penerapan sadd al-dzari’ah dalam...
TRANSCRIPT
i
PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM FATWA MUI NOMOR
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 TENTANG PERKAWINAN
BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Yusuf Djamaluddin
NIM: 1111043100017
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ii
PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM FATWA MUI NOMOR
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 TENTANG PERKAWINAN
BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Yusuf Djamaluddin
NIM: 1111043100017
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
v
ABSTRAK
Yusuf Djamaluddin (1111043100017), Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam
Fatwa Mui Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda
Agama. Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat,
khususnya dalam persoalan agama islam yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI),
mengenai pernikahan beda agama MUI memberikan fatwa haram dengan
berhujjad berdasarkan Sadd al-Dzari‟ah. Adapun pengertian Sadd al-Dzari‟ah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah, Untuk
mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang
perkawinan beda agama.
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan normatif, serta metode perbandingan hukum. Adapun teknik
pengumpulan data dilakukan dengan kajian kepustakaan, dan penelitian lapangan
Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisa pendapat beberapa ulama dari
beberapa madzhab. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan
melakukan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh
dari dua organisasi masyarakat terkemuka yaitu Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Dalam penelitian ini salah satu anggota MUI Prof. Huzaemah Tahido
Yanggo, menerangkan aspek penerapan saad adzariah dalam fatwa ini karena
pernikahan beda agama menyebabkan salah satu dari suami istri yg beragama
Islam untuk pindah beragama, oleh sebab itu nikah beda agam dicegah oleh ulama
untuk mencega madharat yang nyata yakni terjadinya pindah agama. Selain itu
pelarangan nikah beda agama bertujuan agar terwujud ketentraman keluarga dan
dikhawatirkan anak dari hasil pernikahan dengan non muslim ini kelak mengikuti
agama non muslim. Selain itu agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga.
Kata Kunci : Fiqih, Fatwa MUI, Pernikahan Beda Agama
Dosen Pembimbing: Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA, dan H. M. Riza Afwi, LC,
MA
Daftar Pustaka: Tahun 1975 s/d 2015
vi
بسن هللا الشحوي الشحن
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul
“Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam Fatwa Mui Nomor 4/Munas
VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama” dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi‟in,
tabi‟it tabi‟in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa‟at-Nya
kelak.
Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu dan memotivasi penulis, terutama:
1. Bapak. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna,
S.Ag, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan
vii
Hukum yang sekaligus merangkap sebagai Dosen Pembimbing Akademik
yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada
penulis selama masih dalam masa kuliah.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA dan Bapak H. M. Riza Afwi, LC,
MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah membekali
dengan ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang
memberikan motivasi, serta kesabaran dalam mendidik selama penulis
melakukan studi.
4. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian
prosedur kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah berkenan
meminjamkan buku-buku penunjang, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Ayahanda KH. Djamaluddin Abu Bakar Sulaiman dan
Ibunda Hj. Ratu Kuraesyin Tohir Falak yang sangat berperan dalam
mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran
dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do‟a dan dukungan baik
viii
secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
6. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung
dan menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Ajiz, Uje,
Izzul, Ajat, Hamdi, Haikal, Resti, Ratna, Mila, Dian, Rusydi, Iqbal, dan
yang lainnya, semoga Allah memberikan kemudahan dalam menyusuri
kehidupan kita selanjutnya.
7. Terimakasih kepada Ayu Larasati Munfiq yang selalu memberikan
semangat, dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah selama proses
penulisan skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka yang
telah membantu diberikan ganjaran yang setimpal. Amin.
Jakarta: 22 April 2016 M
14 Rajab 1437 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 6
E. Metode Penelitian .............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA 13
A. Pengertian Tentang Nikah Beda Agama ............................ 13
B. Hukum Pernikahan Beda Agama ....................................... 16
C. Ayat dan Tafsir Tentang Nikah Beda Agama .................... 25
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS
ULAMA INDONESIA ........................................................ 28
A. Sejarah Majlis Ulama Indonesia ........................................ 28
B. Metode pengambilan Fatwa MUI ...................................... 31
C. Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama .......................... 36
x
BAB IV : ANALISIS PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH TERHADAP
FATWA MUI TENTANG KAWIN BEDA AGAMA 41
A. Analisis Kedudukan Sadd al-Dzari‟ah
Dalam Hukum Islam.......................................................... 41
B. Analisis Penerapan Sadd al-Dzari‟ah Terhadap Fatwa MUI Tentang
Nikah Beda Agama............................................................ 51
BAB V : PENUTUP............................................................................ 59
A. Kesimpulan......................................................................... 59
B. Saran................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan bagaian dari dimensi kehidupan yang bernilai
ibadah sehingga menjadi sangat membutuhkan teman hidup untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup
berumah tangga, dengan perkawinan itu pula manusia dapat membentuk
keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa. Karena begitu pentingnya institusi
perkawinan tersebut sehingga agama-agama yang ada didunia ini ikut
mengatur masalah perkawinan itu, bahkan adat masyarakat serta institusi
Negara pun mengambil bagian dalam pengaturan masalah perkawinan.1
Perkawinan lintas agama dan atau beda agama dikalangan umat islam
menjadi topik perdebatan pro dan kontra, khususnya di Indonesia. Bagi
sementara kalangan yang mendukung kebolehan perkawinan beda agama
secara umum berpendapat bahwa kebolehan itu berdasarkan sitiran ayat yang
menyatakan kehalalan “Ahlul Kitab”, yaitu mereka yang mengikuti salah satu
ajaran agama Samawi. Dan bagi yang mengharamkan hubungan perkawinan
antara seorang muslim kepada non-muslim pun juga berargumentasi dengan
Nash yang dipahami sebagai larangan. Bahkan kelompok ini cendrung
menyamakan antara “Ahlil Kitab” dan “Musyrik”.2
1 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (PT.Prima
Heza Lestari, tt), h. 75.
2 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, h. 75.
2
Bagi mereka yang berpendapat boleh melakukan perkawinan muslim
kepada non muslim memberi penjelasan bahwa kebolehan itu terbatas pada kaum
ahlul kitab dan bukan musyrik. Menurut kelempok tersebut, memang terdapat
perbedaan yang signifikan diantara keduanya, sehingga penyebutannya perlu
diwaspadai.3
Dalam konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang
mengisi setiap jiwa, mempengaruhinya, menggambarkannya perasaannya,
membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan
kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang
yang terkecoh dengan masalah agama sehingga mereka menduga bahwa masalah
agama hanyalah sekedar perasaan yang ada dalam jiwa saja dan bisa diganti
dengan beberapa filsafat atau beberapa aliran sosial. Hal semacam ini merupakan
suatu asusmsi yang diakibatkan karena kepicikan pengetahuan tentang hakikat
jiwa insan dan elemen-elemen yang realitis dan disebabkan kebodohannya
terhadap realita jiwa dan pembawaan kodratnya.4
Kedatangan Islam membawa nilai-nilai yang agung. Islam
menyempurnakan tata cara perkawinan dari sifat-sifat kebinatangan, serta
berusaha menempatkannya pada kedudukan yang mulia guna mengatur
hubungan laki-laki dan wanita yang berderajat tinggi dan sebagai makhluk yang
3 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, h. 75.
4 Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam,( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), h. 14.
3
mulia dan utama dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya. Kedatangan Islam
juga menyikap makna-makna hakiki sebuah perkawinan.5
Di Indonesia mengenai perkawinan beda agama diatur dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya.
Sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan
agama. Hal ini juga berarti bahwa hukum agama menyatakan perkawinan beda
agama adalah tidak boleh, maka begitupula pula menurut hukum Negara. Jadi
dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama.6
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah
dan hukum yang sangat penting bagi seseorang hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat bahwa dalam perkawinan beda
agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan
tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan beda agama tidak diinginkan,
karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata
5 Kholid Bin Ali Muhammad Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993), h. 18-19.
6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2.
4
perkawinan beda agama itu masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai
interaksi sosial diantara seluruh warga Indonesia yang pluralis agamanya.7
Kemudian hukum positif selanjutnya yang membahas mengenai
pernikahan beda agama terdapat di dalam KHI pasal 40 dimana seorang pria
dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam,
dan pada pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.8
Di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat,
khususnya dalam persoalan agama islam yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI),
mengenai pernikahan beda agama MUI memberikan fatwa haram dengan
berhujjad berdasarkan Sadd al-Dzari‟ah. Adapun pengertian Sadd al-Dzari‟ah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.9
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengangkat masalah
tersebut untuk dijadikan penelitian dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan
judul “Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama
7 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2005), h. 172
8 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h. 172.
9 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h. 172.
5
B. Batasan Dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. untuk
mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada penerapan sadd al-Dzari‟ah
dalam fatwa MUI tentang perkawinn beda agama.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
permasalahan yaitu :
1. Bagaimana kedudukan sadd al-Dzari‟ah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI?
3. Bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang
perkawinan beda agama?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan sadd al-Dzari‟ah dalam
hukum Islam
b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam
fatwa MUI
c. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam
fatwa MUI tentang perkawinan beda agama
6
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi pada masyarakat umum khususnya warga
muslim terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 04
Tahun 2005 Tentang Perkawinan Beda Agama.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti
4. Review Studi Terdahulu
Penelitian tentang pembahasan ini memang bukan penelitian yang
pertama, penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh:
1. Wahyu Sunandar, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2011 berjudul Fatwa Majlis
Ulama Indonesia (MUI) tentang beda agama dan respon para pemuka agama
tehadapnya. Dalam penelitian ini membatasi masalah pada perbedaan antara
perkawinan beda agama menurut fatwa MUI No: 4/MunasVII/MUI/8/2005
penelitian ini berkesimpulan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis
Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah kurang relevan.
