penerapan hermeneutika hukum di...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

PENERAPAN HERMENEUTIKA HUKUM DI PENGADILAN AGAMA
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFIRA MAHARANI NIM. 1111044100045
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M



iv
ABSTRAK
Safira Maharani. NIM 1111044100045. Penerapan Hermeneutika Hukum Di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xii + 102 halaman + 61 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dalam menerapkan
hermeneutika hukum pada putusan perkara harta bersama, serta mengetahui apakah yang menjadi alasan hakim dalam memutus perkara harta bersama tanpa merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan empiris yang mana pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara harta bersama telah menerapkan teori hermenutika hukum sebagai salah satu alternatif dalam pertimbangan hukumnya, hal ini didukung dengan hakim sebagai penafsir harus dapat memahami tiga trilogy pemahaman hermeneutika hukum yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Oleh karena itu ketika hakim melihat dan memahami perkara tersebut sudah tidak relevan dengan ketentuan pada teks Undang-undang, maka dalam hal ini hakim boleh melakukan interpretasi terhadap teks, artinya hakim tidak hanya memahami hukum secara tekstual namun juga lebih mempertimbangkan aspek kontekstual yang bersifat sosiologis. Dan menjunjung tinggi agar setiap putusan yang ditetapkan dapat terpenuhinya tujuan hukum (Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan) bagi para pihak.
Kata Kunci : Penerapan Hermeneutika Hukum. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Perkara Nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1958 sampai Tahun 2012


vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala petunjuk dan
kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada
Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terbesar sepanjang
perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs.
Ahmad Zawawi, MH. dan Ibunda Sahlah Zulfikah beserta adik-adikku terkasih
dan tercinta Muthia Rahmah dan Saiful Umam yang tiada lelah dan bosan
memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga
keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-
Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan demikian, sudah
sepatutnya pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta.

vii
2. H. Kamarusdiana, S.Ag., MH., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen terutama bapak Arip Purkon, S.HI., MA., Dr.
Mamat S. Burhanuddin, MA. Dan Ibu Dr. Hj. Azizah, MA. Yang telah
meluangkan waktu untuk berbagi ilmu pengetahuan mengenai hermeneutika
hukum. Beserta Staf pengajar pada lingkungan Program Studi Ahwal al-
Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dari awal bangku kuliah sampai pada akhirnya penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama terutama yang telah membantu penulis
dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, MH., selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang telah membantu dan membimbing penulis selama
melakukan wawancara. Serta Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH., selaku hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutus perkara yang penulis rintis,
yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan

viii
bimbingannya serta arahan, nasehat dan saran selama penulis melakukan
wawancara.
7. Kasih sayang dan kebersamaan penulis sampaikan kepada kedua sahabat
seperjuangan saudari Epi Yulianti dan Lilis Sumiyati yang senantiasa
memberikan semangat, canda dan tawanya melewati suka duka selama
dibangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiannya menemani dari awal
bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Peradilan Agama Tahun 2011
lainnya, Andi Asyraf Rahman, Ahmad Farhan, Hendrawan, M. Nazir, M.
Saekhoni, Rahmatullah Tiflen, M. Fathin, Burhanatud Dyana, Arisa, Azizah,
Nadia NS, Kamelia Sari, Mujahidah, Triana Aprianita, Juniati Harahap, Vemi
Zauhara, Gusti Fajrina, Robi’ah yang terus memberikan motivasi dan
semangat kepada penulis.
9. Kawan-kawan seatap (kost bungong jumpo) Nailil Farohah, Yonita Syukra,
Aini Yunianingtias yang memberikan support, hiburan dan saran keilmuan
selama penulisan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Double Degree Ilmu Hukum Tahun 2014 yang
sudah senantiasa menjadi tempat berbagi ilmu dan waktunya.
11. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN LEBAH
2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan
indah penulis yang tidak dapat terlupakan bersama kalian semuanya.

ix
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelsaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.
Jakarta, 25 Mei 2015
Penulis

x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERSETUJUAN BIMBINGAN ..................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 9
F. Metode Penelitian ..................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HERMENEUTIKA HUKUM
A. Pengertian Hermeneutika Hukum .............................................. 16
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum ...................................................................................... 19
C. Metode Ijtihad Dalam Hukum Islam ......................................... 29
D. Kedudukan Hakim .................................................................... 39

xi
E. Kedudukan Mujtahid ................................................................ 44
BAB III PENERAPAN HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA
A. Pendekatan Hermeneutika ......................................................... 48
B. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Hermeneutika Hukum
Pada Putusan Pengadilan Agama .............................................. 57
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1159/Pdt.G/2013/PA.JT ...................................................... 57
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor
1934/Pdt.G/2013/PAJT ........................................................ 59
C. Analisis Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Dalam
Penerapan Hermeneutika Hukum .............................................. 61
1. Perkara Nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT ............................. 61
2. Perkara Nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT ............................. 65
BAB IV IMPLEMENTASI HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
HARTA BERSAMA PERKARA NO. 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
A. Penerapan Hermeneutika Hukum
1. Duduk Perkara .................................................................... 68
2. Pertimbangan Hukum ........................................................... 77
3. Amar Putusan ....................................................................... 83
B. Analisis Penulis ......................................................................... 84

xii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 94
B. Saran ........................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Bekasi
3. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Jakarta Timur
4. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Tim
5. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Tim
6. Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua PA Jak-Tim
7. Hasil Wawancara dengan Dosen dan Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum
8. Hasil Wawancara dengan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
9. Putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
10. Dokumentasi Gambar Melakukan Wawancara

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberagaman permasalahan manusia yang mengikuti zaman
semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak mungkin tercangkup
dalam suatu peraturan perundang-undangan secara tuntas dan jelas. Karena
pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan mempunyai
kemampuan yang terbatas sehingga undang-undang yang dibuatnya
tidaklah lengkap dan tidak sempurna untuk mencakup keseluruhan
permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk itu, tidak ada
peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau
jelas sejelas-jelasnya.1
Ketentuan Undang-undang yang berlaku umum dan bersifat
abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa
konkret. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang harus diberi arti,
dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk
diterapkan pada peristiwa itu. Peristiwa hukumnya harus dicari terlebih
1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2010), h. 48

2
dahulu dari peristiwa konkretnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan
untuk dapat diterapkan.2
Setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti
perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang
perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para
hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi
atau konstruksi dengan syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya
tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa undang-undang atau
tidak boleh bersikap sewenang-wenang.3 Dikarenakan dalam Undang-
undang tidak lengkap, maka dari itu harus dicari dan diketemukan
hukumnya dengan memberikan penjelasan, penafsiran atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya.4
Untuk mengatasi problematika kontemporer saat ini, yang
terkadang dalam Undang-undang diketemukan kurang relevan dengan
kondisi kekinian, maka dengan demikian muncullah beberapa alternative
metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan
konstruksi hukum, pada prinsipnya masih relevan digunakan hakim hingga
saat ini. Akan tetapi, perlu diketahui terdapat suatu penemuan hukum yang
lain yang bisa dipergunakan hakim dalam praktik peradilan sehari-hari,
2 Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 12
3 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 2006), h. 33
4 Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, (Bandung:
Alumni, 2006) h. 86

3
dan metode tersebut disebut dengan hermeneutika hukum sebagai
alternative metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan
pada interpretasi teks hukum.
Mengenai hermeneutika hukum dapat diartikan sebagai suatu
metode interpretasi teks hukum atau metode memahami sesuatu terhadap
suatu naskah normatif.5
Dahulu hermeneutika berkembang di dunia barat, dan banyak
dibicarakan dalam filsafat abad XX, hal ini berawal dari perhubungan
penafsiran kitab suci orang Yahudi dan Kristen sebelum akhirnya
berkembang menjadi sebuah kajian filsafat. Apalagi keyakinan teologis
umat Kristen mengenai Bibel, mereka menyakini bahwa Bibel mempunyai
beberapa penulis yang mendapat inspirasi dari roh kudus seperti Markus,
Yohannes, Matius dan sebagainya. Kenyataan ini kemudian
mempengaruhi struktur keimanan umat Kristen untuk tidak mengatakan
Bibel sebagai Kalam Tuhan, maka dari itu para teolog Kristen memerlukan
hermeneutika untuk memehami teks.
Farid Esack mengatakan bahwa adapun istilah hermeneutika yang
merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, praktek
hermeneutika dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam
wacana keilmuan Islam di bawah payung disiplin ilmu yang juga dikenal
dengan Ilmu Tafsir. Lain hal dengan penjelasan dari Hasan Hanafi yang
mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berusaha menyelami
5Ahmad Rifa’i, Metode Penemuan Hukum Yang Sesuai dengan Karakteristik, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2011), h. 88

4
kandungan makna literal sebuah teks tetapi juga berusaha menggali makna
yang tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang
melingkupi teks, pengarang dan pembaca.6
Di Indonesia praktik peradilan, untuk metode hermeneutika hukum
tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan
hukum, hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan
konstruksi hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan
hukum yang telah mengakar cukup lama dalam system peradilan di
Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan
metode ini, sehingga jarang atau sama sekali tidak menggunakannya
dalam praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada
pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja semata, tetapi
juga konteks hukum itu dilahirkan, serta bagaimanakah kontekstualisasi
atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.7
Dan dari banyaknya perkara yang ditangani Pengadilan pada
kenyataannya tidak sedikit ada beberapa hakim yang sudah berani untuk
menggunakan hermeneutika hukum dalam putusannya dan salah satunya
mengenai penerapan harta bersama yang dikolerasikan dengan
hermeneutika hukum di dalamnya, dikarenakan dalam realita sering
6 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Tim
Pustaka Firdaus, 1991), h. 1
7 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.89

5
dijumpai terjadinya percekcokan suami istri dalam rumah tangga yang
tidak sedikit berujung pada putusan perceraian di Pengadilan dan tidak
diherankan pada saat atau telah berakhirnya sebuah perkawinan yang
sering disengketakan tidak jauh dari permasalahan harta bersama yang
biasa juga dikenal dengan harta gono gini, maka dari itu ada beberapa
yang perlu terlebih dahulu diketahui yaitu dapat membedakan antara harta
bawaan dan harta bersama yang sering kali disalah mengertikan oleh
masyarakat yang awam atas hukum, harta bersama adalah harta kekayaan
yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya
adalah harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa ikatan
perkawinan.8
Menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan
definisi bahwa harta bersama (gono-gini) adalah harta milik bersama dari
suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan
dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Dan
harta bersama dapat juga diqiyaskan sebagai syirkah karena dapat
dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja,
meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang
dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga,
memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan lainnya.
8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet.-3,
1998), h. 200.

6
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-
istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa).
Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang berlaku di
masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan
dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan
harta suarang nan babagi; di Madura dinamakan guna ghana; di Sunda
digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di
Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.9
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penulis
mendeskripsikan sebagai permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih
meneliti agar ada kolerasi antara yang terjadi dalam lapangan ataupun
dilihat dari segi kepustakaannya, oleh karena itu penulis mengangkat ini
sebagai sebuah penelitian dengan judul “PENERAPAN
HERMENEUTIKA HUKUM DI PENGADILAN AGAMA DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA” (Studi Analisis Putusan Pengadilan
Agama Bekasi Tentang Harta Bersama).
A. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang terkait
dengan judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang
pada subbab latar belakang diatas, maka dari itu penulis memaparkan
9 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan bintang,
1965), h. 18.

7
beberapa permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar
belakang penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana konstribusi hermeneutika hukum dalam
penyelesaian harta bersama akibat perceraian pada putusan di
Pengadilan Agama Bekasi?
2. Bagaimana cara penerapan hermeneutika hukum oleh hakim di
Penngadilan Agama Bekasi dalam suatu putusan perkara?
3. Apa yang menjadi acuan tinjauan yurisprudensi dalam
permasalahan perkara harta bersama?
4. Apa yang dijadikan pertimbangan bagi hakim dapat melakukan
hermeneutika hukum pada putusan yang dihadapi?
5. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan hermeneutika hukum
sebagai alternatif metode penemuan hukum baru dalam putusan
di Penngadilan Agama Bekasi?
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam hal ini penulis akan membatasi masalah penelitian agar
masalah dalam judul proposal lebih terfokus dan spesifik, diantaranya
adalah:
a. Hermeneutika Hukum dibatasi pada penafsiran hakim
terhadap Kompilasi Hukum Islam.

8
b. Pengadilan Agama dibatasi pada kota Bekasi di Jalan Ahmad
Yani No. 10 dan Pengadilan Agama Jakarta Timur di Jalan
Raya PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan, Ciracas.
c. Perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dibatasi dengan
permasalahan mengenai sengketa harta bersama akibat
perceraian. Antara Trileya Noverisda Binti Rivai Risma
sebagai Penggugat dan Mochsirsyah Bin Mochtarudin sebagai
Tergugat. Dan beberapa sample putusan yang menerapkan
hermeneutika
d. Data yang di teliti dibatasi pada data tahun 2008 dan 2013.
2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana dasar hukum dalam menggunakan hermeneutika
hukum pada putusan perkara harta bersama?
2. Bagaimana alasan hakim dalam putusan perkara penyelesaian
sengketa harta bersama tanpa merujuk kepada Kompilasi
Hukum Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar hukum dalam menerapkan hermeneutika
hukum pada putusan perkara harta bersama

9
2. Untuk mengetahui seperti apa alasan hakim dalam memutus
perkara harta bersama dan tidak merujuk pada Kompilasi Hukum
Islam.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan-
kepentingan pihak-pihak, di antaranya:
1. Bagi para akademisi, agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
bahan tambahan khazanah ilmu pengetahuan.
2. Bagi masyarakat, supaya penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan baru dan terpenuhinya rasa keadilan.
3. Bagi para hakim agar lebih berani dan mau lebih melakukan
hermeneutika dalam penemuan hukum yang baru namun juga
tidak sewenang-wenang.
D. Review Studi Terdahulu
1. Skripsi Hamzah Ikat, Penyelesaian Harta Bersama Akibat
Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor:
393/Pdt.G/PA.Tng), prodi SAS, 2009. Skripsi ini membahas
pertimbangan Majelis hakim pada putusan ini hanya menerapkan
apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sepanjang
sudah dijelaskan atau disesuaikan dengan kasus dan baru
kemudian hakim menafsirkan pasal tersebut. Perbedaannya
dalam penulisan skripsi penulis ialah penulis mengungkapkan
bagaimana penerapan suatu hermeneutika hukum di Pengadilan

10
Agama Bekasi dalam penyelesaian harta bersama akibat
perceraian pada putusan yang terkait.
2. Skripsi M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama
Berdasarkan Konstribusi Dalam Perkawinan (Analisis Putusan
Nomor: 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt), prodi SAS, 2014. Skripsi ini
membahas pembagian harta bersama berdasarkan konstribusi
adalah pembagian harta bersama dengan menilai besaran
konstribusi para pihak. Dalam arti jika pihak isteri mempunyai
jasa atau konstribusi yang lebih banyak dari suami maka ia
berhak mendapatkan 2/3 dari harta bersama dan pihak suami
hanya mendapat 1/3 dari harta bersama. Dan hakim dalam
putusan ini mengesampingkan ketentuan pasal 97 KHI,
perbedaannya dengan penulisan skripsi penulis adalah dalam
penulisan ini lebih menitikberatkan pada penerapan penyelesaian
sengketa harta bersama menggunakan metode penemuan hukum
baru yaitu hermeneutika hukum.
3. Skripsi Marlianta, Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca
Perceraian Di Pengadilan Jakarta Selatan, prodi SAS, 2014.
Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian yang dilakukan
hakim dalam memeriksa gugatan harta bersama pasca perceraian
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dalam
pertimbangannya hakim tetap menyesuaikan dengan peraturan
yang termuat yaitu Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yaitu

11
membagi sama rata harta bersama antara bekas suami dan istri
selama masa perkawinan. Sedangkan berbeda halnya dalam
penulisan penulis yaitu membahas tindakan hakim dalam berani
menerapkan suatu putusan menggunakan terobosan hermeneutika
hukum tanpa merujuk KHI, dan ini digunakan sebagian hakim
untuk mengesampingkan ketetapan Undang-undang yang telah
ada.
E. Metode Penelitian
Penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak tergantung dari
data yang diperoleh, juga didukung oleh proses pengolahan yang
dilakukan terhadap permasalahan. Metode penelitian dianggap paling
penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Hal ini wajib harus ada
dan tidak dapat dipisahkan lagi dari apa yang dinamakan keabsahan
penelitian. Maka dari itu dipergunakan untuk membuat terang suatu
penelitian secara lengkap.
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan empiris yang mana
pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh
dari hasil penelitian dan observasi.10
10 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta, 2010), h.19

12
2. Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian ini secara lebih spesifik menggunakan
metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode
deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang
baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin
tentang obyek yang diteliti.11
3. Kriteria dan Sumber Data
Jenis - jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif
dan terbagi menjadi dua yaitu :
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui
wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian ini terutama hakim-hakim yang berwenang dalam
menangani putusan perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan primer12 biasa didapatkan dari
peraturan perundang-undangan13, Al-Qur’an, Hadis, data-data
resmi dari instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 43
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 35
13 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi Cet 4, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), h. 302

13
literature, internet, karangan ilmiah, jurnal, makalah umum dan
bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan
menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan
pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi
Untuk penelitian ini, penulis memfokuskan untuk
melakukan observasi pada objek yang dimaksudkan yaitu pada
Pengadilan Agama Bekasi yang terletak di Jalan Ahmad Yani
No. 10.
b. Penelitian Wawancara (Interview)
Melalui penelitian ini, dilakukan wawancara kepada
pihak-pihak yang terkait dan majelis hakim yang menyidangi
perkara putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dengan
Ketua Majelis Hakim Drs. Jajat Sudrajat, SH,. MH. dan Wakil
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Chazim
Maksalina, MH, dan para dosen. Wawancara ini menggunakan
metode bebas dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis
jadikan referensi untuk memperkuat data.
c. Studi Dokumentasi (document research)
Melalui studi ini untuk dapat menelaah bahan-bahan atau
data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang

14
mengatur tentang pemeriksaan putusan yang terkait masalah
harta bersama pada putusan perkara Nomor:
1006/Pdt.G/2008/PA.Bks.
d. Studi Pustaka (library Research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari Kompilasi
Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pengelohan data studi pustaka dilakukan dengan
cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok
masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini perlu adanya suatu uraian mengenai susunan
dari penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu penulisan ini akan
dibagi ke dalam 5 (lima) bab yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode
penelitian, metode analisis data, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian hermeneutika
hukum, hermeneutika hukum sebagai alternatif metode

15
penemuan hukum, metode ijtihad dalam hukum Islam,
kedudukan hakim, kemudian kedudukan mujtahid
BAB III Penulis membahas mengenai penerapan hermeneutika
hukum pada putusan di Pengadilan Agama, kemudian
penulis juga melakukan analisis terhadap putusan-putusan
Pengadilan Agama yang menggunakan hermeneutika
hukum.
BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,
pertimbangan hukum beserta amar putusan tekait Perkara
Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks pada penerapan
hermeneutika hukum dalam penyelesaian sengketa harta
bersama dan terakhir penulis akan menganalisis putusan
tersebut.
BAB V Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan
yang disertai dengan saran-saran. Demikianlah sistematika
penulisan ini, mudah-mudahan penulisan ini dapat
dimengerti dan bermanfaat.

16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HERMENEUTIKA HUKUM
A. Pengertian Hermeneutika Hukum
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata
hermeneuien, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang
berarti “interpretasi” dan perkataan hermeneutika adalah pengindonesiaan dari
kata bahasa inggris hermeneutics. Kata ini aslinya berasal dari bahasa
Yunani, yakni dari kata kerja hermeneuein yang mempunyai tiga bentuk
makna dasar. Ketiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari
hermeneuein. Pertama, mengungkapkan kata-kata, kedua, menjelaskan
sebuah situasi dan ketiga, menerjemahkan. Dari ketiga pengertian diatas
dimaksudkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari
sesuatu yang gelap ke sesuatu yang lebih terang.14
Dalam ilmu hukum, Henry Cambell Black mengartikan hermeneutika
sebagai “The science of art of consrtruction and interpretation. By the phrase
“legal hermeneutic” is understood the systematic body of rules which are
14 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14-15

17
recognized as applicable to the conctruction and interpretation of legal
writings”.15
Pengertian hermeneutika menurut Card Breaten adalah “The science
of reflecting on how a word or an event in a past and culture many
understand and become existentially meaningful in our present situation”
(Ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa
lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam
konteks kekinian).16
Menurut terminiologi hukum karya L.P.M. Ranuhandoko menyatakan
bahwa hermeneutics adalah ilmu susunan kalimat dalam bidang hukum.17
Begitu juga Hasan Hanafi mengemukakan pengertian hermeneutika
merupakan ilmu interpretasi. Alat untuk menafsirkan, alat untuk memahami,
dan alat untuk menjalankan.18
Friederich August Wolf dalam karyanya Vorlesung uber die
Enzyklopadie der Altertumsswissenschaft mendefinisikan hermeneutika
sebagai ilmu tentang kaidah yang dengannya makna tanda-tanda dikenali.
Menurutnya kaidah-kaidah itu berbeda dengan objek, makanya muncullah
15 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed, (USA: West Publishing, 2004) h. 55.
16 Card Breaten, History of Hermeneutics, (Philadelphia: From Press, 1966), h. 131
17 L.P.M. Ranuhandoko, Terminiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) h. 321
18 Hasan Hanafi, Hermeneutic, Liberation and Revolution, (Dar Kebaa Bookshop), diterjemahkan oleh Jajat Hidayatul. F dan Neila Meutia. D, edisi Indonesia: Bongkar Tafsir, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, (Yogyakarta: Pustaka Utama, 2003) h. 1,3

18
hermeneutika untuk puisi, sejarah dan hukum. Dan setiap kaidah akan dicapai
melalui praktik, dengan demikian wolf mengatakan hermeneutika pada
dasarnya adalah sebuah praktik ketimbang sebagai usaha teoritis. Yang
seharusnya hermeneutika diartikan sebagai sebuah kumpulan kaidah.19
E. Sumaryono mendefinisikan hermeneutika merupakan sebuah
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan
mengerti. Dimana hermeneutika juga sebagai cara interpretasi terhadap teks
yang disesuaikan dengan konteksnya.20
Hermeneutika hukum dalam definisi secara umum adalah ajaran
filsafat mengenai hal mengerti atau memahami sesuatu atau dapat dikatakan
sebuah metode interpretasi (penafsiran) terhadap sesuatu atau teks. Kata
sesuatu atau teks disini dapat berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumentasi resmi Negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat hukum
(ahkam) dalam kitab suci, ataupun dapat berupa pendapat dan hasil ijtihad
para ahli hukum (doktrin).21
Hermeneutika atau penafsiran adalah ciri khas manusia, karena
manusia tak dapat membebaskan diri dari kecendrungan dasarnya untuk
19 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. h. 91
20 E.Sumaryono, Hermenutika, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h. 23-24
21 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005) h. 44

19
memberi makna terhadap sesuatu. Manusia adalah mahluk yang mampu
memberi makna realitas, dan dalam hal ini bahasa memegang peranan
sentralnya.22
Hukum adalah realitas dan realitas hukum dapat berwujud dalam
berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. karena realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran dan keadilan
menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo
Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-
undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran
budaya.23 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan
hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum
Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada beberapa peristiwa yang
belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah
diatur tetapi tidak lengkap atau tidak jelas. Oleh karena itu peraturan hukum
yang tidak jelas harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi
dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan
terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara
22 F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme Dan Modernisme Diskursus Filsafat Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 44-48
23 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 133-135.

20
membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat
diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan
putusan hukum yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Istilah penemuan hukum biasa dikenal dengan Rechtvinding (law
making), yang diartikan bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya
sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu
berupa kaidah (das sollen) baik tertulis ataupun tidak, tetapi dapat juga berupa
perilaku atau peristiwa (das sein).24
Begitu juga Paul Scholten berpendapat mengenai penemuan hukum
ialah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi
ataupun rechtvervijning (pengkonkretan hukum).25
Penemuan hukum tidak lagi hanya didasarkan pada hal memahami
tetapi juga telah bergeser ke depan seiring dengan diskursus tentang
memahami secara hermeneutis. Van Tongeren mengemukakan ciri-ciri hukum
24 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 31
25 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 146

21
sebagaimana juga dikutip oleh Dr. Drs. Chazim Maksalina, MH.26
Diantaranya adalah: pertama, Undang-undang selalu memiki sedikit ciri yang
umum. Oleh karena itu, undang-undang harus ditafsirkan untuk dapat
diterapkan dalam kejadian-kejadian konkret. Kedua, dalam praktik hukum,
penafsiran tidak semata-mata penerapan, penerjemahan atau rekonstruksi,
melainkan setiap penafsiran selalu menambahkan sesuatu kepada material
awalnya. Ketiga, memahami secara yuridis bahwa penerapan suatu naskah
terintegrasi dengan penjelasannya. Jika hakim harus menerapkan undang-
undang maka ia akan mencari arti hakiki (jadi telah memahami undang-
undang itu), maka Undang-undang itu telah ditafsirkan dan diterapkan.
Kajian hermeneutika hukum mempunyai dua makna sekaligus.
Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi
atas teks-teks hukum. Interpretasi yang benar terhadap teks hukum harus
selalu berhubungan dengan isi atau kaidah hukum, baik yang tersurat maupun
yang tersirat. Kedua, hermeneutika hukum mempunyai kolerasi dengan teori
penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan kerangka lingkaran spiral
hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah dan fakta. Dalam
hermeneutika seseorang harus mengkualifikasi fakta dalam bingkai kaidah
dan menginterpretasi kaidah dalam bingkai fakta.
26 Chazim Maksalina, Penerapan Hermeneutika Hukum Dalam Perspektif Penemuan Hukum Pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, (Disertasi S3 Bidang Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Islam Bandung, 2014)

22
Hermeneutika pada dasarnya merupakan suatu metode untuk
menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya. Metode hermeneutika ini menuntut adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa sekarang.27
Pada sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang
melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Seseorang
harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorable), apa
yang dilihat (vorsicht), dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).
Kunci utama hermeneutika terletak pada penafsirnya. Dalam kajian
hermeneutik tidak ada penafsiran yang tepat atau keliru, benar atau salah.
Yang ada hanyalah upaya yang bervariasi untuk mendekati teks dari
kepentingan dan motivasi yang berbeda. Dengan demikian maka sangat logis
bila secara konseptual hermeneutic mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya
tidak ada suatu teks yang tidak dapat ditafsirkan.28
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga
bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan
tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, dan
Emilio Betti, menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks
27 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), h. 9
28 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 232.

