pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal

PENGELOLAAN HUTAN ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL

PENGELOLAAN HUTAN ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Dr. Ir. Edi Muhamad Jayadi, MP

Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal© Sanabil 2020

Penulis : Dr. Ir. Edi Muhamad Jayadi, MPEditor : Dr. Suhirman, M.PdLayout : Tim FTKDesain Cover : Sanabil Creative

All rights reservedHak Cipta dilindungi Undang UndangDilarang memperbanyak dan menyebarkan sebagianatau keseluruhan isi buku dengan media cetak, digitalatau elektronik untuk tujuan komersil tanpa izin tertulisdari penulis dan penerbit.

ISBN : 978-623-7881-84-1Cetakan 1 : November 2020

Penerbit:SanabilJl. Kerajinan 1 Blok C/13 MataramTelp. 0370- 7505946, Mobile: 081-805311362Email: [email protected]

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................iDAFTAR ISI .......................................................................................vDAFTAR TABEL ...............................................................................viDAFTAR GAMBAR ..........................................................................viiDAFTAR SINGKATAN ..................................................................ix KATA PENGANTAR DEKAN .....................................................xPRAKATA PENULIS .......................................................................xii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................1A. Latar Belakang ................................................................1B. Rumusan Masalah ...........................................................7 C. Tujuan Penelitian ............................................................7D. Metodologi ......................................................................8E. Teori Mutakhir ................................................................23

BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................113A. Pengertian Kearifan Lokal ............................................113B. Arti Penting Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal ................................................................115 C. Contoh Implementasi Kearifan Lokal

dalam Pengelolaan Hutan ..............................................125 D. Kendala dalam Pengelolaan Hutan

Adat Berbasis Kearifan Lokal......................................132E. Strategi dan Peluang Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal di Masa Depan ....................137F. Relevansi Kearifan Lokal dengan Prinsip Pengelolaan Hutan yang Lestari (Berkelanjutan) .......148

BAB III. SIMPULAN ........................................................................158DAFTAR PUSTAKA.........................................................................161SINOPSIS ............................................................................................180BIODATA PENULIS ........................................................................182

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tahapan untuk validasi data ..........................................17Tabel 1.2. Peraturan perundangan yang terkaiit dengan kearifan

lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam .................28Tabel 1.3. Status konservasi dan penyebab menurunnya populasi satwa endemik TNGR ................................... 77Tabel 1.4. Penutupan Lahan pada KPHL Rinjani Barat ............. 84Tabel 2.1. Konflik masyarakat adat dengan pihak eksternal .......118

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Posisi Taman Nasional Gunung Rinjani di Pulau Lombok, dan Indonesia ........................... 35Gambar 1.2. Upacara Maulid Adat Bayan, salah satu ritualnya dilakukan di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani ........................................................ 38Gambar 1.3. Upacara mulang pakelem umat Hindu di Segara Anak .......................................................... 38Gambar 1.4. Struktur Organisasi TNGR .................................... 40Gambar 1.5. Jamur morels (Morchella crassipes (Vent.) Pers) yang tumbuh di TNGR ........................................... 42Gambar 1.6. Bunga Edelweis di TNGR ...................................... 45Gambar 1.7. Rusa Timor (Cervus timorensis) ............................ 53Gambar 1.8. Musang Rinjani ......................................................... 57Gambar 1.9. Lutung Bideng Rinjani ............................................. 60Gambar 1.10. Trenggiling (Manis javanica)................................... 61Gambar 1.11. Burung Kakatua jambul kuning ............................ 65Gambar 1.12. Burung cikukua tanduk (Philemon buceroides

neglectus) ................................................................... 69Gambar 1.13. Burung Merpati punggung hitam dengan mahkota bersisik ......................................... 71Gambar 1.14. Burung penghisap madu (Lichmera lombokia) ... 74Gambar 1.15. Air Terjun Sendang Gile, Desa Senaru, Kec. Bayan, KLU ..................................................... 87 Gambar 1.16. Air Terjun Tiu Kelep, Desa Senaru, Kec. Bayan, KLU ..................................................... 88Gambar 1.17. Air Terjun Tiu Ngumbak/Tiu Umbak ................. 89Gambar 1.18. Air Terjun Kerta Gangga ........................................ 90Gambar 1.19. Air Terjun Tiu Pupus ............................................... 91Gambar 1.20. Air Terjun Tiu Eja .................................................... 92

viii

Gambar 1.21. Air Terjun Tiu Timponan ....................................... 93Gambar 1.22. Air Terjun Kebon Baru ........................................... 94Gambar 1.23. Air Terjun Batu Butir ............................................... 95Gambar 1.24. Air Terjun Batu Kumbi ........................................... 96Gambar 1.25. Air Terjun Benang Kelambu .................................. 97Gambar 1.26. Air Terjun Benang Stokel ........................................ 98Gambar 1.27. Air Terjun Batu Janggot .......................................... 99Gambar 1.28. Air Terjun Titian Batukawangan ............................ 100Gambar 1.29. Air Terjun Batu Juret Pandan ................................. 101Gambar 1.30. Air Terjun Sesere .................................................... 102Gambar 1.31. Air Terjun Babak Pelangi ....................................... 103Gambar 1.32. Air Terjun Jeruk Manis ........................................... 104Gambar 1.33. Air Terjun Madu ..................................................... 105Gambar 1.34. Air Terjun Semporonan ......................................... 106Gambar 1.35. Air Terjun Mangku Sakti ........................................ 107Gambar 1.36. Air Terjun Mangku Kodek .................................... 108Gambar 1.37. Air Terjun Kuda Sembrani ..................................... 109Gambar 1.38. Air Terjun Umar Maye ........................................... 110Gambar 1.39. Air Terjun Otak Kokok ........................................ 111

ix

DAFTAR SINGKATAN

AMAN : Aliansi Masyarakat Adat NusantaraBKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam BTNGR : Balai Taman Nasional Gunung Rinjani CIFOR : Center for International Forestry ResearchCBT : Community Based Tourism CR : Critically EndangeredHKm : Hutan KemasyarakatanHPH : Hak Pengusahaan Hutan HTI : Hutan Tanaman IndustriHTR : Hutan Tanaman RakyatIUCN : The International Union for Conservation of Nature KPHL : Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KTH : Kelompok Tani Hutan MHA : Masyarakat Hukum AdatPHBM : Pengelolaan Hutan Bersama MasyarakatSFM : Sustainable Forest ManagementTAHURA : Taman Hutan RakyatTNGR : Taman Nasional Gunung RinjaniTWA : Taman Wisata AlamWWF : World Wildlife FundUNFF : United Nations Forum on ForestsLC : Least Concern

x

PENGANTAR DEKAN

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat & Salam semoga senantiasa terlimpah pada teladan agung Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai hari kebangkitan kelak. Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, program penulisan buku ajar dan referensi telah dapat dirampungkan.

Kewajiban dosen untuk menulis dan memproduksi buku, baik buku ajar maupun buku referensi sejatinya sudah diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi dan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan sejumlah regulasi lainnya. Pasal 12 UU No.12 tahun 2012 dengan tegas menyebutkan bahwa dosen secara perseorangan atau kelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks yang diterbitkan oleh perguruan tinggi sebagai salah satu sumber belajar.

Kompetisi Buku Ajar dan Referensi (KOBAR) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Mataram tahun 2020 adalah upaya Fakultas untuk berkontribusi dalam impelementasi undang-undang di atas, dimana secara kuantitatif, grafik riset dan publikasi dosen PTKI masih harus terus ditingkatkan. Tujuan lainnya adalah meningkatkan mutu pembelajaran dengan mewujudkan suasana akademik yang kondusif dan proses pembelajaran yang efektif, efisien dengan kemudahan akses sumber belajar bagi dosen dan mahasiswa. Publikasi ini juga diharapkan men-support peningkatan karir dosen dalam konteks kenaikan jabatan fungsional dosen yang ujungnya berdampak pada peningkatan status dan peringkat akreditasi program studi dan perguruan tinggi.

Secara bertahap, Fakultas terus berikhtiar meningkatkan kuantitas dan kualitas penerbitan buku. Pada tahun 2019 berjumlah 10 judul buku dan meningkat cukup signifikan tahun 2020 menjadi 100 judul yang terdistribusi dalam 50 judul buku ajar dan 50 judul buku referensi. Ikhtiar Fakultas tidak berhenti pada level publikasi, namun berlanjut pada pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dosen di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum

xi

dan Hak Asasi Manusia RI, sehingga tahun 2020 menghasilkan 100 HKI dosen.

Kompetisi buku ajar dan referensi tahun 2020 berorientasi interkoneksi-integrasi antara agama dan sains, berspirit Horizon Ilmu UIN Mataram dengan inter-multi-transdisiplin ilmu yang mendialogkan metode dalam Islamic studies konvensional berkarakteristik deduktif-normatif-teologis dengan metode humanities studies kontemporer seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hermeneutik, fenomenologi dan juga dengan metode ilmu eksakta (natural scincies) yang berkarakter induktif-rasional. Dari 100 judul buku, terdapat 10 judul tematik yang menjawab problem epistimologis pendidikan Islam, terutama terkait misi Kementerian Agama RI seperti moderasi Islam (Islam washathiyah), pendidikan inklusi, pendidikan anti korupsi, pendidikan karakter, pendidikan multikultural, etno-pedagogik, pembelajaran DARING (dalam jaringan), pendidikan & isu gender, ragam pesantren (pesisir, enterprenuer), dan tema teraktual yaitu merdeka belajar dan kampus merdeka.

Mewakili Fakultas, saya berterima kasih atas kebijakan dan dukungan Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H Mutawali, M.Ag dan jajarannya, kepada 100 penulis yang telah berkontribusi dalam tahapan kompetisi buku tahun 2020, dan tak terlupakan juga editor dari dosen sebidang dan penerbit yang tanpa sentuhan zauqnya, perfomance buku tak akan semenarik ini. Tak ada gading yang tak retak; tentu masih ada kurang, baik dari substansi maupun teknis penulisan, di ‘ruang’ inilah kami harapkan saran kritis dari khalayak pembaca. Semoga agenda ini menjadi amal jariyah dan hadirkan keberkahan bagi sivitas akademika UIN Mataram dan ummat pada umumnya.

Mataram, 29 Oktober 2020 M12 Rabi’ul Awal 1442 H

Dekan

Dr. Hj. Lubna, M.Pd.NIP. 196812311993032008

xii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya, maka penyusunan Buku Referensi yang berjudul “Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal” ini dapat diselesaikan. Selawat & Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai hari kebangkitan kelak.

Penyusunan Buku Referensi ini selain dimaksudkan untuk menyukseskan Program Kompetisi Buku Ajar dan Referensi (KOBAR) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Mataram tahun 2020, juga untuk memberikan referensi bagi pembaca, khususnya yang tertarik dengan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat. Guna memberikan tambahan informasi, maka dalam buku ini selain diuraikan tentang implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, profil Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) beserta flora dan fauna endemik yang ada di dalamnya, juga tentang ekowisata potensial (air terjun) yang dapat dikembangkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ada di Lingkar Rinjani, dan para pelaku perjalanan wisata.

Penyusunan Buku Referensi ini dapat diselesaikan karena memperoleh pendanaan melalui Program KOBAR FTK UIN Mataram 2020. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dekan FTK Dr. Hj. Lubna, M.Pd dan jajarannya yang telah menginisiasi Program KOBAR FTK UIN Mataram 2020, dan Bapak Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H Mutawali, M.Ag yang telah mendukung program tersebut. Terima kasih juga disampaikan kepada editor, penerbit, dan semua pihak yang telah berkontribusi sejak awal hingga selesainya penyusunan buku referensi ini.

Penulis menyadari bahwa buku referensi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif

xiii

untuk perbaikannya, senantiasa diharapkan. Semoga buku ini bermanfaat sesuai peruntukkannya. Aamiin.

Mataram, 25 Oktober 2020

Penyusun,

Edi Muhamad Jayadi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini, Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah Brazil dan Republik Demokratik Conggo1,2. Namun, luas hutan tropik Indonesia terus mengalami penyusutan sebagai dampak dari deforestasi. Jika pada tahun 1950, menurut Forest Watch Indonesia & Global Forest Watch (2001) Indonesia memiliki 162 juta hektar, maka pada tahun 2010, tutupan hutan diestimasikan hanya tersisa 94,4 juta hektar3,4. Artinya terjadi kehilangan sekitar 67,6 juta hektar selama kurun waktu 60 tahun, atau rata-rata 1,127 juta hektar per tahun.

Penyusutan luasan hutan bukan satu-satunya persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. Permasalahan lain yang tidak kalah peliknya adalah munculnya konflik kepentingan antar multipihak dalam pengelolaan hutan di Indonesia5,6. Salah satunya adalah 1 Ruhimat, I.S. (2010). Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan

Hutan (KPH) di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(3), 169-178.

2 Saatchi, S. S., Harris, N. L., Brown, S., Lefsky, M., Mitchard, E. T., Salas, W., Zutta, B.R., Buermann, W., Lewis, S.L., Hagen, S, Petrova, S., White, L., Silman, M., & Morel, A. (2011).. Benchmark map of forest carbon stocks in tropical regions across three continents. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(24), 9899-9904.

3 FAO. (2010). Global forest resources assessment 2010: Main report. p. 378. 4 Dokumen Rencana Investasi Kehutanan Indonesia (DRIKI). (2012).

Program Investasi Kehutanan: Rencana Investasi Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Indonesia. p. 146

5 Wollenberg, E., Anderson, J. & Edmunds, D. (2001). Pluralism and the less powerful: accommodating multiple interests in local forest management. International Journal of Agricultural Resources, Governance and Ecology, 1(3), 199-222.

2

tuntutan masyarakat adat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Siscawati (2014) menyatakan bahwa konflik tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan masyarakat adat atas penguasaan negara terhadap lahan dan sumberdaya hutan yang ada di dalamnya7. Peliknya konflik kehutanan di Indonesia dapat dilihat dari cukup masifnya jumlah kasus yang terjadi. Untuk tingkat nasional misalnya, hanya dalam kurun waktu 6 tahun, yakni dari tahun 1997 - 2003 saja, telah terjadi konflik sebanyak 359 kasus. Dari jumlah tersebut, 39% terjadi di kawasan HTI, 34% di kawasan konservasi, dan sisanya di kawasan HPH8. Sementara itu, untuk tingkat lokal di Pulau Lombok, salah satunya adalah konflik yang terjadi antara masyarakat di tiga desa, yaitu Bentek, Genggelang, dan Rempek (Lombok Utara) dengan HPH PT. ART, yang berujung pada perusakan camp HPH tersebut pada tanggal 27 Mei 1999. Konflik dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat yang tinggal di sekitar HPH. Mereka menilai bahwa kegiatan pengambilan kayu melanggar kaidah-kaidah konservasi, karena ada yang dilakukan di areal konservasi mata air dan daerah-daerah rawan erosi9. Pemerintah perlu membuat langkah-langkah solutif untuk menghindari makin meluasnya eskalasi konflik dengan masyarakat,

6 Yasmi Y., Anshari, G. Z., Komarudin, H., & Alqadri, S. (2009). Positive

and negative aspects of forestry conflict: lessons from a decentralized forest management in Indonesia. International Forestry Review, 11(1), 98-110.

7 Siscawati, M. (2014). Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Wacana/Jurnal Transformasi Sosial, 33, 3-23.

8 Wulan Y. C., Yasmi, Y., Purba, C., & Wollenberg, E. (2004). Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor: CIFOR. pp. 7-9

9 Markum, Sutedjo, E.B., & Hakim, R.M. (2004). Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau Kecil: Kasus Pulau Lombok. Mataram: WWF-Indonesia Program Nusa Tenggara. p. 57.

3

khususnya masyarakat adat10,11, salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM)12,13,14. PHBM merupakan pola pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan multipihak, mulai dari Pemda, LSM, Usaha Swasta hingga Lembaga Donor15,16,17,18. Bentuk pengelolaannya adalah pengaturan tenurial masyarakat, bisa dalam bentuk Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (Hkm), maupun Hutan 10 Lebel, L., Contreras, A., Pasong, S., & Garden, P. (2004). Nobody knows

best: alternative perspectives on forest management and governance in Southeast Asia. International Environmental Agreements, 4(2), 111-127.

11 Yasmi, Y., Anshari, G. Z., Komarudin, H., & Alqadri, S. (2006). Stakeholder conflicts and forest decentralization policies in West Kalimantan: their dynamics and implications for future forest management. Forests, Trees and Livelihoods, 16(2), 167-180.

12 Purnomo, H., Mendoza, G. A., Prabhu, R., & Yasmi, Y. (2005). Developing multi-stakeholder forest management scenarios: a multi-agent system simulation approach applied in Indonesia. Forest Policy and Economics, 7(4), 475-491.

13 Pagdee, A., Kim, Y. S., & Daugherty, P. J. (2006). What makes community forest management successful: a meta-study from community forests throughout the world. Society and Natural Resources, 19(1), 33-52.

14 Suprayitno, A. R. (2008). Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Memberdayakan Masyarakat Menuju Hutan Lestari. Kajian Analitik, Jurnal Penyuluhan, 4(20), 20-28.

15 Thorburn, C. (2002). Regime change--prospects for community-based resource management in post-New Order Indonesia. Society & Natural Resources, 15(7), 617-628.

16 Purnomo, H. (2004). To facilitate Collaborative Forest Management Using System Dynamic Modelling. Tropical Forest Management Journal, 10(2), 32-46.

17 Li, M.T. (2007). Practices of assemblage and community forest management. Economy and society, 36(2), 263-293.

18 Suprayitno, A. R. (2008). Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Memberdayakan Masyarakat Menuju Hutan Lestari. Kajian Analitik, Jurnal Penyuluhan, 4(20), 20-28.

4

Tanaman Rakyat (HTR), namun tetap dalam wilayah kerja Perum Perhutani, sebagai manifestasi dari perhutanan sosial19,20. PHBM diharapkan menjadi payung bagi semua model pengelolaan yang berorientasi pada pembangunan hutan masyarakat21.

Banyak keuntungan yang diperoleh dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolan hutan. Salah satunya adalah dapat memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat lokal22,23. Salah satu contohnya adalah keberhasilan dalam pengelolaan program HKm, sebagaimana yang dilaporkan oleh Mukhtar et al., (2010) pada kasus HKm di Sesaot, Lombok Barat. Pelibatan masyarakat melalui HKm di daerah tersebut, telah mampu memberikan kelestarian fungsi produksi dan kelestarian fungsi sosial budaya masyarakat. Banyak pihak yang menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan lebih menjamin kelestarian hutan, karena masyarakat memiliki kearifan sendiri dalam mengelola24. Hasil penelitian Sahlan (2012) pada Suku Wana, di Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa praktik

19 Perum Perhutani. (2007). Tingkat partisipasi petani hutan dalam program

pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) Perhutani. MIMBAR, 28(1), 65-76.

20 Winata, A. & Yuliana, E. (2012). Tingkat partisipasi petani hutan dalam program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar: Jurnal Sos. dan Pembangunan, 28(1), 65-76.

21 Suprayitno, A. R. (2008)... Op.cit 22 Poffenberger, M. (2006). People in the Forest: community forestry

experiences from Southeast Asia. International Journal of Environment and Sustainable Development, 5(1), 57-69.

23 Wollenberg, E., Anderson, J., & Edmunds, D. (2001). Pluralism and the less powerful: accommodating multiple interests in local forest management. International Journal of Agricultural Resources, Governance and Ecology, 1(3), 199-222.

24 Mukhtar, Soemarno & Hidayat, K. (2010). Pengelolaan Program Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kearifan Lokal: studi kasus di kawasan Hutan Lindung Sesaot, Lombok Barat. WACANA, 13(1), 132-151.

5

pengelolaan hutan yang berbasis kearifan lokal berhasil menjaga kelestarian hutannya. Hal ini terjadi karena mereka senantiasa mengutamakan prinsip harmoni dan keberlanjutan fungsi hutan. Mereka terhindar dari perilaku eksploitatif karena selalu mempraktekan model pengelolaan hutan sebagaimana yang diajarkan oleh leluhurnya. Suku Wana, hanyalah salah satu potret dari sekian contoh kasus yang ada di Indonesia. Masih banyak contoh lain dengan kondisi serupa, namun belum dilibatkan secara maksimal oleh pemda setempat untuk mengelola kawasan hutan yang telah ditempatinya secara turun temurun25. Di Pulau Lombok juga terdapat masyarakat adat yang mempraktikkan pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal, salah satunya adalah Komunitas Wetu Telu (KWT), yang bermukim di daerah Bayan, Kabupaten Lombok Utara. KWT ini mengelola hutan adat berbasis kearifan lokal dengan menerapkan aturan-aturan adat (awig-awig). Hasil penelitian Tim Peneliti & Pengkaji Lombok Barat (2006) menunjukkan bahwa penerapan awig-awig ini dapat menghambat laju alihfungsi hutan. Terbukti, saat ini kecamatan Bayan memiliki hutan adat terluas, yaitu 251.2 ha atau sekitar 65,28% dari total luas hutan adat yang masih ada di Kabupaten Lombok Utara26. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, di antaranya Suku Tengger, di Jawa Timur27; Hutan Kakamega, di Kenya28; Suku

25 Sahlan, M. (2012). Kearifan lokal masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam

mengkonservasi hutan di Propinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(2), 318-331.

26 Tim Peneliti & Pengkaji Lombok Barat. (2006). Laporan Penelitian dan Pengkajian Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Lombok Barat. Tidak Dipublikasikan. p. 67.

27 Sayektiningsih, T., Meilani, R., & Muntasib, E. H. (2008). Strategi Pengembangan Pendidikan Konservasi pada Masyarakat Suku Tengger di

6

Baduy, di Banten29; Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than, di Thailand30; Etnis Pakpak, di Sumatera Utara31; Komunitas Berber dan Imint’lit, di Maroko32; Suku Wana, di Sulawesi Tengah33; dan Etnis Oromo, di Ethiopia Selatan34. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa penerapan kearifan lokal dapat menjaga keselarasan antara aspek ekologis, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya setempat. Meskipun diakui keberhasilannya, tetap diperlukan kajian ilmiah mengenai penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, terutama untuk tujuan menggali informasi yg terkait dengan: arti penting pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal,

Desa Enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Media konservasi, 13(1), 32-37.

28 Guthiga, P. M., Mburu, J., & Holm-Mueller, K. (2008). Factors influencing local communities’ satisfaction levels with different forest management approaches of Kakamega Forest, Kenya. Environmental Management, 41(5), 696-706.

29 Senoaji, G. (2010). Dinamika Sosial dan Budaya masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungan. Jurnal Bumi Lestari, 10(2), 302-310.

30 Burirat, S., Thamsenamupop, P., & Kounbuntoam, S. (2010). A Study of Local Wisdom in Management of the Community Forest in Ban Nong Hua Khon, Tambon Nong Muen Than, At Samat District, Roi-Et Province. Pakistan Journal of Social Sciences, 7(2), 123-128.

31 Hidayat. (2011). Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 15(1), 19-32.

32 Genin, D., & Simenel, R. (2011). Endogenous Berber forest management and the functional shaping of rural forests in Southern Morocco: implications for shared forest management options. Human Ecology, 39(3), 257-269.

33 Sahlan, M. (2012)... Op.cit.. 34 Tesfaye, Y., Roos, A., & Bohlin, F. (2012). Attitudes of local people

towards collective action for forest management: the case of participatory forest management in Dodola area in the Bale Mountains, Southern Ethiopia. Biodiversity and Conservation, 21(1), 245-265.

7

contoh implementasi penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat, hambatan, strategi dan peluang penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat di masa depan, serta relevansi pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dengan prinsip pengelolaan hutan yang lestari (berkelanjutan) B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang membutuhkan jawaban dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa arti penting pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal, 2. Adakah contoh implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan

hutan adat, 3. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adat

berbasis kearifan lokal 4. Bagaimana strategi dan peluang penerapan kearifan lokal dalam

pengelolaan hutan adat di masa depan,

5. Apa relevansi pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dengan prinsip pengelolaan hutan yang lestari (berkelanjutan).

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah untuk mengetahui:

1. Arti penting pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal, 2. Contoh implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan

adat, 3. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adat berbasis

kearifan lokal 4. Strategi dan peluang penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan

hutan adat di masa depan, 5. Relevansi pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dengan

8

prinsip pengelolaan hutan yang lestari (berkelanjutan)

D. Metodologi (Pemecahan Masalah)

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Pemilihan fenomenologi dimaksudkan agar fenomena yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola hutan adat, dapat diperoleh dalam kondisi apa adanya (menggambarkan kondisi riil tentang dirinya).

Fenomenologi didefinisikan sebagai “ilmu pengetahuan” yang menggambarkan tentang apa yang dilihat, dan apa yang dirasakan oleh seseorang, serta apa yang diketahuinya dalam immediate awareness and experience-nya35. Fenomenologi mengutamakan pada penafsiran untuk memperoleh pemahaman struktur eksistensial dari suatu gejala (fenomena) dan kemudian gejala tersebut tampil sebagai dirinya sendiri (appears or presents itself). Landasan filosofis fenomenologi berfokus pada keunikan pengalaman hidup dan esensi dari suatu fenomena tertentu36,37.

Dalam fenomenologi, peneliti tidak diasumsikan mengetahui arti sesuatu bagi subjek yang diteliti. Namun, berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap subjek dalam situasi-situasi tertentu. Oleh karena itu, agar suatu fenomena dapat tampil sebagai dirinya sendiri, maka inkuiri fenomenologis dimulai dengan

35 Ahimsa-Putra, H. S. (2012). Fenomenologi agama: Pendekatan

Fenomenologi untuk memahami agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2), 271-304.

36 Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika, 8(2), 191-208.

37 Sudarsyah, A. (2013). Kerangka Analisis Data Fenomenologi (Contoh Analisis Teks Sebuah Catatan Harian). Jurnal Penelitian Pendidikan, 14(1), 21-27.

9

tahapan berikut: tidak ada praduga (presuppotionlessness), meminggirkan pandangan pribadi (reduction), dan menunda terlebih dahulu praduga/penafsiran (epoche/suspension)38,39.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian Penetapan tempat penelitian dapat dipilih pada daerah yang terdapat masyarakat adat yang mengelola hutan adatnya dengan kearifan lokal. b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dapat dilaksanakan setiap saat karena informasi yang ingin diperoleh sudah ada di tempat penelitian. Artinya, gejala yang ada tidak ditimbulkan secara sengaja, sebagaimana halnya pada data-data penelitian eksperimen. c. Penetapan Responden dan Informan Kunci

Responden berbeda dengan informan. Perbedaan keduanya, yaitu responden adalah individu yang hanya diminta bercerita tentang apa yang diketahui, dialami oleh dirinya saja dalam menjawab pertanyaan peneliti; sedangkan informan adalah individu yang diminta oleh peneliti untuk memberi uraian, cerita-detail

38 Ikbar, Y. (2012). Metode Penelitian Sosial Kualitatif. Bandung: Refika

Aditama. 39 Bahtiar, A.S. (2013). Interaksi Masyarakat Desa Hutan dengan Hutan

Lindung (studi kasus program hutan asuh guna mendukung keberlanjutan hutan lindung kawasan Gunung Arjuna). Disertasi. Minat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. p. 182.

10

selain dirinya, terutama tentang individu lain, situasi ataupun peristiwa di lokasi penelitian40,41,42.

1). Penetapan Responden

Penentuan responden dilakukan dengan simple random sampling dan jumlahnya ditetapkan secara sengaja yaitu 10% dari jumlah KK yang terdapat di desa penelitian43.

2). Penetapan Informan Kunci

Penetapan informan kunci dipilih dari sesepuh (kelompok tua) yang dianggap paling tahu (pelaku peristiwa) tentang sejarah hutan adat. Untuk informan kunci berikutnya, dipilih berdasarkan informasi dari informan sebelumnya. Batasan jumlahnya tidak ditentukan, tergantung titik jenuh informasi yang diperoleh44,45. Selain itu, dipilih juga informan kunci yang lain, misalnya birokrat, tokoh agama, dan unsur-unsur lainnya (Dinas Kehutanan, LSM dan lain-lain) yang jumlahnya ditentukan secara sengaja.

40 Onwuegbuzie, A. J., & Leech, N. L. (2007). A call for qualitative power

analyses. Quality & Quantity, 41(1), 105-121 41 Hamidi. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press. 42 Turner, D. W. (2010). Qualitative interview design: A practical guide for

novice investigators. The Qualitative Report, 15(3), 754-760. 43 Yuliati, Y. (2011). Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat

di Wilayah Pegunungan Tengger (Suatu Kajian Jender dan Lingkungan). Malang: UB Press.

44 Hamidi. (2010), Op.cit... 45 Yuliati, Y. (2011), Op.cit

11

d. Jenis dan Sumber data

1). Jenis Data

a). Data Kuantitatif

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau bilangan. Jenis data seperti ini berfungsi untuk mengetahui jumlah atau besaran dari sebuah objek yang akan diteliti46,47. Data kuantitatif dalam penelitian hutan adat bersumber dari hasil wawancara terstruktur dengan responden. Selain itu, data jenis ini juga diperoleh dari data statistik, laporan penelitian, dan referensi terkait lainnya. Data kualitatif adalah data yang tidak berupa angka. Data jenis ini berfungsi untuk mengetahui kualitas dari sebuah objek yang akan diteliti48, 49. Data kualitatif dalam penelitian hutan adat bersumber dari catatan lapangan dan hasil observasi, FGD, dan wawancara dengan informan kunci. Data kualitatif juga berasal dari dokumen dan referensi yang terkait dengan topik penelitian. e. Sumber Data

1). Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama50. Dalam penelitian hutan adat, data primer adalah data yang diperoleh dari responden dan informan kunci. 46 Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 47 Patilima, H. (2013). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta. 48 Nazir, M. (2003), Op.cit... 49 Patilima, H. (2013), Op.cit... 50 Nazir, M. (2003), Op.cit...

12

2). Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh bukan dari sumber pertama51. Dalam penelitian hutan adat, yang menjadi data sekunder adalah laporan penelitian, literatur, dokumen foto, dan referensi terkait lainnya.

f. Metode Pengumpulan Data

Salah satu faktor yang menetukan metode pengumpulan data adalah jenis informasi yang ingin diperoleh. Ada penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang bersifat kuantitatif, dan ada juga yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang bersifat kualitatif. Dalam penelitian hutan adat, data yang ingin diperoleh selain bersifat kuantitatif, juga kualitatif, sehingga dibutuhkan beberapa metode pengumpulan data.

1). Wawancara

Metode wawancara dibagi dua, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur, disebut juga wawancara terfokus, diperlukan untuk pengumpulan data kuantitatif. Permasalahan ditentukan oleh peneliti sebelum wawancara dilakukan. Pertanyaan telah diformulasi, responden diharapkan menjawab dalam bentuk yang telah sesuai dengan kerangka kerja pewawancara52,53,54. Dalam penelitian hutan adat,

51 Ibid 52 Orbe, M. P. (2000). Centralizing diverse racial/ethnic voices in scholarly

research: The value of phenomenological inquiry. International Journal of Intercultural Relations, 24(5), 603-621.

53 Yuliati, Y. (2011), Op.cit... 54 Nazir, M. (2003), Op.cit...

13

data yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur adalah: profil responden, dan kondisi sosial budaya responden. Wawancara tidak terstruktur atau disebut juga wawancara mendalam (indepth interview), sifat pertanyaannya adalah open-ended dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan tidak secara formal terstruktur. Metode ini digunakan untuk mengeksplorasi pandangan responden tentang banyak hal, yang akan digunakan untuk menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut55,56,57. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan informan kunci. Informan kunci dipilih melalui Snowball sampling, yang terdiri atas sesepuh adat, Kepala Desa, Camat, Dinas Kehutanan, praktisi pendidikan, tokoh LSM Peduli Lingkungan (Koslata), dan Tuan Guru sebagai tokoh agama. Data yang dikumpulkan melalui metode wawancara mendalam ini adalah: sejarah hutan adat, perbedaan akses dan kontrol masyarakat adat terhadap hutan adat. 2). Catatan Lapangan dan Observasi

Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan oleh peneliti dalam rangka mengumpulkan data dan refleksi terhadap data58,59,60,61. Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang 55 Orbe, M. P. (2000), Op.cit.. 56 Miller, S., & Fredericks, M. (2008). The nature of" evidence" in qualitative

research methods. International Journal of Qualitative Methods, 2(1), 39-51. 57 Yuliati, Y. (2011), Op.cit.. 58 Berg, B. L., & Lune, H. (2004). Qualitative research methods for the social

sciences (Vol. 5). Boston: Pearson. 59 Hamidi. (2010), Op.cit... 60 Yuliati, Y. (2011), Op.cit...

