

Setyabudi. (1991) Kemampuan Berfikir Formal dalam Menguasai Konsep-konsep

Fisika Bidang Arus Listrik Searah pada Siswa Jurusan Elektronika STM

Pembangunan Bandung. Tesis. Bandung: Fakultas Pasca Sarjana IKIP

Bandung.

Siskandar. (2004) Prosiding Seminar Nasional Matematika: Kurikulum 2004 dan

Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah . Bandung: UPI.

Sumarmo, U. (2002) Jurnal Matematika atau Pembelajarannya: Pembelajaran

Berfikir Tingkat Tinggi Matematika Pada Siswa Sekolah Dasar . Edisi

khusus Juli 2002.

Suryana, A. (2016) Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Lanjut (Advanced

Mathematical Thinking) dalam matakuliah Statistik Matematika 1.

Yogyakarta: FMIPA UNY. 2012. tersedia di http://eprints.uny.ac.id/ di

akses pada 1 Juli 2016

Van de Walle, J.A. (2007) Terj. Suyono. Matematika Sekolah Dasar dan

Menengah. Jakarta: Erlangga.

Villegas, J.L., et al, (2009) Representations in Problem Solving: A Case Study in

Optimization Problems, Electronic Journal of Research in Educational

Psychology, No. 17, Vol. 7(1)

Page 163: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

148

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

ditinjau dari berbagai Pembelajaran Matematika

berbasis Pendekatan Konstruktivisme

Gusni Satriawati

Pendidikan Matematika - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

kemampuan komunikasi matematik siswa melalui pembelajaran dengan

pendekatan Konstruktivisme. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode deskriptif analisis, yaitu menganalisa dan mendeskripsikan

dokumen hasil penelitian mahasiswa terkait kemampuan komunikasi

matematik dengan menggunakan strategi pembelajaran dengan

pendekatan konstruktivisme. Dokumen yang dianalisis merupakan

skripsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Syarif

Hidayatullah. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan tujuan utama

mendeskrpsikan dan menganalisa masing-masing skripsi mahasiswa

secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti

secara tepat terkait kemampuan komunikasi matematik siswa

berdasarkan berbagai strategi pembelajaran matematika dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme. Indikator kemampuan

komunikasi matematik siswa yang akan peneliti analisa dan deskripsikan

adalah memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri,

menjelaskan dan menulis tentang matematika, merefleksikan gambar

dan diagram ke dalam ide-ide matematika, menyatakan peristiwa sehari-

hari dalam bahasa atau simbol matematika. Hasil penelitian tentang

pembelajaran konstruktivisme terhadap kemampuan komunikasi

matematis siswa diperoleh kesimpulan yaitu rata-rata persentase semua

indikator kemampuan komunikasi matematis siswa dengan

pembelajaran konstruktivisme mencapai > 75%, ini berarti bahwa

kemampuan komunikasi matematika yang diajarkan dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme sudah tuntas. Atau dengan

Page 164: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

149

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kata lain bahwa pendekatan konstruktivisme dapat dijadikan salah satu

pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi

matematik siswa.

Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Konstruktivisme

A. Pendahuluan

Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kemampuan-kemampuan

yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran

matematika pada poin keempat yaitu agar siswa mampu mengkomunikasikan

gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas

keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006).

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000, h. 68)

merumuskan lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu

pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning and

proof), komunikasi (communication), koneksi (connection) dan representasi

(representation). Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi matematis merupakan

salah satu kemampuan penting yang harus dikembangkan dalam diri siswa.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Wadhani, 2011, h. 1-2) Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, menyebutkan bahwa

pembelajaran matematika bertujuan agar siswa mempunyai kompetensi berikut :

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah;

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika;

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh;

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah;

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Page 165: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

150

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan permendiknas yang telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa

salah satu tolak ukur yang menggambarkan tinggi rendahnya keberhasilan siswa

dalam belajar matematika adalah kemampuan komunikasi matematik siswa

terhadap pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah. Kemampuan

komunikasi matematik merupakan kemampuan menyampaikan ide atau gagasan

baik secara lisan maupun tulisan dengan simbol- simbol, grafik, atau diagram

untuk menjelaskan keadaan atau masalah dari informasi yang diperoleh.

Selanjutnya Suhendra (2007, h. 7), matematika akan berhasil dan berdampak

apabila dilandasi daya matematika yang salah satunya adalah matematika sebagai

media mengkomunikasikan ide atau gagasan (Mathematics as communication)

sehingga apabila seseorang yang menguasai matematika akan mampu

mengkomunikasikan ide maupun gagasan yang ia pahami kepada orang lain.

Untuk menunjang tujuan pembelajaran matematika, model pembelajaran

matematika di kelas perlu direformasi. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai

pemberi informasi (transfer of knowledge), tetapi sebagai pendorong siswa

belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan

melalui berbagai aktifitas seperti pemecahan masalah, penalaran dan

berkomunikasi.

Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996) berpendapat bahwa sebagai akibat dari

sangat jarangnya para siswa dituntut untuk menyediakan penjelasan dalam

pelajaran matematika, sehingga sangat asing bagi mereka untuk berbicara

tentang matematika. Dengan demikian siswa sangat sulit memberikan penjelasan

yang benar, jelas, dan logis atas jawabannya. Untuk mengurangi kejadian itu

menurut Pugalee (2001), dalam pembelajaran matematika siswa perlu dibiasakan

untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan

tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang

dipelajari menjadi lebih bermakna.

Dewanti (2015, h.43) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi

matematis siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional

memperoleh nilai sebesar 41,67. Selain itu penelitian serupa yang dilakukan oleh

Amalia Syafitri (2016, h. 37) menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi

matematis siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional yaitu

sebesar 51,5. Dari berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia masih tergolong rendah dan

belum terbiasa dengan soal-soal yang menuntut siswa untuk berpikir, bernalar,

dan berkomunikasi matematis.

Page 166: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

151

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari beberapa permasalahan tersebut, kemampuan komunikasi

matematik sangat penting dalam pembelajaran matematika, namun kemampuan

komunikasi matematik siswa masih rendah. Sehingga beberapa mahasiswa

Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tertarik

untuk melakukan penelitian tentang kemampuan komunikasi matematik siswa

melalui beberapa pembelajaran dengan pendekatan konstrutivisme, karena

dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme siswa dituntut untuk

mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang

mereka miliki, dan siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling

bertukar pengalaman dengan temannya. Dengan demikian, Perlu kiranya peneliti

melakukan analisa tentang penelitian mahasiswa tersebut untuk mengetahui

beberapa indikator kemampuan komunikasi matematik yang masih belum

dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan

konstruktivisme.

Kemampuan Komunikasi Matematik

Komunikasi adalah sebuah cara berbagi ide-ide dan memperjelas

pemahaman, maka melalui komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki,

didiskusikan dan diubah. Salah satu standar kurikulum yang dikemukakan oleh

NCTM (2000) adalah komunikasi matematik atau mathematical communication

yang bertujuan membantu siswa untuk mengatur dan mengaitkan mathematical

thinking mereka melalui komunikasi, mengkomunikasikan mathematical thinking

mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya,

guru dan orang lain, menganalisis dan menilai mathematical thinking dan strategi

yang dipakai orang lain, dan menggunakan bahasa matematika untuk

mengekspresikan ide-ide matematika secara benar.

Baroody (Ansari, 2004) mengemukakan bahwa pembelajaran harus dapat

membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek

komunikasi yaitu representing, listening, reading, discussing, dan writing.

Sejumlah ahli mengemukakan kemampuan komunikasi matematik

merupakan salah satu kemampuan yang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan

siswa. Greenes dan Schulman (Ansari, 2004) mengutarakan, bahwa komunikasi

matematika merupakan: (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan

konsep dan strategi matematik, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap

pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, (3)

wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh

Page 167: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

152

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan

mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Baroody menyebutkan sedikitnya

ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika

perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, yaitu matematika tidak hanya

sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah

atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai aktifitas sosial dalam

pembelajaran matematika, matematika sebagai wahana interaksi antar siswa, dan

juga komunikasi antara guru dan siswa.

Menurut NCTM (2000), komunikasi seharusnya difokuskan pada tugas-

tugas matematika yang bermakna. Guru seharusnya mengenalkan tugas-tugas

seperti:

a) Tugas yang berhubungan dengan pentingnya ide-ide matematik.

b) Tugas yang dapat diselesaikan dengan banyak metode.

c) Tugas yang memenuhi banyak contoh.

d) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengartikan, menyelidiki,

dan melakukan konjektur.

Sumarmo (2003, h. 5) mengatakan kemampuan komunikasi matematika

merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat

berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk:

a) Merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide

matematika.

b) Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan,

tulisan, konkrit, grafik, dan aljabar.

c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

d) Mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika.

e) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.

f) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan

generalisasi.

g) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah

dipelajari.

Menurut NCTM (2000, h. 78) kurikulum standar matematika untuk kelas 5-

8: hendaknya meliputi kesempatan untuk berkomunikasi sehingga siswa dapat:

a) Memodelkan situasi-situasi dengan lisan, tulisan, konkret, gambar, grafik,

dan metode-metode aljabar.

b) Memikirkan dan menjelaskan pemikiran mereka sendiri tentang ide-ide

dan situasi-situasi matematik.

Page 168: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

153

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c) Mengembangkan pemahaman umum terhadap ide-ide matematik,

termasuk peran definisi-definisi.

d) Menggunakan keterampilan membaca, mendengarkan dan melihat

untuk

e) menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematik.

f) Mendiskusikan ide-ide matematik dan membuat dugaan-dugaan dan

alasan-alasan yang meyakinkan.

g) Menghargai nilai notasi matematik dan perannya dalam perkembangan

ide-ide matematik.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Komunikasi

Ada beberapa faktor yang yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi

matematik, antara lain:

a. Pengetahuan prasyarat (Prior knowledge)

Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa

sebagai akibat proses belajar sebelumnya. Hasil belajar siswa tentu saja

bervariasi sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Jenis kemampuan

yang dimiliki siswa sangat menentukan hasil pembelajaran selanjutnya.

b. Kemampuan membaca, diskusi, dan menulis

Dalam komunikasi matematik, kemampuan membaca, diskusi dan

menulis dapat membantu siswa memperjelas pemikiran dan dapat

mempertajam pemahaman (NCTM, 2000, h.26). Diskusi dan menulis

adalah dua aspek penting dari komunikasi untuk semua level.

c. Pemahaman Matematik (Mathematical knowledge)

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan

bahwa kemampuan komunikasi menurut para ahli yang akan digunakan dalam

penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a. Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan

dan menulis tentang matematika.

b. Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Agar tercipta situasi pembelajaran yang lebih memberikan suasana yang

kondusif dan dapat mengoptimalkan kemampuan siswa dalam komunikasi

matematik, siswa sebaiknya diorganisasikan dalam kelompok-kelompok kecil.

Untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih bersifat multi arah dapat

Page 169: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

154

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diterapkan model pembelajaran melalui diskusi kelompok kecil (small group

discussion). (Tim MKPBM, 2001, h. 103).

Kelompok-kelompok kecil tersebut terdiri dari 4 -6 orang siswa yang

memiliki kemampuan heterogen, setiap kelompok terdiri dari siswa pandai,

sedang dan kurang. Di dalam kelompoknya tersebut siswa menyelesaikan tugas

dan memecahkan masalah, sehingga timbul komunikasi dan interaksi yang lebih

berkualitas antar siswa.

Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika

Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada

pengajaran top-down, yaitu siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks

untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan

bantuan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Nur, 2000, h. 7).

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar

kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran

guru ke pikiran siswa. artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun

struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.

Pengertian pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan yang mengajak

siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi dalam memecahkan suatu

permasalahan secara bersama-sama sehingga didapatkan suatu penyelesaian

yang akurat.

Tiga penekanan dalam teori belajar dengan pendekatan konstruktivisme

sebagai berikut: peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara

bermakna, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam mengkonstruksian

pengetahuan tersebut dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru

yang diterima.

Dari prinsip utama dalam pembelajaran dengan metode pendekatan belajar

kontruktivisme adalah pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi

secara aktif oleh struktur kognitif siswa dan fungsi kognitif bersifat adatif dan

membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan

anak secara aktif dalam proses belajar matematika dengan pengaitan sejumlah

gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.

Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada

apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu

Page 170: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

155

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan

mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika itu sendiri.

Selain penekanan dan tahap–tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam

pendekatan belajar konstruktivisme, Hanbury (1996:3) mengemukakan:

Sejumlah aspek dalam kaitannya dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)

siswa mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan

ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa

mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai dan, (4) siswa mempunyai kesempatan

untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan

temannya.”

Untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah: (1) memberi kesempatan

kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2)

memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya

sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada

siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan

dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan

perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang

kondusif.

Dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

yang mengacu kepada pendekatan konstruktivisme lebih memfokuskan pada

kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. bukan

kepatuhan siswa dalam merefleksikan atas apa yang telah diperintahkan dan

dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk

mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Beberapa pembelajaran konstruktivisme yang dibahas dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Secara bahasa pengertian Thinking Aloud artinya berfikir keras, Pair

artinya berpasangan dan Problem Solving artinya penyelesaian masalah. Maka

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sesuai urutan pengertian bahasa

dapat diartikan sebagai teknik berfikir keras secara berpasangan dalam

penyelesaian masalah, yang merupakan salah satu metode pembelajaran yang

dapat menciptakan kondisi belajar aktif terhadap siswa. Jenis pembelajaran ini

membuat siswa untuk mencari tahu sumber-sumber pengetahuan yang relevan.

Page 171: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

156

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sehingga metode TAPPS memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar dan

berpikir sendiri.

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Claparade. Arthur Whimbey

dan Jack Lochhead pada tahun 1987 (Stice, 2012) telah mengembangkan metode

ini lebih jauh dengan maksud untuk mendorong keterampilan memecahkan

masalah dengan cara membicarakan hasil pemikiran dalam menyelesaikan

masalah pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa di

kelas dibagi menjadi beberapa tim, setiap tim terdiri dari dua orang. Satu orang

siswa menjadi Problem Solver dan satu orang lagi menjadi Listener. Setiap anggota

tim memiliki tugas masing-masing yang akan mengikuti aturan tertentu.

Metode TAPPS merupakan suatu metode pembelajaran yang melibatkan

dua orang siswa bekerja sama menyelesaikan suatu masalah. Setiap siswa

memiliki tugas masing-masing dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa

sesuai prosedur yang telah ditentukan. Hal pertama yang harus dilakukan oleh

seorang problem solver adalah membaca soal yang dilanjutkan dengan

mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam

soal tersebut.

Dari pengertian-pengertian di atas, metode TAPPS adalah metode

pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar melalui pemecahan masalah

yang dilakukan secara berpasangan dan saling bertukar peran, dimana satu siswa

memecahkan masalah dan siswa lain mendengarkan sehingga siswa menjadi

pembelajar mandiri yang handal.

Menurut Whimbey dan Lochhead (2012) metode ini menggambarkan

pasangan yang bekerja sama sebagai Problem Solver dan Listener untuk

memecahkan suatu permasalahan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa

memiliki tugas masing-masing, dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa

sesuai prosedur yang telah ditentukan. Satu orang siswa menjadi Problem Solver.

Hal yang pertama harus dia lakukan adalah membaca soal dan kemudian

dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk

menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Satu orang lagi sebagai Listener.

Seorang Listener harus membuat Problem Solver tetap berbicara. Tugas utama

seorang Listener adalah memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat

Problem Solver. Seorang Listener yang bagus tidak hanya mengetahui langkah

yang diambil Problem Solver tetapi juga memahami alasan yang digunakan untuk

memilih langkah tersebut. Listener harus berusaha untuk tidak menyelesaikan

masalah Problem Solver. Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila

Page 172: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

157

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

telah terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan letak kesalahannya. Setelah

suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa saling bertukar tugas. Sehingga

semua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi Problem Solver dan Listener.

Proses ini telah terbukti efektif dalam membantu siswa belajar.

Pembelajaran dengan menggunakan metode TAPPS selain tertuju kepada

aspek dan keterampilan kognitif untuk memahami konsep dalam memecahkan

masalah yang menghindari jawaban yang sederhana, tetapi juga bertujuan untuk

melatih verbalisasi siswa dalam menyampaikan permasalahan sekaligus

memecahkannya kepada siswa lain. Pembelajaran akan terasa lebih bermakna

untuk siswa karena mengkolaborasikan aspek berpikir dan interaksi sosial,

sehingga memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk permasalahan yang

dihadapi.

2. Pembelajaran dengan Pendekatan Induktif

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut

pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan

tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya

mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran

dengan cakupan teoritis tertentu (Sofan, 2010, h. 187).

Ahli lain juga mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan

suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Yang pelaksanaannya

memerlukan satu atau lebih metode pembelajaran (Erna, 2006, h. 107). Berbagai

macam pendekatan pembelajaran dapat guru terapkan disekolah, salah satunya

adalah pendekatan induktif. Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh

filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan

didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, berpikir induktif ialah

suatu proses berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke umum. Orang

mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu bagi berbagai fenomena, kemudian

menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri itu terdapat pada semua jenis fenomena (Erna,

2006).

Menurut Purwanto (Sagala, 2011), tepat atau tidaknya kesimpulan atau

cara berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau

tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar

jumlah sampel yang diambil berarti makin refresentatif dan makin besar pula taraf

dapat dipercaya dari kesimpulan itu dan sebaliknya. Dalam konteks pembelajaran

Page 173: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

158

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan

menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu

fakta, prinsip atau aturan.

Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif, hingga cara empiris

dapat diterapkan. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat

dimengerti murid melalui benda-benda konkret (Erna, 2006, h. 108). Penalaran

atau berpikir induktif adalah kemampuan seseorang dalam menarik kesimpulan

yang bersifat umum melalui pernyataan yang bersifat khusus. Penalaran yang

menggunakan pendekatan induktif pada prinsipnya menyelesaikan persoalan

(masalah) matematika tanpa memakai rumus (dalil), melainkan dimulai dengan

memperhatikan data / soal. Dari data / soal tersebut diproses sehingga berbentuk

kerangka / pola dasar tertentu yang kita cari sendiri, sedemikian rupa sehingga

kita dapat menarik kesimpulan (Nahrowi, 2006).

Pendekatan induktif adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan

proses berpikir siswa berlangsung dari keadaan khusus keadaan umum. Dengan

demikian, pendekatan induktif kebalikan dari pendekatan deduktif. Langkah-

langkah dalam pembelajaran induktif (Zulfiani, 2009) adalah:

a. Memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan.

b. Menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip, aturan yang

memungkinkah siswa membuat hipotesis sifat umum dari contoh-contoh

yang disajikan.

c. Menyajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang

atau menyangkal hipotesis itu.

d. Menyusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti

berdasarkan langkah-langkah yang sebelumnya.

3. Pembelajaran dengan Model Treffinger

Salah satu model belajar kreatif yang dikemukakan oleh Utami Munandar

(2009, h. 172) adalah model Treffinger. Model Treffinger adalah salah satu model

dari sedikit yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan

saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Menurut Oon-Seng Tan

(tahun buku) Treffinger menggambarkan proses kreatif sebagai urutan tahap di

mana masalah diselesaikan secara sistematis. Menurut Sarson W.Dj.Pomalato

(2006, h. 23), model Treffinger melibatkan dua ranah, yaitu ranah kognitif dan

ranah afektif.

Page 174: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

159

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Adapun langkah-langkah model Treffinger (Munandar, 2009, h. 172) adalah:

1. Tingkat Basic Tools, yaitu meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-

teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan

kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan

pemikiran kreatif kepada orang lain.

2. Tingkat Practice with Process, yaitu memberi kesempatan kepada siswa

untuk menetapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools

dalam situasi praktis.

3. Tingkat Working Real with Problems, yaitu menerapkan keterampilan yang

dipelajari pada tingkat basic tools dan practice with process terhadap dunia

nyata. Pada tingkat ini siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir

kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan

mereka.

Selanjutnya dalam buku Suryosubroto (2009, h. 196) adanya tiga tingkatan

dalam pembelajaran model Treffinger, yaitu:

1. Tingkat Divergen

Penggunaan pemikiran divergen dan intuisi sebagai landasan tingkat

berikutnya.

2. Proses Pemikiran dan Perasaan

3. Proses pemikiran dan perasaan yang menyuluruh, memperluas dan

memperdalam tingkat pertama serta penerapan fungsi analisis dan sintesis.

4. Aplikasi (terlibat dalam tantangan nyata)

Aplikasi dalam menghadapi masalah yang sebenarnya dengan berusaha

memecahkan masalah secara kreatif yaitu cara sistematis dalam

mengorganisasi dan mengolah keterangan atau gagasan sehingga persoalan

dapat dipecahkan secara imajinatif melalui pengolahan informasi.

Sedangkan menurut Ramayulis (2005, h. 220-224) ada tiga tingkatan teknik

model Treffinger, antara lain:

Teknik I, terdiri atas:

a. Pemanasan

Dalam melakukan pemanasan terhadap siswa, guru harus mengajukan

pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga menimbulkan minat, rasa tertarik

dan rasa ingin tahu siswa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuat

peserta didik menjadi lebih terbuka dan siap untuk teknik kreatif.

b. Sumbang saran

Page 175: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

160

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menurut Gay R Lefrancois sumbang saran merupakan suatu sessi dimana

sejumlah besar kemungkinan yang bervariasi diproduksi dan dengan sengaja

meniadakan penilaian tepat tidaknya kemungkinan tersebut. Dalam sumbang

saran guru dilarang mengkritik ide atau gagasan yang diucapkan oleh peserta

didik, diharapkan adanya modifikasi dan kombinasi dengan ide lainnya,

diperlukan adanya kuantitas ide atau gagasan dan yang terakhir adalah

mencari ide unik dan tidak biasa.

c. Pertanyaan yang memacu ide.

Pertanyaan yang memacu ide atau gagasan ini digunakan untuk meningkatkan

gagasan kreatif.

Teknik II, terdiri dari:

a. Sinektik

Sinektik ini merupakan cara yang sangat menarik dan menyenangkan dalam

mengembangkan cara berpikir yang baru dan segar bagi peserta didik.

b. Futuristic

Peserta didik memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi

dimasa depan. Hal ini diperlukan agar peserta didik bisa menentukan masa

depannya sendiri.

Teknik III, yaitu pemecahan masalah secara kreatif

Untuk bisa memecahkan permasalahan dengan baik diperlukan beberapa

kriteria, antara lain:

a. Tingkat perkembangan kognitif

b. Persyaratan pengetahuan, yaitu seseorang harus memiliki konsep-konsep

yang relevan serta mampu mengkombinasikan prinsip-prinsip yang telah

dipelajari.

c. Kadar intelegensi, yaitu memiliki kemampuan berpikir logis dan konseptual.

d. Fleksibel, yaitu seseorang mampu mengaplikasikan solusi yang baru.

Sedangkan menurut Sarson W.Dj.Pomalato (2006), bahwa model

Treffinger terdiri dari 3 tahap, 3 tahapan tersebut antara lain:

1. Pengembangan fungsi-fungsi divergen, dengan penekanan keterbukaan

kepada gagasan-gagasan baru dan berbagai kemungkinan.

2. Pengembangan berpikir dan merasakan secara lebih kompleks, dengan

penekanan kepada penggunaan gagasan dalam situasi kompleks disertai

ketegangan dan konflik.

Page 176: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

161

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Pengembangan keterlibatan dalam tantangan nyata, dengan penekanan

kepada penggunaan proses-proses berpikir dan merasakan secara kreatif

untuk memecahkan masalah secara bebas dan mandiri.

Dari pendapat-pendapat di atas mengenai langkah-langkah model

Treffinger dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model Treffinger meliputi:

1. Tingkat Divergen dan Practice with Process

Tingkat divergen dan practice with process merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan.

2. Working Real with Problems

Working real with Problems merupakan pemecahan masalah yang berkaitan

dengan tindakan nyata dan terdapat di dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Titin (2006), ada beberapa kelebihan model Treffinger,

diantaranya: (1) Mengintegerasikan dimensi kognitif dan afektif dalam

pengembangannya (2) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir divergen

dalam proses menyelesaikan masalah (3) Memiliki tahapan pengembangan yang

sistematik, dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang dapat

diterapkan secara fleksibel. Model Treffinger ini lebih lanjut oleh Bell Gredler

(suryosubroto, 2009) dikatakan mempunyai beberapa keuntungan atau kelebihan,

antara lain: (1) Memupuk kecerdasan manusia lewat proses pengamatan,

deskripsi memori dan kemampuan pemecahan masalah (2) Mengubah informasi

yang khusus akan menghasilkan pengolahan operasi dasar dalam kegiatan mental

dan memberikan sumbangan atas pengertian kita mengenai proses belajar.

4. Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended

Pendekatan adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh

oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut

bagaimana proses pengajaran atau materi pengajaran itu, umum atau khusus,

dikelola (Ruseffendi, 1991, h. 240). Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended

adalah pembelajaran yang dimulai dengan memberikan soal yang memiliki banyak

jawaban yang benar (problem terbuka atau incomplete) kepada siswa. Shimada

berpendapat bahwa pendekatan Open-ended merupakan salah satu pendekatan

dalam pembelajaran yang dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara

pemahaman, kemampuan, atau cara berpikir siswa yang telah dipelajari

sebelumnya. Menurut Shimada (1997, h. 1), pendekatan ini memberi siswa

kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman menemukan,

mengenali dan memecahkan soal dengan beberapa cara berbeda.

Page 177: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

162

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Contoh penerapan soal Open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah

ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang

berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi

pada jawaban (hasil) akhir. Sifat "keterbukaan" dari permasalahan itu dikatakan

hilang apabila guru hanya mengajukan satu alternatif cara dalam menjawab

permasalahan. Kegiatan pembelajaran harus membawa siswa dalam menjawab

permasalahan dengan banyak cara dan mungkin juga banyak jawaban (yang

benar) sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam

menemukan sesuatu yang baru.

Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended membantu siswa

melakukan penyelesaian masalah secara kreatif dan menghargai keragaman

berpikir yang mungkin timbul selama mengerjakan soal. Dalam pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan Open-ended, dimulai dengan pertanyaan

dalam bentuk Open-ended yang diarahkan untuk menggiring tumbuhnya

pemahaman atas masalah yang diajukan. Cheeseman berpendapat bahwa

pertanyaan Open ended memerlukan respon mengenai proses berpikir,

kemampuan menyusun generalisasi dan kemampuan mencari hubungan di antara

dua konsep (Wakefield, 1995, h. 485).

Badger (1992, h. 1) menyatakan bahwa pertanyaan Open-ended bukanlah

bentuk pertanyaan dengan banyak pilihan tanpa options. Juga bukan pertanyaan

yang hanya memiliki satu jawaban yang benar. Namun lebih mengarah pada

pertanyaan di mana siswa memiliki peluang untuk berpikir lebih leluasa,

komprehensif tanpa harus kehilangan konteksnya. Keleluasaan berpikir yang

ditawarkan kepada siswa jelas membutuhkan kepekaan guru untuk

menginterpretasikan sekaligus mampu menggunakan banyak kriteria dalam

merespon jawaban siswa.

Berenson (1995) memberi arah dalam melaksanakan pendekatan Open-

ended, yakni dengan cara memberikan sejumlah observasi kepada siswa yang

mungkin jawabannya akan berbeda satu sama lain menurut pengamatannya.

Katsuro (2000) mengemukakan bahwa ada tiga perbedaan jawaban dalam

pendekatan Open-ended, yaitu: (1) Siswa mengerti perbedaan jawaban-jawaban.

Siswa mengetahui alasan-alasan dari perbedaan yang timbul dalam jawaban-

jawaban siswa. (2) Siswa mengerti hubungan antara perbedaan jawaban-jawaban.

(3) Siswa berkembang pengetahuan matematikanya dan berpikir berdasarkan

perbedaan jawaban-jawaban. Dengan adanya perbedaan antar jawaban siswa,

pemahaman matematik siswa akan bertambah dan berkembang.

Page 178: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

163

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prinsip Pembelajaran Open-ended

Permasalahan-permasalahan yang bersifat open yang diberikan dalam

pembelajaran dengan pendekatan Open-ended memungkinkan untuk

memperlihatkan kemampuan komunikasi matematik siswa (Cai, 1996, h. 138).

Permasalahan-permasalahan yang bersifat open dapat memudahkan guru dan

siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi di dalam kelas. Melalui komunikasi

matematik, siswa dan guru dapat saling bertukar pendapat tentang pemahaman

matematik.

Dengan demikian, pendekatan Open-ended menjanjikan suatu kesempatan

kepada siswa untuk mengivestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya

sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain

adalah agar pemahaman matematika siswa dapat berkembang secara maksimal

dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa

terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok

pikiran pembelajaran dengan Open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun

kegiatan interaktif antara guru dan siswa sehingga mengundang siswa untuk

menjawab permasalahan dalam berbagai strategi. Pembelajaran dengan

pendekatan Open-ended adalah pendekatan pembelajaran matematika yang

dimulai dengan menyajikan soal yang tak lengkap (terbuka), dan pembelajaran

berlangsung dengan menggunakan banyak pendekatan atau cara yang benar

dalam memecahkan soal yang diberikan. Sedangkan dasar keterbukaannya

(openness) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yakni: process is open (proses

terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang

benar, end products are open (hasil akhir yang terbuka) yaitu tipe soal yang

diberikan mempunyai jawaban yang banyak (multiple)., dan ways to develop are

open (cara pengembangan lanjutannya terbuka) yaitu ketika siswa telah selesai

menyelesaikan masalah awal mereka dapat menyelesaikan masalah baru dengan

mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli).

5. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada teori psikologi kognitif.

Fokus pembelajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa

(perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka)

pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Peran guru pada pembelajaran ini

kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim

adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk

Page 179: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

164

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berpikir dan memecahkan masalah. Menurut Boud, Felleti dan Fogarty (Ngalimun,

2013, h. 89) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu

pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar

dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar.

Meminjam pendapat dari Ibrahim dan Nur ((Rusman, tahun, h. 240) yang

mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu

pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat

tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata termasuk

didalamnya belajar bagaimana belajar. Siswa diharapkan memiliki pemahaman

yang utuh dari sebuah materi yang diformulasikan dalam masalah, penguasaan

sikap positif, dan keterampilan secara bertahap dan berkesinambungan.

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk memahami

suatu konsep, prinsip dan keterampilan melalui situasi atau permasalahan yang

diberikan.

Rumusan yang dikemukakan oleh Prof. Howard Barrows dan Kelson (Taufiq,

2010) mengenai pembelajaran berbasis masalah yaitu: Pembelajaran berbasis

masalah adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya,

dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan

yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki

strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses

pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan

masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan

kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

pendekatan pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan pendekatan

pembelajaran yang lain, pembelajaran ini menekankan pada presentasi ide-ide

atau demonstrasi ketrampilan siswa. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah

menyajikan masalah. Pembelajaran masalah dilain pihak berlandaskan pada

psikologi kognitif sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pembelajaran tidak begitu

banyak pada prilaku siswa, melainkan kepada apa yang dipikirkan siswa (kognisi)

pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Peran guru pada pembelajaran ini

kadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada siswa, namun

yang lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa

belajar mengkomunikasikan dan memecahkan masalah mereka sendiri.

Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan

yang efektifdalam membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah ada

Page 180: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

165

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial.

Dalam perolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik,

siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan

dan menginvestigasi masalah,mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun

fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja

secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah dengan cara

mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya.

Pada pendekatan pembelajaran berbasis masalah, fokus pembelajaran ada

pada masalah yang dipilih sehingga pemelajar (siswa) tidak saja mempelajari

konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah

untuk memecahkan masalah tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk

merangsang berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah.

Dengan pendekatan ini, siswa dapat berpikir kritis dan kreatif dalam belajar.

Dengan membuat permasalahan sebagai tumpuan pembelajaran, siswa

didorong untuk mencari informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan

permasalahan. Ciri-ciri utama pendekatan pembelajaran berbasis masalah

(Rusman, tahun, h. 232) adalah sebagai berikut:

1) Pemberian pertanyaan atau masalah.

2) Masalah berhubungan dengan dunia siswa dan tidak terstruktur.

3) Memusatkan keterkaitan antar disiplin.

4) Memberikan siswa tanggung jawab utama untuk siswa untuk membentuk

dan mengarahkan pembelajarannya sendiri.

5) Belajar adalah kolaboratif, komunikatif dan kooperatif.

6) Menuntut siswa untuk menampilkan hasil dari setiap penyelesaian masalah

yang ditemukan.

7) Melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dalam proses belajar.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif analisis. Penelitian deskriptif disini adalah penelitian yang menganalisa

dan mendeskripsikan dokumen hasil penelitian mahasiswa terkait kemampuan

komunikasi matematik siswa dalam berbagai strategi pembelajaran matematika.

Dokumen yang dianalisis merupakan skripsi mahasiswa Jurusan Pendidikan

Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah.

Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan tujuan utama mendeskrpsikan dan

menganalisa masing-masing skripsi mahasiswa secara sistematis fakta dan

Page 181: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

166

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat terkait kemampuan

komunikasi matematik siswa berdasarkan berbagai strategi pembelajaran

matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme.

Indikator kemampuan komunikasi matematik siswa yang akan peneliti

analisa dan deskripsikan adalah :

a. Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan

dan menulis tentang matematika.

b. Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Ketiga indikator komunikasi matematik siswa dianalisa dengan kritera

ketuntasan setiap indikator mencapai 75% (BSN, 2000). Jika ada indikator

kemampuan komunikasi matematik siswa kurang dari 75% dikatakan tidak tuntas

dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematik siswa.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

a. Metode TAPPS Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa

Pada pembelajaran dengan metode TAPPS kemampuan komunikasi untuk

indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol

matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 61,46%.

Pada proses pembelajaran dengan metode TAPPS, siswa dibagi tugas

mengerjakan LKS secara berpasangan, masing-masing bertugas menjadi problem

solver dan listener. Tugas problem solver yaitu membaca soal dan kemudian

dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk

menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Sedankan tugas listener yaitu

memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat Problem Solver.

Kegiatan ini dilakukan secara bergantian antara problem solver dan listener. Jika

kita cermati, kegiatan akan berjalan baik jika siswa sudah memiliki pemahaman

konsep yang baik. Sebaliknya jika pemahaman konsep yang dimiliki siswa kurang

baik, maka kegiatan ini kurang berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa

indikator kemampuan komunikasi Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam

bahasa atau simbol matematika memiliki persentase paling rendah dikarenakan

pemahaman konsep pada materi yang diterima belum tuntas sehingga siswa

belum dapat menngunakan konsep matematika ke dalam kehidupan sehari-hari.

Page 182: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

167

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Instrumen yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu Lembar Kerja

Siswa (LKS), soal-soal komunikasi dan RPP sudah sesuai dengan pembelajaran

yang digunakan.

b. Penggunaan Bahan ajar dengan Pendekatan Induktif untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa.

Pada pembelajaran dengan pendekatan induktif, kemampuan komunikasi

untuk indikator Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika

memiliki persentase paling rendah yaitu 72,32%. Hal ini dikarenakan dalam proses

pembelajaran dengan Pendekatan Induktif, bahan ajar yang digunakan masih

kurang memberikan contoh untuk merefleksikan gambar dan diagram kedalam

ide-ide matematika.

Pada pembelajaran ini, siswa tidak diberikan materi secara langsung

melainkan siswa mengkonstruk pengetahuannya sendiri melalui bimbingan guru.

Siswa mempelajari materi dengan mengerjakan contoh-contoh yang dimuat

dalam bahan ajar yang memungkinkan siswa membuat hipotesis sifat umum

mengenai rumus atau konsep materi yang sedang dipelajari. Contoh-contoh

tersebut melatih kemampuan komunikasi siswa pada aspek (1) Memberikan

jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis

tentang matematika, (2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide

matematika, (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol

matematika.

Kemampuan komunikasi siswa pada aspek Memberikan jawaban dengan

menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis tentang matematika,

juga terasah ketika membuat hipotesis dikarenakan siswa memberikan pendapat

menggunakan bahasa dan pemikirannya sendiri. Bahan ajar juga menyajikan

contoh tambahan yang bertujuan untuk menunjang atau menyangkal hipotesis

itu. Setelah mempelajari contoh-contoh, siswa menyusun kesimpulan atau

pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-

langkah sebelumnya pada kolom yang telah disediakan dalam bahan ajar.

c. Penerapan Model Treffinger untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa

Pada pembelajaran dengan model Treffinger, kemampuan komunikasi pada

indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol

matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 73%. Hal ini dikarenakan

Page 183: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

168

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam proses pembelajarannya dimulai pada tingkat Divergen dan Practice

with Process yaitu guru menggali pengetahuan siswa dengan membuat contoh

dan meminta siswa untuk menyebutkan unsur-unsur pada contoh yang diberikan.

Tahapan yang berikutnya yaitu Working Real with Problems, pada tahapan ini

guru memberikan suatu masalah yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari dan

meminta siswa menyelesaikan masalah tersebut secara berkelompok untuk

selanjutnya dipresentasikan. Namun dalam pelaksanaan model ini guru kurang

mendukung kegiatan siswa untuk mengekspresikan konsep matematika dengan

menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

d. Pendekatan Open-Ended Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Matematik Siswa

Pada pembelajaran dengan Pendekatan Open-ended, kemampuan

komunikasi pada indikator Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau

simbol matematika memiliki persentase paling rendah yaitu 70,83%. Hal ini

dikarenakan siswa kurang terbiasa dengan menyelesaikan soal-soal terbuka.

Pada proses pembelajaran dengan Pendekatan Open-ended, kegiatan

pembelajaran dimulai dengan menyajikan soal-soal yang tidak lengkap (terbuka)

kepada siswa. Dasar keterbukaan (openness) dapat diklasifikasikan kedalam tiga

tipe, yaitu:1. Process is open (proses terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan

mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar.2. End products are open (hasil

akhir yang terbuka) yaitu tipe soal yang diberikan mempunyai jawaban yang

banyak (multiple).3. Ways to develop are open (cara pengembangan lanjutan

terbuka) yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalah awal mereka

dapat menyelesaikan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah

pertama (asli).

e. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Terhadap Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa

Pada pembelajaran Berbasis Masalah, kemampuan komunikasi

pada indikator Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

memiliki persentase paling rendah yaitu 65,28%. Hal ini dikarenakan dalam proses

pembelajarannya, pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah lebih terfokus

pada menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan

konsep matematika. Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah yaitu, pada

setiap pertemuannya siswa diberikan masalah sebagai awal dari pembelajaran di

Page 184: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

169

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kelas. Kemudian membentuk kelompok yang terdiri dari 5 atau 6 orang dan

diminta duduk berdasarkan kelompoknya. Pada setiap pertemuannya, kelompok

dibuat berbeda-beda dengan pertemuan sebelumnya dengan memperhatikan

kemampuan siswa dalam masing-masing kelompok tetap merata. Setelah siswa

duduk dalam kelompoknya, setiap kelompok diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS)

yang dijadikan bahan diskusi. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah

meliputi 5 tahap yaitu orientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa

untuk belajar, membimbing pengalaman individu atau kelompok,

mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi

proses pemecahan masalah.

Pada tahap pertama siswa dihadapkan pada masalah sehari-hari yang

membuat mereka berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Masalah yang diberikan berupa masalah-masalah yang menuntut siswa

menggunakan berbagai bentuk komunikasi dalam menyelesaikannya. Hal ini

bertujuan agar siswa lebih luwes dalam menggunakan berbagai macam

komunikasi matematis untuk mencari solusi dan memecahkan masalah yang

diberikan.

Pada tahap mengorganisasikan siswa untuk belajar, siswa berdiskusi dalam

kelompok untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Mereka diminta mencari

solusi masalah tersebut dengan pengetahuan yang telah mereka miliki

sebelumnya dan dihubungkan dengan masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap

selanjutnya guru berperan membimbing kelompok yang sedang melakukan

diskusi, berperan sebagai fasilitator, serta berkeliling kelas membantu siswa yang

mengalami kesulitan saat berdiskusi bersama. Guru membantu siswa dengan cara

memberikan pertanyaan-pertanyaan dan mengonfirmasi apa yang dibutuhkan

siswa agar dapat merangsang pengetahuan mereka dalam menemukan solusi

yang dibutuhkan. Setelah berdiskusi kelompok, tahap selanjutnya adalah

mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Perwakilan siswa dari salah satu

kelompok menyajikan hasil diskusi kelompoknya dan kelompok lain bertugas utuk

menanggapi jawaban dari kelompok yang mempresentasikan. Pada tahap diskusi

ini, siswa diminta untuk menemukan solusi permasalahan yang paling tepat dan

mengembangkannya secara bersama-sama. Apabila terjadi perbedaan cara

penyelesaian suatu masalah, disinilah peran guru sebagai penengah dalam

menentukan solusi permasalahan yang paling tepat dan efisien.

Pada tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah,

siswa dengan bimbingan guru menganalisis dan mengevaluasi hasil karya dari

Page 185: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

170

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

semua kelompok dan membuat kesimpuan dari permasalahan yang diberikan.

Menyimpulkan solusi permasalahan paling tepat untuk menyelesaikan masalah

yang diberikan dan guru bertugas memberikan penguatan dan penegasan kepada

siswa tentang materi yang dipelajari pada pertemuan itu.

Pembahasan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa.

Kemampuan komunikasi yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu (1)

Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan

menulis tentang matematika. (2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam

ide-ide matematika. (3) Mengekspresikan konsep matematika dengan

menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Hasil

kemampuan komunikasi matematik siswa dalam pembelajaran konstruktivisme,

dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Rekapitulasi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Dalam

Pembelajaran Konstruktivisme

No

Pembelajaran

Indikator

Kemampuan Komunikasi Matematis

(Prosentase %)

(1) (2) (3)

1 Metode TAPPS 73,96 88,89 61,46

2 Pendekatan Induktif 80.35 72,32 78,13%

3 Model Treffinger 75 76 73

4 Pendekatan Open-endeed 83.33 82.26 70.83

5 Pemb. Berbasis Masalah 68,75 65,28 77,08

Rata-rata kemampuan komunikasi

matematik berdasarkan indikator 76.88 76.95 72.1

Rata-rata keseluruhan kemampuan

komunikasi matematis 75,31

Keterangan:

1) Memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan

dan menulis tentang matematika.

2) Merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

3) Mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-

hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Page 186: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

171

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan Tabel 1, rata-rata dari persentase semua indikator

kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran konstruktivisme

mencapai > 75% yaitu 75,31, ini dapat dikatakan bahwa kemampuan komunikasi

matematis pada pembelajaran konstruktivisme sudah dapat dikategorikan tuntas

dalam pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran

konstruktivisme, yaitu pembelajaran TAPPS, Induktif, Treffinger, Open-ended,

Berbasis Masalah, memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkomunikasikan ide-idenya. Guru memberikan interaksi kepada siswa melalui

metode pembelajaran yang baik. Metode pembelajaran tersebut memungkinkan

terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru.

Pembelajaran yang tepat dapat secara efektif menggiring proses berpikir siswa

kearah yang benar serta perubahan dalam aktivitas dan representasi yang dibuat

siswa dapat secara lebih efektif.

Dari ketiga indikator tersebut, rata-rata kemampuan Merefleksikan

gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika. (76.95%), Memberikan

jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, menjelaskan dan menulis

tentang matematika. (76,88%) dan Mengekspresikan konsep matematika dengan

menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika (72,1%).

Rata-rata Persentase tertinggi yaitu pada kemampuan Merefleksikan gambar dan

diagram ke dalam ide-ide matematika. (76.95%), sedangkan persentase terendah

pada kemampuan Mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan

peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika (72,1%). Hal ini

menunjukkan bahwa siswa kurang dapat menggunakan konsep matematika yang

baik dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan menjelaskan dan

membuat gambar atau grafik.

D. Kesimpulan

Berdasarkaan hasil penelitian yang dilaksanakan mengenai pembelajaran

matematika dengan pembelajaran konstruktivisme terhadap kemampuan

komunikasi matematis siswa diperoleh kesimpulan yaitu Rata-rata dari persentase

semua indikator kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran

konstruktivisme mencapai > 75%, ini dapat dikatakan bahwa kemampuan

komunikasi matematis pada pembelajaran konstruktivisme sudah dapat

dikategorikan tuntas dalam pembelajaran matematika.

Page 187: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

172

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E. Daftar Pustka

Amalia Syafitri. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Do Talk Record terhadap

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”, Skripsi. Jakarta : UIN Syarif

Hidayatullah.

Amir,M. Taufiq. (2010). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning :

bagaimana pendidik memberdayakan pemelajar di era

pengetahuan”.Jakarta : Kencana.

Ansari, B. I. (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write.

Disertasi. Bandung: FPS UPI.

Arthur Whimbey and J. Lochhead. (2012). Problem Solving & Comprehension.

(http://books.google.co.id).

B. Suryosubroto. (2009). Proses Belajar mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Badger, E dan Brenda, T. (1992). Open-Ended Question in Reading . Practical

Assessment, Research & Evaluation. 3(4).

Bainatul Hayati, Ila (2014). Penerapan Model Treffinger untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan

Matematika. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berenson, B. S. (1995). Changing Assessment Practices . School Science

Mathematics. 95(4).

BSN, (2000) Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Sekolah Dasar dan Menengah,

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Cooney,J.T (2004), Open-Ended Assesment in Math. [Online]. Tersedia:

http://www.heinemann.com/math/about_site.cfm.[ 09/10/ 2005 ].

Cai, J., Lane, S., dan Jacabscin, M.S. (1996). Assesing Students’ Mathematical

Communication . Official Journal of the Science and Mathematics. 95 (5)

238 – 246.

Depdiknas. (2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pusat Kurikulum

Balitbang Depdiknas: Jakarta.

Elizabeth F Barkley. (2010). Student Engagement Techniques: A Handbook For

College Faculty. USA: PB Printing.

Erna Suwangsih dan Tiurlina. (2006) Model Pembelajaran Matematika. Bandung:

UPI PRESS.

Stice, J. E. (2012). Teaching Problem Solving. (http://www.csi.unian.it).

Page 188: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

173

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jatmiko, M. Anang (2014) dengan judul Pengaruh Metode TAPPS Terhadap

Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan

Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Katsuro, T. (2000). Open-Ended Approach and Improvement of Classroom

Teaching. Mathematics Education in Japan. Tokyo: JSME.

Kumala Akbar, Dewi (2014) dengan judul Penggunaan Bahan ajar dengan

Pendekatan Induktif untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Matematik Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Munandar,Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Mustika Sari, Dewanti. (2015). ”Pengaruh Pendekatan Concrete Representational

Abstract (CRA) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ,

Skripsi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Nahrowi Adjie dan R. Deti Rostika. (2006). Konsep Dasar Matematika. Bandung:

UPI PRESS.

Nata, Abuddin. (2002). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

NCTM. (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.

Reston, VA: Authur.

NCTM. (2000). Principles ands Standards for School Mathematics. Reston, VA:

Authur.

Ngalimun. (2013) Strategi dan Model Pembelajaran”. Yogyakarta: Aswaja

Pressindo.

Nur, Muhammad. (2000). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan

Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika Sekolah, UNM.

Oon-Seng Tan, (tahun terbit) Problem Based Learning and Creativity, (e-book).

Nama web site????

Rahmawati, Intan (2014) dengan judul Pendekatan Open Eended Untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP Pada Materi

Bangun Ruang SisiI Lengkung. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ramayulis. (2005). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: kalam Mulia.

Page 189: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gusni Satriawati, (2018), Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik, hal. 148 - 174

174

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Sagala, Syaiful (2011), Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta.

Sarson W.Dj.Pomalato. (2006). Mengembangkan Kreativitas Matematika Siswa

dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pendekatan Model Treffinger,

Mimbar Pendidikan.

Shimada, S dan Becker, J.P. (1997). The Open-Ended Approach: A New Proposal for

Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Theachers of

Mathematics.

Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi. (2010). Konstruksi Pengembangan

Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Syaifullah, Wahyu (2015), Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah

Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa . Skripsi Jurusan

Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sri Wardhani dkk. (2010). Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK MATEMATIKA.

Sumarmo, U. (2003). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika .

Makalah pada Pelatihan Nasional TOT Guru Matematika dan Bahasa

Indonesia SLTP. Bandung: tidak diterbitkan.

Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

UPI.

Titin Faridatun Nisa. (2011). Pembelajaran Matematika dengan Setting Model

Treffinger untuk Mengembangkan Kreativitas Siswa, Pedagogia.

Wakefield, J dan Velardi, L. (1995). Up – front Assessment: Using Open-Ended

Questions. Celebriting Mathematics Learning. Australia: The Mathematical

Association of Victoria.

Zulfiani, dkk. (2009). Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian

UIN Jakarta.

Page 190: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

175

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa dalam

Pembelajaran

Gelar Dwirahayu; Afidah Mas ud

Pendidikan Matematika - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected] ; [email protected]

Abstrak: Kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang dapat

menyebabkan prestasi belajar matematika rendah, sikap cemas anak

terhadap matematika dapat ditunjukkan melalu berbagai sikap dan

perilaku, misalnya kurang nyaman belajar matematika, mengeluh lelah

mengerjakan soal matematika, menghindari pertanyaan yang diberikan

guru kepadanya, ingin segera berganti mata pelajaran, merasa bosan

dan mengantuk didalam kelas karena disebabkan oleh metode

pembelajaran yang digunakan guru hanya sekedar mencatat dan

memberikan soal, bercanda dan mengobrol saat pembelajaran

berlangsung terutama bagi siswa yang duduk di belakang, kurang aktif

didalam pembelajaran dan tegang ketika belajar matematika,

menghindari pertanyaan guru, enggan duduk dibarisan depan ketika

belajar matematika, menganggap matematika itu sulit dan

menyebalkan, matematika membuat siswa pusing karena sulit untuk

diselesaikan dan lain sebagainya. Peran guru dalam mengurangi

kecemasan matematika siswa adalah memilih strategi pembelajaran

yang bervariatif, melakukan relaksasi di dalam kelas pada saat dimana

siswa sudah menunjukkan sikap bosan dan jenuh, serta menyiapkan

berbagai cara untuk menghadapi kesiapan siswa dalam belajar di kelas.

Kata Kunci: Kecemasan, Matematika

Page 191: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

176

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari

setiap jenjang pendidikan. Tidak sedikit siswa yang memiliki pengalaman tidak

menyenangkan terhadap matematika sehingga mereka menganggap matematika

merupakan pelajaran yang sulit untuk dipahami, membosankan, membuat stres

dan menakutkan bagi siswa. Akibatnya tidak sedikit siswa tumbuh tanpa

menyukai matematika sama sekali dan tidak senang dalam mengerjakan tugas-

tugas yang berhubungan dengan matematika. (Krismanto, 2003). Jika anggapan

seperti ini dibiarkan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, akan

berdampak pada pola pikir siswa untuk menghindari pelajaran matematika. Gejala

seperti ini dinamakan kecemasan dalam matematika. Johnson (Desmita, 2010)

menyebutkan ada sekitar 10% hingga 30% anak remaja yang sangat cemas

disekolah dan cukup mengganggu prestasi belajarnya, termasuk didalamnya

adalah kecemasan terhadap pelajaran matematika.

Kecemasan diartikan sebagai bentuk perasaan takut dan khawatir yang

tidak menyenangkan, tidak jelas dan bersifat menyebar (Desmita, 2010), dan

kecemasan tinggi terhadap matematika akan mempengaruhi terhadap hasil dan

prestasi belajar siswa di sekolah (Zakaria & Nurdin, 2008), pembentukan konsep

diri yang buruk, menimbulkan masalah pada perilakunya. Kecemasan dapat

muncul pada diri siswa akibat dari banyak faktor, baik faktor internal maupun

faktor eksternal. Trujillo dan Hadfield (Peker, 2009) menjelaskan bahwa terdapat

tiga faktor penyebab utama munculnya kecemasan dalam diri seseorang saat

menghadapi pelajaran matematika yaitu faktor kepribadian, faktor lingkungan

dan faktor intelektual. Faktor lingkungan misalnya kondisi saat belajar

matematika yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model atau metode

mengajar yang digunakan kurang tepat. Rasa takut dan cemas terhadap

matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan guru matematika dapat

terwariskan kepada para siswa.

Beberapa kasus yang terjadi di lingkungan sekolah terkait dengan

kecemasan yaitu hasil wawancara dengan guru dan hasil pengamatan di kelas

yang dilakukan oleh Indriyani , dkk (2016) antara lain:

a. siswa yang terlihat kurang nyaman belajar matematika,

b. mengeluh lelah mengerjakan soal matematika,

c. menghindari pertanyaan yang diberikan guru kepadanya,

d. ingin segera berganti mata pelajaran

Page 192: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

177

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. merasa bosan dan mengantuk didalam kelas karena disebabkan oleh metode

pembelajaran yang digunakan guru hanya sekedar mencatat dan

memberikan soal.

f. bercanda dan mengobrol saat pembelajaran berlangsung terutama bagi

siswa yang duduk di belakang.

g. kurang aktif didalam pembelajaran dan tegang ketika belajar matematika

h. menghindari pertanyaan guru.

i. enggan duduk dibarisan depan ketika belajar matematika.

j. Menganggap matematika itu sulit dan menyebalkan.

k. Hitung-hitungan dalam matematika membuat mereka pusing

l. Mereka mengakui bahwa jika guru bertanya apakah sudah mengerti atas

penjelasan yang diberikannya, mereka cenderung menjawab mengerti tetapi

sebenarnya masih belum mengerti.

m. Mereka mengeluhkan soal matematika antara yang dijelaskan guru didepan

kelas dan yang mereka dapat untuk dikerjakan berbeda dan lebih sulit.

Guru memegang peranan penting untuk mencari suatu alternatif model

pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan siswa dalam

belajar matematika, disamping membuat siswa untuk memahami dan mengerti

matematika. Alternatif-alternatif yang dapat dilakukan guru kepada siswa untuk

meminimalkan tingkat kecemasan siswa misalkan dengan menciptakan suasana

belajar yang menyenangkan dan dapat memberikan kenyamanan saat proses

pembelajaran dilakukan. Sama halnya dengan penjelasan didalam buku Models of

Teaching yang mengatakan bahwa untuk dapat mengurangi kecemasan belajar

matematika maka diperlukan teknik relaksasi dan model pembelajaran yang

menciptakan kenyamanan dalam belajar sehingga dapat mengurangi tingkat

kecemasan seseorang. Pada dasarnya, guru diharapkan dapat menerapkan suatu

pembelajaran yang bermakna dengan melibatkan siswa secara aktif didalam kelas.

Menciptakan suasana belajar yang lebih mengasyikkan.

B. Pembahasan

Kecemasan Belajar Matematika

Kata cemas atau “anxiety diambil dari bahasa Inggris setara dengan kata

fear yang memiliki arti kecemasan atau ketakutan. Kecemasan merupakan salah

satu bentuk emosi seseorang yang dapat menyebabkan munculnya rasa stres,

khawatir atau gelisah didalam diri mereka dengan situasi yang berbeda. Kita bisa

merasa cemas terhadap apapun dan kapanpun. Masalah besar atau masalah kecil,

hal baik atau hal buruk jika kita yakini akan terjadi maka akan benar-benar terjadi.

Page 193: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

178

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Itu semua terletak pada pemikiran positif ataupun negatif terhadap diri kita

sendiri sehingga dapat merangsang otak kita untuk memberikan reaksinya dengan

cara-cara tertentu.

Pada umumnya kita mengalami kecemasan sebagai suatu bentuk perasaan

atau kondisi emosional. Kita merasa terancam, tersingkir dan cepat marah

terhadap sesuatu hal yang tidak disukai. Keadaan emosional kita seringkali

berubah-ubah. Kita juga mungkin mengalami kekhawatiran lebih dari pemikiran

dan kondisi sikap untuk menemukan jati diri kita sesungguhnya. Kaplan, Sadock,

dan Grebb (Fitri, 2005) mendefinisikan bahwa kecemasan sebagai suatu respons

terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal

terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru serta dalam

menemukan identitas diri dan arti hidup.

Masalah kecemasan sangat berkaitan dengan masalah kejiwaan. Para

psikologis mengatakan bahwa kecemasan merupakan bentuk emosi yang dapat

menimbulkan stres dan dapat dirasakan oleh siapapun. Kecemasan yang

dikemukakan oleh Sutardjo A. Wiramiharja (2005) mengatakan bahwa kecemasan

merupakan suatu perasaan yang sifatnya umum dimana seseorang merasa

ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas maupun wujudnya.

Masalah kecemasan yang tumbuh didalam jiwa seseorang akan menghalangi

kemampuan yang mereka miliki. Perasaan seperti itu yang seharusnya segera

diatasi. Jika tidak maka kemungkinan terburuk yang terjadi adalah menghilangnya

rasa kepercayaan diri seseorang terhadap potensi yang dimiliki.

Kecemasan memiliki dampak tidak saja pada penyesuaian fisiologis,

psikologis dan psikososial melainkan juga pada penyesuaian akademik. Fimian dan

Cross (Desmita, 2010) menyatakan bahwa stres anak yang tinggi disekolah lebih

memungkinkannya untung menentang dan berbicara dibelakang guru, membuat

keributan dan kelucuan didalam kelas, serta mengalami sakit kepala dan sakit

perut. Kecemasan anak yang tinggi menunjukkan lebih banyak masalah tingkah

laku, konsep diri yang buruk serta sikap terhadap sekolah dan prestasi akademis

yang rendah.

Atkinson (2008) berpendapat bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak

menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran,

keprihatinan, dan rasa takut. Kekhawatiran dan rasa takut yang tinggi akan

membuat aktivitas seseorang menjadi terganggu. Mereka akan gelisah, tegang

dan merasa tidak mampu dalam menghadapi suatu kondisi yang mereka anggap

sebagai suatu ancaman bagi dirinya sendiri. Rasa takut seperti rintangan yang tak

tampak yang akan membuat kita selamanya terkurung didalam kehidupan tanpa

Page 194: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

179

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tantangan, kegembiraan, rasa ingin tahu atau perayaan (DePorter, 2013). Dengan

kata lain, rasa takut akan menjauhkan kita dari penemuan kemampuan yang tidak

terbatas.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

adalah salah satu bentuk emosi yang direfleksikan dengan rasa takut, tegang,

gelisah, was-was dan khawatir akan perasaan dari ketidakmampuan seseorang

dalam mengatasi suatu permasalahan yang dihadapinya. Segala pemikiran negatif

terhadap diri sendiri akan berpengaruh terhadap reaksi yang ditunjukkan misalkan

dengan menghindar dan tentunya akan menjauhkan kita kepada kemampuan

yang seharusnya tak terbatas menjadi terbatas.

Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan

kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.

Kecemasan seringkali disertai dengan gejala fisik seperti sakit kepala, jantung

berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit perut, atau tidak tenang dan tidak dapat

duduk diam, dan lain sebagainya. Supratiknya (1995) mengatakan bahwa

gangguan kecemasan dapat dilihat dari tanda-tanda yang muncul didalam diri

seseorang diantaranya senantiasa diliputi rasa tegang, was-was dan resah yang

bersifat tidak menentu, sulit berkonsentrasi dan takut salah mengambil

keputusan, mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangan basah, mengalami

gangguan pada pernafasan dan jantung berdebar-debar.

Kecemasan menggambarkan keadaan emosional seseorang yang dikaitkan

dengan rasa takut yang ada didalam dirinya sendiri. Jenis dan derajat ketakutan

setiap orang pun berbeda-beda. Misalnya saja takut dengan lingkungan sekolah,

seperti contoh takut pada guru yang mengajar, suasana kelas yang kaku dan

menegangkan, takut atau khawatir pada mata pelajaran matematika. Adapun efek

dari sikap yang ditunjukkan seseorang apabila ia sedang merasa cemas dapat

dilihat dari segi fisik maupun psikologis. Adapun indikator fisik dalam kecemasan

diantaranya seperti sakit kepala, sakit perut, berkeringat, menggigit kuku,

berbicara tersendat-sendat, tidak bisa diam dan kebingungan (Soemanto, 2006).

Sedangkan kecemasan secara psikologis seperti bergetar, tidak dapat duduk

tenang, tidak dapat bersantai, pusing, jantung yang berdetak cepat dan

berkeringat (King, 2010).

Pada dasarnya kecemasan adalah cara seseorang memberikan reaksi

terhadap kejadian-kejadian didalam hidup kita. Grant Brecht (2000) menjelaskan

bahwa seseorang merasa khawatir atau cemas ditandai adanya gejala-gejala

seperti takut atau menyingkir, ragu-ragu, tegang, terguncang, pesimis, cemberut,

emosional, ketus, berjalan, banyak bicara, pasif dan pendiam. Kecemasan dalam

Page 195: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

180

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jangka waktu yang panjang akan mengalami kesulitan untuk mengendalikannya

dan kemampuan untuk menikmati hidup akan terganggu. Apabila kita tidak

mampu mengatasi rasa cemas ini maka kita akan mudah merasa putus asa dan

tentunya rasa cemas yang dialami akan menjadi lebih besar lagi.

Gejala-gejala kecemasan yang muncul dari dalam diri seseorang juga

dijabarkan oleh Cooke (2011) yang mengidentifikasikan bahwa ada 4 buah

indikator kecemasan matematika diantaranya Mathematics Knowledge, Somatic,

Cognitive dan Attitude. Berikut penjelasan dari masing-masing indikator

kecemasan :

1. Mathematics Knowledge/Understanding berkaitan dengan hal-hal seperi

munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang matematika.

2. Somatic berkaitan dengan perubahan pada keadaan tubuh individu, misalnya

tubuh berkeringat atau jantung berdebar-debar.

3. Cognitive berkaitan dengan perubahan pada kognitif seseorang ketika

berhadapan dengan matematika, seperti tidak dapat berfikir jernih atau

menjadi lupa hal-hal yang biasanya dapat ia ingat.

