pengelolaan teripang berbasis sasi di negeri … · terkait seperti tni-al dan polisi air, dalam...

143
PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASI DI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU YONA AKSA LEWERISSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Upload: lykhanh

Post on 11-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASIDI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU

PROVINSI MALUKU

YONA AKSA LEWERISSA

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengelolaan Teripang Berbasis

Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku” adalah karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Yona Aksa LewerissaNRP C251060021

ABSTRACT

YONA AKSA LEWERISSA. “Sasi” Based Management of Sea Cucumbers inNegeri Porto and Warialau Village, Mollucas Province. Under direction ofSANTOSO RAHARDJO and AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Sea cucumbers in Negeri Porto was indicated decrease in numbers orfishing capture size. Management of this resource was facing several problemssuch high fishing effort by contractor (fishers from Madura, East Java) or evenlocal fishers and minimum opportunity of sea cucumbers to regenerated becausethey was caught before mature periods. This study was done to descript seacucumbers condition and potency of sea cucumber resources, to analyzeenvironment factors, to analyze progress of “Sasi” of sea cucumbers in NegeriPorto compare to that in Warialau Village, Kepulauan Aru Municipal and at leastto recommend strategies on sea cucumber management.

The speciment was identify according Clark and Rowe (1971); Cannonand Silver (1987) and Birtles (1989). Result shows that there were eight species ofsea cucumbers found in Negeri Porto with potency 12.240 while in WarialauVillage, 10 species with potency 172.368. Habitat distribution in Negeri Porto andWarialau Village was vary started from sandy shores, seagrass zone, seaweedszone, gully and coral reef slope. The most numbers in species was found in gullyzone, each 87,5% in Negeri Porto and 90% in Warialau Village. Length frequentdistributions of some species of sea cucumbers in Negeri Porto wich have highestdensity, expensive, middle and cheapest price category, shows that Bohadschiamarmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris and Holothuria atra wascaught before mature periods. Thia quiet defferent with sea cucumbers inWarialau Village such Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopygamiliaris and Thelenota ananas, which still available through mature periodsbecause of zero fishing effort as an effect of closing status of “sasi”.

The result of environment factors analysis such temperature, pH, salinity,DO, brightness and current shows that Negeri Porto and Warialau Village wereavailable to do stock richment in nature and to develop marine culture. That factwas also support by sediment distribution in both sites (92,07% in Negeri Portoand 94,11% in Warialau Village). The result of “sasi” progress indicators analysissuch efficiency, social sustainability and even distribution shows Negeri Portowas in middle category while Warialau Village was on high category. In resourcessustainability indicators which is size and numbers of capture, size of seacucumbers that was caught in Negeri Porto was indicated to become smaller (atmiddle price category) while numbers of fishing capture was also becomedecrease about 33,34-50% each year. Species with high price category was alsodifficult to caught. While in Warialau Village, there were a little decrease of seacucumbers in numbers of capture as an impact of illegal fishing by modern fishersfrom outside the area. Management strategies formulating was done consideringof some aspects such bioecology, social economy, institutional, the aims ofmanagement and risk study. There were five strategies recommend to NegeriPorto while in Warialau Village, fourth strategies were recommend.

Keywords: sea cucumbers, sasi, management strategy.

RINGKASAN

YONA AKSA LEWERISSA. Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Portodan Desa Warialau Provinsi Maluku. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJOdan AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Negeri Porto telah terindikasi terjadi penurunan sumber daya teripang,namun dalam upaya pengelolaan diperhadapkan dengan beberapa permasalahanyaitu tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak(nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat dan rendahnya kesempatanteripang untuk beregenerasi karena ditangkap sebelum waktu matang gonad.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi dan potensi sumber dayateripang, menganalisis faktor-faktor lingkungan, menganalisis kinerja sasi diNegeri Porto yang dibandingkan dengan sasi teripang di Desa WarialauKabupaten Kepulauan Aru dan menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang.

Spesimen diidentifikasi menurut Clark and Rowe (1971); Cannon andSilver (1987) dan Birtles (1989). Hasil penelitian menunjukan bahwa teripangyang ditemukan di Negeri Porto sebanyak 8 jenis, dengan potensi sebesar 12.240individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis dengan potensi 172.368individu. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau bervariasi mulai darirataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng terumbu, namun jumlahjenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di Desa Warialau ditemukan padazona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi panjang beberapa jenis teripang di negeriPorto yang termasuk memiliki kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal,sedang dan murah menunjukan bahwa Bohadschia marmorata, Holothuriafuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelumwaktu matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapajenis teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities,Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk melakukanpemijahan karena tidak ada upaya tangkap akibat masih dalam status “tutup sasi.”

Hasil analisa faktor-faktor lingkungan yaitu suhu, pH, salinitas, DO,kecerahan, arus menunjukan bahwa kondisi di negeri Porto dan Desa Warialaumemenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami danpengembangan upaya budidaya. Hal tersebut juga didukung oleh sebaran sedimenyang menunjukan bahwa pada kedua lokasi substrat didominasi oleh sedimenberupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm). Sebaran sedimen berada padakisaran ukuran pasir yaitu sebesar 92.07% di negeri Porto dan 94.11% di desaWarialau. Sebaran sedimen ini merupakan habitat yang baik dari teripang sesuaisifat membenamkan diri, karena dengan ukuran pasir kasar yang ditambah denganpasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri untukmenghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955).

Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial,dan pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedangdan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator keberlanjutansumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di negeri Porto ukuransemakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil tangkapan mengalami

penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenisyang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadisedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan dari luardaerah yang menggunakan peralatan modern.

Strategi pengelolaan dirumuskan dari berbagai pertimbangan yaitubioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajianresiko. Strategi pengelolaan yang diusulkan untuk diterapkan dalam bentukaturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau.Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu: (1).Waktu “tutup” sasi setahunsekali, namun tetap memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkatkematangan gonad pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkanketersediaan stok karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karenapertumbuhan; (2). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering); (3). Pembatasanwaktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada bulan Juni danJuli; (4). Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifatmerusak, seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya; (5). Pengayaan stokteripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya budidaya teripang sertaperlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagaipenyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara pengolahan teripang sebagaibahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampakterhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatanasli daerah. Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalamaturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu:(1).Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentuuntuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih; (2).Penelitian carapengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jualsemakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan,pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah; (3). Kerjasama dengan instansiterkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya mengatasi terjadinyapenangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara ilegal; (4). Perlu adanyapertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai salah satukawasan konservasi teripang di Maluku.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpamencantumkan atau menyebutkan sumbernya.a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASIDI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU

PROVINSI MALUKU

YONA AKSA LEWERISSA

Tesissebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains padaProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2009

Judul Tesis : Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto danDesa Warialau Provinsi Maluku

Nama : Yona Aksa Lewerissa

NRP : C251060021

: Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto Pulau SaparuaKabupaten Maluku Tengah

Nama : Yona Aksa Lewerissa

NRP : C251060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Santoso Rahardjo, MSc Ir. Agustinus M. Samosir, M.PhilKetua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah PascasarjanaSumberdaya Pesisir dan Laut

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 5 Agustus 2009 Tanggal Lulus :

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Kiagus Abdul Aziz,M.Sc

PRAKATA

Solagracia (hanya oleh Anugerah), sehingga janjiMu itu terwujud berupa

penyelesaian salah satu tahapan studi dalam hidupku. Untuk itu selayaklah

pujian, hormat dan kemuliaan dikembalikan kepada “DIA” Tuhan penguasa langit

bumi dan sumber segala hikmat serta pengetahuan yang atas pertolonganNya

penulisan tesis dengan judul “Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto

dan Desa Warialau Provinsi Maluku” dapat terselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Santoso Rahardjo,M.Sc dan

Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pembimbing atas segala

kebijaksanaan dan kesabaran dalam pembimbingan, memberikan dorongan,

masukan, motivasi, serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran mulai dari

rencana penelitian hingga penulisan tesis ini.

Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan

studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Laut (SPL) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,DEA dan Tenaga

Pengajar Pascasarjana Program Studi SPL serta Bagian kesekretarian

khususnya Pa Zainal dam Mas Didin atas kesempatan, ilmu, serta

pelayanan yang penuh kasih selama penulis menuntut ilmu.

3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis

yang telah memberikan banyak masukkan dalam penyempurnaan tesis ini.

Kiranya semua kebaikan hati bapak, diberkati oleh Tuhan.

4. Departemen Pendidikan Nasional khusus DIKTI yang memberikan

bantuan BPPS (Biasiswa Program Pascasarjana) selama studi

pascasarjana.

5. Permata hatiku, suami tercinta Karolis Iwamony dan anak-anak tersayang

Solagracia Christien, Svetlana Solascriptura dan my litle angel

”Raphael Theogracio (Alm).” Terima kasih buat cinta dan doa kalian,

sehingga Bapa di Sorga selalu memberikan kekuatan bagiku selama studi

di IPB, serta saat ”badai” itu terjadi dalam hidupku. Kalian tidak

tertandingi oleh apapun yang ada di dunia ini.

6. Orang tua yang kubanggakan dan kusayangi, Papa Agus, Mama Tin,

Papa Mozes, Mama Ade, serta saudara-saudaraku yang sangat kucintai

atas ketulusan hati dan motivasi yang diberikan yaitu Usi Nona, serta

Bu Boys, Usi Henny, Bu Roy, Usi Ivon, Bu Cahrly, Usi Pheppy, Oce,

Erni, Ina, Tine dan keponakan-keponakanku Dion, Henry, Laura, Eunike,

William, Richard, Cindy,Wina, Alin dan Gabby. Berkat doa kalian,

akhirnya ”pelangi” itu muncul juga, setelah awan kelabu itu berlalu.

7. Teman-teman S2 SPL angkatan ’06 atas semangat dan kebersamaan yang

terjalin selama studi khususnya Eddy, Nurul, Nico, Wilmy, Kholik, Adit,

Anchu, Prama, Yulius, Pa Rahman, dan Pa Sirajudin.

8. Keluarga Haji Rahmat yang dengan sepenuh hati menyediakan tempat

tinggal serta teman-teman kos Palem Merah yang memberikan nuansa

kekeluargaan meskipun berbeda daerah namun tetap kompak khususnya

kak Deiby, Mba Nana, Stany, Emma, Tin-tin, Alina, Delly, serta ibu Atje.

Juga buat sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat dan

motivasi bagiku dalam menyelesaikan studi yaitu Usi Nona, Degen,

Pa Mon, Bu Ois, Max dan Ola.

9. Teman-teman pelayanan AM-GPM Ranting Maranatha Poka, PAK

Perkantas, PERMAMA, serta adik-adikku di Caleb House yang tetap setia

berdoa untuk kesuksesan studiku.

Akhirnya dalam semua kelemahanku, ada sebersit harapan kiranya tulisan

ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi pengembangan ilmu dan

pengetahuan khususnya di bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.

Bogor, Agustus 2009

Yona Aksa Lewerissa

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Poka pada tanggal 4 Agustus 1977 dari ayah

Agustinus Lewerissa dan ibu Christina Lewerissa/Lappy. Penulis merupakan anak

ke-5 dari 6 bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ambon dan pada tahun yang

sama melanjutkan studi pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 2000 penulis

menyelesaikam program sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimuara. Tahun 2003, penulis

diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai staf

pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura

Ambon sampai saat ini. Kemudian penulis mendapatkan bantuan BPPS (Biasiswa

Program Pascasarjana) dari DIKTI Departemen Pendidikan Nasional untuk

melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut pada

tahun 2006.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................ xvi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xviii

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5

1.4. Kerangka Pemikiran ................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7

2.1. Morfologi dan Anatomi................................................................. 7

2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang............................................. 8

2.3. Penyebaran Populasi................................................................... 10

2.4. Habitat dan Tingkah Laku........................................................... 10

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan................................................. 11

2.6. Reproduksi.................................................................................. 11

2.7. Tingkat Kematangan Gonad....................................................... 12

2.8. Daur Hidup Teripang.................................................................. 12

2.9. Peranan Teripang......................................................................... 13

2.10. Faktor-Faktor Lingkungan......................................................... 14

2.11. Sasi di Maluku............................................................................ 16

III. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 19

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 19

3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan................ 22

3.3. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 23

3.4. Metode Analisis Data ................................................................. 28

3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang...... 28

3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan.................................. 28

3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan................................................. 29

3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi......................................... 29

3.5. Alternatif Strategi Pengelolaan.................................................... 30

IV. HASIL PENELITIAN.......................................................................... 31

4.1. Kondisi Iklim................................................................................ 31

4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang................................. 32

4.2.1. Kompisisi Sumberdaya Teripang...................................... 32

4.2.2. Kepadatan Sumberdaya Teripang..................................... 33

4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang.................... 36

4.2.4. Habitat Sumberdaya Teripang......................................... 37

4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang.. 41

4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang..................... 44

4.4. Perikanan Teripang...................................................................... 46

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan................................. 50

4.5.1. Sosial Ekonomi.................................................................. 50

4.5.2. Kelembagaan..................................................................... 51

V. PEMBAHASAN.................................................................................. 54

5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang................................. 54

5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang........................................... 54

5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil TangkapanTeripang............................................................................ 58

5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang…….... 63

5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan.................................... 63

5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan

Teripang.......................................................................... 65

5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi).................................. 65

5.3.1. Sosial Ekonomi................................................................ 65

5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan

Desa Warialau.................................................................. 70

5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau............. 72

5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko.............................. 78

5.5. Diskusi Umum........................................................................... 81

5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya

Teripang.............................................................................81

5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang...... 83

VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 86

6.1. Kesimpulan................................................................................... 86

6.2. Saran............................................................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 88

LAMPIRAN......................................................................................... 94

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Impor Teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996............................. 2

2. Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi Maluku Tahun

2005-2007............................................................................................

3

3. Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indoneisa.... 7

4. Beberapa Jenis Teripang di Indonesia berdasarkan Publikasi Nasional.. 9

5. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian............................................. 22

6. Kategori Responden yang diwawancara.................................................. 27

7. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto........................... 33

8. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau........................ 33

9. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan......................... 35

10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto................. 36

11. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau............. 37

12. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto................ 38

13. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau.............. 40

14. Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang............. 43

15. Persentase Rata-Rata Sedimen pada Stasiun Pengamatan.................. 44

16. Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Negeri

Porto..................................................................................................

45

17. Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Desa

Warialau...............................................................................................

46

18. Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang.......................................... 50

19. Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau.... 51

20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri

Porto.....................................................................................................

67

21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa

Warialau............................................................................................... 70

22 Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto dan

Desa Warialau...................................................................................... 78

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di

Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku............................. 6

2. Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra)................................. 13

3. Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi

Maluku.............................................................................................. 21

4. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan

Metode Transek Kuadrat................................................................... 25

5. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan

Metode Transek Kuadrat................................................................... 26

6. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di

Negeri Porto......................................................................................... 34

7. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di

Desa Warialau..................................................................................... 34

8. Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak

Pengamatan (secara Vertikal) di Negeri Porto.................................... 39

9. Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak

Pengamatan (secara Vertikal) di Desa Warialau.................................. 40

10. Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto...... 45

11. Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau........... 46

12. Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007............ 47

13. Nilai Jual Teripang di Kota Ambon.................................................... 48

14. Nilai Jual Teripang di Dobo, Kepulauan Aru...................................... 49

15. Struktur Pemerintahan di Negeri Porto................................................ 52

16. Struktur Pemerintahan di Desa Warialau............................................. 53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa

Warialau............................................................................................... 94

2. Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau........ 99

3. Kriteria Penilaian Setiap Indikator Sasi............................................... 101

4. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto......................... 102

5. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau..................... 106

6. Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran,

Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi............................................. 111

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari

17 ribu pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta wilayah laut seluas

5,8 juta km2, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (Retraubun, 2007),

sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat

besar dan beragam. Salah satu sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomis yaitu

teripang. Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari

kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut

(marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam

terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Jenis biota ini dikenal dengan

nama ketimun laut, suala, sea cucumber (Inggris), namako (Jepang), beche-de-

mer (Perancis) atau dalam istilah pasaran internasional dikenal dengan nama teat

fish (Sutaman, 1993; Martoyo et.al., 2002).

Menurut Hyman (1955) dalam Yusron (1992), teripang banyak menghuni

daerah litoral diperairan Indonesia dan merupakan komoditas perikanan yang

diperdagangkan baik di pasar lokal maupun internasional. Hal ini disebabkan

karena kandungan zat-zat obat, makanan ini berkasiat penyembuhan serta dari

analisa proksimat daging teripang diperoleh kompoisisi protein 43%, lemak 2%,

kadar air 17%, mineral 21% dan kadar abu 7% (James, 1989 dalam Yusron,

2004). Karena rendahnya kandungan lemak, direkomendasikan bagi orang yang

bermasalah dengan kolesterol. Di Jepang, Korea dan beberapa Negara Pasifik

Selatan, daging dan organ dalam teripang dimakan mentah, dimasak dan diasin

atau dalam bentuk kering (Shelley, 1985, Yanagisawa, 1996 dalam Darsono,

2002).

Data import di Hong Kong (Tabel 1) dapat memberikan angka-angka lebih

konkrit yang bisa dipakai untuk menaksir produksi teripang di Indonesia. Menurut

data ini, Indonesia sampai saat ini merupakan negara penghasil teripang terbesar

di dunia. Namun demikian produk teripang dari Indonesia dikategorikan sebagai

berkualitas rendah (Conand, 1998). Hal ini sangat ironis, karena akibat

perdagangan ini Indonesia mengalami penurunan sumberdaya teripang (depleting

resources), tapi tidak sebanding nilai dolar yang mungkin diperoleh.

Tabel 1. Impor teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996

No. Negara Asal Kuantitas (ton) Harga (1.000 HK$)1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.27.28.29.30.31.

USAKanadaPerancisMozambikTaiwanIndonesiaFilipinaKoreaJepangCinaVietnamSri LangkaMalaysiaSingapuraMadagaskarAfrika SelatanKenyaMauritiusTanzaniaUS OcaniaAustralia & OceaniaKiribatiTongaSamoa BaratAustraliaKepulauan SolomonFijiSelandia BaruVanuatuPapua New GuineaLain-lain

110.51.923

15.7452.9214.4

46.62.1

11.45.31.5

138.740.36.67.42.7

73.817.3

213.83.93.2

10.430.566.23.95.6

84.90.4

1 1351 441

256480597

17 7824 707

2516 6401 546

116778263

9 8944 242

285250448

1 6791 1322 964

765744180

2 4041 5287 279

460310

4 55918

Sumber : Infofish Trade News II/96, 17 Juni 1996

Provinsi Maluku yang dikenal sebagai Provinsi kepulauan memiliki luas

712,479.69 km yang terdiri dari luas laut 658,294.69 km (92.4%) dan luas

daratan 54,185 km (7,6%), terdapat potensi sumberdaya perikanan sebesar

1,640,160 ton / tahun sesuai dengan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan

Perikanan bekerja sama dengan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseonologi Lembaga Ilmu (LIPI) tahun 2001. Potensi

sumberdaya hayati perikanan dimaksud terdiri dari Pelagis, Demersal dan

biota laut lainnya yang perlu dieksploitasi secara optimal. Di perairan Maluku

teripang hampir dijumpai di seluruh perairan pantai mulai dari kedalaman 1 meter

sampai kedalaman 40 meter dan tersebar hampir di setiap pulau seperti Pulau

Buntal, Pulau Saparua, Kepulauan Seram Timur, Kepulauan Kei Kecil, Kepulauan

Banda, Pulau Buru, Aru dan Tanimbar. (Yusron, 1992).

Sumberdaya teripang di Maluku telah dieksploitasi untuk tujuan

komersial, hal ini didasarkan pada data produksi dan nilai produksi Dinas

Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku dari tahun 2005-2007 (Tabel 2). Dari

Tabel 2 ini terlihat bahwa pada tahun 2005-2006 terjadi penurunan produksi

sebesar 21,73% dan nilai produksi sebesar 33,03%, selanjutnya pada tahun 2006-

2007 penurunan produksi sebesar 5,68% dengan nilai produksi sebesar 1,83%.

Dari Tabel ini juga memperlihatkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi

yang berdampak terhadap nilai produksi, namun di sisi lain nilai jual teripang

meningkat pada 2007.

Tabel 2. Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi MalukuTahun 2005-2007

Tahun Volume (ton) Nilai (Rp.1000)2005 667,6 79.345.0002006 522,7 53.137.2502007 493,0 52.162.800

Sumber : Data tahunan statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku.

Permintaan teripang sebagai komoditi ekspor semakin meningkat, hal

tersebut juga ditunjang dengan harga yang semakin membaik. Dengan demikian

”perburuan” teripang juga meningkat dan bersifat multispesies dengan berbagai

ukuran. Perikanan teripang umumnya dan di Maluku khususnya, masih bersifat

tradisional artinya bahwa masyarakat mengumpulkan sedikit demi sedikit, sampai

pada jumlah tertentu baru dijual kepada pengumpul.

Negeri Porto merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Saparua,

yang termasuk daerah sebaran teripang. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya

baik di darat maupun di laut, Negeri Porto telah menerapkan sistem sasi yang

merupakan kearifan lokal masyarakat negeri ini. Namun salah satu penyebab

sehingga sistem sasi di negeri ini mulai agak melemah karena adanya kebijakan

pemerintah negeri setempat untuk menyewakan daerah pesisir/menggunakan

sistem lelang bagi pedagang dari Madura yang menggunakan peralatan lengkap.

Pedagang yang menggunakan peralatan lengkap (compressor) menyelam di

dalam laut dalam jangka waktu yang lebih lama, bila dibandingkan dengan

nelayan setempat yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan

demikian maka sumberdaya yang dapat diambil oleh para penyewa tersebut

bukan hanya teripang namun juga lola dan jenis-jenis sumberdaya yang bernilai

ekonomis lainnya. Dengan adanya upaya tangkap yang tinggi oleh para penyewa

atau pengontrak, hal tersebut menyebabkan dalam waktu singkat terjadi

penurunan sumberdaya baik teripang maupun lola (Trochus niloticus), Tridacna

gigas serta sumberdaya lainnya. Selain itu, akibat penerapan kebijakan

Pemerintah Negeri (Raja) yang dianggap merugikan masyarakat serta penurunan

jumlah, ukuran sumberdaya laut termasuk didalammnya teripang, maka sebagai

pelampiasan dari rasa kekecewaan diwujudkan dengan cara melakukan

pelanggaran terhadap sasi yang berlaku yaitu dengan mengambil teripang sesuai

dengan keinginan mereka dan hal ini dapat terlaksana akibat lemahnya

pengawasan dari pemerintah adat setempat. Kelangkaan dan rendahnya jumlah

teripang di alam adalah sinyal kepunahan bila tidak diantisipasi dengan usaha

pelestariannya segera mungkin.

1.2. Perumusan Masalah

Secara alami stok populasi jenis-jenis teripang di daerah tropika adalah

relatif sedikit. Stok populasi yang kecil tersebut bila mendapat tekanan eksploitasi

intensif ditambah sifat regenerasi dan pertumbuhan yang lambat, akan terjadi

penurunan sumberdaya. Di Negeri Porto sendiri telah terindikasi terjadi

penurunan sumber daya teripang, hal ini disebabkan karena adanya kebijakan

Pemerintah Negeri (raja) untuk menyewakan/mengontrak daerah pasang surut

buat nelayan luar (Madura ) yang menggunakan peralatan modern serta adanya

aksi protes dari masyarakat berupa pelanggaran terhadap sasi dengan melakukan

penangkapan pada saat waktu tutup sasi. Permasalahan utama dalam pengelolaan

teripang di Negeri Porto yaitu :

1. Tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak

(nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat.

2. Rendahnya kesempatan teripang untuk beregenerasi karena ditangkap

sebelum waktu matang gonad.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan kondisi dan potensi teripang.