Karena sepertinga MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan teks-teks
suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain. Karena
pernikahan beda agama bukan menyangkut Islam saja tetapi lebih bersifat
umum antar agama lainnya.
Persamaan penelitian saudara Wahyu dengan penlitian saya sama-sama
membahas pernikahan beda agama menurut Islam. Adapun perbedaannya yang
7
menjadi subyek penelitian ini adalah penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa
MUI tentang perkawinan beda agama.
2. Liza Suci Amalia, SH, Tesis, Fakultas Hukum, 2003 berjudul Perkawinn Beda
Agama Menurut Hukum Islam. Dalam penelitian ini membatasi masalah pada
perbedaan antara perkawinan beda agama menurut hokum Islam, penelitian
ini berkesimpulan bahwa al-Qur‟an membolehkan laki-laki muslim menikah
dengan perempuan ahli kitab, dan sebgaian ulama juga ada yang
membolehkan pesempuan Muslim kawin dengan laki-laki non-muslim apabila
keadaan memungkinkan, tetapi hokum perkawinan di Indonesia melarangnya.
Bagi umat Islam, yang menjadi acuan larangan diadakannya perkawinan beda
agama adalah Kompilasi Hukum Islam, fatwa Majlis Ulama Indonesia, dan
organisasi-organisasi Islam ( seperti Muhammadiyah dan NU), serta beberapa
hokum Islam dan kitab-kitab fikih, yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-
Hadist.
Persamaan penelitian saudari Liza Suci Amalia dengan penlitian saya
sama-sama membahas pernikahan beda agama menurut Islam. Adapun
perbedaannya yang menjadi subyek penelitian ini adalah penerapan sadd al-
Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang perkawinan beda agama.
3. Dedi Irawan, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2010 berjdul pernikahan beda
keyakinan dalam al-Qru‟an (Analisis penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-
Maidah ayat 5 dan Q.S al-Baqarah ayat 221). Dalam penelitian ini membatasi
masalah dengan melihat bagaimana pemahaman Al-Maraghi tentang
8
pernikahan beda agama melalui surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat
5. Kesimpulan dari penelitian ini adalah laki-laki muslim tidak boleh
menikahi wanita musyrik, karena walaupun laki-laki adalah pemimpin rumah
tangga, akan tetapi orang musyrik itu selalu mengajak untuk terjerumus dalam
kemusyrikan. Wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki non-muslim
baik dari kalangan musyrikin maupun kalangan ahlul kitab, karena ditakutkan
wanita tersebut akan mengikuti agama suaminya.
Persamaan penelitian saudara Dedi Irawan dengan penelitian saya adalah
bagaimana pernikahan beda agama menurut hokum Islam pada ayat al-Quran.
Adapun perbedaannya, lebih focus pada penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa
MUI tentang perkawinan beda agama.
5. Metode Penelitian
Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta
mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis
penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi
tercapainya hasil yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode
penelitiannya, mulai dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik
pengolahan datanya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara
9
menguraikan dan mendeskripsikan hasil dari penelitian yang peneliti dapatkan
melalui penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat terbatas yang
berusaha mengungkapkan masalah dan keadaan sebagaimana adanya, sehingga
hanya merupakan penyingkapan fakta.10
Adapun corak penelitian yang dipakai adalah studi kepustakaan dan
penelitian lapangan. Studi pustaka adalah suatu karangan ilmiah yang berisi
pendapat berbagai pakar mengenai suatu masalah, yang kemudian ditelaah,
dibandingkan, dan ditarik kesimpulannya.11
Dalam penelitian ini, peneliti akan
menganalisa pendapat beberapa ulama dari beberapa madzhab. Penelitian
lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh dari dua organisasi
masyarakat terkemuka yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
1. Sumber Data
a) Data Primer
Yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah
penelitian. Seperti kitab-kitab fiqih yang berkaitan dengan pokok pembahasan
penelitian dan hasil wawancara yang dicatat dan direkam oleh peneliti dengan
informan yang sedang dijadikan sampel dalam penelitian.
10
Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), h. 10.
11
Haryanto A.G., Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, 2000), h. 78.
10
b) Data sekunder
Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian yang didapat dari bahan-bahan pustaka berupa
buku, artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.12
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan
analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan
dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. 13
Selain itu,
peneliti juga akan melakukan wawancara yakni proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan menggunakan instrument pengumpulan data yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara).14
3. Teknik Analisis Data
12
J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:Remaja Rosada Karya,
1997), h. 112-116.
13
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
11
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain.15
Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut
dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
6. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud
tulisan ini. Pembagian kedalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk
memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya
adalah sebagai berikut :
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004),
h.244
12
BAB I PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
Meliputi pengertian tentang nikah beda agama, ayat dan tafsir
tentang kawin beda agama, hukum pernikahan beda agama.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS ULAMA
INDONESIA
Meliputi Sejarah Majlesi Ulama Indonesia, Metode
Pengambilan Fatwa MUI, Fatwa MUI tentang kawin beda
agama.
BAB IV ANALISIS PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH
TERHADAP FATWA MUI TENTANG KAWIN BEDA
AGAMA
Dengan bab ini penulis akan membahas mengenai analisis
kedudukan sadd al-dzariah dalam hukum Islam, analisis
penerapan sadd al-dzariah dalam fatwa MUI tentang kawin
beda agama.
BAB V PENUTUP YANG MELIPUTI KESIMPULAN DAN
SARAN
13
Dengan bab ini penulis akan mengakhiri penulisan ini dengan
memberikan beberapa kesimpulan dan juga akan
menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan
kajian penulisan.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
A. Pengertian Tentang Nikah Beda Agama
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bersetubuh atau akad secara
bersamaan adapun secara syariat, nikah adalah sebuah akad yang mana di
dalamnya terdapat kebolehan untuk bersenang-senang dengan perempuan yang
dinikahi.16
Adapun yang dimaksud perkawinan lintas agama adalah perkawinan
antara agama yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang
wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau dengan seorang pria
yang beragama Islam perkawinan antar agama di sini dapat terjadi dalam dua
bentuk, Pertama: Calon istri beragama Islam sedangkan calon suami tidak
beragama Islam baik itu Ahlul kitab atau orang musyrik. Kedua: Calon suami
beragama Islam sedangkan calon istri tidak beragama Islam atau musyrik.17
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang
16
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, (Beirut: dar al-fikr, 2005), juz 3, h.
26.
17
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, h. 55.
14
bahagia sakinah mawadah warohmah guna melanjutkan keturunannya
dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya sedangkan perkawinan
lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita
muslim dengan seorang pria atau wanita non muslim.18
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar umat beragama yang
berbeda maka yang menjadi permasalahan rumit dan pelik di sini adalah
hukum perkawinan antar agama ini, hal ini disebabkan dalam sejumlah ayat
yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan beda agama.
Itulah sebabnya mengapa kelompok eksklusif melarang dan mengharamkan
hukum perkawinan beda agama. Yang dimaksud dengan perkawinan beda
agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang
wanita protestan dan sebaliknya.19
Beberapa karya yang membahas atau sekedar menyinggung
perkawinan beda agama antara lain: Hazairin dalam karyanya, peninjauan
mengenai undang-undang No. 1 tahun 1974. Ia secara tegas menyatakan
bahwa orang islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang
18
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, h. 55.
19
Soetojo Prawirohamidjodjo, Pluralism dalam Perundang Undangan Perkawinan
di Indonesia, (Surabaya: airlangga Univesity press, 1988), h. 39.
15
hindu budha seperti yang dijumpai orang Indonesia.20
Selanjutnya Rusli dan
R. Tama mengemukakan, bahwa dari pengertian perkawinan yang
dirumuskan dalam pasal 1 undang-undang No.1 tahun 1974, maka yang
dimaksud dengan perkawinan beda agama ialah ikatan lahir dan ikatan batin
antara seorang pria dengan wanita, karena berbeda agama, menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaan perkawinan seusai dengan hokum agamanya masing-masng,
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekalberdasarkan ke-
Tuhanan yang Maha Esa. Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa
dalam perkawinan beda agama terkait adanya dua peraturan (hukum) agama
(yang berbeda) yaitu mengenai syarat-syaratnya dan tata cara pelaksanaan
perkawinan.21
Menurut I Ketut Manra SH dan I Ketut Artadi SH, perkawinan beda
agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
yang masing berbeda agamanya sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan
yang Maha Esa.22
Sedangkan menurut Abdurahman, SH perkawinan beda
20
Abdurachman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Bandung: Alumni 1978), h. 20.
21
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Pionir
Jaya, 1986), h. 17.
22
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja
Grapindo 1996), h. 36.