4. Attitude berkaitan dengan sikap yang muncul ketika seseorang memiliki

kecemasan matematika, misalnya ia tidak percaya diri untuk melakukan hal

yang diminta atau enggan untuk melakukannya.

Dari berbagai macam pendapat yang telah dikemukakan oleh para pakar

mengenai gejala-gejala dari kecemasan, dapat disimpulkan bahwa rasa cemas

dapat membuat tubuh seseorang bereaksi mulai dari keringat yang berlebih, was-

was, lupa ingatan, takut, gelisah, suara yang terbata-bata, sulit bernafas,

gemetaran dan lain sebagainya. Gejala seperti ini bisa saja dirasakan oleh hampir

semua orang namun dengan tingkat kecemasan yang berbeda-beda dan

tergantung bagaimana cara ia mengatasinya.

Faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan yang dialami seseorang pasti ada penyebabnya. Rasa cemas

timbul ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri,

dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Trujillo dan Hadfield (Peker, 2009)

yang menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya

kecemasan dalam diri siswa saat menghadapi pelajaran matematika diantaranya

faktor kepribadian, faktor lingkungan dan faktor intelektual. Faktor kepribadian

misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimiliki. Faktor lingkungan

yakni kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang

diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika.

Page 196: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

181

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dan faktor yang terakhir faktor intelektual yaitu ketidaktepatan dalam gaya

belajar dan keraguan diri akan kemampuan. Ketiga faktor tersebut yang menjadi

penyebab timbulnya kecemasan belajar matematika.

Untuk dapat mengurangi kecemasan siswa dalam belajar matematika maka

diperlukan cara untuk dapat menumbuhkan kesadaran diri siswa tentang

pentingnya belajar matematika misalnya dengan menyajikan materi dengan

menarik, memperbaharui pola pembelajaran, menuangkan konsep matematika

dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan pembelajaran aktif, mengatur siswa

dalam kelompok belajar yang kooperatif dan lain sebagainya. Didalam buku

Models of Teaching dijelaskan bahwa untuk dapat mengurangi kecemasan

matematika diperlukan teknik relaksasi dan model pembelajaran yang dapat

menciptakan kenyamanan dalam belajar sehingga dapat mengurangi tingkat

kecemasan seseorang. Teknik relaksasi yang dapat dilakukan misalnya dengan

menarik nafas dalam-dalam kemudian hembuskan secara perlahan-lahan ataupun

melakukan gerekan-gerakan tubuh yang dapat menjadikan tubuh tidak tegang

dan menjadi rileks. Ini merupakan contoh tindakan yang dapat dilakukan agar

suasana lingkungan didalam kelas menjadi nyaman.

Selain diperlukannya teknik relaksasi didalam pembelajaran, motivasi yang

tinggi juga mampu menurunkan kecemasan seseorang. Wlodkowsky (Uno, 2011)

mengatakan bahwa motivasi yang dimiliki dan dibawa oleh siswa berpengaruh

kuat terhadap apa dan bagaimana mereka belajar. Itu berarti bahwa motivasi

secara tidak langsung telah memberikan dampak positif ataupun negatif bagi

mereka yang belajar. Weiner dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang

pada tingkat kecemasan yang tinggi tetapi ia mampu melaksanakan tugas dengan

baik, maka berdasarkan pengalamannya dapat mempermudah mengerjakan

tugas. Tetapi seseorang yang memiliki tingkat kecemasan yang rendah, maka ia

akan lebih banyak memerlukan dorongan untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan

kata lain, motivasi dapat mengakibatkan keberhasilan atau kegagalan seseorang

tergantung dari bagaimana kita dapat menyesuaikan kemampuan diri kita dengan

tujuan yang akan kita capai.

Dengan demikian, guru sangatlah memegang peranan penting untuk

membangkitkan minat dan motivasi siswa dalam belajar terutama minat untuk

belajar matematika. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memperkaya

pembelajaran-pembelajaran yang menarik dengan melibatkan siswa untuk

berperan aktif didalam proses pembelajaran serta memberikan motivasi-motivasi

yang dapat mendorong siswa untuk giat dalam belajar.

Page 197: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

182

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak dapat dipungkiri bahwa kecemasan dalam pembelajaran disekolah

juga dapat menjadi sebuah masalah yang harus segera diatasi oleh para guru.

Reaksi dari kecemasan yang muncul dapat berupa rasa takut pada pelajaran

tertentu atau bahkan takut pada sosok guru yang mengajar didalam kelas.

Misalkan saja siswa merasa cemas saat pelajaran matematika. Matematika

seringkali dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit dan

membosankan bagi sebagian siswa. Dengan adanya anggapan seperti itu, hal ini

tentu mengakibatkan kurangnya minat siswa dalam belajar matematika dan

cenderung sulit menyukai pelajaran matematika. Sebab yang mengakibatkan

kurangnya ketertarikan siswa dalam belajar matematika salah satunya yaitu

pengalaman-pengalaman yang telah didapat sebelumnya selama belajar

matematika, misalkan penerapan metode pangajaran yang monoton dan

sebagainya.

Kecemasan matematika menurut Sheffield & Hunn (2007) menyatakan

bahwa math anxiety is the feelings of anxiety that some individuals experience

when facing mathematical problems. Maksudnya ialah kecemasan matematika

merupakan perasaan cemas yang muncul dari pengalaman yang tidak

menyenangkan dalam pembelajaran matematika. Sedangkan menurut Ashcraft

mendefinisikan bahwa kecemasan matematika adalah sebagai perasaan

ketegangan, cemas atau ketakutan yang mengganggu kinerja matematika.

Kecemasan ini dapat diatasi jika guru dapat menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan dan bermakna bagi siswa agar tidak merasa takut untuk belajar

matematika dan membuat siswa merasa nyaman.

Menurut Iwan Pranoto (2008) mengatakan bahwa ada 4 penyebab rasa

cemas atau ketakutan siswa akan matematika diantaranya :

1. Penekanan berlebihan pada hafalan semata

Pada umumnya, banyak guru yang kurang tepat dalam memberikan suatu

pembelajaran matematika baik itu dari model pembelajaran ataupun dari teknik

mengajar. Pembelajaran yang digunakan cenderung mengharuskan siswa untuk

menghafal rumus matematika tanpa memberikan stimulus-stimulus yang dapat

membangun pemahaman dan penalaran siswa dalam belajar. Oleh sebab itu,

dengan pengajaran yang demikian, dapat menimbulkan kesan negatif bagi siswa

terhadap pelajaran matematika bahwa matematika itu terlalu banyak hafalan

terutama rumus-rumus matematika. Hal seperti itu yang menimbulkan rasa tidak

suka siswa terhadap pelajaran matematika.

2. Penekanan pada kecepatan berhitung

Page 198: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

183

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Matematika identik dengan hitung-menghitung. Berhitung menjadi hal

mutlak yang tidak bisa dilepas dari karakteristik matematika. Penekanan dalam

berhitung menjadi salah satu penyebab anak menjadi fobia terhadap matematika.

Kumpulan angka yang menyebabkan seseorang salah menghitung dan berakibat

fatal pada hasil yang didapatkan. Dan itu berpengaruh terhadap ketertarikan

siswa untuk belajar matematika.

3. Pengajaran yang otoriter

Pola pengajaran yang dilakukan guru cenderung keras terhadap siswanya.

Seolah-olah guru menguasai ilmu matematika tanpa ada satu siswa pun yang tahu

selain dirinya sendiri. Guru yang merasa paling benar dan selalu benar tanpa mau

memperhatikan dan mendengarkan pendapat siswa. Kurang mempercayai

kemampuan yang dimiliki siswa dan seringkali guru hanya berpusat pada

pemberian tugas semata kepada siswa-siswanya. Pengajaran yang seperti itu

berdampak negatif bagi siswanya. Siswa menjadi pasif, dan pada akhirnya

ketertarikan siswa untuk belajar matematika menjadi berkurang. Siswa juga

menjadi kurang mandiri dalam proses pembelajaran.

4. Kurangnya variasi dalam mengajar

Variasi mengajar adalah bagaimana cara guru mengubah kebiasaan lama

mengajar yang dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan siswa beralih pada

ketertarikan dan mengubah siswa menjadi antusias dalam belajar. Perlunya

diadakan variasi dalam mengajar agar dapat meningkatkan perhatian siswa dan

motivasi siswa terhadap proses belajar mengajar. Jika guru tidak mampu

menciptakan pembelajaran yang baru dan bervariasi akan berdampak pada

kurang senangnya siswa terhadap guru yang monoton dalam mengajar sehingga

menyebabkan siswa kurang tertarik dan proses pembelajaran berjalan tidak

efektif.

Dari penjelasan diatas, dapat diartikan bahwa kecemasan dalam

pembelajaran matematika adalah suatu emosi diri seseorang terhadap pelajaran

matematika yang menunjukan adanya suatu keadaan yang dianggap tidak

menyenangkan dan dihindari oleh sebagian orang yang mengalaminya. Keadaan

yang tidak menyenangkan dapat meliputi rasa takut, tidak aman dan rasa was-

was, tegang dan lain sebagainya menyebabkan seseorang tidak menyukai dan

mencoba untuk tidak berhadapan dengan hal yang membuat mereka takut

menghadapi. Didalam pembelajaran matematika, keadaan seperti ini dapat

muncul dari berbagai macam faktor, bisa dari pengalaman seseorang yang didapat

selama ia mendapatkan pelajaran matematika atau pola pengajaran yang kaku

Page 199: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

184

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan suasana pengajaran yang membosankan cenderung membuat siswa enggan

berperan aktif di setiap pembelajaran.

Indikator Kecemasan Belajar Matematika

Berdasarkan penjelasan tentang kecemasan diatas, maka peneliti

mengelompokkan indikator kecemasan matematika menurut Cooke menjadi 4

aspek diantaranya :

1. Mathematics Knowledge/Understanding berkaitan dengan hal-hal seperti

munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang matematika.

Gejala yang diambil dari aspek ini adalah berdiam diri dan bingung.

2. Somatic berkaitan dengan perubahan pada keadaan tubuh individu, misalnya

tubuh berkeringat atau jantung berdebar-debar. Gejala yang diteliti dari aspek

ini diantaranya jantung berdebar, lelah, suara terbata-bata dan tubuh

gemetar.

3. Cognitive berkaitan dengan perubahan pada kognitif seseorang ketika

berhadapan dengan matematika, seperti tidak dapat berfikir jernih atau

menjadi lupa hal-hal yang biasanya dapat ia ingat. Gejala yang dapat diteliti

adalah sulit konsentrasi, lupa dan putus asa.

4. Attitude berkaitan dengan sikap yang muncul ketika seseorang memiliki

kecemasan matematika, misalnya ia tidak percaya diri untuk melakukan hal

yang diminta atau enggan untuk melakukannya. Gejalanya diantaranya takut,

gelisah, tegang, pesimis dan panik.

Selanjutnya, Heni dkk (2016) mendeskripsikan kecemasan belajar

matematika siswa berdasarkan dari masing-masing indikator sebagai berikut:

a) Attitude; Attitude merupakan indikator kecemasan yang berkaitan dengan

sikap siswa saat belajar matematika. Dari hasil penelitian yang didapat, siswa

masih cenderung takut dan panik ketika peneliti meminta mereka untuk

presentasi didepan kelas. Apalagi jika peneliti memilih kelompok secara acak.

Mereka tidak percaya diri dengan kemampuan yang mereka miliki. Mereka

takut dan malu jika nanti mereka ditertawai oleh teman sekelas jika mereka

salah menjawab. Oleh sebab itu, peneliti memberikan motivasi kepada siswa,

pemberian reward saat pembelajaran, memutarkan musik instrument dan

memutarkan video-video brain gym disela-sela waktu pembelajaran. Hal ini

berdampak positif pada keadaan kelas yang lebih kondusif dan siswa merasa

lebih nyaman didalam kelas.

b) Somatic; Somatik merupakan salah satu indikator kecemasan yang sulit untuk

diamati didalam kelas. Indikator kecemasan ini mencakup pada keadaan

Page 200: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

185

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tubuh seseorang seperti jantung berdebar, suara terbata-bata dan tubuh

bergemetar. Peneliti mengalami kesulitan dalam mengobserver siswa dengan

gejala kecemasan seperti itu. Pada tahap pengamatan baik di siklus I maupun

siklus II, peneliti hanya mengamati gejala-gejala seperti suara terbata-bata

dan tubuh gemetar secara kasat mata. Peneliti tidak memberikan kesempatan

yang sama untuk seluruh siswa yang ada didalam kelas. Misalnya dengan

bertanya, menjawab pertanyaan ataupun presentasi didepan kelas. Tidak

semua siswa berbicara didalam kelas, ada kemungkinan siswa yang tidak

bicara atau bertanya mengalami suara terbata-bata. Oleh sebab itu, karena

pengamatan yang dilakukan tidak menyeluruh maka hasil observasi yang

didapat sangat rendah.

c) Cognitive; Untuk indikator cognitive ini berkaitan dengan konsentrasi siswa

saat belajar matematika didalam kelas. Siswa merasa terganggu dengan sikap

beberapa siswa yang membuat keributan saat belajar terutama siswa laki-laki.

Hal ini tentu mengakibatkan konsentrasi siswa dalam belajar menjadi

terganggu. Oleh sebab itu, untuk mengurangi hal tersebut peneliti

memberikan latihan soal matematika kepada seluruh siswa untuk mengasah

kemampuan mereka.

d) Mathematics Knowledge; Mathematics Knowledge merupakan indikator

terakhir untuk kecemasan belajar matematika siswa. Indikator ini berkaitan

dengan munculnya pikiran bahwa dirinya tidak cukup tahu tentang

matematika. Hal yang dilakukan seseorang apabila mengalami kecemasan

untuk indikator ini adalah berdiam diri didalam kelompok. Saat pembelajaran,

terdapat beberapa siswa yang pasif saat berdiskusi. Mereka lebih

mengandalkan teman yang lebih pintar darinya dan sekedar ikut apa yang

telah dikerjakan. Dalam pengamatan juga, siswa yang pasif cenderung

menunduk saat peneliti mencoba menghampirinya. Oleh sebab itu, peneliti

memberikan reward bagi kelompok yang aktif dan berani tampil didepan

kelas.

Hasil dari analisis terhadap teori kecemasan maka, selanjutnya dibuat

instrument untuk mengukur kecemasan siswa dalam proses pembelajaran.

Instrumen disusun berdasarkan empat aspek kecemasan yaitu attitude, somatic,

cognitive dan mathematical knowledge. Berikut diuraikan penjabaran pernyataan

yang mengukur kecemasan belajar matematika siswa dan dikembangkan dari

empat aspek tersebut

Page 201: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

186

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Aspek/Pernyataan

1 Attitude

Saya lebih memilih bertanya kepada teman dibandingkan kepada guru jika

ada materi yang tidak saya mengerti

Saya merasa takut ditertawai oleh teman sekelas saat saya mencoba

berbicara untuk mempresentasikan hasil diskusi didepan kelas

Saya bertanya kepada guru matematika jika ada materi yang tidak saya

mengerti

Saya berani mempresentasikan hasil diskusi didepan kelas

Saat ujian matematika berlangsung, saya hanya fokus pada lembar ujian saya

Saya merasa sulit bernafas ketika guru matematika memilih saya untuk

mengerjakan soal matematika secara mendadak

Badan saya terasa panas dingin ketika guru meminta saya untuk presentasi

di depan kelas

Saya senang dipilih guru metematika untuk mengerjakan soal matematika

didepan kelas

Saya merasa tenang ketika saya diminta berpresentasi didepan kelas

Saya ragu dengan nilai matematika saya nanti

Saya merasa kemampuan belajar matematika saya rendah jika dibandingkan

dengan teman-teman yang lain

Saya yakin mendapatkan nilai yang bagus untuk pelajaran matematika

Saya yakin dengan kemampuan matematika yang saya miliki

Saya dapat menyelesaikan soal matematika sendiri tanpa meminta bantuan

orang lain

Saya terburu-buru mengerjakan ulangan matematika ketika saya melihat

teman-teman lain sudah selesai mengerjakannya

Saya tetap tenang mengerjakan ulangan matematika walaupun teman-

teman sudah terlebih dahulu selesai mengerjakan

Saya akan menjawab soal matematika sendiri sesuai dengan kemampuan

yang saya miliki tanpa meminta bantuan teman yang lain

2 Somatic

Jantung saya berdebar saat guru matematika masuk kedalam kelas

Saya senang melihat guru matematika masuk kedalam kelas

Saya siap jika diminta memberikan tanggapan didepan kelas

Saya tidak merasa jenuh jika belajar matematika

Saya semangat belajar matematika

3 Cognitif

Saya tidak dapat berfikir jika kondisi didalam kelas berisik

Rumus matematika sulit untuk dihafalkan

Saat ujian matematika, saya lupa materi yang sudah saya pelajari

sebelumnya

Page 202: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

187

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Karena saya belajar setiap hari, saya mampu mengingat semua materi yang

diujikan saat ujian matematika

Saya mencoba mengerjakan soal matematika dengan cara lain jika saya tidak

dapat menemukan jawabannya

Saya terus berusaha menemukan jawaban matematika yang sulit sampai

saya benar-benar menemukan jawaban yang tepat

Saya tidak dapat berfikir jika kondisi didalam kelas berisik

4 Mathematical Knowledge

Jika ada soal matematika yang sulit untuk dikerjakan, saya akan menunda

dan melanjutkan ke soal yang lebih mudah

Saya berusaha memahami setiap persoalan matematika yang diberikan guru

didalam kelas

Selanjutnya, aktivitas yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran

matematika yang dapat mengurangi kecemasan belajar matematika adalah

dengan memberikan relaksasi misalnya,

1. menarik nafas melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut secara

perlahan.

2. menggerakkan anggota badannya dengan mengangkat keatas dan

menggerakkan secara perlahan

3. Memijat punggung

4. Menggerakkan tangan

Aktivitas tersebut disajikan pada gambar berikut:

Gambar 1

Gerakan Narik Nafas

Gambar 2

Gerakan Mengangkat kedua tangan

Page 203: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

188

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 3

Gerakan memijat punggung

Gambar 4

Gerakan tangan

Proses Pembelajaran Matematika

Selain itu, perlu juga guru memahami pendekatan, strategi, metode, teknik

pembelajaran matematika yang tidak terlalu kaku. Banyak pendekatan, strategi,

metode, teknik yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, misalnya

pembelajaran eksporatif (Dwirahayu, 2013), Brain Based Learning (Indriyani,

2016) Open Ended (Satriawati, 2006; Suherman, 1990), Metode permainan

(Dwirahayu, 2016), Pembelajaran berbasis ICT dan pembelajaran lainnya.

Dwirahayu (2013) menyebutkan ada lima langkah yang dapat dilakukan

dalam pembelajaran eksploratif, yaitu pemberian informasi: dilakukan dengan

cara memberikan beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh siswa. Masalah

yang dimunculkan adalah masalah baru yang dapat memacu rasa ingin tahu siswa,

sehingga siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan awal yang dimilikinya untuk

menyelesaikan soal-soal yang diberikan, tahap kedua adalah orientasi terbimbing

yaitu guru memberikan penjelasan kepada siswa-siswa tentang jawaban yang

diberikan kemudian membantu siswa yang masih mengalami kesulitan dalam

menjawab soal-soal yang diberikan, tahap ketiga adalah eksplisitasi yaitu siswa

menyajikan hasil diskusi kelompoknya, kemudian kelompok lain dan guru

memberikan tanggapan, saran dan perbaikan terhadap hasil kelompok yang

presentasi, tahap keempat adalah orientasi bebas yaitu siswa melakukan aktivitas

pengamatan melalui alat peraga/media atau smuber-sumber belajarn lainnya

yang disediakan oleh guru, dan tahap terakhir adalah integrasi yaitu tahao dimana

siswa menyelesaikan masalah yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah

ditetapkan. Pendekatan eksplorative digunakan dalam pembelajaran matematika

Page 204: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

189

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dapat mengurangi kecemasan matematika siswa karena konsep matematika

ditemukan sendiri oleh siswa, siswa diberikan permsalahan yang biasa mereka

hadapi dalam kehidupan sehari-hari kemudian siswa berpikir dan bereksplorasi.

Pendekatan ini tidak mentransfer pengetahuan secara langsung dari guru kepada

siswanya, akan tetapi melalui aktivitas mencari dan menemukan maka siswa

dengan sendirinya akan menemukan konsep matematika.

Open ended merupakan proses pembelajaran matematika yang dapat

melatih kemampuan berpikir siswa. Dengan menggunakan pendekatan open

ended maka ada tiga prinsip yang digunakan yaitu Kegiatan siswa harus terbuka,

Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir dan Kegiatan siswa dan kegiatan

matematika merupakan satu kesatuan. Pendekatan open ended juga sangat

terbuka dan memberi kebebasan berpikir kepada siswa, tidak menutup

kemungkinan siswa akan berpikir diluar matematika, namun tetap guru akan

berperan mengarahkan siswa pada konsep matematika yang baku. Shimada

(1997), menyatakan bahwa pendekatan open ended memberi siswa kesempatan

untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman menemukan, mengenali dan

memecahkan soal dengan beberapa cara berbeda. Sedangkan menurut

(Wakefield, 1995) Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended dapat

membantu siswa menyelesaikan masalah secara kreatif dan menghargai

keragaman berpikir yang mungkin timbul selama mengerjakan soal. Dalam

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Open-ended, dimulai dengan

pertanyaan dalam bentuk Open-ended yang diarahkan untuk menggiring

tumbuhnya pemahaman atas masalah yang diajukan.

Selanjutnya Indriyani (2006) menyebutkan ada lima tahap pembelajaran

dengan menggunakan pendekaran Brain Based learning, yaitu tahap persiapan

yaitu guru menciptakan rasa penasaran siswa dengan membuat presentasi visual

dari topik terkait dan memajang peta konseptual, tahap kedua adalah akuisisi

yaitu tahap penciptaan koneksi dimana ingatan siswa dilatih untuk

mengkoneksikan pengetahuan lama dengan pengetahuan yang baru, pada tahap

ini guru memberikan pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan

awal siswa dan memberikan penjelasan awal dengan menggunakan benda

konkret dan memberikan proyek kerja kelompok; tahap ketiga adalah elaborasi

tahap ini merupakan tahapan pengolahan atau pemprosesan kemampuan berpikir

siswa untuk memilih, menyelidiki, menganalisis, menguji dan memperdalam

pembelajaran. Tahap keempat adalah formasi memori, tahap ini merupakan

tahap pembentukan ingatan siswa terhadap konsep baru yang sedang

dipelajari,guru memiliki peran utama pada tahapan ini untuk menghindari

Page 205: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

190

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terjadinya miskonsepsi. Tahap ke lima adalah integrasi fungsional, tahap ini

merupakan optimalisasi hasil sebuah pembelajaran. Tindakan yang dapat

dilakukan guru pada tahapan ini yaitu dengan memberikan siswa latihan soal

berupa kuis untuk menguji kemampuan siswa yang didapat setelah melakukan

proses pembelajaran. Pendekatan Brain Based learning, juga memfasilitasi siswa

untuk mampu menyeimbangkan antara otak kiri dan otak kanan, ketika siswa

sedang belajar matematika yang memanfaatkan otak kanan maka sesekali guru

perlu mengasah otak kiri siswa dengan melakukan relaksasi dan refleksi.

Metode permainan juga dapat menjadi salah satu alternative

pembelajaran yang dapat mengurangi ketegangan belajar. Perkembangan konsep

matematika yang diajarkan dengan menggunakan metode permainan menurut

Dienes dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap rangkaian kegiatan

belajarnya diawali dari benda kongkret sampai pada penyimpulan konsep

matematika secara simbolik. Untuk itu Dienes (Dwirahayu, 2016) membagi

metode permainan menjadi 6 tahap, yaitu:

1. Bermain Bebas (Free Play). Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal

dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas

merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak

diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama

permainan pengetahuan anak akan muncul dan berkembang.

2. Permainan (Games). Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai

meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.

Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat

dalam konsep yang lainnya. Makin banyak bentuk berlainan yang diberikan

dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa,

karena memperoleh konsep yang logis dan matematis. Menurut Dienes,

untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan kegiatan untuk

mengumpulkan bermacam pengalaman, dan kegiatan yang tidak relevan

dengan pengalaman itu.

3. Penelaahan Sifat Bersama (Searching for communalities), dalam mencari

kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat

kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.

4. Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat

dari beberapa situasi yang sejenis. Representasi yang diperoleh ini bersifat

abstrak, yang mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya

abstrak.

Page 206: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

191

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Penyimbolan (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang

membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-

konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan

verbal.

6. Pemformalan (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep

yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-

sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut.

Di era modern saat ini, Information, Communication, and Technology (ICT)

mengalami kemajuan yang sangat pesat diseluruh aspek kehidupan manusia,

begitu pula dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, kemajuan ICT

dimanfaatkan sebagai media pembelajaran guna mendukung proses belajar. Guru

dituntut menguasai teknologi dan mengembangkan media pembelajaran demi

keberhasilan proses belajar mengajar. Teknologi yang dapat dipergunakan di

dunia pendidikan diantaranya komputer, proyektor, Microsoft Word, Microsoft

Power Point, dll. Dalam pendidikan Matematika secara khusus, begitu banyak

perangkat lunak yang bisa digunakan untuk membantu proses pembelajaran

matematika, mulai dari membantu memahami konsep-konsep matematika,

hingga membantu menyelesaikan permasalahan dalam matematika. Software

yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika antara lain MatLab, SWP,

Autgraph, Geogebra, Cabri, SPSS dan lain sebagainya. Dengan adanya penggunaan

media dalam pembelajaran matematika akan mengurangi kejenuhan siswa dalam

belajar, dengan menggunakan ICT siswa belajar tidak hanya aspek kognitif saja,

akan tetapi aspek sikap dan psikomotornya juga akan digunakan secara maksimal.

Kesiapan Siswa Belajar

Selain itu juga, guru perlu memahami kesiapan siswa untuk menerima

pelajaran. Banyak teori belajar yang mendukung pada kesiapan siswa tersebut.

Misalnya: teori belajar Bruner, Teori Belajar J.Piaget, teori belajar David Ausuble,

teori belajar Dienes, teori belajar Guilford, dan lain sebagainya (Ruseffendi, 1996;

Dahar, 2012).

Berikut dijelaskan secara singkat untuk masing-masing teori belajar Bruner:

menyatakan bahwa belajar matematika harus melalui proses penemuan. Agar

siswa dapat memahami matematika dengan baik, maka siswa dikondisikan seperti

para ahli matematika ketika menemukan konsep, dengan begitu diharapkan siswa

akan mengingat konsep atau rumus dalam waktu yang relative lama.

Page 207: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

192

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Teori Belajar J.Piaget menyatakan bahwa guru harus memperhatikan pada

perkembangan mental siswa, menurut piaget ada empat tahap perkembangan

mental anak yaitu tahap sensoro motori, tahap operasi konkrit, tahap operasi

semi formal tahap operasi formal atau abstrak. Dalam teorinya, Piaget

mengarahkan bahwa perbedaan tahapan tersebut akan menuntut guru

mengembangkan startegi pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental

siswa.

Teori belajar David Ausuble menyatakan bahwa proses belajar bagi siswa

harus bermakna. Menurut teori ini, siswa mempelajari matematika seperti

mereka sedang berada pada dunia nyata. Pembelajaran matematika harus

dikaitkan dengan konteks atau permasalahan sehari-hari yang sering dihadapi

oleh siswa, sehingga solusi dari permasalahan yang dimunculkan dimengerti oleh

siswa.

Teori belajar Dienes merupakan teori belajar yang menekankan pada proses

pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu metode pembelajaran yang

dikembangkan menurut teori Dienes adalah metode permainan. Penjelasan

tentang metode permainan sudah diuraikan pada bagian sebelumnya.

Teori belajar JP Guilford menyebutkan bahwa kecerdasan anak merupakan

factor utama dalam proses pembelajaran, maka guru perlu memahami

kecerdasan anak sebagai bahan dalam mengembangkang prosesdur

pembelajaran. Setiap anak memiliki karakteristik khas, dan perbedaan itulah

menjadikan guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang bervariatif,

C. Penutup

Kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang dapat

menyebabkan prestasi belajar matematika rendah, sikap cemas anak terhadap

matematika dapat ditunjukkan melalu berbagai sikap dan perilaku. Adapun empat

hal yang perlu diperhatikan guru untuk mengurangi kecemasan matematika siswa

yaitu:

1. Memperhatikan kesiapan siswa dalam belajar

2. Mendesain pembelajaran matematika yang menyenangkan dan tidak

membebani siswa

3. Menyiapkan alat peraga/media pembelajaran sehingga matematika lebih

mudah difahami dan dimengerti

4. Memberikan relaksasi kepada siswa di sela-sela proses pembelajaran,

sehingga siswa menjadi fokus kembali dalam belajarnya.

Page 208: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

193

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

D. Daftar Pustaka

Atkinson, R.L dkk. (2008) alih Bahasa Widjaya Kusuma, editor Lyndon Saputra.

Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan Jilid 1,. Jakarta: Erlangga.

Brecht, G., (2000) Mengenal dan Menanggulangi Kekhawatiran, Jakarta: PT.

Prehallindo. (Grant)

Cooke, A., (2011) Situational Effect of Mathematics Anxiety in Pre-service Teacher

Education,

Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

DePorter, B., (2013) Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan

Menyenangkan, Bandung: Kaifa Learning.

Desmita, (2010) Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Dwirahayu, G., dkk (2013) The effect of explorative learning strategy toward

enhancement of students conceptual understanding on geometry.

Wudpecker Journal of Educational Research

Vol. 2(4), pp. 049 - 056, April 2013

Dwirahayu, G.,; Nursida, (2016) Mengembangkan Pembelajaran Matematika

dengan menggunakan Metode Permainan untuk Siswa Kelas 1 MI.

Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika Vol. 5, No.2,

Oktober 2016

Fausiah, F., & Widury, J., (2005) Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Jakarta: UI-

Press.

Indriyani, H.; Dwirahayu, G.; Afidah. (2016) Penerapan Pendekatan Brain

Based Learning untuk Mengurangi Kecemasan Siswa dalam

Pembelajaran Matematika. Jakarta: Jurusan Pendidikan

Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipublikasikan

Krismanto, (2003) Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran

Matematika. Yogyakarta:

Peker, M, (2009) Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology

Education: Pre- Service Teachers Teaching Anxiety about Mathematics

and Their Learning Styles.

King, L. A., (2010) Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta:

Salemba Humanika.

Page 209: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Gelar Dwirahayu, Afidah Mas’ud (2018) Mengurangi Kecemasan Matematika, hal. 175 - 194

194

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pranoto, I., (2008) Guru kunci utama atasi fobia matematika. Dapat diakses pada

http://p4tkmatematika.org/2008/11/guru-kunci-utama-atasi-fobia-

matematika/

Ruseffendi, 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan

CBSA. Bandung: Tarsito.

Satriawati, G., (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended untuk

meningkatkan Pemahaman dan kemampuan Komunikasi Matematika.

SMP, Algoritma Vol 1 No.1 juni. 2006

Sheffield, D. & Hunt, T, (2007) How does Anxiety Influence Maths Performance

and What Can We do About it.

Shimada, S dan Becker, J.P. (1997). The Open-Ended Approach: A New Proposal for

Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Theachers of

Mathematics.

Suherman, E., dan Sukjaya, Y., (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan

Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Supratiknya, A., (1995) Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: KANISIUS.

Uno, H.B., & Nurdin, M., (2011) Belajar dengan Pendekatan PAIKEM, Jakarta: PT.

Bumi Aksara.

Wakefield, J dan Velardi, L. (1995). Up – front Assessment: Using Open-Ended

Questions. Celebriting Mathematics Learning. Australia: The Mathematical

Association of Victoria.

Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.

(Jakarta:PT.Asdi Mahasatya, 2006), hal. 188

Wiramihardja, S.A., (2005) Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung : PT. Refika

Aditama.

Zakaria E dan Nordin N. M, (2008) Eurasia Journal of Mathematics, Science &

Technology Education: The Effects of Mathematics Anxiety on

Matriculation Student as Related to Motivation and Achievement

Page 210: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

195

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

MEDIA, MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN

Page 211: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

196

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengembangan dan Implementasi Program

Perkuliahan Vertebrata Berbasis Learning Object

dengan Sistem E- Learning di Program Studi

Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta

Baiq Hana Susanti

Pendidikan Biologi - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Latar belakang dari penelitian ini adalah adanya kenyataan bahwa di

dunia pendidikan, TIK telah menjadi bagian dari perubahan secara radikal

moda-moda penyampaian informasi termasuk dalam bidang pendidikan.

Oleh karena itu, program studi pendidikan biologi UIN harus mulai

mencoba merespon kemajuan tersebut dengan cara memulai

mengembangkan sistem perkuliahan yang berbasis TIK. Pengembangan

program perkuliahan yang paling mutakhir adalah e- learning yaitu salah

satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi

komunikasi dan informasi khususnya internet. Didalam perkuliahan

dengan sistem tersebut, learning object menjadi sangat penting dan

merupakan bagian yang paling utama. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengembangkan program perkuliahan Vertebrata berbasis

learning object yang akan di uji cobakan kedalam perkuliahan dengan

menggunakan sistem e-learning. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (Research &

Development) dengan menggunkan model ADDIE. Model ini terdiri atas 5

fase atau tahap utama yaitu 1) Analyze (analisis), 2) Design (Desain), 3)

Develop (Pengembangan), 4) Implement (Implementasi), 5) Evaluate

(Evaluasi). Dengan diaplikasikannnya program ini diharapkan mahasiswa

dapat menggunakan TIK sebagai sarana pembelajaran dan dapat

Page 212: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

197

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengembangkan bahan ajar yang berbasis TIK. Secara umum, prosedur

dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan yaitu tahap

perencanaan,pelaksanaan dan analisis data atau penyimpulan. Hasil

penelitian meliputi tanggapan mahasiswa terhadap aspek-aspek learning

object dengan sistem e-learning yang mencakup materi, desain media,

implementasi dan kualitas teknis. Lebih dari 70% mahasiswa menyatakan

bahwa materi yang diberikan mempunyai tingkat kesulitan yang sudah

sesuai, jelas dan mudah dipahami, menarik ketika disajikan dengan

menggunakan LO, dan sudah sesuai dengan perkembangan kurikulum.

Dari segi aspek desain media, lebih dari 70% mahasiswa menyatakan

bahwa desain media tersebut sudah rapih dan tampilan media LO

mempermudah dalam mendapatkan bagian-bagian dari isi materi.

Kemudian lebih dari 60% menyatakan bahwa komposisi warna LO sudah

menarik dan ukuran tampilan media LO dan teks yang disajikan sudah

seimbang. Tanggapan selanjutnya mengenai implementasi LO terkait

kemudahan penggunaannya. 75% mahasiswa menyatakan bahwa

Aplikasi LO mudah untuk digunakan. Tanggapan terakhir mengenai

kualitas teknis dari LO yang diberikan. 60% mahasiswa menyatakan

bahwa kualitas teks dan warna LO sudah baik dan sesuai dengan

kebutuhun materi. Selain itu, lebih dari 50% mahasiswa menyatakan

bahwa gambar, animasi, video, dan audio yang ditampilkan sudah cukup

baik.

Kata Kunci : Learning Object, Vertebrata, Research & Development, e-

learning, pengembangan bahan ajar

A. Pendahuluan

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah payung besar terminologi

yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan

informasi. TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi

komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan

proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi.

Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat

yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi

komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan.

Page 213: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

198

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selain itu, di era abad 21 atau era globalisasi ini perkembangan sains dan

teknologi sangat cepat. Setiap negara di dunia saling berlomba untuk memajukan

negaranya dengan meningkatkan kemampuan sains dan teknologinya. Negara

yang dapat berkuasa adalah negara yang dapat menguasai sains dan teknologi,

maka dari itu agar bangsa kita bisa bersaing secara global maka mutlak diperlukan

sumberdaya manusia yang literat (melek) sains dan teknologi (Sholihati, 2008).

Perubahan peradaban menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge

society) menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu

mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT

Literacy Skills). Masyarakat yang kuat dan unggul di era informasi adalah

masyarakat yang menguasai atau mengendalikan informasi, dan masyarakat yang

menguasai informasi adalah masyarakat yang menguasai TIK. Tanpa disertai

dengan tradisi belajar yang kuat, penguasaan TIK hanya akan memberikan

kesenangan, tidak memberikan ilmu pengetahuan. Dengan tradisi belajar yang

kuat, semua anggota masyarakat memiliki kemauan keras untuk belajar, selalu

siap untuk berubah (open minded), dan terus belajar sampai akhir hayat (life long

education) (Chaeruman, 2009).

Dengan demikian, penguasaan TIK merupakan syarat mutlak yang harus

dimiliki oleh masyarakat yang ingin memenangkan persaingan di kompetisi global.

Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan

komperatif dan kompetitif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, mampu bersaing, menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang

sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul

adalah melalui pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, TIK telah menjadi bagian dari perubahan secara

radikal moda-moda penyampaian informasi pendidikan, TIK dapat memainkan

peran kritis dalam mengkonstruksi pengetahuan dengan memungkinkan

membuat, mengelola, dan berbagi pengetahuan. Justru karena perannya dalam

memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan yang begitu signifikan, para

pendidik dan pengambil keputusan yang memanfaatkannya untuk mencapai

tujuan pendidikan harus mengenalkan kemungkinan dampak buruk yang

ditimbulkannya. Sistem pendidikan, baik formal maupun non-formal, merupakan

lembaga sosial yang kuat telah dimasuki dengan misi yang mengembangkan dan

mendorong perilaku-perilaku dan nilai-nilai yang diinginkan sekali oleh publik,

khususnya kaum muda. (Rosita dan Pribadi, 2005).

Page 214: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

199

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh karena itu, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah

satu perguruan tinggi negeri juga tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan

perkembangan TIK dalam menunjang dan meningkatkan kualitas proses belajar,

administrasi, dan berbagai aktivitas penunjang lainnya. Pembenahan

infrastruktur, pengembangan aplikasi untuk mendukung proses belajar mengajar

maupun untuk administrasi, serta pengembangan konten loka dilakukan secara

terus-menerus. Hal ini disebabkan karena Universitas Islam Syarif Hidayatullah

Jakarta dalam analisis SWOT nya menyebutkan bahwa salah satu kelemahan

institusinya adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk

bidang akademik yang belum optimal. Hal ini disebabkan masih terbatasnya

kompetensi penggunaan TIK di kalangan sivitas akademikanya. Sehingga salah

satu prioritas kebijakan pada tahun 2015-2016 adalah mengusahakan adanya

peningkatan penggunaan TIK dalam pembelajaran, dengan cara (1).

Meningkatkan kompetensi mengajar dosen dan belajar mahasiswa dengan

menyediakan layanan teaching skills bagi dosen dan learning skills bagi mahasiswa

(UIN Jakarta, 2015)

Salah satu Fakultas di lingkungan Universitas Islam Syarif Hidayatullah

Jakarta yang diharapkan dapat menjadi leader dalam pemanfaatan TIK adalah

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Fakultas ini adalah salah satu LPTK

yang bertugas untuk mencetak calon guru, sehingga mau tidak mau harus

mempersiapkan mahasiswanya menjadi calon-calon guru yang kreatif, yang dapat

meng-upgrade dirinya sehingga dapat melakukan inovasi-inovasi dalam proses

pembelajaran (Wahid, 2005).

Dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan TIK, LPTK harus mampu

mencetak guru sebagai tenaga professional. Hal ini disebakan tuntutan guru di

era globalisasi semakin berat. Ketrampilan guru dalam menggunakan TIK sebagai

sumber belajar dan kemampuan guru dalam mengembangkan bahan ajar berbasis

TIK harus dilatih dan dikembangkan sejak para guru masih dalam masa pendidikan

di LPTK. Salah satu caranya memperkenalkan mereka kepada pembelajaran yang

memiliki multi akses atau multi sumber, yang tidak hanya memanfaatkan sumber

belajar konvensional tapi juga yang berbasis TIK. Hal ini menjadi tanggung jawab

pihak LPTK untuk memberi pendidikan kepada calon guru bagaimana untuk

menerima TIK dan mampu menggunakan TIK dalam proses pembelajaran.

Pengembangan program perkuliahan yang paling mutakhir adalah e-

learning yaitu salah satu model pembelajaran dengan menggunakan media

teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. E-learning merupakan

Page 215: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

200

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

istilah populer dalam pembelajaran online berbasis internet dan intranet.

Teknologi e-learning ini merupakan sebuah teknologi yang dijembatani oleh

teknologi internet, membutuhkan sebuah media untuk dapat menampilkan

materi-materi khusus dan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan fasilitas

komunikasi untuk dapat saling bertukar informasi antara peserta dengan pengajar

(Purbo, 2002).

Pengertian tentang e-learning saat ini sebagian besar mengacu pada

pembelajaran yang menggunakan teknologi internet. Seperti pengertian dari

Rosenberg (2001 dalam Purbo (2002), yang menekankan bahwa e-learning

merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian

solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini senada

dengan Campbell (2002), yang intinya menggunakan media internet dalam

pendidikan sebagai hakikat e-learning. Bahkan Purbo (2002) menjelaskan bahwa

istilah e atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai

istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha

pengajaran lewat teknologi internet.

Menurut Purbo (2002), e-learning telah menjadi trend pembelajaran abad

21. Bidang ini merupakan peluang tersendiri bagi para pengajar. Dari sisi kawasan

pengembangan, pengajar dapat berperan sebagai pengembang e-learning content

atau lebih dikenal sebagai learning object (baik yang bersifat text-based maupun

multimedia-based). Dari sisi pengelolaan, pengajar berperan dalam mengelola e-

learning baik dalam institusi sekolah maupun perusahaan. New Media Consortium

(NMC) sebagai bagian dari pemrakarsa learning object mendefinisikan learning

object sebagai setiap kumpulan materi yang terstruktur secara berarti dan terikat

ke dalam suatu tujuan pembelajaran. Materi-materi tersebut dapat berupa

dokumen, gambar, simulasi, video, audio, dan sebagainya

Berdasarkan definisi yang diadaptasi dari Wisconsin Online Resource Center,

Wiley (2000) menyatakan bahwa learning object memiliki beberapa karakteristik,

diantaranya: (1). Learning object adalah cara baru berpikir tentang isi

pembelajaran. Biasanya isi pembelajaran terdiri dari bagian-bagian yang

menghabiskan waktu beberapa jam, tetapi learning object adalah bagian yang

lebih kecil dari belajar, biasanya berkisar dua hingga lima belas menit, (2).

Learning object bersifat bebas; setiap learning object dapat digunakan secara

bebas untuk tujuan yang berbeda, (3). Dapat dikelompokkan; setiap learning

object dapat dikelompokkan ke dalam bagian-bagian isi yang lebih besar,

termasuk struktur pembelajaran tradisional, (4). Dapat di tandai (tag) dengan

Page 216: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

201

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

metadata; setiap learning object memiliki informasi deskriptif yang memudahkan

ketika dicari kembali.

Potensi teknologi ini sangat menarik untuk di coba dan di manfaatkan

dalam perkuliahan. Salah satu program studi yang berminat untuk

mengembangkan learning object ini adalah Program Studi Pendidikan Biologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berdasarkan hasil pengamatan beberapa tahun di program studi ini

beberapa matakuliah seperti: Zoologi Vertebrata, Zoologi Avertebrata, Fisiologi

Hewan dan Fisiologi Perkembangan merupakan mata kuliah yang sulit di pahami

mahasiswa. Kesulitan para mahasiswa ini dapat dilihat dari hasil ujian mahasiswa

yang umumnya selalu lebih rendah dibandingkan mata kuliah lain (Anonim, 2015).

Umumnya permasalahan ini disebabkaan karena (1). Penggunaan model

pembelajaran yang di dominasi ceramah dan diskusi kurang tepat,sehingga

menimbulkan kejenuhan pada mahasiswa, (2). Bahan ajar yang digunakan belum

sesuai kebutuhan;(3) Daya dukung pengembangan kreativfitas terkait dengan

perkembangan sains dan teknologi kurang memadai (Ulfah, 2013 dalam Widowati

dan Pratiwi, 2015). Selain itu, kesulitan ini disebabkan juga karena ruang lingkup

materi yang cukup luas, yaitu sejarah, morfologi dan anatomi, struktur dan fungsi

serta ekologi dari hewan hewan vertebrata. Sebagian materi tersebut secara

nyata memang dapat di indra dan diamati langsung oleh mahasiswa, tetapi

sebagian materi bersifat abstrak dan tidak dapat di amati langsung oleh

mahasiswa.

Khusus di program studi Pendidikan Biologi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,

hal ini disebabkan pula oleh sarana dan prasana perkuliahan yang kurang

memadai, seperti jumlah lokal untuk perkuliahan yang tersedia saat ini dirasa

kurang, karena hanya berjumlah 5 kelas, yang dimanfaatkan untuk perkuliahan

juga oleh 2 (dua ) program studi lain. Jumlah laboratorium yang saat ini hanya

berjumlah 2 ruang menyebabkan penggunaan ruang yang sangat tinggi, sehingga

praktikum tidak berjalan maksimal.

Oleh karena itulah, maka perlu adanya ujicoba sistem perkuliahan yang

dapat meminimalir penggunaan ruang kuliah (e-learning), memanfaatkan

teknologi informasi terkini (multi media), dapat diakses oleh mahasiswa kapan

dan dimana saja, serta dapat melatih mahasiswa menggunakan berbagai sumber

belajar yang tersedia secara online di internet.

Pada penelitian ini learning object yang akan dikembangkan merupakan

program perkuliahan terpadu yang memiliki tahapan-tahapan belajar yang

Page 217: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

202

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terkontrol, menggunakan multimedia interaktif antara lain audio, video, dan

aplikasi lain yang memiliki standar dari SCORM. Learning object ini akan

dikembangkan untuk digunakan dalam perkuliahan Vertebrata, yang merupakan

perkuliahan dengan beban sebanyak 3 SKS yang terdiri dari 2 SKS tatap muka di

kelas dan 1 SKS praktikum di laboratorium. Learning object yang dikembangkan

akan dipergunakan pada saat tatap muka di kelas, sedangkan untuk praktikum

Vertebrata akan dilakukan di laboratorium setelah perkuliahan. Selanjutnya

Learning object ini akan diintegrasikan dengan menggunakan learning

management system (LMS) Modular Object Oriented Dynamic Learning

Environment (Moodle) untuk menciptakan dan mengelola tautan antar objek

pembelajaran.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dibuat satu rumusan masalah

yaitu Bagaimanakah Pengembangan dan Implementasi Program Perkuliahan

Vertebrata berbasis Learning Object dengan system E-Learning di program studi

pendidikan biologi FITK UIN Jakarta?. Secara umum tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengembangkan program perkuliahan Vertebrata berbasis learning

object dan melihat respons masiswa terhadap perkulihan vertebrata. Penelitian ini

diharapkan dapat memberikan tambahan pengembangan khazanah ilmu

pengetahuan khususnya perkuliahan Vertebrata dalam proses belajar mengajar di

perguruan tinggi, dan memberikan informasi tentang pengembangan dan

implementasi learning object dalam proses perkuliahan Vertebrata.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan disebuah LPTK di Jakarta, yang memiliki program

studi Pendidikan Biologi yang mendidik mahasiswa calon guru Biologi SMA/MA.

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program studi pendidikan Biologi yang

pada saat implementasi perkuliahan ini mengambil mata kuliah Vertebrata

berjumlah 55 orang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan

pengembangan (Research & Development) yang merupakan perbatasan dari

pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan terutama untuk menjembatani antara

penelitian dan praktek pendidikan (Semiawan, 2007).

Menurut Gay (1990), penelitian pengembangan merupakan suatu usaha

untuk mengembangkan suatu produk yang efektif untuk digunakan sekolah, dan

bukan untuk menguji teoi. Sedangkan menurut Borg & Gall (1983), penelitian dan

pengembagan merupakan suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan

memvalidasi produk pendidikan. Prosedur penelitian pengembangan terdiri atas

Page 218: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

203

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dua tahap yaitu mengembangkan produk model dan menguji kualitas dan atau

efektifitas produk dihasilkan (Sukarjo dan Lis Permana Sari, 2009). Dalam

penelitian pengembangan dikenal salah satu pengembangan yaitu model ADDIE.

Model Pengembangan ADDIE merupakan model desain pembelajaran yang

berlandaskan pada pendekatan system yang efektif dan efisien serta prosesnya

yang bersifat interaktif yakni hasil evaluasi setiap fase dapat membawa

pengembangan pembelajaran ke fase selanjutnya. Hasil akhir dari suatu fase

merupakan produk awa bagi fase berikutnya. Model ini terdiri atas 5 fase atau

tahap utama yaitu 1) Analyze (analisis), 2) Design (Desain), 3) Develop

(Pengembangan), 4) Implement (Implementasi), 5) Evaluate (Evaluasi) (Reyzal

Ibrahim, 2011).

Tahapan – tahapan pengembangan dalam penelitian ini menggunakan

model ADDIE (Chaeruman,2008), dengan langkah langkah sebagai berikut :tahap

analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi.

Tahap pertama adalah tahap analisis. Pada tahap ini dilakukan kegiatan

analisis materi perkuliahan vertebrate dan analisis kesiapan mahasiswa mengikuti

perkuliahan berbasis Learning Object. Analisis materi ini ditujukan untuk memilih,

menetapkan,merinci dan menyusun materi secara sistematis sesuai dengan

indikator yang akan dicapai dalam perkuliahan ini. Sedangkan analisis tentang

kesiapan mahasiswa meliputi ketersediaan hardware dan software dan

kemampuan mahasiswa dalam mengoperasikan beberapa aplikasi dasar

komputer. Kemudian dilakukan pula analisis sarana dan prasarana yang

dibutuhkan untuk menjalankan perkuliahan berbasis learning object dengan

system e learning. Tahap desain atau dikenal juga dengan istilah membuat

rancangan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mendesain peta

program berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan. Peta program ini

meliputi seluruh kelas dalam vetebrata yaitu: kelas chordata, pisces, amphibi,

reptil, aves dan mamalia.

Tahap selanjutnya adalah tahap pengembangan. Tahap ini diawali dengan

mengembangkan learning object menggunakan Moodle 2.6.3. yang berstandar

SCORM. Moodle merupakan singkatan dari Modular Object-Oriented Dynamic

Learning Environment yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan

model berorientasi objek. Dalam penyediaannya Moodle memberikan paket

software yang lengkap yang dapat di download secara gratis. Dalam

pengembangan ini di susun berdasarkan peta program yang sudah di validasi.

Learning object ini dapat dilihat di sub domain : moodle.hanasusanti.com

Page 219: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

204

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahap selanjutnya adalah tahap validasi, pada tahap ini prototype yang

dihasilkan divalidasi oleh dua orang ahli terdiri ahli konten dan ahli TIK. Hasil

validasi yang didapatkan kemudian dianalisis dan dipakai sebagai bahan revisi

prototype tersebut. Selain itu, dilakukan pula ujicoba terbatas pada mahasiswa

sebanyak 10 orang. Setelah uji coba dilaksanakan, dilakukan diskusi hasil uji coba

untuk lebih menyempurnakan pelaksanaan perkuliahan vertebrata berbasis

learning object. Data yang terkumpul pada tahap ini akan dianalisis, dilakukan

revisi dan melakukan interpretasi data untuk menentukan kesimpulan uji coba

terbatas tersebut. Setelah tahap validasi, selanjutnya dilakukan tahap

implementasi. Tahap ini merupakan langkah nyata untuk menerapkan system

perkuliahan vertebrata dengan menggunakan learning object dengan system e-

learning. Implementasi dilaksankan selama satu semester, dengan 14 kali

pertemuan. Setiap pertemuan dilaksanakan selama 100 menit (2x50) menit.

Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Pada tahap ini peneliti memberikan

angket untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap proses perkuliahan dan

keterpakaian learning object untuk perkuliahan

Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah angket dan lembar

validasi. Angket digunakan untuk mengukur beberapa hal yaitu kesiapan

mahasiswa mengikuti perkuliahan vertebrata berbasis learning object dengan

sistem e-learning, kelayakan pemakaian learning object vertebrata untuk

perkuliahan, dan respon atau tanggapan mahasiswa terhadap perkuliahan.

Semua angket yang diberikan berupa angket tertutup. Angket tertutup yaitu

angket yang alternatif jawabannya sudah diberikan oleh peneliti, sehingga

responden tidak memiliki keleluasaan untuk menyampaikan jawaban yang

diberikan kepadanya. Selain itu, digunakan pula lembar validasi yang digunakan

untuk mengetahui kelayakan learning object hasil pengembangan sebelum

digunakan. Lembar validasi ini akan diberikan kepada ahli sebanyak 2 orang.

Beberapa hal yang akan di nilai adalah kelayakan isi, kelayakan penyajian dan

kelayakan bahasa.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Pengembangan program perkuliahan ini diawali dengan tahap analisis.

Pada tahap ini peneliti melakukan analisis terhadap materi perkuliahan

vertebrata. Kegiatan ini ditujukan untuk memilih, menetapkan, merinci dan

menyusun materi secara sistematis sesuai dengan indikator yang akan dicapai

Page 220: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

205

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam perkuliahan. Analisis selanjutnya adalah analisis kesiapan mahasiswa untuk

mengikuti perkuliahan berbasis learning object. Hasil dari analisis ini terbagi

menjadi beberapa bagian yaitu ketersediaan hardware dan jaringan internet,

kemampuan menggunakan aplikasi dasar komputer, dan kemampuan mengakses

sosial media. Analisis tersebut dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 berikut:

Gambar 1. Diagram Kepemilikan Hardware

Mahasiwa

Gambar 2. Diagram Persentase

Jaringan Internet yang digunakan Mahasiswa

Berdasarkan data pada Gambar 2, setiap mahasiswa sudah memiliki akses

jaringan internet. Hal ini terlihat dari persentase kepemilikan jaringan tersebut.

Gambar 3. Diagram Kemampuan

Mahasiswa Menggunakan Aplikasi Dasar

Office

Gambar 4. Kemampuan Mahasiswa

Menggunakan Aplikasi Dasar Browser

Kemudian dilakukan analisis tentang aplikasi dasar yaitu office dan browser

yang dikuasai oleh mahasiswa. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 3

Page 221: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

206

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan Gambar 4. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa

mahasiswa sudah menguasai aplikasi dasar yang dibutuhkan. Analisis selanjutnya

yang dilakukan adalah analisis terhadap kemampuan mahasiswa menggunakan

social media. Hasil tersebut digambarkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Kemampuan Mahasiswa Menggunakan Social Media

Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 5, terlihat bahwa hampir semua

mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengakses social media. Hal ini terlihat

dari persentase yang ditunjukkan.

Sealnjutnya dilakukan tahap desain. Pada tahap ini, program perkuliahan

berbasis learning object adalah bahan ajar berbentuk digital yang digunakan

dalam perkuliahan. Keunggulan learning object digital adalah kemudahannya

untuk disunting, diproduksi, dan dihantarkan melalui media telekomunikasi. Oleh

karena itu, konsep usability (keterpakaian suatu objek ajar dalam konteks

pembelajaran topik atau bidang lain) dapat dikenalkan sebagai salah satu

karakteristik penting suatu learning object. Program ini memiliki beberapa fitur

yaitu assignment, chat, choices, forums, quizzes, dan scrom/AICC packages.

Assigment merupakan fitur yang memungkinkan dosen untuk dapat

memberikan tugas yang mengharuskan mahasiswa mengirim (upload) konten

digital, misalnya essay, proyek, laporan, lain-lain. Jenis file yang dikirim misalnya

documents, spreadsheet, images, audio and video clips. Selanjutnya dosen dapat

melihat dan menilai tugas yang dikirim oleh mahasiswa. Fitur ini dinamakan tugas

mandiri dalam program perkuliahan Vertebrata yang dikembangkan.

Page 222: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

207

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fitur selanjutnya adalah fitur Chat, fitur ini memungkinkan setiap peserta

dan dosen dapat berdiskusi secara realtime melalui web. Selain itu, terdapat juga

fitur yang memungkin aktivitas tanya jawab sederhana, dimana seorang dosen

memberikan pertanyaan dan memberikan pilihan jawaban kepada mahasiswa.

Aktivitas ini dapat digunakan juga sebagai polling untuk merangsang daya pikir

terhadap suatu topik. Fitur ini disebut dengan fitur choices. Selanjutnya adalah

fitur forum yang memungkinkan interaksi yang dilakukan secara asinkron dan

harus sesuai dengan topik yang diberikan oleh dosen. Dalam program perkuliahan

Vertebrata yang dikembangkan, fitur chat, choices, dan forum disatukan dalam

forum diskusi. Forum diskusi ini didesain untuk menstimulus mahasiswa

berdiskusi mengenai topik-topik yang berkaitan dengan materi yang sedang

dipelajari.

Fitur selanjutnya adalah fitur lesson yang memungkinan dosen dapat

membuat aktivitas yang berisi konten yang menarik dan fleksibel. Lesson terbagi

menjadi beberapa halaman dan diakhir setiap halaman biasanya terdapat

pertanyaan yang memiliki beberapa jawaban. Jawaban yang dipilih mahasiswa

akan menentukan halaman mana yang akan diaksesnya. Fitur ini dan fitur scrom

kemudian dikembangkan menjadi fitur materi dalam program perkuliahan

Vertebrata berbasis learning object. Fitur scrom memungkinkan dosen untuk

dapat membuat paket yang berisi halaman web, grafis, program javascript, slide

presentasi Flash, video, suara, dan konten apapun yang dapat dibuka dengan web

browser. Paket ini juga diintegrasikan kumpulan soal yang bila diperlukan dapat

dinilai dan kemudian dimasukkan dalam raport Student.

Pada program ini dosen dapat mendesain kumpulan soal, yang berisi

multiple choice, true false, dan jawaban singkat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut

akan disimpan dalam bank soal yang dapat dikategorikan dan digunakan ulang.

Fitur ini disebut quizzes dan dinamakan fitur tes formatif/ kuis pada program

perkuliahan Vertebrata yang digunakan.

Program perkuliahan yang dikembangkan sebelumnya dirancang dalam

bentuk peta program. Peta program yang sudah disusun kemudian dituangkan

dalam bentuk learning object dengan domain www.moodle.hanasusanti.com.

Tampilan awal pada learning object yang dikembangkan memuat beberapa

menu seperti pengenalan halaman, pilihan bahasa, login, pendahuluan, pilihan

materi, tentang website, panduan kelas maya, dosen dan mahasiswa (Gambar 6),

selain itu menu awal pada learning object ini memuat juga menu, kalender, online

user, main menu, dan pengunjung (Gambar 7). Menu pengenalan website

Page 223: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

208

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berisikan nama mata kuliah dan nama dosen pengampu mata kuliah yang dibuat

guna menunjukkan identitas mata kuliah yang nantinya akan diajarkan melalui

program perkuliahan Vertebrata berbasis learning object.

Menu pilihan bahasa memungkinkan pengguna untuk memilih bahasa yang

hendak digunakan. Terdapat dua pilihan bahasa yaitu bahasa Indonesia dan

bahasa Inggris. Bagian samping kiri dari fitur pilihan bahasa terdapat fitur pilihan

materi dan login.

Menu login memungkinkan pengguna untuk dapat masuk ke dalam

halaman selanjutnya pada learning object. User (pengguna) yang ingin membaca

dan belajar dengan menggunakan learning object harus terlebih dahulu masuk

melalui menu ini. Agar dapat login, pengguna harus terlebih dahulu memasukkan

username dan password. Username dan password dalam mata kuliah ini adalah

nomor induk mahasiswa (NIM). Untuk password sendiri dapat diubah oleh

mahasiswa setelah melakukan login untuk pertama kali. Pada halaman awal,

menu login terdapat pada dua bagian yaitu bagian kanan atas (Gambar 6) dan

bagian kanan bawah (Gambar 7).

Gambar 6. Tampilan Awal

Learning Object Bagian Atas

Gambar 7. Tampilan Awal Learning Object

Bagian Bawah

Setelah menu login, pilihan materi dan pilihan bahasa, bagian tengah dari

halaman awal terdapat menu pendahuluan. Menu ini berisikan panduan awal

sebelum melakukan perkuliahan berbasis learning object. Bagian selanjutnya

adalah bagian bawah dari halaman awal. Pada bagian ini terdapat menu tentang

website, panduan kelas maya, dosen dan mahasiswa, kalender, online user, main

menu, dan pengunjung (Gambar 7).

Page 224: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

209

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menu tentang website menunjukkan kepada pengguna tentang identitas

website yang digunakan dalam learning object secara umum. Hal ini diharapkan

dapat memberikan gambaran kepada pengguna tentang website tesebut. Menu

selanjutnya adalah panduan kelas maya. Menu ini berisikan aturan-aturan

perkuliahan Vertebrata yang nantinya akan dilakukan oleh pengguna yang dalam

hal ini adalah mahasiswa. Untuk mengetahui nama-nama mahasiswa yang

diperbolehkan mengikuti perkuliahan kelas maya ini, terdapat menu dosen dan

mahasiswa. Menu ini berisikan semua nama mahasiswa yang telah melakukan

tanda tangan kontrak perkuliahan Vertebrata dan nama dosen pengampuh mata

kuliah. Menu selanjutnya dalam bagian bawah tampilan awal adalah menu

kalender, pengguna online, main menu dan pengunjung. Menu kalender berisikan

tanggal-tanggal penting dalam perkuliahan berbasis learning object. Tanggal

penting dalam hal ini adalah tanggal dimana mahasiswa melakukan tahap-tahap

pembelajaran, seperti tanggal melakukan diskusi, mengumpulkan tugas mandiri,

dan melakukan kuis.

