pengaruh psychological capital dan...
TRANSCRIPT
PENGARUH PSYCHOLOGICAL CAPITAL DAN KEPUASAN KERJA
TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PETUGAS
PEMADAM KEBAKARAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Disusun oleh
Raina Fatia Karima
1110070000006
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
v
MOTTO :
Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If
you love what you are doing, you will be successful.
― B ob Dylan
Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang
boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri.
― Ibu Kartini
Happiness always looks small while you hold it in your hands, but let it go,
and you learn at once how big and precious it is.
― Maxim Gorky
vi
Persembahan:
Kupersembahkan karya ini untuk kedua orang tuaku, mamah, bapak,
kakakku dan sahabatku, yang selalu mencurahkan doa serta
dukungannya kepadaku. Terimakasih untuk semuanya.
vii
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Desember 2014
C) Raina Fatia Karima
D) Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan Kerja terhadap Psychological
Well-Being pada Petugas Pemadam Kebakaran
E) xvi + 130 Halaman
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari setiap variabel yang
dianalisis (independent variable) terhadap psychological well-being
(dependent variable) pada petugas pemadam kebakaran. Independent
variabel yang diteliti dalam penelitian ini antara lain psychological capital
(self-efficacy, hope, resiliency, optimism) dan kepuasan kerja (pay,
promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating
condition, coworker, communication) serta variabel mana yang paling
mempengruhi psychological well-being.
Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
analisis regresi berganda, serta pengujian validitas konstruk menggunakan
teknik Analisa Faktor Konfirmatori (CFA). Sampel berjumlah 200 petugas
pemadam kebakaran. Sampel penelitian di tentukan dengan menggunakan
teknik non probability sampling. Instrument pengumpulan data menggunakan
Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB), Psychological Capital
Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al.,
2007dan Satisfaction Scales (JSS).
G) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan
dari psychological capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-
being pada petugas pemadam kebakaran. Hasil uji hipotesis minor yang
menguji self-efficacy, hope, resiliency, optimism, pay, promotion,
supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition, coworker
dan communication, hanya optimisme saja yang memiliki pengaruh terhadap
psychological well-being, sedangkan sisanya tidak berpengaruh terhadap
psychological well-being.
H) Bahan bacaan: 36; buku: 2 + jurnal: 26 + tesis: 2 + artikel: 6
viii
ABSTRACT
I) Faculty of Psychology
J) Desember 2014
K) Raina Fatia Karima
L) The influence of psychological capital and job satisfaction on Psychological
well-being in fire fighter
M) xvi + 130 Pages
N) This study was done to see the extent of the influence of each variable were
analyzed (independeny variable) on psychological well-being (dependent
variable) in fire fighter. Independent variables examined in this study include
psychological capital (self-efficacy, hope, resiliency, optimism) and job
satisfaction (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward,
operating condition, coworker, communication), which variable most affect
psychological well-being.
The approach used in this study is a quantitative method, analysis with
multiple regression (SPSS 17.0), and testing construct validity using
Confirmatory Factor Analysis (CFA). Sample are 200 fire fighte. The
technique sampling is determined by using the non-probability sampling
technique. Data collection instrument using a Likert scale, Ryff Scale of
Psychological Well-being (RSPWB), Satisfaction Scales (JSS), and
Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24), scale was developed by
Luthans, Avolio, et al., 2007.
Based on the results, that there are significant effect of job satisfaction and
psychological capital on psychological well-being of fire fighter. The results
of the minor hypothesis test that self-efficacy, hope, resiliency, optimism,
pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating
condition, coworker and communication, only optimism which has an
influence on psychological well-being, while the rest had no effect on
psychological well-being.
O) The literature: 36; book: 2 + journal: 26 + thesis: 2 + article: 6
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Syukur Allhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Psychological Capital dan
Kepuasan Kerja terhadap Psychological Well-Being pada Petugas Pemadam
Kebakaran”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga,
sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan,
kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan
pelajaran hidup yang berarti bagi peneliti.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh wakil dekanat dan jajaran dekanat
lainnya yang telah memfasilitasi pendidikan mahasiswa dalam rangka
menciptakan lulusan berkualitas.
x
2. Ibu Neneng Tati Sumiyati, M.Si, Psi pembimbing akademik yang telah
memberikan dukungan penuh dan do’a kepada seluruh mahasiswa.
3. Bapak Drs. Akhmad Baidun, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi
dengan penuh kesabaran dan kesungguhan telah memberikan banyak saran
dan kritik kepada peneliti selama masa penyusunan skripsi ini. Terima
kasih atas waktu yang berharga dan tenaganya untuk membimbing dan
memberikan masukan kepada peneliti.
4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan limpahan ilmu yang tidak ternilai dan
banyak membantu peneliti.
5. Kepada kedua orang tua dan saudara-saudaraku, saya mengucapkan
banyak terima kasih atas doa pada setiap sujudnya, mamah dan bapak
yang tak pernah putus memberikan semangat, selalu penuh rasa cinta,
kasih dan sayang, dan dukungan baik moril maupun materil. Teteh yang
selalu siap membantuku saat kesulitan serta bersedia mendengarkan keluh
kesah peneliti saat proses penyusunan skripsi ini
6. Sahabat-sahabat saya emmeku Dina, Okta, Ditta, Hanna, Ira, dan Rias
khusunya Ira dan Rias yang selalu mendukung peneliti, selalu siap
mendengarkan keluh kesah peneliti, tselalu dapat membuat peneliti
memiliki energi yang lebih untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.
7. Terima kasih kepada petugas pemadam kebakaran yang telah mau
menajadi responden dalam penelitian ini dan terimakasih pada Dinas
xi
Peamadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana yang sudah
mengijinkan saya untuk melakukan penelitian.
8. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu,
terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan
untuk membantu Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga amal baik serta jasa mereka senantiasa di terima
Allah SWT. Selain itu mengingat kekeurangan dan keterbatasan Peneliti, maka
segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti
sebagai bahan penyempurnaan. Serta semoga pembaca dapat memanfaatkan karya
sederhana ini. Amin.
Jakarta, Desember 2014
Raina Fatia Karima
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Persetujuan ........................................................................................ ii
Halaman Pengesahan ......................................................................................... iii
Halaman Pernyataan ......................................................................................... iv
Motto ................................................................................................................... v
Persembahan ...................................................................................................... vi
Abstrak ................................................................................................................ vii
Kata Pengantar .................................................................................................. ix
Daftar Isi ............................................................................................................. xii
Daftar Tabel ........................................................................................................ xv
Daftar Gambar ................................................................................................... xvi
Daftar Lampiran ................................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 8
1.2.1 Pembatasan Masalah .......................................................... 8
1.2.2 Rumusan Masalah .............................................................. 9
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 11
1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................ 11
1.3.2 Manfaat Teoritis ............................................................. 11
1.3.2 Manfaat Praktis .............................................................. 11
1.4 Sistematika Penulisan ................................................................ 12
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Psychological Well-Being .......................................................... 14
2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ................................. 14
2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being ................................. 15
2.1.3 Faktor-faktor Psychological Well-Being ...................... .. 20
2.1.3.1 Faktor Demografis ..................................................... 20
2.1.3.2 Kepuasan Kerja .......................................................... 22
2.1.3.3 Dukungan Sosial .......................................................... 23
xiii
2.1.4 Pengukuran Psychological Well-Being ...................... ... 24
2.2 Psychological Capital ................................................................. 24
2.2.1 Definisi Psychological Capital........................................ 24
2.2.2 Dimensi Psychological Capital....................................... 28
2.2.3 Pengukuran Psychological Capital....... .......................... 32
2.3 Kepuasan Kerja .......................................................................... 33
2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja ................................................ 33
2.3.2 Aspek Kepuasan Kerja .................................................... 35
2.3.3 Teori Kepuasan Kerja ...................................................... 36
2.3.3.1 Teori Proses Bertentangan ........................................... 36
2.3.3.2 Teori Ketidaksesuaian .................................................. 37
2.3.3.3 Model dari Kepuasan Bidang ....................................... 38
2.3.3.4 Teori Dua Faktor dari Herzberg ................................... 40
2.3.4 Pengukuran Kepuasan Kerja ........................................... 40
2.4 Kerangka Berpikir ...................................................................... 42
2.5 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 50
2.5.1 Hipotesis Mayor ....... ...................................................... 50
2.7.2 Hipotesis Minor .............................................................. 50
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .................. 52
3.2 Variabel dan Definisi Operasional ............................................. 52
3.2. 1 Variabel Penelitian ............................................................... 52
3.2. 2 Definisi Operasional Variabel ............................................. 53
3.2.2.1 Psychological Well-Being............................................... 53
3.2.2.2 Psychological Capital..................................................... 54
3.2.2.3 Kepuasan Kerja............................................................... 54
3.3 Instrumen Pengumpulan Data .................................................... 55
3.3.1 Alat Ukur Psychological Well-Being .............................. 56
3.3.2 Alat Ukur Psychological Capital ................................... 57
3.3.3 Alat Ukur Kepuasan Kerja ............................................. 58
3.4 Pengujian Validitas Konstruk .................................................... 60
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Psychological Well-Being ......... 62
3.4.1.1 Uji Validitas Dimensi Otonomi .............................. 62
3.4.1.2 Uji Validitas Dimensi environmental mastery ........ 63
3.4.1.3 Uji Validitas Dimensi personal growth .................. 63
3.4.1.4 Uji Validitas Dimensi positive relations ................. 64
3.4.1.5 Uji Validitas Dimensi purpose in life...................... 65
3.4.1.6 Uji Validitas Dimensi self-acceptance .................... 66
xiv
3.4.2 Uji Validitas PWB dengan Model Second Order .......... 66
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Psychological Capital ............. 67
3.4.4 Uji Validitas Konstruk Kepuasan Kerja ......................... 72
3.5 Moetode Analisis Data ............................................................... 82
3.6 Prosedur Penelitian ..................................................................... 84
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian .......................................................... 86
4.1.1 Ketegorisasi Skor Variabel Penelitian ............................ 88
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ............................................................. 90
4.2.1 Pengujian Hipotesis Mayor ............................................ 90
4.2.2 Pengujian Hipotesis Minor ............................................. 92
4.2.3 Pengujian Proporsi Varians ............................................. 95
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 99
5.2 Diskusi ....................................................................................... 99
5.3 Saran ........................................................................................... 105
5.3.1 Saran Metodologis .......................................................... 106
5.3.2 Saran Praktis ................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 107
LAMPIRAN ........................................................................................................ 111
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Format Skoring Skala Likert ............................................................ 55
Tabel 3.2 Blueprint Skala Psychological Well-Being ...................................... 57
Tabel 3.3 Blueprint Skala Psychological Capital ........................................... 58
Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepuasan Kerja ....................................................... 59
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ............................................ 87
Tabel 4.2 Norma Skor Variabel ....................................................................... 88
Tabel 4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian …………………................. 89
Tabel 4.4 Model Summary …………………….............................................. 91
Tabel 4.5 Anova ………………..................................................................... 92
Tabel 4.6 Koefisien Regresi ……………………........................................... 92
Tabel 4.7 Proporsi Varians Independent Variabel .......................................... 96
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 49
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner
Lampiran 2 Analisis Konfirmatorik PWB (otonomi)
Lampiran 3 Analisis Konfirmatorik PWB (environmentl mastery)
Lampiran 4 Analisis Konfirmatorik PWB (personal growth)
Lampiran 5 Analisis Konfirmatorik PWB (positive relations with others)
Lampiran 6 Analisis Konfirmatorik PWB (purpose in life)
Lampiran 7 Analisis Kon firmatorik Psychological Well-Being (self-acceptance)
Lampiran 8 Analisis Konfirmatori Psychological Well-Being (second order)
Lampiran 9 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (self-efficacy)
Lampiran 10 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Hope)
Lampiran 11 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Resiliency)
Lampiran 12 Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Optimisme)
Lampiran 13 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Pay)
Lampiran 14 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Promotion)
Lampiran 15 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Supervision)
Lampiran 16 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)
Lampiran 17 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Contingen Reward)
Lampiran 18 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Operating Condition)
Lampiran 19 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Coworker)
Lampiran 20 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Nature of Work)
Lampiran 21 Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Cmmunication)
Lampiran 22 Proporsi Varians Masing-Masing IV
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemadam kebakaran merupakan petugas atau karyawan yang dilatih dan bertugas
untuk memadamkan kebakaran dan penyelamatan. Petugas pemadam kebakaran
selain terlatih untuk menyelamatkan korban dari kebakaran, juga dilatih untuk
menyelamatkan korban kecelakaan lalu lintas, gedung runtuh, dan lain-lain
(Gadis, 2013). Pemadam kebakaran sangat penting peranannya di Indonesia
karena kondisi wilayah Indonesia yang sering mengalami bencana alam dan
kebakaran, baik di pemukiman, perkantoran maupun tempat lainnya. Kebakaran
di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun 2011 tercatat sekitar 963 kasus, tahun
2012 tercatat 1.008 kasus, tahun 2013 tercatat 486 kasus, dan sepanjang tahun
2014 (Januari sampai dengan April 2014) tercatat 280 kasus (Lenny, 2014).
Kebakaran yang terjadi di wilayah DKI Jakarta setiap tahun semakin
meningkat, sehingga dibutuhkan lebih banyak personel pemadam kebakaran.
Berdasarkan analisis jabatan oleh Dinas Kebakaran di DKI Jakarta pada akhir
tahun 2013, kebutuhan personel pemadam kebakaran untuk DKI mencapai 4.001
personel, dan saat ini terdapat 2.606 personel. Sedangkan jumlah personel
pemadam kebakaran di Jakarta masih sangat sedikit, sehingga beban kerja petugas
pemadam kebakaran lebih berat. Beban berlebih menyebabkan petugas pemadam
kebakaran sering mengalami kecelakaan di saat bertugas. Kepala Pemadam
Kebakaran Sektor VI, Makasar, Jakarta Timur, Bambang Mujianto
mengungkapkan, beban berat yang harus ditanggung petugas pemadam kebakaran
2
bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya kecelakaan kerja di kalangan pemadam
kebakaran. Peristiwa kecelakaaan petugas pemadam kebakaran saat melakukan
operasi pemadaman seringkali terjadi, seperti luka-luka bahkan meninggal dunia.
Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta (Januari 2012 sampai
dengan Desember 2012) terdapat 23 personel pemadam kebakaran yang
mengalami kecelakaan. Jumlah kecelakaan kerja yang paling banyak terjadi pada
September 2012, terdapat 7 petugas pemadam yang terluka saat bertugas oleh
karena itu pemadam kebakaran membutuhkan asuransi jiwa untuk menunjang
kesehatannya (Kompas, 2014).
Pemberian asuransi jiwa kepada petugas pemadam kebakaran menjadi hal
yang mendasar dan menjadi perhatian utama. Bambang Mujianto mengatakan
"Kalau sudah menyangkut korban manusia tidak boleh ditempatkan lebih rendah
dari prioritas lain. Jika kebakaran menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, ada
korban jiwa dan kerugian material maka itu harus menjadi prioritas (Fauzan,
2009). Petugas pemadam kebakaran memanfaatkan askes (Asuransi Kesehatan)
untuk membayar perawatan, tetapi askes tidak dapat digunakan untuk menangani
luka bakar. Sehingga untuk membayar biaya perawatan, para personel kebakaran
menyisihkan uangnya untuk membantu personel lain yang terkena luka bakar.
Petugas pemadam kebakaran tidak jarang mendapatkan cemoohan dan
cacian warga apabila mobil pemadam kebakaran terlambat datang saat peristiwa
kebakaran terjadi. Petugas kebakaran mempertaruhkan nyawanya untuk
menerobos api, asap, dengan resiko terperangkap dan berbagai bahaya lainnya
dalam menyelesaikan pekerjaannya. Salah seorang petugas pemadam kebakaran
3
yang ditemui indosiar di kantor Pusat Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta
Selatan, Jalan Baru Pasar Jumat, adalah Suroto (50 tahun) yang merupakan satu
dari 100 pasukan pemadam kebakaran yang telah bekerja lebih dari 27 tahun.
“Menurut Suroto, menjadi petugas pemadam kebakaran harus siap fisik dan
mental” (Suprihatin, 2014).
Berdasarkan hasil survey di Amerika oleh Dow Jones (1997) mengenai
jenis pekerjaan yang banyak menimbulkan stress. Pekerjaan sebagai petugas
pemadam kebakaran menduduki peringkat kedua sebagai pekerjaan yang
stressfull, karena tuntutan yang beresiko dan penuh dengan tantangan dalam
menjalankan tugasnya, pemadam kebakaran rentan terhadap stress yang cukup
tinggi. Pemadam kebakaran harus memadamkan api dengan cepat agar dapat
menolong korban, tempat atau barang yang terbakar. Selain itu pemadam
kebakaran harus memikirkan keselamatannya sendiri.
Menjadi seorang pemadam kebakaran harus siap fisik dan mental,
pekerjaan menjadi petugas pemadam kebakaran dan penyelamatan merupakan
pekerjaan yang sangat menantang dan beresiko tinggi. Menurut Leigh (dalam
Malek, 2010) pemadam kebakaran merupakan pekerjaan yang dapat membuat
individu stressful dan berbahaya, dan menempati peringkat lima sebagai pekerjaan
yang memiliki tingkat kematian tinggi di Amerika Serikat. Bukti menunjukkan
bahwa secara langsung atau tidak langsung sifat pekerjaannya dapat menyebabkan
stress. Selain itu, Moran (dalam Malek, 2010) menemukan bahwa bekerja sebagai
pelayanan darurat seperti pemadam kebakaran, ambulan dll tidak hanya
mengalami stress sehari-hari tetapi pemadam kebakaran mengalami stress pada
4
saat terjadi kejadian darurat dan dapat menyebabkan trauma. Beaton dan Murphy
(dalam Malek, 2010) mengemukakan bahwa stress kerja sebagai pemadam
kebakaran rumit dan beragam.
Profesi sebagai petugas pemadam kebakaran memiliki jam kerja tidak
teratur dan harus tetap siaga 24 jam. Akibatnya, petugas cenderung tidak
bersemangat, tidak benergi, sulit berkonsentrasi, sakit kepala dan mengalami
insomnia. Sehingga petugas kebakaran melakukan kesalahan dalam pekerjaannya,
rentan kecelakaan (karena mengantuk), perubahan mood dan sering ijin karena
sakit (Tryana, 2012). Dari fenomena di atas bahwa seorang petugas kebakaran
memiliki tingkat stress yang cukup tinggi dan mungkin akan mempengaruhi
psychologycal well-being para petugas pemadam kebakaran.
Psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan
apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, serta
mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh
individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya (Ryff, 1989). Petugas pemadam
kebakaran harus memiliki psychological well-being yang baik, karena dalam
menjalankan tugasnya dibutuhkan fisik dan juga psikis yang sehat sehingga dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Psychological well-being dapat dipengaruhi oleh psychological capital.
Penelitian yang berfokus pada PsyCap yaitu penelitian Avey, Luthans, Smiths,
dan Palmer (2010) serta penelitian Peterson, Balthazard, Waldman, dan Thatcher
(2008) yang menyatakan bahwa psychological capital dapat meningkatkan well-
5
being pada karyawan. PsyCap memiliki empat dimensi yaitu Self-Efficacy, Hope,
Optimism, dan Resiliency.
Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara well-being dan self-efficacy.
Individu yang memiliki self- efficacy tinggi akan memiliki psychological well
being yang tinggi, akan lebih percaya diri, tegas, memiliki aspirasi yang tinggi
dan komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai. Individu yang
memiliki self-efficacy yang tinggi dapat mengelola dan mengatasi pengalaman
buruk yang pernah dialami. Seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki
self-efficacy yang tinggi, dimana petugas harus yakin terhadap kemampuannya
dalam mengatasi kebakaran.
Individu yang memiliki harapan yang tinggi terhadap kehidupannya dan
memiliki keinginan untuk mencapai suatu tujuan maka akan memiliki
psychological well-being yang tinggi pula. Seorang petugas harus memiliki
harapan terhadap pekerjaan yang dilakukan sehingga akan mendapatkan hasil
yang maksimal. Peneliti melakukan wawancara bahwa harapan seorang petugas
pemadam kebakaran pada saat proses pemadaman masih sangat rendah, dimana
terkadang petugas merasa putus asa pada saat proses pemadaman karena api yang
tidak kunjung padam sehingga akan mempengaruhi psychological well-being
petugas karena tidak berhasil memadamkan api.
Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009)
menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being
dan dapat memiliki penyesuaian yang lebih baik terhadap peristiwa kehidupan
6
yang penuh stres. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi terhadap optimisme
maka memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, rendahnya tingkat stress, anxiety dan
gejala depresi. Power (dalam Sandeep Singh dan Mansi 2009) menyatakan bahwa
optimisme lebih berorientasi terhadap pencapaian pada setiap tugas dalam hidup,
pengambilan keputusan dengan cepat, dan memilih solusi yang terbaik dalam
menangani masalah. Individu yang optimis memiliki kualitas hidup yang tinggi
dan memiliki resiko yang lebih rendah dari semua penyebab kematian. Pekerjaan
sebagai petugas pemadam kebakaran dapat menyebabkan stress, cemas dan gejala
depresi sehingga dengan memiliki optimisme terhadap pekeraannya maka seorang
petugas akan memiliki tingkat stress yang rendah dan akan mempengaruhi
psychological well-beingnya.
Kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan sebagai petugas pemadam
kebakaran sering kali terjadi dan kecelakaan dapat menyebabkan individu trauma
dan sulit untuk bangkit kembali dan menyesuaikan dengan lingkungan. Sehingga
seorang petugas pemadam kebakaran harus memiliki resiliensi, dimana resiliensi
yaitu dapat bangkit kembali dari pengalaman yang buruk dan juga dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya. Seorang petugas harus memiliki resiliensi
yang tinggi, sehingga akan cepat bangkit kembali dari pengalaman buruknya dan
juga akan mempengaruhi psychological well-beingnya.
Psychological capital yang dimiliki karyawan dapat meningkatkan nilai-
nilai potensial karyawan dalam berbagai hal, seperti dalam mengambil sudut
pandang yang berbeda, mengambil kesempatan, mampu beradaptasi atau
menyesuaikan diri dan mampu meningkatkan well-being (Avey, Luthans, Smiths,
7
& Palmer, 2010). Individu dengan psychological capital yang tinggi akan lebih
fleksibel dan mudah beradaptasi untuk melakukan beberapa hal dalam memenuhi
tuntutan pekerjaan. Dimana di saat yang bersamaan psychological capital yang
dimiliki akan membantu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta
well-being yang dimiliki (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).
Psychological well-being juga dapat di pengaruhi oleh kepuasan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011)
terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu
yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis.
Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh
C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011), bahwa apabila terdapat
perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga ditemukan
perbedaan dalam psychological well-being. Terdapat penelitian lain juga yang
menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan terhadap psychological
well-being. Individu yang merasa senang akan pekerjaannya maka akan puas
secara pekerjaan dan juga psychological well-beingnya (Luthans dkk, 2010).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 15 petugas pemadam
kebakaran, sebagian petugas pemadam mengatakan bahwa mereka puas terhadap
pekerjaannya saat ini, sebagiannya lagi mengatakan bahwa mereka merasa tidak
puas terhadap pekerjaanya. Hasil wawancara yang dilakukan yaitu petugas
memiliki keluhan mengenai tunjangan yang diberikan. Petugas merasa kurang
terhadap tunjangan yang diberikan, karena tidak sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukannya. Selain itu, kurangnya penghargaan terhadap pekerjaan yang
8
dilakukan oleh petugas pemadam kebakaran oleh pemerintah. Ketka terjadi
kecelakaan kereta di bintaro, yang pertama kali datang ke TKP yaitu petugas
pemadam kebakaran tetapi yang diberikan penghargaan hanya polisi dan tentara
dan yang di sorot oleh media hanya tentara dan polisi. Sehingga petugas pemadam
kebakaran merasa kurang dihargai dan diperhatikan. Selain itu, sebagai petugas
pemadam kebakaran harus memiliki komunikasi dan rekan kerja yang baik
sehingga dapat meningkatkan kepuasan terhadap pekerjaannya, tetapi petugas
merasa kurang puas terhadap komunikasi antar petugas maupun rekan kerjanya.
Sehingga pekerjaan yang petugas pemadam kebakaran lakukan kurang maksimal,
dan akan merasa tidak puas terhadap pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi
psychological well-being ptugas.
Berdasarkan penelitian dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk
melakukan riset mengenai “Pengaruh Psychological Capital dan Kepuasan
Kerja Terhadap Psychological Well-Being Petugas Pemadam Kebakaran”.
1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Untuk terarahnya pembahasan, maka peneliti membatasi masalah yang akan
diteliti sebagai berikut:
1. Psychological well-being yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap
diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur
tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang
9
kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup
mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan
dirinya.
2. Psychological capital yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kondisi
perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik
(1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan
mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas
yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang
kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan
dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan
lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah
dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk
mencapai kesuksesan (resiliency).
3. Job satisfaction (kepuasan kerja) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
individu yang merasakan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya
1.2.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap
psychological well-being?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan hope terhadap psychological well-
being?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan optimism terhadap psychological
well-being?
10
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan resiliency terhadap psychological
well-being?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan gaji terhadap
psychological well-being?
6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan promosi terhadap
psychological well-being?
7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kepemimpinan terhadap
psychological well-being?
8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan tunjangan terhadap
psychological well-being?
9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan penghargaan terhadap
psychological well-being?
10. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan prosedur kerja terhadap
psychological well-being?
11. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan rekan kerja terhadap
psychological well-being?
12. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan sifat pekerjaan terhadap
psychological well-being?
13. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan komunikasi terhadap
psychological well-being?
11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psychological
capital dan kepuasan kerja terhadap psychological well-being pada petugas
pemadam kebakaran.
1.3.2. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoriris dari penelitian ini yaitu:
Mengembangkan penerapan ilmu psikologi khususnya psikologi industri dan
organisasi, sehingga dapat menjadi referensi bagi akademisi, praktisi, dan
masyarakat yang berminat untuk melakukan penelitian tentang psychological
well-being, psychological capital dan kepuasan kerja di bidang psikologi industri
dan organisasi.
1.3.3. Manfaat Praktis
1. Psychological well-being bisa meningkatkan kepuasan kerja setiap petugas.
Petugas yang puas terhadap pekerjaannya akan memiliki Psychological well-
being yang baik.
2. Memberikan masukan terhadap instansi agar lebih memperhatikan
psychological well-being para petugasnya.
3. Menjadi acuan dalam melihat psychological well-being dan psychological
capital dari petugas, sehingga dapat diaplikasikan sebagai evaluasi bagi
instansi untuk mencapai tujuan.
12
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan mengenai psychological well-being,
psychological capial dan kepuasan kerja.
Bab II Landasan Teori
Landasan teori berisi uraian mengenai teori-teori yang terkait dalam menjawab
masalah penelitian yang telah diajukan, dalam hal ini adalah teori psychological
well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan metode penelitian, yang meliputi permasalahan
penelitian, hipotesis penelitian variabel penelitian, tipe dan desain penelitian,
partisipasi penelitian, metode pengambilan data, instrumen penelitian, prosedur
penelitian, dan teknik statistika yang digunakan dalam penelitian mengenai
psychological well-being, psychological capial dan kepuasan kerja.
Bab IV Hasil dan Interpretasi Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan interpretasi hasil
penelitian, meliputi gambaran umum penelitian, analisis utama penelitian, serta
13
analisis tambahan penelitian mengenai psychological well-being, psychological
capial dan kepuasan kerja.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian.
Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah
dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil
penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis
penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasan-keterbatasan penelitian.
Bagaimana saran berisi saran-saran metodelogis untuk keperluann penelitian
selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil
penelitian.
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Psychological Well-Being
2.1.1 Definisi Psychological Well-Being
Istilah psychological well-being dipopulerkan oleh Ryff dengan konsep
yang berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar
tidak adanya penyakit fisik saja, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan untuk
merasa baik secara psikologis (psychologically well-being). Menurut Ryff (1989)
manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik bukan
sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif, seperti terbebas dari
kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain. Ryff (1989) merumuskan
konsep psychological well-being yang merupakan integrasi dari beberapa teori
perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan
mental (Ryff, 1989). Berdasarkan teori tersebut, Ryff (1989) mendefinisikan
psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap
yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri
dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur
lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan
membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan
mengembangkan dirinya.
Ryff (1989) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan
suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan
15
perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari
pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang
yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang
(fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self-
actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang
kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu
yang mencapai integrasi. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan
diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda depresi (Ryff,
1995). Bradburn menyatakan bahwa happiness (kebahagiaan) merupakan hasil
dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai
oleh setiap individu (Ryff dan Singer, 1998). Berdasarkan uraian diatas, pada
penelitian ini, peneliti menggunakan definisi psychological well being menurut
Ryff (1998). Hal ini menjelaskan bahwa psychological well-being merupakan
sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya
sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan
kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih
bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya
2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1989) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam
dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
16
1. Penerimaan diri (self-acceptance) merupakan bagian utama dari kesehatan
mental. Ryff (1989) menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti
sebagai sikap yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah
mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif
maupun negatif, serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa
lalunya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang
kurang baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri,
merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan
untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya. Dengan kata lain tidak menjadi
dirinya sendiri.
2. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relationship with others)
merupakan dimensi yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin
hubungan hangat, saling mempercayai, dan saling peduli akan kebutuhan serta
kesejahteraan pihak lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai
komponen utama dari kondisi mental yang sehat. Selain itu, teori self-
actualization mengemukakan konsep hubungan positif dengan orang lain
sebagai perasaan empati dan afeksi serta kemampuan untuk membina
hubungan yang mendalam. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain
merupakan salah satu dari criterion of maturity. Teori perkembangan manusia
juga menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus
dicapai manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah
satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain.
17
Dalam dimensi ini, individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan
adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang
lain, dan juga memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat terhadap orang lain.
Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang baik dalam dimensi
ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain, sulit
bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain (Ryff & Keyes,
1995).
3. Otonomi (autonomy) adalah pribadi mandiri, dapat menentukan yang terbaik
untuk dirinya sendiri. Individu memiliki internal locus of evaluation, yakni
tidak mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dirinya dengan
standar yang telah ditetapkan sendiri. Oleh karena itu, individu tidak
memikirkan harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang
otonom juga tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan. Individu tidak menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial
untuk berpikir dan bertindak dalam bentuk tertentu.
Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk
menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.
Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan bertingkah
laku dengan cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar
personal. Hal ini menandakan bahwa baik dalam dimensi ini. Sementara
individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memperhatikan harapan dan
evaluasi dari orang lain, individu akan membuat keputusan berdasarkan
penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis. Dengan kata lain
18
individu yang tidak terpengaruh dengan persepsi orang lain dan tidak
bergantung dengan orang lain adalah individu yang memiliki autonomy yang
baik, sedangkan individu yang mudah terpengaruh serta bergantung pada orang
lain adalah individu yang memiliki autonomy yang rendah (Ryff & Keyes
1995).
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) menggambarkan adanya
suatu perasaan kompeten dan penguasaan dalam mengatur lingkungan,
memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar dirinya, dan berpartisipasi
dalam berbagai aktivitas serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff
(1989), individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang
memiliki kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya.
Individu seperti mampu mengendalikan kegiatannya yang kompleks sekalipun,
juga dapat menggunakan kesempatan yang ada secara efektif, dan mampu
memilih, atau bahkan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi
jiwanya.
Individu yang mampu memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk
mengembangkan diri secara kreatif melalui aktifitas fisik maupun mental.
Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
fisiknya. Dengan kata lain, individu memiliki kemampuan dalam menghadapi
kejadian di luar dirinya (lingkungan eksternal). Sementara itu, Individu yang
kurang baik dalam dimensi ini akan menunjukkan ketidakmampuan untuk
19
mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap
lingkungan luar (Ryff & Keyes 1995).
5. Tujuan hidup (purpose in life) adalah kondisi mental sehat sehingga
memungkinkan individu untuk menyadari bahwa seseorang memiliki tujuan
tertentu dalam hidup yang dijalaninya, serta mampu memberikan makna pada
hidup yang pernah dilakukan. Teori perkembangan juga menekankan pada
berbagai perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan dalam
tahap perkembangan tertentu. Definisi kematangan juga menekankan
pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup dan rasa. teori life span
development mengacu pada berbagai perubahan tujuan atau tujuan dalam
hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif. Dengan demikian, orang yang
berfungsi secara positif memiliki tujuan, niat, dan rasa keterarahan, yang
semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup itu bermakna.
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan optimal psychological
functioning tidak hanya bermakna pada pencapaian terhadap karakteristik
tertentu, tetapi pada bagaimana individu terus mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya, bertumbuh, dan meningkatkan kualitas pada dirinya (Ryff,
1989). Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan
perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri. Keterbukaan akan
pengalaman baru merupakan salah satu karakteristik dari fully functioning
person (Ryff, 1989). Teori perkembangan juga menekankan pada pentingnya
manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap
periode pada tahap perkembangannya.
20
Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan
adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam
dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan
berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam
menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang
terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi
pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan luas (Ryff, 1995).
Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik
akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan
pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap
kehidupannya, serta merasa tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah
laku yang lebih baik (Ryff, 1995).
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah
faktor demografi, dukungan sosial, dan religiusitas antara lain:
2.1.3.1 Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Usia. Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia
mempengaruhi perbedaan dalam dimensi psychological well-being. Dalam
penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan
lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya.
21
Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan
seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan
pribadi memperlihatkan penurunan siring bertambahnya usia, penurunan ini
terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dari penelitian
tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi
penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.
2. Jenis Kelamin. Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan
bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi
hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.
Psychological well-being memiliki empat aspek, keempat aspeknya konsisten
tida memiliki pengaruh yang signifikan antara laki-laki maupun wanita.
3. Status Sosial Ekonomi. Menurut Ryff dan Singer (2008) mengatakan bahwa
perbedaan kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan kesejahteraan
psikologis individu. Ryff (Ryan & Deci, 2001) juga menjelaskan bahwa status
sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Banyak dampak negatif dari
rendahnya status ekonomi, tampak dari proses hasil perbandingan sosial,
dimana individu yang lebih rendah membandingkan dirinya kurang beruntung
dari pada orang lain dan tidak mampu mendapatkan sumber daya yang dapat
menyesuaikan kesenjangan yang dirasakan. Ditemukan kesejahteraan
psikologis yang tinggi pada individu yang memiliki status pekerjaan yang
tinggi.
22
4. Budaya. Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di
Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan
memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang
lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat
disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif saling
ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi
dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi
tujun hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam
dimensi otonomi, baik pria maupun wanita.
2.1.3.2 Kepuasan Kerja
Psychological well-being secara konsisten memiliki hubungan yang positif
terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan
Jimenez-Figueroa (2011) yang berjudul ”Psychological well-being, perceived
organizational support and job satisfaction amongs Chilean prison employees”
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological
well-being, yang artinya bahwa individu yang merasa puas terhadap pekerjaannya
cenderung akan merasa baik secara psikologisnya. Perilaku dapat dengan jelas
terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan Jimenez-
Figueroa (2011) adalah ketika terdapat perubahaan pada kepuasan kerja, maka
ditemukan juga perubahan pada psychological well-beingnya.
Selain penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez dan Jimenez-
Figueroa (2011), juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Luthans dkk (2010)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja
23
dan psychological well-being. Individu yang merasa senang terhadap
pekerjaannya maka akanpuas terhadap pekerjaannya dan juga psychological well-
beingnya.
2.1.3.3 Dukungan Sosial
Menurut Davis (Pratiwi, 2000; Rahayu, 2008), individu-individu yang
mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang
lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,
penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh individu yang didapat
dari orang lain atau kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston,
Alagna, DeVellis, & De Vellis, 1983; Wills, 1974; Sarafino, 1990; Rahayu 2008).
Dukungan dapat datang dari siapa saja, termasuk keluarga, teman, rekan kerja
ataupun lingkungan sekitar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Cobb (1976),
Cohen & McKay (1984), House (1984), Schaefer, Coyne, & Lazarus (1981), dan
Wills (1984), ada empat jenis dukungan sosial (dalam Sarafino, 1990), yaitu:
1. Dukungan Emosional (Emotional Support) melibatkan empati, kepedulian,
dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman,
aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-
saat stress.
2. Dukungan Penghargaan (esteem support) muncul melalui pengungkapan
penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran
atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan
orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan
perasaan dihargai.
24
3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support) melibatkan
tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung.
4. Dukungan Informasional (informational support) meliputi nasehat,
petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.
2.1.4 Pegukuran Psychological Well-Being
Pengukuran psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Ryff Scales of Psychological Well-being yang merupakan skala untuk mengukur
psychological well-being yang disusun oleh Carol D. Ryff yang sudah teruji
validitas dan reliabilitasnya. Skala ini disusun berdasarkan enam dimensi dari
psychological well-being, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi.