2. menganalisis habitat dan kesesuaian faktor-faktor lingkungan

3. menganalisis kinerja sasi di negeri Porto dibandingkan dengan sasi desa

Warialau kabupaten Kepulauan Aru.

4. menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan untuk pengelolaan

teripang yang berbasis sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau, sehingga

sumberdaya teripang terus lestari berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan,

penyediaan pangan dan lain sebagainya secara terus menerus.

1.4 Kerangka Pemikiran

Sumberdaya teripang mempunyai manfaat baik dari segi ekonomi sebagai

sumber protein dan mempunyai berbagai khasiat dalam menyembuhkan penyakit

serta mempunyai nilai jual yang tinggi baik dalam skala lokal maupun

internasional, sedangkan dari segi ekologi berperanan penting dalam rantai

makanan karena sebagai penyumbang pakan sekaligus penyubur substrat.

Dalam upaya pengelolaan sumberdaya teripang maka dilakukan

pertimbangan yang pertama yaitu Bioekologi yang bermanfaat dalam

mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif, sehingga diperlukan suatu

jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif,

dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat

dilewati dengan baik serta pengaturan upaya tangkap untuk mengendalikan

mortalitas akibat penangkapan. Selanjutnya pertimbangan kedua tujuan

pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri yaitu menjamin kelestarian

sumberdaya teripang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk pencapaian tujuan ini maka ketersediaan sumberdaya teripang merupakan

syarat utama, karena ketersediaan teripang menentukan manfaat yang akan

diterima secara terus menerus. Tujuan pengelolaan ini telah diterapkan oleh

pemerintah negeri melalui aturan sasi yang telah dilaksanakan sejak jaman dahulu

hingga sekarang, namun dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan berupa sistem

lelang atau kontrak sehingga menimbulkan permasalahan tingginya upaya tangkap

yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ini, sehingga perlu

dirumuskan strategi pengelolaan yang dapat menjawab tujuan pengelolaan yang

telah ditetapkan. Pertimbangan yang ketiga menyangkut sosial ekonomi dan

kelembagaan dimana diperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat

setempat serta kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang mendukung sistem

sasi. Selanjutnya perlu juga dilakukan kajian resiko sehingga dapat menentukan

strategi pengelolaan yang tepat yang dapat diterapkan dalam bentuk aturan-aturan.

Dengan demikian maka disusun suatu kerangka pemikiran sederhana yang

ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasidi Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku

PENERAPANATURAN

(Sasi,Peraturan Negeri)

STRATEGIPENGELOLAANSUMBERDAYA

TERIPANG

SOSIAL EKONOMI& KELEMBAGAAN

TUJUANPENGELOLAAN

SUMBERDAYA TERIPANG DI NEGERI PORTODAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU

BIOEKOLOGI

Ekologi(kondisi, potensi,

habitat,faktor-faktorlingkungan)

Biologi(Pengkajian Stok

teripang)Hasil Tangkap

per upaya

PENGKAJIANRESIKO

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi dan Anatomi

Teripang adalah salah satu hewan berkulit duri (Echinodermata) walaupun

tidak semua teripang mempunyai duri pada kulitnya. Duri-duri pada teripang

sebenarnya merupakan rangka yang tersusun dari zat kapur dan terdapat didalam

kulitnya. Rangka dari zat kapur tersebut tidak dapat dilihat dengan mata biasa

karena sangat kecil, sehingga untuk melihatnya diperlukan bantuan mikroskop

(Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995).

Tubuh teripang lunak, berdaging dan berbentuk silindris memanjang

seperti buah ketimun sehingga hewan ini dinamakan juga ketimun laut atau sea

cucumber, mulut dan anus terletak di ujung yang berlawanan (Darsono, 1998).

Gerakan teripang sangat lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada di

dasar laut. Warna teripang bermacam-macam mulai dari hitam, abu-abu, kecoklat-

coklatan, kemerahan, kekuning-kuningan bahkan ada yang berwarna putih.

Ukuran tubuh teripang berbeda-beda baik dari segi panjang maupun bobotnya

sesuai dengan jenisnya masing-masing (Tabel 3).

Tabel 3. Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indonesia

Jenis Teripang Panjang (cm) Bobot (kg)Holothuria atraActinopyga mauritianaThelenota ananasHolothuria scabra

± 60± 30

± 100± 25-35

± 2± 2.8

± 6± 0.25-0.35

Teripang mempunyai tubuh yang lunak, berotot melingkar dan terdiri atas

lima lapisan otot daging memanjang dari bagian oral ke bagian aboral yang

terletak dibawah dinding tubuhnya, serta membentuk rongga berisi organ-organ

dalam. Bagian organ dalam teripang dibagi menjadi sebelas bagian yaitu tentakel,

kulit luar, kerongkongan, perut atau lambung, usus kecil, usus halus, gonad,

sistem sirkulasi air, cabang-cabang saluran pernapasan, rumbai-rumbai pada

pangkal pengeluaran dan kloaka (Elifitrida,1994). Permukaan tubuh teripang

ditutupi oleh kutikula yang tipis (Hickman et al, 1974 dalam Elifitrida,1994).

2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang

Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari

kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut

(marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam

terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Tidak kurang sekitar 1250 jenis

teripang telah dideskripsikan, dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu

Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan

Elasipoda. Beberapa jenisnya hidup membenamkan diri dalam pasir dan hanya

menampakan tentakelnya, sedang jenis-jenis teripang komersil biasanya hidup

pada substrat pasir, substrat keras, substrat kricak karang dan substrat lumpur.

Produk teripang umumnya berasal dari jenis-jenis teripang yang hidup di perairan

dangkal, sampai kedalaman 50 meter. Semua jenis teripang komersil, khususnya

dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa (ordo) Aspidochirotida dari suku

(family) Holothuriidae dan Stichopodidae, yang meliputi marga (genus)

Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Sekitar 25 jenis

teripang berpotensi komersil diidentifikasikan berasal dari perairan karang di

Indonesia (Darsono,1995), sedangkan hasil koleksi P2O LIPI menyimpan 42 jenis

teripang dari seluruh perairan Indonesia. Menurut Purwati (2005), terdapat 26

jenis teripang yang pernah atau masih dieksploitasi di perairan Indonesia

berdasarkan publikasi nasional (Tabel 4).

Jenis teripang yang termasuk dalam katagori utama, relatif mahal, yaitu

teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan H. nobilis

dan H. fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang termasuk

kedalam kategori sedang yaitu teripang dari marga Actinopyga, antara lain

teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A.

lecanora dan A. mauritiana). Jenis-jenis lainnya termasuk dalam kategori rendah/

murah (Conand, 1990).

Tabel 4. Beberapa Jenis Teripang di Indonesia, Berdasarkan Publikasi Nasional

No. Nama Jenis Nama daerah Nama di pasar dunia1 Actinopyga echnities Kunyit, ladu-ladu,

kapok/kapuk, bilaloDeepwater redfish

2 A. lecanora Batu, balibi Stonefish3 A. mauritania Buntal Surf redfish4 A. miliaris Kapok/kapuk, lotong,

gamet, sepatuBlackfish

5 Bohadschia argus Ular mata, cempedak Leopard fish/tigerfish/spottedfish

6 B. marmorata Olol-olok, getah putih,pulut, benang, kridopolos

-

7 B. tenuissima * Karet -8 Holothruria atra Teripang hitam,

dara/darahLollyfish/black trepang

9 H.coluber Taikokong Snakefish10 H. edulis Dada merah, takling,

perut merah, cerak, batukeling

Pinkfish

11 H. fuscopunctata ? Elephant trunkfish12 H. fuscogilva Susu putih White teatfish, susufish13 H. hilla ? -14 H. impatiens Donga, babi, ular-ular,

tempulo-

15 H. leucospilota Salengko, talengko,getah

-

16 H. nobilis Susu hitam, lotong, koro,susuan

Black teatfish

17 H. ocelata Kacang goreng -18 H. pervicax ? Tiger spotted trepang19 H. scabra Pasir, buang kulit, gosok,

putih, kamboaSandfish

20 H. similes Krido, krido bintik Chalkfish/whitefish21 Pearsonothuria

graeffeiBintik merah Flowerfish

22 Stichopuschloronotus

Jepung, jepun Greenfish/squarefish

23 S. horrens Kacang goreng, kacang,susu

Dragonfish

24 S. variaegatus Gamet, kasur, taikokong,anjing, kapok, gama

Curryfish/yellow meat

25 Thelonata ananas Nanas/nenas Prickly redfish/plumflower trepang

26 T. anax duyung amberfish* jarang

Pulau Saparua merupakan salah satu pulau di Kabupaten Maluku Tengah,

yang merupakan wilayah sebaran teripang meskipun tidak sebanyak seperti di

Maluku Tenggara. Di pulau Saparua ini telah ada penelitian-penelitian tentang

teripang sebelumnya yaitu di Kulur, Saparua ditemukan 3 jenis teripang

sedangkan di pantai Waisisil Saparua ditemukan 4 jenis teripang (Darsono et al,

1998 dalam Darsono, 2003), sedangkan Negeri Porto ditemukan 15 jenis teripang

(Anonimous, 2005).

2.3. Penyebaran Populasi

Penyebaran populasi adalah gerakan individu kedalam, keluar atau ke

daerah populasi lain. Ada 3 pola dasar yaitu pola penyebaran acak, seragam dan

berkelompok. Pola penyebaran populasi sangat tergantung pada kondisi

lingkungan biotik maupun abiotik serta faktor psikologis lainnya yang berupa

interaksi antar populasi. Interaksi ini antara lain pemangsaan, parasitisme,

antibiotisme dan kerjasama mutualisme. Dalam hal ini interaksi antar populasi

merupakan faktor utama yang berperan besar dalam mengontrol pola penyebaran

organisme (Nybakken, 1992).

2.4. Habitat dan Tingkah Laku

Tempat hidup teripang adalah ekosistem terumbu karang, lamun, mulai

zona intertidal sampai dengan kedalaman 40 meter. Teripang dapat ditemukan

hampir di seluruh perairan pantai mulai dari daerah pasang surut yang dangkal

hingga perairan yang lebih dalam. Teripang menyukai dasar berpasir halus yang

banyak ditumbuhi tanaman pelindung seperti lamun dan sejenisnya serta bebas

dari hempasan ombak. Keberdaan teripang di alam juga dipengaruhi oleh

ketersediaan makanan dan musim pemijahannya, hal ini terbukti dengan

banyaknya jenis teripang yang mendekati garis pantai selama musim memijah.

Jenis teripang yang bernilai ekonomis penting biasanya menempati dasar

goba (lagoon) dengan kedalaman 5 sampai 30 meter. Sedangkan jenis teripang

yang bernilai ekonomis sedang dan rendah menempati daerah yang dangkal

seperti padang lamun, daerah pertumbuhan algae dan rataan terumbu karang

dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Biasanya teripang akan muncul di

permukaan dasar perairan pada malam hari terutama pada waktu menjelang

pasang, yaitu untuk keperluan mencari makan. Pada siang hari teripang lebih suka

membenamkan diri di dalam pasir. Teripang umumnya hidup secara bergerombol,

jenis Holothuria scabra biasanya hidup berkelompok terdiri dari tiga sampai lima

ekor.

Pernafasan teripang dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyerapan

pada permukaan tubuhnya dan menggunakan sistem pohon respirasi. Pernafasan

sistem pohon respirasi dilakukan dengan cara memompakan kloaka dan pohon

respirasi, sehingga kloaka akan mengembang dan terisi air laut. Selanjutnya otot

spincter anus akan tertutup karena kloaka berkontraksi dan air laut akan masuk ke

dalam pohon respirasi, disinilah oksigen diserap oleh teripang. Air akan keluar

tubuh sebagai akibat dari kontraksi tubula-tubula dan pemompaan kloaka (DKP,

2004).

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan

Makanan teripang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri dan

protozoa, jasad benthos, mikro algae dan detritus. Disamping itu, didalam sistem

pencernaan makanannya biasa didapatkan foraminifera, radiolaria, butir pasir dan

cangkang kekerangan. Teripang bersifat nokturnal yaitu kebisaan mencari makan

pada malam hari. Teripang memperoleh makanan dengan cara mengisap dan

menyaring makanan pada malam hari karena plankton akan berada di dasar

perairan dan juga untuk menghindari predator (Hartati et.al, 2002).

Teripang mempunyai dua cara makan yaitu menangkap plankton dengan

tentankelnya dan dengan menelan pasir kemudian diambil detritusnya dan pasir

dikeluarkan melalui anus (Canon dan Silver, 1987).

2.6 Reproduksi

Teripang pada umumnya bersifat diocious, tetapi secara morfologi

perbedaan antara hewan jantan dan betina tidak jelas. Pembuahan umumnya

terjadi secara eksternal. Teripang jantan mengeluarkan sperma berupa benang-

benang putih, yang oleh gerakan tentakelnya kemudian tersebar di perairan dan

membuahi telur yang dikeluarkan hewan betina di sekitarnya. Masa pemijahan

tidak diketahui pasti. Teripang-teripang yang hidup di daerah tropis diduga dapat

memijah sepanjang tahun karena tidak ada perubahan suhu (Darsono, 1994)

2.7 Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad teripang penting diketahui untuk keperluan

pemilihan induk yang siap memijah. Darsono et al. (1995b) mengemukakan

bahwa teripang yang memberi reaksi terhadap perlakukan rangsang pijah

hanyalah individu yang matang. Jika berdasar pada fase kematangan gonad

teripang famili Holothuroidea, maka induk yang baik untuk dipijahkan adalah fase

IV atau matang (Tuwo dan Conand, 1992). Menurut Connad (1990), tingkat

kematangan gonad untuk Holothuria fuscogilva, yaitu pada ukuran panjang 32

cm, Holothuria scabra ukuran panjang 16 cm, Actinopyga echinities pada

ukuran panjang 12 cm, Thelenota ananas pada ukuran panjang 30 cm dan

Actinopyga miliaris memiliki laju pertumbuhan 1 cm dan 5 gram per bulan.

Menurut James et al. (1994), Holothuria scabra diketahui mempunyai

panjang maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18

bulan, jenis ini mencapai kematangan seksual dan daya hidupnya diperkirakan

selama 10 tahun. Ukuran panjang pada akhir tahun pertama, kedua, ketiga,

keempat dan kelima berturut-turut 136 mm, 225 mm, 284 mm, 322 mm dan 384

mm. Ukuran individu induk bisa menjadi petunjuk kedewasaannya (Darsono et al,

1995a) diperoleh catatan bahwa individu dengan ukuran bobot total minimal 400

gram adalah potensial sebagai induk,meskipun tidak menutup kemungkinan

bahwa individu dengan ukuran lebih kecil ada yang sudah matang gonad.

2.8 Daur Hidup Teripang

Daur hidup teripang di alam terdiri atas dua periode yaitu : Planktonik dan

bentik. Pada fase planktonik teripang hidup melayang-layang di air, pada masa

larva yaitu stadia aurikularia dan doliolaria, sedangkan sebagai bentik, hidup

diatas substrat atau benda lain yakni stadia penctatula hingga menjadi teripang

dewasa, contohnya pada teripang pasir (Gambar 2).

Perkembangan larva teripang melalui beberapa fase. Telur yang dibuahi

akan membelah menjadi multisel dan terbentuklah blastula dalam waktu 12

jam. Kemudian berkembang menjadi Gastrula dalam beberapa jam berikutnya.

Fase gastrula ini akan berakhir sampai jam ke 32 dan metamorphose menjadi

auricularia awal. Bentuk atau fase auricularia ini akan berkembang dalam waktu

8 atau 10 hari, menjadi auricularia sedang dan akhir. Kemudian metamorphose

menjadi doliolaria, yang akan berkembang sampai hari ke 16 kemudian menjadi

pentacula dan berkembang sampai hari ke 50 atau sampai ke 60 untuk kemudian

berubah menjadi burayak muda. Diperlukan waktu 60 hari atau 2 bulan dari

perkembangan telur ikan menjadi burayak (Darsono, 1994).

Teripang dewasa

Larva

Auricularia (P)

Teripang muda/juvenil(B)

Penctatula (B)

Doliolaria (P)

Ket. (P) planktonik; B (Bentik)

Teripang dewasa

Larva

Auricularia (P)

Teripang muda/juvenil(B)

Penctatula (B)

Doliolaria (P)

Ket. (P) planktonik; B (Bentik)

Gambar 2. Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra)

2.9 Peranan Teripang

Teripang merupakan komponen penting dalam rantai pakan (food chain) di

terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan

(trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit

feeder) dan pemakan suspensi (suspension feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada

daerah terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang

bisa lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80

gram berat kering sedimen setiap harinya (Bakus, 1973). Berkurangnya populasi

teripang secara cepat menimbulkan konsekuensi bagi kelangsungan hidup

berbagai jenis biota lain yang merupakan bagian dari kompleksitas lingkar pangan

(food web) yang sama.

Teripang dalam lingkar pangan ini berperan sebagai penyumbang pakan

berupa telur, larva dan juwana teripang, bagi organisma laut lain seperti berbagai

krustasea, moluska maupun ikan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen,

yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen. Tingkah laku

teripang yang “mengaduk” dasar perairan dalam cara mendapatkan pakannya,

membantu menyuburkan substrat disekitarnya. Keadaan ini mirip seperti

dilakukan cacing tanah di darat. Proses tersebut mencegah terjadinya penumpukan

busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama

dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu. Tangkap lebih teripang bisa

berakibat terjadinya pengerasan dasar laut, sehingga tidak cocok sebagai habitat

bagi bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Teripang

mempunyai kemampuan untuk melepas bagian organ dalam (eviserasi) apabila

terganggu, dan akan beregenerasi secara cepat.

2.10 Faktor-Faktor Lingkungan

1. Kedalaman Perairan

Teripang adalah organisme laut yang mendiami daerah pasang surut

hingga laut dalam (Hyman, 1955). Jenis yang bernilai ekonomis penting seperti

teripang pasir (Holothruia scabra), Teripang lotong (Holothuria nobilis) dan

Teripang nanas (Telonota ananas) biasanya menempati dasar gobah (lagoon) atau

di luar tubir dengan kedalaman antara 5-30 meter, sedangkan jenis teripang yang

kurang memiliki nilai ekonomis seperti Holothuria edulis, Holothuria atra berada

di daerah yang terdapat rumput laut atau disekitar terumbu karang dengan

kedalaman kurang dari 2 meter.

2. Kecepatan Arus

Menurut Bakus (1973), teripang adalah hewan-hewan yang seolah-olah

selalu dalam keadaan diam, karena sifat kurang bergerak inilah, maka biasanya

teripang berada ditempat-tempat yang airnya tenang.

Adanya pergerakan air, seperti arus akan mempengaruhi kehidupan

organisme dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat

terbatas, sehingga pengadaan makanannya sangat ditentukan oleh arus. Arus yang

kuat akan menghanyutkan nutrien yang ada, sehingga mengakibatkan perairan

tidak subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).

3. Suhu

Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan teripang adalah 27-300C.

Peningkatan suhu dari kisaran optimum akan mempengaruhi biologi reproduksi

dan kecepatan makan dari teripang itu sendiri bahkan teripang akan kehilangan

selera makan sama sekali, namun besarnya penyimpangan itu tidak disebutkan

secara pasti. Panggabean (1987) menyatakan kondisi suhu untuk teripang dewasa

adalah 26-300C sehingga pertumbuhan teripang dapat optimal.

4. Salinitas

Teripang dapat menyesuaikan diri pada salinitas 30-37‰, air laut

umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan di perairan pantai berkisar

antara 32-35 ‰ (DKP, 2004).

5. Oksigen terlarut dan pH

Distribusi oksigen di laut dikendalikan melalui pertukaran dengan

atmosfer secara difusi, proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air,

respirasi oleh organisme autotrof dan heterotrof serta proses perombakan bahan

organik (Levinton, 1982). Kandungan oksigen terlarut yang layak untuk

kehidupan teripang 4-8 ppm (Panggabean, 1987), sedangkan kandungan oksigen

terlarut pada saat ditemukannya teripang di perairan alami yaitu berkisar antara

5,67-6,34 ppm (Alwi, 1995). pH untuk usaha pembenihan adalah berkisar dari

6.5-8.5 (Panggabean, 1987).

6. Tekstur Sedimen

Substrat dibutuhkan sebagai tempat hidup bagi organisme bentik seperti

teripang. Pemilihan substrat senantiasa disesuaikan dengan kebiasaan individu

dewasa untuk mencari makan dari substrat (Levinton, 1982). Bahkan beberapa

laboran menyebutkan bahwa jenis Holothuria menyeleksi makanannya

berdasarkan ukuran partikel sedimen. Sedimen dasar perairan terutama terdiri dari

partikel yang berasal dari hasil batu-batuan dan hancuran cangkang kerang serta

rangka-rangka organisme laut. Berdasarkan tipe substrat dasar perairan, dapat

diketahui bahwa kombinasi dasar perairan yang terdiri dari pasir, kerang hidup

dan rumput laut merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan beberapa anggota

Holothuridae (Trijoko, 1991).

2.11. Sasi di Maluku

Pengertian Sasi

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan

oleh masyarakat pedesaan termasuk Pulau Saparua, Maluku Tengah yang

keberadaannya sudah ada sejak dulu dikenal dengan sebutan sasi. Sasi berasal dari

kata sanksi yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber

daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis

bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992). Sasi dapat diartikan

sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya

pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam tersebut

(Kissya, 1993). Makna sasi yaitu larangan bagi anak negeri (penduduk setempat)

dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber

daya alam baik darat maupun laut.

Bentuk dan Tujuan Sasi

Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat meliputi

semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala cengkeh,

sagu, coklat dan jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : seperti lola, batu laga,

caping-caping, teripang, rumput laut, bakau, karang, kawanan ikan, ikan hias, batu

kerikil dan pasir. Menurut Nikijuluw (1994), tujuan adanya larangan ini supaya

sumberdaya (ikan) dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu,

tetap tersedia hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi pada waktu yang lama.

Selain itu agar sumberdaya tersebut tetap lestari dan tetap dapat dimanfaatkan

dikemudian hari oleh generasi yang akan datang.

Lembaga Sasi

Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah

Sasi. Sasi adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui

proses musyawarah yang dilakukan dalam rumah adat, yaitu Baeleo. Kepala

Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis

keturunan dari marga tertentu atau yang disebut mata rumah, sedangkan anggota

Sasi atau pembantu sasi diangkat dari warga masyarakat yang ada dalam wilayah

soa. Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung

jawab serta memiliki peraturan-peraturan kewang sebagai dasar dan pedoman

dalam melaksankan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol

pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi

di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi

yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dan

pemerintah negeri.

Tujuan pengawasan dan pengontrolan kewang ini adalah supaya setiap

sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil

yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi

yang telah ditetapkan oleh kewang dengan persetujuan raja dan pemerintah negeri,

yaitu dalam melakukan pencurian ataupun pengrusakan terhadap sumberdaya

yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh kewang. Oleh karena itu, kewang

memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya

alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi ”hak ulayat

negeri” baik darat maupun laut terhadap pengaruh aktivitas dari luar.

Pelaksanaan Sasi

Pada sistem pemerintahan negeri, maka cara pelaksanaan sasi

dilaksanakan secara adat oleh raja sebagai kepala adat dan kewang sebagai

pengontrol dan pengawas sasi serta dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri

dan masyarakat. Oleh karena itu sebagai bagian dari ketentuan adat maka

pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu: acara tutup dan buka

sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi,

dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan

oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku

Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah

penangkapan. Untuk itu masyarakat desa tidak diizinkan menangkap selama

periode waktu tertentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan

penangkapan dikenal dengan tutup sasi. Sementara itu periode musim

penangkapan dikenal dengan buka sasi. Selain itu sasi juga berkaitan dengan hak

eksklusif penangkapan oleh masyarakat desa. Dengan adanya hak eksklusif ini,

maka orang dari luar desa tidak diizinkan untuk menangkap, namun untuk

beberapa desa hak eksklusif ini dapat dilakukan oleh orang luar sejauh mereka

mau menggunakan alat tangkap yang sama digunakan oleh masyarakat setempat,

menggunakan alat yang tidak merusak lingkungan dan sumberdaya serta

membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang diberikan. Kawasan hak

eksklusif ini dikenal dengan nama petuanang desa, suatu kawasan perairan di

depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa, biasanya berupa perairan

dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002).

