pengelolaan sumberdaya alam hayati
DESCRIPTION
Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan dimana konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang ada, tidak memuat definisi mengenai kawasan konservasi secara jelas. konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya, apabila suatu kawasan tidak terpelihara maka akan terjadi kerusakan dan kemusnahan. Agar tidak terjadi kerusakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya penerapan konservasi sumberdaya hayati perairan seperti penetapan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, perlindungan hutan, taman nasional, taman laut dan kebun binatang.TRANSCRIPT
Tugas Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DALAM EKOWISATA WILAYAH PESISIR DAN
LAUT
OLEH
KELMPOK I
FISKA FAHRIYANI K (P3700213407)
NASRI (P3700213402)
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PENDAHULUAN
Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang memiliki kekayaan habitat dengan potensi flora dan fauna yang
sangat beragam. Secara ekologis, kawasan pesisir sangat kompleks dan
mempunyai nilaisumberdaya alam yang tinggi. Sumberdaya alam yang terdapat di
kawasan pesisir antara lain perikanan, pasir, air laut, mikroorganisme,
mangrove, terumbu karang, lamun, dan lain – lain.
Bagian kawasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir
atau pantai. Pantai merupakan wilayah dimana berbagai kekuatan alam yang
berasal dari laut, darat dan udara saling berinteraksi dan menciptakan bentuk
pantai. Bentuk pantai bersifat dinamis dan selalu berubah. Perubahan ini dapat
terjadi secara alamiah (diakibatkan oleh arus, gelombang dan cuaca) dan akibat
ulah manusia (misalnya pembuatan break water, pencemaran di pantai, dan lain –
lain). Perubahan terhadap bentuk pantai oleh ulah manusia tidak terlepas dari
upaya pemanfaatan kawasan pantai baik dari sisi eksploitasi sumberdaya alam
maupun pemanfaatan ruang untuk berbagai aktivitas lain seperti wisata,
perikanan, pelabuhan, dan lain – lain.
Pemanfaatan kawasan pantai memberikan dampak yang berbeda baik
terhadap sumberdaya alam maupun bagi masyarakat. Salah satu pemanfaatan
kawasan pesisir adalah untuk kegiatan wisata. Kegiatan wisata dan perikanan
memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan pendapatan baik
masyarakat maupun pemerintah daerah setempat apabila pengelolaannya
dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Paradigma kegiatan wisata di
kawasan pantai saat ini lebih mengutamakan pada keuntungan ekonomi, yaitu
bagaimana menarik wisatawan sebanyak – banyaknya tanpa memperhatikan daya
dukung lingkungan yang ada. Apabila suatu kawasan wisata sudah tidak mampu
lagi menampung jumlah wisatawan (melebihi daya dukung kawasan) maka yang
akan terjadi selanjutnya adalah penurunan atau degradasi kualitas lingkungan.
Kegiatan wisata pantai yang dapat dilakukan di pantai ini antara lain
surfing, memancing, berenang, jogging dan lain – lain. Pemerintah daerah
memberikan perhatian yang besar dengan membangun berbagai fasilitas
pendukung guna memberikan kenyamanan kepada seluruh wisatawan. Berbagai
sarana prasarana yang telah dibangun antara lain pelabuhan, gardu pandang untuk
menikmati desiran ombak laut selatan, kolam renang dan arena bermain anak –
anak, kedai makan, tempat pelelangan ikan, penginapan, kios cenderamata, areal
perkemahan, arena pemancingan serta baywatch.
Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan dimana
konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia yang ada, tidak memuat definisi mengenai kawasan
konservasi secara jelas. konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan,
kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama
lindung atau budidaya, apabila suatu kawasan tidak terpelihara maka akan terjadi
kerusakan dan kemusnahan. Agar tidak terjadi kerusakan kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan, maka perlu dilakukan
upaya penerapan konservasi sumberdaya hayati perairan seperti penetapan
kawasan suaka margasatwa, cagar alam, perlindungan hutan, taman nasional,
taman laut dan kebun binatang.
