penerapan dan kemampuan teknik cerita berantai …
TRANSCRIPT
253
TOTOBUANG
Volume 8 Nomor 2, Desember 2020 Halaman 253—265
PENERAPAN DAN KEMAMPUAN TEKNIK CERITA BERANTAI PADA
PEMBELAJARAN MENCERITAKAN KEMBALI ISI FABEL
(Application and Capability of Chain Relaxed Story Techniques in Learning Retelling the
Fabel Contents)
Ferdian Achsani
SMP Negeri 1 Weru
Jl. Kapten Patimura 03, Karangmojo, Jawa Tengah
Pos-el: [email protected]
Diterima: 2 April 2020; Direvisi 21 September 2020; Disetujui: 13 Oktober 2020
doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i2.209
Abstrak
Speaking skills still seem a frightening specter for some students. Some of them aren’t brave and skill to
speak in front. Chain stories become one of the learning methods used to improve students' speaking abilities.
The final results teach students how to be brave and skilled to speak in front. This descriptive qualitative
research is designed to describe the application at onceits final results of the chain story method through
learning fable texts. This research was conducted in class VII E 1 Weru State Junior High School in February,
with 29 students as a data sample. Data collection is done by observing students speak in front class. The results
showed that the application of the serial story method approving very well. The final results showed avalue of
89.5. Applying this method oflearning is also very easy. Itdoes not require a long preparation time.
Keywords: application, abilities, chain stories, fable texts.
Abstrak
Keterampilan berbicara tampaknya masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian peserta didik.
Kebanyakan mereka belum terampil dan berani untuk berbicara di depan kelas. Cerita berantai menjadi salah
satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara peserta didik.
Hasil akhirnya mengajarkan siswa agar dapat berani dan terampil ketika berbicara di depan. Penelitian
deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan sekaligus hasil akhir dari penerapan metode
cerita berantai pada pembelajaran teks fabel. Penelitian ini dilakukan di kelas VII E SMP Negeri 1 Weru pada
bulan Februari, dengan jumlah 29 siswa sebagai sampel data. Pengumpulan data dilakukan dengan mengamati
siswa ketika berbicara di depan kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode cerita berantai
berjalan dengan sangat baik. Hasil akhir menunjukkan nilai 80.17. Penerapan metode pembelajaran ini
sangat mudah. Tidak membutuhkan waktu persiapan yang lama.
Kata-kata kunci: penerapan, kemampuan, cerita berantai, teks fabel.
PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa Indonesia di
madrasah atau di sekolah pada umumnya
tidak selalu berbicara tentang kesusastraan.
Pembelajaran bahasa Indonesia harus
mampu untuk menyeimbangkan materi
tersebut dengan keterampilan berbahasa
siswa seperti keterampilan menulis,
membaca, menyimak, dan berbicara sesuai
dengan standar kompetensi dari masing-
masing keterampilan berbahasa (Putra, Ida,
& Ida, 2017, hlm. 236). Kristiyanti (dalam
Rosita, 2018, hlm. 36) menambahkan bahwa
pembelajaran bahasa Indonesia juga
membelajarkan siswa tentang keterampilan
berbahasa yang meliputi berbicara,
membaca, menyimak, dan menulis dengan
benar dan baik sesuai dengan tujuan, fungsi,
dan situasinya. Keterampilan menulis dapat
dituangkan dalam kegiatan menulis cerpen,
puisi, menulis pengalaman pribadi, menulis
surat, dan lain-lain. Kegiatan membaca
dapat dilakukan dalam satu materi
pembelajaran dengan memberikan bahan
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
254
bacaan kepada siswa kemudian siswa dapat
diminta untuk memahami bacaan tersebut
dengan menjawab ataupun membuat
pertanyaan yang sesuai dengan isi bacaan.
Kegiatan keterampilan menyimak dalam
pembelajaran dapat dilakukan dengan
meminta siswa untuk menyimak suatu topik
pembicaraan, pidato, video ataupun yang
lainnya sedangkan pada kegiatan berbicara,
dapat tertuang dalam materi yang
melibatkan siswa dalam praktik berbicara
langsung seperti berperan seni drama,
berpidato, pembacaan puisi, dan lain-lain.
