peng antar mariologi
DESCRIPTION
Pengantar MariologiTRANSCRIPT
BAB I SEPUTAR MARIOLOGI
Bila kita masuk ke praktek iman sebagian umat Katolik Indonesia, devosi kepada Santa
Perawan Maria masih populer terutama doa Rosario. Setiap kali mereka mengalami kesulitan, sakit,
atau kecelakaan, mereka berdoa atau berdoa Rosario. Hasilnya, sebagaimana mereka mengimani,
memang mereka diperhatikan oleh Bunda Maria1. Permohonan mereka kepada Allah dikabulkan
dengan pengantaraan Maria. Bukan hanya itu, segala kesuksesan hidup, mereka lihat sebagai berkat
atau rahmat yang diberikan oleh Allah, justru karena kedekatan mereka dengan Bunda Penebus.
Mereka percaya bahwa kedekatan dengan Yesus tercapai melalui devosi kepada Bunda Maria.
Devosi ini juga menghantar mereka untuk menghargai dan merindukan Ekaristi.
Iman mereka tumbuh bukan karena belajar teologi mengenai Maria. Mereka beriman secara
sederhana kepada Maria. Apa yang mereka tahu sedikit, itu mereka hidupi. Kita mau masuk ke
teologi tentang Maria. Banyak orang berusaha diam dengan teologi ini, karena amat sulit dan
kompleks. Tidak mudah mempelajarinya. Atau juga minat untuk itu memang tidak ada. Kita
mencoba masuk ke ranah teologis ini, tetapi sekaligus kita masuk ke dalam iman kita sendiri yang
telah kita hidupi selama ini.
1. NAMA DAN DEFINISI
Kursus ini diberi nama Mariologi (Mario + logos) atau Marialogi (Maria + logos)? Sebutan
Mariologi umum diketahui. Namun sebutan umum ini pantas dikritisi. Kebiasaan kita, dengan
mengikuti kebiasaan Latin, nama pria diberi akhiran –us/–o, misalnya Marius/Mario,
Antonius/Antonio dan nama wanita diberi akhiran –a, contohnya Maria, Sofia. Dengan latar
belakang ini, bila kita menyebut Mariologi, maka akan menimbulkan kesan pada kita bahwa kita
sedang bergelut dengan seorang tokoh pria yang bernama Mario, padahal kita sedang berefleksi
tentang seorang wanita yang bernama Maria. Karena itu, agaknya nama yang lebih tepat dipakai
ialah Marialogi. Apalagi tak ada sedikit pun keraguan bagi kita bahwa Maria, ibu Yesus, adalah
seorang wanita. Hanya saja sebutan Marialogi ini belum lazim, meskipun banyak juga teolog yang
lebih memilih untuk memakai nama ini2. Dalam kursus kita kedua nama ini dapat dipakai secara
bebas.
Apa itu Marialogi? Marialogi (Maria + logos) ialah ilmu tentang Maria; teologi mengenai
Maria; ajaran tentang Maria. Ajaran ini ada dua, yakni yang bersifat dogma dan yang tidak bersifat
1 Steve, “Airmata Untuk Sari”, dalam Hidup, no. 6/64 (7 Februari 2010), hlm. 26-27. 2Stefano de Fiores, Maria nella teologia contemporanea (Roma: Centro mariano monfortano, 1991), hlm. 29-30.
dogma namun berisi kebenaran iman. Hingga saat ini Gereja Katolik telah melahirkan 4 dogma
marialogis: 1) Maria Bunda Allah; 2) keperawanan Maria; 3) Maria Immaculata (bebas dari dosa
asal); 4) Maria diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya. Sedangkan ajaran yang bukan bersifat
dogma ialah seperti Maria bebas dari dosa pribadi, kebundaan rohaninya, cara pengantaraannya,
gelar-gelar Maria: Ratu dan Bunda Gereja.
Bila dirumuskan secara sistematis, maka kita memperoleh rumusan berikut ini. Marialogi ialah
ilmu teologis atau refleksi teologis tentang Santa Perawan Maria, Bunda Yesus, posisi dan
fungsinya dalam sejarah keselamatan Allah. Definisi ini memberi kita cakupan Marialogi, yakni
kedudukan dan peranan Maria dalam misteri keselamatan yang diwujudnyatakan oleh Yesus
Kristus. Perihal kedudukan dan peranan tersebut perlu diterangkan secara singkat di sini. Para
teolog Katolik telah banyak berdiskusi mengenai posisi dan fungsi Maria dalam sejarah dan tata
penyelamatan Allah. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab ialah: Apakah Maria
menggantikan posisi dan peran Kristus sebagai pengantara tunggal? Atau, apakah Maria melulu
anggota Gereja Kristus seperti umat beriman lainnya? Diskusi telah menghasilkan keyakinan
demikian. Di satu sisi, tempat dan fungsi Maria dalam tata dan sejarah keselamatan tidak sama
dengan kedudukan dan peranan Kristus. Di sisi lain, posisi dan peranannya tidak dapat disamakan
dengan peranan umat beriman lainnya.
Secara resmi Gereja Katolik menetapkan posisinya: “Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat
di bawah Putranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci,
yang hadir pada misteri-misteri Kristus” (LG 66). Dengan ini, Gereja tetap mengakui pengantaraan
tunggal Kristus, tetapi juga tidak meniadakan peran Maria baik dalam misteri Kristus maupun
dalam misteri Gereja. Dalam misteri Kristus, Maria berperan sebagai Bunda Allah (LG 52). Dalam
misteri Gereja, Maria berperan sebagai pola-teladan Gereja dalam persekutuan yang mesra dengan
Kristus, dalam hal iman, cinta kasih, dan harapan. Ia menjadi Bunda kita, bunda umat manusia.
Sekaitan dengan ini “peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan
atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan
kekuatannya” (LG 60). Tidak disuramkan atau dikurangi, karena peran Maria terhadap umat
manusia sangat terkandung dari jasa Kristus. Dalam peran ini tampak posisi Maria sangat istimewa
dan jauh lebih unggul daripada para malaikat dan umat beriman.
Mengingat cakupan studi kita terutama perihal kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah
dan tata keselamatan, maka tidaklah terlalu relevan bagi kita untuk berteori mengenai kelahiran,
masa kecil dan masa muda Maria, seperti lazim bagi seorang kudus dalam Gereja Katolik. Refleksi
kita berfokus pada sejauh mana relasi Maria dengan Allah Trinitas, khususnya pribadi kedua, Yesus
Kristus (Kristologi) dan bagaimana hubungannya dengan Gereja (Eklesiologi). Itulah sebabnya,
2
studi kita berusaha mendengarkan apa dikatakan Sabda Allah tentang Maria (Kitab Suci) dan
bagaimana Bapa-Bapa Gereja atau orang-orang sezaman mereka merefleksikan Maria sesuai
dengan pengalaman mereka (Tradisi), serta bagaimana Gereja kemudian memahami dan
menginterpretasi Bunda Maria, Bunda Kristus dalam penghayatan iman mereka (Magisterium dan
Teologi). Magisterium kadang-kadang, kalau tidak mau dikatakan hampir selalu, menyampaikan
ajarannya terdorong oleh kebaktian (Devosi) umat kepada Maria dalam hidup harian mereka.
2. PENTINGNYA STUDI MARIOLOGI
Post Konsili Vatikan II (1962-1965) tuntutan akan mendesaknya studi Marialogi terdengar amat
kuat. Tuntutan itu begitu deras karena terjadi apa yang disebut oleh Marialog dari Ordo Monfortan,
Stefano De Fiores, sebagai krisis Marialogi3. Terjadinya krisis itu dapat dilukiskan berikut ini.
Sebelum Konsili Vatikan II, Marialogi lebih memperhatikan bagaimana membendung devosi-
devosi marianis yang agak liar yang tidak menampakkan aspek trinitaris dan kristologis. Dicatat
bahwa sejak abad ke-13 devosi kepada Maria berkembang cukup signifikan, bahkan pengaruh-
pengaruh kekafiran menyelinap masuk ke dalam devosi rakyat. Puncak triumfalis marianis ialah
dideklarasikannya dogma “Dikandungnya Maria tanpa noda” oleh Paus Pius IX tgl. 8 Desember
1854 dan dogma “Maria diangkat ke surga” oleh Paus Pius XII tgl. 01 November 1950. Akan tetapi
dalam triumfalisme itu terdapat devosi-devosi rakyat yang tercampur dengan unsur mitos dan
kekafiran.
Mengejutkan bahwa setelah Konsili Vatikan II devosi kepada Maria menurun drastis. Ada krisis
yang mendalam yang ditandai dengan gejala-gejala seperti orang tidak lagi bergairah, tak ada afeksi
kepada Bunda Maria. Gejala ini tak pernah dibayangkan oleh Konsili sebelumnya. Paus Paulus VI
membaca gejala ini, maka pada tahun 1974 ia menulis Marialis Cultus yang salah satu tujuannya
ialah untuk menghidupkan kembali devosi marianis yang beraspek trinitaris, kristologis dan eklesial
di kalangan umat Katolik. Toh anjuran Paus ini tidak seluruhnya sanggup menghidupkan kembali
devosi yang telah berkobar-kobar sebelumnya.
Apa sebab krisis tersebut? Pertama, pengaruh perkembangan psikologi kepribadian yang
melihat agama sebagai bius masyarakat, sebagai candu yang menghantar masyarakat lari dari
kenyataan hidupnya (bdk. Freud). Kedua, pengaruh sekularisme yang melahirkan deisme. Deisme
pelan-pelan menyumbang kelahiran ateisme. Nietszche bapak ateisme modern mengatakan bahwa
Tuhan telah mati. Tuhan harus dimatikan, supaya Ia tidak selalu mengintip kita. Ketiga, pengaruh
teologi yang bersifat isolatif: Kristologi menutup dirinya terhadap Marialogi dan sebaliknya
Marialogi menjauhkan diri dari Kristologi. Keempat, dalam devosi orang terlalu mengharapkan
3De Fiores, Maria…, hlm. 123.
3
penampakan dan mukjizat dari Bunda Maria. Bila ini tidak terjadi, orang mulai tidak percaya lagi
kepada Maria. Mereka melihat Maria tidak relevan bagi hidup mereka4.
Pentingnya Marialogi pada zaman kita ini ialah untuk menjawab krisis tersebut. Marialogi mau
memupuk dan membela devosi marianis yang telah mengalami kemerosotan dalam kehidupan
harian umat Katolik5. Ada bahaya dewasa ini bahwa umat Katolik bersemangat Protestan seperti
pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengubur mati devosi kepada Maria dan sebaliknya di kalangan
Protestan, meskipun bukan semua, pelan-pelan lahir kesadaran akan pentingnya peran Maria dalam
tata keselamatan.
Dengan studi Marialogi, para calon imam diharapkan memiliki keinginan yang kuat untuk
mewartakan devosi marianis kepada umat beriman. Tentu ini mesti berangkat dari hidup sendiri
yang dilingkungi dengan devosi kepada sang Bunda. Para imam dari institusi kita diharapkan
berhati Maria: segala sesuatu yang ditawarkan oleh Allah direnungkan dalam hatinya dan tekun
melaksanakannya.
3. MARIALOGI DAN TRAKTAT TEOLOGI LAINNYA
Kita tak dapat menyangkal bahwa di samping Kristologi, Soteriologi, Pneumatologi,
Eklesiologi, dan Sakramentologi terdapat juga Marialogi dalam teologi Katolik. Maria menjadi
pokok refleksi teologis khusus di samping Allah dan Yesus Kristus. Tempat Marialogi di antara
cabang teologi ini masih menimbulkan diskusi di antara para teolog. Mengapa? Sebab, bila teologi
dipahami sebagai refleksi iman atas Allah dalam relasi timbal balik dengan manusia, maka
sebenarnya hanya ada dua cabang teologi yaitu Kristologi dan Eklesiologi. Kristologi ialah ajaran
atau refleksi iman atas Kristus, sedangkan Eklesiologi adalah ajaran atau refleksi iman atas Gereja
Kristus. Dalam bingkai Kristologi dapat dipaparkan Allah Trinitas, Pneumatologi dan Soteriologi.
Lalu dalam bingkai Eklesiologi dapat dikembangkan Sakramentologi, yakni Gereja sebagai misteri
dan lembaga Allah yang menyelamatkan manusia. Pertanyaan kita sampai di sini ialah: di manakah
posisi Marialogi dalam bingkai Kristologi atau Eklesiologi? 6
Para teolog Katolik (Marialog) belum juga sepakat. Secara umum para teolog terbagi dalam dua
pendekatan, yakni pendekatan kristologis dan pendekatan eklesiologis. Pendekatan pertama biasa
juga disebut Marialogi kristotipikal. Penganut pendekatan ini berkeyakinan bahwa sebenarnya
Marialogi merupakan penjelasan dari Kristologi. Marialogi menjelaskan siapa Kristus itu, lalu apa
itu inkarnasi dan apa karya Kristus sendiri. Maka Maria ditempatkan sedekat mungkin dengan
Kristus dan berperan dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Sedangkan pendekatan kedua,
4Ibid., hlm. 128-136. 5C. Groenen, Mariologi: Teologi & Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 153-154. 6 Groenen, Mariologi…, hlm. 13-14.
4
yang biasa juga disebut Marialogi eklesiotipikal, memandang bahwa Maria ditempatkan dalam
bingkai Eklesiologi. Maria adalah anggota Gereja, sebagai hasil unggul karya penyelamatan Allah.
Artinya, Maria juga mendapat keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Ia merupakan model
seluruh umat beriman7.
Bagaimana dengan sikap Konsili Vatikan II? Konsili Vatikan II tidak secara tegas memilih atau
menolak salah satu dari keduanya. Diskusi di antara dua tipe Marialog dibiarkan berkembang
hingga mencapai suatu kesepakatan (LG 54). Namun bagaimana pun Konsili lebih condong kepada
Marialogi Eklesiotipikal. Marialogi ditempatkan dalam rangka ajaran tentang Gereja, yakni dalam
Lumen Gentium bab VIII. Penempatan ini tetap menimbulkan kesan bahwa Marialogi hanya
merupakan appendix atau cantolan pada Eklesiologi, sebab sekalipun Marialogi ini dipisahkan dari
Lumen Gentium, itu sama sekali tidak mengganggu ajaran konsili tentang Gereja. Itu berarti
Vatikan II belum berhasil menyatukan Marialogi dengan Eklesiologi8.
Akan tetapi akhir-akhir ini ada pendekatan lain yang mencoba melihat Marialogi sebagai sentral
bagi cabang-cabang teologi lainnya seperti Kristologi, Soteriologi, Pneumatologi, Eklesiologi dan
Eskatologi. Marialogi dilihat sebagai sintese dari teologi. Itu berarti ada suatu relasi yang erat antara
Marialogi dengan cabang-cabang yang telah disebutkan9. Relasi itu dapat diterangkan sebagai
berikut.
Marialogi dan Kristologi. Yesus Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia dan dilahirkan
oleh Maria ialah daging dari dagingnya, ia mengandung-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Maria
memberikan kelahiran kepada-Nya, mendekapkan-Nya pada dada-Nya yang perawan dan bersama
dengan Yosef membesarkan dan mendidik Dia. Karena itu Maria ialah sungguh ibu Yesus, Sabda
yang berinkarnasi, dan di antara keduanya terdapat suatu ikatan yang tak dipisahkan. Pribadi dan
misi Putra memberi cahaya yang memperjelas profil ibu-Nya. Maka Kristologi menjalankan suatu
pengaruh yang kuat kepada Marialogi dan pada saat yang sama Marialogi memberikan sumbangan
kepada Kristologi sebab pengetahuan tentang ajaran Katolik yang benar mengenai Maria memberi-
kan suatu kunci bagi pemahaman yang benar akan misteri Kristus dan Gereja-Nya. Contohnya ialah
bagaimana ungkapan Bunda Allah (Theotokos) menjadi jaminan bagi ortodoksi Kristen. Melalui
Maria yang adalah saksi unik misteri Kristus, Gereja memahami secara lebih penuh kenosis Putra
Allah, Putra Allah yang menjelma di dalam rahimnya ialah seorang Putra Adam. Karena itu Gereja
menjadi sadar akan akar historis dari Putra Daud dan Ia menjadi milik bangsa Yahudi.
Marialogi dan Soteriologi. Maria, berkat jasa Putra-Nya, diselamatkan dalam cara yang sangat
istimewa dibandingkan dengan semua pria dan wanita. Sebab itu ia adalah buah sulung dan terbesar
7Groenen, Marialogi…, hlm. 14-15. 8Groenen, Marialogi…, hlm. 15. 9Paul Haffner, The Mistery of Mary (Herefordshire: Gracewing, 2004), hlm. 13-21.
5
dari penebusan. Dia adalah ikon atau model dari kemanusiaan yang tertebus. Sebagai bunda dari
Sang Penebus dan sebagai murid-Nya yang setia, ia atas cara yang sangat istimewa bekerja sama
dalam karya keselamatan-Nya. Sebagai buah dari persetujuan personalnya atas inkarnasi penebusan
Putra-Nya, dan pelayanan kasih kepada pribadi dan karya Putra-Nya serta permohonan surgawinya
yang tiada henti, dan kehadiran maternalnya dalam kehidupan Gereja, Perawan Maria terberkati
telah bekerja sama dan akan terus bekerja sama menurut kehendak Allah dalam menyelamatkan
umat manusia.
Marialogi dan Pneumatologi. Maria yang semuanya kudus (Panaghia) adalah ciptaan pertama
yang secara sempurna dibentuk oleh Roh Kudus, dan pada saat yang sama pembawa pertama Roh
Kudus yang sama. Hidupnya dimotivasi dan dituntun oleh Roh Kudus, sehingga sungguh dapat
dihormati sebagai ikon dari Roh. Menurut Tradisi kontemplatif tentang Gereja, Roh Kudus
memampukan Maria mengucapkan ‘Ya’ atau ‘fiat’ keselamatan (Luk 1:38) dan menyanyikan
kidung ucapan syukur, Magnificat (Luk 1:46-55). Roh Kudus yang sama menganjurkan kepada
Bunda Kristus suatu sikap ibadah yang mengubah ritus penebusan bagi kelahiran pertama dengan
suatu prefigurasi Anak Domba Allah yang dipersembahkan (Luk 2:22-24). Roh Kudus mengilhami
permohonan keibuannya kepada Putranya untuk membantu pengantin di Kana di Galilea (Yoh 2:3)
dan nasihat kepada para pelayan untuk menjalankan perintah-Nya (Yoh 2:5). Sang Penghibur
menyokong Perawan terberkati Maria yang ditimpa penderitaan berat dan yang sedang berdiri di
kaki salib Kristus, Putranya dan meluaskan hatinya tak bernoda karena menerima wejangan Putra
yang hendak meninggal, yakni menjadi bunda dari para murid-Nya (Yoh 19:26). Penghibur tetap
menghangatkan iman Maria akan Kristus Yang Bangkit, dan menggerakkan di dalam dirinya doa di
ruang atas untuk menantikan Pentekosta (Kis 1:12-14).
Marialogi dan Eklesiologi. Maria hadir dalam tahap-tahap esensial pembentukan Gereja.
Pertama, di Nazareth dan Betlehem dalam pengandungan dan kelahiran Kristus, karena momen-
momen ini melibatkan anggota-anggota dan juga kepala Tubuh Mistik. Pada peristiwa di Kana para
murid-Nya telah percaya kepada-Nya dan bersama dengan ibu-Nya membentuk satu persekutuan
iman dengan Tuhan dan Guru mereka (Yoh 2:11). Di Yerusalem, Sakramen Gereja seluruhnya
dilahirkan dalam darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya yang tertikam ketika digantung
pada kayu salib dalam kehadiran Bunda Maria. Dan akhirnya komunitas dari semua pengikut Yesus
dibentuk pada peristiwa Pentekosta, hari kelahiran Gereja, terbuka kepada misi universalnya (Kis
1:1-40). Relasi antara Maria dan Gereja dijelaskan oleh fakta bahwa ia adalah anggota istimewa
dari Gereja, Bunda terkasih dari Gereja, gambaran penuh Gereja, tipe dan figur profetis Gereja, dan
juga ikon eskatologis dari Gereja. Gereja memiliki suatu dimensi intrinsik marianis dalam rupa
ontologisnya; ciri-cirinya terantisipasi di dalam wajah Perawan terberkati Maria.
6
Marialogi dan Eskatologi. Liturgi Bizantin pada perayaan dormitio menyalam Maria sebagai
“harapan dan perlindungan yang kokoh”. Sebagaimana Bunda Yesus Kristus yang dimuliakan
dengan tubuh dan jiwanya ke dalam surga adalah gambaran dan awal dari Gereja yang disempurna-
kan di dunia yang akan datang, demikian juga ia memancarkan ke dunia sampai hari Tuhan datang
seperti suatu tanda harapan yang pasti dan melipur hati umat Allah selama pertamuannya di dunia
ini. Oleh sebab itu Gereja mengkontemplasikan di dalam Maria gambaran dari kemurnian yang
ingin diperolehnya. Di dalam Maria waktu lampau, sekarang dan yang akan datang memadat dan
saling mencahayai. Kemarin dari Israel dan Gereja menjadi sekarang melalui kenangan liturgis;
hari ini ditandai oleh kehadiran yang tetap dan aktif dari Bunda kita dalam perziarahan Gereja
menuju tujuannya; esok adalah suatu realitas telah diantisipasi secara tidak sempurna dan ini mem-
berikan keyakinan dan harapan. Di dalam Maria yang telah diangkat ke dalam kemuliaan surgawi
ketakutan akan masa depan telah diatasi, teka-teki akan kematian telah dikalahkan dan nasib yang
benar dari pria dan wanita telah dibuka di dalam Kristus Yang Bangkit.
4. MARIALOGI DALAM DISKURSUS TEOLOGIS PROTESTAN DEWASA INI
Dalam studi Marialogi ini kita juga perlu membuka wawasan dengan melihat secara sekilas
status Maria dalam hidup keberimanan komunitas-komunitas Protestan. Fakta pertama kita harus
mengatakan bahwa sejarah masa lampau mereka memiliki catatan kelam perihal Maria. Meskipun
Maria sendiri telah mengatakan “segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk 1:48),
namun klaim itu tidak mendapat tempat istimewa dalam kehidupan devosional atau pun imajinasi
teologis orang-orang Kristen Protestan. Pertentangan yang tajam antara Protestantisme dan
Marialogi tak dapat disembunyikan. Memang pada tataran masyarakat bawah banyak orang
Protestan memiliki afeksi-afeksi tertentu kepada Maria sebagai Ibu Yesus, khususnya pada masa-
masa liturgis seperti pada Masa Adven dan Masa Natal. Anglikan dan Luteran di beberapa tempat
tetap mempertahankan devosi-devosi termasuk pendarasan doa Rosario dan Angelus. Namun semua
refleksi teologis dan ulah kesalehan yang berhubungan Maria itu sering juga ditolak oleh orang-
orang Protestan, karena hal-hal itu dilihat sebagai bagian dari warisan Gereja Katolik Roma Abad
Pertengahan yang telah dibuang jauh-jauh selama reformasi abad ke-16. Maria telah menjadi salah
satu korban ideologis dan teologis dari polemik anti-Katolik10.
Akan tetapi karena Maria memiliki suatu tempat yang sangat signifikan dalam narasi-narasi
Injil, orang-orang Protestan telah bergumul dengan hal-hal yang fundamental tentang Marialogi.
Secara umum mereka percaya kepada Maria perihal kerja samanya dalam peristiwa khabar gembira
dan keibuannya. Maka, sebagian besar orang Protestan menerima ajaran tentang Yesus yang lahir
10Cody C. Unterseher, “Mary in Contemporary Protestant Theological Discourse”, dalam Worship, 3/81 (Mei 2007), hlm. 194.
7
dari seorang perawan, tetapi mereka menyangkal keperawanan perpetual Maria, sebab hal itu tidak
ada jaminan yang jelas dari Kitab Suci. Demikian juga mereka menyetujui pernyataan Konsili
Efesus (431) bahwa Maria adalah Bunda Allah, tetapi mereka enggan memberikan kepada Maria
gelar “Bunda Gereja”. Tetapi pengecualian-pengecualian yang sedikit ini pantas juga diperhatikan.
Pengandungan Maria atau akhir dari kehidupannya yang menjadi dogma dalam Gereja Katolik tidak
ada dalam refleksi mereka11.
Pendekatan seperti itu, yakni berdasarkan data biblis mengenai Maria telah menjadi ciri khas
sejarah Protestan. Setengah abad terakhir ini beberapa orang Protestan memiliki minat pada teologi
tentang Maria. Ada beberapa faktor pendorong untuk hal ini. Pertama, pengaruh orang-orang
Protestan keturunan Spanyol di Amerika Latin yang pindah dari Gereja Katolik. Mereka ini tetap
menghidupi devosi kepada Maria, sekali pun para pendeta mereka melarang untuk mengembangkan
devosi itu. Kedua, pengaruh ajaran Konsili Vatikan II dan gerakan-gerakan ekumenis. Tentu hal ini
menjadi harapan baru dalam usaha ekumene. Khusus dengan Anglikan, kita telah mencapai suatu
kemajuan yang dalam gerakan ekumene sehubungan dengan Marialogi. Pada bulan Februari 2004
Komisi Internasional Katolik dan Anglikan telah menghasilkan satu kesepakatan marialogis yang
berjudul: “Maria: Rahmat dan Harapan di dalam Kristus” 12.
5. SEJARAH MARIALOGI13
Dalam sejarah kekristenan, periode-periode doktrin atau ajaran marialogis dan devosi kepada
Maria muncul bersamaan dengan ibadat dan adorasi kepada Putranya, Yesus Kristus. Ada empat
periode besar dalam mengkaji perkembangan Marialogi.
Periode besar pertama ialah zaman Patristik (abad ke-2 ke abad ke-9). Selama waktu ini
Gereja merenungkan peranan Maria sebagai Eva yang baru, memproklamasikan keibuan ilahi dan
keperawanannya yang abadi dalam tulisan-tulisan Patristik dan Konsili-konsili. Inilah juga periode
perdebatan dan definisi tentang dogma-dogma trinitaris dan kristologis. Selama beberapa abad
pertama ini muncul 3 bidaah kristologis, yang juga berhubungan dengan isu tentang kebundaan ilahi
Maria.