Uang yang harus dibayar orang luar untuk mendapatkan hak penangkapan

di daerah petuanan sering disebut ngase dan jumlahnya ngase bervariasi menurut

desa. Umumnya sekitar 10% dari nilai hasil tangkapan. Ngase dikumpulkan oleh

pemerintah negeri sebagai bagian dari pendapatan negeri. Selain ngase, orang luar

diwajibkan membagi sebagian hasil tangkapannya kepada pemimpin negeri dan

masyarakat lainnya yang kebetulan ada disekitar petuanang. Pemimpin dan

masyarakat bersama-sama menentukan jenis alat tangkap yang boleh digunakan,

yang tidak merusak lingkungan. (Nikijuluw, 1994)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2008 di Negeri Porto

dan desa Warialau, sebagai desa pembanding pelaksanaan sasi. Negeri Porto

terletak di bagian selatan dan sebagian di bagian utara Pulau Saparua, Kabupaten

Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Negeri Porto merupakan salah satu dari

17 negeri/desa yang ada di Pulau Saparua. Luas wilayah Kecamatan Saparua

yaitu sebesar 970 km2 yang meliputi luas daratan sebesar 163 km2 dan luas laut

sebesar 807 km2 serta panjang garis pantai mencapai 99 km. Wilayah kecamatan

Saparua memiliki tiga (3) buah pulau yaitu Saparua, Molana dan Pombo Booi.

Pulau Saparua memiliki luas 161 km2 dengan panjang garis pantai 91 km.

Secara geografis, Kecamatan Saparua terletak antara 3º29'37"-3º39'3"

Lintang Selatan dan 128º33'25"-128º44'23" Bujur Timur, dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Selatan dengan Laut Banda;

- Sebelah Utara dengan Selat Seram;

- Sebelah Timur dengan Selat Saparua;

- Sebelah Barat dengan Laut Banda.

Desa Porto yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan

Saparua, secara geografis terletak pada 3º30'00"- 3º36'30" Lintang Selatan dan

128º35'08" - 128º37'18" Bujur Timur (Gambar 3) dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut:

- Sebelah Utara dengan Negeri Kulur;

- Sebelah Selatan dengan Negeri Haria;

- Sebelah Barat dengan Selat Saparua;

- Sebelah Timur dengan Negeri Tiow.

Negeri Porto memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah

pasang surut jaraknya berkisar antara 100-120 meter dengan kondisi substratnya

yang dapat dibedakan atas 6 bagian yaitu berpasir, pasir patahan karang, batu

berpasir, karang papan, patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai

yang ada pada daerah pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.

Desa Warialau terletak di Pulau Warialau Kecamatan Pulau-Pulau Aru,

Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Desa Warialau merupakan salah

satu dari 44 desa yang ada di Kecamatan Pulau-Pulau Aru. Luas wilayah

Kecamatan Pulau-Pulau Aru yaitu sebesar 1.893 km2, dengan panjang garis

pantainya adalah 1.045 km. Pulau terbesar dan berpenghuni di kecamatan Pulau-

Pulau Aru yaitu pulau Wokam, Kola, Warilau dan Wamar. Selain itu Kecamatan

Pulau-Pulau Aru juga memiliki beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Posisi geografis Kecamatan Pulau-Pulau Aru terletak sebagai berikut:

Sebelah Selatan berbatasan dengan : Aru Tengah

Sebelah Timur berbatasan dengan : Laut Aru dan Selatan Irian

Sebelah Utara berbatasan dengan : Selatan Pulau Irian

Sebelah Barat berbatasan dengan : Laut Banda dan Kei Besar Timur

Desa Warialau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan

Pulau-Pulau Aru, secara geografis terletak pada 5º19'48"- 5º24'36" Lintang

Selatan dan 134º37'12" - 134º67'15" Bujur Timur (Gambar 3). dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara dengan Selatan Pulau Irian;

- Sebelah Selatan dengan Selat Kolwatu;

- Sebelah Barat dengan Kei Besar Timur;

- Sebelah Timur dengan Kepulauan Jedan.

Desa Warialau memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah

pasang surut jaraknya berkisar antara 90-130 meter dengan kondisi substratnya

yang dapat dibedakan atas 5 bagian yaitu berlumpur, berpasir, karang papan,

patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai yang ada pada daerah

pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.

Pulau Warialau

Kulur

Porto

Haria

TiowSelat Saparua

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku

3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini digunakan memiliki

spesifikasi yang berbeda-beda, yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian

No Jenis Peralatan Spesifikasi

1

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Pengukur Suhu dan pH

Perairan

Pengukur Kecepatan arus

Pengukur Salinitas

Pengukur DO

Pengukur Kecerahan

Pengukur Panjang

Pengukur bobot (gr)

Posisi

pH meter digital tipe HANA HI 9023;

ketepatan suhu :0,00-100,00 0C; pH (0,00-

14,00).

Current meter (m/det)

Hand Refraktometer

DO Meter digital Tipe Hanna

Secchi disk, bahan piringan, tali pemberat dan

pemberat

Penggaris, ketepatan 1 mm

Timbangan, ketepatan 10 gr

GPS

Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan seperti Suhu, pH, DO, salinitas dan

kecepatan arus diukur di lapangan setiap hari selama 3 minggu (9 Maret-1 April

2008) di Negeri Porto dan 2 minggu (21 April-5 Mei 2008) di Desa Warialau.

Pengukuran dilakukan selama 3 kali dalam sehari yaitu pukul 06.00, 12.00 dan

18.00 WIT pada 3 titik transek kedua lokasi (transek 3,8, dan 13 untuk Negeri

Porto dan transek 2,5, 8 di Desa Warialau). Pengukuran suhu dan pH

menggunakan pH meter digital Hanna, dengan cara mengambil sampel air

permukaan dan kemudian menggunakan alat tersebut dan akan muncul nilai untuk

suhu, pH dan konduktivitas. Namun yang digunakan hanya data suhu dan pH.

Untuk mengukur DO (Dissolved Oxygen) digunakan DO meter digital Hanna.

Kecepatan arus diukur denggan menggunakan current meter, dan hand

refraktometer untuk mengukur salinitas serta secchi disk untuk kecerahan

perairan. Untuk mengukur kecerahan dilakukan pada setiap titik transek dengan

satu kali waktu pengukuran. Di Negeri Porto dari kelima belas titik transek

dilakukan pengukuran kecerahan pada waktu yang bervariasi yaitu pada pukul

07.00, 09.00, 10.00, 11.00 dan 12.00 WIT, sedangkan untuk Desa Warialau

dengan kedelapan transek dilakukan pengukuran pada waktu yang bervariasi juga

yaitu pukul 09.00, 10.00, 12.00 dan 15.00 WIT. Masing-masing parameter yang

diambil kemudian dibuat range untuk nilai terendah sampai tertinggi dan rata-

ratanya. Untuk penentuan lokasi penelitian menggunakan GPS.

Data-data sekunder lainnya yang ditelusuri seperti data faktor-faktor

lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, dan arus permukaan yang diukur pada

malam hari (pukul 24.00 WIT) merujuk Leimena, (2004), selain itu data iklim

yang diperoleh dari laporan hasil-hasil kajian sebelumnya yang pernah dilakukan

oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan

Aru dan para peneliti lainnya

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengambilan Contoh Teripang

Pengambilan contoh teripang menggunkan metode “Transek Kuadrat”

secara tegak lurus garis pantai dari batas surut ke arah laut (Smith,1980). Lokasi

transek ditentukan secara purposif pada tiap lokasi dengan memilih daerah rataan

terumbu yang relatif luas. Di negeri Porto, plot pengamatan digunakan rangka

berukuran 5x5 m2, titik plot pengamatan dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang

garis transek dan jarak antar tarnsek 100 meter (Gambar 4). Untuk desa Warialau,

plot pengamatan digunakan rangka berukuran 1x1 m2, titik plot pengamatan

dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang garis transek dan jarak antar tarnsek 100

meter (Gambar 5). Dari kedua lokasi terlihat bahwa adanya perbedaan ukuran

rangka, hal ini disebabkan karena di Negeri Porto pada saat survei awal digunakan

rangka 1x1 m2 tidak ditemukan speseis teripang, sehingga akhirnya rangkanya

diperbesar menjadi 5x5 m2, dan jumlah teripang tiap kuadrat yang lebih sering

ditemukan yaitu sekitar 1-2 individu.

Pengamatan diusahakan dilakukan pada saat atau menjelang surut dengan

menggunakan masker dan snorkel. Setiap teripang yang terkumpul diukur panjang

dan bobot basah yaitu dengan cara mendiamkan tanpa gangguan selama 15

menit dalam air laut dan kemudian diukur panjangnya dan ditimbang bobotnya.

Spesimen teripang yang belum teridentifikasi di lapangan kemudian diidentifikasi

menurut Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) dan Birtles (1989).

Pada setiap transek dicatat jumlah dan komposisi jenis teripang, habitat, jenis

vegetasi dan yang berasosiasi dengan teripang.

Pengambilan contoh teripang di Negeri Porto dilakukan pada 15 transek

yang meliputi 168 petak pengamatan. Panjang lokasi penelitian 1500 meter dan

lebar 160 meter, sehingga luas keseluruhan area 240.000m2. Untuk Desa Warialau

pengambilan contoh pada 8 transek yang meliputi 91 petak pengamatan dengan

panjang 800 meter dan lebar 140 meter, sehingga luas keseluruhan area

112.000m2.

Pada setiap stasiun diambil contoh sedimen untuk mengetahui tekstur dan

komposisinya. Contoh sedimen tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada

temperatur 1100C selama 24 jam, setelah kering diayak dengan menggunakan

mesin penyaring otomatis yang bertingkat. Penggolongan ukuran butiran tanah

mengikuti skala Wentworth, dengan ukuran 4 mm (granules), 2 mm (very coarse

sand), 1 mm (coarse sand), 0.5 mm (medium sand), 0.25 mm (fine sand),

0.125 mm (very fine sand), 0.064 mm (silt) dan ≤ 0.038 mm (clay) (Morgan, 1958

dalam Yusron 1993).

5m

10 m

5m

Tr.1 Tr.2 Tr.3 Tr.4 Tr.5 Tr.6 Tr.7 Tr.8 Tr.9 Tr.10 Tr.11 Tr.12 Tr.13 Tr.14 Tr.15

T U B I R

P U L A U

Gambar 4. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan Metode Transek Kuadrat

100 m

Tr.4 Tr.8Tr.7Tr.6Tr.5

T U B I R

P U L A U

Gambar 5. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan Metode Transek Kuadrat

10 m

1m

1m

Tr.1 Tr.2 Tr.3

100 m

Data Tangkapan dan Sosial Ekonomi

Untuk mengetahui data tangkapan per upaya maka diperoleh melalui metode

wawancara dengan pengambilan contoh secara sengaja, yaitu responden yang

memenuhi kriteria sebagai : (1) pedagang pengumpul dan; (2) nelayan

teripang. Dengan mengetahui data tangkapan per upaya maka dapat diketahui

indikator kelimpahan stok.

Untuk memperoleh hasil kinerja sasi yaitu dengan metode wawancara pada

responden yang diambil secara sengaja dengan kriteria yaitu (1). Staf

Pemerintah negeri; (2) Tokoh adat/ agama; (3) Nelayan teripang. Empat

indikator utama yang digunakan yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial,

keberlanjutan biologi dan pemerataan. Hasil analisa keempat indikator akan

dibandingkan antara Negeri Porto dan Desa Warialau.

Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan melalui wawancara kepada

responden dan juga melalui penelusuran data sekunder. Data sekunder yang

berupa data sosial seperti kelembagaan dan aturan-aturan sasi serta data

ekonomi seperti pendapatan dan nilai jual teripang.

Responden yang dipilih sebagai narasumber terdiri dari 3 profesi yaitu:

Pemerintah Negeri dan Tokoh adat, Nelayan dan Pedagang Pengumpul

(Tabel 6).

Tabel 6. Kategori Responden yang di Wawancara

No. KategoriNelayan

Pemerintah danTokoh Adat

PedagangPengumpul

Porto Warialau Porto Warialau Porto Warialau

1.

2.

3.

4.

5.

Umur (tahun)

Pendapatan (Rp)

Jumlah

responden (jiwa)

Pendidikan

Jumlah Anggota

keluarga (jiwa)

33-65

500.000

-1jt

10

Tidak

tamat

SD-

tamat

SMA

5-8

27-54

<500.000

20

Tidak

tamat SD-

SMA

3-8

51-60

500.000

->1 jt

5

Tamat

SD-

sarjana

4-8

49-68

<500.000-

1 jt

5

Tidak

tamat SD-

tamat

SMA

1-2

50-55

> 1 jt

3

Tamat

SD-

tamat

SMA

2-5

48-65

> 1jt

3

Tamat

SD-tamat

SMA

4-6

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang

Analisa data kepadatan, kelimpahan dan frekuensi kehadiran digunakan

formula menurut Misra (1968) dalam Budiman dan Darnaedi (1982) sebagai

berikut :

Jumlah ind. suatu spesiesKepadatan (ind/m2) =

Luas total PP

Jumlah ind. suatu spesiesKepadatan Rel (%) =

Total ind. semua spesiesJumlah PP dimana suatu sp ditemukan

Frek. Kehadiran =Total petak pengamatan

Frek. Kehadiran suatu spesiesFrek. Keh. Rel (%) =

Total Frek. Keh semua spesies

ket : PP = petak pengamatanind. = individufrek = frekuensi

Untuk menghitung potensi sumberdaya teripang digunakan formula yang

dikemukakan oleh Sloan (1985) yang dihitung sebagai berikut :

Potensi (Ind) = Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2)

3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan

Dari data pengukuran parameter lingkungan (Lampiran 2), kemudian

disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya dan pengayaan stok menurut

Martoyo et al, 2002 dan Wibowo, et,. 1997.

3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan

Untuk mengestimasi hasil tangkapan setiap tahun di negeri Porto, dengan

rumus sederhana :

Hasil Tangkapan (kg/thn) = KN x JB x TB

Ket : KN = Jumlah Kelompok Nelayan (org), JB = Jumlah bulan aktifitas tangkap,

TB = tangkapan/bulan.

x 100

x 100

3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi

Untuk mengetahui kinerja sasi laut Negeri Porto perlu dilakukan melalui

tiga indikator sebagaimana yang dikemukakan oleh Novaczek et. el., 2001. yaitu :

1. Indikator Efisiensi

Bertujuan untuk menilai kinerja suatu rezim dengan melihat bersaran semakin

Tinggi efisiensi atau produktifitasnya, semakin baik atau suatu rezim.

Indikator kinerja efisiensi yang digunakan.

Pengambilan keputusan secara bersama.

Kemudahan ke sumberdaya

Pengawasan terhadap akses ke sumberdaya

Kepatuhan terhadap peraturan

Novaczek et. el. 2001 membagi kriteria keberlanjutan menjadi

keberlanjutan menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Suatu rezim

dikatakan berkinerja baik secara sosial jika rezim tersebut dapat mempertahankan

tradisi aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan,

menjaga keharmonisan masyarakat serta memberikan ruang bagi

masalah- masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama. Sementara itu rezim

dikatakan berlanjut secara biologi apabila kesehatan sumberdaya dan hasil

tangkapan ikan tetap baik.

2. Indikator Keberlanjutan sosial

Pendapatan

Kesejahteraan keluarga

Keharmonisan masyarakat

Tradisi aksi bersama

Pembahasan tentang masalah – masalah desa

3. Indikator Keberlanjutan biologi

Ukuran teripang

Hasil tangkapan teripang

4. Indikator Pemerataan

Pemerataan tidak berarti sama rata. Pemerataan dalam konteks

pemanfaatan sumberdaya perikanan ini lebih tepat diartikan keadilan. Artinya

setiap orang harus diperlakukan dengan adil sesuai dengan haknya dan tanggung

jawabnya. Semakin adil, semakin baik kinerja, semakin rendah tingkat

ketimpangan, semakin baik kinerja. Indikator Pemerataan terbagi atas :

Kesempatan memanfaatkan sumberdaya

Pemerataan hasil

Kesempatan bagi nelayan lokal

Komponen dalam tiap indikator kinerja di nilai dengan sistim skoring.

Sistem skoring diberikan dengan batasan. : Tinggi = 3; Sedang = 2; Rendah = 1.

Setiap hasil penilaian akan dikompilasikan secara tabular. Setiap nilai akan

dihitung kontribusinya secara proposional terhadap nilai efisiensi. Seluruh

komponen-komponen dalam tiap indikator kinerja akan dianalisis secara

deskriptif.

3.5 Alternatif Strategi Pengelolaan

Untuk mengkaji arah pengelolaan sumberdaya teripang di Negeri Porto,

Kabupaten Maluku Tengah, maka dilakukan berdasarkan hasil analisis kondisi

sumberdaya teripang, parameter lingkungan perairan, perikanan teripang dan data

sosial ekonomi kemudian dipadukan dengan hasil analisis efisiensi kinerja pada

lokasi ini yang dibandingkan dengan sasi pada desa Warialau Kabupaten

Kepulauan Aru. Hasil analisis tersebut dapat memberikan gambaran untuk

merumuskan strategi-strategi pengelolaan sumberdaya teripang pada daerah

intertidal di Negeri Porto yang juga disesuaikan dengan pendekatan teoritis.

IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Kondisi Iklim

Negeri Porto

Iklim yang terdapat di Kecamatan Saparua adalah iklim tropis dan iklim

musim. Oleh karena luasnya wilayah ini dimana pulau-pulau yang tersebar

dalam jarak yang berbeda-beda, sehingga iklim yang terjadi di Kecamatan

Saparua adalah iklim musiman. Keadaan musim teratur, musim Timur

berlangsung dari bulan Maret sampai Oktober. Musim ini adalah musim kemarau.

Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada

bulan April sampai bulan September dan yang paling deras terjadi pada bulan

Desember dan Pebruari. Musim Pancaroba dalam bulan Maret/April dan

Oktober/Nopember. Bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara.

Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras

dan laut bergelora. Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara

dan Selatan sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober

sampai Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut

dominant 28%.

Keadaan curah hujan secara umum dapat digambarkan antara

3000 – 4500 mm pertahun terdapat di Kecamatan Saparua. Suhu rata-rata untuk

tahun 2008 sesuai data Stasiun Meterologi Amahai adalah 26,2 ºC dengan suhu

minimum absolute rata-rata 22,8ºC dan suhu maksimum absolute rata-rata 30.6ºC.

Rata-rata Kelembapan Udara relatif 83.3%; Penyinaran matahari rata-rata

64,7 %; dan tekanan udara rata-rata 1.013,3 milibar. Berdasarkan klasifikasi

agrklimate menurut Oldeman (1980), Maluku Tengah terbagi dalam empat zone

agroklimat dimana Kecamatan Saparua termasuk dalam kategori Zone III.1

yakni : bulan basah 5 – 6 bulan dan kering < 2 bulan.

Desa Warialau

Iklim yang terdapat di kepulauan Aru dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut

Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur

dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi

perubahan. Keadaan musim teratur, musim Timur berlangsung dari bulan April

sampai Oktober . Musim ini adalah musim Kemarau. Musim Barat berlangsung

dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada bulan Desember sampai

Pebruari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim

Pancaroba berlangsung dalam bulan Maret/April dan Oktober/ Nopember. Bulan

April sampai Oktober, bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup

pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora.

Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara dan Selatan

sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober sampai

Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut dominan

28%. Berdasarkan klasifikasi Agroklimat menurut Oldeman (1980), Kepulauan

Aru terbagi dalam dua Zona Agroklimat C2 bulan basah 5 - 6 bulan dan kering

2-3 bulan.

4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang

4.2.1. Komposisi Sumberdaya Teripang

Dari hasil pengambilan contoh teripang di Negeri Porto, diperoleh 8 jenis

teripang yang tergolong ordo Aspidochirotida yang terdiri dari 2 famili dan

4 genera (Tabel 7). Kedelapan jenis tersebut yaitu Actinopyga miliaris,

A.lecanora, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis,

H.fuscogilva, H.atra dan Stichopus variagatus. Dari kedelapan jenis ini, 1 jenis

termasuk kategori mahal (utama), 2 jenis kategori sedang dan 5 jenis kategori

murah. Sebaliknya di Desa Warialau diperoleh 10 jenis teripang yaitu Actinopyga

miliaris, A.lecanora, A.echinities, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, B.argus

Holothuria edulis, H.scabra, Stichopus chloronotus dan Thelenota ananas.

Kesepuluh jenis tersebut terdiri dari kategori mahal (utama) 2 jenis, sedang 3

jenis dan 5 jenis murah (Tabel 8).

Tabel 7. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto

Kelas Ordo Famili Genera Spesies Kategori

Holothuroidea Aspidochirotida Holothuriidea Actinopyga

Bohadschia

Holothuria

A.miliaris

A.lecanora

B.marmorata

Bohadschia sp

H.edulis

H.fuscogilva

H.atra

Sedang

Sedang

Murah

Murah

Murah

Mahal

Murah

Stichopodidae Stichopus S.variagatus Murah

Tabel 8. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau

Kelas Ordo Famili Genera SpesiesKategori

Holothuroidea Aspidochirotida Holothuriidea Actinopyga

Bohadschia

Holothuria

A.miliaris

A.lecanora

A.echinities

B.marmorata

Bohadschia sp

B.argus

H.edulis

H.scabra*

Sedang

Sedang

Sedang

Murah

Murah

Murah

Murah

Mahal

Stichopodidae Stichopus S.chloronotus Murah

Thelenota T.ananas* Mahal

4.2.2.Kepadatan Sumberdaya Teripang

Di Negeri Porto, Kepadatan tertinggi ditemukan pada Bohadschia

marmorata yaitu sebesar 0.0321 ind/m2 dengan kepadatan relatif 62.79%,

sedangkan kepadatan tertendah ditemukan pada Stichopus variagatus yaitu

sebesar 0.0005 ind/m2 (0.93%) (Gambar 6). Dari Gambar 6, terlihat bahwa

kepadatan relatif antara setiap jenis teripang yang ada di Negeri Porto mempunyai

perbedaan yang relatif jauh, yaitu Bohadschia marmorata 62.79%, sedangkan

ketujuh jenis lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 15%. Sebaliknya

di Desa Warialau kepadatan tertinggi ditemukan pada spesies Holothuria scabra

yaitu 1.000 ind/m2 (65.00%), sedangkan kepadatan terendah ditemukan pada

Actinopyga echinities sebesar 0.022 ind/m2 dengan kepadatan relatif 1.4286%

(Gambar 7). Dari Gambar 7, juga menunjukan hal yang sama yaitu kepadatan

relatif dari Holothuria scabra sangat tinggi yaitu 65% dan kesembilan jenis

lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 10%.

