pengawetan makanan
DESCRIPTION
Pengawetan makanan dan prinsip-prinsip mikrobiologiTRANSCRIPT
Pengawetan Makanan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan
gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun
berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi.
Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat
memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi.
Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan
dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya
teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehinngga tidak mempunyai banyak
waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah
yang kemudian diolah didapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang
telah diolah dipabrik atau telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat itu sendiri.
Permasalahan atau petanyaan yang timbul kemudian adalah apakah proses pengawetan, bahan
pengawet yang ditambahkan atau produk pangan yang dihasilkan aman dikonsumsi manusia?
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang
terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Semakin
tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai
akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. kriteria
yang dapat digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di konsumsi,
secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan faktor-faktor nonteknik, sosial ekonomi, dan
budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi
dan penanganan makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan
parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan (Winarno,1993).
Bahan-bahan organik mengalami pengrusakan oleh mikroba, kalau tidak dilindungi
terhadap perbanyakan diri atau pengaruh lain dari mikroorganisme, dengan menggunakan zat-zat
tertentu atau kondisi tertentu. Untuk mempertahankan atau mengawetkan zat-zat organik
terdapat beberapa cara yang cocok. Arti terbesar dari metode pengawetan ialah untuk melindungi
bahan makanan dan makanan.
Makanan hilang kenikmatannya untuk manusia bukan hanya kalau dirusak oleh
mikroorganisme (pembusukan aerob atau anaerob) saja, tetapi juga karena tercemari bakteri atau
fungi pembentukan toksin. Pembentukan toksin terpenting dalam bahan makanan adalah
Clostridium botulinum dan berbagai jenis Staphylococus. Pertama membentuk eksotoksin
walaupun dalam jumlah kecil tetapi sangat toksik, yang mempengaruhi sistem syaraf dan disebut
neurotoksin. Staphylococus membentuk enterotoksin, yang menyebabkan “keracunan bahan
makanan” dan mempengaruhi saluran cerna (hans g. schlegel and Karin Schmidt, 1994: 243).
Tujuan Pengawetan
Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua
penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan
daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan menggunaka garam, asam, dan
gula telah dikenal sejak dulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk
mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula.
Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting
kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan toksik. Bahan pengawet
akan memengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut.
Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis
bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan
pengawet yang digunakan.
Secara umum pengawetan makanan bertujuan untuk :
1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun
yang tidak patogen.
2. Memperpanjang umur simpan pangan.
3. Memperlambat fase pertumbuhan logaritmik mikroba.
4. Mempercepat fase kematian mikroba.
5. Memperlambat aktivitas bakteri penyebab penyakit/bakteri yang dapat menurunkan kualitas
makanan.
6. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.
7. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.
8. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan.
6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
Teknik Pengendalian Aktivitas Mikroba Perusak Makanan Melalui Beberapa Macam
Teknik Pengawetan Makanan
A. Teknik Secara Biologi
1. Fermentasi
a. Definisi Fermentasi
Arti kata fermentasi selama ini berubah-ubah. Kata fermentasi berasal dari Bahasa
Latin “fervere” yang berarti merebus (to boil). Arti kata dari Bahasa Latin tersebut dapat
dikaitkan dengan kondisi cairan bergelembung atau mendidih. Keadaan ini disebabkan adanya
aktivitas ragi pada ekstraksi buah-buahan atau biji-bijian. Gelembung-gelembung
karbondioksida dihasilkan dari katabolisme anaerobik terhadap kandungan gula.
`Fermentasi mempunyai arti yang berbeda bagi ahli biokimia dan mikrobiologi industri.
Arti fermentasi pada bidang biokimia dihubungkan dengan pembangkitan energi oleh
katabolisme senyawa organik. Pada bidang mikrobiologi industri, fermentasi mempunyai arti
yang lebih luas, yang menggambarkan setiap proses untuk menghasilkan produk dari
pembiakan mikroorganisme.
