pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak selama menjalani rawat inap di rsup dr....
TRANSCRIPT
PENGARUH BERMAIN SIMBOLIK
TERHADAP PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI
RAWAT INAP DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Skripsi
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan
Universitas Gadjah Mada
Disusun oleh:
Yuniarti Harsono 02/155443/KU/10416
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2006
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tulis ini Penulis persembahkan:
1. Sebagai bentuk kesungguhan menetapi jalan-Mu, semoga dapat menjadi amal
untuk bekal hari kelak.
2. Kepada Ibu dan Bapak, terimakasih atas kasih sayang, do’a dan segala pengorbanan
selama ini, semoga karya tulis ini bisa menjadi hadiah kecil, penghibur hati.
3. Untuk Adek-adek yang masih di bangku sekolah, gantungkan cita-cita setinggi
bintang di langit.
4. Bagi Keluarga dan kerabatku, terimakasih semua
5. Untuk Mas Jenggot dari Bantul dan De Jenggot Teknik SIPIL, terimakasih atas
semuanya.
6. Untuk Sahabat-sahabatku, yang selalu menemani dalam suka dan duka
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iv
DAFTAR ISI.......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL…………………………………………………….. viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... ix
INTISARI……………………………………………………………... x
ABSTRACT ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………. 5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………… 6
D. Manfaat Penelitian………………………………………………. 6
E. Keaslian Penelitian………………………………………………. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.
A. Bermain…………………………………………………………… 10
B. Hospitalisasi……………………………………………………… 16
C. Kooperatif……………………………………………………….. 23
D. Usia Kanak-kanak Awal…………………………………………. 25
vi
E. Landasan Teori…………………………………………………… 29
F. Kerangka Konsep……………………………………………….. 31
G. Hipotesis………………………………………………………… 31
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian…………………………………………… 32
B. Populasi dan Sampel…..………………………………………… 32
C. Variabel Penelitian………………………………………………. 33
D. Definisi Operasional…………………………………………….. 33
E. Alat Ukur………………………………………………………… 34
F. Jalannya Penelitian ……….……………………………………... 36
G. Analisis Data………..…………………………………………… 39
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian.……………………………. 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil………………………………...……………………………. 44
B. Pembahasan………………………………………………………. 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………. 57
B. Saran ……………………………………………………………... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
viii
PENGARUH BERMAIN SIMBOLIK TERHADAP PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI RAWAT INAP DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
Yuniarti Harsono,1 Lely Lusmilasari,2 Sri Hartini2
Intisari
Latar Belakang. Sakit merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak, apalagi bila anak harus dirawat di rumah sakit. Dalam keadaan demikian sikap yang biasa muncul adalah sikap regresif, agresif, dan menarik diri (withdrawl) sehingga membuat anak menjadi tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Tujuan. Mengetahui pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak yang menjalani rawat inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta. Metode. Penelitian quasi eksperimen (pre dan post design). Sampel adalah 23 pasien anak yang sedang dirawat di IRNA I Ruang Cendana 4 (D2) RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, selama periode Desember 2005-Maret 2006. Sampel diambil dengan teknik aksidental sampel. Analisa statistik menggunakan paired t-test. Hasil. Ada pengaruh secara bermakna bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak (p=0,047). Kesimpulan. Bermain simbolik (bermain terapeutik) berpengaruh secara bermakna terhadap perilaku kooperatif anak selama menjalani perawatan di rumah sakit. Kata Kunci: Bermain simbolik, perilaku kooperatif anak. 1. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada 2. Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada
x
THE INFLUENCE OF SIMBOLIC PLAY TO CHILDREN COOPERATIVE BEHAVIOUR DURING HOSPITALIZATION AT DR.
SARDJITO HOSPITAL YOGYAKARTA
Yuniarti Harsono1, Lely Lusmilasari2, Sri Hartini2
Abstract Background: Ill represents the inconvenience experience for children, and surely, when children have to be taken care in hospital. In this condition, the most common responses are regression, aggression and withdrawl, so that children become incooperative to health worker. Objective: To know the influence of symbolic play to children cooperative behaviour during hospitalization in Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta. Method: Research of Quasi experiment (pre and post) design. Sample was 23 children patient which being taken care at Inpatient Installation I Cendana Room 4 (D2) of Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta from Descember 2005-March 2006. Sample had been taken with accidental sampling technique. Statistical analysis used the paired t-test. Result: There was significant influence of symbolic play to children behaviour (p=0,047). Conclusion: There had been significant influence of symbolic play (therapeutic play) to children cooperative behaviour during hospitalization. Keyword: playing at symbolic, behaviour of child cooperative. 1. Student of Nursing Education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University. 2. Nursing Education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University.
1
BAB I
A. Latar Belakang
Bermain adalah bagian dari dunia anak-anak dan penting bagi
perkembangan kesehatannya. Selama bermain anak belajar tentang diri mereka
sendiri, tentang dunianya dan mencoba pengalaman baru serta melakukan
keterampilan baru. Bagi anak-anak mengekspresikan perasaannya melalui
bermain lebih mudah dan lebih nyaman daripada menyampaikan dengan kata-
kata.
Pada kenyataanya, tidak semua anak dapat melalui masa kanak-kanaknya
dengan mulus, ada sebagian yang dalam proses tumbuh kembangnya mengalami
gangguan kesehatan sehingga mengharuskan anak untuk dirawat di rumah sakit
atau menjalani hospitalisasi. Bagi anak, sakit sudah merupakan pengalaman yang
tidak menyenangkan apalagi bila anak ternyata harus dirawat di rumah sakit.
Bagi anak yang menjalani hospitalisasi akan muncul tantangan yang harus
dihadapi: mengatasi sebuah perpisahan, penyesuaian diri kepada suatu lingkungan
yang baru baginya, penyesuaian dengan banyak orang yang mengurusinya,
kerapkali berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit lainnya serta
pengalaman menjalani terapi yang menyakitkan. Oleh karena itu wajar apabila
muncul dampak psikologis pada anak yang mengalami hospitalisasi. Semakin
muda usia anak dan semakin lama anak mengalami hospitalisasi dampak
psikologis yang dirasakan semakin besar (Simbolon, 1999).
Dampak psikologis yang terjadi salah satunya adalah peningkatan
kecemasan yang berhubungan erat dengan perpisahan dengan orang tua dan akibat
2
pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya. Dalam
keadaan demikian, sikap regresif, agresif dan withdrawl hampir merupakan
fenomena yang umum terjadi pada anak-anak. Sesuai pendapat Freud (1972; cit
Simbolon, 1999), sikap regresi merupakan fenomena yang umum terjadi pada
anak–anak yang menjalani rawat inap. Untuk kasus yang lebih ringan sikap
regresi tersebut muncul dalam bentuk menangis, “nglendot” pada ibu dan
mengisap jari serta pada yang agak lebih berat anak bisa menolak makan.
Kemungkinan lain adalah terjadinya ketergantungan seperti keinginan untuk terus
diperhatikan dan tidak dapat tidur, yang dapat merupakan masalah (Simbolon,
1999)
Dengan membuat anak selalu dalam keadaan pasif maka rumah sakit yang
hanya memberikan pelayanan kesehatan tanpa pendekatan psikologis khususnya
perawat akan membuat mereka lebih infantil (Simbolon, 1999).
Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaan
seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak menyenangkan
lainnya, selain itu juga dapat membuat anak kooperatif dengan petugas kesehatan
selama dalam perawatan. Media yang paling efektif adalah melalui permainan.
Permainan terapeutik didasari oleh pandangan bahwa bermain bagi anak
merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh
kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan
perasaan dan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri, dan relaksasi. Dari
berbagai macam jenis permainan banyak pakar permainan melihat tahun–tahun
prasekolah sebagai “usia emas” permainan simbolis atau pura–pura yang bersifat
3
dramatis atau sosiodramatis (Bergin et al, 1988; Cit Santrock, 2002). Anak usia
sembilan bulan hingga 30 bulan meningkatkan penggunaan benda-benda di dalam
permainan simbolis mereka. Melalui permainan pura-pura atau simbolis, anak
dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku kooperatif secara
spontan dari perintah dan aturan dalam permainan.
Menurut Supartini (2004) aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada
anak di rumah sakit akan memberikan beberapa keuntungan yaitu meningkatkan
hubungan antara klien (anak dan keluarga) dengan perawat, aktivitas bermain
yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak, selain dapat
memberikan rasa senang pada anak, juga akan membantu anak mengekspresikan
perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, serta nyeri. Keuntungan yang
diperoleh dari permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan
anak untuk mempunyai perilaku positif, serta menurunkan ketegangan pada anak
dan keluarganya pada permainan yang memberi kesempatan pada beberapa anak
untuk berkompetisi secara sehat.
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito menyediakan pelayanan
rawat inap bagi pasien bedah anak-anak ditempatkan tersendiri, menjadi bagian
bangsal bedah pasien dewasa. Berdasarkan studi pendahuluan di ruangan Cendana
4, Bangsal Bedah Anak (D2) RSUP DR. Sardjito pada bulan September 2005
melalui metode wawancara kepada perawat yang sedang bertugas dan observasi
pasien didapatkan data bahwa di bangsal bedah anak belum disediakan ruang
khusus bermain meskipun memiliki alat mainan yang dapat dipinjamkan atau
digunakan anak untuk bermain. Di bangsal ini bermain yang menjadi kebutuhan
4
alami bagi pasien anak, perawat di sana diakui belum menjadi fokus utama
perhatian, oleh karena terbatasnya tenaga perawat. Orang tua dipersilakan untuk
mengajak putra atau putrinya yang sedang dirawat untuk bermain. Perawat
mengijinkan anak bermain asalkan tidak membahayakannya serta meminta orang
tua menemani pada saat anak bermain. Memang selama ini terapi
bermain/permainan terapeutik yang ditujukan untuk anak terkadang dilakukan
pada pasien anak oleh mahasiswa keperawatan tahap profesi yang sedang
menjalani stase Bedah di bangsal rawat inap Bedah Anak.
Pada bulan Maret hingga Mei 2005 saja tercatat anak-anak di ruang
Cendana 4(D2/bangsal bedah anak) rata-rata menjalani perawatan selama delapan
hingga sembilan hari. Dengan lama perawatan terpendek sekitar empat hari dan
yang terlama telah menjalani rawat inap selama dua bulan. Perbandingan jumlah
usia anak dalam rentang yang dirawat antara usia todler (1-3 tahun), prasekolah
(3-5 tahun) dan sekolah (6-12 tahun) adalah 2:1:1. Dengan diagnosa medis utama
antara lain Hipospadia, Intracanial Injury, Artificial opening status, Cleft palate
with cleft lip, Inguinal hernia dan sebagainya. Studi pendahuluan selanjutnya
diperoleh keterangan dari hasil wawancara dengan perawat di bangsal D2 bahwa
kondisi yang ditemui di bangsal D2 adalah pada anak yang pertama kali
mengalami rawat inap, anak menunjukkan persoalan dalam perilaku yang
ditunjukkan dengan menggelayut/”nglendot” pada orang tuanya terus-menerus,
menangis ketika akan dilakukan tindakan medis atau tindakan perawatan, anak
tidak menjawab pertanyaan perawat atau orang baru yang ditemuinya, anak
terlihat takut pada perawat yang datang oleh karena trauma dengan tindakan
5
invasif yang dilakukan pada hari sebelumnya. Sehingga membuat perawat cukup
kesulitan dalam melakukan tindakan pada anak. Dengan memilih permainan
simbolik untuk klien anak diharapkan dapat mengekspresikan perasaan dan
menstimulus perilaku kooperatif secara spontan melalui praktek dalam permainan,
termasuk praktek perilaku kooperatif pada saat pura-pura berperan menjadi
petugas kesehatan seperti dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain atau pura-
pura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan.