23
sebagaimana yang dipahami pengarangnnya, sebab apa yang disebut teks
ialah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau
tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan
diturunkan dan bersifat instruktif.29
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
modern khususnya Hans-Georg Gadamer dan Jarques Derida. Menueut model
ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud
penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan
memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.30
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-
tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi dan Farid Esack.
Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau
metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.
Dalam keilmuan hukum terdapat beberapa teori penemuan hukum
yang sudah familiar di implementasikan pada beberapa putusan hukum dalam
praktik di Pengadilan sebagai acuan untuk penerapan dan penegakan hukum,
diantaranya adalah interpretasi hukum, konstruksi hukum, begitu pula
perlunya dikemukakan berkembangnya hemeneutika hukum saat ini untuk
29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routlege & Kegan Paul, 1980), h.
29. 30 Arip Purkon, Article Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, (Jakarta: FSH UIN Jakarta), h. 187. Diakses tanggal 05 Mei 2015, 16.00 WIB. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=175989&val=328&title=Pendekatan%20Hermeneutika%20dalam%20Kajian%20Hukum%20Islam.

24
menjadi lirikan sebagai alternatif penemuan hukum baru bagi hakim dalam
penginterpretasian teks hukum. Demikian juga disimpulkan oleh James
Robinson mengenai fungsi dan tujuan hermeneutika yaitu untuk memperjelas
sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. 31
Eksistensi penemuan hukum tidak bisa terlepas dari suatu sistem,
dengan demikian Van Eikema Hommes, membagi dua sistem penemuan
hukum yang dibedakan menjadi penemuan hukum heteronom (Typisch
logicitisch) dan penemuan hukum otonom (Materiel juridisch). Melihat posisi
hakim di Indonesia yang menganut sistem penemuan hukum heteronom di
mana hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan
penilaian. Karena penemuan hukum di sini dianggap sebagai kejadian yang
tekhnis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Dengan kata lain
kedudukan hakim hanya sebagai penyambung lidah atau corong dari Undang-
undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang.
Berbeda halnya ketika membahas penemuan hukum otonom yang mana
memposisikan hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya
undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Tetapi apabila dilihat pada
realitanya saat ini, Indonesia terdapat juga penemuan hukum yang mempunyai
31 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, h. 45

25
unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau
melengkapi Undang-undang menurut pandangannya sendiri.32
Pada proses penemuan hukum, yang banyak dilakukan oleh hakim
perlu dibedakan menjadi dua hal, yaitu tahap sebelum pengambilan putusan
(ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif
teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan
disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului
tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro
dan kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara satu dan
lainnya, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Untuk menemukan
hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan hal ini
berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Apabila
suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka putusan
itu berarti tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang
baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante untuk
meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. 33
Disinilah arti penting hermeneutika hukum digunakan para hakim
dalam rangka menemukan makna hukum. Penemuan makna hukum oleh
32 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, Op.,cit h. 38-40 33 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 74.

26
hakim tidak hanya semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum
terhadap peristiwa konkret, akan tetapi sekaligus penciptaan hukum dan
pembentukkan hukumnya. Tugas aparat hukum juga tidak dapat dilepaskan
dari melakukan interpretasi atas teks hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas
peristiwa dan fakta hukumnya sendiri.34
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan
segetiga (triadic) antara teks (hukum), si pembuat teks (author), dan penafsir
teks (reader). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam
memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum (termasuk
hukum), dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi
lebih kepada apa yang ada di balik teks. 35
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya. Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa.
Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam putusan.36
34 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, Op, Cit., h. 49-50
35 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan oleh: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 8
36 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, h. 5

27
Ketentuan yuridis formal telah mengatur eksistensi penemuan hukum
yang termuat pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
dikatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Yang selanjutnya disebutkan mengenai penjelasan dalam pasal
ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Meringkas dari maksud ketersiratan dalam ketentuan diatas, hakim
mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum agar
putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat. Dikarenakan posisi hakim yang merupakan perumus dan penggali
dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hakim harus terjun
ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, hakim akan dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat37 dan terwujudlah terpenuhinya
kepastian hukum.
Selanjutnya beranjak dari Pasal 5 ayat (1) dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
37 Yudha Bhakti Adhiwisastra, Penafisran Dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000),
h.7

28
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Maksud dari ketentuan pasal ini memberikan makna kepada
hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum, untuk menerima,
memeriksa, mengadili suatu perkara, sehingga wajib hukumnya bagi hakim
untuk menemukan hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis
untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggung jawab.
Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari
ketentuan pasal diatas, diantaranya yaitu:38
1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang diajukan ke
pengadilan akan diputus.
2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum
3. Sebagai pelambang kebebasan hakim dalam memutus perkara
Apabila dihadapkan dengan adanya kekosongan hukum atau
kekosongan Undang-undang, maka hakim berpegang pada asas ius curia
novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.39
38 A. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim
Dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 252 November, 2006, (Jakarta: IKAHI, 2006), h. 84

29
C. Metode Ijtihad Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau juga disebut fiqih Islam merupakan hukum yang
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah diturunkan Alllah SWT
kepada Nabi dan Rasulnya Muhammad SAW yang diperuntukkan bagi umat
manusia sampai akhir zaman. Fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang diperoleh
dengan menggunakan pikiran dan ijtihad.40 Sedangkan hukum Islam menurut
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah
dirumuskan sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan
syari’at atas kebutuhan masyarakat.41
Pada dasarnya hukum Islam dibedakan menjadi dua kelompok.
Pertama, hukum Islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat dirubah. Hukum Islam yang termasuk bagian ini
adalah hukum Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis mutawatir
yang penunjukannya telah jelas. Kedua, hukum Islam yang bersifat relatif,
tidak universal dan tidak permanen. Pada batas-batas tertentu, hukum Islam
dalam bentuk seperti ini dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Hukum
39Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan Yang Layak
(AAUPPL) Di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 90
40Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press,2005), h. 1-2.
41 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 19

30
Islam yang masuk ke kelompok ini adalah hukum-hukum yang dihasilkan
melalui proses ijihad.42
Dalam mendefinisikan kata “ijtihad” diartikan dengan berbeda-beda
pandangan, sesuai dilihat sepanjang pemakaiannnya, berikut ini penjelasan
ditinjau dari etimologi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk
masdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu: pertama, kata jahd, yang
mengandung arti kesungguhan. Arti ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat Al-An’am:109
انهممأي دهوا باهللا جمأقسو Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya
terkandung makna sulit, berat, dan susah, sesuai kejelasan ayat berikut:
مهدهون إلا ججدلا ي ينالذو قاتدي الصف ننيمؤالم نم نيعطوون المزلمي ينالذ منهم سخر الله منهم ولهم عذاب أليمفيسخرون
Orang-orang (munafik) yang mencela orang-orang mukmin yang member sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) kecuali sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (Surat At-Taubah: 79)
Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa
arti, diantaranya ialah, li al-mubalaghah, yaitu menunjukan penenekanan. Dan
42 Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad fī al-Sharī’ah al-Islamiyyah ma‘a Nazarah Tahliliyyah fī al-
Ijtihad al-Mu‘asir (Kuwayt: Dar al-Qalam, 1985), h. 205

31
ada juga makna lain ijtihad secara bahasa yaitu At-Thaqah yang berarti
tenaga, kuasa dan daya.43
Adapun kata ijtihad secara terminiologi, terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian
yang sama, dan diantaranya satu sama lain saling melengkapi, berikut ini
definisi ijtihad, pertama, menurut Ibnu As-Subki:44
يعركم شبح يل الظنيصحتل عسالو هياغ الفقفرتاس Pengerahan kemampuaan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan
hukum syara’ yang bersifat dzanni.
Kedua, Muhammad Abau Zahrah:45
يةتها التفصيلدلقيه وسعه في استنباط األحكام العملية من أبذل الف Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum-
hukum (syara’) yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Ketiga, Al-Amidi:46
يحس من استفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من األحكام الشرعية بحيثزجفس العالن .هيد فاملزي نع
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat dzanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari kemauan tersebut.
43 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 243
44 Tajuddin Abdul Wahhab bin As-Subki, Jam’ Al-Jawami', (Semarang: Toha Putra), h. 379
45 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958). h. 357
46 Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1984, Juz IV), h. 162.

32
Nicholas P. Aghnides dalam bukunya, The background Introduction to
Muhammedan Law menyatakan bahwa:
The world ijtihad means literally the exertion of great efforts in order
to the a thing. Technically it is defined as “the putting forth of every effort in
order to determine with a degree of probability a question of syari’ah “if
follows from the definitions that a person would not be exercising ijtihad if he
arrived at an opinion while he felt that he could exert himself still more in the
investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean
the realization of the utmost degree of thoroughness. By extention, ijtihad also
means the opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid
and the question he is considering is called mujtahid-fih. 47
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan sesuatu. Secara tekhnis diartikan “mengerahkan setiap usaha
untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu masalah
syari’ah”. Dari definisi ini maka seseorang tidak akan melakukan ijtihad
apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan sedangkan dia merasa bahwa dia
dapat menyelidiki lebih dalam tentang apa yang dikemukakannya.
Pembatasan ini akan berarti suatu penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang
sedalam-dalamnya. Jika diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat
47 Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York:
published by the Ab, “ Sitti Sjamsijah”. (publishing coy Solo, Java, with the authority- license of Columbia University Press), h. 95

33
yang dikemukakan. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid dan
persoalan yang dipertimbangkannya dinamakan mujtahid fih.
Disamping pengertian ijithad diatas tersebut, para pakar hukum Islam
memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut
pengertian dalam arti sempit yaitu ijtihad hanya menjalankan qiyas atau
membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Sedangkan dalam arti
luas, ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk
menegeluarkan hukum syara’ dari kitabullah dan hadis atau usaha maksimal
dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui
pemikiran dan penelitian yang serius.48
Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal
dalam penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil.49
Dengan demikian untuk dapat memenuhi suatu ijtihad, berikut ini unsur dari
ijtihad, diantaranya ialah:
1. Pengerahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang yang
berpredikat sebagai mujtahid
2. Menggunakan metode istinbath (penggalian hukum)
3. Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci
48 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006), h.160
49 Hasan Ahmad Mar’i, Al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 8

34
4. Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan
dengan masalah-masalah ‘amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan
masalah akidah atau akhlak)
5. Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat dzanni (kuat dugaan;
relative), bukan yang bersifat qath’i (pasti benar; absolute).
Saat ini, ijtihad dalam rangka pembaharuan hukum Islam bukan saja
menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa
ditinggalkan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan dilaksanakannya
ijtihad dalam menyelesaikan segala masalah hukum yang timbul, diharapkan
hukum Islam tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta tetap
diperlukan oleh umat Islam dalam mengatur kehidupannya.
Sehubungan dengan hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan
sebagaimana dikutip oleh Dr. H. Abdul Manan, S.H bahwa dengan
menghormati dan menghargai hasil-hasil dan karya ijtihad para ulama
terdahulu dalam berbagai bidang hukum Islam, saat ini sangat diperlukan
ijitihad dengan metode baru untuk menyelesaikan berbagai masalah yang
dahulu belum ada. Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing zaman
memiliki persoalannya sendiri-sendiri. Zaman sekarang sudah terjadi
perubahan yang luar biasa akibat majunya industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi, komunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia yang besar
ini menjadi sempit, tidak jelas lagi batas-batasnya. Untuk menyikapi masalah
ini, dahulu para ulama sudah berani menyatakan adanya prinsip “taqayyun al-

35
fatwa bi taqayyun az-zaman” (berubahnya fatwa karena adanya perubahan
zaman), tentu prinsip ini harus terus dipegang dan dilaksanakan dalam rangka
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam. Agar hukum-hukum yang
diijtihadkan menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia.50
Keberadaan ijtihad ditompang oleh banyak dalil, baik ayat – ayat Al-
Qur’an maupun sunnah, antara lain pada surat An-Nisa’ ayat 59:
منكم فإن تنازعتم في ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمرمتول إن كنسالرو إلى الله وهدء فريش مؤم اآلتواليو ون باللهنر ذلخ ريخ ك
وأحسن تأويلا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah
yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-nya. Cara
yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami kandungan makna
dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat Al-Qur’an dan hadis,
kemudian menerapkannya pada persoalan yang sedang dihadapi.
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadis, seperti suatu riwayat
yang menceritakan antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal, ketika dahulu
Rasulullah mengutus Mu’az menjadi hakim di Yaman.
50 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 166

36
ر ومن عب ارثالح نع نوأبي ع نة عبعش نعرمع نب فصاحثندي حن أخابالمغرية بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل أن رسول
سو هليع لى اللهص ن قالاللهماذ اإلى اليعث معبأن ي ادا أرلم ق«لمت في إذا كيضفي كتاب فإن لم تجد«، قال: أقضي بكتاب الله، قال: »عرض لك قضاء؟
فإن لم تجد في سنة «م، قال: فبسنة رسول الله صلى اهللا عليه وسل ، قال:»الله؟قال: أجتهد رأيي، ولا آلو » رسول الله صلى اهللا عليه وسلم، ولا في كتاب الله؟
مد لله الح«فضرب رسول الله صلى اهللا عليه وسلم بيده على صدره، وقال: فقي وولالذسر ول اللهسي رضرا يمل ول اللهس51رواه ابو داود)»(ر
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar dari Syu'bah dari Abu 'Aun dari Al Harits bin 'Amru anak saudara Al Mughirah bin Syu'bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam serta dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusannya Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah."
Dari hadis di atas, terdapat hirarki hadis yang melegitimasi ijtihad
Mu’az bin Jabal dalam menangani perkara, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
51 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah), Juz III, h. 303

37
3. Ijtihad
Kemudian, hadis riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa:
عبأ ني هريلى اهللا ال: ق الة قرص ول اللهسقول: ري لمسو هليع كمإذا ح دهتإذا اجو ،انرأج فله ابفأص دهتفاج مطأاحلاكا فاخ .رأج 52فله
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:“ jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berjihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia berjihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Seseorang dalam berijtihad terdapat dua hal yang menjadi fokus untuk
menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan upaya menerapkan hukum
itu secara tepat terhadap suatu kasus yaitu; pertama, ijtihad istimbathi yang
memusatkan kepada sumber-sumber hukum Islam diantaranya Al-Qur’an dan
as-Sunnah, yang dilakukan baik dengan pendekatan kebahasaan maupun
pendekatan tujuan hukum (maqasid asy-syariah). Kedua, ijtihad tathbiqi
dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan
hukum secara tepat dalam suatu kasus, objek kajiannya meliputi perbuatan
manusia dengan segala kondisi dan perubahannya.53
Dalam pembahasan ijihad terkadung juga dua kelompok wilayah
ijtihad, diantaranya adalah; 1) hukum-hukum yang didasarkan atas nash yang
52 Abu Abdurahman Ahmad bin syu’aib bin Ali Al-khurasani An-Nasa’I, As-Sunan Al-Kubro,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001), h. 396 53 Amrullah Ahmad, dkk, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996) h. 118

38
tidak qath’i (zhanni), dan 2) hukum-hukum yang sama sekali tidak ada
landasan nash-nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah.
Begitu juga eksestensi ijtihad dalam hukum Islam menurut para ulama
memiliki pembatasan penggalian hukum, apabila menurut Imam Syafi’I
membatasi hukum dalam menggali hukum hanya dari nash Al-Qur’an dan
sunnah melalui cara qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum
yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah mursalah.54
Para imam mazhab lainnya mempunyai pandangan berbeda dalam
memaknai pengertian ijtihad secara luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad
untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-ra’y) melalui metode al-qiyas
dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami
penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian al-qiyas, yaitu adanya
kasus-kasus hukum yang memiliki nash yang dapat dijadikan landasan hukum
terhadap kasus-kasus yang tidak ada nash-nya, dengan cara menyamakan
hukum keduanya, karena adanya kesamaan ‘illah. Sekalipun tidak ada acuan
nash-nya tetap dapat dilakukan penalaran hukum. Menurut Imam As-Syafi’i
bahwa ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah melakukan penemuan
hukum yang dipandang paling dapat menghasilkan kemaslahatan dan yang
paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Dari segi metodenya,
ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
54 Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 2005),
h. 477

39
1. Al-ijtihad Al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan
untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash
Al-Qur’an dan sunnah.
2. Al- ijtihad Al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukum–hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak
ada nash Al-Qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-
qiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya.
3. Al-ijtihad Al-istishlahi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-
nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran
berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).55
D. Kedudukan Hakim
Dinamika dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara
individu dengan lainnya. Untuk dapat menyelesaiakan persoalan yang terjadi
sering kali diperlukan campur tangan institusi khusus yang memberikan
penyelesaian imparsial (secara tidak memihak). Fungsi ini lazimnya
dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberi keputusan,
wewenang ini disebut dengan “kekuasaan kehakiman” yang dalam praktiknya
dilaksanakan oleh “hakim”.
55 Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 103-104.

40
Kata hakim dalam bahasa arab disebut juga qadhi, secara normatif
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang
menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita
sesuai dengan amandemen ketiga UUD Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1)
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada ajaran Islam telah terdapat beberapa golongan kriteria hakim,
diantaranya yaitu: dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk
surga. Satu golongan berbuat adil dalam keputusan hukumnya, maka mereka
masuk surga, yang satu golongan mengetahui keadilan tetapi menyeleweng
dengan sengaja, maka mereka masuk neraka. Dan yang satu golongan
memutuskan perkara tanpa ilmu tetapi mereka malu mengatakan ‘aku tidak

41
tahu’, maka mereka juga masuk neraka. Hal ini selaras dengan bunyi hadis
Rasulullah yakni:56
الحق ىف الجنة، قاض عمل بر وقاض ىف : قاضيان ىف النا القضاة ثلاثةارفج احلق ملقاض عو ،ةنىف الج وفه اءهقض معتى مقاض قضار، وىف الن كا فذالد
علم واستحيا ان يقول انى ال اعلم فهو ىف النار. بغير
Dalam hal penyelesaian perkara yang dilakukan hakim dalam proses
pengambilan keputusan, menuntut para hakim harus mandiri dan bebas dari
pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Untuk pengambilan
keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya. Hakim
dituntut untuk memilih aturan hukum yang akan diterapkan, kemudian
menafsirkannya untuk menentukan atau menemukan suatu bentuk perilaku
yang tercantum dalam aturan itu serta menemukan pula kandungan maknanya
guna menetapkan penerapannya, dan menafsirkan fakta-fakta yang ditemukan
untuk menentukan apakah fakta-fakta tersebut termasuk ke dalam makna
penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian
perkara konkret dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum.57
56 Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil Islam, (Cairo: Darun Nahdhah al-Arabiyah), di
terjemahkan oleh Imran. A.M, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h. 24 57 B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia,
(Bandung: Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian UNPAD No. 1, 1999), h. 15-17

42
Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan
penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas bagi para pihak yang
bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.58
Dalam sistem hukum Indonesia, terlihat bahwa hakim atau badan
peradilan mempunyai peran yang penting dalam penemuan hukum melalui
putusan-putusannya, yang pada akhirnya penemuan hukum oleh hakim akan
membentuk hukum baru yang kekuatannya setara dengan Undang-undang
yang dibuat oleh pembentuk Undang-undang, dan jika putusan tersebut diikuti
oleh hakim-hakim selanjutnya, maka akan menjadi yurisprudensi, yang sudah
tentu mempengaruhi cara pikir maupun cara pandang hakim lain dalam
mengadili dan memutuskan perkara yang sama atau hampir sama.59
Berbicara konteks pembuatan putusan hakim, hermeneutika hukum
mempunyai setidak-tidaknya dua makna sekaligus yaitu: pertama,
hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai ‘metode interpretasi atas teks-
teks hukum’ atau ‘metode memahami terhadap suatu naskah normatif’; kedua,
hermeneutika hukum juga mempunyai relevansi dengan teori penemuan
hukum.
Terkait dengan yang pertama, interpretasi yang benar terhadap teks
hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya) baik yang
58 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h. 25
59 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 10-12

43
tersurat maupun yang tersirat atau antara bunyi hukum dengan semangat
hukum. Oleh karena itu, menurut Gadamer ada tiga persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang penafsir atau interpreter, yaitu memenuhi subtilitas
intelligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan
penjabaran), dan subtilitas aplicandi (ketepatan penerapan). Selanjutnya,
terkait dengan yang kedua (teori penemuan hukum), hermeneutika hukum
ditampilkan dalam kerangka pemahaman ‘lingkaran spiral hermeneutik’,
yakni proses timbale balik antara kaidah dan fakta-fakta.60
Adapun metode interpretasi atau penafsiran yang dapat digunakan oleh
penafsir dan sekaligus juga sebagai perangka atau alat bantu dalam
memperkaya penafsiran secara hermeneutic. Diantaranya terbagi menjadi
sebelas (11) kelompok yaitu: Interpretasi gramatikal, interpretasi historis,
interpretasi sistematis, interpretasi sosiologis atau teleologis, interpretasi
komparatif, interpretasi futuristic, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif,
interpretasi otentik, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner. 61
Pada saat penjatuhan putusan, hakim harus memperhatikan serta
mengusahakan semaksimal mungkin agar jangan sampai putusan tersebut
memungkinkan timbulnya perkara baru. Selain itu, hakim dalam setiap
perkara yang diajukan kepadanya harus membantu justitiabelen dengan
60 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, h. 74
61 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 127

44
berusaha melaksanakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,
sehingga akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada Pengadilan,
yang berakibat semakin berwibawanya lembaga peradilan.
E. Kedudukan Mujtahid
Menurut Nadiah Syarif Al-‘umari, sesungguhnya mujtahid itu adalah
seorang faqih (ahli hukum Islam) yang mengerahkan segala daya dan
kemampuannya untuk mendapatkan status hukum syara’.62
Pada hakikatnya, mujtahid itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah
umat dalam rangka menyampaikan risalah islamiyah (muballigh), penyikap
(kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbit), penjelas hukum
syar’i yang belum ada atau tidak dijelaskan secara tekstual baik di dalam Al-
Qur’an maupun sunnah.63
Seorang mujtahid dituntut untuk melaksanakan fungsinya dalam
berijtihad dan membekali dirinya dengan beberapa persyaratan, baik
persyaratan umum ataupun utama, berikut diantaranya:
1. Persyaratan Umum
a. Baligh, seorang mujtahid diperlukan kematangan berpikir.
b. Berakal
c. Memilki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami
konsep-konsep yang pelik dan abstrak
62 Nadiah Syarif Al-‘umari, Al-ijtihad fi al-islami, (Beirut: Muassasah Ar-risalah, 1986), h. 57
63 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), h. 25

45
d. Memiliki keimanan yang baik.
2. Persyaratan Utama
a. Memahami bahasa arab
b. Memahami Al-Qur’an secara mendalam termasuk yang berkaitan
dengan ayat-ayat hukum.
c. Memahami ilmu ushul fiqih.
d. Memahami sunnah termasuk hadis-hadis yang berkaitan dengan
hukum syara’
e. Memahami tujuan-tujuan persyariatan hukum (maqashid asy-syari’ah)
Para ulama ushul fiqih telah mengklarifikasikan tingkat dan peringkat
seorang mujtahid dari yang tertinggi sampai terendah, diantaranya sebagai
berikut:
1) Mujtahid Mutlak atau juga disebut mujtahid al-mustaqil yaitu seorang
mujtahid yang maampu menggali hukum-hukum syari’at dari sumber
pokok, al-Qur’an dan as-sunnah. Dan mereka terdiri dari ulama yang
telah memenuhi semua syarat ijtihad dan mempunyai otoritas untuk
mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-sunnah. Yang
termasuk dalam tingkatan ini ialah Ja’far ash-Shidiq, Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib atau juga disebut mujtahid ghair al-mustaqil, yaitu
seorang mujtahid yang melakukan ijtihadnya dengan memilih
metodologi istinbath hukum seorang imam mazhab mutlak.

46
3) Mujtahid Mazhab ialah mujtahid yang mengikuti kepada imam
mazhabnya.
4) Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih di antara
beberapa pendapat mujtahid sebelumnya, dengan tujuan untuk
mengetahui pendapat mana yang didukung oleh riwayat yang lebih
shahih, atau pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument
yang lebih kuat.64
Dibawah tingkatan mujtahid adalah muttabi’ (orang yang ber-ittiba’),
dan ittiba’ artinya menerima pendapat orang lain dengan mengetahui dasar
hukumnya. Kemudian setelah muttabi’ adapula muqallid (orang yang
bertaqlid), maksud taqlid adalah menerima dan mengikuti pendapat orang lain
dengan tidak mengetahui argument apa dan dari mana dasar hukumnya.65
Sehubungan dengan penemuan hukum seorang mujtahid yang
melakukan ijtihad dalam ruang pembaharuan hukum Islam masih perlu
dilakukan teus menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak
mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mencakup semua hal secara mendetail
ketentuan hukum masa sekarang. Apalagi saat ini frekuensi perubahan tingkah
laku manusia sangat tinggi jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
64 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 315
65 Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: INIS: 1991), h. 45

47
Melaksanakan ijtihad tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip
kemaslahatan dan harus sesuai dengan tujuan syariat. Karena hakikat tujuan
dari hukum Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia dan
kebahagian di akhirat bagi umat manusia. Maka, prinsip hukum yang harus
dikedepankan adalah kemaslahatan yang berasaskan kepada keadilan dan
kemanfaatan. Oleh karenanya, peranan para mujtahid apabila menghadapi hal-
hal yang belum diatur oleh nash, maka ia harus menggunakan ijtihad dalam
artian lebih luas dari qiyas (analogi), agar kebutuhan masyarakat kepada
hukum dapat terpenuhi.66
66 Abdul Manan, Refomasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 230

48
BAB III
PENERAPAN HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA
1. Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutika mengasumsikan bahwasanya setiap bentuk
dan produk perilaku antar manusia itu (termasuk produk hukum baik in
abstracto maupun in concreto) akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang
dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang
tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang
dikaji sebagai objek. Simbol teori ini menggunakan strategi metodologi to
learn from the people mengajak, menggali dan meneliti makna hukum dari
perspektif penegak hukum yang terlibat dan pengguna dan/ atau pencari
keadilan.67 Pendekatan hermeneutika dapat dilakukan dengan berbagai varian,
diantaranya adalah:
a. Pencapaian Tujuan Hukum
Tujuan hukum harus dapat tercapai dan terpenuhi dalam suatu
putusan, diantaranya harus terkadung asas keadilan, asas kepastian hukum dan
asas kemanfaatan.
67 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, (Jakarta:
Huma, 2002), h. 105

49
1. Kepastian hukum
Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan
hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara
yuridis dan disertai dengan pertimbangan. Hakim selalu dituntut untuk dapat
menafsirkan makna Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan
kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili
secara utuh, bijaksana dan objektif.
2. Keadilan
Keadilan harus terwujud dan terpenuhi bagi para pihak. Dan sisi
keadilan juga mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang
terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
3. Kemanfaatan
Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim
tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar
keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi
kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada
umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut
membawa manfaat atau kegunaan para pihak.
Berbagai perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Agama,
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada

50
satu asas saja.68 Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim
untuk mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Dan
menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas
tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas
tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.69 Disamping itu, hakim
harus memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik.
4. Kemaslahatan
Varian pendekatan hermeneutika yang digunakan selanjutnya adalah
kemaslahatan dilihat berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga
tidak meragukan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat.
5. Sosiologis
Sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, melihat
hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia. Dan
menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif.
Tolak ukur suatu efektivitas hermeneutika hukum pada putusan
Pengadilan Agama terlihat dalam beberapa putusan yang dihasilkan.
Sebagaimana pada putusan di Pengadilan Agama Bekasi dan Jakarta Timur
68 Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3/03 September 2012, Mewujudkan Kepastian
Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata oleh Fence M. Wantu (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo), h. 487.
69 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,M.H, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015.