Selanjutnya adalah menu pengguna online (Gambar 7). Menu pengguna

online adalah menu yang menunjukkan nama-nama pengguna yang sedang aktif

(login) di dalam learning object, termasuk di dalamnya dosen pengampu mata

kuliah. Dengan adanya menu ini, dosen dapat mengetahui mahasiswa mana saja

yang sudah masuk ke dalam kelas dan mana yang belum. Dosen juga dapat

mengecek kehadiran dengan memperhatikan menu online user ini. Selain itu,

mahasiwa juga dapat melihat apakah dosen mereka sudah berada di dalam kelas

online atau belum.

Pada bagian atas dari menu online user terdapat menu utama. Menu ini

dapat digunakan untuk melakukan video conference kepada setiap anggota kelas.

Jadi dengan adanya menu ini, mahasiswa dapat bertanya langsung pada dosen

atau teman satu kelasnya dengan melakukan videocall. Menu terakhir pada

halaman awal ini adalah menu pengunjung. Menu ini memungkinkan user untuk

melihat negara mana saja yang sudah mengunjungi website pembelajaran online.

Page 225: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

210

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 8. Tampilan Menu Learning Object

Bagian Atas

Gambar 9. Tampilan Menu Learning Object

Bagian Bawah

Setelah melakukan login, pengguna selanjutnya masuk ke dalam menu

learning object. Menu yang belum aktif sebelum login, akan aktif setelah

pengguna memasukan username dan password. Setelah login, pengguna akan

disambut dengan gambar animasi (Gambar 8) yang menunjukkan urutan tata cara

perkuliahan. Pada bagian samping dari fitur-fitur dalam menu materi, terdapat

menu administration. Menu ini berisi hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan

website, termasuk unggahan materi, penilaian, soal, dsb. Selanjutnya pengguna

dapat memilih materi yang menjadi materi perkuliahan online sesuai dengan

jadwal yang telah ditentukan.

Menu pertama dalam menu materi yang akan dilihat adalah menu

pendahuluan (Gambar 10). Menu ini berisikan pendahuluan tentang materi yang

akan dipelajari oleh pengguna mahasiswa. Asal-usul dari kelas Vertebrata yang

dipelajari secara umum, termasuk di dalamnya ciri-ciri umum, evolusi awal, dan

sebagainya dimasukkan dalam menu pendahuluan. Selanjutnya adalah menu

materi itu sendiri, pada menu ini terdapat konsep-konsep yang berkaitan dengan

kelas Vertebrata yang dibahas. Contohnya pada kelas mamalia, akan dibahas

mengenai ciri-ciri, contoh, habitat, klasifikasi, dan sebagainya. Menu materi ini

diperkuat dengan gambar, video, teks, powerpoint, dan lain-lain guna menunjang

pembelajaran yang dapat dengan mudah diterima oleh mahasiswa walaupun

tanpa adanya perkuliahan secara tatap muka. Sebagai contoh pada Gambar 11

adalah tampilan materi learning object dengan memanfaatkan teks dan gambar.

Page 226: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

211

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 10. Tampilan Menu Pendahuluan

Gambar 11. Contoh Tampilan Teks dan Gambar Pada Materi Learning Object

Menu ketiga dalam program perkuliahan ini adalah menu forum diskusi

(Gambar 12). Menu ini memungkinkan mahasiswa untuk dapat berdiskusi dengan

dosen ataupun dengan teman sekelasnya. Diskusi online ini telah terjadwal

waktunya sesuai dengan lamanya penjelasan materi tentang kelas Vertebrata

yang dipelajari. Forum diskusi ini dibentuk supaya mahasiwa dapat berpikir lebih

kritis tentang materi pada kelas-kelas Vertebrata yang sedang dipelajari. Hal ini

dikarenakan, bahan diskusi pada pedoman diskusi merupakan isu-isu terbaru

mengenai kelas-kelas Vertebrata tersebut.

Page 227: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

212

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menu selanjutnya adalah menu tes formatif (Gambar 13). Pada menu ini

terdapat soal-soal tentang kelas-kelas Vertebrata yang sedang dipelajari. Soal tes

formatif disajikan dalam bentuk pilihan ganda. Mahasiswa diberi waktu 30 menit

untuk menjawab soal yang diberikan. Nilai mahasiswa akan segera keluar dan

mereka ketahui setelah selesai melakukan tes ini.

Gambar 12. Tampilan Forum Diskusi

Gambar 13. Tampilan Tes Formatif

Gambar 14. Contoh Penugasan Tugas Mandiri

Selain pembelajaran di dalam kelas online, mahasiswa juga dituntut untuk

melakukan praktikum supaya menambah pengetahuan tentang kelas-kelas

Page 228: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

213

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Vertebrata yang sedang dipelajari. Tugas mandiri dapat dilihat pada gambar 14.

Praktikum yang dilaksanakan lebih menekankan bagaimana mahasiswa dapat

mengetahui bagian-bagian tubuh dari hewan sampel yang digunakan secara

anatomi, morfologi, dan fisiologinya. Akan tetapi, praktikum tersebut tetap

menggunakan learning object sebagai panduan. Dalam hal ini, learning object

menyajikan menu tugas mandiri. Tugas mandiri ini berisikan panduan praktikum

mahasiswa. Setelah melakukan praktikum, mahasiswa juga diwajibkan untuk

mengunggah hasil praktikum yang telah dilaksanakan dalam bentuk file. Laporan

hasil praktikum tersebut kemudian dinilai oleh dosen.

Tahap yang dilakukan selanjutnya adalah tahap validasi. Peta program,

software dan instrumen penelitian yang telah disusun dinamakan prototype.

Selanjutnya prototipe ini divalidasi oleh beberapa validator dan pakar/ahli. Hasil

validasi oleh pakar diantaranya adalah perbaikan pada sistematika interaktif,

interface (antarmuka) disesuaikan dengan tingkatan usia mahasiswa, navigasi

program harus di reposisi sehingga lebih mudah di akses. Dari segi konten

perbaikan yang diharus dilakukan adalah penyesuaian learning point dengan

penggunaan gambar, teks, animasi dan video. Setelah dilakukan revisi terhadap

prototype tersebut, maka dilakukan uji coba terbatas. Uji coba dilakukan didalam

laboratorium komputer dengan jumlah mahasiswa 10 orang yang merupakan

mahasiswa program studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Hasil uji coba terbatas menyangkut hal-hal sebagai berikut

yaitu materi perkuliahan, tampilan learning object, tugas online, dan interaksi

pembelajaran. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa materi isi perkuliahan

sudah sesuai dengan Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD).

Tampilan learning object dinilai masih terlalu sederhana dan kurang menarik bagi

mahasiwa, demikian pula dengan tugas online dan interaksi pembelajaran. Data

yang terkumpul pada tahap ini dianalisis, dilakukan revisi dan dilakukan

penyempurnaan terutama pada tampilan learning object, tugas online dan

interaksi pembelajaran, sampai learning object tersebut dapat diimplementasikan

secara lebih luas. Hasil uji coba terbatas menunjukkan bahwa pengembangan

learning object sudah dapat diujicobakan secara lebih luas.

Tahap selanjutnya adalah tahap implementasi, pada tahap ini dilakukan

perkuliahan dengan menggunakan program berbasis learning object yang sudah

dikembangkan. Implementasi perkuliahan dilakukan sebanyak 16 kali pertemuan

dengan jadwal sebagai berikut:

Page 229: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

214

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 15. Jumlah Pertemuan dan Kegiatan Perkuliahan Vertebrata

Aspek materi yang disajikan pada learning object terdiri dari beberapa

komponen yaitu kesulitan, kejelasan, kemenarikan dan keterkinian. Berdasarkan

hasil pengamatan (Gambar 15) 76.97% mahasiswa menyatakan bahwa materi

yang disajikan pada learning object tersebut tidak terlalu sulit atau tidak terlalu

mudah. Hal ini mengindikasikan bahwa materi yang diberikan memiliki tingkat

kesulitan yang sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

Gambar 16. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Materi pada

Learning Object

Selain itu, hampir sama dengan komponen kesulitan materi, komponen-

komponen lain seperti kejelasan, kemenarikan, dan keterkinian materi juga

mendapatkan respon positif diatas 70%. Komponen kejelasan materi membuat

Page 230: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

215

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

100 % mahasiswa sepakat bahwa materi yang diberikan dalam learning object

sudah sangat jelas dan sangat mudah dipahami. Kemudian untuk komponen

kemenarikan dan keterkinian materi, masing-masing mendapatkan respons

sebesar 72.73% dan 86.36%. Hal ini menunjukkan bahwa materi yang disajikan

menggunakan learning object menarik dan uptodate sesuai dengan

perkembangan kurikulum.

Aspek selanjutnya adalah aspek desain media. Aspek desain media terdiri

dari empat komponen yaitu tampilan media untuk mengakses bagian-bagian isi

materi, kemarikan komposisi learning object, keseimbangan ukuran tampilan

media learning object dan teks yang disajikan, serta kesederhanaan. Bedasarkan

hasil pengamatan 77,27% mahasiswa menyatakan bahwa tampilan learning object

mempermudah dalam mendapatkan bagian-bagian dari isi materi. Sementara itu

94.45% mahasiswa menyatakan bahwa desain media yang ditampilkan dalam

learning object sudah rapih. Kemudian, masing-masing 68.19% mahasiswa

menyatakan bahwa komposisi warna tampilan learning object sudah seimbang

dan ukuran tampilan media learning object dan teks yang disajikan sudah

seimbang. Data hasil pengamatan mengenai aspek desain media dapat dilihat

pada Gambar 16.

Gambar 17. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Desain

Media pada Learning Object

Page 231: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

216

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Aspek selanjutnya yang diamati adalah aspek implementasi. Pada aspek ini

hanya terdapat satu komponen yaitu kemudahan penggunaan. Berdasarkan hasil

penelitian 77.28% mahasiwa menyatakan bahwa aplikasi learning object mudah

untuk digunakan.

Aspek terakhir yang diamati dalam penelitian ini adalah aspek kualitas

teknis yang digunakan dalam learning object. Pada aspek ini terdapat beberapa

komponen yaitu gambar, teks, warna, animasi, audio, dan video. Hasil penelitian

mengenai aspek kualitas teknis ini dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 18. Diagram Respon Mahasiswa Terhadap Aspek Kualitas Teknis

pada Learning Object

Berdasarkan data pada Gambar 18, diatas 60% mahasiswa menyatakan

bahwa kualitas Teks dan warna yang ditampilkan pada learning object sudah baik,

sedangkan sisanya menyatakan bahwa kualitas teks dan warna tersebut sudah

cukup baik. Kemudian, diatas 25% mahasiwa menyatatakan bahwa kualitas teknik

untuk gambar, animasi, audio dan video sudah baik. Sementara sisanya diatas

50% menyatakan bahwa kualitasnya sudah cukup baik. Respon terendah untuk

kualitas yang baik, terjadi pada komponen video. Oleh sebab itu, komponen ini

mendapat perbaikan, sama halnya dengan komponen lainnya yang juga butuh

perbaikan seperti komponen gambar, animasi, dan audio.

Hasil pengamatan yang didapatkan dari setiap respon terhadap

pengembangan dan implementasi learning object menginformasikan bahwa

setiap aspek mendapatkan respon antara baik dan cukup baik. Hal ini

Page 232: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

217

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengindikasikan bahwa pengembangan program pengajaran vertebrata berbasis

learning object dengan sistem e-learning dapat dilakukan dengan baik.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulan beberapa hal yaitu:

a. Perkuliahan vertebrata dapat dikemas dan disajikan menggunakan learning

object sehingga proses perkuliahan menjadi lebih menarik.

b. Respon mahasiswa terhadap materi yang disajikan termasuk kedalam

kategori sangat baik, pada aspek desain masuk pada kategori baik, dan aspek

kualitas teknis secara umum masuk kedalam kategori cukup.

E. Daftar Pustaka

Anonim. 2015. Laporan hasil Evaluasi perkuliahan Zoologi Vertebrata tahun

Ajaran 2014/2015. Laporan hasil Evaluasi Dosen. Jurusan Pendidikan IPA

FITK UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipublikasikan.

Borg and Gall (1983), Educational Reseach, An Introduction. New York and

London, Longman Inc.

Campbell, A. (2002). A mind of her own: The Evolutionary Psychology of Women.

Oxford: Oxford University Press. (Second Edition due 2012).

Chaeruman. (2008). Mengembangkan Sistem Pembelajaran dengan Model ADDIE.

Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.

Chaeruman. A. Uwes. 2009. Pembelajaran Interaktif Dengan Memanfaatkan

Aneka Sumber Belajar. Pusat Teknologi Komunikasi Departemen

Pendidikan Nasional . Jakarta: Kemdiknas.

Gay, L.R. (1991). Educational Evaluation and Measurement: Competencies for

Analysis and Application. Second edition. New York: Macmillan Publishing

Compan.

Purbo,W.O. (2002). Teknologi E-Learning. Jakarta: Elex Media Computindo.

Reyzal Ibrahim. (2011). Model Pengembangan ADDIE, diakses melalui

http://jurnalpdf.info/pdf/model-pengembangan-addie.html diakses

tanggal 2 Maret 2012 jam 10.15 WIB.

Rosita dan Pribadi,T. (2005). Prospek Komputer sebagai Media Pembelajaran

Interaktif dalam Sistem Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. Universitas

Terbuka (online) tersedia: http://www.teknologipembelajaran.net. (23

September 2011).

Page 233: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Baiq Hana Susanti (2018) Pengembangan dan Implementasi, hal. 196 - 218

218

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Semiawan. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Sholihati, E.R. (2008). Cooperative Learning Analisis Model Pembelajaran IPS.

Jakarta. Bumi Aksara.

Sukardjo dan Lis Permana Sari. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan Kimia.

Yogyakarta: FMIPA UNY.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015. Rencana Strategis

2015-2016 . UIN Jakarta (online) tersedia http//www.uinjkt.ac .id (5

Februari 2016).

Wahid, F. (2005). Peran Teknologi Informasi dalam Modernisasi Pendidikan

Bangsa. Disampaikan dalam Simposium Nasional Peduli Pendidikan yang

Diselenggarakan oleh pendidikan @yahoogroups.com di UII Yogyakarta.

Widowati, H., dan Dasrieni Pratiwi. 2015. Peninjauan Instrumen Penilaian

Otentik Mahasiswa dalam perkuliahan sebagai Upaya Penyiapan Generasi

Unggul yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan

Biologi tahun 2015. Program Studi pendidikan Biologi FKIP Universitas

Muhammadaiyah Malang. Tidak diterbitkan.

Wiley, D.A. (2000). Learning Object Design and Sequencing Theory. Disertasi.

Brigham Young Universi

Page 234: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

219

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Peningkatan Literasi dan Disposisi Matematis Siswa

Sekolah Dasar melalui Problem Based Learning

dan Direct Instruction

Fery Muhamad Firdaus

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah - FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan siswa sekolah dasar

(SD) yang masih tampak terdapat beberapa siswa yang hanya

mampu memahami secara konsep matematika saja, tetapi

beberapa siswa masih kurang mampu menghubungkan antar

konsep matematika dan mengaplikasikan matematika dalam

memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-

hari. Hal ini menandakan bahwa kurangnya literasi matematis

siswa. Selain itu, disposisi matematis siswa sebagai faktor yang

mempengaruhi literasi matematis siswa pun masih belum tampak

dengan baik, sehingga penelitian ini bertujuan untuk

meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah dasar

(SD) melalui problem based learning dan direct instruction. Selain

itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan peningkatan literasi matematis antara siswa yang

memperoleh problem based learning dan direct instruction di SD

berdasarkan kategori PAM siswa, apakah terdapat pengaruh

interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM siswa

terhadap kemampuan literasi matematis siswa, serta bagaimana

peningkatan disposisi matematis siswa yang menggunakan model

problem based learning dan direct instruction pada pembelajaran

Page 235: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

220

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

matematika di SD. Penelitian dilakukan pada tahun akademik

2015-2016 di kelas V sekolah dasar negeri di Bandung. Selama

proses penelitian, kelompok eksperimen 1 diberikan problem

based learning, sedangkan kelompok eksperimen 2 diberikan

direct instruction. Metode penelitian yang digunakan yaitu mixed

method dengan desain embedded experimental. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan

mengenai peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan

kategori PAM Siswa. (2) Terdapat efek interaksi antara model

pembelajaran dengan kategori PAM terhadap peningkatan literasi

matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa telah mengalami

peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun

pembelajaran yang menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi

matematis yang mengalami perbedaan yang paling tinggi antara

siswa yang mendapat model PBL dan siswa yang mendapat model

DI yaitu rasa ingin tahu siswa.

Kata Kunci: literasi matematis, disposisi matematis, problem based

learning, direct instruction, pendidikan matematika,

sekolah dasar.

A. Pendahuluan

Pembelajaran merupakan upaya seorang guru sebagai praktisi pendidikan

untuk mengembangkan berbagai kompetensi siswa yang sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional. Salah satu kompetensi siswa yang dapat dikembangkan oleh

guru dalam pembelajaran di sekolah yaitu literasi matematis. Dalam PISA (OECD,

2013), literasi matematis seringkali dipermasalahkan pada siswa jenjang SMP dan

SMA. Serta hasil penelitian Mahdiyansyah & Rahmawati (2014) bahwa literasi

matematika siswa jenjang pendidikan menengah masih rendah, meskipun desain

tes internasional yang digunakan telah disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Berdasarkan PISA (OECD, 2013) serta hasil penelitian Mahdiyansyah & Rahmawati

(2014) yang membahas rendahnya literasi matematis pada siswa jenjang SMP dan

SMA ini di alami pula oleh siswa SD. Dimana literasi matematis juga haruslah

dikembangkan pada siswa SD sebagai dasar dalam pemerolehan konsep-konsep

dasar matematika. Permasalahan literasi matematis siswa SMP dan SMA tidak

Page 236: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

221

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menutup kemungkinan merupakan dampak dari permasalahan dan pembelajaran

literasi matematis siswa SD. Permasalahan literasi matematis siswa SD ini tampak

pada beberapa siswa yang hanya mampu memahami secara konsep matematika

saja, tetapi beberapa siswa masih kurang mampu menghubungkan antar konsep

matematika dan mengaplikasikan matematika dalam memecahkan masalah yang

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga ditandai dari terdapatnya

beberapa siswa yang tidak mampu menyelesaikan soal-soal yang berbentuk

cerita, terutama soal non rutin yang berkaitan dengan konsep matematika yang

dibahas di sekolah dasar.

UNDP (2000) dan International of Education Evaluation in Achievement

(2000) melaporkan bahwa rendahnya kualitas kemampuan bersaing siswa

Indonesia di era globalisasi, khususnya dibidang matematika dan sains (Dewanto

& Sumarno, 2013). Hasil terbaru dari Programme for International Student

Assessment (PISA) tahun 2012 menunjukkan semakin menurunnya prestasi siswa

Indonesia dimana sebagian besar siswa Indonesia belum mencapai level 2 (75%)

dan 42 % siswa bahkan belum mencapai level terendah (level 1), padahal PISA

matematika tahun 2009, hampir semua siswa Indonesia mencapai level 3 dan

hanya 0,1% siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan 6. Dari hasil

gabungan tes matematika, sains, dan membaca, pada PISA 2012 Indonesia

menempati peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi (OECD, 2013).

Begitupula dalam hal literasi, hasil studi Progress in International Reading and

Literacy Study (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas V SD juga menunjukkan hasil

bahwa lebih dari 95% peserta didik Indonesia di SD kelas V hanya mampu

mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu

mencapai level tinggi dan advance (Kemendikbud, 2014).

Kemampuan literasi matematis dapat mempermudah siswa dalam

menyelesaikan masalah di kehidupan nyata yang berkaitan dengan konsep-

konsep matematika (Garfunkel, 2013). Kemampuan yang penting dalam literasi

matematis yaitu kemampuan menyusun strategi penyelesaian masalah,

merumuskan masalah dan menyelesaikan didalam atau diluar masalah

matematika. Dalam pengembangan kemampuan-kemampuan tersebut, alangkah

lebih baiknya jika siswa terlebih dahulu diperkenalkan konsep matematika dengan

baik melalui pendekatan problem posing, problem solving, ataupun keduanya

(Johar, 2012).

Myers (2008) mengungkapkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

kemampuan literasi matematis yaitu: (1) Waktu yang dihabiskan dalam belajar

matematika, (2) Sikap terhadap matematika, dan (3) Hal-hal penyebab kesuksesan

Page 237: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

222

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam matematika. Sikap terhadap matematika tersebut merupakan kompetensi

matematis dalam ranah afeksi yang sering disebut disposisi matematis. Sikap

siswa dalam belajar matematika ini sangatlah diperlukan untuk kemajuan dalam

belajar matematika siswa SD. Karena dengan sikap positif siswa, maka akan

muncul motivasi yang sangat baik dari dalam diri siswa untuk belajar matematika,

percaya diri siswa akan muncul dalam belajar matematika, serta siswa akan gigih

dan mau berbagi pengetahuan yang mereka miliki kepada teman-temannya.

Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan siswa belajar matematika

adalah Pengetahuan Awal Matematika (PAM) Siswa terhadap pembelajaran

matematika. Menurut Dick & Lou (2005), pengetahuan awal matematika

merupakan kemampuan atau keterampilan yang telah dimiliki siswa sebelum ia

mengikuti mata pelajaran yang akan diberikan. Dengan kemampuan ini siswa

dapat mempelajari materi yang akan diajarkan guru dan sebaliknya tanpa

kemampuan ini siswa akan mengalami kesulitan mempelajari materi berikutnya.

Pada awal proses belajar mengajar, guru seharusnya meneliti lebih dahulu

pengetahuan awal matematiks siswa. Dari kemampuan awal inilah tergantung

bagaimana proses belajar mengajar sebaiknya diatur sehingga hasil belajar yang

diharapkan tercapai.

Brelias (2014) berpendapat bahwa beberapa sekolah masih kurang

memberikan banyak siswa dengan peluang yang cukup untuk mengembangkan

jenis literasi matematis yang cocok dalam memahami masalah sosial dan disposisi

matematis yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan sosial tersebut.

Kemudian Johar (2012) mengungkapkan bahwa para praktisi pendidikan

matematika sebaiknya melakukan inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran

maupun dalam evaluasi pembelajaran untuk matematika di sekolah mulai dari

jenjang sekolah dasar yang mengarah pada literasi dan disposisi matematis,

sehingga matematika menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan siswa.

Berdasarkan pemaparan Brelias dan Johar tersebut, maka perlu dilaksanakannya

inovasi-inovasi yang dilakukan guru dalam pembelajaran matematika supaya

tujuan pendidikan matematika di sekolah dasar dapat tercapai secara efektif dan

efisien.

Problem based learning merupakan pembelajaran yang memanfaatkan

masalah, pertanyaan, atau teka-teki (puzzle) sebagai pemicu (trigger) bagi proses

belajar siswa (CIDR, 2004). Selain itu, Tan (2003) menjelaskan bahwa melalui

problem based learning, siswa termotivasi belajar secara tinggi, mengembangkan

keterampilan berpikir tingkat tinggi, kerja sama tim dan keterampilan komunikasi.

Motivasi belajar matematika merupakan salah satu prediktor disposisi matematis

Page 238: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

223

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

siswa, sedangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan karakteristik

dari literasi matematis. Asumsi Tan mengenai penggunaan problem based

learning yang dianggap dapat meningkatkan motivasi belajar sebagai prediktor

dari disoposisis matematis dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu literasi

matematis ini sejalan dengan pendapat Johar (2012) bahwa dalam

pengembangan kemampuan matematis siswa perlu dilaksanakan pendekatan

problem solving yang sesuai dengan karakteristik model problem based learning.

Sehingga berdasarkan asumsi Tan dan Johar tersebut, maka model problem based

learning dapat dijadikan salah satu model yang digunakan untuk meningkatkan

literasi dan disposisi matematis siswa.

Direct instruction merupakan suatu model pengajaran yang terdiri dari

penjelasan guru mengenai konsep atau keterampilan baru terhadap siswa

dilanjutkan dengan meminta siswa menguji pemahaman mereka dengan

melakukan praktik dibawah bimbingan guru (praktik terkontrol) dan mendorong

mereka meneruskan praktik dibawah bimbingan guru (Joyce, Weil & Calhoun,

2011, hlm. 423). Din (2000) mengadakan penelitian mengenai model direct

instruction yang menunjukkan bahwa setelah pembimbingan, para siswa

membuat keuntungan yang signifikan dalam keterampilan dasar matematika

mereka. Keterampilan-keterampilan dasar matematika tersebut diantaranya

yaitu literasi matematis siswa SD. Sehingga diharapkan melalui penerapan model

direct instruction dapat meningkatkan literasi matematis siswa SD. Selain itu,

Lestari & Yudhanegara (2015, hlm. 37) menjelaskan bahwa direct instruction

menitikberatkan penguasaan konsep dan perubahan perilaku sebagai hasil belajar

yang dapat diobservasi, sehingga model direct instruction diasumsikan dapat

meningkatkan disposisi matematis siswa sebagai salah satu perilaku siswa yang

dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil

penelitian Din (2000) dan asumsi Lestari & Yudhanegara (2015, hlm. 37), maka

model direct instruction dapat dijadikan salah satu model yang digunakan untuk

meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu mixed method dengan desain

embedded experimental. Subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V

sekolah dasar di enam sekolah dasar di Bandung Raya. Instrumen penelitian yang

digunakan yaitu lembar tes evaluasi literasi matematis siswa, angket skala sikap

disposisi matematis, serta lembar pengamatan dan wawancara disposisi

matematis siswa. Kegiatan evaluasi tes literasi dan disposisi matematis siswa

Page 239: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

224

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dilakukan dalam rangka mengetahui dan mengidentifikasi literasi dan disposisi

matematis siswa mengenai bahan ajar yang sedang dibelajarkan, dimana

pelaksanaan evaluasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengukur literasi dan

disposisi matematis siswa mengenai materi geometri. Pengembangan instrumen

dilakukan dengan cara pengujian validitas empiris dan pengujian reliabilitas. Hasil

pengujian empiris mengenai instrumen literasi matematis siswa sebanyak 15 soal

dinyatakan valid dengan reliabilitasnya sebesar 0,785, sedangkan hasil pengujian

empiris mengenai instrumen disposisi matematis siswa sebanyak 20 pernyataan

dinyatakan valid dengan reliabilitasnya sebesar 0,927.

Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui untuk mengetahui

peningkatan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah dasar melalui problem

based learning dan direct instruction. Teknik analisis data kuantitatif yang

digunakan pada penelitian ini yaitu teknik statistik inferensial parameter, di mana

teknik ini dilaksanakan dengan menggunakan uji-t, uji Mann-Whitney U, uji one-

way ANOVA, uji two-way ANOVA, dan uji post hoc Kruskal-Wallis, dengan taraf

signifikansi 0,05.

Teknik analisis data kualitatif dilakukan melalui teknik triangulasi yang

mencocokkan data dari berbagai sumbe data. Penelitian ini dilaksanakan dengan

prosedur pelaksanaan penelitian sebagai berikut: Pertama, perencanaan dan

persiapan penelitian, dimana pada proses ini dimulai dengan mendefinisikan

masalah penelitian, mencari bahan rujukan, dan membuat hipotesis penelitian,

menentukan desain penelitian, kemudian memilih subyek penelitian sesuai

dengan desain penelitian yang telah dipilih, membuat Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) problem based learning dan direct instruction, serta membuat

instrumen-instrumen yang digunakan ketika penelitian. Kedua, pelaksanaan

penelitian, di mana pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan penempatan

sampel pada kelompok eksperimen 1 dan kelompok eksperimen 2, memberi

pretest masing-masing kelompok, didasarkan pada variabel dependent,

melakukan perlakuan terhadap kelompok eksperimen 1 dengan menggunakan

problem based learning, perlakuan terhadap kelompok eksperimen 2 dengan

menggunakan direct instruction, serta masing-masing kelompok diberi posttest

sesuai dengan variabel dependent. Ketiga, pengumpulan data dan analisis data

yang telah diperoleh. Keempat, membuat laporan penelitian.

Page 240: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

225

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Literasi Matematis

Hasil penelitian diperoleh dari kegiatan pengumpulan data melalui berbagai

teknik pengumpulan data yaitu teknik tes, penyebaran angket, observasi,

pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Data penelitian ini terbagi atas dua

jenis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil

tes pengetahuan awal matematika (PAM) siswa, tes literasi matematis siswa, dan

penyebaran angket disposisi matematis siswa baik sebelum (pretest) maupun

sesudah (posttest) pembelajaran dengan menggunakan model problem based

learning (PBL) dan model direct instruction (DI). Data kualitatif diperoleh dari hasil

observasi dan hasil wawancara dengan siswa dengan menggunakan model PBL

dan model DI, serta hasil pengamatan dan wawancara kepada siswa mengenai

disposisi matematis siswa setiap indikator yang terdiri dari semangat atau

motivasi siswa dalam belajar matematika, kegigihan siswa dalam belajar

matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika, rasa ingin tahu

siswa dalam belajar matematika, dan kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan

matematika kepada orang lain.

Hasil uji-t tunggal terhadap signifikansi peningkatan literasi matemtis siswa

kedua kelompok pembelajaran untuk setiap kategori PAM ditampilkan pada tabel

1. tabel 1. didapatkan nilai probabilitas (sig.) kurang dari 0,05 untuk setiap hasil

uji, dengan demikian untuk setiap pengujian diperoleh kesimpulan H0 ditolak. Jadi,

terdapat perbedaan peningkatan literasi matematis siswa yang siginifikan untuk

setiap kelas model pembelajaran baik tingkatan PAM tinggi, sedang, maupun

rendah.

Tabel 1. Rangkuman Uji Perbedaan Peningkatan Literasi Matematis Siswa

Berdasarkan Model Pembelajaran untuk Semua Kelompok PAM

Kategori

PAM

Model

Pembelajaran N

Rata-

Rata t Df Sig. Ket.

Tinggi PBL 29 0,80 90,426 28 0,000 H0 ditolak

DI 18 0,61 20,203 17 0,000 H0 ditolak

Sedang PBL 62 0,71 87,344 61 0,000 H0 ditolak

DI 62 0,50 86,135 61 0,000 H0 ditolak

Rendah PBL 24 0,58 87,894 23 0,000 H0 ditolak

DI 25 0,59 72,650 24 0,000 H0 ditolak

Page 241: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

226

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil perhitungan ANOVA satu jalur dari data peningkatan literasi

matematis siswa berdasarkan kategori PAM dan model pembelajaran ditampilkan

pada tabel 2. berikut ini.

Tabel 2. Rangkuman Uji Perbedaan Peningkatan Literasi Matematis Siswa

Berdasarkan Kategori PAM Siswa dan Model Pembelajaran

Pada tabel 2. terlihat bahwa nilai sig. adalah 0,000 yang berarti bahwa H0

ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa minimal terdapat dua rata-rata

kategori PAM siswa yang berbeda. Untuk melihat kategori PAM mana saja yang

berbeda maka dilakukan uji Post Hoc Games-Howell. Hasil pengolahan uji Games-

Howell dapat dilihat pada tabel 3. berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Games-Howel Data Peningkatan Literasi Matematis Siswa

Berdasarkan Kategori PAM Siswa

PAM Siswa

Model PBL

PAM Siswa Model

DI

Mean

Defference Std. Error Sig. Ket.

Rendah Rendah 0,08862* 0,01115 0,000 H0 ditolak

Sedang Sedang 0,20742* 0,00997 0,000 H0 ditolak

Tinggi Tinggi 0,19649* 0,03140 0,000 H0 ditolak

Pada tabel 3. terlihat bahwa semua kategori PAM pada model PBL terdapat

perbedaan dengan semua kategori PAM pada model DI. Jadi secara umum dapat

dinyatakan bahwa yang menyebabkan perbedaan dari kedua model PBL dan

model DI adalah semua kategori PAM siswa.

Dikarenakan syarat untuk menguji ANOVA terpenuhi sesuai dengan statistik

faktorial, maka pengujian selanjutnya menggunakan two way ANOVA untuk

melihat pengaruh faktor model pembelajaran (model PBL dan model DI) dan PAM

(rendah, sedang, dan tinggi) siswa terhadap peningkatan literasi matematis siswa,

maka dilakukan uji ANOVA dua-jalur, yang hasil pengujiannya telah dirangkum

pada tabel 4.

Sumber Jumlah

Kuadrat dk

Rata-Rata

Kuadrat

F Sig. Ket.

Antar Kelompok

Dalam Kelompok

Total

2,397

0,790

3,187

5

214

219

0,479

0,004

129,934 0,000 H0

ditolak

Page 242: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

227

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4. Hasil Uji Interaksi Antar Model Pembelajaran dengan PAM Siswa

terhadap Peningkatan Literasi Matematis Siswa

Sumber Jumlah

Kuadrat Df

Mean

Kuadrat F Sig. η2

Ket.

Model Pembelajaran 1,189 1 1,189 322,334 0,000 0,373 H0 ditolak

PAM Siswa 0,343 2 0,171 46,462 0,000 0,108 H0 ditolak

Model*PAM Siswa 0,128 2 0,064 17,406 0,000 0,040 H0 ditolak

Error 0,790 214 0,004 0,248

Total 92,392 220

Corrected Total 3,187 219

R Squared = ,752 (Adjusted R Squared = ,746)

Berdasarkan tabel 4., dapat diketahui bahwa faktor model pembelajaran

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan literasi matematis

siswa, hal ini terlihat dari nilai signifikansi untuk faktor model pembelajaran

adalah 0,000. Faktor PAM siswa juga memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan literasi matematis siswa, hal ini terlihat dari nilai signifikansi

untuk PAM siswa adalah 0,000, berarti terdapat perbedaan yang signifikan

peningkatan literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM siswa. Nilai eta

square (η2) pada faktor model pembelajaran sebesar 0,373, dimana berdasarkan

kriteria effect size untuk η2 dari Cohen maka faktor model pembelajaran memiliki

besar pengaruh yang kuat karena nilai η2 > 0,140. Nilai eta square (η2

) pada faktor

PAM siswa sebesar 0,108, dimana berdasarkan kriteria effect size untuk η2 dari

Cohen maka faktor PAM siswa memiliki besar pengaruh yang sedang karena nilai

0,060 < η2 < 0,110. Sedangkan nilai eta square (η2

) pada interaksi antara model

pembelajaran dengan PAM siswa sebesar 0,040, dimana berdasarkan kriteria

effect size untuk η2 dari Cohen maka interaksi antara model pembelajaran dengan

PAM siswa memiliki besar pengaruh yang sedang.

Nilai R square sebesar 0,746 menyatakan ukuran pengaruh variabilitas

model pembelajaran dan kategori PAM siswa dalam menjelaskan peningkatan

literasi matematis siswa yaitu sebesar 74,6%. Dengan demikian kedua variabel

memberikan pengaruh terhadap peningkatan literasi matematis siswa sekitar

74,6%, selebihnya oleh variabel lain. Selain itu, tabel 4. juga menunjukkan nilai F

yang diperoleh adalah 17,406 dengan nilai signifikansi 0,000. Artinya terdapat

interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap

peningkatan literasi matematis siswa. Hal ini juga dapat diartikan bahwa interaksi

model pembelajaran dengan kategori PAM siswa menghasilkan perbedaan

peningkatan literasi matematis siswa sekolah dasar.

Page 243: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

228

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Disposisi Matematis

Data mengenai disposisi matematis siswa terhadap pembelajaran

matematika konsep geometri di kelas V sekolah dasar melalui model PBL dan

model DI diperoleh melalui respon yang diberikan siswa melalui angket skala

sikap, wawancara kepada siswa, serta pengamatan (observasi) yang dilakukan

oleh guru terhadap setiap indikator diposisi matematis yang ditampilkan siswa

pada proses pembelajaran berlangsung. Adapun hasil perolehan peningkatan

disposisi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model PBL dan

peningkatan disposisi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model DI

dengan menggunakan instrumen angket skala sikap dapat terlihat pada tabel 5.

berikut ini.

Tabel 5. Hasil Perolehan Peningkatan Disposisi Matematis Siswa yang

Memperoleh Model PBL dan DI

Model Hasil Statistik Pretest Posttest N-Gain Kriteria

PBL Rata-Rata 69,10 89,28 0,66 32,17% Tinggi

SD 0,077 67,83% Sedang

DI Rata-Rata 69,05 78,84 0,32 64,76% Sedang

SD 0,045 35,24% Rendah

Berdasarkan tabel 5. terlihat bahwa peningkatan disposisi matematis siswa

yang menggunakan model PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan

model DI. Hal ini dibuktikan dari skor rata-rata peningkatan disposisi matematis

siswa yang menggunakan model PBL yang mencapai 0,66 lebih besar 0,98

daripada rata-rata peningkatan disposisi matematis siswa yang menggunakan

model DI yang hanya mencapai 0,32. Selain itu, dilihat dari kriteria peningkatan

disposisi siswa, siswa yang menggunakan model PBL sebesar 32,17% memperoleh

kriteria peningkatan disposisi matematis yang tinggi, dan 67,83% mengalami

peningkatan yang sedang. Sedangkan kriteria peningkatan disposisi siswa, siswa

yang menggunakan model DI sebesar 64,76% memperoleh kriteria peningkatan

disposisi matematis yang sedang, dan 35,24% mengalami peningkatan yang

rendah.

Hasil disposisi matematis siswa bukan hanya diperoleh dari angket skala

siswa semata, tetapi data didukung dari hasil pengamatan yang dilakukan guru

dan hasil wawancara siswa yang membahas mengenai lima indikator disposisi

matematis siswa yaitu semangat siswa dalam belajar, kegigihan siswa dalam

menyelesaikan permasalahan matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar

Page 244: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

229

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

matematika, rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika, serta kesediaan

siswa dalam berbagi pengetahuan matematika kepada orang lain.

Untuk lebih jelas mengenai hasil perolehan disposisi matematis siswa yang

didapat dari tiga sumber pengukuran melalui teknik pengamatan, wawancara dan

angket skala sikap dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil Perolehan Rata-Rata Disposisi Matematis Siswa yang Memperoleh

Model PBL dan DI pada Setiap Indikator

Model

Pembelajaran Sumber Data

Rata-Rata Indikator Disposisi Matematis Siswa

S G PD RIT BP

PBL

Angket 4,6 4,5 4,4 4,5 4,4

Pengamatan 4,7 4,3 4,6 4,5 3,8

Wawancara 4,8 4,6 4,5 4,7 5,6

Rata-Rata 4,7 4,3 4,5 4,6 4,3

DI

Angket 4,2 4,0 3,8 3,9 3,4

Pengamatan 4,4 2,5 3,9 3,4 2,7

Wawancara 4,2 4,0 3,9 4,0 4,0

Rata-Rata 4,3 3,5 3,8 3,5 3,5

Keterangan:

S = Semangat PD = Percaya Diri BP = Berbagi Pengetahuan

G = Gigih RIT = Rasa Ingin Tahu

Berdasarkan tabel 6. di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata skor akhir

disposisi matematis siswa yang menggunakan model PBL lebih baik sebesar 13,60

daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana siswa yang mendapat model

PBL memperoleh rata-rata skor sebesar 89,21, sedangkan siswa yang mendapat

model DI hanya memperoleh rata-rata skor sebesar 75,61. Selain itu, tabel 4.32.

memberikan gambaran bahwa rata-rata skor setiap indikator disposisi matematis

siswa yang mendapat model PBL lebih baik daripada siswa yang menggunakan

model DI pula. Adapun rincian hasil pemerolehan setiap indikator disposisi yaitu

sebagai berikut:

a. Semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang menggunakan

model PBL lebih besar 0,4 daripada siswa yang menggunakan model DI,

dimana semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang

menggunakan model PBL memperoleh kriteria sangat baik, sedangkan

semangat atau motivasi siswa dalam belajar matematika yang menggunakan

model DI memperoleh kriteria cukup baik.

Page 245: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

230

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Kegigihan siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model PBL

lebih besar 0,8 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana

kegigihan siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model PBL

memperoleh kriteria baik, sedangkan kegigihan siswa dalam belajar

matematika yang menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.

c. Kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model

PBL lebih besar 0,7 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana

kepercayaan diri siswa belajar matematika yang menggunakan model PBL

memperoleh kriteria baik, sedangkan kepercayaan diri siswa dalam belajar

matematika yang menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.

d. Rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika yang menggunakan model

PBL lebih besar 1,1 daripada siswa yang menggunakan model DI, dimana rasa

ingin tahu siswa yang menggunakan model PBL memperoleh kriteria sangat

baik, sedangkan rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika yang

menggunakan model DI memperoleh kriteria cukup baik.

e. Kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang menggunakan

model PBL lebih besar 0,8 daripada siswa yang menggunakan model DI,

dimana kesediaan siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang

menggunakan model PBL memperoleh kriteria baik, sedangkan kesediaan

siswa dalam berbagi pengetahuan matematika yang menggunakan model DI

memperoleh kriteria cukup baik.

Oleh kerena itu, dapat diperoleh hasil bahwa rata-rata disposisi matematis

siswa yang mendapat model PBL lebih besar 13,60 daripada siswa yang mendapat

model DI. Sehingga pembelajaran yang menggunakan model PBL memberikan

peningkatan diposisi matematis siswa lebih baik daripada pembelajaran yang

menggunakan model DI. Selain itu, indikator disposisi matematis siswa yang

sangat baik yaitu semangat atau motivasi siswa yang mendapat model PBL,

sehingga model PBL memberikan motivasi dan semangat yang baik kepada siswa

dalam belajar matematika. Sedangkan indikator diposisi matematis yang

mengalami perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL

dan siswa yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa. Sehingga dapat

diketahui bahwa model PBL dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa dalam

belajar matematika daripada siswa yang mendapat model DI.

Temuan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, model problem based learning terbukti efektif

dalam meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa. Hasil analisis data tes

Page 246: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

231

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

literasi matematis siswa menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara

skor literasi matematis siswa dari kelompok eksperimen 1 dengan kelompok

eksperimen 2 yang menggunakan model direct instruction. Hal ini dikarenakan

pada hakikatnya literasi matematis yaitu kemampuan untuk mempermudah siswa

dalam menyelesaikan masalah di kehidupan nyata yang berkaitan dengan konsep-

konsep matematika (Garfunkel, 2013). Hal ini senada dengan pendapat Johar

(2012) yang mengungkapkan bahwa kemampuan yang penting dalam literasi

matematis yaitu kemampuan mengajukan, merumuskan dan menyelesaikan

didalam atau diluar masalah matematika dalam berbagai macam bidang dan

konteks. Kemampuan tersebut mencakup semua hal, mulai dari matematika

murni sampai pada hal dimana tidak ada struktur matematika, sudah diberikan

sejak awal tetapi terlebih dahulu diperkenalkan dengan baik melalui problem

poser, problem solver, ataupun keduanya.

Berdasarkan pendapat Garfunkel (2013) dan Johar (2012) tersebut, maka

pada dasarnya literasi matematis yaitu kemampuan siswa dalam menyelesaikan

permasalahan dengan cara pengembangan kemampuan mengajukan,

merumuskan dan menyelesaikan didalam atau diluar masalah matematika dalam

setiap konteks melalu kegiatan pemecahan masalah. Hal ini sangat sesuai

manakala pembelajaran pengembangan literasi matematis siswa dilaksanakan

dengan menggunakan model problem based learning, karena problem based

learning yang merupakan pembelajaran yang efektif dan memiliki efek positif

dalam memecahkan permasalahan matematika (Ozcan & Balim, 2013; Temel,

2014). Lebih lanjut, Bilgin, Senocak & Sozbilir (2009) menjelaskan bahwa tujuan

problem based learning adalah untuk membantu siswa untuk berpikir,

memecahkan masalah dan untuk meningkatkan kemampuan berpikir mereka

dengan membangun situasi nyata atau menyerupai berkaitan konsep yang harus

dipelajari. Sehingga model problem based learning dapat dijadikan salah satu

model pembelajaran yang dapat meningkatkan literasi matematis siswa.

Literasi matematis siswa perlu dikembangkan sejak mereka berada di

sekolah dasar. Oleh karena itu, literasi matematika harus ditingkatkan dengan

bahan ajar yang relevan, laboratorium matematika dan perpustakaan elektronik,

untuk memenuhi program yang diharapkan pendidikan dasar umum. Jika literasi

matematika berkembang dengan baik, ditingkatkan dan cukup berhasil, dapat

menyebabkan perolehan keterampilan matematika yang dapat menyebabkan

pencapaian pendidikan dasar umum (Adeyemi & Adaramola, 2014). Dikarenakan

literasi matematis siswa perlu dikembangkan sejak mereka berada di sekolah

dasar, maka perlu adanya penelitian yang mengembangkan literasi matematis

Page 247: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

232

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

siswa sekolah dasar. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Afkhami, Alamolhodaei

& Radmehr (2012) yang menemukan bahwa siswa di sekolah dasar lebih sukses

dalam hal pengembangan kemampuan literasi matematis dari siswa SMP dan

SMA. Literasi matematis dari siswa SMP dan SMA menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan.

Di sekolah dasar, sebaiknya siswa dibelajarkan literasi matematis melalui

proses pemecahan masalah matematika di kehidupan sehari-hari. Pembelajaran

tersebut dapat dilaksanakan melalui problem based learning. Problem based

learning adalah pendidikan yang menekankan pada masalah sebagai titik awal

dari proses pembelajaran. Jenis masalah tergantung pada organisasi tertentu.

Biasanya, masalah didasarkan pada kehidupan nyata, masalah yang telah dipilih

dan diedit untuk memenuhi tujuan dan kriteria pendidikan (Graaff & Kolmos,

2003). Problem based learning sebagai model pembelajaran yang

mengembangkan keterampilan memecahkan masalah ini sangatlah mendukung

terdasap pengembangan literasi matematis, karena pada dasarnya salah satu

kemampuan dalam pengembangan literasi matematis yaitu kemampuan

pemecahan masalah nyata yang sering muncul di kehidupan sehari-hari siswa.

Selain kemampuan pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari, siswa yang

memiliki literasi matematis memiliki kemampuan-kemampuan: (1) pengetahuan

matematika dasar dan keterampilan yang dibutuhkan dari seorang warga negara

yang modern dan inti dasar praktis dari pengetahuan matematika; (2) tingkat

kemampuan komputasi tertentu, penalaran logis, dan pemahaman konsep spasial

(atau pada tingkat pemula, imajinasi spasial); (3) minat dalam menerapkan

matematika, memahami angka dan simbol, dan pemahaman dasar konsep-konsep

matematika; dan (4) ciri-ciri karakter yang penting untuk belajar matematika

(Kong dalam Tai, Leou, & Hung, 2014).

Lebih lanjut, dalam PISA 2012 (OECD, 2013) telah dipaparkan bahwa tujuh

komponen dalam penilaian literasi matematis yaitu communication,

mathematizing, representation, reasoning and argument, devising strategies for

solving problems, using symbolic, formal and technical language and

operation, serta using mathematics tools. Oleh karena itu, problem based

learning sangatlah cocok untuk mengembangkan berbagai kompetensi pada

literasi matematis siswa sekolah dasar, dimana siswa yang belajar melalui problem

based learning, informasi tentang keterampilan yang mereka miliki setelah

berpartisipasi dalam problem based learning seperti interaksi, pemecahan

masalah, rasa percaya diri, mandiri, berpikir kritis, dan kerja kelompok. Terlepas

dari keterampilan akuisisi, problem based learning juga mendorong mereka di

Page 248: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

233

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pemahaman mendalam, ditingkatkan pengetahuan teoritis mereka, dan

mempromosikan pendekatan mendalam untuk belajar (Borhan, 2012).

Keefektivan problem based learning dalam meningkatkan literasi matematis

siswa juga memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Padmavathy &

Mareesh (2013) yang menghasilkan bahwa problem based learning memiliki efek

dalam mengajar matematika dan meningkatkan pemahaman siswa, serta

kemampuan untuk menggunakan konsep dalam kehidupan nyata. Dimana

pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan konsep dalam kehidupan

nyata merupakan bagian dari kompetensi literasi matematis. Pelaksanaan model

problem based learning dilakukan melalui empat tahap yaitu mereview dan

menyajikan masalah, menyusun strategi, menerapkan strategi, serta membahas

dan mengevaluasi hasil (Eggen & Kauchak, 2012).

Selain melaksanakan setiap tahapan problem based learning yang

dikemukakan Eggen & Kauchak (2012) tersebut, problem based learning

dilaksanakan pula melalui metode yang menyenangkan dan sesuai dengan

karakteristik anak usia SD, yaitu dengan cara bernyanyi dan bercerita. Metode

tersebut diharapkan dapat mengembangkan problem based learning yang

menarik perhatian siswa SD sehingga literasi matematis siswa dapat berkembang

dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat Levenberg (2015) yang menyatakan

bahwa mengintegrasikan lagu dan cerita dalam pembelajaran matematika yang

dijadikan alat penting untuk budidaya literasi matematis serta salah satu cara

mengatasi kesulitan belajar. Belajar matematika disebabkan kepentingan yang

lebih besar jika terintegrasi topik yang berhubungan dengan lingkungan anak-

anak. Mother Goose merupakan salah satu lagu yang dapat dimanfaatkan untuk

melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika berkaitan dengan isu seri dan

presentasi grafis mereka.

Zheng & Zhou (2011) juga menjelaskan mengenai salah satu ciri problem

based learning yaitu setiap pertanyaan kompleks didekomposisi menjadi

serangkaian sub pertanyaan halus yang koheren berikut kriteria yang dirancang

dengan hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara membimbing siswa dan

mengilhami mereka untuk berpikir secara mandiri. Model problem based learning

ini memungkinkan siswa untuk memecahkan pertanyaan kompleks progresif di

konteks induktif. Oleh karena itu, literasi matematis siswa dapat berkembang

dengan baik melalui serangkaian pertanyaan yang kompleks untuk memecahkan

masalah di kehidupan sehari-hari.

Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model

problem based learning pada proses belajar dalam penelitian ini diketahui

Page 249: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

234

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mendapat peningkatan literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction. hal

ini ditandai dari selisih nilai N-gain antara siswa yang mendapat model problem

based learning dengan model direct instruction yaitu sebesar 0,17. Selain itu,

berdasarkan uji signifikansi peningkatan literasi matematis juga menunjukan nilai

probabilitas (sig.) < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

peningkatan literasi matematis siswa yang mendapat model problem based

learning dengan peningkatan literasi matematis siswa yang mendapat model

direct instruction.

Rata-rata peningkatan literasi matematis siswa untuk siswa kelompok PAM

tinggi, sedang dan rendah yang mendapat pembelajaran dengan model problem

based learning menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction.

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa ketiga kategori PAM siswa, siswa yang

mendapat model problem based learning secara signifikan lebih besar daripada

siswa yang mendapat model direct instruction dalam meningkatkan literasi

matematis siswa.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan

pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning pada proses

belajar mendapat peningkatan literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

siswa mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model direct instruction.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Etherington (2011) yang mengungkapkan bahwa

problem based learning layak mendapat tempat yang lebih menonjol di sarjana

ilmu pendidikan dasar bagi guru karena proses memberdayakan siswa dan

pendidik untuk memikul tanggung jawab dalam mengarahkan pembelajaran,

mendefinisikan dan menganalisis masalah serta membangun solusi.

Selain literasi matematis yang meningkat dengan penggunaan model

problem based learning, disposisi matematis siswa pun ikut meningkat. Hal ini

memang sangat berkaitan, dimana Myers (2008) mengungkapkan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi literasi matematis yaitu: (1) Waktu

yang dihabiskan dalam belajar matematika, (2) Sikap terhadap matematika, dan

(3) Atribusi keberhasilan dalam matematika. Sikap terhadap matematika tersebut

merupakan kompetensi matematis dalam ranah afeksi yang sering disebut

disposisi matematis. Pendapat Myers tersebut didukung juga oleh Katz (2009)

yang mengungkapkan bahwa disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana

siswa menyelesaikan masalah matematis; percaya diri, tekun, berminat, dan

berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian

Page 250: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

235

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

masalah. Dalam konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan

bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide

matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah.

Oleh karena itu, model problem based learning dapat meningkatkan

disposisi matematis siswa, karena dengan pelaksanaan model problem based

learning sangat efektif dalam pemecahan masalah dan memiliki efek positif pada

keterampilan pemecahan masalah ini (Ozcan & Balim, 2013; Temel, 2014).

Dengan melatih siswa dalam menyelesaikan masalah matematis siswa, maka

disposisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematis yang terdiri dari

semangat siswa dalam belajar, kegigihan siswa dalam menyelesaikan

permasalahan matematika, kepercayaan diri siswa dalam belajar matematika,

rasa ingin tahu siswa dalam belajar matematika, serta kesediaan siswa dalam

berbagi pengetahuan matematika kepada orang lain.

Kilpatrick, Swafford, & Findel (2001) juga mengungkapkan bahwa disposisi

matematis siswa adalah kecenderungan (i) memandang matematika sesuatu

yang dapat dipahami, (ii) merasakan matematika sebagai sesuatu yang

berguna dan bermanfaat, (iii) meyakini usaha yang tekun dan ulet dalam

mempelajari matematika akan membuahkan hasil, dan (iv) melakukan

perbuatan sebagai pebelajar dan pekerja matematika yang efektif. Sehingga

problem based learning yang menjelaskan bahwa melalui problem based learning,

siswa termotivasi belajar secara tinggi, mengembangkan keterampilan berpikir

tingkat tinggi, kerja sama tim dan keterampilan komunikasi (Tan, 2003).

Disposisi matematika siswa berkembang ketika mereka mempelajari

aspek kompetensi lainnya. Sebagai contoh, ketika siswa membangun strategic

competence dalam menyelesaikan persoalan non-rutin, sikap dan keyakinan

mereka sebagai seorang pebelajar menjadi lebih positif (Kilpatrick, Swafford, &

Findel, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Torp & Sage (2002) yang

menfokuskan pelaksanaan problem based learning pada pengalaman belajar

siswa yang diselenggarakan dengan investigasi dan pemecahan masalah di dunia

nyata. Problem based learning yang menggabungkan dua proses yang saling

melengkapi, kurikulum atau pengorganisasian dan strategi pembelajaran yang

mencakup tiga karakteristik utama:

1. Siswa terlibat sebagai pemangku kepentingan dalam situasi masalah.

2. Pengaturan kurikulum yang memberikan masalah holistik, memungkinkan

siswa belajar dengan cara yang relevan dan keterhubungan.

Page 251: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

236

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Menciptakan lingkungan belajar di mana guru berpikir melatih siswa dan

memandu penyelidikan siswa, serta memfasilitasi level yang lebih dalam

pemahaman siswa

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dipaparkan, maka model problem

based learning dapat meningkatkan literasi dan disposisi matematis siswa sekolah

dasar. Hal ini sangat sejalan dengan teori-teori mengenai model problem based

learning pendapat para ahli di atas. Sehingga model problem based learning dapat

dijadikan salah satu alternatif dalam meningkatkan literasi dan disposisi

matematis siswa sekolah dasar. Karena melalui model problem based learning

dapat menfasilitasi siswa dalam menyelesaikan masalah sehari-hari sebagai salah

satu prediktor literasi matematis, serta sikap atau disposisi matematis siswa

dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan

matematika.

D. Kesimpulan

Penelitian ini dilaksanakan di enam sekolah dasar negeri di Bandung Raya

pada siswa kelas V dengan materi geometri dan pengukuran. Sejalan dengan

rumusan masalah, studi ini memperoleh kesimpulan yang berkenaan dengan

hasil studi empirik tentang peningkatan literasi dan disposisi matematis siswa

kelas V sekolah dasar dengan menggunakan problem based learning dan direct

instruction. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil

kesimpulan yaitu: (1) Terdapat perbedaan yang signifikan mengenai peningkatan

literasi matematis siswa berdasarkan kategori PAM Siswa. (2) Terdapat efek

interaksi antara model pembelajaran dengan kategori PAM terhadap peningkatan

literasi matematis siswa, (3) Disposisi matematis siswa telah mengalami

peningkatan baik melalui penggunaan model PBL maupun pembelajaran yang

menggunakan model DI, (4) Indikator diposisi matematis yang mengalami

perbedaan yang paling tinggi antara siswa yang mendapat model PBL dan siswa

yang mendapat model DI yaitu rasa ingin tahu siswa.

E. Daftar Pustaka

Adeyemi O. B, & Adaramola, M. O. (2014). Mathematics Literacy as a Foundation

for Technological Development in Nigeria. Journal of Research & Method in

Education. Vol. 4, (5), 28-31.

Afkhami, R., Alamolhodaei, H., & Radmehr, F. (2012). Exploring the Relationship

Between Iranian Students’ Mathematical Literacy and Mathematical

Performance. Journal of American Science. Vol. 8, (4), 213-222.

Page 252: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

237

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bilgin, I., Senocak, E., & Sozbilir, M. (2009). The Effects of Problem Based Learning

Instruction on University Students’ Performance of Conceptual and

Quantitative Problems in Gas Concept. Eurasia Journal of Mathematics,

Science & Technology Education. Vol. 5, (2), 153-164.

Borhan, M. T. (2012). Problem Based Learning (PBL) in Malaysian Higher

Education: A Review of Research on Learners’ Experience and Issues of

Implementations. ASEAN Journal of Engineering Education. Vol. 1, (1), 48-

53.

Brelias, A. (2014). High School Students’ Views of Mathematics as a Tool for Social

Critique. Athens Journal of Education. 1, (3), hlm. 195-209.

Center for Instructional Development & Research/CIDR. (2004). Problem-Based

Learning. [Online]. Tersedia:

http://depts.washington.edu/cidrweb/Bulletin/ PBL.html. [19 Oktober

2015].

Dewanto, Staley P. & Sumarmo, Utari. (2013). Improving The ability Mathematical

Higher Order Thiking Through Inductive-deductive Learning Approach. A

Study in Third Year University’s Student. In Kumpulan Makalah berpikir dan

Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. Utari Sumarno, Jurusan

Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.UPI. Bandung.

Dick, W & L. Carey. (2005). The Systematic Design of Instructional Third Education.

Boston: Pearson.

Din, F. S. (2000). Direct Instruction in Remedial Math Instructions. National Forum

of Special Education Journal. 9E, hlm. 3-7.

Eggen, P. & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.

Etherington, M. B. (2011). Investigative Primary Science: A Problem-Based

Learning Approach. Australian Journal of Teacher Education. Vol. 36, (9), 36-

57.

Garfunkel, S. (2013). For All Practical Purposes Mathematical Literacy in Today’s

World. New York: W. H. Freeman and Company.

Graaff, E. D. & Kolmos, A. (2003). Characteristics of Problem-Based Learning.

International Journal Engineering Education. Vol. 19, (5), 657-662.

Katz, L. G. (2009). Dispositions as Educational Goals. [Online]. Tersedia:

http://www.edpsycinteractive.org/files/edoutcomes.html. [16 Januari

2016].

Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013.

Jakarta: Kemendikbud.

Page 253: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

238

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B (2001) Adding it up ; Helping Children

Learn Mathematics, Mathematics Learning Study Communitee, National

Academi Press, Washington DC.

Johar, R. (2012). Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang.

Vol. 1, (1), 30-41.

Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011). Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Lestari, K. E., & Yudhanegara, M. R. (2015). Penelitian Pendidikan Matematika.

Bandung: Refika Aditama.

Levenberg, I. (2015). Literacy in Mathematics with Mother Goose . International

Journal of Learning & Development. Vol 5, (1), 27-32.

Mahdiyansyah & Rahmawati. (2014). Mathematical Literacy of Students at

Secondary Education Level: An Analysis Using International Test Design

with Indonesian Context. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol. 20,

(4), 452-469.

Myers, R. (2008). Factors Influencing Achievement in Mathematics Literacy. New

York: Indiana University.

OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework Mathematics,

Reading, Science, Problem Solving And Financial Literacy. OECD Publishing.

Ozcan, E. dan Balim, A. G. (2013). Effe ts of Pro le Based Lear ı g o Prospe tıve S ıe e Tea hers' Pro le Solvı g Skılls. Turkey: International

Conference The Future of Education.

Padmavathy, R. D. dan Mareesh, K. (2013). Effectiveness of Problem Based

Learning In Mathematics. International Multidisciplinary e-Journal. Vol 2,

(1), 45-51.

Tai, C. H, Leou, S., & Hung, J. F. (2014). Mathematical Literacy of Indigenous

Students in Taiwan. International Research Journal Of Sustainable Science &

Engineering. Vol 2, (3), 1-5.

Tan, O. S. (2003). Enhancing Thinking Through Problem-Based Learning for K-12

Education. Aurora. IL: ASCD.

Temel, S. (2014). The Effects of Problem-Based Learning on Pre-Service

Teachers’critical Thinking Dispositions and Perceptions of Problem-Solving

Ability. South African Journal of Education. Vol. 34, (1), 1-20.

Torp, L., & Sage, S. (2002). Problems as Possibilities: Problem-Based Learning for

K–16 Education. Virginia: Association for Supervision and Curriculum

Development (ASCD).

Page 254: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fery Muhammad Firdaus (2018), Peningkatan Literasi, hal. 219 - 239

239

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Zheng, A., & Zhou, Y. (2011). An Inductive, Interactive And Adaptive Hybrid

Problem-Based Learning Methodology: Application to Statistics. Journal of

Engineering Science and Technology. Vol. 6, (5), 639 – 650.

Page 255: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

240

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan

Emosional terhadap Keterampilan Sosial Murid SD

Siti Masyithoh

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh data empiris

tentang pengaruh dari pola asuh dan kecerdasan emosional terhadap

keterampilan sosial siswa sebagai variabel terikat. Disamping itu juga

untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh interaksi antar kedua variabel

bebas tersebut dalam mempengaruhi keterampilan sosial siswa kelas VI

Sekolah Dasar. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berbentuk

expost facto atau causal komparatif dengan desain faktorial 3 x 2.

