pengaruh sosial dan kontrol sosial -...

64
Klara Innata Arishanti, 2006 1 PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL A. KONFORMITAS 1. Definisi Konformitas sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas. 2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958) 1 2 3 standar line comparison lines target 12 trial N = 50 respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial 3. Mengapa Orang Menjadi Konform? Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) : a. Informational Influence bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif. b. Normative Influence tekanan untuk mengikuti kelompok tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas, solidaritas ingin mencapai seperti anggota kelompok tidak ingin kelihatan berbeda c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990) usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota kelompok

Upload: lynhu

Post on 16-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Klara Innata Arishanti, 2006 1

PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL A. KONFORMITAS 1. Definisi Konformitas

sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok

perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya

definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh

Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas. 2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958)

1 2 3 standar line comparison lines

target

12 trial N = 50 respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial

3. Mengapa Orang Menjadi Konform? Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) :

a. Informational Influence bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan

tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif. b. Normative Influence

tekanan untuk mengikuti kelompok tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas,

solidaritas ingin mencapai seperti anggota kelompok tidak ingin kelihatan berbeda

c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990) usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota

kelompok

Klara Innata Arishanti, 2006 2

4. Respon Non Conformity Terdapat dua respon non conformity, yaitu:

a. Independence tingkah laku “tidak responsif” terhadap kelompok tingkah laku bebas dari norma-norma kelompok

b. Anti conformity atau Counterconformity oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

a. Ukuran Kelompok pengaruh menguat makin banyak anggota yang “rela” patuh pada norma kelompok

b. Unanimous kelompok sepakat atau kelompok tidak saling berbeda pendapat,

misalnya : parpol, MPR/DPR

6. Perbedaan Individual Dalam Konformitas a. Non – Conformist

independent, efektif secara intelektual, egostrength kuat, kepemimpinan dan hubungan sosial baik, tidak rendah diri, rigid, otoriter

b. Orang Yang Konform memiliki need for afiliation yang besar (Mc Ghee & Trevan, 1967) mengandalkan kelompok sebagai sumber informasi mereka

(Champbel,1986) self blame, ragu

7. Zimbardo & Leippe (1991)

Wanita lebih konform daripada pria Pria lebih luas jalur informasinya

wanita dan pria konform bila informasi tentang sesuatu kurang lengkap wanita lebih konform pada situasi interaksi tatap muka dalam situasi tekanan kelompok, wanita lebih konform supaya wanita lebih independent maka harus memperluas jalur

informasi B. COMPLIANCE 1. Definisi Compliance

patuh, ada permintaan langsung dari orang lain atau tidak, individu setuju untuk patuh

Klara Innata Arishanti, 2006 3

2. Teknik-teknik Dalam Compliance a. The Foot In The Door Effect

Istilahnya ketika meminta sesuatu pada seseorang ibarat seperti kaki yang sudah melangkah melewati pintu (pasti dikabulkan)

small request → dikabulkan maka, diikuti permintaan yang besar (permintaan yang sesungguhnya)

Eksperimen Jonathan Freedman & Scott Fraser (1966) Mula-mula meminta izin untuk memasang poster kecil tentang keselamatan lalu-lintas. Kemudian pemilik rumah mengizinkannya. Di hari yang lain, ia meminta izin lagi untuk memasang poster yang lebih besar, maka pemilik rumah mengizinkannya.

Mengapa hal ini terjadi? persepsi diri, memelihara image diri dihadapan orang lain

b. The Door In The Face Effect Ketika permintaan diajukan, seperti pintu yang ditutup atau sudah pasti

ditolak diawali suatu permintaan yang berat subjek akan mau menerima permintaan yang lebih ringan

kemudian Mengapa hal ini terjadi?

permintaan awal “sangat besar” atau “berat”, penolakan tidak membuat subjek menilai dirinya negatif atau buruk

permintaan kedua dilakukan oleh orang yang sama Jerry Burger (1986) menyatakan bahwa “that’s not all “ technique contoh: A menjual permen yang mahal, ia akan memberi harga permen yang murah pada si B, padahal si B tidak membeli atau tidak ingin permen tersebut.

c. The Low Ball Procedure Penawaran sangat rendah Kondisi deal diubah Terjadi karena : ketika seseorang mengambil keputusan akan malu

apabila merubahnya The “lure” technique:

penawaran sangat rendah harga diubah dengan harga yang tinggi yang tersedia hanya ‘subtitute product’

3. Strategi Compliance a. bertanya : “Would you please” b. menunjukkan keahlian diri : “Saya baca di ensiklopedia bahwa………” c. alasan pribadi : “Saya butuh…………” d. menggunakan “peran hubungan” : “Bila kamu teman saya………….” e. bargaining : “Kalau kamu mau bantu saya, maka saya akan……………” f. mengandalkan norma : “Semua orang melakukannya……………….” g. menggunakan prinsip moral : “It would right thing to do” h. menggunakan altruisme : “Kesehatan banyak orang tergantung padamu!” i. memuji : “Hari ini kamu cantik, deh!”

Klara Innata Arishanti, 2006 4

j. bargain dengan objek tertentu (menyuap) : “Saya akan beri kamu seratus ribu kalau kamu mau……………”

k. memancing emosi : “Saya akan menangis kalau……….” l. mengkritrik pribadi : “Kamu terlalu kurus, seharusnya…………..” m. berbohong : “ Kata bos kamu disuruh………”(padahal bos tidak berkata

demikian) n. mengancam : “Saya adukan dosen lho, kalau kamu…………” o. menggunakan kekerasan : “Lakukan sekarang!” (dengan diikuti gerakan

fisik) C. OBEDIENCE 1. Definisi Obedience

patuh respon permintaan langsung (perintah) perilaku seseorang yang disebabkan adanya tuntutan dari pihak lain

(orang tua, kelompok, instansi, pemerintah atau negara) Bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena adanya tuntutan meskipun sebenarnya ia tidak suka atau tidak mengkehendaki perilaku tersebut dikatakan kepatuhan. 2. Eksperiment Milgram (1963)

Mengumpulkan 40 orang untuk mengetahui pengaruh hukuman terhadap prestasi. Kemudian 20 orang menjadi guru dan 20 orang menjadi murid.

Didepan guru, duduk murid dan ditengah-tengah ditaruh bel listrik yang tegangannya dari rendah ke tinggi. Bel itu akan menyetrum murid apabila ia melakukan kesalahan (memberikan shock).

Dari guru-guru itu ada guru yang tentu memberikan shock sampai murid menunjukkan kesakitan. Dan kalau perlu menambahkan tegangannya.

Dasar eksperiment : manusia membutuhkan struktur yang jelas (perintah dari otoritas yang diakui) untuk bergerak dengan cara patuh pada peraturan yang ada.

Eksperiment Milgram (1965, 1974) : orang dapat kejam karena pengaruh situasi orang baik pun dapat berbuat jahat

3. Eksperiment Zimbardo Membuat penjara2an lalu diiklankan untuk mencari subjek penelitian dari

mahasiswa. Penelitian direncanakan diadakan selama 2 minggu dengan imbalan uang.

Subjek dijemput dirumahnya menggunakan mobil bersirine dan diborgol. Dalam waktu 3 hari mulai terjadi pemukulan yang dilakukan oleh sipir kepada tahanan.

Pemukulan tersebut sudah sangat kejam sehingga ketika baru berjalan seminggu, penelitian tersebut dihentikan.

Hal ini terjadi, karena: adanya kekuasaan kekuasaan dijadikan sebagai identitas dirinya

Klara Innata Arishanti, 2006 5

Orang dapat menjadi terlalu patuh yang melewati batas, karena: ada jarak emosional → hubungan interpersonal yang tidak

dekat kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi kekuasaan kewibawaan institusi reinterpretasi kognitif karena pelatihan, misalnya: polisi, tentara

D. SENSE OF CONTROL 1. Definisi Sense of Control

bagaimana manusia menguasai tingkah laku mereka Humanis vs Skinner → manusia dikontrol lingkungan atau stimulus luar ↓ manusia mempunyai pilihan yang bebas 2. Illusion of Control

undian Eksperimen Langer (1975):

memilih sendiri nomer undian → punya ilusi dia bisa mengontrol pilihannya

kompetisi → kalau bisa merasa lebih ahli maka kita akan lebih berilusi

involvement → semakin terlibat dengan suatu tugas maka kita bisa berhasil

keberhasilan pada tugas (Langer &Roch) 3. Manfaat “Belief in Control”

memungkinkan peramalan reaksi manusia lebih positif

lingkungan lebih menyenangkan lansia (Langer & Robin, 1976) : lebih aktif, semangat dan sosial

4. Perbedaan Individual Dalam Persepsi Kontrol Locus of control (Julian Rotter, 1966) Kontrol terhadap lingkungan : - internal

- eksternal (mencari penyebab dari tingkah laku)

orang eksternal control : lebih mau patuh terhadap social influence

orang internal control : lebih hati-hati, menghindari natural disorder (gempa, dll)

5. Reaksi Terhadap Loss of Control a. Teori Reactance (Jack Brehm, 1966)

apabila kita dibatasi oleh kemampuan kontrol maka akan timbul usaha atau tingkah laku untuk menjaga kontrol dan personal freedom kita

ancaman terhadap kemerdekaan

Klara Innata Arishanti, 2006 6

keadaan psikologis “reactance” menimbulkan tingkah laku yang dapat memelihara kontrol dan

personal freedom 1 b. Learned Helplessness

percaya bahwa hasil yang dicapai “independent” dari usaha yang ia lakukan

3 keadaan deficit yang dapat terjadi: motivational deficit → tidak punya motivasi lagi untuk berusaha

cognitive deficit → sudah tidak bisa belajar lagi

emotional deficit → mengalami depresi

6. Self Induced Dependence ketergantungan yang dimunculkan sendiri tuduhan atau anggapan “inkompeten”

ex : pada lansia (Langer, 1983), pada high school student (Langer & Benevento, 1978)

potensi manusia hanya dapat dimunsulkan hanya 10%, hanya sedikit sekali yang dapat dimunculkan

11

Klara Innata Arishanti, 2006 7

AFILIASI, DAYA TARIK, DAN CINTA A. SENDIRI ATAU BERSAMA-SAMA? Sebagai social animal, kita membutuhkan hubungan interpersonal.

Eksperimen Stanley Schachter (1959) : 5 orang berpartisipasi dalam eksperimen tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak berjendela, tetapi

memiliki lampu, tempat tidur, meja, dan kamar mandi makanan disediakan di luar pintu pada jam-jam makan, namun

partisipan tidak berkesempatan mengetahui pengantarnya tidak diijinkan adanya orang lain, telpon, buku, majalah, koran, radio partisipan diperkenankan meninggalkan rumah tersebut kapanpun dia

menginginkan hasilnya, ternyata ketahanan partisipan untuk tinggal dalam situasi

tersebut berbeda-beda : ada yang hanya bertahan selama 20 menit, dan ada yang dapat bertahan hingga 8 hari

Dengan demikian tampak bahwa reaksi orang dapat berbeda-beda dalam menghadapi situasi terisolir. Peter Suedfelt (1982) mencatat bahwa orang yang mencari kesendirian, dalam situasi isolasi akan menemukan kesegaran, stimulasi, atau kondusif untuk pengalaman religius. Namun bagi orang-orang lain, situasi tersebut sangat mengganggu. Kesepian Kesendirian tidak sama dengan kesepian :

Kesendirian (aloneness), merupakan kondisi objektif, dapat diamati Kesepian (loneliness), merupakan pengalaman subjektif, tergantung

interpretasi kita terhadap berbagai situasi 3 elemen kesepian :

merupakan pengalaman subjektif secara umum merupakan hasil dari perasaan kekurangan dalam

interaksi sosial dirasa tidak menyenangkan

Perasaan-perasaan pada orang yang kesepian : Berdasarkan survei, Carin Rubenstein dan Phillip Shaver (1982) menemukan bahwa terdapat empat faktor umum perasaan yang muncul ketika orang berada dalam kesepian :

putus asa, panik dan lemah depresi bosan, tidak sabar mengutuk diri sendiri

Tipe-tipe kesepian : Menurut Robert Weiss (1973), terdapat dua tipe :

Emotional Loneliness : kesepian yang disebabkan kurang dekat-intim-lekat dalam hubungan dengan seseorang. Misalnya, kesepian

Klara Innata Arishanti, 2006 8

yang dialami oleh oleh mereka yang menduda/janda atau bercerai dengan pasangannya.

Social Loneliness : merupakan hasil dari ketiadaan teman dan famili atau jaringan sosial tempat berbagi minat dan aktivitas.

Shaver dkk (1985) menegaskan perlunya membedakan kesepian dalam dua tipe yang lain :

Trait Loneliness : merupakan pola perasaan kesepian yang stabil, yang hanya sedikit berubah tergantung situasi. Pada umumnya orang yang memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah lebih sering mengalami trait loneliness (Jones, Freemon, & Goswick, 1981; Peplau, Miceli, & Morasch, 1982).

State Loneliness : merupakan kesepian yang lebih temporer yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dalam kehidupan. Misalnya, seseorang yang baru saja pindah lokasi tempat tinggal, menjadi murid baru, dsb. Kesepian ini akan hilang bila telah ditemukan jaringan sosial yang baru (Shaver, Furman, & Buhrmeister, 1985).

Sebab-sebab kesepian : Mengenai penyebab kesepian, tidak dapat diketahui dengan pasti karena untuk mengetahuinya diperlukan penelitian eksperimental yang tidak etis yang mencakup kondisi yang dirancang untuk membuat orang menjadi kesepian. Namun demikian, hasil penelitian korelasional menemukan bahwa :

Orang yang kesepian cenderung miskin dalam ketrampilan sosial (Horowitz & French, 1979) dan oleh orang lain dirasa relatif kurang trampil dalam berbagai bidang sosial (Sloan & Sloano, 1984).

Orang yang kesepian juga cenderung lebih cemas akan ketrampilan sosialnya (Sloano & Koester, 1989).

Terdapat dua faktor umum yang berhubungan dengan penyebab kesepian tersebut di atas, yaitu harga diri yang rendah dantidak adanya kehendak untuk menggunakan sumber-sumber dukungan sosial (Vaux, 1988). Reaksi terhadap rasa kesepian : Reaksi terhadap kesepian sangat bervariasi, dapat berupa reaksi pasif atau aktif (Rubenstein & Shaver, 1982).

Reaksi pasif : menangis, tidur, makan, minum, menggunakan obat penenang, terus menerus menonton TV.

Reaksi aktif : melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas seperti menyalurkan hoby, belajar, berolah raga, ke bioskop, shopping sambil bersenang-senang, mengusahakan kontak sosial, menelpon, atau mengunjungi orang lain.

Perbedaan antara pria dan wanita : Frekuensi kesepian antara pria dan wanita nampaknya sama, namun wanita lebih mungkin mengakui dirinya kesepian daripada pria. Pria lebih banyak mengingkari kesepian yang dialaminya. Salah satu alasan untuk hal tersebut adalah bahwa pria yang kesepian kurang dapat diterima dan lebih sering ditolak secara sosial (Borys & Perlman, 1985). Menurut stereotip jenis kelamin, pria

Klara Innata Arishanti, 2006 9

dianggap kurang pantas mengekspresikan emosinya, dan pria yang menyatakan dirinya kesepian berarti menyimpang dari harapan tersebut. Mengatasi kesepian : Hal ini tergantung bagaimana atribusi masing-masing orang mengenai kesepiannya tersebut. Mereka yang menyalahkan kekurangan dirinya sebagai penyebab kesepian yang dialaminya, cenderung tetap tidak bahagia. Sedangkan orang yang melihat kesepiannya bersifat temporer, cenderung lebih berbahagia dan lebih berusaha melakukan tindakan korektif. Salah satu tindakan terbaik untuk mengatasi kesepian adalah dengan membangun relasi yang bermakna dengan teman-teman (Cutrona, 1982). Alasan-alasan Untuk Berafiliasi Kontak dengan orang lain seringkali merupakan pencegah kesepian. Tetapi apakah menghindari kesepian merupakan alasan bagi kita untuk berafiliasi ? Apa yang kita peroleh dari interaksi sosial ? Pada studi awal mengenai afiliasi, Stanley Schachter (1959) mengajukan empat kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut di atas, yaitu :

Berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. Kehadiran orang lain dapat mengalihkan perhatian terhadap diri sendiri

sehingga secara tidak langsung mengurangi kesepian. Reaksi orang lain dapat memberikan informasi tentang situasi,

sehingga memberikan kejelasan terhadap pikiran-pikiran (kognisi) kita. Orang lain merupakan pembanding : kita dapat mengevaluasi diri kita

sendiri berdasarkan perilaku orang lain. Hasil eksperimen Schachter : Berdasarkan serangkaian eksperimen yang dilakukannya, Schachter menemukan dukungan yang kuat untuk dugaan pertama, yaitu bahwa berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. Dugaan-dugaan yang lain tidak didukung oleh hasil eksperimen. Afiliasi dapat menurunkan kecemasan karena beberapa alasan :

Kita seringkali mencari bantuan orang lain ketika menghadapi situasi yang mengancam.

Informasi yang kita peroleh dari orang lain memungkinkan kita memperoleh kejelasan mengenai situasi yang menimbulkan kecemasan.

Dukungan emosional dari orang-orang lain memungkinkan kita menguji respon-respon kita terhadap situasi yang menimbulkan stress.

Namun demikian tentu saja alasan orang untuk berafiliasi bukan hanya untuk mengurangi stress dan kecemasan. Orang berafiliasi dengan orang lain kemungkinan karena menyukai orang lain tersebut, karena ingin berbagi minat (interes), untuk memperoleh dukungan dan mengembangkan identitas diri, dan sebagainya.

Klara Innata Arishanti, 2006 10

Pola-pola Afiliasi Dan Jaringan Sosial Untuk memahami pola afiliasi, dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian berikut ini :

Bibb Latane dan Liane Bidwell (1977), berdasarkan observasi terhadap mahasiswa di berbagai kampus di Ohio State dan Universitas North Carolina, menemukan bahwa sekitar 60% dari subjek yang diamati, terlihat bahwa masing-masing bersama orang lain, paling sedikit dengan satu orang yang lain. Yang menarik, wanita lebih banyak ditemukan bersama-sama dengan orang lain. Hal ini merupakan indikasi bahwa paling tidak di tempat umum, wanita lebih banyak berafiliasi daripada pria.

Ladd Wheeler dan John Nezlek (1977) yang meneliti pola afiliasi pada mahasiswa baru menemukan bahwa :

Pada umumnya (56%) afiliasi berkembang antar jenis kelamin yang sama.

