pengaruh loading coil terhadap redaman kabelsntei.poliupg.ac.id/prociding_archive/2015/05 sntei...

74
Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015 ISBN: 978-602-18168-0-6 1 Pengaruh Loading Coil terhadap Redaman Kabel Wahyu Pamungkas 1 , , Eka Wahyudi 2 , Andy Wijaya 3 Prodi D3 Teknik Telkom, STT Telematika Telkom Purwokerto [email protected], 1 [email protected], 2 [email protected] 3, Abstrak Perkembangan teknologi telekomunikasi membutuhkan peningkatan jaringan yang baik sehingga dapat mentransmisikan sinyal dengan baik. Teknologi jaringan kabel yang masih digunakan salah satunya adalah jaringan kabel tembaga. Kabel tembaga merupakan media transmisi yang biasa dipakai dalam sistem telekomunikasi. Redaman sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dari kualitas jaringan kabel tembaga sebisa mungkin harus ditekan nilainya agar kualitas jaringan menjadi baik. Ada empat faktor yang mempengaruhi dari nilai redaman pada saluran kabel tembaga yaitu resistansi, induktansi, konduktansi, dan kapasitansi. Agar memiliki nilai distorsi yang kecil sebuah saluran kabel harus mempunyai rasio nilai perbandingan resistansi per induktansi yang berbanding lurus dengan nilai konduktansi per kapasitansi.Untuk mengurangi nilai redaman dapat dilakukan dengan cara menaikkan nilai induktansi. Agar nilai tersebut dapat diperoleh maka biasanya saluran kabel tersebut akan ditambahkan loading coil agar nilai dari induktansi dapat di perbesar sehingga saluran kabel dapat memiliki nilai distorsi yang kecil dan memiliki nilai redaman yang kecil agar saluran tersebut dapat meningkat kualitasnya. Penelitian ini menggunakan kabel yang memiliki redaman bernilai 0.091 nepper. Setelah ditambahkan loading coil yaitu 0.052 nepper maka didapatkan nilai redaman menjadi semakin kecil yaitu 0.039 neper (penguatan). Sehingga didapatkan bahwa menggunakan loading coil dapat memperbaiki redaman pada kabel tembaga. Kata Kunci : Redaman, Loading coil, Kabel Tembaga, Resistansi, Induktansi, Konduktansi, Kapasitansi I. PENDAHULUAN Pada masa sekarang ini, telekomunikasi menjadi sebuah kebutuhan hidup yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Sama seperti makanan atau pakaian, telekomunikasi berubah yang dahulunya hanya kebutuhan sekunder sekarang menjadi kebutuhan primer. Dalam bidang telekomunikasi, kabel tembaga merupakan salah satu sistem telekomunikasi yang pertama kali digunakan dalam perkembangan teknologi telekomunikasi. PT. Telkom Indonesia pada saat ini merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan suara, pertama kali memakai teknologi ini dalam menyediakan layanan suara di Indonesia. Sebagai sarana penyampaian informasi pada saat ini, jaringan kabel menjadi primadona dalam penyediaan layanan suara sehingga peningkatan kualitas jaringan sangat dibutuhkan untuk menunjang semua itu. Pada dasarnya pada semua jenis sistem telekomunikasi kualitas jaringan sangat berpengaruh, karena dengan semakin meningkatnya kualitas suatu jaringan maka hasil yang dihasilkan akan semakin bagus. Kabel tembaga merupakan suatu media transmisi berupa suatu kawat tembaga yang dibungkus oleh plastik polyethelene. Pada sistem jaringan komunikasi kabel, khususnya kabel tembaga, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari jaringan tersebut, seperti redaman, banyaknya sambungan, dan sebagainya. Redaman pada kabel tembaga dipengaruhi resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi dari kabel tersebut. Resistansi adalah perbandingan antara tegangan listrik dari suatu komponen elektronik dengan arus listrik yang melewatinya. Induktansi merupakan efek dari medan magnet yang terbentuk di sekitar konduktor pembawa arus yang bersifat untuk menahan arus. Kapasitansi adalah suatu besaran yang menyatakan kemampuan untuk dapat menampung muatan elektron dari suatu kapasitor. Sedang konduktansi merupakan kebalikan dari sifat resistansi yaitu daya hantar listrik dari suatu bahan, sedang resistansi yaitu nilai dari suatu hambatan listrik dari suatu bahan. Untuk memperkecil nilai dari sebuah redaman maka dapat dilakukan dengan

Upload: others

Post on 02-Nov-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 1

Pengaruh Loading Coil terhadap Redaman Kabel Wahyu Pamungkas1 , , Eka Wahyudi2, Andy Wijaya3

Prodi D3 Teknik Telkom, STT Telematika Telkom Purwokerto [email protected], 1

[email protected], 2

[email protected],

Abstrak

Perkembangan teknologi telekomunikasi membutuhkan peningkatan jaringan yang baik sehingga dapat mentransmisikan sinyal dengan baik. Teknologi jaringan kabel yang masih digunakan salah satunya adalah jaringan kabel tembaga. Kabel tembaga merupakan media transmisi yang biasa dipakai dalam sistem telekomunikasi. Redaman sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dari kualitas jaringan kabel tembaga sebisa mungkin harus ditekan nilainya agar kualitas jaringan menjadi baik. Ada empat faktor yang mempengaruhi dari nilai redaman pada saluran kabel tembaga yaitu resistansi, induktansi, konduktansi, dan kapasitansi. Agar memiliki nilai distorsi yang kecil sebuah saluran kabel harus mempunyai rasio nilai perbandingan resistansi per induktansi yang berbanding lurus dengan nilai konduktansi per kapasitansi.Untuk mengurangi nilai redaman dapat dilakukan dengan cara menaikkan nilai induktansi. Agar nilai tersebut dapat diperoleh maka biasanya saluran kabel tersebut akan ditambahkan loading coil agar nilai dari induktansi dapat di perbesar sehingga saluran kabel dapat memiliki nilai distorsi yang kecil dan memiliki nilai redaman yang kecil agar saluran tersebut dapat meningkat kualitasnya. Penelitian ini menggunakan kabel yang memiliki redaman bernilai 0.091 nepper. Setelah ditambahkan loading coil yaitu 0.052 nepper maka didapatkan nilai redaman menjadi semakin kecil yaitu 0.039 neper (penguatan). Sehingga didapatkan bahwa menggunakan loading coil dapat memperbaiki redaman pada kabel tembaga.

Kata Kunci : Redaman, Loading coil, Kabel Tembaga, Resistansi, Induktansi, Konduktansi, Kapasitansi

I. PENDAHULUAN

Pada masa sekarang ini, telekomunikasi menjadi sebuah kebutuhan hidup yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Sama seperti makanan atau pakaian, telekomunikasi berubah yang dahulunya hanya kebutuhan sekunder sekarang menjadi kebutuhan primer. Dalam bidang telekomunikasi, kabel tembaga merupakan salah satu sistem telekomunikasi yang pertama kali digunakan dalam perkembangan teknologi telekomunikasi. PT. Telkom Indonesia pada saat ini merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan suara, pertama kali memakai teknologi ini dalam menyediakan layanan suara di Indonesia. Sebagai sarana penyampaian informasi pada saat ini, jaringan kabel menjadi primadona dalam penyediaan layanan suara sehingga peningkatan kualitas jaringan sangat dibutuhkan untuk menunjang semua itu. Pada dasarnya pada semua jenis sistem telekomunikasi kualitas jaringan sangat berpengaruh, karena dengan semakin meningkatnya kualitas suatu jaringan maka hasil yang dihasilkan akan semakin bagus.

Kabel tembaga merupakan suatu media transmisi berupa suatu kawat tembaga yang dibungkus oleh plastik polyethelene. Pada sistem jaringan komunikasi kabel, khususnya kabel tembaga, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari jaringan tersebut, seperti redaman, banyaknya sambungan, dan sebagainya. Redaman pada kabel tembaga dipengaruhi resistansi, induktansi, kapasitansi, dan konduktansi dari kabel tersebut.

Resistansi adalah perbandingan antara tegangan listrik dari suatu komponen elektronik dengan arus listrik yang melewatinya. Induktansi merupakan efek dari medan magnet yang terbentuk di sekitar konduktor pembawa arus yang bersifat untuk menahan arus. Kapasitansi adalah suatu besaran yang menyatakan kemampuan untuk dapat menampung muatan elektron dari suatu kapasitor. Sedang konduktansi merupakan kebalikan dari sifat resistansi yaitu daya hantar listrik dari suatu bahan, sedang resistansi yaitu nilai dari suatu hambatan listrik dari suatu bahan.

Untuk memperkecil nilai dari sebuah redaman maka dapat dilakukan dengan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 2

PEMANCAR Media Transmisi PENERIMA

Noise

Redaman

mengubah nilai dari ke empat faktor tersebut. Antara lain dengan memperbesar nilai dari induktansi. Nilai induktansi dapat dirubah dengan menambahkan loading coil. Loading coil merupakan sebuah lilitan kawat dengan panjang tertentu dan dililit dengan jumlah tertentu. Dengan menambahkan loading coil sama halnya dengan menambahkan nilai induktansi ke dalam kabel tembaga sehingga nilai induktansi pada kabel tembaga akan naik.

II. KAJIAN TEORI

Energi dapat ditansmisikan dan dapat dihantarkan dengan berbagai media, salah satunya dengan radiasi gelombang elektromagnetik yang terdapat seperti dalam radio atau dapat dibawa menggunakan berbagai jenis konduktor. Semua ini disebut dengan saluran transmisi. Saluran transmisi mengarahkan energi elektrik dari satu tempat ke tempat lainnya. Di ranah telekomunikasi, saluran ini digunakan sebagai penghubung antara antena dengan sebuah pemancar atau penerima.[1]

Gambar 1. Diagram Blok Sistem Transmisi Sederhana

Penyampaian informasi dari suatu sumber informasi kepada penerima informasi dapat terlaksana bila ada suatu sistem atau media penyampaian di antara keduanya. Jika jarak antara sumber informasi dengan penerima informasi dekat, maka sistem transmisi yang dipakai cukup melalui udara. Namun bila jarak keduanya jauh dan sangat jauh, maka dibutuhkan suatu sistem transmisi yang lebih kompleks. Sistem transmisi itu dapat terdiri atas satu atau lebih media transmisi.

Secara pokok ada tiga jenis saluran transmisi.[1]

a. Jenis kabel paralel, sebuah bentuk umum dari saluran transmisi yang juga dikenal dengan saluran open wire dikarenakan oleh konstruksinya.

b. Jenis coaxial, konduktor pertama adalah tabung kosong, konduktor kedua berada di dalam dan coaxial berada dalam tabung tersebut.

c. Gelombang radio, digunakan untuk saluran Ultra High Frequency (UHF) Gelombang yang merambat pada saluran

transmisi yang panjangnya tak berhingga, tidak akan mempengaruhi apa yang ada di ujung saluran. Perbandingan antara tegangan dan arus di ujung masukan saluran sesungguhnya dapat dianggap sama dengan perbandingan antara tegangan dan arus setelah mencapai ujung lainnya. Dapat diartikan bahwa arus dan tegangan di antara kedua kawat penghantar saluran itu memandang saluran transmisi sebagai suatu impedansi. Impedansi inilah yang disebut "Impedansi Karakteristik (Zo)"

𝑍𝑍𝑍𝑍 = tegangan 𝑓𝑓𝑍𝑍𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓arus 𝑓𝑓𝑍𝑍𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓

..................... (1) Zo dan P merupakan konstanta kompleks

yang biasanya muncul dalam proses penyederhanaan matematika yang biasa disebut sebagai konstanta sekunder dalam saluran kabel. P merupakan konstanta propagasi dan Zo adalah impedansi karakteristik. Perumusan Zo dapat dilihat dibawah ini

𝑍𝑍𝑍𝑍 = 𝑅𝑅+𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝐺𝐺+𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗

.................................. (2)

𝑍𝑍𝑍𝑍 = 𝑍𝑍𝑌𝑌 .......................................... (3)

Sedang untuk perumusan P seperti dibawah ini

𝑃𝑃 = (𝑅𝑅 + 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗)(𝐺𝐺 + 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗) ........... (4) 𝑃𝑃 = √𝑍𝑍 𝑥𝑥 𝑌𝑌...................................... (5)

Dari persamaan diatas dapat dilihat hubungan antara konstanta primer seperti R, L, C, dan G dan konstanta sekunder P dan Zo. Perumusan ini sangat membantu dalam perhitungan konstanta sekunder jika konstanta primer diketahui nilainya dan sebaliknya.

Jadi dapat dikatakan bahwa impedansi karakteristik adalah impedansi yang diukur diujung saluran transmisi yang panjangnya tak berhingga. Bila daya dirambatkan pada saluran transmisi dengan panjang tak berhingga, maka daya itu akan diserap seluruhnya disepanjang saluran sebagai akibat bocornya arus pada kapasitansi antar penghantar dan hilangnya tegangan pada induktansi saluran.[2]

Parameter Sistem Telekomunikasi Pada saluran telekomunikasi ada empat

parameter yang disebut sebagai konstanta tetap primer yaitu : a. Resistansi (R), didefinisikan sebagai

resistansi putaran per panjang unit dari

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 3

sebuah saluran. Satuannya adalah ohm per kilometer.

b. Induktansi (L), didefinisikan sebagai induktansi putaran per panjang unit dari senuah saluran. Satuannya adalah henry per kilometer.

c. Konduktansi (G), didefinisikan sebagai konduktansi antara dua kabel per panjang saluran. Satuannya adalah mhos per kilometer.

d. Kapasitansi (C), didefinisikan sebagai kapasitansi antara dua kabel per panjang saluran. Satuannya adalah farad per kilometer.

Gambar 2. Parameter Kabel

Secara garis besar adalah resistansi adalah

perbandingan antara tegangan listrik dari suatu komponen elektronik dengan arus listrik yang melewatinya. Induktansi merupakan efek dari medan magnet yang terbentuk di sekitar konduktor pembawa arus yang bersifat untuk menahan arus. Kapasitansi adalah suatu besaran yang menyatakan kemampuan untuk menampung muatan elektron dari suatu kapasitor. Sedang konduktansi merupakan kebalikan dari sifat resistansi yaitu daya hantar listrik dari suatu bahan, sedang resistansi yaitu nilai dari suatu hambatan listrik dari suatu bahan Meskipun semua direferensikan sebagai konstanta tetap tapi umumnya semua akan berubah dengan adanya frekuensi.

Dikarenakan kabel telepon memiliki frekuensi yang tinggi (f>>) maka kabel telepon harus dibuat dengan memiliki noise dan distorsi yang kecil. Untuk memiliki distorsi yang kecil maka kabel harus memiliki karakteristik yaitu [1] :

𝑅𝑅𝑗𝑗

= 𝐺𝐺𝑗𝑗 ................................................... (2.6)

R = Resistansi (ohm/km) L = Induktansi (henry/km) G = Konduktansi (mhos/km) C = Kapasitansi (farad/km) Sebuah kabel memiliki parameter yaitu R =

42.1 ohms/km, G = 1.5 µ mhos/km, C = 0.062 µf/km, dan L = 1mH/km maka diperoleh :

𝑅𝑅𝑗𝑗

=42.1

1 𝑥𝑥 10−3 = 42.1 𝑥𝑥 103 𝐺𝐺𝑗𝑗

=1.5 𝑥𝑥 10−6

0.062 𝑥𝑥 10−6 = 0.0242 𝑥𝑥 103

Dengan hasil tersebut maka menghasilkan nilai [ 𝑅𝑅

𝑗𝑗> 𝐺𝐺

𝑗𝑗 ]. Ini adalah hasil yang akan

didapat pada kabel tembaga secara nyata. Padahal agar kabel tersebut memiliki kualitas yang bagus maka kabel tersebut harus memenuhi [ 𝑅𝑅

𝑗𝑗= 𝐺𝐺

𝑗𝑗].

Agar nilai [ 𝑅𝑅𝑗𝑗

= 𝐺𝐺𝑗𝑗] dapat dicapai maka ada

beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu: a. Cara pertama yaitu menurunkan nilai

resistansi (R) dengan cara memperbesar diameter kabel, tetapi cara ini tidak efektif, dikarenakan dengan memperbesar diameter kabel maka ukuran kabel akan menjadi lebih besar dan akan memperbesar harga kabel tersebut.

b. Cara kedua yaitu menaikan nilai konduktansi (G) dengan cara mempertipis selubung kabel, tetapi cara ini juga tidak efektif karena dapat mengakibatkan rugi – rugi redaman akan naik.

c. Cara ketiga yaitu menurunkan nilai kapasitansi (C) dengan cara memperlebar jarak spasi antar konduktor, tetapi cara ini juga tidak efektif dikarenakan ukuran kabel juga ikut naik dan harga kabel juga akan naik.

d. Cara ke empat yaitu menaikan nilai induktansi (L) dengan cara menambah lilitan pada kabel dengan jarak tertentu dengan nilai induktansi yang tepat. Cara ini dinilai yang paling efektif.

Untuk menaikan induktansi maka ditambahkan lilitan atau loading pada kabel. Biasanya lilitan ditambahkan dengan alasan berikut[9] : a. Untuk mengurangi redaman saluran. b. Untuk menyamakan dengan nilai impedansi

input. c. Untuk menyeimbangkan redaman yang

berlebihan di suatu frekuensi.

Gambar 3. Loading Coil[8]

R L

G C

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 4

Frequency Generator Osiloskop

Media Transmisi

Loading Coil

Frequency Generator Osiloskop

Media Transmisi

III. PEMODELAN SISTEM

Dalam pengukuran ini menggunakan kabel tembaga sepanjang 100 meter dengan menggunakan 2 urat kabel tembaga yang berdiameter 0.6 milimeter, yang kemudian kabel ini dialiri oleh nilai frekuensi tertentu yaitu 10260 Hz. Kabel ini kemudian diukur dengan menggunakan osiloskop digital untuk melihat grafik yang dihasilkan dari aliran frekuensi yang dihasilkan oleh frequency generator. Setelah nilai redaman kabel didapat kemudian ditambahkan loading coil pada urat kabel untuk mengetahui efek dari loading coil tersebut.

Gambar 4. Diagram Blok Pengiriman Frekuensi tanpa Loading coil

Gambar 4. menunjukkan frekuensi

dikirimkan dari frequency generator melalui media transmisi dalam hal ini kabel tembaga kemudian diterima oleh osiloskop. Frequencygenerator mengirimkan sebuah sinyal dengan nilai frekuensi tertentu yang melewati media transmisi. Di dalam media transmisi sinyal tersebut akan dilewatkan menuju osiloskop. Pada osiloskop hasil yang diterima berupa grafik yang dari grafik tersebut didapatkan nilai redaman dikarenakan redaman yang didapat dari media transmisi.

Gambar 5. Diagram Blok Pengiriman Frekuensi dengan Loading coil

Gambar 5. menunjukkan dengan rangkaian

yang sama tetapi dalam diagram ini ditambahkan loading coil pada media transmisi sehingga nilai redaman yang didapat diketahui apakah nilainya berkurang ataupun tidak.

Gambar 6. Rangkaian Equivalen Percobaan

IV. PENGUJIAN DAN ANALISA

Pada pengukuran kabel tembaga, hasil yang didapatkan setelah pengukuran didapat dari tampilan pada osiloskop. Parameter yang akan diamati sendiri pada pengujian kabel tembaga adalah nilai dari tegangan di mana dalam pengujian nilai dari tegangan masuk akan dibandingkan dengan nilai dari tegangan keluar kemudian dibandingkan dengan nilai dari saluran kabel tembaga menggunakan loading coil dengan parameter yang sama.

Pada bagian ini analisis yang dilakukan adalah membandingkan nilai yang didapat pada pengukuran tanpa menggunakan loading coil dan pengukuran dengan menggunakan loading coil pada kabel tembaga. Kemudian hasil tersebut dibandingkan dengan nilai yang didapat pada saat perhitungan.

Gambar 7. Nilai Pengukuran Frequency Generator

Osiloskop

Loading Coil

AB A

B

100 Meter

KabelTembaga

Frequency Generator

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 5

Pada pengukuran kabel tembaga output dari frequency generator menggunakan osiloskop menghasilkan nilai yang dapat dilihat pada gambar 7. Dari Gambar 7 menunjukkan nilai keluaran frequency generator adalah 21.30 V

Setelah nilai dari keluaran frequency generator diketahui maka dipasangkan kabel tembaga sebagai media transmisi. Lalu dilakukan pengukuran kembali dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.2

Gambar 8. Hasil Nilai Output Frequency Generator Melalui Kabel Tembaga

Didapatkan hasil pada Gambar 8.

menunjukkan nilai pengukuran sebesar 21.80 V. Kemudian ditambahkan loading coil pada saluran kabel tembaga untuk pengujian. Setelah ditambahkan loading coil diukur kembali nilai dari saluran kabel tembaga tersebut.Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil Pengukuran Menggunakan Loading Coil

Hasil pada Gambar 9. menunjukkan nilai

keluaran setelah menggunakan loading coil adalah 27.50V.

Tabel 1 Perbandingan Nilai Tegangan

Status Loding Coil

Nilai dari Tegangan

(Volt) Langsung dari Frequency Generator

21.30 V

Setelah Melewati Kabel

Tembaga 21.80 V

Setelah Ditambah Loading

Coil 27.50 V

Hasil – hasil tersebut kemudian dihitung untuk menghasilkan nilai redaman seperti yang terdapat dalam tabel berikut.

Tabel 2 Perbandingan Nilai Pengukuran

Perbandingan Parameter

Nilai Perhitungan

(dB) Setelah

Melewati Kabel Tembaga

0.2

Setelah Ditambah

Loading Coil

2.22

Perbandingan ini menunjukkan adanya

perbedaan yang terdapat pada saat mengukur pada saat sebelum menggunakan loading coil dan setelah menggunakan loading coil.

Untuk menghitung hasil dalam Tabel 2 digunakanlah persamaan/ rumus :

𝑅𝑅𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑅𝑅𝑓𝑓𝑅𝑅 𝑆𝑆𝑓𝑓𝑆𝑆𝑆𝑆𝑓𝑓𝑓𝑓𝑅𝑅 = 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 𝑉𝑉𝑍𝑍𝑆𝑆𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑅𝑅

Vin merupakan nilai output sebelum

memakai kabel tembaga sebagai sistem transmisi dan Vout adalah nilai output setelah memakai kabel tembaga. Sehingga nilai yang didapat yaitu :

Redaman Saluran = 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 𝑉𝑉𝑍𝑍𝑆𝑆𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑅𝑅

= 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 21.8021.30

= 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 1.02

= 20 x 0.010 = 0.2 dB Setelah nilai dari redaman kabel diketahui

lalu dihitung juga nilai redaman kabel setelah menggunakan loading coil. Lalu dimasukan kembali ke dalam rumus seperti pada saat mengukur nilai redaman tanpa loading coil.

Redaman Saluran = 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 𝑉𝑉𝑍𝑍𝑆𝑆𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑅𝑅

= 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 27.5021.30

= 20 𝑗𝑗𝑍𝑍𝐿𝐿 1.29

= 20 x 0.11 = 2.22 dB Hasil pengamatan terhadap nilai nilai yang

berasal dari pengujian loading coil pada kabel tembaga dapat dilihat pada hasil pengujian. Penggunaan loading coil di sini dimaksudkan agar dapat mengurangi redaman yang terdapat pada saluran kabel.

Untuk analisis hasil perhitungan menggunakan asumsi sebagai berikut :

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 6

Diketahui kabel tembaga dengan konstanta primer R = 6.4 ohm, C = 0.04 mikro farad pada frekuensi 10260 Hz, efek dari L dan G diabaikan dan kabel diberi loading coil dengan diameter induktor 2.2 cm, panjang induktor 4 cm, memiliki 600 lilitan dan R = 4 ohm terdapat pada interval 100 m.

Diketahui R = 6.4 Ω

C = 0.04 x 10-6

d = 2.5 cm = 0.98 inch l = 4.4 cm = 1.73 inch n = 1200 r = 20.2 Ω

• Menghitung nilai induktansi loading coil L (dalam mikro Henry (µH) = 𝑓𝑓2.𝑅𝑅2

18𝑓𝑓+40𝑆𝑆

L = 0.982 𝑥𝑥 1200 2

(18𝑥𝑥0.98)+(40𝑥𝑥1.73)

= 138297686.84

= 15925.56 µH = 15.93 mH

• Menghitung redaman sebelum loading

α =𝑗𝑗𝑗𝑗𝑅𝑅2

= 2𝑥𝑥3.14𝑥𝑥10260𝑥𝑥0.04𝑥𝑥10−6𝑥𝑥6.42

=0.0162

= √8𝑥𝑥10−3 = 0.091 nepper

β = 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑅𝑅2

= 0.091 radian

• Menghitung redaman setelah loading Rc = 6.4 + 20.2

100 = 6.602 Ω

Lc = 0 + 15.93𝑥𝑥10−3

100 = 159.3 x 10-6 µH

C = 0.04 x 10-6 farad G = 0

αL = 𝑅𝑅𝑗𝑗2 𝑗𝑗

𝑗𝑗𝑗𝑗+ 𝐺𝐺

2𝑗𝑗𝑗𝑗

𝑗𝑗

dikarenakan G = 0 maka persamaan di atas dapat disederhanakan pula menjadi

αL = 𝑅𝑅𝑗𝑗2 𝑗𝑗

𝑗𝑗𝑗𝑗

= 6.6022

0.04 𝑥𝑥 10−6

159.3 𝑥𝑥 10−6 = 3.301 x 0.016 = 0.052 nepper

• Pengurangan redaman = α – αL = 0.091 - 0.052 = 0.039 nepper

Dikarenakan 1 nepper = 8.69 dB dan 1 dB = 0.115 nepper

Maka nilai dalam dB = 0.039 x 8. = 0.339 dB

Hasil pengujian pada saluran kabel dapat dilihat pada tabel 1 Pada tabel tersebut memuat nilai dari tegangan input dan output dari pengujian saluran kabel tembaga. Kualitas dari sebuah kabel dapat dikatakan baik jika redaman dalam kabel bernilai kecil sehingga nilai dari tegangan input hampir menyamai dengan nilai tegangan output meski terjadi redaman di dalam kabel. Tetapi pada percobaan yang sudah dilakukan bukanlah nilai peredaman yang didapat tetapi didapatkan hasil yang sebaliknya yaitu terjadi penguatan pada saluran kabel sehingga pada tegangan output nilainya lebih besar dibanding tegangan input. Pada tabel 1 nilai tegangan masukan sebesar 21.30 V tetapi setelah melewati kabel tembaga nilai kabel tersebut mengalami kenaikan menjadi 21.80 V dan setelah memakai loading coil nilainya bertambah lagi menjadi 27.80 V. Ini sesuai dengan prinsip loading coil bahwa loading coil dapat mengurangi redaman sehingga dapat meningkatkan nilai dari tegangan input. Kemudian hasil tersebut melalui dihitung sehingga menghasilkan seperti pada tabel 2. Untuk redaman kabel tembaga sendiri memiliki nilai 0.2 dB. Nilai tersebut berupa penguatan dikarenakan nilai tersebut berupa nilai positif sedangkan nilai redaman berupa nilai negatif. Sama halnya setelah diberi loading coil menghasilkan nilai 2.22 dB yang juga berupa penguatan. Jadi nilai penguatan dari loading coil ini senilai 2.22 dB – 0.2 dB yang menghasilkan nilai 2.02 dB.

