peng antar mariologi

101
BAB I SEPUTAR MARIOLOGI Bila kita masuk ke praktek iman sebagian umat Katolik Indonesia, devosi kepada Santa Perawan Maria masih populer terutama doa Rosario. Setiap kali mereka mengalami kesulitan, sakit, atau kecelakaan, mereka berdoa atau berdoa Rosario. Hasilnya, sebagaimana mereka mengimani, memang mereka diperhatikan oleh Bunda Maria 1 . Permohonan mereka kepada Allah dikabulkan dengan pengantaraan Maria. Bukan hanya itu, segala kesuksesan hidup, mereka lihat sebagai berkat atau rahmat yang diberikan oleh Allah, justru karena kedekatan mereka dengan Bunda Penebus. Mereka percaya bahwa kedekatan dengan Yesus tercapai melalui devosi kepada Bunda Maria. Devosi ini juga menghantar mereka untuk menghargai dan merindukan Ekaristi. Iman mereka tumbuh bukan karena belajar teologi mengenai Maria. Mereka beriman secara sederhana kepada Maria. Apa yang mereka tahu sedikit, itu mereka hidupi. Kita mau masuk ke teologi tentang Maria. Banyak orang berusaha diam dengan teologi ini, karena amat sulit dan kompleks. Tidak mudah mempelajarinya. Atau juga minat untuk itu memang tidak ada. Kita mencoba masuk ke ranah teologis ini, tetapi sekaligus kita masuk ke dalam iman kita sendiri yang telah kita hidupi selama ini. 1. NAMA DAN DEFINISI Kursus ini diberi nama Mariologi (Mario + logos) atau Marialogi (Maria + logos)? Sebutan Mariologi umum diketahui. Namun sebutan 1 Steve, “Airmata Untuk Sari”, dalam Hidup, no. 6/64 (7 Februari 2010), hlm. 26-27.

Upload: givson-pakpahan

Post on 04-Dec-2015

121 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Pengantar Mariologi

TRANSCRIPT

Page 1: Peng Antar MarioLogi

BAB I SEPUTAR MARIOLOGI

Bila kita masuk ke praktek iman sebagian umat Katolik Indonesia, devosi kepada Santa

Perawan Maria masih populer terutama doa Rosario. Setiap kali mereka mengalami kesulitan, sakit,

atau kecelakaan, mereka berdoa atau berdoa Rosario. Hasilnya, sebagaimana mereka mengimani,

memang mereka diperhatikan oleh Bunda Maria1. Permohonan mereka kepada Allah dikabulkan

dengan pengantaraan Maria. Bukan hanya itu, segala kesuksesan hidup, mereka lihat sebagai berkat

atau rahmat yang diberikan oleh Allah, justru karena kedekatan mereka dengan Bunda Penebus.

Mereka percaya bahwa kedekatan dengan Yesus tercapai melalui devosi kepada Bunda Maria.

Devosi ini juga menghantar mereka untuk menghargai dan merindukan Ekaristi.

Iman mereka tumbuh bukan karena belajar teologi mengenai Maria. Mereka beriman secara

sederhana kepada Maria. Apa yang mereka tahu sedikit, itu mereka hidupi. Kita mau masuk ke

teologi tentang Maria. Banyak orang berusaha diam dengan teologi ini, karena amat sulit dan

kompleks. Tidak mudah mempelajarinya. Atau juga minat untuk itu memang tidak ada. Kita

mencoba masuk ke ranah teologis ini, tetapi sekaligus kita masuk ke dalam iman kita sendiri yang

telah kita hidupi selama ini.

1. NAMA DAN DEFINISI

Kursus ini diberi nama Mariologi (Mario + logos) atau Marialogi (Maria + logos)? Sebutan

Mariologi umum diketahui. Namun sebutan umum ini pantas dikritisi. Kebiasaan kita, dengan

mengikuti kebiasaan Latin, nama pria diberi akhiran –us/–o, misalnya Marius/Mario,

Antonius/Antonio dan nama wanita diberi akhiran –a, contohnya Maria, Sofia. Dengan latar

belakang ini, bila kita menyebut Mariologi, maka akan menimbulkan kesan pada kita bahwa kita

sedang bergelut dengan seorang tokoh pria yang bernama Mario, padahal kita sedang berefleksi

tentang seorang wanita yang bernama Maria. Karena itu, agaknya nama yang lebih tepat dipakai

ialah Marialogi. Apalagi tak ada sedikit pun keraguan bagi kita bahwa Maria, ibu Yesus, adalah

seorang wanita. Hanya saja sebutan Marialogi ini belum lazim, meskipun banyak juga teolog yang

lebih memilih untuk memakai nama ini2. Dalam kursus kita kedua nama ini dapat dipakai secara

bebas.

Apa itu Marialogi? Marialogi (Maria + logos) ialah ilmu tentang Maria; teologi mengenai

Maria; ajaran tentang Maria. Ajaran ini ada dua, yakni yang bersifat dogma dan yang tidak bersifat

1 Steve, “Airmata Untuk Sari”, dalam Hidup, no. 6/64 (7 Februari 2010), hlm. 26-27. 2Stefano de Fiores, Maria nella teologia contemporanea (Roma: Centro mariano monfortano, 1991), hlm. 29-30.

Page 2: Peng Antar MarioLogi

dogma namun berisi kebenaran iman. Hingga saat ini Gereja Katolik telah melahirkan 4 dogma

marialogis: 1) Maria Bunda Allah; 2) keperawanan Maria; 3) Maria Immaculata (bebas dari dosa

asal); 4) Maria diangkat ke Surga dengan jiwa dan raganya. Sedangkan ajaran yang bukan bersifat

dogma ialah seperti Maria bebas dari dosa pribadi, kebundaan rohaninya, cara pengantaraannya,

gelar-gelar Maria: Ratu dan Bunda Gereja.

Bila dirumuskan secara sistematis, maka kita memperoleh rumusan berikut ini. Marialogi ialah

ilmu teologis atau refleksi teologis tentang Santa Perawan Maria, Bunda Yesus, posisi dan

fungsinya dalam sejarah keselamatan Allah. Definisi ini memberi kita cakupan Marialogi, yakni

kedudukan dan peranan Maria dalam misteri keselamatan yang diwujudnyatakan oleh Yesus

Kristus. Perihal kedudukan dan peranan tersebut perlu diterangkan secara singkat di sini. Para

teolog Katolik telah banyak berdiskusi mengenai posisi dan fungsi Maria dalam sejarah dan tata

penyelamatan Allah. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab ialah: Apakah Maria

menggantikan posisi dan peran Kristus sebagai pengantara tunggal? Atau, apakah Maria melulu

anggota Gereja Kristus seperti umat beriman lainnya? Diskusi telah menghasilkan keyakinan

demikian. Di satu sisi, tempat dan fungsi Maria dalam tata dan sejarah keselamatan tidak sama

dengan kedudukan dan peranan Kristus. Di sisi lain, posisi dan peranannya tidak dapat disamakan

dengan peranan umat beriman lainnya.

Secara resmi Gereja Katolik menetapkan posisinya: “Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat

di bawah Putranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci,

yang hadir pada misteri-misteri Kristus” (LG 66). Dengan ini, Gereja tetap mengakui pengantaraan

tunggal Kristus, tetapi juga tidak meniadakan peran Maria baik dalam misteri Kristus maupun

dalam misteri Gereja. Dalam misteri Kristus, Maria berperan sebagai Bunda Allah (LG 52). Dalam

misteri Gereja, Maria berperan sebagai pola-teladan Gereja dalam persekutuan yang mesra dengan

Kristus, dalam hal iman, cinta kasih, dan harapan. Ia menjadi Bunda kita, bunda umat manusia.

Sekaitan dengan ini “peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan

atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan

kekuatannya” (LG 60). Tidak disuramkan atau dikurangi, karena peran Maria terhadap umat

manusia sangat terkandung dari jasa Kristus. Dalam peran ini tampak posisi Maria sangat istimewa

dan jauh lebih unggul daripada para malaikat dan umat beriman.

Mengingat cakupan studi kita terutama perihal kedudukan dan peranan Maria dalam sejarah

dan tata keselamatan, maka tidaklah terlalu relevan bagi kita untuk berteori mengenai kelahiran,

masa kecil dan masa muda Maria, seperti lazim bagi seorang kudus dalam Gereja Katolik. Refleksi

kita berfokus pada sejauh mana relasi Maria dengan Allah Trinitas, khususnya pribadi kedua, Yesus

Kristus (Kristologi) dan bagaimana hubungannya dengan Gereja (Eklesiologi). Itulah sebabnya,

2

Page 3: Peng Antar MarioLogi

studi kita berusaha mendengarkan apa dikatakan Sabda Allah tentang Maria (Kitab Suci) dan

bagaimana Bapa-Bapa Gereja atau orang-orang sezaman mereka merefleksikan Maria sesuai

dengan pengalaman mereka (Tradisi), serta bagaimana Gereja kemudian memahami dan

menginterpretasi Bunda Maria, Bunda Kristus dalam penghayatan iman mereka (Magisterium dan

Teologi). Magisterium kadang-kadang, kalau tidak mau dikatakan hampir selalu, menyampaikan

ajarannya terdorong oleh kebaktian (Devosi) umat kepada Maria dalam hidup harian mereka.

2. PENTINGNYA STUDI MARIOLOGI

Post Konsili Vatikan II (1962-1965) tuntutan akan mendesaknya studi Marialogi terdengar amat

kuat. Tuntutan itu begitu deras karena terjadi apa yang disebut oleh Marialog dari Ordo Monfortan,

Stefano De Fiores, sebagai krisis Marialogi3. Terjadinya krisis itu dapat dilukiskan berikut ini.

Sebelum Konsili Vatikan II, Marialogi lebih memperhatikan bagaimana membendung devosi-

devosi marianis yang agak liar yang tidak menampakkan aspek trinitaris dan kristologis. Dicatat

bahwa sejak abad ke-13 devosi kepada Maria berkembang cukup signifikan, bahkan pengaruh-

pengaruh kekafiran menyelinap masuk ke dalam devosi rakyat. Puncak triumfalis marianis ialah

dideklarasikannya dogma “Dikandungnya Maria tanpa noda” oleh Paus Pius IX tgl. 8 Desember

1854 dan dogma “Maria diangkat ke surga” oleh Paus Pius XII tgl. 01 November 1950. Akan tetapi

dalam triumfalisme itu terdapat devosi-devosi rakyat yang tercampur dengan unsur mitos dan

kekafiran.

Mengejutkan bahwa setelah Konsili Vatikan II devosi kepada Maria menurun drastis. Ada krisis

yang mendalam yang ditandai dengan gejala-gejala seperti orang tidak lagi bergairah, tak ada afeksi

kepada Bunda Maria. Gejala ini tak pernah dibayangkan oleh Konsili sebelumnya. Paus Paulus VI

membaca gejala ini, maka pada tahun 1974 ia menulis Marialis Cultus yang salah satu tujuannya

ialah untuk menghidupkan kembali devosi marianis yang beraspek trinitaris, kristologis dan eklesial

di kalangan umat Katolik. Toh anjuran Paus ini tidak seluruhnya sanggup menghidupkan kembali

devosi yang telah berkobar-kobar sebelumnya.

Apa sebab krisis tersebut? Pertama, pengaruh perkembangan psikologi kepribadian yang

melihat agama sebagai bius masyarakat, sebagai candu yang menghantar masyarakat lari dari

kenyataan hidupnya (bdk. Freud). Kedua, pengaruh sekularisme yang melahirkan deisme. Deisme

pelan-pelan menyumbang kelahiran ateisme. Nietszche bapak ateisme modern mengatakan bahwa

Tuhan telah mati. Tuhan harus dimatikan, supaya Ia tidak selalu mengintip kita. Ketiga, pengaruh

teologi yang bersifat isolatif: Kristologi menutup dirinya terhadap Marialogi dan sebaliknya

Marialogi menjauhkan diri dari Kristologi. Keempat, dalam devosi orang terlalu mengharapkan

3De Fiores, Maria…, hlm. 123.

3

Page 4: Peng Antar MarioLogi

penampakan dan mukjizat dari Bunda Maria. Bila ini tidak terjadi, orang mulai tidak percaya lagi

kepada Maria. Mereka melihat Maria tidak relevan bagi hidup mereka4.

Pentingnya Marialogi pada zaman kita ini ialah untuk menjawab krisis tersebut. Marialogi mau

memupuk dan membela devosi marianis yang telah mengalami kemerosotan dalam kehidupan

harian umat Katolik5. Ada bahaya dewasa ini bahwa umat Katolik bersemangat Protestan seperti

pada abad ke-18 dan ke-19 yang mengubur mati devosi kepada Maria dan sebaliknya di kalangan

Protestan, meskipun bukan semua, pelan-pelan lahir kesadaran akan pentingnya peran Maria dalam

tata keselamatan.

Dengan studi Marialogi, para calon imam diharapkan memiliki keinginan yang kuat untuk

mewartakan devosi marianis kepada umat beriman. Tentu ini mesti berangkat dari hidup sendiri

yang dilingkungi dengan devosi kepada sang Bunda. Para imam dari institusi kita diharapkan

berhati Maria: segala sesuatu yang ditawarkan oleh Allah direnungkan dalam hatinya dan tekun

melaksanakannya.

3. MARIALOGI DAN TRAKTAT TEOLOGI LAINNYA

Kita tak dapat menyangkal bahwa di samping Kristologi, Soteriologi, Pneumatologi,

Eklesiologi, dan Sakramentologi terdapat juga Marialogi dalam teologi Katolik. Maria menjadi

pokok refleksi teologis khusus di samping Allah dan Yesus Kristus. Tempat Marialogi di antara

cabang teologi ini masih menimbulkan diskusi di antara para teolog. Mengapa? Sebab, bila teologi

dipahami sebagai refleksi iman atas Allah dalam relasi timbal balik dengan manusia, maka

sebenarnya hanya ada dua cabang teologi yaitu Kristologi dan Eklesiologi. Kristologi ialah ajaran

atau refleksi iman atas Kristus, sedangkan Eklesiologi adalah ajaran atau refleksi iman atas Gereja

Kristus. Dalam bingkai Kristologi dapat dipaparkan Allah Trinitas, Pneumatologi dan Soteriologi.

Lalu dalam bingkai Eklesiologi dapat dikembangkan Sakramentologi, yakni Gereja sebagai misteri

dan lembaga Allah yang menyelamatkan manusia. Pertanyaan kita sampai di sini ialah: di manakah

posisi Marialogi dalam bingkai Kristologi atau Eklesiologi? 6

Para teolog Katolik (Marialog) belum juga sepakat. Secara umum para teolog terbagi dalam dua

pendekatan, yakni pendekatan kristologis dan pendekatan eklesiologis. Pendekatan pertama biasa

juga disebut Marialogi kristotipikal. Penganut pendekatan ini berkeyakinan bahwa sebenarnya

Marialogi merupakan penjelasan dari Kristologi. Marialogi menjelaskan siapa Kristus itu, lalu apa

itu inkarnasi dan apa karya Kristus sendiri. Maka Maria ditempatkan sedekat mungkin dengan

Kristus dan berperan dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Sedangkan pendekatan kedua,

4Ibid., hlm. 128-136. 5C. Groenen, Mariologi: Teologi & Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 153-154. 6 Groenen, Mariologi…, hlm. 13-14.

4

Page 5: Peng Antar MarioLogi

yang biasa juga disebut Marialogi eklesiotipikal, memandang bahwa Maria ditempatkan dalam

bingkai Eklesiologi. Maria adalah anggota Gereja, sebagai hasil unggul karya penyelamatan Allah.

Artinya, Maria juga mendapat keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Ia merupakan model

seluruh umat beriman7.

Bagaimana dengan sikap Konsili Vatikan II? Konsili Vatikan II tidak secara tegas memilih atau

menolak salah satu dari keduanya. Diskusi di antara dua tipe Marialog dibiarkan berkembang

hingga mencapai suatu kesepakatan (LG 54). Namun bagaimana pun Konsili lebih condong kepada

Marialogi Eklesiotipikal. Marialogi ditempatkan dalam rangka ajaran tentang Gereja, yakni dalam

Lumen Gentium bab VIII. Penempatan ini tetap menimbulkan kesan bahwa Marialogi hanya

merupakan appendix atau cantolan pada Eklesiologi, sebab sekalipun Marialogi ini dipisahkan dari

Lumen Gentium, itu sama sekali tidak mengganggu ajaran konsili tentang Gereja. Itu berarti

Vatikan II belum berhasil menyatukan Marialogi dengan Eklesiologi8.

Akan tetapi akhir-akhir ini ada pendekatan lain yang mencoba melihat Marialogi sebagai sentral

bagi cabang-cabang teologi lainnya seperti Kristologi, Soteriologi, Pneumatologi, Eklesiologi dan

Eskatologi. Marialogi dilihat sebagai sintese dari teologi. Itu berarti ada suatu relasi yang erat antara

Marialogi dengan cabang-cabang yang telah disebutkan9. Relasi itu dapat diterangkan sebagai

berikut.

Marialogi dan Kristologi. Yesus Kristus, Putra Allah yang menjadi manusia dan dilahirkan

oleh Maria ialah daging dari dagingnya, ia mengandung-Nya oleh kuasa Roh Kudus. Maria

memberikan kelahiran kepada-Nya, mendekapkan-Nya pada dada-Nya yang perawan dan bersama

dengan Yosef membesarkan dan mendidik Dia. Karena itu Maria ialah sungguh ibu Yesus, Sabda

yang berinkarnasi, dan di antara keduanya terdapat suatu ikatan yang tak dipisahkan. Pribadi dan

misi Putra memberi cahaya yang memperjelas profil ibu-Nya. Maka Kristologi menjalankan suatu

pengaruh yang kuat kepada Marialogi dan pada saat yang sama Marialogi memberikan sumbangan

kepada Kristologi sebab pengetahuan tentang ajaran Katolik yang benar mengenai Maria memberi-

kan suatu kunci bagi pemahaman yang benar akan misteri Kristus dan Gereja-Nya. Contohnya ialah

bagaimana ungkapan Bunda Allah (Theotokos) menjadi jaminan bagi ortodoksi Kristen. Melalui

Maria yang adalah saksi unik misteri Kristus, Gereja memahami secara lebih penuh kenosis Putra

Allah, Putra Allah yang menjelma di dalam rahimnya ialah seorang Putra Adam. Karena itu Gereja

menjadi sadar akan akar historis dari Putra Daud dan Ia menjadi milik bangsa Yahudi.

Marialogi dan Soteriologi. Maria, berkat jasa Putra-Nya, diselamatkan dalam cara yang sangat

istimewa dibandingkan dengan semua pria dan wanita. Sebab itu ia adalah buah sulung dan terbesar

7Groenen, Marialogi…, hlm. 14-15. 8Groenen, Marialogi…, hlm. 15. 9Paul Haffner, The Mistery of Mary (Herefordshire: Gracewing, 2004), hlm. 13-21.

5

Page 6: Peng Antar MarioLogi

dari penebusan. Dia adalah ikon atau model dari kemanusiaan yang tertebus. Sebagai bunda dari

Sang Penebus dan sebagai murid-Nya yang setia, ia atas cara yang sangat istimewa bekerja sama

dalam karya keselamatan-Nya. Sebagai buah dari persetujuan personalnya atas inkarnasi penebusan

Putra-Nya, dan pelayanan kasih kepada pribadi dan karya Putra-Nya serta permohonan surgawinya

yang tiada henti, dan kehadiran maternalnya dalam kehidupan Gereja, Perawan Maria terberkati

telah bekerja sama dan akan terus bekerja sama menurut kehendak Allah dalam menyelamatkan

umat manusia.

Marialogi dan Pneumatologi. Maria yang semuanya kudus (Panaghia) adalah ciptaan pertama

yang secara sempurna dibentuk oleh Roh Kudus, dan pada saat yang sama pembawa pertama Roh

Kudus yang sama. Hidupnya dimotivasi dan dituntun oleh Roh Kudus, sehingga sungguh dapat

dihormati sebagai ikon dari Roh. Menurut Tradisi kontemplatif tentang Gereja, Roh Kudus

memampukan Maria mengucapkan ‘Ya’ atau ‘fiat’ keselamatan (Luk 1:38) dan menyanyikan

kidung ucapan syukur, Magnificat (Luk 1:46-55). Roh Kudus yang sama menganjurkan kepada

Bunda Kristus suatu sikap ibadah yang mengubah ritus penebusan bagi kelahiran pertama dengan

suatu prefigurasi Anak Domba Allah yang dipersembahkan (Luk 2:22-24). Roh Kudus mengilhami

permohonan keibuannya kepada Putranya untuk membantu pengantin di Kana di Galilea (Yoh 2:3)

dan nasihat kepada para pelayan untuk menjalankan perintah-Nya (Yoh 2:5). Sang Penghibur

menyokong Perawan terberkati Maria yang ditimpa penderitaan berat dan yang sedang berdiri di

kaki salib Kristus, Putranya dan meluaskan hatinya tak bernoda karena menerima wejangan Putra

yang hendak meninggal, yakni menjadi bunda dari para murid-Nya (Yoh 19:26). Penghibur tetap

menghangatkan iman Maria akan Kristus Yang Bangkit, dan menggerakkan di dalam dirinya doa di

ruang atas untuk menantikan Pentekosta (Kis 1:12-14).

Marialogi dan Eklesiologi. Maria hadir dalam tahap-tahap esensial pembentukan Gereja.

Pertama, di Nazareth dan Betlehem dalam pengandungan dan kelahiran Kristus, karena momen-

momen ini melibatkan anggota-anggota dan juga kepala Tubuh Mistik. Pada peristiwa di Kana para

murid-Nya telah percaya kepada-Nya dan bersama dengan ibu-Nya membentuk satu persekutuan

iman dengan Tuhan dan Guru mereka (Yoh 2:11). Di Yerusalem, Sakramen Gereja seluruhnya

dilahirkan dalam darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya yang tertikam ketika digantung

pada kayu salib dalam kehadiran Bunda Maria. Dan akhirnya komunitas dari semua pengikut Yesus

dibentuk pada peristiwa Pentekosta, hari kelahiran Gereja, terbuka kepada misi universalnya (Kis

1:1-40). Relasi antara Maria dan Gereja dijelaskan oleh fakta bahwa ia adalah anggota istimewa

dari Gereja, Bunda terkasih dari Gereja, gambaran penuh Gereja, tipe dan figur profetis Gereja, dan

juga ikon eskatologis dari Gereja. Gereja memiliki suatu dimensi intrinsik marianis dalam rupa

ontologisnya; ciri-cirinya terantisipasi di dalam wajah Perawan terberkati Maria.

6

Page 7: Peng Antar MarioLogi

Marialogi dan Eskatologi. Liturgi Bizantin pada perayaan dormitio menyalam Maria sebagai

“harapan dan perlindungan yang kokoh”. Sebagaimana Bunda Yesus Kristus yang dimuliakan

dengan tubuh dan jiwanya ke dalam surga adalah gambaran dan awal dari Gereja yang disempurna-

kan di dunia yang akan datang, demikian juga ia memancarkan ke dunia sampai hari Tuhan datang

seperti suatu tanda harapan yang pasti dan melipur hati umat Allah selama pertamuannya di dunia

ini. Oleh sebab itu Gereja mengkontemplasikan di dalam Maria gambaran dari kemurnian yang

ingin diperolehnya. Di dalam Maria waktu lampau, sekarang dan yang akan datang memadat dan

saling mencahayai. Kemarin dari Israel dan Gereja menjadi sekarang melalui kenangan liturgis;

hari ini ditandai oleh kehadiran yang tetap dan aktif dari Bunda kita dalam perziarahan Gereja

menuju tujuannya; esok adalah suatu realitas telah diantisipasi secara tidak sempurna dan ini mem-

berikan keyakinan dan harapan. Di dalam Maria yang telah diangkat ke dalam kemuliaan surgawi

ketakutan akan masa depan telah diatasi, teka-teki akan kematian telah dikalahkan dan nasib yang

benar dari pria dan wanita telah dibuka di dalam Kristus Yang Bangkit.

4. MARIALOGI DALAM DISKURSUS TEOLOGIS PROTESTAN DEWASA INI

Dalam studi Marialogi ini kita juga perlu membuka wawasan dengan melihat secara sekilas

status Maria dalam hidup keberimanan komunitas-komunitas Protestan. Fakta pertama kita harus

mengatakan bahwa sejarah masa lampau mereka memiliki catatan kelam perihal Maria. Meskipun

Maria sendiri telah mengatakan “segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk 1:48),

namun klaim itu tidak mendapat tempat istimewa dalam kehidupan devosional atau pun imajinasi

teologis orang-orang Kristen Protestan. Pertentangan yang tajam antara Protestantisme dan

Marialogi tak dapat disembunyikan. Memang pada tataran masyarakat bawah banyak orang

Protestan memiliki afeksi-afeksi tertentu kepada Maria sebagai Ibu Yesus, khususnya pada masa-

masa liturgis seperti pada Masa Adven dan Masa Natal. Anglikan dan Luteran di beberapa tempat

tetap mempertahankan devosi-devosi termasuk pendarasan doa Rosario dan Angelus. Namun semua

refleksi teologis dan ulah kesalehan yang berhubungan Maria itu sering juga ditolak oleh orang-

orang Protestan, karena hal-hal itu dilihat sebagai bagian dari warisan Gereja Katolik Roma Abad

Pertengahan yang telah dibuang jauh-jauh selama reformasi abad ke-16. Maria telah menjadi salah

satu korban ideologis dan teologis dari polemik anti-Katolik10.

Akan tetapi karena Maria memiliki suatu tempat yang sangat signifikan dalam narasi-narasi

Injil, orang-orang Protestan telah bergumul dengan hal-hal yang fundamental tentang Marialogi.

Secara umum mereka percaya kepada Maria perihal kerja samanya dalam peristiwa khabar gembira

dan keibuannya. Maka, sebagian besar orang Protestan menerima ajaran tentang Yesus yang lahir

10Cody C. Unterseher, “Mary in Contemporary Protestant Theological Discourse”, dalam Worship, 3/81 (Mei 2007), hlm. 194.

7

Page 8: Peng Antar MarioLogi

dari seorang perawan, tetapi mereka menyangkal keperawanan perpetual Maria, sebab hal itu tidak

ada jaminan yang jelas dari Kitab Suci. Demikian juga mereka menyetujui pernyataan Konsili

Efesus (431) bahwa Maria adalah Bunda Allah, tetapi mereka enggan memberikan kepada Maria

gelar “Bunda Gereja”. Tetapi pengecualian-pengecualian yang sedikit ini pantas juga diperhatikan.

Pengandungan Maria atau akhir dari kehidupannya yang menjadi dogma dalam Gereja Katolik tidak

ada dalam refleksi mereka11.

