penerapan gcg di indonesia
TRANSCRIPT
PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE DAN WHISTLEBLOWING SYSTEM
DI INDONESIA
A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah
Isu mengenai Corporate Governance (tata kelola perusahaan) muncul sebagai reaksi
terhadap berbagai kegagalan korporasi akibat dari buruknya tata kelola perusahaan. Krisis
Corporate Governance pertama terjadi pada tahun 1700an yang dikenal dengan The South
Sea Buble. Masalah Corporate Governance semakin mendapat perhatian besar di Asia sejak
terjadinya krisis finansial pada pertengahan tahun 1997. Lemahnya penerapan prinsip
Corporate Governance diyakini sebagai penyebab utama kerawanan ekonomi yang
menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian di beberapa negara Asia termasuk
Indonesia (Purnamasari, 2014).
Di Indonesia, konsep Corporate Governance diperkenalkan secara resmi pada tahun
1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance yang
disebut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG kemudian membuat
pedoman penerapan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang
dirilis pada tahun 2001.
Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi,
dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya
yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004). Sementara Good
Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ perusahaan
guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang
bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku (KNKG, 2006). Esensi
dari Good Corporate Governance (GCG) adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui
supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
Untuk meningkatkan penerapan dan penegakan Good Corporate Governance,
diperlukan kebijakan penerapan whistleblowing system (sistem pelaporan pelanggaran)
sebagai bagian dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan (fraud). Sistem ini
disusun pada 2008 dan sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan di internal perusahaan. Sistem ini disediakan agar para
karyawannya atau orang di luar perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di
internal perusahaan. Pembuatan whistleblowing system ini untuk mencegah kerugian yang
diderita perusahaan-perusahaan, serta untuk menyelamatkan usaha mereka. Sistem yang
dibangun ini kemudian diterjemahkan ke dalam aturan perusahaan masing-masing. Dan
dalam tindak lanjutnya, ternyata tidak semua perusahaan yang terlibat tersebut dapat segera
menuangkan atau menerapkan sistem tersebut di dalam aturan perusahaan masing.
Menurut catatan yang dipublikasikan oleh KNKG, sistem ini dibangun karena
dilatarbelakangi hasil survey yang dilakukan oleh Institute of Bussiness Ethics (2007), yang
menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran.
Tetapi lebih dari separuh (52%) yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam
dan tidak berbuat sesuatu. Menurut catatan KNKG, sistem ini diharapkan dapat bekerja
secara efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga dapat meningkatkan partisipasi
karyawan untuk melaporkan pelanggaran (Semendawai, Santoso, Wagiman, Omas,
Susilaningtias dan Wiryawan: 68-71, 2011).
Dalam whistleblowing system terdapat whistleblower yaitu seseorang yang
melaporkan adanya tindak pelanggaran. Di Indonesia istilah whistleblower menjadi makin
populer beberapa dekade terakhir, terutama sejak munculnya Khairiansyah, dan kemudian
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji yang mengungkap korupsi di instansi tempat
mereka bekerja. Sampai sekarang ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara implisit
termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta
kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama (justice collaborator) (Semendawai dkk : v, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Sejauh mana Penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia? ”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan Corporate
Governance dan whistleblowing system di Indonesia.
B. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan
(Library Research), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari berbagai sumber bacaan,
seperti buku-buku literatur, artikel-artikel terkait dan juga journal atau hasil penelitian,
mengenai penerapan Corporate Governance dan whistleblower di Indonesia
C. Hasil dan Pembahasan
1. Penerapan Corporate Governance di Indonesia
a. Kondisi Penerapan Corporate Governance di Indonesia
Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis
ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezimrezim politik yang berkuasa di
Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang
sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada
akhirnya merambah pada krisis politik.
Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat
pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan
yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak
perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat
dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya.
Di indonesia, era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan,
mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang pada
akhirnya mengakibatkan penurunan iklim usaha. Kajian yang dilakukan oleh Asian
Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada
krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak
efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya
transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat,
terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya
pengawasan oleh para kreditor.
