pengaruh desain ergonomi dalam tata ruang rawat inap terhadap kondisi psikologis pasien

37
SEMINAR PENGARUH DESAIN ERGONOMI DALAM TATA RUANG RAWAT INAP TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS PASIEN Dosen Pembimbing: Arnis Rochma Harani, ST, MT Disusun Oleh: Natalya Indah Prameswari 21020113130155

Upload: natalya-prameswari

Post on 11-Jul-2016

318 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Kajian Pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

SEMINAR

PENGARUH DESAIN ERGONOMI DALAM TATA RUANG RAWAT

INAP TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS PASIEN

Dosen Pembimbing:

Arnis Rochma Harani, ST, MT

Disusun Oleh:

Natalya Indah Prameswari 21020113130155

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2016

Page 2: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori yang Berkaitan dengan Penelitian

2.1.1. Teori Tata Ruang Dalam

Tata ruang dalam biasa juga disebut sebagai desain interior. Ching

menyimpulkan bahwa artian desain interior adalah perencanaan tata letak dan

perancangan ruang dalam sebuah bangunan sehingga keadaan fisiknya memenuhi

kebutuhan dasar kita akan naungan dan perlindungan, mempengaruhi bentuk

aktivitas dan memenuhi aspirasi penghuninya, serta mengekspresikan gagasan

yang menyertai tindakan, disamping itu sebuah desain interior mampu

mempengaruhi pandangan, suasana hati, dan kepribadian seseorang (Ching dalam

Tjoret Creative Studio, 2010). Variabel dalam sebuah ruang menurut Haryadi &

Setiawan (1995:55) antara lain ukuran dan bentuk ruang, perabot dan

penataannya, warna serta unsur lingkungan ruang seperti suara, temperatur, dan

pencahayaan.

Desain interior sebagaimana dirinya adalah bagian dari arsitektur,

memiliki prinsip venustas, firmitas, dan utilitas. Venustas berbicara mengenai

estetika atau keindahan secara visual yang diperoleh dari penataan elemen-elemen

ruang. Firmitas berbicara mengenai kekokohan struktur atau material yang dipilih

dan digunakan pada elemen-elemen tata ruang. Sedangkan utilitas berbicara

mengenai fungsi atau kegunaan utama dari ruang sebagai wadah dari aktivitas

tertentu yang dilakukan oleh penghuni ruang. Di dalam arsitektur, kegunaan dan

citra bangunan atau ruang seharusnya berjalan berdampingan sebagai wadah

kegiatan dan representasi jiwa manusia yang menempatinya (Mangunwijaya,

1988)

Unsur dasar dalam sebuah desain terdiri dari yang paling sederhana, yaitu

titik. Unsur paling sederhana tersebut kemudian berkembang menjadi unsur yang

lebih kompleks, dimulai dari noktah, garis, bidang, lalu menciptakan bentuk dan

ruang (Kusumarini, 2005). Unsur dasar yang berpengaruh terhadap unsur dasar

Page 3: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

desain diantaranya adalah jumlah, tekstur, warna, letak, ukuran, ilusi, jarak, arah,

selang, waktu, dan orientasi. Dalam ranah desain interior juga dipelajari unsur

desain spesifik seperti cahaya, suara, gerak, dan aroma, dalam rangka untuk

menciptakan atmosfer ruang.

Ruang terbentuk dari elemen linier dan elemen vertikal. Elemen linier

berfungsi sebagai base atau dasar, yang biasa disebut dengan lantai, dan enclosure

atau penutup, yang biasa disebut sebagai atap. Elemen linier menentukan luasan

sebuah ruang. Sedangkan elemen vertikal berfungsi sebagai pembatas ruang, baik

secara solid atau berwujud, seperti dinding dan kolom, maupun void atau tidak

berwujud. Elemen vertikal berfungsi sebagai penentu ketinggian ruang. Luas dan

tinggi ruang menciptakan sebuah volum ruang, yang kemudian dikategorikan

sebagai dimensi dan proporsi. Proporsi berprinsip pada hubungan matematis

antara ukuran bentuk atau ruang sebenarnya, sedangkan skala berprinsip pada

bagaimana seseorang memandang besarnya suatu unsur ruang secara relatif

terhadap bentuk-bentuk lainnya (Ching, 1979:326). Skala dapat menunjukkan

besarnya atau pentingnya fungsi sebuah ruangan serta mengubah persepsi

seseorang mengenai ukuran ruang atau ukuran fasad.

Cahaya sebagai unsur spesifik pembentuk ruang memegang peranan

penting dalam mewujudkan atmosfer ruang dalam. Menurut Kusumarini

(2005:35), pencahayaan yang baik dan sesuai dengan karakter ruang akan dapat

memaksimalkan aktivitas dan produktivitas di dalam ruang tersebut. Sistem

pencahayaan terdiri dari sistem pencahayaan alami dan buatan. Keduanya

memiliki masing-masing karakternya. Permainan cahaya dalam perancangan

interior akan merangsang kepekaan pengguna ruang terhadap komposisi dan

bentuk ruangan.