Pendekatan seperti itu, yakni berdasarkan data biblis mengenai Maria telah menjadi ciri khas

sejarah Protestan. Setengah abad terakhir ini beberapa orang Protestan memiliki minat pada teologi

tentang Maria. Ada beberapa faktor pendorong untuk hal ini. Pertama, pengaruh orang-orang

Protestan keturunan Spanyol di Amerika Latin yang pindah dari Gereja Katolik. Mereka ini tetap

menghidupi devosi kepada Maria, sekali pun para pendeta mereka melarang untuk mengembangkan

devosi itu. Kedua, pengaruh ajaran Konsili Vatikan II dan gerakan-gerakan ekumenis. Tentu hal ini

menjadi harapan baru dalam usaha ekumene. Khusus dengan Anglikan, kita telah mencapai suatu

kemajuan yang dalam gerakan ekumene sehubungan dengan Marialogi. Pada bulan Februari 2004

Komisi Internasional Katolik dan Anglikan telah menghasilkan satu kesepakatan marialogis yang

berjudul: “Maria: Rahmat dan Harapan di dalam Kristus” 12.

5. SEJARAH MARIALOGI13

Dalam sejarah kekristenan, periode-periode doktrin atau ajaran marialogis dan devosi kepada

Maria muncul bersamaan dengan ibadat dan adorasi kepada Putranya, Yesus Kristus. Ada empat

periode besar dalam mengkaji perkembangan Marialogi.

Periode besar pertama ialah zaman Patristik (abad ke-2 ke abad ke-9). Selama waktu ini

Gereja merenungkan peranan Maria sebagai Eva yang baru, memproklamasikan keibuan ilahi dan

keperawanannya yang abadi dalam tulisan-tulisan Patristik dan Konsili-konsili. Inilah juga periode

perdebatan dan definisi tentang dogma-dogma trinitaris dan kristologis. Selama beberapa abad

pertama ini muncul 3 bidaah kristologis, yang juga berhubungan dengan isu tentang kebundaan ilahi

Maria.

Pertama, Doketisme menerima keilahian Kristus dan menolak kenyataan kodrat manusiawi-

Nya. Kaum doketis melihat kemanusiaan itu sebagai tampaknya saja, bukan manusia sebenarnya.

Dengan demikian, Maria tak dapat disebut Bunda Allah, karena dia bukanlah Bunda Putra Allah

yang berinkarnasi. Kedua, Arianisme menerima kemanusiaan Kristus dan menyangkal keilahian-

Nya. Kristus bukan Putra Allah, bukan pribadi kedua Trinitas. Konsekuensinya, Maria bukanlah

11Unterseher, “Mary…”, hlm. 195. 12Unterseher, “Mary…”, hlm. 195 dan 202-203. 13Diringkas dari Haffner, The Mistery of Mary, 2004), hlm. 4-13.

8

Page 9: Peng Antar MarioLogi

Bunda Allah. Kedua heresi ini menolak dua kodrat Kristus dan misteri inkarnasi. Dalam Konsili

Nisea I thn. 325 kedua pandangan ini dihukum dan konsili mendefinisikan realitas Yesus sebagai

Allah benar dan manusia benar.

Ketiga, Nestorianisme berpendapat bahwa di dalam Kristus terdapat dua pribadi, bukan dua

kodrat dalam satu Pribadi. Maka Maria hanyalah bunda manusia Kristus (Christotokos), bukan

Bunda Allah (Theotokos). Nestorianisme dihukum pada konsili ekumenis yang ketiga, Konsili

Efesus (431 M). Dalam konsili dinyatakan rumusan kesatuan bahwa Yesus adalah “Putra terkasih

Bapa sebelum segala zaman, mengenai keilahian-Nya sama ketika kemudian dilahirkan oleh

Perawan Maria yang menjadi manusia untuk kita dan keselamatan kita... kesatuan dengan dua

kodrat telah terjadi... sehubungan dengan kesatuan ini tak ada kebingungan, kami mengakui

perawan yang kudus yang menjadi Bunda Tuhan (Theotokos), karena Allah Sabda menjadi daging

dan menjadi manusia dan dari saat pengandungan disatukan dengan diri-Nya Bait Kudus yang

diambil dari diri-Nya”.

Kesejajaran antara Eva dan Maria muncul dalam tulisan-tulisan Bapa-Bapa Gereja, baik Timur

maupun Barat, sebagai contoh St. Yustinus Martir, St. Ireneus, St. Efrem dan Tertulianus. Dari

tipologi Paulus dan Yohanes dalam Perjanjian Baru dibangun ide tentang Maria sebagai model

Gereja. Rumusan ini pertama sekali diberikan oleh St. Ambrosius. Lalu St. Agustinus membangun

lebih lanjut ide ini dengan menempatkan Maria di hadapan Gereja sebagai gambaran idealnya dan

sebagai anggota tubuh Kristus yang sempurna. Selama abad ke-8 dan ke-9 ketika Konsili Nisea II

(787 M) mengizinkan penghormatan kepada gambar-gambar kudus, orang-orang Kristen

merenungkan secara lebih dekat hubungan Maria kepada Putranya, partisipasinya dalam

kebangkitan, kebebasan dari dosa dan pentingnya doa permohonannya.

Periode kedua ialah zaman Skolastik. Tokoh-tokoh yang terkenal ialah St. Anselmus, St.

Thomas Aquinas, St. Bonaventura, Yohanes Duns Scotus. Mereka berhasil menelurkan kerangka

sistematis bagi Kristologi dan pemahaman yang lebih jelas tentang peranan Maria dalam misteri

keselamatan. Secara khusus Scotus membuka jalan bagi pemahaman atas pengandungan Maria

tanpa dosa (immaculata conceptio).

Periode ketiga terbentang dari tahun 1400 sampai 1800, dari akhir Abad Pertengahan, zaman

Renaissance dan Reformasi Protestan sampai pada Zaman Pencerahan. Dalam periode inilah

banyak kebenaran Kristen semakin diserang. Di satu sisi Martin Luther mempertahankan seumur

hidupnya afirmasi historis orang Kristen bahwa Maria adalah Bunda Allah. Lagi, semua hidupnya,

Luther berpegang bahwa virginitas perpetual Maria merupakan salah satu bagian pengakuan iman

semua orang Kristen. Akan tetapi di sisi lain, Luther sangat kritis terhadap doktrin-doktrin

tradisional tentang mediasi dan permohonan Maria. Sekalipun demikian, ia juga berpendapat bahwa

9

Page 10: Peng Antar MarioLogi

Maria seharusnya dihormati. Calvin dan Zwingli juga tidak setia pada doktrin marialogis seperti

Luther, namun mereka tetap menghormati Maria sebagai Bunda Allah. Lalu pertanyaan ialah

mengapa afirmasi-afirmasi marialogis kaum reformator tidak bertahan hidup dalam pewaris-

pewaris mereka. Alasan real ketidaksinambungan ini ialah penolakan yang berlebihan pada gambar-

gambar orang kudus dan sebagai konsekuensi dari prinsip-prinsip reformasi sendiri, yakni sola

scriptura (hanya Kitab Suci), sola fide (hanya iman), sola gratia (hanya rahmat).

Perpecahan dengan doktrin tradisional tentang Maria disebabkan oleh pengaruh skeptis Zaman

Pencerahan, yang ditandai dengan menyangkal semua misteri iman. Pencerahan distimulasi oleh

kesuksesan gemilang akal budi dalam pengetahuan alam dan matematika. Konsep dominan tentang

kosmos sebagai suatu mekanisme yang diperintah oleh beberapa hukum yang sederhana menuntun

mendorong lahirnya agama rasional murni. Hasil penelitian atas alam dan agama rasional murni

ialah deisme, yakni gagasan bahwa setelah menciptakan dunia ini Allah meninggalkan kepadanya

perlengkapannya sendiri atau membiarkannya untuk tidak dihancurkan. Dari deisme ini lahirlah

skeptisisme, ateisme, materialisme.

Pada abad ke-18, doktrin-doktrin marialogis dihilangkan oleh kaum Protestan karena semangat

Pencerahan (Enlightment/Iluminisme) dan kekurangpahaman akan misteri khususnya misteri

inkarnasi. Mayoritas kaum Protestan berpindah dari sikap yang tepat kepada Maria. Kehilangan

akan devosi kepada Maria sebagian karena kelahiran Rasionalisme yang membuang perasaan akan

yang suci. Dalam rasionalisme orang berusaha memahami setiap hal dan segala hal yang tak dapat

dipahami akal budi harus ditolak. Karena rasionalisme menerima hanya apa yang dapat dijelaskan

dengan akal budi, pesta-pesta dan peringatan Gereja dalam menghormati Maria dihilangkan dalam

komunitas Protestan. Semua hubungan biblis dengan Bunda Maria dihilangkan dan kita masih

menderita dari warisan Protestan ini. Meskipun awan kegelapan meliputi kekristenan namun terlihat

juga sejumlah tonggak-tonggak devosi Maria. Bukan hanya itu muncul juga tulisan-tulisan

sistematis pertama tentang Maria. Dalam hal ini pantas disebut F. Suárez (1548-1617) yang menulis

persoalan-persoalan marialogis secara sistematis. Sedangkan istilah Mariologi dipakai pertama

sekali oleh Plasidius Nigido (1570-1640) dalam tulisan sistematisnya tentang Maria tahun 1602. Ia

berasal dari Pulau Sisilia, Italia Selatan. Semula ia anggota Ordo Serikat Yesus, tetapi kemudian

pindah menjadi imam diosesan di Sisilia (1613)14.

Periode keempat terbentang dari tahun 1800 sampai sekarang. Boleh dikatakan bahwa Allah

melancarkan serangan balik atas Zaman Pencerahan dan Revolusi Prancis melalui sejumlah

penampakan Maria di Prancis. Salah satu penampakan abad ke-19 terjadi di Lourdes yang terus

mempunyai pengaruh yang mengagumkan seperti pernyataan-pernyataan yang amat jelas akan

14De Fiores, Maria…, hlm. 23-24.

10

Page 11: Peng Antar MarioLogi

dunia supernatural yang disangkal oleh Pencerahan. Penampakan yang berpengaruh seperti itu terus

berlanjut ke abad ke-20. Contoh yang sangat terkenal ialah di Fatima, Portugal (1917). Ditemani

oleh tugu-tugu warisan marianis ini telah hidup kembali ketertarikan akan doktrin marianis dan

devosi yang terus berlangsung hingga sekarang. Fakta lain menunjukkan bahwa banyak komunitas

Kristen yang telah menolak doktrin dan devosi marianis telah pelan-pelan meninggalkan doktrin

kristologis juga.

Pada awal abad ke-20 banyak tulisan-tulisan tentang Maria, tetapi kemudian Marialogi tidak

disenangi di antara para teolog yang mengkritiknya karena terlalu terisolasi dan otonom, terlalu

menekankan hubungan dekat Maria dengan Kristus dan menyangkal kondisi keterciptaannya.

Gerakan-gerakan biblis, patristik, kerigmatis dan liturgis berusaha mengintegrasikan Marialogi ke

dalam kerangka sejarah keselamatan dan dijadikan sebagai sisa dari teologi. Pentingnya Maria oleh

Gereja tidak didasarkan pada penampakannya dalam Kitab Suci atau pada privilese-privilesenya

tetapi berasal dari peranan unik dan khususnya dalam sejarah keselamatan. Dasar untuk ini ialah

konsep teologis tentang pribadi manusia yang dipanggil untuk memainkan suatu peranan yang aktif

dalam karya keselamatan. Setiap orang memiliki peranan khusus, tetapi peranan Maria unik karena

hanya dialah Bunda Penebus dan Bunda Gereja. Marialogi mempelajari partisipasinya dalam

misteri keselamatan, tetapi juga mempelajari privilese-privilesenya sebab ini berhubungan dengan

misinya.

Secara klasik kaum reformator menolak kemungkinan suatu Marialogi dan partisipasi unik

Maria dalam sejarah keselamatan karena antropologi mereka. Mereka sangat menolak kemungkinan

kolaborasi aktif dari manusia dalam keselamatannya. Dalam teologi mereka secara tradisional

pribadi manusia menerima secara pasif keselamatan, iman dan rahmat (sola gratia, sola fides, sola

Scriptura). Beberapa teolog mengusulkan bahwa studi-studi ekumenis seharusnya dimulai dari hal

konkret dan khusus tentang Maria dan bukan dari teori justifikasi. Pertanyaan muncul tentang

apakah Maria menjawab secara aktif atau pasif panggilannya. Jikalau kita menyimpulkan bahwa dia

berpartisipasi secara aktif, ini jelas secara radikal menantang teori Protestan akan ketidakmampuan

manusia untuk bekerja sama dalam sejarah keselamatannya.

Dalam kekristenan Timur Marialogi tidak dipisahkan dari disiplin teologis. Orang-orang Kristen

Timur tidak pernah membangun teologi marialogis yang terpisah, tetapi selalu dibicarakan sebagai

bagian yang tak terpisahkan dari Kristologi, Pneumatologi dan Eklesiologi. Sungguh tak ada teologi

Kristen tanpa relasi permanen dengan pribadi dan peranan Perawan Suci dalam sejarah

keselamatan. Kekristenan Timur menaruh tekanan pada adanya Maria dalam ekonomi keselamatan,

sementara teologi Barat sering sejak St. Agustinus berfokus pada Maria sebagai contoh dan sebagai

seorang murid. Tradisi Timur berbicara tentang hubungan Theotokos dan Trinitas Kudus dalam

11

Page 12: Peng Antar MarioLogi

konteks sejarah keselamatan. Menurut St. Yohanes Damasen, nama Bunda Allah berisi semua

sejarah keselamatan ilahi di dunia ini. Karya keselamatan dan pembaharuan dunia dibuat oleh Allah

Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus. Theotokos berada di pusat sejarah keselamatan, seperti

diajarkan St. Gregorius Palamas. Peranan khusus Theotokos ini muncul dari fakta bahwa dia sendiri

ditemukan di antara Allah dan kemanusiaan. Ia ditempatkan dalam suatu hubungan yang unik

dengan Trinitas Kudus, bahkan di hadapan inkarnasi, sebagai pengharapan Bunda Tuhan yang

berinkarnasi untuk membawa realisasi final rencana abadi Allah.

Dalam tahun-tahun belakangan ini Teologi Barat telah berfokus pada dua tekanan utama tentang

peranan Maria dalam karya keselamatan, yakni tendensi kristologis dan eklesiologis. Tendensi

kristologis menekankan hubungan Maria dengan Putranya sebagai Bunda Allah. Privilese-

privilesenya berasal dari hubungan ini dan paralel dengan Kristus karena ia secara intim dikaitkan

dengan-Nya. Sebagai contoh, virginitasnya merupakan konsekuensi dari keibuan ilahinya.

Pengandungan tanpa noda berasal dari martabatnya sebagai Bunda Tuhan dan itu sebagai persiapan

inkarnasi. Kenaikannya ke Surga (assumptio) juga konsekuensi dari keibuannya. Karena peranan

aktifnya ia juga Bunda Gereja, “Coredemptrix” dan “Mediatrix”.

Tendensi eklesiologis menekankan Maria sebagai figur atau model Gereja. Karena paralel antara

Maria dan Gereja ini privilese-privilesenya harus dipahami dalam terang milik Gereja. Sebagai

contoh, keibuan ilahinya merupakan prototipe (model utama) bagi Gereja dan membentuk saat

formasi/pendidikan Gereja. Maria bukan di atas Gereja tetapi bagian dari Gereja. Ia adalah anggota

pertama dan mulia Gereja, tetapi seperti semua anggota diselamatkan oleh Kristus. Salah satu

masalah tendensi ini ialah menilai rendah partisipasi aktif Maria dalam sejarah keselamatan. Akan

tetapi dua tendensi ini tidak saling dipertentangkan, tetapi saling melengkapi.

Dalam tahun-tahun terakhir ini muncul juga Marialogi dari Teologi Feminis. Kelompok kecil

feminis mempertahankan bahwa “Gereja telah gagal memahami atau memajukan para wanita secara

umum ketika menghormati Maria secara khusus”. Feminis mengusulkan bahwa Maria harus

dibebaskan dari proyeksi-proyeksi hierarki yang didominasi laki-laki, dan pada saat yang sama para

wanita harus dibebaskan dari gambaran-gambaran tentang Bunda kita yang didominasi laki-laki.

Gambaran mengenai Maria harus mempertimbangkan pengalaman wanita. Para feminis hanya

menimbang pendekatan pengosongan diri Kristus dan Maria, tanpa kesadaran yang cukup akan

aspek-aspek yang lebih transenden dan ilahi.

12

Page 13: Peng Antar MarioLogi

BAB IIMARIALOGI DALAM KITAB

PERJANJIAN BARU DAN APOKRIF

1. MARIALOGI DALAM PERJANJIAN BARUTulisan-tulisan Perjanjian Baru tidak memiliki suatu Marialogi yang seragam. Tiap-tiap

penulis Kitab memiliki kerygma tersendiri mengenai Maria. Kedalaman dan kejelasan serta keluasan kerygma mereka pun berbeda satu dengan yang lainnya. Memang masih ada juga yang tetap mempersoalkan apakah Maria termasuk kerygma apostolik atau tidak. Misalnya, komunitas-komunitas Protestan yang lahir dari Reformasi abad ke-16 berpandangan bahwa Maria tidak menjadi kerygma apostolik. Ini jelas berbeda dari keyakinan Gereja Katolik. Kita dengan tegas mengatakan bahwa Maria termasuk dalam kerygma apostolik15.

1.1 MARIA DALAM TULISAN SANTO PAULUS

Dalam surat-suratnya, hanya sekali ia mengacu kepada Maria, tanpa menyebut namanya: Gal

4:4-5. Tekanan Paulus di sini ialah kenyataan inkarnasi Putra Allah, pengutusan Anak Allah

“setelah genap waktunya”. Demi penebusan umat manusia, Anak Allah telah menjelma menjadi

manusia dan memasuki situasi manusia, yakni “takluk kepada hukum Taurat”. Inilah alasan

mengapa Paulus tidak menyebut nama Maria.

Dalam Gal 4:4-5 Paulus di samping menghubungkan antara Anak Allah yang praeksistensi dan

sejarah dunia dan sejarah keselamatan, juga antara Anak Allah dan ibu-Nya, Maria. Dengan

mengakui praeksistensi dan keilahian Yesus maupun kelahiran-Nya di bumi, Paulus telah

menyarankan bahwa “perempuan” yang disebutnya itu adalah Bunda Allah. Pernyataan Maria

adalah Bunda Allah di kemudian hari menjadi dogma yang mendasari segala ajaran tentang Maria.

Jadi, teks itu memiliki nilai dogmatis karena mengandung pernyataan Perjanjian Baru yang paling

penting bagi Marialogi. Dalam teks itu sudah mulai dihubungkan antara Kristologi dan Marialogi.

Kedudukan Maria sebagai Bunda Allah sangat penting dalam sejarah keselamatan.

1.2 MARIA DALAM INJIL MARKUS

Pengarang Markus (± 70 M), hanya menyebut dua kali secara sambil lalu tentang Maria,

yaitu dalam 3:31-35 dan dalam 6:3. Ada dua hal yang pantas digarisbawahi dari teks-teks ini.

Pertama, Yesus mengambil jarak dari ikatan keluarga dan menekankan pemenuhan kehendak Allah.

Kedua, bersama dengan ibu-Nya disebutkan saudara-saudara-Nya. Siapakah yang dimaksudkan

dengan “saudara Yesus” di sini? Apakah itu dalam arti “saudara kandung” atau saudara dalam arti

15Groenen, Mariologi…, hlm. 16-19.

13

Page 14: Peng Antar MarioLogi

luas, “saudara sepupu”? Ada dua penafsiran yang berbeda. Di kalangan umat Protestan mulai abad

ke-19 berkeyakinan bahwa “saudara” yang dimaksud ialah saudara sekandung. Bila gagasan ini

diterima, maka ajaran akan keperawanan tetap Maria (virginitas post partum) tidak diakui. Apakah

tafsiran ini benar? Belum tentu!

Kalangan Katolik masih berpegang pada tradisi yang telah dipegang teguh sejak abad kedua.

Argumennya demikian. Dalam teks-teks itu Yusuf sama sekali tidak disebut dan berhubungan

dengan peristiwa di kaki salib sang ibu dipercayakan oleh Yesus kepada seorang murid dan bukan

kepada seorang saudara badani. Menurut Tradisi, Yosef meninggal mendahului penyaliban dan

wafat Yesus. Tradisi ini didukung oleh kesaksian bahwa di bawah kaki salib (bdk. Yoh 19:27-28),

Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah seorang murid-Nya, bukan kepada saudara

badani-Nya. Lagi pula teks-teks Perjanjian Baru tidak pernah menyebut “saudara-saudari Yesus”

dengan anak-anak Maria. Sangat mungkin pemakaian sebutan “saudara-saudari Yesus” merupakan

kebiasaan yang berkembang di kalangan Kristen perdana untuk menghormati sanak saudara-Nya

yang memang berperanan penting bagi mereka (bdk. 1Kor 9:5; Kis 1:14). Atas dasar argumen-

argumen ini, maka, “saudara” yang dimaksud ialah saudara dalam arti luas, saudara sepupu, bukan

saudara sekandung. Penafsiran ini mendukung gagasan keperawanan tetap Maria. Namun sejak

pertengahan abad ke-20 tradisi ini tidak diterima oleh beberapa ahli Kitab Suci Katolik. Sementara

Gereja Timur tetap setia pada tradisi awal.

1.3 MARIA DALAM INJIL MATIUS

Dalam kisah kanak-kanak Yesus muncul Maria. Tujuan kisah kanak-kanak tersebut ialah:

membuktikan kemesiasan serta keilahian Kristus. Di samping itu, penulis juga bermaksud untuk

menyelamatkan kehormatan Bunda Kristus dari tuduhan zinah. Tiga hal disajikan Matius kepada

para pembacanya tentang Maria:

- Silsilah bertujuan untuk menjamin asal-usul Sang Mesias melalui Yusuf.

- Yesus dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan dari Maria (1:18-25).

- Kisah-kisah tentang kunjungan orang-orang majus dari Timur, pengungsian keluarga ke

Mesir, pembunuhan kanak-kanak di Betlehem, kembalinya Yosef sekeluarga dari Mesir dan

mereka tinggal di Nazaret.

Yang penting dicatat bahwa Matius meyakini ajaran apostolik tentang diperanakkannya

Yesus tanpa seorang ayah. Ia yakin bahwa kenyataan ini telah diramalkan dalam Perjanjian Lama.

Karena itu dalam kisah kelahiran Yesus, ia mengutip dengan agak bebas Yesaya 7:14 tentang

“perempuan muda” yang siap kawin, dan mengubahnya dengan “anak dara” (perawan) (Mat 1:23).

14

Page 15: Peng Antar MarioLogi

Dengan ini Matius mengatakan kepada orang Yahudi bahwa pengharapan Perjanjian Lama telah

terpenuhi di dalam Kristus dengan perantaraan seorang perawan, yakni Maria.

Yang penting bagi dogma marialogis ialah penulis menghubungkan antara Anak Allah dan

kelahiran-Nya dari perawan, yang nanti mendapat perhatian khusus Lukas. Dewasa ini penganut

Kristologi-dari-bawah melihat kelahiran perawan bukan sesuatu yang mutlak. Entah Maria perawan

atau tidak, bukanlah hal yang esensial bagi penganut Kristologi ini.

1.4 MARIA DALAM INJIL LUKAS

Seperti Matius, Lukas juga menampilkan kisah kanak-kanak Yesus, yang dari situ tampak

teks-teks marialogis yang penting: a) khabar suka cita (1:26-38); b) Kunjungan Maria kepada

Elisabet dan magnificat (1:39-56); c) kelahiran Yesus (2:1-7); d) pewartaan kepada para gembala;

e) dipersembahkannya Yesus ke kenisah (2:21-40); f) Ziarah Yesus pertama ke Yerusalem (2:41-

52). Kalau Matius lebih menampilkan Yosef, Lukas lebih menonjolkan Maria.

Teks-teks itu memiliki makna yang mendalam dan kaya bagi Mariologi dan devosi kepada

Maria. Dua makna berikut pantas digarisbawahi:

1) Figur Maria sebagai teladan.

- Dalam perikop 1:26-38 ditampilkan pribadi Maria sebagai sosok atau figur yang dapat

dicontohi. Kendati bingung setelah menerima khabar gembira dari malaikat Gabriel, ia

ternyata sanggup menghadapi situasi, merenungkan dalam hatinya apa arti salam malaikat,

membalas bertanya untuk mendapat penjelasan, lalu menyerahkan diri kepada kehendak

Allah (beriman patuh) dan menyediakan diri dengan rendah hati bagi karya penebusan.

- Kisah kunjungan Maria kepada Elisabet (1:39-56). Dalam kisah ini terlukis figur Maria:

suka menolong sanaknya yang mengandung; hamba yang penuh syukur memuji Allah,

karena ia dipilih Allah; seorang manusia yang menyadari keterpilihannya, tidak menolak

sebutan “ibu Tuhanku”.

- Kisah kelahiran Yesus (2:1-7). Maria digambarkan sebagai: 1) orang miskin yang tidak

menuntut apa-apa dan dalam waktu singkat demi Anaknya harus menerima penolakan dan

pengungsian; 2) tahu menyesuaikan diri dengan keputusan Allah; 3) orang yang tahu

mengikuti peristiwa keselamatan dengan merenungkannya. Tiga kali ditekankan: Maria

bermenung “di dalam hatinya” (1:29), “menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan

merenungkannya” (2:18-19), “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (2:51).

* Dalam lukisan-lukisan ini terdapat ajakan untuk mencontoh Maria yang kemudian hari

menjadi dasar biblis bagi devosi kepada Maria: pilihan dan kesucian ibu Tuhan.

15

Page 16: Peng Antar MarioLogi

2) Maria sebagai perawan

Lukas memiliki tekanan istimewa kepada keperawanan Maria. Ia menggambarkan keperawanan

Maria dengan ungkapan “karena aku belum bersuami”. Maria belum hidup bersama Yosef sebagai

suami-istri karena baru bertunangan dan belum dibawa ke rumah tempat tinggalnya kelak. Frase

“karena aku belum bersuami” itu tidak dimaksudkan oleh Lukas sebagai kaul keperawanan, tetapi

bahwa Maria mempunyai kehendak yang terarah kepada keperawanan, seperti muncul dalam tradisi

kemudian, yakni dalam kesaksian Bapa-Bapa Gereja. Fakta yang sangat penting di sini ialah bahwa

Lukas dan Matius juga dalam kisah kanak-kanak Yesus telah memprakarsai gelar “Sang Perawan”

kepada Maria.

Apakah Maria tetap perawan seumur hidup menurut Lukas (dan Matius)? Ada beberapa acuan

dalam Lukas maupun dalam Matius yang seolah-olah tidak mendukung ide bahwa Maria tetap

perawan seumur hidup. Dalam Matius terdapat anak kalimat ini: “sebelum mereka hidup sebagai

suami-istri” (1:18), dan juga “tetapi [Yosef] tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan

anaknya laki-laki” (1:25). Dalam Lukas ada sebutan bagi Sang Anak sebagai “anaknya yang

sulung” (2:7). Acuan-acuan ini tidak begitu jelas sehingga para pembaca dan pendengar harus

menyimpulkan bahwa Maria dan Yosef di kemudian hari hidup bersama sebagai pasutri yang biasa.