16
agama yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.23
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak memuat
ketentuan yang secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi
hanya mengatur perkawinan campuran yang mempunyai arti berbeda dengan
perkawinan beda agama. Dalam pasal 57 menyebutkan: Yang dimaksud
perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia. Karena
itu hal ini menjadi tidak jelas apakah perkawinan beda agama dilarang atau
diperbolehkan. Dalam pasal 29 ayat (2) undang-undang dasar 1945
ditentukan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agmanya
dan kepercayannya itu. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945
ditentukan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.24
B. Hukum pernikahan beda agama
1. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
Menurut mayoritas ulama sepakat membolehkan laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab namun kebolehan tersebut juga terdapat perbedaan
pendapat yaitu:
23
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, h. 36.
24
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, h. 17.
17
a. Menurut mazhab Hanafi Maliki Syafi‟i dan Hambali laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab hukumnya makruh.
b. Menurut sebagian pengikut mazhab Maliki seperti Ibnu Qosim dan
Holil menyatakan bahwa pernikahan tersebut diperbolehkan secara
mutlak.
c. Menurut Al Zarkasyi salah satu ulama Syafi‟i beliau berpendapat
bahwa pernikahan tersebut disunnahkan apabila wanita ahli kitab
tersebut diharapkan dapat masuk Islam seperti pernikahan Utsman bin
Affan dengan Nayla.25
2. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik
Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan ahli
kitab seperti wanita penyembah berhala atau majusi atau salah satu dari kedua
orang tuanya adalah orang kafir maka hukum menikahinya adalah haram.26
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi juga mengharamkan perkawinan antara laki-
laki Muslim dengan wanita musyrik hal ini didasarkan pada firman Allah
surat al-Baqarah ayat 221:
25
M Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah , Jakarta: PT Raja Grafindo 1998,
h. 13.
26
Imam Ghozali, A. Ma‟ruf Asrori (ed) Ahkamul Fukaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum, Surabaya: Diantama, 2004, h. 435.
18
(/)البقشة:/
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(Qs. Al-Baqarah:2 / 221)
Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama
tentang siapakah musyrikat yang haram dinikahi sebagaimana dimaksud ayat
di atas menurut Abdul Jarir Abdul Bari bahwa musyrikat yang dilarang untuk
dinikahi adalah musyrikat dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada
waktu turunnya al-Qur‟an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang laki-laki muslim
boleh menikah dengan wanita musyrik dari non Arab wanita Cina, India, dan
Jepang yang diduga mempunyai kitab suci. Muhammad Abduh juga
sependapat dengan Ibnu Jarir Ath Thabari sedangkan menurut mayoritas
ulama yang dimaksud musyrik adalah semua wanita musyrik baik dari bangsa
Arab maupun non Arab tidak boleh dinikahi menurut pendapat ini siapa pun
yang bukan muslim atau ahli kitab hukumnya haram dinikahi.27
27
Masyhuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta, Haji Mas Agung: 1991), h. 5.
19
Menurut Yusuf Qaradhawi,28
yang dimaksud dengan wanita musyrik
adalah perempuan-perempuan kafir yakni perempuan-perempuan penyembah
berhala berdasarkan pada ayat al-Mumtahanah ayat 10:
:( /0)الووخحنت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Qs. Al-
Mumtahanah: 60/10)
28
Yusuf Qorodhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: insani press, 1995), h.
580.
20
3. Pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
Ulama sepakat bahwa pernikahan antara wanita muslimah dengan
laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang. Dan
disepakati pula tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir
baik merdeka maupun budak tidak sah pula wanita murtad menikah dengan
siapa pun tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan
tidak mengakui apapun dan tidak sah pula wanita muslimah menikah dengan
laki-laki kafir karena masih adanya ikatan Islam pada dirinya.29
Menurut Muhammad Jawad Islam melarang perkawinan antara
seorang wanita muslim dengan pria non muslim baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan
Yahudi atau pun pemeluk agama yang mempunyai kitab yang menyerupai
kitab suci seperti Buddhisme Hinduisme pemeluk agama atau kepercayaan
yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang menyerupai kitab suci
termasuk pula di sini penganut animisme atheisme polytheisme dan
sebagainya.30
Hal ini didasarkan oleh surat al-Baqarah ayat 221 sebagai
berikut:
29
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khomsah, (Jakarta:
PT. Lentera Basri Tama:T.t), h. 336.
30
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khomsah, h. 336.
21
(/)البقشة:/
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(Qs. Al-Baqarah:2 / 221)
Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan laki-laki
Muslim, bisa diberikan sebuah alasan hukum bahwa surat al-Baqarah ayat
221 memang sama-sama melarang wanita dan pria muslim untuk menikah
dengan musyrik atau musyrikat akan tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman
dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa terdapat wanita
Muhshanat (yang terpelihara) dari mu‟minat dan ahli kitab serta adanya
sunnah nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan
menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi laki-laki muslim bukan
sebaliknya. Al-Jujawi, Ali Al-Shabuni, dan Yusuf Qaradhawi memberikan
penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab
semata-mata untuk menjaga Iman sebab lumrahnya istri yg mudah
terpengaruh jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke
agama lain.31
31
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: insani press 1995), h. 580.
22
Dari penjelasan di atas dapat ditarik garis besar bahwa ada tiga
pendapat yang berkembang seputar pernikahan antara muslim atau muslimah
dengan non muslim pertama pendapat yang melarang secara mutlak tidak ada
ruang dan salah sama sekali untuk melakukan pernikahan beda agama baik
antara seorang muslim dengan wanita musyrik atau ahli kitab maupun antara
muslimah dengan laki-laki musyrik atau ahli kitab.32
kedua pendapat yang membolehkan secara mutlak. Pendapat ini
membuka ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pernikahan
beda agama baik antara seorang muslim atau ahli kitab maupun antara wanita
muslim dengan laki-laki musyrik atau ahli kitab. Ketiga pendapat
pertengahan yang membolehkan pernikahan beda agama dalam lingkup
terbatas antara seorang muslim dengan perempuan ahli kitab dengan
persyaratan tertentu:
1. Pendapat yang melarang secara mutlak
Para ulama yang melarang pernikahan beda agama melandaskan
pendapatnya pada beberapa dalil dan penafsiran pertama, Allah melarang
pernikahan antara seorang muslim atau muslimah dengan musik atau musica
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, dalam
pandangan ulama kelompok pertama ini kata musyrik diartikan sebagai orang
yang menyekutukan Allah. Daengan demikian, Penganut Agama selain Islam
32
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 580.
23
adalah orang musyrik sebab hanya Islamlah satu-satunya agama yang
memelihara kepercayaan tauhid secara murni.33
Kedua penganut Agama Yahudi dan Nasrani juga melakukan
kemusyrikan hingga tidak boleh menikah atau dinikahi oleh orang Islam. Di
dalam al-Quran penganut Agama Yahudi dan Nasrani memang diberi
tingkatan khusus dengan sebutan Ahlul kitab dan para wanitanya boleh
dinikahi berdasarkan surat Al Maidah ayat 5 kebolehan menikahi wanita
sebagaimana pada ayat tersebut telah dinas sah atau digugurkan oleh
ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah ayat 221.34
Hal ini disebabkan konsep kepercayaan yang dimiliki penganut
Yahudi dan Nasrani mengandung kemusrikan yang nyata salah satu
contohnya adalah orang Nasrani meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan
sedangkan Isa adalah salah seorang hamba.35
Pendapat pertama ini dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW Abdullah
bin Umar dan sekte Syiah Imamiyah pendapat ini juga banyak diikuti oleh
kalangan Syafi‟iyah seperti di Indonesia sebagaimana tercermin dalam
pandangan umum ulama dan masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam fatwanya tanggal 8 Juni 1980 Allah mengharamkan pernikahan antara
laki-laki Muslim dan wanita musyrik atau wanita ahli kitab dan Demikian
33
M. Quraiys sihab, Wawasan Al-Quran Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat,
(Jakarta: tp, 1996), h. 166. 34
M. Quraiys sihab, Wawasan Al-Quran Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat, h.
166.
35
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, ibn katsir, beirut 1987, juz 5 h. 2024.
24
pula sebaliknya hal ini kembali melalui keputusan fatwa MUI nomor 4 yang
ditetapkan pada tanggal 29 Juli 2005. Pendapat umum ini pula yang
kemudian diadopsi dan diikuti oleh hukum dan peraturan undang-undang
yang berlaku di Indonesia seperti undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 tentang
kompilasi hukum Islam di Indonesia.36
2. Pendapat yang membolehkan secara mutlak
Pendapat ini membolehkan pernikahan beda agama dalam segala
macam dan bentuknya juga mendasarkan pendapatnya kepada dalil-dalil yang
digunakan oleh kelompok yang pertama namun berbeda dalam penafsirannya
dan ditambah dengan berbagai argumentasi yang rasional, pertama surat Al-
Baqarah ayat 221 memang melarang pernikahan orang muslim dengan orang
musyrik baik laki-laki maupun perempuan namun perlu dicermati dengan
seksama siapa yang dimaksud dengan musyrik atau musyrikat pada ayat itu.