Dalam Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB) terdapat 42 item, secara
teoritis instrumen fokus terhadap pengukuran enam dimensi psychological well-
being dan setiap dimensi memuat 7 item namun pada penelitian ini diadaptasi
menjadi 26 item. Pada skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat
setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju,
namun sesuai dengan kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan
jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
2.2 Psychological Capital (PsyCap)
2.2.1 Definisi Psychological Capital (PsyCap)
Luthans, Youssef dan Avolio (2007, p:3) mendefinisikan Psychological Capital
atau PsyCap, sebagai:
25
is an individual’s psychological state of development and is characterized
by: (1) having confidence to take on and put in the necessary effort to succed at
challenging tasks (self-efficacy); (2) making a positive attribution about
succeeding now and in the future (optimisme); (3) persevering toward goals and
when necessarry, redirecting paths to goals in order to succeed (hope); and (4)
when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even
beyond to attain success (resiliency).
Dengan kata lain, Luthans, Youssef dan Avolio (2007), mendefinisikan
psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan psychological state
positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki keyakinan terhadap
kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar
berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2)
membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan
(optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu
mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan (4)
ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit
kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).
PsyCap mengacu pada keadaan psikologis positif individu yang terdiri dari
empat komponen yaitu: self-efficacy, hope, optimisme, dan resiliensi (. Luthans et
al, 2007a). PsyCap berasal dari positive organizational behaviour (POB). POB
didefinisikan sebagai studi dan penggunaan "positive human strengths and
psychological capacities", dapat dikembangkan dan diatur untuk meningkatkan
kinerja karyawan di tempat kerja (Luthans et al ., 2007a, hlm. 59). Untuk
26
mempertimbangkan yang menjadi bagian konstruk POB, Luthans (2002)
berpendapat bahwa individu harus melibatkan karakteristik state-like yang
bertentangan dengan karakteristik trait. Karakteristik state-like adalah emosi
manusia dan suasana hati yang fleksibel dan rentan terhadap perubahan
berdasarkan konteks atau situasi, seperti kebahagiaan dan kesenangan, sedangkan
trait lebih statis dan sulit untuk berubah, seperti kecerdasan dan bakat (Luthans,
2002; Luthans et al., 2007a).
Dalam hal ini penting untuk mengetahui bahwa Psychological capital
merupakan psychological states positif dari individu dan bukanlah psychological
traits (Envick, 2005). Allport dan Odbert (Feist & Feist dalam Mahardini, 2009)
menjelaskan bahwa trait merupakan karakteristik yang secara relatif menetap
pada diri individu, sedangkan state melibatkan tingkah laku, pikiran dan tindakan
yang bisa dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang (Envick, 2005). Luthans,
Youssef dan Avolio (2007) juga menjelaskan bahwa psychological capital
merupakan psychological state sehingga psychological capital dapat berubah
sepanjang waktu, baik meningkat maupun menurun. Tidak seperti traditional
human dan social capital, psychological capital dapat berkembang secara terus
menerus sepanjang waktu (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Froman (2009)
juga menjelaskan bahwa Psychological capital dilihat sebagai aset yang dapat
dikembangkan, sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai performa
kerja yang efektif dan hasil perusahaan yang diinginkan (Froman, 2009).
Menurut Luthans, Youssef & Avolio (2007), terlihat bahwa terdapat
hubungan yang positif antara Psychological capital terhadap performa kerja,
27
psychological capital dapat digunakan untuk meningkatkan kompetisi dalam
mencapai keuntungan dan kesuksesan perusahaan dengan melihat potensi secara
keseluruhan dari sumber daya manusia yang dimiliki (Avolio dalam Luthan,
Youssef & Avolio, 2007). Selain itu Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer (2010)
juga menjelaskan bahwa karyawan dengan Psychological capital tinggi, maka
kesejahteraan individu di lingkungan kerja akan tinggi. Dengan adanya
Psychological capital diharapkan dapat meningkatkan potensi sumber daya
manusia dalam organisasi (Mahardini, 2009), individu yang mengembangkan
konsep yang lebih sehat atau positif pada diri sendiri, akan mempertinggi
produktivitas individu dan kesuksesan dari organisasi (Schultz, dalam Mahardini,
2009). Maka dapat disimpulkan bahwa psychological capital sebagai sebuah
kondisi perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan
karakteristik-karakteristik self-efficacy, optimisme, hope, dan resiliency. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan definisi Luthans, Youssef dan Avolio (2007),
yang mendefinisikan psychological capital sebagai sebuah kondisi perkembangan
psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1) memiliki
keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha
yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self-
efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan
masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila
perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope);
dan (4) ketika dihadaptkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit
kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan (resiliency).
28
2.2.2 Dimesi dari Psychological Capital (PsyCap)
Terdapat empat dimensi yang menyusun Psychological capital (Luthans, Youssef
& Avolio, 2007), yaitu:
1. Efikasi Diri (Self-Efficacy)
Albert Bandura (1997), mengemukakan self-efficacy didefinisikan sebagai
"kepercayaan akan kemampuan dirinya mengarahkan motivasi, sumber daya
kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil dalam melaksanakan tugas
tertentu "(Stajkovic & Luthans, 1998b, p. 66).
Bandura (1997) telah mengidentifikasi empat sumber yang diakui secara
luas pengembangan efficacy. Pertama, ketika individu berhasil menyelesaikan
tugas yang menantang, individu pada umumnya lebih percaya diri terhadap
kemampuannya untuk menyelesaikan tugas. Kedua, personal efficacy dipengaruhi
ketika individu merasakan sendiri belajar dengan cara mengamati (yaitu,
modeling) dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Jika berhasil pada tugas
yang diberikan, maka personal efficacy meningkat. Dampak dari modeling
tergantung pada seberapa mirip individu melihat dirinya sendiri dengan melihat
peran yang dilakuakn berhasil menyelesaikan tugas. Jika proses meniru individu
snagat mirip, maka proses pengembangan efficacy menjadi lebih efektif (Bandura,
1997).
Stajkovic dan Luthans (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010)
mendefinisikan efikasi diri atau self-efficacy sebagai keyakinan diri individu
terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar
berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya. Individu dengan
29
self-efficacy yang tinggi akan berani untuk menetapkan tujuan dan dapat
mengendalikan diri sendiri dalam keadaan sulit, berani menerima tantangan,
memiliki motivasi yang kuat, mampu mengerahkan segala usaha dalam mencapai
tujuan dan tetap gigih walaupun menghadapi rintangan (Luthans, Youssef &
Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) menyatakan bahwa individu dengan
tingkat self-efficacy tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi pula,
individu akan merasa lebih percaya diri, memiliki aspirasi yang tinggi dan
komitmen yang kuat terhadap apa yang ingin di capai.
2. Harapan (Hope)
Konstruk hope dalam psikologi positif memiliki perkembangan teoritis yang
cukup pesat dan secara umum dianggap sebagai "empowering way of thinking"
(Snyder, 1994, p. 2). Dalam merumuskan teori hope, Snyder dengan asumsinya,
bahwa individu pada umumnya berorientasi pada tujuan yaitu individu
berperilaku seperti, mencoba untuk mencapai sesuatu. Harapan atau hope
didefinisikan oleh Envick (2005) sebagai hasrat atau keinginan yang disertai
dengan pengharapan akan pemenuhan dari hasrat atau keinginan tersebut.
Snyder (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) mendefinisikan
harapan sebagai positive emotional state dengan dua komponen penting yaitu (1)
agency (energi untuk mencapai tujuan) dan (2) pathways (perencanaan untuk
mencapai tujuan). Agency atau kekuatan keinginan merupakan kondisi kognitif
dimana individu mampu menetapkan tujuan, memiliki kekuatan (energy), dan
locus of control internal, sedangkan kondisi dimana individu mampu menemukan
30
cara lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketika cara pertama mengalami
kendala disebut pathway.
3. Optimisme (Optimisme)
Dalam PsyCap, optimisme adalah individu yang mengharapkan peristiwa positif
dan diinginkan di masa yang akan datang (Luthans, Youssef, et al., 2007).
Individu yang optimis dan kehilangan pekerjaannya akan menghubungkan
penyebab kehilangan pekerjaannya ke dalam keadaaan situasi sementara. Carver
dan Scheier (2002) ketika individu memiliki harapan positif, individu akan terus
berusaha meskipun menghadapi kesulitan. Sebaliknya, individu yang pesimis
adalah individu yang secara konstan memiliki pikiran yang negatif dan meyakini
peristiwa yang tidak diinginkan akan terjadi. Dapat disimpulkan bahwa individu
yang optimis akan melakuakan sesuatu dengan lebih baik dibandingkan dengan
pesimis.
Menurut Seligman (dalam Luthans F, Luthans W, LuthansC, 2004),
optimisme adalah cara menginterpretasi kejadian positif oleh individu yang
digunakan dalam menjelaskan kejadian yang baik maupun yang buruk, penjelasan
dari optimisme memiliki dua dimensi penting yaitu waktu (permanence) dan
tempat (pervasiveness). Permanence berhubungan dengan waktu, saat terjadi
kejadian buruk individu yang optimis melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang
sementara, sebaliknya individu pesimis akan melihat hal tersebut sebagai sesuatu
yang permanen. Pervasiveness berhubungan dengan tempat yang memiliki
penjelasan secara spesifik mengenai suatu kejadian yang buruk adalah individu
31
yang optimis, sedangkan individu yang menjelaskan secara universal adalah
individu yang pesimis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki hubungan
positif dengan well-being. Misalnya dalam konteks kewirausahaan ditemukan
bahwa optimisme bertentangan dengan pesimis, optimis sering mengalami
berbagai jenis pengalaman yang sulit (Scheier, Carver, & Bridges, 2001).
Sedangkan pesimis cenderung mudah putus asa terhadap kesulitan yang
dihadapinya, optimis dapat bertahan, siap terhadap tantangan yang diberikan, dan
dapat mencapai tujuannya (Carver, & Scheier, 2003). Individu optimis cenderung
mensyukuri setiap perubahan yang terjadi, mampu melihat kesempatan yang
tersedia dan fokus dalam mendapatkan kesempatan tersebut (Luthans, Youssef, &
Avolio, 2007). Singh dan Manshi (2009) melengkapi definisi dari optimismee
diatas sebagai harapan atau dugaan terhadap hal yang positif, keyakinan bahwa
segala sesuatau adalah baik dan akan mendapat hasil yang terbaik pula.
4. Resilienci (Resiliency)
Resiliensi adalah kondisi dimana individu dapat bertahan dan bangkit kembali
dari pengalaman yang negatif dan dapat beradaptasi kembali dengan adanya
perubahan stress yang dihadapi (Tugade & Fredrickaon dalam Hmieleski & Carr,
2007). Luthans (dalam Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010) menjelaskan
resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali saat mengalami
kejadian yang tidak menyenangkan dan dapat beradaptasi kembali dari kegagalan
tersebut.
32
Menurut Masten dan Reed (2002), resiliensi merupakan positif coping dan
dapat beradaptasi kembali dari kesulitan yang dihadapi. Ketika resiliensi
diterapkan di tempat kerja, dapat digambarkan sebagai positif psikologi untuk
dapat bangkit kembali dari keterpurukan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau
bahakan perubahan positif dan meningkatnya tanggung jawab (Luthans, 2002a, p.
702). Selain itu menurut Block dan Kremen (1996), Coutu (2002), serta Masten
(2001), individu yang memiliki resiliensi tinggi cenderung lebih efekti dalam
berbagai pengalaman, termasuk penyesuaian. Richardson (2002) menemukan
bahwa resiliensi dapat meningkat bahkan tumbuh setelah individu mengalami
peristiwa buruk. Artinya bahwa individu dapat lebih resilien terhadap situasi yang
merugikan dan dapat bangkit kembali dari peristiwa sebelumnya.
2.2.3 Pengukuran Psychological Capital
Pengukuran psychological capital dalam penelitian ini menggunakan PCQ-24
(analisis validitas ditemukan oleh Luthan, Avolio, et al., 2007, dan Luthans,
Youssef, & Avolio, 2007). PsyCap memiliki 4 aspek, setiap aspek terdiri atas 6
item dan total setiap item yaitu 24 item. Aspek Psycap yaitu hope, self-efficacy,
resilience dan optimisme. Semua item menggunakan 6 poin skala likert dengan
respon pilihan dari 1 = strongly disagree to 6 = strongly agree. Setiap item
menggambarkan penetapan skala sebelum di terbitkan dan diuji. Item hope
diadaptasi dari Snyder dan rekannya (1996). Contoh item dari subscale hope
yaitu: “ There are lots ways around any problem,” dan “Right now I see my self as
being pretty successful at work”. item self- efficacy diadaptasi dari Parker’s
(1998) mengukur self-efficacy dalam situasi kerja. Contoh item self efficacy: “I
33
feel confident analyzing a long-term problem to find a solution,” and “I feel
confident presenting information to a group of colleagues”.
Item resiliensi diadaptasi dari Wagnild dan Young’s (1993), contoh item
resiliency: “I usually manage difficulties one way or another at work,” and “I feel
I can handle many things at a time at this job.” Item optimismee diadaptasi dari
Scheier dan Carver’s (1985), contoh item optimismee “I’m optimistic about what
will happen to me in the future as it pertains to work” and “I approach this job as
if ’every cloud has a silver lining.” Psychological capital dalam penelitian ini
menggunakan skala Likert dan menggunakan alat ukur Psychological Capital
Questionnaire (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007).
Konsisten dengan 4 subscale, setiap subscale terdiri atas 6 item dengan total
jumlah item yaitu 24. Setiap subscale terdiri atas self-efficacy, hope, optimisme,
and resilience.
2.3 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Ada pernyataan yang mengatakan bahwa kepuasan adalah suatu perasaan yang
menyenangkan merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka
menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai
kerja yang pneting bagi dirinya. Penjelasan kepuasan kerja tersebut dipertegas
oleh Wagner III & Hollenbeck (1995, hlm. 206-207) yang mengutip ungkapan
Locke, bahwa kepuasan kerja adalah: “a pleasurable feeling that results from the
perpection that one’s job fulfills or allows for the fulfillment of one’s important
job value.” Sementara itu, Locke juga mencatat bahwa perasaan yang berhubungn
34
dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja cenderung lebih mencerminkan
penaksiran dari karyawan yang berhubungan dengan pengalaman kerja pada
waktu sekarang dan masa lalu daripada harapan untuk masa yang akan dating.
Kemudian Locke (1976) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu
tingkat emosi positif dan menyenangkan individu. Dengan kata lain, kepuasan
kerja adalah hasil pemikiram individu terhafap pekerjaan atau pengalaman positif
dan menyenangkan dirinya
Howell dan Dipboye 1986 (dalam munandar, 2001) memandang kepuasan
kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga
kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya, dengan kata lain kepuasan kerja
memcerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Menurut Fleisman dan
Bass (1977) kepuasan kerja merupakan suatu tindakan efektif karyawan terhadap
pekerjaannya. Kepuasan kerja tersebut dianggap sebagai hasil pengalaman
karyawan dalam kaitannya dengan penilaian terhadap diri sendiri seperti apa yang
dikehendaki atau diharapkan dari pekerjaannya.
Kepuasan kerja juga dapat diartikan sebagai perasaan individu tentang
pekerjaannya dan sikap individu terhadap berbagai aspek dalam pekerjannya,
sikap yang baik dan persepsi bahwa secara konsisten dapat mempengaruhi
tingkatan antara individu dan organisasi (Ivancevich & Matteson 2002; Spector
1997). Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara umum akan
menunjukkan sikap positif, sedangkan individu yang tidak puas akan
menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjann mereka. Selain itu kepuasan kerja
juga dapat di artikan sebagai bagian dari pekerjaan yang merasakan puas atau
35
tidak puas terhadap pekerjaanya (Spector 1997). Berdasarkan uraian diatas, pada
skripsi ini peneliti menggunakan teori spector (1997).
2.3.2 Aspek Kepuasan Kerja
Menurut Spector (1997) terdapat sembilan aspek yang sangat berpengaruh
terhadap kepuasan kerja seseorang. Diantaranya aspek tersebut adalah
1. Gaji (pay) : kepuasan imbalan jasa berupa uang yang diterima karyawan sesuai
dengan beban yang telah ditanggugnya.
2. Promosi (promotioni): kepuasan akan mendapatkan kesempatan bagi karyawan
untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaan atau jabatan.
3. Kepemimpinan (supervision): kepuasan terhadap perilaku atasan. Termasuk
dalam pengarahan, masukan dan pengawasan atasan.
4. Tunjangan (fringe benefits): kepuasan akan keuntungan atau tunjangan yang
didapatkan.
5. Penghargaan (contingent rewards): kepuasan terhadap penghargaan yang
diberikan terhadap performa yang baik.
6. Prosedur kerja (operating conditions): kepuasan akan peraturan dan prosedur
yang ada diperusahaan. Termasuk didalmnya adalah prosedur perusahaan yang
berupa administrasi, peraturan yang ditetapkan serta kebijakan perusahaan.
7. Rekan kerja (coworkers): kepuasan terhadap rekan kerja. Seberapa jauh
kesesuaian yang dirasakan ketika berinteraksi dengan rekan kerja.
8. Sifat pekerjaan (nature of work): kepuasan terhadap jenis pekerjaan yang
dilakukan, karakteristik dari pekerjaan itu sendiri yang akan dilaksanakan oleh
seorang karyawan memang sesuai dan menyenangkan.
36
9. Komunikasi (communication): yaitu kepuasan komunikasi yang terjalin dalam
perusahaan.
2.3.3 Teori kepuasan kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual karena
setiap orang memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda. Semakin positif
penilaian seseorang terhadap suatu pekerjaan, semakin tinggi pula kepuasan
kerjanya. Begitu pun sebaliknya, semakin negatif penilaian seseorang terhadap
suatu pekerjaan semakin rendah kepuasan kerjanya. Adapun teori mengenai
kepuasan kerja yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:
2.3.3.1 Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Teori proses-bertentangan dari Landy (dalam Munandar, 2001) memadang
kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan
yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu
keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Teori proses-bertentangan
mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan
kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang
berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam system pusat saraf yang
membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan. Di hipotesiskan bahwa
emosi yang berlawanan, meskipun lebih lemah dari emosi yang asli, akan terus
ada dalam jangka waktu yang lebih lama.
Teori ini menyatakan bahwa jika individu memperoleh ganjaran pada
pekerjaan mereka, maka mereka akan senang, sekaligus ada rasa tidak senang
(yang lebih lemah). Setelah beberapa saat rasa senang menurun dan dapat
37
menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke
normal. Ini dikarenakan emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung
lebih lama. Berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar
dari waktu ke waktu, akibatnya bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu
dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.
