pengaruh penerapan uu wakaf -...

128
PENGARUH PENERAPAN UU NO. 41/ 2004 TENTANG WAKAF TERHADAP PROFESIONALITAS PENGELOLAAN WAKAF PADA LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh : SITI AMINAH NIM : 102044125067 Dibawah Bimbingan : Dra. Maskufa, M.Ag NIM : 150 268 590 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H / 2008 M

Upload: vuongcong

Post on 14-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PENERAPAN UU NO. 41/ 2004 TENTANG WAKAF

TERHADAP PROFESIONALITAS PENGELOLAAN WAKAF

PADA LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

SITI AMINAH

NIM : 102044125067

Dibawah Bimbingan :

Dra. Maskufa, M.Ag

NIM : 150 268 590

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H / 2008 M

PENGARUH PENERAPAN UU NO. 41/ 2004 TENTANG WAKAF

TERHADAP PROFESIONALITAS PENGELOLAAN WAKAF

PADA LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

SITI AMINAH

NIM : 102044125067

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H / 2008 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 13 Maret 2008

Siti Aminah

KATA PENGANTAR

��������� ��� ����� ������ �� ���

Alhamdulillah, puja serta puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang senantiasa

membimbing penulis dengan segala Rahman dan Rahim-Nya, dari awal hingga akhir

penulisan ini. Semoga Rahmat-Nya tetap tercurah hingga Yaumil Hisab nanti.

Shalawat serta Salam semoga tetap tersampaikan kepada Nabi seluruh zaman

Muhammad Ibnu Abdullah Saw, yang telah melayani umatnya dari fase gulita

kejahiliyahan menuju cahaya ketaqwaan, yang telah menjadi inspirator bagi siapapun.

Semoga kelak kita beroleh syafaatnya di Padang Mahsyar.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-

tulusnya kepada pihak pihak yang telah membantu penulis semasa kuliah sampai

purna menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu di Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan ini penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan FakultasSyari’ah dan

Hukum yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menyelesaikan studi

dengan baik. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Basiq

Djalil, S.H., M.H., dan Kamarusdiana S.Ag., M.H, Ketua dan Sekretaris Jurusan yang

telah membantu penulis dalam proses studi baik sebagai pelayan akademis maupun

kapasitasnya sebagai dosen pengajar. Tak lupa pula kepada Dra. Maskufa, M.Ag

selaku pembimbing skripsi ini. Juga kepada Dr. JM Muslimin, M.A, dan Jaenal

Arifin, M.A selaku penguji skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga

penulis persembahkan untuk segenap dosen dan para pengajar yang telah

mendedikasikan hidupnya mencurahkan ilmu dan pengetahuan kepada bangsa dan

negara khususnya kami, para mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Kepada segenap staf perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah

memberikan pelayanan kepustakaan dan literasi, penulis sampaikan rasa terima

kasihnya atas semua bantuannya.

Kepada segenap jajaran staf dan direktur TWI. Buat Pak Herman Budianto,

S.E, selaku direktur TWI, makasih udah memberi kesempatan kepada penulis untuk

melakukan penelitian. Untuk mba Diah Handayani S.Sos.I, Pak Hendra Jatnika, Mba

Destria Meryana Atmayanti S.H, Mba Poppy Salindri Puspitasari S.E, dan Mba Novi

S.E, makasih buat waktu, semua dukungan dan informasinya tentang TWI. Mudah-

mudahan berkah dan bermanfaat buat orang banyak.

Doa yang tak henti penulis lantunkan teruntuk kedua orang tua tercinta yang

telah berjasa dalam mendidik, membimbing dan mendewasakan penulis. Kepada

Abah H. Muh. Djahra dan Emak Hj. Siti Umayyah, penulis haturkan terima kasih atas

peluh, airmata, keletihan dan doa-doa panjang keduanya serta atas seluruh jasanya

yang tak kan pernah sanggup berbalas, hingga selalu menjadi inspirator yang baik

bagi penulis dalam beramal dan berkarya. Semoga kecintaan dan bakti penulis kepada

keduanya senantiasa semakin bertambah dan lebih baik lagi. Buat Teteh Umi thanks

to be My best Sister, I’m Proud of You. Buat Iman, Rudi dan Ari makasih buat Jepri

(ojek pribadi)nya selama ini. Buat semua abang-abangku dan adik-adikku tersayang,

makasih atas segala sokongannya baik materil maupun immateril. Aku sayaaaaaang

banget sama kalian semua…..

Buat teman-teman seperjuangan, senasib dan sepenanggungan, di Peradilan

Agama angkatan 2002/2003 khususnya kelas B. Terima kasih atas segala

persahabatan yang dirindukan. For My best friends “Oel” Ulfah dan “Zie” Azizah,

Thanks for everything. I’ll always remember our best friendship.

Untuk saudari-saudariku tercinta Mba Erna, Mba Rina dan Fitri Syukran buat

segalanya n udah sering ngingetin, Beti dan Mba Eka ayo cepetan kita lulus bareng!,

Teh Ina, Mba Nur, Mba Niza, Mba Mia, Dewi, Mba Eni. Terutama buat Ummi

makasih atas segala cinta dan ilmunya. Uhibbukunna Fillah…

Juga buat ikhwati fillah seperjuangan. Rekan-rekan di LDK UIN Syahid

Jakarta khususnya di staf Div. Syi’ar 2005/2006, Euis, Iyet, Akh Pras, Akh Ari dan

Akh Kukuh, thanks atas ukhuwah dan kerja dakwah yang indah. Moga kan kekal

hingga ke syurga. I’ll mizz U All.

Untuk ikhwan-akhwat di LDK Fak. Syari’ah & Hukum. Buat Mba Susi, Teh

Enen, Ana, Akh Tian, Akh Gilang, Nunung, makasih atas segalanya. Ingat! Tugas

dan PR kita masih banyak.

Selanjutnya teruntuk adik-adikku tercinta di Sabila Adzkia. Neng, Heny,

Fatimah, Rahma, Atikah, Dian, Desi, Eni, Rini, Wihdah, jaga ya kebersamaan kita. I

Luv U All Coz Allah.

Juga buat Zahra, Mira, Lita, Iqbal, Ershad, Luthfi dan semua adik-adikku di

Rohis PRIMA MAN IV Jakarta, terutama buat Khadijah, Nana, Dini dan Sakinah.

Ane sayang kalian semua....

Selanjutnya, buat ikhwah fillah di InSure (Institute for Suistainable Reform),

semoga tetap konsisten dengan segala idealita perjuangan. Terutama buat ”Mba QQ”

Kaukabus Syarqiyyah, jazakillah khairan atas segala taushiyah dan motivasinya.

Moga Sukses dengan S2nya...

The last but not least, untuk semua yang sudah berjasa atas terselesaikannya

skripsi ini. Buat Iyoeng, thanks for everythink. Moga pertemanan kita kan abadi

sampe nenek-nenek, he..he..

Penulis menyadari bahwa Laporan Penelitian ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis maupun pembaca sekalian.

Ciputat, Maret 2008

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………...6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………………………………..7

D. Metode Penelitian......……………………………………………...8

E. Sistematika Penulisan……………………………………………..10

BAB II WAKAF DALAM TINJAUAN UU NO. 41 TAHUN 2004

A. Pengertian Wakaf…………………………………………………12

B. Dasar Hukum Wakaf……………………………………………...15

C. Rukun dan Syarat Wakaf…………………………………………21

D. Tujuan dan Fungsi Wakaf………………………………………...31

E. Macam-macam Wakaf……………………………………………32

BAB III SISTEM PENGELOLAAN WAKAF

A. MENURUT UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A.1. Sistem Pengelolaan Wakaf…………………………………36

A.2. Sistem Pengembangan Wakaf……………………………...39

B. MENURUT LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA

DOMPET DHUAFA REPUBLIKA

B.1. Gambaran Lembaga Tabung Wakaf Indonesia……………..39

B.2. Sistem Pengelolaan Wakaf Dalam Tinjauan TWI…….. …..43

a. Perencanaan dan Pengorganisasian……………………...44

b. Fungsi Manajemen……………………………………...46

c. Administrasi Pengelolaan Wakaf………………………..49

d. Pengembangan Wakaf…………………………………..50

BAB IV PENGARUH UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

TERHADAP PROFESIONALITAS PENGELOLAAN WAKAF

DI LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA

A. Urgensi UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf………………...58

B. Peranan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Terhadap

Profesionalitas Lembaga Tabung Wakaf Indonesia…………...63

C. Analisa………………………………………………………........67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………..….......94

B. Saran dan Rekomendasi…………………………………………..95

DAFTAR

PUSTAKA…………………………………………………………………..............99

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah Swt semata-mata untuk beribadah hanya

kepada-Nya. Beribadah dalam arti yang sesungguhnya, secara totalitas dan harus

mengacu kepada tata cara yang telah ditentukan baik dalam Al-Qur'an maupun

Al-Hadits. Ibadah yang telah ditentukan pun tidak hanya bersifat ubudiyah

vertikal, namun juga sangat ditekankan tentang pentingnya ibadah secara sosial

kemasyarakatan (horizontal) yang sangat terkait dengan prinsip nilai-nilai

kemanusiaan.

Dalam pelaksanaan ibadah sosial kemasyarakatan secara umum berupa

pengabdian kita kepada-Nya melalui pengabdian untuk kepentingan kemanusiaan

dan kemasyarakatan, yaitu untuk kepentingan umum atau kepentingan jama’ah.

Allah dan Rasul-Nya pun selalu menekankan pentingnya ibadah dengan

memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dimana kita berada. Hal ini tentu

sangat sejalan dengan prinsip Islam Rahmatan Li Al-‘alamin, karena hanya

dengan ibadah sosial kita mampu mewujudkan terciptanya hubungan yang

harmonis antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dalam suatu

masyarakat.

Salah satu amal sosial kemasyarakatan adalah wakaf, yang dapat disebut juga

sebagai salah satu bentuk realisasi ibadat dalam Islam yang telah tumbuh subur

dan selalu dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sejak Islam dianut sebagai agama.

Wujud perwakafan tersebut banyak macamnya, ada yang berwujud tanah,

gedung, pohon, dan harta wakaf lainnya.1 Wakaf merupakan satu bentuk ibadah

dengan cara memisahkan sebagian harta benda yang kita miliki untuk dijadikan

harta milik umum, yang akan diambil manfaatnya bagi kepentingan orang lain

atau manusia pada umumnya.

Wakaf telah disyari’atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh

dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai sekarang -tentunya setelah

melalui begitu banyak perkembangan dan kemajuan yang signifikan- termasuk

oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali hukum wakaf

merupakan cabang yang terpenting dalam syari’at Islam, sebab ia terjalin ke

dalam seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum Muslimin.2

Wakaf merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam.

Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial

ekonomi masyarakat Muslim. Wakaf selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga

berfungsi sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa

keimanan seseorang yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap

sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan Hablun Min Allah wa

Hablun Min An-Nas, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal

kepada sesama manusia.3

1 Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Darul Ulum Press, 1999),

Cet. Ke-III, h. v 2 Ibid., h. 2

3 Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Ciputat Press, 2005), Cet. Ke-I,

h. 2-3

Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi umat dan negara yang unik.

Dalam wakaf yang layak untuk dimanfaatkan adalah hasil dari perputaran dan

pengelolaan wakaf, bukan pokoknya. Dengan demikian barang wakaf tidak akan

habis. Keunikan wakaf juga terlihat pada pengembangan harta yang tidak

didasarkan pada tingkat pencapaian keuntungan bagi pemilik harta wakaf, tetapi

lebih didasarkan pada target dan didasarkan pada unsure kebajikan (Birr),

kebaikan (Ihsan) dan kerjasamanya. Bisa jadi sebuah harta wakaf tidak

mendatangkan keuntungan, namun jika dialokasikan dengan benar sehingga bisa

merekrut tenaga pengangguran, maka harta wakaf tadi sudah berdayaguna.

Dengan begitu wakaf harus dikelola dengan penuh kebersamaan dan transparan,

karena harta wakaf adalah milik umat maka wajar sekali bila pengelolaan dan

transparansinya harus diketahui oleh umat.

Kajian wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara merujuk kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu. Sejalan dengan prinsip

konsepsi bangsa Indonesia dalam mengatur negaranya, maka Syari’at Islam di

Indonesia telah tumbuh subur begitu juga mengenai pelaksanaan perwakafan ini,

sebagai salah satu realisasi ibadat dalam agama Islam, yang dipeluk oleh sebagian

besar penduduk Indonesia. Perwakafan (terutama perwakafan tanah) telah

mendapat tanggapan positif dan selalu dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sejak

Islam dianut sebagai agama pada beberapa abad yang lalu. Di Indonesia,

perwakafan telah diatur dalam perundang-undangan sejak tahun 1905, walaupun

masih terbatas pada perwakafan tanah yang termasuk didalamnya masjid dan

rumah-rumah suci.

Praktek perwakafan di Indonesia dapat kita temui pada perwakafan tanah

untuk sarana ibadah pendidikan dan pemakaman umum. Objek yang umum

diwakafkan dalam masyarakat Muslim Indonesia adalah tanah dan bangunan,

hingga pemerintah memandang perlu untuk mengatur dalam sebuah undang-

undang. Undang-undang yang mengatur perwakafan adalah Undang-undang

Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28

Tahun 1977, Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf

serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 yang khusus mengatur

pelaksanaan UU tentang wakaf.

Kelahiran Undang-undang wakaf berdasarkan beberapa pertimbangan

sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No.41 tahun 2004, bahwa tujuan negara

kesatuan RI sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 antara lain

adalah memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut

perlu diusahakan menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam

lembaga keagamaan yang memiliki manfaat ekonomi.

Lembaga Tabung Wakaf Indonesia adalah sebuah lembaga yang didirikan

oleh yayasan Dompet Dhuafa Republika yang khusus menangani seluruh hal

yang berkaitan dengan wakaf. Dari sejak berdirinya, Tabung Wakaf Indonesia

lebih mengkonsentrasikan pengelolaan harta wakafnya pada harta wakaf yang

bergerak seperti uang, saham, obligasi, dll. Sejak diresmikan pada tanggal 14 Juli

2005, kehadiran Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dirasakan cukup memberi andil

manfaat yang cukup besar kepada masyarakat khususnya kaum papa dan dhuafa.

Sekian banyak program pemberdayaan bagi kaum dhuafa yang dikelola

sedemikian rupa oleh badan amil zakat Dompet Dhuafa, sebagian besarnya

mengandalkan dana wakaf untuk pembiayaan operasional yang tentu saja berasal

dari Tabung Wakaf Indonesia.

Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya

berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak

terpelihara sebagaimana mestinya, seperti terlantar atau beralih ke tangan pihak

ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian disebabkan tidak hanya

karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf, melainkan juga sikap masyarakat yang

kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya

dilindungi demi kesejahteraan umum.

Dengan adanya permasalahan seperti uraian diatas, maka penulis tertarik

untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana pengaruh yang efektif dari

keberadaan dan penerapan Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004 terhadap

professional dan tidaknya sebuah pengelolaan wakaf pada lembaga-lembaga

wakaf yang ada di Indonesia. Beranjak dari sinilah penulis berinisiatif untuk

mengambil tema tersebut sebagai bahan penelusuran pembahasan pada skripsi ini

dengan judul : Pengaruh Penerapan Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf Terhadap Profesionalitas Pengelolaan Wakaf di Lembaga

Tabung Wakaf Indonesia – Dompet Dhuafa Republika.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian dan penulisan skripsi ini menjadi fokus dalam

pembahasannya, maka penulis membatasi penelitian atau permasalahan yang

akan dikaji. Batasan yang digariskan adalah sebagai berikut :

1. UU RI No. 41 Tahun 2004 yang akan dikaji adalah khusus pada Bab V yaitu

pada pasal 42 sampai dengan pasal 45.

2. Lembaga yang menjadi objek penelitian adalah Lembaga Tabung Wakaf

Indonesia-Dompet Dhuafa Republika

Berdasarkan pembatasan diatas maka permasalahannya dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem pengelolaan wakaf menurut UU RI No. 41 Tahun 2004

tentang wakaf ?

2. Bagaimana sistem pengelolaan wakaf menurut Tabung Wakaf Indonesia?

3. Adakah pengaruh sistem pengelolaan wakaf dalam UU RI No. 41 Tahun 2004

tentang wakaf terhadap pengelolaan wakaf di Tabung Wakaf Indonesia ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun mengenai tujuan penulisan dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut :

1.Mengetahui sistem pengelolaan wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004

Tentang wakaf

2.Mengetahui sistem pengelolaan wakaf menurut lembaga Tabung Wakaf

Indonesia – Dompet Dhuafa Republika

3.Mengetahui pengaruh sistem pengelolaan dalam UU No. 41 Tahun 2004

tentang wakaf terhadap sistem pengelolaan wakaf di Tabung Wakaf Indonesia –

Dompet Dhuafa Republika

Sedangkan penulisan skripsi ini mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam

terutama pada kasus yang diteliti dan sebagai sumbangsih bagi wahana ilmu

pengetahuan di bidang hukum Islam terkait dengan topik yang dibahas dalam

penulisan skripsi ini.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai bahan referensi bagi para pencari ilmu terutama yang berkaitan

dengan tema pada pembahasan peenulisan ini, serta memberikan kejelasan pada

masyarakat pada umumnya tentang ketentuan hukum dan perundang-undangan

yang mengatur.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif empiris dengan

meneliti dan mengadakan pengukuran terhadap UU Wakaf No. 41 tahun 2004

mengenai pengaruh penerapannya yang kemudian dikaitkan dengan fakta dan

realita data primer yang terjadi di lapangan, dengan menggunakan metode

wawancara dengan menanyakan soal-soal yang berkaitan dengan pengelolaan

wakaf pada pihak-pihak terkait di lembaga Tabung Wakaf Indonesia.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan dan studi lapangan yang datanya diperoleh dari hasil wawancara

dan dokumentasi. Sumber data diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yakni :

a). Hasil wawancara penulis dengan lembaga Tabung Wakaf Indonesia pada

penelitian di lapangan

b). Peraturan UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan

Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.

b. Bahan Hukum Sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan-

bahan hukum primer seperti : hasil karya ilmiah yang menjelaskan tentang

wakaf

3. Tehnik Pengolahan Data

a. Seleksi Data

Setelah memperoleh bahan-bahan atau data, baik data melalui kepustakaan

atau melalui penelitian lapangan, lalu data tersebut diperiksa kembali satu-

persatu agar tidak terjadi kekeliruan.

b. Klasifikasi Data

Setelah data diperiksa lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis data

tertentu, kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori, guna memperoleh

suatu kesimpulan.

c. Analisa Data

Setelah pengolahan data, langkah selanjutnya adalah analisis data dan

interpretasi data. Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-

data tersebut secara jelas dan menganalisa isinya dengan menggunakan

metode Qualitative Content Analysis (analisis isi secara kualitatif), yang mana

analisis isi kualitatif ini digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi dan

menganalisis teks atau dokumen (dalam hal ini UU Wakaf No. 41 tahun

2004) untuk memahami makna, signifikansi dan relevansi UU Wakaf tersebut

di lapangan. Setelah itu, data-data yang sudah dianalisa kemudian

diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri supaya

pembahasan dalam skripsi ini dapat dipahami dengan baik.