Tantangan terkini yang dihadapi yaitu masih belum dipahaminya secara luas prinsip-
prinsip dan praktek Good Corporate Governance (GCG) oleh komunitas bisnis baik itu
perusahaan dan masyarakat. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG)
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk
menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau
menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan
yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG
karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap
prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.
Berdasarkan hasil survei internasional, kondisi pelaksanaan corporate governance
oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Survei yang dilakukan oleh Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA) terhadap standar-
standar corporate governance yang dilakukan oleh 495 perusahaan di 25 negara
berkembang selama bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2001
menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang disurvei hanya sebesar 37,81 dari skala 0,00-100,00 (100,00 adalah nilai
tertinggi). Skor ini lebih rendah jika dibandingkan dengan skor total untuk
perusahaan-perusahaan yang disurvei di negara Singapura (64,50), Malaysia (56,60),
India (55,60), Thailand (55,10), Taiwan (54,60), Cina (49,10), Korea (47,10), dan
Filipina (43,90). Dalam hal ini terdapat tujuh aspek yang dinilai oleh CLSA, yaitu:
transparansi, kedisplinan manajemen, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab,
keadilan, dan kepedulian sosial dari perusahaan (Aries, 2008 dalam Wibowo, 2010)
2) Pada tahun 2003, CLSA pertama kali bekerja sama dengan Asian Corporate
Governance Association (ACGA) dalam melakukan survei terhadap pelaksanaan
corporate governance oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Survei ini masih
menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun 2001 dan 2002 dan
dilakukan terhadap 380 perusahaan di 10 (sepuluh) negara Asia. Hasil survei
menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang disurvei hanya sebesar 43,00 dari skala 0,00 – 100,00. Walaupun skor ini
tampak lebih tinggi dibandingkan dengan skor pada tahun sebelumnya, namun masih
lebih rendah dibandingkan dengan skor dari kebanyakan negara Asia lainnya. Hanya
ada satu negara yang disurvei yang memiliki skor lebih rendah dibandingkan
Indonesia, yaitu Filipina. Singapura mempunyai skor 69,50, Malaysia mempunyai
skor 65,00, India mempunyai skor 64,80, Thailand mempunyai skor 60,20, Taiwan
mempunyai skor 58,70, Cina mempunyai skor 57,40, Korea mempunyai skor 70,80,
dan Filipina mempunyai skor 39,80 (Gill dan Allen, 2003 dalam Wibowo, 2010).
3) Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2004, CLSA dan ACGA
melakukan penilaian pelaksanaan corporate governance berdasarkan pada 5 (lima)
aspek makro, yaitu: (i) hukum dan praktik, (ii) penegakan hukum, (iii) lingkungan
politik, (iv) standar-standar akuntansi dan audit, serta (v) budaya corporate
governance. Masing-masing aspek mempunyai sejumlah pernyataan yang harus
dijawab dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ atau ‘kadang-kadang’. Jawaban ‘ya’ diberi
nilai satu, jawaban ‘tidak’ diberi nilai nol, dan jawaban ‘kadang-kadang’ diberi nilai
setengah. Hasil survei pada tahun 2004 ini menunjukkan bahwa Indonesia
mempunyai skor yang masih rendah di bandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya, yaitu 40,00. Sebagai perbandingan, Singapura mempunyai skor 75,00,
Hongkong mempunyai skor 67,00, India mempunyai skor 62,00, Malaysia
mempunyai skor 60,00, Taiwan mempunyai skor 55,00, Korea mempunyai skor
58,00, Thailand mempunyai skor 53,00, Filipina mempunyai skor 50,00, dan Cina
mempunyai skor 48,00 (Allen, 2004 dalam Wibowo, 2010).
4) Pada tahun 2005, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun
2004, hasil survei dari CLSA dan ACGA menunjukkan bahwa Indonesia masih
menempati posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai perbandingan,
Singapura mempunyai skor 70,00, Hongkong mempunyai skor 69,00, India
mempunyai skor 61,00, Malaysia mempunyai skor 56,00, Taiwan mempunyai skor
52,00, Korea dan Thailand mempunyai skor 50,00, Filipina mempunyai skor 46,00,
dan Cina mempunyai skor 44,00 (Gill dan Allen, 2005).