Perubahan arti kata fermentasi sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para
ahli. Arti kata fermentasi berubah pada saat Gay Lussac berhasil melakukan penelitian yang
menunjukkan penguraian gula menjadi alkohol dan karbondioksida. Selanjutnya Pasteur
melakukan penelitian mengenai penyebab perubahan sifat bahan yang difermentasi, sehingga
dihubungkan dengan mikroorganisme dan akhirnya dengan enzim.
Untuk beberapa lama fermentasi terutama dihubungkan dengan karbohidrat, bahkan
sampai sekarang pun masih sering digunakan. Padahal pengertian fermentasi tersebut lebih
luas lagi, menyangkut juga perombakan protein dan lemak oleh aktivitas mikroorganisme.
Meskipun fermentasi sering dihubungkan dengan pembentukan gas yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang hidup, pada saat ini pembentukan gas maupun terdapatnya sel
mikroorganisme hidup tidak merupakan kriteria yang esensial. Dalam beberapa proses
fermentasi misalnya fermentasi asam laktat, tidak ada gas yang dibebaskan. Fermentasi dapat
juga berlangsung (meskipun jarang terjadi) dengan menggunakan ekstrak enzim yang
berfungsi sebagai katalisator reaksi. Dari uraian diatas dapat disarikan bahwa fermentasi
mempunyai pengertian suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Fermentasi didefenisikan sebagai perombakan anaerob karbohidrat yang menghasilkan
pembentukan produk fermentasi yang stabil. Contoh produk fermentasi oleh mikroorganisme
yang dapat dimanfaatkan meliputi barang-barang seperti etil alkohol, asam laktat, asam asetat,
gliserol, butilen glikol, aseton, butanol dan sama butirat (volk and wheeler, 1990:300).
b. Peran Fermententasi Sebagai Teknik Pengendali Mikroba Perusak Makanan
Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan pangan dengan
menggunakan aktivitas mikroorganisme secara terkontrol untuk meningkatkan keawetan pangan
dengan dioproduksinya asam dan/atau alkohol, untuk menghasilkan produk dengan karekateristik
flavor dan aroma yang khas, atau untuk menghasilkan pangan dengan mutu dan nilai yang lebih
baik. Contoh-contoh produk pangan fermentasi ini bermacam-macam; mulai dari produk
tradisional (misalnya tempe, tauco, tape, dll) sampai kepada produk yang modern (misalnya
salami dan yoghurt).
Proses fermentasi dalam pengolahan pangan mempunyai beberapa keuntungan-keuntungan,
antara lain :
1. Proses fermentasi dapat dilakukan pada kondisi pH dan suhu normal, sehingga tetap
mempertahankan (atau sering bahkan meningkatkan) nilai gizi dan organoleptik produk
pangan,
2. Karakteristik flavor dan aroma produk yang dihasilkan bersifat khas, tidak dapat diproduksi
dengan teknik/metoda pengolahan lainnya.
3. Memerlukan konsumsi energi yang relatif rendah karena dilakukan pada kisaran suhu normal,
4. Modal dan biaya operasi untuk proses fermentasi umumnya rendah,
5. Teknologi fermentasi umumnya telah dikuasi secara turun temurun dengan baik.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa proses fermentasi adalah proses yang
memanfaatkan jasa mikroorganisme, maka pengendalian proses fermentasi pada dasarnya
adalah pengendalian pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tersebut. Faktor utama yang
mengandalikan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan adalah :
1. Ketersediaan sumber-sumber karbon dan nitrogen yang akan digunakan oleh
mikroorganisme tersebut untuk tumbuh dan berkembang-biak,
2. Ketersediaan zat gizi khusus tertentu yang merupakan persyaratan karakteristik bagi
mikroorganisme tertentu untuk tumbuh dengan baik,
3. Nilai pH produk pangan,
4. Suhu inkubasi, kadar air, dan ada/tidaknya kompetisi dengan mikroorganisme lainnya.
Jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam teknologi fermentasi adalah:
Bakteri Asam Laktat
Dari kelompok ini termasuk bakteri yang menghasilkan sejumlah besar asam laktat
sebagai hasil akhir dari metabolisme gula (karbohidrat). Asam laktat yang dihasilkan dengan
cara tersebut akan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan
rasa asam. Ini juga menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis mikroorganisme lainnya.