Metode yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan

angket atau kuesioner sebagai alat pengumpul data. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah murid Sekolah Dasar di Kecamatan

Mustika Jaya Kota bekasi yang berjumlah 254. Analisis data

menggunakan analisis varians dua jalan terhadap tiap kelompok data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa keterampilan sosial siswa

yang diasuh dengan pola asuh demokratis memiliki rata-rata terbesar

dibandingkan dengan pola asuh otoriter dan permisif. Demikian juga

bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi menunjukkan

keterampilan sosial yang jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa

dengan kecerdasan emosional rendah. Siswa dengan pola asuh

demokratis, baik pada kecerdasan emosional tinggi maupun pada

kecerdasan emosional rendah memiliki rata-rata keterampilan sosial

teringgi dibandingkan dengan siswa yang diasuh dengan pola asuh

otoriter maupun permisif. Selanjutnya pada siswa dengan kecerdasan

emosional tinggi, menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik jika

Page 256: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

241

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diasuh dengan pola asuh permisif daripada jika diasuh dengan pola asuh

otoriter. Sebaliknya, pada kecerdasan emosional rendah, siswa yang

diasuh dengan pola asuh otoriter menunjukkan keterampilan sosial yang

lebih baik jika diasuh dengan pola asuh otoriter daripada jika diasuh

dengan pola asuh permisif. Artinya, bahwa terdapat pengaruh pola asuh

orangtua dan kecerdasan emosional terhadap keterampilan sosial siswa

kelas VI SD di Kecamatan Mustika Jaya Bekasi.

Kata kunci: keterampilan sosial, kecerdasan emosional, pola asuh.

A. Pendahuluan

Munculnya berbagai kekerasan (bullying) yang dilakukan murid Sekolah

Dasar membuat kita prihatin. Diantaranya adalah penganiayaan yang dilakukan

siswa Sekolah Dasar di Bukit Tinggi Sumatera Barat (Munir, 2014). Selain itu juga

penganiayaan terhadap murid kelas V SDN Bintara II yang dilakukan teman-teman

sekelasnya hingga nyaris kehilangan penglihatan (Republika, 2015). Begitu juga

kekerasan yang dilakukan 6 murid SD di Aceh Besar terhadap seorang siswi hingga

meninggal dunia (Detik, 2015). Semua kejadian ini menunjukkan tingkat

keterampilan sosial siswa Sekolah Dasar yang memprihatinkan.

Berkembangnya tingkat keterampilan sosial individu sangat dipengaruhi

oleh faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah faktor

yang ada dalam diri anak seperti genetik, kelainan otak, dan kondisi anak, baik itu

kognitif, kecerdasan emosional, temperamen, maupun tipe kepribadian anak.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar diri anak seperti

pola interaksi anak di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan

antar sebaya.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap keterampilan sosial murid telah

dibuktikan oleh Mestre dkk melalui penelitiannya terhadap remaja di Spanyol.

Dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa kecerdasan emosional remaja

memiliki hubungan yang positif dengan kompetensi sosial (Mestre, 2006: 112-

117). Pola asuh yang digunakan orangtua di rumah juga sangat mempengaruhi

peran sosial anak. Anak yang dilatih dengan cara otoriter, akan belajar menjadi

pengikut. Sementara anak yang dilatih dengan cara demokratis, akan mendorong

berkembangnya kemampuan memimpin (Hurlock/terjemahan, 1980: 173). Di

dalam keluarga, anak akan belajar tentang pola perilaku yang tepat dan belajar

menjadi anggota masyarakat yang baik dan dibimbing dalam pengembangan

perilaku yang secara sosial dianggap tepat. Pendapat tersebut diperkuat dengan

Page 257: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

242

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penelitian yang dilakukan Vijila dkk. Mereka menemukan bahwa remaja yang

diasuh dengan pola asuh demokratis menunjukkan kompetensi sosial yang lebih

baik dibandingkan anak yang diasuh dengan pola asuh yang lainnya (IOSR-JHSS,

2013: 34-36).

Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial merupakan pengetahuan tentang perilaku manusia dan

proses antar pribadi, kemampuan memahami perasaan, sikap, motivasi orang lain

tentang apa yang dikatakan dan dilakukannya, dan kemampuan untuk

berkomunikasi dengan jelas dan efektif serta kemampuan membangun hubungan

yang koperatif dan efektif (Devins et.al, 2004:11). Adapun contoh dari

keterlibatan fungsi kognitif ini adalah pada saat individu melakukan interaksi dan

membaca perasaan atau pikiran individu lainnya dan membuat kesimpulan dari

petunjuk-petunjuk sosial yang berada di sekitarnya.

Keterampilan sosial menggambarkan kemampuan dan kecenderungan anak

untuk berinteraksi dengan orang lain, membangun dan mempertahankan suatu

hubungan, dan menghindari respon-respon yang tidak dapat diterima secara

sosial (A Review for The Early Intervention Foundation, 2015: 29). Patrick (Malikeh

and Taebe, 2013: 75) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai seperangkat

keterampilan yang digunakan seseorang dalam berinteraksi dan berkomunikasi

dengan orang lain. Sedangkan Libet and Lewinson (Malikeh and Taebe, 2013: 75)

mendefinisikannya sebagai: a complex ability that produces behaviors that will

be positively reinforced and not produce behaviors that will be punished by

others. Artinya orang yang memiliki keterampilan sosial akan terampil dalam

memproduksi perilaku-perilaku positif dan menghindari perilaku-perilaku negatif

yang mendatangkan hukuman dari orang lain.

Secara lebih jelas Combs dan Slaby (Hargie, 2006: 11) mendefinisikan

keterampilan sosial sebagai suatu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang

lain pada konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima oleh

lingkungan dan pada saat yang bersamaan dapat memberikan keuntungan bagi

diri sendiri, orang lain, maupun keduanya. Sementara itu Philips (Hargie, 2006: 10)

menjelaskan bahwa keterampilan sosial adalah: The extent to which he or she

can communicate with others, in a manner that fulfils one s rights, requirements,

satisfactions, or obligations to a reasonable degree without damaging the other

person s similar rights, satisfactions or obligations, and hopefully shares these

rights, etc. with others in free and open exchange . Dalam pengertian lain bahwa

orang yang terampil secara sosial akan mampu berkomunikasi dengan orang lain

Page 258: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

243

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan mampu memenuhi hak-hak orang lain tanpa merusak hak yang lainnya (adil).

Dan berharap membagi hak-hak dan lain-lainya tersebut kepada orang lain secara

terbuka. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut bahwa keterampilan sosial

dapat dijelaskan sebagai keterampilan individu dalam berkomunikasi dengan

orang lain dan keterampilan dalam memenuhi hak-hak orang lain tanpa

mendzalimi hak-hak yang lainnya sehingga memberikan keuntungan bagi dirinya

sendiri, orang lain, maupun keduanya.

Keterampilan sosial (Social Skill) adalah alat yang memungkinkan orang

untuk berkomunikasi, belajar bertanya, meminta bantuan, memenuhi kebutuhan

mereka dengan cara yang tepat, bergaul dengan orang lain, membuat

pertemanan dan mengembangkan hubungan yang sehat, melindungi diri, dan

umumnya dapat berinteraksi dengan siapapun dan semua orang yang mereka

temui sepanjang hidup mereka (Dowd and Tierney, 2005: 1). Artinya anak dituntut

untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian

diri terhadap lingkungan sekitarnya.

Berbagai pendapat tersebut menyimpulkan bahwa keterampilan sosial

sangat penting bagi manusia sebagai makhluk sosial karena ia adalah cara

sebenarnya untuk memulai, untuk terlibat, untuk berkomunikasi, dan untuk

merespon orang lain ketika terlibat dalam suatu hubungan.

Perkembangan Sosial Anak Sekolah Dasar

Menurut Johnston dan Halocha (2010: 169), sekolah dasar adalah masa

yang sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial individu. Pada

masa ini, kemampuan sosial individu mulai berkembang. Menurut Erikson dalam

Slavin (2006: 94), masa anak-anak menengah pada rentang antara usia 9 hingga

12 tahun adalah masa kerja keras versus rasa inferior. Menurutnya, sekolah

memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan diri anak

dalam masyarakat, pembentukan keterampilan sosial dan penanaman konsep diri.

Oleh karena itu Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi

perkembangan keaktifan anak.

Hale, Dariotis and Kuah masih dalam Slavin (2006: 79) mengatakan bahwa

masa kanak-kanak adalah independent action, cooperation with group, and

performing in socially acceptable ways with a concern . Pada masa ini anak mulai

senang membentuk kelompok. Mereka merasa tidak puas bila tidak bersama

teman-temannya (Hurlock, 1980: 155). Mereka belajar menyesuaikan diri dengan

norma-norma kelompok, tradisi dan moral. Oleh karena itu dalam proses

sosialisasi anak akan belajar berperilaku untuk diterima dalam kelompoknya,

Page 259: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

244

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memainkan peran sesuai dengan kelompoknya, dan mengambil atau menentukan

sikap terhadap kelompoknya. Dengan berkelompok ruang gerak hubungan

sosialnya mulai bertambah luas. Mereka tidak hanya belajar untuk bekerja sama

tetapi juga untuk saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab

(Yusuf, 2011: 181).

Menurut Singer & Singer dalam Papalia (2009: 278), perilaku sosial

merupakan perilaku prososial yakni segala perilaku sukarela yang ditujukan untuk

membantu orang lain seperti kerjasama, berbagi, empati, simpati, murah hati dan

suka menolong. Anak yang prososial adalah anak yang memiliki keterampilan

sosial sangat baik. Dryden & Vos (2000: 350) menguraikan ciri-ciri anak yang

memiliki keterampilan sosial tinggi sebagai individu yang memiliki banyak teman,

banyak bersosialisasi di sekolah dan lingkungannya, tampak sangat mengenali

lingkungannya, terlibat dalam kegiatan kelompok di luar sekolah, berperan

sebagai penengah pada teman-teman atau keluarga jika ada konflik, menikmati

permainan kelompok, bersimpati besar terhadap perasaan orang lain, berperan

sebagai penasehat atau pemecah masalah di antara teman-temannya, menikmati

mengajar orang lain, dan tampak berbakat untuk menjadi pemimpin.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli yang telah diuraikan di muka, maka

dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah kemampuan individu dalam berkomunikasi, berempati, bekerja sama,

bertanggung jawab secara efektif, suka menolong, murah hati, berperilaku sesuai

aturan dan norma, dan terlibat dalam kegiatan sosial.

Pola Asuh Orang Tua

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan

pendidikan nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang

diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak

menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda. Sebagaimana telah

dijelaskan bahwa keluarga sebagai salah satu konteks sosial dimana anak hidup

akan sangat banyak mempengaruhi perkembangan anak termasuk perkembangan

sosial. Menurut Hurlock (1980: 170) pengaruh yang mendalam dari hubungan

anak dengan keluarga jelas terlihat dalam berbagai bidang kehidupan. Yang

terpenting diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, pekerjaan di sekolah dan sikap anak terhadap sekolah sangat

dipengaruhi oleh hubungannya dengan anggota keluarga. Hubungan keluarga

Page 260: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

245

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk berprestasi, sedangkan

hubungan yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menimbulkan ketegangan

emosional yang biasanya memberikan efek yang buruk pada kemampuan

berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar.

Kedua, hubungan keluarga mempengaruhi penyesuaian diri secara sosial di

luar rumah. Bila hubungan keluarga menyenangkan, penyesuaian sosial anak di

luar rumah lebih baik daripada hubungan keluarga yang tegang.

Ketiga, peran yang dimainkan di rumah menentukan pola peran di luar

rumah, karena peran yang harus dilakukan di rumah dan jenis hubungan dengan

kakak-adik membentuk dasar bagi hubungannya dengan teman-teman di luar

rumah. Selanjutnya hal ini mempengaruhi pola perilaku anak-anak terhadap

teman-teman mereka.

Keempat, jenis metode pelatihan anak yang digunakan di rumah

mempengaruhi peran anak. Kalau digunakan metode otoriter, anak belajar

menjadi pengikut, dan seringkali menjadi pengikut yang tidak puas seperti

hubungannya dengan orang tua. Sedangkan metode demokratis mendorong

berkembangnya kemampuan memimpin dalam diri anak.

Kelima, anak akan menjadi kreatif atau bersikap konformistis dalam

perilaku sangat dipengaruhi oleh pelatihan di rumah. Metode pelatihan anak yang

demokratis mendorong kreatifitas, sedangkan metode otoriter cenderung

mendorong sikap konformistis.

Keenam, hubungan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam

perkembangan kepribadian anak-anak. Pandangan anak tentang diri mereka

sendiri merupakan cerminan langsung dari apa yang dinilai dari cara mereka

diperlakukan oleh anggota-anggota keluarga. Jika dilihat dari uraian diatas maka

metode pelatihan atau yang lebih dikenal dengan pola asuh (parenting style)

memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan sosial anak. Pola

pendekatan dan interaksi orang tua dengan anak dalam proses pendidikan dalam

keluarga biasa disebut dengan pola asuh. Gunarsa (1983: 24) menyatakan bahwa

pola asuh orang tua adalah cara-cara yang biasa diterapkan oleh orang tua dalam

membimbing anak-anaknya pada suatu keluarga yang biasanya didasari atas

faktor atau sifat-sifat dominan yang melekat pada orang tua. Senada dengan

Gunarsa, Santoso (2004: 77) mengartikan pola asuh sebagai cara pendekatan

orang dewasa kepada anak dalam memberikan bimbingan, arahan, pengaruh dan

pendidikan supaya anak menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri. Sedangkan

Grant dan Ray (2013: 60) mengartikan pola asuh is the general pattern of these

child rearing practices or a set of parenting behaviors. Yang dapat pula diartikan

Page 261: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

246

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai pola umum yang dipraktekkan orangtua dalam membesarkan anak atau

satu set perilaku yang dilakukan orangtua dalam proses pengasuhan anak.

Secara jelas Harington dan Whiting dalam Maria Utama (2000: 10)

mengartikan bahwa pola asuh adalah seluruh interaksi antara orang tua dan anak

yang dalam interaksi tersebut terdapat cara berkomunikasi, menghargai,

memperhatikan, mendisiplinkan, dan bersikap terhadap anak. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diuraikan di muka, maka

pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam bagaimana

berkomunikasi, menghargai, memperhatikan, mendisiplinkan dan bersikap.

Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Baumrind seperti yang dikutip Grant and Ray (2013: 63), menjelaskan

bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, perbedaan pola asuh orang tua akan

menghasilkan profil perilaku anak-anak yang berbeda pula. Menurutnya bahwa

dari beberapa jenis pola asuh, demokratis adalah pola asuh yang menghasilkan

perilaku anak yang positif. Di bawah ini adalah gambaran profil perilaku dari tiga

pola asuh yang dilaporkan Baumrind (2011: 51-52):

Tabel 1. Pengaruh Pola Asuh Terhadap Perilaku Anak

POLA ASUH PERILAKU ORANG TUA PROFIL PERILAKU

ANAK

1. Authoritarian 1. Sikap acceptance rendah, tapi

kontrol tinggi

2. Suka menghukum secara fisik

3. Bersikap mengomando

(mengharuskan/memerintah anak

untuk melakukan sesuatu tanpa

kompromi)

4. Bersikap kaku (keras)

5. Cenderung emosional dan bersikap

menolak

1. Mudah tersinggung

2. Penakut

3. Pemurung, tidak

bahagia

4. Mudah

terpengaruh

5. Mudah stress

6. Tidak mempunyai

arah masa depan

yang jelas

7. Tidak bersahabat

2. Permissive 1. Sikap acceptance tinggi, tapi

kontrol rendah

2. Memberikan kebebasan kepada

anak

1. Bersikap impulsif

dan agresif

2. Suka memberontak

3. Kurang memiliki

Page 262: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

247

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

POLA ASUH PERILAKU ORANG TUA PROFIL PERILAKU

ANAK

3. Cenderung memanjakan rasa percaya diri

dan pengendalian

diri

4. Suka mendominasi

5. Tidak jelas arah

hidupnya

6. Prestasinya rendah

3. Authoritative 1. Sikap acceptance dan kontrol

tinggi

2. Bersikap responsif terhadap

kebutuhan anak

3. Mendorong anak untuk

menyatakan pendapat atau

pertanyaan

4. Memberikan penjelasan tentang

dampak perbuatan yang baik dan

yang buruk

1. Bersikap

bersahabat

2. Memiliki rasa

percaya diri

3. Mampu

mengendalikan diri

4. Bersikap sopan

5. Mau bekerja sama

6. Memiliki rasa ingin

tahu yang tinggi

7. Mempunyai

tujuan/arah hidup

yang jelas

8. Berorientasi

terhadap prestasi.

Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional menurut Shapiro dalam Aunurrahman (2012:

85), pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari

Harvard University dan John Meyer dari University of new Hampshire. Mereka

mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional merupakan himpunan bagian dari

kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi

baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan

menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan .

Goleman menyatakan bahwa emotional intelligence: abilities such as being

able to motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control impulse

and delay gratification; to regulate one s moods and keep distress from swamping

the ability to think; to emphatize and to hope. Dalam pengertian lain bahwa

Page 263: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

248

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan

dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan, mengatur suasana hati dan menjaga

agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan

berdoa.

Pendapat Salovey and Meyer (Salovey and Sulyster, 2004: 197-215) agak

berbeda sedikit dengan pendapat Goleman. Mereka menjelaskan wilayah

kecerdasan emosional sebagai berikut:

Emotional intelligence involves the ability to perceive accurately,

appraise, and express emotion; the ability to understand emotion and

emotional knowledge; and ability to regulate emotions to promote

emotional and intellectual growth.

Meski pendapat salovey and Meyer lebih detail dan spesifik dalam

memaknai kecerdasan emosional, akan tetapi pendapat Goleman lebih luas.

Goleman juga memasukkan berdoa sebagai ciri yang ada pada kecerdasan

emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan dapat melihat

persoalan-persoalan secara jernih, berupaya menyelesaikan persoalan-persolan

tersebut dan berharap adanya kekuatan Penolong Yang Maha Pencipta.

Pengertian kecerdasan emosional yang hampir sama dikemukakan pula

oleh Patton (2000: 1). Menurutnya kecerdasan emosional adalah kekuatan di balik

singgasana kemampuan intelektual yang merupakan dasar-dasar pembentukan

emosi yang mencakup keterampilan-keterampilan seperti: menunda kepuasan

dan mengendalikan impuls-impuls, tetap optimis jika berhadapan dengan

kemalangan dan ketidakpastian, menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara

efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha

mencapai tujuan-tujuan, menangani kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan

rasa empati kepada orang lain dan membangun kesadaran diri dan pemahaman

pribadi.

Hughes dan Thompson (2009: 118) berpendapat bahwa kecerdasan

emosional adalah: A persons innate ability to perceive and manage his/her own

emotions in a manner that result in successful interactions with the environment

and if others are present, to also perceive and manage their emotions in a manner

that results in successful interpersonal interactions. Dimana dapat dijelaskan

bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri dan orang

lain, kemampuan mengendalikan emosi dalam diri dan kemampuan

mengendalikan hubungan dengan orang lain yang menghasilkan kesuksesannya

dalam berinteraksi dengan lingkungan dan antar pribadi.

Page 264: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

249

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari pendapat-pendapat ahli di muka, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kecakapan seseorang dalam mengenali emosi diri, mengelola

emosi, memotivasi diri sendiri dan mengenali emosi orang lain. Keempat dimensi

kecerdasan emosional tersebut dapat terlihat dari beberapa indikator yaitu

mengungkapkan dan memahami emosi diri dan orang lain, mengendalikan emosi,

memotivasi diri, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, ketekunan,

bertahan menghadapi frustasi, dan kemampuan memecahkan masalah.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berbentuk expost facto atau

causal komparatif. Penelitian kuantitatif bertujuan untuk memverifikasi hipotesis

yang diajukan berdasarkan kajian teoretik sebelumnya, atau singkatnya adalah

untuk menguji teori di lapangan. Penelitian expost facto merupakan penelitian

yang menguraikan pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lainnya,

dimana variabel bebas tersebut telah terjadi dan tidak dilakukan kontrol dan

manipulasi. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan

angket atau kuesioner sebagai alat pengumpul data dengan teknik analysis of

variance 2 x 3. Penelitian dilakukan pada kelas VI SD di Mustika Jaya Bekasi pada

awal tahun pelajaran 2015/2016. Populasi yang ditargetkan dalam penelitian ini

adalah seluruh murid Sekolah Dasar Kelas VI di Kecamatan Mustika Jaya Kota

Bekasi yang terdiri dari 36 Sekolah Dasar meliputi 22 Sekolah Dasar Negeri dan 14

Sekolah Dasar Swasta. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah murid Sekolah Dasar dengan jumlah 2 dari 5 gugus sekolah di 4

kelurahan. Teknik pengambilan sampel menggunakan multistage cluster random

sampling. Teknik sampling dilakukan dengan membagi populasi ke dalam satuan-

satuan sampling yang besar (kelompok) disebut cluster, dan dilakukan

pengambilan sampel secara bertingkat (multistage).

Teknik analisis data yang digunakan meliputi teknik analisis deskriptif dan

analisis inferensial. Analisis data dengan teknik inferensial menggunakan teknik

analisis varians dua jalan (Two Way Analysis of Variance) atau disingkat ANAVA.

Semua pengukuran dilakukan pada taraf signifikansi 0,05. Data yang

dikumpulkan ada tiga jenis data, yaitu data keterampilan sosial, pola asuh

orangtua, dan data kecerdasan emosional anak. Ketiga data dalam penelitian ini

dikumpulkan melalui instrumen angket (questionnaire) yang telah divalidasi.

Page 265: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

250

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Setelah dilakukan perhitungan dengan bantuan program SPSS 16.0 for

Window diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 2. ANOVA

Sumber

Varians JK Db RJK Sig Fhitung

Ftabel

α = 0,05

α= 0,01

Antar A 314,899 2 157,450 0,008 4,930 3,06 4,75

Antar B 3601,211 1 3601,211 0,000 112,766 3,91 6,81

Interaksi

A x B 116,424 2 58,212 0,165 1,823 3,06 4,75

Dalam 5301,255 166 31,935

Total 11372,465 171

Keterangan:

1. Tolak H0 apabila F(A) > Ftabel. atau P-value < 0,05. Dengan demikian terdapat

perbedaan rerata keterampilan sosial murid dari kelompok yang yang diasuh

dengan pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif.

2. Tolak H0 apabila F(B) > Ftabel. atau P-value < 0,05. Dengan demikian terdapat

perbedaan rerata keterampilan sosial murid dari kelompok yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi dengan kelompok yang memiliki kecerdasan

emosional rendah.

3. Terima H0 apabila F(AB) < Ftabel. atau P-value > 0,05. Dengan demikian tidak ada

pengaruh interaksi antara faktor pola asuh dan faktor kecerdasan emosional

terhadap keterampilan sosial murid. Artinya pengaruh pola asuh terhadap

keterampilan sosial murid tidak bergantung pada pengaruh kecerdasan

emosional. Oleh karena tidak terdapat interaksi, maka hipotesis antar sel

tidak perlu diuji.

Dari hasil perhitungan tersebut, profil yang muncul adalah seperti

berikut ini:

Page 266: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

251

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 1. Profil Interaksi

Berdasarkan hasil analisis data dapat diuraikan temuan penelitian sebagai

berikut:

1. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh

Demokratis dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Otoriter.

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan

keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh demokratis

dengan murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter. Hasil penelitian ini sesuai

dengan teori yang menjelaskan bahwa murid yang diasuh dengan menggunakan

pola asuh demokratis berperilaku lebih kompeten secara psikologis dan lebih

terampil secara sosial dibandingkan dengan murid-murid yang diasuh dengan pola

asuh yang lainnya (Krause and Dailey, 2009: 342). Sedangkan murid yang diasuh

dengan pola asuh otoriter atau terlalu dihukum seringkali berperilaku secara tidak

kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial,

tidak bisa membuat inisiatif untuk beraktifitas dan memiliki keahlian

berkomunikasi yang buruk, menjadi murid penakut dan terlalu penurut (Santrock,

2007: 74). Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini, maka orang tua, guru,

dan lingkungan yang terlibat dalam pola asuh murid agar lebih menekankan pada

penggunakan pola asuh demokratis daripada pola asuh otoriter. Pola asuh yang

menunjukkan penerimaan terhadap keberadaan dan kehadiran anak, memberikan

konsekuensi logis atas pelanggaran aturan yang disepakati bersama dan

memberikan penguatan positif atas prestasi anak, daripada pola asuh otoriter

yang terlalu menghukum dan mengabaikan prestasi anak. Diharapkan, dengan

pola asuh demokratis, akan terbentuk murid-murid dengan kompetensi sosial

yang baik, ceria, dan bertanggung jawab, bukan pribadi yang cemas, takut

mengambil keputusan, penakut, dan terlalu penurut sehingga mudah dipengaruhi

Page 267: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

252

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

oleh lingkungan yang kurang baik dan cenderung berpotensi menjadi korban

kekerasan sesama mereka.

2. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh

Demokratis dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Permisif.

Data empiris yang diperoleh peneliti membuktikan bahwa terdapat

perbedaan keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh

demokratis dengan murid yang diasuh dengan pola asuh permisif. Hasil penelitian

ini sesuai denganpendapat yang menjelaskan bahwa murid yang diasuh dengan

pola asuh demokratis lebih kompeten secara psikologis, lebih terampil secara

sosial (Krause and Dailey, 2009: 342) dibandingkan dengan murid yang diasuh

dengan pola asuh permisif yang biasanya tidak dapat mengontrol perilakunya,

semaunya sendiri dan bermasalah secara sosial (Santrock, 2007: 74). Oleh karena

itu berdasarkan hasil penelitian ini, maka orang tua, guru, dan lingkungan yang

terlibat dalam pola asuh murid agar lebih menekankan pada penggunakan pola

asuh demokratis daripada pola asuh permisif. Pola asuh yang tidak saja

menunjukkan penerimaan terhadap keberadaan dan kehadiran anak, tetapi juga

memberikan kontrol atas semua perilaku anak dengan memberikan konsekuensi

logis atas pelanggaran aturan yang disepakati bersama dan memberikan

penguatan positif atas prestasi anak, daripada pola asuh permisif yang cenderung

memberikan kebebasan penuh kepada murid. Kebebasan penuh kepada anak

akan membuat anak bersikap semaunya sendiri dan cenderung berperilaku

destruktif dan tidak bertanggung jawab. Diharapkan, dengan pola asuh

demokratis, akan terbentuk murid-murid dengan kompetensi sosial yang baik dan

bertanggung jawab, bukan pribadi yang semaunya sendiri, dan

pengganggu/perusak sehingga memberikan pengaruh yang tidak baik kepada

lingkungan sekitar.

3. Perbedaan Keterampilan Sosial Murid antara yang Diasuh dengan Pola Asuh

Otoriter dengan yang Diasuh dengan Pola Asuh Permisif.

Hasil pengujian hipotesis juga membuktikan bahwa keterampilan sosial

murid kelas VI Sekolah Dasar di kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang diasuh

dengan pola asuh otoriter tidak berbeda dengan keterampilan sosial murid kelas

VI Sekolah Dasar di kecamatan Mustika Jaya Bekasi yang diasuh dengan pola asuh

permisif . Hal ini sesuai dengan pendapat yang menjelaskan bahwa murid yang

diasuh dengan pola asuh otoriter atau terlalu dihukum seringkali berperilaku

secara tidak kompeten secara sosial. Mereka cenderung cemas menghadapi

Page 268: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

253

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

situasi sosial, tidak bisa membuat inisiatif untuk beraktifitas dan memiliki keahlian

berkomunikasi yang buruk, menjadi murid penakut dan terlalu penurut (Santrock,

2007: 74). Dengan kata lain murid dengan pola asuh otoriter memiliki kompetensi

sosial yang rendah sebagaimana murid yang diasuh dengan pola asuh permisif

yang biasanya tidak dapat mengontrol perilakunya, semaunya sendiri dan

bermasalah secara sosial (Santrock, 2007: 74). Oleh karena itu berdasarkan hasil

penelitian ini, maka orang tua, guru, dan lingkungan yang terlibat dalam pola asuh

murid agar tidak menggunakan pola asuh otoriter dan pola asuh permisif yang

cenderung membentuk anak menjadi pribadi yang tidak kompeten secara sosial.

Kedua pola asuh tersebut memberikan efek yang kurang baik bagi kepribadian

anak. Jika pola asuh permisif cenderung membentuk anak yang semaunya sendiri,

perusak, dan tidak bertanggung jawab, maka pola asuh otoriter membentuk anak

dengan kepribadian sebaliknya yaitu anak dengan kepribadian yang penakut,

penurut dan buruk dalam berkomunikasi.

4. Terdapat Pengaruh Interaksi antara Pola Asuh dan Kecerdasan Emosional

Terhadap Keterampilan Sosial Murid.

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa pola asuh dapat

berpengaruh terhadap keterampilan sosial murid tetapi tidak bergantung pada

tingkat kecerdasan emosional murid. Sebaliknya, tingkat kecerdasan emosional

murid juga dapat mempengaruhi keterampilan sosial murid tetapi tidak

bergantung pada pola asuh orangtua. Data empiris ini membuktikan bahwa murid

dengan kecerdasan emosional tinggi jika diasuh dengan pola asuh apapun akan

memiliki keterampilan sosial lebih yang lebih baik dibandingkan dengan murid

dengan kecerdasan emosional rendah. Namun demikian, meskipun secara umum

tidak ada interaksi antara faktor pola asuh dan kecerdasan emosional ternyata

pada kecerdasan emosional tinggi, murid dengan pola asuh permisif memiliki

keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan murid dengan pola asuh

otoriter. Dan pada kecerdasan emosional rendah, murid dengan pola asuh

otoriter memiliki keterampilan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan murid

dengan pola asuh permisif. Artinya bahwa terjadi pengaruh interaksi antara pola

asuh otoriter dan permisif aaaa kecerdasan emosional. Munculnya fakta empiris

yang diperoleh melalui penelitian ini, maka orangtua, guru, dan lingkungan sekitar

murid hendaknya memperhatikan pengembangan kecerdasan emosional murid

sebagai faktor bawaan dengan memberikan stimulus yang terus menerus agar

kecerdasan emosional murid dapat berkembang dengan optimal dan maksimal

Page 269: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

254

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sehingga murid dapat memproduksi perilaku-perilaku sosial yang positif bagi diri

dan lingkungannya.

5. Perbedaan Keterampilan Sosial antara Kelompok Pola Asuh Otoriter dan

Permisif pada Kecerdasan Emosional Tinggi

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan

keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh otoriter dengan

murid yang diasuh dengan pola asuh permisif pada kelompok kecerdasan tinggi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa murid dengan

kecerdasan emosional yang baik biasanya memiliki hubungan sosial yang lebih

harmonis, saling memahami dan sedikit mengalami konflik sosial (Yun Dai and

Sternberg, 2004: 182), karena murid dengan kecerdasan emosional tinggi lebih

mampu mengenali emosi diri dan orang lain, mampu mengendalikan emosi dalam

diri dan mampu mengendalikan hubungan dengan orang lain dan cenderung

mandiri (Hughes and Thompson, 2009: 118). Murid semacam ini, jika diasuh

dengan pola asuh permisif dimana orangtua cenderung mengabaikan anaknya,

tidak terlibat aktif dalam kehidupan anaknya dan tidak mengetahui aktifitas

anaknya (Santrock, 2007: 74), memiliki keterampilan sosial yang lebih baik

dibandingkan dengan jika diasuh dengan pola asuh otoriter yang cenderung

terlalu banyak menghukum dan mengatur. Hal ini disebabkan karena murid yang

memiliki kecerdasan emosional tinggi memiliki kemampuan intelektual yang

merupakan dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan-

keterampilan seperti: menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-impuls,

tetap optimis jika berhadapan dengan kemalangan dan ketidakpastian,

menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif, mampu memotivasi dan

menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan-tujuan, menangani

kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain dan

membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi (Patton, 2000: 1). Dari sudut

neurosscience, murid yang memiliki kecerdasan tinggi mampu mengolah amigdala

secara optimum, sehingga jarang terjadi pembajakan sinyal emosi. Oleh karena

itu, murid dengan kecerdasan emosional tinggi akan memiliki keterampilan sosial

lebih tinggi jika diasuh dengan pola asuh permisif daripada diasuh dengan pola

asuh otoriter. Hal ini berarti bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional

tinggi akan lebih baik jika diasuh dengan menggunakan pola asuh permisif

dibandingkan dengan menggunakan pola asuh otoriter. Sebab pola asuh otoriter

yang terlalu menghukum dan mengatur tidak memberikan ruang bagi anak untuk

mengembangkan potensi emosionalnya. Anak menjadi lebih tertekan sehingga

Page 270: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

255

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

keterampilan sosialnya kurang baik dibandingkan dengan anak yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi yang diasuh dengan pola asuh permisif. Anak dengan

kecerdasan emosional tinggi yang diasuh dengan pola asuh permisif memiliki

keterampilan sosial lebih tinggi karena pola asuh permisif yang cenderung

membiarkan lebih memberikan ruang bagi anak dalam mengembangkan potensi

emosionalnya.

6. Perbedaan Keterampilan Sosial antara Kelompok Pola Asuh Otoriter dan

Permisif pada Kecerdasan Emosional Rendah

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan

keterampilan sosial murid antara yang diasuh dengan pola asuh otoriter dengan

murid yang diasuh dengan pola asuh permisif pada kelompok kecerdasan rendah.

Data empiris tersebut dapat dikaitkan dengan teori yang menjelaskan bahwa

murid dengan kecerdasan emosional yang kurang baik biasanya memiliki

hubungan sosial yang kurang harmonis, kurang saling memahami dan lebih

banyak mengalami konflik sosial (Yun Dai and Sternberg, 2004: 182), karena murid

dengan kecerdasan emosional rendah, kurang mampu mengenali emosi diri dan

orang lain, kurang mampu mengendalikan emosi dalam diri dan kurang mampu

mengendalikan hubungan dengan orang lain dan cenderung tidak mandiri

(Hughes and Thompson, 2009: 118). Pada murid dengan kecerdasan emosional

rendah lebih sering terjadi pembajakan dalam proses informasi emosi di bagian

amigdala. Dalam arti bahwa seringkali sinyal informasi yang berasal dari talamus

tidak melewati neokorteks terlebih dahulu sehingga respon yang muncul

seringkali tidak rasional atau bersifat emosional. Hal ini terjadi karena amigdala

bertindak sementara neokorteks sedang melakukan rumusan perintah (LeDoux,

1996: 209-235). Murid semacam ini memerlukan kontrol dan evaluasi dari

orangtuanya secara ketat (Santrock, 2007: 74), karena mereka kurang memiliki

kemampuan intelektual dalam menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-

impuls, kurang mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam

usaha mencapai tujuan-tujuan, dan kurang mandiri (Patton, 2000: 1). Anak

dengan kecerdasan emosional rendah seringkali mengalami pembajakan sinyal

informasi di bagian amigdala. Jika anak semacam ini dibiarkan tanpa kontrol yang

ketat, dia akan sering memproduksi perilaku yang negatif, tidak bertanggung

jawab dan cenderung destruktif. Oleh karena itu, orangtua yang memiliki anak

dengan kecerdasan emosional rendah sangat beresiko jika menggunakan pola

asuh permisif terhadap anaknya. Terhadap anak yang demikian, orang tua perlu

memberikan kontrol dan pengawasan yang ketat.

Page 271: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

256

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

D. Kesimpulan

Perkembangan keterampilan sosial sebagaimana perkembangan yang

lainnya, sangat dipengaruhi oleh internal/bawaan individu dan stimulus-stimulus

yang diberikan lingkungan terhadap individu tersebut. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa faktor bawaan (hereditas) berpengaruh jauh lebih besar

dibandingkan pengaruh lingkungan terhadap keterampilan sosial.

Murid dengan pola asuh demokratis, baik pada kecerdasan emosional tinggi

maupun pada kecerdasan emosional rendah, memiliki rata-rata keterampilan

sosial teringgi dibandingkan dengan murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter

maupun permisif. Selain itu, pada murid dengan kecerdasan emosional tinggi,

menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik jika diasuh dengan pola asuh

permisif daripada jika diasuh dengan pola asuh otoriter. Sebaliknya, pada

kecerdasan emosional rendah, murid yang diasuh dengan pola asuh otoriter

menunjukkan keterampilan sosial yang lebih baik daripada jika diasuh dengan

pola asuh permisif. Besarnya kontribusi faktor kecerdasan emosional murid dalam

mempengaruhi keterampilan sosial siswa sebesar 39,4% lebih besar dari

kontribusi faktor pola asuh terhadap keterampilan murid hanya sebesar 4,4 %.

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka terdapat beberapa hal

yang dapat direkomendasikan peneliti, diantaranya adalah:

1. Bagi pemerhati Pendidikan Dasar, agar dilakukan kajian terus menerus

tentang bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional murid,

menerapkan pola asuh yang tepat, dan bagaimana meningkatkan

keterampilan sosial murid di sekolah dasar. Hendaknya mereka terus

mengkaji dan menggali baik secara empiris maupun teoritis tentang hal-hal

yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan emosional, peningkatan

keterampilan sosial, dan penerapan pola asuh terhadap murid di sekolah

dasar.

2. Bagi orangtua agar memperhatikan dan merangsang pengembangan

kecerdasan emosional murid, karena variabel ini lebih besar pengaruhnya

terhadap keterampilan sosial murid dibandingkan dengan variabel pola asuh.

Murid dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki keterampilan sosial yang

lebih baik dibandingkan dengan murid dengan kecerdasan emosional rendah

pada metode pengasuhan apapun. Disamping itu hendaknya orangtua

memperhatikan pola asuh yang digunakan terhadap anaknya. Agar anak

memiliki keterampilan sosial yang tinggi, maka pola asuh yang paling tepat

digunakan adalah pola asuh demokratis. Apabila sulit dilaksanakan, maka

orangtua harus memperhatikan tingkat kecerdasan emosional anak. Jika

Page 272: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

257

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kecerdasan emosional tinggi, maka sebaiknya menggunakan pola asuh

permisif daripada pola otoriter. Sebaliknya, jika kecerdasan emosional anak

rendah maka sebaiknya digunakan pola asuh otoriter daripada pola asuh

permisif.

3. Bagi orangtua, guru, dan lingkungan sekitar agar melakukan stimulus dan

teladan yang baik secara terus menerus agar kecerdasan emosional murid

dapat meningkat.

4. Bagi guru sekolah dasar, agar mendesain teknik pembelajaran yang tepat

bagi pengembangan kecerdasan emosional dan peningkatan keterampilan

sosial.

5. Sekolah dan segenap perangkat didalamnya agar memperhatikan dan

mengembangkan keterampilan sosial murid dengan memperhatikan dan

mendesain kurikulum, strategi, dan sarana prasaran yang tepat guna dalam

peningkatan keterampilan sosial murid. Memperhatikan pengembangan

kecerdasan emosional murid, dan bersinergi dengan orangtua untuk selalu

menerapkan pola asuh yang tepat terhadap murid.

6. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional agar

menyediakan dan memfasilitasi baik kurikulum, dana, sarana, dan lainnya

bagi pengembangan keterampilan sosial murid. Disamping itu, pemerintah

perlu memberikan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi orangtua dan

guru terkait dengan metode pengasuhan, pengembangan kecerdasan

emosional, dan peningkatan keterampilan sosial murid. Pemerintah

hendaknya memberikan wawasan pengetahuan dan bimbingan kepada

orangtua tentang bagaimana mengasuh anak sehingga tujuan pendidikan

yang digariskan dapat tercapai.

E. Daftar Pustaka

A Review for The Early Intervention Foundation, Social and Emotional Skills in

Childhood and Their Long Term Effects on Adult Life,11th

march 2015.

Atkinson, Rita L. et all., (1983) Pengantar Psikologi: terjemahan Nurdjanah Tufik

dan Rukmini Barhana, Jakarta: Erlangga

Aununrrahman, (2012) Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta

B.R. Hagenhan and Matthew J. Oslon, (1997) An Introduction to Theories of

Learning, New Jersey: Prentice-Hill, Inc.

Devins, David, Johnson, Steve and Sutherland, John, (2004) Different Skills and

Their Different Effect on Personal Development, Journal of European

Industrial Training Volume 28 number 1, 2004.

Page 273: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

258

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds dan Ruth Duskin Fieldman, Human

Development, Perkembangan Manusia. Terjemahan: Brian Marswendy,

Jakarta: Salemba Humanika, 2009.

Dowd, Tom and Tierney, Jeff, Teaching Social Skills to Youth, 2nd

Edition Boys

Town Press: 2005.

Dryden & Vos, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution): Belajar Akan

Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan Fun Bagian II: Sekolah Masa Depan,

Bandung: Mizan Media Utama: 2000.

Erdley, Cynthia A.,. et.al., Social-Cognitive Models And Skills.

Goleman, Daniel, Social Intelligence: The New Science of Human Relationships,

New York: Bantam Dell, 2006.

Grant, Kathy B. and Ray Julie A., Home, School, and Community Collaboration, 2nd

Edition,London: SAGE Publications, 2013.

Gunarsa, Singgih D., Psikologi Perkembangan Murid dan Remaja, Jakarta: BPK

Gunung Mulya, 1983.

Hargie, Owen, The Handbook of Communication Skills, third Edition, New York:

Routledge, 2006.

http://kamusbahasaindonesia.org/

Hughes, Marcia, and Thompson, Henry L., Emotional and Social Intelligence, San

Fransisco: Preiffer, 2009.

Hurlock, Elizabeth B., Child Development, London: McGrawHill, 1956.

Hurlock, Elizabeth B., Psikologi Perkembangan, Terjemahan Istiwidayanti, Jakarta:

Erlangga, 1980.

Jensen, Eric, Enriching The Brain: how to maximize every learner's potential, San

Fransisco: Jossey Bass, 2006.

Johnston, Jane and Halocha, John, Early Childhood and Primary Education,

England: Mc GrawHill, 2010.

Krause, Pacey H. and Dailey, Tahlia M., Handbook of Parenting: Styles, Stresses,

and Strategies, New York: Nova Science Publishers, 2009.

Le Doux, Joseph, Emotion: Memory and Brain, Scientiefic American, June 1994.

LeDoux, Joseph E., Emotion:Clues from the Brain , Annual Review of Psychology,

46, 1995.

LeDoux, Joseph, Emotion. Memory and the Brain , Scientiefic American, June

1994.

LeDoux, Joseph., The Emotional Brain, New York: Simon & Schuster., 1996.

Marliyah, Lina, Fransisca I. R. Dewi & P. Tomy Y.S., Journal Provitae, Volume 1, no.

1 Desember 2004.

Page 274: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Siti Masyithoh, (2018) The Influence of Parents Parenting, hal. 240 - 259

259

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mussen, Paul Henry., et.al, Child Develpoment and Personality: terjemahan

Meitasari Tjandrasah, akarta: Erlangga, 1984.

Patton, Patricia, EQ (Emotional Intelligence): Development From Success to

Significance, terjemahan Hermes, Mitra Media, 2000.

Pesoa, Luiz, The cognitive-emotional brain : from interactions to integration,

Cambridge: MIT Press, 2013.

Salovey, Peter & Sulyster, D.J., Emotional Develompment and Emotional

Inteligence, New York: Basic Books, 1997.

Santrock, John W., Child Development, Jilid 1 Edisi ke-11, Terjemahan Mila

Rahmawati (Jakarta: Erlangga, 2007.

Santrock, John W., Educational Psychology, Boston: Mc. Graw Hill, 2011.

Slavin, Robert E., Educational Psychology: Theory and Practice, 8th

-ed Boston:

Pearson, 2006.

Soegeng Santoso, Pendidikan Murid Usia Dini , Jakarta: Citra Pendidikan, 2004.

Sternberg, Robert J., Psikologi Kognitif edisi ke-4: terjemahan Yudi Santoso,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Strangman,K.T. The Psychology of Emotion, (New York : Chichester, John Wiley &

Sons., 1996.

Taebe, Malikeh. B and . N, Social Skills: A Factor to Employees' Success,

International Journal of Academic Research in Business and Social

Sciences, March 2013, Vol. 3, No. 3.

Umam, Khaerul, Perilaku Organisasi, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Yun Dai, David and Sternberg, Robert J., Motivation, Emotion, and Cognition,

London: LEA, 2004.

Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Murid dan Remaja, Bandung:

Rosdakarya, 2011.

Page 275: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

260

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penerapan Expert Model Concept untuk

Meningkatkan Tanggung Jawab Belajar dan

Prestasi Akademik Siswa Kelas 5 SDN Sogaten

Madiun

Fidrayani

Pendidikan Islam Anak Usia Dini – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeksripsikan bagaimana

penerapan Expert Model Concept untuk meningkatkan tanggung jawab

belajar siswa, (2) mendeskripsikan bagaimana penerapan Expert Model

Concept untuk meningkatkan prestasi akademik siswa kelas 5 sekolah

dasar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis

Penelitian Tindakan Kelas dan data dikumpulkan dengan menggunakan

checklist dari 37 orang siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)

penerapan Expert Model Concept dapat meningkatkan tanggung jawab

belajar siswa, dan (2) penerapan Expert Model Concept dapat

meningkatkan prestasi akademik siswa. Bagi penelitian berikutnya

diharapkan diterapkan pada mata pelajaran lain sehingga lebih jelas

peran expert maupun novice. Juga direkomendasikan pada tingkat

pendidikan dasar untuk memberi kontribusi terhadap pendidikan dasar

yang lebih baik.

Kata Kunci: Expert model Concept, tanggung jawab, prestasi akademik

Page 276: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

261

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Tanggung jawab penting bagi anak untuk menumbuhkan kemandirian dan

mengatur dirinya sendiri bahkan kemampuan untuk memutuskan sesuatu yang

sulit (Frones, 2007; Butler, Bjerke, Shipway, Fitzgerald & Graham, 2009). Perilaku

bertanggung jawab dapat dilihat dari bagaimana siswa mengerjakan tugasnya

tanpa diingatkan atau didorong oleh orang lain (Morris, 1961). Sebaliknya, siswa

yang tidak bertanggung jawab mengalami hambatan dalam kemajuan akademik,

bahkan menghambat pembelajaran karena terkadang mereka tidak peduli

terhadap tugas bahkan tidak mengerjakan sama sekali. Siswa yang kurang

memiliki tanggung jawab tidak hanya terbentur dengan masalah pembelajaran,

mereka juga tidak membuat pekerjaan rumah, menyerahkan tugas tidak tepat

waktu (Triana, 2009). Hasil pengamatan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti

ditemukan bahwa: (1) dalam proses belajar mengajar, guru masih harus

mengingatkan siswa mengenai tugas atau pekerjaan yang diberikan, siswa

terkesan tidak mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan beberapa anak tidak

mengerjakan tugas sama sekali, (2) metode pembelajaran yang digunakan oleh

guru adalah metode ceramah sehingga siswa kurang memahami bagaimana

seharusnya menggunakan pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan yang

baru, (3) siswa belum menyadari perannya dalam kegiatan belajar sehingga hasil

yang didapatkan kurang optimal, contohnya dalam menyelesaikan tugas

pertanyaan bacaan, hanya beberapa siswa yang mampu menyelesaikan tugas

tersebut, padahal seharusnya pada tahapan usia kelas 5 SD diharapkan sudah

mampu menjawab pertanyaan bacaan. Hal ini disebabkan karena perilaku yang

nampak adalah siswa kurang memahami isi bacaan dan bagaimana seharusnya

perilaku yang mendukung supaya kegiatan belajar tersebut dapat meningkatkan

prestasi belajar, (4) penggunaan metode pembelajaran belum menstimulasi siswa

untuk aktif secara keseluruhan sehingga hanya siswa tertentu saja yang aktif

dalam kegiatan belajar. Littlewood (dalam Gamble, Aliponga, Wilkins, Koshiyama,

Yoshida & Ando, 2012) menekankan bahwa siswa seharusnya bertanggung jawab

dalam pembelajarannya disebabkan karena mereka sendiri yang akan menjalani

semua pembelajaran hingga mencapai tujuan akhir. Selanjutnya dikatakan bahwa

tanggung jawab akan dimiliki oleh siswa apabila mereka mengembangkan

kemampuan tanggung jawab dalam belajar (Scharle & Szabo, 2000). Dalam

konteks akademik, isu yang terkait dengan pengembangan tanggung jawab siswa

dalam pembelajaran adalah refleksi kesadaran dari berbagai pihak yang terkait

untuk meningkatkan prestasi dan performansi akademik (Corno, 1992) serta

meningkatkan kualitas pebelajar (Anderson & Prawat, 1983; Bacon, 1990).

Tanggung jawab dalam pembelajaran dipandang Brown (dalam McCombs, 2012)

sebagai sesuatu yang menjadi luas. Semakin mampu seseorang bertanggung

jawab dalam hal kecil, maka dia tidak akan pernah menghindar untuk mengambil

tanggung jawab yang lebih besar.

Page 277: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

262

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tanggung jawab erat kaitannya dengan otonomi diri. Rogers, Kell, dan

McNail (dalam McCombs, 2012) mengemukakan pentingnya otonomi diri.

Seseorang yang melihat situasi dengan jelas dan bertanggung jawab terhadap

dirinya sendiri akan sangat berbeda dengan orang yang berperilaku sebaliknya.

Perbedaan ini sangat jelas dan merupakan aspek yang penting dalam perilaku

seseorang. Allan (2006) mengemukakan bahwa tanggung jawab dalam

pembelajaran dipandang siswa sebagai sesuatu yang terpisah dari otonomi diri

dan kemampuan untuk mengontrol pembelajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa

anak perlu dilatih bagaimana mengembangkan rasa tanggung jawab dalam

pembelajaran karena pemerolehan tanggung jawab didapatkan dari kedua

komponen tersebut. Selain otonomi diri, tanggung jawab dipengaruhi oleh

motivasi. Scharle dan Shabo (2000) menjelaskan bahwa motivasi adalah pondasi

dasar untuk mengembangkan rasa bertanggung jawab. Secara spesifik ditekankan

bahwa motivasi instrinsik adalah apa yang disebut dengan performansi untuk

menyelesaikan tugas, menerima reward melalui proses penyelesaian tugas, juga

termasuk menerima reward eksternal, misalnya dari guru ataupun teman

sebaya. Sebuah petunjuk penting bagi guru untuk mengembangkan tanggung

jawab anak dalam pembelajaran adalah dengan mendorong motivasi instrinsik,

sehingga anak memperoleh autonomous learning dan self-determination. Kedua

aspek tersebut dapat menjadikan siswa lebih bertanggung jawab terhadap hasil

pembelajarannya. Sejauh hasil pembelajaran dapat dikontrol, juga disarankan

agar guru membuat siswa mampu membuat keputusan akademik yang penting

(McCombs, 2012). Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan menjadikan

siswa memiliki kontrol dan kepemilikan pembelajaran mereka sendiri. Hal ini juga

membantu mereka membangun rasa tanggung jawab dan motivasi diri.

Tanggung jawab diperoleh siswa dengan peniruan, baik itu guru maupun

teman sebaya. Penelitian Lewis (dalam Hasibuan, 2013) salah satu faktor

penyebab kurangnya tanggung jawab siswa adalah guru mampu menjelaskan

tentang tanggung jawab akan tetapi tidak dapat menerapkannya pada diri sendiri.

Oleh karena itu, penting bagi guru untuk mengembangkan tanggung jawab siswa

bukan hanya dari dirinya, akan tetapi menjadikan siswa lain sebagai model atau

contoh. Such & Walker (2004) menemukan bahwa tanggung jawab anak

berkembang sesuai dengan usia kronologis dan situasi yang berbeda. Pengalaman

anak terkadang berbeda dengan harapan perkembangan. Contohnya, ketika

orang dewasa meremehkan kemampuan anak yang lebih muda, sementara yang

lebih tua sikapnya tidak bertanggung jawab atau orang dewasa yang gagal

menjadi model yang ideal. Dalam hal ini anak pada usia sekolah dasar cenderung

meniru perilaku bertanggung jawab dari orang lain di sekitarnya. Tanggung jawab

dalam pembelajaran terkait dengan isu yang dihubungkan dengan parsitipasi

dalam tugas-tugas akademik dalam lingkup tertentu, spesifik terhadap

penyesuaian sosial (Anderson & Prawat, 1983; Hamilton, 1978; Warton, 1997;

Warton & Goodnow, 1991). Bjerke (2011) menyatakan bahwa pada usia anak-

Page 278: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

263

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

anak, tanggung jawab diartikan sebagai hak istimewa dimana anak diberi

kesempatan untuk berpartisipasi langsung dan memutuskan sesuatu, dipandang

sebagai kesempatan untuk memberi pengaruh dalam memutuskan sesuatu atau

bertindak dengan bebas, dalam artian lebih dominan. Hal ini menunjukkan bahwa

tanggung jawab merupakan sesuatu yang perlu dipelajari melalui pengalaman dan

latihan terutama pada kehidupan anak-anak.

Hurlock (1980) mengemukakan bahwa bagi banyak orang tua, masa usia

sekolah dasar merupakan usia yang menyulitkan, dimana anak lebih banyak

dipengaruhi oleh teman sebaya daripada orang tua atau anggota keluarga lainnya.

Pada masa anak, anak terutama anak laki-laki, kurang memperhatikan dan tidak

bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Scharle dan Szabo (2000)

menekankan pentingnya pengembangan kemampuan untuk mengembangkan

tanggung jawab pada siswa. Mereka juga menekankan pentingnya motivasi

instrinsik karena siswa yang memiliki motivasi instrinsik dapat menemukan tujuan

pembelajaran dan membuat mereka lebih dapat bertanggung jawab terhadap

hasilnya. Gamble et. al (2012) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan

tanggung jawab siswa diperlukan latihan dan penguatan dalam strategi

metakognisi yang bertujuan agar siswa dapat memahami keterlibatan mereka

dalam pembelajaran.

Expert Model Concept (Joyce & Weil, 1996) dikembangkan untuk

mengetahui bagaimana seorang ahli meningkatkan kemampuannya dan

bertanggung jawab dalam pembelajarannya. Sebagaimana yang dikemukakan

oleh Scharle dan Szabo (2000) bahwa meningkatkan kemampuan juga akan

meningkatkan tanggung jawab siswa dalam pembelajarannya. Ini merupakan

relevansi penting antara model keahlian dalam meningkatkan kemampuan dan

tanggung jawab siswa. Expert Model Concept (EMC) dikembangkan oleh beberapa

ahli dalam pembelajaran. Johnson-Pynn & Nisbet (2002) meneliti bagaimana anak

bekerjasama dalam menyusun balok untuk menyelesaikan sebuah rumah. Strategi

novice-expert digunakan untuk memasangkan anak yang disebut dengan expert,

anak yang memiliki kemampuan lebih dari temannya, dengan novice, anak yang

kemampuannya kurang. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika anak bekolaborasi

dengan teman sebaya, mereka mengeksplor ide, merefleksi dan

mengorganisasikan pengetahuan, dan bertanggung jawab terhadap kegiatan

belajarnya. Sternberg (1998) berpendapat bahwa kemampuan dibangun untuk

mendapatkan keahlian. Menurut pendekatan ini, individu membangun

pengetahuannya selama beberapa waktu berdasarkan pengalaman yang

berhubungan dengan domain pengetahuan, yang bertujuan untuk

meningkatkan keahlian. Expert memiliki skema yang lebih luas, lebih kaya,

organisasi konsep skema yang berisi pemahaman deklaratif, prosedural, dan

kondisional tentang domain. Expert lebih efisien dalam memecahkan masalah,

memonitor kemajuan mereka, memberikan alternatif solusi. Perspektif waktu

dan tugas merupakan dua hal yang penting dalam model ini. Semakin banyak

Page 279: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

264

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

waktu yang digunakan anak untuk mempelajari skill dari pasangan maka akan

semakin meningkat juga skillnya. Tanggung jawab anak dilihat dari kedua

perspektif ini konteks tanggung jawab dalam pembelajaran. Pengembangan

model belajar novice-expert merupakan solusi bagaimana mengintegrasikan

keterampilan dalam konteks pembelajaran, yaitu novice-expert guided practice

dalam lingkup kecil. Yang dimaksud dalam lingkup kecil adalah kelas, dimana

integrasi keterampilan diperoleh anak dari teman sebaya melalui empat tahapan

yaitu immersion, attention, practical, dan integration. Expert adalah anak yang

memiliki pengalaman dan skill dalam mengerjakan tugas sedangkan novice

sebaliknya, anak yang kurang pengalaman dan keterampilan. Hal ini

mengindikasikan bahwa jika dipasangkan novice akan menjadi reseptif terhadap

bantuan yang diberikan expertnya, mengindikasikan rekognisi, dan penerimaan

kompetensi dari expertnya (Bandura, 1977).

Penerapan Expert Model Concept dibagi dalam empat proses membangun

tanggung jawab siswa dalam pembelajaran, yaitu: Immersion, tahap dimana siswa

melihat dengan seksama bentuk dasar dari perilaku yang akan ditiru dan mulai

menghadirkan kerangka besar untuk mengenali pola dasar perilaku, anak mulai

membangun kesadaran awal dan rekognisi dari elemen skill. Tahapan ini ditandai

dengan proses anak mulai mengadakan interaksi dengan teman sebaya dan

membangun pemahaman, guru memilih anak expert dan anak novice, kegiatan

ini menunjukkan bahwa anak dibawa pada kondisi expertnya. Tanggung jawab

ditunjukkan dengan melalui kegiatan ini dengan indikator anak mau mengerjakan

tugas, dapat dipercaya untuk membimbing teman lainnya. Kesediaan anak untuk

membantu temannya menunjukkan tanggung jawab. Attention, merupakan tahap

dimana anak belajar untuk fokus pada detil skill dan bentuk dasar perilaku,

membangun dasar pengetahuan. Tahapan ini ditandai dengan memulai kegiatan

membaca, secara bergantian anak membaca teks bacaan, secara bergantian anak

mengontrol temannya membaca wacana yang sudah disediakan oleh guru, expert

sebagai model memiliki kewajiban untuk membaca tepat waktu dan memahami

bacaan berdasarkan kriteria. Practical, merupakan tahap dimana siswa mulai

belajar untuk mengatur tujuan, merencanakan langkah-langkah dalam

menyelesaikan tugas dan mempraktikkan skill. Tahapan ini ditandai dengan

kegiatan menyelesaikan tugas tepat waktu dan memahami wacana yang sama

dengan expert. Expert berkewajiban memberitahu hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam kegiatan memahami wacana sehingga novice dapat mempraktikkan dan

memahami wacana berdasarkan kriteria. Integration, merupakan tahapan dimana

anak melaksanakan rencana-rencana dan mengatasi kesulitan dalam belajar.

Tahapan ini ditandai dengan melaporkan hasil tulisan dan koreksi pekerjaan

masing-masing, berani bertanya jika merasa kesulitan, mengerjakan tugas dengan

sungguh-sungguh. Narvaez dan Lapsley (2008) melakukan metanalisis terhadap

kelemahan guru dalam mengembangkan domain pembelajaran. Solusi yang

ditawarkan dalam analisisnya adalah sebuah model pembelajaran novice-expert

Page 280: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

265

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

guided practice, dengan hasil analisis bahwa model ini dapat digunakan oleh guru

dalam meningkatkan hasil belajar dan tanggung jawab.

B. Metode Penelitian Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif dan jenis

penelitiannya adalah Penelitian Tindakan kelas. Jenis Penelitian Tindakan Kelas

yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam Collaborative Action

Research (Kemmis & McTaggart, 2005). Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

digunakan sebagai rancangan penelitian untuk mencapai tujuan perbaikan

kualitas pembelajaran. Kerjasama dilakukan oleh peneliti dan guru sebagai pihak

yang memegang peran penting dalam perbaikan pembelajaran. Inisiatif awal

untuk melakukan proyek penelitian di sekolah merupakan ide peneliti.

Kolaborasi ini merupakan tipe paling umum yang dilakukan dalam penelitian

tindakan kelas (Hers & Anderson, 2005).

Penelitian dilaksanakan di SDN Sogaten Madiun Kelas 5 karena siswa

memiliki permasalahan sebagaiamana fenomena penelitian ini, yaitu perilaku

tidak bertanggung jawab dalam kegiatan belajar. Pihak sekolah terutama kepala

sekolah dan guru memiliki keinginan untuk mengatasi masalah tanggung jawab

siswa melalui penerapan EMC melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Sekolah

sebagai pihak yang berwenang bersedia bekerjasama dengan peneliti untuk

melakukan penelitian tindakan kelas dengan memberi kesempatan kepada

peneliti untuk berkolaborasi dengan guru.

Setelah studi pendahuluan dan penagamatan pada beberapa sekolah di

karasidenan Madiun, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di SDN

Sogaten ini karena kesediaan dan keterbukaan pihak sekolah dan guru untuk

berkolaborasi dalam penelitian. Antusiasme guru dan kepala sekolah sangat

penting bagi peneliti untuk mengadakan penelitian karena merupakan pintu

masuk untuk melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya.

Penelitian Tindakan Kelas menggunakan kelas sebagai setting

pembelajaran dan pengumpulan data. Penelitian ini akan dilaksanakan pada kelas

5 SDN Sogaten Madiun yang dipilih berdasarkan studi awal. Dasar pertimbangan

dipilihnya siswa kelas 5 sebagai subyek penelitian adalah (1) berdasarkan tahapan

perkembangan anak, pada usia ini tanggung jawab anak dalam pembelajaran

dapat dikembangkan, (2) tidak terganggu dengan ujian nasional.

Pertimbangan pemilihan kelas 5 ini berdasarkan pertimbangan kepala

sekolah agar siswa kelas 5 tersebut memiliki kesiapan menghadapi UN pada

tahun berikutnya. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari guru bahwa

perilaku siswa kelas 5 kurang bertanggung jawab terhadap pembelajaran

sehingga hasil belajarnya juga kurang memuaskan.