Pada semester pertama, mahasiswa perempuan lebih banyak meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan teman daripada mahasiswa laki-laki. Namun pada semester berikutnya, perbedaan ini sudah tidak nampak. Mengenai hal ini Wheeler & Nazek menyimpulkan bahwa mahasiswa perempuan mencari interaksi sosial sebagai cara untuk mengatasi stress pertama memasuki universitas.

Pola afiliasi berhubungan dengan jaringan sosial (social network). Jaringan sosial, yaitu dengan siapa seseorang menjalin kontak yang nyata (Berscheid, 1985). Berikut ini beberapa informasi mengenai jaringan sosial.

Orang yang berpindah lokasi tempat tinggal, mengalami perubahan jaringan sosial.

Pada mahasiswa, terdapat perbedaan jaringan sosial antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Misalnya, pada laki-laki, lebih banyak berteman dengan lawan jenis. Pada mahasiswa perempuan, interaksinya lebih sering, dan lebih banyak bertukar informasi dan dukungan emosional dengan teman. Namun demikian antara mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam berinteraksi dengan keluarga.

Penelitian dengan subjek bukan mahasiswa juga menemukan bahwa wanita, dibanding dengan pria, memiliki kontak yang lebih sering dan lebih erat dengan teman-teman. Mengenai perbedaan jaringan sosial antara laki-laki dan perempuan ini, Ladd Wheeler, Harry Reis, dan John Nezlek (1983) memberikan alasan bahwa wanita lebih disosialisasikan untuk mengekspresikan emosinya daripada pria.

B. DAYA TARIK (ATTRACTION) Dasar-dasar Ketertarikan Pertama Berdasarkan penelitian-penelitian yang melibatkan orang asing (orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh subjek penelitian), dapat disimpulkan bahwa kita menyukai seseorang jika orang tersebut :

Klara Innata Arishanti, 2006 11

Berdekatan dengan kita secara geografis. Memiliki kesamaan kepercayaan, nilai-nilai, dan ciri-ciri kepribadian. Memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita. Menyenangkan atau dapat kita setujui (sikap, pandangan, dan

perilakunya). Menarik secara fisik. Membalas kesukaan kita (kita cenderung tertarik terhadap orang yang

menyukai kita ---- sesuai dengan Balance Theory dari Heider, 1946). Model-model Teoritik Daya Tarik Terdapat tiga model yang dipertimbangkan di sini, yaitu : 1. Teori penguat / teori afek (reinforcement/ affect theory)

Teori ini menjelaskan daya tarik interpersonal dengan bersandar pada konsep reinforcement, yakni kita menyukai orang lain yang memberikan reward (hal-hal yang menyenangkan) kepada kita dan kita tidak menyukai orang yang memberikan punishment (hal-hal yang tidak menyenangkan) kepada kita.

Asumsi yang digunakan model ini : Sebagian besar stimuli dapat diklasifikasikan sebagai reward atau punishment , dan bahwa stimuli yang menimbulkan reward menimbulkan perasaan (affect) positif , dedangkan stimuli yang menimbulkan punishment menimbulkan perasaan (affect) negatif.

Evaluasi-evaluasi kita terhadap orang lain atau objek-objek adalah berdasarkan seberapa tingkat perasaan negatif atau positif yang kita alami.

2. Teori pertukaran sosial (social exchange theory) Pada prinsipnya teori ini tidak menolak asumsi bahwa reinforcement

meruoakan dasar yang penting bagi daya tarik interpersonal, namun teori ini tidak sesederhana teori reinforcement. Social exchange theory secara khusus menghubungkan relasi antar dua orang dengan pengeluaran/ kerugian (costs) dan perolehan/ keuntungan yang didapat oleh masing-masing.

Margaret Clark dan Judson Mills (1979, 1982) menjelaskan bahwa costs dan benefits dapat didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung jenis hubungannya:

Dalam relasi antara dua orang yang masih asing, kenalan, rekanan bisnis, relasi berlangsung berdasarkan pertukaran (exchange) perolehan yang kaku/ketat. Berlaku aturan : apa yang diberikan dan apa yang diterima oleh seseorang di dalam hubungan tersebut haruslah seimbang.

Dalam relasi yang erat, seperti hubungan dengan anggota keluarga dan teman dekat, orang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan pihak lain dan kurang mempedulikan keseimbangan antara modal (input) dan perolehan (outcomes).

3. Teori saling ketergantungan (interdependence theory) Teori dari John Thibaut dan Harold Kelley (1978, 1959) ini memiliki

kesamaan dengan teori pertukaran sosial, yakni keduanya mengkonsepkan interaksi antara costs dan benefits. Kekhususan teori ini adalah :

Klara Innata Arishanti, 2006 12

Interdependence theory menjelaskan interaksi perilaku antara dua orang secara lebih rinci, khususnya dalam hal matriks perolehan (outcome matrix).

Di dalamnya terdapat konsep comparison level (standard perbandingan), yaitu standard/ukuran/patokan yang digunakan untuk mengevaluasi orang lain. Menurut teori ini orang membandingkan antara apa yang dicapai/diperoleh dalam relasi dengan apa yang menjadi harapannya. Comparison level diperoleh berdasarkan pengalaman masa lampau. Relasi yang sekarang dianggap memuaskan hanya jika apa yang dicapai/diperoleh tingkatannya melebihi comparison level.

Catatan : Comparison level ini dapat berubah-ubah sepanjang waktu. Misalnya,

setelah lebih tua kita memiliki tuntutan yang lebih banyak dari suatu relasi bila dibanding waktu kita muda.

Comparison level juga dapat berubah tergantung situasi. Misalnya, perhitungan kita mengenai nilai perolehan (reward dikurangi costs) dapat sangat berbeda dalam hubungan kita dengan seorang dokter gigi dibanding dalam hubungan kita dengan seseorasng yang mencintai kita.

C. PENGEMBANGAN HUBUNGAN Pada bagian ini kita akan membahas dua tipe hubungan yang berkembang, yakni persahabatan dan cinta. Persahabatan Kita mempunyai harapan-harapan tertentu dari sahabat kita. Di sisi lain, terdapat hal-hal yang tidak kita harapkan dari seorang kenalan. Pada suatu saat kita merasakan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan persahabatan sehingga menyebabkan berakhirnya persahabatan. Dari hal-hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa persahabatan diatur oleh serangkaian aturan informal yang dihargai dan dipelihara. Michael Argyle dan Monika Henderson ( 1984) menyebutkan adanya empat kriteria berlakunya peraturan dalam hal persahabatan :

Pada umumnya orang setuju bahwa di dalam suatu persahabatan, perilaku perlu dibatasi/diatur oleh suatu aturan.

Untuk teman-teman lama dan teman-teman baru, peraturan tersebut diterapkan secara berbeda.

Kegagalan untuk setia terhadap peraturan seringkali menjadi alasan berakhirnya sebuah persahabatan.

Terdapat peraturan yang membedakan perilaku antara teman dekat dengan teman yang tidak terlalu dekat.

Berdasarkan interview dengan mahasiswa-mahasiswa dari Inggris, Italia, Jepang, dan Hong Kong, selanjutnya Argyle dan Henderson mengidentifikasi aturan-aturan yang dianggap penting dalam persahabatan :

Berbagi berita kesuksesan dengansahabat. Memberikan dukungan emosional.

Klara Innata Arishanti, 2006 13

Membantu dengan suka rela ketika dibutuhkan. Mengusahakan kebahagian sahabat di dalam lingkungannya masing-

masing. Saling percaya dan menceritakan rahasia satu sama lain. Tetap bersikap/bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut

ada maupun tidak ada. Saling membayar hutang dan kebaikan-kebaikan. Bersikap/bertindak toleran terhadap sahabat. Tidak mengomel terhadap sahabat.

Catatan : Aturan ke 7 s/d 9 tidak dapat membedakan antara teman dekat dengan teman yang kurang dekat. Hays (1985) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa baru membuktikan bahwa pasangan yang hubungannnya berkembang menjadi sahabat, tindakan-tindakannya agak berbeda dengan pasangan yang hubungannya tidak berkembang menjadi sahabat. Pada hubungan yang tidak berkembang menjadi persahabatan, tampak bahwa kontak mereka semakin berkurang. Sebaliknya, pada hubungan yang berkembang menjadi persahabatan ditandai pertama-tama oleh kesibukan aktivitas bersama, lalu aktivitas itu berkurang secara bertahap karena peningkatan aktivitas lain sebagai mahasiswa tahun pertama. Namun demikian penurunan jumlah interaksi ini dibarengi dengan peningkatan keintiman atau kualitas interaksi. Analisis persahabatan pada jenis kelamin yang berbeda :

Persahabatan pada laki-laki lebih mungkin berkembang dari aktivitas bersama ; sedangkan persahabatan pada perempuan lebih tergantung pada komunikasi verbal dan keterbukaan diri ( Hays, 1985).

Derlega, Lewis, Harrison, Winstead, & Costanza (1989) menemukan bahwa pada persahabatan yang menggunakan sentuhan (misalnya pelukan atau ciuman, ketika menyambut kehadiran seorang sahabat yang tiba dari perjalanan, di airport) :

Pada persahabatan antar laki-laki, tingkat keintiman sentuhan mereka paling rendah di antara pasangan-pasangan sahabat yang lain.

Dalam studi mengenai persepsi terhadap sentuhan, dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih sering merasakan sentuhan sebagai awal seksualitas; dan sentuhan laki-laki lebih sering diinterpretasikan secara seksual dari pada sentuhan perempuan.

Pola-pola persahabatan yang lain : McAdams, Healy, & Krause (1994) menemukan :

Individu yang memiliki kebutuhan keintiman (need for intimacy) yang lebih kuat, lebih mungkin untuk mengembangkan persahabatan, dan lebih mungkin untuk membuka diri terhadap sahabat-sahabatnya.

Individu-individu yang termotivasi oleh kebutuhan untuk berkuasa dan dominasi (need for power and dominance), lebih mencari kelompok yang besar untuk beraktivitas/berafiliasi, bukan mencari persahabatan dengan dengan perorangan.

Klara Innata Arishanti, 2006 14

D. KONSEPSI-KONSEPSI TENTANG CINTA & PENGUKURAN CINTA Hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan

persahabatan. Cinta romantik berkembang lebih cepat daripada persahabatan. Cinta romantik nampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih dapat berakibat negatif, misalnya frustrasi (Berscheid, 1985).

Merawat, merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat pasangan daripada minat-minat diri sendiri. Sedangkan kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan diri sendiri nampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius (Steck, Levitane, & Kelley, 1982).

Seorang psikolog sosial, Zick Rubin (1970, 1973) telah mengembangkan dua kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi kesukaan dan kecintaan. Menurut Rubin :

Kesukaan, pertama-tama lebih didasarkan pada afeksi dan respek. Item-item skala ini dikaitkan dengan kesepakatan tentang kualitas positif seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman tersebut.

Kecintaan, bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap kesejahteraan pihak lain. Item untuk skala ini dihubungkan dengan kesedihan karena tidak adanya seseorang yang dicintai, pemaafan terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri.

Beberapa penemuan mengusulkan bahwa cinta bukan merupakan konsep yang berdimensi tunggal. Misalnya, terdapat dua tipe cinta : passionate (romantik) dan companionate (Hatfield, 1988; Peele, 1988; Walster & Walster, 1978).

Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar biasa gembira jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.

Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta romantik.

John Alan Lee (1973) menunjukkan bahwa cinta itu bervariasi. Terdapat enam tipe gaya mencinta : cinta romantik, cinta permainan (game-playing love), cinta persahabatan, cinta yang menguasai (possesive love), cinta yang logis, dan cinta diri. Robert Sternberg (1986) mencirikan cinta sebagai segi tiga yang terdiri dari tiga komponen : keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.

Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain.

Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam hubungan

Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek : Pada tahap awal hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan

Klara Innata Arishanti, 2006 15

seseoang; Pada tahap lanjut, menunjuk pada tingkat komitmen seseorang untuk terus mencintai orang tersebut.

Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan kekuatan dari tiga komponen tersebut diatas. Sebagai contoh :

Tipe suka (liking), mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit gairah/nafsu dan komitmen.

Tipe infatuation, gairah/nafsunya paling kuat. Tipe empty love, komitmen yang paling kuat. Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu,

dan keputusan/komitmen. Tipe romantic love, mencakup keintiman dan nafsu yang kuat, namun

lemah dalam hal keputusan/komitmen.

Decision/commitment

Empty love Consumate love Infatuation Liking Passion Intimacy Tahap-tahap Perkembangan Cinta

Tahap pertama, dapat disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini dua orang mulai mengenal satu sama lain. Terbentuk kesan pertama, dan selanjutnya terjadi interaksi. Banyak hubungan yang tidak pernah berlanjut melebihi tahap ini, misalnya hubungan dengan dokter gigi yang merawat gigi kita,sopir bis langganan, seseorang yang pernah kita jumpai dalam pesta di rumah tetangga.

Tahap kedua, pembentukan hubungan yang nyata. Pada tahap ini terjadi peningkatan saling ketergantungan. Terjadi peningkatan interaksi dan kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi untuk hubungan tersebut; mengkoordinasikan aktivitas satu sama lain; dan mengantisipasi interaksi-interaksi yang menyenangkan di masa yang akan datang.

Tahap ketiga, adalah tahap mempererat hubungan. Kemajuan dalam tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya. Misalnya, pasangan yang bercinta, seringkali mengidealkan

Klara Innata Arishanti, 2006 16

pasangannya, namun seringkali menemukan karakteristik-karakteristik yang tidak ideal pada pasangannya. Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan “Cemburu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”. White (1981) serta White & Mullen (1989) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor umum yang ada pada reaksi cemburu : kebutuhan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dan perasaan kurang/ tidak cakap (inadequacy). Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan :

Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga diri (self-esteem), khususnya bahwa respek terhadap pasangan merupakan sumber harga diri, dan bahwa hal ini tergantung sejauh mana dia mendukung keyakinan-keyakinan akan peran gender tradisional. Dengan kata lain, kecemburuan pada laki-laki tampaknya lebih berhubungan erat dengan status.

Pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.

Meskipun kecemburuan dapat menjadi ancaman dalam perkembangan hubungan, namun hal ini tidak selalu dialami. Tahap ke empat, merupakan tahap perkembangan komitmen yang nyata.

Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku. Salah satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan (trust). Dalam hal ini kita dapat mempertimbangkan tiga macam kepercayaan terhadap pasangan :

Kepercayaan yang mencakup predictability, yaitu kemampuan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan oleh pasangannya.

Kepercayaan yang berimplikasi dependability, yaitu mengembangkan asumsi tertentu tentang karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan internal dari pasangannya. (Predictability maupun dependability diperoleh berdasarkan pengalaman dan fakta yang telah lewat).

Kepercayaan yang berimplikasi faith. Pada tahap ini orang memandang kedepan, yakin bahwa outcome (hasil) tertentu akan dicapai.

Dalam hubungan yang erat, cinta dan kebahagiaan terkait erat dengan tiga elemen kepercayaan ini. Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada tahap ke empat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta. Namun demikian pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya komitmen tersebut. Berdasarkan penelitian Marc Blais (Blais, Sabourin, Boucher, & Valeran, 1990) terhadap subjek yang rata-rata umurnya 38.1 tahun dan telah berpasangan rata-rata selama 12.6 tahun, ditemukan bahwa individu yang

Klara Innata Arishanti, 2006 17

berpasangan dalam jangka panjang yang motivasi komitmennya bersifat internal (benar-benar karena pilihannya; bukan karena menghasilkan reward, menghindari punishment, atau menghindari rasa bersalah), merasakan perilaku-perilaku mereka yang berorientasi pada hubungan sebagai hal yang menyenangkan (positif). Persepsi semacam ini berhubungan langsung dengan kebahagiaan mereka dalam berelasi. Lebih lanjut, Blais dkk menemukan bahwa motivasi-motivasi dari pihak perempuan (bukan dari pihak laki-laki), mempengaruhi persepsi pasangannya (secara nyata memang kita dapat melihat bahwa dalam suatu hubungan, persepsi masing-masing pihak akan mempengaruhi persepsi pihak lain). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan dan mengelola hubungan dari pada laki-laki.

PUTUS CINTA Perpisahan

Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976) mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah, dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.

Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970) mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas, karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan datang.

Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi berhasilnya suatu hubungan. Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah. Kesamaan dalam agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan

Klara Innata Arishanti, 2006 18

ukuran keluarga (banyaknya anak), ternyata tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan jangka panjang.

Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan dengan pasangannya. Ketidakseimbangan (Inequity) dan Ketidakpermanenan (Impermanence)

Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory), di dalam suatu hubungan orang tidak hanya mempertimbangkan costs dan rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain. Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan dan costs yang dialami oleh dua belah pihak. Menurut penemuan Davidson (1984) serta Traupmann, Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut. Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)

Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng. Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun.

Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ? Beberapa faktor kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai. Dari sisi kepribadian, misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.

Klara Innata Arishanti, 2006 19

AGRESI DAN KEKERASAN

elama 5.600 manusia telah merekam sejarahnya: lebih dari 16.600 peperangan telah terjadi, rata-rata 3 peperangan terjadi setiap tahun

(Montagu, 1996). Tempat seperti pulau Fakland dan Teluk Persi di negara Qatar dan Kuwait menjadi dikenal banyak orang hanya karena perang. Sejak awal abad 20-an, lebih dari 900.000 rakyat sipil Amerika meninggal akibat tindak kriminal. Setiap harinya orang membaca surat kabar tentang orang tua yang menganiaya anaknya, suami-istri berdebat dengan kekerasan fisik, dan orang diserang dan dibunuh dengan penyebab yang sering kurang masuk akal. Dari fakta-fakta di atas orang dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa kekerasan dan tindakan agresif merupakan aspek integral dalam masyarakat. Para ilmuwan perilaku pun berasumsi bahwa agresi merupakan hasil alami dari insting membunuh (killer instict) dalam sifat manusia. Sementara yang lain meyakini bahwa agresi dapat dijelaskan secara lengkap sebagai perilaku belajar social yang dapat diprediksikan dan potensial untuk dikendalikan. AGRESI DAN SIFAT MANUSIA Walaupun agresi merupakan istilah yang sering digunakan sehari-hari, namun para ilmuwan sosial memerlukan beberapa penjelasan yang lebih spesifik mengenai agresi. Hal ini mengingat bahwa terdapat kekaburan mengenai apa artinya menjadi agresif. Definisi Agresi Terdapat sejumlah definisi agresi yang telah diusulkan; definisi-definisi tersebut sering kali merupakan refleksi asumsi teoritik dari penganjurnya.