Berdasarkan uraian di atas yaitu kondisi anak yang baru pertama kali
dirawat inap di ruang Cendana 4, RSUP Dr. Sardjito dengan hari perawatan yang
cukup lama, mengalami banyak tindakan medis baik yang invasif maupun yang
tidak, sedangkan upaya mengatasi gangguan perilaku akibat hospitalisasi dengan
metode permainan belum dilakukan secara optimal, yang pada akhirnya bisa jadi
mempengaruhi kerjasama anak pada waktu akan, atau sedang dilakukan tindakan
medis atau keperawatan, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh bermain
simbolis terhadap perilaku kooperatif anak yang dirawat di RSUP DR. Sardjito
pada saat sebelum dan setelah melakukan aktifitas bermain yang dituangkan
dalam karya tulis ilmiah dengan judul: Pengaruh Bermain Simbolik terhadap
Perilaku Kooperatif Anak Selama Menjalani Perawatan Di RSUP DR. Sardjito.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disusun, maka perumusan
masalah yang dapat ditarik yaitu: Adakah pengaruh bermain simbolik terhadap
perilaku kooperatif anak yang sedang dirawat inap setelah melakukan aktifitas
bermain.
6
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disusun di atas, penelitian
ini dilakukan dengan tujuan:
Mengetahui pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak
yang menjalani rawat inap di RSUP DR. Sardjito.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat yaitu:
1. Bagi profesi keperawatan
Memberi masukan bagi peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan
khususnya bidang kerperawatan anak, dalam hal membantu anak mengatasi
stres psikologi maupun gangguan perilaku akibat hospitalisasi.
2. Bagi institusi rumah sakit
a. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang pengaruh bermain terhadap
kemampuan kooperasi anak dalam perawatan sehingga tujuan yang
diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan bisa berhasil dengan
memuaskan.
b. Menjadi rekomendasi bagi institusi untuk mengembangkan program
bermain bagi klien anak dan meningkatkan fasilitas bermain, sesuai
perkembangan dan kemampuan anak selama perawatan.
7
3. Bagi Klien dan Keluarga
a. Membantu anak mengatasi stres psikologi maupun gangguan perilaku
akibat hospitalisasi sehingga anak dapat lebih menerima tindakan medis
dan kooperatif dalam melalui masa perawatan.
b. Menambah pengetahuan keluarga tentang pentingnya bermain untuk
menjalin komunikasi dengan anak sehingga dapat mengurangi dampak
psikologis hospitalisasi.
4. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan baik materi maupun metode dalam penelitian tentang
pengaruh bermain pada anak yang dirawat di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian
Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan yaitu:
1. Nursanti (2000), melakukan penelitian dengan judul Peran keluarga terhadap
pelaksanaan terapi bermain pada anak prasekolah di IRNA II RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta. Dengan metode penelitian analitik kuantitatif. Hasilnya
Pengetahuan keluarga terhadap pelaksanaan terapi bermain sudah baik dan
peran keluarga dalam pelaksanaan terapi bermain sudah cukup baik.
Perbedaan terletak pada variabel yang diteliti yaitu variabel peran keluarga.
2. Penelitian Herliana (2001), dengan judul penelitiannya Pengaruh Terapi
Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama Menjalani Perawatan pada Usia
Prasekolah di IRNA II (Bangsal Perawatan Anak) RS. Dr. Sardjito
Yogyakarta. Menggunakan metode penelitian analitik kuantitatif, hasil yang
diperoleh terapi bermain memberi pengaruh terhadap tingkat kooperasi anak
8
dimana meningkat setelah diberi terapi. Perbedaan dengan penelitian yang
akan dilakukan adalah pada karakteristik sampel yang diambil.
3. Sedangkan Simanjuntak (2005), meneliti tentang Peran Perawat dalam
pelaksanaan terapi bermain pada anak prasekolah di ruang rawat inap Instalasi
Kesehatan Anak RS. Dr. Sardjito. Menggunakan pendekatan Analitik
kuantitatif. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada
variabel yang diteliti yaitu peran perawat .
4. Zahr (1998), dalam penelitiannya yang berjudul Bermain terapeutik bagi anak-
anak yang menjalani Hospitalisasi di Lebanon memberikan gambaran bahwa
bermain terapeutik telah terpercaya dalam mengurangi respon stres terhadap
hospitalisasi dan pembedahan pada anak-anak di Lebanon. Anak-anak yang
memperoleh intervensi bermain terapeutik menunjukkan penurunan
kecemasan dan lebih kooperatif serta mengalami penurunan tekanan darah dan
nadi selama prosedur injeksi dibanding anak-anak yang tidak memperoleh
intervensi bermain terapeutik. Metode penelitian yang digunakan adalah
Analitik kuantitatif dengan menggunakan quasi experiment design. Penelitian
tidak hanya meneliti pengaruh bermain secara psikologis namun juga secara
fisiologis.
5. Suprapto (2002), dengan hasil penelitiannya tentang terapi permainan kreatif
dengan mewarnai gambar yang dapat digunakan sebagai metoda penyuluhan
kesehatan untuk merubah perilaku anak (makan, penerimaan tindakan medis,
dan komunikasi) selama dirawat di rumah sakit. Dengan judul penelitiannya
Mewarnai Gambar Sebagai Metoda Penyuluhan untuk Anak: Studi
9
pendahuluan pada program pemulihan anak sakit IRNA Anak RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Menggunakan metode studi eksperimental (pre-post
design). Jenis permainan dalam penelitian ini yaitu metode mewarnai buku
gambar merupakan hal yang membedakan dengan penelitian yang akan
dilakukan.
Sedangkan judul penelitian ini adalah Pengaruh Bermain terhadap Perilaku
Kooperatif Anak Selama Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Dilaksanakan tahun 2005 hingga 2006. Metode yang digunakan adalah analitik
kuantitatif dengan rancangan pre-post design. Subyek penelitian ini adalah pasien
rawat inap, dengan teknik accidental sampling sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bermain
1. Pengertian
a. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga
arti utamanya mungkin hilang, maksudnya adalah setiap kegiatan yang
dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa
mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock, 1994).
b. Bermain adalah cara individu untuk menyelesaikan konflik dirinya.
Bermain secara alamiah berarti usaha untuk mengadaptasi suatu
pengalaman baru baginya yang menimbulkan stress (Wong, 1996).
c. Supartini (2004) menyebutkan bahwa bermain merupakan media yang
baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak akan berkata-kata
(berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan,
melakukan apa yang dapat dilakukannya, mengenal waktu, jarak serta
suara.
2. Fungsi Bermain
a. Perkembangan sensori motorik
Aktivitas sensori motorik merupakan komponen utama bermain pada
semua tingkat usia anak. Bermain aktif menjadi hal yang penting dalam
perkembangan sistem otot dan saraf yang bermanfaat dalam melepaskan
kelebihan energi.
11
b. Perkembangan kognitif/intelektual
Anak dapat mengeksplorasi dan memanipulasi ukuran, bentuk, tekstur dan
warna. Mengenali angka, hubungan yang renggang dan konsep yang
abstrak. Bermain memberi kesempatan untuk menghilangkan pengalaman
masa lalu untuk memasukkan kedalam persepsi dan persahabatan yang
baru. Bermain membantu anak untuk mengintegrasikan dunia dimana
mereka tinggal, untuk membedakan antara realitas dan fantasi
c. Perkembangan moral dan sosial anak
Dalam bermain anak belajar memberi dan menerima. Anak belajar
membedakan gender, pola perilaku dan tindakan yang disetujui dan
diharapkan masyarakat darinya. Perkembangan nilai moral dan etik sangat
berkaitan dengan sosialisasi. Anak belajar membedakan yang benar dari
yang salah, norma masyarakat dan memahami tanggung jawab dari
tindakannya.
d. Meningkatkan kreativitas
Bermain memberi kesempatan pada anak untuk mengeluarkan ide dan
minat kreasi, mengijinkan mereka untuk berfantasi dan berimajinasi serta
memberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat. Sekali anak
merasa puas ketika berhasil melakukan sesuatu hal yang baru maka anak
akan memindahkan rasa ketertarikan ini kedalam situasi di luar dunia
bermainnya.
12
e. Perkembangan kesadaran diri
Bermain memberikan kemampuan untuk membandingkan kemampuan
sendiri dengan kemampuan anak lain dan belajar bagaimana pengaruh
tingkah laku pribadi terhadap orang lain.
f. Nilai terapeutik
Dalam bermain anak mampu mencoba dan menguji situasi yang
menakutkan dan bisa memahami dan berpura-pura menguasai peran dan
posisi yang mereka tidak mampu melakukannya dalam dunia nyata. Anak
mengungkapkan banyak tentang dirinya ketika bermain.
3. Jenis Permainan
Wholey & Wong (1987) menyebutkan bahwa klasifikasi bermain pada anak
dapat dilihat dari klasifikasi bermain menurut isinya dan karakter sosial.
Klasifikasi bermain menurut isinya dibagi menjadi:
a. Social affective play/bermain afektif sosial
Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan
mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang
menyenangkan dengan orang tuanya dan/atau orang lain. Permainan yang
biasa dilakukan adalah “cilukba”, berbicara sambil tersenyum/tertawa,
atau sekedar memberikan tangan pada bayi untuk menggenggamnya, tetapi
dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa.
13
b. Sense of pleasure play/ bermain untuk senang-senang
Permainan ini menggunakan alat yang bisa menimbulkan rasa senang pada
anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir,
anak akan membuat gunung-gunungan atau benda-benda apa saja yang
dapat dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak
akan melakukan bermacam-macam permainan, misalnya memindah-
mindahkan air ke botol, bak atau tempat lain.
c. Skill play/bermain keterampilan
Sesuai sebutannya, permainan ini akan meningkatkan keterampilan anak,
khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil
memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke
tempat lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi keterampilan
tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang
dilakukan.
d. Dramatic play role play/permainan simbolik atau pura-pura
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan peran
orang lain melalui permainannya. Anak berceloteh sambil berpakaian
meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya dan
sebagai yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan
terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang mereka tiru.
Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran
tertentu.
14
Selain keempat jenis permainan di atas Supartini (2004) menyebutkan dua
jenis permainan lain yang juga berdasarkan pada isi permainannya yaitu:
a. Games atau permainan
Games atau permainan adalah jenis permainan dengan alat tertentu yang
menggunakan perhitungan dan/atau skor. Permainan ini bisa dilakukan
oleh anak sendiri dan/atau dengan temannya. Banyak sekali jenis
permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern.
Misalnya, ular tangga, congklak, puzzle, dan lain-lain.
b. Unoccupied behaviour/ perilaku bermalas-malasan
Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa,
jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa saja yang
ada di sekelilingnya. Anak melamun, sibuk dengan bajunya atau benda
lain. Jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu, dan
situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang digunakannya sebagai
alat permainan. Anak memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang
menarik perhatiannya. Peran ini berbeda dibandingkan dengan onlooker,
dimana anak aktif mengamati aktifitas anak lain.
Menurut Hurlock (1994) kategori bermain terdiri atas bermain aktif dan
bermain pasif. Permainan aktif adalah bermain yang kegembiraannya timbul dari
apa yang dilakukan anak itu sendiri. Dalam melakukan permainan aktif
banyaknya waktu yang digunakan dan kegembiraan yang diperoleh dari setiap
permainan sangat bervariasi. Adapun variasi tersebut disebabkan oleh sejumlah
15
faktor yaitu: kesehatan, teman bermain, tingkat intelegensia anak, jenis kelamin,
alat permainan dan lingkungan.
Sedangkan bermain pasif atau hiburan merupakan tempat anak
memperoleh hiburan dengan usaha minimum dari orang lain seperti membacakan
buku cerita. Kurangnya hubungan sosial mempengaruhi kegembiraan anak
sebagaimana bermain aktif. Adapun manfaat dari bermain pasif atau hiburan
adalah memberi sumber pengetahuan, membantu anak belajar berkomunikasi
dengan orang lain, membantu anak dalam mengontrol emosinya, anak belajar
bermotivasi untuk memperoleh keinginannya, membantu mengembangkan
kecerdasan anak, mendorong anak berkreatifitas dan membantu anak
mengembangkan kepribadian.
