pengaruh penambahan manipulasi saraf fasialis pada

15
PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA TERAPI LATIHAN TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL BELL’S PALSY SKRIPSI NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan Fisioterapi Disusun Oleh : PITA SEPTIANA SARI NIM. J110090022 PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

Upload: hoangcong

Post on 12-Jan-2017

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS

PADA TERAPI LATIHAN TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

FUNGSIONAL BELL’S PALSY

SKRIPSI

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Untuk Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Sains Terapan Fisioterapi

Disusun Oleh :

PITA SEPTIANA SARI

NIM. J110090022

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

Page 2: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

PENGESAHAN

NASKAH PUBLIKASI

PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI

SARAF FASIALIS PADA TERAPI LATIHAN TERHADAP

PENINGKATAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL

BELL’S PALSY

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Umi Budi Rahayu, S.Pd, SSt.FT, M.Kes

NIK. 750

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2013

Page 3: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

ABSTRAK

“PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

TERAPI LATIHAN TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

FUNGSIONAL BELL’S PALSY”.

PITA SEPTIANA SARI J110090022 : Mahasiswa Program Studi Diploma IV,

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(terdiri dari 37 Halaman)

(Dibimbing oleh : Umi Budi Rahayu, S.Pd, SSt.FT, M.Kes. dan Wahyuni,

SSt.FT, SKM, M.Kes.)

Latar Belakang: Bell’s palsy merupakan kelumpuhan wajah fase akut yang

penyebabnya tidak diketahui, diduga karena proses inflamasi non supuratif saraf

fasialis yang terjadi di foramen stylomastoideus. Permasalahan yang timbul pada

bell’s palsy dimulai dengan adanya nyeri didaerah processus mastoideus yang

kemudian terjadi kelumpuhan pada salah satu sisi wajah yang menyebabkan

kemampuan fungsional salah satu sisi wajah menurun.

Tujuan Penelitian: untuk mengetahui pengaruh penambahan manipulasi saraf

fasialis pada terapi latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional Bell’s

Palsy.

Metode Penelitian: quasi experimental dan menggunakan pendekatan metode

penelitian single-case research serta desain yang digunakan adalah A-B-A

Design. Responden yang diteliti berjumlah 2 orang, yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian dengan eksperimen dianalisa dengan Single-

Case Research, data dianalisa menggunakan statistik deskriptif menggunakan

grafik garis sebagai suatu gambaran dari pelaksanaan dan hasil eksperimen.

Hasil penelitian: single-case research serta menggunakan A-B-A Design, fase

Baseline 1 selama 7 hari awal, fase Treatment selama 14 hari, dan fase Baseline 2

selama 7 hari akhir/ follow up. menunjukkan ada perbedaan yang bermakna,

dimana pasien yang diberi Penambahan Manipulasi Saraf Fasialis pada Terapi

Latihan mengalami peningkatan yang signifikan dengan nilai Ugo Fisch Scale

akhir 100 poin, (Derajat I) Normal, sedangkan pasien yang hanya diberi Terapi

Latihan mengalami sedikit peningkatan dengan nilai Ugo Fisch Scale akhir 54

poin (Derajat III) Kelumpuhan sedang.

Kesimpulan: Penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan terbukti

dapat meningkatkan kemampuan fungsional pada Bell’s Palsy dari pada hanya

diberi terapi latihan.

Kata Kunci : Manipulasi Saraf Fasialis, Terapi Latihan, Bell’s Palsy

Page 4: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Insiden Bell’s palsy dari data yang dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di

Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus

neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Pada beberapa penderita

didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin yang berlebihan

(Annsilva, 2010).

Rumusan Masalah

Dari latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada pengaruh terapi latihan terhadap peningkatan kemampuan

fungsional Bell’s Palsy?

2. Apakah ada pengaruh penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi

latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional Bell’s Palsy?

3. Apakah ada perbedaan pengaruh penambahan manipulasi saraf fasialis pada

terapi latihan dan terapi latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional

Bell’s Palsy?

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh terapi latihan terhadap peningkatan kemampuan

fungsional Bell’s Palsy.

Page 5: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

2. Mengetahui pengaruh penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi

latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional Bell’s Palsy.