2.1.2. Teori Ergonomi

Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang manusia dalam

usahanya untuk meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerjanya (Nurmianto,

1996). Etimologi dari istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin, yaitu ergon

(kerja) dan nomos (hukum alam) sehingga dapat didefinisikan sebagai studi

tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara

anatomi, fisiologi, psikologi, keteknikan, manajemen, dan desain atau

Page 4: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

perancangan. Ergonomi dianggap sebagai ilmu antardisiplin yang mempelajari

hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan sering dikaitkan dengan

rekayasa manusia (Panero dan Zelnik, 1979: 5). Di dalam ergonomi dibutuhkan

studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling

berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan

manusianya.

Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun

(desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Namun ranahnya tidak terbatas hanya

pada dimensi ruang, furnitur, dan bukaan saja, melainkan rancang bangun

lingkungan kerja (working environtment). Ergonomi memberikan peranan penting

dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan penggunanya, serta

meminimalkan risiko kesalahan, serta hilangnya risiko kesehatan akibat metode

kerja yang kurang tepat.

Ergonomi berdasarkan International Ergonomics Association dalam

Nurmianto digunakan oleh berbagai macam ahli atau profesional pada bidangnya,

misalnya: ahli anatomi, arsitektur, perancangan produk industri, fisika, fisioterapi,

terapi pekerjaan, psikologi, dan teknik industri. Selain itu ergonomi dapat

diterapkan untuk bidang fisiologi, psikologi, perancangan, analisis, sintesis,

evaluasi proses kerja dan produk bagi wiraswastawan, manajer, pemerintahan,

militer, dosen dan mahasiswa.

Dasar keilmuan dari ergonomi banyak yang hanya berdasarkan pada

common sense atau suatu hal yang dianggap sudah biasa terjadi. Namun

karakteristik fungsional dari manusia seperti kemampuan penginderaan, waktu

respon, daya ingat, posisi optimum tangan dan kaki, dan lain-lain adalah

merupakan suatu hal yang belum sepernuhnya dipahami oleh masyarakat awam.

Sehingga dalam suatu perancangan pekerjaan tidak harus menggunakan trial and

error untuk menyatakan suatu rancangan dikatakan ergonomis. Ilmu-ilmu yang

banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia antara lain anatomi dan

fisiologi sebagai pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem rangka dan sistem

otot. Tiga hal yang menjadi landasan dalam ergonomi, antara lain:

a. Kinesiologi (mekanika pergerakan manusia atau mechanics of

human movement)

b. Biomekanika (aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis

sistem rangka dan sistem otot manusia

Page 5: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

c. Antropometri (kalibrasi tubuh manusia)

Faktor manusia sebagai faktor utama dalam studi ergonomi berkaitan dengan

ukuran tubuh dan dimensinya. Hubungan antara ukuran atau dimensi manusia

dengan lingkungannya disebut kesesuaian ergonomik atau ergofitting. Tentu studi

ergonomi dalam bidang arsitektur sebagai ilmu perancangan yang berbasis

manusia adalah antropometri atau dimensi tubuh manusia (Panero dan Zelnik,

1979: 6). Antropometri menjadi ukuran dalam ergonomi, terutama berkaitan

dengan sistem secara menyeluruh, antara lain meliputi accessibility atau

aksesibilitas, restraint atau ketahanan, visibility atau visibilitas, seating atau

kedudukan, display atau penampang, controls atau pengaturan penggunaan, dan

environment atau lingkungan.

2.1.3. Teori Hubungan Psikologis dengan Kesehatan Manusia

Di dalam psikologi terdapat yang dinamakan psikologi klinis, yaitu ilmu

yang mempelajari keterkaitan psikologis terhadap kesehatan tubuh secara

fisiologis. Salah satu bagian dari psikologi klinis yaitu mengenai psikologi

abnormal, yaitu ilmu yang mempelajari berbagai perilaku, pikiran, dan perasaan

yang tidak biasa terjadi atau tidak normal.

Menurut Robert S. Feldman dalam Fausiah dan Widury, stress adalah

suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam,

menantang, ataupun membahayakan, dan individu merespon peristiwa itu pada

level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Suatu peristiwa didefinisikan

sebagai peristiwa yang menekan secara langsung maupun tidak langsung

bergantung pada respon yang diberikan oleh individu. Suatu individu dikatakan

optimal ketika dirinya terbebas dari faktor-faktor emosional dan gangguan

psikofisiologis. Faktor-faktor emosional antara lain stress, sedih, dan lain

sebagainya, sedangkan gangguan psikofisiologis disebabkan adanya masalah fisik

sesungguhnya.