• Teori Psikoanalisa (dikembangkan oleh Freud), mendefinisikan agresi sebagai dorongan biologis yang mendasar, yang harus diekspresikan.

• Perspektif Ethologi (studi perilaku binatang dalam seting alami), Konrad Lorenz menggambarkan agresi sebagai instink berkelahi yang diarahkan terhadap anggota spesies yang sama

• Para Behavioris, sebaliknya mendefinisikan agresi dalam konteks perilaku yang nampak; bukan sebagai dorongan dari dalam diri (inner drive) atau motivasi.

Berdasarkan tinjauan aspek internal dan aspek yang nampak tersebut, definisi perilaku agresi yang paling banyak diterima oleh para psikolog sosial adalah: Agresi merupakan berbagai berilaku yang diarahkan untuk membahayakan makhluk hidup lain. Definisi tersebut mencakup beberapa deskripsi penting:

1. Membatasi agresi sebagai perilaku yang disertai niat (intensi) menyakiti atau membahayakan kurban. Dengan batasan ini maka bila tanpa sengaja pada waktu mengendarai mobil kita menabrak seseorang, itu tidak dapat

S

Klara Innata Arishanti, 2006 20

dikatakan sebagai agresi. Demikian pula tindakan dokter atau perawat yang menginjeksi kita untuk pengobatan, tidak dapat dikatakan agresi.

2. Dalam percakapan sehari-hari orang sering mengatakan “manajer agresif” atau “penjual yang agresif”. Secara umum gambaran seperti itu menunjuk pada seseorang yang kompetitif, energik, dan asertif. Perilaku ini tidak sesuai dengan definisi aresi, kecuali bila manajer atau penjual tersebut menyakiti orang lain untuk mencapai keberhasilannya.

3. Definisi agresi tidak hanya mencakup agresi yang membahayakan fisik, Menghina atau mencaci secara verbal juga termasuk agresi. Demikian pula menolak untuk memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan orang lain, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku agresi. Menendang dinding tidak termasuk agresi, namun memukul anjing merupakan perilaku agresi.

Penjelasan Biologis Terhadap Agresi

1. Freud (1930) menulis: “Kecenderungan berperilaku agresi merupakan innate (bawaan lahir), independen (tidak tergantung pada faktor lain, dan bersifat instinctual”. Menurut tradisi psikoanalisa, energi agresi secara konstan (ajeg) dihasilkan oleh proses tubuh kita. Dengan demikian agresi didefinisikan sebagai dorongan dasar yang harus diekspresikan. Pelepasan agresi dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung. Pelepasan secara tidak langsung, yang lebih dapat diterima secara sosial, misalnya dengan debat yang seru atau aktivitas atletik. Yang tidak dapat diterima secara social, seperti menghina/mencela atau berkelahi. Pelepasan dorongan agresi yang destruktif tidak selalu diarahkan terhadap orang lain, melainkan dapat juga terhadap diri sendiri, yaitu bunuh diri. Bagaimanapun agresi itu dilepaskan, dan agresi dipertimbangkan sebagai bawaan lahir, Freud yakin bahwa masyarakat berfungsi mengendalikan agresi.

2. Ethologi (suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami), sering berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973). Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962). Releaser dapat berupa ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan. Agresi, menurut Lorenz (1966) berfungsi untuk melindungi spesies; dengan demikian agresi bernilai sebagai survival. Lorenz yakin bahwa organisme lebih agresif terhadap spesiesnya sendiri daripada terhadap spesies lain.

Klara Innata Arishanti, 2006 21

3. Sociobiology (E.O. Wilson: studi sistematis mengenai dasar biologis semua perilaku social), yang merupakan perluasan dari teori evolusi Darwin, berpandangan bahwa agresi merupakan perilaku adaptif. Keuntungan biologis dari perilaku agresi yaitu mencakup kemampuan untuk mendapatkan sumber daya lebih besar, mempertahankan sumber daya yang dimiliki, dan melindungi individu-individu terdekat. Bila berhasil, agresi individu akan memperkuat posisi kelompoknya dalam hubungannya dengan kelompok lain.

Penjelasan Sosial Terhadap Agresi

Meskipun perilaku agresi pada binatang yang lebih rendah dapat dijelaskan berdasarkan proses instink, para ahli ilmu social berpandangan bahwa perilaku agresi manusia tidak diatur oleh dorongan internal, melainkan dipelajari dari orang lain. Psikolog J.P. Scott (1958) menyimpulkan bahwa semua hasil riset menunjukkan bahwa tidak terdapat fakta psikologis yang berupa dorongan internal atau daya dorong spontan untuk berkelahi; dan bahwa semua stimulasi agresi berasal dari daya yang tampil dalam lingkungan fisik. Bila agresi merupakan hasil belajar, bagaimana terjadinya proses belajar tersebut? Menurut Bandur (1973) melalui dua metode: instrumental learning dan observational learning.

• Instrumental learning. Menurut prinsip ini, perilaku yang diperkuat (reinforced) atau direspon positif (rewarded) lebih mungkin diulang pada masa mendatang. Beberapa bentuk reward untuk agresi antara lain: persetujuan masyarakat, peningkatan status, perolehan uang (untuk orang dewasa), atau permen (untuk anak-anak). Pada orang yang sangat terprovokasi, fakta si kurban menderita dapat berarti sebagai bentuk reinforcement (Baron, 1974; Fesbach, Stiles, & Bitter, 1967).

• Observational learning/ social modeling. Menurut banyak penemuan, ini merupakan cara yang lebih umum dalam menghasilkan perilaku agresif. Menurut observational learning atau social modeling, kita dapat mempelajari perilaku baru dengan mengamati tindakan orang lain (model). Mereka yang beranggapan bahwa perilaku agresi adalah respon yang dipelajari, telah mengklaim bahwa masyarakat di mana tidak terdapat perilaku agresi merupakan manifestasi bahwa belajar memiliki peran penting terhadap agresi. Misalnya, di Amerika dan Canada, anggota komunitas yang terisolir seperti suku Amish, Mennonites, dan Hutterites, berusaha keras untuk mencapai koeksistensi damai. Perilaku agresif pada masyarakat tersebut tidak mendapatkan reward (Bandura & Walters, 1963).

Gorer (1968) menggambarkan beberapa karakteristik masyarakat yang memfasilitasi perkembangan dan pengelolaan perilaku non-agresif:

Klara Innata Arishanti, 2006 22

1. Mereka berada di tempat yang kurang dapat diakses, sehingga tidak ditempati kelompok lain. Bila kelompok lain menginvasi teritori itu, mereka berpindah ke tempat lain yang lebih sulit dijangkau.

2. Masyarakat itu berorientasi terhadap kenikmatan hidup yang kongkrit, seperti makan-minum-dan seks, Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut telah memuaskan mereka. Kebutuhan berprestasi atau kekuasaan, pada anak-anak tidak didukung.

3. Masyarakat tersebut hanya membuat sedikit perbedaan antara pria dan wanita. Meskipun nampak terdapat perbedaan peran antara pria dan wanita, namun tidak ada usaha yang dilakukan yang mencerminkan agresive masculinity (perilaku agresif karena sifat maskulin).

Penjelasan Biologi dan Belajar

Mayoritas masyarakat di dunia menampilkan bentuk agresi (Rohner, 1976). Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengasumsikan agresi sebagai hasil dari instink atau proses social. Keberadaan masyarakat non-agresif merupakan hasil tempaan sifat manusia, dan merupakan sesuatu yang berbeda besar dengan perilaku-perilaku “normal” berbagai masyarakat (Eisenberg, 1972). Menurut faham biologi dan belajar, stimulus yang tidak menyenangkan (aversive stimuly) yang melibatkan ancaman, menghasilkan arousal (gejolak) fisiologis yang menyebabkan keseimbangan individual untuk melarikan diri (flee) atau berkelahi (fight) (Berkowitz & Heimer, 1989). Namun, bagaimanapun kesiapan instinctual manusia untuk perperilaku agresif, hal itu dapat dipastikan dimodifikasi oleh pengalaman belajar. KONDISI-KONDISI YANG MEMPENGARUHI AGRESI Terdapat berbagai kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan perilaku agresif. Ada yang berhubungan dengan kondisi motivasional atau afektif, dan ada pula yang merupakan kondisi di luar individu. Frustrasi Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan: “terjadinya agresi selalu mensyaratkan adanya frustrasi” (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat memiliki akibat lain (tidak selalu agresi). Frustrasi, oleh para teoris dari Yale didefinisikan sebagai kondisi yang berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk melengkapi serangkaian perilaku. Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang-kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule & Percival, 1971). Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi

Klara Innata Arishanti, 2006 23

frustrasi mahasiswa: gagal dalam suatu tugas, kehilangan kesempatan mendapatkan uang, dan kehilangan kesempatan mencapai grade yang lebih tinggi. Tiap-tiap tipe frustrasi tersebut menghasilkan tingkat agresi yang hampir sama. Dibandingkan dengan kelompok kontrol (subjek yang tidak mengalami frustrasi), tingkat agresi dari subjek yang dirancang mengalami frustrasi (dari tiga tipe frustrasi) adalah lebih tinggi. Namun tingkat agresi dari tiga tipe frustrasi itu tidak tinggi sekali. Dengan hasil eksperimennya tersebut Buss (1967, 1967) menyimpulkan bahwa frustrasi dan agresi dapat berkaitan hanya bila agresi memiliki nilai instrumental, yaitu bila perilaku agresif akan membantu mengurangi frustrasi. Marah, merupakan mediator yang penting dalam keterkaitan frustrasi-agresi (Krebs & Miller, 1985). Leonard Berkowitz (1965b, 1969, 1971, 1989) menekankan interaksi antara kondisi-kondisi dari lingkungan, kognitif internal, dan emosional. Menurut Berkowitz, reaksi terhadap frustrasi “hanya menciptakan kesiapan untuk bertindak agresi”. Lebih lanjut Berkowitz menegaskan bahwa factor penting yang lain adalah adanya petunjuk agresif dari lingkungan yang memicu perilaku agresif. Frustrasi menciptakan kesiapan dalam bentuk marah, dan secara nyata petunjuk stimulus memicu agresi. Lebih lanjut, pemicu itu sendiri dapat meningkatkan kekuatan respon agresif, khususnya bila respon agresif itu impulsif (Zillman, Katcher, & Milavsky, 1972). Efek Senjata Program riset sistematis yang dilakukan oleh Berkowitz dkk di University of Wisconsin telah memperkuat anggapan bahwa petunjuk agresif memicu perilaku agresif. Dalam salah satu eksperimen Berkowitz (1965), pembantu eksperimenter (confederate) diperkenalkan sebagai Kirk Anderson (diasumsikan menimbulkan asosiasi dengan Kirk Douglas, aktor utama dalam film Champion), atau sebagai Bob Anderson (bukan tokoh agresif). Dalam hal ini petunjuk agresif yang berupa nilai-nilai confederate nampak mempengaruhi tingkat agresif subjek. Dalam eksperimen tersebut subjek memberikan sengatan listrik lebih tinggi (berperilaku agresif) bila:

a. mereka marah, b. mereka telah menonton film kekerasan, c. dihadapkan pada orang yang memiliki nama sama dengan petinju dalam

film. d. sebagai tambahan, subjek yang telah dimarahi selalu lebih agresif

daripada subjek yang tidak dimarahi. Eksperimen lain dari rangkaian eksperimen Berkowitz (Berkowitz & Lepage, 1967) difokuskan pada petunjuk agresif yang berupa nilai senajata. Dalam eksperimen ini, beberapa mahasiswa pria diberi sengatan listrik sebanyak satu atau tujuh kali sengatan oleh mahasiswa lain (Ctt: sebenarnya confederate, pembantu eksperimenter), dan kemudian diberi kesempatan untuk membalas.

Klara Innata Arishanti, 2006 24

Ketika eksperimen berlangsung, sebuah senapan dan revolver terletak di meja terdekat. Beberapa subjek yang lain, sebagai kelompok kontrol, tidak mengalami adanya senjata pada saat berpartisipasi dalam eksperimen. Hasilnya, seperti yang diduga:

a. mahasiswa yang mendapatkan sengatan listrik lebih banyak oleh confederate, membalas memberikan sengatan listrik lebih banyak,

b. keberadaan senjata meningkatkan jumlah sengatan listrik, dari rata-rata 4.67 menjadi 6,07.

Efek keberadaan senjata ini memiliki implikasi praktis yang penting. Salah satu implikasinya adalah bahwa sembarangan meletakkan senjata akan mendatangkan bahaya. Berkowitz (1968) mengungkapkan: “Pestol bukan hanya mengijinkan kekerasan, namun juga dapat menstimulasi kekerasan. Jari menarik pelatuk, namun pelatuk dapat juga menarik jari” (Guns not only permit violence, they can stimulate it as well. The finger pulls the trigger, but the trigger may also be pulling the finger”). Gejolak Umum (General Arousal) Model frustrasi-agresi menunjukkan bahwa agresi disebabkan oleh jenis emosi khusus. Model agresi yang lain menunjuk pada kondisi arousal yang umum yang dapat meningkatkan perilaku agresif. Menurut teori exitation transfer theory (Zillmann, 1979), gejolak yang dihasilkan dari suatu situasi dapat ditransfer pada (atau meningkatkan) kondisi emosi yang lain. Lebih spesifik Zillmann menyatakan bahwa ekspresi marah atau emosi yang lain, tergantung pada tiga faktor:

a. disposisi atau kebiasaan yang dipelajari individu, b. sumber energisasi atau arousal, c. interpretasi individu terhadap kondisi arousal

Dengan demikian bagaimana kita menginterpretasikan suatu peristiwa, itu penting dalam menentukan apakah kita akan berperilaku secara agresif. Serangan Verbal dan Fisik Serangan verbal maupun fisik merupakan provokasi yang lebih kuat terhadap perilaku agresif, bila dibanding dengan frustrasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil eksperimen Geen (1968): Dalam eksperimennya Geen menciptakan dua situasi frustrasi dalam permainan puzzle, dan satu situasi lainnya yang memungkinkan para subjek menyelesaikan/melengkapi puzzle-nya (meniadakan kemungkinan frustrasi). Kepada para subjek yang telah menyelesaikan tugas melengkapi puzzle, bagaimanapun juga confederate (pembantu eksperimenter) melakukan penghinaan terhadap kecerdasan ataupun motivasinya. Akibatnya, agresi para subjek terhadap confederate dalam kondisi ini lebih kuat daripada subjek-subjek yang mengalami kondisi frustrasi. Stuart Taylor dkk (Taylor, 1967; Tailor & Epstein, 1967) juga menguji efek serangan langsung terhadap agresi. Dalam eksperimen ini diatur sbb: subjek

Klara Innata Arishanti, 2006 25

berinteraksi dengan seorang subjek yang lain dan dimungkinkan untuk saling memberikan sengatan listrik. Secara umum, eksperimen ini memberikan fakta nyata bahwa subjek saling berbalasan. Mereka cenderung memberikan sengatan secara berimbang. Jika salah satu pihak meningkatkan level sengatan, subjek lain juga meningkatkan intensitasnya. Anjuran Pihak Ketiga (Third Party Instigation) Agresi tidak selalu terjadi dalam situasi isolasi. Seringkali ada saksi mata atau orang-orang lain yang terlibat dalam interaksi. Misalnya dalam pertandingan tinju bayaran, penonton (audience) dapat memberikan dorongan penuh antusias kepada petinju favoritnya untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana pengaruh anjuran pihak ke tiga terhadap frekuensi ataupun intensitas perilaku agresif? Dalam eksperimen obedience yang dilakukan oleh Milgram (1963, 1965, 1974) telah dieksplorasi efek anjuran eksperimenter terhadap kehendak individu untuk memberikan sengatan listrik terhadap orang lain. Dalam eksperimen-eksperimen Milgram tersebut nampak jelas adanya pengaruh tekanan eksternal (pihak lain) terhadap subjek yang didorong untuk terus memberikan sengatan listrik, daripada subjek-subjek yang bertindak sendiri tanpa didorong. Bagaimana bila pihak lain itu pasif (tidak menganjurkan agresi)? Richard Borden ( 1975) menemukan bahwa pengaruh dari penonton pasif terhadap perilaku agresif seseorang tergantung pada nilai-nilai yang secara implicit dimiliki oleh penontonnya. Misalnya, dalam suatu kasus subjek pria berpartisipasi dalam eksperimen memberi sengatan listrik, ditonton oleh seorang pria atau seorang wanita. Ternyata subjek yang ditonton oleh pria lebih agresif secara signifikan (meyakinkan) daripada subjek yang ditonton oleh wanita. Setelah penonton pria meninggalkan ruang, para subjek mengurangi agresifitasnya; dan agresifitas mereka tidak terpengaruh oleh kehadiran penonton wanita. Mengapa jenis kelamin penonton memiliki pengaruh? Mengenai hal ini Borden mengajukan hipotesis bahwa norma masyarakat kita secara implisit menganjurkan pria menyetujui agresi atau kekerasan, dan wanita sebaliknya. Untuk menguji hipotesis tersebut Borden melakukan eksperimen kedua, dimana penontonnya adalah anggota club karateka (kemungkinan menyetujui agresi) atau oleh anggota organisasi perdamaian (kemungkinan tidak menyetujui agresi). Dalam eksperimen ini jenis kelamin penonton bercampur, pria dan wanita. Hasil eksperimen: subjek yang ditonton oleh anggota club karate lebih agresif daripada yang ditonton oleh anggota organisasi perdamaian. Kesimpulan:

• Dorongan langsung oleh seorang pengamat atau anggota audience akan meningkatkan agresi seseorang.

• Pengamat yang merefleksikan nilai-nilai agresif dapat menyebabkan meningkatnya perilaku agresif, seperti halnya efek senjata.