Dengan demikian terdapat dua jalan pikiran: perawan seumur hidup ditimbulkan oleh adegan

khabar suka cita dan bukan seumur hidup disebutkannya “saudara Tuhan” kalau mereka itu saudara

sekandung Yesus. Para pengarang Injil sendiri ternyata tidak mengusahakan keselarasan meskipun

mereka sejak semula menyingkirkan peranan seorang bapak insani dalam kelahiran Yesus.

Bila kita masuk ke dalam diskusi tentang keperawanan tetap Maria, satu hal kita tidak boleh

lupa bahwa keyakinan akan keperawanan tetap Maria baru diganggu gugat lagi sejak abad ke-19.

Sebelumnya termasuk para reformator menerima begitu saja tradisi awal yang mengakui Maria

sebagai sang tetap perawan.

1.5 MARIA DALAM INJIL YOHANES

Penulis Injil Yohanes ternyata juga menaruh minat pada Bunda Maria. Ada dua perikop yang

melukiskan peranan ibu Tuhan, yakni pesta perkawinan di Kana dan peristiwa di kaki salib di Bukit

Golgota.

Dalam episode pesta perkawinan di Kana (2:1-11) ibu Tuhan membuktikan diri sebagai seorang

pengantara (mediatrix) yang berjaga-jaga dan suka menolong (auxiliatrix). Yang mengesankan di

sini ialah bahwa karena kepercayaannya, Maria mendatangkan mukjizat Yesus yang pertama, atau

sekurang-kurangnya membantu untuk mendatangkannya. Kehadiran Maria di Kana menunjukkan

bahwa Maria turut serta dalam hidup Yesus di hadapan umum dalam misi penyelamatan-Nya.

16

Page 17: Peng Antar MarioLogi

Menjelang wafat-Nya Yesus menyerahkan murid yang dikasihi-Nya kepada ibu-Nya dan

mempercayakan ibu-Nya kepada Yohanes (19:25-27). Tindakan ini tidak lain merupakan suatu

wasiat. Karena itu tindakan penyerahan (wasiat) itu harus dilihat sebagai tindakan keprihatinan

yang penuh kasih sayang dari Sang Putra dan kehadiran keduanya di hadapan Sang Putra yang

sedang menderita merupakan suatu pernyataan perwakilan bagi orang-orang yang percaya

kemudian. Kalau begitu peranan Ibu Tuhan dalam adegan ini ialah sebagai wakil: wakil dari Kristus

dalam menyalurkan rahmat penebusan atau wakil dari Gereja yang ingin berpartisipasi dalam

penderitaan Kristus. Siapa “anak” di sini? Ia harus dipahami dalam arti peranannya tadi sebagai

wakil. Karena “anak” itu dipikirkan sebagai perwakilan, maka ia tidak dipahami sebagai sanak

saudara yang masih hidup. Artinya, anak itu tidak harus dikunci dalam pemahaman sebagai saudara

kandung Yesus. Bila demikian persoalannya, maka baik anak maupun ibu mesti dipandang sebagai

perwakilan yang dipercayakan oleh Penebus.

2 MARIA DALAM KITAB-KITAB APOKRIF

Di samping kerygma apostolik seperti tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kitab-kitab

apokrif (harfiah: tersembunyi; pengarang disembunyikan) sedikit banyak memberi sumbangan bagi

studi Marialogi. Dalam kitab-kitab apokrif ditemukan juga kisah kanak-kanak Maria dan Yesus.

Mereka memunculkan kisah-kisah ini karena mereka menanggap bahwa informasi yang diberikan

oleh Perjanjian Baru tidak memadai.

Beberapa Bapa Gereja ternyata juga memakai informasi yang disediakan oleh kitab-kitab

apokrif, khususnya tentang citra Maria. Tentu mereka memakainya dengan hati-hati sekali.

Beberapa contoh kitab apokrif yang mereka manfaatkan ialah: Protoevangelium Jacobi (Injil Purba

Menurut Yakobus), Injil Orang Ibrani, Epistola Apostolorum (Surat Para Rasul), Kenaikan Yesaya,

Acta Petri (Kisah Petrus).

2.1 Protoevangelium Jacobi (± tahun 150 M).

Kitab ini mempengaruhi ajaran tentang Maria, karena ia mendukung gagasan tentang Maria

sebagai Bunda Allah dan Maria sebagai perawan. Ia menyokong kemungkinan Yesus diperanakkan

tanpa peranan seorang ayah. Secara garis besar, sumbangan pemikiran marialogis kitab ini ialah:

a. Janji Maria untuk tetap tinggal perawan.

b. Yosef yang duda telah memiliki anak-anak laki-laki sebelum berkenalan dengan Maria.

Mereka inilah yang kemudian disebut “saudara Tuhan”. Ide ini mendukung keperawanan

tetap Maria.

c. Kesaksian Sang Perawan sendiri tentang keperawanannya ketika ia sedang mengandung.

Dikisahkan bahwa Yosef sedang bepergian ke lokasi pembangunan pada saat malaikat

17

Page 18: Peng Antar MarioLogi

memberikan khabar suka cita kepada Maria. Ketika Yosef pulang, ia mengeluh karena

Maria ternyata telah mengandung. Maria sendiri memberikan kesaksian bahwa buah

kandungannya itu bukan dari seorang laki-laki: Allah sendiri tahu tentang hal ini.

d. Kenangan akan Hawa, ibu leluhur umat manusia. Kenangan ini mendukung gagasan

kesejajaran antara Maria dan Hawa yang kemudian dikembangkan oleh Bapa-bapa Gereja.

e. Anak Yesus keluar dari kandungan Maria seperti proses kelahiran biasa. Tetapi setelah

kelahiran itu, rahim Maria ditemukan masih dalam keadaan tertutup. Yang terpenting ialah

bahwa dalam proses kelahiran itu Maria tidak menderita kesakitan. Itu berarti Maria tidak

mendapat hukuman yang dikenakan kepada Hawa dalam Kejadian 3:16.

2.2 Kitab Kenaikan Yesaya. Sumbangannya: 1) Yosef tidak bersetubuh dengan Maria; 2) dua

bulan setelah kembalinya Yosef, Maria melahirkan tanpa merasa kesakitan; 3) semua orang yang

mendengar tentang kelahiran yang ajaib itu menyadari betapa besarnya rahasia yang mereka hadapi.

2.3 Acta Petri. Kitab ini menuliskan bahwa Sang Rasul mengutip suara seorang nabi: “Pada akhir

zaman seorang anak laki-laki dilahirkan dari Roh Kudus; ibunya tidak bersuami, dan tak seorang

pun mengatakan bahwa ia ayahnya. Dan sekali lagi dikatakannya: ia telah melahirkan dan tidak

melahirkan”. Selanjutnya, Sabda telah menjadi daging “dari perawan yang kudus”. Ia menggelari

Maria dengan “Perawan Kudus”. maka, inilah salah satu kesaksian tertua mengenai gelar bagi

Maria.

Kita menyimpulkan bahwa sumbangan yang tak terkira dari kitab-kitab apokrif ini ialah

tentang keperawanan Maria dalam arti penuh, yaitu:

Sebelum melahirkan (virginitas ante partum): keperawanan ini telah

ditegaskan oleh kitab Perjanjian Baru. Apokrif kembali mengulangi.

Dalam melahirkan (virginitas in partu): berhubung dengan keperawanan ini kitab apokrif

membatasi diri dan hanya menggambarkan bahwa kelahiran tidak disertai dengan rasa sakit.

Sesudah melahirkan (virginitas post partum) keperawanan Maria ini pun dapat

terjamin, karena sebelum bertunangan dengan Maria, Yosef sudah memiliki anak-anak.

Secara kristologis, kitab-kitab apokrif tidak membongkar apa-apa. Secara marialogis, kitab-

kitab ini mendukung apa y

ang telah dikisahkan mengenai masa kanak-kanak Yesus dalam kitab Perjanjian Baru. Dan

sekurang-kurangnya Perjanjian Baru tidak mengingkari virginitas post partum. Secara

historis petunjuk kitab-kitab apokrif ini tak dapat dibantah dan kesaksian-kesaksian mereka

memiliki dampak terhadap devosi Gereja kepada Maria. Meskipun memang kesaksian-

18

Page 19: Peng Antar MarioLogi

kesaksian mereka ini tidak dapat dipastikan apakah mereka mengacu kepada Tradisi

apostolik yang sejati.

BAB IIIMARIALOGI DALAM TRADISI

Di samping kesaksian Kitab Suci, terdapat juga kesaksian Tradisi16 tentang Maria. Tradisi

yang hidup itu dapat kita tahu dari zaman Bapa-Bapa Gereja. Di sini akan dikemukakan empat

tokoh penting Bapa Gereja, yang sumbangannya amat besar dalam perkembangan Marialogi: Uskup

dan Martir Ignasius dari Antiokia, Yustinus Martir, Ireneus dari Lyon dan Epifanius dari Palestina.

Keempatnya membela kebenaran keibuan ilahi Maria dan keperawanannya.

Faktor pendorong pengajaran mereka ialah adanya heresi kristologis dan marialogis, yakni

Ebionisme17 yang bersifat Yudaisme dan Gnosis yang berciri doketisme. Ebionisme menganggap

Yesus manusia belaka, anak Yosef dan Maria, yang pada waktu pembaptisan di sungai Yordan ia

digabungkan dengan zat ilahi. Mereka menolak ketuhanan Yesus. Dalam rangka ini mereka

mengarang Injil kanak-kanak Yesus. Sedangkan Gnosis ialah aliran yang membantah inkarnasi

Kristus yang sebenarnya. Penebusan menurut mereka ialah terbebasnya jiwa dari kurungan badan

oleh pengajaran. Salah satu bentuknya ialah doketisme, yang mengatakan bahwa Kristus itu

kelihatannya saja manusia; tampaknya saja mempunyai tubuh dan kelihatannya saja menderita dan

mati. Salib itu hanya untuk mengelabui mata orang tak beriman. Baik Yudaisme maupun Gnosis

hampir tidak berminat pada citra Maria. Bila membicarakan inkarnasi, kaum gnostik menolak

kelahiran dan merohanikan secara doketis keperawanan in partu. Jadi, Maria tidak sungguh-

sungguh ibu Tuhan.

1. IGNASIUS DARI ANTIOKIA (± tahun 110 M)

- Surat kepada umat di Efesus, 7:2: “Hanya ada satu dokter, dari daging maupun dari Roh,

diperanakkan dan tidak diperanakkan, di dalam daging tampaklah Allah, di dalam kematian hidup

16Tradisi dan tradisi berbeda. Tradisi (T) ialah pewarisan suatu harta suci yang dihidupi, diimani dan dipertahankan dari generasi ke generasi. Kalau disebut Tradisi apostolik, yakni harta suci yang berasal dari para Rasul yang mereka terima dari Yesus dan apa yang mengerti dari Roh Kudus. Sedangkan tradisi (t) ialah bentuk-bentuk penyesuaian Tradisi menurut tempat dan zaman, misalnya tradisi teologis, tradisi disipliner, tradisi liturgi, tradisi devosi. Monumen-monumen dari Tradisi ialah: magisterium, Bapa-Bapa Gereja dan doktor Gereja, liturgi, Para Kudus. Kriteria suatu Tradisi yang benar menurut Vincent dari Lerins (434): Katolisitas, keantikan, konsensus (“quod ubique, quod semper, quod omnibus”).

17Istilah “ebionit” berarti “para miskin”, yakni gelar kehormatan yang diberikan kepada jemaat purba di Yerusalem (bdk. Rm 15:26; Gal 2:10). Tetapi kemudian, kaum Ebionit memakai gelar ini untuk menyebut sisa orang Kristen Yahudi yang memisahkan diri dari Gereja universal.

19

Page 20: Peng Antar MarioLogi

yang sejati, berasal dari Maria maupun berasal dari Allah, sanggup menderita semula tapi

kemudian tak sanggup menderita, yaitu Yesus Kristus, Tuhan kita”. Dalam madah yang bersifat

pertentangan dialektis akan hakikat Kristus, Ignasius menyampaikan ajaran yang kaya tentang

Maria. Dengan menyebut Maria, ia menegaskan bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dan bukan

kelihatannya saja. Lalu dengan tidak menyebut sang ayah, ia menunjukkan bahwa Maria kendati

mengandung tetapi tetap perawan. Di sinilah kita untuk pertama kali menemukan suatu pernyataan

hubungan kausal tanpa ambiguitas antara ketuhanan Yesus dan dikandungnya secara perawan.

Dalam surat yang sama dinyatakan bahwa kelahiran dari perawan berhubungan dengan wafat Tuhan

sebab dengan demikian secara sadar ibu Tuhan dilibatkan dalam peristiwa penyelamatan: “Tetap

tersembunyi bagi penguasa dunia ini bahwa Maria itu perawan, maupun bahwa ia telah melahirkan,

maupun juga bahwa Tuhan telah wafat, tiga rahasia yang berseru dengan nyaring namun dilaksana-

kan dalam keheningan Allah” (19:1).

- Surat kepada umat di Smirna. Dalam pujiannya kepada Yesus Kristus, karena Ia tetap

dipercayai oleh jemaat itu, Ignasius juga menyinggung tentang peranan Maria dalam seluruh misteri

keselamatan. Ia menulis: “Tuhan kita yang sungguh berasal dari keturunan Daud menurut daging,

dan Anak Allah menurut kehendak dan kuasa Allah, sungguh lahir dari seorang perawan, dibaptis

oleh Yohanes, supaya segala kebenaran digenapkan oleh-Nya, sungguh dipakukan waktu Pilatus

serta raja wilayah itu” (1:1-2).

Dalam surat-surat Ignasius ini tampak sikapnya melawan dua bentuk mendasar bidaah dalam

Kristologi dan Mariologi, yaitu Yudaisme dan Gnosis. Terhadap Gnosis yang bersifat doketisme, ia

mempertahankan realitas kelahiran Yesus (ingat pemakaian berulang-ulang kata “sungguh” di atas);

terhadap orang Yahudi, ia menekankan bahwa “Allah kita, Yesus, Sang Kristus, dikandung Maria,

menurut rencana keselamatan Allah dari benih Daud, namun demikian dari Roh Kudus” (Ef 18:2).

Akan tetapi pantas dicatat bahwa ajaran mengenai dikandungnya Kristus secara perawan

merupakan salah satu pusat keyakinan iman Ignasius. Ajaran ini bukan hanya dalam konteks

polemik melawan Yudaisme atau doketisme. Ignasius yakin bahwa kelahiran dari perawan merupa-

kan Tradisi Gereja yang telah diakui secara tetap.

Dalam surat-suratnya, kita menemukan sumbangan Ignasius terhadap Marialogi, yakni

menempatkan Marialogi di dalam dan di bawah Kristologi-Soteriologi. Di dalam dogma Kristologis

terdapat unsur-unsur marialogis, yaitu martabat Maria sebagai bunda Allah dan keperawanannya

sekalipun mengandung. Dengan itu ia meyakinkan umatnya akan posisi penting Maria dalam

seluruh sejarah keselamatan.

2. YUSTINUS MARTIR (± tahun 165)

20

Page 21: Peng Antar MarioLogi

Ada tiga sumbangan Yustinus sehubungan dengan Marialogi. Pertama mengenai keperawanan

Maria. Salah satu ajarannya tampak dalam pembelaannya terhadap orang Kristen yang berselisih

dengan orang Yahudi mengenai keperawanan Maria dalam mengandung Yesus, khususnya nubuat

Yes 7:14. Orang Yahudi mendasarkan pendapat mereka pada Alkitab Yunani terjemahan Aquila

dan Theodotion, dua orang Yunani yang menjadi Yahudi, yang menerjemahkan ha’alma (Ibrani)

menjadi neamis (perempuan muda). Sedangkan orang Kristen mendasarkan pandangannya pada

naskah Septuaginta yang menerjemahkan ha’alma menjadi parthenos (perawan). Dalam “Dialog

dengan Trypho, Orang Yahudi”, Yustinus mempertahankan pandangan Kristiani sambil menegas-

kan bahwa “selain Kristus kami ini, tak pernah seorang pun dilahirkan dari perawan”. Banyak

dalam dialog itu ia berbicara tentang “sang perawan” tanpa menyebut nama Maria. Dengan tegas ia

menolak tafsiran orang Yahudi mengenai ide kelahiran dari perawanan orang Kristen itu merupakan

kopi dari dongeng dewa-dewi Yunani, seperti pembuahan Diana oleh Zeus.

Sumbangan kedua Yustinus ialah membuat kesejajaran antara Hawa dan Maria. Kesejajaran

dibuatnya dalam bentuk antitesis: Hawa, perawan mengandung perkataan ular, melahirkan dosa dan

kematian, sementara Maria perawan mengandung karena Roh Tuhan dan melahirkan Anak Allah.

(Lihat teks Niko Syukur, hlm. 456-457). Yustinuslah yang pertama membuat kesejajaran semacam

ini. Baginya, Maria memiliki peranan yang tergantikan dalam penyelamatan yang diawali dengan

inkarnasi; jadi ia mengembangkan Soteriologi inkarnatoris.

Sumbangan ketiga Yustinus adalah pengembangan gagasan citra etis Maria yang telah dimulai

dalam Lukas. Ia memulai suatu teologi citra, yang menampilkan figur Maria dalam pertentangan

figur Hawa. Dalam pemaparan ini figur Maria menjadi semakin terang benderang, sehingga

semakin dekat kepada Anaknya.

3. IRENEUS DARI LYON (± 202 M)

- Latar belakang: polemik melawan Gnosis yang bersifat doketisme dan Ebionit

- Baca teks Niko Dister, hlm. 458-459.

- Pemikiran atau ajaran Irene

us bagi Marialogi:

a. Peranan Maria dalam karya penebusan Allah melalui Kristus

Ireneus mengembangkan lebih lanjut citra Maria yang alkitabiah dengan melihat nilai

sumbangan Maria kepada penyelenggaraan keselamatan dari pihak Allah dan tindakan penyelamat-

an dari pihak Kristus baik secara kristologis maupun soteriologis. Baginya, Soteriologi tidak hanya

berpusat pada salib seperti kemudian dikembangkan di Gereja Barat, tetapi mencakup seluruh hidup

Yesus dan sosok Maria (spt. pada bapa Gereja lebih awal dan Gereja Timur).

21

Page 22: Peng Antar MarioLogi

Mulai sekarang jasa Maria tidak hanya dilihat dalam fungsi pelayanan ibarat suatu bengkel

yang menyediakan tubuh Sang Penebus, tetapi juga sebagai sumbangan kepribadiannya yang

berjasa karena sebagai wakil bangsa manusia dan demi keselamatan mereka, ia mengikuti panggilan

Allah dan ikut serta dalam karya penebusan demi para leluhur yang berdosa. Bagi Ireneus belum

ada bahaya bahwa figur Maria, dengan terlalu disendirikan, menyaingi kedudukan Kristus sebagai

satu-satunya Penyelamat dunia. Karya Kristus sendiri mencukupi dan tidak perlu ditambah oleh

karya siapa pun. Ireneus menekankan peranan Maria justru karena ia bermaksud menunjukkan

realitas penjelmaan dan tindakan penebusan maupun kesempatan bagi manusia untuk ikut serta

dalam peristiwa penyelamatan.

b. Citra Etis Maria

Dengan mengindividualisasikan figur Maria, Ireneus menonjolkan citra Maria yang etis.

Dengan demikian, ditariklah perhatian Gereja akan kesucian Sang Perawan. Meskipun ia juga

menemukan ketidaksempurnaan yang kecil pada Maria (permintaannya di Kana itu adalah tanda

keterburu-buruan yang tidak pada tempatnya, menurut Bapa Gereja ini – Melawan Bidaah III),

namun pengamatan ini tidak mengeruhkan citra cemerlang yang timbul dalam kesadaran beriman

sebagai kontras terhadap Hawa yang berdosa. Paralel Hawa-Maria terus dikembangkan di masa

mendatang, dan dengan demikian dipupuklah keyakinan akan ketidakberdosaan Maria. Leluhur

umat Allah yang baru ini tak pernah berada di bahwa kuasa dari yang jahat, demikianlah kepercaya-

an yang kelak akan dirumuskan sebagai ajaran Gereja yang resmi, tetapi yang sudah mulai

disiapkan sejak saat ini.

c. Bunda Allah sebagai Pengantara

Dengan menghargai Maria secara soteriologis dan dengan memperkaya citra etisnya, Uskup

Lyon ini telah meletakkan dasar bagi pandangan bahwa Bunda Allah itu juga pengantara. Karena

fungsi ini diartikulasikannya dengan gelar-gelar kehormatan yang amat plastis, misalnya

“pengacara Hawa” (advocata Evae) dan “penyebab keselamatan” (causa salutis), maka sesudah

karya keselamatan terlaksana, Maria dapat tampak sebagai peserta dalam karya penyelamatan

bersama Kristus namun tetap di bawah-Nya. Kedua gelar yang dipakai Ireneus itu, bersama dengan

“perawan” dan “Bunda Allah”, menjadi intisari seruan-seruan kepada Maria, baik di dalam maupun

di luar liturgi, dan juga dalam litani.

d. Tipologi Maria-Gereja

Ireneus memperluas kesejajaran Hawa-Maria begitu rupa sehingga Maria menjadi bunda

bangsa manusia yang baru, sebagaimana halnya Gereja: “Dan mereka yang menyebut-Nya (yaitu

Yesus) Sang Imanuel dari perawan, mengacu kepada penyatuan Firman Allah dengan makhluk

22

Page 23: Peng Antar MarioLogi

ciptaan-Nya, karena Firman menjadi daging dan Anak Allah menjadi Anak Manusia, yang [diri-

Nya sendiri] murni adanya dengan cara murni membuka rahim yang murni, yakni rahim yang telah

melahirkan orang kembali bagi Allah dan yang oleh Dia sendiri telah dimurnikan” (Melawan

Bidaah, IV 33,11).

Selayang pandang tidaklah jelas siapakah yang dimaksudkan Ireneus di sini: Maria atau

Gereja? Untuk mengetahuinya, perlu memperhatikan teks lain di mana ia mengancam bahwa kaum

Ebionit akan dihakimi karena mereka tidak mengakui ketuhanan Yesus yang sejati. Manusia tak

dapat beralih masuk ke dalam Allah “kalau Allah tidak beralih masuk ke dalam manusia”,

“tetapi bagaimanakah ia [manusia] dapat meninggalkan kelahiran maut, kalau ia tidak dilahir-

kan kembali kepada kelahiran baru, yang oleh Allah secara ajaib dan tak terpahami

dianugerahkan menjadi tanda keselamatan dari perawan melalui iman?” (Melawan Bidaah, IV

33,4).

Ternyata Ireneus membedakan antara dua macam kelahiran, yaitu dari Maria dan dari iman,

tanpa menjelaskan lebih lanjut hubungan antara keduanya. Karena dengan kelahiran kembali hanya

dapat dimaksudkan kelahiran dari sumber air baptis Gereja, sekurang-kurangnya Ireneus menghu-

bungkan Maria dan Gereja dalam sifatnya sebagai bunda.

Marialogi Ireneus tidak semuanya dapat ditarik secara langsung dari pengajarannya, tetapi

banyak juga hanya menjadi konsekuensi logis. Tetapi bagaimana pun Ireneus menjadi “bapak

Mariologi Katolik”. Ia patut dipuji, karena ia menjauhkan diri dari pengaruh apokrif dan selalu

mendasarkan ajarannya pada teks-teks biblis, terutama Kitab Kejadian.

4. EPIFANIUS (± 403 M)

Paralelisme antara Hawa dan Maria dikembangkan lebih lanjut dalam doktrin St. Epifanius. Ia

dikategorikan sebagai sealiran dengan St. Ireneus, yakni Siria-Palestina, karena memang ia lahir

dan dididik di Palestina. Aliran mereka ini berbeda dari aliran Aleksandria-Kapadosia yang sama

sekali tidak membicarakan tema Hawa-Maria. Dalam karyanya berjudul Panarion, Epifanius

memperdalam gagasan tentang perbandingan antara Hawa dan Maria. Di situ ia mengemukakan

suatu teologi tentang Maria yang sangat kaya dan maju pada masanya. Diskursus mengenai Maria

ditampilkan dalam konteks tipe dan lawan tipe (antitipe). Gagasan ini sejalan dengan pemikiran

Kitab Suci. Dengan demikian Epifanius melihat rencana Allah dalam suatu kesinambungan antara

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Rencana keselamatan Allah dimulai dalam PL lalu diteruskan

dalam Perjanjian Baru yang puncaknya adalah Yesus Kristus18.

a. Maria diantisipasi dalam Hawa.

18George A. Maloney, Maria Rahim Allah (judul asli: Mary: The Womb of God), diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 64.

23

Page 24: Peng Antar MarioLogi

Keterkaitan antara Hawa dan Maria dilihat oleh Epifanius dalam sebutan Ibu yang dikenakan

kepada kedua-duanya. Sebutan Ibu kepada Hawa dalam Perjanjian Lama hanya merupakan

antisipasi yang akan dikenakan sepenuhnya kepada Maria dalam Perjanjian Baru. Jadi, Hawa

mendapat nama itu dalam gambar. Artinya, nama itu belumlah sempurna. Ia mengatakan:

Marialah yang dimaksud melalui Hawa. Memang, Hawa yang memang menerima nama Ibu semua yang hidup. Ia menerima itu dalam gambar. Sebab, Hawa menerima sebutan itu sesudah ia mendengar perkataan, “Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu”. Sungguh mengagumkan bahwa sesudah berdosa ia menerima sebutan luhur itu. Kita tidak boleh hanya melihat kenyataan indrawi, bahwa dari dia seluruh bangsa manusia akan menerima kelahirannya. Kita juga harus melihat menurut kebenaran, bahwa dari Marialah kehidupan sendiri akan dilahirkan bagi dunia, sebab dialah yang melahirkan kehidupan. Dengan demikian, Maria menjadi ibu semua yang hidup. Maka, dalam gambarlah Maria disebut Ibu semua yang hidup.

b. Maria sebagai Bunda Kehidupan

Di atas telah disinggung perihal Maria sebagai Bunda Kehidupan. Kebundaan jasmani Hawa

adalah suatu gambaran yang belum sempurna dan itu disempurnakan oleh kebundaan nyata Maria,

yang melahirkan kehidupan. Melalui kehidupan tersebut, yakni Kristus, semua bangsa manusia

akan dilahirkan kembali dan ikut ambil bagian dalam kehidupan Allah. Dengan ini sebenarnya

Epifanius sedang mengembangkan gagasan tentang kehidupan yang ditampilkan oleh Injil Yohanes

dan manusia baru dalam pengajaran Paulus. Epifanius melukiskan hal tersebut:

Tetapi kita masih harus melihat hal lain yang mengagumkan sehubungan dengan Hawa dan Maria. Bagi manusia Hawa merupakan kesempatan kematian dan melalui dia kematian telah masuk ke dalam dunia. Maria merupakan kesempatan kehidupan dan melalui dia kehidupan telah dilahirkan dalam kita. Untuk itulah Putra Allah telah datang ke dalam dunia. “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rm 5:20)... Ketika kematian datang, kehidupan datang dan lebih dari itu, supaya kehidupan datang ganti kematian, mengenyahkan kematian yang sebelum itu datang pada kita melalui seorang wanita. Dan ia datang kepada kita justru melalui seorang wanita dan dengan demikian menjadi bagi kita kehidupan. Karena Hawa, masih seorang perawan, telah berdosa melalui ketidaktaatannya, ketaatan rahmat datang melalui seorang perawan juga ketika diberitakan kepadanya, bahwa Allah, kehidupan abadi, akan turun dari surga dan dilahirkan dalam daging ... Semuanya itu tidak dapat terlaksana secara mutlak dalam Hawa, tetapi itu terlaksana secara benar dalam Benih suci, terpilih dan maha tunggal yang datang dari Maria dan tidak dari persatuan dengan pria mana pun. Dialah yang datang menghancurkan kuasa naga, kuasa ular yang melilit dan melarikan diri... Itulah sebabnya mengapa Putra Tunggal datang dari seorang wanita, untuk menghancurkan ular, artinya untuk sekarang ini, ajaran jahat, perusak kehidupan, kesesatan dan kejahatan.

