pengawasan internal berbasis pararem … bab i pendahuluan 1.1.latar belakang pengawasan terhadap...
TRANSCRIPT
1
USULAN PENELITIAN UNGGULAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
PENGAWASAN INTERNAL BERBASIS PARAREM
(STUDI EKSPERIMEN LAPANGAN PADA
LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI PROVINSI
BALI)
Tim Peneliti:
1. Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE, Ak., M.Si
2. I Ketut Jati, SE,Ak.,M.Si
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Bidang Unggulan: AKUNTANSI/AUDIT
BERBASIS BUDAYA
2
Halaman Pengesahan
1. Judul Penelitian : Pengawasan Internal Berbasis Pararem
(Studi Eksperimen Lapangan Pada Lembaga
Perkreditan Desa Di Provinsi Bali)
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Prof. Dr I Wayan Suartana, SE.,Ak.,M.Si
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. NIP dan NIDN : 19670729 199402 1 001 dan 0029076701
d. Jabatan Struktural : Penata /IIID
e. Jabatan fungsional : Guru Besar
f. Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Akuntansi
g. Pusat Penelitian : Universitas Udayana-Bali
h. Alamat : Kampus Bukit Jimbaran
i. Telpon/Faks : 0361-701954,704845/0361-701907
j. Alamat Rumah : Perum Alam Sari Permai K15, Jln Tunjung Sari
Denpasar
k. Telpon/Faks/E-mail : 0361-
421362,082144212121/[email protected]
3. Jumlah anggota peneliti: 1 orang, jumlah mahasiswa 2 orang
4. Jumlah biaya yang diajukan
a. Jumlah yang diajukan tahun ke-1: Rp 27.445.250
Denpasar, 11-01-2016
Ketua Jurusan Akuntansi Ketua Peneliti,
Dr. A.A.G.P Widanaputra, SE.M.Si,Ak. Prof Dr. I Wayan Suartana,
SE,Ak.,M.Si. NIP.19650323 199103 1 004 NIP.
19670729 199402 1 001
Mengetahui,
Dekan FEB Unud
Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si
NIP. 19610620 198603 1 001
3
I, Identitas Penelitian
1.1. Judul Penelitian PENGAWASAN INTERNAL BERBASIS
PARAREM
(STUDI EKSPERIMEN LAPANGAN PADA
LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI
PROVINSI BALI)
1.2. Ketua Peneliti
Nama : Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE.,Ak.,M.Si
Jenis Kelamin : Laki-Laki
NIP/NIDN : 19670729 199402 1 001 / 0029076701
Pangkat/Gol. : Penata /III D
Jabatan
Fakultas
Alamat Rumah
Telp./HP/Email
: Guru Besar
: Ekonomi
Perum Alam Sari Permai K15
0361-421362, 081 578819782,
1.3. Anggota Peneliti : (1) I Ketut Jati, SE.,M.Si,Ak
1.4. Obyek Penelitian : Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Provinsi
Bali
1.5 Subyek Penelitian Para Pengawas LPD
1.6 Periode Pelaksanaan
Mulai
Selesai
: Juli 2015
: Desember 2015
1.7. Anggaran yang
diusulkan
: Rp. 27.445.250
:
1.8. Lokasi Penelitian Provinsi Bali
1.9. Hasil yang ditargetkan
(LUARAN)
Luaran akan menghasilkan sebuah model
pengawasan internal terhadap risiko berbasis
budaya berupa Pararem Desa Adat yang
generalisasinya bisa diadopsi/diadaptasi untuk
seluruh lembaga keuangan mikro maupun
industri perbankan secara umum. Hasil final
berupa buku monograf/referensi mengenai
Manajemen Risiko Berbasis Budaya
2.0. Instansi lain yang
Terlibat
: Tidak ada
4
ABSTRAK
Di Bali ada sebuah lembaga keuangan berbasis adat yang saat ini
mengalami perkembangan yang pesat. Lembaga tersebut bernama Lembaga
Perkreditan Desa yang disingkat dengan LPD. LPD telah berkembang maju
sebagai wujud nyata ekonomi kerakyatan, namun demikian ada banyak juga
LPD yang mengalami kesulitan dalam usahanya. Indikasi penyebab utamanya
adalah belum tertatanya tata kelola LPD yang mampu mengkombinasikan
kearifan lokal yang dimiliki dengan teknik-teknik pengawasan internal yang
ada. Mitigasi risiko berkelanjutan berbasis budaya menjadi kebutuhan bagi
LPD.karena usaha yang dikembangkan pada dasarnya berproses secara budaya
dan hasilnya pun digunakan untuk pengembangan budaya. LPD sendiri secara
fisik adalah bangunan budaya dan proses bisnis yang ada di dalamnya adalah
budaya dilihat dari sistem dan nilai-nilai yang dianut.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang penerapan
pengelolaan risiko berkelanjutan berbasis budaya yang dilakukan LPD di
Provinsi Bali sebagai komponen utama dalam penerapan good corporate
governance dengan mengefektifkan Pararem LPD suatu aturan khas Desa Adat
yang secara operasional mengarur LPD. Pararem merupakan sebuah cerminan
dimana hukum adat itu bersifat dinamis. Pararem merupakan bukti hukum adat
tumbuh mengikuti perubahan masyarakat melalui putusan-putusan dalam
sebuah paruman/rapat adat. Hasil keputusan inilah kemudian yang dikenal
dengan istilah pararem.
Pararem adalah hasil keputusan paruman desa atau banjar yang berisi
ketentuan pelaksanaan awig-awig desa pakraman dan atau yang menyangkut
hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig desa pakraman yang berlaku.
Kata-Kata Kunci: LPD, Pengawasan Internal, Pararem, Tri Hita Karana,
Catur Purusa Artha
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pengawasan terhadap risiko misalnya risiko kredit adalah salah satu
dimensi penting dalam menilai kesehatan suatu lembaga keuangan mikro
(Astawa et.al, 2012). Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai bentuk
lembaga keuangan mikro khas Bali juga membutuhkan pengelolaan risiko yang
cocok. LPD merupakan lembaga keuangan milik desa pakraman/desa adat
yang telah berkembang, memberikan manfaat sosial, ekonomi dan budaya
kepada anggotanya, sehingga perlu dibina, ditingkatkan kinerjanya, dan
diperkuat serta dilestarikan keberadaannya.
Kontribusi nyata lain yang berhasil disumbangkan LPD adalah dalam
hal budaya adalah meringankan biaya upacara. Ada beberapa LPD yang
menyelenggarakan program Iuran Dana Ngaben yang dananya baru bisa
dicairkan pada pelaksanaan upacara ngaben. Masyarakat sangat antusias
menyambut program ini karena dirasakan bermanfaat sekali. Masyarakat
menjadi ringan bebannya sehingga bisa menciptakan keheningan dan kesucian
dalam melaksanakan upacara tanpa harus memikirkan beban pendanaan yang
berlebihan. Di sinilah relasi keberlanjutan bisa berkontribusi yang kongruen
dengan pengembangan budaya. Karena LPD merupakan lembaga perkreditan
berbasis komunitas yang dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan oleh masyarakat
desa pakraman/desa adat maka rasa kepemilikan yang tinggi akan membentuk
budaya organisasi yang kuat.
