pengelolaan perumahan yang berwawasan … · adanya instalasi pengolah limah menyebabkan limbah...

38
1 © 2006 Hazaddin T. S. Posted 15 Desember 06 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor Sem 1, 2006/07 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng Prof. Dr. Ir Sjafrida Manuwoto PENGELOLAAN PERUMAHAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYEDIAAN WASTE WATER TREATMENT SYSTEM/IPAL Oleh: Hazaddin T. S P062059334 [email protected] ABSTRAK Perkotaan merupakan wilayah dengan kegiatan ekonomi yang sangat tinggi dan jumlah penduduknya sangat padat, sehingga mendorong terjadinya pembangunan perumahan menjadi sangat pesat. Perumahan skala besar sekalipun pada umumnya belum mempunyai sistem pengolahan limbah domestik, padahal jumlah limbah dometik jauh lebih besar dari limbah lainnya. Dengan tidak adanya instalasi pengolah limah menyebabkan limbah domestik terutama non toilet akan dibuang langsung ke dalam badan air dengan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran di badan air. Adapun bahan pencemar yang paling dominan yang berasal dari limbah domestik adalah bahan organik. Saat ini belum ada kajian tentang berapa jumlah rumah optimal pada suatu kawasan perumahan yang dapat membiayai

Upload: vanmien

Post on 08-Jul-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

© 2006 Hazaddin T. S. Posted 15 Desember 06 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor Sem 1, 2006/07 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng Prof. Dr. Ir Sjafrida Manuwoto

PENGELOLAAN PERUMAHAN YANG

BERWAWASAN LINGKUNGAN

DALAM KAITANNYA DENGAN PENYEDIAAN

WASTE WATER TREATMENT SYSTEM/IPAL

Oleh:

Hazaddin T. S

P062059334 [email protected]

ABSTRAK

Perkotaan merupakan wilayah dengan kegiatan ekonomi yang sangat

tinggi dan jumlah penduduknya sangat padat, sehingga mendorong terjadinya

pembangunan perumahan menjadi sangat pesat. Perumahan skala besar sekalipun

pada umumnya belum mempunyai sistem pengolahan limbah domestik, padahal

jumlah limbah dometik jauh lebih besar dari limbah lainnya. Dengan tidak

adanya instalasi pengolah limah menyebabkan limbah domestik terutama non

toilet akan dibuang langsung ke dalam badan air dengan tanpa mengalami

pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran di

badan air. Adapun bahan pencemar yang paling dominan yang berasal dari

limbah domestik adalah bahan organik. Saat ini belum ada kajian tentang berapa

jumlah rumah optimal pada suatu kawasan perumahan yang dapat membiayai

2

operasional sistem pengolah limbah domestik, serta belum ada disain model

perumahan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Saat ini sudah ada

kebijakan untuk menciptakan kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan, namun belum bersifat holistik dan belum bersifat operasional

sehingga sulit untuk diterapkan di lapangan

Kata kunci: Perkotaan, Perumahan, instalasi pengolah limbah, limbah domestik,berwawasan lingkungan, berkelanjutan, pencemaran

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan pembangunan di bidang ekonomi di kota-kota

besar Indonesia, berimplikasi pada lebih banyak dan lebih beragamnya mata

pencaharian di perkotaan; sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai

kalangan dari seluruh peloksok negeri untuk mengadu nasib ke kota-kota besar.

Dengan kata lain lebih terbuka dan beragamnya mata pencaharian di kota besar

mengakibatkan derasnya arus urbanisasi, sehingga mengakibatkan terjadinya

pergeseran komposisi penduduk dari area rural ke arah area urban. Hal ini sesuai

dengan laporan Bank Dunia yang mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk

perkotaan yang diakibatkan oleh urbanisasi mencapai 43%. Keadaan ini

mendorong terjadinya perubahan keseimbangan antara perdesaan dan perkotaan

terutama dalam hal jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan.

Tingginya pertumbuhan dan kepadatan penduduk di perkotaan ini

berakibat pada meningkatnya kebutuhan perumahan serta meningkatnya

kebutuhan lokasi perumahan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir lokasi

perumahan kota besar tidak hanya berada di dalam kota, namun telah menyebar

ke daerah-daerah yang berada di pinggiran kota, sehingga dalam waktu yang

relatif singkat, daerah-daerah pinggiran kota telah berkembang menjadi kota

satelit.

3

Di satu sisi pertumbuhan kawasan perkotaan yang telah meluas ke daerah

pinggiran ini mempunyai implikasi yang positif ditinjau dari berbagai kacamata,

sebagai contoh penggunaan lahan di pinggiran kota menjadi lokasi perumahan,

baik ditinjau dari segi ekonomi maupun dari segi sosial akan memberikan surplus.

Namun di sisi lain perumahan yang merupakan kebutuhan dasar manusia setelah

pangan dan sandang, jika tidak terintegrasi dengan baik, apalagi jika tidak

memperhatikan standar mutu yang berlaku, akan menimbulkan berbagai implikasi

negatif. Implikasi-implikasi negatif tersebut di antaranya adalah akan

mengakibatkan kurang mampunya infrastruktur perkotaan dalam menampung

aktivitas warga; adanya pelayanan publik yang kurang baik sebagai akibat

minimnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang tersedia; timbulnya masalah

sosial seperti pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan; terbentuknya lokasi-

lokasi permukiman kumuh serta mendorong terjadinya penurunan kualitas

lingkungan seperti terjadinya polusi tanah, udara dan air.

Terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang erat kaitannya dengan

pesatnya peningkatan jumlah penduduk dan jumlah perumahan ini, diantaranya

disebabkan oleh sangat banyaknya air limbah domestik yang dikeluarkan dari

setiap rumah tangga, baik yang berasal dari kegiatan mandi, cuci maupun toilet.

Air limbah domestik yang berasal dari kegiatan mandi dan cuci, pada umumnya

langsung dibuang ke dalam badan air (perairan). Hanya limbah toilet yang

umumnya tidak langsung dibuang ke lingkungan. Dalam hal ini limbah yang

berasal dari kotoran manusia umumnya diolah dengan sistem on site, yakni sistem

pengolahan yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya dalam tangki septik yang

ditempatkan di pekarangan rumah. Dan masih sedikit lokasi yang mengolah

limbah toiletnya dengan sistem off site yakni sistem pengolahan limbah toilet

yang berada di tempat lain (di luar lahan pemiliknya) dan dilakukan oleh suatu

institusi baik pemerintah maupun swasta.

Limbah mandi dan limbah cuci yang langsung dibuang ke lingkungan

tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, seringkali mengakibatkan terjadinya

pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan dalam limbah mandi dan limbah cuci

tersebut di dalamnya seringkali mengandung bahan-bahan pencemar, baik bahan

pencemar organik yang pada umumnya berasal dari limbah dapur dan sisa

makanan maupun bahan pencemar anorganik yang berasal dari sabun cuci, pasta

gigi, sisa obat, dan sebagainya, serta limbah yang masuk pada kategori bahan

4

berbahaya dan beracun (B3) yang umumnya berasal dari peralatan rumah tangga

seperti pecahan lampu neon, pestisida, dan sebagainya.

Limbah mandi dan cuci yang umumnya langsung dibuang ke perairan

pada akhirnya akan berakibat buruk terhadap lingkungan, karena dapat

menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen yang terlarut dalam air dan

terbentuknya gas-gas beracun yang terlarut dalam air seperti amoniak (NH3),

nitrit (NO2) dan hidrogen sulfida (H2S). Menurunnya kadar oksigen terlarut dan

munculnya gas-gas beracun ini dapat mengakibatkan terjadinya kematian pada

berbagai organisme air dan kematian berbagai biota yang berperan penting dalam

siklus rantai makanan. Selain itu juga akan menurunkan estetika perairan karena

terjadinya perubahan warna air dan perairan berbau tidak sedap.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa secara umum pembangunan

perumahan yang dilakukan saat ini adalah pembangunan yang lebih menekankan

pada aspek ekonomi. Dengan demikian, maka pembangunan perumahan yang

dilakukan saat ini umumnya belum berwawasan lingkungan, sehingga masih

belum termasuk pada pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, maka perlu

dicari dan dirumuskan pembangunan perumahan yang berkelanjutan yang

menghendaki terciptanya keseimbangan antara dimensi ekonomi (pertumbuhan

ekonomi), dimensi ekologi (pelestarian lingkungan) dan dimensi sosial budaya

(pemerataan) (Munasinghe, 1993).