5) Pada tahun 2007, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun
2004 dan 2005, hasil survei dari CLSA dan ACGA terhadap 582 perusahaan yang
terdaftar pada bursa saham di 11 (sebelas) negara Asia menunjukkan bahwa Indonesia
masih menempati posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai
perbandingan, Hongkong mempunyai skor 67,00, Singapura mempunyai skor 65,00,
India mempunyai skor 56,00, Taiwan mempunyai skor 54,00, Jepang mempunyai
skor 52,00, Korea dan Malaysia mempunyai skor 49,00, Thailand mempunyai skor
47,00, Cina mempunyai skor 45,00, dan Filipina mempunyai skor 41,00 (Gill dan
Allen, 2007 dalam Wibowo, 2010).
b. Penyebab Penerapan Corporate Governance Belum Berjalan Secara Optimal di
Indonesia
Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate
governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-
prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah
kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya
melaksanakan corporate governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate
governance dengan baik. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala
eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan
perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang
prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan
oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-
prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal
(Djatmiko, 2004 dalam Wibowo, 2010). Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate
governance terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-
enforcement). Indonesia tidak kekurangan produk hukum, secara implisit ketentuan-ketentuan
mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan,
Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas,
seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan
pengadilan sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk
membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan
praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG. Baik kendala internal maupun
kendala eksternal sama-sama penting bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal
bisa dipecahkan maka kendala eksternal akan lebih mudah diatasi (Djatmiko, 2004 dalam
Wibowo, 2010).
Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.
Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang
menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki
secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan
yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang
banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham
sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur
kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena
pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat
menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai
perusahaan. Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari
struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal
yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan
tanggung jawab secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris,
Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan
dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai
Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan
(syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen). Keberadaan Komisaris
Independen ini diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih
independen, objektif, dan menempatkan keadilan sebagai prinsip utama yang memperhatikan
kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya. Peran
Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktik
corporate governance pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, termasuk BUMN.
Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian internal yang efektif tersebut
terkait dengan upaya perusahaan untuk mengatasi kendala internalnya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dampak negatif dari struktur kepemilikan akan hilang jika perusahaan
mampu mengatasi permasalahan yang terkait dengan kendala internalnya (Aries, 2008 dalam
Wibowo, 2010).
c. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia
Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia (BP BUMN, 1999) yakni,
menetapkan kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka nasional dan membangun inisiatif
sektor swasta. Terkait dengan kerangka regulasi, Bapepam bersama dengan self-regulated
organization (SRO) yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB telah menghasilkan beberap
proyek GCG seperti JSX Pilot project, ACORN, ASEM, dan ROSC. Seiring dengan proyek-
proyek ini, kementerian BUMN juga telah mengembangkan kerangka untuk penerapan GCG.
Dalam kaitan dengan peran dan fungsi tersebut, BAPEPAM dapat memastikan bahwa
berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, terus menerus disempurnakan, serta berbagai
pelanggaran yang terjadi akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal
regulatory framework, untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
korporasi dan program reformasi hukum, pada umumnya terdapat beberapa capaian yang
terkait dengan penerapan GCG seperti diberlakukannya undang-undang tentang Bank
Indonesia di tahun 1998, undang-undang anti korupsi tahun 1999, dan undang-undang
BUMN, serta privatisasi BUMN tahun 2003.
Demikian pula dengan proses amandemen undang-undang perseroan terbatas, undang-
undang pendaftaran perusahaan, serta undang-undang kepailitan yang saat ini masih sedang
dalam proses penyelesaian. Dalam pelaksanaan program reformasi hukum, terdapat beberapa
hal penting yang telah diterapkan, misalnya pembentukan pengadilan niaga yang dimulai
tahun 1997 dan pembentukan badan arbitrasi pasar modal tahun 2001. Bergulirnya reformasi
corporate governance masih menyisakan hal-hal strategis yang harus dikaji, seperti
kesesuaian dan sinkronisasi berbagai peraturan perundangan yang terkait. Demikian pula
yang terkait dengan otonomi daerah, permasalahan yang timbul dalam kerangka regulasi
adalah pemberlakuan undang-undang otonomi daerah yang cenderung kebablasan tanpa
diikuti dengan kesadaran dan pemahaman good governance itu sendiri. Inisiatif di sektor
swasta terlihat pda aktivitas organisasi-organisasi corporate governance dalam bentuk upaya-
upaya sosialisasi, pendidikan, pelatihan, pembuatan rating, penelitian, dan advokasi.