Kesuksesan LPD dapat dijelaskan oleh beberapa faktor penting.
Pertama, PDRB (ProductDomestic Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi
Bali terus tumbuh di atas rata-rata nasional serta kebijakan pemerintah yang
kondusif mendukung keberadaannya melalui penerbitan perangkat hukum
berupa peraturan daerah (Perda). Karena LPD merupakan lembaga perkreditan
berbasis komunitas yang dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan oleh masyarakat
desa pakraman/desa adat maka rasa kepemilikan yang tinggi akan membentuk
budaya organisasi yang kuat. Faktor yang kedua, pemberian kredit berdasarkan
karakter yang bernuansa adat. Karena LPD merupakan lembaga perkreditan
6
berbasis komunitas yang dimiliki, dikelola, dan dimanfaatkan oleh masyarakat
desa pakraman/desa adat maka rasa kepemilikan yang tinggi dari para
anggotanya mendukung perkembangan dan kemajuan LPD. Ketiga,
penggunaan sanksi sosial (adat) yang terintegrasi dalam awig-awig dan
perarem memaksa para nasabah untuk menaati kontrak kredit mereka dengan
cara yang khas dan unik tetapi tidak wanprestasi. Selain itu, pelayanan jemput
bola untuk mengumpukan tabungan dan pelunasan kredit secara langsung juga
membuat nasabah membayar kredit mereka secara teratur dan tepat waktu.
Keempat, penggunaan pegawai LPD dari masyarakat lokal yang perekrutannya
didasarkan pada kinerja. Perekrutan pegawai lokal wajib hukumnya bagi LPD.
Efisiensi yang tinggi telah mendorong terciptanya tingkat keuntungan yang
tinggi dan kemandirian usaha LPD. Ini terbukti rasio BOPO yaitu
perbandingan antara pendapatan operasional dengan biaya operasional LPD
sangat baik dan efisien.
Sebaliknya, LPD yang belum maju dan sehat disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, tidak siapnya sumber daya manusia (SDM) dalam mengelola
usaha ini. Kedua, tidak adanya komitmen pemangku kepentingan di desa
pakraman untuk memajukan LPD. Ketiga, krama (masyarakat) desa pakraman
tidak kompak mendukung keberadaannya, ada kesan pada saat belum maju
tidak mau bersusah-susah. Namun pada saat sudah maju semuanya saling
berebut untuk mengklaim haknya. Keempat, belum difahaminya secara benar
bahwa LPD itu adalah suatu kesatuan usaha yang memliki otonomi dan
diskresi dalam mengelola usahanya. Otonomi ini terkadang diintervensi secara
berlebihan dengan mengatasnamakan kata “pemilik”.
Persoalan yang muncul dapat dibagi dalam tiga kelompok besar:
1. Belum baiknya tata kelola usaha LPD terutama dalam pengelolaan
risiko, karena usaha ini sangat sensitif terhadap risiko.
2. Belum optimalnya pengawas LPD dalam mendesain dan
melaksanakan sistem pengendalian intern yang berbasis budaya.
3. Belum dipahaminya pengelolaan risiko berkelanjutan oleh
pemangku kepentingan LPD.
7
1.2.Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk membuat model
pengawasan internal terhadap risiko berbasis Pararem dengan melakukan
teknik metodologis manipulasi (treatment) dengan eksperimen lapangan.
Berbagai bentuk risiko dihadapi oleh LPD diantaranya adalah risiko likuiditas,
kredit dan operasional dan bentuk risiko lainnya menarik untuk dicermati
sehingga dapat memberikan gambaran awal tentang praktik pengelolaan risiko
yang diperkuat oleh budaya organisasi dan budaya lokal menuju LPD yang
berkelanjutan.
1.3.Keutamaan dan Urgensi Penelitian
Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, aset dan simpanan total LPD
tumbuh lebih dari 6 kali lipat dan jumlah rekening simpanan bertambah hampir
dua kali lipat menjadi 1,1 juta. Sejak tahun 1995, kas dan penempatan
antarbank LPD telah tumbuh dari 20% menjadi 27% dari aset totalnya. LPD-
LPD besar sangat kelebihan likuiditas, sedangkan LPD-LPD kecil kurang
memiliki akses dana yang dapat dipinjam. Selain itu, portofolio pinjaman dan
indikator-indikator kesehatan menunjukkan adanya jurang antara pertumbuhan
yang pesat tersebut dengan kemampuan LPD mengelola dananya.
Tabel 1 Perkembangan LPD 1999 - Juni 2013
Indikator 1999 2005 2011 Juni 2013
Jumlah LPD (dalam unit) 912 1,.304 1,416 1,468
Aset total (triliun Rp.) 0,337 1,743 6,584 9,477
Portofolio pinjaman total (triliun Rp.) 0,216 1,262 4,791 7,034
Simpanan total (triliun Rp.) 0,256 1,346 5,500 7,972
Jumlah Karyawan - - 7.367 7.511
Sumber: PT BPD Bali (2013)
Dari tabel 1.1 dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu lima tahun,
semua indikator pertumbuhan mencapai di atas 500 % kecuali dari tahun 1995
sampai 1999. Perkembangan fantastis terjadi antara kurun waktu tahun 1999-
2005, padahal pada periode tersebut masih terjadi krisis moneter dan ekonomi.
Ini membuktikan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan mikro mempunyai
8
daya tahan dan stamina untuk bertahan hidup sekaligus memberikan kontribusi
nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Bali.
Tabel 1.2 menyajikan data jumlah LPD per kabupaten/kota dan asetnya
(31 Juni 2013).
Kabupaten/Kota Jumlah LPD
Jumlah Desa Pakraman/Desa Adat
Jumlah Aset (dalam ribuan rupiah)
1. Jembrana 64 64 242.882.039
2. Tabanan 345 307
737.954.335
3. Badung 122 122 3.762.010.229
4. Gianyar 269 278 1.745.333.434
5. Klungkung 107 108 317.969.269
6. Bangli 158 160 415.360.062
7. Karangasem 190 190 458.147.992
8. Buleleng 166 166 888.047.381
9. Denpasar 35 35 909.412.400
Total 1.418
1.468
9.477.117.141
Tabel 1.2 Jumlah LPD per Kabupaten/Kota dan asetnya
Dari tabel di atas dua kabupaten (Badung dan Jembrana) dan satu kota
(Denpasar) semua desa pakraman/desa adatnya memiliki LPD. Total aset
seluruh LPD se provinsi Bali per 31 Juni 2013 adalah 9.477 triliun rupiah.
Semakin berkembangnya LPD yang ada di suatu desa pakraman atau
desa adat akan semakin luas dan meningkatnya tanggung jawab pengelola, hal
ini mengakibatkan pengelolaan risiko tidak dapat lagi ditangani oleh satu orang
saja. Karena itu demi menjaga kelangsungannya, perlu melaksanakan fungsi-
fungsi pengelolaan risiko secara berkelanjutan. Meskipun dimiliki dan dikelola
oleh desa pakraman/desa adat, LPD tetap dipandang sebagai usaha ekonomi
9
lugas dengan memperhatikan efisiensi, produktifitas dan analisis - analisis
manajemen. Dengan pengelolaan LPD sebagaimana layaknya suatu
perusahaan, maka LPD akan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di
desa yang bersangkutan secara profesional yang diharapkan dapat menghindari
berbagai kesalahan dan ketidakteraturan.