Dua kelompok kecil mikroorganisme dikenal dari kelompok ini yaitu organisme-organisme
yang bersifat homofermentative dan heterofermentative.
Jenis-jenis homofermentatif yang terpenting hanya menghasilkan asam laktat dari
metabolisme gula, sedangkan jenisjenis heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan
sedikit asam-asam volatil lainnya, alkohol, dan ester disamping asam laktat.
Beberapa jenis yang penting dalam kelompok ini:
1. Streptococcus thermophilus, Streptococcus lactis dan Streptococcus cremoris. Semuanya
ini adalah bakteri gram positif, berbentuk bulat (coccus) yang terdapat sebagai rantai dan
semuanya mempunyai nilai ekonomis penting dalam industri susu.
2. Pediococcus cerevisae. Bakteri ini adalah gram positif berbentuk bulat, khususnya terdapat
berpasangan atau berempat (tetrads). Walaupun jenis ini tercatat sebagai perusak bir dan
anggur, bakteri ini berperan penting dalam fermentasi daging dan sayuran.
3. Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum.
Bakteri ini adalah gram positif berbentuk bulat yang terdapat secara berpasangan atau
rantai pendek. Bakteri-bakteri ini berperanan dalam perusakan larutan gula dengan
produksi pertumbuhan dekstran berlendir. Walaupun demikian, bakteri bakteri ini
merupakan jenis yang penting dalam permulaan fermentasi sayuran dan juga ditemukan
dalam sari buah, anggur, dan bahan pangan lainnya.
4. Lactobacillus lactis, Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus
plantarum, Lactobacillus delbrueckii. Organisme-organisme ini adalah bakteri berbentuk
batang, gram positif dan sering berbentuk pasangan dan rantai dari sel-selnya. Jenis ini
umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dari pada jenis-jenis Pediococcus atau
Streptococcus dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari
fermentasi tipe asam laktat. Bakteri bakteri ini penting sekali dalam fermentasi susu dan
sayuran.
Bakteri Asam Propionat
Jenis-jenis yang termasuk kelompok ini ditemukan dalam golongan Propionibacterium,
berbentuk batang dan merupakan gram positif. Bakteri ini penting dalam fermentasi bahan
pangan karena kamampuannya memfermentasi karbohidrat dan juga asam laktat dan
menghasilkan asam-asam propionat, asetat, dan karbondioksida. Jenis-jenis ini penting dalam
fermentasi keju Swiss.
Bakteri Asam asetat
Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif dan ditemukan dalam golongan Acetobacter
sebagai contoh Acetobacter aceti. Metabolismenya lebih bersifat aerobik (tidak seperti spesies
tersebut di atas), tetapi peranannya yang utama dalam fermentasi bahan pangan adalah
kemampuannya dalam mengoksidasi alkohol dan karbohidrat lainnya menjadi asam asetat dan
dipergunakan dalam pabrik cuka (Suprihatin, 2010:3-5).