Deindividuasi

Klara Innata Arishanti, 2006 26

Bila orang berada dalam keadaan tidak dapat diidentifikasi (dikenali), mereka lebih mungkin untuk bertindak anti-sosial (agresi). Philip Zimbardo (1970) melakukan eksperimen dimana empat orang mahasiswa diberi tugas memberikan sengatan listrik kepada mahasiswa lainnya. Dua orang dari mereka diatur berada dalam situasi yang terselubung: tidak pernah saling memperkenalkan diri dan berada di tempat yang gelap. Dua orang yang lain ditonjolkan identitasnya: eksperimenter menyambut mereka dengan menyebut namanya, mereka memakai name-tag (kartu bertuliskan nama sebagai tanda pengenal), dan mereka saling berinteraksi dengan menyebut nama depan masing-masing). Seluruh subjek diberi kebebasan memberikan sengatan listrik satu sama lain, seperti yang mereka kehendaki. Hasilnya, subjek yang berada dalam kondisi terselubung memberikan sengatan listrik lebih banyak daripada subjek-subjek yang menggunakan name-tag. Eksperimen-eksperimen lain yang juga menciptakan situasi anonym seperti di atas, hasilnya juga menunjukkan bahwa orang cenderung lebih agresif baik secara verbal maupun fisik bila identitas dirinya terselubung (Cannavale, Scarr, & Pepitone, 1970; Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952; Mann, Newton, & Innes, 1982). Dalam mendiskusikan deindividuasi, yaitu suatu kondisi yang relatif anonym dimana individu tidak dapat dikenali, Zimbardo (1970) menjelaskan bahwa deindividuasi meminimalkan kepedulian terhadap evaluasi (penilaian) dan memperlemah control diri yang normal yang didasari oleh rasa bersalah, malu, dan ketakutan. Konsep deindividuasi ini dapat pula diterapkan bagi diri si kurban, bukan hanya bagi agresor. Misalnya, Milgram (1965) menemukan bahwa orang lebih berkehendak untuk memberikan sengatan listrik bila mereka tidak melihat si kurban, dan bila si kurban tidak melihat dirinya. Sedangkan Mann (1981) menemukan bahwa terdapat beberapa kasus, bila penonton sangat dekat dengan subjek, maka subjek tidak melakukan serangan. Obat-obatan Obat-obatan banyak digunakan oleh masyarakat kita. Terdapat anggapan di dalam masyarakat bahwa alkohol memfasilitasi agresi, dan sangat umum kartun ayang menggambarkan tentang pemabuk yang bermusuhan. Stuart Taylor dkk melakukan serangkaian penelitian dimana berbagai dosis alcohol atau THC (tetrahidrocannabinol, zat pengaktif utama ramuan marijuana) diberikan kepada subjek sebelum mereka berpartisipasi dalam eksperimen agresi. Dalam beberpa siatuasi nampak bahwa efeknya hanya nampak bila bila seseorang doprovokasi atau diserang (Taylor, Gammon, & Capasso, 1976). Eksperimen Taylor et al. (1976), dengan alkohol:

• Dosis alkohol yang ringan (setara dengan satu cocktail) ternyata menurunkan agresi bila dibanding dengan kelompok yang tidak menggunakan alkohol

Klara Innata Arishanti, 2006 27

• Dosis alkohol yang lebih besar (setara dengan tiga cocktail) memiliki efek yang sebaliknya memberikan sengatan listrik yang lebih kuat

Eksperimen Myerscough & Taylor, 1985), dengan THC/marijuana: • Dosis ringan (0.1 mg per kg berat badan) tidak memiliki efek terhadap

perilaku agresif • Dosis yang lebih besar (0.3 mg per kg berat badan) cenderung menekan

perilaku agresif • Dosis yang lebih besar lagi (0.4 mg per kg berat badan) juga tidak

memfasilitasi agresi, melainkan justru mengurangi kehendak individu untuk membalas serangan aggressor

Eksperimen Taylor (1986) dengan amphetamine: nampak memiliki sedikit pengaruh terhadap agresi. Kondisi Lingkungan Fisik Lingkungan fisik sering mempengaruhi mood. Misalnya, kita mungkin melakukan protes bila di hari yang panas AC di ruangan tidak bekerja, atau bila kebisingan di luar ruang terasa mengganggu. Kebisingan (noise): Subjek yang diberi gangguan kebisingan yang tinggi dalam eksperimen di laboratorium, memeberikan sengatan listrik yang lebih tinggi bila disbanding dengan subjek-subjek lain yang mengalami sedikit kebisingan atau yang sama sekali tanpa kebisingan (Donnerstein & Wilson, 1976). Namun demikian, pada umumnya, kebisingan meningkatkan agresi hanya bila individu diprovokasi atau dibuat marah. Kualitas Udara: Udara yang tercemar (asap, rokok) juga dapat memepengaruhi kecenderungan agresi. Kualitas udara dapat diukur dengan mengukur kadar ozon, suatu index polusi udara. Berdasarkan ukuran tsb, James Rotton dan James Frey (1985) melakukan penelitian berdasarkan arsip, untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dan tindak criminal. Hasilnya, bila kualitas ozon meningkat, maka meningkat pula gangguan di dalam keluarga. Suhu Udara: Banyak pula orang yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan peristiwa kekerasan. Di Amerika, pada tahun 1960-an mass-media seringkali menekankan adanya pengaruh musim panas yang berkepanjangan (long hot summer). Panas, dicatat sebagai penyebab terjadinya kerusuhan. Penyebabnya, mayoritas gangguan (huru-hara) terjadi pada musim panas (U.S. Riot Commission, 1968). Namun demikian, bagaimanapun juga hubungan antara temperatur dan agresi tidaklah sederhana. Berdasarkan beberapa beberapa hasil penelitian dengan kawan-kawan, Baron (1977) menjelaskan:

Klara Innata Arishanti, 2006 28

• Hubungan antara temperatur dengan agresi dimediatori (ditentukan) oleh tingginya afek (emosi) negatif atau ketidaknyamanan yang dialami individu;

• Hubungan antara ketidaknyamanan tersebut dengan agresi dapat digambarkan sebagai kurve linier. Dengan kata lain, dalam level ketidaknyamanan yang sangat rendah atau sangat tinggi, agresi diminimalkan. Agresi paling sering terjadi dalam level ketidaknyamanan yang menengah (sedang).

Peran Marah Terhadap Agresi Pada bagian ini kita mempertimbangkan bagaimana peran marah dan emosi-emosi yang berhubungan dalam menyumbang terjadinya agresi. Apakah marah merupakan bumbu yang diperlukan untuk terjadinya agresi? Bila tidak, apakah yang memainkan peran dalam perilaku agresif? Untuk menjawab pertanyaan itu kita bersandar pada model cognitive-neoassociationistic yang dikembangkan oleh Leonard Berkowitz (1983a; 1983b):

priming

(Marah dan dorongan agresif merupakan hasil dari emosi negatif , namun

keduanya juga terhubung di dalam memori) Menurut model tersebut, yang mendorong agresi secara langsung adalah emosi negatif, bukan rasa marah. Pengalaman marah dapat menunjang (membuat lebih mudah diakses) pikiran-pikiran tentang perilaku agresif (Rule, Taylor, & Doobs, 1987). Efek menunjang tersebut berlangsung dua arah (bi-directional): berpikir tentang perilaku agresif dapat juga menunjang rasa marah. Perbedaan Individu Dalam Perilaku Agresif Agresifitas setiap orang tidaklah sama. Ada orang-orang yang lebih agresif daripada yang lain. Terdapat fakta bahwa perbedaan individu dalam agresi, relative bersifat stabil, khususnya pada pria (Huesmann, Lagerspetz, & Eron, 1934; Olweus, 1979,1984b). Anak laki-laki 8 tahun yang di kelas dikenal sebagai anak yang suka memukul dan mendorong anak-anak lain, lebih besar kemungkinannya pada usia 30 tahun menjadi pria yang tercatat berbuat criminal, melecehkan, dan melakukan kekerasan (Eron, 1987).

Stimulus Afersif

Afek (emosi) negatif

Marah Dorongan agresif

Klara Innata Arishanti, 2006 29

Alasan stabilitas perilaku agresif tersebut menjadi perdebatan. Beberapa penemu berargumen bahwa terdapat faktor bawaan yang sangat kuat dalam kecenderungan agresi, dan menggunakan studi-studi anak kembar untuk mendukung kesimpulan tersebut (Rushton, Fulker, Neale, Nias, & Eysenck, 1986). Sebaliknya ada yang menemukan fakta bahwa orang tua, teman-teman sebaya, dan mass-media, memberikan konteks dimana agresi diperkuat atau diperlemah, yang mendukung kestabilan agresi. Perbedaan Jenis Kelamin Mengenai perbedaan jenis kelamin dalam perilaku agresif, juga sering diperdebatkan atas dasar faktor penentunya, bawaan atau lingkungan.

• Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria lebih agresif, dan bahwa perbedaan tersebut merupakan hasil dari perbedaan dalam kesiapan biologis untuk berperilaku agresif.

• Alice Eagly dan Valerie Steffen (1986) juga menyimpulkan bahwa pria lebih agresif daripada wanita, namun perbedaan yang nampak dalam riset psikologi sosial itu kecil dan tidak konsisten. Perbedaan agresi antara pria dan wanita tersebut lebih besar bila yang diteliti adalah agresi fisik (perbedaan dalam agresi verbal dan bentuk agresi yang lain lebih kecil). Di samping itu, ditemukan bahwa terdapat perbedaan keyakinan mengenai perilaku agresif antara pria dan wanita. Misalnya, wanita lebih merasa bersalah dan cemas bila berperilaku agresif; lebih peduli terhadap bahaya yang dialami kurban; dan lebih takut akan bahayanya bagi diri sendiri. Menurut Eagly & Steffen, keyakinan tersebut mungkin menentukan sejauh mana kesadaran priadan wanita dalam memilih perilaku agresif.

Kemampuan Memproses Informasi Sosial Kenneth Dodge dan Nicki Patrick (1990), setelah mereviu literatur agresi pada anak-anak berpandangan bahwa perbedaan individu dalam perilaku agresi mungkin ditentukan oleh perbedaan dalam kemampuan memproses informasi sosial. Secara khusus Dodge & Patrick menunjuk perbedaan dalam kemampuan individu: (1) Untuk menginterpretasi petunjuk-petunjuk dari situasi sosial dan perilaku orang lain; (2) untuk menghasilkan respon-respon yang dimungkinkan dalam situasi sosial; (3) Untuk menentukan respon yang mana yang dipilih untuk dilakukan. Beberapa proses, mencakup pembuatan atribusi (kesimpulan) mengenai intensi/niat yang mendasari perilaku orang lain. Proses atribusi tersebut sebagian mengalami bias, seperti fundamental attribution bias (Ross & Flechter, 1985), yaitu kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa tindakan orang lain dilandasi niat yang bersumber dari sifat pribadinya (disposisional). Remaja dan anak-anak yang agresif, nampak memiliki apa yang oleh Dodge & Crick disebut hostile attributional bias. Dalam simulasi ataupun situasi aktual, bila dibanding anak-anak yang tidak agresif, anak-anak yang agresif lebih suka untuk

Klara Innata Arishanti, 2006 30

mengatribusi tindakan-tindakan orang lain itu sebagai tindakan yang dilandasi niat bermusuhan. Atribusi mereka mengenai niat orang lain pada umumnya juga kurang akurat dibanding mereka yang tidak agresif (Crick & Dodge, 1989; Dodge & Coie, 1987; Dodge & Tomlin, 1987; Sancilo, Plumert, & Hartup, 1989).

Klara Innata Arishanti, 2006 31

PERILAKU PROSOSIAL

erilaku prososial adalah perilaku yang bermanfaat atau memiliki efek positif bagi orang lain (Staub 1978; Wispe 1972). Istilah prososial berlawanan

dengan istilah anti sosial yang diterapkan untuk perilaku agresif atau kekerasan. Perilaku-perilaku yang dapat dipandang sebagai prososialadalah: memberikan pertolongan dalam situasi darurat, beramal (charity), kerja sama, donasi, membantu, berkorban, dan berbagi. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah perilaku menolong dalam kondisi darurat, yang lebih memberikan manfaat bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkembang istilah altruism. Altruisme adalah bentuk khusus perilaku menolong yang dilakukan dengan suka rela, merugikan bagi pelakunya, dan terutama dimotivasi oleh kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, bukan untuk mengharapkan imbalan (Batson 1987; Walster & Piliavin, 1972). Dengan demikian altruisme merupakan perilaku prososial yang lebih bersifat selfless (tidak mementingkan diri sendiri) daripada selfish (egois, mementingkan diri sendiri). Berikut ini dibahas mengenai beberapa hal yang dapat diterapkan untuk membangun masyarakat yang lebih prososial. APAKAH KITA SUNGGUH-SUNGGUH MAMPU BERPERILAKU ALTRUISTIK?

Pertanyaan ini akan dijelaskan dari beberapa sudut pandang. Altruisme Menurut teori-teori Psikologi Tradisional a. Teori Psikoanalisa

Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan selfish (egois) secara instinktif. Dengan demikian beberapa teoris psikoanalisa memandang altruisme dalam arti sebagai pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri, dan hal ini menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain. Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), namun para teoris psikoanalisa tetap memandang bahwa pada dasarnya manusia bersifat selfish.

b. Teori-teori Belajar Khususnya para teoris psikologi belajar yang menekankan reinforcement seperti B.F. Skinner dll, beranggapan bahwa kita cenderung mengulangi atau memperkuat perilaku kita yang memiliki konsekuensi positif bagi diri kita. Mengenai altruisme mereka berpendapat bahwa dibalik perilaku yang nampaknya altruisme sesungguhnya adalah egoisme atau kepentingan diri sendiri. Orang dapat merasa lebih baik setelah mereka memberikan pertolongan, dapat mengharapkan imbalan di akherat, atau dapat menghindari perasaan bersalah atau malu yang dapat muncul bila mereka

P

Klara Innata Arishanti, 2006 32

tidak menolong. Pun bila seseorang tidak dapat mengharapkan hadiah, penghargaan, imbalan uang, dia mungkin dimotivasi oleh penghargaan-penghargaan yang lebih lunak (Gelfand & Hartmann 1982).

c. Hipotesis Empati-Altruisme Batson dkk (Batson 1987, 1990; Batson & Olson 1991;Coke, Batson, & McDavis 1978) berdasarkan penelitian-penelitian yang mereka lakukan menemukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku menolong dan empati (seolah-olah mengalami emosi orang lain). Berdasarkan hal tersebut, muncul pertanyaan, mengapa perasaan empati terhadap orang lain lebih memungkinkan kita untuk menolongnya? Batson dengan hipotesis empati-altruisme menyatakan bahwa emosi empatik dapat menghasilkan motivasi altruistik yang murni, yaitu menolong dengan tujuan terutama untuk mengurangi penderitaan si korban, bukan untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri. Untuk membedakan antara menolong yang dimotivasi secara egoistik dengan yang dimotivasi secara altruistik atas dasar empati, Batson dkk telah berusaha mengukur dua reaksi emosi yang berbeda terhadap seseorang yang mengalami kesulitan (distress): - Empathic concern: fokusnya, simpati terhadap kesulitan orang lain dan

motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut. Dalam skala pengukur empathic concern, yang dimasukkan sebagai sifat-sifat yang merefleksikan hal ini adalah: simpati (sympathetic), belas kasihan (compassionate), gerakan hati (moved), tidak sampai hati (softhearted), dan sabar (tender).

- Personal distress: kepedulian terhadap rasa ketidaknyamanan diri sendiri dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala pengukur personal distress, reaksi-reaksi yang dianggap mencerminkan hal ini adalah: ketakutan/kegelisahan (alarmed), cemas/khawatir (worried), terganggu (disturbed), dan terkejut/bingung (upset).

Altruisme: pengaruh faktor biologis atau budaya? Berikut ini tinjauan mengenai kemungkinan kontribusi dari faktor biologi maupun budaya. a. Altruisme dan Genetik

Perbedaan kapasitas untuk berempati dan altruisme pada orang dewasa nampaknya memiliki dasar genetik (Mathews et.al 1981; Rusthon et.al. 1986). J.P. Rusthon dkk menemukan bahwa pada orang-orang yang kembar identik (identical twins), yang memiliki gen-gen yang sama persis dengan saudara kembarnya, memberikan respon yang sama terhadap kuesioner yang digunakan untuk mengukur kecenderungan empatik mereka terhadap orang lain. Bila salah satu dari mereka skor empatinya tinggi, demikian pula dengan saudara kembarnya. Korelasi dalam pengukuran empati dan altruisme antar kembar identik, berturut-turut adalah: .54 untuk empati dan .53 untuk altruisme. Pada saudara kembar yang bukan kembar identik (fraternal twins),

Klara Innata Arishanti, 2006 33

yang rata-rata memiliki kesamaan gen 50%, kurang memiliki kesamaan (korelasi untuk empati adalah .20 dan untuk altruisme adalah .25. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada orang-orang yang lebih altruistik daripada orang lain, sebagian karena genetik yang mereka bawa pada saat konsepsi. Namun demikian, penemuan bahwa pada orang-orang kembar identik tidak memiliki kecenderungan prososial yang sama persis (korelasi altruisme .53), menunjukkan bahwa pengalaman unik yang mereka miliki juga berpengaruh. Dengan demikian jelas bahwa pengalaman belajar sosial juga menentukan seberapa prososialnya kita.

b. Altruisme dan Budaya Faham sosiobiologi berpandangan bahwa evolusi kebudayaan mungkin lebih penting daripada evolusi biologis dalam membentuk perilaku prososial (Boyd & Richerson 1990; Campbell 1978). Mekanisme dibalik evolusi biologis adalah faktor genetik, sedangkan mekanisme di balik evolusi kebudayaan adalah proses belajar. Dengan demikian, meskipun manusia di manapun secara biologis memiliki predisposisi selfish, namun beberapa masyarakat dapat berkembang jauh lebih prososial dari pada masyarakat yang lain melalui praktek-praktek pengasuhan anak oleh orang tua, latihan religius, pendidikan, dan menggunakan ide-ide dari budaya yang lain (Boyd & Richerson 1990). Perilaku prososial didukung sangat kuat di dalam budaya kolektifis (collectivist culturs), yaitu budaya dimana kebaikan kelompok (misalnya, keluarga besar) dianggap lebih penting daripada keinginan-keinginan individual (Triandis, McCusker, & Hui 1990). Di dalam budaya individualis seperti Amerika Serikat dan Canada, kurang menekankan tanggungjawab individu terhadap kesejahteraan orang lain, dan lebih menekankan kebebasan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi individu. Salah satu cara masyarakat mempengaruhi anggota-angotanya adalah dengan menegakkan, menyebarkan, dan memperkuat norma-norma yang disepakati secara sosial sebagai standard perilaku. Dalam masyarakat yang relatif individualis pun memiliki norma yang mendorong anggotanya berperilaku prososial dan membuat mereka merasa “harus” menolong (Berkowitz & Daniels 1963). Norma-norma masyarakat yang mendukung perilaku prososial tersebut adalah: - Norma tanggungjawab sosial, menyatakan bahwa kita harus menolong

orang yang membutuhkan bantuan (Simmons 1991) - Norma balas budi, menyatakan bahwa kita harus menolong dan tidak

menyakiti orang yang pernah membantu kita (Gouldner 1960).