Melihat penerapan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka

salah satu masalah penting yang masih belum terlalu diperhatikan pada

pembangunan perumahan yang dilakukan saat ini adalah aspek ekologi

(pelestarian lingkungan). Hal ini dapat dilihat dari sistim penanganan air limbah

domestik yang belum mampu meminimalkan tingkat bahan pencemar, sehingga

terbukti dari penelitian pendahuluan yang sudah dilakukan penulis terhadap

beberapa parameter kualitas air limbah seperti BOD, COD, pH, kandungan

oksigen terlarut, kandungan nitrat, nitrit, amoniak dan posfat nilainya di bawah

ambang maksimal (output-nya belum memenuhi baku mutu yang ditentukan).

Penanganan air limbah domestik, idealnya tidak saja dilakukan dengan

memperbaiki teknik penanganan air limbah, namun idealnya harus dibuat sistim

pengolahan air secara terpadu dan berwawasan lingkungan yang dikenal dengan

istilah waste water treatment plant yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan. Pada pengolahan air secara terpadu, akan dilakukan pengolahan air

5

limbah domestik hingga berada di bawah batas ambang, sehingga pada saat masuk

ke badan air tidak mengakibatkan terjadinya pencemaran; atau dengan kata lain

pencemaran yang ditimbulkan limbah domestik yang dihasilkan dari setiap rumah

dapat di minimalkan.

Sebenarnya sudah ada upaya dari pemerintah untuk melaksanakan

pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat pada Undang-

undang nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang

mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan akan permukiman dilaksanakan dalam

pembangunan skala besar, yang terdiri atas kawasan-kawasan permukiman yang

diintegrasikan dengan prasarana dasar sesuai dengan rencana tata ruang kota atau

kabupaten. Prasarana dasar permukiman ini meliputi jalan raya, jaringan air

bersih, listrik dan jaringan pembuangan air limbah (sewage/waste water) yakni

jaringan yang menampung air limbah domestik yang dilengkapi dengan instalasi

pengolahan air secara terpadu yakni waste water treatment plant.

Sesuai dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1992, pada pembangunan

perumahan skala besar, perencanaan water treatment plant sudah terintegrasi

dalam perencanaan. Namun demikian pada pembangunan perumahan skala bukan

besar, perencanaannya lebih sulit dilakukan, karena secara ekonomis, malah

merugikan. Padahal dalam pembangunan berkelanjutan, salah satu upaya yang

harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan, adalah harus tersedia

sarana dan prasarana pengolah air limbah domestik pada setiap lokasi perumahan.

Bertitik tolak dari hal tersebut, maka dalam rangka menciptakan pembangunan

perumahan yang berkelanjutan, perlu dilakukan penelitian yang secara spasial

dapat mencari jawaban mengenai berapa jumlah rumah minimum atau jumlah

penduduk minimum dalam satu kawasan perumahan, sehingga dapat membangun

instalasi pengolah limbah domestik (waste water treatment plant) secara efisien

dan ekonomis serta dapat membiayai instalasi tersebut secara mandiri, sehingga

instalasi pengolahan air limbah tersebut dapat terus berjalan sepanjang waktu

tanpa membebani pihak luar.

B. Permasalahan

6

Pada umumnya para pengembang perumahan belum memperhatikan

penyediaan prasarana waste water treatment yang baik dan benar, sehingga

pembangunan perumahan saat ini dapat dikatakan masih belum memperhatikan

aspek kelestarian lingkungan baik di kompleks perumahan itu sendiri maupun di

luar lingkungan perumahan tersebut. Limbah domestik yang dihasilkan dari suatu

lokasi perumahan, sampai saat ini masih dianggap tidak bermanfaat dan tidak

bernilai ekonomis. Hal ini disebabkan sampai saat ini usaha-usaha 4R yakni

reduce, reuse, recycling dan remove belum diberlakukan secara tegas di negara

kita. Untuk itu maka baik pengembang maupun penghuni berupaya untuk

membuang limbah atau mengolah limbah domestik alakadarnya dengan biaya

pengolahan yang serendah-rendahnya, untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan

(ke badan air). Hal ini berakibat pada munculnya pencemaran, yang pada

akhirnya akan menimbulkan biaya sosial (eksternalitas negatif) yang sangat besar,

baik bagi penghuni perumahan tersebut, maupun di luar kompleks perumahan

tersebut.

Adanya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan

limbah domestik secara langsung atau pembuangan limbah yang sudah

mengalami pengolahan alakadarnya ke lingkungan, akan menimbulkan berbagai

kerugian, diantaranya mengakibatkan kematian pada biota air yang hidup di

dalam badan air tempat membuang limbah, mengurangi estetika perairan dan

lingkungan sekitarnya, mencemari dan menurunkan kualitas air baku, menjadikan

lokasi tertentu sebagai habitat yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya

berbagai jenis bibit penyakit, mengakibatkan munculnya berbagai wabah

penyakit, dan sebagainya. Untuk itu, maka pada saat melakukan pembangunan

perumahan, pengembang harus sudah menyediakan instalasi pengolah limbah

domestik dan harus sudah memikirkan biaya operasionalnya dalam rangka

menjamin keberlangsungan pengolahan limbah tersebut.

Pada kenyataannya walaupun pemerintah sudah mengeluarkan aturan-

aturan seperti Undang-undang nomor 4 tahun 1992 yang mengatakan bahwa pada

pembangunan perumahan skala besar, perencanaan water treatment plant harus

sudah terintegrasi dalam perencanaan, ternyata masih belum dilaksanakan. Hal

ini disebabkan biaya pengadaan water treatment plant sangat tinggi, bahkan

pembuatan water treatment plant pada pembangunan skala kurang besar secara

ekonomis malah merugikan serta disinyalir akan menyulitkan dalam

7

menanggulangi biaya operasionalnya nanti. Selain itu masih belum

terintegrasinya pembangunan instalasi tersebut juga disebabkan aturan pembuatan

water treatment plant masih belum mengikat dan belum memberikan sangsi yang

tegas. Sehingga pembuatan water treatment plant yang seharusnya sudah

terintegrasi sejak awal mulai dalam tahap perencanaan pada pembangunan,

menjadi sulit dilaksanakan, terutama pada pembangunan perumahan skala kurang

besar.

Pada pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan, pembuatan water treatment plant merupakan hal yang sangat

penting yang harus dilaksanakan; dan demi terlaksananya pembuatan water

treatment plant, aspek ekonomis juga harus mendapat pertimbangan yang sangat

matang. Untuk itu maka permasalahan yang perlu segera dicari solusinya adalah:

1. Apa penyebab utama dari belum adanya sistem pengolahan limbah

domestik Pada hampir setiap perumahan (skala besar dan skala bukan

besar)

2. Bagaimana kondisi existing kualitas limbah domestik (secara lengkap dan

detil) yang dikeluarkan dari perumahan skala besar dan skala bukan besar

3. Berapa besar pencemaran badan air penerima limbah domestik dari setiap

tipe perumahan (skala besar dan skala bukan besar)

4. Berapa besar jumlah rumah atau jumlah penduduk minimal dan optimal

agar dapat dibangun suatu instalasi pengolah limbah domestik secara

efisien dan ekonomis, mandiri dan berkelanjutan dalam satu kawasan

5. Bagaimana model ideal sistem instalasi pengolah limbah domestik di

perumahan skala besar dan skala bukan besar

6. Bagaimana kebijakan yang bersifat operasional dan terpadu (dari seluruh

instansi yang bertanggung jawab)

7. Prioritas utama apa yang perlu ada dalam rangka memperbaiki sistem

pengolahan limbah domestik pada pembangunan perumahan skala besar

dan skala bukan besar

C. Tujuan Penulisan

8

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor

penentu yang mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan dalam mewujudkan

pembangunan perumahan yang dapat memenuhi persyaratan kesehatan,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan menyediakan unit pengolahan

air limbah domestik yang dapat dibiayai secara mandiri, yang meliputi:

1. Apa faktor penentu yang menyebabkan hampir setiap perumahan (skala

besar dan skala bukan besar) belum mempunyai sistem pengolahan limbah

domestik

2. Parameter kualitas limbah domestik apa yang paling dominan

mengakibatkan pencemaran air (dari perumahan skala besar dan skala

bukan besar)

3. Berapa besar pencemaran badan air penerima limbah domestik dari setiap

tipe perumahan (skala besar dan skala bukan besar)

4. Berapa besar jumlah rumah atau jumlah penduduk minimal dan optimal

agar dapat dibangun suatu instalasi pengolah limbah domestik secara

efisien dan ekonomis, mandiri dan berkelanjutan dalam satu kawasan

5. Bagaimana model ideal sistem instalasi pengolah limbah domestik di

perumahan skala besar dan skala bukan besar

6. Kebijakan yang bagaimana yang dapat dioperasionalkan dan instansi mana

yang harus terlibat dalam membangun perumahan yang berwawasan

lingkungan

7. Prioritas apa yang diperlukan dalam memperbaiki sistem pengolahan

limbah domestik pada pembangunan perumahan skala besar dan skala

bukan besar

D. Manfaat Penulisan

Dengan diketahuinya gambaran faktor-faktor dominan yang

mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan akan memperjelas arah tindak lanjut

perbaikan atau prioritas pengembangan perumahan dalam mewujudkan

pembangunan perumahan yang dapat memenuhi persyaratan kesehatan,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan menyediakan unit pengolahan

air limbah domestik yang dapat dibiayai secara mandiri. Hasil penelitian ini

diharapkan akan memberi manfaat dalam hal

9

1. Memberikan informasi tentang kondisi existing sistem pengolahan limbah

domestik yang ada saat ini, dan sekaligus akan mengetahui alasan-alasan

yang lebih pasti mengenai tidak dilaksanakannya pembuatan sistem

pengolah limbah domestik

2. Memberikan masukan tentang standar jumlah rumah dalam kawasan

perumahan yang secara ekonomis layak untuk pembangunan unit

pengolahan air limbah.