PEMBAHASAN
A. Kawasan pesisir Dan Pantai
1. Kawasan Pesisir
Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line),
maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu : batas yang sejajar
garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross
shore). Menurut Soegiarto (1976) in Dahuri et al. (2004) definisi wilayah pesisir
yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat – sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses – proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi
antara habitat tersebut. Bengen (2001) menyatakan kawasan pesisir dari sudut
ekologis sebagai lokasi dari beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait,
dinamis dan produktif. Ekosistem pesisir mempunyai kemampuan terbatas
terhadap masukan limbah. Hal ini sangat tergantung pada volume dan jenis.
Dalam suatu kawasan pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya
pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (manmade).
Ekosistem alami yang terdapat di kawasan pesisir antara lain : terumbu karang
(coral reef), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir (sandy beach),
formasi pes-caprae, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sementara itu,
ekosistem buatan antara lain : tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata,
kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al., 2004).
Sumberdaya di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat
pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih
antara lain meliputi sumberdaya perikanan (plankton, bentos, ikan, moluska,
krustacea, mamalia laut); rumput laut; padang lamun; hutan mangrove; dan
terumbu karang. Sumberdaya yang tidak dapat pulih dapat berupa minyak dan
gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Pada kelompok sumberdaya yang dapat pulih, hidup dan berkembang berbagai
macam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumberdaya tersebut
diperoleh potensi jasa – jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk
perkembangan wisata (Dahuri et al., 2004).
Menurut Nybakken (1992), ekosistem laut dapat dilihat dari segi
horizontal dan vertikal. Secara horizontal kawasan pelagik terbagi menjadi dua
yaitu laut pesisir (zona neritik) yang mencakup daerah paparan benua dan laut
lepas (lautan atau zona oseanik). Zonasi perairan laut dapat pula dilakukan atas
dasar faktor – faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Seluruh daerah
perairan terbuka disebut kawasan pelagik dan kawasan bentik adalah kawasan
dibawah kawasan pelagik atau dasar laut. Organisme pelagik adalah organisme
yang hidup di laut terbuka dan lepas dari dasar laut. Zona dasar laut beserta
organismenya disebut daerah dan organisme bentik. Secara vertikal wilayah laut
dibagi berdasarkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Zona fotik
adalah bagian kolom perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari, disebut
juga zona epipelagis. Zona afotik berada dibawah zona fotik, yaitu daerah yang
secara terus menerus berada dalam keadaan gelap dan tidak mendapatkan cahaya
matahari. Zonasi wilayah pesisir dan lautan secara horisontal dan vertikal dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Zonasi Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Horizontal Dan Vertikal.
2. Kawasan Pantai
Bagian kawasan pesisir yang paling produktif adalah wilayah muka pesisir
atau pantai. Daerah pantai adalah suatu kawasan pesisir beserta perairannya
dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut
(Pratikto et al., 1997). Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan
(kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai
terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001).
Gambar batas daerah pantai dapat dilihat pada Lampiran 2. Prasetya et al. (1994),
menyatakan bahwa berdasar asal mula pembentukannya, pantai di Indonesia
dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu :
1. Pantai tenggelam (sub-emergence) : terbentuk oleh genangan air laut pada
daratan yang tenggelam.
2. Pantai timbul (emergence) : terbentuk oleh genangan air laut pada daratan
yang sebagian terangkat.
3. Pantai netral : pembentukannya tidak tergantung pada pengangkatan atau
penurunan daratan, melainkan pengendapan aluvialnya. Pantai ini
dicirikan dengan pantai pada ujung delta yang dalam dengan bentuk pantai
sederhana atau melengkung.
4. Pantai campuran (compound): terbentuk oleh proses pengangkatan dan
penurunan daratan, yang diindikasikan oleh adanya daratan pantai
(emergence) dan teluk – teluk (sub-emergence).