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENOLONG Dalam situasi-situasi khusus, kita harus memutuskan untuk menolong atau tidak. Terdapat beberapa model yang menggambarkan bahwa keputusan tersebut

Klara Innata Arishanti, 2006 34

melalui tahapan-tahapan. Model-model tersebut menekankan proses kognitif dan juga emosi-emosi sebagai motivator perilaku menolong. Berikut adalah model arousal / cost-reward dari Jane Piliavin dkk (1981), yang diterapkan dalam kondisi darurat, dan dapat diperluas untuk kondisi-kondisi yang bukan darurat. Terdiri dari lima langkah:

a. Menyadari adanya kebutuhan seseorang untuk ditolong. b. Mengalami arousal c. Menginterpretasikan pemicu arousal yang dialaminya dan memberinya

nama d. Memperhitungkan untung/rugi dari beberapa alternatif tindakan e. Membuat keputusan dan mengambil tindakan tertentu.

SITUASI-SITUASI YANG MEMPENGARUHI PERILAKU PROSOSIAL Situasi-situasi yang mempengaruhi perilaku prososial sangat bervariasi, dari situasi yang darurat (emergencies) hingga yang bukan darurat (nonemergencies), dari situasi yang kabur (ambiguous) hingga yang jelas (clear-cut). Dengan demikian tingkat gejolak emosi dan faktor-faktor cost-reward yang dipertimbangkan juga sangat bervariasi antara situasi yang satu dengan situasi yang lainnya. 1. Orang Yang Berada Dalam Situasi Membutuhkan Bantuan Untuk memutuskan apakah seseorang memerlukan bantuan, hal yang dipertimbangkan adalah : a. Ciri-ciri Kebutuhan :

(1) Kejelasan kebutuhan. Calon penolong lebih mungkin memberikan pertolongan jika kebutuhan korban cukup jelas, tidak samar-samar. Contoh : Korban kecelakaan atau bencana alam lebih jelas membutuhkan bantuan dari pada orang miskin di kota.

(2) Legitimasi (keabsahan) kebutuhan seseorang. Kebutuhan yang dianggap lebih sah, lebih mungkin untuk diberikan bantuan. Contoh : Pengemis yang meminta uang untuk membelikan susu anaknya lebih mungkin dibantu dari pada pengemis yang meminta uang untuk membeli kue donat.

(3) Penerimaan atas sebab-sebab kebutuhan seseorang. Calon penolong lebih mungkin memberikan pertolongan jika penyebab kebutuhan yang diajukan dapat diterima. Contoh : Mahasiswa yang meminjam catatan kuliah karena tidak dapat mencatat dengan baik lebih mungkin ditolong dari pada mahasiswa yang malas dan cenderung bersantai-santai di kelas.

b. Relasi/ hubungannya dengan calon penolong. - Dalam hubungan antar anggota keluarga dan sahabat terdapat saling

ketergantungan dan kewajiban untuk saling membantu. Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih banyak menolong keluarga dan sahabat dari pada menolong orang lain.

Klara Innata Arishanti, 2006 35

- Emosi kita lebih terbangkitkan/bergejolak dan lebih termotivasi untuk menolong jika keluarga atau sahabat kita mengalami kesulitan dari pada jika orang lain yang mengalami kesulitan.

- Pada umumnya kita juga cenderung memberikan bantuan untuk orang yang memiliki kesamaan dengan diri kita atau yang memiliki daya tarik.

2. Pengaruh Keberadaan Orang-orang Lain Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Darley & Latane (1968), serta studi yang dilakukan oleh Latane & Nida (1981) terhadap 40 penelitian, disimpulkan bahwa keberadaan orang-orang lain akan menurunkan kemungkinan seseorang menolong korban situasi darurat (misal, korban kecelakaan lalu lintas atau perampokan), dan juga menurunkan kemungkinan korban menerima bantuan. Latane & Nida (1981) menyimpulkan bahwa efek keberadaan orang-orang

lain tersebut sangat konsisten/ajeg, dan bahwa perbedaan keinginan menolong terbesar ditemukan antara saksi tunggal dengan saksi yang lebih dari satu orang.

Hasil eksperimen Darley & Latane (1968) :

Klara Innata Arishanti, 2006 36

Pers

enta

se y

ang

mer

espo

n ke

adaa

n da

rura

t

100 85% 62% 50 31% 0 ⊥ ⊥ ⊥ sendirian dua orang empat orang Jumlah saksi

Latane dkk berpendapat bahwa terdapat tiga proses sosial yang menjadi penyebab dari pengaruh keberadaan orang-orang lain tersebut, yaitu :

a. Proses Pengaruh Sosial (social influence process) : Saksi mengamati orang lain untuk membantu menginterpretasikan dana memutuskan apa yang akan dilakukan, dan mereka dapat menyimpulkan bahwa korban tidak terlalu memerlukan bantuan jika orang-orang lain tidak menunjukkan tanda-tanda untuk bertindak.

b. Hambatan dari saksi-saksi lain (audience inhibition) atau ketakutan

akan penilaian orang lain (evaluation apprehension) : Para saksi mengkhawatirkan bagaimana orang-orang lain akan menilai perilakunya. Pikiran bahwa dirinya menghadapi resiko akan menghambat pertolongan.

c. Kekaburan tanggung jawab (diffusion of responsibility) : Bila terdapat

beberapa orang yang berpotensi menolong maka tanggung jawab untuk

Klara Innata Arishanti, 2006 37

bertindak terbagi, sehingga tiap-tiap individu mungkin menjadi kurang tanggungjawabnya untuk bertindak.

Catatan : Namun demikian, pengaruh keberadaan orang-orang lain seperti dijelaskan di atas dapat dihindari. Sebagai contoh, bila peristiwanya jelas-jelas merupakan situasi darurat dan para saksi memberikan reaksi, dan bila para saksi bagaimanapun juga merasakan adanya tanggungjawab pribadi untuk bertindak (karena rasa tanggung jawab itu sendiri ataupun karena keahliannya). PENGARUH-PENGARUH PRIBADI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL Pada bagian ini dijelaskan bagaimana karakteristik individu ikut mempengaruhi perilaku prososialnya. Menurut jenis kelamin : Jenis kelamin tertentu lebih memungkinkan untuk

menolong, tergantung bagaimana situasinya (Eagly & Crowley, 1986). Contoh : - Laki-laki lebih mungkin menolong dalam situasi darurat yang

membahayakan. - Perempuan lebih mungkin untuk memberikan bantuan dan dukungan

emosional dalam situasi sehari-hari karena peran gender tradisionalnya sebagai perawat/pengasuh.

Tempat tinggal di kota besar atau di kota kecil /daerah pinggiran : Orang

yang tinggal di daerah pinggiran dan kota kecil lebih suka menolong dalam berbagai situasi daripada orang-orang yang tinggal di kota besar (House & Wolf, 1978; Steblay,1987).

Hipotesis urban-overload, diusulkan oleh Milgram (1970) : Orang yang tinggal di kota besar harus selektif dalam menghadapi stimulasi lingkungan yang lebih tinggi/kompleks atau mereka tidak dapat berfungsi. Dengan demikian mereka mengabaikan kebutuhan orang lain, mengancam orang lain secara kasar, dan memilih-milih untuk menolong orang lain.

Contoh dari orang tua :

Dari penelitian ditemukan bahwa para altruis (orang yang menolong demi mengurangi penderitaan korban, bukan demi dirinya sendiri), misalnya para penolong orang Yahudi yang terancam Nazi yang penuh resiko selama Perang Dunia II, telah diasuh secara kuat oleh orang tua yang memiliki standard moral yang tinggi, sungguh-sungguh merawat, dan mendidik anaknya untuk peduli terhadap kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompoknya sendiri (Fogelman & Wiener, 1985; London, 1970; Oliner & Oliner, 1988).

Klara Innata Arishanti, 2006 38

Aspek-aspek yang membedakan orang yang suka menolong dengan orang yang kurang suka menolong :

- Kepribadian : Orang yang suka menolong (helpful) mengembangkan

perasaan moralitas yang tinggi. Mereka berpikir secara canggih mengenai isu-isu moral, peduli terhadap prinsip-prinsip keadilan, berorientasi terhadap kebutuhan orang lain, dan telah menginternalisasikan norma tanggung jawab sosial di dalam hatinya (Eisenberg, 1986; Erkut, Jaquette, & Staub, 1981; Rushton, 1984). Selain itu mereka juga memiliki kapasitas yang tinggi untuk memahami sudut pandang orang lain dan berempati (Eisenberg & Miller, 1987); Underwood & Moore, 1982).

- Rasa kompeten/cakap untuk menolong : Perasaan kompeten untuk menolong ini merupakan indikasi dari harga diri (self-esteem) dan penguasaan ketrampilan menolong yang diperlukan dalam berbagai situasi (Midlarsky, 1984).

- Keterlibatan sosial : Tingkat keterlibatan individu dalam berbagai bentuk situasi yang memerlukan pertolongan (menjadi pekerja relawan, merawat anggota keluarga yang sakit, dsb.), berhubungan dengan tingginya rasa tanggung jawab sosial dan perasaan cakap (mampu) sebagai penolong (Amato, 1990).

Catatan : Meskipun tiga aspek tersebut dapat membantu memahami perbedaan antara orang yang suka menolong dengan orang yang kurang suka menolong, namun untuk sungguh-sungguh memahaminya, kita juga harus memahami bahwa karakteristik situasional dan karakteristik pribadi saling berinteraksi mempengaruhi perilaku menolong. MENUJU MASYARAKAT PROSOSIAL Meskipun menolong orang lain belum tentu dihargai, dan meskipun banyak orang yang yakin bahwa inisiatif individual lebih kuat daripada saling ketergantungan (interdependence), namun hampir semua orang setuju bahwa dunia akan menjadi lebih baik jika kecenderungan prososial diperkuat. Pada anak-anak : Meskipun tanda-tanda empati dan kecenderungan untuk menolong dan berbagi telah tumbuh pada masa kanak-kanak, namun bagaimanapun juga anak-anak relatif masih bersifat egois. Setelah mereka lebih dewasa, normalnya mereka menjadi lebih prososial. Alasan mereka menolong berkembang, dari alasan ingin menerima ganjaran (reward) berkembang menjadi persetujuan untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan orang lain /altruistik (Eisenberg & Mussen, 1989). Perkembangan tersebut sebagian karena kemampuan kognitif anak meningkat sehingga mereka lebih dapat memahami sudut pandang orang lain dan berempati.

Klara Innata Arishanti, 2006 39

Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan oleh orang tua untuk membantu perkembangan prososial anak ?

- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua dari anak yang tingkat empatinya tinggi tidak mentolerir perilaku agresif, dan menunjukkan apa akibatnya bagi orang lain bila anak gagal /tidak mau berbagi /tidak memberikan pertolongan. Dengan kata lain : orang tua mengajarkan empati !

- Sesuai dengan teori belajar, perilaku prososial anak akan diperkuat bila

mereka menerima ganjaran (reward) atas perilaku prososialnya.

- Menampilkan orang-orang yang menjadi model perilaku prososial, juga memperkuat kecenderungan prososial anak (Eisenberg & Mussen, 1989).

- Perilaku prososial anak diperkuat bila mereka sungguh-sungguh diberi

kesempatan nyata berperilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari.

Klara Innata Arishanti, 2006 40

PERILAKU DI DALAM KELOMPOK

eberapa ahli psikologi sosial pernah menyatakan bahwa kelompok bukanlah sesuatu yang riil. Floyd Allport sering mengatakan, “Anda tidak dapat

tersandung melewati sebuah kelompok”, yang artinya bahwa keberadaan kelompok hanyalah di dalam benak manusia. Dalam pandangan Allport, kelompok hanyalah berbagi serangkaian nilai-nilai, gagasan-gagasan, pikiran-pikiran, dan kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara bersamaan dalam benak beberapa orang. Beberapa ahli yang lain berpandangan bahwa kelompok merupakan sesuatu yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di dalam lingkungan kita ( Durkheim, 1898; Warriner, 1956). Sejalan dengan pandangan ini, adalah pandangan yang mendukung bahwa perilaku sosial lebih dapat dijelaskan dengan menekankan keunikan proses-proses kelompok daripada dijelaskan dalam tingkat individu. Dengan demikian, sebuah kelompok itu lebih dari sekedar kedatangan secara kebetulan orang-orang yang bersama-sama berbagi ide. Sebagai contoh, sebuah kerusuhan yang muncul setelah selesainya suatu pertandingan olah raga. Interaksi sosial semacam ini hanya dapat difahami dengan menganalisa perilaku dalam tingkat kelompok, sebagai kebalikan dari tingkat individual. Tajfel (1982) mendukung analisa perilaku kelompok, dan berpandangan bahwa untuk memahami perilaku sosial perlu mempertimbangkan kelompok sebagai entitas sederhana yang nyata, karena keanggotaan dalam kelompok merupakan bagian integral dari konsep diri (self-concept). Apakah arti sebuah kelompok ? Tidak setiap kumpulan orang dapat dipertimbangkan sebagai kelompok. Pengertian kelompok berbeda dengan pengertian agregat.

• Agregat, menunjuk pada kumpulan individu yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun bagaimanapun juga dapat terjadi bahwa suatu agregat dapat berubah menjadi sebuah kelompok.

• Kelompok, adalah suatu kumpulan dua atau lebih orang-orang yang mengalami interaksi dinamis satu sama lain (McGrath, 1984). Definisi ini mencakup berbagai jenis kelompok, misalnya sebuah keluarga kecil, sebuah kelompok kerja yang besar, suatu kelompok eksperimen yang hanya bertemu pada satu kesempatan, suatu unit militer yang bertugas bersama-sama dalam hitungan bulan atau tahun.

Perbedaan antara kelompok dengan agregat adalah sebagai berikut :

• Agregat tidak memiliki struktur tertentu, sedangkan kelompok memiliki bentuk organisasi yang definitif dan anggotanya berhubungan satu sama lain.

• Kelompok bersifat dinamis, sedangkan agregat relatif pasif. Anggota-anggota kelompok saling menyadari keberadaan satu sama lain, sedangkan orang-orang di dalam agregat seringkali melupakan orang-orang disekitarnya.

B

Klara Innata Arishanti, 2006 41

Pada bab ini kita mempelajari bagaimana kelompok-kelompok beraksi : bagaimana mereka tampil, bagaimana anggota-anggotanya berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana terbentuk dan bubarnya suatu kelompok. Pertama-tama kita akan mempelajari bagaimana keberadaan orang lain mempengaruhi perilaku individu. PENGARUH KEBERADAAN ORANG LAIN Orang yang pertama kali tertarik mengenai pengaruh keberadaan orang lain terhadap kinerja (performance) individu ialah Norman Triplett. Sebagai penggemar balap sepeda, Triplett mengamati bahwa para pembalap membalap lebih cepat ketika bertanding dengan orang lain daripada bila mereka membalap sendiri dengan menghitung waktu tempuh. Berdasarkan pengamatannya itu Triplett (1898) mengusulkan suatu teori yang disebut dynamogenesis, yaitu pembangkitan aksi/kinerja oleh karena keberadaan orang lain, dan mengujinya dengan suatu eksperimen. Pengaruh orang lain ditentukan oleh beberapa faktor. Bibb Latane (1981) mengusulkan tiga faktor utama didalam teorinya yang disebut social impact theory : (1) Jumlah orang, (2) Immediacy, (3) Kekuatan (strength)/status.

• Jumlah orang : Dengan bertambahnya jumlah orang, bertambah pula pengaruhnya terhadap individu. Namun demikian setelah mencapai jumlah tertentu, bertambahnya jumlah orang tidak lagi diikuti dengan peningkatan pengaruh (Tanford & Penrod, 1984).

• Immediacy : Menunjuk pada kedekatan orang-orang lain terhadap individu yang dipengaruhi. Misalnya, perintah yang didektekan oleh instruktur yang berteriak keras di dekat orang yang diperintah memiliki pengaruh yang lebih besar daripada bila perintah dengan volume yang sama diberikan dari jarak 10 meter.

• Kekuatan : yaitu daya (power), status, atau sumberdaya dari agen yang mempengaruhi. Latane & Harkins (1976) menemukan bahwa siswa-siswa yang diharapkan bernyanyi di depan penonton yang status sosialnya tinggi merasa lebih tegang dibanding siswa yang diharapkan bernyanyi didepan penonton yang status sosialnya lebih rendah.

Berikut ini pengaruh keberadaan orang lain dalam beberapa situasi yang berbeda-beda : Pengaruh Audience Dalam situasi ini seseorang tampil (unjuk performance) dihadapan orang-orang lain, namun tanpa ada interaksi langsung. Anggota audience merupakan orang-orang yang mengamati secara pasif (Geen,1980). Misalnya, tampilnya seorang aktor/aktris dihadapan penonton. Beberapa penelitian penting yang menyangkut situasi audience adalah sebagai berikut :

• Survei yang dilakukan oleh Borden (1980) mengenai rasa takut, hasilnya menunjukkan bahwa berbicara dihadapan kelompok lebih menakutkan

Klara Innata Arishanti, 2006 42

bila dibanding berada dalam situasi-situasi di tempat ketinggian, kegelapan, kesendirian, dan peristiwa kematian.

• Para atlet menyatakan bahwa performance mereka lebih baik bila tampil dihadapan banyak penonton daripada bila stadion sepi (Davis,1969).

• Triplett (1890) mengamati bahwa audience dapat meningkatkan performance. Di sisi lain, bila seorang pembicara publik dihinggapi rasa takut, audience dapat menurunkan kualitas performance. Mengenai hal ini Floyd Allport (1920) memperkenalkan dua istilah : social facilitation dan social impairment/ inhibition.

- Social facilitation, menunjuk pada peningkatan performance individu karena keberadaan orang-orang lain.

- Social impairment/ inhibition, menunjuk pada penurunan performance individu karena keberadaan orang-orang lain.

• Zajonc (1965) menemukan bahwa respon yang dominan diperlukan pada saat kehadiran orang-orang lain, maka orang yang terlatih akan meningkat performance-nya pada saat kehadiran orang-orang lain, sedangkan orang yang kurang terlatih akan merosot performance-nya. Contoh untuk teori Zajonc: orang yang sudah terlatih main piano, performance-nya lebih baik ketika orang lain hadir; sebaliknya seorang pemula akan lebih banyak membuat kesalahan ketika bermain dalam sebuah konser piano daripada ketika berlatih di rumah.

