pengelolaan perumahan yang berwawasan … · adanya instalasi pengolah limah menyebabkan limbah...
TRANSCRIPT
1
© 2006 Hazaddin T. S. Posted 15 Desember 06 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor Sem 1, 2006/07 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng Prof. Dr. Ir Sjafrida Manuwoto
PENGELOLAAN PERUMAHAN YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN
DALAM KAITANNYA DENGAN PENYEDIAAN
WASTE WATER TREATMENT SYSTEM/IPAL
Oleh:
Hazaddin T. S
P062059334 [email protected]
ABSTRAK
Perkotaan merupakan wilayah dengan kegiatan ekonomi yang sangat
tinggi dan jumlah penduduknya sangat padat, sehingga mendorong terjadinya
pembangunan perumahan menjadi sangat pesat. Perumahan skala besar sekalipun
pada umumnya belum mempunyai sistem pengolahan limbah domestik, padahal
jumlah limbah dometik jauh lebih besar dari limbah lainnya. Dengan tidak
adanya instalasi pengolah limah menyebabkan limbah domestik terutama non
toilet akan dibuang langsung ke dalam badan air dengan tanpa mengalami
pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran di
badan air. Adapun bahan pencemar yang paling dominan yang berasal dari
limbah domestik adalah bahan organik. Saat ini belum ada kajian tentang berapa
jumlah rumah optimal pada suatu kawasan perumahan yang dapat membiayai
2
operasional sistem pengolah limbah domestik, serta belum ada disain model
perumahan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Saat ini sudah ada
kebijakan untuk menciptakan kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan, namun belum bersifat holistik dan belum bersifat operasional
sehingga sulit untuk diterapkan di lapangan
Kata kunci: Perkotaan, Perumahan, instalasi pengolah limbah, limbah domestik,berwawasan lingkungan, berkelanjutan, pencemaran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan pembangunan di bidang ekonomi di kota-kota
besar Indonesia, berimplikasi pada lebih banyak dan lebih beragamnya mata
pencaharian di perkotaan; sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai
kalangan dari seluruh peloksok negeri untuk mengadu nasib ke kota-kota besar.
Dengan kata lain lebih terbuka dan beragamnya mata pencaharian di kota besar
mengakibatkan derasnya arus urbanisasi, sehingga mengakibatkan terjadinya
pergeseran komposisi penduduk dari area rural ke arah area urban. Hal ini sesuai
dengan laporan Bank Dunia yang mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk
perkotaan yang diakibatkan oleh urbanisasi mencapai 43%. Keadaan ini
mendorong terjadinya perubahan keseimbangan antara perdesaan dan perkotaan
terutama dalam hal jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan.
Tingginya pertumbuhan dan kepadatan penduduk di perkotaan ini
berakibat pada meningkatnya kebutuhan perumahan serta meningkatnya
kebutuhan lokasi perumahan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir lokasi
perumahan kota besar tidak hanya berada di dalam kota, namun telah menyebar
ke daerah-daerah yang berada di pinggiran kota, sehingga dalam waktu yang
relatif singkat, daerah-daerah pinggiran kota telah berkembang menjadi kota
satelit.
3
Di satu sisi pertumbuhan kawasan perkotaan yang telah meluas ke daerah
pinggiran ini mempunyai implikasi yang positif ditinjau dari berbagai kacamata,
sebagai contoh penggunaan lahan di pinggiran kota menjadi lokasi perumahan,
baik ditinjau dari segi ekonomi maupun dari segi sosial akan memberikan surplus.
Namun di sisi lain perumahan yang merupakan kebutuhan dasar manusia setelah
pangan dan sandang, jika tidak terintegrasi dengan baik, apalagi jika tidak
memperhatikan standar mutu yang berlaku, akan menimbulkan berbagai implikasi
negatif. Implikasi-implikasi negatif tersebut di antaranya adalah akan
mengakibatkan kurang mampunya infrastruktur perkotaan dalam menampung
aktivitas warga; adanya pelayanan publik yang kurang baik sebagai akibat
minimnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang tersedia; timbulnya masalah
sosial seperti pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan; terbentuknya lokasi-
lokasi permukiman kumuh serta mendorong terjadinya penurunan kualitas
lingkungan seperti terjadinya polusi tanah, udara dan air.
Terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang erat kaitannya dengan
pesatnya peningkatan jumlah penduduk dan jumlah perumahan ini, diantaranya
disebabkan oleh sangat banyaknya air limbah domestik yang dikeluarkan dari
setiap rumah tangga, baik yang berasal dari kegiatan mandi, cuci maupun toilet.
Air limbah domestik yang berasal dari kegiatan mandi dan cuci, pada umumnya
langsung dibuang ke dalam badan air (perairan). Hanya limbah toilet yang
umumnya tidak langsung dibuang ke lingkungan. Dalam hal ini limbah yang
berasal dari kotoran manusia umumnya diolah dengan sistem on site, yakni sistem
pengolahan yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya dalam tangki septik yang
ditempatkan di pekarangan rumah. Dan masih sedikit lokasi yang mengolah
limbah toiletnya dengan sistem off site yakni sistem pengolahan limbah toilet
yang berada di tempat lain (di luar lahan pemiliknya) dan dilakukan oleh suatu
institusi baik pemerintah maupun swasta.
Limbah mandi dan limbah cuci yang langsung dibuang ke lingkungan
tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, seringkali mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan dalam limbah mandi dan limbah cuci
tersebut di dalamnya seringkali mengandung bahan-bahan pencemar, baik bahan
pencemar organik yang pada umumnya berasal dari limbah dapur dan sisa
makanan maupun bahan pencemar anorganik yang berasal dari sabun cuci, pasta
gigi, sisa obat, dan sebagainya, serta limbah yang masuk pada kategori bahan
4
berbahaya dan beracun (B3) yang umumnya berasal dari peralatan rumah tangga
seperti pecahan lampu neon, pestisida, dan sebagainya.
Limbah mandi dan cuci yang umumnya langsung dibuang ke perairan
pada akhirnya akan berakibat buruk terhadap lingkungan, karena dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen yang terlarut dalam air dan
terbentuknya gas-gas beracun yang terlarut dalam air seperti amoniak (NH3),
nitrit (NO2) dan hidrogen sulfida (H2S). Menurunnya kadar oksigen terlarut dan
munculnya gas-gas beracun ini dapat mengakibatkan terjadinya kematian pada
berbagai organisme air dan kematian berbagai biota yang berperan penting dalam
siklus rantai makanan. Selain itu juga akan menurunkan estetika perairan karena
terjadinya perubahan warna air dan perairan berbau tidak sedap.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa secara umum pembangunan
perumahan yang dilakukan saat ini adalah pembangunan yang lebih menekankan
pada aspek ekonomi. Dengan demikian, maka pembangunan perumahan yang
dilakukan saat ini umumnya belum berwawasan lingkungan, sehingga masih
belum termasuk pada pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, maka perlu
dicari dan dirumuskan pembangunan perumahan yang berkelanjutan yang
menghendaki terciptanya keseimbangan antara dimensi ekonomi (pertumbuhan
ekonomi), dimensi ekologi (pelestarian lingkungan) dan dimensi sosial budaya
(pemerataan) (Munasinghe, 1993).
Melihat penerapan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka
salah satu masalah penting yang masih belum terlalu diperhatikan pada
pembangunan perumahan yang dilakukan saat ini adalah aspek ekologi
(pelestarian lingkungan). Hal ini dapat dilihat dari sistim penanganan air limbah
domestik yang belum mampu meminimalkan tingkat bahan pencemar, sehingga
terbukti dari penelitian pendahuluan yang sudah dilakukan penulis terhadap
beberapa parameter kualitas air limbah seperti BOD, COD, pH, kandungan
oksigen terlarut, kandungan nitrat, nitrit, amoniak dan posfat nilainya di bawah
ambang maksimal (output-nya belum memenuhi baku mutu yang ditentukan).
Penanganan air limbah domestik, idealnya tidak saja dilakukan dengan
memperbaiki teknik penanganan air limbah, namun idealnya harus dibuat sistim
pengolahan air secara terpadu dan berwawasan lingkungan yang dikenal dengan
istilah waste water treatment plant yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Pada pengolahan air secara terpadu, akan dilakukan pengolahan air
5
limbah domestik hingga berada di bawah batas ambang, sehingga pada saat masuk
ke badan air tidak mengakibatkan terjadinya pencemaran; atau dengan kata lain
pencemaran yang ditimbulkan limbah domestik yang dihasilkan dari setiap rumah
dapat di minimalkan.