3. Mengetahui perbedaan pengaruh penambahan manipulasi saraf fasialis pada

terapi latihan dan terapi latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional

Bell’s Palsy.

Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Menambah wawasan dan pengetahuan serta pengembangan dalam bidang

Fisioterapi Neuromuscular, tentang pengaruh Terapi Latihan dan Manipulasi

Saraf Fasialis terhadap peningkatan kemampuan fungsional pada pasien Bell’s

Palsy.

2. Praktis

Dapat diaplikasikan untuk pasien Bell’s Palsy kedepannya, sehingga

dapat dijadikan pilihan untuk manajemen peningkatan kemampuan fungsional

Bell’s Palsy serta bisa dijadikan dasar penelitian selanjutnya.

Kerangka Teori

1. Bell’s Palsy

Bell’s Palsy adalah lesi saraf fasialis yang bersifat akut, perifer, yang

penyebabnya idiopatik dan umumnya unilateral (Trisnowiyanto, 2009).

2. Permasalahan pada Bell’s Palsy

Permasalahan yang terjadi karena gangguan atau kerusakan pada serabut-

serabut syaraf, maka peristiwa transmisi impuls dari syaraf ke otot tidak berjalan

secara sempurna sehingga kontraksi otot tidak dihasilkan, hal ini yang

Page 6: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

menyebabkan kelumpuhan (Ziel, 2005). Salah satu permasalahan pada bell’s

palsy yaitu menurunnya kemampuan fungsional wajah. Kemampuan fungsional

sisi wajah menurun akibat terjadinya kelemahan otot pada sisi wajah yang lesi.

Alat ukur untuk mengevaluasi peningkatan kemampuan fungsional wajah Bell’s

Palsy yaitu dengan Ugo Fisch Scale (Trisnowiyanto, 2009). Terdapat 4 penilaian

: 1) 0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer, 2) 30% : simetris

ringan, kesembuhan cenderung asimetris, ada gerakan volunteer, 3) 70% :

simetris sedang, kesembuhan cenderung normal, 4) 100% : simetris komplit

(Normal).

Kemudian angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi

score dengan kriteria sebagai berikut ini : a) Saat istirahat : 20 poin. b)

Mengkerutkan dahi : 10 poin. c) Menutup mata : 30 poin. d) Tersenyum : 30

poin. e) Bersiul : 10 poin.

Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 poin.

Hasil penilaian itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan

masing-masing poin. Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian

tersebut. Keterangan sebagai berikut (Yeo, 2007): Derajat I : Normal : 100 poin,

Derajat II : Kelumpuhan ringan : 75 – 99 poin, Derajat III : Kelumpuhan sedang

: 50 – 75 poin, Derajat IV : Kelumpuhan sedang berat : 25 – 50 poin, Derajat V :

Kelumpuhan berat : 1 – 25 poin, Derajat VI : Kelumpuhan total : 0 poin

3. Mirror Exercise

Latihan dengan metode biofeedback pada penderita Bell’s Palsy yaitu

dengan melakukan gerakan aktif otot wajah seperti mengangkat alis,

Page 7: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

mengkerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan bersiul dengan tujuan untuk

meningkatkan kekuatan otot wajah serta mencegah terjadinya potensial

kontraktur otot wajah. Dengan dilakukannya kontraksi berulang-ulang, maka

secara bertahap kekuatan otot wajah akan meningkat, sehingga sifat fisiologis

otot wajah akan terpelihara elastisitasnya (Trisnowiyanto, 2009).

4. Manipulasi Saraf Fasialis

Metode manipulasi berupa gliding dilakukan menggunakan jari dengan

arah chepalo-caudal dengan gerakan pelan dan tekanan tidak terlalu kuat untuk

menghindari penderita merasakan nyeri yang bertambah (Barral, 2009). Teknik

gliding bisa berfungsi sangat baik untuk permasalahan saraf, di mana nyeri

merupakan gejala utama. Hal ini menghasilkan peningkatan aliran darah

sehingga meningkatkan oksigenasi dari jaringan saraf. Hasilnya terjadi

perbaikan siklus hipoksia yang berkembang pada saraf, sehingga dimungkinkan

saat asupan oksigen terpenuhi dengan baik ke jaringan sekitar akan membantu

proses peningkatan asupan oksigen ke jaringan, sehingga terjadi proses

perbaikan disfungsi otot wajah (Shacklock, 2005).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasi experimental dan