2.3.3.2 Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)
Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur
kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang
seharisnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (dalam wijono,
2010) mengembangkan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada
perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai.
Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan
maka pegawai tersebut menjadi puas. Sebaliknya, apabila yang didapat pegawai
lebih rendah daripada yang diharapkan, akan menyebabkan pegawai tidak puas.
Menurut Locke teori ketidaksesuaian mengungkapkan bahwa kepuasan
atau ketidakpuasan dari beberapa aspek pekerjaan menggunakan dasar
pertimbangan dua nilai (values), yaitu (1) ketidaksesuaian yang dipersepsikan
antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam
kenyataannya dan (2) apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu
tersebut. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi individu adalah jumlah dari
kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya
aspek pekerjaan individu. Contohnya, seorang supervisor mempunyai keinginan
lebih mengutamakan aspek kenaikan jabatan daripada kenaikan gaji, maka
38
supervisor tersebut akan memberi ranking yang lebih tinggi pada aspek kenaikan
jabatan dibanding dengan kenaikan gaji.
Sementara itu, Locke juga mengatakan bahwa perasaan puas atau tidak
puas yang dimiliki oleh individu sangat bersifat pribadi. Mengapa demikian?
Karena perasaan tersebut muncul tergantung dari cara individu mempersepsikan
ketidaksesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil yang telah
dicapainya. Pemindahan individu dari tempat kerja dengan ruangan yang sempit
ke tempat kerja yang mempunyai ruangan luas, akan menunjang kepuasan
individu lain yang merasa perubahan tempat kerja yang ruangannya lebih luas
yang tidak memberi perasaan nyaman bagi dirinya. Contohnya, individu yang
mengalami “fobia” pada tempat kerja yang ruangannya luas akan menjadi
“nervous” dan tidak senang bila ditempatkan pada ruangan kerja yang lebih luas.
2.3.3.3 Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfaction)
Kapuasan bidang menurut model (Lawler dalam Wijono, 2010) mempunyai
kaitan erat dengan teori keadilan J. Adams. Model Lawler mengatakan bahwa
individu akan merasa puas terhadap bidang tertentu dari pekerjaan mereka
(misalnya, hubungan antara rekan kerja, atasan dan bawahan, dan / atau gaji).
Individu dapat menerima dan melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati
dalam bidang yang dia persepsikan, maka hasilnya akan sama dengan jumlah
yang dia persepsikandari yang secara aktual mereka terima.
Berikutnya ada dua ilustrasi yang dapat dikemukakan untuk memperjelas
pernyataan di atas yaitu pertama, individu yang mempersepsikan hubungan
interaksi dengan atasannya yang seharusnya berjalan baik, lancar, dan
39
memuaskan. Jika hal tersebut terwujud, maka dapat menunjang produktivitas
kerjanya karena hubungan interaksi antara dirinya dengan atasannya tersebut
secara nyata terjadi dibandingkan dengan rekan kerjanya. Tetapi, jika individu
mempersepsikan tentang hubungan interaksinya dengan atasan jauh melebihi dari
rekan kerjanya yang lain, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil.
Sebaliknya, jika dia mempersepsikan bahwa hubungan interaksinya yang dialami
kurang baik dan lancar dari yang sesungguhnya terjadi, maka dia merasa tidak
puas.
Kedua, adanya persepsi individu terhadap jumlah “income” yang
seharusnya dia terima atas dasar hasil penelitian prestasi kerjanya dengan
persepsinay tentang income yang secara nyata dia terima. Seandainya individu
mempersepsikan income yang dia terima lebih besar dari yang sesungguhnya dia
terima, maka dia akan merasa bersalah dan tidak adil. Sebaliknya, jika dia
mempersepsikan bahwa income yang dia terima kurang dari yang sepatutnya dia
terima, maka dia merasa tidak puas.
Sementara itu, Lawler juga mengatakan bahwa jumlah dari bidang yang
dipersepsikan individu akan menjadi sesuai tergantung dari bagaimana individu
mempersepsikan nilai dari pekerjaan dan karakteristik pekerjaannya. Selain itu,
persoalan yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana individu mempersepsikan
“input and ouptut” dari orang lain yang digunakan sebagai pembanding bagi
dirinya sendiri. Akhirnya, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang terhadap
apa yang individu terima secara nyata tergantung dari hasil output yang secara
40
nyata individu terima dan hasil output yang dipersepsikan dari orang dengan siapa
individu akan membandingkan dirinya sendiri.
2.3.3.4 Teori Dua Faktor dari Herzberg
Mneurut Herzberg, orang menginginkan dua macam faktor kebutuhan, yaitu:
(Herzberg’s dalam Dessler, 2000 : 334). Pertama, kebutuhan akan kesehatan atau
kebutuhan akan pemeliharaan. Hal ini berhubungan dengan hakikat manusia yang
ingin memperoleh ketentraman lahiriyah. Faktor pemeliharaan meliputi balas jasa,
kondisi kerja fisik, dan bermacam-macam tunjangan lainnya. Hilangnya faktor
pemeliharaan ini dapat menyebabkan timbulkan ketidakpuasan (Dissatisfier =
faktor hygienis) dan tingkat absensi karyawan serta turnover akan meningkat.
Faktor-faktor pemeliharaaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari
pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja karyawan dapat ditingkatkan.
Kedua, faktor pemeliharaan ini menyangkut kebutuhan psikologis
seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan
pekerjaan (job content) yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan
menggerakkan tingkat motivasi yang kuat yang dapat menghasilakan prestasi
kerja yang baik. Jika kondisi ini tidak ada maka konidisi ini ternyata tidak
menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian faktor ini
dinamakan Satisfier atau motivator yang meliputi: prestasi, pengakuan, pekerjaan
itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan pengembangan potensi individu.
2.3.4 Pengukuran Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja memiliki beberapa pengeukuran diantaranya, yaitu Job
Descriptive Index (JDI), Minesota Satisfaction Qestionnaire (MSQ), Job
41
Satisfaction Survey (JSS). Pengukuran kepuasan kerja yang sering digunakan
adalah Job Descriptive Index (JDI) yang dikembangkan di Negara maju (Smith,
Kendall & Hulin, dalam Schlutz, & Schlutz, 2006). JDI mengukur lima dimensi
kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap gaji, peluang promosi, pengawasan dan
rekan kerja. JDI dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit dan sudah diterbitkan
dalam berbagai bahasa. MSQ (Weiss, Dawis, Lofquist, & England, 1966), skala
ini memiliki dua bentuk yaitu item yang versi panjang dan vesi pendek sebanyak
20 item.
Selain JDI, kepuasan kerja dapat diukur dengan menggunakan gabungan
Sembilan sub-skala dari Job Satisfaction Survey (JSS). Alat ukur ini
dikembangkan oleh Spector (1985). Sub-skala ini adalah pay, promotion,
supervision, fringe benefist, contingen rewards, operating procedures, coworkers,
nature of work, dan communication. Pada skala JSS, setiap sub-skala memiliki
empat pertanyaan denga total pertanyaan sebanyak 36 item. Skala ini
menggunakan 6 skala likert, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju
untuk menunjukkan tingkat kepuasan kerja peserta. Vaiditas dari JSS sendiri telah
dibandingkan dengan skala JDI, yang merupakan skala yang sebagian besar
mengukur kepuasan kerja.
Dalam penelitian ini, akan menggunakan The Job Satisfaction Survey
(JSS) yang dibuat oleh Spector (1997). JSS menilai 9 aspek dari kepuasan kerja
(gaji, promosi, tunjangan, penghargaan, prosedur operasional, rekan kerja, sifat
kerja, dan komunikasi) yang terdiri dari 36 item. Hal ini dikarenakan skala JSS
42
adalah skala yang terperinci dalam mengukur kepuasan kerja dan sesuai dengan
teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini.
2.4 Kerangka Berpikir
Kesejahteraan pekerja (employee wellbeing) merupakan salah satu faktor yang
tidak bisa lepas dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena kesejahteraan
pekerja memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengefektifkan biaya yang
berhubungan dengan penyakit dan kesehatan pekerja (Danna & Griffin, 1999),
ketidakhadiran (absenteeism), pergantian pekerja (turnover), (Spector, 1997),
performa kerja (job performance), dan kepuasan kerja (job satisfaction) (Russel,
2008).
Berdasarkan Page dan Vella-Brodrick (2009) terdapat 3 komponen dari
employee wellbeing, yaitu subjective well-being (kepuasan kehidupan dan
dispositional affect), workplace wellbeing (kepuasan kerja dan hal-hal terkait
pekerjaan) dan yang terakhir adalah psychological wellbeing (penerimaan diri,
hubungan interpersonal positif, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup,
dan perkembangan diri). Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being
sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah
lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel
dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih
bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.
Kesehatan dan kesejahteraan penting dalam dunia kerja karena memiliki
efek tertentu pada setiap karyawan (Boyd, dalam Danna & Griffin, 1999). Para
43
peneliti telah menyadari bahwa kesehatan dan well-being yang rendah dapat
memberikan efek negatif terhadap karyawan dan organisasi. Kesehatan pekerja
dan kesejahteraan psikis harus menjadi perhatian yang lebih penting karena
kesadaran bahwa unsur lain di tempat kerja menimbulkan risiko bagi pekerja.
Maka dari itu penting bahwa setiap karyawan memiliki psychological well-being
karena dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Psychological well-being juga
dapat dipengaruhi oleh psychological Capital seperti Self-Efficacy, Hope,
Optimisme, Resiliency juga berpengaruh terhadap psychological well-being.
Sandeep Singh dan Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological
capital (self-efficacy) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological
well-being. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi individu
memiliki self-efficacy maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya.
Self-efficacy sebagai keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha agar berhasil dan sukses dalam
melaksanakan tugas yang dihadapinya, sehingga karyawan yang memiliki self-
efficacy tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi.
Petugas yang memiliki hope (harapan) yang tinggi terhadap tujuan yang
dimilikinya dan memiliki keinginan untuk mewujudkannya maka memiliki
psychological well-being yang baik. Petugas yang selalu memiliki harapan
terhadap pekerjaannya bahwa petugas bisa melaksanakan pekerjaannya dengan
baik dan memiliki harapan yang tinggi pada saat proses pemadaman berlangsung
maka akan memiliki psychological well-being yang baik pula.
44
Penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009)
menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatkan psychological well-being
dan dapat memiliki penyesuaian yang lebih baik terhadap peristiwa kehidupan
yang penuh stress. Petugas yang memiliki optimsime yang tinggi maka akan
memiliki tingkat stress yang rendah, karena ketika petugas memadamkan
kebakaran harus memiliki optimisme yaitu cara petugas dalam mencapai
tujuannya agar berhasil serta pengambilan keputusan yang cepat sangat
dibutuhkan pada saat proses pemadaman. Individu yang memiliki optimisme
tinggi maka memiliki psychological well-being yang tinggi pula, karena dengan
adanya optimisme individu akan selalu berfikir positif dalam setiap kejadian yang
dialaminya ssehingga dapat melaksanakan pekerjaan dengan maksimal dan dapat
meningkatkan psychological well-beingnya.
Individu yang memiliki resiliency yang tinggi dapat bertahan dan bangkit
kembali dari pengalaman negatif dan dapat beradaptasi kembali dengan adanya
perubahan dari stress yang dihadapinya. Individu yang pernah mengalami suatu
pengalaman negatif dan bisa bangkit lagi dari pengalaman negatifnya akan
memiliki psychological well-being yang tinggi karena individu tersebut pernah
mengalami pengalaman negatif dan tidak ingin mengalaminya kembali. Sehingga
resiliency dapat mempengaruhi psychological well-being.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being adalah
kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan individu yang merasakan puas atau
tidak puas terhadap pekerjaannya. Penelitian sebelumnya mengenai kepuasan
kerja, bahwa kepuasan kerja signifikan memprediksi psychological well-being.
45
Penelitian yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011)
terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu
yang merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis.
Perilaku ini dapat dengan jelas terlihat dalam hasil penelitiannya, bahwa apabila
terdapat perbedaan yang ditemukan dalam sampel tentang kepuasan kerja juga
ditemukan perbedaan dalam psychological well-being.
Kepuasan kerja memiliki Sembilan aspek yaitu gaji, promosi, supervisi,
tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat pekerjaan dan
komunikasi. Kepuasan terhadap gaji yaitu kepuasan terhadap uang yang diterima
oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaan yang dikerjakannya. Gaji merupakan
faktor utama dalam kepuasan kerja, apabila gaji yang dirasakan sesuai dengan
harapan, maka individu akan merasa puas. ketika individu sudah memiliki
kepuasan yang tinggi maka individu akan merasa aman dan nyaman ketika
bekerja sehingga semakin puasnya individu terhadap gaji maka semakin tinggi
pula psychological well-beingnya.
Kepuasan promosi merupakan kepuasan mendapatkan kesempatan bagi
karyawan untuk tumbuh dan berkembang dalam pekerjaannya atau jabatannya.
Promosi memberikan perkembangan individu, lebih bertanggung jawab dan
meningkatkan status sosial. Kepuasan kerja diperoleh dari pengalaman kerja
individu yang merasa mendapatkan peluang promosi yang adil, sehingga tidak
berpikir untuk mencari profesi dan perusahaan lain. Jadi semakin puasnya
individu terhadap proses promosi yang ada pada perusahaan maka akan semakin
tinggi pula psychological well-beingnya karena dengan adanya promosi maka
46
akan meningkatkan status sosial individu dan dapat meningkatkan kesejahteraan
dalam kehidupannya maupun psikisnya.
Kepuasan terhadap atasan merupakan kepuasan terhadap perilaku atasan.
Menurut Locke (dalam munandar, 2001), tingkat kepuasan kerja yang paling
besar dengan seorang atasan ialah jika kedua jenis hubungan adalah positif.
Dukungan dan perhatian dari atasan kepada karyawan membuat individu merasa
lebih bersemangat dalam bekerja dan merasa nyaman berada dilingkungan
pekerjaan. Apabila atasan memiliki sikap yang baik terhadap bawahannya dan
memiliki hubungan yang baik maka individu memiliki kepuasan atasan yang
tinggi sehingga dapat mempengaruhi psychological well-beingnya dan juga
karyawan suka terhadap pekerjaannya.
Kepuasan terhadap tunjangan merupakan kepuasan terhadap tunjangan
yang didapatkan. Tunjangan sangat penting untuk karyawan seperti tunjangan
kesehatan, asuransi dll. Tunjangan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan
pekerjaan yang dilakukannya karena dapat mempengaruhi puas atau tidak puasnya
karyawan terhadap perusahaan, sehingga apabila karyawan merasa puas terhadap
tunjangan yang didapat maka karyawan merasa nyaman dan aman di
pekerjaannya tetapi apabila karyawan tidak puasa terhadap tunjangannya maka
karyawan merasa tidak nyaman dan aman pada pekerjaannya. Jadi semakin
puasnya individu terhadap tunjangan yang diberikan maka semakin tinggi pula
psychological well-beingnya karena individu merasa aman dan nyaman dalam
melaksanakan pekerjaannya.
47
Kepuasan terhadap penghargaan merupakan kepuasan terhadap
peghargaan yang diberikan terhadap performa yang baik. Menurut spector, 1997
(dalam munandar, 2001), contoh dari penghargaan adalah apresiasi, pengakuan
dan imbalan untuk kerja yang baik. Ketidakpuasan kerja karyawan bisa terjadi
jika karyawan merasa upaya mereka tidak dihargai atau tidak mendapatkan
penghargaan yang wajar. Jadi apabila karyawan diberikan penghargaan atas
usahanya terhadap pekerjaannya maka karyawan merasa puas terhadap
pekerjaannya begitu pula dapat meningkatkan psychological well-beingnynya,
karena individu merasa kebutuhannya atas penghargaan telah dipenuhi.
Kepuasan terhadap prosedur kerja yaitu puas terhadap peraturan dan
prosedur yang ditetapkan. Apabila prosedur yang telah ditetapkan sesuai dan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan tidak mempersulit pekerjaannya maka
karyawa puas terhadap perosedur kerja yang ditetapkan sehingga akan
mempengaruhi psychological well-being individu. Kepuasan rekan kerja
merupakan kepuasan terhadap rekan kerja satu timnya. Robbins, 1993 (dalam
munandar, 2001) mengatakan memiliki teman yang ramah dan rekan kerja yang
suportif dapat meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan yang puas terhadap rekan
kerjanya dan memiliki rekan kerja yang kompeten dalam mekakukan
pekerjaannya, maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula dan dapat
mempengaruhi psychological well-beingnya.
Kepuasan nature of work/ sifat pekerjaan merupakan kepuasan terhadap
jenis pekerjaan yang dilakukan, dan karakteristik dari pekerjaan itu sendiri yang
dilaksanakan oleh seorang karyawan memang sesuai dan menyenangkan. Individu
48
yang cocok dan sesuai terhadap pekerjaannya maka individu akan malakukan
pekerjaannya dengan baik dan setiap pekerjaan akan selalu menyenangkan.
Petugas pemadam kebakaran secara langsung dan tidak langsung memiliki sifat
pekerjaan yang berbahaya, dimana petugas dapat membahayakan dirinya sendiri
pada saat proses pemadaman. Jadi apabila individu puas terhadap sifat
pekerjaannya yaitu sesuai dengan dirinya, puas terhadap jenis pekerjaannya maka
memiliki kepuasan sifat pekerjaan yang tinggi pula dan dapat mempengaruhi
psychological well-beingnya.
Kepuasan komunikasi merupakan kepuasan komunikasi yang terjalin
dalam perusahaan. Menurut Suehr, 1982 (dalam Wijono, 2011) mengatakan
bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor penting dalam keseluruhan proses
moral. Komunikasi dapat dilihat dari ketidakhadiran kerja yang cenderung
menjadi sumber utama dari ketidakpuasan dengan syarat individu diletakkan pada
posisi penting dalam suatu jalinan komunikasi yang erat. Jadi jika jalinan
komunikasi yang erat antar setiap petugas pemadam kebakaran diciptakan, maka
akan terjadi kepuasan kerja yang tinggi bagi setiap petugas pemadam kebakaran
dan akan mempengaruhi psychological well-being petugas.