61 Wolfinger, N. H. (2002). On writing fieldnotes: collection strategies and background expectancies. Qualitative Research, 2(1), 85-95.

14

berupa peristiwa, tempat atau lokasi, rekaman gambar62,63,64. Data yang dikumpulkan adalah kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, kondisi lingkungan fisik dan sosial budaya.

3). Focus Group Discussion atau Diskusi Kelompok Terfokus

Focus Group Discussion (FGD) adalah metode pengumpulan data yang melibatkan sekelompok kecil peserta untuk mendiskusikan topik atau masalah tertentu. Ciri utama dari metode ini adalah adanya interaksi antara moderator dan kelompok, dan interaksi antar anggota dalam kelompok. Tujuannya adalah untuk memberikan perspektif kepada peneliti tentang pemahaman peserta terhadap topik yang didiskusikan65. FGD dilaksanakan dengan memilih beberapa informan kunci dan diajak membahas mengenai permasalahan penelitian. Peserta diskusi harus mempunyai kedudukan yang sejajar (misalnya kelompok petani, kelompok birokrat, kelompok perempuan, dan kelompok tokoh masyarakat), dan tidak boleh ada pemegang otoritas dalam kelompok agar pembahasan bisa lebih bebas dan terbuka, sehingga masalah dapat dibahas lebih tuntas66,67,68,69,70,71.

62 Berg, B. L., & Lune, H. (2004), Op.cit... 63 Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 64 Yuliati, Y. (2011), Op.cit.. 65 Wong, L. P. (2008). Focus group discussion: a tool for health and medical

research. Singapore Med J, 49(3), 256-60. 66 Berg, B. L., & Lune, H. (2004), Op.cit... 67 McLafferty, I. (2004). Focus group interviews as a data collecting

strategy. Journal of advanced nursing, 48(2), 187-194. 68 Rabiee, F. (2004). Focus-group interview and data analysis. Proceedings of the

nutrition society, 63(04), 655-660. 69 Wong, L. P. (2008), Op.cit... 70 Yuliati, Y. (2011), Op.cit..

15

Kebenaran informasi yang diperoleh dengan metode ini bukan lagi kebenaran perorangan (subjektif), namun menjadi kebenaran intersubjektif, karena setiap peserta juga mempertimbangkan pendapat peserta lain selama proses diskusi72,73,74,75. Dalam penelitian hutan adat, informan kunci dipilih dari dua unsur, yakni sejumlah Kepala Dusun, dan satu orang pemuda dari setiap dusun sampel yang memiliki hutan adat (untuk diwawancarai melalui FGD, dengan sesi yang terpisah. FGD dilakukan 2 kali, yaitu sesi pertama hanya dihadiri oleh Kepala Dusun, dan sesi kedua hanya dihadiri oleh pemuda. Data yang dikumpulkan melalui metode FGD ini adalah: 1) persepsi masyarakat adat tentang hutan adat, 2) manfaat yang diperoleh masyarakat adat dari keberadaan hutan adat, dan 3) tipologi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat.

4). Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah cara mencari data yang diperlukan sesuai dengan variabel yang diteliti, baik berupa catatan, laporan dan dokumen76,77. Studi dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data-data pendukung yang berasal dari laporan instansi atau hasil penelitian lembaga tertentu, misalnya data yang berupa dokumen yang terkait dengan kondisi geografis/deskripsi wilayah (peta, letak, luas, topografi dan lain-lain); kondisi demografis (jumlah penduduk, sebaran penduduk, 71 Samiaji, S. (2012). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Jakarta: Indeks. 72 Rabiee, F. (2004). Op.cit.. 73 Wong, L. P. (2008), Op.cit... 74 Samiaji, S. (2012). Op.cit... 75 Patilima, H. (2013). Op.cit... 76 Creswell, J. W., & Miller, D. L. (2000). Determining validity in qualitative

inquiry. Theory into practice, 39(3), 124-130. 77 Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

16

dan lain-lain); kondisi ekonomi masyarakat (mata pencaharian, dan lain-lain), kondisi sosial budaya (kegiatan keagamaan, kegiatan adat, dan lain-lain).

5. Studi Literatur

Studi literatur merupakan kajian terhadap pustaka-pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian78,79,80. Dalam penelitian ini, studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang sejarah kearifan lokal masyarakat adat Bayan, terutama pada masa-masa permulaan. Sumber informasi yang dapat ditelaah adalah pustaka-pustaka yang tersimpan di Museum Negeri NTB, dan Perpustakaan Daerah NTB.

g. Instrumen Penelitian

Instrumen yang diperlukan untuk menunjang jalannya penelitian dan pengolahan data adalah peta kawasan, alat tulis, kamera digital untuk dokumentasi, dan daftar pertanyaan. Instrumen lainnya, yang tentu saja tidak kalah pentingnya adalah computer (perangkat keras dan perangkat lunak) untuk input data, mengolah dan analisis data, serta mencetak output data.

h. Keabsahan Data

Suatu temuan atau data dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan oleh peneliti dengan kondisi riil dari objek yang diteliti. Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap untuk memenuhi 4 kriteria, sebagaimana dipersyaratkan untuk data kualitatif. Keempat kriteria

78 Ibid 79 Berg, B. L., & Lune, H. (2004), Op.cit... 80 Patilima, H. (2013). Op.cit...

17

tersebut, yaitu: 1) derajat kepercayaan (credibility), 2) kebergantungan (dependability), 3) keteralihan (transferability), dan 4) kepastian (confirmability), seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Tahapan untuk validasi data

No. Kriteria dan tahapannya Tujuan Cara yang dilakukan

1. Derajat kepercayaan (credibility)

Untuk membuktikan kebenaran pelaksanaan inkuri dan menunjukkan derajad kepercayaan hasil temuan dengan jalan pembuktian di lapangan

Ada 7 cara untuk memenuhi kriteria kredibilitas hasil penelitian, yaitu: prolonged engangement, persistence observation, triangulation, peer debriefing, referential adequacy, kajian kasus negatif, dan membercheck

a. Memperpan-jang pengama-tan di lapangan (prolonged engangement)

Untuk meningkatkan kepercayaan (kredibilitas) data dgn mengecek kembali kebenaran data yg telah diperoleh dari sumber data asli atau orang lain

a. Melakukan penelitian pendahuluan selama 1-2 bulan. Pada tahap ini juga diguna-kan utk melakukan observasi awal dan membangun kepercayaan (trust) dari subjek kpd peneliti

b. Melakukan

18


penelitian sesungguhnya (inti) selama 5-6 bulan

b. Pengamatan yg lbh tekun (persistence observation)

Untuk memastikan bahwa data dan urutan peristiwa dpt direkam secara lbh pasti dan sistematis

a. Mendeskripsi-kan arti penting kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat

b. Menunjukkan Contoh implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adat,

c. Menguraikan Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal

4. Menguraikan Strategi dan peluang penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan

19


hutan adat di masa depan,

5. Mendeskripsi-kan relevansi pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dengan prinsip pengelolaan hutan yang lestari (berkelanjutan)

c. Triangulasi (triangulation)

Untuk meningkatkan kredibilitas data melalui pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara

a. Menggunakan sumber informasi yg berbeda, yakni: - Primer: responden &

informan kunci - Sekunder:

laporan hasil penelitian,

dokumen, data statistik, dan

referensi terkait lainnya b. Menggunakan

lebih dari satu metode pengum-pulan data

d. Pengecekan teman sejawat (peer debriefing)

Untuk meningkatkan kredibiltas data

Melakukan diskusi intensif dgn 3 orang sejawat yg sdg

20


melalui analisis paralel yang dilakukan bersama oleh teman sejawat

penelitian atau banyak memahami topik penelitian: a. Akademisi b. Birokrat c. LSM Peduli

Lingkungan e. Kecukupan

referensi (referential adequacy)

Untuk memperkuat dan membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti

Melengkapi laporan hasil penelitian dengan foto-foto kegiatan penelitian di lapangan

f. Analisis kasus negatif (negative case analysis)

Untuk meningkatkan kredibiltas data dgn menganalisis data yg berbeda atau bertentangan dgn data yg telah ditemukan

a. Mengecek kembali data yg dinilai janggal ke sumber data asli

b. Mengkorfimasi data yg dinilai berbeda ke sumber yg berbeda dan mencari faktor penyebab perbedaan

g. Pengecekan anggota (member check)

Untuk mengetahui tingkat kesesuaian data dengan informasi yang diberikan oleh pemberi data

Mendiskusikan kembali data yg diperoleh agar data yg akan dijadikan sebagai laporan hasil penelitian disepakati oleh pemberi data

2. Keteralihan Untuk Mendeskripsikan

21


(transferability) menunjukkan derajat kemampuan diaplikasikan di tempat lain

secara jelas kegiatan penelitian mulai dari proses pengumpulan data, analisis data hingga penarikan kesimpulan

a. Membuat laporan penelitian yang rinci, jelas, dan sistematis

Untuk memudahkan orang lain memahami laporan hasil penelitian

Menyusun laporan hasil penelitian sesuai dengan standar kaidah-kaidah ilmiah dan persyaratan yg berlaku

b. Membuat laporan penelitian yang dapat dipercaya

Agar orang lain tertarik dan mau mengap-likasikan hasil penelitian yg diperoleh di tempat lain

Menyusun laporan hasil penelitian yang sedapat mungkin mendekati kondisi riil di lapangan

3. Kebergantungan (dependability)

Untuk meningkatkan kredibilitas penelitian melalui audit proses & laporan hasil penelitian secara keseluruhan

Melakukan audit proses (pelaksanaan penelitian) dan audit produk (laporan hasil penelitian)

a. Audit proses Untuk memastikan bahwa pelaksanaan

Kunjungan lapangan (super-visi) oleh Pembimbing

22


penelitian sesuai dgn proses yang seharusnya dilakukan

(Supervisor) ke lokasi penelitian

b. Audit produk Untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sesuai dengan data yang seharusnya dikumpulkan dan sesuai dengan kondisi riil di lapangan

Menyerahkan laporan hasil penelitian untuk dikoreksi oleh Supervisor

4. Kepastian (confirmability)

Untuk memastikan bahwa laporan hasil penelitian disetujui oleh beberapa orang, baik yg berkaitan dgn pandangan, pendapat, maupun data lapangan

Dengan melakukan audit proses dan audit produk secara detil maka dengan sendirinya kriteria dependability dan kriteria confirmability terpenuhi

Sumber81,82.

81 Whittemore, R., Chase, S. K., & Mandle, C. L. (2001). Validity in

qualitative research. Qualitative health research, 11(4), 522-537. 82 Yuliati, Y. (2011), Op.cit

23

i. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian tentang hutan adat adalah deskriptif kualitatif model Milles dan Huberman83,84 (Yuliati, 2011; Bahtiar, 2013). Deskriptif kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. Analisis kualitatif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:

1) reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung;

2) penyajian data, merupakan proses penyusunan data sehingga memungkinkan adanya penarikan simpulan; penyajiannya dalam bentuk narasi, tabel dan ilustrasi visual; dan

3) penarikan simpulan (verifikasi), merupakan proses akhir sebagai jawaban terhadap tujuan penelitian yang didasari data yang telah dianalisis.

E. Teori Mutakhir

1. Landasan Teori

Ada banyak teori yang dapat dipilih sebagai teori yang melandasi penelitian tentang pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal. Dua di antara teori tersebut, yaitu teori struktural fungsional, dan teori interaksional simbolik.

83 Ibid.... 84 Bahtiar, A.S. (2013), Op.cit

24

a. Teori Struktural Fungsional

Ide pokok dari teori ini adalah masyarakat merupakan satu kesatuan utuh yang terdiri atas banyak bagian, dan setiap bagian memiliki fungsi tersendiri. Jika setiap bagian tersebut menjalankan fungsi, maka masyarakat berada dalam keadaan normal, dan keadaan abnormal jika sebaliknya85. Teori ini berasumsi bahwa pertumbuhan masyarakat akan menuju pada tatanan yang rapi pada sub-bagian tertentu untuk mewadahi berbagai perubahan, juga akan berfungsi pada fungsinya masing-masing. Kecenderungan sebuah sistem sosial akan menuju pada keharmonisan dan keseimbangan tertentu sehingga akan selalu tercipta tertib sosial. Sebuah ide perubahan apabila mengancam kemapanan struktur yang ada dianggap sebagai penghalang dan perlu untuk diseimbangkan86. Parsons menempatkan masyarakat sebagai satu sistem yang memiliki satu kesatuan nilai. Di dalam satu masyarakat tanpa stabilitas, perilaku individu khususnya di lingkungan marketplace akan gagal menjadi kekuatan korektif yang diperlukan bagi terjadinya keteraturan sosial. Bagi Parsons, stabilitas dan keteraturan sosial dapat dicapai melalui penyehatan institusi-institusi sosial yang kurang berfungsi, termasuk juga pasar, dengan lebih menekankan konsensus daripada diversitas opini. Pendekatan Parsonian dalam mengelola masyarakat adalah dengan mengontrol seluruh sistem dan sub-sistemnya. Pendekatan sistem ini juga menekankan superioritas institusi-institusi terhadap individu87.

85 Henslin, J. M. (2006). Essentials of Sosiology. 6th Edition. Sunarto, K.

(penterjemah). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, 2007. Jakarta: Erlangga.

86 Yuliati, Y. & Poernomo, M. (2003). Sosiologi Pedesaan. Edisi I. Malang: Risalah Kerto Pustaka Utama.

87 Siswoyo, E. (2011). Campus Go Green: Aktualisasi Nilai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Insani,, 11(1), 1-37.

25

Teori Struktural Fungsional banyak digunakan sebagai landasan teori untuk menjelaskan tentang struktur, dan fungsi, serta pola kerja dari setiap unsur sosial yang ada di suatu masyarakat atau komunitas. Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan teori ini sebagai landasan teorinya, diantaranya adalah: 1. Perubahan sosial kultural masyarakat pedesaan (suatu tinjauan teoritik-empirik)88; 2. Kajian struktur sosial masyarakat nelayan di ekosistem pesisir89; 3. Potret konflik bernuansa agama di Indonesia (signifikansi model resolusi berbasis teologi transformatif)90. Alasan pemilihan teori struktural fungsional sebagai salah satu yang mendasari penelitian ini di antaranya: 1) Terbitnya UU No.5/1979, tentang Pemerintahan Desa, di era Orde Baru, secara langsung melegetimasi supremasi negara terhadap masyarakat adat, salah satunya dibuktikan dengan perubahan aktor pengelola hutan adat, dari sebelumnya Lembaga Adat kemudian beralih ke Kepala Desa; 2) Pemberlakuan undang-undang tersebut, juga berdampak terhadap aturan-aturan yang digunakan dalam pengelolaan hutan adat, yakni dari sebelumnya menggunakan awig-awig, beralih ke aturan-aturan formal bentukan negara (hukum positif). Intervensi negara melalui perubahan struktur pengelola dan aturan-aturan yang digunakan, berpengaruh terhadap eksistensi dan kelestarian hutan adat; 3) Masyarakat adat merupakan satu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem, yang mekanisme kerjanya saling

88 Hatu, R. (2011). Perubahan Sosial Kultural Masyarakat Pedesaan (Suatu

Tinjauan Teoritik-Empirik). Jurnal Inovasi, 8(4),1-11. 89 Susilo, E., Sukesi, K., & Hidayat, K. (2012). Kajian struktur sosial

masyarakat nelayan di ekosistem pesisir. Wacana, Jurnal Sosial dan Humaniora, 13(2), 366-380.

90 Muqoyyidin, A. W. (2013). Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia (Signifikansi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif). Jurnal Analisis, 12(2), 319-344.

26

mempengaruhi, dan jika fungsi satu subsistem berubah maka akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan; 4) Masyarakat adat tidak menjadikan kearifan lokal yang mereka pedomani sebagai sesuatu yang statis, tetapi terus mengalami penyempurnaan sesuai dengan perubahan sosiokultural masyarakat, 5) perubahan aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat dilakukan berdasarkan musyawarah (gundem) lembaga adat. Ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang memiliki mekanisme tertentu dalam pengambilan keputusan.

b. Teori Interaksional Simbolik

Para tokoh pelopor teori ini (Mead dan Herbert Blumer) memiliki pandangan bahwa perubahan sosial sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di masyarakat91. Teori interaksional simbolik banyak digunakan sebagai landasan teori untuk menjelaskan bahwa objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, tetapi memiliki makna yang telah disepakati oleh suatu kelompok tertentu. Beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan teori ini sebagai landasan teorinya, di antaranya adalah: 1. Pengelolaan program hutan kemasyarakatan berbasis kearifan lokal: studi kasus di Kawasan Hutan Lindung Sesaot Lombok Barat92; 2. Penyelesaian konflik pertanahan berbasis nilai-nilai kearifan lokal di Nusa Tenggara Barat93; 3. Ambivalensi pendekatan yuridis normatif dan yuridis

91 Ritzer, G., & Goodman, D.J. (2003). Modern Sociology Theory. Sixth Edition.

Alimandan (penterjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Jakarta: Prenada Media.

92 Mukhtar, Soemarno & Hidayat, K. (2010), Op.cit...

27

sosiologis dalam menelaah sistem kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam94. Alasan pemilihan teori interaksional simbolik sebagai salah satu yang mendasari penelitian ini di antaranya: 1) Masyarakat adat merupakan satu sistem yang terdiri atas individu-individu yang independen, 2) Masyarakat adat mengembangkan kode-kode dan pola komunikasinya sendiri yang khas (tumbuhan dan hewan), yakni dengan mengunakan hutan adat sebagai simbol fisik dan simbol religi, sebagai identitas komunitasnya, 3) eksistensi dari setiap individu tersebut dapat dipertahankan sepanjang individu tersebut well-difined dan memiliki kontribusi tunggal dan spesifik bagi lingkungan sekitarnya yang berisi sistem-sistem yang lain, 4) Masyarakat menerapkan aturan adat yang disebut awig-awig, yang berperan untuk mengunci atau mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diharapkan dari hubungan atau fungsi dari setiap individu dalam berinteraksi dengan hutan adat. 2. Tinjauan Pustaka

a. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan

1. Deskripsi kearifan lokal

Kearifan lokal dapat dideskripsikan berdasarkan tipologinya. Tipologi kearifan lokal menurut Ernawi (2010) dibagi menjadi dua,

93 Asmara, M. G., Arba, M., & Maladi, Y. (2012). Penyelesaian Konflik

Pertanahan Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(1), 1-17.

94 Safa'at, R. (2013). Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis dalam menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Lex Jurnalica (Ilmu Hukum), 10(1), 46-62.

28

yaitu berdasarkan jenis dan bentuk. Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, sistem nilai/nilai-nilai adat, tata cara/prosedur, dan kawasan khusus; sedangkan bentuknya dibagi dua, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible), misalnya tekstual, bangunan/arsitektur, benda cagar budaya; dan kearifan lokal yang tidak berwujud (intangible), yaitu dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional95

2. Landasan hukum kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam

Kearifan lokal dalam pembangunan hukum nasional yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam telah mendapat tempat dan pengakuan oleh pemerintah. Pengakuan tersebut dapat dilihat dari terbitnya berbagai peraturan perundangan, sebagai tercantum pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Peraturan perundangan yang terkait dengan kearifan

lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam

No. Jenis

Peraturan perundangan

Perihal Substansi Pengaturan

1. UU No. 5 Tahun 1967

Ketentuan Pokok Kehutanan

Hutan marga yang dikuasai masyarakat hukum adat (MHA) termasuk dalam hutan negara dengan tidak meniadakan hak-hak MHA yang bersangkutan dan

95 Ernawi, I. S. (2010). Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi

Penataan Ruang. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future: Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”. di UGM pada 1 Mei 2010. p.21.

29

anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan tersebut sepanjang hak-hak itu menurut kegiatannya masih ada (Pasal 2)


Dasar-Dasar Pokok Agraria

Hak-hak adat yang mencakup tanah, air dan udara diakui sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 5)

3. UU No. 41 Tahun 1999

Kehutanan - Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya MHA yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Pasal 5).

- Memberi kesempatan kepada masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lembaga sosial dan keagamaan dalam pengelolaan hutan dengan tujuan khusus (Pasal 34)

- Pengukuhan dan keberadaan

30

masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah, tetapi ppenetapan hutan adat merupakan kewenangan menteri (Pasal 67)

4. UU No. 21 tahun 2001

Migas Kegiatan usaha migas tidak dapat dilaksa-nakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat (Pasal 33)

5. UU No. 27 Tahun 2007

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kegiatan usaha panas bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat, sarana dan prasarana umu, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat (Pasal 16)

6. UU No. 27 Tahun 2003

Panas Bumi - Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pe-sisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal-usul leluhur, adanya

31

hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (Pasal 1, angka 35) - Masyarakat lokal

adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil tertentu (Pasal 1, angka 35)

- Masyarakat tradisional adalah masyarakat per- ikanan tradisonal yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau

32

kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut (Pasal 1, angka 35)

- MHA dapat memegang atau dapat diberikan hak

penguasaan perairan pesisir (HP3) (Pasal 18)


Sumber Daya Air

- Penguasaan sumberdaya alam diselenggarakan oleh pemerintah dan pemda dengan tetap mengakui keberadaan hak ulayat MHA setempat dan hak serupa dengan itu sepanjang tidak ber-tentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan per-undangan yg berlaku (Pasal 6 Ayat 2)

- Pengakuan MHA disertai syarat: 1) sepanjang masih ada dan jika tidak ada, maka hak ulayat MHA tidak dapat dihidupkan lagi; 2) keberadaannya harus dikukuhkan oleh pemda melalui perda; 3) tidak

33

bertentangan dengan kepentingan nasional; 4) tidak bertentangan dgn peraturan perun-dangan yg berlaku (Pasal 6, Ayat 3)

8. UU No.32 Tahun 2009

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

MHA adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum

Sumber:96 b. Prinsip Pengelolaan Hutan Lestari

1. Pengertian Pengelolaan Hutan Lestari

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management/SFM). Namun dari semua itu, ada satu definisi universal yang paling banyak disepakati antar negara, yakni konsep yang diadopsi oleh Forum Hutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Forum on 96 Subarudi, S. (2014). Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012: suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3), 207-224.

34

Forests/UNFF) pada bulan Desember 2007. Menurut UNFF (2007) pengelolaan hutan lestari merupakan suatu konsep dinamis dan berkembang, yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dari semua jenis hutan, untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang97.

2. Unsur-unsur Pengelolaan Hutan Lestari

Pengelolaan hutan lestari mempunyai 3 ciri yaitu: 1) kelestarian produksi dan jasa/manfaat hutan; 2) kelestarian lingkungan fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi, dan iklim); dan 3) kelestarian lingkungan sosial masyarakat (meliputi sosial, ekonomi, dan budaya)98. Secara lebih detail, UNFF (2007) menyebutkan bahwa ada 7 unsur yang tercakup dalam pengelolaan hutan lestari, yaitu: 1) tingkat sumber daya hutan; 2) keragaman hayati hutan; 3) kesehatan dan vitalitas hutan; 4) fungsi produktif sumber daya hutan; 5) fungsi perlindungan sumber daya hutan; fungsi 6) sosial-ekonomi hutan; dan 7) kerangka hukum, kebijakan dan kelembagaan99.

97 UNFF. (2007). Non-legally Binding Instrument on Sustainable Forest

Management of all Types of Forests, GA/Res/62/98 of 17 December 2007.

98 Kastanya, A. (2006). Konsep pengelolaan hutan lestari pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat di Kepulauan Maluku. Prosiding Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem Pulau Kecil. Ambon, 5-6 Juli 2006. pp.82-96.

99 UNFF. (2007). Op.cit...

35

c. Pengelolaan Hutan di Pulau Lombok

1. Pembentukan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR)

Gambar 1.1. Peta Posisi Taman Nasional Gunung Rinjani di Pulau Lombok, dan Indonesia100

a). Sejarah Pembentukannya

Awalnya, TNGR merupakan Suaka Margasatwa yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941, dan diperkuat dengan Surat Pernyataan Menhut No. 448/Menhut-VI/1990. Selanjutnya, dikembangkan menjadi menjadi Taman Nasional dengan SK Menhut No. 280/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dengan luasan 40.000 ha. Delapan tahun berikutnya, dikeluarkan kembali SK oleh Menhut RI melalui Kep.Menhut Nomor: SK. 298/Menhut-II/2005 tanggal 3 Agustus 2005, dengan penambahan 1.330 ha dari luas sebelumnya, sehingga luasan definitif berdasarkan tata batas adalah 41.330 ha. Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan P. Lombok, 100 Myers, S. D., & Bishop, K. D. (2005). A review of historic and recent

bird records from Lombok, Indonesia. Forktail, 21, 147-160.

36

dan merupakan 86,11% dari luas keseluruhan hutan Pulau Lombok, dengan luas 125.740 ha101,102,103,104. Kawasan TNGR termasuk salah satu perwakilan ekosistem peralihan antara Asia dan Australia dalam garis Wallace. Di dalamnya terdapat lebih dari 19 jenis mamalia, 8 jenis reptilia, 5 jenis amfibi, 20 jenis insekta dan 154 jenis burung, lebih dari 55 jenis anggrek, 140 famili pohon dengan spesies lebih dari 500 jenis. TNGR merupakan bagian dari hutan hujan tropis di Provinsi NTB yang terdiri atas berbagai tipe ekosistem dan vegetasi yang cukup lengkap dari hutan tropis dataran rendah (> 1500 m dpl) sampai hutan hujan tropis pegunungan (1.500 – 2.000 m dpl) yang masih utuh dan berbentuk hutan primer, hutan cemara dan vegetasi subalpin (> 2.000 m dpl). Kawasan ini juga sebagai daerah resapan air bagi wilayah-wilayah di bawahnya, karena merupakan hulu dari sekitar 90% sungai di Pulau Lombok. Tercatat sekitar 22 sungai dan 13 mata air yang telah dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat105,106,107.

101 Sudarsono, D., Sulistyono, Sulistani, G., & Rudjito. (1999). Dari

Pelestarian Hingga Pembusukan: Hasil Studi Dampak Pariwisata terhadap Hak Masyarakat Adat di NTB. Mataram: Yayasan Koslata Bekerjasama dengan INPI-Pact. pp. 25-43

102 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011). Laporan Inventarisasi Sosial Ekonomi dan Budaya di KPHL Rinjani Barat 2011. Balai KPH Rinjani Barat. Dinas Kehutanan NTB. p. 28.

103 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno. (2012). Profil Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rinjani Barat. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. p. 28.

104 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012). Tentang TNGR. http://rinjaninationalpark. org/tentang -TNGR. (Diakses 20 Oktober 2020).

105 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011), Op.cit.. 106 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno.

(2012), Op.cit 107 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012), Op.cit..

37

b). Zonasi

TNGR terletak di tiga kabupaten, yakni Lombok Utara dengan luas 12.357,67 ha, di Lombok Tengah dengan luas 6.819,45 ha dan di Lombok Timur seluas 22.152,88 ha. Kawasan TNGR dibagi menjadi 4 zona pengelolaan yaitu: 1). Zona Inti: 20.843,50 ha; 2). Zona Rimba: 17.349,50 ha; 3). Zona Pemanfaatan: 799,00 ha berupa: Zona Pemanfaatan Intensif: 390,00 ha dan Zona Pemanfaatan Khusus: 401,00 ha (Zona Pemanfaatan Khusus Kultural: 75,00 ha dan Zona Pemanfaatan Khusus Wisata: 326,00 ha; 4). Zona Lainnya: 2.338,00 ha berupa: Zona Pemanfaatan Tradisional: 583,00 ha dan Zona Rehabilitasi: 1.755,00 ha108. Berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan pada beberapa zona di TNGR: a) Zona Pemanfaatan Khusus Wisata, yaitu: pemanfaatan untuk kegiatan wisata alam, seperti: wisata tracking, panorama alam (Danau Segara Anak, Puncak Rinjani, air terjun Jeruk Manis), pengobatan berbagai macam penyakit di air terjun Otak Kokok, air panas Sebau, dan lain-lain; b) Zona Kultural, yaitu: Danau Segara Anak juga digunakan sebagai tempat upacara adat, dan upacara keagamaan bagi sebagian suku sasak di Pulau Lombok, misalnya peringatan maulid adat bagi masyarakat desa Bayan (Gambar 1.2), dan kegiatan upacara mulang pakelem bagi umat Hindu (Gambar Gambar 1.3); dan c) Zona Tradisional, yaitu: untuk mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat sekitar kawasan dan mempertahankan hubungan tradisional antara masyarakat lokal dan kawasan TNGR, seperti pemanfaatan tumbuhan pakis sebagai sayur mayur oleh masyarakat di desa Timbenuh dan Srijata109,110,111. 108 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012), Op.cit.. 109 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011), Op.cit.. 110 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno.

(2012), Op.cit

38

Gambar 1.2. Upacara Maulid Adat Bayan, salah satu ritualnya

dilakukan di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani112

Gambar 1.3. Upacara mulang pakelem umat Hindu di Segara Anak113

111 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012), Op.cit.. 112 https://lombokgroup.com/rangkaian-acara-penyambutan-maulid-nabi-

di-desa-adat-bayan-03-04-12-2017/), diakses 10 Oktober 2020 113 (https://paduarsana.files.wordpress.com

/2018/08/fb_img_1534681423307.jpg?w=630&h=592), diakses diakases 19 Oktober 2020

39

c). Struktur Organisasi

Di tahun 2007 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani m dalam tipe B. Berdasarkan SK tersebut Taman Nasional Gunung Rinjani dibagi menjadi 2 (dua) wilayah pengelolaan (Gambar 1.4), yaitu114: 1. Seksi Konservasi Wilayah I Lombok Barat Menangani wilayah Taman Nasional yang berada di Kabupaten

Lombok Barat dengan luas areal ± 12.357,67 Ha (30%) yang dibagi dalam 3 (tiga) Resort (Anyar, Santong, Senaru) dan beberapa Pos Jaga.

2. Seksi Konservasi Wilayah II Lombok Timur Menangani wilayah Taman Nasional yang berada di 2 (dua)

Kabupaten di Kabupaten Lombok Timur seluas ± 22.152,88 Ha (53%), sementara wilayah Taman Nasional yang berada di Kabupaten Lombok Tengah seluas ± 6.819,45 Ha (17%) yang terbagi dalam 6 resort (Aikmel, Kb.Kuning, Joben, Sembalun, Aik Berik, Steling) dan beberapa Pos Jaga .