Pertama, Doketisme menerima keilahian Kristus dan menolak kenyataan kodrat manusiawi-
Nya. Kaum doketis melihat kemanusiaan itu sebagai tampaknya saja, bukan manusia sebenarnya.
Dengan demikian, Maria tak dapat disebut Bunda Allah, karena dia bukanlah Bunda Putra Allah
yang berinkarnasi. Kedua, Arianisme menerima kemanusiaan Kristus dan menyangkal keilahian-
Nya. Kristus bukan Putra Allah, bukan pribadi kedua Trinitas. Konsekuensinya, Maria bukanlah
11Unterseher, “Mary…”, hlm. 195. 12Unterseher, “Mary…”, hlm. 195 dan 202-203. 13Diringkas dari Haffner, The Mistery of Mary, 2004), hlm. 4-13.
8
Bunda Allah. Kedua heresi ini menolak dua kodrat Kristus dan misteri inkarnasi. Dalam Konsili
Nisea I thn. 325 kedua pandangan ini dihukum dan konsili mendefinisikan realitas Yesus sebagai
Allah benar dan manusia benar.
Ketiga, Nestorianisme berpendapat bahwa di dalam Kristus terdapat dua pribadi, bukan dua
kodrat dalam satu Pribadi. Maka Maria hanyalah bunda manusia Kristus (Christotokos), bukan
Bunda Allah (Theotokos). Nestorianisme dihukum pada konsili ekumenis yang ketiga, Konsili
Efesus (431 M). Dalam konsili dinyatakan rumusan kesatuan bahwa Yesus adalah “Putra terkasih
Bapa sebelum segala zaman, mengenai keilahian-Nya sama ketika kemudian dilahirkan oleh
Perawan Maria yang menjadi manusia untuk kita dan keselamatan kita... kesatuan dengan dua
kodrat telah terjadi... sehubungan dengan kesatuan ini tak ada kebingungan, kami mengakui
perawan yang kudus yang menjadi Bunda Tuhan (Theotokos), karena Allah Sabda menjadi daging
dan menjadi manusia dan dari saat pengandungan disatukan dengan diri-Nya Bait Kudus yang
diambil dari diri-Nya”.
Kesejajaran antara Eva dan Maria muncul dalam tulisan-tulisan Bapa-Bapa Gereja, baik Timur
maupun Barat, sebagai contoh St. Yustinus Martir, St. Ireneus, St. Efrem dan Tertulianus. Dari
tipologi Paulus dan Yohanes dalam Perjanjian Baru dibangun ide tentang Maria sebagai model
Gereja. Rumusan ini pertama sekali diberikan oleh St. Ambrosius. Lalu St. Agustinus membangun
lebih lanjut ide ini dengan menempatkan Maria di hadapan Gereja sebagai gambaran idealnya dan
sebagai anggota tubuh Kristus yang sempurna. Selama abad ke-8 dan ke-9 ketika Konsili Nisea II
(787 M) mengizinkan penghormatan kepada gambar-gambar kudus, orang-orang Kristen
merenungkan secara lebih dekat hubungan Maria kepada Putranya, partisipasinya dalam
kebangkitan, kebebasan dari dosa dan pentingnya doa permohonannya.
Periode kedua ialah zaman Skolastik. Tokoh-tokoh yang terkenal ialah St. Anselmus, St.
Thomas Aquinas, St. Bonaventura, Yohanes Duns Scotus. Mereka berhasil menelurkan kerangka
sistematis bagi Kristologi dan pemahaman yang lebih jelas tentang peranan Maria dalam misteri
keselamatan. Secara khusus Scotus membuka jalan bagi pemahaman atas pengandungan Maria
tanpa dosa (immaculata conceptio).
Periode ketiga terbentang dari tahun 1400 sampai 1800, dari akhir Abad Pertengahan, zaman
Renaissance dan Reformasi Protestan sampai pada Zaman Pencerahan. Dalam periode inilah
banyak kebenaran Kristen semakin diserang. Di satu sisi Martin Luther mempertahankan seumur
hidupnya afirmasi historis orang Kristen bahwa Maria adalah Bunda Allah. Lagi, semua hidupnya,
Luther berpegang bahwa virginitas perpetual Maria merupakan salah satu bagian pengakuan iman
semua orang Kristen. Akan tetapi di sisi lain, Luther sangat kritis terhadap doktrin-doktrin
tradisional tentang mediasi dan permohonan Maria. Sekalipun demikian, ia juga berpendapat bahwa
9
Maria seharusnya dihormati. Calvin dan Zwingli juga tidak setia pada doktrin marialogis seperti
Luther, namun mereka tetap menghormati Maria sebagai Bunda Allah. Lalu pertanyaan ialah
mengapa afirmasi-afirmasi marialogis kaum reformator tidak bertahan hidup dalam pewaris-
pewaris mereka. Alasan real ketidaksinambungan ini ialah penolakan yang berlebihan pada gambar-
gambar orang kudus dan sebagai konsekuensi dari prinsip-prinsip reformasi sendiri, yakni sola
scriptura (hanya Kitab Suci), sola fide (hanya iman), sola gratia (hanya rahmat).
Perpecahan dengan doktrin tradisional tentang Maria disebabkan oleh pengaruh skeptis Zaman
Pencerahan, yang ditandai dengan menyangkal semua misteri iman. Pencerahan distimulasi oleh
kesuksesan gemilang akal budi dalam pengetahuan alam dan matematika. Konsep dominan tentang
kosmos sebagai suatu mekanisme yang diperintah oleh beberapa hukum yang sederhana menuntun
mendorong lahirnya agama rasional murni. Hasil penelitian atas alam dan agama rasional murni
ialah deisme, yakni gagasan bahwa setelah menciptakan dunia ini Allah meninggalkan kepadanya
perlengkapannya sendiri atau membiarkannya untuk tidak dihancurkan. Dari deisme ini lahirlah
skeptisisme, ateisme, materialisme.
Pada abad ke-18, doktrin-doktrin marialogis dihilangkan oleh kaum Protestan karena semangat
Pencerahan (Enlightment/Iluminisme) dan kekurangpahaman akan misteri khususnya misteri
inkarnasi. Mayoritas kaum Protestan berpindah dari sikap yang tepat kepada Maria. Kehilangan
akan devosi kepada Maria sebagian karena kelahiran Rasionalisme yang membuang perasaan akan
yang suci. Dalam rasionalisme orang berusaha memahami setiap hal dan segala hal yang tak dapat
dipahami akal budi harus ditolak. Karena rasionalisme menerima hanya apa yang dapat dijelaskan
dengan akal budi, pesta-pesta dan peringatan Gereja dalam menghormati Maria dihilangkan dalam
komunitas Protestan. Semua hubungan biblis dengan Bunda Maria dihilangkan dan kita masih
menderita dari warisan Protestan ini. Meskipun awan kegelapan meliputi kekristenan namun terlihat
juga sejumlah tonggak-tonggak devosi Maria. Bukan hanya itu muncul juga tulisan-tulisan
sistematis pertama tentang Maria. Dalam hal ini pantas disebut F. Suárez (1548-1617) yang menulis
persoalan-persoalan marialogis secara sistematis. Sedangkan istilah Mariologi dipakai pertama
sekali oleh Plasidius Nigido (1570-1640) dalam tulisan sistematisnya tentang Maria tahun 1602. Ia
berasal dari Pulau Sisilia, Italia Selatan. Semula ia anggota Ordo Serikat Yesus, tetapi kemudian
pindah menjadi imam diosesan di Sisilia (1613)14.
Periode keempat terbentang dari tahun 1800 sampai sekarang. Boleh dikatakan bahwa Allah
melancarkan serangan balik atas Zaman Pencerahan dan Revolusi Prancis melalui sejumlah
penampakan Maria di Prancis. Salah satu penampakan abad ke-19 terjadi di Lourdes yang terus
mempunyai pengaruh yang mengagumkan seperti pernyataan-pernyataan yang amat jelas akan
14De Fiores, Maria…, hlm. 23-24.
10
dunia supernatural yang disangkal oleh Pencerahan. Penampakan yang berpengaruh seperti itu terus
berlanjut ke abad ke-20. Contoh yang sangat terkenal ialah di Fatima, Portugal (1917). Ditemani
oleh tugu-tugu warisan marianis ini telah hidup kembali ketertarikan akan doktrin marianis dan
devosi yang terus berlangsung hingga sekarang. Fakta lain menunjukkan bahwa banyak komunitas
Kristen yang telah menolak doktrin dan devosi marianis telah pelan-pelan meninggalkan doktrin
kristologis juga.
Pada awal abad ke-20 banyak tulisan-tulisan tentang Maria, tetapi kemudian Marialogi tidak
disenangi di antara para teolog yang mengkritiknya karena terlalu terisolasi dan otonom, terlalu
menekankan hubungan dekat Maria dengan Kristus dan menyangkal kondisi keterciptaannya.
Gerakan-gerakan biblis, patristik, kerigmatis dan liturgis berusaha mengintegrasikan Marialogi ke
dalam kerangka sejarah keselamatan dan dijadikan sebagai sisa dari teologi. Pentingnya Maria oleh
Gereja tidak didasarkan pada penampakannya dalam Kitab Suci atau pada privilese-privilesenya
tetapi berasal dari peranan unik dan khususnya dalam sejarah keselamatan. Dasar untuk ini ialah
konsep teologis tentang pribadi manusia yang dipanggil untuk memainkan suatu peranan yang aktif
dalam karya keselamatan. Setiap orang memiliki peranan khusus, tetapi peranan Maria unik karena
hanya dialah Bunda Penebus dan Bunda Gereja. Marialogi mempelajari partisipasinya dalam
misteri keselamatan, tetapi juga mempelajari privilese-privilesenya sebab ini berhubungan dengan
misinya.
Secara klasik kaum reformator menolak kemungkinan suatu Marialogi dan partisipasi unik
Maria dalam sejarah keselamatan karena antropologi mereka. Mereka sangat menolak kemungkinan
kolaborasi aktif dari manusia dalam keselamatannya. Dalam teologi mereka secara tradisional
pribadi manusia menerima secara pasif keselamatan, iman dan rahmat (sola gratia, sola fides, sola
Scriptura). Beberapa teolog mengusulkan bahwa studi-studi ekumenis seharusnya dimulai dari hal
konkret dan khusus tentang Maria dan bukan dari teori justifikasi. Pertanyaan muncul tentang
apakah Maria menjawab secara aktif atau pasif panggilannya. Jikalau kita menyimpulkan bahwa dia
berpartisipasi secara aktif, ini jelas secara radikal menantang teori Protestan akan ketidakmampuan
manusia untuk bekerja sama dalam sejarah keselamatannya.
Dalam kekristenan Timur Marialogi tidak dipisahkan dari disiplin teologis. Orang-orang Kristen
Timur tidak pernah membangun teologi marialogis yang terpisah, tetapi selalu dibicarakan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari Kristologi, Pneumatologi dan Eklesiologi. Sungguh tak ada teologi
Kristen tanpa relasi permanen dengan pribadi dan peranan Perawan Suci dalam sejarah
keselamatan. Kekristenan Timur menaruh tekanan pada adanya Maria dalam ekonomi keselamatan,
sementara teologi Barat sering sejak St. Agustinus berfokus pada Maria sebagai contoh dan sebagai
seorang murid. Tradisi Timur berbicara tentang hubungan Theotokos dan Trinitas Kudus dalam
11
konteks sejarah keselamatan. Menurut St. Yohanes Damasen, nama Bunda Allah berisi semua
sejarah keselamatan ilahi di dunia ini. Karya keselamatan dan pembaharuan dunia dibuat oleh Allah
Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus. Theotokos berada di pusat sejarah keselamatan, seperti
diajarkan St. Gregorius Palamas. Peranan khusus Theotokos ini muncul dari fakta bahwa dia sendiri
ditemukan di antara Allah dan kemanusiaan. Ia ditempatkan dalam suatu hubungan yang unik
dengan Trinitas Kudus, bahkan di hadapan inkarnasi, sebagai pengharapan Bunda Tuhan yang
berinkarnasi untuk membawa realisasi final rencana abadi Allah.
Dalam tahun-tahun belakangan ini Teologi Barat telah berfokus pada dua tekanan utama tentang
peranan Maria dalam karya keselamatan, yakni tendensi kristologis dan eklesiologis. Tendensi
kristologis menekankan hubungan Maria dengan Putranya sebagai Bunda Allah. Privilese-
privilesenya berasal dari hubungan ini dan paralel dengan Kristus karena ia secara intim dikaitkan
dengan-Nya. Sebagai contoh, virginitasnya merupakan konsekuensi dari keibuan ilahinya.
Pengandungan tanpa noda berasal dari martabatnya sebagai Bunda Tuhan dan itu sebagai persiapan
inkarnasi. Kenaikannya ke Surga (assumptio) juga konsekuensi dari keibuannya. Karena peranan
aktifnya ia juga Bunda Gereja, “Coredemptrix” dan “Mediatrix”.
Tendensi eklesiologis menekankan Maria sebagai figur atau model Gereja. Karena paralel antara
Maria dan Gereja ini privilese-privilesenya harus dipahami dalam terang milik Gereja. Sebagai
contoh, keibuan ilahinya merupakan prototipe (model utama) bagi Gereja dan membentuk saat
formasi/pendidikan Gereja. Maria bukan di atas Gereja tetapi bagian dari Gereja. Ia adalah anggota
pertama dan mulia Gereja, tetapi seperti semua anggota diselamatkan oleh Kristus. Salah satu
masalah tendensi ini ialah menilai rendah partisipasi aktif Maria dalam sejarah keselamatan. Akan
tetapi dua tendensi ini tidak saling dipertentangkan, tetapi saling melengkapi.
Dalam tahun-tahun terakhir ini muncul juga Marialogi dari Teologi Feminis. Kelompok kecil
feminis mempertahankan bahwa “Gereja telah gagal memahami atau memajukan para wanita secara
umum ketika menghormati Maria secara khusus”. Feminis mengusulkan bahwa Maria harus
dibebaskan dari proyeksi-proyeksi hierarki yang didominasi laki-laki, dan pada saat yang sama para
wanita harus dibebaskan dari gambaran-gambaran tentang Bunda kita yang didominasi laki-laki.
Gambaran mengenai Maria harus mempertimbangkan pengalaman wanita. Para feminis hanya
menimbang pendekatan pengosongan diri Kristus dan Maria, tanpa kesadaran yang cukup akan
aspek-aspek yang lebih transenden dan ilahi.
12
BAB IIMARIALOGI DALAM KITAB
PERJANJIAN BARU DAN APOKRIF
1. MARIALOGI DALAM PERJANJIAN BARUTulisan-tulisan Perjanjian Baru tidak memiliki suatu Marialogi yang seragam. Tiap-tiap
penulis Kitab memiliki kerygma tersendiri mengenai Maria. Kedalaman dan kejelasan serta keluasan kerygma mereka pun berbeda satu dengan yang lainnya. Memang masih ada juga yang tetap mempersoalkan apakah Maria termasuk kerygma apostolik atau tidak. Misalnya, komunitas-komunitas Protestan yang lahir dari Reformasi abad ke-16 berpandangan bahwa Maria tidak menjadi kerygma apostolik. Ini jelas berbeda dari keyakinan Gereja Katolik. Kita dengan tegas mengatakan bahwa Maria termasuk dalam kerygma apostolik15.
1.1 MARIA DALAM TULISAN SANTO PAULUS
Dalam surat-suratnya, hanya sekali ia mengacu kepada Maria, tanpa menyebut namanya: Gal
4:4-5. Tekanan Paulus di sini ialah kenyataan inkarnasi Putra Allah, pengutusan Anak Allah
“setelah genap waktunya”. Demi penebusan umat manusia, Anak Allah telah menjelma menjadi
manusia dan memasuki situasi manusia, yakni “takluk kepada hukum Taurat”. Inilah alasan
mengapa Paulus tidak menyebut nama Maria.
Dalam Gal 4:4-5 Paulus di samping menghubungkan antara Anak Allah yang praeksistensi dan
sejarah dunia dan sejarah keselamatan, juga antara Anak Allah dan ibu-Nya, Maria. Dengan
mengakui praeksistensi dan keilahian Yesus maupun kelahiran-Nya di bumi, Paulus telah
menyarankan bahwa “perempuan” yang disebutnya itu adalah Bunda Allah. Pernyataan Maria
adalah Bunda Allah di kemudian hari menjadi dogma yang mendasari segala ajaran tentang Maria.
Jadi, teks itu memiliki nilai dogmatis karena mengandung pernyataan Perjanjian Baru yang paling
penting bagi Marialogi. Dalam teks itu sudah mulai dihubungkan antara Kristologi dan Marialogi.
Kedudukan Maria sebagai Bunda Allah sangat penting dalam sejarah keselamatan.
1.2 MARIA DALAM INJIL MARKUS
Pengarang Markus (± 70 M), hanya menyebut dua kali secara sambil lalu tentang Maria,
yaitu dalam 3:31-35 dan dalam 6:3. Ada dua hal yang pantas digarisbawahi dari teks-teks ini.
Pertama, Yesus mengambil jarak dari ikatan keluarga dan menekankan pemenuhan kehendak Allah.
Kedua, bersama dengan ibu-Nya disebutkan saudara-saudara-Nya. Siapakah yang dimaksudkan
dengan “saudara Yesus” di sini? Apakah itu dalam arti “saudara kandung” atau saudara dalam arti
15Groenen, Mariologi…, hlm. 16-19.
13
luas, “saudara sepupu”? Ada dua penafsiran yang berbeda. Di kalangan umat Protestan mulai abad
ke-19 berkeyakinan bahwa “saudara” yang dimaksud ialah saudara sekandung. Bila gagasan ini
diterima, maka ajaran akan keperawanan tetap Maria (virginitas post partum) tidak diakui. Apakah
tafsiran ini benar? Belum tentu!
Kalangan Katolik masih berpegang pada tradisi yang telah dipegang teguh sejak abad kedua.
Argumennya demikian. Dalam teks-teks itu Yusuf sama sekali tidak disebut dan berhubungan
dengan peristiwa di kaki salib sang ibu dipercayakan oleh Yesus kepada seorang murid dan bukan
kepada seorang saudara badani. Menurut Tradisi, Yosef meninggal mendahului penyaliban dan
wafat Yesus. Tradisi ini didukung oleh kesaksian bahwa di bawah kaki salib (bdk. Yoh 19:27-28),
Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah seorang murid-Nya, bukan kepada saudara
badani-Nya. Lagi pula teks-teks Perjanjian Baru tidak pernah menyebut “saudara-saudari Yesus”
dengan anak-anak Maria. Sangat mungkin pemakaian sebutan “saudara-saudari Yesus” merupakan
kebiasaan yang berkembang di kalangan Kristen perdana untuk menghormati sanak saudara-Nya
yang memang berperanan penting bagi mereka (bdk. 1Kor 9:5; Kis 1:14). Atas dasar argumen-
argumen ini, maka, “saudara” yang dimaksud ialah saudara dalam arti luas, saudara sepupu, bukan
saudara sekandung. Penafsiran ini mendukung gagasan keperawanan tetap Maria. Namun sejak
pertengahan abad ke-20 tradisi ini tidak diterima oleh beberapa ahli Kitab Suci Katolik. Sementara
Gereja Timur tetap setia pada tradisi awal.
1.3 MARIA DALAM INJIL MATIUS
Dalam kisah kanak-kanak Yesus muncul Maria. Tujuan kisah kanak-kanak tersebut ialah:
membuktikan kemesiasan serta keilahian Kristus. Di samping itu, penulis juga bermaksud untuk
menyelamatkan kehormatan Bunda Kristus dari tuduhan zinah. Tiga hal disajikan Matius kepada
para pembacanya tentang Maria:
- Silsilah bertujuan untuk menjamin asal-usul Sang Mesias melalui Yusuf.
- Yesus dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan dari Maria (1:18-25).
- Kisah-kisah tentang kunjungan orang-orang majus dari Timur, pengungsian keluarga ke
Mesir, pembunuhan kanak-kanak di Betlehem, kembalinya Yosef sekeluarga dari Mesir dan
mereka tinggal di Nazaret.
Yang penting dicatat bahwa Matius meyakini ajaran apostolik tentang diperanakkannya
Yesus tanpa seorang ayah. Ia yakin bahwa kenyataan ini telah diramalkan dalam Perjanjian Lama.
Karena itu dalam kisah kelahiran Yesus, ia mengutip dengan agak bebas Yesaya 7:14 tentang
“perempuan muda” yang siap kawin, dan mengubahnya dengan “anak dara” (perawan) (Mat 1:23).
14
Dengan ini Matius mengatakan kepada orang Yahudi bahwa pengharapan Perjanjian Lama telah
terpenuhi di dalam Kristus dengan perantaraan seorang perawan, yakni Maria.
Yang penting bagi dogma marialogis ialah penulis menghubungkan antara Anak Allah dan
kelahiran-Nya dari perawan, yang nanti mendapat perhatian khusus Lukas. Dewasa ini penganut
Kristologi-dari-bawah melihat kelahiran perawan bukan sesuatu yang mutlak. Entah Maria perawan
atau tidak, bukanlah hal yang esensial bagi penganut Kristologi ini.
1.4 MARIA DALAM INJIL LUKAS
Seperti Matius, Lukas juga menampilkan kisah kanak-kanak Yesus, yang dari situ tampak
teks-teks marialogis yang penting: a) khabar suka cita (1:26-38); b) Kunjungan Maria kepada
Elisabet dan magnificat (1:39-56); c) kelahiran Yesus (2:1-7); d) pewartaan kepada para gembala;
e) dipersembahkannya Yesus ke kenisah (2:21-40); f) Ziarah Yesus pertama ke Yerusalem (2:41-
52). Kalau Matius lebih menampilkan Yosef, Lukas lebih menonjolkan Maria.
Teks-teks itu memiliki makna yang mendalam dan kaya bagi Mariologi dan devosi kepada
Maria. Dua makna berikut pantas digarisbawahi:
1) Figur Maria sebagai teladan.
- Dalam perikop 1:26-38 ditampilkan pribadi Maria sebagai sosok atau figur yang dapat
dicontohi. Kendati bingung setelah menerima khabar gembira dari malaikat Gabriel, ia
ternyata sanggup menghadapi situasi, merenungkan dalam hatinya apa arti salam malaikat,
membalas bertanya untuk mendapat penjelasan, lalu menyerahkan diri kepada kehendak
Allah (beriman patuh) dan menyediakan diri dengan rendah hati bagi karya penebusan.
- Kisah kunjungan Maria kepada Elisabet (1:39-56). Dalam kisah ini terlukis figur Maria:
suka menolong sanaknya yang mengandung; hamba yang penuh syukur memuji Allah,
karena ia dipilih Allah; seorang manusia yang menyadari keterpilihannya, tidak menolak
sebutan “ibu Tuhanku”.
- Kisah kelahiran Yesus (2:1-7). Maria digambarkan sebagai: 1) orang miskin yang tidak
menuntut apa-apa dan dalam waktu singkat demi Anaknya harus menerima penolakan dan
pengungsian; 2) tahu menyesuaikan diri dengan keputusan Allah; 3) orang yang tahu
mengikuti peristiwa keselamatan dengan merenungkannya. Tiga kali ditekankan: Maria
bermenung “di dalam hatinya” (1:29), “menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan
merenungkannya” (2:18-19), “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (2:51).
* Dalam lukisan-lukisan ini terdapat ajakan untuk mencontoh Maria yang kemudian hari
menjadi dasar biblis bagi devosi kepada Maria: pilihan dan kesucian ibu Tuhan.
15
2) Maria sebagai perawan
Lukas memiliki tekanan istimewa kepada keperawanan Maria. Ia menggambarkan keperawanan
Maria dengan ungkapan “karena aku belum bersuami”. Maria belum hidup bersama Yosef sebagai
suami-istri karena baru bertunangan dan belum dibawa ke rumah tempat tinggalnya kelak. Frase
“karena aku belum bersuami” itu tidak dimaksudkan oleh Lukas sebagai kaul keperawanan, tetapi
bahwa Maria mempunyai kehendak yang terarah kepada keperawanan, seperti muncul dalam tradisi
kemudian, yakni dalam kesaksian Bapa-Bapa Gereja. Fakta yang sangat penting di sini ialah bahwa
Lukas dan Matius juga dalam kisah kanak-kanak Yesus telah memprakarsai gelar “Sang Perawan”
kepada Maria.
Apakah Maria tetap perawan seumur hidup menurut Lukas (dan Matius)? Ada beberapa acuan
dalam Lukas maupun dalam Matius yang seolah-olah tidak mendukung ide bahwa Maria tetap
perawan seumur hidup. Dalam Matius terdapat anak kalimat ini: “sebelum mereka hidup sebagai
suami-istri” (1:18), dan juga “tetapi [Yosef] tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan
anaknya laki-laki” (1:25). Dalam Lukas ada sebutan bagi Sang Anak sebagai “anaknya yang
sulung” (2:7). Acuan-acuan ini tidak begitu jelas sehingga para pembaca dan pendengar harus
menyimpulkan bahwa Maria dan Yosef di kemudian hari hidup bersama sebagai pasutri yang biasa.
Dengan demikian terdapat dua jalan pikiran: perawan seumur hidup ditimbulkan oleh adegan
khabar suka cita dan bukan seumur hidup disebutkannya “saudara Tuhan” kalau mereka itu saudara
sekandung Yesus. Para pengarang Injil sendiri ternyata tidak mengusahakan keselarasan meskipun
mereka sejak semula menyingkirkan peranan seorang bapak insani dalam kelahiran Yesus.
Bila kita masuk ke dalam diskusi tentang keperawanan tetap Maria, satu hal kita tidak boleh
lupa bahwa keyakinan akan keperawanan tetap Maria baru diganggu gugat lagi sejak abad ke-19.
Sebelumnya termasuk para reformator menerima begitu saja tradisi awal yang mengakui Maria
sebagai sang tetap perawan.
1.5 MARIA DALAM INJIL YOHANES
Penulis Injil Yohanes ternyata juga menaruh minat pada Bunda Maria. Ada dua perikop yang
melukiskan peranan ibu Tuhan, yakni pesta perkawinan di Kana dan peristiwa di kaki salib di Bukit
Golgota.