• Robert Baron (1986) mengemukakan distraction-conflict theory. Menurut Baron, seseorang dapat mengalami kebingungan/gangguan karena berbagai alasan. Kebingungan tersebut menyebabkan konflik perhatian bagi individu yang sedang menampilkan performance-nya, dan selanjutnya konflik perhatian ini meningkatkan gejolak (arousal) sebagai respon atas kebutuhan energi yang lebih besar untuk menghadapi konflik. Peningkatan gejolak dapat berakibat memfasilitasi atau sebaliknya menghambat performance, tergantung bagaimana cara individu tersebut dalam menghadapi konflik. Jika terlalu memperhatikan gangguan yang ada, berarti terjadi interupsi bagi performance dan menghasilkan hambatan. Sebaliknya, jika individu mengarahkan perhatian terhadap performance, maka peningkatan gejolak akan meningkatkan performance bila respon yang diperlukan dominan (dipelajari dengan baik), dan menghambat performance bila respon yang diperlukan tidak dominan (tidak dipelajari dengan baik oleh individu).

Pengaruh Keberadaan Coactors Coactors adalah orang-orang lain yang melakukan aktivitas yang sama dengan individu. Misalnya, keberadaan para pembalap lain yang tampil bersama individu pembalap sepeda. Di samping mempunyai pengaruh seperti pengaruh audience yang pasif, kita dapat menduga bahwa kehadiran coactors juga memberikan tambahan pengaruh bagi individu yang sedang melakukan unjuk performance. Beberapa penemuan mengenai hal ini adalah sebagai berikut :

• Triplett (1898) menjelaskan bahwa keberadaan coactors menambah elemen kompetisi.

Klara Innata Arishanti, 2006 43

• Dashiell (1930) melaporkan bahwa dalam situasi coactive (adanya orang-orang lain yang melakukan aktivitas yang sama), subjek eksperimen melakukan respon dengan kecepatan (rate) yang lebih tinggi namun kesalahan-kesalahannya juga meningkat bila dibanding ketika ketika berlatih sendiri, sebagai akibat terjadinya kompetisi.

• Seta (1982) berpendapat bahwa keberadaan coactors ini memungkinkan terjadinya social comaprison, yaitu mengamati perilaku orang lain dan menjadikannya sebagai dasar mengevaluasi performance kita sendiri. Social comaprison ini merupakan sumber konflik perhatian. Jika coactors tampil lebih baik dari diri kita, dan membuat kita mengarahkan perhatian terhadap performance demi berkompetisi, maka coactors menimbulkan social facilitation. Di sisi lain, bila orang-orang lain tampil sama baiknya atau lebih buruk daripada kita, tampaknya coactors tidak memiliki pengaruh lebih dari penonton biasa (audience).

Pengaruh Keberadaan Anggota Kelompok Yang Lain Ketika orang menampilkan performance bersama kelompok, seringkali terjadi penurunan usaha dari individu-individu yang terlibat di dalamnya, yang disebut social loafing. Penemu adanya pengaruh semacam ini adalah Max Ringelmann (1913). Untuk menguji hal ini Latane dan kawan-kawan melakukan studi (Harkins, Latane, & Williams,1980; Latane, William, & Harkins, 1979) dan menemukan bahwa kelompok telah menghasilkan social loafing , yaitu bahwa usaha individu-individu menurun secara drastis ketika jumlah anggota kelompok meningkat. Mengapa terjadi social loafing ? Terdapat dua kemungkinan jawaban :

1. Karena di dalam kelompok individu-individu kurang dapat dikenali (Williams, Harkins, & Latane, 1981). Hal ini mirip dengan deindividuasi yang membuat orang melepaskan kontrol diri karena “bersembunyi” di balik kerumunan.

2. Kepercayaan bahwa orang lain di dalam kelompok akan melakukan. Interaksi di dalam kelompok mungkin menimbulkan harapan akan performance anggota yang lain. Jika interaksi tersebut menimbulkan pikiran bahwa anggota yang lain akan bermalas-malasan, kemudian kita mengimbanginya dengan menurunkan usaha (Jackson & Harkins, 1985). Namun bagaimanapun juga bila anggota-anggota kelompok secara khusus menyatakan bahwa mereka akan bekerja sekeras mungkin, maka efek social loafing dapat dihilangkan.

Cara peningkatan kontribusi individu terhadap hasil-hasil kelompok. Meskipun dapat menimbulkan social loafing, namun sumbangan individu terhadap produk kelompok dapat ditingkatkan dengan cara :

1. Menambah tingkat kesulitan tugas, dapat meningkatkan performance secara keseluruhan (Harkins & Petty, 1982; Jackson & Williams, 1985).

2. Tugas melibatkan konsekuensi personal/ individual (Brickner, Harkins, Ostrom, 1986). Misalnya, mahasiswa mendapatkan tugas kelompok yang dapat diyakini memiliki konsekuensi terhadap prosedur

Klara Innata Arishanti, 2006 44

akademik selanjutnya, yaitu sebagai prasyarat untuk menempuh matakuliah yang lain.

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KELOMPOK Kelompok dapat berbeda-beda dalam komposisi maupun strukturnya. Dari komposisinya, kelompok dapat berbeda-beda dalam hal ukuran kelompok (jumlah anggota), identitas etnik dan jenis kelamin anggota, dan sebagainya. Struktur kelompok, menunjuk pada sistem peran, norma-norma, dan hubungan antar anggota yang memberikan kerangka bagi fungsi kelompok tersebut. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ukuran kelompok dan tiga aspek struktur kelompok, yaitu jaringan komunikasi, kepemimpinan, serta norma dan peran. Ukuran Kelompok Usaha-usaha telah dilakukan untuk menentukan ukuran ideal kelompok yang bertugas memecahkan masalah (problem solving groups), antara lain oleh :

• P.E. Slater (1958) menyimpulkan bahwa kelompok yang terdiri dari lima orang adalah yang paling efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas mental dimana anggota kelompok mengumpulkan dan saling bertukar informasi, serta membuat keputusan berdasarkan evaluasi terhadap informasi tersebut.

• Osborn (1957) mengusulkan bahwa ukuran optimum kelompok pemecahan masalah adalah terdiri dari lima hingga sepuluh anggota.

Kesimpulan mengenai ukuran ideal sebuah kelompok seperti tersebut di atas, bagaimanapun juga dianggap terlalu menyederhanakan masalah karena empat alasan (Harrison & Connors, 1984) :

• Kriteria untuk menentukan keberhasilan kelompok seringkali bervariasi. • Ukuran kelompok dapat berinteraksi dengan struktur tugas. Suatu tugas

mungkin hanya memerlukan satu orang, sedangkan tugas yang lain mungkin dapat berhasil dengan ditangani oleh beberapa orang.

• Banyaknya struktur di dalam kelompok dapat berinteraksi dengan ukuran kelompok. Meskipun komposisi kelompok terdiri lebih dari lima orang, namun seringkali kurang memuaskan darpada kelompok kecil; sebaliknya kelompok yang lebih besar dapat lebih efektif bila tugasnya terstruktur.

• Harus dipertimbangkan situasi lingkungan dan durasi kelompok. Misalnya, di dalam lingkungan yang eksotis dan penuh tekanan seperti di stasiun penjelajahan Antartika, kelompok yang lebih besar tampak lebih memuaskan karena memberikan kemungkinan variasi untuk berinteraksi.

Jaringan Kerja Komunikasi Ukuran kelompok tidak ada artinya bila anggota-anggota kelompok mengalami kesulitan komunikasi satu sama lain. Misalnya, kelompok-kelompok yang ada di dalam dunia nyata, biasanya menetapkan saluran-saluran untuk menyampaikan pesan. Dosen atau karyawan dari sebuah fakultas tidak diijinkan membicarakan persoalan-persoalan secara langsung dengan rektor, melainkan mengkomunikasikannya melalui dekan. Di samping penetapan saluran

Klara Innata Arishanti, 2006 45

komunikasi, perasaan pribadi antar individu-individu juga dapat mempengaruhi komunikasi. Menurut Shaw (1964, 1978), penggambaran pola-pola komunikasi menunjuk pada jaringan komunikasi (communication networks). Berikut ini digambarkan beberapa jaringan komunikasi. Wheel Chain Y Circle Comcon Keterangan : - Titik, mewakili orang - Garis penghubung menggambarkan saluran komunikasi. Meskipun gambaran tersebut abstrak, namun tidak sulit untuk memikirkan situasi kongkrit untuk masing-masing gambar jaringan komunikasi tersebut di atas. Untuk bentuk setir (wheel), sebagai contoh, tim sepak bola : gelandang tengah merupakan pusat komunikasi. Pemain yang lain menyampaikan komentar-komentarnya terutama kepada gelandang tengah, yang berbicara kepada masing-masing anggota tim. Bentuk jaringan komunikasi ini penting karena menentukan cara berfungsinya kelompok. Berikut adalah gambaran bagaimana cara berfungsinya kelompok berdasarkan jaringan komunikasinya.

• Bentuk setir/roda (wheel) Jaringan komunikasi ini memberikan kontrol yang besar terhadap mereka yang berada dalam posisi pinggir. Mereka dapat berkomunikasivdengan anggota yang lain, namun harus melalui seseorang yang ditengah-tengah. Jika jaringan komunikasi ini ditetapkan untuk kelompok yang baru terbentuk, maka kemungkinan besar orang yang di tengah yang berfungsi sebagai pusat komunikasi akan muncul sebagai pemimpin.

• Bentuk rantai (chain) dan Y Dengan jaringan komunikasi berbentuk rantai maupun Y, organisasi menjadi sentralistik, dengan menempatkan seseorang sebagai poros.

• Bentuk lingkaran (circle) dan Comcon Kedua bentuk jaringan komunikasi ini merupakan kebalikan dari bentuk-bentuk di atas : tidak memfasilitasi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin yang dominan (Leavitt, 1951). Dalam jaringan komunikasi yang memungkinkan setiap anggota untuk berkomunikasi satu sama lain, tidak dimungkinkan untuk meramalkan posisi yang mana yang besar kemungkinannya untuk menjadi pemimpin dan dominan. Kepribadian dan ketrampilan masing-masing anggotalah yang menentukan.

Klara Innata Arishanti, 2006 46

Efek jaringan komunikasi terhadap produktivitas dan kepuasan anggota : • Orang-orang lebih menyukai posisi di mana mereka lebih dimungkinkan

untuk berpartisipasi dan berkomunikasi. Dengan demikian posisi sentral di dalam jaringan komunikasi berbentuk lingkaran/setir, rantai, dan Y dapat dipertimbangkan sebagai paling memuaskan; sedangkan posisi pinggir diasosiasikan dengan moral kerja yang rendah (Leavitt, 1955).

• Jaringan yang memungkinkan desentralisasi komunikasi (misal, jaringan comcon) berperan meningkatkan moral kerja para anggota dari berbagai posisi.

Efisiensi Jaringan Komunikasi : Efisiensi jaringan-jaringan komunikasi ditentukan oleh tugas yang dihadapi oleh kelompok. Berikut ini gambarannya :

• Jaringan yang sentralistik seperti setir/roda dan Y adalah yang paling efisien bila tugasnya relatif sederhana. Tugas dapat dilakukan dengan lebih cepat dan lebih sedikit kesalahan.

• Jika persoalannya lebih kompleks, jaringan komunikasi yang tidak sentralistik (bentuk lingkaran dan comcon) lebih efisien. Penyebaran informasi tidak harus melalui orang tertentu sehingga lebih cepat dan memungkinkan adanya berbagai kontribusi dari anggota-anggota yang ada. Di samping itu, pada kelompok dengan jaringan komunikasi berbentuk lingkaran, efek negatif berkurangnya anggota tidak terlalu besar.

Kepemimpinan Mengapa seseorang dapat mencapai sukses dalam memimpin, sedangkan orang lain gagal? Untuk menjelaskan hal tersebut, berbagai teori telah dikembangkan:

• Pada mulanya fokus teori diarahkan pada kualitas dan perilaku pemimpin. Misalnya para sejarawan mengusulkan teori kepemimpinan “orang besar (great man)”, yaitu orang yang mencapai sukses sedemikian rupa dalam memimpin karena memiliki karisma, inteligensi, dan ciri-ciri serta kemampuan yang lain (Hook, 1955; Wood, 1913).

• Sebuah pendekatan psikologi sosial yang berusaha menemukan ciri-ciri kepribadian pemimpin (dibandingkan dengan orang-orang yang bukan pemimpin), menemukan bahwa tidak ada ciri tunggal yang secara konsisten menjadi ciri pemimpin (Bird, 1940; Jenkins, 1947; Stogdill, 1948).

• Sebuah survei dengan menggunakan 150 item, dan terkenal dengan nama Leadership Behavior Description Questionnaire (LBDQ) telah dilakukan oleh Hemphill & Coons (1950). LBDQ ini telah diadministrasikan kepada kelompok subjek dengan variasi yang sangat luas, dan berhasil memunculkan dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu pertimbangan (consideration) dan memprakarsai struktur organisasi (initiating structure). - Consideration, adalah sejauh mana pemimpin menunjukkan perilaku

yang mengindikasikan persahabatan, saling percaya, rasa hormat dan

Klara Innata Arishanti, 2006 47

kehangatan dalam hubungannya dengan anggota kelompok lainnya ( Halpin, 1966). Hal ini merefleksikan adanya kesadaran akan kebutuhan masing-masing anggota kelompok. Pemimpin yang tinggi ciri pertimbangannya mendorong anggota kelompok untuk berkomunikasi dan berbagi perasaan dengan dirinya (Korman, 1966).

- Initiating Structure, menunjuk pada perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya (pemimpin) dengan dengan anggota kelompok dan dalam mengusahakan terbentuknya pola-pola saluran komunikasi dan prosedur organisasi yang jelas (Halpin, 1966). Hal ini menunjuk pada tugas pemimpin memotivasi kelompok untuk bergerak mencapai tujuan yang telah dirancang, yaitu dengan membuat anggota mengenali dan menyetujui tujuan kelompok.

Dua dimensi ini juga ditemukan dalam analisis perilaku kepemimpinan yang lain (Bales, 1953; Gibb, 1969; Kahn & Katz, 1953). • Dalam perkembangan studi mengenai kepemimpinan, akhirnya disadari

bahwa situasi ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam memimpin. Beberapa model yang menjelaskan bahwa efektivitas gaya kepemimpinan tertentu bergantung (contingent) pada situasi di mana kepemimpinan diuji, telah dikembangkan. Model-model tersebut disebut Contingency Models. Salah satu model contingency yang terkenal adalah yang dikembangkan oleh Fred Fiedler (1964, 1967).

Model Contingency dari Fiedler : Fiedler mendasarkan model kepemimpinannya atas empat komponen : satu komponen berupa komponen kepribadian pemimpin, dan tiga komponen berupa komponen-komponen yang menggambarkan situasi dimana pemimpin harus memimpin.

- Komponen Kepribadian, menunjuk pada gaya kepemimpinan : apakah dimotivasi untuk sukses mencapai perolehan (outcomes) atau dimotivasi untuk sukses dalam hubungan interpersonal, yang ditandai oleh kesukaan pemimpin tersebut terhadap rekan kerja yang yang paling tidak disenangi (the least prefrred co-worker / LPC). Pemimpin yang rendah skor LPC-nya, termotivasi untuk meraih sukses dalam hal perolehan, tidak menyukai rekan kerja yang paling tidak disenangi karena orang tersebut dianggap menghambat kesuksesan. Sebaliknya, pemimpin yang tinggi skor LPC-nya, termotivasi untuk meraih sukses dalam hubungan interpersonal, menyukai rekan kerja yang yang paling tidak disenangi.

- Komponen Situasi, menunjuk pada sejauhmana seorang pemimpin memiliki kontrol atas situasi tempat dia memimpin. Kontrol situasional tersebut ditentukan berdasarkan tiga faktor : (a) Hubungan antara pemimpin dengan anggota; (b) struktur tugas; (c) kekuasaan dari posisi yang diemban oleh pemimpin. Tiga faktor tersebut dapat menghasilkan delapan kategori kontrol situasional, yang rentangnya bergerak dari sangat tinggi hingga sangat rendah.

Klara Innata Arishanti, 2006 48

Kombinasi antara komponen kepribadian dan situasi tersebut menentukan keberhasilan seorang pemimpin : - Pemimpin yang rendah skor LPC-nya (dimotivasi untuk meraih sukses

dalam perolehan) diasosiasikan dengan tingkat efisiensi yang tinggi, baik di dalam situasi dengan tingkat kontrol situasional tinggi maupun rendah.

- Pemimpin yang tinggi skor LPC-nya (dimotivasi untuk sukses dalam hubungan interpersonal) menghasilkan efektivitas maksimum hanya jika berada di dalam situasi dengan tingkat kontrol situasional sedang/ moderat.

- Dalam situasi dimana hubungan pimpinan-anggota kurang baik, tugas tidak terstruktur, dan kekuasaan pemimpin sangat kuat, tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang menguntungkan.

Peran dan Harapan Definisi-definisi :

• Peran (role), adalah fungsi-fungsi yang ditampilkan seseorang yang mengemban posisi tertentu di dalam konteks tertentu.

• Harapan akan peran (role expectations), adalah asumsi-asumsi mengenai perilaku seseorang yang mengemban peran tertentu.

• Diferensiasi peran (role differentiation), adalah proses muncul dan berkembangnya bermacam-macam peran melalui perjalanan interaksi kelompok (Forsyth, 1983).

Pada awal terbentuknya kelompok, peran individu-individu anggota kelompok seringkali tidak didefinisikan secara jelas. Namun bagaimanapun juga dengan berkembangnya interaksi di dalam kelompok, akan terjadi diferensiasi peran, dan lebih jauh lagi berkembang harapan akan aturan-aturan dan prosedur-prosedur (disebut norma) yang memadai. Dengan berkembangnya norma, memungkinkan anggota kelompok membedakan status dan hirarki otoritas anggota-anggota kelompok. Kecenderungan untuk mengorganisasikan berdasarkan perbedaan status ini dapat berbeda-beda antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Joseph Berger dkk (1980) telah mengembangkan suatu model yang disebut teori karakteristik status (status characteristics theory) untuk menjelaskan proses pengorganisasian status tersebut. Menurut teori ini perbedaan dalam mengevaluasi dan meyakini tipe-tipe individu menjadi dasar ketidakseimbangan di dalam interaksi sosial. Karakteristik suatu status dapat menjadi karakteristik tertentu yang membuat seseorang merasa berbeda. INTERAKSI DI DALAM KELOMPOK Struktur dan komposisi yang diuraikan di atas tampak merupakan sesuatu yang statis, namun demikian hal tersebut dapat mempengaruhi proses dinamik yang terjadi di dalam kelompok. Berikut ini diuraikan proses-proses yang terjadi di dalam kelompok dan kinerja kelompok.