Fermentasi untuk mengawetkan bahan makanan itu sering dilakukan secara konvensional
oleh masyarakat. Fermentasi tersebut akan menghasilkan makanan yang bernilai ekonomis
dan juga bercitarasa enak. Produk fermentasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tempe
Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang dibuat dari kedelai diinokulasi dengan
jamur Rhizopus oligosporus dalam fermentasi padat (DeReu dkk., 1994). Fermentasi
tempe merupakan fermentasi dua tahap yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri yang
berlangsung selama proses perendaman kedelai, dan fermentasi oleh kapang yang
berlangsung setelah diinokulasi dengan kapang. Komposisi dan pertumbuhan mikroflora
tempe selama fermentasi sangat menarik untuk dicermati karena ternyata tidak hanya R.
oligosporus yang berperan. Mulyowidarso dkk., (1989) yang telah mempelajari secara
mendalam tentang ekologi mikrobia selama perendaman kedelai untuk pembuatan tempe
menemukan bahwa bakteri merupakan mikroflora yang secara signifikan selalu tumbuh
selama pembuatan tempe dan mempunyai peran yang penting. Walaupun R. oligosporus
berperan utama dalam pembuatan tempe, yeast kemungkinan juga dapat tumbuh selama
fermentasi tempe. Sehingga analisis mikrobiologis sangat perlu diungkapkan lebih
mendetil agar keterlibatan setiap jenis mikroorganisme dalam pembuatan tempe dapat
diketahui dengan jelas.
Yeast (ragi) sudah lama diduga ikut serta dalam fermentasi tempe (Steinkraus,
1982, 1995; Nout dkk., 1987; Mulyowidarso dkk., 1990). Tetapi peranan yeast dalam
pembuatan tempe belum mendapatkan perhatian yang serius (Nout dan Kiers, 2005).
Beberapa jenis yeast telah ditemukan dalam tempe yang dipasarkan dan selama
perendaman kedelai untuk pembuatan tempe (Samson dkk., 1987; Mulyowidarso dkk.,
1989) tetapi yeast yang dalam perendaman kedelai tidak ditemukan dalam produk
tempenya. Oleh karena itu dalam penelitian ini empat spesies yeast terpilih yaitu
Saccharomyces boulardii, Yarrowia lipolytica, Aerobasidium pullulans dan yeast yang
menyerupai kapang Geotrichum candidum, masing-masing akan diinokulasikan bersama
dengan Rhizopus oligosporus dalam kedelai untuk fermentasi tempe. Keempat yeast
tersebut merupakan penghasil enzim ekstraseluler lipolitik dan proteolitik yang sangat
tinggi (Deshpande dkk., 1992; Strauss dkk., 2001; Buzzini dan Martini, 2002). Interaksi
pertumbuhannya dengan kapang dan bakteri selama fermentasi akan diamati. Bila yeast
mampu tumbuh dan berinteraksi dengan mikroflora lain selama fermentasi maka
kemungkinan yeast mempunyai peran dalam meningkatkan kualitas nutrisi dan flavor
tempe. Yeast diharapkan mempunyai kontribusi dalam memperbaiki kualitas dan flavor
tempe, sehingga potensi yeast dalam industri pembuatan tempe perlu diungkap secara
tuntas.
Gambar 1. Proses pembuatan tempe Sumber: (http://www.indonesia-lombok.de/tempe_id.php)
2. Tapai
Tapai (sering dieja sebagai tape) atau uli (bahasa Betawi) adalah salah satu
makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) bahan
pangan berkarbohidrat atau Sumber pati, seperti singkong atau ubi kayu dan beras ketan
yang melibatkan ragi di dalam proses pembuatannya (Made Astawan Mita Wahyuni,
1991). Tapai yang dibuat dari singkong (ubi kayu) dan hasilnya dinamakan tapai
singkong. Bila dibuat dari ketan hitam maupun ketan putih, hasilnya dinamakan “tapai
pulut” atau “tapai ketan”. Dalam proses fermentasi tapai, digunakan beberapa jenis
mikroorganisme seperti Saccharomyces Cerevisiae, Rhizopus oryzae, Endomycopsis
burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Pediococcus, dsb sp..
Tapai hasil fermentasi dari S. cerevisiae umumnya berbentuk semi-cair, berasa manis
keasaman, mengandung alkohol, dan memiliki tekstur lengket. Umumnya, tapai
diproduksi oleh industri kecil dan menengah sebagai kudapan atau hidangan pencuci
mulut (Ganjar, 2003).