49
Gambar 2.1
Pengaruh Kepuasan Kerja dan Psychological Capital terhadap Psychological
Well-being Petugas Pemadam Kebakaran
Psychological
Well-Being
Psychological Capital
Self-Efficacy
Hope
Optimisme
Resiliency
Kepuasan Kerja
Kepuasan Gaji
Kepuasan Promosi
Kepuasan Kepemimpinan
Kepuasan Tunjangan
Kepuasan Penghargaan
Kepuasan Prosedur Kerja
Kepuasan Rekan Kerja
Kepuasan Sifat Pekerjaan
Kepuasan Komunikasi
50
2.5 Hipotesis Penelitian
Penelitian ini diuji menggunakan analisis statistik, dengan hipotesis yang akan
diuji adalah hipotesis nihil, yaitu “ Tidak terdapat pengaruh yang signifikan
kepuasan kerja dan psychological capital terhadap psychological well-being”.
Sedangkan hipotesis mayor dan hipotesis minor dalam penelitian ini yaitu:
2.5.1 Hipotesis mayor
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kerja dan psychological
capital terhadap psychological well-being
Hipotesis minor
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan self-eficacy terhadap psychological
well-being.
H3: Terdapat pengaruh yang signifikan hope terhadap psychological well-
being.
H4: Terdapat pengaruh yang signifikan optimisme terhadap psychological well-
being.
H5: Terdapat pengaruh yang signifikan resiliency terhadap psychological well-
being.
H6: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan gaji terhadap psychological
well-being.
H7: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan promosi terhadap
psychological well-being.
H8: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan kepemimpinan terhadap
psychological well-being.
51
H9: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan tunjangan terhadap
psychological well-being.
H10: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan penghargaan dari perusahaan
terhadap psychological well-being.
H11: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan prosedur kerja terhadap
psychological well-being.
H12: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan rekan kerja terhadap
psychological well-being.
H13: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan sifat pekerjaan terhadap
psychological well-being.
H14: Terdapat pengaruh yang signifikan kepuasan komunikasi terhadap
psychological well-being.
52
BAB 3
METODE PENELITIAN
Dalam bab tiga ini akan dibahas mengenai populasi dan sampel, variabel
penelitian, definisi operasional dan variabel, instrumen pengumpulan data,
pengujian validitas konstruk, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis
data
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petugas pemadam kebakaran dan
penanggulangan bencana Jakarta Selatan berjumlah 480. Sedangkan sampel pada
penelitian ini sebanyak 200 orang. Petugas pemadam kebakaran dibagi menjadi
tiga tim yaitu tim a, tim b, dan tim c, setiap tim sudah memiliki jadwal tugasnya
masing-masing. Pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu
non-probability sampling. Non probability sampling yaitu suatu metode
pengambilan sampel dimana tidak setiap partisipan dalam suatu populasi memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Kriteria populasi dalam
penelitian ini yaitu merupakan petugas pemadam kebakaran dan bukan officer dan
petugas tetap.
3.2 Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Psychological Well-being
2. Efikasi Diri (Self-Efficacy)
3. Harapan (Hope)
4. Optimisme (Optimism)
5. Resiliensi (Resiliency)
6. Gaji (pay)
53
7. Promosi (promotion)
8. Kepemimpinan (supervisioni)
9. Tunjangan (fringe benefit)
10. Penghargaan (contingent reward)
11. Prosedur kerja (operating conditions)
12. Rekan kerja (co-worker)
13. Sifat pekerjaan ( nature of work)
14. Komunikasi (communication)
Variabel terikat atau dependent variabel (outcome variabel) dalam penelitian ini
adalah psychological well-being, sedangkan variabel lainnya variabel bebas atau
independent variabel (predictor variabel) yaitu psychological capital dan
kepuasan kerja.
3.2.2 Definisi Operasional
Setelah menentukan variabel mana yang menjadi variabel dependen dan variabel
independen, selanjutnya menentukan definisi operasional dari variabel penelitian
yang akan digunakan dalam penelitian ini. Definisi operasioan variabel penelitian
dijelaskan di bawah ini.
3.2.2.1 Psychological well-being
Psychological well being merupakan sebuah kondisi dimana petugas pemadam
kebakaran memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat
membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat
menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya,
memiliki tujuan hidup dan membuat hidup lebih bermakna, serta berusaha
mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Dapat diukur dengan menggunakan
alat ukur ryff scale of psychological well-being (RSPWB) yang terdiri dari enam
aspek yaitu: otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental
mastery), pertumbuhan pribadi ( personal growth), hubungan positif dengan orang
54
lain (positive relations with others), tujuan hidup (purpose in life), penerimaan
diri (self-acceptance).
3.2.2.2 Psychological Capital
Psychological capital yang dimaksud dalam penelitian ini, sebagai sebuah kondisi
perkembangan psychological state positif dari seseorang dengan karakteristik (1)
memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan
mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang
menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di
masa kini dan masa depan (optimisme); (3) memiliki harapan dalam mencapai
tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai
tujuan (hope); dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan halangan dapat
bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai kesuksesan
(resiliency). Dapat diukur dengan menggunakan psychological capital
questionnaire 24 (PCQ-24) yang terdiri dari empat aspek yaitu: self-efficacy,
optimism, hope, resiliency.
3.2.2.3 Kepuasan Kerja
Job satisfaction (kepuasan kerja) yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
individu yang dapat merasa puas atau tidak puas petugas pemadam kebakaran
terhadap pekerjaanya. Dapat diukur dengan menggunakan job satisfaction scale
(JSS) terdiri dari Sembilan aspek yaitu: gaji (pay), promosi (promotion),
kepemimpinan (supervisioni), tunjangan (fringe benefit), penghargaan (contingent
reward), prosedur kerja (operating conditions), rekan kerja (co-worker), sifat
pekerjaan ( nature of work), komunikasi (communication).
55
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner. Kuesioner adalah
suatu daftar pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu hal atau dalam suatu
bidang yang bertujuan untuk memperoleh data berupa jawaban dari para
responden. Adapun instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada
penelitian yaitu kuisioner dalam bentuk skala Likert.
Skala yang digunakan yaitu skala psychological well being, kepuasan kerja
dan psychological capital berisi pernyataan yang sesuai dengan indikator variabel
yang digunakan dalam penelitian ini. Skala psychological well being, kepuasan
kerja dan psychological capital disusun dengan menggunakan empat pilihan
jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak
setuju (STS) dengan tidak menggunakan pilihan jawaban tengah (netral/ragu-
ragu). Peneliti membagi dua kategori pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable
serta menentukan bobot nilai. Untuk item favorable, skor subjek bergerak dari
nilai 4, 3, 2, 1. Sementara untuk item unfavorable, skor subjek bergerak dari nilai
1, 2, 3, 4. Nilai untuk keempat pilihan jawaban adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Format Skoring Skala Likert
Alternatif Pilihan Jawaban Pernyataan
Favorable Unfavorable
Sangat tidak setuju (STS) 1 4
Tidak setuju (TS) 2 3
Setuju (S) 3 2
Sangat setuju (SS) 4 1
56
Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah berjumlah 4 bagian.
Pertama, bagian yang mengungkap data diri responden. Kedua, bagian yang
mengungkap psychological well-being. Ketiga, bagian yang membahas kepuasan
kerja, dan bagian keempat mengungkap tentang psychological capital. Adapun
instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:
3.3.1 Psychological well-being
Skala psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ryff
Scales of Psychological Well-being yang merupakan skala untuk mengukur
psychological well-being yang disusun oleh Carol D. Ryff yang sudah teruji
validitas dan reliabilitasnya. Skala ini disusun berdasarkan enam dimensi dari
psychological well-being, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi.
Dalam Ryff Scale of Psychological Well-being (RSPWB) terdapat 42 item dan
setiap dimensi terdiri atas 7 item, tetapi dalam penelitian ini peneliti mengadaptasi
menjadi 26 item yang sudah disesuaikan dengan sampel penelitian. Pada skala asli
terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak
setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan kebutuhan peneliti,
skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju. Adapun blue print dari skala psychological well-
being dapat dilihat dari tabel 3.2 berikut:
57
Tabel 3.2
Blue Print Psychological Well-being
No Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
1 Otonomi
(autonomy) Perilaku yang tidak menggantungkan
diri pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan
Memiliki kepribadian yang mandiri
1,7,13,18 23 5
2 Penguasaan
lingkungan
(environmental
mastery)
Perilaku individu yang dapat
mengatur keadaan lingkungannya
sehingga sesuai dengan kebutuhan
dan nilai-nilai pribadi yang
dianutnya
2,8,14,19 - 4
3 Pertumbuhan
pribadi (
personal growth
Keinginan dalam diri untuk terus
tumbuh, terbuka akan pengalaman
baru
Tidak tertarik akan hal yang baru
merasa nyaman terhadap
kehidupannya
3,9,15 25 4
4 Hubungan
positif dengan
orang lain
(positive
relations with
others)
Memiliki kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain
Saling menyayangi
Saling mempercayai
4,10,16,20 24 5
5 Tujuan hidup
(purpose in life) Memiliki tujuan untuk masa depan
Membuat rencana masa depan
menjadi kenyataan
5,11,26 21 4
6 Penerimaan diri
(self-
acceptance)
Mampu menerima berbagai aspek
positif maupun negatif
Memiliki perasaan positif terhadap
masa lalu
Merasa tidak puas terhadap diri
sendiri
6,12,17,22 - 4
Total item 22 4 26
3.3.2 Psychological Capital
Psychological capital dalam penelitian ini menggunakan skala Likert dan
menggunakan alat ukur Psychological Capital Questionnaire (PCQ-24) yang
dikembangkan oleh Luthans, Avolio, et al., 2007). Konsisten dengan 4 dimensi
yang dimiliki PsyCap, setiap dimensi terdiri atas 6 item dengan total 24 item.
Dimensi PsyCap terdiri atas self-efficacy, hope, optimism, dan resilience. Pada
skala asli terdapat enam pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, agak setuju,
agak tidak setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, namun sesuai dengan
58
kebutuhan peneliti, skala dibuat menjadi empat pilihan jawaban yaitu sangat
setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Adapun blue print dari skala
PsyCap dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3
Blue Print Psychological Capital
No Dimensi Indikator Nomor Butir Jumlah
Fav Unfav
1 Self-Efficacy Keyakinan individu terhadap
kemampuan yang dimilikinya
dalam mengarahkan vsegala
usaha agar berhasil
Sukses dalam melaksanakan
tugas yang dihadapinya
1,5,9,13,17,2
1
- 6
2 Hope hasrat atau keinginan yang
disertai dengan pengharapan
akan pemenuhan dari hasrat
atau keinginan tersebut
2,6,10,14,18,
22
- 6
3 Resiliency Individu dapat bertahan dan
bangkit kembali dari
pengalaman yang negatif
Dapat beradaptasi kembali
dengan adanya perubahan
stress yang dihadapi
7,11,15,19,2
3
3 6
4 Optimism Individu mensyukuri setiap
perubahan yang terjadi,
mampu berpikir positif
terhadap suatu yang akan
terjadi dimasa depan
Memiliki motivasi tinggi
Mampu melihat kesempatan
yang tersedia dan fokus untuk
mendapatkannya
4,8,12,16,24 20 6
Total item 22 2 24
3.3.3 Kepuasan Kerja (job satisfaction)
Untuk mengukur kepuasan kerja, peneliti mengadaptasi dari alat ukur Job
Satisfaction Scales (JSS) yang terdiri dari 36 item. Skala ini pertama kali dibuat
oleh Spector pada tahun 1997. Pada umumnya digunakan oleh perusahaan untuk
membantu mengelola, melatih, dan mempertahankan karyawan yang berharga
(Liu et al, 2004 dalam Watson dkk, 2004). Job Satiafaction Scale (JSS) ini terdiri
59
dari sembilan aspek, yaitu: pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingent
rewards, operating condiitions, co workers, nature of work, communication
(Spector, dalam Watson, 2004). Sembilan aspek ini dirancang untuk menilai sikap
karyawan tentang aspek pekerjaan.
Tabel 3.4
Blueprint Skala Kepuasan Kerja
No Aspek Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
1 Pay Kepuasan terhadap
kesesuaian gaji
Kenaikan gaji yang diterima.
1,28 10,19 4
2 Promotion Kepuasan akan adanya
kesempatan promosi
Proses promosi sama dengan
proses promosi perusahaan
pada umumnya.
11,20,33 2 4
3 Supervision Kepuasan berinteraksi
dengan atasan
Kepuasan terhadap perilaku
atasan
3,30 12,21 4
4 Fringe Benefit Kepuasan terhadap
tunjangan yang diberikan
perusahaan
13,22 4,29 4
5 Contingent
Reward Kepuasan terhadap
pengehargaan yang
diberikan perusahaan
5,23 14,32 4
6 Operating
Conditions Kepuasan terhadap prosedur
dan peraturan yang
ditetapkan oleh perusahaan
15,24,31 6 4
7 Coworkers Kepuasan terhadap rekan
kerja
Kompetensi yang dimiliki
rekan kerja
7,25 16,34 4
8 Nature of
Work Kepuasan terhadap
kesesuaian jenis pekerjaan
yang dilakukan
17,27,35 8 4
9 Communicatio
n Kepuasan komunikasi yang
terjalin dalam perusahaan
Kurangnya komunikasi yang
jelas antar perusahaan dan
karyawan
9 18,26,36 4
Total item 20 16 36
60
3.4 Pengujian Validitas Konstruk
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis statistik yang
disebut Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan lisrel 8.7. Adapun
logika dasar CFA adalah sebagai berikut (Umar, 2012):
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pernyataan untuk mengukurnya.
Kemampuan ini disebut faktor. Sedangkan pengukuran terhadap faktor ini
dilakukan melaluli analisis terhadap respon (jawaban) atas item-itemnya.
2. Bahwa pada suatu faktor diteorikan setiap item hanya mengukur atau memberi
informasi tentang faktor tersebut saja.
3. Berdasarkan teori yang dipaparkan diatas, dapat disusun sehimpunan
persamaan matematis. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi
(dengan menggunakan data yang tersedia) matriks korelasi antar item yang
seharusnya diperolah jika teori tersebut (unidimensional) benar. Matriks
korelasi ini dinamakan sigma (∑). Kemudian matriks ini akan dibandingkan
dengan matriks korelasi yang diperoleh secara empiris dari data (disebut
matriks S). Jika teori tersebut benar (unidimensional), maka seharusnya tidak
ada perbedaan yang signifikan antar elemen matriks ∑ dengan elemen matriks.
Secara matematis dapat dituliskan: ∑- S = 0
4. Pernyataan matematik inilah yang dijadikan hipotesis nihil (Ho) yang akan
dianalisis menggunakan CFA. Dalam hal ini, dilakukan uji signifikansi dengan
menggunakan Chi Square. Jika Chi Square yang dihasilkan tidak signifikan
(nilai p>0,05), maka dapat disimpulkan, bawa hipotesis nihil yang menyatakan:
61
“tidak ada perbedaan antara matriks S dan ∑” tidak ditolak. Artinya teori
unidimensional dapat diterima, bahwa item atau subtes yang di ukur hanya
mengukur satu faktor saja.
5. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya, adalah menguji hipotesis
tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang
hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan t-test. Jika nilai t signifikan
( > 1,96), berarti item yang bersangkutan signifikan dalam mengukur apa yang
hendak diukur. Dengan cara seperti ini, dapat dinilai butir item mana yang
valid dan yang tidak valid dalam konteks validitas kontruk. Dengan kata lain,
analisis faktor konfirmatori dalam hal ini adalah pengujian terhadap hipotesis
nihil (H0): S - ∑ = 0. Artinya tidak ada perbedaan antar matriks korelasi yang
diharapkan oleh teori dengan matriks korelasi yang diperoleh dari hasil
observasi.
6. Setelah itu dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Perlu dicatat
bahwa untuk alat ukur yang bukan mengukur kemampuan (misal: mengenali
emosi diri) jika ada pernyataan negatif, perlu dilakukan penyesuaian arah
skoringnya yang dirubah menjadi positif. Jika sudah dibalik, maka berlaku
perhitungan umum dimana item bermuatan faktor negatif di drop.
Apabila kesalahan pengukurannya berkorelasi terlalu banyak dengan kesalahan
pengukuran pada item lain, maka item seperti ini pun dapat di drop karena bersifat
sangat multidimensional.
62
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Psychological Well-being
Pada uji validitas konstruk variabel PWB, penulis melakukan uji validitas dengan
model CFA, yaitu model first order dan model second order. Dimana pada
awalnya penulis mengelompokkan item berdasarkan item dari PWB dan
kemudian setelah dikelompokkan dihitung melalui perhitungan CFA dengan
model first order. Berikut first order dari setiap dimensi PWB:
3.4.1.1 Uji Validitas berdasarkan dimensi otonomi. Dalam perhitungan data
CFA model satu faktor dari dimensi otonomi diperoleh skor awal perhitungan
Chi-Square = 15,87, df = 5, P-value = 0,00722, RMSEA = 0,105. . Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,73, df = 4, P-value =
0.44403, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan
dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan
faktor pada lampiran 2.
Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan
koefisien dari lima item dimensi otonomi, dapat dilihat bahwa kelima item
63
memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang artinya, tidak ada
item yang di-drop pada dimensi otonomi ini.
3.4.1.2 Uji Validitas berdasarkan dimensi environmental mastery. Dalam
perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi environmental mastery
diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 7,47, df = 2, P-value = 0,02382,
RMSEA = 0,117. . Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu
kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-
Square = 1,31, df = 1, P-value = 0.25230, RMSEA = 0.040. P-value >0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa
seluruh item mengukur satu faktor saja.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan
dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan
faktor pada lampiran 3.
Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan
koefisien dari empat item dimensi environmental mastery, dapat dilihat bahwa
keempat item memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang
artinya, tidak ada item yang di-drop pada dimensi environmental mastery ini.
3.4.1.3 Uji Validitas berdasarkan dimensi personal growth. Dalam perhitungan
data CFA model satu faktor dimensi personal growth diperoleh skor awal
64
perhitungan Chi-Square = 5,13, df = 2, P-value = 0,07682, RMSEA = 0,089.
Perolehan P-value = 0,07682 (P > 0,05, tidak signifikan) maka artinya, model ini
sudah fit. Hal ini menunjukkan bahwa model dengan satu faktor (unidimensional)
dapat diterima satu faktor saja, yaitu personal growth. Selanjutnya, peneliti
melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur,
sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka
dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam
menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan
muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 4.
Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan
koefisien dari empat item dimensi personal growth, dapat dilihat bahwa keempat
item memiliki T-value > 1,96 dan koefisien bermuatan positif yang artinya, tidak
ada item yang di-drop pada dimensi personal growth ini.
3.4.1.4 Uji Validitas berdasarkan dimensi positive relations with others. Dalam
perhitungan data CFA model satu faktor dari dimensi positive relations with
others diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 19,54, df = 5, P-value =
0,00152, RMSEA = 0,121. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
sebanyak dua kali terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
Chi-Square = 4,17, df = 3, P-value = 0.24348, RMSEA = 0.044. P-value >0.05
(tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unindimensional)
bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja.