3. Memberikan alternatif model instalasi pengolah limbah domestik di

kawasan permukiman

4. Memberikan alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam

pengadaan instalasi pengolah limbah domestik pada pembangunan

perumahan skala besar dan skala bukan besar

5. Sebagai referensi dalam pembangunan perumahan skala besar dan skala

bukan besar yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

6. Menyediakan informasi ilmiah untuk pengelolaan limbah domestik di

kawasan permukiman kota-kota besar

E. Kerangka Pemikiran

Perkembangan kota ditandai dengan tingginya arus urbanisasi dan

terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat. Pertumbuhan

penduduk ini telah merangsang para pengembang untuk membangun perumahan

sampai ke daerah pinggiran kota, baik skala besar maupun skala kurang besar.

Namun dalam pembangunan rumah ini ada indikasi pengembang dan penduduk di

perumahan tersebut masih lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi semata,

sedang aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Hal ini mengakibatkan

terjadinya penurunan kualitas lingkungan, baik di lokasi tersebut maupun di luar

lokasi perumahan tersebut.

Menurunnya kualitas lingkungan hidup di lokasi permukiman ini

disebabkan oleh terjadinya pencemaran lingkungan, yang diantaranya disebabkan

oleh pembuangan air limbah domestik yang secara langsung di buang ke

lingkungan atau yang sudah mengalami pengolahan, namun pengolahannya masih

belum memenuhi persyaratan yang berlaku. Menurut Barrow (1991) terjadinya

pencemaran baik oleh sampah, limbah domestik maupun limbah industri ini

disebabkan oleh pengelolaan lahan perkotaan dan industri yang belum memadai.

10

Dalam hal pemusnahan limbah yang masuk ke dalam lingkungan, sebenarnya

lingkungan mempunyai kemampuan untuk menyerap limbah yang masuk ke

dalamnya; namun menurut Randers dan Meadow (1973) kemampuan tersebut

terbatas. Oleh karena itu maka untuk menjadikan pembangunan perumahan yang

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka pada saat membangun

perumahan baik skala besar maupun skala tidak besar, harus sudah dipikirkan

bagaimana cara penanganan air limbah domestiknya. Untuk keperluan itu, tidak

saja hanya dilakukan dengan memperbaiki teknik penanganan air limbah, tapi

juga harus mempertimbangkan daya tampung dari instalasi pengolah limbah

(waste water treatment plant), kapasitas pembangunan perumahan dan jumlah

penduduknya. Sehingga dari sini akan dapat ditentukan sebuah titik optimal

diantara variabel-variabel tersebut.

Saat ini sebenarnya sudah dilakukan berbagai penelitian mengenai limbah

domestik, diantaranya adalah penelitian dari Pusat Penelitian Pengembangan

Permukiman (2002) tentang penanganan penyehatan lingkungan permukiman

secara komunal yang dapat dikelola sendiri dengan melibatkan masyarakat mulai

proses perncanaan sampai dengan proses pengelolaannya. Selain itu juga

penelitian Sarbidi dan Sumijan (1999) tentang teknologi alternatif untuk

mengolah limbah secara anaerobik dengan menggunakan media kontak bahan

lokal. Pusat Penelitian Pengembangan Permukiman (1992) dan Dinas

Lingkungan Hidup (2004) juga telah membuat model pemilihan teknologi

pengolahan air limbah domestik. Dan kerjasama antara Departemen Kimpraswil,

Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan dan

Bapenas pada tahun 2003 juga telah membuat konsep kebijakan nasional

pembangunan prasarana dan sarana air bersih dan sanitasi lingkungan. Disamping

hal tersebut juga sudah ada informasi mengenai urine dan feses yang dihasilkan

setiap orang berikut kandungan nutrisinya (nitogen, fosfor dan kalium) serta grey

water dan COD per kapita per tahun (Gumbo dan Savenije, 2001). Namun

penelitian mengenai kemampuan teknis dan jumlah kandungan zat yang dapat di

olah oleh treatment system yang menentukan daya tampung waste water treatment

informasinya masih sangat minim. Demikian pula halnya dengan kemampuan

finansial pengembang, luas lahan dan kebutuhan perumahan (demand) oleh

masyarakat sebagai penentu kapasitas pembangunan perumahan juga

informasinya masih minim. Hal lain yang perlu mendapat perhatian untuk segera

11

dipelajari dalam rangka melakukan pembangunan rumah yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan adalah seperti telah kita ketahui bersama bahwa

perkembangan penduduk di suatu kawasan dan jumlah limbah yang di keluarkan

akan berubah-ubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Untuk menjawab

permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis secara sistemik, yang kemudian

di simulasikan menjadi sebuah model dengan bantuan program analisis sistim

dinamis dari Powersim, sehingga dari sini akan diperoleh model ideal sistem

instalasi pengolah limbah domestik di kawasan permukiman. Hal lain yang juga

harus segera dilakukan adalah menentukan jumlah minimal dan jumlah optimal

rumah yang dapat menyediakan instalasi pengolah limbah domestik yang efisien,

efektif, mandiri dan berkelanjutan serta membuat rekomendasi dan prioritas

perbaikan sistem pengolahan limbah domestik pada pembangunan perumahan

skala besar dan skala bukan besar.

Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran Optimalisasi Jumlah Rumah dalam kaitannya

dengan penyediaan prasarana waste water treatment system.

12

F. Hipotesis

1. Ada hubungan antara banyak perumahan yang terbangun di suatu kawasan,

dengan tingkat pencemaran yang diakibatkan oleh limbah domestik yang

dihasilkannya

2. Ada jumlah rumah ideal yang dapat menyediakan instalasi pengolah

limbah domestik yang efisien, efektif, mandiri dan berkelanjutan.

.

G. Novelti

1. Menemukan hubungan antara banyaknya perumahan dengan tingkat

pencemaran

2. Menemukan jumlah rumah minimal dan jumlah optimal rumah yang dapat

menyediakan instalasi pengolah limbah domestik yang efisien, efektif,

mandiri dan berkelanjutan.

3. Mendapatkan model sistem instalasi pengolah limbah domestik di

kawasan permukiman, sehingga dapat menciptakan kawasan permukiman

yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

4. Mendapatkan alternatif kebijakan pengadaan sistem pengolah limbah

domestik pada pembangunan perumahan skala besar dan skala bukan

besar yang bersifat operasional dan holistik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembangunan Berkelanjutan

Dalam melakukan pembangunan, pada awalnya manusia hanya

mengutamakan kepentingan ekonomi semata dengan tanpa mengindahkan

perhatiannya pada lingkungan. Namun setelah terbitnya buku berjudul Man and

Nature yang dikarang oleh George Perkin Marsh pada tahun 1864 mulai muncul

tanda-tanda kesadaran manusia terhadap munculnya dampak negatif yang

13

ditimbulkan oleh kegiatan industrialisasi dan aktivitas manusia terhadap

lingkungan. Menurut Djajadiningrat (2001) awal kebangkitan manusia tentang

kesadaran bahwa dunia ini sarat dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan

baru terjadi pada tahun 1970, sehingga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)

memprakarsai diadakannya Konferensi tentang lingkungan hidup yang

berlangsung di Stockholm pada tahun 1972 dan menjadikan lingkungan sebagai

isu politik global.