Diinspirasi oleh Injil Yohanes, Epifanius memahami Kristus sebagai Kehidupan. Sang

Kehidupan ini dilahirkan oleh Maria. Dalam arti inilah Maria adalah Ibu kehidupan atau Bunda

Kristus. Pengakuan akan Maria sebagi bunda kehidupan memiliki makna yang sama dengan

pengakuan para Bapa Gereja sebelumnya, yakni Maria sebagai Bunda Allah. Kebundaan ilahi

24

Page 25: Peng Antar MarioLogi

Maria diungkapkan secara lain dengan ibu kehidupan. Sang ibu kehidupan melahirkan kehidupan

itu sendiri tanpa campur tangan seorang laki-laki. Artinya, Epifanius juga mengajarkan perihal

keperawanan Maria. Tetapi semuanya ini ditampilkan Epifanius dalam perbandingan dengan Hawa

yang merupakan antitipe dari Maria.

Ide paralelisme dalam Epifanius memiliki corak tersendiri. Dengan mengaitkan kematian

dengan Hawa dan kehidupan dengan Maria, Epifanius dengan baik sekali menghubungkan paralel

Hawa-Maria dengan Adam-Kristus yang terdapat dalam surat-surat Paulus, khususnya surat kepada

umat di Roma. Sebagaimana Adam menjadi penyebab kematian bagi bangsa manusia dan Kristus

menjadi penyebab kehidupan oleh penyerahan diri-Nya yang ikhlas kepada Bapa-Nya dalam

ketaatan sampai “mati di kayu salib”, demikian juga Hawa menjadi penyebab hilangnya kehidupan

ilahi dalam kita, dalam kebersamaan yang erat dengan Adam dalam satu tindakan dosa, sedangkan

Maria menjadi penyebab pemulihan kehidupan ilahi dalam kita, dalam kebersamaannya yang erat

dengan Kristus dalam satu tindak penebusan bangsa manusia.

Rangkuman:

Gambaran alkitabiah tentang Maria hanya dalam hal-hal sampingan yang diperkaya oleh

pengarang apokrif secara kurang tepercaya, sedangkan oleh para saksi tradisi gerejawi

gambaran ini diteguhkan secara penuh dan diperdalam oleh penghargaan Maria secara

soteriologis.

Keperawanan Maria secara tetap (verginitas post partum) dalam kurun waktu ini belum menjadi

pokok bahasan. Akan tetapi, bahwa ia mengandung secara perawan dalam arti tidak bersetubuh

dengan seorang laki-laki, hal ini dalam Gereja resmi dipandang sebagai ajaran yang tak terban-

tahkan, dan diabdikan demi pembelaan ketuhanan Sang Penebus. Mulai dari Matius dan Lukas

sampai akhir abad II diberi kesaksian tentangnya dengan suara bulat. Fakta ini tak dapat diubah

baik oleh ejekan dari pihak kaum kafir maupun oleh penyangkalan dari pihak orang Yahudi.

Dengan paralelisme Hawa-Maria, arti figur Maria bagi sejarah keselamatan dijadikan berurat

berakar dalam kesadaran beriman.

Pandangan heretik tentang Kristus dibantah dengan mengacu kepada teks-teks biblis marialogis.

Hal ini menanamkan keyakinan dalam hati umat bahwa dalam perselisihan dogmatis itu ibu dan

Anak sama-sama terlibat dan saling membela. Dengan diakarkannya Maria dalam syahadat

baptis, hal itu menyumbang kepada penjelasan bahwa ibu Tuhan memang terjalin dengan

kebenaran-kebenaran kristiani yang mendasar.

25

Page 26: Peng Antar MarioLogi

BAB IV DOGMA DAN AJARAN GEREJA NON-DOGMATIS

TENTANG MARIA

1. KEMPAT DOGMA TENTANG MARIA

Kita akan mendalami dua dogma lama dan dua dogma baru di zaman modern. Dua dogma

pertama menyangkut dogma awal Gereja tentang Maria, dan dua dogma berikutnya ialah dogma

yang muncul tidak jauh dari zaman kita ini19. Ini penting kita ketahui supaya kita tahu secara singkat

proses terbentuknya sebuah dogma marianis, sehingga kita dapat menjelaskannya kepada orang

yang meminta pertanggungjawaban dari kita, dan juga kita tidak hanya tinggal pada dogma

tersebut, tetapi kita juga dapat merefleksikan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkembangan

teologi aktual. Dalam hal ini dogma bukanlah akhir dari suatu kebenaran iman, tetapi awal menuju

pemahaman baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sekurang-kurangnya kita dapat merenungkan

aktualisasi dari dogma itu bagi iman kita masa kini.

1.1 Maria, Bunda Allah Atau Theotokos

Doktrin tentang “Maria ialah Bunda Allah” merupakan pusat iman mengenai Maria. Semua

kebenaran yang lain mengalir dari atau mengarah kepadanya. Dalam hierarki kebenaran-kebenaran

marialogis, eksistensi Maria sebagai Bunda Allah merupakan dasar sangat penting bagi peranannya

dalam ekonomi keselamatan. Maria telah dimuliakan oleh rahmat di atas semua malaikat dan

manusia, ke satu tempat di bawah Putra-Nya, sebagai Bunda Tersuci Allah. Sudah sejak waktu-

waktu paling awal Perawan Terberkati dihormati dengan gelar Theotokos20, artinya: yang

melahirkan Allah21. Kebenaran ini didukung oleh Kitab Suci, Tradisi Suci, Kuasa Mengajar Gereja.

19Niko Dister Syukur, Teologi Sistematika, jilid 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 420, 464. 20Dei-genetrix yang artinya: yang melahirkan Allah pernah dimengerti dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin

menjadi Deipara dan Mater Dei, Bunda dari Allah. Gelar Mater Dei dapat menyesatkan seakan-akan Allah mempunyai ibu, sehingga Maria mirip dengan dewi dalam legenda kafir. Maka istilah Theotokos, yang melahirkan Allah, lebih tepat. Istilah ini hanya menyatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang menurut dogma Konsili Nikaia, memang Allah, oleh karena sehakikat dengan Bapa. Istilah itu tidak mengatakan bahwa Allah mempunyai ibu, tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai ibu sebagaimana layaknya manusia sejati.

21Haffner, The Mystery… , hlm. 107.

26

Page 27: Peng Antar MarioLogi

Sebagai dogma kebenaran ini dimaklumkan pertama kali oleh Konsili Efesus 431, lalu diteguhkan

kembali dalam pernyataan konsili-konsili berikut22.

Sebelum Konsili Efesus

Dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan secara eksplisit gelar Bunda Allah atau Theotokos. Di

sana hanya ditemukan ungkapan-ungkapan yang secara esensial berisi kebenaran ini mengenai

Maria. Di situ tertulis bahwa ia telah mengandung dalam rahimnya dan lahir seorang putra, yang

dinamai Yesus, yang adalah Putra dari Yang Mahatinggi, Yang Kudus dan Putra Allah (bdk. Luk

1:31-32,35). Maria juga ditunjuk dengan nama “Ibu Yesus” (Yoh 2:1,3; Kis 1:14), dan juga “ibu

Tuhan” (Luk 1:43) atau secara sederhana “ibu” atau “ibu-Nya” (Mat 2:11, 13, 14, 20, 21). Gelar

“Bunda Allah”, yang juga telah disaksikan oleh Matius dalam ungkapan yang sama artinya “Bunda

Emanuel”, Allah-beserta-kita (bdk. Mat 1:23), ialah gelar yang secara eksplisit dikenakan kepada

Maria setelah suatu refleksi yang memakan waktu dua abad lamanya23.

Dalam topik sebelumnya kita telah melihat bahwa pada masa Bapa-Bapa Gereja dua abad

pertama, Marialogi diturunkan dari Kristologi. Maria dibicarakan ketika muncul aliran-aliran sesat

yang menyangkal ketuhanan atau kemanusiaan Yesus, yaitu Doketisme, Gnotisisme dan

Manikeisme. Aliran-aliran ini, karena penolakan mereka akan materi sebagai yang jahat atau

sekurang-kurangnya ambigu, menyangkal bahwa Yesus Kristus memiliki tubuh manusiawi yang

benar dan sempurna. Ketika Gereja menolak aliran-aliran heretik ini, maka Gereja menekankan

keibuan fisik Maria. Tetapi Gereja belum menggunakan secara eksplisit gelar Theotokos.

Kaum doketis menyangkal bahwa Penebus memiliki suatu tubuh manusiawi yang asli; tubuh

yang dimiliki-Nya tidak sungguh dibentuk oleh daging dan darah ibu-Nya. Mereka menegaskan

bahwa Yesus dilahirkan melalui Perawan Maria, bukan dari Perawan Maria: dengan cara ini Yesus

ditempatkan dari surga di dalam rahimnya dan keluar darinya seperti melalui sebuah terowongan,

bukan melalui kelahiran manusia yang benar.

Sementara itu kaum gnostik memperkenalkan suatu perbedaan antara Yesus yang dilahirkan

dari Maria dan Kristus yang turun ke dalam Yesus pada waktu pembaptisan. Mereka sungguh

menyangkal bahwa anak yang dilahirkan Maria ialah Allah. Gereja menolak kesalahan-kesalahan

seperti ini dan menegaskan bahwa Yesus adalah sungguh Putra dari Perawan Maria, buah dari

kandungannya, dan karena itu Maria adalah sungguh ibu fisik Yesus. Pada akhir abad kedua ini

diwakili oleh Ireneus. Proklamasi bahwa Maria adalah ibu fisik Yesus berfungsi untuk menjelaskan

kemanusiaan Yesus di satu pihak dan di pihak lain keilahian-Nya. Dalam periode ini kepercayaan

akan keibuan ilahi Maria diungkapkan dalam pengakuan iman para Rasul. Pada zaman Hippolitus

22Michael O’Carroll, Ensiklopedi Populer Tentang Maria (Jakarta: Yayasan Hidup, 1988), hlm. 19. 23Haffner, The Mystery..., hlm. 107-108.

27

Page 28: Peng Antar MarioLogi

sekitar tahun 215 para katekumen ditanya apakah mereka percaya akan Yesus Kristus “yang

dilahirkan dari Roh Kudus dan dari Perawan Maria”.

Dengan kesalahan yang mirip dengan gnostik, kaum manikeis tidak menerima bahwa Yesus

dilahirkan oleh Maria. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Putra Allah, tetapi tidak dapat berarti

bahwa Ia Putra Maria. Lawan utama dari kaum manikeis ialah Agustinus yang untuk beberapa lama

sebelumnya jatuh ke tangan mereka. Agustinus mengajarkan kebenaran bahwa Maria adalah Bunda

Allah. Dalam kotbah-kotbahnya ia sangat jelas mengacu kepada Maria sebagai Bunda Allah

(genetrici suae).

Menurut kesaksian yang paling tua, gelar Theotokos untuk Maria ditemukan pertama sekali

dalam doa devosi tertua Sub tuum praesidium pada abad ketiga. Doa itu berbunyi: “Kami

mengungsi di bawah naunganmu, hai Bunda Allah, yang suci, janganlah memandang hina doa

permohonan kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, hai perawan yang mulia dan

terberkati”. Pada mulanya pemakian gelar ini tidak menimbulkan skandal di kalangan umat24.

Di Gereja Timur penggunaan gelar Theotokos pertama sekali ditemukan dalam surat Santo

Aleksander, uskup Aleksandria, yang mengumumkan pemecatan Arius sekitar tahun 320 dari

Aleksander, Batrik Konstantinopel. Kesaksian ini sangat penting karena dengan itu dinyatakan

bahwa gelar Theotokos diterima secara umum pemakaiannya sebelum pertentangan dengan

Nestorius dan kawan-kawannya. St. Athanasius pengganti St. Aleksander sekitar ton. 360 memakai

beberapa kali gelar ini. Ia menghubungkan keibuan ilahi dengan kebenaran-kebenaran inti

Kristologi.

Di Gereja Barat sebelum munculnya Heresi Nestorian, St. Ambrosius adalah pengarang pertama

yang secara eksplisit yang memberikan gelar Bunda Allah kepada Maria. Ini pun karena pengetahu-

annya Bapa-Bapa Gereja Yunani. Ini kemudian diikuti oleh Agustinus seperti dikatakan di atas.

Konsili Efesus Tahun 431

Konsili Efesus dilatarbelakangi oleh Kristologi Nestorius yang berasal dari sekolah Antiokia.

Kristologi ini berefek pada Marialoginya. Nestorius, uskup Konstantinopel tahun 428, menolak

kesatuan pribadi di dalam Kristus, karena Ia memiliki dua kodrat. Manusia Yesus tidak identik

dengan Sabda yang menjadi manusia. Sabda itu tidak persis menjadi manusia pribadi. Sabda itu

hadir dan beroperasi (tinggal) di dalam manusia Yesus sama seperti di dalam Bait Allah. Yang mati

di kayu salib bukanlah Putra Allah, tetapi manusia Yesus. Begitu ia memisahkan antara kodrat

manusia dan kodrat ilahi di dalam Yesus. Akibatnya, ia mengusulkan Maria digelari Christotokos

(Bunda Kristus) dan bukan Theotokos. Penolakan Nestorius terhadap gelar Theotokos dalam

24Groenen, Marialogi…, hlm. 41, 171.

28

Page 29: Peng Antar MarioLogi

kotbah-kotbahnya menjadi batu sandungan bagi banyak umat beriman dan menyakiti hati rakyat

yang menggemari julukan ini karena devosinya kepada Maria yang sudah lama berurat berakar25.

Nestorius memiliki tiga alasan mengapa ia menolak gelar Theotokos26. Pertama, ia khawatir

bahwa penerimaan gelar ini mengakibatkan percampuran kodrat ilahi dan kodrat insani Yesus yang

menyebabkan kita jatuh kepada Apollinarisme (monofisit). Kedua, bila gelar ini diterapkan kepada

Maria, orang Kristen akan diolok oleh orang kafir. Ketiga, sebutan ini tidak terdapat dalam Kitab

Suci dan juga tidak dalam syahadat Nikaia. Penolakan Nestorius tidak utuh, sebab kadang-kadang

ia juga menyetujui gelar itu, hanya saja harus dilengkapi dengan Anthropotokos (Bunda Manusia)

seperti telah dipergunakan oleh para pendahulu mazhab Antiokia: Diodorus dan Theodorus. Dengan

ini Nestorius mau mengatakan bahwa Maria tidak melahirkan Logos ilahi, tetapi manusia Yesus

yang bersatu dengan ketuhanan.

Kristologi Nestorius dilawan oleh Kristologi Cyrillus dari Aleksandria. Menurut Cyrillus,

Kristologi Nestorius menyangkal misteri inkarnasi, yakni Sabda ilahi sungguh menjelma menjadi

manusia. Bagi Cyrillus iman akan inkarnasi itu hanya terjamin kalau communicatio idiomatum

(pertukaran sifat)27 diterima tanpa syarat, dan gelar Theotokos diterapkan kepada Maria. Penolakan

itu berarti tiada penebusan sejati. Jadi, argumen Cyrillus bertitik tolak dari keprihatinan soteriologis.

Atas dasar ini, ia berulang-ulang menegaskan bahwa Logos ilahi sendirilah yang menjadi manusia

dalam Yesus Kristus.

Pertikaian antara sekolah Nestorius dan Cyrillus ini diselesaikan dalam Konsili Efesus tahun

431. Dalam Konsili ini ajaran Nestorius ditolak serta ia sendiri diekskomunikasi dan diturunkan dari

tahtanya. Konsili secara meriah memproklamasikan bahwa Kristus adalah pribadi kedua Trinitas

dan bahwa Maria adalah Bunda Allah. Surat kedua Cyrillus kepada Nestorius dinyatakan sejalan

dengan pengakuan iman Konsili Nikaia dan diterima oleh Konsili. Sebagian surat yang menjadi

keputusan Konsili itu ialah:

Sabda dikatakan telah dilahirkan menurut daging, karena untuk kita dan untuk keselamatan

kita Ia disatukan dengan yang insani bagi diri-Nya sendiri secara hipostasis dan berasal dari

seorang wanita. Karena Dia adalah bukan pertama dilahirkan dari perawan suci, seorang

manusia seperti kita, dan kemudian Sabda turun ke atas-Nya; tetapi sungguh dari rahim ibu-

Nya Ia dipersatukan demikian dan menjalani kelahiran menurut daging, membuat dirinya

sendiri melahirkan dagingnya sendiri...Kita menemukan bahwa bapa-bapa suci percaya.

Mereka berani menyebut Perawan suci, Bunda Allah, bukan seakan-akan kodrat Sabda atau

Keallahan-Nya menerima asalnya dari Perawan suci, tetapi karena dilahirkan darinya tubuh

25Jacques Dupuis, Introduzione alla Cristologia (Casale Monferrato: Piemme, 2001), hlm. 128-130. 26Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika, jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 211. 27Nestorius memikirkan kesatuan Pribadi Yesus sebagai kesatuan moral antara dua entitas. Namun ini bertentangan

dengan Tradisi yang telah lama memakai istilah communicatio idiomatum dalam berbicara tentang Yesus Kristus.

29

Page 30: Peng Antar MarioLogi

suci-Nya yang secara rasional dijiwai, yang dengannya Sabda disatukan secara substansial

dan disebut Sabda telah menjadi daging (DS 251).

Jadi Konsili menjelaskan bahwa Maria disebut Theotokos, Dei-genetrix bukan oleh karena

kodrat Sabda dan keilahian-Nya mendapat asal-usulnya dari Perawan suci, tetapi oleh karena tubuh

suci yang dilengkapi dengan akal diambil darinya dan dengan tubuh itu Sabda Allah dipersatukan

menurut kemandirian, maka Sabda itu dikatakan lahir menurut daging.

Sejak Konsili Efesus gelar Theotokos, Dei-genetrix menjadi tradisional dan terus dipakai.

Namun harus digarisbawahi bahwa gelar itu hanya dapat dipahami dan dibenarkan dalam rangka

dogma kristologis. Di luar itu gelar tersebut akan kehilangan maknanya dan menjadi hujat belaka.

Konsili Kalsedon tahun 451

Latar belakang Konsili:

Adanya aliran monofisitisme, yang dimulai oleh Eutikes, biarawan di Konstantinopel. Ia

mengakui bahwa Kristus berasal dari dua kodrat, bukan tinggal tetap dalam dua kodrat setelah

proses persatuan. Ia memahami kesatuan dua kodrat sebagai percampuran, yang dengannya

kemanusiaan dilarutkan dalam keilahian, dengan konsekuensi Kristus tidak sehakikat dengan kita

manusia. Setelah proses penyatuan di dalam Kristus hanya ada satu kodrat, yaitu kodrat ilahi. Di

sini ada bahaya kemanusiaan Kristus disangkal. Ini juga menimbulkan keraguan pada inkarnasi dan

tentu juga peran Maria sebagai Bunda Allah.

Pada Konsili Kalsedon tahun 451 gelar Theotokos dinyatakan dalam konteks afirmasi dua

kodrat di dalam Kristus:

Kami semua dengan satu suara mengajarkan pengakuan iman mengenai Putra yang satu dan

sama, Tuhan kita Yesus Kristus: sempurna dalam keilahian dan sempurna dalam kemanusiaan,

sungguh Allah dan sungguh manusia, dari jiwa berakal dan satu tubuh; satu substansi dengan

Bapa dalam keilahian, dan satu substansi dengan kita dalam kemanusiaan, semua sama seperti

kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa; lahir sebelum segala zaman dari Bapa dalam

keilahian-Nya, dan dalam hari-hari terakhir sama seperti kita dan untuk keselamatan kita dari

Maria, Perawan yang melahirkan Allah (Theotokos) dalam kemanusiaan-Nya (DS 301).

Menghadapi bahaya monofisitisme, yang hanya menekankan kodrat ilahi Kristus, Konsili harus

menghadirkan peran Maria sebagai Bunda Allah. Marialah yang melahirkan manusia Kristus. Jadi,

sejarah doktrin kristologis menunjukkan bahwa untuk menguatkan kemanusiaan Kristus kehadiran

Bunda Allah tak dapat disembunyikan di belakang atau dinyatakan secara implisit; harus ada suatu

eksplisitasi. Penyatuan antara Kristologi dan Marialogi merupakan suatu tuntutan yang perlu.

30

Page 31: Peng Antar MarioLogi

Konsili Konstantinopel II tahun 553

Latar belakang Konsili:

Ada bahaya munculnya kembali monofisitisme gaya baru yang mencoba membuat kompromi

antara rumusan Kalsedon dan monofisitisme. Konsili ini menghukum tiga karya dari 3 pengarang

yang telah meninggal, yang dituduh menganut aliran Nestorianisme. Jadi, bahaya bahwa

kemanusiaan Kristus kembali disangkal. Bila kemanusiaan disangkal, maka inkarnasi tidak relevan

dan Maria pun tidak mendapat tempatnya dalam tata penyelamatan.

Sekali lagi dalam Konsili kebundaan ilahi Maria dinyatakan:

Jika seseorang menyatakan bahwa tidaklah tepat dan tidaklah benar dikatakan bahwa Perawan

yang selalu suci dan mulia Maria adalah Bunda Allah, atau mengatakan bahwa ia adalah

bunda dalam cara yang relatif, dengan mengatakan bahwa ia melahirkan melulu seorang

manusia dan bahwa Allah Sabda tidak menjadi manusia di dalam dia, agaknya berpendapat

bahwa kelahiran seorang manusia darinya dihubungkan, seperti mereka mengatakan, kepada

Allah Sabda seperti dia ada dengan manusia yang datang kepada ada;... atau jika seseorang

mengatakan bahwa dia adalah bunda dari seorang manusia atau yang melahirkan Kristus,

yakni Bunda Kristus, menganjurkan bahwa Kristus bukan Allah; tidak secara resmi mengakui

bahwa Maria adalah sungguh Bunda Allah, karena Ia yang telah dilahirkan sebelum segala

zaman dari Bapa, Allah Sabda, telah menjadi manusia dalam hari-hari terakhir ini dan telah

dilahirkan baginya: terkutuklah ia (DS 426-427).

Konsili tidak menerima peran relatif Maria sebagai Bunda Allah. Kehadiran Maria mutlak, tak

tergantikan dalam tata dan sejarah keselamatan. Yang dilahirkan oleh Maria bukan melulu manusia,

tetapi sungguh Allah, sehingga ia harus disebut Bunda Allah.

Konsili Vatikan II, LG VIII

Dogma Maria Bunda Allah kembali ditegaskan dan dimasukkan dalam LG bab VIII. Di sana

ditemukan 12 kali gelar Bunda Allah28. Yang menarik di sini ialah bahwa Maria dimasukkan dalam

kerangka Gereja. Sebagai bagian dari anggota Gereja, Bunda Allah dilihat peranannya dalam

misteri Kristus dan misteri Gereja.

Dalam misteri Kristus, Maria bekerja sama dalam penyelamatan umat manusia dengan iman dan

kepatuhannya. Ia menerima khabar gembira dari Malaikat untuk menjadi Bunda Yesus Penebus,

melahirkan dan membesarkan Yesus (LG 55-59). Dalam misteri Gereja, peran Maria sebagai Bunda

Allah dalam tata rahmat amatlah unggul dan tunggal. Sebagai Bunda Allah, ia menjadi pola-teladan

Gereja yakni di dalam iman, cinta kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus (LG no. 60-65).

28O’Carroll, Ensiklopedi…, hlm. 19.

31

Page 32: Peng Antar MarioLogi

Sekalipun Konsili menegaskan kembali Dogma sebelumnya, namun pemahaman baru ditambah,

yakni cakupan peranan Maria sebagai Bunda Allah. Maria tidak saja dilihat sebagai Bunda Allah

dalam peranannya melahirkan Penebus, Yesus Kristus, tetapi ia juga sebagai model dan sekaligus

teladan bagi Gereja. Maka Konsili mengeksplisitkan peran Maria bagi Gereja. Itu berarti di samping

Konsili berhasil mempertahankan kesatuan antara Kristologi dan Marialogi sebagai kesatuan klasik,

tetapi juga trilogi baru, yaitu Kristologi, Eklesiologi dan Marialogi.

1.2 Maria adalah Perawan

Di samping sebagai bunda Allah, muncul juga keyakinan bahwa Maria adalah perawan. Sejak

abad ke-4 baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat dengan tegas diakui dalam berbagai bentuk

pengakuan iman (Credo) bahwa Maria Perawan. Dan ketika konsili-konsili umum merumuskan

pengakuan imannya di dalamnya dimasukkan kebenaran akan keperawanan Maria. Hal ini dapat

kita telusuri dalam Konsili-konsili awal sejarah Gereja.

- Konsili Konstantinopel I (381): “...Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh

Perawan Maria, dan menjadi manusia....” (DS 150).

- Konsili Efesus (431) :”Jikalau seseorang tidak mengakui bahwa Emanuel adalah Allah

dalam arti yang benar dari Sabda, dan bahwa karena itu Santa Perawan ialah Bunda

Allah sebab ia telah melahirkan menurut daging Sabda yang berasal dari Allah,

terkutuklah ia!” (DS 252).