Nilai dari pengukuran kabel sendiri juga menunjukkan bahwa kabel ternyata mengalami penguatan sehingga nilai redaman kabel berkurang. Redaman kabel dalam perhitungan senilai 0.091 nepper dan setelah diberi loading coil menjadi 0.052 nepper. Nilai setelah diberi nilai loading coil bernilai sebagai pengurang redaman dalam arti lain berarti sebagai nilai penguatan. Sehingga nilai redaman 0.091 nepper dikuatkan senilai 0.052 nepper menghasilkan menghasilkan nilai 0.039 nepper dan jika dikonversikan menjadi 0.339 dB sehingga dapat dikatakan nilai redaman kabel berkurang sebanyak 0.052 nepper.

Kabel tembaga memiliki nilai redaman dan nilai redaman tersebut dapat dikurangi dengan pemasangan loading coil. Tetapi pada prakteknya yang terjadi ialah pada saluran kabel tembaga bukanlah peredaman tetapi yang terjadi adalah penguatan. Setelah ditambahkan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 7

loading coil hasil yang didapatkan juga adalah penguatan yang lebih besar. Hasil ini sesuai dengan yang diinginkan yaitu terjadi penaikan kualitas pada kabel tembaga dikarenakan nilai redaman semakin kecil bahkan tidak ada. Sehingga sinyal masukan akan dapat tersalurkan dengan baik sampai dengan tujuan. Tidak terganggu oleh interferensi yang dihasilkan oleh kabel tembaga.

V. KESIMPULAN 1. Berdasarkan pada hasil pengamatan faktor –

faktor yang dapat mempengaruhi penguatan sinyal adalah loading coildan kabel tembaga.

2. Nilai tegangan input pada saat melewati kabel tembaga tidak diredam tetapi semakin dikuatkan oleh kabel tembaga.

3. Semakin besar nilai induktansi pada loading coilsemakin besar juga nilai penguatannya.

4. Jumlah loading coil berpengaruh terhadap redaman kabel tembaga.

REFERENSI [1] SINHA, UMESH. “Transmission Lines

and Networks”, Satya Prakashan, New Delhi, 1977.

[2] Repository.usu.ac.id (2014, Agustus). Chapter II.[Online] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22084/3/Chapter%20II.pdf.

[3] Divlat Dasar Teknik Jaringan Kabel Tembaga. Telkom. 1997.

[4] Divlat Teknologi Aplikasi Jarlokat. TELKOM. 2001.

[5] Konfigurasi Jarlokat. Telkom Training Center. 2004.

[6] Modul Teknik Pemeliharaan Peralatan Telekomunikasi Pelanggan Bagian Proyek Pengembangan Kurikulum Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktoral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2003

[7] Mangsudi, Slamet. “Modul Praktikum Wireline”, STTT Telkom, Purwokerto, 2007

[8] White Paper. “Cable Loading”, Superior Essex, 1987.

[9] A British Company of ITT.“Standard Telephones and Cables Limited”, London, 1974.

[10] Herbert L. Krauss dan Charles W. Bostian. “Teknik Radio Benda Padat”, Jakarta: UI-Press, 1990..

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TEL08 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 8

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 9

Kontroler Linear Quadratic Integral (LQI) dengan Algoritma Cerdas Unified Particle Swarm Optimization untuk Pengaturan Crane Anti Ayun

dengan Syarat Batasan (Constraint)

Muh. Chaerur Rijal Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Ujung Pandang

e-mail: [email protected]

Abstrak

Pada makalah ini dikembangkan kontroler crane anti ayun yang akan mengoptimalkan fungsi tujuan (fitneesfunction) dan syarat batasan (constraint) yang dihadapi. Kontroler Linear Quadratic Integral (LQI) dipilih karena kemampuannya mengatur plant dalam daerah steady state.Algoritma cerdas Unified Particle Swarm Optimization(UPSO) dipakai untuk mencari matriks pembobotQ(berupa matriks diagonal) dan matriks pembobot R yang tepat untuk membentuk kontroler LQI yang mampu mengkompromikan syarat fungsi biaya, persentase over-shoot, waktu settling dan juga dapat mengurangi ayunan beban dan steady state error.Dari hasil penelitian dan implementasi diperoleh bahwa matriks Q dan R hasil optimasi dengan UPSO akan menghasilkan kontroler LQI yang lebih baik dalam menjaga ayunan beban crane. Sedangkan kontroler LQI optimasi UPSO akan menurunkan pemakaian energi kontrol rata-rata dan menjaga ayunan beban semakin kecil.

Kata Kuncis: Anti sway crane,LQR type I, LQI, Matriks Q&R, UPSO

I. PENDAHULUAN Crane merupakan salah satu alat untuk

memindahkan beban berat.Plant ini merupakan sistem nonlinear dengan single-input multi-output(SIMO). Tujuan pengaturan crane adalah memindahkan beban dari satu titik ke titik yang lain secepat mungkin tanpa menimbulkan adanya ayunan yang tidak terkendali pada posisi titik akhir. Pada saat alat inibergerak untuk memindahkan beban, maka beban akan terayun dengan besar sudut ayun tertentu, mengikuti perubahan kecepatan akibat kombinasi dari energi gerak dan sudut ayun beban yang besar pada saat perpindahan. Beban pada crane juga akanberayun saat posisi akhir sebagai akibat berhenti mendadak setelah bergerak cepat. Waktu perpindahan yang minimal dapat tercapai dengan kecepatan tinggi, tetapi akan mengakibatkan sudut ayun yang terlalu besar. Olehnya kinerja alat ini sangat bergantung pada keahlian dan pengalaman operator untuk memperhatikan posisi serta goyangan yang dihasilkan dari perpindahannya. Operator diharuskan mempunyai skill yang cukup untuk melihat perubahan ayunan beban dan meresponnya.

Pengaturan craneumumnya dibagi menjadi dua kelompok yaitu open loop dan close loopsystem [l].Close loop system didasarkan pada informasi umpan balik terkini berupa

sudut ayunan beban, posisi trolley dan kecepatannya. Sedangkan open loopsystem berkerja dengan metode aksi feed-forward [l][2]. Dengan menggunakan teknik open loop didapatkan hasil yang kurang optimal, dikarenakan sistem menjadi sangat sensitif terhadap parameter plant.Perbedaan nilai parameter sistem pada perancangan menyebabkan kontroler menjadi kurang responsif dan kurang sesuai. Kontroler feedback memberikan keunggulan dalam hal lebih kebal terhadap gangguan dan perubahan parameter sistem [3][4]. Sistem kontrol Proportional-Derivative (PD) dengan feedback juga diusulkan sebagai pengatur posisi dan anti ayun pada sistem crane, akan tetapi diketahui bahwa kontroler PD untuk posisi akan membuat errorsteadystate yang besar. Untuk sistem nonlinear single-input multi-output seperti halnya model crane ini, kontroler dengan metode fuzzy logic telah digunakan [5][6]. Dengan metode fuzzy logic diharapkan kontroler dapat bekerja untuk hasil yang diinginkan.Hasil yang didapat menunjukkan peningkatan kinerja pengendali untuk sistem. Selain itu juga dikembangkan suatu metode optimalisasi [7] dalam hal men-tuning nilai gain pada fuzzy-PD kontroler berbasis Genetic Algorithms [8]termasuk juga optimalisasi input tracking dengan metode LQR-Hybrid [9].

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 10

Beberapa juga mengaplikasikan kontroler nonlinear semisal Sliding Mode Control yang ditambahkan kompensator PI untuk memperoleh hasil yang lebih baik [10].

Kontroler Proportional-Derivative(PD) telah umum dipakai untuk pengaturan posisi, namun memiliki kekurangan pada error steady state yang terjadi pada posisi akhir. Oleh karenanya dikembangkan kontroler LQR yang lebih baik dalam pengaturan di sekitar steady state. Pada kontroler ini performansi output-nya sangat dipengaruhi oleh pemilihan matriks pembobot Q dan R. Penentuan pembobot ini menjadi masalah tersendiri bagi perancang agar diperoleh output sistem yang memenuhi kriteria awal perancangan. Masalah ini menjadi semakin kompleks jika jumlah input state dan sinyal kontrol u yang ada semakin banyak, ditambah dengan syarat batasan (constraint) yang mesti dipenuhi dalam perancangan seperti bagaimana mengoptimalkan pemakaian energi kontrol tanpa mengurangi performansi dari sistem itu sendiri. Pada umumnya perancang memakai metode coba-coba / trial and error methode (TEM) untuk menemukan nilai matriks bobot Q dan R yang sesuai, namun dirasakan metode ini belum terlalu akurat dan cukup merepotkan.

II. DASAR TEORI 2.1 Model Dinamik Crane [1]

Berdasarkan gerak crane pada bidang dua dimensi, energi kinetik dan energi potensial pada sistem crane dirumuskan dengan persamaan (1) dan (2).

)cos2222(212

21

.21.

21

θθθ

xllxmxM

brbrmvrvrM

bWvWkW

+++=

+=

+=

θcos mg

mgyW mp

−=

=

Untuk memenuhi model dinamik dari crane, persamaan energi pada (1) dan (2) digunakan pada persamaan Lagrangian L = Wk - Wp. [3]

1,2 ==∂∂

∂∂ jjF

jrL

jrL

dtd

Untuk tahap simulasi dan

implementasi, digunakan plant Sistem Pendulum Kereta (SPK) dari Feedback Instruments Ltd jenis Digital Pendulum Mechanical Unit 33-200[11] yang difungsikan sebagai sebuah modelcrane. Berdasarkan [12], untuk kondisi dimana SPK sebagai model craneberlakuθ = θ’ + π, sehingga diperoleh persamaan state-spaceuntuk SPK sebagai berikut:

+

−+−−−+

−−−−=

)sin(

sin)sin(cos)sin(

)sin(cos)sin(

4321

22

4222

42

22

42222

4

4

3

xlJ

xfxgxxTFxlxlJ

xfxgxlxxTFxx

xxxx

pCx

pCx

µ

µµµ

µµα

dengan:

0,001770,49848

N 6531,2

/m2kg.m0,000107

2kg.m 0,0135735

m 402,0

12,012,1

dan)( 2

===

=

=

=

==

++=+=

αµ

αµ

c

p

p

c

pcpc

T

f

J

l

kgmkgm

mmJllmm

2.2 Model Linearisasi Crane Dengan menggunakan metode Matriks Jacobian, persamaan state diatas dilinearisasikan disekitar titik asal (0,0,0,0).Hasil linearisasi berupa matriks state A dan B seperti pada Persamaan (4).

=

−−

=

6239,18272,000

dan

0079,000421,15000013,002525,00

10000100

BA

(

(

(

(

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 11

2.3Kontroler LQI [13][14] Pada prinsipnya kontroler LQI merupakan

pengembangan dari kontroler LQR untuk keperluan pengaturan inputstep tracking/ command tracking. LQR sendiri merupakan suatu sistem regulator optimal berdasarkan index performance kuadratis.

Suatu kontroler LQI command tracking seperti pada Gambar 1, berlaku persamaan:

)()()()()()(

tCxtytErtButAxtx

=++=

dengan x(t)∈ Rn, u(t) ∈ Rp, A ∈ Rnxn, B ∈ Rnxp

Gambar 1. Kontroler LQI Command Tracking

Pada kontroler LQI, didefinisikan integral

error sebagai:

)()()()()()(

))()(()(0

tCxtrttytrt

dyrtt

−=−=

−= ∫

εε

τττε

untuk r(t)∈ Rm merupakan input referensi. Dari kombinasi Persamaan (5) dan (6)

diperoleh persamaan augmented state sebagai berikut:

)(0

)(0)(

)(00

)()(

trI

tuB

ttx

CA

ttx

+

+

=

εε

dengan I merupakan matriks identitas,

dan

=

IE

0

Gambar.1 merupakan sebuah kontroler

umpan balik state optimal yang memenuhi persamaan:

)(.)(. tKitxu(t)= K ε+ yang akan menstabilkan plant augmented

sesuai Persamaan (7) dan meminimumkan fungsi biaya kuadratik :

dtu(t)R+u(t)ttxQttxJ(t)= TTTTTT

t].])(~)(~.[.])(~)(~[[

0

εε∫∞

Untuk input referensi berupa r(t) ≡ r (t>0) , di mana K ∈ Rn×ndan Ki ∈ Rm×m merupakan matriks gain umpan balik keadaan plant dan gainerror integral, yang memenuhi Q ∈ R(n+m)×(n+ m )dan R ∈ Rm×m adalah matriks bobot

)()()(~)()()(~)()()(~

∞−=∞−=∞−=

εεε ttututuxtxtx

untuk x(∞), u(∞), dan ɛ(∞) masing-masing adalah nilai steady state dari state sistem, sinyal kontrol dan integral error, di mana:

0)()(~

)()()(~

=∞−=∞

∞+∞=∞

Cxr

BuAxx

ε

maka Persamaan (7) dapat dituliskan sebagai

)(~0)(~

)(~

00

)(~

)(~tu

Bttx

CA

ttx

+

=

εε

Jika dimisalkan:

=

=

=

0~

00~

)(~)(~

)(

BB

CA

A

ttx

tXε

Maka Persamaan (9) dapat dituliskan sebagai:

)(~)(~)( tuBtXAtX += dan besarnya gainK untuk kontroler LQI

diper-oleh dengan persamaan:S(t)BRKKK T

iLQRLQI~][ 1−==

dimana solusipersamaanRiccati, S(t)diperolehdenganmenyelesaikanpersamaan:

S(t)BS(t)BRQS(t)+S(t)A(t) = AS TT 1-.+

Sehingga diperoleh persamaan state untuk

kondisi close loopsystem Gambar.1 sebagai berikut:

)()()()()()()(

tHXtztuBKEtXCBKAtX CLCL

=−+−=

2.4 Unified Particle Swarm Optimization (UPSO) [15]

UPSO merupakan salah satu algortima cerdas yang merupakan pengembangan algortima Particle Swarm Optimization (PSO). Dalam UPSO populasi disebut dengan swarm

(

(

(

(

(

(

(

(

(

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 12

dan individu disebut dengan particle. Adapun prosedur algoritma UPSO untuk optimasi kontroler LQR/LQI adalah sebagai berikut:

a. Inisialisasi secara acak komponen matriks Q dan R dalam bentuk matriks swarm beserta dengan matriks kecepatan swarm masing-masing.

b. Dapatkan solusi persamaan Riccati untuk masing-masing partikel komponen matriks Q dan R tersebut dengan Persamaan dan hitung nilai gain dengan Persamaan

c. Simulasikan respon sistem untuk tiap-tiap pasangan Q dan R yang bersesuaian.

d. Hitung nilai tujuan (fitness value) keluaran dari sistem untuk tiap-tiap pasangan Q dan R tersebut.

e. Tentukan partikel dengan nilai fitness terbaik dari tiap-tiap partikel Q dan R yang ada. Dimana akan dicari tiga nilai terbaik untuk tiap iterasi yaitu terbaik global (gbest), terbaik lokal (lbest), dan terbaik ketetanggaan (nbest)

f. Update kecepatan partikel dengan menggunakan persamaan:

[0,1] u 1),+(tu)L-(1+1)+(tuG=1)+(tV

] ) (t)X-(t)(Pr'c+) (t)X-(t)(Pr'c+(t)[V=1)+(tL

] ) (t)X-(t)(Prc+) (t)X-(t)(Prc+(t)[V=1)+(tG

iii

ig22ii11ii

ig22ii11ii

χ

χ

g. Update kecepatan partikel dengan

menggunakan persamaan: 1)+(tV+(t)X=1)+(tX iii

h. Ulangi prosedur diatas dimulai dari point (b) hingga (g) sampai diperoleh nilai fitness minimum yang diinginkan atau jumlah maksimum iterasi sudah terpenuhi.

2.5 Pemilihan Matriks Pembobot Q dan R [16] Nilai Matriks Q dan R akan menentukan

hasil dari persamaan Riccati, dan akan berpengaruh pada keseluruhan performansi sistem suatu kontroler LQI.

Beberapa cara yang dapat digunakan dalam pemilihan matriks pembobot Q dan R adalah :

a. Dengan memilih matriks Q = I dan R = ρI , memenuhi persamaan L = x2 +ρu2

b. Dengan memilih matriks Q dan R berupa matriks diagonal.

c. Dengan menggunakan bobot outputz, dimana z = Hx, maka Q = HT.H dan R = ρI.

d. Dengan metode trial and error (TEM) hingga diperoleh respon yang memuaskan.

e. Dengan algoritma cerdas semisal PSO, GA, ACO dan lainnya

III. METODE PENELITIAN

Pada makalah ini dirancang suatu kontroler LQI yang dioptimalkan dengan algoritma cerdas UPSO.Algoritma UPSO akan memilih matriks pembobot Q dan R yang paling optimal pada suatu kontroler LQI.Nilai Q dan R optimal ini akan menghasilkan gainK optimal sebagai pembentuk dari suatu kontroler LQI.

Gambar 2. Blok Diagram Kontroler LQI Optimasi UPSO Kontroler LQI optimasi UPSO yang

dihasilkan akan dibandingkan secara simulasi dengan kontroler LQR dasar, LQR optimasi UPSO dan kontroler LQI metode trial and error (TEM).

Selain itu, kontroler LQI optimasi UPSO ini bersama dengan kontroler LQR optimasi UPSO akan diuji langsung pada plantSistem Pendulum Kereta (SPK) dari Feedback Instruments, Ltd.jenisDigital Pendulum Mechanical Unit 33-200.

3.1 Perancangan Kontroler LQI

Kontroler LQI merupakan pengembangan dari kontroler LQR.

Adapun prosedur perancangan kontroler jenis ini adalah sebagai berikut:

a. Linierisasi persamaan nonlinier plant pada titik tertentu sehingga diperoleh Persamaan state (5) dengan matriks state sesuai Pers. (4).

b. Persamaan state pada point (a) diatas ditransformasikan menjadi Persamaan augmented state(10) sesuaidengan Persa-maan (9).

c. Tentukan matriks pembobot Q dan R berdasarkan minimisasi fungsi kriteria

(2.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 13

energi minimum dari Persamaan (10) dengan menggunakan Persamaan (8).

d. Untuk memudahkan pemilihan matriks QLQI yang optimal untuk kontroler LQI, dapat dipilih matriks pembobot QLQR pada kontroler LQR, selanjutnya matriks QLQR tersebut ditransformasikan menjadi matriks QLQI dengan persamaan:

==

i

LQRLQIa q

QQQ

00~

e. Menentukan matriks S(t) dari Persamaan Riccati (12).

f. Menghitung nilai gainKberdasarkan Persamaan (11) untuk mendapatkan sinyal kontrol berikut:

).(.

).(.

refiLQR

refiLQR

xxKxKu =

xxKxKu =

−+−

−−+−

3.2 Penentuan Fungsi Tujuan (Fitness Function) dan Syarat Batasan (Constraint)

Kontrol optimal berkaitan dengan masalah menemukan hukum kontrol untuk system tertentu dengan pencapaian kriteria optimalitas. Kondisi ini dicapai dengan memperhatikan kondisi dan kendala dari suatu sistem sehingga perlu didefinisikan rumusan nilai fitness yang sesuai.

Adapun beberapa parameter output pengaturan crane yang ingin dioptimalkan adalah:

1. Settling time (Ts), semakin kecil nilainya semakin baik.

2. Ayunan beban maksimum (Swing), dengan batasan kurang dari 0,0436 rad (2,5 derajat).

3. Indeks performansi (J), dimana semakin kecil semakin baik.

4. Persentase overshoot (%OS) dimana jika melebihi batas 4% akan ditolak.

5. Error steady state (ESS), dibatasi tidak melebihi 0.02 dari nilai referensi.

Kelima parameter ini akan membentuk

persamaan fitnees dengan:

%100

..%...

54321

5

5

4

4

3

3

2

2

1

1

=++++

++++=

ωωωωω

ωωωωωNESS

NOS

NJm

NSwing

NTsFitness

di pilih nilai bobot ω1=ω3=ω4=20%, ω2=30%, dan ω5=10%

untuk faktor normalisasi dipilih N1 = 20 detik N2 = 0,0436 rad (2,5 derajat) N3 = 10 N4 = 4% dan N5 = 0,02 m Selain parameter syarat nilai batas

(constraint), syarat lain yang harus dipenuhi ialah matriks Q merupakan matriks semidefinit positif dan R matriks definit positif. Jika tidak memenuhi persyaratan ini, maka algoritma UPSO akan memberikan nilai fitness kepada swarm sebesar 300. Untuk persyaratan ini digunakan persamaan:

𝐹𝐹𝑉𝑉𝑉𝑉𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝐹𝐹𝑉𝑉𝑓𝑓𝑆𝑆𝑆𝑆𝑅𝑅 = 300, 𝑉𝑉𝑓𝑓𝑖𝑖 < 0 𝑍𝑍𝑓𝑓𝑅𝑅 ≤ 0

𝐹𝐹𝑉𝑉𝑉𝑉𝑅𝑅𝑅𝑅𝐹𝐹𝐹𝐹 (20), 𝑉𝑉𝑓𝑓𝑖𝑖 ≥ 0 𝑓𝑓𝑅𝑅𝑓𝑓𝑅𝑅 > 0

3.3 Proses Optimasi dan Simulasi Sistem

Untuk membentuk kontroler LQI yang dioptimalkan dengan UPSO, diperlukan nilai Q dan R yang tepat sehingga akan dihasilkan nilai gainK yang optimal. Untuk proses pencarian (tuning) bobot matriks Q dan R optimal ini dibuat suatu aplikasi dengan memakai software Matlab. Adapun blok simulink aplikasinya seperti gambar dibawah ini.

Gambar 3. Blok Simulink Sistem Kontrol LQR Optimasi UPSO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses OptimasiKontroler LQR Berdasarkan hasil eksekusi program

optimasi kontroler LQR menggunakan algoritma UPSOdiperoleh nilai fitness terkecil sebesar 0,130.

Adapun progres pencapaian nilai optimal dari ketiga hasil optimasi ini dapat dilihat pada grafik sesuai Gambar 4.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 14

Gambar 4. Progres Pencapaian Nilai Fitnesspada

kontroler LQR optimasi UPSO

Dapat pula dilihat proses sebaran swarm Q dan R menuju nilai yang optimal seperti pada ilustrasi Gambar 5.

Gambar 5. Sebaran SwarmR dan Quntuk Iterasi Tertentu

Sehingga diperoleh besarnya matriks Q dan

Roptimal sebesar:

[ ]0215,0

dan

92,469600000,772700000,000600000,0393

=

=

LQR

LQR

R

Q

Dengan menyelesaikan (10), diperolehgain

Kuntuk kontroler LQR sebesar: ]64,3140- 5,5375 72,7614- 1,3523[=optK

4.2 Proses Optimasi Kontroler LQI

Adapun grafik yang menggambarkan progres pencapaian nilai fitness optimal dari kontroler LQI bisa dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Progres Pencapaian Nilai Fitnesspada

kontrolerLQI Optimasi UPSO

Sehingga untuk kontroler LQI optimasi UPSO, didapatkan matriks QLQI optimal dan RLQI optimal sebagai berikut:

[ ]0129,0dan

6800,00000092,469000007727,0000006000,0000000393,0

=

=

LQI

LQI

R

Q

Untuk matriks state berupa (4), dibentuk suatu matriks augmentedstate sesuai Persamaan (10), sehingga diperoleh matriks augmentedstate berupa:

−=

−−−

=

06239,1

8272,000

~

dan

0000100079,000421,150000013,002525,000100000100

~

a

a

B

A

Dengan menyelesaikan (11) akan diperoleh gain K optimal, sebesar:

] 0,7314- 78,6033- 10,8464 120,0656- [4,3488=LQIK

Selanjutnya berdasarkan simulasi,

diperoleh hasil pada Gambar 7.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 15

Gambar 7. OutputCrane untuk Kontroler LQI Optimasi

UPSO

4.3 Perbandingan dengan Kontroler Lain Secara Simulasi Sebagai perbandingan, selain kontroler

LQR optimasi UPSO, dipakai juga kontroler LQR standar/dasar dimana nilai matriks bobot Q dan R masing-masing sebesar:

[ ]0340,0

dan

2222,2200000008,0000063,025200006671,0

=

=

R

Q

Sehingga diperoleh gain state K sebesar:

]24,4022- 6,9440 94,5028- 2,2143[=K

Adapun parameter tiap-tiap kontroler sebagai pembandingyang dipakai dalam proses simulasi seperti pada tampak Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Tiap Kontroler untuk Simulasi

Pengujian

Berikut tampilan outputpengaturan

craneuntuk tiap-tiap kontroler yang diujikan seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. OutputCraneuntuk Tiap Kontroler Hasil

Simulasi Adapun hasil respon output simulasi

pengaturan craneuntuk tiap-tiap kontroler uji dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Perbandingan Performansi Kontroler Berdasarkan

Hasil Simulasi

Konstanta Gain State

LQR LQR-UPSO

LQI-UPSO

Kx1 (posisi)

2,2143

1,3523 4,3488

Kx2 (ayunan)

-94,5028

-72,7614

-120,0656

Kx3 (kecepatan)

6,9440

5,5375

10,8464

Kx4 (kecepa

tan sudut)

-24,4022

-64,3140

-18,6033

Ki (integra

l eror posisi) - - -

0,7314

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 16

Respon Output LQR LQR-

UPSO LQI-UPSO

Ts(detik) 9,1 7,9719 10,9754

ESS(m) 1,55e-5 2,76e-6 0,0093 OS (%) 8,3224 0,0765 0,0638

Swing (rad) 0,0392 0,0071 0,0038

Integral Square Error

0,9387 1,5466 2,3024

Energy drive 0,1054 0,0734 0,0175

4.4 Implemetasi dan Pengujian pada Plant SPK Untuk pengujian dan implementasi real

pada plant SPK, diperoleh hasil seperti pada Gambar 9.

Gambar 9. Output Sistem untuk Kontroler Tiap-Tiap Kontroler

yang Diimplementasikan.

Dan respon output pengaturan crane hasil implementasi untuk tiap kontroler uji dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Perbandingan Performansi Kontroler Hasil

Implementasi Respon Output LQR-UPSO LQI-UPSO

Ts(detik) 17,8300 19,4410

ESS(m) 0,0145 0,0019 OS (%) 3,0823 8,2729

Ayunan(rad) 0,0145 0,0014

ISE 5,3719 5,4378

energy drive 0,5963 0,6327

V. KESIMPULAN Untuk menghasilkan kontroler dengan

keperluan pengaturan inputstep trackingyang lebih optimal, penambahan kompensator integral pada kontroler LQR sehingga dihasilkan kontroler LQI, terbukti mampu mengurangi ayunan beban maksimum dan mengurangi pemakaian rata-rata energi kontrol, sehingga kontroler LQI layak dipilih untuk hasil yang lebih optimal.

REFERENSI [1] E. Raubar, dan D. Vrancic, “Anti-Sway

System for Ship-to-Shore Cranes”, Journal of Mechanical Engineering vol. 58, 2012.