Sebenarnya sudah ada upaya dari pemerintah untuk melaksanakan
pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat pada Undang-
undang nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang
mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan akan permukiman dilaksanakan dalam
pembangunan skala besar, yang terdiri atas kawasan-kawasan permukiman yang
diintegrasikan dengan prasarana dasar sesuai dengan rencana tata ruang kota atau
kabupaten. Prasarana dasar permukiman ini meliputi jalan raya, jaringan air
bersih, listrik dan jaringan pembuangan air limbah (sewage/waste water) yakni
jaringan yang menampung air limbah domestik yang dilengkapi dengan instalasi
pengolahan air secara terpadu yakni waste water treatment plant.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1992, pada pembangunan
perumahan skala besar, perencanaan water treatment plant sudah terintegrasi
dalam perencanaan. Namun demikian pada pembangunan perumahan skala bukan
besar, perencanaannya lebih sulit dilakukan, karena secara ekonomis, malah
merugikan. Padahal dalam pembangunan berkelanjutan, salah satu upaya yang
harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan, adalah harus tersedia
sarana dan prasarana pengolah air limbah domestik pada setiap lokasi perumahan.
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka dalam rangka menciptakan pembangunan
perumahan yang berkelanjutan, perlu dilakukan penelitian yang secara spasial
dapat mencari jawaban mengenai berapa jumlah rumah minimum atau jumlah
penduduk minimum dalam satu kawasan perumahan, sehingga dapat membangun
instalasi pengolah limbah domestik (waste water treatment plant) secara efisien
dan ekonomis serta dapat membiayai instalasi tersebut secara mandiri, sehingga
instalasi pengolahan air limbah tersebut dapat terus berjalan sepanjang waktu
tanpa membebani pihak luar.
B. Permasalahan
6
Pada umumnya para pengembang perumahan belum memperhatikan
penyediaan prasarana waste water treatment yang baik dan benar, sehingga
pembangunan perumahan saat ini dapat dikatakan masih belum memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan baik di kompleks perumahan itu sendiri maupun di
luar lingkungan perumahan tersebut. Limbah domestik yang dihasilkan dari suatu
lokasi perumahan, sampai saat ini masih dianggap tidak bermanfaat dan tidak
bernilai ekonomis. Hal ini disebabkan sampai saat ini usaha-usaha 4R yakni
reduce, reuse, recycling dan remove belum diberlakukan secara tegas di negara
kita. Untuk itu maka baik pengembang maupun penghuni berupaya untuk
membuang limbah atau mengolah limbah domestik alakadarnya dengan biaya
pengolahan yang serendah-rendahnya, untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan
(ke badan air). Hal ini berakibat pada munculnya pencemaran, yang pada
akhirnya akan menimbulkan biaya sosial (eksternalitas negatif) yang sangat besar,
baik bagi penghuni perumahan tersebut, maupun di luar kompleks perumahan
tersebut.
Adanya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan
limbah domestik secara langsung atau pembuangan limbah yang sudah
mengalami pengolahan alakadarnya ke lingkungan, akan menimbulkan berbagai
kerugian, diantaranya mengakibatkan kematian pada biota air yang hidup di
dalam badan air tempat membuang limbah, mengurangi estetika perairan dan
lingkungan sekitarnya, mencemari dan menurunkan kualitas air baku, menjadikan
lokasi tertentu sebagai habitat yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya
berbagai jenis bibit penyakit, mengakibatkan munculnya berbagai wabah
penyakit, dan sebagainya. Untuk itu, maka pada saat melakukan pembangunan
perumahan, pengembang harus sudah menyediakan instalasi pengolah limbah
domestik dan harus sudah memikirkan biaya operasionalnya dalam rangka
menjamin keberlangsungan pengolahan limbah tersebut.
Pada kenyataannya walaupun pemerintah sudah mengeluarkan aturan-
aturan seperti Undang-undang nomor 4 tahun 1992 yang mengatakan bahwa pada
pembangunan perumahan skala besar, perencanaan water treatment plant harus
sudah terintegrasi dalam perencanaan, ternyata masih belum dilaksanakan. Hal
ini disebabkan biaya pengadaan water treatment plant sangat tinggi, bahkan
pembuatan water treatment plant pada pembangunan skala kurang besar secara
ekonomis malah merugikan serta disinyalir akan menyulitkan dalam
7
menanggulangi biaya operasionalnya nanti. Selain itu masih belum
terintegrasinya pembangunan instalasi tersebut juga disebabkan aturan pembuatan
water treatment plant masih belum mengikat dan belum memberikan sangsi yang
tegas. Sehingga pembuatan water treatment plant yang seharusnya sudah
terintegrasi sejak awal mulai dalam tahap perencanaan pada pembangunan,
menjadi sulit dilaksanakan, terutama pada pembangunan perumahan skala kurang
besar.
Pada pembangunan perumahan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan, pembuatan water treatment plant merupakan hal yang sangat
penting yang harus dilaksanakan; dan demi terlaksananya pembuatan water
treatment plant, aspek ekonomis juga harus mendapat pertimbangan yang sangat
matang. Untuk itu maka permasalahan yang perlu segera dicari solusinya adalah:
1. Apa penyebab utama dari belum adanya sistem pengolahan limbah
domestik Pada hampir setiap perumahan (skala besar dan skala bukan
besar)
2. Bagaimana kondisi existing kualitas limbah domestik (secara lengkap dan
detil) yang dikeluarkan dari perumahan skala besar dan skala bukan besar
3. Berapa besar pencemaran badan air penerima limbah domestik dari setiap
tipe perumahan (skala besar dan skala bukan besar)
4. Berapa besar jumlah rumah atau jumlah penduduk minimal dan optimal
agar dapat dibangun suatu instalasi pengolah limbah domestik secara
efisien dan ekonomis, mandiri dan berkelanjutan dalam satu kawasan
5. Bagaimana model ideal sistem instalasi pengolah limbah domestik di
perumahan skala besar dan skala bukan besar
6. Bagaimana kebijakan yang bersifat operasional dan terpadu (dari seluruh
instansi yang bertanggung jawab)
7. Prioritas utama apa yang perlu ada dalam rangka memperbaiki sistem
pengolahan limbah domestik pada pembangunan perumahan skala besar
dan skala bukan besar
C. Tujuan Penulisan
8
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor
penentu yang mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan dalam mewujudkan
pembangunan perumahan yang dapat memenuhi persyaratan kesehatan,
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan menyediakan unit pengolahan
air limbah domestik yang dapat dibiayai secara mandiri, yang meliputi:
1. Apa faktor penentu yang menyebabkan hampir setiap perumahan (skala
besar dan skala bukan besar) belum mempunyai sistem pengolahan limbah
domestik
2. Parameter kualitas limbah domestik apa yang paling dominan
mengakibatkan pencemaran air (dari perumahan skala besar dan skala
bukan besar)
3. Berapa besar pencemaran badan air penerima limbah domestik dari setiap
tipe perumahan (skala besar dan skala bukan besar)
4. Berapa besar jumlah rumah atau jumlah penduduk minimal dan optimal
agar dapat dibangun suatu instalasi pengolah limbah domestik secara
efisien dan ekonomis, mandiri dan berkelanjutan dalam satu kawasan
5. Bagaimana model ideal sistem instalasi pengolah limbah domestik di
perumahan skala besar dan skala bukan besar
6. Kebijakan yang bagaimana yang dapat dioperasionalkan dan instansi mana
yang harus terlibat dalam membangun perumahan yang berwawasan
lingkungan
7. Prioritas apa yang diperlukan dalam memperbaiki sistem pengolahan
limbah domestik pada pembangunan perumahan skala besar dan skala
bukan besar
D. Manfaat Penulisan
Dengan diketahuinya gambaran faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan akan memperjelas arah tindak lanjut
perbaikan atau prioritas pengembangan perumahan dalam mewujudkan
pembangunan perumahan yang dapat memenuhi persyaratan kesehatan,
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan menyediakan unit pengolahan
air limbah domestik yang dapat dibiayai secara mandiri. Hasil penelitian ini
diharapkan akan memberi manfaat dalam hal
9
1. Memberikan informasi tentang kondisi existing sistem pengolahan limbah
domestik yang ada saat ini, dan sekaligus akan mengetahui alasan-alasan
yang lebih pasti mengenai tidak dilaksanakannya pembuatan sistem
pengolah limbah domestik
2. Memberikan masukan tentang standar jumlah rumah dalam kawasan
perumahan yang secara ekonomis layak untuk pembangunan unit
pengolahan air limbah.