Pendatang baru di antara organisasi-organisasi ini adalah IKAI dan LAPPI. IKAI adalah
asosiasi untuk para anggota komite audit, sedangkan LAPPI (lembaga advokasi, proxi, dan
perlindungan investor) pada dasarnya berbagi pengalaman dalam shareholders activism,
dengan misi utama melindungi kepentingan para pemegang saham minoritas.
Dalam penerapan GCG di Indonesia, seluruh pemangku kepentingan turut
berpartisipasi. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance yang diawal tahun 2005 di
ubah menjadi Komite Nasional Kebijkan Governance telah menerbitkan pedoman GCG pada
bulan Maret 2001. Pedoman tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Pedoman GCG
Perbankan Indonesia, Pedoman untuk komite audit, dan pedoman untuk komisaris
independen di tahun 2004. Semua publikasi ini dipandang perlu untuk memberikan acuan
dalam menerapkan GCG.
Pemerintah pun melakukan upaya-upaya khusus bergandengan tangan dengan
komunitas bisnis dalam mensosialisasikan dan mengpenerapankan GCG. Dua sektor penting
yakni BUMN dan Pasar Modal telah menjadi perhatian pemerintah. Aspek baru dalam
implentasi GCG di lingkungan BUMN adalah kewajban untuk memiliki statement of
corporate intent (SCI). SCI pada dasarnya adalah komitmen perusahaan terhadap pemegang
saham dalam bentuk suatu kontrak yang menekankan pada strategi dan upaya manajemen dan
didukung dengan dewan komisaris dalam mengelola perusahaan. Terkait dengan SCI, direksi
diwajibkan untuk menanda tangani appointment agreements (AA) yang merupakan
komitmen direksi untuk memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator
kinerja direksi terlihat dalam bentuk reward and punishment system dengan meratifikasi
undang-undang BUMN.
Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini
ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang
menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan GCG. Penerapan GCG
dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepentingan investor, terutam para
pemegang saham di perusahaan-perusahaan terbuka.
Di samping itu, penerapan GCG akan mendorong tumbuhnya mekanisme check and
balance di lingkungan manajemen khususnya dalam memberi perhatian kepada kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait dengan peran pemegang
saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris dan direksi, dan dapat
mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping pelindungan investor, regulasi mewajibkan
sistem yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis antar perusahaan
dalam satu grup yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Semangat untuk memperoleh persetujuan publik dalam transaksi, merupakan bentuk
penerapan prinsip akuntabilitas. Diperkenalkannya komisaris independen, komite audit, dan
sekretaris perusahaan juga menjadi fokus regulasi BEJ. Independensi komisaris dimaksudkan
untuk memastikan bahwa komisaris independen tidak memiliki afiliasi dengan pemegang
saham, dengan direksi dan dengan komisaris; tidak menjabat direksi di perusahaan lain yang
terafiliasi; dan memahami berbagai regulasi pasar modal. Sedangkan terkait dengan
kewajiban untuk memiliki direktur independen, dalam sistem two tier yang kita anut, justru
akan lebih efektif bilamana bursa mewajibkan perusahaan untuk memiliki komite nominasi
dan remunerasi.
Tujuan pedoman tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas disclosure perusahaan-
perusahaan publik. Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi antara BEJ, IAI, AEI, dan
Bapepam. Perkembangan terbaru di Pasar modal adalah batas waktu penyerahan laporan
tahunan yakni 90 hari sejak tutup buku, lebih pendek dari regulasi sebelumnya yakni 120
hari. Regulasi ini merupkan indikasi kekonsistenan penegakan GCG oleh Bapepam.
Bapepam secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong penerapan prinsip-
prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan
GCG. Peraturan-peraturan tersebut antara lain menyangkut keputusan Bapepam mengenai
prinsip transparansi yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi kepada
publik, disclosure mengenai beberapa aspek yang terkait dengan pemegang saham, transaksi
material, dan perubahan dalam aktivitas bisnis inti, keputusan mengenai merger dan akuisisi
perusahaan publik, serta ketentuan tentang pengungkapan mengenai apakah suatu perusahaan
tengah dalam proses peradilan kepailitan.