Tiga tipe bermain yang bermanfaat untuk mengurangi stress yaitu:
a. Bermain rekreasi (untuk senang-senang)/recretional play, adalah bermain
spontan dan tidak terstruktur. Terjadi secara spontan, anak memilih alat
bermain dan permainan sendiri (LeRoy et al., 2003).
b. Bermain terapetik/therapeutik play terjadi bila orang dewasa menstruktur
aktifitas untuk tujuan tertentu. Disebut juga expressive play karena
memberi kesempatan anak untuk mengekspresikan perasaan,
menghasilkan semangat/energi, dan relaksasi (LeRoy et al., 2003)
c. Terapi bermain/play therapy yaitu suatu bentuk terapan dari psikoterapi
yang biasa digunakan oleh psikiater, psikolog, praktisi perawat jiwa.
Tujuan terapi bermain adalah untuk meningkatkan insight anak terhadap
perilaku dan perasaannya (Mott et al., 1990)
16
Adapun bentuk permainan di rumah sakit yang sesuai dengan usia awal
masa kanak-kanak (todler dan prasekolah) (Mott et al., 1990) antara lain:
a. Anak usia 2-3 tahun
Bermain balok, mainan bersusun, bola, alat permainan yang lembut,
mendorong dan menarik alat mainan, mendengarkan cerita, musik, dan
puzzle yang sederhana.
b. Anak usia 3-4 tahun
Bermain puzzle, balon, musik, bercerita, bermain game sederhana, belajar
bermain kelompok dengan pengawasan orang dewasa, permainan pura-
pura memasak, bermain pura-pura menjadi dokter, perawat, dan lain-lain.
c. Anak usia 4-5 tahun
Bermain game, menyobek kertas, memotong dengan gunting, mewarnai
buku-buku bergambar, menggunakan kertas dibuat boneka, topeng dan
perahu, mainan alat musik, bermain games dengan bantuan orang dewasa
dalam mengikuti aturan permainan.
B. Hospitalisasi
Hospitalisasi menurut kamus Dorland (2002) adalah pemasukan seorang
penderita ke dalam rumah sakit atau masa selama di rumah sakit tersebut.
Sedangkan Supartini (2004) menyebutkan bahwa hospitalisasi (rawat inap)
merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa hospitalisasi (rawat inap) adalah memasukkan seseorang ke
17
rumah sakit karena perubahan kondisi tubuh untuk dilakukan perawatan hingga
kondisi tubuh membaik.
Anak akan menunjukkan berbagai perilau sebagai reaksi terhadap
pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat
bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya
terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang
dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
perpisahan, kehilangan control, ketakutan akan perlukaan tubuh, dan rasa nyeri
(Whaley & Wong, 1990).
Pengalaman hospitalisasi merupakan hal yang paling berkesan bagi anak
dan menyebabkan stres bagi anak dan keluarga. Dampak hospitalisasi pada anak
menurut Pearce (2000); cit Gunawan (2001) meliputi;
1. Perpisahan
Perpisahan dengan figur pemberi kasih sayang selama prosedur yang
menakutkan atau menyakitkan akan meningkatkan rasa tidak nyaman.
2. Kehilangan kendali
Hospitalisasi menyebabkan anak menjadi tidak berdaya dan frustasi serta
menimbulkan ketergantungan pada orang lain.
3. Perubahan gambaran diri
Perubahan penampilan tubuh atau fungsinya disebabkan oleh pengobatan,
perlukaan atau ketidakmampuan menyebabkan anak merasa tidak nyaman.
18
4. Nyeri
Prosedur yang menyakitkan dan invasif merupakan stressor bagi anak pada
semua usia
5. Rasa takut
Ketakutan terjadi karena anak berada di lingkungan rumah sakit yang
asing baginya dan karena perpisahan dengan orang-orang yang sudah
dikenalnya.
Kecemasan yang menghinggapi anak ketika mereka harus ke rumah sakit
terdiri atas beberapa komponen (Pearce, 2000; cit Gunawan, 2001)
1. Kegelisahan perpisahan – jauh dari orang tua dan rumah.
2. Kegelisahan orang asing – berada diantara orang banyak yang tidak
dikenal.
3. Ketakutan akan hal-hal yang tidak dikenal dan asing.
4. Ketakutan yang didapat dari orang tua.
5. Ketakutan yang nyata akan sakit dan penyakit.
Perilaku anak sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi pada masa
todler terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang
utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak sesuai dengan
tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran/denial (Supartini,
2004):
19
1. Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat,
menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan
orang lain.
2. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis
berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan
makan, sedih dan apatis.
3. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar
mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak
mulai terlihat menyukai lingkungannya.
Sedangkan respon hospitalisasi pada anak usia prasekolah ditunjukkan
dengan:
1. Reaksi terhadap perpisahan, seperti perilaku menolak makan, sering
bertanya, menangis walau secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan.
2. Reaksi agresif yang timbul akibat ketakutan anak terhadap perlukaan,
yang muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya
mengancam integritas tubuhnya ditunjukkan dengan marah dan berontak,
ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja
sama dengan perawat dan ketergantungan pada orang tua.
Kail & Nelson (1993), menerangkan dengan dirawat di rumah sakit maka
akan terjadi banyak perubahan yang memerlukan penyesuaian pada kehidupan
sehari-hari sebuah keluarga. Setiap anak atau remaja berespon terhadap stres
dengan cara yang unik oleh karena tergantung usia dan kepribadian individu,
20
tetapi respon regresif, agresif dan menarik diri (withdrawl) adalah respon yang
paling umum terhadap hospitalisasi (Freud 1972; cit Simbolon 1999). Perilaku ini
seiring dengan waktu biasanya dan sering kali berkurang pada saat anak atau
remaja mulai merasa nyaman dan aman dengan peristiwa yang ia alami dan ketika
telah terbangun pengalaman atau menjadi kebiasaan.
Remaja dan anak-anak kadang mengalami kemunduran yang merupakan
koping terhadap situasi baru. Anak-anak mungkin mengambil gaya lama yang
nyaman yaitu menyerah, seperti menghisap ibu jari, lebih menggelayut atau
melekat pada orang tuanya atau lebih merengek dibanding saat sebelum dirawat di
rumah sakit (Kail & Nelson, 1993).
Di rumah sakit keputusan yang dibuat untuk anak dan remaja dalam
banyak hal sering membuat mereka merasa kehilangan kontrol. Sehingga wajar
bila pada anak dan dan remaja bereaksi dengan kemarahan. Respon tersebut
termasuk menangis, berteriak, menendang dan melawan. Beberapa anak dan
remaja berespon kurang terbuka terhadap hospitalisasi atau tindakan dengan
menarik diri. Orang tua atau perawat dapat mengobservasi mereka menjadi kurang
tertarik dengan aktifitas yang biasanya mereka nikmati, tidur lebih banyak,
menjadi sedikit berbicara, makannya berkurang atau tidak mengadakan kontak
mata (Kail & Nelson, 1993)
Bermain dalam masa perawatan di rumah sakit
a. Tujuan bermain di rumah sakit (Soetjiningsih, 1998):
1. Dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stres di rumah sakit.
2. Dapat melanjutkan tumbuh kembang selama perawatan di rumah sakit.
21
3. Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman bermain yang
tepat.
b. Fungsi bermain di rumah sakit (Wholey & Wong, 1996):
1. Memberi kesempatan anak belajar tentang bagian-bagian tubuh, fungsi dan
penyakitnya sendiri.
2. Membantu anak merasa lebih nyaman di lingkungan yang asing.
3. Memberikan hiburan dan membantu relaksasi.
4. Membantu melepaskan ketegangan dan mengekspresikan perasaan.
5. Mendorong perkembangan dan interaksi yang baik.
6. Cara untuk mengekspresikan ide yang kreatif.
7. Menjelaskan tujuan pengobatan.
8. Mengurangi kecemasan.
c. Teknik bermain di rumah sakit (Petrillo & Sangen, 1990)
1. Berikan alat permainan yang merangsang anak bermain sesuai dengan
umur dan perkembangannya.
2. Berikan cukup waktu untuk bermain dan menghindari interupsi.
3. Berilah mainan yang dapat menurunkan emosi anak.
4. Tentukan kapan anak boleh keluar atau turun dari tempat tidur sesuai
kondisi anak.
5. Gunakan pengetahuan tentang tumbuh kembang anak dalam bermain.
d. Bermain terapeutik:
Suatu bentuk permainan terstruktur yang telah ditemukan dapat
mempermudah home sickness, melepaskan ketakutan/gugup, dan menyediakan
22
jalan keluar berupa ide-ide konstruktif dan aktifitas (Hide, 1971; Latimer, 1978;
cit Zahr, 1998). Bermain terapeutik dapat membantu perawat dan anggota staf
yang lain untuk memperoleh insight terhadap pikiran dan perasaan anak, suka dan
ketidaksukaan, keinginan dan kebutuhan anak, selama menemani anak untuk
mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh suatu pengalaman (Oremland,
1988; cit Mott et al, 1990)
e. Bermain simbolik di rumah sakit
Permainan pura-pura/simbolik terjadi ketika anak mentrasformasikan
lingkungan fisik ke dalam suatu simbol (De Hart & Smith, 1991; Fein, 1986;
Hows, Unger & Seidner, 1989; Roger & Sawyers, 1988; cit Santrock, 2002).
Antara usia sembilan dan 30 bulan, anak-anak meningkatkan penggunaan benda-
benda dengan menggantikan benda itu dengan benda lain dan memperlakukan
benda tersebut seperti benda yang digantikannya.
Chaterine Garvey (1977, cit Santrock, 2002) menunjukkan bahwa: Tiga
unsur terdapat pada hampir semua permainan pura-pura; alat-alat, alur cerita, dan
peran. Anak-anak menggunakan benda sebagai alat di dalam permainan pura-pura
mereka. Kebanyakan permainan pura-pura juga memiliki alur cerita, walaupun
cukup sederhana. Tema permainan pura-pura seringkali mencerminkan apa yang
sedang mereka saksikan berlangsung dalam hidup mereka seperti ketika mereka
memainkan keluarga, sekolah atau dokter. Di dalam permainan pura-pura, anak-
anak mencobakan banyak peran yang berbeda. Beberapa peran berasal dari
kenyataan, peran lain datang dari fantasi.
23
Melalui permainan pura-pura atau simbolis, anak dapat mengekspresikan
perasaan dan menstimulus perilaku yang diharapkan secara spontan dari perintah
dan aturan dalam permainan. Permainan simbolik di rumah sakit dapat berbentuk
pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan (dokter, perawat atau tenaga
kesehatan lain) atau pura-pura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan.
C. Kooperatif
1. Konsep Perilaku Kooperatif
Perilaku adalah sesuatu yang dapat diobservasi, dicatat dan diukur, seperti
gerakan atau respon individu. Sebelum perilaku diukur maka harus didefinisikan
secara tepat. Perilaku adalah apa yang diobservasi, bukan rangkuman, kesimpulan
atau terjemah gambaran dari sebuah observasi. (Stuart & Sundeen, 1994)
Kooperasi atau kerjasama biasanya didefinisikan sebagai dua orang atau
lebih yang bekerja sama menuju satu tujuan yang sama (Mussen, Conger, Kagan
dan Huston, (1994); cit Herliana, 2001). Kerjasama dimulai pada tahun-tahun
pertama prasekolah.
Dalam suatu kajian klasik terhadap anak-anak dari usia dua hingga lima
tahun, Parten (cit Mussen et al, 1994; cit Herliana 2001) membuktikan bahwa
anak-anak yang masih sangat kecil kerap terlibat dalam aktivitas bermain paralel
(dua anak bermain dengan obyek tersendiri tetapi dekat satu sama lain dan kadang
bercakap bersama). Menurut Hurlock (1986): Dalam usia itu hanya sedikit
terdapat kerjasama dalam permainan mereka bersama anak-anak yang lain
seusianya karena anak yang sangat muda memiliki karakteristik self centered.