0.00000.0050

0.01000.01500.02000.0250

0.03000.0350

Bohadschia

marmora

ta

Bohadschia

sp

Actinopyga

miliaris

Actinopyga

lecanora

Holothuria

edulis

Holothuria

fuscogilv

a

Holothuria

atra

Stichopus va

riegates

Jenis Teripang

Kep

ad

ata

n(I

nd

/m

2 )

0.000010.0000

20.000030.000040.000050.0000

60.000070.0000

Kep

ad

ata

nR

ela

tif

(%)

Kepadatan Kepadatan relatif

Gambar 6. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripangdi Negeri Porto

0.0000

0.2000

0.4000

0.6000

0.8000

1.0000

1.2000

Actinop

yga

miliar

is

Bohad

schia

mar

mor

ata

Actinop

yga

echin

ities

Holo

thuria

edulis

Bohad

schia

sp

Holo

thuria

scabr

a

Thelen

ota an

anas

Actinop

yga

lecan

ora

Bohad

schia

argus

Sticho

pus ch

loron

atus

Jenis Teripang

Kep

ad

ata

n(I

nd

/m

2)

0.0000

10.0000

20.0000

30.0000

40.0000

50.0000

60.0000

70.0000

Kep

ad

ata

nR

ela

tif

(%)

Kepadatan Kepadatan Relatif

Gambar 7. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripangdi Desa Warialau

Secara keseluruhan kepadatan sumberdaya teripang di Negeri Porto yang

terdiri dari 8 jenis yaitu 0.051 ind/m2, sedangkan di Desa Warialau yang terdiri

10 jenis yaitu sebesar 1.539 ind/m2. Teripang diberbagai wilayah Indonesia

memperlihatkan kepadatan yang sangat rendah, bervariasi antara 0.003-2.98

individu/m2 (Tabel 9). Tabel 9 menunjukan hasil pengamatan kepadatan teripang

di berbagai lokasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dari

Tabel 9 ini terlihat bahwa untuk Provinsi Maluku, kepadatan teripang sangat

tinggi untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Tanimbar Selatan), Maluku

Tenggara (Teluk Un) dan Kepulauan Aru (Desa Warialau) yaitu dengan

kepadatan berkisar antara 1.539-2.75 ind/m2, sebaliknya di Kabupaten Maluku

Tengah, kepadatan jenis teripang dibawah 1 ind/m2

Tabel 9. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan

LokasiKepadatan(Ind/m2)

Referensi

Abubu, Nusalaut, MalukuSopura, Kolaka, Sulawesi

Waisisil, Saparua, Maluku

Bunaken, Sulawesi Utara

Yamdena, Tanimbar Selatan

Batunampar, Lombok

P.Pari, Kepulauan Seribu

Sapeken, Kangean, MaduraLembata, Flores TimurTeluk Un, Pulau Dulah, MalukuDesa Ihamahu & Kampung Mahu, SaparuaDesa Tuhaha, SaparuaDesa Ouw, SaparuaDesa Makariki, Pulau SeramDesa Rutong, Kota AmbonNegeri Porto, Saparua, Maluku*)Desa Warialau, Kep. Aru, Maluku*)

0.0790.003-0.4

0.88

2.98

2.75

0.19

0.24

300.612.34

0.0290.23

0.0240.3310.0240.0511.539

Matahurila, D (2001)Mangawe, A.G danR.Daud (1988)Andamari, R. et al(1989)Tamanampo,J.F.W.S.etal (1989)Rumahpurute Boedje(1990)Prahoro,P dan Suprapto(1991)Pralampita, W.A.et al(1992)Suprapto et al (1992)Nuraini, S.et al (1992)Radjab, A.W (1996)Berhitu, 2001Sahetapy, 2001Hutubessy, 2001Thenu, 2003Ayal & Souhoka, 2004Penelitian iniPenelitian ini

Untuk nilai potensi teripang di negeri Porto yaitu 12.240 individu,

sedangkan untuk desa Warialau yaitu 172.368 individu. Dari kedua nilai potensi

ini terlihat bahwa potensi teripang di Desa Warialau lebih tinggi sekitar 14 kali,

meskipun luas wilayah yang diijinkan untuk melakukan penelitian lebih kecil dari

Negeri Porto, karena desa Warialau sedang melakukan waktu “tutup sasi”

teripang.

4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang

Spesies yang memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi di Negeri Porto yaitu

Bohadschia marmorata dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0.5357 dan

frekuensi kehadiran relatif sebesar 57.6923% dan disusul oleh Holothuria edulis

dengan nilai frekuensi kehadiran 0.1488 (16.0256%). Sementara spesies dengan

nilai frekuensi kehadiran yang terendah yaitu Stichopus variagatus dengan nilai

frekuensi kehadiran dibawah 0.0060 dan frekuensi kehadiran relatif 0.6410%

(Tabel 10). Di Desa Warialau, frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh

Holothuria scabra dengan nilai frekuensi kehadiran 0.6154 dan frekuensi

kehadiran relatif 54.3689%, sedangkan Actinopyga echinities merupakan jenis

dengan nilai frekuensi kehadiran terendah yaitu 0.0220 dan frekuensi kehadiran

relatif yaitu 1.9417% (Tabel 11).

Tabel 10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto

JenisNilai

Frekuensi Kehadiran Frek.Kehadiran Relatif (%)

Bohadschia marmorata

Bohadschia sp

Actinopyga miliaris

Actinopyga lecanora

Holothuria edulis

Holothuria fuscogilva

Holothuria atra

Stichopus variagatus

0.5357

0.0234

0.0893

0.0417

0.1488

0.0476

0.0357

0.0060

57.6923

2.5641

9.6154

4.4872

16.0256

5.1282

3.8462

0.6410

Jumlah 0.9286 100

Tabel 11. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau

JenisNilai

Frek.Kehadiran Frek.Kehadiran Relatif (%)

Actinopyga miliaris

Bohadschia marmorata

Actinopyga echinities

Holothuria edulis

Bohadschia sp

Holothuria scabra

Thelenota ananas

Actinopyga lecanora

Bohadschia argus

Stichopus chloronotus

0.0549

0.0549

0.0220

0.0769

0.0549

0.6154

0.0989

0.0440

0.0769

0.0330

4.8544

4.8544

1.9417

6.7961

4.8544

54.3689

8.7379

3.8835

6.7961

2.9126

Jumlah 1.1319 100

4.2.4 Habitat Sumberdaya Teripang

Penyebaran teripang berdasarkan habitatnya terlihat begitu variasi mulai

dari rataan pasir, zona lamun, Zona Algae, Tubir dan Lereng (Tabel 12.) Zona

rataan pasir hanya ditemukan 3 jenis yaitu Bohadschia marmorata, Bohadschia sp

dan Actinopyga miliaris. Pada zona ini ketiga jenis harus beradaptasi pada

kondisi kekeringan saat surut terendah. Selanjutnya pada zona lamun dengan jenis

yang dominan yaitu Enhalus acioroides dan Thalassia hemprichii ditemukan

4 jenis teripang antara lain, Bohadschia marmorata, Actinopyga miliaris,

Holothuria edulis dan Holothuria atra. Keempat jenis teripang yang ada pada

zona ini harus dapat beradaptasi ketika air surut terendah, biasanya masih tersisa

air setinggi 20 cm. Untuk zona pertumbuhan algae, mempunyai substrat berupa

campuran pasir dan pecahan karang. Jenis Algae yang ditemukan teripang yaitu

jenis Sargassum sp dan Laminaria sp, sedangkan jenis teripang yang ada pada

zona ini adalah Bohadschia sp, Actinopyga miliaris dan Holothuria edulis.

Selanjutnya pada zona tubir, ditutupi oleh substrat keras berupa pecahan kerang,

karang mati dan bongkah karang. Teripang yang ditemukan pada zona ini adalah

Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis,

H.fuscogilva H.atra dan Stichopus variagatus. Untuk zona lereng terumbu,

ditumbuhi oleh berbagai koloni karang batu, karang lunak dan spons. Substrat

pada zona ini, umumnya berupa substrat keras yang terdiri dari pecahan karang,

boulders dan diantara koloni karang masih terdapat pasir karang. Jenis teripang

yang ditemukan antara lain, Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata,

Bohadschia sp, Holothuria edulis, H.fuscogilva, dan H.atra.

Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan)

di Negeri Porto terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal,

ditemukan 2-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan

6-27 jenis (Gambar 8). Dari Gambar 8, terlihat bahwa semakin ke arah laut jenis

teripang semakin banyak dan jumlah per jenis semakin kecil.

Bohadschia marmorata dan Holothuria edulis merupakan dua jenis yang

ditemukan menyebar secara merata pada tiap kuadrat pengamatan, sehingga dapat

dikatakan bahwa kedua jenis ini mempunyai habitat mulai dari perairan dangkal

sampai dalam. Bohadschia marmorata, dapat ditemukan pada rataan pasir, zona

lamun, tubir dan lereng terumbu, sedangkan Holothuria edulis menyebar mulai

dari habitat lamun, algae, tubir dan lereng terumbu. Stichopus variagatus

merupakan jenis yang penyebaran secara vertikal sangat terbatas, yaitu hanya

pada daerah tubir karang.

Tabel 12. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto

No Jenis Teripang

Zonasi

RataanPasir

ZonaLamun

Zona Algae Tubir Lereng

1. Bohadschia marmorata

2. Bohadschia sp

3. Actinopyga miliaris

4. Actinopyga lecanora

5. Holothuria edulis

6. Holothuria fuscogilva

7. Holothuria atra

8. Stichopus variagatus

0

5

10

15

20

25

Jum

lah

Ind

ivid

uy

an

gd

ite

mu

ka

n(e

ko

r)

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)

Bohadschia marmorata

Bohadschia sp

Actinopyga miliaris

Actinopyga lecanora

Holothuria edulis

Holothuria fuscogilva

Holothuria atra

Stichopus variegates

Gambar 8. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukanberdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Negeri Porto

Di Desa Warialau Penyebaran teripang berdasarkan habitat cukup

bervariasi yaitu dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng

(Tabel 13). Empat jenis ditemukan pada zonasi rataan pasir, tiga jenis pada zona

lamun, lima jenis pada zona algae, sembilan jenis di zonasi tubir serta tujuh jenis

di lereng terumbu. Pada zonasi lamun, jenis lamun yang dominan yaitu Thalassia

hemprichii, Cymodeocea rotundata dan Enhalus acoroides. Selanjutnya pada

zonasi algae, didominasi oleh algae jenis Gracilaria, Sargassum sp dan

Laminaria sp.

Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan)

di Desa Warialau terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal,

ditemukan 1-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan

3-18 jenis (Gambar 9). Selain itu dari pengamatan secara vertikal dapat dilihat

juga bahwa semakin ke arah laut jumlah jenis yang ditemukan semakin banyak

dan jumlah untuk setiap jenis semakin rendah. Holothuria scabra merupakan jenis

yang daerah penyebarannya cukup luas yaitu mulai dari petak pengamatan

pertama sampai kesebelas, hal ini dimungkinkan karena dapat beradaptasi pada

habitat yang bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae dan tubir

terumbu. Selanjutnya jenis yang penyebarannya sempit yaitu Actinopyga lecanora

dan A.echinities, hal ini disebabkan karena adaptasi habitat tidak terlalu

bervariasi. Actinopyga lecanora mempunyai habitat hanya pada zonasi tubir dan

lereng terumbu dan Actinopyga echinities, habitatnya pada zona algae, hingga

tubir dan lereng terumbu.

Tabel 13. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Jum

lah

Ind

ivid

uya

ng

dit

em

uka

n

(eko

r)

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII

Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)

Actinopyga miliaris

Bohadschia marmorata

Actinopyga echinities

Holothuria edulis

Bohadschia sp

Holothuria scabra

Thelenota ananas

Actinopyga lecanora

Bohadschia argus

Stichopus chloronatus

Gambar 9. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukanberdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Desa Warialau

4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang

1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan

Dalam penelitian ini, parameter fisik-kimia perairan yang diukur karena

merupakan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan teripang

No Jenis Teripang

Zonasi

RataanPasir

ZonaLamun

Zona Algae Tubir Lereng

1. Actinopyga miliaris

2. Actinopyga echinities

3. Bohadschia marmorata

4. Holothuria edulis

5. Bohadschia sp

6. Holothuria scabra

7. Thelenota ananas

8. Actinopyga lecanora

9. Bohadschia argus

10. Stichopus chloronotus

yaitu suhu permukaan air laut, derajat keasaman, kadar garam, oksigen terlarut,

kecerahan dan arus.

a. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu di lapangan terlihat bahwa kisaran suhu untuk

Negeri Porto yaitu berkisar antara 27-300C, dengan rerata 28.50C, serta untuk

Desa Warialau dengan kisaran 27-300C dengan rerata 28.80C. Menurut

Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, kisaran suhu untuk persyaratan

budidaya teripang yaitu 24-300C dan kedua lokasi memenuhi persyaratan tersebut.

b. Derajat Keasaman (pH)

pH perairan untuk Negeri Porto yaitu memiliki nilai kisaran 7.8-8.4

dengan nilai rerata 8.3. Selanjutnya untuk Desa Warialau mempunyai kisaran

pH 7.1-7.4 dengan rerata 7.2. Apabila mengacu pada persyaratan budidaya

teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, dimana nilai pH

6.5-8.5, maka dapat diakatkan untuk persyaratan derajat keasaman (pH) maka

kedua lokasi memenuhi syarat.

c. Kadar Garam (Salinitas)

Distribusi salinitas di perairan pesisir dan laut juga merupakan salah satu

faktor oseanografi yang turut mempengaruhi eksistensi sumberdaya hayati di

perairan pesisir dan laut. Data tentang salinitas memberikan justifikasi tentang

kondisi kadar garam suatu perairan. Untuk Negeri Porto, kisaran nilai salinitas

30-34 ‰, dengan rerata 32.6‰. Selanjutnya untuk Desa Warialau salinitas

berkisar antara 33-35‰ dengan rerata 33.4‰. Menurut Martoyo, et al 2002 dan

Wibowo, et al, 1997, teripang dapat menyesuaikan diri pada kadar garam

(salinitas) 28-33‰. Air laut umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan

di perairan pantai berkisar antara 32-35 ‰ (DKP, 2004). Dengan mengacu pada

persyaratan alami untuk pertumbuhan teripang, maka dapat dinyatakan bahwa

kisaran salinitas dari kedua lokasi yang memenuhi persyaratan untuk budidaya

teripang.

d. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) sangat dibutuhkan untuk kehidupan organisme

akuatik. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesa tanaman akuatik,

dimana jumlahnya tidak tetap karena tergantung dari jumlah tanamannya dan dari

atmosfer atau melalui difusi udara yang masuk ke dalam air dengan jumlah yang

terbatas. Konsentrasi DO pada lapisan kolom air permukaan di laut untuk Negeri

Porto berkisar 6-8.6, dengan nilai rerata 8.1, sedangkan untuk Desa Warialau

7.2-7.5 serta nilai rerata 7.3. Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al,

1997 oksigen terlarut untuk budidaya teripang berkisar antara 4-8. Dengan

demikian dapat terlihat bahwa kedua lokasi mempunyai nilai DO yang sesuai

untuk budidaya teripang.

e. Kecerahan

Hasil pengukuran kecerahan untuk dua lokasi yaitu Negeri Porto dan Desa

Warialau, menunjukan bahwa tingkat kecerahan kisarannya cukup berbeda, yaitu

16-27 m dengan rerata 21.6 meter untuk Negeri Porto dan 6-16 m dengan rerata

11 m untuk Desa Warialau. Jika disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya

teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, nilai kecerahan

lebih dari 5 meter. Dengan demikian maka kecerahan pada kedua lokasi

memenuhi persyaratan untuk budidaya teripang. Di lokasi perairan yang memilki

tingkat kecerahan yang tinggi maka penentrasi cahaya matahari kedalam kolom

perairan cukup baik sehingga proses fotosintesis tumbuhan akuatik dapat

berlangsung dengan baik untuk menghasilkan oksigen, guna menopang kehidupan

diperairan.

f. Arus

Dari hasil perhitungan kecepatan arus permukaan di Negeri Porto dan

Desa Warialau terlihat bahwa keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu 0.3 m/s

dengan rerata 0.3 m/s. Untuk budidaya teripang kecepatan arus berkisar antara

0.3-0.5 m/s (Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997). Dengan mengacu

pada nilai tersebut, maka untuk Negeri Porto dan Desa Warialau, budidaya

teripang dapat dilakukan karena mempunyai kecepatan arus yang masuk dalam

interval pertumbuhan optimal teripang.

Dari keenam faktor lingkungan yang diukur diatas terlihat bahwa budidaya

teripang untuk kedua lokasi dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa

semua faktor-faktor utama yang menentukan budidaya teripang menurut Martoyo

et al, 2002 dan Wibowo et al, 1997, dapat terpenuhi baik di Negeri Porto maupun

Desa Warialau (Tabel 14).

Tabel 14. Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang

ParameterPorto Warialau Persyaratan Budidaya

Kisaran Rerata Kisaran Rerata Martoyo, et al,2002

Wibowo, et al,1997

Suhu (0C)

pH

Salinitas (‰)

DO

Kecerahan (m)

Arus (m/s)

27-30

7.8-8.4

30-34

6-8.6

16-27

0.3

28.5

8.3

32.6

8.1

21.6

0.3

27-30

7.1-7.4

33-35

7.2-7.5

6-16

0.3

28.8

7.2

33.4

7.31

11

0.3

24-30

6.5-8.5

28-32

4-8

> 5m

0.3-0.5

27-30

6.5-8.5

29-33

4-8

> 5 m

0.3-0.5

2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang

Hasil analisis sedimen pada Negeri Porto dan Desa Warialau, dilakukan

pada beberapa lokasi (titik pengamatan) yang mewakili substrat yang dominan

yaitu rataan pasir, lamun dan rumput laut (algae), sedangkan untuk tubir dan

lereng terumbu, tidak diambil untuk analisa sedimen karena diwakili oleh substrat

yang keras.

Secara menyeluruh hasil analisis menunjukan bahwa pada kedua lokasi

substrat didominasi oleh sedimen berupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm).

Sebaran sedimen berada pada kisaran ukuran pasir yaitu sebesar 92.07%

di negeri Porto dan 94.11% di desa Warialau. Untuk lokasi penelitian di Porto

dominasi pasir kasar berkisar antara 37.72 – 46.53 % (rerata 41.70%), sedangkan

lokasi Warialau antara 44.75 – 49.24 % (rerata 47.49%), selanjutnya diikuti oleh

pasir sedang pada negeri Porto dengan rerata 31.26% dan Desa Warialau 20.99%

(Tabel 15).

Tabel 15. Persentase Rata-Rata Kondisi Sedimen Pada Stasiun Pengamatan

ButiranUkuranButiran(mm)

Persentase Sedimen/Stasiun(%)

P1 P2 P3 W1 W2 W3

Granules

Very Coarse Sand

Coarse Sand

Medium Sand

Fine Sand

Very Fine Sand

Silt

Clay

4

2

1

0.5

0.25

0.125

0.064

≤0.038

7.40

15.44

37.72

29.30

6.86

3.05

0.22

0

3.97

11.26

40.85

40.86

2.98

0.09

0

0

12.21

17.57

46.53

23.62

0.07

0

0

0

4.02

20.68

44.75

20.69

0.00

4.44

5.42

0

3.92

20.97

49.24

21.53

2.67

1.66

0.01

0

4.30

22.16

48.48

20.74

3.27

1.06

0

0

Total 100 100 100 100 100 100

Keterangan : P= Porto, W=Warialau

4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang

Sebaran panjang dari setiap teripang berbeda-beda baik di negeri Porto

maupun Desa Warialau. Data sebaran panjang merupakan data panjang setiap

jenis teripang yang ditemukan pada setiap kuadrat. Sebaran panjang digunakan

untuk membandingkan ukuran tingkat kematangan gonad beberapa jenis teripang

yang ditemukan di kedua lokasi penelitian. Keempat jenis teripang yang terwakili

dari kedua lokasi merupakan jenis dengan kategori mahal, sedang, murah dan

yang memiliki kepadatan tertinggi. Untuk negeri Porto diwakili oleh Bohadschia

marmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra

(Gambar 10, Tabel 16). Di Desa Warialau diwakili oleh Holothuria scabra,

Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas (Gambar 11,

Tabel 17).

0

10

20

30

40

50

60

0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 351-400 401-450

Panjang Teripang (mm)

Fre

ku

en

si

(eko

r)

Gambar 10. Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto

Tabel 16. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Negeri Porto

JenisUkuran Panjang

(mm)Frekuensi

(ekor)

Holothuria fuscogilva166-248

40481

Actinopyga miliaris74-90

264-38313

4

Holothuria atra183-205246-270

52

0

5

10

15

20

25

30

0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350

Panjang Teripang (mm)

Fre

ku

en

si

(eko

r)

Gambar 11. Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau

Tabel 17. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Desa Warialau.

JenisUkuran Panjang

(mm)Frekuensi

(ekor)

Actinopyga echinities98-173 2

Actinopyga miliaris105-275 5

Thelenota ananas97-332 11

4.4 Perikanan Teripang

Hasil Tangkapan

Negeri Porto, yang terletak di pulau Saparua yang merupakan daerah

sebaran teripang, telah terjadi penurunan teripang akibat adanya upaya tangkap

yang tinggi. Tingginya upaya tangkap ini disebabkan karena adanya kebijakan

Pemerintah Negeri yang menerapkan sistem lelang atau kontrak, sehingga

menyebabkan pengontrak dapat mengambil sumberdaya yang ada sesuai

keinginan dan kemampuannya. Penurunan sumberdaya teripang ini terlihat di

tahun 2005. Data hasil tangkapan teripang di negeri Porto, tidak ada pencatatan

yang sistematis, namun jika diestimasi secara sederhana untuk data tangkapan

teripang tahun 2004-2007 terlihat bahwa terjadi penurunan hasil tangkap setiap

tahun berkisar antara 33.33%-50% bahkan jika diamati secara saksama maka

dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan di tahun 2007 hanya sekitar 10% dari hasil

tangkapan tahun 2004 (Gambar 12).

Upaya penangkapan terdiri dari dua kelompok nelayan dan masing-masing

berjumlah lima orang. Penangkapan biasanya tidak dilakukan pada bulan Juni-

Juli, karena kondisi laut yang tidak memungkinkan dengan ketinggian gelombang

tinggi 3-4 meter dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Selain itu pada bulan

Desember juga aktifitas penangkapan sangat rendah bahkan hampir tidak ada

karena menjelang perayaan natal serta kondisi laut yang kurang bersahabat juga.

Penangkapan teripang oleh para nelayan teripang ini dilakukan dengan

cara sederhana yaitu diambil secara langsung dengan tangan dan menggunakan

alat penjepit yang terbuat dari bambu bulu dengan panjang 1,5-4 meter, sedangkan

mata penjepit terbuat dari besi. Perahu yang digunakan mempunyai ukuran

panjang 4-6 meter dan ada yang menggunakan motor tempel dan ada yang

menggunakan kekuatan nelayan dalam mendayung.

0

100

200300

400

500

600

700

800900

1000

1100

1200

2004 2005 2006 2007

Tahun

Hasil

Tan

gkap

an

(kg

keri

ng

)

Gambar 12. Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007

Operasi penangkapan dilakukan biasanya pada saat air laut mulai surut,

baik pada pagi maupun malam hari, dengan lama operasi 4-6 jam. Untuk operasi

malam hari digunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Teripang

ditangkap dengan menggunakan alat penjepit, namun posisi nelayan tetap diatas

perahu. Ketajaman penglihatan sangat diperlukan pada saat operasi malam hari.

Karena biasanya teripang akan bersembunyi di bawah substrat tempat hidupnya

atau bersembunyi disekitar batu karang. Untuk perairan dangkal, langsung

ditangkap dengan tangan. Operasi tangkapan akan berhenti bila hasil tangkapan

dirasakan cukup banyak, air mulai pasang atau keadaan cuaca yang tidak

memungkinkan seperti hujan, ombak yang tidak memungkinkan lagi untuk

aktivitas penangkapan.