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Pasal 1, Undang-undang no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya). Taman Nasional Gunung Rinjani yang mempunyai fungsi pokok sesuai Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yaitu : a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan 114 (https://www.rinjaninationalpark.id/struktur-tngr), diakses 19 Oktober

2020

40

b. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Gambar 1.4. Struktur Organisasi TNGR115 d). Keanekaragaman Hayati

1). Flora

Kawasan TNGR terdiri atas hutan primer, hutan dataran rendah dan hutan hujan tropis pegunungan merupakan daerah terluas, dengan luas sekitar 45,11%. Jenis-jenis vegetasi dominan yang tumbuh pada daerah ini seperti bajur (Pterospermum javanicum Jungh.), kukun (Sehrutenia ovate Kort.), rerau (Podocarpus imbricatus

115 Ibid

41

Blume.), garun (Disoxylum sp.), benuang (Duabanga molluccana Blume.), kemiri (Aleurites molluccana L. (Willd.)), beringin (Ficus superba Miq.), suren (Toona sureni Merr.), bak-bakan (Engelhardia spicata Blume.), keruing (Dipterocarpus hasseltii Blume.) dan beberapa jenis perdu, liana, anggrek, jamur dan paku-pakuan. Hutan sekunder sebagian besar terdapat di bagian selatan dan sedikit di bagian lain yang dekat dengan pemukiman penduduk, dengan luas sekitar 15,8%. Hutan tanaman di bagian timur, yang umumnya merupakan kawasan rehabilitasi, dengan jenis tanaman seperti bajur, mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.), durian (Durio zibethinus Murr.), sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) dan akasia (Acacia decurrens Willd.) kurang dari 3% luas kawasan TNGR. Vegetasi konifer dengan penyusun utama cemara gunung (Casuariana junghuhniana Miq.) dan vegetasi subalpin dengan jenis-jenis seperti Edelweiss (Anaphalis viscid Blume.) dan cantigi gunung (Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq.), vegetasi kerdil dan sanggup tumbuh di tempat tumbuh yang ekstrem. Savana di bagian timur-utara cukup luas sekitar 25,2% dari luas kawasan TNGR. Selanjutnya diikuti dengan daerah tandus (daerah tanpa vegetasi) di atasnya atau kadang bercampur dengan tipe subalpin, sekitar 7% dari luas kawasan TNGR116,117. Salah satu flora yang tumbuh di TNGR adalah jamur morel. Jamur ini adalah jenis jamur kedua termahal di dunia, setelah truffles, dan dinamakan “morels” Rinjani (Morchella crassipes). Jamur yang tergolong hanya bisa tumbuh di daerah tropis tertentu itu pertama kali ditemukan oleh Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Teguh Rianto. Penemuan salah satu jenis jamur termahal di dunia tersebut hanya

116 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno.

(2012), Op.cit 117 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012), Op.cit..

42

secara kebetulan ketika melakukan patroli di dalam kawasan taman nasional pada 2009118.

Gambar 1.5. Jamur morels (Morchella crassipes (Vent.) Pers) yang

tumbuh di TNGR119. Morel (Morchella spp, Pezizales, Ascomycota)

merupakan spesies jamur edible sebagai komoditas bernilai tinggi di pasaran internasional. Morel merupakan hasil hutan bukan kayu yang telah mendatangkan devisa cukup tinggi di China, Amerika Utara, India, Turki dan Pakistan. Nilai komersial tahunan di Amerika Utara morel sekitar 5 juta -10 juta USD, di China 5 tahun terakhir ekspor morel sekitar

118 Arifin Z. (2018). Gunung Rinjani Ditumbuhi Jamur Langka Nan Mahal.

Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020 dari https://aktual.com/gunung-rinjani-ditumbuhi-jamur-langka-nan-mahal/, diakses 10 Oktober 2020.

119 Ibid...

43

181-900 ton dengan harga Ekspor morel sekitar 160 USD/Kg. India dan Pakistan ekspor morel liar dari Himalaya dengan 50 ton/ per tahun Harga : Rs. 14,000-15,000 per kg. Hasil penelitian yang dilakukan Tim TNGR bekerjasama dengan Tim Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor bahwa berdasarkan uji DNA morel yang ada di Rinjani merupakan spesies Morchella crassipes, satu-satunya morel yang ditemukan pertama di hutan tropis Indonesia. Secara sebaran alamnya, morel hanya tumbuh di daerah beriklim temperate. Selain harganya yang tinggi mencapai 6 juta rupiah per kg, morel mempunyai cita rasa yang enak dan berdasarkan hasil uji fitokimia mengandung antioksidan yang cukup tinggi sebagai anti kanker. Tindak lanjut dari penelitian tersebut, saat ini spora jamur morel sudah bisa tumbuh di media petri di laboratorium. Selanjutnya akan dilakukan analisis media tumbuh agar dapat dibudidayakan di lapangan. Apabila pengembangan tersebut berhasil dilakukan, maka akan dibudidayakan oleh masyarakat di lingkar TNGR. Perlindungan sumberdaya genetik jamur Morel dalam bentuk Hak Paten Jamur Morel kawasan TNGR juga akan dikerjakan120. Terkait dengan bioekologi Morel Rinjani, Rianto (2012), telah

melakukan penelitian, dengan hasil sebagai berikut:

- Tempat tumpuh pada ketinggian tempat antara 1572–1609m dpl,

120 (http://ksdae.menlhk.go.id/berita/ 1290/morel,-jamur-termahal-di-dunia

ini ada di rinjani.(html#:text=Nilai%20komersial%20tahunan%20di%20Amerika,.%2014%2C000%2D15%2C000%20per%20kg), diakses 10 Oktober 2020.

44

- Kelerengan antara 7,94–54,00%, arah kelerengan antara 4,00–360,00o,

- Suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan antara 18,53–19,6oC dan 83,00–90,50%,

- Intensitas cahaya matahari 490,00–620,00lux.

- Morel tumbuh pada tanah Mediteran coklat dengan tekstur berlempung halus (pasir 37,83% debu 40,11% liat 22,06%), pH 7 dengan kadar C 7,30%, kadar N 0,60%, rasio C/N 12,16, kadar P 12,53ppm dan kadar Ca 10,22me/100g.

- Hasil analisis awal produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun ini minggu ketiga bulan Maret sampai minggu pertama Juni dengan masa hidup tubuh buah antara 15–20 hari.

- Tubuh buah morel akan muncul pada saat transisi musim basah ke musim kering, pada saat kadar kelembaban lantai hutan berubah dari tinggi sampai berangsur-angur konstan.

- Vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh dilokasi ditemukannya morel Rinjani. Spesies pohon yang dominan pada lokasi tersebut adalah Anomianthus auritus (klak), Syzygium polyanthum (jukut), Weinmannia sp. (sarangan), ropyhllum macrophyllum (kasol), dan Piper sp. (saes). Spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP yang sama besar pada lokasi ditemukan morel dan lokasi pembanding.

Edelweis adalah salah satu bunga yang tumbuh di TNGR. Keberadaan Edelweis di TNGR akan terancam jika tidak melakukan edukasi kepada masyarakat, khususnya kepada para pendaki. Oleh karena itu R. Agus Budi Santosa selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) sebagaimana dilansir oleh Suarantb.com menyebutkan bahwa “hendak menjadikan pemetik bunga Edelweis sebagai Duta Edelweis, alasannya “Jika

45

kita bisa mengubah orang yang tidak peduli konservasi, menjadi orang yang peduli konservasi bahkan menjadi duta Edelweis, itu sebuah prestasi. Kerja di bidang konservasi membutuhkan kepedulian dari semua pihak, tidak akan bisa jika hanya taman nasional”. Langkah ini disebut Agus merupakan bentuk langkah pembinaan. Karena menurutnya dalam beberapa kasus tertentu pembinaan harus didahulukan sebelum mengambil langkah hukum. Keberadaan Edelweis saat ini menurut Kepala Balai TNGR belum masuk dalam daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN). Namun, jika pemetikan terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika Edelweis di Rinjani akan punah. Edelweis sendiri memiliki syarat tumbuh diatas 2.000 mdpl. Di TNGR, padang Edelweis hanya terdapat di jalur pendakian Timbanuh. Di jalur Sembalun arah ke danau ada tetapi jumlahnya sangat sedikit,”121.

Gambar 1.6. Bunga Edelweis di TNGR122

Bunga Edelweis atau bernama Latin Anaphalis javanica

121 (https://www.suarantb.com/wp-content/uploads/2017

/07/edelweis), diakses 10 Oktober 2020. 122 Ibid

46

termasuk Famili Asteraceae, Ordo Asterales, merupakan satu tumbuhan yang kerap ditemukan di daerah pegunungan. Para pendaki bisa melihat keberadaan bunga yang kerap dijuluki bunga abadi ini di beberapa gunung Indonesia, seperto Lawu, Semeru, Sindoro, Papandayan, Gede Pangrango, Merbabu, dan Rinjani. Pesona dan keindahan bunga Edelweis memang memikat para pendaki untuk berhenti sejenak dan berfoto di sampingnya. Namun, bunga ini dilarang untuk dipetik. Para pendaki bisa dikenakan sanksi berat apabila memetik bunga yang biasanya mekar antara April hingga Agustus. Hingga kini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 33 ayat (1) dan (2) tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya masih mengatur larangan memetik Edelweis. Aturan itu ada bukan tanpa alasan, melainkan untuk menjaga ekosistem lingkungan pergunungan yang masuk dalam kawasan konservasi123. Selain itu, masih banyak fakta lainnya tentang bunga Edelweis, berikut ini124: 1. Ditemukan 200 tahun lalu Keberadaan bunga Edelweis di

Indonesia sudah ada sejak 200 tahun yang lalu. Bunga ini ditemukan pertama kali oleh naturalis Jerman bernama Georg Carl Reinwardt. Georg menemukan bunga tersebut pertama kali pada 1819. Hal ini berarti, Edelweis sudah ada di Indonesia lebih dari 200 tahun. Ia menemukannya ketika berada di lereng Gunung Gede, Jawa Barat.

2. Tumbuh 10 tahun, berjuluk bunga abadi. Tak banyak yang tahu mengapa alasan di balik julukan bunga abadi disematkan pada

123 Aditya, N. R. (2020). 8 Fakta Edelweis, Bunga Abadi di Gunung yang tak

boleh dipetik. Diakses tanggal 20 Oktober 2020 dari: https://travel.kompas.com/read /2020/09/02/080800927/8-fakta-edelweis-bunga-abadi-di-gunung-yang-tak-boleh-dipetik?page=all,

124 Ibid

47

bunga Edelweis. Bunga ini disebut abadi karena memiliki waktu mekar yang lama, hingga 10 tahun lamanya. Oleh karena itu disebut bunga abadi.

3. Tak boleh dipetik, ada UU Nomor 5 Tahun 1990 Bagi kamu yang kedapatan memetik bunga Edelweis, dapat dikenakan sanksi. Itu karena bunga Edelweis dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 33 ayat 1 dan 2 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem. Ayat (1) pasal ini menyebutkan, Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Sementara, ayat (2) berbunyi, Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Diberitakan Kompas.com, 23 Juli 2017, ada sanksi pidana yang bisa menjerat pemetik Edelweis, mulai dari penjara selama lima tahun dan satu tahun. Baca juga: Ketika Edelweis Jadi Komoditas Komersial Selain itu, mereka yang memetik bunga edelweiss bisa juga dikenakan denda sebesar Rp 100 juta dan Rp 50 juta.

4. Mekar bulan April hingga Agustus. Bunga Edelweis biasa memiliki waktu mekar pada bulan April hingga Agustus setiap tahun. Bunga ini dikenal mekar pada saat waktu musim hujan telah berakhir. Mekarnya bunga Edelweis di bulan-bulan tersebut dikarenakan pancaran matahari yang datang dapat diserap dengan baik dan intensif.

5. Ada di beberapa gunung di Indonesia. Keindahan Edelweis dapat dilihat jika mendaki beberapa gunung di Indonesia. Contohnya Lawu, Semeru, Merbabu, Sindoro, Papandayan, Gede Pangrango, dan Rinjani. Jika ke Gunung Rinjani, misalnya, kita bisa menemukan keindahan hamparan Edelweis di

48

Plawangan Sembalun. Kemudian jika di Gunung Lawu, kita bisa menemukannya di sepanjang jalur menjelang puncak Hargo Dumilah. Jika kita mendaki melalui jalur Candi Cetho, bunga Edelweiss dapat langsung dilihat di sabana pertama sebelum Pos Bulak Peperangan sampai Pasar Dieng. Namun, tetap perlu diingat untuk tidak memetiknya sekalipun.

6. Dapat bertahan di tanah tandus. Dikenal sebagai bunga yang tumbuh di pegunungan, Edelweis juga memiliki cara bertahan hidup yang kuat, bahkan di tanah tandus sekalipun. Edelweis mampu membentuk mikoriza yang dapat memperluas kawasan yang dijangkau oleh akar-akarnya dan meningkatkan efisiensi dalam mencari zat hara.

7. Populasi makin berkurang karena banyak dipetik pendaki Mirisnya, bunga Edelweis kini terancam keberadaannya. Populasi bunga ini dikatakan semakin berkurang karena ulah beberapa pendaki yang memetik seenaknya. Tercatat beberapa kasus pemetikan bunga Edelweis di gunung dalam periode waktu 2017-2020. Misalnya, pada 2017, ada lima pendaki mencabut bunga Edelweis di Gunung Rinjani. Kemudian Juni 2018 terjadi pula peristiwa serupa di Gunung Ciremai, Jawa Barat, yakni ada sekelompok pendaki membawa turun bunga Edelweis. Tahun yang sama juga terjadi di Gunung Merbabu, saat seorang pendaki kepergok tengah memfoto segenggam bunga Edelweis. Baru-baru ini terjadi, tepatnya Minggu (30/8/2020), ada beberapa pendaki yang terlihat membawa bunga Edelweis di Gunung Buthak, Jawa Timur. Beruntung, ulah mereka langsung terlihat pendaki lainnya. Mereka pun ditegur dan kemudian menaruh bunga tersebut kembali.

8. Ada tempat budi dayanya Di Gunung Bromo. Budi daya ini sudah dijalankan sejak 10 November 2018 bebarengan dengan peresmian Desa Wisata Edelweis di Desa Wonokitri, Kabupaten

49

Pasuruan, Jawa Timur. Ako Rondo PA Padang edelweis Papandayan Edelweis hasil budi daya sekelompok petani bernama Hulun Hyang itu dapat dijual sebagai oleh-oleh wisatawan yang datang. Jual beli hasil budidaya Edelweis ini juga legal dan resmi. Hal ini karena terdapat perbedaan fisik baik edelweis asli dan edelweis budi daya. Bunga edelweis hasil budi daya tampak lebih gemuk dan subur dibanding edelweis yang tumbuh liar di pegunungan.

Edelweiss memiliki ciri khas berupa tangkai, helaian daun dan bunga diselubungi lapisan serat putih sebagai bentuk adaptasi terhadap iklim pada ketinggian yang ekstrim. Bentuk adaptasi edelweiss lainnya adalah perubahan bentuk maupun warna yang tergantung dari tempat edelweiss tumbuh125. Edelweiss di Indonesia berasal dari marga Anaphalis, sedangkan dari pegunungan kawasan Alpin berasal dari marga Leontopodium, keduanya termasuk dalam Famili Asteraceae. Berdasarkan pengamatan Van Steenis (2006), terdapat empat jenis Edelweiss di Indonesia yang biasanya tumbuh pada tanah vulkanik, yaitu: A. javanica, A. longifolia, A. viscida dan A. maxima126. Edelweiss merupakan tumbuhan pionir tanah vulkanik yang tumbuh di daerah terbuka pada area pegunungan dan dapat bertahan hidup di tanah yang tipis, tandus dan berhawa dingin. Meskipun dilindungi oleh TNGGP, edelweiss merupakan tumbuhan yang banyak dicari, karena dalam keadaan kering, bunga edelweiss dapat bertahan lama, indah dan menghasilkan bau yang khas. Eksploitasi jenis tersebut dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk dikoleksi dan diperdagangkan. Bahkan beberapa situs internet menawarkan bunga edelweiss yang telah dikeringkan dengan harga yang murah. Hal ini membuktikan

125 Van Steenis, C.G.G.J. (2006). Flora Pegunungan Jawa. LIPI, Jakarta. 126 Ibid

50

bahwa Edelweiss merupakan salah satu barang komersial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi127. 2). Fauna

Dari kelas Mamalia di kawasan TNGR terdapat 19 jenis, yakni rusa timor (Rusa timorensis floresiensis), menjangan (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa vitatus), lutung (Tracyphitecus auratus cristatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), musang rinjani (Paradoxurus hermaproditus rindjanicus), garangan (Viverricula indica), trenggiling, (Manis javanica), landak (Hystrix javanica), kucing hutan (Felis bengalensis javanensis), kucing sisi (Felis planiceps), bajing gunung (Tupaia montana), bajing terbang ekor merah (Lornys horsfield), Cynogale bennetti, Maxomys alticola, Acerodon macklotii prajae, kalong (Pteropus vampyrus kopangi), Pipistrelus tenuis sewelanus, Tylonycteris pachypus bhaktii. Beberapa satwa penting endemik subspecies, seperti rusa timor, musang rinjani, lutung bideng, trenggiling, burung kakatua jambul kuning (Cacatua shulphurea parvula), burung cikukua tanduk (Philemon buceroides neglectus), burung dawah hutan (Ducula lacernulata Sasakensis), dan burung penghisap madu (Lichmera lombokia)128,129.

e. Ancaman terhadap satwa endemik TNGR

Khusus untuk beberapa satwa penting endemik subspecies perlu mendapatkan pengawasan khusus karena populasinya yang

127 Pardianti, R., Adriyanti, D.T. & Syahbudin, A. (2014). Persebaran

Edelweiss (Anaphalis spp.) pada sub tipe hutan Montana dan Alpindi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur II “Pembaruan Silvikultur Untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan Menuju Ekonomi Hijau” Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014

128 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno. (2012), Op.cit

129 Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012), Op.cit..

51

terus menyusut hingga terancam mengalami kepunahan. Penyebab utama berkurangnya populasi satwa-satwa tersebut adalah karena maraknya perburuan liar dan berkurangnya habitat. Berikut ini akan diuraikan bioekologi dari satwa endemik yang ada di TNGR.

1. Rusa Timor (Cervus timorensis: de Blainville, 1822)

Rusa Timor secara umum dikenal dengan nama Javan Rusa, termasuk ke dalam Famili Cervidae, Ordo Artiodactyla. Rusa Timor adalah jenis lokalitas Indonesia, yang perkembangan populasinya di wilayah Nusa Tenggara (Kepulauan Sunda Kecil). Daerah asalnya di Bali dan Jawa; mungkin diperkenalkan pada zaman kuno ke Kepulauan Sunda Kecil, Kepulauan Maluku (termasuk Buru dan Seram), Sulawesi, dan Timor; sejak abad ke-17, diperkenalkan ke Kalimantan (Kalimantan; sekarang punah?), New Guinea, New Britain, Kepulauan Aru, Mauritius, Kepulauan Comoro, Madagascar (punah?), Australia, Selandia Baru, Kaledonia Baru dan pulau-pulau kecil di Indonesia dan lepas pantai pantai Australia130.

Menurut Schroder (1976 dalam Madja et al., 2019), Rusa timor (Gambar 1.7) umumnya berkembang biak pada bulan Juni sampai September dan masa buntingnya sekitar sembilan bulan. Rusa betina mencapai dewasa kelamin pada umur 7-9 bulan. Umur berkembang biak pertama (Minimun breeding age) adalah 15-18 bulan dan Maksimum breeding age 15-18 tahun. Lama menyusui anak rusa adalah 2-3 bulan dan paling lambat 5 bulan, sedangkan lama kebuntingan Rusa timor adalah 8-9 bulan dan jumlah rusa yang dilahirkan terdiri atas 1-2 ekor namun pada umumnya satu ekor. Musim kawin ini akan menghambat produktivitas rusa timor131.

130 Grubb, P. (2005). "Species Rusa timorensis". In Wilson, D.E.; Reeder, D.M

(eds.). Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference (3rd ed.). Johns Hopkins University Press. p. 670

131 Madja, J. T., Koibur, J. F., & Pattiselanno, F. (2019). Tingkah laku sosial

52

Rusa timor dapat ditangkar atau dijadikan hewan ternak yaitu karena mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi, demikian juga pakan dan air bukanlah merupakan faktor pembatas. Rusa timor dapat mengkonsumsi hampir semua jenis dedaunan dan rumput, tahan terhadap kekurangan air sehingga rusa mampu menyesuaikan dengan kondisi agroekosistem yang beragam132.

Dalam International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) red list pada tahun 2015 mengkategorikan Rusa timor sebagai jenis dengan kategori rentan (vulnerable)133,134. Penyebab menurunnya populasi tersebut adalah karena adanya perburuan liar untuk berbagai kepentingan, dan rusaknya habitat karena eksploitasi hutan yang berlebihan135.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat

rusa timor (Cervus timorensis) di Penangkaran Bumi Marina, Manokwari. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science), 8(2), 51-55.

132 Naipospos, Tri S. P. 2003. Rencana Strategis Dalam Pemanfaatan Rusa Sebagai Usaha Aneka Ternak. Lokakarya Pengembangan rusa: Pendayagunaan Rusa Sebagai Sumber Protein Hewani Alternatif dalam Rangka Diversifikasi Usaha Ternak. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Taman Mini lndonesia Indah, Jakarta, 11 September 2003.

133 Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J., Semiadi, G. & Priyono, A. (2015). Rusa timorensis. In IUCN 2015. 2015 IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/. Diakses 20 Oktober 2020.

134 Faot, M. L., Purnama, M. M., & Kaho, N. P. R. (2020). Analisis ketersediaan dan preferensi pakan rusa timor (Rusa timorensis) di stasiun penelitian Bu’at, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Wana Lestari, 2(01), 83-89.

135 Takandjandji, M. & Garsetiasih, R. (2002). Pengembangan penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis) dan permasalahannya di NTT. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Bogor (Indonesia): PSIH-IPB; Puslit Biologi; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.

53

memperkirakan populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) yang menjadi maskot provinsi ini jumlahnya kini terus berkurang. Penyebabnya adalah perburuan liar dan berkurangnya habitat. Berdasarkan hasil survei, seperti di Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa sebagai lokasi habitat rusa terbesar di NTB, pada 1998 jumlahnya 11.000 ekor, namun pada survei 2012 jumlahnya menyusut menjadi 3.000 ekor. Selanjutnya, di kawasan Gunung Tambora yang meliputi kawasan Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu diperkirakan tersisa 1.500 ekor, begitu juga dengan yang ada di Kecamatan Jereweh Kabupaten Sumbawa Barat sekitar 1.500 ekor. Di Pulau Lombok, berada di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tunak, Kabupaten Lombok Tengah, diperkirakan 100 ekor, dan ada juga di Taman Nasional Gunung Rinjani, namun jumlahnya belum diketahui secara pasti. Secara Undang-undang, rusa merupakan salah satu hewan mamalia yang dilindungi di Indonesia. Dasarnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa136.

Gambar 1.7. Rusa Timor (Cervus timorensis)137

136 (https://republika.co.id/berita/nio0c0/populasi-rusa-di-ntb-

terus-menyusut), diakses 20 Oktober 2020. 137 (https://alamendah.org/2010/06/04/rusa-timor-fauna-identitas-

provinsi-ntb/comment-page-5/), diakses 20 Oktober 2020

54

2. Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus: Mertens 1929)

Musang (Paradoxurus hermaphroditus, Pallas 1777) dikenal juga dengan sebutan toddy cat atau Asian palm civet merupakan salah satu anggota Famili Viverridae asli Asia Selatan dan Asia Tenggara. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini dalam daftar Least Concern (Duckworth et.al., 2008) yang berarti statusnya belum menjadi perhatian karena populasinya dianggap masih banyak dan aman dari kepunahan138. Musang termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing yang merupakan karnivora sejati, musang lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan perilaku makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama 6 jenis buah masih tersedia dan akan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun serangga di saat terjadi kelangkaan buah-buahan139. Musang dapat bereproduksi sepanjang tahun dengan rata-rata melahirkan 2 – 4 ekor anak per tahun. Anak diasuh oleh induk betina. Anak yang telah lahir diletakkan di dalam lubang pohon atau goa. Musang merupakan mamalia yang aktif pada malam hari (nocturnal). Mudah ditemukan di atas pohon secara soliter140.

138 Duckworth, J.W., Timmins, R.J., Choudhury, A., Chutipong, W.,

Willcox, D.H.A., Mudappa, D., Rahman, H., Widmann, P., Wilting, A. & Xu, W. 2016. Paradoxurus hermaphroditus. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T41693A45217835. diakses pada tanggal 12 Oktober 2020.

139 Mudappa D, Kumar A, & Chellam R. 2010. Diet and Fruit Choice of The Brown Palm Civet Paradoxurus jerdoni, A Viverrid Endemic To The Western Ghats Rainforest, India. Tropical Conservation Science, 3, 282-300

140 Winaya, A., Rico, M. J. I., Avilez, M., Wahyuningsih, S., & Budi, T. (2018). Studi Ragam Morfometri Musang (Paradoxurus hermaphroditus,

55

Habitat Musang bisa dijumpai mulai dari hutan primer di ketinggian 2000-2400 meter di atas permukaan laut (dpl) hingga hutan sekunder dan sekitar perkebunan. Musang termasuk hewan yang bersifat soliter dengan berbagai gaya hidup dan adaptasi, sebagai contohnya mereka sangat pandai memanjat pohon untuk mencari makan141,142. Cekungan pohon menjadi tempat berlindung hewan ini, termasuk celah-celah batu, atau daun yang lebat. Musang dapat hidup di semak-semak, hutan sekunder, perkebunan, maupun pemukiman manusia. Hewan omnivora ini mampu memakan pula buah-buahan (kopi, mangga, pisang, pepaya, atau buah pohon kayu Afrika) dan daging (serangga, moluska, cacing tanah, kadal dan tikus)143. Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus, Mertens 1929) (Gambar 1.8) merupakan hewan menyusui (Mamalia) yang termasuk dalam suku Musang dan Garangan (Viverridae), dan merupakan salah satu species dari tiga spesies Carnivora yang ada di Pulau Lombok; dua species lainnya adalah Musang Rase (Viverricula indica baliensis) dan Kucing Hutan (Felis bengalensis). Musang Rinjani atau Ujat (bahasa lokal Sasak) termasuk sub spesies dari Musang (Paradoxurus hermaphroditus) endemik Pulau Lombok,

Pallas 1777) Asal Nusa Tenggara Barat Sebagai Basis Data Identifikasi Variasi Genetik. PROSIDING Seminar Nasional Hayati VI tahun 2018, 22 September 2018, Kediri, Jatim.

141 Aroon, S., Artchawakom, T., Hill, J.G., Kupittayanant, S. & Thanee, N. (2009). Ectoparasites of the common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) at Sakaerat Environmental Research Station, Thailand. Suranaree J. Sci. Technol., 16(4), 277-281.

142 Borah J, & Deka K. 2011. An Observation of Common Palm Civet Paradoxurus hermaphroditus Mating. Small Carniv Cons., 44, 32–33

143 Winaya, A., Rico, M. J. I., Avilez, M., Wahyuningsih, S., & Budi, T. (2018), Op.cit..

56

khususnya kawasan Gunung Rinjani144. Habitat Musang Rinjani lebih sering dijumpai di kawasan-kawasan dekat pemukiman dan perkebunan penduduk dibandingkan kawasan hutan, sehingga Musang sering dianggap hama oleh penduduk sekitar kawasan hutan, karena sasaran untuk makannya adalah ayam ternak milik penduduk dan buah-buahan di ladang perkebunan, akibatnya penduduk memburu satwa ini untuk dibunuh145. Oleh karena itu, ancaman terhadap populasi Musang Rinjani ini dapat berbeda-beda tergantung fungsi kawasan tersebut. Ancaman terbesar adalah di kawasan hutan produksi yang berbatasan langsung dengan kawasan pemukiman atau perkebunan masyarakat, sehingga kawasan hutan TNGR sebagai kawasan konservasi merupakan benteng terakhir bagi perlindungan satwa Musang ini. Terdapat sekitar 53 spesies mamalia endemik Pulau Lombok dan sebagian besar bertahan di kawasan TNGR, termasuk Musang Rinjani. Namun, tidak semua pihak menganggap Musang Rinjani sebagai hama, sebab di beberapa tempat, ada yang memanfaatkannya untuk memproduksi biji kopi luwak, salah satunya di Daerah Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB146,147.

144 Kitchener, D.J., Boeadi, Charlton, L., & Maharadatunkamsi. (2002).

Mamalia Pulau Lombok. Tyas APE, Ibnu M (Penerjemah) Jakarta: The Gibbon Foundation. Terjemahan Dari: Wild Mammals of Lombok Island.

145 Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR).(2009). Laporan Identifikasi Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus) di Kawasan Hutan Resort Sembalun Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wil. II . Mataram.

146 Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). (1997). Rencana Pengelolaan Taman Nasional 1998-2023. Mataram.

147 Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR).(2009), Op.cit..

57

Gambar 1.8. Musang Rinjani148 Menurut Kitchener et al. (2002) Musang Rinjani pada bagian kepala sampai dengan ekor berwarna sangat gelap bahkan mendekati hitam. Ukuran panjang dari kepala ke pangkal ekor 38 cm, dari ujung ekor sampai pangkal ekor 40 cm, daun telinga ukuran 34, serta panjang kaki 70 cm. Warna rambut gelap hampir mendekati hitam hijau lumut di sisi punggung, dan agak pucat pinggala di sisi dada perut149. Selain dapat menghasilkan kopi luwak melalui kotorannya, sejumlah spesies Veviridae juga diketahui mampu menghasilkan minyak musang (civet oil) melalui kelenjar sekresinya (kelenjar perineal), baik musang jantan maupun betina. Senyawa kimia yang terkandung dalam civet oil yang menghasilan aroma yang khas

148 (https://pecinta-musang.blogspot.com/2016/07/mengenal-lebih-

dekat-musang-rinjani.html), diakses 10 Oktober 2020. 149 Kitchener, D.J., Boeadi, Charlton, L., & Maharadatunkamsi. (2002),

Op.cit..

58

adalah civetone dengan konsentrasi antara 2,5-3,4 persen. Civet oil diperlukan sebagai bahan baku dalam industri parfum150,151.

3. Lutung Bideng timur (Trachypithecus auratus auratus: E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812)

Lutung Budeng atau Lutung Bideng (Bhs Sasak Bideng = hitam; Bhs Inggris = Javan langur)) termasuk ke dalam famili Cercopithecidae, dan Ordo: Primates (Gambar 1.9) berukuran sedang, dengan panjang kepala dan tubuh antara 46-75 cm; memiliki rambut tubuh berwarna hitam (betina memiliki warna putih kekuningan di sekitar kelaminnya), dan memiliki ekor yang panjangnya antara 61-82 cm152. Lutung bideng adalah hewan diurnal, yakni aktif pada waktu siang hari di atas pepohonan. Makanan pokoknya adalah tumbuh-tumbuhan (memakan dedaunan, buah-buahan dan bunga), spesies ini juga memakan larva serangga. Mereka hidup berkelompok, yang terdiri atas sekitar tujuh ekor, termasuk satu atau dua ekor lutung jantan dewasa. Lutung betina biasanya hanya mempunyai satu anak setiap kali melahirkan dan saling membantu membesarkan anak-anak lutung. Namun lutung betina juga bersifat sangat agresif terhadap lutung betina dari kelompok lain. Hewan ini diketahui menghuni pelbagai tipe hutan, mulai dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa air-tawar, hutan hujan dataran rendah, hutan gugur daun tropika, serta hutan pegunungan hingga ketinggian

150 Karl-Georg, F., Hammerschmidt, F.J. & Johannes Panten, J. (2007).

"Flavors and Fragrances". Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry (7th ed.). Wiley. p. 86.

151 Burdock (2010), "CIVET", Fenaroli's Handbook of Flavor Ingredients (6th ed.), Taylor & Francis, p. 326

152 Corbet, G.B. & Hill, J.E. (1992). The Mammals of Indomalayan Region: a systematic review: 174. Oxford: Nat. Hist. Mus. Publ. & Oxford Univ. Press.

59

sekitar 3.000-3.500 m dpl. Juga ditemukan di hutan-hutan tanaman jati, rasamala, dan akasia153. Lutung bideng yang ada di Pulau Lombok (TNGR) termasuk subspesies Lutung bideng timur (Trachypithecus auratus auratus). Selain di Pulau Lombok, subspesies ini juga ditemukan di Jawa Barat bagian timur hingga ke Jawa Timur, Pulau Sempu dan Nusa Barung, Bali. Sementara itu, subspesies yang satunya lagi adalah Lutung bideng barat (Trachypithecus auratus mauritius), yang tersebar di wilayah Banten dan setengah Jawa Barat bagian barat: Ujung Kulon, Jasinga, Bogor, Cisalak, Jakarta, Palabuhanratu, ke timur di pesisir selatan hingga Cikaso, atau Ciwangi di pedalaman154. Kelestarian Lutung bideng terancam oleh beberapa faktor, di antaranya: kehilangan dan degradasi habitat karena terdesak oleh perluasan lahan-lahan pertanian dan permukiman manusia; fragmentasi habitat; serta perburuan untuk dimakan atau diperdagangkan sebagai hewan timangan. Oleh sebab itu, IUCN memasukkannya ke dalam Daftar Merah IUCN dalam status Rentan (VU, Vulnerable). Lutung bideng dilindungi oleh undang-undang Republik Indonesia sejak 1999155.