Dalam pembuatan tapai bahan perlu dicampurkan air dan dikukus dikukus
terlebih dahulu sebelum diberikan ragi. Campuran tersebut ditutup dengan daun dan
diinkubasi pada suhu 25-30 °C selama 2-4 hari hingga menghasilkan alkohol dan
teksturnya lebih lembut. Selain rasanya yang manis dan aroma yang memikat, tapai juga
dibuat dengan beberapa warna berbeda. Warna tersebut tidak berasal dari pewarna buatan
yang berbahaya, melainkan berasal dari pewarna alami. Untuk membuat tapai ketan
berwarna merah, digunakan Angkak, pigmen yang dihasilkan oleh Monascus purpureus.
Sedangkan tapai ketan warna hijau dibuat menggunakan ekstrak daun pandan. Pembuatan
tapai memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar tape dapat menjadi lunak
karena proses fermentasi yang baik. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk
membuat tapai. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan
harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika digunakan
untuk mengolah pembuatan tapai bias menyebabkan kegagalan fermentasi. Air juga harus
bersih. Menggunakan air hujan juga bias menyebabkan gagal fermentasi.
Tape mempunyai rasa sedikit manis dengan sedikit rasa alkohol dan aroma
semerbak yang khas. Tekstur lunak dan berair serta mengasilkan cairan yang merupakan
efek dari efek fermentasi. Rasa manis pada tape dipengaruhi oleh kadar gula dari tape itu
sendiri. Tetapi kadang – kadang pada sejenis tape tertentu timbul rasa asam agak
menyengat. Hal ini biasanya disebabkan oleh perlakuan selama proses pembuatan yang
kurang teliti, misalnya penambahan ragi yang terlampau banyak, penutupan yang kurang
sempurna selama proses fermentasi berlangsung, ataupun karena proses fermentasi yang
terlalu lama (Oyon Suwaryono dan Yusti Ismaeni, 1987).
Fermentasi tapai dapat meningkatkan kandungan Vitamin B1 (tiamina) hingga
tiga kali lipat. Vitamin ini diperlukan oleh sistem saraf, sel otot, dan sistem pencernaan
agar dapat berfungsi dengan baik. Karena mengandung berbagai macam bakteri “baik”
yang aman dikonsumsi, tapai dapat digolongkan sebagai sumber probiotik bagi tubuh.
Cairan tapai dan tapai ketan diketahui mengandung bakteri asam laktat sebanyak ± satu
juta per mililiter atau gramnya. Produk fermentasi ini diyakini dapat memberikan efek
menyehatkan tubuh, terutma sistem pencernaan, karena meningkatkan jumlah bakteri
dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat. Kelebihan lain dari tapai adalah
kemampuan tapai mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh. Aflaktosin
merupakan zat toksik atau racun yang dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus
flavus. Toksik ini banyak kita jumpai dalam kebutuhan pangan sehari-hari, seperti kecap.
Konsumsi tapai dalam batas normal diharapkan dapat mereduksi aflatoksin tersebut.
Di beberapa negara tropis yang mengkonsumsi singkong sebagai karbohidrat
utama, penduduknya rentan menderita anemia. Hal ini dikarenakan singkong
mengandung sianida yang bersifat toksik dalam tubuh manusia. Konsumsi tapai dapat
mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasinya
mampu menghasilkan vitamin B12. Konsumsi tapai yang berlebihan juga dapat
menimbulkan infeksi pada darah dan gangguan sistem pencernaan. Selain itu, beberapa
jenis bakteri yang digunakan dalam pembuatan tapai berpotensi menyebabkan penyakit
pada orang-orang dengan sistem imun yang terlalu lemah seperti anak-anak balita, kaum
lanjut usia, atau penderita HIV. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, konsumsi
tapai perlu dilakukan secara terkendali dan pembuatannya serta penyimpanannya pun
dilakukan dengan higienis (Cronk, et al, 1977).