Dalam episode pesta perkawinan di Kana (2:1-11) ibu Tuhan membuktikan diri sebagai seorang
pengantara (mediatrix) yang berjaga-jaga dan suka menolong (auxiliatrix). Yang mengesankan di
sini ialah bahwa karena kepercayaannya, Maria mendatangkan mukjizat Yesus yang pertama, atau
sekurang-kurangnya membantu untuk mendatangkannya. Kehadiran Maria di Kana menunjukkan
bahwa Maria turut serta dalam hidup Yesus di hadapan umum dalam misi penyelamatan-Nya.
16
Menjelang wafat-Nya Yesus menyerahkan murid yang dikasihi-Nya kepada ibu-Nya dan
mempercayakan ibu-Nya kepada Yohanes (19:25-27). Tindakan ini tidak lain merupakan suatu
wasiat. Karena itu tindakan penyerahan (wasiat) itu harus dilihat sebagai tindakan keprihatinan
yang penuh kasih sayang dari Sang Putra dan kehadiran keduanya di hadapan Sang Putra yang
sedang menderita merupakan suatu pernyataan perwakilan bagi orang-orang yang percaya
kemudian. Kalau begitu peranan Ibu Tuhan dalam adegan ini ialah sebagai wakil: wakil dari Kristus
dalam menyalurkan rahmat penebusan atau wakil dari Gereja yang ingin berpartisipasi dalam
penderitaan Kristus. Siapa “anak” di sini? Ia harus dipahami dalam arti peranannya tadi sebagai
wakil. Karena “anak” itu dipikirkan sebagai perwakilan, maka ia tidak dipahami sebagai sanak
saudara yang masih hidup. Artinya, anak itu tidak harus dikunci dalam pemahaman sebagai saudara
kandung Yesus. Bila demikian persoalannya, maka baik anak maupun ibu mesti dipandang sebagai
perwakilan yang dipercayakan oleh Penebus.
2 MARIA DALAM KITAB-KITAB APOKRIF
Di samping kerygma apostolik seperti tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kitab-kitab
apokrif (harfiah: tersembunyi; pengarang disembunyikan) sedikit banyak memberi sumbangan bagi
studi Marialogi. Dalam kitab-kitab apokrif ditemukan juga kisah kanak-kanak Maria dan Yesus.
Mereka memunculkan kisah-kisah ini karena mereka menanggap bahwa informasi yang diberikan
oleh Perjanjian Baru tidak memadai.
Beberapa Bapa Gereja ternyata juga memakai informasi yang disediakan oleh kitab-kitab
apokrif, khususnya tentang citra Maria. Tentu mereka memakainya dengan hati-hati sekali.
Beberapa contoh kitab apokrif yang mereka manfaatkan ialah: Protoevangelium Jacobi (Injil Purba
Menurut Yakobus), Injil Orang Ibrani, Epistola Apostolorum (Surat Para Rasul), Kenaikan Yesaya,
Acta Petri (Kisah Petrus).
2.1 Protoevangelium Jacobi (± tahun 150 M).
Kitab ini mempengaruhi ajaran tentang Maria, karena ia mendukung gagasan tentang Maria
sebagai Bunda Allah dan Maria sebagai perawan. Ia menyokong kemungkinan Yesus diperanakkan
tanpa peranan seorang ayah. Secara garis besar, sumbangan pemikiran marialogis kitab ini ialah:
a. Janji Maria untuk tetap tinggal perawan.
b. Yosef yang duda telah memiliki anak-anak laki-laki sebelum berkenalan dengan Maria.
Mereka inilah yang kemudian disebut “saudara Tuhan”. Ide ini mendukung keperawanan
tetap Maria.
c. Kesaksian Sang Perawan sendiri tentang keperawanannya ketika ia sedang mengandung.
Dikisahkan bahwa Yosef sedang bepergian ke lokasi pembangunan pada saat malaikat
17
memberikan khabar suka cita kepada Maria. Ketika Yosef pulang, ia mengeluh karena
Maria ternyata telah mengandung. Maria sendiri memberikan kesaksian bahwa buah
kandungannya itu bukan dari seorang laki-laki: Allah sendiri tahu tentang hal ini.
d. Kenangan akan Hawa, ibu leluhur umat manusia. Kenangan ini mendukung gagasan
kesejajaran antara Maria dan Hawa yang kemudian dikembangkan oleh Bapa-bapa Gereja.
e. Anak Yesus keluar dari kandungan Maria seperti proses kelahiran biasa. Tetapi setelah
kelahiran itu, rahim Maria ditemukan masih dalam keadaan tertutup. Yang terpenting ialah
bahwa dalam proses kelahiran itu Maria tidak menderita kesakitan. Itu berarti Maria tidak
mendapat hukuman yang dikenakan kepada Hawa dalam Kejadian 3:16.
2.2 Kitab Kenaikan Yesaya. Sumbangannya: 1) Yosef tidak bersetubuh dengan Maria; 2) dua
bulan setelah kembalinya Yosef, Maria melahirkan tanpa merasa kesakitan; 3) semua orang yang
mendengar tentang kelahiran yang ajaib itu menyadari betapa besarnya rahasia yang mereka hadapi.
2.3 Acta Petri. Kitab ini menuliskan bahwa Sang Rasul mengutip suara seorang nabi: “Pada akhir
zaman seorang anak laki-laki dilahirkan dari Roh Kudus; ibunya tidak bersuami, dan tak seorang
pun mengatakan bahwa ia ayahnya. Dan sekali lagi dikatakannya: ia telah melahirkan dan tidak
melahirkan”. Selanjutnya, Sabda telah menjadi daging “dari perawan yang kudus”. Ia menggelari
Maria dengan “Perawan Kudus”. maka, inilah salah satu kesaksian tertua mengenai gelar bagi
Maria.
Kita menyimpulkan bahwa sumbangan yang tak terkira dari kitab-kitab apokrif ini ialah
tentang keperawanan Maria dalam arti penuh, yaitu:
Sebelum melahirkan (virginitas ante partum): keperawanan ini telah
ditegaskan oleh kitab Perjanjian Baru. Apokrif kembali mengulangi.
Dalam melahirkan (virginitas in partu): berhubung dengan keperawanan ini kitab apokrif
membatasi diri dan hanya menggambarkan bahwa kelahiran tidak disertai dengan rasa sakit.
Sesudah melahirkan (virginitas post partum) keperawanan Maria ini pun dapat
terjamin, karena sebelum bertunangan dengan Maria, Yosef sudah memiliki anak-anak.
Secara kristologis, kitab-kitab apokrif tidak membongkar apa-apa. Secara marialogis, kitab-
kitab ini mendukung apa y
ang telah dikisahkan mengenai masa kanak-kanak Yesus dalam kitab Perjanjian Baru. Dan
sekurang-kurangnya Perjanjian Baru tidak mengingkari virginitas post partum. Secara
historis petunjuk kitab-kitab apokrif ini tak dapat dibantah dan kesaksian-kesaksian mereka
memiliki dampak terhadap devosi Gereja kepada Maria. Meskipun memang kesaksian-
18
kesaksian mereka ini tidak dapat dipastikan apakah mereka mengacu kepada Tradisi
apostolik yang sejati.
BAB IIIMARIALOGI DALAM TRADISI
Di samping kesaksian Kitab Suci, terdapat juga kesaksian Tradisi16 tentang Maria. Tradisi
yang hidup itu dapat kita tahu dari zaman Bapa-Bapa Gereja. Di sini akan dikemukakan empat
tokoh penting Bapa Gereja, yang sumbangannya amat besar dalam perkembangan Marialogi: Uskup
dan Martir Ignasius dari Antiokia, Yustinus Martir, Ireneus dari Lyon dan Epifanius dari Palestina.
Keempatnya membela kebenaran keibuan ilahi Maria dan keperawanannya.
Faktor pendorong pengajaran mereka ialah adanya heresi kristologis dan marialogis, yakni
Ebionisme17 yang bersifat Yudaisme dan Gnosis yang berciri doketisme. Ebionisme menganggap
Yesus manusia belaka, anak Yosef dan Maria, yang pada waktu pembaptisan di sungai Yordan ia
digabungkan dengan zat ilahi. Mereka menolak ketuhanan Yesus. Dalam rangka ini mereka
mengarang Injil kanak-kanak Yesus. Sedangkan Gnosis ialah aliran yang membantah inkarnasi
Kristus yang sebenarnya. Penebusan menurut mereka ialah terbebasnya jiwa dari kurungan badan
oleh pengajaran. Salah satu bentuknya ialah doketisme, yang mengatakan bahwa Kristus itu
kelihatannya saja manusia; tampaknya saja mempunyai tubuh dan kelihatannya saja menderita dan
mati. Salib itu hanya untuk mengelabui mata orang tak beriman. Baik Yudaisme maupun Gnosis
hampir tidak berminat pada citra Maria. Bila membicarakan inkarnasi, kaum gnostik menolak
kelahiran dan merohanikan secara doketis keperawanan in partu. Jadi, Maria tidak sungguh-
sungguh ibu Tuhan.
1. IGNASIUS DARI ANTIOKIA (± tahun 110 M)
- Surat kepada umat di Efesus, 7:2: “Hanya ada satu dokter, dari daging maupun dari Roh,
diperanakkan dan tidak diperanakkan, di dalam daging tampaklah Allah, di dalam kematian hidup
16Tradisi dan tradisi berbeda. Tradisi (T) ialah pewarisan suatu harta suci yang dihidupi, diimani dan dipertahankan dari generasi ke generasi. Kalau disebut Tradisi apostolik, yakni harta suci yang berasal dari para Rasul yang mereka terima dari Yesus dan apa yang mengerti dari Roh Kudus. Sedangkan tradisi (t) ialah bentuk-bentuk penyesuaian Tradisi menurut tempat dan zaman, misalnya tradisi teologis, tradisi disipliner, tradisi liturgi, tradisi devosi. Monumen-monumen dari Tradisi ialah: magisterium, Bapa-Bapa Gereja dan doktor Gereja, liturgi, Para Kudus. Kriteria suatu Tradisi yang benar menurut Vincent dari Lerins (434): Katolisitas, keantikan, konsensus (“quod ubique, quod semper, quod omnibus”).
17Istilah “ebionit” berarti “para miskin”, yakni gelar kehormatan yang diberikan kepada jemaat purba di Yerusalem (bdk. Rm 15:26; Gal 2:10). Tetapi kemudian, kaum Ebionit memakai gelar ini untuk menyebut sisa orang Kristen Yahudi yang memisahkan diri dari Gereja universal.
19
yang sejati, berasal dari Maria maupun berasal dari Allah, sanggup menderita semula tapi
kemudian tak sanggup menderita, yaitu Yesus Kristus, Tuhan kita”. Dalam madah yang bersifat
pertentangan dialektis akan hakikat Kristus, Ignasius menyampaikan ajaran yang kaya tentang
Maria. Dengan menyebut Maria, ia menegaskan bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dan bukan
kelihatannya saja. Lalu dengan tidak menyebut sang ayah, ia menunjukkan bahwa Maria kendati
mengandung tetapi tetap perawan. Di sinilah kita untuk pertama kali menemukan suatu pernyataan
hubungan kausal tanpa ambiguitas antara ketuhanan Yesus dan dikandungnya secara perawan.
Dalam surat yang sama dinyatakan bahwa kelahiran dari perawan berhubungan dengan wafat Tuhan
sebab dengan demikian secara sadar ibu Tuhan dilibatkan dalam peristiwa penyelamatan: “Tetap
tersembunyi bagi penguasa dunia ini bahwa Maria itu perawan, maupun bahwa ia telah melahirkan,
maupun juga bahwa Tuhan telah wafat, tiga rahasia yang berseru dengan nyaring namun dilaksana-
kan dalam keheningan Allah” (19:1).
- Surat kepada umat di Smirna. Dalam pujiannya kepada Yesus Kristus, karena Ia tetap
dipercayai oleh jemaat itu, Ignasius juga menyinggung tentang peranan Maria dalam seluruh misteri
keselamatan. Ia menulis: “Tuhan kita yang sungguh berasal dari keturunan Daud menurut daging,
dan Anak Allah menurut kehendak dan kuasa Allah, sungguh lahir dari seorang perawan, dibaptis
oleh Yohanes, supaya segala kebenaran digenapkan oleh-Nya, sungguh dipakukan waktu Pilatus
serta raja wilayah itu” (1:1-2).
Dalam surat-surat Ignasius ini tampak sikapnya melawan dua bentuk mendasar bidaah dalam
Kristologi dan Mariologi, yaitu Yudaisme dan Gnosis. Terhadap Gnosis yang bersifat doketisme, ia
mempertahankan realitas kelahiran Yesus (ingat pemakaian berulang-ulang kata “sungguh” di atas);
terhadap orang Yahudi, ia menekankan bahwa “Allah kita, Yesus, Sang Kristus, dikandung Maria,
menurut rencana keselamatan Allah dari benih Daud, namun demikian dari Roh Kudus” (Ef 18:2).
Akan tetapi pantas dicatat bahwa ajaran mengenai dikandungnya Kristus secara perawan
merupakan salah satu pusat keyakinan iman Ignasius. Ajaran ini bukan hanya dalam konteks
polemik melawan Yudaisme atau doketisme. Ignasius yakin bahwa kelahiran dari perawan merupa-
kan Tradisi Gereja yang telah diakui secara tetap.
Dalam surat-suratnya, kita menemukan sumbangan Ignasius terhadap Marialogi, yakni
menempatkan Marialogi di dalam dan di bawah Kristologi-Soteriologi. Di dalam dogma Kristologis
terdapat unsur-unsur marialogis, yaitu martabat Maria sebagai bunda Allah dan keperawanannya
sekalipun mengandung. Dengan itu ia meyakinkan umatnya akan posisi penting Maria dalam
seluruh sejarah keselamatan.
2. YUSTINUS MARTIR (± tahun 165)
20
Ada tiga sumbangan Yustinus sehubungan dengan Marialogi. Pertama mengenai keperawanan
Maria. Salah satu ajarannya tampak dalam pembelaannya terhadap orang Kristen yang berselisih
dengan orang Yahudi mengenai keperawanan Maria dalam mengandung Yesus, khususnya nubuat
Yes 7:14. Orang Yahudi mendasarkan pendapat mereka pada Alkitab Yunani terjemahan Aquila
dan Theodotion, dua orang Yunani yang menjadi Yahudi, yang menerjemahkan ha’alma (Ibrani)
menjadi neamis (perempuan muda). Sedangkan orang Kristen mendasarkan pandangannya pada
naskah Septuaginta yang menerjemahkan ha’alma menjadi parthenos (perawan). Dalam “Dialog
dengan Trypho, Orang Yahudi”, Yustinus mempertahankan pandangan Kristiani sambil menegas-
kan bahwa “selain Kristus kami ini, tak pernah seorang pun dilahirkan dari perawan”. Banyak
dalam dialog itu ia berbicara tentang “sang perawan” tanpa menyebut nama Maria. Dengan tegas ia
menolak tafsiran orang Yahudi mengenai ide kelahiran dari perawanan orang Kristen itu merupakan
kopi dari dongeng dewa-dewi Yunani, seperti pembuahan Diana oleh Zeus.
Sumbangan kedua Yustinus ialah membuat kesejajaran antara Hawa dan Maria. Kesejajaran
dibuatnya dalam bentuk antitesis: Hawa, perawan mengandung perkataan ular, melahirkan dosa dan
kematian, sementara Maria perawan mengandung karena Roh Tuhan dan melahirkan Anak Allah.
(Lihat teks Niko Syukur, hlm. 456-457). Yustinuslah yang pertama membuat kesejajaran semacam
ini. Baginya, Maria memiliki peranan yang tergantikan dalam penyelamatan yang diawali dengan
inkarnasi; jadi ia mengembangkan Soteriologi inkarnatoris.
Sumbangan ketiga Yustinus adalah pengembangan gagasan citra etis Maria yang telah dimulai
dalam Lukas. Ia memulai suatu teologi citra, yang menampilkan figur Maria dalam pertentangan
figur Hawa. Dalam pemaparan ini figur Maria menjadi semakin terang benderang, sehingga
semakin dekat kepada Anaknya.
3. IRENEUS DARI LYON (± 202 M)
- Latar belakang: polemik melawan Gnosis yang bersifat doketisme dan Ebionit
- Baca teks Niko Dister, hlm. 458-459.
- Pemikiran atau ajaran Irene
us bagi Marialogi:
a. Peranan Maria dalam karya penebusan Allah melalui Kristus
Ireneus mengembangkan lebih lanjut citra Maria yang alkitabiah dengan melihat nilai
sumbangan Maria kepada penyelenggaraan keselamatan dari pihak Allah dan tindakan penyelamat-
an dari pihak Kristus baik secara kristologis maupun soteriologis. Baginya, Soteriologi tidak hanya
berpusat pada salib seperti kemudian dikembangkan di Gereja Barat, tetapi mencakup seluruh hidup
Yesus dan sosok Maria (spt. pada bapa Gereja lebih awal dan Gereja Timur).
21
Mulai sekarang jasa Maria tidak hanya dilihat dalam fungsi pelayanan ibarat suatu bengkel
yang menyediakan tubuh Sang Penebus, tetapi juga sebagai sumbangan kepribadiannya yang
berjasa karena sebagai wakil bangsa manusia dan demi keselamatan mereka, ia mengikuti panggilan
Allah dan ikut serta dalam karya penebusan demi para leluhur yang berdosa. Bagi Ireneus belum
ada bahaya bahwa figur Maria, dengan terlalu disendirikan, menyaingi kedudukan Kristus sebagai
satu-satunya Penyelamat dunia. Karya Kristus sendiri mencukupi dan tidak perlu ditambah oleh
karya siapa pun. Ireneus menekankan peranan Maria justru karena ia bermaksud menunjukkan
realitas penjelmaan dan tindakan penebusan maupun kesempatan bagi manusia untuk ikut serta
dalam peristiwa penyelamatan.
b. Citra Etis Maria
Dengan mengindividualisasikan figur Maria, Ireneus menonjolkan citra Maria yang etis.
Dengan demikian, ditariklah perhatian Gereja akan kesucian Sang Perawan. Meskipun ia juga
menemukan ketidaksempurnaan yang kecil pada Maria (permintaannya di Kana itu adalah tanda
keterburu-buruan yang tidak pada tempatnya, menurut Bapa Gereja ini – Melawan Bidaah III),
namun pengamatan ini tidak mengeruhkan citra cemerlang yang timbul dalam kesadaran beriman
sebagai kontras terhadap Hawa yang berdosa. Paralel Hawa-Maria terus dikembangkan di masa
mendatang, dan dengan demikian dipupuklah keyakinan akan ketidakberdosaan Maria. Leluhur
umat Allah yang baru ini tak pernah berada di bahwa kuasa dari yang jahat, demikianlah kepercaya-
an yang kelak akan dirumuskan sebagai ajaran Gereja yang resmi, tetapi yang sudah mulai
disiapkan sejak saat ini.
c. Bunda Allah sebagai Pengantara
Dengan menghargai Maria secara soteriologis dan dengan memperkaya citra etisnya, Uskup
Lyon ini telah meletakkan dasar bagi pandangan bahwa Bunda Allah itu juga pengantara. Karena
fungsi ini diartikulasikannya dengan gelar-gelar kehormatan yang amat plastis, misalnya
“pengacara Hawa” (advocata Evae) dan “penyebab keselamatan” (causa salutis), maka sesudah
karya keselamatan terlaksana, Maria dapat tampak sebagai peserta dalam karya penyelamatan
bersama Kristus namun tetap di bawah-Nya. Kedua gelar yang dipakai Ireneus itu, bersama dengan
“perawan” dan “Bunda Allah”, menjadi intisari seruan-seruan kepada Maria, baik di dalam maupun
di luar liturgi, dan juga dalam litani.
d. Tipologi Maria-Gereja
Ireneus memperluas kesejajaran Hawa-Maria begitu rupa sehingga Maria menjadi bunda
bangsa manusia yang baru, sebagaimana halnya Gereja: “Dan mereka yang menyebut-Nya (yaitu
Yesus) Sang Imanuel dari perawan, mengacu kepada penyatuan Firman Allah dengan makhluk
22
ciptaan-Nya, karena Firman menjadi daging dan Anak Allah menjadi Anak Manusia, yang [diri-
Nya sendiri] murni adanya dengan cara murni membuka rahim yang murni, yakni rahim yang telah
melahirkan orang kembali bagi Allah dan yang oleh Dia sendiri telah dimurnikan” (Melawan
Bidaah, IV 33,11).
Selayang pandang tidaklah jelas siapakah yang dimaksudkan Ireneus di sini: Maria atau
Gereja? Untuk mengetahuinya, perlu memperhatikan teks lain di mana ia mengancam bahwa kaum
Ebionit akan dihakimi karena mereka tidak mengakui ketuhanan Yesus yang sejati. Manusia tak
dapat beralih masuk ke dalam Allah “kalau Allah tidak beralih masuk ke dalam manusia”,
“tetapi bagaimanakah ia [manusia] dapat meninggalkan kelahiran maut, kalau ia tidak dilahir-
kan kembali kepada kelahiran baru, yang oleh Allah secara ajaib dan tak terpahami
dianugerahkan menjadi tanda keselamatan dari perawan melalui iman?” (Melawan Bidaah, IV
33,4).
Ternyata Ireneus membedakan antara dua macam kelahiran, yaitu dari Maria dan dari iman,
tanpa menjelaskan lebih lanjut hubungan antara keduanya. Karena dengan kelahiran kembali hanya
dapat dimaksudkan kelahiran dari sumber air baptis Gereja, sekurang-kurangnya Ireneus menghu-
bungkan Maria dan Gereja dalam sifatnya sebagai bunda.
Marialogi Ireneus tidak semuanya dapat ditarik secara langsung dari pengajarannya, tetapi
banyak juga hanya menjadi konsekuensi logis. Tetapi bagaimana pun Ireneus menjadi “bapak
Mariologi Katolik”. Ia patut dipuji, karena ia menjauhkan diri dari pengaruh apokrif dan selalu
mendasarkan ajarannya pada teks-teks biblis, terutama Kitab Kejadian.
4. EPIFANIUS (± 403 M)
Paralelisme antara Hawa dan Maria dikembangkan lebih lanjut dalam doktrin St. Epifanius. Ia
dikategorikan sebagai sealiran dengan St. Ireneus, yakni Siria-Palestina, karena memang ia lahir
dan dididik di Palestina. Aliran mereka ini berbeda dari aliran Aleksandria-Kapadosia yang sama
sekali tidak membicarakan tema Hawa-Maria. Dalam karyanya berjudul Panarion, Epifanius
memperdalam gagasan tentang perbandingan antara Hawa dan Maria. Di situ ia mengemukakan
suatu teologi tentang Maria yang sangat kaya dan maju pada masanya. Diskursus mengenai Maria
ditampilkan dalam konteks tipe dan lawan tipe (antitipe). Gagasan ini sejalan dengan pemikiran
Kitab Suci. Dengan demikian Epifanius melihat rencana Allah dalam suatu kesinambungan antara
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Rencana keselamatan Allah dimulai dalam PL lalu diteruskan
dalam Perjanjian Baru yang puncaknya adalah Yesus Kristus18.
a. Maria diantisipasi dalam Hawa.
18George A. Maloney, Maria Rahim Allah (judul asli: Mary: The Womb of God), diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 64.
23
Keterkaitan antara Hawa dan Maria dilihat oleh Epifanius dalam sebutan Ibu yang dikenakan
kepada kedua-duanya. Sebutan Ibu kepada Hawa dalam Perjanjian Lama hanya merupakan
antisipasi yang akan dikenakan sepenuhnya kepada Maria dalam Perjanjian Baru. Jadi, Hawa
mendapat nama itu dalam gambar. Artinya, nama itu belumlah sempurna. Ia mengatakan:
Marialah yang dimaksud melalui Hawa. Memang, Hawa yang memang menerima nama Ibu semua yang hidup. Ia menerima itu dalam gambar. Sebab, Hawa menerima sebutan itu sesudah ia mendengar perkataan, “Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu”. Sungguh mengagumkan bahwa sesudah berdosa ia menerima sebutan luhur itu. Kita tidak boleh hanya melihat kenyataan indrawi, bahwa dari dia seluruh bangsa manusia akan menerima kelahirannya. Kita juga harus melihat menurut kebenaran, bahwa dari Marialah kehidupan sendiri akan dilahirkan bagi dunia, sebab dialah yang melahirkan kehidupan. Dengan demikian, Maria menjadi ibu semua yang hidup. Maka, dalam gambarlah Maria disebut Ibu semua yang hidup.
b. Maria sebagai Bunda Kehidupan
Di atas telah disinggung perihal Maria sebagai Bunda Kehidupan. Kebundaan jasmani Hawa
adalah suatu gambaran yang belum sempurna dan itu disempurnakan oleh kebundaan nyata Maria,
yang melahirkan kehidupan. Melalui kehidupan tersebut, yakni Kristus, semua bangsa manusia
akan dilahirkan kembali dan ikut ambil bagian dalam kehidupan Allah. Dengan ini sebenarnya
Epifanius sedang mengembangkan gagasan tentang kehidupan yang ditampilkan oleh Injil Yohanes
dan manusia baru dalam pengajaran Paulus. Epifanius melukiskan hal tersebut:
Tetapi kita masih harus melihat hal lain yang mengagumkan sehubungan dengan Hawa dan Maria. Bagi manusia Hawa merupakan kesempatan kematian dan melalui dia kematian telah masuk ke dalam dunia. Maria merupakan kesempatan kehidupan dan melalui dia kehidupan telah dilahirkan dalam kita. Untuk itulah Putra Allah telah datang ke dalam dunia. “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rm 5:20)... Ketika kematian datang, kehidupan datang dan lebih dari itu, supaya kehidupan datang ganti kematian, mengenyahkan kematian yang sebelum itu datang pada kita melalui seorang wanita. Dan ia datang kepada kita justru melalui seorang wanita dan dengan demikian menjadi bagi kita kehidupan. Karena Hawa, masih seorang perawan, telah berdosa melalui ketidaktaatannya, ketaatan rahmat datang melalui seorang perawan juga ketika diberitakan kepadanya, bahwa Allah, kehidupan abadi, akan turun dari surga dan dilahirkan dalam daging ... Semuanya itu tidak dapat terlaksana secara mutlak dalam Hawa, tetapi itu terlaksana secara benar dalam Benih suci, terpilih dan maha tunggal yang datang dari Maria dan tidak dari persatuan dengan pria mana pun. Dialah yang datang menghancurkan kuasa naga, kuasa ular yang melilit dan melarikan diri... Itulah sebabnya mengapa Putra Tunggal datang dari seorang wanita, untuk menghancurkan ular, artinya untuk sekarang ini, ajaran jahat, perusak kehidupan, kesesatan dan kejahatan.