[2] K.T. Hong, dan C.D. Huh, “Command Shaping Control for Limiting the Transient Sway Angle of Crane Systems”, Int. Journal of Control, Automation and System, vol. 1, no. 1, 2003.

[3] A. H. Keith, and E. S. William, “A Feedback Control System for Suppressing Crane Oscillations with On-Off Motor”, Intl. Journal of Control, Automation and System, vol.5 no.3, Juni 2012.

[4] Y.S. Kim, dan K.S. Hong, “Anti-Sway Control of Container Crane : Inclinometer, Observer, and State Feedback”, Int. Journal of Control, Automation and System, vol. 2, no. 4, Desember, 2004.

[5] M.A. Ahmad, “Sway Reduction on Gantry Crane System using Delayed Feedback Signal and PD-type Fuzzy Logic Controller: A Comparative Assessment”, Proceedings: Word Academy of Science, Engineering and Technology 26, 2009.

[6] J. Smoczek, dan J. Szpytko, “The Fuzzy Robust Anti-Sway Crane Control System”, Journal of KONBIN 1-2, 2009.

[7] M. Mahrueyan, dan H. Khaloozadeh, “Designing a Nonlinear Optimal Ani-Sway

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 17

Controller for Container Crane System”, International Conference on Circuits, System and Simulation IPCSIT vol.7, Singapore, 2011.

[8] J. Smoczek, dan J. Szpytko, “Design of Gain Scheduling Anti-Sway Crane Controler using Genetic Fuzzy System”, IEEE Int. Jounal of Control, 2012.

[9] M.A Ahmad, dan M.S. Ramli, “Control Schemes for Input Tracking and Anti-Sway Control of a Gantry Crane”, Australian Journal of Basic and Applied Sciences 4(8), 2010.

[10] I. Rokhim, “Pengaturan Anti Swing pada Gantry Crane Menggunakan Sliding Mode Control dengan Kompensator Proporsional Integral”, Tesis, Pascasarjana Jurusan Teknik Elektro-ITS, Surabaya, 2012.

[11] Digital Pendulum Feedback Instrument Ltd., “Control in a MATLAB environment”, Feedback Instrument Ltd, England, 2004.

[12] A. Ashfahani, T. Agustinah, dan A. Jazidie, "Kontrol Tracking pada Sistem Pendulum Terbalik Berbasis Model Fuzzy Takagi-Sugeno Menggunakan Pendekatan BMI", Proseding Seminar Tugas AkhirJurusan Teknik Elektro, ITS Surabaya, 2012

[13] F.L. Lewis, “Optimal Control”, John-Wiley, 1986.

[14] F.Z. Ping, Z.J Mao,dan R. Allen, “Design of Continuous and Discrete LQI Control Systems with Stable Inner Loops”, Journal of Shanghai Jiaotong University, Vol .E212, No. 6, 2007.

[15] K.E. Parsopoulos., dan M.N. Vrahatis., “Unified Particle Swarm Optimization for Solving Constrained Engineering Optimization Problems”, Proceedings of International Conference, ICNC 2005, Changsha, China, 2005.

[16] R.M Murray, “Control and Dynamical Systems”, California Institute of Technology, 2006.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT23 SNTEI 2015

PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 18

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 19

Analisis Switching Capacitor Bank Tegangan Tinggi terhadap Kinerja Pemutus Tenaga

Sarma Thaha1), Nadjamuddin Harun2), Salama Manjang3)

1 Teknik Elektro, Politeknik Negeri Ujung Pandang email: [email protected]

2 Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin 3 Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin

email: [email protected]

Abstrak

Pemasangan capacitor bank pada suatu sistem tenaga listrik bertujuan salah satunya untuk menaikkan tegangan sistem ke (mendekati) nilai tegangan nominal. Namun proses penutupan pemutus tenaga - PMT (circuit breaker – CB) untuk energized capacitor bank dapat menghasilkan tegangan transient dan arus transient. Kondisi ini bisa menyebabkan gangguan pada sistem tenaga listrik, mengurangi waktu operasi (lifetime) capasitor serta kerusakan pada peralatan switching. Dalam penelitian ini pengaruh tegangan transient dan arus transient tersebut dianalisa khusus terhadap pemutus tenaga. Data yang dibutuhkan diperoleh dari pengambilan data di lapangan - GI Sanur, dan pengumpulan data-data terkait penelitian melalui kajian pustaka. Analisa kondisi transient pada saat switching capacitor bank ini dilakukan dengan bantuan software Alternative Transient Program (ATP). Dengan membuat simulasi penutupan kontak utama pemutus tenaga secara serempak dan tidak serempak pada ke-tiga fase PMT melalui suatu controller. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penutupan secara serempak akan menghasilkan tegangan transient dan arus transient yang tinggi terutama ketika penutupan kontak pemutus tenaga mendekati atau tepat berada di puncak gelombang tegangan, sedangkan switching yang dilakukan dengan controller menghasilkan transient yang tidak begitu besar di ketiga fasenya, namun transient tertinggi yang tercapai untuk kedua kondisi penutupan PMT, masih berada di bawah ketahanan dari PMT. Sehingga switching capacitor bank dapat juga dilakukan tanpa harus menggunakan controller.

Kata Kunci : PMT, controller, capacitor bank, transient, ATP

I. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan kebutuhan listrik maka sistem tenaga listrik, khusus PLN sebagai pemasok daya listrik, menjadi semakin berkembang. Sehingga menghasilkan sistem yang semakin kompleks dan memunculkan beberapa permasalahan yang harus diatasi.

Kondisi kapasitas pembangkitan yang tidak mampu mengikuti kecepatan laju pertumbuhan beban, serta letak beban-beban besar yang jauh dari pusat pembangkit, menyebabkan dibutuhkannya transmisi panjang yang dapat mengakibatkan kondisi penurunan tegangan sistem di luar batas toleransi yang telah diatur. Salah satu daerah yang mengalami masalah ini adalah Bali. Karena sebagian besar, lebih dari 50%, kebutuhan listrik Bali diperoleh dari pulau Jawa. Salah satu cara yang dilakukan oleh PLN, dalam hal ini wilayah Bali, adalah dengan pemasangan capacitor bank tegangan tinggi [1][2] yang bertujuan menaikkan level tegangan sistem mendekati tegangan nominal-

nya, yakni 150 kV. Beberapa lokasi gardu induk di Bali yang dipasang capacitor bank antara lain, GI Nusa Dua, GI Sanur, GI Amlapura dan beberapa GI lainnya.

Namun penambahan capacitor bank juga menimbulkan masalah baru pada saat dilakukan proses switching, yakni tegangan transient dan arus transient yang boleh jadi merusak peralatan sistem [3][4][5]. Oleh karenanya dikembangkan berbagai teknologi untuk mengatasi hal ini. Ada beberapa cara yang digunakan untuk meredam transient tersebut, antara lain pemasangan induktor (reactor), pemasangan pre insertion, swithing controller, dll.

Di Indonesia, dalam hal ini sistem kelistrikan PLN, ada pola capacitor switching yang berbeda antara wilayah PLN. Pada PLN Wilayah Jawa Bali dan Sumatera digunakan Switching Controller meskipun telah dilengkapi dengan reactor, sebagai limiting current transient, dikenal juga dengan istilah

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 20

Point on Wave Controller, sementara wilayah lain tidak menggunakan switching controller tetapi hanya melengkapi capacitor bank dengan reactor. Wilayah yang menggunakan dikarenakan ada pendapat bahwa transient inrush current oleh proses switching capacitor itu akan menyebabkan transient overvoltage yang bisa merusak peralatan.

Karena latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti tentang perlu tidaknya penambahan switching controller pada capacitor bank yang telah dilengkapi dengan reactor pada bay-nya dengan menggunakan ATPDraw software [6]. Lokasi penelitian di lakukan di Gardu induk Sanur, Bali. Karena pada kondisi beban puncak bisa tegangan bisa turun mencapai 140 kV. Sehingga dilakukan penambahan satu capacitor bank bay, 25 MVAR, untuk mengatasi permasalahan penurunan tegangan tersebut.

II. TEORI DAN KAJIAN LITERATUR II.1 Capacitor bank

Capacitor bank adalah sekelompok unit kapasitor dengan rating tegangan dan rating kVAR tertentu yang diserikan dan atau diparalelkan untuk mencapai tegangan sistem dimana capacitor tersebut akan dipasang serta mendapatkan jumlah kVAR sesuai kebutuhan.

Jumlah unit yang dibutuhkan (parallel dan seri) per-fase-nya dibuat sedemikian rupa, agar jika 1 unit capacitor mengalami masalah dalam satu grup, tidak akan menghasilkan ketidakseimbangan tegangan (unbalanced voltage) lebih dari 110% dari rating tegangan capacitor group yang tersisa [2].

Capasitor Bank kapasitas besar dapat dihubungkan bintang (Y) tidak ditanahkan (wye ungrounded), Y ditanahkan (wye grounded) atau pun delta ∆. Untuk yang capacitor bank yang terpasang di GI Sanur menggunakan hubung double Y ungrounded, seperti terlihat pada gambar 1.

60N

CT 1/1

T

C1

SR

C2

C3

C4

C5

C6

C1

C2

C3

C4

C5

C6

C7

C8

C9

C10

C11

C12

C1

C2

C3

C4

C5

C6

C7

C8

C9

C10

C11

C12

C7

C8

C9

C10

C11

C12

Gambar 1. Multiple units ungrounded double Wye

Suatu capasitor bank dapat di-switch sekaligus ke dalam sistem dan adapula dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan sistem.

II.2 Current Limiting Reactor

Induktor dan kapasitor biasa digunakan di gardu-gardu induk maupun saluran transmisi. Salah satu contoh penggunaan induktor adalah current limiting reactor. Reaktor jenis ini dihubungkan seri dengan saluran transmisi atau feeder. Hal ini bertujuan untuk membatasi arus pada saat sistem mengalami gangguan.

Pada penggunaan current limiting reactor di capacitor bank, reaktor diserikan dengan capacitor bank, dimaksudkan untuk membatasi inrush current pada saat switching. Reaktor dapat dipasang pada sistem sampai dengan 765 kV.

Nilai reactor yang terpasang pada setiap fase pada cabacitor bay dalam penelitian ini adalah sebesar 0.5 Ohm atau induktansi sebesar 1.592 mH.

II.3 Pemutus Tenaga – PMT (CB)

Circuit breaker (CB) atau pemutus tenaga (PMT) adalah peralatan mekanis yang memiliki kemampuan untuk menghantarkan atau memutuskan aliran arus baik dalam kondisi normal ataupun kondisi tidak normal. PMT dapat diklasifikasikan berdasarkan tegangan kerja, beban switching (switching duty), lokasi pemasangan dan media pemutusnya (interruption medium).

Berdasarkan tegangan kerja, maka pada industry standard, PMT dibagi menjadi di bawah 72.5 kV dan di atas 121 kV [4]. Untuk klasifikasi berdasarkan bebannya, maka terdapat PMT untuk beban resistif, induktif dan kapasitif. Sedangkan berdasarkan lokasi

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 21

pemasangannya dibagi menjadi PMT untuk pemasangan dalam ruangan (indoor CB) dan di luar ruangan (outdoor CB). Outdoor CB dibagi lagi menjadi dead tank CB dan live tank CB.

Bila dilihat dari media pemutusnya (interrupting medium), maka terdapat air CB (ACB) , Oil CB, Vacuum CB (VCB) dan SF6 CB/ Gas CB (GCB). High voltage CB yang umum digunakan di Indonesia adalah GCB, dan begitupula yang terpasang di GI Sanur.

II.4 Pemasangan Capacitor Bank pada sistem

Pemasangan Capasitor bank pada suatu Power system dapat memberikan beberapa pengaruh kepada sistem [1][7], yakni: - Meningkatkan tegangan sistem - Memperbaiki regulasi tegangan - Menurunkan rugi-rugi daya I2R karena

dapat mengurangi besar arus yang ditransmisikan.

- Memperbaiki power factor - Menurunkan beban kVA dari pembangkit

atau meurunkan permintaan beban kVA Shunt Capacitor dapat mempengaruhi

semua peralatan listrik dan rangkaian di sisi sumber dimana shunt capacitor dipasang, terutama dalam ukuran kVAR yang besar. Dimana dia dapat mempengaruhi masing-masing bagian sistem termasuk diantaranya pembangkit.

Besaran kVAR yang diperlukan dalam sistem dipengaruhi oleh peningkatan lagging kVAR (beban induktif) akibat arus ekstasi dari transformator dan motor-motor yang ada dalam sistem. Kondisi lagging kVAR ini yang menyebabkan dibutuhkannya capacitor bank yang dapat memperbaiki power factor.

Proses switching dari shunt capacitor bank pada gardu induk ataupun pada feeder distribusi pada dasarnya adalah kondisi normal pada suatu sistem tenaga listrik. Meskipun kenyataannya dapat menghasilkan transient current dan transient voltage pada sistem tenaga listrik. Transient ini dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan jika besarnya melampaui ketahanan peralatan atau sebaliknya.

Adanya kondisi transient pada proses capacitor bank switching ini, menjadi tantangan tersendiri bagi para engineer untuk

mengontrol atau membatasi besarnya transient current dan transient voltage.

II.5 Metode Pengontrolan Capacitor Switching

Beberapa metode pengontrolan capacitor switching yang dapat dilakukan, yaitu: - Capasitor bank switching tanpa

menggunakan pembatas untuk mengurangi transient current dan transient voltage yang melewati peralatan switching. Metode ini banyak digunakan pada capacitor bank berkapasitas kecil, seperti capacitor yang dipasang pada penyulang (feeder) distribusi.

- Pemasangan induktor (reactor) pada capacitor bank [8], dimana induktor akan terus di-energize selama capacitor bank dioperasikan. Penambahan induktor ini bertujuan untuk membatasi inrush current di bawah level dari peralatan switching. Namun karena energizing terus menerus maka akan menghasilkan rugi-rugi (panas) karena hadirnya resistansi.

- Pre-Insertion Inductor adalah salah satu metode untuk mengurangi transient dimana induktor hanya dimasukkan sesaat, selanjutnya induktor di-bypass [8]. Metode ini juga bertujuan membatasi transient pada proses switching capacitor. Namun tetap menghasilkan rugi-rugi panas sampai dengan induktor di lepas.

- Pre-Insertion Resistor [3][9], metode ini mirip dengan pre-insertion inductor yang juga dapat membatasi inrush pada proses switching. Suatu resistor dipasang parallel pada saat switching. Setelah proses switching, resistor dilepas dengan membuka saklar bantu (auxiliary switch).

- Switching Controller [10], dalam aplikasinya dikenal juga sebagai point to wave atau Synchronous Switching atau Zero-Crossing Breaker. Metode Zero-crossing breaker ini mengatur proses close dari setiap pole (fase) Circuit breaker. Dimana proses close CB dilakukan pada saat gelombang tegangan berada pada titik nol, sehingga tidak dihasilkan transient current. Namun metode ini membutuhkan ketepatan waktu dan pengontrolan. Saat ini, aplikasi high voltage Capacitor

bank di Gardu Induk PLN disertai dengan pemasangan Induktor (reactor). Dan khusus

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 22

untuk wilayah Jawa dan Sumatera dilengkapi dengan switching controller.

Hasil penelitian [8] pada 150 kV capacitor bank switching, nominal untuk penutupan kontak PMT ketika tepat berada di puncak yang adalah mencapai 1.612 kali nilai tegangan fase. Hal ini terjadi karena perbedaan sistem dan alat bantu simulasi yang digunakan. Sistem yang digunakan pada penelitian ini memasang beberapa capacitor bank di beberapa titik sistem tegangan dan menggunakan alat bantu simulasi simulink.

Adapun hasil penelitian [4] untuk proses switching capacitor bank mendekati puncak gelombang tegangan adalah mencapai 2.04 kali. Capacitor bank yang diteliti adalah pada pemasangan di sistem distribusi 22 kV yang berfungsi untuk memperbaiki power factor dari sistem.

Hasil penelitian lainnya [8], mendapatkan puncak overvoltages mencapai 1.55 dari tegangan nominal. Hasil ini adalah switching pada 10.8 MVAR capacitor bank dengan tegangan 34.5 kV. Dan untuk membatasi overvoltages akibat switching, ditambahkan pre-insertion inductor dan high resistance senilai tertentu pada sistem yang ditelitinya, dan hasilnya nilai overvoltages sama dengan tegangan nominal sistem tersebut.

Pada penelitian [7] dengan menggunakan switching controller, tidak teramati terjadinya transient pada saat switching dilakukan mendekati titik nol gelombang tegangan. Demikian pula hasil penelitian dengan melakukan pengaturan penutupan kontak mendekati nol, tidak mendapatkan tegangan transient.

Sedangkan penelitian [9], melakukan penelitian pada 115 kV capacitor bank switching sebesar 20 MVAR dengan koneksi grounded wye. Penelitiannya membandingkan metode capacitor bank switching dengan menggunakan pre-insertion inductor dan zero crossing breaker (seperti fungsi switching controller), menunjukkan tegangan transient tertinggi yang dicapai sebesar 1.21 kali dari tegangan fase nominal untuk pre-insertion inductor dan 1.28 kali dari tegangan fase nominal untuk metode crossing breaker.

III. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, seperti diperlihatkan

pada gambar 2, pertama dilakukan pengumpulkan literatur dan melakukan studi pustaka. Pengambilan data dilakukan di GI Sanur – Bali, antara lain single line diagram (SLD) GI Bali, beban rata-rata GI Sanur, kapasitas dan data capacitor bank terpasang yaitu 25 MVAR, spesifikasi PMT dan pengukuran waktu penutupan kontak-kontak switching controller dll.

Data tersebut selanjutnya dianalisa dengan menggunakan ATP, dengan membuat model GI Sanur dalam ATP. Bus GI Sanur dibuat sebagai infine bus dimodelkan oleh komponen sumber tiga fase dalam ATP.

Pengumpulan Data Primer dan Data

Sekunder

Pemodelan SistemDengan ATP

Menjalankan model ATP untuk tiga kondisi:- Switching tanpa controller, Tc = 40ms (mendekati puncak gelombang tegangan referensi)- Switching tanpa controller, Tc = 24.9ms(mendekati titik nol gelombang tegangan referensi)- Switching dengan controller

Analisa Hasil Simulasi

Kesimpulan

Gambar 2. Blok diagram langkah-langkah simulasi Ke-empat trafo terpasang dibuat menjadi

satu dalam ideal transformer (transformator ideal). Beban 20 kV diwakili oleh model RLC. PMT dibuat dari tiga buah single phase switch yang dapat dikontrol waktu tutup dan bukanya. Reaktor dan kapasitor masing dimodelkan oleh komponen induktor dan kapasitor. Capacitor bank terhubung dalam double wye (Y) ungrounded. Nilai reactor per fase adalah 1.592 mH sedangkan nilai capacitor per fase per satu hubung Y adalah 1.76 μF.

Model koneksi capacitor dibuat seperti kondisi capacitor bank terpasang yakni ungrounded double wye system. Selanjutnya komponen-komponen tersebut digabungkan sehingga diperoleh gambar 3.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 23

Gambar 3. Model Simulasi GI Sanur

Selanjutnya gambar simulasi dijalankan

sesuai prosedur dalam ATPDraw untuk melihat kondisi transient pada saat capacitor bank switching dengan dan tanpa switching controller. Simulasi capacitor bank switching tanpa switching controller dibuat dengan waktu penutupan ketiga fase (R, S dan T atau A, B dan C) dari PMT secara serempak, sedangkan simulasi dengan switching controller dibuat dengan mengatur waktu tutup dari kontak-kontak PMT secara tidak serempak. Pengaturan waktu tutup kontak-kontak PMT tersebut dimaksudkan agar tidak ada kontak dari PMT menutup pada saat gelombang tegangan berada di titik puncak.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data sld GI Sanur - Bali, data capacitor bank, data beban, data PMT dll. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka berupa pengumpulan materi, artikel, jurnal, buku, dan laporan kerja, atau dari makalah yang berkaitan dengan penelitian capacitor bank switching.

Metode analisa yang digunakan adalah metode simulasi dengan mengatur penutupan kontak-kontak PMT secara serempak dan tidak serempak. Dilakukan dengan mengatur waktu penutupan switch (mewakili PMT) pada setiap fase.

Dengan melihat karakter gelombang tegangan referensi (dalam hal ini tegangan fase R), maka penutupan kontak-kontak PMT secara serempak dibuat dalam dua kondisi. Yakni pada saat tegangan fase R tepat berada di puncak gelombang dan saat mendekati nilai

nol. Waktu penutupan kontak-kontak PMT pada saat berada di puncak adalah Tc = 0.0400 detik setelah waktu simulasi dimulai. Sedangkan waktu penutupan kontak-kontak PMT saat mendekati nol adalah Tc = 0.0249 detik. Untuk simulasi dengan penggunaan switching controller, waktu penutupannya sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan, gambar 5, adalah fase R Tc = 0.1639 detik, fase S Tc = 0.1687 detik dan fase T sama waktunya dengan waktu penutupan fase R yakni Tc = 0.1639 detik. Alat bantu untuk pengukuran waktu penutupan kontak dari switching controller yang digunakan adalah power simulator dan DOBLE tipe F6150, dengan rangkaian seperti pada gambar 4.

A M

F236

27UVR

Cap. Bank25 MVAR

150/Ö3 kV0.11/√3 kV

Fase RPower

Simulator

S/S

Gambar 4. Rangkaian pengetesan waktu kerja kontak switching controller

Gambar 5. Hasil pengukuran waktu penutupan

controller

U

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 HASIL

Hasil simulasi dari tiga kondisi penutupan kontak-kontak PMT dirangkum dalam tabel 1. Untuk waktu penutupan kontak-kontak PMT secara serempak (Tc = 0.0400 detik) maka diperoleh gambar transient tegangan (gambar 6). Dimana puncak tegangan transient terjadi pada fase R atau fase A yang mencapai 208.24 kV, atau 1.7 kali nilai puncak pada kondisi tegangan fase nominal (150x√2/√3 kV). Sedangkan nilai tegangan transient tertinggi pada fase S (fase B) dan T (fase C) berturut-turut adalah 149.84 kV dan -157.37 kV. Adapun nilai arus transient untuk masing-masing fase R, S dan T adalah 1539.46 Ampere, -746 Ampere dan -822.93 Ampere.

Gambar 6. Tegangan Transient fase R, S

dan T tanpa switching controller dengan Tc = 0.0400 s

Untuk hasil simulasi tegangan dengan penutupan kontak PMT mendekati nilai nol (Tc = 0.0249) dari referensi tegangan fase R, dapat dilihat pada gambar 7. Pada fase R bisa dikatakan tidak terjadi transient tegangan dengan nilai 120.13 kV. Tegangan transient tertinggi hasil penelitian ini terjadi pada fase S (196.93 kV atau 1.61 kali tegangan fase nominal) karena kontak PMT fase S tepat menutup mendekati titik puncak positif dari gelombang tegangan fase S. Transient tegangan pada fase T juga cukup tinggi meskipun masih di bawah nilai tegangan transient pada fase S, yaitu 170.45 kV atau 1.39 kali dari tegangan fase normal. Nilai arus transient fase R, S dan T untuk simulasi ke dua ini berturut-turut adalah -183.25 Ampere, 1363.93 Ampere dan -1305.27 Ampere.

Gambar 7. Tegangan Transient fase R, S

dan T tanpa switching controller dengan Tc = 0.0249 s

Hasil simulasi tegangan transient yang terjadi untuk kondisi penggunaan switching controller adalah seperti pada gambar 8. Gelombang tegangan fase R, hampir tidak terlihat kondisi transient, karena penutupan kontak PMT-nya mendekati titik nol dari gelombang tegangan. Sedangkan pada fase S, tegangan transient mencapai 134.19 kV atau 1.1 kali dari tegangan fase nominal. Tegangan transient fase T adalah 138.14 kV atau 1.13 kali dari tegangan fase nominal. Sedangkan nilai masing-masing arus transient fase R, S dan T yang terjadi adalah 134.86 Ampere, 500 Ampere dan 522.70 Ampere.

Gambar 8. Tegangan Transient fase R, S dan T

dengan switching controller Tabel 1. Hasil Simulasi penutupan PMT secara serempak & tak serempak

Tc (ms)

|Tegangan Transient | (kV) |Arus Transient| (A)

R S T R S T

40 208.24 149.84 157.37 1539.46

746 822.93

24.9 122.474

196.93 170.45 183.25 1363.93

1305.27

163.9 113.70 134.86

168.7 134.19 500.00

163.9 138.14 522.70

(file ATP_012_Final_tc004s.pl4; x-var t) v:X0001A v:X0001B v:X0001C 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10[s]

-200

-110

-20

70

160

250

[kV]

(file ATP_012_Final_tc00249.pl4; x-var t) v:X0001A v:X0001B v:X0001C 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10[s]

-200

-150

-100

-50

0

50

100

150

200[kV]

(file ATP_012_Final_F236.pl4; x-var t) v:X0001A v:X0001B v:X0001C 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5[s]

-150

-100

-50

0

50

100

150

[kV]

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 25

IV.2 PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa

tegangan transient tertinggi yang tercapai adalah 208.24 kV, atau 1.7 kali nilai puncak pada kondisi tegangan fase nominal, sewaktu penutupan kontak PMT tepat berada di puncak gelombang tegangan fase, sedangkan transient arus terbesar adalah 1539.46 Ampere. Nilai tegangan transient dan arus transient tertinggi tersebut terjadi untuk kondisi penutupan PMT dilakukan tanpa switching controller. Jika dilihat dari spesifikasi PMT yang terpasang maka nilai ini masih di bawah kemampuan PMT yakni power frequency withstand voltage 325 kV dan arus nominal 3150 Ampere dengan withstand capacity 40 kA selama 3 detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa swithing controller pada sistem ini tidak perlu digunakan.

Hasil simulasi dalam penelitian penulis selanjunya dengan menggunakan switching controller, memperlihatkan penurunan nilai tegangan transient dan arus transient. Hal ini dikarenakan penutupan kontak-kontak PMT dibuat sehingga tidak akan menutup pada saat mendekati ataupun tepat di puncak gelombang tegangan. Tegangan transient tertinggi hanya mencapai 1.13 kali da!!ri tegangan fase nominal dengan arus transient terbesar adalah 522.70 Ampere.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tegangan transient dan arus transient tertinggi pada kondisi !capacitor bank switching tanpa penggunaan switching controller masih berada di bawah ketahanan dari PMT yang terpasang. Sehingga penggunaan switching controller untuk mengurangi transient tegangan dan transient arus dapat dipertimbangkan kembali. Meskipun hasil simulasi menunjukkan switching controller jauh lebih baik.

Untuk penelitian selanjutnya dapat meninjau pengaruhnya capacitor bank ini terhadap sistem (tegangan tinggi dan distribusi), atau melakukan perbandingan hasil dengan menggunakan software yang berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam penelitian ini, antara lain: keluarga penulis, pimpinan dan seluruh staf Sen Engineering Co., dan Seluruh staf engineering APP Bali.

REFERENSI

[1] Ramasamy Natarajan, Power System Capacitor; Taylor & Francis Group, 2005, p. 97-122.