Arsitektur LPD pada masa depan (Suartana,2009) adalah:
LPD yang tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dan
budaya Bali dengan konsisten pada jati diri, visi dan misi LPD
sebagai kekuatan budaya, sosial dan ekonomi.
LPD yang maju dan sehat dalam artian semakin hari semakin
bermanfaat bagi masyarakat dan sehat berdasarkan kaidah-
kaidah lembaga keuangan mikro dalam tataran peraturan dan
perundang-undangan yang ada.
LPD yang memiliki tata kelola yang baik dalam artian memiliki
awig-awig dan perarem yang senafas dengan perkembangan
paradigma pengelolaan risiko berkelanjutan terutama dalam
akuntabilitas, partisipasi dan responsibility.
LPD memiliki budaya penanggulangan risiko yaitu memiliki
kesadaran dan budaya untuk mengelola risiko dengan sistem
pengendalian yang dirancang oleh pengelola. Pengelolaan risiko
LPD merupakan hasil pengurangan antara risiko
inheren/bawaan (risiko yang dibawa LPD secara alamiah)
dengan sistem pengendalian risiko yang dikembangkan oleh
LPD lewat nilai-nilai positif yang dianut. Hasil pengurangan ini
disebut juga risiko residual (sisa). Budaya penanggulangan
risiko bisa dioperasionalisasikan dengan memasukkannya ke
dalam pararem.
________________
*Pararem adalah suatu aturan-aturan khusus yang disepakati bersama di desa pakraman atau desa adat yang bersangkutan menyangkut pengendalian terhadap suatu masalah khusus.
10
1.4.Pokok Permasalahan
Dari latar belakang permasalahan di atas maka pokok permasalahannya
adalah sebagai berikut:
1) Apakah pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha
dapat mengelola risiko LPD lebih baik dibandingkan dengan pengawas
LPD yang tidak mempunyai Pararem?
2) Apakah pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Tri Hita Karana
dapat mengelola risiko LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan
pengawas LPD yang tidak mempunyai pararem?
3) Apakah pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha
dan Tri Hita Karana dapat mengelola risiko LPD dengan lebih baik
dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak mempunyai pararem?
11
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. Pengawasan Internal Berbasis Risiko dengan Pararem
Dalam lingkungan yang bercirikan perubahan yang cepat dan dinamis,
kompetisi usaha, bentuk organisasi baru (virtual organization) dan semakin
canggihnya teknologi informasi, organisasi harus mempunyai kemampuan
untuk melindungi dirinya. Tanggung jawab tersebut tidak hanya dipangku oleh
pemimpin organisasi yang bersangkutan, tetapi juga oleh para pemangku
kepentingan lainnya. Risiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan
komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas usaha. Hal ini penting
karena masa depan sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun yang tahu
dengan pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Selalu ada ketidakpastian
yang menimbulkan risiko. Organisasi dihadapkan pada risiko dan
ketidakpastian (Doherty, 2000). Risiko adalah kesempatan atau kemungkinan
timbulnya kerugian. Bisa juga risiko merupakan penyimpangan dari sesuatu
yang diharapkan.
Risiko merupakan peluang terjadinya sesuatu yang akan berdampak
terhadap tujuan dari suatu organisasi, diukur dengan memadukan antara
dampak pengaruh yang akan ditimbulkan dan kemungkinan terjadinya (Ali,
2006). Penilaian risiko merupakan bagian dari kegiatan proses pengelolaan
risiko, yaitu mencakup keseluruhan proses dari kegiatan menganalisis risiko
dan menilai risiko. Kegiatan menganalisis risiko berupa kegiatan menggunakan
informasi yang tersedia secara sistematis untuk menentukan bagaimana
seringnya suatu kejadian mungkin akan terjadi dan dampak atau pengaruh yang
akan timbul, sedangkan menilai risiko merupakan suatu proses yang digunakan
untuk menentukan prioritas yang diberikan oleh pengelolaan risiko dengan cara
membandingkan tingkatan suatu risiko dengan standar, target ataupun kriteria
lainnya yang ditentukan sebelumnya oleh pengelola. Risiko merupakan
kejadian potensial yang diharapkan atau tidak diharapkan terjadi yang dapat
memberikan dampak menguntungkan atau merugikan pendapatan perusahaan.
Risiko menimbulkan fluktuasi yang dapat merugikan laba atau arus kas yang
12
diakibatkan oleh pengendalian intern, kesalahan manusia, kesalahan sistem
ataupun kesalahan pengelolaan.
Pengelolaan risiko diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
praktik organisasi modern dan diterima oleh semua organisasi. Pengelolaan
risiko merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari langkah-
langkah secara berurutan, proaktif, terkoordinasi dan sistematis serta
memberikan informasi mengenai bahaya risiko bagi para pengambil
keputusan. Pemahaman dan pengelolaan risiko merupakan hal yang mutlak
demi keberhasilan organisasi termasuk LPD. Meskipun LPD adalah lembaga
keuangan mikro yang rata-rata masih kecil jangkauan usahanya, pemahaman
sekaligus tindakan dalam pengelolaan risiko sangat penting dan mutlak
dilakukan.
Pengelolaan dana yang dilakukan oleh perusahaan tidak terlepas dari
kemungkinan terjadinya suatu kerugian karena risiko yang harus dihadapi.
Namun demikian, risiko bisa dikelola supaya tidak menjerumuskan usaha ke
ambang kebangkrutan. Perusahaan yang bergerak di sektor keuangan sangat
dekat dengan risiko, apalagi usaha ini mempunyai pola likuiditas yang
bercirikan uang kas sebagai motornya. Dalam kaitan dengan pengelolaan
risiko perusahaan, lembaga keuangan mempunyai dua peran utama, yaitu
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan sebagai agen pembangunan
masyarakat. Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, lembaga keuangan
menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Sebagai agen pembangunan, lembaga keuangan merupakan perantara antara
pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana.
Ada bermacam risiko yang menghadang LPD sebagai lembaga
keuangan mikro simpan pinjam misalnya seperti risiko kredit, risiko likuiditas
dan risiko operasional yang bisa saja mengarah kepada penurunan nilai para
pemangku kepentingan di desa dat yang bersngkutan. Nasabah semakin
meminta produk dan jasa layanan yang sesuai permintaan mereka, yang bisa
jadi akan mengarah pada risiko yang semakin besar. Jika harapan nasabah tidak
dipenuhi, bisa jadi loyalitas akan menurun yang mengakibatkan pendapatan
serta laba terkena dampak secara signifikan.
13
Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan
masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman/rapat adat.
Pararem adalah hasil keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan
pelaksanaan awig-awig desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip
diluar pelaksanaan awig-awig desa pakraman yang berlaku. Pararem
seharusnya mengandung budaya pengendalian risiko yang melindungi
eksistensi LPD.