Gambar 2. Proses pembuatan tempeSumber: (http://www.pareparekota.go.id/kominfo/berita-dan-informasi-news-and-
information/wisata-perkotaan/kuliner-wisata?start=5)
B. Teknik Secara Kimia
1. Pengasaman
Pengawetan dengan pengasaman memanfaatkan keadaan bahwa hanya sedikit
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada pH rendah dan tanpa udara. Untuk mematikan
mikroorganisme cukup dipasteurisasi; spora yang tahan panas tidak berkecambah di bawah
pH 5,0. Pengawetan dengan pengasaman alamiah pada peristiwa peragian asam laktat,
digunakan pada pembuatan sauerkraut, silage, acar ketimun, sosis (salami, servelatwurat).
Pada banyak metode ditambahkan asam asetat, asam laktat, asam tartrat, atau asam sitrat.
Bahan makanan yang diasamkan, tetapi tidak dipasteurisasi mengalami pembusukan oleh ragi
atau fungi kalau kemasukan udara. Asam yang biasa digunakan untuk pengawetan antara lain
asam sorbet, asam benzoate, atau asam formiat (Hans g. Schlegel and Karin Schmidt, 1994:
244).
Bila orang ingin mengawetkan makanan dengan menggunakan asam-asaman, maka
perlulah ia mengetahui, bahwa pH kurang daripada 6 (ini berarti asam) atau pH lebih daripada
8 (ini berarti basa) itu tidak disukai oleh bakteri pada umumnya (Dwidjoseputro, 1978: 173).
Gambar 3. Proses pembuatan tempeSumber: (http://resepmasakita.com/resep-acar-timun-wortel-mentah-segar/resep-acar-
timun-bumbu-kacang/)2. Pemanisan
Gula pasir digunakan sebagai pengawet dan lebih efektif bila dipakai dengan tujuan
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai bahan pengawet, pengunaan gula pasir minimal
3% atau 30 gram/kg bahan.
Gula dengan kadar tinggi (sakrosa 50%) menghambat pertumbuhan. Selai dan
berbagai jenis sirop awet terutama karena kadar asam dan kadar gulanya. (hans g. schlegel
and Karin Schmidt, 1994: 245). Orang yang ingin mengawetkan makanan dengan
menggunakan gula (buah-buahan, salai) perlu memperhatikan berapa banyak gula yang harus
dipergunakannya. Pada umumnya bakteri mati dalam larutan gula 45%, akan tetapi masih
dapat hidup dalam lingkungan asam serendah pH 3 (Dwidjoseputro, 1978: 173).
Manisan buah adalah buah-buahan yang direndam dalam larutan gula selama beberapa
waktu. Manisan biasanya dimakan sebagai hidangan pelengkap untuk merangsang nafsu
makan. Teknologi membuat manisan merupakan salah satu cara pengawetan makanan yang
sudah diterapkan sejak dahulu kala. Perendamanan manisan akan membuat kadar gula dalam
buah meningkat dan kadar airnya berkurang. Keadaan ini akan menghambat
pertumbuhan mikroba perusak sehingga buah akan lebih tahan lama.
Gambar 4. Teknik pengawetan buah dengan pemanisan. Sumber : (http://budaya-indonesia.org/Manisan-Cianjur/)
3. PengasinanGaram dapur dalam keadaan murni tidak berwarna, tetapi kadang-kadang berwarna
kuning kecoklatan yang berasal dari kotoran-kotoran yang ada didalamnya. Air laut
mengandung + 3 % garam dapur. Garam dapur sebagai penghambat pertumbuhan mikroba,
sering digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahan-bahan lain. Pengunaannya sebagai
pengawet minimal sebanyak 20 % atau 2 ons/kg bahan.