Untuk Desa Warialau, tidak ada pencatatan hasil tangkapan teripang, hal

ini disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur,

namun bisa mencapai 3-5 tahun sekali serta didasarkan pada kesepakatan bersama

antara masyarakat dengan pemerintah desa. Hasil tangkapan teripang tahun 2006,

pada saat buka sasi yaitu sebanyak 4.800 kg. Jumlah hasil tangkapan ini

didasarkan pada perhitungan dengan estimasi sederhana, yang didasarkan dengan

waktu buka sasi 2 minggu (12 hari, karena hari minggu dilarang beraktifitas)

masing-masing penduduk usia dewasa diberi kesempatan mengambil teripang

sebanyak 1 bakul (± 1 kg kering), jumlah penduduk dewasa sekitar 400 orang

(umumnya semua penduduk akan berkumpul ketika acara buka sasi). Aturan yang

sama tetap diberlakukan, sehingga diperkirakan jumlah tangkapan tidak berbeda

jauh setiap waktu buka sasi, yang kadang mengalami perubahan yaitu jumlah

penduduk yang terlibat dalam proses penangkapan teripang.

Nilai Jual Teripang

Hasil tangkapan teripang yang dihasilkan di Pulau Saparua termasuk

didalamnya Negeri Porto, biasanya dijual ke pedagang pengumpul di Saparua

maupun dijual langsung ke Kota Ambon. Teripang merupakan sumberdaya yang

sangat diminati sehingga permintaan terhadap sumberdaya ini cukup tinggi baik

jenis yang termasuk kategori tinggi, sedang maupun mahal. Untuk hasil tangkapn

teripang yang ada di Provinsi Maluku (contohnya Kota Ambon dan Dobo)

umumnya diekspor ke Surabaya, namun harga teripang di Kota Ambon lebih

rendah (Gambar 13). Dari Gambar 13 terlihat bahwa, harga teripang tertinggi

untuk kategori besar (ukuran 15-20 cm yang mencapai berat 1 kg) yaitu jenis

Actinopyga lecanora dengan harga Rp.200.000, sedangkan harga terendah untuk

ukuran kecil yaitu Rp.20.000.

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

Bohadsc

hia m

armora

ta

Actinopyg

a mili

aris

Holoth

uriaedul

is

Bohadsc

hia

sp

Actinopyg

a leca

nora

Holoth

uriafu

scogi

lva

Holoth

uriaatra

Stich

opus va

riaga

tus

Jenis Teripang

Nil

aiJu

al(R

p/k

gke

rin

g)

Besar

Sedang

Kecil

Gambar 13. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Kota AmbonHarga teripang yang tertinggi untuk Provinsi Maluku, yaitu di Kepulauan

Aru khususnya di Dobo. Meskipun harga juga bervariasi berdasarkan ukuran,

namun Holothuria scabra merupakan jenis yang mempunyai nilai jual tertinggi

yang mencapai harga Rp.750.000 untuk ukuran besar, sedangkan ukuran sedang

Rp.600.000 dan ukuran kecil Rp.500.000. Jenis dengan nilai jual terendah yaitu

Bohadschia argus dan Stichopus chloronatus yaitu dengan nilai jual untuk ukuran

besar Rp.100.000, sedangkan ukuran kecil Rp.25.000 (Gambar 14).

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

Holoth

uriasc

abra

Actin

opyga m

iliar

is

Actin

opyga ech

initi

es

Holoth

uriaedul

is

Bohadsc

hia

sp

Actin

opyga le

canora

Bohadsc

hia

marm

orata

Thele

nota

anan

as

Bohadsc

hia

argu

s

Stich

opus ch

loro

natus

Jenis Teripang

Nila

iJu

al(R

p/k

gke

rin

g)

Besar

Sedang

Keci l

Gambar 14. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Dobo, Kepulauan Aru

Dari Gambar 13 dan Gambar 14, terlihat bahwa teripang yang ada Negeri

Porto merupakan teripang dengan kategori sedang sampai murah dan teripang

yang bernilai tinggi atau mahal sudah sulit ditemukan dan juga jumlah teripang

yang ada mulai menurun, hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan

teripang di desa Warialau. Setiap jenis teripang yang mempunyai nilai ekonomis,

mempunyai harga jual berbeda-beda sesuai dengan ukurannya yaitu besar, sedang

dan kecil. Biasanya penentuan kategori ukuran didasarkan pada ukuran (cm) yang

mencapai berat 1 kg kering ataupun jumlah individu teripang yang mencapai berat

1 kg kering (Tabel 18).

Tabel 18. Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang

Jenis TeripangUkuran (1kg kering)

Besar Sedang Kecil

Holothuria scabra 3 ekor 4 ekor 6 ekorBohadschia marmorata 20 cm 15 cm 5 cmBohadschia sp 20 cm 15 cm 5 cmStichopus variagatus 15-20 cm Tidak ada ukuran sedang 2cmHolothuria atra Hanya ada satu ukuran sajaHolothuria edulis Hanya ada satu ukuran sajaActinopyga lecanora 15 cm 12 cm 7 cmHolothuria fuscogilva 15 cm 12 cm 7 cm

4.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan

4.5.1. Sosial Ekonomi

Pada umumnya masyarakat Negeri Porto mempunyai mata pencaharian

yang bervariasi yang dimulai dengan petani pemilik lahan dengan persentase

tetinggi serta disusul dengan PNS, Pensiunan, Pedagang, Nelayan, dan lainnya.

Dari pekerjaan yang bervariasi maka cukup juga mempengaruhi pendapatan

mereka. Tingkat pendapatan masyarakat Porto bervariasi yaitu antara kurang dari

Rp.250.000-lebih dari Rp.1.000.000 per bulan (Tabel 19). Dari Tabel 19, terlihat

bahwa besar pendapatan tertinggi masyarakat negeri Porto yaitu pada selang

Rp.400.000-Rp.499.000 (34.29%), sedangkan yang terendah yaitu pada besar

pendapatan kurang dari Rp.250.000 (5.43%). Jika kisaran besar pendapatan

diperkecil, maka dapat dijelaskan bahwa kisaran pendapatan kurang dari

Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan

Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

setengah dari penduduk bekerja pendapatannya dibawah Rp.500.000 dan hampir

sebagian penduduk lainnya pendapatannya lebih dari Rp.500.000 atau pendapatan

yang kurang dari sama dengan Rp.1.000.000 sebanyak 84.29%, sedangkan

pendapatan lebih dari Rp.1.000.000 sebanyak 15.71%. Untuk nelayan teripang di

negeri Porto, jika diestimasi pendapatannya secara sederhana, dari hasil tangkapan

pada tahun 2007 sebanyak 180 kg kering dan nilai jual teripang ukuran besar rata-

rata berkisar Rp.200.000-Rp.300.000/kg kering, dengan jumlah nelayan teripang

10 orang, maka pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000/bulan.

Tabel 19. Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau

Besar Pendapatan (Bln)Negeri Porto Desa Warialau

Jiwa (%) Jiwa (%)< Rp.250.000Rp.250.000-Rp.299.000Rp.300.000-Rp.399.000Rp.400.000-Rp.499.000Rp.500.000-Rp.1.000.000>Rp.1.000.000

192541

1209055

5.437.14

11.7134.2925.7115.71

458034271810

21.0337.3815.8912.628.414.67

Jumlah 350 100 214 100

Untuk Desa Warialau, kisaran pendapatan tertinggi yaitu pada kisaran

Rp.250.000-Rp.299.000 (37.38%). Lebih singkat, dapat dijelaskan bahwa kisaran

pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedangkan besar pendapatan

sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar

13.08%. Dengan demikian terlihat bahwa besar pendapatan penduduk bekerja di

Desa Warialau sangat rendah. Jika diestimasi pendapatan penduduk desa Warialau

pada saat buka sasi, dengan jumlah tangkapan 4.800 kg kering dan harga rata-rata

Rp.750.000/kg, dengan jumlah penduduk ± 400 orang, maka besar pendapatan

yaitu Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya pendapatan yang ada, tidak menjadi

sumber pendapatan utama, karena tidak setiap tahun dilakukan penangkapan

karena sedang “tutup sasi”. Tingginya pendapatan penduduk pada saat “buka sasi”

karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun sedang serta dalam

jumlah dan ukuran yang besar.

4.5.2. Kelembagaan

Negeri Porto

Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU nomor

22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu

dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri. Nama wilayah administratif

berubah dari desa menjadi negeri demikian pula organisasi pemerintahannya.

Adapun struktur pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada Negeri

Porto (Gambar 21).

Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan

kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat

mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal, dimana sistem

pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri. Supardal et al,

(2005) mengatakan bahwa UU No.22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya

perbedaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilai-

nilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat

menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan

pembangunan desa. Dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32

Tahun 2004, maka semangat dan keinginan masyarakat untuk memberlakukan

sistem adat dapat terakomodasi. Pada rezim otonomi daerah dimana pelakasanaan

pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yaitu pada Raja dan Kewang

diharapkan dapat berjalan dengan baik.

Gambar 15. Struktur Pemerintahan di Negeri Porto

Desa Warialau

Desa Warialau masih menganut sistem pemerintahan desentralisasi,

dimana Kepala Desa merupakan pemimpin tertinggi dalam desa (Gambar 22).

Meskipun telah terjadi perubahan sistem pemerintahan menjadi otonomisasi,

namun dalam kenyataannya Desa Warialau masih menganut sistem yang lama.

Keunikan dari model pemerintahan di Desa Warialau yaitu masih

mempertahankan adat istiadat dengan sangat teguh meskipun menganut sistem

desentralisasi.Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa,

sekretaris desa, Badan Perwakilan Desa, Kepala-kepala urusan dan kepala dusun.

Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing yang

berbeda. Kepala desa merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur

pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa.

Sekretaris

BPD

Kaur UmumKaur PembangunanKaur Pemerintahan

Raja

Kep SoaWattimury

Kep SoaPolnaya

Kep SoaTetelepta

Kep SoaSahertian

Kep SoaAponno

Kep SoaLatuihamallo

Masyarakat

Gambar 16. Struktur Pemerintahan di Desa Warialau

Sekretaris

BPD

Kaur UmumKaur PembangunanKaurPemerintahan

Kepala Desa

KepalaDusun

KepalaDusun

KepalaDusun

KepalaDusun

KepalaDusun

Masyarakat

Keterangan : Garis Komando

Garis Koordinasi

V. PEMBAHASAN

5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang

5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang

Tingginya spesies Bohadschia marmorata karena penyebarannya cukup

luas yaitu pada habitat karang, berpasir yang relatif kasar juga pada daerah

berlamun. Menonjolnya spesies ini karena ditemukan setengah dari jumlah petak

pengamatan. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Odum (1971), yang menyatakan

bahwa suatu perairan biasanya terdapat banyak jenis organisme tetapi hanya ada

beberapa jenis saja yang menonjol. Tingginya jenis Bohadschia marmorata juga

disebabkan karena termasuk dalam kategori rendah dan relatif murah dan sulit

dalam penangannya, sehingga intensitas penangkapan belum menjadi target

utama, jika dibandingkan dengan jenis yang termasuk dalam kategori mahal dan

sedang. Penyebab lain tingginya Bohadschia marmorata juga disebabkan karena

jenis-jenis dengan kategori mahal (utama) seperti Holothuria scabra dan

Thelenota ananas sudah sulit ditemukan, sehingga jenis-jenis kategori murah

semakin mendominasi dalam komunitas teripang di negeri Porto.

Secara keseluruhan kepadatan teripang di Negeri Porto yang terdiri dari

8 jenis yaitu 0,051 ind/m2. Rendahnya kepadatan teripang disebabkan karena pada

tahun 2005, adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri/Desa

setempat untuk melakukan sistem lelang (kontrak) daerah pasang surut kepada

nelayan teripang dari Madura. Dalam melakukan upaya penangkapan nelayan-

nelayan tersebut menyelam dengan menggunakan kompresor sehingga dapat

memudahkan dalam proses pengambilan teripang pada semua daerah

penangkapan teripang dengan jumlah yang teripang yang tinggi dan berbagai

ukuran untuk semua jenis. Dengan kebijakan yang dianggap merugikan

masyarakat, maka selanjutnya masyarakat tidak menerapkan aturan sasi lagi,

namun upaya penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk mendapat hasil

tangkapan teripang, hal ini juga didukung karena permintaan teripang semakin

meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Akibat tingginya upaya

penangkapan tersebut, maka dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah teripang

dengan kategori tinggi dan mahal hanya ada satu jenis yaitu

Holothuria fuscogilva, sedangkan ketujuh jenis lainnya termasuk kategori sedang

dan rendah (murah). Penurunan jumlah jenis juga terjadi dari 15 jenis menjadi

8 jenis (Anonimous, 2005).

Dari nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Bohadschia

marmorata, hal ini disebabkan karena Bohadschia marmorata mempunyai

kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari

lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa

jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua

habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang

khusus. Untuk keenam jenis teripang lainnya terlihat bahwa nilai frekuensi

kehadiran relatifnya kurang dari 10 persen dan hal itu juga turut mempengaruhi

nilai kepadatan dari spesies-spesies ini.

Tingginya Holothuria scabra diduga karena dapat mendiami habitat

karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus

maupun yang ditumbuhi lamun. Holothuria scabra merupakan jenis teripang

yang termasuk kategori utama, yang relatif mahal dan di lokasi yang lain sudah

sulit ditemukan, sedangkan masih ditemukan pada lokasi ini. Selain itu masih ada

juga jenis yang termasuk kategori utama dan relatif mahal yaitu Thelenota

ananas, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan sasi masih berjalan dengan

baik dan sangat mendukung upaya pelestarian. Hal itu juga diduga karena

pelaksanaan sasi yang cukup lama 3-5 tahun, dimana dapat memberikan peluang

untuk teripang melakukan beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan James et al (1994), bahwa Holothuria scabra mempunyai panjang

maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18 bulan,

jenis ini mencapai kematangan gonad seksual dan mempunyai kemampuan hidup

diperkirakan selama sepuluh tahun.

Kepadatan 10 jenis teripang di Desa Warialau yaitu sebesar 1,539 ind/m2.

Dari kedua nilai kepadatan ini terlihat bahwa nilai kepadatan sumberdaya teripang

di desa Warialau sangat tinggi, karena adanya kemampuan bersaing dalam

menempati habitat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kekenusa (1994),

bahwa kecil atau rendahnya nilai kepadatan mungkin disebabkan oleh kurangnya

kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Selain itu disebabkan pula oleh

adanya pengelolaan berbasis sasi, yang didukung oleh peraturan-peraturan adat

yang sangat ketat serta diawasi oleh seluruh masyarakat. Peraturan-peraturan sasi

di Desa Warialau, sudah mencakup waktu pengambilan teripang 2 minggu

(12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh

melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg

kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan

alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional.

Romimohtarto (1999) mengatakan bahwa suatu individu mempunyai nilai

kepadatan yang tinggi, umumnya karena habitat yang cocok dengannya sehingga

jumlah individu yang diperoleh pada saat pengambilan sampel akan besar.

Sehubungan dengan hal di atas, jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi

keberadaan dari suatu jenis biota laut untuk dapat hidup pada atau di dalam dasar

laut. Namun demikian faktor habitat bukan satu-satunya faktor yang

menyebabkan tinggi atau rendahnya suatu nilai kepadatan dari suatu spesies,

karena faktor lain juga turut pula mempengaruhi keberadaan spesies tersebut

seperti ketersediaan makanan, interaksi antar spesies dan kehadiran predator

(Nybakken, 1988). Kepadatan populasi teripang yang menurun dan akan berada

dibawah “normal” akan berpengaruh terhadap kemungkinan gagalnya fertilisasi.

Hal ini disebabkan karena teripang berkelamin terpisah, memijah dalam air (laut)

dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Teripang mempunyai karakter mobilitas

rendah dan kemungkinan ruang hidupnya sempit. Oleh karena itu untuk suksesnya

fertilisasi, populasi teripang harus dalam jumlah tertentu.

Nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra, hal ini

disebabkan karena Holothuria scabra mempunyai kemampuan beradaptasi yang

tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana

spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai

penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga

dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus.

Dari kedua lokasi ini terlihat baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau,

meskipun jumlah jenis berbeda dimana Desa Warialau memiliki jenis yang lebih

banyak, namun sumberdaya teripang yang ada di kedua lokasi ini tergolong dalam

satu ordo yaitu Aspidochirotida Hal ini sesuai dengan apa yang dipresentasikan

oleh Bakus (1973) bahwa ordo Aspidochirotida adalah hewan yang merupakan

karakteristik perairan tropis yang jernih dimana umumnya dijumpai pada daerah

terumbu karang, pantai berbatu, pasir atau pasir campuran lumpur (Nontji,1987).

Selanjutnya Hyman (1955) mengatakan bahwa di daerah Indo-Pasific Bagian

barat merupakan daerah yang terkaya akan teripang dari genus Holothuria,

Stichopus dan Actinopyga.

Tingginya nilai frekuensi kehadiran yang ada di Negeri Porto yaitu

Bohadschia marmorata dan Holothuria scabra di Desa Warialau karena

mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan

dari Budiman dan Darnaedi (1982) bahwa spesies-spesies yang mampu bergerak

dan mudah menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan toleransi yang luas

umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi. Pendapat diatas juga

didukung oleh Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa kehadiran komunitas

bentik sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap

perubahan kondisi lingkungan dimana dia hidup.

Dari kelima variasi habitat yang ada, baik di Negeri Porto maupun Desa

Warialau dapat dijelaskan bahwa zona tubir dan lereng terumbu diminati oleh

banyak jenis teripang, kemudian diikuti oleh zona lamun dan algae. Hal ini

disebabkan karena teripang membutuhkan habitat yang dapat memberikan

perlindungan dari cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hyman

(1955) yang mengemukakan bahwa teripang peka terhadap sinar matahari,

sehingga teripang lebih banyak yang bersifat fototaksis negatif. Selain itu pada

zonasi algae dan lamun, maka kebutuhan akan makanan bagi teripang tersedia.

Untuk zonasi rataan pasir, jenis teripang yang ditemukan lebih sedikit jika

dibandingkan dengan ketiga zona diatas, karena jenis-jenis teripang yang ada pada

zonasi ini harus mempunyai kemampuan adaptasi yang khusus untuk menghindari

cahaya matahari. Contohnya pada Holothuria scabra yang beradaptasi dengan

cara membenamkan diri dalam pasir, sedangkan Bohadschia marmorata dan

Holothuria atra dengan cara menempeli tubuhnya dengan butiran pasir halus. Hal

ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bakus (1973), bahwa butiran pasir yang

menempel pada tubuh Holothuria atra memantulkan cahaya matahari dan

membuat suhu tubuhnya lebih rendah.

5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil Tangkapan Teripang

Sebaran Frekuensi Panjang

Dari hasil sebaran panjang pada Gambar 10, terlihat bahwa Bohadschia

marmorata yang merupakan jenis dengan kepadatan tertinggi memiliki sebaran

panjang dengan jumlah yang semakin meningkat dari ukuran 51-200 mm dan

kemudian mengalami penurunan sampai pada ukuran 450 mm dengan frekuensi

1 individu. Hal ini terlihat bahwa jumlah individu yang ada merupakan jumlah

dengan ukuran yang masih muda dan yang patut disesali bahwa meskipun jenis

ini termasuk kategori murah dan sulit dalam penangannya namun ukuran yang

besar (351-450 mm) mulai sulit ditemukan. Hal ini tentu saja menunjukan bahwa

jenis ini mulai ditangkap oleh nelayan teripang untuk dijual kepada pedagang

pengumpul. Jika dibandingkan ukuran panjang tubuh maksimum, maka

Bohadschia marmorata memiliki kesamaan dengan Holothuria fuscogilva,

Actinopyga miliaris dengan demikian dapat dikatakan keduanya memiliki

kecepatan tumbuh yang sama sehingga tingkat kematangan gonad juga akan sama

yaitu 320 mm. Dari ukuran panjang yang ada maka terlihat bahwa penangkapan

dilakukan sebelum masa memijah. Dengan demikian perlu dilakukan pembatasan

dalam hal jumlah tangkapan, ukuran yang diperbolehkan, dan waktu tangkapan.

Selanjutnya pada Tabel 16, Holothuria fuscogilva, jenis Holothuria

fuscogilva, dan Holothuria atra terlihat memiliki sebaran frekuensi panjang yang

berbeda. Holothuria fuscogilva yang termasuk kategori mahal, terlihat bahwa

ukuran sebaran panjang dengan frekuensi tertinggi ditemukan pada ukuran

166-248 mm, kemudian ditemukan satu individu ukuran 404 mm. Tentunya hal

ini masuk akal karena jenis ini merupakan jenis dengan kategori mahal, sehingga

upaya tangkap untuk ukuran besar sangat tinggi. Namun, permasalahannya bahwa

ukuran tingkat kematangan gonad pertama dari Holothuria fuscogilva yaitu pada

ukuran 320 mm. Hal tersebut tentu saja dapat memberikan gambaran bahwa

kedepan jenis ini akan musnah, jika waktu sasi tidak diperpanjang dan penerapan

sanksi bagi nelayan teripang harus dilaksanakan, sehingga teripang ukuran

panjang 166-248 mm dibiarkan tumbuh dan memijah dan ketersediaan stok dapat

terlaksana akibat adanya rekruitmen.

Untuk jenis Actinopyga miliaris, frekuensi tertinggi yaitu pada sebaran

panjang 74-90 mm, kemudian ditemukan pada ukuran 264-383 mm. Dengan

demikian terlihat bahwa karena jenis ini termasuk dalam nilai jual dengan

kategori sedang, maka diambil segala ukuran yang laku dijual dan kemungkinan

tangkapan terbesar pada ukuran 91-383 mm. Untuk Actinopyga miliaris belum

ada kajian mendalam tentang tingkat kematangan gonad dari jenis ini, namun

diketahui bahwa laju pertumbuhan jenis ini yaitu 1 cm dan 5 gram per bulan.

Dengan demikian diharapkan agar adanya penutupan waktu sasi yang lebih lama

sehingga ukuran yang masih ada dapat mencapai ukuran individu yang sudah sulit

bahkan tidak ada lagi yang mungkin saja merupakan ukuran matang dan gonad

serta memberikan peluang bertambahnya individu jenis ini dalam populasi

teripang.

Hal yang tidak berbeda jauh terlihat juga pada jenis Holothuria atra

dimana pada ukuran panjang 183-205 mm, kemudian muncul lagi pada ukuran

246-270 mm. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun termasuk kategori

murah, namun jenis ini juga mulai ditangkap.

Dari keempat jenis yang terwakili dari jenis dengan kepadatan tertinggi,

dan yang termasuk kategori mahal, sedang, murah (rendah) terlihat bahwa telah

dilakukan upaya tangkap dengan berbagai ukuran. Hal ini dapat dikatakan

demikian karena meskipun dalam pengambilan contoh semua jenis dengan

sebaran panjang yang bervariasi ditemukan, namun semua jenis juga dijual ke

pedagang pengumpul setelah melalui proses pengolahan untuk mendapatkan

teripang yang dijual kering sesuai standar pedagang pengumpul. Dengan

demikian untuk negeri Porto dengan kepadatan teripang yang semakin menurun

perlu merevisi aturan sasi kembali dengan penutupan waktu penangkapan (tutup

sasi) yang diperpanjang, pengaturan ukuran teripang yang boleh ditangkap, serta

jumlah yang dapat diambil, sehingga dapat menyebabkan adanya pertumbuhan

dan rekruitmen serta menghindari hilangnya suatu plasma nuftah. Selain itu

sistem lelang (kontrak) perlu dihindari sehingga tidak menyebabkan terjadinya

penurunan sumberdaya serta kegiatan yang bersifat destruktif akibat kekecewaan

dan ketidakpuasan masyarakat.