3. Memberikan alternatif model instalasi pengolah limbah domestik di
kawasan permukiman
4. Memberikan alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam
pengadaan instalasi pengolah limbah domestik pada pembangunan
perumahan skala besar dan skala bukan besar
5. Sebagai referensi dalam pembangunan perumahan skala besar dan skala
bukan besar yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
6. Menyediakan informasi ilmiah untuk pengelolaan limbah domestik di
kawasan permukiman kota-kota besar
E. Kerangka Pemikiran
Perkembangan kota ditandai dengan tingginya arus urbanisasi dan
terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat. Pertumbuhan
penduduk ini telah merangsang para pengembang untuk membangun perumahan
sampai ke daerah pinggiran kota, baik skala besar maupun skala kurang besar.
Namun dalam pembangunan rumah ini ada indikasi pengembang dan penduduk di
perumahan tersebut masih lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi semata,
sedang aspek lingkungan masih kurang diperhatikan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan, baik di lokasi tersebut maupun di luar
lokasi perumahan tersebut.
Menurunnya kualitas lingkungan hidup di lokasi permukiman ini
disebabkan oleh terjadinya pencemaran lingkungan, yang diantaranya disebabkan
oleh pembuangan air limbah domestik yang secara langsung di buang ke
lingkungan atau yang sudah mengalami pengolahan, namun pengolahannya masih
belum memenuhi persyaratan yang berlaku. Menurut Barrow (1991) terjadinya
pencemaran baik oleh sampah, limbah domestik maupun limbah industri ini
disebabkan oleh pengelolaan lahan perkotaan dan industri yang belum memadai.
10
Dalam hal pemusnahan limbah yang masuk ke dalam lingkungan, sebenarnya
lingkungan mempunyai kemampuan untuk menyerap limbah yang masuk ke
dalamnya; namun menurut Randers dan Meadow (1973) kemampuan tersebut
terbatas. Oleh karena itu maka untuk menjadikan pembangunan perumahan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka pada saat membangun
perumahan baik skala besar maupun skala tidak besar, harus sudah dipikirkan
bagaimana cara penanganan air limbah domestiknya. Untuk keperluan itu, tidak
saja hanya dilakukan dengan memperbaiki teknik penanganan air limbah, tapi
juga harus mempertimbangkan daya tampung dari instalasi pengolah limbah
(waste water treatment plant), kapasitas pembangunan perumahan dan jumlah
penduduknya. Sehingga dari sini akan dapat ditentukan sebuah titik optimal
diantara variabel-variabel tersebut.
Saat ini sebenarnya sudah dilakukan berbagai penelitian mengenai limbah
domestik, diantaranya adalah penelitian dari Pusat Penelitian Pengembangan
Permukiman (2002) tentang penanganan penyehatan lingkungan permukiman
secara komunal yang dapat dikelola sendiri dengan melibatkan masyarakat mulai
proses perncanaan sampai dengan proses pengelolaannya. Selain itu juga
penelitian Sarbidi dan Sumijan (1999) tentang teknologi alternatif untuk
mengolah limbah secara anaerobik dengan menggunakan media kontak bahan
lokal. Pusat Penelitian Pengembangan Permukiman (1992) dan Dinas
Lingkungan Hidup (2004) juga telah membuat model pemilihan teknologi
pengolahan air limbah domestik. Dan kerjasama antara Departemen Kimpraswil,
Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan dan
Bapenas pada tahun 2003 juga telah membuat konsep kebijakan nasional
pembangunan prasarana dan sarana air bersih dan sanitasi lingkungan. Disamping
hal tersebut juga sudah ada informasi mengenai urine dan feses yang dihasilkan
setiap orang berikut kandungan nutrisinya (nitogen, fosfor dan kalium) serta grey
water dan COD per kapita per tahun (Gumbo dan Savenije, 2001). Namun
penelitian mengenai kemampuan teknis dan jumlah kandungan zat yang dapat di
olah oleh treatment system yang menentukan daya tampung waste water treatment
informasinya masih sangat minim. Demikian pula halnya dengan kemampuan
finansial pengembang, luas lahan dan kebutuhan perumahan (demand) oleh
masyarakat sebagai penentu kapasitas pembangunan perumahan juga
informasinya masih minim. Hal lain yang perlu mendapat perhatian untuk segera
11
dipelajari dalam rangka melakukan pembangunan rumah yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan adalah seperti telah kita ketahui bersama bahwa
perkembangan penduduk di suatu kawasan dan jumlah limbah yang di keluarkan
akan berubah-ubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis secara sistemik, yang kemudian
di simulasikan menjadi sebuah model dengan bantuan program analisis sistim
dinamis dari Powersim, sehingga dari sini akan diperoleh model ideal sistem
instalasi pengolah limbah domestik di kawasan permukiman. Hal lain yang juga
harus segera dilakukan adalah menentukan jumlah minimal dan jumlah optimal
rumah yang dapat menyediakan instalasi pengolah limbah domestik yang efisien,
efektif, mandiri dan berkelanjutan serta membuat rekomendasi dan prioritas
perbaikan sistem pengolahan limbah domestik pada pembangunan perumahan
skala besar dan skala bukan besar.
Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran Optimalisasi Jumlah Rumah dalam kaitannya
dengan penyediaan prasarana waste water treatment system.
12
F. Hipotesis
1. Ada hubungan antara banyak perumahan yang terbangun di suatu kawasan,
dengan tingkat pencemaran yang diakibatkan oleh limbah domestik yang
dihasilkannya
2. Ada jumlah rumah ideal yang dapat menyediakan instalasi pengolah
limbah domestik yang efisien, efektif, mandiri dan berkelanjutan.
.
G. Novelti
1. Menemukan hubungan antara banyaknya perumahan dengan tingkat
pencemaran
2. Menemukan jumlah rumah minimal dan jumlah optimal rumah yang dapat
menyediakan instalasi pengolah limbah domestik yang efisien, efektif,
mandiri dan berkelanjutan.
3. Mendapatkan model sistem instalasi pengolah limbah domestik di
kawasan permukiman, sehingga dapat menciptakan kawasan permukiman
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
4. Mendapatkan alternatif kebijakan pengadaan sistem pengolah limbah
domestik pada pembangunan perumahan skala besar dan skala bukan
besar yang bersifat operasional dan holistik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Berkelanjutan
Dalam melakukan pembangunan, pada awalnya manusia hanya
mengutamakan kepentingan ekonomi semata dengan tanpa mengindahkan
perhatiannya pada lingkungan. Namun setelah terbitnya buku berjudul Man and
Nature yang dikarang oleh George Perkin Marsh pada tahun 1864 mulai muncul
tanda-tanda kesadaran manusia terhadap munculnya dampak negatif yang
13
ditimbulkan oleh kegiatan industrialisasi dan aktivitas manusia terhadap
lingkungan. Menurut Djajadiningrat (2001) awal kebangkitan manusia tentang
kesadaran bahwa dunia ini sarat dengan kemiskinan dan kerusakan lingkungan
baru terjadi pada tahun 1970, sehingga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
memprakarsai diadakannya Konferensi tentang lingkungan hidup yang
berlangsung di Stockholm pada tahun 1972 dan menjadikan lingkungan sebagai
isu politik global.
Hasil kesepakatan Stockholm tersebut selanjutnya dijadikan landasan
untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Dalam mempersiapkan KTT Bumi ini, PBB membentuk World Commission on
Environment and Development disingkat WCED yang lebih dikenal dengan
dengan sebutan Komisi Bruntland, sedangkan di negara kita dikenal dengan
istilah Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan. Komisi Bruntland ini
pada akhirnya berhasil menyusun konsep pembangunan yang sudah dipadukan
dengan lingkungan yang tertuang pada suatu catatan yang diberi judul Our
Common Future (Masa Depan Bersama). Konsep pembangunan yang dipadukan
dengan lingkungan inilah yang kita kenal dengan istilah pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Ada beberapa definisi tentang pembangunan berkelanjutan, menurut
Barbier (1989) pembangunan berkelanjutan selalu dikaitkan dengan pembangunan
ekonomi, sehingga muncul pula konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan
(sustainable economic development) yang mengutamakan interaksi optimal antara
tiga sistem yaitu biologi, ekonomi, dan sosial. Sedangkan Lonergan (1993)
menyetarakan pengertian pembangunan berkelanjutan dengan pembangunan
berwasasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam melaksanakan
pembangunan yang berwawasan lingkungan ini diperlukan tiga dimensi penting
yaitu: (1) dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh
unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber
daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi; (2) dimensi politik yang
mencakup proses politik yang menentukan penampilan dan sosok pembangunan,
pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan; dan (3) dimensi sosial dan
budaya yang mengkaitkan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan,
serta pola pemikiran dan tradisi agama. Sedangkan menurut Munasinghe (1993)
14
konsepsi pembangunan berkelanjutan mengandung tiga prinsip utama yakni :
(1) prinsip ekologis atau lingkungan (environmental/ecological principles); (2)
prinsip sosial-politis (socio-political principles); dan (3) prinsip ekonomi
(economi principles). Menurut Yakin (1997), pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) adalah konsep pembangunan yang menyelaraskan
antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumber daya alam (natural resources).