Di kelas VII, siswa diperkenalkan
pada metode pembelajaran cerita berantai.
Hal itu bertujuan untuk melatih keterampilan
berbicara siswa. Kegiatan itu tertuang pada
buku paket siswa yang dikeluarkan oleh
Kemendikbud pada materi teks cerita fantasi
maupun teks fabel. Kedua materi ini
merupakan pengembangan materi
pembelajaran dari kompetensi dasar (KD) 4
atau KD keterampilan. Siswa mampu untuk
menceritakan kembali isi teks fantasi
ataupun cerita fabel atau legenda setempat
yang dibacakan ataupun didengar. Adanya
cerita berantai pada materi ini salah satunya
melatih siswa untuk menceritakan kembali
cerita fabel secara lisan serta
mengembangkan keterampilan berbicara
siswa melalui bercerita tanpa menggunakan
teks di depan kelas. Tidak hanya individual,
adanya cerita berantai tersebut juga
bertujuan untuk melatih keterampilan
berbicara siswa secara berkelompok.
Keterampilan berbicara perlu dilatih
dan diasah sejak dini agar siswa mampu dan
dapat menguasai keterampilan berbahasa
pada aspek berbicara. Secara alamiah, setiap
orang memiliki keterampilan berbicaranya
masing-masing, namun tetap diperlukan
latihan dan pengarahan yang intensif agar
mereka mampu mengembangkan
keterampilan berbicaranya (Simarmata &
Sulastri, 2018, hlm. 50). Metode
pembelajaran cerita berantai ini dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif untuk
mengembangkan keterampilan berbicara,
terutama peserta didik. Selain itu, metode ini
juga bertujuan untuk melatih kemampuan
menyimak siswa. Siswa yang konsentrasi
tinggi ketika membaca ataupun mendengar
cerita yang dibacakan tentu akan mudah
memahami jalan cerita sehingga mudah jika
diminta untuk praktik cerita berantai di
depan kelas.
Pada hakikatnya kegiatan berbicara
tidak semudah dengan apa yang
dibayangkan. Mungkin selama ini banyak
siswa yang mungkin di belakang terlihat
aktif berbicara, sering celometan di kelas,
tetapi ketika mereka disuruh ke depan untuk
berbicara terkadang mereka merasa grogi,
kurang percaya diri, takut salah dan diejek
teman kelas hingga akhirnya sering nge-
blank. Bahkan, tak sedikit dari siswa yang
mungkin sudah mempersiapkan kalimat-
kalimat yang akan disampaikan ketika akan
berbicara di depan kelas, tetapi akhirnya
harus hilang karena grogi. Menurut Latifaha
& Gigit (2020, hlm. 123) hal-hal tersebut
menjadi faktor terbesar kegagalan
keterampilan berbahasa peserta didik.
Penyebabnya dapat dilihat dari metode
pengajaran yang dilakukan guru kurang
tepat ataupun kurang sesuai dengan materi
yang disampaikan bahkan kurang
merangsang keinginan siswa untuk tertarik
belajar. Oleh sebab itu, metode
pembelajaran yang tepat sangat diperlukan
guna merangsang minat siswa agar tertarik
untuk mengikuti proses kegiatan
pembelajaran.