Gambar 11, menunjukan Sebaran ukuran panjang Holothuria scabra

begitu merata mulai dari ukuran 51-250 mm dan memuncak pada ukuran

151-200 mm. Tingkat kematangan gonad pertama untuk jenis ini yaitu ukuran

160 mm, dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketersediaan stok dari jenis

ini sudah cukup tinggi dan memberikan peluang adanya pertumbuhan dan

rekruitmen. Untuk ukuran panjang 251-350 mm terjadinya penurunan jumlah

individu, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya waktu buka sasi pada tahun

2006, dimana jenis-jenis dengan ukuran besar sudah diijinkan untuk ditangkap,

sehingga dalam selang waktu 2 tahun, ukuran panjang yang dewasa masih dalam

jumlah yang agak menurun.

Tabel 17 memperlihatkan sebaran frekuensi panjang dari Actinopyga

echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas. Actinopyga echinities

ditemukan dua jenis dalam penelitian, hal ini mungkin disebabkan karena daerah

sebaran dari jenis ini terbanyak pada habitat algae dan terumbu karang, sedangkan

pada saat penelitian tidak diijinkan untuk melakukan penyelaman di daerah

karang. Jenis ini meskipun termasuk dalam kategori sedang, namun terlihat bahwa

sebaran panjang cukup baik karena memiliki frekuensi yang sama pada ukuran

98-173 mm. Tingkat kematangan gonad dari jenis ini yaitu pada ukuran panjang

120 mm dan tentu saja dapat terlihat bahwa dengan adanya individu pada ukuran

tersebut maka memberikan peluang adanya penambahan individu baru dan hal ini

cukup didukung dengan pelaksanaan sasi yang sampai saat ini masih dalam status

waktu “tutup sasi.”

Actinopyga miliaris merupakan jenis dengan kategori murah, namun

sebaran panjangnya cukup merata yaitu pada ukuran 105-275 mm. Dari segi

ukuran terlihat bahwa di Negeri Porto ukurannya berkisar dari 74-383 mm.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Desa Warialau Actinopyga miliaris

dengan ukuran kurang dari 105 mm dan lebih dari 275 mm tidak ditemukan, hal

ini mungkin disebabkan karena belum adanya rekruitmen untuk ukuran muda dan

dewasa. Untuk tingkat kematangan gonad dari jenis ini belum ada kajian ilmiah,

jadi diharapkan agar penentuan waktu tutup sasi tetap dipertahankan oleh

pemerintah negeri setempat, sehingga memberikan peluang adanya rekruitmen

pada kedua ukuran yang belum ditemukan di Desa Warialau.

Thelenota ananas merupakan jenis kedua kategori mahal yang ditemukan

di Desa Warialau. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa ukuran

97-332 mm. Tingkat kematangan gonad pertama yaitu ukuran 300 mm dan telah

terjadi upaya tangkap pada ukuran tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan

perlindungan dengan pengaturan ukuran yang bisa ditangkap.

Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa jumlah teripang dengan

sebaran ukuran panjang yang ada menggambarkan bahwa ketersediaan stok

teripang masih sangat baik karena teripang dengan kategori belum matang bahkan

matang untuk memijah masih ditemukan dan tidak ada upaya tangkap karena

masih ada dalam status “tutup sasi.” Ketersediaan stok yang ada tentu saja

didukung oleh penerapan aturan sasi di lokasi ini sangat baik dari segi penentuan

waktu tangkap, ukuran yang dapat diambil serta jumlah tangkapan yang

diperbolehkan, selain itu adanya dukungan masyarakat yang tinggi untuk upaya

pengelolaan dengan ketersediaan teripang yang terus menerus yang dapat

memberikan manfaat bagi perairan maupun masyarakat.

Hasil Tangkapan Teripang

Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, hal ini menunjukan bahwa laju

penangkapan telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas

pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat

stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif

diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang

matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam

daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas

lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat

bervariasi.

Dari data sebaran panjang di negeri Porto juga terlihat bahwa upaya

tangkapan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran matang gonad, sehingga

individu dewasa yang siap memijah juga ikut tertangkap, hal ini tentu saja akan

berdampak terhadap ketersediaan stok teripang. Ketidakpedulian terhadap hal ini

akan berakibat stok sumberdaya tersebut akan menipis dengan berjalannya waktu

dan menjurus ke hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan

dan keuntungan ekonomi rata-rata yang optimal. Jika tidak segera diambil langkah

perbaikan, risiko kehancuran biologi dan pemborosan ekonomi akan meningkat

hingga ke suatu tingkat yang dapat mengakibatkan berakhirnya aktivitas

perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai

pemasaran dan perdagangan. Dengan demikian akan berdampak terhadap

ketersediaan sumberdaya teripang secara terus-menerus, peningkatan

kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, dan peluang kerja yang semakin

berkurang.

Dalam upaya menjaga ketersediaan stok teripang, maka diatur mortalitas

akibat penangkapan yaitu 25-50% dari potensi yang ada. Untuk Negeri Porto

potensi teripang sebesar 12.240 individu. Dengan demikian hasil tangkapan yang

diijinkan yaitu ± 3060-6120 individu per tahun. Dari hasil tangkapan nelayan

teripang yang masih bersifat tradisonal terlihat bahwa hasil tangkapan masih ada

dalam batas yang diijinkan yaitu ± 3870 ekor/tahun (10-20 kg kering).

Hasil tangkapan teripang di Desa Warialau, tidak tercatat karena hal ini

disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur,

namun bisa mencapai 3-5 tahun, namun cenderung tidak terjadi penurunan hasil

tangkapan karena dibatasi dengan aturan-aturan sasi yang jelas seperti waktu

tangkapan selama 12 minggu (12 hari) hanya pada siang hari setiap 3-5 tahun,

jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) per hari, serta alat

yang digunakan khusus untuk yang masih bersifat tradisional serta dilarang

menyelam. Dengan demikian jika pengelolaan teripang dilakukan dengan tepat

maka akan memiliki manfaat yang terus-menerus karena ketersediaan teripang

yang terus menerus pula.

5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang

5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan

Dalam upaya pelestarian teripang melalui upaya budidaya maupun

pengayaan stok di Negeri Porto maupun Desa Warialau, maka faktor-faktor

lingkungan cukup berperan yaitu suhu, pH, salinitas, DO, Kecerahan dan Arus.

Dari hasil pengukuran di lapangan terlihat bahwa kedua lokasi ini memenuhi

kriteria budidaya Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997.

a. Suhu

Dari data hasil pengukuran suhu (Lampiran 2), terlihat bahwa suhu

tertinggi pada saat pukul 12.00, dimana intensitas penyinaran matahari sangat

tinggi, sedangkan untuk pengukuran malam hari pukul 24.00, suhu yang ada

masih memenuhi standar untuk budidaya yaitu 27-29oC. Suhu merupakan

parameter fisika yang memegang peranan penting di dalam pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sumberdaya akuatik, hal ini disebabkan karena suhu

berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses

metabolisme dan siklus reproduksi. Kenaikan suhu air sebesar 10oC akan

menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali

lipat (Wardojo, 1975). Selain itu peningkatan suhu juga akan menyebabkan kadar

oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme, seperti

laju pernapasan dan meningkatkan konsentrasi karbon dioksida.

b. Derajat Keasaman (pH)

Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar 7,5-8,4.

Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa, suhu air serta buangan industri dan

rumah tangga. pH rendah atau tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan kelangsungan hidup hewan akuatik. Perairan yang bersifat asam (pH<5) atau

bersifat alkali (pH>11) dapat menyebabkan kematian dan tidak terjadi reproduksi.

c. Kadar Garam (Salinitas)

Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila

dibandingkan dengan air payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada

perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik

melalui sungai maupun run off terutama pada musim penghujan. Untuk kedua

lokasi ini sungai tidak ditemukan, sehingga peluang terbesar yaitu pada saat

musim penghujan. Peningkatan salinitas selain berpengaruh pada daya hantar

listrik juga dapat meningkatkan tekanan osmotik yang selanjutnya akan

berpengaruh terhadap metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi.

d. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam

budidaya, karena oksigen dalam air berasal dari udara melalui difusi dan hasil

sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari fitoplankton. Kelarutan

oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi, salinitas dan

tekanan udara. Peningkatan suhu air dan salinitas menyebabkan kelarutan oksigen

rendah dan begitu sebaliknya.

e. Kecerahan

Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus

lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut Birowo dan Uktolseja (1976),

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur,

plankton, zat organik, dan bahan-bahan lain yang terlarut atau tersuspensi dalam

air. Perairan yang memiliki nilai kecerahan renah pada cuaca normal (cerah)

memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel yang terlarut dan

tersuspensi didalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa.

f. Arus

Arus adalah massa air baik horisontal maupun vertikal yang disebabkan

oleh angin dan gaya. Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, pembawa bahan

terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme

penempel. Arus akan mempengaruhi kehidupan organisme dan faktor-faktor

lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat terbatas, sehingga arus yang kuat

akan berperan dalam pengadaan nutrien, sehingga mengakibatkan perairan tidak

subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).

5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang

Dengan nilai persentase sedimen pada hasil penelitian, bisa dikatakan

bahwa dominasi pasir kasar hingga sedang sangat tinggi dan ini sangat

mempengaruhi karakter substrat secara menyeluruh. Kedua lokasi ini memiliki

karakter yang mirip dan merupakan habitat yang baik dari teripang sesuai sifat

membenamkan diri dari teripang tersebut, karena dengan ukuran pasir kasar yang

ditambah dengan pasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri

untuk menghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955). Dari dominasi

ukuran sedimen substrat bisa dikatakan bahwa tekanan dasar cukup kuat. Kondisi

ini dapat dipahami dengan memperhatikan areal penelitian yang merupakan

bagian dari daerah intertidal yang selalu mendapat tekanan dari pergerakan massa

air saat terjadi pasang surut. Kondisi sedimen sebagai habitat dari teripang baik di

Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat mendukung pertumbuhan teripang

sekitar 3-5 jenis, khususnya yang mempunyai daerah sebaran di pasir hingga zona

algae.

5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi)

5.3.1. Sosial Ekonomi

Penduduk Negeri Porto mempunyai kisaran pendapatan kurang dari

Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan

Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Untuk nelayan teripang di negeri Porto

pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000 per bulan, sehingga dapat membantu

perekonomian keluarga. Hal ini juga didukung oleh adanya pekerjaan sampingan

dari nelayan yaitu sebagai petani pemilik kebun. Masih rendahnya pendapatan

nelayan teripang disebabkan karena jenis yang ditemukan merupakan kategori

yang sedang bahkan murah.

Untuk penduduk desa Warialau kisaran pendapatan kurang dari

Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedang, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama

dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 13.08%. Pendapatan penduduk desa warialau

pada saat “buka sasi” mencapai Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya

pendapatan yang ada, tidak menjadi sumber pendapatan utama, karena tidak setiap

tahun dilakukan penangkapan (tutup sasi). Tingginya pendapatan penduduk pada

saat “buka sasi” karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun

sedang serta dalam jumlah dan ukuran yang besar.

Dimensi sosial ekonomi mempertimbangkan pengaruh penduduk terhadap

sumberdaya teripang dan manfaat bagi penduduk, sehingga perlu upaya

bagaimana mengoptimalkan manfaat ketersediaan sumberdaya teripang untuk

pihak atau kelompok yang berkepentingan dan masyarakat secara umum. Yang

termasuk ke dalam kelompok yang berkepentingan adalah penduduk yang

memanfaatkan sumberdaya teripang: menangkap mengolahnya dengan berbagai

cara; dan memasarkannya atau mendapatkan mata pencaharian dari sumberdaya

teripang, termasuk para konsumen dan kelompok lain yang secara tidak langsung

dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan.

Jika melihat dimensi sosial ekonomi maka perlu dilakukan pengelolaan

teripang sehingga ketersediaan stok secara terus menerus dan dijual bukan dalam

bentuk bahan baku, namun dalam bentuk bahan olahan, sehingga akan memberi

manfaat bagi penduduk setempat karena rendahnya pendapatan. Dengan demikian

diharapkan ketersediaan stok secara terus menurus karena adanya aturan sasi yang

mengatur waktu tangkap, jumlah dan ukuran teripang yang boleh ditangkap,

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya nelayan.

5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau

a). Proses Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau

Pengelolaan sumberdaya laut di Negeri Porto berbasis sasi, hal ini telah

ada sejak dahulu kala dan memiliki aturan-aturan yang jelas (Tabel 20).

Untuk Desa Warialau, sasi dilakukan secara turun-temurun berdasarkan

cerita orang tua dan tidak mempunyai peraturan tertulis. Namun proses

pelaksanaan sasi di Desa Warialau masih memegang prinsip adat-istiadat yang

berlaku, sehingga prosesnya terlihat lebih rumit (Tabel 21). Untuk desa Warialau

ini, meskipun peraturannya secara lisan namun ketaatan masyarakat terhadap

peraturan ini lebih tinggi, karena penegakan aturannya cukup tegas. Dengan

demikian membuat masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran, serta timbul

juga kesadaran tentang pentingnya sasi untuk pelestarian sumberdaya bagi

generasi mendatang.

Tabel 20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri PortoNo. Variabel Aturan Pengelolaan1. Proses Pelaksanaan Sasi

Sejarah Sasi

Tujuan sasi

Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkancerita orang tua antar generasi. Adanya peraturan tentang kewang (Kewang

Reglement Van Negorij Porto) yang telah adasejak tahun 1870, pada zaman penjajahan Belanda

Melindungi sumberdaya baik darat maupun lautagar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan olehorang luar desa.

No. Variabel Aturan Pengelolaan

Jenis Sasi

Komoditas Sasi

Waktu pelaksanaan sasi

Proses Sasi

Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.

Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri danlembaga adat yang bertanggung jawab secaralangsung terhadap pelaksanaan sasi.

Teripang, lola, batu laga, bakau, karang, kawananikan, ikan hias, batu kerikil, dan pasir.

Buka sasi, dalam setahun hanya dilaksanakanpada bulan Oktober, yaitu selama 2 minggu,sedangkan 11 bulan merupakan waktu tutup sasi. Buka sasi akan dilaksanakan selain bulan

Oktober, apabila ada kebutuhan dalam masyarakatyang mendesak baik untuk urusan desa maupunkeagamaan.

Waktu buka sasi didahului dengan adanya laporandari masyarakat tentang keberadaan sumberdayayang sedang disasi, kemudian dilakukan rapatbersama oleh kewang dan diketahui oleh Raja.Kemudian diputuskan waktu buka sasi. Setelahditentukan waktu buka sasi, dan didahului denganpengumuman sekaligus doa di gereja olehPendeta.Setelah itu diberikan kebebasan kepadamasyarakat untuk mengambil sumberdaya yangdisasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Setelahwaktu buka sasi selesai, maka dilakukan

Tanda Sasi

Sistem pelaksanaanSasi

penutupan sasi, yang ditandai dengan pemberiantanda pada area-area yang disasi. Panen padahari pertama dan kedua dilakukan oleh kewandan hasilnya diserahkan untuk kas kewan dannegeri serta diberikan bagi raja dan pendeta.

Tanda sasi berupa 3 buah kelapa kecil dan 4 buahkelapa besar yang diikat dengan daun kelapa darikiri ke kanan pada tiang atau disebut satu belo danditanam pada area-area sasi sesuai dengankebiasaan adat.Pada zaman dahulu, sistem sasimenggunakan sistem panen bersama baikpemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agamadan masyarakat. Hasil yang dipanen sesuaikemampuan setiap orang dan diberikan kebebasanbaik dalam jumlah maupun cara pengambilan. Saat ini adanya kebijakan pemerintah negeri (raja)

yang tidak disetujui oleh masyarakat yaitu sistemlelang. Dalam sistem ini pengontrak mempunyaihak yang lebih besar daripada masyarakat,khususnya dalam proses pengambilan hasil(panen) Pada saat panen (buka sasi), masyarakat dapat

bebas mengambil teripang sesuai dengan

No. Variabel Aturan Pengelolaankemampuan serta dapat menggunakan semua alat.Kemampuan masyarakat yang menggunakanpenyelaman dengan alat sederhana (snorkel) hanyamampu sampai kedalaman lima (5) meter,sedangkan masyarakat luar (orangdagang/penyewa) yang menggunakan kompresor(tabung selam) dapat mencapai 40 meter

2. Kelembagaan Sasi Kewang sebagai penanggung jawab pelaksanaansasi Kepala Kewang diangkat melalui rapat bersama

di hadapan masyarakat, sesuai dengan pilihanrakyat dari masing-masing soa. Syarat-syarat menjadi kepala kewang : baik,

jujur, tenang, teratur, tahu baca dan tulis, rajin. Dalam menjalankan tugasnya kewang harus

lemah lembut, jujur dan dapat memberikanpetunjuk kepada anak buah (anggota) denganbaik. Kewan melakukan pengawasan (amese

hutan) satu kali seminggu, yaitu pada setiaphari rabu. Jumlah anggota kewan sebanyak48 orang dan pengawasan dilakukan untuksasi darat dan laut. Dalam kenyataannyatugas pengawasan semakin melemah dimanatidak lagi dilakukan pengawasan setiapminggu. Dalam peraturan ini terlihat fungsi kewan

dijelaskan sebagai berikut:1. Menjaga petuanan negeri agar tidak dimasuki

orang lain secara tidak sah. Tugas inidilaksanakan melalui Posita Hutan.

2. Menjaga hutan agar tetap lestari dan3. memberikan hasil yang maksimal. Tugas ini

dilaksanakan melalui tindakan Sasi untukjangka waktu tertentu, baik untuk daratanmaupun lautan.

4. Mengatur penggunaan hutan agar tidak sampaimenjadi sengketa antar anak negeri. Kewandapat diikut sertakan dalam penyelasaian padapengadilan negeri pada forum MahkemetNegeri.

5. Mengusahakan pemasukan keuangan bagi kasnegeri melalui denda-denda pelanggaran,pembayaran tanda masuk, serta ijinpengambilan hasil-hasil tertentu dalam hutanatau laut.

6. Selain fungsi diatas terdapat juga tugas-tugaslainnya, seperti:Menjaga anak-anak untukharus masuk sekolah minggu dan tidak bolehada dihutan pada hari minggu.

7. Mengawasi masyarakat untuk beribadah yang

No. Variabel Aturan Pengelolaandilaksanakan selain hari minggu yang dinamaikebaktian utusan injil, dan tidak boleh beradadihutan saat ada kebaktian Utusan Injil dinegeri (desa).

8. Menertibkan masyarakat dari “Sumpah-sumpah, maki – maki, dan ucapan kata – katakotor.

9. Mengawasi kegiatan kebersihan halaman,perapihan pagar dan lain-lain

3. Aturan Sasi (Larangan) Dilarang menangkap ikan hias di laut dan daerahintertidal. Dilarang menangkap ikan dengan bom, obat

bore dan yang dapat merusakan biota. Setiap anak negeri (penduduk setempat) dapat

mengambil hasil sasi untuk kebutuhan hidupnya,jika telah mendapat ijin dari raja dan kewang. Dilarang mengambil lola dan teripang, pada

ukuran yang dianggap masih muda. Dilarang mengambil pasir, karang dan bakau

tanpa seijin kewang dan Raja.4. Sanksi dan Hukuman Jika dilakukan oleh kewan dan anggotanya

maka akan diberikan denda maupunhukuman tiga (3) kali lipat. Bagimasyarakat, jika kedapatan melakukanpelanggaran, namun dianggap hanya untukmemenuhi keperluan keluarga, maka kewanakan memberikan nota sebagai ijin tertulisyang menyatakan bahwa yang bersangkutanbisa mengambil seperlunya. Jika melakukan pelanggaran dan ditemukan

secara langsung oleh kewan, maka alat yangdigunakan akan disita, kemudian kewanmelakukan Jamulou (rapat kewan) danpelanggar disuruh menghadap dandiputuskan besarnya denda atau hukumanyang harus dijalani. Namun jika pelanggarjujur dan mengakui kesalahannya, makadenda atau hukumannya bisa diturunkanatau malah bisa diampuni.

Denda bisa berupa hukuman dengan dirotani.Contohnya : Rp.100.000 = 5x dirotani.Besarnya denda setiap sumberdaya berbeda,contohnya untuk teripang, Rp.25.000/bh,Mangrove, Rp. 75.000/phn, sedangkan untukbore (meracuni ikan) Rp.250.000.

Tabel 21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa Warialau

No. Variabel Aturan Pengelolaan1. Proses Pelaksanaan Sasi

Sejarah Sasi

Tujuan sasi

Jenis Sasi

Komoditas Sasi

Waktu pelaksanaan sasi

Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkancerita orang tua antar generasi. Tidak memiliki aturan tertulis

Melindungi sumberdaya baik darat maupun lautagar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan olehorang luar desa. Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.

Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri danlembaga adat yang bertanggung jawab secaralangsung terhadap pelaksanaan sasi.

Teripang (utama), lola dan batu laga

Waktu buka sasi tidak pasti (3-5 tahun).Penentuan waktu buka sasi berdasarkanbanyaknya teripang (jumlah) dan ukuran yangbesar.

Buka sasi juga dapat dilaksanakan apabila adakebutuhan mendesak dalam masyarakat sepertipembangunan gereja atau kebutuhan dalam desa.

Proses Sasi Persiapan sasi diawali dengan pertemuan denganseluruh masyarakat untuk meminta persetujuanpelaksanaan sasi.

Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satudiletakan dalam piring. Kemudian pada malamhari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupaanyaman daun kelapa, selanjutnya semuamasyarakat berkumpul di tenda yang dibuatsecara gotong-royong dan dilakukan tambah roro(nyanyian adat).

Selanjutnya piring yang telah ditaruh bahan-bahantersebut, dipegang oleh keluarga Imloan dandibawa ke tenda, sedangkan tiangnya diletakandiatas tempat penjemuran (para-para) yangberbentuk segitiga yang sudah dikelilingi olehdaun kelapa. Posisi tempat penjemuran yaitudekat tenda yang dibuat untuk pelaksanaannyanyian adat (tamba roro).

Bahan-Bahan untukPelaksanaan sasi

Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu

No. Variabel Aturan Pengelolaan

Sistem pelaksanaanSasi

Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satudiletakan dalam piring. Kemudian pada malamhari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupaanyaman daun kelapa.

Sistem sasi menggunakan sistem panen bersamabaik pemerintah negeri, lembaga adat, tokohagama dan masyarakat, namun disesuaikan denganaturan-aturan yang berlaku.

2. Kelembagaan Sasi Tokoh-tokoh adat merupakan penanggung jawabpelaksanaan sasi.Tokoh-tokoh adat ini berasaldari marga tertentu, yang dianggap sebagaipenduduk asli Desa Warialau. Tokoh-tokoh adapt ini terus berlanjut secara

garis keturunan, dimana marga-marga ini jugacukup disegani dalam masyarakat.

3. Aturan Sasi (Larangan)dan Sanksi

Waktu panen dilarang balik batu karenamerusakan bibit yang ada dibawah batu.

Dilarang menyelam malam, karena menurutmasyarakat, kehidupan dilaut itu berbeda denganmanusia sehingga dianggap bahwa malammerupakan siang bagi organisme laut.

5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau

Untuk menganalisa kinerja sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau,

digunakan empat indikator yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan

sumberdaya dan pemerataan.

a. Indikator Efisiensi

Efisiensi disebut juga produktifitas, sehingga semakin tinggi produktifitas

semakin baik suatu rezim. Untuk itu dalam proses penilaian efisiensi sasi teripang

di Negeri Porto dilihat dari 4 indikator kinerja efisiensi yaitu : pengambilan

keputusan secara bersama, kemudahan dalam menjangkau sumberdaya,

pengawasan terhadap sasi sekarang ini, kepatuhan terhadap peraturan.

Untuk indikator pertama yaitu keterlibatan pemerintah desa, kelembagaan adat

dan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang sasi, terlihat bahwa untuk

Negeri Porto, termasuk dalam kategori sedang, karena masyarakat tidak dilibatkan

dalam proses pengambilan keputusan, hal ini terlihat dengan adanya kekecewaan

masyarakat ketika diterapkan sistem lelang/kontrak daerah pasang surut untuk

pemodal yang berasal dari luar desa/negeri Porto, sehingga masyarakat tidak

memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan baik.