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi karya ini dalam

bab per bab yang disusun secara sistematis yang mana masing-masing bab itu

terbagi ke dalam sub–sub bagian, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan penulis mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : SEKILAS WAKAF DALAM TINJAUAN UU RI NO. 41

TAHUN 2004

Pada bab kedua penulis menguraikan pembahasan teori

perwakafan dengan memaparkan pengertian wakaf, dasar

hukum wakaf, rukun dan syarat-syarat wakaf, tujuan dan

fungsi Wakaf, serta macam-macam wakaf.

BAB III : SISTEM PENGELOLAAN WAKAF

Dalam pembahasan pada bab ini diuraikan gambaran mengenai

Sistem pengelolaan wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004

tentang wakaf dan sistem pengembangannya. Serta gambaran

umum tentang Lembaga Tabung Wakaf Indonesia – Dompet

Dhuafa Republika, dan sistem pengelolaan wakafnya yang

terdiri dari perencanaan pengorganisasian, fungsi manajemen,

administrasi pengelolaan wakaf serta pengembangannya..

BAB IV : PENGARUH UU RI NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG

WAKAF TERHADAP PROFESIONALITAS

PENGELOLAAN WAKAF DI LEMBAGA TABUNG

WAKAF INDONESIA

Bab keempat ini adalah pokok pembahasan sebagai gambaran

dari teori-teori pada bab-bab sebelumnya. Pada bab ini terdiri

dari pembahasan mengenai pengaruh penerapan UU RI No. 41

tahun 2004 tentang wakaf terhadap profesionalitas lembaga

Tabung Wakaf Indonesia, yang memuat didalamnya mengenai

urgensi dan peranan UU Wakaf serta analisanya.

BAB V : PENUTUP

Pada bab penutup ini terdiri dari dua sub bagian yaitu :

kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

SEKILAS WAKAF

DALAM TINJAUAN UU RI NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A. Pengertian Wakaf

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan

hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda

miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai

dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum

menurut syari’ah. (BAB I pasal 1 ketentuan umum lihat juga PP No. 42 tahun

2006 tentang peraturan pelaksanaan UU Wakaf).

Wakaf berasal dari bahasa arab al-waqf bentuk masdar (kata benda) dari

kata kerja Waqafa yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam

di tempat4.

Kata al-waqf juga semakna dengan al-habs bentuk masdar dari kata kerja

habasa, dan istilah waqf pada awalnya menggunakan kata al-habs, hal tersebut

diperkuat dengan adanya riwayat hadis yang menggunakan istilah al-habs untuk

waqf, tapi kemudian yang berkembang adalah istilah waqf dibanding istilah al-

4 A. Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2002), Cet.

Ke-25, h. 1576

habs, kecuali oraang-orang Maroko yang masih menggunakan istilah al-ahbas

untuk waqf sampai saat ini.5

Dalam pengertian istilah, terdapat beberapa pendapat ulama. Imam Abu

Hanifah mendefinisikan wakaf yaitu menahan suatu benda yang kepemilikannya

tetap dimiliki oleh si wakif (pewakaf), akan tetapi manfaatnya disedekahkan

untuk kepentingan umum.

Sedangkan ulama Malikiyah mendefinisikan wakaf sebagaimana definisi

yang diungkapkan oleh ulama Hanafiyah, yaitu tidak lepasnya kepemilikan bagi

si wakif, akan tetapi memberikan hak kepada pihak penerima wakaf untuk

menjual objek wakaf tersebut dengan dua syarat. Pertama, dipersyaratkan diawal

hak tersebut kepada penerima wakaf. Kedua, ada alasan yang mendesak untuk

melakukan hal tersebut.

Selain itu ulama Syafi’iyah menyebutkan wakaf adalah menahan harta yang

dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari

campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan

semata-mata, untuk taqarrub kepada Allah Swt.

Ulama Hanabilah mendefinisikan wakaf adalah menahan asal dan

mengalirkan hasilnya, demikian Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Definisi ini

dianggap paling umum dan menjadi definisi pilihan karena pertama, bahwa

definisi ini adalah penukilan dari hadis Nabi Saw kepada Umar bin Khathab ra,

menahan yang asal dan mengalirkan hasilnya, dan Nabi Saw adalah orang yang

5 Taufik Ridho, Panduan Wakaf Praktis, (Jakarta : Tabung Wakaf Indonesia, 2006), Cet. Ke-

I, h. 3

paling fasih lisannya dan yang paling sempurna penjelasannya serta yang paling

mengerti akan sabdanya. Kedua, definisi ini tidak dipertentangkan seperti definisi

yang lainnya. Bahwa definisi ini hanya membatasi pada hakikat wakaf saja, dan

tidak mengandung perincian lain yang dapat mencakup definisi yang lain, seperti

mensyaratkan niat mendekatkan diri kepada Alllah, atau tetapnya kepemilikan

wakif atau keluar dari kepemilikannya dan perincian-perincian yang lainnya,

tetapi menyerahkan perincian itu dalam pembicaraan rukun-rukun dan syarat-

syaratnya. Karena masuk dalam perician terkadang menyimpangkan definisi dari

dilalahnya (maksud dan tujuan) dan menjauhi dari sasarannya.6

Dr. Mundzir Qohf mendefinisikan wakaf dengan bahasa kontemporer,

yaitu wakaf adalah menahan harta baik mu’abbadd (untuk selamanya) atau

mu’aqqat (sementara), untuk dimanfaatkan baik harta tersebut maupun hasilnya,

secara berulang-ulang untuk suatu tujuan kemaslahatan umum atau khusus.7

Dalam bahasa lain beliau mengistilahkan wakaf dalam artian umum dan

menurut pengertian realitasnya adalah menempatkan harta dan aset produktif

terpisah dari tasharruf (pengelolaan) pemiliknya secara langsung terhadap harta

tersebut serta mengkhususkan hasil atau manfaatnya untuk tujuan kebajikan

tertentu, baik yang bersifat perorangan, sosial, keagamaan maupun kepentingan

umum.

Sedangkan dalam redaksi Undang-undang Wakaf No. 41 Tahun 2004

menyebutkan sebagai berikut, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau

6 Ibid.

7 Ibid., h. 5

kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda

miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat

atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.8 Definisi ini

juga seperti yang didefinisikan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Dari seluruh definisi wakaf tersebut, maka dapat penulis simpulkan bahwa

wakaf itu adalah suatu perbuatan hukum yang memisahkan sebagian hartanya

untuk diberikan kepada lembaga yang berwenang (dalam hal ini nazhir wakaf)

untuk dikelola dan dimanfaatkan semata-mata untuk kemaslahatan umat sebagai

sarana ibadah, baik untuk jangka waktu tertentu maupun untuk selamanya.

B. Dasar Hukum Wakaf

Dasar hukum wakaf dalam UU Wakaf ini tercantum dalam BAB II Mengenai

Dasar-dasar wakaf Bagian Pertama Umum yaitu wakaf sah apabila dilaksanakan

menurut syari’ah9 ( pasal 2 ), dan wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat

dibatalkan (pasal 3).

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum wakaf adalah disunnahkan dan

dianjurkan, berdasarkan dalil-dalil umum dan dalil-dalil khusus.10

Diantara dalil-

dalil umum itu adalah sebagai berikut :

a. Firman Allah Swt dalam QS. Ali ‘Imran : 92.

������� ���� ������ ������ �� ��� �� ��� �! "#$ %���& ���'(�)#$ %���� ��� �! "#$ *�+�� ���(,�� ����%�"�$ ��.

8 Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, UU RI No. 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 3 9 Maksudnya sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah

10 Taufik Ridho, Ibid., h. 7-9

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum

kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang

kamu nafkahkanm, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali

‘Imran/ 3 : 92)

Ketika Abu Tholhah mendengar ayat ini serta merta muncul

keinginannya untuk mewakafkan kebunnya yang paling dicintainya dan

dikenal dengan sebutan Bairaha, seraya pergi menghadap Rasulullah Saw dan

mengungkapkan keinginannya.

Selain itu firman Allah mengenai wakaf dalam ayat yang lain yaitu :

�- .�/,�� ��� ��0�� %�" 1�� 2�3 %�����& �#+ (���4 %�� �5%�(6��7 �� ��� �! 8�3 ��#"���9� �:�;��� %�<':�3%�:

��#��� ���& ����� ��#=�� >#$ ,��3 %���? ��:�;�2@�� �#+ ����& ���� �! "#$ #� "�� �A��(�B,�� ��#������$ %���&

����� ���3 C����� D��"�E.

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari

hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan

dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu

kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau

mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan

ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah/ 2 :

267)

b. Hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah11

, Rasulullah Saw bersabda :

�G�(��+�H�& �I�':�3 �� ��)�: �%"�J�C��)�C��L�M ��� ��"L�: (��O#� #��& . ����%�H : %�"�J�C��

�Q���%�R�?)���!L�1 #�� ��#S (������3 �� ���T�L�� ��� , �V� �W �#M�. ,��3 �X�� :��#S *���� ��

�W%�H �����M�& �� ����� V� *���Y : 8�Z� �5%�� ��[�?�\�]� 8�? ��%�� �G�J �T�J �� � �� #������� #� "�� :

�G�:�.%�1 �G�H �C�Y ,���� #\�!�+ "#: ��,��� &�� ,�C���& &�� #��� �#� C�: �_�� %�Y)���� `�&. ,abcd ,

eH��� f V� W�M. � g%0�h� f i;���+��& ,jkld , m%�"��&anlj , ���&

o&&�okdld( “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal

perbuatannya, kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat

dan anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Shadaqah jariyah yang

dimaksud adalah wakaf.

Adapun dalil-dalil khusus tentang disyariatkannya wakaf, diantaranya adalah :

a. Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar ra12

�J�C��'*������+�� ��B�: #�� ��)�: %�" .�\��%�8 �� ����� ��� ��� ���=2�3 #�� #����#M %�8���(2�3,

11

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim (Lil Imam Abi Husain Muslim Ibnu Hajjaj

Al- Qusyairy An- Naisabury), Juz Ke-III, Bab Maa Yalhaqu Al-Insanu min Ats-Tsawabi Ba’da

Wafatihi, (Kairo : Daru Ihya Al- Kutubi Al-Arabiyati, t.th), h. 1255 12

Ibid. Lihat Juga Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Al-Bukhary dalam Shahih Bukhary,

Bab Asy- Syuruthu Fi Al- Waqfi, ( Daru Nahr An-Niil, t.th), Juz Tsani, h. 124

����#� � ��� �� W%�H :�I%�Y�3��( ��B�� %pq .�� ����#� , �����M�& �G ����� Gr��� �*��Y *6(�"��� *�$,/��

%�< ��� �X#�#�,/�+ ��: , �W%� �� :#M�. %�:�V� �W � , st�H u %�� v�Y�� ��� ��( ��B�� %pq .�� #w (�Y�� *68��

#� "�� i�C "�� #x�! 8�� , �W%�H y �G�� *�8#�#�,/�$ %���� : �w,H�C�z�+�� �%<�� Y�� �w ��(�� �w,{�� ,��?

�|�. �#: � �& #v�S �#:� �& #}%�(#:� #��8�3#���#�%�<�� #~�C�z�+�� �W%�H%�<��, *�� �%<�� �~�C�z�$�&

��%�"#1� �e ��=���& �Q ��(���� # ���& �V� �Q ��(�M *���& �I�%H6��� �f�& *�� �� ,�� �f�& ������ �!,��

�W'����+#��� ��E ���L,]#:�& �� &#� L��,�%��%�< "�� �Q�4,%�: ,��� %�<'����& �� *���� .�W�%H : �� ���� w�J�C�)��

:�M,�W%� �� :u %��9 �Q�J�/�+#��� ��E.) `�&.���� ,%:%Y��� ,eH��� :abcn

i.%B(��& ,eH��� f �&���� f :knak :i;��+��& , W�M. � g%0�h� f

V� ,eH��� f ,jkl� :*�%�"��& ,�%(�^� f ,andj.(

”Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah

Saw meminta untuk mengolahnya, sambil berkata :” Ya Rasulullah, aku

memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku belum mengambil

manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?.Rasulullah Saw bersabda : jika

engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan shadaqahkan hasilnya.

Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau di

diwariskan. Maka ia (Umar) menshadaqahkannya kepada faqir miskin, karib

kerabat, budak belian dan Ibnu Sabil. Tidak berdosa bagi orang yang

mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa

meksud memiliki harta itu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Berkata Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: ”Hadis Umar ini adalah asal dan

landasan Syari’ah pada wakaf.”13

Hadits Umar pada bab ini merupakan dasar

13 Ibid., h. 9

disyariatkannya wakaf. Imam Ahmad berkata : Hammad (Ibnu Khalid)

menceritakan kepada kami, Abdullah (Al Umari) telah menceritakan kepada kami

dari Nafi’, dari Ibnu Umar dia berkata :

�G�H�C�Y �W�&�3– G����H��� �3 –����#� �G�H�C�Y �g�TM� � *�� w�8%�4 .

Artinya : “ Sedekah yang pertama – yakni yang diwakafkan – dalam Islam

adalah sedekah Umar”.14

Umar Bin Syabah meriwayatkan dari Amr Bin Muadz,

dia berkata:

�x(�� �W�&�3 �� %�"��/�M�g�TM� � *�� . �&#��1%�<��� �W%� �� : #.%�z89h� �W%�H�& ����#� �G�H�C�Y:

���M�& ������ V� *���Y V� W�#M�. �G�H�C�Y .

Artinya : “ Kami bertanya tentang wakaf pertama dalam Islam, maka orang-

orang Muhajirin berkata : Sedekah Umar. Sementara orang-orang Anshar

mengatakan : Sedekah Rasulullah Saw”.15

Sedangkan diberlakukannya UU Wakaf menjadi kebutuhan yang sangat

penting bagi umat Islam pada khususnya. Hal ini dapat dilihat dari logika Hukum

itu sendiri dan logika secara Syariah. Logika hukum mengajarkan kepada kita

bahwa terciptanya sebuah produk Undang-undang semata-mata bertujuan

menciptakan ketertiban tidak hanya pada tataran masyarakat namun juga pada

tataran Undang-undang itu sendiri. Sehingga agar tercapai sebuah upaya tertib

hukum, maka kehadiran dan pemberlakuan UU Wakaf bagi masyarakat Muslim

14

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Al- Bukhari), terj.

Amiruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), Cet. Pertama, Buku ke-15, h. 530-531 15 Ibid.

Indonesia menjadi sebuah keniscayaan, yang pada akhirnya tidak hanya

menjamin tertibnya hukum di Indonesia, tapi lebih penting dari itu adalah sebagai

upaya menjamin eksistensi sebuah instrumen dan produk Islam yaitu wakaf.

Secara logika Syariah, maka Al-Qur’an pun telah menyebutkan secara jelas

keharusan kita sebagai Umat Islam untuk mentaati segala kebijakan peraturan

yang diterbitkan oleh pemerintah, selama pemerintah itu sendiri tidak

memerintahkan kita untuk berbuat maksiat kepada Allah. Hal ini sebagaimana

yang tercantum dalam QS. An-Nisa : 59, yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika

kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa / 4 : 59)

Ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa keharusan sesudah kita

mentaati Allah dan Rasul-Nya, adalah keharusan mentaati ulil amri (pemerintah).

Dalam hal ini ketika pemerintah mensahkan UU Wakaf , maka keharusan kita

adalah menerima dan menerapkan isi dan segala ketentuan dalam UU Wakaf

tersebut.

Selain itu, dalam kajian fiqh juga dikenal dengan adanya kaidah maqasid as-

Syari’ah yang jika ketentuan UU Wakaf dimasukkan ke dalam kaidah tersebut,

maka pemberlakuan UU Wakaf tersebut masuk ke dalam kategori Hifdzu al-Mal

(yaitu memelihara harta) dan Hifdzhu al-Din (yaitu memelihara agama). Sehingga

mengingat betapa pentingnya instrumen wakaf dan eksistensinya ditinjau dari

logika hukum dan syariah, maka menjadi sebuah keharusan bagi kita umat Islam

untuk mendukung pemberlakuan dan penerapan UU Wakaf No. 41 Tahun 2004

tersebut.

C. Rukun dan Syarat Wakaf

Mengenai rukun-rukun wakaf dibahas dalam BAB II Mengenai Dasar-dasar

Wakaf Bagian Ketiga tentang Unsur Wakaf, yaitu wakaf dilaksanakan dengan

memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :

a. Wakif ;

b. Nazhir;

c. Harta Benda Wakaf;

d. Ikrar Wakaf;

e. Peruntukan Harta Benda Wakaf;

f. Jangka Waktu Wakaf.

Sedangkan pembahasan seputar syarat-syarat wakaf diatur pada bagian-bagian

berikutnya.

a. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. (pasal 1

BAB I Ketentuan Umum).

Wakif meliputi :

a) Perseorangan;

b) Organisasi;

c) badan hukum. (pasal 7)

Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a hanya

dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan :

a) dewasa;

b) berakal sehat;

c) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan;

d) pemilik sah harta benda wakaf. (pasal 8 ayat 1)

Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya

dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran

dasar organisasi yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2)

Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya

dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk

mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran

dasar badan hukum yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 3)

b. Nazhir

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 1 BAB I

Ketentuan Umum)

Nazhir mempunyai tugas yaitu :

a) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,

fungsi dan peruntukannya;

c) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. (pasal 11

Bagian Kelima tentang Nazhir, BAB II Dasar-dasar wakaf)

Nazir meliputi :

a) perseorangan;

b) organisasi; atau

c) badan hukum. (pasal 9 Bagian Kelima)

Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a) warga negara Indonesia;

b) beragama Islam;

c) dewasa;

d) amanah;

e) mampu secara jasmani dan rohani; dan

f) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (pasal 10 ayat 1)

Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b) organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan

dan/ atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 2)

Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

c) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 3)

c. Harta Benda Wakaf

Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/ atau jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah

yang diwakafkan oleh wakif. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum)

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai

oleh wakif secara sah. (pasal 15 Bagian Keenam)

Harta benda wakaf terdiri dari :

a) benda tidak bergerak; dan

b) benda bergerak. (pasal 16 ayat 1)

Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi :

a) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf a

c) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

e) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 2)

Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta

benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a) uang;

b) logam mulia;

c) surat berharga;

d) kendaraan;

e) hak atas kekayaan intelektual;

f) hak sewa; dan

g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 3)

d. Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara

lisan dan/ atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

(pasal 1 BAB I Ketentuan Umum)

Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir di hadapan PPAIW

dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 17 ayat 1 Bagian Ketujuh

tentang Ikrar Wakaf)

Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan

dan/ atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. (pasal

17 ayat 2)

Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau

tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang

dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa

yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 18 )

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya

menyerahkan surat dan/ atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf

kepada PPAIW. (pasal 19)

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:

a) dewasa;

b) beragama Islam;

c) berakal sehat;

d) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (pasal 20)

Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (pasal 21 ayat 1)

Akta Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit

memuat:

a) nama dan identitas wakif;

b) nama dan identitas nazhir;

c) data dan keterangan harta benda wakaf;

d) peruntukan harta benda wakaf;

e) jangka waktu wakaf. (pasal 21 ayat 2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud

pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. (pasal 21 ayat 3)

e. Peruntukan Harta Benda Wakaf

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf (sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 4 dan 5, BAB II Dasar-dasar Wakaf Bagian Kedua

Tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf), harta benda wakaf hanya dapat

diperuntukan bagi :

a) sarana dan kegiatan ibadah;

b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/ atau

e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan. (pasal 22 Bagian Kedelapan

Peruntukan Harta Benda Wakaf)

Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam

pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (pasal 23 ayat 1)

Dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, nazhir

dapat menetapkan peruntukan harta benda yang dilakukan sesuai dengan

tujuan dan fungsi wakaf. (pasal 23 ayat 2)

f. Jangka Waktu Wakaf

Mengenai jangka waktu wakaf tidak ditemukan pembahasan yang lebih

mendetail baik dalam UU Wakaf No. 41 tahun 2004 atau dalam Peraturan

Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.