menggunakan pendekatan metode penelitian single-case research serta desain

yang digunakan adalah A-B-A Design, dengan ketentuan, A1 adalah kondisi

baseline awal sebelum diberi perlakuan. B adalah kondisi pemberian treatment,

A2 adalah kondisi baseline pengulangan atau follow up setelah pemberian

intervensi (Horner et al., 2005).

Page 8: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

Populasi Target, Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel

Populasi penelitian yaitu seluruh pasien bell’s palsy yang menjalani rawat

jalan di RSUD Salatiga. Sampel dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu salah satu yang dipilih berdasarkan pengetahuan

tentang populasi dan tujuan penelitian. Responden dipilih karena beberapa

karakteristik. Purposive sampling dapat sangat berguna untuk mencapai target

sampel cepat dan di mana pengambilan sampel untuk proporsionalitas bukanlah

perhatian utama. Dalam penelitian ini jumlah sampel 2 responden. Dengan 1

responden diberi terapi latihan, dan 1 responden diberi terapi latihan dengan

penambahan manipulasi saraf fasialis. Responden yang diambil masuk kedalam

kriteria inklusi dan eksklusi dari jumlah populasi.

Definisi Operasional

1. Terapi latihan

Pada penelitian ini menggunakan mirror exercise yang diberikan secara

individual. Dosis mirror exercise sebagai berikut (Trisnowiyanto, 2009): a.

Frekuensi : 2x sehari, b. Time : 10 menit, c. Type : Mirror Exercise

2. Manipulasi saraf fasialis

Metode dengan memberikan gliding pada daerah anterior foramen

stylomastoideus menggunakan jari dengan arah chepalo-caudal. Metode ini

dilakukan setelah terapi latihan (mirror exercise). Dosis manipulasi sebagai

berikut (Shacklock, 2005) : a. Frekuensi : 1x sehari, b. Intensitas : penekanan

sesuai toleransi pasien, c. Time : 4 set sebanyak 5 repetisi dalam sesi yang sama,

Page 9: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

d. Type : Manipulation of the facial nerve, e. Enjoyable : antara set diberi jeda

waktu rileks 10 detik.

3. Kemampuan fungsional wajah

Ugo Fisch Scale digunakan untuk mengevaluasi kemajuan motorik pada

penderita Bell’s Palsy. Skala ini menilai kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit

dengan sisi sehat wajah pada 5 posisi berbeda yaitu ketika istirahat, mengkerutkan

dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul (Trisnowiyanto, 2009).

Jalannya Penelitian

1. Tahap persiapan

a. Mengadakan observasi pasien di RSUD Salatiga.

b. Mengurus perizinan di RSUD Salatiga.

c. Sebelum dilakukannya penelitian, responden terlebih dahulu diberikan

penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya,

memberikan lembar informed consent yaitu suatu lembar persetujuan

tindakan fisioterapi mengikuti program penelitian yang diberikan kepada

responden.

2. Responden memenuhi kriteria inklusi dan telah mengisi informed consent

dilakukan pemeriksaan subyektif (anamnesis) dan pemeriksaan obyektif.

Selanjutnya, pelaksanaan program terapi latihan (mirror exercise) dan

manipulasi saraf fasialis kepada responden sesuai dosis yang telah ditentukan.

Selanjutnya melakukan pemeriksaan post test, mengukur tingkat kemampuan

fungsional wajah dengan Ugo Fisch Scale.

3. Tahap penelitian

Page 10: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

Penelitian ini dibagi menjadi tiga fase, sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, yaitu fase pengamatan pertama baseline 1 (A1), fase kedua yaitu

treatment (B), dan yang ketiga fase pengamatan kedua setelah diberi

treatment yaitu baseline 2 (A2).

a. Baseline 1 (A1)

Pada fase ini dilakukan pengukuran kemampuan fungsional wajah selama

tujuh hari berturut-turut dengan menggunakan alat ukur Ugo Fisch Scale.