51
hermeneutika hukum sudah diterapkan oleh beberapa hakim, diantaranya
termuat dalam putusan perkara nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks dan perkara
nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang harta bersama kemudian perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah.
Berikut beberapa alasan kontekstual terhadap putusan Pengadilan
Agama yang terkandung hermeneutika hukum. Pertama, Putusan perkara
nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks mengandung unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari tujuan hukum, yaitu keadilan. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam
pembagian harta bersama harus berimbang dalam hal konstribusi suami dan
isteri selama berumah tangga baik memperoleh, menjaga, mengelola dan
membelanjakan harta. Kedua, untuk perkara nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT
tentang harta bersama, unsur pendekatan hermeneutika hukum ditinjau dari
sisi kepastian hukum, keadilan dan kemaslahatan. Hal ini berdasarkan
pembuktian dalam perolehan harta bersama dibuktikan dengan saham milik
Termohon (isteri) lebih besar dari Pemohon (suami). Ketiga, pada perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah, unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari sisi kepastian hukum, keadilan dan
kemaslahatan. Hal ini berdasarkan pertimbangan faktor keselamatan jasmani
dan rohani serta perkembangan bagi pendidikan anak yang sangat signifikan
dan sebagai tujuan mendasar pemeliharaan anak.

52
Atas penjabaran diatas, penulis menyimpulkan bahwa keefektivan
hermeneutika hukum pada putusan Pengadilan Agama diatas, ternyata dalam
putusannya para hakim hanya berdominan pada penggunaan kepastian hukum,
keadilan dan kemaslahatan sebagai pendekatan hermeneutika hukum dan juga
menjadi salah satu sisi pertimbangan hukum dari setiap putusan yang
ditetapkan.
Membicarakan pendekatan hermeneutika hakikatnya merupakan
pendekatan untuk memahami objek, yakni produk perilaku manusia yang
berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya, dari sudut pelaku aksi
interaksi itu sendiri yang disebut aktor, yaitu tatkala mereka itu tengah terlibat
atau melibatkan diri di dalam proses social, termasuk proses-proses social
yang relevan dengan permasalahan hukum.70
Bagaimana juga dalam diri hakim sudah diemban suatu amanah agar
peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila
penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan,
maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan
mengesampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal
justice).71
70 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, h. 101-
102. 71 Bagir Manan, Wajah Hukum di Era Reformasi, (Bandung: Citra Aditya Bakhti, 2000), h.
263

53
Demikian juga dalam melakukan penemuan hukum menggunakan
metode hermeneutika hukum, hakim sebagai penafsir akan dituntut untuk
lebih memahami sumber hukum secara dinamis, tidak kaku, bukan secara
tekstual saja akan tetapi juga memahami konteks yang ada. Hermeneutika
merupakan sebagai salah satu alat memperkaya dan mempertajam sebuah
pemahaman pasal dan ayat-ayat hukum dalam memutuskan suatu kasus.
Ketika sudah mengimplementasikan hal tersebut, maka dengan demikian
berarti hakim secara langsung juga sudah melakukan ijtihadiyyah terhadap
perkara yang ditanganinya.
Untuk menerapkan hermeneutik ini diperlukan keberanian hakim
dalam melakukan suatu terobosan hukum dengan tidak menutup kemungkinan
melakukan pengesampingan pasal dalam pertimbangan hukumnya. Karena
dalam menyelesaikan persengketaan itu sebenarnya bukan aturan hukum yang
terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin,
melainkan ketentuan hukum yang lahir dari penilaian hakim.
Pada saat membaca suatu teks hal ini bukanlah merupakan kegiatan
mekanis, karena seorang yuris dalam tugasnya sebagai penafsir hanya dapat
berkembang sepenuhnya jika ia mempunyai sifat-sifat khas, seperti:
menguasai kenyataan dan kebutuhan masyarakatnya, memiliki rasa
kemasyarakatan yang peka, memiliki rasa keseimbangan, menyadari hal-hal
yang esensial dalam suatu masalah, kesediaan untuk mengkongkritkan dan
memberi nuansa dalam hubungan antara teks dan peristiwa konkret. Di

54
karenakan suatu teks itu tidak mungkin sempurna dan mampu menampung
seluruh konteks. Oleh karena itu, tidak pernah penafsiran itu tidak dilakukan.
Semua pembacaan dan semua cara mendengarkan kata-kata yang diucapkan
membutuhkan penafsiran.72
Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya
sangat berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk
menambah makna orisinal dan teks hukum. Bahkan menurut Charter,
pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di Pengadilan
memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Dengan
kata lain, penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan
metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam
memeriksa serta memutus perkara di Pengadilan.73
Berdasarkan pernyataaan Kraneburg bahwa seorang penegak hukum
jangan terjebak dalam optic hukum positif semata, tetapi harus membuka hati
dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Dengan demikian,
menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari sudut legalistik-
positivistik dan fungsional an sich, namun juga secara natural memiliki watak
kebenaran dan berkeadilan sosial. Sebagaimana bunyi pancasila sebagai
72 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h. 115-116. 73 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, (Jakarta:
HUMA, 2002) h. 64

55
filosofische grondslag, maka akan ditemukan bahwa keadilan sosial (social
justice) menjadi prinsip penting dalam sistem hukum kita.74
Hakim sebagai pemutus dalam persidangan dan ketika hasil putusan
tersebut menggunakan hermeneutika hukum, maka sebisa mungkin dapat
memuaskan para pihak dan paling utama harus dilandaskan pada menyelami
rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan dan hakim dituntut untuk tidak hanya sekedar menjadi
corong Undang-undang.75 Karena melihat kondisi kekinian hakim sebagai
penegak hukum dan sekaligus juga sebagai penafsir harus cermat untuk
memahami konteks peristiwa hukum yang melatarbelakanginya.
Selaras dengan pernyataan menurut Oliver Wendell holmes bahwa
hakim adalah corong Undang-undang dan juga bertugas sebagai alat
perubahan sosial dengan mengikuti perkembangan zaman, namun melihat
kondisi kekinian sepertinya hal tersebut tidak efektif kembali apabila terus
menerus dijadikan pedoman, karena disaat sekarang permasalahan seakan-
akan sudah terlalu komplek dan kontemporer, oleh sebab itu dibutuhkan
hingga dituntut seorang hakim memiliki keberanian dan menerobos
Undang-undang untuk mengambil keputusan yang tentunya berbeda dengan
74 https://blog.djarumbeasiswaplus.org/hendra/tag/hukum/Di akses tanggal 05 Mei 2015/
16.05 WIB.
75 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat Sudrajat,
SH.,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015.

56
teks Undang-undang yang ada.76 Dan tidak menapik bahwa hakim-hakim di
Indonesia sedikit banyaknya masih dominan terhadap sistem hukum Eropa
Kontinental, akan tetapi tetap saja dalam pengambilan suatu putusan
diutamakan hakim harus dapat memberikan tujuan hukum, termasuk salah
satunya ialah memberikan keadilan bagi para pencari keadilan.77
Berbagai macam perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama, dan beberapa putusan yang dihasilkan sudah memberikan
keleluasaan bagi para hakim untuk melakukan ijtihad lebih luas dan
mendalam. Hal demikian disebabkan karena perkara yang masuk sudah
kekinian dan mengikuti permasalahan yang sangat kontemporer sesuai
dengan zaman yang berkembang, sehingga tidak mengherankan apabila
beberapa putusan di Pengadilan Agama sudah menerapkan teori penemuan
hukum. hal ini sudah terdapat pada beberapa putusan Pengadilan Agama
yang menggunakan hermeneutika hukum yaitu putusan di Pengadilan
Agama Bekasi dan Jakarta Timur. Berikut penulis sajikan dua putusan yang
memuat penerapan hermeneutika hukum yang digunakan hakim dalam
menafsirkan putusan dan juga sebagai penilaian terhadap penerapan
hermeneutika hukum.
76 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015. 77 Wawancara pribadi dengan Dosen dan Serketaris Program Studi Ilmu Hukum, Arip
Purkon, S.HI., MA, di Ruang Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum, 04 April 2015.

57
A. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Hermeneutika Hukum Pada
Putusan Di Pengadilan Agama
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Hadhanah
Dalam putusan Nomor 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tersebut, Majelis
Hakim memberikan pertimbangan hukum untuk menyelesaikan perkara
hadhanah dengan menyatakan terdapat kecocokan antara bukti-bukti yang
terlampir dengan kesaksian para saksi di depan persidangan. Selain itu juga
hakim mempertimbangkan secara seksama mengenai pergeseran hak asuh
anak jatuh terhadap bapak, yang menjadi faktor disini ialah dengan
memperhatikan faktor keselamatan jasmani dan rohani serta perkembangan
bagi pendidikan anak.
Sesungguhnya hakikat hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak
yang belum mumayyiz adalah hak ibunya sesuai dengan Pasal 105 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, kecuali terbukti bahwa ibu telah melalaikan
kewajiban terhadap anak, maka dengan itu hak tersebut dapat dicabut sesuai
ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974. Namun
perlu diperhatikan kembali bahwa hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap
anak bukan semata-mata memperhatikan kepentingan orang tua, akan tetapi
harus memperhatikan kepentingan anak sendiri sesuai pada Pasal 41 huruf (a)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 2 huruf (b)

58
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa hadhanah bagi anak yang
belum mumayyiz hak asuh jatuh kepada ibu.78 Akan tetapi pada KHI tidak
ada kejelasan aturan yang mengatur mengenai perpindahan hak hadhanah dan
kasus seperti ini dapat ditemukan dalam fikih klasik, yang mana hakim
menggunakannya menjadi dasar hukum dalam pertimbangan hukumnya,
sebagaimana termuat pada kitab Khasiyah Muqhnil Muhktaj, Juz III hal. 459
berbunyi “Apabila salah seorang dari mereka akan pindah, maka pihak ayah
lebih berhak mengasuhnya dari pada ibu”. Begitu juga Majelis Hakim
menyebutkan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tugas hadhanah, diantaranya: berakal sehat, merdeka, beragama Islam,
memelihara kehormatan, amanah, tinggal dikota/ desa tertentu, tidak bersuami
baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut gugurlah hak
hadhanah dari tangan ibu.79
Sesuai pernyataan yang terdapat dalam lampiran putusan, Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa pada prinsipnya hadhanah adalah terjaminnya
kepentingan masa depan anak itu sendiri baik rohani maupun jasmani. Dan
untuk hak ibu dalam mengasuh dapat bergeser apabila syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum syari’at tidak terdapat lagi dalam diri ibu. Maka
78 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam 79 Dilihat dari putusan Nomor 1159/Pdt.G/2013/PA.JT, h. 32 dari 36 hal.

59
dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat (suami)
dipandang layak dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak tersebut oleh
sebab itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan. Namun Tergugat sebagai ibu
kandungnya tetap diberi waktu dan diperbolehkan bertemu dan menyalurkan
kasih sayangnya kepada anak tersebut.
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Harta Bersama
Pada dasarnya putusan itu dituntut untuk menciptakan keadilan, dan
untuk itu hakim melakukan penilaian dan pemeriksaan berdasarkan peristiwa
dan fakta-fakta. Hal ini dapat dilakukan melalui pembuktian,
mengklarifikasikan antara yang penting atau tidak, dan menanyakan kembali
kepada para pihak mengenai keterangan para saksi dan fakta-fakta yang ada.
Maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan
hukumnya, sehingga dapat dinilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup
memenuhi alasan yang objektif atau tidak.80
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara Nomor
1934/Pdt.G/2013/PA.JT terhadap tuntutan harta bersama. Majelis Hakim
menimbang dan menetapkan harta bersama untuk Pemohon dan Termohon
berupa sebidang tanah yang berdiri rumah di Jl. Swadaya No.53 Rt.08/06,
Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur dan 1 unit mobil
Merk Daihatsu, Type Terios, warna hitam metalik, Nomor Polisi: B 1929
80 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 79

60
TFZ, dibagi antara Pemohon dangan Termohon dengan pembagian 35% untuk
Pemohon dan 65% untuk Termohon. Dan menyatakan objek harta bersama
berupa tanah seluas 800 m2 yang terletak di Rt. 01/05, Cisalada, Ciampea
udik, Bogor, Jawa Barat. Tidak ditemukan dan dinyatakan ditolak.
Majelis Hakim menyatakan setelah mendengar pernyataan dari
Termohon dan para pihak saksi dari Termohon bahwa mengenai penghasilan
Pemohon selaku suami tidak jelas sedangkan Termohon bekerja di Jakarta
Golf Club dengan penghasilan yang jelas, gaji Termohon pada tahun 2010
berjumlah Rp. 2.100.000 (dua juta seratus ribu) sedangkan untuk sekarang
(2013) penghasilan Termohon sebulan sekitar Rp. 7.000.000 (tujuh juta
rupiah), maka dengan demikian Majelis Hakim berpendapat, Termohon lebih
banyak sahamnya dalam perolehan harta bersama. Meskipun di dalam
ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, akan tetapi mengenai hal ini
Majelis hakim menimbang atas ketentuan yang dimaksud tersebut
dikesampingkan, karena tidak adil apabila diterapkan dan dibagi demikian,
berdasarkan asas precedent Majelis Hakim menggunakan yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 266K/AG/2010 tanggal 12 Juli
2010 sebagai salah satu acuan dalam pertimbangannya, yang mana tidak
membagi harta bersama dengan masing-masing seperdua.

61
B. Analisis Penulis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Dalam Penerapan
Hermeneutika Hukum
1. Perkara Nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah
Pada putusan Nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT diketahui bahwa
antara Penggugat (Suami) dan Tergugat (isteri) sudah dikaruniai anak laki-
laki pada tanggal 17 September 2005 dari hasil pernikahan mereka, dan para
pihak meminta agar Majelis Hakim dapat menentukan dengan bijak untuk
pemegang hak pengasuhan dan pemeliharaan atas anak tersebut.
Dalam hal putusan tersebut telah ditemukan fakta bahwa ibu terbukti
melalaikan kewajibannya terhadap anak tersebut. Selama anak Penggugat
dan Tergugat berada dalam pengasuhan Tergugat, ternyata Tergugat tidak
perhatian dan bertanggung jawab terhadap anak laki-laki Penggugat dan
Tergugat, dimana Tergugat tidak pernah memperhatikan kesehatan anak
Penggugat dan Tergugat sehingga mengakibatkan anak tersebut sering sakit
apabila sedang bersama Tergugat. Dan Tergugat tidak pernah peduli
terhadap pendidikan anak Penggugat dan Tergugat, Tergugat dalam hal
mendidik anak selalu secara keras, dimana Tergugat sering memarahi dan
berkata-kata secara keras terhadap anak Penggugat dan Tergugat, sehingga
anak tersebut selalu merasa ketakutan dan tertekan setiap kali bertemu
dengan Tergugat, dimana hal tersebut tidak baik bagi perkembangan
kejiwaan anak Penggugat dan Tergugat.

62
Menurut keterangan diatas, penulis sependapat dengan Majelis
Hakim dalam amar putusan ini, yang menetapkan anak laki-laki dari
Penggugat dan Tergugat berada dalam pemeliharaan dan pengasuhan
Penggugat selaku ayah kandung. Dan Majelis Hakim dengan
kebijaksanaanya mengizinkan pihak Tergugat untuk tetap mencurahkan dan
menyalurkan kasih sayangnya dan tidak mengurangi hak dan kewajiban
Tergugat selaku ibu kandung anak tersebut.
Menurut hemat penulis, dalam hal ini Majelis Hakim sudah dapat
melihat dan menangkap gambaran dari setiap fakta yang melatarbelakangi
peristiwa diatas. Dan tetap mengejar prinsip keadilan dan kemaslahatan agar
Penggugat dan Tergugat keduanya sama-sama memiliki hak pengasuhan
yang sama rata dan tentunya tidak memihak untuk satu pihak saja. Dengan
seperti ini jiwa anak akan tetap merasa bahwa kesehariannya kedua orangtua
tetap hadir dihidupnya walaupun kenyataannya kondisi pernikahan orang
tua sudah terputus karena perceraian dan anak masih belum mengerti
keadaan yang terjadi karena usianya masih sangat dini. Termasuk juga
dalam kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Hadhanah yang dimaksudkan dalam diskursus ini adalah kewajiban
orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-
baiknya. Sesuai pasal 41 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

63
akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik ibu maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata berdasarkan
kepentingan anak. Pemeliharaan ini termasuk mengenai masalah ekonomi,
pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.81
Begitu juga dalam hal pendidikan dan pengajaran yang
memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai
kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan
kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan
dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan
hidup dan penghidupannya setelah ia terlepas dari tanggung jawab orang
tua.82
Mengenai amar putusan tersebut, penulis berpendapat bahwa terdapat
ketidaksesuaian terhadap ketentuan Undang-undang yang berlaku, dimana
Majelis Hakim meninggalkan maksud dari Pasal 105 KHI. Dan Hakim lebih
mempertimbangkan fakta secara seksama mengenai pergeseran hak asuh
anak jatuh terhadap bapak, sebagaimana kejelasan didukung dalam kitab
kifayatul Ahyar Juz II disebutkan syarat-syarat bagi orang yang akan
melaksanakan tugas hadhanah dan apabila kurang dari satu syarat-syarat
tersebut maka gugurlah hadhanah bagi si ibu, diantaranya adalah berakal
81 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1977), h. 235
82 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 263

64
sehat, berakal sehat, merdeka, beragama Islam, memelihara kehormatan,
amanah, tinggal dikota/ desa tertentu, tidak bersuami baru.83 Dan dalam
pertimbangannya hakim lebih memperhatikan faktor keselamatan jasmani
dan rohani serta perkembangan bagi pendidikan anak maka dari itu
Penggugat dipandang layak dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak
tersebut oleh sebab itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan sebagai hak
pemegang hadhanah terhadap anak tersebut.
Menurut hemat penulis, pertimbangan hakim terhadap putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT
sudah menalarkan putusan tersebut secara hermeneutika, diantaranya hakim
tidak hanya memperhatikan satu sisi fakta saja namun juga hakim sebagai
penafsir boleh mengesampingkan kedudukan pasal yang termasuk tekstual
terhadap kontekstual suatu permasalahan yang telah jelas kedudukannya.
Dan disaat putusan yang dihadapkan kepada hakim tersebut mengharuskan
hakim tidak hanya terpaku pada ketentuan teks hukum saja, tetapi juga
menyelami konteks hukum yang ada, maka dengan keadaan demikian hakim
akan dituntut melakukan ijtihad dalam perkaranya untuk menghasilkan
putusan yang seadil-adilnya.
83 Dilihat dari Putusan Nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT. h. 32 dari 36 hal.

65
2. Perkara Nomor 1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang harta bersama
Berdasarkan pada Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam mengatur
tentang pembagian harta bersama bagi pasangan suami isteri yang telah
bercerai. Dan pada Pasal tersebut menyatakan bahwa bagi janda atau duda
yang cerai hidup masing-masing berhak mendapatkan seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Berbeda dengan putusan yang penulis temukan dalam perkara nomor
1934/Pdt.G/2013/PA.JT, bahwa hakim memberikan bagian harta bersama
tidak sesuai dengan peraturan yang disebutkan. Dalam hal ini hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur memberikan putusan dengan cara
membagi harta bersama kepada Pemohon (suami) sebesar 35% bagian
sedangkan bagi Termohon (isteri) 65% bagian.
Adapun dalam putusan ini tuntutan Pemohon untuk pembagian
harta bersama selama perkawinan diantaranya adalah sebidang tanah
diatasnya berdiri rumah di Jl. Swadaya No.53 Rt.08/06, Kelurahan
Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Kota Jakarta Timur. Dan 1 unit mobil
Merk Daihatsu, Type Terios F700RG TX MT, warna hitam metalik, No
Rangka: MHKG2CJ2JAK029052, No. Mesin DBM6518, atas nama
Termohon, Nomor Polisi: B 1929 TFZ. Dan dari keseluruhan harta telah
disebutkan bahwa harta tersebut dibeli Termohon dari uang tabungan
pribadi Termohon yang dikumpulkan dengan susah payah sebelum

66
Termohon menikah dengan Pemohon. Akan tetapi Majelis Hakim dengan
kebijakan atas pertimbangannya memutus agar hasil dari harta bersama
diatas dibagi menjadi bagian Pemohon adalah 35% dan Termohon 65%
bagian.
Sesuai pertimbangan tersebut, penulis sangat setuju dengan putusan
Majelis hakim dalam menetapkan harta bersama tidak membagi seperdua
bagian sama rata antara suami dan isteri. Karena melihat kembali dari aturan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (f), dimana penggunaan kata syirkah
disamakan dengan pengertian harta bersama disebutkan bahwa “Harta
kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun”.
Menurut penulis mengenai amar putusan pembagian harta bersama,
Majelis Hakim telah menggunakan dan menerapkan teori hermeneutika
hukum, disinilah hakim sudah memahami suatu peristiwa hukum atau fakta
hukum, maksudnya tidak memahami hukum hanya secara tekstual saja
namun juga lebih mempertimbangkan aspek konstektual yang bersifat
sosiologis, serta membaginya secara proporsional dan juga berdasarkan
seberapa banyak kontribusi dalam menghasilkan harta bersama tersebut.
Dan Majelis Hakim juga menggunakan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 266K/AG/2010 tanggal 12 Juli 2010 sebagai acuan

67
untuk tidak membagi harta bersama dengan masing-masing seperdua, oleh
karena itu Majelis hakim menimbang atas ketentuan Pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam dikesampingkan, karena tidak adil apabila diterapkan dan
dibagi demikian.
Pertimbangan hukum yang dilakukan Majelis Hakim secara tidak
sama rata dalam pembagian harta bersama juga sudah melihat aspek
sosiologis beserta kenyataan yang terjadi karena bagaimanapun seorang
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009.
Pada setiap pengambilan keputusan suatu perkara yang termasuk
kasuistik maka diperlukanlah ijtihad hakim dalam putusan tersebut dan
melihat bagaimana hakim melakukan pertimbangan hukum yang sesuai
dengan ketentuan Undang-undang yang terkait akan tetapi tidak menutup
kemungkinan hakim berani untuk mengesampingkan Pasal namun tetap
harus jelas hal apa yang melatarbelakanginya sehingga muncullah alasan
tersebut.

68
BAB IV
IMPLEMENTASI HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
HARTA BERSAMA PERKARA NOMOR: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
A. Penerapan Hermeneutika Hukum
1. Duduk Perkara
Perkara yang terjadi antara PENGGUGAT ASLI, Umur 48
tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Jl.
Lumbu Timur, II A No. 21 RT. 002, RW 033, Kelurahan Bojong,
Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi, dalam hal ini memberikan
kuasa kepada Darwis D. Marpaung, SH., N. Horas Maruti tua Siagian,
SH., Hefnizal, SH., dan Gindo Liberty, SH. Advokat, pengacara dan
penasehat hukum “Darwis, Horas & Associates”. Melawan
TERGUGAT ASLI, Umur 53 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Karyawan BUMN, Tepat tinggal di JI. Gugus Depan Raya No. 141
RT. 002, RW. 004, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu,
Kota Bekasi,
Pihak Penggugat (isteri) dan Tergugat (suami) telah
melangsungkan pernikahan di Pontianak pada tanggal 09 Oktober
1981 dan dari hasil perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai tiga orang anak diantaranya bernama Rahmawaty utami,
Genesia Citra Merdekawaty, Fajar Imani. Kemudian pada tanggal 01

69
Agustus 2008 Penggugat mengajukan gugatan harta bersama terhadap
Tergugat dan sebelumnya Pengadilan Agama Bekasi juga telah
mengabulkan cerai gugat pada tanggal 18 Maret 2008, sehingga
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat menjadi putus, sesuai
dengan Nomor Perkara: 1364/Pdt.G/2007/PA.Bks. Namun dalam
pengajuan permohonan cerai gugat dan putusannya tersebut tidak
disertakan dengan pengajuan gugatan harta bersama, sehingga tidak
diherankan memunculkan sengketa harta bersama diantara para pihak
di kemudian hari.
Adapun objek sengketa harta bersama berupa:
1) 1 (satu) unit Rumah Tinggal beserta isinya yang terletak di Perum
Bumi Bekasi Baru, Jl. Gugus Depan Raya No. 141 RT. 002 RW
004. Kelurahan Pengasinan, Kecamaatan Rawa Lumbu, Bekasi,
Jawa Barat;
2) 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh
puluh lima meter bujur sangkar) terletak di Pengasinan,
Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi, Jawa Barat, dengan
sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n Penggugat Asli.
3) 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi
B.2920 a/n Tergugat Asli.
4) Tabungan/Deposito pada Bank Mandiri atas nama Tergugat.
5) Tabungan/Deposito pada Bank Central Asia a/n. Tergugat.