Wakaf termasuk amal ibadah yang disyariatkan agama Islam. Untuk

kesempurnaan ibadah agar diterima Allah Swt harus memenuhi dua syarat

agar sebagaimana amal-amal ibadah yang lain. Pertama, al-ikhlas (tujuan

ibadah semata-mata untuk mengharap ridha Allah Swt). Kedua, al-ittiba’

(beribadah sesuai syariat yang diajarkan Rasulullah Saw.

Para Fuqaha telah merumuskan berdasarkan nash-nash umum dalam Al-

Qur’an dan As-Sunnah serta hasil ijtihad mereka sebagai jawaban dari

berbagai tuntutan situasi dan kondisi yang terus berkembang. Dalam kitab-

kitab fiqh klasik maupun kontemporer kita temukan bab wakaf yang

kandungannya antara lain membahas tata cara berwakaf. Termasuk

didalamnya, penjelasan rukun dan syarat wakaf. Siapapun yang hendak

berwakaf harus mengetahui dan memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Waqif (orang yang berwakaf)

Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tabarru’ (melepaskan hak milik

tanpa imbalan), karena itu syarat seorang wakif adalah :

1) Cakap melakukan tindakan hukum dalam hal ini adalah wakaf,

artinya sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan

terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh

2) Benar-benar pemilik harta yang diwakafkan

2. Mauquf Bihi (benda yang diwakafkan)

Hendaknya benda-benda yang diwakafkan memiliki syarat-syarat

antara lain :

1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak habis

sekali pakai. Hal ini karena sifat wakaf lebih mementingkan manfaat

benda tersebut.

2) Benda wakaf dapat berupa milik seseorang atau kelompok atau badan

hukum.

3) Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya. Selain itu benda

wakaf merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan,

ikatan, sitaan dan sengketa.

4) Benda wakaf tersebut dapat dimiliki dan dipindahkan

kepemilikannya.

5) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat

yang lebih besar.

6) Benda wakaf tidak dapaat diperjualbelikan, dihibahkan atau

diwariskan.

Dalam hal objek umumnya yang diwakafkan adalah aset tidak bergerak,

seperti tanah, bangunan dan sejenisnya, karena mereka mensyaratkan

kekekalan objek tersebut, oleh sebab itu para ulama berbeda pendapat

mengenai wakaf aset benda bergerak terutama uang yang dianggap akan

habis.

Ulama Hanafiyah mensyaratkan tiga hal untuk aset bergerak. Pertama,

aset tersebut merupakan ikutan pada aset tetap yang diwakafkan seperti alat-

alat produksi yang mengikut pada wakaf pabrik misalnya. Kedua, ada nash

yang membolehkannya seperti dalam riwayat yang menjelaskan boleehnya

mewakafkan senjata dan kendaraan untuk jihad, sebagaimana yang dilakukan

oleh Khalid Bin Walid. Ketiga, berlakunya kebiasaan wakaf pada objek

tersebut seperti wakaf mushaf , buku dan sejenisnya.

3. Mauquf ‘Alaih (tujuan atau sasaran wakaf)

Sebaiknya wakif menetukan tujuan ia mewakafkan harta benda

miliknya. Apakah ia mewakafkan hartanya itu untuk menolong keluarganya

sendiri, untuk fakir miskin, Sabilillah, Ibnu Sabil atau diwakafkan untuk

kepentingan umum. Syarat dari tujuan wakaf adalah untuk kebaikan, mencari

keridhan Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu tujuan

wakaf tidak boleh digunakan untuk kepentingan maksiat, atau membantu,

mendukung dan atau yang memungkinkan diperuntukkan untuk tujuan

maksiat. Dalam Ensiklopedi Fiqh, disebutkan menyerahkan wakaf kepada

seseorang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.

4. Sighat (ikrar atau akad wakaf)

Sighat atau ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk

mewakafkan harta benda miliknya. Sighat atau pernyataan harus dinyatakan

degan tegas baik secara lisan atau tulisan, menggunakan kata “aku

mewakafkan “ atau “aku menahan” atau kalimat semakna lainnya. Dengan

pernyataan wakif itu, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya benda itu

menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum

yang menjadi tujuan wakaf.

5. Nazhir Wakaf (pengelola wakaf).

Nazhir adalah orang atau sekelompok orang dan atau badan hukum yang

diserahi tugas oleh wakif untuk mengelola wakafnya. Untuk menjadi nazhir,

haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Mukalaf (memiliki kecakapan bertindak hukum), yaitu Muslim

(beragama Islam), ‘Aqil (berakal sehat), Baligh (cukup umur).

2) Memiliki kemampuan dan keahlian mengelola wakaf (profesional).

3) Memiliki sifat amanah, jujur dan ‘Adalah (bersikap adil).

D. Tujuan dan Fungsi Wakaf

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan

fungsinya. (pasal 4 Bagian Kedua BAB II Dasar-dasar Wakaf)

Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda

wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

(pasal 5)

Tujuan dari berdirinya Tabung Wakaf Indonesia sendiri yaitu

mewujudkan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu lembaga

keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilisasi penghimpunan harta

benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat

sekaligus ikut mendorong pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi.

Institusi Tabung Wakaf Indonesia yang berfungsi selaku pengelola wakaf

(nazhir wakaf) khususnya wakaf uang tunai, sekaligus mengalokasikannya

secara tepat dengan profesionalitas dan amanah, tentu dengan tuntunan

AlQur’an dan Hadis Rasulullah Saw, serta pertimbangan kebutuhan umat

pada umumnya.

E. Macam-macam Wakaf

Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 16 ayat 1 Bagian Keenam

mengenai harta benda wakaf, maka harta benda wakaf itu terdiri dari :

a. Benda tidak bergerak; dan

b. Benda bergerak.

Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi :

a) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf a

c) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

e) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 2)

Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta

benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a) uang;

b) logam mulia;

c) surat berharga;

d) kendaraan;

e) hak atas kekayaan intelektual;

f) hak sewa; dan

g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 3)

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

a) dijadikan jaminan;

b) disita;

c) dihibahkan;

d) dijual;

e) diwariskan;

f) ditukar; atau

g)dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. (pasal 40 BAB IV

Perubahan Status Harta Benda Wakaf)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan

apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepntingan

umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan

dengan syariah. (pasal 41 ayat 1)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari menteri atas persetujuan

Badan Wakaf Indonesia. (pasal 41 ayat 2)

Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan

pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib ditukar dengan harta

benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta

benda wakaf semula. (pasal 41 ayat 3)

Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana

dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 ditukar lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah. (pasal 41 ayat 4)

Sedangkan harta benda wakaf menurut TWI yaitu :

a. Menurut Arti Ekonomi16

a) Al-Awqaf Al-Mubasyarah (wakaf-wakaf langsung), yaitu wakaf yang

memberikan layanan secara langsung kepada obyek wakaf.

b) Al-Awqaf Al-Ististmary, yaitu harta wakaf untuk investasi.

b. Menurut Arti Fiqh

a) Al-Awqaf Al-‘Am (wakaf umum)

adalah wakaf yang sasarannya mencakup semua orang yang sesuai

dengan kriteria sasaran. Baik sasaran ini mencakup semua orang, untuk

umat Islam saja atau untuk orang-orang yang berdiam di suatu wilayah

atau daerah tertentu.

b) Al-Awqaf Al-Khash (wakaf khusus)

16

Herman Budianto, “Tabung Wakaf Indonesia”. Dalam Training Relawan Zakat 1427 H

Dompet Dhuafa Republika, 6 September 2006, (Jakarta : Dompet Dhuafa Republika, 2006)

adalah wakaf yang hasil dan manfaatnya oleh pewakaf diperuntukkan

secara khusus kepada kegiatan tertentu. Misalnya, wakaf khusus untuk

beberapa orang atau khusus untuk suatu kegiatan tertentu.

c) Al-Awqaf Al-Musytarak (wakaf campuran)

adalah wakaf yang beberapa dari manfaat dan hasilnya oleh pewakaf

dikhususkan untuk anak keturunannya dan beberapa yang lain

diperuntukkan untuk amal sosial umum.

BAB III

SISTEM PENGELOLAAN WAKAF

A. MENURUT UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A.1. Sistem Pengelolaan Wakaf

Sistem pengelolaan wakaf dalam UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang

wakaf, diatur pada BAB V yaitu Pengelolaan dan Pengembangan Harta

Benda Wakaf.

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. (pasal 42 BAB V)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir

sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip

syariah. (pasal 43 ayat 1)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara produktif. (pasal 43 ayat 2)

Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang pertama-

tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau

lembaga yang khusus mengelola wakaf. Struktur organisasi yang baik dan

modern itu jika seluruh potensi kelembagaan berjalan sebagaimana mestinya

dan ada mekanisme kontrol yang baik.17

Selain itu juga memiliki standar

17

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru

Wakaf di Indonesia, (Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depatemen Agama,

2004), h. 106-116

operasional pengelolaan wakaf yang baik. Yang dimaksud dengan standar

operasional pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam

mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi

kepentingan masyarakat banyak18

Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang

dimaksud pada ayat 1 diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga

penjamin syariah. (pasal 43 ayat 3)

Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir

dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas

dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. (pasal 44 ayat 1)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat diberikan apabila

harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan

peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. (pasal 44 ayat 2)

Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir

diberhentikan dan diganti dengan nazhir lain apabila nazhir yang

bersangkutan :

a) meninggal dunia bagi nazhir perseorangan;

b) bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan

hukum.;

c) atas permintaan sendiri;

18 Ibid.

d) tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan atau melanggar

ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

e) dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. (pasal 45 ayat 1)

Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat

1 dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (pasal 45 ayat 2)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh

Nazhir lain karena pemberhentiann dan penggantian Nazhir, dilakukan

dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan

dan tujuan serta fungsi wakaf. (pasal 45 ayat 3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta

benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan

pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 46)

A.2. Sistem Pengembangan Wakaf

Mengenai sistem pengembangan wakaf dalam tinjauan UU RI No. 41

tentang wakaf, maka uraiannya sebagaimana yang telah dijelaskan tercantum

pada sistem pengelolaan wakaf diatas.

B. MENURUT LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA DOMPET

DHUAFA REPUBLIKA

B.1. Gambaran Lembaga Tabung Wakaf Indonesia

B.1.1. Sejarah Berdirinya Lembaga Tabung Wakaf Indonesia (Dompet

Dhuafa Republika)19

B.1.1.1. Latar Belakang

Pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan

secara terus-menerus menuntut kita untuk mencari alternatif solusi yang

dapat mendorongnya lebih cepat. Dan salah satu alternatif solusi itu

adalah mobilisasi dan optimalisasi peran wakaf secara efektif serta

profesional.

Tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga amil zakat, terlebih

setelah lahirnya UU tentang zakat dan UU tentang wakaf, membuktikan

bahwa peran dan potensi umat dalam pembangunan sangatlah potensial.

Demikian pula dengan keberadaan lembaga wakaf.

Oleh karenanya, secara pasti dibutuhkan peran Nazhir (pengelola)

wakaf yang amanah dan profesional sehingga penghimpunan,

pengelolaan dan pengalokasian dana wakaf menjadi optimal. Meski saat

ini kebutuhan akan adanya nazhir wakaf masih belum mendapat

perhatian utama dari umat.

19

Dompet Dhuafa Republika, Profil Tabung Wakaf Indonesia, (Jakarta : Tabung Wakaf

Indonesia, 2006), th

Berdasarkan kondisi diatas, maka Dompet Dhuafa tergerak untuk

mengambil inisiatif membentuk institusi Tabung Wakaf Indonesia

yang berfungsi selaku pengelola wakaf (nazhir wakaf) khususnya wakaf

uang tunai, sekaligus mengalokasikannya secara tepat dengan

profesionalitas dan amanah, tentu dengan tuntunan AlQur’an dan Hadis

Rasulullah Saw, serta pertimbangan kebutuhan umat pada umumnya.

B.1.1.2. Bentuk dan Badan Hukum Tabung Wakaf Indonesia

Sesuai dengan UU RI No. 41 Tahun 2004, Tabung Wakaf Indonesia

(adalah nazhir wakaf) berbentuk badan hukum, dan karenanya

persyaratan yang akan dipenuhi adalah :

a. Pengurus badan hukum Tabung Wakaf Indonesia ini memenuhi

persyaratan sebagai nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud

pada pasal 9 (1) UU Wakaf No. 41 tahun 2004

b. Badan hukum ini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

c. Badan hukum ini bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam

d. Tabung Wakaf Indonesia merupakan badan unit atau badan otonom

dari dan dengan landasan badan hukum Dompet Dhuafa Republika,

sebagai sebuah badan yayasan yang telah kredibel dan memenuhi

persyaratan sebagai nazhir wakaf sebagaimana dimaksud UU Wakaf

tersebut.

B.1.1.3. Visi dan Misi Organisasi20

Sebagai sebuah lembaga, Tabung Wakaf Indonesia mempunyai

visi, misi dan tujuan dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf

khususnya wakaf tunai. Visi yang diusung oleh Tabung Wakaf Indonesia

adalah membangkitkan peran wakaf sebagai penegak dan pembangkit

ekonomi umat. Dengan adanya wakaf tunai ini diharapkan mampu

membangkitkan perkembangan ekonomi umat di Indonesia. Adapun

misi yang dijalankan adalah mendorong pertumbuhan ekonomi umat

serta optimalisasi peran wakaf dalam sektor sosial dan ekonomi

produktif.

Sedangkan tujuan dari berdirinya Tabung Wakaf Indonesia sendiri

yaitu mewujudkan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu

lembaga keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilisasi

penghimpunan harta benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan

kebutuhan masyarakat sekaligus ikut mendorong pembangunan sosial

dan pemberdayaan ekonomi.

B.1.1.4. Biaya Operasional

Sesuai dengan UU RI No. 41 tahun 2004,maka lembaga wakaf dapat

menggunakan maksimal 10 % dari hasil wakaf sebagaimana yang

terdapat dalam pasal 12, dan bukan pokok wakaf, sehingga dana wakaf

tidak diperkenankan dikurangi sedikit pun untuk kegiatan operasional.

20 Ibid.

Dari kebijakan tersebut Tabung Wakaf Indonesia mendapatkan biaya

operasional dari dua sumber, yaitu :

a. Profit Investasi

Yaitu keuntungan yang didapat lembaga dari menginvestasikan dana

wakaf pada sektor produktif maksimal 10%.

b. Infak Operasional

Yaitu memberikan kesempatan kepada wakif untuk menambah infak di

luar dana wakaf.

B.1.2. Peran Lembaga Tabung Wakaf Indonesia Di Tengah Masyarakat

Menurut Herman Budianto, selaku direktur TWI, hadirnya Tabung

Wakaf Indonesia (TWI), merupakan fase penting dari pelayanan yang

dilakukan lewat institusi-institusi otonom yang lahir dari Dompet Dhuafa

Republika. Sejumlah institusi otonom yangterpilah dalam dua karakter

kelembagaan, yakni yang sosial (charity) maupun yang produktif, pada

tahap penguatannya setidaknya sampai kurun lima tahun mendatang (tahun

2012), memerlukan dukungan finansial yang tidak kecil. Maka, TWI hadir

mewadahi segenap ikhtiar penggalangan dana wakaf uang tunai yang

peruntukannya terarah pada penguatan lembaga otonom maupun jejaring

Dompet Dhuafa.21

Pada perjalanannya hingga saat ini, seluruh lembaga otonom maupun

jejaring tersebut memang dapat berjalan dengan simultan karena suntikan

21

Herman Budianto, TWI - Fase Penting Pelayanan Dhuafa, (Jakarta : Tabung Wakaf

Indonesia, 2006), h. 2

dana yang diperoleh tidak hanya dari pemasukan zakat, infak dan shadaqah

yang selama ini juga dikembangkan oleh Dompet Dhuafa pada momen-

momen Ramadhan, namun dana itu juga didapat dari wakaf tunai hasil

pengelolaan dan pengembangan lembaga TWI selama ini. Sehingga

semakin banyak dana wakaf tunai yang diperoleh TWI, maka dengan

sendirinya akan semakin bertambah pula para dhuafa yang dapat

terberdayakan melalui program-program sosial pemberdayaannya.

B.2. Sistem Pengelolaan Wakaf Dalam Tinjauan TWI

Dalam melakukan kewajibannya selaku Nazhir, Tabung Wakaf

Indonesia harus melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta

benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi dan

peruntukannya dengan prinsip-prinsip Syari’ah, yaitu bahwa Nazhir wajib

mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi

dan peruntukannya.22

Dimana pengelolaan yang dilakukan oleh Tabung

Wakaf Indonesia berdasarkan dua pendekatan, yaitu :

1) Pendekatan Produktif

Yaitu pengelolaan harta wakaf untuk hal-hal yang bersifat produktif

dan menghasilkan keuntungan. Diatur dalam pasal 43 ayat 2 bahwa

pengelolaan harta benda wakaf dilakukan secara produktif. Contoh :

pembuatan rumah sakit komersil dari dana wakaf, keuntungan dari rumah

sakit sepenuhnya untukkegiatan kemaslahatan umat.