Sebagai seorang guru banyak yang
dapat dilakukan untuk melatih keterampilan
berbicara siswa. Bahkan ketika melihat
siswa yang mungkin kurang begitu fasih
dalam berbicara, guru berusaha semaksimal
mungkin untuk melatih keterampilan
berbahasa mereka agar mencapai tujuan
pembelajaran (Wijanarko, 2019, hlm. 30).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Antara, M. G. Rini, & I Ngh. Suadnyana
(2019) mengatakan bahwa model
pembelajaran Talking Stick berbantuan
rubrik surat kabar berpengaruh terhadap
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
255
kemampuan berbicara siswa. Metode
Talking Stick pada prinsipnya sama dengan
metode cerita berantai. Hanya saja, pada
Talking Stick siswa yang berbicara adalah
yang memegang tongkat. Sementara pada
cerita berantai, setiap siswa mendapat giliran
untuk berbicara setelah ditunjuk oleh guru
ataupun teman kelompoknya baru mendapat
giliran untuk berbicara. Metode Talking
Stick pada prinsipnya adalah metode
pembelajaran yang mengajak siswa tidak
hanya belajar tetapi juga bermain. Guru
mempersiapkan tongkat pertanyaan dan
iringan musik. Ketika guru memberikan
tongkat tersebut kepada siswa, maka siswa
tersebut wajib untuk menjawab pertanyaan
dari guru. Sedangkan iringan musik
digunakan untuk membangkitkan suasana
agar lebih seru dan menarik minat siswa.
Dengan demikian pemanfaatan metode
pembelajaran Talking Stick dinilai efektif
untuk meningkatkan keterampilan berbicara
siswa.
Selain itu, Nupus dan Desak (2017,
hlm. 301) juga membuktikan bahwa
penerapan metode Show And Tell juga dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan
berbicara siswa. Show And Tell merupakan
metode pembelajaran yang menunjukkan
barang atau sesuatu pada peserta didik yang
selanjutnya peserta didik merespons dengan
mendeskripsikan barang yang ditunjukkan
oleh guru atau pendidik. Pembelajaran
dengan memanfaatkan barang dan
dideskripsikan di depan sangat berpengaruh
terhadap keterampilan berbicara siswa. Hal
ini dibuktikan dari hasil presentasi awal
kegiatan pembelajaran yang menunjukkan
nilai 78,86 meningkat menjadi 86,34.
Dengan demikian semakin memperjelas
bahwa model pembelajaran sangat
mempengaruhi kemampuan berbicara siswa,
bukan hanya melalui kegiatan menyimak
untuk memperoleh atau meresap kosakata.
Untuk itulah, adanya kegiatan cerita
berantai pada materi pembelajaran teks fabel
ini merupakan salah satu dari beberapa
metode pembelajaran yang berusaha untuk
melatih keterampilan berbahasa siswa,
khususnya dalam keterampilan berbicara.
Pada penelitian ini akan dideskripsikan
penerapan metode cerita berantai dan hasil
yang diperoleh siswa. Materi teks fabel
merupakan materi pembelajaran yang berada
di semester dua. Fabel merupakan cerita
fiksi yang mengisahkan dunia hewan yang
digarap seperti layaknya manusia dan mudah
untuk dipraktikkan di usia siswa yang masih
pada tahap perkembangan. Ceritanya seputar
kehidupan anak-anak yang dikemas dengan
konflik yang ringan, berisi ajaran moral
yang bertujuan untuk mendidik anak-anak.
Alurnya pun mudah untuk dipahami.
Kemampuan berbicara di sekolah
perlu mendapat perhatian khusus, karena
memiliki tujuan agar siswa mampu berbicara
dengan baik (Rahayu, Maryatin, &
Retnowaty, 2018, hlm. 21). Akan tetapi,
pada kenyataannya masih banyak siswa
yang belum fasih dalam berbicara khususnya
di depan kelas. Ketidakfasihan siswa ketika
berbicara di depan kelas tersebut mungkin
dapat disebabkan karena kurangnya
penguasaan kosakata. Siswa kurang banyak
melakukan kegiatan menyimak ataupun
kegiatan lain yang bertujuan untuk
memperbanyak kosakata. Dengan
menyimak diharapkan dapat menambah
kosakata siswa sehingga keterampilan
bebicara mereka dapat dikatakan baik (Segu,
2016, hlm.110). Selain menyimak kegiatan
lain yang dapat dilakukan adalah dengan
mengajak siswa berinteraksi dan
membiasakan siswa berbicara di depan kelas
untuk melatih kepercayaan diri. Semakin
sering guru melatih siswa untuk berbicara,
maka siswa akan semakin menguasai lafal,
struktur, dan kosakata yang bersangkutan
sehingga siswa mudah berbicara dalam
suatu bahasa secara baik (Mulyo,
Mohammad, & Ahmad, 2019, hlm. 117).