[2] Gustavo Brunello, Bogdan Kasztenny and Craig Wester, “Shunt Capacitor Bank Fundamentals and Protection”, Conference for Protective Relay Engineers - Texas A&M University, USA, April 2003

[3] S.J. Kulas, “Capacitor Switching Techniques,” International Conference on Renewable Energies and Power”, Valencia, Spain, April 2009

[4] Shehab Abdulwadood Ali, “Capacitor Banks Switching Transients in Power Systems”, CS Canada Energy Science and Technology, Vol. 2, No. 2, pp. 62-73, 2011.

[5] C.D. Tsirekis and N.D. Hatziargyriou , “Control of Shunt Capacitors and Shunt Reactors Energization Transients,” International Conference on Power Systems Transients, New Orleans, USA, 2003.

[6] László Prikler and Hans Kr. Høidalen, “ATPDraw for Windows 3.1x/95/NT version 1.0.1 User’s Manual”, 1998.

[7] Durga Bhavani Mupparty, “Capacitor Switching Transient Modeling and Analysis on An Electrical Utility Distribution System Using Simulink Software”, Master Thesis, Kentucky University, 2011.

[8] Camm, E.H., “Shunt Capacitor Overvoltages and a Reduction Technique”, S&C Electric Company, Chicago, Illinois, 1999.

[9] Michael Beanland, Thomas Speas, Joe Rostron, “Pre-insertion Resistors in High Voltage Capacitor Bank Switching”, 2004

[10] ABB, “Controlled Switching – Buyer’s and Application Guide”. Ludvika, Swedia, ABB AB, 2010

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TL20 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 26

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 27

Metode Disturbance Observer pada Kontrol Kursi Roda Listrik

Muhammad Nurdin1), Djoko Purwanto2), Tri Arief Sardjono3)

1) Dosen D3 Teknik Elektro Prodi. Teknik Elektronika PNUP Makassar, email: [email protected] 2) Dosen PPS Teknik Elektro Prodi. Teknik Elektronika ITS Surabaya, email: [email protected],

3) Dosen PPS Teknik Elektro Prodi. Teknik Elektronika ITS Surabaya, email: [email protected]

Abstrak

Dengan pengendalian kontrol berbasis diturbance observer, yang akan membantu kenyamanan pergerakan pada kursi roda listrik. Kecepatan merupakan parameter utama yang harus dikendalikan pada motor listrik, sementara parameter tersebut berkaitan erat dengan sistem kendali kecepatan motor yang digunakan, dalam hal ini posisi, kecepatan, gaya dan gangguan menjadi obyek utama dari sistem kontrol, yang diharapkan sistem ini dapat berfungsi dengan baik pada saat digunakan dan dapat mengatur pergerakan roda kiri dan kanan untuk merepresentasikan kecepatan dan arah kursi roda, dengan mengkompensasi gangguan atau perubahan karakteristik pada motor listrik, dengan skema keamanan gangguan dalam pengontrol kursi roda berdasarkan Control and Disturbance Observer

Kata Kuncis: DOB (Disturbance Observer), Kecepatan perpindahan (translation velocity), Kecepatan rotasi (rotation velocity), Kinematika, Kursi roda listrik (Electric wheelchairs).

I. PENDAHULUAN Kursi roda listrik memberikan fungsi

mobilitas yang sangat berarti bagi pengguna yang memiliki keterbatasan fisik. Kemajuan besar telah dibuat dalam desain kursi roda listrik selama 20 tahun terakhir termasuk algoritma pengendaliannya di awal 1980-an. Dalam mengemudikan kursi roda listrik harus lebih aman dan lebih efektif dalam lingkungan yang luas. Kecepatan merupakan parameter utama yang harus dikendalikan pada kursi roda listrik. Sementara parameter tersebut berkaitan erat dengan sistem kendali kecepatan motor yang digunakan. Penerapan metoda disturbance observer yang memiliki kapabilitas melawan gangguan, termasuk ketidakpastian (uncertainty) model plant dan mengeliminasi noise digunakan dengan tujuan menunjang kompensator dalam bekerja maksimal.

Variabel yang paling sering dikendalikan EPW (electric-powered wheelchairs) adalah kecepatan. Selama proses normal, driver kursi roda berlaku input perintah dengan menggunakan joystick atau perangkat yang mirip berdasarkan persepsi tentang kecepatan kursi roda dan arah. Pengendali elektronik kemudian menyesuaikan tegangan ke motor dc. Untuk mencapai kecepatan yang diinginkan dari setiap motor listrik. Algoritma kontrol kecepatan menggunakan pelacakan atau kontur kontrol, mengikuti profil kecepatan yang diatur oleh pengguna. Hal yang sama berlaku ketika

membandingkan permukaan yang keras dan permukaan yang lembut. Pada Gambar 1 kontrol EPW (electric-powered wheelchairs) menerima perintah dari antarmuka pengguna kursi roda, dan akan merasakan perubahan lingkungan (sense the environment) melalui sensor onboard, dan menghasilkan sesuai torsi pada motor listrik untuk pelacakan kecepatan dan menghindari rintangan. [1],[2],[3]

Untuk merancang algoritma kontrol kecepatan maju, model kursi roda dan kontrol elektronik yang digunakan untuk implementasi pengontrol. Cara ini mensimulasikan gerak kursi roda itu saat berkendara pada permukaan miring dan dimaksudkan untuk memfasilitasi sistem kontroler kecepatan kursi roda dan umpan balik.

Gambar 1 Struktur sistem kontrol EPW (electric-powered wheelchairs).

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 28

II. KAJIAN LITERATUR a. Model Kinematika Kursi Roda Listrik.

Gambar 2 Posisi dan Orentasi kursi roda listrik. [4],[5]

Dimana : W :Titik awal dari kursi roda(Tread of the

wheelchair) R :Radius roda pengemudi (Radius of

driving wheels) 𝑃𝑃0 : Titik roda tengah 𝒳𝒳0 ,𝒴𝒴0 : x/y Koordinat dari Po terhadap sistem

koordinat 𝜃𝑓𝑓 , 𝜃𝜄𝜄 : Sudut perputaran roda kanan dan kiri

Ratation (angle of the wheel) v :Kecepatan perpindahan pada kursi roda

(translation velocity) 𝜙𝜙 : Arah sudut kursi roda (angle direction) 𝜙 : Kecepatan rotasi (rotation velocity).

𝜐𝜐𝜙 =

𝑅𝑅2

𝑅𝑅2

𝑅𝑅𝑊𝑊

− 𝑅𝑅𝑊𝑊

𝜃𝜃𝑓

𝜃𝜄𝜄 = 𝑇𝑇𝜃 (1)

Dimana : T : adalah matrik transformasi. Sedangkan parameter yang di gunakan dalam kuersi roda, yaitu : M = Massa dari kursi roda J = Inersia dari kursi roda sehubungan dengan

sumbu vertikal yang melalui 𝑃𝑃0 Jw = Inersia dari setiap roda pengemudi

yang berhubungan dengan sumbu roda.

Pada Gambar 5 kursi roda ini memiliki sebuah diferensial dan pendorong mekanis serta dua roda castor di bagian depan, titik tengah P0 sebagai titik kontrol kursi roda, yang mana v adalah kecepatan perpindahan pada kursi roda (translation velocity) dan 𝜙 kecepatan rotasi

(rotation velocity) digunakan dalam kontrol variable.

Pada Persamaan 1 bahwa kecepatan rotasi sudut dari roda kanan (𝜃𝑓𝑓) dan kiri (𝜃𝜄𝜄), dapat dikonversikan menjadi v sebagai kecepatan perpindahan dan 𝜙 sebagai kecepatan rotasi pada kursi roda. Parameter yang digunakan dalam dinamika kursi roda adalah M, J, Jw , pada Persamaan 2 diketahui bahwa energi pergerakan adalah K dimana fungsinya didefinisikan sebagai energi gerakan translasi dan energi rotasi, serta energi perputaran roda pada kursi roda listrik, sedangkan dinamika pada kurs i roda listrik dapat didefinisikan dengan Persamaan Lagrange.

𝐾𝐾 = 12

𝑀𝑀 𝑅𝑅2

4 𝜃𝑓𝑓 + 𝜃𝜃𝜄

2 + 12

𝐽𝐽 𝑅𝑅𝑊𝑊

𝜃𝜃𝑓 −

𝜃𝜃𝜄)2

+ 12

𝐽𝐽𝑓𝑓 𝜃𝑓𝑓2 + 𝜃𝜄𝜄

2 (2)

𝑀𝑀𝑅𝑅 𝜃 = 𝜏𝜏 (3) 𝑀𝑀𝑅𝑅

=

𝑀𝑀 𝑅𝑅∙

4+ 𝐽𝐽𝑓𝑓

𝐽𝐽 𝑅𝑅∙

𝑊𝑊∙ 𝑀𝑀 𝑅𝑅∙

4− 𝐽𝐽 𝑅𝑅∙

𝑊𝑊∙

𝑀𝑀 𝑅𝑅∙

4− 𝐽𝐽 𝑅𝑅∙

𝑊𝑊∙ 𝑀𝑀 𝑅𝑅∙

4 + 𝐽𝐽𝑓𝑓 +

𝐽𝐽 𝑅𝑅∙

𝑊𝑊∙

(4)

𝜏𝜏 = 𝜏𝜏𝑓𝑓τι

(5) Dimana Mn pada Persamaan 3 dan

Persamaan 4, adalah matriks inersia setara dengan τ, dan pada Persamaan 5 adalah τ torsi pada roda kiri / kanan, selanjutnya dapat dikatakan bahwa kecepatan kursi roda menjadi lebih besar ketika inertia 𝑀𝑀𝑅𝑅 lebih kecil, selain itu ketika 𝑀𝑀𝑅𝑅 menjadi lebih besar, kekuatan gangguan cenderung akan kecil. [1],[2],[3],[4].

III. METODE PENELITIAN

Metode DOB adalah salah satu metode motion control, dengan menerapkan filter low-pass Q(s) dan model nominal plant, DOB mengestimasi disturbance dan sinyal hasil estimasi dipakai untuk menghilangkan disturbance. Jadi DOB membuat perilaku sistem antara sinyal kontrol dan output plant tidak terganggu terhadap ketidakpastian parameter dan disturbance, pada Gambar 3

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 29

menunjukkan struktur DOB.

Gambar 3 Struktur dasar DOB (Disturbance

Observer) [4],[5],[6]

Sinyal u, d, ξ, dan y berturut-turut

menunjukkan sinyal kontrol, disturbance, noise pengukuran dan sinyal output. Sedangkan sinyal δ adalah sinyal hasil estimasi. Sinyal kontrol (ur) diberikan oleh kontroler lup eksternal. Q(s) adalah filter low-pass dan Pn(s) adalah model nominal. Idealnya DOB akan melemahkan disturbance pada frekuensi rendah dan membuat plant yang dikontrol oleh lup eksternal mendekati model nominal. Kemampuan ini dapat ditunjukkan dengan memperhatikan fungsi alih sebagai berikut :

𝐺𝐺𝑆𝑆𝑢𝑢 (𝐹𝐹) = 𝑃𝑃(𝐹𝐹)𝑃𝑃𝑅𝑅 (𝐹𝐹)

𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹) + 𝑖𝑖(𝐹𝐹)(𝑃𝑃(𝐹𝐹) − 𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹)) (6)

𝐺𝐺𝑓𝑓𝑢𝑢 (𝐹𝐹) = 𝑃𝑃(𝐹𝐹)𝑃𝑃𝑅𝑅 (𝐹𝐹)1 − 𝑖𝑖(𝐹𝐹)

𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹) + 𝑖𝑖(𝐹𝐹)(𝑃𝑃(𝐹𝐹) − 𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹)) (7)

𝐺𝐺𝜁𝜁𝑢𝑢 (𝐹𝐹) = 𝑃𝑃(𝐹𝐹)𝑖𝑖(𝐹𝐹)

𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹) + 𝑖𝑖(𝐹𝐹)(𝑃𝑃(𝐹𝐹) − 𝑃𝑃𝑅𝑅(𝐹𝐹)) (8)

Dari ketiga fungsi alih diatas dapat dilihat

bahwa desain DOB untuk menentukan performa penolakan disturbance tergantung dari pemilihan filter Q. Perilaku ketiga fungsi alih sistem diatas ketika nilai filter Q mendekati 1 pada low frequency akan menunjukkan efek DOB pada sistem. Pada Persamaan (6) Guy(s) ≈ Pn(s), adalah dinamika sistem dari u ke y sama seperti model nominal, selanjutnya pada Persamaan (7) Gdy(s) ≈ 0, hal ini menunjukkan bahwa pada frekuensi rendah disturbances yang ada akan diredam, dan pada Persamaan (8) Gζy(s) ≈ Pn(s), menunjukkan bahwa sensor noise akan tetap diteruskan. Struktur filter yang digunakan dalam desain DOB (Disturbance Observer) adalah filter binomial yang dinyatakan oleh Persamaan (9).

𝑖𝑖(𝐹𝐹) = 1 + 𝑓𝑓𝑘𝑘

𝑁𝑁−𝑓𝑓

𝑘𝑘=1

(𝑇𝑇𝐹𝐹) 𝑘𝑘 1 + 𝑓𝑓𝑘𝑘

𝑁𝑁

𝑘𝑘=1

(𝑇𝑇𝐹𝐹) 𝑘𝑘

−1

(9) dimana:

N : orde filter , r : orde relatif.

Pemilihan filter orde yang rendah akan diperoleh struktur yang sederhana dan mampu menghemat waktu komputasi, dan dengan memasukkan nilai N=1 dan r=1 maka akan diperoleh Persamaan (10), sesuai dengan filter yang diinginkan.

Q(𝐹𝐹) =1

𝑇𝑇𝐹𝐹 + 1 (10)

dimana: T : Time Constant

Kemampuan DOB dalam meredam

disturbance akan sangat ditentukan oleh time constant dari filter yang dipakai, semakin kecil time constant maka bandwidth dari filter akan semakin lebar dan rentang kerja DOB dalam menolak disturbance akan semakin lebar pula. Namun dari Persamaan (8) menunjukkan bandwidth yang lebar mengakibatkan sistem lebih sensitif terhadap noise. Dalam implementasi nilai time constant dari filter akan ditala sampai menghasilkan batas kemampuan yang terbaik. Dan untuk menghasilkan sinyal kontrol korektif dengan meredam disturbance semaksimal mungkin untuk membuat plant aktual menjadi model nominal. Jadi jika kontroler lup internal bekerja dengan baik maka plant aktual dengan kontroler lup internal dapat dianggap sebagai model nominal. Sedangkan kontroler lup eksternal didesain untuk meningkatkan performa sistem secara keseluruhan, di mana kontroler ini didesain berdasarkan model nominal. Dengan metode DOB yang menggunakan kontroler PD sebagai kontroler lup eksternal. Kontroler PD dipilih karena kemampuannya untuk meningkatkan kecepatan respon sistem. Karena lup internal telah membuat plant aktual menjadi model nominal, maka kontroler PD dirancang berdasarkan model nominal. Secara matematis kontroler PD yang dipakai dinyatakan oleh Persamaan (11).

𝑈𝑈(𝐹𝐹) = 𝐾𝐾𝑝𝑝(1 + 𝐹𝐹𝑇𝑇𝑓𝑓 )𝐸𝐸(𝐹𝐹) (11)

dimana : Kp : Konstanta Proporsional Td : Time Derivative.

Dalam sistem pengendali servo mekanis keberadaan self-tuning sangat dibutuhkan untuk mengatur dinamika dan kinematika sistem tersebut, self-tuning ini memiliki efek kompensasi terhadap gangguan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 30

internal dan eksternal yang diakibat ketidak pastian model dan beban. Umumnya sistem terdiri atas plant dan pengendali yang membentuk transien dan respon steady state pada plant yang dikendalikan untuk mencapai karakteristik yang diinginkan. Pengendali bersifat robust digunakan untuk mengendalikan plant di lingkungan dimana ketidak pastian model dan gangguan berada, pengendali berbasis disturbance observer yang menghasilkan sinyal akselerasi ke plant adalah pengendali yang bersifat robust. sistem kendali ini membentuk perilaku input-output bersifat robust dengan menghilangkan gangguan terhadap plant (d) atau noise (ξ) yang mempengaruhi sensor.

Transfer function dari sistem tersebut diperoleh dengan menerapkan metoda superposisi dimana ada tiga input u, d dan ξ yang akan mempengaruhi output y. Gangguan pada plant (d) adalah sistem yang berfrekuensi rendah sedangkan noise (ξ) berfrekuensi tinggi, jadi Q identik dengan sistem low pass filter dimana akan berpenguatan maksimum Q ≈ 1 pada frekuensi rendah dan berpenguatan minimum Q ≈ 0 pada frekuensi tinggi. Jika gangguan pada plant (d) yang berfrekuensi rendah maka Q ≈ 1 sehingga dari Gdy = 0, Gξy = 1 dan Guy = Pn yang menunjukkan bahwa gangguan dapat dihilangkan. Jadi Disturbance observer (DOB) - motivation and basic idea, adalah kontrol berdasarkan pengamat gangguan yang merupakan metode yang efektif untuk mencapai ketahanan terhadap gangguan dan ketidakpastian model, sedangkan prinsip kerja disturbance observer dimana d adalah gangguan, yang digunakan untuk melakukan kompensasi (menggunakan loop umpan balik negatif).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ada tiga tahap dalam perancangan

disturbance observer dilaksanakan, sebagai berikut ini : 1. Menentukan fungsi alih input output yang

diinginkan. Hal ini tergantung kepada orde dari sistem.

2. Menentukan fungsi alih sistem secara keseluruhan termasuk kontroler, plant dan sensor.

3. Dari langkah (1) dan (2) kemudian menentukan C(s)

Gamabar 4 Blok diagram pemodelan disturbance

observer[4],[5],[6]

4.1 Simulasi tanpa DOB

Pada Gambar 5 menunjukkan respon sistem tanpa ada gangguan. Kontroler PID menggunakan setting yang sama dengan PID tanpa adanya DOB. Dengan menggunakan parameter PID yang sama, hasilnya adalah bahwa terjadi overshoot yang lebih besar. Terjadinya overshoot tersebut dapat direduksi dengan mengurangi nilai tetapan Ki, misalnya dari 7 menjadi 3.

Gambar 5 Respon sistem tanpa adanya disturbance.

(a) input (b) output

4.2 Simulasi dengan DOB Pada Gambar 6 menunjukkan respon

sistem dengan gangguan. Kontroler PID menggunakan setting yang sama dengan PID tanpa adanya DOB. Dengan menggunakan parameter PID yang sama, hasilnya adalah bahwa pada saat terjadi gangguan pada detik ke 15 sebesar 1 unit, maka output dari sistem menjadi tidak terkendali. Hal ini disebabkan karena gain disturbance sangat besar mencapai

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 31

100 sehingga output menjadi sangat menyimpan dari set point.

Gambar 6 Respon sistem dengan disturbance. (a)

input (b) output

Gambar 7 Respon sistem dengan disturbance, (a)

output saat gain = 10, (b) output gain = 1

4.3 Simulasi dengan noise frekuensi tinggi

Gambar 8 Blok diagram sistem dengan tambahan

noise frekuensi tinggi

Respon sistem terhadap frekuensi tinggi ditunjukkan pada gambar 9 berikut :

Gambar 9 Respon sistem terhadap noise frekuensi

tinggi (a) frekuensi 100 rad/s, amplitudo = 1, (b) frekuensi 10 rad/s, amplitudo = 1

4.4 Simulasi dengan noise frekuensi tinggi + DOB

Respon sistem terhadap adanya disturbance + noise ditunjukkan pada gambar 10 hasilnya adalah bahwa sistem tidak terpengaruh oleh disturbance yang muncul pada detik ke 15. Hal ini karena pada rancangan sistem DOB ditujukan untuk merespon adanya disturbance yang rata-rata muncul pada frekuensi rendah, jadi pilihan filternya adalah LPF menggunakan rangkaian integrator. Dalam hal ini sistem berhasil menghilangkan pengaruh munculnya disturbance(yang muncul pada frekuensi rendah) tetapi sistem tidak melakukan apapun terhadap frekuensi tinggi, sehingga hasil grafik output sistem tetap meloloskan frekuensi tinggi. Hal ini wajar karena sistem tidak dirancang untuk menghilangkan frekuensi tinggi atau dengan kata lain bahwa penggunaan sistem ini adalah untuk aplikasi pada plant yang mengalami perubahan beban dengan periode perubahan relatif besar.

4.5 Simulasi kinerja kontroler EWC

berbasis DOB Pada Gambar 12 menunjukkan pemodelan

plant dengann DOB. Mengacu pada poin A bahwa motor DC disini dianggap memiliki fungsi alih menyerupai integrator ideal. Baik

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 32

untuk motor kanan dan kiri memiliki pemodelan yang sama.

Gambar 10 Pemodelan Plant dengan DOB

Gambar 11 Pemodelan sistem secara keseluruhan

4.6 Grafik hasil simulasi keselurahan sistem

Hasil respon sistem terhadap gangguan = 0 ditunjukkan pada gambar 8 berikut : Simulasi 1.

Kecepatan linier = 3 , mulai detik 1, Kecepatan theta = 8 , mulai detik 1 disturbance = 0

Gambar 12 Respon sistem tanpa gangguan

Simulasi 2. Kecepatan linier = 3 , mulai detik 1,

Kecepatan theta = 8 , mulai detik 1 disturbance = 5 pada detik 7.

Gambar 13 Respon sistem tanpa gangguan

Gangguan yang terjadi pada detik ke 7

dengan nilai besaran 5 ternyata mampu direspon secara cepat oleh sistem. Dari hasil grafik gambar a, sistem seolah tidak terpengaruh oleh adanya gangguan, walaupun gangguan itu muncul pada detik ke 7. Grafik respon sistem terhadap gangguan akan terlihat jika grafik diperbesar pada daerah sekitar detik ke 7.

V. KESIMPULAN Pada kondisi ideal, respon sistem sangat

sesuai dengan yang diinginkan tapi perlu dicatat bahwa untuk merealisasikan hal itu harus diperhatikan toleransi sistem yang menjadi objek implementasinya. Dengan mengendalikan kecepatan angular dan linier maka arah kursi roda sekaligus dapat dikendalikan. Respon step plant yang menggunakan DOB dan yang tidak, keduanya memiliki karakter yang sama namun plant yang menggunakan DOB lebih tahan terhadap gangguan, dapat mentolerir ketidak pastian parameter plant dan mengeliminasi noise jika muncul pada pencuplikan sinyal output plant itu sendiri. Keberadaan kompensator adalah untuk menanggapi error antara setpoint dan output plant (υ dan ω aktual) agar

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 33

memperpendek settling time sehingga lebih cepat mencapai steady state.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Dosen PPS Teknik Elektro Program Sudi Teknik Elektronika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya beserta Staf Jurusan, dan pengelolah Gedung Robotika. Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang, Ketua Jurusan Teknik Elektro, dan Kaprodi TEKNIK Elektronika, serta teman sejawat Dosen dan staf akademik.

REFERENSI [1] Sakiko Tashiro and Toshiyuki Murakami,

“Step Passage Control of a Power-Assisted Wheelchair for a Caregiver”, IEEE transactions on industrial electronics, vol. 55, no. 4, Member-IEEE 0278-0046, IEEE Transactions on Industrial Electronics, Vol.55, No.4, April 2008.

[2] Jonas Johansson and Daniel Petersson, “Torque Sensor Free Power Assisted Wheelchair”, Master’s Thesis in Electrical Engineering, Halmstad University, technical report, IDE0703, January 2007.

[3] Kazuki Takahashi, Hirokazu Scki and Susumu Tadakuma, “Safety Driving for Electric Power Assisted Wheelchair Based on Regenerative Brake”, Department of Electrical, Electronics and Computer Engineering, Faculty of Engineering, Chiba Institute of Technology 2-17-1 Tsudanuma, Narashino, Chiba 275-0016, Japan, IEEE 1-4244-0726-5/06, 2006.

[4]Purwanto Djoko, Mardiyanto Ronny dan Arai Kohei (2009), “Electric Wheelchair Control With Gaze Direction And Eye Blinking”.

[5]Djoko Purwanto, Ph.D, 2006),”Perancangan Sistem Kontrol dengan Matlab”, Surabaya, ITS

[6] Muhammad Nurdin, “Kontrol Daya Bantu Dorong Pada Kursi Roda Berbasis Disturbance Observer” Tesis Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2014.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika SK43 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 34

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 35

Prototype Sistem Keamanan Akses Ruangan Menggunakan Kartu RFID Berbasis Mikrokontroler

Fitriaty Pangerang1), Sulaeman2)

1 Teknik Elektro, Politeknik Negeri Ujung Pandang email: [email protected]

2 Teknik Elektro, Politeknik Negeri Ujung Pandang email: [email protected]

Abstrak

Dewasa ini, kebutuhan akan sistem keamanan mutlak diperlukan. Berbagai tindakan kejahatan seperti pencurian yang terjadi misalnya di perusahaan atau di gedung sekolah terjadi karena petugas keamanan tidak dapat mengenali secara pasti apakah yang memasuki ruangan di perusahaan tersebut memiliki wewenang atau tidak. Oleh karena itu dibutuhkan suatu perangkat sistem keamanan yang dapat mengenali atau mengidentifikasi seseorang yang memasuki sebuah ruangan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu sistem keamanan akses masuk suatu ruangan untuk mengidentifikasi orang yang masuk pada ruangan tersebut. Penelitian ini menggunakan radio frequency identification (RFID) yaitu proses identifikasi seseorang atau objek dengan menggunakan frekuensi radio. RFID menggunakan frekuensi radio untuk membaca informasi dari sebuah perangkat kecil yang disebut tag atau transponder (Transmitter + Responder), informasi ini adalah data unik / password yang diberikan kepada pengguna ruangan yang sah, kemudian digabungkan dengan sensor passive infrared (PIR) yang akan mendeteksi adanya pergerakan manusia ketika melewati pintu masuk ruangan tersebut. Data dari RFID dan sensor PIR dikontrol oleh mikrokontroler AVR Atmega8535. Jika ada penyusup atau orang yang tidak mempunyai RFID tag sebagai akses masuk ke dalam ruangan maka sistem akan mengaktifkan peringatan/alarm dengan membunyikan buzzer. Hasil pengujian membuktikan bahwa sistem keamanan dengan menggunakan Radio Frequency Identification telah berhasil dilakukan, sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. RFID reader dapat mendeteteksi tag RFID pada jarak kurang lebih 5 cm. Sistem ini dapat mendeteksi orang yang tidak berkepentingan atau tidak memiliki tag RFID, serta secara otomatis memberikan peringatan melalui bunyi alarm.

Kata Kuncis: Sistem Keamanan, RFID, Sensor PIR, Mikrokontroler Atmega 8535.

I. PENDAHULUAN Dewasa ini, kebutuhan akan sistem

keamanan mutlak diperlukan. Berbagai tindakan kejahatan seperti pencurian yang terjadi misalnya di perusahaan atau di gedung sekolah terjadi karena petugas keamanan tidak dapat mengenali secara pasti apakah yang memasuki ruangan di perusahaan tersebut memiliki wewenang atau tidak. Oleh karena itu dibutuhkan suatu perangkat sistem keamanan yang dapat mengenali atau mengidentifikasi seseorang yang memasuki sebuah ruangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang sistem keamanan terhadap akses ruangan dari orang yang tidak berkepentingan. Rencana pemecahan masalah dengan merancang sistem yang dapat mendeteksi orang yang masuk ke suatu ruangan. Setiap pengguna yang hendak masuk ke ruangan tersebut harus mendekatkan tag ke sistem RFID, jika tidak

dikenali maka orang tersebut tidak dapat diizinkan untuk masuk. Jika tetap memasuki ruangan maka akan ada alarm yang memperingatkan bahwa ada orang yang tidak dikenal memasuki ruangan tersebut.