Pada bidang ilmu psikologi, terdapat suatu anggapan bahwa seluruh

penyakit, tidak hanya beberapa saja, dapat disebabkan oleh faktor-faktor

psikologis (Neale, Davison dan Haaga pada Fausiah dan Widury, 2005:10). Ilmu

yang mempelajari hal tersebut terdapat di bidang psikologi klinis DSM IV

(Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder) mengenai Faktor Psikologis

Page 6: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Mempengaruhi Kondisi Medis. Tinggi rendahnya tingkat stress seseorang dapat

berpengaruh pada kondisi fisiknya, seperti pernapasan atau tekanan darah. Stress

dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan munculnya

penyakit fisik.

Setiap individu memiliki coping atau usaha yang berbeda dalam

menghadapi stress, begitu juga dengan responnya akan dukungan orang

sekitarnya. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Fausiah dan Widury, terdapat

dua tipe coping: problem-focused coping, dimana individu berfokus pada mencari

solusi berupa tindakan atau info atas suatu masalah; dan emotion-focused coping,

dimana individu berfokus untuk menurunkan emosi negatif yang atas suatu

masalah. Selain coping, keberadaan dan kualitas dukungan sosial untuk individu

juga salah satu yang membantu menurunkan stress. Adanya saudara, teman, atau

kenalan mampu membantu seseorang untuk menggunakan coping-nya lebih

optimal.

Pandangan mengenai hubungan antara psikologis dengan kesehatan dibagi

menjadi tiga, antara lain:

a. Pandangan Psikodinamik

Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan oleh emosi-

emosi yang dipendam sehingga hal tersebut menentukan organ mana

yang terkena penyakit. Contohnya: seseorang mengalami tekanan

dalam pekerjaannya, sehingga ia mengalami sakit di bagian kepala.

b. Pandangan Biologis

Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan oleh lemahnya

organ tubuh akibat masalah genetis atau penyakit bawaan. Contohnya:

seseorang mengalami penyakit skizofrenia karena anggota keluarganya

yang lain ada yang mengidap penyakit tersebut.

c. Pandangan Kognitif dan Perilaku

Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan bagaimana

individu mempersepsi dan bereaksi terhadap ancaman dari luar.

Persepsi individu dapat menstimulasi aktivitas sistem simpatik dan

pengeluaran hormon stress. Sedangkan emosi negatif sendiri membuat

sistem tersebut tidak berjalan lancar sehingga pada suatu titik tertentu

memunculkan penyakit.

Page 7: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

2.1.4. Ergonomi di Rumah Sakit dan Kaitannya dengan Psikologis Pasien

Untuk meminimalkan kesalahan perancangan dan memaksimalkan kepuasan yang

dirasakan oleh pengguna interior, menurut Weinschenk dalam Setiawan dan Ruki,

seorang perancang harus memperhatikan aspek dalam psikologi desain, antara

lain:

a.Bagaimana seseorang melihat

yaitu bagaimana suatu penampilan tertangkap oleh indera penglihatan

dan dapat memberikan persepsi yang berbeda. Contohnya, ruangan

yang lebih tinggi memberikan persepsi keluasan yang berbeda dengan

ruang yang lebih rendah, atau adanya variasi warna, bentuk, motif,

tekstur dan material dibandingkan ruang yang monoton tanpa variasi.

b. Bagaimana seseorang memusatkan perhatiannya

Dalam desain sebuah public space, hal ini bermanfaat untuk membuat

seseorang mampu membaca fungsi ruang atau tertarik untuk

mendatangi suatu ruang. Hal tersebut membuat seseorang tidak merasa

bosan dan tertarik untuk mengeksplorasi bagian ruang.

c.Bagaimana seseorang membaca

Yaitu bagaimana seseorang menangkap sebuah signage atau

penandaan, yang biasanya berkenaan dengan suatu anjuran atau

larangan atau sesuatu yang harus diperhatikan.

d. Bagaimana seseorang mengingat

Yaitu bagaimana seseorang dapat mengingat pembentukan imaji atau

kekhasan pada suatu interior, baik warna, suasana, bentuk, maupun

kegiatan yang berlangsung disana.

e.Bagaimana seseorang berpikir

Yaitu bagaimana seseorang menentukan apa yang mereka inginkan,

menentukan informasi yang mereka butuhkan, zonasi apa saja yang

terdapat pada suatu ruangan, melalui kebudayaan yang

melatarbelakangi cara berpikirnya.

f. Bagaimana seseorang merasakan

Page 8: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Yaitu apa yang dirasakan seseorang melalui panca inderanya, antara

lain dengan indera penciuman, penglihatan, perabaan, pendengaran,

dan pengecap.