Berdasarkan uraian di atas, yang
menjadi pertanyaan penelitian ini adalah
bagaimana penerapan metode cerita
berantai pada pembelajaran teks cerita fabel
di SMP Negeri 1 Weru, Kabupaten
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
256
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah kelas 7E
dan berapakah hasil nilai yang diperoleh
pada setiap aspek penilaian serta nilai akhir
yang diperoleh oleh siswa dalam satu kelas?
Untuk itulah penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penerapan metode cerita
berantai sekaligus kemampuan siswa dalam
bercerita secara berkelompok. Penelitian ini
jauh dari penelitian-penelitian yang sudah
ada. Beberapa penelitian yang pernah
dijumpai oleh penulis, misalnya pernah
dilakukan oleh Hatma (2017). Dalam
penelitian yang membahas tentang upaya
peningkatan kemampuan menceritakan
pengalaman pribadi siswa kelas IX.4
semester 1 SMP Negeri 30 Pekanbaru tahun
ajaran 2015/201. Hatma menjelaskan bahwa
penggunaan metode cerita berantai dapat
dilakukan sebagai salah satu metode
alternatif untuk meningkatkan kemampuan
siswa tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan pada dua siklus.
Siklus yang pertama semula nilai rata-rata
berjumlah 71,2 (46%). Hal ini menjadi dasar
penerapan metode cerita berantai untuk
meningkatkan kemampuan menceritakan
pengalaman pribadi siswa kelas IX.4
semester 1 SMP Negeri 30 Pekanbaru tahun
ajaran 2015/2016. Pada siklus 1 tersebut
pembelajaran terkesan subjektif karena
siswa yang menulis cerita juga harus
membacanya di depan kelas. Kemudian pada
pembelajaran siklus 2 dengan penerapan
metode cerita berantai. Dengan dibgai
menjadi beberapa kelompok setiap siswa
diperbolehkan memilih cerita yang sudah
disediakan. Mereka diberi kesempatan untuk
memahamai inti dan alur cerita tersebut.
Setelah dilakukan metode cerita berantai
(siklus kedua) mengalami peningkatan 8%
menjadi 84,5 (54%).
Persamaan dengan penelitian
tersebut adalah menerapkan metode cerita
berantai untuk melatih keterampilan
berbahasa siswa. Perbedaan penelitian
terdapat pada kajian yang dilakukan Hatma,
yaitu peningkatan kemampuan berbicara
atau menceritakan pengalaman liburan
dengan melalui beberapa siklus dengan
mendeskripsikan hasil penerapan metode
cerita berantai pada teks fabel yang sudah
dibaca.
LANDASAN TEORI
Hakikat Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan ujaran
yang dilakukan oleh setiap manusia melalui
alat ucap. Setiap hari, bahkan di segala
situasi, manusia pasti selalu berkomunikasi
dengan cara berbicara untuk berinteraksi
dengan lawan tutur. Berbicara termasuk
dalam salah satu dari keempat keterampilan
berbahasa yang bersifat produktif. Dikatakan
sebagai keterampilan bersifat produktif
sebab dalam berbicara, penutur
menghasilkan bunyi-bunyian, suara yang
dihasilkan melalui alat ucap dengan tujuan
untuk mengutarakan pendapat dan maksud
dalam berkomunikasi. Dalam berbicara,
penutur melakukan komunikasi untuk
mengutarakan pesan secara lisan kepada
lawan tutur.
Berbicara merupakan aktivitas yang
harus dipelajari, kemudian dikuasai (Antari,
Ni Wayan, & Made, 2019, hlm. 175). Setiap
manusia dibekali dengan kemampuan
berbicara. Berbicara merupakan suatu
aktivitas yang sering sekali dilakukan mulai
dari bangun tidur hingga kembali tidur.