Dengan melihat definisi tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
generasi saat ini dan kebutuhan generasi yang akan mendatang. Oleh karena itu
maka konsep pembangunan berkelanjutan melahirkan pemikiran-pemikiran yang
bervariasi sesuai dengan konteks dan kepentingan tertentu, namun selalu
mengharmoniskan dua kepentingan, yaitu pembangunan ekonomi dan pelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Dengan demikian, maka untuk mencapai
tujuan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan membutuhkan suatu interaksi
dari sistem perencanaan alam dengan masyarakat saat ini dan masa yang akan
datang (Sharma, 1997). Karena menurut Thomas et al. (2000), pembangunan
menyangkut persoalan kesejahteraan atau kemakmuran manusia dalam hal
meningkatkan kemampuannya untuk membentuk kehidupan mereka secara
mandiri dengan selalu memikirkan generasi yang akan datang dan kelestarian
bumi yang mereka warisi.
Sebenarnya tidak ada yang sempurna dengan apapun yang ada di dunia ini,
tak terkecuali dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini konsep
pembangunan berkelanjutanpun mempunyai kelemahan, diantaranya adalah tidak
jelasnya kurun waktu yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, karena
konsep tersebut hanya sebuah komitmen yang sulit diukur kapan dapat tercapai,
oleh karena itu maka agenda dapat diabaikan oleh semua negara (Keraf, 2002).
Selanjutnya dikatakan bahwa kelemahan lainnya adalah adanya asumsi pada
paradigma pembangunan berkelanjutan bahwa manusia seakan mempunyai
kemampuan untuk mengetahui batas alam dan mampu mengeksploitasi
sumberdaya alam dalam batas daya dukung alam tadi. Padahal alam mempunyai
kekayaan dan kompleksitas yang sangat rumit, jauh melampaui ilmu pengetahuan
dan teknologi manusia. Selain itu alam juga penuh dengan misteri yang sulit
diprediksikan, termasuk dalam hal daya dukung dan ambang batas toleransinya.
15
Walaupun masih ada kelemahan pada pembangunan berkelanjutan, namun
upaya-upaya ke arah pembangunan berkelanjutan harus segera dilaksanakan
karena menurut Djajadiningrat (2001) pembangunan berkelanjutan tidak lain
merupakan proses perubahan yang di dalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya,
namun arah investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan
kelembagaannya, secara keseluruhan berada dalam keadaan yang selaras dan
dapat meningkatkan potensi masa kini dan masa depan dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusia. Dengan melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pada
pembangunan berkelanjutan harus mampu menciptakan pemerataan, partisipasi,
keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang, sehingga pada proses
pembangunan berkelanjutan harus menjamin terjadinya keberlanjutan ekologis,
ekonomi, sosial-budaya dan politik, serta pertahanan dan keamanan.
Dengan berpegangan pada konsep pembangunan berkelanjutan, dapat
dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang
dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi
yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula (Serageldin, 1993).
Oleh sebab itu maka pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan
pendapatan riil per kapita, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam
kesejahteraan sosial (Pearce and Turner, 1990). Dengan demikian maka konsep
pembangunan berkelanjutan harus dipahami secara baik dan benar agar terjadi
keseimbangan antara upaya untuk memperoleh pendapatan dan upaya untuk
mencegah kerusakan sumberdaya alam, sehingga dapat mencapai tujuan
pembangunan seperti yang diidam-idamkan selama ini.
B. Pencemaran Air
Air merupakan sumber kehidupan; namun seiring dengan laju
pembangunan yang sangat pesat sehingga dihasilkan berbagai bahan pencemar
telah mengakibatkan langkanyai sumberdaya air. Pesatnya pembangunan telah
mengakibatkan walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya
telah menurun, sehingga terjadilah kelangkaan air, dan bukan hanya terjadi
kelangkaan, namun rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif
baik pada biota yang hidup di dalamnya, maupun untuk manusia.
16
Menurut Odum (1971) pencemaran adalah peristiwa perubahan yang
terjadi baik pada sifat-sifat fisik, kimia maupun biologi yang tidak dikehendaki
yang dapat terjadi baik pada udara, tanah maupun air. Menurut Keputusan
Menteri LH No. 02/MENLH/I/1988 polusi atau pencemaran adalah masuk atau
dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
air/udara turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi
kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai kebutuhannya. Menurut Peraturan
Pemerintah RI, No. 20 Tahun (1990) pencemaran air adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau kehidupan lain ke dalam air
dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh kegiatan manusia atau oleh proses
alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya mahluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya. Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 pencemaran
hanya terjadi jika diakibatkan oleh manusia sementara dalam UU No. 4 tahun
1982, definisi pencemaran mencakup sumber penyebab alami.
Menurut Sutamiharja (1978) berdasarkan sumbernya bahan pencemar atau
zat pencemar terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal
dari kegiatan manusia. Pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia
diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam pada proses pertambangan,
perindustrian dan pertanian. Dan untuk mengetahui apakah suatu badan air sudah
tercemar atau belum dan bagaimana tingkat pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat
air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya. Adapun
yang dimaksud dengan baku mutu air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi
zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam air, tetapi air tersebut masih dapat
dipergunakan sesuai dengan kriterianya (Fardiaz, 1992).
Sumber bahan pencemar dapat berasal dari kegiatan industri, namun juga
dapat berasal dari limbah rumah tangga baik berasal dari mandi maupun kegiatan
mencuci. Jumlah limbah rumah tangga di perkotaan pada umumnya jumlahnya
17
lebih banyak dibanding di pedesaan. Penyebab lainnya dari pencemaran air
adalah penggunaan lahan yang semakin intensif di perkotaan, dan sangat
berkembangnya pertumbuhan bangunan seperti maraknya pembangunan
perumahan yang berdampak pada meningkatnya aliran permukaan (run off), yang
secara tidak langsung mengakibatkan peningkatan pengumpulan polutan. Bahan-
bahan pencemar ini dikategorikan pada sumber polusi baur (nonpoint source
polutant) contohnya patogen, zat hara (nutrients), pencemar beracun (toxic
contaminants), dan sisa-sisa sampah. Kontaminasi patogen mengindikasikan
kemungkinan terjadinya ancaman terhadap kesehatan manusia. Kandungan hara
yang berlebihan, misalnya Nitrogen dan Fosfor, dapat mengancam ketersediaan
air tanah dan kelayakan air permukaan. Pencemar beracun seperti logam berat dan
pestisida menjadi ancaman bagi kesehatan dan organisme akuatik dan manusia.
Sedimen Bahan-bahan pencemar ini pada dasarnya juga termasuk ke dalam
sumber polusi baur, karena dapat menimbulkan dampak ekologis dan
kecenderungan pencemar lainnya untuk menempel pada partikel tanah.
Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi
sebagai akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi
karena seringkali manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi
saja. Dalam hal ini setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu
barang, pada umumnya manusia tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan
dari aktivitas tersebut. Terjadinya pencemaran badan air di perkotaan ini
umumnya terjadi karena manusia seringkali membuang limbahnya secara
langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami pengolahan, maka
pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya. Air tercemar
ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa masuk ke
dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan
pencemar ini akan terbawa hingga ke laut.