Esensi Tri Hita Karana (THK) dalam kaitan dengan pengelolan risiko
usaha LPD bermuara pada nilai-nilai harmoni yang tercermin dalam
parahyangan (hubungan antara manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan
antar manusia) dan palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan
lingkungan). THK mengajarkan kepada manusia untuk berkomitmen bahwa
seluruh alam semesta termasuk lingkungan sekelilingnya menjadi kewajiban
untuk dipelihara dan dilestarikan. Analisis THK adalah analisis yang
melandaskan kajiannya pada aspek parahyangan, pawongan, dan palemahan
(Windia dan Dewi, 2011). Parahyangan adalah sebuah konsep yang
menginginkan adanya harmoni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kegiatan bisnis haruslah juga disadari bahwa aktivitas manusia yang
berbisnis itu adalah suatu persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kegiatan bisnis tidak hanya satu tujuan yaitu menikmati keuntungan semata
tetapi sejatinya kegiatan ini dikontrol oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pawongan
adalah sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni antara manusia
dengan sesamanya. Dalam kegiatan bisnis, haruslah disadari bahwa pelaku
bisnis pada hakikatnya adalah mahluk Tuhan, tidak berbeda dengan sesama
manusia lainnya. Pelaku bisnis haruslah menjaga harmoni dengan sesamanya
yang ada di internal perusahaan. Harmoni juga harus dilakukan dengan
sesamanya secara eksternal agar tidak terjadi konflik sosial dengan lingkungan
masyarakat. Terakhir, palemahan adalah konsep di mana bisnis harus sensitif
terhadap lingkungan alam sekitarnya. Alam memberikan segala kemudahan
dan kemurahannya, maka bisnis harus memperhatikan lingkungan alam
sekitarnya dengan cara tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Konsep THK
14
sangat dekat dengan pengelolan risiko berkelanjutan yang tidak hanya
memeperhatikan aspek keuangan saja tetapi juga sosial dan lingkungannya.
Kaitannya dengan budaya THK ini mensyaratkan tindakan dan perilaku
pengelola yang positif. Tindakan itu berupa menetapkan contoh-contoh
perilaku etis yang diikuti dengan kode etik pribadi para pengelola dan BPI
LPD, menetapkan aturan berperilaku secara formal, menekankan pentingnya
pengendalian intern dan memperlakukan karyawan secara adil dan penuh
dengan rasa hormat. Organisasi LPD sarat dengan nilai-nilai budaya yang
mendukung terciptanya gaya operasi yang etis. Budaya itu ada karena sistem
nilai yang dianut masih kuat. Filosofi pengelolaan adalah “LPD padruwen
desa” atau “LPD adalah milik desa”, maka maju mundurnya LPD adalah
tanggung jawab bersama di desa pakraman. Di lain pihak LPD adalah usaha
ekonomis produktif, yang hasilnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat desa pakraman/desa adat. Gaya operasi LPD sedikit
berbeda dengan usaha-usaha lainnya. Produk regulasi di level desa pakraman
masih kuat dan efektif. Karena sudah terbukti kuat, maka aturan-aturan seperti
ini dipertahankan. Produk regulasi yang dimaksud adalah Awig-Awig dan
Perarem Desa Pakraman/Desa Adat. Sejauh mana produk regulasi ini dapat
memperkuat pengelolaan risiko menjadi pertanyaan penelitian yang penting.
Subkomponen ini menggariskan perilaku pengurus dan karyawan yang
etis dan tidak etis dapat mempunyai dampak besar terhadap pengendalian
intern dan menciptakan suatu situasi yang secara signifikan mempengaruhi
validitas proses pelaporan keuangan. Pengelola harus mengambil langkah
proaktif untuk memastikan karyawan sadar akan standar dan tanggung jawab
yang dibebankan2. Pengelola LPD juga harus menjadikan dirinya teladan dan
mengikuti standar dengan ketat dalam perilaku sehari-hari. Dengan tunduk
pada prinsip etis yang kuat bila berhadapan dengan situasi sulit, pengelola akan
mengirim pesan positif bagi karyawan. Efektivitas sistem pengendalian intern
tidak dapat ditingkatkan tanpa nilai-nilai etika dan integritas orang-orang yang
menciptakan, mengelola dan memantaunya. Perilaku etis dan integritas
merupakan produk budaya organisasi. Budaya organisasi yang dikembangkan
oleh LPD sesungguhnya telah terpatri pada desa pakraman yang bersangkutan.
Budaya malu sebagai sistem nilai yang masih relevan, seperti misalnya budaya
15
malu “mengemplang” utang atau dalam istilah lokalnya juga disebut dengan
mirat dana.
2.2. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya
Menurut Johnstone dan Bedard (2003) evaluasi risiko sangat penting
dilakukan oleh organisasi atau perusahaan karena menyangkut mekanisme tata
kelola yang dikembangkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Pengawsan
internal akan efektif manakala evaluasi risiko dilakukan dengan baik,
sistematis dan terukur. Johstone (2000) dan Kotchetova et.al (2010) juga
mengemukan hal yang kurang lebih sama yaitu evaluasi risiko akan
menentukan strategi monitoring yang akan dilakukan yang berarti risiko
perusahaan semakin tinggi maka ruang lingkup pengawasannya juga akan
semakin tinggi. Akan tetapi tidak semua strategi pengelolaan risiko akan
berjalan efektif bila tidak diperkuat oleh budaya perusahaan dan budaya atau
kearifan lokal yang masih diterima dan diyakini kebenarannya. Kluwer (2013)
menyebut bahwa semenjak terjadinya kasus kecurangan besar-besaran yang
menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) yang
menyebabkan Kongres menandatangani Sarbanes-Okley Act kebutuhan kultur
atau budaya ketaatan terhadap pengelolaan risiko semakin meningkat.
Menurut Ramos (2009) evaluasi yang dilakukan untuk menilai
perusahaan harus diikuti dengan pemahaman yang memadai terhadap sistem
pengendalian intern dan proses bisnis yang diterapkan perusahaan. Proses
bisnis juga meliputi budaya yang diterapkan perusahaan yang menjadi sistem
nilai yang dianut. Dengan pemahaman ini evaluasi akan menghasilkan luaran
berupa pengelolaan risiko yang lebih efektif.