Data baseline ini digunakan sebagai landasan pembanding keefektifan

penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan dan terapi latihan

terhadap kemampuan fungsional wajah responden. Pengukuran sesuai dengan

instrumen yang ada dalam blangko Ugo Fisch Scale.

b. Treatment (B)

Pada fase ini responden diberi penambahan manipulasi saraf fasialis 1x

sehari pada terapi latihan dan terapi latihan 2x sehari selama 10 menit selama

14 hari berturut-turut sesuai dengan format instrumen. Dan setiap hari diukur

kemampuan fungsional wajah dengan menggunakan alat ukur Ugo Fisch

Scale.

c. Baseline 2 (A2)

Pada fase ini untuk mengetahui kemampuan fungsional wajah dilakukan

pengukuran kembali selama tujuh hari berturut-turut. Pengukuran pada

baseline 2 (A2) ini sama seperti baseline 1 (A1).

Teknik Analisis Data

Page 11: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

Data dalam penelitian ini merupakan sumber data primer dengan cara

observasi dan pengukuran langsung terhadap responden. Jenis data dalam

penelitian ini adalah data numerik yaitu nilai kemampuan fungsional wajah.

Analisa data merupakan tahap terakhir sebelum penarikan kesimpulan.

Dalam penelitian eksperimen dengan Single-Case Research, data dianalisa

menggunakan statistik deskriptif yang sederhana dengan tujuan memperoleh

gambaran secara jelas tentang hasil intervensi dalam jangka waktu tertentu.

Dengan menggunakan grafik garis sebagai suatu gambaran dari pelaksanaan dan

hasil eksperimen.

HASIL

Tabel 4.1 Karakteristik responden

No Nama Usia Jenis

Kelamin

Kasus Serangan Lama serangan

sebelum diberikan

perlakuan

Sisi

Lesi

et causa

1 Nn. C 17 Perempuan Bell’s

Palsy

Pertama 2 minggu Kanan Idiopatik

2 Ny. S 55 Perempuan Bell’s

Palsy

Pertama 2 minggu Kanan Idiopatik

1. Perbedaan kemampuan fungsional wajah pada responden perlakuan dengan

responden kontrol.

Grafik 4.12 Distribusi data analisa kedua responden

0

50

100

150

H1

H2

H3

H4

H5

H6

H7

H8

H9

H1

0

H1

1

H1

2

H1

3

H1

4

H1

5

H1

6

H1

7

H1

8

H1

9

H2

0

H2

1

H2

2

H2

3

H2

4

H2

5

H2

6

H2

7

H2

8

Nilai Ugo Fisch Scale TL+manipulasi Nilai Ugo Fisch Scale TL

Page 12: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

Berdasarkan grafik diatas responden dengan perlakuan penambahan

manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan didapatkan hasil kemampuan

fungsional, pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-7 tidak mengalami

peningkatan, saat dilakukan penambahan manipulasi saraf fasialis dengan dosis

1 kali sehari selama 14 hari atau 2 minggu, dan terapi latihan dengan dosis 2 kali

sehari selama 14 hari atau 2 minggu, hari ke-10 sampai dengan hari ke-21

mengalami peningkatan nilai Ugo Fisch Scale yang cukup signifikan, yang

berarti terjadi peningkatan dari kemampuan fungsional pada penderita Bell’s

Palsy, sedangkan pada hari ke-25 sampai dengan hari ke-28 terjadi sedikit

peningkatan nilai, yang mana hasil dari penambahan manipulasi saraf fasialis

dapat bertahan setelah follow up selama 7 hari. Sedangkan pada responden yang

hanya diberi terapi latihan didapatkan hasil kemampuan fungsional setelah

diukur dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-7 tidak mengalami peningkatan, dan

terjadi sedikit peningkatan pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-22, sedangkan

peningkatan yang cukup tinggi pada hari ke-23 sampai dengan hari ke 28.