22

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 42 BAB V UU RI No. 41 tahun 2004 tentang

wakaf

2) Pendekatan Non Produktif

Yaitu pengelolaan harta benda wakaf untuk hal-hal yang bersifat

tidak menghasilkan keuntungan (non produktif). Contoh : pembuatan

sekolah gratis untuk Dhuafa, seluruh dana wakaf yang terkumpul

digunakan untuk kegiatan tersebut.

a. Perencanaan dan Pengorganisasian

a.1. Struktur Organisasi23

Berdasarkan uraian diatas, maka organisasi Tabung Wakaf

Indonesia didisain dengan memperhatikan visi dan misinya yang

berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat umum

sebagaimana dapat digambarkan dalam struktur organisasi berikut ini :

23 Dompet Dhuafa Republika, Profil Tabung Wakaf Indonesia, Ibid.

DIREKTUR DEWAN SYARIAH

DIVISI FUNDRAISING DIVISI SUPPORT

MARKETING COMM

CUSTOMER RELATION

ADM & ACC

HRD & GA

MARKETING DATABASE

a.2. Perencanaan TWI

Dalam perjalanannya selama ini, TWI selaku nazhir wakaf

menerapkan beberapa perencanaan sebagai berikut :

a) menyelenggarakan sosialisasi akan pentingnya wakaf tunai dengan

melalui pengajian-pengajian majlis ta’lim, melalui penyiaran radio,

dan melalui media internet. Media sosialisasi merupakan jalan yang

sangat penting untuk berjalannya sebuah organisasi baik melalui

media cetak maupun media elektronik.

b) menyelenggarakan musyawarah dengan staf-staf TWI. Musyawarah

menjadi bagian ketika program itu ada. Tanpa adanya musyawarah

maka permasalahan yang ada tidak akan terselesaikan.

c) tetap berkoordinasi dengan Dompet Dhuafa Republika. Dompet

Dhuafa merupakan bagian dari organisasi TWI. Sehingga ketika ada

permasalahan yang tidak bisa ditangani secara langsung oleh TWI,

maka koordinasinya dengan Dompet Dhuafa.

b. Fungsi Manajemen

Adapun keterangan struktur bagan organisasi TWI tersebut adalah sebagai

berikut :

1. Divisi Fundraising

Divisi ini bertugas melakukan penghimpunan harta benda wakaf

khususnya harta benda bergerak, yaitu meliputi :

a. Uang Tunai

b. Logam Mulia

c. Surat Berharga

d. Kendaraan

e. Hak atas kekayaan intelektual

f. Harta bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan Syari’ah dan

Undang- undang.24

Terdapat tiga peran dalam Divisi Fundraising, yaitu :

a. Marketing Communication (Markom)

Merupakan inti dari fundraising itu sendiri. Dimana tugasnya

melakukan penghimpunan harta benda wakaf, terutama wakaf tunai,

sebelum pada akhirnya dikelola dan dikembangkan dengan kerjasama

beberapa jejaring Dompet Dhuafa.

b. Customer Relation (CR)

Tugasnya menerima pendaftaran calon wakif dan memberikan

pelayanan yang terbaik (services exellence) tidak hanya kepada calon

wakif yang sudah terdaftar, tapi juga kepada para wakif yang sudah

ada.

c. Marketing (pemasaran)

Tugasnya ‘menjual’ TWI dengan segala macam produk dan program

pemberdayaan wakaf kepada masyarakat luas, baik melalui media

publikasi cetak dan elektronik, maupun melalui pendekatan jemput

bola seperti lewat pengajian-pengajian di berbagai perusahaan

maupun perumahan.

24 Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 16 ayat 3 UU RI No. 41 tahun 2004

Kegiatan penghimpunan harta wakaf benda bergerak dikhususkan

berupa uang tunai dengan pertimbangan untuk memudahkan

pemanfaatan dan penyaluran harta wakaf sesuai dengan program yang

dirancang, tapi tidak menutup kemungkinan untuk menerima wakaf

tanah dan gedung dengan pertimbangan kemampuan mengelola dan

kemanfaatan untuk umat.

Setiap wakif yang melakukan wakaf tunai akan dikeluarkan

sertifikat wakaf tunai. Sesuai dengan pasal 29 yaitu bahwa wakaf benda

bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud, wakaf dilaksanakan

oleh wakif yang dilakukan secara tertulis pada ayat 1. pada ayat 2 wakaf

benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat 1

diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.

Lembaga Tabung Wakaf Indonesia mengeluarkan dua jenis

sertifikat wakaf tunai, yaitu :

1). Atas Unjuk, yaitu sertifikat yang dikeluarkan untuk donasi wakaf

dibawah nilai nominal Rp. 5.000.000,-

2). Atas Nama, yaitu sertifikat yang dikeluarkan untuk donasi wakaf

diatas nilai nominal Rp. 5.000.000,-

Sertifikat tersebut diatas diterbitkan di Jakarta dan ditandatangani oleh :

1) Dipl-Ec.M.Taufiq Ridho, Lc. (merupakan ketua dewan Syari’ah)

2) Herman Budianto (merupakan Direktur Tabung Wakaf Indonesia)

3) Rahmat Riyadi (merupakan presiden Dompet Dhuafa Republika)

2. Divisi Support

Kegiatan Support mempunyai peranan yang sangat signifikan

dalam menunjang operasional Tabung Wakaf Indonesia. Terdapat tiga

peran strategis dalam Departemen Support, yaitu :

a. HRD (Human Research Development) dan GA (General Affair)

Tugasnya mempersiapkan dan mengelola sumber daya manusia,

sehingga tercipta sumber daya manusia sebagai pengelola wakaf

yang amanah dan profesional, sehingga dana wakaf akan aman dan

berkembang.

b. Administrasi (Adm) dan Accounting (Acc)

Sebagai bagian pembuatan sertifikat dan Akta Ikrar Wakaf

(AIW) dan sistem keuangan yang amanah dan transparan, sehingga

masyarakat dapat mengetahui dengan mudah aktifitas keuangan

Tabung Wakaf Indonesia. Untuk pembuatan AIW sampai dengan

saat ini TWI masih menggunakan jasa Legal internal Dompet

Dhuafa yaitu dibawah pengawasan Evi Risnayanti, SH dan Sarniti,

SH.25

c. Database

Merupakan bagian dari divisi Adm & Acc. Dimana tugasnya

memasukkan dan merapikan data-data wakif yang masuk dalam

bank data TWI seperti data mengenai formulir dan kwitansi wakif

yang masuk setiap periodenya.

25 Wawancara Pribadi dengan Poppy Salindri, (staf Adm& HRD), Jakarta, 12 Maret 2008

c. Administrasi Pengelolaan Wakaf

Sebagai bagian dari perusahaan maka administrasi bertugas melakukan

pembuatan sertifikat dan Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan sistem keuangan

yang amanah dan transparan, sehingga masyarakat dapat mengetahui

dengan mudah aktifitas keuangan Tabung Wakaf Indonesia. Untuk sistem

pelayanan, maka TWI sendiri membuka pendaftaran bagi wakif di

kantornya sendiri yang beralamat di Perkantoran Margaguna, Jl. Radio

Dalam Raya No. 11 Jak-Sel. Sedangkan untuk sistem pengelolaan dan

pengembangan maka seluruh staf beserta Direktur, TWI melakukan

koordinasi dengan Dompet Dhuafa serta seluruh anak jejaringnya untuk

melakukan proses pengembangan dan pendayagunaan dengan

meningkatkan kuantitas dan kualitas berbagai program yang sudah berjalan

selama ini.

d. Pengembangan Wakaf

Pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh TWI dapat

terlihat dari Produk-produk Wakaf Dan Program Pemberdayaannya Pada

Lembaga Tabung Wakaf Indonesia

Beberapa pilihan kemudahan dalam berwakaf tunai dari TWI untuk

(calon) wakif, tergambar dari sejumlah produk wakafnya yang antara lain :

a. Wakaf Untaian Kasih

Yaitu jenis wakaf yang dapat mempererat tali silaturahmi dan

menunjukkan perhatian abadi bagi orang-orang terkasih. Wakaf ini dapat

dihadiahkan untuk orang-orang tercinta seperti : suami, isteri, anak atau

orang tua. Tak ketinggalan kerabat, baik itu saudara jauh / dekat, teman

maupun relasi bisnis.

b. Wakaf Rindu Ilahi

Yaitu sebentuk wakaf bagi wakif yang ingin bertaqarrub ilallah

(mendekatkan diri kepada Allah) dan bertujuan demi kemaslahatan umat

tanpa mengharapkan harapan lain kecuali cinta dan ridha Allah dengan

segala kemuliaannya di akhirat, sebagai wujud nyata kerinduan suci

kepada sang Khalik yang InsyaAllah membawa keberkahan pula bagi

sesama.

c. Wakaf Syukur Nikmat

Yaitu sebuah wakaf sebagai jalan indah mengungkapkan rasa syukur

tatkala mendapatkan karunia berlimpah, dan agar rizki yang melimpah

tersebut semakin berkah serta berlipat ganda manfaatnya.

d. Wakaf Naungan Ilahi

Yaitu wakaf dengan salah satu niatan untuk mendapatkan ampunan

atas segala dosa yang telah dilakukan, agar terhindar dari musibah atau

marabahaya yang mungkin akan terjadi, dll.

Secara umum, bidang kegiatan dan program pemberdayaan Tabung

Wakaf Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bidang kegiatan yaitu :

1. Sosial (Non Produktif), dengan program pemberdayaannya sebagai berikut:

a. SMART EI

Lembaga Pengembangan Insani Sekolah Menengah Akselerasi

(Internat) Ekselensia Indonesia (LPI - SMART EI) adalah sektor model

yang dibentuk oleh Dompet Dhuafa dengan peserta anak didik seluruhnya

berasal dari anak-anak dengan orang tua yang kurang mampu namun

memiliki potensi akademik dan kecerdasan lainnya yang cemerlang.

Sekolah ini tidak memungut biaya apapun dari anak didiknya dan sesuai

namanya sekolah ini adalah gabungan SLTP dan SLTA dengan program

akselerasi 5 tahun dan seluruh pesertanya diberikan materi pelajaran

terpadu dalam lingkungan berasrama (Internat / Boarding School).

b. Institut Kemandirian Indonesia

Institut Kemandirian Indonesia memberikan program pelatihan

kewirausahaan bagi kaum dhuafa dengan sistem pengajaran Short Course

dengan target setiap alumni dapat menjadi wirausahawan. Kegiatan

kewirausahaannya adalah dalam bentuk : katering, bengkel, percetakan,

menjahit dan program latihan kewirausahawan.

c. LKC (Layanan Kesehatan Cuma-Cuma)

Program penyaluran wakaf tunai untuk kesehatan bagi kaum dhuafa

selama 24 jam, dengan fasilitas yang dimiliki berupa : Unit Gawat

Darurat, Rawat Jalan, Rawat Inap, Dokter Spesialis, Konsultasi Gigi,

Aksi Luar Gedung, Poli Gigi, Poli Kandungan, Bina Rohani Pasien.

Dengan sistem membership untuk kaum dhuafa, total member saat ini

9000 kk.

d. Masjid untuk daerah bencana dan Yatim Mandiri

Yaitu membangun masjid dan madrasah di daerah terkena bencana

untuk dijadikan sentra terapi ruhiyah (spiritual) sekaligus benteng

keimanan. Pengalokasian dana wakaf untuk mendirikan masjid dan yatim

dengan cara membuat satu unit bisnis berupa mini market kepada masjid

dan dikelola oleh yatim piatu. Target program ini adalah :

a) masjid menjadi penggerak ekonomi umat

b) masjid mempunyai sumber keuangan untuk membiayai kegiatan

operasional dan pengembangan

c) memberikan peluang kerja kepada anak yatim/yatim piatu sekaligus

mempersiapkan mereka menjadi wirausahawan yang mandiri.

e. RBC (Rumah Bersalin Cuma-Cuma)

Merupakan program kerjasama antara Tabung Wakaf Indonesia

dengan Dompet Dhuafa Kalimantan Timur. Konsep program ini adalah

pelayanan bersalin dan perawatan ibu dan anak pasca melahirkan untuk

dhuafa dengan sistem membership. Tujuannya adalah :

a) membantu kaum dhuafa khususnya ibu yang akan melahirkan

b) mengurangi angka kematian ibu dan bayi karena tidak mampu

membayar biaya melahirkan

c) meningkatkan gizi dan kesehatan ibu dan anak

f. Rumah Baca Cahaya

Awalnya, Rumah Cahaya yang berlokasi di Depok didukung Dompet

Dhuafa dengan meminjamkan fasilitas berupa rumah wakaf berikut

penyediaan rak buku. Kini, TWI juga berhasrat memperkuat pelayanan

Rumah Cahaya ini lewat penggalangan dana wakaf tunai. Bagi wakif

yang cinta dunia perbukuan dan bacaan, segenap kreatifitas berbasis buku

dan kegiatan menulis, bisa berwakaf lewat TWI.

2. Produktif , dengan program pemberdayaannya sebagai berikut :

a. Program Jangka Pendek

a). BMT (Baitul Mal wa Tamwil)

Program penyertaan modal kepada seluruh BMT yang tergabung

dalam BMT Centre. Dana wakaf diinvestasikan ke BMT, karena BMT

merupakan lembaga keuangan Islam yang langsung bersentuhan

dengan masyarakat ekonomi lemah, sehingga diharapkan dana wakaf

dapat berperan langsung dalam peningkatan ekonomi umat.

Keuntungan dari investasi ke BMT akan disalurkan untuk kegiatan

sosial kemasyarakatan. BMT Beringharjo ini, satu dari lima BMT

terbesar di Indonesia, dan menjadi yang pertama dan terbesar di

Yogyakarta. Pilihan investasi di lembaga ini, bukan sekedar karena

secara ekonomi menguntungkan (karena boleh jadi, di usaha lainnya,

bisa lebih besar keuntungannya), namun yang tak kalah pentingnya,

BMT ini memutar dananya di kalangan usaha mikro. Selain itu, basis

dakwahnya juga konkret. BMT ini bukan sekedar sebuah kongsi

bisnis, tetapi juga sebuah ikhtiar merekat ukhuwah komunitas dakwah

terutama di kalangan pedagang pasar Beringharjo. Keuntungan

pertahunnya yang diperoleh TWI, untuk dimanfaatkan sebagai dana

program pengentasan kemiskinan. Semakin besar perputaran modal di

BMT ini, maka InsyaAllah kucuran dana sosialnya bagi kaum dhuafa

pun kian besar.26

b). Kampoeng Ternak

Kampoeng Ternak hadir guna mengelola unit-unit pembibitan,

pemberdayaan dan pemasaran seputar hewan ternak yang nanti akan

menjadi hewan kurban saat Idul Adha. Cakupannya, strategi

pemberdayaan dan pendampingan intensif petani ternak, pemuliaan

dan pengembangan bibit ternak lokal, pembangunan jaringan

peternakan rakyat, dan pembangunan jaringan pasar (marketing board

/ bangsal pemasaran). Wakaf uang tunai yang terhimpun di TWI,

menjadi peledak kesanggupan Kampoeng Ternak secara nasional.

c). Wakaf Produktif untuk daerah terpencil. Merupakan program baru

yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat ekonomi dan spiritual

muslim yang tinggal didaerah pedalaman.

b. Program Jangka Menengah

a). Bakmi Langgara

Kiprah ekspansif Bakmi Tebet selama ini, membuatnya potensial

sebagai mata air sosial benefit penyertaan investasi sosial. Dengan

harapan itu, TWI mengamanahkan dana wakaf uang tunai dalam

usaha boga ini. Menurut catatan, total omzet usaha bakmi Wahyu

Saidi ini mencapai miliaran rupiah perbulan. Pilihan TWI

menginvestasikan dana wakaf di Bakmi Tebet, langkah penting yang

26 Ibid., h. 14-15

menjadi pijakan suksesnya usaha pelipatgandaan manfaat wakaf.

Perputaran usaha dana wakaf melalui bisnis tetap ini bisa dipetik

hasilnya untuk berbagai program sosial. Prinsip untuk ”menahan

pokoknya dan memetik hasilnya (saja)”, betul-betul bisa dijalankan.

b). Kluster Madani

Program dengan memadukan konsep pemberdayaan dan investasi

di sektor produktif, sebagai gambaran akan dibuat sebuah kawasan/

kluster kecil yang melakukan aktifitas ekonomi dan pembinaan

keagamaan. Aktifitas ekonomi dirancang secara khusus untuk

menampung pengusaha kelas kecil-menengah, dana wakaf dan

investor. Kluster kecil ini akan mencerminkan konsep manajemen

Islam yang sebenarnya yaitu resik, asri, profesional dan kental suasana

spiritual.

c. Program Jangka Panjang

Untuk jangka panjang maka program pemberdayaan wakafnya

dengan Wakaf Saham yaitu dengan menanamkan modal lewat pembelian

saham, yang hasilnya bisa menguntungkan. Sejatinya saham, sebagai

salah satu bentuk surat berharga, tatkala diwakafkan, sebagaimana harta

bergerak lainnya (emas, uang tunai), menjadi obyek yang hanya dipetik

manfaatnya (deviden tahunan) tanpa menghilangkan pokoknya. Dimana

pengelolaan dilakukan sesuai dengan kaidah syariah untuk mendapatkan

keberkahan dan deviden yang dapat digunakan untuk kemaslahatan umat.

Tiap tahun, saham itu akan “bekerja” mencetak amaliyah bagi si wakif.

Tiap tahun pula, catatan amal pemilik saham terisi.27

27

Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa Republika, Jembatan itu Bernama Wakaf,

(Jakarta : TWI, 2006)

BAB IV

PENGARUH UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

TERHADAP PROFESIONALITAS PENGELOLAAN WAKAF

DI LEMBAGA TABUNG WAKAF INDONESIA

A. Urgensi UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan

dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan

tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam

pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.

Salah satu lagkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu

meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya

bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki

kekuatan ekonomi yang berpotensi antara lain untuk memajukan keseahteraan

umum sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip

syari’ah.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya

berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak

terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga

dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian

atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda

wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum

memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk

kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf.

Berdasarkan pertimbangan diatas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum

dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk Undang-undang

tentang wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan

syariah dan peraturan perundang-undangan dicantumkan kembali dalam undang-

undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain

sebagai berikut:

1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi

harta benda wakaf, undang-undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum

wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan

serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara

yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan

harus dilaksanakan (sebagaimana yang diatur dalam ps.21 (1) dan ps.17 (2)

Bagian Kedua BAB II Dasar-dasar Wakaf UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang

wakaf dan ps.28-33 Bagian Kedua BAB II PP No. 42 Tahun 2006 tentang

pelaksanaan UU Wakaf). Undang-undang ini tidak memisahkan antara wakaf

ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk

kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk

kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung

terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan,

menurut undang-undang ini wakif dapat pula mewakafkan sebagian

kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak

berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan

intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya (sebagaimana yang diatur

dalam ps.16 Bagian Keenam BAB II Dasar-dasar Wakaf UU RI No. 41

Tahun 2004 dan ps.15-23 BAB III Bagian Pertama PP No. 42 Tahun 2006

tentang pelaksanaan UU Wakaf). Dalam hal benda bergerak berupa uang,

wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah. Yang

dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syari’ah adalah badan hukum

Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang

berlaku yang bergerak di bidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum di

bidang perbankan syari’ah. Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa

uang melalui Lembaga Keuangan Syari’ah dimaksudkan agar memudahkan

wakif untuk mewakafkan uang miliknya.

3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana

ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan

umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda

wakaf (sebagaimana yang diatur dalam ps.5 Bagian Kedua BAB II UU RI No.

41 Tahun 2004 tentang wakaf dan ps.45 (2) BAB V Pengelolaan dan

Pengembangan PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Wakaf). Hal itu

memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah

kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai

dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.

4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang

merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional

nazhir (seperti profesional dalam manajemen, dalam kreatifitas dan

produktifitas pemberdayaan wakaf, dll).

5. Undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang

dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan

tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang

perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap nazhir, melakukan

pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan

internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status

harta benda wakaf, dan memberikan saran dan perimbangan kepada

Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan (Penjelasan

atas rancangan Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf).

Keberadaan UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf sangat urgen

mengingat tujuan diberlakukannya UU Wakaf tersebut untuk :

a. Mengintegrasikan peraturan perundang-undangan bidang perwakafan

b. Menjamin kepastian hukum dibidang perwakafan

c. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif dan nazhir

d. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para

pihak yang mendapat kepercayaan mengelola benda wakaf

e. Sebagai koridor kebijakan publik dalam rangka advokasi dan penyelesaian

kasus-kasus perwakafan

f. Mendorong optimalisasi pengelolaan potensi wakaf, dan

g. Memperluas pengaturan mengenai wakaf sehingga mencakup pula wakaf uang

dan surat-surat berharga28

Sedangkan sasaran yang ingin diwujudkan melalui penyusunan UU Wakaf

tersebut adalah untuk :

a. Terciptanya tertib hukum dan tertib aturan di bidang perwakafan dalam wadah

negara kesatuan Republik Indonesia

b. Terjaminnya kesinambungan dan optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan

aset wakaf sesuai dengan sistem ekonomi syari’ah, tersedianya landasan

peraturan perundang-undangan bagi pembentukan dan pelaksanaan peran, tugas

dan fungsi Badan Wakaf Indonesia

c. Terwujudnya akumulasi asset wakaf sebagai alternatif sumber pendanaan bagi

pembangunan masyarakat.