- Konsili Kalsedon (451). Dalam pengantar definisi mengenai dua kodrat di dalam

Kristus, para Bapa Konsili mengemukakan kebenaran keperawanan Maria: “...Tetapi

mereka yang berusaha menolak pemberitaan kebenaran, dengan kesesatan-kesesatan

mereka telah menciptakan ungkapan-ungkapan baru: beberapa berusaha memalsukan

misteri ekonomi inkarnasi Tuhan bagi kita, dan mereka menolak ungkapan Theotokos

bagi Perawan; ...di hadapan semua ini ....konsili ekumenis yang kudus dan besar ini

pertama-tama mempertahankan bahwa iman dari para bapa suci tahun 381 tak dapat

diubah” (DS 300)

- Konsili Konstantinopel II (553). Pengakuan akan keperawanan Maria dikemukakan

dalam sesi hukuman atas tiga karya yang dianggap menyesatkan. “Jikalau seseorang

menegaskan bahwa Santa Mulia dan selalu Perawan Maria bukanlah Bunda Allah

dalam arti yang benar atau bahwa ia menurut relasi lahir daripadanya seorang manusia

biasa, dan bukanlah Sabda Allah yang berinkarnasi di dalam dia ... terkutuklah ia! (DS

427).

32

Page 33: Peng Antar MarioLogi

Pada mulanya keperawanan Maria dipahami sebagai keperawanan sebelum melahirkan. Ini

tampak dalam pandangan Ignasius dan Yustinus. Sebelum Konsili Efesus belum ada

kesepakatan di antara Bapa Gereja tentang ajaran keperawanan Maria. Contoh ketidaksepakatan

itu ialah:

1) Keperawanan fisik Maria pada saat melahirkan diajarkan oleh Bapa Gereja: Ireneus,

Klemens dari Aleksandria, Gregorius dari Nyssa. Ini tidak didukung oleh

Tertulianus, Origenes, Hieronimus.

2) Keperawanan Maria setelah melahirkan anak sulungnya, Yesus, diajarkan oleh:

Origenes, Petrus I dari Aleksandria, Gregorius dari Nyssa, Hilarius, dan Hieronimus.

Ajaran ini tidak disokong oleh Basilius: ini tidak perlu dipercayai.

3) Maria tetap perawan baik pada waktu maupun sesudah melahirkan dipertahankan

oleh Yohanes Krisostomus, Efraim, Ambrosius dan Agustinus. Pendapat mereka ini

sangat berpengaruh pada zaman patristik.

Tetapi umum diterima bahwa sejak abad ke-4 sudah ada keyakinan iman akan keperawanan

tetap Maria. Sifat tetap perawan (semper virgo) ini menjadi julukan Maria bila ia disebutkan

dalam doa-doa liturgi maupun dalam teks-teks non liturgis, seperti sajak dan syair dalam seni

sastra tentang Maria. Ungkapan bahwa Maria itu perawan sebelum, waktu, dan setelah

melahirkan sudah ada sejak abad ke-7, ketika diadakan Konsili Lateran tahun 649; terutama

ditambahkan pengakuan akan virginitas post partum (DS 503-504).

Keperawanan sebelum melahirkan (virginitas ante partum), artinya Maria mengandung dari

Roh Kudus yang menaunginya tanpa Yesus diperanakkan oleh seorang bapak insani.

Keperawanan waktu melahirkan (virginitas in partu), artinya rahim Maria tetap utuh ketika

Yesus lahir daripadanya.

Keperawanan sesudah melahirkan (virginitas post partum), artinya Maria tidak pernah

bersetubuh sehingga juga tidak ada saudara-saudara sekandung Yesus.

Walaupun keperawanan Maria sebelum, pada saat, setelah melahirkan termasuk dalam isi

iman Gereja serta pewartaannya, hanya keperawanan sebelum dan sesudah melahirkan itu

dinyatakan secara resmi (dogma) seperti tampak dalam Konsili Lateran di atas, sedangkan

keperawanan in partu (pada saat) tak ada definisi resmi sehingga pernyataan tentangnya bukan

tidak dapat sesat.

Elzbieta Adamiak mengatakan bahwa dogma ini mempengaruhi penghormatan (devosi)

kepada Maria. Evolusi devosi ini dihubungkan secara erat dengan perkembangan perayaan-

perayaan liturgis untuk para kudus khususnya para martir. Dari sini muncul doa permohonan

33

Page 34: Peng Antar MarioLogi

kepada Maria. Maka, sejak abad ke-5 hari raya dan pesta Maria mulai diadakan di dalam Gereja

Katolik lokal maupun universal29.

Konsili Vatikan II juga mengajarkan tentang keperawanan Maria. Namun Konsili tidak

membuat secara spesifik seperti dinyatakan dalam Sinode Lateran tahun 649: keperawanan

sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan. Konsili memahami keperawanan Maria dalam dua

arti, yaitu arti fisik dan spiritual. Secara spiritual, keperawanan dihubungkan dengan iman dan

ketaatan kepada Allah dan pengandungan Putra Allah. Menurut Konsili ada dua aspek mendasar

dalam keperawanan Maria, yaitu iman dan ketaatan30. Teks mengafermasikan keperawanan

Maria dan kedua aspeknya itu:

Dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut bunda dan perawan, Santa Perawan

Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberi teladan

perawan maupun ibu. Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putra Bapa

sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai

Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena

percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia

telah melahirkan Putra, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak

saudara (Rom 8:29), yakni umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih

keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka. (LG 63).

Para kritikus berpendapat bahwa pengandungan perawan31:

tidak dapat terjadi: mukjizat-mukjizat itu tak mungkin

tidak terjadi: Injil-Injil menggunakan mitos kafir; atau ini hanya kebenaran

teologis/simbolis (bdk. Schillebeeckx).

tidak harus terjadi: sebab kalau tidak Yesus tidak akan sungguh-sungguh

manusia

tidak perlu bagi karya penyelamatan; yang perlu ialah pribadi, bukan

pengandungan Yesus.

Sebaliknya, Gereja selalu mempertahankan pentingnya pengandungan perawan, karena

pengandungan perawan:

29Elzbieta Adamiak, “Developments in Mariology” dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 37-38. Dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik di Indonesia terdapat 12 “hari Maria” selama tahun gerejawi, yakni: 4 hari raya, 2 pesta dan 6 peringatan. Lengkapnya ialah: Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari), Peringatan Santa Perawan Maria di Lourdes (11 Februari), Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet (31 Mei), Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria (Hari Sabtu ketiga setelah Pentekosta), Peringatan Santa Perawan Maria di Gunung Karmel (16 Juli), Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (15 Agustus), Peringatan Santa Perawan Maria, Ratu (22 Agustus), Pesta Kelahiran Maria (8 September), Peringatan Rosario Santa Perawan Maria (7 Oktober), Peringatan Santa Perawan Maria Dipersembahkan kepada Allah (21 November), Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa (8 Desember).

30Bdk. Ciriaco Scanzillo, La Chiesa sacramento di comunione (Roma: Edizioni Dehoniane, 1989), hlm. 389. 31Bdk. Michel Remery, Teologia dogmatica (Roma: Venerabile Collegio Inglese, 2006), hlm. 39-40.

34

Page 35: Peng Antar MarioLogi

adalah tanda asal-usul ganda Yesus; dan dengan itu, Maria ialah Theotokos.

Mengungkapkan peranan Roh Kudus dan Trinitas dari saat mengandungnya

Yesus

Menggambarkan baptisan yang di dalamnya juga kita dilahirkan dari Roh

Kudus.

1.3 Dikandungnya Maria tanpa Noda, Maria Immaculata

Tidak semua bapa Gereja sebelum Ambrosius dan Agustinus menyadari kesucian Maria.

Pengarang patristik yang pertama kali mengajarkan ketidakberdosaan Maria ialah Pelagius dan

Agustinus. Pelagiuslah yang pertama sekali menyatakan bahwa Maria sama sekali tidak berdosa,

dan Agustinus meneguhkan pernyataannya.

Ajaran bahwa Maria seluruhnya tanpa dosa itu berkembang terus dan maju dengan cepat sampai

pada pernyataan bahwa Maria bebas dari dosa asal. Di Timur, Andreas dari Kreta dan Yohanes dari

Damsyik melangkah ke arah itu. Di Barat selama milenium pertama tidak ada kesaksian eksplisit

bahwa Maria bebas dari dosa asal. Alasannya ialah ajaran, yang amat ditekankan oleh Agustinus,

bahwa semua orang memerlukan penebusan oleh Kristus karena semua kena dosa (asal). Jalan

menuju pengakuan bahwa Maria dikandung tanpa dosa dihalangi secara khusus oleh pandangan

banyak ahli teologi pada waktu itu tentang cara dosa asal diteruskan, yakni melalui pembiakan

begitu rupa sehingga, menurut Agustinus, diwariskan turun-temurun.

Dalam abad ke-13 sampai ke-14 berkat sumbangan Yohanes Duns Scotus terbukalah jalan

menuju pengakuan dikandungnya Maria tanpa dosa (immaculata conceptio). Scotus menerima

penuh bahwa semua orang termasuk Maria memerlukan penebusan Kristus. Pertanyaan bagaimana

Maria dapat ditebus sebelum wafat Yesus di kayu salib itu dijawab Scotus dengan mengatakan

bahwa selain pembebasan dari dosa asal terdapat juga perlindungan yang menghindarkan seseorang

dari dosa asal. Demi jasa Yesus yang akan menebus bangsa Manusia dari dosa, Maria sebelumnya

sudah dihindarkan Allah dari noda dosa (redemptio praeservativa, penebusan yang mencegah),

sedangkan semua orang lain oleh penebusan dibebaskan dari dosa (redemptio liberativa, penebusan

yang membebaskan). Menurut ajaran ini Maria pun terikat pada hukum dosa asal. Hanya saja berkat

keputusan kehendak Allah yang istimewa, hukum ini tidak dapat diterapkan kepada Maria.

Pada tahun 1477 Paus Sixtus IV menyatakan bahwa kekristenan Katolik secara umum meyakini

dikandungnya Maria tanpa dosa, lalu melarang para pendukung dan para pembantah misteri ini

untuk saling menuduh sebagai bidaah. Lalu Konsili Trente (1546) menerangkan dalam ajaran

tentang dosa asal bahwa Konsili tidak bermaksud melibatkan Maria dalam universalitas dosa asal.

35

Page 36: Peng Antar MarioLogi

Kemudian pembebasan dari dosa asal ini kembali ditegaskan oleh Paus Alexander VIII tahun 1690.

Pernyataan-pernyataan ini turut mematangkan iman akan kebebasan Maria dari noda dosa sehingga

pada tahun 1854 Paus Pius IX menyatakan dogma tentang Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa

Dosa.

Bagaimana proses lahirnya pernyataan Paus Pius IX? Untuk menyiapkan definisi dogma

Dikandung tanpa nodanya Maria, ia membentuk sebuah komisi para teolog pada tanggal 1 Juni

1848. Pada tanggal 2 Februari 1849 Paus mengirimkan Ensiklik Ubi Primum kepada para uskup di

seluruh dunia untuk meminta pendapat mereka tentang pendefinisian Dikandung tanpa nodanya

Maria. Jawaban-jawaban para uskup dipublikasikan dalam karya yang berjudul Pendapat-pendapat

Uskup Katolik, Kapitel-kapitel, Kongregasi-kongregasi, Universitas-universitas ... tentang Definisi

Dogmatis Dikandung tanpa Nodanya Santa Perawan Maria...”. Dari 603 uskup yang dimintai

pendapatnya, 546 menyetujui usul untuk dijadikan definisi dogma. Setelah mengumumkan hasil

pemungutan suara ini, Paus melalui komisi teologi menyusun beberapa skema dari bulla yang akan

diumumkan. Dan dalam redaksi final dari bulla tersebut, Paus sendiri terlibat secara langsung di

dalamnya.

Pertimbangan teologis dogma itu diungkapkan oleh Paus dalam Bulla Ineffabilis Deus. “Dengan

otoritas Tuhan kita Yesus Kristus, Rasul Kudus Petrus dan Paulus dan kami, kami menyatakan,

memproklamasikan dan mendefinisikan: doktrin, yang mempertahankan bahwa Perawan Tersuci

Maria dalam pengandungannya, karena rahmat yang tunggal dan khusus dari Allah Yang

Mahakuasa, karena jasa-jasa Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, dilindungi dari setiap cacat

dosa asal. Doktrin ini diwahyukan oleh Allah dan karena itu harus dipercayai dengan teguh dan tak

dapat dikalahkan” (DS 2803).

Dalam perumusan teologis tersebut, tampak keinginan kuat Gereja (Barat) untuk membela

kekudusan Maria. Namun perumusan dogma ini oleh Gereja Timur dilihat sebagai jalan

mempertahankan doktrin tentang dosa asal yang muncul sejak Agustinus. Bagi mereka dogma ini

tidak diterima, karena mereka tidak mengenal ajaran tentang dosa asal. Maka dalam tataran

ekumenis, Yohanes Paulus II mengusulkan bahwa rumusan negatif mengenai keistimewaan Maria

dari Gereja Barat harus dilengkapi dengan ungkapan positif tentang kekudusan Maria dalam Tradisi

Timur. Diakui bahwa pemisahan doktrin Ineffabilis Deus dari dialog otentik dengan Teologi

Ortodoks tentang Nama Maria (Panagia) akan mempermiskin doktrin itu sendiri32. Bagaimana

mendialogkan kedua tradisi ini?

Pada jantung artikulasi marialogis dari Bapa-bapa Gereja Timur terdapat suatu keyakinan ganda

mengenai status Maria sebagai Panagia: 1) Maria bukanlah hanya penerima pasif rahmat Allah; 2)

32Aaron Riches, “Deconstructing the linearity of Grace: The Risk and Reflexive Paradox of Mary’s Immaculate Fiat”, dalam International Journal of Systematic Theology, 2/10 (April 2008), hlm. 180-181.

36

Page 37: Peng Antar MarioLogi

realitas adanya didasarkan pada tindakan kehendak bebasnya, suatu kehendak yang membuat ia

mampu berbalik dari atau menerima keputusan Allah. Dalam hal ini Tradisi Ortodoks memahami

kekudusan Maria dalam hubungan dengan “tindakan”, sementara Tradisi Latin menekankan status

tak bernodanya “being” Maria. Yohanes Paulus II mempertemukan keduanya dengan bantuan

fenomenologi pribadi manusia. Manusia dibentuk dari kesatuan antara ada dan tindakan,

sedemikian sehingga pribadi manusia dinyatakan dalam dan melalui tindakan. Maka dengan doktrin

Dikandung Tanpa Nodanya Maria, Gereja Latin mau menyata-kan adanya Maria di dalam tindakan,

realitas dinamis yang menampakkan pribadi sebagai subyek efikaksnya. Ini sejalan dengan Teologi

Ortodoks tentang Panagia, yang menampakkan Maria sebagai realitas dinamis, subyek efikaks dari

pribadi yang bertindak.

1.4 Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan surgawi, Maria Assumpta

[Baca: Yoseph Solor Balela, “Misteri Bunda Maria Diangkat ke Surga: Suatu

Pencarian Makna Iman”, dalam Logos, 2/5 (Januari 2008), hlm. 56-68.]

Kekudusan Perawan Maria hanya akan menjadi sempurna, bila dihiasi dengan keistimewaan

lain, yaitu Maria diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan tubuh dan jiwanya. Dasar dogma

Maria Assumpta tidak terletak pada data atau kenyataan historis-empiris, melainkan didasarkan atas

pertimbangan teologis ini. Pertama, pantaslah Santa Perawan diikutsertakan dalam kemuliaan

Putranya. Yesus Kristus naik ke surga dengan jiwa dan badan, maka pantaslah Maria juga diangkat

dengan cara mirip dengan Kristus. Kedua, dalam hidup ini Maria diikutsertakan sepenuhnya dalam

karya penyelamatan Yesus Kristus. Jadi pantaslah Maria disertakan dalam kebangkitan, juga

sebelum hari akhirat. Ketiga, dogma Maria diangkat ke surga mempunyai dasar dalam Kitab Suci,

yaitu dalam penggambaran umum mengenai Maria sebagai Bunda Yesus, tetap perawan dan serba

suci. Keempat, argumen yang menentukan adalah bahwa sejak berabad-abad lamanya Gereja secara

sepakat memandang pokok ini sebagai ajaran iman. Mengenai pertimbangan yang terakhir ini,

orang dapat menyaksikan sendiri bagaimana praktek dan keyakinan yang hidup dalam Gereja,

berikut permohonan-permohonan kepada Tahta Suci untuk menetapkan ajaran resmi mengenai

Maria diangkat ke surga33.

Dari empat butir pertimbangan teologis yang mendasari dogma tersebut, Gereja hanya mau

mengajarkan keyakinan imannya tentang Maria: Maria telah mencapai kemuliaan dan kebahagiaan

menyeluruh sebagai penggenapan Allah atas janji-Nya. Dalam merumuskan keyakinan itu memang

dipakai bahasa atau cara bicara tertentu (“dengan jiwa dan badannya diangkat”). Bukan itu inti

33A. E. Kristiyanto, Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 47-48.

37

Page 38: Peng Antar MarioLogi

dogma. Dogma juga tidak mengatakan apa-apa mengenai apakah hanya Maria secara terpisah

diikutsertakan dalam penyelesaian karya penyelamatan ilahi. Dogma tidak berkata apa-apa

mengenai orang beriman lainnya. Memang soalnya amat berbelit-belit bagaimana mengerti

pandangan tradisional mengenai “kebangkitan badan” seperti tercantum dalam syahadat rasuli34.

Selain Maria ditetapkan sebagai tanda pengharapan akan keselamatan eskatologis bagi orang

beriman yang masih berziarah di dunia ini, dogma juga “meluhurkan” Maria. Karena nyatanya

Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepada Maria. Maria pun menanggapi rahmat itu dengan

segenap hati. Kini Maria menikmati kemuliaan penuh bersama dengan Kristus Yesus, Raja semesta

alam. Keyakinan iman akan hal ini berarti mengunggulkan Maria sebagai Ratu semesta alam. Meski

julukan ini tak menambah sesuatu yang baru pada keluhuran dan keistimewaan Maria, namun di

beberapa tempat julukan seperti ini berfungsi sebagai salah satu sarana untuk melambungkan doa

permohonan agar Tuhan berkenan menganugerahkan iman kepada Gereja seperti kepada Maria,

Ratu, supaya Gereja kian bulat bersatu dengan Bapa dalam Roh Kudus melalui Kristus Yesus.

2. AJARAN YANG BUKAN BERSIFAT DOGMA TENTANG MARIA

Selain ajaran yang bersifat dogma, ada juga ajaran lain tentang Maria yang isinya berupa

kebenaran yang bukan dogma. Misalnya, kebebasan Maria dari dosa pribadi, kebundaan rohani,

cara pengantaraannya, dan juga gelar-gelar Maria (Ratu dan Bunda Gereja). Bila orang menolak ini

tidak dianggap sebagai sesat atau bidaah. (Gelar-gelar Maria, lihat Puji Syukur no. 214).

BAB VMARIALOGI KONSILI VATIKAN II

1. Dua Pendekatan Mengenai Santa Maria Dalam Konsili Vatikan II

34Ibid., hlm. 48.

38

Page 39: Peng Antar MarioLogi

Dalam membicarakan Santa Perawan Maria, para Bapa Konsili tidak memiliki pandangan

yang sama. Pandangan mereka mengerucut dalam dua tendensi yang berbeda satu sama lain, yakni

pendekatan “Marialogi kristotipikal” dan “Marialogi eklesiotipikal”35.

Sebenarnya kedua pendekatan ini tidak serta merta muncul dalam Konsili Vatikan II.

Keduanya pertama sekali dikemukakan oleh Heinrich Köster pada saat Kongres Marialogi di

Lourdes tahun 1958. Pada saat itu ia mengklasifikasi dua tipe mendasar gerakan marialogis yang

sedang berlangsung dalam Gereja, yaitu pendekatan kristotipikal dan eklesiotipikal36. Apakah

sinyalemen ini mempengaruhi para Bapa Konsili, kita tidak mempunyai sumber tentang itu. Namun

dari sumber yang diteliti tampaknya bahwa pada permulaan Konsili kedua istilah ini masih belum

dipakai secara eksplisit oleh para Bapa Konsili. Tetapi kemudian dalam persidangan sesi kedua

Konsili tanggal 16 September 1963, Uskup Agung Roy tanpa ragu-ragu memakai kedua istilah ini37.

Bagaimana kedua pendekatan ini berargumen pada saat Konsili?

Marialogi kristotipikal mau menempatkan Santa Perawan Maria lebih dekat kepada Kristus,

yakni partisipasi Maria dalam tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus kepada umat manusia.

Dalam hal ini Maria langsung ditempatkan secara khusus di bawah Kristus. Maka penganut

pendekatan ini berusaha menghadirkan privilese-privilese Perawan Maria seperti dinyatakan dalam

ensiklik-ensiklik Paus dua abad terakhir. Metode mereka ialah menganalisis konsep-konsep dan

prinsip-prinsip perihal Santa Maria dalam Magisterium Gereja, lalu dicari kesaksian-kesaksian yang

sesuai dengan itu dalam Kitab Suci dan Tradisi. Metode ini bersifat spekulatif. Dari observasi

spekulatif ini Maria diberi gelar-gelar baru dan dari situ ia dihiasi dengan peribadatan yang luar

biasa meriah38. Agaknya mereka ini memegang prinsip De Maria numquam satis, artinya orang

tidak pernah dapat mengatakan cukup tentang Maria39.

Sementara itu Marialogi eklesiotipikal berpendapat bahwa Maria mesti dipandang sebagai

bagian dari anggota Gereja. Namun anggota yang dimaksud bukanlah anggota yang biasa, seperti

umat beriman pada umumnya. Ia adalah anggota yang unik dan karena itu ia menjadi model Gereja.

Para penganut pendekatan ini mempertahankan bahwa Maria sebaiknya ditempatkan dalam tata dan

sejarah keselamatan. Metode mereka ialah meneliti sumber-sumber paling antik, kemudian

evolusinya yang perlahan-lahan baik dalam sejarah keselamatan maupun dalam perjalanan teologi

dan dalam kehidupan harian Gereja, yaitu devosi rakyat. Singkatnya mereka mau berangkat dari

35G. L. MÜLLER, Dogmatica cattolica: Per lo studio e la prassi della teologia (Milano: San Paolo, 1999), hlm. 581.

36E. ADAMIAK, “Developments in Mariology”, dalam Concilium, no. 4 (Desember 2008), hlm. 35. Pada saat kongres itu, Köster menekankan bahwa pendekatan kristotipikal dan eklesiotipikal sungguh tidak dapat dipisahkan, karena dimensi kristologis dan eklesiologis selalu perlu hadir dalam gambaran tentang Maria.

37J. A. KOMONCHAK (ed.), History of Vatican II, vol. IV (Maryknoll-Leuven: Orbis-Peeters, 2003), hlm. 53. 38G. PHILIPS, La Chiesa e il suo mistero: storia, testo e commento della Lumen Gentium (Milano: Jaca Book,

1975), hlm. 513. 39GROENEN, Mariologi…, hlm. 16.

39

Page 40: Peng Antar MarioLogi

dasar-dasar biblis dan patristik bagi doktrin dan devosi kepada Maria. Dengan cara inilah Gereja

mesti menghasilkan dogma yang membangun dan melayani kebutuhan pastoral dan kesalehan umat

beriman. Pendekatan ini mengandung unsur ekumenis, yang merupakan salah satu tujuan Konsili

Vatikan II40.

Dalam studi teologi, para teolog sering mengkritik pendekatan eklesiotipikal sebagai

“minimalistis”. Disebut demikian, karena penganut tendensi ini hanya mau membangun suatu

Marialogi, bila kebenaran-kebenaran mengenai Perawan Maria dapat ditemukan dalam Kitab Suci.

Untuk verifikasi ini diperlukan metode historis kritis dalam studi data-data biblis. Alhasil, perihal

Santa Maria, Bunda Kristus, seharusnya dimasukkan dalam konstitusi tentang Gereja, karena ia

adalah salah satu anggota Gereja yang juga harus ditebus oleh Kristus41.

Lalu pendekatan kristotipikal sering dikritik sebagai “maksimalistis”. Dikatakan demikian,

karena pendukung pendekatan itu percaya bahwa Maria tidak termasuk anggota Gereja. Maria tidak

dapat disejajarkan dengan Gereja. Maria adalah pribadi yang tunggal dan istimewa bila

dibandingkan dengan anggota Gereja lainnya. Ia merupakan pribadi yang tak terpisahkan dari

Kristus. Pendeknya, Maria seharusnya ditempatkan pada posisi yang maksimal terhadap Gereja.

Atas dasar ini, Maria semestinya dibicarakan dalam satu dokumen tersendiri, terpisah dari dokumen

tentang Gereja dan Konsili menghasilkan ajaran baru tentangnya42.

Dalam Konsili, kedua tendensi ini masing-masing mempertahankan keyakinannya. Tetapi

solusi mesti ada. Maka langkah voting mesti ditempuh tgl. 29 Oktober 1963. Hasil voting

menunjukkan bahwa dari 2193 suara, 1114 suara mendukung bahwa perihal Maria dimasukkan

dalam skema mengenai Gereja dan 1074 suara memilih untuk menyusun dua skema: satu tentang

Maria dan satu lagi tentang Gereja43. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa ajaran Konsili tentang

Maria mesti dimasukkan dalam skema tentang Gereja. Tetapi tetap harus digarisbawahi bahwa

perbedaan hasil voting amat tipis. Itu berarti bahwa keyakinan yang satu tak boleh dilalaikan dari

keyakinan yang lain dalam perumusan teks final.

Dalam perumusan final, Marialogi ditempatkan pada bab terakhir, bab VIII dari Konstitusi

Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium). Perumusan ini merupakan suatu solusi yang

memuaskan, karena Konsili melampaui ketegangan antara Marialogi kristotipikal dan Marialogi

eklesiotipikal dengan mengembangkan suatu Marialogi yang bersifat trinitaris-kristosentris. Maria

dilihat dalam misteri Kristus dan Gereja. Di satu sisi Maria adalah anggota Gereja yang pertama

kali ditebus oleh Kristus, dan karena itu ia menjadi model-teladan Gereja. Di sisi lain sebagai

40PHILIPS, La Chiesa…, 513. 41A. E. KRISTIYANTO, Maria Dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria Dalam

Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 12-13. 42KRISTIYANTO, Maria…, hlm. 13. 43J. A. KOMONCHAK (ed.), History of Vatican II, vol. III (Maryknoll-Leuven: Orbis-Peeters, 2000), hlm. 98.

40

Page 41: Peng Antar MarioLogi

Bunda Putra Allah, Bunda Penebus, Maria berada di atas Gereja. Pada level ini Maria disatukan

dalam tindakan penyelamatan Kristus Yesus44. Dengan perumusan ini Marialogi mesti disatukan

dengan Eklesiologi dan Kristologi. Dengan ini pula Konsili mengoreksi kebiasaan-kebiasaan

sebelumnya yang kadang-kadang mengisolasikan Marialogi dari Eklesiologi dan Kristologi.

2. Pilihan dan Maksud Konsili

Konsili Vatikan II melahirkan suatu peristiwa yang sangat penting bagi Marialogi di abad

kedua puluh. Peristiwa ini merupakan titik pencapaian dari gerakan marialogis sebelum Konsili,

tetapi sekaligus titik berangkat diskursus baru tentang Maria.