C. Kondisi Pencemaran Air di kawasan Perkotaan
Secara umum air limbah yang dikeluarkan dari perumahan (rumah tangga)
dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni air limbah rumah tangga toilet dan
non toilet. Hasil penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1987 mengindikasikan
bahwa air limbah yang dihasilkan di Provinsi DKI Jakarta dari tahun ke tahun
18
akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah perumahan dan
jumlah penduduk. Selain itu penelitian ini juga memperlihatkan bahwa golongan
elit (atas) menghasilkan limbah cair non toilet yang jauh lebih banyak
dibandingkan golongan yang ada di bawahnya, dan air limbah terendah dihasilkan
dari golongan bawah. Hal yang sama juga terjadi pada beban polusi yang
dihasilkan dari setiap golongan rumah tangga. Sedangkan limbah toilet yang
dihasilkan baik pada golongan atas, menengah maupun golongan bawah baik
jumlah limbah maupun beban polusinya sama.
D. Pengolahan Limbah Cair Manusia
Pengolahan limbah cair manusia / domestik / rumah tangga di perkotaan
Indonesia berada pada tingkatan paling rendah bila dibandingkan dengan negara
Asia lainnya. Hal ini menyebabkan tercemarnya air permukaan dan air tanah yang
semakin meluas. Akibatnya, Indonesia berkali-kali mengalami wabah lokal seperti
infeksi saluran pencernaan dan tingkat kejangkitan penyakit tipus (typhoid)
tertinggi di Asia. Secara konservatif, kerugian ekonomis yang disebabkan oleh
pembuangan limbah yang tidak layak diperkirakan sebesar 4,7 milyar dollar
Amerika setiap tahun. Ini setara dengan 2,4% dari PDB tahun 1997, dan menurut
perhitungan kasar sama dengan kerugian 12 dollar Amerika per rumah tangga
setiap bulannya (Bank Pembangunan Asia 1999).
Salah satu sebab rendahnya cakupan pelayanan adalah akibat kebijakan
pemerintah yang saat ini menyerahkan tanggung jawab penyehatan lingkungan
pemukiman (sanitasi) ke tingkat rumah tangga (Bank Dunia 1993). Kebijakan ini
dipengaruhi pengalaman di masa lalu dimana sistem pengolahan limbah cair
manusia terpusat dengan skala besar (sewerage) berkinerja buruk. Selanjutnya,
kebijakan ini pun menghambat kemampuan lembaga pemerintah daerah setempat
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengoperasian sistim saluran pengolahan
limah yang efektif. Sejak awal tahun 80-an, proporsi populasi perkotaan yang
dilayani sistim pengolahan limbah terpadu (sewerage) mengalami stagnasi.
E. Pengolahan Limbah Domestik
Tempat atau lokasi dimana proses pengolahan limbah dilakukan di sebut
instalasi pengolahan limbah rumah tangga. Skema urutan pengolahan limbah
secara umum sama di setiap negara yaitu:
19
Pengolahan secara Mekanis yang terdiri dari:
Masukan limbah (influent)
Pembuangan atau pemisahan benda-benda besar
Pembuangan atau pemisahan pasir-pasir
Pengendapan awal (Pre-precipitation)
Pengolahan secara Biologi yang terdiri dari:
Lahan atau ruang oksidasi (Oxidation bed) atau sistem aerasi.
Pengendapan akhir (Post precipitation)
Pengeluaran aliran air (effluent)
Pengolahan secara Kimia (pada tahap ini biasanya dikombinasikan dengan
penempatan dan proses lainnya untuk membuang zat-zat padat seperti
penyaring. Kombinasi ini biasanya diterapkan di negara Amerika sebagai
pengolahan secara kimia – fisik. Dan hal tersebut dilakukan bersama-sama
saat di pengolahan biologis.
Adapun peralatan yang biasa dipergunakan pada pengolahan limbah pada
instalasi pengolahan limbah domestik adalah tangki pengendapan primer (Gambar
2), lapangan penyaring (Gambar 3), tangki pengendapan sekunder (Gambar 4),
dan tahapan pengolahan limbah cairnya dapat dilihat pada Gambar 5.
20
Gambar 2. Tangki pengendapan primer pada instalasi pengolahan limbah
domestik.
Gambar 3. Lapangan Penyaring
Gambar 4. Tangki Pengendapan Sekunder
21
Gambar 5. Tahapan Pengolahan Limbah cair
F. Kebijakan
Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang
dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan
institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan tetap
yang dicirikan konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) perilaku untuk memecahkan
persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones 1996). Oleh karena itu,
kebijakan bersifat dinamis. Menurut Davis, et al. (1993) dalam sistem politik kebijakan
tidak berdiri sendiri (single decision, tetapi merupakan bagian dari proses antar
hubungan; sehingga kebijakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk mencapai
tujuan dan sasaran. Oleh karena itu, maka kebijakan tidak boleh sekedar dibuat atau
dibuat karena ada kesempatan menyusun kebijakan, karena jika pembuatan kebijakan
dilakukan dengan sekedarnya, maka akan dihasilkan kebijakan yang tidak tepat.
Penyebab tidak tepatnya suatu kebijakan, antara lain adalah kurang cukupnya
informasi yang didapat, sulitnya menarik kesimpulan, adanya kepentingan yang berbeda-
22
beda antar sektor dan instansi, umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan proses
perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar (Caiden, 1971). Oleh karena itu
maka dalam rangka membuat kebijakan yang tepat (apropriateness), maka dalam
membuat kebijakan pemerintah harus melalui proses yang baik, yakni mulai dari
membuat rancangan atau rencana kebijakan, memformulasi rencana kebijakan,
melaksanakannya di lapangan, dan mengevaluasinya. Dalam proses penyusunan
kebijakan terdapat seperangkat metode, strategi dan teknik serta harus melibatkan semua
pihak terkait.
Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada
bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan bagaimana
diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu agar kebijakan
yang dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan hendaknya
memperhatikan (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, (2)
bagaimana karakteristik dan badan eksekutifnya, (3) metode apa yang digunakan untuk
menggunakan sumberdaya alam dan peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut..
Menurut Rees (1990) pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan
seperti Gambar 10. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan yang irasional, mungkin akan
diterima masyarakat tertentu, namun belum tentu diterima masyarakat lainnya. Oleh
karena itu maka dalam rangka membuat kebijakan yang rasional dan operasional, maka
perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah,
penyelia serta sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku
kebijakan.
Kriteria kebijakan yang baik dan tepat, harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut (Abidin, 2002)
1. Efektifitas (Efectiveness), untuk mengukur apakah pemilihan sasaran yang dicapai
dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
Oleh karena itu jika suatu strategi kebijakan dipilih, maka harus dilihat dari
kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan
masyarakat.
2. Efisiensi (Economic Rationality), dengan cara mengukur besarnya dana/pengorbanan
yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;
3. Cukup (Adequacy), dengan mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan
sumberdaya yang ada.;
4. Adil (Equity), dengan mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil
dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;
23
1 Analisis
Determinasi Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
Informasi untuk Kebijakan
Analisis Isi Kebijakan
Advokasi Kebijakan
Analisis Kebijakan
Analisis untuk Kebijakan
2 3 4 5
5. Terjawab (Responsiveness), harus dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab
permasalahan tertentu dalam masyarakat;
6. Tepat (Apropriateness), yang merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan
sebelumnya.
Namun demikian dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup, seringkali kita dapati terjadinya kegagalan. Kegagalan ini pada umumnya terjadi
karena kebijakan pembangunan tersebut masih belum bersifat holistik. Sebagai contoh
dalam UUD 1945 tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan
fungsi lingkungan hidup; kebijakan tentang tenurial dan property rights tidak
memberikan jaminan hak pada masyarakat adat; kebijakan yang sentralistik dan seragam.
Selain itu disinyalir masih adanya kebijakan yang belum mendukung “pemerintah yang
terbuka” atau open government. Menurut Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) dalam pengelolaan sumber daya alam, ada delapan tolok ukur/elemen yang harus
terintegrasi pada setiap kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam, yakni (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik
terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan
terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak
masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan
(clarity); (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability)
(Santoso, 2001).
G. Analisis dan Proses Kebijakan
Analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan
dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang
proses kebijakan. Menurut Gordon et al. (1977) dalam Parsons (2005) secara definitif
terdapat variasi analisis kebijakan di sepanjang sebuah kontinum tersebut seperti yang
tertera pada Gambar 11.
Gambar 6. Variasi analisis kebijakan (Gordon, et. al (1997) dalam Parsons (2005)
24
Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan dan isi kebijakan.
Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan
kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan dibuat. Isi kebijakan adalah
analisis yang mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan
tersebut berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Isi kebijakan,
didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba
memberikan kritik terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan,
memfokuskan dalam mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan
tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Dan
analisis untuk kebijakan mencakup advokasi kebijakan berupa riset dan argumen untuk
mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Sedangkan
informasi untuk kebijakan adalah analisis untuk memberi informasi bagi aktivitas
pembuatan kebijakan, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk, seperti anjuran atau riset
eksternal/internal yang terperinci tentang aspek kualitatif dan judgemental dari suatu
kebijakan.
Pada analisis kebijakan digunakan beragam teknik untuk rneningkatkan atau
merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Menurut Quade (1976) tujuan utama analisis
kebijakan adalah untuk membantu pembuat keputusan dalam mernbuat pilihan yang lebih
baik ketimbang yang dibuat pihak lain. Analisis kebijakan berhubungan dengan
manipulasi efektif dunia nyata. Untuk itu, maka analisis kebijakan harus melalui tiga
tahap: pertama, penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan
dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni
membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau
keputusan; ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada
perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan.
(Quade, 1976) dalam Parsons (2005)
Menurut Dunn (2000) metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi
yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan: apa hakekat permasalahan? Kebijakan
apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya?
Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa
yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan? Jika pertanyaan
tersebut dijawab dengan baik, maka jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi
kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Pada dasarnya analisis kebijakan
menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah
25
manusia: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah
(definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai
kosekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak
melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai
atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu permasalahan.
Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa
lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai nama sama
dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai
atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Kelima prosedur
analisis tersebut disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2000).
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekuder
a. Data Primer
Data primer yang akan dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data
eksisting kualitas air dan data kualitas limbah cair, pemilahan limbah padat
(mudah terurai dan sulit terurai), IPLT (instalasi pengolah lumpur tinja), IPAL
(instalasi pengolah air limbah), data ruang hijau terbuka, data hidrologi, data
ekologi, data sosial, data ekonomi, data teknologi pengolahan limbah cair,
pengetahuan masyarakat dan pakar tentang lingkungan, peran masyarakat
terhadap limbah domestik, jarak rumah/perumahan dengan IPLT dan IPAL/tangki
septik, kepedulian masyarakat, pakar dan perencana terhadap pengolahan limbah
domestik, jumlah rumah (unit) berdasarkan tipenya, kapasitas instalasi pengolah
dari satu unit pengolahan air limbah domestik (rumah tangga), volume limbah cair
hasil olahan tiap hari, kapasitas dari sistem pengolahan limbah, quality controll
terhadap limbah domestik cair, zonasi peruntukan lahan serta data hukum dan
kelembagaan serta penyuluh. Data-data ini akan diperoleh melalui wawancara
baik dengan masyarakat maupun dengan para pakar dan perencana serta
pengembang.
b. Data Sekunder
Data sekunder akan diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-tahun
sebelumnya yang diambil dari instansi terkait seperti dari Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi, Badan Meteorologi dan Geofisika berupa data kualitas air, data
kualitas limbah, data hidrologi yang meliputi debit air, pola drainase, neraca air,
temperatur udara, curah hujan, penyinaran matahari, sarana dan prasarana
pengolahan limbah domestik, sarana dan prasarana lingkungan, fasos dan fasum.
Selain itu juga akan dikumpulkan data mengenai dokumen amdal, kinerja
lingkungan (RKL dan RPL).
B. Metode Penelitian
27
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif
melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem. Menurut Traver
(1978) metode deskripif ini bertujuan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan
pada saat penelitian dilaksanakan serta untuk melihat sebab-sebab dari suatu
gejala tertentu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan sistem
digunakan untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan instalasi
pengolah limbah domestik di kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan yang bersifat multi dimensi dan melibatkan berbagai
stakeholders dan lintas sektoral.
C. Penetapan Sampel Penelitian
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara bertingkat
(multistage sampling) yaitu tehnik pemilihan sampel dengan menggabungkan dua
atau lebih rancangan sampling sekaligus. Dalam hal ini rancangan sampling yang
dipakai pada penelitian ini adalah sampling random cluster dan sampling random.
3.4. Analisis Data
Analisis Data Kualitas Air dan Limbah Cair
Data kualitas air (selokan, sungai dan sumur) serta limbah cair akan
dibandingkan dengan Standar baku mutu air dan standar baku mutu air limbah
menurut Keputusan Menteri Lingkunan Hidup nomor 58 tahun 1995 dan SK
Gubernur; untuk air sumur akan dibandingkan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416 tahun 1990.
Analisis Harga/Tarip Pengolahan Limbah Domestik perKapita
Tarip operasional instalasi limbah domestik per kapita sangat ditentukan
oleh harga lahan, harga bangunan, biaya operasional persatuan waktu, biaya
perawatan, biaya produksi.
Analisis optimasi jumlah rumah minimal
Pada penelitian ini akan dibuat model matematis untuk menentukan
jumlah minimal rumah yang dapat membiayai sendiri instalasi pengolah limbah
domestiknya secara berkelanjutan
28
Analisis Keberlanjutan
Pada penelitian ini akan dinalisis keberlanjutan perumahan yang
dilengkapi dengan instalai pengolah limbah
Pemodelan
Pada penelitian ini akan dibuat model perumahan yang dilengkapi dengan
instalai pengolah limbah, sehingga menjadi perumahan yang berwawasn
lingkungan dan berkelanjutan. Tujuan pengembangan model ini adalah untuk
optimasi dan simulasi. Pada model optimasi akan dihasilkan apa yang seharusnya
terjadi, sedang pada simulasi akan menunjukkan apa yang terjadi.
Analisis Prospektif
Pada Analisis prospektif akan diperoleh informasi dalam pengembangan
instalasi limbah domestik untuk mendeskripsikan kejadian di masa yang akan
datang.
Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)
Pada penelitian ini akan dirumuskan alternatif kebijakan pengadaan sistem
pengolah limbah domestik pada pembangunan perumahan dengan menggunakan
proses hierarki analitik (AHP).
BAB IV
PEMBAHASAN
Kota merupakan tempat yang mempunyai dayatarik tersendiri. Hal ini
disebabkan kota merupakan wilayah administratif yang ditetapkan oleh
pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan sebagian besar
wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian utamanya adalah
29
kegiatan perekonomian non pertanian (Richardson, 1978). Hal ini sesuai dengan
pendapat Gallion (1986) yang mengatakan bahwa kota adalah wilayah geografis
tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia, dan manusia-manusia
tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.
Sangat padatnya penduduk yang berada di kota mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan akan perumahan, sehingga terjadi pembangunan
perumahan dimana-mana hingga ke pinggiran kota. Namun dari hasil penelitian
pendahuluan didapatkan hasil bahwa berdirinya perumahan di berbagai peloksok
perkotaan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan instalasi pengolah limbah
(IPAL) domestik yang dihasilkan dari setiap rumah tangga. Padahal di lain pihak
semakin banyaknya perumahan dan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di
dalamnya, akan mengakibatkan semakin tingginya limbah domestik yang
dihasilkannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian The study on urban drainage
and waste water disposal project in the city of Jakarta pada tahun 1990 yang
mendapatkan hasil bahwa limbah cair rumah tangga toilet dan non toilet di Jakarta
sangat tinggi, dan akan semakin meningkat hingga tahun 2010 yang akan datang
(Tabel 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Johansen (2002) yang mengatakan
bahwa hampir setiap hari dihasilkan sejumlah air limbah rumah tangga yang
mengandung berbagai bahan pencemar terutama detergen yang mengandung
fosfor, bahan organic dari sisa makanan, maupun benih penyakit menular yang
dihasilkan sebagai limbah rumah tangga; juga dibuang ke saluran air dan
selanjutnya menuju ke sungai. Adapun jumlah rata-rata bahan pencemar pada air
limbah rumah tangga ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa limbah domestik non toilet yang berasal dari
kegiatan mandi, cuci dan dapur dari golongan atas (perumahan mewah) paling
tinggi dibanding dari golongan menengah dan golongan bawah, sedangkan limbah
30
Tabel 1. Jumlah limbah cair rumah tangga toilet dan nontoilet yang dihasilkan
golongan atas, sedang dan bawah dan perkiraannya pada tahun 2010
Sumber : The study on urban drainage and waste water disposal project in the city of Jakarta, 1990
Tabel 2. Jumlah rata-rata bahan pencemar pada limbah rumah tangga
Sumber Pencemaran No Jenis Bahan Pencemar
Mandi, cuci,
dapur
Urine Faeces
1. BOD (mg/hari) 71.3 8.22 16.44
2. Fosfor (mg/hari) 0.38-1.23 2.47 1.37
3 Nitrogen (mg/hari) 2.47 27.4 3.84
4 Kalium (mg/hari) 1.37 6.3 2.47
5 Logam Berat Ada Hampir tdk
ada
Ada
6 Bahan Organik
berbahaya
Ada Sisa obat Sisa obat
7 Air kotor (kg/hari) 250-500 60-100 25-40
8 Penyakit menular sedikit Sedikit Banyak
Sumber : Johansen (2002)
31
toiletnya relatif sama. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Johansen (2002)
yang memperlihatkan bahwa hampir semua jenis bahan pencemar yang berasal
dari kegiatan mandi, cuci dan dapur lebih tinggi dibanding limbah yang berasal
dari urin dan feses (Tabel 3) Oleh karena itu maka limbah domestik dari kegiatan
mandi cuci dan dapur yang berasal dari golongan menengah ke atas (perumahan
tipe besar dan tipe sedang) harus mendapat perhatian yang serius, dan jika
dibiarkan dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran
lingkungan.