Pada penggaraman bahan makanan diletakkan dalam larutan NaCl 14-25%, pada
perlakuan ini air merembes ke luar dan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dihambat;
hanya beberapa bakteri halofil dapat berkembang biak. (Hans g. Schlegel and Karin Schmidt,
1994: 244-245).
Gambar 5. Teknik pengawetan ikan dengan pengasinan. Sumber: (http://adiozh.com/2010/11/16/pengawetan-makanan/)
C TEKNIK SECARA FISIKA
1. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran diterik matahari atau pemanasan
dengan api. Telah diketahui oleh rakyat pedesaan bahwa padi, jagung, ketela, biji kacang-
kacangan dijemur lebih dulu sampai kering untuk emping, karak, kripik pun harus
dikeringkan betul-betul sebelum disimpan. Daging, ikan dapat dikeringkan dengan dijemur
atau dipanggang di atas api dengan diberi garam dan rempah-rempah atau tanpa garam dan
rempah-rempah. Jelaslah, bahwa makanan yang mengalami pengeringan seperti tersebut
diatas itu merupakan kondisi yang tidak baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur
(Dwidjoseputro, 1978: 172).
Gambar 6. Teknik pengawetan ikan dengan pengeringan.Sumber: (http://adiozh.com/2010/11/16/pengawetan-makanan/)
2. Pemanasan
Pada dasarnya pengolahan pangan dengan penggunaan panas adalah hal yang biasa
dilakukan dalam rumah tangga. Pemanasan bertujuan agar makanan lebih enak dan lezat
dimakan serta meningkatkan daya simpan makanan menjadi lebih lama. Selama pemanasan
terjadi dua hal penting yaitu destruksi atau reduksi mikroorganisme dan inaktivasi enzim yang
tidak dikehendaki. Selain itu, juga terjadi destruksi toksin, perubahan warna, flavor dan
tekstur bahan pangan, serta peningkatan daya cerna komponen pangan.
Beberapa proses yang menggunakan panas biasanya lebih ditujukan untuk meningkatkan
penerimaan dari bahan pangan (food accepatance). Contohnya adalah pemasakan (seperti
pembakaran, pemanggangan, penyaringan, perebusan dan penggorengan). Sedangkan
pengolahan panas lain yakni blansing, pasteurisasi dan sterilisasi, lebih ditujukan untuk
meningkatkan daya simpan bahan pangan.
Pasteurisasi
Pasteurisasi bukanlah suatu bentuk sterilisasi, tetapi metode untuk membinasakan
organisme penyebab penaykit. Mula-mula cara ini direka oleh Pasteur guna mengawetkan
anggur minuman denagn menantikan bakteri yang ada yang menyebabkan anggur minuman
menjadi masam. Kini keemungkinan kiata dapat mengaitkan porses tersebut dengan susu.
Prosedur ini dilaksanakan denagn pemanasan susu sampai suhu yang khas, menjaga suhu
tersebut selama jangka waktu tertentu dan kemudian mendinginkan susu dengan cepat. (Volk
dan Wheeler, 1988: 207).
Banyak jenis makanan cukup dipasteurisasikan lebih dahulu sebelum dimasukkan ke
dalam kaleng. Pasteurisasi tidak membunuh spora-spora, akan tetapi dengan pasteurisasi rasa
dan aroma makanan tidak banyak berkurang. Orang-orang yang berada boleh menyimpan
makanannya di dalam almari es, di mana suhunya kira-kira 2 sampai 80 C (Dwidjoseputro,
1978: 173).