Dengan memperhatikan perjalanan perumusan bab VIII LG yang dipromulgasikan tgl. 21

November 1964, sebagaimana dilukiskan di atas, di dalamnya tergambar ringkasan sejarah

Marialogi abad ke-20. Empat tahun penyusunan teks marianis menghasilkan kembali

perkembangan pemikiran marialogis yang dikerjakan dalam kurun waktu antara 1920-1960. Dalam

sejarah penyusunan ini terdapat dua pendekatan marialogis yang berbeda, dua pendekatan mengenai

kedudukan dan peranan Maria dalam Gereja dan karya keselamatan, yaitu perspektif kristologis

dan perspektif eklesiologis. Meskipun teks final memperlihatkan dominasi perspektif eklesiologis,

namun pada kenyataannya Konsili mengambil jalan tengah, jalan kompromi, yakni mengusahakan

suatu keharmonisan antara dua pendekatan ini. Maka, judul yang dipilih dalam penyusunan bab

VIII ialah De Beata Maria Vergine Deipara in Mysterio Christi et Ecclesiae (Santa Maria,

Perawan dan Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja).

Mengingat perbedaan yang ada, Konsili tidak bermaksud menyampaikan ajaran yang lengkap

tentang Maria dalam misteri Kristus dan Gereja. Konsili juga tidak bermaksud membela pendekatan

yang satu dan menyingkirkan pendekatan yang lain. Pendekatan-pendekatan yang hidup di kalangan

para teolog tetap dihormati dan dibiarkan berkembang demi mencapai pandangan yang lebih jelas

tentang kedudukan dan peranan Maria dalam Gereja dan misteri keselamatan (bdk. LG 54).

3. Pokok-pokok Ajaran Konsili

Pengajaran Konsili diklasifikasi ke dalam 5 bagian: I. Pendahuluan (52-54); II. Peran Santa

Perawan dalam tata keselamatan (55-59); III. Santa Perawan dan Gereja (60-65); IV. Kebaktian

kepada Santa Perawan dalam Gereja (66-67); V. Maria tanda harapan yang pasti dan penghiburan

bagi umat Allah yang mengembara di dunia (68-69).

Dalam bagian pendahuluan, Konsili menyajikan tempat perawan Maria dalam misteri Kristus

dan Gereja. Dalam tata keselamatan Allah menduduki tempat utama. Allah bertindak sebagai

sumber keselamatan. Alasan tunggal mengapa Allah menyelamatkan manusia ialah kasih-Nya.

Tindakan penyelamatan ini dipusatkan seutuh-utuhnya dalam dan melalui Putra Tunggal-Nya Yesus

Kristus: hidup, kematian dan kebangkitan-Nya (causa efficiens: asal-usul keselamatan). Tanpa

Yesus dan di luar Yesus, sekali pun Santa Maria, tidak terjadi keselamatan. Keselamatan semua

orang termasuk Santa Maria tergantung dari Kristus. Meskipun begitu, Konsili juga mengakui

44MÜLLER, Dogmatica…, 581-582.

41

Page 42: Peng Antar MarioLogi

bahwa dalam arti tertentu keselamatan juga tergantung dari Perawan Maria, yaitu kesediaannya

untuk menjadi Ibu Tuhan, Ibu Penebus. Di sini Maria menjadi jaminan inkarnasi. Dalam arti inilah

kita mengerti kata-kata St. Paulus: “Lahir dari seorang wanita” (Gal 4:4) (bdk. no. 52).

Dengan perantaraan misteri inkarnasi, Allah memberikan tempat istimewa kepada manusia

Maria. Ia diangkat oleh Allah menjadi Bunda Allah, dan karena peran ini, ia tidak dapat

disejajarkan dengan peran semua anggota Gereja dan makhluk lainnya. Akan tetapi, karena Maria

adalah termasuk keturunan Adam, ia juga termasuk manusia yang harus diselamatkan atau ditebus.

Berkat jasa Putranya ia ditebus secara lebih unggul. Dengan demikian Maria juga termasuk anggota

Gereja yang sangat unggul dan istimewa serta sebagai pola teladan Gereja dalam iman, harap dan

kasih (bdk. 53).

3.1 Peran Maria dalam Tata Keselamatan (55-59)

Peran serta Maria dalam tata keselamatan tampak dari gambaran-gambaran dan keistimewaan-

keistimewaan yang diberikan kepadanya dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

serta Tradisi Gereja.

3.1.1 Gambaran Maria

Dengan sangat hati-hati Konsili mengangkat gambaran atau gelar-gelar yang mengacu kepada

Santa Maria dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Dengan bersandar pada Kitab Suci, Konsili

menandaskan dimensi biblis pengajarannya mengenai Maria. Dan sikap hati-hati yang ditunjukkan

dengan meminimalisir gelar-gelar Maria, Konsili juga mau menyatakan sikap ekumenisnya. Dalam

arti bahwa para Bapa Konsili berusaha memakai gelar-gelar yang mudah dimengerti oleh saudara-

saudara terpisah.

a. Maria, Hawa Baru.

Gelar “Hawa Baru” berasal dari zaman patristik. Gambaran Hawa Baru pada Maria tidak

dilandaskan pada teks Kej 3:15. Teks ini meramalkan secara samar-samar sekitar janji kemenangan

atas ular, bukan mengacu kepada Maria. Tetapi gambaran Maria sebagai Hawa Baru didasarkan

pada sikap Maria terhadap sabda Allah. Maria telah menerima sabda Allah dengan bebas.

Persetujuan Maria ini memungkinkan kehidupan baru bagi umat manusia. Sikap taat ini

bertentangan dengan sikap Hawa yang menolak sabda Allah yang akhirnya membawa kematian.

Dengan sikap ini Maria menerima peran sebagai Bunda Yesus. Dengan segenap hati Maria

menerima kehendak Allah yang menyelamatkan. Bapa-bapa Gereja seperti Ireneus, Ambrosius,

Agustinus menilai sikap Maria sebagai sikap yang benar dan tulus di hadapan Allah.

b. Maria, Hamba Tuhan, Miskin dan Hina Dina

Dalam tulisan Lukas, Maria digambarkan sebagai tokoh yang unggul. Keunggulan ini

dilukiskan dalam hidup dan sikap hatinya yang miskin serta rendah hati di hadirat Allah (bdk. Luk

1:38; 2:19; 2:51). Dengan menampilkan sikap religius ini, pengarang Injil mau mengelom-pokkan

Maria ke dalam kaum anawim, yakni orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa di hadapan Allah.

42

Page 43: Peng Antar MarioLogi

Semua harapan mereka gantungkan pada Allah, sebab dari sanalah keselamatan kekal. Sikap

anawim Maria amat kuat terasa dalam magnificatnya (bdk. Luk 1:46-55).

Dengan menggambarkan Maria sebagai orang miskin dan rendah hati di hadapan Allah,

Penginjil Lukas menampilkan Maria sebagai realisasi dari orang-orang miskin dan rendah hati yang

dijanjikan keselamatan dalam Perjanjian Lama. Janji itu telah terlaksana, sebab Allah telah

menolong Israel, hamba-Nya. Melalui Maria dan di dalam Yesus Kristus yang dilahirkannya janji

Allah itu mencapai kepenuhannya. Putra inilah Mesias yang dinantikan semua bangsa manusia dan

yang akan membebaskan mereka segala penindasan. Jadi, sebagai hamba dina dan rendah hati

Maria menjadi Bunda Mesias.

c. Maria, Putri Sion.

Gelar Maria sebagai Putri Sion diambil dari gagasan Perjanjian Lama, khususnya dalam Yes

54:1-17; 60:1-12. Dalam teks ini Putri Sion merupakan personifikasi dari Yerusalem dan seluruh

umat Allah di masa depan, sebagai ibu dari anak-anak diberikan Allah keselamatan definitif.

Marialah Putri Sion itu, karena ia menjadi tempat penyelamatan Allah masuk ke dalam sejarah

manusia dan menggenapi harapan umat Allah dahulu. Putri Sion yang diharapkan sekarang telah

mulai digenapi. Dengan demikian kalau LG memberi Maria gelar Putri Sion, maksudnya ialah

bahwa Maria adalah Israel yang menantikan Mesias dan menyambut-Nya ketika tiba waktunya Ia

datang ke dunia. Dan serentak dengan itu atas cara yang istimewa Maria menyatukan dalam dirinya

seluruh bangsa manusia.

3.1.2 Keistimewaan Maria

Seperti penggambaran Maria dilandaskan pada gagasan biblis, demikian jugalah tentang

keistimewaannya. Keistimewaan dasariah Maria ialah keterpilihan menjadi Bunda Allah.

Keistimewaan ini sangat dasariah karena ia amat tergantung pada Allah Trinitas: pada Bapa yang

memilih dan menganugerahkan rahmat; pada Yesus, Putra Bapa yang menjadi anaknya; pada Roh

Kudus yang menjiwainya. Dalam keterpilihan menjadi Bunda Sang Penebus, penerimaan di dalam

hati mendahului penerimaan di dalam rahimnya. Keyakinan ini ditegaskan oleh St. Agustinus:

“Fide prius quam ventre concepit”. Di samping keistimewaan dasariah ini, terpatri keistimewaan

lain berikut ini.

a. Iman Maria

Untuk menjelaskan iman Maria, Konsili mengambil gagasan Lukas mengenai kunjungan Maria

kepada Elisabet, saudaranya (1:41-45). Dalam salam Elisabet dinyatakan tugas Maria sebagai

Bunda Allah. Dan pada akhir salam itu dinyatakan disposisi Maria dan ia dipuji, dinyatakan

berbahagia oleh karena imannya. Tanda pengandungan bayi laki-laki pada Elisabet sebetulnya tidak

diperlukan untuk menumbuhkan iman Maria. Karena pada dasarnya sebelum terealisasi tanda itu,

Maria sudah menyatakan “ya” kepada khabar gembira yang disampaikan Malaikat Tuhan. Iman

seperti inilah yang mendasari kesucian Maria.

Konsili mengemukakan gagasan tentang keistimewaan ini dalam kaitannya dengan persatuan

Maria dan Putranya dalam iman dan kasih. Cinta kasih menjadi ikatan persekutuan yang erat antara

43

Page 44: Peng Antar MarioLogi

Maria dan Putranya. Dan cinta kasih ini dibentuk atas dasar iman yang penuh kepada Allah. Akan

tetapi kedekatan ini tidak dihayati oleh Maria dalam terang kemuliaan ilahi. Maria masih tetap

mencari jalannya rencana Allah. Itu berati Maria tidak pernah luput dari masalah, derita dan

godaan. Maria justru tampak sebagai teladan para beriman, karena di tengah duka cita insani,

teristimewa yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Bunda Yesus, ia tetap setia pada pelayanannya

kepada Allah. Ia tidak pernah lari dari kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai konsekuensi dari

imannya. Ketekunan dan kesetiaan dalam iman ia nyatakan pada peristiwa salib.

b. Penuh rahmat

Dengan bersandar pada salam Malaikat Gabriel, Konsili menyapa Maria “penuh rahmat” (gratia

plena)45. Gratia plena Santa Maria bukan karena ia menyetujui khabar gembira Malaikat Tuhan,

melainkan karena Allah lebih dahulu memenuhi Maria dengan rahmat-Nya, supaya ia dapat

menyetujui berita suka cita itu. Dan persetujuan atas dasar rahmat Allah ini membuat Maria

istimewa dari semua manusia lainnya. Rahmat Allah yang penuh dalam diri Maria telah

mengangkatnya sebagai orang benar dan suci (tidak berdosa/dosa asal) sejak awal eksistensinya.

Lalu, atas dasar “penuh rahmat” itu Maria menunaikan tugas kebundaannya sesuai dengan

perkenanan hati Allah. Artinya, Maria menjalankan tugasnya dalam horizon kesucian. Karena itulah

pembicaraan perihal Maria yang penuh rahmat selalu mengacu kepada kesuciannya, bukan terutama

keibuannya.

c. Bersatu dengan Kristus dalam Karya Penyelamatan

Dalam Injil Yohanes dua kali Bunda Maria tampil, yaitu pada pesta pernikahan di Kana dan

peristiwa di bawah kaki salib. Kedua cerita ini mempertegas kesatuan Maria dengan Kristus dalam

karya penyelamatan. Di dalamnya tampak peranan Maria.

d. Maria dan Gereja: kebundaan Maria

Melihat hubungan Maria dengan Kristus dalam karya penyelamatan, Konsili tidak sampai secara

eksplisit menyebut Maria sebagai Bunda Gereja. Dalam hubungan dengan Gereja Maria dihormati

sebagai anggota Gereja yang maha unggul dan sangat khusus, serta sebagai citra, contoh dalam

beriman dan cinta kasih yang ulung (no. 53 dan 59). Setelah kenaikan Yesus ke surga, menurut Kis

1:14, para Rasul menantikan kedatangan Roh Kudus sambil bertekun sehati dan sejiwa dalam doa

bersama. Di situ turut pula Santa Maria. Keberadaan Maria dalam persekutuan rasuli ini mengacu

kepada peranannya dalam Gereja, yaitu memohonkan pencurahan Roh Kudus (Pentekosta) bagi

Gereja melalui doa-doanya.

Di dalam Gereja Maria menyebarluaskan karya Roh melalui kebundaannya. Dan sebenarnya

kebundaan ini didasarkan pada sikapnya: bersatu, bersama, senasib-sepenanggungan dengan para

murid Yesus, yaitu Gereja. Pada saat penantian persekutuan rasuli tampak aktivitas tunggal Maria,

yakni berdoa bersama. Menurut Konsili, kebundaan Maria terhadap Gereja hanya eksis dalam

konteks kebersamaan ini. Kehadiran Maria di tengah persekutuan rasuli dipahami sebagai

45Terjemahan Latin (Vulgata): penuh rahmat.

44

Page 45: Peng Antar MarioLogi

kelanjutan dari peranan kebundaannya: dahulu ia “mengasuh” Yesus, sekarang ia mendampingi

murid-murid-Nya. Jadi, kebundaan Maria dihayati sebagai pengikat dari satu keluarga Allah yang

sedang menantikan pemenuhan definitif janji Kristus.

e. Maria tak pernah kena dosa asal; Maria diangkat ke Surga; Maria Ratu alam semesta.

Ketiga keistimewaan Maria ini mengalir dari kesatuannya dengan Putranya Yesus Kristus

yang berjaya atas maut, lalu naik ke surga dan meraja di sisi kanan Allah dalam kemuliaan surgawi.

3. 2 Santa Perawan Maria dan Gereja (LG 60-65)

Ketika Bapa Konsili membicarakan hubungan Santa Maria dengan Gereja, ada dua gelar yang

menimbulkan diskusi yang alot, yaitu: pertama, gelar Santa Perawan sebagai Pengantara

(Mediatrix) dan gelar Coredemptrix, artinya Maria sebagai pribadi Penebus bersama Kristus

Penebus; kedua, gelar Mater Ecclesiae, Maria Bunda Gereja.

Dalam perumusan akhir gelar ini tidak diterima atau tidak dinyatakan secara eksplisit.

Alasannya, gelar Mediatrix, Pengantara, dapat merelatifkan martabat Kristus sebagai satu-satunya

Mediator, Pengantara antara manusia dan Allah. Kemudian dengan gelar Coredemptrix, Maria

dilihat sebagai lebih bersatu dengan Kristus daripada dengan Gereja, dan tentu saja dengan itu

Maria seolah-olah tak perlu ditebus. Selain itu gelar-gelar ini akan menimbulkan kesulitan bagi

gerakan ekumene dalam Gereja Kristus, karena gelar-gelar itu tidak ditemukan dalam Kitab Suci.

Meskipun memang tetap diakui bahwa gelar-gelar ini telah merakyat di antara umat Katolik dan

telah dimuat dalam ensiklik-ensiklik Paus.

Tetapi sebelum menjelaskan lebih lanjut peranan Maria dalam Gereja, baik diterangkan arti

gelar Mediatrix kepada Maria. Gelar ini sebenarnya mau menyatakan peran Maria sebagai Bunda

Rohani. Itu saja. Sebagai Bunda Rohani, peran ini memiliki dua dimensi: Dimensi historis,

persekutuan istimewa antara Maria dan Yesus Kristus; dimensi eskatologis, Maria melanjutkan

peranan sebagai bunda dengan tetap memelihara semua anggota Gereja sampai akhir zaman.

3.2.1 Yesus Kristus Satu-satunya Pengantara

Mengenai pengantaraan tunggal Kristus, Konsili menggarisbawahi demikian. “Pengantara

kita hanya ada satu, menurut Sabda Rasul: ‘Sebab Allah itu esa, dan esa pula Pengantara antara

Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai

tebusan bagi semua orang’ (1Tim 2:5-6). Ada pun peran keibuan Maria terhadap umat manusia

sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu,

melainkan justru menunjukkan kekuatannya.”

Sebagai satu-satunya Pengantara manusia dan Allah, Yesus Kristus menjadi pusat iman

kekristenan (bdk. Yoh 14:6; Ibr 10:19-20; 13:8; ingat juga dokumen: Dominus Iesus). Peran

pengantara Kristus memiliki dua aspek, yakni “Pengantara menurun” dari Allah kepada manusia

dan “Pengantara mengatas” dari manusia kepada Allah. Inilah keutamaan Yesus Kristus. Maka,

dalam iman Kristen tidak akan pernah ada lagi sejumlah pengantara di samping Yesus. Tetapi

45

Page 46: Peng Antar MarioLogi

St. Thomas Aquinas memiliki pertimbangan yang mempengaruhi para Bapa Konsili. St.

Thomas mengakui bahwa Kristus sendirilah Pengantara sempurna antara manusia dan Allah.

Melalui kematian-Nya Kristus memperdamaikan semua umat manusia dengan Allah Bapa-Nya

(bdk. 2Kor 5:19). Namun pengakuan akan pengantara tunggal Kristus ini, tidak pernah

menghalangi orang lain untuk disebut “pengantara” antara manusia dan Allah, sejauh peranan

pengantara itu bersifat kerja sama, bersifat melayani Yesus Kristus dalam mempersatukan

manusia dengan Allah46. Dalam konteks inilah Vatikan II menegaskan pengantaraan tunggal

Kristus dan mengakui peran relatif Maria di hadapan Kristus dalam tata penyelamatan Allah.

Bunda Yesus tidak boleh disejajarkan dengan Kristus, sebab Maria bersatu dengan Gereja,

kendatipun ia memiliki predikat sebagai anggota Gereja yang mahasuci dan mahaunggul.

Sebagai anggota Gereja Maria membutuhkan penyelamatan dan seluruhnya tergantung dari

Kristus. Kalau begitu peran aktif Maria dalam tata penyelamatan hanyalah mencakup aspek

“mengatas”, dari manusia kepada Allah.

3.2.2 Maria (Pola) Typus Gereja

Gelar Maria Theotokos yang dimunculkan pertama kali dalam Konsili Efesus memungkin-

kan Maria dihormati sebagai typus (citra) Gereja. Hakikat kata typus yang sering diartikan

dengan model, pola atau contoh, sebenarnya mengacu kepada seorang tokoh atau figur yang

memiliki sejarah hidup pribadi dan karier tertentu. Artinya, kata ini menunjuk kepada sesuatu

yang dinamis dan hidup. Jika Maria disebut typus atau citra Gereja, maksudnya bahwa

eksistensi Maria dipusatkan pada peranan atau tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja

menuju persatuan dengan Kristus. Dalam arti inilah, Maria dapat juga disebut sebagai Bunda

Gereja. Tetapi Konsili tidak memakai gelar ini. Untuk merumuskan secara tepat konsep teologis

dan menghindari kesalahpahaman, maka Maria dilukiskan sebagai citra Gereja. Hal ini sesuai

dengan tradisi suci, khususnya ajaran St. Ambrosius.

Konsili melukiskan hubungan antara Maria dan Gereja dengan pokok pada Maria sebagai

pola Gereja. Relasi ini dijabarkan dalam artikel 63, 64, 65. Maria dilihat sebagai typus Gereja,

karena iman, kasih dan persatuannya dengan Kristus yang memungkinkan ia terlibat penuh

dalam karya penyelamatan Allah.

Setelah menegaskan hubungan Maria dengan Gereja, Konsili menekankan bahwa Gereja

sendiri juga disebut Bunda. Gereja disebut Bunda, karena Gereja terus-menerus melahirkan

putra-putrinya yang dikandung dari Roh Kudus. Tujuan kelahiran ini ialah untuk hidup baru dan

kekal.

Bila Maria disebut typus Gereja, maka Gereja adalah antitypus Maria. Ia disebut sebagai

antitypus Maria, karena tugasnya sebagai perawan. Tugas ini diinspirasikan oleh tugas Maria

sebagai perawan. Tugas Gereja sebagai perawan dikonkretkan dalam menjaga kesetiaan yang

dianugerahkan Sang Mempelai, yakni Kristus.

3.2.3 Maria Advocata, Auxiliatrix, Adiutrix, Mediatrix (no. 62).

46St. Thomas, Summa Theologia, III,q.26.

46

Page 47: Peng Antar MarioLogi

Pemberian gelar-gelar Advocata (Pembela), Auxiliatrix (Pembantu), Adiutrix (Penolong),

Mediatrix (Pengantara) kepada Maria merupakan wujud pengakuan umat Allah atas peran

Maria dalam hidup mereka. Kecuali gelar Mediatrix, gelar-gelar ini sudah cukup familiar dalam

tradisi Gereja. Gelar Advocata dipakai pertama kali oleh Ireneus dari Lyon. Gelar Auxiliatrix

dan Adiutrix sering dipakai di Gereja Timur. Sedangkan gelar Mediatrix, meskipun pertama

sekali dipakai oleh St. Efrem (+ 373), baru dipromosikan oleh Kardinal Mercier dari Belgia

pada tahun 1913. Artinya, gelar yang terakhir ini masih relatif baru.

Tentang Peran kepengantaraan Maria perlu diterangkan sedikit. Peran pengantara Maria

dapat ditelusuri dalam dua peristiwa ini, yakni khabar gembira (Luk 1:26-38) dan Kalvari

(Luk 23:33-43). Dalam peristiwa khabar gembira, Maria bertindak sebagai wakil seluruh umat

manusia, ketika ia menyatakan kesediaannya untuk menjadi Bunda Penebus. Dalam peristiwa

ini sungguh berdiri antara manusia dan Allah. Tetapi dalam peristiwa Golgota, Yesus menjadi

wakil keperluan seluruh umat manusia. Di sini Kristus berkorban, bukan Maria. Maria di sini

berperan sebagai wakil seluruh umat manusia, tetapi berdiri melulu dari pihak manusia. Dengan

demikian pengantaraan Maria di sini termasuk dalam pengantaraan Kristus.

Konsili menggarisbawahi bahwa sebagai anggota Gereja, Maria menjalankan tugas

pengantaraannya dari sisi manusia. Namun tugas ini juga diemban oleh para kudus di surga,

yakni anggota Gereja yang telah menikmati kemuliaan surgawi. Lalu, apa bedanya dengan

peran Maria? Karena keterbatasannya, Gereja secara bijaksana merumuskan bahwa Maria

berada dalam tingkatan tertinggi di antara anggota Gereja. Tingkatan ini dinyatakan dalam

peranan di antara dan terhadap Gereja. Secara eksplisit misalnya Konsili merumuskan:

- Dalam Gereja para beriman harus menghormati pada tempat pertama Maria (no. 52)

- Maria jauh melebihi semua makhluk baik di surga maupun di bumi (no. 53)

- Ia melayani misteri penebusan dan bekerja sama untuk keselamatan manusia (no. 56)

- Ia adalah Bunda kita dan Bunda Tuhan (no. 57, 61, 69)

- Maria adalah pelopor (no. 63)

- Ia adalah teladan keutamaan: iman, harap dan kasih (no. 65)

- Maria adalah Bunda yang dimuliakan dengan tubuh dan jiwanya (no. 68), dst.

Jadi, meskipun Maria sebagai anggota Gereja yang serba unggul dan istimewa, peran

pengantaraannya disubordinasikan pada martabat Kristus. Artinya, peran Maria diturunkan dari

persatuannya yang mesra dengan Kristus. Dengan ini dihindari paham pengantara tandingan.

3.3 Kebaktian kepada Maria dalam Gereja (no. 66-67)

Ibadat khusus (hyperdulia, pembaktian, devosi) kepada Perawan Suci Maria secara hakiki

berbeda dengan kebaktian kepada Allah (latria) maupun hormat kepada para kudus (dulia).

Harus dikatakan bahwa satu-satunya pusat dan tujuan kebaktian (latria atau cultus) Gereja ialah

Allah Trinitas. Kebaktian yang otentik tidak dipusatkan pada manusia.

47

Page 48: Peng Antar MarioLogi

a. Devosi kepada Santa Maria

Dasar biblis penghormatan khusus Gereja kepada Maria ialah karena perbuatan-perbuatan

besar yang dikerjakan Allah untuk Maria. Ini ditemukan dalam Luk 1:48-49. Ini merupakan

kesaksian iman tertua ibadat khusus Gereja kepada Maria. Dengan kebaktian ini Gereja mau

memperlihat-kan sikap hormat, kagum dan percaya kepada peran Sang Perawan yang di

dalamnya tampak perbuatan-perbuatan besar Allah. Itu berarti prinsip dasar devosi kepada

Maria terletak bukan pada prestasi yang telah dicapai Santa Maria, tetapi pada Allah sendiri

(pada rahmat Allah). Hanya Allah-lah yang sanggup mengerjakan perbuatan-perbuatan besar.

Bentuk konkret perbuatan-perbuatan besar ialah keterlibatan Maria dalam misteri Kristus dan

Gereja.

Dasar historis: devosi telah dijalankan oleh umat secara tekun berabad-abad, terutama sejak

Konsili Efesus.

Devosi atau ibadat khusus Gereja kepada Maria merupakan “tujuan-antara”, bukan tujuan

akhir. Artinya, ketika Gereja menghormati Maria dengan devosi, Gereja sedang melampaui

Maria menuju tujuan akhir, yakni memuliakan Allah Yang Kudus yang berinkarnasi dalam

Yesus Kristus. Inilah hakikat atau makna devosi kepada Maria.

Devosi kepada Maria ada dua: pertama, ibadat pribadi (cultus privatus) dengan bentuk-

bentuknya: doa rosario, litani Santa Perawan Maria, Angelus Domini, ziarah, berdoa di depan

patung atau gambar Maria, dll. Kedua, ibadat publik (cultus publicus) yang dirayakan seluruh

Gereja dalam liturgi resmi dan ini bersifat mengikat, seperti perayaan Maria Diangkat ke Surga.

Devosi ini merupakan salah satu sarana kesalehan yang dianjurkan demi sembah bakti dan

kemuliaan Allah yang telah berinkarnasi.

b. Semangat devosi yang otentik

Konsili suci menganjurkan kepada umat Allah untuk menjauhkan sikap kepicikan hati dan

segala usaha yang melebih-lebihkan peran Maria sebagai Bunda Allah. Dalam cultus privatus

hendaknya dijauhkan segala kecenderungan yang mengarah kepada pendewian Maria, yakni

Maria disembah sebagai sumber keselamatan, magik yang menjamin kehidupan kekal. Untuk

pemurnian ini diberi tugas khusus kepada para teolog.