Selain limbah domestik, limbah yang ada di perkotaan juga akan
dihasilkan dari berbagai kegiatan yang ada di kota tersebut. Sebagai contoh,
menurut hasil penelitian the study on urban drainage and waste water disposal
project in the city of Jakarta (1990) limbah yang berada di DKI Jakarta ada
beberapa jenis yakni limbah domestik, limbah perkantoran komersial dan limbah
industri. Adapun jumlah total dari kegiatan-kegiatan tersebut yang ada di wilayah
Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Timur dan
volume dari setiap jenis limbah pada saat dilaksanakan penelitian dan
perkiraannya pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah air limbah yang dihasilkan dari beberapa kegiatan di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun 1987 dan perkiraannya pada tahun 2010
Sumber : The study on urban drainage and waste water disposal project in the city of Jakarta, 1990
32
Dari Tabel tersebut terlihat bahwa pada saat dilakukan penelitian rata-rata
dari setiap kota di DKI Jakarta 78,9% air limbah yang dibuang setiap harinya,
berasal dari limbah domestik, sedangkan limbah yang berasal dari perkantoran
komersil dan dari kegiatan industri rata-rata hanya mencapai 13,1 dan 8%.
Sedangkan pada tahun 2010 seiring dengan bertambah banyaknya industri dan
perkantoran komersial, diperkirakan akan terjadi pergeseran presentase air limbah,
yakni presentase limbah domestik relatif menurun, sedang presentase limbah dari
perkantoran komersil dan dari kegiatan industri relatif meningkat. Dari data
tersebut terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan limbah dari perkantoran
komersil dan dari kegiatan industri, namun limbah domestik selalu jauh lebih
tinggi dari limbah yang lainnya. Oleh karena itu, maka limbah domestik dari
perumahan harus mendapat perhatian yang serius agar tidak mencemari
lingkungan.
Secara umum air limbah yang dihasilkan dari rumah tangga terutama yang
termasuk pada kategori non toilet akan langsung dimasukkan ke dalam badan air
tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu, sehingga badan air menjadi tercemar
dan akan mengalami penurunan kualitas. Indikator kualitas air yang tercemar
limbah domestik biasanya dapat dilihat dari parameter kimia (BOD, COD, pH
dll), fisika (warna air, bau, dll), dan biologis (bakteri, organisma dll). Pencemaran
air pada akhirnya akan berdampak pada organisma air, yang pada akhirnya akan
berakibat buruk pada manusia. Terjadinya pencemaran pada badan air di negara
kita ini juga telah mendapat perhatian dari Walton (2003) yang melakukan
kegiatan monitoring lingkungan di Asia Timur (East Asian Environment Monitor)
pada tahun 2000, bahwa sebenarnya ketersediaan air tahunan di Indonesia sangat
tinggi yakni mencapai 13.700m3/kapita, namun sungai-sungainya telah tercemar
oleh limbah industri dan rumah tangga. Bahkan hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat penutupan
penyaluran kotoran dan sanitasi yang terendah di Asia.
Jenis bahan yang mendominasi limbah domestic adalah bahan organic.
Oleh karena itu untuk melihat apakah suatu perairan yang menerima limbah
domestik sudah tercemar (terutama bahan organic) atau tidak, dan masuk kategori
yang mana tingkat pencemarannya, maka salah satu parameter yang biasanya
33
diamati adalah kandungan oksigen terlarutnya pada perairan (Miller, 1998).
Adapun kandungan oksigen terlarut pada perairan dengan tingkat pencemaran
tertentu dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan tingkat pencemaran air
No DO dalam ppm*) Tingkat pencemaran air
1 8-9 Tidak tercemar
2 6.7-8 Tercemar sedikit
3 4.5-6.7 Tercemar ringan
4 Dibawah 4.5 Tercemar berat
5 Di bawah 4 Tercemar parah
Sumber: Miller 1998
*) ppm = part per million/ satu dari sejuta bagian
Dengan demikian maka pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi,
pesatnya urbanisasi dan pesatnya pertumbuhan industri, ditambah dengan tidak
tersedianya infrastruktur pengolah limbah kompleks perumahan serta masih
adanya industri yang belum mempunyai IPAL yang baik dan benar,
mengakibatkan air sungai di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Medan, Bandung, dsb terlihat berwarna gelap dan berbau menyengat. Hal ini
mengakibatkan nilai estetika perairan sungai menurun, terjadi kematian pada
biota air yang hidup di dalamnya yang berlanjut pada terjadinya ancaman bagi
kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan pada seriap kompleks
perumahan dibangun sarana pengolah air limbah domestik yang dihasilkan dari
perumahan tersebut. Selain itu dalam lokasi perumahan tersebut juga harus
dibangun sistem pengaliran limbah ke arah fasilitas pengolahannya.
Ada berbagai sistem pengaliran limbah Sistem air limbah rumah tangga,
yang di alirkan pada saluran buangan limbah cair dan air banjir (storm water)
secara bersama-sama ke arah fasilitas pengolahan di sebut dengan sistem saluran
limbah cair kombinasi. Kontruksi bangunan pengolahan limbah cair kombinasi ini
kurang umum di terapkan di Amerika dan Kanada pada masa lalu, yang kemudian
akhirnya di tetapkan oleh Undang-Undang Bangunan di negara-negara Eropa dan
Inggris. Karena itu, limbah cair rumah tangga dan air banjir di kumpulkan dan di
34
alirkan secara terpisah pada sistem aliran limbah cair, yaitu sebagai aliran sistim
kebersihan/kesehatan dan aliran sistim air banjir (storm water) untuk negara
Amerika, dan sebagai aliran sistim foul sewer dan aliran sistem surface water
sewer untuk negara Inggris. Kapasitas besar aliran dari foul sewer di desain untuk
mencegah tekanan dari hujan lebat yang mengakibatkan air banjir atau aliran
limbah kombinasi. Seperti halnya air hujan yang jatuh ke atap rumah dan tanah,
aliran limbah kombinasi juga memungkinkan membawa berbagai macam zat
pencemar termasuk di dalamnya partikel-partikel tanah (sediment), logam berat,
sampah, kotoran hewan dan minyak serta lemak/gemuk. Untuk itu maka
pemerintah telah membuat beberapa peraturan yang meminta agar air banjir
tersebut di olah dengan tingkatan tertentu, sebelum di buang ke alam atau
lingkungan, misalnya melalui pengolahan dalam telaga pengendapan sedimen
atau lahan basah/rawa dan jaring pemisah (vortex separator) untuk membuang
benda-benda padat yang besar.
Hingga saat ini pengadaan sistem pengolah limbah domestik, memerlukan dana
yang tidak sedikit, begitu pula halnya dengan pemeliharaannya serta dalam menjalankan
sistem pengolah limbah tersebut diperlukan dana yang cukup besar. Untuk itu maka pada
penelitian ini juga dilakukan penghitungan dana operasional minimal yang masih
terjangkau oleh setiap keluarga penghuni perumahan tersebut, sehingga dari perhitungan
berdasarkan jumlah masing-masing tipe rumah, pendapatan per kapita, volume
limbah toilet dari setiap tipe rumah, volume limbah toilet dari setiap tipe rumah,
tarip pengolahan limbah domestik perkapita, biaya perawatan instalasi pengolah
limbah, biaya pembuatan instalasi (bangunan), biaya pembelian lahan dan biaya
operasional akan dapat ditentukan berapa jumlah minimal rumah yamh sebaiknya
dibangun agar dapat dilakukan pembangunan instalasi pengolah limbah dan
pembiayaan operasionalnya secara mandiri.