II. KAJIAN LITERATUR , TEORI ATAU PEGEMBANGAN HIPOTESIS

a. Radio Frequency Identification (RFID) Radio Frequency identification ( RFID)

adalah proses identifikasi seseorang atau objek dengan menggunakan frekuensi transmisi radio. RFID menggunakan frekuensi radio untuk membaca informasi dari sebuah perangkat kecil yang disebut tag atau transponder (Transmitter + Responder). Tag RFID akan mengenali diri sendiri ketika mendeteksi sinyal dari perangkat yang kompatibel, yaitu pembaca RFID (RFID Reader). RFID dapat disediakan dalam perangkat yang hanya dapat dibaca saja (Read Only) atau dapat dibaca dan ditulis

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 36

(Read/Write), tidak memerlukan kontak langsung maupun jalur cahaya untuk dapat beroperasi, dapat berfungsi pada berbagai variasi kondisi lingkungan, dan menyediakan tingkat integritas data yang tinggi.

Pada sistem RFID umumnya, tag atau transponder ditempelkan pada suatu objek. Setiap tag dapat membawa informasi yang unik, di antaranya: serial number, model, warna, tempat perakitan, dan data lain dari objek tersebut. Ketika tag ini melalui medan yang dihasilkan oleh pembaca RFID yang kompatibel, tag akan mentransmisikan informasi yang ada pada tag kepada pembaca RFID, sehingga proses identifikasi objek dapat dilakukan.

b. Mikrokontroler Atmega 8535

Mikrokontroler Atmega 8535 merupakan tipe AVR yang telah dilengkapi dengan 8 saluran ADC internal dengan fidelitas 10 bit. Dalam mode operasinya, ADC Atmega 8535 dapat dikonfigurasi, baik secara single ended input maupun differential input. Selain itu, ADC Atmega 8535 memiliki konfigurasi pewaktuan, tegangan referensi, mode operasi, dan kemampuan filter derau yang amat fleksibel, sehingga dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan ADC itu sendiri.

Mikrokontroler Atmega 8535 memiliki tiga jenis memori, yaitu memori program, memori data dan memori EEPROM. Ketiganya memiliki ruang sendiri dan terpisah. Memori program memiliki kapasitas memori program sebesar 8 Kbyte yang terpetakan dari alamat 0000h – 0FFFh dimana masing-masing alamat memiliki lebar data 16 bit. Mikrokontroler ATmega 8535 memiliki kapasitas memori data sebesar 608 byte yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu register serba guna, register I/O dan SRAM. Mikrokontroler Atmega 8535 memiliki memori EEPROM sebesar 512 byte yang terpisah dari memori program maupun memori data. Memori EEPROM ini hanya dapat diakses dengan menggunakan register-register I/O yaitu register EEPROM Address, register EEPROM Data, dan register EEPROM Control.

Gambar 1. Susunan pin Mikrokontroler

ATmega 8535

c. Sensor PIR Sensor PIR (Passive Infra Red) adalah

sensor yang digunakan untuk mendeteksi adanya pancaran sinar infra merah. Sensor PIR bersifat pasif, artinya sensor ini tidak memancarkan sinar infra merah tetapi hanya menerima radiasi sinar infra merah dari luar. Karena semua benda memancarkan energi radiasi, sebuah gerakan akan terdeteksi ketika sumber infra merah dengan suhu tertentu (misal: manusia) melewati sumber infra merah yang lain dengan suhu yang berbeda (misal dinding), maka sensor akan membandingkan pancaran infra merah yang diterima setiap satuan waktu, sehingga jika ada pergerakan maka akan terjadi perubahan pembacaan pada sensor.

Sensor PIR terdiri dari beberapa bagian yaitu :

- Lensa Fresnel - Penyaring Infra Merah - Sensor Pyroelektrik - Penguat Amplifier - Komparator

Gambar 2. Bagian-bagian sensor PIR

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 37

Adapun cara kerja sensor PIR sebagai

berikut. Pancaran infra merah masuk melalui lensa Fresnel dan mengenai sensor pyroelektrik, karena sinar infra merah mengandung energi panas maka sensor pyroelektrik akan menghasilkan arus listrik. Sensor pyroelektrik terbuat dari bahan galiumnitrida (GaN),cesiumnitrat (CsNo3) dan litiumtantalate (LiTaO3). Arus listrik inilah yang akan menimbulkan tegangan dan dibaca secara analog oleh sensor. Kemudian sinyal ini akan dikuatkan oleh penguat dan dibandingkan oleh komparator dengan tegangan referensi tertentu (keluaran berupa sinyal 1-bit). Jadi sensor PIR hanya akan mengeluarkan logika 0 dan 1, 0 saat sensor tidak mendeteksi adanya pancaran infra merah dan 1 saat sensor mendeteksi infra merah. Sensor PIR didesain dan dirancang hanya mendeteksi pancaran infra merah dengan panjang gelombang 8-14 mikrometer. Diluar panjang gelombang tersebut sensor tidak akan mendeteksinya. Untuk manusia sendiri memiliki suhu badan yang dapat menghasilkan pancaran infra merah dengan panjang gelombang antara 9-10 mikrometer (nilai standar 9,4 mikrometer), panjang gelombang tersebut dapat terdeteksi oleh sensor PIR.

Sensor PIR memiliki jangkauan jarak yang bervariasi, tergantung karakteristik sensor. Pada umumnya sensor PIR memiliki jangkauan pembacaan efektif hingga 5 meter, dan sensor ini sangat efektif digunakan sebagai human detector.

III. METODE PENELITIAN Dalam tahap ini perancangan sistem

dilakukan pada sisi perangkat lunak dan perangkat keras. Perancangan sistem pada sisi perangkat lunak menggunakan Bahasa Pemrograman Delphi dan Code Vision AVR. Program ini akan membaca data-data yang akan di inputkan pada RFID yang berupa kode spesifik yang akan diberikan pada semua orang yang diberikan hak untuk memasuki ruangan tersebut.

Perancangan pada sisi perangkat keras menggunakan mikrokontroler Atmega 8535 yang akan mengontrol sistem masukan dari RFID dan sensor PIR. Setelah power dihidupkan, mikrokontroler akan melakukan

proses inisialisasi LCD. Selanjutnya akan ditampilkan kalimat “silahkan masukkan kartu anda” pada LCD. Setelah itu mikrokontroler akan menunggu adanya masukan serial dari kaki RXD. Serial ini merupakan data dari RFID Tag Card dan akan diubah menjadi data-data digital oleh RFID Reader, karena mikrokontroler hanya dapat mengolah data-data digital. Setelah mikrokontroler mendapat data dari RFID Reader, maka data tersebut akan dibandingkan oleh mikrokontroler, jika data yang masuk sesuai dengan data yang telah di-set terlebih dahulu maka data tersebut akan ditampilkan di LCD, tetapi jika data tidak sesuai, maka LCD akan menampilan data “tamu tidak dikenali“ dan alarm akan berbunyi sebagai peringatan. Adapun diagram alir dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir sistem keamanan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada sesi ini dilakukan beberapa tahap

pengujian. Beberapa saat ketika sistem diaktifkan maka pada layar LCD akan muncul tulisan ‘Scan Your Tag’ seperti pada Gambar 4 yang menandakan sistem siap untuk menerima masukan data dari tag atau kartu RFID.

Start

RFID TAG OK?

INISIALISASI

Matikan sistem alarm

stop

Aktifkan Alarm dan Lampu

PIR masalh?

Y

YA

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 38

Gambar 4. Tampilan pada LCD sesaat sistem diaktifkan

4.1. Pengujian sensor Passive Infra Red (PIR)

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sensor dalam mendeteksi keberadaan manusia, dengan cara membuat rangkaian penguji dengan membuat simulasi seperti melakukan gerak gerakan tangan seperti pada gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Simulasi dengan membuat gerakan tangan yang melintasi sensor PIR dari sistem keamanan

menggunakan RFID Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan sensor dalam mendeteksi

4.2 Pengujian Tag RFID

Gambar 6. Pengujian pembacaan tag RFID

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sistem mendeteksi tag reader yang nomor idnya tidak terdapat dalam sistem memori mikrokontroler. Jika tag tidak dikenali maka pada layar LCD akan muncul tulisan “Invalid Tag Scan Again !!!”. Seperti pada gambar 7 berikut ini :

Gambar 7. Hasil bila kartu RFID tidak teregistrasi keberadaan manusia, dengan cara membuat

simulasi seperti melakukan gerakan tangan yang melintasi sensor PiR.

Gambar 8. Hasil pengujian jika seseorang memasuki ruangan tidak dikenali sistem.

Pada gambar terlihat saat ada pergerakan

manusia melintasi pintu dan tertangkap oleh sensor PIR maka Buzzer akan berbunyi yang menandakan sensor PIR aktif dan di LCD muncul tulisan “tamu tidak dikenali”

Pada gambar 8 tampil pengujian bila seseorang yang memasuki ruangan tidak dikenali oleh perangkat keamanan ini.

Hasil pengujian menjelaskan bahwa sensor PIR yang digunakan dapat bekerja dengan baik, ketika ada seseorang yang bergerak pada cakupan area sensor PIR maka indicator LED menyala yang menandakan ada seseorang yang tidak dikenali masuk ke ruangan.

4.3 Pengujian SISTEM RFID

Pengujian program RFID dilakukan dengan membuat program pengenalan RFID pada mikrokontroler. Data tag RFID yang akan dikenali. Dimasukkan kedalam database memori mikrokontroller.Tujuan dari pengujian sistem RFID ini adalah untuk mengetahui apakah RFID reader dapat membaca data RFID tag, dan mikrokontroler dapat membaca data dari RFID reader, untuk selanjutnya mengidentifikasi RFID tag yang terbaca.

Gambar 8. Pengujian sistem secara keseluruhan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 39

Pengidentifikasian dilakukan dengan membandingkan data dari RFID tag, yang diterima dari RFID reader dengan data RFID tag yang tersedia pada memori database mikrokontroler seperti ditunjukkan pada gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Tampilan user yang dikenali

Gambar 10. Tampilan data RFID tag yang dikenali oleh

program mikrontroler.

Pada data diatas dilakukan dengan menggunakan 3 tag reader dengan masing- masing no. id untuk setiap tag adalah:

Tag 1 = 4C00D4A5C9F4 = Fitriaty Pangerang, Tag 2 = 4C00F31A7EDB = Zainal Akbar, Tag 3 = 4C00F35645AC = Rahmat Hidayat.

Setiap pemilik kartu tag harus mendekatkan kartu tagnya pada reader tag sehingga bisa terbaca yang diilustrasikan pada gambar 10.

Hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sistem keamanan berbasis mikrokontroler 8535 secara keseluruhan telah bekerja dengan baik. Jika perangkat keamanan ini telah diaktifkan maka perangkat ini memerlukan RFID tag yang sesuai untuk memasuki ruangan tersebut tanpa ada alarm yang berbunyi. Jika akses ruangan tidak

menggunakan tag yang sesuai maka sensor input akan mendapat trigger akan keberadaan penyusup dan perangkat keamanan ini akan mengaktifkan alarm sebagai tanda ada orang yang tidak dikenal memasuki ruangan tersebut. Pada pengujian sistem keamanan ini, digunakan tag reader yang berbeda dan sistem keamanan ini mampu mengenali tag-tag tersebut.

V. KESIMPULAN Dari hasil pengujian yang telah dilakukan

terlihat bahwa sistem keamanan dengan menggunakan Radio Frequency Identification (RFID) telah berhasil dilakukan, sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. RFID reader dapat mendeteteksi tag RFID pada jarak kurang lebih 5 cm.

Sistem ini dapat mendeteksi keberadaan orang lain yang tidak memiliki tag RFID, serta secara otomatis memberikan tanda melalui bunyi alarm dan pada layar LCD tertulis “Tamu tak dikenali”.

UCAPAN TERIMA KASIH Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat (UPPM) Politeknik Negeri Ujung Pandang.

REFERENSI [1] Rahmat, Antonius. 2010. “Algoritma dan

pemrograman dengan bahasa C” Yogyakarta : Andi.

[2] Wardana, Lingga. 2013. “Belajar sendiri mikrokontroler AVR seri Atmega16, simulasi, hardware dan aplikasi”. Yogyakarta : Andi.

[3] RFID Journal. http://www.rfidjournal.com [4] http://atmel.com/datasheet atmega

8535.html diakses pada tanggal 5 april 2015

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/atmega16 .html diakses pada tanggal 2 mei 2015

[6] Solobarcode, 2013. Rfid Starter Kit. http://solobarcode.com/Jual-RFID-Starter-Kit.html (diakses 4 April 2015).

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika TE06 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 40

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 41

Desain Wireless Sensor Network untuk Monitoring Pencemaran Udara di Lingkungan Outdoor

1Syahrir,2Muhammad Rivai,3Wirawan,4Tasmil

1Politeknik Negeri Ujung Pandang

2, 3Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 4Kementrian Komunikasi dan Informatika

Email : [email protected],[email protected],[email protected], [email protected]

Abstrak

Monitoring kualitas udara sangat penting untuk pendeteksian polutan yang dapat merusak lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan mahluk hidup. Oleh karena itu perlunya monitoring data gas polutan, untuk mencegah semakin luasnya pencemaran udara. Dengan berkembanya teknologi piranti elektronika yang seiring dengan perkembangan protokol komunikasi dan informasi yang ada sekarang telah membawa kita menuju suatu sensor (alat deteksi) generasi baru yang murah, akurat dan memiliki daya jangkau yang lebih luas.Pada penelitian ini akan dibuat desain transmisi data dan monitoring gas berbasis wireless sensor network. Transmisi data sensor dirancang dengan standar IEEE 802.15.4/zigbee menggunakan device X-bee pro sehingga kebutuhan daya yang digunakan rendah.Pada sistem protokol komunikasi data yang dibuat ditambahkan enkripsi tipe vigenere Chiper untuk meningkatkan keamanan data pada saat transmisi sehingga hanya modul RF saja yang spesifik yang bisa membaca data sensing. Sensor MQ 7 digunakan sebagai detektor gas karbonmonoksida yang dikalibrasi dengan metode kalibarasi menggunakan model polynomial agar pembacaan data sensing lebih akurat.Pengukuran dilakukan dengan Non Line Of Sight dan Line Of Sight dan komunikasi single hop topologi jaringan star. Dari hasil penelitian didapatkan deteksi range sensor 0-1000 ppm. Besarnya throughput 30.4 kbps pada jarak terdekat 5 meter untuk masing-masing node dan pada jarak diatas 20 meter untuk masing-masing node sensor turun menjadi 27.7 kbps, 26.6 kbps, dan 27.2 kbps. Besarnya konsumsi arus dengan beban sebesar 0.29 mA, dengan work time 5 jam 15 menit.

Kata Kunci: pencemaran udara, model polinomial,wireless sensor network, IEEE 802.15.4/zigbee,

I. PENDAHULUAN

Isu global warming tidak lagi menjadi sekedar isu belaka tetapi sekarang sudah dapat dirasakan efek-efek dari global warming tersebut. Salah satu penyebab isu global warming adalah pencemaran udara. Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing didalam udara yang menyebabkan perubahan susunan(komposisi) udara dari keadaan normalnya. Ada beberapa polutan yang sering ditemukan di kota-kota misalnya karbon monoksida (CO), sulfur oksida, nitrogen dioksida, dan ozon. Nilai threshold untuk masing-masing polutan tersebut secara berurutan adalah 10, 350 ,40 , dan 120 µg/m3[1]. Kehadiran polutan diudara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan dapat mengganggu kesehatan dan kehidupan

manusia. Bila keadaan itu terjadi maka udara dikatakan tercemar. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat melakukan aktivitas pemantauan perubahan lingkungan yang cerdas dan mudah untuk diaplikasikan.

Perkembangan teknologi deteksi seperti diatas diwujudkan dalam sebuah bentuk jaringan sensor (network-ed sensor). Jaringan sensor itu sendiri merupakan suatu kesatuan dari proses pengukuran, komputasi, dan komunikasi yang memberikan kemampuan administratif kepada sebuah perangkat, observasi, dan melakukan penanganan terhadap setiap kejadian dan fenomena yang terjadi di lingkungan[2][3]. Dalam kondisi seperti itu tidak dimungkinkan komunikasi menggunakan kabel. Kondisi ini memerlukan monitoring secara jarak jauh dimananode individu membentuk jaringan untuk nantinya menguatkan paket data yang bertujuan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 42

menyampaikan data informas berupa jenis, kadar dan lokasi dari polutan. Sehingga pencemaran udara yang terjadi dibelahan bumi manapun ini dapat dipantau agar pencemaran udara tidak meluas lagi.

Beberapa teknik desain yang telah diusulkan dalam monitoring pencemaran udara,dalam mengumpulkan data sensing secara realtime [4]. Pada penelitian [5] menggunakan desain IEEE 802.11 monitoring dilakukan pada lingkungan indoor dan outdoor, namun kekurangannya konsumsi daya yang dibutuhkan sangatlah besar. pada penelitian [6] menggunakan desain IEEE1451.4/zigbee monitoring dilakukan pada lingkungan indoor memiliki keunggulan dengan konsumsi daya yang kecil, namun untuk penelitian monitoring di kondisi outdoor belum dilakukan. Pada umumnya kondisi pencemaran udara di kondisi outdoor terutama polusi di jalan raya akan mempunyai perbedaan level polutan dalam satu hari. Polutan yang level tinggi hanya terdapat pada waktu tertentu.Untuk itu kondisi adaptif monitoring terhadap event lingkungan sangatlah perlu dilakukan [7]. Oleh karena itupada penelitian ini akan didesain monitoring pencemaran udara untuk kondisi lingkungan outdoor menggunakan desain IEEE 1451.4/zigbee dan desain protokol komunikasi data pada layer upper(application)dimana monitoring dilakukan tergantung darievent yang terjadi disekitar lingkungan node sensor. Jika area tersebut diketahui pada waktu tertentu memiliki kadar polutan yang tinggi maka akan ditingkatkan jumlah permintaan data, jika area tersebut diketahuipada waktu tertentumemiliki kadar polutanyang rendah, maka jumlah permintaan data dikurangi dan jika terdapat jumlah polutan dengan level diatas threshold yang telah ditentukan maka jumlah permintaan data ditingkatkan sampai keadaan polutan turun dibawah threshold. Permintaan data didesain dengan effesien terhadap waktu dan membutuhkan konsumsi arus yang rendah.

II. METODE A. Perancangan Wireless Sensor Network

Perancangan perangkat pada sistem monitoring pencemaran udara ini meliputi perancangan perangkat keras dan perangkat protokol komunikasi. Perancangan jaringan me-liputi penentuan topologi jaringan, perhitungan jumlah titik pengukuran, pembuatan skema jaringan, perhitungan performansi jaringan, dan perancangan perangkat yang akan digunakan. Gambaran perencanaan WSN dapat dilihat pada gambar 2.1

B. Perancangan Hardware Spesifikasi perangkat keras pada gambar

2.2 yang digunakan oleh Jaringan Sensor Nirkabel dalam monitoring pencemaran udara adalah sebagai berikut : Nodeplatform X-bee pro sebagai standard IEEE 802.15.4/Zigbee, prosessing data dengan menggunakan mikrokontroler AT mega 16, Sensor gas karbonmonoksida (CO) MQ-7, Sensor suhu LM 35. Dan desain pengkondisi sinyal masing-masing sensor berurutan ditunjukkan pada gambar 2.3.a) dan 2.3.b)

Gambar 2.1 Perancangan Jaringan Sensor Nirkabel

Gambar 2.2 Rancangan Hardware Node Sensor

a)

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 43

b)

Gambar 2.3 a). Desain Pengkodisi Sinyal Sensor Gas MQ-7 dan b.)Sensor Suhu LM 35

Pada rangkaian pengkondisi sinyal sensor

gas MQ-7 diberikan nilai resistor sebesar 10 k agar data analog bisa terbaca dengan baik di ADC mikrokontroler, untuk rangkaian pengondisi sinyal sensor suhu LM 35 dengan resolusi diberikan rangkaian penguat (Amplifier) sebesar 5 kali dengan mengatur nilai variable resistor, sehingga sensor suhu mendeteksi range 0-50ocelcius.

C. Perancangan Protokol pada WSN

Standar teknologi IEEE tentang PAN/LAN/MAN juga mendasari jaringan sensor nirkabel secara keseluruhan. Protokol nirkabelnya menentukan proses encoding dari sinyal transmisi seperti pada lapisan data link. Protokol nirkabel ini juga mengaturspesifikasi dari pembagian kanal dan prosedur penanganan data dan kejadian.Pada penelitian ini akan menggunakan protokol standar IEEE 802.15.4/Zigbee yang sudah terkoneksi dengan Xbee pro dan dengan penambahan format protokol pada layer upper(application) untuk meningkatkan kinerja dari wireless sensor nirkabel seperti yang ditunjukan pada gambar 2.4.

a)

b)

c)

d)

Gambar 2.4 Format pesan protokol komunikasi data.a). RTSb).CTS c).RTDd).STD

Keterangan:

@ = Delimiter atau awalan protokol Node ID (MY) = ID node sensor mikroserver Destination ID (DL) = ID node tujuan Respon CTS = respon data siap dikirimkan Jumlah data = jumlah data pengukuran yang ingin dikirimkan

Treshold data = threshold datapengukuran yang diingin dikirimkan

Data ADC = Data Pengukuran FCS = Checksum Urutan Paket = urutan paket yang dikirim Tipe Pesan = tipe pesan yang dikirim,

apakah paket data tersebut R=request, B=respom, D=data

# = Terminator atau akhir protokol

Untuk me-request data dari node

tujuanmaka node server akan mengirimkan paket data yang menyatakan node tujuan mana yang akan direquest, ini yang dimaksud dengan Request to Send (RTS). Jika paket data tersebut telah diterima dengan utuh oleh node tujuan, maka node tujuan tersebut akan membalas paket data request ke node serverdengan sebuah paket data yang berisi Clear to Send (CTS) yang menyatakan bahwa paket data Request dari node master telah diterima oleh node tujuan yang dituju. Kemudian node master akan merequest data hasil pengukuran darinode tujuan dengan mengirimkan paket data request the data (RTD) sesuai dengan jumlah data dan threshold data emergency pengukuran yang diinginkan bila diatas threshold maka node tujuan tersebut akan mengirimkan data hasil pengukuran kadar pulutan dan suhu menggunakan paket data send the data (STD).Bila di bawah threshold data pengukuran tidak dikirimkan ke node server. Pengambilan data ke masing-masing node sensor dilakukan secara bergantian yang dikontrol oleh node server agar meminimlakn tabrakan data(collision). Pada gambar 2.5 a,b, dan c akan menjelaskan algoritma pengambilan data dari node sensor, pengiriman data ke node server, dan Agregasi data ,masing-masing secara berurutan. Pada format kirim data dilakukan proses Cheksum untuk mengecek apakah ada data yang hilang atau tidak sesuai.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 44

Secara umum FCS merupakan hasil dari XOR kode ASCII karakter– karakter sebelumnya yang diimplementasikan ke dalam 2 byte BCD dari nilai XOR dari kode ASCII karakter tsb. FCS juga digunakan untuk pengecekan data yang diterima selain adanya pengecekan delimiter ”@” dan terminator ”#” sebelumnya.

a)

b)

Elemen dari protokol yang dienkripsi /

dideskripsi adalah setelah delimiter ”@”sampai data yang dikirimkan, untuk urutan paket, FCS, dan terminator tidak dienkripsikan. Metode yang digunakan dengan algoritma Vigenere Cipher yang mengadopsi cara kerja mode operasi CBC dapat dipresentasikan Enkripsi Ci = (Pi + Ki) mod 256, Dekripsi Pi = (Ci – Ki) mod 256.

c)

Gambar 2.5 a).Mekanisme pengambilan data dari node sensor, b). Mekanisme pengiriman data ke node

server, c) Mekanisme Agregasi Data

D. Perencanaan Analog Digital Converter (ADC) dan Baudrate

Data sensing dari sensor akan diubah menjadi digital dengan menggunakan ADC mikrokontroler. Perencanaan ADC pada penelitian ini sebesar 8 bit.ATMega 16 memiliki resolusi ADC 8-bit dari 0-255 dengan 8 chanel input. Perhitungan nilai resolusi ADC per bit sebagai berikut:

Resolusi =𝑉𝑉𝑅𝑅𝐿𝐿𝑓𝑓𝑅𝑅𝐿𝐿𝑓𝑓𝑅𝑅 𝑓𝑓𝑅𝑅𝑓𝑓𝑅𝑅𝑓𝑓𝑅𝑅𝑅𝑅𝐹𝐹𝑉𝑉

8 𝑏𝑏𝑉𝑉𝑉𝑉 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑗𝑗 = 5

255= 0.019V (1)

Pengaturan baudrate pada mikrokontroler

dan Xbee pro dilakukan untuk mengatur kecepatan transfer data.Perencanaan baudrate yang diberikan 9600 Baud. Pengaturan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 45

baudrate dilakukan pada mikrokontroler dengan memberikan nilai register UBRR. Register UBRR adalah register 16 bit yang terdiri dari UBRRH(UBRR high) dan UBRR (UBRR low). Pemberian nilai register dihitung dengan cara sebagai berikut:

UBRR=𝐹𝐹𝑓𝑓𝑅𝑅𝑘𝑘𝑆𝑆𝑅𝑅𝑅𝑅𝐹𝐹𝑉𝑉𝑘𝑘𝑓𝑓𝑉𝑉𝐹𝐹𝑉𝑉𝑓𝑓𝑆𝑆

(16∗𝑏𝑏𝑓𝑓𝑆𝑆𝑓𝑓𝑓𝑓𝑉𝑉𝑅𝑅 )− 1 = 8 𝑀𝑀ℎ𝑧𝑧

16∗9600=

52 (2)

Nilai UBRR diubah menjadi bilangan heksa yaitu menjadi 34 sehingga nilai UBRRL 34 dan UBRRH 0.Sedangkan pemberian baudrate pada Xbee pro dilakukan pada software XCTU dengan mengubah setting baudrate pada serial mode 3menjadi 9600.

E. Metode Kalibrasi

Kalibarasi sensor dilakukan agar pembacaan data sensing bisa tepat dan benar terhadap gas yang dideteksi. Metode ini dilakukan dengan cara menyamakan sensor dengan alat standard saat mengukur kadar gas polutan di tempat dan kondisi yang sama, tujuannya untuk mendapatkan model pendekatan dari sensor terhadap alat standart. Kemudian nilai tegangan dari sensor dan nilai pengukuran ppm dari alat standart di modelkan dengan model pendekatan regresi polynomial orde dua dirumuskan dengan y=𝛼𝛼0 + 𝛼𝛼1 𝑥𝑥 + 𝛼𝛼2𝑥𝑥2 . Menggunakan metode kuadrat terkecildidapatkan 𝐴𝐴2 = ∑ 𝑓𝑓0+𝑓𝑓1𝑋𝑋𝑉𝑉 +𝑅𝑅

𝑉𝑉=1𝑓𝑓2 𝑋𝑋𝑉𝑉22 , dengan meminimumkan harga D2 akan didapatkan nilai dari kostanta a.