65
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan
dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan
faktor pada lampiran 5.
Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan
koefisien dari lima item dimensi positive relations with others, dapat dilihat
bahwa terdapat dua item yang harus di-drop karena T-value < 1,96.
3.4.1.5 Uji Validitas berdasarkan dimensi purpose in life. Dalam perhitungan
data CFA model satu faktor dari dimensi purpose in life diperoleh skor awal
perhitungan Chi-Square = 26,52, df = 2, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,248.
Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 3,11, df = 1, P-
value = 0,07791, RMSEA = 0.103. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya
model dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Dalam menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan
dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif dari data tabel muatan
66
faktor pada lampiran 6. Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil
perhitungan koefisien dari lima item dimensi purpose in life, dapat dilihat bahwa
terdapat satu item yang harus di-drop karena T-value < 1,96.
3.4.1.6 Uji Validitas berdasarkan dimensi self-acceptance. Dalam perhitungan
data CFA model satu faktor dimensi self-acceptance diperoleh skor awal
perhitungan Chi-Square = 0,24, df = 2, P-value = 0,88596, RMSEA = 0,000.
Perolehan P-value = 0,88596 (P > 0,05, tidak signifikan) maka artinya, model ini
sudah fit. Hal ini menunjukkan bahwa model dengan satu faktor (unidimensional)
dapat diterima satu faktor saja, yaitu self-acceptance. Selanjutnya, peneliti melihat
apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Dalam
menentukan nilai koefisien muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan
muatan positif atau negatif dari data tabel muatan faktor pada lampiran 7.
Dari data tabel muatan faktor diperoleh gambaran hasil perhitungan
koefisien dari lima item dimensi self-acceptance, dapat dilihat bahwa terdapat
satu item yang harus di-drop karena T-value < 1,96.
3.4.2 Uji validitas PWB dengan model second order
Setelah dilakukan perhitungan data CFA dengan model first order, maka
didapatkan 22-item valid yang kemudian penulis ujikan kembali menggunakan
model second order. Dalam perhitungan data CFA dengan model second order
variabel PWB ini diperoleh skor awal perhitungan Chi-Square = 698,67, df = 204,
P-value = 0,00000, RMSEA = 0,110. Terlihat bahwa perolehan P-value = 0,00000
67
(P < 0,05, signifikan) maka artinya, model ini belum fit. Maka penulis melakukan
modifikasi terhadap model ini, yaitu dengan membebaskan setiap item untuk
berkorelasi.
Peneliti melakukan modifikasi sebanyak 59 kali, setelah melalui 59 kali
modifikasi, diperoleh nilai Chi-Square = 174,75 df = 146, P-value = 0,05247,
RMSEA = 0,031, dengan P-value > 0,05 yang artinya, model ini sudah fit. Dimana
item yang ada pada variabel PWB ini berarti hanya mengukur satu faktor saja,
yaitu PWB. Selanjutnya, penulis melihat muatan faktor dari variabel PWB dengan
melakukan uji hipotesis nihil dari setiap item. Dalam menentukan nilai koefisien
muatan item ini dilakukan dengan melihat T-value dan muatan positif atau negatif
dari data tabel muatan faktor lampiran 8. Berdasarkan data yang diperoleh dari 22-
item yang telah diuijikan, dapat dilihat bahwa terdapat 5 item yang memiliki T-
value < 1,96 sehingga item tersebut harus di-drop.
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Psychological Capital
1. Psychological Capital (Self-efficacy)
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur psychological capital self-efficacy . Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan
Chi-Square = 62.57, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.173. Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi sebanyak tiga kaliterhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 8.70, df = 6, P-value =
68
019143, RMSEA = 0.048. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu strategi psychological capital (self-efficacy).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 9. Berdasarkan lampiran 9, nilai t
bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat
korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan
sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya
tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi
kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur
apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item
yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan
skor faktor.
2. Psychological Capital (Hope)
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur psychological capital hope. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
69
39.93, df = 9, P-value = 0.00001, RMSEA= 0.131. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi sebanyak tiga kali terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 8.56, df = 6, P-value = 019991,
RMSEA = 0.046. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
strategi psychological capital (hope).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 10. Berdasarkan lampiran 10, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat
korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan
sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya
tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi
kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur
apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item
yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan
skor faktor.
70
3. Psychological Capital (Resiliency)
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur psychological capital resiliency. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-
Square = 18.19, df = 9, P-value = 0.03300, RMSEA= 0.072. Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 11.30, df = 8, P-value =
018501, RMSEA = 0.046. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu strategi psychological capital (resiliency).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 11.
Berdasarkan lampiran 11, nilai t bagi koefisien muatan faktor item nomor
13 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item,
apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya
negatif yaitu item 13. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi dengan item
yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional
pada dirinya masing-masing. Item nomor 13 didrop karena memiliki korelasi
71
terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 13 akan
didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam
perhitungan faktor skor.
4. Psychological Capital (Optimisme)
Peneliti menguji apakah keenam item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur psychological capital optimisme. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-
Square = 61.76, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.172. Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi sebanyak tiga kali terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 10.35, df = 6, P-value =
011080, RMSEA = 0.060. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu strategi psychological capital (optimisme).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 12. Berdasarkan lampiran 12, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dapat dilihat
72
korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada penjelasan
sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan pengukurannya
tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak memiliki korelasi
kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut hanya mengukur
apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan tidak ada item
yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam perhitungan
skor faktor.
3.4.4 Uji Validitas Konstruk Kepuasan Kerja
1. Kepuasan Kerja (Pay)
Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja pay. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 2.90, df =
2, P-value = 0.2349, RMSEA= 0.047. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu
melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (pay).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
73
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada
penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan
pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item tidak
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut
hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan
tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam
perhitungan skor faktor.
2. Kepuasan Kerja (Promotion)
Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja (promotion). Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
12.97, df = 2, P-value = 0.00152, RMSEA= 0.166. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.08, df = 1, P-value = 0.77160,
RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
kepuasan kerja (promotion)
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
74
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 14. Berdasarkan lampiran 14, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada
penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan
pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item tidak
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut
hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan
tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam
perhitungan skor faktor.
3. Kepuasan Kerja (Supervision)
Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja (supervision). Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
45.14, df = 2, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.329. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.84, df = 1, P-value = 0.35939,
RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
75
satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
kepuasan kerja (supervision)
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 15. Berdasarkan lampiran 15, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada
penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan
pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut
hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan
tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam
perhitungan skor faktor.
4. Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)
Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja (fringe benefit). Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-
Square = 9.71, df = 2, P-value = 0.00779, RMSEA= 0.139. Oleh sebab itu,
76
peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.01, df = 1, P-value =
0.92452, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu kepuasan kerja (fringe benefit)
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 16 Berdasarkan lampiran 16, nilai t
bagi koefisien muatan faktor item nomor 14 tidak signifikan karena t <1.96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka
diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 14. Diketahui
terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masing-
masing. Item nomor 14 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain.
Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 14 akan didrop, artinya bobot
nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor.
5. Kepuasan Kerja (Contingen Reward)
Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja (contingen reward). Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil
77
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan
Chi-Square = 19.44, df = 2, P-value = 0.00006, RMSEA= 0.209. Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.07, df = 1, P-value =
0.79055, RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu kepuasan kerja (contingen reward). Selanjutnya, peneliti melihat
apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak, maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
lampiran 17. Berdasarkan lampiran 17, nilai t bagi koefisien muatan faktor item
nomor 17 tidak signifikan karena t <1.96. Selanjutnya melihat muatan faktor dari
item, apakah ada yang negatif, maka diketahui terdapat 1 item yang muatan
faktornya negatif yaitu item 17. Diketahui terdapat item yang saling berkorelasi
dengan item yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa item tersebut bersifat
dimensional pada dirinya masing-masing. Item nomor 17 didrop karena memiliki
korelasi terhadap item lain. Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 17
akan didrop, artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam
perhitungan faktor skor.
78
6. Kepuasan Kerja (Operating Condition)
Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja operating condition. Dari hasil analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square =
3.31, df = 2, P-value = 0.19143, RMSEA= 0.057. Oleh sebab itu, peneliti tidak
perlu melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan)
yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (operating
condition).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 18. Berdasarkan lampiran 18, nilai
t bagi koefisien muatan faktor item nomor 21 tidak signifikan karena t <1.96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka
diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 21. Diketahui
terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masing-
masing. Item nomor 21 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain.
Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 21 akan didrop, artinya bobot
nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor.
79
7. Kepuasan Kerja (Coworker)
Peneliti menguji apakah keempat item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja (coworker). Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
27.04, df = 2, P-value = 0.00000, RMSEA= 0.251. Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 0.29, df = 1, P-value = 0.58943,
RMSEA = 0.000. P-value >0.05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unindimensional) bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
kepuasan kerja (coworker).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 19. Berdasarkan lampiran 19, nilai
t bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada
penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan
pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak
80
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut
hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan
tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam
perhitungan skor faktor.
8. Kepuasan Kerja (Nature of Work)
Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja nature of work. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 0.92,
df = 2, P-value = 0.63037, RMSEA= 0.000. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu
melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (nature of work).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampian 20. Berdasarkan lampiran 20, nilai t
bagi koefisien muatan faktor semua item signifikan karena t > 1.96. Selanjutnya
melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dapat dilihat korelasi antar kesalahan pengukuran pada item. Seperti pada
penjelasan sebelumnya, bahwa item yang baik adalah item yang kesalahan
pengukurannya tidak berkorelasi satu sama lain. Pada model ini item-item tidak
81
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, maka item tersebut
hanya mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian secara keseluruhan
tidak ada item yang akan di drop, yang artinya semua item akan dianalisis dalam
perhitungan skor faktor.
9. Kepuasan Kerja (Communication)
Peneliti menguji apakah keempat item ada yang bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur kepuasan kerja communication. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 2.08,
df = 2, P-value = 0.35417, RMSEA= 0.014. Oleh sebab itu, peneliti tidak perlu
melakukan modifikasi terhadap model. P-Value >0.05 (tidak signifikan) yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu kepuasan kerja (communication).
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada lampiran 21. Berdasarkan lampiran, nilai t
bagi koefisien muatan faktor item nomor 33 tidak signifikan karena t <1.96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang negatif, maka
diketahui terdapat 1 item yang muatan faktornya negatif yaitu item 33. Diketahui
terdapat item yang saling berkorelasi dengan item yang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa item tersebut bersifat dimensional pada dirinya masing-
masing. Item nomor 33 didrop karena memiliki korelasi terhadap item lain.
82
Dengan demikian secara keseluruhan item nomor 33 akan didrop, artinya bobot
nilai pada item tersebut tidak akan dianalisis dalam perhitungan faktor skor.
3.5 Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai pengaruh kepuasan kerja dan
psychological capital terhadap psychological well-being pada petugas pemadam
kebakaran, maka peneliti mengolah data yang didapat dengan menggunakan
Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Teknik analisis regresi
berganda ini digunakan untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditujukan untuk
mengetahui besarnya pengaruh dari variabel bebas (IV), yaitu kepuasan kerja dan
psychological capital dengan psychological well-being (DV).
Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk
membentuk model hubungan antara variabel terikat (Dependent; respon; Y)
dengan lebih dari satu variabel bebas (Independent; predictor; X)
Persamaan regresi penelitian adalah :
Keterangan:
Y : Nilai prediksi Y (Psychological well-being)
a : Konstan (intercept)
b : Koefisien regresi yang distandarisasikan untuk masing-masing X
X1 : Gaji
X2 : Promosi
X3 : Kepemimpinan
X4 : Tunjangan
X5 : Penghargaan
X6 : Prosedur kerja
X7 : Rekan kerja
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 +
b10X10 + b11X11 + b12X12+b13X13+e
83
X8 : Sifat pekerjaan
X9 : Komunikasi
X10 : Self-efficacy
X11 : Hope
X12 : Resiliency
X13 : Optimism
e : Residu
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi
berganda antara kepuasan kerja dan psychological capital. Besarnya
psychological well-being yang disebabkan faktor yang telah disebutkan tadi
ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R². R² menunjukkan variasi
atau perubahan variabel terikat (Y) disebabkan variabel bebas (X) atau digunakan
untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat
(Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians dari intense yang dijelaskan oleh
kepuasan kerja dan psychological capital. Untuk mendapatkan nili R², digunakan
rumusan sebagai berikut :
Untuk membuktikan apakah regresi X pada Y signifikan atau tidak, maka
dapat diuji dengan menggunakan uji F, untuk membuktikan hal tersebut dengan
menggunakan rumus :
Dimana k adalah jumlah independen variabel dan N adalah jumlah sampel.
Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah variabel independen
yang diujikan memiliki pengaruh terhadap dependen variabel.
R2 =
84
Kemudian dilanjutkan dengan uji t yang digunakan untuk melihat apakah
pengaruh yang diberikan variabel bebas (X) signifikan terhadap variabel terikat
(Y) secara sendiri atau parsial. Uji ini digunakan untuk menguji apakah sebuah
variabel bebas (X) benar-benar memberikan kontribusi terhadap variabel terikat
(Y), oleh karenanya sebelum didapat t dari tiap IV, harus didapat dahulu nilai
standart eror estimate dari b (koefisien regresi) yang didapatkan melalui akar
mean square dibagi SSx. Setelah didapat nilai Sb barulah bisa dilakukan uji t, yaitu
hasil bagi dari b (koefisien regresi) dengan Sb itu sendiri.
Uji t akan dilakukan sebanyak 13 kali sesuai dengan hipotesis nihil yang
hendak diujikan. Uji t dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
bS
bt
Dimana b adalah koefisien regresi dan sb adalah standart error dari b. Hasil
uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti.
Seluruh perhitungan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS
17.0.
3.6 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, perlu melalui beberapa tahapan, yaitu: Prosedur Penelitian
melalui data terbaru yang diminta langsung oleh peneliti kepada responden yang
menjadi responden adalah Petugas Pemadam Kebakaran dengan jumlah 200
orang. Sebelum diadakan penelitian di lapangan ada beberapa tahapan yang harus
disiapkan, yaitu:
85
1. Dimulai dengan perumusan masalah
2. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan
teoritis yang tepat mengenai variabel penelitian.
3. Menentukan metode apa yang digunakan dalam penelitian, sehingga dapat
membantu dalam proses penghitungan data
4. Mengadaptasi dan memodifikasi item-item yang baku agar sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan oleh peneliti .
5. Menyiapkan “Blue Print” yang terdiri dari item yang bersifat “Favorable &
Unfavorable”.
6. Melakukan pengujian dilapangan.
86
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada bab empat peneliti akan mebahas mengenai hasil penelitian yang telah
dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu, analisis deskriptif dan
pengujian hipotesis penelitian.
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
Sebelum diuraikan secara lebih terperinci tentang beberapa sub bab selanjutnya, perlu
dijelaskan bahwa skor yang digunakan dalam analisis statistik adalah skor murni (t-
score) yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses ini ditujukan
agar mudah dalam membandingkan antar skor hasil pengukuran variabel-variabel
yang diteliti. Dengan demikian semua raw score pada setiap variabel harus diletakkan
pada skala yang sama. Secara teknis komputasinya yang ditempuh adalah dengan
melakukan transformasi dari raw score menjadi z-score. Untuk menghilangkan
bilangan negatif dari z-score, semua skor ditransformasi keskala T yang semuanya
positif dengan menetapkan mean = 50 dan standar deviasi = 10.
Selanjutnya untuk menjelaskan gambaran umum tentang statistik deskriptif
dari variabel dalam penelitian ini, indeks yang menjadi patokan adalah mean, median,
standar deviasi (SD), nilai maksimal dan minimal dari masing-masing variabel. Nilai
tersebut disajikan dalam tabel 4.1 berikut ini.
87
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PWB 200 26.43 79.24 50.0003 8.28397
Efficacy 200 26.34 73.20 50.0000 8.67745
Hope 200 15.59 71.37 50.0000 8.72052
Resiliensi 200 22.44 71.61 50.0000 8.71924
Optimisme 200 19.71 65.86 50.0000 8.80654
Pay 200 27.14 73.00 50.0000 8.10827
Promosi 200 35.19 72.49 50.0000 6.99743
Supervisi 200 26.62 71.27 50.0000 8.70604
Fb 200 30.65 72.11 50.0000 8.45098
Reward 200 29.31 74.12 50.0000 8.58190
Operating 200 15.57 71.21 50.0000 8.72559
Coworker 200 26.95 65.18 50.0000 9.20763
Now 200 2.94 59.02 50.0000 8.67231
Komunikasi 200 27.73 70.17 50.0000 9.90600
Mengingat semua skor telah diletakkan pada skala yang sama, maka semua
mean pada setiap skala adalah 50 dan standar deviasi adalah 10. Dari tabel 4.8 juga
dapat diketahui skor terendah DV (psychological well-being) adalah 26.43 dan skor
tertinggi adalah 79.24. Psychological Capital (Self-Efficacy) skor terendah 26.34 dan
skor tertinggi 73.20. Psychological Capital (Hope) skor terendah 15.59 dan skor
tertinggi 71.37. Psychological Capital (Resiliency) skor terendah 22.44 dan skor
tertinggi 71.61. Psychological Capital (Optimisme) skor terendah 19.71 dan skor
tertinggi 65.86. Skor terendah dari Kepuasan Kerja (Pay) 27,14 dan skor tertinggi
73,00 Kepuasan Kerja (Promotion) skor terendah 35.19 dan skor tertinggi 72.49.
Kepuasan Kerja (Supervision) skor terendah 26.62 dan skor tertinggi 71.27.
88
Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)) skor terendah 30.65 dan skor tertinggi 72.11.
Kepuasan Kerja (Contingen Reward) skor terendah 29.31 dan skor tertinggi 74.12.
Kepuasan Kerja (Operating Condition) skor terendah 15.57 dan skor tertinggi 71.21.
Kepuasan Kerja (Coworker) skor terendah 26.95 dan skor tertinggi 65.18. Kepuasan
Kerja (Nature of Work) skor terendah 2.94 dan skor tertinggi 59.02. Kepuasan Kerja
(Communication) skor terendah 27.73 dan skor tertinggi 70.17.