153 Nijman, V. & J. Supriatna.(2008). Trachypithecus auratus. The IUCN Red

List of Threatened Species. Version 2014.3. www.iucnredlist.org, diakses 15 Oktober 2020.

154 Brandon-Jones, D. (1995). "A revision of the Asian pied leaf monkeys (Mammalia: Cercopithecidae: superspecies Semnopithecus auratus), with a description of a new subspecies." Raffles Bulletin of Zoology, 43, 3-43.

155 Nijman, V. & J. Supriatna.(2008), Op.cit..

60

Gambar 1.9. Lutung Bideng Rinjani156 4. Trenggiling (Manis javanica: Desmarest, 1822)

Trenggiling termasuk ke dalam Famili Manidae, Ordo Pholidota; berasal dari Jawa; daerah distribusinya Lombok, Bali, Karimata, Nias, Pagai, Natuna Besar, Lingga, Sumatra, Bangka, Belitung, Riau, Borneo, Calamian, Culion, Palawan, Burma, Thailand, dan Indochina157. Trenggiling adalah makhluk yang sangat unik, yang bulu sisiknya bisa digerakkan dan berujung tajam. Panjangnya 79-88 cm, termasuk ekor, dan jantan biasanya lebih besar dari betina. Tubuhnya ditutupi oleh sisik mulai tepat di atas lubang hidung hingga ujung ekornya dengan baris sisik yang tumpang tindih (17-19 baris di bagian tengah dan > 20 baris di sepanjang ekor). Sisik di bagian belakang dan samping berwarna coklat zaitun hingga kekuningan dan keras. Sisik ini berasal dari rambut. Perut dan wajah ditutupi rambut berwarna putih sampai coklat pucat, dan kulit berwarna abu-abu sampai kebiruan. Spesies ini memiliki kepala kerucut kecil dengan mata kecil yang dilindungi oleh 156 (https://insidelombok.id/pariwisatabudaya/btngr-khawatir-

kepunahan-satwa-lokal-rinjani/), diakses 20-10-2020 157 Kitchener, D.J., Boeadi, Charlton, L., & Maharadatunkamsi. (2002),

Op.cit..

61

kelopak mata tebal. Bagian telinga luar sangat berkurang. Hidung berdaging, dan mulutnya tidak memiliki gigi. Lidahnya yang sangat panjang dan tipis, mampu memanjang sekitar 25 cm, yang ditutupi dengan air liur yang lengket. Ini membantu mereka mengumpulkan rayap dan semut. Mereka memiliki adaptasi yang signifikan untuk menjelaskan lidah mereka yang sangat besar yang melewati rongga dada dan jangkar ke panggul. Ini termasuk kurangnya klavikula, dan dan struktur aneh dari xiphisternum mereka158. Kaki depannya dilengkapi dengan bantalan di telapak kaki, cakar penggali yang besar dan lebih panjang serta lebih kuat dari kaki belakangnya. Trenggiling Malaya memiliki ekor yang dapat memegang dan dapat menutup lubang hidung dan telinga159,160.

Gambar 1.10. Trenggiling (Manis javanica)161

Rentang geografis M. Javanica mencakup sebagian besar daratan Asia Tenggara, dari Myanmar selatan hingga Laos tengah dan selatan, sebagian besar Thailand, Vietnam tengah dan selatan,

158 Nowak, R. (1999). Walker's Mammals of the World, Sixth Edition.

Baltimore: The Johns Hopkins University Press. 159 Corbet, G.B. & Hill, J.E. (1992). The Mammals of Indomalayan Region: a

systematic review: 174. Oxford: Nat. Hist. Mus. Publ. & Oxford Univ. Press

160 Nowak, R. (1999), Op.cit.... 161 (http://www.edgeofexistence.org/species/sunda-pangolin/), diakses

15 Oktober 2020

62

Kamboja, hingga Semenanjung Malaysia, hingga Sumatera, Jawa, dan pulau-pulau yang berdekatan (Indonesia) hingga Kalimantan (Malaysia, Indonesia, Brunei)162.

Lama hidup trenggiling belum diketahui secara pasti. Karena kebiasaan nokturnal mereka yang sulit dipahami dan jumlah populasi yang rendah, belum ada penelitian jangka panjang yang dipublikasikan tentang umur Trenggiling Malaya. Mereka sangat sulit untuk tetap hidup di penangkaran, yang juga tidak memungkinkan orang mengumpulkan data apa pun tentang umur mereka. Namun, spesies kon-generik, M. crassicaudata menghasilkan satu spesimen yang hidup di penangkaran selama hampir 20 tahun163,164. Trenggiling Asia kadang-kadang ditemukan berpasangan, tetapi sebagian besar hidup menyendiri, aktif di malam hari, dan pemalu. Mereka bergerak perlahan dengan keempat kakinya kecuali terancam. Di bawah ancaman, trenggiling dapat bergerak cepat di kaki belakangnya saja, dengan bantuan ekor yang dapat memegangnya. Ekornya juga digunakan saat memanjat pohon. Mereka telah diamati berenang. Mereka diperkirakan menempuh perjalanan rata-rata 0,7-1,8 km/hari. Trenggiling adalah penggali yang kuat dan akan membuat liang yang dilapisi dengan vegetasi untuk isolasi di dekat sarang rayap dan sarang semut165. Trenggiling menghuni berbagai bentang alam, termasuk hutan primer dan sekunder, sabana terbuka, dan daerah yang ditumbuhi semak lebat. Mereka sering mengamati di areal budidaya seperti 162 (http://www.edgeofexistence.org/species/sunda-pangolin/),diakses 15 Oktober 2020 163 Nowak, R. (1999), Op.cit... 164 Tweedie, M. (1978). Mammals of Malaysia. Kuala Lampur: Longman,

Malaysia 165 Medway, L. (1969). The Wild Mammals of Malaya. London: Oxford

University Press.

63

kebun dan perkebunan. Meskipun mereka adalah makhluk darat yang menghuni liang, baik yang digali dengan cakar besar atau dipinjam dari penghuni sebelumnya, mereka dikenal sebagai pemanjat yang gesit dan menghabiskan waktu di dalam pohon atau pada lubang di dalam tanah untuk beristirahat atau mencari makanan166. Trenggiling ditemukan di hutan primer dan sekunder, serta di areal budidaya termasuk kebun dan perkebunan, termasuk di dekat pemukiman manusia. Seperti trenggiling lainnya, mereka aktif di malam hari, menyendiri, dan merupakan pemakan khusus semut dan rayap dengan lidahnya yang panjang dan lengket. Mereka tidur di dalam lubang, atau di pangkal pohon, daripada menggali lubang mereka sendiri di tanah167. Populasi sebagian besar spesies trenggiling terancam punah. M. javanica terdaftar oleh IUCN sebagai LR/nt, yang berarti bahwa M. javanica hampir terancam, dan hampir memenuhi kriteria yang diperlukan untuk didaftarkan sebagai rentan. Permintaan sisik trenggiling untuk obat-obatan tradisional sangat tinggi di banyak belahan dunia. Daging dimakan oleh masyarakat adat. Kulit juga digunakan untuk membuat sepatu. Salah satu importir utama kulit trenggiling dari tahun 1980-1985 adalah Amerika Serikat168. Di Ekosistem, trenggiling berperan penting dalam mengendalikan populasi serangga. Diperkirakan seekor trenggiling dewasa dapat memakan sekitar 70 juta serangga setiap tahunnya. Selain itu, dengan membuat lubang dan menggali sedikit untuk menemukan semut dan rayap, hewan ini juga membantu aerasi

166 Nowak, R. (1999), Op.cit... 167 (http://www.edgeofexistence.org/species/sunda-pangolin/) Diakses 12 Oktober 2020 168 Nowak, R. (1999), Op.cit...

64

tanah169. Trenggiling Malaya juga dikenal sebagai trenggiling bersisik; mereka adalah spesialis ekstrem (myrmecophages) yang hanya makan semut dan rayap170. 5. Burung Kakatua jambul kuning (Cacatua shulphurea parvula:

Bonaparte, 1850)

Kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) juga dikenal sebagai kakatua jambul belerang kecil, merupakan kakatua ukuran sedang (panjang sekitar 34 cm), berbulu putih, kulit orbital putih kebiruan, kaki berwarna abu-abu, paruh hitam, dan puncak kuning atau oranye yang bisa ditarik (Gambar 1.11). Makanan kakatua jambul kuning terutama terdiri atas biji-bijian, tunas, buah-buahan, kacang-kacangan, dan tanaman herba171. Cacatua sulphurea adalah endemik Timor-Leste dan di Indonesia, sebelumnya tersebar di seluruh Nusa Tenggara (dari Bali ke Timor), di Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya, dan Kepulauan Masalembu (di Laut Jawa). Namun, saat Ini telah mengalami penurunan dramatis, terutama pada kuartal terakhir abad ke-20, sehingga sekarang punah di banyak pulau dan hampir punah di sebagian besar pulau lainnya. Sumba tampaknya memiliki populasi terbesar yang tersisa, diperkirakan sementara (pada tahun 1992) sekitar 3.200 burung (tetapi menurun sekitar 500 burung setiap tahun, dengan hanya 10% dari pulau itu masih berhutan di 34 fragmen), dengan signifikan lainnya (tetapi jauh lebih kecil ) populasi di Komodo (c.500 individu), Sulawesi, Buton, Moyo dan Timor-Leste. Populasi kecil hanya beberapa individu juga ada di 169 Heath, M. 1992. Manis pentadactyla, Mammalian Species 414: 1-6. 170 Nowak, R. (1999), Op.cit... 171 IPPL – The Indonesia Parrot Protection for Life, (2010) diakses

15Oktober 2020 dari https://indonesiaparrotprotection. wordpress.com/2010/08/27/home/

65

Kepulauan Tukangbesi, di Pulau Oroho (satelit Pulau Wangi Wangi) dan di Lintea Selatan (satelit Pulau Tomea). Populasi Komodo sendiri (dengan kondisi perburuan hampir tidak ada) menurun sekitar 60% antara tahun 2000-2005. Statusnya saat ini di beberapa pulau kecil tidak jelas, tetapi survei Masakambing di Kepulauan Masalembu pada tahun 2008 hanya menemukan sepuluh individu ras abbotti yang tersisa. Populasi liar beberapa ratus burung ada di Hong Kong172. Kakatua jambul kuning bersarang di rongga pohon. Telurnya berwarna putih dan biasanya ada dua dalam satu kopling. Inkubasi dibagi berdua oleh kedua orang tua. Telur diinkubasi sekitar 28 hari dan anak-anaknya meninggalkan sarang sekitar 75 hari setelah menetas173.

Gambar 1.11. Burung Kakatua jambul kuning174 172 IPPL – The Indonesia Parrot Protection for Life, (2010), Op.cit 173 BirdLife International. (2013). "Cacatua sulphurea". IUCN Red List of

Threatened Species. 2020. Retrieved 20 Oktober 2020 dari . http://datazone.birdlife.org/species /factsheet/Yellow-crested-Cockatoo?action= SpcHTMDetails.asp&sidm=0

174 (https://orientalbirdimages.org/birdimages.php?), diakses 15 Oktober 2020

66

Di antara spesies kakatua, Cacatua sulphurea parvula (Kakatua jambul kuning kecil) ditemukan di wilayah Nusa Tenggara, khususnya di Alor. Karena keberagaman warna tubuh dan kecerdasan burung beo tersebut Indonesia menarik para peternak, terutama orang asing. Hal ini adalah ditunjukkan dengan meningkatnya permintaan ekspor tersebut burung setiap tahun ke beberapa negara asing, seperti Eropa, Amerika atau Asia, termasuk Hong Kong, Singapura, Jepang, dan Arab Saudi175. Penurunan populasi Kakaktua jambul kuning yang drastis hampir seluruhnya disebabkan oleh eksploitasi yang tidak berkelanjutan karena perdagangan internal dan internasional. Penebangan skala besar dan konversi hutan untuk pertanian di seluruh wilayah telah memperburuk penurunan, dan ditambah dengan penggunaan pestisida sejak sekitar tahun 1989 merupakan ancaman potensial lebih lanjut. Setidaknya sebelumnya, spesies tersebut dianggap sebagai hama tanaman, dan akibatnya diburu. Tahun-tahun dengan curah hujan tinggi tampaknya sangat membatasi produktivitas yang mengakibatkan aktivitas berkembang biaknya menjadi sangat rendah. Sebaliknya, curah hujan yang rendah di Komodo dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan terbatasnya ketersediaan sumber air. Persaingan untuk mendapatkan lubang untuk bersarang dengan burung beo dan burung hantu lain di pohon besar (yang menjadi sasaran kegiatan penebangan) menyebabkan produktivitas yang rendah176. Di NTB, Burung kakatua kecil jambul kuning saat ini sudah terancam punah, sebagai mana disampaikan oleh Pelaksana harian (Plh) Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)

175 Widodo, W. (2009). Population status of Cacatua sulphurea parvula and

Trichoglossus euteles in Alor, East Nusa Tenggara. Biodiversitas, 10(2). 81-87

176 IPPL – The Indonesia Parrot Protection for Life, (2010), Op.cit

67

Provinsi NTB Budhi Kurniawan di Mataram pada antara.news.com di Mataram, Selasa, 26 Juni 2012:

“Burung kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea) di Provinsi Nusa Tenggara Barat kini terancam punah akibat perburuan liar dan pemanfaatannya yang tidak terkendali. Pelaksana harian (Plh) Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NTB Budhi Kurniawan di Mataram, mengatakan hingga kini populasi satwa dilindungi itu di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa hanya sekitar 83 ekor. Jenis burung kakatua kecil jambul kuning itu terdapat di Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat, kawasan Gunung Tambora (Dompu) dan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Ia mengatakan, penurunan populasi burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sangat dratis terutama di habitatnya di wilayah Kecamatan Jereweh, kawasan Tambora dan Rinjani. Ini akibat pemanfatan yang tidak terkendali. Pemanfaatan burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sejak tahun 2000-an cukup tinggi, karena harganya cukup mahal mencapai Rp5 juta per ekor. Jenis burung tersebut banyak dipasarkan di pasar Pramuka Jakarta dan Pasar Turi Surabaya”177.

Populasi Burung Kakatua ini terus mengalami penurunan yang sangat cepat, karena penangkapan yang tidak berkelanjutan untuk perdagangan burung sangkar. Antara 1980 dan 1992, lebih dari 100.000 burung ini secara resmi diekspor dari Indonesia. Oleh karena itu, ia memenuhi syarat sebagai Sangat Terancam Punah. Beberapa taman nasional memberikan perlindungan terhadap habitatnya, antara lain Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi, Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo, taman nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti di 177 https://mataram.antaranews.com/berita/22338/burung-kakatua-kecil-

jambul-kuning-terancam-punah, diakses 20 Oktober 2020.

68

Sumba, dan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) di Pulau Lombok178

Habitat Burung Kakatua antara lain: hutan, hutan dataran rendah, dan hutan buatan. IUCN menetapkan status konservasi Burung Kakatua jambul kuning dalam kategori Critically Endangered (CR), spesies yang menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar sejak 2018. Ancaman terhadap populasi Burung kakaktua ini antara lain: konversi lahan ke pertanian dan pemukiman, perburuan dan jebakan untuk perdagangan burung sangkar, penyakit, limbah pertanian, perbahan iklim, kekeringan, badai, dan banjir179

6. Burung cikukua tanduk (Philemon buceroides neglectus: Büttikofer, 1891),

Philemon buceroides (Koak kaok: Sasak; cikukua tanduk: Indonesia; Helmeted Friarbird: Inggris) merupakan salah satu burung endemik Wallacea yang terdapat di Lombok. Ukuran leher dan ekor dari Cikukua tanduk lebih panjang dari pada dengan jenis burung cikukua lainya. Ciri khas lainnya yaitu mempunyai jenggot pada kepala namun keras seperti tanduk (Gambar 1.12). Burung Koak kaok termasuk ke dalam Famili Meliphagidae, Ordo Passeriformes, mempunyai penyebaran yang luas. Burung ini ditemukan di Indonesia dan Australia utara180.

178 BirdLife International. (2013), Op.cit 179 BirdLife International (2020) Species factsheet: Cacatua sulphurea.

Downloaded from http://www.birdlife.org on 30/10/2020. Recommended citation for factsheets for more than one species: BirdLife International (2020) IUCN Red List for birds. Downloaded from http://www.birdlife.org on 30/10/2020.

180 (https://www.aviansystematics.org/4th-edition-checklist?viewfamilies=119), diakses 20-10-2020

69

Habitat alami Burung Koak kaok adalah hutan kering subtropis atau tropis, hutan dataran rendah lembab subtropis atau tropis, dan hutan bakau subtropis atau tropis181. Iswandi et al., (2017) menambahkan bahwa Burung Koak kaok memerlukan habitat yang khas. Habitat yang didominasi oleh pohon yang tajuknya sangat rapat tidak disukai oleh burung tersebut karena akan menyulitkan burung koak kaok untuk mencari makan ataupun beraktivitas182.

Gambar 1.12. Burung cikukua tanduk (Philemon buceroides neglectus183)

Tahun 1980-an burung koak kaok umum ditemukan di berbagai habitat di Lombok, namun saat ini habitatnya sangat

181 BirdLife International. (2013), Op.cit.. 182 Iswandi, M.H, Ahyadi, H., Islamul Hadi, I & Suana. I.W. (2017).

Populasi dan karakteristik habitat Burung Koak Kaok (Philemon buceroides) di Taman Wisata Alam Kerandangan. Jurnal Metamorfosa, 4(2), 159-163.

183 (https://birdsoftheworld.org/bow/ spe-cies/helfri1/cur /introduction, diakses 20 Oktober 2020

70

terbatas184.Menurut Ruhardi (2006) dan Suana et al. (2012), Taman Wisata Alam (TWA) Kerandangan merupakan salah satu habitat alami Burung Koak kaok di Lombok. Itupun populasinya sangat kecil, yakni hanya enam ekor saja185,186. Noske & Saleh (1996) mengatakan bahwa faktor-faktor utama yang menyebabkan burung-burung hutan termasuk burung koak kaok terancam punah, yaitu: kerusakan habitat serta tekanan perburuan untuk dijual karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Beberapa faktor penyebab kerusakan habitat, antara lain: kebakaran hutan, penebangan kayu secara ilegal, serta pembukaan lahan secara liar. Berbagai aktivitas tersebut telah mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi hutan maupun kuantitas habitat Burung Koak kaok semakin berkurang187. Populasi Burung Koak kaok terus menurun. Oleh karena itu maka International Union for Conservation on Nature and Natural (IUCN) memasukkannya dalam status Least Concern (LC) sejak tahun 2001188. 7. Burung dawah hutan/merpati punggung hitam dengan mahkota

berwarna abu-abu (Ducula lacernulata Sasakensis: Hartert, 1896)

184 Suana, I.W., Sukenti, K. & Astuti, S.P. (2012). Distribution Mapping of

Koak Kaok (Philemon buceroides) in the Edge Forest of Gunung Rinjani National Park, Lombok, Indonesia. JOSST, 8, 125-130

185 Ibid 186 Ruhardi, A. (2006). “Distribusi Burung Koak Koak (Philemon buceroides) di

Pinggiran Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (Kerandangan-Aik Berik)” (Skripsi). Mataram, Universitas Mataram.

187 Noske, R.A. & N. Saleh. (1996). The Conservation Status of Forest Birds in West Timor. Proc. of the First Int. Conf. on Eastern Indonesia-Australian Vertebrate Fauna, Manado, 1994: 65-74.

188 Suana, I.W., Sukenti, K. & Astuti, S.P. (2012), Op.cit..

71

Gambar 1.13. Burung Merpati punggung hitam dengan mahkota bersisik189

Merpati punggung hitam/gelap (Ducula lacernulata) adalah spesies burung dalam keluarga Columbidae. Burung merpati jenis ini (Ducula lacernulata), terdiri atas tiga subspessies; yaitu: 1) Ducula lacernulata lacernulata, dengan daerah penyebaran Pulau Jawa; 2) Ducula lacernulata williami, dengan daerah penyebaran Pulau Jawa dan Pulau Bali, dan 3) Ducula lacernulata sasakensis, dengan daerah penyebaran Lombok, Sumbawa dan Flores, (west Lesser Sundas)190 Ducula lacernulata Sasakensis adalah merpati punggung hitam dengan ciri khas mahkotanya berwarna abu-abu (Dark-backed Imperial-pigeon) (Gray-crowned). Burung merpati ini adalah salah satu subspesies Ducula lacernulata yang endemis di Taman Nasional Gunung Rinjani. Daerah penyebarannya di Pulau Lombok, Sumbawa, dan Flores. Ciri-cirinya adalah memiliki sisi muka dan penutup telinga berwarna merah muda, dahi dan mahkota berwarna abu-abu191. 189 (https://avibase.bsc-eoc.org/species.jsp?avibaseid=

DE801C89E8D83BBF), diakses 20 Oktober 2020 190 (https://dibird.com/species/darkbacked-imperial-pigeon/, diakses

tanggal 20 Oktober 2020 191 Trainor, C. R. (2002). Birds of Gunung Tambora, Sumbawa, Indonesia:

effects of altitude, the 1815 cataclysmic volcanic eruption and trade. Forktail, 49-62.

72

Habitat alaminya adalah hutan dataran rendah lembab subtropis atau tropis dan hutan pegunungan lembab subtropis atau tropis. Umumnya banyak ditemukan pada ketinggian sekitar 800-1.000 m192. Status konservasi Ducula lacernulata menurut IUCN adalah LC (Least Concern). Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun. Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488 tumbuhan yang berstatus Contoh satwa Indonesia yang berstatus Terancam antara lain; Ayam Hutan Merah, Ayam Hutan Hijau, dan Landak193. Ancaman terhadap populasi burung Ducula lacernulata ini tidak hanya karena adanya penebangan (legal/illegal) untuk membuka hutan, tetapi juga adanya aktivitas berburu, mengumpulkan telur atau jebakan untuk perdagangan burung sangkar kebakaran, penggembalaan, dan agroforest (terutama kopi)194,195. 8. Burung penghisap madu dengan mahkota bersisik (Lichmera

lombokia: Mathews, 1926 )

Burung penghisap madu bermahkota sisik atau topi sisik dalam Bahasa Inggris disebut The scaly-crowned honeyeater, dan dalam Bahasa Sasak disebut Kecial kebrus. Burung penghisap madu ini

192 Ibid 193 (https://alamendah.org/2010/01/14/kategori-status-konservasi-iucn-

red-list/), diakses 10 Oktober 2020 194 Trainor, C. R. (2002), Op.cit 195 Myers, S. D., & Bishop, K. D. (2005). A review of historic and recent

bird records from Lombok, Indonesia. Forktail, 21, 147-160.

73

masuk ke dalam famili Meliphagidae, ordo Passeriformes, dan endemis di Pulau Lombok, Sumbawa dan Flores196.

Ciri utama burung penghisap madu topi sisik memiliki model paruh langsing dan runcing yang berfungsi seperti pipa sedotan khusus. Burung ini mendatangi berbagai macam bunga untuk menghisap madu bunga (nektar). Ciri umumnya, burung dewasa berukuran kecil dengan panjang sekitar 15 cm. Bulu tubuh bagian atasnya berwarna hijau zaitun, sedangkan pada tubuh di bagian bawahnya berwarna abu-abu kekuningan (tampak pucat), pada tenggorokan berwarna abu-abu pucat dan mahkota seperti bersisik gelap197. Ciri-ciri yang lebih spesifik kecial kebrus, betina: warna bulu lebih cerah dibandiongkan yang jantan, pada pangkal paruh ada sedikit warna kuning muda, bulu bagian kepala atas,ujung sayap dan sedikit dibawah paruh warna hijaunya lebih tegas; jantan: secara keseluruhan warna bulunya cenderung lebih gelap agak kusam dibanding betina, warna abu-abu pada atas kepala punggung hingga bawah paruh, memiliki bercak hitam pada bulu bagian leher198

196 Döring M (2020). Lichmera lombokia (Mathews, 1926) In English

Wikipedia - Species Pages. Wikimedia Foundation. Checklist dataset https://doi.org/10.15468/c3kkgh accessed via GBIF.org on 2020-10-26.

197 DaerahKita.com. (2019), diakses 20-10-2020 dari https://www.daerahkita.com/artikel/150/burung-isap-madu-topi-sisik-satwa-endemik-lombok-nusa-tenggara-barat

198 (https://www.sobatlima.com/2020/07/cucak-kombokecial-kombo-beda-jantan-dan.html), diakses 20 Oktober 2020

74

Gambar 1.14. Burung penghisap madu (Lichmera lombokia)199 Cartenson et al. (2011) melakukan penelitian di Pulau Lombok, Indonesia, terhadap tiga burung nektaria yang sebagian hidup berdampingan: dua pemakan madu Lichmera yang berkerabat dekat dan sangat mirip dan seekor burung matahari (Cinnyris jugularis). Fokus kajiannya adalah bagaimana spesies ini dipisahkan secara ekologis di area tempat mereka hidup berdampingan dengan mengevaluasi kunjungan mencari makan dan interaksi agresif pada sumber daya nektar yang kaya dan miskin di habitat yang berbeda (hutan dan area terbuka) di sepanjang gradien ketinggian (800–1600 m dpl). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedua pemakan madu tersebut sebagian dipisahkan oleh ketinggian. Di zona tumpang tindih, Lichmera limbata mendominasi sumber daya hutan terkaya, sedangkan Lichmera lombokia mendominasi sumber daya terkaya di lahan

199 Higgins, P. J., Christidis, L. & Ford, H. (2020). Sunda Honeyeater

(Lichmera lombokia), version 1.0. In Birds of the World (J. del Hoyo, A. Elliott, J. Sargatal, D. A. Christie, and E. de Juana, Editors). Cornell Lab of Ornithology, Ithaca, NY, USA.

75

terbuka. Burung matahari, C. jugularis, hanya diamati di habitat terbuka dan sebagian besar di patch sumber daya yang buruk. Dalam komunitas tiga spesies di habitat terbuka, hierarki dominasi terlihat dengan L. lombokia sebagai spesies unggul dan C. jugularis sebagai spesies inferior. Studi tentang bagaimana spesies yang dipisahkan berinteraksi di zona transisi mereka dapat membantu kita untuk memahami interaksi antara spesies yang dipisahkan secara ekologis200. Ciri-ciri kecial kebrus, betina: warna bulu lebih cerah dibandingkan yang jantan, pada pangkal paruh ada sedikit warna kuning muda, bulu bagian kepala atas, ujung sayap dan sedikit di bawah paruh warna hijaunya lebih tegas; jantan: secara keseluruhan warna bulunya cenderung lebih gelap agak kusam dibanding betina, warna abu-abu pada atas kepala punggung hingga bawah paruh, memiliki bercak hitam pada bulu bagian leher201 Burung ini menghuni hutan primer, hutan yang rusak, pepohonan tepi hutan, semak-semak, dan lahan budidaya yang pohonnya sedikit. Kebiasaan dan kemampuan terbangnya mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 1.600 m atau lebih di atas permukaan laut. Di Lombok sebagian besar di atas 1.000 m. Di Sumbawa hanya di dataran tinggi pada ketinggian 800 m atau lebih. Sementara di Flores ketinggiannya 700-2140 m, namun sebagian besar di atas 1.000 m. Di pulau Sumba dan Timor, dapat dijumpai pada ketinggian di bawah 400 m diatas permukaan laut. Burung khas NTB ini mencari makan pada pepohonan yang berbunga seperti pohon dadap merah berupa nektar atau madu dan

200 Carstensen, D. W., Sweeny, R., Ehlers, B., & Olesen, J. M. (2011).

Coexistence and habitat preference of two Honeyeaters and a Sunbird on Lombok, Indonesia. Biotropica, 43(3), 351-356.

201(https://www.sobatlima.com/2020/07/cucak-kombokecial-kombo-beda-jantan-dan.html), diakses 15 Oktober 2020

76

terkadang juga menghampiri bunga–bunga pada pekarangan rumah di pemukiman warga202. Status konservasi untuk populasi burung Kecial kebrus menunut IUCN adalah LC atau "risiko rendah". Artinya populasinya masih cukup banyak di habitat aslinya. Burung Isap-madu topi-sisik cukup mudah dijumpai jika pengamat mengetahui jenis – jenis pohon atau tanaman berbunga yang merupakan sumber makanannya203. Meskipun populasi Burung Kecial kebrus termasuk kategori risiko rendah, burung ini tidak boleh ditangkap apalagi diperjualbelikan karena termasuk dilindungi (endemik). Burung ini berperan penting dalam ekosistem. Aktivitasnya sebagai burung penghisap madu membantu dalam kelestarian alam karena sebagai salah satu agen polinator (membantu penyebukan bunga pada tanaman)204. Poulasi semua satwa endemik Taman Nasional Gunung Rinjani mengalami penurunan. Berikut ini rangkuman status konservasi dan penyebab menurunnya populasi satwa-satwa tersebut (Tabel 1.3).

202 DaerahKita.com. (2019), Op.cit 203 BirdLife International. 2018. Lichmera lombokia. The IUCN Red List of

Threatened Species 2018: e.T22703943A130242801. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018-2.RLTS.T22703943A130242801.en. Downloaded on 26 October 2020.

204 DaerahKita.com. (2019), Op.cit

77

Tabel 1.3. Status konservasi dan penyebab menurunnya populasi satwa endemik TNGR

No. Jenis Satwa

Daerah Penyebaran dan Habitat

Status Konservasi

menurut IUCN

Penyebab menurunnya

populasi

1. Rusa Timor (Cervus timorensis: floresiensis: Heude, 1896) Javan Rusa Ordo: Artiodactyla Famili: Cervidae,

- Adonara I. dan Ijimandiri, Flores.

- Lombok, Sumbawa, NTT, Buton, Muna, Banggai(?), Selayar (?) Sula, Halmahera Batjan, Banda, Nusa Barung, Jawa, Sepandjang Kangean, Bali, Sulawesi, Buru, Seram

Molucca. Introduksi ke: S.E. Borneo, Obi

Rusa timorensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2015: e.T41789A22156866.

Penebangan (legal/ille-gal) untuk membuka hutan, aktivitas perburuan/ jebakan untuk perdagangan (daging utk konsumsi, dan kulit utk bahan tas, tanduk untuk pembuat-an asesoris), kebakaran, penggembalaan, dan agroforest

78

Ambon, Aru, New Guinea, North. Australia, New Zealand, New Britain, Sulawesi,

2. Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus, rindjanicus: Mertens 1929) Asian palm civet Ordo: Carnivora Famili: Viverridae

- Asia Selatan dan Asia Tenggara

- Habitat dijumpai di kawa-san-kawa-san dekat pemuki-man dan perkebunan penduduk

Paradoxu-rus herma-phroditus. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T41693A45217835.

Berkurangnya habitat, diburu karena dianggap sebagai hama hasil kebun dan ternak unggas, diburu untuk dipelihara sebagai penghasil kopi luwak

3. Lutung Bideng timur (Trachypithecus auratus auratus: E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) Javan langur Famili: Cercopithecidae,

- Pulau Lombok, Jawa Barat bagian timur hingga ke Jawa Timur, Pulau Sempu dan

"Trachypi-thecus auratus". IUCN Red List of Threatened Species. 2008: e.T22034A9348260.

Kehilangan dan degradasi habitat karena terdesak oleh perluasan lahan-lahan pertanian

79

Ordo: Primates Nusa Barung, Bali.

- Hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa air-tawar, hutan hujan dataran rendah, hutan gugur daun tropika, serta hutan pegunu-ngan hingga ketinggian sekitar 3.000-3.500 m dpl. Juga ditemukan di hutan-hutan tanaman jati, rasamala, dan akasia

dan permuki-man; fragmentasi habitat; serta perburuan untuk dimakan atau diperdagangkan sebagai hewan timangan

4. Trenggiling (Manis javanica: Desmarest, 1822) Malayan Pangolin Ordo: Pholatidae

- Daerah Asia Tenggara, terutama Indoma-laya

- Habitat

Terdaftar oleh IUCN The IUCN Red List of Threatened Species 2019:

Penebangan (legal/ille-gal) untuk membuka hutan, aktivitas perburuan,

80

Famili: Manidae

hutan primer dan sekunder, serta di areal budi-daya ter-masuk ke-bun dan perke-bunan, termasuk di dekat pemukim-an manusia

e.T12763A123584856 yang berarti bahwa M. javanica hampir terancam, dan hampir memenuhi kriteria yang diperlukan untuk didaftarkan sebagai rentan.

atau jebakan untuk perdagangan (bahan obat tradisional, daging utk konsumsi, dan kulit utk bahan tas), kebakaran, penggembalaan, dan agroforest

5. Kakatua jambul kuning kecil (Cacatua sulphurea parvula: Bonaparte, 1850) Yellow-crested Cockatoo Famili: Cacatuidae Ordo: Psittaciformes

- Nusa Penida (Bali), Lombok, Seluruh kepulauan di NTB dan NTT termasuk Timor Leste

- Hutan, hutan dataran rendah, dan hutan buatan.

Status Critically Endange-red (CR), spesies yang menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar sejak 2018

Konversi lahan ke pertanian dan pemuki-man, perburuan dan jebakan untuk perdaga-ngan burung sangkar, penya-kit, limbah per-tanian, peru-bahan iklim, kekeringan, badai, dan banjir

81

6. Burung cikukua tanduk (Philemon buceroides neglectus: Büttikofer, 1891) Helmeted Friarbird Famili: Meliphagidae, Ordo: Passeriformes,

- Nusa Tenggara (dari Barat sampai Alor)

- Penyebarannya di wilayah Nusa Tenggara

"Philemon buceroides". IUCN Red List of Threatened Species. 2012

Penebangan (legal/ille-gal) untuk membuka hutan, aktivitas perburuan, mengumpul-kan telur atau jebakan untuk perdagangan burung sangkar kebakaran, penggem-balaan, dan agroforest

7. Merpati punggung hitam dengan mahkota berwarna abu-abu (Ducula lacernulata Sasakensis: Hartert, 1896) (Dark-backed Imperial-pigeon) (Gray-crowned).

- Lombok, Sumbawa dan Flores

- Habiat hutan dataran rendah lembab subtropis atau tropis dan hutan pegu-nungan lembab subtropis atau tropis. Umumnya banyak

Ducula lacernu-lata. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T22691789A93324624.

Penebangan (legal/ille-gal) untuk membuka hutan, aktivitas perburuan, mengumpulkan telur atau jebakan untuk perdagangan burung sangkar kebakaran, penggembalaan, dan agroforest

82

ditemukan pada keting-gian sekitar 800-1.000 m dpl

8. Kecial kebrus (Lichmera lombokia: Mathews, 1926) The scaly-crowned honeyeater Famili Meliphagidae, Ordo Passeriformes

Pulau Lombok, Sumbawa dan Flores

Lichmera lombokia. The IUCN Red List of Threatened Species 2018: e.T22703943A130242801.

Penebangan (legal/illegal) untuk membuka hutan, aktivitas perburuan, mengumpulkan telur atau jebakan untuk perdagangan burung sangkar kebakaran, penggembalaan, dan agroforest

d. Profil Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)

Rinjani Barat

Setelah dibentuk TNGR pada tahun 2005, maka pada tahun 2009 dibentuklah KPHL, dengan maksud agar kondisi hutan di Pulau Lombok menjadi lebih lestari. Salah satu KPHL yang ada di Pulau Lombok adalah KPHL Rinjani Barat. KPHL Rinjani Barat dibentuk dengan Kepmenhut Nomor 337/Menhut/VII/2009 tanggal 15 Juni 2009. Berikut ini akan diuraikan gambaran umum KPHL Rinjani Barat.

83

1). Luas wilayah dan Kondisi biofisik

Kabupaten Lombok Utara dan Kabuapaten Lombok Barat, NTB., merupakan dua kabupaten yang menjadi wilayah kerja KPHL Rinjani Barat. KPHL Rinjani Barat selanjutnya dijadikan sebagai KPHL Model di NTB berdasarkan Kep. Menhut No. SK.785/ Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009. Luas wilayah kerjanya terbagi menjadi hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap, dengan total luas keseluruhan 40.963 ha205,206.

Lanangputra dan Mukarom (2011), dan Mukarom et al., (2012), menyebutkan bahwa kondisi biofisik KPHL Rinjani Barat beragam, dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Ketinggian tempat dan topografi: ketinggiannya dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian luar mengelilingi kawasan mempunyai ketinggian tempat 100-500 m dpl, dengan topografi datar sampai landai, dan bagian dalam kawasan mempunyai ketinggian 500-2000 m dpl dengan topografi berombak sampai berbukit. Kemiringan lapangan terdiri atas: curam (> 25%) seluas ± 19.672 ha, sedang-agak curam (15-25%) seluas ± 18.033 ha, dan datar (< 15%) seluas ± 3.278 ha. 2) Iklim: kondisi iklim antara lain curah hujan antara 400 - 4.250 mm, bulan kering antara 4 - 8 bulan, temperatur antara 22ºC - 32ºC, dengan tipe iklim D - E. 3) Letak geografis, berada pada bagian barat laut Pulau Lombok, berbatasan dengan pemukiman penduduk dan kawasan konservasi antara lain TNGR, TWA Kerandangan, TWA Suranadi dan TAHURA Nuraksa Sesaot; termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Narmada, Lingsar, Gunung Sari dan Batulayar,

205 Alviya, I., & Suryandari, E. Y. (2009). Kendala dan strategi implementasi

pembangunan KPH Rinjani Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 6(1), 1-14.

206 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011), Op.cit..

84

Kabupaten Lombok Barat; serta Kecamatan Pemenang, Tanjung, Gondang, Bayan dan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara; sedangkan menurut wilayah DAS termasuk ke dalam DAS Dodokan di bagian selatan dan DAS Putih di bagian utara207,208.

2). Sumberdaya hutan dan perlindungannya

Vegetasi kawasan KPHL Rinjani Barat sebagian besar didominasi jenis rajumas, bajur, gaharu, sentul, klanjuh, dan bambu; sedangkan jenis tanaman yang ditanam melalui berbagai program rehabilitasi, selain tanaman rajumas dan gaharu, antara lain sonokeling, mahoni, sengon, durian, kemiri, aren, nangka, petai, melinjo, alpukat, manggis serta tanaman bawah tegakan seperti kakao, vanili, kopi, dan rumput ketak. Pengalokasian lahan di KPHL Rinjani Barat disajikan pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Penutupan Lahan pada KPHL Rinjani Barat

No. Status Lahan Luas (ha)

1. Hutan Lahan Kering Primer 32.483

2. Hutan Lahan Kering Sekunder 4.716

3. Perkebunan 16

4. Pertanian Lahan Kering 17

5. Pertanian Lahan Kering campur Semak

386

207 Ibid 208 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno.

(2012), Op.cit

85

6. Semak/Belukar 2.129

7. Tanah Terbuka 12

8. Tertutup Awan 344

Sumber:209,210

KPHL Model Rinjani Barat belum memiliki organisasi pengelola yang bekerja di tingkat tapak. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, telah dirintis upaya kerjasama pengamanan hutan swadaya dengan beberapa kelompok tani hutan (KTH), walaupun hanya dikaitkan dengan kegiatan pemeliharaan tanaman dan dalam luasan wilayah yang terbatas. KTH tersebut antara lain KTH peserta kegiatan PHTUL di areal eks HPH Monggal, Buani dan Kalipucak, serta HKm di Santong. Prioritas kegiatan perlindungan hutan pada KPHL Model Rinjani Barat antara lain; (1). Proses hukum kasus penguasaan kawasan hutan di Pondok Ijong, Lempajang, Busur Atas, Senjajak, Kuripan dan Senaru; (2). Proses hukum sertifikasi kawasan hutan di Rempek; (3). Patroli rutin batas/alur petak; (4). Penjagaan rutin pos pengamanan hutan terpadu; (5). Pengendalian penggembalaan liar dan penyediaan pakan ternak; (6). Pembuatan jalur sekat bakar; (7). Operasi pengamanan hutan terpadu; serta (8). Upaya mendorong terbentuknya Dewan Pengadilan Awig-awig211,212.

209 Alviya, I., & Suryandari, E. Y. (2009), Op.cit... 210 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011), Op.cit.. 211 Alviya, I., & Suryandari, E. Y. (2009), Op.cit... 212 Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin, & Sutikno.

(2012), Op.cit

86

3). Potensi ekonomi dan sosial budaya

Terdapat sekitar 600.000 jiwa masyarakat yang bermukim di Lingkar Rinjani, dan sebanyak 70% di antaranya tergolong miskin. Namun, di lokasi yang sudah terbangun kegiatan pengelolaan hutan kemasyarakatan, menunjukkan adanya tambahan pendapatan dari hasil panen tanaman produktif yang ditanam di antara tegakan hutan. Peserta kegiatan memperoleh hasil panen perdana tanaman kopi, kakao, vanili dan pisang yang ditanam di antara tegakan hutan. Di Lombok Utara juga terdapat 12 desa yang memiliki 14 lembaga adat yang mengelola 31 hutan adat (di dalam/di luar kawasan hutan) dengan menerapkan awig-awig pengelolaan hutan. Selain potensi flora dan fauna, juga terdapat potensi wisata alam berupa air terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep di Senaru, air terjun Tiu Saung dan Tiu Frendo di Dusun Selelos, Bentek, Gangga yang merupakan objek wisata utama213,214. Keberadaan air terjun di TNGR, merupakan salah satu destinasi utama di KLU, Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Ini tentu saja memberikan manfaat ekonomi, bukan saja bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Lingkar Rinjani, tetapi juga bagi pihak-pihak lain, misalnya pelaku perjalanan wisata. Banyaknya air terjun yang ada di wilayah sekitar Lingkar Rinjani, merupakan salah satu dampak positif dari keberadaan TNGR, karena semua mata airnya berasal dari Danau Segara Anak yang terdapat di Gunung Rinjani.

a. Air Terjun di KLU

Selain gili dan pantai, air terjun juga merupakan salah satu destinasi andalan pariwisata KLU. Di KLU terdapat banyak air 213 (Tim Peneliti & Pengkaji Lombok Barat (2006), Op.cit... 214 Lanangputra, I.B., & Mukarom, M., (2011), Op.cit..

87

terjun. Selain Air Terjun Sendang Gile dan Air Terjun Tiu Kelep, yang keduanya sudah terlebih dulu melegenda dan mendunia, KLU juga mempunyai air terjun yang lain, di antaranya Air Terjun Tiu Ngumbak, Air terjun Kerta Gangga, Air Terjun Tiu Pupus, Air Terjun Tiu Teja, Air Terjun Tiu Siung, dan Air Terjun Tiu Frendo.

1. Air Terjunn Sendang Gile Air Terjun Sendang Gile berlokasi di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Mataram menuju lokasi objek wisata. Dari gerbang masuk wisata kita tinggal menuruni anak tangga yang telah tersedia untuk mencapai lokasi air terjun. Semakin lama menuruni anak tangga maka suara deburan air terjun akan semakin terdengar dengan jelas. Air Terjun Sendang Gile terletak di ketinggian 486 mdpl. dengan ketinggian air terjun sekitar 30 meter215 (Gambar 1.15).

Gambar 1.15. Air Terjun Sendang Gile,

Desa Senaru Kec. Bayan KLU216

215 (https://newswantara.com/destinasi/sendang-gile-dan-tiu-kelep-menjadi-

paket-lengkap-pendaki-rinjani, diakses 15-10-2020 216 Ibid

88

2. Air Terjun Tiu Kelep

Masih di lokasi yang sama dengan Air Terjun Sendang Gile, para wisatawan bisa juga menikmati panorama Air Terjun Tiu Kelep. Nama Tiu Kelep sendiri memiliki arti ‘kolam terbang’. Dinamakan demikian karena pada bagian dasarnya terdapat kolam cekungan yang kira-kira hanya sepinggang orang dewasa, dengan tinggi luncuran air sekitar 45 meter yang menghujam kolam di bawahnya. Memang relatif lebih tinggi jika dibandingkan Sendang Gile yang hanya mencapai 30 meter 217(Gambar 1.16).

Gambar 1.16. Air Terjun Tiu Kelep,

Desa Senaru Kec. Bayan KLU218

Rute yang harus dilalui, yakni dengan meneruskan perjalanan menyusuri hutan dan sungai dari Sendang Gile menuju Tiu Kelep dengan waktu tempuh selama 1 jam. Jalur yang dilewati adalah jalur setapak yang cukup licin dan terjal sehingga para pengunjung perlu untuk berhati-hati. Namun, perjalanan panjang yang cukup memacu adrenalin tersebut akan terbayar lunas dengan pesona Tiu Kelep yang tak kalah dengan air terjun lainnya di Pulau Lombok. Air Terjun Tiu Kelep masih lebih sepi dibandingkan dengan Air

217 Ibid 218 Ibid

89

Terjun Sendang Gile, selain itu, di bawah air terjunnya juga terlihat pelangi saat matahari sedang terik-teriknya219.

3 Air Terjun Tiu Ngumbak

Air Terjun Tiu Ngumbak berlokasi di Dusun Beleq, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara. Dari Kota Mataram kita membutuhkan waktu selama sekitar 2 – 2,5 jam menggunakan kendaraan bermotor ke Dusun Baleq. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki hutan menuju ke lokasi dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Air Terjun Tiu Ngumbak memiliki ketinggian sekitar 40 meter. Dinamakan Air Terjun Tiu Ngumbak atau Tiu Umbak karena air yang jatuh menghantam bebatuan dan genangan air kolam di bawahnya, sehingga menimbulkan gelombang seperti ombak220, (Gambar 1.17).

Gambar 1.17. Air Terjun Tiu Ngumbak atau Tiu Umbak221

219 Ibid 220 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-KLU), diakses 20

Oktober 2020 221 Ibid

90

4. Air Terjun Kerta Gangga

Air terjun Kerta Gangga berjarak sekitar 42 kilometer dari Kota Mataram, tepatnya di Dusun Kerta, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Itulah penyebab air terjun ini disebut dengan Air Terjun Kerta Genggelang. Perjalanan menuju lokasi wisata ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 – 2 jam menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Mataram. Sedangkan lokasi air terjun sendiri berjarak sekitar 2 km dari pintu masuk Dusuk Kerta. Perbedaan air terjun ini dengan yang lain adalah keberadaan tiga air terjun yang saling terhubung serta berdekatan dan berada di satu kawasan. Air Terjun Kerta Gangga memiliki dua tingkatan, satu di bawah dan dua di atas. Untuk tingkatan yang di atas letaknya berdampingan, akan tetapi yang satu letaknya agak tersembunyi. Untuk mencapainya harus melewati jembatan bambu kecil. Masing- masing ketinggian Air Terjun Kerta Gangga mencapai 35 hingga 40 meter, dengan nuansa yang alami dan elok222 (Gambar 1.18)

Gambar 1.18. Air Terjun Kerta Gangga223

222 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-KLU),

diakses 10 Oktober 2020 223 Ibid

91

5. Air Terjun Tiu Pupus Air terjun ini terletak di Dusun Kerurak, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Mataram, hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 1 jam menggunakan kendaraan bermotor. Kondisi air terjun masih sangat alami dengan pemandangan yang masih asri. Namanya ini diambil dari penampakannya yakni sebuah air yang muncul dari celah-celah akar pohon (pupus). Air Tiu Pupus memiliki ketinggian sekitar 20 meter, di bawahnya membentuk kolam dengan luas sekitar 10 m2, dengan kedalaman sekitar 4 meter224 (Gambar 1.19)

Gambar 1.19. Air Terjun Tiu Pupus225 6. Air Terjun Tiu Eja

Lokasi Air Terjun Tiu Eja berada tepat berada di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, dapat

224 https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-KLU), diakses 10


92

ditempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih 1,5 jam menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Mataram. Objek wisata ini memiliki dua air terjun yang sangat mirip, sehingga disebut juga sebagai Air Terjun Kembar, ketinggiannya sekitar 50 meter. Saat sinar matahari menembus partikel-partikel air yang jatuh, cahaya tersebut membias dan membentuk pelangi, sehingga air terjun ini juga dikenal dengan Air Terjun Pelangi226 (Gambar 1.20).

Gambar 1.20. Air Terjun Tiu Eja227 b. Air Terjun di Lombok Barat

Di Kabupaten Lombok Barat terdapat sekitar 4 air terjun yang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan. Keempatnya itu adalah: Air Terjun Timponan, Air Terjun Kebon Baru, Air Terjun, Air Terjun Batu Butir, dan Air Terjun Kumbi

226 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-KLU), diakses 10


93

1. Air Terjun Timponan

Air Terjun Timponan berlokasi di Desa Karang Bayan, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Air terjun dengan ketinggian lebih dari 45 meter ini memiliki sebuah kolam alami di bagian bawahnya. Untuk mencapai lokasinya, membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan darat dari Kota Mataram, kemudian diteruskan dengan melewati jalan setapak membelah hutan dan perkebunan milik warga228 (Gambar 1.21).

Gambar 1.21. Air Terjun Timponan229

2. Air Kebon Baru

Air Terjun Kebon Baro terletak tepat di Dusun Kebon Baru, Desa Giri Madya, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Salah satu objek wisata di Lombok ini berjarak sekitar 25 km dari Kota Mataram. Perjalanan dari Mataram menuju lokasi bisa ditempuh menggunakan kendaraan bermotor selama kurang dari satu jam, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju titik lokasi air terjun selama kurang 228 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-lobar), diakses 10


94

lebih 45 menit. Terdapat dua tingkatan air terjun di lokasi ini. Tingkatan yang pertama setinggi 30 meter, sedangkan yang kedua setinggi 10 meter230 (Gambar 1.22).

Gambar 1.22. Air Terjun Kebon Baru231

3. Air Terjun Batu Butir

Air Terjun Batu Butir merupakan salah satu nama air terjun yang terletak di Pulau Lombok, tepatnya di Dusun Batu Butir, Desa Medas, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Selain lingkungannya yang asri dan sejuk, keunikan lainnya dari air terjun ini adalah jumlah dari air terjunnya. Di objek wisat air terjun ini terdapat lima air terjun, empat di antaranya saling berdekatan232 (Gambar 1.23).

230 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-lobar), diakses 10

Oktober 2020 231 Ibid 232 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-lobar), diakses 10

Oktober 2020

95

Gambar 1.23. Air Terjun Batu Butir233 4. Air Terjun Kumbi

Air Terjun Kumbi berada di Dusun Kumbi, Desa Pakuan, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Rute yang ditempuh jika berangkat dari Mataram melewati Narmada kemudian Sesaot hingga Balai Taman Hutan Raya Nuraksa dengan waktu tempuh berkisar dua jam. Untuk menuju ke sini, para wisatawan hanya dapat menggunakan kendaraannya hingga area parkir Taman Hutan Raya Nuraksa. Setelah itu para wisatawan melanjutkan dengan berjalan kaki dengan rute normal dan menurun234 (Gambar 1.24)

233 Ibid 234 (https://javawisata.com/sejuk-dan-indanya-air-terjun-kumbi-di-

lombok.html)

96

Gambar 1.24. Air Terjun Kumbi235

c. Air Terjun di Lombok Tengah

Di Lombok Tengah terdapat sekitar tujuh air terjun yang sudah mulai ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Ke tujuh air terjun tersebut adalah: Air Terjun Benang Kelambu, Air Terjun Benang Stokel, Air Terjun Batu Janggot, Air Terjun Titian Batu Kawangan, Air Terjun Juret Pandan, Air Terjun Sesere, dan Air Terjun Babak Pelangi

1. Air Terjun Benang Kelambu

Air Terjun Benang Kelambu berada di Dusun Pemotong, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), berjarak sekitar 30 km dari Kota Mataram. Dinamakan benang kelambu karena aliran air yang mengalir muncul dari rongga-rongga tebing menjulang yang ditutupi oleh rimbunnya tanaman membuat air terjun ini terlihat seperti benang kelambu yang menutupi tebing hijau. Air terjun ini merupakan gabungan dari beberapa air terjun yang berada di satu

235 Ibid

97

tebing yang sama. Setiap air terjun di objek wisata ini hanya terpisah dengan jarak kurang lebih lima meteran saja. Air terjun ini ada 3 tingkatan yang dimilikinya. Tingkatan pertama dari air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 30 meter, tingkatan kedua sekitar 10 meter dan tingkatan ketiga sekitar 5 meter. Kawasan Air Terjun Benang Kelambu terletak di kaki Gunung Rinjani, sehingga tak heran jika suasana di sekitar air terjun tersebut terasa sejuk dan sangat asri serta menjadikannya sebagai salah satu favorit wisata air terjun di Lombok Tengah236 (Gambar 1.25).

Gambar 1.25. Air Terjun Benang Kelambu237

2. Air Terjun Benang Stokel

Air Terjun Benang Stokel berlokasi sekitar 500 meter dari Air terjun Benang Kelambu, dan berada di dusun yang sama. Objek wisata ini memiliki dua air terjun dengan ketinggian sekitar 30 meter. Karena memiliki dua air terjun masyarakat setempat juga menyebutnya sebagai Air Terjun Kembar. Stokel berasal dari 236 (https://www.pikniktoday.com/2020/09/air-terjun-di-lombok-

tengah.html), diakses 10 Oktober 2020 237 Ibid

98

bahasa Sasak yang berarti segumpal benang dan diambil dari bentuknya yang menyerupai benang yang terikat menjadi satu238 (Gambar 1.26).

Gambar 1.26. Air Terjun Benang Stokel239 3. Air Terjun Batu Janggot Air Terjun Batu Janggot memiliki ketinggian kurang lebih 10 meter. Air terjun ini terbentuk dari aliran sungai dengan kolam jatuhan yang dalam, sehingga terlihat seperti sungai bawah tanah yang unik. Airnya bening dan dingin dengan tebing-tebing tinggi yang mengitarinya serta kolam dangkal di bawah air terjun240 (Gambar 1.27).

238 (https://www.pikniktoday.com/2020/09/air-terjun-di-lombok-

tengah.html), diakses 10 Oktober 2020 239 Ibid 240 (https://www.pikniktoday.com/2020/09/air-terjun-di-lombok-

tengah.html, diakses 10 Oktober 2020

99

Gambar 1.27. Air Terjun Batu Janggot241 4. Air Terjun Titian Batukawangan

Air Terjun Titian Batukawangan atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Lombok dengan nama Air Terjun Tete Batu. Objek wisata air terjun ini terletak di Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dan dapat ditempuh kurang lebih 2,5 jam dari kota Mataram menggunakan motor atau mobil pribadi242.

241 Ibid 242 Ibid

100

Gambar 1.28. Air Terjun Titian Batukawangan243 5. Air Terjun Juret Pandan Air Terjun Juret Pandan berada di antara Desa Tete Batu, dan Desa Lantan Daya, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Ternggara Barat (NTB). Nama air terjun ini berasal dari kata joret yang berarti ujung sedangkan pandan merupakan tanaman pandan. Air terjun ini tidak terlalu tinggi kurang lebih 10 meter namaun air nya yang sejuk dapat menyegarkan. kolam air terjunnya cukup luas dengan kedalaman ujung mecapai 170 cm lebih. Untuk menuju air terjun, harus menempuh jalan tidak beraspal yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dengan panjang jalan kurang lebih 4 km. Jalan ini merupakan jalanya para petani kebun pisang mengankut hasil taninya ke desa. Dulunya jalan ini merupakan jalan petani kopi karena di sepanjang jalan samping kiri kanan jalan terdapat perkebunan kopi. Letak air terjun ini kira-kira 7 km dari kantor Desa Lantan244 (Gambar 1.29). 243 Ibid 244 (https://mutiarasasak.blogspot.com/2014/11/air-terjun-joret-

pandan.html), diakses 10 Oktober 2020

101

Gambar 1.29. Air Terjun Juret Pandan245 6. Air Terjun Sesere

Lokasi Air Terjun Sesere berada di Paok Motoh Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Air terjun dengan ketinggian kurang lebih 15 meter ini berada di bawah Air Terjun Benang Stokel246 (Gambar 1.30).

245 Ibid 246 (https://blogkulo.com/daftar-wisata-air-terjun-di-lombok-tengah/),

diakses 10 Oktober 2020

102

Gambar 1.30. Air Terjun Sesere247 7. Air Terjun Babak Pelangi

Adapun Air Terjun Babak Pelangi termasuk satu yang paling mudah diakses. Lokasinya berada di hutan, masuk wilayah Dusun Rerante, Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara .Dengan ketinggian air terjun sekitar 10 meter, airnya terjun deras hampir di setiap musim. Terbentuklah kolam penampungan alami yang cukup luas dengan kedalaman terdalam mencapai 2,5 meter248 (Gambar 1.31).

247 Ibid 248 Ibid

103

Gambar 1.31. Air Terjun Babak Pelangi249 d. Air Terjun di Lombok Timur

1. Air Terjun Jeruk Manis Air Terjun Jeruk Manis berlokasi di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, NTB dengan jarak sekitar 50 km dari Kota Mataram. Ketinggian air terjun ini sekitar 40 meter dengan curahan air yang cukup deras sehingga para pengunjung dihimbau untuk tetap berhati-hati250 (Gambar 1.32).

249 Ibid 250 (https://firstlomboktour.com/air-terjun/air-terjun-di-lombok-

timur), diakses 10 Oktober 2020

104

Gambar 1.32. Air Terjun Jeruk Manis251 2. Air Terjun Madu Air terjun ini terletak di Dusun Birak, Desa Bilok Petung, dengan jarak sekitar 173 km dari pusat kota Mataram dan waktu tempuh sekitar 4 jam. Airnya yang mengandung sulphur atau belerang ternyata mampu menyembuhkan beberapa penyakit kulit. Tinggi air terjun mencapai 20 meter dengan sebuah kolam atau telaga di bagian bawahnya, sehingga para wisatawan bisa bebas berenang dan berendam karena kedalaman kolam hanya sekitar 0,5 -1,5 meter. Di tebing sebelah barat terdapat pancuran air bersih untuk membilas sisa-sisa belerang saat berendam252 (Gambar 1.33).

251 Ibid 252 (https://datulomboktour.com/perpaduan-khasiat-dan- keindahan-dari-

air-terjun-madu-lombok/), diakses 10 Oktober 2020

105

Gambar 1.33. Air Terjun Madu253 3. Air Terjun Semporonan Air terjun Semporonan terletak di kawasan hutan lindung Senggigi, tepatnya di Desa Timba Nuh, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Untuk mencapai lokasi air terjun ini, dibutuhkan waktu 25-30 menit dari Kota Selong, Ibukota Kabupaten Lombok Timur254 (Gambar 1.34).

253 Ibid 254 (https://travelingyuk.com/objek-wisata/air-terjun-semporonan/3813),

diakses 10 Oktober 2020

106

Gambar 1.34. Air Terjun Semporonan255 4. Air Terjun Mangku Sakti Mangku Sakti adalah nama objek wisata air terjun di kaki Gunung Rinjani, tepatnya berada di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Dengan ketinggian sekitar 40 meter, aliran air di air terjun ini bercampur dengan belerang sehingga warnanya cenderung seperti susu. Di bawah air terjun terdapat kolam yang cukup besar dengan kedalaman yang cukup dalam sekitar 2-4 meter256 (Gambar 1.35).

255 Ibid 256 (https://www.traveloka.com/en-au/activities/indonesia /product/

lombok-sembalun-and-mangku-sakti-1-day-tour), diakses 10-10-2020

107

Gambar 1.35. Air Terjun Mangku Sakti257

5. Air Terjun Mangku Kodek Air Terjun Mangku Kodek berada di Jalan Raya Sembalun, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun. Kodek, dalam bahasa suku sasak, memiliki arti monyet. Mangku Kodek tersembunyi di antara tebing-tebing tinggi. Untuk mencapainya, harus menyusuri sungai terlebih dahulu sebelum dapat menyaksikan pemandangan ini. Air terjunnya tidak tinggi, hanya 3 meter dari permukaan258 (Gambar 1.36).

257 Ibid 258 (https://travelingyuk.com/mangku-kodek-lombok-timur/66810)

diakses 10-10-2020

108

Gambar 1.36. Air Terjun Mangku Kodek259 6. Air Terjun Kuda Sembrani Air Terjun Kuda Sembrani berjarak sekitar 92 km dari pusat Kota Mataram. Bisa dijangkau dengan perjalanan kurang lebih dua setengah jam perjalanan. Dari arah timur, bisa berkendara ke arah Jalan Raya Masbagik atau jalur utara Lombok. Wisata air terjun ini masuk dalam wilayah Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Air terjun kuda sembrani ini memiliki ketinggian sekitar 15 meter dan memiliki kolam alami di bawahnya yang paling luas di banding mangku sakti dan mangku kodeq. Kedalaman kolam tersebut berkisar 1 hingga 2.5 meter260 (Gambar 1.37)

259 Ibid 260 (https://travelingyuk.com/air-terjun-kuda-sembrani-lombok/175560),

diakses 10-10-2020

109

Gambar 1.37. Air Terjun Kuda Sembrani261

7. Air Terjun Umar Maya

Air Terjun Umar Maya berada di Kabupaten Lombok Timur, tepatnya di Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Lokasinya berjarak sekitar 173 kilometer dari Kota Mataram, bisa ditempuh dalam waktu 4-5 jam menggunakan kendaraan bermotor. Untuk mencapai lokasi air terjun, para pengunjung harus rela berjalan kaki dari lokasi parkir menuju lokasi air terjun. Perjalanan ini membutuhkan waktu sekitar 25-30 menit. Airnya berwarna putih kehijauan, dengan tinggi air terjun sekitar 6 meter dan telaga yang cukup luas untuk berendam dan berenang262 (Gambar 1.38).

261 Ibid 262 https ://paketwisatalombok99.blogspot.com/2018/08/wisata-air-terjun-

umar-maya.html), diakses 10-10-2020

110

Gambar 1.38. Air Terjun Umar Maya263

8. Air Terjun Otak Kokok

Air Terjun Otak Kokoq atau lebih dikenal dengan nama Joben, berada di Desa Montong Betok, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur, kurang lebih 50 km dari kota Mataram. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Objek wisata ini terkenal dengan air terjunnya yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit264 (Gambar 1.39).

263 Ibid 264 (https://www.travelmurahlombok.com/wisata-objek-air-terjun-otak-

kokok-lombok/), diakses 10-10-2020

111

Gambar 1.39. Air Terjun Otak Kokok265 Balai Taman Nasional Gunung Rinjani selaku pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani mempunyai Tugas Pokok "Penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Berdasarkan Ketentuan Peraturan erundang-Undangan”. Untuk menjalankan tugas pokok tersebut, fungsi Balai Taman Nasional Gunung Rinjani adalah: a. Inventarisasi potensi, penataan kawsan dan penyusunan rencana

pengelolaan; b. Perlindungan dan pengamanan kawasan; c. Pengendalian dampak kerusakan sumber daya alam hayati; d. Pengembangan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar

untuk kepentingan non komersial; e. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya

serta sumberdaya genetik dan pengetahuan tradisional di dalam kawasan;

f. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan; g. Evaluasi kesesuaianfungsi, pemulihan ekosistem dan penutupan

265 Ibid

112

kawasan h. Penyediaan data dan informasi, promosi dan pemasaran

konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya; i. Pengembangan kerjasama dan kemitraan bidang konservasi

sumberdaya alam dan ekosistemnya; j. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi

sumber daya alam dan ekosistemnya; k. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan; dan l. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga serta

kehumasan

113

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah semua pengetahuan, nilai, etika, dan moral, serta norma, yang dipakai sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku oleh masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya alamnya266,267. Sementara itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 1 angka 30, disebutkan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari268,269. Jika batasan di atas dikaitkan dengan pengelolaan hutan, maka kearifan lokal berarti pedoman bersikap dan berperilaku suatu masyarakat adat dalam mengelola hutannya secara lestari, yang diwariskan secara turun temurun antar generasi. Pedoman dalam bersikap dan berperilaku tersebut dimaksudkan untuk menjaga harmonisasi hubungan antara manusia dengan sesama, Tuhan, dan alam. Keberadaan kearifan lokal sangat diperlukan karena setiap kearifan lokal di berbagai daerah memiliki kesamaan fungsi sebagai 266 Nurjaya, I. N. (2008). Pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif antropologi

hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 267 Siswadi, S., Taruna, T., & Purnaweni, H. (2011). Kearifan lokal dalam

melestarikan mata air (studi kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal). Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), 63-68.