Data dalam penelitian ini berupa: (1) lembar kegiatan siswa setiap selesai

mengerjakan tugas membaca teks bacaan, (2) hasil observasi guru dan peneliti

selama dalam proses pembelajaran, (3) hasil wawancara peneliti dengan subyek

Page 281: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

266

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penelitian sejauh mana perkembangan atau kesan yang didapatkan selama

mengikuti proses pembelajaran, (4) catatan lapangan yang berisikan kegiatan

peneliti dan kegiatan siswa dalam tindakan pembelajaran selama dalam proses

penelitian. Dalam penelitian ini, tiga jenis data yang dikumpulkan oleh peneliti

yaitu: (a) data perilaku siswa yang bersifat fisikal, (b) data perilaku siswa yang

bersifat non fisikal, dan (c) data yang menggambarkan kemajuan siswa dalam

membaca teks bacaan.

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas: (a) lembar

observasi tanggung jawab belajar siswa, (b) lembar pengamatan proses PBM

siswa, (c) catatan lapangan, (d) pedoman wawancara. Uji validitas instrumen

perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana instrumen dapat digunakan. Uji

instrumen lembar pengamatan dilakukan oleh tiga ahli psikologi pendidikan dan

untuk bahan ajar Bahasa Indonesia dilakukan oleh dua ahli Bahasa Indonesia.

Simulasi perlu dilakukan untuk memastikan apakah guru dapat

melaksanakan pembelajaran EMC dengan baik. Simulasi ini bertujuan untuk

mengetahui kelayakan tindakan yang telah disusun untuk diterapkan di kelas.

Tahap pertama, peneliti memberikan bahan bacaan dan RPP untuk kemudian

dipelajari oleh guru. Peneliti menjelaskan EMC dan pelaksanaannya dalam kelas

sesuai dengan rancangan yang telah disusun bersama. Peneliti dan guru

berdiskusi agar pelaksanaan sesuai dengan RPP. Guru mempelajari RPP dan bahan

bacaan dan akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya.Tahap kedua, guru

mempraktikkan EMC dalam kelas. Pada kesempatan tersebut, peneliti

mengundang kepala sekolah dan dua orang guru senior untuk melihat apakah

simulasi tersebut sudah berjalan baik dan benar sesuai dengn RPP. Simulasi

dilakukan kembali sampai guru yakin sudah mampu melaksanakan dengan baik.

Guru merasa antusias dengan model EMC karena setiap tahapan dapat dikuasai

dengan baik.

Analisis deskriptif yang dilakukan setiap siklus dijelaskan berdasarkan skor

tanggung jawab belajar pada masing-masing pertemuaUntuk mengetahui berhasil

tidaknya Penelitian Tindakan Kelas perlu dibuat indikator keberhasilan tindakan.

Selain indikator keberhasilan, juga perlu dibuat indikator proses. Indikator proses

berisi langkah-langkah pokok tindakan untuk mencapai keberhasilan yang telah

ditetapkan dalam tindakan. Indikator keberhasilan dapat dilihat dari dua aspek,

proses pembelajaran dan hasil belajar. Indikator ketercapaian tindakan diperlukan

untuk menentukan pencapaian yang diperoleh siswa dalam sebuah proses

pembelajaran. Siswa melaksanakan tindakan pembelajaran yang diharapkan

sesuai dengan indikator dan deskriptor sehingga memperoleh kualifikasi yang

diharapkan. Evaluasi dilakukan setelah proses pengamatan dalam kegiatan

pembelajaran. Evaluasi terkait sejauhmana kegiatan yang diaksanakan dapat

berjalan sesuai dengan target. Dari hasil evaluasi tersebut peneliti merefleksikan

hasil kegiatan belajar untuk perbaikan pada pertemuan berikutnya.

Page 282: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

267

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Pengamatan pendahuluan dilakukan oleh peneliti selama empat minggu.

Pengamatan ini dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan

yang dilakukan mengamati keadaan kelas yang menjadi tempat penelitian dan

mengidentifikasi kemampuan awal siswa. Dalam tahapan ini, selama empat kali

pertemuan mata pelajaran Bahasa Indonesia digunakan untuk mengidentifikasi

dan menilai tanggung jawab siswa dalam kegiatan belajar, performansi awal

siswa, dan metode yang digunakan oleh guru. Pada pertemuan yang terakhir

dilakukan ujicoba prasiklus dengan menggunakan format dari tanggung jawab

siswa yang telah dikembangkan pada tahap sebelumnya. Melalui prasiklus ini,

diperoleh kesimpulan tentang tanggung jawab siswa dalam kegiatan belajar

sebelum penelitian tindakan dilaksanakan. Data ini kemudian dijadikan data awal

untuk menilai keberhasilan tindakan. Identifikasi terhadap performansi siswa

dilakukan dengan observasi yang bertujuan untuk mengamati kegiatan siswa

dalam kegiatan belajar. Hasil identifikasi tersebut digunakan peneliti untuk

menilai deskriptor yang telah disusun apakah nampak sebagai perilaku yang dapat

diamati.Selain itu, peneliti juga mengamati metode pembelaran yang digunakan

oleh guru. Metode pembelajaran yang dipakai oleh guru menjadi acuan bagi

peneliti untuk mengetahui apakah metode yang digunakan oleh guru sudah tepat

dan melihat apakah ada perbedaan antara penggunaan model pembelajaran

sebelum dan sesudah penelitian tindakan kelas dilakukan.

Keterlaksanaan empat tahapan model EMC pada pertemuan pertama

belum menunjukkan hasil bahkan cenderung masih mengikuti pembelajaran

konvesional, pertemuan kedua sampai keempat mengalami peningkatan.

Pertemuan pertama tidak ada siswa yang mencapai kategori baik, kurang 35,1%,

dan sisanya 64,9% kategori sedang. Pertemuan keempat kategori cukup 32,4%

sisanya kategori baik 67,6%. Rata-rata prestasi akademik siswa 76,2.

Keterlaksanaan Expert Model Concept diamati oleh peneliti menggunakan

panduan observasi yang telah disusun oleh peneliti. Secara ringkas dapat

disimpulkan bahwa dalam siklus pertama tidak semua tahapan dalam model

dapat terlaksana. Ada bagian-bagian yang terlewati sehingga tidak

menggambarkan siklus model pembelajaran secara menyeluruh. Hasil

peningkatan tanggung jawab belajar siswa menunjukkan perubahan yang cukup

signifikan pada hasil belajar dan tanggung jawab, namun demikian target yang

ditelah ditetapkan oleh peneliti belum sepenuhnya tercapai. Pada tahap

perencanaan telah dituliskan bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan empat

tahapan yaitu, (1) immersion, (2) attention, (3) practical, dan (4) integration.

Namun pada kenyataannya tidak semua tahapan bisa terlaksana karena

kurangnya kemampuan peneliti dalam pengaturan waktu sehingga ada bagian

yang tidak terlaksana. Semua tahapan seharusnya memiliki keterkaitan, namun

pada siklus 1 belum nampak hal tersebut. Walaupun pada pertemuan keempat

sudah menunjukkan kenaikan namun belum sesuai dengan kriteria yang

Page 283: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

268

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diharapkan. Penerapan EMC seharusnya berpusat pada siswa, seringkali masih

berpusat pada guru. Peran siswa terutama expert belum maksimal dalam

membantu novicenya dan begitupun sebaliknya siswa novice belum memahami

bagaimana cara memanfaatkan waktu untuk bekerjasama dengan expert.

Rencana perbaikan untuk siklus berikutnya adalah: (1) dalam kegiatan

pembelajaran guru berusaha agar seluruh siswa terlibat aktif dan semua aktivitas

dapat dilakukan oleh siswa. Memberi arahan pada guru bagaimana seharusnya

model pembelajaran dilaksanakan. Mengarahkan guru agar dapat menstimulasi

siswa dengan pertanyaan yang lebih variatif, (2) memberikan bimbingan secara

individual untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi oleh siswa, kegiatan

bimbingan dikhususkan kepada siswa tertentu yang mengalami kesulitan dalam

mengikuti kegiatan belajar. (3) guru bersama peneliti memperbaiki rancangan

pelaksanaan pembelajaran dan memilih materi yang dapat diterima dan dipelajari

oleh siswa. Memperbaiki indikator pembelajaran sehingga penggunaan waktu

sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa dalam siklus kedua hampir semua

tahapan dalam model dapat terlaksana. Hasil peningkatan tanggung jawab siswa

dari instrumen pengamatan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan pada

hasil belajar dan tanggung jawab dan target yang telah ditetapkan hampir

terpenuhi, namun masih ada indikator yang dirasa peneliti masih kurang dari hasil

tindakan pembelajaran. Pertemuan terakhir siklus kedua menunjukkan hasil

kategori baik 70,2% dan sisanya 29,8% kategori sedang. Rata-rata prestasi

akademik siswa 86,4. Semua tahapan sudah dapat dilaksanakan oleh guru, namun

ada beberapa indikator yang masih sangat kurang hasilnya dari tindakan

pembelajaran yang dilakukan. Keterkaitan antar tahapan sudah jelas, namun perlu

diperbaiki tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan agar semua indikator

yang diharapkan pada pedoman observasi dapat diperoleh hasil yang maksimal.

EMC sudah terpusat pada siswa, namun demikian siswa belum dapat sepenuhnya

memahami tugas dan peran masing-masing. Peran siswa terutama expert belum

maksimal dalam membantu novicenya dan begitupun sebaliknya siswa novice

belum memahami bagaimana cara memanfaatkan waktu untuk bekerjasama

dengan expert. Rencana perbaikan pada siklus berikutnya: (1) melanjutkan model

pembelajaran dengan perbaikan pada materi ajar dan alokasi waktu. Penggunaan

waktu sudah cukup baik meskipun belum optimal. Materi ajar perlu disesuaikan

dengan indikator pembelajaran, (2) mengarahkan guru agar semua indikator

tanggung jawab belajar dapat muncul serta menstimulasi siswa agar indikator

yang diharapkan sesuai dengan kriteria.

Pada siklus ketiga, semua tahapan sudah dapat dilaksanakan oleh guru

sehingga indikator yang diharapkan muncul sudah dapat terukur dengan jelas.

Keterkaitan antar tahapan sudah jelas, hal ini dapat dilihat kesinambungan dari

tiap tahapan sudah terlaksana. Hasil pengamatan perilaku bertanggung jawab

menunjukkan perubahan yang signifikan. siswa yang mencapai kategori baik

Page 284: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

269

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

80,6% dan sisanya 19,4% kategori sedang. Rata-rata prestasi belajar siswa 92,6.

Karena peningkatan tanggung jawab belajar siswa sudah memenuhi target, maka

tindakan pembelajaran dicukupkan sampai siklus ketiga.

Secara teoritis dijelaskan Gamble et. Al (2012) bahwa tanggung jawab

dalam pembelajaran bahwa siswa akan membangun kemampuan mengenali,

memahami, mendemonstrasikan dan mengevaluasi perilaku yang mendukung

pembelajaran. Lebih jauh dikatakan lagi bahwa siswa yang bertanggung jawab

dalam pembelajarannya disebabkan karena mereka sendiri yang akan menjalani

semua pembelajaran hingga mencapai tujuan akhir.

Pendapat para ahli seperti dijelaskan sebelumnya memang merupakan hal

yang penting untuk dimiliki oleh siswa bila ingin berhasil dalam belajar. Jika

kemudian tanggung jawab tersebut diperlukan dalam meningkatkan hasil belajar,

maka pertanyaan yang penting dalam situasi apa dan bagaimana siswa dapat

mengembangkan kemampuan tersebut.

Lewis dalam Hasibuan (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor penting

dalam menumbuhkan tanggung jawab siswa adalah guru. Pembelajaran yang

berorientasi pada guru akan memberikan dampak yang kurang baik yaitu siswa

tidak aktif dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, penting bagi guru menjadikan

siswa lain sebagai model atau contoh.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan oleh peneliti untuk

mengembangkan tanggung jawab belajar siswa dengan menggunakan Expert

Model Concept (EMC), yang diterapkan dalam pembelajaran dengan pendekatan

penelitian tindakan kelas (classroom action research). Model pembelajaran ini

digunakan oleh peneliti karena memeiliki sejumlah keunggulan diantaranya

adalah (1) ketika berkolaborasi dengan dengan teman sebaya anak mengeksplor

ide, merefleksikan dan mengorganisasikan informasi, (2) menumbuhkan tanggung

jawab anak dalam kegiatan belajar yang berkontribusi dalam pemerolehan

pengetahuan berkaitan dengan konten sebagai sebuah skill (Johnson-Pynn &

Nisbet, 2002), (3) mengajarkan siswa bagaimana bekerjasama dengan teman

(Poveda & Reyes, 2008), (4) membimbing teman sebaya dengan tujuan

mengembangkan kemampuan untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan dan

bagaimana merefleksikan kesalahan dan belajar dari kesalahan (Mathan, 2005).

Dalam penelitian ini, tindakan yang dilakukan untuk mengembangkan

tanggung jawab belajar siswa melalui penerapan Expert Model Concept (EMC)

dengan cara menugaskan siswa untuk membaca dan menulis dan diamati proses

pembelajarannya. Proses pembelajaran melalui empat tahapan berlangsung

secara siklikal dan diamati semua prosesnya hingga akhir.

Expert Model Concept menekankan proses attention. Proses pembelajaran

ada pada saat proses attention, kemudian diikuti oleh tahapan practical, dan

proses integration dimana siswa mulai memahami apa yang mereka butuhkan,

bagaimana menggunakan skill yang sesuai dengan situasi, dan informasi yang

dibutuhkan untuk meningkatkan skillnya (Schempp, 2007).

Page 285: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

270

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Upaya menumbuhkan tanggung jawab belajar siswa melalui model

penerapan Expert Model Concept (EMC) berlangsung sebagai berikut: (1)

mengarahkan dan menentukan siswa dengan peran masing-masing sehingga

model pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan harapan peneliti, (2)

menugaskan siswa untuk membaca dan belajar berdasarkan pembagian peran,

menegaskan peran masing-masih siswa dengan cara mengarahkan bagaimana

siswa bekerjasama dengan kelompok yang telah ditentukan, (3) menilai hasil

belajar siswa dan memberikan apresiasi bagi kelompok yang dinilai telah

mengalami kemajuan, kegiatan ini bertujuan memotivasi siswa yang lain utnuk

lebih semangat pada kegiatan belajar berikutnya, (4) mengarahkan siswa untuk

perbaikan selanjutnya berdasarkan hasil belajar yang telah diperoleh dan dibahas

secara bersama-sama. Hasil pembelajaran dibahas pada akhir pembelajaran

supaya siswa memahami apa yang dibutuhkan untuk dapat memperoleh

kemampuan yang dibutuhkan berdasarkan tugas yang diberikan oleh guru.

Siswa yang menunjukkan kemajuan dalam menyelesaikan tugas sesuai

dengan kriteria menumbuhkan kemampuan bertanggung jawab dalam kegiatan

belajarnya. Dengan kegiatan yang dilakukan secara siklikal dan berulang-ulang

maka skill dapat dimiliki oleh siswa. kemampuan yang dimaksudkan adalah

kemampuan siswa yang terkait dengan tugas membaca yang difokuskan pada

empat hal, yaitu mampu menjawab pertanyaan bacaan, mampu menemukan ide

pokok/gagasan, mampu meringkas isi bacaan dan mampu membuat kesimpulan

isi bacaan.

Hasil analisis terhadap pertumbuhan kemampuan tanggung jawab siswa

pada siklus pertama dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar siswa tidak

bertanggung jawab terhadap kegiatan belajarnya. Peneliti dan guru selanjutnya

memberikan arahan, bimbingan dan penjelasan dalam belajar. Evaluasi yang

dilakukan oleh guru dari hasil belajar siswa mendorong siswa untuk bersungguh-

sungguh mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Refleksi yang diberikan

guru mengenai kelompok mana saja yang menunjukkan perubahan mendorong

siswa untuk bekerjasama lebih baik dengan anggota kelompoknya. Pada siklus

kedua sudah menunjukkan perubahan meskipun masih ada siswa yang belum

menunjukkan peningkatan. Pada siklus ketiga menunjukkan bahwa tanggung

jawab siswa dalam kegiatan belajar meningkat.

D. Kesimpulan Penerapan Expert Model Concept (EMC) melalui empat tahapan siklikal

yaitu immersion, attention, practical, integration melalui pembelajaran Bahasa

Indonesia berhasil meningkatkan tanggung jawab belajar siswa dalam belajar yang

dilaksanakan sebanyak tiga siklus. Pada siklus pertama belum ada siswa yang

mencapai kategori baik, yang ada hanya kategori sedang sebanyak 64,9% dan

kategori kurang sebanyak 35,1%. Pada siklus kedua siswa yang berada pada

kategori baik mencapai 28,2 dan sedang mencapai 70,2% dan tidak ada lagi siswa

Page 286: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

271

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berada pada kategori kurang. Pada siklus terakhir jumlah siswa yang masuk

kategori baik sebanyak 80,6% dan sisanya masuk pada kategori sedang dan tidak

ditemukan lagi siswa pada kategori kurang.

Penerapan Expert Model Concept (EMC) dalam pembelajaran efektif

meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Berdasarkan fokus

yang dilakukan pada masing-masing pertemuan membawa dampak positif

terhadap kemampuan siswa dalam memahami bacaan. Fokus memahami bacaan

yang dibagi dalam empat kegiatan yaitu: a) kemampuan menjawab pertanyaan

bacaan, b) kemampuan menemukan gagasan/ide pokok, c) kemampuan

meringkas isi bacaan, d) kemampuan membuat simpulan isi bacaan. Dari hasil

penelitian ditemukan bahwa kemampuan siswa menguasai materi pembelajaran

berada di atas kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh guru yaitu

sebesar 97,2%.

E. Daftar Rujukan Allan, G. M. (2006). Responsibilities for Learning: Students's Understanding and

Their Self-Reported Learning attitudes and Behavior. Tesis tidak diterbitkan.

Australia

Anderson, L., & Prawat, R. (1983). Responsibility in the classroom: A synthesis of

research on teaching self-control. Educational Leadership 40(7) , 62-66.

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Bacon, C. S. (1993). Student responsibility for learning. Adolelescence 28 , 1999.

Butler, U., Bjerke, H. S., Shipway, A., Fitzgerald, B., & Graham, A. (2009). Children's

perpective n citizenship: Conclusion an future direction. International

Voices , 169-183.

Frones, I. (2007). Modern Childhood. Oslo: Cappelen akademisk forlag.

Foveda, F., & Reyes, M. (2008). Expert/novices working pair together on concept

map. Concept Mapping: Connecting Educator .

Gamble, C., Wilkins, M., Koshiyama, Y., Yoshida, K., & S., A. (2012). Examining

Learner Autonomy Dimensions: Students' Perception of Their Responsibility

and Ability. JALT (hal. 263-272). Tokyo: JALT2011.

Johnson-Pynn, J., & Nisbet, V. (2002). Preschooler effective tutor novice

classmates in a block construction task. Child Study Journal 32(4) , 241-255.

Mathan, A., & Koedinger, K. R. (2005). Fostering the inteligent novices: Learning

from errors with metacognitive tutoring. Educational Psychologist 40(4)

,257-265.

McCombs, B. (2012). Developing responsible and autonomous learners: A key to

motivating student. Dipetik Februari 7, 2013, dari

http://www.apa.org/k12/education/learners.aspx.

Morris, H. (1961). Freedom and Responsibility. Stanford, CA: Stanford University

Press.

Page 287: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Fidrayani, (2018), Penerapan Expert Model Concept, hal. 260 - 272

272

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Narvaez, D., & Lapsley, D. K. (2008 ). Teaching moral character: Two alternatives

for teacher education. The Teacher Educator 43 , 156-172.

Scharle, A., & Szabo, A. (2000). Learner autonomy: A guide to developing learner

responsibility. Cambridge: Cambridge University Press.

Schempp, P. G. (2005). The Five Steps to Becoming Expert. International

Conference & Exposition (hal. 1-5). Atlanta: Atlanta GA.

Such, E., & Walker, R. (2004). Being responsible and responsible beings: Childrean

understanding responsibility. Children and Society Family 18 , 231-242. DOI

10.1002/CHI.795.

Sternberg, R. J. (1998). In Search of The Human Mind. Hartcourt Brace college

Publisher.

Triana, I. K. (2011). Meningkatkan Disiplin dan Tanggung Jawab Siswa Melalui

Sanksi Berjenjang Pada Siswa Kelas III SD Sanur I Tahun Pelajaran

2009/2010. Dipetik February 7, 2013, dari

http://www.docstoc.com/docs/112981879/MENINGKATKAN-DISIPLIN-DAN-

TANGGUNG-JAWAB-SISWA.

Page 288: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

273

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Peranan Strategi Pembelajaran dalam

pengoptimalan Pembelajaran di Kelas

Tri Harjawati, S.Pd., M.Si.

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang

mengkondisikan atau merangsang seseorang agar bisa belajar dengan

baik agar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan

permendikbud no 65 tahun 2013, yang mengamanatkan bahwa proses

pembelajaran pada satuan pendidikan harus diselenggarakan secara

interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta

didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dengan demikian,

keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses pendidikan

dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu

mengemas proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan.

Maka dari itu, pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan

pembelajaran setiap satuan pendidikan dituntut untuk mampu

melakukan perencanaan pembelajaran dengan baik, sehingga

pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal mungkin,

serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan

efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang

guru dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar

mengajar. Masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi dari

kegiatan guru karena semua kegiatan itu guru lakukan semata-mata

tidak lain demi kepentingan anak didik itu sendiri serta demi

Page 289: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

274

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

keberhasilan belajar anak didik itu sendiri. Dengan demikian, Peranan

seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu mengatur

strategi pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak didik.

Artikel ini membahas konsep dasar dari suatu strategi pembelajaran.

Kata Kunci : Strategi Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Mengajar

A. Pendahuluan Pada dasarnya pembelajaran merupakan kegiatan terencana yang

mengkondisikan atau merangsang seseorang agar bisa belajar dengan baik agar

sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan permendikbud no 65

tahun 2013, yang mengamanatkan bahwa proses pembelajaran pada satuan

pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai

dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Dengan demikian, keahlian guru sebagai ujung tombak suksesnya proses

pendidikan dituntut memiliki keahlian dan kreativitas yang tinggi sehingga mampu

mengemas proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan. Maka dari itu,

pada proses penerapan atau taktis pelaksanaan pembelajaran setiap satuan

pendidikan dituntut untuk mampu melakukan perencanaan pembelajaran dengan

baik, sehingga pelaksanaan proses pembelajaran dapat berjalan semaksimal

mungkin, serta penilaian proses pembelajaran bisa diarahkan untuk meningkatkan

efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Peran seorang guru

dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar.

Masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan guru karena

semua kegiatan itu guru lakukan semata-mata tidak lain demi kepentingan anak

didik itu sendiri serta demi keberhasilan belajar anak didik itu sendiri. Dengan

demikian, Peranan seorang guru sebagai pembimbing menuntut agar guru selalu

mengatur strategi pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar anak

didik.

Istilah strategi (strategy) berasal dari kata benda dan kata kerja dalam

bahasa Yunani sebagai kata benda, strategos merupakan gabungan dari kata

stratos dan ago (memimpin). Sebagai kata kerja, stratego berarti merencanakan

(to plan). Dalam kamus The American Herritage Dictionary (1976:1273)

dikemukakan bahwa strategy is the science or art of military command as applied

Page 290: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

275

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

to overall planning and conduct of large scale combat operations. Selanjutnya

dikemukakan pula bahwa strategi adalah the art or skill of using strategems (a

military manuvre design to deceive or surprise an enemy) in politics, business,

courtship, or the like.

Mintzberg dan Waters (1983) mengemukakan bahwa strategi adalah pola

umum tentang keputusan atau tindakan. Sedangkan Hardy, Langley, dan Rose

dalam Sudjana (1986) mengemukakan bahwa strategy is perceived as a plan or a

set of explisit intention and controlling actions (strategi dipahami sebagai rencana

atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan kegiatan).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa

strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk

melakukan kegiatan atau tindakan. Strategi mencakup tujuan kegiatan, siapa yang

dilihat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang

kegiatan.

Secara sederhana istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai

upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai

upaya dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan kea rah tercapainya tujuan

yang telah direncanakan .Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai kegiatan

guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar

secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.

Pada prinsipnya, pembelajaran tidak hanya terbatas pada event-event yang

dilakukan guru , tetapi mencakup semua events yang mempunyai pengaruh

langsung pada proses belajar yang meliputi kejadian-kejadian yang diturunkan

dari bahan-bahan cetak, gambar, program radio, televisi, film, slide, maupun

kombinasi dari bahan bahan tersebut.

Sadirman (2005) dalam bukunya yang berjudul interaksi dan motivasi

belajar mengajar menyebutkan istilah pembelajaran dengan interaksi edukatif.

Menurut beliau, yang dianggap interaksi edukatif adalah interaksi yang dilakukan

secara sadar dan mempunyai tujuan untuk mendidik dalam rangka mengantarkan

peserta didik kearah kedewasaanya. Pembelajaran merupakan proses yang

berfungsi membimbing para peserta didik di dalam kehidupannya, yakni

membimbing dan mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan yang

harus dijalani. Proses edukatif memiliki ciri-ciri:

a. Ada tujuan yang ingin dicapai

b. Ada pesan yang akan ditransfer

c. Ada pelajar

d. Ada guru

Page 291: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

276

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Ada metode

f. Ada situasi

g. Ada penilaian

Pembelajaran adalah suatu konsep dari dua dimensi kegiatan belajar

mengajar yang harus di rencanakan dan diaktualisasikan, serta diarahkan pada

pencapaian tujuan atau penguasaan sejumlah kompetensi dan indikatornya

sebagai gambaran hasil belajar.

Proses kegiatan adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilalui pendidik

dan peserta didik dalam pembelajaran. Sumber pendukung kegiatan

pembelajaran mencakup fasilitas dan alat-alat bantu pembelajaran. Dengan

demikian, strategi pembelajaran mencakup penggunaan pendekatan, metode dan

teknik, bentuk media, sumber belajar, pengelompokan peserta didik, untuk

mewujudkan interaksi edukasi antara pendidik dengan peserta didik, antar

peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungannya, serta upaya

pengukuran terhadap proses, hasil dan atau dampak kegiatan pembelajaran.

Dalam hal ini, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan

yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan

(rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai

sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai

tujuan tertentu, yakni tujuan pembelajaran.

B. Pembahasan

Konsep dasar strategi belajar mengajar

Konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi hal-hal: a) menetapkan

spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, b) menentukan pilihan

berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengaja, c) memilih

prosedur,metode, dan teknik belajarmengajar, dan d) menerapkan norma dan

kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Kegiatan mengajar bagi seorang guru menghendaki hadirnya sejumlah anak

didik. Berbeda dengan belajar. Belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru.

Cukup banyak aktivitas yang dilakukan oleh seorang di luar dari keterlibatan guru.

Belajar di rumah cenderung menyendiri dan terlalu banyak mengharap bantuan

dari orang lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan kegiatan membaca

buku sebuah buku tertentu. Mengajar pasti merupakan kegiatan yang mutlak

memerlukan keterlibatan individu anak didik. Bila tidak ada anak didik atau objek

didik, siapa yang diajar. Hal ini perlu sekali guru sadari agar tidak terjadi kesalahan

Page 292: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

277

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tafsir terhadap kegiatan pengajaran. Karena itu, belajar dan mengajar merupakan

istilah yang sudah baku dan menyatu di dalam konsep pengajaran. Guru yang

mengajar dan anak didik yang belajar adalah dwi tunggal dalam perpisahan raga

jiwa bersatu antara guru dan anak didik.

Jenis-jenis Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran dikembangkan atau diturunkan dari model

pembelajaran. Dari beberapa pengertian di atas, strategi pembelajaran meliputi

rencana, metode, dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai

tujuan pengajaran tertentu. Untuk melaksanakan strategi tertentu diperlukan

seperangkat metode pengajaran.

Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan

empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:

1. mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put)

dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi

dan selera masyarakat yang memerlukannya.

2. mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang

paling efektif untuk mencapai sasaran;

3. mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan

ditempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran;

4. mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan

ukuran (standard untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan

(achievement) usaha.

Jika kita mencoba menerapkan dalam konteks pembelajaran, keempat

unsur tersebut adalah:

Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran, yakni perubahan

profil perilaku dan pribadi peserta didik;

Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang

dipandang paling efektif

Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur,

metode, dan teknik pembelajaran:

Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau

kriteria dan ukuran baku keberhasilan.

Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J.R. David (Wina Sanjaya, 2008)

menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna

perencanaan. Artinya, pada dasamya strategi masih bersifat konseptual tentang

Page 293: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

278

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suau pelaksanaan pembelajaran.

Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagiana,

yaitu exposition discovery learing dan group-individual learning (Rowntree dalam

Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya,

strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan

strategi pembelajaran deduktif. Karena strategi pembelajaran masih bersifat

konseptual, maka untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode

pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan "a plan of operation

achieving something".

Gambar di bawah ini menunjukan jenis-jenis klasifikasi strategi

pembelajaran yang dikemukakan dalam artikel Saskatchewan Elucational (1991).

Gambar 1 Klasifikasi strategi pembelajaran

Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction)

Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat

pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini

termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik,

pengajaran eksplisit, praktek dan latihan, serta demonstrasi.

Strategi pembelajaran langsung efektif digunakan untuk memperluas

informasi atau mengembangkan keterampilan langkah demi langkah.

Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction)

Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan siswa

yang tinggi dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran

inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis.

Page 294: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

279

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam pembelajaran tidak langsung, peran guru beralih dari penceramah

menjadi fasilitator, pendukung, dan sumber personal (resource person).

Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan siswa untuk

terlibat, dan jika memungkinkan memberikan umpan balik kepada siswa

ketika mereka melakukan inkuiri.

Strategi pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakannya bahan-

bahan cetak, non-cetak, dan sumber sumber manusia.

Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction)

Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling

berbagi di antara peserta didik. Seaman dan Fallenz (1989)

mengemukakan bahwa diskusi dan saling berbagi akan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk memberikan reaksi terhadap gagasan,

pengalaman, pandangan, dan pengetahuan guru atau kelompok, serta

mencoba mencari alternatif dalam berpikir.

Strategi pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang

pengelompokan dan metode-metode interaktif. Di dalamnya terdapat

bentuk-bentuk diskusi kelas, diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas

berkelompok, dan kerja sama siswa secara berpasangan.

Strategi Pembelajaran melalui Pengalaman (experiential learning)

Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk sekuens

induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas.

Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah pada proses

belajar, dan bukan hasil belajar.

Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar

kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode simulasi,

sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk

memperoleh gambaran pendapat umum.

Strategi Pembelajaran Mandiri

Belajar mandiri merupakan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk

membangun inisiatif individu, kemandirian, dan peningkatan diri. Fokusnya adalah

pada perencanaan belajar mandiri oleh peserta didik dengan bantuan guru.

Belajar mandiri juga bisa dilakukan dengan teman atau sebagai bagian dari

kelompok kecil. Kelebihan dari pembelajaran ini adalah membentuk peserta didik

Page 295: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

280

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang mandiri dan bertanggunggjawab. Sedangkan kekurangannya adalah peserta

belum dewasa, sulit menggunakan pembelajaran mandiri. Untuk lebih jelasnya

kaitan dengan jenis dan klasifikasi strategi pembelajaran dibahas pada bab khusus

tentang Klasifikasi Strategi Pembelajaran.

Pertimbangan Pemilihan Strategi Pembelajaran

Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan

kemampuan baru. Ketika kita berpikir informasi dan kemampuan apa yang harus

dimiliki oleh siswa maka pada saat itu juga kita semestinya berpikir strategi apa

yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien.Ini

sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan

bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu, sebelum menentukan strategi

pembelajaran yang dapat beberapa digunakan, ada beberapa pertimbangan yang

harus diperhatikan.

a. pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai.

b. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran;

c. Pertimbangan dari sudut siswa.

d. Pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bahan pertimbangan dalam

menetapkan strategi yang ingin diterapkan. Misalkan untuk mencapai tujuan yang

berhubungan dengan aspek kognitif, akan memiliki strategi yang berbeda dengan

upaya untuk mencapai tujuan efektif atau psikomotor. Demikian juga halnya,

untuk mempelajari bahasan pelajaran yang bersifat fakta akan berbeda dengan

mempelajari bahan pembuktian suatu teori, dan lain sebagainya.

Istilah Terkait dalam Strategi Pembelajaran

Dikenal beberapa istilah dalam pembelajaran yang memiliki kemiripan

makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-

istilah yang membingungkan tersebut antara lain: pendekatan pembelajaran;

strategi pembelajaran; metode pembelajaran; teknik pembelajaran; taktik

pembelajaran; dan model pembelajaran. Berikut dipaparkan istilah-istilah

tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasan maknanya.

Model Pembelajaran

Secara umum istilah "model" diartikan sebagai kerangka digunakan sebagai

pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga

Page 296: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

281

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti

"globe" yang merupakan model dari bumi tempat kita hidup. Dalam istilah

selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang

pertama sebagai kerangka konseptual. Atas dasar pemikiran tersebut, maka yang

dimaksud dengan "model belajar mengajar" adalah kerangka konseptual dan

prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk

mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang

pengajaran, serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar

merupakan kegiatan bertujuan yang tersusun secara sistematis.

Dewey dalam Joyce dan Weil (1986) mendefinisikan model pembelajaran

sebagai "a plan or pattem that we can use to design face to face teaching in the

classroom or tutorial setting and to shape instructional material" (suatu rencana

atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di kelas, atau

pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi pengajaran).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa:

a. model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi

oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerangka

dasarnya;

b. model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan variasinya

sesuai dengan landasan filosofis dan pedagogis yang melatar belakanginya.

Arends (1997) menyatakan "the term teaching model refers to a particular

approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and

management system" (istilah model pengajaran mengarah pada suatu

pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungan,

dan sistem pengelolaannya). Dengan demikan, maka model pembelajaran

mempunyai makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau

prosedur. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang

Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang membedakan dengan

sstrategi, metode, atau prosedur (Kardi dan Nur, 2000). Ciri-ciri tersebut adalah:

Rasional teoritis logos yang disusun oleh para pencipta atau

pengembanganya.

Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan

pembelajaran yang akan dicapai).

Tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat

dilaksanakan dengan berhasil.

Page 297: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

282

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat

tercapai.

Adapun perbedaan strategi dengan metode pembelajaran adalah bahwa

strategi mengajar bisa berarti rencana, cara dan upaya tertentu khususnyayang

dibuat dan digunakan oleh guru untuk memandu, mengarahkan dan menunjukan

jalan kepada peserta didiknya untuk merealisasikan seperangkat tujuan belajar

mengajar atau pembelajaran. Hal ini menunjukan kepada E. Stones dan S. Morris

yang menyebutkan bahwa strategi belajar mengajar adalah sebuah rencana

umum untuk suatu pelajaran yang meliputi struktur, prilaku peserta didik yang

diharapkan berkenaan dengan tujuan pembelajaran, dan sebuah garis besar

rencana taktik diperlukan untuk melaksanakan strategi tersebut .

Istilah strategi mengajar kadangkala dibingungkan dengan istilah metode

mengajar. Setiap metode yang kita gunakan selalu dipilih dan diarahkan seefektif

mungkin untuk melayani tujuan kita dalam menghadirkan mata ajar. Setiap

metode yang digunakan selalu menunjukan suatu cara tertentu untuk menyajikan

muatan/konten tertentu dari sebuah kurikulum mata ajar. Sebaliknya, strategi

dipilih dan digunakan tidak hanya untuk penyajian yang efekif dari bahan ajar

tertentu, melainkan untuk merealisasikan tujuan pembelajaran yang telah

ditentukan sebelumnya pula. Dalam hal inin strategi memiliki makna yang lebih

komprehensip dalam ruang lingkupnya dan strukturnya dibandingkan dengan

suatu metode.

Jenis model pembelajaran

Bruce Joyce dan Marsha Weil dalam Dedi Supriawan dan A. Benyamin

Surasega (1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran.

a. Model proses informasi

Teori belajar oleh Gagne (1988) disebut dengan informasi processing

learning theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di

dalam otak manusia di saat memproses suatu informasi. Menurut Gagne,

dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian

diolah sehingga menghailkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam

proses informasi, terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan

kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri

individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif

yang terjadi dalam individu. Sedangkan eksternal yaitu rangsangan dari

lingkungan yang memengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Page 298: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

283

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran tersebut meliputi

delapan fase yaitu: motivasi, pemahaman, pemerolehan , penyimpanan,

ingatan kembali, generalisasi, perlakuan dan umpan balik.

Kelompok model ini menekankan peserta didik agar memilih

kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang

berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam memproses

informasi. Terdapat 7 model pembelajaran:

a. Pencapaian konsep (concept attainment)

b. Berfikir induktif (inductive thiking)

c. Latihan peneitian (inquiry training)

d. Pemandu awal (advance organizer)

e. Memorisasi (memorization)

f. Pengembangan intelek (developing intelect)

g. Penelitian ilmiah (scientic inquiry)

b. Model personal

Pengunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini

lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha

menggalakan kemandirian yang produktif sehingga manusia mendaji semakin

sadar diri dan beranggung jawab atas tujuannya. Menurut Carl Roger,

manusia dilahirkan dengan potensi menuju/mengejar kesempurnaan. Bahan

pembelajaran yang bermakna dan selaras dengan tujuan pembeljaran akan

mendorong peserta didik ikut aktif dalam proses pembelajaran, dan

dianggapnya seagai pembelajaran yang berkesan. Penilaian yang dilakukan

atas dasar pemikiran refleksi pserta didik lebih baik daripada penilaian yang

dilakukan oleh orang lain.

Dalam rumpunan model personal ini terdapat 4 model pembelajaran

yaitu: a. pengajaran tanpa arahan (non directive teaching), b. Model sinektik

(synectics model), c. Latihan kesadaran (awarness training), d. Pertemuan

kelas (classroom meeting).

c. Model interaksi sosial

Model interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dari pemikiran

pentingnya hubungan pribadi (interprsonal relationship)dan hubungan sosial

atau hubungan individu dengan lingkungan sisialnya. Langkah yang ditempuh

guru dalam model ini adalah: 1) guru mengemukakan masalah dalam bentuk

situasi sosial kepada peserta didik, 2) peserta didik dalam bimbingan guru

Page 299: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

284

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersbut, 3)

peserta didik diberi tugas atau permasalahan yang berkenaan dengan situasi

tersebut untuk dipecahkan, dianalisis, dan dikerjakan, 4) dalam memecahkan

masalah belajar tersebut peserta didik dimnta untuk mendiskusikannya, 5)

peserta didik membuat kesimpulan dari hasil diskusinya, 6) membahas

kembali hasil-hasil kegiatannya.

Model interaksi dapat digunakan antara lain dengan menggunakan

metode sosiodrama atau bermain peran (role playing). Penggunaan rumpun

model interaksi sosial ini menitikberatkan pada pengembangan kemampuan

kerjasama dari pserta didik. Ada dua asumsi pokok model pembelajaran

rumpun interaksi sosial yaitu: a) masalah-masalah sosial diidentifikasikan dan

dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh

di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial, b) proses sosial

yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan

masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara buid-in dan terus menerus.

Dalam rumpunan model interaksi sosial terdapat 5 model

pembelajaran, yaitu:

a. Investigasi kelompok (group investigation)

b. Bermain peran (role playing)

c. Penelitian yurisprudensial (Jurisprudential inquiry)

d. Latihan laboratoris (laboratory training)

e. Penelitian ilmu sosial

d. Model sistem prilaku (behavior)

Model ini menekankan bahwa perubahan prilaku yang tampak dari

peserta didik, sehingga konsisten dengan konsep dirinya. Model behavior

menekankan bahwa tugas-tugas yang harus diberikan dalam suatu rangkaian

kecil, beurutan, dan mengandung perilaku tertentu. Ada empat modl

modifikasi tingkah laku ini, yaitu:

1. Fase mesin pengajaran

2. Penggunaan media

3. Pengajaran berprogram (linier dan branching)

4. Operant conditioning dan operant reinforcement

Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini adalah

meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak, guru selalu perhatian

terhadap tingkah laku belajar peserta didik, modifikasi tingkah laku peserta

didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai

Page 300: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

285

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

reinforcement pendukug, penerapan prinsip pembelajaran indvidual dalam

pembelajaran klasikal. Dalam rumpun model sistem perilaku ini terdapat 5

model pembelajaran, yaitu:

a. Belajar tuntas (mastery learning)

b. Pembelajaran langsung (direct intruction)

c. Belajar kontrol diri (larning self control)

d. Latihan pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and

development)

e. Latihan ssertif (assertive training)

Pendekatan Pembelajaran

Istilah pendekatan berasal dari bahasa inggris, approach , yang memiliki

beberapa arti, diantaranya diartikan dengan pendekatan . Dalam dunia

pengajaran , kata approach lebih tepat diartikan a way of begining something

(cara memulai sesuai). Oleh karena itu istilah pendekatan dapat diartikan sebagai

cara memulai pembelajaran . Gladene Robertson dan Hellmut Lang (1984: 5).

Menurutnya, pendekatan pembelajaran dapat dimaknai menjadi 2 pengertian,

yaitu pendekatan pembelajaran sebagai dokumen tetap, dan pendekatan

pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang. Hal tersebut berguna

untuk: 1) mendukung kelancaran guru dalam proses pembelajaran, 2) membantu

para guru mnjabarkan kurikulum dalam praktik pembelajaran dikelas, 3) sebagai

panduan bagi guru dalam menghadapi perubahan kurikulum, 4) sebagai bahan

masukan bagi para penyusun kurikulum untuk mendesain kurikulum dan

pembelajaran yang terintegrasi.

Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) pendekatan pembelajaran dibedakan

menjadi 2 bagian yaitu, penekatan konservatif (conservative approaches) dan

pendekatan liberal (liberal approach). Pendekatan konservatif memandang

bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru

mengajarkan materi kepada siswanya, sedangkan pendekatan liberal adalah

pendekatan pembelajaran yang memberi kesempatan luas kepada siswa untuk

mengembangan strategi dan keterampilan belajarnya sendiri.

Metode Pembelajaran

Menurut J.R David dalam Teaching strategises for college class room(1976)

ialah a way in achieving something (cara untuk mencapai sesuatu). Metode

digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan mengkhususkan

aktivitas dimana guru dan siswa terlibat selama proses pembelajaran berlangsung.

Page 301: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

286

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Biasanya metode digunakan melalui salah satu strategi, tetapi juga tidak tertutup

kemungkinan beberapa metode berada dalam strategi yang bervaiasi, artinya

penetapan metode dapat divariasikan melalui strategi yang berada tergantung

pada tujuan yang akan dicapai dan konten proses yang akan dilakukan dalam

kegatan pembelajaran.

Teknik Pembelajaran

Metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran.

Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang

dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.

Misalkan penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang

relative banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan

berbeda dengan pengunaan metode ceramah dalam kelas yang jumlah siswanya

terbatas. Demikian pula dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan

teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang

siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik,

meskipun dalam koridor metode yang sama.

Keterampilan merupakan perilaku pembelajaran yang sangat spesifik. Di

dalamnya terdapat teknik-teknik pembelajaran seperti teknik bertanya, diskusi,

pembelajaran langsung, teknik menjelaskan, dan mendemonstrasikan. Dalam

keterampilan-keterampilan ini juga mencakup kegiatan perencanaan yang

dikembangkan guru, struktur dan focus pembelajaran, serta pengelolaan

pembelajaran.

Taktik Pembelajaran

Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan

metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalnya,

terdapat dua orang yang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi

mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam

penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena

memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi

kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu

elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang tersebut. Dalam gaya

pembelajaran, akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru. Hal

ini sesuai dengan kemampuan, pengalaman, dan tipe kepribadian guru yang

bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus

juga seni (kiat).

Page 302: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

287

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik, dan bahkan taktik

pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh, maka

terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model

pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar

dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain

model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu

pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu strategi

pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pendekatan yang

digunakan, sedangkan bagaimana menrapkan strategi itu dapat ditetapkan

melalui berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode

pembelajaran, guru dapat menentukan teknik yang dianggapnya relevan dengan

metode, dan penggunaan teknik itu setiap guru memiliki taktik yang mungkin

berbeda antara guru yang satu dengan guru yang lain.

Keterhubungan dan wilayah kajian antara model pembelajaran, strategi,

metode, dan teknik/keterampilan mengajar dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Gambar 2. Skema istilah-istilah dalam pembelajaran

Sasaran Kegiatan Pembelajaran

Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan

itu bertahap dan berjenjang, mulai dari yang sangat oprasional dan konkret yakni

tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kulikuler, dan

tujuan nasional sampai pada tujuan yang bersifat universal. Persepsi anak didik

Page 303: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

288

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengenai sasaran akhir kegiatan belajara mengajar akan mempengaruhi persepsi

mereka terhadap sasaran antara dan saasaran kegiatan . Sasaran itu harus

diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan.

Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada

pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain

untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi sejumlah

komponen, antara lain; tujuan pembelajaran; bahan ajar; siswa yang menerima

pelayanan belajar; guru; metode dan pendekatan; situasi; dan evaluasi kemajuan

belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada harus

diorganisasikan dengan baik sehingga diantara komponen itu terjadi kerja sama.

Secara khusus, dalam proes belajar mengajar guru berperan sebagai

pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator, dan

lain-lain. Untuk itu, wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi

anak didik seperti: 1) kecerdasan dan bakat khusus; 2) prestasi sejak permulaan

sekolah; 3) perkembangan jasmani dan kesehatan; 4) kecenderungan emosi dan

karakternya; 5) sikap dan minat belajar; 6) cita-cita; 7) kebiasaan belajar dan

bekerja; 8) hobi dan pengguanaan waktu senggang; 9) hubungan sosial di sekolah

dan di rumah; 10) latar belakang keluarga; 11) lingkungan tempat tinggal; 12)

sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik.

Usaha untuk memahami anak didik bisa dilakukan melalui evaluasi, selain

itu guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para

siswa kepada kepala sekolah, orang tua serta instansi yang terkait.

Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Instruction pembelajaran merupakan akumulasi dari konsep mengajar dan

konsep belajar. Stressing-nya terletak pada perpaduan diantara keduanya, yakni

penumbuhan aktivitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai

suatu sistem, sehingga dalam kegiatan belajar engajar terdapat komponen-

komponen siswa/ peserta didik, tujuan materi, fasilitas dan prosedur, serta alat

atau media yang dipergunakan. Davis (1974:30) mengemukakan bahwa sistem

belajar menyangkut pengorganisasian dari perpaduan antara manusia,

pengalaman belajar, fasilitas, pemeliharaan atau pengontrolan, dan prosedur

yang mengatur interkasiperilaku pembelajaan untuk mencapai tujuan. Hal ini

serupa dengan sistem mengajar yang terdiri dari komponen-komponen mengajar,

yaitu perencanaan mengajar, bahan ajar, tujuan, materi, metode, penilaian, dan

langkah-langkah mengajar akan berhubungan dengan aktivitas belajar untuk

mencapai tujuan.

Page 304: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

289

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara umum ada 3 pokok dalam strategi pembelajaran, yakni tahap

pemulaan (prainstruksional) tahap pengajaran (instruksional), tahap penialaian,

dan tahap tindak lanjut. Ketiga tahapan ini harus ditempuh pada setiap saat

melaksanakan pengajaran. Jika satu tahapan tersebut ditinggalkan, maka

sebenarnya tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pengajaran.

1. Tahap Pra-intruksional

Tahap praintruksional adalah tahapan yang ditempuh guru pada saat ia

memulai proses belajar mengajar. Berikut ini merupakan beberapa kegiatan

yang dapat dilakukan oleh guru atau oleh siswa pada tahapan praistruksional.

a. Guru menanyakan kehadiran siswa dan mencatat yang tidak hadir.

Kehadian siswa dalam pengajaran, dapat dijadikan salah satu tolok ukur

kemampuan guru dalam mengajar.

b. Bertanya kepada siswa sampai dimana pembahasan pelajaran sebelumnya.

c. Mengajukan pertanyaan kepada siswa tertentu tentang bahan pelajaran

yang sudah diberikan sebelumnya.

d. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya.

e. Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu secara singkat.

Tujuan tahapan ini adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa

terhadap bahan yang telah diterimanya, dan menumbuhkan kondisi belajar

dalam hubungannya dengan pelajaran hari itu. Tahap prainstruksional dalam

strategi mengajar mirip dengan kegiatan pemanasan dalam olah raga. Kegiatan

ini akan memengaruhi keberhasilan siswa.

2. Tahap Instruksional

Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau inti, yakni tahapan

memberikan bahan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Secara

umum dapat dididentiifikasi beberapa kegiatan dalam tahap ini atau

pengajaran seperti di bawah ini.

a. Menjelaskan tujuan pengajaran yang harus dicapai siswa.

b. Menuliskan pokok materi yang akan dibahas.

c. Membahas pokok materi yang telah dituliskan

d. Memberikan contoh-contoh konkret pada setiap pokok materi yang dibahas.

e. Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan.

f. Menyimpulkan hasil pembahasan dari pokok materi.

Page 305: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

290

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut

Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi atau penilaian dan tindak lanjut

dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan tahapan ini ialah untuk mengetahui

tingkat keberhasilan dari tahapan kedua (instruksional).

Ketiga tahap yang telah dibahas di atas merupakan satu rangkaian kegiatan

yang terpadu dan tidak terpisahkan satu sama lain. Guru dituntut untuk mampu

dan dapat mengatur waktu serta kegiatan secara fleksibel, sehingga ketiga

rangakaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Di sinilah letak keterampilan

professional dan seorang guru dalam melaksakan strategi mengajar.

Sementara itu, Meier (2002:103) berpendapat bahwa kegiatan

pembelajaran pada hakikatnya mempunyai 4 unsur, yakni: persiapan;

penyampaian; pelatihan; dan penampilan hasil.

a. Tahap Persiapan

Persiapan pembelajaran berkaitan dengan kegiatan mempersiapkan

peserta didik untuk belajar. Hal ini sangat urgrn seperti halnya

memepersiapkan tanah untuk ditanami benih. Jika hal ini dilakukan dengan

benar, niscahya akan menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan yang

sehat. Demikian pula halnya dengan pembelajaran, jika persiapan dilakukan

dengan matang sesuai dengan karakteristik kebutuhan, materi, metode,

pendekatan, lingkungan serta kemampuan guru, maka hasilnya diasumsikan

akan maksimal. Untuk membantu mempersiapkan orang mendapatkan

pengalaman belajar yang optimal, diperlukan lingkungan kerja sama sejak awal.

b. Penyampaian

Tahap ini merupakan inti dari poses kegiatan pembelajaran, dimana guru

melakukan proses telling, showing dan doing. Kegiatan presentasi adalah

pertemuan antara guru dengan peserta didik untuk menyampaikan pesan/

materi dalam kegiatan pembelajaran. Proses tersebut sangat diperlukan untuk

meningkatkan daya serap dan daya ingat peserta didik tentang pelajaran yang

mereka dapatkan. Sedangkan tujuan tahap penyampaian adalah membantu

peserta didik untuk belajar mengemukakan materi belajar dengan cara

menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindra, dan cocok untuk

semua gaya belajar.

c. Latihan

Latihan adalah suatui proses untuk memberikan kesempatan kepada

siswa mempraktikan apa yang telah mereka pahami. Dalam tahap in ilah

pembelajaran yang sebenarnya berlangsung. Tujuan dari tahap ini adalah

Page 306: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

291

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk membantu peserta didik belajar mengintegrasikan dan menyerap

pengetahuan dengan berbagai cara.

d. Penampilan

Aktivitas belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi

pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi

kearifan, kerifan menjadi tindakan. Tujuan pembelajaran dalam tahap

penampilan ini adalah membantu peserta didik untuk belajar menerapkan dan

memperluas pengetahuan baru sehingga penampilan hasil akan terus melekat

dan meningkat.

Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad

teknologi sekarang ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru)

tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga

dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa kriteria

keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar

pengetahuan yang telah disampaikan?Pandangan mengajar yang hanya sebatas

menyampaikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan

keadaan.

Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. A1asan inilah yang

kemudian menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, dari

mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar

sebagai proses mengatur lingkungan. Pertama, siswa bukan orang dewasa datam

bentuk mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar

mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang

dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan

berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat

dengan mudah mendapatkan berbagai informasi, tugas, dan tanggung jawab guru

bukan semakin sempit namun justru semakin kompleks. Guru bukan saja dituntut

untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi ia juga harus

mampu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa

informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru inarus

menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat

menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena

itu, kemaj uan teknologi menuntut perubahan peran guru. Guru tidak lagi

memosisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi,

tetapi harus berperan sebagaipengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa

itu sendiri.Kedua,-ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderunan setiap

Page 307: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

292

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya

perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi,hukum, dan lain sebagainya. Apa yang

dulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Datam bidang

teknologi, begitu hebatnya orang menciptakan bencia-benda mekanik yang

bukanhanya. Diam, tapi bergerak, bahkan bisa terbang menembus angkasa luar.

Demikian juga kehebatan para ahli yang bergerak datam bidang kesehatan yang

mampu mencangkok organ tubuh manusia sehingga menambah harapan hidup

manusia. Semua di batik kehebatan-ke-hebatan itu, bersumber dari apa yang kita

sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi

dasar perubahan. Bahwa belajar, tak hanya sekadar menghafal informasi,

menghafal rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasidan

pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpiki Ketiga, penemuan-

penemuan baru khususnya datam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman

baru terhadap konsep per-ubahan tingkah taku manusia. Dewasa ini, anggapan

manusia sebagai organisme yang pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh.

Menurut Gagne, tujuan menciptakan strategi sebelum mengembangkan

bahan ajar adalah untuk menjelaskan bagaimana kegiatan pembelajaran akan

berhubungan dengan pencapaian tujuan. Dick dan Carey menjelaskan empat

elemen strategi pembelajaran :

1. Rangkaian/keurutan dan pengelompokan konten

Langkah pertama dalam mengembangkan strategi pembelajaran adalah

membuat keputusan mengenai rangkaian/ urutan mengajar dan pengelompokan

konten yang merujuk pada keurutan tujuan. Cara terbaik untuk menentukan

urutan konten adalah mengacu pada analisis pembelajaran yang dibuat. Anda

biasanya akan mulai dengan keterampilan pada tingkat yang paling rendah di

sebalah kiri, dengan melalui hirarki hingga mencapai tujuan utama. Sebaiknya

sajikan informasi mengenai seluruh keterampilan yang diinginkan untuk dicapai

melalui proses pembelajaran, dari tingkatan yang paling rendah hingga paling

tinggi, dari kiri ke kanan.

Hal terpenting berikutnya yang menjadi pertimbangan Anda adalah

bagaimana Anda akan mengelompokkan kegiatan pembelajaran. Anda dapat

memutuskan untuk menyajikan informasi suatu tujuan pada satu waktu, atau

mengelompokkan beberapa tujuan pembelajaran yang saling berkaitan. Untuk

menentukan seberapa banyak atau sedikitnya pengajaran yang disajikan pada

waktu yang telah ditentukan, Dick dan Carey menyarankan untuk

mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini : Tingkat usia para peserta didik;

Kompleksitas materi; Jenis pembelajaran yang berlangsung; Seberapa

Page 308: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

293

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bervariasinya kegiatan pengajaran diberikan untuk dapat memusatkan perhatian

pada tugas; dan Jumlah waktu yang diperlukan untuk mencakup semua rangkaian

kegiatan pembelajaran untuk setiap cluster konten yang disajikan

2. komponen belajar

Dalam hal ini Dick dan Carey menyebutkan Sembilan Peristiwa dalam

Mengajar dari Gagne, yang merupakan serangkaian kegiatan eksternal mengajar

yang mendukung proses pembelajaran internal. Teori mengajar dari Gagne

memperkenalkan tiga komponen utamanya, yakni kategori belajar (domain),

kondisi pembelajaran, dan Sembilan peristiwa dalam mengajar.

Gagne percaya bahwa mengajar adalah serangkaian peristiwa eksternal

yang secara sadar/sengaja dirancang untuk mendukung proses pembelajaran

internal , dan perlu diperhatikan jenis kejadian/peristiwa apa yang dapat

memberikan dukungan tersebut. Oleh karena itu, untuk mengikat teori mengajar

secara bersamaan, ia merumuskan Sembilan peristiwa mengajar yang dibutuhkan

untuk semua proses pembelajaran dan hasil pembelajaran, dimana peristiwa ini

dimaksudkan untuk meningkatkan transfer pengetahuan atau informasi dari

persepsi melalui bagian tahapan ingatan/proses kognitif yang berlangsung di otak.

Daftar urutan peristiwa pembelajaran dari Gagne terdiri dari : a) mendapat

perhatian; b) menginformasikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik; c)

rangsangan mengingat kembali sebelum belajar; d) menyajikan materi; e)

memberikan bimbingan belajar; f) memunculkan kinerja; g) memberikan umpan

balik mengenai ketetapan kinerja; h) menilai kinerja; i) meningkatkan retensi dan

transfer.

3. Pengelompokan peserta didik

Unsur berikutnya dari strategi pembelajaran adalah deskripsi tentang

bagaimana siswa akan dikelompokkan dalam pembelajaran. Hal-hal utama yang

perlu dipertimbangkan adalah apakah ada persyaratan untuk interaksi sosial yang

secara eksplisit dinyatakan pada tujuan, di lingkungan kinerja, dalam komponen

tertentu pembelajaran yang direncanakan, atau dalam pandangan pribadi Anda

sendiri. Pengelompokan siswa dapat menghambat pembelajaran individual, tetapi

pada saat yang sama mereka dapat memotivasi siswa dan menjaga minat belajar

mereka. Juga perlu diingat bahwa sistem menyampaikan pelajaran Anda dapat

memengaruhi jumlah kemungkinan interaksi sosial. Seperti yang kita ketahui

bahwa pembelajaran jarak jauh maupun pembelajaran berbasis computer sulit

untuk meningkatkan interaksi sosial antar siswa.

Page 309: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

294

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Pemilihan media dan sistem pengajaran

Menurut Gagne, pemilihan sistem penyampaian menunjukkan preferensi

umum untuk menekankan instrumen tertentu dalam mencapai peristiwa

pembelajaran. Dalam hal preferensi umum ini, agen khusus atau media dapat

diberikan, acara demi acara, dan tujuan demi tujuan untuk mencapai tujuan yang

dimaksud.

Keseluruhan sistem pengajaran meliputi segala sesuatu yang diperlukan

untuk memungkinkan sistem pembelajaran bisa dilaksanakan seperti yang

direncanakan. Beberapa contoh dari sistem penyampaian meliputi : penyampaian

kelas; kuliah; korespondensi; kaset video; video conference; berbasis computer;

dan berbasis web.

Setelah memilih sistem penyampaian, kemudian berbagai media dapat

dipilih untuk memberikan informasi dan peristiwa pengajaran Anda. Media

merupaka elemen fisik dilikungan belajar dengan apa peserta didik berinteraksi

untuk belajar sesuatu. Pemilihan media dilakukan sebagai bagian dari strategi

pembelajaran. Misalnya, dalam program jarak jauh, keputusan untuk

menggunakan sistem pengajaran berbasis web dibuat diawal.

Pemilihan sistem penyampaian umumnya dibuat pada bagian penyusunan

mata ajar atau tingkat kurikulum. Bagi kebanyakkan guru, sistem penyampaian

biasanya sudah tersedia, biasanya memberikan pengajaran diruang kelas. Namun,

cara yang ideal akan mendasarkan keputusan pada : tujuan pembelajaran,

karakteristik peserta didik, konteks kinerja, sasaran, dan persyaratan penilaian.

Dengan pemikiran ini, maka Anda harus memerhatikan pemilihan media untuk

menyampaian pengajaran. Media pembelajaran yang berbeda memiliki

kemampuan yang berbeda untuk menyediakan berbagai peristiwa pembelajaran.

Misalnya, sangat baik jika guru memberikan bimbingan belajar dan umpan baik,

namun rekaman video dapat digunakan secara efektif untuk menyajikan situasi

stimulus yang sulit bagi seorang guru untuk menghadirkan dalam cara lain

(misalnya tourAlaska).

Dick dan Carey membahas juga isu-isu yang perlu dipertimbangkan ketika

akan memilih dan menentukan media :

a. Pemilihan media untuk domain belajar; Pemilihan media untuk domain

belajar merupakan berbagai jenis media yang harus dipilih berdasarkan pada

jenis tujuan pembelajaran yang Anda pilih.

b. Pertimbangan lainnya dalam pemilihan media; Ketika memutuskan untuk

menggunakan media, Anda harus memastikan bahwa media yang dipilih

Page 310: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

295

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tersebut tersedia pada lingkungan belajar. Jika Anda memilih media tertentu

untuk menyajikan informasi, Anda harus memastikan bahwa Anda mampu

menghasilkan bahan untuk media itu, atau memiliki akses kepada orang-

orang yang bisa menyediakannya, mungkin sebaiknya membatasi pilihan

terkait untuk apa jenis media yang Anda buat, atau menyisihkan waktu untuk

mempelajari produk yang dibutuhkan tersebut.

c. Kondisi belajar; Gagne percaya bahwa tujuan dari semua pembelajaran

adalah untuk memberikan peristiwa-peristiwa pembelajaran yang disebutkan

sebelumnya. Peristiwa ini dapat dilakukan oleh guru atau oleh bahan/

material sendiri, asalkan mereka berhasil dilakukan. Kondisi pembelajaran

adalah seperangkat faktor yang memengaruhi pembelajaran yang harus

diperhitungkan selama perancangan pembelajaran. Gagne membedakan

antara dua jenis kondisi; internal dan eksternal. Kondisi internal belajar

mengacu pada keadaan internal peserta didik dan proses kognitif. Kondisi

internal tersebut terdiri dari pengetahuan sebelumnya, seperti motivasi,

sikap, dan lainnya. Kognitif proses menagacu pad acara di mana belajar

berinteraksi dengan lingkungan mereka. Sementara kondisi eksternal

mengacu pada hal-hal yang terjadi dalam lingkungan belajar, termasuk

pengaturan dan waktu peristiwa stimulus. Teori Gagne mengusulkan bahwa

pembelajaran sebaiknya terjadi setiap saat dan sepanjang waktu, karena

peserta didik selalu terlibat dengan lingkungan mereka.