Kedua, keputusan Bapepam yang terkait dengan penerapan prinsip-prinsip kewajaran
terutama untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang saham, ketentuan mengenai
benturan kepentingan dalam transaksi-transaksi tertentu, dan ketentuan mengenai penawaran
tender. Ketiga, keputusan Bapepam mengenai penerapan prinsip responsibilitas dan
akuntabilitas seperti keputusan mengenai merger dan akuisisi perusahaan publik, terutama
terkait dengan kewajiban direksi dan dewan komisaris untuk membuat pernyataan kepada
Bapepam dan RUPS bahwa merger dan akuisisi yang hendak dilakukan telah
mempertimbangkan secara matang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,
kepentingan publik, kepentingan perusahaan, persaingan yang sehat, dan jaminan akan
terpenuhinya hak-hak pemegang saham publik termasuk kewajiban untuk memiliki komite
audit.
Selain Bapepam, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bagian dari tatanan perekonomian
Indonesia juga perlu mendorong penerapan GCG melalui peraturan pencatatan. BEI perlu
untuk mengenalkan pengaturan tentang GCG saat pencatatan efek dalam rangka perbaikan
iklim bisnis. Dengan pengaturan tersebut, diharapkan perusahaan yang go public dapat
meningkatkan transparansi dan mengurangi resiko perusahaan publik. Harapannya, informasi
yang tersedia bagi pemodal bisa memadai dan pada gilirannya akan menarik minat investor
untuk berinvestasi di bursa Indonesia. Harus diakui, sejumlah realitas dunia usaha kita
memang menyiratkan tantangan cukup berat untuk penerapan GCG. Terutama di kalangan
perusahaan- perusahaan yang tercatat di bursa. Realitas tersebut sering membuat upaya
menerapkan GCG secara konsisten menjadi sulit. Penyebabnya antara lain:
Prasyarat penting dalam penerapan GCG adalah pemetaan keadaan saat ini. Bank
Dunia melalui policy recommendation of ROSC telah melakukan pemetaan. Berikut ini
adalah beberapa rekomendasi utama Bank Dunia :
1) Pemegang saham minoritas harus diberikan hak voting dalam proses nominasi
anggota dewan komisaris dan direksi, misalnya dengan memberikan hak-hak kepada
pemegang saham minoritas tanpa harus melanggar ketentuan one share one vote.
2) Perusahaan-perusahaan publik disarankan untuk memiliki komite nominasi dan
remunasi. Rekomendasi ini diatur melalui pedoman pembentukan komite nominasi
dan remunasi. Hal ini harus didukung oleh Bapepam dan BEJ dengan mengeluarkan
peraturan yang mewajibkan perusahaan publik memiliki komite nominasi dan
remunasi.
3) Direkomendasikan untuk mengadopsi standar internasional dalam pelaporan
keuangan. Pernyataan standar akuntansi keuangan yang ada saat ini sudah hampir
sejalan dengan International Accounting Standard (IAS).
4) Langkah-langkah untuk dan melindungi kepentingan pemegang saham minoritas.
5) Memperkuat pengawasan pasar oleh Bapepam dan BEJ. Pengembangan pengawasan
pasar dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia dan teknologi
informasi. Bapepam dan BEJ harus mengintegrasikan sistem-sistem pengawasan
mereka, yang didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.
6) Mengkonfirmasi tanggung jawab hukum para akuntan. Disarankan agar rancangan
undang-undang akuntan publik memperkuat tanggung jawab hukum para akuntan,
khususnya yang terkait dengan pihak ketiga dan untuk memungkinkan tuntutan
hukum terhadap para akuntan sekiranya terdapat fraud maupun kelalaian nyata.
7) Memperpendek jangka waktu penyerahan laporan tahunan. Dari semula 120 hari, dan
sejak tahun 2003 telah dikurangi menjadi 90 hari.
8) Mengklarifikasi hak-hak dan akuntabilitas komisaris independen. Dalam undang
perseroan terbatas, peran komisaris independen di setarakan dengan peran komisaris.