Catur Purusha Artha sebagai etalase nilai budaya dapat dijadikan dasar
dalam kegiatan usaha LPD (Pancadana dan Parwata, 2013). Budaya atau
kearifan lokal Catur Purusha Artha menjelaskan empat hal yang penting bagi
LPD dalam pengelolaan risiko usaha. (1) Dharma, merupakan dasar utama
LPD dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam kegiatan usaha yang
dilakukan oleh LPD harus selalu dilandasi oleh Dharma yaitu kebaikan atau
governance yang baik. Setelah mengamalkan kebaikan dalam menjalankan
kegiatan usahanya maka Tuhan maha penciptanya akan melimpahkan
berkatnya berupa Artha kepada umatnya yang telah konsisten mengamalkan
16
ajarannya. Artha, dalam hal ini setelah landasan yang utama dilaksanakan oleh
Lembaga LPD berupa menjalankan ajaran Dharma atau kebaikan barulah LPD
menekankan kegiatan usahanya pada aspek keuntungan dari berupa pendapatan
bunga dari usaha simpan-pinjam yang dilakukan. Setelah aspek artha yang
menjadi tujuan yang kedua terpenuhi maka selanjutnya adalah Kama yaitu
nafsu atau keinginan atau pemenuhan keinginan atas dasar kebutuhan. Dengan
artha tersebut maka kama atau keinginan akan bisa terpenuhi dengan
keuntungan yang diperoleh LPD dalam kegiatan usahanya. Setelah ketiga tahap
diatas tercapai maka yang terakhir adalah Moksa. Moksa yang dimaksud disini
adalah kebahagiaan lahir dan bathin. Kegiatan usaha yang dilakukan dapat
membantu perekonomian masyarakat desa adat sehingga dapat meringankan
beban kehidupan maka masyarakat (misalnya dalam hal upacara) akan merasa
lebih bahagia karena kebutuhan dasarnya terpenuhi. Keempat aspek Catur
Purusha Artha tersebut memiliki konten pengelolaan risiko dalam ranah nilai-
nilai yang dianut pengelola atau pengurus sehingga menjadikan LPD bias
hidup secara berkelanjutan.
Pada sisi lain, menurut Saputra (www.undiksha.ac.id, 2013) dimensi
keperilakuan yaitu locus of control dengan didukung oleh budaya Tri Hita
Karana sebagai budaya suatau organisasi mampu lebih meningkatkan kinerja
suatu perusahaan. Hasil ini bisa diinterpretasikan bahwa penerapan Tri Hita
Karana akan mendukung bisnis berkelanjutan suatu entitas usaha. Dikaitkan
dengan LPD yang merupakan entitas usaha yang rentan dengan risiko maka
penerapan budaya Tri Hita Karana memperkuat pengelolaan risiko
berkelanjutan.
Penelitian yang yang dilakukan oleh Astawa et.al (2012) menunjukkan
bahwa praktik-praktik nilai-nilai harmoni yang direpresentasikan dalam budaya
Tri Hita Karana mempunyai pengaruh terhadap risiko kredit LPD. Esensi Tri
Hita Karana akan menyebabkan turunnya NPL (Non Performing Loan) yang
menjadi salah satu indikator terpenting dalam menilai kesehatan LPD.
Organisasi LPD yang dikelola dengan baik biasanya sudah menjalankan
beberapa fokus atas pengelolaan risiko. Begitu organisasi berkembang dengan
kompleksitas dan melayani pasar yang lebih luas, merupakan suatu tantangan
untuk memahami bagaimana berbagai macam unit organisasi saling
berinteraksi dan berhubungan, dan bagaimana risiko dikelola secara terintegrasi
17
dan komprehensif dari tindakan sederhana berupa mengurangi risiko sampai
dengan pengelolaan risiko berkelanjutan berupa optimalisasi risiko tanpa harus
merugikan perusahaan.
Pengelolaan risiko perusahaan juga merupakan potensi fluktuasi yang
dapat merugikan laba atau arus kas atau modal yang diakibatkan oleh sistem
pengendalian intern yang tidak memadai. Gambar 2.2 berikut disajikan gambar
Flatform Bisnis Berkelanjutan (aon,2013) sebagai rerangka model
pengelolaan risiko usaha berkelanjutan.
Gambar 2.2 Flatform Bisnis Berkelanjutan
Sumber: www.aon.fr (2013)
Dari gambar hasil kajian aon (2013) tersebut memberikan arah bahwa
implementasi keberlanjutan usaha dimulai dari pemahaman prinsip-prinsip dan
nilai-nilai perusahaan yang merupakan esensi penting dari budaya. Prinsip dan
nilai menghasilkan optimalisasi pengelolaan risiko yang memandang risiko
bukan sesuatu yang patut dihindari tetapi sesuatu yang patut dikelola dengan
baik melalui pendekatan sosial, lingkungan dan kondusivitas prinsip/nilai-nilai
yang dianut.
2.3. Pengembangan Hipotesis
H1: Pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha
dapat mengelola risiko LPD lebih baik dibandingkan dengan pengawas
LPD yang tidak mempunyai Pararem LPD(B > A)
18
H2: Pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Tri Hita Karana
dapat mengelola risiko LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan
pengawas LPD yang tidak mempunyai pararem LPD (C > A)
H3: pengawas Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha
dan Tri Hita Karana dapat mengelola risiko LPD dengan lebih baik
dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak mempunyai pararem
LPD ( D > A)
Keterangan:
A = Kondisi Base Line atau Kondisi Tanpa Manipulasi
B= Kondisi dengan Pararem Catur Purusha Artha
C= Kondisi dengan Pararem Tri Hita Karana
D= Kondisi dengan Pararem Catur Purusha Artha dan Tri Hita Karana
19
BAB III
METODA PENELITIAN
1.1. Road Map Penelitian
1.2. Desain Penelitian
Penelitian merupakan studi eksperimen yang dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman mengenai sifat hubungan tertentu atau menentukan
perbedaan antar kelompok atau kebebasan (independensi) dari dua atau lebih
faktor. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang diatur dengan menggunakan
desain eksperimen.
1.3. Desain Eksperimen
Penelitian menggunakan tiga macam eksperimen untuk mendukung
pengujian terhadap ketiga hipotesis yang diajukan. Eksperimen pertama
digunakan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis 1. Eksperimen kedua
Identifikasi Risiko yang dimiliki LPD
Tahap Pra Riset
Identifikasi Kearifan lokal yang dimiliki LPD dalam Pengelolaan Risiko
RISET
Analisis Deskriptif
Manipulasi Penetapan Model menggunakan Eksperimen Lapangan
Model Pengawasan Internal Berbasis Pararem pada Lembaga Perkreditan Desa atau Lembaga Keuangan Mikro Lainnya
20
digunakan untuk mendukung pengujian terhadap hipotesis 2, dan eksperimen
ketga digunakan untuk mendukung hipotesis 3. Manipulasi terhadap variabel
independen secara sederhana dilakukan dengan memberikan muatan budaya
yang berbeda pada variabel independen untuk melihat dampak dari ketiadaan
maupun keberadaan muatan budaya baik Catur Purusa Artha dan/atau Tri Hita
Karana terhadap variabel dependen yaitu penilaian risiko LPD. Manipulasi ini
diharapkan dapat membuktikan tingkat pengaruh kausal.
Eksperimen memiliki desain factorial between subject 2x2, dengan
variabel independen: pengawasan LPD dengan Pararem tanpa implementasi
Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana dan pengawasan LPD dengan Pararem
yang mengimplementasi Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana, dengan
variabel dependen berupa penilaian risiko LPD. Kombinasi dari between
subjects experimental treatments (perlakuan eksperimental antar subyek) akan
menghasilkan 4 kelompok subyek seperti pada Tabel 3.