B. Peranan UU RI No. 41 Tahun 2004

Dari beberapa penjelasan sebelumnya, ada beberapa hal dalam pengelolaan

wakaf di TWI yang bila dibandingkan dengan yang ada di UU Wakaf, bahwa

antara ketetapan wakaf sebagaimana yang telah termaktub dalam UU No. 41

Tahun 2004 tentang wakaf dengan ketentuan wakaf yang digunakan oleh Tabung

28

Direktorat pengembangan zakat dan wakaf Departemen Agama, Proses Lahirnya UU No.

41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta : Direktorat pengembangan zakat dan wakaf, 2005), h. 30

Wakaf Indonesia selaku nazhir wakaf, maka dapat simpulkan bahwa ada

ketetapan yang sejalan antar keduanya. Beberapa ketetapan tersebut yaitu :

1. Definisi Wakaf

Ada prinsip yang sejalan antara definisi wakaf yang ditawarkan oleh UU

No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dengan pengertian wakaf yang dipakai oleh

TWI yaitu suatu perbuatan hukum seorang wakif yang mewakafkan hartanya

dengan jangka waktu tertentu atau selamanya semata-mata untuk kepentingan

ibadah dan kesejahteraan sosial, sebagaimana semuanya telah diatur dalam

Syari’at.

2. Dasar Hukum Wakaf

Dasar-dasar mengenai perwakafan dalam UU Wakaf telah diatur dalam

BAB II Mengenai Dasar-dasar wakaf Bagian Pertama Umum yang terdapat

dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Hal itu sejalan dengan ketetapan dasar hukum

wakaf yang digunakan oleh TWI – yaitu melaksanakannya sesuai Syari’ah-

dengan menerapkan dalil-dalil naqli yang membahas seputar wakaf dalam

Islam. Sebagaimana yang tercantum dalam AlQur’an dan AlHadits. Sehingga

ketentuan dalam pasal 2 BAB II Bagian Pertama Umum mengenai dasar-

dasar wakaf dalam UU Wakaf yang menyatakan bahwa wakaf sah apabila

dilaksanakan menurut syari’ah, telah diterapkan oleh TWI.

3. Rukun-rukun dan Syarat-syarat

Mengenai rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf , dalam UU Wakaf

sebagaimana telah dijelaskan dalam BAB II penulisan ini, telah dicantumkan

beberapa ketetapannya baik tentang rukun-rukun juga syarat-syaratnya.

Sedangkan dalam penerapan TWI, tidak semua rukun wakaf sejalan dengan

unsur-unsur wakaf yang ada di UU Wakaf. Karena dalam UU Wakaf

disebutkan bahwa unsur wakaf itu adalah : wakif, nazhir, harta benda wakaf,

ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf serta jangka waktu wakaf.

Sedangkan dalam TWI, rukun wakaf itu adalah wakif, benda yang diwakafkan

(mauquf bihi), tujuan atau sasaran wakaf (mauquf ‘alaih), ikrar atau akad

wakaf (sighat) serta pengelola wakaf (nazhir). Jadi, dalam TWI tidak

disebutkan secara tertulis tentang adanya rukun atau unsur berupa jangka

waktu sebagaimana yang terdapat dalam rukun wakaf pada UU Wakaf,

walaupun pada tataran aplikatifnya TWI pun memberi kebebasan kepada

wakif untuk mewakafkan harta benda wakafnya baik untuk selamanya

maupun untuk jangka waktu tertentu.

4. Tujuan dan Fungsi Wakaf

Tujuan dan fungsi wakaf sebagaimana yang telah penulis bahas dimuka,

dalam UU Wakaf diatur dalam pasal 4 dan pasal 5 Bagian Kedua mengenai

Dasar-dasar Wakaf pada BAB II, yaitu wakaf bertujuan untuk memanfaatkan

harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya (pasal 4). Sedangkan pada pasal 5

disebutkan bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat

ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan

kesejahteraan umum. Tujuan dari berdirinya Tabung Wakaf Indonesia sendiri

yaitu mewujudkan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu lembaga

keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilisasi penghimpunan harta

benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat

sekaligus ikut mendorong pembangunan sosial dan pemberdayaan ekonomi.

Institusi Tabung Wakaf Indonesia selain berfungsi selaku pengelola

(nazhir) wakaf khususnya wakaf uang tunai, juga sekaligus

mengalokasikannya secara tepat dengan profesionalitas dan amanah, tentu

dengan tuntunan AlQur’an dan Hadis Rasulullah Saw, serta pertimbangan

kebutuhan umat pada umumnya. Hal ini terlihat dari beragamnya harta benda

wakaf yang telah diproduktifkan oleh TWI untuk kesejahteraan dan

kemaslahatan umat dan masyarakat Indonesia pada umumnya, hal ini

sebagaimana yang telah penulis gambarkan dalam BAB III penulisan di

muka. Sehingga ada keselarasan prinsip pendayagunaan antara ketetapan UU

Wakaf dengan aplikasi TWI di lapangan.

5. Macam-macam Wakaf

Dalam UU Wakaf disebutkan bahwa macam-macam harta benda wakaf

itu ada dua macam yaitu harta benda wakaf bergerak dan harta benda wakaf

tidak bergerak (sebagaimana yang tercantum dalam BAB II mengenai dasar-

dasar wakaf Bagian Keenam tentang Harta Benda Wakaf terdapat dalam pasal

15 dan 16). Sedangkan pada TWI, macam-macam harta benda wakaf yang

diterapkan adalah semua harta benda wakaf yang masuk dalam pengertian

ekonomi dan pengertian fiqh (sebagaimana yang telah dijabarkan dalam

penjelasan BAB III mengenai TWI), walaupun pada TWI semua harta benda

wakaf telah diterapkan secara lebih luas. Maka dalam hal ini, dapat penulis

katakan bahwa ada kesamaan dalam hal pelaksanaan macam-macam harta

benda wakaf antara UU Wakaf (juga sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam Pasal 15 Bagian Kesatu mengenai Jenis Harta Benda Wakaf BAB III

PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf) dengan TWI selaku

nazhir.

6. Sistem Pengelolaan

Dalam hal sistem pengelolaan, berdasarkan hasil wawancara langsung

penulis dengan staf karyawan TWI, dapat penulis simpulkan bahwa pada

dasarnya sistem pengelolaan harta benda wakaf yang dilakukan oleh TWI

semuanya merujuk kepada ketentuan dan ketetapan pengelolaan wakaf dalam

UU Wakaf, sehingga sistem pengelolaan wakaf di TWI diterapkan sesuai

syariah, dikelola dan dikembangkan secara produktif dan dimanfaatkan untuk

kemaslahatan umum (sebagaimana yang terdapat dalam BAB V mengenai

Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf dijelaskan dalam pasal

42 s.d pasal 46).

Dalam melakukan kewajibannya selaku Nazhir, Tabung Wakaf

Indonesia telah berupaya melakukan pengelolaan dan pengembangan atas

harta benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi dan

peruntukannya dengan prinsip-prinsip Syari’ah, dimana pengelolaan yang

dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia sendiri berdasarkan dua pendekatan,

yaitu : pendekatan produktif (sesuai yang diatur dalam pasal 43 ayat 2) dan

pendekatan non produktif (sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam

penjelasan BAB III mengenai gambaran wakaf dalam tinjauan TWI).

C. Analisa

1. Penerapan UU RI No. 41 Tahun 2004 Pada Lembaga Tabung Wakaf

Indonesia

Berbicara mengenai penerapan UU RI No. 41 Tahun 2004 mengenai

perwakafan pada Lembaga Tabung Wakaf Indonesia, maka Penulis

memperoleh hasilnya dari data-data berupa wawancara maupun observasi

secara langsung. Dari hasil data tersebut Penulis memperoleh jawaban bahwa

belum semua isi dan ketetapan pasal yang terdapat dalam UU Wakaf tersebut

sudah diterapkan oleh TWI selaku Nazhir Wakaf. Hal ini dikarenakan masih

adanya ketentuan-ketentuan perwakafan yang ada dalam UU RI No. 41 Tahun

2004 mengenai wakaf (seperti pasal dan ketentuan yang berkaitan dengan

keberadaan BWI yang masih belum bisa diaplikasikan), khususnya yang

berkaitan dengan teknis di lapangan, yang masih membutuhkan penyesuaian-

penyesuaian. Hal ini mengingat apa yang dihadapi di lapangan ternyata berbeda

jauh dengan apa yang tertulis dalam UU Wakaf tersebut.

Namun berangkat dari itu semua, tidak dapat dipungkiri bahwa

bagaimanapun juga keberadaan UU Wakaf No. 41 tahun 2004 merupakan

kebutuhan umat Islam Indonesia sejak lama. Sangat besarnya potensi yang

dapat dikembangkan dari harta benda wakaf dan pengaruhnya yang luar biasa

dalam hal pengentasan kemiskinan, menjadikan pentingnya kedudukan UU

wakaf bagi sebuah lembaga Nazhir wakaf. Selain itu adanya UU RI No. 41

tahun 2004 mengenai wakaf menjadi penting karena dapat menjadi payung

hukum dalam hal tata cara pengelolaan harta benda wakaf. Hal ini sebagaimana

yang diungkapkan oleh Ibu Destria Meriyana Atmayanti, SH (staf Adm&Acc

Tabung Wakaf Indonesia),

“(penerapan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf oleh sebuah lembaga

nazhir wakaf) sangat urgen. Mengingat UU tersebut merupakan impian umat

Islam Indonesia sejak lama untuk dapat mengatur tata cara pelaksanaan

wakaf, dan juga keberadaannya berfungsi sebagai payung hukum mengenai

pengaturan wakaf di Indonesia.”29

Dalam hal penerapan UU Wakaf, TWI sendiri selaku nazhir wakaf

mengaku belum sepenuhnya dapat menerapkan isi UU Wakaf tersebut. Hal ini

dikarenakan masih ada ketentuan pasal dalam UU tersebut yang masih sulit

diterapkan dan membutuhkan penyesuaian (seperti keberadaan BWI, prosedural

pendaftaran harta benda wakaf, ketentuan-ketentuan mengenai akta ikrar wakaf,

aturan pelaksanaan wakaf di lapangan, dll). Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Ibu Destria berikut ini,

“(TWI dalam menerapkan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf) belum

sepenuhnya. Hal ini dikarenakan ada beberapa pasal yang kami rasa

membutuhkan penyesuaian untuk diterapkan di lapangan. Sebaliknya, masih

banyak ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wakaf yang masih

belum diatur (yaitu yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teknis) dalam

UU Wakaf tersebut.”30

Selama ini, TWI sendiri masih berpedoman pada AlQur’an dan AsSunnah

sebagai rujukan utama dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf. Setelah itu merujuk kepada UU RI No.41 tahun 2004 mengenai wakaf,

29

Wawancara pribadi dengan Ibu Destria Meryana Atmayanti, (staf Adm& Database TWI),

Jakarta, 6 Juni 2007 30 Ibid.

walaupun -sebagaimana yang telah Penulis kemukakan -belum semua isi dari

pasal-pasal UU Wakaf tersebut sudah dapat diterapkan oleh nazhir wakaf.

Dalam hal perubahan status dan peruntukan harta benda wakaf dan

pengembangannya, TWI sendiri berupaya untuk tidak melakukannya. Hal ini

dikarenakan dalam UU Wakaf dengan tegas disebutkan bahwa nazhir wakaf

dilarang melakukan perubahan status dan peruntukan harta benda wakaf kecuali

dengan dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia (sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 44 (1) BAB V UU Wakaf No. 41 tahun 2004). Namun,

hal tersebut menjadi pengecualian jika memang kondisi harta benda wakaf

(khususnya benda wakaf tidak bergerak) di lapangan menuntut dilakukannya

hal tersebut. Dalam hal ini, calon Wakif tetap akan diajak berdialog untuk

mencari solusi yang disepakati. Hingga bila telah terjadi sebuah kesepakatan

antara calon wakif dengan TWI selaku nazhir wakaf, selanjutnya transaksi

wakaf tersebut dapat disahkan melalui akad serah terima wakaf.

Dari sejak didirikannya hingga sekarang, TWI sendiri dalam menjalankan

amanah lembaganya sebagai pengelola harta benda wakaf, pengelolaan dan

pengembangan harta benda wakaf selama ini dilakukan dengan cara trial and

error.31 Seperti dalam hal penghimpunan dan pengelolaan harta benda wakaf,

sebelum berdirinya TWI, maka harta benda wakaf yang dihimpun oleh lembaga

zakat Dompet Dhuafa Republika terus mengalami perubahan terlebih pasca

hadirnya UU Wakaf No. 41 tahun 2004 dan sudah berdirinya TWI, perubahan

tersebut terus beriringan dengan kemajuan yang diperoleh dari hasil kerja keras

31 Destria., ibid.

dan pengalaman mereka (TWI dan Dompet Dhuafa) selama ini. Hal ini

dikarenakan mengingat Badan Wakaf Indonesia (BWI) sendiri – sebagaimana

yang tercantum dalam amanah UU Wakaf yang bertugas sebagai pembina dan

pengawas nazhir wakaf- baru-baru ini saja bisa terbentuk (tepatnya melalui

Kepres No. 75 M / 2007 tertanggal 13 Juli 2007, yang kemudian penetapannya

dilakukan oleh Menteri Agama No. 96 / 2007 tertanggal 20 Sept 2007),

sehingga sampai saat ini belum memiliki perangkat-perangkat tugas yang

jelas.32

Hal ini membuat TWI dan nazhir wakaf lainnya, mau tidak mau dituntut

kematangan dan keprofesionalannya dalam mengelola dan mengembangkan

harta benda wakaf, berjalan sendiri tanpa binaan.

Selanjutnya penulis mencoba membahas kinerja TWI dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf, dalam perspektif UU Wakaf khususnya

yang terdapat pada pasal 42 s.d. pasal 46 BAB V Pengelolaan dan

Pengembangan Harta Benda Wakaf berikut ini :

Pasal 42

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.(ps.4-5 Bagian Kedua dan ps.22

Bagian Kedelapan BAB II UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, dan ps.13

(1) Bagian Kelima BAB II PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU

Wakaf). Sesuai dengan yang tertulis dalam Akta Ikrar Wakaf (ps.45 (1) BAB V

PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf).

32 ibid.

Sebagaimana yang telah penulis uraikan dimuka bahwa pengelolaan dan

pengembangan harta benda wakaf di TWI telah sesuai dan sejalan sebagaimana

yang dimaksudkan dalam UU Wakaf, yaitu dilaksanakan berdasarkan prinsip

syariah, dikelola dan dikembangkan dengan produktif dan dimanfaatkan untuk

kemaslahatan masyarakat umum dan umat Islam pada khususnya.

Pasal 43

(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana

dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip Syari’ah. (ps.2

BAB II UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan ps.45 (2) BAB V PP No.

42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf di TWI dilakukan

dengan menjadikan AlQuran dan AsSunnah sebagai rujukan utama.

(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara

produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal,

produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian,

pengembangan teknologi, pembanguan gedung, apartemen, rumah susun, pasar

swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan

dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari’ah. (penjelasan atas UU

No. 41 tahun 2004 tentang wakaf)

Sebagaimana yang penulis telah bahas bahwa dari berbagai macam produk

dan program pemberdayaan harta benda wakaf yang telah dikembangkan oleh

TWI, maka hal tersebut menunjukkan bahwa TWI telah mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf secara produktif.

(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud

pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin

Syari’ah.

Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syari’ah adalah badan hukum

yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang

dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi atau skim lainnya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (penjelasan atas

UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf)

Dari hasil penelitian dan wawancara penulis, maka diperoleh keterangan

bahwa Dompet Dhuafa Republika merupakan lembaga penjamin syariah TWI.

Pasal 44

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin

tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. (sesuai dengan ps.49 (1) dan (2) BAB VI

PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf)

Sebagaimana yang telah penulis singgung diawal, bahwa berhubung

lembaga BWI baru terbentuk belum lama ini, maka sampai dengan saat ini

belum dapat dilakukan upaya sinergi dan koordinasi antara BWI dengan nazhir-

nazhir wakaf yang ada (khususnya dengan TWI).

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta

benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang

dinyatakan dalam ikrar wakaf. (sesuai dengan ps.49 (2) dan (3) BAB VI PP No.

42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf)

Hal ini sejalan dengan komitmen TWI untuk sebisa mungkin tidak

melakukan perubahan peruntukan wakaf, kecuali jika kondisi dilapangan

mengharuskan perubahan tersebut, dan juga selama wakif mengetahui dan

menyetujuinya sehingga barulah kemudian disahkan dalam akad serah terima

wakaf dan diterbitkan dalam akta ikrar wakaf.

Pasal 45

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir

diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang

bersangkutan:

a. Meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;

b. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum.;

c. Atas permintaan sendiri;

d. Tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan atau melanggar ketentuan

larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.

(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.

(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir

lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap

memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta

fungsi wakaf.

Pada bab ini, TWI pun sudah menerapkan isinya dikarenakan dalam

beberapa bulan yang lalu salah seorang karyawan TWI (manajer marketing)

menyatakan mengundurkan diri dari posisinya, sehingga digantikan dengan

nazhir perseorangan yang lain, dan prosesinya dilakukan oleh internal TWI

sendiri.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta

benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan

pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain itu penulis juga akan membahasnya melalui perspektif PP No. 42

tahun 2006 sebagai pelaksana UU Wakaf tersebut, khususnya pada pasal 45 s.d.

pasal 48 BAB V mengenai Pengelolaan dan Pengembangan sebagai berikut :

Pasal 45

(1) Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan

peruntukan yang tercantum dalam AIW.

Hal ini sebagaimana yang penulis telah bahas dimuka, meskipun pada

kenyatannya akta ikrar wakaf yang digunakan oleh TWI merupakan AIW yang

masih dibuat sendiri oleh internal TWI.

(2) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) untuk memajukan kesejahteraan umum, nazhir dapat

bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah.

Dari hasil wawancara dilapangan dan dari berbagai literatur TWI yang

penulis peroleh, maka selama ini tim marketing TWI telah melakukan upaya

kerjasama dengan banyak pihak baik sebagai sarana publikasi maupun sebagai

sarana pelayanan, diantaranya seperti bekerjasama dengan majalah AzZikra

(AzZikra magazine Pride of Islam), DaktaFM 107, DKM Al-Istiqamah (PT.

Indonesian Epson Industry), SenyuMuslim (Franchise Toko Buku Islam

Pertama di Indonesia), Al-Fath Busana Muslim, Tamini Square, ITC Mega

Grosir, dll .

Pasal 46

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dari perorangan warga

negara asing, organisasi asing dan badan hukum asing yang berskala nasional

atau internasional, serta harta benda wakaf terlantar, dapat dilakukan oleh BWI.