4.1.1 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari skala T ini, maka dapat
ditetapkan kategori skor seperti yang tertera pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2
Norma Skor Variabel
Norma Interpretasi
X < Mean Rendah
X > Mean Tinggi
Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase
kategori untuk psychological well-being, self-efficacay, hope, resiliency, optimism
pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen reward, operating condition,
coworker, dan communication, , sebagaimana yang akan dijabarkan di tabel 4.3
89
Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
No Variable Kategori dan Persentasi Skor Total
Rendah % Tinggi %
1 Psychological Well-
Being
112 56 % 88 44 % 200
2 Self-Efficacy 126 63 % 74 37 % 200
3 Hope 126 63 74 37% 200
4 Resiliency 67 33.5% 133 66.5% 200
5 Optimisme 130 65% 70 45% 200
6 Pay 104 52 % 96 48 % 200
7 Promotion 92 46 % 108 54 % 200
8 Supervision 88 44 % 112 56 % 200
9 Fringe Benefit 99 49.5 % 101 50.5 % 200
10 Contingen Reward 95 47.5 % 105 52.5 % 200
11 Operating Condition 48 24 % 152 76 % 200
12 Coworker 142 71 % 58 29 % 200
13 Nature of Work 85 42.5 % 115 57.5 % 200
14 Communication 92 46 % 108 54% 200
Berdasarkan tabel 4.3, dapat disimpulkan bahwa pada variabel psychological
well-being sebagian responden memiliki psychological well-being pada tingkat yang
rendah yaitu sebanyak 112 orang atau 56 %. Responden memiliki tingkat kepuasan
self-efficacy yang rendah, yaitu sebanyak 126 orang atau 63 %. Responden memiliki
tingkat kepuasan hope yang rendah, yaitu sebanyak 126 orang atau 63 %. Responden
memiliki tingkat kepuasan resiliency yang tinggi, yaitu sebanyak 133 orang atau 66,5
%. Responden memiliki tingkat kepuasan optimisme yang tinggi, yaitu sebanyak 130
orang atau 65 %. Responden Kepuasan pay pada tingkat yang rendah yaitu sebanyak
104 orang atau 52 %. Responden memiliki tingkat kepuasan promotion yang tinggi,
yaitu sebanyak 108 orang atau 54 %. Responden memiliki tingkat kepuasan
supervisin yang tinggi, yaitu sebanyak 112 orang atau 56 %. Responden memiliki
90
tingkat kepuasan fringe benefit yang tinggi, yaitu sebanyak 101 orang atau 50.5 %.
Responden memiliki tingkat kepuasan contingen reward yang tinggi, yaitu sebanyak
105 orang atau 52.5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan operating condition
yang tinggi, yaitu sebanyak 152 orang atau 76 %. Responden memiliki tingkat
kepuasan coworker yang rendah, yaitu sebanyak 142 orang atau 71 %. Responden
memiliki tingkat kepuasan promotion yang tinggi, yaitu sebanyak 108 orang atau 54
%. Responden memiliki tingkat kepuasan nature of work yang tinggi, yaitu sebanyak
115 orang atau 57,5 %. Responden memiliki tingkat kepuasan communication yang
tinggi, yaitu sebanyak 108 orang atau 54 %.
4.2 Uji Hipotesi Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda
dengan menggunakan software SPSS 17 seperti yang sudah dijelaskan pada bab 3,
dalam regresi ada tiga hal yang dilihat, yaitu melihat R square untuk mengetahui
berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV berpengaruh secara signifikan
terhadap DV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien dari
masing-masing IV.
4.2.1 Hipotesis Mayor
Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen
(%) varians dari dependent variable, yaitu psychological well-being yang
diprediksikan oleh keseluruhan independent variable.
91
Selanjutnya dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0.353. Hal ini
berarti 32,9% dari bervariasinya psychological well-being ditentukan oleh
bervariasinya independent variable yang diteliti. Sedangkan 67,1% sisanya
dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian. Adapun R square dapat dilihat pada
tabel 4.4
Tabel 4.4
Tabel Model Summary
R R Square Adjusted R Square Std. Error of The
estimate
1 .574a .329 .282 7.01713
a. Predictors: (Constant), OPTIMISME, PAY, KOMUNIKASI, OPERATING,
PROMOSI, SUPERVISI, COWORKER, NATURE, REWARD, RESILIENSI,
FRINGE, EFFICACY, HOPE
b. Dependent Variable: PWB
Adapun langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh
independent variable terhadap psychological well-being. Adapun uji F dapat dilihat
pada tabel 4.5 berikut ini. Dimana dari tabel dibawah, dapat dilihat bahwa nilai Sig.
pada kolom paling kanan dapat diketahui bahwa (p < 0.05), maka hipotesis nihil yang
menyatakan tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh independent
variable terhadap psychological well-being ditolak. Artinya, terdapat pengaruh yang
signifikan dari kepuasan kerja (pay, promotion, supervision, fringe benefit, contingen
reward, operating condition, coworker, nature of work, communication) dan
psychological capital (self-efficacay, hope, resiliency, optimism) terhadap
psychological well-being.
92
Tabel 4.5
ANOVAb
Model Sum of
Squares
Df Mean
Square
F Sig
1 Regression 4497.524 13 345.963 7.026 .000a
Residual 9158.671 186 49.240
Total 13656.195 199
a. Predictors: (Constant), OPTIMISME, PAY, KOMUNIKASI, OPERATING,
PROMOSI, SUPERVISI, COWORKER, NATURE, REWARD, RESILIENSI,
FRINGE, EFFICACY, HOPE
b. Dependent Variable: PWB
4.2.2 Hipotesis Minor
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap independent variable. Jika
nilai absolut dari t > 1.96 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti
bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap psychological well-
being. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6
Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std.
Error
Beta
(Constant) 14.935 5.752 2.596 .010
EFFICACY -.096 .108 -.100 -.887 .376
HOPE .203 .115 .214 1.761 .080
RESILIENSI .126 .081 .132 1.546 .124
OPTIMISME .220 .093 .234 2.377 .018
PAY .021 .080 .020 .257 .797
PROMOSI .044 .084 .037 .521 .603
SUPERVISI .115 .068 .121 1.691 .092
FRINGE -.104 .078 -.106 -1.339 .182
REWARD .017 .073 .018 .238 .812
OPERATING .101 .068 .107 1.499 .136
COWORKER .099 .066 .110 1.513 .132
NATURE -.023 .070 -.024 -.325 .746
KOMUNIKASI -.023 .054 -.028 -.426 .671
93
a. Dependent Variable : PWB
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.6 dapat disampaikan persamaan regresi
sebagai berikut :
Psychological Well-bieng = 14.935 - 0.096 (effikasi diri) + 0.203 (hope) + 0,126
(resiliensi) + 0,220 (optimisme)* + 0,021 (pay) + 0,044
(promosi) + 0,115 (supervisi) – 0,104 (fringe) + 0,017
(reward) + 0,101 (operating) + 0,099 (coworker) –
0,023 (nature) – 0,023 (komunikasi)
Keterangan: Signifikan (*)
Dari tabel di atas, untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi
yang dihasilkan, kita cukup melihat nilai Sig pada kolom yang paling kanan (kolom
ke-6), jika P < 0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya
terhadap psychological well-being dan sebaliknya. Dari hasil diatas, hanya koefisien
kepuasan kerja (operating condition) dan psychological capital (resiliensi) yang
signifikan, sedangkan lainnya tidak. Hal ini berarti bahwa dari 13 hipotesis minor
terdapat 2 yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh
setiap IV adalah sebagai berikut :
1. Variabel self-efficacy dari psychological capital diperoleh koefisien regresi
sebesar -0,096 dengan signifikasi 0,376 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa self-efficacy tidak mempengaruhi psychological well-being secara
signifikan.
94
2. Variabel hope dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar
0,203 dengan signifikasi 0,080 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
hope tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
3. Variabel resiliency dari psychological capital diperoleh koefisien regresi sebesar
0,126 dengan signifikasi 0,124 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
resiliency tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
4. Variabel optimisme dari psychological capital diperoleh koefisien regresi
sebesar 0,220 dengan signifikasi 0,018 (p<0.05) yang berarti bahwa variabel
optimisme secara positif dan signifikan mempengaruhi psychological well-being
artinya semakin tinggi optimisme maka semakin tinggi pula psychological well-
being.
5. Variabel pay diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,021 dengan signifikansi
0,797 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pay tidak mempengaruhi
psychological well-being secara signifikan.
6. Variabel promosi diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,044 dengan signifikasi
0,603 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa promosi tidak mempengaruhi
psychological well-being secara signifikan.
7. Variabel supervisi diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,115 dengan
signifikasi 0,092 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa supervisi tidak
mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
95
8. Variabel fringe benefit diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,104 dengan
signifikasi 0,182 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa fringe benefit tidak
mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
9. Variabel contingen reward diperoleh nilai koefisien regresi 0,017 dengan
signifikasi 0,812 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa contingen reward
tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
10. Variabel operating condition diperoleh koefisien regresi sebesar 0,101 dengan
signifikasi 0,136 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa operating
condition tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
11. Variabel coworker diperoleh koefisien regresi sebesar 0,099 dengan signifikasi
0,132 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa coworker tidak
mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
12. Variabel nature of work diperoleh koefisien regresi sebesar -0,023 dengan
signifikasi 0,746 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nature of work
tidak mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
13. Variabel communication diperoleh koefisien regresi sebesar -0.023 dengan
signifikasi 0,671 (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa coworker tidak
mempengaruhi psychological well-being secara signifikan.
4.2.3 Pengujian Proporsi Varians
Selanjutnya peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varians setiap
independent variabel terhadap psychological well-being. Pada tabel 4.7 kolom
96
pertama adalah IV yang dianalis satu per satu, kolom kedua merupakan penambahan
varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu persatu tersebut, kolom ketiga
merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu,
kolom keempat adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan. Kolom DF adalah
derajat bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan
dunemerator yang telah ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan
dibandingkan dengan nilai F hitung. Apabila F hitung lebih besar daripada F tabel,
maka kolom selanjutnya, yaitu kolom signifikansi yang dituliskan signifikan dan
sebaliknya.
Tabel 4.7
Proporsi varians untuk masing-masing Independent Variabel
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of The
estimate
R Square
Change
1 .410a .168 .164 7.57336 .168
2 .494b .244 .237 7.23723 .076
3 .508c .258 .247 7.19028 .014
4 .526d .277 .262 7.11643 .019
5 .526e .277 .258 7.13435 .000
6 .533f .284 .262 7.11733 .007
7 .548g .301 .275 7.05263 .017
8 .556h .309 .280 7.03033 .008
9 .556i .309 .276 7.04738 .000
10 .566j .321 .285 7.00619 .012
11 .573k .328 .289 6.98525 .007
12 .573l .329 .286 7.00175 .001
13 .574m .329 .282 7.01713 .000
Keterangan:
1. Efficacy : Self-efficacy 8. Fringe : Fringe Benefit
2. Hope : Hope 9. Reward : Contingent Reward
3. Resiliensi : Resiliency 10. Operating : Operating Conditions
4. Optimisme : Optimisme 11. Coworker : Coworker
97
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel psychological capital (self-efficacy) memberikan sumbangan sebesar
16,8 % dalam varians psychological well-being.
2. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel psychological capital (hope) memberikan sumbangan sebesar 7,6 %
dalam varians psychological well-being.
3. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel psychological capital (resiliency) memberikan sumbangan sebesar 1,4 %
dalam varians psychological well-being.
4. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel psychological capital (optimisme) memberikan sumbangan sebesar 1,9
% dalam varians psychological well-being.
5. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (pay) memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam varians
psychological well-being.
6. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (promotion) memberikan sumbangan sebesar 0,7 % dalam
varians psychological well-being.
5. Pay : Pay 12. Nature : Nature Of Work
6. Promosi : Promotion 13. Komunikasi: Communication
7. Supervision : Supervision 14. PWB : Psychological Well-Being
98
7. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (supervision) memberikan sumbangan sebesar 1,7 %
dalam varians psychological well-being.
8. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (fringe benefit) memberikan sumbangan sebesar 0,8 %
dalam varians psychological well-being.
9. Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (reward) memberikan sumbangan sebesar 0 % dalam
varians psychological well-being.
10.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (operating condition) memberikan sumbangan sebesar
1,2 % dalam varians psychological well-being.
11.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (coworker) memberikan sumbangan sebesar 0,7 % dalam
varians psychological well-being.
12.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (nature of work) memberikan sumbangan sebesar 0,1 %
dalam varians psychological well-being.
13.Dari 32,9% sumbangan independent variable terhadap dependent variable,
variabel kepuasan kerja (communication) memberikan sumbangan sebesar 0%
dalam varians psychological well-being.
99
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah peneliti melakukan penelitian dan mendapatkan hasil serta menganalisis hasil
yang didapat, maka pada bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil dari penelitian.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. Peneliti akan
memaparkan pada penjelasan berikut ini.
Berdasarkan hasil uji hipotesis peneliti, maka kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah “terdapat pengaruh yang signifikan dari kepuasan kerja dan
psychological capital terhadap psychological well-being pada petugas pemadam
kebakaran”. Kemudian hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi setiap
koefisien regresi terhadap dependent variabel, diperoleh bahwa hanya variabel
psychological capital (optimisme) yang memberikan pengaruh signifikan terhadap
psychological well-being. Dengan demikian hanya satu hipotesis minor yang
diterima, yaitu terdapat pengaruh yang signifikan dari optimisme terhadap
psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran.
5.2 Diskusi
Berdasarkan hasil uji t, didapatkan kesimpulan bahwa psychological capital memiliki
pengaruh terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. Hasil
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandeep dan Mansi (2009) yang
100
menyatakan bahwa psychological capital memiliki pengaruh terhadap psychological
well-being. Hal ini sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Luthans,
Avey, Smith, dan Palmer (2010) bahwa psychological capital siginifikan
mempengaruhi psychological well-being. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa
psychological capital secara positif dapat meningkatkan psychological well-being
karyawan, selain itu terdapat hubungan yang positif dari waktu ke waktu antara
psychological capital dan psychological well-being. Hal ini sejalan pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kenneth Cole (2006) menyatakan bahwa
psychological capital signifikan mempengaruhi well-being. Semakin tingginya
psychological capital individu maka semakin tinggi pula well-being. Psychological
capital memiliki empat aspek, dari empat aspek tersebut hanya satu aspek yang
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Variabel yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap psychological well-being pada petugas
pemadam kebakaran, yaitu optimisme (psychological capital).
Dimensi optimisme (psychological capital) dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009) yang menyatakan
bahwa optimisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-
being. Semakin tinggi optimisme individu maka semakin tinggi pula psychological
well-being. Selain itu penelitian Deepali Mital dan Madhu Mathur (2011) juga
101
menyatakan bahwa, optimisme positif memiliki hubungan dan signifikan
mempengaruhi psychological well-being.
Petugas yang memiliki optimisme tinggi, maka akan memiliki psychological
well-being yang tinggi. Petugas akan selalu memandang kejadian atau situasi yang
sulit sebagai keadaan sementara sehingga petugas akan terus berusaha menghadapi
kesulitan. Seperti dalam proses pemadaman seorang petugas harus memiliki
optimisme yang tinggi sehingga petugas dapat memadamkan api dengan maksimal,
karena memiliki keyakinan dan harapan bahwa mereka dapat memadamkan api
dengan maksimal dan tanpa adanya kecelakaan.
Optimisme dapat membantu individu mengatasai stress dan dapat mengurangi
resiko sakit. Menurut Seligman (1991) optimisme memberikan pengaruh yang besar
terhadap well-being, dan dapat mempengaruhi pertumbuhan pribadi, hubungan
dengan orang lain, dan tingkatan kesenangan terhadap pekerjaan. Jadi jika petugas
memiliki optimisme yang tinggi dengan selalu berfikir positif pada segala situasi
khususnya pada proses pemadaman dan selalu memiliki harapan yang tinggi pada
saat situasi sulit, maka dapat memunculkan psychological well-being yang tinggi.
Dimensi self-efficacy (psychological capital) dalam penelitian ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological wel-being. Penelitian ini
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandeep Singh dan Mansi (2009)
yang menyatakan bahwa psychological capital (self-efficacy) memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap psychological well-being. Dalam penelitiannya menyatakan
102
bahwa semakin tinggi individu memiliki self-efficacy maka semakin tinggi pula
psychological well-beingnya, tetapi dalam penelitian ini self-efficacy tidak
mempengaruhi psychological well-being. Dalam penelitian ini self-efficacy yang
dimiliki oleh petugas pemadam kebakaran masih sangat rendah. Keyakinan diri
individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengarahkan segala usaha
agar berhasil dan sukses dalam melaksanakan tugas yang dihadapinya masih sangat
rendah.
Dimensi hope (psychological capital) dalam penelitian ini tidak signifikan
mempengaruhi psychological well-being hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Luthans dkk, 2010) yang menyatakan bahwa psychological capital
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being, tetapi dalam
hope yang merupakan dimensi psychological capital tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap psychological well-being. Mungkin hope (harapan) yang dimiliki
oleh petugas masih sangat rendah, sehingga petugas kurang berusaha lebih keras
dalam mencapai tujuan yang dimilikinya.
Dimensi resiliency (psychological capital) dalam penelitian ini tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap psychological well-being. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (dalam Luthans dkk, 2007)
menyatakan bahwa resiliensi memiliki kontribusi dalam meningkatkan well-being.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Srivastava dan Sinha (2005)
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara resiliency dengan well-
103
being. Menurut Luthans (dalam Avey dkk, 2010) menjelaskan resiliensi sebagai
kemampuan seseorang untuk bangkit kembali saat mengalami kejadian yang tidak
menyenangkan dan dapat beradaptasi kembali dari kegagalan tersebut. Mungkin pada
saat terjadi trauma atau kecelakaan, petugas memiliki kesulitan untuk bangkit
kembali dan sulit untuk beradaptasi dari kejadian yang dialaminya.
Selain psychological capital, variabel lain yang turut diuji dalam penelitian ini
adalah kepuasan kerja. Berdasarkan hasil uji t, didapatkan kesimpulan bahwa dimensi
kepuasan kerja tidak signifikan pengaruhnya terhadap psychological wel-being pada
petugas pemadam kebakaran. Hasil ini tidak sejalan dengan berbagai penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh C Bravo-Yanez, dan A Jimenez-Figueroa (2011)
terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan psychological well-being. Individu yang
merasa puas dengan pekerjaannya cenderung merasa baik secara psikologis. Semakin
tinggi individu puas terhadap pekerjaannya maka semakin tinggi pula psychological
well-being individu.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Luthans dkk, 2010 menyatakan
bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan terhadap psychological well-being.