70
6) Tabungan /Deposito pada Bank BNI a/n. Tergugat
Menurut Penggugat bahwa Penggugat berhak 50% dari harta
bersama dan 50% lagi menjadi hak Tergugat. Namun apabila tidak
dapat dibagi secara natura /fisik, maka dapat dilakukan penjualan
lelang melalui Kantor Lelang Negara. Dan hasil dari penjualan lelang
tersebut dibagi kepada Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi.
Namun, Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya dan
menyanggah atau menolak atas gugatan Penggugat asli dan
menyatakan:
1. Gugatan Penggugat mengatakan perceraian dalam kondisi normal
tetapi bagi Tergugat perceraiannya merupakan hal
ketidaknormalan dikarenakan Tergugat melakukan penyelewengan
berkali-kali dan Penggugat menyatakan sejak tahun 2003 dan
terakhir di Bayuwangi diikuti pengakuan menikah sirri dengan
sopir kantor yang sudah memiliki istri dan anak, sedangkan
Penggugat masih terikat perkawinan yang sah secara hukum
Negara dan agama dengan Tergugat. Serta adanya usaha
pembunuhan terencana Penggugat terhadap Tergugat sebanyak 2
(dua) kali.
2. Dari hasil perkawinannya Penggugat dan Tergugat dikaruniai tiga
orang anak Rahmawaty Utamie (23 tahun, telah menikah), Ganesia

71
Citra Merdekawaty (21 tahun, Mahasiswi), Fajar Imani (13 tahun,
Pelajar). Dua orang anak tinggal bersama Tergugat selain satu
yang telah menikah. Selama ini Penggugat tidak mengurusi anak-
anak dan Penggugat hanya mencari kesenangan sendiri dengan
melakukan penyelewengan atau zina sebagaimana bukti
pernyataan Penggugat yang disampaikan saat permohonan talak.
Padahal anak-anak masih butuh biaya untuk pendidikan dan masa
depannya namun Penggugat telah menghamburkan sebagian besar
harta bersama.
3. Perhiasan berupa 1 (satu) set Mutiara Putih; 1 (satu) set Mutiara
Cokelat; 2 (dua) set Gelang Tangan; 6 (enam) buah Gelang
Keroncong; 3 (tiga ) buah Gelang Keroncong; 1 (satu) set Kalung
Abhu Dhabi; 1 (satu) set Kalung Permata warna – warni; 1 (satu)
set hadiah Perkawinan berupa Cincin, Gelang, dan Kalung ;
dituntut Penggugat pada dasarnya hanya sia-sia. Perhiasan yang
saat ini dituntut adalah perhiasan yang berada dalam satu tas yang
Penggugat kembalikan kepada Tergugat saat Penggugat ditangkap
oleh pihak Polsek Bekasi Timur. Hal ini juga dibuktikan dengan
kesaksian anak-anak dan saat penyerahan tas perhiasan tersebut
Pengggugat berpesan agar perhiasan tersebut disimpan demi
kepentingan anak-anak sekolah atau masa depan.

72
4. Rumah tinggal di JI. Gugus Depan Raya No. 141 Rt. 002/004,
Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawalumbu, Bekasi, rumah
tersebut dibeli dari uang warisan orang tua Tergugat.
5. Ruko seluas 75 m2 terletak di Pasar Rawalumbu, dibeli berdasar
hasil usaha Tergugat dan ruko ini dipersiapkan dan diperuntukkan
keperluan biaya sekolah anak-anak di masa pensiun Tergugat.
Walaupun memang sertifikat ruko atas nama Penggugat.
6. Mobil Kijang Inova tahun 2005 dengan nomor polisi 2920 atas
nama Mochsirsyah yang digunakan untuk bekerja dan mencari
nafkah guna menafkahi Penggugat dan ketiga anak Tergugat.
7. Tabungan bank Tergugat pada awalnya memang bersaldo 560 juta
rupiah, akan tetapi karena penyelewengan yang dilakukan
Penggugat dan ia tidak mengakuinya, maka Tergugat melaporkan
kasus perzinahan ke Kepolisian Bayuwangi serta menyelidiki
lokasi-lokasi untuk mencari bukti otentik, dan hal ini cukup
menguras tabungan Tergugat untuk proses penyidikan
berlangsung.
8. Uang iddah dan mut’ah sejak sidang perceraian/thalak Tergugat
sudah menolak, apalagi Penggugat yang menginginkan adanya
perceraian. Terbukti dengan adanya pengakuan Penggugat tentang
pernikahan sirinya, namun faktanya Penggugat pada petitum
gugatannya justru sangat menuntut uang nafkah iddah dan mut’ah,

73
akan tetapi Tergugat tetap pada pendiriannya untuk menolak
memberikan uang nafkah iddah dan mut’ah.
Setelah Tergugat menolak gugatan Penggugat, kemudian
Tergugat kembali menggugat Penggugat Asli atas harta Tergugat yang
dilarikan dan diberikan kepada suami sirrinya. Diantaranya:
1. Uang tunai (tabanas BNI nomor : 133.000009355.901 dan
133.000009355.902 cabang Luwuk , Sulawesi Tengah) dimana
baik modal dan hasil keuntungan dari Week End Cafe yang
dibangun dari tahun 2000, hingga akhirnya tutup usaha pada April
2008 semuanya dimasukkan ke dalam rekening Penggugat ;
2. Uang hasil stockist multilevel UFO dengan nomor SG 1308, baik
modal dan hasil keuntungan juga dimasukkan kedalam rekening
Penggugat ;
3. Hasil dagangan kain dan baju Tergugat yang mencapai ratusan juta
rupiah juga dimasukkan kedalam rekening Penggugat ;
4. Rekening BNI nomor : 0042816474 cabang Banyuwangi, BNI
nomor rekening : 0029255265 cabang Bekasi, dan BCA cabang
Banyuwangi dengan nomor rekening : 1800451272 adalah
rekening Penggugat yang semua isinya adalah dari penghasilan
Tergugat dari hasil usaha yang lain ;
Dari poin 1 s/ d 4 adalah sebagian harta yang diberikan oleh

74
Tergugat kepada Penggugat, sedangkan Penggugat memberikan
perhiasan emas dan uang kepada suami sirinya berupa :
1. 1 unit rumah di Banyuwangi dengan perabotan rumah tangga
lengkap yang dicuri penggugat dari rumah tergugat di
Banyuwangi;
2. Perhiasan emas yang dipersiapkan untuk masa depan anak-anak
dititipkan kepada suami sirinya ;
3. 1 ekor sapi piaraan ;
4. 1 unit sepeda motor tahun 2006 ;
5. 1 counter hp atas nama Eva Celluler ;
Semua diberikan oleh Penggugat kepada suami sirrinya yang
dimana sumber uang tersebut dari hasil jerih payah Tergugat. Dan
perlu diketahui bahwa Penggugat pernah memberikan pernyataan
bahwa ia tidak ingin menuntut harta gono-gini dan hal itu sudah
ditandatangani langsung oleh Penggugat namun sekarang Penggugat
mengingkari pernyataan tersebut dengan mengajukan gugatan gono-
gini melalui pengacara Darwis, Horas dan rekan-rekan sungguh ini
tidak beralasan, disini dapat terlihat pula kelicikan dari Penggugat
dengan menuntut harta goni-gini dan mengingkari pernyataanya
sendiri, sama saja Penggugat telah mempermainkan hukum dan
agama.

75
Atas jawaban Tergugat tersebut Penggugat mengajukan replik
yang pada intinya Penggugat tetap dengan dalil-dalil dan pendirian
penggugat semula dan menolak semua dalil jawaban Tergugat
sebagaimana yang telah tercantum dalam surat gugatan, kecuali
terhadap hal-hal yang diakui secara tegas kebenarannya.
Atas replik Penggugat tersebut, Tergugat telah mengajukan
Duplik yang pada intinya Tergugat tetap dengan dalil-dalil
jawabannya.
Berdasarkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah
mengajukan alat bukti berupa fotokopi Salinan Putusan Pengadilan
Agama Bekasi No. 1364/Pdt.G/2007/PA.Bks tanggal 05 Februari
2008, fotokopi Akta Cerai No. 214/AC/2008/PA/Bks tanggal 18 Maret
2008, fotokopi Sertifikat Tanah Hak Milik No. 6385 an. Penggugat
Asli. Namun dari pihak Tergugat Asli tidak mengajukan alat bukti-
bukti untuk meneguhkan dalil-dalil jawabannya.
Disamping itu hakim merasa tercukupi segala alat bukti yang
diperlukan dalam persidangan, kemudian atas gambaran yang telah
dijelaskan tentang objek perkara diatas, maka Majelis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi telah mengadakan pemeriksaan setempat
pada tanggal 19 Agustus 2009 dan dari hasil pemeriksaan setempat
tersebut ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1. 1 (satu) set Mutiara Putih ;

76
2. 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni ;
3. 1 (satu) unit Rumah Tinggal luas tanah 149 m2 dan luas bangunan
153 m2 terletak di Perum Bumi Bekasi Baru, Jl. Gugus Depan
Raya No. 141 RT 002 RW. 004. Kelurahan Pengasinan,
Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa - Barat dengan batas-batas
sebagai berikut :
Sebelah Barat : Rumah bapak Situngkir ;
Sebelah Utara : Jl. Gugus Depan ;
Sebelah Timur : Rumah Ibu Suwarji ;
Sebelah Selatan : Rumah bapakDidid / Ipung ;
4. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) luas tanah 75 m2 terletak di
Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi,
Propinsi Jawa Barat, dengan Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n
Penggugat dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat : Ruko ;
Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;
Sebelah Timur : Ruko ;
Sebelah Selatan : Indomart ;
5. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor Polisi
B 2920 BY a/n Tergugat

77
Penggugat atau kuasa hukumnya dan Tergugat atau kuasa
hukumnya telah mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya
Penggugat tetap dengan dalil gugatan dan repliknya, dan Tergugat
tetap dengan dalil jawaban dan dupliknya.
Penggugat dalam kesimpulan akhirnya menyampaikan pada
pokok inti bahwa Penggugat akan tetap menuntut gugatan harta
bersama, nafkah iddah dan mut’ah kepada Tergugat. Berdasarkan hal
tersebut Tergugat berkeberatan atas tuntutan harta bersama, nafkah
iddah dan mut’ah yang diajukan oleh Penggugat tersebut.
2. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hakim terhadap perkara sengketa harta bersama
dimulai dari tahap-tahap pemeriksaan yang meliputi: gugatan
Penggugat, jawaban Tergugat, replik, duplik dan pembuktian.
Pertimbangan hakim dalam suatu putusan tentunya dilihat dari faktor
pembuktian yang telah terbukti kebenarannya sesuai dengan
keterangan dalil yang diperkuat para pihak. Dasar hukum yang dirujuk
dalam putusan ini ialah Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 dinyatakan
bahwa Penggugat dan Tergugat masing-masing berhak mendapatkan
½ (seperdua) dari harta bersama. Adapun dasar pertimbangan hakim
yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa harta bersama Nomor:
1006/Pdt.G/2008/PA.Bks adalah:

78
Berdasarkan pasal 49 ayat (1) huruf (a) dan ayat (2) beserta
penjelasannya angka (10) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan Undang-undang 3 Tahun 2006 perkara a quo
merupakan kompetensi absolut Pengadilan Agama, oleh karena itu
Pengadilan Agama Bekasi berwenang untuk memeriksa dan
menyelesaikan perkara tersebut.
Dan sesuai ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR, Majelis Hakim
telah berusaha mendamaikan Penggugat Konvensi dan Tergugat
Konvensi agar dalam menyelesaikan gugatannya diselesaikan secara
musyawarah kekeluargaan, tetapi tidak berhasil, lalu dibacakan
gugatan Penggugat Konvensi yang isinya tetap dipertahankan
Penggugat Konvensi.
Selama masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat
sudah memperoleh harta bersama berupa:
1. 1 (satu) unit Rumah Tinggal beserta isinya yang terletak di Perum
Bumi Bekasi Baru, Jl. Gugus Depan Raya No. 141 RT. 002 RW
004. Kelurahan Pengasinan, Kecamaatan Rawa Lumbu, Bekasi,
Jawa Barat;
2. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh puluh
lima meter bujur sangkar) terletak di Pengasinan, Kecamatan Rawa
Lumbu, Kotamadya Bekasi, Jawa Barat, dengan sertifikat Hak
Milik No. 6385 a/n Penggugat Asli.

79
3. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi
B.2920 a/n Tergugat Asli
4. Tabungan/Deposito pada Bank Mandiri atas nama Tergugat ;
5. Tabungan/Deposito pada Bank Central Asia a/n. Tergugat.
6. Tabungan /Deposito pada Bank BNI a/n. Tergugat
Dan untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah
mengajukan alat-alat bukti di persidangan, yaitu berupa alat bukti
tertulis P.1, P.2, P.3. terhadap alat bukti tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa alat bukti P.1, P.2, P.3 tersebut merupakan
fotokopi sah dari suatu akta otentik, sehingga memenuhi syarat
materill dan harus dinyatakan dapat diterima. Akan tetapi berbeda
halnya dengan Tergugat yang tidak mengajukan bukti-bukti dalam
persidangan untuk meneguhkan dalil-dalil jawabannya.
Demi membuktikan atas gambaran yang telah dijelaskan
tentang objek perkara diatas, maka Majelis Hakim telah melakukan
sidang pemeriksaan setempat (decentie) pada tanggal 19 Agustus 2009
dan ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1. 1 (satu) set Mutiara Putih ;
2. 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni ;
3. 1 (satu) unit Rumah Tinggal luas tanah 149 m2 dan luas bangunan
153 m2 terletak di Perum Bumi Bekasi Baru, Jl. Gugus Depan

80
Raya No. 141 RT 002 RW. 004. Kelurahan Pengasinan,
Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa - Barat dengan batas-batas
sebagai berikut :
Sebelah Barat : Rumah bapak nama pemilik;
Sebelah Utara : Jl. Raya Gugus Depan ;
Sebelah Timur : Rumah Ibu nama pemilik ;
Sebelah Selatan : Rumah bapak nama pemilik ;
4. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) luas tanah 75 m2 terletak di
Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi,
Propinsi Jawa Barat, dengan Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n
Penggugat dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat : Ruko ;
Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;
Sebelah Timur : Ruko ;
Sebelah Selatan : Indomart ;
5. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor Polisi
B 2920 BY a/n Tergugat
Keterangan bukti yang diketemukan menyatakan baik
mengenai poin No. 1 dan 2 diatas, Majelis Hakim telah menemukan
langsung di tempat kejadian atas objek perhiasan yang dimaksud dan
hanya menemukan perhiasan pada poin No. 1 dan 2, dan untuk yang
lainnya tidak dapat diketahui. Namun tetap saja terhadap barang

81
perhiasan tersebut Penggugat tidak menjelaskan status barang, dari
siapa dan dalam rangka apa. Selanjutnya poin No. 3 diatas, rumah
tinggal tersebut dibeli dari uang warisan orang tua Tergugat dan
diperoleh Tergugat sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) pada
tahun 1997. Apabila merujuk berdasarkan pasal 1 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa “Harta kekayaan dalam perkawinan
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami
isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, selanjutnya
disebut harta bersama”. Kemudian kejelasan pada poin no. 4 diatas
terbukti bahwa ruko seluas 75 m2 dibeli berdasarkan hasil usaha
Tergugat dan ruko tersebut dipersiapkan untuk keperluan biaya anak
setelah Tergugat pensiun walaupun memang diakui oleh Tergugat
bahwa sertifikat ruko tersebut benar atas nama Penggugat. Kemudian
mengenai poin No. 5 diatas, bahwa mobil kijang inova tahun 2006
memang benar dibeli Tergugat dan digunakan untuk bekerja dan
mencari nafkah untuk menafkahi Penggugat dan ketiga anaknya dan
memenuhi kebutuhan mereka. Namun dalam hal ini baik Penggugat
atau Tergugat tetap dibebani pembuktian, sesuai dengan ketermuatan
pada Pasal 163 HIR. Sehingga disini akan terlihat sejauh mana pihak
Penggugat dan Tergugat benar-benar membuktikan segala dalil-dalil
jawaban atas bantahan mereka.

82
Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan ini, Majelis
Hakim berpendapat mengenai keadilan berimbang dalam pembagian
harta bersama dan tidak selalu diartikan sama besar atau sama nilai
sebagaimana bunyi pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas,
tetapi juga harus berimbang dalam hal kontribusi, memperoleh,
menjaga, mengelola dan membelanjakan harta dalam rumah tangga,
sehingga ketentuan pasal tersebut tidak selalu harus dilaksanakan
sebagaimana bunyi pasal itu sendiri, akan tetapi penerapan pasal
tersebut harus diukur oleh rasa keadilan dalam rumah tangga, dimana
kontribusi suami atau isteri dalam hal memperoleh, menjaga,
mengelola dan membelanjakan harta dalam rumah tangga (harta
bersama) akan sangat berpengaruh terhadap rasa keadilan dalam hal
terjadinya pembagian harta bersama manakala pembagian dimaksud
akan merupakan suatu keharusan dalam penyelesaian sengketa harta
bersama.
Dan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tersebut,
Majelis Hakim menyatakan bahwa tidak adil jika ketentuan pada pasal
97 Kompilasi Hukum Islam diterapkan secara tekstual dalam kasus
perkara a quo, dengan demikian Majelis Hakim menetapkan bahwa
bagian Penggugat (isteri) tersebut sebesar 1/3 bagian dan Tergugat
(suami) mendapat 2/3 bagian.

83
3. Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim
memutuskan harta bersama Penggugat dan Tergugat adalah:
Dalam Konvensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Konvensi sebagian ;
2. Menetapkan harta-harta berupa :
2.1. Satu set Mutiara Putih ;
2.2. Satu set Kalung Permata warna-warni ;
2.3. Satu unit rumah tinggal luas tanah 149 m2 dan luas
bangunan 153 m2 terletak di Perum Bumi Bekasi Baru,
J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002 RW. 004.
Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi,
Jawa–Barat.
2.4. Satu unit rumah toko (Ruko) luas tanah 75 m2 terletak di
Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya
Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan Sertifikat Hak Milik
No. 6385 a/n. Penggugat
2.5. Satu unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor
Polisi B 2920 BY a/n. Tergugat.
3. Menetapkan Penggugat Konvensi mendapat 1/3 (satu per tiga)
bagian dan Tergugat Konvensi mendapat 2/3 (dua per tiga)
bagian dari harta bersama tersebut.

84
4. Menolak dan menyatakan tidak dapat diterima (NO) gugatan
Penggugat Konvensi selebihnya ;
Dalam Rekonvensi
1. Menyatakan gugatan balik Penggugat Rekonvensi tidak dapat
diterima (NO).
Dalam Konvensi – Rekonvensi
- Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekonvensi untuk membeyar biaya perkara sebesar Rp.
2.151.000,- (Dua juta seratus lima puluh satu ribu rupiah);
B. Analisis Penulis
Berdasarkan pada putusan perkara Nomor:1006/Pdt.G/2008/
PA.Bks, dalam putusan tersebut terjadi sengketa dan melibatkan antara
Penggugat (isteri) dengan Tergugat (suami), dimana mengenai putusan
ini hakim Pengadilan Agama Bekasi yang memutuskan perkara
tersebut membagi harta bersama 1/3 untuk Penggugat (isteri) dan 2/3
untuk Tergugat (suami).
Pada realita fakta yang ditemukan dan membuktikan bahwa
sebagian besar harta bersama didapat dari dominan hasil kerja keras
Tergugat selaku sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban
untuk menafkahi Penggugat dan ketiga anaknya, namun disayangkan
keberadaan Penggugat dalam keluarga tidak dapat dilakukan

85
sepenuhnya seperti halnya mengayomi anak-anak selayaknya sebagai
teladan seorang ibu dan juga Penggugat telah merusak kepercayaan
Tergugat selaku suami yang mana Penggugat terbukti telah mengakui
melakukan penyelewengan yaitu dengan melangsungkan pernikahan
sirri dengan laki-laki lain, padahal kondisi rumah tangga Penggugat
dan Tergugat masih terikat secara sah menurut agama dan Negara.
Apabila diteliti kembali dalam putusan Pengadilan Agama
Bekasi ini, menurut penulis Majelis Hakim telah mengesampingkan
Pasal 97 KHI dengan kata lain tidak memutuskan pembagian harta
bersama dengan ½ bagian untuk masing-masing suami dan isteri.
Maka dari itu hasil dari putusan harta bersama ini hakim Pengadilan
Agama Bekasi membagi 1/3 bagian untuk Penggugat dan 2/3 untuk
Tergugat. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan hukum yang di
dukung dengan fakta-fakta yang ada sebagai tolak ukur untuk
menentukan besar bagian masing-masing suami isteri. Dikarenakan
dalam realita istri (Penggugat) telah banyak menggunakan serta
membelanjakan harta bersama tersebut secara sepihak dan tidak
proporsional, hanya demi memenuhi kepentingannya sendiri tanpa
adanya izin dan di luar sepengetahuan suami (Tergugat). Berikut juga
mengenai perebutan kepemilikan harta terlihat jelas, peran Tergugat
selama perkawinan sangat bertanggung jawab untuk menafkahi

86
kehidupan anak-anaknya beserta rumah tangganya. Dan kedudukan
Tergugat sebagai kepala rumah tangga sangat memahami posisinya
yang mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab penuh atas
kelangsungan hidup keluarganya. Tergugat adalah pemimpin dalam
rumah tangga sebagaimana termuat dalam surat An-nisa’ ayat 34
berbunyi:
الرجال قوامون علي النساء بما فضل الله بعضهم علي بعضArtinya: kaum laki-laki itu adalah pimpinan bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).
Pada perkara ini terdapat ketidaksenadaan alur cerita antara
Penggugat dan Tergugat mengenai kejelasan atas keterangan posita
dan petitum, dimana dalam berumah tangga Tergugatlah yang lebih
dominan dan berperan aktif untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah
tangganya. Dan keberadaan Penggugat (isteri) sebagai ibu rumah
tangga dan juga berproaktif dalam kegiatan Ibu Ketua Ikatan Istri
Karyawan (IIKA) yang juga sering menggelar dan mengikuti kegiatan
keagamaan, sudah seharusnya dapat memahami bagaimana sepatutnya
menjadi seorang isteri dan ibu yang layak bagi suami dan ketiga
anaknya, namun disayangkan pada kenyataannya Penggugat justru
melakukan nikah sirri (poliandri), padahal faktanya bahwa Penggugat
masih menjadi isteri yang sah secara agama dan Negara. Hal ini

87
didukung pada realita terjadi bahwa Penggugat sebagai isteri dan
selaku ibu tidak dapat menjaga diri dan menjaga harta suami sampai-
sampai Penggugat berani membelanjakan sebagian harta suami dan
harta bersama secara sepihak untuk kepentingan suami sirrinya.
Padahal secara jelas sudah disebutkan disuatu hadis, ketika suami
pergi bekerja, seorang istri harus dapat menjaga dirinya dan menjaga
pula harta suaminya, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 90 KHI
disebutkan bahwa “Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta
bersama maupun harta suami yang ada padanya”. Oleh karena itu tidak
adil sekiranya hakim menerapkan Pasal 97 tersebut tanpa
mempertimbangkan kenyataan fakta-fakta yang ada dan diakui oleh
Penggugat.84
Sebagaimana wawancara penulis dengan Majelis Hakim yang
memutus perkara ini dikatakan bahwa dalam memutus perkara
tersebut sudah diterapkannya teori hermeneutika hukum sebagai
alternative pertimbangan hukum atas perkara ini, dalam artian telah
memahami suatu peristiwa hukum atau fakta hukum, maksudnya tidak
memahami hukum hanya secara tekstual saja namun juga lebih
mempertimbangkan aspek konstektual yang bersifat sosiologis, serta
84 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat Sudrajat,
SH.,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015.

88
membaginya secara proporsional dan juga berdasarkan seberapa
banyak kontribusi dalam menghasilkan harta bersama tersebut.85
Penulis berpendapat atas keputusan pembagian harta bersama
tersebut sudah seharusnya diputuskan demikian, meskipun diketahui
bahwa hakim berkedudukan sebagai corong Undang-undang yang
harus tunduk pada teks Undang-undang dan hanya dapat menerapkan
segala aturan yang tertulis, namun jika pada kenyataan dalam
konteksnya mengharuskan hakim tersebut untuk mengesampingkan
aturan dan teks hukum yang ada, maka hakim tersebut dinyatakan
telah berani beranjak dan menerobos Undang-undang. Apabila seperti
ini berarti hakim sudah melakukan ijtihad hukum dalam putusannya
agar tujuan hukum bagi para pihak dapat terpenuhi. Dan juga
didukung dengan hadirnya teori keadilan distributif yaitu memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan jasa-jasa
atau kontribusinya.
Sesungguhnya mengenai perkara sengketa pembagian harta
bersama yang diajukan kepada hakim Pengadilan Agama termasuk
bersifat kasuistik, induktif, kontekstual dan empiris yang kemudian
85 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat Sudrajat,
SH.,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015.