Karakteristik bentuk pantai berbeda – beda antara tempat yang satu dengan
tempat lainnya. Ada pantai yang berlumpur, berpasir yang datar dan landai,
berbatu dan terjal. Keadaan topografi dan geologi wilayah pesisir mempengaruhi
perbedaan bentuk pantai. Gambar pantai (pantai berpasir, berbatu dan berlumpur)
secara visual yaitu sebagai berikut :
1. Pantai berpasir
Umumnya pantai berpasir terdapat di seluruh dunia dan lebih dikenal dari
pada pantai berbatu. Hal ini disebabkan pantai berpasir merupakan tempat yang
dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi (Nybakken, 1992). Pantai
berpasir sebagian besar terdiri atas batu kuarsa dan feldspar, bagian yang paling
banyak dan paling keras sisa – sisa pelapukan batu di gunung. Pantai yang
berpasir dibatasi hanya di daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut
partikel yang halus dan ringan. Total bahan organik dan organisme hidup di pantai
yang berpasir jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jenis pantai lainnya (Dahuri
et al., 2004). Menurut Islami (2003)
peruntukan pantai dengan substrat pasir hitam adalah boating, sedangkan
pantai berpasir putih lebih bervariasi, seperti boating, selancar, renang, snorkling
dan diving. Parameter utama bagi daerah pantai berpasir adalah pola arus yang
akan mengangkut pasir yang halus, gelombang yang akan melepaskan energinya
di pantai dan angin yang juga merupakan pengangkut pasir (Dahuri et al., 2004).
2. Pantai Berbatu
Pantai berbatu merupakan pantai dengan topografi yang berbatu – batu
memanjang ke arah laut dan terbenam di air (Dahuri et al., 2004). Pantai berbatu
yang tersusun dari bahan yang keras merupakan daerah yang paling padat
mikroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies
hewan maupun tumbuhan. Keadaan ini berlawanan dengan pantai berpasir dan
berlumpur yang hampir tandus (Nybakken, 1992). Pantai berbatu menjadi habitat
berbagai jenis moluska, bintang laut, kepiting, anemon dan juga ganggang laut
(Bengen, 2001).
3. Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur memiliki substrat yang halus. Pantai berlumpur hanya
terbatas pada daerah intertidal yang benar – benar terlindung dari aktivitas laut
terbuka. Pantai berlumpur dapat berkembang dengan baik jika ada suatu sumber
partikel sedimen yang butirannya halus. Pantai berlumpur terdapat di berbagai
tempat, sebagian di teluk yang tertutup, gobah, pelabuhan dan terutama estuaria
(Nybakken, 1992).
B. Ekowisata
Ekowisata pertama kali dikenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The
Ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah – daerah yang masih alami yang
dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat
setempat (Blangy dan Wood, 1993 in Linberg dan Hawkins, 1993). Ekowisata
merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan
perlindungan sumberdaya alam dan industri kepariwisataan (META, 2002).
Kegiatan ekowisata dapat menciptakan dan memuaskan keinginan akan
alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta
mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan, dan keindahan
(Western, 1993 in Lindberg dan Hawkins, 1993). Semula ekowisata dilakukan
oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh
dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Ekowisata berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin
berkunjung ke daerah alami yang menciptakan kegiatan bisnis (Pudjiwaskito,
2005). Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan
bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan
industri pariwisata (Eplerwood, 1999 in Fandeli dan Muchlison, 2000).
Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan
wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok yaitu (Fandeli, 2000; META, 2002 in Yulianda, 2007) :
1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan
pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan
budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
3. Ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism),
merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani
kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri
kepariwisataan.
Dalam kaitannya dengan ekowisata, From (2004) in Damanik dan Weber
(2006) menyusun tiga konsep dasar tentang ekowisata yaitu sebagai berikut :
Pertama, perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan. Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas
yang diciptakan dan dikelola oleh masyarakat kawasan wisata. Ketiga, perjalanan
wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal.