Hasil kesepakatan Stockholm tersebut selanjutnya dijadikan landasan

untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Dalam mempersiapkan KTT Bumi ini, PBB membentuk World Commission on

Environment and Development disingkat WCED yang lebih dikenal dengan

dengan sebutan Komisi Bruntland, sedangkan di negara kita dikenal dengan

istilah Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan. Komisi Bruntland ini

pada akhirnya berhasil menyusun konsep pembangunan yang sudah dipadukan

dengan lingkungan yang tertuang pada suatu catatan yang diberi judul Our

Common Future (Masa Depan Bersama). Konsep pembangunan yang dipadukan

dengan lingkungan inilah yang kita kenal dengan istilah pembangunan

berkelanjutan (sustainable development).

Ada beberapa definisi tentang pembangunan berkelanjutan, menurut

Barbier (1989) pembangunan berkelanjutan selalu dikaitkan dengan pembangunan

ekonomi, sehingga muncul pula konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan

(sustainable economic development) yang mengutamakan interaksi optimal antara

tiga sistem yaitu biologi, ekonomi, dan sosial. Sedangkan Lonergan (1993)

menyetarakan pengertian pembangunan berkelanjutan dengan pembangunan

berwasasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam melaksanakan

pembangunan yang berwawasan lingkungan ini diperlukan tiga dimensi penting

yaitu: (1) dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh

unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber

daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi; (2) dimensi politik yang

mencakup proses politik yang menentukan penampilan dan sosok pembangunan,

pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan; dan (3) dimensi sosial dan

budaya yang mengkaitkan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan,

serta pola pemikiran dan tradisi agama. Sedangkan menurut Munasinghe (1993)

14

konsepsi pembangunan berkelanjutan mengandung tiga prinsip utama yakni :

(1) prinsip ekologis atau lingkungan (environmental/ecological principles); (2)

prinsip sosial-politis (socio-political principles); dan (3) prinsip ekonomi

(economi principles). Menurut Yakin (1997), pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) adalah konsep pembangunan yang menyelaraskan

antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumber daya alam (natural resources).

Dengan melihat definisi tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

generasi saat ini dan kebutuhan generasi yang akan mendatang. Oleh karena itu

maka konsep pembangunan berkelanjutan melahirkan pemikiran-pemikiran yang

bervariasi sesuai dengan konteks dan kepentingan tertentu, namun selalu

mengharmoniskan dua kepentingan, yaitu pembangunan ekonomi dan pelestarian

lingkungan dan sumber daya alam. Dengan demikian, maka untuk mencapai

tujuan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan membutuhkan suatu interaksi

dari sistem perencanaan alam dengan masyarakat saat ini dan masa yang akan

datang (Sharma, 1997). Karena menurut Thomas et al. (2000), pembangunan

menyangkut persoalan kesejahteraan atau kemakmuran manusia dalam hal

meningkatkan kemampuannya untuk membentuk kehidupan mereka secara

mandiri dengan selalu memikirkan generasi yang akan datang dan kelestarian

bumi yang mereka warisi.

Sebenarnya tidak ada yang sempurna dengan apapun yang ada di dunia ini,

tak terkecuali dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini konsep

pembangunan berkelanjutanpun mempunyai kelemahan, diantaranya adalah tidak

jelasnya kurun waktu yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, karena

konsep tersebut hanya sebuah komitmen yang sulit diukur kapan dapat tercapai,

oleh karena itu maka agenda dapat diabaikan oleh semua negara (Keraf, 2002).

Selanjutnya dikatakan bahwa kelemahan lainnya adalah adanya asumsi pada

paradigma pembangunan berkelanjutan bahwa manusia seakan mempunyai

kemampuan untuk mengetahui batas alam dan mampu mengeksploitasi

sumberdaya alam dalam batas daya dukung alam tadi. Padahal alam mempunyai

kekayaan dan kompleksitas yang sangat rumit, jauh melampaui ilmu pengetahuan

dan teknologi manusia. Selain itu alam juga penuh dengan misteri yang sulit

diprediksikan, termasuk dalam hal daya dukung dan ambang batas toleransinya.

15

Walaupun masih ada kelemahan pada pembangunan berkelanjutan, namun

upaya-upaya ke arah pembangunan berkelanjutan harus segera dilaksanakan

karena menurut Djajadiningrat (2001) pembangunan berkelanjutan tidak lain

merupakan proses perubahan yang di dalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya,

namun arah investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan

kelembagaannya, secara keseluruhan berada dalam keadaan yang selaras dan

dapat meningkatkan potensi masa kini dan masa depan dalam rangka memenuhi

kebutuhan manusia. Dengan melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pada

pembangunan berkelanjutan harus mampu menciptakan pemerataan, partisipasi,

keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang, sehingga pada proses

pembangunan berkelanjutan harus menjamin terjadinya keberlanjutan ekologis,

ekonomi, sosial-budaya dan politik, serta pertahanan dan keamanan.

Dengan berpegangan pada konsep pembangunan berkelanjutan, dapat

dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang

dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi

yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula (Serageldin, 1993).

Oleh sebab itu maka pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan

pendapatan riil per kapita, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam

kesejahteraan sosial (Pearce and Turner, 1990). Dengan demikian maka konsep

pembangunan berkelanjutan harus dipahami secara baik dan benar agar terjadi

keseimbangan antara upaya untuk memperoleh pendapatan dan upaya untuk

mencegah kerusakan sumberdaya alam, sehingga dapat mencapai tujuan

pembangunan seperti yang diidam-idamkan selama ini.

B. Pencemaran Air

Air merupakan sumber kehidupan; namun seiring dengan laju

pembangunan yang sangat pesat sehingga dihasilkan berbagai bahan pencemar

telah mengakibatkan langkanyai sumberdaya air. Pesatnya pembangunan telah

mengakibatkan walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya

telah menurun, sehingga terjadilah kelangkaan air, dan bukan hanya terjadi

kelangkaan, namun rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif

baik pada biota yang hidup di dalamnya, maupun untuk manusia.

16

Menurut Odum (1971) pencemaran adalah peristiwa perubahan yang

terjadi baik pada sifat-sifat fisik, kimia maupun biologi yang tidak dikehendaki

yang dapat terjadi baik pada udara, tanah maupun air. Menurut Keputusan

Menteri LH No. 02/MENLH/I/1988 polusi atau pencemaran adalah masuk atau

dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam

air/udara turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi

kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai kebutuhannya. Menurut Peraturan

Pemerintah RI, No. 20 Tahun (1990) pencemaran air adalah masuknya atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau kehidupan lain ke dalam air

dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh kegiatan manusia atau oleh proses

alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air

menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya mahluk

hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukkannya. Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 pencemaran

hanya terjadi jika diakibatkan oleh manusia sementara dalam UU No. 4 tahun

1982, definisi pencemaran mencakup sumber penyebab alami.

Menurut Sutamiharja (1978) berdasarkan sumbernya bahan pencemar atau

zat pencemar terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal

dari kegiatan manusia. Pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia

diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam pada proses pertambangan,

perindustrian dan pertanian. Dan untuk mengetahui apakah suatu badan air sudah

tercemar atau belum dan bagaimana tingkat pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat

air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya. Adapun

yang dimaksud dengan baku mutu air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi

zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam air, tetapi air tersebut masih dapat

dipergunakan sesuai dengan kriterianya (Fardiaz, 1992).

Sumber bahan pencemar dapat berasal dari kegiatan industri, namun juga

dapat berasal dari limbah rumah tangga baik berasal dari mandi maupun kegiatan

mencuci. Jumlah limbah rumah tangga di perkotaan pada umumnya jumlahnya

17

lebih banyak dibanding di pedesaan. Penyebab lainnya dari pencemaran air

adalah penggunaan lahan yang semakin intensif di perkotaan, dan sangat

berkembangnya pertumbuhan bangunan seperti maraknya pembangunan

perumahan yang berdampak pada meningkatnya aliran permukaan (run off), yang

secara tidak langsung mengakibatkan peningkatan pengumpulan polutan. Bahan-

bahan pencemar ini dikategorikan pada sumber polusi baur (nonpoint source

polutant) contohnya patogen, zat hara (nutrients), pencemar beracun (toxic

contaminants), dan sisa-sisa sampah. Kontaminasi patogen mengindikasikan

kemungkinan terjadinya ancaman terhadap kesehatan manusia. Kandungan hara

yang berlebihan, misalnya Nitrogen dan Fosfor, dapat mengancam ketersediaan

air tanah dan kelayakan air permukaan. Pencemar beracun seperti logam berat dan

pestisida menjadi ancaman bagi kesehatan dan organisme akuatik dan manusia.

Sedimen Bahan-bahan pencemar ini pada dasarnya juga termasuk ke dalam

sumber polusi baur, karena dapat menimbulkan dampak ekologis dan

kecenderungan pencemar lainnya untuk menempel pada partikel tanah.

Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi

sebagai akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi

karena seringkali manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi

saja. Dalam hal ini setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu

barang, pada umumnya manusia tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan

dari aktivitas tersebut. Terjadinya pencemaran badan air di perkotaan ini

umumnya terjadi karena manusia seringkali membuang limbahnya secara

langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami pengolahan, maka

pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya. Air tercemar

ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa masuk ke

dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan

pencemar ini akan terbawa hingga ke laut.

C. Kondisi Pencemaran Air di kawasan Perkotaan

Secara umum air limbah yang dikeluarkan dari perumahan (rumah tangga)

dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni air limbah rumah tangga toilet dan

non toilet. Hasil penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1987 mengindikasikan

bahwa air limbah yang dihasilkan di Provinsi DKI Jakarta dari tahun ke tahun

18

akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah perumahan dan

jumlah penduduk. Selain itu penelitian ini juga memperlihatkan bahwa golongan

elit (atas) menghasilkan limbah cair non toilet yang jauh lebih banyak

dibandingkan golongan yang ada di bawahnya, dan air limbah terendah dihasilkan

dari golongan bawah. Hal yang sama juga terjadi pada beban polusi yang

dihasilkan dari setiap golongan rumah tangga. Sedangkan limbah toilet yang

dihasilkan baik pada golongan atas, menengah maupun golongan bawah baik

jumlah limbah maupun beban polusinya sama.

D. Pengolahan Limbah Cair Manusia

Pengolahan limbah cair manusia / domestik / rumah tangga di perkotaan

Indonesia berada pada tingkatan paling rendah bila dibandingkan dengan negara

Asia lainnya. Hal ini menyebabkan tercemarnya air permukaan dan air tanah yang

semakin meluas. Akibatnya, Indonesia berkali-kali mengalami wabah lokal seperti

infeksi saluran pencernaan dan tingkat kejangkitan penyakit tipus (typhoid)

tertinggi di Asia. Secara konservatif, kerugian ekonomis yang disebabkan oleh

pembuangan limbah yang tidak layak diperkirakan sebesar 4,7 milyar dollar

Amerika setiap tahun. Ini setara dengan 2,4% dari PDB tahun 1997, dan menurut

perhitungan kasar sama dengan kerugian 12 dollar Amerika per rumah tangga

setiap bulannya (Bank Pembangunan Asia 1999).

Salah satu sebab rendahnya cakupan pelayanan adalah akibat kebijakan

pemerintah yang saat ini menyerahkan tanggung jawab penyehatan lingkungan

pemukiman (sanitasi) ke tingkat rumah tangga (Bank Dunia 1993). Kebijakan ini

dipengaruhi pengalaman di masa lalu dimana sistem pengolahan limbah cair

manusia terpusat dengan skala besar (sewerage) berkinerja buruk. Selanjutnya,

kebijakan ini pun menghambat kemampuan lembaga pemerintah daerah setempat

dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengoperasian sistim saluran pengolahan

limah yang efektif. Sejak awal tahun 80-an, proporsi populasi perkotaan yang

dilayani sistim pengolahan limbah terpadu (sewerage) mengalami stagnasi.

E. Pengolahan Limbah Domestik

Tempat atau lokasi dimana proses pengolahan limbah dilakukan di sebut

instalasi pengolahan limbah rumah tangga. Skema urutan pengolahan limbah

secara umum sama di setiap negara yaitu:

19

Pengolahan secara Mekanis yang terdiri dari:

Masukan limbah (influent)

Pembuangan atau pemisahan benda-benda besar

Pembuangan atau pemisahan pasir-pasir

Pengendapan awal (Pre-precipitation)

Pengolahan secara Biologi yang terdiri dari:

Lahan atau ruang oksidasi (Oxidation bed) atau sistem aerasi.

Pengendapan akhir (Post precipitation)

Pengeluaran aliran air (effluent)

Pengolahan secara Kimia (pada tahap ini biasanya dikombinasikan dengan

penempatan dan proses lainnya untuk membuang zat-zat padat seperti

penyaring. Kombinasi ini biasanya diterapkan di negara Amerika sebagai

pengolahan secara kimia – fisik. Dan hal tersebut dilakukan bersama-sama

saat di pengolahan biologis.

Adapun peralatan yang biasa dipergunakan pada pengolahan limbah pada

instalasi pengolahan limbah domestik adalah tangki pengendapan primer (Gambar

2), lapangan penyaring (Gambar 3), tangki pengendapan sekunder (Gambar 4),

dan tahapan pengolahan limbah cairnya dapat dilihat pada Gambar 5.

20

Gambar 2. Tangki pengendapan primer pada instalasi pengolahan limbah

domestik.

Gambar 3. Lapangan Penyaring

Gambar 4. Tangki Pengendapan Sekunder

21

Gambar 5. Tahapan Pengolahan Limbah cair

F. Kebijakan

Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang

dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan

institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan tetap

yang dicirikan konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) perilaku untuk memecahkan

persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones 1996). Oleh karena itu,

kebijakan bersifat dinamis. Menurut Davis, et al. (1993) dalam sistem politik kebijakan

tidak berdiri sendiri (single decision, tetapi merupakan bagian dari proses antar

hubungan; sehingga kebijakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk mencapai

tujuan dan sasaran. Oleh karena itu, maka kebijakan tidak boleh sekedar dibuat atau

dibuat karena ada kesempatan menyusun kebijakan, karena jika pembuatan kebijakan

dilakukan dengan sekedarnya, maka akan dihasilkan kebijakan yang tidak tepat.

Penyebab tidak tepatnya suatu kebijakan, antara lain adalah kurang cukupnya

informasi yang didapat, sulitnya menarik kesimpulan, adanya kepentingan yang berbeda-

22

beda antar sektor dan instansi, umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan proses

perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar (Caiden, 1971). Oleh karena itu

maka dalam rangka membuat kebijakan yang tepat (apropriateness), maka dalam

membuat kebijakan pemerintah harus melalui proses yang baik, yakni mulai dari

membuat rancangan atau rencana kebijakan, memformulasi rencana kebijakan,

melaksanakannya di lapangan, dan mengevaluasinya. Dalam proses penyusunan

kebijakan terdapat seperangkat metode, strategi dan teknik serta harus melibatkan semua

pihak terkait.

Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada

bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan bagaimana

diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu agar kebijakan

yang dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan hendaknya

memperhatikan (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, (2)

bagaimana karakteristik dan badan eksekutifnya, (3) metode apa yang digunakan untuk

menggunakan sumberdaya alam dan peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan

sumberdaya alam tersebut..

Menurut Rees (1990) pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan

seperti Gambar 10. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan yang irasional, mungkin akan

diterima masyarakat tertentu, namun belum tentu diterima masyarakat lainnya. Oleh

karena itu maka dalam rangka membuat kebijakan yang rasional dan operasional, maka

perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah,

penyelia serta sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku

kebijakan.

Kriteria kebijakan yang baik dan tepat, harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut (Abidin, 2002)

1. Efektifitas (Efectiveness), untuk mengukur apakah pemilihan sasaran yang dicapai

dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.

Oleh karena itu jika suatu strategi kebijakan dipilih, maka harus dilihat dari

kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan

masyarakat.

2. Efisiensi (Economic Rationality), dengan cara mengukur besarnya dana/pengorbanan

yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;

3. Cukup (Adequacy), dengan mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan

sumberdaya yang ada.;

4. Adil (Equity), dengan mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil

dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;

23

1 Analisis

Determinasi Kebijakan

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan

Informasi untuk Kebijakan

Analisis Isi Kebijakan

Advokasi Kebijakan

Analisis Kebijakan

Analisis untuk Kebijakan

2 3 4 5

5. Terjawab (Responsiveness), harus dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab

permasalahan tertentu dalam masyarakat;

6. Tepat (Apropriateness), yang merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan

sebelumnya.

Namun demikian dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan

hidup, seringkali kita dapati terjadinya kegagalan. Kegagalan ini pada umumnya terjadi

karena kebijakan pembangunan tersebut masih belum bersifat holistik. Sebagai contoh

dalam UUD 1945 tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan

fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights tidak

memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam.

Selain itu disinyalir masih adanya kebijakan yang belum mendukung “pemerintah yang

terbuka” atau open government. Menurut Indonesian Center for Environmental Law

(ICEL) dalam pengelolaan sumber daya alam, ada delapan tolok ukur/elemen yang harus

terintegrasi pada setiap kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya alam, yakni (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik

terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan

terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak

masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan

(clarity); (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability)

(Santoso, 2001).

G. Analisis dan Proses Kebijakan

Analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan

dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang

proses kebijakan. Menurut Gordon et al. (1977) dalam Parsons (2005) secara definitif

terdapat variasi analisis kebijakan di sepanjang sebuah kontinum tersebut seperti yang

tertera pada Gambar 11.