Menyusun Strategi

Menurut Dick dan Carey menciptakan strategi pembelajaran prosesnya

meliputi lima langkah :

1. Mengurutkan dan pengelompokan tujuan, Untuk memulainya, Anda harus

menunjukkan urutan tujuan dan bagaimana akan mengelompokkannya

dalam pembelajaran. Pertimbangan baik urutan san ukuran cluster yang

sesuai untuk rentang perhatian siswa, dan waktu yang tersedia untuk setiap

sesi. Tujukkan cluster, kemudian tujuan yang akan anda ajarkan pada setiap

cluster. Jika Anda sedang merancang sebuah pelajaran singkat, Anda

mungkin akan memiliki satu cluster. Namun masih mungkin memiliki

kelompok kecil tujuan yang ingin Anda bagi dengan kegiatan review dana tau

praktik.

2. Membuat rencana prapembelajaran, penilaian, dan kegiatan untuk setiap

unit. Setelah Anda memiliki urutan dan mengemlompokkannya, Anda harus

menunjukkan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan kegiatan pra-

Page 311: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

296

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengajaran, penilaian, dan tindak lanjut kegiatan. Selama tahap ini, Anda juga

akan membuat keputusan tentang pengelompokkan siswa dan pemilihan

media. Dick dan Carey menyarankan agar Anda mengatasi masing-masing

pertimbangan dalam bentuk narasi dengan menggunakan judul berikut ini.

a) Kegiatan pra-pengajaran

Motivasi; Jelaskan bagaimana Anda akan mendapatkan perhatian

peserta didik dan mempertahankannya selama pembelajaran.

Tujuan; Jelaskan bagaimana Anda akan menginformasikan kepada

peserta didik tentang apa yang akan dapat mereka lakukan ketika

menyelesaikan pelajaran. Jelaskan mengapa hal ini penting bagi

peserta didik.

Pengelompokkan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana

Anda akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan pra-

pembelajaran (misalnya : individual, subkelompok, kecil, total

kelompok). Juga menggambarkan pemilihan media untuk kegiatan

ini (misalnya : ceramah langsung, rekaman video, cetak, web-based).

b) Penilaian

Pre test; Jelaskan bahwa Anda akan menguji perilaku awal dan apa yang

akan Anda lakukan jika seorang siswa tidak memilikinya. Jelaskan juga

apakah Anda akan menguji keterampilan yang akan diajarkan.

Praktik; Jelaskan bagaimana Anda akan menggunakan tes praktik dan

kegiatan latihan, serta dimana mereka akan ditempatkan dalam

pembelajaran.

Post test; Jelaskan kapan dan dimana post test akan diberikan.

Pengelompokkan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana Anda

akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan penilaian (misalnya:

individual, subkelompok kecil, total kelompok). Juga menggambarkan

pemilihan media untuk kegiatan ini (misalnya: kertas dan pensil,

pengembangan produk. Live performance, computer administered).

c) Kegiatan Lanjutan

Alat bantu ingatan; Jelaskan alat bantu memori apa pun yang akan

dikembangkan untuk memfasilitasi retensi informasi dan keterampilan.

Transfer; Gambarkan faktor khusus yang akan digunakan untuk

memfasilitasi transfer kinerja.

Page 312: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

297

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana Anda

akan mengelompokkan siswa untuk kegiatan tindak lanjut (misalnya:

individual, subkelompok kecil, total kelompok). Juga menggambarkan

pemilihan media untuk kegiatan ini (misalnya: ceramah langsung,

rekaman video, cetak, web based).

3. Membuat rencana presentasi konten dan bagian partisipasi siswa untuk

setiap tujuan atau sekelompok tujuan

Untuk menunjukkan isi yang akan disajikan untuk setiap tujuan,

mulailah dengan membuat daftar tujuan (dan nomor) di bagian atas formulir.

Ada dua hal yang harus menjadi bagian utama.

a) Presentasi konten

Konten; Jelaskan muatan yang akan Anda sajikan untuk masing-

masing tujuan.

Contoh; Jelaskan beberapa contoh (dan non-contoh) yang akan

Anda sajikan untuk masing-masing tujuan. Pastikan mereka adalah

sesuai dengan tujuan.

Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimna

Anda akan mengelompokkan siswa dan pemilihan media untuk

kegiatan ini.

b) Partisipasi siswa

Item-item praktik; Jelaskan beberapa contoh latihan.

Umpan balik; Jelaskan umpan balik yang akan Anda berikan untuk

latihan praktik.

Pengelompokan siswa dan pemilihan media; Jelaskan bagaimana

siswa akan dikelompokkan dan pemilihan media untuk kegiatan ini.

4. Menetapkan tujuan untuk pelajaran dan memperkirakan waktu yang

dibutuhkan

Dalam langkah ini, Anda perlu meninjau urutan dan kelompok tujuan,

bersama dengan kegiatan pra-pembelajaran, penilaian, penyajian konten,

parsitipasi siswa, dan pengelompokan siswa serta pemilihan media;

menggunakan semua informasi ini, bersama dengan jangka waktu

keseluruhan unit pembelajaran Anda, kemudian menetapkan tujuan untuk

pelajaran individual. Dalam sebuah unit besar pembelajaran, pelajaran

pertama umumnya berisi kegiatan pra-pembelajaran, sedangkan yang

terakhir umumnya berisi penilaian dan/ atau kegiatan tidak lanjut. Pastikan

Page 313: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

298

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyertakan waktu untuk presentasi, review, dan kegiatan partisipasi. Jika

Anda hanya mengembangkan pelajaran tunggal, tentu saja langkah ini cukup

pendek, namun proses ini dapat dilakukan untuk unit pembelajaran yang

diperpanjang atau untuk semester-rencana jangka panjang.

5. Meninjau kembali strategi untuk mengonsilidasikan pemilihan media dan

mengonfirmasi atau memilih sistem penyampaian/pengajaran

Sebagaimana membuat strategi pembelajaran, Anda pun telah

mempertimbangkan media apa yang digunakan yang meliputi masing-masing

tujuan. Keputusan tersebut didasarkan pada domain pembelajaran, perilaku

dan kondisi yang dinyatakan dalam tujuan, serta konteks pembelajaran dan

kinerja. Dalam langkah terakhir ini, Anda harus meninjau strategi yang

digunakan untuk mengonsolidasikan pemilihan media dan memastikan

bahwa media tersebut sesuai dengan sistem penyampaian Anda. Lihat atas

semua pilihan Anda untuk melihat apakah ada pola atau media umum yang

sesuai dengan sistem penyampaian yang dipilih.

Perlu diingat bahwa Anda tidak harus menulis seluruh pelajaran dalam

strategi pembelajaran. Bagian-bagian harus singkat dan langsung ke intinya.

Tujuannya adalah untuk memikirkan keseluruhan pelajaran sebelum Anda

mengembangkan atau memilih pengajaran.

Kedua langkah pertama berhubungan dengan keseluruhan unit pengajaran

dan tidak untuk tujuan satu per satu pelajaran. Sementara kedua langkah

selanjutnya berhubungan dengan tujuan individu atau kelompok sasaran dalam

unit pembelajaran.

Dick dan Carey menggunakan istilah strategi pembelajaran untuk

menjelaskan mengenai langkah urutan proses dan pengaturan konten,

menentukan kegiatan belajar, dan memutuskan bagaimana menyampaikan

konten dan kegiatan. Beberapa fungsi dari strategi pembelajaran adalah :

a) sebagai ramuan untuk mengembangkan bahan ajar

b) sebagai seperangkat kriteria untuk mengevaluasi bahan ajar yang telah ada

c) sebagai seperangkat kriteria dan formula untuk merevisi bahan ajar yang ada

d) sebagai kerangka kerja untuk merencanakan catatan ceramah kelas, latihan

kelompok interaktif, dan penugasan pekerjaan rumah pengembangan

strategi pembelajaran ada pada tahap ke-enam dari desain system

instruksional yang dikembangkan oleh Dick dan Carey.

Perencanaan strategi pembelajaran adalah suatu bagian penting dari

keseluruhan proses rencana pembelajaran. Gagne menyebut langkah-langkah

perencanaan dan analisis sebagai arsitektur , sedangkan strategi pembelajaran

Page 314: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

299

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

adalah batu bata dan adukan . Hal tersebut menunjukkan bagaimana guru

sebenernya mengajar siswa.

Ada beberapa macam Implementasi Strategi Pembelajaran, yakni:

Strategi Pembelajaran Berorientasi pada Aktivitas Siswa (PBAS)

Dalam standar proses pendidikan, pembelajaran didesain untuk

membelajarkan siswa. Artinya sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai

subjek belajar. Dengan kata lain, pembelajaran ditekankan atau berorientasi pada

aktivitas siswa (PBAS).

Ada beberapa asumsi perlunya pembelajaran berorientasi pada aktivitas

siswa. Pertama, asumsi fisiologis tentang pendidikan. Pendidikan merupakan

usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan

intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, proses pendidikan

bukan hanya mengembangkan intelektual saja, tetapi mencakup seluruh potensi

yang dimiliki anak didik. Dengan demikian hakikat pendidikan pada dasarnya

adalah : (a) intelektul manusia; (b) pembinaan dan pengembangan potensi

manusia; (c) berlangsung sepanjang hayat; (d) kesesuaian dengan kemampuan

dan tingkat perkembangan siswa; (e) keseimbangan antara kebebasan subjek

didik dan kewibawaan guru; dan (f) peningkatan kualitas hidup manusia.

Kedua, asumsi tentang siswa sebagai subjek pendidikan, yaitu : (a) siswa

bukanlah manusia dalam ukuran mini, akan tetapi manusia yang sedang dalam

tahap perkembangan; (b) setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda;

(c) anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis dalam

menghadapi lingkungannya; (d) anak didik memiiki motivasi untuk memenuhi

kebutuhannya. Asumsi tersebut menggambarkan bahwa anak didik bukanlah

objek yang harus dijejali dengan informasi, tetapi mereka adalah subjek yang

memiliki potensi dan proses pembelajaran seharusnya diarahkan untuk

mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak didik itu.

Ketiga, asumsi tentang guru adalah : (a) guru bertanggung jawab atas

tercapainya hasil belajar peserta didik; (b) guru memiliki kemampuan professional

dalam mengajar; (c) guru mempunyai kode etik keguruan; (d) guru memiliki peran

sebagai sumber belajar, pemimpin (organisator) dalam belajar yang

memungkinkan tercipta kondisi yang baik bagi siswa dalam belajar.

Keempat, asumsi yang berkaitan dengan proses pengajaran adalah : (a)

bahwa proses pengajaran direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu sistem; (b)

peristiwa belajar akan terjadi manakala anak didik berinteraksi dengan lingkungan

yang diatur oleh guru; (c) proses pengajaran akan lebih aktif apabila menggunakan

Page 315: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

300

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

metode dan teknik yang tepat dan berdaya guna; (d) pengajaran memberi

tekanan kepada proses dan produk secara seimbang; (e) inti proses pengajaran

adalah adanya kegiatan belajar siswa secara optimal.

Strategi Pembelajaran Inkuiri

Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran

yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari

dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses

berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa.

strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic yang berasal

dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri.

Pertama strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal

untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa

sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan

sebagai penerima pelajaran untuk penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka

berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.

Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan

menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga

diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri self belief. Dengan demikian,

strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar,

akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran

biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru proses dalam dan siswa. Oleh

sebab itu kemampuan guru menggunakan teknik bertanya merupakan syarat

utama dalam melakukan inkuiri.

Ketiga ,tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah

mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau

mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.

Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri siswa tak hanya dituntut

agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat

menggunakan potensial yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai

pelajaran belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara

optimal; namun sebaliknya, siswa akan dapat mengembangkan kemampuan

berpikirnya manakala ia bisa menguasai materi pelajaran.

Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM)

Page 316: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

301

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang

menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.T

terdapat 3 ciri utama SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas

pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang

harus dilakukan siswa, yaitu aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah

data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk

menyelesaikan masalah. menempatkan masalah. SPBM menempatkan masalah

sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak

mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan

menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan

metode ilmiah adalah proses berpikir seduktif dan induktif. Proses berpikir ini

dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah yang

dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses

penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

Untuk mengimplementasikan SPBM, guru perlu memilih bahan pelajyang

memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa

diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang

terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa

kemasyarakatan.

Hakikat masalah dalam SPBM adalah gap atau kesenjangan antara situasi

nyata dan kondisi yang diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan

apa yang diharapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan,

keluhan, kerisauan, atau kecemasan. Oleh karena itu, maka materi pelajaran atau

topik tidak terbatas pada materi pelajaran yang bersumber dari buku saja akan

tetapi juga dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan

kurikulum yang berlaku.

Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berfikir (SPPKB)

Model strategi pembelajaran peningkatan kemampuan befikir ( SKKPB )

adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan

berfikir siswa melalui hasil telaahan fakta-fakta atau pengelaman anak sebgai

bahan untuk memecahkan masalah yang diajukan.

Terdapat beberapa hal yang terkandung dalam pengertian diatas. Pertama ,

SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan berfikir,

artinya tujuan yang ingin dicapai oleh SPPKB adalah bukan sekedar siswa dapat

menguasai sejumlah materi pelajaran. Akan tetapi bagaimana siswa dapat

mengembangkan gagasan-gagasan dan ide-ide melalui kemampuan berbahasa

Page 317: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

302

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

secara verbal. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa kemampuan berbicara

secara verbal merupakan salah satu kemampuan berfikir. Kedua, telaahan fakta-

fakta sosial atau pengalaman sosial merupakan dasar pengembangan kemampuan

berfikir, artinya pengembangan gagasan dan ide-ide didasarkan kepada

pengalaman sosial anak untuk mengdeskripsikan hasil pengamatan mereka

terhadap bebagai fakta dan data yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-

hari. Ketiga, sasaran akhir SPPKB adalah kemampuan anak untuk memecahkan

masalah –masalah sosial dengan taraf perkembangan anak.

Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)

Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang

dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan

pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam SPK, yaitu:

(1) adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya

upaya belajar setiap anggota kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai.

Peserta adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran da- lam setiap

kelompok belajar. Pengelompokan siswa bisa ditetapkan berdasarkan beberapa

pendekatan, di antaranya pengelompokan yang didasarkan atas minat dan bakat

siswa, pengelompokan yang didasarkan atas Iatar belakang kemampuan,

pengelompokan yang didasarkan atas campuran baik campuran ditinjau dari

minat mau- pun campuran ditinjau dari kemampuan. Pendekatan apa pun yang

digunakan, tujuan pembelajaran haruslah menjadi pertimbangan utama.

Aturan kelompok adalah segala sesuatu yang menjadi kesepakatan semua

pihak yang terlibat, baik siswa sebagai peserta didik, mlupnn siswa sebagai

anggota kelompok. Misalnya, aturan tentang pembagian tugas setiap anggota

kelompok, waktu dan tempat pelaksanaan, dan lain sebagainya.

Upaya belajar adalah segala aktivitas siswa untuk meningkatkan

kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik

kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Aktivitas

pembelajaran tersebut dilakukan dalam kegiatan kelompok, sehingga

antarpeserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikiran, pengalaman,

maupun gagasan-gagasan. Aspek tujuan dimaksudkan untuk memberikan arah

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Melalui tujuan yang jelas, setiap anggota

kelompok dapat memahami sasaran setiap kegiatan belajar.

Salah satu strategi dari model pembelajaran kelompok adalah strategi

pembelajaran kooperatif (cooperative Learning) (SPK). SPK merupakan strategi

pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan

Page 318: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

303

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

para ahli pendidikan untuk di- gunakan. Slavin (1995) mengemukakan dua alasan,

penama, bebe- rapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan

pembelajaran kooperatif dapat meningkarkan prestasi belajar siswa sekaligus

dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap

menerima kekurangan diri dan orang lain, sena dapat me- ningkatkan harga diri.

Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam

belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan

dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif

merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran

yang selama ini memiliki kelemahan.

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran de- ngan

menggunakan sistem pengelompokantim kecil, yairu antara empat sampai enam

orang yang mempunyai latar belakang ke- mampuan akademik, jenis kelamin, ras,

atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap

kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika

kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demi- kian,

setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif.

Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung

jawab individu terhadap kelompok dan ket:rampil:an interpersonal dari setiap

anggota kelompok. Setiap individu Jika" saling membantu. mereka akan

mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan

memiliki kesempatan yan8 sama "ntuk memberikan kontribusi demi keberhasilan

kelompok.

SPK mempunyai dua komponen utama, yaitu komponen tugas kooperatit'

(cooperative task) dan komponen struktur insentif kooperatif (coopcnUive

incentive structure). Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang mcnyebabkan

anggota bekerja sama dalam menye- lesaikan tugas kelompok; sedangkan struktur

insentif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu

untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap

sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif

setiap anggota kelompok bekerja keras untuk be- lajar, mendorong dan

memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan

kelompok.

Jadi, hal yang menarik dari SPK adalah adanya harapan selain memiliki

dampak pembelajaran, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar peserta didik

(student achievement) juga mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial,

penerimaan terhadap peserta didik yang dianggap lemah, harga diri, norma

Page 319: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

304

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

akademik, penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada

yang lain.

Kontekstual (CTL)

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran

yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat

menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami.

Pertama CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan

materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara

langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya

menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi

pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan

antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa

dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah

dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat

mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi

siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang

dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah

dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya datlam

kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami

materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat

mewarnai perilakunya dalarn kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam

konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi

sebagai beka mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

C. Penutup

Pekerjaan menjadi seorang guru, tidak semudah yang dikatakan. Karena

menjadi seorang guru harus mampu mengubah prilaku siswa sesuai dengan

tujuan yang diharapkan. Sehingga guru, di tuntut untuk memiliki suatu keahlian

tertentu dan dibedakan berdasarkan latar belakang pendidikannya. Begitu juga

halnya dengan mengajar, dimana mengajar merupakan pekerjaan professional,

sebab membutuhkan keterampilan khusus dalam perencanaan, serta

petimbangan-pertimbangan yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Page 320: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

305

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sehingga, Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, antara lain; kompetensi

pribadi, kompetensi Profesional, Kompetensi sosial, serta kompetensi pedagogik.

Untuk menghasilkan proses pembelajaran yang baik, maka seorang guru

hendaklah menguasai strategi pembelajaran dengan baik. Dimana strategi

pembelajara merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk

penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan

dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yakni tujuan

pembelajaran. Dimana konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi : a)

penetapan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, b) penentuan pilihan

berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengaja, c) pemilihan

prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar, dan d) penerapan norma dan

kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Dalam pengimplementasian strategi pembelajaran yang baik, maka

hendaklah menguasai istilah dasar dari strategi pembelajaran yang meliputi : 1)

model pembelajaran. 2) pendekatan pembelajaran, 3) strategi pembelajaran, 4)

metode pembelajaran, 5) teknik pembelajaran, dan 6) taktik pembelajaran.

Sehingga harapan untuk menguasai kelas dengan baik serta harapan untuk

memberikan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan tujuan pembelajaran

akan tercapai.

D. Daftar Pustaka

Abdul Majid. (2016). Strategi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Benny A. Pribadi. (2011). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta : PT Dian

Rakyat

B. Lena Nuryanti. (2009). 99 Model Pembelajaran. Bandung : Alfabeta

Bruce Joyce. (2011). Model Of Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Cucu Suhana. (2014). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung : Refika Aditama.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. (2013). Strategi Belajar Mengajar.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

S. Nasution. (2009). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar.

Jakarta : PT Bumi Aksara.

Wina Sanjaya. (2016). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta : Kharisma Putra Utama

Page 321: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Tri Harjawati, (2018) Peranan Strategi Pembelajaran, hal. 273 - 305

306

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 322: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

307

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV BAHASA DAN PENGEMBANGAN LITERASI

Page 323: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

308

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi Dalalah (Makna) Ayat-ayat JIHAD

Muhbib Abdul Wahab

Jurusan Pendidikan Bahasa Arab – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Tulisan ini bertujuan menganalisis secara semantik redaksi dan konteks

ayat-ayat jihad dalam al-Qur an. Struktur ayat-ayat tentang jihad lalu

dimaknai secara kontekstual, terutama konteks jihad sosial. Dengan

pendekatan semantik ( ilm ad-dalâlah) dan linguistik teks ( ilm lughat

an-nashsh) tulisan ini juga menampilkan makna (dalâlah) jihad secara

lebih kontekstual, melalui aktualisasi visi profetik Nabi Saw. dalam

membangun dan mengembangkan masyarakat yang berkemajuan,

berkeadilan, dan berkeadaban. Tulisan ini menyimpulkan bahwa dalalah

ayat-ayat jihad dalam al-Quran itu tidak bisa direduksi maknanya hanya

sekadar qital (berperang), karena esensi dan etos jihad itu adalah

berupaya maksimal dalam berbagai aspek kehidupan sesuai kompetensi

dan kapabilitas Muslim. Pemimpin berjihad menegakkan keadilan,

ulama berjihad intelektual dalam mengembangkan ilmu pengetahuan

demi kemanusiaan, pengusaha berjihad finansial dengan

kedermawanannya. Ahli hukum berjihad konstitusi dalam mewujudkan

sistem hukum yang berkeadilan. Setiap umat Muslim dapat berjihad

sosial sesuai dengan peran dan fungsi sosial masing-masing.

Kata Kunci: Dalalah Ayat-ayat Jihad, Teks dan Konteks, Tingkatan jihad,

Jihad multidimensi, Jihad Sosial

Page 324: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

309

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan Teks ayat-ayat jihad di dalam al-Qur an sering dipahami secara keliru

(misunderstanding). Jihad diasosiasikan dengan siap mati syahid , dan mati

syahid itu digaransi masuk surga. Dengan kata lain, kalau ingin masuk surga, maka

salah satu tiketnya adalah mati syahid melalui jihad yang dimanifestasikan,

misalnya, dengan meledakkan bom. Dengan logika inilah, para teroris mendoktrin

para calon pengantin surga untuk melakukan bom bunuh diri, meledakkan bom

di tempat-tempat strategis yang diklaim sebagai sarang maksiat , para thaghut,

dan antek-antek Barat yang harus dihancurkan.

Menurut Dawam Rahardjo (1996, h. 525), jihâd merupakan doktrin Islam

yang berkedudukan sangat sentral. Jika saja rukun Islam itu ada enam, maka

rukun yang keenam setelah haji itu adalah jihad. Berbeda dengan Sunni, Syî`ah

[dan Khawârij] menempatkan jihad sebagai rukun Islam keenam mereka. Namun

demikian, jihâd seringkali dimaknai hanya sebagai sebuah bentuk perlawanan,

tindakan konfrontatif dan/atau perang suci, padahal misi profetik Nabi Saw.

adalah pembumian agama perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan,

penindasan, terorisme, dan perang (QS. al-Anbiyâ [21]: 107). Dalam konteks ini,

salah satu identitas Islam, bahkan merupakan perintah Nabi, adalah sosialisai

salâm (ajaran perdamaian, penyelamatan, pembebasan): Assalâmu `alaikum

warahmatu Allah wa barakâtuhu. Paling tidak, bila seorang Muslim bertemu

dengan sesamanya, ucapan itu sangat dianjurkan untuk dijadikan sebagai sapaan

pembuka suasana dan wacana . Dalam ungkapan salam tersebut terdapat kata

rahmah yang mengandung arti kasih sayang, baik budi, murah hati,

menyenangkan orang lain, dan belas kasihan terhadap sesama. Penggunaan kata

rahmah berikut derivasinya dalam al-Qur an sangat sentral karena langsung

berkaitan dengan Nama/Sifat Allah: al-Rahmân dan al-Rahîm. Kata ini digunakan

al-Qur an tidak kurang dari 288 kali. Hal ini menunjukkan betapa konsep rahmat

dalam Islam mewarnai tampilan dan kepribadian Muslim. (Ali Audah, 1996, h.546-

550; Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqi, 1991).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim,

Nabi Saw bersabda berikut:

( . يل الله ثم حج م ل في س لله ثم لإي ب لأع ل م: أف س يه ى الله ع ي ص ل ق ) لشي

(Amal paling utama adalah beriman kepada Allah, berjihad di jalan Allah, dan haji

mabrur).

Sebagai ajaran sentral dalam Islam, jihâd sangat terkait dengan pluralitas

masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa jihad pada umumnya terjadi dan

Page 325: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

310

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengambil bentuk dan momentum dalam masyarakat yang plural, karena

pluralitas sosial meniscayakan adanya keragaman kepentingan dan tujuan dalam

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jihâd Ibrahim As., misalnya, tidak

hanya berhadapan dengan keluarga dan kaumnya sendiri yang politeis (musyrik),

melainkan juga menghadapi Namrud, penguasa diktator saat itu. Demikian pula

jihad Nabi Muhammad Saw.; tidak hanya melawan kaum pagan (musyrikin)

Mekkah, tetapi juga menghadapi penggembosan dan pengkhianatan dari

kalangan munafiq yang menyempal dari perang Uhud, dan Yahudi Madinah yang

sering menyalahi janji dan kontrak sosial dengan Nabi Muhammad Saw.

Dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, jihad selalu hadir dalam

spektrum sosial yang luas, plural dan multikultural, karena dalam pluralitas sosial

politik dan budaya itu dipastikan adanya keberbedaan dan keberagaman: tujuan

dan kepentingan, pendapat dan pandangan, keberpihakan, keyakinan,

keberagamaan, kesadaran, kebudayaan, keterlibatan dalam kemasyarakatan dan

sebagainya.

Artikel ini berupaya menjawab permasalahan: (1) Dalam konteks apa ayat-

ayat jihad dalam al-Qur an distrukturkan? (2) Bagaimana memaknai dan

mengontekstualisasi pesan-pesan ayat-ayat jihad sesuai dengan konteksnya?

Dengan pendekatan semantik ( ilm ad-dalâlah) dan linguistik teks ( ilm lughat an-

nashsh), artikel bertujuan menganalisis dan menampilkan makna (dalâlah) jihad

yang lebih kontekstual, sebangun dengan aktualisasi visi profetik Nabi Saw. dalam

membangun dan mengembangkan masyarakat yang berkemajuan, berkeadilan,

dan berkeadaban.

Kajian tentang ayat-ayat [dan hadits-hadits] jihad diinspirasi oleh fakta

sejarah bahwa semua Rasul yang mendakwahkan wahyu (ajaran) Allah –pada

awal karir profetiknya—umumnya disikapi oleh kaumnya dengan keangkuhan,

penolakan, dan penentangan, sehingga sikap tersebut tidak jarang melahirkan

kekerasan, bahkan konforntasi dan peperangan. Persoalannya, jika Islam yang

dibawa oleh Muhammad Saw. sebagai agama kasih sayang bagi semua diwarnai

oleh beberapa peperangan (baca: jihad ofensif), lalu apakah dakwah dan syiar

Islam itu berarti harus menggelorakan jihad dalam arti perang ofensif?

B. Pembahasan Memaknai Jihad

Dari segi bahasa, jihâd merupakan bentuk mashdar dari kata jâhada –

yujâhidu –mujâhadatan wa jihâdan yang berarti berjuang, bekerja keras (dan

cerdas), dan mengoptimalkan segenap daya dan potensi diri demi membela dan

Page 326: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

311

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mempertahankan kebenaran. Jika ditelusuri akar katanya, jihâd berasal dari dua

bentuk kata, yaitu: (1) jahd, yang artinya kesukaran dan kesulitan (Ahmad ibn

Faris, 1981, h. 486), dan 2) juhd yang artinya kemampuan, kesungguhan dan kerja

keras (dan cerdas).(Ibn Manzhur, 1990, h. 132).

Secara semantik, jika kedua makna akar kata jihad itu dipadukan, maka

jihad secara bahasa dapat diartikan sebagai upaya mengerahkan segala

kemampuan dengan penuh kesungguhan dalam rangka menghadapi dan

mengatasi kesulitan, kesukaran dan tantangan. Dalam konteks ini, al-Ashfahâny

(w. 502) mendefinisikan jihad sebagai mengerahkan daya upaya untuk

menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak, seperti hawa

nafsu dan setan, dan musuh yang tampak, seperti orang kafir dan musyrik (Ar-

Râghib al-Ishfahâny, t.t, h.101). Dalam A Dictonary of Modern Written Arabic,

Hans Wehr (1980) menjelaskan bahwa Jihad: fight, battle, holy war (against the

infidles as a relegious duty) . Jihad ialah perjuangan, pertempuran, perang suci

melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama (Muhammad Chirzin, 2004,

h.11).

Oleh karena kata jihâd merupakan bentuk mashdar, tepatnya ism mashdar

dari kata jâhada yang menurut `ilm al-sharf mengandung arti musyârakah

(partisipasi, saling atau melibatkan pihak lain), maka sesungguhnya konsep dasar

jihad menghendaki adanya partisipasi sosial, kerjasama, pelibatan dan

keterlibatan pihak lain. Dengan kalimat lain, jihâd pada dasarnya lebih merupakan

konsep sosial, daripada konsep spiritual, meskipun dalam aplikasi dan

pelaksanaanya tidak dapat dipisahkan dari spiritualisasi diri. Oleh karena itu,

dapat dipahami mengapa perintah jihad dalam al-Qur an dikaitkan dengan bi

amwâlikum (dengan harta benda kalian), baru dengan bi anfusikum (dengan

jiwa/diri kalian). Menarik dicatat bahwa perintah jihad dalam al-Qur an tersebut

umumnya berbentuk jama` (plural)1, dan hal ini berarti bahwa jihad tidak hanya

berkonotasi sosial, melainkan juga harus bermuara pada kepentingan sosial Islam.

Jika dikaitkan dengan berbagai persoalan yang terjadi dan melanda bangsa

dewasa ini, seperti: kemikinan, pengangguran, kemiskinan, keterlantaran, kirisis

moral, berbagai tindak kriminalitas, dan sebagainya, maka jihad sosial bukan

hanya penting, melainkan juga relevan dengan tuntutan zaman. Signifikansi jihad

sosial terletak pada nilai dan semangat kebersamaan, gotong-royong, tolong-

menolong, peduli kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual yang oleh Allah dijanjikan

jalan keluarnya selama jihad itu benar-benar dilakukan di jalan-Nya. (Bachtiar

1 misalnya QS. al-Hajj [22]:78 dan al-Anfâl [8]: 72.

Page 327: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

312

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Chamsah, 2002, h.5). Dengan demikian, jihad sosial merupakan upaya kolektif

yang bertujuan membumikan misi Islam dan mencari solusi berbagai persoalan

umat Islam dalam rangka peningkatan kualitas hidup bermasyarakat dan

berbangsa demi mengharapkan ridha-Nya. Jihad sosial adalah piranti lunak

umat Islam yang memberikan elan vital dalam menghadapi dan memberi solusi

multi-krisis. Jihad sosial dapat dikembangkan dan diaktualisasikan dalam rangka

untuk turut peduli dan terlibat dalam dinamika dan problematika umat Islam dan

bangsa.

Wacana Jihad dalam Islam

Wacana jihad tidak hanya diulas oleh al-Qur an, melainkan juga menjadi

salah satu bab (bahasan) dalam berbagai buku-buku hadits, seperti Shahîh al-

Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Nasâ’i dan sebagainya. Al-

Qur an sendiri menggunakan kata jihad dalam berbagai bentuknya tidak kurang

dari 41 kali. Beberapa literatur klasik juga secara khusus memberikan porsi

bahasan mengenai jihad. Pelaksanaan jihad itu sendiri sudah terjadi sejak Nabi

Adam As. ketika beliau mulai digoda oleh setan. Semua para Nabi dan Rasul juga

mengalami dan melakukan berbagai bentuk jihad dalam upaya mereka

menegakkan ajaran tauhid.

Nabi Muhammad Saw. sendiri mulai diseru oleh Allah untuk berjihad ketika

mengawali karir dakwahnya di Mekkah. Beberapa ayat yang turun di Mekkah

telah menginstruksikan berjihad kepada Nabi Saw. melawan orang-orang kafir

untuk membela diri dan agama (Quraish Sihab, 1996, h. 506). Perhatikanlah

misalnya ayat Makkiyah berikut: Maka janganlah kamu [Muhammad] mengikuti

orang-orang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan al-Qur’an dengan

jihad yang besar. (QS. al-Furqân [25]: 52). Bahkan beberapa hadis Nabi juga

menyatakan pentingnya jihad sebagai cara taktis atau strategis dalam

menegakkan kebenaran. Misalnya, sabda Nabi: Mujahid adalah orang yang

mengerahkan dirinya dalam rangka taat kepada Allah, sedangkan orang yang

hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt. (HR.

Ahmad). Oleh karena itu, jihad yang utama adalah menegakkan kebenaran dan

keadilan; dan jihad mengendalikan diri dan hawa nafsu lebih diutamakan daripada

jihad melawan musuh Islam (Hamdi Syalabi, 2002, h. 54). Dengan

memprioritaskan jihad terhadap diri sendiri, diniscayakan jihad sosial menjadi

implikasi lanjutannya.

Dalam konteks tersebut, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (2002, h. 9) tampaknya

mempunyai pendapat yang cukup menarik mengenai tingkatan dan kategorisasi

Page 328: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

313

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jihad. Menurutnya, jihad itu ada empat tingkatan: jihâd al-nafs, jihâd al-syaithân,

jihâd al-Kuffâr, dan jihâd al-Munâfiqîn. Masing-masing jihad tersebut mempunyai

urutan dan tingkatan lagi.

Jihâd al-nafs (jihad menghadapi diri sendiri, hawa nafsu2) mempunyai

empat tingkatan. Pertama, berjuang untuk mempelajari petunjuk dan agama yang

benar (Islam). Jihad ini penting karena seseorang hanya akan mendapat

keberuntungan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dengan berpedoman

pada petunjuk agama. Kedua, berjuang untuk berusaha mengamalkan ilmu agama

yang telah diketahuinya. Perjuangan ini penting dilakukan agar ilmunya dapat

memberi manfaat bagi jalan hidupnya. Ketiga, berjuang untuk mendakwahkan

(menyampaikan) dan mengajarkan ilmunya itu kepada orang lain. Jika jihad ini

tidak dilaksanakan, maka yang bersangkutan tergolong orang yang

menyembunyikan kebenaran dan tidak akan terhindar dari murka dan siksa Allah.

Keempat, berjuang untuk bersabar dalam mengemban tugas besar dakwah,

karena dalam menyampaikan ajaran Islam dipastikan banyak rintangan yang

menghadang. Jika keempat tingkatan jihad tersebut dilaksa-nakan, berarti yang

bersangkutan tergolong rabbâniyyîn (orang-orang yang berjiwa/ bersifat

ketuhanan).

Sementara itu, jihad melawan setan ada dua tingkatan. Pertama, jihad

menolak syubhat dan keraguan dalam beriman yang dihembuskan oleh setan.

Kedua, jihad melawan keinginan jahat dan syahwat yang dibisikkan setan. Jihad

yang pertama akan membawa kepada keyakinan, sedangkan jihad yang kedua

akan membuahkan kesabaran. Dalam hal ini Allah berfirman: Dan Kami jadikan di

antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah

2 Hawa Nafsu erupaka kata pi ja a dari bahasa Arab: Hawâ al-

Nafs, yang artinya kepentingan atau keinginan pribadi. Dalam al-Qur a , kata afs , antara lain diartikan sebagai diri dan nafsu. Nafsu dijelaskan oleh al-Qur a

sebagai daya pe ggerak a usia u tuk berbuat kejahata . Fir a Allah: Dan

aku tidak dapat membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya

nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat

oleh Tuha ku. Sesu gguh ya Tuha ku Maha Pe ga pu lagi Maha Pe yaya g. (QS. Yûsuf [12]: 53). Oleh karena itu, orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan menyadari kebesaran Allah, ia memperoleh posisi yang baik di sisi Tuhan, yaitu Surga. Adapu ora g-orang yang takut kepada (menyadari dan

memahami) kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keingingan hawa

afsu ya, aka sesu gguh ya surgalah te pat ti ggal ya. (QS. al-Nâzi`ât [79]: 40-41).

Page 329: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

314

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), sedangkan mereka

meyakini ayat-ayat Kami. (QS. al-Sajdah [32]: 24).

Sedangkan jihad melawan orang kafir dan munafik harus dilakukan dengan

empat hal: hati (sikap), lisan (pernyataan, diplomasi), harta (ekonomi) dan diri

(kompetensi). Jihad melawan orang-orang kafir diutamakan dengan tangan

(kekuasaan dan kekuatan), sementara jihad melawan orang-orang munafiq

dilakukan dengan lisan (debat, diplomasi dan logika). Jihad dapat dilaksanakan

dengan baik jika dibarengi dengan semangat hijrah (melakukan peru-bahan) dan

iman yang tulus kepada Allah Swt. (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2002, h. 10)

Wacana jihad dalam Islam terkait dengan konsep ijtihâd dan mujahâdah.

Karena itu, ijtihâd terkadang diidentikkan dengan al-jihâd al-fikri (perjuangan

intelektual), sedangkan mujâhadah diidentikkan dengan al-jihâd al-qalbi

(perjuangan spritual). Jika ijtihâd berorientasi pada upaya menjawab persoalan

dengan pemikiran dan konsep, maka mujâhadah merupakan upaya persoanal

yang bertujuan mengasah dan mena-jamkan kepekaan batin, kedekatan spiritual

manusia dengan Sang Khaliq.

Jihad sosial, sebagai sebuah wacana baru dalam kajian Islam, idealnya

didesain melalui proses ijtihâd kolektif mengenai persoalan umat yang mendesak

diselesaikan. Jika dewasa ini bangsa ini dilanda oleh berbagai krisis dan kemelut,

maka lembaga semacam MUI, Majlis Tarjih Muhammadiyah atau Lajnah Bahts al-

Masa`il NU dapat berperan melakukan ijtihâd kolektif dengan merumuskan

hakekat dan memberi solusi, misalnya saja, persoalan korupsi yang menjangkiti

para pejabat dan birokrat kita. Dari hasil ijtihâd kolektif ini rumusan-rumusan

konseptual dan operasional dapat ditindaklanjuti dalam bentuk jihad sosial,

bahwa setiap Muslim harus melawan tindakan korupsi yang dilakukan oleh

siapapun, dengan mulai mengevaluasi diri, diperkuat dengan mujâhadah, proses

spiritualisasi diri yang mendalam. Dengan demikian, wacana jihad sosial tidak

serta-merta mengambil bentuk aksi menentang dan melawan hawa nafsu

(kepentingan diri sendiri), kemunkaran dan kejahatan, melainkan juga harus

dimulai dari konseptualisasi visi, misi, orientasi dan strategi ajaran yang perlu

diterapkan dalam berjihad sosial.

Ragam Jihad dan Masyarakat Muslim Ideal

Jihad, yang oleh Barat sering diterjemahkan dengan Holy war , perang

suci, dan kemudian dikombinasikan dengan pemikiran Barat yang keliru tentang

Islam sebagai agama pedang (disebarluaskan dengan kekerasan dan perang),

jelas mengandung bias dan pemahaman yang sempit. Padahal, jihad mengandung

Page 330: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

315

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

konotasi batini dan spiritual yang tinggi. Karena kehidupan pada hakikatnya

mengimplikasikan gerak dan dinamika, maka untuk tetap berada dalam

keseimbangan, diperlukan upaya yang berkesinambungan, dengan melaksanakan

jihad batini pada setiap tahap kehidupan dalam menuju realitas Ilahi. Melalui

jihad batini, manusia spiritual mengakhiri semua mimpi, menuju realitas yang

merupakan sumber semua realitas (Seyyed Hossein Nashr, 1994, h. 25-26). Jihad

merubah manusia spiritual menjadi manusia yang bersosial; artinya jihad sosial

diperlukan agar umat Islam tidak terjebak dalam spiritualitas-vertikal yang tidak

membawa implikasi sosial bagi harkat kemanusiaan.

Oleh karena visi profetik Nabi Muhammad Saw. berhasil dilaksanakan

melalui dakwah dan jihad, dan keberhasilan beliau itu membawa implikasi berupa

lahirnya masyarakat madani yang berkeadaban dan berkeadilan, maka jihad sosial

diyakini merupakan salah satu rahasia sukses tersebut. Mâjid Irsân al-Kailâni,

pakar pendidikan Islam asal Yordania, bahkan menyebut jihad sebagai teknologi

Islam yang memungkinkan pelaksanaan aksi dan produksi baik di waktu damai,

paceklik (sulit) maupun di saat perang. Jihad membuat visi dan misi Islam

teraktualisasi, yaitu: tegaknya kebenaran, keadilan dan kasih sayang, terlaksana

dengan baik (Mâjid Irsân al-Kailâni, 1992, h. 64).

Jihad sosial adalah jihad kolektif yang bertujuan tidak hanya menegakkan

kebenaran Islam, melainkan juga menciptakan rasa aman dan damai di kalangan

masyarakat plural: lintas-agama, lintas-budaya dan lintas-suku bangsa. Jihad sosial

dapat mengambil tiga bentuk aktualisasi, yaitu: al-jihâd al-tarbawy, al-jihâd al-

tanzhîmy, dan al-jihâd al-`askary. Pertama, al-jihâd al-tarbawy (jihad edukatif)

bertujuan untuk mensucikan diri manusia dari posisi tunduk kepada insting dan

hawa nafsu sesaat menuju manusia yang berposisi mampu mengaktualisasikan

diri (self actualization). Dengan kalimat lain, aktualisasi jihad tipe diorientasikan

kepada perubahan manusia yang berposisi asfala sâfilîn (rendah, hina dan tak

berdaya) menjadi ahsan taqwîm (berpenampilan baik, terhormat dan berdaya).

Jihad dalam bentuk pendidikan menghendaki adanya perencanaan dan program

yang terukur dan cermat, dan perlu memiliki institusi yang kredibel, tim ahli yang

terpercaya, sarana, prasarana dan media yang mendukung. Dalam konteks ini,

Nabi Saw. menyetarakan karya ulama dan darah syuhada (midâd al-ulamâ’ wa

dimâ’ al-syuhadâ’), sebagai pengakuan terhadap signifikansi jihad kependidikan

atau jihad intelektual.

Kedua, al-jihâd al-al-Tanzhîmi (jihad organisatoris/institusional). Jihad

model ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan dan mengorganisasikan potensi

umat Islam, baik materiil maupun mental-spiritual, dalam rangka aktualisasi visi

Page 331: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

316

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan misi Islam. Jihad organisatoris dapat mengambil bentuk sebuah organisasi

sosial, lembaga pendidikan, pusat pengkajian dan penelitian, yayasan sosial dan

dakwah, dan sebagainya, yang bergerak dalam wilayah penegakan dan sosialisasi

ajaran Islam. Jihad model ini perlu dikelola dan dikembangkan berdasarkan

manajemen yang akuntebel, transparan dan bernilai sosial tinggi. Jihad model ini

akan dapat mengoptimalkan segenap potensi umat Islam dan dapat mengungguli

umat lain, selama dikelola dengan profesional dan berorientasi kepada kualitas

moral (seperti sabar). Dalam hal ini Allah berfirman: Jika ada dua puluh orang

yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh.

Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan

seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang mengerti.

(QS. al-Anfâl [8]: 65). Ayat ini, meskipun konteksnya peperangan, mengisyaratkan

bahwa kualitas jihad yang terorganisir akan dapat mengungguli pihak lain yang

kuantitasnya jauh lebih besar.

Ketiga, al-jihâd al-`askari (jihad militer). Jihad ini bertujuan untuk bertindak

ofensif atau defensif dalam rangka mengatasi rintangan, gangguan dan agresi

yang dilakukan oleh pihak musuh, demi mempertahankan diri dan misi Islam.

Jihad model ini dilakukan, terutama jika kedua model jihad tersebut tidak

menampakkan hasil. Karena itu, penggunaan senjata, perlawanan fisik dan ofensif

atau defensif dalam Islam merupakan alternatif (terakhir) jika kedua jihad

tersebut dipandang tidak dapat merealisasikan misi Islam. Selama misi Islam

dapat terlaksana dengan kedua jihad di atas, jihad militer tidak dibenarkan,

karena berakibat timbulnya kekerasan dan pertumpahan darah.

Ketiga macam jihad tersebut dalam aplikasinya harus berada dalam suatu

sistem sosial atau masyarakat madani. Mâjid Irsân al-Kailâni dalam hal ini

menyatakan bahwa model ideal masyarakat Muslim, seperti halnya masyarakat

pada masa Nabi di Madinah, adalah masyarakat yang mempunyai enam

komponen pokok, yaitu: (1) individu-individu Mukmin, (2) Semangat hijrah, (3)

Jihâd dan Misi, (4) Memberikan akomodasi, (5) perlindungan, dan (6) Loyalitas

(Mâjid Irsân al-Kailâni, 1992, h. 37). Pendapat ini didasarkan pada firman Allah

sebagai berikut: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah dan

berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, dan orang-orang yang

memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada kaum muhajirin), mereka

itu satu sa a lai sali g eli du gi… (QS. al-Anfâl [8]: 72)

Komponen ideal masyarakat Muslim tersebut memperlihatkan kepada kita

bahwa kesatuan akidah (iman), kesamaan visi dan misi, semangat perubahan dan

perjuangan, solidaritas sosial dan komitmen untuk menegakkan kebenaran dan

Page 332: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

317

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

keadilan merupakan prasyarat yang melandasi tegaknya sistem sosial yang

berkeadaban dan berkeadilan hukum. Karena itu, dapat diphami mengapa begitu

sampai di Madinah setelah berhijrah dari Mekkah, Nabi Saw langsung menyusun

kontrak sosial, berupa piagam Madinah yang mengatur tegaknya sistem sosial

masyarakat Madinah yang saat itu sangat plural.

Masyarakat Madinah, menurut Nurcholish Madjid (1998, h. 54), adalah

masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi.

Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing

warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan

berakhir dengan hasil berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum

(tegaknya sistem sosial yang menempatkan supremasi hukum) itu merupakan

pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam

kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan akan tegak karena hukum

dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.

Oleh karena itu, agar vitalitas jihad sosial itu memberi implikasi positif bagi

umat manusia pada umumnya, Islam selain tetap mengakui adanya pluralitas

social (Dalam hal ini al-Qur’an sendiri menyebut dan mengakui berbagai

entitas agama dan suku-bangsa, seperti al-Yahûd, al-lazdîna Hâdû, Banî Isrâ’îl, al-

Nashâra, ahl al-Kitâb, al-lazdîna ûtû al-kitâb, al-shâbi’în, al-majûs, al-kuffâr, al-

musyrikûn, dan sebagainya), termasuk pluralisme agama, juga menyerukan

umatnya –yang oleh al-Qur an disebut sebagai khaira ummah, umat terbaik (QS.

Âlû `Imrân [3]: 110)— untuk tampil dengan peran dan kontribusi yang positif,

yaitu menyerukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan munkar, serta

mengharuskan beriman kepada Allah. Dengan prinsip al-amr bi al-ma`rûf wa al-

nahy `an al-munkar, cita dan citra masyarakat Muslim memang menjadi yang

terbaik, yang memberi manfaat dan kemaslahatan bagi orang lain. Karena itu,

Nabi Saw. bersabda: Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi

manfaat bagi orang lain (HR. al-Thabarani).

al-Amr bi al-ma`rûf wa al-nahy `an al-munkar dalam konteks jihad sosial

dalam Islam sebenarnya merupakan kebutuhan asasi manusia, baik individu

maupun masyarakat. Itu pula yang diperjuangkan setiap agama yang dibawa oleh

para rasul. Bila diterima bahwa semua agama yang dibawa oleh para rasul itu

Islam , maka perjuangan Islam yang dibutuhkan oleh semua umat yang

berakidah, tetapi tidak memberikan kebebasan dalam beraktivitas. Aktivitas harus

manusiawi, menjunjung hak asasi manusia secara proporsional (Muhammad

Zuhri, 1999, h. 39). Jadi, jihad sosial mempunyai signifikansi yang berarti, tidak

saja karena posisinya sebagai bagian dari ciri ideal masyarakat madani, melainkan

Page 333: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

318

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

juga karena tegaknya umat terbaik yang mengagendakan al-amr bi al-ma`rûf wa

al-nahy `an al-munkar sangat ditentukan oleh jihad sosial itu sendiri.

Jihad Sosial dan Pluralitas Sebagai Hukum Sosial Tuhan

Jika ayat-ayat Allah itu dapat diklasifikasikan menjadi dua: Qur’aniyyah dan

kawniyyah, maka hukum Allah yang berkaitan dengan makhluk-Nya dapat juga

dikelompokkan menjadi dua: taqdîr dan sunnatullah (Quraish Shihab, 1996, h. 59-

66). Yang pertama merupakan hukum Allah yang berkaitan dengan alam. Jumlah

hitungan hari dalam setahun, peristiwa gerhana matahari, gerhana bulan, air

selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan seterusnya merupakan taqdir

Allah. Sedangkan yang kedua adalah hukum Allah yang berkaitan dengan

kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti perubahan sosial, mobilitas sosial dalam

kehidupan perkotaan, terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan, keadilan

terwujud karena tegaknya hukum, dan sebagainya.

Pluralitas dalam kehidupan masyarakat juga merupakan salah satu

sunnatullah. Menafikan pluralitas adalah mustahil, sebab dalam kenyataannya

tidak satupun manusia di muka bumi ini yang sama persis satu dengan lain. Allah

sendiri dengan tegas telah menyatakan bahwa Sesungguhnya Kami telah

menciptakan umat manusia itu dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan

mereka itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain saling

mengenal (QS. al-Hujurât [49]: 14)

Oleh karena itu, eksistensi jihad, baik sebagai doktrin agama maupun

sebagai manifestasi dari rasa kemanusiaan, ---misalnya saja ketika terjadi

kebakaran dalam suatu perkampungan lalu para warganya berjibaku atau

berjihad memadamkan api, tanpa membedekan rumah siapa dan agama apa

yang dianut oleh pemilik rumah itu--- merupakan bagian dari hukum sosial

kemasyarakatan. Semangat jihad sosial dalam konteks itu diniscayakan lahir

karena adanya dorongan untuk menolong sesama, memberikan kasih sayang,

mengedapankan kemaslahatan dan kepetingan bersama, daripada sekedar

mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok.

Sejarah membuktikan bahwa pengakuan Islam terhadap pluralitas agama

dan sosial justeru memposisikan Islam sebagai agama dialogis : agama yang

berusaha menghargai eksistensi agama lain, tidak memaksa penganut agama lain

untuk masuk Islam, sebaliknya mengajak mereka berdialog untuk mencapai

kalimah sawâ’ (titik temu, common platform). Ketika masih berada di Mekkah,

Nabi Saw. pernah menerima 20-an delegasi Nashrani dari Habsyi (Ethiopia) dan

berdialog dengan mereka. Ternyata materi dan cara dialogis Nabi dalam

Page 334: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

319

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berdakwah diterima oleh mereka, sehingga mereka pun menyatakan masuk Islam.

(Hidayat Nur Wahid, 1999, h. 59).

Karena semangat pluralitas tersebut, fakta sejarah juga mencatat bahwa di

antara faktor utama yang memudahkan Islam dapat diterima masyarakat Mesir

adalah sikap kooperatif orang-orang Coptic yang beragama Nashrani, yang secara

demonstratif mendukung dan membantu orang-orang Islam dan akan

membebaskan mereka dari penjajahan dan kesewenang-wenangan emprium

Romawi sekalipun mereka satu agama. (Hidayat Nur Wahid, 1999, h. 61). Dengan

kalimat lain, pluralitas sosial justeru merupakan lahan subur bagi aktualisasi

jihad sosial yang dialogis dengan semangat mengamalkan amar ma`ruf nahi

munkar tersebut.

Jihad Sosial Sebagai Manifestasi Kesalehan Personal

Kesalehan personal merupakan buah dari keimanan yang tulus dan

mendalam kepada Allah Swt. Iman dan amal merupakan sebuah mata uang

yang bersisi ganda, bahwa kepercayaan (iman) menghendaki adanya pembuktian

lahir dan konkret berupa amal shaleh; sementara suatu amal dapat dikategorikan

shaleh manakala amal itu dilandasi oleh iman atau keyakinan bahwa perbuatan

itu baik dan bermanfaat, sesuai dengan ajaran Dzat yang diimani.

Kesalehan persoanal, sebagaimana tauhid individual, tidaklah cukup

memberi bukti bahwa seseorang itu mukmin dan shaleh secara sosial. Banyak

kasus yang terjadi di kalangan umat Islam. Misalnya saja, si A tergolong rajin

shalat, tidak pernah absen puasa Ramadhan, tetapi –ironisnya—dia juga

korupsi, kolusi, dan sebagainya. Hal ini menggambarkan betapa kesalehan

persoanal itu perlu ditindaklanjuti dan ditumbuhkem-bangkan dengan berbagai

aktivitas sosial yang konstruktif (kesalehan sosial). Idealnya, antara Islam

personal dan Islam sosial –Islam yang mengejawantah dalam realitas sosial—tidak terdapat gap, jurang pemisah, meskipun berislam merupakan suatu proses

menjadi Muslim. Dengan kalimat lain, berislam yang hakiki tidak hanya secara

verbal (qawlan), wacana (khithâban), pemikiran (fikran), melainkan juga menjadi

sebuah aksi, karya (amalan), dan gerakan sosial (harakatan ijtimâ`iyyatan).3

3 Dalam konteks tersebut, kisah dakwah Ahmad Dahlan (1868-1923),

pendiri Muhammadiyah, menjadi sangat menarik dan relevan. Tafsir al-Qur a yang dijarkannya –antara lain surat al-Mâ`un [107]:1-7—tidak hanya dihafal oleh murid- urid ya. Ketika para urid e protes sa g guru kare a pelajara mereka tidak dipindah ke pelajaran baru, padahal mereka sudah hafal di luar

Page 335: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

320

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam berbagai bentuk dan tampilannya, jihad sosial dapat dipandang

sebagai wadah atau saluran untuk merealisasikan kesalehan sosial seseorang

atau masyarakat Muslim pada umumnya. Jihad sosial dalam konteks ini

merupakan manifestasi konkret dari sabda Nabi Saw.: Sebaik-baik manusia

adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain . (HR. al-Thabarani).

Jadi, salah satu indikator jihad sosial adalah pemikiran dan tindakan nyata yang

memberikan manfaat, keuntungan dan kebahagiaan bagi orang lain.

Jika jihad sosial dipahami demikian, maka konsep jihad ini tidak saja dapat

dijadikan sebagai elan vital atau pemberi semangat fastabiqû al-khairât

(berlomba-lomba melakukan kebajikan) di kalangan umat Islam, melainkan juga

menjadi terapi sosial berbagai persoalan yang selama ini menyelimuti dunia Islam,

seperti ketertinggalan, keterpurukan ekonomi, kekalahan dan ketidakmampuan

bersaing dengan Barat, kemiskinan global, ketidakberdayaan melawan hegemoni

Amerika Serikat dan kroni-kroninya, dan sebagainya.

Oleh karena itu, revitalisasi jihad sosial sebagai manifestasi kesalehan

personal bukan hanya merupakan hal yang niscaya, melainkan juga bagian

integral dari ajaran Islam yang selama ini belum banyak dieksplorasi dan

dikembangkan, baik dalam tataran pemikiran maupun dalam amalan atau

tindakan nyata. Jihad sosial tampaknya juga dapat diposisikan sebagai pemberi

inspirasi dan motivasi bagi terlaksananya berbagai proyek sosial-kemanusiaan.

Misalnya saja, kemiskinan dan pengangguran –yang oleh Ali ibn Abi Thalib

dipandang sebagai musuh terselubung umat Islam yang dapat mengakibatkan

kekufuran—idealnya dapat diperangi dan dicarikan solusinya melalui jihad

sosial.

Dewasa ini, konflik dalam suatu masyarakat manapun, termasuk

masyarakat plural Indonesia, merupakan hal yang biasa , karena memang dalam

komunitas plural sangat mungkin muncul berbagai friksi, perbedaan kepentingan,

kompetisi, dan konflik. Karena itu, jihad sosial idealnya dapat didesain untuk

dapat mengatasi berbagai kemelut dan konflik sosial, dengan pendekatan dialogis

dan mengedepankan prinsip kalimah sawâ’ (titik temu), bukan titik-titik

perbedaan . Dengan demikian, jihad sosial diharapkan dapat melahirkan sikap

saling menerima kenyataan, dan menghargai perbedaan, saling memahami dan

kepala, Ah ad Dahla de ga se yu berta ya kepada ereka: Sudahkah kalia e ga alka isi surat tersebut? Perta yaa i ilah ya g ke udia menggerakkan mereka untuk beraksi dalam menyantuni anak yatim, mendirikan lembaga oendidikan, rumah sakit dan sebagainya.

Page 336: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

321

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tidak memaksakan kehendak, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, dan

kebebasan berpendapat serta beragama secara demokratis, jujur dan terbuka.

Etika Jihad Sosial

Oleh karena jihad merupakan indikator keberimanan seseorang (Enizar,

2002, h. 329), maka jihad sosial seharusnya memberikan implikasi positif bagi

penegakan kebenaran Islam, keadilan sosial, sosialisasi HAM, moral dan nilai-nilai

positif lainnya. Jihad sosial menjadi sangat penting dilakukan, terutama dalam

bentuk menyampaikan dan mensosialisasikan kebenaran dan keagungan Islam

melalui bukti-bukti yang nyata. Revitalisasi jihad sosial tidak hanya terletak pada

fungsi Islam sebagai rahmatan li al-`alamîn, melainkan juga karena berjuang

adalah panggilan jiwa, tuntutan spiritual manusia, untuk membela dan

menegakkan kejujuran dan keadilan sosial. Melalui jihad ini, umat Islam dituntut

mampu memberikan peran konsttruktif dan kontribusi optimal dalam melindungi,

mengasihi, menyantuni dan memberdayakan potensi umat; mencari solusi dan

titik temu di kalangan komunitas plural yang terlibat konflik, menciptakan suasana

dialogis dan kondusif bagi perdamaian, kerukunan, kebersamaan dan persatuan.

Oleh karena itu, beberapa prinsip moral dan etika Islam menjadi sangat

ditegakkan dalam rangka jihad sosial. Prinsip-prinsip etika yang dimaksud antara

lain adalah (1) penerimaan dan pengakuan adanya perbedaan atau pluralitas,

termasuk pluralitas agama (QS. al-Kâfirûn [109]: 6); (2) tidak ada pemaksaan

keyakinan, pendapat, dan sebagainya (QS. al-Baqarah [2]: 256); (3) menyampaikan

dan mensosialisasikan ajaran Islam dengan dakwah yang penuh wisdom

(kebijaksanaan), santun, dan debat yang terbaik (QS. al-Nahl [16]: 125); (4)

bersikap toleran, besar hati dan bersabar dalam berdakwah dan berjihad sosial

(QS. al-Nahl [16]:127); (5) mementingkan cara-cara dialogis untuk mencari titik

temu, kesamaan visi dan kepentingan (QS. Âlu `Imrân [3]: 65); (6) menjaga dan

menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak asasi manusia: hak beragama, hak

berpendapat, hak bekerja, hak berserikat, hak berpolitik, dan sebagainya; dan (7)

menjaga dan memelihara fasilitas bersama, tidak bersikap konfromatatif dan

destruktif. Nabi Saw selalu menginstruksikan kepada pasukannya ketika akan

berjihad agar tidak membunuh anak kecil, wanita, lansia (yang sudah tidak

membahayakan), tidak merusak rumah ibadah agama lain, tidak menebang

pohon, tidak mencemari mata air, tidak merusak kepentingan umum, dan

sebagainya.

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa etika jihad sosial tersebut

penting ditegakkan agar jihad sosial tidak salah orientasi, mengambil bentuk

Page 337: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

322

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kekerasan dan pemaksaan kehendak, dan justeru merusak citra Islam sebagai

agama perdamaian. Etika jihad sosial setidak-tidaknya menjadi panduan dan

rambu-rambu moral yang perlu dipedomani dalam mengaktualisasikan nilai-nilai

Islam dalam kehidupan sosial-politik. Tanpa etika tersebut, dikhawatirkan jihad

sosial dimanipulasi secara politik, sehingga dijadikan sebagai justifikasi terhadap

tindakan-tindakan politik yang mengatasnamakan agama, padahal justeru

mererduksi nilai Islam untuk kepentingan pragmatis-politis. Dengan demikian,

etika jihad sosial harus ditempatkan sebagai refrensi dan orientasi perjuangan

membumikan kebenaran, keadilan, keindahan dan kedamaian Islam.

Kontekstualisasi Jihad

Jihad multidimensi yang sangat mendesak diaktualisasikan di era digital ini

bagaimana trilogi jihad intelektual (ijtihad), jihad spiritual (mujahadah), dan jihad

ekonomi dan harta (jihad iqtishadi, jihad bi amwal) dapat digelorakan pada semua

lapisan umat, sehingga kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dekadensi

moral, berbagai penyakit masyarakat (pekat), dan aneka persoalan bangsa lainnya

dapat segera dapat diatasi. Jihad intelektual berorientasi pada upaya menjawab

persoalan dengan pemikiran konsep dan strategi yang jelas, sedangkan

mujahadah merupakan upaya personal dan komunal yang bertujuan mengasah

dan menajamkan kepekaan batin, kedalaman dan kedekatan spiritual manusia

dengan Sang Kekasih (Allah) sehingga semua persoalan bangsa dilandasi sandaran

vertikal yang kokoh dan mantap. Melalui jihad spiritual, setiap Muslim diasah dan

ditajamkan.

Jihad melawan korupsi di negeri belum selesai, dan boleh jadi tidak akan

pernah selesai, selama sistem perpolitikan di tanah air masih berbiaya mahal dan

bersifat transaksional . Jihad melawan korporasi asing dalam mendikte kebijakan

pemerintah dan penguasaan kekayaan sumber daya alam juga belum pernah

sukses. Jihad membebaskan anak-anak dari aneka kekerasan dan pelecahan juga

sedang berlangsung.