Individu yang merasa senang terhadap pekerjaannya maka puas secara pekerjaan dan
juga psychological well-beingnya. Kepuasan kerja memiliki sembilan aspek, dari
sembilan aspek tidak ada yang signifikan mempengaruhi psychological well-being.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa aspek kepuasan kerja yaitu kepuasan gaji,
promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan kerja, sifat
104
pekerjaan dan komunikasi tidak dapat menentukkan psychological well-being
individu. Dimana petugas pemadam kebakaran tidak puas akan gaji yang diberikan,
promosi yang tidak sesuai, merasa tidak puas terhadap sikap atasan, tunjangan yang
diberikan cenderung tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, petugas
pemadam kebakaran tidak mendapatkan penghargaan atas pekerjaannya, prosedur
kerja yang ditetapkan tidak sesuai, rekan kerja yang kurang kompeten, sifat pekerjaan
yang tidak cocok, serta kurangnya komunikasi akan menyebabkan individu tidak
puas terhadap pekerjaannya sehingga akan mempengaruhi psychological well-being
individu.
Terdapat 13 variabel yang diteliti, tetapi hanya satu independent variabel
yang berpengaruh signifikan terhadap psychological well-being, dan independent
variabel lainnya yang tidak berpengaruh signifikan adalah self-efficacy, hope,
resiliency, gaji, promosi, supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja, rekan
kerja, sifat pekerjaan dan komunikasi. Bagaimanapun, ketidaksesuaian atau
perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor penting seperti sampling error, perbedaan penggunaan instrument
penelitian, background sample, serta hal lain yang tidak ikut diteliti dalam penelitian
ini. Selain itu, latar belakang kultur yang berbeda antara penelitian terdahulu dan
penelitian ini juga menyebabkan perbedaan hasil serta partisipan yang kurang serius
saat mengisi skala sehingga respon menjadi tidak terpola, atau kondisi serta situasi
pada saat partisipan mengisi skala yang tidak kondusif menyebabkan partisipan
105
menjadi tidak konsentrasi dalam memberikan responnya, atau bisa juga dikarenakan
oleh banyaknya item dan tidak semua item mencakup konsep yang bisa dimengerti
secara jelas oleh partisipan. Meskipun begitu, terdapat pula yang hasilnya sesuai
dengan penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti juga melakukan kategorisasi
terhadap nilai yang didapatkan dari responden penelitian variabel penelitian, hasil
kategorisasi yang pertama, responden penelitian memiliki psychological well-being
yang rendah, mungkin dikarenakan sifat pekerjaan sebagai pemadam kebakaran yang
dapat menimbulkan stress dan trauma sehingga petugas memiliki PWB yang rendah.
Kedua, psychological capital petugas pemadam kebakaran secara general masih
rendah. Baik dalam self-efficacy, hope, optimisme, masih tergolong kategori rendah.
Aspek resiliensi termasuk kategori tinggi, dimana petugas pemadam kebakaran lebih
cepat bangkit kembali dari pengalaman yang pernah dialaminya. Ketiga yaitu
kepuasan kerja dalam penelitian ini bervariasi. Gaji dan rekan kerja masih dalam
tegolong rendah, serta promosi supervisi, tunjangan, penghargaan, prosedur kerja dan
sifat pekerjaan tergolong dalam kategori tinggi. Hal ini dimungkinkan petugas sudah
merasa puas terhadap pekerjaan yang dilakukannya.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
didalamnya. Untuk itu, peneliti memberikan beberapa saran untuk bahan
106
pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya yang terkait dengan
penelitian serupa, yaitu saran metodologis dan saran praktis.
5.3.1 Saran Metodologis
1.Varians dari tiga belas independent variable (IV) yang diteliti menyumbang 32,9
%. Sisanya kemungkinan disumbangkan oleh variabel lainnya. Oleh karena itu,
disarankan bagi peneliti selanjutnya dapat menambah variabel lain yang dapat
mempengaruhi psychological well-being. Selain IV pada penlitian ini, independent
variable yang cocok di petugas pemadam kebakaran yaitu dukungan sosial.
2.Instrument dalam penelitian ini menggunakan alat ukur baku dari bahasa asing yang
memiliki istilah yang jarang digunakan. Responden dalam penelitian ini
mempertanyakan istilah yang digunakan. Sehingga disarankan agar penelitian
selanjutnya lebih memahami karakteristik sampel yang digunakan dan dikaitkan
dalam pembuatan instrument penelitian agar mudah dipahami responden.
5.3.2 Saran Praktis
1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang signifikan berpengaruh
secara positif terhadap psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran
adalah psychological capital (optimisme). Hal ini menunjukkan bahwa petugas
pemadam kebakaran telah memiliki optimisme yang baik dalam melaksanakan
pekerjaannya, tetapi optimisme yang dimiliki petugas pemadam kebakaran masih
perlu dikembangkan lagi sehingga dapat melaksanakan pekerjaannya dengan
memuaskan yaitu dengan cara selalu berpikir positif pada setiap kejadian,
107
diberikan dorongan langsung oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan
sehingga akan meningkatkan optimisme petugas, dan memiliki keyakinan terhadap
kemampuannya pada tugas yang dijalankan dan juga dapat diadakannya seminar
tentang optimisme terhadap pekerjaan.
2. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh petugas pemadam kebakaran, karena
dengan adanya dukungan sosial petugas dapat melaksanakan tugas dengan sangat
baik. Dukungan yang sangat diperlukan pada saat proses pemadaman dilakukan
yaitu dukungan masyarakat, dengan adanya dukungan masyarakat seperti
masyarakat memberikan jalan pada saat mobil pemadam datang dan pada saat
proses pemadaman, masyarakat tidak saling berebut selang karena dapat
mengganggu proses pemdaman sehingga kinerja petugas pemadam tidak
maksimal. Masyarakat harus mendukung petugas dalam melaksanakan tugasnya,
masyarakat juga harus tenang pada saat kebakaran sehingga petugas dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik, selain itu masyarakat juga tidak usah takut
untuk menghubungi petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana
karena tidak dipungut biaya.
3. Kepuasan terhadap rekan kerja dalam penelitian ini masih sangat rendah, dimana
petugas pemadam kebakaran tidak puas dengan rekan kerjanya dan merasa tidak
sesuai dengan rekan kerjanya saat ini. Dalam petugas pemadam kebakaran sudah
memiliki program untuk mengenal satu sama lain yaitu untuk meningkatkan tali
kekeluargaan seperti terdapat pengajian dan setelah pengajian terdapat pertukaran
108
pendapat dengan petugas lain, selain itu terdapat program seperti melakukan
olahraga dengan tujuan untuk lebih saling mengenal. Berdasarkan hasil ini,
diharapkan petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana dapat terus
meningkatkan dan memperbarui program yang sudah ada karena dilapangan
terkadang petugas tidak ikut serta dalam program yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, S. A (2010). Cross validation of ryff scales of psychological wellbeing:
Translation into urdu language. College of Business Management, Karachi,
244-259.
Avey, J. B., Luthans, F., Smith, R. M & Palmer, N. F (2010). Impact of positive
psychological capital on employee well-being over time. Journal of
Occupational Health Psychology, 17-28.
Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F & Mhatre, K. H. Meta- Analysis of the impact
of positive psychological capital on employee, attitudes, behaviors, and
performance. Human Resource Development Quarterly, 22, 127-152.
Brough, P (2005). A comparative investigation of the predictors of work-related
psychological well-being within police, fire and ambulance workers. New
Zealand Journal of Psychology, 34, 127-134.
Chien, J. D & Lim, K. G (2012). Strength in adversity: The influence of
psychological capital on job search. Journal of Organizational Behavior,
811–839.
Dodge, R., Daly, P. A., Huyton, J & Sanders D. L (2012). The challenge of defining
well-being. International Journal of Wellbeing, 222-235.
Herbert, M (2011). An exploration of the relationships between psychological capital
(hope, optimism, self-efficacy, resilience), occupational stress, burnout and
employee engagement. Thesis. Industry Psychology University of
Stellenbosch.
Hilal, F. 2003. Asuransi untuk petugas damkar terlambat. Diamil dari
http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=762s. 10 April 2014 (12.50)
Hmieleski, K. M & Carr, J. C (2007). The relationship between entrepreneur
psychological capital and well-being. Frontiers of Entrepreneurship Research,
1-12.
Novianita, G (2013). Kesejahteraan psikologis pemadam kebakaran. Bandung:
Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia.
Kompas. (2013). Personel pemadam kebakaran terbatas. Diambil dari,
http://lipsus.kompas.com/gebrakan-jokowi/2013/03/02. 10 April 2014 (13.45).
Lenny, 2014. Hingga April 2014, 280 Kasus Kebakaran Terjadi di Jakarta. (2014).
Diambil dari http://www.beritasatu.com/aktualitas/181535-hingga-april-2014-
280-kasus-kebakaran-terjadi-di-jakarta /2014/05/02. 10 April 2014 (09.00).
Lumley, J. E., Coetzee, M., Tladinyane, R & Ferreira, N (2011). Exploring the job
satisfaction and organisational commitment of employees in the information
technology environment. Southern African Business Review. 15, (15). 100-118.
Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J & Peterson, S. J (2010). The Development and
resulting performance impact of positive psychological capital. Human
Resource Development Quarterly, 21, 41-67.
Luthans, F., Luthans, K. W & Luthans, B. C (2004). Positive psychological capital:
Beyond human and social capital. Business Horizons, 45-50.
Malek A. Mohd Dahlan (2010). Stress and psychological well-being in uk and
malaysian fire fighters. Cross Culture Management: an International Journal,
17, 50-61.
Mittal, D & Mathur, M (2011). Positive forces of life and psychological well-being
among corporate professionals. Journal of Management & Public Policy, 3(1),
36-48.
Munandar, A. S (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. UI-Press.
Novianita, G. (2013). Kesejahteraan psikologis petugas pemadam kebakaran.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Pegertian pemadam kebakaran. (2013). Diambil dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemadam_kebakaran/2013/11/11. 10 April 2014
(08.45).
Rothner, E & Com, H. B (2005). Psychological well-being and job satisfaction of
employees in a financial institution. Thesis. North West University
Ryff, C. D & Keyes, C. L (1995). The structure of psychological well-being revisited.
Journal of Personality and Social Psychology. 69, (4). 719-727.
Ryff, C. D & Singer, B (1996). Psychological well-being: meaning, measurement,
and implications for psychotherapy research. Psychotherapy and
Psychosomatics, 14-23
Ryff, C. D (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology. 57,
(6). 1069-1081.
Sarafino, Edward P. 1990. Health psychology. Singapore: John Wiley & Sons.
Suprihatin, 2014. Siap mental dicerca dan dicemooh. Diambil dari,
http://www.indosiar.com/ragam/siap-mental-dicerca-dan-dicemooh_21286. 11
April 2014 (11:30).
Singh, S & Mansi (2009). Psychological capital as predictor of psychological well-
being. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. 35, (2). 233-238.
Spector, P. E (1985). Measurement of human service staff satisfaction: development
of the job satisfaction survey. American Journal of Community Psychology. 13,
(6). 693-713.
Spector, P. E (2000). Psychology industry and organizational. United States of
America.
Stam, M. P (2012). Linking psychological capital, structural empowerment and
percieved staffing adequacy to new graduate nurses’ job satisfaction. Thesis.
The University Of Western Ontario.
Tenggara, H., Zamralita, & Tommy, P (2008). Kepuasan kerja dan kesejahteraan
karyawan. Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi dan Industri. 10, 96-115.
Wijono ,S. (2010). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: Kencana.
Yanez, C. B & Figueroa (2011). Psychological well-being, perceived organizational
support and job satisfaction amongst chilean prison employees. Psychology
Department, Talca University, 13, 91-99.
Zhao, Z & Hou, J (2009). The study on psychological capital development of
intrapreneurial team. International Journal of Psychological Studies. 1, (2). 35-
40
Lampiran 2
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (otonomi)
Muatan Faktor Item PWB (Otonomi)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.88 0.25 3.50 V
2 0.25 0.09 2.65 V
3 0.32 0.11 2.98 V
4 0.77 0.23 3.29 V
5 0.24 0.09 2.60 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 3
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (environmentl mastery)
Muatan Faktor Item PWB (environmental mastery)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.58 0.08 7.01 V
2 0.76 0.09 8.60 V
3 0.59 0.08 7.23 V
4 0.35 0.09 4.13 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 4
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (personal growth)
Muatan Faktor Item PWB (Personal Growth)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.46 0.10 4.70 V
2 0.81 0.13 6.02 V
3 0.31 0.09 3.49 V
4 0.33 0.09 3.74 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 5
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (positive relations with others)
Muatan Faktor Item PWB (positive relations with others)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.71 0.15 4.76 V
2 0.14 0.10 1.41 X
3 0.45 0.11 4.11 V
0.40 0.10 3.93 V
4 0.08 0.10 0.89 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 6
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (purpose in life)
Muatan Faktor Item PWB (purpose in life)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.61 0.11 5.64 V
2 0.78 0.13 6.16 V
3 -0.01 0.09 -0.07 X
4 3.90 0.09 3.90 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 7
Analisis Konfirmatorik Psychological Well-Being (self-acceptance)
Muatan Faktor Item PWB (Self-acceptance)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.49 0.12 4.24 V
2 -0.06 0.09 -0.65 X
3 0.34 0.10 3.60 V
4 0.79 0.16 4.84 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 8
Analisis Konfirmatori Psychological Well-Being (second order)
Muatan Faktor Item Psychological Well-being
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.49 0.11 4.27 V
2 0.36 0.10 3.46 V
3 0.30 0.09 3.23 V
4 0.37 0.10 3.83 V
5 0.67 0.10 6.77 V
6 0.67 0.09 7.24 V
7 0.44 0.09 4.75 V
8 0.77 0.18 4.32 V
9 0.41 0.10 4.11 V
10 0.63 0.13 4.75 V
11 0.36 0.10 3.80 V
12 0.58 0.09 6.44 V
13 0.30 0.08 3.99 V
14 0.41 0.10 4.06 V
15 0.58 0.14 4.09 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 9
Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (self-efficacy)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Self-Efficacy)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.53 0.07 8.01 V
2 0.51 0.07 7.60 V
3 0.78 0.07 11.67 V
4 0.82 0.07 12.36 V
5 0.64 0.07 9.74 V
6 0.91 0.08 11.49 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 10
Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Hope)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Hope)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
7 0.63 0.07 9.16 V
8 0.66 0.07 9.75 V
9 0.54 0.07 7.17 V
10 0.77 0.06 11.85 V
11 0.59 0.07 8.22 V
12 0.77 0.07 11.68 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 11
Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Resiliency)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Resiliency)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
13 0.11 0.08 1.49 X
14 0.86 0.06 13.61 V
15 0.72 0.07 10.75 V
16 0.37 0.08 4.87 V
17 0.62 0.07 8.98 V
18 0.73 0.07 11.04 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 12
Analisis Konfirmatorik Psychological Capital (Optimisme)
Muatan Faktor Dimensi Psychological Capital (Optimisme)
No
item
Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
19 0.21 0.08 2.62 V
20 0.14 0.06 2.41 V
21 1.22 0.35 3.52 V
22 1.74 0.47 3.74 V
23 0.14 0.06 2.34 V
24 0.37 0.12 3.08 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 13
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Pay)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Pay)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.51 0.08 6.33 V
2 0.56 0.08 7.01 V
3 0.73 0.08 8.92 V
4 0.57 0.08 7.13 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 14
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Promotion)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Promotion)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
5 0.76 0.18 4.22 V
6 0.26 0.10 2.61 V
7 0.42 0.12 3.64 V
8 0.33 0.10 3.17 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 15
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Supervision)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Supervision)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
9 0.56 0.09 6.47 V
10 0.38 0.08 4.91 V
11 0.40 0.08 5.11 V
12 1.07 0.12 9.07 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 16
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Fringe Benefit)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
13 0.84 0.09 9.10 V
14 -0.15 0.08 -1.81 X
15 0.64 0.09 7.52 V
16 0.48 0.08 6.11 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 17
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Contingen Reward)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Contingen Reward)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
17 0.04 0.07 0.56 X
18 0.55 0.09 5.85 V
19 0.39 0.08 4.67 V
20 0.97 0.13 7.40 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 18
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Operating Condition)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Operating Condition)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
21 0.04 0.08 0.53 X
22 0.31 0.08 3.76 V
23 0.93 0.14 6.58 V
24 0.64 0.11 5.80 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 19
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Coworker)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Coworker)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
25 0.46 0.13 3.62 V
26 0.22 0.08 2.66 V
27 1.30 0.31 4.26 V
28 0.22 0.008 2.68 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 20
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Nature of Work)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Nature of Work)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
29 0.38 0.07 5.19 V
30 0.48 0.07 6.76 V
31 0.91 0.07 13.31 V
32 0.82 0.07 11.89 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 21
Analisis Konfirmatorik Kepuasan Kerja (Cmmunication)
Muatan Faktor Item Kepuasan Kerja (Communication)
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
33 0.05 0.08 0.60 X
34 0.28 0.13 2.17 V
35 0.30 0.13 2.21 V
36 0.90 0.35 2.55 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t >1,96) ; X = tidak signifikan
Lampiran 22
Proporsi varians masing-masing Independent Variabel
Model Summary
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 .410a .168 .164 7.57336 .168 40.096 1 198 .000
2 .494b .244 .237 7.23723 .076 19.819 1 197 .000
3 .508c .258 .247 7.19028 .014 3.581 1 196 .060
4 .526d .277 .262 7.11643 .019 5.089 1 195 .025
5 .526e .277 .258 7.13435 .000 .022 1 194 .884
6 .533f .284 .262 7.11733 .007 1.929 1 193 .166
7 .548g .301 .275 7.05263 .017 4.557 1 192 .034
8 .556h .309 .280 7.03033 .008 2.220 1 191 .138
9 .556i .309 .276 7.04738 .000 .077 1 190 .782
10 .566j .321 .285 7.00619 .012 8.921 1 189 .000
11 .573k .328 .289 6.98525 .007 2.135 1 188 .146
12 .573l .329 .286 7.00175 .001 .115 1 187 .735
13 .574m .329 .282 7.01713 .000 .181 1 186 .671
a. Predictors: (Constant), EFFICACY
b. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE
c. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI
d. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME
e. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY
f. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI
g. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI
h. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI, FB
i. Predictors: (Constant), EFFICACY, HOPE, RESILIENSI, OPTIMISME, PAY, PROMOSI, SUPERVISI, FB, REWARD
j. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE
k. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE,
COWORKER
l. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE,
COWORKER, NOW
m. Predictors: (Constant), OPERATING, FB, OPTIMISME, PROMOSI, SUPERVISI, REWARD, RESILIENSI, PAY, EFFICACY, HOPE,
COWORKER, NOW, KOMUNIKASI