Sama halnya pada saat berinteraksi dengan orang dewasa kurang terlihat adanya
24
kerjasama oleh karena orang dewasa yang memiliki kecenderungan pada anak
untuk mengalah dan membiarkan anak memperoleh sesuatu dengan caranya
sendiri. Pada akhir usia tiga tahun, permainan kooperatif dan aktifitas kelompok
akan lebih sering dan lebih lama. Dengan melakukan praktek, anak-anak belajar
bekerja sama dengan lainnya dan untuk bermain dalam suasana yang bertambah
rukun/harmonis. Parten (cit Mussen et al, 1994; cit Herliana 2001) menambahkan
“sementara anak menjadi semakin besar mereka memanifestasikan aktivitas
bermain yang lebih kooperatif. Dalam aktivitas bersama itu, mereka
mengkoordinasi kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama”.
2. Pentingnya bersikap kooperatif dalam pelaksanaan keperawatan.
Salah satu dampak hospitalisasi adalah timbulnya rasa takut (Mott et al,
1990). Ketakutan tersebut selain ditimbulkan oleh lingkungan yang asing serta
orang-orang yang tidak dikenal, juga oleh prosedur-prosedur selama hospitalisasi.
Tindakan invasif yang dilakukan tanpa melalui pendekatan dan menimbulkan
ketakutan pada anak yang selanjutnya menjadi suatu trauma psikologis yang akan
berpengaruh pada perkembangan selanjutnya (Mott. et al, 1990).
Dalam memberikan perawatan, perawat memerlukan sikap kooperatif dari
anak dan keluarga. Hal ini biasanya tidak terlalu sulit pada anak yang lebih besar
tetapi mungkin akan menjadi masalah pada anak yang lebih muda. Oleh
karenanya komunikasi non verbal sama pentingnya dengan komunikasi verbal
(Mott et al, 1990). Adapun respon yang diperlihatkan anak pada saat anak tidak
kooperatif antara lain menangis, berteriak, menjerit, meronta-ronta memeluk
ibunya, menarik diri dan tidak memberikan anggota tubuhnya untuk dilakukan
25
tindakan (Parini, 1999; cit Herliana 2001). Anak memerlukan persiapan yang hati-
hati sebelum tindakan dilakukan, karena pada kenyataannya prosedur yang rutin
dilakukan pun bisa menjadikan suatu kecemasan bila tidak diberikan dengan hati-
hati, akibatnya proses perawatan yang akan dilakukan tidak berjalan lancar
sehingga tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan baik.
3. Bermain sebagai upaya peningkatan perilaku kooperatif pada anak.
Setiap anak meskipun sedang dalam perawatan tetap membutuhkan
aktifitas bermain. Bermain dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk
menyelesaikan tugas perkembangan secara normal dan membangun koping
terhadap stess, ketakutan, kecemasan, frustasi dan marah terhadap penyakitnya
dan hospitalisasi (Mott et al., 1990).
Mott et al. (1990), menyatakan bahwa bermain menyediakan kebebasan
untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan anak terhadap stres,
sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak
menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Dengan demikian diharapkan
respon anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresif dan witdrawl
dapat berkurang sehingga anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di
rumah sakit.
D. Usia Kanak-kanak Awal
Perkembangan Umum pada Awal masa Anak-anak:
Menurut Hurlock (1994), perkembangan umum pada awal masa anak-anak
(usia satu hingga enam tahun) adalah:
26
a. Perkembangan fisik
Pertumbuhan selama awal masa kanak-kanak berlangsung lambat
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada masa bayi. Awal masa anak-
anak merupakan masa pertumbuhan yang relatif seimbang meskipun terdapat
perbedaan secara individual dalam setiap aspek pertumbuhan fisik. Anak
dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, misalnya, tubuhnya cenderung lebih
tinggi pada awal masa kanak-kanak daripada mereka yang kecerdasannya rata-
rata atau di bawah rata-rata dan gigi sementaranya lebih cepat tanggal.
Meskipun perbedaan seks tidak menonjol dalam peningkatan tinggi dan berat
badan, tetapi pengerasan tulang dan lepasnya gigi sementara akan lebih cepat
pada anak perempuan dari usia ke usia. Anak dari kelompok sosial ekonomi
yang lebih tinggi cenderung memperoleh gizi dan perawatan yang lebih baik
sebelum dan sesudah kelahiran. Oleh karena itu, perkembangan tinggi, berat
badan, otot-otot badan cenderung lebih baik.
b. Perkembangan keterampilan motorik
Keterampilan yang dipelajari anak tergantung sebagian pada kesiapan/
kematangan terutama kesempatan yang diberikan untuk mempelajari dan
bimbingan yang diperoleh dalam menguasai keterampilan ini secara cepat dan
efisien.
Keterampilan motorik pada anak meliputi;
1. Keterampilan tangan, diantaranya adalah; keterampilan dalam makan dan
berpakaian sendiri, menyisir rambut dan mandi, melempar dan menangkap
27
bola, menggunakan gunting, bermain tanah liat, membuat kue-kue,
mewarnai gambar dan menggambar sendiri.
2. Keterampilan kaki, diantaranya adalah melompat dan berjalan cepat,
memanjat, naik roda tiga, berenang, lompat tali, keseimbangan berjalan di
atas pagar, sepatu es dan menari.
c. Kemajuan Berbicara
Selama masa prasekolah, anak-anak memiliki kebutuhan dan dorongan
yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan karena dua hal, pertama
belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam bersosialisasi, kedua, belajar
berbicara merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Untuk
meningkatkan komunikasi, anak-anak harus menguasai dua tugas pokok yang
merupakan unsur penting dalam belajar berbicara yaitu meningkatkan
kemampuan untuk mengerti apa yang di katakan orang lain.
d. Perkembangan emosi
Emosi yang menonjol adalah:
1. Amarah
Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai
permainan, tidak tercapaimya keinginan dan serangan dari anak lain.
Ungkapan marah pada anak antara lain menangis, berteriak, menggertak,
menendang, melompat-lompat atau memukul.
2. Takut
Pembicaraan, peniruan dan ingatan tentang pengalaman yang kurang
menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut.
28
3. Cemburu
Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang
tua beralih pada orang lain di dalam keluarganya, misal adik yang baru
lahir.
4. Rasa ingin tahu
Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya
jugamengenai tubuhnya dan tubuh orang lain.
5. Iri hati
Anak sering iri hati mengenai kemajuan atau barangnya sendiri dan
mengungkapkan keinginannya untuk memiliki barang orang lain.
6. Gembira
Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak bunyi
yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan,
membohongi orang lain dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit.
7. Sedih
Anak merasa sedih bila kehilangan sesuatu yang dicintai atau yang
dianggap penting bagi dirinya.
8. Kasih sayang
Anak-anak belajar mencintai orang, binatang atau benda yang
menyenangkan dengan cara menepuk, memeluk dan mencium obyek kasih
sayangnya.
29
e. Perkembangan konsep/pengertian
Dengan meningkatnya kemampuan intelektual terutama kemampuan
berpikir dan melihat hubungan-hubungan, dengan meningkatnya kemampuan
untuk menjelajah lingkungan karena bertambah besarnya kemandirian dan
pengendalian motorik serta meningkatnya kemampuan untuk bertanya dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti orang lain maka pengertian
anak tentang orang, benda dan situasi meningkat dengan pesat. Anak mulai
memperhatikan hal-hal kecil yang tadinya tidak diperhatikan. Dengan
demikian anak tidak lagi mudah bingung kalau menghadapi benda-benda,
situasi atau orang-orang yang memiliki unsur-unsur sama.
E. Landasan Teoritis
Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan
stres, baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan rumah sakit itu sendiri
merupakan penyebab stres bagi anak dan orang tuanya, baik lingkungan fisik
rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih
petugas kesehatan maupun lingkungan sosial, seperti sesama pasien, ataupun
interasi dan sikap petugas kesehatan itu sendiri. Perasaaan, seperti takut, cemas,
tegang, nyeri dan perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, sering kali dialami
anak (Supartini, 2004). Dalam keadaan demikian, sikap regresif, agresif dan
withdrawl hampir merupakan fenomena yang umum terjadi pada anak-anak.
Bermain di rumah sakit memberikan kesempatan bagi anak untuk
bertanya, merasa takut dan memperhatikan terhadap perlukaan atau penyakitnya,
pengobatan dan lingkungan rumah sakit serta menyediakan kebebasan untuk
30
mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan pada anak terhadap stres
karena membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan
(Mott et al., 1990). Dengan memilih permainan simbolik untuk klien anak
diharapkan dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku kooperatif
secara spontan melalui praktek dalam permainan, termasuk praktek perilaku
kooperatif pada saat pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan (dokter,
perawat atau tenaga kesehatan lain) atau pura-pura menjalani prosedur perawatan
atau pengobatan. Anak-anak menggunakan benda sebagai alat menurut Santrock
(2002) di dalam permainan pura-pura mereka. Tema permainan pura-pura
seringkali mencerminkan apa yang mereka saksikan berlangsung dalam hidup
mereka. Di dalam permainan pura-pura, anak mencobakan banyak peran yang
berbeda (dapat berasal dari kenyataan atau dari fantasi).
Dengan demikian bermain permainan simbolik menyediakan kebebasan
untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan anak terhadap stres,
sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak
menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Sehingga diharapkan respon
anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresif dan witdrawl dapat
berkurang sehingga anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah
sakit.
31
F. Kerangka Konsep
Perilaku kooperatif anak - ↓ regresi - ↓ agresi - ↓ withdrawl/
menarik diri
Bermain simbolik
Anak rawat inap
Faktor-faktor berpengaruh: -jenis penyakit -jenis tindakan -sikap perawat
Gambar 1. Kerangka konsep
Keterangan:
Dilakukan Pengamatan :
Tidak dilakukan pengamatan :
G. Hipotesis
Ada pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak selama
menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito.
BAB III
Metode Penelitian
A. Rancangan penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen dengan
menggunakan rancangan One Group Pretest-Postest Design (Notoatmodjo,
2002). Dilakukan pengukuran dengan cara observasi sebanyak dua kali yaitu
sebelum dan setelah perlakuan.
B. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien anak yang dirawat inap di
Ruang Cendana 4, IRNA I RSUP Dr. Sardjito. Rata-rata jumlah pasien perbulan
dalam tiga bulan antara Februari-April 2005 sebanyak 34 pasien.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Non probability sampling
dengan teknik accidental sampling (Notoadmodjo, 2002), yaitu dengan
mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia selama waktu penelitian
yang ditentukan. Sampel terdiri atas pasien anak yang dirawat inap di RSUP. Dr.
Sardjito, ruang Cendana 4, IRNA I, dengan kriteria:
1. Inklusi
a. Anak usia 2 tahun hingga 6 tahun.
b. Anak dapat diajak berbicara/berkomunikasi.
c. Anak mendapatkan tindakan invasif atau perawatan luka.
2. Eksklusi
a. Pasien dalam kondisi koma/tidak sadar.
b. Pasien dengan manifestasi klinis perilaku kacau.
33
Waktu penelitian semula direncanakan selama satu bulan yaitu bulan
Desember 2005. Menurut Arikunto (2002) jumlah sampel penelitian eksperimen,
agar bisa mewakili data penelitian diperlukan jumlah sampel minimal 30 orang,
tetapi pada pelaksanaannya proses pengambilan data berlangsung selama tiga
bulan yang berakhir pada bulan Maret 2006. Selama waktu tersebut jumlah
sampel yang diperoleh sebanyak 23 anak.
C. Variabel Penelitian
Variabel Independen : Perilaku Kooperatif
D. Definisi Operasional
1. Bermain simbolik: suatu kegiatan yang sengaja direncanakan untuk membantu
stimulus anak terhadap perilaku kooperatif dimana dilakukan oleh peneliti
sendiri sebanyak dua sesi, kurang lebih 10-20 menit dalam setiap sesinya.
Adapun permainan yang dilakukan adalah jenis permainan simbolik atau pura-
pura dengan kegiatan mengenalkan anak pada lingkungan rumah sakit serta
tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan selama perawatan di rumah sakit.