Jihad konstitusi juga tidak kalah penting dikembagkan di era reformasi ini,

karena banyak produk hukum dan perundang-undangan yang tidak prorakyat,

melainkan cenderung mengabdi dan melayani kepentingan tertentu, baik para

pemodal maupun asing, seperti: UU tentang Minerba, UU tentang Rumah Sakit,

dan sebagainya. Jihad konsitusi menijau kembali aneka produk hukum dan

kebijakan yang tidak prorakyat juga penting dilanjutkan. Muhammadiyah sebagai

pelopor jihad konstitusi harus terus mengkritisi aneka produk hukum dan

kebijakan pemerintah yang disinyalir berpotensi merugikan kepentingan rakyat

Page 338: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

323

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan Negara. Melalui jihad konstitusi berbagai produk perundang-undangan dapat

dilakukan judicial review, dan dibatalkan pemberlakuannya, sehingga

kemasalahatan rakyat dan Negara dapat dimenangkan.

Jihad memperbaiki gedung sekolah yang nyaris ambruk dan jihad

mereformasi sistem pendidikan yang bermutu dan humanis juga masih menjadi

pekerjaan rumah kita semua. Jihad untuk membentengi generasi muda dari

budaya glamor, permisivisme, hedonism, liberalisme, pornografi, dan sebagainya

juga harus melibatkan banyak pihak. Jihad multidimensi harus menjadi aksi

konstruktif semua komponen bangsa, termasuk aksi deradikalisasi yang

belakangan ini menjadi semacam proyek pemerintah untuk menjinakkan

sejumlah lembaga pendidikan Islam yang disinyalir cenderung berhaluan keras

dan banyak memproduksi teroris.

Dengan demikian, jihad multidimensi merupakan jihad holistik-integratif

yang idealnya melibatkan semua komponen umat dan bangsa secara kolektif-

partisipatoris untuk membumikan visi misi Islam yang damai sekaligus mencari

solusi berbagai persoalan umat dan bangsa dalam rangka peningkatan kualitas

hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara beradab dan

bermartabat. Jihad multidimensi berorientasi pada terwujudnya baldatun

thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang aman, damai, dan sejahtera, sekaligus

mendapat lindungan dan ampunan dari Allah SWT). Jadi, jihad multidimensi

merupakan salah satu solusi terhadap distorsi pemaknaan konsep jihad yang

direduksi menjadi hanya qital dan irhab, padahal jihad multidimensi itu energi

pembangkit dan penggerak umat dan bangsa menuju terwujudnya peradaban

kemanusiaan masa depan yang berkemajuan.

C. Penutup Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jihad sosial

merupakan salah satu ajaran dasar dalam Islam yang memberi elan vital bagi

dinamika kehidupan umat Islam. Jihad sosial merupakan manifestasi dari

kesalehan personal yang hadir dalam spektrum lintas-kultural dan pluralitas sosial

yang luas dan tak terbatas. Meminjam ungkapan Quraish Shihab (1996, h. 518):

ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan dan mengembangkan ilmunya,

pemimpin berjihad dengan pedang keadilannya , pengusaha berbisnis dengan

kejujurannya, orang kaya berjuang dengan kedermawanannya, pendidik/guru

berjuang dengan dedikasi kependidikannya, dan sebagainya. Semua komponen

masyarakat Muslim dapat mengambil peran-positif dalam berjihad sosial, sesuai

dengan posisi dan potensi masing-masing (QS. al-Isrâ [17]: 84).

Page 339: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

324

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jihad sosial tidak hanya menarik diwacanakan dalam konteks

pengembangan pemikiran Islam, melainkan juga potensial didesain sebagai

teknologi gerakan sosial tepat guna untuk mengatasi berbagai persoalan sosial

politik yang ada. Mengingat visi-misi profetik Nabi adalah mensosialisasikan ajaran

kasih sayang, keadilan dan perdamaian, maka jihad sosial perlu diorientasikan

kepada pembumian visi-misi Islam secara dialogis dan damai, dengan tetap

berlandaskan nilai-nilai etika. Dengan jihad sosial yang dialogis, Islam sebagai

rahmatan li al-`âlamîn, niscaya dapat diaktua-lisasikan dalam masyarakat madani

yang berkeadaban dan mempunyai kepastian sistem hukum dan keadilan yang

dapat diandalkan. Wallahu a`lam bi al-shawâb!

D. Daftar Pustaka `Abd al-Bâqi, Muhammad Fu`ad, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’an al-

Karim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.

Audah, Ali, Konkordansi Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat al-Qur’an,

Bandung: Mizan, 1996.

Chamsah, Bachtiar, Jihad Sosial dalam Masyarakat Global, Jakarta: BPPS Depsos,

2002.

Enizar, Jihad dalam Perspektif Hadits Rasulullah, Disertasi, Jakarta: PPs. UIN

Jakarta, 2002.

Ibn Faris, Ahmad, Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, Kairo: al-Khaniji, 1981.

Ibn Manzhur, Lisân al-`Arab, Juz III, Beirut: Dâr al-Shâdir, Cet. I, 1990.

al-Ishfahâny, Al-Râghib, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Ma`rifah,

tt.

al-Jawziyah, Ibn Qayyim, Zâd al-Ma`âd fi Hadyi Khair al-`Ibâd, Jilid III, Tahqîq

Syu`aib al-Arnauth dan `Abd al-Qâdir al-Arnauth, Beirut: Muassat al-Risâlah,

Cet. I, 2000.

al-Kailâni, Mâjid Irsân, al-Ummah al-Muslimah: Mafhûmuhâ, Muqawwimâtuhâ,

Ikhrâjuhâ, Beirut: al-`Ashr al-Hadîts, Cet. I, 1992.

Madjid, Nurcholish, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-prinsip Hukum

dan Keadilan , dalam Jurnal Paramadina, Volume I, Nomor 1, Desember

1998.

Nashr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Terj,

Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994.

Qadry A., Azizy, A., al-Qur an dan Pluralisme Agama , dalam Jurnal Profetika,

Surakarta, Vol. 1, No. 1, Januari 1999.

Page 340: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

325

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan

Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Syalabi, Hamdi, Siyâhah fi Mafhûm al-Jihâd wa Marâtibuhu , dalam Majalah al-

Mujtama’, al-Kuwait: Edisi1517, 7-13 September 2002.

Wahid, M. Hidayat Nur, Islam dan Pluralisme Agama: Perspektif Pemikiran Islam

Klasik , dalam Jurnal Profetika, UM Surakarta, Vol. 1, No. 1, Januari 1999.

Zuhri, Muhammad, Islam dan Pluralisme Agama: Perspektif Historis Normatif ,

dalam Jurnal Profetika, UM Surakarta, No. 1, Vol. 1, Januari 1999.

E. Lampiran: Teks Ayat-ayat Jihad

ين . نٱل م ين ء ٱل ه اج ج يلفى ج ئك أ ٱلل س ت ي ح ٱلل ٱلل غ حيم

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan

berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah

Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah[2]:218)

تمأ . س خأ ح ن ة ت اٱلج ل ين ٱلل ي ع م مج ٱل ي ع م من ين ٱلص

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi

Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang

yang sabar. ('Ali `Imran[3]:142)

ع ي ست ل . منين من ٱلق ٱل لىغ ي أ ج ٱلض ٱل يلفى مٱلل س ل مبأ م س أ ن ل ين ٱلل ف ض ج مٱل ل مبأ م س أ ن ين ع ى ع ة ٱلق ج كل ع ل ٱلحسن ىٱلل ف ض ٱلل

ين ج ين ع ىٱل ع اأ ج ٱلق ع ظي

Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang)

tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah

dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad

dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang

tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik

(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk

dengan pahala yang besar (QS An-Nisa'[4]:95)

أيى . ين ي م ٱل سي ليه ٱبتغ ٱلل ٱت ء ه فى ج ٱل ي م س ح لع تف

Page 341: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

326

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah

(jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di

jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS Al-Ma'idah[5]:35)

أي . ين ي م ٱل ت من ء م ي ه عن م ف ي ٱلل يأتى فس م ب نه يح ل يح ى أ ين ع م ٱلى أع ين ع ف ٱل يل فى ي ف ل ٱلل س م ي لك لئم ل ل تيه ٱلل ف ء من ي ٱلل يشسع يم ع

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad

(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia

mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut

terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang

kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang

suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia

kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS Al-

Ma'idah[5]:54)

ين . م ٱل ج ء م ج ه ل م بأم يل فى أنفس ين ٱلل س ك نص ء ٱل ل أم ء بع لي ين بعض أ م ٱل ج لم ء م م ي ن ل م م يت ن ل ج حتى شىء م ي

كم ص م ٱل ين فى ٱست ي ص فع ى ل ٱل ع م ق م بي ق بي ي بصي تع ب ٱلل م Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan

harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat

kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama

lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum

berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka,

sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu

dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan

kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka.

Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-'Anfal[8]:72)

ين .7 ٱل ن م ه اج ء ج يلفى ين ٱلل س ٱل ء ن ص ك ل من همأ قاٱل ح م غ ل م يم ك

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan

orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada

orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka

memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (QS Al-'Anfal[8]:74)

م ين ٱل .8 ج بع من ء م ج ه ك مع ل م فأ ل م ح أ م ٱلأ لى بع عض أ بب فى ل ٱلل ٱلل كت يم شىء ب ع

Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad

bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai

hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada

Page 342: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

327

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu. (QS Al-'Anfal[8]:75)

9. تمأ س كأ ح اتت ل ين ٱلل ي ع م مج ٱل ل ممن ل ٱلل مني ت له س ل ۦ منين ة ٱل ليج ٱلل ي اخ ت ع ب

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah

belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak

mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang

beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. At-

Taubah[9]:16)

تم .1 ي أجع س ع ٱلح س ن ٱلح ٱل من ك بٱلل ء خ ٱلي ء يل فى ج ٱ س ل ٱلل ٱلل ع يست ل ٱلل ي ين ٱل ٱلظ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang

mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang

yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah?

Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-

orang zalim. (QS At-Taubah[9]:19)

ين . م ٱل ج ء يل فى ج ه م ٱلل س ل ك ٱلل ع ج أعظم م أنفس بأم ل هم أئ ٱلف

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan

harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah

orang-orang yang memperoleh kemenangan. (QS At-Taubah[9]:20)

ف ٱنف . ل خف م ج ث ل م بأم يل فى أنفس م ٱلل س ل م خي تم ل تع ك

Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan

berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah

lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS At-Taubah[9]:41)

نك ل .1 ين يستـ م ٱل بٱلل ي خ ٱلي ء أ ٱ م ي ل م بأم يم ٱلل أنفس ين ع ت بٱل

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta

izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah

mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS At-Taubah[9]:44)

ى أي . ف ج ٱل ين ٱل ف ظ ٱل م ٱغ ي م ع ى م مأ س ج صي ب ٱل

Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik,

dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam.

Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (QS At-Taubah[9]:73)

ف ف . هم ٱل ع ف ب ه ٱلل س خ أ ك م ي ل م بأم يل فى أنفس ل ٱلل س قف ل م ن قل ٱلح فى ت أش ج ح ن ل يف ك

Page 343: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

328

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan

duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan

harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu

berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini." Katakanlah (Muhammad),

"Api neraka Jahanam lebih panas," jika mereka mengetahui. (QS At-Taubah[9]:81)

س أنزل ت .1 منأ ج بٱلل ء ع لهم س ن ك لٱست ـ أ مٱلط ق المن ن ا ن ع ن ين م ع ٱلق

Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang-orang

munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya," niscaya

orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin

kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada

bersama orang-orang yang duduk (tinggal di rumah)." (QS At-Taubah[9]:86)

ن س ل ين ٱل م ٱل م ج معه ء ل م بأم ك أنفس ل م أ ل ي ك ٱل ل ح هم أ ف ٱل

At-Taubah[9]:88

Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad

dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-

orang yang beruntung.

ين بك ثم ج ل ج ثم فت م بع من ه ه من بك ص حيم لغف بع

Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita

cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu

benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nahl[16]:110)

م ه ج حق ٱلل فى ج ى م جعل م ٱجت ي م م ح من ٱل ين فى ع هيم أبي م ه ب ى سين س ل من ٱل س لي ه فى ق ي ٱل م ش ي ن ع ء ت ى ش فأقي ٱل ع ت ٱلص ء

ك م ه بٱلل ٱعتص ٱل لى عم م لى ف صي نعم ٱل ٱل

Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia

telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.

(Ikutilah) agama nenek mo-yangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu

orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, agar

Rasul (Mu-hammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi

saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan

berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pe-lindung

dan sebaik-baik penolong. (QS Al-Haj[22]:78)

ين تطع فل ف هم ٱل ي ج به ج ك

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka

dengannya (Al-Qur'an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. (QS Al-

Furqan[25]:52)

فإن ج من فسه ي ى ٱلل ل ين عن لغ ٱلع

Page 344: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

329

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.

Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (QS Al-

`Ankabut[29]:6)

ن صي يه ٱلإنس ل م به لك ليس م بى لتش ج حس ب فل ع م لى تطع جع م م ب فأن تم تع ك

Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang

tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan

sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau

patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan

kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al-`Ankabut[29]:8)

ين ٱ م في ج ل ي ع ٱلل س ل ين ل حس ٱل

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan

tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-

orang yang berbuat baik. (QS Al-`Ankabut[29]:69)

ى ج م به لك ليس م بى تش أ ع تطع فل ع ح ني فى ص ف ٱل ع مع يل ٱت من سم لى ثم لى أن جع م م تم ب فأن تع ك

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu

yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati

keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan

orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu,

maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS

Luqman[31]:15)

م ن م حتى ل ين ٱ نع م ل ين م ٱلص كم ن أخ

Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui

orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan

Kami uji perihal kamu. (QS Muhammad[47]:31)

م ن ين ٱل م ٱل له بٱلل ء ب لم ثم س ت م ج ي ل م بأم يل فى أنفس ك ٱلل س ل هم أ ق ٱلص

Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan

mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-

orang yang benar. (QS Al-Hujurat[49]:15)

م له بٱلل ت س يل فى ت م ٱلل س ل م بأم م أنفس ل م خي تم ل تع ك

(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah

dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui,

(QS As-Shaf[61]:11)

أي ى ي ف ج ٱل ين ٱل ف ظ ٱل م ٱغ ي م ع ى م مأ س ج صي ب ٱل

Page 345: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Muhbib, (2018), Teks, Konteks dan Kontekstualisasi, hal. 308 - 330

330

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap

keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah

seburuk-buruk tempat kembali. (At-Tahrim[66]:9)

ين ٱ ي ل م لء ء ين أه بٱلل أقس ٱل م ج م أي م ن ع طت ل م ح ح أع ين فأص س خ

Dan orang-orang yang beriman akan berkata, "Inikah orang yang bersumpah

secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar

beserta kamu?" Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi

orang yang rugi. (QS Al-Ma'idah[5]:53)

بٱلل أقس م ج ن أي م ل ءت ي ج ن ء م ت ن قل ب لي ي ء كم م ٱلل ع ٱ يشع أن ء ل جم ي

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa

jika datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman

kepadanya. Katakanlah, "Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada sisi Allah." Dan

tahukah kamu, bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang, mereka tidak juga akan

beriman. (QS Al-'An`am[6]:109)

بٱلل أقس م ج عث ل أي ى ي من ٱلل ي يه ع ب ع ن ح يع ل ٱل أك ل

Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-

sungguh, "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati." Tidak demikian

(pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya,

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS An-Nahl[16]:38)

بٱلل أقس م ج ن أي م ل ت جن أم س ل قل لي ف ع ت ي ٱلل مع تع ب خ

Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh,

bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi.

Katakanlah (Muhammad), "Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta)

adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu

kerjakan." (QS An-Nur[24]:53)

بٱلل أقس م ج ن أي ءهم ل ي ج نن ن لي ءهم ف ٱلأمم ح من أه ي ج نف ل هم م ن

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika

datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih

mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi

peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka,

bahkan semakin jauh mereka dari (kebenaran), (Fatir[35]:42)

Page 346: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

331

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia:

Sebuah Kajian Wacana

Makyun Subuki

Pendidikan Bahasa Indonesia – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan struktur dan kualitas

argumentasi fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

sejak 1975 hingga 2011 yang telah dibukukan dalam Himpunan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Penelitian ini merupakan kajian

analisis wacana yang menggunakan teori argumentasi dalam

menganalisis data. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,

ditemukan dua hal. Pertama, penanda bagi premis (data dan atau

backing) dari argumentasi dalam fatwa MUI adalah ungkapan seperti

Membaca, Menimbang, Memperhatikan, dan juga Dasar Penetapan

Hukum. Premis-premis dalam fatwa saling berhubungan dengan

kompleksitas yang berbeda-beda dalam membangun simpulan,

sehingga terbentuk jenis hubungan tertentu seperti serial argument,

convergent argument, link argument, dan kombinasi dari jenis

hubungan tersebut. Penanda simpulan (claim atau conclusion) dalam

fatwa MUI adalah kata seperti Memutuskan, Menetapkan,

Memfatwakan, dan juga Ketentuan Hukum. Kedua, kualitas argumentasi

dari fatwa tergantung kepada ketersediaan sumber hukum dalam teks

fatwa yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kritis yang

digunakan dalam mengevaluasi skema argumentasi. Analisis terhadap

kualitas argumentasi menunjukkan bahwa sebagian besar fatwa

memiliki bukti tekstual yang memadai untuk menjawab pertanyaan

kritis yang diajukan untuk mengevaluasi skema argumentasi, dan pada

Page 347: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

332

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagian kecil fatwa diperlukan verifikasi ke luar teks fatwa untuk

menjawab pertanyaan tersebut.

Kata kunci: fatwa, struktur argumentasi, pendiagraman argumen,

kualitas argumentasi, skema argumentasi

A. Pendahuluan

Salah satu bentuk wacana argumentatif yang sering kita jumpai adalah

fatwa. Secara harfiah, fatwa berarti al-jawāb fi al-hāditah atau jawaban atas

sebuah persoalan (Al-Qardawi 1988: 11). Dalam peristilahan hukum Islam, fatwa

berarti penjelasan yang diberikan oleh mufti (orang atau lembaga yang dianggap

kompeten untuk memberikan fatwa) tentang hukum suatu persoalan sebagai

jawaban atas pertanyaan mustafti (orang atau lembaga yang meminta pendapat

tentang kepastian hukum sebuah masalah tertentu) (Al-Qardawi 1988: 11 dan Al-

Asyqar 1976: 7-9).

Karena ada kemungkinan banyak fatwa dengan putusan yang berbeda

dalam persoalan yang sama, putusan hukum yang terdapat dalam fatwa tidak

harus dipatuhi (Al-Asyqar 1976: 11). Akan tetapi, meskipun tidak harus dipatuhi,

fatwa tetaplah bersifat persuasif. Maksudnya, fatwa dimaksudkan oleh mufti

untuk meyakinkan mustafti tentang hukum sebuah persoalan, dan itu berarti

fatwa menganjurkan mustafti untuk mematuhi fatwa. Dengan demikian, sebagai

tindakan persuasif, fatwa dituntut untuk dapat memberikan argumentasi yang

kuat agar dapat dipatuhi. Dengan kata lain, fatwa harus dapat menjustifikasi

dirinya sendiri, sehingga ia mampu memberikan efek persuasif terhadap mustafti

yang mengajukan persoalan.

Orang atau lembaga yang dapat bertindak selaku mufti di Indonesia pada

dasarnya cukup banyak, salah satunya adalah Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia. Sebagai sebuah organisasi keagamaan, Majelis Ulama Indonesia

beranggotakan orang-orang yang berasal dari organisasi keagamaan lain, seperti

Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan PERSIS. Dengan kondisi semacam ini, ada

kemungkinan fatwa MUI untuk dapat diterima atau dipatuhi secara lebih luas oleh

masyarakat, melampaui kepatuhan masyarakat terhadap fatwa yang berasal dari

lembaga keagamaan lainnya. Namun demikian, tentu saja harus ditegaskan bahwa

keberterimaan fatwa MUI tersebut di tengah masyarakat hanya mungkin apabila

argumentasi yang dibangun oleh fatwa-fatwa tersebut memiliki daya persuasif

yang baik.

Page 348: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

333

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan ini bertujuan mengkaji struktur dan kualitas argumentasi fatwa

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Struktur argumentasi yang dimaksud di

sini terkait dengan hubungan antarelemen dalam teks fatwa yang akan diteliti.

Analisis terhadap struktur argumentasi terkait dengan bagaimana setiap bagian

dari teks fatwa membentuk sebuah bangunan argumentasi yang utuh, dari latar

belakang masalah, pertimbangan hukum, hingga putusan hukum. Adapun yang

dimaksud dengan kualitas argumentasi dalam penelitian ini adalah bagaimana

hubungan logis atau pola inferensi antarbagian teks fatwa dalam membentuk

sebuah teks argumentasi. Analisis terhadap hubungan logis atau inferensi

tersebut dimaksudkan untuk melihat derajat keargumentatifan (kuat atau lemah)

teks fatwa dari sudut pandang linguistik. Hasil analisis terhadap struktur dan

kualitas argumentasi ini selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk menilai daya

persuasif fatwa.

Secara teoretis, penelitian ini adalah penelitian linguistik dan lebih khusus

lagi kajian wacana (discourse analysis). Oleh karena itu, teori utama yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori linguistik yang berasal dari disiplin

kajian wacana. Secara lebih spesifik, karena fenomena yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah argumentasi di dalam teks fatwa, maka teori yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah teori argumentasi. Namun demikian,

penggunaan teori lain untuk kepentingan analisis tetap dibutuhkan, terutama

teori yang berkaitan dengan fatwa secara khusus. Penggunaan teori fatwa secara

khusus ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin

tentang fatwa sebagai objek analisis pada satu sisi dan juga untuk memahami

sistem argumentasi fatwa dari sudut pandang teori fatwa pada lain sisi. Hal itu

berarti bahwa ada beberapa aspek teori hukum Islam yang akan digunakan dalam

mendeskripsikan data.

Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah fatwa Komisi Fatwa Majelis

Ulama Indonesia sejak 1975 hingga 2011 yang telah dibukukan dalam Himpunan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Sejak 1975 terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama merupakan

pendahuluan. Bagian pendahuluan ini terdiri atas empat sub bagian, yaitu (1)

pedoman dan prosedur penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia; (2) sistem dan

prosedur penetapan fatwa produk halal Majelis Ulama Indonesia; (3) susunan

Pengurus Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015; dan (4) susunan Pengurus

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015. Bagian kedua buku ini

merupakan kumpulan fatwa MUI sejak 1975 hingga 2010 yang disusun bukan

secara kronologis, melainkan secara tematik. Bagian ini diklasifikasi sesuai dengan

Page 349: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

334

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

rumpun ilmu persoalan yang terkait dengan fatwa secara spesifik, yaitu (1) bidang

akidah dan aliran keagamaan; (2) bidang ibadah; (3) bidang sosial dan budaya; dan

(4) bidang pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bagian ketiga

merupakan kumpulan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun

2003, 2006, dan 2009. Dalam bagian ini, terdapat tiga permasalahan yang

dibahas, yaitu masalah kebangsaan (wataniyyah), masalah aktual (waqi iyyah)

keagamaan, dan masalah perundang-undangan (qanuniyyah). Beberapa fatwa

juga terdapat dalam bagian ini, misalnya fatwa tentang SMS berhadiah, nikah di

bawah tangan, pengobatan alternatif, hukum merokok, dan GOLPUT.

Demi kepentingan analisis, data yang terdapat di dalam Himpunan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 selanjutnya dikategorisasi. Dalam proses ini,

data dikategorisasi lebih lanjut berdasarkan tiga hal: pertama, persoalan yang

dibicarakan dalam teks fatwa secara lebih spesifik; kedua, format penyusunan

teks fatwa, apakah dalam format lengkap dengan mencantumkan kata

memperhatikan, mempertimbangkan, dan memfatwakan (atau memutuskan)

atau dalam bentuk lebih sederhana yang langsung menyatakan putusan hukum;

dan ketiga, kompleksitas argumentasi kelengkapan unsur pembangun

argumentasi, yaitu apakah sebuah fatwa mencantumkan sedikit atau banyak

sumber penetapan hukum dan seberapa lengkap sumber penetapan hukum

terdapat dalam teks fatwa.

Berdasarkan proses yang telah dilakukan, diketahui bahwa berdasarkan

kategorisasi yang pertama, persoalan yang dapat diidentifikasi dalam sumber data

berjumlah 35 buah tema. Data yang dikategorisasi atas dasar kesamaan tema ini

dipelajari lebih jauh berdasarkan dua hal, yaitu spesifikasi persoalan dan putusan

hukumnya, apakah fatwa tersebut termasuk dalam satu kategori tema

pembahasan yang sangat spesifik atau hanya termasuk dalam satu tema yang

kurang spesifik. Dari sini kemudian didapatkan 15 tema spesifik, yaitu tema yang

di dalamnya terdapat lebih dari satu fatwa yang menetapkan persoalan hukum

yang persis sama. Fatwa yang termasuk dalam 15 tema spesifik tersebut

kemudian dikategorisasi lagi berdasarkan putusan hukumnya, apakah fatwa yang

bertema sangat spesifik tersebut memiliki putusan hukum yang sama atau

memliki putusan hukum yang berbeda. Dari hasil kajian yang telah dilakukan,

fatwa-fatwa dari 13 tema menghasilkan putusan yang sama dan hanya dua tema

di antara 15 tema tersebut yang fatwa-fatwanya menghasilkan putusan hukum

yang berbeda.

Kategorisasi kedua terkait dengan format penyusunan fatwa. Berdasarkan

proses kategorisasi ini, diketahui bahwa fatwa yang menggunakan format surat

Page 350: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

335

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

keputusan berjumlah 116 buah dan yang menggunakan format langsung adalah

39 buah.

Proses kategorisasi ketiga terkait dengan ketersediaan dasar penetapan

hukum dalam teks fatwa. Dalam kategorisasi ketiga ini, fatwa dipilah menjadi dua,

yaitu yang mencantumkan dasar hukum dan yang tidak. Kriteria ini dibatasi oleh

ketersediaan dasar hukum berupa kutipan langsung yang dapat diverifikasi

sumbernya. Apabila sebuah fatwa memiliki dasar hukum berupa kutipan yang

dapat diverifikasi sumbernya, maka fatwa tersebut diperhitungkan sebagai fatwa

dengan sumber data yang lengkap. Apabila tidak tersedia, maka fatwa tersebut

dikategorikan sebagai fatwa dengan dasar hukum yang tidak lengkap.

Berdasarkan analisis data, dari 155 buah fatwa yang terdapat dalam buku

Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, 126 buah fatwa dilengkapi dengan kutipan

dasar hukum dan 28 sisanya tidak dilengkapi dengan kutipan dasar hukumnya.

B. Pembahasan

Karakteristik Teks Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, menurut Gibbons (dalam Davies

dan Elder 2004: 286), salah satu yang seringkali menjadi sumber masalah dalam

pembahasan teks hukum adalah struktur teks dan prosedur yang digunakan

bersifat khusus. Sebagai teks hukum, fatwa memiliki struktur teks yang bersifat

khusus. Struktur teks hukum yang bersifat khusus ini, dalam analisis wacana,

disebut superstructure, yaitu skema yang terkonvensionalisasikan atau

dikonvensionalisasi menjadi bentuk baku dari sebuah tipe teks tertentu sebagai

macrostructure (Bussmann 1996: 1170; dan Renkema (2004: 97). Macrostructure

sendiri, menurut van Dijk (dalam Bussmann 1996: 715), merupakan global

semantic and pragmatic structure of a text atau abstract representation of the

global meaning structure that would reflect the gist of the text menurut Sanders

dan Sanders ((2006) dalam Mey (2009: 1079). Singkatnya, apabila dimensi

persuasif-argumentatif putusan hukum di dalam fatwa merupakan

macrostructure, maka karakteristik teks fatwa secara fisik merupakan

superstructure-nya.

Untuk mengkaji dimensi superstructure dari fatwa MUI ini, kita dapat

mempertimbangkan pendapat Ad-Dimasyqi (t.t.: 44-70) dan Al-Asyqar (1976: 73-

81) dan juga pedoman penyusunan teks fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Amin et al. 2010: 7 dan 804). Berdasarkan

pendapat-pendapat tersebut, beberapa catatan berikut ini penting untuk

diperhatikan.

Page 351: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

336

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pertama, fatwa harus ditulis dengan tulisan yang jelas dan mudah dibaca.

Syarat ini dengan mudah dapat kita jumpai dalam teks fatwa Komisi Fatwa MUI.

Dengan teknologi tulisan yang jauh lebih modern dari zaman ketika Ad-Dimasyqi

(t.t.) dan Al-Asyqar (1976) merumuskan batasan-batasan mengenai fatwa,

keharusan menuliskan fatwa dalam tulisan yang jelas dan mudah dibaca dapat

dengan mudah dicapai. Dari sisi ini, seluruh fatwa MUI jelas memenuhi syarat.

Catatan mungkin hanya perlu diberikan dalam hal besar ukuran huruf Arab di

beberapa fatwa yang terlalu kecil, sehingga sulit untuk dibaca.

Kedua, untuk memastikan bahwa putusan hukum disandarkan kepada dalil,

teks fatwa sebaiknya mencantumkan sumber hukum, illat hukum, dan hikmahnya.

Dalam pedoman penyusunan fatwa Komisi Fatwa MUI, dinyatakan bahwa teks

fatwa memuat konsideran mengingat yang di dalamnya mencantumkan dasar-

dasar hukum (adillah al-ahkā ). Dengan pedoman ini, di dalam seluruh teks

fatwa MUI seharusnya terdapat sumber hukum. Akan tetapi, pada kenyataannya

tidak demikian. Banyak fatwa Komisi Fatwa MUI yang tidak mencantumkan dasar

hukum, dan bahkan tidak memiliki konsideran mengingat. Dari sisi ini, teks fatwa

Komisi Fatwa bukan hanya tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Ad-

Dimasyqi dan Al-Asyqar, melainkan juga tidak dapat memenuhi pedoman

penyusunan yang ditetapkannya sendiri.

Ketiga, mencantumkan ayat Al-Quran dan hadis yang terkait dengan

persoalan hukum yang sedang dibahas. Persoalan ini kurang lebih sama dengan

sebelumnya. Fatwa-fatwa MUI yang mencantumkan sumber penetapan hukum

selalu diawali dengan ayat Al-Quran dan hadis yang terkait dengan persoalan

hukum yang hendak ditetapkan. Akan tetapi, banyak fatwa MUI yang tidak

mencantumkan dua hal itu. Artinya, dari sisi ini, fatwa Komisi Fatwa MUI

mengandung kelemahan.

Ada hal yang penting ditekankan terkait dengan pencantuman dasar

hukum, ayat Al-Quran, dan hadis dalam teks fatwa, yaitu hubungan tiga hal

tersebut dengan bangunan argumentasi fatwa yang menjadi tujuan penelitian ini.

Meskipun Ad-Dimasyqi (t.t.), Al-Asyqar (1976), dan Komisi Fatwa MUI (2010)

menganggap pencantuman tersebut sebagai bagian dari karakteristik

superstructure yang bersifat fisik, sebagaimana dapat dilihat dalam analisis

argumentasi setelah ini, bangunan argumentasi teks fatwa sangat bergantung

terhadap keberadaan satu atau mungkin seluruh tiga hal tersebut. Artinya,

pencantuman tiga hal tersebut sebagai ciri superstructure teks fatwa memiliki

dampak yang serius terhadap bangunan argumentasi teks fatwa sebagai

macrostructure-nya.

Page 352: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

337

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keempat, fatwa sebaiknya diawali dengan isti āźah, basmalah, hamdalah,

shalawat kepada Nabi Muhammad, dan membaca (menuliskan) QS Thaha ayat 22.

Seluruh teks fatwa Komisi Fatwa MUI hanya diawali dengan kalimat pembuka

basmalah, dan tidak satu pun di antaranya yang diawali dengan isti āźah,

hamdalah, shalawat, dan QS Thaha ayat 22. Meskipun demikian, kita tidak serta-

merta dapat mengatakan bahwa fatwa Komisi Fatwa MUI lemah karena ketiadaan

hal yang dikemukakan Ad-dimasyqi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976). Hal ini disebabkan

oleh tiga hal: yaitu (1) ungkapan yang dipersyaratkan oleh Ad-Dimasyqi dan Al-

Asyqar semata-mata terkait dengan persoalan karakteristik teks fatwa, dan bukan

terkait dengan substansi fatwa; (2) karena tidak terkait dengan persoalan

substansial, tidak ada pengaruh apapun dari ungkapan tersebut terhadap

argumentativitas fatwa; dan (3) ada kemungkinan ungkapan yang disyaratkan

oleh Ad-Dimasyqi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976) tersebut semata-mata berurusan

dengan persoalan kultural, sehingga tuntutan tekstual yang berlaku bagi mereka

dapat saja berbeda dengan tuntutan yang berlaku bagi Komisi Fatwa MUI.

Kelima, menggunakan sīghah yang umum digunakan untuk fatwa, termasuk

di dalamnya bahasa yang harus ringkas dan tidak berbelit-belit, misalnya boleh

atau tidak boleh, sah atau batal. Istilah khusus (sīgah) dalam bidang fatwa yang

dapat kita temukan dalam buku Himpunan Fatwa MUI Sejak 1976 merupakan

istilah yang digunakan untuk menandai konsideran dan diktum. Istilah tersebut

antara lain adalah memperhatikan, membaca, menimbang, memutuskan, dan

memfatwakan. Dari beberapa istilah tersebut, hanya istilah memfatwakan saja

yang dapat kita pertimbangkan sebagai istilah khusus dalam urusan fatwa. Istilah

lainnya merupakan istilah yang juga biasa digunakan dalam surat keputusan biasa.

Dalam hal bahasa yang ringkas dan tidak berbelit-belit, sebagian fatwa

mengunakan bahasa yang ringkas dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, beberapa

diktum dalam fatwa juga dinyatakan dengan bahasa yang kurang ringkas dan

menggambarkan putusan hukum kurang jelas dan tegas.

Keenam, fatwa sebaiknya ditulis dalam satu kesatuan dan sedapat mungkin

tidak dituliskan dalam lembaran terpisah. Beberapa fatwa Komisi Fatwa MUI

dituliskan dalam satu halaman saja. Akan tetapi, kebanyakan fatwa yang

dituliskan dengan cara demikian, seperti dapat kita lihat di dalam analisis setelah

ini, tidak memiliki daya persuasif yang baik. Bangunan argumentasi fatwa Komisi

Fatwa MUI yang dituliskan hanya dalam satu halaman saja biasanya buruk, karena

tidak mencantumkan dasar hukum yang memadai untuk mendukung putusan

hukum yang ditetapkannya. Dalam beberapa kasus, fatwa Komisi Fatwa MUI yang

dituliskan hanya satu halaman malahan tidak mencantumkan dasar hukum sama

Page 353: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

338

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sekali. Fatwa semacam ini bukanlah teks argumentasi, dan karena itu tidak

persuasif.

Sebagian besar fatwa Komisi Fatwa MUI dituliskan lebih dari satu halaman.

Bahkan, beberapa di antaranya sangat panjang hingga belasan halaman. Hal ini

tampaknya disebabkan oleh pencantuman dasar hukum yang cukup banyak, yang

tujuannya adalah agar fatwa lebih mudah diterima dan daya persuasifnya menjadi

lebih baik. Hampir seluruh fatwa dituliskan dalam dalam satu kesatuan yang

terpisah antara satu fatwa dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pedoman

penyusunan fatwa Komisi Fatwa MUI (2010: 7) bahwa setiap fatwa diberi nomor

dan judul fatwa tersendiri. Akan tetapi, ada beberapa fatwa yang dituliskan tanpa

nomor, hanya dipisahkan oleh judul fatwa. Fatwa-fatwa tersebut terdapat dalam

Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia.

Ketujuh, fatwa juga sebaiknya mencantumkan dan mempertimbangkan

fatwa sebelumnya tentang masalah yang sama. Seperti dapat dilihat dalam buku

Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, kebanyakan fatwa mencantumkan pendapat

sebelumnya dalam kutipan yang dapat diverifikasi. Bahkan ada beberapa fatwa

yang mencantumkan pendapat yang berbeda dengan putusan hukum yang

diputuskan oleh Komisi Fatwa MUI. Namun demikian, ada juga beberapa fatwa

yang tidak mencantumkan pendapat atau fatwa sebelumnya, walaupun hanya

sekadar mencantumkan pendapat yang menguatkan putusan hukum yang

terdapat di dalam fatwa.

Kedelapan, apabila mufti tidak memahami secara persis hal yang

ditanyakan, maka ia harus menuliskannya ketika memberikan fatwa. Hal ini tidak

terdapat sama sekali dalam buku Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Yang terjadi

pada beberapa fatwa dengan persoalan yang tidak terlalu lazim adalah

pencantuman pendapat ahli lainnya sebagai penjelasan tambahan. Hal ini, bagi

saya, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari apa yang dikemukakan oleh

Ad-Dimasyqi (t.t.).

Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Secara umum, teori yang akan dimanfaatkan dalam menganalisis data

adalah teori argumentasi kritis yang dikembangkan oleh Walton (2006). Hal ini

tidak berarti bahwa teori argumentasi lain tidak diperhitungkan. Mengingat

kebertumpangtindihan teoretis yang tidak mungkin dihindari dan kelemahan

teoretis yang mungkin saja terdapat dalam teori argumentasi Walton, teori lain

tetap digunakan, baik sebagai perbandingan maupun sebagai pelengkap analisis.

Struktur Argumentasi 1: Premis dan Simpulan

Page 354: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

339

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Argumentasi tersusun atas conclusion dan premise (Walton 2006: 6). Premis

(premise) merupakan pernyataan yang menghadirkan alasan dalam rangka

mendukung simpulan (conclusion), sedangkan simpulan adalah pernyataan yang

mengekspresikan klaim (Walton 2006: 6, Govier 1985: 1, dan Kahane 1928: 4).

Dalam teori argumentasi yang dikembangkan oleh tokoh lain, konsep premise juga

digambarkan melalui istilah data atau backing (Toulmin 2003:100), reason

(Crusius dan Channell 1950: 3-4; dan Herrick 1995: 6; dan Fahnestock dan Secor

2004: 19-20). Konsep conclusion digambarkan juga melalui istilah claim (Toulmin

2003:100; dan Fahnestock dan Secor (2004: 19-20).

Selanjutnya, menurut Walton (2006: 6), simpulan seringkali ditandai dengan

kata, misalnya, therefore, thus, hence, consequently, dan so; sedangkan premis

kadangkala ditandai dengan kata, misalnya, since, for, dan because. Apa yang

dikemukakan oleh Walton (2006) ini juga serupa dengan yang dikemukakan

Toulmin (2003). Klaim, menurut Toulmin (2003: 90-91), biasanya ditandai dengan

kata seperti so, dan warrant atau backing ditandai kata semacam since atau

because. Namun demikian, pada kenyataanya, dalam realitas argumentasi,

seringkali kata yang menjadi penanda bagi premis dan simpulan tidak terdapat

secara eksplisit atau dapat juga digantikan oleh kata lain. Kahane (1928: 4)

menyebutkan bahwa kata yang menjadi penanda (indicator words) dalam

argumentasi dapat juga berupa ungkapan seperti it has been observed that, in

support of this, dan the relevant data untuk premis; dan ungkapan seperti the

result is, the point of all this, dan the implication is untuk simpulan. Herrick (1995:

8) menyebutkan juga bahwa ungkapan seperti for, consider that, dan is shown by

dapat menjadi penanda premis atau reasons. Kemudian, ungkapan seperti which

leads me to conclude that dan which shows that dapat dipertimbangkan sebagai

penanda simpulan.

Dalam fatwa MUI, realisasi premis dan simpulan ditandai oleh ungkapan

khusus yang dapat dianalogikan dengan kata yang menjadi penanda sebagaimana

telah disebutkan di atas. Dalam fatwa MUI yang berformat surat keputusan, kata

yang menjadi penanda dari premis adalah kata Memperhatikan, Membaca, dan

Menimbang.

Adapun penanda simpulan dalam fatwa berformat surat keputusan adalah

kata Memutuskan yang diikuti dengan kata Menetapkan atau Memfatwakan.

Sebagai contoh, dalam fatwa Pelaksanaan Shalat Jumat 2 (Dua) Gelombang,

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menetapkan bahwa shalat Jumat dua

gelombang hukumnya tidak sah. Ketetapan hukum ini merupakan simpulan dari

Page 355: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

340

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebuah argumentasi, dan penandanya adalah kata MEMUTUSKAN yang diikuti

dengan kata Menetapkan.

Penanda simpulan dalam fatwa yang tidak berbentuk surat keputusan

berbeda-beda. Dalam fatwa Penulisan Kitab Suci Al-Qur an dengan Selain huruf

Arab, ungkapan yang digunakan adalah ... berkesimpulan dan memberi fatwa ....

Kita dapat melihatnya dalam kutipan berikut.

...

Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diadakan pada hari

Rabu tanggal 22 Juni dan hari Senin tanggal 27 Juni 1977 ... berkesimpulan

dan memberi fatwa mengenai hal tersebut sebagai berikut :

...

Demikian fatwa yang diputuskan dalam sidang tersebut.

(Amin et al. 2010: )

Dalam fatwa Pernikahan Usia Dini, sebagai contoh lain, ungkapan yang digunakan

adalah Ketentuan Hukum. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

...

KETENTUAN HUKUM

1. Pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan

secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat

dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub), sebagai ketentuan sinn

al-rusyd.

2. ... (dst.)

...

Dalam persoalan penanda premis ini, ada dua perrsoalan yang penting

dikemukakan di sini. Pertama, beberapa fatwa MUI tidak memiliki ungkapan yang

menjadi penanda premis, misalnya fatwa Penentuan Awal Ramadhan, Awal

Syawal/Idul Fitri dan Awal Zulhijjah/Idul Adha yang ditetapkan pada 1980 dan

Penulisan Kitab Suci Al-Qur an dengan Selain huruf Arab. Premis dalam dua fatwa

tersebut ada, tetapi penanda linguistiknya tidak ada. Akibatnya, pemahaman

terhadap fatwa tersebut membutuhkan usaha yang lebih besar. Kedua, beberapa

fatwa MUI bahkan tidak memiliki premis sama sekali, misalnya fatwa Shalat dan

Puasa di Daerah yang Waktu Siang dan Malamnya tidak Seimbang. Fatwa

semacam ini, mengingat ketiadaan premis, tidak dapat disebut teks argumentasi.

Dengan kata lain, fatwa tersebut tidak argumentatif dan berarti juga tidak

persuasif.

Page 356: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

341

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Struktur Argumentasi 2: Hubungan Antarpremis dalam Bangun Argumentasi

Fatwa

Setelah identifikasi terhadap premis dan simpulan dalam teks fatwa

berhasil dilakukan, penting bagi kita untuk mengetahui hubungan antarpremis

dalam membangun sebuah argumentasi yang utuh. Hubungan antarpremis ni

digambarkan melalui diagram argumentasi (argument diagram). Hubungan

tersebut dapat berupa: (1) single argument, argumentasi yang simpulannya hanya

memiliki sebuah premis (Walton 2006: 139); (2) convergent argument,

argumentasi yang memiliki lebih dari satu premis yang berdiri sendiri-sendiri

untuk mendukung sebuah simpulan (Walton 2006: 140); (3) linked argument,

yaitu argumentasi yang memiliki dua premis atau lebih yang saling tergantung dan

secara bersama-sama mendukung sebuah kesimpulan (Walton 2006: 142); (4)

serial argument, argumentasi yang hubungan premis-simpulannya bersambung-

sambung, premis sebuah simpulan merupakan simpulan dari premis sebelumnya

dan selanjutnya dijadikan dasar untuk membuat simpulan akhir (Walton 2006:

146); (5) divergent argument, argumentasi yang memiliki dua kesimpulan yang

diinferensikan dari sebuah premis (Walton 2006: 147); dan (6) gabungan dari

bentuk-bentuk argumentasi tersebut.

Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana putusan hukum pertama

dalam fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (dua) Gelombang ditetapkan.

Penjelasan untuk melihat hubungan antarpremis dan antara setiap premis dengan

simpulan meliputi hal berikut.

Pertama, Ungkapan Pendapat dan saran peserta sidang Premis 1 yang

berasal dari konsideran Memperhatikan poin ke-2 sulit untuk dibuktikan secara

linguistik memiliki hubungan dengan premis lainnya. Dengan demikian, hubungan

Premis 1 dengan tiga premis lainnya kemungkinan besar adalah convergent

argument.

Kedua, Premis 2 memiliki hubungan dengan Premis 3 untuk membangun

Simpulan. Hubungan tersebut dapat dilihat dari hubungan ungkapan ... bentuk

maupun tatacara pelaksanaan salat Jum'at harus mengikuti segala ketentuan

yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (Syari'ah) serta dipraktikkan oleh

Rasulullah dalam Premis 2 dengan ungkapan Sejak masa Nabi sampai dengan

abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang

belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama dalam Premis 3.

Artinya, simpulan bahwa shalat Jumat dua gelombang adaah tidak sah disebabkan

oleh karena belum pernah difatwakan sebelumnya dan juga karena tata cara

Page 357: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

342

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pelaksanaannya tidak mengikuti tata cara yang pernah dilakukan Nabi saw. Dua

premis ini saling berhubungan membentuk simpulan, dan karena itu hubungan

keduanya dengan simpulan adalah linked argument.

Ketiga, Premis 3 dan Premis 4, melalui ungkapan Hal ini menunjukkan

bahwa masalah tersebut tidak dibenarkan dan tidak dapat dipandang sebagai

masalah khilafiyah dalam Premis 3 dan ungkapan Pendapat sebagian ulama

bahwa pelaksanaan salat Jum'at lebih dari satu kali tidak dibenarkan dalam

Premis 4, saling berhubungan untuk membentuk Simpulan. Artinya, hubungan

antara keduanya juga linked argument.

Berdasarkan penjelasan di atas, jenis hubungan antarpremis dan antara

premis dengan simpulan adalah gabungan antara convergent argument dan dua

buah linked argument, yaitu linked argument yang merupakan hubungan Premis 2

dengan Premis 3 dan hubungan Premis 3 dengan Premis 4. Dalam gambar,

hubungan tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut.

Skema 1. Diagram gabungan convergent argument dan linked argument untuk

argumentasi putusan pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua)

Gelombang.

Dalam argumentasi di atas, hubungan antarpremis dalam membangun

simpulan mudah ditentukan, karena penanda linguistiknya jelas. Hubungan

semacam ini terdapat di sebagian besar fatwa dalam sebagian besar putusan-

putusan hukumnya. Dalam sebagian kecil teks fatwa, meskipun jumlahnya tidak

bisa dikatakan sedikit, hubungan antarpremis sulit ditentukan. Sebab dari hal itu

adalah kurangnya penanda linguistik dan ketiadaan referensi yang dapat dirujuk

langsung untuk diverifikasi. Bahkan, ada juga fatwa yang –seperti telah dijelaskan

sebelumnya– tidak memiliki premis. Dalam hal fatwa yang tidak memiliki premis

ini, tidak mungkin analisis hubungan antarpremis dapat dilakukan. Akan tetapi,

Page 358: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

343

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam hal kurangnya penanda linguistik untuk menentukan hubungan

antarpremis, analisis tetap dapat dilakukan meskipun upaya untuk itu menjadi

lebih sulit.

Sebagai contoh, ada baiknya apabila kita melihat bagaimana hubungan

premis-premis dalam putusan hukum pertama fatwa Qiraat Sab ah. Ada beberapa

hal yang perlu dijadikan catatan dalam upaya mendiagramkan argumentasi

putusan hukum pertama fatwa Qira at Sab ah.

Pertama, tidak ada lampiran mengenai isi informasi yang dimaksud dalam

Premis 1 dan Premis 2. Padahal, terdapat kata terlampir dalam Premis 2.

Akibatnya, sulit bagi kita untuk mengetahui informasi apa yang benar-benar

terdapat dalam kedua premis tersebut. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat

secara pasti bagaimana hubungan antarpremis tersebut dan hubungan antara dua

premis tersebut dengan simpulannya. Apakah Premis 1 dan Premis 2 memiliki

keterkaitan atau kedua premis itu hanya berkaitan dengan Simpulan saja? Kita

hanya bisa memperkirakan bahwa dua premis tersebut bisa jadi berhubungan dan

bisa jadi juga tidak. Dengan demikian, ada dua macam kemungkinan diagram

argumentasi putusan hukum pertama, yaitu linked argument dan convergent

argument. Berikut kemungkinan diagram argumentasi yang dimaksud.

Skema 2.

Diagram convergent argument

untuk Premis 1 dan Premis 2

dalam putusan hukum pertama

fatwa Qira at Sab ah.

Skema 3.

Diagram linked argument untuk

Premis 1 dan Premis 2

dalam putusan hukum pertama

fatwa Qira at Sab ah.

Kedua, sebagaimana dapat dilihat kembali di atas, antara Premis 3 dan

Simpulan terdapat hubungan argumentatif secara langsung. Hal ini dapat dilihat

dalam hubungan ungkapan Qira'at Sab'ah adalah suatu ilmu sebagai halnya Ilmu

Page 359: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

344

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tajwid ... dalam Premis 3 dengan ungkapan Qira'at Sab'ah adalah sebagian ilmu

dari Ulum al-Qur'an ... pada bagian awal Simpulan. Hubungan itu lebih jelas

terlihat dalam hubungan antara ungkapan Qira'at Sab'ah ... yang oleh karenanya

perlu dikembangkan dalam Premis 3 dengan ungkapan Qira'at Sab'ah .. yang

wajib diperkembangkan dan dipertahankan eksistensinya dalam Simpulan.

Dengan demikian, terdapat dua kemungkinan hubungan argumentasi yang

dibangun dalam putusan hukum pertama, yaitu (a) apabila hubungan Premis 1

dan Premis 2 bersifat convergent, maka struktur argumentasi lengkap yang

menghubungkan Simpulan dengan tiga premis yang mendukungnya sepenuhnya

bersifat convergent; dan (b) apabila hubungan Premis 1 dan Premis 2 bersifat

linked, maka struktur argumentasi lengkap yang menghubungkan Simpulan

dengan tiga premis yang mendukungnya merupakan kombinasi single argument

(argumentasi tunggal) dengan linked argument. Dalam diagram, argumentasi

putusan hukum pertama dalam fatwa Qira at Sab ah dapat dilihat seperti di

bawah ini.

Skema 4.

Diagram convergent argument

untuk putusan hukum pertama

fatwa Qira at Sab ah.

Skema 5.

Diagram kombinasi single

argument dan linked argument

untuk putusan hukum pertama

fatwa Qira at Sab ah.

Perlu dinyatakan bahwa ketiadaan lampiran –dan tentu saja berlaku bagi

pencantuman dasar hukum lainnya di dalam teks– tidak hanya menyebabkan

hubungan antarbagian menjadi sulit dipastikan, tetapi juga menyebabkan kualitas

argumentasi menjadi kurang kuat. Persoalan terakhir ini akan lebih jelas dalam

sub pembahasan berikut.

Page 360: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

345

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kualitas Argumentasi

Kualitas argumentasi diuji melalui identifikasi dan evaluasi terhadap skema

argumentasi yang digunakan di dalam fatwa. Skema argumentasi, seperti

dikemukakan Walton (2006: 84), merupakan bentuk inferensi dalam sebuah

realitas argumentasi. Dalam penelitian ini, analisis terhadap skema argumentasi,

atau warrant atau connective, dalam fatwa digunakan untuk melihat hubungan

premis dan simpulan antarbagian dalam fatwa, yang dalam bentuk aslinya dapat

saja diwujudkan dalam hubungan antara putusan hukum dan landasan hukum,

konteks, pertanyaan, konsekuensi, dan hal lainnya yang terdapat dalam teks

fatwa.

Untuk melihat persoalan kualitas argumentasi ini menjadi lebih jelas, kita

dapat melihat analisis kualitas argumentasi putusan hukum pertama dalam fatwa

Qira at Sab ah ini. Agar analisis menjadi lebih mudah, ringkasan uraian struktur

premis-simpulan dalam argumentasi putusan hukum pertama fatwa Qira at

Sab ah.

Dari tiga buah premis pada fatwa Qira at Sab ah, mengingat keterbatasan

ruang dan untuk menghindari pembahasan yang berulang-ulang, hanya hubungan

Premis 3 dan Simpulan saja yang akan dianalisis. Dalam Premis 3 terdapat

ungkapan Bahwa Qira'at Sab'ah adalah suatu ilmu sebagai halnya Ilmu Tajwid

yang oleh karenanya perlu dikembangkan ... . Secara jelas, kita dapat melihat

bahwa dalam Simpulan terdapat ungkapan Qira'at Sab'ah adalah sebagian ilmu

dari Ulum al-Qur'an yang wajib diperkembangkan dan dipertahankan

eksistensinya . Frasa sebagai halnya dalam Premis 3 tersebut menunjukkan

bahwa hubungan Simpulan dengan Premis 3 adalah argumentasi yang didasarkan

atas analogi (argument from analogy). Menurut Walton (2002: 36 dan 2006: 96)

argumen yang berasal dari analogi memiliki pola dasar sebagai berikut.

Premis keserupaan : Secara umum, kasus C1 menyerupai kasus C2.

Premis dasar : A adalah benar (salah) dalam kasus C1.

Konklusi : A adalah benar (salah) dalam kasus C2.

Dalam praktik analisis, kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu hal-hal

yang menjadi keserupaan dalam analogi tersebut. Yang dimaksud dengan C1

dalam analogi ini adalah ilmu tajwid, C2 dalam analogi ini adalah i ā ah sab ah,

dan A dalam analogi tersebut adalah bagian dari ulū Al-Qur ā ya g ha us dikembangkan dan dipertahankan. Dengan demikian, pemanfaatan pola skema

argumentasi dalam praktik analisis adalah seperti berikut ini.

Page 361: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

346

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Premis keserupaan : Secara umum, ilmu tajwid menyerupai i ā'ah sab'ah (sama-sama bagian dari Ulum Al-Qur an

dan harus dikembangkan dan dipertahankan).

Premis dasar : Pernyataan bahwa ilmu tajwid adalah bagian

dari ūlu Al-Qur ā da ha us dike ba gka dan dipertahankan (A) adalah benar.

Konklusi : Pernyataan bahwa i ā'ah sab'ah adalah bagia dari ūlu Al-Qur ā ya g ha us dipertahankan

dan dikembangkan (A) adalah benar.

Kualitas argumentasi dalam hubungan Simpulan dengan Premis 3 dapat

kita uji melalui pertanyaan evaluatif yang berkaitan dengan skema argumen yang

didasarkan atas analogi. Semakin baik sebuah teks menyediakan jawaban bagi

pertanyaan tersebut, maka semakin baik pula kualitas argumentasinya. Menurut

Walton (2006: 97), argumentasi yang didasarkan atas analogi ini dapat dievaluasi

melalui pertanyaan berikut.

1. Adakah perbedaan antara i ā ah dan tajwid yang dapat menurunkan derajat

kesamaan keduanya?

2. Apakah kewajiban mengembangkan dan mempertahankan adalah benar

dalam kasus ilmu tajwid?

3. Adakah bagian ulū al-Qur ā yang juga menyerupai tajwid, tetapi dalam hal

ini justru tidak wajib dikembangkan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mengetahui apa itu tajwid

dan apa itu i ā ah, bagaimana posisi keduanya dalam ulū Al-Qur ā , cakupan

kajiannya, dan hukum mempelajari dan menerapkan kedua ilmu tersebut dalam

membaca Al-Quran. Persoalan ini mungkin dapat kita dapatkan jawabannya

dengan melihat lampiran dan atau kutipan dasar hukum dalam teks fatwa. Akan

tetapi, seperti dapat diperiksa dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Sejak 1975, lampiran fatwa Qiraat Sab ah ini tidak ada, sehingga kita

harus mencari sendiri jawaban dari pertanyaan tersebut.

Al-Banna (t.t.: 67) mengemukakan beberapa hal terkait dengan ilmu i ā ah

sebagai berikut.

... bahwa i ā ah adalah ilmu yang mempelajari kesepakatan dan

perselisihan para pelestari ( ā il) kitab Allah terkait dengan pelesapan (haźf)

dan penetapan (iśbāt), membunyikan (tahrik) atau mendiamkan (taskī ),

Page 362: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

347

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memutus atau menyambung, dan yang selain itu dari sudut pandang wicara

(nutq) dan yang sejenisnya yang terkait dengan pendengaran.

Dikatakan juga bahwa ( i ā ah adalah) ilmu tentang tata cara membaca

kata-kata di dalam Al-Quran dan segala perselisihan yang terkait dengan cara

baca tersebut.

Definisi serupa ini juga dapat kita lihat dalam Al-Makki (2006: 204) dan Al-Zarqani

(t.t.: 336). Adapun mengenai tajwid, kita dapat melihat definisi yang dikemukakan

oleh Al-Hudhari (t.t.: 17) sebagai berikut.

Tajwid menurut para ahli ada dua macam.

Pertama, mengetahui kaidah dan ketentuan yang dikemukakan ulama

tajwid dan ditetapkan ulama qira at mengenai artikulator ( akhā ij) bunyi

dan karakteristiknya; perbedaan antara bunyi yang serupa ( uta āśil), yang

artikulatornya berdekatan ( uta ā ib), dan yang berjenis sama ( utajā is);

hukum ū mati dan tanwin; hukum ī mati; bacaan panjang (madd)

beserta jenis dan hukumnya; tepat dan jenis pemberhentian (waqf) dan

memulai kembali (ibtidā ) kalimat yang terpotong dan tersambung; cara

melafalkan tā a būtah dan tā aftūhah; dan lain sebagainya yang telah

digariskan ulama.

Yang semacam ini disebut tajwid ilmiah

Kedua, membunyikan huruf Al-Quran secara jelas dan penegasan cara

mengucapkan kata-kata dalam Al-Quran; (ilmu ini) bertujuan memperbagus

cara pelafalan, memperoleh cara pelafalan ter-fasih dan cara pengungkapan

terbaik.

Berdasarkan definisi tajwid dan i ā ah di atas, kita dapat melihat tajwid

dan i ā ah bukan hanya sama-sama bagian dari ulū Al-Qur ā , melainkan juga

bagian dari ulū Al-Qur ā yang memiliki objek kajian yang serupa, yaitu

persoalan membaca Al-Quran. Jadi, penggunaan tajwid sebagai analogi dalam

menetapkan hukum i ā ah sudah sangat tepat. Apabila kita menggunakan

semantik leksikal sebagai alat memetakan kedua ilmu ini dalam kaitannya dengan

ulū Al-Qur ā , maka tajwid dan qirā ah adalah meronim dari ulū Al-Qur ā

yang berfungsi sebagai holonim. Hubungan meronimi antara ketiganya bersifat

kanonikal bilateral.

Pertanyaan kedua dapat kita jawab dengan melihat jawaban pertanyaan

yang kurang lebih sama pada argumentasi sebelumnya. Dengan demikian kita

dapat mempertimbangkan Al-Hudhari (t.t.: 17) mengenai tajwid

Page 363: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

348

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kedua, membunyikan huruf Al-Quran secara jelas dan penegasan cara

mengucapkan kata-kata dalam Al-Quran; (ilmu ini) bertujuan memperbagus

cara pelafalan, memperoleh cara pelafalan ter-fasih dan cara pengungkapan

terbaik.

Lalu kita bandingkan dengan pendapat al-Ba ā (t.t.: 67),

Manfaat dari il u i ā ah ini adalah menjaga Al-Quran (dengan seluruh

varian bacaannya) dari pengubahan (tah īf) dan perubahan (taghyī ). Hingga

saat ini, setiap huruf yang dibaca berdasarkan versi seorang ahli i ā at

memiliki makna spesifik yang berbeda dari bacaan lain versi ahli lainnya.

Keragaman bacaan ini juga menjadi sumber penetapan hukum para ahli fiqh

dan sumber dalam mencari petunjuk, termasuk di dalamnya memilihkan yang

termudah (versi bacaan dan mungkin juga putusan hukum akibat bacaan

tersebut) bagi masyarakat.

Jadi, jelas bahwa ilmu i ā ah tampaknya sangat penting untuk dipertahankan.

Untuk pertanyaan ketiga, saya tidak dapat menemukan ilmu yang serupa

dengan tajwid tetapi tidak wajib untuk dikembangkan. Dengan demikian, dapat

dinyatakan di sini bahwa analogi dalam fatwa ini pada dasarnya adalah baik.

Hal yang menjadi persoalan dalam kualitas argumentasi yang didasarkan

atas analogi ini adalah persoalan kutipan dasar hukum atau lampiran penjelasan.

Seperti telah dijelaskan di atas, mengingat kemiripan dan bahkan

kebertumpangtindihan objek pembahasan, analogi qirā ah dengan tajwid sebagai

dasar mempertahankan dan mengembangkan qirā ah sudah sangat tepat. Sayang

sekali bahwa untuk mengetahui hal-hal yang dapat dianalogikan dari qirā ah dan

tajwid, pembaca harus direpotkan mencari sendiri sumber di luar teks fatwa.

Akibatnya, bagaimanapun juga, kualitas argumentasi putusan hukum tersebut

menjadi kurang kuat dan, dengan begitu, daya persuasifnya menjadi berkurang.

Sebagai contoh lain, kita dapat juga melihat bagaimana putusan hukum

pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua) Gelombang dibangun. Untuk

memudahkan pembahasan, ringkasan struktur premis-simpulan dalam

argumentasi putusan hukum pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua)

Gelombang.

Sebenarnya bisa saja menguji kualitas hubungan antara setiap premis dan

simpulan, tetapi yang akan diuraikan di sini hanya hubungan Premis 3 dan Premis

4 dengan Simpulan.