89
disebut hukum kasuistis.86 Untuk menghadapi perkara yang sifatnya
kasuistik, maka disini sangat diperlukan kemampuan seorang hakim
dalam melihat kasus, bentuk hukum yang cocok untuk diterapkan,
karena bagaimana juga hakim sebagai penerap hukum, tidak cukup
dengan penguasaan hukum belaka, tetapi juga mempunyai
kemampuan untuk menerapkannya secara benar. Sebagaimana
penjelasan yang diuraikan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ath-
Thuruq al- Hukmiyah dan kitab I’lamul Muwaqqi’in yang hakikatnya
mengingatkan seseorang apabila memilih seorang hakim perlunya
dilihat dua hal yaitu, penguasaan hukum dan ketajaman pandangannya
dalam melihat kasus dan latar belakangnya, serta mempunyai
kemampuan dalam membedakan mana pernyataan yang benar dan
yang bohong, yang hak dan yang bathil.87 Begitu juga apabila seorang
hakim menghadapi perkara seperti ini maka hakim diperbolehkan
untuk melakukan hermeneutika hukum sebagai alat untuk
mempertajam penafsirannya terhadap suatu pasal dalam Undang-
undang yang jelas sudah tidak relevan digunakan dalam perkara
tersebut.
86 Wawancara pribadi dengan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Hj. Azizah, MA, di
Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, 08 April 2015. 87 Satria Effendi M. Zein, Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama, Jurnal Mimbar Hukum
Aktualisasi Hukum Islam No. 10 Thn IV 1993, (Jakarta: PT Intermasa, 1993) h. 49

90
Menurut hemat penulis bahwa hakim pada putusan ini telah
tepat dan adil dengan menentukan 1/3 bagian untuk Penggugat dan 2/3
bagian untuk Tergugat dan juga menerapkan teori hermeneutika
hukum pada putusan tersebut, hal ini terlihat jelas bahwa hakim
memahami hukum tidak hanya secara tekstual, namun juga lebih
mempertimbangkan aspek kontekstual. Dan telah mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang terkait beserta tidak
menggunakannya sebagai dasar pertimbangan hukum sesuai Undang-
undang sepanjang memang dalam pasal pada Undang-undang tersebut
tidak lagi relevan dengan perkembangan dan kondisi kekinian, maka
hal tersebut diperbolehkan.
Pada hakikatnya hakim harus dapat melakukan penemuan
hukum dalam memahami dan mengikuti perkembangan dan nilai-nilai
yang terdapat dalam masyarakat. Dan penemuan hukum melalui
hermeneutika hukum dapat diketahui dengan cara hakim telah
memahami dan memeriksanya dengan teliti maksud dan makna atas
ketersiratan dan ketersuratan pada tiga lingkaran yaitu teks, konteks
dan kontekstualisasi. Dan juga melihat fakta hukum yang ada, namun
tetap melakukan konsideran pada legalitas formal yuridis yang terkait,

91
hal ini bisa dilakukan ketika rasa pencarian tujuan hukumnya tidak
terpenuhi.88
Hukum Islam telah memberikan wadah untuk melakukan
suatu penemuan hukum, selain dapat merujuk dalam Kitabullah (Al-
Qur’an) dan As-sunnah (hadis) dapat juga menggunakan ijtihad.
Dengan lapangan ijtihad inilah para mujtahid termasuk pula hakim
dapat memutus suatu perkara dan menerapkannya menggunakan
penemuan hukum dalam Islam ini. Dengan semakin banyak
pengalaman mengadili perkara, semakin tinggi daya tatbiqi seorang
hakim, seperti janji Allah yang akan tetap memberikan kebaikannya
terhadap seorang hakim saat berijtihad, sekalipun hakim tersebut
melakukan kesalahan dalam memutus perkaranya, yaitu:
عبأ ني هريال: قلة قار كمقول: إذا حي لمسو هليلى اهللا عص ول اللهسر 89فله أجر. أطخأاحلاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا اجتهدا ف
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berjihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia berjihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
88 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Dr. H.
Chazim Maksalina,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015.
89 Abu Abdurahman Ahamad bin syu’aib bin Ali Al-khurasani An-Nasa’I, As-Sunan Al-Kubro, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001), h. 396

92
Begitu juga diperkuat dengan suatu hadis yang terjadi pada
zaman Rasulullah, ketika Muadz bin Jabal diutus Rasul untuk menjadi
hakim di Yaman dan Muadz memberikan jalan keluar yaitu dengan
melakukan ijtihad dalam hal penyelesaian perkara beserta menemukan
hukumnya. Dapat dipahami maksud dari hadis tersebut bahwa hakim
harus menggali dengan pikirannya untuk menemukan hukum baik
bersumber dari Al-Qur’an, hadist atau ijtihad dalam menangani kasus
yang dihadapkan kepadanya dan ditanganinya, sehingga tujuan hukum
bagi para pihak dapat terpenuhi. Karena sudah Sepatutnya hakim
dalam melakukan ijtihad harus disesuaikan dahulu dengan
perkembangan zaman90 seperti halnya disebutkan dalam kaidah
fiqhiyah:
احلكم يتغير باألزمنة و األمكنة و األحوالHukum itu berubah mengikuti perkembangan zaman, tempat
dan keadaan
Karena suatu hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika
materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak
sesuai lagi dengan tuntutan zaman.91 Sebagaimana juga didukung
dalam ketentuan yuridis formal pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, dimuat bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi
90 Wawancara pribadi dengan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Hj. Azizah, M.A, di Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, 08 April 2015.
91 Article Penegakan Hukum oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Diakses pada tanggal 17
April 2015, 12.00 WIB. http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.

93
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Demikian juga diatur pada
pasal 229 KHI dikatakan bahwa: “Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Demikian atas putusan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang
telah memutus perkara sengketa harta bersama dengan melakukan
penemuan hukum menggunakan hermeneutika hukum dalam
penyelesaian sengketa harta bersama dan mencurahkan ijtihadnya
dalam putusan diatas dan patut dicontoh untuk hakim-hakim lain,
dikarenakan telah berani beranjak dan menerobos Undang-undang,
sehingga dapat memenuhi tujuan hukum bagi para pihak.

94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dari bab I sampai bab IV, pada akhirnya
penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Dasar hukum dalam menggunakan hermeneutika hukum pada putusan
perkara harta bersama ini yaitu menyatakan Pasal 97 Kompilasi Hukum
Islam “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”, dikesampingkan disebabkan kedudukan pasal yang dalam
hal ini termasuk tekstual terhadap kontekstual suatu permasalahan yang
telah jelas kedudukannya. Karena seharusnya seseorang dalam memahami
hermeneutika hukum sudah sepatutnya tidak hanya memahami hukum
hanya secara tekstual saja namun juga lebih mempertimbangkan aspek
konstektual yang bersifat sosiologis, sebagaimana juga posisi Majelis
Hakim sebagai penafsir harus dapat melihat dengan teliti dan dapat
membedakan hermeneutik tidak hanya sekedar suatu penafsiran tetapi
juga melampaui dari suatu tafsir artinya harus memahami tiga triologi
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Dan ketika hakim akan
menggunakan hermeneutika maka terdapat batasannya yaitu dilakukan
saat penerapan aturan yang terkait sudah dianggap tidak relevan lagi untuk

95
dipergunakan dalam permasalahan kekinian yang dihadapi, oleh karena itu
diperlukan sekali peran hakim dengan keberaniannya untuk melampaui
serta menerobos dan beranjak dari ketentuan Pasal dalam Undang-undang.
Meskipun sesungguhnya acuan peraturan pembagian harta bersama sudah
jelas termuat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 97. Tetapi hakim
mempunyai kewenangan untuk melakukan ijtihad disetiap perkara yang
bersifat kasuistis.
2. Terdapat beberapa alasan hakim dalam putusan perkara penyelesaian
sengketa harta bersama ini tanpa merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam
yaitu dengan melihat sisi fakta yang terjadi sebagaimana didukung pada
keterangan bukti tertulis dan keterangan saksi, kemudian Majelis hakim
juga melihat sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum dalam
memutus perkara ini. Dimana faktanya adalah istri (Penggugat) telah
banyak menggunakan harta dari harta-harta bersama tersebut secara
sepihak dan tidak proporsional, hanya demi memenuhi kepentingannya
sendiri tanpa adanya izin dan di luar pengetahuan suami (Tergugat)
disamping itu beban tanggung jawab yang dipikul suami terhadap anak-
anaknya sementara suami (tergugat) sudah pensiun dan sebagiannya
mengandalkan kepada harta bersama tersebut. Dalam hal ini hakim
dituntut untuk dapat berani mengambil putusan yang berbeda dengan
normatif Undang-undang, apabila diketemukan Pasal yang sudah tidak
sesuai dengan perubahan sosial di masyarakat. Oleh karenanya tidak adil

96
sekiranya hakim menerapkan Pasal 97 tersebut tanpa mempertimbangkan
kenyataan fakta-fakta yang ada dan diakui oleh Penggugat. Dengan
demikian hakim diperkenankan melakukan hermeneutika hukum pada
putusan perkara tersebut, sehingga pada perkara kasuistik ini pembagian
harta bersama tidak harus masing-masing mendapatkan bagian 50%
berikut disertai dengan segala pertimbangan yang matang, jelas dan teliti,
demi terwujudnya keadilan untuk kedua para pihak.
B. Saran
Bagi hakim Pengadilan Agama, hendaknya hakim tidak hanya
berpijak pada Undang-undang, melainkan juga memperhatikan nilai-nilai
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terutama terhadap
perkara kasuistik, sudah seharusnya dari setiap putusan yang dihasilkan dapat
terpenuhinya tujuan hukum bagi para pihak.
Dan semoga dengan semakin berkembangnya setiap permasalahan
dalam perkara di Pengadilan Agama menjadikan para hakim dapat ikut serta
untuk memberanikan hati nuraninya mempertimbangkan dan memutus
perkara yang dihadapkannya seadil mungkin, dengan merefleksikan salah satu
metode penemuan hukum yaitu hermeneutika hukum.

97
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu Abdurahman bin Syu’aib bin Ali Al-khurasani An-Nasa’I, As-Sunan Al-
Kubro, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001. Ahmad, Amrullah, dkk, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996. Aji, Ahmad Mukri, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010. Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1984, Juz
IV.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Cet 4, April, 2012.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
______________ , Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Al-Qaradawi, Yusuf, Al-Ijtihad fī al-Sharī’ah al-Islamiyyah ma‘a Nazarah Tahlīliyyah fī al-Ijtihad al-Mu‘asir Kuwayt: Dar al-Qalam, 1985.
Al-‘umari, Nadiah Syarif, Al-ijtihad fi al-islami, Beirut: Muassasah Ar-risalah, 1986.
Aghnides, Nicolas P., The Background Introduction To Muhammedan Law, New York: published by the Ab, “ Sitti Sjamsijah”. Publishing coy Solo, Java, with the authority- license of Columbia University Press.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, London; Routlege & Kegan Paul, 1980.

98
Bhakti Adhiwisastra, Yudha, Penafisran Dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000.
Breaten, Card, History of Hermeneutics, Philadelphia: From Press, 1966.
Cambell Black, Henry, Black’s Law Dictionary, 6th ed, USA: West Publishing, 2004
Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, Juz III.
E. Palmer, Richard, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
El-Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan oleh: R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Agains Oppression, Oxford: Oneworld, 1997. E.Sumaryono, Hermenutika, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999. Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.
Hardiman, F. Budi, Melampui Positivisme Dan Modernisme Diskursus Filsafat Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hamidi, Jazim, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan Yang
Layak (AAUPPL) Di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
____________ , Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta, UII Press, 2005. Hanafi, Hasan, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991.
____________ , Hermeneutic, Liberation and Revolution, Dar Kebaa Bookshop, diterjemahkan oleh Jajat Hidayatul. F dan Neila Meutia. D, edisi Indonesia:

99
Bongkar Tafsir, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, Yogyakarta: Pustaka Utama, 2003.
Hardiman, F. Budi, Melampui Positivisme Dan Modernisme Diskursus Filsafat Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet-4, Malang : Bayu Media Publishing, 2008.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushul Al-Fiqh, Kairo: Dar Al-Qalam, 1978. Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta:
Prenada Media, 2004.
Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Maksalina, Chazim. Penerapan Hermeneutika Hukum Dalam Perspektif Penemuan Hukum Pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, (Disertasi S3 Bidang Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Islam Bandung, 2014)
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Manan, Bagir, Wajah Hukum di Era Reformasi, Bandung: Citra Aditya Bakhti, 2000. Mar’i, Hasan Ahmad, Al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah, Cairo: Dar al-Ma’arif,
1976. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2010.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

100
Moerad, Pontang, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 2006.
Muiz, A. Niamullah dan J.M.S Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern mengenai perbedaan pandangan antara umat Islam dan Kristen dalam meyakini kitab sucinya masing-masing, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, Beirut: Al-maktabah Al-‘Ilmiyyah, 2005.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Ranuhandoko, L.P.M., Terminiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Rifa’i, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet.-3,
1998. Sidharta, B. Arief, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum Di
Indonesia, Bandung: Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian UNPAD No. 1, 1999.
Suma, Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqih Islam, Jakarta:
INIS, 1991. Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006. Soeroso, R., Praktik Hukum Acara Perdata, Cet. IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,1986.
Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, 2010.
Syah, Ismail Muhammad, Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta: Bulan bintang, 1965.

101
__________________ , Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Prenada
Media, 2006.
Syamsudin, M. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Jakarta: Kencana, 2012.
Wahhab, Tajuddin Abdul bin As-Subki, Jam’ Al-Jawami', Semarang: Toha Putra.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, Jakarta: Huma, 2002.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Al-Fiqh, Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Zainal Abidin, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni,
2006.
Perundang-Undangan
Instruksi Presiden R.I No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-undang Acara Pidana
Sumber Internet Article Penegakan Hukum oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Diakses pada
tanggal 17 April 2015, jam 12.00 WIB. http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.

102
Purkon, Arip, Article Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, Jakarta: FSH UIN Jakarta. Diakses tanggal 05 Mei 2015, 16.00 WIB. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=175989&val=328&title=Pendekatan%20Hermeneutika%20dalam%20Kajian%20Hukum%20Islam.
https://blog.djarumbeasiswaplus.org/hendra/tag/hukum/ Diakses tanggal 05 Mei
2015, jam 16.05 WIB.
Jurnal
Asyrof, A. Mukhsin, Asas-Asas Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 252 November, 2006, Jakarta: IKAHI, 2006.
M. Zein, Satria Effendi, Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama, Jurnal Mimbar
Hukum Aktualisasi Hukum Islam No. 10 Thn IV 1993, Jakarta: PT Intermasa, 1993.
Fence M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3/03 September 2012, Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Hasil Penelitian Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat
Sudrajat, SH.,MH., di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015. Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs.
H. Chazim Maksalina, MH., di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015.
Wawancara pribadi dengan Dosen dan Serketaris Program Studi Ilmu Hukum, Arip
Purkon, S.HI., MA., di Ruang Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum, 04 April 2015.
Wawancara pribadi dengan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Dr. Hj. Azizah, MA.,
di Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, 08 April 2015. Putusan Perkara Nomor: 1006/ Pdt.G/ 2008/ PA.Bks
Putusan Perkara Nomor: 1934/ Pdt.G/ 2013/ PA.JT
Putusan Perkara Nomor: 1159/ Pdt.G/ 2013/ PA.JT





HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH
NIP : 19671221993031002
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
1. Apakah pengertian harta bersama dalam pandangan bapak ?
Menurut saya, mengenai harta bersama tetap mengacu pada Undang-undang
dalam hal ini yaitu Kompilasi Hukum Islam, pengertian harta bersama adalah harta
yang diperoleh selama masa perkawinan baik oleh suami maupun oleh isteri ataupun
oleh kedua-duanya sejak terjadinya akad nikah.
2. Bagaimana cara untuk memastikan pemisahan harta tersebut merupakan suami maupun
isteri dalam putusan ini?
Dalam perkara gugatan harta bersama maka ntuk memastikan pemisahan harta
bersama yaitu melalui pembuktian baik itu dengan surat ataupun saksi, dari pembuktian
tersebut dapat diketahui apakah harta yang di sengketakan tersebut termasuk harta
bersama atau bukan harta bersama.
3. Bagaimana upaya hakim dalam membuktikan kebenaran harta-harta yang berada pada
suami ataupun isteri sebagai harta bersama?
Untuk membuktikan kebenaran harta-harta objek sengketa harta bersama dapat
diketahui melalui pembuktian sejauh mana para pihak yang bersengketa dapat
membuktikan dalil-dalilnya.
4. Mengapa putusan hakim dalam perkara ini lebih menitikberatkan kontsribusi suami lebih
dominan atau lebih besar untuk mendapatkan pembagian harta?
Pada putusan ini, tidak an sich kepada konstribusi saja tetapi juga tanggung
jawab yang menjadi beban suami, termasuk masalah anak, sebenarnya dalam
pertimbangan hukumnya ada hal yang tidak dimunculkan bahwa pada realitanya
penggugat sudah lebih dahulu menggunakan sebagian dari harta bersama secara
sepihak dan tidak secara proporsional.
5. Apa dasar hukum hakim memutuskan 1/3 untuk penggugat konvensi dan 2/3 untuk
tergugat konvensi?

Pada dasarnya mengenai pembagian harta bersama telah diatur secara jelas
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 97, namun demikian hakim di perbolehkan untuk
melakukan contra legem terhadap ketentuan Undang-undang. Hakim tidak selalu harus
menjadi corong Undang-undang, dalam perkara a quo hakim melakukan terobosan
hukum terhadap ketentuan Pasal 97 tersebut yaitu dengan menentukan pembagian harta
bersama 1/3 untuk istri (penggugat) dan 2/3 untuk suami (tergugat), hal ini di dasarkan
kepada fakta-fakta yang ada sebagai tolak ukur untuk menentukan besar bagian masing-
masing suami isteri. Dimana faktanya adalah istri (penggugat) telah banyak
menggunakan harta dari harta-harta bersama tersebut secara sepihak dan tidak
proporsional, hanya demi memenuhi kepentingannya sendiri tanpa adanya izin dan di
luar pengetahuan suami (tergugat) disamping itu beban tanggung jawab yang dipikul
suami terhadap anak-anaknya sementara suami (tergugat) sudah pensiun dan
sebagiannya mengandalkan kepada harta bersama tersebut. Oleh karenanya tidak adil
sekiranya hakim menerapkan Pasal 97 tersebut tanpa mempertimbangkan kenyataan
fakta-fakta yang ada dan diakui oleh penggugat.
6. Dalam ajaran filsafat dikenal dengan hadirnya hermeneutika hukum untuk dapat
memahami suatu peristiwa hukum atau fakta hukum, maksudnya tidak memahami hukum
hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek konstektual yang
bersifat sosiologis, apakah menurut bapak putusan perkara ini tepat menggunakan
hermeneutika hukum?
Menurut saya, putusan perkara ini sudah seharusnya diterapkan demikian.
Karena apabila memahami melalui hermenutika tersebut adalah sebuah kajian filsafat
dan untuk itu untuk menerapkan konteks hukum tidak harus lansung pada Undang-
undang, harus diketahui bahwa Undang-undang bukan hukum, Undang-undang setelah
diterapkan dalam pertimbangan hukum dan menjadi sebuah putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap sesuai dengan diktum yang termuat bahwa Penggugat Konvensi
mendapatkan 1/3 bagian dan Tergugat Konvensi mendapatkan 2/3 bagian.
7. Apakah menurut bapak dalam putusan perkara Nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks sudah
memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?

Hakim harus bisa mencapai tujuan hukum yaitu mengejar keadilan dan dengan
keluarnya putusan maka akan terwujudlah kepastian hukum dan dari hal tersebutlah
didapatkan kemanfaatan.
8. Apakah dampak yang diterima para pihak atas putusan perkara ini?
Hal tersebut dapat dilihat apakah dari para pihak akan melakukan upaya hukum
setelah putusan pada Pengadilan Tingkat Pertama atau tetap menerima putusan
tersebut, dan apabila para pihak ada yang mengajukan upaya hukum berarti pihak
tersebut belum puas dengan putusan yang ditetapkan.
9. Berapakah jumlah perkara yang bapak pernah putuskan menggunakan hermeneutika
hukum?
Jumlah perkara yang pernah di putuskan menggunakan hermeneutika hukum
selama saya menjadi ketua majelis hakim terdapat dua putusan dan selama menjadi
hakim anggota hanya satu putusan saja.
10. Adakah kelebihan dan kekurangan untuk penerapan hermeneutika hukum?
Kelebihannya adalah mencapai rasa keadilan dengan dasar tidak memahami
hukum hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek
konstektual yang bersifat sosiologis. Dan kekurangannya ialah belum terdapatnya legal
skill dalam diri hakim tersebut dan kurangnya pemahaman hakim terhadap hermeneutic
dikarenakan masih kurang familiarnya pemahaman mengenai metode penemuan hukum
seperti ini.
11. Bagaimana pendapat bapak tentang hermeneutika hukum?
Pendapat saya tentang hermeneutika hukum adalah memahami hukum tidak
hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek konstektual yang
bersifat sosiologis. Dan harus dapat menyelami rasa keadilan.
12. Apabila membicarakan hermeneutika, maka dalam hal ini hakim sebagai penafsir harus
dapat memahami dan membedakan tiga lingkaran di dalamnya yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi, lalu bagaimana menurut pandangan bapak membedakannya?
Memahami dan menafsirkan teks Undang-undang hakim sebagai penafsir harus
paham atas konteksnya, karena antara teks dan konteks saling berkaitan, apalagi untuk

menerobos Undang-undang walaupun hakim dikatakan sebagai corong Undang-undang
namun jika pada kenyataan dalam konteksnya mengharuskan, maka tidak apa apabila
hakim tersebut harus menerobos Undang-undang.
13. Apa landasan dan dasar hukum hakim dalam pengambilan putusan suatu perkara dengan
menggunakan hermeneutika hukum?
1) Menyelami rasa keadilan dalam masyarakat.
2) Memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
3) Hakim dituntut untuk tidak hanya sekedar menjadi corong Undang-undang.
14. Apa akibat yang dihasilkan apabila pertimbangan hukum melalui hermeneutika bagi para
pihak yang berperkara?
Hasil untuk para pihak ialah dapat memberikan rasa keadilan.
15. Apakah, jika melalui metode hermeneutika hukum sudah dapat dikatakan terpenuhinya
tujuan hukum untuk para pihak dalam putusan yang ada?
Sesuai merujuk dengan pengertian pada No.6 dan pemahaman tiga lingkaran
dalam ajaran hermeneutic pada No.12 maka suatu tujuan hukum dapat terpenuhi melalui
metode hermeneutika hukum dengan syarat, penafsir harus menguasai dan mempunyai
wawasan terhadap metode hermeneutika hukum.
Jakarta, 26 Maret 2015
Narasumber Pewawancara
(Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH) (Safira Maharani)

HASIL WAWANCARA
Nama Lengkap : Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, M.H
NIP : 196112271991031002
Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur
1. Bagaimana pendapat bapak tentang hermeneutika hukum?
Menurut saya, hermenutika dapat dimaknai dengan metode interpretasi atas teks-
teks hukum dan ia juga mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum baru.
Sesuai dengan kekiniaan hermeneutika dianggap penting dalam ranah hukum walaupun
kehadirannya sebagai cabang filsafat ilmu yang baru namun apabila di tengok lagi
dalam Islam hal ini dapat disejajarkan dengan pemahaman ta’wil. Pada sejarahnya hal
ini berawal dari ajaran umat Kristen dan berasal dari suatu teks kitab suci “injil”.
Pada ilmu Al-Qur’an di kenal ada beberapa pemahaman ayat yaitu:
a. Ayat Muhkamat yaitu ayat yang sudah jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an
b. Ayat Mutasabihat yaitu ayat yang mananya masih samar dan masih perlu
penafsiran.
Hermeneutic tidak hanya sekedar suatu penafsiran tetapi juga melampaui dari
suatu tafsir artinya harus memahami tiga triologi yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi.
2. Apabila membicarakan hermeneutika, maka dalam hal ini hakim sebagai penafsir harus
dapat memahami dan membedakan tiga lingkaran di dalamnya yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi, lalu bagaimana menurut pandangan bapak/ ibu membedakannya?
Membedakan tiga lingkaran, seorang penafsir harus dapat memahami dan
meneliti kejelasan antara teks yang berarti Undang-undangnya sebagai aturan yang

tetap dan berkekuatan hukum kemudian konteks ialah produk hukum yang ada baik
berupa putusan atau yurisprudensi dan dalam kontekstualisasi ini akan di kolerasikan
antara kejelasan teks dan konteks sesuai atau tidak dengan fakta yang ada.
3. Perkara apa saja yang sudah diputus bapak di Pengadilan Agama menggunakan
hermeneutika hukum?
Iya, saya pernah memutus perkara wakaf menggunakan metode hermeneutika
hukum.
4. Kapan suatu hermeneutika hukum itu dapat di gunakan?
Ketika teks hukum yang terkait tidak dapat dikatakan tepat dan sesuai dengan
apa yng telah termuat dalam konteksnya maksudnya adalah dalam hal ini boleh hakim
sebagai penafsir mengesampingkan kedudukan pasal yang dalam hal ini termasuk
tekstual terhadap kontekstual suatu permasalahan yang telah jelas kedudukannya.
5. Apakah perkara yang di putuskan hakim menggunakan hermeneutika hukum dapat
dijadikan sebagai alternatif dalam pertimbangan hukum?
Iya, hakim dalam suatu perkara dapat memutuskan menggunakan hermeneutika
hukum sebagai alternatif dalam pertimbangan hukum, namun perlu di kembalikan lagi
pada kondisinya apakah hakim tersebut mempunyai keberanian untuk menerobos
Undang-undang atau beranjak dari ketentuan Undang-undang yang ada, manakala di
ketahui bahwa Negara Indonesia dalam sistem hukumnya termasuk Eropa kontinental
yang masih dominan tekstualnya.
6. Bagaimana cara hakim dapat melakukan penemuan hukum dan mengetahui bahwa suatu
perkara itu termasuk metode penemuan hukum? Adakah ciri-cirinya?