Diinspirasi oleh Injil Yohanes, Epifanius memahami Kristus sebagai Kehidupan. Sang
Kehidupan ini dilahirkan oleh Maria. Dalam arti inilah Maria adalah Ibu kehidupan atau Bunda
Kristus. Pengakuan akan Maria sebagi bunda kehidupan memiliki makna yang sama dengan
pengakuan para Bapa Gereja sebelumnya, yakni Maria sebagai Bunda Allah. Kebundaan ilahi
24
Maria diungkapkan secara lain dengan ibu kehidupan. Sang ibu kehidupan melahirkan kehidupan
itu sendiri tanpa campur tangan seorang laki-laki. Artinya, Epifanius juga mengajarkan perihal
keperawanan Maria. Tetapi semuanya ini ditampilkan Epifanius dalam perbandingan dengan Hawa
yang merupakan antitipe dari Maria.
Ide paralelisme dalam Epifanius memiliki corak tersendiri. Dengan mengaitkan kematian
dengan Hawa dan kehidupan dengan Maria, Epifanius dengan baik sekali menghubungkan paralel
Hawa-Maria dengan Adam-Kristus yang terdapat dalam surat-surat Paulus, khususnya surat kepada
umat di Roma. Sebagaimana Adam menjadi penyebab kematian bagi bangsa manusia dan Kristus
menjadi penyebab kehidupan oleh penyerahan diri-Nya yang ikhlas kepada Bapa-Nya dalam
ketaatan sampai “mati di kayu salib”, demikian juga Hawa menjadi penyebab hilangnya kehidupan
ilahi dalam kita, dalam kebersamaan yang erat dengan Adam dalam satu tindakan dosa, sedangkan
Maria menjadi penyebab pemulihan kehidupan ilahi dalam kita, dalam kebersamaannya yang erat
dengan Kristus dalam satu tindak penebusan bangsa manusia.
Rangkuman:
Gambaran alkitabiah tentang Maria hanya dalam hal-hal sampingan yang diperkaya oleh
pengarang apokrif secara kurang tepercaya, sedangkan oleh para saksi tradisi gerejawi
gambaran ini diteguhkan secara penuh dan diperdalam oleh penghargaan Maria secara
soteriologis.
Keperawanan Maria secara tetap (verginitas post partum) dalam kurun waktu ini belum menjadi
pokok bahasan. Akan tetapi, bahwa ia mengandung secara perawan dalam arti tidak bersetubuh
dengan seorang laki-laki, hal ini dalam Gereja resmi dipandang sebagai ajaran yang tak terban-
tahkan, dan diabdikan demi pembelaan ketuhanan Sang Penebus. Mulai dari Matius dan Lukas
sampai akhir abad II diberi kesaksian tentangnya dengan suara bulat. Fakta ini tak dapat diubah
baik oleh ejekan dari pihak kaum kafir maupun oleh penyangkalan dari pihak orang Yahudi.
Dengan paralelisme Hawa-Maria, arti figur Maria bagi sejarah keselamatan dijadikan berurat
berakar dalam kesadaran beriman.
Pandangan heretik tentang Kristus dibantah dengan mengacu kepada teks-teks biblis marialogis.
Hal ini menanamkan keyakinan dalam hati umat bahwa dalam perselisihan dogmatis itu ibu dan
Anak sama-sama terlibat dan saling membela. Dengan diakarkannya Maria dalam syahadat
baptis, hal itu menyumbang kepada penjelasan bahwa ibu Tuhan memang terjalin dengan
kebenaran-kebenaran kristiani yang mendasar.
25
BAB IV DOGMA DAN AJARAN GEREJA NON-DOGMATIS
TENTANG MARIA
1. KEMPAT DOGMA TENTANG MARIA
Kita akan mendalami dua dogma lama dan dua dogma baru di zaman modern. Dua dogma
pertama menyangkut dogma awal Gereja tentang Maria, dan dua dogma berikutnya ialah dogma
yang muncul tidak jauh dari zaman kita ini19. Ini penting kita ketahui supaya kita tahu secara singkat
proses terbentuknya sebuah dogma marianis, sehingga kita dapat menjelaskannya kepada orang
yang meminta pertanggungjawaban dari kita, dan juga kita tidak hanya tinggal pada dogma
tersebut, tetapi kita juga dapat merefleksikan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkembangan
teologi aktual. Dalam hal ini dogma bukanlah akhir dari suatu kebenaran iman, tetapi awal menuju
pemahaman baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sekurang-kurangnya kita dapat merenungkan
aktualisasi dari dogma itu bagi iman kita masa kini.
1.1 Maria, Bunda Allah Atau Theotokos
Doktrin tentang “Maria ialah Bunda Allah” merupakan pusat iman mengenai Maria. Semua
kebenaran yang lain mengalir dari atau mengarah kepadanya. Dalam hierarki kebenaran-kebenaran
marialogis, eksistensi Maria sebagai Bunda Allah merupakan dasar sangat penting bagi peranannya
dalam ekonomi keselamatan. Maria telah dimuliakan oleh rahmat di atas semua malaikat dan
manusia, ke satu tempat di bawah Putra-Nya, sebagai Bunda Tersuci Allah. Sudah sejak waktu-
waktu paling awal Perawan Terberkati dihormati dengan gelar Theotokos20, artinya: yang
melahirkan Allah21. Kebenaran ini didukung oleh Kitab Suci, Tradisi Suci, Kuasa Mengajar Gereja.
19Niko Dister Syukur, Teologi Sistematika, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 420, 464. 20Dei-genetrix yang artinya: yang melahirkan Allah pernah dimengerti dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
menjadi Deipara dan Mater Dei, Bunda dari Allah. Gelar Mater Dei dapat menyesatkan seakan-akan Allah mempunyai ibu, sehingga Maria mirip dengan dewi dalam legenda kafir. Maka istilah Theotokos, yang melahirkan Allah, lebih tepat. Istilah ini hanya menyatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang menurut dogma Konsili Nikaia, memang Allah, oleh karena sehakikat dengan Bapa. Istilah itu tidak mengatakan bahwa Allah mempunyai ibu, tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai ibu sebagaimana layaknya manusia sejati.
21Haffner, The Mystery… , hlm. 107.
26
Sebagai dogma kebenaran ini dimaklumkan pertama kali oleh Konsili Efesus 431, lalu diteguhkan
kembali dalam pernyataan konsili-konsili berikut22.
Sebelum Konsili Efesus
Dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan secara eksplisit gelar Bunda Allah atau Theotokos. Di
sana hanya ditemukan ungkapan-ungkapan yang secara esensial berisi kebenaran ini mengenai
Maria. Di situ tertulis bahwa ia telah mengandung dalam rahimnya dan lahir seorang putra, yang
dinamai Yesus, yang adalah Putra dari Yang Mahatinggi, Yang Kudus dan Putra Allah (bdk. Luk
1:31-32,35). Maria juga ditunjuk dengan nama “Ibu Yesus” (Yoh 2:1,3; Kis 1:14), dan juga “ibu
Tuhan” (Luk 1:43) atau secara sederhana “ibu” atau “ibu-Nya” (Mat 2:11, 13, 14, 20, 21). Gelar
“Bunda Allah”, yang juga telah disaksikan oleh Matius dalam ungkapan yang sama artinya “Bunda
Emanuel”, Allah-beserta-kita (bdk. Mat 1:23), ialah gelar yang secara eksplisit dikenakan kepada
Maria setelah suatu refleksi yang memakan waktu dua abad lamanya23.
Dalam topik sebelumnya kita telah melihat bahwa pada masa Bapa-Bapa Gereja dua abad
pertama, Marialogi diturunkan dari Kristologi. Maria dibicarakan ketika muncul aliran-aliran sesat
yang menyangkal ketuhanan atau kemanusiaan Yesus, yaitu Doketisme, Gnotisisme dan
Manikeisme. Aliran-aliran ini, karena penolakan mereka akan materi sebagai yang jahat atau
sekurang-kurangnya ambigu, menyangkal bahwa Yesus Kristus memiliki tubuh manusiawi yang
benar dan sempurna. Ketika Gereja menolak aliran-aliran heretik ini, maka Gereja menekankan
keibuan fisik Maria. Tetapi Gereja belum menggunakan secara eksplisit gelar Theotokos.
Kaum doketis menyangkal bahwa Penebus memiliki suatu tubuh manusiawi yang asli; tubuh
yang dimiliki-Nya tidak sungguh dibentuk oleh daging dan darah ibu-Nya. Mereka menegaskan
bahwa Yesus dilahirkan melalui Perawan Maria, bukan dari Perawan Maria: dengan cara ini Yesus
ditempatkan dari surga di dalam rahimnya dan keluar darinya seperti melalui sebuah terowongan,
bukan melalui kelahiran manusia yang benar.
Sementara itu kaum gnostik memperkenalkan suatu perbedaan antara Yesus yang dilahirkan
dari Maria dan Kristus yang turun ke dalam Yesus pada waktu pembaptisan. Mereka sungguh
menyangkal bahwa anak yang dilahirkan Maria ialah Allah. Gereja menolak kesalahan-kesalahan
seperti ini dan menegaskan bahwa Yesus adalah sungguh Putra dari Perawan Maria, buah dari
kandungannya, dan karena itu Maria adalah sungguh ibu fisik Yesus. Pada akhir abad kedua ini
diwakili oleh Ireneus. Proklamasi bahwa Maria adalah ibu fisik Yesus berfungsi untuk menjelaskan
kemanusiaan Yesus di satu pihak dan di pihak lain keilahian-Nya. Dalam periode ini kepercayaan
akan keibuan ilahi Maria diungkapkan dalam pengakuan iman para Rasul. Pada zaman Hippolitus
22Michael O’Carroll, Ensiklopedi Populer Tentang Maria (Jakarta: Yayasan Hidup, 1988), hlm. 19. 23Haffner, The Mystery..., hlm. 107-108.
27
sekitar tahun 215 para katekumen ditanya apakah mereka percaya akan Yesus Kristus “yang
dilahirkan dari Roh Kudus dan dari Perawan Maria”.
Dengan kesalahan yang mirip dengan gnostik, kaum manikeis tidak menerima bahwa Yesus
dilahirkan oleh Maria. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Putra Allah, tetapi tidak dapat berarti
bahwa Ia Putra Maria. Lawan utama dari kaum manikeis ialah Agustinus yang untuk beberapa lama
sebelumnya jatuh ke tangan mereka. Agustinus mengajarkan kebenaran bahwa Maria adalah Bunda
Allah. Dalam kotbah-kotbahnya ia sangat jelas mengacu kepada Maria sebagai Bunda Allah
(genetrici suae).
Menurut kesaksian yang paling tua, gelar Theotokos untuk Maria ditemukan pertama sekali
dalam doa devosi tertua Sub tuum praesidium pada abad ketiga. Doa itu berbunyi: “Kami
mengungsi di bawah naunganmu, hai Bunda Allah, yang suci, janganlah memandang hina doa
permohonan kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, hai perawan yang mulia dan
terberkati”. Pada mulanya pemakian gelar ini tidak menimbulkan skandal di kalangan umat24.
Di Gereja Timur penggunaan gelar Theotokos pertama sekali ditemukan dalam surat Santo
Aleksander, uskup Aleksandria, yang mengumumkan pemecatan Arius sekitar tahun 320 dari
Aleksander, Batrik Konstantinopel. Kesaksian ini sangat penting karena dengan itu dinyatakan
bahwa gelar Theotokos diterima secara umum pemakaiannya sebelum pertentangan dengan
Nestorius dan kawan-kawannya. St. Athanasius pengganti St. Aleksander sekitar ton. 360 memakai
beberapa kali gelar ini. Ia menghubungkan keibuan ilahi dengan kebenaran-kebenaran inti
Kristologi.
Di Gereja Barat sebelum munculnya Heresi Nestorian, St. Ambrosius adalah pengarang pertama
yang secara eksplisit yang memberikan gelar Bunda Allah kepada Maria. Ini pun karena pengetahu-
annya Bapa-Bapa Gereja Yunani. Ini kemudian diikuti oleh Agustinus seperti dikatakan di atas.
Konsili Efesus Tahun 431
Konsili Efesus dilatarbelakangi oleh Kristologi Nestorius yang berasal dari sekolah Antiokia.
Kristologi ini berefek pada Marialoginya. Nestorius, uskup Konstantinopel tahun 428, menolak
kesatuan pribadi di dalam Kristus, karena Ia memiliki dua kodrat. Manusia Yesus tidak identik
dengan Sabda yang menjadi manusia. Sabda itu tidak persis menjadi manusia pribadi. Sabda itu
hadir dan beroperasi (tinggal) di dalam manusia Yesus sama seperti di dalam Bait Allah. Yang mati
di kayu salib bukanlah Putra Allah, tetapi manusia Yesus. Begitu ia memisahkan antara kodrat
manusia dan kodrat ilahi di dalam Yesus. Akibatnya, ia mengusulkan Maria digelari Christotokos
(Bunda Kristus) dan bukan Theotokos. Penolakan Nestorius terhadap gelar Theotokos dalam
24Groenen, Marialogi…, hlm. 41, 171.
28
kotbah-kotbahnya menjadi batu sandungan bagi banyak umat beriman dan menyakiti hati rakyat
yang menggemari julukan ini karena devosinya kepada Maria yang sudah lama berurat berakar25.
Nestorius memiliki tiga alasan mengapa ia menolak gelar Theotokos26. Pertama, ia khawatir
bahwa penerimaan gelar ini mengakibatkan percampuran kodrat ilahi dan kodrat insani Yesus yang
menyebabkan kita jatuh kepada Apollinarisme (monofisit). Kedua, bila gelar ini diterapkan kepada
Maria, orang Kristen akan diolok oleh orang kafir. Ketiga, sebutan ini tidak terdapat dalam Kitab
Suci dan juga tidak dalam syahadat Nikaia. Penolakan Nestorius tidak utuh, sebab kadang-kadang
ia juga menyetujui gelar itu, hanya saja harus dilengkapi dengan Anthropotokos (Bunda Manusia)
seperti telah dipergunakan oleh para pendahulu mazhab Antiokia: Diodorus dan Theodorus. Dengan
ini Nestorius mau mengatakan bahwa Maria tidak melahirkan Logos ilahi, tetapi manusia Yesus
yang bersatu dengan ketuhanan.
Kristologi Nestorius dilawan oleh Kristologi Cyrillus dari Aleksandria. Menurut Cyrillus,
Kristologi Nestorius menyangkal misteri inkarnasi, yakni Sabda ilahi sungguh menjelma menjadi
manusia. Bagi Cyrillus iman akan inkarnasi itu hanya terjamin kalau communicatio idiomatum
(pertukaran sifat)27 diterima tanpa syarat, dan gelar Theotokos diterapkan kepada Maria. Penolakan
itu berarti tiada penebusan sejati. Jadi, argumen Cyrillus bertitik tolak dari keprihatinan soteriologis.
Atas dasar ini, ia berulang-ulang menegaskan bahwa Logos ilahi sendirilah yang menjadi manusia
dalam Yesus Kristus.
Pertikaian antara sekolah Nestorius dan Cyrillus ini diselesaikan dalam Konsili Efesus tahun
431. Dalam Konsili ini ajaran Nestorius ditolak serta ia sendiri diekskomunikasi dan diturunkan dari
tahtanya. Konsili secara meriah memproklamasikan bahwa Kristus adalah pribadi kedua Trinitas
dan bahwa Maria adalah Bunda Allah. Surat kedua Cyrillus kepada Nestorius dinyatakan sejalan
dengan pengakuan iman Konsili Nikaia dan diterima oleh Konsili. Sebagian surat yang menjadi
keputusan Konsili itu ialah:
Sabda dikatakan telah dilahirkan menurut daging, karena untuk kita dan untuk keselamatan
kita Ia disatukan dengan yang insani bagi diri-Nya sendiri secara hipostasis dan berasal dari
seorang wanita. Karena Dia adalah bukan pertama dilahirkan dari perawan suci, seorang
manusia seperti kita, dan kemudian Sabda turun ke atas-Nya; tetapi sungguh dari rahim ibu-
Nya Ia dipersatukan demikian dan menjalani kelahiran menurut daging, membuat dirinya
sendiri melahirkan dagingnya sendiri...Kita menemukan bahwa bapa-bapa suci percaya.
Mereka berani menyebut Perawan suci, Bunda Allah, bukan seakan-akan kodrat Sabda atau
Keallahan-Nya menerima asalnya dari Perawan suci, tetapi karena dilahirkan darinya tubuh
25Jacques Dupuis, Introduzione alla Cristologia (Casale Monferrato: Piemme, 2001), hlm. 128-130. 26Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 211. 27Nestorius memikirkan kesatuan Pribadi Yesus sebagai kesatuan moral antara dua entitas. Namun ini bertentangan
dengan Tradisi yang telah lama memakai istilah communicatio idiomatum dalam berbicara tentang Yesus Kristus.
29
suci-Nya yang secara rasional dijiwai, yang dengannya Sabda disatukan secara substansial
dan disebut Sabda telah menjadi daging (DS 251).
Jadi Konsili menjelaskan bahwa Maria disebut Theotokos, Dei-genetrix bukan oleh karena
kodrat Sabda dan keilahian-Nya mendapat asal-usulnya dari Perawan suci, tetapi oleh karena tubuh
suci yang dilengkapi dengan akal diambil darinya dan dengan tubuh itu Sabda Allah dipersatukan
menurut kemandirian, maka Sabda itu dikatakan lahir menurut daging.
Sejak Konsili Efesus gelar Theotokos, Dei-genetrix menjadi tradisional dan terus dipakai.
Namun harus digarisbawahi bahwa gelar itu hanya dapat dipahami dan dibenarkan dalam rangka
dogma kristologis. Di luar itu gelar tersebut akan kehilangan maknanya dan menjadi hujat belaka.
Konsili Kalsedon tahun 451
Latar belakang Konsili:
Adanya aliran monofisitisme, yang dimulai oleh Eutikes, biarawan di Konstantinopel. Ia
mengakui bahwa Kristus berasal dari dua kodrat, bukan tinggal tetap dalam dua kodrat setelah
proses persatuan. Ia memahami kesatuan dua kodrat sebagai percampuran, yang dengannya
kemanusiaan dilarutkan dalam keilahian, dengan konsekuensi Kristus tidak sehakikat dengan kita
manusia. Setelah proses penyatuan di dalam Kristus hanya ada satu kodrat, yaitu kodrat ilahi. Di
sini ada bahaya kemanusiaan Kristus disangkal. Ini juga menimbulkan keraguan pada inkarnasi dan
tentu juga peran Maria sebagai Bunda Allah.
Pada Konsili Kalsedon tahun 451 gelar Theotokos dinyatakan dalam konteks afirmasi dua
kodrat di dalam Kristus:
Kami semua dengan satu suara mengajarkan pengakuan iman mengenai Putra yang satu dan
sama, Tuhan kita Yesus Kristus: sempurna dalam keilahian dan sempurna dalam kemanusiaan,
sungguh Allah dan sungguh manusia, dari jiwa berakal dan satu tubuh; satu substansi dengan
Bapa dalam keilahian, dan satu substansi dengan kita dalam kemanusiaan, semua sama seperti
kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa; lahir sebelum segala zaman dari Bapa dalam
keilahian-Nya, dan dalam hari-hari terakhir sama seperti kita dan untuk keselamatan kita dari
Maria, Perawan yang melahirkan Allah (Theotokos) dalam kemanusiaan-Nya (DS 301).
Menghadapi bahaya monofisitisme, yang hanya menekankan kodrat ilahi Kristus, Konsili harus
menghadirkan peran Maria sebagai Bunda Allah. Marialah yang melahirkan manusia Kristus. Jadi,
sejarah doktrin kristologis menunjukkan bahwa untuk menguatkan kemanusiaan Kristus kehadiran
Bunda Allah tak dapat disembunyikan di belakang atau dinyatakan secara implisit; harus ada suatu
eksplisitasi. Penyatuan antara Kristologi dan Marialogi merupakan suatu tuntutan yang perlu.
30
Konsili Konstantinopel II tahun 553
Latar belakang Konsili:
Ada bahaya munculnya kembali monofisitisme gaya baru yang mencoba membuat kompromi
antara rumusan Kalsedon dan monofisitisme. Konsili ini menghukum tiga karya dari 3 pengarang
yang telah meninggal, yang dituduh menganut aliran Nestorianisme. Jadi, bahaya bahwa
kemanusiaan Kristus kembali disangkal. Bila kemanusiaan disangkal, maka inkarnasi tidak relevan
dan Maria pun tidak mendapat tempatnya dalam tata penyelamatan.
Sekali lagi dalam Konsili kebundaan ilahi Maria dinyatakan:
Jika seseorang menyatakan bahwa tidaklah tepat dan tidaklah benar dikatakan bahwa Perawan
yang selalu suci dan mulia Maria adalah Bunda Allah, atau mengatakan bahwa ia adalah
bunda dalam cara yang relatif, dengan mengatakan bahwa ia melahirkan melulu seorang
manusia dan bahwa Allah Sabda tidak menjadi manusia di dalam dia, agaknya berpendapat
bahwa kelahiran seorang manusia darinya dihubungkan, seperti mereka mengatakan, kepada
Allah Sabda seperti dia ada dengan manusia yang datang kepada ada;... atau jika seseorang
mengatakan bahwa dia adalah bunda dari seorang manusia atau yang melahirkan Kristus,
yakni Bunda Kristus, menganjurkan bahwa Kristus bukan Allah; tidak secara resmi mengakui
bahwa Maria adalah sungguh Bunda Allah, karena Ia yang telah dilahirkan sebelum segala
zaman dari Bapa, Allah Sabda, telah menjadi manusia dalam hari-hari terakhir ini dan telah
dilahirkan baginya: terkutuklah ia (DS 426-427).
Konsili tidak menerima peran relatif Maria sebagai Bunda Allah. Kehadiran Maria mutlak, tak
tergantikan dalam tata dan sejarah keselamatan. Yang dilahirkan oleh Maria bukan melulu manusia,
tetapi sungguh Allah, sehingga ia harus disebut Bunda Allah.
Konsili Vatikan II, LG VIII
Dogma Maria Bunda Allah kembali ditegaskan dan dimasukkan dalam LG bab VIII. Di sana
ditemukan 12 kali gelar Bunda Allah28. Yang menarik di sini ialah bahwa Maria dimasukkan dalam
kerangka Gereja. Sebagai bagian dari anggota Gereja, Bunda Allah dilihat peranannya dalam
misteri Kristus dan misteri Gereja.
Dalam misteri Kristus, Maria bekerja sama dalam penyelamatan umat manusia dengan iman dan
kepatuhannya. Ia menerima khabar gembira dari Malaikat untuk menjadi Bunda Yesus Penebus,
melahirkan dan membesarkan Yesus (LG 55-59). Dalam misteri Gereja, peran Maria sebagai Bunda
Allah dalam tata rahmat amatlah unggul dan tunggal. Sebagai Bunda Allah, ia menjadi pola-teladan
Gereja yakni di dalam iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus (LG no. 60-65).
28O’Carroll, Ensiklopedi…, hlm. 19.
31
Sekalipun Konsili menegaskan kembali Dogma sebelumnya, namun pemahaman baru ditambah,
yakni cakupan peranan Maria sebagai Bunda Allah. Maria tidak saja dilihat sebagai Bunda Allah
dalam peranannya melahirkan Penebus, Yesus Kristus, tetapi ia juga sebagai model dan sekaligus
teladan bagi Gereja. Maka Konsili mengeksplisitkan peran Maria bagi Gereja. Itu berarti di samping
Konsili berhasil mempertahankan kesatuan antara Kristologi dan Marialogi sebagai kesatuan klasik,
tetapi juga trilogi baru, yaitu Kristologi, Eklesiologi dan Marialogi.
1.2 Maria adalah Perawan
Di samping sebagai bunda Allah, muncul juga keyakinan bahwa Maria adalah perawan. Sejak
abad ke-4 baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat dengan tegas diakui dalam berbagai bentuk
pengakuan iman (Credo) bahwa Maria Perawan. Dan ketika konsili-konsili umum merumuskan
pengakuan imannya di dalamnya dimasukkan kebenaran akan keperawanan Maria. Hal ini dapat
kita telusuri dalam Konsili-konsili awal sejarah Gereja.
- Konsili Konstantinopel I (381): “...Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh
Perawan Maria, dan menjadi manusia....” (DS 150).
- Konsili Efesus (431) :”Jikalau seseorang tidak mengakui bahwa Emanuel adalah Allah
dalam arti yang benar dari Sabda, dan bahwa karena itu Santa Perawan ialah Bunda
Allah sebab ia telah melahirkan menurut daging Sabda yang berasal dari Allah,
terkutuklah ia!” (DS 252).
- Konsili Kalsedon (451). Dalam pengantar definisi mengenai dua kodrat di dalam
Kristus, para Bapa Konsili mengemukakan kebenaran keperawanan Maria: “...Tetapi
mereka yang berusaha menolak pemberitaan kebenaran, dengan kesesatan-kesesatan
mereka telah menciptakan ungkapan-ungkapan baru: beberapa berusaha memalsukan
misteri ekonomi inkarnasi Tuhan bagi kita, dan mereka menolak ungkapan Theotokos
bagi Perawan; ...di hadapan semua ini ....konsili ekumenis yang kudus dan besar ini
pertama-tama mempertahankan bahwa iman dari para bapa suci tahun 381 tak dapat
diubah” (DS 300)
- Konsili Konstantinopel II (553). Pengakuan akan keperawanan Maria dikemukakan
dalam sesi hukuman atas tiga karya yang dianggap menyesatkan. “Jikalau seseorang
menegaskan bahwa Santa Mulia dan selalu Perawan Maria bukanlah Bunda Allah
dalam arti yang benar atau bahwa ia menurut relasi lahir daripadanya seorang manusia
biasa, dan bukanlah Sabda Allah yang berinkarnasi di dalam dia ... terkutuklah ia! (DS
427).
32
Pada mulanya keperawanan Maria dipahami sebagai keperawanan sebelum melahirkan. Ini
tampak dalam pandangan Ignasius dan Yustinus. Sebelum Konsili Efesus belum ada
kesepakatan di antara Bapa Gereja tentang ajaran keperawanan Maria. Contoh ketidaksepakatan
itu ialah:
1) Keperawanan fisik Maria pada saat melahirkan diajarkan oleh Bapa Gereja: Ireneus,
Klemens dari Aleksandria, Gregorius dari Nyssa. Ini tidak didukung oleh
Tertulianus, Origenes, Hieronimus.