Kelompok ini memahami dan menafsirkan kata musyrik atau musyrikat
terdapat pada kaum yang hidup pada masa nabi yang sekarang sudah tidak
ada lagi dengan demikian tidak ada halangan untuk menikah dengan orang
musyrik yang ada pada saat ini, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarir Ath
Thabari, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam tafsir Manar.37
Kedua menurut ulama yang mendukung pendapat ini mereka
menafsirkan surat al-Maidah ayat 5 dengan penafsiran yang luas terhadap
36
Rudi Santoso, Pendapat Ulama Tentang Pernikahan Beda Agama, Artikel di akses pada 05 April 2016, dari https://rudisantosomhi.wordpress.com/2014/01/08/pendapat-ulama-tentang-hukum-pernikahan-beda-agama/
37 Rasyid Ridha, Tafsir Manar, (Cairo: Dar Al-Manar: 1367 H), h. 187-193.
25
ayat tersebut dengan membolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita ahli
kitab maka kebolehan itu juga harus dipahami dengan sebaliknya wanita
muslim menikahi laki-laki ahli kitab disamping itu kata ahli kitab tidak hanya
mencakup orang-orang Yahudi dan Nasrani saja tetapi juga mencakup orang
orang Majusi, Hindu, Budha, dan agama lainnya.38
Ketiga pendapat yang membolehkan secara terbatas kelompok ketiga
ini mengharamkan pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik
baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan dalil surat Al Baqarah ayat 221
mereka juga melarang wanita muslim menikah dengan laki-laki ahli kitab
dengan alasan surat Al Maidah ayat 5, mereka hanya membolehkan laki-laki
muslim menikahi wanita kitabiyah.39
C. Ayat dan Tafsir Tentang Nikah Beda Agama
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 221
( )البـقـشة :
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
38
Rasyid Ridha, Tafsir Manar, (Cairo: Dar Al-Manar: 1367 H), h. 1993.
39
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ala al-mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: dar al-Ihya
al-Thurats al-Arabi, 1969), juz 4, h. 75.
26
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”( Al-Baqarah : 221)
Maksud dari ayat di atas adalah “Dan janganlah kamu menikahi”
wanita-wanita “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka,
“hingga mereka beriman”, karena seorang wanita mukmin walaupun sangat
jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun
sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu
dikhususkan oleh ayat dalam surah Al-Maidah tentang bolehnya menikahi
wanita-wanita ahli kitab sebagaimana Allah Swt berfirman:
Artinya: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”(Al-
Maidah: 5)
27
Kalimat pada ayat dalam surah al-Baqarah tersebut bersifat umum
yang tidak ada pengecualian didalamnya, kemudian Allah menyebutkan
hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin
menikah dengan selain agama mereka dalam firmanya “mereka mengajak ke
neraka” yaitu dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-
kondisi mereka maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang
sangat berbahaya, dan bahayanya adalah bukan bahaya duniawi akan tetapi
bahaya kesengsaraan yang abadi kelak di akhirat. 40
Dapat kita ambil kesimpulan dari alasan ayat yang melarang bergaul
atau menikah dengan setiap orang musyrik; karena jika bergaul saja tidak
boleh apalagi menikah dengan wanita yang berbeda agama, sedang Allah
dalam firmannya menyeru kepada para hambanya untuk memperoleh surga
dan ampunan yang diantara akibatnya adalah menjauhkan diri dari siksaan.41
40
Abdurrahman Ibn Nashir Ibn Abdullah Al-Sa‟diy, Taisirul Karim Al-Rahman
(penerbit: Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama tahun 2000) juz 1 h. 90.
41
Abdurrahman Ibn Nashir Ibn Abdullah Al-Sa‟diy, Taisirul Karim Al-Rahman juz
1 h. 90.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal,
7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‟ama
yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama
yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math‟laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.42
Dari Musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah bermusyawarhnya para ulama, zuama, dan cendekiawan
muslim yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang
42
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
29
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasiolan Indonesia43
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia
tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di
mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok
dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas
para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif
dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah
dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan
kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global
yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan
batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi barat, serta
pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan
aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia.44
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam
pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi
politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat
terjebak dalam egoisme kelompok (Ananiyah Al-Hizbiyah) yang berlebihan.
43
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
44
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
30
Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai
sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam
rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan
serta kebersamaan umat Islam. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima
tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu‟ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta‟ala; memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya
ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan
umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah
guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat
Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.45
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan
lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)
45
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
31
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al
ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma‟ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian
Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH.
Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua
Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan
mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus
berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.46
B. Metode Pengambilan Hukum MUI
Dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan
pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada
bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul yang Mu‟tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana
ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak
46
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
32
bertentangan dengan ijma‟, qiyas yang mu‟tabar, dan dalil-dalil hukum
yang lain, seperti ihtisan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari‟ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-
pendapat para Imam Madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan
dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil-dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan47
.
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath
hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath
hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang
digunakan dalam penetapan fatwa MUI adalah perlunya memikirkan
kemaslahatan umat ketika menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya
memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang
mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang
diputuskan tersebut tidak cenderung pada kedua ekstrimitas, tetapi lebih
mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut.
Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa adalah
perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai
bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.48
47
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag
RI. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5.
48
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad ; Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134.
33
Sebelum menetapkan suatu fatwa, MUI (dalam hal ini Komisi Fatwa
atau tim khusus) harus terlebih dahulu mempelajari setiap masalah yang
disampaikan kepada MUI dengan seksama sekurang-kurangnya seminggu
sebelum disidangkan. Jika persoalannya telah jelas hukumnya (qath‟iy)
hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi
gugur setelah diketahui nash-nya dari Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan
dalam masalah yang terjadi khilafiyah [perbedaan pendapat]di kalangan
madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan
fikih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul
fiqih muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan (pasal 3).49
Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta
memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang,
komisi menetapkan fatwa. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan
setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan
Fatwa (SKF). Didalam SKF, harus dicantumkan dasar-dasar pengambilan
hukum disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber
pengambilannya. Demikian pula setiap SKF sedapat mungkin disertai
dengasn rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang
diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.50
Majelis Ulama Indonesia, secara hierarkis ada dua, yaitu Majelis
Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama
49
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad ; Antara Tradisi dan Liberasi,
h. 134.
50
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad ; Antara Tradisi dan Liberasi,
h. 134.
34
Indonesia daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan
fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan
menyangkut permasalah umat Islam indonesia secara nasional dan/atau
masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, nsmun efeknya dapat
meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa
menasional. Meskipun ada hirarki antara MUI pusat dan MUI daerah, namun
fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya
bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-
masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya namun
ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah
yang sama, maka kedua pihak bertemu untuk mencari penyelesaian yang
terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.51
Pasal 2
Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa
Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan
sunnah rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemasalahatan
umat.
1. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul sebagaimana
ditentukan pada pasal ayat 1, keputusan Fatwa hendaklah tidak
bertentangan dengan ijma' Qiyas dan mu'tabar dan dalil - dalil hukum yang
lain,. Seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-zari'ah.
51
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad ; Antara Tradisi dan Liberasi,
h. 134.
35
2. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat -
pendapat para dalil - dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil
yang dipegunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
3. Pandangan tenaga ahli dalam bidang maslah yang akan diambil keputusan
fatwanya dipertimbangkan.
Pasal 3
Prosedur Penetapan Fatwa
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih
dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim
khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat'iy) hendaklah komisi
menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah
diketahui ada nass-nya dari Al Quran dan sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fiqih muqaran
(pebandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah usul fiqih muqaran
yang berhubungan dengan pen-tarjih-an.
Pasal 4
Setelah melakukan pembahasan secara mendalam dan komprehensif serta
memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi
mentapkan keputusan fatwa.
36
Pasal 5
1. Setiap Keputusan Fatwa harus di -tanfiz-kan setelah ditandatangani oleh
dewan pimpinan dalam bentuk surat keputusan fatwa (SKF).
2. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah
oleh masyarakat luas.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis
secara ringkas, serta sumber pengambilannya.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan
rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi
dari SKF tersebut.52
C. Fatwa MUI Tentang Kawin Beda Agama
Keputusan Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang
perkawinan beda agama, MUI dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada
tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M di Jakarta setelah:
Menimbang:
1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama.
2. Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan
di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang
keresahan di tengah-tengah masyarakat.
3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang
membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia
dan kemaslahatan.
52
Dewan Pimpinan MUI, Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
diakses pada tanggal 5April 2016 dari https://jacksite.files.wordpress.com/2007/08/pedoman-
penetapan-fatwa-majelis-ulama-indonesia.pdf
37
4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan
berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang
perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
1. Firman Allah SWT
:(3)النساء
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua,tiga,atau
empat.Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,maka
(kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki.Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.(QS.An-Nisa [4]:3).
:الشم(
)
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya,dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS.Ar-Rum [30]:21).
38
: (5)الوائذة
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu,dan
makanan kamu halal bagi mereka.(Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik.Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
akhirat termasuk orang-orang yang merugi”.(QS.Al-Maidah [5]:5).
البقشة(
:)
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang musyrik,sebelum
mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu‟min lebih baik
dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu‟min) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mu‟min
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka
39
mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.(QS.Al-Baqarah [2]:221).