Sebagaimana dari keterangan Ibu Destria, bahwa selama ini pernah ada

seorang wakif asing berkebangsaan Jepang yang bernama Machiko Maeama

(pemilik yayasan sekolah komik di Jepang) yang telah mendonasikan uangnya

sebesar Rp 1 juta. Dan prosesi serta penerbitan akta ikrarnya dilakukan oleh

internal TWI sendiri.

Pasal 47

Dalam hal harta benda wakaf berasal dari luar negeri, wakif harus melengkapi

dengan bukti kepemilikan sah harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan, dan nazhir harus melaporkan kepada lembaga

terkait perihal adanya perbuatan wakaf.

Dalam perjalanannya sebagai nazhir wakaf selama ini, maka TWI sendiri

belum memperoleh wakif atau harta benda wakaf yang berasal dari luar negeri.

Pasal 48

(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada

peraturan BWI.

Sebagaimana yang telah penulis kemukakan, bahwa BWI (yang diketuai

oleh Prof. Dr. H.M. Tholhah Hasan dan beralamatkan di Gedung Laboratorium

Pangan Halal Departemen Agama, Jl. Pinang Ranti Raya Pondok Gede Jak-

Tim) sampai saat ini belum dapat melakukan upaya sinergi dan koordinasi

dengan nazhir-nazhir wakaf yang ada dikarenakan belum perangkat-perangkat

yang mendukung kinerjanya.

(2) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat

dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen

keuangan syariah.

Lembaga-lembaga keuangan Syariah yang menjadi mitra TWI dalam

menampung dana wakaf tunai diantaranya : Bank Danamon Syariah Cab.

Ciracas, BNI Syariah Cab. Jak-Sel, Bank Syariah Mandiri Cab. Pondok Indah,

BII Syariah Platinum Access Cab. Thamrin, dan Bank Syariah Mega Indonesia

Cab. Tugu Kuningan.

(3) Dalam hal LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu, maka

nazhir hanya dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf uang pada LKS-PWU dimaksud.

(4) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan

pada bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai

dengan Peraturan Perundang-undangan.

(5) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan

dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus diasuransikan pada asuransi

syariah.

Selama ini, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hal-hal

yang berkaitan dengan perlindungan, maka TWI mempercayakan

penjaminannya kepada Dompet Dhuafa sebagai lembaga induk dan lembaga

penjamin bagi TWI.

2.Pengaruh UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Terhadap Profesionalitas

Pengelolaan Lembaga Tabung Wakaf Indonesia

Wakaf, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, merupakan ibadah

tabarru’ yang sifat keuntungannya tidak hanya untuk diri pribadi wakif, namun

juga masyarakat luas yang menjadi sasaran pendayagunaan harta benda wakaf.

Walaupun wakaf sebatas amal kebajikan yang bersifat anjuran, tetapi daya dorong

untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan sangat tinggi. Karena prinsip yang

mendasari ibadah wakaf adalah terciptanya kondisi sosial kemasyarakatan yang

dibangun diatas kesamaan hak dan kewajiban sebagai mahluk Allah.

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting

dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan

masyarakat Islam. Selain itu keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi

para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai

untuk melakukan riset dan pendidikan. Sehingga dapat mengurangi ketergantungan

dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah menjalankan

sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementerian-kementerian

khusus, seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.

Sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi sosial, wakaf

menempati posisi penting dalam upaya agama ini membangun suatu sistem sosial

yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Setelah menyelesaikan tugas wajib dalam

melaksanakan zakat, sekurang-kurangnya dua setengah persen dari seluruh

kekayaan seseorang jika berlangsung selama setahun, para muzakki sangat

dianjurkan agar melaksanakan ibadah sosial lainnya dalam rangka pemberdayaan

ekonomi lemah seperti infak dan sedekah jariyah. Karena, tugas untuk

mengentaskan kemiskinan adalah suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang memiliki

kemampuan lebih secara ekonomi.

Yang terpenting dari ajaran wakaf adalah ia bukan suatu perbuatan sosial

yang hanya nampak kepada sifat kedermawanan seseorang tanpa adanya sebuah

bangunan prinsip untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Namun wakaf

sebenarnya menempati peran yang cukup besar setelah zakat, sebagai upaya

pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Jika zakat memiliki gagasan untuk

menolong golongan lemah agar tetap bisa hidup untuk mencukupi kebutuhan diri

dan keluarganya setiap harinya, maka wakaf menduduki peran pemberdayaan

mereka secara lebih luas untuk meningkatkan taraf hidup dari sekedar mencukupi

sehari-hari.

Wakaf tunai merupakan salah satu usaha yang tengah dikembangkan dalam

rangka meningkatkan peran wakaf dalam bidang ekonomi. Karena wakaf tunai

memiliki kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang bisa menyumbangkan

harta tanpa batas-batas tertentu. Demikian juga fleksibilitas dari wujud wakaf tunai

itu sendiri dan pemanfaatannya yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk

dikembangkan.

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ford

Foundation pernah mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa jumlah

kedermawanan umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliyun (dalam bentuk

barang Rp 5,1 triliyun dan uang Rp 14,2 triliyun). Jumlah dana sebesar itu,

sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliyun) dan sisanya zakat mal

(Rp 13,1 triliuyn).33

Selain itu penelitian PIRAC pernah menyebutkan potensi zakat Indonesia

sebesar Rp 20 triliyun pertahun (diluar wakaf tunai) belum seluruhnya terserap.

Penyerapan zakat tingkat nasional selama ini yang berkisar Rp 23,5 miliar belum

seberapa dibandingkan dengan potensi zakat yang sebenarnya.34

Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi bahwa jumlah penduduk

muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan

33

AlHikmah “Bagaimana Dana Zakat Dikelola – Menyoal Transparansi dan Independensi

Amil Zakat”, 1-15 Oktober 2006, h. 7 34 Ibid.

rata-rata antara Rp 0,5 juta – 10 juta perbulan. Dan ini merupakan potensi yang

besar. Bayangkan misalnya bila warga yang berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4

juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu. Maka setiap tahun

akan terkumpul Rp 240 miliar. Jika warga yang berpenghasilan Rp 1-2 juta

sebanyak 3 juta jiwa dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 120 ribu, maka

akan terkumpul dana sebesar Rp 360 miliar. Jika warga yang berpenghasilan Rp 2-

5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu,

akan terkumpul dana Rp 1,2 trilyun. Dan jika warga yang berpenghasilan Rp 5-10

juta berjumlah 1 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 1,2 juta

maka akan terkumpul dana Rp 1,2 trilyun. Jadi dana yang terkumpul mencapai Rp

3 trilyun setahun.35

Gambaran data tersebut menunjukkan potensi dana sesungguhnya kaum

Muslimin yang luar biasa. Terutama jika dana itu diserahkan kepada nazhir

profesional dan oleh pengelola, wakaf itu diinvestasikan di sektor yang produktif.

Dijamin jumlahnya tidak akan berkurang, tapi bertambah bahkan bergulir.

Misalnya saja dana itu dititipkan di Bank Syari’ah yang katakanlah setiap tahun

diberikan bagi hasil sebesar 9 %, maka pada akhir tahun sudah ada dana segar Rp

270 miliar. Tentunya akan sangat banyak yang bisa dilakukan dengan dana

sebanyak itu.36

Karenanya model wakaf tunai sangat tepat memberikan jawaban yang

menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi

35

Depag, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, h. 71-71 36 Ibid.

krisis ekonomi Indonesia kontemporer. Ia sangat potensial menjadi sumber

pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar

negeri. Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan pekerjaan dan

mengurangi pengangguran dalam aktifitas produksi yang selektif sesuai kaidah

Syari’ah dan kemaslahatan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil

dan memperkuat fundamental ekonomi.

Mengingat penting dan besarnya potensi wakaf tunai tersebut dan bisa

menjadi salah satu solusi bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia, maka

untuk mencapai hasil optimal dari pendayagunaan harta benda wakaf yang

dilakukan oleh nazhir wakaf diperlukan sebuah peraturan yang dapat menjadi

tameng bagi pelaksanaan dan pengembangan harta benda wakaf di lapangan.

Semua itu dapat dilihat dalam UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah

diundangkan oleh Presiden RI pada tanggal 27 Oktober 2004. kelahiran UU Wakaf

ini berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No.

41 tahun 2004, bahwa tujuan Negara Kesatuan RI sebagaimana yang diamanatkan

dalam pembukaan UUD 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut perlu diusahakan menggali dan

mengembangkan potensi yang terdapat dalam lembaga keagamaan –dalam hal ini

nazhir wakaf- yang memiliki manfaat ekonomi.

Dengan lahirnya UU RI No.41 tahun 2004 tentang wakaf, diharapkan agar

upaya pengembangan dan pemberdayaan harta benda wakaf dapat dilakukan secara

produktif dan lebih optimal. Nazhir, sebagai lembaga yang diamanahi dapat

memberdayakan wakaf dapat melakukan perannya disini. Ketika regulasi

mengenai perwakafan telah diundangkan, maka diharapkan keberadaan UU Wakaf

tersebut dapat berpengaruh secara efektif terhadap kinerja dan efektifitas sebuah

nazhir wakaf . Sehingga ke depan diharapkan nazhir-nazhir wakaf yang sudah ada

dapat menjadi lebih baik lagi. Mengingat UU RI No. 41 tahun 2004 dapat dijadikan

payung hukum oleh nazhir dalam mengatur tata cara pelaksanaan perwakafan di

lapangan.

Sebagaimana yang telah Penulis kemukakan mengenai Tabung Wakaf

Indonesia (TWI). TWI selaku nazhir wakaf, dalam tataran aplikatifnya ternyata

belum menerapkan semua isi yang terkandung dalam UU Wakaf. Dalam hal ini

seperti pembuatan akta ikrar wakaf, prosedural pendaftaran wakaf ke instansi-

instansi pemerintah terkait, dll. Hal tersebut menjadi wajar, jika melihat bahwa

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Wakaf tersebut belum sepenuhnya

dapat disesuaikan dengan kebutuhan nazhir di lapangan. Seperti dalam UU RI No.

41 tahun 2004 disebutkan tentang adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang

dibentuk oleh pemerintah. Namun, BWI sendiri baru-baru ini saja bisa terbentuk.

Padahal, jika pembentukannya bisa sedari awal, maka keberadaannya dipastikan

dapat menjadikan nazhir-nazhir wakaf lebih baik lagi dan lebih profesional dalam

mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, mengingat mereka mendapat

bimbingan dan pembinaan langsung dari BWI.

Mengingat urgensi sebuah UU Wakaf – sebagaimana yang telah Penulis

kemukakan- terhadap kinerja sebuah nazhir wakaf cukup besar, maka dalam hal ini

menjadi sebuah keniscayaan bagi nazhir-nazhir wakaf untuk dapat menerapkan

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU Wakaf, walaupun tidak dapat

dipungkiri bahwa masih diperlukannya upaya –upaya perbaikan mengenai isi dan

ketentuan dalam UU RI No. 41 tahun 2004 mengenai wakaf, agar dapat sesuai

dengan kenyataan yang dibutuhkan oleh para nazhir wakaf di lapangan.

TWI selaku nazhir wakaf memang menjadikan AlQur’an dan AsSunnah

sebagai rujukan utama dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.

Namun, pada kenyataannya mereka pun tetap menggunakan UU RI No. 41 tahun

2004 sebagai acuan dan payung hukum, terutama yang berkaitan dengan tata cara

pengelolaan. Sehingga dapat penulis katakan bahwa kehadiran UU Wakaf No. 41

tahun 2004 ternyata juga berpengaruh terhadap pengelolaan dan pengembangan

harta benda wakaf di TWI, meskipun pada akhirnya ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam UU Wakaf tersebut belum mampu mengakomodir perkembangan

dan kemajuan signifikan yang dialami oleh TWI saat ini.

Kaitannya dengan profesionalitas sebuah lembaga wakaf, dapat Penulis

simpulkan bahwa penerapan UU Wakaf yang dilakukan oleh TWI tidak menjadi

faktor dominan dalam membangun citra TWI sebagai sebuah lembaga wakaf yang

amanah dan profesional. Berdasarkan penuturan Ibu Destria, bahwa selama ini TWI

sendiri lebih cenderung melakukan trial and error37 dalam upayanya menjalankan

amanah sebagai pengelola dan pengembang harta benda wakaf yang dititipkan oleh

wakif. Karena pengalaman itulah yang membuat TWI semakin cepat berkembang

sebagai lembaga wakaf yang tidak hanya dikenal masyarakat sebagai nazhir wakaf

yang amanah dan profesional, tetapi juga dikenal sebagai nazhir wakaf yang

produktif. Hal ini dapat terlihat dari prosentase jumlah wakif yang terus meningkat

37 Wawancara dengan Ibu Destria., Ibid.

dari sejak berdirinya TWI dua setengah tahun silam (hingga kini database wakif di

TWI menunjukkan angka lebih dari 1000 orang wakif yang telah terdaftar).38

Bahkan, berdasarkan penuturan Ibu Poppy bahwa Badan Wakaf Indonesia yang

baru saja dibentuk oleh pemerintah, menjadikan TWI sebagai tempat belajarnya

dalam hal pengalaman.39

Sebagai salah satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru

wakaf, sistem manajemen pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional

dan modern. Hal inilah yang ingin coba ditampilkan oleh TWI sebagai nazhir

wakaf, yang terlihat pada hal-hal berikut40

ini :

1. Kelembagaan

Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang pertama-tama

harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang

khusus mengelola wakaf. Struktur organisasi yang baik dan modern itu jika

seluruh potensi kelembagaan berjalan sebagaimana mestinya dan ada mekanisme

kontrol yang baik. Dalam hal ini TWI telah menjalankan seluruh potensi

kelembagaan sebagaimana visi-misi dan tujuan pendiriannya sebagai nazhir

wakaf, dan juga memiliki mekanisme kontrol yang baik, baik dari pimpinan TWI

sendiri maupun dari internal Dompet Dhuafa sebagai lembaga induk dan

Lembaga Penjamin Syari’ah TWI.

2. Pengelolaan Operasional

38

Ibid. 39

Wawancara dengan Ibu Poppy., Ibid. 40

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru

Wakaf di Indonesia, Ibid.

Yang dimaksud dengan standar operasional pengelolaan wakaf adalah

batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu

yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini,

dengan berbagai program pemberdayaan yang produktif dan membawa manfaat

bagi sasaran wakaf (seperti LKC, SMART EI, BMT, dll) yang telah dilakukan

oleh TWI, menjadi bukti bahwa perhatian TWI sangat concern terhadap

kesehatan, pendidikan dan perkonomian mauquf ‘alaihnya, sehingga diharapkan

akan semakin banyak mauquf ‘alaih yang merasakan manfaat langsung dari

kinerja nazhir wakaf yang amanah dan profesional. Dan ini semua menunjukkan

bahwa garis kebijakan yang ditempuh oleh TWI selaku nazhir, adalah semata-

mata demi menghasilkan manfaat yang lebih berdayaguna lagi bagi para mauquf

‘alaih.

3. Kehumasan

Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan (dalam hal ini

divisi marketing) dianggap menempati posisi penting. Dan inilah yang terus

diupayakan oleh Divisi Marketing TWI. Dalam kinerjanya, Marketing TWI

berusaha memperkuat image bahwa harta benda wakaf yang dikelola oleh TWI

betul-betul dapat dikembangkan dan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat

banyak. Hal itu dapat terlihat dari banyaknya program pemberdayaan harta benda

wakaf yang manfaatnya difokuskan pada kesejahteraan hidup mauquf ‘alaih yang

lebih baik. Selain itu, mereka juga meyakinkan calon wakif yang masih ragu-ragu

apakah benda-benda yang ingin diwakafkan dapat dikelola secara baik atau tidak.

Marketing juga berperan meyakinkan orang yang tadinya tidak tertarik

menunaikan ibadah wakaf, pada akhirnya dapat tertarik. Kepada calon wakif,

mereka juga memperkenalkan aspek wakaf yang tidak hanya pahala oriented,

tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek

kesejahteraan bagi umat manusia lain, khususnya bagi kalangan yang kurang

mampu. Semua itu terus digalakkan Marketing TWI dengan mengadakan

seminar-seminar seputar wakaf, baik kepada kalangan eksekutif maupun

golongan ekonomi menengah keatas, sebagai sasaran calon wakif.

Adapun kiat praktis untuk membangun citra atau image pengelolaan wakaf

yang baik41

terkait dengan :

(1) penampilan, tidak membohongi masyarakat penerima wakaf baik yang terkait

dengan kuantitas atau kualitas. Hal ini ditunjukkan oleh TWI dengan

berusaha menunjukkan penampilan yang sesuai dengan realitanya. Baik

terhadap wakif maupun mauquf ‘alaih.

(2) pelayanan, kualitas pelayanan yang baik dengan tidak membuka peluang

menyakiti penerima wakaf. Menjadikan para penerima manfaat wakaf sebagai

amanah yang harus dilayani (melalui program-program pemberdayaan harta

benda wakaf) dengan sebaik-baiknya, sehingga TWI dikenal sebagai lembaga

wakaf yang komitmen dengan pendayagunaan mauquf bihi dan mauquf ‘alaih

nya.

(3) persuasi, yaitu meyakinkan dengan tindakan yang santun dan ramah.

Terutama kepada calon wakif, TWI terus membangun komunikasi yang baik

dengan pihak yang masih ragu untuk berwakaf dengan cara-cara yang baik,

41 Ibid., h. 111-112

dari hati ke hati. Sehingga para calon wakif semakin yakin dengan

menyalurkan harta benda wakafnya melalui TWI sebagai nazhirnya.

(4) pemuasan, dengan kerja yang rapi, profesional dan bertanggungjawab

terhadap para penerima wakaf, sehingga dapat menjadikan pengelolaan wakaf

semakin bertambah sempurna. Hal ini terbukti dengan adanya report rutin

yang diberikan kepada wakif sebagai bentuk pertanggungjawaban dan

transparansi TWI sebagai nazhir yang telah diamanahi oleh para wakif untuk

mengelola dan mengembangkan mauquf bihi mereka.

4. Sistem Keuangan

Penerapan sistem keuangan yang baik dalam sebuah proses pengelolaan

manajemen lembaga kenazhiran, sangat terkait dengan akuntansi dan auditing.

Dalam konteks lembaga wakaf, bagaimana peran dan fungsi akuntansi dan

auditing? Baik akuntansi maupun auditing, keduanya merupakan alat yang dapat

dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Secara sangat umum, semua lembaga wakaf dibentuk atau didirikan adalah

dalam rangka mengelola sebuah atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat

maksimalnya dapat dicapai untuk kesejahteraan umat, dan mungkin menolong

mereka yang kurang mampu khususnya.

Dengan merujuk secara sederhana pada bangunan akuntansi konvensional,

maka bentuk entitas seperti ini dapat dilayani oleh akuntansi nirlaba, atau sering

juga disebut dengan istilah fund accounting (akuntansi dana). Hal yang sama

juga berlaku untuk proses auditingnya. Artinya sebatas secara jelas tidak

melanggar asas-asas Syari’ah, tujuan dan prosedur auditing dalam perspektif

konvensional dapat dipakai, setidaknya untuk sementara waktu. Ini juga berlaku

baik untuk tujuan, ruang lingkup dan prosedurnya.

Dalam realitasnya, sebagian besar nazhir wakaf memakai format yayasan

yang memang lebih bernuansakan sosial dan nirlaba, daripada komersial. Untuk

keperluan ini sesungguhnya dapat dipakai pendekatan akuntansi dana.