9) Merumuskan lebih jauh pedoman mengenai independensi para komisaris independent.
Hal ini terkait dengan uraian tentang peran, kewajiban, dan akuntabilitas komisaris
independent.
10) Agar terdapat rumusan yang jelas mengenai transaksi-transaksi yang memiliki
benturan kepentingan bagi para direksi. Situasi benturan kepentingan harus diatur
dalam pedoman perilaku (codeof conduct) perusahaan (Kaihatu, 2006).
2. Penerapan Whistleblowing System di Indonesia
a. Kondisi Whistleblower di Indonesia
Kesaksian whistleblower kepada lembaga perlindungan saksi dapat ditangani dengan
baik bila lembaga yang menangani laporannya dinyatakan secara tegas dan beroperasi secara
efektif. Namun, sejauh mana lembaga tersebut dapat menangani lebih baik, sangat tergantung
pada produk undang-undang yang mengatur. Misalnya, adanya perlindungan hukum dalam
ketentuan perundang-undangan khusus bagi whistleblower.
Di Indonesia, kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan
terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga, seperti Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) terus “mempromosikan” praktik-praktik tata kelola yang
baik (good governance), termasuk di sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar dan
memiliki manajemen yang baik juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk
menerima laporan dari karyawan atau whistleblower. Akan tetapi, di Indonesia, memang
belum berkembang lembaga yang dapat menerima pelaporan whistleblower di sektor swasta.
Pelaporan whistleblower di sektor swasta masih dominan ditangani secara internal oleh
perusahaan. Misalnya, melalui lembaga ombudsman atau tim audit yang dibentuk oleh
perusahaan atau Dewan Komisaris perusahaan. Sementara untuk lingkup sektor
pemerintahan, baru lembaga-lembaga pengawas atau lembaga negara ad hoc yang menerima
laporan dugaan praktik menyimpang dari aparat Pemerintah. Misalnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial (KY), Komisi
Hak Nasional Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman. Belum terlihat bagaimana
sistem pelaporan dan perlindungan pelapor whistleblower yang lebih baik dan mendorong
munculnya peran whistleblower di sektor Pemerintah.
Mekanisme pelaporan dan perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower belum
sepenuhnya diatur dengan jelas dan tegas dengan produk perundang-undangan. Meskipun
demikian, beberapa lembaga, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sudah membangun sistem pelaporan
dan perlindungan yang lebih jelas. Lembaga-lembaga yang memiliki sistem pelaporan
whistleblower sebenarnya dapat bekerja sama dengan LPSK. LPSK memiliki sistem
pelaporan dan perlindungan saksi yang lebih jelas karena secara eksplisit diatur dalam UU
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Aturan main atau ketentuan
sistem pelaporan tampaknya sudah seharusnya dipertegas. Misalnya, laporan apa yang dapat
dilaporkan, apa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat melapor, bagaimana tindak
lanjut laporan yang telah disampaikan. Aturan yang jelas seperti itu sangat penting untuk
meyakinkan whistleblower bahwa laporannya terkait dugaan suatu tindak pidana benar-benar
ditindaklanjuti.
Sistem pengungkapan kesalahan atau whistleblowing sebenarnya tidak hanya terkait
dengan sistem pelaporan, melainkan juga sistem perlindungan whistleblower. Sistem
perlindungan itu meliputi perlindungan secara fisik terhadap whistleblower maupun non fisik.
Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di tempat yang
aman, perubahan identitas, termasuk perlindungan terhadap keluarga whistleblower. Melalui
perlindungan fisik itu, diharapkan whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam,
intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan nonfisik menyangkut perlindungan
whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan,
pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang efektif dengan lembaga yang
menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem
perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower.