Devosi yang benar atau otentik harus keluar dari iman sejati (ortodoksi). Devosi ini tidak

keluar dari perasaan yang mandul dan sementara atau sifat mudah percaya tanpa dasar. Devosi

ini mesti mengajak anggota Gereja untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, mencintainya dan

meniru keutamaannya. Marialis Cultus meringkaskan bahwa devosi yang benar harus

menampakkan aspek trinitaris, kristologis dan eklesial.

3.4 Maria dan eskatologi (no. 68-69)

Pada bagian akhir ajaran mengenai Maria, Konsili mempertegas fungsi Maria dalam Gereja,

yaitu fungsi Maria sebagai citra Gereja. Gereja merumuskan imannya bahwa Maria merupakan

awal penyempurnaan Gereja di masa depan dan tanda pengharapan yang pasti bagi Gereja.

48

Page 49: Peng Antar MarioLogi

Dengan ini Gereja mengimani bahwa Yesus Kristus sendiri telah menggenapi janji-Nya

mengenai eskaton di dalam diri Maria.

Dengan ekspresi ini tampaknya Konsili menghubungkan Maria dengan eskatologi. Ada tiga

afirmasi mengenai eskatologi dalam Perjanjian Baru: 1) eskatologi realis: Kerajaan Allah telah

dinyatakan dalam peristiwa Yesus Kristus; 2) eskatologi futuris: Kerajaan Allah baru akan

diwujudkan sepenuhnya pada masa yang akan datang; belum terwujud sepenuhnya sekarang; 3)

eskatologi realis-futuris atau eskatologi “sudah dan belum”: Kerajaan Allah sudah diwujudkan

dalam peristiwa Yesus, tetapi orang-orang Kristen masih diberi kesempatan untuk

mengharapkan untuk menikmati perwujudan yang sempurna dalam sejarah dunia.

Dogma Maria Diangkat ke Surga memiliki kaitan erat dengan aspek eskatologis dalam figur

Maria. Dengan dogma ini Gereja mau menegaskan bahwa Maria telah menikmati keselamatan

sempurna, yaitu meliputi seluruh eksistensinya, jiwa dan badannya. Pengakuan keselamatan

seluruh eksistensi Maria tidak lain merupakan pengakuan akan keselamatan eksistensi seluruh

umat manusia. Bila demikian halnya, di dalam dogma tersebut dinyatakan pusat pengharapan

Gereja, yaitu janji akan penebusan tubuh dan jiwa. Maka, apa yang telah dialami oleh Maria

menjadi penantian bagi umat beriman: penebusan jiwa dan badan.

10. DEVOSI KEPADA MARIA

10. 1 Pengertian Devosi

Devosi berasal dari kata Latin devotio, yang kata kerjanya devovere, yang artinya pembaktian

diri. Secara klasik dari perspektif teologis, devosi didefinisikan sebagai kesediaan untuk melayani

dalam ketaatan akan kehendak ilahi. Tetapi, kini devosi dipahami sebagai suatu sikap hati yang

mengarahkan seseorang kepada sesuatu atau seseorang yang dihargai, dijunjung tinggi dan

dicintai. Devosi lebih merupakan penghayatan iman, karena itu devosi pertama-tama menyangkut

hati dan afeksi religius, bukan akal budi atau nalar. Devosi lebih merupakan praktek iman, bukan

diskusi spekulatif. Devosi orang-orang beriman dimotivasi oleh keinginan atau afeksi untuk

mewujudnyatakan prinsip-prinsip injili ke dalam hidup mereka47.

Selain devosi resmi, dalam Gereja juga dikenal “devosi populer” atau “devosi rakyat”. Istilah

devosi rakyat memiliki dua arti: pertama, praktek-praktek aktual kesalehan kristiani seperti

ibadat-ibadat, doa-doa, ritus-ritus gerejani, yang berbeda dari liturgi resmi Katolik. Isi dan tema

antara sebuah devosi populer dan liturgi resmi mungkin sangat dekat. Contohnya ialah Jalan Salib

merupakan devosi populer, tetapi penghormatan Salib pada Jumat Agung adalah bagian dari

liturgi resmi. Kedua, devosi populer menunjuk kepada tema-tema dan sikap-sikap tertentu yang

memberi ciri khas pada devosi itu, sekalipun devosi-devosi itu telah diterima dalam liturgi resmi.

Sebagai contoh adalah devosi kepada Hati Tersuci Yesus. Devosi populer biasanya pertama-tama

dipraktekkan oleh umat biasa dan bukan terutama oleh kaum religius yang profesional48.

47Groenen, Mariologi…, hlm. 150; C. Dehne, “Devotion and Devotions”, dalam The New Dictionary of Theology (Minnesota: The Liturgical Press, 1993), hlm. 283.

48Dehne, “Devotions…”, hlm. 284.

49

Page 50: Peng Antar MarioLogi

10.2 Sejarah Singkat Devosi kepada Maria49

Devosi kepada Maria bukanlah devosi pertama yang muncul dalam Gereja. Dalam kerangka

historis, permulaan devosi berasal dari kebaktian umat kepada para martir, khususnya dies natalis

mereka. Sejauh ditelusuri ini dimulai kira-kira pada tahun 150. Pujian dan syukur kepada Allah

atas segala yang dikerjakan-Nya di dalam diri para martir menjadi alasan kebaktian. Pribadi

martir mendorong umat untuk berdoa kepada Allah. Jelas di sini semua doa hanya ditujukan

kepada Allah atau Kristus. Ini kemudian menjadi ketetapan resmi dalam Gereja sebagaimana

digariskan dalam Sinode Hippo tahun 393 dan di Kartago tahun 397. Itu berarti tujuan kebaktian

umat ialah hanya Tuhan sendiri.

Akan tetapi sekitar tahun 200 muncullah devosi rakyat atas para martir. Di sini sasaran mulai

terarah kepada para martir sendiri. Umat beriman mulai meyakini bahwa para martir adalah

sahabat Yesus yang dapat membantu mereka. Maka makam mulai menjadi tempat ziarah dan

benda-benda peninggalan mereka diyakini memiliki kekuatan supranatural yang berguna dalam

kehidupan mereka. Tidak jarang terjadi perebutan relikui para martir. Pelan-pelan devosi rakyat

ini dimasukkan ke dalam liturgi dan dengan itu ibadat diarahkan kepada Allah melalui Kristus.

Dari abad ke-4 sampai abad ke-6, devosi kepada martir mulai menyebar baik di Gereja Timur

maupun Gereja Barat. Dalam masa ini gereja-gereja didirikan di atas makam para martir dan

biasanya altar ditempatkan tepat di atas kuburan itu. Umat pun beramai-ramai berziarah ke tempat

ini sambil mengharapkan mukjizat, sebab tempat itu dianggap sakti. Tampaknya pernah juga

terjadi bahwa relikui para martir diperdagangkan, karena dianggap menyimpan daya sakti. Pada

umumnya uskup mengintegrasikan ke dalam liturgi resmi devosi ini dan dicari kaitannya dengan

iman akan Kristus Yesus, sehingga dihindarkan praktek yang liar dan sesat. Sebagai contoh, ialah

Agustinus. Mula-mula ia segan dengan devosi ini, tetapi kemudian ia mendukung devosi ini.

Devosi kepada Maria merupakan perkembangan lanjutan dari devosi kepada para martir50.

Sejak abad ke-4 itu juga umat mulai percaya bahwa yang pantas dihormati bukan saja para martir

yang mati karena mempertahankan imannya secara gagah berani, tetapi juga mereka yang selama

hidupnya sungguh serupa dengan hidup Kristus, yakni para kudus. Bunda Maria diyakini sebagai

salah satu dari orang kudus ini. Mereka meyakini bahwa Maria martir secara rohani. Inilah

awalnya berdevosi atau berdoa kepada Maria. Doa tertua kepada Maria ditemukan dari abad ke-4

ini, yakni “Sub tuum praesedium, Deigenetrix/Theotokos..”. Ketika Nestorius menentang gelar

Theotokos, Konsili Efesus justru meresmikannya. Dengan peresmian ini devosi rakyat kepada

Bunda Allah semakin berkobar. Diceritakan bahwa di luar ruang pertemuan rakyat menunggu

keputusan para Bapa Konsili. Ketika diumumkan bahwa Konsili menerima gelar ini, rakyat di

kota Efesus berkeliling sambil berteriak-teriak: “Maria Theotokos”.

Bahkan pada abad ke-4 ini sudah ada pesta Dies Natalis Maria. Bukan hanya pesta ini. Pada

abad ke-5 pun di Gereja Timur sudah ada pesta Dormitio (Tertidur), yaitu pesta sejenak

49Disarikan dari Groenen, Mariologi…, hlm. 157-167. 50Bdk. Elzebieta Adamiak, “Developments in Mariology”, dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 37-

39.

50

Page 51: Peng Antar MarioLogi

tertidurnya Maria di tangan Tuhan. Ketika ia terjaga dari tidurnya, Maria telah berada dalam

kemuliaan surgawi. Pada tahun 600 Kaisar Mauricius Flavius menetapkan perayaannya ke tanggal

15 Agustus setiap tahun51.

Tampaknya pada abad ke-5 ciri khas devosi rakyat kepada Maria mendapat bentuknya, yakni

Maria sendiri menjadi sasaran, bukan alasan berdoa dan beribadat. Artinya, doa diarahkan kepada

Maria bukan melalui Maria kepada Kristus atau Allah. Ini menimbulkan persoalan teologis.

Kristus seakan-akan diliburkan oleh Bunda-Nya. Tetapi, pengecualian ialah St. Agustinus. Dalam

karya-karyanya tidak ditemukan satu pun doa yang ditujukan kepada Maria. Apa yang

menyebabkan Maria menjadi lebih menonjol dalam penghayatan iman umat beriman? Kiranya

salah satu faktor ialah penekanan yang berlebihan pada keilahian Yesus dan Ia dicitrakan sebagai

Raja Mahadahsyat dan Hakim yang menakutkan. Ini mendorong umat biasa mengungsi kepada

Bunda Maria. Gejala yang terakhir ini dimulai abad ke-7.

Selanjutnya mulai abad ke-7 itu hingga Abad Pertengahan devosi rakyat berkembang pesat.

Devosi populer ini mempengaruhi ibadat resmi Gereja dengan bertambah banyaknya pesta-pesta

Maria sebagai Ibu Yesus, yang gagasan dasarnya muncul baik dari Injil kanonik maupun Injil-

Injil apokrif. Sebagai contoh: Pesta khabar Malaikat, Maria mempersembahkan Yesus di Bait

Allah, Pengungsian ke Mesir, Maria mengunjungi Elisabet, Pertunangan Maria, Maria dikandung

secara ajaib dari ibunya, Anna yang mandul, Pertemuan Maria dengan Yesus di jalan salib, Maria

di bawah salib, Bunda duka cita, Transitus Maria, dll. Hanya saja liturgi ini tetap diarahkan

kepada Allah sendiri. Selain itu terdapat juga pesta yang mensejajarkan Maria dengan Yesus:

Maria Ratu, Hati Maria tak bernoda pada Sabtu pertama. Dalam renovasi liturgi setelah Konsili

Vatikan II banyak pesta ini ditinggalkan atau hanya dikhususkan kepada daerah tertentu atau ordo

tertentu dalam Gereja.

Para reformator yang dimulai oleh Martin Luther tahun 1517 menolak devosi rakyat, karena

bertentangan dengan Kitab Suci. Menurut mereka devosi itu terlalu liar dan mengesampingkan

peran Kristus pengantara tunggal. Mereka hanya mempertahankan devosi marianis yang bernilai

kristologis, yakni Maria menerima khabar gembira, Maria mengunjungi Elisabet, Maria

mempersembahkan Yesus di Bait Allah. Sikap anti-Maria ini diperparahkan kemudian oleh

polemik yang hebat antara para pengikut reformasi Protestan dan Gereja Katolik. Tetapi di zaman

modern ini sikap saudara-saudara terpisah mulai berubah, meskipun muncul dari beberapa

golongan. Susan Ross mencatat bahwa di beberapa Gereja Protestan di Amerika Utara dan

Amerika Selatan berkembang subur devosi kepada Maria. Memang ini dipengaruhi oleh

keturunan Spanyol yang pindah ke komunitas Protestan. Rupanya pada waktu mereka

menyeberang ke sana, devosi dari Gereja Katolik tidak dapat mereka tinggalkan. Ini pun menjadi

titik cerah untuk ekumene ke depan52.

Rupanya pengaruh praktek yang agak liar sejak abad ke-13, yang seolah-olah meliburkan

Kristus oleh Bunda-Nya, devosi rakyat cukup lama mendapat perlawanan dari para teolog dan

51Y. Solor Balela, “Misteri Bunda Maria Diangkat ke Surga: Suatu Pencarian Makna Iman”, dalam Logos 2/5 (Januari 2008), hlm. 57-58.

52Susan A. Ross, “Mary: Human, Feminine, Divine?”, dalam Concilium no. 4 (Desember 2008), hlm. 28.

51

Page 52: Peng Antar MarioLogi

pimpinan Gereja. Ketika umat dengan berkobar-kobar mempercayai penampakan-penampakan

Maria, misalnya, pimpinan Gereja hanya menyatakannya sebagai pie creditur (kesalehan yang

dipercaya atau tidak). Tetapi belakangan ini muncul kesadaran baru yang memberi apresiasi

positif pada devosi populer atau devosi marianis tradisional, karena devosi ini dilihat sebagai

sarana yang membuat iman lebih realistis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia

yang terdiri dari tubuh dan jiwa membutuhkan sarana real dalam penghayatan imannya. Umat

beriman rupanya membutuhkan hal-hal konkret yang dapat diraba, dipegang atau dilihat langsung

dalam hidup mereka. Diakui bahwa sekalipun mereka lebih menonjolkan Bunda Maria dalam

devosi, tetapi sesungguhnya di bagian dasar devosi ini terendap kesadaran akan kesatuan yang

kuat Kristus dan Maria, Bunda-Nya. Ini tampak dari gambar-gambar atau patung-patung Maria

yang disatukan dengan Yesus Kristus, Putranya, entah Maria memangku-Nya atau berdiri di

sampingnya.

Satu-satunya yang masih menyisakan kritik pedas atas devosi marianis tradisional belakangan

ini muncul dari para teolog feminis dan teolog pembebasan53. Menurut para teolog feminis

gambaran dan devosi marianis yang dimiliki Gereja Katolik masa kini sudah ketinggalan zaman.

Sebenarnya sosok Maria yang dilihat sebagai perawan dan peran pasif belaka (ibu yang taat,

mengurus anak dan rumah tangga) merupakan ciptaan kaum pria selibater. Semua gambaran ini

tidak menjawab gerakan emansipasi di zaman modern. Menurut mereka, Maria seharusnya

menjadi model bagi wanita zaman modern untuk mengembangkan segala kemampuan

manusiawinya, termasuk menikah. Agaknya ide keperawanan tetap (virginitas post partum) tidak

mereka terima54. Para teolog pembebasannya tampaknya seide dengan teolog feminis. Mereka

berpendapat bahwa Maria seharusnya dicitrakan sebagai wanita revolusioner, wanita pejuang,

yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan bagi rakyat jelata yang tertindas. Menurut mereka,

Magnificat merupakan contoh protes Maria terhadap kaum penguasa dan kapitalis. Maria

menghendaki agar mereka ditumbangkan dan diturunkan dari tahta mereka serta disuruh pergi

dengan tangan hampa. Kritik mereka segar dan masuk akal, tetapi kita mesti hati-hati juga. Sejauh

mereka menyerukan pembebasan tanpa kekerasan fisik, kita mendukungnya, tetapi bila mereka

masuk juga ke ranah kekerasan fisik, kita harus menarik diri dari keyakinan dan praktek seperti

ini.

10.3 Hubungan antara Marialogi dan Devosi Maria

Marialogi pada hakikatnya ialah suatu refleksi rasional dan teratur atas kedudukan dan

peranan Maria sebagai manusia dalam sejarah dan tata penyelamatan Allah terhadap manusia.

Sebagai salah cabang dari ilmu yang memikirkan dan mengajarkan mengenai Allah, Marialogi

53Pandangan para teolog feminis dapat juga dibaca pada: Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 492-502.54Kita perlu mengambil jarak dari kritikan teolog feminis. Apakah mereka juga memikirkan konsekuensi

kristologis pernyataan mereka mengenai keperawanan Maria. Bagaimana dipahami “saudara-saudara Yesus” dalam Injil Markus dan Kis 1:14? Bila kita tinggal dalam keraguan akan keperawanan tetap Maria, maka saudara-saudara Yesus dapat diartikan sebagai saudara-saudara sekandung. Bila Yesus memiliki saudara kandung, bagaimana dapat diperdamaikan dengan Wahyu dalam Injil Yohanes (3:16) yang mengatakan bahwa Kristus merupakan Putra tunggal Allah Bapa? Jadi, ternyata meragukan keperawanan Maria berdampak kristologis, yakni keraguan akan eksistensi Kristus sebagai Putra Tunggal Allah.

52

Page 53: Peng Antar MarioLogi

memikirkan dan mengajarkan tentang ibu Yesus Penebus dalam hubungannya dengan Allah serta

peranannya dalam relasi antara manusia dengan Allah dan manusia dengan Allah. Secara teologis,

Maria tidak pernah dapat dilepaskan dari Kristus, Juruselamat umat manusia. Demikian pun

sebaliknya, Yesus Kristus, dari perspektif inkarnasi yang merupakan pintu Allah memasuki

sejarah dan penebusan umat manusia, tidak dapat dipisahkan dari ibu-Nya, Bunda Maria. Dan

ternyata dari pihak Allah telah mengkhususkan Maria untuk posisi dan fungsi seperti ini. Atas

inilah, maka, Marialogi menggarisbawahi bahwa Maria menempati posisi serta peranan yang

unggul dan tunggal dalam sejarah dan tata keselamatan. Pengakuan akan keistimewaan Maria ini

tidak melepaskannya sebagai manusia biasa dan subyek mandiri di hadapan Allah yang harus juga

mendapat penebusan dari Allah melalui Kristus.

Mariologi memang memikirkan dan mengajarkan secara ilmiah dan rasional iman umat akan

Maria. Karena Marialogi bersentuhan dengan iman umat mau tidak mau ia harus melayani

penghayatan iman ini, yang kita sebut sebagai devosi. Jadi, Marialogi mesti melayani devosi umat

beriman terhadap Bunda Penebus, Santa Maria. Persisnya, Marialogi menjernihkan devosi kepada

Maria: menempatkannya secara benar dalam keseluruhan penghayatan iman Kristen. Oleh

sasarannya Maria, Ibu Yesus, devosi tidak pernah boleh diisolasikan dari Kristus, Penebus tunggal

dan titik sentral seluruh iman Kristen. Dalam hal ini, Marialogi berperan menjaga kemurnian

devosi dari praktek penghayatan yang isolatif dan menyimpang, bahkan terkesan liar dengan

mendewakan Maria, dengan memasukan unsur-unsur mitologis dari agama rakyat.

Marialogi harus juga mempertimbangkan bahwa devosi Maria tidak dapat disejajarkan begitu

saja dengan devosi para kudus lainnya. Kalau devosi kepada orang-orang kudus ini bersifat

fakultatif, sebaliknya devosi kepada Maria tidak boleh secara tegas dikatakan sebagai fakultatif.

Alasannya, Maria merupakan unsur konstitutif dalam sejarah dan tata penyelamatan. Memang

dalam penghayatan iman, devosi tidak dikatakan sebagai unsur hakiki, tetapi unsur pelengkap dan

integral.

Selain itu post Konsili Vatikan II Marialogi memiliki tugas penting yaitu membela dan

memupuk devosi yang secara mendadak mengalami krisis dan penurunan drastis di kalangan

umat Katolik. Ini benar-benar di luar jangkauan pertimbangan para Bapa Konsili. Gejala ini

memukul Gereja Katolik, sebab di kalangan Protestan mulai arus sebaliknya, meskipun tidak

semua dari mereka.

Tetapi devosi juga memberi sumbangan kepada Mariologi. Devosi rakyat yang ambivalen,

yaitu di satu sisi devosi itu menerima dari inspirasinya dari kerygma apostolik dan tradisi sejati,

namun di sisi lain kadang-kadang juga memasukkan tradisi-tradisi keagamaan lain, justru

mendorong dan memajukan refleksi teologis mengenai Maria. Di samping itu, tidak jarang

sepanjang sejarah Gereja Kudus, teologi terlalu spekulatif, amat berbelit, jauh dari iman konkret

sehari-hari, sehingga kurang berkesan di hati umat. Sepertinya teologi, dalam hal Marialogi juga,

berjalan dalam realitasnya sendiri, yakni realitas rasional. Padahal agama dan iman bukanlah

pertama-tama masalah otak dan konsep, melainkan masalah hati dan simbol. Maka, bila mau

melayani iman rakyat, ia seharusnya memerlukan devosi rakyat.

53

Page 54: Peng Antar MarioLogi

10.4 Bentuk-Bentuk Devosi

Umumnya orang membayangkan devosi rakyat kepada Maria identik dengan doa Rosario atau

pemilikan Rosario. Dari sudut pandang Marialogi, pandangan atau keyakinan seperti itu tidak

tepat. Pada dasarnya, devosi marianis memiliki bermacam-macam bentuk. Bentuk-bentuk itu

diklasifikasikan demikian. 1) Pemberian nama kepada orang atau sesuatu entah itu kota, desa,

jalan, lapangan, sungai atau juga kepada tarekat atau perkumpulan marianis, termasuk dalam

bagian dari devosi kepada Bunda Maria. 2) Di samping itu terdapat juga benda-benda yang

disebut devosionalia, seperti: patung, medali, gambar, skapulir, rosario, berkas bunga-bunga

tertentu, lilin, lampu, pakaian. 3) Gerakan tubuh: doa-doa Maria, ziarah, prosesi patung Maria.

Beberapa bentuk tersebut diuraikan berikut.

1. Doa-doa kepada Maria

Bentuk devosi marianis yang paling umum ialah doa kepada Maria karena perbuatan-

perbuatan besar Allah atas dirinya, entah itu doa pujian, syukur ataupun permohonan. Untuk

menghindari problem dalam kehidupan iman, maka perlulah diperhatikan struktur dasar setiap

doa kepada Maria, seperti terdapat dalam doa yang paling umum dan resmi, yakni doa salam

Maria.

a. Doa Salam Maria (Ave Maria)

Kita semua tahu doa ini: “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di

antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami

yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amen”. Bentuk lengkap seperti ini baru diterima

secara resmi dan umum di seluruh Gereja sejak tahun 1568, ketika Paus Pius V, seorang

Dominikan, menyuruh para imam membuka ibadat harian dengan doa Bapa Kami dan Salam

Maria. Jadi, pembentukannya tidak terjadi serta merta, tetapi bagian demi bagian. Bagian-bagian

itu terdiri dari: 1) Salam yang diucapkan malaikat Tuhan kepada Maria (bdk. Luk 1:28); 2) Pujian

yang diucapkan Elisabet kepada Maria (bdk. Luk 1:42); 3) Seruan tambahan Gereja55.

Bagian pertama doa ini digunakan sebagai doa oleh umat Kristen di Siria sejak abad ke-6.

Pada abad ke-9 barulah doa singkat ini diterima di Eropa. Potongan singkat ini mulai populer

ketika para biarawan mulai menyanyikannya sebagai antifon dalam ibadat harian dan juga

Perayaan Ekaristi tertentu.

Bagian kedua kemudian ditambahkan pada bagian pertama kira-kira pada abad ke-10.

Gabungan kedua bagian ini pada abad ke-12 dipakai dalam pengajaran kepada para calon baptis

dan doa singkat ini dipakai setelah doa “Aku Percaya” dan “Bapa Kami”. Namun kata “Yesus”

pada bagian kedua ini barulah dimasukkan pada abad ke-16. Penambahan ini memiliki maksud

teologis-kristologis. Maria dipuji sebagai orang yang dipilih Allah menjadi ibu Yesus. Pujian

terarah kepada Maria, tetapi dasarnya bukan Maria, melainkan Allah dan Yesus Kristus. Dengan

demikian Maria tidak diisolasi. Dalam pujian itu terungkap rasa kagum terhadap Maria atas

karya-karya besar Allah di dalam dirinya.

55Michael O’Caroll, Ensiklopedi Populer Tentang Maria (Jakarta: Yayasan Hidup Katolik, 1988), hlm. 110-111.

54

Page 55: Peng Antar MarioLogi

Bagian ketiga merupakan doa permohonan yang ditujukan kepada Maria. Tambahan ini telah

mulai dipakai di dalam Gereja Kudus sejak abad ke-13. Di dalam seruan tambahan ini si pendoa

(Gereja) memohon doa dari Maria. Kebiasaan saling mendoakan di antara orang beriman sudah

ada sejak zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Mohon doa dari orang kudus terutama

dilandasi oleh paham Gereja sebagai suatu persekutuan: orang kudus yang mulia di surga pantas

dimohonkan doa dari mereka. Maria termasuk salah satu di dalamnya. Maka tak ada masalah

memohonkan doa dari Maria. Doa Maria pastilah lebih unggul mengingat kedudukan dan peranan

Maria dalam tata penyelamatan.

Doa rakyat kepada Maria biasanya amat konkret. Maksudnya, doa mereka sungguh berangkat

dari kebutuhan hidup sehari-hari yang real, misalnya mohon penyembuhan dari penyakit, bebas

dari bahaya, mendapatkan anak, mendapatkan pekerjaan, hasil pertanian, lulus ujian, bebas dari

ancaman penjara, dll. Semua ini kadang-kadang hanya tersirat diikutkan dalam doa “salam

Maria”. Biasanya dalam doa itu Maria langsung dimohonkan pertolongannya. Hal ini sebenarnya

sudah merupakan kebiasaan kuno dalam hidup beriman umat. Tampak misalnya dalam doa yang

tertua Sub tuum praesidium, rakyat langsung memohon kepada Maria: “Kami mengungsi di

bawah naunganmu, hai Bunda Allah, yang suci, janganlah memandang hina doa permohonan

kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari segala bahaya, hai Perawan yang mulia dan terpuji”.

Dalam doa ini Allah secara tidak secara langsung disapa, yakni melalui sebutan Bunda Allah.