Alat permainan yang digunakan berupa alat medis tiruan seperti spuit,
stetoskop, termometer mainan, gambar-gambar dokter, perawat, boneka. Anak
pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan seperti dokter, perawat atau
tenaga kesehatan lain atau pura-pura menjalani prosedur perawatan atau
pengobatan. Untuk menjalin kedekatan dengan anak maka pada permainan
sesi pertama anak diajak melakukan aktifitas bermain bebas, anak diberi
kesempatan memilih permainan yang disukai dengan peneliti mengarahkannya
pada mainan atau permainan tertentu sesuai jenis kelamin dan umur. Alat
34
permainan yang digunakan adalah boneka, mobil-mobilan, alat-alat memasak
mainan, mainan alat musik, puzzle, kertas lipat.
2. Perilaku kooperatif anak adalah perilaku anak yang mendukung terhadap
tindakan perawatan sehingga tidak menolak terhadap prosedur atau tindakan
yang akan dilakukan terhadapnya, dan tidak menolak untuk berinteraksi
terhadap perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Perilaku yang diamati
meliputi respon regresif, agresif dan withdrawl/menarik diri. Untuk
mengukurnya digunakan metode observasi dengan membandingkan tingkat
kooperatif sebelum dan sesudah aktifitas bermain. Tingkat kooperatif anak
diukur dengan skala interval.
E. Alat Ukur
Instrumen yang digunakan adalah: lembar observasi yang disusun oleh
peneliti, dengan memodifikasi instrumen mengacu pada berbagai literatur yang
ada. Instrumen pernah digunakan oleh Herliana (2001) dalam penelitiannya untuk
mengetahui tingkat kooperatif pada anak yang menjalani perawatan. Instrumen
digunakan untuk mengukur tingkat kooperatif anak pada saat dilakukan tindakan
keperawatan atau pengobatan. Pengamat (observer) memberikan tanda check (√)
di muka pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun sesuai dengan pengamatan.
Untuk pertanyaan favorabel jawaban “ya” diberi nilai satu (1) dan jawaban
“tidak” diberi nilai nol (0). Sebaliknya untuk pertanyaan unfavorabel jawaban
“ya” diberi nilai nol (0) dan jawaban “tidak” diberi nilai satu (1). Instrumen terdiri
atas 30 item pernyataan respon perilaku kooperatif anak pada saat dilakukan
tindakan invasifpada anak dengan urutan kegiatan:
35
1. Perawat mengajak anak bercakap-cakap atau berbicara.
2. Perawat datang dengan membawa alat-alat perawatan.
3. Perawat melakukan prosedur pemeriksaan/perawatan yang
menyakitkan/invasif.
4. Perawat memerintahkan sesuatu kepada anak sebagai salah satu prosedur
perawatan.
Instrumen tersusun atas tiga aspek respon perilaku dengan sebaran:
Tabel 1 Distribusi pertanyaan sesuai respon
Aspek F / T-F Nomor item Jumlah
F 5 1 Respon regresif
T-F 3,26 2
F
6,7,15,25
4 Respon agresif
T-F 1,2,8,9,10,16,17,18,19,20 10
F
13,14,23,24,30
5
Respon withdrawl
(menarik diri) T-F 4,11,12,21,22,27,28,29 8
Jumlah 30 F: Favorabel
T-F: Tidak Favorabel
Sebelum pelaksanaan penelitian, instrumen ini dilakukan uji coba
reliabilitas pengamatan atau observasi, dilakukan dengan cara mencari koefisien
kesepakatan (KK) agar diperoleh pengamatan yang sama. Observer adalah teman
sesama peneliti yaitu mahasiswa PSIK FK UGM yang duduk di semester delapan,
yang sebelumnya telah disamakan persepsinya dengan peneliti.
36
F. Jalannya Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito, ruang Cendana 4 (bangsal
Bedah anak/D2) IRNA I. Adapun langkah-langkahnya:
1) Tahap Persiapan: dimulai dengan penyusunan dan presentasi proposal,
mengurus perijinan dan penjelasan kepada kepala IRNA I, dan kepala ruang
Cendana 4 (bedah anak), serta persiapan asisten sebagai observer.
2) Tahap Uji coba: untuk menyamakan persepsi antar peneliti dan observer
dilakukan dengan mendiskusikan format observasi serta latihan bagaimana
cara mengisi pengisian format tersebut. Pengamat pertama dan kedua
berunding untuk menentukan kesepakatan bersama-sama sebelum melakukan
pengamatan. Pengamat pertama dan kedua kemudian melakukan pengamatan
sendiri-sendiri terhadap anak dengan menggunakan dua format yang sama,
setelah kedua format terisi dilakukan pencatatan hasil. Dalam uji reliabilitas
pengamatan atau observasi digunakan rumus yang dikemukakan oleh
Fernandes (1984) sebagai berikut:
21 NNS2KK+
=
Dimana :
KK = Koefisien kesepakatan
S = Sepakat, jumlah kode yang sama untuk setiap objek yang diamati
N1 = Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat pertama
N2 = Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat kedua
37
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan
observasi sebelum dan sesudah intervensi di ruang Cendana 4 IRNA I RSUP DR.
Sardjito Yogyakarta, peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut:
1. Karakteristik anak
Distribusi responden berdasarkan kategori usia, jenis kelamin dan
pengalaman hospitalisasi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan pengalaman hospitalisasi
Karakteristik Frek. %
1. Jenis kelamin
Laki-laki 15
8
65,22
Perempuan 34,88
2. Umur (bulan)
25 – 36 5 21,74
37– 60 18 78,26
3. Hospitalisasi sebelumnya
Pernah
Tidak Pernah
4
19
17,39
82,61
Total responden 23 Sumber: Data primer IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006
100,00
Berdasarkan kategori umur, responden kebanyakan berkisar pada usia
37–60 bulan (78,26 %). Total responden sejumlah 23 anak dari target semula
sebanyak 30 responden. Hal tersebut dikarenakan pada saat pelaksanaan
penelitian sebanyak 7 responden drop out (23,33%).
45
Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa klien yang menjadi responden
penelitian terdiri atas 15 anak (65,22 %) berjenis kelamin laki-laki dan 8 anak
(34,88%) perempuan. Hasil penghitungan chi-square menunjukkan tidak adanya
pengaruh bermakna antara perbedaan jenis kelamin responden terhadap hasil
penelitian. Tetapi variasi pada kategori usia dan pengalaman hospitalisasi
sebelumnya berpengaruh secara bermakna terhadap hasil penelitian. Demikian
memang dalam periode masa penelitian yaitu bulan Desember hingga Maret 2006
ternyata responden yang berhasil diteliti menunjukkan hasil seperti tersebut dalam
tabel di atas.
2. Perilaku kooperatif
Untuk mengetahui perbandingan perilaku kooperatif keseluruhan data
penelitian antara data sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan uji t-tes (table 3),
mean sebelum perlakuan 13,6078 mean sesudah perlakuan 15,4783 sehingga
didapatkan perbedaan mean sebelum dan sesudah perlakuan 1,8695 dengan data
terdistribusi normal. Dengan menggunakan derajat kepercayaan 95 % (p=0,05)
diperoleh nilai t sebesar 2,106 p=0,047 (<0,05). Jadi bila dilihat dari hasil
pengujian, maka hipotesis nol yang diajukan penulis adalah ditolak. Artinya ada
pengaruh secara bermakna bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak.
Uji normalitas data dengan analisa Shapiro-Wilk (Satoto, 1990) dengan
taraf signifikansi sebesar 95 % (p=0,05) diperoleh nilai data sebelum perlakuan
p=0,66 dan data sesudah perlakuan p=0,344 (>0,05), maka Ho diterima, jadi
kedua data terdistribusi normal.
46
Adapun dari hasil pengujian analisis statistik nilai sebelum dan sesudah
intervensi menghasilkan data sebagai berikut:
Tabel 3. Uji t perbedaan rata-rata nilai perilaku kooperatif anak antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi bermain
Mean ± SD Variabel Sebelum Sesudah Beda
(mean+SD) t-tes p
Perilaku kooperatif anak 13,60±5,02 15,47±5,72 1,87±4,26 2,106 0,047
Total 23 23 Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006
Tabel 4. Uji t perbedaan perilaku kooperatif anak antara sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi bermain berdasarkan sikap yang ditunjukkan anak Mean±SD
Respon Sebelum Sesudah
Beda
(mean±SD) t-tes p
Non Regresif 0,83±0,94 1,48±0,99 0,65±1,11 2,81 0,010
Non Agresif 7,09±2,78 8,35±2,78 1,26±2,38 2,54 0,019
Non Withdrawl 5,70±2,29 5,65±2,85 -0,04±2,53 -0,08 0,935 Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan perilaku
kooperatif, pada respon non regresif dan non agresif ditunjukkan dengan adanya
perbedaan yang bermakna (p=0,01 dan p=0,019) rata-rata nilai sebelum dan
setelah intervensi. Kenaikan nilai rata-rata setelah dilakukan intervensi
menunjukkan bahwa perilaku regresif dan agresif anak semakin berkurang.
Sedangkan pada perilaku withdrawl tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Sehingga intervensi bermain
berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan perilaku regresif dan agresif
pada anak setelah dilakukan intervensi.
Berikut distribusi frekuensi tingkat kooperatif anak sebelum dan sesudah
intervensi:
47
Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kooperatif sebelum dan sesudah dilakukan intervensi bermain
Sebelum Sesudah Kategori tingkat
kooperatif Frekuensi % Frekuensi %
Sangat tinggi 2 8,70 3 13,04
Tinggi 2 8,70 3 13,04
Sedang 6 26,08 11 47,82
Rendah 11 47,82 5 21,75
Sangat rendah 2 8,70 1 4,35
Jumlah 23 100,00 23 100,00 Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006
Melihat tabel di atas tampak adanya peningkatan perilaku kooperatif anak
setelah diberikan intervensi bermain dibanding sebelum intervensi yaitu;
peningkatan jumlah responden kategori sedang dari 6 anak (26,08%) menjadi 11
anak (47,82%). Sebaliknya kategori kooperatif rendah mengalami perubahan dari
11 anak (47,82%) menjadi 5 anak (21,75%).
48
Tabel 6. Tabulasi silang tingkat kooperatif dengan respon anak
Non Regresif (pre) Non Regresif (pos) Tk Koop T % S % R %
To tal % T % S % R %
To tal %
ST 1 4.3 1 4.3 0 0 2 8.6 2 8.6 1 4.3 0 0 3 13.0
T 1 4.3 0 0 1 4.3 2 8.6 2 8.6 1 4.3 0 0 3 13.0
S 2 8.6 1 4.3 3 13.0 6 26.1 7 30.4 2 8.6 2 8.6 11 47.8
R 1 4.3 4 17.4 6 26.1 11 47.8 1 4.3 1 4.3 3 13.0 5 21.7
SR 1 4.3 0 0 1 4.3 2 8.6 1 4.3 0 0 0 0 1 4.3
Total 6 26.1 6 26.1 11 47.8 23 100 13 56.5 5 21.7 5 21.7 23 100 Non Agresif (pre) Non Agresif (pos) Tk
Koop T % S % R % To tal % T % S % R %
To tal %
ST 2 8.6 0 .0 0 .0 2 8.6 3 13.0 0 .0 0 .0 3 13.0
T 2 8.6 0 .0 0 .0 2 8.6 1 4.3 2 8.6 0 .0 3 13.0
S 1 4.3 5 21.7 0 .0 6 26.1 1 4.3 10 43.5 0 .0 11 47.8
R 0 .0 8 34.8 3 13.0 11 47.8 0 .0 5 21.7 0 .0 5 21.7
SR 0 .0 .0 .0 2 8.6 2 8.6 0 .0 0 .0 1 4.3 1 4.3
Total 5 21.7 13 56.5 5 21.7 23 100 5 21.7 17 73.9 1 4.3 23 100 Non Withdrawl (pre) Non Withdrawl (pos) Tk
Koop T % S % R % To tal % T % S % R %
To tal %
ST 2 8.6 0 .0 0 .0 2 8.6 0 .0 2 8.6 1 4.3 3 13.0
T 2 8.6 0 .0 0 .0 2 8.6 0 .0 2 8.6 1 4.3 3 13.0
S 0 .0 6 26.1 0 .0 6 26.1 1 4.3 5 21.7 5 21.7 11 47.8
R 0 .0 7 30.4 4 17.4 11 47.8 2 8.6 2 8.6 1 4.3 5 21.7
SR 0 .0 0 .0 2 8.6 2 8.6 1 4.3 0 .0 0 .0 1 4.3
Total 4 17.4 13 56.5 6 26.1 23 100 4 17.4 11 47.8 8 34.8 23 100
Ket: ST: Sangat Tinggi T: Tinggi S: Sedang SR: Sangat Rendah R: Rendah
Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006
Pada tabel tabulasi silang di atas dapat dilihat distribusi frekuensi
perbedaan tingkat kooperatif sebelum dan sesudah intervensi bermain beserta
komponen respon perilaku yang ditunjukkan anak (regresif, agresif dan
withdrawl).