Selanjutnya, bila wakaf akan dikelola secara lebih produktif dalam bentuk usaha

komersial misalnya, maka dapat dipakai akuntansi konvensional. Sedangkan

untuk auditingnya, Lembaga Tabung Wakaf Indonesia sendiri masih menginduk

pada Dompet Dhuafa Republika yang menggunakan jasa auditing dari Grant

Thornton (KPA Grant Thornton Hendrawinata).42

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata-kata profesional berasal dari

kata profesi yaitu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian

(keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Sedangkan kata profesional mengandung

tiga pengertian. Yang pertama yaitu bersangkutan dengan profesi. Kedua yaitu

memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Contohnya pertandingan

tinju profesional. Pengertian yang ketiga yaitu mengharuskan adanya

pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Contohnya ia seorang juru

masak profesional.43

Kata profesionalitas memiliki dua pengertian yaitu perihal profesi,

keprofesian dan kemampuan untuk bertindak secara profesional. Sedangkan kata

42

Wawancara pribadi dengan Dian Rifiah (Staf Accounting Dompet Dhuafa Republika),

Jakarta, Rabu 16 Januari 2008 43

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005),

Edisi Ketiga, h. 897

profesionalisme bermakna mutu, kualitas dan tindak-tanduk yang merupakan ciri

suatu profesi atau orang yang profesional. Contohnya profesionalisme

perusahaan kecil perlu ditingkatkan di waktu belakangan ini.44

Merujuk kepada makna kata profesional diatas maka dapat penulis simpulkan

bahwa Tabung Wakaf Indonesia sebagai nazhir wakaf, selama ini telah

menunjukkan kinerja sebuah lembaga yang profesional. Hal ini dikarenakan TWI

dalam mengelola harta benda wakaf ternyata selain menerapkan sistem

perwakafan menurut prinsip-prinsip syariah dan ketentuan UU No. 41 tahun

2004 tentang wakaf (meskipun UU Wakaf tersebut bukanlah rujukan utama bagi

TWI, namun berfungsi hanya sebagai payung yang menjamin kepastian hukum

dalam perkara advokasi dan kasus-kasus penyelesaian perwakafan yang ada di

TWI selaku nazhir), ternyata juga menerapkan pola manajemen lembaga yang

inovatif, produktif dan profesional. Terbukti dengan hasil kinerjanya - yang baru

berdiri sejak lebih dari dua tahun yang lalu itu- yang telah menunjukkan berbagai

peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi peningkatan kuantitas para

wakif dari tahun ke tahun dan jumlah perolehan wakaf tunainya yang telah

terdaftar (tercatat sejak 14 Juli 2005 s.d. 14 Desember 2007 jumlah wakif

mencapai lebih dari 1000 orang dan total seluruh wakaf tunai yang masuk

mencapai Rp 3.839.484.407.0045), maupun dari segi program-program

pemberdayaannya yang tidak hanya bermanfaat bagi kaum dhuafa, namun TWI

juga semakin produktif dan terus mengembangkan kreatifitas pemberdayaannya

44

Ibid. 45 Ibu Destria., Ibid.

untuk meningkatkan mutunya –tidak hanya dalam pandangan para wakif dan

kaum dhuafa saja, tapi juga kepada masyarakat luas- sebagai nazhir wakaf yang

amanah, transparan dan profesional. Jika melihat dari proses berdirinya yang

baru dua tahun lebih itu, maka keberadaan TWI telah menunjukkan sebuah

komitmen dan kesungguhan yang nyata bagi masyarakat untuk senantiasa

memberikan pelayanan yang terbaik bagi para dhuafa. Uraian lebih jelasnya,

sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam BAB III mengenai Tabung

Wakaf Indonesia.

Dari beberapa uraian penulis mengenai UU Wakaf dan pengaruh

penerapannya terhadap profesionalitas pengelolaan wakaf pada lembaga TWI,

maka penulis memperoleh beberapa hal yang bisa menjadi masukan terkait

keberadaan UU Wakaf ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia pada

umumnya dan Umat Islam pada khususnya.

Meski kehadiran produk UU Wakaf tersebut bertujuan untuk memberi pijakan

hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset

masyarakat, jelas ini dapat juga ditafsirkan sebagai cara negara mengundang

Islam untuk memainkan perannya secara lebih luas di ruang publik. Tumbuhnya

lembaga keuangan syariah, lembaga-lembaga amil zakat (LAZ), dan Badan Amil

Zakat (BAZ), serta meningkatnya minat pada wakaf tunai, dalam kurun waktu

tersebut merupakan beberapa contoh konkret meningkatnya peran Islam di dalam

masyarakat. Meski produk UU tersebut tidak cukup ideal, kehadiran UU tersebut

secara simbolik menandai ‘kemauan politik’ negara untuk memperhatikan

permasalahan sosial umat Islam. Di mata publik Islam, kecenderungan ini tentu

menguntungkan, karena dengan demikian lembaga-lembaga filantropi Islam

dapat tumbuh secara dinamis.

Secara legal-administratif, ketentuan-ketentuan hukum dalam UU Wakaf itu

membantu mewujudkan tertib hukum pengelolaan wakaf. Namun demikian,

seperangkat produk hukum wakaf tersebut belum sepenuhnya menghasilkan

kebijakan yang mendukung pengembangan wakaf bagi perwujudan kesejahteraan

dan keadilan sosial. Artinya, regulasi di sektor ini relatif telah berhasil

memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga wakaf. Meskipun

demikian, kebijakan yang ada belum mengarah kepada tujuan pengembangan

kapasitas lembaga-lembaga wakaf agar mampu menjalankan fungsi tanggung

jawab sosialnya secara lebih baik dan akuntabel. Termasuk diantaranya UU

Wakaf tersebut pada realitasnya belum mampu mengakomodir ketentuan-

ketentuan mengenai segala perkembangan dan kemajuan yang telah dialami oleh

sebuah lembaga wakaf (seperti TWI). Jadi dalam hal ini, bisa dikatakan TWI

ternyata telah ‘mendahului’ UU Wakaf tersebut.

Hadirnya UU Wakaf membawa perubahan penting. Seberapa penting

perubahan itu masih harus diuji setelah UU tersebut benar-benar berlaku secara

efektif. Dan sejatinya sebuah Undang-undang merupakan produk buatan

manusia, maka tentunya kedepan kehadiran UU Wakaf tersebut masih perlu

untuk diamandemen, sehingga kehadirannya kelak benar-benar mampu

mendampingi berbagai macam kemajuan yang dihasilkan oleh instrumen wakaf,

termasuk diantaranya mampu menjadi problem solver bagi berbagai macam

permasalahan umat, seperti kemiskinan, keterbelakangan dan lainnya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa hasil uraian pembahasan dalam penulisan karya ini, yang sesuai

dengan rumusan masalah yang penulis angkat, maka penulis berkesimpulan

bahwa :

1. Sistem pengelolaan wakaf menurut UU RI No. 41 Tahun 2004 yaitu Nazhir

wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan

tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengedepankan prinsip syariah, dilakukan

secara produktif dan diupayakan menggunakan lembaga penjamin syariah.

2. Sistem pengelolaan wakaf menurut Tabung Wakaf Indonesia yaitu dengan

melakukan sistem pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf

yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya dengan

prinsip-prinsip Syari’ah (AlQuran dan AsSunnah), menerapkan UU Wakaf

sebagai pedoman pelaksanaan, dikelola dan dikembangkan secara produktif

dan berdayaguna serta menggunakan sistem manajemen wakaf yang amanah

dan profesional, dimana pengelolaan yang dilakukan oleh Tabung Wakaf

Indonesia selama ini berdasarkan dua pendekatan, yaitu : Pendekatan

Produktif (pengelolaan harta wakaf untuk hal-hal yang bersifat produktif dan

menghasilkan keuntungan) dan Pendekatan Non Produktif (pengelolaan harta

benda wakaf untuk hal-hal yang bersifat tidak menghasilkan keuntungan).

3. Penerapan UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf oleh Lembaga Tabung

Wakaf Indonesia – Dompet Dhuafa Republika dalam mengelola dan

mengembangkan sebuah harta benda wakaf, dapat penulis katakan

berpengaruh (tidak secara dominan) terhadap kinerja TWI yang amanah dan

profesional. Hal ini mengingat UU Wakaf yang berfungsi dan berperan

sebagai payung yang menjamin kepastian hukum dalam perkara advokasi

dan kasus-kasus penyelesaian perwakafan yang ada di TWI selaku nazhir

wakaf tersebut lahir sebelum keberadaan TWI di tengah-tengah masyarakat.

Sehingga sedikit banyak pasal-pasal yang tercantum dalam ketentuan UU

Wakaf tersebut diterapkan oleh TWI dalam pengelolaan dan pengembangan

harta benda wakaf selama ini.

B. Rekomendasi

1. Kepada para muzakki dan calon wakif diharapkan senantiasa konsisten dalam

ibadah Maliyahnya. Mengingat sarana ZISWAF tidak hanya bermanfaat

dunia –akhirat bagi mereka, tapi ZISWAF juga merupakan instrumen yang

sangat penting dan menjadi kunci bagi terbukanya solusi-solusi kesejahteraan

dan pengentasan kemiskinan, khususnya yang telah mendera kebanyakan

umat Islam Indonesia.

2. Bagi yang mampu berwakaf hendaknya dapat lebih selektif lagi dalam

memilih nazhir untuk menyalurkan harta benda wakafnya. Hal ini menjadi

penting dikarenakan belum semua lembaga wakaf yang ada telah amanah dan

berkompeten dalam menanganinya, sehingga dapat mempengaruhi nilai dan

manfaat harta benda wakaf yang disalurkan wakif kepada nazhir yang telah

ditunjuknya.

3. Kepada para nazhir wakaf yang ada hendaknya selalu memperbaiki kinerja

dan efektifitasnya dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf yang

telah dititipkan oleh para wakif. Meningkatkan kreatifitas dan

produktifitasnya dalam mengemban amanah lembaga wakaf yang profesional.

Karena ditangan nazhir lah sebuah harta benda wakaf dapat bermanfaat, tepat

dan berdayaguna bagi sasarannya ataupun sebaliknya.

4. Setiap nazhir harus siap diaudit secara berkala oleh akuntan publik dan

diawasi oleh lembaga pengawasan – pemerintah maupun independen- dan

masyarakat.

5. Aspek akuntabilitas pengelolaan wakaf hendaknya menjadi salah satu

prioritas dalam perumusan kebijakan yang lebih rinci mengenai pengelolaan

wakaf kedepan, mengingat masih banyak pengelola wakaf yang belum

menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan

wakaf, sesuai standar yang profesional.

6. Kebijakan yang ketat tentang pertanggungjawaban pengelolaan wakaf

diperlukan guna mencegah merosotnya kepercayaan publik terhadap

pengelolaan wakaf.

7. Kepada pemerintah diharapkan dapat menjadi partner yang baik bagi nazhir

wakaf yang telah ada selama ini. Ada baiknya pemerintah mengalakkan

kembali sosialisasi UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf kepada masyarakat,

baik melalui penyuluhan-penyuluhan maupun melalui media yang lain,

sehingga seluruh masyarakat dapat mengetahui dan berperan aktif dalam

mengembangkan proyek wakaf di Indonesia.

8. Hendaknya pelaksanaan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah

ada dapat ditegakkan dan diterapkan dengan baik oleh seluruh pihak.

Termasuk oleh pemerintah sendiri yang dalam hal ini menjadi regulator dalam

pembentukan Undang-undang di Indonesia.

9. Agar wakaf di Indonesia dapat memberikan kesejahteraan sosial bagi

masyarakat, maka diperlukan pengelolaan wakaf secara optimal oleh para

nazhir. Untuk mendorong atau mengoptimalkan wakaf oleh para nazhir, maka

perlu ditingkatkan peran suatu badan wakaf yang berskala nasional (dalam hal

ini Badan Wakaf Indonesia) yang berfungsi antara lain memberikan

pembinaan kepada para nazhir wakaf dalam hal pengelolaan dan

pengembangan harta benda wakaf.

10. BWI kedepan, wewenang dan tugasnya hendaknya dibatasi sehingga tidak

melampaui tugas dan wewenang lembaga lain, dan keberadaanya diawasi oleh

publik. Selain itu, hendaknya BWI menjadikan isu akuntabilitas dan

pengawasan sebagai prioritasnya, dan menujukan perhatiannya pada tata

kelola wakaf yang profesional guna meningkatkan public trust pada institusi

wakaf nasional sehingga masyarakat tertarik untuk mendukung berbagai

program maupun agenda yang ditawarkannya.

11. Kedepan, wakaf sebagai salah satu voluntary fund dalam Islam akan mampu

menjadi pengemban amanah Islam, yaitu terciptanya masyarakat yang adil,

makmur dan sejahtera. Bahkan bisa jadi wakaf akan menjadi instrumen

keuangan alternatif dari instrumen keuangan konvensional, karena sistem

ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) telah terbukti gagal

mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sehingga kepada seluruh

masyarakat Muslim Indonesia diharapkan dapat berperan dan berpartisipasi

aktif, dan kepada Pemerintah khususnya harus dapat memberikan perhatian

yang ekstra terhadap keberadaan dan perkembangan wakaf (tunai khususnya)

di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya

Abid Abdullah Al-Kabisi, Muhammad, Hukum Wakaf (Kajian Kontemporer Pertama

dan Terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian

Atas Sengketa Wakaf), Jakarta : Iiman Press – Dompet Dhuafa Republika,

2004, Cet ke-1

Asqalani -al, Ibnu Hajar, Fathul Bari (Penjelasan Kitab Shahih Al- Bukhari), terj.

Amiruddin, Jakarta : Pustaka Azzam, 2006, Cet. Pertama, Buku ke-15

Bukhary -al, Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail, dalam Shahih Bukhary, Bab Asy-

Syuruthu Fi Al- Waqfi, ( Daru Nahr An-Niil, t.th), Juz Tsani

Departemen Agama RI, UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta : Dirjen

Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004

___________________, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta :

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji (Proyek Peningkatan

Pemberdayaan Wakaf), 2004

___________________, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta :

Dirjen Bimas Haji, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005, Cet.

Ke-III

___________________, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta : Dirjen Bimas

Haji, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005, Cet. Ke-II

______________________, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta : Dirjen Bimas

Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat pengembangan zakat dan wakaf, 2004

__________________, Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat

pengembangan zakat dan wakaf, 2005

Dompet Dhuafa Republika, Profil Tabung Wakaf Indonesia, Jakarta : Dompet

Dhuafa Republika, 2006

Fuad Abdul Baqi, Muhammad, Shahih Muslim (Lil Imam Abi Husain Muslim Ibnu

Hajjaj Al- Qusyairy An- Naisabury), Bab Maa Yalhaqu Al-Insanu min Ats-

Tsawabi Ba’da Wafatihi, Kairo : Daru Ihya Al- Kutubi Al-Arabiyati, t.th, Juz

ke-III

Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2005, Cet.

Ke-I

Herman Budianto, “Tabung Wakaf Indonesia”. Dalam Training Relawan Zakat 1427

H Dompet Dhuafa Republika, 6 September 2006, Jakarta : Dompet Dhuafa

Republika, 2006

Hikmah -al, Telaah Utama “Bagaimana Dana Zakat Dikelola – Menyoal

Transparansi dan Independensi Amil Zakat”, Bandung : Oktober 2006

Mujieb, M. Abdul, DKK, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2002,

Cet. Ke-III

Munawwir, A. Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 2002,

Cet. Ke-25

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,

2005, Edisi Ketiga

Shiddieqy -ash, Tengku Muhammad Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam (Tinjauan

Antar Mazhab), Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet.ke-II

Tabung Wakaf Indonesia Magazine, Jembatan itu Bernama Wakaf, Ramadhan 1427

H / 2006

Taufik Ridho, Panduan Wakaf Praktis, Jakarta : Tabung Wakaf Indonesia, 2006, Cet.

Ke-I

Usman, Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta : Darul Ulum Press,

1999, Cet. Ke-III

Wawancara Pribadi dengan Ibu Destria Meryana Atmayanti, (staf Adm& Database

TWI), Jakarta, 6 Juni 2007

Wawancara Pribadi dengan Dian Rifiah (Staf Accounting Dompet Dhuafa

Republika), Jakarta, Rabu 16 Januari 2008

Wawancara Pribadi dengan Poppy Salindri Puspitasari, (staf Adm& HRD), Jakarta,

12 Maret 2008

Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993,

Jilid II, h. 77

UU RI NO.41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A. Ketetapan Perwakafan Pada UU RI No. 41 Tahun 2004

BAB I

Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimksud dengan :

1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau

kesejahteraan umum menurut Syari’ah.

2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

3. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan

atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola

dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

5. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan atau

manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut Syariah yang

diwakafkan oleh wakif.

6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,adalah pejabat

berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.

7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan

perwakafan di Indonesia.

8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri

atas Presiden beserta para menteri.

9. Menteri adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang agama.

BAB II

DASAR-DASAR WAKAF

Bagian Pertama

Umum

Pasal 2

Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut Syariah.

Pasal 3

Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Bagian Kedua

Tujuan dan Fungsi Wakaf

Pasal 4

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.

Pasal 5

Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf

untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Bagian Ketiga

Unsur Wakaf

Pasal 6

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :

a. Wakif

b. Nazhir

c. Harta BendaWakaf

d. Ikrar Wakaf

e. Peruntukan harta benda wakaf

f. Jangka waktu wakaf.

Bagian Keempat

Wakif

Pasal 7

Wakif meliputi :

a. Perseorangan;

b. Organisasi;

c. Badan Hukum.

Pasal 8

(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalampasal 7 huruf a hanya dapat

melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan :

a. Dewasa

b. Berakal sehat

c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan

d. Pemilik sah harta benda wakaf.

(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya dapat

melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan

harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang

bersangkutan.

(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya dapat

melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan

harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan

hukum yang bersangkutan.

Bagian Kelima

Nazhir

Pasal 9

Nazhir meliputi :

a. Perseorangan;

b. Organisasi; atau

c. Badan Hukum

Pasal 10

(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalampasal 9 huruf a hanya dapat menjadi

Nazhir apabila memenuhi persyaratan :

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani; dan

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b dapat menjadi Nazhir

apabila memenuhi persyaratan:

a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan Nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau

keagamaan Islam.

(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya dapat

menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan :

a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan Nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan

c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.

Pasal 11

Nazhir mempunyai tugas :

a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi

dan peruntukannya;

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Nazhir dapat

menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Nazhir

memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 14

(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Nazhir harus

terdaftar dalam pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 9,

pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Bagian Keenam

Harta Benda Wakaf

Pasal 15

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif

secara sah.

Pasal 16

(1) Harta benda wakaf terdiri dari :

a. benda tidak bergerak; dan

b. benda bergerak.

(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

b. hak asuh tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

c. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

d. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

e. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

f. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan Syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta

benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi :

a. uang;

b. logam mulia;

c. surat berharga;

d. kendaraan;

e. hak atas kekayaan intelektual;

f. hak sewa; dan

g. benda bergeraklain sesuai dengan ketentuan Syariah dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Bagian Ketujuh

Ikrar Wakaf

Pasal 17

(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW dengan

disaksikan oleh 2(dua) orang saksi.