Klara Innata Arishanti, 2006 49

Pemecahan Masalah (Problem Solving) Istilah problem solving, menunjuk pada berbagai macam tugas yang variasinya sangat luas, dari tugas menghitung titik hingga tugas pemecahkan masalah yang dihadapi oleh manajer-manajer dari organisasi bisnis yang besar. Di dalam pemecahan masalah, ada tugas-tugas yang dapat dibagi dengan mudah sehingga keseluruhan tugas dapat diurai ke dalam beberapa sub-tugas yang khusus, dan masing-masing dapat ditangani oleh seseorang. Di sisi lain, ada tugas-tugas yang tidak dapat dibagi menjadi beberapa sub-tugas. Kadang-kadang, meskipun tugas dapat dijabarkan kedalam sub-tugas, namun tidak cukup jelas bagi partisipan, sehingga pemecahan masalah terhambat (Steiner, 1972). Berikut ini adalah beberapa poin penting mengenai problem solving.

• Marjorie E. Shaw (1932) membandingkan antara problem solving individual dengan problem solving kelompok, dengan meminta subjeknya berpartisipasi sebagai individu maupun di dalam kelompok yang terdiri dari empat orang anggota. Dari eksperimen tersebut ternyata bahwa kelompok lebih memungkinkan untuk memecahkan masalah. Sebanyak 53% kelompok berhasil memecahkan masalah dengan benar, sementara hanya 8% individu yang dapat memecahkan masalah dengan benar. Namun bagaimanapun juga kelompok-kelompok tersebut memerlukan waktu yang lebih lama, yang berarti kurang efisien.

• Berdasarkan keuntungan kelompok tersebut, Alex Osborn (1957), seorang eksekutif di bidang periklanan mulai menganjurkan brainstorming sebagai cara untuk menghasilkan solusi yang baru dan kreatif bagi persoalan-persoalan yang sulit.

Aturan dasar brainstorming 1. Menyampaikan sebuah permasalahan untuk dipecahkan, semua anggota

kelompok didorong untuk mengekspresikan ide-ide dan pemecahan yang muncul di benak.

2. Semua tanggapan dicatat. 3. Setelah ide-ide dilontarkan, tidak ada saran atau solusi yang dievaluasi.

Secara ideal, partisipan diyakinkan bahwa tidak akan ada saran-saran yang dievaluasi di dalam sesi brainstorming.

4. Adanya elaborasi (penjelasan yang merinci) atas ide seseorang, sangat dihargai.

Osborn mengaku bahwa dengan menggunakan prosedur brainstorming dapat lebih sukses dalam memecahkan masalah. • Pemecahan masalah di dalam kelompok harus mempertimbangkan baik

tugas maupun sifat individu yang diserahi tugas. Dengan kondisi tertentu, kelompok dapat lebih berhasil daripada individu-individu, misalnya jika tugas dapat dibagi ke dalam beberapa sub-tugas dan ketrampilan individu-individu tersebut sesuai dengan masing-masing sub-tugas yang ada.

Klara Innata Arishanti, 2006 50

• Bila pembagian tugas tidak spesifik atau jika anggota kelompok kurang trampil, performance kelompok dapat merosot di bawah potensi yang dimilikinya (dan juga di bawah performance individu yang menghadapi tugas seorang diri).

Bahaya-bahaya Pikiran Kelompok (the Perils of Groupthink) Istilah groupthink diciptakan oleh Irving Janis (1972, 1982). Definisi yang pertama telah direvisi oleh Janis menjadi lebi sederhana. Berikut ini adalah kedua definisi groupthink :

• Definisi lama : Groupthink adalah suatu mode berpikir yang digunakan orang ketika mereka terlibat secara mendalam di dalam kelompok yang kohesif, ketika anggota-anggota kelompok tersebut berusaha membulatkan motivasi mereka dalam menaksir serangkaian tindakan alternatif (Janis, 1972).

• Definisi baru : Groupthink, menunjuk pada suatu kecenderungan untuk mencari kesepakatan dini (Janis, 1982; Janis & Mann, 1977).

Berikut ini adalah gambaran proses yang mendahului serta akibat dari groupthink.

Kondisi-kondisi yang mendahului : 1. Kohesifitas tinggi

2. Persetujuan yang tidak menentu 3. Penyekatan kelompok

4. Kekurangan metoda untuk menaksir/menilai 5. Petunjuk pimpinan

6. Stress yang tinggi dengan sedikit harapan untuk menemukan solusi Yang lebih baik daripada yang disukai oleh pimpinan atau orang lain yang

berpengaruh

Kecenderungan mencari kesepakatan

Simptom Groupthink : 1. Ilusi akan kekebalan 2. Rasionalisasi kolektif

3. Keyakinan terhadap moralitas yang melekat pada kelompok 4. Stereotip mengenai out-group

5. Tekanan terhadap orang yang tidak sepakat 6. Self-censorship (menyensor diri sendiri)

7. Ilusi akan kebulatan suara 8. Mengangkat diri sendiri sebagai mind guards

Klara Innata Arishanti, 2006 51

Simptom decision making yang cacat : 1. Survei alternatif yang tidak lengkap

2. Survei tujuan-tujuan yang tidak lengkap 3. Kegagalan dalam menguji resiko-resiko tindakan yang dipilih

4. Miskin informasi 5. Bias dalam pemrosesan informasi

6. Gagal dalam menaksir/menilai kembali alternatif-alternatif tindakan 7. Gagal dalam menyusun rencana

Klara Innata Arishanti, 2006 52

PERILAKU ANTAR KELOMPOK

ecara umum dapat dikatakan, bila terjadi kontak antar kelompok, konflik sering kali terjadi. Situasi konflik ataupun potensi konflik antar kelompok

begitu sering kita jumpai di dalam masyarakat. Misalnya, konflik antar negara, antar suku, antar partai, antar kelompok siswa, antara pekerja dengan pihak manajemen, dan lain-lain. Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk memahami perilaku antar kelompok. Untuk itu terlebih dahulu perlu diketahui batasan istilah perilaku dalam kelompok (intergroup behavior). Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif (1979) mendefinisikan perilaku antar kelompok sebagai berikut : “Kapanpun individu-individu masuk ke dalam suatu kelompok, dan secara kolektif maupun individual berinteraksi dengan kelompok lain atau anggota kelompok lain dalam konteks identitas kelompoknya”. Berikut ini disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku dalam kelompok. KESAMAAN DAN PERBEDAAN ANTAR KELOMPOK Tradisi Psikologi Sosial Psikologi sosial modern sangat mendukung perspektif interaksionis dari Kurt Lewin yang merumuskan perilaku sebagai __ B = f (P, E) __, dimana B, P, dan E berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu), dan the environment (lingkungan). Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa Lewin (1935,1936) mempertimbangkan perbedaan kepribadian dan perbedaan individual sama pentingnya dengan perbedaan lingkungan. Namun demikian, sebagian besar pengikut Lewin ternyata cenderung menekankan lingkungan sebagai sumber pengaruh yang lebih kuat. Para psikolog sosial kurang memperhatikan kemungkinan perbedaan individu atau kelompok. Selanjutnya, bagaimanapun juga semakin lama semakin banyak psikolog sosial yang mulai menggali dasar-dasar perbedaan kelompok. Anatara lain melalui usaha yang dilakukan oleh para psikolog lintas budaya (akan kita bahas kemudian). Variabel kepribadian lebih sering muncul di dalam teori-teori psikologi sosial. Pada akhirnya, beberapa psikolog sosial masih menyokong posisi “universal” (lebih memperhatikan faktor situasional daripada faktor personal/kepribadian), namun banyak yang setuju bahwa pola perbedaan antar kelompok merupakan kunci penting untuk memahami perilaku sosial manusia.

S

Klara Innata Arishanti, 2006 53

Distribusi yang Overlapping Istilah-istilah mengenai perbedaan, seperti perbedaan budaya (cultural differences) dan perbedaan gender/ jenis kelamin (gender differences), dapat menyesatkan. Istilah-istilah tersebut mengandung asumsi bahwa perbedaan harus ada. Ketika kita mencari perbedaan yang kita asumsikan ada, kita menjadi buta terhadap kesamaan antar anggota kelompok yang berbeda. Misalnya, kecenderungan antropolog meneliti suatu kelompok atau masyarakat tertentu dengan berfokus hanya pada aspek-aspek yang berbeda dengan masyarakatnya sendiri. (ctt : Kecenderungan semacam ini disebut exotic bias). Aspek-aspek budaya yang bersesuaian dengan budaya peneliti tidak diperhatikan, karena aspek-aspek tersebut tidak eksotik (exotic). Apabila kita menemukan perbedaan yang signifikan antara dua kelompok, kita harus mencegah terjadinya kesimpulan yang sempit. Misalnya, jika secara statistik kita menemukan perbedaan agresifitas yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, kita tidak menganggap bahwa semua laki-laki lebih agresif daripada semua perempuan. Kemungkinan terdapat perempuan yang lebih agresif daripada laki-laki, dan terdapat beberapa laki-laki dan perempuan yang agresifitasnya kurang-lebih sama.

Prop

ortio

n

.50 .40 .30 .20 .10 .00

µ µ Agresifitas

Keterangan : Perempuan Laki-laki Gambar di atas menunjukkan konsep overlapping distributions. Masing-masing distribusi tersebut merupakan khayalan skor agresifitas pada perempuan dan laki-laki, dengan mengasumsikan rentang skor antara 0 s/d 100. Rata-rata skor kelompok (µ) jelas menunjukkan bahwa :

Klara Innata Arishanti, 2006 54

1. rata-rata laki-laki lebih agresif daripada perempauan; namun demikian 2. terdapat perempuan yang lebih agresif daripada laki-laki; dan 3. terdapat laki-laki dan perempuan yang sama tingkat agresifitasnya.

Sebagian besar perbandingan ciri-ciri psikologis dan perilaku sosial antar kelompok memberikan hasil semacam ini (distribusi skor antar kelompok saling tumpang tindih/ overlapping). Dengan demikian seharusnya kita tidak lagi cenderung berpikir dalam kerangka kategori semacam membandingkan “semua laki-laki” dibanding dengan “semua perempuan”. Sebab-sebab Perbedaan Problem yang paling sulit dalam mempelajari perbedaan antar kelompok adalah menentukan “mengapa terjadi perbedaan “. Secara tradisional, peneliti mempunyai tiga pilihan ayang umum untuk menjelaskan kemungkinan penyebab perbedaan antar kelompok, yaitu faktor herediter, faktor lingkungan, atau kombinasi faktor herediter dan lingkungan. Penjelasan berdasarkan faktor herediter, menekankan pentingnya faktor

genetik dan sering menganggap bahwa perbedaan antar kelompok pasti ada (Scarr & McCartney, 1983). Misalnya, sosiobiologi beranggapan bahwa perbedaan perilaku agresif dan mengasuh anak pada laki-laki dan perempuan, dasarnya adalah faktor biologis.

Penjelasan berdasarkan faktor lingkungan, memandang bahwa pengalaman sosialisasi merupakan penyebab perbedaan antar kelompok. Penjelasan ini mencakup berbagai aspek, antara lain kondisi ekonomi dan lingkungan, praktek sosialisasi dari orang tua, serta faham mengenai ras dan jenis kelamin.

Penjelasan berdasarkan gabungan faktor herediter dan lingkungan, berusaha menjelaskan perbedaan kelompok berdasarkan dua faktor tersebut. Meskipun demikian mereka dapat memberikan bobot faktor herediter dan lingkungan yang berbeda. Misalnya, anak kembar dan keluarganya lebih banyak memiliki kesamaan dalam hal tinggi badan, namun tidak terlalu sama dalam hal kepribadian. Oleh sebab itu para penulis memandang bahwa kepribadian terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

PERBANDINGAN-PERBANDINGAN LINTAS BUDAYA

(Cross-Cultural Comparisons)

Hasil-hasil penelitian psikologi sosial selama ini sebagian besar diperoleh berdasarkan sampel orang-orang Amerika. Sebagian besar psikolog sosial tinggal di Amerika. Para peneliti seringkali tanpa banyak berpikir menggeneralisasikan hasil penemuan dari Amerika untuk budaya yang lain. Dengan demikian terjadi bias/penyimpangan dalam mengartikan perilaku masyarakat di luar Amerika, karena penulis/peneliti yang mayoritas tinggal di Amerika mengacu pada budayanya sendiri dan mengabaikan pengaruh budaya setempat. Bias semacam ini sering disebut sebagai ethnocentric bias.

Klara Innata Arishanti, 2006 55

Untuk mengantisipasi adanya bias etnosentris ini diperlukan psikologi lintas budaya. Menurut Harry Triandis (1980), psikologi lintas budaya merupakan studi sistematis mengenai perilaku dan pengalaman di dalam budaya-budaya yang berbeda, mempertanyakan apakah perbedaan-perbedaan yang ada dipengaruhi oleh budaya, atau hasil dari perubahan budaya yang sedang terjadi.

Universal atau Spesifik Budaya ?

Para peneliti di luar Amerika seringkali mempertanyakan kesesuaian teori-teori dan psrinsip-prinsip dari psikolog sosial Amerika untuk diterapkan di negara mereka sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ilmuwan sosial membedakan antara apa yang mereka sebut etic constructs dan emic constructs. Etic Constructs, menyangkut faktor-faktor universal, yang menunjang

semua budaya yang kita kenal atau telah diselidiki. Misalnya, konsep keluarga, dapat dipertimbangkan sebagai etic constructs, meskipun bentuk kehidupan keluarga bervariasi antar budaya (Triandis, 1977).

Emic constructs, merupakan budaya tertentu/spesifik, yang muncul atau bermakna hanya di dalam suatu kerangka budaya tertentu. Misalnya, konsep seperti “Southern hospitality” dan “New York minute” , kemungkiinan mempunyai makna hanya di Amerika.

Persoalan timbul bila konstruk emik (emic constructs) murni dianggap sebagai konstruk etik (etic constructs). Dengan kata lain, persoalan akan muncul bila penemuan dari suatu budaya (misalnya konsep keseimbangan/equity di dalam relasi sosial yang erat), dianggap diterapkan pada masyarakat pada umumnya. Kesimpulan semacam ini disebut pseudoetic. Tantangan bagi psikologi lintas budaya adalah membedakan antara etic dengan pseudoetic ini. Untuk itu riset harus dilakukan terhadap lebih dari satu budaya (Segall, 1986). Di samping itu kita juga harus ingat bahwa cara seseorang menginterpretasikan hasil penelitian lintas budaya, sebagian ditentukan oleh latar belakang budayanya sendiri (Geregen, 1985). PREJUDICE DAN DISKRIMINASI Istilah prejudice, diskriminasi, dan stereotip, sering digunakan secara bergantian, namun sebenarnya ketiganya merupakan konsep yang berbeda : Prejudice (prasangka), menunjuk pada perasaan negatif atau respon emosi

terhadap sekelompok orang tertentu yang merupakan hasil dari sikap tidak toleran, tidak adil, atau ketidaksenangan terhadap kelompok tersebut (Brewer & Kramer, 1985; Harding, Proshansky, Kutner, & Chein, 1969). Contoh : Perasaan mendongkol karena duduk bersebelahan dengan orang dari suku tertentu; Marah karena seorang wanita diangkat menjadi pemimpin.

Diskriminasi, menunjuk pada perilaku yang khusus terhadap anggota suatu kelompok yang menunjukkan ketidakadilan bila dibanding dengan perilaku

Klara Innata Arishanti, 2006 56

terhadap anggota kelompok lain. Contoh : Berbagi tugas dengan teman-teman, tetapi tidak mau berbagi dengan seseorang karena berasal dari suku tertentu; Menolak bekerja sama dengan pemimpin wanita.

Stereotip, merupakan keyakinan tentang karakteristik anggota dari suatu kelompok yang teridentifikasi. Stereotip dapat positif, dan dapat pula negatif. Meskipun stereotip merupakan fondasi bagi terbentuknya prejudice dan diskriminasi (Bersoff & Verrilli, 1988; Fiske, Bersoff, Borgida, Deaux, & Heilman, 1990) namun nyatanya orang yang memiliki keyakinan stereotip terhadap kelompok tertentu, tidak selalu berarti bahwa orang tersebut memunculkan prejudice atau diskriminasi (Oakes & Turner, 1990). Contoh : Yakin bahwa si A berwatak keras karena berasal dari suku Batak.

Stimulus Proses spontan

Stereotip

Proses-proses kontrol Ya Tidak Keterangan Gambar : Stereotip terjadi secara spontan. Pencegahan keyakinan-keyakinan stereotip untuk mencegah respon prejudice, merupakan proses kontrol. Prasangka dan diskriminasi dapat diarahkan terhadap berbagai kelompok : laki-laki, perempuan, kulit hitam, orang Amerika, Asia, Hispanik, dsb. Sebagai ilustrasi bagaimana beroperasinya prasangka dan diskriminasi, berikut disajikan dua “isme” yang paling meresap di dalam masyarakat, yaitu rasisme dan sexisme. Di samping itu juga akan dijelaskan sebab-sebab prasangka dan diskriminasi. Rasisme (racism) Komisi hak-hak sipil Amerika (1969) mendefinisikan rasisme sebagai “berbagai sikap, tindakan, ataupun struktur institusional yang mensubordinasi (merendahkan) seseorang karena karena warna kulitnya”.

Mencegah Keyakinan-keyakinan

negatif

Respon Non-prejudice

Respon prejudice

Klara Innata Arishanti, 2006 57

Definisi ini menggabungkan antara sikap negatif (prejudice) dengan perilaku diskriminatif; dan menyatakan bahwa rasisme dapat muncul pada level individu maupun institusi. Sexisme (sexism) Sexisme, seperti rasisme, merupakan gabungan antara sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang merendahkan suatu kelompok sebagai lebih rendah dari kelompok lain. Namun demikian, dalam sexisme, prejudice dan diskriminasi diarahkan kepada orang-orang karena identitas gender (jenis kelamin). Pada umumnya ditujukan terhadap perempuan. Sebab-sebab Prejudice dan Diskriminasi Gordon Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1958) mengidentifikasi adanya enam tingkat analisis, yang oleh para teoris selanjutnya diterapkan untuk usaha memahami sebab-sebab “isme”. Berikut ini adalah keenam tingkat analisis tersebut : Penekanan pada sejarah dan ekonomi. Para sejarawan mengingatkan

bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memahami penyebab prejudice tanpa mempelajari latar belakang konflik yang relevan, dan ini merupakan fakta yang menyedihkan bahwa sebagian besar prejudice memiliki sejarah yang panjang. Teori-teori yang berorientasi pada sejarah, menekankan faktor ekonomi. Misalnya, penganut teori Karl Marx memandang prejudice sebagai cara untuk mengeksploitasi kelas pekerja.