2) Keperawanan Maria setelah melahirkan anak sulungnya, Yesus, diajarkan oleh:
Origenes, Petrus I dari Aleksandria, Gregorius dari Nyssa, Hilarius, dan Hieronimus.
Ajaran ini tidak disokong oleh Basilius: ini tidak perlu dipercayai.
3) Maria tetap perawan baik pada waktu maupun sesudah melahirkan dipertahankan
oleh Yohanes Krisostomus, Efraim, Ambrosius dan Agustinus. Pendapat mereka ini
sangat berpengaruh pada zaman patristik.
Tetapi umum diterima bahwa sejak abad ke-4 sudah ada keyakinan iman akan keperawanan
tetap Maria. Sifat tetap perawan (semper virgo) ini menjadi julukan Maria bila ia disebutkan
dalam doa-doa liturgi maupun dalam teks-teks non liturgis, seperti sajak dan syair dalam seni
sastra tentang Maria. Ungkapan bahwa Maria itu perawan sebelum, waktu, dan setelah
melahirkan sudah ada sejak abad ke-7, ketika diadakan Konsili Lateran tahun 649; terutama
ditambahkan pengakuan akan virginitas post partum (DS 503-504).
Keperawanan sebelum melahirkan (virginitas ante partum), artinya Maria mengandung dari
Roh Kudus yang menaunginya tanpa Yesus diperanakkan oleh seorang bapak insani.
Keperawanan waktu melahirkan (virginitas in partu), artinya rahim Maria tetap utuh ketika
Yesus lahir daripadanya.
Keperawanan sesudah melahirkan (virginitas post partum), artinya Maria tidak pernah
bersetubuh sehingga juga tidak ada saudara-saudara sekandung Yesus.
Walaupun keperawanan Maria sebelum, pada saat, setelah melahirkan termasuk dalam isi
iman Gereja serta pewartaannya, hanya keperawanan sebelum dan sesudah melahirkan itu
dinyatakan secara resmi (dogma) seperti tampak dalam Konsili Lateran di atas, sedangkan
keperawanan in partu (pada saat) tak ada definisi resmi sehingga pernyataan tentangnya bukan
tidak dapat sesat.
Elzbieta Adamiak mengatakan bahwa dogma ini mempengaruhi penghormatan (devosi)
kepada Maria. Evolusi devosi ini dihubungkan secara erat dengan perkembangan perayaan-
perayaan liturgis untuk para kudus khususnya para martir. Dari sini muncul doa permohonan
33
kepada Maria. Maka, sejak abad ke-5 hari raya dan pesta Maria mulai diadakan di dalam Gereja
Katolik lokal maupun universal29.
Konsili Vatikan II juga mengajarkan tentang keperawanan Maria. Namun Konsili tidak
membuat secara spesifik seperti dinyatakan dalam Sinode Lateran tahun 649: keperawanan
sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan. Konsili memahami keperawanan Maria dalam dua
arti, yaitu arti fisik dan spiritual. Secara spiritual, keperawanan dihubungkan dengan iman dan
ketaatan kepada Allah dan pengandungan Putra Allah. Menurut Konsili ada dua aspek mendasar
dalam keperawanan Maria, yaitu iman dan ketaatan30. Teks mengafermasikan keperawanan
Maria dan kedua aspeknya itu:
Dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut bunda dan perawan, Santa Perawan
Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan
perawan maupun ibu. Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putra Bapa
sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai
Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena
percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia
telah melahirkan Putra, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak
saudara (Rom 8:29), yakni umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih
keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka. (LG 63).
Para kritikus berpendapat bahwa pengandungan perawan31:
tidak dapat terjadi: mukjizat-mukjizat itu tak mungkin
tidak terjadi: Injil-Injil menggunakan mitos kafir; atau ini hanya kebenaran
teologis/simbolis (bdk. Schillebeeckx).
tidak harus terjadi: sebab kalau tidak Yesus tidak akan sungguh-sungguh
manusia
tidak perlu bagi karya penyelamatan; yang perlu ialah pribadi, bukan
pengandungan Yesus.
Sebaliknya, Gereja selalu mempertahankan pentingnya pengandungan perawan, karena
pengandungan perawan:
29Elzbieta Adamiak, “Developments in Mariology” dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 37-38. Dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik di Indonesia terdapat 12 “hari Maria” selama tahun gerejawi, yakni: 4 hari raya, 2 pesta dan 6 peringatan. Lengkapnya ialah: Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari), Peringatan Santa Perawan Maria di Lourdes (11 Februari), Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet (31 Mei), Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria (Hari Sabtu ketiga setelah Pentekosta), Peringatan Santa Perawan Maria di Gunung Karmel (16 Juli), Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (15 Agustus), Peringatan Santa Perawan Maria, Ratu (22 Agustus), Pesta Kelahiran Maria (8 September), Peringatan Rosario Santa Perawan Maria (7 Oktober), Peringatan Santa Perawan Maria Dipersembahkan kepada Allah (21 November), Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa (8 Desember).
30Bdk. Ciriaco Scanzillo, La Chiesa sacramento di comunione (Roma: Edizioni Dehoniane, 1989), hlm. 389. 31Bdk. Michel Remery, Teologia dogmatica (Roma: Venerabile Collegio Inglese, 2006), hlm. 39-40.
34
adalah tanda asal-usul ganda Yesus; dan dengan itu, Maria ialah Theotokos.
Mengungkapkan peranan Roh Kudus dan Trinitas dari saat mengandungnya
Yesus
Menggambarkan baptisan yang di dalamnya juga kita dilahirkan dari Roh
Kudus.
1.3 Dikandungnya Maria tanpa Noda, Maria Immaculata
Tidak semua bapa Gereja sebelum Ambrosius dan Agustinus menyadari kesucian Maria.
Pengarang patristik yang pertama kali mengajarkan ketidakberdosaan Maria ialah Pelagius dan
Agustinus. Pelagiuslah yang pertama sekali menyatakan bahwa Maria sama sekali tidak berdosa,
dan Agustinus meneguhkan pernyataannya.
Ajaran bahwa Maria seluruhnya tanpa dosa itu berkembang terus dan maju dengan cepat sampai
pada pernyataan bahwa Maria bebas dari dosa asal. Di Timur, Andreas dari Kreta dan Yohanes dari
Damsyik melangkah ke arah itu. Di Barat selama milenium pertama tidak ada kesaksian eksplisit
bahwa Maria bebas dari dosa asal. Alasannya ialah ajaran, yang amat ditekankan oleh Agustinus,
bahwa semua orang memerlukan penebusan oleh Kristus karena semua kena dosa (asal). Jalan
menuju pengakuan bahwa Maria dikandung tanpa dosa dihalangi secara khusus oleh pandangan
banyak ahli teologi pada waktu itu tentang cara dosa asal diteruskan, yakni melalui pembiakan
begitu rupa sehingga, menurut Agustinus, diwariskan turun-temurun.
Dalam abad ke-13 sampai ke-14 berkat sumbangan Yohanes Duns Scotus terbukalah jalan
menuju pengakuan dikandungnya Maria tanpa dosa (immaculata conceptio). Scotus menerima
penuh bahwa semua orang termasuk Maria memerlukan penebusan Kristus. Pertanyaan bagaimana
Maria dapat ditebus sebelum wafat Yesus di kayu salib itu dijawab Scotus dengan mengatakan
bahwa selain pembebasan dari dosa asal terdapat juga perlindungan yang menghindarkan seseorang
dari dosa asal. Demi jasa Yesus yang akan menebus bangsa Manusia dari dosa, Maria sebelumnya
sudah dihindarkan Allah dari noda dosa (redemptio praeservativa, penebusan yang mencegah),
sedangkan semua orang lain oleh penebusan dibebaskan dari dosa (redemptio liberativa, penebusan
yang membebaskan). Menurut ajaran ini Maria pun terikat pada hukum dosa asal. Hanya saja berkat
keputusan kehendak Allah yang istimewa, hukum ini tidak dapat diterapkan kepada Maria.
Pada tahun 1477 Paus Sixtus IV menyatakan bahwa kekristenan Katolik secara umum meyakini
dikandungnya Maria tanpa dosa, lalu melarang para pendukung dan para pembantah misteri ini
untuk saling menuduh sebagai bidaah. Lalu Konsili Trente (1546) menerangkan dalam ajaran
tentang dosa asal bahwa Konsili tidak bermaksud melibatkan Maria dalam universalitas dosa asal.
35
Kemudian pembebasan dari dosa asal ini kembali ditegaskan oleh Paus Alexander VIII tahun 1690.
Pernyataan-pernyataan ini turut mematangkan iman akan kebebasan Maria dari noda dosa sehingga
pada tahun 1854 Paus Pius IX menyatakan dogma tentang Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa
Dosa.
Bagaimana proses lahirnya pernyataan Paus Pius IX? Untuk menyiapkan definisi dogma
Dikandung tanpa nodanya Maria, ia membentuk sebuah komisi para teolog pada tanggal 1 Juni
1848. Pada tanggal 2 Februari 1849 Paus mengirimkan Ensiklik Ubi Primum kepada para uskup di
seluruh dunia untuk meminta pendapat mereka tentang pendefinisian Dikandung tanpa nodanya
Maria. Jawaban-jawaban para uskup dipublikasikan dalam karya yang berjudul Pendapat-pendapat
Uskup Katolik, Kapitel-kapitel, Kongregasi-kongregasi, Universitas-universitas ... tentang Definisi
Dogmatis Dikandung tanpa Nodanya Santa Perawan Maria...”. Dari 603 uskup yang dimintai
pendapatnya, 546 menyetujui usul untuk dijadikan definisi dogma. Setelah mengumumkan hasil
pemungutan suara ini, Paus melalui komisi teologi menyusun beberapa skema dari bulla yang akan
diumumkan. Dan dalam redaksi final dari bulla tersebut, Paus sendiri terlibat secara langsung di
dalamnya.
Pertimbangan teologis dogma itu diungkapkan oleh Paus dalam Bulla Ineffabilis Deus. “Dengan
otoritas Tuhan kita Yesus Kristus, Rasul Kudus Petrus dan Paulus dan kami, kami menyatakan,
memproklamasikan dan mendefinisikan: doktrin, yang mempertahankan bahwa Perawan Tersuci
Maria dalam pengandungannya, karena rahmat yang tunggal dan khusus dari Allah Yang
Mahakuasa, karena jasa-jasa Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, dilindungi dari setiap cacat
dosa asal. Doktrin ini diwahyukan oleh Allah dan karena itu harus dipercayai dengan teguh dan tak
dapat dikalahkan” (DS 2803).
Dalam perumusan teologis tersebut, tampak keinginan kuat Gereja (Barat) untuk membela
kekudusan Maria. Namun perumusan dogma ini oleh Gereja Timur dilihat sebagai jalan
mempertahankan doktrin tentang dosa asal yang muncul sejak Agustinus. Bagi mereka dogma ini
tidak diterima, karena mereka tidak mengenal ajaran tentang dosa asal. Maka dalam tataran
ekumenis, Yohanes Paulus II mengusulkan bahwa rumusan negatif mengenai keistimewaan Maria
dari Gereja Barat harus dilengkapi dengan ungkapan positif tentang kekudusan Maria dalam Tradisi
Timur. Diakui bahwa pemisahan doktrin Ineffabilis Deus dari dialog otentik dengan Teologi
Ortodoks tentang Nama Maria (Panagia) akan mempermiskin doktrin itu sendiri32. Bagaimana
mendialogkan kedua tradisi ini?
Pada jantung artikulasi marialogis dari Bapa-bapa Gereja Timur terdapat suatu keyakinan ganda
mengenai status Maria sebagai Panagia: 1) Maria bukanlah hanya penerima pasif rahmat Allah; 2)
32Aaron Riches, “Deconstructing the linearity of Grace: The Risk and Reflexive Paradox of Mary’s Immaculate Fiat”, dalam International Journal of Systematic Theology, 2/10 (April 2008), hlm. 180-181.
36
realitas adanya didasarkan pada tindakan kehendak bebasnya, suatu kehendak yang membuat ia
mampu berbalik dari atau menerima keputusan Allah. Dalam hal ini Tradisi Ortodoks memahami
kekudusan Maria dalam hubungan dengan “tindakan”, sementara Tradisi Latin menekankan status
tak bernodanya “being” Maria. Yohanes Paulus II mempertemukan keduanya dengan bantuan
fenomenologi pribadi manusia. Manusia dibentuk dari kesatuan antara ada dan tindakan,
sedemikian sehingga pribadi manusia dinyatakan dalam dan melalui tindakan. Maka dengan doktrin
Dikandung Tanpa Nodanya Maria, Gereja Latin mau menyata-kan adanya Maria di dalam tindakan,
realitas dinamis yang menampakkan pribadi sebagai subyek efikaksnya. Ini sejalan dengan Teologi
Ortodoks tentang Panagia, yang menampakkan Maria sebagai realitas dinamis, subyek efikaks dari
pribadi yang bertindak.
1.4 Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan surgawi, Maria Assumpta
[Baca: Yoseph Solor Balela, “Misteri Bunda Maria Diangkat ke Surga: Suatu
Pencarian Makna Iman”, dalam Logos, 2/5 (Januari 2008), hlm. 56-68.]
Kekudusan Perawan Maria hanya akan menjadi sempurna, bila dihiasi dengan keistimewaan
lain, yaitu Maria diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan tubuh dan jiwanya. Dasar dogma
Maria Assumpta tidak terletak pada data atau kenyataan historis-empiris, melainkan didasarkan atas
pertimbangan teologis ini. Pertama, pantaslah Santa Perawan diikutsertakan dalam kemuliaan
Putranya. Yesus Kristus naik ke surga dengan jiwa dan badan, maka pantaslah Maria juga diangkat
dengan cara mirip dengan Kristus. Kedua, dalam hidup ini Maria diikutsertakan sepenuhnya dalam
karya penyelamatan Yesus Kristus. Jadi pantaslah Maria disertakan dalam kebangkitan, juga
sebelum hari akhirat. Ketiga, dogma Maria diangkat ke surga mempunyai dasar dalam Kitab Suci,
yaitu dalam penggambaran umum mengenai Maria sebagai Bunda Yesus, tetap perawan dan serba
suci. Keempat, argumen yang menentukan adalah bahwa sejak berabad-abad lamanya Gereja secara
sepakat memandang pokok ini sebagai ajaran iman. Mengenai pertimbangan yang terakhir ini,
orang dapat menyaksikan sendiri bagaimana praktek dan keyakinan yang hidup dalam Gereja,
berikut permohonan-permohonan kepada Tahta Suci untuk menetapkan ajaran resmi mengenai
Maria diangkat ke surga33.
Dari empat butir pertimbangan teologis yang mendasari dogma tersebut, Gereja hanya mau
mengajarkan keyakinan imannya tentang Maria: Maria telah mencapai kemuliaan dan kebahagiaan
menyeluruh sebagai penggenapan Allah atas janji-Nya. Dalam merumuskan keyakinan itu memang
dipakai bahasa atau cara bicara tertentu (“dengan jiwa dan badannya diangkat”). Bukan itu inti
33A. E. Kristiyanto, Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 47-48.
37
dogma. Dogma juga tidak mengatakan apa-apa mengenai apakah hanya Maria secara terpisah
diikutsertakan dalam penyelesaian karya penyelamatan ilahi. Dogma tidak berkata apa-apa
mengenai orang beriman lainnya. Memang soalnya amat berbelit-belit bagaimana mengerti
pandangan tradisional mengenai “kebangkitan badan” seperti tercantum dalam syahadat rasuli34.
Selain Maria ditetapkan sebagai tanda pengharapan akan keselamatan eskatologis bagi orang
beriman yang masih berziarah di dunia ini, dogma juga “meluhurkan” Maria. Karena nyatanya
Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepada Maria. Maria pun menanggapi rahmat itu dengan
segenap hati. Kini Maria menikmati kemuliaan penuh bersama dengan Kristus Yesus, Raja semesta
alam. Keyakinan iman akan hal ini berarti mengunggulkan Maria sebagai Ratu semesta alam. Meski
julukan ini tak menambah sesuatu yang baru pada keluhuran dan keistimewaan Maria, namun di
beberapa tempat julukan seperti ini berfungsi sebagai salah satu sarana untuk melambungkan doa
permohonan agar Tuhan berkenan menganugerahkan iman kepada Gereja seperti kepada Maria,
Ratu, supaya Gereja kian bulat bersatu dengan Bapa dalam Roh Kudus melalui Kristus Yesus.
2. AJARAN YANG BUKAN BERSIFAT DOGMA TENTANG MARIA
Selain ajaran yang bersifat dogma, ada juga ajaran lain tentang Maria yang isinya berupa
kebenaran yang bukan dogma. Misalnya, kebebasan Maria dari dosa pribadi, kebundaan rohani,
cara pengantaraannya, dan juga gelar-gelar Maria (Ratu dan Bunda Gereja). Bila orang menolak ini
tidak dianggap sebagai sesat atau bidaah. (Gelar-gelar Maria, lihat Puji Syukur no. 214).
BAB VMARIALOGI KONSILI VATIKAN II
1. Dua Pendekatan Mengenai Santa Maria Dalam Konsili Vatikan II
34Ibid., hlm. 48.
38
Dalam membicarakan Santa Perawan Maria, para Bapa Konsili tidak memiliki pandangan
yang sama. Pandangan mereka mengerucut dalam dua tendensi yang berbeda satu sama lain, yakni
pendekatan “Marialogi kristotipikal” dan “Marialogi eklesiotipikal”35.
Sebenarnya kedua pendekatan ini tidak serta merta muncul dalam Konsili Vatikan II.
Keduanya pertama sekali dikemukakan oleh Heinrich Köster pada saat Kongres Marialogi di
Lourdes tahun 1958. Pada saat itu ia mengklasifikasi dua tipe mendasar gerakan marialogis yang
sedang berlangsung dalam Gereja, yaitu pendekatan kristotipikal dan eklesiotipikal36. Apakah
sinyalemen ini mempengaruhi para Bapa Konsili, kita tidak mempunyai sumber tentang itu. Namun
dari sumber yang diteliti tampaknya bahwa pada permulaan Konsili kedua istilah ini masih belum
dipakai secara eksplisit oleh para Bapa Konsili. Tetapi kemudian dalam persidangan sesi kedua
Konsili tanggal 16 September 1963, Uskup Agung Roy tanpa ragu-ragu memakai kedua istilah ini37.
Bagaimana kedua pendekatan ini berargumen pada saat Konsili?
Marialogi kristotipikal mau menempatkan Santa Perawan Maria lebih dekat kepada Kristus,
yakni partisipasi Maria dalam tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus kepada umat manusia.
Dalam hal ini Maria langsung ditempatkan secara khusus di bawah Kristus. Maka penganut
pendekatan ini berusaha menghadirkan privilese-privilese Perawan Maria seperti dinyatakan dalam
ensiklik-ensiklik Paus dua abad terakhir. Metode mereka ialah menganalisis konsep-konsep dan
prinsip-prinsip perihal Santa Maria dalam Magisterium Gereja, lalu dicari kesaksian-kesaksian yang
sesuai dengan itu dalam Kitab Suci dan Tradisi. Metode ini bersifat spekulatif. Dari observasi
spekulatif ini Maria diberi gelar-gelar baru dan dari situ ia dihiasi dengan peribadatan yang luar
biasa meriah38. Agaknya mereka ini memegang prinsip De Maria numquam satis, artinya orang
tidak pernah dapat mengatakan cukup tentang Maria39.
Sementara itu Marialogi eklesiotipikal berpendapat bahwa Maria mesti dipandang sebagai
bagian dari anggota Gereja. Namun anggota yang dimaksud bukanlah anggota yang biasa, seperti
umat beriman pada umumnya. Ia adalah anggota yang unik dan karena itu ia menjadi model Gereja.
Para penganut pendekatan ini mempertahankan bahwa Maria sebaiknya ditempatkan dalam tata dan
sejarah keselamatan. Metode mereka ialah meneliti sumber-sumber paling antik, kemudian
evolusinya yang perlahan-lahan baik dalam sejarah keselamatan maupun dalam perjalanan teologi
dan dalam kehidupan harian Gereja, yaitu devosi rakyat. Singkatnya mereka mau berangkat dari
35G. L. MÜLLER, Dogmatica cattolica: Per lo studio e la prassi della teologia (Milano: San Paolo, 1999), hlm. 581.
36E. ADAMIAK, “Developments in Mariology”, dalam Concilium, no. 4 (Desember 2008), hlm. 35. Pada saat kongres itu, Köster menekankan bahwa pendekatan kristotipikal dan eklesiotipikal sungguh tidak dapat dipisahkan, karena dimensi kristologis dan eklesiologis selalu perlu hadir dalam gambaran tentang Maria.
37J. A. KOMONCHAK (ed.), History of Vatican II, vol. IV (Maryknoll-Leuven: Orbis-Peeters, 2003), hlm. 53. 38G. PHILIPS, La Chiesa e il suo mistero: storia, testo e commento della Lumen Gentium (Milano: Jaca Book,
1975), hlm. 513. 39GROENEN, Mariologi…, hlm. 16.
39
dasar-dasar biblis dan patristik bagi doktrin dan devosi kepada Maria. Dengan cara inilah Gereja
mesti menghasilkan dogma yang membangun dan melayani kebutuhan pastoral dan kesalehan umat
beriman. Pendekatan ini mengandung unsur ekumenis, yang merupakan salah satu tujuan Konsili
Vatikan II40.
Dalam studi teologi, para teolog sering mengkritik pendekatan eklesiotipikal sebagai
“minimalistis”. Disebut demikian, karena penganut tendensi ini hanya mau membangun suatu
Marialogi, bila kebenaran-kebenaran mengenai Perawan Maria dapat ditemukan dalam Kitab Suci.
Untuk verifikasi ini diperlukan metode historis kritis dalam studi data-data biblis. Alhasil, perihal
Santa Maria, Bunda Kristus, seharusnya dimasukkan dalam konstitusi tentang Gereja, karena ia
adalah salah satu anggota Gereja yang juga harus ditebus oleh Kristus41.
Lalu pendekatan kristotipikal sering dikritik sebagai “maksimalistis”. Dikatakan demikian,
karena pendukung pendekatan itu percaya bahwa Maria tidak termasuk anggota Gereja. Maria tidak
dapat disejajarkan dengan Gereja. Maria adalah pribadi yang tunggal dan istimewa bila
dibandingkan dengan anggota Gereja lainnya. Ia merupakan pribadi yang tak terpisahkan dari
Kristus. Pendeknya, Maria seharusnya ditempatkan pada posisi yang maksimal terhadap Gereja.
Atas dasar ini, Maria semestinya dibicarakan dalam satu dokumen tersendiri, terpisah dari dokumen
tentang Gereja dan Konsili menghasilkan ajaran baru tentangnya42.
Dalam Konsili, kedua tendensi ini masing-masing mempertahankan keyakinannya. Tetapi
solusi mesti ada. Maka langkah voting mesti ditempuh tgl. 29 Oktober 1963. Hasil voting
menunjukkan bahwa dari 2193 suara, 1114 suara mendukung bahwa perihal Maria dimasukkan
dalam skema mengenai Gereja dan 1074 suara memilih untuk menyusun dua skema: satu tentang
Maria dan satu lagi tentang Gereja43. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa ajaran Konsili tentang
Maria mesti dimasukkan dalam skema tentang Gereja. Tetapi tetap harus digarisbawahi bahwa
perbedaan hasil voting amat tipis. Itu berarti bahwa keyakinan yang satu tak boleh dilalaikan dari
keyakinan yang lain dalam perumusan teks final.
Dalam perumusan final, Marialogi ditempatkan pada bab terakhir, bab VIII dari Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium). Perumusan ini merupakan suatu solusi yang
memuaskan, karena Konsili melampaui ketegangan antara Marialogi kristotipikal dan Marialogi
eklesiotipikal dengan mengembangkan suatu Marialogi yang bersifat trinitaris-kristosentris. Maria
dilihat dalam misteri Kristus dan Gereja. Di satu sisi Maria adalah anggota Gereja yang pertama
kali ditebus oleh Kristus, dan karena itu ia menjadi model-teladan Gereja. Di sisi lain sebagai
40PHILIPS, La Chiesa…, 513. 41A. E. KRISTIYANTO, Maria Dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria Dalam
Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 12-13. 42KRISTIYANTO, Maria…, hlm. 13. 43J. A. KOMONCHAK (ed.), History of Vatican II, vol. III (Maryknoll-Leuven: Orbis-Peeters, 2000), hlm. 98.
40
Bunda Putra Allah, Bunda Penebus, Maria berada di atas Gereja. Pada level ini Maria disatukan
dalam tindakan penyelamatan Kristus Yesus44. Dengan perumusan ini Marialogi mesti disatukan
dengan Eklesiologi dan Kristologi. Dengan ini pula Konsili mengoreksi kebiasaan-kebiasaan
sebelumnya yang kadang-kadang mengisolasikan Marialogi dari Eklesiologi dan Kristologi.
2. Pilihan dan Maksud Konsili
Konsili Vatikan II melahirkan suatu peristiwa yang sangat penting bagi Marialogi di abad
kedua puluh. Peristiwa ini merupakan titik pencapaian dari gerakan marialogis sebelum Konsili,
tetapi sekaligus titik berangkat diskursus baru tentang Maria.
Dengan memperhatikan perjalanan perumusan bab VIII LG yang dipromulgasikan tgl. 21
November 1964, sebagaimana dilukiskan di atas, di dalamnya tergambar ringkasan sejarah
Marialogi abad ke-20. Empat tahun penyusunan teks marianis menghasilkan kembali
perkembangan pemikiran marialogis yang dikerjakan dalam kurun waktu antara 1920-1960. Dalam
sejarah penyusunan ini terdapat dua pendekatan marialogis yang berbeda, dua pendekatan mengenai
kedudukan dan peranan Maria dalam Gereja dan karya keselamatan, yaitu perspektif kristologis
dan perspektif eklesiologis. Meskipun teks final memperlihatkan dominasi perspektif eklesiologis,
namun pada kenyataannya Konsili mengambil jalan tengah, jalan kompromi, yakni mengusahakan
suatu keharmonisan antara dua pendekatan ini. Maka, judul yang dipilih dalam penyusunan bab
VIII ialah De Beata Maria Vergine Deipara in Mysterio Christi et Ecclesiae (Santa Maria,
Perawan dan Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja).