g. Bagaimana seseorang menentukan suatu pilihan atau

berpendapat

Hampir semua proses mental dalam keadaan tidak sadar, begitu pula

keputusan yang dilakukan, dan hal itu tidak berarti irrasional atau

salah. Ssehingga seseorang mengambil keputusan sesuai dengan

guideline atau aturan yang sesuai dengan latar belakangnya.

h. Apa yang memotivasi seseorang

Yaitu apa yang membuat seseorang mau melakukan sesuatu, baik

ditinjau dari latar belakangnya, keinginannya atau kebutuhannya. Dari

hal tersebut akan menghasilkan sebuah desain dimana form follow

function, dimana bentuk mengikuti kegunaan dari ruang, yang akan

berkaitan dengan aesthetic follow function, dimana estetika atau

keindahan mengikuti fungsi.

i. Apa yang membuat seseorang melakukan kesalahan

Yaitu pendataan mengenai pemakaian, pendataan, dan perbaikan apa

saja yang dilakukan untuk menanggulangi atau mencegah pengguna

ruang melakukan kesalahan.

j. Manusia adalah makhluk sosial

Yaitu untuk mengkategorikan ruangan menjadi area atau zona yang

berbeda berdasarkan jenis interaksinya dengan orang lain, contohnya

zona publik, zona semi-publik, zona semi-privat, dan zona privat.

Hal-hal tersebut nantinya akan berkaitan dengan elemen dan prinsip-prinsip

dalam desain interior atau tata ruang.

Di rumah sakit, suasana yang didapatkan dari perancangan interior atau

tata ruang akan berpengaruh terhadap pasien yang dirawat. Menurut Utomo

dalam Sari, ruang rawat inap hanya diperuntukkan sebagai penunjang fungsi fisik

penyembuhan pasien saja tanpa memperhatikan faktor psikologis dan

kenyamanan pasien. Hal tersebut akan membuat fungsi ruang tidak optimal

menunjang proses kebutuhan pasien. Menurut Kaplan dalam Sari, penyembuhan

pasien merupakan kompleksitas yang terjalin antara kondisi fisiologis dengan

kondisi psikologis dari seseorang. Untuk mendukung kondisi psikologis pasien

Page 9: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

perlu diciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung proses penyembuhan.

Faktor lingkungan sendiri mempunyai peran terbesar dalam proses penyembuhan,

dimana faktor lingkungan sebesar 40%, faktor medis sebesar 10%, faktor genetis

20%, dan faktor lainnya sebesar 30%.

Menurut Wohlwill dalam Sari, lingkungan rumah sakit memungkinkan

terjadinya interaksi antara ruang dan aktivitas yang berlangsung tidak seiumbang.

Hal ini disebabkan rumah sakit dirancang berdasarkan standar internasional yang

dapat menjadi salah satu stimulus stress pada pasien yang dirawat. Piaget dalam

Sari menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah

identik dengan hubungan antara kognisi dengan struktur lingkungannya.

Lingkungan mengandung stimulus atau rangsang yang kemudian ditanggapi oleh

manusia dalam bentuk respon. Dalam menanggapi respon, pasien di rumah sakit

berupaya untuk mengerti, memahami, dan menilai lingkungannya, dalam upaya

untuk mengatasi keadaan tertekan dan tidak nyaman dalam ruang yang terasa

asing.

Bagan 2.1. Persepsi Kognitif terhadap Lingkungan (Wohlwill dalam Sari, 2003)

Beberapa stimulus dalam desain tata ruang atau interior diterima melalui

indera manusia. Menurut Bell dalam Sari, terdapat sembilan alat indera, yaitu

penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit,

perasa, serta penciuman. Semua alat indera tersebut yang memungkinkan

manusia berinteraksi atau berkomunikasi dengan ruang, dengan kecepatan

stimulus antara lain sebagai berikut:

Page 10: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Bagan 2.2. Total Kapasitas Informasi Seseorang terhadap Respon (Bell

dalam Sari, 2003)

Dimana stimulus visual memiliki spektrum yang paling cepat direspon

dibandingkan stimulus akustik, penciuman, maupun termal. Elemen desain yang

dapat dikategorikan ke dalam stimulus visual antara lain warna, iluminasi, bentuk

dan skala. Ergonomi dapat dikaitkan dalam bentuk dan skala di dalam ruang

sebagai salah satu aspek visual yang kemudian akan mempengaruhi kondisi

psikologis pengguna ruang di dalamnya.

Jika seorang pasien tidak nyaman dengan kondisi lingkungannya, yaitu

ruang tempat ia dirawat, maka akan menyebabkan gangguan psikosomatis.

Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh

dimana pikiran mempengaruhi tubuh sehingga penyakit muncul atau diperparah

(AloDokter.com, 2015). Sehingga dalam kaitannya dengan kondisi psikologis

seorang pasien, ergonomi di dalam sebuah ruang rawat inap di rumah sakit dapat

mempengaruhi kesehatan pasien. Pengaruh ergonomi bagi pasien dapat berupa

pengaruh positif, yaitu mendukung proses penyembuhan pasien, atau justru

pengaruh negatif, yang membuat pasien stress dan mengalami gejala penyakit

yang lebih parah atau munculnya penyakit lainnya.

2.1.4.1. Standar Ergonomi di Rumah Sakit

Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal

10 disebutkan bahwa bangunan rumah sakit paling sedikit terdiri atas ruang

rawat inap, serta pada pasal 9 disebutkan bahwa dalam persyaratan teknis

bangunan rumah sakit harus sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan

kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan

bagi semua orang, termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia

lanjut. Dalam Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit, ruang rawat inap

Page 11: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

merupakan ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan

keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam.

Alur kegiatan di bangunan rawat inap antara lain sebagai berikut:

Bagan 2.3. Alur Kegiatan di Bangunan Rawat Inap (Direktorat Bina

Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, 2012)

Sedangkan alur pasien di dalam ruang rawat inap terbagi sebagai berikut:

a. Pasien masuk ruang rawat inap

1. Pasien masuk ruang rawat inap dari IGD/COT/rawat jalan melalui

admisi atau pendaftaran

2. Pasien mendapatkan Nomor Rekam Medis

3. Serah terima dan orientasi di pos perawat (Nurse Station)

4. Pasien ganti pakaian

Page 12: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

5. Pasien selanjutnya dirawat lebih lanjut di ruang rawat inap

b. Pasien meninggalkan ruang rawat inap

1. Pasien pulang ke rumah setelah sehat

2. Pasien meninggal dikirim ke kamar jenazah

Persyaratan teknis mengenai bangunan ruang rawat inap antara lain:

a. Lokasi

1. Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan

nyaman, tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibilitas atau pencapaian

dari sarana penunjang rawat inap.

2. Bangunan rawat inap terletak jauh dari tempat-tempat pembuangan

kotoran dan bising dari mesin/generator.

b. Denah

1. Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan

perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara

linier/lurus (memanjang)

2. Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah

pasien yang akan ditampung.

3. Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan.

4. Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi persyaratan

minimal, antara lain:

a. Ruang perawatan VIP 18 m2/tempat tidur

b. Ruang perawatan Kelas I 12 m2/tempat tidur

c. Ruang perawatan Kelas II 10 m2/tempat tidur

d. Ruang perawatan Kelas III 7,2 m2/tempat tidur

5. Persyaratan khusus

a. Tipe ruang rawat inap, terdiri dari:

i. Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP)

ii. Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)

iii. Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)

iv. Ruang rawat inap 6 tempat tidur setiap kamar (Kelas 3)

b. Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (ruang

isolasi), seperti:

i. Pasien yang menderita penyakit menular

Page 13: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

ii. Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau

(seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dan

sebagainya)

iii. Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam

ruangan)

c. Lantai

1. Lantai harus kuat dan rata, tidak berongga.

2. Bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan tidak berpori, seperti

vinyl yang rata atau keramik dengan nat yang rapat sehingga debu

dari kotoran-kotoran tidak mengumpul, mudah dibersihkan, tidak

mudah terbakar.

3. Pertemuan dinding dengan lantai disarankan melengkung (hospital

plint), agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat

sarang debu dan kotoran.

d. Langit-langit

Langit-langit harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan

debu/kotoran.

e. Pintu

1. Pintu masuk ke ruang rawat inap, terdiri dari pintu ganda, masing-

masing dengan lebar 90 cm dan 40 cm. Pada sisi pintu dengan

lebar 90 cm, dilengkapi dengan kaca jendela pengintai (observation

glass).

2. Pintu masuk ke kamar mandi umum, minimal lebarnya 85 cm.

3. Pintu masuk ke kamar mandi pasien, untuk setiap kelas, minimal

harus ada 1 kamar mandi berukuran lebar 90 cm, diperuntukkan

bagi penyandang cacat.

4. Pintu kamar mandi pasien, harus membuka ke luar kamar mandi.

5. Pintu toilet umum untuk penyandang cacat harus terbuka ke luar.

f. Jendela

1. Disarankan menggunakan jendela kaca sorong, yang mudah

pemeliharaannya, dan cukup rapat.

2. Bukaan jendela harus dapat mengoptimalkan terjadinya pertukaran

udara dari dalam ruangan ke luar ruangan.

Page 14: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

3. Untuk bangunan rawat inap yang berlantai banyak/bertingkat,

bentuk jendela tidak boleh memungkinkan dilewati pasien untuk

meloncat.

g. Kamar Mandi

1. Kamar mandi pasien, terdiri dari kloset, shower (pancuran air) dan

bak cuci tangan (wastafel).