Di negara yang situasi penegakan hukumnya yang tidak kuat seperti Indonesia, bukan perkara
sulit bagi para atasan atau pihak yang berkuasa dalam sebuah organisasi untuk
mempidanakan atau menyeret pengungkap fakta ini menjadi pihak yang bersalah. Mereka
yang diungkap terlibat dalam skandal kejahatan dapat menggunakan aparat hukum untuk
mengkriminalkan para whistleblower (Semendawai dkk: 10-12, 2011).
b. Penerapan Whistleblowing System di Indonesia
Untuk dapat menerapkan sistem whistleblowing, perlu diperhatikan beberapa hal antara lain :
1) Komitmen Perusahaan dan Karyawan
Untuk mempraktekkan whistleblowing system diperlukan adanya pernyataan
komitmen kesediaan dari seluruh karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan
pelanggaran. Karyawan juga dituntut untuk berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila
menemukan adanya pelanggaran. Secara teknis, pernyataan ini dapat dibuat tersendiri, atau
dijadikan dari bagian perjanjian kerja bersama, atau bagian dari pernyataan ketaatan terhadap
pedoman etika perusahaan.
Sementara itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk membuat kebijakan
untuk melindungi pelapor. Kebijakan ini harus dinyatakan secara tegas, sehingga para
karyawan atau pelapor dari luar dapat melaporkan tanpa dihantui rasa takut dipecat atau
diberi sanksi tertentu. Selain itu kebijakan ini juga dapat menjelaskan maksud dari
perlindungan tersebut adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan
menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya.
Dalam kebijakan ini harus dijelaskan secara tegas saluran pelaporan mana yang
tersedia untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu juga ada pernyataan bahwa
semua laporan pelanggaran akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya oleh perusahaan.
Bila pelapor menyertakan identitasnya secara jelas ia juga dijamin haknya untuk memperoleh
informasi mengenai tindak lanjut atas laporannya.
Kebijakan ini juga menjelaskan bagaimana seorang pelapor dapat mengadukan bila
mendapatkan balasan berupa tekanan atau ancaman atau tindakan pembalasan lain yang
dialaminya. Saluran pelaporan pengaduan ini harus jelas dan kepada siapa harus mengajukan
pengaduan, misalnya, Komite Integritas, Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran,
Komite Audit, Komite GCG atau yang lainnya. Dalam hal masalah ini tidak dapat
dipecahkan secara internal, pelapor dijamin haknya untuk membawa ke lembaga independen
di luar perusahaan, seperti misalnya mediator atau arbitrase atas biaya perusahaan.
Yang lebih penting lagi bahwa menurut ketentuan di dalam KNKG, kebijakan
perlindungan harus menyatakan secara jelas bahwa seorang pelapor pelanggaran akan
mendapatkan perlindungan dari perusahaan terhadap perlakuan yang merugikan seperti:
i. Pemecatan yang tidak adil
ii. Penurunan jabatan atau pangkat
iii. Pelecahan atau diskriminasi dalam segala bentuknya
iv. Catatan yang merugikan dalam file data pribadinya (personal file record)
Sistem pelaporan pelanggaran disarankan berada pada direksi, khususnya
direktur utama. Dewan komisaris akan melakukan pengawasan atas kecukupan
dan efektivitas pelaksanaan sistem tersebut
2) Komitmen Perusahaan untuk melindungi dan menindaklanjuti laporan Whistleblower
Laporan-laporan dari para whistleblower tersebut tidak hanya dibiarkan, tetapi
ditindaklanjuti dengan penelitian dan investigasi. Bahkan dalam kondisi tertentu perusahaan
berkomitmen untuk melindungi whistleblower jika mengancam jiwa, harta benda dan
pekerjaannya.
3) Mekanisme Penyampaian Laporan Pelanggaran
i. Infrastruktur dan Mekanisme Penyampaian Laporan
Perusahaan harus menyediakan saluran khusus yang digunakan untuk
menyampaikan laporan pelanggaran, baik itu berupa email dengan alamat khusus
yang tidak dapat diterobos oleh bagian Information Technology (IT) perusahaan,
atau kotak pos khusus yang hanya boleh diambil oleh petugas Whistleblowing
sistem, ataupun saluran telepon khusus yang akan dilayani oleh petugas khusus
pula.
Informasi mengenai adanya saluran ini dan prosedur penggunaannya haruslah
diinfromasikan secara meluas ke seluruh karyawan. Begitu pula bagan alur
penanganan pelaporan pelanggaran haruslah disosialisasikan secara meluas, dan
terpampang di tempat-tempat yang mudah diketahui oleh karyawan perusahaan.