Mengingat perbedaan yang ada, Konsili tidak bermaksud menyampaikan ajaran yang lengkap
tentang Maria dalam misteri Kristus dan Gereja. Konsili juga tidak bermaksud membela pendekatan
yang satu dan menyingkirkan pendekatan yang lain. Pendekatan-pendekatan yang hidup di kalangan
para teolog tetap dihormati dan dibiarkan berkembang demi mencapai pandangan yang lebih jelas
tentang kedudukan dan peranan Maria dalam Gereja dan misteri keselamatan (bdk. LG 54).
3. Pokok-pokok Ajaran Konsili
Pengajaran Konsili diklasifikasi ke dalam 5 bagian: I. Pendahuluan (52-54); II. Peran Santa
Perawan dalam tata keselamatan (55-59); III. Santa Perawan dan Gereja (60-65); IV. Kebaktian
kepada Santa Perawan dalam Gereja (66-67); V. Maria tanda harapan yang pasti dan penghiburan
bagi umat Allah yang mengembara di dunia (68-69).
Dalam bagian pendahuluan, Konsili menyajikan tempat perawan Maria dalam misteri Kristus
dan Gereja. Dalam tata keselamatan Allah menduduki tempat utama. Allah bertindak sebagai
sumber keselamatan. Alasan tunggal mengapa Allah menyelamatkan manusia ialah kasih-Nya.
Tindakan penyelamatan ini dipusatkan seutuh-utuhnya dalam dan melalui Putra Tunggal-Nya Yesus
Kristus: hidup, kematian dan kebangkitan-Nya (causa efficiens: asal-usul keselamatan). Tanpa
Yesus dan di luar Yesus, sekali pun Santa Maria, tidak terjadi keselamatan. Keselamatan semua
orang termasuk Santa Maria tergantung dari Kristus. Meskipun begitu, Konsili juga mengakui
44MÜLLER, Dogmatica…, 581-582.
41
bahwa dalam arti tertentu keselamatan juga tergantung dari Perawan Maria, yaitu kesediaannya
untuk menjadi Ibu Tuhan, Ibu Penebus. Di sini Maria menjadi jaminan inkarnasi. Dalam arti inilah
kita mengerti kata-kata St. Paulus: “Lahir dari seorang wanita” (Gal 4:4) (bdk. no. 52).
Dengan perantaraan misteri inkarnasi, Allah memberikan tempat istimewa kepada manusia
Maria. Ia diangkat oleh Allah menjadi Bunda Allah, dan karena peran ini, ia tidak dapat
disejajarkan dengan peran semua anggota Gereja dan makhluk lainnya. Akan tetapi, karena Maria
adalah termasuk keturunan Adam, ia juga termasuk manusia yang harus diselamatkan atau ditebus.
Berkat jasa Putranya ia ditebus secara lebih unggul. Dengan demikian Maria juga termasuk anggota
Gereja yang sangat unggul dan istimewa serta sebagai pola teladan Gereja dalam iman, harap dan
kasih (bdk. 53).
3.1 Peran Maria dalam Tata Keselamatan (55-59)
Peran serta Maria dalam tata keselamatan tampak dari gambaran-gambaran dan keistimewaan-
keistimewaan yang diberikan kepadanya dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
serta Tradisi Gereja.
3.1.1 Gambaran Maria
Dengan sangat hati-hati Konsili mengangkat gambaran atau gelar-gelar yang mengacu kepada
Santa Maria dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Dengan bersandar pada Kitab Suci, Konsili
menandaskan dimensi biblis pengajarannya mengenai Maria. Dan sikap hati-hati yang ditunjukkan
dengan meminimalisir gelar-gelar Maria, Konsili juga mau menyatakan sikap ekumenisnya. Dalam
arti bahwa para Bapa Konsili berusaha memakai gelar-gelar yang mudah dimengerti oleh saudara-
saudara terpisah.
a. Maria, Hawa Baru.
Gelar “Hawa Baru” berasal dari zaman patristik. Gambaran Hawa Baru pada Maria tidak
dilandaskan pada teks Kej 3:15. Teks ini meramalkan secara samar-samar sekitar janji kemenangan
atas ular, bukan mengacu kepada Maria. Tetapi gambaran Maria sebagai Hawa Baru didasarkan
pada sikap Maria terhadap sabda Allah. Maria telah menerima sabda Allah dengan bebas.
Persetujuan Maria ini memungkinkan kehidupan baru bagi umat manusia. Sikap taat ini
bertentangan dengan sikap Hawa yang menolak sabda Allah yang akhirnya membawa kematian.
Dengan sikap ini Maria menerima peran sebagai Bunda Yesus. Dengan segenap hati Maria
menerima kehendak Allah yang menyelamatkan. Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Ambrosius,
Agustinus menilai sikap Maria sebagai sikap yang benar dan tulus di hadapan Allah.
b. Maria, Hamba Tuhan, Miskin dan Hina Dina
Dalam tulisan Lukas, Maria digambarkan sebagai tokoh yang unggul. Keunggulan ini
dilukiskan dalam hidup dan sikap hatinya yang miskin serta rendah hati di hadirat Allah (bdk. Luk
1:38; 2:19; 2:51). Dengan menampilkan sikap religius ini, pengarang Injil mau mengelom-pokkan
Maria ke dalam kaum anawim, yakni orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa di hadapan Allah.
42
Semua harapan mereka gantungkan pada Allah, sebab dari sanalah keselamatan kekal. Sikap
anawim Maria amat kuat terasa dalam magnificatnya (bdk. Luk 1:46-55).
Dengan menggambarkan Maria sebagai orang miskin dan rendah hati di hadapan Allah,
Penginjil Lukas menampilkan Maria sebagai realisasi dari orang-orang miskin dan rendah hati yang
dijanjikan keselamatan dalam Perjanjian Lama. Janji itu telah terlaksana, sebab Allah telah
menolong Israel, hamba-Nya. Melalui Maria dan di dalam Yesus Kristus yang dilahirkannya janji
Allah itu mencapai kepenuhannya. Putra inilah Mesias yang dinantikan semua bangsa manusia dan
yang akan membebaskan mereka segala penindasan. Jadi, sebagai hamba dina dan rendah hati
Maria menjadi Bunda Mesias.
c. Maria, Putri Sion.
Gelar Maria sebagai Putri Sion diambil dari gagasan Perjanjian Lama, khususnya dalam Yes
54:1-17; 60:1-12. Dalam teks ini Putri Sion merupakan personifikasi dari Yerusalem dan seluruh
umat Allah di masa depan, sebagai ibu dari anak-anak diberikan Allah keselamatan definitif.
Marialah Putri Sion itu, karena ia menjadi tempat penyelamatan Allah masuk ke dalam sejarah
manusia dan menggenapi harapan umat Allah dahulu. Putri Sion yang diharapkan sekarang telah
mulai digenapi. Dengan demikian kalau LG memberi Maria gelar Putri Sion, maksudnya ialah
bahwa Maria adalah Israel yang menantikan Mesias dan menyambut-Nya ketika tiba waktunya Ia
datang ke dunia. Dan serentak dengan itu atas cara yang istimewa Maria menyatukan dalam dirinya
seluruh bangsa manusia.
3.1.2 Keistimewaan Maria
Seperti penggambaran Maria dilandaskan pada gagasan biblis, demikian jugalah tentang
keistimewaannya. Keistimewaan dasariah Maria ialah keterpilihan menjadi Bunda Allah.
Keistimewaan ini sangat dasariah karena ia amat tergantung pada Allah Trinitas: pada Bapa yang
memilih dan menganugerahkan rahmat; pada Yesus, Putra Bapa yang menjadi anaknya; pada Roh
Kudus yang menjiwainya. Dalam keterpilihan menjadi Bunda Sang Penebus, penerimaan di dalam
hati mendahului penerimaan di dalam rahimnya. Keyakinan ini ditegaskan oleh St. Agustinus:
“Fide prius quam ventre concepit”. Di samping keistimewaan dasariah ini, terpatri keistimewaan
lain berikut ini.
a. Iman Maria
Untuk menjelaskan iman Maria, Konsili mengambil gagasan Lukas mengenai kunjungan Maria
kepada Elisabet, saudaranya (1:41-45). Dalam salam Elisabet dinyatakan tugas Maria sebagai
Bunda Allah. Dan pada akhir salam itu dinyatakan disposisi Maria dan ia dipuji, dinyatakan
berbahagia oleh karena imannya. Tanda pengandungan bayi laki-laki pada Elisabet sebetulnya tidak
diperlukan untuk menumbuhkan iman Maria. Karena pada dasarnya sebelum terealisasi tanda itu,
Maria sudah menyatakan “ya” kepada khabar gembira yang disampaikan Malaikat Tuhan. Iman
seperti inilah yang mendasari kesucian Maria.
Konsili mengemukakan gagasan tentang keistimewaan ini dalam kaitannya dengan persatuan
Maria dan Putranya dalam iman dan kasih. Cinta kasih menjadi ikatan persekutuan yang erat antara
43
Maria dan Putranya. Dan cinta kasih ini dibentuk atas dasar iman yang penuh kepada Allah. Akan
tetapi kedekatan ini tidak dihayati oleh Maria dalam terang kemuliaan ilahi. Maria masih tetap
mencari jalannya rencana Allah. Itu berati Maria tidak pernah luput dari masalah, derita dan
godaan. Maria justru tampak sebagai teladan para beriman, karena di tengah duka cita insani,
teristimewa yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Bunda Yesus, ia tetap setia pada pelayanannya
kepada Allah. Ia tidak pernah lari dari kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai konsekuensi dari
imannya. Ketekunan dan kesetiaan dalam iman ia nyatakan pada peristiwa salib.
b. Penuh rahmat
Dengan bersandar pada salam Malaikat Gabriel, Konsili menyapa Maria “penuh rahmat” (gratia
plena)45. Gratia plena Santa Maria bukan karena ia menyetujui khabar gembira Malaikat Tuhan,
melainkan karena Allah lebih dahulu memenuhi Maria dengan rahmat-Nya, supaya ia dapat
menyetujui berita suka cita itu. Dan persetujuan atas dasar rahmat Allah ini membuat Maria
istimewa dari semua manusia lainnya. Rahmat Allah yang penuh dalam diri Maria telah
mengangkatnya sebagai orang benar dan suci (tidak berdosa/dosa asal) sejak awal eksistensinya.
Lalu, atas dasar “penuh rahmat” itu Maria menunaikan tugas kebundaannya sesuai dengan
perkenanan hati Allah. Artinya, Maria menjalankan tugasnya dalam horizon kesucian. Karena itulah
pembicaraan perihal Maria yang penuh rahmat selalu mengacu kepada kesuciannya, bukan terutama
keibuannya.
c. Bersatu dengan Kristus dalam Karya Penyelamatan
Dalam Injil Yohanes dua kali Bunda Maria tampil, yaitu pada pesta pernikahan di Kana dan
peristiwa di bawah kaki salib. Kedua cerita ini mempertegas kesatuan Maria dengan Kristus dalam
karya penyelamatan. Di dalamnya tampak peranan Maria.
d. Maria dan Gereja: kebundaan Maria
Melihat hubungan Maria dengan Kristus dalam karya penyelamatan, Konsili tidak sampai secara
eksplisit menyebut Maria sebagai Bunda Gereja. Dalam hubungan dengan Gereja Maria dihormati
sebagai anggota Gereja yang maha unggul dan sangat khusus, serta sebagai citra, contoh dalam
beriman dan cinta kasih yang ulung (no. 53 dan 59). Setelah kenaikan Yesus ke surga, menurut Kis
1:14, para Rasul menantikan kedatangan Roh Kudus sambil bertekun sehati dan sejiwa dalam doa
bersama. Di situ turut pula Santa Maria. Keberadaan Maria dalam persekutuan rasuli ini mengacu
kepada peranannya dalam Gereja, yaitu memohonkan pencurahan Roh Kudus (Pentekosta) bagi
Gereja melalui doa-doanya.
Di dalam Gereja Maria menyebarluaskan karya Roh melalui kebundaannya. Dan sebenarnya
kebundaan ini didasarkan pada sikapnya: bersatu, bersama, senasib-sepenanggungan dengan para
murid Yesus, yaitu Gereja. Pada saat penantian persekutuan rasuli tampak aktivitas tunggal Maria,
yakni berdoa bersama. Menurut Konsili, kebundaan Maria terhadap Gereja hanya eksis dalam
konteks kebersamaan ini. Kehadiran Maria di tengah persekutuan rasuli dipahami sebagai
45Terjemahan Latin (Vulgata): penuh rahmat.
44
kelanjutan dari peranan kebundaannya: dahulu ia “mengasuh” Yesus, sekarang ia mendampingi
murid-murid-Nya. Jadi, kebundaan Maria dihayati sebagai pengikat dari satu keluarga Allah yang
sedang menantikan pemenuhan definitif janji Kristus.
e. Maria tak pernah kena dosa asal; Maria diangkat ke Surga; Maria Ratu alam semesta.
Ketiga keistimewaan Maria ini mengalir dari kesatuannya dengan Putranya Yesus Kristus
yang berjaya atas maut, lalu naik ke surga dan meraja di sisi kanan Allah dalam kemuliaan surgawi.
3. 2 Santa Perawan Maria dan Gereja (LG 60-65)
Ketika Bapa Konsili membicarakan hubungan Santa Maria dengan Gereja, ada dua gelar yang
menimbulkan diskusi yang alot, yaitu: pertama, gelar Santa Perawan sebagai Pengantara
(Mediatrix) dan gelar Coredemptrix, artinya Maria sebagai pribadi Penebus bersama Kristus
Penebus; kedua, gelar Mater Ecclesiae, Maria Bunda Gereja.
Dalam perumusan akhir gelar ini tidak diterima atau tidak dinyatakan secara eksplisit.
Alasannya, gelar Mediatrix, Pengantara, dapat merelatifkan martabat Kristus sebagai satu-satunya
Mediator, Pengantara antara manusia dan Allah. Kemudian dengan gelar Coredemptrix, Maria
dilihat sebagai lebih bersatu dengan Kristus daripada dengan Gereja, dan tentu saja dengan itu
Maria seolah-olah tak perlu ditebus. Selain itu gelar-gelar ini akan menimbulkan kesulitan bagi
gerakan ekumene dalam Gereja Kristus, karena gelar-gelar itu tidak ditemukan dalam Kitab Suci.
Meskipun memang tetap diakui bahwa gelar-gelar ini telah merakyat di antara umat Katolik dan
telah dimuat dalam ensiklik-ensiklik Paus.
Tetapi sebelum menjelaskan lebih lanjut peranan Maria dalam Gereja, baik diterangkan arti
gelar Mediatrix kepada Maria. Gelar ini sebenarnya mau menyatakan peran Maria sebagai Bunda
Rohani. Itu saja. Sebagai Bunda Rohani, peran ini memiliki dua dimensi: Dimensi historis,
persekutuan istimewa antara Maria dan Yesus Kristus; dimensi eskatologis, Maria melanjutkan
peranan sebagai bunda dengan tetap memelihara semua anggota Gereja sampai akhir zaman.
3.2.1 Yesus Kristus Satu-satunya Pengantara
Mengenai pengantaraan tunggal Kristus, Konsili menggarisbawahi demikian. “Pengantara
kita hanya ada satu, menurut Sabda Rasul: ‘Sebab Allah itu esa, dan esa pula Pengantara antara
Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai
tebusan bagi semua orang’ (1Tim 2:5-6). Ada pun peran keibuan Maria terhadap umat manusia
sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu,
melainkan justru menunjukkan kekuatannya.”
Sebagai satu-satunya Pengantara manusia dan Allah, Yesus Kristus menjadi pusat iman
kekristenan (bdk. Yoh 14:6; Ibr 10:19-20; 13:8; ingat juga dokumen: Dominus Iesus). Peran
pengantara Kristus memiliki dua aspek, yakni “Pengantara menurun” dari Allah kepada manusia
dan “Pengantara mengatas” dari manusia kepada Allah. Inilah keutamaan Yesus Kristus. Maka,
dalam iman Kristen tidak akan pernah ada lagi sejumlah pengantara di samping Yesus. Tetapi
45
St. Thomas Aquinas memiliki pertimbangan yang mempengaruhi para Bapa Konsili. St.
Thomas mengakui bahwa Kristus sendirilah Pengantara sempurna antara manusia dan Allah.
Melalui kematian-Nya Kristus memperdamaikan semua umat manusia dengan Allah Bapa-Nya
(bdk. 2Kor 5:19). Namun pengakuan akan pengantara tunggal Kristus ini, tidak pernah
menghalangi orang lain untuk disebut “pengantara” antara manusia dan Allah, sejauh peranan
pengantara itu bersifat kerja sama, bersifat melayani Yesus Kristus dalam mempersatukan
manusia dengan Allah46. Dalam konteks inilah Vatikan II menegaskan pengantaraan tunggal
Kristus dan mengakui peran relatif Maria di hadapan Kristus dalam tata penyelamatan Allah.
Bunda Yesus tidak boleh disejajarkan dengan Kristus, sebab Maria bersatu dengan Gereja,
kendatipun ia memiliki predikat sebagai anggota Gereja yang mahasuci dan mahaunggul.
Sebagai anggota Gereja Maria membutuhkan penyelamatan dan seluruhnya tergantung dari
Kristus. Kalau begitu peran aktif Maria dalam tata penyelamatan hanyalah mencakup aspek
“mengatas”, dari manusia kepada Allah.
3.2.2 Maria (Pola) Typus Gereja
Gelar Maria Theotokos yang dimunculkan pertama kali dalam Konsili Efesus memungkin-
kan Maria dihormati sebagai typus (citra) Gereja. Hakikat kata typus yang sering diartikan
dengan model, pola atau contoh, sebenarnya mengacu kepada seorang tokoh atau figur yang
memiliki sejarah hidup pribadi dan karier tertentu. Artinya, kata ini menunjuk kepada sesuatu
yang dinamis dan hidup. Jika Maria disebut typus atau citra Gereja, maksudnya bahwa
eksistensi Maria dipusatkan pada peranan atau tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja
menuju persatuan dengan Kristus. Dalam arti inilah, Maria dapat juga disebut sebagai Bunda
Gereja. Tetapi Konsili tidak memakai gelar ini. Untuk merumuskan secara tepat konsep teologis
dan menghindari kesalahpahaman, maka Maria dilukiskan sebagai citra Gereja. Hal ini sesuai
dengan tradisi suci, khususnya ajaran St. Ambrosius.
Konsili melukiskan hubungan antara Maria dan Gereja dengan pokok pada Maria sebagai
pola Gereja. Relasi ini dijabarkan dalam artikel 63, 64, 65. Maria dilihat sebagai typus Gereja,
karena iman, kasih dan persatuannya dengan Kristus yang memungkinkan ia terlibat penuh
dalam karya penyelamatan Allah.
Setelah menegaskan hubungan Maria dengan Gereja, Konsili menekankan bahwa Gereja
sendiri juga disebut Bunda. Gereja disebut Bunda, karena Gereja terus-menerus melahirkan
putra-putrinya yang dikandung dari Roh Kudus. Tujuan kelahiran ini ialah untuk hidup baru dan
kekal.
Bila Maria disebut typus Gereja, maka Gereja adalah antitypus Maria. Ia disebut sebagai
antitypus Maria, karena tugasnya sebagai perawan. Tugas ini diinspirasikan oleh tugas Maria
sebagai perawan. Tugas Gereja sebagai perawan dikonkretkan dalam menjaga kesetiaan yang
dianugerahkan Sang Mempelai, yakni Kristus.
3.2.3 Maria Advocata, Auxiliatrix, Adiutrix, Mediatrix (no. 62).
46St. Thomas, Summa Theologia, III,q.26.
46
Pemberian gelar-gelar Advocata (Pembela), Auxiliatrix (Pembantu), Adiutrix (Penolong),
Mediatrix (Pengantara) kepada Maria merupakan wujud pengakuan umat Allah atas peran
Maria dalam hidup mereka. Kecuali gelar Mediatrix, gelar-gelar ini sudah cukup familiar dalam
tradisi Gereja. Gelar Advocata dipakai pertama kali oleh Ireneus dari Lyon. Gelar Auxiliatrix
dan Adiutrix sering dipakai di Gereja Timur. Sedangkan gelar Mediatrix, meskipun pertama
sekali dipakai oleh St. Efrem (+ 373), baru dipromosikan oleh Kardinal Mercier dari Belgia
pada tahun 1913. Artinya, gelar yang terakhir ini masih relatif baru.
Tentang Peran kepengantaraan Maria perlu diterangkan sedikit. Peran pengantara Maria
dapat ditelusuri dalam dua peristiwa ini, yakni khabar gembira (Luk 1:26-38) dan Kalvari
(Luk 23:33-43). Dalam peristiwa khabar gembira, Maria bertindak sebagai wakil seluruh umat
manusia, ketika ia menyatakan kesediaannya untuk menjadi Bunda Penebus. Dalam peristiwa
ini sungguh berdiri antara manusia dan Allah. Tetapi dalam peristiwa Golgota, Yesus menjadi
wakil keperluan seluruh umat manusia. Di sini Kristus berkorban, bukan Maria. Maria di sini
berperan sebagai wakil seluruh umat manusia, tetapi berdiri melulu dari pihak manusia. Dengan
demikian pengantaraan Maria di sini termasuk dalam pengantaraan Kristus.
Konsili menggarisbawahi bahwa sebagai anggota Gereja, Maria menjalankan tugas
pengantaraannya dari sisi manusia. Namun tugas ini juga diemban oleh para kudus di surga,
yakni anggota Gereja yang telah menikmati kemuliaan surgawi. Lalu, apa bedanya dengan
peran Maria? Karena keterbatasannya, Gereja secara bijaksana merumuskan bahwa Maria
berada dalam tingkatan tertinggi di antara anggota Gereja. Tingkatan ini dinyatakan dalam
peranan di antara dan terhadap Gereja. Secara eksplisit misalnya Konsili merumuskan:
- Dalam Gereja para beriman harus menghormati pada tempat pertama Maria (no. 52)
- Maria jauh melebihi semua makhluk baik di surga maupun di bumi (no. 53)
- Ia melayani misteri penebusan dan bekerja sama untuk keselamatan manusia (no. 56)
- Ia adalah Bunda kita dan Bunda Tuhan (no. 57, 61, 69)
- Maria adalah pelopor (no. 63)
- Ia adalah teladan keutamaan: iman, harap dan kasih (no. 65)
- Maria adalah Bunda yang dimuliakan dengan tubuh dan jiwanya (no. 68), dst.
Jadi, meskipun Maria sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan istimewa, peran
pengantaraannya disubordinasikan pada martabat Kristus. Artinya, peran Maria diturunkan dari
persatuannya yang mesra dengan Kristus. Dengan ini dihindari paham pengantara tandingan.
3.3 Kebaktian kepada Maria dalam Gereja (no. 66-67)
Ibadat khusus (hyperdulia, pembaktian, devosi) kepada Perawan Suci Maria secara hakiki
berbeda dengan kebaktian kepada Allah (latria) maupun hormat kepada para kudus (dulia).
Harus dikatakan bahwa satu-satunya pusat dan tujuan kebaktian (latria atau cultus) Gereja ialah
Allah Trinitas. Kebaktian yang otentik tidak dipusatkan pada manusia.
47
a. Devosi kepada Santa Maria
Dasar biblis penghormatan khusus Gereja kepada Maria ialah karena perbuatan-perbuatan
besar yang dikerjakan Allah untuk Maria. Ini ditemukan dalam Luk 1:48-49. Ini merupakan
kesaksian iman tertua ibadat khusus Gereja kepada Maria. Dengan kebaktian ini Gereja mau
memperlihat-kan sikap hormat, kagum dan percaya kepada peran Sang Perawan yang di
dalamnya tampak perbuatan-perbuatan besar Allah. Itu berarti prinsip dasar devosi kepada
Maria terletak bukan pada prestasi yang telah dicapai Santa Maria, tetapi pada Allah sendiri
(pada rahmat Allah). Hanya Allah-lah yang sanggup mengerjakan perbuatan-perbuatan besar.
Bentuk konkret perbuatan-perbuatan besar ialah keterlibatan Maria dalam misteri Kristus dan
Gereja.
Dasar historis: devosi telah dijalankan oleh umat secara tekun berabad-abad, terutama sejak
Konsili Efesus.
Devosi atau ibadat khusus Gereja kepada Maria merupakan “tujuan-antara”, bukan tujuan
akhir. Artinya, ketika Gereja menghormati Maria dengan devosi, Gereja sedang melampaui
Maria menuju tujuan akhir, yakni memuliakan Allah Yang Kudus yang berinkarnasi dalam
Yesus Kristus. Inilah hakikat atau makna devosi kepada Maria.
Devosi kepada Maria ada dua: pertama, ibadat pribadi (cultus privatus) dengan bentuk-
bentuknya: doa rosario, litani Santa Perawan Maria, Angelus Domini, ziarah, berdoa di depan
patung atau gambar Maria, dll. Kedua, ibadat publik (cultus publicus) yang dirayakan seluruh
Gereja dalam liturgi resmi dan ini bersifat mengikat, seperti perayaan Maria Diangkat ke Surga.
Devosi ini merupakan salah satu sarana kesalehan yang dianjurkan demi sembah bakti dan
kemuliaan Allah yang telah berinkarnasi.
b. Semangat devosi yang otentik
Konsili suci menganjurkan kepada umat Allah untuk menjauhkan sikap kepicikan hati dan
segala usaha yang melebih-lebihkan peran Maria sebagai Bunda Allah. Dalam cultus privatus
hendaknya dijauhkan segala kecenderungan yang mengarah kepada pendewian Maria, yakni
Maria disembah sebagai sumber keselamatan, magik yang menjamin kehidupan kekal. Untuk
pemurnian ini diberi tugas khusus kepada para teolog.
Devosi yang benar atau otentik harus keluar dari iman sejati (ortodoksi). Devosi ini tidak
keluar dari perasaan yang mandul dan sementara atau sifat mudah percaya tanpa dasar. Devosi
ini mesti mengajak anggota Gereja untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, mencintainya dan
meniru keutamaannya. Marialis Cultus meringkaskan bahwa devosi yang benar harus
menampakkan aspek trinitaris, kristologis dan eklesial.