Mengenai penemuan hukum melalui hermeneutika hukum, dapat diketahui
dengan cara hakim telah memahami dan memeriksanya dengan teliti maksud dan makna
atas ketersiratan dan ketersuratan pada tiga lingkaran yaitu teks, konteks dan
kontekstualisasi. Dan lebih melihat fakta hukum yang ada dari pada sesuai dengan
legalitas formal namun, rasa pencarian tujuan hukumnya tidak terpenuhi.
7. Bagaimana pertimbangan hukum yang dilakukan hakim dalam memaknai teks hukum
menggunakan hermeneutika hukum?
Pertimbangan hukum yang dilakukan dengan melihat aspek sosiologis beserta
kenyataan yang terjadi karena bagaimanapun seorang hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dan
jikalau tidak bisa memenuhi ketiga tujuan hukum setidaknya ada pada putusan tersebut
didalamnya terkandung dan memenuhi tujuan hukum bagi para pihak.
8. Apa akibat yang dihasilkan apabila pertimbangan hukum melalui hermeneutika bagi para
pihak yang berperkara?
Apabila atas hasil pertimbangan hukum melalui hermeneutika yang diperoleh
para pihak tidak puas maka mereka bisa mengajukan upaya hukum, karena
bagaimanapun itu adalah hak mereka dan pengadilan tidak boleh membatasinya.
9. Apakah jika melalui metode hermeneutika hukum sudah dapat dikatakan terpenuhinya
tujuan hukum untuk para pihak dalam putusan yang ada?
Dalam metode hermeneutika hukum produk hukum yang dihasilkan belum tentu
dapat membuahkan terpenuhinya tujuan hukum, dikarenakan sulit untuk mewujudkan
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam satu produk hukum, maka dari itu

harus di klarifikasikan yang paling pokok dan ini dapat saja menimbulkan kontroversi
diantara tokoh dan penganut fanatiknya dalam mengedepankan tujuan hukum.
Menegok teori Hans Kelsen (teori murni) memandang bahwa hukum itu
memenuhi dan menjamin ketertiban dan itu akan terwujud apabila terdapat kepastian
hukum. Namun apabila terdapat beberapa yang lebih menjunjung keadilan maka ia akan
mengesampingkan kepastian hukum termasuk Pasal. Dan menurut Oliver Wendell
holmes mengatakan bahwa hakim adalah corong Undang-undang dan juga bertugas
sebagai alat perubahan sosial dengan mengikuti perkembangan zaman.
10. Apakah ada keterkaitan antara ijtihad dalam ushul fiqih dengan hermenutika?
Iya antara ijtihad dalam ushul fiqih dan hermeneutika mempunyai kolerasi
dimana ijtihad melakukan upaya dan berusaha dengan kerja keras dalam menggali
hukum begitu juga hermeneutika yaitu memahami hukum tidak hanya secara tekstual
akan tetapi juga mempertimbangkan aspek kontekstual yang bersifat sosiologis.
Dan dalam metode interpretasi atau penafsiran terdapat 11 kelompok,
diantaranya: Interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi sistematis,
interpretasi sosiologi/teleologis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristic,
interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik, interpretasi
interdisipliner, interpretasi multidisipliner.
11. Bagaimana pemahaman bapak mengenai ijtihad dalam ushul fiqih dengan ijtihad hakim
dalam putusan?
Dalam ushul fiqih dikenal dengan hadirnya penggalian hukum, dan di bagi
menjadi dua yaitu:

a. Ijtihad diartikan melakukan kerja keras untuk berpikir mengeluarkan hukum dari
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis yang tidak terdapat di dalamnya.
b. Istinbath diartikan mengeluarkan atau mengambil kesimpulan hukum yang sudah
terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an.
Ijtihad hakim dalam putusan yaitu bagaimana hakim melakukan pertimbangan
hukum yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang terkait akan tetapi tidak
menutup kemungkinan hakim berani untuk mengesampingkan Pasal namun tetap harus
jelas hal apa yang melatarbelakanginya sehingga muncullah alasan tersebut.
Jakarta, 05 April 2015
Narasumber Pewawancara
(Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, MH) (Safira Maharani)

HASIL WAWANCARA
Nama : Arip Purkon, S.HI,.M.A.
Jabatan : Dosen dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
1. Apabila membicarakan hermeneutika, maka dalam hal ini hakim sebagai penafsir harus
dapat memahami dan membedakan tiga lingkaran di dalamnya yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi, lalu bagaimana menurut pandangan bapak membedakannya?
Dalam hermeneutika, secara mendasar terdapat tiga lingkaran yang harus di
kritisi yaitu teks, penulis dan pembaca. Dalam hal ini, harus jelas putusan hukumnya,
kemudian hakim sebagai pembuat putusan, dan orang yang dituju oleh hukum (para
pihak). Apabila membicarakan hermeneutic maka disini hakim juga harus melihat
konteks yang ada. Contohnya di jumpai dalam suatu putusan bisa saja pemahaman
hakim salah atau bisa juga pemahamannya benar hanya saja pengungkapannya salah.
2. Kapan suatu hermeneutika hukum itu dapat di gunakan?
Suatu hermeneutika hukum itu dapat digunakan ketika dalam masalah-masalah
yang tidak terkait masalah qath’i atau diluar masalah qath’i. misalnya masalah
pemberian warisan kepada ahli waris non muslim. Karena sudah tercantum dalam nash
dan qath’i maka hal ini akan menimbulkan masalah, karena menurut pandangan ulama
yang qath’i itu tidak bisa dikontekstualkan, contoh lain seperti masalah nafkah, dalam
hal ini hanya suami yang punya kewajiban atas itu, terutama di kalangan ulama, selama
itu penafsiran maka tidak masalah dan selama itu juga permasalahan yang ada bukan
termasuk qath’i maka hermeneutika bisa digunakan.

3. Apakah perkara yang di putuskan para hakim di Pengadilan Agama menggunakan
hermeneutika hukum dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pertimbangan hukum?
Perkara yang di putuskan para hakim di Pengadilan Agama dapat menggunakan
hermeneutika hukum dan dijadikan sebagai alternatif dalam pertimbangan hukum.
Karena pada dasarnya sistem hukum Indonesia mirip dengan hukum Eropa Kontinental
dan hukumnya selalu mengacu pada teks Undang-undang, dan hakim juga sulit beranjak
dari Undang-undang tersebut, contohnya kasus pencurian uang yang haya senilai
Rp. 2000, namun apabila melihat kembali sudah seharusnya diberlakukan sesuai dengan
Undang-undang. Dan hakim dituntut bisa menggali putusan secara kontekstual sesuai
dengan kebutuhan.
4. Bagaimana cara hakim dapat melakukan penemuan hukum dan mengetahui bahwa suatu
perkara itu termasuk metode penemuan hukum? Adakah ciri-cirinya?
Salah satunya dapat diketahui penggunaan hermeneutika dengan tiga lingkaran
yaitu teks, penulis dan pembaca. Jadi tidak bersifat tekstual dan dilihat dari masalah
yang melatarbelakanginya, diperhatikan juga fakta dan konteks. Namun dalam
realitanya yang masih menjadi kendala yaitu dalam penerapannya adakah berbenturan
dengan tekstual dan apakah si hakim berani untuk beranjak memutuskan menggunakan
hermeneutika.
5. Adakah batasan untuk seorang hakim dalam menggunakan hermeneutika hukum?
1. Apabila bersinggungan dengan hukun Islam dan terdapat nash qath’i maka ini akan
sulit. Contoh: memutuskan anak kandung tidak mendapatkan warisan dan hal ini
jelas melanggar nash.

2. Ketika teks Undang-undang menghendaki seperti ini, maka harus dilihat dahulu
apakah hakim boleh berbeda dari teks hukum tersebut.
6. Apakah jika melalui metode hermeneutika hukum sudah dapat dikatakan terpenuhinya
tujuan hukum untuk para pihak dalam putusan yang ada?
Terdapat kemungkinan yang terjadi, yaitu:
- Iya, begitu dianalisis kontekstualisasinya dengan demikian dapatlah terwujud adil
sebagai salah satu tujuan hukum
- Tidak, keberadaan adil akan menjadi tidak jelas, dikarenakan dalam sistem hukum
anglo saxon yaitu apabila tidak ada teks hukum maka tidak ada juga kepastian
hukum, begitu juga suatu kepastian hukum dapat terwujud apabila terdapat teks
hukum.
7. Apakah pengertian harta bersama dalam pandangan bapak ?
Dalam literatur fiqih, Al-Qur’an, dan sunnah, tidak ada hukum yang spesifik
membahas masalah pembagian harta. Lahirnya konsep harta gono gini bermula dari
adat istiadat seperti halnya orang bersyarikat (kerja sama) dan hasilnya dibagi dua
sistem ini sama dengan yang dimaksudkan mudharabah, dan kehadiran Pasal 97 ini
berasal dari masalah adat istiadat yang terjadi. Dan untuk definisi harta bersama dimuat
dalam Undang-undang bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan itu
disebut harta bersama
8. Bagaimana cara untuk memastikan pemisahan harta suami maupun isteri dalam suatu
putusan?
Harta harus bisa di klarifikasi dengan jelas.

9. Bagaimana cara untuk membuktikan kebenaran harta-harta yang berada pada suami
ataupun isteri?
Membuktikannya dengan melakukan pengecekan atas keberadaan dan
kepastiannya.
10. Apabila diketemukan dalam suatu amar putusan dinyatakan bahwa pembagian harta
bersama untuk isteri sebagai Penggugat mendapat 1/3 bagian dan suami sebagai Tergugat
mendapat 2/3 bagian, dengan alasan bahwa perilaku Penggugat yang sudah lebih dahulu
menggelapkan sebagian harta, membelanjakan (pemborosan harta) dengan menjual harta
milik bersama secara sepihak dan mengambil uang tabungan. Apakah ini dapat dikatakan
tepat? Apabila tidak mengapa?
Sudah tepat dengan menggunakan kontekstual, dan putusan-putusan seperti ini dapat
menjadi dua bagian pandangan, di satu sisi terbilang bagus, di sisi lain menjadi
kontroversi.
1. Apabila iya, hal ini akan menjadi solusi kebuntuan hukum.
2. Tidak, karena dapat memunculkan kontroversi yang disebabkan menyimpang terlalu
jauh dari teks sehingga dapat menimbulkan masalah yaitu kepada hakim dan
etikanya, jika demikian maka akan dilakukan penyelidikan.
Hal seperti ini positifnya ialah adanya kepastian hukum akan tetapi masih terbilang
kaku. Hakim melakukan secara proposional (jikalau benar terdapat bukti yang kuat)
11. Apakah menurut bapak apabila bunyi amar putusan seperti yang dimaksudkan pada
pertanyaan No. 10 dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?
Membicarakan suatu keadilan hal ini sulit diartikan karena masih bersifat
relative, hakim disini melihat keadilan secara konstektual bukan tekstual. Dan untuk

kepastian hukum terlalu sulit karena diwujudkan dalam bentuk teks Undang-undang.
Kemudian kemanfaatannya bisa saja terjadi.
12. Dalam ajaran filsafat dikenal dengan hadirnya hermeneutika hukum untuk dapat
memahami suatu peristiwa hukum atau fakta hukum, maksudnya tidak memahami hukum
hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek konstektual yang
bersifat sosiologis, apakah menurut bapak putusan perkara ini tepat menggunakan
hermeneutika hukum?
Iya tepat menggunakan hermeneutika hukum, apalagi telah melihat fakta bukan
hanya dengan mempertimbangkan aspek yang bersifat sosiologis saja, maksudnya
adalah turut melihat fakta masyarakat dalam artian (istri telah membelanjakan sebagian
harta suami) dan juga bersifat filosofis yang mengacu pada normative.
13. Apakah dampak yang diterima para pihak atas putusan perkara ini apabila menggunakan
hermeneutika hukum?
Dampak yang dapat terjadi ialah munculnya perdebatan baru atau bisa jadi ada
para pihak yang mengajukan gugatan, melihat pembuktian yang diketemukan adalah
istri telah melakukan pembelanjaan harta milik suami maupun milik bersama. Dan
sebagian para pihak merasa tidak terima atau tidak puas dengan putusan yang diputus
sebelumnya.
14. Adakah kelebihan dan kekurangan untuk penerapan hermeneutika hukum?
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, maka masih dominan
tekstualnya, apalagi menggunakan hermeneutic maka dapat mengundang terjadinya
kontroversi dikarenakan terlihat jelas berbeda dari Undang-undang. Selanjutnya untuk
kepastian hukum dapat dikatakan kurang terjamin. Dan hermeneutic bagus digunakan,
namun bisa memunculkan gugatan baru dan menyalahi tekstual yang ada.

15. Bagaimana cara membedakan ijtihad dalam ilmu ushul fiqih dan ijtihad hakim dalam
putusan?
Ijtihad dalam ilmu ushul fiqih adalah mengkaji suatu hukum syariah, dalam arti
kata membahas akademisi lebih luas maksudnya adalah menggunakan teori normative
yang melihat pada Al-Qur’an dan sunnah.
Ijtihad hakim dalam putusan yaitu memutuskan suatu perkara melihat dari
Undang-undang dan fakta yang terjadi.
16. Disaat seperti apakah seorang mujtahid dan hakim dapat melakukan suatu ijtihad untuk
menyelesaikan suatu perkara sengketa?
Seorang mujtahid dapat melakukan ijtihad disaat ia mengkaji Al-Qur’an dan
sunnah, dan ketika terdapat permasalahan yang memerlukan jawaban.
Seorang hakim dapat melakukan ijtihad disaat terdapat perkara yang harus
diputus
Jakarta, 04 April 2015
Narasumber Pewawancara
(Arip Purkon, S.HI., M.A.) (Safira Maharani)

HASIL WAWANCARA
Narasumber : Dr. Hj. Azizah, M.A.
Jabatan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
Hari/Tanggal : Rabu, 08 April 2015
1. Bagaimana pendapat ibu tentang hermeneutika hukum?
Menurut saya, hermeneutika adalah suatu penafsiran
2. Apabila membicarakan hermeneutika, maka dalam hal ini hakim sebagai penafsir harus
dapat memahami dan membedakan tiga lingkaran di dalamnya yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi, lalu bagaimana menurut pandangan ibu membedakannya?
Dalam penafsiran seseorang itu boleh melakukan dan menggunakan penafsiran,
namun tetap tidak boleh jauh dari teks dan konteks yang sudah ada. Sejauh tidak
menyalahi aturan pokok, dan menurut saya, jika hal itu untuk penafsiran maka tidak
masalah. Untuk saat ini hakim tidak saja terfokus pada teks Undang-undang yang ada
namun juga bisa menggunakan yurisprudensi. Karena hakim mempunyai kewenangan
dalam melihat kondisi Undang-undang tidak memadai lagi dan tentu ada alasan
mengapa hakim menggunakan yurisprudensi.
3. Apakah perkara yang di putuskan para hakim di Pengadilan Agama menggunakan
hermeneutika hukum dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pertimbangan hukum?
Tergantung dahulu bagaimana kasus tersebut, karena suatu hermeneutika bisa
digunakan hanya pada saat permasalahan itu tergolong kasuistis saja.
4. Adakah batasan untuk seorang hakim dalam menggunakan hermeneutika hukum?
Hendaknya dalam menggunakan hermeneutika yang menjadi rujukan utama
terlebih dahulu sebagai aturan pokoknya ialah mengacu kepada Al-Qur’an dan sunnah,

perkembangannya ijtihadi itu dibolehkan karena terdapat landasan kuat dari Al-Qur’an
dan sunnah.
5. Apakah jika melalui metode hermeneutika hukum sudah dapat dikatakan terpenuhinya
tujuan hukum untuk para pihak dalam putusan yang ada?
Apabila melalui hermeneutika sendiri tidak bisa, akan tetapi jika itu diposisikan
untuk pelengkap atau penunjang maka itu bisa menjadikan terpenuhinya tujuan hukum.
6. Untuk melihat kondisi kekinian dalam sengketa harta bersama, apakah tepat untuk tetap
memutus pembagian harta dengan presentase 50% untuk suami dan 50% untuk isteri?
Berbicara harta bersama harus ada kesepakatan diawal dahulu, apakah
penghasilan yang dihasilkan termasuk harta bersama atau tidak, apabila ingin menjadi
harta bersama maka harus sesuai dengan saham yang ditanam dalam perkawinan,
misalkan saham yang ditanam isteri lebih besar maka presentase yang diberikan untuk
isteri sebagai harta bersama juga harus besar. Jadi menurut saya, harta bersama tidak
harus setengah untuk suami dan setengah untuk istri, namun harus sesuai dengan saham
yang ditanamkan.
7. Dalam membicarakan sengketa harta bersama, bagaimana cara untuk memastikan
pemisahan harta suami maupun isteri dalam suatu putusan ?
Pemisahan dapat dilakukan dengan pembuktian, seperti pembuktian dalam
bentuk tertulis dan secara lisan dan perlu adanya akta otentik, misalnya surat mobil,
akta tanah, surat rumah, surat wasiat.
8. Apabila diketemukan dalam suatu amar putusan dinyatakan bahwa pembagian harta
bersama untuk isteri sebagai Penggugat mendapat 1/3 bagian dan suami sebagai Tergugat
mendapat 2/3 bagian, dengan alasan bahwa perilaku Penggugat yang sudah lebih dahulu

menggelapkan sebagian harta, membelanjakan (pemborosan harta) dengan menjual harta
milik bersama secara sepihak dan mengambil uang tabungan. Bagaimana pendapat ibu?
Apabila seperti ini maka hal itu di luar tanggung jawab suami untuk memberi
nafkah dan pemborosan yang dilakukan isteri bukan untuk keseharian rumah tangga
melainkan ia menggunakannya untuk berfoya-foya demi kepentingannya sendiri. Dengan
demikian hermeneutika dapat diguanakan karena melihat bahwa sengketa di atas
sifatnya termasuk kasuistik. Dan mengenai si isteri telah melakukan poliandri saja hal ini
sudah termasuk durhaka terhadap suami apalagi diketahui isteri sebagai Penggugat
masih terikat dan sah secara agama dan Negara. Kemudian juga disinggung dalam
Islam perbuatan ini dapat dikenakan hukuman ta’zir dan ini termasuk perbuatan fahisya
yang tergolong perbuatan keji. Dan tidak ada satupun ayat Al-Qur’an dan hadis yang
memperbolehkan perempuan melakukan poliandri, apabila ia melakukan poliandri maka
ini akan mempersulit status dan kedudukan keturunannya.
9. Bagaimana pendapat ibu memandang pertimbangan hakim pada putusan perkara ini
sudah tepat atau belum?
Iya, ini dapat dikatakan tepat karena permasalahannya termasuk kasuistik
dengan diperkuat alasan bahwa isteri terbukti telah membelanjakan (pemborosan)
sebagian harta bersama dan harta suami.
10. Apakah menurut ibu apabila bunyi amar putusan seperti yang dimaksudkan pada
pertanyaan no. 8 dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?
Iya bunyi amar putusan seperti yang dimaksudkan pada pertanyaan no. 8 dapat
memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

11. Dalam ajaran filsafat dikenal dengan hadirnya hermeneutika hukum untuk dapat
memahami suatu peristiwa hukum atau fakta hukum, maksudnya tidak memahami hukum
hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek konstektual yang
bersifat sosiologis, apakah dalam putusan perkara diatas ibu setuju menggunakan
hermeneutika hukum?
Iya saya setuju apabila hermeneutika hukum diartikan untuk tidak memahami
hukum hanya secara tekstual saja namun, juga lebih mempertimbangkan aspek
konstektual yang bersifat sosiologis.
12. Apakah dampak yang diterima para pihak atas putusan perkara ini apabila menggunakan
hermeneutika hukum?
Menurut saya, hakim memutuskan berdasarkan bukti yang telah ada, baik bukti
tertulis maupun dari saksi-saksi dan saksi yang dihadirkan adalah bukan saksi palsu dan
juga alat bukti tertulis yang diberikan tersebut otentik sifatnya. Dan saya setuju atas
pembagian harta yang diberikan untuk para pihak sesuai presentase yang sudah
dipertimbangkan.
13. Dalam suatu putusan, hakim sebagai mujtahid harus dapat melakukan ijtihad, bagaimana
pendapat ibu memahami kekolerasian antara keduanya dalam mengkontekstualkan suatu
permasalahan kekinian?
Untuk melakukan ijtihad harus disesuaikan dahulu dengan perkembangan zaman
seperti halnya disebutkan dalam kaidah fiqhiyah:
كم يتغري باالزمنة و االمكنة و االحوالاحلHukum itu berubah mengikuti perkembangan zaman, tempat dan keadaan
14. Dalam kasus seperti apakah seorang hakim diwajibkan untuk berijtihad?

Hakim harus dapat melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus yang langka dengan
begitu hakim termasuk telah melakukan “bahsul juhdi”, dimana ia melakukan usaha
dengan sungguh-sungguh dan ditambah adanya keterangan saksi-saksi dan pebuktian
otentik. Dengan hadis:
كمإذا ح دهتإذا اجو ،انرأج فله ابفأص دهتفاج مفاخطا احلاك رأج فله
Hal ini untuk meperkuat hakim apabila hakim dianggap keliru ketika memutuskan
perkara dalam pandangan manusia namun karena ia telah berijtihad maka hakim tetap
diberi satu pahala.
Jakarta, 08 April 2015
Narasumber Pewawancara
(Dr. Hj. Azizah, M.A.) (Safira Maharani)

1
P U T U S A N
Nomor : 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Agama Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara
tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara antara :
NAMA PENGGUGAT ASLI, Umur 48 tahun, Agama Islam, Pekerjaan ibu
rumah tangga, Tempat tinggal di JI. Lumbu Timur, II A No. 21 RT. 002,
RW. 033 Kelurahan Bojong, Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Juni 2008 yang terdaftara di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi Nomor : 146/1006/2008 tanggal 1
Agustus 2008 memberikan kuasa kepada DARWIS D. MARPAUNG, SH.,
N. HORAS MARULI TUA SIAGIAN, SH., HEFNIZAL, SH. dan
GINDO LIBERTY, SH. Advokat, Pengacara dan Penasehat Hukum pada
Kantor Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum "Darwis, Horas &
Associates" yang berkantor di Jalan Bakti No. 23, Kelurahan Cililitan Besar,
Kecamatan Keramat Jati, Jakarta Timur, selanjutnya disebut
PENGGUGAT;
L A W A N
NAMA TERGUGAT ASLI, Umur 53 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Karyawan BUMN, Tepat tinggal di JI. Gugus Depan Raya No. 141 RT. 002,
RW. 004, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi,
selanjutnya disebut TERGUGAT ;
Pengadilan Agama tersebut di atas :
- Telah membaca dan mempelajari berkas perkara ;
- Telah mendengan keterangan Penggugat dan Tergugat ;
- Telah meneliti bukti tertulis ;

2
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Penggugat berdasarkan suratnya tanggal 01 Agustus
2008 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi dengan register No.
1006/Pdt.G/2008/PA.Bks tanggal 01 Agustus 2008 telah mengajukan Gugatan Harta
Bersama dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan Pernikahan di Pontianak
(Kalimantan Barat) pada tanggal 09 Oktober 1981 dan telah di catatatkan pada
KUA Kecamatan Pontianak dengan Nomor : 459/17/198/X/1981 ;
2. Bahwa dari hasil Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat diperoleh 3 (tiga)
orang anak yaitu :
1. NAMA ANAK KE-1 lahir tanggal 20 February 1985 ;
2. NAMA ANAK KE-2 lahir tanggal 17 Agustus 1985 ;
3. NAMA ANAK KE-3 lahir tanggal 22 January 1995 ;
3. Bahwa selama Masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat Penggugat telah
memperoleh harta /barang berharga balk berupa Hibah maupun hadiah yang saat
ini berada dibawah kekuasaan Tergugat antara Lain :
1. 1.(satu) set Mutiara Putuh ;
2. 1 (satu) set Mutiara Cokelat ;
3. 2 (dua) set Gelang Tangan ;
4. 6 (enam) buah Gelang Keroncong ;
5. 3 (tiga ) buah Gelang Keroncong ;
6. 1 (satu) set Kalung Abhu Dhabi ;
7. 1 (satu) set Kalung Permata warna – warni ;
8. 1 (satu) set hadiah Perkawinan berupa Cincin, Gelang, dan Kalung ;
4. Bahwa sesuai Pasal 87 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam secara tegas dinyatakan
sebagai berikut "Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

3
Perjanjian Perkawinan" ;
5. Bahwa sesuai dengan Pasal 87 ayat 2 secara tegas dinyatakan sebagai berikut
"Suami Isttri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
atas harta masing-masing berupa Hibah, hadiah sodaqah atau lainnya” ;
6. Bahwa sesuai dengan Pasal 87 ayat 1 dan ayat 2 Kompilasi Hukum Islam
tersebut Penggugat memohon kehadapan Majelis Hakim agar menghukum
Tergugat agar menyerahkan harta/barang berharga milik Penggugat, sesuai
dengan Point 3 (tiga) tersebut diatas kepada Penggugat ;
7. Bahwa selama masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah diperoleh
harta bersama antara lain :
1. 1 (satu) unit Rumah Tinggal beserta isinya yang terletak di Perum Bumi
Bekasi Baru, JI. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002/RW 004, Kelurahan
Pengasinan , Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat ;
2. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh puluh lima
meter bujur sangkar) yang terletak di Desa Pengasinan, Kecamatan Rawa
Lumbu, Kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat, Sertifikat Hak Milik No.
6385 a/n. Trielya Noverisda ;
3. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi B. 2920
BY a/n. Mochsirsyah ;
4. Tabungan/Deposito pada Bank Mandiri atas nama Tergugat ;
5. Tabungan/Deposito pada Bank Central Asia a/n. Tergugat. Tabungan
/Deposito pada Bank BNI a/n. Tergugat ;
9. Bahwa sesuai pasal 92 Kompilasi Hukum Islam secara tegas menyatakan sebagai
berikut "Suami atau Istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama" ;
10. Bahwa berdasarkan Penetapan Pengadiian Agama Bekasi Nomor :
1364/Pdt.G/2007/PA Bekasi tanggal 18 Maret 2008 menyatakan Bahwa
Perkawinan antara, Penggugat dan Tergugat telah terjadi Perceraian ;

4
11. Bahwa sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam secara tegas dinyatakan
sebagai berikut "Janda atau Duda Cerai hidup masing masing berhak seperdua
dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan",
berdasarkan hal tersebut Penggugat memohon kehadapan majelis hakim yang
memeriksa perkara Aquo agar menetapkan seperdua dari harta bersama adalah
merupakan bagian/hak dari Penggugat ;
12. Bahwa sejak terjadinya Perceraian antara Penggugat dan Tergugat berdasarkan
Penetapan Pengadilan Agama Bekasi tersebut, Penggugat tidak memperoleh
nafkah Iddah serta Mut'ah ;
13. Bahwa sesuai dengan Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam secar tegas dinyatakan
sebagai berikut "bekas istri berhak mendapat nafkah Iddah dari bekas suaminya
kecuali bila istri nusyuz". Maka berdasarkan Pasal tersebut diatas Penggugat
memohon agar Tergugat memberikan Nafkah I'ddah sebesar Rp. 3.000.000 (tiga
juta rupiah) /Bulan ;
14. Bahwa sesuai dengan Pasal 149 ayat a Kompilasi Hukum Islam secara tegas
dinyatakan sebagai berikut "Bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas
suami wajib memberikan Mut'ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa
uang atau benda kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul", berdasarkan pasal
tersebut di atas Penggugat memohon kehadapan Majelis Hakim yang memeriksa
perkara aquo agar menghukum Tergugat memberikan Mut'ah kepada Penggugat
senilai Rp. 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah) ;
13. Bahwa sesuai dengan Pasal 158 ayat b Kompilasi Hukum Islam secara tegas
dinyatakan sebagai berikut "Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan
syarat Percerian itu atas kehendak Suami", maka berdasarkan Pasal 158 ayat b
Kompilasi Hukum Islam tersebut Penggugat memohon kehadapan Majelis Hakim
yang memeriksa perkara agar menghukum Tergugat memberikan Mut'ah kepada
Penggugat senilai Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) ;
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat memohon kehadapan Majelis Hakim