𝜕𝜕𝐴𝐴2

𝜕𝜕𝑓𝑓0= 0 → −2 ∑ 𝑓𝑓0+𝑓𝑓1𝑋𝑋𝑉𝑉 +𝑅𝑅

1=1

𝑓𝑓2 𝑋𝑋𝑉𝑉22=0 (3) 𝜕𝜕𝐴𝐴2

𝜕𝜕𝑓𝑓1= 0 → −2 ∑ 𝑋𝑋𝑉𝑉𝑓𝑓0+𝑓𝑓1𝑋𝑋𝑉𝑉 +𝑅𝑅

1=1

𝑓𝑓2 𝑋𝑋𝑉𝑉22=0 (4) 𝜕𝜕𝐴𝐴2

𝜕𝜕𝑓𝑓2= 0 → −2 ∑ 𝑋𝑋𝑉𝑉2𝑓𝑓0+𝑓𝑓1𝑋𝑋𝑉𝑉 +𝑅𝑅

1=1

𝑓𝑓2 𝑋𝑋𝑉𝑉22=0 (5) Dituliskan dalambentuk matrik menjadi

𝑅𝑅 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉2

∑𝑋𝑋𝑉𝑉 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉2 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉3

∑𝑋𝑋𝑉𝑉2 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉3 ∑𝑋𝑋𝑉𝑉4 𝑓𝑓0𝑓𝑓1𝑓𝑓2

=∑𝑌𝑌𝑉𝑉∑𝑋𝑋𝑉𝑉𝑌𝑌𝑉𝑉∑𝑋𝑋𝑉𝑉2𝑌𝑌𝑉𝑉

Pada penelitian ini akan didesain dteksi range gas CO dari 0-1000 ppm agar sensor dapat mendeteksi level gas CO berbahaya yaitu diatas 100 ppm. F. Skenario Pengukuran dan Penyebaran

Node Sensor di lingkungan Outdoor. Desain Wireless sensor networkpada

penelitian ini didasarkan pada kondisi objek penelitian yaitu lingkungan luar (ouutdoor) jalan raya kampus ITS surabaya. Topologi jaringan yang akan digunakan pada desain jaringan yang dibuat adalah topologi star.skenario yang digunakan sebagai desain jaringan adalah single-sink single-hop wsn, yaitu menggunakan satu pan coordinator dan tiganode sebagai end device.

Untuk penyebaran node sensor di lingkungan luar area yang luas akan membutuhkan node sensor yang banyak pula, idealnya seluruh area dapat dideteksi apabila setiap titik area memiliki node sensor. Untuk penelitian ini penyebaran node sensor dilakukan secara random pada titik hasil pengamatan obyek jalan raya yang memiliki jumlah polutan yang tinggi. Hasil nilai polutan yang terdeteksi adalah level kadar polutan hanya pada area titik itu saja. Graphical User Interface (GUI)

Untukmempermudah administratordalam melakukan request atau dalammenggunakan sistem komunikasi single hop topologi jaringan star ini dan penyimpanan data di database, maka dibuat sebuah GUI yang menggunakan platform DELPHI 7. Kemudian data hasil pengukuran berupa nilai kadar polutan dan nilai suhu ditampilkan padadisplay GUI monitoring. G. Perhitungan Performansi dan Analisa

Wireless Sensor Network Dilakukan untuk mengetahui apakah

jaringan yang dibuat telah akan memberikan hasil sesuai dengan yang direncanakan. Analisis didasarkan pada kondisi objek dengan menggunakan sensor gas CO dan suhu untuk monitoring kondisi pencemaran udara di area lingkungan luar (outdoor). Pada pengujian ini, data akan dipantau secara real-time pada semua sensor yang telah terpasang secara point to point atau point to multipoint dengan pengiriman data ke node server setiap satu detik dan pembacaan data sensor dilakukan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 46

setiap adanya permintaan data.Performansijaringan dianalisa adalah throughput, delaydan jangkauan transmisi [8]. Kemudian konsumsi Arus yang dibutuhkan dalam pengiriman secara realtime.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kalibrasi Sensor Gas CO

Kalibrasi sensor gas CO dengan alat standart dilakukan pada tempat sampel yang sama, terlebih dahulu alat satndart mengukur nilai ppm dari gas CO yang telah diambil dari asap kendaraan seperti

c)

Gambar 3.1 a) Alat Standart ,b). Sensor MQ-7, c) jarak pengukuran

Gambar 3.2 Pendekatan Sensor Gas CO terhadap alat ukur standart

Pada gambar 3.1 a), kemudian dengan

tempat sampel gas CO yang sama diukur dengan menggunakan sensor MQ-7 seperti padagambar 3.1 b). jarak pengukuran satu meter dari node server seperti pada gambar 3.1c). Dengan menggunakan model polynomial metode kuadrat terkecil pada persamaan 3) 4) 5) diperoleh pendekatan sensor terhadap alat ukur standart dpata dilihat

pada gambar 3.2.kemudian didapatkan nilai konstanta α maka persamaan menjadi y=76.3− 244.6 𝑥𝑥 + 198.6 𝑥𝑥2, dimana y= nilai ppm gas dan x=nilai tegangan sensor. Dari hasil persamaan pendekatan tersebut sensor gas CO dapat mendeteksi gas COdari range 0-1000 PPM.

B. Pengujian Jangkauan Maksimum, Throughput dan Konsumsi Arus Pengujian dilakukan di area Kampus ITS

Surabaya, dengan kondisi Line of Sight. Hasil pengukuran ditunjukan Tabel 1.Dari Hasil tabel 1 dapat dilihat bahwa hasil pengujian sistem dengan kondisi LOS jangkaun maksimum sebesar 50 meter. Sedangkan untuk kondisi NLOS jangkauan maksimum sebesar 10 12 meter hal ini dipengaruhi penghalang dan jenis material obstacle.

Gambar 3.3 Pengujian jangkaun transmisi kondisi LOS

Tabel 1. Hasil pengujian jangkauan transmisi

node sensor kondisi LOS

Tabel 2.Hasil pengujian jangkauan maksimum node sensor kondisi NLOS

1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 50

100

200

300

400

500

600

700

800

900

Tegangan(V)

PP

M

model pendekatan sensor CO terhadap alat ukur satndart

Sensor COregresi polinomial

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 47

Gambar 3.4 Pengaruh Throughput terhadap jarak

Gambar 3.5 Pengaruh beban terhadap konsumsi Arus

Pengujian throughput dilakukan dengan menvariasikan perubahan jarak dengan lama waktu pengamatan selama 15 menit untuk masing-masing node 2, 3, dan 4.Dari hasil pengukuran throughput pada gambar 3.4 didapatkan semakin jauh jarak node sensor terhadap node server maka kondisi paket data yang diterima semakin berkurang karena paket loss, sehingga terjadi penurunan throughput. Pada jarak 5 meter didapatkan throughput masing-masing node 30.4 kbps, seangkan penurunan throughput berkurang setelah jarak 20 meter dari node sensor masing-masing node menjadi 27.7 kbps, 26,6 kbps, dan27.2 kbps.

Pengamatan konsumsi arus dimaksudkan agar dapat mengetahui karakteristik konsumsi arus pada baterai yang digunakan node dalam sistem pemantauan lingkungan yang telah dirancang pada wireless sensor network. Pengamatan dilakukan dengan memberikan tanpa beban dan beban pada node. Setiap nodedipasang baterai 9 Volt dengan brand Alkaline. Data pengukuran diambil dalam selang waktu rata-rata setiap 15 menit. Setiap pengamatan akan dicatat arus listrik yang ditunjukkan oleh amperemeter (mA) sampai dengan waktu kondisi node sensor tidak dapat

mengirimkan data ke node server. Sedangkan grafik dari pengamatan pertama terhadap konsumsi arus pada node seperti terlihat pada Gambar 3.5. terlihat bahwa tanpa beban konsumsi arus hanya sebesar 0.11 mA, node sensor akan mati pada saat arus sudah mencapai 0.6 mA dengan kondisi work time 6 jam 45 menit. Pada kondisi dengan beban konsumsi arus sebesar 0.29 mA, node sensor akan mati pada saat arus mencapai 0.15 mA dengan kondisi worktime5 jam 15 menit.

C. Pengujian Enkripsi/Dekripsi

Pengujian enkripsi/dekripsi dilakukan dengan mengirimkan data asli dari hasil pembacaan gas dan temperature dari node sensor kemudian di bandingkan di node server apakah data yang sampai sesuai dengan .asli dari node sensor.Dari Hasil enkripsi/dekripsi menunjukkan hasil berjalan dengan baik.Data asli yang tiba di node server sesuai dengan data di node sensor.

Tabel 3. Pengujian Eknripsi/dekripsi

D. Monitoring Kadar Polutan dan Suhudi lingkungan Outdoor Monitoring gas CO dilakukanpada

lingkugan luar (outdoor) kampus ITS Surabaya pada gambar 3.6. Pengamatan dilakukan setiap selang waktu 15 menit

Gambar 3.6 Pengukuran Kadar Polutan

0 5 10 15 20 25 300.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

pengamatan ke-i

Arus

(mA)

tanpa bebanBebam

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 48

Gambar 3.7 Pengamatan kadar polutan gas CO

Gambar 3.8 Pengamatan Temperatur Lingkungan

Gambar 3.9 GUI Monitoring

dari waktu kepadatan kendaraan dijalan raya kampus ITS Surabaya yaitu jam 07.00 sampai jam 17.00. Dari hasil pengukuran lingkungan yang didapatkan pada gambar 3.7 dan 3.8diperoleh jumlah kadar polutan yang berbeda setiap jam dan kondisi temperature lingkungan. Kadar polutan akan selalu meningkat diatas jam 10.00 diatas 30 ocelcius. Hal ini disebabkan polutan CO sudah terkumpul dari asap kendaraan. Dimana sifat gas CO terbentuk dari pembakaran tidak sempurna, salah satunya berasal dari asap kendaraan. Terlihat pendeteksian dari masing-masing node berbeda-beda, hal ini tergantung dari titik peletakan node sensor.

E. GUI Monitoring GUI platform DELPHI 7 pada gambar 3.8,

mempermudah user melihat kondisi jumlah paket data yang masuk, kondisi jaringan, grafik pencemaran udara dan temperature lingkungan secara realtime.

IV. KESIMPULAN

Dengan menggunakan pendekatan metode polynomial, sensor gas CO dapat mendeteksi range dari 0-1000 ppm sehingga sensor gas dapat mendeteksi level polutan yang berbahaya. Pengukuran jangkauan transmisi untuk kondisi LOS diperoleh jarak maksimal 50 meter. Sedangakan untuk NLOS sejauh 12 meter Hal ini menunjukkan dengan adanya penghalang atau obstacle akan mempengaruhijangkauan transmisi. Pengukuran throughput jaringan memperlihatakan bahwa akan menurun setelah jarak 20 meter, dimana throughput dengan jarak 5 meter masing-masing node sebesar 30.4 kbps, setelah jarak 20 meter turun menjadi 27.7 kbps, 26.6 kbps, dan 27.2 kbps. Penurunan ini disebabkan terjadinya paket losspada saat transmisi.Pengaruh arus terhadap beban sangat besar, dengan adanya beban konsumsi arus lebih besar. Dari hasil monitoring gas CO dan temperatur lingkungan jumlah kadar polutan sangat berkolerasi dengan jumlah kendaraan. Gas CO akan meningkat dari jam 10 sampai jam 17.00 dengan suhu temperature lingkungan diatas 30o celcius.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 49

REFERENSI [1]European Envirobment Agency,Air

Polution.2001. [2]Akyldiz, I.F, Sankarasubramaniam, Y,

dan Cayirci, E.,’’A Survey on Sensor Network”, IEEE Commun Mag, hal.102-114.2002.

[3] D.Waltenegus, dan P. Cristian.2010. Fundamentals Of Wireless Sensor Networks. John Wiley & Sons,Ltd.

[4] Karl, Holger dan Wilig, Andreas. 2005. Protocols and Architectures For Wireless Sensor Networks. John Wiley & Sons, Ltd.

[5] O.A Postolache,J.M. Dias Pereira, danP.M.B. Silva Girlio.,”Smart Sensor Network for Air Quality MonitoringAplication”.,IEEE Trans.Instrum.Meas., vol 58.hal.3253-3261. September 2009.

[6] Y.C. Tsang, L.C. Chung, C.C. Chun, L.L. Wei,L.G. Ren,T.H. Chao, L.P. Shi.,”Wireless Sensor Networks for Indoor air Quality Monitoring”.,Sciverse ScienceDirect.2011

[7] C.Allipi, R.Camplani, C.Galperti, M.Roveri.,” A Robust, Adaptive, Solar-Powered WSN Framework for Aquatic Eviromental Monitoring”.IEEE Sensor Journal.vol 11.hal 45-55.Januari 2011.

[8] Dierdonck, N. V.,”Throughput and Delay Analysis of Unslotted,” IEEE 802.15.4. Academy Publisher.Zele-Belgium. 2006

[9] Verdone, R., Dardari, D., Mazzini, G., Conti, A., Wireless Sensor and Actuator Networks: Technologies, Analysis and Design. Elsevier Ltd, London.2008

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT22 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 50

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 51

Pemetaan Kerawanan Kebakaran Kota Makassar dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi

Nurul Astriany 1), Vita Fajriani Ridwan2)

1 Research Consultant PT BCI Asia email: [email protected]

2Teknik Sipil Politeknik Negeri Ujung Pandang email: [email protected]

Abstrak

Tingginya angka kejadian di Kota Makassar yaitu 1 kejadian per 2 hari, membutuhkan penanggulangan secara serius. Pemetaan tingkat kerawanan kebakaran kota Makassar adalah salah satu cara penanggulangan bencana kebakaran, dengan mengetahui posisi-posisi kawasan Makassar yang rawan, sehingga dapat dilakukan tindakan preventif yang berhubungan dengan bencana kebakaran. Penelitian ini bertujan mengetahui tingkat kerentanan bahaya kebakaran Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan teknik pembobotan dan overlay, dengan 4 variabel yaitu ARK, kepadatan bangunan, kepadatan penduduk dan historis kebakaran. Variabel-variabel yang ada masing-masing akan dibuatkan peta tematik dan dibuat tingkatan kelas berdasarkan karakter masing-masing, lalu dioverlay dengan GIS untuk mendapatkan hasil akhir berupa peta tingkat kerawanan bencana kebakaran Kota Makassar. Dari hasil penelitian, diketahui tingkat kerawanan di Kota Makassar cukup tinggi dengan persentase kawasan yang mendominasi adalah kawasan rawan kebakaran sebesar 53.19%.

Kata Kuncis: kebakaran, rentan, Makassar, Sistem Informasi Geografi, overlay

I. PENDAHULUAN Bencana kebakaran merupakan bencana

serius bagi perkotaan. Hal tersebut dikarenakan berkaitan dengan jumlah korban maupun kerugian yang ditimbulkan akibat dari bencana tersebut. Bencana kebakaran dapat merugikan secara nasional dikarenakan mengganggu produktivitas nasional dan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat [1].

Kebakaran di perkotaan sering kali terjadi pada permukiman-permukiman padat. Sumber bahaya kebakaran di daerah permukiman biasanya berasal dari kelalaian dalam melakukan kegiatan seperti merokok, memasak, penggunaan alat elektronik, bermain sumber api, kebocoran gas, dsb. Selain oleh faktor manusia, kejadian kebakaran juga dapat disebabkan oleh alam seperti petir, gempa bumi, letusan gunung api, kekeringan dsb [2]. Data dari Dinas Pemadam Kebakaran Makassar dari tahun 2009 – 2014 menunjukkan terjadi 952 peristiwa kebakaran, yang berarti sekitar 159 kejadian pertahun atau 1 kejadian per 2 hari, hal itu termasuk kategori tinggi untuk sebuah wilayah.

Dengan adanya Kepmen PU No.10/KPTS/2000, Kepmen PU

No.11/KPTS/2000 dan UU RI No.28 Tahun 2002 yang terkait dengan kebakaran ini membuktikan bahwa masalah kebakaran adalah masalah yang cukup serius untuk ditanggulangi, termasuk masalah kebakaran di Kota Makassar.

Informasi tentang rawan kebakaran pada satu wilayah berkaitan dengan lokasi dan area, oleh karena itu diperlukan suatu penyajian data yang dapat memberikan informasi spasial dan non spasial. Teknik pemetaan adalah bentuk penyajian data yang menggabungkan antara unsur spasial dan non spasial, teknik ini dikenal dengan metode pendekatan berbasis Sistem Informasi Geografi. Pendekatan ini jauh sangat efektif dan efisien dalam fungsinya sebagai sumber data pemetaan, karena dengan menggunakan data penginderaan jauh dapat diperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Konsep dasar Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan data serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 52

data yang berkaitan dengan aspek keruangan [3].

Penelitian ini ingin mengetahui tingkat kerentanan bahaya kebakaran pada Kota Makassar dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi.

II. KAJIAN LITERATUR Kebakaran adalah adanya api yang tidak

dikehendaki. Peristiwa kebakaran terjadi diawali dengan pembakaran kemudian api tersebut sudah tidak dapat terkendali dan mengancam keselamatan jiwa dan harta benda [4]. Peristiwa kebakaran tersebut memiliki beberapa proses sampai api tersebut padam. Proses membesarnya api dipengaruhi oleh bahan bakar atau bahan yang mudah terbakar (combustible) yang dilalui oleh api tersebut. Menurut Karter et al dalam Huang [5] terdapat hubungan antara tingkat kebakaran yang terjadi di daerah permukiman dengan populasi dan karakteristik bangunannya. Sebagian besar kebakaran yang terjadi di daerah permukiman berhubungan dengan kebiasaan atau perilaku manusia. Hal ini didukung dengan penelitian Kai Huang tahun 2009 yang menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab tertinggi terjadinya kebakaran di permukiman.

Risiko kebakaran adalah kemungkinan akan terjadinya api yang berpotensi untuk melukai hidup dan merusak properti. Semakin besar apinya akan semakin besar kerusakan yang dihasilkan.

Perencanaan sistem proteksi kebakaran di perkotaan didasarkan kepada penentuan Wilayah Rawan Kebakaran. Wilayah Rawan Kebakaran adalah suatu daerah yang merepresentasikan permasalahan kebakaran yang sama yang meliputi jenis-jenis bangunan, kebutuhan aliran kebakaran dan ketersediaan pasokan air yang dapat dilayani oleh suatu atau lebih pos pemadam kebakaran. Perencanaan harus dimulai dengan evaluasi terhadap tingkat resiko kebakaran dalam suatu wilayah .

GIS adalah suatu sistem informasi menyangkut keberadaan obyek di permukaan bumi berikut informasi yang terkandung di dalamnya yang mempunyai keterkaitan secara geografis dengan obyek lainnya [6]. GIS terdiri atas data spasial dan non spasial, dimana data spasial merupakan suatu data yang berisikan suatu gambar/peta, yang bersifat kuantitatif

(atribut) dan kualitatif (peta). Input dari sebuah data spasial yaitu berupa citra/foto udara atau survey lapangan yang dilakukan dengan suatu penskalaan yang kemudian dituangkan dalam suatu peta. Keunggulan data spasial adalah sebaran data dengan mudah diketahui dan dapat dimodelkan sesuai keinginan sehingga mudah untuk dianalisis. Pengolahan data secara spasial pada penelitian ini dilakukan dengan metode overlay dengan terlebih dahulu melakukan skoring dari setiap parameter .

Metode overlay secara umum dapat diartikan sebagi suatu teknik memodifikasi beberapa fitur dari beberapa layer yang berbeda [7].

Pemetaan tingkat kerawanan wilayah akan dilakukan dengan menggunakan analisis spasial (overlay) dan analisis super impose (pembobotan). Pada penentuan ini, faktor yang dipertimbangkan adalah angka resiko kebakaran (ARK), kepadatan bangunan, kepadatan penduduk dan historis kejadian. Masing-masing faktor tersebut mempunyai peran yang berbeda diindikasikan dengan perbedaan bobot antar faktor tersebut. Faktor ARK diberi bobot 40 %, kepadatan bangunan 20 %, kepadatan penduduk 20 % dan historiskebakaran 20 %.Pembobotan menunjukkan besar pengaruh dari variabel tersebut terhadap resiko kebakaran. Faktor Angka Resiko Kebakaran dianggap lebih berpengaruh daripada faktor lainnya dikarenakan ARK didapatkan dengan mengetahui fungsi bangunan dan jenis konstruksi bangunan yang digunakan, dan hal ini sangat berpengaruh pada meluas atau tidaknya suatu kejadian kebakaran. Jumlah bobot pada masing-masing variabel harus berjumlah angka sempurna, angka yang dipilih yaitu 100.

Setelah mendapatkan hasil peta dari masing-masing variabel, selanjutnya dilakukan tumpang tindih dari smua peta (overlay) yang diolah dalam GIS. Sehingga dari 4 peta yang di overlay didpatkan peta tingkat kerawanan bencana kebakaran.

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah tergolong penelitian eksploratif dan deskriptif kuantitatif kualitatif, dimana kegiatan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 53

penelitian ini meliputi pengumpulan data, menganalisis data, meginterprestasi data, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang mengacu pada penganalisisan data tersebut.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di Kota

Makassar. Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan, yaitu Agustus-Oktober 2014

C. Data dan Alat Data − Data Citra satelit Quickbird (0,61 m)

Kota Makassar tahun 2014 − Kandungan dan kuantitas bahan mudah

terbakar − Fungsi bangunan − Tata Guna Lahan − Kepadatan penduduk − Kepadatan bangunan − Intensitas kebakaran − Historis Kebakara Alat − ArcGIS − Google Earth

D. Teknik Pengambilan Data - Kajian Pustaka. Mengumpulkan data

dokumen dan informasi melalui sumber tertulis seperti: jurnal, buku, artikel, atau sumber ilmiah lainnya

- Survei. Pengambilan data primer dengan cara terjun ke lapangan mengamati kondisi lapangan dan pengambilan data sekunder melalui instansi terkait (Dinas Kebakaran Kota Makassar, BPS Kota Makassar dan Dinas Tata Ruang Kota Makassar)

- Wawancara. Dilakukan kepada pihak-pihak terkait dan bersifat semistruktur

E. Teknik analisis

- Analisis deskriptif. Untuk Mengidentifikasikan indikator-indikator yang menjadi pertimbangan

terhadap penentuan tingkat kerawanan wilayah terhadap bencana kebakaran.

- Analisis data dengan pembobotan. Yaitu dengan melakukan pembobotan

dan skoring pada variable-variabel yang telah ditentukan

Tabel 1. Tingkat klasifikasi variabel dan penilaiannya

Variabel

Bobot Tingkat klasifikasi masing-masing variabel dan penilaiannya

ARK 40% Kriteria penentuan nilai ARK sesuai dengan KEPMEN PU no. 11/KPTS/2000. Data klasifikasi bangunan sesuai dengan data standar. Tingkat Klasifikasi untuk variabel ARK adalah sebagai berikut: - Nilai 5 = Diberikan untuk

kawasan dengan angka resiko bahaya kebakaran yang paling rawan (seperti

hangar pesawat terbang, pabrik gandum, pabrik kimia, pemintalan, penyulingan, pabrik/gudang bahan mudah terbakar, penggilingan lemak, gudang padi, penggilingan minyak pelicin, tempat penyimpanan kayu, penyulingan minyak, pabrik/gudang plastik, penggergajian kayu, pemisahan minyak pencuci logam, tempat penimpanan jerami, pabrik pernis dan cat.).

- Nilai 4 =Diberikan untuk kawasan dengan resiko bahaya kebakaran tinggi (jenis penggunaan lahan seperti; kandang kuda, gudang bahan bangunan, pusat perbelanjaan, ruang pamer, auditorium dan bioskop, tempat penyimpanan, terminal pengangkutan, pertokoan, pabrik kertas dan pulp, pemrosesan kertas, pelabuhan, bengkel, pabrik karet, gudang untuk mebel, umum, cat, kertas dan minuman keras, industri kayu).

- Nilai 3 = Diberikan untuk kawasan dengan resiko bahaya kebakaran sedang (jenis penggunaan lahan sebagai berikut; tempat hiburan, parkir pangkalan, gudang pendingin, gudang kembang gula, gudang hasil pertanian, ruang pamer dagang, binatu, pabrik penyamakan kulit,

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 54

Variabel

Bobot Tingkat klasifikasi masing-masing variabel dan penilaiannya

perpustakaan (dengan gudang buku yang besar), kios sablon, toko mesin, toko besi, asrama perawat, pabrik farmasi, percetakan, rumah makan, pabrik tali, pabrik gula, pabrik perekat, pabrik tekstil, gudang tembakau

- Nilai 2 = Diberikan untuk kawasan dengan resiko bahaya kebakaran rendah (jenis penggunaan lahan sebagai berikut; gudang minyak, parkir mobil, pabrik roti, tempat potong rambut, pabrik minuman, ruang boiler, pabrik bir, pabrik bata, pabrik kembang gula, pabrik semen, rumah ibadah, pabrik susu, tempat praktik dokter, pabrik elektronik, tungku/dapur, pabrik pakaian bulu hewan, pompa bensin, pabrik gelas, kamar mayat, gedung pemerintah, kantor pos, rumah pemotongan hewan, kantor telepon, pabrik arloji/perhiasan, pabrik anggur).

- Nilai 1 = Diberikan untuk kawasan dengan resiko bahaya kebakaran rendah, (jenis penggunaan lahan sebagai berikut; apartemen, universitas, asrama, perumahan, pos kebakaran, asrama paroki, rumah sakit) [8]

Rasio Luas kawasan terbangun (Kepadatan bangunan)

20% Besaran luas terbangun suatu kawasan akan mempengaruhi kebutuhan proteksi terhadap kebakaran. maka penilaian tingkat kepadatan bangunan di Kota Makassar berdasarkan tingkat klasifikasi rasio luas terbangun adalah sebagai berikut: − Kawasan dengan kepadatan

sangat tinggi (>75%); (Nilai 5= Sangat Padat)

− Kawasan dengan kepadatan tinggi (60% - 75%); (Nilai 4 = Padat)

− Kawasan dengan kepadatan menengah (45 % - 60%); (Nilai 3 = Sedang)

− Kawasan dengan kepadatan rendah (30% - 45 %); (Nilai 2 = Rendah)

− Kawasan dengan kepadatan sangat rendah (30%). (Nilai 1

Variabel

Bobot Tingkat klasifikasi masing-masing variabel dan penilaiannya

= Sangat Rendah)

Kepadatan Penduduk

20% Persyaratan dan kriteria untuk menentukan nilai dari kepadatan penduduk adalah : - Nilai 5 = Rendah, diberikan

apabila kawasan dengan kepadatan penduduk < 150 jiwa/ ha

- Nilai 4 = Sedang, diberikan apabila kawasan dengan kepadatan penduduk 151 – 200 jiwa/ ha

- Nilai 3 = Tinggi, diberikan apabila kawasan dengan kepadatan penduduk

200 - 400 jiwa/ ha - Nilai 2 = Sangat Tinggi,

diberikan apabila kawasan dengan kepadatan penduduk > 400 jiwa/ ha [9]

Historis 20% Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat klasifikasi dan nilai untuk variabel historis adalah dengan mencari rata-rata jumlah kebakaran terbanyak yang pernah terjadi. - Frekuensi kebakaran sangat

tinggi, kejadian kebakaran pada suatu lokasi >15 kejadian/tahun. nilai kerawanan 5.