Dalam prosedur penyampaian laporan pelanggaran juga harus dicantumkan dalam
hal pelapor melihat bahwa pelanggaran dilakukan oleh petugas whistleblowing
sistem, maka laporan pelanggaran harus dikirimkan langsung kepada direktur
utama perusahaan.
ii. Kerahasiaan
Kerahasiaan identitas pelapor adalah penting untuk dijaga dalam sistem ini.
Informasi dan identitas pelapor pelanggaran dibatasi hanya pada petugas
perlindungan pelapor dan berkasnya disimpan di tempat yang aman. Selain
jaminan kerahasiaan identitas pelapor, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk
menjaga kerahasiaan perlindungan terhadap pelapor. Pelapor Anonim
diperbolehkan dalam hal ini dan tidak ada diskriminasi untuk menindaklanjuti
laporan daripelapor anonim.
iii. Kekebalan Administratif
Perusahaan mengembangkan budaya yang mendorong karyawan untuk berani
melaporkan tindakan pelanggaran yang diketahuinya. Hal ini dilakukan dengan
memberikan kekebalan atas sanksi administratif kepada pelapor yang beritikad
baik.
iv. Komunikasi dengan Pelapor
Komunikasi dengan pelapor dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas
whistleblowing system yang menerima pelaporan pelanggaran. Dalam komunikasi
ini pelapor juga akan memperoleh informasi mengenai penanganan kasus yang
dilaporkannya, apakah ditindaklanjuti atau tidak.
v. Investigasi
Investigasi dapat dilakukan untuk menindaklanjuti pelaporan pelanggaran.
Investigasi ini dilakukan oleh petugas sub unit investigasi. Dalam kasus yang
serius dan sensitif, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan
investigator/auditor eksternal yang independen dalam melakukan investigasi
laporan pelanggaran tersebut.
vi. Mekanisme Pelaporan
Mekanisme pelaporan internal sistem pelaporan pelanggaran dirancang
sedemikian rupa, sehingga dapat memastikan bahwa:
Semua pelanggaran yang telah dilaporkan dan diverifikasi telah tertangani
dengan baik.
Pelanggaran yang berulang dan sistemik telah dilaporkan kepada pejabat
terkait yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbaikan, misalnya
pelanggaran di bidang pengadaan barang dan jasa dilaporkan kepada direktur
umum yang membawahi bagian pengadaan.
Perusahaan-perusahaan publik yang telah mempunyai dan menerapkan sistem
whistleblower adalah PT. Telkom, Pertamina, United Tractors, dan Astra Group. Pelaksanaan
teknis sistem whistleblower di PT. Telkom dan Pertamina dilakukan oleh pihak ketiga secara
outsourcing (Semendawai dkk: 71-75, 2011).
D. Keterbatasan dan Implikasi
Penelitian tentang penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di
Indonesia ini membatasi hanya pada sejauh mana penerapan Corporate Governance dan
whistleblowing system di Indonesia, kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penerapan.
Namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
sejauh mana penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia,
kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan. Selain itu,
hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan saran perbaikan untuk peningkatan
penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia sebagai bagian
dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan (fraud).
E. Orisinalitas
Penelitian dengan judul “Penerapan Corporate Governance dan Whistleblowing
System di Indonesia” berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini berfokus
pada sejauh mana penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia,
kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan. Penelitian ini
merupakan hasil karya kami sendiri, dan semua sumber telah kami nyatakan dengan benar.
F. Referensi
Kaihatu, Thomas S, 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia,
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8, No. 1, Maret 2006: 1-9.
Kamal, Miko, 2011. Konsep Corporate Governance di Indonesia: Kajian atas Kode Corporate
Governance, Jurnal Manajemen Teknologi Volume 10 Number 2 2011.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007. Studi Implementasi Good Corporate Governance di
Sektor Swasta, BUMN dan BUMD. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance.
Purnamasari, Fitriana, 2014. Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance
Terhadap Kinerja Suatu Perusahaan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Semendawai, Abdul Haris, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas, Susilaningtias,
Syahrial Martanto dan Wiryawan, 2011. Memahami Whistleblower, Cetakan Pertama,
Penerbit Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta.
Wibowo, Edi, 2010. Implementasi Good Corporate Governance, Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan Vol. 10, No. 2, Oktober 2010 : 129-138.