2. Khusus untuk kamar mandi bagi penyandang cacat mengikuti

pedoman atau standar teknis yang berlaku.

3. Jumlah kamar mandi untuk penyandang cacat, 1 (satu) buah untuk

setiap kelas.

4. Toilet umum, terdiri dari kloset dan bak cuci tangan (wastafel).

5. Disediakan 1 (satu) toilet umum untuk penyandang cacat di lantai

dasar, dengan persyaratan sebagai berikut :

i. Toilet umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan

tampilan rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian

luarnya.

ii. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak

yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.

iii. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan

ketinggian pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm).

iv. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan

pegangan rambat (handrail) yang memiliki posisi dan

ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan

penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki

bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu

pergerakan pengguna kursi roda.

v. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan

perlengkapan-perlengkapan seperti tempat sabun dan

pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah

digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan

keterbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna kursi roda.

vi. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai

tidak boleh menggenangkan air buangan.

Page 15: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

vii. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan

pengguna kursi roda.

viii. Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga

bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.

ix. Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada

daerah pintu masuk, disarankan untuk menyediakan tombol

bunyi darurat (emergency sound button) bila sewaktu-

waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Gambar 2.1. Detail Ruang Rawat Inap (Direktorat Bina Pelayanan Penunjang

Medik dan Sarana Kesehatan, 2012)

Sedangkan menurut Neufert (2002), mengenai lingkungan rumah sakit,

terdapat ketentuan sebagai berikut:

a. Pengukuran Ruangan Pasien

Ruang di kiri dan kanan tempat tidur harus cukup untuk dapat

dilalui. Meja dan kursi harus ditempatkan sedemikian rupa

sehingga dalam penggantian sprei tidak ada perabot yang

menghambat atau harus dikeluarkan. Ukuran minimal untuk lebar

ruang perawatan adalah sebagai berikut:

Lebar antar tempat tidur 90-95 cm

Jarak antar tempat tidur 90 cm

Page 16: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Jarak antara tempat tidur dan dinding 80 cm

Jarak antara tempat tidur dan dinding berjendela 130 cm

Panjang tempat tidur 220 cm

Ruang kosong untuk ruang gerak tempat tidur 125 cm

b. Tempat Tidur Pasien

Tempat tidur pasien harus dapat dijalankan dengan mudah oleh

perawat, baik ketika ada pasien yang berbaring maupun tidak dan

cukup stabil untuk didorong.

Luas permukaan tempat tidur 2,20 m x 0,95 m

(tempat tidur khusus) 2,40 m x 1,00 m

Tinggi tempat tidur 45 – 85 cm

c. Lemari Pasien

Sebuah lemari pasien harus dimasukkan ke dalam rancangan

pembangunan untuk setiap tempat tidur. Lemari ditata sedemikian

rupa sehingga dapat dilihat dari ruang perawatan untuk

menghindari pencurian.

Tinggi lemari 1,40 m

Sudut minimal bukaan pintu 120o

d. Pengaturan Alat-alat komunikasi

Pengaturan alat komunikasi dihubungkan dengan jaringan

komunikasi, meliputi sakelar penerangan ruangan, lampu baca, alat

pemanggil perawat, tempat pengambilan gas dan pompa hampa

udara medis, radio dan telepon.

Page 17: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Gambar 2.2. Detail Ukuran Ruang Perawatan Intensif (Neufert, 2002)

Tabel 2.1. Klasifikasi Perawatan (Neufert, 2002)

Page 18: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

2.1.4.2. Kenyamanan Pasien Berdasarkan Ergonomi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 69 Tahun 2014 tentang

Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Pasal 24 Ayat (2) berisi

mengenai hak pasien. Hak pasien yang berkaitan dengan skala dan proporsi

ruang dalam kaitannya dengan ergonomi meliputi:

a. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

b. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

c. memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi;

d. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

e. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

f. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal tersebut tidak mengganggu pasien lainnya;

g. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit;

h. menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang diterima;

Menurut World Health Organization (WHO) dalam Foyle (2011:3), patient-

centred care atau perawatan berpusat pada pasien mampu menyembuhkan

kondisi fisiologi, biokimia atau anatomi secara holistik di seluruh tubuh

pasien. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang pasien rasakan dan

bagaimana dirinya terlibat dalam tindakan medis yang dilakukan padanya.

Enam prinsip dalam patient-centred care antara lain:

a. compassion, empati dan responsif kepada kebutuhan pasien

b. koordinasi dan integrasi

c. informasi, komunikasi, dan edukasi

d. kenyamanan fisik

e. dukungan emosional, mengurangi ketakutan dan kecemasan

f. keterlibatan keluarga dan kerabat pasien.