268 Anonim. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. p. 110.

269 Siombo, M.R. (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum,3(18), 428-443.

114

pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dan berinteraksi dengan alam. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat memiliki karakteristik, di antaranya: Pertama, kearifan lokal itu milik komunitas, kepemilikan yang individual atas pengetahuan dan teknologi dengan sadar akan menegasi dan menghancurkan eksistensi kearifan dan pengetahuan tradisonal itu sendiri. Kepemilikan komunal atas pengetahuan kearifan lokal ingin menunjukkan bahwa ia terbuka untuk diketahui, diajarkan, dimiliki, dan dihayati semua anggota komunitas; Kedua, kearifan lokal juga berarti pengetahuan khas kearifan yang bersifat praksis, yakni pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam; Ketiga, kearifan lokal itu bersifat holistik, alam adalah “jaring kehidupan” yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu pengetahuan yang menyeluruh; Keempat, kearifan lokal itu memformulasikan semua aktivitas masyarakat terhadap alam adalah aktivitas moral, perilaku itu dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral; dan Kelima, kearifan lokal itu bersifat lokal, tidak seperti pengetahuan Barat yang mengklaim dirinya sebagai universal, kearifan lokal terkait dengan kekhasan tempat yang partikular dan konkret. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan lokal ternyata ditemukan di semua masyarakat adat/lokal di seluruh dunia, dengan substansi yang sama270.

270 Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara.

115

Praktek kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam sebenarnya bukan hal yang baru, karena telah dikenal sejak zaman dulu. Mangunjaya (2007) menyebutkan beberapa kebijakan berikut yang berkaitan dengan hal tersebut: a) Contoh terawal yang tercatat adalah diumumkannya secara resmi oleh raja Asoka (252 SM) dari India tentang perlindungan satwa, ikan, dan hutan; b). Berikutnya, Nabi Muhammad SAW (624-634 M) juga membuat kawasan konservasi, yang dikenal dengan istilah hima’ di Madinah; c). Kemudian Raja William I dari Inggris (1084 M) memerintahkan penyiapan The Doomesday Book, yaitu perencanaan nasional bagi pengelolaan pembangunan negaranya yang berkaitan dengan inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan271.

B. Arti Penting Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal

Pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu model pengelolaan hutan, karena memiliki beberapa kelebihhan, di antaranya: menjamin terpeliharanya ekosistem secara berkelanjutan, menjamin pembagian sumberdaya hutan secara berkeadilan, mencegah terjadinya konflik antar masyarakat adat dengan multipihak, dan relevan dengan Agenda Abad 21.

1. Menjamin terpeliharanya ekosistem secara berkelanjutan

Kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat telah berhasil menciptakan harmonisasi antara ekosistem hutan dengan

271 Mangunjaya, F.M. (2007). Konservasi Alam dan Lingkungan dalam Perspektif Islam. Jurnal Islamia, 3(2), 90-96.

116

masyarakat yang hidup di dalam hutan maupun sekitar hutan. Terwujudnya harmonisasi karena praktik tersebut telah berlangsung selama ratusan tahun, dan sudah mengakar serta dijalani secara turun temurun sebagai suatu jalan hidup. Praktik pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup Bab II Pasal 4, yang menyatakan bahwa setiap pemanfaatan lingkungan hidup harus bertujuan, seperti tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi serta membina lingkungan hidup; terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana; terlindunginya Indonesia terhadap dampak dari luar yang dapat menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sebagaimana yang dipraktikkan dalam kearifan lokal, menurut Nurjaya (2008) berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu: a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); c. Mengendalikan cara-cara

117

pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (pemanfaatan secara lestari)272. 2. Menjamin pemanfaatan sumberdaya hutan secara

berkeadilan

Pemanfaatan sumberdaya alam juga harus mencerminkan rasa keadilan antar kelompok masyarakat (di internal masyarakat adat sendiri, dan antar masyarakat adat dengan masyarakat di luar), dan antar generasi (generasi saat ini dengan generasi yang akan datang). Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam menyebabkan prinsip keadilan itu sulit terpenuhi. Masing-masing pihak yang terlibat cenderung mengutamakan kepentingan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan kelompok yang lain. Faktor inilah yang seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pemanfaatan sumberdaya hutan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Fathoni (2013) bahwa persoalan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam memang merupakan salah satu persoalan esensial di dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam menciptkan stabilitas di masyarakat. Hal ini karena sumber daya alam, khususnya bidang agraria, sesungguhnya merupakan tempat menggantungkan keberlanjutan hidup dan cerminan harga diri suatu masyarakat. Karena begitu vitalnya persoalan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam ini bagi masyarakat, Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sebagai aturan dasar pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, menempatkan “keadilan” sebagai tujuan dibentuknya aturan ini

”…bumi, air dan ruang angkasa, sebakarunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang

272 Nurjaya, I. N. (2008), Op.cit

118

adil dan makmur (Undang-Undang Pokok Agraria 1960 bagian menimbang huruf a) Tujuan Undang-undang pokok agraria ialah meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan membawa kemakmuran kebahagiaan dan keadilan (Penjelasan umum Undang- Undang Pokok Agraria 1960)273

3. Mencegah terjadinya konflik antar masyarakat adat dengan multipihak

Pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dapat mencegah terjadinya konflik, baik konflik internal di dalam masyarakat adat sendiri, maupun konflik masyarakat adat dengan pihak eksternal. Seharusnya konflik seperti ini dapat dihindari jika masing-masing pihak memahami tugas dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan hutan. Berikut ini beberapa konflik yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, dapat dicermati dari kasus-kasus pada taman-taman nasional, seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Konflik masyarakat adat dengan pihak eksternal

No. Kawasan Konservasi Aktor dan Kasus/Konflik

1.

Taman Nasional Komodo (TNK) NTT

a. Masyarakat adat Sape dan Masyarakat adat Labuhan Bajo VS TNK & TNC (The Nature Conservacy).

b. Larangan menangkap ikan pada

273 Fathoni, M. Y. (2013). Konsep keadilan dalam pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam menurut Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Kajian Hukum dan Keadilan, 1(1), 44-59

119

zona larangan (zona ditetapkan sepihak dan tidak pernah dikonsultasikan dengan masyarakat

c. TNK sebagai lahan konsesi TNC untuk ekowisata

d. Konflik dengan kekerasan

e. Kearifan lokal wilayah tangkapan ikan

2. Taman Nasional Gunung Merapai DIY dan Jateng

a. Masyarakat lokal VS TNGM

b. Hak atas informasi, partisipasi, dan berpendapat telah diabaikan

c. Pemindahan masyarakat yang telah tinggal turun temurun

d. Kearifan lokal konservasi hutan “Alas Mbiyungan”

3. Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), Jatim

a. Masyarakat Tengger VS TNBTS

b. Pembiaran penghilangan tanah pada enclave

c. Terbatasnya hak-hak akses tradisional atas kawasan hutan

d. Privatisasi TNBTS untuk wisata

e. Perlawanan tidak tampak ke permukaan tetapi berpotensi muncul

120

f. Kearifan lokal menjaga ibu bumi (tanah) sebagai menjaga keselamatan leluhur dan Sang Hyang Widhi

4. Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) Sultra

a. Masyarakat adat Wakatobi VS TNKW, PT Wakatobi Diver Resort (PMA Swiss) Yayasan Operation Walacea, (berpusat di UK), TNC dan WWF

b. Nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut dilarang memasuki kawasan yang telah dizonasi secara sepihak menjadi zona terlarang, zona riset, dan zona pemanfaatan

c. TNKW sebagai lahan wisata penelitian, bahari, dan konservasi steril dari masyarakat

d. Terjadi perampasan tanah, konflik belum selesai

e. Kearifan lokal “laut tempat mencari hidup, daratan tempat tinggal, menghormati laut menghormati kehidupan”

5. Taman Nasional Lore Lindu

a. Masyarakat adat Sinduru VS TNLL

121

(TNLL) Sulteng b. Lahan masyarakat sebagai sumber ekonomi dipindahkan

c. Masyarakat tidak mau diubah kebiasaan bercocok tanamnya

d. Pendudukan TNLL oleh masyarakat

e. Kearifan lokal tata ruang, pohambei, pongko, pangale, wanangkik, wana, taolo, balingkea, oma

6. Taman Kepulauan Togian (TNKT) Sulteng

a. Masyarakat adat Togian VS TNKT, PT Walea (PM Italia wisata bahari), PT Tamashu Cahaya Indonesia (PMA Jepang budidaya mutiara), PT. Cahaya Cemerlang (PMA Australia budidaya mutiara).

b. Melayang masuk wilayah tangkap nelayan sejauh 7 km, mengkapling areal pemanfaatan laut tradisional nelayan, Lab mutiara menghalangi lintasan tradisional nelayan

c. Tuntutan nelayan meninjau ulang penetapan TNKT

d. Kearifan lokal konservasi laut bapongka, mengombai, ba’etu, batonda-tonda

122

7. Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai (TN RAW) Sultra

a. Masyarakat adat Moronere VS TNRAW

b. Masyarakat menuntut pengem balian wilayah leluhur di dalam kawasan TNRAW

c. Pendudukan TNRAW dijawab dengan operasi Sapujagat yang mengakibatkan pembakaran dan pengrusakan rumah penduduk, pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen, penangkapan orang-orang Moronene

d. Kearifan lokal menjaga tanah sebagai penghormatan kepada leluhur

8.

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) Jabar dan Banten

a. Mayarakat adat Kasepuhan VS TNGH

b. Perluasan TNGH menjadikan masyarakat Kasepuhan enclave sehingga akses terhadap hutan terbatas dan dituduh perambah saat mengakses TNGH

c. Kearifan lokal konservasi hutan leuweung awisan, leuweung tutupan, leuweung garapan yang kontrolnya dijaga oleh petugas adat kemit leuweung

9. Taman Nasional Bunaken (TNB) Sulut

a. Masyarakat adat Arakan VS TNB (Natural Resource Management)

b. Akses hak mengelola SDA terbatas, menolak zonasi larangan

123

c. Konflik disertai kekerasan d. Kearifan lokal zonasi laut

berdasar napa, alogaseng, napo pangaluang, napa agis

10. Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) Sulsel

a. Masyarakat lokal Taka Bonerate VS TNTB

b. Akses daerah tangkapan tradisional menjadi terbatas karena adanya zona inti atau zona larang tangkap

c. Kasus pemboman justru meningkat saat keamanan kawasan ditingkatkan (jagawanan, marinir, binmas, babinsa), pemboman sebagai simbul perlawanan

d. Kearifan loka konservasi laut dengan struktur ponggawa laut dan ponggawa lolo

Sumber: 274

4. Relevan dengan Agenda Abad 21

Akhir-akhir ini banyak terjadi bencana alam, khususnya banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Bencana alam tersebut menyebabkan kerugian nasional, baik berupa kerusakan infrastruktur, korban jiwa, serta terganggunya tata kehidupan masyarakat. 274 Negara, P. D. (2011). Rekonstruksi kebijakan pengelolaan kawasan

konservasi berbasis kearifan lokal sebagai kontribusi menuju pengelolaan sumber daya alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi, 4(2), 91-138.

124

Penyebab utama terjadinya bencana tersebut adalah kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (watershed) sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Untuk itu maka perlu dilakukan perbaikan dan pengembalian fungsi hutan, yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan terkoordinasi. Agar bencana alam tidak terus berulang setiap tahun karena penyebab yang sama, maka dibutuhkan suatu pemikiran yang serius mengenai pola pengelolaan hutan di masa kini dan masa depan. Salah satu solusinya adalah pengelolaan yang berbasis kearifan lokal dengan memaksimalkan peran dan partisipasi masyarakat lokal. Pola tersebut sejalan dengan arah pembangunan kehutanan di Abad 21 yang telah bergeser dari orientasi ekonomi ke arah pembangunan kehutanan yang berorientasikan pada resources and community based development, sebagaimana yang dinyatakan oleh Suntana & Sugih (2000), yaitu sebagai berikut: (1) Perubahan orientasi produksi kayu dari hutan alam ke hutan tanaman; (2) Perubahan orientasi dari hasil hutan kayu ke hasil hutan non kayu dan jasa; (3) Pergeseran pola pengusahaan hutan dari konglomerasi ke peningkatan peran masyarakat; (4) Perubahan bentuk pengelolaan hutan dari optimasi produksi log ke optimasi fungsi hutan; dan (5) Pergeseran kewenangan pengelolaan hutan dari sentralisasi ke desentralisasi275.Aril 2013 lm,59

275 Suntana & Sugih, A. (2000). Agenda 21 Sektoral, Agenda Kehutanan Untuk

Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri KLH

125

C. Contoh Implementasi Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan

1). Di Dunia

a. Komunitas Atayal di Taiwan

Komunitas Atayal Semangus adalah komunitas yang bermukim di wilayah pedalaman dari pegunungan Hsin-Chu County, di Taiwan bagian utara, dekat dengan hutan purba cedar merah Taiwan. Komunitas ini memiliki kearifan lokal, yakni aturan kelompok yang disebut “Gaga”. Sistem ini mengatur pembagian tugas dalam berpatroli, baik dalam situasi damai maupun perang. Gaga juga mengatur sistem kepercayaan mereka, yang bersumber dari sistem kepercayaan terhadap roh leluhur. Mereka meyakini bahwa roh leluhur melindungi keselamatan diri maupun komunitas mereka, sehingga wajib untuk dihormati. Selain itu, roh leluhur juga mereka yakini sebagai kekuatan yang melindungi hutan yang mereka tempati. Sistem kepercayaan inilah yang mendasari Komunitas Atayal dalam mengelola hutannya, terutama dalam kegiatan berburu maupun memanfaatkan sumberdaya hutan lainnya276.

b. Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than di Thailand

Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than, adalah dua dari sejumlah suku di Thailand yang masih mengelola hutannya berdasarkan kearifan lokal yang mereka miliki. Kedua suku tersebut terletak di Kabupaten Samat, Provinsi Roi-Et, Thailand. Seperti halnya suku-suku yang hidup di daerah pedalaman lainnya, kedua suku ini juga mengelola hutannya berdasarkan pengetahuan yang diwarisi dari leluhurnya. Bagi 276 Tang, C. & Tang, S. (2010), Op.cit..

126

mereka, hutan tidak saja sebagai tempat untuk bermukim, tetapi juga sebagai sumber air, pangan, dan tempat bersemayamnya roh leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka senantiasa menjaga kelestariannya, dengan tidak melakukan tindakan yang bersifat eksploitatif277.

c. Komunitas Berber di Maroko

Komunitas Berber adalah suatu komunitas di Maroko, yang bermukim di wilayah tengah dari daerah pegunungan dataran tinggi Atlas dan yang lainnya tersebar di sekitar wilayah barat daya pantai Atlantik. Mereka mengelola suatu wilayah hutan dengan aturan yang dibuat oleh kelompok mereka, yang dikenal dengan istilah Agdal. Pengelolaan hutan dengan sistem Agdal ini mereka lakukan berdasarkan kearifan lokal yang diwarisi dari leluhur mereka. Penerapan sistem Agdal mereka lakukan berdasarkan tingkatan pohonnya, sebagai berikut: 1) pada tingkat individu pohon, pemotongan atau pemangkasan dilakukan secara berbeda, disesuaikan dengan kondisi pohonnya; 2) pada tingkat tegakan, pemotongan disesuaikan dengan jenis, struktur, dan tingkat ketersediaan jenisnya; dan 3) pada tingkat lanskap, pemotongan disesuaikan dengan jalur, agar tidak mengganggu fungsi hutan terhadap wilayah secara keseluruhan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, pola pemanfaatan dan konservasi mereka padukan dengan aspek sosial, politik, dan spiritual278.

277 Burirat, S., Thamsenamupop, P., & Kounbuntoam, S. (2010), Op.cit... 278 Genin, D., & Simenel, R. (2011), Op.cit

127

d. Suku Mapuche di Chile

Suku Mapuche, adalah salah satu suku asli di Chile yang mendiami Pegunungan Andes di bagian selatan Chile. Suku ini memperlakukan tanaman jenis Araucaria araucana (Mol.) C. Koeh., dengan cara yang unik. Bagi suku Mapuche jenis tanaman ini sangat berharga. Alasanya, selain endemik karena hanya tumbuh di bagian selatan tengah Chile, juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jenis tanaman ini sangat mereka lindungi dan sakralkan, bahkan mereka persepsikan sebagai manusia. Jika ada diantara anggotanya yang mengambil tanaman tersebut, walaupun hanya pucuk daunnya sekalipun, maka yang bersangkutan langsung dikucilkan oleh masyarakatnya. Suku Mapuche sudah menerapkan agroforestry untuk menjaga pohon ini, yaitu dengan menanam tanaman kina dan jagung di sela-selanya. Jenis tanaman ini telah terdaftar sebagai tanaman yang terancam punah pada IUCN semenjak 1985, dan pada tahun 1996 juga dinyatakan sebagai tanaman monument Chile. Oleh karena itu volume perdagangannya pun sudah harus melalui kuota, yang diatur oleh negara. Dengan adanya upaya konservasi dari masyarakat lokal dan perlindungan dari negara, maka kelestarian dari jenis tanaman ini diharapkan dapat terjaga279.

279 Herrmann, T.M. (2006). Indigenous knowledge and management of

Araucaria araucana forest in the Chilean Andes: Implications for native forest conservation. Biodiversity and Conservation, 15(2), 647-662.

128

2). Di Indonesia a. Di Jawa

1). Jawa Timur Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas terkait sistem pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan dan memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Ngadas terdapat kawasan hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani, tujuannya untuk menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan, yang dibuktikan dengan ikut serta memelihara hutan dengan tidak menebang hutan secara sembarangan. Masyarakat di desa Ngadas memberlakukan suatu ketentuan adat mengenai pelanggaran lingkungan, yaitu apabila seseorang menebang lima batang pohon non komersial di dalam kawasan TNBTS, maka ia diharuskan membayar dengan 50 sak semen dan menanam 300 batang pohon cemara pada bekas lokasi tebangan280. 2). Baduy

Menurut Permana et al., (2011) dan Senoaji (2011) masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku mereka harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk aturan adat. Tabu bagi seseorang, baik itu dari kalangan masyarakat adat, maupun masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy, untuk melanggar dan mengubah aturan kehidupan yang telah digariskan

280 Sayektiningsih, T., Meilani, R., & Muntasib, E. H. (2008), Op.cit

129

secara turun temurun. Ada berbagai aturan adat yang diberlakukan, dengan tujuan untuk melindungi alam Baduy, terutama kawasan hutan dari kerusakan. Aturan-aturan tersebut di antaranya adalah: a) tabu untuk memasuki hutan larangan, b) larangan menebang pohon sembarangan, c) larangan menggunakan teknologi kimia, termasuk pupuk dan pestisida, dan d) tata cara berladang281,282. b. Di Sulawesi

1). Komunitas Suku Wana (Sulawesi Tengah)

Hasil penelitian Sahlan (2012) pada komunitas masyarakat Tau Taa Wana Bulang, Suku Wana di tiga kabupaten, yaitu Tojo Una-Una, Banggai, dan Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa mereka mengembangkan berbagai tradisi untuk mempertahankan kearifan lokalnya dalam menjaga kelestarian hutan. Beberapa di antara tradisi tersebut, misalnya adanya larangan menangkap ikan di sungai, larangan menangkap satwa dan menebang pohon di hutan tertentu. Bagi mereka, hutan tidak hanya sebagai tempat mencari nafkah, tetapi juga sebagai tempat pemakaman dan bersemayamnya roh leluhurnya. Dengan mengembangkan tradisi seperti ini, maka ikan, satwa, dan pepohonan menjadi aman dari penangkapan, perburuan, dan penebangan liar283.

281 Permana, C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2012). Kearifan Lokal

tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy. MAKARA of Social Sciences and Humanities Series, 15(1), 67-76.

282 Senoaji, G. (2011). Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan, dan lingkungan di daerah Banten Selatan. Humaniora, 23(1), 14-25.

283 Sahlan, M. (2012), Op.cit

130

2). Suku Kajang (Sulawesi Selatan)

Hasil penelitian Murdiati (2013) pada masyarakat Kajang (kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa mereka memilik 3 jenis hutan, yaitu: 1) Borong Karamaka (hutan keramat), hutan ini tidak boleh dimasuki, kecuali untuk keperluan upacara adat; 2) Borong Battasaya (hutan perbatasan), hutan ini boleh dimasuki atas seizin Ammatoa (pemimpin adat); dan 3) Borong Luarayya (hutan luar). Hutan perbatasan dan hutan luar boleh dimasuki dan dimanfaatkan kayunya, tetapi harus seizin Ammatoa. Mereka menggunakan pasang (pesan atau petuah leluhur) sebagai aturan dalam mengelola hutan284.

c. Di Sumatera

Masyarakat Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara mempunyai kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove yang ada di desanya. Mereka memberlakukan kearifan lokal dengan ketentuan sebagai berikut: a) batang dan ranting kayu yang sudah mati boleh dimanfaatkan untuk kayu bakar atau keperluan lainnya, b) diperbolehkan mengambil kayu untuk perlengkapan nelayan, pacak tiang rumah, dan kayu bakar untuk pesta perkawinan atau kematian, tetapi harus seizin pemerintah desa dan pawang desa, c) tidak diperbolehkan mengambil kayu mangrove untuk tujuan

284 Murdiati, C.W.R. (2013). Rekonstruksi Kearifan Lokal sebagai Fondasi

Pembangunan Hukum Kehutanan yang Berkelanjutan: studi terhadap masyarakat adat Kajang. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globazations. Yogyakarta, 13-14 Juni 2013. pp. 82-99.

131

komersil, jika dilanggar, akan dikenakan sanksi mulai dari teguran keras sampai denda jutaan rupiah285. d. Di Kalimantan

Suku Dayak Merap dan Suku Dayak Punan, di kabupaten Malinau, Kaltim, mengembangkan kearifan lokal dalam mengelola hutan adat, melalui peraturan adat yang melarang untuk berladang atau mengambil sumberdaya pokok di tempat tertentu agar hutan dapat digunakan terus menerus. Contohnya, pada tempat tempat khusus diberlakukan peraturan adat, di antaranya: a) Hutan Lindung (lokasi di Sungai Seturan dan Rian dilindungi karena menghasilkan sarang burung yang sangat bernilai terutama bagi masyarakat desa Langap), b) Kuburan, tidak boleh diganggu atau dijadikan tempat berladang atau berkebun), c) larangan mengambil beberapa binatang dan tumbuhan karena memiliki fungsi khusus, misalnya: pohon menggris (Koompasia sp.) sebagai sarang lebah, burung rangkong (Buceros sp) dan monyet (Macaca sp.), karena membantu menyebarkan benih, pohon beringin (Ficus sp) karena buahnya digemari oleh burung, atau pohon ulin (Eusideroxylon sp.) karena buahnya digemari oleh landak (Hystrix sp.). Binatang-binatang tersebut berperan penting dalam memelihara fungsi hutan, karena membantu penyebaran benih286

.

285 Sanudin & Harianja, A.H. (2009). Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan

Mangrove di Desa Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara, Info Sosial Ekonomi, 9(1), 37-45.

286 Lisnawati, N., Indawan, A., & Sheil, D. (2004). Dayak Merap and Punan People’s Perception of the Importance of Forest in a Tropical Landscape, Malinau, East Kalimantan. Tropical Forest Management Journal, 10(2), 1-13.

132

D. Kendala dalam Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal

Kendala-kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengelola hutan berasal dari internal dan eksternal masyarakat. Hambatan internal masyarakat di antaranya: lemahnya kelembagaan, rendahnya tingkat pendidikan, bertambahnya jumlah penduduk, dan rendahnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu, hambatan eksternal, misalnya lemahnya dukungan pemerintah, dan kesenjangan informasi antar stakeholder, serta derasnya intervensi pasar dan politik.

1. Sistem kelembagaan yang lemah

Lemahnya sistem tata kelola lembaga adat menyebabkan manajemen organisasi kelembagaan tidak berkembang. Dampaknya adalah intervensi-intervensi pasar dan politik yang muncul tidak mampu dibendung oleh masyarakat. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadinya, misalnya dalam kegiatan pilkades, ataupun pilkada. Sebagai contoh, tokoh-tokoh masyarakat adat seringkali diiming-imingi jabatan tertentu oleh figur-figur yang mengikuti kontestan, sehingga manajemen organisasi kelembagaan menjadi terpecah karena munculnya persaingan di internal organisasi.

2. Rendahnya tingkat pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya kemampuan manajerial, baik dalam mengelola konflik internal maupun dalam menghadapi intervensi ekonomi dan politik yang muncul dari pihak eksternal. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik tokoh adat maupun masyarakat adatnya. Hal ini menjadi krusial, agar elite adat yang

133

merasa tahu jangan sampai menjual “adat” dan memarjinalisasi masyarakatnya atas nama konservasi. Peningkatan sumberdaya manusia ini penting agar tokoh adat dan masyarakat adat memiliki perspektif yang sama tentang hutan adat, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat adat/desa harus berbarengan dengan terwujudnya pengelolaan kawasan hutan secara lestari. Pemahaman tentang pengelolaan hutan adat sebagai wujud dari simbiosis mutualisme, pada tokoh adat dan masyarakat adat harus terus diperkuat. Karena sesungguhnya, konsep tentang hutan adat/desa sangat menarik, yakni saling menguntungkan antara komunitas adat atau desa dengan lahan hutan. Masyarakat mendapatkan manfaat langsung atau tak langsung dari pengelolaan hutan tersebut, sedangkan hutan mendapatkan penanganan yang konservatif karena adanya aktivitas terukur dalam perspektif masyarakat adat atau desa.

3. Bertambahnya jumlah penduduk

Pertambahan jumlah penduduk merupakan salah satu pemicu terjadinya konversi hutan. Hal ini terjadi karena pertambahan penduduk menuntut terpenuhinya berbagai kebutuhan, mulai dari kebutuhan pangan, kebutuhan kayu bakar, kebutuhan kayu pertukangan, hingga tempat pemukiman. Di lain pihak, lahan pertanian sebagai penghasil pangan luasnya terbatas, sehingga alternatif utama untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian287. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan

287 Simon, H. (2001). Pengelolaan Hutan bersama rakyat (Cooperative Forest

Management), teori dan aplikasi pada hutan jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing

134

hutan dan 71,06 % dari desa desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar hutan akan berakibat pada kondisi hutan di sekekilingnya. Mereka akan menggantungkan hidupnya pada hutan yang ada di sekeliling pemukimannya guna memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Tanpa pengelolaan yang tepat, hal seperti ini merupakan ancaman bagi keberadaan dan kelestarian hutan, serta dapat menurunkan fungsi dari peruntukan hutan tersebut288.

4. Taraf sosial ekonomi masyarakat yang rendah

Dalam pengelolaan hutan adat, ada dua perspektif yang harus diakomodasi. Pertama, peningkatan kesejahteraan masyarakat adat/desa. Kedua, terwujudnya pengelolaan kawasan hutan secara lestari. Namun, dalam kenyataannya, perspektif pertama yang lebih diutamakan, sedangkan perspektif kedua seringkali diabaikan. Hal ini terjadi karena taraf sosial ekonomi masyarakat yang masih relatif rendah. Desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek menyebabkan munculnya aktivitas pemanfaatan hutan adat yang bersifat eksploitatif. Secara umum, masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa di dalam dan sekitar hutan baik yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat atau masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan. CIFOR (2006) dalam Gusliana & Hanifah (2016) menyebutkan bahwa 15% dari 48,8 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin289.

288 Gusliana, H. B., & Hanifah, M. (2016). Pola Perlindungan Hutan Adat

terhadap Masyarakat Adat di Provinsi Riau Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jurnal Hukum Respublica, 16(1), 183-200.

289 Ibid

135

Kemiskinan bukan hanya dimaknai sebagai persoalan deprivasi ekonomi semata, namun menyentuh krisis multidimensi. Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dikategorikan miskin, dan 71,06% menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Kondisi sosial ekonomi ini ditambah sulitnya masyarakat dalam mengakses hutan sering memercikkan dan menyalakan konflik kawasan hutan (konflik tenurial). Kebanyakan masyarakat sekitar hutan tidak memiliki perlindungan hukum baik terhadap legalitas maupun akses sumber daya hutan290. Kehidupan di era global saat ini juga telah mengubah tatanan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Jarang sekali masyarakat adat yang masih homogen dan tidak terintegrasi ekonomi pasar. Dampaknya, kebermaknaan sumber daya alam seringkali dinilai dalam uang yang dapat dihasilkan baik dari menjual atau uang kompensasi. Untuk itu, diperlukan fasilitasi pemerintah maupun pihak-pihak lain, terutama lembaga keuangan yang dapat menyediakan akses pendanaan yang bertujuan untuk penguatan sosial ekonomi masyarakat adat.

5. Lemahnya dukungan pemerintah Penduduk miskin pedesaan mempunyai banyak aset mata pencaharian, termasuk keterikatan sosial, sumberdaya fisik, kelembagaan tradisional, dan lahan serta alam. Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang secara umum lebih berkekurangan, baik dalam hal ekonomi, maupun wawasannya. Posisi dilematis, di satu sisi merupakan masyarakat yang paling berperan dan bersentuhan langsung dalam konteks pelestarian hutan, sebaliknya di sisi lain, digolongkan rata-rata miskin dan sangat membutuhkan

290 Ibid

136

penopang untuk memenuhi beragam kebutuhan hidupnya. Akses terhadap hutan yang kurang dan bahkan sering dikatakan melakukan aktivitas illegal memicu dan merebakkan konflik dari waktu ke waktu. Hak pemilikan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat seringkali tidak diakui, atau aturannya sendiri mungkin berlawanan atau tidak sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap lahan di kawasan hutan merupakan permasalahan kronis yang berpotensi gawat291. Peran pemerintah penting dalam mengatur pengelolaan hutan adat oleh masyarakat. Dukungan pemerintah dibutuhkan dalam upaya penguatan kembali kemampuan masyarakat, baik dalam penguatan sumberdaya manusia, modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi). Justru di lapangan, peran penting pemerintah ini belum maksimal. Kesiapan Pemda, Penyuluh Kehutanan Lapangan, dan dinas-dinas lainnya untuk memfasilitasi masyarakat masih belum memadai.

6. Masih terjadi kesenjangan informasi

Kesenjangan informasi antar pihak-pihak yang terkait, merupakan salah satu hambatan dalam pengelolaan hutan adat. Kesenjangan informasi yang terjadi, misalnya antara unsur pemerintah level pusat/provinsi dengan seksi wilayah. Filosofi restorasi justice seringkali tidak dipahami oleh petugas/aparat di level bawah. Kesenjangan informasi juga terjadi antara masyarakat adat dan luar adat. Hal ini terjadi karena perbedaan persepsi tentang makna konservasi. Ada yang memahami konservasi sebagai perlindungan kawasan hutan dari kerusakan dan kepunahan (artinya tidak boleh disentuh). Namun, ada juga pemahaman lain,

291 Murti, H. A. (2018). Perhutanan sosial bagi akses keadilan masyarakat

dan pengurangan kemiskinan. Jurnal Analis Kebijakan, 2(2). 62-75

137

yakni ada kawasan hutan tutupan (memang tidak boleh diolah), dan kawasan titipan (yang boleh dimanfaatkan).

7. Derasnya intervensi pasar dan politik

Dalam kegiatan pengelolaan hutan tampaknya tidak steril dari intervensi pasar (ekonomi) dan politik. Hal ini terjadi karena para aktor dalam pengelolaan hutan memiliki relasi yang kuat dengan politisi. Mereka menjalin relasi yang bersifat mutualisme, namun berdampak negatif terhadap kelestarian hutan. Munthaha (2019) menyebutkan bahwa dugaan motif kepentingan ekonomi politik mengental, karena banyak pelaku bisnis yang bekerja di wilayah kehutanan memiliki hubungan yang kuat dengan para politisi. Mahalnya ongkos politik memberi kesempatan untuk pengusaha menjadi sponsor bagi politisi yang hendak duduk di parlemen daerah dan pusat, kepala daerah, hingga kepala negara292.