(2) Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan atau

tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

Pasal 18

Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat

hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum,

Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua)

orang saksi.

Pasal 19

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan

atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

Pasal 20

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :

a. dewasa;

b. beragama Islam;

c. berakal sehat;

d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Pasal 21

(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :

a. nama dan identitas Wakif;

b. nama dan identitas Nazhir;

c. data dan keterangan harta benda wakaf;

d. peruntukan harta benda wakaf;

e. jangka waktu wakaf.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedelapan

Peruntukan Harta Benda Wakaf

Pasal 22

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat

diperuntukan bagi :

a. sarana dan kegiatan ibadah;

b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;

d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan atau

e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidakk bertentangan dengan Syariah

dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 22

dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.

(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat

menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan

dan fungsi wakaf.

Bagian Kesembilan

Wakaf dengan Wasiat

Pasal 24

Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan

apabila disaksikan oleh palinh sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 20.

Pasal 25

Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga)

dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan

persetujuan seluruh ahli waris.

Pasal 26

(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang

bersangkutan meninggal dunia.

(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa

wakif.

(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam undang-

undang ini.

Pasal 27

Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas

permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima

wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.

Bagian Kesepuluh

Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang

Pasal 28

Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uangg melalui lembaga keuangan

Syari’ah yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 29

(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28

dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan

secara tertulis.

(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.

(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan

disampaikan oleh lembaga keuangan Syari’ah kepada wakif dan Nazhir sebagai

bukti penyerahan harta benda wakaf

Pasal 30

Lembaga keuangan Syari’ah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf

berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak

diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjuut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana

dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, dan pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III

PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32

PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang

berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari keerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.

Pasal 33

Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 32,

PPAIW menyerahkan :

a. salinan akta ikrar wakaf

b.surat-surat dan atau bukti-bikti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

Pasal 34

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 35

Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 34

disampaikan oleh PPAIW kkepada Nazhir.

Pasal 36

Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui

PPAIW mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang dan Badan Wakaf

Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai

dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37

Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda

wakaf.

Pasal 38

Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda

wakaf yang telah terdaftar.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran danpengumuman

harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV

PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

a. dijadikan jaminan;

b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual;

e. diwariskan;

f. ditukar;

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila

harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum

sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan

perundang—undanngan yang berlaku dan tidak bertentangan denngan Syari’ah.

(2) Pelaksanaan keteentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan

Wakaf Indonesia.

(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar denagan harta benda yang

manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf

semula.

(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

BAB V

PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan

tujuan, fungsi, dan peruntukannya.

Pasal 43

(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana

dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip Syari’ah

(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan secara produktif.

(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud

pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin Syari’ah.

Pasal 44

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin

tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta

benda wakaf ternyata tiidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang

dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Pasal 45

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan

dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersanngkutan :

f. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;

g. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum.;

h. Atas permintaan sendiri;

i. Tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan atau melanggar ketentuan

larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

j. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.

(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Badan Wakaf Inndonesia.

(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir

lain karena pemberhentiann dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap

memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta

fungsi wakaf.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf

sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 455 diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

BADAN WAKAF INDONESIA

Bagian Pertama

Kedudukan dan Tugas

Pasal 47

(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk

Badan Wakaf Indonesia.

(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan

tugasnya.

Pasal 48

Badan Wakaf Inndonesia berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan atau Kabupaten atau

Kota sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 49

(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang :

a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf;

b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala

nasional dan internasional;

c. memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status

harta benda wakaf;

d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;

e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan

kebijakan di bidang perwakafan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf

Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun

Daerah, Organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain

yang dipandang perlu.

Pasal 50

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, Badan Wakaf

Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama

Indonesia.

Bagian Kedua

Organisasi

Pasal 51

(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.

(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur

pelaksana tugas Badan Wakaf Indonesia.

(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (!) merupakan unsur

pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 52

(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan

2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota.

(2) Susunan keanggotan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan

Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh

para anggota.

Bagian Ketiga

Anggota

Pasal 53

Jumlah anggota Badan Wakaf Inndonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh)

orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.

Pasal 54

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon

anggota harus memenuhi persyaratan :

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani;

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan atau pengalaman di bidang

perwakafan dan atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi Syari’ah; dan

h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan

nasional.

(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai

persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh

Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Keempat

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 55

1. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

2. Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan

diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian

anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan

peraturan Badan Wakaf Indonesia.

Pasal 56

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga)

tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 57

(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia

diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.

(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden

untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.

(3) Ketentuan mengenai tata cata pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf

Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.

Pasal 58

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa

jabatan diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 59

Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia,Pemerintah wajib

membantu biaya operasional.

Bagian Keenam

Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 60

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, dan

tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf

Indonesia diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.

Bagian Ketujuh

Pertanggungjawaban

Pasal 61

(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan

melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan

disampaikan kepada Menteri.

(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada

masyarakat.

BAB VII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 62

(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk

mencapai mufakat.

(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau

pengadilan.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 63

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf

untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf;

(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri

mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia;

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama

Indonesia.

Pasal 64

Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan

kerjasama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak

lain yang dianggap perlu.

Pasal 65

Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri

dan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 63, pasal 64, dan

pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama

Ketentuan Pidana

Pasal 67

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,

mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda

wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa

izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa

izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp

400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas

hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang

ditentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Bagian Kedua

Sanksi Administratif

Pasal 68

(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak

didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan Syari’ah dan PPAIW

sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 dan pasal 32.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi

lembaga keuangan Syari’ah;

c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69

(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya

undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut undang-undang ini.

(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan

paling lama 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 70

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan

yang baru berdasarkan undang-undang ini.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

DRAFT WAWANCARA

“Pengaruh Penerapan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Terhadap Profesionalitas Pengelolaan Lembaga Wakaf

(Studi Kasus Pada Tabung Wakaf Indonesia-Dompet Dhuafa Republika)”

Nama : Destria Meryana Atmayanti, SH

Jabatan : Staf Adm & Database

Tempat : Kantor TWI (Perkantoran Margaguna Jak-Sel)

Waktu : Rabu, 6 Juni 2008

Pukul : 16.00 s.d selesai

Pertanyaan

1. T : Bagaimana potensi wakaf di Indonesia ?

J : Potensi wakaf di Indonesia cukup besar, baik wakaf benda bergerak

maupun benda tidak bergerak. khususnya wakaf yang berujud tanah

yang terdapat di seluruh Indonesia. Seperti pada tahun 2002 wakaf

berupa tanah cukup besar, yakni 359.462 lokasi dengan luas

keseluruhan 1. 472. 047. 607 m2 yang selalu berkembang mengikuti

perkembangan ekonomi umat.

2. T : Apa kendala yang dihadapi oleh Tabung Wakaf Indonesia

(TWI) dalam mensosialisasikan wakaf (khususnya wakaf tunai)

kepada masyarakat ?

J : Kendala yang dihadapi oleh TWI dalam mensosialisasikan wakaf,

dari segi internal masih minim dan kurang memadainya SDM yang

tersedia (seluruh karyawan TWI hanya 7 orang). Sedangkan dari segi

eksternal masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat

untuk berwakaf (terutama wakaf tunai)

3. T : Bagaimana respon masyarakat terhadap sosialisasi adanya

wakaf tunai (uang, saham,dll)?

J : Responnya (pasca penyuluhan berupa kajian-kajian tentang wakaf)

mereka (peserta penyuluhan) sangat antusias, hal ini terlihat dari

banyaknya peserta kajian-kajian wakaf tersebut yang menindaklanjuti

hasil kajiannya dengan langsung menghubungi pihak TWI untuk

mencari informasi yang lebih detail dan mendalam mengenai tata cara

berwakaf.

4. T : Apa strategi TWI dalam rangka menarik simpati dan minat

masyarakat untuk berwakaf tunai ?

J : Dengan melakukan sosialisasi melalui media-media seperti koran

(HU Republika), spanduk-spanduk dan juga melalui media internet

dengan alamat www.tabungwakaf.com. Selain itu dalam rangka

menarik simpati dan minat masyarakat untuk berwakaf (khususnya

wakaf tunai) TWI juga rutin mengadakan kajian-kajian bertemakan

wakaf yang diadakan di setiap pengajian-pengajian, baik pengajian

yang ada di perkantoran-perkantoran, komplek-komplek perumahan,

dll.

5. T : Bagaimana prospek wakaf tunai ke depan ?

J : Untuk kedepan prospek wakaf tunai sangat menggembirakan. Hal ini

mengingat prosentase jumlah wakif dari tahun ke tahun menunjukkan

trend peningkatan yang cukup signifikan. Sebagaimana prosentase

penerimaan zakat yang terus mengalami peningkatan.

6. T : Dalam menjalankan pengelolaan dan pengembangan harta

wakaf di lapangan apakah TWI bersinergi / berkoordinasi

dengan Badan Wakaf Indonesia ?

J : Tidak (belum). Karena sampai dengan saat ini Badan Wakaf

Indonesia (BWI ) sendiri baru terbentuk, jadi belum memiliki

perangkat tugas.

7. T : Apakah TWI mengacu pada UU RI No. 41 Tahun 2004 dalam

pelaksanaan, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf

?

J : Dalam pelaksanaan, pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf selama ini TWI selalu mengacu pada Al-Qur’an dan As-

Sunnah sebagai pedoman dan rujukan utama dalam pengelolaan, baru

setelah itu merujuk pada UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf

(meskipun tidak seluruh isinya diterapkan).

8. T : Bagaimana TWI menilai ketentuan wakaf yang ada dalam UU

RI No. 41 Tahun 2004 ?

J : Sudah cukup baik. Hanya saja masih perlu dilakukan revisi kembali

melihat ada beberapa ketentuan pasal yang ternyata tidak dapat

diterapkan di lapangan.

9. T : Apakah ketentuan wakaf yang berlaku dalam UU RI No. 41

Tahun 2004 sudah relevan dengan kondisi yang terjadi di

Lapangan ?

J : Belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan para Nazhir wakaf

(TWI khususnya) di lapangan.

10. T : Seberapa besar urgensi dan pengaruh penerapan UU RI No. 41

Tahun 2004 bagi sebuah lembaga wakaf yang ada di Indonesia ?

dan juga terhadap perkembangan wakaf di Indonesia ?

J : Sangat urgen, mengingat UU RI No. 41 Tahun 2004 merupakan

impian umat Islam Indonesia sejak lama sebagai regulasi perwakafan

agar dapat mengatur tata cara pelaksanaan wakaf, dan juga yang

terpenting keberadaannya berfungsi sebagai payung hukum mengenai

pelaksanaan wakaf di Indonesia. Apalagi melihat potensi wakaf umat

Islam Indonesia yang sangat luar biasa – jika dikelola dengan sangat

baik akan dapat mengalami perkembangan yang signifikan yang pada

akhirnya mampu membantu mengentaskan kemiskinan di Indonesia-

maka sangat diperlukan UU yang dapat menaungi dan melindungi

segala hal yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan wakaf ke

depan.

11. T : Apakah ketentuan-ketentuan wakaf yang terdapat dalam UU RI

No. 41 Tahun 2004 telah cukup menjawab permasalahan dan

kendala yang dihadapi oleh lembaga wakaf (TWI khususnya) di

lapangan ?

J : Belum. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa pasal yang tidak

relevan untuk diterapkan di lapangan. Sebaliknya masih banyak

ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wakaf yang

masih belum diatur dalam UU RI No. 41 Tahun 2004.

12. T : Apakah dalam praktek di lapangan TWI melakukan perubahan

status/ peruntukan harta benda wakaf ?

J : Dalam prakteknya TWI selalu berdialog dengan para calon Wakif

sebelum melakukan akad serah terima wakaf. Selain itu jika Mauquf

Bihi (benda wakaf)nya berupa Fixxed Asset (harta tidak bergerak)

seperti tanah, bangunan, pohon, dll maka TWI terlebih dahulu

melakukan survei ke lapangan untuk mengetahui kondisi riil dari harta

benda wakaf tidak bergerak tersebut. Jika memang siuasi di lapangan

menghendaki TWI melakukan perubahan status atau peruntukan harta

benda wakaf (seperti tempatnya sangat jauh di pelosok / pedalaman,

lokasinya sulit ditempuh, dll), maka calon Wakif akan diajak berdialog

hingga terjadinya sebuah kesepakatan untuk kemudian disahkan lewat

akad serah terima wakaf dari Wakif kepada TWI (selaku Nazhir

wakaf).

13. T : Dari sejak berdirinya, bagaimana perkembangan yang dialami

oleh TWI dalam menerima, mengelola dan mengembangkan

sebuah harta benda wakaf ?

J : Sangat signifikan. Hal ini terlihat dari perolehan dana dan harta

wakaf yang terus meningkat. Sejak didirikannya TWI 2,5 tahun yang

lalu, dalam jangka waktu itu pula TWI selaku Nazhir wakaf telah

memperoleh pendapatan wakaf > Rp 2 Miliar. Lalu untuk tahun 2007

ini TWI khusus menargetkan tercapainya perolehan pendapatan wakaf

senilai > Rp 6 Miliar.

14. T : Apa keutamaan/ kelebihan yang akan diperoleh calon wakif jika

mewakafkan hartanya di lembaga TWI ?

J : Kelebihan yang akan diperoleh calon Wakif jika mewakafkan

hartanya (baik berupa wakaf tunai maupun wakaf harta tidak bergerak)

di TWI maka dapat dipastikan aksesnya sangat mudah,

transparansinya terjamin, terbuka layanan konsultasi wakaf, selain itu

si Wakif juga akan memperoleh Progress Report mengenai wakaf

secara rutin.

15. T : Bagaimana strategi penghimpunan dana/ harta wakaf pada

Tabung Wakaf Indonesia ?

J : Strateginya dengan cara membuka Layanan Jemput Wakaf, layanan

konter penerimaan wakaf baik melalui kas-kas Dompet Dhuafa

Republika, maupun melalui Bank-bank dan juga konter layanan wakaf

via SMS (Short Messaging Services).

16. T : Bagaimana sistem pengelolaan dan pengembangan harta benda

wakaf yang produktif di TWI ?

J : Dalam melakukan kewajibannya selaku Nazhir, Tabung Wakaf

Indonesia haarus melakukan pengelolaan dan pengembangan atas

harta benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi dan

peruntukannya dengan prinsip-prinsip Syari’ah, yaitu bahwa Nazhir

wajib mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan

tujuan, fungsi dan peruntukannya. Dimana pengelolaan yang

dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia berdasarkan dua pendekatan,

yaitu :

1. Pendekatan Produktif

yaitu pengelolaan harta wakaf untuk hal-hal yang bersifat produktif

dan menghasilkan keuntungan. Diatur dalam pasal 43 ayat 2 bahwa

pengelolaan harta benda wakaf dilakukan secara produktif. Contoh :

pembuatan rumah sakit komersil dari dana wakaf, keuntungan dari

rumah sakit sepenuhnya untukkegiatan kemaslahatan umat.

2. Pendekatan Non Produktif

Yaitu pengelolaan harta benda wakaf untuk hal-hal yang bersifat

tidak menghasilkan keuntungan (non produktif). Contoh :

pembuatan sekolah gratis untuk Dhuafa, seluruh dana wakaf yang

terkumpul digunakan untuk kegiatan tersebut.

17. T : Menurut TWI, sebuah lembaga wakaf dapat dikatakan

profesional, jika sistem pengelolaan wakafnya seperti apa ?

J : Sebuah lembaga wakaf dapat dikategorikan profesional jika dari segi

SDMnya memiliki sifat Amanah, Jujur, dan kinerjanya Profesional.

Sedangkan jika dilihat dari segi pengelolaannya mengedepankan

transparansi dan melalui proses auditing.

18. T : Bagaimana peran TWI ditengah-tengah masyarakat khususnya

kaum Dhuafa yang memetik manfaat langsung dari program-

program pemberdayaan wakaf di TWI ?

J : Sampai saat ini InsyaAllah TWI terus konsisten dengan perannya

sebagai lembaga wakaf yang tidak hanya amanah dan profesional, tapi

juga berusaha menjadikan wakaf yang diamanahi semakin produktif

dan berdayaguna, khususnya bagi kaum dhu’afa yang menjadi target

sasaran pemberdayaan kita. Selama ini TWI berperan

mendayagunakan wakaf (khususnya tunai) dari sektor sosial dan

sektor produktif. Dari sektor sosial peran TWI seperti SMART EI,

Institut Kemandirian Indonesia, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma

(LKC), Masjid Mandiri, Rumah Bersalin Cuma-Cuma (RBC), dan

Rumah Baca Cahaya. Sedangkan dari sektor produktif TWI berperan

melalui pendayagunaan BMT (Baitul Mal wa Tamwil), Kampoeng

Ternak, Bakmi Langgara dan juga melalui wakaf saham yang

produktif.

19. T : Menurut TWI, apakah penerapan UU RI No.41 tahun 2004 oleh

sebuah lembaga wakaf dapat berpengaruh terhadap

profesionalitas lembaga wakaf tersebut ?

J : Ya, dapat berpengaruh. Namun sifat pengaruhnya tidak dapat

dikatakan dominan.

DRAFT WAWANCARA

“Pengaruh Penerapan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Terhadap Profesionalitas Pengelolaan Lembaga Wakaf

(Studi Kasus Pada Tabung Wakaf Indonesia-Dompet Dhuafa Republika)”

Nama : Poppy Salindri Puspitasari, SE

Jabatan : Staf Adm & HRD

Tempat : Via Telepon

Waktu : Rabu, 12 Maret 2008

Pukul : 10.00 s.d. selesai

Pertanyaan

1. T : Bagaimana sistem administrasi dan pengelolaan harta benda

wakaf di TWI ?

J : Sebagai bagian dari perusahaan maka administrasi bertugas

melakukan pembuatan sertifikat dan Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan

sistem keuangan yang amanah dan transparan, sehingga masyarakat

dapat mengetahui dengan mudah aktifitas keuangan Tabung Wakaf

Indonesia. Untuk sistem pelayanan, maka TWI sendiri membuka

pendaftaran bagi wakif di kantornya sendiri yang beralamat di

Perkantoran Margaguna, Jl. Radio Dalam Raya No. 11 Jak-Sel.

Sedangkan untuk sistem pengelolaan dan pengembangan maka

seluruh staf beserta Direktur, TWI melakukan koordinasi dengan

Dompet Dhuafa serta seluruh anak jejaringnya untuk melakukan

proses pengembangan dan pendayagunaan dengan meningkatkan

kuantitas dan kualitas berbagai program yang sudah berjalan selama

ini.

DRAFT WAWANCARA

“Pengaruh Penerapan UU RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Terhadap Profesionalitas Pengelolaan Lembaga Wakaf

(Studi Kasus Pada Tabung Wakaf Indonesia-Dompet Dhuafa Republika)”

Nama : Dian Rifiah

Jabatan : Staf Accounting Dompet Dhuafa Republika

Tempat : Via Telepon

Waktu : Rabu, 16 Januari 2008

Pukul : 14.00 s.d selesai

Pertanyaan

1. T : Lembaga Auditor apa yang dipercayai Dompet Dhuafa untuk

mengaudit seluruh transaksi di DD termasuk TWI?

J : Lembaga yang kita gunakan untuk mengaudit seluruh transaksi keuangan

kita, yaitu lembaga auditor Grant Thornton (KPA Grant Thornton

Hendrawinata).