Tabel 3
Desain Eksperimen
2x2 Factorial Between Subject
Pararem Tanpa
Implementasi Catur
Purusa Artha
Pararem Dengan
Implementasi Catur
Purusa Artha
Pararem Tanpa
Implementasi Tri
Hita Karana
A B
Pararem Dengan
Implementasi Tri
Hita Karana
C D
1.4. Subyek Eksperimen
Subyek eksperimen dalam penelitian ini merupakan pengawas LPD di
Provinsi Bali yang dalam lingkungan kerjanya tentu menghadapi adanya risiko
yang mungkin terjadi. Adapun subyek atau partisipan dalam penelitian adalah
40 orang ketua LPD yang dipilih secara random dan diberikan penugasan
secara random. Dalam desain eksperimen lebih mementingkan validitas
internal dibandingkan dengan validitas eksternal.
21
1.5. Variabel Penelitian dan Kondisi Eksperimen
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian adalah bersifat
katagorikal yaitu (1) Kondisi tanpa pararem, (2) implementasi Pararem dengan
Tri Hita Karana, (3) implementasi Pararem Catur Purusa Artha dan (4)
kombinasi keduanya. . Variabel dependennya adalah variabel kontinous yaitu
penilaian risiko LPD.
1.6. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pengawas LPD di Provinsi Bali.
Sampel dipilih dengan metode penarikan sampel kuota (dipilih 40 orang Ketua
LPD dari seluruh kabupaten) dan dipilih secara random untuk penugasan setiap
sel. Jumlah LPD yang ada di Provinsi Bali tahun 2011 adalah 1.418 buah
tersebar di 9 Kabupaten/kota. Dalam desain eksperimen lebih mementingkan
validitas internal dibandingkan dengan validitas eksternal
1.7. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan
kuantitatif. Data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka antara lain
penjelasan tentang gambaran umum LPD dari sampel terpilih dan penerapan
pengelolaan risiko berkelanjutan pada sampel terpilih sedangkan data
kuantitatif adalah data angka-angka seperti misalnya laporan keuangan LPD
berupa laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas dan laporan perubahan
ekuitas ataupun data-data kuantitatif eksternal yang berasal dari Pembina LPD
(BPD Bali) dan Pemerintah Daerah. Data kuantitatif akan mendukung
justifikasi data kualitatif.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini ini adalah :
1. Data Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Dalam hal ini data diperoleh secara langsung
dari pengawas LPD yang dilakukan melalui metoda eksperimen
lapngan atau eksperimen tempat LPD itu berlokasi. .
2. Data Sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan
sumber data kepada pengumpul data, misalnya lewat dokumen, dan
laporan keuangan, data statistik dan sebagainya. Data tersebut diperoleh
dari LPD yang bersangkutan dan Pembina LPD.
22
1.8. Metoda pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam Penulisan laporan
ini adalah :
a. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang
diteliti. Observasi dilakukan dengan mengamati penerapan dari
manajemen risiko dan strategi Pengelolaan Risiko Berkelanjutan
Berbasis Budaya.Teknik observasi ini dilakukan terhadap aktivitas
operasional LPD yang berkaitan dengan permasalahan pengelolaan
risiko.
b. Wawancara adalah cara pengumpulan data dengan mengadakan tanya
jawab dengan pihak/bagian yang bersangkutan. Wawancara disini
dilakukan secara tidak terstruktur, yaitu tidak menggunakan pedoman
wawancara yang tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan data. Wawancara dilakukan berkenaan dengan
penjelasan dari penerapan manajemen risiko LPD dan Strategi
Pengawasan LPD Berbasis Risiko (mengenai seluruh komponen-
komponen yang berkenaan dengan Pengawasan LPD.Data diperoleh
dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan beberapa
Pengawasan LPD, pengurus dan prajuru Desa Pakraman. Teknik
wawancara ini dilakukan untuk memeperoelh pemahaman yang lebih
mendalam mengenai objek penelitian selain dari data-data fisik yang
telah dikumpulkan
c. Eksperimen dengan paper and pencil test. Dilakukan dengan
menyebarkan kasus yang berisikan penilaian risiko usaha LPD.
1.9. Teknik analisis data
Metode analisis data yang dipergunakan dalam riset tahun kedua ini
adalah teknik ANOVA dan Uji t tes sampel independen. Anova digunakan
untuk menganalisis apakah model sudah tepat atau tidak, sedangkan t tes
digunakan menguji masing-masing hipotesis.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1.Data Penelitian
Sampel yang telah diperoleh oleh peneliti adalah sebanyak 41 subyek,
yaitu 10 subyek pada kelompok perlakuan A, 10 subyek pada kelompok B, 11
subyek pada kelompok C, dan 10 subyek dalam kelompok D. Subyek berasal
dari beragam Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yaitu tepatnya sebanyak 11
LPD. Tabel 4.1. menampilkan ringkasan demografi subyek yang diteliti.
Tabel 4.1.
Ringkasan Demografi Subyek
URAIAN/KARAKTERISTIK JUMLAH PERSENTASE (%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 41 100.00
Perempuan 0 0.00
Jumlah 41 100.00
Tingkat Pendidikan
SMA/sederajat 13 31.71
D1 - D4 0 0.00
S1 20 48.78
S2 8 19.51
Jumlah 41 100.00
Pengalaman Bekerja
≤ 5 tahun 10 24.39
6 - 10 tahun 17 41.46
11 - 15 tahun 2 4.88
16 - 20 tahun 4 9.76
> 20 tahun 8 19.51
Jumlah 41 100.00
Jumlah Pelatihan Diikuti
≤ 5 kali 37 90.24
6 - 10 kali 1 2.44
11 - 15 kali 3 7.32
Jumlah 41 100.00
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
Tabel 4.1. menginformasikan bahwa subjek terdiri dari 41 orang
(100%) laki-laki dan tidak ada responden dengan jenis kelamin perempuan.
Tingkat pendidikan responden yaitu sebanyak 13 orang (31.71%) adalah
24
SMA/sederajat, tidak ada responden yang termasuk dalam range pendidikan
D1 – D4, 20 orang (48.78%) memiliki tingkat pendidikan Strata 1, dan
sebanyak 8 orang (19.51%) berlatarbelakang pendidikan Strata 2. Pada Tabel
4.1 juga disebutkan jumlah responden berdasarkan lamanya bekerja di LPD
dan jumlah pelatihan yang telah diikuti oleh responden. Berdasarkan
rekapitulasi hasil kuesioner, subyek yang telah diperoleh untuk setiap
kelompok treatments adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2.
Jumlah Responden Pada Setiap Kelompok
Kelompok Treatment Jumlah Responden
A 10
B 10
C 11
D 10
Jumlah 41
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
Jumlah responden atau subyek yang diperoleh oleh peneliti telah
melebihi jumlah responden yang ditargetkan, sehingga untuk selanjutnya dapat
dilakukan uji statistik pada hasil kuesioner yang digunakan sebagai instrumen
penelitian eksperimen ini. Profil subyek dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui LPD dan jumlah responden yang
berkontribusi dalam penelitian eksperimen ini.
Tabel 4.3.