Sebenarnya sudah ada aturan yang menyebutkan bahwa di dalam pembangunan
perumahan harus sudah terintegrasi dengan pembuatan instalasi pengolah air limbah
domestik yang dihasilkan dari perumahan tersebut. Namun demikian masih sangat
sedikit pengembang yang sudah melakukan upaya tersebut di atas. Hal ini disebabkan
bisa terselenggara-tidaknya pembangunan instalasi pengolah limbah domestik sangat
tergantung pada penyelenggaraan pemrintah di suatu negara. Dalam hal ini terdapat
korelasi yang positif antara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan pengelolaan
lingkungan hidup, dengan kata lain jika penyelenggaraan pemerintahan baik, maka
pengelolaan lingkungan hidup juga baik. Hal ini memperlihatkan bahwa pengelolaan
35
lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintahan yang
baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (2002) bahwa pada penyelenggaraan
pemerintahan yang baik akan menentukan komitmen penyelenggara pemerintahan
terhadap lingkungan hidup. Hal ini disebabkan lingkungan hidup merupakan bagian
integral dan keseluruhan kebijakan pembangunan. Selain itu lingkungan hidup juga tidak
dianggap sekedar aspek pinggiran setelah ekonomi, sehingga pada penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, kesadaran terhadap lingkungan diterjemahkan ke dalam
berbagai aturan perundang-undangan yang menjadi pegangan bagi setiap penyelenggara
negara dan masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan hidup, dan
diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan operasional yang memperlihatkan dan
mencerminkan tingkat kesadaran pemerintah mengenai pentingnya pengelolaan
lingkungan hidup.
Salah satu prasyarat dari pengelolaan lingkungan yang efektif adalah terciptanya
good governance. Namun demikian, pemerintahan yang sudah mampu mewujudkan good
governance belum tentu memiliki kepedulian terhadap aspek keberlanjutan ekosistem,
oleh sebab itu pada kasus pemerintahan yang telah mengupayakan aktualisasi prinsip-
prinsip good governance seperti tersebut di atas, masih diperlukan persyaratan tambahan
yaitu mengaitkan seluruh kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan
ekologis (ecological sustainability) (Santosa, 2001), sebagai contoh dalam pembangunan
perumahan, di dalamnya sudah mensyaratkan dibangunnya unit pengolah limbah
domestik. Sejalan dengan itu, Siahaan (2004) mengemukakan perlunya azas-azas
penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola Iingkungan dengan prinsip
keberlanjutan sumber daya (sustainability) yang disebut dengan prinsip good
environmental governance (GEG).
Saat ini pemerintah sudah memikirkan tentang perlunya sarana dan
prasarana pengolah limbah domestik di kawasan perumahan skala besar.
Pemikiran ini pada dasarnya merupakan upaya dari pemerintah untuk
melaksanakan pembangunan perumahan yang berkelanjutan dan merupakan
cerminan dari pemerintah kita untuk memegang dan melaksanakan prinsip good
environmental governance (GEG). Hal ini tertuang pada Undang-undang nomor 4
tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang mengatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan akan permukiman dilaksanakan dalam pembangunan skala
besar, yang terdiri atas kawasan-kawasan permukiman yang diintegrasikan
dengan prasarana dasar sesuai dengan rencana tata ruang kota atau kabupaten.
Prasarana dasar permukiman ini meliputi jalan raya, jaringan air bersih, listrik dan
36
jaringan pembuangan air limbah (sewage/waste water) yakni jaringan yang
menampung air limbah domestik yang dilengkapi dengan instalasi pengolahan air
secara terpadu yakni waste water treatment plant.
Undang-undang tersebut merupakan produk pemerintah kita yang baik dan
cerminan kepedulian pemerintah kita terhadap keletarian lingkungan. Namun
demikian, kenyataan yang ada di lapangan memperlihatkan bahwa perumahan
skala besar yang mempunyai instalasi pengolah limbah domestik secara terpadu
jumlahnya masih minim. Hal ini memperlihatkan bahwa aturan yang sudah
dibuat tersebut relatif belum mengikat para pengembang perumahan. Atau
dengan kata lain masih sulit untuk direalisasikan di lapangan. Menurut dugaan
belum terealisasinya pembangunan instalasi pengolah limbah domestik secara
terpadu ini diduga selain karena aturan tersebut selain karena tidak mengikat
diduga karena masih belum disertai dengan reward and funishment yang jelas,
tegas dan mengikat seluruh pengembang perumahan. Selain itu juga diduga
karena aturan tersebut belum bersifat kholistik/belum dikoordinasikan dengan
beberapa instansi terkait, aturan tersebut belum disosialisasikan dengan baik
kepada para pengembang, serta aturan tersebut belum bersifat operasional.
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Perkembangan kota yang sarat dengan kegiatan ekonomi memacu
terjadinya urbanisasi dan tingginya pertumbuhan penduduk diperkotaan,
sehingga kebutuhan perumahan menjadi sangat tinggi
2. Perumahan yang mempunyai instalasi pengolah limbah domestik di negara
kita masih sangat minim
3. Limbah domestik di perkotaan paling banyak dibanding limbah
perkantoran modern dan limbah industri
4. Limbah domestik yang melimpah di perkotaan mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan degradasi lingkungan
5. Pemerintah Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang mengatur
pembangunan perumahan yang berkelanjutan
37
6. Mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah air limbah domestik,
undang-undang yang belum bersifat kholistik dan operasional dan belum
mengikat para pengembang serta tidak mempunyai sangsi yang tegas dan
jelas tanpa pandang bulu, mengakibatkan belum terlaksananya
pembangunan perumahan yang berkelanjutan
SARAN
1. Sebaiknya dilakukan kajian kembali terhadap kebijakan pembangunan
perumahan yang sudah ada saat ini dan menyempurnakannya menjadi
bersifat operasional
2. Sebaiknya dilakukan kajian untuk mendapatkan berapa jumlah rumah
optimal dalam kawasan perumahan yang dapat membiayai instalasi
pengolah air limbah domestiknya secara mandiri
3. Sebaiknya dilakukan kajian tentang instalasi pengolah limbah domestik
seperti apa yang paling cocok, fektif dan efisien pada setiap tipe kawasan
perumahan
4. Dalam rangka menciptakan perumahan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan, sebaiknya didisain model ideal sistem instalasi pengolah
limbah domestik di perumahan skala besar dan skala bukan besar
DAFTAR PUSTAKA
Abidin SZ. 2002 . Kebijakan Publik.: Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.
Caiden GE. 1971. The Dynamics of Public Administration. New York: Holt, Rinehar and Winston.
Davis GJ, Warhurst WJ, Weller. P, 1993. Public Policy in Australia, Ed ke-2. St. Leonards: Allen and Unwin.
Dunn. William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yokyakarta, Indonesia.
38
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen. Jilid I edisi ketiga. IPB Press. Bogor
Godet, M. 1999. Scenarios and strategies. A tool box for scenario planning. Librairie des arts et Metirs. Paris. London
Jones CO. 1996. Pengantar kebijakan publik (public policy) Istamto R, Penerjemah. Budiman N, editor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari : An Introduction o the Study of Public Policy.
Lonergan. 1993. Impoverishment, Population and Environmental Degradation: The Case of Equaty. Environmental Conservation (4):20
Keraf, A. Sony., 2002. Etika Lingkungan, Cetakan kesatu, Penerbit buku kompas, Jakarta. 320 hal.
Munasinghe, M. 1993. Environmental economic and sustainable development. The international bank for recontructio and development/ the world bank. Washington D.C. 20433. USA
Parsons W, 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Kecana. Jakarta.
Rees, Judith. 1990. Natural Resources: Allocation, Ecxonomics and Policy Routlege. London and New York.
Wikipedia, Sewage treatment, www.en.wikipedia.org, 2006.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Santosa, M. A., 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan.
Sharma, K.D., and J.S.R. Murthy. 1996. Emphermeral Flow Modelling in Arid Regions. Jurnal Arid Environmental (33) 161-178.
Siahaan, N.H.T., 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Edisi Kedua, Erlangga Jakarta.
Thomas, Vinod., Mansoar Dailami., Ashok Dhareshwar., Daniel Kaufmann., Nalin Kishor., Ramon Lopez., and Yan Wang. 2000. The Quality of Growth. The World Bank. Washingthon DC, USA.