Sebaliknya untuk Desa Warialau, termasuk dalam kategori tinggi, karena segala

keputusan tentang sasi, masyarakat dilibatkan sejak awal yaitu dalam pertemuan

antara pemerintah desa, lembaga adat dan masyarakat. Berbedanya indikator

pertama ini didasarkan juga karena dengan adanya perubahan sistem

pemerintahan, sehingga adanya pengurangan kewenangan lembaga adat pada saat

sistem sentralisasi dan Negeri Porto merupakan desa /negeri yang mengalami

sedikit perubahan tersebut, berbeda dengan Desa Warialau yang tetap

mempertahankan pranata adatnya yaitu sasi dengan baik, meskipun terjadi

perubahan sistem pemerintahan desa. Beberapa penyebab utama masyrakat Desa

Warialau masih mempertahankan sistem adatnya karena adanya anggapan bahwa

sasi merupakan amanat nenek moyang yang harus terus dijaga, dan sistem

pemerintah desa yang masih mengadopsi sistem pada saat rezim adat, dimana

marga-marga tertentu yang masih tetap dihormati dalam masyarakat yang

memegang pemerintahan di desa. Selain itu juga mobilitas dan pembangunan desa

masih rendah, sehingga pengaruh terhadap sistem adat ini masih rendah.

Untuk indikator efisiensi kedua yaitu kemudahan dalam menjangkau

sumberdaya, Negeri Porto termasuk dalam kategori rendah karena untuk

menjangkau sumberdaya dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dan sarana yang

dipakai yaitu motor tempel dan perahu sampan, sedangkan Desa Warialau

termasuk kategori sedang karena hanya ditempuh waktu kurang dari 20 menit,

sumberdaya teripang terdekat sudah dapat terjangkau (khususnya lokasi

penelitian). Sasi teripang di Desa Warialau merupakan sasi satu pulau, namun

untuk lokasi penelitian hanya berada di depan pemukiman penduduk, sehingga

tidak membutuhkan waktu yang relatif lama.

Indikator efisiensi ketiga yaitu pengawasan terhadap sasi sekarang ini di

Negeri Porto rendah, karena lebih dari satu minggu baru dilakukan pengawasan,

meskipun berdasarkan aturan kewan, bahwa satu minggu sekali, dilakukan

pengawasan , namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini disebabkan

karena beberapa faktor yaitu, luasnya area pengawasan sedangkan sarana yang

dimiliki sangat minim serta kurang didukung oleh partisipasi masyarakat, selain

itu dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi dalam keluarga maka tanggung

jawab untuk menambah penghasilan keluarga sehingga menyebabkan kepala

keluarga yang kadang berprofesi sebagai kewan dan keanggotaannya harus lebih

mengutamakan kepentingan keluarga daripada melakukan pengawasan dan

lainnya. Hal ini cukup berbeda dengan Desa Warialau karena pengawasan secara

tidak langsung juga dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga masih tetap

ada kontrol masyarakat, hal ini cukup membantu lembaga adat dalam

melaksanakan tugas pengawasan. Umumnya lembaga adat di Desa Warialau

masih tetap merasa tugas ini sebagai amanat dari nenek moyang, serta untuk

kelestarian sumberdaya sehingga ketaatan pelaksanaan pengawasan masih tinggi

yang dilakukan satu-tiga hari bersamaan dengan aktifitas yang dilakukan sebagai

nelayan. Yang menjadi kendala pengawasan yaitu luas area pengawasan, sehingga

tidak dapat mengontrol nelayan ilegal dari Sulawesi yang melakukan pencurian

dengan menggunakan peralatan yang modern.

Untuk indikator efisiensi keempat yaitu kepatuhan terhadap peraturan,

bagi Negeri Porto rendah, karena seluruh nelayan dan masyarakat dapat mencapai

daerah sasi atau dapat dikatakan bahwa aktifitas masyarakat tidak dibatasi

meskipun masih ada sasi. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem

pemerintahan dari adat menjadi sentralisasi, sehingga peran kewan dan lembaga

adat hilang sehingga menyebabkan sanksi yang mengikat tidak berlaku dan

kemudian diaktifkan kembali setelah adanya rezim otonomi daerah. Selain itu

adanya kekecewaan masyarakat terhadap sistem kontrak atau lelang yang

merupakan kebijakan pemerintah negeri dan terjadinya pembauran dan perubahan

sosial ekonomi karena masuknya pendatang dengan berbagai profesi serta

keluarnya anak-anak muda ke kota untuk melanjutkan pendidikan yang didukung

oleh kondisi dimana rendahnya sosialisasi/informasi tentang sasi kepada generasi

muda. Sebaliknya di Desa Warialau kepatuhan terhadap peraturan tinggi karena

pengawasan sangat ketat baik oleh lembaga adat, pemerintah negeri dan

masyarakat, sehingga tidak ada orang yang dapat mengakses daerah sasi.

Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien

salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional

di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.

Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien

salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional

di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.

Dengan berkurangnya kepercayaan akan mempengaruhi ketaatan terhadap aturan

yang berlaku. Secara keseluruhan rata-rata indikator efisiensi untuk Negeri Porto

termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.

b. Indikator Keberlanjutan Sosial

Indikator keberlanjutan sosial terdiri dari lima indikator, yaitu pendapatan

setelah adanya sasi, kesejahteraan keluarga, keharmonisan masyarakat, tradisi aksi

bersama, dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Untuk indikator

keberlanjutan yang pertama yaitu pendapatan setelah adanya sasi, keduanya

berada pada nilai sedang yaitu antara Rp.200.000-Rp.500.000/bulan. Untuk

penduduk desa Warialau meskipun pendapatannya pada tahun 2006, saat buka

sasi bisa mencapai Rp.750.000/bulan, namun bukan merupakan pendapatan tetap,

karena waktu buka sasi 3-5 tahun. Selain itu pendapatan penduduk negeri Porto

dan desa Warialai tidak seluruhnya berasal dari laut, artinya bahwa meskipun

termasuk masyarakat pesisir, namun belum semuanya melihat laut sebagai potensi

yang dapat dikelola untuk menambah pendapatan keluarga. Hal ini tergambarkan

dari jumlah nelayan di Porto sebesar 2,86% serta 15,42% untuk Desa Warialau.

Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Novaczek et al (2001) bahwa keberlanjutan

ekonomi khususnya tingkat pendapatan masyarakat didesa-desa sasi tidaklah

lebih baik dari desa yang tidak disasi.

Indikator keberlanjutan yang kedua yaitu kesejahteraan keluarga berkaitan

dengan adanya sasi yaitu dilihat dari rumah yang dimiliki, sehingga dapat

dijelaskan bahwa Negeri Porto memiliki tingkat kesejahteraan tinggi karena

sebagian besar penduduk telah memiliki rumah permanen, hal ini juga didukung

dengan mata pencaharian yang bervariasi dengan pendapatan yang juga

bervariasi, sebaliknya di Desa Warialau masuk dalam nilai sedang karena

sebagian besar penduduk memiliki rumah semi permanen.

Tingkat keharmonisan masyarakat, merupakan indikator keberlanjutan

yang ketiga dimana untuk Negeri Porto termasuk dalam penilaian sedang, artinya

bahwa kadang-kadang terjadi perselisihan, sedangkan Desa Warialau penilaian

tinggi karena sangat sulit didapati perselisihan dalam masyarakat. Di Negeri

Porto, kadang terjadi perselisihan antar nelayan karena akibat persaingan

mendapatkan lokasi melaut karena dirasa semakin sempit dan adanya perbedaan

peralatan melaut yang dimiliki. Selain itu juga didukung dengan kebiasaan

masyarakat yang suka mengkonsumsi minuman keras sebelum melaut serta

lemahnya penegakan aturan oleh aparat desa akibat terjadi perubahan sistem

pemerintahan. Sebaliknya di Desa Warialau, sulit terjadinya perselisihan karena

masih luasnya daerah penangkapan yang didukung dengan melimpahnya hasil laut

dan belum adanya perbedaan peralatan melaut yang menyolok, serta penegakan

aturan yang tegas karena lembaga adat tetap melaksanakan fungsinya meskipun

terjadi perubahan sistem pemerintahan desa.

Selanjutnya yaitu tradisi aksi bersama, dimana pada Negeri Porto memiliki

nilai sedang, sedangkan Desa Warialau nilai tinggi. Perbedaannya terletak pada

keterlibatan masyarakat dimana pada Negeri Porto masyarakat tidak dilibatkan

sedangkan di Desa Warialau baik masyarakat, lembaga adat maupun pemerintah

merupakan satu kesatuan yang selalu dilibatkan bersama dalam semua

pengambilan keputusan seperti suatu tradisi atau adat istiadat. Tradisi aksi

bersama bisa terlihat dalam kegiatan perikanan seperti bameti (pemungutan

kerang), membuat perahu, menjahit jaring, menaikan dan menurunkan perahu

setelah melaut. Tradisi aksi bersama ini masih terlihat di Desa Warialau

sedangkan di Negeri Porto, setiap kegiatan sudah bersifat individu. Hal yang sama

juga terlihat untuk tradisi masohi (bekerja gotong royong) dalam membangun

baileo, tempat peribadatan, dan rumah. Kebersamaan pemerintah, tokoh adat,

tokoh agama dan masyarakat juga terlihat selama penelitian, dimana pada awal

diperkenalkan, diberi penjelasan tentang tujuan kedatangan, serta meminta

keputusan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan penelitian dan akhir saat akan

meninggalkan lokasi, sebaliknya untuk Negeri Porto sulit untuk mengumpulkan

ketiga komponen ini secara bersama-sama, sehingga lebih sering dilakukan

pendekatan secara individu.

Nilai yang sama yaitu sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa

Warialau juga terlihat dari indikator keberlanjutan sosial yang kelima yaitu

pembahasan bersama masalah-masalah desa. Dalam melakukan pembahasan

masalah desa di Negeri Porto yaitu sekali sebulan dan yang terlibat lebih dominan

yaitu pemerintah dan lembaga adat, sedangkan untuk Desa Warialau pertemuan

diadakan sedikitnya sekali seminggu dan semua komponen masyarakat dilibatkan.

Secara keseluruhan rata-rata indikator keberlanjutan sosial untuk Negeri Porto

termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.

c. Indikator Keberlanjutan Biologi

Indikator keberlanjutan biologi pertama yaitu ukuran teripang, untuk

Negeri Porto ukuran teripang cenderung menurun, dimana sebelum tahun 2005,

ukuran yang didapatkan biasanya ukuran dengan nilai jual termasuk dalam

kategori besar, namun setelah tahun 2005, yang ukurannya menjadi ukuran

dengan kategori nilai jual sedang. Untuk Desa Warialau, ukuran relatif stabil.

Perbedaan ukuran teripang di kedua lokasi cukup berbeda, hal ini disebabkan

karena upaya tangkap di negeri Porto sangat tinggi dan semua ukuran teripang

bisa diambil dengan bebas. Sebaliknua di desa Warialau upaya tangkap sangat

rendah, karena dibatasi oleh waktu buka sasi, serta hanya ukuran tertentu saja

yang dapat diambil.

Indikator keberlanjutan biologi yang kedua yaitu hasil tangkapan

sumberdaya. Hasi tangkapan teripang di negeri Porto mengalami penurunan

sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenis yang termasuk

kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit

penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan luar daerah yang

menggunakan peralatan modern.

d. Indikator Pemerataan

Indikator pemerataan terdiri dari 3 indikator yaitu kesempatan

memanfaatkan sumberdaya, pemerataan hasil, dan kesempatan bagi nelayan lokal.

Dari indikator pemerataan yang pertama, terlihat bahwa Negeri Porto dan Desa

Warialau memiliki nilai yang tinggi, hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat

dapat memanfatkan sumberdaya. Selanjutnya untuk indikator yang kedua yaitu

pemerataan hasil, Negeri Porto memiliki nilai sedang karena hasil sasi hanya

dibagi untuk pemerintah negeri dan lembaga adat, sedangkan Desa Warialau

dibagi untuk pemerintah negeri, lembaga adat dan gereja. Sedangkan indikator

pemerataan yang terakhir yaitu kesempatan bagi nelayan lokal kedua lokasi

mempunyai nilai yang sama yaitu tinggi, karena nelayan lokal bebas mengakses

area sasi, namun disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, seperti untuk area

penangkapan ikan yaitu di laut dalam, hanya untuk memancing yang dapat

dilakukan di area pasang surut. Dari keseluruhan indikator pemerataan terlihat

bahwa kedua lokasi ini mempunyai nilai rata-rata dengan kategori tinggi.

Dari keempat indikator kinerja pelaksanaan sasi teripang di Negeri Porto

dan Desa Warialau menunjukan nilai yang berbeda, yaitu nilai sedang untuk

Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau ( Tabel 22). Dari Tabel 22 ini

terlihat bahwa nilai terendah untuk Negeri Porto yaitu kemudahan dalam

menjangkau sumberdaya dan pengawasan terhadap sasi sekarang ini. Kedua hal

ini mempunyai hubungan dimana salah satu penyebab lemahnya pengawasan juga

karena wilayah yang luas, sehingga sulit dipantau.

Tabel 22. Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto danDesa Warialau

Indikator-Indikator Negeri Porto Desa WarialauI. Indikator Efisiensi1. Pengambilan Keputusan secara bersama2. Kemudahan dalam menjangkau sumberdaya3. Pengawasan terhadap sasi sekarang ini4. Kepatuhan terhadap peraturanII. Indikator Keberlanjutan Sosial1. Pendapatan setelah adanya sasi2. Kesejahteraan keluarga berkaitan dengan sasi3. Keharmonisan masyarakat setelah adanya sasi4. Tradisi aksi bersama5. Pembahasan tentang masalah-masalah desaIII.Indikator Keberlanjutan Sumberdaya1. Ukuran teripang2. Hasil tangkapan teripangIV. Indikator Pemerataan1. Kesempatan memanfaatkan sumberdaya2. Pemerataan Hasil3. Kesempatan Bagi Nelayan Lokal

2112

23222

Ukuran mengecil

Menurun

323

3233

22333

Relatif stabilSedikit menurun

333

Jumlah 25 33Rata-Rata 2 3

Sumber : Data Lapangan, 2008Keterangani : 1= rendah, 2= sedang, 3= tinggi

5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko

Tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala

Desa) di Negeri Porto dan Desa Warialau yaitu untuk menjamin kelestarian

sumberdaya laut dan teripang termasuk di dalamnya. Untuk tujuan tersebut maka

pengelolaan yang dilakukan yaitu berupa “sasi” dengan penerapan aturan-aturan

yang telah ditentukan sejak jaman dahulu kala dari suatu generasi ke generasi

berikutnya. Dengan adanya tujuan pengelolaan ini, maka terlihat adanya

pembatasan upaya tangkap, karena waktu tangkap yang diijinkan hanya sekali

setahun untuk Negeri Porto dan sekali untuk tiga sampai lima tahun di Desa

Warialau, sehingga diharapkan ketersediaan sumberdaya teripang akan terus

menerus. Jika diamati tujuan pengelolaan ini, maka keterlibatan tenaga kerja

(nelayan) tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan aktifitas perikanan

lainnya yang mempunyai tujuan untuk mendorong kesempatan dan peluang kerja.

Rendahnya jumlah tenaga kerja (nelayan) diakibatkan karena tujuan pengelolaan

yang lebih mementingkan aspek kelestarian sumberdaya teripang dan

diimplementasikan dengan aturan-aturan sasi, sehingga upaya tangkap juga

dibatasi dengan adanya waktu tangkap yang dikenal sebagai waktu buka dan tutup

sasi.

Penerapan tujuan pengelolaan dari kedua lokasi ini agak berbeda, hal ini

diakibatkan karena aturan sasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala

Desa) dan tokoh adat setempat. Perbedaan itu dapat terlihat pada beberapa hal

yaitu untuk negeri Porto, hanya mengatur waktu buka sasi setahun sekali,

sedangkan ukuran dan jumlah teripang yang diperbolehkan untuk diambil serta

peralatan yang digunakan tidak diatur secara spesifik, padahal kenyataannya

negeri Porto memiliki aturan tertulis. Sebaliknya untuk Desa Warialau, tidak ada

aturan tertulis, namun dalam pengelolaan teripang berbasis sasi sudah diatur

waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya

dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah

tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran

yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih

termasuk tradisional. Dengan penerapan pengelolaan yang berbeda, maka akan

terlihat pula dari hasil tangkapan teripang yang akan mengalami penurunan

ataupun cenderung stabil.

Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, Kota Ambon bahkan Provinsi

Maluku mengalami penurunan setiap tahun. Hal ini menunjukan bahwa laju

penangkapan telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas

pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat

stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif

diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang

matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam

daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas

lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat

bervariasi.

Jika upaya tangkap terus melebihi laju pertumbuhan, maka jika dilihat dari

pertimbangan bioekologi, maka akan terjadi kepunahan teripang di habitat

alaminya dan akan merubah sistem alami yang ada. Hal ini disebabkan karena

teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di daerah terumbu

karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik, berperan

penting sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi. Penurunan populasi

teripang secara cepat akan menimbulkan konsekuensi serius bagi kehidupan jenis-

jenis lain yang merupakan bagian lingkat pangan yang sama. Telur-telur, larva

dan juwana teripang merupakan sumber pangan yang penting bagi beberapa jenis

biota laut yaitu ikan dan moluska. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen,

sehingga terjadi pengadukan lapisan atas sedimen di tempat teripang itu berada,

yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi, mirip seperti cacing tanah di darat.

Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat

mungkin mengontrol hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu.

Tangkap lebih bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut tempat

populasi teripang berada dan berakibat ketidakcocokan habitat bagi bentos lain

dan organisma meliang.

Pertimbangan dari segi sosial ekonomi, jika terjadi penurunan sumberdaya

teripang maka akan berdampak secara langsung dengan berakhirnya aktivitas

perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai

pemasaran dan perdagangan dan bukan saja pada sumberdaya teripang, namun

juga berdampak terhadap ketersediaan sumberdaya lainnya, seperti ikan dan

moluska, telah terjadi perubahan sistem alami yang ada. Hal ini tentu saja akan

merugikan baik nelayan dan pedagang pengumpul karena salah satu sumber

pendapatannya akan hilang dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap

kesejahteraan keluarga, selain itu tidak tersedia lagi salah satu sumber pendapatan

negeri (desa) bahkan sampai ke daerah dan akan sangat merugikan daerah secara

umum, apalagi di tengah sistem otonomisasi dimana setiap daerah harus semakin

meningkatkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan penduduk setempat.

Dengan kondisi yang demikian maka akan berdampak juga terhadap masalah

sosial yang akan ditimbulkan seperti semakin meningkatnya pengangguran dan

lain sebagainya yang akan menambah beban pemerintah daerah. Dengan

demikian untuk mengantisipasi semakin banyak masalah yang akan ditimbulkan,

maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya teripang dengan sebaik-

baiknya, sehingga ketersediaannya terus menerus dan akan memberikan banyak

manfaat dari berbagai aspek baik bioekologi, sosial dan ekonomi.

5.5. Diskusi Umum

5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya Teripang

Penurunan sumberdaya teripang di Negeri Porto, baik dari segi ukuran

maupun hasil tangkapan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Belum adanya aturan sasi yang lebih spesifik berkaitan dengan banyaknya

tangkapan yang diperbolehkan, ukuran yang dapat diambil, peralatan yang

digunakan serta penetapan waktu tangkap (buka sasi) yang disesuikan dengan

keberadaan teripang dewasa yang telah mencapai waktu matang gonad

(reproduktif) untuk memijah. Hal tersebut menyebabkan terjadi tangkapan

lebih serta pengambilan teripang tanpa memperhatikan waktu matang gonad,

hal tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan stok teripang karena tidak

memberikan peluang adanya rekruitmen individu baru ke dalam populasi dan

pertumbuhan dari individu yang ada.

2. Adanya sistem lelang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri Porto, yang

kurang disetujui oleh masyarakat karena tidak ada keterlibatan masyarakat.

Sebelum ada sistem lelang, pada waktu lampau masyarakat dibiarkan

mengambil hasil laut dengan batasan waktu tertentu (± 2 minggu) kemudian

ditutup lagi. Selain itu setiap keputusan penentuan buka sasi, masyarakat

dilibatkan dengan prosedur bahwa informasi yang didapat oleh kewan tentang

kondisi sumberdaya yang sudah dapat dipanen berasal dari masyarakat

khususnya nelayan dan kemudian pemerintah negeri dan kewan menentukan

waktu buka sasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan

negeri. Namun dengan adanya sistem lelang, maka pemenang lelang akan

memberikan sejumlah uang sesuai kesepakatan kepada pemerintah Negeri

serta dapat mengambil semua sumberdaya yang ada sesuai dengan luasan area

yang diberikan. Dampak yang ditimbulkan dari sistem ini yaitu bahwa:

1).tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta

rendahnya peluang masyarakat untuk menikmati sumberdaya yang ada;

2) adanya kecenderungan penggunaan alat modern oleh pemenang lelang,

sehingga sumberdaya tersebut dapat diambil tanpa memberikan kesempatan

bagi masyarakat dan untuk kelestarian lingkungan.3) kondisi area yang agak

jauh dari wilayah perkampungan, sehingga menyulitkan pemerintah dan

lembaga adat untuk memantau aktifitas dari pemenang lelang tersebut.

Dengan demikian sistem lelang ini juga menimbulkan dampak negatif

terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan

lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Bandjar (1998) yang

menyatakan bahwa dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh

masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya

akses masyarakat terhadap sumberdaya yang disasikan. Dinamika sasi

menunjukan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi

oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturan-

peraturan sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari

penduduk setempat. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat,

baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.

3. Lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi atau hukuman dari lembaga adat

khususnya kewan yang menyebabkan terjadinya penangkapan teripang

sebelum waktu “buka sasi” baik oleh masyarakat setempat maupun oleh

penduduk luar desa/negeri setempat. Hal ini disebabkan karena adanya

perubahan sistem pemerintahan desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pical

(2007), bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh

terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat

pedesaan Maluku. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya

kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik

dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.

Selain itu terlihat bahwa kurangnya perhatian Pemerintah Negeri dalam

memberikan penghargaan terhadap masyarakat pendukung pelaksanaan sasi.

4. Kurangnya informasi ilmiah tentang kondisi sumberdaya teripang, serta

pengelolaannya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya persepsi yang salah

tentang kondisi teripang yang masih dianggap melimpah, meskipun pada

kenyataannya terjadi penurunan sumberdaya.

Untuk desa Warialau, sumberdaya teripang dari segi jumlah dan

ukurannya relatif stabil, namun permasalahan utama yang dihadapi yaitu,

terjadinya pencurian teripang oleh nelayan dari Madura dan Bugis yang

menggunakan peralatan modern. Hal ini dapat terjadi karena letak pulau yang

rentan terhadap pencurian, serta hanya didiami oleh penduduk dengan jumlah

yang kecil serta tidak menyebar pada seluruh pulau, selain itu juga peralatan

transportasi yang dimiliki sangat minim, sehingga sulit dalam proses pengawasan.

5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang

Sumberdaya teripang mempunyai fungsi baik secara ekologis maupun

ekonomi, sehingga dalam menjamin kelangsungan produktivitasnnya dan

kesinambungan kegiatan perikanan maka diperlukan strategi pengelolaan yang

tepat. Dengan demikian dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan hasil

kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan

kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko. Strategi pengelolaan

diterapkan dalam bentuk aturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto

maupun Desa Warialau.

Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu:

a. Waktu “tutup” sasi diperpanjang menjadi setahun sekali, namun tetap

memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkat kematangan gonad

pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan stok

karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karena pertumbuhan.