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
سلهن قاه: " و صلهى هللا عل عنو، عي النهب هللاه شة سض عي أب ىش
لذنيا، فاظفش بزاث جواليا لحسبيا حننح الوشأة لسبع: لواليا
ي، حشبج ذاك )ساه البخاسى هسلن(الذ
Artinya: “Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: karena hartanya,
karena (asal-usul) keturunannya, karena kecantikannya, karena
agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan
perempuan) yang memeluk agama Islam;(jika tidak),akan binasalah
kedua tangan-mu”.(HR. Bukhori dan Muslim)
3. Qa’idah Fiqh:
م على جلب الوصالح دسء الوفاسذ هقذه
Artinya: “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan)
daripada menarik kemaslahatan”.
Memperhatikan:
1. Keputusan Fatwa MUI dalam MUNAS II tahun 1400/1980 tentang
perkawinan campuran.
2. Pendapat Sidang Komisi C bidang Fatwa pada MUNAS VII MUI 2005.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT, Memutuskan dan
Menetapkan: Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama
40
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul
mu‟tamad, adalah haram dan tidak sah.53
53
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h. 477.
41
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN SADD AL-DZARI’AHTERHADAP FATWA MUI
TENTANG KAWIN BEDA AGAMA
A. Analisis Kedudukan Sadd al-Dzari’ah dalam Hukum Islam
Kata sadd al-dzari‟ah (سذ الزسعت) merupakan bentuk frase (idhafah)
yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd ( سذ) dan al-dzari‟ah (عت س Secara .(الزه
etimologis, kata al-sadd ( ذ merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari (السه
ا Kata al-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak .سذه سذ سذ
dan menimbun lobang. Sedangkan al-dzari‟ah (عت س merupakan kata benda (الزه
(isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab
terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari‟ah (عت س adalah al-dzara‟i (الزه
سائع) -Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al .(الزه
Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
a-dzara‟i.54
Ibnul Qayyim dan Imam al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari‟ah itu ada
kalanya dilarang yang disebut Saddus Dzari‟ah, dan ada kalanya dianjurkan
bahkan diwajibkan yang disebut fath al-dzari‟ah. Seperti meninggalkan segala
aktivitas untuk melaksanakan shalat jum‟at yang hukumnya wajib. Tetapi
Wahbah al-Juhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan
bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari‟ah
tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu
54
Muhammad bin mukarrom bin manzhur al afriqi al mishri, lisan al arab, (beirut:
dar shadir,tt), h. 132.
42
perbuatan. Menurut al-Qarafi, sadd al-dzari‟ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan
(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan
yang senada, menurut al-Syaukani, al-dzari‟ah adalah masalah atau perkara
yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan
yang dilarang (al-mahzhur).55
Begitu juga pengertian al-Dzari‟ah menurut
ulama ushul adalah jalan yang membawa kepada sesuatu yang dilarang, yang
mana hal tersebut membawa pada kerusakan.56
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian
ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar
Yahya menyebutkan al-dzari‟ah secara umum dan tidak
mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu,
Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya al-dzari‟ah yang pada awalnya
memang dilarang. Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa
sadd adz-dzari‟ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.57
55
Ibnu Taimiyyh, saddu dzarai‟,(Riyad;Daru al Fadilah), h. 26.
56
Wahbah Zuhailiy, Ushul Fiqh Islami, (Beirut: Dar al-Fiqr,), Juz 2, h. 873.
57
Ibnu Taimiyyh, saddu dzarai‟, h. 26.
43
Para ahli ushul fiqh membagi al-Dzari‟ah menjadi 4 kategori.
Pembagian hal ini mempunyai signifikansi manakala dihubungkan dengan
kemungkinan membawa dampak negatif (mafsadah) dan membantu tindakan
yang telah diharamkan. Adapun pembagian itu adalah sebagai berikut.58
a. Dzari‟ah yang secara pasti dan meyakinkan akan membawa kepada
mafsadah. Misalnya, menggali sumur ditengah jalan umum yang
situasinya gelap. Terhadap dzari‟ah semacam ini, para ahli ushul fiqh telah
sepakat menetapkan keharamannya.
b. Dzari‟ah yang berdasarkan dugaan kuat akan membawa kepada mafsadah.
Misalnya, jual buah anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa
memproduksi menjual minuman keras. Terhadap dzari‟ah semacam ini,
para ahli ushul fiqh juga telah bersepakat menetapkan keharaman.
c. Dzari‟ah yang jarang atau kecil kemungkinannya membawa kepada
mafsadah. Seperti menanam dan membudidayakan tanaman anggur.
Terhadap dzari‟ah semacam ini para ahli ushul fiqh bersepakat
menetapkan kebolehannya.
d. Dzari‟ah yang berdasarkan asumsi biasa (bukan dugaan kuat) akan
membawa kepada mafsadah. Misalnya, transaksi jual beli secara kredit.
Berdasarkan asumsi biasa, transaksi demikian akan membawa mafsadah
terutama bagi debitur. Mengenai dzar‟ah semacam ini para ulama berbeda
pendapat. Ada yang berpendapat, perbuatan tersebut harus dilarang atau
58
Muhammad abu zahrah, ushul al-fiqh, h. 246.
44
menjadi haram atas dasar Sadd al-Dzari‟ahdan ada yang berpendapat
sebaliknya.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudharat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode Sadd al-Dzari‟ahitu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimannya. Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak
menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan
metode saddu al-dzari‟ah.59
Telah dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai
Sadd al-Dzari‟ah, apakah ia dapat menjadi hujjah syar‟iyyah atau tidak?
Malik bin Annas dan Ahmad bin Hanbal, keduanya sang maestro mazhab
fiqh terkenal, menerima Sadd al-Dzari‟ah sebagai hujjah syar‟iyyah.
Sedangkan al-Syafi‟I dan Abu Hanifah, keduanya juga sang maestro mazhab
fiqh terkenal, menerima Sadd al-Dzari‟ah sebagai hujjah syar‟iyyah untuk
kasus-kasus tertentu dan menolaknya untuk kasus-kasus lain. Golongan
ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu Hazm, menolak sama sekali (secara mutlak)
sadd al-dzari‟ah, artinya ia bukanlah hujjah syar‟iyyah.60
Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd al-
Dzari‟ah dapat dibedakan menjadi 2 kubu, yaitu kubu penerima (pro) dan
kubu penolak (kontra). Adapun kubu penerima mengemukakan
argumentasinya sebagai berikut.
59
Muhammad abu zahrah, ushul al-fiqh, h. 246.
60
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, h. 889-891 dan h. 903-904.
45
a. Dalam surah al-Baqarah ayat 104 dinyatakan bahwa orang mukmin
dilarang mengucapkan kata “ra‟ina” – suatu ucapan yang biasa digunakan
orang yahudi untuk mencela atau mengejek Nabi SAW-. Larangan ini
didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan membawa
kepada mafsadah, yakni tindakan mencela atau mengejek Nabi SAW.
Pesan ayat ini mengisyaratkan urgensi sadd al-dzari‟ah.
b. Dalam surat al-A‟raf ayat 163 dinyatakan bahwa kaum bani israil dilarang
mendekati dan mengambil ikan-ikan yang terapung dipermukaan air laut
pada hari sabtu (hari khusus beribadah bagi mereka). Larangan itu
didasarkan atas keyakinan bahwa perbuatan mendekati dan mengambil
ikan-ikan tersebut akan membawa kepada mafsadah, yakni meninggalkan
kewajiban beribadah pada hari khusus ibadah mereka.
a. Hadis Nabi:
ساه الحامن, النسائ الخشهزي( ( ل ب ش ال ى ه ل ا ل ب ش ا ه ع د
Artinya: Beralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak
meragukan. (HR. al-Nasa‟I, al-Turmudzi, dan al-Hakim).
)ساه هسلن( اث ي ب خ ش ه او ي ن ب ي ب ام ش لح ا ىه ا ي ب ه ل الح ىه ا
Artinya: Perkara yang halal itu sungguh sudah jelas dan perkara yang
haram juga sungguh sudah jelas. Diantara keduanya ada perkara
yang subhat atau (samar-samar). (HR. Muslim).61
Sejumlah larangan mengisyaratkan urgensi Sadd al-Dzari‟ah bagi
penetapan hukum, antara lain, yaitu:
61
Muslim Ibn Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al- Qusyairy An-Naisaburi, Shohih Muslim,
(Beiru Dar Al-Ihya Turats, T.t). Juz 3 h. 1219.
46
1. Larangan melamar atau khitbah perempuan yang sedang iddah karena
perbuatan melamar demikian akan membawa kepada mafsadah, yakni
menikahi perempuan yang sedang iddah.
2. Larangan jual beli secara tunai dan tempo dalam satu akad karena
pebuatan jual beli demikian akan membawa kepada mafasdah, yaitu
transaksi ribawi. Yang dibolehkan ialah jual beli secara tunai dilakukan
tersendiri atau secara terpisah dari jual beli secara tempo (dua akad yang
terpisah).
3. Larangan terhadap kreditur menerima hadiah dari debitur, ketika debitur
meminta penundaan pembayaran utang karena penerimaan hadiah tersebut
akan membawa kepada mafsadah yakni transaksi ribawi.
4. Penetapan tindakan pembunuhan ahli waris terhadap pewaris sebagai hal
yang menghalangi hak kewarisan ahli waris tersebut, agar tindakan
pembunuhan tersebut tidak dijadikan jalan untuk mempercepat perolehan
warisan.