Sehingga dari keenam prinsip tersebut, dibutuhkan sebuah setting lingkungan

rumah sakit yang antara lain:

Page 19: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

a. terbuka bagi keluarga dan kerabat pasien

b. menghargai manusia dibandingkan teknologi medis

c. membiarkan pasien untuk berpartisipasi sebagai partner di dalam

pengobatannya

d. menyediakan fleksibilitas untuk melayani kebutuhan setiap pasien

e. mengajak petugas medis untuk responsif terhadap pasien

f. tidak mengisolasi pasien dengan alam sekitar dan keindahannya

Perawatan di rumah sakit biasanya membuat seorang pasien justru

merasa stress melebihi dari penyakit yang dideritanya. Hal tersebut muncul

dari faktor lingkungannya, seperti suasana dan penataan ruang di sekitarnya

yang tidak familiar, kurangnya privasi dan kemandirian yang disebabkan

adanya pengawasan dari tenaga medis, serta ketidakpastian akan

sembuh/tidaknya pasien pada penyakit-penyakit tertentu.

Di sebuah ruang rawat inap, pasien bisa menghabiskan waktunya

hanya tidur dan duduk di tempat tidur pasien, dengan hanya sedikit kegiatan

yang bisa dilakukan. Lingkungan arsitektural dapat berkontribusi pada

penyembuhan pasien dan secara signifikan mempengaruhi kesehatannya. Studi

menunjukkan bahwa:

a. pasien sensitif dan tanggap terhadap lingkungan arsitektural di

sekitarnya

b. pasien membuat kemajuan kesehatannya lebih baik di bangunan yang

dirancang secara khusus dibandingkan hanya sesuai standar

c. rumah sakit yang dirancang lebih seksama akan menciptakan atmosfer

yang lebih baik untuk pasien sehingga mampu meminimalisir

ketidaknyamanan secara mental bahkan mampu mengurangi

pengobatan penghilang rasa sakit

Studi menunjukkan bahwa desain yang buruk akan berdampak buruk

pula pada perilaku pasien bahkan menghantarkan pada penurunan fungsi

fisiologis tubuh. Desain yang buruk akan mengakibatkan kecemasan, naiknya

tekanan darah, dan menambah dosis obat penghilang rasa sakit. Desain sebuah

ruang rawat inap tidak hanya sekedar peraturan, efisiensi, dan biaya. Desain

yang baik mampu meminimalisir penggunaan medikasi berupa obat ataupun

peralatan medis, serta mempercepat proses penyembuhan pasien.

Lingkungan ruang rawat inap yang baik meliputi:

Page 20: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

a. Terdapatnya cahaya yang berasal dari terang langit

Penelitian menunjukkan bahwa adanya cahaya yang berasal dari terang

langit efektif dalam mengurangi tingkat depresi yang dirasakan oleh

pasien yang dirawat di rumah sakit. Depresi dapat berakibat serius pada

pasien dengan gangguan kejiwaan, gangguan jantung dan pembuluh

darah, serta kanker. Studi medis menunjukkan adanya terang langit

mampu mempersingkat durasi pasien dirawat di rumah sakit dan

mengurangi tingkat mortalitas bagi pasien dengan penyakit berat.

b. Tidak terganggu oleh suara bising

Studi menunjukkan bahwa kebisingan dapat menurunkan kadar oksigen

dalam darah sehingga meningkatkan kebutuhan akan tabung oksigen,

meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan pernapasan, serta

membuat pasien tidak dapat tidur. Hal tersebut menyebabkan

menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan metabolisme yang akan

berpengaruh besar pada proses pemulihan pasien.

c. Layout ruang dan aksesibiltas yang nyaman bagi pasien

Layout dan aksesibilitas yang tidak familiar bagi pasien dapat

menyebabkan stress dan mengalami disorientasi. Terlebih lagi dengan

adanya peralatan medis yang membuat seorang pasien merasa asing

dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat berpengaruh pada penurunan

fungsi kekebalan tubuh. Perubahan kecil pada layout ruang, pemilihan

warna, penutup lantai, gorden, serta terdapatnya signage yang berisi

informasi akan material yang disediakan dapat memperbaiki mood

pasien.

d. Ruangan hanya untuk jenis kelamin yang sama

Studi menunjukkan bahwa pasien akan merasa lebih nyaman dengan

mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama. Alasannya selain pada

aspek privasi adalah rasa empati yang lebih tinggi dan adanya rasa

lebih diterima pada ruang tersebut.

e. Mendukung terjadinya interaksi sosial

Adanya dukungan sosial akan mengurangi stres dan mempercepat

pemulihan pasien. Desain ruang rawat inap harusnya dapat

mengfasilitasi adanya interaksi sosial, yaitu dengan menyediakan

Page 21: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

tempat duduk atau tempat tunggu pasien yang nyaman dengan furnitur

yang bisa digerakkan.