Gambar 6. Variasi analisis kebijakan (Gordon, et. al (1997) dalam Parsons (2005)

24

Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan dan isi kebijakan.

Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan

kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan dibuat. Isi kebijakan adalah

analisis yang mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan

tersebut berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Isi kebijakan,

didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba

memberikan kritik terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan,

memfokuskan dalam mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan

tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Dan

analisis untuk kebijakan mencakup advokasi kebijakan berupa riset dan argumen untuk

mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Sedangkan

informasi untuk kebijakan adalah analisis untuk memberi informasi bagi aktivitas

pembuatan kebijakan, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk, seperti anjuran atau riset

eksternal/internal yang terperinci tentang aspek kualitatif dan judgemental dari suatu

kebijakan.

Pada analisis kebijakan digunakan beragam teknik untuk rneningkatkan atau

merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Menurut Quade (1976) tujuan utama analisis

kebijakan adalah untuk membantu pembuat keputusan dalam mernbuat pilihan yang lebih

baik ketimbang yang dibuat pihak lain. Analisis kebijakan berhubungan dengan

manipulasi efektif dunia nyata. Untuk itu, maka analisis kebijakan harus melalui tiga

tahap: pertama, penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan

dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni

membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau

keputusan; ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada

perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan.

(Quade, 1976) dalam Parsons (2005)

Menurut Dunn (2000) metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi

yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan: apa hakekat permasalahan? Kebijakan

apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya?

Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa

yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan? Jika pertanyaan

tersebut dijawab dengan baik, maka jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut

akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi

kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Pada dasarnya analisis kebijakan

menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah

25

manusia: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah

(definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah

kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang

menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai

kosekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak

melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai

atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu permasalahan.

Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa

lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai nama sama

dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai

atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Kelima prosedur

analisis tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2000).

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekuder

a. Data Primer

Data primer yang akan dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data

eksisting kualitas air dan data kualitas limbah cair, pemilahan limbah padat

(mudah terurai dan sulit terurai), IPLT (instalasi pengolah lumpur tinja), IPAL

(instalasi pengolah air limbah), data ruang hijau terbuka, data hidrologi, data

ekologi, data sosial, data ekonomi, data teknologi pengolahan limbah cair,

pengetahuan masyarakat dan pakar tentang lingkungan, peran masyarakat

terhadap limbah domestik, jarak rumah/perumahan dengan IPLT dan IPAL/tangki

septik, kepedulian masyarakat, pakar dan perencana terhadap pengolahan limbah

domestik, jumlah rumah (unit) berdasarkan tipenya, kapasitas instalasi pengolah

dari satu unit pengolahan air limbah domestik (rumah tangga), volume limbah cair

hasil olahan tiap hari, kapasitas dari sistem pengolahan limbah, quality controll

terhadap limbah domestik cair, zonasi peruntukan lahan serta data hukum dan

kelembagaan serta penyuluh. Data-data ini akan diperoleh melalui wawancara

baik dengan masyarakat maupun dengan para pakar dan perencana serta

pengembang.

b. Data Sekunder

Data sekunder akan diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-tahun

sebelumnya yang diambil dari instansi terkait seperti dari Dinas Lingkungan

Hidup Provinsi, Badan Meteorologi dan Geofisika berupa data kualitas air, data

kualitas limbah, data hidrologi yang meliputi debit air, pola drainase, neraca air,

temperatur udara, curah hujan, penyinaran matahari, sarana dan prasarana

pengolahan limbah domestik, sarana dan prasarana lingkungan, fasos dan fasum.

Selain itu juga akan dikumpulkan data mengenai dokumen amdal, kinerja

lingkungan (RKL dan RPL).

B. Metode Penelitian

27

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif

melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem. Menurut Traver

(1978) metode deskripif ini bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan

pada saat penelitian dilaksanakan serta untuk melihat sebab-sebab dari suatu

gejala tertentu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan sistem

digunakan untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan instalasi

pengolah limbah domestik di kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan yang bersifat multi dimensi dan melibatkan berbagai

stakeholders dan lintas sektoral.

C. Penetapan Sampel Penelitian

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara bertingkat

(multistage sampling) yaitu tehnik pemilihan sampel dengan menggabungkan dua

atau lebih rancangan sampling sekaligus. Dalam hal ini rancangan sampling yang

dipakai pada penelitian ini adalah sampling random cluster dan sampling random.

3.4. Analisis Data

Analisis Data Kualitas Air dan Limbah Cair

Data kualitas air (selokan, sungai dan sumur) serta limbah cair akan

dibandingkan dengan Standar baku mutu air dan standar baku mutu air limbah

menurut Keputusan Menteri Lingkunan Hidup nomor 58 tahun 1995 dan SK

Gubernur; untuk air sumur akan dibandingkan dengan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 416 tahun 1990.

Analisis Harga/Tarip Pengolahan Limbah Domestik perKapita

Tarip operasional instalasi limbah domestik per kapita sangat ditentukan

oleh harga lahan, harga bangunan, biaya operasional persatuan waktu, biaya

perawatan, biaya produksi.

Analisis optimasi jumlah rumah minimal

Pada penelitian ini akan dibuat model matematis untuk menentukan

jumlah minimal rumah yang dapat membiayai sendiri instalasi pengolah limbah

domestiknya secara berkelanjutan

28

Analisis Keberlanjutan

Pada penelitian ini akan dinalisis keberlanjutan perumahan yang

dilengkapi dengan instalai pengolah limbah

Pemodelan

Pada penelitian ini akan dibuat model perumahan yang dilengkapi dengan

instalai pengolah limbah, sehingga menjadi perumahan yang berwawasn

lingkungan dan berkelanjutan. Tujuan pengembangan model ini adalah untuk

optimasi dan simulasi. Pada model optimasi akan dihasilkan apa yang seharusnya

terjadi, sedang pada simulasi akan menunjukkan apa yang terjadi.

Analisis Prospektif

Pada Analisis prospektif akan diperoleh informasi dalam pengembangan

instalasi limbah domestik untuk mendeskripsikan kejadian di masa yang akan

datang.

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)

Pada penelitian ini akan dirumuskan alternatif kebijakan pengadaan sistem

pengolah limbah domestik pada pembangunan perumahan dengan menggunakan

proses hierarki analitik (AHP).

BAB IV

PEMBAHASAN

Kota merupakan tempat yang mempunyai dayatarik tersendiri. Hal ini

disebabkan kota merupakan wilayah administratif yang ditetapkan oleh

pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan sebagian besar

wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi dengan sarana dan

prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian utamanya adalah

29

kegiatan perekonomian non pertanian (Richardson, 1978). Hal ini sesuai dengan

pendapat Gallion (1986) yang mengatakan bahwa kota adalah wilayah geografis

tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia, dan manusia-manusia

tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.

Sangat padatnya penduduk yang berada di kota mengakibatkan semakin

meningkatnya kebutuhan akan perumahan, sehingga terjadi pembangunan

perumahan dimana-mana hingga ke pinggiran kota. Namun dari hasil penelitian

pendahuluan didapatkan hasil bahwa berdirinya perumahan di berbagai peloksok

perkotaan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan instalasi pengolah limbah

(IPAL) domestik yang dihasilkan dari setiap rumah tangga. Padahal di lain pihak

semakin banyaknya perumahan dan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di

dalamnya, akan mengakibatkan semakin tingginya limbah domestik yang

dihasilkannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian The study on urban drainage

and waste water disposal project in the city of Jakarta pada tahun 1990 yang

mendapatkan hasil bahwa limbah cair rumah tangga toilet dan non toilet di Jakarta

sangat tinggi, dan akan semakin meningkat hingga tahun 2010 yang akan datang

(Tabel 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Johansen (2002) yang mengatakan

bahwa hampir setiap hari dihasilkan sejumlah air limbah rumah tangga yang

mengandung berbagai bahan pencemar terutama detergen yang mengandung

fosfor, bahan organic dari sisa makanan, maupun benih penyakit menular yang

dihasilkan sebagai limbah rumah tangga; juga dibuang ke saluran air dan

selanjutnya menuju ke sungai. Adapun jumlah rata-rata bahan pencemar pada air

limbah rumah tangga ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa limbah domestik non toilet yang berasal dari

kegiatan mandi, cuci dan dapur dari golongan atas (perumahan mewah) paling

tinggi dibanding dari golongan menengah dan golongan bawah, sedangkan limbah

30

Tabel 1. Jumlah limbah cair rumah tangga toilet dan nontoilet yang dihasilkan

golongan atas, sedang dan bawah dan perkiraannya pada tahun 2010

Sumber : The study on urban drainage and waste water disposal project in the city of Jakarta, 1990