Dari definisi tersebut diatas dapat diidentifikasi beberapa prinsip
ekowisata (TIES, 2000 in Damanik dan Weber, 2006), yaitu sebagai berikut :
a. Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran
lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
b. Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di
destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun
pelaku wisata lainnya.
c. Menawarkan pengalaman – pengalaman positif bagi wisatawan maupun
penduduk lokal.
d. Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan
konservasi melalui kontribusi.
e. Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat
lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai –
nilai lokal.
f. Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di
daerah tujuan wisata.
g. Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti
memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk
menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada
aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam transaksi – transaksi
wisata.
Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata
bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan wisata bahari.
Menurut Yulianda (2007), wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang
mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi,
olahraga dan menikmati pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan
kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air
laut. Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kegiatan Wisata Pantai Dan Bahari Yang Dapat Dikembangkan
No Wisata Pantai Wisata Bahari
1 Rekreasi Rekreasi Pantai Dan Laut
2 Panaroma Resort/ Peristirahatan
3 Resort/Peristirahatan Wisata Selam (Diving) Dan Wisata
Snorkling
4 Berenang/Berjemur Selancar, Jet Sky, Banan Boat, Perahu
Kaca, Dan Kapal Selam
5 Olahraga Pantai (Volly Pantai,
Jalan Pantai, Lempar Cakram.
Dan Lain-lain
Wisata Ekosistem Lamun, Wisata
Nelayan, Wisata Pulau, Wisata
Pendidikan, Dan Wisata Pancing
6 Berperahu Wisata Satwa (Penyu, Duyung, Paus,
Lumba-lumba, Burung, Mamalia,
Buaya, Dan Komodo)
7
8
Memancing
Wisata Mangrove
Sumber : Yulinda (2007).
C. Kriteria Ekowisata
Salah satu upaya pemanfaatan sumberdaya lokal yang optimal adalah
dengan mengembangkan pariwisata dengan konsep ekowisata. Dalam konteks ini,
wisata yang dilakukan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-
upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih
tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari
perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah
ada sebelumnya (Satria, 2009).
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Bahwa ekowisata harus memberikan nilai konservasi yang dapat dihitung,
mencakup partisipasi publik, serta menguntungkan dan dapat memelihara dirinya
sendiri (Oetama, 2013). Pergeseran konsep kepariwisataan dunia ke model
ekowisata, disebabkan karena kejenuhan wisatawan untuk mengunjungi obyek
wisata buatan. Oleh karena itu, peluang ini selayaknya dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk menarik wisatawan asing mengunjungi objek wisata berbasis
alam dan budaya penduduk lokal.
Pengembangan ekowista bahari yang hanya terfokus pada pengembangan
wilayah pantai dan lautan sudah mulai tergeser, karena banyak hal lain yang bisa
dikembangkan dari wisata bahari selain pantai dan laut. Salah satunya adalah
konsep ekowisata bahari yang berbasis pada pemadangan dan keunikan alam,
karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat
sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya,
kegiatan ekowisata lain yang juga dapat dikembangkan, antara lain: berperahu,
berenang, snorkling, menyelam, memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik
menikmati atmosfer laut (Sukoraharjo dkk, 2012).
Orientasi pemanfaatan pesisir dan lautan serta berbagai elemen
pendukung lingkungannya merupakan suatu bentuk perencanaan dan pengelolaan
kawasan secara merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi dan saling
mendukung sebagai suatu kawasan wisata bahari. Suatu kawasan wisata yang
baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan pada empat aspek, yaitu (Gunn
1993 dalam Situmorang, 2001):
1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut
3. Menjamin kepuasan pengunjung
4. Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar
kawasan dan zona pengembangannya
Selain keempat aspek tersebut, ada beberapa hal yang juga perlu
diperhatikan untuk pengembangan ekowisata bahari, anatara lain (Satria, 2009):
1. Aspek Ekologis, daya dukung ekologis merupakan tingkat penggunaan
maksimal suatu kawasan
2. Aspek Fisik, daya dukung fisik merupakan kawasan wisata yang
menunjukkan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang
diakomodasikan dalam area tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan
kualitas
3. Aspek Sosial, daya dukung sosial adalah kawasan wisata yang dinyatakan
sebagai batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan
dimana melampauinya akan menimbulkan penurunanan dalam tingkat
kualitas pengalaman atau kepuasan
4. Aspek Rekreasi, daya dukung reakreasi merupakan konsep pengelolaan yang
menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan
kemampuan kawasan.