Penentuan ukuran panjang teripang, dapat dilihat dari hasil kajian beberapa

teripang, yaitu Holothuria fuscogilva dan Bohadschia marmorata 320 mm,

Holothuria sacbra 160 mm, Actinopyga echinities 120 mm dan Thelenota

ananas 300 mm.

b. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari

potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering) Hal ini dimaksudkan agar

dapat mengurangi mortalitas penangkapan pada tahap kehidupan yang

dianggap memerlukan perlindungan khusus. Dari hasil tangkapan terjadi

penurunan setiap tahun, sehingga dapat berdampak/ menimbulkan resiko

terjadinya kepunahan, berakhirnya aktivitas perikanan dan berdampak

terhadap penurunan pendapatan nelayan, pedagang, bahkan daerah serta

munculnya berbagai masalah sosial lainnya. Dengan demikian jumlah

tangkapan yang diperbolehkan perlu dibatasi, sehingga tujuan pengelolaan

yang ditetapkan oleh pemerintah negeri dapat terwujud yaitu untuk

ketersediaan sumberdaya teripang secara terus menerus.

c. Pembatasan waktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada

bulan Juni dan Juli.

d. Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifat merusak,

seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya.

e. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya

budidaya teripang serta perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan

individu teripang sebagai penyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara

pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga

jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan,

pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.

Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan

seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu:

a. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentu

untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih.

b. Penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan,

sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan

pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.

c. Kerjasama dengan instansi terkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya

mengatasi terjadinya penangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara

ilegal.

d. Perlu adanya pertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai

salah satu kawasan konservasi teripang di Maluku.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka beberapa hal yang dapat

disimpulkan antara lain:

1. Sumberdaya teripang di negeri Porto terdiri dari 8 jenis, dengan potensi

sebesar 12.240 individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis

dengan potensi 172.368. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau

bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng

terumbu, namun jumlah jenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di

Desa Warialau ditemukan pada zona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi

panjang beberapa jenis teripang di negeri Porto yang termasuk memiliki

kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal, sedang dan murah

menunjukan bahwa Bohadschia marmorata, Holothuria fuscogilva,

Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelum waktu

matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapa jenis

teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities,

Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk

melakukan pemijahan karena tidak ada upaya tangkap dan masih dalam

status “tutup sasi.”

2. Analisis faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, kecerahan,

arus dan sebaran sedimen menunjukan bahwa di negeri Porto dan Desa

Warialau memenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami

dan pengembangan upaya budidaya.

3. Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, dan

pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedang

dan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator

keberlanjutan sumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di

negeri Porto ukuran semakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil

tangkapan mengalami penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit

mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal.

Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena

penangkapan ilegal oleh nelayan dari luar daerah yang menggunakan

peralatan modern.

4. Untuk menjamin kelangsungan produktivitas dan kesinambungan kegiatan

perikanan teripang, maka dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan

hasil kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi

dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko dan dihasilkan

5 strategi untuk negeri Porto dan 4 strategi untuk Desa Warialau.

6.2. Saran

Dalam upaya peningkatan kelestarian sumberdaya teripang khususnya

yang bernilai ekonomis, beberapa hal yang disarankan yaitu:

1. Penelitian untuk pengembangan budidaya teripang dan pengayaan stok di

habitat alaminya, khususnya jenis Holothuria scabra di Negeri Porto dan

Desa Warialau

2. Mempelajari aspek biologi dari jenis-jenis yang bernilai ekonomis seperti

siklus hidup, waktu memijah, dan kecepatan tumbuh dan lain sebagainya.

3. Monitoring hasil tangkapan setiap tahun untuk evaluasi strategi pengelolaan

yang diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2005. Perencanaan Pengelolaan dan Pengembangan Sumber DayaNegeri Porto. Yayasan Nusa Bahari.Ambon

Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995. Bahan Makanan dari Laut. LembagaPenelitian Laut. Jakarta. Hal 46-55.

Bailey, C dan C.Zerner, 1992. Local Management of Fisheries Resources inIndonesia: Opportunities and constraints, in Pollnac,R.B.,C. Bailey andA. Poernomo (eds) Constribution to Fishery Development Policy inIndonesia Central Institute for Fisheries, Min.of Agriculture, Jakarta,Indonesia.

Bakus, G.J, 1973. The biology and ecology of tropical holotrurians. In : Biologyand Geology of Coral Reef (. Jones, O.A & R. Endean, eds.), Vol. II(Biology 1). Academic Press, London:325-367.

Bandjar, H.1998. Suatu Studi Tentang Peran Sasi Laut dalam Pengelolaan danPemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir diMaluku. Thesis. Bogor. Program Pascasarjana Institut PertanianBogor.118 hal.

Birowo, S dan H. Uktolseja, 1976. Sifat-sifat Oseanografis Perairan PantaiIndonesia. Makalah Simposium Pendekatan Ekologis untuk PengelolaanDaerah Pesisir. Pertemua II Bogor, tanggal 29-31 Maret 1976: 24 pp

Birtles,R.A.1989. Class Holothuroidea. Dalam Arnold, P.W & R.A.Birtles (eds.)1989. Soft-sediment marine invertebrates of Southeast Asia and Australia.A guide to identification. Australian Institute of Marine Scinece,Townsville:221-235.

Budiman, A dan Darnaedi, D., 1982. Struktur Komunitas Moluska di HutanMangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Seminar II Ekosistem Mangrove.3 - 5 Agustus 1982. Batu Raden. Hal 175 – 182.

Canon, L.R.G dan H. Silver. 1987. Sea Cucumber of Northern Australia.Queensland Museum, South Brisbane:60 halaman.

Clark, A.M. dan F.W.E. Rowe.1971. Monograph of shallow water Indo WestPacific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Nat.Hist),London:238 hal.

Conand, C. 1990. The Fishery Resources of Pacific Island Countries. Part 2,Holothurians. FAO Fisheries Technical Paper 272.2.

Conand, C. 1998. Overexploitation in the Present World Sea Cucumber FisheriesAnd Perspectives In Mariculture. Echinoderm (Mooi & Tellord Eds.),Balkema, Rotterdam: 449-454.

Darsono, P.1994. Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang.Oseana XIX (4) : 13-21.

Darsono, P. 1995. Sumberdaya Teripang Komersil Di Indonesia. Prosid. Sem.Kelautan Nasional Jakarta 15 - 16 Nopember I995. Bab II. 7: 1·- 10.

Darsono, P.1998. Pengenalan Secara Umum tentang Teripang (Holothurians).Oseana XXIII (1) : 1-7.

Darsono, P. 2002. Sumberdaya Teripang di Pulau-Pulau Derawan, KalimantanTimur. Oseana XXVII (1):9-18.

Darsono,P. 2003. Sumberdaya Teripang dan Pengelolaannya. Oseana XXVIII(2) 1-7.

Darsono, P., Notowinarto dan E.Widiastuti, 1995a. Pembenihan Teripang Pasir,Holothuria scabra Jaeger, di Indonesia. Makalah Penunjang dalamKongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS VI), Serpong 11-16September 1995.16 hal.

Darsono, P., Soekarno, Notowinarto dan Sutomo, 1995b. Perkembangan LarvaTeripang Pasir, Holothuria scabra Jaeger, pada Bak Pemeliharaan.Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Kelautan: Potensi Biota, Teknikbudidaya dan Kualitas Perairan. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Hal51-61.

Departemen Kelautan Dan Perikanan, 2004. Pedoman Monitoring Teripang.Direktorat Konservasi Dan Taman Nasional Laut. Direktorat JenderalPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan Dan Perikanan.Jakarta.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2007. Data Tahunan Statistik Tahun 2005-2007.Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku.

Elifitrida,1994. Bio-Ekologi Teripang (Holothuria) di Perairan PulauPersumpahan Propinsi Sumatera Barat. Tesis Program PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor.

Hartati, S.T., I.S. Wahyuni dan E. Reswati, 2002. Perikanan Teripang di PerairanKepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Laut. 8(4) 55-64.

Hyman, L.H. 1955. The Invertebrates Echinodermata.The coelomate bilateria.Vol. IV. McGraw-Hill Book Company,Inc. New York. 763 hal.

James, D.B., A.D. Gandhi, N. Palaniswamy dan J.X. Rodrigo, 1994. HatcheryTechinique and Culture of Sea Cucumber Holothuria scabra. CMFRISpecial Publication. No 57. India. 41p.

Kekenusa, J.S.1994. Kepadatan, Pola Penyebaran, Keanekargaman dan Asosiasiantar Spesies Teripang di Pesisir Pantai Barat Pulau Nain SulawesiUtara. Jurnal Fakultas Perikanan UNSRAT, Volume II(p) 11-17.

Kissya, E.1993. Sasi Aman Haru-ukui. Tidak dipublikasi.

Leimena, H.2004. Struktur Populasi dan Pola Distribusi Keong Lola (Trochusniloticus-Gastropoda) di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.Tesis. Bandung. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.

Levinton, J.S. 1982. Marine Ecology. Prentice hall, Inc, Englewood cliffs, NewJersey.

Martoyo, J., N.Aji dan T. Winanto. 2002. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya.Jakarta. 75 pp

Nikijuluw, V.P. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya BerdasarkanKomunitas Di Pulau Saparua Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut,93: . Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.hal 72-82

Nikijuluw, V.P.2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PusatPemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT PustakaCidesindo, Jakarta.254 hal.

Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 305 hal.

Novaczek, I.,I.H.T. Harkes, J. Sopacua,M.D.D. Tatuhey, 2001. An institutionalAnalysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM-The World FishCenter. Penang,Malaysia.327 hal.

Nuraini,S dan M.Z.M.Said,1995. Beberapa catatan tentang taksonomi danekologi Stichopus variegates Semper (Holothuriidae) di Pulau Kapas,Laut Cina Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. Jakarta, 15-16November:II.14:1-12.

Nybakken, J. W., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia,Jakarta. 459 hal.

Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT.GramediaPustaka Utama. Jakarta.

Odum, E. P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Eds. W. B. Saunders Company,Philadelphia. 574 p

Panggabean, T.M. 1987. Membudidayakan Teripang/Ketimun Laut DalamRangka Meningkatkan Produksi Hasil Laut Di Indonesia. Ditjen PerikananBerkerjasama Dengan International Developed Research Central, INFISManual Seri 44.

Pical, V.J.2007. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadapPengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku.Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.191 hal.

Purwati, P. 2005. Teripang Indonesia : Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan.Oseana Volume XXX No 2, 11-18.

Retraubun, A.S.W. 2007. Isu Pulau kecil sebagai Dasar Pijak kebijakanpembangunan daerah Kepulauan. Orasi ilmiah Guru besar tetap bidangilmu kelautan FPIK. Universitas Pattimura. 33 hal.

Romimohtarto, K. dan Sri Juwana., 1999. Biologi Laut. Ilmu PengetahuanTentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. 183 hal.

Smith, R. L., 1980. Ecology and Field Biology. Third Edition. Harper and Row Publisher,New York. 664-670p.

Sloan, N.A. 1985. Echinoderm Fisheries of the World: Review in : Keegan andO’Connor (Eds). Echinodermata.A.A. Balkema, Rotterdam: 109-124.

Supardal , Parwo S. 2005. Pemaknaan Desa Terhadap Good Governanve di DesaWiladeg. Sosiosains 18(2) April. Jurnal Berkala Penelitian PascasarjanaIlmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal 341-358.

Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. 68 pp.

Trijoko, 1991. Penyebaran Teripang (Holothrunidae) di Pulau Bawean. BuletinBudidaya Laut 2. hal 37-40.

Tuwo, A and C. Conand, 1992. Reproductive Biology of the HolothurianHolothuria forskali (Echinodermata). Jurnal Marine Biology. AssU.K.72:745-758.

Wardojo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan MutuPerguruan Tinggi, Direktorat Pendidikan Tinggi. Bogor;80pp

Wibowo, S.,Yunizal, E. Setiabudi, M.D. Erlina dan Tazwir, 1997. TeknologiPenanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuroidea). InstalasiPenelitian Perikanan Laut Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. PusatPenelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.37 hal.

Yusron, E. 1992. Beberapa Catatan Tentang Teripang di Perairan Maluku.Lonawarta XV (2) 1992 : 12-17.

Yusron, E. 1993. Pengamatan Komunitas Teripang (Holothuroidea) di TanjungTiram, Teluk Ambon Bagian Dalam. Perairan Maluku dan Sekitarnya.Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Pusat Penelitiandan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 67-72.

Yusron, E. 2004. Teknologi Pemijahan Teripang Pasir dengan Cara ManipulasiLingkungan. Oseana Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 ; 17-23.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa Warialau

Negeri Porto

Transek 1

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 3 1 1 2 2 0 3 0 1 0 0 13Bohadschia sp 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 2 5Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 3 2 2 2 2 1 3 0 2 1 2 20

Transek 2

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 1 4 1 4 1 1 0 0 14Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2Holothuria edulis 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 2 4Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 1 2 2 4 1 4 2 2 2 2 23

Transek 3

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 2 1 0 2 0 0 1 0 0 1 0 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1Actinopyga miliaris 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 2 2 1 2 0 1 1 1 0 2 1 14

Transek 4

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 0 0 2 2 1 1 0 2 0 10Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria edulis 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 3Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 1 0 2 2 2 1 3 2 1 18

Transek 5

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 0 2 2 0 0 0 1 1 1 0 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 0 0 2 2 1 0 0 1 2 1 3 13

Transek 6

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 2 1 1 1 1 3 1 1 0 13Bohadschia sp 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria edulis 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 2 2 3 1 2 4 1 1 1 19

Transek 7

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 0 2 0 3 0 0 1 1 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 0 2 0 3 2 1 1 1 14

Transek 8

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 1 1 0 1 2 1 1 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 1 1 0 1 2 1 1 3 12

Transek 9

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 3 1 1 2 2 0 1 0 0 11Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 3 1 2 2 2 0 1 1 1 15

Transek 10

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 2 1 0 1 0 2 0 1 0 1 0 8Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 5Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 2 1 3 1 1 2 0 1 0 1 1 14

Transek 11

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 2 0 1 2 1 2 0 1 0 0 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2JUMLAH 2 1 1 2 1 2 0 1 0 2 1 13

Transek 12

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 1 2 2 1 2 0 0 0 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 2 2 2 2 0 0 0 1 13

Transek 13

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 3Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 1 1 0 1 2 0 0 1 8

Transek 14

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 1 2 1 1 2 1 0 1 1 10

Transek 15

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 0 0 2 0 0 2 1 0 1 6Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 1 0 0 2 1 1 2 1 0 1 9

Desa Warialau

Transek 1

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 2

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1

Holothuria scabra 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 0 0 7

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 2 3

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 0 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 2 16

Transek 2

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria scabra 0 2 1 2 1 2 0 2 2 0 0 0 0 12

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 2

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 0 2 1 2 1 2 1 2 3 0 2 1 1 18

Transek 3

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1

Holothuria scabra 0 2 2 1 3 1 1 0 3 2 1 0 0 16

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Stichopus chloronotus 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

JUMLAH 0 2 2 3 3 2 1 0 3 2 2 1 1 21

Transek 4

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

Bohadschia sp 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2

Holothuria scabra 0 2 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 6

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1

JUMLAH 0 2 2 1 1 1 2 1 2 2 1 1 16

Transek 5

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

Holothuria scabra 2 2 1 3 2 2 1 0 0 0 0 13

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 2 2 1 3 2 3 2 0 1 2 1 19

Transek 6

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Holothuria edulis 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria scabra 1 2 1 3 1 2 1 0 0 0 0 11

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

JUMLAH 1 3 2 3 1 2 2 1 0 2 2 19

Transek 7

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria scabra 0 2 1 2 2 1 3 1 1 13

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 0 2 1 2 2 2 3 2 1 15

Transek 8

Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 JUMLAH

Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holothuria scabra 0 0 2 3 2 2 2 0 0 2 13

Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1

Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 0 0 2 3 2 3 2 1 0 2 15

Lampiran 2. Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau

Lokasi : Negeri Porto

ParameterPkl.06.00 Pkl.12.00 Pkl.18.00 Pkl.24.00*

Range RerataRange Rerata Range Rerata Range Rerata Range Rerata

Suhu (oC) 27-29 27.9 28.5-30 29.6 27-30 28.5 27-29 28.1 27-30 28.5

pH 8-8.4 8.3 7.8-8.4 8.3 8.1-8.4 8.3 8.1-8.4 8.3 7.8-8.4 8.3

Salinitas (‰) 30-34 32.4 30-34 32.7 30-34 32.6 30-34 32.6 30-34 32.6

DO 8.5 8.5 8.6 8.6 8.5 8.5 6-7 6-7 6-8.6 8.1

Arus Permukaan (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

Kecerahan (m) 16-27 21.6

Lokasi : Desa Warialau

ParameterPkl.06.00 Pkl.12.00 Pkl.18.00

Range RerataRange Rerata Range Rerata Range Rerata

Suhu (oC) 27-29 28 29-30 28.9 27-30 28.9 27-30 28.8

pH 7.1.-7.4 7.2 7.1.-7.4 7.3 7.1.-7.4 7.2 7.1-7.4 7.2

Salinitas (‰) 33-34 33.2 33-35 33.5 33-34 33.4 33-35 33.4

DO 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3

Arus Permukaan (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

Kecerahan (m) 6-16 11

Nilai Kecerahan di Negeri Porto dan Desa Warialau

Negeri Porto Desa WarialauWaktu Pengukuran

(WIT)Nilai Kecerahan

m)Waktu Pengukuran

(WIT)Nilai Kecerahan

(m)

7.00 16 9.00 8

9.00 20 10.00 10

10.00 22 12.00 16

11.00 24 15.00 6

12.00 27

Lampiran 3. Kriteria penilaian setiap indikator sasi

No Indikator Tinggi Sedang Rendah

Indikator Efisiensi1 Pengambilan

keputusan secarabersama

Pemerintah desa,kelembagaan adat sertamasyarakat terlibat dalampengambilan keputusan

Pemerintah desa,kelembagaan adatsaja yang terlibatdalam pengambilankeputusan

Pemerintah desasaja yang terlibatdalampengambilankeputusan

2 Kemudahan kesumberdaya

Area sasi dapat di tempuhdengan waktu 10 menit

Area sasi dapat ditempuh dengan waktukurang dari 20 menit

Area sasi dapatditempuh denganwaktu lebih dari20 menit

3 Pengawasan Setiap 3 hari dilakukanpengawasan area sasi olehkewang

1 minggu sekalidilakukanpengawasan terhadaparea sasi

Lebih dari 1minggu dilakukanpengawasanterhadap area sasi

4 Kepatuhan terhadapperaturan

Tidak ada orang yang dapatmengakses pengangkapanke daerah sasi

Sebagian nelayanmengaksespenangkapan kedaerah sasi

Seluruh nelayandan masyarakatmengakses kedaerah

Indikator Keberlanjutan Sosial5 Pendapatan Lebih dari Rp.500 ribu

perbulanRp. 200-500 ribuperbulan

Dibawah Rp. 200ribu perbulan

6 Keharomonisanmasyarakat

Hamper tidak adaperselisihan

Kadang-kadang adaperselisihan

Sering terjadiperselisihan

7 Tradisi aksi bersama Pemerintah desa dankelembagaan adat sertamasyarakat telribat dalamtradisi

Pemerintah desa dankelembagaan adatyang terlibat dalamtradisi

Pemerintah desasaja yang terlibatdalam tradisi

8. KesejahteraanKeluarga

Memiliki rumah permanen Memiliki rumah semipermanen

Tidak mempunyairumah sendiri

9 Pembahasan tentangmasalah – masalahdesa

Paling sedikit 1 kali dalamseminggu

2 kali dalam 1 bulan 1 bulan satu kaliatau tidak samasekali

Indikator Keberlanjutan Biologi10 Kondisi sumberdaya Kisaran optimal populasi persatuan wilayah dan eksistensi ukuran teripang

yang optimal. Disini dilihat kondisi minimal yang ditemukan dilapanganbaik untuk populasi dan ukuran individu

11 Hasil tangkapansumberdaya

Perkembangan produksi teripang setiap waktu buka sasi dahulu dansekarang

Indikator Pemerataan12 Kesempatan

memanfaatkansumberdaya

Seluruh masyarakatmemanfaatkan sumberdaya

Sebagian warga desadalam hal inimasyarakat nelayanyang dapatmemanfaatkan

Orang tertentu sajayang telahditentukan olehpemerintah desa

13 Pemerataan hasil Hasil lelang di bagi untukpemerintah negeri, adat, dangereja

Pemerintah negeridan gereja

Pemerintah negeri

14 Kesempatan baginelayan lokal

Nelayan lokal bebasmengakses area sasi

Nelayan lokal dapatmengakses area sasitapi ditentukandengan peraturan –peraturan pemerintahnegeri

Nelayan lokaltidak diperkenankanmengakses areasasi

Lampiran 4. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto

Actinopyga lecanora

Actinopyga miliaris

Bohadschia marmorata

Bohadschia sp

Holothuria atra

Holothuria edulis

Holothuria fuscogilva

Stichopus variagatus

Lampiran 5. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau

Actinopyga echinities

Actinopyga lecanora

Actinopyga miliaris

Bohadschia argus

Bohadschia marmorata

Bohadschia sp

Holothuria edulis

Holothuria scabra

Stichopus chloronotus

Thelenota ananas

Lampiran 6. Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi kehadiran

Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi

Jumlah ind. suatu spesies

Kepadatan (ind/m2) =

Luas total PP

Contoh : Jenis Bohadschia marmorata

Jumlah Individu = 135

Luas Total Petak Pengamatan = 168

Kepadatan (ind/m2) = 135/168

= 0.8035 ind/25m2

= 0.803/25

= 0.0321 ind/m2

Jumlah ind. suatu spesies

Kepadatan Rel (%) =

Total ind. semua spesies

Jumlah individu suatu spesies=135

Total individu semua spesies =215

Kepadatan relatif (%) = (135/215) x 100

= 62.7907%

Jumlah PP dimana suatu sp ditemukanFrek. Kehadiran =

Total petak pengamatan

x 100

Contoh : Jenis Bohadschia marmorata

Jumlah PP dimana suatu sp ditemukan = 90

Total Petak Pengamatan = 168

Frek. Kehadiran = 135/168

= 0,5357

Frek. Kehadiran suatu spesiesFrek. Keh. Rel (%) =

Total Frek. Keh semua spesies

Frek. Kehadiran suatu spesies= 0.5357

Total Frek. Kehadiran semua spesies = 0.92857

Kepadatan relatif (%) = (0.5357/0.92857) x 100

= 57.6923%

Potensi (Ind/Ha) = Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2)

1. Negeri Porto

Potensi (Ind) = 0,051 x 240 000

= 12.240 individu

2. Desa Warialau

Potensi (Ind) = 1,539 x 112 000

= 172 368 individu

x 100

DAFTAR ISTILAH

Bameti : Cara melakukan pemanenan hasil laut oleh masyarakat desadengan menggunakan alat-alat sederhana atau tidakmenggunakan alat sama sekali di sepanjang daerah pasangsurut saat air surut.

Baeleo : Rumah adat, tempat musyawarah adat

Buka Sasi : Periode musim penangkapan (panen).

Kepala Soa : Pemimpin suatu bagian dalam negeri yang terdiri daribeberapa marga.

Kewang : Suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melaluiproses musyawarah pimpinan desa yang dilakukan dalamrumah adat, yang bertugas mengawasi dan mengamankanpetuanan negeri/desa.

Masohi : Suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan olehmasyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan dalam desa.

Mata rumah : Marga/famili.

Ngase : Pembayaran sewa oleh orang luar kepada pemerintah negeriagar dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada.

Petuanan negeri : Suatu kawasan darat dan laut milik pemerintash negeri.

Sasi : Larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu yangbernilai ekonomis baik darat maupun laut.

Tutup Sasi : Periode penutupan penangkapan sumberdaya laut.