f. Berhubungan dengan taman

Studi klinis menunjukkan bahwa pemandangan alam mampu

membantu pemulihan stres. Secara fisiologis, hal tersebut akan

berpengaruh antara lain pada tekanan darah dan denyut jantung.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang mampu mengurangi stres

dan mempercepat pemulihan pasien antara lain:

a. Lingkungan di dalam ruang

• ruang yang menyenangkan dan ramah bagi pasien

• penampilan yang menenangkan dan tidak mengintimidasi pasien

• memiliki keakustikan yang baik

• temperatur udara yang nyaman di musim apapun

• kualitas udara yang segar

b. Material, finishing, tekstur

• material dan finishing harus ditata sedemikian rupa agar menciptakan

suatu privasi

• elemen ruang harus ditata dengan baik dan mendukung higienitas

• pemilihan material yang higienis

c. Menggunakan seni untuk menciptakan healing environment

• seni menjadi bagian dalam ruang rawat inap

• mengganti lukisan atau benda seni yang dipajang secara berkala

d. Cahaya dan warna

• warna dan pembayangan harus secara efektif menciptakan persepsi

tiga dimensional

• warna menciptakan kontinuitas, variasi, stimulasi, dan ketenangan

• perubahan warna dapat menunjukkan perubahan fungsi ruang

• terang langit harus dioptimalkan

• lampu harus ditata secara kreatif

e. Pemandangan

• harus terdapat suatu pemandangan baik taman maupun kolam yang

mampu menghibur pasien dari dalam ruang

f. Kualitas Spasial

Page 22: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

• ruang sempit tanpa cahaya langit atau pemandangan ke luar bangunan

harus dihindari

• ruang aksesibilitas dan sirkulasi yang memungkinkan bagi pasien untuk

mengaturnya sehingga tercipta suasana yang nyaman, tidak sekedar

mengikuti standar atau fungsi.

Panero dan Zelnik (1979) menjelaskan jarak-jarak antropometrik mengenai

kamar rumah sakit, antara lain sebagai berikut:

Gambar 2.3. Antropometri Bilik Tempat Tidur Pasien dengan Tirai (Panero dan Zelnik,

1979:245)

Gambar 2.4. Antropometri Kamar Tidur Pasien (Panero dan Zelnik, 1979: 246)

Page 23: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Gambar 2.5. Antropometri Area Perorangan/Kamar Tidur dengan Dua atau Empat Tempat

Tidur (Panero dan Zelnik, 1979: 247)

Page 24: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

DAFTAR PUSTAKA

Ching, Francis D.K. 1979. Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Ching, Francis D.K. 2002. Ilustrasi Desain Interior. Jakarta: Gramedia.

Fausiah, Fitri dan Widury, Julianti. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).

Haryadi, & Setiawan, B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mangunwijaya, D.I. (1988). Watu Citra. Jakarta: PT. Gramedia.

Neufert, Ernest. 2002. Data Arsitek: Jilid 2. Jakarta: Gramedia.

Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya: Edisi Pertama. Surabaya:

Prima Printing. ISBN: 979-545-007-7.

Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan. 2012. Pedoman Teknis

Bangunan Rumah Sakit: Ruang Rawat Inap. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Foyle, Grace, dkk. 2011. “The Psychological and Social Needs of Patients” dalam BMA

Science and Education Edisi Januari 2011. London: British Medical Assosiation.

Kusumarini, Yunita. 2005. “Unsur Desain (Spesifik) Dalam Pembelajaran Dasar Desain

Interior” dalam Dimensi Interior Vol. 3 No.1, Juni 2005 Halaman 31-43. Surabaya:

Universitas Petra.

Sari, Sriti Mayang. 2003. “Peran Warna Pada Interior Rumah Sakit Berwawasan ‘Healing

Environment’ Terhadap Proses Penyembuhan Pasien” dalam Dimensi Interior Vol.1

No.2 Desember 2003 Hal.141-156. Surabaya: Universitas Petra.

Page 25: Pengaruh Desain Ergonomi dalam Tata Ruang Rawat Inap terhadap Kondisi Psikologis Pasien

Setiawan, Budi dan Ruki, Ulli Aulia. 2014. “Penerapan Psikologi Desain Pada Elemen

Desain Interior” dalam Humaniora Vol. 5 No.2. pada Oktober 2014.

AloDokter.com. (2015). Gangguan Psikosomatis, Ketika Pikiran Menyebabkan Penyakit Fisik. Retrieved Maret 14, 2016, from AloDokter: http://www.alodokter.com/gangguanpsikosomatisketikapikiranmenyebabkanpenyakitfisik

Studio, T. C. (2010, Oktober 18). Pentingnya Desain Interior. Retrieved Maret 16, 2016, from Tjoret.Net: http://www.tjoret.net/2010/10/pentingnya-desain-interior.html