D. Pola Pemanfaatan Lahan Di Kawasan Wisata
Lingkungan hidup adalah lingkungan di sekitar manusia, tempat
organisme dan anorganisme berkembang dan saling berinterakasi (Borong, 1999).
Sebagai suatu sistem, lingkungan hidup terdiri atas lingkungan sosial
(sociosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan alam
(ecosystem) (Soerjani, 1997).
Menurut Ramly (2007), lingkungan alami (ekosistem) adalah lingkungan
yang tidak terlalu didominasi manusia sehingga mahluk hidup lainnya mempunyai
kesempatan dan ruang untuk hidup wajar. Lingkungan sosial (sosiosistem) adalah
lingkungan yang di dalamnya manusia berinteraksi dengan sesamanya baik
berdasarkan pola hubungan struktural maupun fungsional. Lingkungan buatan
atau lingkungan binaan (teknosistem) adalah lingkungan tempat manusia
memenuhi kebutuhannya dengan menerapkan tehnologi seperti pertanian,
perumahan, transportasi, perindustrian, kawasan wisata dan lainnya. Lingkungan
buatan didominasi oleh manusia.
E. Potensi Ekowisata
Selanjutnya Hadi (2007) menyatakan bahwa prinsip-psinsip ekowisata
adalah meminimalkan dampak, menumbuhkan kesadaraan lingkungan dan
budaya, memberikan pengalaman positif baik kepada turis (visitors) maupun
penerima (host) dan memberikan manfaat dan keberdayaan masyarakat lokal.
Daya dukung (carrying capacity) lingkungan secara umum dapat diartikan
sebagai kemampuan lingkungan (alam) untuk mendukung kehidupan manusia
atau benda hidup lainnya. Menurut Clark (1966), bahwa daya dukung adalah
suatu cara untuk menyatakan batas-batas penggunaan terhadap sumberdaya.
Analisis daya dukung merupakan salah satu pendekatan bahwa alam mempunyai
batas maksimum untuk menerima aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam
kurun waktu tertentu.
Kajian daya dukung wisata bahari bertujuan untuk menentukan jumlah
maksimum pengujung wisata yang masih ditolerir suatu kawasan wisata. Hal ini
dilakukan karena dalam ekowisata, pengembangan kegiatan wisata bahari tidak
bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat
terbatas. Dengan demikian untuk mengembangkan ekowisata bahari di kawasan
pesisir perlu penentuan daya dukung agar kegiatan wisata yang dilakukan dapat
berlangsung secara terus menerus (sustainable).
F. Perencanaan Pengembangan Kawasan Ekowisata Di Daerah Pantai
Perencanaan dan pengembangan yang berwawasan lingkungan perlu
dilakukan mengingat tingginya minat masyarakat terhadap kegiatan ekowisata dan
rawannya kondisi ekologis pantai. Perencanaan pengembangan ekowisata
ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya alam dan jasa yang dimiliki
serta minat ekowisatawan. Situmorang (1993) in Islami (2003) menyatakan bahwa
perencanaan kawasan ekowisata yang berwawasan lingkungan merupakan suatu
perencanaan jangka panjang, karena tujuan dari perencanaan ini adalah untuk
melestarikan lingkungan dan melindunginya. Hal – hal yang perlu dilakukan
antara lain :
a. Identifikasi sumberdaya dan area yang bisa dikembangkan sebagai
kawasan ekowisata.
b. Merencanakan kawasan ini dengan meminimumkan dampaknya
terhadap lingkungan maupun penduduk sekitar.
c. Mengundang wisatawan yang sesuai (jumlah maupun
karakteristiknya) dengan daya dukung alam yang ada.