Profil Subyek Berdasarkan Wilayah
Nama LPD Jumlah Subyek
LPD Tegal 4
LPD Tembawu 4
LPD Kesiman 4
LPD Sempidi 3
LPD Ubung 4
LPD Peninjoan 3
LPD Dalung 4
LPD Beraban 4
LPD Tista 4
LPD Sembung Gede 3
LPD Mengwitani 4 Total 41
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
25
2.2. Hasil Penelitian
2.2.1. Hasil Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif menyajikan informasi mengenai karakteristik
variabel-variabel penelitian yaitu jumlah amatan, nilai minimum, nilai
maksimum, nilai mean, dan standar deviasi. Untuk mengukur nilai sentral dari
distribusi data dapat dilakukan dengan pengukuran rata-rata (mean) sedangkan
standar deviasi merupakan perbedaan nilai data yang diteliti dengan nilai rata-
ratanya. Hasil statistik deskriptif dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Hasil Statistik Deskriptif
Variabel (Treatment) N Min. Max. Mean Std.
Deviasi
A 8 20 60 18,85 20,09
B 7 30 80 61,42 15,73
C 6 40 80 61,67 13,29
D 6 50 80 65,00 12,25
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
2.2.2. Hasil Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas varian digunakan untuk mengetahui apakah beberapa
varian populasi adalah sama atau tidak. Pengujian ini dilakukan sebagai
prasyarat dalam analisis independent sample t test dan ANOVA. Asumsi yang
mendasari dalam analisis varian (ANOVA) adalah bahwa varian dari populasi
adalah sama. Hasil uji homogenitas pada setiap kelompok uji hipótesis adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.5. Hasil Uji Homogenitas Varian
Keterangan Levene Statistic Sig.
Hipotesis 1 1,567 0,233
Hipotesis 2 2,843 0,118
Hipotesis 3 3,061 0,106
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa tingkat signifikansi masing-
masing kelompok data adalah 0,233; 0,118; dan 0,106. Oleh karena tingkat
26
signifikansi tersebut semuanya lebih dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
ketiga kelompok data penelitian ini mempunyai varian yang sama. Angka
Levene Statistic menunjukkan semakin kecil nilainya maka semakin besar
homogenitasnya.
2.2.3. Hasil Uji Hipotesis
Hipotesis diuji dengan menggunakan metode ANOVA (analysis of
variance) untuk mengetahui signifikansi perbedaan rata-rata (μ) antara
kelompok sampel yang satu dengan yang lain. Tabel 4.6 memberikan
rangkuman hasil uji masing-masing hipotesis.
Tabel 4.6. Hasil Uji Hipotesis
Keterangan Variance df Mean
Square
F Sig.
Hipotesis 1 Between
groups
1 1520,119 4,974 0,044
Within
groups
13 305,632
04Hipotesis
2
Between
groups
1 1429,167 5,088 0,044
Within
groups
12 280,903
Hipotesis 3 Between
groups
1 1933,929 7,168 0,020
Within
groups
13 269,792
Sumber: Data diolah peneliti, 2015
1) Uji Hipotesis 1
Hipotesis 1 diuji untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata
signifikan antar kondisi tanpa manipulasi (A) dengan kondisi dengan
nilai budaya lokal Catur Purusha Artha (B). Hasil pengujian hipotesis 1
menunjukkan p-value sebesar 0,044 (<0,05) sehingga H1 diterima. Nilai
ini mengindikasikan bahwa pengawas LPD yang mengimplementasikan
Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha dapat mengelola risiko
LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak
memiliki Pararem yang mengandung nilai Catur Purusa Artha.
2) Uji Hipotesis 2
27
Hipotesis 2 diuji untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata
signifikan antar kondisi tanpa manipulasi (A) dengan kondisi dengan
nilai budaya lokal Tri Hita Karana (C). Hasil uji hipotesis kedua
mendapatkan p-value sebesar 0,044 (<0,05) sehingga H2 diterima. Hal
ini mengindikasikan bahwa pengawas LPD yang mengimplementasikan
Pararem yang mengandung Tri Hita Karana dapat mengelola risiko
LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak
memiliki Pararem yang mengandung nilai Tri Hita Karana.
3) Uji Hipotesis 3
Hipotesis 3 diuji untuk mengetahui adanya perbedaan rata-rata
signifikan antar kondisi tanpa manipulasi (A) dengan kondisi dengan
nilai budaya lokal Catur Purusha Artha dan Tri Hita Karana (D). Hasil
uji hipotesis ketiga menunjukkan p-value sebesar 0,020 (<0,05)
sehingga H3 diterima. Hal ini memberikan arti bahwa pengawas LPD
yang mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa
Artha dan Tri Hita Karana dapat mengelola risiko LPD dengan lebih
baik dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak memiliki Pararem
yang mengandung nilai Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana.
2.2.4. Pembahasan Hasil Penelitian
Manipulasi terhadap variabel independen secara sederhana telah
dilakukan dengan memberikan muatan budaya yang berbeda pada variabel
independen untuk melihat dampak dari ketiadaan maupun keberadaan Pararem
dengan muatan nilai Catur Purusa Artha dan/atau Tri Hita Karana terhadap
variabel dependen yaitu penilaian risiko LPD. Hasil pengujian yang telah
dilakukan terhadap ketiga hipotesis yang diajukan memberikan suatu indikasi
bahwa muatan budaya local yang terkandung dalam Pararem, yaitu Catur
Purusha Artha dan Tri Hita Karana, memberikan kontribusi dalam pengelolaan
risiko LPD yang dilaksanakan oleh pengawas LPD. Penelitian dengan metode
eksperimen terhadap pengawas LPD pada 11 LPD yang berbeda menghasilkan
suatu kesimpulan bahwa Pararem dengan kedua budaya lokal yang
dikombinasikan dapat memperkuat manajemen risiko yang dijalankan oleh
suatu LPD.
28
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua hipotesis terkonfirmasi.
Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan p-value sebesar 0,044 (<0,05)
sehingga H1 diterima. Hal ini mengindikasikan bahwa pengawas LPD yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa Artha dapat
mengelola risiko LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan pengawas LPD
yang tidak memiliki Pararem yang mengandung nilai Catur Purusa Artha.
Hasil uji hipotesis kedua mendapatkan p-value sebesar 0,044 (<0,05) sehingga
H2 diterima. Hal ini mengindikasikan bahwa pengawas LPD yang
mengimplementasikan Pararem yang mengandung Tri Hita Karana dapat
mengelola risiko LPD dengan lebih baik dibandingkan dengan pengawas LPD
yang tidak memiliki Pararem yang mengandung nilai Tri Hita Karana.
Kemudian hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan p-value sebesar 0,020
(<0,05) sehingga H3 diterima. Hal ini memberikan makna bahwa pengawas
LPD yang mengimplementasikan Pararem yang mengandung Catur Purusa
Artha dan Tri Hita Karana dapat mengelola risiko LPD dengan lebih baik
dibandingkan dengan pengawas LPD yang tidak memiliki Pararem yang
mengandung nilai Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana.
Hasil pengujian eksperimen menunjukkan bahwa Pararem dengan kedua
budaya lokal yang dikombinasikan dapat memperkuat manajemen risiko yang
dijalankan oleh suatu LPD. udaya Tri Hita Karana dan Catur Purusha Artha
secara individual memperkuat pengelolaan risiko LPD.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya adalah untuk
memperluas ruang lingkup penelitian sehingga dapat mendapatkan responden
dari masing-masing kabupaten di Provinsi Bali untuk mendapatkan gambaran
pengelolaan risiko dari setiap kabupaten tersebut. Penelitian selanjutnya juga
dapat memasukkan variabel lain yang diduga dapat memengaruhi pengelolaan
risiko yang dilakukan oleh manajemen LPD.