Berbicara menjadi aktivitas penting untuk
mengutarakan pendapat, menyatakan
gagasan, menjalin komunikasi atau
bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Astiningtyas,
Naniek, & Tego (2019, hlm. 36) bahwa
keterampilan berbicara adalah keterampilan
mengungkapkan bunyi artikulasi atau
pengucapan kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan,
menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Dengan demikian berbicara
merupakan salah satu keterampilan
berbahasa yang memanfaatkan alat ucap
sebagai sarana utama untuk berkomunikasi
dan bersosialisasi.
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
257
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa berbicara merupakan suatu kegiatan
untuk mengutarakan ide, gagasan ataupun
pendapat yang digunakan untuk
berkomunikasi dengan lawan tutur.
Pembelajaran dan penguasaan keterampilan
berbicara tidak dapat dilakukan secara
otodidak. Perlu dilakukan pembiasaan sejak
dini dalam melatih keterampilan berbicara.
Tahapan pertama untuk seseorang agar dapat
menguasai keterampilan berbicara salah
satunya yaitu melalui keterampilan
menyimak.
Keterampilan menyimak ini menjadi
awal bagi seseorang sebelum menguasai
keterampilan berbicara. Sesuai dengan
pendapat Agus & Bagus, (2019, hlm. 114)
bahwa keterampilan berbicara atau berujar
dimulai dari apa yang didengarkannya.
Keterampilan menyimak memiliki maksud
dan tujuan utnuk memperkaya kosata
seseorang. Semakin banyak kosakata yang
didapatkan melalui kegiatan menyimak,
maka penguasaan keterampilan berbicara
seseorang juga semakin baik.
Cerita Berantai
Cerita berantai merupakan salah satu
cara yang digunakan untuk melatih
keterampilan berbicara siswa. Pada
pembelajaran bahasa Indonesia, kegiatan
cerita berantai ditemui dalam pembelajaran
bahasa Indonesia kelas tujuh (7/VII) pada
pembelajaran teks fantasi dan fabel. Dalam
pelaksanaannya, cerita berantai dapat
dilakukan dengan berbicara di depan kelas
secara berkelompok. Metode cerita berantai
merupakan salah satu metode pembelajaran
yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara siswa. Melalui
metode cerita berantai siswa tidak hanya
dirangsang kemampuan berpikirnya akan
tetapi juga membangkitkan kemampuan
berkomunikasi siswa (Lawotan, 2018, hlm.
42). Melalui metode cerita berantai ini
diharapkan muncul minat untuk berani
tampil dan berbicara di depan kelas.
Cerita berantai merupakan salah satu
metode pembelajaran yang juga bertujuan
untuk melatih konsentrasi, pemahaman,
kreativitas serta kecermatan siswa. Pada
dasarnya guru harus memberikan cerita atau
teks yang harus dipahami oleh setiap siswa.
Selanjutnya, setiap siswa harus mampu
untuk memahami cerita atau teks yang
didapatkannya. Setiap siswa diminta untuk
membaca dan memahami isi dari cerita atau
teks yang sudah dibagikan oleh guru,
kemudian menceritakan kembali isi cerita
tersebut secraa berkelompok di depan kelas.
Kegiatan cerita berantai ini bukan hanya
melatih keterampilan berbicara siswa tetapi
juga melatih keterampilan menyimak siswa.
Cerita berantai menjadi suatu
pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa sebab cerita berantai merupakan
metode pembelajaran yang menggabungkan
antara belajar dan bermain. Hal ini
diungkapkan juga oleh Sari (2017, hlm. 159)
bahwa metode ini sangat cocok dengan
siswa, terutama kelas VII SMP yang masih
suka bermain dengan permainan. Dengan
demikian, pembelajaran menceritakan
kembali teks fabel maupun teks fantasi
dengan metode cerita berantai sangat cocok
bagi mereka. Sebagaimana diketahui bahwa
teks fabel atau cerita hewan merupakan
cerita tentang hewan, yang mengisahkan
tentang dunia anak-anak. Teks fabel selalu
bertujuan memberikan nilai didik kepada
anak-anak. konflik yang ditampilkan dalam
teks fabel juga tidak luput dari kehidupan
anak-anak seperti persahabatan, menghargai
orang lain, dll. Untuk itulah penerapan
metode cerita berantai dikatakan sebagai
metode yang cocok digunakan dalam
pembelajaran teks fabel. Metode cerita
berantai dijadikan sebagai bahan agar siswa
mampu untuk mengembangkan
keterampilan berbicara melalui kegiatan
mendongeng di depan kelas.