3.4 Maria dan eskatologi (no. 68-69)
Pada bagian akhir ajaran mengenai Maria, Konsili mempertegas fungsi Maria dalam Gereja,
yaitu fungsi Maria sebagai citra Gereja. Gereja merumuskan imannya bahwa Maria merupakan
awal penyempurnaan Gereja di masa depan dan tanda pengharapan yang pasti bagi Gereja.
48
Dengan ini Gereja mengimani bahwa Yesus Kristus sendiri telah menggenapi janji-Nya
mengenai eskaton di dalam diri Maria.
Dengan ekspresi ini tampaknya Konsili menghubungkan Maria dengan eskatologi. Ada tiga
afirmasi mengenai eskatologi dalam Perjanjian Baru: 1) eskatologi realis: Kerajaan Allah telah
dinyatakan dalam peristiwa Yesus Kristus; 2) eskatologi futuris: Kerajaan Allah baru akan
diwujudkan sepenuhnya pada masa yang akan datang; belum terwujud sepenuhnya sekarang; 3)
eskatologi realis-futuris atau eskatologi “sudah dan belum”: Kerajaan Allah sudah diwujudkan
dalam peristiwa Yesus, tetapi orang-orang Kristen masih diberi kesempatan untuk
mengharapkan untuk menikmati perwujudan yang sempurna dalam sejarah dunia.
Dogma Maria Diangkat ke Surga memiliki kaitan erat dengan aspek eskatologis dalam figur
Maria. Dengan dogma ini Gereja mau menegaskan bahwa Maria telah menikmati keselamatan
sempurna, yaitu meliputi seluruh eksistensinya, jiwa dan badannya. Pengakuan keselamatan
seluruh eksistensi Maria tidak lain merupakan pengakuan akan keselamatan eksistensi seluruh
umat manusia. Bila demikian halnya, di dalam dogma tersebut dinyatakan pusat pengharapan
Gereja, yaitu janji akan penebusan tubuh dan jiwa. Maka, apa yang telah dialami oleh Maria
menjadi penantian bagi umat beriman: penebusan jiwa dan badan.
10. DEVOSI KEPADA MARIA
10. 1 Pengertian Devosi
Devosi berasal dari kata Latin devotio, yang kata kerjanya devovere, yang artinya pembaktian
diri. Secara klasik dari perspektif teologis, devosi didefinisikan sebagai kesediaan untuk melayani
dalam ketaatan akan kehendak ilahi. Tetapi, kini devosi dipahami sebagai suatu sikap hati yang
mengarahkan seseorang kepada sesuatu atau seseorang yang dihargai, dijunjung tinggi dan
dicintai. Devosi lebih merupakan penghayatan iman, karena itu devosi pertama-tama menyangkut
hati dan afeksi religius, bukan akal budi atau nalar. Devosi lebih merupakan praktek iman, bukan
diskusi spekulatif. Devosi orang-orang beriman dimotivasi oleh keinginan atau afeksi untuk
mewujudnyatakan prinsip-prinsip injili ke dalam hidup mereka47.
Selain devosi resmi, dalam Gereja juga dikenal “devosi populer” atau “devosi rakyat”. Istilah
devosi rakyat memiliki dua arti: pertama, praktek-praktek aktual kesalehan kristiani seperti
ibadat-ibadat, doa-doa, ritus-ritus gerejani, yang berbeda dari liturgi resmi Katolik. Isi dan tema
antara sebuah devosi populer dan liturgi resmi mungkin sangat dekat. Contohnya ialah Jalan Salib
merupakan devosi populer, tetapi penghormatan Salib pada Jumat Agung adalah bagian dari
liturgi resmi. Kedua, devosi populer menunjuk kepada tema-tema dan sikap-sikap tertentu yang
memberi ciri khas pada devosi itu, sekalipun devosi-devosi itu telah diterima dalam liturgi resmi.
Sebagai contoh adalah devosi kepada Hati Tersuci Yesus. Devosi populer biasanya pertama-tama
dipraktekkan oleh umat biasa dan bukan terutama oleh kaum religius yang profesional48.
47Groenen, Mariologi…, hlm. 150; C. Dehne, “Devotion and Devotions”, dalam The New Dictionary of Theology (Minnesota: The Liturgical Press, 1993), hlm. 283.
48Dehne, “Devotions…”, hlm. 284.
49
10.2 Sejarah Singkat Devosi kepada Maria49
Devosi kepada Maria bukanlah devosi pertama yang muncul dalam Gereja. Dalam kerangka
historis, permulaan devosi berasal dari kebaktian umat kepada para martir, khususnya dies natalis
mereka. Sejauh ditelusuri ini dimulai kira-kira pada tahun 150. Pujian dan syukur kepada Allah
atas segala yang dikerjakan-Nya di dalam diri para martir menjadi alasan kebaktian. Pribadi
martir mendorong umat untuk berdoa kepada Allah. Jelas di sini semua doa hanya ditujukan
kepada Allah atau Kristus. Ini kemudian menjadi ketetapan resmi dalam Gereja sebagaimana
digariskan dalam Sinode Hippo tahun 393 dan di Kartago tahun 397. Itu berarti tujuan kebaktian
umat ialah hanya Tuhan sendiri.
Akan tetapi sekitar tahun 200 muncullah devosi rakyat atas para martir. Di sini sasaran mulai
terarah kepada para martir sendiri. Umat beriman mulai meyakini bahwa para martir adalah
sahabat Yesus yang dapat membantu mereka. Maka makam mulai menjadi tempat ziarah dan
benda-benda peninggalan mereka diyakini memiliki kekuatan supranatural yang berguna dalam
kehidupan mereka. Tidak jarang terjadi perebutan relikui para martir. Pelan-pelan devosi rakyat
ini dimasukkan ke dalam liturgi dan dengan itu ibadat diarahkan kepada Allah melalui Kristus.
Dari abad ke-4 sampai abad ke-6, devosi kepada martir mulai menyebar baik di Gereja Timur
maupun Gereja Barat. Dalam masa ini gereja-gereja didirikan di atas makam para martir dan
biasanya altar ditempatkan tepat di atas kuburan itu. Umat pun beramai-ramai berziarah ke tempat
ini sambil mengharapkan mukjizat, sebab tempat itu dianggap sakti. Tampaknya pernah juga
terjadi bahwa relikui para martir diperdagangkan, karena dianggap menyimpan daya sakti. Pada
umumnya uskup mengintegrasikan ke dalam liturgi resmi devosi ini dan dicari kaitannya dengan
iman akan Kristus Yesus, sehingga dihindarkan praktek yang liar dan sesat. Sebagai contoh, ialah
Agustinus. Mula-mula ia segan dengan devosi ini, tetapi kemudian ia mendukung devosi ini.
Devosi kepada Maria merupakan perkembangan lanjutan dari devosi kepada para martir50.
Sejak abad ke-4 itu juga umat mulai percaya bahwa yang pantas dihormati bukan saja para martir
yang mati karena mempertahankan imannya secara gagah berani, tetapi juga mereka yang selama
hidupnya sungguh serupa dengan hidup Kristus, yakni para kudus. Bunda Maria diyakini sebagai
salah satu dari orang kudus ini. Mereka meyakini bahwa Maria martir secara rohani. Inilah
awalnya berdevosi atau berdoa kepada Maria. Doa tertua kepada Maria ditemukan dari abad ke-4
ini, yakni “Sub tuum praesedium, Deigenetrix/Theotokos..”. Ketika Nestorius menentang gelar
Theotokos, Konsili Efesus justru meresmikannya. Dengan peresmian ini devosi rakyat kepada
Bunda Allah semakin berkobar. Diceritakan bahwa di luar ruang pertemuan rakyat menunggu
keputusan para Bapa Konsili. Ketika diumumkan bahwa Konsili menerima gelar ini, rakyat di
kota Efesus berkeliling sambil berteriak-teriak: “Maria Theotokos”.
Bahkan pada abad ke-4 ini sudah ada pesta Dies Natalis Maria. Bukan hanya pesta ini. Pada
abad ke-5 pun di Gereja Timur sudah ada pesta Dormitio (Tertidur), yaitu pesta sejenak
49Disarikan dari Groenen, Mariologi…, hlm. 157-167. 50Bdk. Elzebieta Adamiak, “Developments in Mariology”, dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 37-
39.
50
tertidurnya Maria di tangan Tuhan. Ketika ia terjaga dari tidurnya, Maria telah berada dalam
kemuliaan surgawi. Pada tahun 600 Kaisar Mauricius Flavius menetapkan perayaannya ke tanggal
15 Agustus setiap tahun51.
Tampaknya pada abad ke-5 ciri khas devosi rakyat kepada Maria mendapat bentuknya, yakni
Maria sendiri menjadi sasaran, bukan alasan berdoa dan beribadat. Artinya, doa diarahkan kepada
Maria bukan melalui Maria kepada Kristus atau Allah. Ini menimbulkan persoalan teologis.
Kristus seakan-akan diliburkan oleh Bunda-Nya. Tetapi, pengecualian ialah St. Agustinus. Dalam
karya-karyanya tidak ditemukan satu pun doa yang ditujukan kepada Maria. Apa yang
menyebabkan Maria menjadi lebih menonjol dalam penghayatan iman umat beriman? Kiranya
salah satu faktor ialah penekanan yang berlebihan pada keilahian Yesus dan Ia dicitrakan sebagai
Raja Mahadahsyat dan Hakim yang menakutkan. Ini mendorong umat biasa mengungsi kepada
Bunda Maria. Gejala yang terakhir ini dimulai abad ke-7.
Selanjutnya mulai abad ke-7 itu hingga Abad Pertengahan devosi rakyat berkembang pesat.
Devosi populer ini mempengaruhi ibadat resmi Gereja dengan bertambah banyaknya pesta-pesta
Maria sebagai Ibu Yesus, yang gagasan dasarnya muncul baik dari Injil kanonik maupun Injil-
Injil apokrif. Sebagai contoh: Pesta khabar Malaikat, Maria mempersembahkan Yesus di Bait
Allah, Pengungsian ke Mesir, Maria mengunjungi Elisabet, Pertunangan Maria, Maria dikandung
secara ajaib dari ibunya, Anna yang mandul, Pertemuan Maria dengan Yesus di jalan salib, Maria
di bawah salib, Bunda duka cita, Transitus Maria, dll. Hanya saja liturgi ini tetap diarahkan
kepada Allah sendiri. Selain itu terdapat juga pesta yang mensejajarkan Maria dengan Yesus:
Maria Ratu, Hati Maria tak bernoda pada Sabtu pertama. Dalam renovasi liturgi setelah Konsili
Vatikan II banyak pesta ini ditinggalkan atau hanya dikhususkan kepada daerah tertentu atau ordo
tertentu dalam Gereja.
Para reformator yang dimulai oleh Martin Luther tahun 1517 menolak devosi rakyat, karena
bertentangan dengan Kitab Suci. Menurut mereka devosi itu terlalu liar dan mengesampingkan
peran Kristus pengantara tunggal. Mereka hanya mempertahankan devosi marianis yang bernilai
kristologis, yakni Maria menerima khabar gembira, Maria mengunjungi Elisabet, Maria
mempersembahkan Yesus di Bait Allah. Sikap anti-Maria ini diperparahkan kemudian oleh
polemik yang hebat antara para pengikut reformasi Protestan dan Gereja Katolik. Tetapi di zaman
modern ini sikap saudara-saudara terpisah mulai berubah, meskipun muncul dari beberapa
golongan. Susan Ross mencatat bahwa di beberapa Gereja Protestan di Amerika Utara dan
Amerika Selatan berkembang subur devosi kepada Maria. Memang ini dipengaruhi oleh
keturunan Spanyol yang pindah ke komunitas Protestan. Rupanya pada waktu mereka
menyeberang ke sana, devosi dari Gereja Katolik tidak dapat mereka tinggalkan. Ini pun menjadi
titik cerah untuk ekumene ke depan52.
Rupanya pengaruh praktek yang agak liar sejak abad ke-13, yang seolah-olah meliburkan
Kristus oleh Bunda-Nya, devosi rakyat cukup lama mendapat perlawanan dari para teolog dan
51Y. Solor Balela, “Misteri Bunda Maria Diangkat ke Surga: Suatu Pencarian Makna Iman”, dalam Logos 2/5 (Januari 2008), hlm. 57-58.
52Susan A. Ross, “Mary: Human, Feminine, Divine?”, dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 28.
51
pimpinan Gereja. Ketika umat dengan berkobar-kobar mempercayai penampakan-penampakan
Maria, misalnya, pimpinan Gereja hanya menyatakannya sebagai pie creditur (kesalehan yang
dipercaya atau tidak). Tetapi belakangan ini muncul kesadaran baru yang memberi apresiasi
positif pada devosi populer atau devosi marianis tradisional, karena devosi ini dilihat sebagai
sarana yang membuat iman lebih realistis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia
yang terdiri dari tubuh dan jiwa membutuhkan sarana real dalam penghayatan imannya. Umat
beriman rupanya membutuhkan hal-hal konkret yang dapat diraba, dipegang atau dilihat langsung
dalam hidup mereka. Diakui bahwa sekalipun mereka lebih menonjolkan Bunda Maria dalam
devosi, tetapi sesungguhnya di bagian dasar devosi ini terendap kesadaran akan kesatuan yang
kuat Kristus dan Maria, Bunda-Nya. Ini tampak dari gambar-gambar atau patung-patung Maria
yang disatukan dengan Yesus Kristus, Putranya, entah Maria memangku-Nya atau berdiri di
sampingnya.
Satu-satunya yang masih menyisakan kritik pedas atas devosi marianis tradisional belakangan
ini muncul dari para teolog feminis dan teolog pembebasan53. Menurut para teolog feminis
gambaran dan devosi marianis yang dimiliki Gereja Katolik masa kini sudah ketinggalan zaman.
Sebenarnya sosok Maria yang dilihat sebagai perawan dan peran pasif belaka (ibu yang taat,
mengurus anak dan rumah tangga) merupakan ciptaan kaum pria selibater. Semua gambaran ini
tidak menjawab gerakan emansipasi di zaman modern. Menurut mereka, Maria seharusnya
menjadi model bagi wanita zaman modern untuk mengembangkan segala kemampuan
manusiawinya, termasuk menikah. Agaknya ide keperawanan tetap (virginitas post partum) tidak
mereka terima54. Para teolog pembebasannya tampaknya seide dengan teolog feminis. Mereka
berpendapat bahwa Maria seharusnya dicitrakan sebagai wanita revolusioner, wanita pejuang,
yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan bagi rakyat jelata yang tertindas. Menurut mereka,
Magnificat merupakan contoh protes Maria terhadap kaum penguasa dan kapitalis. Maria
menghendaki agar mereka ditumbangkan dan diturunkan dari tahta mereka serta disuruh pergi
dengan tangan hampa. Kritik mereka segar dan masuk akal, tetapi kita mesti hati-hati juga. Sejauh
mereka menyerukan pembebasan tanpa kekerasan fisik, kita mendukungnya, tetapi bila mereka
masuk juga ke ranah kekerasan fisik, kita harus menarik diri dari keyakinan dan praktek seperti
ini.
10.3 Hubungan antara Marialogi dan Devosi Maria
Marialogi pada hakikatnya ialah suatu refleksi rasional dan teratur atas kedudukan dan
peranan Maria sebagai manusia dalam sejarah dan tata penyelamatan Allah terhadap manusia.
Sebagai salah cabang dari ilmu yang memikirkan dan mengajarkan mengenai Allah, Marialogi
53Pandangan para teolog feminis dapat juga dibaca pada: Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 492-502.54Kita perlu mengambil jarak dari kritikan teolog feminis. Apakah mereka juga memikirkan konsekuensi
kristologis pernyataan mereka mengenai keperawanan Maria. Bagaimana dipahami “saudara-saudara Yesus” dalam Injil Markus dan Kis 1:14? Bila kita tinggal dalam keraguan akan keperawanan tetap Maria, maka saudara-saudara Yesus dapat diartikan sebagai saudara-saudara sekandung. Bila Yesus memiliki saudara kandung, bagaimana dapat diperdamaikan dengan Wahyu dalam Injil Yohanes (3:16) yang mengatakan bahwa Kristus merupakan Putra tunggal Allah Bapa? Jadi, ternyata meragukan keperawanan Maria berdampak kristologis, yakni keraguan akan eksistensi Kristus sebagai Putra Tunggal Allah.
52
memikirkan dan mengajarkan tentang ibu Yesus Penebus dalam hubungannya dengan Allah serta
peranannya dalam relasi antara manusia dengan Allah dan manusia dengan Allah. Secara teologis,
Maria tidak pernah dapat dilepaskan dari Kristus, Juruselamat umat manusia. Demikian pun
sebaliknya, Yesus Kristus, dari perspektif inkarnasi yang merupakan pintu Allah memasuki
sejarah dan penebusan umat manusia, tidak dapat dipisahkan dari ibu-Nya, Bunda Maria. Dan
ternyata dari pihak Allah telah mengkhususkan Maria untuk posisi dan fungsi seperti ini. Atas
inilah, maka, Marialogi menggarisbawahi bahwa Maria menempati posisi serta peranan yang
unggul dan tunggal dalam sejarah dan tata keselamatan. Pengakuan akan keistimewaan Maria ini
tidak melepaskannya sebagai manusia biasa dan subyek mandiri di hadapan Allah yang harus juga
mendapat penebusan dari Allah melalui Kristus.
Mariologi memang memikirkan dan mengajarkan secara ilmiah dan rasional iman umat akan
Maria. Karena Marialogi bersentuhan dengan iman umat mau tidak mau ia harus melayani
penghayatan iman ini, yang kita sebut sebagai devosi. Jadi, Marialogi mesti melayani devosi umat
beriman terhadap Bunda Penebus, Santa Maria. Persisnya, Marialogi menjernihkan devosi kepada
Maria: menempatkannya secara benar dalam keseluruhan penghayatan iman Kristen. Oleh
sasarannya Maria, Ibu Yesus, devosi tidak pernah boleh diisolasikan dari Kristus, Penebus tunggal
dan titik sentral seluruh iman Kristen. Dalam hal ini, Marialogi berperan menjaga kemurnian
devosi dari praktek penghayatan yang isolatif dan menyimpang, bahkan terkesan liar dengan
mendewakan Maria, dengan memasukan unsur-unsur mitologis dari agama rakyat.
Marialogi harus juga mempertimbangkan bahwa devosi Maria tidak dapat disejajarkan begitu
saja dengan devosi para kudus lainnya. Kalau devosi kepada orang-orang kudus ini bersifat
fakultatif, sebaliknya devosi kepada Maria tidak boleh secara tegas dikatakan sebagai fakultatif.
Alasannya, Maria merupakan unsur konstitutif dalam sejarah dan tata penyelamatan. Memang
dalam penghayatan iman, devosi tidak dikatakan sebagai unsur hakiki, tetapi unsur pelengkap dan
integral.
Selain itu post Konsili Vatikan II Marialogi memiliki tugas penting yaitu membela dan
memupuk devosi yang secara mendadak mengalami krisis dan penurunan drastis di kalangan
umat Katolik. Ini benar-benar di luar jangkauan pertimbangan para Bapa Konsili. Gejala ini
memukul Gereja Katolik, sebab di kalangan Protestan mulai arus sebaliknya, meskipun tidak
semua dari mereka.
Tetapi devosi juga memberi sumbangan kepada Mariologi. Devosi rakyat yang ambivalen,
yaitu di satu sisi devosi itu menerima dari inspirasinya dari kerygma apostolik dan tradisi sejati,
namun di sisi lain kadang-kadang juga memasukkan tradisi-tradisi keagamaan lain, justru
mendorong dan memajukan refleksi teologis mengenai Maria. Di samping itu, tidak jarang
sepanjang sejarah Gereja Kudus, teologi terlalu spekulatif, amat berbelit, jauh dari iman konkret
sehari-hari, sehingga kurang berkesan di hati umat. Sepertinya teologi, dalam hal Marialogi juga,
berjalan dalam realitasnya sendiri, yakni realitas rasional. Padahal agama dan iman bukanlah
pertama-tama masalah otak dan konsep, melainkan masalah hati dan simbol. Maka, bila mau
melayani iman rakyat, ia seharusnya memerlukan devosi rakyat.
53
10.4 Bentuk-Bentuk Devosi
Umumnya orang membayangkan devosi rakyat kepada Maria identik dengan doa Rosario atau
pemilikan Rosario. Dari sudut pandang Marialogi, pandangan atau keyakinan seperti itu tidak
tepat. Pada dasarnya, devosi marianis memiliki bermacam-macam bentuk. Bentuk-bentuk itu
diklasifikasikan demikian. 1) Pemberian nama kepada orang atau sesuatu entah itu kota, desa,
jalan, lapangan, sungai atau juga kepada tarekat atau perkumpulan marianis, termasuk dalam
bagian dari devosi kepada Bunda Maria. 2) Di samping itu terdapat juga benda-benda yang
disebut devosionalia, seperti: patung, medali, gambar, skapulir, rosario, berkas bunga-bunga
tertentu, lilin, lampu, pakaian. 3) Gerakan tubuh: doa-doa Maria, ziarah, prosesi patung Maria.
Beberapa bentuk tersebut diuraikan berikut.
1. Doa-doa kepada Maria
Bentuk devosi marianis yang paling umum ialah doa kepada Maria karena perbuatan-
perbuatan besar Allah atas dirinya, entah itu doa pujian, syukur ataupun permohonan. Untuk
menghindari problem dalam kehidupan iman, maka perlulah diperhatikan struktur dasar setiap
doa kepada Maria, seperti terdapat dalam doa yang paling umum dan resmi, yakni doa salam
Maria.
a. Doa Salam Maria (Ave Maria)
Kita semua tahu doa ini: “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di
antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami
yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amen”. Bentuk lengkap seperti ini baru diterima
secara resmi dan umum di seluruh Gereja sejak tahun 1568, ketika Paus Pius V, seorang
Dominikan, menyuruh para imam membuka ibadat harian dengan doa Bapa Kami dan Salam
Maria. Jadi, pembentukannya tidak terjadi serta merta, tetapi bagian demi bagian. Bagian-bagian
itu terdiri dari: 1) Salam yang diucapkan malaikat Tuhan kepada Maria (bdk. Luk 1:28); 2) Pujian
yang diucapkan Elisabet kepada Maria (bdk. Luk 1:42); 3) Seruan tambahan Gereja55.
Bagian pertama doa ini digunakan sebagai doa oleh umat Kristen di Siria sejak abad ke-6.
Pada abad ke-9 barulah doa singkat ini diterima di Eropa. Potongan singkat ini mulai populer
ketika para biarawan mulai menyanyikannya sebagai antifon dalam ibadat harian dan juga
Perayaan Ekaristi tertentu.
Bagian kedua kemudian ditambahkan pada bagian pertama kira-kira pada abad ke-10.
Gabungan kedua bagian ini pada abad ke-12 dipakai dalam pengajaran kepada para calon baptis
dan doa singkat ini dipakai setelah doa “Aku Percaya” dan “Bapa Kami”. Namun kata “Yesus”
pada bagian kedua ini barulah dimasukkan pada abad ke-16. Penambahan ini memiliki maksud
teologis-kristologis. Maria dipuji sebagai orang yang dipilih Allah menjadi ibu Yesus. Pujian
terarah kepada Maria, tetapi dasarnya bukan Maria, melainkan Allah dan Yesus Kristus. Dengan
demikian Maria tidak diisolasi. Dalam pujian itu terungkap rasa kagum terhadap Maria atas
karya-karya besar Allah di dalam dirinya.
55Michael O’Caroll, Ensiklopedi Populer Tentang Maria (Jakarta: Yayasan Hidup Katolik, 1988), hlm. 110-111.
54
Bagian ketiga merupakan doa permohonan yang ditujukan kepada Maria. Tambahan ini telah
mulai dipakai di dalam Gereja Kudus sejak abad ke-13. Di dalam seruan tambahan ini si pendoa
(Gereja) memohon doa dari Maria. Kebiasaan saling mendoakan di antara orang beriman sudah
ada sejak zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Mohon doa dari orang kudus terutama
dilandasi oleh paham Gereja sebagai suatu persekutuan: orang kudus yang mulia di surga pantas
dimohonkan doa dari mereka. Maria termasuk salah satu di dalamnya. Maka tak ada masalah
memohonkan doa dari Maria. Doa Maria pastilah lebih unggul mengingat kedudukan dan peranan
Maria dalam tata penyelamatan.
Doa rakyat kepada Maria biasanya amat konkret. Maksudnya, doa mereka sungguh berangkat
dari kebutuhan hidup sehari-hari yang real, misalnya mohon penyembuhan dari penyakit, bebas
dari bahaya, mendapatkan anak, mendapatkan pekerjaan, hasil pertanian, lulus ujian, bebas dari
ancaman penjara, dll. Semua ini kadang-kadang hanya tersirat diikutkan dalam doa “salam
Maria”. Biasanya dalam doa itu Maria langsung dimohonkan pertolongannya. Hal ini sebenarnya
sudah merupakan kebiasaan kuno dalam hidup beriman umat. Tampak misalnya dalam doa yang
tertua Sub tuum praesidium, rakyat langsung memohon kepada Maria: “Kami mengungsi di
bawah naunganmu, hai Bunda Allah, yang suci, janganlah memandang hina doa permohonan
kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, hai Perawan yang mulia dan terpuji”.
Dalam doa ini Allah secara tidak secara langsung disapa, yakni melalui sebutan Bunda Allah.
Karena itu dalam konteks keutuhan iman Kristen, doa ini dapat dipertanggungjawabkan.
Sebenarnya tidak ada yang keliru dalam doa yang demikian spontan dan realis, sebab dengan
cara demikian umat beriman mengungkapkan keyakinannya dan harapannya akan kasih Allah
dalam diri Maria. Kasih Allah, dalam hal ini tentulah Kasih Kristus juga, dan balas-kasih dari
Maria merangkul manusia konkret dan tidak bersifat abstrak. Kasih yang demikian dari Allah
tidak menyetujui kemalangan yang dialami oleh umatnya. Bila ternyata doa-doa ini tidak
dikabulkan toh di dalamnya terungkap iman umat akan harapan yang tak tergoyahkan akan kasih
Allah yang telah terwujud di dalam Bunda Penebus.
b. Doa Angelus
Menurut Didache bab VIII sudah sejak awal sekurang-kurangnya sejumlah umat beriman
biasa mendoakan doa “Bapa Kami” tiga kali sehari mengikuti kebiasaan Yahudi. Inilah cikal
bakal munculnya kebiasaan Ibadat Harian di kalangan para rahib dan rohaniwan yang
dilaksanakan tiga kali sehari: pagi, siang dan sore. Ini dimulai pada Abad Pertengahan. Mulai
abad ke-16 para Fransiskan memopulerkan doa ini dalam Gereja dengan mendoakannya tiga kali
sehari.