49
B. PEMBAHASAN
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan secara keseluruhan dapat dilihat
bahwa kegiatan bermain terapeutik di rumah sakit dapat memberikan pengaruh
terhadap perilaku kooperatif yang ditunjukkan dengan kenaikan tingkat
kooperatif anak. Hal ini dapat dipahami karena dengan bermain anak dapat
mengekspresikan perasaan, keinginan dan fantasi serta ide-idenya tentang
berbagai perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami ketika dirawat di
rumah sakit.
Bagi anak yang lebih muda bermain adalah bentuk utama komunikasi.
Selain itu anak dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan
masalah serta anak dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit
dan dirawat di rumah sakit. Dengan demikian bermain di rumah sakit dapat
mengurangi rasa cemas dan ketakutan pada anak yang dapat dilihat dari
perubahan respon perilaku yang anak tunjukkan pada saat dilakukan observasi
oleh peneliti dengan alat ukur yang sama pada saat sebelum dan sesudah
dilakukan kegiatan bermain.
Pada saat bermain perawat dapat mengajak bercakap-cakap anak, yang
merupakan upaya untuk membina hubungan saling percaya. Bermain terapeutik
merupakan dasar teknik bermain yang digunakan anak sehingga membantu
perawat mengerti perasaan, pikiran dan gagasan serta motivasi anak. Perawat dan
petugas kesehatan lainnya juga dapat mengerti apa yang disukai dan tidak disukai
oleh anak, kebutuhan dan keinginannya, dimana hal itu dapat dikaji dari anak.
Sehingga dapat membantu dalam proses berinteraksi dengan anak, perawat lebih
50
bisa memahami perasaan atau mood yang dialami anak oleh karena telah terjalin
hubungan afeksional dengan anak dan orang tua. Pada saat diajak bercakap-cakap
anak lebih memperhatikan dan menanggapi apa yang perawat sampaikan oleh
perawat. Dengan bermain simbolik dokter-dokteran anak secara psikodinamik
dapat mengidentifikasi dirinya sebagai agresor dengan demikian memberi
kesempatan kepadanya untuk mengatasi kecemasan dan kemarahannya terhadap
prosedur yang menyakitkan
Di rumah sakit sebagian besar anak ditunggui oleh ibu atau salah satu
anggota keluarganya. Keberadaan ibu atau orang-orang terdekat tersebut dapat
membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan menjadi sumber dukungan
emosional baginya (Potter & Perry, 1993). Oleh karena perpisahan dengan
keluarga membuat anak mengalami kehilangan dukungan emosional, anak
berpisah dengan keluarga yang menjadi sumber kepuasan emosi dan rasa aman
disamping juga pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai
dengannya. Menurut Simbolon (1990) bahwa anak-anak banyak menunjukkan
distres apabila perpisahan itu terjadi pada saat usia anak menunjukkkan kelekatan
pada orang tua mereka (usia kurang dari 3 tahun) dimana terjadi kegagalan
membentuk keterikatan afeksional sedangkan jika perpisahan terjadi secara
berkepanjangan terutama dengan ibu atau ibu pengganti selama 5 tahun kehidupan
pertama anak, menyebabkan perilaku delikuen di kemudian hari.
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Herliana (2001)
yang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh secara bermakna bermain terhadap
tingkat kooperatif (menggunakan derajat kepercayaan 95%, p=0,00). Beberapa
51
anak pada awalnya menunjukkan sikap bermusuhan pada perawat/peneliti
misalnya anak mengusir perawat/peneliti sebelum sempat bercakap-cakap dengan
anak, anak berespon sedikit yaitu hanya menjawab ”ya” dan ”tidak”, ataupun anak
tidak menjawab sapaan/pertanyaan perawat/peneliti. Setelah dilakukan permainan
dengan anak sikap anak berubah misalnya bersikap lebih ramah kepada perawat,
mau diajak bercakap-cakap dan berespon baik terhadap pembicaraan perawat.
Perubahan tersebut bisa dikarenakan anak tidak merasa asing lagi dengan
lingkungan maupun tenaga pemberi pelayanan perawatan/pengobatan yang
menanganinya di rumah sakit. Dengan bermain terapeutik anak merasa lebih
familiar dengan lingkungannya yang baru sehingga stress mentalnya berkurang
dan tingkat kecemasan anak bisa dikurangi (Mott et al, 1990).
Namun pengaruh intervensi terhadap perilaku anak terutama pada respon
withdrawl terlihat tidak bermakna. Baik sebelum atau sesudah intervensi hampir
sebagian besar anak tetap menunjukkan perilaku withdrawl yang tinggi. Dari
penghitungan statistik diketahui mean sebelum perlakuan 5,70 mean setelah
perlakuan 5,65 sehingga didapat beda rerata -0,05. Dengan menggunakan derajat
kepercayaan 95 %, diperoleh nilai t -0,08 dan p=0,96 (> 0,05). Pada saat perawat
datang dengan membawa alat-alat perawatan anak menunjukkan respon mulai
menangis, menjerit-jerit, memanggil-manggil orang tuanya, merapatkan diri pada
orang tuanya karena anak merasa lebih aman berada dipelukan orang terdekat.
Anak merasa tidak nyaman apabila ada perawat yang melintas, karena takut
perawat akan melakukan sesuatu tindakan terhadap dirinya yang dirasa
menyakitkan (Supartini, 2004). Reaksi demikian memang wajar karena termasuk
52
reaksi hospitalisasi utama pada anak-anak yang biasa muncul disamping reaksi
lain seperti kecemasan karena perpisahan, kehilangan kontrol dan nyeri (Whaley
& Wong, 1990).
Selanjutnya pada saat perawat melakukan prosedur perawatan invasif
berupa injeksi obat bolus (jarum ditusukkan pada selang infus) atau perawatan
luka. Pengamatan pada respon anak menunjukkan tidak adanya pengaruh
permainan simbolik terhadap perilaku withdrawl anak.
Meskipun pada saat sesi bermain anak diperkenalkan dengan macam-
macam alat perawatan, cara penggunaanya serta anak diberikan kesempatan untuk
mencoba menggunakan alat-alat tersebut baik pada boneka maupun pada anggota
keluarga yang menemani, namun rupanya pada beberapa anak respon yang
muncul dipengaruhi oleh suatu pengalaman trauma dari tindakan yang diterima
sebelumnya ketika anak dilakukan tindakan/pemeriksaan sebelum anak menjalani
perawatan inap yang berdampak pada perilaku kooperatif anak pada saat
dilakukan tindakan keperawatan invasif. Misalnya pengambilan darah yang tidak
berhasil sekaligus sehingga harus dicoba lagi berkali-kali menusuk anak.
Pengalaman hospitalisasi berperan besar menentukan respon anak-anak ataupun
remaja terhadap prosedur invasif, terutama apabila pengalaman tersebut
dipersepsikan negatif (LeRoy et al., 2003).
Perilaku withdrawl yang nampak pada anak saat dilakukan prosedur
invasif mungkin berkaitan dengan perasaan ketakutan berkaitan dengan perawatan
kesehatan yaitu ketakutan terhadap jarum, pengalaman tindakan invasif
sebelumnya yang melukai bagian tubuh, dipaksa berbaring untuk dilakukan
53
prosedur, menjadi subyek untuk dilakukan pemeriksaan sinar X dan lain
sebagainya. Selain di atas sensasi nyeri yang dirasakan merupakan bagian penting
dalam perawatan yang tidak dapat diabaikan. Persepsi nyeri pada anak bervariasi
sesuai kondisi dan derajat kecemasan yang turut mempengaruhi nyeri. Anak-anak
sering mengaitkan kecemasan dan ketakutan dengan nyeri dan mungkin
mempersepsikan bahwa nyeri adalah sebagai hukuman bagi orang yang berbuat
jahat atau berpikiran buruk (Potter dan Perry, 1993).
Selain menangis, anak masih menunjukkan respon ketakutan (withdrawl)
dengan merapat pada orang tua, memanggil nama orang tua, mengajak pulang,
memukul perawat dan meronta-ronta (agresif). Pada beberapa anak observasi
dilakukan pada bentuk tindakan perawatan yang berbeda yang bisa jadi tingkat
stimulus stresnya lebih tinggi misalnya dua pasien memperoleh tindakan hecting
up pada observasi yang kedua hal tersebut oleh karena anak sudah tidak
mendapatkan bentuk tindakan perawatan yang sama dengan tindakan pada saat
observasi yang pertama, sehingga kemungkinan dapat menimbulkan bias.
Respon anak pada saat perawat memerintahkan sesuatu sebagai salah satu
pelaksanaan prosedur perawatan, anak masih menunjukkan respon agresif yang
sama seperti pada saat sebelum intervensi bermain. Secara umum tidak terjadi
perubahan yang berarti. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan observasi
dilakukan ketika perawat melakukan tindakan perawatan yang invasif kepada
anak. Sehingga meskipun pada saat bermain anak sudah diajarkan tentang
pentingnya anak mematuhi perintah perawat yang akan bermanfaat bagi
kesembuhannya, misalnya perintah perawat meminta anak untuk memberikan
54
tangannya untuk diambil darahnya, dan meminta anak untuk tidak menekuk
anggota tubuhnya yang akan dilakukan pemeriksaaan atau perawatan. Pada saat
dilakukan prosedur invasif anak sedang mengalami keadaan puncak berupa nyeri,
cemas, takut sehingga sesederhana apapun perintah perawat tidak dihiraukan oleh
anak. Tetapi di luar tindakan invasif anak menunjukkan respon positif, misalnya
pada saat perawat memerintahkan untuk mandi, makan, minum obat, atau turun
dari tempat tidur pada saat sprei akan diganti.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Zahr (1998), pada
anak-anak usia prasekolah yang mendapat intervensi permainan terapeutik dengan
pertunjukkan boneka wayang, anak-anak menjadi lebih kalem/tenang tetapi tidak
lebih kooperatif dari kelompok kontrol yang ditunjukkan dengan nilai t sebesar
-1,81 derajat signifikansi yang digunakan 99 % (p=0,01). Terdapat kesesuaian
dengan hasil penelitian ini, yaitu diperoleh respon regresif dan agresif menurun
tetapi respon withdrawl tetap tinggi setelah diberikan perlakuan dengan
permainan simbolik
Menurut Zahr (1998) dari hasil penelitiannya tentang persiapan anak untuk
hospitalisasi menunjukkan hasil bahwa persiapan yang diperoleh dengan metode
menggunakan pertunjukkan boneka wayang membantu mereka lebih kalem
dibandingkan kelompok kontrol ketika mereka memerima injeksi preoperatif.
Manfaat permainan terapeutik juga berpengaruh secara fisiologis yaitu terjadi
penurunan rata-rata tekanan darah dan nadi selama injeksi. Hal tersebut sangat
besar manfaatnya untuk perawat ataupun ahli pediatrik lainnya (Zahr, 1998).
55
Potter dan Perry (1993) berpendapat beberapa hal yang dapat dilakukan
oleh perawat pada saat berkomunikasi pada anak dengan membiarkan anak
memperhatikan interaksi yang dekat antara perawat dengan orang tua sebelum
mendekati anak, menggunakan boneka sebelum melakukan prosedur tindakan
pada anak, berkomunikasi pada anak sejajar dengan posisi mata anak.
Membiasakan anak-anak berinteraksi dengan perawat dengan beberapa kegiatan
bermain misalnya bermain dengan balon sebelum menyentuh anak. Selain itu
berusaha melibatkan orang tua pada pemeriksaan/tindakan apabila memungkinkan
serta menghindari bahasa tubuh seperti senyuman yang terlalu lebar dan tatapan
yang dalam atau lama.
Untuk mengurangi ketakutan pada anak perawat dapat meminta anak
untuk duduk untuk pemeriksaan atau prosedur bila memungkinkan, perawat
memperagakan langkah-langkah tindakan terhadap boneka, perawat lain atau
orang tua sebelum memulai prosedur perawatan. Mempersilakan anak untuk
melihat dan memegang peralatan atau menggunakannya pada boneka.
Mengupayakan kehadiran orang tua selama prosedur dan perlakuan, memberi
kesempatan pada anak untuk bermain dengan pengalamannya dan membebaskan
perasaan kemarahan dan frustasi dalam berbagai bentuk tindakan (seperti bermain
spuit, melempar mainan, membuat benda dari bahan yang dapat dibentuk dan
memainkan alat musik perkusi). Terakhir dengan menyediakan sesi bermain
terapeutik (Potter dan Perry, 1993).
Perawat seringkali tidak dapat mencegah nyeri tetapi dapat melakukan
sesuatu untuk mengurangi ketidaknyamanan fisik. Untuk itu perawat dapat
56
melakukan; pada anak usia todler atau yang lebih muda perawat dapat berbicara
dengan suara yang lembut atau dengan nyanyian dan dengan sentuhan fisik seperti
memegang, mengayun, memeluk, merangkul dan mengusap-usap. Menganjurkan
anak untuk disediakan benda-benda yang dapat membuatnya nyaman seperti
selimut kesayangannya, mainan kesayangannya, atau selendang ibunya. Perawat
memperbolehkan anak untuk menangis namun tetap melakukan tindakan yang
membantu misalnya memegang tangan mereka agar diam selama tindakan.
Memberi kesempatan kepada anak untuk memilih misalnya ajari mana yang akan
diambil darahnya untuk pemeriksaan. Membiasakan partisipasi anak dalam
prosedur yang mungkin juga menyakitkan, yang menjadi berlebihan oleh
kecemasan. Menyediakan perangsang yang dapat mendorong kerjasama
(cooperation) dengan tindakan keperawatan yang menimbulkan ketidaknyamanan
(misal memberikan pilihan kepada anak untuk mengambil hadiah kejutan dari
kotak yang disediakan setiap kali anak bekerjasama pada saat pengambilan darah
untuk pemeriksaan) dan tentu saja perawat secara kolaborasi dapat memberikan
analgesik sebagai pengontrol nyeri untuk memberikan kenyamanan dan
meningkatkan kerjasama pada pelaksanaan prosedur invasif (Potter dan Perry,
1993).
Nilai koefisien kesepakatan yang ideal adalah 1, namun dalam hal ini
hampir tidak pernah diperoleh. Nilai antara 0,8 – 0,1 dianggap tinggi; antara
0,6 – 0,8 cukup; antara 0,4 – 0,6 agak rendah; antara 0,2 – 0,4 rendah; antara
0,0 – 0,2 sangat rendah (Arikunto, 2002).
Perhitungan nilai koefisien kesepakatan dilakukan pada hasil
observasi peneliti dengan observasi asisten peneliti/observer dua. Bagi
observer yang memiliki nilai koefisien kesepakatan >0,6 maka dia diterima
sebagai asisten peneliti sedangkan bila nilai KK yang diperoleh <0,6 maka
akan dilakukan pemahaman kembali format dan observasi kembali sampai
diperoleh nilai KK yang >0,6. Hasil uji reliabilitas pengamat yang dilakukan
diperoleh nilai KK1 0,6 dan KK2 0,8.
Lembar observasi perilaku kooperatif anak berguna untuk memudahkan
observer dalam melihat perilaku kooperatif anak selama menjalani rawat inap
di ruang Cendana 4 (bangsal bedah anak) RSUP Dr. Sardjito.
3) Tahap Pelaksanaan :
Dalam penelitian ini penulis mengambil tempat penelitian di ruang
perawatan bedah anak Cendana 4 IRNA I RSUP DR. Sardjito Yogyakarta
yang direncanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Desember, tetapi proses
pengambilan data berlangsung selama tiga bulan yang berakhir pada bulan
Maret 2006. Karena dalam tempo waktu satu bulan tersebut belum diperoleh
sejumlah sampel yang diharapkan yaitu minimal 30 responden, maka peneliti
memperpanjang jangka waktu penelitian selama dua bulan kemudian hingga
bulan Maret. Selama waktu tersebut diperoleh sampel sejumlah 23 responden.
38
Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian yang peneliti lakukan
adalah:
a. Peneliti melakukan pendekatan pada klien (pasien dan keluarganya),
menjelaskan bahwa peneliti akan melakukan dua kali pengamatan kepada
anak dan terutama pada saat dilakukan tindakan medis/keperawatan dan
saat berinteraksi dengan perawat yaitu sebelum dan sesudah anak bermain.
b. Melakukan observasi pretest, kemudian mengajak anak untuk bermain
dengan ditemani ayah, ibu, teman sesama pasien atau keluarganya yang
lain.
c. Melakukan permainan simbolik/pura-pura dengan anak, dengan peneliti
sebagai fasilitator. Permainan dilakukan sebanyak dua sesi dengan waktu
terpisah, setiap sesi dilakukan kurang lebih selama 10 hingga 20 menit.
Peneliti melakukan permainan dengan anak atau membimbing anak untuk
melakukan permainan sendiri dengan ditemani keluarganya dengan cara
mengarahkan alat permainan yang sesuai. Adapun pelaksanaan permainan
dengan anak dilakukan tidak tetap dalam waktu tertentu, peneliti kadang
menemui klien pada pagi atau sore hari (setelah anak mendapat tindakan),
pada siang hari (setelah anak makan siang) bahkan pada hari libur
sekalipun. Pada mulanya permainan direncanakan dilakukan secara
berkelompok dengan sesama pasien, namun karena kondisi anak yang
tidak mendukung maka permainan secara berkelompok hanya dilakukan
pada beberapa pasien saja, sebagian besar anak bermain bersama keluarga
yang menemaninya. Kondisi tersebut ialah tahapan perawatan anak yang
39
berbeda-beda, sehingga berpengaruh pada tahap pengambilan data.
Apabila menunggu pasien lain untuk permainan berkelompok bisa jadi
pasien lainnya drop out karena akan segera pulang, belum, atau bahkan
sudah tidak mendapatkan jenis tindakan yang dimaksud peneliti untuk
diobservasi perilakunya.
d. Setelah dilakukan aktifitas bermain sebanyak dua sesi, peneliti melakukan
observasi lagi kepada anak (posttest) untuk melihat perilaku kooperatifnya.
Anak rawat Perilaku kooperatif setelah bermain
Bermain Perilaku Kooperatif sebelum bermain
Faktor-faktor berpengaruh: -jenis penyakit -jenis tindakan -sikap perawat
Perbandingan
Gambar 2. Skema Jalannya Penelitian
G. Analisis Data
Analisa data dilakukan setelah pengumpulan data. Langkah pertama yang
dilakukan dengan editing kemudian mentabulasikan seluruh data yang terkumpul,
kemudian menjumlah skor dari hasil observasi respon anak. Untuk menganalisis
data tersebut, karena dalam hal ini data hasil eksperimen menggunakan pre-test
dan post-test one group design, maka rumusnya adalah:
40
)1(
2
−
=∑
NNdx
Mdt
dimana :
Md : Mean dari beda post test dan pre test
xd : deviasi masing-masing subjek
dx∑ 2 : jumlah kuadrat deviasi
N : Subjek pada sampel
d.b. : dientukan dengan N – 1
(Arikunto, 2002)
Harga t tersebut kemudian dibandingkan dengan harga t tabel sehingga diperoleh
interpretasi dari hipotesis ada tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah
perlakuan. Untuk menghitung perbedaan tersebut maka digunakan nilai
probabilitas dengan tingkat kemaknaan 95% (p=0,05). Dikatakan ada perbedaan
bermakna apabila p<0,05 (Sugiyono, 2005). Sedangkan untuk mengetahui apakah
data terdistribusi normal atau tidak dilakukan uji Shapiro-Wilk (Satoto, 1990).
Selanjutnya untuk memberikan interpretasi skor skala dilakukan dengan
bantuan statistik deskriptif berdasarkan standar deviasi yang terbagi ke dalam lima
kelas tingkat kooperatif sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi
(Azwar,1999). Norma kategorisasi dalam populasi teoritik yang mengikuti
sebaran normal standar (μ=0; standar deviasi (σ)= 1) berupa:
X ≤ -1,5σ Kategori sangat rendah
-1,5σ < X ≤ -0,05σ Kategori rendah
41
-0,05σ < X ≤ +0,05σ Kategori sedang
+0,05σ < X ≤ +1,5σ Kategori tinggi
+1,5σ <X Kategori sangat tinggi
Distribusi di atas misal bila ditetapkan dalam skala perilaku kooperatif (yang
secara teoritis kemungkinan skornya berkisar dari 0 sampai dengan 30 dan standar
deviasi (σ) = 5) akan menghasilkan kategori skor sebagai berikut:
X ≤ 7,5 Kategori sangat rendah
7,5 < X ≤ 12,5 Kategori rendah
12,5 < X ≤ 17,5 Kategori sedang
17,5 < X ≤ 22,5 Kategori tinggi
22,5 < X Kategori sangat tinggi
Demikian juga pengkategorian diterapkan untuk masing-masing tingkat respon
regresif, agresif dan withdrawl dengan disesuaikan kisaran skor dan standar
deviasinya.
(Azwar,1999)
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian
1. Kesulitan penelitian
Kapasitas ruang perawatan bedah anak yang kecil, yang hanya dapat
menampung sedikit pasien, sehingga dalam masa pengambilan data selama
tiga bulan hanya mendapatkan 23 responden, selain itu lama waktu rawat
inap pasien yang relatif panjang juga menyebabkan masuknya pasien baru
terbatas karena menunggu antrian tempat untuk dirawat/menjalani prosedur
2. Kelemahan Penelitian
42
a. Identifikasi temperamen anak diperoleh dengan menanyakan pada keluarga
tanpa menggunakan panduan, sedangkan untuk mendapatkan identifikasi
yang akurat diperlukan instrumen/panduan yang tepat. Sehingga peneliti
tidak dapat mengendalikan apakah respon perilaku yang muncul pada
responden merupakan dampak karena stressor di rumah sakit atau karena
karakteriktik anak memang demikian, yang hal ini dapat menimbulkan bias
terhadap hasil penelitian.
b. Pada kriteria eksklusi responden dengan manifestasi klinis perilaku kacau
memerlukan pengukuran dengan menggunakan instrumen yang tepat,
namun dalam penelitian ini hal tersebut belum dapat dilakukan. Sehingga
kemungkinan besar menimbulkan bias terhadap hasil penelitian.
c. Permainan yang rencananya akan dilakukan secara berkelompok namun
karena kondisi tahap perawatan anak yang berbeda-beda maka permainan
dilakukan secara individu, anak sebagian besar tidak bermain bersama
sesama pasien tetapi bersama anggota keluarga yang menungguinya. Selain
itu terdapat variasi dalam waktu lamanya permainan masing-masing anak
dan variasi adanya teman/keluarga yang menemani anak selama bemain.
d. Dari variabel-variabel yang berpengaruh terhadap hasil pelaksanaan
kegiatan bermain terapeutik tidak semuanya dikendalikan. Hanya variabel
jenis tindakan saja yang dikendalikan. Variabel jenis penyakit dan sikap
perawat tidak dikendalikan.
e. Perilaku tidak terjadi secara sporadis (timbul dan hilang saat-saat tertentu),
tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perilaku dengan
43
perilaku berikutnya, sehingga semakin banyak dilakukan pengukuran
semakin baik karena dapat menunjukkan sifat kontinuitas dari perilaku.