Penekanan pada sosiokultural. Para sosiolog dan antropolog menekankan

faktor-faktor sosiokultural sebagai penentu prejudice dan diskriminasi. Faktor ini mencakup karakteristik masyarakat atau budaya yang mempertinggi kemungkinan diskriminasi. Misalnya, tekanan kultural terhadap kompetensi dan training, berkombinasi dengan kelangkaan dan kompetisi kerja. Faktor-faktor sosiokultural yang lain adalah : - Peningkatan urbanisasi, mekanisasi, dan kompleksitas. - Mobilitas dari kelompok tertentu - Populasi meningkat, berhadapan dengan masalah keterbatasan jumlah

tanah yang dapat digunakan dan kekurangan perumahan yang layak. - Ketidakmampuan banyak orang untuk mengembangkan standard internal,

cenderung mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain dan berperilaku konformis.

- Perubahan dalam peran dan fungsi keluarga, bersamaan dengan perubahan dalam standard moralitas.

Penekanan pada situasi. Analisis ini berusaha menjawab pertanyaan “

mengapa ada orang-orang yang lebih prejudice daripada orang lain?”.

Klara Innata Arishanti, 2006 58

Penekanan pada situasi ini merupakan pendekatan psikologi sosial. Fokusnya : daya-daya lingkungan saat ini merupakan penyebab prejudice. Dalam hal ini, konformitas terhadap orang lain dipandang sangat mempengaruhi prejudice.

Penekanan pada psikodinamik. Faham psikodinamik memandang prejudice

sebagai hasil dari konflik dan maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) yang dialami oleh individu yang ber-prejudice itu sendiri. Dalam hal ini teori-teori psikodinamik menggunakan dua pendekatan :

a. Pendekatan pertama, mengasumsikan bahwa prejudice berakar pada

kondisi frustrasi manusia. Frustrasi dan deprivasi (kondisi kekurangan) menimbulkan impuls marah “yang jika tidak terkendali seringkali disalurkan terhadap etnik minoritas” (Allport, 1958). Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa hipotesis frustrasi-agresi memainkan peranan penting untuk menjelaskan diskriminasi. Para teoris menghipotesiskan bahwa scapegoating (pengalihan rasa permusuhan kepada kelompok yang kurang berkuasa) merupakan hasil dari frustrasi ketika sumber frustrasinya tidak dihadapi saat itu atau tidak dapat diserang karena alasan tertentu.

b. Pendekatan kedua, mengasumsikan bahwa prejudice hanya berkembang pada orang-orang yang memiliki struktur karakter yang lemah atau mengalami cacat kepribadian (personality defect). Pendekatan ini tidak menerima prejudice sebagai hal yang normal, melainkan hasil dari kecemasan dan rasa tidak aman yang kuat dari orang yang neurotik.

Penekanan pada fenomenologi. Menurut penekanan fenomenologi,

persepsi individu terhadap dunia sekelilingnya lebih penting daripada gambaran objektif dari dunia sekeliling tersebut. Jadi, penekanannya adalah pada persepsi seseorang pada saat itu. Misalnya, perilaku asertif pada wanita, mungkin diinterpretasikan sebagai “terlalu agresif” dan “terlalu menekan”, meskipun perilaku tersebut mungkin secara objektif sebanding dengan perilaku laki-laki dalam situasi yang sama. Hasilnya, perilaku diskriminatif dapat terjadi.

Penekanan pada reputasi. Lima pendekatan di atas seluruhnya menyoroti

bahwa sumber prejudice adalah pada diri pelaku prejudice. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mempertimbangkan bahwa perilaku atau karakteristik kelompok minoritas mungkin menimbulkan perasaan-perasaan negatif yang ditujukan terhadap diri mereka. Teori reputasi ini membuat postulat bahwa kelompok minoritas memiliki karakteristik yang memancing ketidaksenangan dan permusuhan. Ada beberapa bukti yang mendukung teori ini. Misalnya Triandis dan Vassiliou (1976), dalam penelitiannya terhadap orang-orang Yunani dan Amerika, menyimpulkan : “Data yang tersaji menunjukkan bahwa terdapat setitik kebenaran pada sebagian besar

Klara Innata Arishanti, 2006 59

stereotip ketika stereotip tersebut dimunculkan dari orang yang pertama kali mengenal kelompok yang distereotipkan”.

IN-GROUPS DAN OUT-GROUPS Prejudice dan diskriminasi merupakan dua konsekuensi yang umum terjadi di dalam interaksi sosial. Di samping itu, terdapat suatu proses khusus yang seringkali muncul bila kelompok-kelompok terlibat dalam interaksi satu sama lain. Proses tersebut mencakup pembedaan antara in-group (kelompok di mana individu tergabung sebagai anggota) dan out-group (kelompok di mana individu tidak tergabung sebagai anggota). Kategorisasi dan Identitas Sosial Berbagai proses kognitif yang menterjemahkan pengalaman ke dalam representasi mental telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana kelompok mencapai suatu definisi (Stephan, 1985). Suatu kelompok mengasosiasikan karakteristik tertentu dengan dirinya dan bagaimana atribut-atribut tertentu diasosiasikan dengan kelompok yang lain melalui proses-proses perhatian, encoding (pengkodean informasi yang diterima), dan retrieval (pemanggilan kembali informasi yang tersimpan dalam memori). Proses semacam ini disebut sebagai kategorisasi. Kategori-kategori tersebut mengakibatkan orang mengasumsikan kesamaan di antara anggota-anggota suatu kategori. Bahkan ketika pembedaan antar kelompok dilakukan secara semena-mena (arbitrary) , orang yang berada di luar kelompok cenderung meminimalisir perbedaan antar anggota di dalam suatu kelompok, dan menonjolkan perbedaan antar anggota kelompok yang berbeda. Meskipun pengamat dari luar cenderung melihat anggota kelompok relatif homogen, namun anggota di dalam kelompok itu sendiri menemukan hetrogenitas antar diri mereka. Misalnya, jika anggota suatu perkumpulan wanita diminta untuk menggambarkan anggota-anggota di dalam perkumpulannya dan anggota-anggota dari perkumpulan yang lain, mereka melihat lebih banyak kesamaan di antara anggota perkumpulan lain. Dengan kata lain, mereka lebih berkehendak menggunakan kategori stereotip di dalam menilai anggota perkumpulan yang lain, sementara melihat lebih banyak perbedaan diantara perkumpulannya sendiri (Linville, 1982). Keterbatasan pengetahuan mengenai anggota kelompok lain, diperluas secara subjektif dengan menggunakan informasi stereotip yang dihasilkan dari proses kategorisasi (Oakes & Turner, 1990). Di samping proses tersebut di atas, keberadaan kelompok lain dapat membuat anggota-anggota lebih menyadari identitas kelompoknya sendiri. Berdasarkan penelitian Charles Perdue, John Dovidio, Michael Gurtman, dan Richard Tyler (1990) dapat diketahui bahwa di dalam menilai anggota kelompoknya sendiri dan anggota kelompok lain, individu cenderung merujuk pada kelompoknya sendiri.

Klara Innata Arishanti, 2006 60

Di samping itu, terjadi bias positivitas (yaitu membedakan antara kelompoknya sendiri dengan kelompok lain dengan menguntungkan kelompoknya sendiri) sebagai konsekuensi individu mengingat identitas kelompoknya sendiri. Mengapa terjadi bias positivitas terhadap anggota kelompoknya sendiri ? Jawabannya dapat ditemukan dalam teori identitas sosial dari Tajfel (1978, 1982). Menurut teori identitas sosial, kelompok di mana kita menjadi anggota merupakan bagian integral dari konsep diri (self-concept) kita. Dengan demikian, pembedaan antar kelompok yang dilakukan oleh individu anggota kelompok, memotivasi mereka untuk mempertinggi harga diri (self-esteem). Misalnya, jika status kelompok X lebih tinggi daripada kelompok Y, maka saya, sebagai anggota kelompok X, terkena pula oleh status yang tinggi tersebut (van Knippenberg & Elmers, 1990). Pandangan-pandangan dari In-Group dan Out-group Dalam relasi antar kelompok, pandangan-pandangan dari in-group sering menjadi rujukan (reference) untuk menilai out-group. Fenomena ini dikenal sebagai etnosentrisme (ethnocentrism), pertama kali didefinisikan oleh sosiolog William Sumner (1906) sebagai “memandang hal-hal yang ada di dalam kelompoknya sendiri sebagai pusat dari segala sesuatu, dan semua yang lain diukur dan dinilai dengan merujuk pada hal-hal yang ada di dalam kelompoknya sendiri”. Sumner (1906) menggambarkan bahwa evaluasi seseorang terhadap in-group adalah positif dan menunjukkan perilaku yang loyal terhadap kelompok. Sebaliknya, evaluasi terhadap out-group adalah negatif, menunjukkan penolakan dan kekuatiran. Berikut adalah perilaku-perilaku yang menunjukkan etnosentrisme menurut Sumner :

Orientasi terhadap in-group Orientasi terhadap out-group - Memandang diri sendiri baik dan

superior. - Memandang standard nilainya sendiri

sebagai universal, kebenaran intrinsik. - Memandang diri sendiri sebagai kuat. - Memberikan sanksi terhadap pencuri. - Memberikan sanksi terhadap pembunuh. - Bertindak kooperatif dengan anggota

kelompok yang lain. - Patuh terhadap otoritas. - Berkehendak untuk mempertahankan

keanggota- an di dalam kelompok. - Berkehendak untuk berjuang dan mati

bagi kelompok.

- Memandang out-group sebagai rendah, immoral, dan inferior.

- Menolak nilai-nilai dari out-group. - Memandang out-group sebagai lemah. - Menyetujui pencurian - Menyetujui pembunuhan - Tidak ada kooperasi - Tidak ada kepatuhan - Menolak keanggotaan - Membenarkan pembunuhan terhadap

out-group di dalam perang. - Menjaga jarak sosial. - Perasaan negatif, membenci. - Menggunakan contoh buruk dalam

melatih anak. - Menyalahkan atas kesulitan-kesulitan in-

group

Klara Innata Arishanti, 2006 61

- Tidak percaya dan kuatir. Riset-riset selanjutnya, memberikan gambaran etnosentrisme yang lebih kompleks daripada yang digambarkan oleh Sumner, antara lain dari studi lintas budaya : a. Terdapat kecenderungan umum untuk memandang kelompoknya sendiri

sebagai memiliki moral yang unggul dan lebih dapat dipercaya (Brewer,1986).

b. In-group tidak menggambarkan out-group lebih negatif daripada dirinya sendiri (Tajfel, 1982).

c. Dalam beberapa kasus, anggota-anggota dari in-group mengakui bahwa posisi mereka kurang menyenangkan daripada posisi out-group (van Knippenberg & Elmers, 1990). Dalam hal ini mereka : - Meminimalkan perbedaan antara dua kelompok, memandang dirinya tidak

terlalu berbeda dengan out-group. - Mendevaluasi out-group yang lebih unggul.

Selain penilaian negatif terhadap out-group, etnosentrisme juga mengakibatkan terjadinya pembiasan dalam menjelaskan tindakan-tindakan anggota out-group. Thomas Pettigrew (1979) memberikan istilah ultimate attribution error , yaitu mencakup atribusi internal dari anggota-anggota in-group terhadap perilaku yang diharapkan/positif yang mereka lakukan (artinya, perilaku positif mereka diakui sebagai faktor yang stabil); di sisi lain mereka menggambarkan perilaku yang diharapkan/positif yang dilakukan oleh out-group sebagai faktor yang tidak tetap. Untuk perilaku yang tidak diharapkan (negatif), pola atribusi mereka adalah sebaliknya. STRATEGI-STRATEGI INTERAKSI Kelompok-kelompok dapat berinteraksi dengan kelompok lain dengan beberapa cara. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan, dipengaruhi oleh situasi yang ada. Misalnya, situasi tertentu, mendorong terjadinya kerja sama; sedangkan bila terdapat keterbatasan sumber daya, kemungkinan terjadi kompetisi. Berikut ini diuraikan beberapa strategi yang dapat dipilih. Kerjasama dan Kompetisi (Cooperation and Competition) Kooperasi, adalah bekerja sama untuk saling menguntungkan. Kompetisi, merupakan aktivitas yang diarahkan untuk pencapaian tujuan

dengan mengorbankan orang atau kelompok lain, Seseorang atau kelompok memilih strategi kompetisi atau kooperasi, tergantung pada struktur reward yang menyertai situasi yang ada. Terdapat tiga tipe struktur reward, yaitu kooperatif, kompetitif, dan individualistik. Struktur reward kooperatif. Di dalam struktur ini, situasi yang ada

sedemikian rupa sehingga individu atau kelompok dapat mencapai tujuan hanya jika individu atau kelompok lain mencapai tujuan-tujuan yang sama.

Klara Innata Arishanti, 2006 62

Saling ketergantungan antar individu atau kelompok dalam situasi ini disebut promotive interdependence (Deutsch, 1973).

Struktur reward kompetitif. Dalam struktur ini, tujuan-tujuan partisipan saling terkait secara negatif sehingga keberhasilan salah satu individu atau kelompok berarti kegagalan bagi individu atau kelompok lain. Istilah untuk situasi ini, menurut Deutsch adalah contrient interdependence.

Struktur reward individualistik. Hal ini terjadi bila tujuan individu atau kelompok tidak saling tergantung, sehingga apa yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang satu, tidak mempengaruhi individu atau kelompok yang lain.

Tawar-menawar dan Negosiasi (Bargaining and Negotiation) Sebagian besar konflik antar kelompok, memuat campuran elemen kooperasi dan kompetisi. Untuk itu, individu atau kelompok harus bekerja sama satu sama lain untuk mencapai setidaknya sebagian dari tujuan-tujuan mereka. Bargaining dan negosiasi merupakan pilihan untuk berkompromi. Istilah bargaining, sering kali digunakan dalam percakapan mengenai interaksi antar individu. Sedangkan negosiasi, sering digunakan dalam percakapan mengenai interaksi antar kelompok. Bargaining (atau negosiasi), didefinisikan sebagai “proses dimana dua kelompok atau lebih, dalam transaksi berusaha menetapkan apa yang dapat saling diberikan dan diterima (Rubin & Brown, 1975). Inti dari bargaining , menurut Rubin dan Brown adalah keterlibatan paling tidak antara dua kelompok, dalam konflik mengenai suatu isu atau lebih. Enam langkah proses negosiasi (Pruitt, 1981) 1. Menyetujui adanya kebutuhan untuk bernegosiasi. 2. Menyetujui serangkaian tujuan dan prinsip (misalnya, negosiasi dalam

pengontrolan senjata, menyetujui prinsip dua belah pihak tidak menyerang satu sama lain).

3. Menyetujui peraturan-peraturan tertentu. 4. Mendefinisikan isu-isu dan menyusun agenda. 5. Menyetujui formula untuk menyelesaikan konflik; mencapai kesepakatan

prinsip. 6. Menyetujui detail-detail implementasi. Intervensi Pihak Ketiga (Third-Party Intervention) Sering kali kelompok-kelompok yang berkonflik, gagal mencapai kesepakatan. Dalam hal ini pihak ketiga dapat dilibatkan demi rekonsiliasi atau mediasi atas perbedaan yang ada.

Klara Innata Arishanti, 2006 63

Mediasi, didefinisikan sebagai “bantuan pihak ketiga terhadap setidaknya dua kelompok yang bertikai yang mencoba mencapai kesepakatan” (Pruitt & Kressel, 1985). Kadang-kadang mediator memiliki kekuasaan untuk mendesak kedua belah pihak untuk mencapai solusi tertentu. Proses semacam ini sering disebut arbitrasi. Mediatornya disebut arbitrator. PENGURANGAN KONFLIK ANTAR KELOMPOK Bargaining atau negosiasi merupakan prosedur formal yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik antar kelompok. Prosedur ini dapat berjalan baik bila isu (hal yang dipermasalahkan) dapat dirumuskan, dan kedua belah pihak berkehendak untuk mengatasi isu tersebut. Namun demikian, tidak semua konflik dapat diselesaikan dengan bargaining atau negosiasi. Berikut ini akan dijelaskan beberapa prinsip dan prosedur yang efektif menurunkan konflik antar kelompok. Tujuan-tujuan Superordinat (Superordinate Goals) Yang dimaksud sebagai superordinate goal adalah tujuan penting yang hanya dapat dicapai melalui kooperasi. Konflik dapat berkurang bila kedua kelompok yang bertikai diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang hanya dapat dicapai bila mereka saling bekerja sama. Salah satu hasil dari penerapan prosedur ini adalah terjadinya perubahan pada identitas menonjol yang dimiliki oleh kelompok. Misalnya, setelah memulai kerja sama, gank “Rattlers” atau Eagles” mulai mempertimbangkan anggota kelompoknya sebagai kelompok yang lebih umum, yaitu “kelompok anak jalanan”. Kontak Antar Kelompok Banyak orang yang secara optimistik mengasumsikan bahwa jika dua kelompok rasial atau kelompok religious bertemu, ekspresi tidak menyenangkan dari masing-masing kelompok akan terkikis, lalu berkembang sikap positif. Esensi dari asumsi ini, disebut hipotesis kontak antar kelompok (intergroup contact hypothesis). Namun demikian, kontak antar kelompok tidak selalu dapat mengurangi konflik. Ada beberapa kondisi prasyarat yang diperlukan (Amir, 1976; Cook, 1970; Miller & Brewer, 1984); Stephan, 1985) : 1. Situasi harus memberikan “acquaintance potential “. Artinya orang

membutuhkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain yang memungkinkan mereka mengetahui bahwa keyakinan-keyakinan mereka dapat salah.

2. Interaksi harus memberikan informasi yang tidak mendukung keyakinan mengenai ciri-ciri negatif kelompok lain.

Klara Innata Arishanti, 2006 64

3. Status partisipan di dalam situasi kontak adalah penting : lebih baik jika memiliki status sosial atau tingkat kekuasaan yang sama.

4. Dukungan institusi untuk terjadinya kontak antar kelompok harus ada. Pengurangan Ancaman Dalam situasi hubungan internasional, interaksi antara kekuatan-kekuatan besar dapat lebih dilihat pada tingkat perimbangan kekuatan-kekuatan daripada tingkat kontak individual diantara bangsa-bangsa. Contoh konflik yang nyata dapat dilihat dari konflik antara Israel dengan tetangga-tetangganya mengenai “daerah yang dikuasainya”, dan antara United States dengan Jepang mengenai rencana perdagangan mereka. Psikolog Charles Osgood (1966, 1979) mengusulkan suatu strategi untuk mengurangi konflik yang disebut GRIT (Graduated and reciprocated initiatives in tension reduction).