Berdasarkan hasil tersebut didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan

kemampuan fungsional yang signifikan pada responden yang diberi penambahan

manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan, yang mana dosis manipulasi sraf

fasialis 1 kali sehari dan dosis terapi latihan 2 kali sehari selama 14 hari atau 2

minggu dibandingkan dengan responden yang hanya diberi terapi latihan sedikit

terjadi peningkatan kemampuan fungsional. Saat diikuti perkembangannya

selama 14 hari berturut-turut saat dilakukan penambahan manipulasi saraf

Page 13: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

fasialis dalam waktu 1 minggu sudah menunjukkan peningkatan pada

kemampuan fungsional, yang berarti telah terjadinya proses perbaikan jaringan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dari hasil analisa Single-Case Research dengan A-B-A

Design dapat diambil kesimpulan bahwa :

Penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan dapat meningkatkan

kemampuan fungsional Bell’s Palsy dan adanya perbedaan hasil responden yang

diberi penambahan manipulasi saraf fasialis pada terapi latihan dengan responden

yang hanya diberi Terapi Latihan terhadap peningkatan kemampuan fungsional

Bell’s Palsy.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberi saran

bagi penderita Bell’s Palsy untuk melakukan program penambahan manipulasi

saraf fasialis pada terapi latihan agar kemampuan fungsional dapat meningkat dan

untuk peneliti lain yang melanjutkan penelitian ini disarankan menggunakan

responden yang lebih banyak, waktu yang lebih panjang dan usia responden tidak

terpaut jauh, serta bisa menggunakan metode Single-Case Research atau yang

lainnya, karena memiliki kelemahan dan kelebihan sehingga hasilnya dapat

dijadikan rujukan bagi penelitian, dapat digeneralisasi sehingga bermanfaat bagi

instansi kesehatan, fisioterapis maupun masyarakat pada umumnya.

Page 14: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

DAFTAR PUSTAKA

Alford ,BR. Anatomy of the 7th cranial nerve. 2010. Baylor College of Medicine.

Annsilva. 2010. Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-

palsy-case-report/” (diakses tanggal 09 april 2013)

Barral, Jean Pierre, dan Alain, Croibier. 2009. Manual Therapy for The Cranial

Nerves. Paris: British Library.

Cardoso JR et al., 2008. Effects of exercises on Bell’s palsy: systematic review of

randomized control trials. Otol Neurotol. (4): 557-60.

Djamil Y dan A Basjiruddin. 2009. Paralysis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita

selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 297-

300.

Djing, Oei Gin. 2006. Terapi Pijat Telinga. Jakarta: Penebar Plus.

Hendaya, Hedis dan Alwin Kasim. 2004. Parestesi sebagai Komplikasi Pasca

Bedah Molar Tiga Bawah Impaksi. Jurnal Kedokteran Gigi Edisi Khusus

KOMIT KG.

Horner, Robert et al., 2005. The Use of Single-Subject Research to Identify

Evidence-Based Practice in Special Education. Council for hoxpmmil Chi

Um. 71(2): 165-179.

Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Martini F, et al., 2003. Fundamentals of anatomy & physiology. 5th ed, Sydney:

Prentice Hall: 365-6, 414-5

Mubarak, Husnul. 2013. Regenerasi Saraf perifer. http://cetrione.blogspot.com/.

(diakses tanggal 26 juni 2013)

Munilson, Jacky et al., 2007. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.

Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Samuel Raj, Glady. 2006. Physiotherapy in Neuro-conditions. New Delhi: Jaypee

Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

Shacklock, Michael. 2005. Clinical Neurodynamics. Australia: Elsevier Limited.

Singhi P dan Jain V. 2003. Bell’s Palsy in Children. Seminar in Pediatric

Neurotology. 10(4): 289-97

Teixeira LJ et al., 2008. Physical therapy for Bell’s palsy (idiopathic facial

paralysis). Review: The Cochrane Library.

Page 15: PENGARUH PENAMBAHAN MANIPULASI SARAF FASIALIS PADA

Trisnowiyanto, Bambang. 2009. Senam Wajah untuk Penyembuhan dan

Kecantikan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Yeo SW, et al., 2007. Analysis of Prognostic factor in Bell’s Palsy and Ramsay

Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34.: 159-1643 29; 2004 :553 – 557.

Ziel, G. Ellis BS et al., 2005. Bell’s Palsy. Current Management in Child

Neurology, Third Edition.