Dalam mengidentifikasi sumberdaya dan area yang bisa dikembangkan
sebagai kawasan ekowisata perlu diperhatikan potensi pantainya secara geografis
yang dapat dibagi menjadi (Situmorang, 1993 in Islami, 2003) :
a. Kawasan yang mempunyai produktivitas alamiah yang tinggi dan
merupakan habitat penting untuk makhluk hidup
b. Kawasan yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai
daerah rekreasi
c. Kawasan yang perlu perlindungan (dari bahaya banjir, erosi dan
lain – lain) untuk pemeliharaan pantai (terutama pantai yang
berkarang, berbukit pasir).
d. Kawasan yang mempunyai sifat geologis dan topografis yang khas.
Masalah – masalah spesifik yang berhubungan dengan perusakan
lingkungan pantai perlu ditinjau untuk meminimumkan dampak
ekowisata terhadap lingkungan. Perlu melibatkan masyarakat
setempat karena mereka yang akan mengalami dampak dari
kegiatan ekowisata ini secara langsung. Apabila lingkungan
mengalami kerusakan mereka yang akan menerima dampaknya.
Keikutsertaan masyarakat setempat sangat besar manfaatnya
karena mereka merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan sekitar, dan mereka mempunyai cara tersendiri
melestarikan alam. Keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan
ekowisata ini harus dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
sekitar, sehingga tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat
tercapai (Situmorang, 1993 in Islami, 2003).
Pengembangan ekowisata merupakan jawaban dari masalah lingkungan
dan di sisi lain sangat menunjang pembangunan ekonomi, terutama ekonomi
penduduk lokal. Horwich et al. (1995) in Noorhidayah (2003) menyatakan bahwa
ekowisata yang benar harus didasarkan atas sistem pandang yang mencakup di
dalamnya prinsip keseimbangan dan pengikutsertaan partisipasi masyarakat
setempat dalam areal – areal potensial untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata
tersebut dapat dilihat sebagai usaha bersama antara masyarakat setempat dan
pengunjung dalam usaha melindungi lahan – lahan (Wildlands), aset budaya dan
biologi melalui dukungan terhadap pembangunan masyarakat setempat.
G. Kebijakan Pengembangan Ekowisata
Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-
potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat pada suatu keadaan yang lebih
lengkap, lebih besar, atau lebih baik, memajukan sesuatu yang lebih awal kepada
yang lebih akhir atau dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks.
Pengembangan meliputi kegiatan mengaktifkan sumberdaya, memperluas
kesempatan mengakui keberhasilan dan mengintegrasikan kemajuan (Ramly,
2007).
Lebih lanjut Ramly (2007) menyatakan bahwa, dari segi kualitatif,
pengembangan berfungsi sebagai upaya peningkatan yang meliputi
penyempurnaan program kearah yang lebih baik. Dimana hal-hal yang
dikembangkan meliputi aktivitas manajemen yang terdiri atas perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. Model-model perencanaan telah
dikembangkan, masing-masing merefleksikan nilai-nilai yang berbeda, aumsi dan
keyakinan tentang hakekat dari dunia perencanaan dilakukan. Beberapa model
perencanaan diantaranya perencanaan sinoptik, perencanan bertahap
(incremental), mixed scanning dan perencanaan transaktif (Mitchell, Setiawan dan
Rahmi, 1997).
Implementasi pembangunan top down telah menyebabkan proporsi dan
konstelasi peranan tiga stakeholder pembangunan menjadi timpang. Negara dan
swasta menjadi sangat dominan sedangkan masyarakat berada pada posisi
marjinal. Bertolak dari hal tersebut diperlukan sebuah pembangunan alternatif
yang lebih berorientasi pada usaha menghilangkan marginalisasi dan memperkuat
sektor masyarakat. Pada aras ini maka pembangunan yang berbasis masyarakat
(communitybased development) menjadi sangat relevan untuk diimplementasikan
(Suparjan dan Suyatno, 2003).
Perencanaan pembangunan berbasis masyarakat salah satunya
menggunakan metode 7 (tujuh) langkah perencanaan (seven magic step) yang
meliputi tahap definisi masalah, tujuan, analisis kondisi, altenatif kebijakan,
pilihan alternatif, implementasi dan pemantauan (Hadi,2005).