Pada hakikatnya doa “Malaikat Tuhan” merupakan Ibadat rakyat. Bagi umat yang tidak
memiliki waktu untuk ikut serta dalam Ibadat Harian, mereka menggantinya dengan doa Angelus.
Ibadat Rakyat ini memiliki struktur yang mirip dengan Ibadat Harian. Struktur itu dapat
dilukiskan berikut ini:
* Bagian pertama terdiri dari tiga ayat dan tiga tanggapan, yang setiap kali diikuti dengan doa
(Salam Maria).
55
=> Ayat pertama dan tanggapannya: Maria menerima khabar Gembira dari malaikat Tuhan;
ia menggandung dari Roh Kudus. Ini mengutip teks biblis Lukas 1:28-35.
=> Ayat kedua dan tanggapannya: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut
perkataanmu. Ini mengutip Lukas 1:38.
=> Ayat ketiga dan tanggapannya: Sabda telah menjadi daging, dan tinggal di antara kita. Ini
dikutip dari Yoh 1:14.
* Bagian kedua merupakan permohonan kepada Maria dan tanggapannya: Doakanlah kami,
ya Bunda Allah, supaya kami layak menerima janji Kristus.
* Bagian ketiga ialah doa sebagai memoria atas inkarnasi, penderitaan, wafat dan kebangkitan
Kristus: Ya Tuhan, karena khabar malaikat Tuhan.....
Dalam ketiga ayat pertama dan tanggapannya tersirat pesan teologis: dalam doa itu diwartakan
dan ditanggapi misteri inkarnasi. Dari struktur di atas kita melihat bahwa ada pewartaan (bacaan)
dan doa (mazmur) yang mirip dengan Ibadat Harian.
c. Doa Rosario
- Historitas56
Ada legenda yang mengisahkan bahwa doa Rosario seperti yang kita miliki sekarang ini
diturunkan oleh Bunda Maria kepada St. Dominikus, pendiri Ordo Pengkotbah pada abad ke-15.
Tetapi bila dikaitkan dengan sejarah terbentuknya doa Rosario, legenda ini sulit dibuktikan.
Menurut tinjauan sejarah, doa Rosario berawal dari kebiasaan para rahib yang mendaras 150
Mazmur dalam doa harian mereka di biara. Tidak semua rahib tidak melek huruf. Maka sebagai
ganti Mazmur-mazmur, mereka ini mendoakan doa lain, yakni doa “Bapa Kami”, yang sejak
zaman Gereja Awal merupakan doa terpenting dan yang dihafal serta dipakai oleh katekumenat di
samping Kredo. Untuk menghitung sudah berapa doa telah diucapkan, maka mereka pakai seutas
tali bersimpul atau manik-manik sebagai bantuan.
Sejak abad ke-11 seiring berkembangnya devosi kepada Maria, doa Bapa Kami diganti
dengan doa Salam Maria. Para pemakai tetap mempertahankan jumlah 150 yang koresponden
dengan 150 mazmur. Yang menarik bahwa dalam masa ini juga doa harian para rahib yang buta
huruf mengalami perkembangan. Mereka mendaras mazmur dalam tiga kelompok dan masing-
masing 50 mazmur. Ini mempengaruhi jumlah doa Salam Maria. Jumlah 150 dibagi menjadi tiga
bagian dan masing-masing bagian terdiri dari 50 buah, yang kemudian disebut “korona”
(mahkota).
Sejak abad ke-12 ada juga kebiasaan umat Kristen untuk mengenang dalam doa “Lima
Sukacita Santa Maria, yaitu: khabar suka cita, kelahiran Yesus, kebangkitan Yesus, kenaikan
Yesus, dan pengangkatan Maria ke Surga. Ini pun kemudian tambah dengan peristiwa lain, yakni:
penampakan Tuhan, Pentekosta atau kunjungan Maria kepada Elisabet. Dengan ini namanya
menjadi “Tujuh Sukacita Maria”. Dalam mengenang peristiwa-peristiwa ini, doa Salam Maria
yang diulang-ulang diikutsertakan di dalamnya. Para Fransiskan pada abad ke-13 berjasa dalam
memopulerkan Korona Ketujuh sukacita Maria ini.
56Bdk. Nikolaas Martinus Schneiders, Orang Kudus Sepanjang Tahun (Jakarta: Obor, 2004), hlm. 499-502.
56
Kesadaran devosional umat berkembang. Rupanya mengiringi peristiwa sukacita itu
bertumbuh pula devosi lima duka cita Maria yang dialaminya selama Yesus menderita sengsara
dan wafat. Tampaknya ini berkembang sejak abad ke-14 oleh para Fransiskan dan Serikat Hamba
Maria. Inilah juga menjadi awal kebiasaan menghubungkan doa Salam Maria dengan peristiwa
Yesus.
Kelima belas peristiwa Rosario yang kita kenal sekarang berasal dari sebuah buku kecil
yang dicetak pada tahun 1483 di Ulm. Di dalam buku itu termuat tiga seri lukisan dan tiap-tiap
seri memiliki lima lukisan: Lima Sukacita Maria, Lima Penumpahan Darah Kristus, dan Lima
Sukacita Maria setelah Paska. Menyertai lukisan-lukisan itu terpampang anjuran: “Daraskanlah
doa Salam Maria sambil memandang lukisan-lukisan ini!” Akan tetapi daftar tetap dalam
pengesahan Paus V tahun 1569, setahun setelah penetapan doa Salam Maria, bukan berasal dari
buku kecil ini. Paus menetapkan 15 peristiwa Rosario sebagaimana kita pakai sekarang
berdasarkan 15 peristiwa yang disusun di Spanyol kira-kira tahun 1488.
- Magisterium
Cukup banyak Paus telah menganjurkan perlunya doa Rosario sebagai “liturgi keluarga”,
mengingat doa tersebut dapat mengganti ibadat harian resmi. Beberapa pantas dicatat. Paus Leo
XIII pada tgl. 1 September 1883 mengeluarkan Ensiklik Supremi Apostolatus Officio. Di
dalamnya ia mengungkapkan doa Rosario sebagai senjata spiritual yang efektif melawan
kejahatan-kejahatan yang merusak masyarakat. Pada tgl. 29 September 1961 Paus Yohanes XXIII
dalam Surat Apostoliknya Il religioso convegno mempromosikan betapa pentingnya doa Rosario.
Setelah itu pada tahun 1974 Paus Paulus VI mengeluarkan Anjuran Apostolik Marialis Cultus. Ia
menggarisbawahi bahwa Rosario memiliki karakter injili dan inspirasi kristosentris. Di samping
itu ia juga menegaskan bahwa doa itu tidak bertentangan dengan liturgi; doa itu justru mendukung
liturgi: doa tersebut sebagai introduksi dan gema dari Liturgi. Dalam anjuran yang sama Paus
menyinyalir krisis doa Rosario yang ditandai dengannya menurunnya animo umat Katolik post
Konsili Vatikan II.
Yohanes Paulus II merupakan paus terakhir yang amat menganjurkan doa Rosario. Dalam
Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae yang dikeluarkan tahun 2002 ia menekankan bahwa
Rosario merupakan kompendium atau ringkasan pesan Injil. Dengan berdoa Rosario “umat
kristiani duduk pada sekolah Maria” dan dituntun kepada kontemplasi wajah Kristus dan
pengalaman akan kedalaman-kedalaman cinta-Nya. Ia mencemaskan gejala semakin menipisnya
minat generasi muda dan baru Gereja pada doa Rosario. Unsur baru yang disumbangkan Paus
dalam surat ini ialah penambahan korona lima peristiwa Yesus, yaitu Peristiwa Terang: Yesus
dibaptis di sungai Yordan, Manifestasi pada pernikahan di Kana, Pewartaan Kerajaan Allah dan
panggilan kepada pertobatan, Transfigurasi, Institusi Ekaristi57. Hanya saja sumbangan lima
peristiwa ini yang berarti 50 kali Salam Maria menimbulkan keterpecahan dengan aspek historis
sebelumnya. Bila ditambah lagi 50, maka keseluruhan Salam Maria berjumlah 200.
Pertanyaannya ialah: bagaimana keterkaitannya dengan unsur historis sebelumnya yang
57Yohanes Paulus II, Apostolic Letter Rosarium Virginia Mariae (Roma: Libreria Editrice Vaticana, 2002), no. 1, 2, 21.
57
menghubungkan 150 Salam Maria dengan 150 Mazmur dalam Kitab Suci yang dikanonkan?
Tampaknya keterkaitan ini luput dari pertimbangan Yohanes Paulus II. Bagaimana pun
keterkaitan ini penting, terutama bagi gerakan ekumenis. Tampaknya dengan menambah jumlah
itu, doa Rosario dikurung di dalam diri sendiri, agak sulit dilihat kaitannya dengan doa harian
yang mendaras ke-150 Mazmur. Tetapi pertanyaan ini tidak boleh menutupi pertimbangan Paus
yang melihat kurang lengkapnya misteri Kristus dipresentasikan dalam doa Rosario selama ini.
- Struktur doa
Doa Rosario dibuka dengan kredo, lalu diikuti dengan tiga Salam Maria. Ketiga Salam
Maria ini bertujuan untuk mengenang tiga keutamaan teologal, yaitu iman, harapan dan kasih.
Setelah itu pendoa masuk pada kontemplasi wajah Kristus melalui lima misteri dari satu
peristiwa. Masing-masing misteri didahului dengan doa Bapa Kami sebagai antifon dan ditutup
dengan doa Kemuliaan sebagai doa tanggapan. Melihat struktur ini, doa Rosario mirip dengan doa
Harian resmi. Maka, dalam arti tertentu doa Rosario dapat mengganti kedudukan Ibadat Harian
bagi rakyat biasa, yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk mendarasnya. Dari perspektif
ini pun doa Rosario memiliki kesejajaran dengan doa Angelus. Kesejajaran dalam arti doa itu
dapat menggantikan Ibadat Harian yang dengan teratur didoakan oleh para religius. Umumnya,
rakyat mendoakan Rosario sekali sehari.
Entah apa pun bobot teologisnya, doa Rosario merupakan devosi yang begitu populer di
kalangan umat Katolik, bahkan dijadikan tanda pengenal kekatolikan. Sejatinya doa Rosario
termasuk doa lahiriah dengan mendaras rumus-rumus yang sama, maka doa ini sangat cocok
untuk rakyat yang serba sibuk, sulit berkonsentrasi dan tidak memiliki waktu yang teratur untuk
berdoa. Groenen mengatakan bahwa pengalaman melantur dan mengantuk sewaktu mendaraskan
doa ini belumlah merupakan masalah yang besar. Dalam keadaan seperti itu rupanya kesadaran
untuk menjalin relasi dengan Allah yang diimani melalui Bunda Maria hidup di dasar hati
manusia. Sikap hati inilah yang terus menyalakan semangat doa sekalipun kata-kata keluar secara
mekanis.
Bobot populis yang dimilikinya kiranya tidak membutakan kita untuk tetap kritis juga,
tatkala doa Rosario dianggap semacam magis. Tidak menutup kemungkinan, ada sebagian kecil
umat yang begitu fanatik, bahkan sampai-sampai biji-biji Rosario pun tidak boleh jatuh tersentuh
ke tanah. Tetapi juga tidak bijaksana bila imam atau pemimpin umat melarang umat memakai
Rosario di lehernya atau di mobil pribadi.
d. Litani Santa Maria
Litani berasal dari bahasa Latin: litania. Menurut definisinya, litani adalah suatu bentuk doa
yang terdiri dari sejumlah permohonan atau seruan yang dinyanyikan atau didaraskan oleh
pemimpin dan dijawab oleh umat dengan aklamasi singkat58. Dalam Gereja Katolik ada 6 litani
yang disahkan, yakni Litani Para Kudus, Litani Nama Yesus, Litani Hati Kudus, Litani Darah
Mulia, Litani Santo Yosef, Litani Santa Maria. Yang paling umum dipakai ialah Litani Santa
58Bdk. Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 114.
58
Maria dan Litani Para Kudus. Yang terakhir ini biasa dipakai dalam liturgi resmi seperti pada
waktu tahbisan imam, profesi biarawan atau biarawati, vigili Paska.
Kiranya litani bukanlah bentuk doa eksklusif Gereja Katolik. Hampir setiap agama di dunia
ini memiliki bentuk doa yang demikian. Misalnya saja, sebelum Yesus lahir di dunia, umat Israel
telah biasa memakai seruan yang diulang-ulang seperti itu. Ini dapat kita temukan dalam Mzm
136. Sebenarnya litani baru dimulai dalam kekristenan pada abad ke-4 di wilayah Timur dan abad
ke-5 di Barat.
Litani Santa Maria sendiri sejauh diselidiki baru mulai dikembangkan sekitar tahun 1200. Itu
pun seruan-seruan awalnya. Litani yang kita pakai sekarang ini berasal dari tahun 1531 digunakan
di tempat ziarah Maria di Loreto, Italia Tengah. Di tempat ini dihormati rumah Maria dan Yosef
serta Yesus yang menurut cerita rakyat dipindahkan secara ajaib dari Nazaret 1291, lalu singgah
di beberapa tempat dan akhirnya pada tahun 1295 tiba di Loreto.
Dari segi struktur, litani Santa Maria berbentuk lingkaran dan bersifat kristologis, sebab
litani tersebut dimulai dengan sejumlah seruan kepada Kristus dan Allah Tritunggal. Lalu itu
diikuti dengan sejumlah permohonan doa kepada Maria. Dan pada akhir litani ditutup dengan
seruan kepada Kristus sebagai Anak Domba Allah. Dari sudut pandang ini, Santa Maria berdiri
sebagai pendukung mereka yang berdoa bersamanya. Sasaran doa tetapkan ditujukan kepada
Allah melalui Kristus. Maka, secara teologis litani Santa Maria memiliki pesan iman yang
mendalam dan merupakan doa yang dapat dipertanggungjawabkan yang meminta pertanggung-
jawaban dari kita.
e. Novena Maria
Novena berasal dari bahasa Latin novem yang berarti sembilan. Novena merupakan suatu
bentuk doa atau kebaktian (devosi) yang berlangsung selama sembilan hari, baik secara pribadi
maupun bersama-sama demi suatu kesempatan atau intensi khusus. Devosi ini memiliki latar
belakang biblis. Dasarnya ialah selama sembilan hari para Rasul bersama Bunda Maria berdoa
bersama di antara waktu Yesus naik ke Surga dan turunnya Roh Kudus pada hari Pentekosta di
Yerusalem (bdk. Kis 1:14).
Menurut A. Buono membuat suatu novena berarti berkanjang dalam doa sambil memohon-
kan sesuatu selama periode sembilan hari atau sembilan bulan. Ini tidak lain sejalan dengan pesan
Tuhan bahwa kita harus terus menerus berdoa dan tak pernah berhenti percaya. Keyakinan ini
didasarkan pada kata-kata Kristus sendiri: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah,
maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang
yang meminta, menerima dan setiap yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok,
baginya pintu dibukakan” (Luk 11:9-10)59.
Banyak umat Katolik bernovena kepada Bunda Allah dan Ratu Surga. Sedikit banyak hal itu
dipengaruhi oleh anjuran Gereja melalui ucapan Paus Pius XI: “Dengan doa yang tak kunjung
henti kita menjadikan Maria sebagai pengantara/mediatrix hidup harian kita, advokat kita yang
59A. Buono, “Novenas and Mary”, dalam Dictionary of Mary (New Jersey: Catholic Book Publishing, 1997), hlm. 353-354.
59
benar. Dalam hal ini kita boleh berharap bahwa dia sendirilah, dengan mengenakan kemuliaan
surgawi, akan menjadi pembela kita di hadapan kebaikan dan belas kasih Ilahi pada saat kematian
kita”60.
Novena marianis tertua, yang dijadikan indulgensi pada tahun 1764, adalah novena kepada
Maria Imakulata (Maria yang dikandung tanpa noda). Dewasa ini ada banyak novena yang dibuat
pada pesta-pesta Maria dan salah satu yang terkenal ialah novena kepada Medali Ajaib. Tentu saja
tujuan dari novena-novena ini bukan hanya berdoa untuk memohon rahmat dari Allah melalui
Maria, tetapi juga untuk menyemangati umat beriman agar sesering mungkin berdoa, karena
berdoa, setelah Sakramen-sakramen, merupakan sarana terkaya bagi rahmat Allah.
Setelah Vatikan II, struktur novena sedikit ditambah. Novena disesuaikan dengan Tahun
Liturgi dan menekankan bacaan-bacaan dari Kitab Suci. Inilah novena yang lebih sehat.
2. Patung/gambar Maria
Pada umumnya umat Katolik juga biasa berdevosi secara hangat dan personal kepada Maria
dengan memberi hormat khusus kepada patung atau gambar Maria yang ditempatkan entah di
gereja, di rumah atau di tempat-tempat ziarah. Mereka biasanya berdoa di depan patung atau
gambar Maria, mendupai, menempatkan lilin-lilin bernyala, mencium, mendekorasi dengan
bunga-bunga indah, mengelilinginya tiga kali sambil berlutut, memberinya pakaian, pemahkotaan,
prosesi/perarakan arca atau gambar yang dilengkapi dengan pasukan dan hiasan kemegahan
lainnya, dll.
Agama yang sangat menekankan monoteisme mutlak seperti Yahudi dan Islam, melarang
pemakaian patung atau gambar. Juga dalam komunitas Protestan hal yang sama diberlakukan.
Bagi Gereja Katolik dan Ortodoks hal ini tidak menjadi masalah. Menurut catatan sejarah
kebiasaan menempatkan patung Kristus dan orang-orang Kudus dalam Kitab Suci pada tempat-
tempat umat berkumpul atau kuburan mulai sekitar abad ke-2. Pada abad ke-7 devosi melalui
patung atau gambar ini makin populer di kalangan umat. Hal ini menimbulkan reaksi negatif dari
sebagian orang yang disebut ikonoklasme: gerakan yang menentang penghormatan atau
pemakaian patung atau gambar Yesus atau orang kudus lainnya. Gerakan ini muncul kembali
dalam zaman reformasi. Gereja Kudus pertama sekali memecahkan persoalan ini dalam Konsili
Nicea II tahun 787. Dalam Konsili ini Gereja tetap mengizinkan pemakaian patung atau gambar
dalam ibadat dan sebagai sarana devosi. Konsili Trente pun tahun 1563 kembali menegaskan
pengajaran Konsili Nicea II ini.
Jadi, prinsip yang masih dipegang hingga kini bahwa Gereja Katolik tidak mewajibkan
pemakaian patung atau gambar di tempat-tempat ibadat atau di rumah. Namun ini tidak menjadi
alasan bagi para agen pastoral untuk merelatifkan atau menentang sama sekali penggunaan patung
atau gambar Maria. Ini bukanlah sikap yang bijaksana. Gambar atau patung merupakan sarana
yang membantu penghayatan iman umat. Ini mau membantu umat yang menginginkan
ungkapan iman secara hangat dan emosional melalui pancaindra: melihat, merasakan, meraba, dll.
Tetapi Gereja Kudus juga tetap mengawaskan umat untuk menghindari bahaya idolatria,
penyembahan patung atau gambar. Tugas para agen pastoral menyiangi praktek-praktek yang
60Ibid., hlm. 354.
60
keliru. Petugas pastoral berkewajiban menyadarkan umat agar mereka tidak hanya tinggal pada
gambar atau patung itu, tetapi mereka harus sampai kepada Siapa yang dihadirkan oleh sarana-
sarana tersebut.
2. Ziarah
Ziarah berbeda dari wisata. Ziarah dipahami sebagai perjalanan religius yang dilakukan baik
secara pribadi maupun secara berkelompok menuju suatu tempat yang dipandang suci atau
keramat atau berhubungan dengan sejarah agama. Rakyat meyakini bahwa di tempat itu Yang
Ilahi hadir atau menampakkan kuat kuasa-Nya. Kehadiran atau kekuasaan itu dimanifestasikan
dalam tiga anasir kosmis, yaitu air (mata air ajaib, sumur ajaib, sungai ajaib), batu (altar, gua,
tugu batu), dan pohon (tua sekali, unik, gaib).
Hal-hal seperti itu sudah ada dalam agama primitif. Tetapi bukan hanya itu. Dalam agama
Hindu dikenal juga ziarah ke Sungai Gangga untuk mengadakan pembersihan radikal. Dalam
agama Yahudi sudah sejak awal nenek moyang mereka berziarah ke tempat-tempat suci yang
diyakini sebagai tempat penampakan dan kehadiran Allah (Kej 12:6-8; 13:3-4.18; 35:6). Tetapi
kemudian Yerusalem menjadi pusat ziarah. Untuk tujuan ini ditetapkan hukum: setiap laki-laki
dewasa sejak berumur 12 tahun wajib berziarah ke Yerusalem 3 kali setahun (bdk. 1Raj 12:27;
Kel 34:23; Ul 16:16). Pada umur 12 tahun menurut Injil Lukas, Yesus menjalani hukum ini.
Umat Kristen mulai berziarah kira-kira pada abad ke-4 dengan tujuan ziarah makam para
martir. Kebiasaan ini berkembang seiring lahirnya devosi kepada para martir. Sejak abad
Pertengahan ziarah merupakan salah satu kegiatan religius yang sangat populer dan penting di
kalangan umat. Tempat ziarah pertama sejak itu ialah Tanah Suci yang disucikan oleh kehadiran
Tuhan sendiri. Maka pada waktu itu tempat-tempat yang berhubungan dengan kehadiran Tuhan
(kelahiran, penguburan, pembuatan mukjizat, pencobaan, transfigurasi, dll) ditentukan begitu
saja. Artinya, tempat itu didasarkan pada dugaan saja. Tempat ziarah kedua adalah makam St.
Yakobus Rasul di Santiago, Compostella, Spanyol. Lalu tempat ketiga ialah makam St. Petrus
dan St. Paulus di Roma. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ini dikaitkan dengan uskup
Roma (Paus) yang dianggap sebagai Vicarius Christi. Dalam pandangan para saudara terpisah,
pengonsentrasian pada Vicarius Christi melahirkan kultus individu. Inilah yang membuat
mereka tidak senang dan menolaknya. Bagi mereka hal ini dapat menomorduakan peran Tanah
Suci Yerusalem.
Ketika devosi kepada Maria berkembang subur, maka ziarah ke tempat-tempat yang pernah
dihadiri Bunda Maria atau tempat-tempat penampakannya semakin populer. Sekarang ini ada
beberapa tempat ziarah Maria yang cukup terkenal, misalnya: Guadalupe (Meksiko, sejak tahun
1531), Lourdes (Perancis, mulai tahun 1858), Fatima (Portugal, mulai tahun 1917).
3. Penampakan Maria
Apa itu penampakan? Dalam ranah teologis, penampakan (apparitio) berbeda dari
penglihatan (visio). Penampakan berarti seseorang diamati dan dari pihaknya ia tidak menyadari
bahwa ia sedang diamati. Di sini yang mengalami penampakan bersifat pasif, sedangkan yang
61
tampak bersifat aktif, entah melalui perkataan atau gerak-gerik. Sedangkan penglihatan berarti
seseorang atau sesuatu yang disadari menjadi dapat diamati. Di sini yang melihat bersifat aktif,
sedangkan apa yang dilihat bersifat pasif. Dalam kerangka inilah kita memahami penampakan
Bunda Maria. Menurut catatan sejarah, keyakinan penampakan Maria mulai berkembang di
kalangan umat sejak abad ke-4. Cerita mengenai penampakan biasanya akan disertai dengan
ziarah marianis ke tempat tersebut. Tempat ziarah Lourdes dan Fatima erat kaitannya dengan
penampakan Maria.
Namun pantaslah diketahui bahwa penampakan Maria berbeda dari penampakan Yesus yang
bangkit. Penampakan Yesus sebagaimana dialami oleh para murid termasuk bagian dari karya
keselamatan dan kelahiran iman yang dewasa akan Yesus Kristus. Sementara penampakan
Maria bukan merupakan bagian dari rangkaian karya penyelamatan Allah.
Bagaimana kita dapat menilai suatu penampakan Maria itu benar atau tidak benar? Kalau
gejala itu cukup pasti benar secara manusiawi berasal dari Allah melalui Maria, Gereja Kudus
biasanya berpegang pada kesimpulan: non constat de veritate, tidak pasti benar. Demikian
juga kalau penampakan itu cukup pasti tidak benar, maka Gereja menyimpulkan: constat de non
veritate, pasti tidak benar. Dalam hal ini menjamin kepastian atau bebas dari penipuan, Gereja
biasanya selalu memakai banyak tolok ukur berhadapan dengan orang yang mengalami
penampakan. Tolok ukur yang dipakai yakni: psikologi, kedokteran dan teologi. Gereja
berprinsip untuk tidak mudah percaya atau jatuh dalam sentimental sesaat (bdk. LG 67).
Bila Gereja Kudus mengakui suatu penampakan, bobotnya bukanlah suatu dogma dan tidak
akan menjadi syahadat iman. Itu berarti penampakan Maria tidak sedikit pun menambah isi
iman Gereja. Pewahyuan diri Allah dalam Kristus Yesus telah penuh. Dengan kata lain, Yesus
adalah kepenuhan wahyu Allah. Tak ada lagi wahyu lain (bdk. DV 17). Penampakan mesti
ditempatkan dalam posisi pie creditur: boleh percaya, boleh tidak.
Bagaimana pun penampakan marianis memiliki peranan dalam kehidupan iman umat,
meskipun tetap diingat bahwa peranan itu bersifat relatif. Penampakan biasanya disertai dengan
pesan pertobatan dan pesan untuk semakin beriman. Inilah yang menyebabkan devosi umat
kepada Maria semakin meningkat dan semangat iman semakin menyala-nyala. Atas alasan ini
cukup bijaksana, bila suatu penampakan yang dinilai cukup terbukti kesejatiannya, pantas
diterima dan dihormati.
62