Tabel 2. Jumlah rata-rata bahan pencemar pada limbah rumah tangga

Sumber Pencemaran No Jenis Bahan Pencemar

Mandi, cuci,

dapur

Urine Faeces

1. BOD (mg/hari) 71.3 8.22 16.44

2. Fosfor (mg/hari) 0.38-1.23 2.47 1.37

3 Nitrogen (mg/hari) 2.47 27.4 3.84

4 Kalium (mg/hari) 1.37 6.3 2.47

5 Logam Berat Ada Hampir tdk

ada

Ada

6 Bahan Organik

berbahaya

Ada Sisa obat Sisa obat

7 Air kotor (kg/hari) 250-500 60-100 25-40

8 Penyakit menular sedikit Sedikit Banyak

Sumber : Johansen (2002)

31

toiletnya relatif sama. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Johansen (2002)

yang memperlihatkan bahwa hampir semua jenis bahan pencemar yang berasal

dari kegiatan mandi, cuci dan dapur lebih tinggi dibanding limbah yang berasal

dari urin dan feses (Tabel 3) Oleh karena itu maka limbah domestik dari kegiatan

mandi cuci dan dapur yang berasal dari golongan menengah ke atas (perumahan

tipe besar dan tipe sedang) harus mendapat perhatian yang serius, dan jika

dibiarkan dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran

lingkungan.

Selain limbah domestik, limbah yang ada di perkotaan juga akan

dihasilkan dari berbagai kegiatan yang ada di kota tersebut. Sebagai contoh,

menurut hasil penelitian the study on urban drainage and waste water disposal

project in the city of Jakarta (1990) limbah yang berada di DKI Jakarta ada

beberapa jenis yakni limbah domestik, limbah perkantoran komersial dan limbah

industri. Adapun jumlah total dari kegiatan-kegiatan tersebut yang ada di wilayah

Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Timur dan

volume dari setiap jenis limbah pada saat dilaksanakan penelitian dan

perkiraannya pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah air limbah yang dihasilkan dari beberapa kegiatan di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun 1987 dan perkiraannya pada tahun 2010

Sumber : The study on urban drainage and waste water disposal project in the city of Jakarta, 1990

32

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa pada saat dilakukan penelitian rata-rata

dari setiap kota di DKI Jakarta 78,9% air limbah yang dibuang setiap harinya,

berasal dari limbah domestik, sedangkan limbah yang berasal dari perkantoran

komersil dan dari kegiatan industri rata-rata hanya mencapai 13,1 dan 8%.

Sedangkan pada tahun 2010 seiring dengan bertambah banyaknya industri dan

perkantoran komersial, diperkirakan akan terjadi pergeseran presentase air limbah,

yakni presentase limbah domestik relatif menurun, sedang presentase limbah dari

perkantoran komersil dan dari kegiatan industri relatif meningkat. Dari data

tersebut terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan limbah dari perkantoran

komersil dan dari kegiatan industri, namun limbah domestik selalu jauh lebih

tinggi dari limbah yang lainnya. Oleh karena itu, maka limbah domestik dari

perumahan harus mendapat perhatian yang serius agar tidak mencemari

lingkungan.

Secara umum air limbah yang dihasilkan dari rumah tangga terutama yang

termasuk pada kategori non toilet akan langsung dimasukkan ke dalam badan air

tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu, sehingga badan air menjadi tercemar

dan akan mengalami penurunan kualitas. Indikator kualitas air yang tercemar

limbah domestik biasanya dapat dilihat dari parameter kimia (BOD, COD, pH

dll), fisika (warna air, bau, dll), dan biologis (bakteri, organisma dll). Pencemaran

air pada akhirnya akan berdampak pada organisma air, yang pada akhirnya akan

berakibat buruk pada manusia. Terjadinya pencemaran pada badan air di negara

kita ini juga telah mendapat perhatian dari Walton (2003) yang melakukan

kegiatan monitoring lingkungan di Asia Timur (East Asian Environment Monitor)

pada tahun 2000, bahwa sebenarnya ketersediaan air tahunan di Indonesia sangat

tinggi yakni mencapai 13.700m3/kapita, namun sungai-sungainya telah tercemar

oleh limbah industri dan rumah tangga. Bahkan hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat penutupan

penyaluran kotoran dan sanitasi yang terendah di Asia.

Jenis bahan yang mendominasi limbah domestic adalah bahan organic.

Oleh karena itu untuk melihat apakah suatu perairan yang menerima limbah

domestik sudah tercemar (terutama bahan organic) atau tidak, dan masuk kategori

yang mana tingkat pencemarannya, maka salah satu parameter yang biasanya

33

diamati adalah kandungan oksigen terlarutnya pada perairan (Miller, 1998).

Adapun kandungan oksigen terlarut pada perairan dengan tingkat pencemaran

tertentu dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan tingkat pencemaran air

No DO dalam ppm*) Tingkat pencemaran air

1 8-9 Tidak tercemar

2 6.7-8 Tercemar sedikit

3 4.5-6.7 Tercemar ringan

4 Dibawah 4.5 Tercemar berat

5 Di bawah 4 Tercemar parah

Sumber: Miller 1998

*) ppm = part per million/ satu dari sejuta bagian

Dengan demikian maka pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi,

pesatnya urbanisasi dan pesatnya pertumbuhan industri, ditambah dengan tidak

tersedianya infrastruktur pengolah limbah kompleks perumahan serta masih

adanya industri yang belum mempunyai IPAL yang baik dan benar,

mengakibatkan air sungai di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya,

Medan, Bandung, dsb terlihat berwarna gelap dan berbau menyengat. Hal ini

mengakibatkan nilai estetika perairan sungai menurun, terjadi kematian pada

biota air yang hidup di dalamnya yang berlanjut pada terjadinya ancaman bagi

kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan pada seriap kompleks

perumahan dibangun sarana pengolah air limbah domestik yang dihasilkan dari

perumahan tersebut. Selain itu dalam lokasi perumahan tersebut juga harus

dibangun sistem pengaliran limbah ke arah fasilitas pengolahannya.

Ada berbagai sistem pengaliran limbah Sistem air limbah rumah tangga,

yang di alirkan pada saluran buangan limbah cair dan air banjir (storm water)

secara bersama-sama ke arah fasilitas pengolahan di sebut dengan sistem saluran

limbah cair kombinasi. Kontruksi bangunan pengolahan limbah cair kombinasi ini

kurang umum di terapkan di Amerika dan Kanada pada masa lalu, yang kemudian

akhirnya di tetapkan oleh Undang-Undang Bangunan di negara-negara Eropa dan

Inggris. Karena itu, limbah cair rumah tangga dan air banjir di kumpulkan dan di

34

alirkan secara terpisah pada sistem aliran limbah cair, yaitu sebagai aliran sistim

kebersihan/kesehatan dan aliran sistim air banjir (storm water) untuk negara

Amerika, dan sebagai aliran sistim foul sewer dan aliran sistem surface water

sewer untuk negara Inggris. Kapasitas besar aliran dari foul sewer di desain untuk

mencegah tekanan dari hujan lebat yang mengakibatkan air banjir atau aliran

limbah kombinasi. Seperti halnya air hujan yang jatuh ke atap rumah dan tanah,

aliran limbah kombinasi juga memungkinkan membawa berbagai macam zat

pencemar termasuk di dalamnya partikel-partikel tanah (sediment), logam berat,

sampah, kotoran hewan dan minyak serta lemak/gemuk. Untuk itu maka

pemerintah telah membuat beberapa peraturan yang meminta agar air banjir

tersebut di olah dengan tingkatan tertentu, sebelum di buang ke alam atau

lingkungan, misalnya melalui pengolahan dalam telaga pengendapan sedimen

atau lahan basah/rawa dan jaring pemisah (vortex separator) untuk membuang

benda-benda padat yang besar.

Hingga saat ini pengadaan sistem pengolah limbah domestik, memerlukan dana

yang tidak sedikit, begitu pula halnya dengan pemeliharaannya serta dalam menjalankan

sistem pengolah limbah tersebut diperlukan dana yang cukup besar. Untuk itu maka pada

penelitian ini juga dilakukan penghitungan dana operasional minimal yang masih

terjangkau oleh setiap keluarga penghuni perumahan tersebut, sehingga dari perhitungan

berdasarkan jumlah masing-masing tipe rumah, pendapatan per kapita, volume

limbah toilet dari setiap tipe rumah, volume limbah toilet dari setiap tipe rumah,

tarip pengolahan limbah domestik perkapita, biaya perawatan instalasi pengolah

limbah, biaya pembuatan instalasi (bangunan), biaya pembelian lahan dan biaya

operasional akan dapat ditentukan berapa jumlah minimal rumah yamh sebaiknya

dibangun agar dapat dilakukan pembangunan instalasi pengolah limbah dan

pembiayaan operasionalnya secara mandiri.