Bukan hanya sekadar melatih
keterampilan berbicara, akan tetapi cerita
berantai juga dilakukan untuk melatih
keterampilan menyimak siswa. Pada
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
258
hakikatnya kedua keterampilan berbahasa ini
merupakan keterampilan berbahasa yang
saling melengkapi. Tidak mungkin orang
bisa berbicara tanpa sebelumnya melakukan
kegiatan menyimak. Bahkan sebaliknya
orang berbicara tidak akan berguna jika
tidak ada yang menyimak atau
mendengarkan. Untuk itulah kedua
keterampilan berbahasa ini saling
melengkapi.
Adapun aspek penilaian pada
pembelajaran cerita berantai sesuai dengan
buku paket dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 1
Aspek Penilaian
No Aspek Nilai
1 2 3 4
1 Kelancaran
Penceritaan
2 Ketepatan Isi
3 Intonasi dan
Lafal
4 Kekompakkan
5 Percaya Diri
Tabel 1 di atas merupakan aspek penilaian
yang terdapat pada penerapan metode cerita
berantai. Beberapa aspek yang dinilai dalam
penerapan metode cerita berantai ini
meliputi kelancaran penceritaan, ketepatan
isi, intonasi dan lafal, kekompakan dan
percaya diri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif kualitatif.
Deskriptif kualitatif merupakan salah satu
penelitian yang mencoba untuk menjabarkan,
menguraikan ataupun mendeskripsikan
fenomena yang diamati dalam bentuk kata-
kata. Dalam penelitian ini, peneliti
menguraikan fenomena yang diamati yaitu
penerapan metode cerita berantai pada
materi menceritakan kembali cerita fabel
dan mendeskripsikan hasil nilai kemampuan
praktik berbicara dengan bantuan metode
cerita berantai siswa kelas VII E SMP
Negeri 1 Weru dengan sampel data siswa
sebanyak 29. Hasil nilai yang dideskripsikan
merupakan nilai rata-rata pada setiap aspek
penilian sekaligus nilai akhir yang diperoleh.
Beberapa teks fabel yang dijadikan
praktik berbicara siswa diambil dari majalah
bobo. pengumpulan data dilakukan langsung
dengan mengamati atau menyimak ketika
siswa berbicara. Selanjutnya, peneliti
memberikan nilai terhadap kemampuan
berbicara masing-masing siswa sesuai
dengan kelompok nya masing-masing.
Perhitungan nilai mengacu pada buku paket
yang disediakan oleh pemerintah.
Perhitungan nilai dapat dilihat sebagai
berikut:
Rumus di atas merupakan rumus
untuk menghitung skor akhir yang diperoleh
siswa dari hasil penjumlahan masing-masing
aspek. Skor yang diperoleh merupakan
keseluruhan nilai yang diperoleh oleh satu
kelas pada setiap aspek. Skor yang diperoleh
berisi nilai yang didapatkan siswa kemudian
nilai tersebut dibagi dengan skor maksimal
berjumlah 116 yang diperoleh dari 4 (skor
tertinggi) dikalikan dengan jumlah siswa
sehingga dikatakan bahwa skor maksimal
diperoleh dari 4 x 29 = 116. Hasil bagi
kemudian dikalikan 100 untuk
menyimpulkan nilai akhir siswa. Sebagai
contoh seperti di bawah ini.
Nilai 90 diibaratkan skor yang
diperoleh seluruh siswa pada aspek A. Skor
tersebut kemudian dibagi 116 yang
merupakan skor maksimal. Hasil bagi
selanjutnya dikalikan 100 untuk
memudahkan dalam penyimpulan rata-rata
nilai akhir siswa.