Page 364: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

349

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hubungan Premis 3 dengan Simpulan dapat dilihat melalui hubungan

pernyataan ... Hal ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak dibenarkan

dan tidak dapat dipandang sebagai masalah khilafiyah ... dalam premis tersebut

dengan pernyataan Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih dari satu

kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah dalam

simpulan. Namun demikian, pada bagian awal Premis 3 terdapat ungkapan Sejak

masa Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat

Jum'at dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para

ulama .. yang menunjukkan bahwa skema argumentasi yang digunakan dalam

hubungan Premis 3 dan Simpulan adalah argumentasi yang didasarkan atas opini

populer.

Skema dasar dari argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini adalah

sebagai berikut.

Premis keberterimaan umum : A secara umum diterima sebagai benar.

Premis presumsi : Jika A secara umum diterima sebagai benar,

maka hal itu memberi alasan untuk

mendukung kebenaran A.

Konklusi : Terdapat alasan untuk mendukung

kebenaran A.

(Walton 2006: 91)

Yang perlu dicatat dari skema di atas adalah bahwa simpulan dalam skema dasar

bersifat positif, yaitu Terdapat alasan untuk mendukung kebenaran A. Padahal,

Simpulan bersifat negatif, yaitu Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih

dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak

sah . Artinya, skema dasar argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini

harus ditransformasi menjadi negatif terlebih dahulu, sehingga skema tersebut

menjadi sebagai berikut.

Premis ketakberterimaan umum : A secara umum tidak diterima sebagai benar.

Premis presumsi : Jika A secara umum tidak diterima sebagai

benar, maka hal itu memberi alasan untuk

mendukung ketidakbenaran A.

Konklusi : Terdapat alasan untuk mendukung

ketidakbenaran A.

(Walton 2006: 91)

Page 365: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

350

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam analisis data, A dalam skema tersebut adalah shalat Jumat dua gelombang

dan premis ketidakberterimaan umum disimpulkan dari ungkapan Sejak masa

Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at

dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama.

dalam Premis 3. Dengan demikian, skema tersebut menjadi sebagai berikut.

Premis

ketakberterimaan

umum

: Shalat Jumat dua gelombang secara umum

tidak dapat diterima sebagai benar.

Premis presumsi : (Sejak masa Nabi sampai dengan abad kedua

puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat

Jum'at dua gelombang belum pernah

dibicarakan atau difatwakan oleh para

ulama.) Jika shalat Jumat dua gelombang

secara umum tidak dapat diterima sebagai

benar, maka hal itu memberi alasan untuk

mendukung ketidakbenaran shalat Jumat dua

gelombang.

Konklusi : Terdapat alasan untuk menyatakan bahwa

shalat Jumat dua gelombang tidak dapat

dibenarkan.

Dengan mengikuti skema argumentasi ini, ketidaksahan shalat Jumat dua

gelombang disebabkan oleh ketiadaan fatwa dalam masalah ini, karena hukumnya

sudah jelas tidak boleh. Yang juga perlu dicatat adalah bahwa dalam teks asli

fatwa, Premis 3 ini dilengkapi dengan kutipan yang berasal dari Mahmud Syaltut.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

معة مرتين فى مكان واحد ووقت واحد فى جماعتين بخطبتين لم تعهد فى حاضر الإسلام ومماضلا، و ولم رعلار والدعوة إلى إقامة اد فى أصل التشررعو وإذن تكون هذ الثالثة أرضا تشررعا بما لم رأذن ب الله. )محمود شلتوتو الفتاوىو ]القاهرة: دار القلمو لها س

(دس[و الطبعة الثالثةو ص:

"Himbauan untuk melakukan salat Jum'at dua kali di satu tempat dan pada

waktu yang sama --kecuali diselingi waktu untuk memberikan kesempatan

kepada gelombang pertama keluar dan gelombang kedua masuk masjid--

dalam dua kali berjamaah dan dengan dua kali khutbah, belum pernah dikenal,

baik pada masa sekarang maupun pada masa lalu, juga tidak mempunyai

sandaran (dasar) dalam syari'ah. Dengan demikian, hal ketiga ini dipandang

sebagai tasyri' (penetapan hukum) sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah."

Page 366: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

351

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jadi, dengan adanya kutipan tersebut, pada dasarnya pernyataan bahwa

shalat Jumat dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan

sebenarnya didasarkan atas pendapat ahli (appeal to expert opinion atau

argument from expert opinion) (Walton 2002: 49 dan Walton 2006: 86).

Selanjutnya, evaluasi terhadap skema argumentasi yang digunakan dalam

hubungan Premis 3 dan Simpulan dilakukan melalui pertanyaan evaluatif. Adapun

pertanyaan untuk mengevaluasi kualitas argumentasi yang didasarkan atas opini

populer menurut Walton (2006: 92) adalah sebagai berikut.

1. Bukti apakah, misalnya jajak pendapat atau atau seruan kepada pengetahuan

umum, yang mendukung klaim bahwa A secara umum diterima sebagai

benar?

2. Meskipun secara umum A diterima sebagai benar, apakah ada alasan yang

tepat untuk meragukan kebenarannya?

(Walton 2006: 92)

Dalam kaitannya dengan shalat Jumat dua gelombang ini, pertanyaan evaluatif

terhadap skema argumentasi yang didasarkan atas opini populer ini adalah

sebagai berikut.

1. Bukti apakah, misalnya jajak pendapat atau atau seruan kepada pengetahuan

umum, yang mendukung klaim bahwa shalat Jumat dua gelombang secara

umum tidak dapat diterima?

2. Meskipun secara umum shalat Jumat dua gelombang tidak dapat diterima,

apakah ada alasan yang tepat untuk meragukan kebenarannya?

Pertanyaan evaluatif pertama dapat kita temukan jawabannya pada

Premis 2 yang merupkan konsideran Mengingat poin ke-2, yaitu

Mengingat: 1. ...

2. Sebagai suatu ibadah, bentuk maupun tatacara pelaksanaan

salat Jum'at harus mengikuti segala ketentuan yang telah

ditetapkan oleh hukum Islam (Syari'ah) serta dipraktikkan

oleh Rasulullah. Kaidah Fiqh menegaskan:

Lebih lengkap lagi apabila kita melihat pendapat yang dikutip dalam konsideran

Mengingat poin ke-2 ini, yaitu

(.و ص: دمشق: مكتبة الفارابيو نظررة الضرورة الشرع،ةو متشرع عبادة إم بشرع الله )الدكتور وهبة الزح،ليو "Suatu ibadah tidak disyari'atkan kecuali disyari'atkan oleh Allah."

Page 367: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

352

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

الأصل فى العبادات التوق،فو فمرتعبد الله إم بملاا شلارع الله ك كتابلا وعللاا لرلاان رسلاول محملاد صلالا الله عل،لا وسلالمو فلا ن العبلاادة بهلالاا مركلالاون ام عللالاا الويلالا اللالاذ حلالاق للالاالت لله تعلالاالى قلالاد علبلالا ملالاى عبلالااد بمقتضلالاا ربوب،تلالا لهلالام. وك،ف،لالاة العبلالاادة وه، تهلالاا والتقلالار

)اللادكتور صلااب بلاى عبلاد الله بلاى -الشلاورى: -شرع وأذن ب . قال تعالى: أ لهم شركاء شرعوا لهم مى الدرى ملاالم رلاأذن بلا الله رج ك الشررعة الإسمم،ة ضوابط وتطب،قات و حم،دو (هلا ص: د :دارالإستقامةو الطبعة الثان،ةو رفع ا

"Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif (mengikuti ketentuan dan

tata cara yang telah ditetapkan oleh Syari'ah). Karena itu, tidak dibenarkan

beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyari'atkan

oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya, Muhammad

saw. Hal itu karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari para

hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat,

dan ber-taqarrub (melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah

hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyari'atkan dan diizinkan-Nya.

Ia berfirman: 'Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allah) yang

mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?...' (QS. asy-

Syura [42]: 21)."

بي صلعم أن قال: ملاى أحلاد العبادات مب اها علا التوق،ف وامتباعو معلا الهوى وامبتداع. ففا الصح،حين عى عائشة عى اللالا فهلالاو رد )ابلالاو الفضلالال عبلالاد الرلالام بلالاى محملالاد بلالاى عبلالاد الكلالار و و التقررلالاو والتهلالاذرو لعللالاو شلالا، الإسلالام فى أمرنلالاا هلالاذا ملالاا للالا،و م

ةو لش، الإسم ابى (.و ص: دار الفتوح الإسمم،ةو الطبعة الأولىو ت،م،ةو امعتصا بالكتا والر"Ibadat itu didasarkan pada tauqif dan ittiba' (mengikuti petunjuk dan contoh

dari Nabi), bukan pada hawa nafsu dan ibtida' (cipataan sendiri). Ditegaskan

dalam Sahih Bukhari-Muslim, dari 'A'isyah, dari Nabi saw., ia bersabda, 'Barang

siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama,

maka ia ditolak.'"

Skema argumentasi terakhir yang perlu didentifikasi dan dievaluasi dalam

putusan hukum pertama fatwa Pelaksanaan Shalat Jum at 2 (Dua) Gelombang ini

adalah hubungan antara Premis 4 dan Simpulan. Dalam hal ini, kita dapat melihat

bahwa Premis 4 berisikan konsideran Mengingat poin ke-4 yang di dalamnya

terdapat pernyataan Pendapat sebagian ulama bahwa pelaksanaan salat Jum'at

lebih dari satu kali tidak dibenarkan. Apabila pernyataan tersebut kita

hubungkan dengan putusan hukum pertama yang menjadi simpulan ini, yaitu

pernyataan Pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang (lebih dari satu kali) di

tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, maka skema

yang digunakan dalam hubungan Premis 4 dengan Simpulan adalah argumentasi

yang didasarkan atas pendapat ahli (appeal to expert opinion atau argument from

Page 368: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

353

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

expert opinion) yang merupakan salah satu bentuk argumen yang didasarkan atas

posisi seorang yang tahu (position to know) (Walton 2002: 49 dan Walton 2006:

86).

Skema dasar dari argumentasi yang didasarkan atas pendapat ahli ini

secara mendasar adalah sebagai berikut.

Premis mayor : Sumber E adalah ahli dalam bidang D yang

mengetahui proposisi A.

Premis minor : E menyatakan bahwa proposisi A (dalam

bidang D) adalah benar (salah).

Konklusi : A dapat dipertimbangkan sebagai benar

(salah).

(Walton 2002: 49 dan Walton 2006: 87)

Dalam kasus yang kita hadapi ini, sumber E yang dimaksud di sini adalah sebagian

ulama yang pendapatnya dikutip dalam konsideran Mengingat poin ke-4, yaitu

pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-Qulūb. Bidang D adalah fiqh

sebagai disiplin ilmu yang membahas hukum shalat Jumat. Proposisi A adalah

shalat Jumat dua gelombang tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, skema

argumentasi yang menghubungkan Premis 4 dan Simpulan adalah sebagai

berikut.

Premis mayor : Sebagian ulama (pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan

Tanwīr al-Qulūb) adalah ahli dalam bidang fiqh yang

mengetahui bahwa shalat Jumat dua gelombang adalah tidak

dibenarkan.

Premis minor : Sebagian ulama (pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan

Tanwīr al-Qulūb) menyatakan bahwa shalat Jumat dua

gelombang adalah tidak dibenarkan.

Konklusi : Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dua

gelombang adalah tidak dibenarkan dapat dipertimbangkan

sebagai benar.

Selanjutnya, sebagaimana juga dianjurkan oleh Walton (2006) dan juga

telah dilakukan di atas untuk menguji skema argumentasi yang sama,

pemanfaatan skema argumentasi yang didasarkan atas pendapat ahli ini dapat

dievaluasi melalui lima pertanyaan berikut.

1. Kepakaran: Seberapa kredibel E sebagai sumber ahli?

2. Bidang: Apakah E ahli dalam bidang tentang A?

Page 369: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

354

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Opini: Apa pernyataan E yang mengimplikasikan A?

4. Keterpercayaan: Apakah E seorang yang dapat dipercaya sebagai sumber?

5. Konsistensi: Apakah pernyataan A konsisten dengan yang dinyatakan pakar

lain?

6. Bukti pendukung: Apakah pernyataan E didasarkan atas bukti?

(Walton 2002: 50 dan Walton 2006: 88)

Dalam kaitannya dengan data yang sedang dianalisis ini, pertanyaan evaluatif

tersebut akan menjadi seperti berikut ini.

1. Kepakaran: Seberapa kredibel pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan

Tanwīr al-Qulūb sebagai sumber ahli?

2. Bidang: Apakah pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-Qulūb

ahli dalam bidang tentang A?

3. Opini: Apa pernyataan pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-

Qulūb yang mengimplikasikan A?

4. Keterpercayaan: Apakah pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah dan Tanwīr al-

Qulūb seorang yang dapat dipercaya sebagai sumber?

5. Konsistensi: Apakah pernyataan shalat Jumat dua gelombang adalah tidak

dibenarkan konsisten dengan yang dinyatakan pakar lain?

6. Bukti pendukung: Apakah pernyataan pengarang Al-Hawāsyi Al-Madaniyyah

dan Tanwīr al-Qulūb didasarkan atas bukti?

Pertanyaan pertama, kedua, dan keempat terkait dengan kredibilitas ahli,

bidang keahlian, dan keterpercayaan sumber ahli yang dikutip dalam fatwa

tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pengarang kitab Al-Hawāsyi al-

Madaniyyah dan Ta wī al-Qulūb. Dalam teks fatwa, Sulaiman Al-Kurdi

dicantumkan sebagai pengarang Al-Hawāsyi al-Madaniyah, tetapi pengarang kitab

Ta wī al-Qulūb tidak dicantumkan. Tentu saja sulit mencari informasi mengenai

kredibilitas, bidang keahlian, dan keterpercayaan ahli yang pendapatnya dikutip

tersebut apabila pengarangnya tidak diketahui. Namun demikian, apabila yang

dimaksud dalam teks fatwa tersebut adalah kitab Ta wī al-Qulūb fī Mu ā alah Allā al-Ghuyūb, maka pengarangnya adalah pengarang yang sama dengan

pengarang kitab Al-Hawāsyi al-Madaniyah, yaitu Sulaiman al-Kurdi atau juga

Muhammad Amin al-Kurdi. Jadi, kredibilitas, bidang keahlian, dan keterpercayaan

dua ahli yang dipersoalkan di sini bisa jadi adalah kredibilitas satu orang yang

sama yang menulis dua kitab yang berbeda. Al-Jābi : , de ga e gutip pendapat Abd al-Karī al-Mudarris dalam pengantar edisi tahqiq kitab Al-Fawā id

Page 370: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

355

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

al-Madaniyah, mengemukakan bahwa al-Kurdi merupakan ahli fiqh di daerah

Hijaz, mufti mazhab Syafi i untuk daerah Madinah, dan merupakan seorang

cendikia, taat beragama, rendah hati, berakhlak mulia, dan sumber ilmu

pengetahuan terpenting saat ia hidup.

Pertanyaan ketiga terkait dengan pernyataan kedua pengarang tersebut

dalam kaitannya dengan shalat Jumat dua gelombang. Dalam fatwa yang

dianalisis ini, pernyataan keduanya dikutip sebagai dasar penetapan fatwa.

Dengan demikian, pertanyaan ketiga untuk menguji kualitas argumentasi dapat

dijawab. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat kembali kutipan tersebut di

bawah ini.

...

1) Al-Hawasyi al-Madaniyah:

لاع )سلال،مان الكلارد و واشلاي المدن،لاةوأما غير المأمو فميجوز استخمف لأنلا رشلاب إنشلااء جمعلاة بعلاد أللارى وهلاو لت لازء ا ا (الثانيو ص:

"Imam (ketika tidak dapat meneruskan salatnya karena hadas, misalnya)

tidak boleh meminta selain makmum untuk menggantikan posisinya,

karena hal itu serupa dengan melaksanakan salat Jum'at sesudah salat

Jum'at yang lain; dan hal itu dilarang (tidak dibenarkan)."

2) Tanwir al-Qulub:

م لالا..حلالا إذا كلالاان رلالالاو ا صلالالا الله عل،لالا وسلالالمو ولم رلالالارللت عل،لالا الصلالامة والر م ملالاع فلالالار علالاة لم رق،موهلالاا إم ك مرلالا ددةو أو رصلاللي بملاى ضلاور أول الوقلات ورلاأذن ك أن تلاقلاا حبل للتلا،رير علا أمت ك أن رق،موها ك مرايد متلاعدل لار للا ا رلاتلا،ر

عون أن اضلالارواو وكلالاان ذللالا جمعلالاة وجمعلالاة والثلالاةو وهكلالاذا لبلالااقا اللالاذرى م ررلالاتط،لا أررلالار عللالا،هم للالاو كلالاان. وعللالاا سلالات بلاعلالادزء الأولو ص: الر ورر القلو و ا (.لال،ة درج للفاؤ الكرا )ت

"...Hingga ketika tiba hari Jum'at, mereka (para sahabat) tidak melakukan

salat Jum'at kecuali di masjid Nabi. Betapapun sangat senang untuk

memberikan kemudahan kepada umatnya, Nabi tidak memberikan

rukhsah (keringanan) kepada mereka untuk melaksanakan Jum'at di

beberapa masjid, atau ia melakukan salat Jum'at bersama orang yang

dapat hadir di awal waktu dan mengizinkan melakukan salat Jum'at lagi,

sedudahnya, satu salat Jum'at lagi, dan seterusnya, bagi mereka yang

tidak dapat hadir (untuk salat bersama Nabi); padahal, hal itu akan lebih

memudahkan mereka andai kata boleh. Para khalifah yang mulia pun

mengikuti jejak Nabi tersebut."

. . . . .

Page 371: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

356

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Amin et al. 2010:)

Pertanyaan kelima terkait dengan apakah pendapat pengarang Al-Hawasyi

al-Madaniyah dan Tanwir al-Qulub konsisten dengan pendapat lainnya. Dalam hal

ini, apabila kita menganggap pengarang dua kitab tersebut adalah dua orang yang

berbeda, maka kesamaan pandangan dua pengarang tersebut sudah cukup

membuktikan bahwa setiap pendapat tersebut saling menguatkan. Akan tetapi,

apabila pengarang dua kitab tersebut adalah satu orang yang sama, maka kita

dapat melihat pendapat Mahmud Syaltut yang dikutip dalam bagian Mengingat

poin 3 fatwa tersebut untuk menjawab pertanyaan mengenai konsistensi

antarahli dalam masalah ini. Hal itu akan menjadi semakin jelas apabila kita

melihat pendapat ulama yang bermazhab Syafi i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang

dikutip melalui al-Jaziri dalam bagian Mengingat poin 5. Dengan demikian,

pertanyaan evaluatif mengenai konsistensi pendapat antarahli dengan sendirinya

dapat dijawab oleh teks fatwa tersebut.

Pertanyaan terakhir, terkait dengan apakah pendapat pakar tersebut

didasarkan atas bukti atau tidak. Dalam hal ini, kita dapat melihat pendapat

Muhammad Syaltut bahwa shalat Jumat dua gelombang tidak dikenal dan tidak

difatwakan hingga abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam penetapan

putusan hukum shalat Jumat dua gelombang oleh Sulaiman al-Kurdi, praktik

popular dan opini popular barangkali merupakan bukti yang digunakan tetapi

tidak disebutkannya secara eksplisit. Hal itu dapat tersirat dari ungkapannya yang

dikutip dalam teks fatwa.

معلالاة لم رق،موهلالاا إم لالام ملالاع فلالالار حبللالا ..حلالا إذا كلالاان رلالالاو ا صلالالا الله عل،لالا وسلالالمو ولم رلالالارللت عل،لالا الصلالامة والر ك مرلالا ددةو أو رصللي بمى رلاتلا،رر للا ا جمعلاة ضلاور للتلا،رير علا أمت ك أن رق،موها ك مرايد متلاعدل أول الوقلات ورلاأذن ك أن تلاقلاا بلاعلاد

عون أن اضلارواو وكلالاان ذللا أررلالار عللا،هم لال،ة درج للفلالااؤ وجمعلاة والثلاةو وهكلالاذا لبلااقا اللالاذرى م ررلاتط،لا لا للاو كلالاان. وعللاا سلالات الر زء الأولو ص: ورر القلو و ا (.الكرا )ت

"...Hingga ketika tiba hari Jum'at, mereka (para sahabat) tidak melakukan salat

Jum'at kecuali di masjid Nabi. Betapapun sangat senang untuk memberikan

kemudahan kepada umatnya, Nabi tidak memberikan rukhsah (keringanan)

kepada mereka untuk melaksanakan Jum'at di beberapa masjid, atau ia

melakukan salat Jum'at bersama orang yang dapat hadir di awal waktu dan

mengizinkan melakukan salat Jum'at lagi, sedudahnya, satu salat Jum'at lagi,

dan seterusnya, bagi mereka yang tidak dapat hadir (untuk salat bersama

Nabi); padahal, hal itu akan lebih memudahkan mereka andai kata boleh. Para

khalifah yang mulia pun mengikuti jejak Nabi tersebut."

Page 372: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

357

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selain itu, kita dapat pula mempertimbangkan pendapat Wahbah al-

Zuhayli, Shalih bin Abdullah bin Hamid, dan Abu al-Fadhl Abd as-Salam yang

dikutip dalam bagian Mengingat poin ke-2 dalam teks fatwa mengenai keharusan

ibadah untuk hanya mengikuti praktik yang diakui. Pertimbangan ini kemungkinan

juga digunakan oleh Sulaiman al-Kurdi, Muhammad Syaltut, dan juga ulama

lainnya, dalam menetapkan hukum persoalan ini. Dengan demikian, pertanyaan

mengenai bukti dalam persoalan ini pada dasarnya dapat dijawab.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa secara linguistik, kualitas

argumentasi fatwa tentang shalat Jumat dua gelombang ini lebih baik daripada

fatwa tentang Qira at Sab ah. Hal ini, menurut saya, adalah wajar apabila kita

mempertimbangkan ketaktersediaan lampiran dalam fatwa tentang Qira at

Sab ah yang seharusnya ada. Sebaliknya, pendapat dan dasar penetapan putusan

hukum dalam fatwa tentang shalat Jumat dua gelombang dikutip langsung di

dalam teks fatwa. Hal ini memudahkan pembaca untuk mencari langsung rujukan

dan dasar dari penetapan hukum dalam fatwa tersebut. Dengan kata lain, dalam

kaitannya dengan dua fatwa yang dianalisis di atas, dapat dikatakan juga bahwa

ketersediaan dasar penetapan hukum dalam teks fatwa menjadi hal penting yang

mempengaruhi kualitas argumentasi fatwa.

Namun demikian, kita dapat melihat hal yang dapat dipersoalkan dalam

teks fatwa tentang shalat Jumat tersebut, misalnya konsistensi redaksional. Dalam

bagian Mengingat poin ke-3, dikemukakan bahwa

Sejak masa Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah

pelaksanaan salat Jum'at dua gelombang belum pernah dibicarakan atau

difatwakan oleh para ulama.

Kandungan ungkapan tersebut bertentangan dengan bagian Mengingat poin ke-4

yang di dalamnya tertulis

Pendapat sebagian ulama bahwa pelaksanaan salat Jum'at lebih dari satu

kali tidak dibenarkan. Pendapat tersebut, antara lain, tercantum dalam kitab:

... .

Bahkan, untuk menguatkan pandangan bahwa shalat Jumat dua gelombang

belum pernah dibicarakan dan difatwakan, bagian Mengingat poin ke-3

sebenarnya hanya mengutip pendapat Mahmud Syaltut. Meskipun persoalan ini

tidak menggugurkan bangunan argumentasi teks fatwa ini secara keseluruhan,

tetapi hal ini tetap merupakan inkonsistensi yang seharusnya tidak terjadi.

Page 373: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

358

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pertama, seperti telah diungkapkan di atas, ungkapan bahwa Sejak masa

Nabi sampai dengan abad kedua puluh Masehi, masalah pelaksanaan salat Jum'at

dua gelombang belum pernah dibicarakan atau difatwakan oleh para ulama ...

dalam Mengingat poin ke-3 pada dasarnya hanyalah kutipan dari pendapat

Mahmud Syaltut. Pernyataan tersebut kurang lebih berarti sama dengan

ungkapan معلالاة ملالارتين فى مكلالاان واحلالاد ووقلالات واحلالاد فى جملالااعتين بخطبتلالا ين لم تعهلالاد فى حاضلالار الإسلالام واللالادعوة إلى إقاملالاة اومماضلا، /wa ad-da watu ila iqāmah al-jum ah marratain fi makān wāhid wa waqt

wāhid fī jamā atain wa khutbatain lam tu had fī hādir al-islām walā al- ādiyah/

yang kurang lebih berarti himbauan melaksanakan shalat Jumat dua kali di

tempat dan waktu yang sama dengan dua kali jama ah dan dua kali khutbah tidak

pernah terjadi pada masa lalu hingga masa kini. Begitu pula ungkapan

selanjutnya. Kalimat ... Hal ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak

dibenarkan dan tidak dapat dipandang sebagai masalah khilafiyah ... merupakan

kutipan dari وإذن تكلاون هلاذ الثالثلاة أرضلاا تشلاررعا بملاا لم رلاأذن بلا الله /waiźan takūnu hāźihi aś-śāliśah

ayda tasy ī a bi ā la ya źa bihi Allāhu/ yang berarti dengan demikian,

perkara ketiga ini juga merupakan pensyariatan sesuatu yang tidak diizinkan

Allah.

Kedua, sebagaimana dapat dilihat, setelah dua kalimat pertama tersebut,

terdapat ungkapan, ... Atas dasar itu, ketika surat kabar al-Jumhuriyah (Mesir),

edisi 7 April 1955, menyiarkan sebuah keputusan (qarar) tentang kewajiban

wanita melaksanakan salat Jum'at yang dilakukan sebelum pelaksanaan salat

Jum'at oleh kaum pria, ... Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa persoalan

shalat Jumat dua gelombang ini pernah diwacanakan, dan itu berarti bahwa

ungkapan tersebut membantah kalimat pertama dalam bagian Mengingat poin

ke-3 ini. Dengan demikian, kedua pernyataan tersebut seharusnya tidak menjadi

kalimat pembuka bagian Mengingat poin ke-3 ini. Lebih tepat jika digunakan

ungkapan semacam menurut pendapat Mahmud Syaltut atau Muhammad Syaltut

pernah menanggapi keputusan dalam surat kabar Al-Jumhuriyah Mesir edisi 7

April 1955 dengan berpendapat ... Dengan begitu, lebih jelas bahwa sebenarnya

penolakan atas shalat Jumat dua gelombang ini didasarkan atas pendapat ahli.

Ketiga, dalam terjemahan kutipan teks dari Mahmud Syaltut tersebut,

terdapat ungkapan ... --kecuali diselingi waktu untuk memberikan kesempatan

kepada gelombang pertama keluar dan gelombang kedua masuk masjid-- ...

sebagai keterangan shalat Jumat dua kali di waktu dan tempat yang sama. Perlu

dikemukakan bahwa ungkapan penjelasan tersebut tidak terdapat dalam teks

Arab yang dikutip dari Syaltut. Dengan begitu, perlu dipertanyakan asal ungkapan

Page 374: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

359

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tersebut sebagai penjelasan dari shalat Jumat dua kali di waktu dan tempat yang

sama. Lebih daripada itu, muatan ungkapan tersebut bukannya menguatkan

putusan hukum, melainkan melemahkannya. Sebab, apabila kita

mempertimbangkan informasi yang terdapat dalam ungkapan tersebut, hukum

shalat Jumat dua gelombang seharusnya adalah boleh.

Keempat, perlu dikemukakan juga bahwa pendapat Syaltut tersebut

merupakan reaksi terhadap ketetapan dalam surat kabar Al-Jumhuriyah Mesir

edisi 7 April 1955. Artinya, ada kemungkinan pendapat yang berbeda mengenai

shalat Jumat dua gelombang ini. Hal ini, selain menunjukkan adanya pendapat

yang membolehkan shalat Jumat dua gelombang dan bahwa persoalan ini pernah

juga dibahas, juga menunjukkan hal yang patut dipertanyakan, yaitu mengapa

Komisi Fatwa tidak mencoba melihat pendapat yang dikritisi oleh Syaltut, tetapi

justru mengambil pendapat Syaltut? Setidaknya, perlu juga ketetapan itu

ditampilkan dalam teks fatwa, sehingga pembaca fatwa dapat mengetahui

kelemahan dari ketetapan tersebut dan lebih baik lagi apabila disediakan alasan

untuk tidak menggunakan ketetapan tersebut.

Sebagai informasi pembanding, kita tampaknya perlu mempertimbangkan

pendapat yang membolehkan shalat Jumat dua gelombang di bawah ini.

... اس مى إعادة :الإجابة معةما رفعل ال معلاة ملاع ا ظلاا ك المدرسلاة م اكتلاى المتلاألررى ملاى أداء ا ك مرلا د واحلاد ة لاة أن ال

معلاة وويلاد ملاى رصلالي معلا وللاو واحلادا الأولينو فهذا عللاا ملاذهو ابلاى حلاز وملاى وافقلا م بلاأس بلا و ح،لا رلارى أن ملاى فاتتلا ا ف ن رصلي مع جمعةو أما إن لم يجد أحدا ف ن رصلي ظهرا .

..... (http://ar.islamway.net/fatwa/9258/ )

Jawaban: Mengulangi Jumat di masjid yang sama karena peraturan

sekolah yang tidak memungkinkan mereka yang keluar (beristirahat) lebih

akhir dapat shalat bersama dengan yang keluar lebih dahulu, menurut Ibnu

Hazm dan para pengikutnya, hukumnya boleh. Ibnu Hazm berpendapat

bahwa seseorang yang tidak dapat melaksanakan shalat Jumat kemudian dia

menemukan seseorang yang dapat diajak untuk melaksanakan shalat Jumat,

maka dia dapat melaksanakan shalat Jumat bersama seorang tersebut. Akan

tetapi, apabila dia tidak dapat menemukan seorang juga, maka dia wajib

melaksanakan shalat Zuhur.

Page 375: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

360

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendapat yang membolehkan shalat Jumat lebih dari satu kali di masjid yang sama

juga dapat kita lihat di bawah ini.

... معة ك المرلا د الواحلاد ك غلاير الشلاتاءو لعلاد ويلاود أملااكى ك ا لاع قلاوانين ويجوز تعدد ا لااس الصلامة بهلااو أو لم لاارج ررلاتط،ع ال

المرور زرادة عدد الر،ارات أكثر مى حد معينو أو نحو ذل مى الأعذار....

...

Diperbolehkan melaksanakan shalat Jumat lebih dari satu kali pada selain

musim dingin karena sulitnya menemukan tempat untuk melaksanakan

shalat Jumat, atau karena larangan aturan lalu-lintas yang membatasi jumlah

kendaraan, dan atau karena sebab lainnya

...

(http://fatwa.islamonline.net/1084)

Kelima, catatan terakhir tampaknya kita perlu berikan kepada teori

argumentasi kritis yang kembangkan oleh Walton (2006). Teori yang

dikembangkan Walton (2006), seperti kita lihat, mampu menjelaskan bagaimana

argumentasi putusan hukum pertama ini dibangun, baik dari segi struktur maupun

kualitasnya. Akan tetapi, teori tersebut tampaknya tidak mampu menjelaskan

alasan Komisi Fatwa MUI lebih memilih menggunakan pendapat Syaltut daripada

ketetapan yang terdapat dalam Al-Jumhuriyah edisi 7 April 1955 dan atau fatwa

lainnya yang membolehkan shalat Jumat lebih dari satu kali di masjid yang sama.

Di sini, penting bagi kita untuk melihat kembali teori argumentasi Toulmin (2003)

yang bercorak epistemo-retoris dan mempertimbangkan dimensi antropologis

dari sebuah argumentasi. Dalam pertimbangan teori yang bersifat antropologis

ini, putusan untuk menolak shalat Jumat dua gelombang merupakan argumen

yang sesuai dengan kecenderungan beragama masyarakat muslim Indonesia

dalam kerangka mazhab sebagai bingkai referensi atau kerangka pengetahuan

audiens (audience s frame of reference). Lebih jelasnya, pilihan untuk

memutuskan bahwa shalat Jumat dua gelombang adalah tidak sah salah satunya

disebabkan oleh kesesuaian pendapat tersebut dengan pendapat empat mazhab

yang diakui secara mayoritas di Indonesia, yaitu bahwa (menurut mazhab yang

empat) orang yang tidak dapat melaksanakan shalat Jumat hanya diwajibkan

melaksanakan shalat zuhur.

Page 376: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

361

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

C. Penutup

Berdasarkan uraian singkat di atas, terdapat dua simpulan yang dapat

dianggap merepresentasikan tujuan penelitian ini.

Pertama, secara struktur, argumentasi dalam fatwa sebagai sebuah

macrostructure direalisasikan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam

superstructure yang berbeda-beda. Dengan menggunakan pendapat An-Nawāwi

(t.t.) dan Al-Asyqar (1976), unsur substansial tampak sebagian besar telah dicoba

untuk dipenuhi, yaitu pencantuman dalil Al-Quran dan hadis, juga pendapat ahli

lainnya yang mendukung penetapan fatwa. Akan tetapi, unsur formal yang

disebutkan oleh An-Nawāwi (t.t.) dan Al-Asyqar (1976), misalnya ta āwuź,

hamdalah, dan QS Thaha ayat 22, tidak dicantumkan.

Dari segi format, terdapat dua macam format, yaitu yang berformat surat

keputusan dan yang berformat langsung. Penanda premis dalam fatwa berformat

surat keputusan biasanya berupa kata seperti Memperhatikan, Membaca, dan

Menimbang. Adapun penanda simpulan dalam fatwa berformat surat keputusan

adalah kata Memutuskan yang diikuti dengan kata Menetapkan atau

Memfatwakan. Dalam fatwa yang berformat langsung, identifikasi dilakukan

melalui inferensi terhadap kandungan informasi yang terdapat di dalam teks

fatwa. Penanda linguistik dari premis dalam fatwa berformat langsung berbeda-

beda, di antaranya adalah kata frasa Dasar Hukum atau Dasar Penetapan Hukum.

Penanda linguistik bagi simpulan dalam fatwa berformat langsung juga berbeda-

beda, di antaranya adalah frasa Ketentuan Hukum. Selain itu, dalam tahapan

analisis ini, ditemukan juga bahwa beberapa fatwa tidak memiliki struktur premis

simpulan. Lebih tepatnya, identifikasi premis dan simpulan tidak dapat dilakukan

karena petunjuk linguistik yang tidak memadai. Fatwa dengan karakteristik

terakhir ini tidak dapat dianalisis lebih lanjut.

Selanjutnya, uraian di atas menunjukkan juga bahwa hubungan antarpremis

dalam membangun argumentasi fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

berbeda-beda. Hal ini terutama disebabkan oleh kelengkapan unsur yang terdapat

di dalam fatwa. Kebanyakan fatwa memanfaatkan lebih dari satu jenis hubungan

argumentatif, misalnya convergent argument dengan linked argument atau

convergent argument dengan serial argument. Pemanfaatan hubungan

antarpremis yang rumit seperti ini tampaknya sulit dihindari, karena sebagian

besar fatwa menggunakan dasar penetapan hukum lebih dari satu. Artinya, dari

segi formal, sebagian besar teks fatwa Komisi Fatwa MUI pada dasarnya dapat

disebut teks yang argumentatif.

Page 377: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

362

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selain itu, ada juga fatwa yang hubungan antarpremisnya sulit ditentukan

dalam membangun simpulan atau putusan hukum. Fatwa semacam ini

merupakan fatwa yang pada dasarnya memiliki dasar hukum, tetapi tidak dapat

diidentifikasi dengan jelas sumber awal referensi dasar hukum yang digunakan

tersebut. Dalam pendiagraman argumentasi, ketiadaan lampiran yang mendukung

penetapan fatwa juga menyebabkan kesulitan untuk memastikan hubungan

antarpremis dalam membangun simpulan. Terakhir, ada juga fatwa yang

premisnya tidak dapat ditemukan, sehingga analisis terhadap hubungan

antarpremisnya tidak dapat dilakukan.

Kedua, dari segi kualitas, sebagian besar fatwa memanfaatkan lebih dari

satu macam skema argumentasi yang digunakan lebih dari satu, misalnya dengan

memanfaatkan argument from popular opinion, argument from expert opinion,

argument from expert opinion, dan argument from analogy sekaligus. Kondisi

seperti ini terdapat pada fatwa yang memanfaatkan banyak sumber sebagai dasar

penetapan hukum dari sebuah persoalan. Selanjutnya, analisis kualitas

argumentasi juga tidak dapat dilakukan terhadap fatwa yang premisnya tidak

dapat diidentifikasi. Artinya, fatwa yang tidak memiliki dasar penetapan hukum

dapat dikatakan buruk atau lemah dari sudut pandang teori argumentasi, karena

simpulan dalam fatwa tidak didukung oleh premis.

Dalam hal evaluasi skema argumentasi melalui beberapa pertanyaan kritis,

yang merupakan analisis lanjutan terhadap kualitas argumentasi, semakin baik

jawaban yang disediakan oleh teks fatwa dalam menjawab pertanyaan evaluatif

tersebut, semakin baik pula kualitas argumentasi fatwa tersebut. Artinya,

kemampuan sebuah fatwa untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat

bergantung kepada bukti tekstual yang tersedia di dalam teks fatwa, yaitu

pencantuman dasar hukum dan atau lampiran. Seperti dapat dilihat dalam uraian

di atas, meskipun sebagian besar fatwa memiliki bukti tekstual yang memadai

untuk menjawab pertanyaan evaluatif yang diajukan, tetapi pada beberapa kasus

pertanyaan evaluatif harus dijawab dengan mengutip sumber lain yang tidak

terdapat di dalam teks fatwa.

D. Daftar Pustaka

Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. (1976). Al-Futyā wa Ma āhij al-Iftā.

Kuwait: Dār al-Ma ār Al-Islā iyah. Al-Dimasyqi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. (t.t.). Adab al-Fatwa, wa

al-Mufti, wa al-Mustafti (edisi tahqiq Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi).

Damaskus: Dar Al-Fikr.

Page 378: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Makyun Subuki, (2018) Argumentasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal. 331 - 363

363

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Amin, KH. Ma ruf, et al (ed.). (2010). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia.

Bussmann, Hadumod. (1996). Routledge Dictionary of Language and Linguistics

(Terjemahan dari Lexikon der Sprachwissenschaft 2nd oleh Lee Forester et

al.). London/New York: Routledge.

Crusius, Timothy W., dan Carolyn E. Channel. (1950) The Aims of Argument: A

Brief Guide. New York: Mc Graw Hill.

Davies, A., dan Catherine Elder (ed.). (2004). The Handbook of Applied Linguistics.

London: Blackwell Publishing.

Fahnestock, Jeanne, dan Marie Secor. (2004). A Rhetoric of Argument (Third

Edition). New York: Mc Graaw Hill.

Govier, Trudy. (1985). A Practical Study of Argument. California: Wadsworth

Publishing Company.

Herrick, James. (1995). Argumentation: Understanding and Shaping Arguments.

Boston: Pearson Custom Publishing.

Kahane, Howard. (1928). Logic and Contemporary Logic: The Use of Reason in

Everyday Life. California: Wadsworth Publishing Company.

Renkema, Jan. (2004). Introduction to Discourse Studies. Amsterdam/Philadelphia:

John Benjamin Publishing Company.

Sanders, T, dan J Sanders. (2006). Text and Text Analysis. Dalam Mey, Jacob L.

2009. Concise Encyclopedia of Pragmatics (Second Edition). Amsterdam:

Elsevier.

Toulmin, Stephen. (2003). The Uses of Argument. Cambridge/New York:

Cambridge University Press.

Walton, Douglas. (2002). Legal Argumentation and Evidence. Pennsylvania: The

Pennsylvania State University Press.

Walton, Douglas. (2006). Fundamentals of Critical Argumentation: Critical

Reasoning and Argumentation. Cambridge/New York: Cambridge

University Press.

Page 379: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

364

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengembangan Nilai Literasi Bagi Generasi Masa

Depan

Anis Fuadah Z

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah – FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Membaca dikatakan sebagai upaya untuk melihat cakrawala dunia.

Melalui kegiatan membaca, serapan ilmu pengetahuan dan informasi

menerobos ke akar pikiran seseorang; menjadikannya dasar berpikir,

bersikap, dan memutuskan. Membaca sejatinya kebutuhan pokok

manusia, dengannya, pembaharuan dalam aspek ilmu dan informasi

mudah diterima. Arus kemajuan peradaban tak akan pernah surut atau

berhenti, namun proses tersebut akan seimbang manakala diikuti

semangat menempatkan budaya membaca menjadi dasarnya. Budaya

membaca, merupakan bagian dari literasi atau keberaksaraan, sebuah

nilai penting yang harus dimiliki bangsa Indonesia guna membangun

generasi muda yang menakjubkan. Menumbuhkan nilai literasi tidak

bisa dilakukan oleh salah satu pihak. Peran semua aspek di negeri ini

menjadi kekuatan menjadikannya budaya menuju keberpihakan pada

kehidupan yang lebih baik. Kebiasaan membaca mengawali

penginvestasian perbendaharaan kata. Melalui budaya membaca, pola

fikir terangkai, sehingga menjadikannya mudah menulis aksara. Jika

membaca dan menulis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari

kehidupan intelektual Indonesia, maka kemajuanpun dirasa mudah

digapai elemen bangsa.

Kata Kunci: Nilai Literacy, Budaya membaca, Generasi Masa Depan

Page 380: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

365

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan

Wujud keseriusan pemerintah di Indonesia dalam menanggapi arus

perkembangan dunia adalah melalui pengembangan pembangunan diberbagai

sektor. Bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, dan pendidikan menjadi pijakan

menentukan langkah strategisnya melampaui kemajuan zaman. Namun

sayangnya, pengembangan yang digadang-gadang pemerintah tersebut dinilai

masih berkutat pada area fisik di negeri ini. Imbas dari sistem yang dikembangkan

pemerintah tersebut seolah tidak seiring sejalan dengan pembangunan mental

penduduk. Ketimpangan yang terjadi seperti menjadi cerminan, kurang tegaknya

monumen pembangunan kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Mengutip Republika, Data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan

Kebudayaan (Unesco) tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca masyarakat

Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari seribu penduduk

Indonesia yang gemar membaca. Bila dibandingkan dengan negara maju di luar

Indonesia. Indeks tersebut bisa mencapai 0,45 persen. Ketertinggalan budaya

membaca tersebut menjadi pukulan keras bagi negara Indonesia seharusnya,

karena membaca dinilai mampu menumbuhkan kreatifitas dan mengaktifkan

sendi-sendi kekuatan intelektual pembacanya. Jika kualitas membaca sebuah

bangsa sangat rendah, maka, itu artinya terjadi penurunan pula terhadap daya

dukung pemikirannya. Padahal, ukuran bangsa yang maju bukanlah terletak pada

megahnya bangunan fisik yang dimilikinya saja, namun kekuatan pemikiran

generasi mudanya.

Fenomena yang muncul saat ini, adanya pergeseran tradisi membaca, dari

tradisi kertas menjadi generasi smartphone (Kasali, R. dalam Sani, A. 2013).

Sebagian besar masyarakat memiliki 1 sampai 2 ponsel pintar, untuk memenuhi

kebutuhan hariannya. Mereka memiliki kesempatan setiap waktu untuk

mengakses berbagai macam berita dari seluruh dunia, tanpa batas dan waktu.

Namun yang muncul adalah, mereka lebih menyukai tulisan pendek berbentuk

motivasi, cerita ringan, dan gambar-gambar yang menarik.

Menurut data IKAPI 2010 dalam Republika 2016, ada sekitar 12.000 judul

buku baru yang diterbitkan per tahun. Berdasarkan jenisnya, ada lima kelompok

penerbitan buku, antara lain buku agama (17,95 persen), buku perguruan tinggi

(13,96 persen), buku anak dan remaja (10,36 persen), buku umum (8,67 persen),

dan buku pelajaran (4,45 persen). Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan

dengan penerbitan yang terjadi di Jepang, dengan total 40.000 judul buku per

tahun (Majalah Oase, dalam Permatasari 2015). Sebuah survei yang dilakukan

oleh The World s Most Literate Nations (WMLN) menyebutkan bahwa

Page 381: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

366

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Pustakawanjogya, 2016), rangking literasi Indonesia berada pada urutan ke 64

dari 65 negara. Penelitian yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central

Connecticut State University, New Britain terhadap lebih dari 60 negara

menempatkan negara-negara Nordic seperti Finlandia, Islandia, Denmark, Swedia

and Norwegia menempati daftar teratas dalam peringkat ini.

The World s Most Literate Nations (WMLN) menggunakan dua variabel,

pertama, hal-hal yang terkait dengan pencapaian literasi yang tengah diuji dan

kedua adalah dengan mengambil sampel dari orang-orang yang dianggap memiliki

kebiasaan literasi. Variabel-variabel tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa

kategori, yaitu : Perpustakaan, Koran, Sistem Pendidikan (Input), Sistem

Pendidikan (Output), serta yang terahir adalah ketersediaan komputer bagi

populasi yang ada di negara tersebut.

Page 382: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

367

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sedangkan tingkat membaca siswa di Indoneisa menempati angka 60 dari

65 negara (Republika, dalam Permatasari 2015). Itu artinya, posisi Indonesia

berada di urutan belakang dengan keterpurukan dan ketertinggalan budaya

literasinya.

B. Pembahasan

Konsep Literasi

Literasi merupakan kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan,

menciptakan, mengomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-

materi tertulis dan variannya (UNESCO dalam Salman, A.H, 2011). Literasi

diterangkan, “It is important to consider definitions the literacy a cross the life

span of individual from womb to tomb”. Definitions of literacy should encompass

the cognitive, affective, socio-cultural, cultural-historical, creative and aesthetic

dimensions (Kennedy, dkk., 2012:10). Literasi juga dimengerti sebagai sebuah

kemampuan membaca dan menulis. Literasi pernah dimaknai melek aksara atau

keberaksaraan. Namun belakangan, makna literasi tidak lagi tunggal dan mulai

meluas (multi literacies). Bermacam jenis literasi tersebut, yaitu; literasi

komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi moral

(Permatasari, 2015:148).

Seseorang dengan pemahaman literasi yang mendalam dapat dilihat dari

kemampuanya menalar informasi dan memahami serta mengaplikasikannya

sesuai dengan isi yang dia pahami. Karena seseorang yang literate memiliki

dukungan kemampuan dari dalam dirinya secara kognitif, afektif, sosio-kultural,

kultural-historis, dan kreatifitas estetikanya. Seseorang dikatakan melek literasi

jika telah memfungsikan kepekaannya terhadap lingkungan sekitar. Daya kritis

dan kepekaannya menyulut reaksi untuk melakukan pembaharuan dan perubahan

dari kondisi sebelumnya. Demikianlah konsep yang diharapkan tumbuh pada

generasi muda Indonesia. Konsep literasi terbagi menjadi dua, yakni (Literacy:

Reading-Language Arts Standarts, 2015); the first is the well-established principle

that although the five language arts-reading, writing, listening, speaking, and

viewing and the scond is that teachers integrate the language arts across other

diciplines. Kedua konsep tersebut menjadi sangat penting diterapkan. Membaca,

menulis, mendengar, berbicara, dan mengamati adalah bagian uatama yang

seharusnya diterima anak ketika menerima pembelajaran awal. Pengintegrasian

kelima aspek tersebut dalam setiap pengenalan pengetahuan pada anak didik

menumbuhkan semangat literasinya di masa mendatang.

Page 383: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

368

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

(Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 IV tentang Penumbuhan Budi Pekerti pada

lampiran poin IV, yaitu: menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk

membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari), dan berlaku untuk

jenjang SD, SMP, dan SMA. Kegiatan tersebut merupakan pembiasaan yang positif

jika mampu diterapkan disemua sekolah. Membaca merupakan pembuka yang

efektif untuk menumbuhkan semangat serta daya kreatifitas siswa dalam

melaksanakan pemebelajaran di sekolah pada jam berikutnya.

Sebuah penelitian “Program Membaca Lima Belas Menit (Sustained Silent

Reading) pada Siswa-Siswi SDN di Surabaya“ yang dilaksankan oleh Fijayanti pada

tahun 2015 memeroleh hasil, yakni; siswa-siswi semakin termotivasi,

penambahan kosa kata sehingga memepermudah untuk menuliskan karaya, dan

pengetahuan mereka dinilai semakin meningkat.

Sebuah negara dengan tradisi membaca yang baik akan tumbuh menjadi

negara yang menguasai ilmu pengetahuan, dan sebaliknya sebuah negara dengan

tradisi membaca yang rendah akan ketinggalan, bahkan akan dikuasai oleh bangsa

dengan tradisi membaca yang baik (Dahlan, M., 2008:22). Karena nyatanya,

dengan membaca seseorang akan menguasai seluk beluk ilmu pengetahuan.

Membaca tentu saja membuka wawasan baru, membuka pola fikir, dan

menurunkan pada kebiasaan tingkah laku si pembaca. Membaca mengawali

penginvestasian perbendaharaan kata. Lewat membaca seseorang akan lebih

terangsang untuk menulis.

Mengutip catatan Gray dan Rogers dalam Dahlan, M., 2008, bahwa

membaca membawa pengaruh penting bagi pembacanya, di antara pengaruh

tersebut antara lain;

a. mengisi waktu luang,

b. mengetahui hal-hal aktual yang terjadi dilingkungannya,

c. memuaskan pribadi yang bersangkutan,

d. memenuhi tuntutan praktis kehidupan sehari-hari,

e. meningkatkan minat terhadap sesuatu yang lebih lanjut,

f. meningkatkan pengembangan diri,

g. memuaskan tuntutan intlektual,

h. memuaskan tuntutan spiritual, dan lainnya.

Membangun Nilai Literasi bagi Generasi Menakjubkan

Kemunculan dokumen-dokumen penting seputar ilmu pengetahuan di

dunia ini berawal dari penemuan manuskrip-manuskrip, kumpulan kitab klasik,

Page 384: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

369

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan buku-buku yang secara sengaja mencatat perkembangan keilmuan pada

masanya. Penemuan tersebut menjadi hal yang istimewa dikarenakan hasil dari

penemuan itu membuka tabir-tabir pengetahuan lampau yang masih belum

teridentifikasi saat ini. Selain bernilai sejarah perkembangan masa itu, menjadi

semakin jelas bahwa, keberadaan tulisan memiliki sifat lebih abadi dibanding

kumpulan kata yang tersaji melalui bahasa lisan.

Pennington dalam Salman, A.H., 2011 menyebutkan bahwa, dokumen

tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa

tulisan mudah dipelihara dari generasi ke generasi berikutnya. Bahasa tertulis

dirasa memiliki peranan yang lebih efektif, karena penulis tidak memiliki kendala

waktu dan kehadiran lawan komunikasinya. Karya tulis disebut sebagai cerminan

intelektual penulisnya, karena karya yang dihasilkan telah melalui proses

pemikiran, perencanaan, dan pemantauan yang memadai (Wahyu T., dalam

Salman, A.H., 2011). Menjadi tantangan yang berat bagi Indonesia untuk

mewujudkan bangsa dengan minat literasi, karena budaya tersebut akan

dibangun dengan meninggalkan terlebih dahulu tradisi lisan (Suroso dalam dalam

Salman, A.H., 2011).

Perkembangan Indonesia mencatat, tiga kategori masyarakat Indonesia,

yaitu; praliterasi, literasi, dan posliterasi.

a. Masyarakat praliterasi adalah mereka yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit

mengakses media seperti buku, TV, internet, dan lainnya. Kalaupun akses

bisa diperoleh, mereka cenderung sulit mencerna informasinya.

b. Masyarakat literasi adalah mereka yang memiliki akses terhadap buku, akan

tetapi bukan berarti tradisi baca tulis dapat tumbuh subur di kalangan ini.

c. Masyarakat posliterasi yakni mereka yang memiliki akses buku, teknologi

informasi, dan audio visual.

Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana membangun nilai literasi bagi generasi

muda penerus bangsa?

1. Melihat Kebiasaaan Membaca Masyarakat Finlandia

Finlandia, termasuk negara dingin di Eropa Utara, memiliki budaya

membaca terbaik di dunia. Membaca kebiasaan membaca negara tersebut

salah satu pendorong awal menirukannya. Lalu, apa saja yang dilakukan

masyarakat Finlandia? Finlandia (jawapos,com, 19/02/2018) melakukan tiga

langkah untuk menjadikan budaya bacanya tetap terpelihara, yaitu;

menciptakan lingkungan yang mendukung literasi, meningkatkan kualitas

pembelajaran, dan meningkatkan partisipasi, inklusi, dan kesetaraan.

Page 385: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

370

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Budaya membaca tidak bisa terwujud begitu saja. Perlu dukungan dan

kerjasama dari semua pihak. Finlandia sebagai contohnya. Negara tersebut

mengupayakan agar budaya membaca terpelihara. Membangun sudut-sudut

baca di dalam fasilitas publik. Buku untuk anak-anak, perlangkapan tulis dan

menggambar juga disediakan. Tempat duduk yang nyaman disertai bantal-

bantal sengaja disediakan untuk menunjang kenyamanan mereka membaca.

Orangtua silih berganti mendampingi putera puteri mereka untuk

menemukan bacaan yang digemari.

Pemerintah Finlandia membangun budaya baca semenjak usia pra-

sekolah. Dukungan tersebut dilakukan terhadap semua kalangan. Sebuah

paket dikirim pemerintah terhadap bayi yang baru lahir. Paket tersebut berisi

perlengkapan bayi, mainan, dan buku. Salah satu tujuannya adalah, agar

orangtua mulai membacakan cerita untuk anaknya. Orangtua yang baru

melahirkan juga mendapatkan jatah cuti selama 9 bulan, agar tumbuh

kembang awal bayinya terjaga.

Pada awal masuk sekolah, anak-anak di Finlandia sudah mendapat

akses untuk masuk ke perpustakaan. Masing-masing dari mereka memiliki

kartu perpustakaan. Di sini, orangtua berperan penting dalam mendampingi

dan menjadi teman diskusi bagi buku yang dibaca oleh putera puterinya.

Suasana perpustakaan Alvar Aalto

Berbeda dengan di Indonesia. Anak-anak di Finlandia mendapat

kebebasan memilih buku bacaan yang sesuai dengan minatnya. Hal tersebut

memudahkan minat baca tumbuh. Tentunya tidak hanya kosa kata yang

bertambah, ruang baru ingin tahu anak akan semakin terbuka, sehingga

Page 386: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

371

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

wawasan yang ingin dia peroleh semakin tinggi, hal tersebut akan memupuk

semangatnya terus membaca berbagai sumber bacaan.

Suasana Perpustakaan Seinajoki Finlandia

2. Membudayakan Membaca di Indonesia

Berbagai usaha telah diupayakan masyarakat Indonesia dan

pemerintah dalam meningkatkan budaya baca di Indonesia. Bukan

hanya karena rangking Indonesia yang tertinggal jauh dalam budaya

bacanya, namun juga pada manfaat dari kebiasan tersebut, yaitu

mewujudkan masyarakat yang cerdas dan terbebas dari buta

pengetahuan. Salah satu upaya yang dilakukan kelompok masyarakat

adalah dengan membangun Taman Baca Masyarakat. TBM dibangun

atas dasar kerjasama dengan pihak pemerintah, namun beberapa

kelompok yang peduli literasi membangun perpustakaan terbuka bagi

masyarakat sekitar.

Kisah berikutnya berasal dari pemuda yang menginspirasi

Indonesia dalam mewujudkan gerakan cinta membaca bernama Teguh

Prastyo Utomo. Pria lulusan D3 Pustakawan UIN Yogyakarta yang

berprofesi sebagai tukang tambal ban ini memiliki semangat yang tak

terbatas. Uapayanya dalam menebarkan semangat membaca terhadap

masyarakat di Lampung Selatan diakui sangat mengisnpirasi. Inisiatif

pemuda berusia 30 tahun tersebut tak serta merta mendapat dukungan,

malah yang dia terima adalah cibiran. Namun tekadnya tak pernah

kendur. Desa Pasuruan, Desa Klaten, Desa Kuripan adalah beberapa desa

Page 387: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

372

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di Kecamatan Penengahan yang biasa dilalui Motor Pustaka. Sejumlah

120 buku mampu dibawa Teguh untuk memenuhi kebutuhan baca

masyarakat setempat.

Teguh Prastyo Utomo dengan Motor Pustakanya

Presiden Jokowi dan Motor Pustaka

Penggerak literasi berikutnya adalah Salahudin Al Ayyubi. Pemuda yang

cukup dikenal dikalangan anak-anak ini menularkan kebaikan literasi melalui

membaca, bercerita, menggambar, serta berbagi keceriaan. Rumah baca

yang didirikan pemuda Bima ini diberi nama Pustaka Bergerak.

Page 388: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

373

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tak hanya bertempat di kediamannya. Pustaka Bergerak membagi

kesempatan membaca gratis untuk anak-anak di wilayah lainnya. Upayanya

tersebut bukan tanpa ujian. Pernah dalam suatu kesempatan, sang

penggerak jatuh bersama motor dan buku-bukunya. Namun, semangat dan

tekad yang dimiliki lebih kuat dari halangan yang diperolehnya. Desa-desa

yang jaraknya cukup jauh pun tetap jadi tujuannya membagikan kesempatan

baca bagi masyarakat Bima.

Salahudin Al Ayyubi-Penggagas Pustaka Bergerak Bima

Forum Taman Baca Masyarakat Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan mencatat puluhan TBM yang berdiri di berbagai wilayah yang

tersebar di Indonesia. Fasilitas tersebut ditujukan untuk semua kalangan,

demi mewujudkan Indonesia yang gemar membaca dan berwawasan.

Terdapat 345 TBM yang tercatat pada data TBM provinsi DKI Jakarta. Jawa

Barat memiliki 132 TBM yang tersebar di masing-masing Kota dan

Kabupatennya. Provinsi berikutnya adalah Jawa Tengah, wilayah ini memiliki

107 Taman Baca Masyarakat sebagai upaya menghidupkan ruh membaca

bagi warga Indonesia.

Wilayah lain di Indonesia pun memiliki ruang upaya yang sama, namun

usaha tersebut tak serta merata menjadikan Indonesia meningkatkan

rangking dalam kegemaran membaca di dunia. Perlu upaya dan kerjasama

dari semua kalangan, sehingga kecintaan terhadap membaca tersebut

mampu hidup dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia. Uapaya tersebut

memang harus dimulai dari sekarang. Dan, membiasakan membaca 15 menit

Page 389: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

374

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perhari di sekolah bisa jadi budaya yang baik bagi kelangsungan generasi

hebat di Indonesia.

C. Penutup

Ketertinggalan Indonesia dalam budaya gemar membaca dinilai sangat

memprihatinkan. Indonesia termasuk rangking dua paling belakang dalam survey

yang diadakan The World s Most Literate Nations (WMLN). Indonesia pun kalah

dari negara tetangganya seperti Malaysia dan Thailand. Namun prestasi tersebut

tak lantas membuat bangsa ini makin miris dan semakin tertinggal. Berbagai

upaya dilakukan untuk memperbaiki keterlambatan tersebut. Inovasi dan

pembaruan dari kalangan masyarakat dan pemerintah silih berganti untuk

mewujudkan kegemaran membaca menjadi budaya di Indonesia.

Berdirinya berbagai gerakan menumbuhkan semangat gemar baca tak

hanya dilakukan Taman Baca Masyarakat (TBM) yang memiliki keterikatan dengan

pemerintah, namun pihak swasta yang beratasnamakan masyarakat pun

mengupayakan hal serupa. Pemuda-pemuda di wilayah Indonesia lainnya, tak

lelah dengan semangatnya membagikan buku-buku gratis sebagai pinjaman untuk

dibaca. Semua usaha tersebut tak lepas dari harapan Indonesia menjadi lebih

baik, sebagai negara yang masyarakatnya mencintai buku dan kegemaran

membaca.

D. Daftar Pustaka

Almerico, M. G. Building Character Through Literacy with Children’s Literature.

AABRI Journals: Reseacrh in Higher Education Journal Volume 26, 2014.

Isbell, T. R. Telling and Retelling Stories-Learning Language and Literacy.

Washington, DC., 2002.

Kennedy, E., etc. Literacy in Early Childhood and Primary Education (3-8 years).

National Council for Curriculum and Assessment 24, Merrion Square, Dublin

2, 2012.

National Board for Professional Teaching Standarts. Literacy: Reading-Language

Arts Standarts. U.S. Department of Education, 2015.

Permatasari, A. Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi. Bengkulu:

Prosiding Seminar Nasional UNIB, 2015.

Republika Online. Mengapa Muslim Indonesia Malas Membaca? Diakses 22

Pebruari 2016.

Salman, A.H. Mungkinkah Membangun Budaya Literasi Pembelajaran Bahasa Arab

Di Indonesia? Banjarmasin: Balai Diklat Keagamaan, 2011.

Page 390: Pengembangan Budaya Akademik Dosen: Hasil Kajian Teoritis

Anis Fuadah (2018) Pengembangan Nilai, hal. 364 - 375

375

Forum Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sani, A. BIMTEK Kurikulum 2013. LP Ma’arif Kabupaten Blitar, Jawa Timur,

Indonesia, 2013.

Teaching Strategies-Research Foundation: Language and Literacy

http://pustakawanjogja.blogspot.co.id/2016/03/peringkat-negara-literasi-di-

dunia-no-1.html, diakses pada 18/02/2018

http://gobekasi.pojoksatu.id/2016/05/19/survei-unesco-minat-baca-masyarakat-

indonesia-0001-persen/diakses pada 18/02/2018

http://bimabagus.com/2017/09/20/salahuddin-al-ayyubi-pemuda-penggerak-

literasi-di-bima/diakses pada 19/02/18.

Dahlan, M. (2008). Jurnal Iqro’ Volume 02 Nomor 01, 21-22.