5
yang memeriksa perkara Aquo agar memutus sebagai berikut :
1. Menyatakan Harta/barang berharga berupa :
- 1.(satu) set Mutiara Putih ;
- 1 (satu) set Mutiara Cokelat ;
- 2 (dua) set Gelang Tangan ;
- 6 (enam) buah Gelang Keroncong ;
- 3 (tiga ) buah Gelang Keroncong ;
- 1 (satu) set Kalung Abhu Dhabi ;
- 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni ;
- 1 (satu) set hadiah Perkawinan berupa Cincin, Gelang, dan Kalung ;
Adalah merupakan hak/ Milik Penggugat
2. Menghukum Tergugat agar segera menyerahkan barang-barang tersebut diatas
kepada Penggugat meski ada upaya banding, serta Kasasi ;
3. Menyatakan barang-barang berharga berupa :
1. (satu) unit Rumah Tinggal beserta isinya yang terletak di Perum Bumi Bekasi
Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002 RW. 004. Kelurahan
Pengasinan , Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi , Jawa –Barat ;
2. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh puluh lima
meter bujur sangkar) terletak di Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu,
Kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan Sertifikat Hak Milik No.
6385 a/n Trielya Noverisda ;
3. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi B. 2920
a/n Mochsirsyah ;
4. Tabungan/Deposito pada Bank Mandiri a/n Tergugat ;
5. Tabungan/Deposito pada Bank Central Asia a/n Tergugat ;
6. Tabungan/Deposito pada Bank BNI a/n Tergugat ;
Adalah merupakan harta bersama yang diperoleh selama Perkawinan ;
4. Menetapkan 50 % dari harta bersama tersebut adalah merupakan Hak/bagian dari

6
Penggugat ;
5. Memerintahkan agar Tergugat segera menyerahkan 50 % dari harta bersama
tersebut kepada Penggugat meski ada upaya Banding Kasasi ;
6. Menetapkan/memerintahkan Tergugat agar memberikan uang I'ddah kepada
Penggugat sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) /bulannya ;
7. Menetapkan agar Tergugat memberikan Mut'ah senilai Rp. 50.000.000,- (lima
pulh juta rupiah) kepada Penggugat ;
8. Menghukum Tergugat agar membayar segala biaya yang ditimbulkan dalam
perkara ini ;
Atau : apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya
(Ex Aquo Et Bono) ;
Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan
Tergugat hadir di persidangan, Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan
keduanya agar dalam menyelesaikan masalah harta bersama tersebut ditempuh secara
musyawarah kekeluargan, tetapi usaha tersebut tidak berhasil, dan pada Januari 2009
telah dilakukan Mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun
2008 tetapi tidak berhasil ;
Menimbang, bahwa dibacakan gugatan Penggugat yang isinya tetap
dipertahankan Penggugat ;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah
memberikan jawaban yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Sanggahan/penolakan atas gugatan Trielya Novarisda binti Rivai Risna sejumlah
14 point tersebut dapat kami jelaskan sebagai berikut :
a) Gugatan sebagaimana disampaikan Penggugat jika perceraian dalam kondisi
normal atau cekcok rumah tangga maupun tidak ada kesesuaian, tetapi
perceraian Tergugat merupakan hal yang tidak normal karena Penggugat
melakukan penyelewengan berkali-kali sebagaimana pernyataan Penggugat
sejak tahun 2003 dan terakhir di Banyuwangi diikuti dengan pengakuan

7
menikah siri dengan sopir kantor yang sudah memiliki istri dan anak,
sedangkan Penggugat masih terikat perkawinan yang sah secara hukum
negara dan hukum agama dengan Tergugat. Serta usaha pembunuhan secara
terencana terhadap Tergugat yang berlangsung 2 (dua) kali. Yang pertama
tidak dilaporkan ke pihak kepolisian, tetapi yang kedua dilaporkan kepada
pihak Rt & Rw setempat serta pihak kepolisian Polsek Bekasi Timur. Bukti
dari pihak kepolisian Polsek Bekasi Timur terlampir ;
b) Dari perkawinan antara Tergugat dan Penggugat menghasilkan 3 (tiga) orang
anak yaitu :
- Rahmawaty Utamie (Wanita, 23 tahun, telah menikah) ;
- Ganesia Citra Merdekawaty (Wanita, 21 tahun, Mahasiswi) ;
- Fajar Imani (Pria 13 tahun Pelajar) ;
Satu telah menikah dan 2 (dua) tinggal bersama Tergugat. Selama ini
Penggugat tidak mengurus anak-anak dan hanya mencari kesenangan sendiri
serta melakukan penyelewengan/zinah sebagaimana bukti pernyataan
Penggugat yang pernah disampaikan pada saat permohonan talak, padahal
anak-anak butuh biaya sekolah dan untuk masa depan. Harta yang tersisa saat
ini akan Tergugat serahkan kepada anak-anak. Penggugat telah
menghamburkan sebagian besar harta bersama ;
c) Berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 yang disempurnakan dengan PP No. 45
tahun 1990 mengubah ketentuan pasal 8 sebagai berikut :
- Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat
(4), yang berbunyi sebagai berikut :
"Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan
perceraian disebabkan karena istri berzinah".
- Dalam hukum Islam bagi orang yang berzinah, maka harus di hukum rajam
sampai mati ;
- Penggugat sudah berkali-kali melakukan penyelewengan dan berzinah,

8
bahkan yang terakhir di Banyuwangi Penggugat mengaku telah menikah
siri sedangkan secara hukum negara dan hukum Islam Penggugat masih
terikat perkawinan yang sah dengan Tergugat ;
- Sebagai Ibu Ketua Ikatan Istri Karyawan (IIKA) yang puluhan tahun
lamanya, bahkan sebagai Ibu ketua Dharma Wanita unsur perhubungan di
Banyuwangi serta sebagai wanita muslim yang sering menggelar dan
mengikuti kegiatan keagamaan, sepatutnya mengetahui PP 45 tahun 1990
dan hukum agama dalam hal perzinahan. Terlebih lagi menikah siri dengan
laki-laki lain (poliandri) sebelum lepas dari pernikahan yang sah secara
hukum negara dan hukum agama. Tetapi pada kenyataannya Penggugat
justru melakukan nikah siri dalam keadaan sadar dan mengetahui resiko
menikah siri yang dilakukan berarti tanggung jawab materi dan non materi
akan berpindah kepada swami sirinya dan Penggugat tidak lagi memiliki
hak untuk menuntut kepada Tergugat karena telah mengingkari komitmen
perkawinan ;
- Perhiasan sebagaimana yang dituntut Penggugat pada dasarnya hanya sisa-
sisa, perhiasan yang sebelumnya telah diambil oleh Penggugat. Perhiasan
yang saat ini dituntut adalah perhiasan yang berada dalam satu tas yang
Penggugat kembalikan kepada Tergugat pada saat Penggugat ditangkap
oleh pihak kepolisian Polsek Bekasi Timur, sedangkan tas perhiasan
Penggugat berjumlah lebih dari satu, yang artinya apa yang dituntut pada
saat ini adalah sisa dari perhiasan yang dimiliki oleh Penggugat. Hal ini
dapat dibuktikan dari kesaksian anak-anaknya atau dari daftar kekayaan
dari pihak KPKPN milik Tergugat. Selain itu, Pada saat penyerahan tas
perhiasan tersebut Penggugat berpesan kepada Tergugat bahwa perhiasan
tersebut harap disimpan demi kepentingan anak-anak sekolah ataupun
untuk masa depan anak-anak. Perlu diketahui, bahwa selama 26 tahun
perkawinan Penggugat tidak pernah membelikan emas ataupun perhiasan

9
bagi Tergugat maupun anak-anaknya ;
- Tuntutan Penggugat terhadap rumah tinggal di JI. Gugus Depan Raya No.
141 Rt. 002/004, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawalumbu, Bekasi
sangat tidak beralasan karena rumah tersebut dibeli dari uang warisan
orang tua Tergugat dan diawasi oleh kakak kandung Tergugat, hal ini dapat
dibuktikan melalui kesaksian tetangga sekitar rumah Tergugat ;
- Ruko seluas 75 m2 terletak di Pasar Rawalumbu, dibeli berdasar hasil usaha
Tergugat dan ruko ini dipersiapkan dan diperuntukkan keperluan biaya
sekolah anak-anak di masa pensiun Tergugat, mengingat anak laki-laki
Tergugat dan Penggugat masih berusia 13 tahun, sedangkan Tergugat akan
pensiun 1 tahun lagi. Sertifikat ruko memang atas nama Penggugat,
dikarenakan pada saat proses sertifikasi anak-anak masih belum dewasa ;
- Mobil Kijang Innova tahun 2005 dengan nomor polisi 2920 atas nama
Mochsirsyah yang digunakan untuk bekerja dan mencari nafkah guna
menafkahi Penggugat dan ketiga anak Tergugat yang membutuhkan
makan, pakaian dan biaya sekolah ;
- Tabungan bank Tergugat pada awalnya memang bersaldo 560 juta rupiah,
tetapi karena penyelewengan yang dilakukan Penggugat dan tidak
mengakuinya walaupun ketiga pembantu rumah tangga telah menceritakan
kebenarannya serta pengakuan anak nomor tiga yaitu Fajar Imani, maka
Tergugat melaporkan kasus perzinahan dan nikah siri Penggugat ke
Kepolisian Banyuwangi untuk mengungkap kasus zinah dengan
menanyakan/menyelidiki 3 orang pembantu, 3 orang tukang becak yang
suka mengantar Penggugat, 1 orang satpam rumah dan menyisir 86 hotel di
Banyuwangi guna mencari daftar nama Penggugat dan suami sirinya
sebagai bukti, dan hal ini cukup menguras isi tabungan Tergugat selama
proses penyidikan berlangsung ;
- Mengenai uang mut'ah dan iddah sejak sidang perceraian/thalak Tergugat

10
sudah menolak, apalagi Penggugat yang menginginkan adanya perceraian.
Terbukti dengan adanya pengakuan Penggugat tentang pernikahan sirinya ;
- Hutang-hutang Penggugat yang dilunasi oleh Tergugat di kantor baik
cabang Banyuwangi maupun kantor pusat berjumlah ± Rp. 10. 000.000.
Hutang-hutang tersebut ditagih dan dilunasi oleh Tergugat setelah adanya
keputusan cerai yang sah dari pengadilan agama kota Bekasi pada tanggal
18 Maret 2008. Hutang-hutang tersebut dilunasi oleh Tergugat dengan
adanya potongan gaji Tergugat dari perusahaan pada bulan Juli 2008 ;
- Demikian penolakan atas gugatan Penggugat, dan pada kesempatan ini
Tergugat kembali menggugat Trielya Novarisda binti Rivai Risna atas
harta Tergugat yang dilarikan dan diberikan kepada suami sirinya, yang
berupa :
1. Uang tunai (tabanas BNI nomor : 133.000009355.901 dan
133.000009355.902 cabang Luwuk , Sulawesi Tengah) dimana baik
modal dan hasil keuntungan dari Week End Cafe yang dibangun dari
tahun 2000, hingga akhirnya tutup usaha pada April 2008 semuanya
dimasukkan ke dalam rekening Penggugat ;
2. Uang hasil stockist multilevel UFO dengan nomor SG 1308, baik modal
dan hasil keuntungan juga dimasukkan kedalam rekening Penggugat ;
3. Hasil dagangan kain dan baju Tergugat yang mencapai ratusan juta
rupiah juga dimasukkan kedalam rekening Penggugat ;
4. Rekening BNI nomor : 0042816474 cabang Banyuwangi, BNI nomor
rekening : 0029255265 cabang Bekasi, dan BCA cabang Banyuwangi
dengan nomor rekening : 1800451272 adalah rekening Penggugat yang
semua isinya adalah dari penghasilan Tergugat dari hasil usaha yang
lain ;
- Dari poin 1 s/ d 4 sebagian harta yang diberikan oleh Tergugat kepada
Penggugat, sedangkan Penggugat memberikan perhiasan emas dan uang

11
kepada suami sirinya berupa :
- 1 unit rumah di Banyuwangi dengan perabotan rumah tangga lengkap
yang dicuri penggugat dari rumah tergugat di Banyuwangi ;
- Perhiasan emas yang dipersiapkan untuk masa depan anak-anak
dititipkan kepada suami sirinya ;
- 1 ekor sapi piaraan ;
- 1 unit sepeda motor tahun 2006 ;
- 1 counter hp atas nama Eva Celluler ;
Semua diberikan oleh Penggugat kepada suami sirinya yang dimana sumber
uang tersebut dari hasil jerih payah tergugat ;
d) Upaya teror dan upaya untuk memeloroti harta benda Tergugat yang
dilakukan oleh Penggugat terus berlangsung. Hingga koleksi barang antik
milik Tergugat berupa 2 buah samurai milik Tergugat di jual oleh Penggugat
di JI. Surabaya, Jakarta Selatan yang menurut pengakuan Penggugat dijual
seharga Rp. 1.000.000,- per samurai. Sedangkan Tergugat menyimpan
samurai tersebut sebagai simpanan barang berharga untuk dijual sebagai
kebutuhan pendidikan ataupun masa depan anak-anak. Upaya teror penggugat
yang menempuh jalur dukun juga menjadi salah satu upaya Penggugat untuk
meneror Tergugat dengan perantara tetangga ataupun yang dilakukan oleh
Tergugat sendiri. Terbukti dengan temuan catatan kalimat-alimat/mantra yang
ditulis tangan oleh Penggugat yang ditemukan oleh anaknya sendiri di dalam
tas Penggugat (bukti terlampir) ;
e) Pernyataan Penggugat yang tidak ingin menuntut harta gono-gini pada poin 2
didalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh Penggugat sendiri juga
terlampir. Sekarang Penggugat mengingkari pernyataan tersebut dengan
gugatan gono-gini melalui pengacara Darwis, Horas dan rekan-rekan sungguh
tidak beralasan, disini dapat terlihat pula kelicikan dari Penggugat dengan
menuntut harta goni-gini dan mengingkari pernyataanya sendiri, sama saja

12
Penggugat telah mempermainkan hukum dan agama ;
f) Demikian sanggahan atas gugatan Penggugat dan kuasa hukumnya. sebagai
bahan pertimbangan majelis hakim, pada dasarnya Penggugat serakah dan
mau menguasai semua harta benda yang dimiliki oleh Tergugat dari
penghasilan Tergugat selama ini dengan mengabaikan hak dan kebutuhan
anak-anaknya demi kepentingan perzinahannya ;
g) Untuk sebagai bukti apa yang disampaikan Tergugat, mohon majelis hakim
meminta bukti-bukti baik tertulis ataupun berupa foto copy atau record
rekening bank Ppenggugat yang telah disampaikan diatas tadi dan kemudian
bukti kwitansi pembelian rumah, motor yamaha mio tahun 2006, counter hp
Eva Celluler, dan bukti pembelian seekor sapi milik Penggugat yang
diserahkan kepada suami siri Penggugat ;
h) Kelicikan Penggugat terlihat dengan memasukkan rumah tinggal hasil warisan
orang tua Tergugat, sementara sertifikat tanah warisan orang tua Penggugat di
Pontianak dengan hak milik nomor : 5793 di kelurahan Parit Tokaya
Pontianak Selatan (Kalimantan Barat) seluas 645 m2 dan termasuk dalam
harta kekayaan Tergugat dengan nomor registrasi KPKPN 5637 ;
i) Mengingat Tergugat lebih banyak bertugas diluar kota (ke daerah-daerah),
dimohon majelis hakim dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan
seadil-adilnya dan sesuai dengan peraturan pemerintah dan agama yang dianut
oleh Tergugat dalam waktu dekat ;
Menimbang, bahwa atas jawaban Tergugat tersebut, Penggugat mengajukan
Replik pada intinya Pnggugat menolak semua dalil jawaban Tergugat :
Menimbang, bahwa atas Replik Penggugat tersebut Tergugat telah
mengajukan Duplik yang pada pokokny Tergugat tetap dengan dalil-dalil awabannya;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat
telah mengajukan bukti photo copy surat yang bermaterai cukup dan telah dicocokan
dengan aslinya berupa :

13
1. P1, Photo copy Salinan Putusan Pengadilan Agama Bekasi No.
1364/Pdt.G/2007/PA.Bks tanggal 05 Februari 2008 ;
2. P2, Photo cpy Akta Cerai No. 214/AC/2008/PA/Bks tanggal 18 Maret 2008 ;
3. P3, Photo copy Sertipakat Tanah Hak Milik No. 6385 an. Trilya Novarisda ;
Menimbang, bahwa terhadap bukti-bukti tersebut Tergugat tidak membantah-
nya dan terhadap bukti P.3 Tergugat menyatakan bahwa Sertipikat aslinya ada pada
Tergugat ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil jawabannya Tergugat telah
tidak mengajukan bukti-bukti ;
Menimbang, bahwa untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek
perkara, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Bekasi telah mengadakan
pemeriksaan setempat pada tanggal 19 Agustus 2009 dan dari hasil pemeriksaan
setempat tersebut ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1. 1 (satu) set Mutiara Putih ;
2. 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni ;
3. 1 (satu) unit Rumah Tinggal luas tanah 149 m2 dan luas bangunan 153 m2
terletak di Perum Bumi Bekasi Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002
RW. 004. Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa - Barat
dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Barat : Rumah bapak Situngkir ;
- Sebelah Utara : Jl. Gugus Depan ;
- Sebelah Timur : Rumah Ibu Suwarji ;
- Sebelah Selatan : Rumah bapakDidid / Ipung ;
4. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) luas tanah 75 m2 terletak di Pengasinan,
Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan
Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n Trilya Novarisda dengan batas-batas sebagai
berikut :
- Sebelah Barat : Ruko ;
- Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;

14
- Sebelah Timur : Ruko ;
- Sebelah Selatan : Indomart ;
5. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor Polisi B 2920 BY
a/n Mochsirsyah ;
Menimbang, bahwa untuk meringkas uraian putusan ditunjuk kepada berita
acara persidangan perkara ini yang merupakan kesatuan tidak terpisahkan dari
putusan ;
Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah mengajukan kesimpulan
yang pada pokoknya Penggugat tetap dengan dalil gugatan dan repliknya, dan
Tergugat tetap dengan dalil jawaban dan dupliknya ;
Menimbang, bahwa untuk meringkas uraian putusan ditunjuk kepada berita
acara persidangan perkara ini yang merupakan kesatuan tidak terpisahkan dari
putusan ;
TENTANG HUKUMNYA
DALAM KONVENSI
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Konvensi
sebagaimana diuraikan dalam duduk perkaranya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 49 ayat (1) huruf (a) dan ayat (2)
beserta penjelasaanya angka (10) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah
diubah dengan Undang-undang 3 Tahun 2006 perkara a quo merupakan konpetensi
absolut Pengadilan Agama, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang untuk
memeriksa dan menyelesaikan gugatan Penggugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Penggugat Konvensi yang tidak
dibantah Tergugat Konvensi terbukti Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi
berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi, maka dengan mendasarkan
kepada pasal 118 ayat (1) HIR, Pengadilan Agama Bekasi berwenang memeriksa dan
menyelesaikan gugatan Penggugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR, Majelis Hakim

15
telah berusaha mendamaikan Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi agar dalam
menyelesaikan gugatannya diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan, tetapi
tidak berhasil, lalu dibacakan gugatan Penggugat Konvensi yang isinya tetap
dipertahankan Penggugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat Konvensi pada pokonya adalah
tentang gugatan harta bersama, nafkah iddah dan Mu’ah ;
Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan tentang
gugatan Penggugat Konvensi tersebut, Majelis Hakim perlu terlebih dahulu
pertimbangkan mengenai hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dengan
Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil Penggugat Konvensi yang tidak
dibantah Tergugat Konvensi, diperkuat bukti (P.1 dan P.2) terbukti bahwa Penggugat
Konvensi dengan Tergugat Konvensi telah menikah pada 09 Oktober 1981 yang
tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pontianak Barat dengan Kutipan Akta
Nikah No. 453/17/198/X/1981 tanggal 16 Oktober 1981, dan telah bercerai di
Pengadilan Agama Bekasi berdasarkan Akta Cerai No. 214/AC/2008/PA/Bks tanggal
18 Maret 2008, oleh karena itu Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi
mempunyai kwalitas sebagai pihak-pihak dalam perkara ini ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 1
telah mohon agar menyatakan harta/barang berharga berupa : 1 (satu) set Mutiara
Putih, 1 (satu) set Mutiara Cokelat, 2 (dua) set Gelang Tangan, 6 (enam) buah
Gelang Keroncong, 3 (tiga ) buah Gelang Keroncong, 1 (satu) set Kalung Abhu
Dhabi, 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni dan 1 (satu) set hadiah Perkawinan
berupa Cincin, Gelang, dan Kalung Adalah merupakan hak/Milik Penggugat ;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat
Konvensi telah memberikan jawaban yang pada pokoknya bahwa perhiasan yang
dituntut Penggugat Konvensi pada dasarnya hanya sisa-sisa, sebelumnya telah
diambil oleh Penggugat Konvensi. Perhiasan yang saat ini dituntut adalah perhiasan

16
yang berada dalam satu tas. Perhiasan Penggugat Konvensi berjumlah lebih dari satu.
Apa yang dituntut saat ini adalah sisa dari perhiasan yang dimiliki Penggugat
Konvensi. Selain itu, Pada saat penyerahan tas perhiasan tersebut Penggugat
Konvensi berpesan kepada Tergugat Konvensi bahwa perhiasan tersebut harap
disimpan demi kepentingan anak-anak sekolah ataupun masa depan anak-anak ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi untuk
meneguhkan masing-masing dalil gugatan dan dalil jawabannya telah tidak
mengajukan bukti-bukti, baik surat maupun saksi-saksi, akan tetapi dari dalil jawaban
Tergugat Konvensi Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat Konvensi mengakui
bahwa memang ada barang perhiasan seperti didalilkan Penggugat Konvensi, akan
tetapi Tergugat Konvensi menolak bahwa barang perhiasan tersebut merupakan milik
Penggugat Konvensi sebagai hasil dari hadiah ;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan setempat,
dan dari hasil pemeriksanaan setempat yang dilaksankan pada tanggal 19 Agustus
2009 Majelis Hakim hanya menemukan perhisan berupa : 1 (satu) set Mutiara Putih
dan 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni (objek gugatan poin 3.1 dan 3.7 gugatan
Penggugat) ;
Menimbang, bahwa terhadap barang perhiasan tersebut Majelis Hakim
menilai, bawa disamping karena Penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan
tentang status barang perhiasan tersebut sebagai hadiah, juga karena Penggugat
Konvensi tidak menyebutkan barang perhiasan tersebut sebagai hadiah dari siapa dan
dalam rangka apa, oleh karena itu maka tuntutan Penggugat Konvensi tersebut harus
dinyatakan ditolak ;
Menimbang, bahwa Tergugat Konvensi dalam jawabannya tidak membantah
atau mengakui tentang adanya barang perhiasan tersebut tetapi bukan sebagai milik
Penggugat Konvensi dan Majelis Hakim telah menyatakan bahwa barang perhiasan
tersebut bukan milik Penggugat Konvensi sebagai hadiah seperti tersebut diatas, oleh
karena itu Majelis Hakim berpendapat bahwa barang perhiasan tersebut merupakan

17
harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi yang diperoleh
selama masa perkawinan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
dan dengan mendasarkan kepada pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, Majelis
Hakim hanya akan menetapkan bahwa barang perhiasan berupa : 1 (satu) set Mutiara
Putih dan 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni (objek gugatan poin 3.1 dan 3.7
gugatan Penggugat) adalah sebagai harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan
Tergugat Konvensi;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 2
telah mohon agar menghukum Tergugat Konvensi untuk segera menyerahkan
barang-barang tersebut diatas kepada Penggugat Konvensi meski ada upaya banding
serta kasasi ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa karena tuntutan tersebut disamping tidak didukung oleh posita gugatan, juga
tuntutan tersebut terkait erat (assesoir) dengan tuntutan sebelumnya, maka terhadap
tuntutan Penggugat tersebut juga harus ditolak ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 3
telah mohon agar menyatakan barang-barang berharga berupa :
a. (satu) unit Rumah Tinggal beserta isinya yang terletak di Perum Bumi Bekasi
Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002 RW. 004. Kelurahan Pengasinan ,
Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi , Jawa –Barat. Dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Rumah Bapak Situngkir ;
- Sebelah Utara : Jalan Raya Gugus Depan ;
- Sebelah Timur : Rumah Ibu Suwarji ;
- Sebelah Selatan : Rumah bapak Didi / Ipung ;
b. 1 (satu) unit Rumah Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh puluh lima meter
bujur sangkar) terletak di Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya
Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n. Trielya

18
Noverisda. Dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Ruko ;
- Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;
- Sebelah Timur : Ruko ;
- Sebelah Selatan : Indomart ;
c. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi B 2920 BY
a/n Mochsirsyah ;
d. Tabungan/Deposito pada Bank Mandiri a/n Tergugat ;
e. Tabungan/Deposito pada Bank Central Asia a/n Terguga ;
f. Tabungan/Deposito pada Bank BNI a/n Tergugat ;
Adalah merupakan harta bersama yang diperoleh selama Perkawinan ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat Konvensi tersebut Majelis
Hakim akan mempertibangkan satu persatu dalam pertimbangan sebagai berikut :
Menimbang, bahwa tentang tuntutan poin 3 huruf (a), rumah tinggal beserta
isinya yang terletak di Perum. Bumi Bekasi Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT
002 RW. 004. Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, dengan
batas-batas seperti tersebut di atas ;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan
tentang tuntutan Penggugat Konvensi mengenai isi dari rumah tersebut ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dalam gugatannya tidak menjelas-
kan/menyebutkan tentang apa-apa saja yang dimaksud dengan isi dari rumah tersebut,
sehingga tidak jelas bagi Majelis Hakim apa yang dituntut oleh Penggugat Konvensi
dalam gugatannya tersebut, maka gugatan tersebut harus dinyatakan kabur/tidak jelas
(obcuur libel), oleh karena itu gugatan Penggugat Konvensi tentang isi rumah
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (NO), maka harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat Konvensi tentang rumah
tersebut, Tergugat Konvensi telah memberikan jawaban yang pada pokoknya bahwa
rumah tersebut dibeli dari uang warisan orang tua Tergugat Konvensi, dan dalam