Karena itu dalam konteks keutuhan iman Kristen, doa ini dapat dipertanggungjawabkan.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dalam doa yang demikian spontan dan realis, sebab dengan

cara demikian umat beriman mengungkapkan keyakinannya dan harapannya akan kasih Allah

dalam diri Maria. Kasih Allah, dalam hal ini tentulah Kasih Kristus juga, dan balas-kasih dari

Maria merangkul manusia konkret dan tidak bersifat abstrak. Kasih yang demikian dari Allah

tidak menyetujui kemalangan yang dialami oleh umatnya. Bila ternyata doa-doa ini tidak

dikabulkan toh di dalamnya terungkap iman umat akan harapan yang tak tergoyahkan akan kasih

Allah yang telah terwujud di dalam Bunda Penebus.

b. Doa Angelus

Menurut Didache bab VIII sudah sejak awal sekurang-kurangnya sejumlah umat beriman

biasa mendoakan doa “Bapa Kami” tiga kali sehari mengikuti kebiasaan Yahudi. Inilah cikal

bakal munculnya kebiasaan Ibadat Harian di kalangan para rahib dan rohaniwan yang

dilaksanakan tiga kali sehari: pagi, siang dan sore. Ini dimulai pada Abad Pertengahan. Mulai

abad ke-16 para Fransiskan memopulerkan doa ini dalam Gereja dengan mendoakannya tiga kali

sehari.

Pada hakikatnya doa “Malaikat Tuhan” merupakan Ibadat rakyat. Bagi umat yang tidak

memiliki waktu untuk ikut serta dalam Ibadat Harian, mereka menggantinya dengan doa Angelus.

Ibadat Rakyat ini memiliki struktur yang mirip dengan Ibadat Harian. Struktur itu dapat

dilukiskan berikut ini:

* Bagian pertama terdiri dari tiga ayat dan tiga tanggapan, yang setiap kali diikuti dengan doa

(Salam Maria).

55

Page 56: Peng Antar MarioLogi

=> Ayat pertama dan tanggapannya: Maria menerima khabar Gembira dari malaikat Tuhan;

ia menggandung dari Roh Kudus. Ini mengutip teks biblis Lukas 1:28-35.

=> Ayat kedua dan tanggapannya: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut

perkataanmu. Ini mengutip Lukas 1:38.

=> Ayat ketiga dan tanggapannya: Sabda telah menjadi daging, dan tinggal di antara kita. Ini

dikutip dari Yoh 1:14.

* Bagian kedua merupakan permohonan kepada Maria dan tanggapannya: Doakanlah kami,

ya Bunda Allah, supaya kami layak menerima janji Kristus.

* Bagian ketiga ialah doa sebagai memoria atas inkarnasi, penderitaan, wafat dan kebangkitan

Kristus: Ya Tuhan, karena khabar malaikat Tuhan.....

Dalam ketiga ayat pertama dan tanggapannya tersirat pesan teologis: dalam doa itu diwartakan

dan ditanggapi misteri inkarnasi. Dari struktur di atas kita melihat bahwa ada pewartaan (bacaan)

dan doa (mazmur) yang mirip dengan Ibadat Harian.

c. Doa Rosario

- Historitas56

Ada legenda yang mengisahkan bahwa doa Rosario seperti yang kita miliki sekarang ini

diturunkan oleh Bunda Maria kepada St. Dominikus, pendiri Ordo Pengkotbah pada abad ke-15.

Tetapi bila dikaitkan dengan sejarah terbentuknya doa Rosario, legenda ini sulit dibuktikan.

Menurut tinjauan sejarah, doa Rosario berawal dari kebiasaan para rahib yang mendaras 150

Mazmur dalam doa harian mereka di biara. Tidak semua rahib tidak melek huruf. Maka sebagai

ganti Mazmur-mazmur, mereka ini mendoakan doa lain, yakni doa “Bapa Kami”, yang sejak

zaman Gereja Awal merupakan doa terpenting dan yang dihafal serta dipakai oleh katekumenat di

samping Kredo. Untuk menghitung sudah berapa doa telah diucapkan, maka mereka pakai seutas

tali bersimpul atau manik-manik sebagai bantuan.

Sejak abad ke-11 seiring berkembangnya devosi kepada Maria, doa Bapa Kami diganti

dengan doa Salam Maria. Para pemakai tetap mempertahankan jumlah 150 yang koresponden

dengan 150 mazmur. Yang menarik bahwa dalam masa ini juga doa harian para rahib yang buta

huruf mengalami perkembangan. Mereka mendaras mazmur dalam tiga kelompok dan masing-

masing 50 mazmur. Ini mempengaruhi jumlah doa Salam Maria. Jumlah 150 dibagi menjadi tiga

bagian dan masing-masing bagian terdiri dari 50 buah, yang kemudian disebut “korona”

(mahkota).

Sejak abad ke-12 ada juga kebiasaan umat Kristen untuk mengenang dalam doa “Lima

Sukacita Santa Maria, yaitu: khabar suka cita, kelahiran Yesus, kebangkitan Yesus, kenaikan

Yesus, dan pengangkatan Maria ke Surga. Ini pun kemudian tambah dengan peristiwa lain, yakni:

penampakan Tuhan, Pentekosta atau kunjungan Maria kepada Elisabet. Dengan ini namanya

menjadi “Tujuh Sukacita Maria”. Dalam mengenang peristiwa-peristiwa ini, doa Salam Maria

yang diulang-ulang diikutsertakan di dalamnya. Para Fransiskan pada abad ke-13 berjasa dalam

memopulerkan Korona Ketujuh sukacita Maria ini.

56Bdk. Nikolaas Martinus Schneiders, Orang Kudus Sepanjang Tahun (Jakarta: Obor, 2004), hlm. 499-502.

56

Page 57: Peng Antar MarioLogi

Kesadaran devosional umat berkembang. Rupanya mengiringi peristiwa sukacita itu

bertumbuh pula devosi lima duka cita Maria yang dialaminya selama Yesus menderita sengsara

dan wafat. Tampaknya ini berkembang sejak abad ke-14 oleh para Fransiskan dan Serikat Hamba

Maria. Inilah juga menjadi awal kebiasaan menghubungkan doa Salam Maria dengan peristiwa

Yesus.

Kelima belas peristiwa Rosario yang kita kenal sekarang berasal dari sebuah buku kecil

yang dicetak pada tahun 1483 di Ulm. Di dalam buku itu termuat tiga seri lukisan dan tiap-tiap

seri memiliki lima lukisan: Lima Sukacita Maria, Lima Penumpahan Darah Kristus, dan Lima

Sukacita Maria setelah Paska. Menyertai lukisan-lukisan itu terpampang anjuran: “Daraskanlah

doa Salam Maria sambil memandang lukisan-lukisan ini!” Akan tetapi daftar tetap dalam

pengesahan Paus V tahun 1569, setahun setelah penetapan doa Salam Maria, bukan berasal dari

buku kecil ini. Paus menetapkan 15 peristiwa Rosario sebagaimana kita pakai sekarang

berdasarkan 15 peristiwa yang disusun di Spanyol kira-kira tahun 1488.

- Magisterium

Cukup banyak Paus telah menganjurkan perlunya doa Rosario sebagai “liturgi keluarga”,

mengingat doa tersebut dapat mengganti ibadat harian resmi. Beberapa pantas dicatat. Paus Leo

XIII pada tgl. 1 September 1883 mengeluarkan Ensiklik Supremi Apostolatus Officio. Di

dalamnya ia mengungkapkan doa Rosario sebagai senjata spiritual yang efektif melawan

kejahatan-kejahatan yang merusak masyarakat. Pada tgl. 29 September 1961 Paus Yohanes XXIII

dalam Surat Apostoliknya Il religioso convegno mempromosikan betapa pentingnya doa Rosario.

Setelah itu pada tahun 1974 Paus Paulus VI mengeluarkan Anjuran Apostolik Marialis Cultus. Ia

menggarisbawahi bahwa Rosario memiliki karakter injili dan inspirasi kristosentris. Di samping

itu ia juga menegaskan bahwa doa itu tidak bertentangan dengan liturgi; doa itu justru mendukung

liturgi: doa tersebut sebagai introduksi dan gema dari Liturgi. Dalam anjuran yang sama Paus

menyinyalir krisis doa Rosario yang ditandai dengannya menurunnya animo umat Katolik post

Konsili Vatikan II.

Yohanes Paulus II merupakan paus terakhir yang amat menganjurkan doa Rosario. Dalam

Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae yang dikeluarkan tahun 2002 ia menekankan bahwa

Rosario merupakan kompendium atau ringkasan pesan Injil. Dengan berdoa Rosario “umat

kristiani duduk pada sekolah Maria” dan dituntun kepada kontemplasi wajah Kristus dan

pengalaman akan kedalaman-kedalaman cinta-Nya. Ia mencemaskan gejala semakin menipisnya

minat generasi muda dan baru Gereja pada doa Rosario. Unsur baru yang disumbangkan Paus

dalam surat ini ialah penambahan korona lima peristiwa Yesus, yaitu Peristiwa Terang: Yesus

dibaptis di sungai Yordan, Manifestasi pada pernikahan di Kana, Pewartaan Kerajaan Allah dan

panggilan kepada pertobatan, Transfigurasi, Institusi Ekaristi57. Hanya saja sumbangan lima

peristiwa ini yang berarti 50 kali Salam Maria menimbulkan keterpecahan dengan aspek historis

sebelumnya. Bila ditambah lagi 50, maka keseluruhan Salam Maria berjumlah 200.

Pertanyaannya ialah: bagaimana keterkaitannya dengan unsur historis sebelumnya yang

57Yohanes Paulus II, Apostolic Letter Rosarium Virginia Mariae (Roma: Libreria Editrice Vaticana, 2002), no. 1, 2, 21.

57

Page 58: Peng Antar MarioLogi

menghubungkan 150 Salam Maria dengan 150 Mazmur dalam Kitab Suci yang dikanonkan?

Tampaknya keterkaitan ini luput dari pertimbangan Yohanes Paulus II. Bagaimana pun

keterkaitan ini penting, terutama bagi gerakan ekumenis. Tampaknya dengan menambah jumlah

itu, doa Rosario dikurung di dalam diri sendiri, agak sulit dilihat kaitannya dengan doa harian

yang mendaras ke-150 Mazmur. Tetapi pertanyaan ini tidak boleh menutupi pertimbangan Paus

yang melihat kurang lengkapnya misteri Kristus dipresentasikan dalam doa Rosario selama ini.

- Struktur doa

Doa Rosario dibuka dengan kredo, lalu diikuti dengan tiga Salam Maria. Ketiga Salam

Maria ini bertujuan untuk mengenang tiga keutamaan teologal, yaitu iman, harapan dan kasih.

Setelah itu pendoa masuk pada kontemplasi wajah Kristus melalui lima misteri dari satu

peristiwa. Masing-masing misteri didahului dengan doa Bapa Kami sebagai antifon dan ditutup

dengan doa Kemuliaan sebagai doa tanggapan. Melihat struktur ini, doa Rosario mirip dengan doa

Harian resmi. Maka, dalam arti tertentu doa Rosario dapat mengganti kedudukan Ibadat Harian

bagi rakyat biasa, yang tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk mendarasnya. Dari perspektif

ini pun doa Rosario memiliki kesejajaran dengan doa Angelus. Kesejajaran dalam arti doa itu

dapat menggantikan Ibadat Harian yang dengan teratur didoakan oleh para religius. Umumnya,

rakyat mendoakan Rosario sekali sehari.

Entah apa pun bobot teologisnya, doa Rosario merupakan devosi yang begitu populer di

kalangan umat Katolik, bahkan dijadikan tanda pengenal kekatolikan. Sejatinya doa Rosario

termasuk doa lahiriah dengan mendaras rumus-rumus yang sama, maka doa ini sangat cocok

untuk rakyat yang serba sibuk, sulit berkonsentrasi dan tidak memiliki waktu yang teratur untuk

berdoa. Groenen mengatakan bahwa pengalaman melantur dan mengantuk sewaktu mendaraskan

doa ini belumlah merupakan masalah yang besar. Dalam keadaan seperti itu rupanya kesadaran

untuk menjalin relasi dengan Allah yang diimani melalui Bunda Maria hidup di dasar hati

manusia. Sikap hati inilah yang terus menyalakan semangat doa sekalipun kata-kata keluar secara

mekanis.

Bobot populis yang dimilikinya kiranya tidak membutakan kita untuk tetap kritis juga,

tatkala doa Rosario dianggap semacam magis. Tidak menutup kemungkinan, ada sebagian kecil

umat yang begitu fanatik, bahkan sampai-sampai biji-biji Rosario pun tidak boleh jatuh tersentuh

ke tanah. Tetapi juga tidak bijaksana bila imam atau pemimpin umat melarang umat memakai

Rosario di lehernya atau di mobil pribadi.

d. Litani Santa Maria

Litani berasal dari bahasa Latin: litania. Menurut definisinya, litani adalah suatu bentuk doa

yang terdiri dari sejumlah permohonan atau seruan yang dinyanyikan atau didaraskan oleh

pemimpin dan dijawab oleh umat dengan aklamasi singkat58. Dalam Gereja Katolik ada 6 litani

yang disahkan, yakni Litani Para Kudus, Litani Nama Yesus, Litani Hati Kudus, Litani Darah

Mulia, Litani Santo Yosef, Litani Santa Maria. Yang paling umum dipakai ialah Litani Santa

58Bdk. Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 114.

58

Page 59: Peng Antar MarioLogi

Maria dan Litani Para Kudus. Yang terakhir ini biasa dipakai dalam liturgi resmi seperti pada

waktu tahbisan imam, profesi biarawan atau biarawati, vigili Paska.

Kiranya litani bukanlah bentuk doa eksklusif Gereja Katolik. Hampir setiap agama di dunia

ini memiliki bentuk doa yang demikian. Misalnya saja, sebelum Yesus lahir di dunia, umat Israel

telah biasa memakai seruan yang diulang-ulang seperti itu. Ini dapat kita temukan dalam Mzm

136. Sebenarnya litani baru dimulai dalam kekristenan pada abad ke-4 di wilayah Timur dan abad

ke-5 di Barat.

Litani Santa Maria sendiri sejauh diselidiki baru mulai dikembangkan sekitar tahun 1200. Itu

pun seruan-seruan awalnya. Litani yang kita pakai sekarang ini berasal dari tahun 1531 digunakan

di tempat ziarah Maria di Loreto, Italia Tengah. Di tempat ini dihormati rumah Maria dan Yosef

serta Yesus yang menurut cerita rakyat dipindahkan secara ajaib dari Nazaret 1291, lalu singgah

di beberapa tempat dan akhirnya pada tahun 1295 tiba di Loreto.

Dari segi struktur, litani Santa Maria berbentuk lingkaran dan bersifat kristologis, sebab

litani tersebut dimulai dengan sejumlah seruan kepada Kristus dan Allah Tritunggal. Lalu itu

diikuti dengan sejumlah permohonan doa kepada Maria. Dan pada akhir litani ditutup dengan

seruan kepada Kristus sebagai Anak Domba Allah. Dari sudut pandang ini, Santa Maria berdiri

sebagai pendukung mereka yang berdoa bersamanya. Sasaran doa tetapkan ditujukan kepada

Allah melalui Kristus. Maka, secara teologis litani Santa Maria memiliki pesan iman yang

mendalam dan merupakan doa yang dapat dipertanggungjawabkan yang meminta pertanggung-

jawaban dari kita.

e. Novena Maria

Novena berasal dari bahasa Latin novem yang berarti sembilan. Novena merupakan suatu

bentuk doa atau kebaktian (devosi) yang berlangsung selama sembilan hari, baik secara pribadi

maupun bersama-sama demi suatu kesempatan atau intensi khusus. Devosi ini memiliki latar

belakang biblis. Dasarnya ialah selama sembilan hari para Rasul bersama Bunda Maria berdoa

bersama di antara waktu Yesus naik ke Surga dan turunnya Roh Kudus pada hari Pentekosta di

Yerusalem (bdk. Kis 1:14).

Menurut A. Buono membuat suatu novena berarti berkanjang dalam doa sambil memohon-

kan sesuatu selama periode sembilan hari atau sembilan bulan. Ini tidak lain sejalan dengan pesan

Tuhan bahwa kita harus terus menerus berdoa dan tak pernah berhenti percaya. Keyakinan ini

didasarkan pada kata-kata Kristus sendiri: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah,

maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang

yang meminta, menerima dan setiap yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok,

baginya pintu dibukakan” (Luk 11:9-10)59.

Banyak umat Katolik bernovena kepada Bunda Allah dan Ratu Surga. Sedikit banyak hal itu

dipengaruhi oleh anjuran Gereja melalui ucapan Paus Pius XI: “Dengan doa yang tak kunjung

henti kita menjadikan Maria sebagai pengantara/mediatrix hidup harian kita, advokat kita yang

59A. Buono, “Novenas and Mary”, dalam Dictionary of Mary (New Jersey: Catholic Book Publishing, 1997), hlm. 353-354.

59

Page 60: Peng Antar MarioLogi

benar. Dalam hal ini kita boleh berharap bahwa dia sendirilah, dengan mengenakan kemuliaan

surgawi, akan menjadi pembela kita di hadapan kebaikan dan belas kasih Ilahi pada saat kematian

kita”60.

Novena marianis tertua, yang dijadikan indulgensi pada tahun 1764, adalah novena kepada

Maria Imakulata (Maria yang dikandung tanpa noda). Dewasa ini ada banyak novena yang dibuat

pada pesta-pesta Maria dan salah satu yang terkenal ialah novena kepada Medali Ajaib. Tentu saja

tujuan dari novena-novena ini bukan hanya berdoa untuk memohon rahmat dari Allah melalui

Maria, tetapi juga untuk menyemangati umat beriman agar sesering mungkin berdoa, karena

berdoa, setelah Sakramen-sakramen, merupakan sarana terkaya bagi rahmat Allah.

Setelah Vatikan II, struktur novena sedikit ditambah. Novena disesuaikan dengan Tahun

Liturgi dan menekankan bacaan-bacaan dari Kitab Suci. Inilah novena yang lebih sehat.

2. Patung/gambar Maria

Pada umumnya umat Katolik juga biasa berdevosi secara hangat dan personal kepada Maria

dengan memberi hormat khusus kepada patung atau gambar Maria yang ditempatkan entah di

gereja, di rumah atau di tempat-tempat ziarah. Mereka biasanya berdoa di depan patung atau

gambar Maria, mendupai, menempatkan lilin-lilin bernyala, mencium, mendekorasi dengan

bunga-bunga indah, mengelilinginya tiga kali sambil berlutut, memberinya pakaian, pemahkotaan,

prosesi/perarakan arca atau gambar yang dilengkapi dengan pasukan dan hiasan kemegahan

lainnya, dll.

Agama yang sangat menekankan monoteisme mutlak seperti Yahudi dan Islam, melarang

pemakaian patung atau gambar. Juga dalam komunitas Protestan hal yang sama diberlakukan.

Bagi Gereja Katolik dan Ortodoks hal ini tidak menjadi masalah. Menurut catatan sejarah

kebiasaan menempatkan patung Kristus dan orang-orang Kudus dalam Kitab Suci pada tempat-

tempat umat berkumpul atau kuburan mulai sekitar abad ke-2. Pada abad ke-7 devosi melalui

patung atau gambar ini makin populer di kalangan umat. Hal ini menimbulkan reaksi negatif dari

sebagian orang yang disebut ikonoklasme: gerakan yang menentang penghormatan atau

pemakaian patung atau gambar Yesus atau orang kudus lainnya. Gerakan ini muncul kembali

dalam zaman reformasi. Gereja Kudus pertama sekali memecahkan persoalan ini dalam Konsili

Nicea II tahun 787. Dalam Konsili ini Gereja tetap mengizinkan pemakaian patung atau gambar

dalam ibadat dan sebagai sarana devosi. Konsili Trente pun tahun 1563 kembali menegaskan

pengajaran Konsili Nicea II ini.

Jadi, prinsip yang masih dipegang hingga kini bahwa Gereja Katolik tidak mewajibkan

pemakaian patung atau gambar di tempat-tempat ibadat atau di rumah. Namun ini tidak menjadi

alasan bagi para agen pastoral untuk merelatifkan atau menentang sama sekali penggunaan patung

atau gambar Maria. Ini bukanlah sikap yang bijaksana. Gambar atau patung merupakan sarana

yang membantu penghayatan iman umat. Ini mau membantu umat yang menginginkan

ungkapan iman secara hangat dan emosional melalui pancaindra: melihat, merasakan, meraba, dll.

Tetapi Gereja Kudus juga tetap mengawaskan umat untuk menghindari bahaya idolatria,

penyembahan patung atau gambar. Tugas para agen pastoral menyiangi praktek-praktek yang

60Ibid., hlm. 354.

60

Page 61: Peng Antar MarioLogi

keliru. Petugas pastoral berkewajiban menyadarkan umat agar mereka tidak hanya tinggal pada

gambar atau patung itu, tetapi mereka harus sampai kepada Siapa yang dihadirkan oleh sarana-

sarana tersebut.

2. Ziarah

Ziarah berbeda dari wisata. Ziarah dipahami sebagai perjalanan religius yang dilakukan baik

secara pribadi maupun secara berkelompok menuju suatu tempat yang dipandang suci atau

keramat atau berhubungan dengan sejarah agama. Rakyat meyakini bahwa di tempat itu Yang

Ilahi hadir atau menampakkan kuat kuasa-Nya. Kehadiran atau kekuasaan itu dimanifestasikan

dalam tiga anasir kosmis, yaitu air (mata air ajaib, sumur ajaib, sungai ajaib), batu (altar, gua,

tugu batu), dan pohon (tua sekali, unik, gaib).

Hal-hal seperti itu sudah ada dalam agama primitif. Tetapi bukan hanya itu. Dalam agama

Hindu dikenal juga ziarah ke Sungai Gangga untuk mengadakan pembersihan radikal. Dalam

agama Yahudi sudah sejak awal nenek moyang mereka berziarah ke tempat-tempat suci yang

diyakini sebagai tempat penampakan dan kehadiran Allah (Kej 12:6-8; 13:3-4.18; 35:6). Tetapi

kemudian Yerusalem menjadi pusat ziarah. Untuk tujuan ini ditetapkan hukum: setiap laki-laki

dewasa sejak berumur 12 tahun wajib berziarah ke Yerusalem 3 kali setahun (bdk. 1Raj 12:27;

Kel 34:23; Ul 16:16). Pada umur 12 tahun menurut Injil Lukas, Yesus menjalani hukum ini.

Umat Kristen mulai berziarah kira-kira pada abad ke-4 dengan tujuan ziarah makam para

martir. Kebiasaan ini berkembang seiring lahirnya devosi kepada para martir. Sejak abad

Pertengahan ziarah merupakan salah satu kegiatan religius yang sangat populer dan penting di

kalangan umat. Tempat ziarah pertama sejak itu ialah Tanah Suci yang disucikan oleh kehadiran

Tuhan sendiri. Maka pada waktu itu tempat-tempat yang berhubungan dengan kehadiran Tuhan

(kelahiran, penguburan, pembuatan mukjizat, pencobaan, transfigurasi, dll) ditentukan begitu

saja. Artinya, tempat itu didasarkan pada dugaan saja. Tempat ziarah kedua adalah makam St.

Yakobus Rasul di Santiago, Compostella, Spanyol. Lalu tempat ketiga ialah makam St. Petrus

dan St. Paulus di Roma. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ini dikaitkan dengan uskup

Roma (Paus) yang dianggap sebagai Vicarius Christi. Dalam pandangan para saudara terpisah,

pengonsentrasian pada Vicarius Christi melahirkan kultus individu. Inilah yang membuat

mereka tidak senang dan menolaknya. Bagi mereka hal ini dapat menomorduakan peran Tanah

Suci Yerusalem.

Ketika devosi kepada Maria berkembang subur, maka ziarah ke tempat-tempat yang pernah

dihadiri Bunda Maria atau tempat-tempat penampakannya semakin populer. Sekarang ini ada

beberapa tempat ziarah Maria yang cukup terkenal, misalnya: Guadalupe (Meksiko, sejak tahun

1531), Lourdes (Perancis, mulai tahun 1858), Fatima (Portugal, mulai tahun 1917).

3. Penampakan Maria

Apa itu penampakan? Dalam ranah teologis, penampakan (apparitio) berbeda dari

penglihatan (visio). Penampakan berarti seseorang diamati dan dari pihaknya ia tidak menyadari

bahwa ia sedang diamati. Di sini yang mengalami penampakan bersifat pasif, sedangkan yang

61

Page 62: Peng Antar MarioLogi

tampak bersifat aktif, entah melalui perkataan atau gerak-gerik. Sedangkan penglihatan berarti

seseorang atau sesuatu yang disadari menjadi dapat diamati. Di sini yang melihat bersifat aktif,

sedangkan apa yang dilihat bersifat pasif. Dalam kerangka inilah kita memahami penampakan

Bunda Maria. Menurut catatan sejarah, keyakinan penampakan Maria mulai berkembang di

kalangan umat sejak abad ke-4. Cerita mengenai penampakan biasanya akan disertai dengan

ziarah marianis ke tempat tersebut. Tempat ziarah Lourdes dan Fatima erat kaitannya dengan

penampakan Maria.

Namun pantaslah diketahui bahwa penampakan Maria berbeda dari penampakan Yesus yang

bangkit. Penampakan Yesus sebagaimana dialami oleh para murid termasuk bagian dari karya

keselamatan dan kelahiran iman yang dewasa akan Yesus Kristus. Sementara penampakan

Maria bukan merupakan bagian dari rangkaian karya penyelamatan Allah.

Bagaimana kita dapat menilai suatu penampakan Maria itu benar atau tidak benar? Kalau

gejala itu cukup pasti benar secara manusiawi berasal dari Allah melalui Maria, Gereja Kudus

biasanya berpegang pada kesimpulan: non constat de veritate, tidak pasti benar. Demikian

juga kalau penampakan itu cukup pasti tidak benar, maka Gereja menyimpulkan: constat de non

veritate, pasti tidak benar. Dalam hal ini menjamin kepastian atau bebas dari penipuan, Gereja

biasanya selalu memakai banyak tolok ukur berhadapan dengan orang yang mengalami

penampakan. Tolok ukur yang dipakai yakni: psikologi, kedokteran dan teologi. Gereja

berprinsip untuk tidak mudah percaya atau jatuh dalam sentimental sesaat (bdk. LG 67).

Bila Gereja Kudus mengakui suatu penampakan, bobotnya bukanlah suatu dogma dan tidak

akan menjadi syahadat iman. Itu berarti penampakan Maria tidak sedikit pun menambah isi

iman Gereja. Pewahyuan diri Allah dalam Kristus Yesus telah penuh. Dengan kata lain, Yesus

adalah kepenuhan wahyu Allah. Tak ada lagi wahyu lain (bdk. DV 17). Penampakan mesti

ditempatkan dalam posisi pie creditur: boleh percaya, boleh tidak.

Bagaimana pun penampakan marianis memiliki peranan dalam kehidupan iman umat,

meskipun tetap diingat bahwa peranan itu bersifat relatif. Penampakan biasanya disertai dengan

pesan pertobatan dan pesan untuk semakin beriman. Inilah yang menyebabkan devosi umat

kepada Maria semakin meningkat dan semangat iman semakin menyala-nyala. Atas alasan ini

cukup bijaksana, bila suatu penampakan yang dinilai cukup terbukti kesejatiannya, pantas

diterima dan dihormati.

62