Kualitas lingkungan menurun pada dasarnya dapat disebabkan oleh dua
faktor yaitu meningkatnya kebutuhan ekonomi (economic requirement) dan
gagalnya kebijakan yang diterapkan (policy failure) (Ramly, 2007).
Peningkatan kebutuhan yang tak terbatas sering membuat tekanan yang
besar terhadap lingkungan dan sumber daya yang ada. Lingkungan masih
dipandang sebagai instrumen ekonomi, bukan sebagai fungsi intrinsiknya. Akar
masalah kerusakan lingkungan selama ini berasal dari kesalahan cara pandang
manusia tentang dirinya, alam dan hubungan manusia dengan alam. Oleh karena
itu, percepatan pembangunan ekonomi selayaknya diimbangi dengan ketersediaan
sumber daya dan lingkungan yang lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006a. Peluang Pariwisata Bahari di Pulau – Pulau Kecil.
Disampaikan pada Diskusi Pengembangan Pariwisata Bahari di
Pulau – Pulau Kecil, Program Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya
Kelautan Tropika, IPB. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Adrianto, L. 2006b. Paradigma Sosial – Ecologic System dalam Pemulihan Mata
Pencaharian Masyarakat Pesisir Pasca Tsunami : Studi Kasus
Wilayah Pesisir Krueng Raya, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Arifin, T., D. G. Bengen, dan J. I Pariwono. 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan
Pesisir Teluk Palu untuk Pengembangan Pariwisata Bahari. Jurnal
Pesisir dan Lautan. Vol. 4. No. 2. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bakosurtanal. 2007. Peta Rupa Bumi Indonesia. Bakosurtanal. Bogor
Cemporaningsih, R. R. A. 2007. Pola Pergerakan Wisatawan di Kabupaten
Pacitan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta
Clark, R.N. dan Stankey, G.H. 1979. The Recreation Opportunity Spectrum: A
framework for planning, management and research. USDA, Forest
Service, General Technical Report, PNW-98.
Dahuri, R. 1998. The Application of Carrying Capacity Concept for Sustainable
Coastal Resources Development in Indonesia. Jurnal Pesisir dan
Lautan. Vol. 1. No. 1. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
2005. Review Detail Desain PPI Tamperan Kabupaten Pacitan.
Aria Jasa, Konsultan Teknik dan Manajemen. Surabaya
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. 2008. Data Kunjungan
Wisatawan di Kabupaten Pacitan. Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan. Pacitan
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pacitan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Pacitan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pacitan. 2003. Rencana Induk
Pengembangan Obyek Wisata Pantai Teleng Ria Pacitan. Pusat
Studi Pariwisata Unversitas Gajah Mada. Yogyakarta
Islami, N. A. 2003. Pengelolaan Pariwisata Pesisir (Studi Kasus Taman Rekreasi
Pantai Kartini Rembang, Jawa Tengah). Skripsi. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Noorhidayah. 2003. Perencanaan Interpretasi Lingkungan untuk Ekoturisme di
Kawasan Wisata Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi
Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. H. M. Eidman,
D. G. Bengen, Malikusworo H., dan Sukristijono S., Penerjemah.
Terjemahan dari : Marine Biology : An Ecological Approach. PT
Gramedia. Jakarta
Patria, A. D. 1999. Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Pesisir dengan
Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir yang Berkelanjutan
(Studi Kasus di Pesisir Utara Pulau Bintan Kepulauan Riau). Tesis.
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Widyamayanti, D. K. 2005. Perumusan Strategi Untuk Pengembangan Perikanan
Tangkap Di Pacitan, Jawa Timur. Skripsi. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Wong, P. P. 1991. Coastal Tourism in Southeast Asia. Education Series 8.
International Center for Living Aquatic Resources Management.
Manila, Philippines
Yulianda, F. 2004. Pedoman Analisis Penentuan Status Kawasan Konservasi
Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor