pengajuan keberatan atas ketetapan pajak bumi dan%0d%0abangunan persepsi wajib pajak mengenai...

67
PENGAJUAN KEBERATAN ATAS KETETAPAN PBB: PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI TERJADINYA PERBEDAAN ANTARA KETETAPAN PBB DENGAN KONDISI RIIL OBJEK PAJAK (STUDI KASUS PADA KP PBB MALANG) SKRIPSI Disusun oleh: JOKO SUBIYANTO 0510212015 Diajukan Sebagai Salah satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi JURUSAN IESP-PERPAJAKAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2007

Upload: anisha-fajri-rizkiani

Post on 22-Nov-2015

118 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gadfv

TRANSCRIPT

  • PENGAJUAN KEBERATAN ATAS KETETAPAN PBB:PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI TERJADINYAPERBEDAAN ANTARA KETETAPAN PBB DENGAN

    KONDISI RIIL OBJEK PAJAK(STUDI KASUS PADA KP PBB MALANG)

    SKRIPSI

    Disusun oleh:

    JOKO SUBIYANTO0510212015

    Diajukan Sebagai Salah satu SyaratUntuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi

    JURUSAN IESP-PERPAJAKANFAKULTAS EKONOMI

    UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG

    2007

  • iKATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karenaatas rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yangberjudul :

    Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi danBangunan: Persepsi Wajib Pajak Mengenai Terjadinya Perbedaanantara Ketetapan PBB dengan Kondisi Riil Objek Pajak.

    Penyusunan Skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratandalam mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada jurusan IESP FakultasEkonomi Universitas Brawijaya Malang. Ide awal penulisan Skripsi initimbul karena adanya pengajuan keberatan atas Ketetapan Pajak Bumidan Bangunan. Pengajuan keberatan ini dapat disebabkan oleh beberapahal antara lain: adanya perbedaan antara Ketetapan PBB dengan kondisiriil dan adanya perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan fiskus.

    Dengan selesainya penyusunan Skripsi ini, penulis menyampaikanrasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggikepada :1. Bapak Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., MM., Ak. selaku Dekan

    Fakultas Ekonomi2. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE. MS. selaku Ketua Jurusan IESP.3. Ibu Sri Muljaningsih, SE., M.Sp. selaku Sekretaris Jurusan IESP.4. Ibu Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME. selaku dosen pembimbing,

    yang telah memberikan banyak arahan dalam penyelesaian skripsiini.

    5. Ibu Dra. Marlina Ekawaty, M.Si selaku dosen penguji I.6. Bapak Agung Darono, SE., MM selaku dosen penguji II.7. Seluruh karyawan dan karyawati jurusan IESP yang telah

    memberikan bantuan dan kemudahan bagi penulis.8. Seluruh karyawan dan karyawati KP PBB Malang khususnya seksi

    keberatan dan pengurangan yang telah memberikan kemudahanserta saran kepada penulis.

    9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telahmembantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari

    sempurna. Karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkandemi kesempurnaan Skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karyaini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Amin.....

    Malang, Januari 2008

    Penulis

  • ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................ iiDAFTAR TABEL ......................................................................................... ivDAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vABSTRAKSI ................................................................................................ vi

    BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 4

    1.3.1. Tujuan Penelitian ........................................................ 41.3.2. Manfaat Penelitian ...................................................... 4

    BAB II : KAJIAN PUSTAKA2.1. Tinjauan Umum ................................................................... 5

    2.1.1. Definisi Pajak ............................................................. 5 2.1.2. Asas Pemungutan ...................................................... 6 2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak ......................................... 6

    2.1.4. Pembagian Pajak ....................................................... 72.1.5. Fungsi Pajak .............................................................. 92.1.6. Cara Pemungutan Pajak ............................................ 9

    2.1.7. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak ...................... 102.1.8. Pembagian Hukum Pajak ........................................... 12

    2.2. Pajak Bumi dan Bangunan .................................................. 132.2.1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ....................... 132.2.2. Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan ................ 142.2.3. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan .................. 15

    2.2.4. Terminologi Pajak Bumi dan Bangunan ..................... 16 2.3. Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan ..................... 17

    2.3.1. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan ............................. 172.3.2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan .............................. 182.3.3. Pengecualian Objek Pajak Bumi dan Bangunan......... 19

    2.4. Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PBB ..................... 202.4.1. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan ........... 202.4.2. Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan ...... 202.4.3. Tarif dan Cara Penghitungan PBB ............................ 21

    2.4.3.1. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan .................. 212.4.3.2. Cara Penghitungan Pajak Bumi dan

    Bangunan .................................................. 212.5. Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan ................................. 22

    BAB III : METODE PENELITIAN3.1. Lokasi Penelitian ................................................................. 283.2. Jenis Penelitian ................................................................... 283.3. Sumber Data ....................................................................... 283.4. Metode Pengumpulan Data ................................................. 29

  • iii

    3.5. Variabel Penelitian ............................................................... 303.6. Skala pengukuran ................................................................ 313.7. Teknik Analisis Data ............................................................ 31

    BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Gambaran Umum Instansi ................................................... 34

    4.1.1. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan (KP PBB) Malang .................................... 34

    4.2. Struktur Organisasi dan Uraian Jabatan .............................. 384.2.1. Struktur Organisasi .................................................... 384.2.2. Uraian Jabatan .......................................................... 41

    4.3. Karakteristik Responden ...................................................... 454.4. Pengujian Hipotesis Dengan Uji Chi Square ........................ 504.5. Pembahasan ....................................................................... 55

    BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan .......................................................................... 595.2. Saran ................................................................................... 59

    DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

  • vi

    ABSTRAKSI

    Subiyanto, Joko. 2007. Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak Bumidan Bangunan: Persepsi Wajib Pajak Mengenai TerjadinyaPerbedaan antara Ketetapan PBB dengan Kondisi Riil Objek Pajak.Skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FakultasEkonomi, Universitas Brawijaya. Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi Wajib

    Pajak mengenai terjadinya perbedaan antara Ketetapan Pajak Bumi dan

    Bangunan (PBB) dengan kondisi riil Objek Pajak. Selain itu, tujuan lain yang ingin

    dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menyebabkan

    terjadinya perbedaan Ketetapan PBB dengan kondisi riil Objek Pajak. Untuk

    mengetahui proporsi jawaban ya dan tidak, digunakan metode statistik Chi

    Square yang bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi jawaban ya dan

    tidak.

    Dari hasil penelitian, diperoleh fakta bahwa ada beberapa hal yang

    mendasari Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas ketetapan PBB, antara

    lain pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP, kesalahan pengukuran luas tanah,

    kesalahan prosedur pengukuran tanah, dan pengetahuan Wajib Pajak tentang

    klas klasifikasi.

    Kata Kunci: Pajak Bumi dan Bangunan, Wajib Pajak, pengajuan keberatan,pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP, kesalahan pengukuran

    luas tanah, kesalahan prosedur pengukuran tanah, dan

    pengetahuan Wajib Pajak tentang klas klasifikasi.

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi negara.

    Pajak yang menurut sifatnya lebih bersifat paksaan merupakan pembayaran

    yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah, akan tetapi jumlah yang

    dibayarkan oleh masyarakat tersebut tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya

    oleh masyarakat. Hasil pajak hanya dapat dirasakan melalui dibangunnya

    sarana-sarana umum yang disediakan oleh pemerintah dari hasil pajak yang

    sudah dibayar, seperti gedung sekolah, fasilitas rumah sakit, jalan raya, lapangan

    udara, terminal, dan sebagainya. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh

    manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, wajar jika

    menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada negara

    melalui pembayaran pajak.

    Di Indonesia, terdapat beberapa jenis pajak yang berlaku, salah satunya

    adalah Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang

    dikenakan terhadap bumi (tanah) dan atau bangunan yang terdapat di wilayah

    Republik Indonesia. Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan sangat penting

    bagi Pemerintah Daerah, selain dari sumber-sumber penerimaan yang lain. Hal

    ini disebabkan oleh besarnya jumlah pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi

    dan Bangunan, yaitu sebesar 90% untuk Pemerintah Daerah dan 10% untuk

    Pemerintah Pusat. Hal ini seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah

    nomor 16 tahun 2000 tentang pembagian hasil penerimaan PBB antara

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu Pajak Bumi dan

    Bangunan sangat penting untuk membantu penerimaan daerah karena besarnya

    jumlah pembagian hasil penerimaan PBB.

  • 2Sebagai Warga Negara, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban

    tidak terkecuali Wajib Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan. Wajib Pajak

    berkewajiban membayar pajak sesuai dengan tarif yang telah ditentukan

    berdasarkan luas objek bumi (tanah) dan atau bangunan, Nilai Jual Objek Pajak

    (NJOP) bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan

    Pajak Terutang (SPPT) dan atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). Pada saat

    menerima SPPT terkadang Wajib Pajak keberatan dengan apa yang tercantum

    dalam SPPT karena tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang pada

    akhirnya Wajib Pajak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan

    kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi

    dan Bangunan. Keberatan ini dapat terjadi dikarenakan beberapa hal, antara

    lain:

    1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang yang tercantum

    dalam SPPT tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini

    terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:

    Kesalahan pada luas objek Pajak Bumi dan Bangunan.

    Kesalahan klasifikasi objek Pajak Bumi dan Bangunan.

    Kesalahan pada nama dan atau alamat Wajib Pajak.

    2. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-

    undangan tentang pajak antara Wajib Pajak dengan aparat pajak

    (fiskus), misalnya:

    Penetapan subjek pajak sebagai Wajib Pajak.

    Objek pajak yang seharusnya tidak dikenakan PBB.

    Berkaitan dengan hal tersebut diatas, dalam jangka waktu 3 bulan sejak

    diterimanya surat pemberitahuan atau ketetapan, Wajib Pajak diberi hak untuk

    mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dalam hal ini ditujukan kepada

  • 3Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dimana objek berada.

    Apabila ternyata batas waktu 3 bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib

    Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) maka tenggang

    waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Dirjen

    Pajak.

    Berikut ini adalah data pengajuan permohonan keberatan Pajak Bumi dan

    Bangunan (PBB) di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

    Malang selama 5 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2002 sampai tahun 2006:

    193

    857

    457392

    897

    0100200300400500600700800900

    1000

    2002 2003 2004 2005 2006

    Tahun

    Jum

    lah

    pengajuan keberatan

    Sumber: KP PBB Malang

    Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah pengajuan keberatan Pajak

    Bumi dan Bangunan (PBB) sempat mengalami penurunan pada tahun 2004 dan

    tahun 2005, akan tetapi pada tahun 2006 jumlah pengajuan keberatan PBB

    mengalami peningkatan yang besar. Berdasarkan data-data diatas, yang

    menunjukkkan bahwa masih banyaknya Wajib Pajak yang mengajukan

    keberatan, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengambil topik tentang

    Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan: Persepsi Wajib

  • 4Pajak Mengenai Terjadinya Perbedaan antara Ketetapan PBB dengan Kondisi

    Riil Objek Pajak.

    1.2 Rumusan masalah

    Bagaimanakah persepsi masyarakat (Wajib Pajak) tentang terjadinya

    perbedaan antara Ketetapan PBB dengan kondisi riil Objek Pajak?

    1.3 Tujuan penelitian dan Manfaat Penelitian

    1.3.1 Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat (Wajib Pajak) tentang

    terjadinya perbedaan antara Ketetapan PBB dengan kondisi riil Objek Pajak.

    1.3.2 Manfaat Penelitian

    1. Bagi Peneliti

    Untuk menerapkan ilmu yang selama ini diperoleh di bangku kuliah dan

    untuk mempraktekkannya sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.

    2. Bagi Instansi

    Memberikan masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang

    berwenang dalam menentukan kebijakan khususnya tentang keberatan guna

    mendukung meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.

    3. Bagi Fakultas

    Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk menambah

    pengetahuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan sekaligus sebagai

    pembanding bagi peneliti serupa di masa yang akan datang dalam rangka

    pengembangan ilmu perpajakan.

  • 5BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Tinjauan Umum

    2.1.1 Definisi Pajak

    Beberapa ahli memberikan pengertian yang sedikit beragam tentang

    definisi pajak, diantaranya adalah sebagai berikut :

    Soemitro (1990), menjelaskan bahwa:

    Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untukpengeluaran umum

    Selanjutnya, Djajadiningrat (Munawir,1995) memberikan definisi tentang

    pajak:

    suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negaradisebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikankedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yangditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbalbalik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum

    Dari pengertian-pengertian diatas, dapat di simpulkan sebagai berikut:

    Pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan kepada masyarakat dengan tidakmendapatkan timbal balik secara langsung dan bertujuan untuk membiayaipembangunan.

    Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat

    pada pengertian pajak adalah :

    1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.

    2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

    secara langsung oleh pemerintah.

    3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah

    daerah.

  • 64. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila

    dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai

    public investment.

    5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang bukan budgetair, yaitu mengatur.

    2.1.2 Asas Pemungutan

    Terdapat tiga asas pemungutan pajak di negara kita. Menurut Mardiasmo

    (2002), asas pemungutan pajak tersebut adalah sebagai berikut:

    a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

    Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak

    yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari

    dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri (

    pasal 4 Undang-Undang pajak penghasilan ).

    b. Asas sumber

    Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang

    bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

    c. Asas kebangsaan

    Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara, misalnya

    pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan

    berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini

    berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri.

    2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak

    Seperti dikatakan Waluyo dan Ilyas (1999), sistem pemungutan pajak

    dapat dibagi menjadi berikut:

    a. Self Assesment System

    Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,

    kepercayaan, tanggung jawab, kepada Wajib Pajak untuk menghitung,

  • 7memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang

    harus dibayar. Sistem ini memiliki ciri-ciri : (i) Wajib Pajak mempunyai

    wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang; (ii) Wajib Pajak

    bersifat aktif, mulai dari menghitung, memperhitungkan, membayar, dan

    melaporkan sendiri pajak terutang.

    b. Official Assesment System

    Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada

    pemerintah ( fiskus ) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh

    Wajib Pajak. Dalam sistem Official Assesment System, karakteristik yang

    dimiliki adalah : (i) Fiskus mempunyai wewenang untuk menentukan

    besarnya pajak terutang; (ii) Wajib Pajak bersifat aktif; (iii) Utang pajak timbul

    setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.

    c. With Holding System

    Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

    pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang

    oleh Wajib Pajak.

    2.1.4 Pembagian Pajak

    Pembagian pajak menurut Tjahjono dan Husein (2000) dapat digolongkan

    menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Lebih rincinya adalah

    sebagai berikut:

    a. Menurut golongan

    Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh

    Wajib Pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada orang

    lain. Dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah pajak yang

    dipungut secara berkala.

    Contoh: Pajak Penghasilan

  • 8 Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan

    kepada pihak lain ketiga atau konsumen. Dalam pengertian administratif,

    pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut setiap terjadi peristiwa

    atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi

    penyerahan barang, pembuatan akte.

    Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, bea materai, bea balik nama.

    b. Menurut sifatnya

    Pajak Subjektif adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan keadaan

    pribadi Wajib Pajak. Dalam menetapkan pajaknya harus ditemukan

    alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan

    materialnya, yaitu yang disebut gaya pikul. Menurut Sinninghe Damste,

    gaya pikul adalah suatu akibat dari beberapa komponen, terutama

    pendapatan, kekayaan, susunan keluarga dari Wajib Pajak, dengan

    mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya (dalam Achmad

    dan M. Fakhri, 2000)

    Pajak Objektif adalah pajak yang pertama-tama melihat kepada objeknya

    baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau

    peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian

    barulah dicari subjeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan

    langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek pajak ini

    berkediaman di Indonesia ataupun tidak.

    c. Menurut lembaga pemungut

    Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah

    pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen

    Keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga

    negara pada umumnya.

  • 9 Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah seperti

    Propinsi, Kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan daerah

    masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga

    daerah masing-masing dan digunakan untuk membiayai rumah tangga

    daerah masing-masing.

    2.1.5 Fungsi Pajak

    Seperti telah diketahui ada karakter khusus yang ada pada pengertian

    pajak, Mardiasmo (2002) mengatakan terdapat dua fungsi pajak, yaitu:

    a. Fungsi penerimaan ( budgetair )

    Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah yang diperuntukkan

    membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

    b. Fungsi mengatur ( reguler )

    Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan

    kebijaksanaan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi, misalnya pajak

    yang tinggi pada barang mewah.

    2.1.6 Cara Pemungutan Pajak

    Tjahjono dan Husein (2000) mengatakan bahwa cara pemungutan pajak

    dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu:

    1. Stelsel nyata (riil stelsel)

    Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga

    pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah

    penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.

    2. Stelsel anggapan (fictive stelsel)

    Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-

    Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun

  • 10

    sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan

    besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

    3. Stelsel campuran

    Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.

    Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan

    kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan

    yang sebenarnya.

    2.1.7 Teori Pembenaran Pemungutan Pajak

    Menurut Suandy (2002), beberapa teori yang memberikan dasar

    pembenaran (justification) untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada di

    kalangan para sarjana dan pemikir masalah pemungutan pajak mengenai

    apakah negara dibenarkan memungut pajak dari rakyat? Teori tersebut adalah :

    1. Teori Asuransi

    Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi

    jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara disamakan

    dengan perusahaan asuransi, untuk mendapatkan perlindungan warga

    negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan,

    sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika

    orang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan

    mengganti kerugian seperti halnya dalam asuransi. Di samping itu, tidak ada

    hubungan lansung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindungannya

    terhadap pembayar pajak.

    2. Teori Kepentingan

    Menurut teori ini, pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan

    kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak

    individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin

  • 11

    besar juga pajaknya. Meskipun teori ini masih berlaku pada retribusi sukar

    pula dipertahankan, sebab seorang miskin dan penganggur yang

    memperoleh bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari

    pekerjaan negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak.

    3. Teori Daya Pikul / Teori Gaya Pikul

    Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan

    kekuatan membayar dari si Wajib Pajak (individu-individu). Jadi, tekanan

    semua pajak harus sesuai dengan daya pikul si Wajib Pajak dengan

    memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran

    belanja si Wajib Pajak tersebut. Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya

    menentukan secara tepat daya pikul seseorang, karena akan berbeda-beda

    dan selalu berubah. Teori ini diterapkan dalam Pajak Penghasilan, di mana

    Wajib Pajak baru dikenakan Pajak Penghasilan jika memperoleh penghasilan

    melebihi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

    4. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

    Teori ini didasari paham organisasi negara (Organische Staatsleer) yang

    mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk

    menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan

    atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak.

    Dengan sifat seperti ini, maka negara mempunyai hak mutlak untuk

    memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya.

    Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat

    dengan negara, dimana negara berhak memungut pajak dan rakyat

    berkewajiban membayar pajak. Kelemahan teori ini adalah negara bisa

    menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan

    pajak.

  • 12

    5. Teori Daya Beli

    Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara

    memungut pajak melainkan banyak melihat kepada efeknya dan

    memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini

    maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam dalam

    masyarakat, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk

    rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan

    membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa

    menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap

    sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu , pun

    bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi

    keduanya itu. Teori ini menitik beratkan ajarannya kepada fungsi dari

    pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur.

    2.1.8 Pembagian Hukum Pajak

    Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur

    hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat

    sebagai Wajib Pajak yang antara lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya

    sebagai subjek atau Wajib Pajak, apa yang sebenarnya menjadi objek pajak,

    timbulnya kewajiban pajak, cara menghitung pajak terutang, sistem atau tata

    cara penagihan, pembayaran, pelaporan, dan sebagainya (Munawir, 2003).

    Dalam hukum pajak terdapat ketentuan-ketentuan material (hukum pajak

    material) dan ketentuan-ketentuan formal (hukum pajak formal).

    1. Hukum pajak material

    adalah hukum yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-

    keadaan dan perbuatan-perbuatan atau peristiwa hukum yang harus

    dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, cara penghitungan

  • 13

    penghasilan dan pajak terutang, atau segala sesuatu tentang timbulnya utang

    pajak, besarnya utang pajak dan hapusnya utang pajak, dan hubungan

    hukum antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat

    sebagai Wajib Pajak.

    2. Hukum pajak formal

    disebut sebagai hukum pajak formal kalau hukum tersebut memuat

    ketentuan-ketentuan tentang bentuk atau cara-cara untuk menjelmakan

    hukum pajak material menjadi suatu kenyataan atau berisi tentang cara untuk

    melaksanakan hukum pajak material. Dengan demikian hukum pajak formal

    memuat antara lain : (i) Tata cara atau prosedur penagihan dan pembayaran

    pajak; (ii) Wewenang atau hak fiskus untuk mengadakan pengawasan

    kepada para Wajib Pajak yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan,

    keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan utang pajak,

    wewenang untuk melakukan penagihan pajak; (iii) Saat dan tempat

    pembayaran pajak; (iv) Kewajiban pembukuan, pelaporan dan pemberian

    keterangan; (v) Hak Wajib Pajak untuk menunda penyampaian SPT,

    membetulkan SPT yang telah disampaikan, hak mengajukan keberatan,

    mengajukan banding ke badan peradilan pajak yang lebih tinggi.

    2.2 Pajak Bumi dan Bangunan

    2.2.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

    Menurut Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

    Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12

    tahun 1994 yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak

    yang dikenakan atas bumi (tanah) dan atau bangunan yang terdapat di wilayah

    Indonesia.

  • 14

    2.2.2 Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan

    Beberapa landasan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya Undang-

    undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

    1. Adanya peraturan pajak atas tanah yang tumpang tindih.

    Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan disusun sebagai

    pengganti dari 7 ordonansi /Undang-undang yang pelaksanaannya dulu

    tumpang tindih (berganda). Tujuh ordonansi/Undang-undang itu adalah

    sebagai berikut:

    a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1906,

    b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923.

    c. Ordonansi Verponding 1928.

    d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932.

    e. Ordonansi Pajak Jalan 1942.

    f. Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1957 tentang Peraturan Umum

    Pajak Daerah, pasal 14 huruf j, k dan l.

    g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11 tahun 1959

    tentang Pajak Hasil Bumi.

    2. Amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN telah

    mengisyaratkan perlu adanya pembaruan sistem perpajakan guna

    meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai

    pembangunan yang dibiayai dari sumber-sumber dalam negeri. Makin

    meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri berarti makin

    meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.

    3. Manfaat Bumi dan Bangunan.

    Bumi dan bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan

    dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan

    yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya.

  • 15

    Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian

    manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara.

    Memperhatikan beberapa landasan pemikiran tersebut wajar apabila

    peraturan atau ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan diganti

    dengan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.

    Disamping itu Pajak Bumi dan Bangunan mempunyai maksud dan tujuan:

    a. Pajak Bumi dan Bangunan dilaksanakan dengan harapan agar

    Pendapatan Daerah akan lebih meningkat, sehingga dengan

    meningkatnya Pendapatan Daerah akan lebih dapat mendorong laju

    Pembangunan Daerah.

    b. Keberadaaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut ingin mewujudkan

    adanya kesederhanaan, kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib

    Pajak. Hal ini diwujudkan dengan tarif tunggal. Selain itu dengan Undang-

    undang Pajak Bumi dan Bangunan yang baru, objek yang sama tidak

    dipungut pajak berkali-kali.

    2.2.3 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

    Dasar hukum yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah

    Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 tahun 1994 tentang

    perubahan atas Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

    Bangunan. Dalam pelaksanaannya, PBB juga diatur dengan Peraturan

    Pemerintah serta Keputusan Menteri Keuangan. Dasar hukum Pajak Bumi dan

    Bangunan diuraikan secara lengkap oleh Tjahjono dan Husein sebagai berikut:

    1. Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 tahun 1994.

  • 16

    2. Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 1985 tentang Persentase Nilai Jual

    Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan.

    3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 tentang tata cara

    pendaftaran objek PBB.

    4. Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/1985 tentang tata cara

    penagihan PBB dan penunjukan Pejabat yang berwenang mengeluarkan

    surat paksa.

    5. Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/1985 tentang

    pelimpahan wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada

    Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikota Madya

    Kepala Daerah Tingkat II.

    6. Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK.04/1998 tentang Penentuan

    Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar

    Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

    7. Keputuan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian

    Besarnya NJOPTKP sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan

    Bangunan.

    2.2.4 Terminologi Pajak Bumi dan Bangunan

    Untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan Pajak Bumi dan

    Bangunan perlu diketahui pengertian dasar tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

    Untuk itu Tjahjono dan Husein menguraikan beberapa istilah-istilah dalam

    pembahasan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut, antara lain:

    Bumi

    Yang dimaksud dengan Bumi dalam Undang-undang No.12 tahun 1994

    tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah permukaan bumi dan tubuh

    bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan

  • 17

    perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak pengairan) serta laut

    wilayah Republik Indonesia.

    Bangunan

    Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam

    atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat

    tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.

    Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

    Yang dimaksud dengan Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata

    yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan

    bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak

    ditentukan melalui perbandingan harga dengan dengan objek lain yang

    sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

    Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)

    Yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat

    yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak

    menurut ketentuan Undang-undang.

    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

    Yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah

    surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk

    memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak.

    2.3 Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

    2.3.1 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

    Yang menjadi subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara

    nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas

    bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas

  • 18

    bangunan, yang meliputi antara lain pemilik, penghuni, pengontrak, penggarap,

    pemakai dan penyewa.

    Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa Wajib

    Pajaknya, maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak.

    Beberapa ketentuan khusus tentang siapa saja yang menjadi subjek dalam hal

    ini adalah:

    1. Jika suatu subjek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau

    bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan

    Undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka subjek pajak yang

    memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan

    sebagai Wajib Pajak.

    2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan,

    maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak

    tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.

    3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek

    pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada

    orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat

    ditunjuk sebagai Wajib Pajak.

    2.3.2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

    Yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah Bumi dan/atau

    Bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di

    bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk

    rawa-rawa tambak pengairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan

    adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah

    dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang

    diusahakan.

  • 19

    Termasuk dalam pengertian bangunan di sini adalah:

    Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti

    hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu

    kesatuan dengan komplek bangunan tersebut;

    Jalan tol;

    Kolam renang;

    Pagar mewah;

    Tempat olah raga;

    Galangan kapal, dermaga;

    Tempat penampungan atau kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;

    Fasilitas lain yang memberi manfaat.

    2.3.3 Pengecualian Objek Pajak Bumi dan Bangunan

    Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah

    objek pajak yang:

    1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang

    ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang

    tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan.

    Yang dimaksud tidak mencari keuntungan di sini adalah bahwa objek

    pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata

    tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Untuk mengetahuinya dapat

    dilihat pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan

    atau badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan,

    pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.

    2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis

    dengan itu.

  • 20

    3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman

    nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah

    negara yang belum dibebani suatu hak.

    4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan asas

    perlakuan timbal balik.

    5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang

    ditentukan oleh Menteri Keuangan.

    2.4 Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan

    2.4.1 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

    Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek

    Pajak (NJOP). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang

    diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak

    terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan

    objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak

    Pengganti.

    2.4.2 Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

    Dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena

    Pajak (NJKP). Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari

    nilai jual sebenarnya. Untuk tidak terlalu membebani Wajib Pajak dan tetap

    memperhatikan penerimaan negara, maka telah ditetapkan besarnya persentase

    untuk menentukan besarnya NJKP yaitu serendah-rendahnya 20% dan setinggi-

    tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

    Persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) berdasarkan PP No. 25 tahun

    2002 adalah sebagai berikut:

  • 21

    1. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari

    Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

    2. Objek pajak lainnya:

    a. Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya Rp.

    1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau lebih.

    b. Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya kurang

    dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

    2.4.3 Tarif dan Cara Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

    2.4.3.1 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

    Tarif Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar 0,5%, yang merupakan

    tarif tunggal.

    2.4.3.2 Cara Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

    Secara lebih ringkas besarnya Pajak Bumi dan Bangunan, menurut

    Undang-undang Pajak No.12 tahun 1994 dapat pula dihitung dengan menjumlah

    seluruh nilai objek pajak yang dimiliki Wajib Pajak kemudian dikurangi dengan

    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Hasil pengurangan

    tersebut dikalikan dengan persentase Nilai Jual Kena Pajak, sehingga diperoleh

    Nilai Jual Kena Pajak. PBB merupakan perkalian antara NJKP dengan

    persentase tarif Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian besarnya PBB

    terutang adalah:

    PBB terutang = Tarif Pajak x NJKP

    = 0,5% x 20% (NJOP-NJOPTKP)

    atau

    0,5% x 40% (NJOP-NJOPTKP)

  • 22

    2. 5. Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan

    Atas suatu surat pemberitahuan pajak terutang/SPPT dan surat ketetapan

    pajak/SKP, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal

    Pajak dalam hal ini ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

    Bangunan dimana objek berada. Keberatan diajukan karena beberapa hal,

    antara lain:

    1. Keberatan dalam hal Wajib Pajak merasa SPPT atau SKP tidak sesuai

    dengan kondisi sebenarnya yaitu kesalahan luas bumi dan atau

    bangunan, kesalahan penetapan atau pengenaan PBB.

    2. Keberatan dalam hal terdapat perbedaan penafsiran Undang-undang

    antara Wajib Pajak dan fiskus, yakni:

    a. Penetapan sebagai Wajib Pajak.

    b. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB.

    Syarat-syarat pengajuan keberatan:

    1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

    2. Menyatakan alasan secara jelas.

    3. Harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak diterimanya SKP atau SPPT,

    kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu

    tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya (force majeur),

    maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk

    diperpanjang.

    4. Harus disertai bukti-bukti yang jelas dan mendukung.

    5. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan

    pelaksanaan pajak terutang.

    Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak

    tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan

    yang diajukan. Jika jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak belum

  • 23

    10

    9

    8

    7

    6

    5

    4

    3

    2

    1

    memberikan keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap

    diterima. Secara singkat, penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

    (SPPT) dan penyelesaian keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan

    dapat digambarkan sebagai berikut:

    Gambar 2.1. bagan alur penerbitan SPPT sesuai dengan KeputusanDirektur Jenderal Pajak No. 533/PJ/2000

    Wajib Pajak

    PelayananSatu

    Tempat(PST)

    SeksiPendataan

    danPenilaian

    SeksiPengolahan

    Data danInformasi

    SeksiPenetapan

    KepalaKantor

    SPOP

    Tandabukti

    SPPT

    ProsesPendataan dan

    Penilaian

    BerkasSPOP

    PerbaikanBasis Data

    BerkasSPOP

    Cap/stempelpada SPPT

    Berita AcaraPenerbitan

    Arsip

    Berita AcaraPenerbitan

    PemeriksaanBerkas

    A

    A

    MencetakSPPT

    SPPT

    Berita AcaraPenerbitan

    SPPT

    B

    B

    C

    C

    TandaTangan

    arsip

    SPPT

  • 24

    Keterangan:

    1. Wajib Pajak (WP) mengisi SPOP dan mengirimkan ke Pelayanan Satu

    Tempat (PST)

    2. PST memberikan tanda bukti penerimaan kepada WP dan mengirimkan

    berkas kepada Seksi Pendataan dan Penilaian untuk diperiksa

    3. Seksi Pendataan dan Penilaian meneliti dan memproses sesuai dengan

    ketentuan yang berlaku dan meneruskan ke Seksi Pengolahan Data dan

    Informasi

    4. Seksi Pengolahan Data dan Informasi melakukan perbaikan basis data yang

    lama

    5. Seksi Pengolahan Data dan Informasi mencetak SPPT sekaligus

    menyimpan berkas SPOP untuk dijadikan arsip

    6. SPPT yang telah dicetak diberi cap/stempel tanda tangan Kepala Kantor oleh

    Seksi Penetapan

    7. Seksi Penetapan membuat Berita Acara Penerbitan SPPT

    8. Kepala Kantor menandatangani Berita Acara Penerbitan SPPT

    9. Berita Acara Penerbitan SPPT yang telah ditanda tangani oleh Kepala Kantor

    disimpan di Seksi Penetapan untuk dijadikan arsip

    10. SPPT yang telah diberi cap/stempel tanda tangan Kepala Kantor diserahkan

    kepada Wajib Pajak

  • 25

    10

    9

    8

    7

    6

    5

    4

    3

    2

    1

    Gambar 2.2. bagan alur penyelesaian keberatan sesuai dengan KeputusanDirektur Jenderal Pajak Nomor KEP-59/PJ/2000

    Wajib PajakPelayanan

    Satu Tempat(PST)

    SeksiKeberatan

    danPengurangan

    SeksiPengolahan

    Data danInformasi

    KepalaKantor

    Keterangan:

    1. WP mengirimkan berkas kepada KP PBB melalui Pelayanan Satu Tempat

    (PST) paling lambat 3 bulan sejak diterimanya surat ketetapan, kecuali

    keadaan force major

    PermohonanPengajuanKeberatan

    Tanda buktipengajuan

    Berita AcaraPemeriksaan

    Pemeriksaansederhana

    kantor/lapangan

    PerbaikanBasis Data

    PemeriksaanBerkas

    2Surat 1Keputusan

    MencetakSurat

    Keputusan

    A

    SuratKeputusan

    arsip

    2Surat 1Keputusan

    TandaTangan

    A

  • 26

    2. PST memberikan tanda bukti penerimaan berkas kepada WP

    3. PST meneruskan berkas ke Seksi Keberatan dan Pengurangan

    4. Seksi Keberatan dan Pengurangan meneliti dan memproses sesuai

    ketentuan

    5. Seksi Keberatan dan Pengurangan memberikan Berita Acara Pemeriksaan

    kepada Seksi Pengolahan Data dan Informasi untuk dilakukan perbaikan

    basis data

    6. Setelah Seksi Pengolahan Data dan Informasi melakukan perbaikan basis

    data, Seksi Keberatan dan Pengurangan mencetak Surat Keputusan

    7. Seksi Keberatan dan Pengurangan mencetak Surat Keputusan yang berupa

    menerima atau menolak pengajuan keberatan

    8. Surat Keputusan diajukan kepada Kepala Kantor untuk ditanda tangani

    9. Surat Keputusan Pengajuan Keberatan yang telah ditanda tangani oleh

    Kepala Kantor disimpan sebagai arsip di Seksi Keberatan dan Pengurangan

    10. Surat Keputusan Pengajuan Keberatan yang telah ditanda tangani oleh

    Kepala Kantor dikirimkan kepada WP paling lambat 12 bulan sejak

    diterimanya pengajuan keberatan

  • 27

    Gambar 2.3. Kerangka Pikir

    Objek Pajakdan

    Subjek Pajak

    PerubahanData

    SPPT

    selesai

    AlasanKeberatan?

    Keputusan: Diterima

    seluruhnya Diterima sebagian Ditolak Menambah pajak Tidak dapat

    diterima

    PengajuanKeberatan

    SPPT tidak sesuaidengan kondisisebenarnya.

    perbedaanpenafsiranUndang-undang

    Pendataan danPenilaian Rutin

    Terbit SPPTbaru

    Pendataan danPenilaianInsidentil

    PengisianSPOP

  • 28

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Lokasi Penelitian

    Penelitian dan pengumpulan data untuk penulisan ini dilakukan di Kantor

    Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Malang yang berlokasi di jalan

    Jaksa Agung Suprapto No. 29-31 Malang.

    3.2 Jenis Penelitian

    Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

    deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

    mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen)

    tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu

    dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2003).

    3.3 Sumber Data

    Indriantoro (1999) mengatakan bahwa sumber data penelitian merupakan

    faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan metode

    pengumpulan data. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data

    primer dan sumber data sekunder.

    1. Data Primer

    Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari

    sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer secara khusus

    dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

    berkaitan dengan penelitian. Cara yang digunakan untuk memperoleh data

    primer ini adalah dalam bentuk kuisioner dan wawancara. Data primer ini

    diperoleh dari sumber yang berkaitan langsung dengan penelitian, dalam hal ini

  • 29

    adalah pegawai KP PBB Malang terutama yang bertugas di seksi keberatan.

    Selain itu, data primer juga diperoleh dari Wajib Pajak yang mengajukan

    keberatan PBB.

    2. Data Sekunder

    Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

    secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak

    lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang

    telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan maupun yang tidak

    dipublikasikan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah dalam bentuk laporan

    jumlah Wajib Pajak, laporan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan keberatan

    PBB.

    3.4 Metode Pengumpulan Data

    Dalam memperoleh dan mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk

    penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

    1. Metode Dokumenter

    Metode pengumpulan data dengan menggunakan dan mempelajari catatan-

    catatan instansi yang diteliti, antara lain laporan jumlah Wajib Pajak kota

    Malang, laporan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan keberatan PBB.

    2. Metode Wawancara

    Metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan

    terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, dalam hal ini adalah

    pegawai KP PBB khususnya seksi keberatan.

    3. Metode Angket atau Kuesioner

    Metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis

    yang berkaitan dengan variabel yang diteliti dan disebarkan kepada para

    responden. Yang dimaksud dengan responden di sini adalah Wajib Pajak

  • 30

    yang pernah mengajukan keberatan PBB. Cara pengambilan sampel dalam

    penelitian ini menggunakan metode Purposive Sample atau sampel

    bertujuan. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan

    didasarkan atas strata, ramdom atau daerah tetapi didasarkan atas adanya

    tujuan tertentu (Arikunto, 2006). Besarnya sampel yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah sebesar 90 responden. Dasar penghitungan sampel

    adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hasan, 2002):

    21 ( )N

    nN e

    Keterangan :

    n : jumlah sampel

    N : jumlah populasi = 897

    e : prosentase kelonggaran ketelitian karena kesalahan = 0,10

    Sehingga aplikasi rumus di atas adalah :

    2897

    1 897(0,10)n = 90

    3.5 Variabel Penelitian

    Variabel dalam penelitian ini adalah alasan pengajuan keberatan atas

    PBB yang terdiri atas 7 attribut yaitu :

    1. Mengetahui cara menghitung PBB

    2. Mengetahui NJOP

    3. Kesalahan pengukuran luas tanah

    4. Mengetahui cara menghitung luas tanah

    5. Kesalahan ukur akibat bentuk tanah

    6. Kesalahan ukur akibat teknis (prosedur) ukur tanah

    7. Mengetahui klas klasifikasi tanah

  • 31

    Dalam penelitian ini, kesalahan pengukuran luas bangunan tidak dimasukkan ke

    dalam attribut penelitian dikarenakan di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak

    Bumi dan Bangunan (KP PBB) Malang jumlah pengajuan keberatan dengan

    alasan kesalahan luas bangunan sangatlah sedikit.

    3.6 Skala Pengukuran

    Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai

    acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,

    sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan

    menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono:2003). Dalam penelitian ini, skala

    pengukuran yang digunakan adalah skala Guttman dengan jawaban ya-tidak.

    3.7 Teknik Analisis Data

    Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data berdasarkan

    variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh

    responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan

    untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji

    hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono:2003). Analisis data dalam penelitian ini

    adalah menggunakan metode statistik yang bersifat deskriptif dan inferensial.

    a. Statistik deskriptif

    Pada bagian ini analisis didasarkan hasil distribusi frekuensi setiap jawaban

    terhadap item-item pertanyaan yang ada dalam instrumen penelitian.

    b. Statistik inferensial

    Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana persepsi

    masyarakat (Wajib Pajak) tentang terjadinya perbedaan antara Ketetapan

    PBB dengan kondisi riil Objek Pajak. Alasan pengajuan keberatan dibuktikan

  • 32

    berdasarkan proporsi jawaban ya dan tidak, sehingga akan digunakan

    metode statistik yang bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi.

    Metode statistik yang bersifat inferensial dalam penelitian ini menggunakan

    uji proporsi satu sampel. Dalam instrumen penelitian variabel penelitian

    diukur dengan jawaban ya dengan nilai 1 dan tidak dengan nilai 0. Analisis

    ini berhubungan dengan hipotesis statistik :

    H0 : Pya = Ptidak atau proporsi jawaban ya tidak berbeda dengan

    jawaban tidak

    H1 : Pya Ptidak atau proporsi jawaban ya berbeda dengan jawabantidak

    Pengujian terhadap hipotesis statistik dilakukan dengan menggunakan

    rumus chi kuadrat. sering terjadi, penelitian dijalankan untuk mengetahui banyak

    subyek, obyek, jawaban respon, yang terdapat dalam berbagai kategori.

    Misalnya, orang mungkin dikategorikan menurut apakah mereka mendukung,

    acuh tak acuh, atau menentang pernyataan tertentu , guna memungkinkan

    peneliti menguji hipotesis bahwa jawaban itu akan berbeda dalam hal

    frekuensinya, dan tes chi kuadrat cocok untuk menganalisis data semacam itu

    (siegel,1994). Rumus chi kuadrat adalah:

    2221 1

    i i

    i

    O EE

    dengan: Oi = proporsi jawaban kelompok ke-i (O1 = kelompok jawaban ya, O2

    = kelompok jawaban tidak)

    Ei = proporsi harapan jawaban kelompok ke-i (E1 = E2 = n/2)

    N = jumlah sampel

    2 = 2hitung (2 dibaca chi kuadrat)

  • 33

    Nilai 2 akan dibandingkan dengan nilai kritis 2 pada taraf nyata = 0,05dan derajat bebas 1 yang ditulis dengan 2(;1) = 3,84. Pengambilan keputusanterhadap hipotesis statistik dilakukan sebagai berikut :

    - Jika 2 lebih besar dari 2(;1) = 3,84 maka H0 ditolak, artinya secarastatistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan dengan proporsi

    jawaban tidak.

    - Jika 2 lebih kecil atau sama dengan 2(;1) = 3,84 maka H0 diterima,artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda tidak signifikan

    dengan proporsi jawaban tidak.

    Pengambilan keputusan terhadap hipotesis statistik bisa juga dilakukan

    dengan membandingkan hasil p-value dari perhitungan software komputer

    dengan taraf nyata = 0,05.

    - Jika p-value = 0,05 maka H0 ditolak, artinya secara statistik proporsi

    jawaban ya berbeda signifikan dengan proporsi jawaban tidak.

    - Jika p-value > = 0,05, maka H0 diterima, artinya secara statistik

    proporsi jawaban ya berbeda tidak signifikan dengan proporsi jawaban

    tidak.

  • 34

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Gambaran Umum Instansi

    4.1.1. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP

    PBB) Malang

    Sejak abad ke-19, Pajak atas Bumi dan Bangunan telah ada di Indonesia

    pada saat dikuasai bangsa Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Stanford Rafles,

    yang kemudian dianggap sebagai pencipta Pajak Bumi. Pada masa kolonial

    tersebut pajak yang dikenakan kepada rakyat hanya untuk kepentingan

    pemerintah kolonial. Perkembangan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia

    dapat digambarkan sebagai berikut:

    Tahun 1811-1943

    Pada masa kolonial Inggris, Pajak Bumi yang dikenakan kepada rakyat dikenal

    dengan nama Landrent. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, Pajak Bumi

    dan Bangunan dikenal dengan nama Landrente.

    Tahun1943-1945

    Pada masa penjajahan Jepang, Pajak Bumi juga dikenakan kepada rakyat tetapi

    dengan nama Pajak Tanah.

    Tahun 1945-1951

    Setelah Indonesia merdeka Pajak Tanah diganti dengan nama Pajak Bumi. Pada

    tahun 1951, Pajak Bumi tersebut dihapus karena adanya UU No. 14 Tahun 1951

    tentang penghasilan atas tanah pertanian yang dikelola dan dipungut.

  • 35

    Tahun 1951-1959

    Jawatan Pajak diganti dengan Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan

    Tanah milik Indonesia, yang mempunyai tugas pendaftaran atas tanah-tanah

    milik adat yang ada di Indonesia.

    Tahun 1959-1965

    Tanggal 26 September 1959 dikeluarkan PP No. 11 Tahun 1959 yang mengatur

    tentang Pajak Hasil Bumi. Peraturan Pemerintah ini kemudian disahkan sebagai

    Undang-undang berdasarkan UU No. 1 Tahun 1961 dengan nama jawatannya

    adalah Direktorat Jenderal Pajak Hasil Bumi.

    Tahun 1965

    Berdasarkan SK Menteri Iuran Negara tanggal 29 November 1965 No. PMPU 1-

    1-3, nama Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran

    Pembangunan Daerah (IPEDA). IPEDA ini dikenakan untuk sektor pedesaan,

    perkotaan perhutanan, perkebunan dan pertambangan.

    Tahun 1985

    Tanggal 27 Desember 1985 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak

    Bumi dan Bangunan. Pemberlakuan UU No. 12 tahun 1985 ini dilaksanakan

    mulai tangal 1 Januari 1986 nama kantornya adalah Kantor Inspeksi Pajak Bumi

    dan Bangunan. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No.

    176/KMK.01/1986 Kantor Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan diubah menjadi

    Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

    Tahun 1994

    Tanggal 9 November 1994 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak

    Bumi dan Bangunan yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 12 tahun

    1985. pemberlakuan UU ini bertujuan untuk memberikan perubahan sehingga

  • 36

    dapat menciptakan aspek perpajakan bagi bentuk dan praktek penyelenggaraan

    kegiatan usaha yang terus berkembang.

    Pemungutan pajak hasil bumi dikelola antara lain oleh Direktorat Pajak

    Hasil Bumi, jawatan yang berada dibawah Departemen Iuran Pembangunan

    Daerah. Kemudian pada tanggal 26 November 1965 diubah menjadi Direktorat

    Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Penggantian nama ini untuk

    menyelaraskan dengan nama departemennya.

    Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya UU tentang Pajak Bumi dan

    Bangunan. Salah satunya adalah karena landasan hukum Iuran Pembangunan

    Daerah (IPEDA) kurang jelas serta UU yang selama ini menjadi dasar

    pemungutan pajak atas tanah dan bangunan disusun pada masa kolonial

    Belanda sehingga tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila dan tuntutan

    pembangunan yang selalu meningkat.

    Sebagai realisasi dari amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)

    tahun 1983, Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

    Bangunan, kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 12 tahun

    1994 yang merupakan pembaharuan sistem perpajakan nasional. Maksud dari

    pembaharuan sistem perpajakan nasional ini adalah untuk meningkatkan

    penerimaan pajak, sehingga negara mampu membiayai pembangunan dari

    sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Dengan demikian pembangunan itu

    sendiri dapat terjamin kelangsungannya.

    Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan itu sendiri disusun

    sebagai pengganti dari tujuh ordonansi atau Undang-undang terdahulu yang

    pelaksanaannya kurang jelas. Tujuh ordonansi atau Undang-undang itu adalah:

    1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1906

    2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923

    3. Ordonansi Verponding 1928

  • 37

    4. Ordonansi Pajak Kekeayaan 1923

    5. Ordonansi Pajak Jalan 1942

    6. Undang-undang darurat No. 11 tahun 1957 tentang peraturan

    umum Pajak Daerah pasal 14 huruf J, K, dan L.

    7. Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 11 tahun

    1959 tentang Pajak Hasil Bumi.

    Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 12 tahun 1985 maka Pajak

    Hasil Bumi berganti nama menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan

    Direktorat Iuran Pembangunan Daerah menjadi Direktorat Pajak Bumi dan

    Bangunan. Nama Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ini berlaku sejak

    1 April 1989. Kantor Pelayanan PBB Malang dibawah naungan Departemen

    Keuangan RI dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Bagian Timur

    III. Kantor Pelayanan PBB malang beralamat di jalan Jaksa Agung Suprapto 29-

    31 Malang 65112, kotak pos 38.

    Pajak Bumi dan Bangunan perlu dimantapkan pelaksanaannya karena

    tidak dapat dipungkiri bahwa PBB dapat memberikan keuntungan yang besar

    bagi negara. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 276/KMK.

    01/1992 menyatakan bahwa KP PBB dibagi menjadi dua tipe yaitu:

    Kantor Pelayanan PBB Tipe A

    Kantor Pelayanan PBB Tipe B

    Adapun dasar tipe penetapan kantor didasarkan pada pertimbangan:

    Volume kerja

    Jumlah Wajib Pajak

    Luas daerah wewenang

    Kantor pelayanan PBB Malang termasuk tipe A yang meliputi wilayah kerja:

    Kotamadya Malang

  • 38

    Kota Administratif Batu

    4.2. Strutur Oganisasi dan Uraian Jabatan

    4.2.1. Sruktur Organisasi

    Pengertian struktur organisasi adalah proses penetapan dan pembagian

    pekerjaan yang akan dilakukan pembatasan tugas atau tanggung jawab serta

    wewenang dan penetapan hubungan antar organisasi sehingga memungkinkan

    orang-orang bekerja sama seefektif mungkin untuk tujuan tertentu.

    Dengan adanya pengertian di atas dapat diketahui bahwa fungsi struktur

    organisasi dalam suatu instansi merupakan hal yang sangat penting untuk

    mempertegas garis tanggung jawab dan wewenang masing-masing bagan dalam

    kelancaran kegiatan organisasi serta tujuannya.

    Susunan dalam organisasi digambarkan dalam suatu bagan struktur

    organisasi yang dapat dijadikan dasar untuk menyusun job despcription dari

    masing-masing pegawai dalam suatu instansi sesuai dengan tugas dan

    fungsinya, karena dengan mengetahui job description maka seorang pegawai

    dapat dengan jelas mengetahui dimana kedudukannya, apa tanggung jawab dan

    wewenang serta bagaimana hubungannya dengan pegawai-pegawai lainnya

    sesuai dengan garis struktural.

    Bedasarkan surat Menteri Keuangan No. 94/KMK/01/1994 tanggal 29

    Maret 1994 tentang tugas, fungsi dan klasifikasi maka kedudukan Kantor

    Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

    Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan adalah unsure pelaksana

    Dirjen Pajak yang berada dibawah tanggung jawab langsung kepada

    Kepala Kantor Wilayah.

  • 39

    Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dipimpin oleh seorang

    Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang berfungsi

    sebagai penyelenggara kegiatan operasional Dirjen Pajak di bidang Pajak

    Bumi dan Bangunan dalam wilayah wewenangnya berdasarkan

    kebijaksanaan teknis yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak.

    Bentuk struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

    Bangunan adalah berbentuk lini yang berarti bahwa garis tanggung jawab serta

    instrukturisasi kegiatan langsung dari pimpinan diatasnya dan terlepas dari

    pejabat-pejabat di bidang lainnya.

    Hal ini dapat dilihat bahwa pimpinan dipegang oleh seorang Kepala

    Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan selaku penanggung jawab tunggal

    yang secara fungsional mempunyai kedudukan diatas serta bertanggung jawab

    langsung kepada Kantor Wilayah.

    Struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

    Malang dapat dilihat pada gambar berikut :

  • 40

  • 41

    4.2.2. Uraian Jabatan

    Dalam keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. KEP.05/PJ.11/1993

    tentang petunjuk pekerjaan di Direktorat Jederal Pajak, disebutkan bahwa untuk

    melaksanakan tugas pokok fungsi Direktorat Jenderal Pajak perlu adanya

    kejelasan mengenai petunjuk pelaksanaan pekerjaan untuk setiap unit organisasi

    yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Kantor Pelayanan Pajak

    Bumi dan Bangunan dibagi menjadi sub bagian atau seksi-seksi dan kelompok

    kerja fungsional. Sedangkan tugas dan tanggung jawab masing-masing bagian

    tersebut adalah :

    1. Sub Bagian Umum

    Tugas dari Sub Bagian Umum adalah melaksanakan urusan tata usaha,

    kepegawaian, laporan keuangan, rumah tangga dan perlengkapan. Sedangkan

    fungsi dari Sub Bagian Umum ini adalah :

    Pengawasan tata usaha, kepegawaian, dan laporan keuangan.

    Pengurusan keuangan.

    Pengurusan rumah tangga dan perlengkapan.

    Sub Bagian Umum ini terdiri dari :

    Urusan tata usaha dan kepegawaian.

    Urusan keuangan.

    Urusan rumah tangga.

    2. Seksi Pendataan dan Penilaian

    Seksi ini mempunyai tugas melakukan urusan pendataan objek pajak dan

    subjek pajak serta mengadakan penilaian objek pajak.

    Fungsi seksi ini adalah :

    Pendaftaran dan tata usaha pendataan objek dan subjek PBB.

    Penatausahaan, penailaian dan klasifikasi objek PBB.

  • 42

    Verifikasi Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP.

    Sedangkan koordinator pelaksananya adalah :

    Koordinator Pelaksana Klasifikasi

    Koordinator Pelaksana Pemitakhiran Data

    Koordinator Pelaksana Monografi 3

    Seksi Pengolahan Data dan Informasi

    3. Seksi Pengolahan Data dan Informasi

    Fungsi dari seksi pengolahan data dan informasi adalah :

    Penyajian data masukan dan keluaran

    Merekam dan mengolah data PBB

    Analisis dan penyajian informasi tetang PBB

    Seksi Pengolahan Data dan Informasi ini terdiri atas beberapa koordinator

    pelaksana yaitu :

    Koordinator Pelaksana Pengolahan Data

    Koordinator Pelaksana Dukungan Komputer

    Koodinator Pelayanan Terpadu

    4. Seksi Penetapan

    Seksi ini melakukan penetapan PBB di semua sektor dan melakukan

    intensifikasi dan ekstensifikasi penetapan PBB.

    Fungsi dari seksi penetapan ini adalah :

    Penetapan PBB di sektor pedesaan.

    Penetapan PBB dis ektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan.

    Seksi penetapan ini terdiri dari beberapa koordinator pelaksana yaitu :

    Koordinator Pelaksanaan Penetapan dan Pedesaan dan Perkotaan

    Koordinator Pelaksanaan Penetapan Perkebunan, Kehutanan dan

    Pertambangan

  • 43

    Koordinator Pelaksanaan Intensifikasi dan Ekstensifikasi

    5. Seksi Penerimaan

    Seksi ini mempunyai tugas melaksanakan penatausahaan pembayaran,

    penyetoran, pelimpahan dan pembagian hasil, pemantauan, penyetoran PBB

    serta pembagian biaya pemungutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    untuk kelancaran pelaksanaan penerimaan PBB/BPHTB.

    Fungsi dari seksi penerimaan adalah :

    Menyiapkan konsep penyusunan rencana kerja di bidang penerimaan

    restitusi.

    Melaksanakan penatausahaan, pemantauan, pembayaran, dan

    pelimpahan hasil penerimaan PBB dan BPHTB.

    Seksi penerimaan terdiri dari beberapa koordinator yaitu :

    Koordinator Pelaksanaan Tata Usaha Penerimaan Restitusi

    Koordinator Palaksanaan Pemantauan Penyetoran dan Pembagian

    penerimaan PBB/BPHTB

    6. Seksi Penagihan

    Seksi ini mempunyai tugas melakukan urusan penatausahaan penagihan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan penagihan

    piutang PBB/BPHTB.

    Fungsi seksi penagihan adalah :

    Menyiapkan bahan dalam rangka penagihan secara aktif terhadap

    kewajiban PBB/BPHTB bagi Wajib Pajak yang belum melunasi

    kewajibannya dan telah jatuh tempo, yang berupa surat paksa

    sebagai bahan untuk menyusun konsep Surat Perintah Melakukan

    Penyitaan.

  • 44

    Menentukan piutang PBB dengan cara mengadakan penelitian

    administratif dan atau penelitian setempat dan menyiapkan

    penghapusan piutang PBB dalam rangka tertib administrstif.

    Beberapa koordinator seksi penagihan :

    Koordinator Pelaksana Penagihan Aktif

    Koordinator Pelaksana Tata Usaha Piutang Pajak

    7. Seksi Keberatan dan Pengurangan

    Seksi keberatan dan pengurangan mempunyai tugas melakukan

    penyelesaian keberatan, uraian banding, dan verifikasi atas permohonan

    pengurangan dan keberatan PBB.

    Fungsi seksi keberatan dan pengurangan adalah :

    Penyelesaian keberatan dan uraian banding PBB

    Penyelesaian pengurangan PBB

    Verifikasi atas permohonan keberatan dan pengurangan PBB

    Beberapa koordinator seksi keberatan dan pengurangan :

    Koordinator Keberatan dan Banding

    Koordinator Pelaksana Pengurangan

    8. Kelompok Tenaga Fungsional Penilaian PBB

    Kelompok ini mempunyai tugas melakukan kegiatan pendataan dan

    penilaian PBB. Untuk penyelenggaraan tugas tersebut maka dibentuk kelompok

    tenaga fungsional penilaian PBB yang terdiri dari :

    Sejumlah tenaga penilai PBB yang terbagi dalam beberapa kelompok

    sesuai dengan bidang keahliannya

    Setiap kelompok dipimpin oleh seorang tenaga penilai PBB yag paling

    senior yang ditnjuk oleh Dirjen Pajak

  • 45

    Jenis jabatan penilai PBB diatur sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku

    9. Pelayanan Satu Tempat (PST)

    Bertugas melayani Wajib Pajak yang datang ke Kantor Pelayanan Pajak

    Bumi dan Bangunan untuk melakukan permohonan keberatan dan pengurangan.

    Setelah itu permohonan tersebut disalurkan pada masing-masing seksi yang

    dituju.

    Dalam KP PBB Malang, Seksi Pendataan dan Penilaian, Seksi

    Pengolahan Data dan Informasi, Seksi Penetapan dan Seksi Keberatan dan

    Pengurangan saling bekerjasama (berkoordinasi) dalam menyelesaikan setiap

    pengajuan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

    4.3. Karakteristik Responden

    Karakteristik responden dapat digunakan untuk mengetahui gambaran

    umum responden yang mengisi kuisioner dalam penelitian ini. Karakteristik

    responden yang ada dalam penelitian ini antara lain usia, pekerjaan, status

    kepemilikan dan sumber informasi tentang pajak. Secara keseluruhan pengajuan

    keberatan PBB terbagi atas 2 kelompok yaitu (1) tanah saja sebanyak 18

    responden (20%) dan (2) tanah dan bangunan sebanyak 72 responden (80%).

    Pengajuan keberatan yang dilakukan oleh WP tidak hanya sekali, ada

    yang lebih dari sekali (51,1%) yaitu 2 hingga 3 kali. Dari Wajib Pajak yang

    menyatakan pernah mengajukan keberatan lebih dari satu kali, menjelaskan

    bahwa pengajuan keberatan ini bukan terhadap properti yang sama, melainkan

    properti yang berbeda.

    Permohonan keberatan atas ketetapan PBB yang dilakukan oleh Wajib

    Pajak tidak selalu disetujui. Berdasarkan hasil data yang diteliti, hanya ada

    54,4% responden yang selalu mendapat persetujuan dari KP PBB pada saat

  • 46

    mengajukan keberatan, sedangkan sebanyak 45,6% tidak selalu disetujui. Dalam

    hal ini keberatan yang tidak disetujui bukan berarti ditolak sepenuhnya. Akan

    tetapi dapat berupa keberatan diterima sebagian, keberatan ditolak, keberatan

    tidak dapat diterima.

    Persoalan pengajuan keberatan yang berlatarbelakang luas tanah lebih

    banyak bersumber dari kesalahan pengukuran luas tanah. Selisih kesalahan luas

    yang tertera pada SPPT dibandingkan dengan luas yang sebenarnya yang

    menjadi dasar untuk Wajib Pajak mengajukan keberatan berkisar antara 50m2.

    Pendataan dan penilaian, dalam hal ini untuk mengukur luas tanah

    seharusnya disaksikan oleh pihak WP selaku pemilik dan petugas serta aparat

    desa yang berwenang sebagai saksi. Namun pada kenyataannya, pendataan

    dan penilaian yang dilakukan oleh petugas lebih banyak tidak didampingi oleh

    WP selaku pemilik. Hal ini dapat dilihat dari hasil data yang diteliti, yaitu

    sebanyak 70% responden mengaku tidak mendampingi petugas pada saat

    pemeriksaan. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya koordinasi antara pihak KP

    PBB dengan pihak Wajib Pajak. Dari hasil penelitian, sebanyak 64% responden

    mengaku tidak pernah dihubungi terlebih dahulu oleh petugas dari KP PBB

    sehingga mereka tidak bisa mendampingi petugas pada saat pendataan dan

    penilaian.

    Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan

    bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk

    memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Klasifikasi ini dibagi dalam

    rangka memenuhi asas keadilan pembayaran pajak. Objek Pajak Bumi dan

    Bangunan tersebut diklasifikasikan menurut penggolongan kelas-kelas nilai

    jualnya, ketentuan mengenai klasifikasi diatur berdasarkan keputusan Menteri

    keuangan.

  • 47

    Meskipun diantara WP ada yang tidak mengetahui secara pasti masalah

    klas klasifikasi tanah, namun mereka bisa merasakan bahwa klas klasifikasi

    tanah dalam SPPT adalah tidak sesuai dengan kondisi objek pajak. Hal ini

    mereka ketahui dari klasifikasi tanah milik tetangga yang berada pada

    daerah(blok) yang sama.

    Gambar 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia

    Gambar 4.2 menunjukkan usia responden, yang dikelompokkan menjadi

    5 kelompok usia, yaitu: kelompok 1: usia 25-30 tahun; kelompok 2: usia 31-35

    tahun; kelompok 3: usia 36-40 tahun; kelompok 4: usia 41-45 tahun; kelompok 5:

    usia diatas 45 tahun. Berdasarkan Gambar 1, proporsi responden berusia 25

    30 tahun adalah 6%, 31 35 tahun adalah 3%, 36 40 tahun sebanyak 3%, 41

    45 tahun sebanyak 26% dan lebih dari 45 tahun sebanyak 62%. Komposisi ini

    mengindikasikan bahwa pengajuan keberatan PBB lebih banyak berasal dari

    keluarga dewasa (bukan keluarga muda). Dari keterangan diatas dapat

    disimpulkan pada usia 41 tahun keatas Wajib Pajak pernah mengajukan

    keberatan atas PBB. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia ini seseorang

    Lebih dari 45 tahun;56; 62%

    25-30 tahun; 5; 6%31-35 tahun; 3; 3%

    36-40 tahun; 3; 3%

    41-45 tahun; 23; 26%

  • 48

    diasumsikan lebih mengenal tentang Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya

    tentang keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.

    Gambar 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

    Gambar 4.3 merupakan proporsi jumlah responden yang mengajukan

    keberatan berdasarkan jenis pekerjaan. Untuk memudahkan penggolongannya,

    penulis membagi dalam 5 jenis pekerjaan, yaitu : PNS, wiraswasta, dosen/guru,

    pegawai swasta, dan profesional. Selain 5 jenis pekerjaan tersebut, penulis

    memberikan alternatif jawaban lain yang bisa diisi atau dijawab oleh responden

    apabila jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan pilihan yang tersedia.

    Berdasarkan gambar 4.3 tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas

    responden yang pernah mengajukan keberatan berstatus sebagai dosen/guru

    yaitu sebanyak 19 atau 21% dari total seluruh responden. Selanjutnya, sebanyak

    20% adalah responden yang berstatus sebagai pegawai swasta dan profesional,

    sebanyak 18% berprofesi sebagai PNS, jenis pekerjaan lainnya sebesar 14%

    dan wiraswasta sebesar 7%.

    Lainnya; 13; 14%

    Profesional; 18; 20%

    PNS; 16; 18%

    Wiraswasta; 6; 7%

    Dosen/Guru; 19; 21%

    Peg.Swasta; 18; 20%

  • 49

    Gambar 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Pajak

    Gambar 4.4 adalah distribusi tentang sumber informasi yang diperoleh

    responden mengenai perpajakan. Sumber-sumber informasi tersebut bisa

    diperoleh dari petugas KP PBB, buku tentang pajak, majalah perpajakan dan

    lainnya. Mayoritas pengetahuan responden tentang pajak diperoleh dari

    informasi lainnya yaitu sebesar 67,8%, dari buku dan majalah tentang perpajakan

    sebesar 22,2% dan sumber informasi terkecil yang diperoleh responden tentang

    perpajakan berasal dari petugas KP PBB.

    Gambar 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status Kepemilikan

    Milik sendiri; 81; 90%

    Warisan; 9; 10%

    Buku dan majalahperpajakan;22,2%

    Petugas KPPBB;10%

    Lainnya;67,8%

  • 50

    Gambar 4.5 adalah distribusi status kepemilikan rumah responden yang

    mengajukan keberatan. Pilihan status kepemilikan rumah dibagi menjadi 3 yaitu

    milik sendiri, sewa/kontrak dan warisan. Dari diagram lingkaran di atas dapat

    disimpulkan bahwa responden yang mengajukan keberatan hanya responden

    yang berstatus rumah milik sendiri dan warisan. Mayoritas responden yang

    mengajukan keberatan adalah berstatus milik sendiri sebesar 90% dan warisan

    sebesar 10%, sedangkan untuk status kepemilikan sewa/kontrak tidak ada

    dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, tidak ditemui Wajib Pajak yang

    pernah mengajukan keberatan,status kepemilikannya sewa/kontrak.

    4.4. Pengujian Hipotesis Dengan Uji Chi Square

    Pemakaian uji chi sqaure bertujuan untuk membandingkan proporsi

    jawaban ya terhadap tidak pada beberapa attribut yang diduga menjadi alasan

    pengajuan keberatan.

    Tabel 4.1. Hasil Uji Chi Square Attribut Mengetahui Cara Menghitung PBB

    Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 44 48.9 45 -1Tidak 46 51.1 45 1Chi square = 0,044db = 1p-value = 0,833Sumber : Data primer diolah (2007).

    Sebanyak 44 responden (48,9%) yang mengajukan keberatan PBB

    mengetahui cara menghitung PBB, sedangkan 46 responden lainnya (51,1%)

    menjawab tidak tahu. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap perbedaan

    proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 0,044 dan p-value

    = 0,833. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value > 0,05 maka H0diterima, artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda tidak signifikan

  • 51

    dengan proporsi jawaban tidak. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa

    pengetahuan wajib pajak tentang cara menghitung PBB tidak terbukti menjadi

    dasar pertimbangan pengajuan keberatan.

    Tabel 4.2. Hasil Uji Chi Square Attribut mengetahui NJOP saat mengajukan

    keberatan

    Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 83 92.2 45 38Tidak 7 7.8 45 -38Chi square = 64.178db = 1p-value = 0.000Sumber: Data primer diolah (2007)

    Dari tabel diatas sebanyak 83 responden (92,2%) yang mengajukan

    keberatan PBB mengetahui NJOP saat mengajukan keberatan, sedangkan 7

    responden lainnya (7,8%) menjawab tidak mengetahui NJOP saat mengajukan

    keberatan. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap perbedaan proporsi

    jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 64,178 dan p-value = 0,000.

    Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value < 0,05 maka H0 ditolak, artinyasecara statistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan dengan proporsi

    jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan bahwa

    pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP terbukti menjadi dasar pertimbangan

    Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan.

  • 52

    Tabel 4.3. Hasil Uji Chi Square Attribut keberatan karena kesalahan pengukuranluas tanahJawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 86 95.6 45 41Tidak 4 4.4 45 -41Chi square = 74.711db = 1p-value = 0.000Sumber: Data primer diolah (2007)

    Dari tabel diatas, sebanyak 86 responden (95,6%) yang pernah

    mengajukan keberatan PBB, menyatakan bahwa kesalahan pengukuran luas

    tanah menjadi alasan untuk mengajukan keberatan, sedangkan 4 responden

    lainnya (4,4%) menyatakan bahwa pengajuan keberatan bukan didasarkan atas

    kesalahan pengukuran luas tanah. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap

    perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 74,711

    dan p-value = 0,000. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value < 0,05maka H0 ditolak, artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan

    dengan proporsi jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa

    kesalahan atas pengukuran luas tanah menjadi dasar pertimbangan Wajib Pajak

    untuk mengajukan keberatan.

    Tabel 4.4. Hasil Uji Chi Square Attribut Mengetahui Cara Menghitung luas tanah

    Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 51 56.7 45 6Tidak 39 43.3 45 -6Chi square = 1,600db = 1p-value = 0,206Sumber : Data primer diolah (2007).

  • 53

    Sebanyak 51 responden (56,7%) yang mengajukan keberatan PBB

    mengetahui cara menghitung luas tanah yang dimiliki, sedangkan 39 responden

    lainnya (43,3%) menjawab tidak tahu. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap

    perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 1,600

    dan p-value = 0,206. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value > 0,05maka H0 diterima, artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda tidak

    signifikan dengan proporsi jawaban tidak. Sehingga bisa diambil kesimpulan

    bahwa bisa tidaknya Wajib Pajak menghitung luas tanah yang dimiliki tidak

    terbukti menjadi dasar pertimbangan pengajuan keberatan.

    Tabel 4.5. Hasil Uji Chi Square Attribut ukuran tanah salah karena bentuk tanah

    Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 40 44.4 45 -5Tidak 50 55.6 45 5Chi square = 1,111db = 1p-value = 0,292Sumber : Data primer diolah (2007).

    Sebanyak 40 responden (44,4%) yang pernah mengajukan keberatan

    PBB, menyatakan bahwa kesalahan ukuran tanah disebabkan karena bentuk

    tanah yang dimiliki, sedangkan 50 responden lainnya (55,6%) menyatakan

    bahwa bentuk tanah bukan menjadi penyebab ukuran tanah salah. Berdasarkan

    hasil uji chi square terhadap perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak

    dihasilkan nilai chi square = 1,111 dan p-value = 0,292. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value > 0,05 maka H0 diterima, artinya secara statistik proporsi

    jawaban ya berbeda tidak signifikan dengan proporsi jawaban tidak. Sehingga

    bisa diambil kesimpulan bahwa bentuk tanah bukan merupakan penyebab

  • 54

    terjadinya kesalahan ukuran tanah, yang nantinya menjadi pertimbangan Wajib

    Pajak untuk mengajukan keberatan.

    Tabel 4.6. Hasil Uji Chi Square Attribut ukuran tanah salah karena teknis(prosedur) ukur tanahJawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 59 65.6 45 14Tidak 31 34.4 45 -14Chi square = 8.711db = 1p-value = 0.003Sumber: Data primer diolah (2007)

    Dari tabel 4.6 diatas, sebanyak 59 responden (65,6%) yang pernah

    mengajukan keberatan PBB, menyatakan bahwa ukuran tanah salah

    dikarenakan teknis (prosedur) ukur tanah, sedangkan 31 responden lainnya

    (34,4%) menyatakan bahwa ukuran tanah salah bukan disebabkan karena teknis

    (prosedur) ukur tanah. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap perbedaan

    proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 8,711 dan p-value

    = 0,003. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value < 0,05 maka H0 ditolak,artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan dengan proporsi

    jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa teknis (prosedur)

    ukur tanah menjadi penyebab terjadinya ukuran tanah salah, yang pada akhirnya

    menjadi dasar pertimbangan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan.

    Tabel 4.7. Hasil Uji Chi Square Attribut mengetahui klas klasifikasi tanah

    Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 60 66.7 45 15Tidak 30 33.3 45 -15Chi square = 10,000db = 1p-value = 0.002Sumber: Data primer diolah (2007)

  • 55

    Dari tabel diatas sebanyak 60 responden (66,7%) yang mengajukan

    keberatan PBB mengetahui klas klasifikasi saat mengajukan keberatan,

    sedangkan 30 responden lainnya (33,3%) menjawab tidak mengetahui klas

    klasifikasi saat mengajukan keberatan. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap

    perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 10,000

    dan p-value = 0,002. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value < 0,05maka H0 ditolak, artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan

    dengan proporsi jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan

    bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang klas klasifikasi terbukti menjadi dasar

    pertimbangan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan. Secara keseluruhan

    hasil uji terhadap attribut yang mendasari pengajuan keberatan dijelaskan pada

    Tabel berikut.

    Tabel 4.8. Ringkasan hasil uji Chi Square

    No Attribut ChiSquare

    p-value Keterangan

    1 Mengetahui cara menghitungPBB

    0.044 0.833 Tidak signikan

    2 Mengetahui NJOP saatmengajukan keberatan

    64.178 0.000 Signifikan

    3 Keberatan karena kesalahanpengukuran luas tanah

    74.711 0.000 Signifikan

    4 Tahu cara menghitung luastanah

    1.600 0.206 Tidak Signifikan

    5 Ukuran tanah salah karenabentuk tanah

    1.111 0.292 Tidak Signifikan

    6 Ukuran tanah salah karenateknis (prosedur) ukur tanah

    8.711 0.003 Signifikan

    7 Mengetahui klas klasifikasitanah

    10.000 0.002 Signifikan

    4.5 Pembahasan

    Berdasarkan hasil peneilitian dan hasil uji analisis, dapat disimpulkan

    beberapa hal, antara lain:

  • 56

    1. pengetahuan NJOP

    pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP mempengaruhi Wajib Pajak

    untuk melakukan keberatan atas surat ketetapan PBB yang telah diterimanya.

    Berdasarkan hasil kuisioner, 92,2% responden mengetahui NJOP ketika

    mengajukan keberatan. Para responden ini mengetahui bahwa NJOP atas

    properti yang dimilikinya berbeda dengan NJOP yang dimiliki oleh orang lain,

    padahal properti yang mereka miliki berada di area/daerah yang sama.

    Sedangkan 7,8% responden menyatakan tidak mengetahui NJOP dengan alasan

    mereka mengajukan keberatan atas surat ketetapan PBB dikarenakan

    perbedaan atas luas tanah saja.

    2. kesalahan pengukuran luas tanah

    kesalahan luas tanah merupakan salah satu alasan Wajib Pajak

    mengajukan keberatan. Hal ini sesuai dengan hasil kuisioner, dimana 95,6%

    responden setuju bahwa kesalahan pengukuran luas tanah menjadi alasan untuk

    mengajukan keberatan. Menurut mereka, luas tanah yang tercantum dalam

    SPPT tidak sama dengan kondisi riil di lapangan. Perbedaan ukuran luas tanah

    ini disebabkan karena kesalahan dalam prosedur pengukuran luas tanah. Hal ini

    tersebut dalam hasil kuisioner, dimana 65,6% setuju bahwa kesalahan ukuran

    luas tanah disebabkan karena kesalahan prosedur pengukuran luas tanah.

    Menurut mereka ketika pendataan dan penilaian sedang dilakukan oleh fiskus,

    Wajib Pajak sedang tidak berada di tempat, sehingga proses pengukuran hanya

    diwakili oleh pejabat berwenang setempat (aparat desa). Hal ini menurut mereka

    tidak sesuai dengan prosedur pengukuran luas tanah karena pada saat

    pendataan dan penilaian tidak disaksikan pemilik secara langsung, meskipun

    sudah didampingi oleh pejabat berwenang setempat (aparat desa).

  • 57

    3. pengetahuan klas klasifikasi

    Selain perbedaan ukuran luas tanah, Wajib Pajak mempunyai

    pertimbangan lain untuk mengajukan keberatan, yaitu pengetahuan Wajib Pajak

    tentang klas klasifikasi. Menurut mereka, klas klasifikasi yang berbeda dapat

    menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh mereka menjadi lebih tinggi

    dari seharusnya.

    Selain pembahasan diatas, penulis juga memperoleh tambahan

    pengetahuan yang berkaitan de