5. Pidana qishas bagi pelaku kolektif pembunuhan terhadap satu orang
korban, masalah ini sudah jadi kesepakatan para sahabat Nabi. Hal ini
dimaksudkan agar pembunuhan yang demikian tidak dijadikan model
kejahatan demi menghindari pidana qishas.
6. Larangan terhadap kaum muslim ketika masih di Makkah sebelum hijrah
ke Madinah membaca al-Qur‟an dengan suara nyaring. Larangan ini
didasarkan atas pertimbangan agar kaum kafir Quraisy tidak mencela atau
47
mengejek al-Qur‟an, Allah (yang menurunkan al-Qur‟an), dan Nabi SAW
(yang menerima al-Qur‟an).62
Kubu penolak (kontra) mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
a. Aplikasi Sadd al-Dzari‟ah sebagai dalil penetapan hukum ijtihadiy,
merupakan bentuk ijtihad bi al-ra‟yi yang tercela.
b. Penetapan hukum kehalalan atau keharaman sesuatu harus didasarkan
atas dalil qat‟I, tidak bisa dengan dalil zanniy, sedangkan penetapan
hukum atas dasar Sadd al-Dzari‟ah merupakan satu bentuk penetapan
hukum berdasarkan dalil zanniy. Sehubungan dengan ini Allah
berfirman dalam surat al-Najm ayat 28:
: :(0/5) النجن
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.(Qs. An-Najm: 28).63
Di kalangan ulama Usul terjadi perbedaan pendapat dalam
menetapkan boleh atau tidaknya menggunakan Sadd al-Dzari‟ah sebagai dalil
syara‟. Sebagaimana dijelaskan M. Quraish Shihab, Ulama Malikiyah
62
Muslim Ibn Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al- Qusyairy An-Naisaburi, Shohih Muslim,
(Beiru: Dar Al-Ihya Turats, T.t), t. Juz 3 h. 1219.
63
Muslim Ibn Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al- Qusyairy An-Naisaburi, Shohih Muslim,
(Beiru: Dar Al-Ihya Turats, T.t), Juz 3 h. 1219.
48
menggunakan Q.S. Al-An‟am ayat 108 dan Q.S. An-Nur ayat 31 yang
dijadikan alasan untuk menguatkan pendapatnya tentang Sadd Al-Dzari‟ah.64
Jumhur ulama menempatkan faktor manfaat dan mafsadat sebagai
pertimbangan dalam menetapkan hukum, salah satunya dalam metode Sadd
al-Dzari‟ah ini. Dasar pegangan jumhur ulama untuk menggunakan metode
ini adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara
maslahat dan mafsadat. Bila maslahat dominan, maka boleh dilakukan dan
bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Namun, jika sama-
sama kuat, maka untuk menjaga kehati-hatian harus mengambil prinsip yang
berlaku.65
م الوفاسذ رسء الوصالح جلب على هقذه
Artinya: Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
kemaslahatan.66
Bila antara yang halal dan yang haram bercampur, maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah:
الحش الحله إراجخوع الحشام غلب ام
Artinya: Apabila bercampur yang halal dan yang haram, maka yang haram
mengalahkan yang haram.67
64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 237.
65
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 429.
66
Nashr Farid Muhammad Washil, dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-
Madkhalu fi Al-Qaw‟id Al-Fiqhiyyati, h. 21.
67
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 430.
49
Sementara itu, ulama Zahiriyyah, Ibnu Hazm secara mutlak menolak
metode Sadd Al-Dzar‟iah ini. Hal ini dikarenakan ulama Zahiriyyah hanya
menggunakan sumber nas murni (Al-Qur‟an dan As-Sunnah) dalam
menetapkan suatu hukum tertentu tanpa campur tangan logika pemikiran
manusia (ra‟yu) seperti pada Sadd Al-Dzar‟iah. Hasil ra‟yu selalu erat dengan
adanya persangkaan (Zan), dan haram hukumya menetapkan sesuatu
berdasarkan persangkaan, karena menghukumi dengan persangkaan sangat
dekat dengan kebohongan, dan kebohongan adalah satu bentuk kebatilan.68
Namun demikian, perbedaan pendapat mengenai kedudukan Sadd Al-
Dzar‟iah ini dalam perkembangannya tidak menjadikan Sadd al-Dzari‟ah
tidak digunakan sama sekali. Para ulama zaman sekarang pun dalam kegiatan
tertentu menggunakan Sadd al-Dzari‟ah untuk menetapkan suatu hukum
tertentu. Salah satu lembaga keagamaan yang menggunakan metode ini
adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menggunakan metode ini dalam menetapkan fatwa halal atau memberikan
sertifikasi halal terhadap produk-produk perdagangan baik itu makanan,
kosmetik, maupun penggunaan nama produk yang beredar dan dijual di
pasaran. Seperti larangan menggunakan ungkapan kata-kata pada produk
kosmetik yang merangsang syahwat, yang dikhawatirkan akan menimbulkan
68
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Hazm: Hayatuh Wa „Asruh, Arauh Wa
Fiqhuh, (Qaira: Daar Al-Fikr Al-„Arabi, tt), h. 372.
50
rangsangan syahwat yang menjurus pada perbuatan yang dilarang. Maka
penggunaan nama itu pun dilarang.69
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada
hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan,
maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada
perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam
kitab A‟lâm al-Mûwâqi‟în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun
akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa
mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan
pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan
perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang
telah ditetapkan.70
Meskipun ulama berbeda pendapat dalam penggunaan saad al-
Dzari‟ah, akan tetapi menurut penulis bahwa saad al-Dzari‟ah perlu dijadikan
sebagai salah satu dalil hukum jika maslahat yang dihasilkannya lebih besar,
lagipula tujuan dari sadd al-Dzari‟ah adalah menghilangkan kemafsadatan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam saddu al-dzari‟ah perlu dijadikan dalil
hukum karena penetapan hukumnya selalu menekankan pada keutamaan
manfaat dan menghindari kemufsadatan. Hal ini untuk mengantisispasi sikap
hidup yang tidak terpuji ditengah masyarakat.
69
Usman,“Sertifikasi Halal MUI Berprinsip pada Saddudz Dzari‟ah”, dalam
http://www.halalmui.org Asertifikasi-halal berprinsip pada-saddudz-dzariah (30 Januari
2012).
70
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A‟lâm al-Muwâqi‟ỉn, h. 103.
51
B. Analisis Penerapan Sadd al-Dzariah dalam Fatwa MUI Tentang Kawin
Beda Agama
Fatwa ini dikeluarkan pada tanggal 1 juni 1980 sebagai tanggapan atas
bertambahnya perhatian masyarakat terhadap makin seringnya terjadi
pernikahan antaragama. Menurut kenyataannya, pembicaraan mengenai fatwa
itu diadakan konferensi tahunan kedua MUI pada tahun 1980 dan bukannya
dalam rapat-rapat biasa Komisi Fatwa. Fatwa tersebut memuat dua
pernyataan gambling mengenai masalah itu. Pertama, bahwa seorang wanita
Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria
bukan Islam; kedua, bahwa seorang pria muslim tidak diizinkan menikahi
seorang wanita bukan Islam. Fatwa itu ditandatangani oleh Hamka., ketua
umum, dan kafrawi, sekertaris MUI. Yang agak aneh ialah bahwa fatwa itu
dibubuhi tanda tangan Menteri Agama, Alamsjah Ratu Perwiranegara. Tetapi
pentingnya fatwa itu tidak terletak pada tanda tangan menteri, melainkan
karna fatwa itu dibicarakan dan diputuskan dalam Konferensi Tahunan
MUI.71
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh fatwa itu seluruhnya terdiri atas
kutipan-kutipan dari al-Qur‟an dan Hadis dan tidak ada yang berasal dari
sesuatu naskah fiqh. Ayat al-Qur‟an pertama yang dikutip adalah yang
mengenai larangan perkawinan seorang laki-laki atau perempuan Islam
dengan seorang musyrik, karena Allah lebih menghargai seorang budak belian
yang beragama Islam dibandingkan seorang musryik; yang kedua mengenai
71
Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Perkawinan Bagi Umat IslamIndonesia
(Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), h. 71-73.
52
diizinkannya seorang laki-laki Islam menikah dengan seorang perempuan dari
seorang ahl al-kitab (orang-orang Kristen dan Yahudi); yang ketiga mengenai
larangan perkawinan seorang perempuan Islam dengan seorang kafir; yang
keempat tentang perintah untuk mencegah dirinya dan keluarganya jangan
sampai masuk ke neraka. Hadis-hadis yang dikutip ialah mengenai, pertama,
doktrin yang menyatakan bahwa perkawinan yang baik adalah sama dengan
setengah dari iman, dan kedua tentang kepercayaan anak-anak bahwa lahir
dalam keadaan suci, hanya orang-orang tuanya yang membuat mereka
menjadi orang-orang Yahudi, Kristen atau penganut Zoroaster.72
Yang menarik mengenai fatwa itu ialah bahwa meskipn alQur‟an jelas
mengizinkan seorang laki-laki Islam menikah dengan seorang perempuan ahl
al-kitab, namun fatwa tidak membolehkannya. Fatwa melarang perkawinan
semacam itu karena kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya.