19
Repliknya Penggugat Konvensi menyatakan bahwa rumah tersebut diperoleh dan
ditempati pada tahun 1990, sedangkan warisan yang diperoleh Tergugat Konvensi
sebesar Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) adalah pada tahun 1997 ;
Menimbang, bahwa karena dalil gugatan Penggugat Konvensi diantah
Tergugat Konvensi, maka berdasarkan pasal 163 HIR Penggugat Konvensi dibebani
beban pembuktian ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil gugatannya tersebut, Penggugat
Konvensi telah tidak mengajukan bukti-bukti dengan alasan, bahwa karena bukti
rumah tersebut berupa Sertipikat rumah ada pada penguasaan Tergugat Konvensi, dan
terhadap pernyataan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat Konvensi membenar-
kannya, bahwa Sertipikat rumh tersebut ada pada Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dalam Repliknya membantah dalil
Tergugat Konvensi bahwa rumah tersebut dibeli dari hasil warisan orang tua Tergugat
Konvensi, maka berdasarkan pasal 163 HIR Tergugat Konvensi pula dibebani beban
pembuktian ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil bantahannya, Tergugat
Konvensi telah tidak mengajukan bukti-bukti, sehingga dalil Tergugat Konvensi
tentang bahwa rumah tersebut dibeli dari hasil uang warisan orang tua Tergugat
Konvensi tidak didukung dengan bukti-bukti ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Msjelis
Hakim berpendapat, bahwa meskipun Penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan
dalilnya tersebut, akan tetapi karena Penggugat Konvensi menyatakan bahwa bukti
Sertipikat dari rumah tesebut ada pada penguasaan Tergugat Konvensi dan Tergugat
Konvensi di muka persidangan telah membenarkan pernyataan Penggugat Konvensi
tersebut, sementara itu terhadap dalil Tergugat Konvensi bahwa rumah tersebut dibeli
dari uang warisan orang tua Tergugat Konvensi, Tergugat Konvensi tidak dapat
membuktikannya, maka dalil Penggugat Konvensi tersebut harus dinyatakan terbukti,
dan dalil bantahan Tergugat Konvensi harus dinyatakan tidak terbukti, maka harus

20
dikesampingkan. Oleh karena itu maka rumah tersebut harus dinyatakan sebagai harta
bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa tentang tuntutan poin 3 huruf (b), 1 (satu) unit Rumah
Toko (RUKO) dengan luas 75 M2 (tujuh puluh lima meter bujur sangkar) terletak di
Pengasinan, dengan batas-batas seperti tersebut d atas ;
Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat
Konvensi telah memberikan jawaban yang pada pokoknya, bahwa Ruko seluas 75 m2
terletak di Pasar Rawalumbu, dibeli berdasar hasil usaha Tergugat Konvensi dan ruko
tersebut dipersiapkan dan diperuntukkan untuk keperluan biaya sekolah anak-anak di
masa pensiun Tergugat Konvensi. Sertifikat ruko memang atas nama Penggugat
Konvensi ;
Menimbang, bahwa dari jawaban Tergugat Konvensi tersebut Majelis Hakim
menilai bahwa Tergugat Konvensi mengakui bahwa selama perkawinan antara
Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi telah diperoleh harta berupa satu
unit Ruko seluas 75 m2 terletak di Pasar Rawalumbu sebagaimana tersebut di atas ;
Menimbang, bahwa meskipun dalil Penggugat tersebut telah diakui Tergugat
Konvensi, namun Penggugat Konvensi untuk meneguhkan dalil gugatannya tersebut
telah mengajukan bukti P.3 (berupa photo copy Sertipikat - Tanda Bukti Hak) yang
terhadap bukti P.3 tersebut Tergugat Konvensi tidak membantah dan mengakui
bahwa aslinya ada pada Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa tentang keberatan Tergugat Konvensi bahwa rumah
tersebut dibeli berdasar hasil usaha Tergugat Konvensi dan dipersiapkan untuk masa
depan anak-anak, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut :
Menimbang, bahwa dalam pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
disebutkan, bahwa “Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, selanjutnya disebut harta bersama”;
Menimbang, bahwa dengan mendasarkan kepada pasal 1 huruf (f) Kompilasi

21
Huku Islam tersebut di atas Majelis Hakim berperdapat, bahwa dalam hal adanya
harta bersama tidak mempersoalkan siapa yang mendapatkan harta tersebut, selama
harta tersebut diperoleh dalam masa perkawinan dan bukan merupakan harta bawaan,
waris atau hadiah, maka harta tersebut merupakan harta bersama ;
Menimbang, bahwa dengan mendasarkan kepada pertimbngan-pertimbangan
tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat, bahwa telah nyata terbukti bahwa rumah
tersebut merupakan harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat
Konvensi ;
Menimbang, bahwa tentang tuntutan poin 3 huruf (c), 1 (satu) unit Mobil
Kijang Inova Tahun 2006 dengan Nomor Polisi B 2920 BY a/n Mochsirsyah ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat Konvensi tersebut
Tergugat Konvensi memberikan jawaban yang pada pokoknya bahwa Mobil Kijang
Innova tahun 2005 dengan nomor polisi B 2920 BY a/n. Mochsirsyah digunakan
untuk bekerja dan mencari nafkah guna menafkahi Penggugat Konvensi dan ketiga
anak Tergugat Konvensi yang membutuhkan makan, pakaian dan biaya sekolah ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil gugatannya Penggugat
Konvensi tidak mengajukan bukti-bukti, akan tetapi dari dalil jawaban Tergugat
Konvensi tersebut Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat Konvensi mengakui
adanya mobil tersebut, atau bahwa selama perkawinan antara Penggugat Konvensi
dengan Tergugat Konvensi telah diperoleh sebuah Mobil Kijang Innova tahun 2005
dengan nomor polisi B 2920 BY a/n. Mochsirsyah, disamping itu Tergugat Konvensi
mengakui bahwa surat mobil tersebut ada pada Tergugat Konvensi. Oleh karena itu
Majelis Hakim dengan mendasarkan kepada pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam, menetapkan bahwa sebuah Mobil Kijang Innova tahun 2005 dengan nomor
polisi B 2920 BY adalah sebagai harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan
Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa tentang tuntutan poin 3 huruf (d, e dan f), Tabungan
deposito pada Bank Mandiri, Bank Central Asia dan pada ank BNI semua atas nama

22
Tergugat Konvensi;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa karena Penggugat Konvensi tidak menyebutkan bank-bank tersebut
berkedudukan dimana dan berapa jumlah uang yang ditabungkan/didepositokan, dan
juga karena Penggugat Konvensi tidak mengajukan bukti-bukti, meskipun dalam
jawabannya Tergugat Konvensi menyebutkan bahwa pada awalnya tabungan bank
tersebut bersaldo sebesar Rp. 560,- Juta rupiah, akan tetapi Tergugat Konvensi juga
tidak menjelaskan pada bank mana Tergugat Konvensi menabung/mendepositokan
uang tersebut. Oleh karena itu Majelsi Hakim menilai bahwa tuntutan Penggugat
Konvensi tersebut kabur atau tidak jelas (Obcuur libel), sehingga tuntutan tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima (NO), maka harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa berdasakan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa yang menjadi harta bersama antara Penggugat
Konvensi dengan Tergugat Konvensi adalah berupa :
1. 1 (satu) set Mutiara Putih ;
2. 1 (satu) set Kalung Permata warna-warni ;
3. 1 (satu) unit rumah tinggal luas tanah 149 m2 dan luas bangunan 153 m2 terletak
di Perum Bumi Bekasi Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002 RW. 004.
Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa – Barat dengan
batas-batas :
- Sebelah Barat : Rumah bapak Situngkir ;
- Sebelah Utara : Jl. Gugus Depan ;
- Sebelah Timur : Rumah Ibu Suwarji ;
- Sebelah Selatan : Rumah bapak Didi / Ipung ;
4. 1 (satu) unit rumah toko (Ruko) luas tanah 75 m2 terletak di Pengasinan,
Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan
Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n. Trilya Novarisda dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Ruko ;

23
- Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;
- Sebelah Timur : Ruko ;
- Sebelah Selatan : Indomart ;
5. 1 (satu) unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor Polisi B 2920 BY
a/n. Mochsirsyah ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 4
telah mohn agar menetapkan 50 % dari harta bersama tersebut adalah merupakan
Hak/bagian dari Penggugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa atas tuntutan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat
Konvensi telah memberikan jawaban yang pada pokoknya bahwa Tergugat Konvensi
keberatan harta tersebut dibagi dengan Penggugat Konvensi karena Penggugat
Konvensi telah banyak menghambur-hamburkan harta baik berupa uang tunai, barang
perhiasan dan barang lainnya, semasa Penggugat Konvensi dengan Tergugat
Konvensi masih terikat dalam perkawinan, disamping itu harta-harta yang ada adalah
diperuntukan bagi biaya pendidikan dan masa depan anak-anak, mengingat Tergugat
Konvensi akan pensiun satu tahun lagi, sementara anak laki-laki Tergugat Konvensi
dan Penggugat Konvensi masih berusia 13 tahun ;
Menimbang, bahwa terhadap dalil keberatan Tergugat Konvensi tersebut
Penggugat Konvensi membantahnya, oleh karena itu berdasarkan pasal 163 HIR
Tergugat Konvensi dibebani beban pembuktian ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil keberatan tersebut Tergugat
Konvensi telah tidak mengajukan bukti-bukti, sehingga dalil keberatan tersebut harus
dinyatakan tidak terbukti, maka harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa anak tidak
mempunyai hak terhadap harta orang tuanya selama orang tuanya masih hidup.
Namun demikian anak mempunyai hak dari orang tuanya untuk mendapatkan
pengasuhan dan pemeliharaan serta pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan dan
pendidikan agamanya (vide pasal 45 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 77

24
ayat (3) Kompilasi Hukum Islam) ;
Menimbang, bahwa dalam harta bersama Majelis Hakim berpendapat,
bahwa masing-masing suami isteri mempunyai hak penuh atau hak sempurna untuk
berbuat terhadap bagiannya, dan masing-masing suami atau isteri tidak dapat
memaksakan salah satunya untuk mengalihkan atau memberikan bagiannya itu
kepada siapapun, kecuali atas keinginannya atau kemauannya sendiri tanpa paksaan
dari salah satunya (Vide pasal 92 Kompilasi Hukum Islam) ;
Menimbang, bahwa dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”;
Menimbang, bahwa namun demkian Majelis Hakim berpendapat bahwa
keadilan berimbang dalam hal pembagian harta bersama tidak selalu harus diartikan
sama besar atau sama nilai sebagaimana bunyi pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
tersebut di atas, tetapi pula harus berimbang dalam hal kontribusi, memperoleh,
menjaga, mengelola dan membelanjakan harta dalam rumah tangga, sehingga
ketentuan pasal tersebut tidak selalu harus dilaksanakan sebagaimana bunyi pasal itu
sendiri, akan tetapi penerapan pasal tersebut harus diukur oleh rasa keadilan dalam
rumah tangga, dimana kontribusi suami atau isteri dalam hal memperoleh, menjaga,
mengelola dan membelanjakan harta dalam rumah tangga (harta bersama) akan
sangat berpengaruh terhadap rasa keadilan dalam hal terjadinya pembagian harta
bersama manakala pembagian dimaksud akan merupakan suatu keharusan dalam
penyelesaian sengketa harta bersama ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi semata-mata hanya sebagai ibu
rumah tangga, yang adanya sejumlah harta dalam rumah tangga antara Penggugat
Konvensi dengan Tergugat Konvensi murni merupakan hasil sepenuhnya Tergugat
Konvensi, tanpa adanya kontribusi dari Penggugat Konvensi. Sementara disamping
itu kondisi Tergugat Konvensi yang setahun lagi akan menjalani pensiun, sementra
ketiga anak Penggugat Konvensi dan Tergugat Konvensi semuanya ada pada

25
tanggung jawab Tergugat Konvensi, anak-anak Penggugat Konvensi dan Tergugat
Konvensi masih sangat membutuhkan biaya, terlebih salah satu dari anak Penggugat
Konvensi dan Tergugat Konvensi ada yang baru berumur 13 tahun, yang tentunya
masih sangat panjang perjalanan anak tersebut untuk mendapatkan pendidikan dan
bekal masa depannya yang pada gilirannya hal tersebut akan menjadi tanggung jawab
dan kewajiban Tergugat Konvensi selaku ayahnya, sehingga hal tersebut logis dan
patut untuk dijadikan sebagai pertimbangan guna mengukur rasa keadilan dalam hal
membagi harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
Majelis Hakim berpendapat, bahwa tidak adil jika ketentuan pasal 97 Kompilasi
Hukum Islam tersebut di atas diterapkan secara tektual dalam kasus perkara a quo,
Oleh karena itu menolak petitum gugatan Penggugat Konvensi tersebut dan Majelis
Hakim menetapkan bahwa bagian Penggugat Konvensi dari harta bersama tersebut
adalah sebesar 1/3 bagian dan Tergugat Konvensi adalah sebesar 2/3 bagian,
sebagaimana tersebut dalam diktum putusan ini ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 5
telah mohon agar memerintahkan Tergugat Konvensi untuk segera menyerahkan 50
% dari harta bersama tersebut kepada Penggugat Konvensi meski ada upaya
banding atau kasasi ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa karena tuntutan tersebut disamping tidak didukung oleh posita gugatan, juga
untuk menjamin kepastian hukum Majelis Hakim berpendapat bahwa tuntutan
Penggugat Konvensi tersebut harus ditolak ;
Menimbang, bahwa meskipun Penggugat Konvensi dalam petitum
gugatannya tidak mohon agar Tergugat Konvensi dihukum untuk memberikan hak
Penggugat Konvensi dari harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat
Konvensi kepada Penggugat Konvensi, akan tetapi demi untuk menjamin kepastian
dan adanya perlindungan hukum, maka Majelis Hakim dengan mendasarkan kepada

26
petitum subsider “apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya” dan karena objek perkara semuanya ada pada penguasaan Tergugat
Konvensi. Oleh karena itu Majelis Hakim menghukum Tergugat Konvensi untuk
membagi harta bersama tersebut kepada Penggugat Konvensi sebesar 1/3 (satu per
tiga) bagian dan Tergugat Konvensi mendapat 2/3 (dua per tiga) bagian, atau apabila
tidak dapat dibagi secara natura/fisik, agar dilakukan penjualan lelang melalui Kantor
Lelang Negara dan hasil penjualan lelang tersebut dibagi kepada Penggugat Konvensi
dan Tergugat Konvensi, masing-masing mendapat bagian sebagaimana tersebut di
atas ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 6
telah mohon agar memerintahkan Tergugat Konvensi untuk memberikan uang I'ddah
kepada Penggugat Konvensi sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah)per /bulan ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Tergugat Konvensi telah
memberikan jawaban yang pada pokoknya Tergugat Konvensi menolak untuk
memberikan uang Iddah kepada Penggugat Konvensi disebabkan karena Penggugat
telah melakukan perselingkuhan dan telah melakukan pernikahan siri ketika antara
Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi masih terikat dalam perkawinan
yang sah ;
Menimbang, bahwa atas jawaban Tergugat Konvensi tersebut Penggugat
dalam Repliknya membantah dalil jawaban Tergugat Konvensi tersebut ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil jawabannya tersebut Tergugat
telah tidak mengajukan bukti-bukti, akan tetapi Majelis Hakim dari bukti P.1 (berupa
Salinan Putusan Pengadilan) menemukan fakta, bahwa dalam putusan tersebut
Penggugat Konvensi telah dinyatakan terbukti mempunyai hubungan dengan laki-laki
lain dan telah melakukan pernikahan sirri ketika antara Penggugat Konvensi dengan
Tergugat Konvensi masih terikat dalam perkawinan yang sah. Oleh karena itu Majelis
Hakim dengan mendasarkan kepada bukti P.1 tersebut, maka dalil Tergugat Konvensi
tersebut harus dinyatakan terbukti dan Penggugat Konvensi harus dinyatakan telah

27
berbuat Nusyuz (durhaka terhadap suami) ;
Menimbang, bahwa dalam pasal 149 huruf (b) dan pasal 152 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan, bahwa : “Bilama perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam Iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil” ;
Menimbang, bahwa dengan mendasarkan kepada pasal 149 huruf (b)
tersebut di atas, dihubungkan dengan pertimbangan sebelumnya, dimana Penggugat
Konvensi telah dinyatakan Nusyuz, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
Penggugat Konvensi tidak berhak untuk mendapatkan nafkah Iddah dari Tergugat
Konvensi, sehingga gugatan Penggugat Konvensi tersebut harus dinyatakan ditolak,
sebagaimana tersebut dalam diktum putusan ini ;
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi pada petitum gugatannya angka 7
telah mohon agar memerintahkan Tergugat Konvensi untuk memberikan Mut’ah
kepada Penggugat Konvensi sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Tergugat Konvensi telah
memberikan jawaban yang pada pokoknya Tergugat Konvensi menolak untuk
memberikan Mut’ah kepada Penggugat Konvensi disebabkan karena Penggugat
Konvensi telah melakukan perselingkuhan dan telah melakukan pernikahan siri ketika
antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi masih terikat dalam
perkawinan yang sah ;
Menimbang, atas jawaban Tergugat Konvensi tersebut Penggugat Konvensi
dalam Repliknya membantah dalil jawaban Tergugat Konvensi tersebut ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil jawabannya tersebut Tergugat
Konvensi telah tidak mengajukan bukti-bukti, akan tetapi Majelis Hakim dari bukti
P.1 (berupa Salinan Putusan Pengadilan) menemukan fakta, bahwa dalam putusan
tersebut Penggugat Konvensi telah dinyatakan terbukti mempunyai hubungan dengan
laki-laki lain dan telah melakukan pernikahan sirri ketika antara Penggugat Konvensi

28
dengan Tergugat Konvensi masih terikat dalam perkawinan yang sah, oleh karena itu
dalil Tergugat Konensi tersebut harus dinyatakan terbukti dan Penggugat Konvensi
harus dinyatakan Nusyuz (durhaka terhadap suami) ;
Menimbang, bahwa dalam pasal 149 huruf (b) dan pasal 152 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan, bahwa : “Bilama perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib memberikan Mut’ah yang layak kepada isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla ad-dukhul”;
Menimbang, bahwa nusyuznya seorang bekas istri tidak menghalangi bekas
isteri tersebut untuk mendapatkan Mut’ah dari bekas suaminya, oleh karena itu
meskipun Penggugat Konvensi telah dinyatakan nusyuz Penggugat Konvensi berhak
untuk mendapatkan Mut’ah dari Tergugat Konvensi ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Mut’ah Penggugat Konvensi tersebut
Majelis Hakim berpendapat terlalu besar, hal ini didasarkan kepada karena Majelis
Hakim tidak mengetahui berapa besar penghasilan Tergugat Konvensi. Oleh karena
itu Majelis Hakim secara ex oficio akan menentukan besaran Mut’ah yang harus
diberikan Tergugat Konvensi kepada Penggugat Konvensi berdasarkan kelayaan dan
kepatutan, yaitu sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah), sebagaimana tersebut
dalam diktum putusan ini ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
maka gugatan Pengggat Konvensi dikabulkan untuk sebagian dan dinyatakan ditolak
dan tidak dapat diterima (NO) untuk selebihnya ;
DALAM REKONVENSI
Menimbang, bahwa Penggugat Rekonvensi mengajukan gugatan balik
terhadap Tergugat Rekonvensi sebagai berijkut :
1. Uang tunai (tabanas BNI nomor : 133.000009355.901 dan 133.000009355.902
cabang Luwuk, Sulawesi Tengah) dimana baik modal dan hasil keuntungan dari
Week End Cafe yang dibangun dari tahun 2000, hingga akhirnya tutup usaha
pada April 2008 semuanya dimasukkan kedalam rekening Tergugat Rekonvensi ;

29
2. Uang hasil stockist multilevel UFO dengan nomor SG 1308, baik modal dan hasil
keuntungan juga dimasukkan kedalam rekening Tergugat Rekonvensi ;
3. Hasil dagangan kain dan baju Penggugat Rekonvensi yang mencapai ratusan juta
rupiah juga dimasukkan kedalam rekening Tergugat Rekonvensi ;
4. Rekening BNI nomor : 0042816474 cabang Banyuwangi, BNI nomor rekening :
0029255265 cabang Bekasi, dan BCA cabang Banyuwangi dengan nomor
rekening : 1800451272 adalah rekening Tergugat Rekonvensi yang semua isinya
adalah dari penghasilan Penggugat Rekonvensi dari hasil usaha yang lain ;
Dari poin 1 s/ d 4 sebagian harta yang diberikan oleh Penggugat Rekonvensi
kepada Tergugat Rekonvensi, sedangkan Tergugat Rekonvensi memberikan
perhiasan emas dan uang kepada suami sirinya berupa :
- 1 unit rumah di Banyuwangi dengan perabotan rumah tangga lengkap yang
dicuri Tergugat Rekonvensi dari rumah tergugat di Banyuwangi ;
- Perhiasan emas yang dipersiapkan untuk masa depan anak-anak dititipkan
kepada suami sirinya ;
- 1 ekor sapi piaraan ;
- 1 unit sepeda motor tahun 2006 ;
- 1 counter hp atas nama Eva Cellule ;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa karena Penggugat Rekonvensi tidak menyebutkan berapa jumlah tabungan
pada Bank BNI dan bank BCA tersebut, dan juga karena Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi tidak mengajukan bukti-bukti, oleh karena itu Majelis Hakim
menilai bahwa tuntutan Penggugat Konvensi tersebut kabur atau tidak jelas (Obcuur
libel) sehingga tuntutan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (NO), maka
harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa terhadap hal-hal yang telah dipertimbangkan dalam
pertimbangan Konvensi sepanjang yang berkaitan dengan pertimbangan Rekonvensi
dianggap menjadi pertimbangan dalam Rekonvensi ;

30
DALAM KONVENSI - REKONVENSI
Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dalam petitum
gugatannya angka 8 telah mohon agar menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini ;
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
berdasar pasal 89 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 biaya perkara dibebankan kepada
Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi, oleh karena itu menolak petitum angka 8
gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dengan membebankan biaya
perkara kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi sejulah seperti tersebut
dalam diktum putusan ini ;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang barlaku dan hukum
syara yang berkaitan dengan perkara ini ;
M E N G A D I L I
DALAM KONVENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Konvensi sebagian ;
2. Menetapkan harta-harta berupa :
2.1. Satu set Mutiara Putih ;
2.2. Satu set Kalung Permata warna-warni ;
2.3. Satu unit rumah tinggal luas tanah 149 m2 dan luas bangunan 153 m2 terletak
di Perum Bumi Bekasi Baru, J1. Gugus Depan Raya No. 141 RT 002 RW.
004. Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa – Barat
dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Rumah bapak Situngkir ;
- Sebelah Utara : Jl. Gugus Depan ;
- Sebelah Timur : Rumah Ibu Suwarji ;
- Sebelah Selatan : Rumah bapak Didi / Ipung ;
2.4. Satu unit rumah toko (Ruko) luas tanah 75 m2 terletak di Pengasinan,

31
Kecamatan Rawa Lumbu, Kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dengan
Sertifikat Hak Milik No. 6385 a/n. Trilya Novarisda dengan batas-batas :
- Sebelah Barat : Ruko ;
- Sebelah Utara : Jl. Dasa Darma 5 ;
- Sebelah Timur : Ruko ;
- Sebelah Selatan : Indomart ;
2.5. Satu unit Mobil Kijang Inova Tahun 2005 dengan Nomor Polisi B 2920 BY
a/n. Mochsirsyah ;
Adalah harta bersama antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi;
3. Menetapkan Penggugat Konvensi mendapat 1/3 (satu per tiga) bagian dan
Tergugat Konvensi mendapat 2/3 (dua per tiga) bagian dari harta bersama tersebut
pada diktum angka 3 (tiga) tersebut di atas ;
4. Menghukum Tergugat Konvensi untuk membagi/memberikan bagian Penggugat
Konvensi kepada Penggugat Konvensi dari harta bersama tersebut sebesar 1/3
(satu per tiga) bagian, atau apabila tidak dapat dibagi secara natura, agar
dilakukan penjualan lelang di Kantor Lelang Negara dan hasilnya dibagi 1/3 (satu
per tiga) bagian untuk Penggugat Konvensi dan 2/3 (dua per tiga) bagian untuk
Tergugat Konvensi ;
5. Menghukum Tergugat Konvensi untuk memberikan Mut’ah kepada Pengggat
Konvensi sejumlah Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) ;
6. Menolak dan menyatakan tidak dapat diterima (NO) gugatan Penggugat Konvensi
selebihnya ;
DALAM REKONVENSI
1. Menyatakan gugatan balik Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima (NO) ;
DALAM KONVENSI - REKONVENSI
- Membebankan kepada Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk
membeyar biaya perkara sebesar Rp. 2.151.000,- (Dua juta seratus lima puluh
satu ribu rupiah) ;

32
Demikianlah putusan ini dijatuhkan di Bekasi pada hari Kamis tanggal 15
Oktober 2009 M/26 Syawwal 1430 H, oleh kami Drs. JAJAT SUDRAJAT, S.H.
selaku Ketua Majelis, Dra. SARBIATI, SH., MH. dan Dra. Hj. SA’DIATI, SH.
selaku Hakim-Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga dibacakan Ketua
Majelis tersebut dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri Hakim-Hakim
Anggota tersebut juga, M. ALI AVRIDDY, SH. selaku Panitera Pengganti,
Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi.
Ketua Majelis,
ttd.
Drs. JAJAT SUDRAJAT, S.H.
Hakim Anggota, Hakim Anggota,
ttd. ttd.
Dra. SARBIATI, SH., MH. Dra. Hj. SA’DIATI, SH.
Panitera Pengganti,
ttd.
M. ALI AVRIDDY, SH.
Perincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran ………………………….. Rp. 30.000,-
2. Biaya panggilan …………………………….. Rp. 750.000,-
3. Biaya Pemeriksaan Setenpat ……………….. Rp. 1.360.000,-
4. Biaya Redaksi ……………………………… Rp. 5.000,-
5. Materai ………………………………………Rp. 6.000,-
J u m l a h Rp. 2.151.000,-
Bekasi, 2 April 2015 Untuk salinan yang sama bunyinya Oleh Panitera Pengadilan Agama Bekasi,
A. Djudairi Rawiyan, SH.

Foto bersama Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH. Selaku hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur, tanggal 26 Maret 2015.

Foto bersama Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, MH.. Selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Timur, tanggal 01 April 2015.