E. Strategi dan Peluang Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal di Masa Depan

1. Strategi pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal

Sebenarnya MHA mempunyai hak atas dasar penghidupan mereka, yaitu hak hutan marga. Hak-hak tersebut dilindungi oleh undang-undang dan dapat dijadikan dasar bagi pemangku adat untuk memperjuangkan haknya apabila areal hutan mereka di- “kaveling” oleh para pemegang HPH, apalagi fakta menunjukkan bahwa mereka memang sulit menempati dan menggarap tanah warisan leluhurnya secara

292 Munthaha, D. (2019). Karhutla, pembusukan politik, dan pembangunan

berkelanjutan. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4722672/karhutla-pembusukan-politik-dan-pembangunan-berkelanjutan pada tanggal 10 Oktober 2020.

138

turun temurun dan beradad-abad lamanya293. Oleh karena itu strategi pengelolaan hutan adat ke depan harus dapat menjelaskan dan melaksanakan kegiatan yang berupa: 1) penetapan masyarakat adat, 2) penetapan tata batas hutan adat, 3) pembentukan kelembagaan masyarakat adat. Penetapan ketiga aspek tersebut sudah sejalan dengan pendapat Sumardjono (1999) yang telah menetapkan kriteria penentu keberadaan hak ulayat294. Dari ketiga aspek tersebut, kelembagaan adat dengan proses pengambilan keputusan yang partisipatif perlu dijadikan pertimbangan utama sehingga nasib dan kesejahteraan MHA tidak hanya ditentukan oleh segelintir elite-elite MHA yang punya kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan MHA.

2. Peluang di masa depan

Pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal memiliki prospek di masa yang akan datang karena munculnya berbagai kebijakan yang memperkuat eksistensi masyarakat hukum adat. Kebijakan-kebijakan tersebut, di antaranya adalah: terbitnya MK 35, PHBM, Ekowisata.

293 Subarudi. (2013). Dampak Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terhadap

Pengurusan dan Pengelolaan Hutan. Policy Brief, 7(2), 1-7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

294 Sumardjono, M. S. (2008). Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial,

dan budaya. Penerbit Buku Kompas.

139

a. Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012.

Putusan MK No. 35 yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi masyarakat hukum adat. Subarudi (2014) menyebutkan bahwa Putusan MK tersebut mempunyai dampak signifikan dalam pengelolaan hutan dengan dikeluarkannya hutan adat dari kawasan negara dan juga tidak termasuk ke dalam kategori hutan hak. Strategi penting dalam pengelolaan hutan adat ke depan adalah adanya kesepakatan bersama antara pemerintah, LSM dan masyarakat adat terkait dengan penetapan masyarakat hukum adat, penetapan tata batas hutan adat, dan pembentukan kelembagaan masyarakat adat295.

b. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

PHBM merupakan salah satu program yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan tujuan untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Menurut Iqbal et al. (2008) Program PHBM dicanangkan mulai tahun 2001 dengan anggaran operasional Perum Perhutani, yang sebenarnya program ini merupakan modifikasi dan tindak lanjut dari program pengelolaan sumberdaya hutan yang pernah diaplikasikan sebelumnya. Proyek “malu” (mantri hutan dan lurah) diciptakan tahun 1972, diikuti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1982, dan

295 Subarudi, S. (2014). Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012: suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3), 207-224.

140

selanjutnya PMDH dilengkapi dengan Perhutanan Sosial (PS) / Social Forestry pada tahun 1984. Kemudian PMDH dan PS dilengkapi dengan PMDH Terpadu pada tahun 1995, dan PHBM dengan tema “Sukses Tanaman dan Keamanan” tahun 1999296.

c. Program Ekowisata

Bentuk pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial (ekowisata) saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi hutan hujan. Banyak daerah yang memiliki alam yang indah dan budaya lokal yang sangat potensial untuk kegiatan wisata telah rusak oleh karena ketidaktahuan dalam pemanfatan, perencanaan dan pengelolaannya. Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun juga kelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati sebagai objek dan daya tarik wisata. Daya tarik utama dari ekowisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang bersumber dari keindahan dan keunikan objek sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat setempat, baik berupa flora, fauna dan lanskap serta juga nilai tambah dari atraksi budaya yang ada. Secara filosofis, suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk dapat

296 Iqbal, M., Nurmanaf, A.R., & Agustian, A. (2008). Fenomena

Perambahan Hutan dan Perpektif Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Info Sosial Ekonomi, 8(2), 71-85

141

memberikan 3 dimensi manfaat, yaitu manfaat ekologis, manfaat ekonomi dan manfaat sosial297.

d. Adanya Aliansi Masyarakat Adat

Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (communitybased reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan Hutan Adat -- 6 pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi “clear cutting” legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan yang resmi (legal, dapat ijin yang sah dari pemerintah) tetapi merusak lingkungan dan tidak berkeadilan seperti IHPHH 298.

297 Tiga, M. R. M., Putri, E. I. K., & Ekayani, M. (2019). Persepsi masyarakat

Desa Katikuwai dan Desa Praing Kareha terhadap pengembangan ekowisata di Taman Nasional Matalawa NTT. Jurnal Sosiologi Pedesaan. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 7(1), 34-40.

298 Nababan, A. (2006). Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat: antara konsep dan realitas. Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”, Pertemuan Mitra Siemenpuu Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008.

142

Lebih lanjut Nababan (2006) menyebutkan bahwa ada beberapa alasan kuat yang melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan saat ini dan terutama di masa depan, yaitu bahwa: 1. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat sebagai

penerima insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka,

2. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka,

3. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan.

4. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya,

5. Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar,

6. Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen), dan diposisikan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM) baik dalam Pasal 28 I ayat (3)

143

sesuai dengan standar HAM dalam berbagai instrumen internasional299.

Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistemsistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktikkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/“property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat 300.

Keberadaan hukum adat di Indonesia menimbulkan pengakuan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola tanah tempat tinggal mereka. Namun sesudah Indonesia

299 Nababan, A. (2006), Op.cit 300 Nababan, A. (1995). Kearifan tradisional dan pelestarian lingkungan

hidup di Indonesia. Analisis CSIS, (6), 422-435.

144

merdeka, eksistensi masyarakat adat mulai dipertanyakan di dalam sistem perundangan-undangan nasional301. Untuk memperkuat kembali posisinya, maka sejumlah masyarakat adat melaksanakan kongres. AMAN dibentuk pada 1999 sesuai dengan keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama (KMAN I). Pada 17 Maret 1999, lebih dari 400 pemimpin Masyarakat Adat di Nusantara berkumpul di Hotel Indonesia Jakarta. KMAN I membahas dan mencari solusi untuk mengatasi ancaman terhadap eksistensi Masyarakat Adat, termasuk pelanggaran hak asasi, perampasan tanah adat, pelecehan budaya, dan berbagai kebijakan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat. Salah satu jawaban sebagai jalan keluar dari permasalahan yang tergambarkan pada saat kongres dengan membentuk organisasi yang disebut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, yang disingkat AMAN302. Sesuai namanya, AMAN dirancang sebagai rumah bersama oleh dan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Organisasi yang didirikan pada tahun 1999 kini beranggotakan 2.353 komunitas masyarakat adat dari seluruh Indonesia303. Banyak keberhasilan yang telah diraih berkat perjuangan dari masyarakat adat. Salah satunya adalah dikeluarkannya Putusan MK

301 Aritonang, D. A., & Agung Basuki Prasetyo, T. (2016). Pengakuan Hak

Masyarakat Adat Tungkal Ulu Sumatra Selatan Dalam Mengelola Hutan Adat Setelah Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Hutan Adat. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-16.

302 Kamaruddin, K., Najamuddin, N., & Patahuddin, P. (2019). Menjaga Tanah Leluhur: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Sulawesi Selatan 2003-2016. Jurnal Pattingalloang, 4(3), 121-129.

303 Azis, A. P. A., & Arizona, Y. (2019). Afirmasi MK terhadap Jukstaposisi Masyarakat Adat sebagai Subjek Hak Berserikat di Indonesia (Analisis Terhadap Keterlibatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012). Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(1), 19-35.

145

Nomor 35/PUU-X/2012 dengan tujuan dapat dijadikan landasan bagi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-haknya. Untuk bisa keluar Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 ini bukan perkara mudah. Namun membutuhkan perjuangan yang panjang dengan berbagai hambatan. UUK dalam perkembangannya diajukan judicial review oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan mengajukan gugatan uji materi beberapa pasal di dalam UUK. Uji materil tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, memutuskan sebagai berikut304: “1. Kata Negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;

2. Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”;

3. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan

304 Gusliana, H. B., & Hanifah, M. (2016), Op.cit

146

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;

4. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

5. Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

6. Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagai-mana dimaksud pada Ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Gusliana dan Hanifah (2016) menyebutkan bahwa dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/ 2012 yang menguji UUK khususnya ketentuan Pasal 6 angka (1) memberikan kekuatan hukum atas kedudukan pengusaaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang tadinya hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, kemudian menjadi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

147

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang305. Salah satu peran kelompok masyarakat adat terkait dengan mengadvokasi hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adalah sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Malkab (2019), yakni pada proses lahirnya Perda Pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Sulsel. Dalam Perda tersebut terlihat secara nyata peran AMAN, yang dalam tim gugus tugas yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Bulukumba. Dalam tim gugus tugas AMAN bertugas sebagai penyusun kerangka hukum sesuai dengan kesepakatan tim gugus tugas, tugas yang dimaksud berkaitan dengan Naskah Akademik dan Draf Perda. Perumusan peraturan daerah tentang perlindungan dan pengukuhan masyarakat hukum adat Amatoa Kajang adalah sebuah contoh model dari proses pembuatan hukum partisipatif, yang merupakan gambaran bentuk baru dari pembuatan peraturan-peraturan hukum di Indonesia. Proses ini bertujuan untuk melindungi budaya dan hutan adat masyarakat Ammatoa Kajang. Berkaitan dengan peran AMAN dapat pahami bahwa keberadaan sebuah lembaga Non Pemerintah yakni AMAN termasuk lembaga lainnya dalam mengawal serta menyusun naska akademik dan draf perda menjadi sangat penting untuk menghidari benturan-benturan yang sejalan dengan dampak yang akan di timbulkan oleh lahirnya perda. Terlebih jika hal tersebut berkaitan dengan kesesuaian hukum. Seperti yang dialami pemerintah daerah Bulukumba saat mengajukan perda hutan adat sebelumnya. Terlihat keterlibatan masyarakat adat tidak maksimal dalam penyusunan Perda, sehingg

305 Ibid

148

penentuan wilayah adat menjadi perdebatan utama dalam proses penyusunan naska atau draf Perda306.

F. Relevansi Kearifan Lokal dengan Prinsip Pengelolaan Hutan yang Lestari (Berkelanjutan)

Kearifan lokal di Indonesia saat ini menjadi topik bahasan menarik dibicarakan di tengah semakin menipisnya sumber daya alam dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat. Mengeksplorasi dan menginternalisasikan kembali kearifan lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan, selain dimaksudkan sebagai wujud dari gerakan kembali ke nilai-nilai dasar budaya daerah sendiri, juga sebagai upaya untuk membangun identitas spesifik suatu daerah. Hal ini penting, mengingat basis nilai budaya tersebut dapat digunakan untuk menciptakan langkah-langkah strategis dan nyata dalam mengembangkan potensi hutan (ekologis, ekonomis, maupun sosial, budaya) secara optimal, sekaligus sebagai filter dalam menyeleksi berbagai pengaruh budaya dari luar yang berpotensi mengancam kelestarian hutan. Pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat berbasis kearifan lokal diyakini relevan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan) dengan asumsi: (1) modernisasi ekologi dengan menjadikan hutan adat sebagai destinasi ekowisata, (2) pelibatan anggota komunitas dalam mengelola hutan melalui pola PHBM, (3) penerapan sanksi terhadap pelanggaran awig-awig guna menghindari risiko sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan yang kalau tidak diatasi dapat mengancam sustainabilitas, (4) 306 Malkab, H. (2019). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Sulawesi Selatan dalam proses lahirnya perda pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba. Administrasita', 10(02), 146-157.

149

pemaksimalan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat melatih masyarakat untuk memikul tanggung jawab dan kewenangan dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi hutan.

1. Modernisasi ekologi dengan menjadikan hutan adat sebagai destinasi ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu jawaban atas kejenuhan masyarakat akan wisata modern dan keinginan untuk merasakan kehidupan di alam pedesaan. Daya tarik utama dari ekowisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata alam. Kedua daya tarik tersebut dapat bersumber dari keindahan dan keunikan objek sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat setempat, baik berupa flora, fauna dan lanskap serta juga nilai tambah dari atraksi budaya yang ada. Salah satu objek yang dapat dijadikan sebagai destinasi ekowisata adalah hutan.

Saat ini kegiatan ekowisata telah menjadi salah satu sasaran pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, karena selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan, juga meningkatkan peranan masyarakat dalam melakukan konservasi sumberdaya hutan. Kegiatan ekowisata ini tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penguatan ekonomi lokal, yang antara lain berupa devisa, pendapatan tambahan kepada masyarakat, serta peluang pekerjaan yang dapat ditangkap oleh masyarakat, tetapi juga meningkatkan pendapatan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat307,308.

307 Yoeti, O. A. (2000) Ekowisata Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Jakarta:

PT. Pertja. 308 Rahayu, S., Dewi, U., & Fitriana, K. N. (2016). Pengembangan

Community Based Tourism sebagai Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora, 21(1), 1–13.

150

Pemanfaatan hutan sebagai destinasi ekowisata merupakan salah satu implementasi dari Community Based Tourism (CBT). Community Based Tourism (CBT) merupakan konsep pengembangan wisata yang memberikan kesempatan penuh bagi masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam seluruh kegiatan sehingga tercipta pengembangan wisata yang berkelanjutan. Melalui konsep ini maka diharapkan pengembangan wisata yang dilakukan berdasarkan pada aspirasi, dilaksanakan dengan keterlibatan penuh dari masyarakat dan memberikan manfaat utamanya pada kesejahteraan masyarakat Partisipasi masyarakat dalam CBT menjadi penting karena akan menjadi tolok ukur keterlibatan mereka pengelolaan ekowisata. Bentuk partisipasi masyarakat, dapat berupa partisipasi nyata (memiliki wujud) dan partisipasi tidak nyata (abstrak) Partisipasi nyata dapat berbentuk materiil dan tenaga, sedangkan partisipasi yang tidak nyata yaitu ide/gagasan309.

2. Pelibatan anggota komunitas dalam mengelola hutan

melalui program Perhutanan Sosial Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dapat

menimbulkan benturan kepentingan setiap stakeholder yang kemudian berdampak pada terjadinya konflik. Konflik dapat disebabkan oleh benturan kepentingan pihak-pihak terhadap hutan, di antaranya pemerintah, masyarakat dan swasta. Konflik pengelolaan hutan yang paling sering terjadi yaitu antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola hutan, dalam hal ini adalah pemerintah atau swasta, ataupun bisa dengan sesama

309 Laksana, N. S. (2013). Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat desa dalam

program desa siaga di Desa Bandung kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan Dan Manajemen Publik, 1(1), 1–12.

151

masyarakat itu sendiri. Konflik tersebut dapat berdampak pada kerusakan kelestarian lingkungan, baik fisik maupun non-fisik, maka pihak pengelola harus melakukan segala upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut310.

Konflik sumber daya adalah hubungan antara sumber daya dengan kekerasan yang tidak selalu sederhana dan bersifat linier, ketika ada sumber daya di situ pula ada kekerasan, dan juga dari berbagai kasus yang ditemukan bahwa ketika ada tempat dengan sumber daya melimpah maka kekerasan sering terlihat. Dengan kata lain konflik atas sumber daya disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya; (1) pola dan akumulasi modal yang bernuansa distribusi tidak seimbang secara spasial, (2) bentuk-bentuk akses kontrol terhadap sumber daya yang juga tidak merata termasuk hak kepemilikan dan hak penguasaan, (3) para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang seperti perusahaan, pekerja, alat negara dan sebagainya311.

Ada banyak pendekatan untuk penyelesaian konflik atas sumber daya, namun yang menarik terdapat alternatif penyelesaian konflik tersebut yaitu pendekatan melalui partisipasi masyarakat lokal yang sifatnya persuasif dan berkomitmen pada kesepakatan bersama (Mitchell et al. 2000) atau pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai proses manajemen konflik312.

310 Arifandy M I, Sihaloho M. 2015. Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2(3), 147-158.

311 Suseno, D., & Suyatna, H. (2007). Mewujudkan kebijakan pertanian yang pro-petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(3), 267-294.

312 Mitchell, B., Setiawan, B. & Rahmi, D. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

152

Pasca reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan negara yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satunya adalah program Perhutanan Sosial. Program pemberdayaan melalui perhutanan sosial; yang merupakan salah satu strategi resolusi konflik, dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

Perhutanan Sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diizinkan. Perhutanan Sosial ada yang sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan Sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumber daya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan tujuan produksi yang lestari313.

Tujuan pengembangan perhutanan sosial menurut Sumanto (2009) adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar hutan. Perhutanan sosial sebagai kebijakan pengelolaan hutan memiliki sisi dan potensi bagi terjadinya konflik disebabkan antara lain oleh dua hal yakni dikotomi ruang lingkup pengelolaan; di dalam atau di luar

313 CIFOR (Center for international Forestry Research), (2003). Warta

Kebijakan. Perhutanan Sosial http://cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf

153

kawasan hutan dan fakta historis pengelolaan kawasan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa314.

a. Dikotomi ruang lingkup program perhutanan sosial: di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan

Walau pada intinya semua program pembangunan

selalu berimplikasi terhadap terjadinya konflik, sebagaimana dialami dalam pengembangan HKm dan HR, namun keduanya memiliki ruang lingkup (scope) yang berbeda. Dikotomi yang jelas antara HKm dan HR (dan mungkin HTR) sangat diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya. Dikotomi ini mengacu pada ruang lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. Pengembangan HKm (dan HTR) dan program-program perhutanan sosial di dalam kawasan hutan selalu melibatkan sedikitnya dua aktor utama, yaitu pemerintah

(Departemen Kehutanan) dan masyarakat sekitar hutan. Sementara dalam pengembangan HR, aktor utama yang terlibat adalah masyarakat, sedangkan peran pemerintah sebagai pendukung program.

b. Fakta historis tentang pengelolaan hutan antara pulau

Jawa dan luar pulau Jawa Perspektif yang kedua adalah fakta historis tentang

pengelolaan hutan di Jawa dan luar Jawa. Pengelolaan kawasan hutan di Jawa telah berlangsung beratus-ratus tahun dengan penetapan batas-batas kawasan hutan yang sebagian

314 Sumanto, S. E. (2009). Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam

perspektif resolusi konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1), 13-25.

154

sudah permanen dan model pengelolaan yang sudah cukup baik. Implikasi dari keadaan ini adalah batas-batas kawasan hutan dengan hak milik masyarakat menjadi lebih jelas. Sementara itu penentuan batasbatas kawasan hutan di luar Jawa sebagian besar ditentukan berdasarkan peta-peta peninggalan kolonial yang dibuat sebagai bagian dari kompensasi terhadap penaklukan raja-raja di luar Jawa. Sebagian batas-batas kawasan di lapangan hanya ditentukan melalui pengukuran-pengukuran sementara, sehingga banyak ditemui batas-batas kawasan yang kabur dan mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat.

3. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat dalam

pengelolaan hutan Penerapan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat cukup

efektif dalam pengelolaan hutan. Hal ini disebabkan masyarakat adat cenderung lebih percaya dengan pemberlakuan hukum adat dibandingkan dengan hukum positif. Jika terjadi kasus pelanggaran hukum adat, masyarakat adat bersama lembaga adat biasanya akan langsung memberikan penindakan dalam bentuk sanksi terhadap oknum yang melakukan pelanggaran. Pemberian sanksi biasanya akan diikuti dengan ritual di hutan adat. Kegiatan ritual dimaksudkan sebagai upaya membersihkan hutan adat dari pelanggaran yang terjadi dan sekaligus sebagai peringatan bagi siapapun yang berniat untuk melakukan pelanggaran aturan adat dalam pengelolaan hutan.

Kebijakan perlindungan hutan dengan mengakomodasi nilai hukum kehutanan lokal, dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan akan memudahkan pemerintah dalam membangun jaringan komunikasi massa, baik secara vertikal maupun horizontal. Implikasi lebih lanjut akan memudahkan

155

pemerintah dalam pengendalian sosial dan politik di daerah. Karena itu, dalam perlindungan hutan, seyogyanya pemerintah memperhatikan kemajemukan nilai-nilai hukum lokal yang hidup dalam masyarakat sebagai living law, sehingga pelaksanaan perlindungan hutan tercapai secara maksimum315.

Lebih lanjut Yamani (2011) menyebutkan contoh kasus di daerah Bengkulu, bahwa hukum lokal yang secara efektif diatur dalam pemerintahan tradisional, telah berhasil dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada setiap anggotanya yang menjadi justiabelennya. Buktinya, setiap orang dengan kesadarannya sendiri ikut serta secara aktif dalam menjaga hutan di dalam wilayah ulayat dan bertindak dengan perhatian sebagai petunjuk hukum hutan lokal. Simpulannya bahwa: pertama, model perlindungan hukum dalam hukum lokal pada enam komunitas adat daerah Bengkulu dilakukan secara preventif; kedua, nilai-nilai hukum lokal komunitas adat daerah Bengkulu dapat diadopsi ke dalam produk peraturan perundang-undangan daerah sebagai salah satu model perlindungan hutan di Provinsi Bengkulu melalui perumusan naskah akademis peraturan daerah316.

Contoh lain dari efektifnya penerapan aturan adat dalam pengelolaan hutan adalah sebagai ditunjukkan pada penerapan awig-awig dalam pengelolaan hutan adat di daerah Bayan. Penerapan aturan adat tersebut telah mampu mencegah terjadinya alih fungsi/konversi lahan pada hutan adat. Atas dasar

315 Yamani, M. (2011). Strategi perlindungan hutan berbasis hukum lokal di

enam komunitas adat daerah Bengkulu. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 175-192.

316 Ibid

156

itulah maka saat ini Masyarakat Adat Bayan memiliki hutan adat terluas di Kabupaten Lombok Utara, NTB317,318,319.

4. Pemaksimalan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat

adat Upaya penguatan lembaga adat yang dimiliki oleh

masyarakat adat adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan karena diyakini akan mampu meningkatkan tata kelola, sekaligus menjamin terwujudnya hutan yang lestari.

Pengelolaan wilayah hutan, tidak dapat dilepaskan dari masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari kawasan dan hasil hutan. Untuk itu, upaya penguatan kelembagaan adat perlu terus digalakkan agar terwujud lembaga yang dinamis dengan anggota yang terlibat aktif, bertanggungjawab dan terampil dalam bekerjasama. Penataan sistem kelembagaan dalam pengembangan dan pengelolaan hutan, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi masyarakat sehingga benar-benar mempercepat difusi dan adaptasi untuk secara aktif berperan serta dalam pengembangan hutan. Dengan demikian penataan sistem

317 Jayadi, E. M. & Soemarno.(2013). Analisis transformasi awig-awig dalam

pengelolaan hutan adat (Studi Kasus Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok Utara). Indonesian Green Technology Journal, 2(2), 39-51.

318Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B., & Purnomo, M. (2014). Local Wisdom Transformation of Wetu Telu Community on Bayan Forest Management, North Lombok, West Nusa Tenggara. Research on Humanities and Social Sciences, 4(2), 109-118.

319 Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B., & M. Purnomo, M. (2014). Revitalization on Local Wisdom of Wetu Telu Community in Forest Management of Bayan, North Lombok, West Nusa Tenggara. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences, 4(4), 384-397.

157

kelembagaan dengan tepat akan memberikan keleluasan bagi pertumbuhan peran serta, tanggungjawab dan pemberdayaan masyarakat320.

320 Qurniati, R., Duryat, D., & Kaskoyo, H. (2018). Penguatan Kelembagaan

Pengelola Hutan Desa di Sekitar Gunung Rajabasa, Lampung. Sakai Sambayan Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 1(3), 80-86.

158

BAB III

SIMPULAN

1. Jika batasan kearifan lokal dikaitkan dengan pengelolaan hutan, maka maknanya adalah pedoman bersikap dan berperilaku suatu masyarakat adat dalam mengelola hutannya secara lestari, yang diwariskan secara turun temurun antar generasi. Pedoman dalam bersikap dan berperilaku tersebut dimaksudkan untuk menjaga harmonisasi hubungan antara manusia dengan sesama, Tuhan, dan alam. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat memiliki karakteristik, di antaranya: Pertama, kearifan lokal itu milik komunitas. Kepemilikan komunal atas pengetahuan kearifan lokal ingin menunjukkan bahwa ia terbuka untuk diketahui, diajarkan, dimiliki, dan dihayati semua anggota komunitas; Kedua, kearifan lokal juga berarti pengetahuan khas kearifan yang bersifat praksis, yakni pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam; Ketiga, kearifan lokal itu bersifat holistik, alam adalah “jaring kehidupan” yang lebih luas dari sekadar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Keempat, kearifan lokal itu memformulasikan semua aktivitas masyarakat terhadap alam adalah aktivitas moral, perilaku itu dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral; dan Kelima, kearifan lokal itu bersifat lokal, tidak seperti pengetahuan Barat yang mengklaim dirinya sebagai universal, kearifan lokal terkait dengan kekhasan tempat yang partikular dan konkret.

2. Pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal dapat dijadikan sebagai salah satu model pengelolaan hutan, karena memiliki beberapa kelebihhan, di antaranya: menjamin terpeliharanya ekosistem secara berkelanjutan, menjamin pembagian

159

sumberdaya hutan secara berkeadilan, mencegah terjadinya konflik antar masyarakat adat dengan multipihak, dan relevan dengan Agenda Abad 21.

3. Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan telah banyak dipraktikkan, baik di luar maupun di dalam negeri. Contoh implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan di luar negeri, di antaranya: a. Komunitas Atayal di Taiwan, b. Komunitas Berber di Maroko, c. Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than di Thailand, dan d. Suku Mapuche di Chile; sedangkan di dalam negeri, di antaranya: a. Di Jawa, 1). Jawa Timur, 2). Baduy, b. Di Sulawesi 1). Komunitas Suku Wana (Sulawesi Tengah), 2). di Sumatera, 3). Kalimantan

4. Rendahnya tingkat keberhasilan dalam pengelolaan hutan adat disebabkan oleh berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut, berasal dari internal dan eksternal masyarakat. Kendala internal masyarakat di antaranya: lemahnya kelembagaan, rendahnya tingkat pendidikan, bertambahnya jumlah penduduk, dan rendahnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu, kendala eksternal, misalnya lemahnya dukungan pemerintah, dan kesenjangan informasi antar stakeholder, serta derasnya intervensi pasar dan politik.

5. a. Untuk menjamin terjaganya kelestarian hutan adat, maka strategi pengelolaan ke depan diarahkan pada kegiatan yang mencakup tiga hal berikut, yaitu: 1) penetapan masyarakat adat, 2) penetapan tata batas hutan adat, dan 3) pembentukan kelembagaan masyarakat adat.

b. Di masa depan, model pengelolaan hutan dengan kearifan lokal memiliki prospek untuk dikembangkan karena adanya berbagai kebijakan yang mendukung untuk itu, di antaranya:

160

a). Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012, b). Adanya Program Ekowisata, c) Adanya Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, dan d). Adanya Aliansi Masyarakat Adat

6. Pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat berbasis kearifan lokal diyakini relevan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan) dengan asumsi: (1) modernisasi ekologi dengan menjadikan hutan adat sebagai destinasi ekowisata, (2) pelibatan anggota komunitas dalam mengelola hutan melalui program Perhutanan Sosial, (3) penerapan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat guna menghindari risiko sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan yang kalau tidak diatasi dapat mengancam sustainabilitas, (4) pemaksimalan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat melatih masyarakat untuk memikul tanggung jawab dan kewenangan dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi hutan.

161

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, N. R. (2020). 8 Fakta Edelweis, Bunga Abadi di Gunung yang tak boleh dipetik. Diakses tanggal 20 Oktober 2020 dari:https://travel.kompas.com/read/2020/09/02/080800927/8-fakta-edelweis-bunga-abadi-di-gunung-yang-tak-boleh dipetik?page=all

Alderton, D. (2003). The Ultimate Encyclopedia of Caged and Aviary Birds. London, England: Hermes House. p. 204. ISBN 1-84309-164-X.

Andriyani, A. A. I., Martono, E. & Muhammad. (2017). Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Desa Wisata dan Implikasinya terhadap Ketahanan Sosial Budaya. Jurnal Ketahanan Nasional, 23, 1–6.

Anonim. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. p. 110.

Ahimsa-Putra, H. S. (2012). Fenomenologi agama: Pendekatan Fenomenologi untuk memahami agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(2), 271-304.

Alviya, I. & Suryandari, E. Y. (2009). Kendala dan strategi implementasi pembangunan KPH Rinjani Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 6(1), 1-14.

Arifandy, M. I. & Sihaloho, M. 2015. Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2(3), 147-158.

Anonim. 1997. Laporan Pengkajian Potensi Penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bagian

162

Arifin Z. (2018). Gunung Rinjani Ditumbuhi Jamur Langka Nan Mahal. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020 dari https://aktual.com/gunung-rinjani-ditumbuhi-jamur-langka-nan-mahal/

Aritonang, D. A. & Agung B. P. T. (2016). Pengakuan Hak Masyarakat Adat Tungkal Ulu Sumatra Selatan Dalam Mengelola Hutan Adat Setelah Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Hutan Adat. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-16.

Aroon, S., Artchawakom, T., Hill, J.G., Kupittayanant, S. & Thanee, N. (2009). Ectoparasites of the common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) at Sakaerat Environmental Research Station, Thailand. Suranaree J. Sci. Technol., 16(4), 277-281.

Azis, A. P. A. & Arizona, Y. (2019). Afirmasi MK terhadap Jukstaposisi Masyarakat Adat sebagai Subjek Hak Berserikat di Indonesia (Analisis Terhadap Keterlibatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012). Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 8(1), 19-35.

Baharuddin, A. (2006). Kajian Interaksi Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani Propinsi Nusa Tenggara Barat (Doctoral dissertation, Tesis tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor).

Bahtiar, A.S. (2013). Interaksi Masyarakat Desa Hutan dengan Hutan Lindung (studi kasus program hutan asuh guna mendukung keberlanjutan hutan lindung kawasan Gunung Arjuna). Disertasi. Minat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. p. 182.

Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). 1997. Rencana Pengelolaan Taman Nasional 1998-2023. Mataram.

163

Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). 2009. Laporan Identifikasi Musang Rinjani (Paradoxurus hermaphroditus rindjanicus) di Kawasan Hutan Resort Sembalun Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wil. II . Mataram.

Berg, B. L. & Lune, H. (2004). Qualitative research methods for the social sciences (Vol. 5). Boston: Pearson.

BirdLife International (2020) Species factsheet: Lichmera lombokia. Downloaded from http://www.birdlife.org on 26/10/2020

BirdLife International (2020). "Cacatua sulphurea". IUCN Red List of Threatened Species. 2020. Retrieved 256 Oktober 2020 dari . http://datazone.birdlife.org/species /factsheet/Yellow-crested-Cockatoo?action= SpcHTMDetails.asp&sid=1398&m=0

BirdLife International. 2016. Ducula lacernulata. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T22691789A93324624. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2016-3.RLTS.T22691789A93324624.en. Downloaded on 26 October 2020.

BirdLife International. 2018. Cacatua sulphurea. The IUCN Red List of Threatened Species 2018: e.T22684777A131874695. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018-2.RLTS.T22684777A131874695.en. Downloaded on 27 October 2020

BirdLife International. 2018. Lichmera lombokia. The IUCN Red List of Threatened Species 2018: e.T22703943A130242801. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018-2.RLTS.T22703943A130242801.en. Downloaded on 26 October 2020.