Meskipun fatwa itu ditunjukan khusus mengenai kejadian-kejadian di
Indonesia, hal itu bersifat radikal karena berlawanan dengan apa yang secara
jelas dinyatakan dalam al-Qur‟an. Fatwa-fatwa itu juga bertentangan dengan
fikih klasik, yang biasanya dirujuk oleh MUI dalam membuat fatwa-fatwa
lain. Naskah-naskah fikih klasik sepakat memberi izin kepada seorang laki-
laki muslim untuk menikahi seorang perempuan dari ahl al-kitab. Maka
timbul pertanyaan apakah yang menjadi dasar MUI untuk mengambil sikap
yang berlawanan dengan al-Qur‟an.
72
Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Perkawinan Bagi Umat IslamIndonesia, h.
75-77.
53
Fatwa MUI tahun 1980 hanya menggunakan istilah “bukan Islam”
tanpa keterangan selanjutnya. Akan tetapi referensi yang sebenarnya adalah
terlalu jelas untuk dikesampingkan: orang-orang Kristen, karena dalam semua
persoalan perkawinan antaragama yang disebut dalam media masa tersebut
menyangkut orang-orang Islam dan Kristen. Lebih dari itu, setiap penyebutan
ahl al-kitab oleh kaum muslimin Indonesia dengan sendirinya berarti orang-
orang Kristen, karena di Indonesia tidak ada orang Yahudi. Jadi, masalah
yang sebenarnya yang dimaksud dalam fatwa MUI mengenai perkawinan
antargama adalah soal pencegahan bagi kaum pria dan wanita Islam
Indonesia untuk berpindah agama menjadi agama Kristen. Interpretasi ini
adalah penting berkenaan dengan persaingan terus-menerus antara kaum
muslimin dan kaum Kristen di negeri ini, dan berkenaan dengan kekhawatiran
kaum muslimin terhadap ancaman Kristenisasi.73
Fatwa ini lahir lima tahun setelah terbentuknya MUI pusat. Yang
mana pada saat itu hubungan MUI dengan organisasi-organisasi bukan Islam
sangatlah rumit. Meskipun hubungan umat Islam dengan Budha dan Hindu
cukup baik, akan tetapi hubungan umat Islam dengan umat Kristen pada
dasarnya adalah bersaingan, dimulai sejak permulaan abad kedua puluh yang
mana pada saat itu penyebaran agama Kristen di Indonesia didukung oleh
pemerintah jajahan Belanda. Ada desas-desus bahwa pada permulaan
dasawarsa enam puluhan, kaum Kristen bermaksud memasukkan seluruh
penduduk Pulau Jawa ke agama Kristen dalam waktu dua puluh tahun dan
73
Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
INIS, 1993), h. 102-103.
54
seluruh Indonesia dalam waktu lima puluh tahun. Meskipun sukar dibuktikan
akan kebenaran rencana tersebut namun kaum muslimin beranggapan bahwa
adanya bahaya ancama kristenisasi itu betul ada. Pada perulaan dasawarsa
tujuh puluhan ada yang menyatakan bahwa dua juta orang Indonesia masuk
agama Kristen. Hal ini telah menyebabkan hubungan tegang dan bahkan
bentrokan antara umat Islam dan umat Kristen di berbagai daerah di tanah
air.74
Menginsyafi akan bahaya makin meningkatnya ketegangan antara
kedua golongan itu, pemerintah lalu mengambil prakarsa untuk
menyelenggarakan pertemuan antargolongan agama pada tanggal 30
November 1967, yang dihadiri oleh para wakil dari kelima golongan agama.
Maksud pertemuan itu bersifat ganda,: pertama, untuk membentuk sebuah
badan konsultasi antaragama, dan kedua, untuk menghasilkan suatu
pernyataan yang menerangkan bahwa setiap kegiatan penyebaran agama
hendaknya jangan ditujukan kepada mereka yang sudah memeluk salah satu
dari lima agama yang diakui di negeri ini. Pertemuan tersebut ternyata telah
gagal sama sekali karena tidak satu pun usul yang diterima baik. Meskipun
golongan Budha dan Hindu bersedia menerima baik usulan yang diajukan,
golongan Islam dan golongan Kristen benar-benar tidak bersedia untuk
mengadakan kompromi. Kaum muslimin menolah mempertimbangkan untuk
mengambil bagian dalam badan antaragama atas dasar yang sama dengan
golongan Kristen, tetapi sangat menyetujui usul yang kedua yang membatasi
74
Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 74-75.
55
kegiatan-kegiatan penyebaran agama. Sebaliknya golongan Kristen
menyetujui pembentukan badan antar-agama, tetapi tidak bisa menerima
setiap usulan untuk membatasi kegiatan penyebaran agama. Hubungan antara
kaum muslimin dengan kaum Kristen senantiasa diwarnai oleh persaingan
yang ketat. Mengingat akan kewajiban untuk memlihara aqidah, kaum
muslimin selalu khawatir akan adanya ancaman pengkhistenan, sedangkan
pihak Kristen justru memberikan perhatian besar terhadap pengkristenan itu.75
Dikeluarkannya fatwa oleh MUI yang melarang kaum muslimin pria
dan wanita untuk kawin dengan orang-orang bukan Islam, bahkan juga orang-
orang ahl al-kitab, rupanya telah didorong oleh keinsyafan akan adanya
persaingan keagamaan kendatipun ada pertanyaan khusus al-Qur‟an yang
memberikan izin kepada kaum pria Islam untuk mengawini wanita ahl al-
kitab. Hal ini boleh jadi berarti bahwa persaingan itu sudah dianggap para
ulama telah mencapai titik rawan bagi pertumbuhan masyarakat muslimin,
sehingga pintu bagi pintu bagi kemungkinan dilangsungkannya perkawinan
antaragama itu harus ditutup sama sekali. Mungkin akan timbul pertanyaan
mengapa para ulama begitu khawatir mengenai jumlah umat Islam padahal
umat Islam di negeri ini merupakan mayoritas. Jawabannya rupanya terletak
pada persoalan mayoritas dalam jumlah, tetapi minoritas dalam peran
politik.76
Ini adalah untuk mengatakan bahwa pengeluaran fatwa MUI
mengenai perkawinan antaragama, yang pada lahirnya bertentangan dengan
75
Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 75-76.
76
Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 103.
56
pernyataan alQur‟an, Agaknya MUI bukanlah yang pertama yang berbuat
demikian di zaman modern ini, karena Muhammad Syaltut pada dasawarsa
enam puluh telah melakukan hal yang sama dengan sedikit persyaratan. Ia
berkata, jika seorang pria Islam bersifat lemah dan akan mengikuti tradisi
calon istrinya, maka perkawinannya dengan wanita itu hendaknya dilarang.
Syaltut berpendapat bahwa dalam hal ini orang menggunakan alasan yang
sama seperti ketika al-Qur‟an melarang seorang wanita Islam untuk kewin
dengan seorang pria bukan Islam, walaupun pria itu dari ahl al-kitab. Ia
menegaskan bahwa alasan itu adalah untuk mencegah kaum muslimin agar
tidak pindah agama dan menganut agama ahl al-kitab. Meskipun demikian,
pandangan Syaltut ini tidak dikutip dalam fatwa tersebut.77
Menurut salah satu anggota MUI Prof. Huzaemah Tahido Yanggo,
aspek penerapan saad adzariah dalam fatwa ini karena pernikahan beda
agama menyebabkan salah satu dari suami istri yg beragama Islam untuk
pindah beragama, oleh sebab itu nikah beda agam dicegah oleh ulama untuk
mencega madharat yang nyata yakni terjadinya pindah agama. Selain itu
pelarangan nikah beda agama bertujuan agar terwujud ketentraman keluarga
dan dikhawatirkan anak dari hasil pernikahan dengan non muslim ini kelak
mengikuti agama non muslim. Selain itu agar tidak terjadi perpecahan dalam
keluarga. 78
77
Mohammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 104.
78
Huzaemah Tahido Yanggo, wawancara dengan penulis (Jakarta: 7 April 2014).
57
Keharaman itu juga didasari dengan alasan bahwa para non-Muslim
tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai ahli kitab, mereka telah berbeda
dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan oleh Q.s. Al-Ma‟idah: 5-7.
Penulis berpandangan bahwa para ulama yang cenderung melihat kebolehan
perkawinan antara muslim dengan ahli kitab lebih bertumpu kepada
pendekatan bayani. Namun bila dilihat dari segi istishlahi, maka ketetapan
pengharaman perkawinan beda agama itu lebih maslahat. Rasio logis yang
dikemukana oleh MUI di atas dengan menerapkan saad adzariah jelas sangat
mempertimbangkan kemaslahatan dari sekedar pendekatan normatif teologis.
Apalagi jika ditinjau dari segi tujuan perkawinan itu sendiri, maka sendi
kemaslahatan kawin berbeda agama cenderung akan mengurangi bahkan
menghilangkan esensi perkawinanan yang sakinah mawaddah wa rahmah
dalam Ridha Allah Swt.
Fatwa ini memang didorong oleh masalah sosial yang terjadi pada
masa itu, dan fatwa tersebut juga dimaksud untuk menjaga keutuhan sosial.