Gambar 7. Mesin pasteurisasi susu dan minumanSumber: (http://www.tokomesin.com/Mesin_Pasteurisasi_Alat_Untuk_Pasteurisasi.html
3. Pendinginan
Pedinginan atau refrigasi adalah penyimpanan bahan pangan baik nabati maupun hewani
di atas suhu titik beku tetapi kurang dari 150 C. Pada proses pendinginan tersebut,
pertumbuhan dan aktivitas beberapa mikroorganisme akan terhambat bahkan mati, terutama
mikroorganisme golongan termofil dan mesofil yang hanya dapat berkembang baik pada suhu
di atas 100 C. Pendinginan juga mencegah kerusakan bahan pangan akibat aktivitas
meabolisme pascapanen, reaksi kimia (Browning dan oksidasi lemak), degradasi warna,
proses autolisis pada produk perikanan, penurunan nilai gizi dan kehilangan air. Hal yang
perlu diperhatikan dalam pendinginan adalah kecepatan pendinginan, suhu dan lama
pendinginan.
Pembekuan yakni penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan yang
baik biasanya dilakukan pada suhu -120 sampai -240 C. Bahan pangan yang dibekukan dapat
disimpan dalam ruang penyimpanan bersuhu -180 sampai -250 C. Fluktuasi suhu dalam ruang
penyimpanan akan memengaruhi mutu produk. Penurunan mutu terutama disebabkan karena
adanya perubahan kimia dan fisik, bukan aktivitas mikroba.
Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan terletak pada jangka waktu penyimpanan.
Pendinginan biasanya akan mengawetkan makanan selama beberapa hari atau minggu
tergantung bahan pangannya, sedangkan pembekuan dapat sampai beberapa bulan bahkan
tahun. Berikut ini beberapa jenis makanan dan masa simpannya pada penyimpanan dengan
suhu rendah
Jenis makanan Refrigasi (pendinginan) Pembekuan
TELUR
Segar, utuh 3 minggu Jangan dibekukan
Kuning/putih telur, terpisah 2-4 hari 1 tahun
dimasak 1 minggu Jangan dibekukan
Produk olahan, sudah dibuka 3 hari Jangan dibekukan
Produk olahan, belum dibuka 10 hari 1 tahun
DAGING
Sapi/kerbau/kambing 3-5 hari 6-12 bulan
Jeroan 1-2 hari 3-4 bulan
Produk olahan 3-4 hari 2-3 bulan
IKAN, segar 5-20 hari 8-10 bulan
PRODUK UNGGAS
Ayam/bebek, utuh 1-2 hari 1 tahun
Ayam, per potong 1-2 hari 2-3 bulan
Produk olahan 3-4 hari 4-6 bulanbulan
Fried chicken 3-4 hari 4 bulan
Chicken nuggets 1-2 hari 1-3 bulan
SUP, penambahan
sayur/daging3-4 hari 2-3 bulan
MAYOINNASE, sudah
dibuka2 bulan Jangan dibekukan
MENTEGA 2 bulan 1 tahun
ES KRIM Beberapa bulan
ROTI Beberapa minggu
SAYURAN 3-20 hari
Agus S. & Cucut P. Karakteristik tape buah sukun hasil fermentasi Penggunaan konsentrasi ragi yang berbeda. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unwidha Klaten. Magistra no. 73 th. XXII September 2010. Issn 0215-9511. halaman 48-55 (online). http:// journal .unwidha.ac.id/index.php/magistra/article/download/97/57 , diakses tanggal 26 Agustus 2015
Dwidjosepuetro, 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan
.
Hans g. Schlegel and Karin Eschmidt, 1994. Mikrobiologi umum. Edisi keenam. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Kustyawati, M.E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Agritech, Vol. 29, No. 2, Juli 2009, halaman 64-70.
http://www.jurnalagritech.tp.ugm.ac.id/ojs/index.php/agritech/article/viewFile/139/135, diakses tanggal 26 Agustus 2015.
Lubis N.D.A. 2009. Pengawetan yang Aman. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. (online). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1914/1/09E00765.pdf. diakses tanggal 26 Agustus 2015.
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya: Unesa Press.
Volk And Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar edisi kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Volk And Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar Jilid 2. Jakarta: Erlangga