Sebenarnya sudah ada aturan yang menyebutkan bahwa di dalam pembangunan

perumahan harus sudah terintegrasi dengan pembuatan instalasi pengolah air limbah

domestik yang dihasilkan dari perumahan tersebut. Namun demikian masih sangat

sedikit pengembang yang sudah melakukan upaya tersebut di atas. Hal ini disebabkan

bisa terselenggara-tidaknya pembangunan instalasi pengolah limbah domestik sangat

tergantung pada penyelenggaraan pemrintah di suatu negara. Dalam hal ini terdapat

korelasi yang positif antara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan pengelolaan

lingkungan hidup, dengan kata lain jika penyelenggaraan pemerintahan baik, maka

pengelolaan lingkungan hidup juga baik. Hal ini memperlihatkan bahwa pengelolaan

35

lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintahan yang

baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (2002) bahwa pada penyelenggaraan

pemerintahan yang baik akan menentukan komitmen penyelenggara pemerintahan

terhadap lingkungan hidup. Hal ini disebabkan lingkungan hidup merupakan bagian

integral dan keseluruhan kebijakan pembangunan. Selain itu lingkungan hidup juga tidak

dianggap sekedar aspek pinggiran setelah ekonomi, sehingga pada penyelenggaraan

pemerintahan yang baik, kesadaran terhadap lingkungan diterjemahkan ke dalam

berbagai aturan perundang-undangan yang menjadi pegangan bagi setiap penyelenggara

negara dan masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan hidup, dan

diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan operasional yang memperlihatkan dan

mencerminkan tingkat kesadaran pemerintah mengenai pentingnya pengelolaan

lingkungan hidup.

Salah satu prasyarat dari pengelolaan lingkungan yang efektif adalah terciptanya

good governance. Namun demikian, pemerintahan yang sudah mampu mewujudkan good

governance belum tentu memiliki kepedulian terhadap aspek keberlanjutan ekosistem,

oleh sebab itu pada kasus pemerintahan yang telah mengupayakan aktualisasi prinsip-

prinsip good governance seperti tersebut di atas, masih diperlukan persyaratan tambahan

yaitu mengaitkan seluruh kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan

ekologis (ecological sustainability) (Santosa, 2001), sebagai contoh dalam pembangunan

perumahan, di dalamnya sudah mensyaratkan dibangunnya unit pengolah limbah

domestik. Sejalan dengan itu, Siahaan (2004) mengemukakan perlunya azas-azas

penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola Iingkungan dengan prinsip

keberlanjutan sumber daya (sustainability) yang disebut dengan prinsip good

environmental governance (GEG).

Saat ini pemerintah sudah memikirkan tentang perlunya sarana dan

prasarana pengolah limbah domestik di kawasan perumahan skala besar.

Pemikiran ini pada dasarnya merupakan upaya dari pemerintah untuk

melaksanakan pembangunan perumahan yang berkelanjutan dan merupakan

cerminan dari pemerintah kita untuk memegang dan melaksanakan prinsip good

environmental governance (GEG). Hal ini tertuang pada Undang-undang nomor 4

tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang mengatakan bahwa

pemenuhan kebutuhan akan permukiman dilaksanakan dalam pembangunan skala

besar, yang terdiri atas kawasan-kawasan permukiman yang diintegrasikan

dengan prasarana dasar sesuai dengan rencana tata ruang kota atau kabupaten.

Prasarana dasar permukiman ini meliputi jalan raya, jaringan air bersih, listrik dan

36

jaringan pembuangan air limbah (sewage/waste water) yakni jaringan yang

menampung air limbah domestik yang dilengkapi dengan instalasi pengolahan air

secara terpadu yakni waste water treatment plant.

Undang-undang tersebut merupakan produk pemerintah kita yang baik dan

cerminan kepedulian pemerintah kita terhadap keletarian lingkungan. Namun

demikian, kenyataan yang ada di lapangan memperlihatkan bahwa perumahan

skala besar yang mempunyai instalasi pengolah limbah domestik secara terpadu

jumlahnya masih minim. Hal ini memperlihatkan bahwa aturan yang sudah

dibuat tersebut relatif belum mengikat para pengembang perumahan. Atau

dengan kata lain masih sulit untuk direalisasikan di lapangan. Menurut dugaan

belum terealisasinya pembangunan instalasi pengolah limbah domestik secara

terpadu ini diduga selain karena aturan tersebut selain karena tidak mengikat

diduga karena masih belum disertai dengan reward and funishment yang jelas,

tegas dan mengikat seluruh pengembang perumahan. Selain itu juga diduga

karena aturan tersebut belum bersifat kholistik/belum dikoordinasikan dengan

beberapa instansi terkait, aturan tersebut belum disosialisasikan dengan baik

kepada para pengembang, serta aturan tersebut belum bersifat operasional.

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Perkembangan kota yang sarat dengan kegiatan ekonomi memacu

terjadinya urbanisasi dan tingginya pertumbuhan penduduk diperkotaan,

sehingga kebutuhan perumahan menjadi sangat tinggi

2. Perumahan yang mempunyai instalasi pengolah limbah domestik di negara

kita masih sangat minim

3. Limbah domestik di perkotaan paling banyak dibanding limbah

perkantoran modern dan limbah industri

4. Limbah domestik yang melimpah di perkotaan mengakibatkan terjadinya

pencemaran dan degradasi lingkungan

5. Pemerintah Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang mengatur

pembangunan perumahan yang berkelanjutan

37

6. Mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah air limbah domestik,

undang-undang yang belum bersifat kholistik dan operasional dan belum

mengikat para pengembang serta tidak mempunyai sangsi yang tegas dan

jelas tanpa pandang bulu, mengakibatkan belum terlaksananya

pembangunan perumahan yang berkelanjutan

SARAN

1. Sebaiknya dilakukan kajian kembali terhadap kebijakan pembangunan

perumahan yang sudah ada saat ini dan menyempurnakannya menjadi

bersifat operasional

2. Sebaiknya dilakukan kajian untuk mendapatkan berapa jumlah rumah

optimal dalam kawasan perumahan yang dapat membiayai instalasi

pengolah air limbah domestiknya secara mandiri

3. Sebaiknya dilakukan kajian tentang instalasi pengolah limbah domestik

seperti apa yang paling cocok, fektif dan efisien pada setiap tipe kawasan

perumahan

4. Dalam rangka menciptakan perumahan yang berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan, sebaiknya didisain model ideal sistem instalasi pengolah

limbah domestik di perumahan skala besar dan skala bukan besar

DAFTAR PUSTAKA

Abidin SZ. 2002 . Kebijakan Publik.: Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.

Caiden GE. 1971. The Dynamics of Public Administration. New York: Holt, Rinehar and Winston.

Davis GJ, Warhurst WJ, Weller. P, 1993. Public Policy in Australia, Ed ke-2. St. Leonards: Allen and Unwin.

Dunn. William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yokyakarta, Indonesia.

38

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen. Jilid I edisi ketiga. IPB Press. Bogor

Godet, M. 1999. Scenarios and strategies. A tool box for scenario planning. Librairie des arts et Metirs. Paris. London

Jones CO. 1996. Pengantar kebijakan publik (public policy) Istamto R, Penerjemah. Budiman N, editor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari : An Introduction o the Study of Public Policy.

Lonergan. 1993. Impoverishment, Population and Environmental Degradation: The Case of Equaty. Environmental Conservation (4):20

Keraf, A. Sony., 2002. Etika Lingkungan, Cetakan kesatu, Penerbit buku kompas, Jakarta. 320 hal.

Munasinghe, M. 1993. Environmental economic and sustainable development. The international bank for recontructio and development/ the world bank. Washington D.C. 20433. USA

Parsons W, 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Kecana. Jakarta.

Rees, Judith. 1990. Natural Resources: Allocation, Ecxonomics and Policy Routlege. London and New York.

Wikipedia, Sewage treatment, www.en.wikipedia.org, 2006.

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Santosa, M. A., 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan.

Sharma, K.D., and J.S.R. Murthy. 1996. Emphermeral Flow Modelling in Arid Regions. Jurnal Arid Environmental (33) 161-178.

Siahaan, N.H.T., 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Edisi Kedua, Erlangga Jakarta.

Thomas, Vinod., Mansoar Dailami., Ashok Dhareshwar., Daniel Kaufmann., Nalin Kishor., Ramon Lopez., and Yan Wang. 2000. The Quality of Growth. The World Bank. Washingthon DC, USA.