29
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, I Putu; Made Sudarma, Siti Aisjah dan Djumahir. 2012. Journal of
Business and Management. Vol. 6, issue 4 (nop-des), pp 16-20
Doherty, Neil. 2000. Integrated Risk Management. McGraw Hill, New York
Johnstone, Karla M. 2000. Clint-Acceptance Decisions: Simultaneous Effects
of Clients Business Risk, Audit Risk, Audit Business Risk, and Risk
Adaptation. Auditing A Journal of Practice & Theory, Vol. 19, No. 1,
Spring
Johnstone, Karla M. dan Jean C. Bedard. 2003. Risk Management in Client
Acceptance Decisions. Jurnal The Accounting Review, Volume 78, No.4
pp 1003-1025
Koroy, Tri Ramaraya. 2008. Management Audit: Enterprise Risk Management.
Working Paper
Kotchetova, Natalia; Thomas M. Kozloski dan William F. Messier, Jr. 2010.
Linkages between Auditors Risk Assemnets in A Risk-Based Audit.
Working Paper, diunduh pada tanggal 2 Mei 2010.
Pancadana, Dewa Made dan AA Gde Oka Parwata. 2013. Catur Purusha Artha
sebagai Dasar Kegiatan Usaha LPD di Desa Pakraman Kikian. Jurnal
Kertha Semaya, vol. 01, no.02 Pebruari.
PT BPD Bali. 2012. Data dan Perkembangan LPD
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan
Desa (LPD).
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa
Peraturan Gubernur Bali No. 16 tahun 2008 tentang Pengurus dan Pengawas
Internal Lembaga Perkreditan Desa
Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2008 tentang Pengurus dan Pengawas
Internal Lembaga Perkreditan Desa
Saputra, Komang Adi Kurniawan. 2013. Analisis Pengaruh Locus of Control
terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja Internal Auditor dengan Kultur
Lokal Tri Hita Karana sebagai Variabel Moderasi (Penelitian terhadap
Internal Auditor Hotel Berbintang di Bali). www.undiksha.ac.id
Ramos, Michael. 2009. Risk-Based Audit Best Practices. Journal of
Accountancy. Desember. p.32
30
Suartana, I Wayan (2009). Arsitektur Pengelolaan Risiko pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Udayana University Press
www.aon.fr . Sustainability-Beyond Enterprise Risk Management. Diunduh
pada tanggal 16 Mei 2013
www.accaglobal.com Diunduh pada tanggal 16 Mei 2013
31
Lampiran 1
Material Eksperimen
Kepada yth
Bapak/Ibu
Pengawas LPD …………
Berikut disajikan sebuah kasus tentang manajemen risiko LPD.
LPD “Desa Adat Utsaha” membuat paparan tentang pengelolaan risikonya
sebagai berikut:
Jenis
Risiko
Penjelasan
1. Risiko Pasar LPD mengikuti suku bunga pasar tetapi selalu
dimusyawarahkan dalam paruman adat
Persaingan dengan lembaga sejenis semakin
ketat
2. Risiko
Likuiditas Tingkat Likuiditas mencapai 20%
Perbandingan antara jumlah pinjaman dengan
simpanan yaitu Loan to Deposit Ratio (LDR)
mencapai 120%
Proyeksi arus kas masuk yang akan datang tidak
stabil dan tidak bias diprediksi
Kemampuan LPD untuk memperoleh akses
pendanaan kepada pihak lain lemah terlepas dari
aturan di atasnya
Stabilitas Dana Pihak Ketiga diragukan
3. Risiko
Kredit Perbandingan antara kredit bermasalah dengan
total kredit (Non Performing Loan) mencapai
angka 10%
Kolektibilitas Kredit (Kurang Lancar, Diragukan,
Macet) belum berjalan optimal
Kebijakan prosedur dan administrasi dianggap
cukup untuk saat ini
Rasio BMPK (Batas Maksimum Pemberian
Kredit) tergolong baik
Penyehatan kredit dilakukan tetapi terkendala
kurangnya pengetahuan pegawai mengenai
proyeksi kas nasabah pada masa yang akan
datang
4. Risiko
Strategik LPD menetapkan Rencana Kerja dengan
menggunakan dasar capaian tahun lalu
32
5. Risiko
Operasional Tingkat kecurangan tidak dapat dideteksi
Sudah ada kebijakan dan prosedur operasional
Tingkat kegagalan sistem terkendala oleh
kemampuan pegawai
6. Risiko
Hukum Tidak ada kasus hukum (hukum Negara maupun
hukum adat) yang membelit LPD
7. Risiko
Reputasi Tingkat publikasi LPD tidak mengkhawatirkan
Kehidupan pribadi pengurus dan karyawan terkait
LPD tidak dapat dikendalikan
LPD memiliki PARAREM dengan isi sebagai berikut:
1. Mengaktifkan Baga Parahyangan, Pawongan dan Palemahan secara
intensif untuk melindungi LPD di masa yang akan datang.
2. LPD menjaga keseimbangan dalam operasional sehari-hari dengan
melakukan persembahyangan bersama (setiap hari, Purnam-Tilem,
Rambut Sedana dan Hari Raya Besar lainnya), doa sebelum mulai
berkantor, tirtayatra, kegiatan sosial dan medukung pelestarian
lingkungan melalui pendanaan dan aksi yang cukup. Segala
pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah mufakat.
3. LPD “Desa Adat Utsaha” menjalankan kegiatan usahanya diperkuat
oleh prinsip Catur Purusha Artha. Kegiatan usaha LPD harus selalu
dilandasi oleh Dharma, yaitu kebaikan. Setelah mengamalkan Dharma,
Ida Sanghayang Widhi akan melimpahkan berkatnya berupa Artha
kepada umatnya yang telah mengamalkan ajarannya. Artha terwujud
dalam keuntungan yang diperoleh dari kegiatan LPD seperti bunga
yang berasal dari pemberian kredit. Kama, akan terpenuhi dengan
keuntungan yang diperoleh LPD yang akan dapat memenuhi kebutuhan
karma (masysarakat) desa adat, seperti membantu pendanaan
pemberian pinjaman kepada warga, yaitu seperti untuk melakukan
kegiatan usaha, menyekolahkan anak, melaksanakan upacara agama,
dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Akhirnya, setelah kama atau
keinginan terpenuhi, maka kebahagiaan lahir batin atau Moksa akan
dapat terwujud
Berdasarkan penjelasan di atas, sebagai pengawas LPD seberapa besar
(dari Risiko Sangat Rendah sampai Risiko Sangat Tinggi) bapak/ibu
memberikan penilaian terhadap risiko LPD “Desa Adat Utsaha” satu tahun
yang akan datang dengan cara mencentang salah satu poin dari 10 sampai 100.
Risiko Sangat Rendah Risiko Sangat Tinggi
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100