Dari peristiwa sejarah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa fatwa ini memang sesuai dengan keadaan
kaum muslimin di Indonesia yang saat itu sedang dihantui oleh ancaman
kristenisasi. Jika seorang laki-laki muslim dibiarkan untuk menikah dengan
perempuan Kristen, maka dikhawatirkan umat Islam akan tejebak oleh
kristenisasi dengan jalan pernikahan. Dalam hal ini MUI berjalan melampaui
al-Qur‟an akan tetapi untuk kemaslahatan dengan jalan Sadd al-Dzari‟ah.
58
Sebagai pencegahan bagi kaum pria dan wanita Islam Indonesia untuk
berpindah agama menjadi agama Kristen.
Dengan demikian dapat difahami bahwa dalam masalah keharaman
nikah beda agama MUI menerapkan saad dzariah dalam 2 hal yakni :
pertama, sebagai dalil pengokoh tentang keharaman wanita muslimah
menikahi non muslim. Kedua, sebagai dalil awal tentang keharaman lelaki
muslim menikahi wanita non muslim mapun kitabiyah.
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian sebelumnya, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bersetubuh atau akad secara
bersamaan adapun secara syariat, nikah adalah sebuah akad yang mana di
dalamnya terdapat kebolehan untuk bersenang-senang dengan perempuan
yang dinikahi. Adapun yang dimaksud perkawinan lintas agama adalah
perkawinan antara agama yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang
pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau
dengan seorang pria yang beragama Islam perkawinan antar agama di sini
dapat terjadi dalam bentuk:
a. Calon istri beragama Islam sedangkan calon suami tidak beragama
Islam baik itu Ahlul kitab atau orang musyrik.
b. Calon suami beragama Islam sedangkan calon istri tidak beragama
Islam atau musyrik.
2. Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan
gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-
cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395
H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‟ama yang
60
datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math‟laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas
Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan.
3. Menurut salah satu anggota MUI Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, aspek
penerapan saad adzariah dalam fatwa ini karena pernikahan beda agama
menyebabkan salah satu dari suami istri yg beragama Islam untuk pindah
beragama, oleh sebab itu nikah beda agam dicegah oleh ulama untuk
mencega madharat yang nyata yakni terjadinya pindah agama. Selain itu
pelarangan nikah beda agama bertujuan agar terwujud ketentraman
keluarga dan dikhawatirkan anak dari hasil pernikahan dengan non muslim
ini kelak mengikuti agama non muslim. Selain itu agar tidak terjadi
perpecahan dalam keluarga. Keharaman itu juga didasari dengan alasan bahwa
para non-Muslim tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai ahli kitab, mereka
telah berbeda dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan oleh Q.s. Al-
Ma‟idah: 5-7. Penulis berpandangan bahwa para ulama yang cenderung melihat
kebolehan perkawinan antara muslim dengan ahli kitab lebih bertumpu kepada
pendekatan bayani. Namun bila dilihat dari segi istishlahi, maka ketetapan
pengharaman perkawinan beda agama itu lebih maslahat
61
B. Saran
Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memaparkan beberapa
saran yang diharapkan agar bermanfaat bagi semua pihak diantaranya:
1. Sadd al-Dzari‟ah merupakan sumber hukum yang masih asing dan jarang
terdengar oleh masyarakat umum, kenyataannya mengakibatkan
pandangan sebelah mata yang diberikan oleh masyarakat awam dan
sebagian akademisi sebab lebih terbiasa menggunakan ushul fiqih
syafi‟iyah yang didalamnya tidak terdapat pembahasan khusu mengenai
al-Dzari‟ah, dengan demikian penulis menyarankan agar MUI lebih
mengenalkan ke masyarakat tentang penggunaan Sadd al-Dzari‟ah sebagai
sumber hukum dengan mencantumkan Sadd al-Dzari‟ah pada fatwa-fatwa
yang terkait dengannya.
2. Hendaknya MUI dan lembaga/organisasi Islam yang berkegiatan
menetapkan hukum agar lebih menegaskan penggunaan al-Dzari‟ah
dengan menggambarkan konsep dan penerapannya agar tidak terjadi
kesimpang siuran dari sudut manakah al-Dzari‟ah dapat diterapkan, karena
hal tersebut nantinya akan menambah wawasan berikut khazanah ummat
muslimin. Hendaknya masyarakat menyadari dan memahami bahwa
pelarangan nikah beda agama akan tetapi pelanggaran itu juga agar
menjauhkan diri kita dari hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga
nantinya sebab berbeda agama dalam rumah tangga sangar berdampak
negatif pada masa depan pernikahan pada masa depan anak.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad, Sudirman, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (PT.Prima
Heza Lestari, tt), h. 75.
Ahmadi, Fahmi, Muhammad, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
Abdurachman, dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Bandung: Alumni 1978), h. 20.
Bukhari, Al, Shahih Bukhari, Ibn Katsir, Beirut 1987, juz 5 h. 2024.
Dewan Pimpinan MUI, Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
diakses pada tanggal 5April 2016 dari
https://jacksite.files.wordpress.com/2007/08/pedoman-penetapan-fatwa-majelis-
ulama-indonesia.pdf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag
RI. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Depag RI,
2003, hal. 4-5.
Efendi Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2005), h. 172
Ghozali Imam, A. Ma‟ruf Asrori (ed) Ahkamul Fukaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum, Surabaya: Diantama, 2004, h. 435.
Haryanto A.G., Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, 2000), h. 78.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h. 477.
https://rudisantosomhi.wordpress.com/2014/01/08/pendapat-ulama-tentang-
hukum-pernikahan-beda-agama/
Imam, Muhammad Abu Zahrah, Al Ibnu Hazm: Hayatuh Wa „Asruh, Arauh Wa
Fiqhuh, (Qaira: Daar Al-Fikr Al-„Arabi, tt), h. 372.
J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:Remaja Rosada
Karya, 1997), h. 112-116.
Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, Al. A‟lâm al-Muwâqi‟ỉn, h. 103.
Jaziri, Abdurrahman, Al al-Fiqh ala al-mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: dar al-Ihya
al-Thurats al-Arabi, 1969), juz 4, h. 75.
63
Komisi Kominfo MUI, Profil MUI, diakses pada 10 November 2015 dari
http://mui.or.id/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html
Muhammad, Jabry, Al, Abdul Mutaal Perkawinan Campuran Menurut
Pandangan Islam,( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), h. 14.
Muhammad Al-Anbari Kholid Bin Ali, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1993), h. 18-19.
Mughniyyah Muhammad Jawad, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khomsah, (Jakarta:
PT. Lentera Basri Tama: T.t), h. 336.
Mudzhar H.M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad ; Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134.
Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Perkawinan Bagi Umat IslamIndonesia
(Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), h. 71-73.
Hasan, M, Ali Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah, Jakarta: PT Raja Grafindo 1998, h.
13.
Muhammad bin Mukarrom bin manzhur al Afriqi al Mishri, lisan al Arab, (Beirut:
dar shadir, tt), h. 132.
Naisaburi Muslim Ibn Al-Hajjaj Abu Al-Hasan Al- Qusyairy, Al. Shohih Muslim,
(Beiru Dar Al-Ihya Turats, T.t). Juz 3 h. 1219.
Nazir Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja
Grapindo 1996), h. 36.
Prawirohamidjodjo Soetojo, Pluralism dalam Perundang Undangan Perkawinan
di Indonesia, (Surabaya: airlangga Univesity press, 1988), h. 39.
Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: insani press, 1995), h.
580.
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Pionir
Jaya, 1986), h. 17.
Ridha, Rasyid. Tafsir Manar, (Cairo: Dar Al-Manar: 1367 H), h. 187-193.
Sa‟diy Abdurrahman Ibn Nashir Ibn Abdullah, Al. Taisirul Karim Al-Rahman
(penerbit: Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama tahun 2000) juz 1 h. 90.
64
Santoso, Rudi. Pendapat Ulama Tentang Pernikahan Beda Agama, Artikel di
akses pada 05 April 2016, dari
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 237.
Sihab M. Quraiys, Wawasan Al-Quran Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat,
(Jakarta: tp, 1996), h. 166.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta,
2004), h.244
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 429.
Taimiyyh, Ibnu. Saddu Dzarai‟, (Riyad;Daru al Fadilah), h. 26.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2.
Usman,“Sertifikasi Halal MUI Berprinsip pada Saddudz Dzari‟ah”, dalam
http://www.halalmui.org Asertifikasi-halal berprinsip pada-saddudz-
dzariah (30 Januari 2012).
Wasito, Herman. Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1992), h. 10.
Washil, Nashr Farid Muhammad, dan Azzam Abdul Aziz Muhammad, Al-
Madkhalu fi Al-Qaw‟id Al-Fiqhiyyati, h. 21.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Wawancara dengan penulis (Jakarta: 7 April 2014)
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu al-Islam WA Adilatuhu, (Beirut: dar al-fikr, 2005), juz
3, h. 26.
Zuhdi, Masyhuk. Masail Fiqhiyyah, (Jakarta, Haji Mas Agung: 1991), h. 5.
Zuhailiy, Wahbah. Ushul Fiqh Islami, (Beirut: Dar al-Fiqr,), Juz 2, h. 873.
Zahrah, Muhammad, abu. Ushul al-fiqh, h. 246.