Namun dalam penelitian ini pengukuran perilaku anak hanya dilakukan dua
kali, pre dan pos aktivitas bermain masing-masing dilakukan satu kali
observasi.
44
BAB V
KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi
bermain simbolik berpengaruh terhadap peningkatan perilaku kooperatif anak selama
menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
perbedaan rata-rata perilaku kooperatif secara bermakna antara sebelum dan sesudah
bermain, dengan nilai kemaknaan sebesar 0,047.
B. Saran
1. Mengingat manfaat bermain di rumah sakit berupa pengaruhnya terhadap
peningkatan perilaku kooperatif anak pada saat menjalani perawatan maka
hendaknya rumah sakit dapat memfasilitasi terselenggaranya kegiatan bermain
bagi pasien di bangsal bedah anak.
2. Hendaknya perawat senantiasa berupaya untuk menyampaikan kepada orang tua
tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan anak untuk tetap dapat bermain meski
dalam keadaan sakit (yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi kesehatan anak).
3. Perawat hendaknya dapat membantu anak dan orang tua dalam praktik bermain,
memberikan informasi jenis-jenis bermain terapeutik yang dapat dilakukan untuk
mendukung proses perawatan, termasuk bermain simbolik pura-pura menjadi
dokter-pasien/perawat-pasien yang dapat menurunkan perilaku regresif dan
agresif selama prosedur invasif.
57
4. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat berkomunikasi pada
anak yaitu dengan menggunakan boneka sebelum melakukan prosedur tindakan
pada anak. Membiasakan anak-anak berinteraksi dengan perawat denagan
beberapa kegiatan bermain misalnya bermain dengan balon sebelum menyentuh
anak.
5. Tindakan dapat dilakukan perawat untuk membantu mengurangi ketakutan pada
anak, perawat dapat memperagakan langkah-langkah tindakan terhadap boneka,
perawat lain atau orang tua sebelum memulai prosedur perawatan.
6. Perawat seringkali tidak dapat mencegah nyeri tetapi dapat berupaya mengurangi
ketidaknyamanan fisik dengan menganjurkan anak untuk disediakan benda-benda
yang dapat membuatnya nyaman seperti selimut dan mainan kesayangannya.
7. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengendalikan faktor-faktor lain
yang mempengaruhi dan penelitian untuk mengetahui jenis permainan apa yang
paling efektif untuk meningkatkan perilaku kooperatif anak selama tindakan
invasif.
58
Lampiran 1 Observasi I / II *
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Identitas Responden
1. Nama Anak :……………………………………………
2. Jenis Kelamin :……………………………………………
3. Umur :……………………………………………
4. Tanggal masuk RS :………………………………………….…
5. Diagnosa Medis :……………………………………………
6. Pasien anak no. :………dari…………bersaudara
7. Pernah rawat inap di rumah sakit sebelumnya: ya/tidak*
……..………………
Jika ya:
a. Tahun…………………penyebab rawat inap………….……
b. Tahun…………………penyebab rawat inap..……….…….
c. Tahun…………………penyebab rawat inap… ……………
Keterangan: * Lingkari sesuai pilihan
PERILAKU KOOPERATIF
Berikut ini adalah pedoman observasi untuk melihat perilaku kooperatif
anak yang dirawat di ruang Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito pada usia 2-6 tahun.
i
PEDOMAN OBSERVASI
PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI PERAWATAN
PETUNJUK
Berilah tanda check (V) pada kolom “ya” atau “tidak” berdasarkan perilaku yang
ditunjukkan oleh anak:
NO. REAKSI YANG MUNCUL PADA ANAK YA TIDAK
A. Perilaku anak pada saat perawat mengajak bercakap-
cakap atau berbicara
1. Anak mengusir perawat.
2. Anak menunjukkan respon marah pada perawat.
3. Anak tidak mengeluarkan sepatah kata pun
4. Anak menghindari kontak mata dengan perawat.
5. Anak berespon dengan mengeluarkan jawaban ya atau
tidak.
6. Anak bersikap ramah dan berespon baik terhadap perawat.
7. Anak berespon antusias terhadap pembicaraan perawat.
B. Perilaku anak pada saat perawat datang dengan membawa alat-alat
perawatan
8. Anak menjerit-jerit.
9. Anak menangis.
10. Anak mengucapkan kata-kata marah atau respon marah
pada perawat.
11. Anak mengajak orang tuanya pulang.
ii
12. Anak merapatkan dirinya/bersembunyi pada orang tuanya.
13. Anak bersikap wajar tetapi tetap pada aktivitasnya.
14. Anak menanyakan alat apa yang dibawa perawat.
15. Anak menerima perawat dengan ramah dan menanyakan
prosedur apa yang akan dilakukannya.
C. Perilaku anak pada saat perawat melakukan prosedur
pemeriksaan/perawatan baik yang menyakitkan ataupun tidak
16. Anak memanggil-manggil orang tuanya.
17. Anak meronta-ronta.
18. Anak menendang-nendangkan kakinya.
19. Anak menangis kuat atau menjerit-jerit
20. Anak melawan (misal memukul atau mencakar) perawat
yang melakukan tindakan.
21. Anak menepiskan tangan perawat yang memeganginya.
22. Anak menekuk kaku tangan atau anggota tubuh yang akan
dilakukan pemeriksaan.
23. Anak memberikan anggota tubuh yang akan dilakukan
pemeriksaan.
24. Anak menanyakan dulu kepada perawat tindakan. yang
akan dilakukan sakit atau tidak kemudian mempersilakan
perawat melakukan pemeriksaan terhadapnya.
25. Anak tanpa bertanya apa-apa langsung mempersilakan
perawat melakukan pemeriksaan terhadapnya.
iii
D. Perilaku anak pada saat perawat memerintahkan sesuatu sebagai salah
satu prosedur perawatan
26. Anak menangis.
27. Anak menunjukkan respon marah pada perawat.
28. Anak tidak mau melakukan perintah perawat.
29. Anak melakukan perintah tetapi dengan sedikit paksaan.
30. Anak melakukan perintah secara spontan tanpa paksaan.
Catatan observer:
……….……….……….……….……….…………………….
……….……….……….……….……….…………………….
……………………………………………………………….
………… 2005
Tanda tangan Observer
( )
iv
Lampiran 2
Materi kegiatan yang dilakukan pada penelitian
Sesi I, selama 10 – 20 menit
Hari/tanggal :
Waktu :
No Materi yang kegiatan Ya Tdk
1 Perkenalan dengan anak dan orang tua
a. Memperkenalkan nama dan identitas singkat dari
peneliti.
b. Memberitahukan tentang maksud dan tujuan penelitian.
c. Memberikan informasi tentang pentingnya orang tua
dalam mendampingi anak selama dilakukan aktivitas
bermain oleh peneliti.
2 Melakukan pendekatan dengan anak
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Mengadakan kontrak waktu dengan anak pada awal
permainan.
3 Persiapan sebelum melakukan permainan:
a. Memilih permainan yang disukai anak untuk bermain
dan mengarahkannya pada jenis tertentu.
- Puzzle, mobil-mobilan, boneka, alat memasak
mainan, kertas lipat, mainan alat musik, gambar
benda-benda di rumah sakit, buku gambar.
b. Memberikan alat bermain yang tidak menguras tenaga.
c. Memberikan alat bermain sesuai jenis kelamin dan
umur.
d. Mendaftar benda yang ada di rumah sakit dan latihan
tebak-menebak tentang benda tersebut.
e. Biarkan anak untuk menggambar apa yang disukai
dan tidak disukainya di rumah sakit.
4 Mengakhiri permainan.
a. Meminta ijin pada anak untuk mengakhiri pemainan.
b. Meminta anak melanjutkan permainan lagi nanti atau
esok hari.
5 Mencatat respon anak selama permainan.
Respon Anak:
………………………………………………………………
………………………………………………………………
……………………………………..……………………….
Tanda tangan
pelaksana
( )
Sesi II, selama 10 - 20 menit
Hari/tanggal :
Waktu :
Sarana yang digunakan :
Boneka, gambar dokter dan perawat, peralatan rumah sakit (termometer,
stetoskop, alat suntik tanpa jarum, cangkir)
No. Materi kegiatan Ya Tdk
1 Mempersiapkan permainan yang akan dilakukan bersama
anak.
2 Mengadakan kontrak waktu dengan anak
3 Melakukan permainan bersama anak:
a. Untuk menjelaskan sakitnya, tunjukkan bagian yang
sakit pada anak dengan mempergunakan boneka.
b. Mengenalkan dan mendekatkan anak dengan dokter
dan perawat dengan menggunakan gambar-gambar
dokter dan perawat atau dapat juga mengenalkannya
secara langsung.
c. Perkenalkan anak dengan alat-alat yang ada di
rumah sakit yang tidak menyakitkannya: termometer,
stetoskop.
d. Ajari anak menggunakannya sambil dijelaskan.
e. Perkenalkan anak dengan alat rumah sakit yang
menakutkannya (misalnya: alat suntik tanpa jarum) dan
ajarkan cara menggunakannya.
f. Anak bermain pura-pura menjadi perawat atau
dokter.
g. Biarkan anak memegang spuit tanpa jarum, ajarkan
menyuntik dan gambarkan lokasi yang akan disuntik dan
perlihatkan wajah boneka tersenyum.
h. Jika memungkinkan anak bisa bermain air dengan
menggunakan spuit.
4 Mengakhiri permainan
a. Meminta ijin pada anak dan orang tuanya bahwa tugas
perawat sudah selesai.
b. Mengucapkan terimakasih pada orang tua atas ijin yang
diberikan dan partisipasinya.
c. Meminta orang tuanya untuk mengajak anaknya bermain.
5 Mencatat respon anak selama permainan.
Respon Anak:
………………………………………………………………
………………………………………………………………
……………………………………..……………………….
Tanda tangan
pelaksana
( )
Lampiran 3
Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :…………………………..
Umur :…………………………..
Selaku wali dari anak :
Nama :…………………………..
Umur :…………………………..
telah memberikan persetujuan anak saya untuk di observasi dalam penelitian
“Pengaruh Bermain Simbolik Terhadap Perilaku Kooperatif Selama Menjalani
rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta”.
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan. Saya
mengetahui bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
anak-anak dalam menjalani rawat inap.
Demikian pernyataan ini dibuat secara sukarela dan tidak ada unsur
paksaan dari siapapun.
Yogyakarta,…………2005
(…………….)
ii
Lampiran 4
Lembar Kesediaan Menjadi Observer
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :……………………………………..
Umur :……………………………………..
Jenis kelamin :……………………………………..
Pendidikan :……………………………………..
Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi sebagai observer dalam
penelitian yang berjudul “Pengaruh Bermain Simbolik Terhadap Perilaku
Kooperatif Anak Selama Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta”. Saya telah menerima informasi atau penjelasan dan mengerti
tentang observasi yang akan dilakukan pada penelitian ini.
Demikian surat kesediaan yang saya buat.
Yogyakarta,………………..2005
(……………….)
ii
Lampiran Uji homogenitas sampel NPAR-Test Chi Square –Test Frequencies KELAMIN Jenis Kel. Observed N Expected N Residual Laki-laki 15 11.5 3.5Perempuan 8 11.5 -3.5Total 23
Test Statistics KELAMIN Chi-Square(a) 2.130 df 1 Asymp. Sig. .144
a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.
NPAR-Test Chi Square –Test Frequencies USIA Observed N Expected N Residual 2-3 th 5 11.5 -6.53-6 th 18 11.5 6.5Total 23
Test Statistics USIA Chi-Square(a) 7.348 df 1 Asymp. Sig. .007
a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.
Lampiran Uji homogenitas sampel NPAR-Test Chi Square –Test Frequencies HOSPITAL Hospitalisasi Observed N Expected N Residual Tidak 19 11.5 7.5Ya 4 11.5 -7.5Total 23
Test Statistics HOSPITAL Chi-Square(a) 9.783
df 1 Asymp. Sig. .002
a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.