Brandon-Jones, D. (1995). "A revision of the Asian pied leaf monkeys (Mammalia: Cercopithecidae: superspecies Semnopithecus auratus), with a description of a new subspecies." Raffles Bulletin of Zoology, 43, 3-43.

164

Burdock (2010), "CIVET", Fenaroli's Handbook of Flavor Ingredients (6th ed.), Taylor & Francis, p. 326

Burirat, S., Thamsenamupop, P., & Kounbuntoam, S. (2010). A Study of Local Wisdom in Management of the Community Forest in Ban Nong Hua Khon, Tambon Nong Muen Than, At Samat District, Roi-Et Province. Pakistan Journal of Social Sciences, 7(2), 123-128.

Carstensen, D. W., Sweeny, R., Ehlers, B. & Olesen, J. M. (2011). Coexistence and habitat preference of two Honeyeaters and a Sunbird on Lombok, Indonesia. Biotropica, 43(3), 351-356.

CIFOR (Center for international Forestry Research), (2003). Warta Kebijakan.Perhutanan Sosialhttp: //cifor.org /acm/ download/pub/wk/warta09.pdf.

Collar, N.J. & Marsden, S.J. (2014). The subspecies of Yellow-crested Cockatoo (Cacatua sulphurea).

Corbet, G.B. & Hill, J.E. (1992). The Mammals of Indomalayan Region: a systematic review: 174. Oxford: Nat. Hist. Mus. Publ. & Oxford Univ. Press

Creswell, J. W. & Miller, D. L. (2000). Determining validity in qualitative inquiry. Theory into practice, 39(3), 124-130.

Dokumen Rencana Investasi Kehutanan Indonesia (DRIKI). (2012). Program Investasi Kehutanan: Rencana Investasi Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan Indonesia. p. 146.

Döring, M. (2020). Lichmera lombokia (Mathews, 1926) In English Wikipedia - Species Pages. Wikimedia Foundation. Checklist dataset https://doi.org/10.15468/c3kkgh accessed via GBIF.org on 2020-10-26.

Ernawi, I. S. (2010). Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi Penataan Ruang. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future: Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”. di UGM pada 1 Mei 2010. p. 21.

165

FAO. (2010). Global forest resources assessment 2010: Main report. p. 378.

Faot, M. L., Purnama, M. M. & Kaho, N. P. R. (2020). Analisis ketersediaan dan preferensi pakan rusa timor (Rusa timorensis) di stasiun penelitian Bu’at, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Wana Lestari, 2(01), 83-89.

Fathoni, M. Y. (2013). Konsep keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam menurut Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Kajian Hukum dan Keadilan, 1(1), 44-59

Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika, 8(2), 191-208.

Genin, D. & Simenel, R. (2011). Endogenous Berber forest management and the functional shaping of rural forests in Southern Morocco: implications for shared forest management options. Human Ecology, 39(3), 257-269.

Grubb, P. (2005). "Species Rusa timorensis". In Wilson, D.E.; Reeder, D.M (eds.). Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference (3rd ed.). Johns Hopkins University Press. p. 670

Gusliana, H. B., & Hanifah, M. (2016). Pola Perlindungan Hutan Adat terhadap Masyarakat Adat di Provinsi Riau Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jurnal Hukum Respublica, 16(1), 183-200.

Guthiga, P. M., Mburu, J. & Holm-Mueller, K. (2008). Factors influencing local communities’ satisfaction levels with different forest management approaches of Kakamega Forest, Kenya. Environmental Management, 41(5), 696-706.

Hamidi. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press.

Hatu, R. (2011). Perubahan Sosial Kultural Masyarakat Pedesaan (Suatu Tinjauan Teoritik-Empirik). Jurnal Inovasi, 8(4),1-11.

166

Heath, M. (1992). Manis pentadactyla, Mammalian Species 414: 1-6.

Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J., Semiadi, G. & Priyono, A. (2015). Rusa timorensis. In IUCN 2015. 2015 IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/. Diakses 20 Oktober 2020.

Herrmann, T.M. (2006). Indigenous knowledge and management of Araucaria araucana forest in the Chilean Andes: Implications for native forest conservation. Biodiversity and Conservation, 15(2), 647-662.

Henslin, J. M. (2006). Essentials of Sosiology. 6th Edition. Sunarto, K. (penterjemah). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, 2007. Jakarta: Erlangga.

Hidayat. (2011). Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 15(1), 19-32.

Higgins, P. J., Christidis, L. & Ford, H. (2020). Sunda Honeyeater (Lichmera lombokia), version 1.0. In Birds of the World (J. del Hoyo, A. Elliott, J. Sargatal, D. A. Christie, and E. de Juana, Editors). Cornell Lab of Ornithology, Ithaca, NY, USA.

Hunt, C. (2010). The costs of reducing deforestation in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(2), 187-192.

Ikbar, Y. (2012). Metode Penelitian Sosial Kualitatif. Bandung: Refika Aditama.

Iqbal, M., Nurmanaf, A.R. & Agustian, A. (2008). Fenomena Perambahan Hutan dan Perpektif Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Info Sosial Ekonomi, 8(2), 71-85

Iswandi, M.H, Ahyadi, H., Islamul H, I. & Suana, I.W. (2017). Populasi dan karakteristik habitat Burung Koak Kaok (Philemon buceroides) di Taman Wisata Alam Kerandangan. Jurnal Metamorfosa, 4(2), 159-163.

Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B. & M. Purnomo, M. (2014). Revitalization on Local Wisdom of Wetu Telu Community in Forest Management of Bayan, North Lombok, West

167

Nusa Tenggara. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences, 4(4), 384-397.

Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B. & Purnomo, M. (2014). Local Wisdom Transformation of Wetu Telu Community on Bayan Forest Management, North Lombok, West Nusa Tenggara. Research on Humanities and Social Sciences, 4(2), 109-118.

Jayadi, E. M. & Soemarno. (2014). Analisis Transformasi Awig-Awig Dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Kasus pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok Utara). The Indonesian Green Technology Journal, 3(1), 39-50.

Kamaruddin, K., Najamuddin, N. & Patahuddin, P. (2019). Menjaga Tanah Leluhur: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Sulawesi Selatan 2003-2016. Jurnal Pattingalloang, 4(3), 121-129.

Karl-Georg, F., Hammerschmidt, F.J. & Johannes Panten, J. (2007). "Flavors and Fragrances". Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry (7th ed.). Wiley. p. 86.

Keraf, S. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Kastanya, A. (2006). Konsep pengelolaan hutan lestari pulau-pulau kecil berbasis ekosistem dan masyarakat di Kepulauan Maluku. Prosiding Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem Pulau Kecil. Ambon, 5-6 Juli 2006. pp.82-96.

Kitchener, D.J., Boeadi, Charlton, L. & Maharadatunkamsi. (2002). Mamalia Pulau Lombok. Tyas APE, Ibnu M (Penerjemah) Jakarta: The Gibbon Foundation. Terjemahan Dari: Wild Mammals of Lombok Island.

Laksana, N. S. (2013). Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat desa dalam program desa siaga di Desa Bandung kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan Dan Manajemen Publik, 1(1), 1–12.

168

Lanangputra, I.B. & Mukarom, M., (2011). Laporan Inventarisasi Sosial Ekonomi dan Budaya di KPHL Rinjani Barat 2011. Balai KPH Rinjani Barat. Dinas Kehutanan NTB. p. 28.

Lebel, L., Contreras, A., Pasong, S. & Garden, P. (2004). Nobody

knows best: alternative perspectives on forest management and governance in Southeast Asia. International Environmental Agreements, 4(2), 111-127.

Lisnawati, N., Indawan, A. & Sheil, D. (2004). Dayak Merap and Punan People’s Perception of the Importance of Forest in a Tropical Landscape, Malinau, East Kalimantan. Tropical Forest Management Journal, 10(2), 1-13.

Li, M.T. (2007). Practices of assemblage and community forest management. Economy and society, 36(2), 263-293.

Madja, J. T., Koibur, J. F. & Pattiselanno, F. (2019). Tingkah laku sosial rusa timor (Cervus timorensis) di Penangkaran Bumi Marina, Manokwari. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science), 8(2), 51-55.

Malkab, H. (2019). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan dalam proses lahirnya perda pengakuan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba. Administrasita', 10(02), 146-157.

Mangunjaya, F.M. (2007). Konservasi Alam dan Lingkungan dalam Perspektif Islam. Jurnal Islamia, 3(2), 90-96.

Markum, Sutedjo, E.B. & Hakim, R.M. (2004). Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau Kecil: Kasus Pulau Lombok. Mataram: WWF-Indonesia Program Nusa Tenggara. p. 57.

McLafferty, I. (2004). Focus group interviews as a data collecting strategy. Journal of advanced nursing, 48(2), 187-194.

169

Medway, L. (1969). The Wild Mammals of Malaya. London: Oxford University Press.

Mitchell, B., Setiawan, B. & Rahmi, D. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Miller, S., & Fredericks, M. (2008). The nature of" evidence" in qualitative research methods. International Journal of Qualitative Methods, 2(1), 39-51.

Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mukarom, M., I.B. Lanangputra, Yuwono, T., Sirajudin & Sutikno. (2012). Profil Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rinjani Barat. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat. p. 28.

Mukhtar, Soemarno & Hidayat, K. (2010). Pengelolaan Program Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kearifan Lokal: studi kasus di kawasan Hutan Lindung Sesaot, Lombok Barat. WACANA, 13(1), 132-151.

Muliawan, H. (2000). Perencanaan dan penegembangan desa wisata, makalah yang disampaikan dalam diklat bidang pariwisata bagi kepala desa di Provinsi DIY Tanggal 14-16 Agustus 2000. Yogyakarta.

Mulyasari, G. (2015). Pinjam Perempuan (SPP) PNPM Mandiri di Kota Bengkulu. JSEP, 8(1), 37-43.

Munthaha, D. (2019). Karhutla, pembusukan politik, dan pembangunan berkelanjutan. Diakses dari https://news.detik.com/kolom/d-4722672/karhutla-pembusukan-politik-dan-pembangunan-berkelanjutan pada tanggal 10 Oktober 2020.

Murti, H. A. (2018). Perhutanan sosial bagi akses keadilan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Jurnal Analis Kebijakan, 2(2). 62-75

170

Myers, S. D. & Bishop, K. D. (2005). A review of historic and recent bird records from Lombok, Indonesia. Forktail, 21, 147-160.

Muqoyyidin, A. W. (2013). Potret Konflik Bernuansa Agama di Indonesia (Signifikansi Model Resolusi Berbasis Teologi Transformatif). Jurnal Analisis, 12(2), 319-344.

Murdiati, C.W.R. (2013). Rekonstruksi Kearifan Lokal sebagai Fondasi Pembangunan Hukum Kehutanan yang Berkelanjutan: studi terhadap masyarakat adat Kajang. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globazations. Yogyakarta, 13-14 Juni 2013. pp. 82-99.

Nababan, A. (1995). Kearifan tradisional dan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Analisis CSIS, (6), 422-435.

Nababan, A. (2006). Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat: antara konsep dan realitas. Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”, Pertemuan Mitra Siemenpuu Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008.

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Naipospos, Tri S. P. (2003). Rencana Strategis Dalam Pemanfaatan

Rusa Sebagai Usaha Aneka Ternak. Lokakarya Pengembangan rusa: Pendayagunaan Rusa Sebagai Sumber Protein Hewani Alternatif dalam Rangka Diversifikasi Usaha Ternak. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Taman Mini lndonesia Indah, Jakarta, 11 September 2003.

Negara, P. D. (2011). Rekonstruksi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi berbasis kearifan lokal sebagai kontribusi menuju pengelolaan sumber daya alam yang Indonesia. Jurnal Konstitusi, 4(2), 91-138.

Nijman, V. & J. Supriatna. (2008). Trachypithecus auratus. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 31 March 2015.

171

Nijman, V. (2000). Geographic distribution of ebony leaf monkey Trachypithecus auratus (E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812)(Mammalia: Primates: Cercopithecidae. Contributions to Zoology, 69(3), 157-177.

Noske, R.A. & N. Saleh. (1996). The Conservation Status of Forest Birds in West Timor. Proc. of the First Int. Conf. on Eastern Indonesia-Australian Vertebrate Fauna, Manado, 1994, 65-74.

Novirita. 1992. Kajian Ekologis Edelweiss (Anaphalis javanica (Bl) Boerl)di Taman Nasional Gunung Gede Nowak, R. (1999). Walker's Mammals of the World, Sixth Edition.

Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Nurjaya, I. N. (2008). Pengelolaan sumber daya alam dalam perspektif

antropologi hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Onwuegbuzie, A. J. & Leech, N. L. (2007). A call for qualitative

power analyses. Quality & Quantity, 41(1), 105-121. Orbe, M. P. (2000). Centralizing diverse racial/ethnic voices in

scholarly research: The value of phenomenological inquiry. International Journal of Intercultural Relations, 24(5), 603-621.

Pagdee, A., Kim, Y. S. & Daugherty, P. J. (2006). What makes community forest management successful: a meta-study from community forests throughout the world. Society and Natural Resources, 19(1), 33-52.

Pardianti, R., Adriyanti, D.T. & Syahbudin, A. (2014). Persebaran Edelweiss (Anaphalis spp.) pada sub tipe hutan Montana dan Alpindi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur II “Pembaruan Silvikultur Untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan Menuju Ekonomi Hijau” Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014

Proyek Pengembangan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas. Purwanto, S., Syaufina, L., & Gunawan, A. (2014). Kajian potensi

dan daya dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk

172

strategi pengembangan ekowisata. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 4(2), 119-129.

Patilima, H. (2013). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta. Permana, C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2012). Kearifan

Lokal tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy. MAKARA of Social Sciences and Humanities Series, 15(1), 67-76.

Perum Perhutani. (2007). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): Kolaborasi antara Masyarakat Desa Hutan dengan Perum Perhutani dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Jawa. Dokumen yang disusun sebagai media sosialisasi LMDH dalam kerangka Levelling the Playing Field Project, yang didanai oleh Uni Eropa, bekerjasama dengan CIRAD, CIFOR, Fakultas Kehutanan UGM dan Perum Perhutani. p. 4.

Perum Perhutani. (2007). Tingkat partisipasi petani hutan dalam program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) Perhutani. MIMBAR, 28(1), 65-76.

Poffenberger, M. (2006). People in the Forest: community forestry experiences from Southeast Asia. International Journal of Environment and Sustainable Development, 5(1), 57-69.

Purnomo, H. (2004). To facilitate Collaborative Forest Management Using System Dynamic Modelling. Tropical Forest Management Journal, 10(2), 32-46.

Purnomo, H., Mendoza, G. A., Prabhu, R. & Yasmi, Y. (2005). Developing multi-stakeholder forest management scenarios: a multi-agent system simulation approach applied in Indonesia. Forest Policy and Economics, 7(4), 475-491.

Qurniati, R., Duryat, D. & Kaskoyo, H. (2018). Penguatan Kelembagaan Pengelola Hutan Desa di Sekitar Gunung Rajabasa, Lampung. Sakai Sambayan Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 1(3), 80-86.

Rabiee, F. (2004). Focus-group interview and data analysis. Proceedings of the nutrition society, 63(04), 655-660.

173

Rahayu, S., Dewi, U. & Fitriana, K. N. (2016). Pengembangan Community Based Tourism sebagai Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora, 21(1), 1–13.

Rianto, T. (2012). Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat. Tesis S2 IPB.

Ritzer, G. & Goodman, D.J. (2003). Modern Sociology Theory. Sixth Edition. Alimandan (penterjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Jakarta: Prenada Media.

Ratnadewi, N., Endah, F. dan Nurafi f, T. 2013. Studi Karakteristik Edelweiss (Anaphalis spp.) pada Tapak yang Ruhardi, A. (2006). “Distribusi Burung Koak Koak (Philemon

buceroides) di Pinggiran Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (Kerandangan-Aik Berik)” (Skripsi). Mataram, Universitas Mataram.

Ruhimat, I. S. (2010). Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(3), 169-178.

Saatchi, S. S., Harris, N. L., Brown, S., Lefsky, M., Mitchard, E. T., Salas, W., Zutta, B.R., Buermann, W., Lewis, S.L., Hagen, S, Petrova, S., White, L., Silman, M. & Morel, A. (2011). Benchmark map of forest carbon stocks in tropical regions across three continents. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(24), 9899-9904.

Safa'at, R. (2013). Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis dalam menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Lex Jurnalica (Ilmu Hukum), 10(1), 46-62.

Sahlan, M. (2012). Kearifan lokal masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam mengkonservasi hutan di Propinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(2), 318-331.

174

Samiaji, S. (2012). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Jakarta: Indeks.

Sanudin & Harianja, A.H. (2009). Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan Mangrove di Desa Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara, Info Sosial Ekonomi, 9(1), 37-45.

Sayektiningsih, T., Meilani, R., & Muntasib, E. H. (2008). Strategi Pengembangan Pendidikan Konservasi pada Masyarakat Suku Tengger di Desa Enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Media konservasi, 13(1), 32-37.

Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia: kajian arkeologi, seni, dan sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sembiring, R., Rahman, Y., Napitupulu, E., Quina, M. & Fajrini, R. (2014). Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law. p. 414.

Senoaji, G. (2010). Dinamika Sosial dan Budaya masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungan. Jurnal Bumi Lestari, 10(2), 302-310.

Senoaji, G. (2011). Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan, dan lingkungan di daerah Banten Selatan. Humaniora, 23(1), 14-25.

Simon, H. (2001). Pengelolaan Hutan bersama rakyat (Cooperative Forest Management), teori dan aplikasi pada hutan jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing

Siombo, M.R. (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum, 3(18), 428-443.

Siradz, U., Rosidi, M., Yamin, M. & Albayani, I. (1995). Wujud, Arti dan Fungsi Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram: Depdikbud. pp. 6-14.

Siscawati, M. (2014). Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Wacana/Jurnal Transformasi Sosial, 33, 3-23.

175

Siswoyo, E. (2011). Campus Go Green: Aktualisasi Nilai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Insani,, 11(1), 1-37.

Steenis, C. G.G. J. van. (2008). Flora untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sri Suharti, (2010). Prospek pengusahaan gaharu melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Info Hutan, 7(2), 141-154.

Suana, I.W., Sukenti, K. & Astuti, S.P. (2012). Distribution Mapping of Koak Kaok (Philemon buceroides) in the Edge Forest of Gunung Rinjani National Park, Lombok, Indonesia. JOSST, 8, 125-130

Subarudi. (2013). Dampak Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terhadap Pengurusan dan Pengelolaan Hutan. Policy Brief, 7(2), 1-7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Subarudi, S. (2014). Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012: suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3), 207-224.

Sudarsono, D., Sulistyono, Sulistani, G. & Rudjito. (1999). Dari Pelestarian Hingga Pembusukan: Hasil Studi Dampak Pariwisata terhadap Hak Masyarakat Adat di NTB. Mataram: Yayasan Koslata Bekerjasama dengan INPI-Pact. pp. 25-43

Sudarsyah, A. (2013). Kerangka Analisis Data Fenomenologi (Contoh Analisis Teks Sebuah Catatan Harian). Jurnal Penelitian Pendidikan, 14(1), 21-27.

Sumanto, S. E. (2009). Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1), 13-25.

Sumardjono, M. S. (2008). Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penerbit Buku Kompas.

176

Suprayitno, A. R. (2008). Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Memberdayakan Masyarakat Menuju Hutan Lestari. Kajian Analitik, Jurnal Penyuluhan, 4(20), 20-28.

Suntana & Sugih, A. (2000). Agenda 21 Sektoral, Agenda Kehutanan Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri KLH

Susilo, E., Sukesi, K. & Hidayat, K. (2012). Kajian struktur sosial masyarakat nelayan di ekosistem pesisir. Wacana, Jurnal Sosial dan Humaniora, 13(2), 366-380.

Takandjandji, M. & Garsetiasih, R. (2002). Pengembangan penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis) dan permasalahannya di NTT. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Bogor (Indonesia): PSIH-IPB; Puslit Biologi; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.

Taman Nasional Gunung Rinjani. (2012). Tentang TNGR. http://rinjaninationalpark. org/tentang -TNGR. (Diakses 20 Mei 2012).

Tang, C. & Tang, S. (2010). Institutional adaptation and community-based conservation of natural resources: the cases of the Tao and Atayal in Taiwan. Human Ecology, 38, 101-111.

Tesfaye, Y., Roos, A. & Bohlin, F. (2012). Attitudes of local people towards collective action for forest management: the case of participatory forest management in Dodola area in the Bale Mountains, Southern Ethiopia. Biodiversity and Conservation, 21(1), 245-265.

The Indonesian Parrot Protection for Life/IPPL, (2010). https://indonesiaparrotprotection.wordpress.com/category/identifikasi-parrot/psittaciformes/cacatuidae/ cacatua/cacatua-sulphurea/cacatua-sulphurea-parvula/ diakses dari (https://indonesiaparrotprotection. Wordpress.com/about-ippl/

177

Thorburn, C. (2002). Regime change--prospects for community-based resource management in post-New Order Indonesia. Society & Natural Resources, 15(7), 617-628.

Tiga, M. R. M., Putri, E. I. K. & Ekayani, M. (2019). Persepsi masyarakat Desa Katikuwai dan Desa Praing Kareha terhadap pengembangan ekowisata di Taman Nasional Matalawa NTT. Jurnal Sosiologi Pedesaan. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 7(1), 34-40.

Tim Peneliti & Pengkaji Lombok Barat. (2006). Laporan Penelitian dan Pengkajian Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Lombok Barat. Tidak Dipublikasikan. p. 67.

Trainor, C. R. (2002). Birds of Gunung Tambora, Sumbawa, Indonesia: effects of altitude, the 1815 cataclysmic volcanic eruption and trade. Forktail, 49-62.

Tweedie, M. (1978). Mammals of Malaysia. Kuala Lampur: Longman, Malaysia

Umam, F., Zaki, M., Amrulloh, M.A. & Maimun. (2006). Membangun Resistensi, Merawat Tradisi: Modal Sosial Komunitas Wetu Telu. Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat IAIN Mataram. p. 284.

UNFF. (2007). Non-legally Binding Instrument on Sustainable Forest Management of all Types of Forests, GA/Res/62/98 of 17 December 2007.

Van Steenis, C.G.G.J. (2006). Flora Pegunungan Jawa. LIPI, Jakarta. Widodo, W. (2009). Population Status of Cacatua sulphurea parvula

and Trichoglossus euteles in Alor, East Nusa Tenggara. Biodiversitas, 10(2), 81-87.

Winata, A. & Yuliana, E. (2012). Tingkat partisipasi petani hutan dalam program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar: Jurnal Sos. dan Pembangunan, 28(1), 65-76.

178

Winaya, A., Rico, M. J. I., Avilez, M., Wahyuningsih, S. & Budi, T. (2018). Studi Ragam Morfometri Musang (Paradoxurus hermaphroditus, Pallas 1777) Asal Nusa Tenggara Barat Sebagai Basis Data Identifikasi Variasi Genetik. PROSIDING Seminar Nasional Hayati VI tahun 2018, 22 September 2018, Kediri, Jatim.

Wolfinger, N. H. (2002). On writing fieldnotes: collection strategies and background expectancies. Qualitative Research, 2(1), 85-95.

Wollenberg, E., Anderson, J. & Edmunds, D. (2001). Pluralism and the less powerful: accommodating multiple interests in local forest management. International Journal of Agricultural Resources, Governance and Ecology, 1(3), 199-222.

Wollenberg, E., Moeliono, M., Limberg, G., Iwan, R., Rhee, S. & Sudana, M. (2006). Between state and society: local governance of forests in Malinau, Indonesia. Forest Policy and Economics, 8(4), 421-433.

Wong, L. P. (2008). Focus group discussion: a tool for health and medical research. Singapore Med J, 49(3), 256-60.

Woodward, S.L., (2012). Tropical Rainforest. Department of Geospatial Science Radford University. https://php.radford.edu/~swoodwar/biomes/?page_id=100 (Diakses 20 Juli 2014).

Wulan, Y. C., Yasmi, Y., Purba, C. & Wollenberg, E. (2004). Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor: CIFOR. pp. 7-9.

Wurianto, A.B. (2009). Aspek budaya pada upaya konservasi air dalam situs kepurbakalaan dan mitologi masyarakat Malang. Humanity, 4(2), 80-88

Wurianto, A.B. (2010). Transformasi Nilai-nilai Luhur Sastra Jawa Klasik sebagai Pengembang "Content" Pendidikan Karakter Berkearifan Lokal di Sekolah. Makalah dipresentasikan pada

179

Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya, 27-30 November 2011. p. 15.

Yamani, M. (2011). Strategi perlindungan hutan berbasis hukum lokal di enam komunitas adat daerah Bengkulu. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 175-192.

Yasmi, Y. (2003). Understanding conflict in the co-management of forests: the case of Bulungan Research Forest. International Forestry Review, 5(1), 38-44.

Yasmi, Y., Anshari, G. Z., Komarudin, H. & Alqadri, S. (2006). Stakeholder conflicts and forest decentralization policies in West Kalimantan: their dynamics and implications for future forest management. Forests, Trees and Livelihoods, 16(2), 167-180.

Yasmi, Y., Guernier, J. & Colfer, C. J. P. (2009). Positive and negative aspects of forestry conflict: lessons from a decentralized forest management in Indonesia. International Forestry Review, 11(1), 98-110.

Yoeti, O. A. (2000) Ekowisata Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Jakarta: PT. Pertja.

Yuliati, Y. & Poernomo, M. (2003). Sosiologi Pedesaan. Edisi I. Malang: Risalah Kerto Pustaka Utama.

Yuliati, Y. (2011). Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger (Suatu Kajian Jender dan Lingkungan). Malang: UB Press.

Zare, S., Fami, H. S. & Namiranian, M. (2008). People Participation, an Undeniable Necessity for Conserving Forest Areas of Arasbaran Region in Iran. American Journal of Agricultural and Biological Sciences, 3(4), 673.

180

SINOPSIS

Kebanggaan Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ke tiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Conggo tidak mustahil suatu saat hanya tinggal kenangan. Pola pengelolaan hutan yang diterapkan selama ini, telah mengakibatkan laju kerusakan hutan sebesar 1,7 juta Ha per tahun, atau “setiap menit hutan hilang seluas tiga kali lapangan sepak bola”. Penyebabnya multifaktor, baik karena illegal logging, penjarahan, perambahan, alih fungsi lahan, kebakaran hutan, pertambangan yang eksploitatif, dan tindak kejahatan hutan lainnya. Masyarakat adat yang telah lama hidup di dalam dan sekitar hutan merupakan pihak yang paling terdampak dari kasus kerusakan hutan ini. Mereka, selain tidak diberikan peran ketika praktik pengelolaan hutan hanya diserahkan kepada pemilik modal; tetapi juga termarjinalkan dan tidak terlindungi eksistensinya, serta dipandang sebagai sumber konflik. Berbagai bantuan telah disalurkan oleh masyarakat internasional untuk menghentikan kerusakan hutan. Namun, tidak sepenuhnya berhasil. Agar tujuan akhir pengelolaan hutan tercapai, yakni terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terjaganya kelestarian lingkungan, maka diperlukan solusi guna mengatasi persoalan kunci kehutanan di Indonesia. Salah satu solusi yang diyakini oleh banyak pihak, termasuk para pemerhati lingkungan adalah memaksimalkan kembali partisipasi aktif masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Praktik kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat telah terbukti mampu mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terjaganya kelestarian lingkungan secara simultan,. Oleh karena itu praktik kearifan lokal masyarakat adat tersebut merupakan modal sosial yang potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan pola

181

kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang selama ini tersentralistik di tangan pemerintah. Pentingnya memaksimalkan kembali partisipasi masyarakat adat, tentu didasari berbagai alasan. Namun, alasan utamanya adalah karena masyarakat adat telah memiliki kearifan lokal yang digunakan sebagai strategi adaptasi dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Kearifan lokal dimaksud di antaranya: pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka, hukum adat untuk ditegakkan, kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya; sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar. Berdasarkan modal sosial tersebut maka tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan bangsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat, -yang diberikan kesempatan dan ruang maksimal untuk mempraktikkan kearifan lokalnya sehingga mampu menjangkau tujuan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan berkesinambungan (lintas generasi).

182

TENTANG PENULIS

Penulis dilahirkan di Dusun Semoyong, Desa Kidang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, NTB, pada tanggal 31 Desember 1967, merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dari orang tua bernama Dulambang (alm.) dan Fatimah (almh.). Penggemar Teka Teki Silang

sejak SMP ini menamatkan pendidikan dasar di SDN Semoyong (1980), SMPN 2 Praya (1983), SPP-SPMAN Mataram (1986), dan Pendidikan S1 (1991) pada Prodi Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Tanaman Faperta Universitas Mataram. Selanjutnya pada tahun 1992, penulis menjadi tenaga pengajar honorer di FPMIPA IKIP Mataram - 2011. Menikah dengan Mindrawati, S.Pd., M.Si., pada tahun 1993 dan dikarunia tiga orang putra, Muhammad Edwin Indradulmawan, Muhammad Edrian Indradulmawan, dan Muhammad Ediartha Karunia Indradulmawan. Mulai tahun 1999, penulis melanjutkan S2 di Fakultas Pertanian UGM, pada Program Studi Ilmu Hama Tumbuhan. Penulis menyelesaikan studi S2 selama 21 bulan, dan tamat tahun 2001, dengan predikat Cumlaude. Setelah tamat S2, penulis kembali mengajar di FPMIPA IKIP Mataram, dan ditugaskan menjadi Sekjur Pendidikan Biologi, selanjutnya menjadi Kajur Pendidikan Biologi, dan terakhir pada periode 2005-2009 ditugaskan sebagai Pembantu Dekan II, di fakultas yang sama. Selain itu, pada tahun 2002, penulis juga menjadi tenaga pengajar honorer di Jurusan Tadris IPA, Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram. Pada akhir 2003, penulis diterima menjadi tenaga pengajar tetap di Jurusan Tadris IPA Biologi, Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram. Berikutnya, pada tahun 2006-2010, penulis ditugaskan sebagai Kajur Tadris IPA Biologi merangkap sebagai Kalab. IPA. Setelah selesai masa jabatan pertama, kembali ditugaskan sebagai

183

Kajur pada jurusan yang sama untuk periode 2011-2014. Namun, penulis mengundurkan diri pada bulan September 2011 karena melanjutkan studi S3 pada Prodi Program Doktor Ilmu Lingkungan PPs Universitas Brawijaya, Malang, dan tamat tahun 2015 dengan predikat Cumlaude. Publikasi ilmiah yang telah dihasilkan di antaranya: Local wisdom transformation of Wetu Telu community on Bayan forest management, North Lombok, West Nusa Tenggara yang diterbitkan pada jurnal Research on Humanities and Social Sciences, Vol. 4 No. 2, p. 109-118 (2014); Revitalization on local wisdom of Wetu Telu community in forest management of Bayan, North Lombok, West Nusa Tenggara diterbitkan pada Journal of Biodiversity and Environmental Sciences, Vol. 4. No. 4, p. 384-397 (2014); Analisis Transformasi Awig-awig dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Kasus pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok Utara) diterbitkan pada The Indonesian Green Technology Journal, Vol. 3. No. 1, p. 39-50 (2014). Buku ini merupakan buku ke empat yang telah dihasilkan oleh penulis. Sebelumnya, pada tahun 2008 bersama Tim Konsorsium menyusun Buku Ajar Pendidikan IPA I untuk mahasiswa PGMI yang dibiayai oleh LAPIS-PGMI, Buku Ajar Ekologi Tumbuhan yang dibiayai oleh Program LPIU IsDB-IAIN Mataram pada tahun 2015; bersama Tim menyusun buku Belajar Mendunia: refleksi lintas budaya sebagai hasil dari Postdoctoral Program pada tahun 2016 di Western Sydney University, Australia; dan Pengantar Ilmu Lingkungan pada tahun 2017. Saat ini penulis sedang mengemban tugas sebagai Ketua Jurusan Tadris IPA Biologi FTK UIN Mataram untuk periode 2017-2021. Penulis juga pernah mengemban tugas sebagai asesor BAN S/M NTB periode 2016-2020. Selain itu juga saat ini aktif sebagai anggota ADI (Asosiasi Dosen Indonesia) wilayah NTB.

pengelolaan hutan adat berbasis kearifan lokal

Documents