- Frekuensi kebakaran tinggi, kejadian kebakaran pada suatu lokasi 11-15 kejadian/tahun. nilai kerawanan 4.

- Frekuensi kebakaran sedang, kejadian kebakaran pada suatu lokasi 6-10 kejadian/tahun. nilai kerawanan 3.

- Frekuensi kebakaran rendah, kejadian kebakaran pada suatu lokasi 1-5 kejadian/tahun. nilai kerawanan 2.

- Frekuensi kebakaran sangat rendah, tidak ada kejadian kebakaran pada suatu lokasi. nilai kerawanan 1.

Tabel 2. Teknik penilian tiap variabel

Variabel Teknik Penilaian ARK Melalui overlay peta fungsi bangunan dan

tata guna lahan, lalu dibuat pembobotan/skoring untuk penentuan klasifikasi ARK 1-5

Kepadatan Kepadatan bangunan dilakukan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 55

Variabel Teknik Penilaian bangunan perhitungan perbandingan antara jumlah

lahan terbangun dengan luas wilayah adminitrasi kecamatan kemudian di persenkan jumlahnya. Parameter kepadatan

bangunan yang dilakukan dengan interval kelas kepadatan: jarang = < 40% , sedang 41 – 60 % dan padat >60%

Kepadatan Penduduk

Mengklasifikasikan tiap kawasan (kecamatan) dalam kelas kepadatan Sangat padat, tinggi, sedang dan rendah melalui persamaan

Kepadatan Penduduk =∑𝑃𝑃𝑅𝑅𝑅𝑅𝑓𝑓𝑆𝑆𝑓𝑓𝑆𝑆𝑘𝑘 𝐹𝐹𝑆𝑆𝑓𝑓𝑉𝑉𝑆𝑆 𝑓𝑓𝑉𝑉𝑆𝑆𝑓𝑓𝑢𝑢𝑓𝑓 ℎ (𝑗𝑗𝑉𝑉𝑓𝑓𝑓𝑓 )

∑𝑗𝑗𝑆𝑆𝑓𝑓𝐹𝐹 𝑓𝑓𝑉𝑉𝑆𝑆𝑓𝑓𝑢𝑢𝑓𝑓 ℎ (𝑅𝑅2)…………1

Dengan interval kelas kepadatan: rendah untuk kepadatan penduduk < 150 jiwa/ha , sedang untuk kepadatan penduduk 151 – 200 jiwa/ha, tinggi untuk kepadatan penduduk 201 – 400 jiwa/ha dan sangat padat untuk kepadatan penduduk >400 jiwa/ha (Sumber: SNI Tahun 2004 Tentang Perumahan)

Historis Melalui data primer yaitu tingkat frekuensi kejadian kebakaran dengan Dengat interval kelas: sangat sering untuk kejadian 16 – 20 kejadian/ tahun , sering untuk kejadian 11 – 15 kejadian/ tahun, jarang untuk kejadian 6 – 10 kejadian/ tahun, Sangat jarang untuk kejadian 1 – 5 kejadian/ tahun dan tidak pernah

Berdasarkan indikator dan teknik penilaian pada table di atas maka dapat dilakukan penentuan tingkat kerawanan berdasarkan kepada skor bobot dari seluruh aspek yang menjadi indikator. Skor bobot adalah hasil dari perkalian nilai setiap indikator dengan bobot, kemudian skor bobot setiap indikator dijumlahkan untuk memperoleh total skor kerentanan.

NBI = NI x BI NKT = NBI A + NBI B………………….2 Dimana :

NBI= Nilai bobot indikator NI= Nilai Indikator BI= Bobot Indikator NKT= Nilai kerentanan total

Hasil nilai kerawanan akan dibagi menjadi

tiga kelas dengan sistem pembobotan. Sistem klasifikasi kerawanan akan menggunakan klasifikasi aritmatika. Metode aritmatika yang dimaksud adalah dengan membuat klasifikasi aritmatika yang digunakan untuk mengkelaskan data hasil analisis, dengan mengidentifikasikan jumlah skor terkecil dan

terbesar dibagi dengan jumlah kelas klasifikasi yang di inginkan. Rentang klasifikasi yang di inginkan adalah 3 kelas. Hal ini kemudian menjadi acuan untuk diklasifikasikan rentang yang dibagi menjadi 3 kelas yang dibutuhkan yaitu sangat rawan, rawan dan tidak rawan untuk memperoleh interval kelas.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Peta ARK Kota Makassar

Gambar 2. Peta Kepadatan bangunan Kota Makassar

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 56

Gambar 3. Peta Kepadatan Penduduk Kota Makassar

Gambar 4. Peta Historis Kebakaran Kota Makassar

Gambar 1-4 adalah peta dari hasil perhitungan dan analisis berdasarkan tabel 1 dan 2. Gambar ini kemudian dioverlay dengan menggunakan GIS untuk penentuan tingkat kerawan kawasan di Kota Makassar (Gambar 5)

Tabel 2. Nilai variabel hasil overlay

No Variabel Skor Bobot (%) Nilai (skor x bobot)

X1 ARK 5 40 200 4 160 3 120 2 80 1 40 X2 Kepadatan 5 20 100 Bangunan 4 80 3 60 2 40 1 20 X3 Kepadatan 5 20 100 Penduduk 4 80 3 60 2 40 1 20 X4 Historis 5 20 100 kebakaran 80 4 3 60 2 40 1 20 Total 100

Tabel 2 memperlihatkan nilai skoring dari keempat variabel yang didapatkan dari overlay ke empat jenis peta tematik dengan menggunakn GIS. Hasil dari tabel 2 kemudian Nilai Bobot Indikator (NBI) dari keempat variabel dimasukkan kedalam persamaan 2 untuk mendapatkan NKT (Nilai Kerentanan Total) seperti di bawah

NKT = NBI X1+….+NBI X4

Hasil dari skor total berdasarkan persamaan diatas maka dapat diklasifikasikan tingkat kerawanan bencana kebakaran dengan menggunakan indikator tabel dibawah ini yang dihitung nilai terkecil yaitu 100 dan jumlah nilai terbesar yaitu 500 yang kemudian menjadi rentang untuk diklasifikasikan menjadi 3 kelas yang dibutuhkan untuk memperoleh interval kelas, maka interval kelas adalah 133. Dengan demikian dilakukan pembagian kelas dengan mengurutkan dari nilai terendah seperti yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 57

Tabel 3. Interval klasifikasi kawasan rawan kebakaran

Hasil Skor

Keterangan

00 - 233 234 - 367 368 - 500

Tidak Rawan Rawan Sangat

Rawan

Hasil dari overlay ke empat jenis peta variabel dan tabel 3 didapatkan peta kerawanan bencana kebakaran Kota Makassar seperti gambar di bawah

Gambar 5. Peta Kerawanan Kebakaran Kota Makassar

Gambar 6. Luas kawasan berdasarkan klasifikasi tingkat Kerawanan Kebakaran Kota Makassar

Berdasarkan gambar 5 dan 6, terlihat

tingkat klasifikasi tertinggi di Kota Makassar adalah klasifikasi rawan yaitu 53.19% dari luas wilayah Kota Makassar atau sebesar 9354,43

ha, sementara kawasan yang termasuk tidak rawan kebakaran sangat kecil sebesar 1.004 %

V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa tingkat kerawanan di Kota Makassar cukup tinggi dengan persentase kawasan yang mendominasi adalah kawasan rawan kebakaran sebesar 53.19% dari luas wilayah Kota Makassar

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Dinas Pemadam Kebakaran Kota Makassar, BPS Kota Makassar dan Dinas Tata Ruang Kota Makassar atas bantuan datanya hingga penelitian ini dapat berlangsung hingga selesai.

REFERENSI [1] Ramli, Soehatman. Petunjuk Praktis

Manajemen Kebakaran. Jakarta: Dian Rakyat. 2010.

[2] Pemerintah Republik Indonesia. UU Nomor 27 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Republik Indonesia, Indonesia. 2007

[3]Purwadhi, S.H. dan Sanjoto, T.B. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Jakarta : PUSDATA LAPAN dan UNNES. 2007.

[4]Suprapto.. Tinjauan Eksistensi Standar-Standar (Sni) Proteksi Kebakaran Dan Penerapannya Dalam Mendukung Implementasi Peraturan Keselamatan Bangunan. Jurnal Prosiding PPIS Bandung. 2008

[5] Huang, K., 2009. Population and Building Factors That Impact Residential Fire Rates in Large U.S Cities, Texas State University-San Marcos, Texas

[6] Liu, Jian-Guo, Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing, West Sussex, UK, Wiley. 2009

[7] Wang F. Quantitative Methods and Applications in GIS. Taylor & Francis Group.2006

[8] Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan

[9] SNI 03-1733-1989 tentang Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT33 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 58

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 59

Penerapan Analytical Hierarchy Process dalam Aplikasi Sistim Pendukung Keputusan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi

Abdul Tahir

Teknik Perawatan Mekanik, Akademi Teknik Soroako email: [email protected]

Abstrak

Seorang manajer sering dihadapkan pada permasalahan pengambilan keputusan. Masalah timbul karna keputusan yang akan diambil dipengaruhi oleh berbagai factor (multikriteria) sementara keputusan tersebut haruslah logis, objektif dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada Perguruan Tinggi, pengambilan keputusan umumnya melibatkan mahasiswa, dalam hal ini mahasiwa sebagai objek yang merasakan dampak sebuah keputusan, sehingga pengambilan keputusan perlu analisis dan mekanisme yang jelas dan terbuka. Pemilihan mahasiswa berprestasi adalah salah satu aktifitas yang telah membudaya dikampus, menjadi mahasiswa yang berprestasi merupakan hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap mahasiswa, oleh karna itu pengambilan keputusan penentuan mahasiswa berprestasi harus memiliki mekanisme dan tata cara pemilihan yang berkualitas dengan memperhatikan kriteria kriteria yang melekat pada pribadi seorang mahasiswa. Pada penelitian ini penulis mencoba merancang sebuah aplikasi sistim pendukung keputusan pemilihan mahasiswa berprestasi dengan menerapkan metode Analitical Hierarchy Proses (AHP). Penelitian ini mengambil studi kasus di salah satu perguruan tinggi vokasi bernama Akademi Teknik Soroako (ATS). Sistim Pendukung Keputusan yang dibangun memperhitungkan beberapa kriteria penting yaitu Nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), Nilai Kelakuan (terdiri dari nilai sikap, frekwensi kerusakan alat dan ketidakhadiran) dan Nilai Penunajang (terdiri dari nilai keaktifan dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), keaktifan Berorganisasi dan pencapaian Prestasi non akademik). Dari proses AHP yang dilakukan diperoleh rincian hasil pembobotan kriteria yaitu IPK = 64%, Kelakuan = 27% dan Penunjang 9%. Pada hasil pembobotan sub kriteria Kelakukan diperoleh sikap = 67%, Kerusakan = 18% , dan Absensi =15% . Untuk hasil pembobotan sub kriteria Penunjang diperoleh UKM =71.72%, Organisasi = 14.14%, dan Prestasi = 14.14%. Bobot bobot kriteria yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam perhitungan untuk mendapatkan peringkat mahasiswa berprestasi. Perhitungan dilakukan secara otomatis dengan sebuah aplikasi, aplikasi ini dibangun dengan pemrograman visual basic yang dapat berjalan dengan baik dan akurat.

Kata Kuncis: Analytical Hierarchy Process, mahasiswa berprestasi, visual basic, aplikasi, sisitim pendukung keputusan

I. PENDAHULUAN Mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa

yang berhasil mencapai prestasi tinggi dalam dua elemen, elemen pertama adalah prestasi akademik dan elemen kedua adalah prestasi non akademik. Hasil prestasi akademik dapat dilihat dari pencapaian Indeks Prestasi Semester (IPS) maupun Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Hasil prestasi non akademik dapat dilihat dari catatan prilaku, kehadiran, keaktifan dalam berorganisasi, dan kegiatan extrakurikuler lainnya. Kedua elemen ini menjadi faktor yang menentukan dalam memilih mahasiswa yang berprestasi. Saat ini banyak perguruan tinggi yang mengalami kesulitan dalam menetapkan panduan penentuan atau pemilihan mahasiswa yang dikategorikan berprestasi, terutama dalam penentuan kriteria pemilihan dan bobot dari

kriteria tersebut. Penetapan kriteria dan bobot kriteria tentu memerlukan kajian yang mendalam, karena pengaruh setiap kriteria yang diberikan harus merepresentasikan tujuan yang akan dicapai, dalam hal ini tujuannya adalah memilih mahasiswa yang berprestasi dari ratusan bahkan ribuan mahasiswa. Setiap peneliti tentu memiliki metode penetapan kriteria dan proses pemilihan yang berbeda.

Akademi Teknik Sorowako (ATS) yang memiliki visi sebagai salah satu institusi pendidikan vokasi terbaik dikawasan timur Indonesia setiap tahun selalu memberikan apresiasi berupa penghargaan kepada mahasiswanya, baik terhadap mahasiswa dengan predikat prestasi akademik tertinggi maupun kepada mahasiswa dengan predikat disiplin terbaik. Dari kedua penghargaan ini tentu penting untuk memilih salah satu diantara mereka yang menjadi mahasiswa berprestasi

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 60

atau mungkin dari mahasiswa mahasiwa yang lain dengan memperhatikan kriteria kriteria yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan untuk merancang aplikasi sistim pendukung keputusan yang mampu memberikan solusi dalam pemilihan mahasiswa berprestasi khususnya di ATS dan Perguruan Tinggi Vokasi pada umumnya.

Metode yang digunakan adalah penerapan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Model AHP banyak digunakan dalam penelitian, utamanya yang berkaitan dengan sistim pendukung keputusan, seperti Analisis Lokasi Cabang Terbaik Menggunakan Metode Analytic Hierarchy Process [1]. Dari hasil penelitian ini mampu menentukan lokasi terbaik untuk cabang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan mengacu pada kriteria-kriteria yang menjadi dasar penentuan pembukaan kantor cabang. Kriteria kriteria tersebut adalah kriminalitas, sarana prasarana, pertumbuhan ekonomi, jumlah bank, dan sosial ekonomi.

Demikian pula penelitian yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan untuk Menentukan Mahasiswa Lulusan Terbaik Di Perguruan Tinggi (Studi Kasus Stmik Atma Luhur Pangkalpinang) [2], mampu meberikan format sistim pendukung keputusan dengan kriteria yang representatif. Ada tiga kriteria utama yang menjadi dasar dalam sistim ini yaitu Prestasi Akademik, Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pendukung.

II. TEORI DASAR 2.1 Teori Keputusan

Dalam pengambilan keputusan seringkali dihadapkan pada berbagai kondisi, antara lain unik, tidak pasti, dinamis, jangka panjang, dan kompleks. Kondisi unik adalah masalah yang tidak mempunyai preseden dan dimasa depan mungkin tidak akan berulang kembali. Kondisi tidak pasti adalah faktor faktor yang diharapkan mempengaruhi dan memiliki kadar informasi sangat rendah, kondisi jangka panjang memiliki implikasi jangkauan cukup jauh ke depan dan melibatkan sumber sumber usaha yang penting, kondisi kompleks yaitu preferensi pengambilan keputusan atas resiko dan waktu memiliki peranan besar, komponen dan keterkaitannya sering bersifat dinamik berubah menurut waktu. Mengambil atau membuat keputusan adalah suatu proses yang

dilakukan seseorang berdasarkan pengetahuan dan informasi yang ada dengan harapan sesuatu akan terjadi. Keputusan dapat diambil dari alternatif alternatif keputusan yang ada.

Alternatif keputusan tersebut dapat dilakukan berdasarkan informasi yang sudah diolah dan disajikan dengan dukungan sistim penunjang keputusan. Informasi tersebut terbentuk dari data yang disusun, diolah, dan disajikan dengan dukungan sistim informasi manajemen. Setelah itu keputusan yang diambil harus ditindaklanjuti dan pelaksanaanya perlu mengacu pada standar prosedur operasi [3]. 2.2 Kosep Sistim Pendukung Keputusan

Sistim adalah kumpulan elemen yang saling berhubungan bertanggung jawab memproses masukan (input) untuk menghasilkan suatu keluaran (output). Suatu sistim dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaski harian, mendukung operasi, bersifat manajerial, dan merupakan kegiatan strategi dari suatu organisasi, serta menyediakan laporan-laporan yang diperlukan pihak luar.

Sistim Pendukung Keputusan (SPK) adalah sistim informasi interaktif yang menyediakan informasi, pemodelan, dan pemanipulasian data. SPK dapat digunakan seseorang untuk membantu mengambil keputusan dalam situasi yang semiterstruktur maupun situasi yang tidak terstruktur. SPK juga kadang dibangun untuk mendukung dalam mengevaluasi suatu peluang, SPK yang seperti ini disebut dengan Aplikasi SPK. Aplikasi SPK umumnya digunakan dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan Computer Based Informatian System (CBIS) yang fleksibel, interaktif dan dapat diadaptasi pada masalah masalah yang tidak terstruktur [3]

2.3 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah proses hirarki analitik yang dikembangkan oleh Dr Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970an. Proses ini bertujuan untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka pemikiran yang terorganisir sehingga dapat

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 61

diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif [3].

2.3.1 Prinsip AHP Dalam menyelesaikan permasalahan

dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami yaitu : (1) Membuat hirarki – sistim yang kompleks bisa dipahami dengan memecahnya menjadi elemen elemen pendukung, menyusun elemen secara hirarki dan menggabungkannya atau mensintesisnya. (2) Penilaian kriteria dan alternatif – penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan perbandingan berpasanagan untuk berbagai persoalan, skala 1-9 adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan diukur dengan menggunakan tabel analisis seperti ditunjukkan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Skala penilaian perbandingan

berpasangan Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting mutlak daripada elemen lainnya.

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Kebalikan

Jika aktifitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan aktifitas j , maka j memiliki nilai kebalikan dibandingkan dengan i

(3) Synthesis of priority atau menentukan prioritas – Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (parwise comparison).Nilai-nilai perbandingan relatif dari seluruh kriteria dan alternatif bisa disesuaikan dengan pertimbangan yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas dihitung dengan memanipulasi matriks atau melalui penyelasian persamaan matematika. (4) Logical Consistency atau Konsistensi Logis - Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, objek objek yang serupa bisa dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut tingkat hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu [4] .

2.3.2 Prosedur AHP Adapun prosedur atau langkah langkah

dalam AHP meliputi : (1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan kemudian menyusun hirarki dan permasalahan yang dihadapi. (2) Menentukan prioritas elemen dengan cara membandingkan elemen secara berpasangan sesuai kriteria yang diberikan dan dibentuk dalam matrik berpasangan. (3) Pertimbangan pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas dengan tiga langkah, Pertama: menjumlahkan nilai nilai dari setiap kolom pada matriks, Kedua: membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, ketiga: Menjumlahkan nilai nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata rata. (4) Mengukur konsistensi sebagai akurasi pertimbangan yang diberikan dengan cara : mengalikan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relative elemen pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua, dan seterusnya. Selanjutnya menjumlahkan nilai setiap baris, hasil dari penjumlahan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang bersangkutan, terakhir menjumlahkan hasil bagi ini dengan banyaknya elemen yang ada dan hasilnya disebut λ maks. (5) Menghitung konsistensi indeks (CI) dengan rumus CI = (λ maks - n)/n dimana n = banyaknya elemen. (6) Menghitung rasio konsistensi (CR) dengan rumus CR = CI/IR, IR adalah Indeks Random

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 62

Consistency. (7) Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10% maka penilaian data judgment harus diperbaiki namun jika rasio konsistensi kurang dari 10% maka hasil perhitungan bisa dinyatakan benar [4]. Daftar indeks random konsistensi (IR) dapat dilihat pada tabel 2 berikut .

Tabel 2 Daftar indeks random konsistensi

(IR) Ukuran

Nilai IR

1,2 0,00 3 0.58 4 0.90 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41 9 1.45 10 1.49 11 1.51 12 1.48 13 1.56 14 1.57 15 1.59

III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dibagi dalam 3

tahap yaitu : Tahap 1, Menyusun kriteria kriteria dalam

bentuk hirarki yang menjadi penentu dalam pemilihan mahasiswa berprestasi seperti gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Hirarki penyusunan kriteria mahasiswa

berprestasi

Dari gambar 1 diatas dapat dijelaskan bawah dalam memilih dan menentukan mahasiswa berprestasi ditentukan oleh 3 kriteria utama,

Pertama : nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), nilai IPK ini memiliki rentang nilai dari 1 – 4.

Kedua : Nilai Kelakuan, nilai ini dipengaruhi oleh 3 sub kriteria yakni Sikap, Kerusakan Alat dan Absensi. Sikap seorang mahasiswa dapat dinilai dari kemauan atau penyimpangan yang dia lakukan dalam mengikuti segala aturan kampus, cara penilaian Sikap adalah dengan memberikan alternatif: Sangat Baik, Baik, dan Kurang Baik. Nilai Kerusakan alat adalah frekwensi merusakkan alat yang menjadi tanggungjawab setiap mahasiswa baik peralatan praktik maupun peralatan teori, cara penilaian Kerusakan alat adalah dengan pilihan/alternatif: Sedikit, Sedang, dan Banyak. Nilai Absensi adalah frekwensi ketidakhadiran tanpa keterangan di kampus, cara penilaian Absensi adalah dengan pilihan/alternatif: Sedikit, Sedang, dan Banyak.

Ketiga : Nilai Penunjang, nilai ini juga dipengaruhi oleh 3 sub kriteria yaitu keaktifan dalam kegiatan pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), keaktifan dalam berorganisasi di kampus dan pencapaian Prestasi non akademik dalam bidang apapun. Nilai UKM adalah hasil pencapaian mahasiswa dalam keseriusan atau ketekunan mengikuti setiap kegiatan UKM, cara penilaian UKM adalah dengan pilihan/alternatif : Sangat Aktif, Aktif, dan Kurang Aktif. Nilai dalam berorganisasi adalah pencapaian mahasiswa dalam pontensi atau kemampuannya dalam berorganisasi baik dikampus maupun diluar kampus yang mendapat persetujuan Pimpinan Perguruan Tinggi, cara penilaian Organisasi adalah dengan pilihan/alternative : Sangat Aktif, Aktif, dan Kurang Aktif. Nilai Prestasi individu adalah nilai pencapaian mahasiswa dalam mengembangkan prestasi secara individu dalam bidang apapun, penilain diberikan sesuai tingkat pencapaiannya, cara penilaian Prestasi individu adalah dengan pilihan/alternative: tingkat nasional/propinsi, tingkat kabupaten/kecamatan, dan tingkat kampus. Dalam bentuk persamaan gambar 1 dapat dituliskan dalam bentuk persamaan Matematika sebagai berikut :

A = xB+yC+zD,

Mahasiwa Berprestasi (A)

IPK (B) Kelakuan (C)

Sikap (c1)

Kerusakan Alat(c2)

Absensi(c3)

Penunjang (D)

UKM(d1)

Organisasi(d2)

Prestasi Non Akadmik(d3)

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 63

C = y1.c1+y2.c2+y3.c3 D = z1.d1+z2.d2+z3.d3

keterangan : A = Nilai akhir (Skor Mahasiswa

Berprestasi) B = Nilai Kriteria IPK C = Nilai Kriteria Kelakuan D = Nilai Kriteria Penunjang c1 = Nilai Kriteria Sikap c2 = Nilai Kriteria Kerusakan c3 = Nilai Kriteria Absensi d1 = Nilai Kriteria UKM d2 = Nilai Kriteria Organisasi d3 = Nilai Kriteria Prestasi x = Bobot Kriteria IPK y = Bobot Kriteria Kelakuan z = Bobot Kriteria Penunjang y1 = Bobot Kriteria Sikap y2 = Bobot Kriteria Kerusakan y3 = Bobot Kriteria Absensi z1 = Bobot Kriteria UKM z2 = Bobot Kriteria Organisasi z3 = Bobot Kriteria Prestasi Tahap 2, Melakukan penentuan bobot dan

nilai alternatif masing masing kriteria. Penentuan bobot dan nilai alternatif dilakukan dengan metode AHP dengan langkah langkah sesuai prosedur AHP. Ada 9 proses AHP yang dilakukan dalam penentuan bobot kriteria dan nilai dari alternatif alternatif yang ditetapkan. • Pertama : Penentuan bobot untuk kriteria

pada level 1 yaitu bobot kriteria IPK, kriteria Kelakuan dan kriteria Penunjang. Dalam hal ini mengacu pada prosedur AHP yang diawali dengan melakukan perbandingan berpasangan dan diakhiri dengan perhitungan Consistency Ratio (CR) untuk memastikan apakah metode perbandingan yang dilakukan dapat diterima.

• Kedua : Penentuan bobot untuk sub kriteria Kelakuan pada level 2 yaitu bobot kriteria Sikap, kriteria Kerusakan dan kriteria Absensi.

• Ketiga : Penentuan bobot untuk sub kriteria penunjang pada level 2 yaitu bobot kriteria UKM, kriteria Organisasi dan kriteria Prestasi.

• Keempat : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria Sikap pada level 3

yaitu nilai pada alternatif : Sangat Baik, Baik, dan Kurang Baik.

• Kelima : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria Kerusakan alat pada level 3 yaitu nilai pada alternatif : Sedikit, Sedang, dan Banyak.

• Keenam : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria Absensi pada level 3 yaitu nilai pada alternative : Sedikit, Sedang, dan Banyak.

• Ketujuh : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria UKM pada level 3 yaitu nilai pada alternatif : Sangat Aktif, Aktif, dan Kurang Aktif.

• Kedelapan : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria Berorganisasi pada level 3 yaitu nilai pada alternatif : Sangat Aktif , Aktif dan Kurang Aktif.

• Kesembilan : Penentuan nilai alternatif untuk input pada sub kriteria Prestasi Individu pada level 3 yaitu nilai pada alternatif : tingkat Nasional/Propinsi, tingkat kabupaten/Kecamatan, dan tingkat Kampus. Penyusunan kriteria dan proses AHP untuk

mendapatkan bobot dilakukan dengan metode Quizioner dan diskusi dengan melibatkan para Dosen, Kepala Program Studi dan beberapa Manajemen Perguruan Tinggi. Adapun maksud melibatkan mereka sebab para Dosen dan Manajemen Perguruan Tinggi lebih memahami kondisi faktual dalam penetapan prioritas ataupun hirarki yang disusun.

Tahap 3, Merancang Aplikasi Sistim Pendukung Keputusan dengan menggunakan bobot bobot kriteria yang didapat dari proses AHP diatas. Perancangan aplikasi ini dilakukan dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic. Rancangan Aplikasi terdiri dari desian interface untuk input data dalam proses AHP, input data mahasiswa, dan output berupa daftar mahasiswa yang nantinya telah tersusun sesuai peringkatnya. Adapun gambar interface proses AHP dan input data Mahasiswa terlihat pada gambar 2 dibawah ini :

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 64

Gambar 2. Desain interface Proses AHP dan input data Mahasiswa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembuatan aplikasi sistim

pendukung keputusan ini, telah dilakukan sembilan proses AHP yakni menentukan bobot kriteria dan menentukan nilai alternatif yang menjadi masukan dalam aplikasi ini. Dalam menentukan bobot kriteria pada level 1 (bobot IPK, bobot Kelakuan dan bobot Penunjang) diperoleh hasil pembobotan yaitu : kriteria IPK dengan bobot x = 0.64, kriteria Kelakuan dengan bobot y = 0.27, dan kriteria Penunjang dengan bobot z = 0.09. Consistency Ratio (CR) dalam AHP ini adalah -0.94 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Hasil perhitungan AHP dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Penentuan bobot kriteria IPK,

Kelakuan dan Penunjang

Dalam menentukan bobot sub kriteria Kelakukan (Sikap, Kerusakan dan Absensi), diperoleh pembobotan untuk masing masing kriteria yaitu kriteria Sikap dengan bobot y1 = 0.63 , kriteria Kerusakan dengan bobot y2 = 0.11, dan kriteria Absensi dengan bobot y3 = 0.33. Consistency Ratio (CR) dalam AHP ini adalah -0.95 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Hasil perhitungan AHP dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Penentuan bobot kriteria Sikap,

Kerusakan dan Absensi

Selanjutnya dalam menentukan bobot sub kriteria Penunjang pada level 2 yaitu kriteria UKM, kriteria Organisasi dan kriteria Prestasi, diperoleh pembobotan untuk masing masing kriteria yaitu kriteria UKM dengan bobot z1 = 0.71, kriteria Organisasi dengan bobot z2 = 0.14, dan kriteria Prestasi dengan bobot z3 = 0.14. Consistency Ratio (CR) dalam AHP ini adalah -0.96 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Hasil perhitungan AHP penentuan bobot kriteria Penunjan dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Penentuan bobot kriteria UKM,

Berorganisasi dan Prestasi

Proses AHP juga dilakukan untuk menetukan nilai alternatif yang menjadi masukan pada sub kriteria Kelakuan (level 3) dan Penunjang (level 3). Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria Kelakukan untuk kriteria Sikap diperoleh hasil alternatif (Sangat Baik) = 0.70, alternatif (Baik) = 0,23, dan alternatif (Kurang Baik) =

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 65

0.07. Consistency Ratio (CR) adalah -0.9 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria kelakukan untuk kriteria Kerusakan diperoleh hasil alternatif (Sedikit) = 0.72, alternatif (Sedang) = 0,19, dan alternatif (Banyak) = 0.08. Consistency Ratio (CR) adalah -0.94 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria Kelakukan untuk kriteria Absensi diperoleh hasil alternatif (Sedikit) = 0.68, alternatif (Sedang) = 0,26, dan alternatif (Banyak) = 0.06. Consistency Ratio (CR) adalah -0.88 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Hasil perhitungan AHP penentuan nilai alternatif untuk kriteria Sikap, Kerusakan dan Absensi dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini .

Gambar 6. Penentuan nilai alternatif untuk kriteria Sikap, Kerusakan dan Absensi.

Yang terakhir adalah proses AHP

dilakukan untuk menetukan nilai alternatif yang menjadi masukan pada sub kriteria Penunjang. Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria Penunjang untuk kriteria UKM diperoleh hasil alternatif (Sangat Aktif) = 0.72, alternatif (Aktif) = 0.19, dan alternatif (Kurang Aktif) = 0.08. Consistency Ratio (CR) adalah -0.94 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria Penunjang untuk kriteria Organisasi diperoleh hasil alternative (Sangat Aktif) = 0.65, alternatif (Aktif) = 0.23, dan alternatif (Kurang Aktif) = 0.12.

Consistency Ratio (CR) adalah -0.96 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima). Pada proses AHP penentuan nilai alternatif sub kriteria Penunjang untuk kriteria Prestasi diperoleh hasil alternatif (Provinsi) = 0.70, alternatif (Kecamatan) = 0,23, dan alternatif (Kampus) = 0.07. Consistency Ratio (CR) adalah -0.9 (lebih kecil dari 0.1 sehingga CR dapat diterima).

Bentuk perhitungan AHP penentuan nilai alternatif untuk kriteria UKM, Organisasi dan Prestasi dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Penentuan nilai alternatif untuk kriteria UKM, Organisasi dan Prestasi.

Setelah nilai bobot masing masing kriteria

dan nilai alternatif yang menjadi masukan diperoleh, selanjutnya menguji nilai nilai tersebut kedalam aplikasi yang dibangun. Dalam pengujian sistim dilakukan dengan menggunakan data mahasiswa yang diambil secara random sebayak sepuluh data. Maksud dari data random ini adalah untuk mendapatkan akurasi pengujian aplikasi apakah sistim mampu menyusun atau mengurutkan data sesuai dengan urutan prioritas mahasiswa berprestasi atau tidak. Hasil pengolahan dengan aplikasi dapat dilihat pada gambar 8 dibawah ini.

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT19 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 66

Gambar 8. Hasil pengolahan data dengan aplikasi SPK

Dari hasil pengolahan data dengan aplikasi

seperti pada gambar 8, terlihat bahwa Nilai IPK tertinggi yakni dengan NIM 213006 nilai IPK = 3.90 hanya berada pada urutan ketiga hal ini disebabkan pada kriteria Sikap, Kerusakan dan Absensi pencapaian sangat rendah yaitu Kurang Baik, Banyak dan Banyak. Demikian pula NIM 213001 dan 213002 berada pada urutan satu dan dua, meskipun memiliki jumlah IPK yang sama namun NIM 213001 lebih baik karna memiliki prestasi tingkat provinsi.

V. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat

ditarik kesimpulan bahwa pengambilan keputusan dalam pemilihan Mahasiswa berprestasi dapat didukung dari sebuah aplikasi yang dibangun dengan menerapkan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Dari bobot bobot kriteria yang diperoleh melalui proses AHP digunakan dalam rancangan aplikasi sistim pendukung keputusan. Aplikasi ini mampu memberikan hasil yang akurat, objektif, transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada

semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian naskah jurnal ini. Terlebih khusus ucapan terimakasih dihaturkan kepada para Dosen, Ketua Program studi dan Segenap Direksi Akademi Teknik Soroako.

REFERENSI [1]Yusuf M. Analisis Lokasi Cabang Terbaik

Menggunakan Metode Analytic Hierarchy Process, Yogyakarta : Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III, 2012, A-102 –A108

[2]Magdalena H.Sistem Pendukung Keputusan Untuk Menentukan Mahasiswa Lulusan Terbaik Di Perguruan Tinggi (Studi Kasus Stmik Atma Luhur Pangkalpinang), Yogyakarta : Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi (SENTIKA) ISSN: 2089-9815, 2012

[3]Marimin and Maghfirah N. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok, Bogor : IPB Press, 2010

[4]Kusrini. Konsep dan Aplikasi Sisitim Pendudkung Keputusan, Yogyakarta: Andi, 2007

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 67

Implementasi PDO Pada Pengembangan Aplikasi Penjadwalan SMK Negeri di Kota Manado

Maksy Sendiang1), Ottopianus Meilolo2), Mauren Langie

1 Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Manado email: [email protected]

2 Jurusan Teknik Elektro,Politeknik Negeri Manado email: [email protected]

3Jurusan Teknik Elektro,Politeknik Negeri Manado email : [email protected]

Abstrak

Sebagai salah satu komponen akademik jadwal menjadi barometer penting dalam menentukan apakah satu institusi pendidikan telah siap memasuki semester baru atau sebaliknya. Dalam kenyataan yang dijumpai di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri yang ada di manado, jadwal pelajaran belum selesai sepenuhnya saat semester baru akan dimulai. Dan saat jadwalpun selesai dibuat banyak dijumpai kesalahan – kesalahan seperti tabrakan jam mengajar, tabrakan penggunaan laboratorium, mata pelajaran yang seharusnya dipelajari tidak tercantum dalam jadwal dan kesalahan – kesalahan lainnya. Kesalahan ini akan lebih parah lagi di sekolah yang jumlah siswanya banyak sementara ketersediaan guru dan ruang kelas tidak sebanding..Dalam penelitian ini akan dibangun aplikasi yang akan memberikan fasilitas pembuatan jadwal pelajaran bagi semua SMK Negeri yang ada di Manado. Metode pengembangan system atau aplikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah Rational Unified Process (RUP). Metode ini digunakan karena waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan aplikasi ini tergolong singkat dan juga aplikasi ini akan mengalami perbaikan – perbaikan selama proses pengembangannya. Rational Unified Process memiliki empat tahapan yaitu inception (permulaan), elaboration (perluasan / perencanaan), construction (konstruksi) dan transition (transisi) dimana keempat tahapan ini dapat dilakukan secara iterative. Dari penelitian ini dihasilkan aplikasi penjadwalan berbasis web menggunakan PDO extension yang dapat digunakan oleh semua SMK Negeri di kota Manado dalam penyusunan jadwal pelajaran.

Kata Kunci: Jadwal; PDO;SMK;Manado,RUP

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam pembentukan kualitas manusia. Pendidikan yang baik dan bermutu akan menghasilkan individu – individu handal yang mampu bersaing dan memberikan sumbangsih terbaik bagi masyarakat dan bangsa sesuai disiplin ilmu yang ditekuni. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus melakukan terobosan – terobasan memperbaiki sistem pendidikan di tanah air.

Agar tujuan pendidikan yang ditetapkan dapat tercapai maka dibutuhkan sinergisitas dari semua pihak yang terkait. Kelumpuhan pada satu pihak jelas akan berpengaruh pada pencapaian target yang telah ditetapkan. Adalah mutlak permasalahan – permasalahan yang timbul diatasi sedini mungkin agar tidak

menimbulkan masalah yang dapat menghambat kemajuan pendidikan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini menjadi salah satu tumpuan pemerintah Indonesia dalam menghasilkan lulusan yang profesional. Lulusan SMK diharapkan dapat mengisi kekosongan tenaga – tenaga profesional muda yang dibutuhkan oleh dunia kerja baik instansi pemerintah maupun swasta. Keberadaan SMK di kota Manado sedikitnya telah mengisi kebutuhan tenaga kerja di kota ini bahkan provinsi Sulawesi Utara yang sedang berkembang.

Dibalik harapan yang diletakkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri khususnya yang ada di kota Manado, maka saat ini dijumpai permasalahan yaitu sering terjadinya keterlambatan jadwal pelajaran pada semester baru. Jadwal belum selesai sepenuhnya sementara proses belajar mengajar harus dimulai. Ditambah lagi karena dibuat secara manual, ketika jadwal selesai banyak kesalahan- kesalahan yang ditemui. Kesalahan

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 68

yang dimaksud diantarnya seorang guru harus mengajar pada jam yang sama pada lebih dari satu kelas, mata pelajaran tertentu yang harus diajarkan di kelas tidak dicantumkan di jadwal, pada jam yang sama satu kelas dijadwalkan diajar oleh lebih dari satu guru dengan mata pelajaran yang berbeda dan kesalahan – kesalahan yang lain. Bisa dikatakan bahwa untuk SMK Negeri yang ada di Manado karena jumlah guru dan ketersediaan kelas yang ada jauh dibawah jumlah siswa sementara jadwal dibuat secara manual maka praktis jadwal tersebut tidak pernah selesai bahkan sampai semester yang berjalan berakhir. Dijumpai dilapangan sesama guru yang kemudian harus memvalidasi jadwal mengajarnya, dan sudah tidak didokumentasikan dijadwal karena biasanya begitu dibuat satu perubahan akan mempengaruhi bagian lain dari jadwal tersebut. Permasalahan

Mengacu pada latar belakang diatas maka permasalahan yang mendasari diangkatnya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Belum tersedianya sistem pembuatan

jadwal proses belajar mengajar berbasis perangkat lunak di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kota Manado

2. Belum tersedianya sistem perangkat lunak yang memungkinkan guru – guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di kota Manado memasukkan usulan mata pelajaran, kelas dan jam yang dikehendaki untuk diajarkan pada semester depan.

Tujuan Kegiatan Mengembangkan sistem informasi

penjadwalan SMK Negeri di kota Manado menggunakan PDO extension.

II. KAJIAN LITERATUR Jadwal

Jadwal dan monitoring proses belajar mengajar adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dalam dunia pendidikan termasuk didalamnya dunia pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jadwal adalah pembagian waktu berdasarkan rencana pengaturan urutan kerja; daftar atau tabel kegiatan atau rencana kegiatan dengan pembagian waktu pelaksanaan yang terperinci [4]. Sedangkan penjadwalan adalah proses,

cara, atau perbuatan menjadwalkan atau memasukkan ke dalam jadwal [4].

Dalam penjadwalan khusus jadwal sekolah kita diperhadapkan dengan beberapa parameter seperti guru, kelas, ruang,mata pelajaran hari dan jam. Parameter – parameter ini ditata sedemikian rupa dalam jadwal sehingga tidak terjadi konflik. Pengertian Aplikasi

Aplikasi adalah suatu kelompok file (form, class,report) yang bertujuan untuk melakukan aktivitas tertentu yang saling terkait [3]. Program aplikasi merupakan program siap pakai, program yang direka untuk melaksanakan suatu fungsi bagi pengguna atau aplikasi yang lain contohnya program pemproses kata dan web browser.

Menurut Turang aplikasi adalah system yang menyediakan layanan untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan tertentu. Aplikasi perangkat lunak adalah perangkat lunak yang disusun dari satu atau lebih program untuk melakukan pekerjaan tertentu. Aplikasi basis data adalah aplikasi yang menyediakan sejumlah operasi yang sesuai dengan berbagai aktivitas nyata yang memang dilakukan oleh pemakai akhir (end user). PHP Data Objek (PDO)

PDO adalah database akses layer untuk PHP versi 5.xx yang digunakan untuk mengkases database dari PHP, PDO menyediakan metode yang seragam untuk pengaksesan ke beberapa database artinya ketika kita menggunakan database yang didukung oleh Driver PDO seperti MySQL,Oracle,PostgreSQL dan sebagainya kita hanya cukup membuat script yang sama menggunakan PDO, yang berbeda hanyalah String koneksinya sehingga akan meningkatkan produktivitas [5].

Fungsi MySQL_* tidak mendukung konsep SQL database modern seperti prepared statements, stored procedures, transaction dan terbukti banyak mengandung vulnerability sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan ditinggalkan Dengan menggunakan PDO kita akan lebih produktif dengan kode program yang lebih aman. Dalam PDO query yang dilakukan lebih aman dengan menggunakan bind parameters. Bind parameters juga dapat meningkatkan performance karena ketika memanggil SQL

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 69

Query beberapa kali dapat dilakukan hanya dengan memberikan sedikit perubahan pada parameternya. PDO memiliki multiple method untuk penanganan error (error handling) tidak seperti fungsi dalam MySQL_*.

III. METODE PENELITIAN Metode yang dipakai dalam pengembangan

aplikasi ini adalah Rational Unified Process (RUP). Metode ini digunakan karena waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan aplikasi ini tergolong singkat dan juga aplikasi ini akan mengalami perbaikan – perbaikan selama proses pengembangannya.

Rational Unified Process (RUP) proses pengembangan perangkat lunak yang paling luas digunakan saat ini oleh team yang terlibat dalam pengembangan perangkat lunak (system analis, project manager) [1]. RUP merupakan proses rekayasa perangkat lunak dengan pendefinisian yang baik dan penstrukturan yang baik. RUP menyediakan pendefinisian struktur yang baik untuk alur hidup proyek perangkat lunak.

RUP memiliki empat buah tahapan atau fase yang dapat dilakukan secara iteratif. Dalam metodologi ini ada empat tahap pengembangan perangkat lunak yaitu : 1. Inception (permulaan) adalah tahap

memodelkan proses bisnis yang dibutuhkan dan mendefinisikan kebutuhan akan sistem yang akan dibuat.

2. Elaboration (perluasan/perencanaan), lebih difokuskan pada perencanan arsitektur sistem. Tahap ini juga dapat dibuat untuk menentukan apakah arsitektur sistem yang diinginkan dapat dibuat atau tidak. Tahap ini memberikan penekanan pula pada analisis dari desain sistem dan implementasi sistem dan hasil yang diharapkan dari tahap ini adalah memenuhi Lifecycle Architecture Milestone (batas/tonggak arsitektur dari siklus)

3. Construction (Konstruksi), tahap ini lebih fokus pada pengembangan komponen atau fitur-fitur sistem.

4. Transition (Transisi), tahap ini lebih pada deployment atau instalasi sistem agar dapat dimengerti oleh user. Aktivitas pada tahap ini termasuk pada pelatihan user, pemeliharaan, dan pengujian sistem apakah sudah memenuhi harapan user

Objek Penelitian Sumber data untuk penelitian ini berasal

dari enam Sekolah Menengah Kejuruan Negeri yang ada di kota Manado dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Manado. Data didapat melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data selanjutnya diolah di Laboratorium Pemrograman Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Manado. Bahan dan Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk membuat aplikasi penjadwalan SMK Negeri di kota Manado adalah tiga buah perangkat komputer yang terintegrasi dalam satu jaringan lokal (LAN).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Spesifikasi Kebutuhan

Ruang lingkup aplikasi penjadwalan yang dibangun adalah sebagai berikut : 1. System memiliki beberapa user yaitu Wakil

Kepala Sekolah (Waka) Bidang Akademik, Guru dan siswa

2. System yang dibangun berbasis web dan server diletakkan di Dinas Pendidikan Kota Manado

3. System yang dibangun merupakan system yang diakses secara online Untuk fitur system adalah sebagai berikut :

1. Login; siapapun pengguna system harus login terlebih dahulu untuk masuk ke dalam system. Pengguna system akan diberikan username dan password

2. Mengolah data sekolah,guru,mata pelajaran; pengguna system sesuai dengan hak aksesnya dapat mengolah data – data diatas yang meliputi menambah, mengubah dan menghapus data.

3. Manipulasi jadwal; pengguna system (guru) dapat menginput,update,hapus jadwal pribadinya sesuai kebutuhan dan kompetensi guru yang bersangkutan.

4. Validasi jadwal; pengguna system (Waka) Bidang Akademik memvalidasi jadwal sebelum jadwal dicetak.

5. Cetak jadwal berdasarkan kategori; Waka Bidang Akademik dapat mencetak jadwal berdasarkan kategori kelas dan nama guru.

Pemodelan Aplikasi Kakas yang digunakan untuk

pengembangan aplikasi penjadwalan ini adalah

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 70

UML (Unified Modelling Language). UML adalah notasi yang digunakan dalam pemodelan baik pemodelan fungsional, pemodelan object maupun pemodelan dinamis [2].Pemodelan digunakan untuk penyederhanaan permasalahan-permasalahan yang kompleks sedemikian rupa sehingga lebih mudah dipelajari dan dipahami [5].

Adapun tujuan pemodelan yaitu sebagai sarana analitis, pemahaman, visualisasi dan komunikasi antar anggota tim pengembang, serta sebagai sarana dokumentasi. Kakas UML yang digunakan terdiri atas : 1. Use Case Diagram; merupakan sarana

untuk mendaftarkan actor-actor dan use case – use case dan memperlihatkan actor-actor mana yang berpartisipasi dalam masing – masing use case [2] (gambar 1)

2. Use Case Diagram; merupakan sarana untuk mendaftarkan actor-actor dan use case – use case dan memperlihatkan actor-actor mana yang berpartisipasi dalam masing – masing use case [2] (gambar 1)

Siswa Gambar 1(a). Use Case Diagram User

Guru

Guru

Mengelola Jadwal

Mencetak Jadwal

Login

Membatalkan Cetak Jadwal

<<include

<<include>>

<<extend>>

Tambah Edit Hapus

Pengolahan

Manajemen Data Penjadwalan

Gambar 1(b). Package Diagram Admin

<<include

<<include

<<include

Invalid

Menampilkan halaman

Memilih Menu

Menginput Jadwal Mencetak

Invalid

Valid Invalid

Valid

Gambar 2(a). Activity Diagram User

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 71

3. Class Diagram; digunakan untuk menggambarkan struktur system dalam kaitannya dengan class dan objek [2] (gambar 3) Penggambaran Antarmuka (Storyboard)

1. Tampilan Halaman Utama Pengguna Aplikasi

Menampilkan halaman

Melakukan manajemen data penjadwalan

Invalid

Valid

Gambar 2(b). Activity Diagram

LOGO

Home Siswa Guru Waka Logout

FOOTER

Gambar 4. Stroryboard tampilan halaman utama

Cetak Jadwal Kelola Jadwal Cetak Jadwal

Kelola Subjek Kelola Guru Kelola Kelas Cetak Jadwal

Guru

Nip : varchar(20)

I. NAMA : VARCHAR (50)

III. TAMBAH_GURU( )

hapus_Guru(nip )

Guru_SMK

Nip : varchar(20) Kode : varchar(5) Status : boolean

VI. INPUT_STATUS(STATUS )

cari (key )

SMK

Kode : varchar(5)

VII. NAMA : VARCHAR (50)

IX. TAMBAH_SMK( )

hapus_SMK(kode )

Jadwal

Nip : varchar(20) Kode : varchar(5) Kode_S : varchar(20)

XII. HARI : VARCHAR(20)

Jam_masuk : time

XIII. JAM_SELESAI :

XVI. TAMBAH_JADWAL( )

hapus_Jadwal( )

XVII. UBAH_JADWAL( )

Kode_S : varchar(20) Nama_S : varchar(5)

XIX. INPUT_MP( ) hapus_MP(kode_s )

XX. EDIT_MP(

Gambar 3. Class Diagram

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 72

2. Tampilan halaman cetak jadwal Pengkodean Program Kode program untuk aplikasi ini

menggunakan PDO extension. Koneksi PDO dengan MySQL ditunjukkan pada sintaks berikut ini :

<?php $hostname = 'localhost'; $username = 'username'; $password = 'poltek'; try

$dbh = new PDO("mysql:host=$hostname; dbname= jadwal", $username, $password);

echo ‘Koneksi Berhasil’; catch(PDOException $e) echo $e->getMessage();

?> Potongan sintaks untuk manipulasi

database adalah sebagai berikut <?php $hostname = 'localhost'; $username = 'username'; $password = 'poltek'; $nip = $_POST['nip']; $nama = $_POST['nama']; $alamat = $_POST['alamat']; try

$dbh= new PDO("mysql:host=$hostname; dbname=jadwal", $username, $password); echo 'Koneksi berhasil<br />'; //untuk insert

/* $count = $dbh->exec("INSERT INTO guru(nip,nama,alamat,telp) VALUES ('$nip', '$nama','$alamat')");*/

//untuk select /*$sql = "SELECT * FROM guru";

foreach ($dbh->query($sql) as $row)

print $row['nip'] .' - '. $row['nama'] .' - '. $row['alamat'] .' - '. $row['telp']. '<br />';

*/

$dbh = null; catch(PDOException $e) echo $e->getMessage(); ?>

PDO dan SQL Injection Salah satu keandalan PDO adalah

kemampuan untuk mencegah SQL Injection. <?php $hostname = 'localhost'; $username = 'username'; $password = 'poltek'; try

$dbh = new PDO("mysql:host=$hostname; dbname=jadwal", $username, $password);

$dbh->setAttribute(PDO::ATTR_ ERRMODE, PDO::ERRMODE_EXCEPTION);

$guru_nip = '19720506200011001; $guru_nama = 'Jane'; $stmt = $dbh->prepare("SELECT * FROM

guru WHERE guru_nip = :guru_nip AND guru_nama = :guru_nama");

$stmt->bindParam(':guru_nip', $guru_nip, PDO::PARAM_STR);

$stmt->bindParam(':guru_nama', $guru_nama, PDO::PARAM_STR, 5);

$stmt->execute(); $result = $stmt->fetchAll(); foreach($result as $row)

echo $row['nip'].'<br />'; echo $row['nama'].'<br />'; echo $row['alamat'];

C

B

Gambar 5b. Storyboard tampilan halaman cetak jadwal berdasarkan nama

guru

S

Tahun

Nama Guru

Semester

C

B

Gambar 5a. Storyboard tampilan halaman cetak jadwal berdasarkan kelas

S

Tahun

Program

Kelas

Semester

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 73

$dbh = null; catch(PDOException $e) echo $e->getMessage(); ?> Kode diatas tidak mengandung celah

(vulnerability) untuk SQL Injection karena menggunakan parameterized query. Dengan menggunakan PHP PDO modul dan binding variable ke prepared statement, SQL Injection dapat dengan mudah dicegah.

$q=$_GET["q"]; $con = mysql_connect('localhost',

'root', ''); mysql_select_db("ajax_demo", $con); $sql="SELECT * FROM user

WHERE id = '".$q."'"; $result = mysql_query($sql);

Kode diatas mengandung celah untuk SQL

Injection karena masih menggunakan library MySQL yang tidak mendukung prepared statements.

V. KESIMPULAN

Pengembangan aplikasi penjadwalan SMK Negeri di Kota Manado diimplementasikan menggunakan PDO didasari pada kenyataan bahwa PDO memiliki kelebihan dibandingkan dengan fungsi – fungsi MySQL.* yang tidak lama lagi akan ditinggalkan (deprecated). Selain dapat mencegah SQL Injection dengan pemakaian prepared statements, penggunaan PDO meningkatkan performance system melalui penggunaan bind parameters dan multiple method dalam menangani error (error handling).

Aplikasi yang dibangun ini memberikan fasilitas pada semua SMK Negeri di kota Manado untuk membuat jadwal berbasis teknologi web.

UCAPAN TERIMA KASIH Selesainya penelitian ini tidak lepas dari

bantuan pihak – pihak diantaranya : 1. Direktur Politeknik Negeri Manado

(Ir.Jemmy Rangan,MT ) 2. Kepala Dinas Pendidikan Kota Manado

3. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Politeknik Negeri Manado

4. Ketua Jurusan Teknik Elektro 5. Kepala – Kepala SMK Negeri di Kota

Manado 6. Rekan – rekan di Program Studi Teknik

Informatika

REFERENSI [1]Qiaoli Chen,Department Of engineering

working software teaching and research Shaanxi Institute of technology Xi’an China, "Compare and study about owing to the three kinds important softwares develop process ", international Conference on Education Technology and Economic Management (ICETEM), 2015.

[2]Bernd BRUEGGE and Allen H.Dutoit, Object oriented Software Engineering Using UMl,patterns and java, USA: Pearson Education Limited, 2013, pp. 25-30.

[3] Janner Simarmata, Rekayasa Perangkat Lunak,Yogya:Penerbit Andi,2010.

[4]Kamus Bahasa Indonesia Online, http://www.KamusBahasaIndonesia.org, akses : 13 April 2015

[5]PHP and Web Development Tutorial, http://www.phpeveryday.com/articles/PHP-Data-Object/PDO-Tutorial-P842.html, akses : 20 April 2015

Prosiding Seminar Nasional Teknik Elektro & Informatika IT11 SNTEI 2015 PNUP, Makassar, 11 Juni 2015

ISBN: 978-602-18168-0-6 74