Setelah ditemukan nilai akhir siswa,
peneliti menghitung nilai akhir kelas dengan
rumus total nilai dibagi jumlah siswa satu
kelas. Hasil nilai akhir yang diperoleh
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
259
kemudian disesuaikan dengan tabel rentang
penilaian untuk dapat melihat predikat nilai
yang diperoleh siswa sudah sampai sejauh
mana. Rentang predikat nilai dilihat dari
KKM yang digunakan oleh sekolah yaitu 65.
Tujuan diberikan rentang predikat nilai ini
untuk melihat hasil ketercapain siswa pada
proses pembelajaran. Rentang penilaian ini
didapat dari 100-65 (nilai KKM) dibagi 3.
Adapun rentang predikat nilai dapat dilihat
sebagai berikut. Tabel 2
Rentang Predikat Nilai
Nilai Predikat Keterangan
89 -100 A Sangat Baik
77 – 88 B Baik
65 – 76 C Cukup
< 65 D Kurang
Penerapan Model Pembelajaran Cerita
Berantai
Telah disingung sebelumnya bahwa
cerita berantai adalah salah satu metode
pembelajaran yang dapat digunakan
referensi bagi guru untuk mengembangkan
keterampilan berbicara siswa. Tidak hanya
keterampilan berbicara, akan tetapi
penerapan metode pembelajaran ini juga
mengembangkan keterampilan menyimak
dan membaca. Penerapan metode
pembelajaran ini tidak terlalu rumit untuk
diterapkan dalam pembelajaran. Pada
prinsipnya siswa guru membentuk kelas
dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap
kelompok diberikan sebuah bacaan teks
fabel kemudian mereka diajak untuk
bersama-sama membaca cerita fabel tersebut.
Langkah terakhir, bersama rekan
kelompoknya, siswa diminta untuk
menyimpulkan isi cerita tersebut dan
membuat ringkasan cerita yang sudah dibaca.
Setelah menyimpulkan, setiap kelompok
diminta untuk maju ke depan dan
menceritakan kembali isi certita yang dibaca
secara berantai. Adapun lebih jelasnya
kegiatan pembelajaran dapat dilihat sebagai
berikut. Tabel 3
Kegiatan Inti Pembelajaran
Kegiatan Praktik
Mengamati Peserta didik membaca
teks fabel yang sudah
didapatkan bersama
rekan kelompoknya.
Menanya Peserta didik membuat
pertanyaan berkaitan
dengan apa, siapa,
kapan, di mana,
bagaimana, mengapa
sesuai dengan teks fabel
masing-masing
kelompok, untuk
memudahkan ketika
mereka bercerita
berantai. Mencoba Peserta didik
menjawab pertanyaan
yang sudah dibuatnya.
Mengasosiasi Peserta didik
mengasosiasikan isi
teks fabel dengan
bahasanya sendiri atau
sesuai pemahamannya
sendiri-sendiri
Mengomunikasik
an
Peserta didik
melakukan cerita
berantai di depan kelas
secara singkat jelas dan
padat sesuai dengan isi
dari teks fabel yang
sudah dibacanya.
Tabel 3 di atas merupakan kegiatan
pembelajaran yang disesuaikan dengan
kegiatan 5M (mengamati, menanya,
mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasi)
kurikulum 13 yang diterapkan pada
pembelajaran cerita berantai materi teks
fabel. Langkah awal pada pembelajaran ini,
tentunya guru melakukan refleksi dengan
me-review beberapa materi yang sudah
disampaikan pada pembelajaran sebelumnya.
Setelah melakukan review, guru
menjelaskan tujuan pembelajaran dan
langkah-langkah pembelajaran cerita
berantai kepada siswa. Setelah siswa
memahami tujuan pembelajaran, guru
membagi siswa dalam beberapa kelompok.
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
260
Langkah selanjutnya yaitu kegiatan
pembelajaran yang meliputi kegiatan 5M
atau kegiatan inti pembelajaran. Guru
membagikan cerita fabel pada setiap
kelompok. Masing-masing kelompok diberi
judul cerita yang berbeda-beda dengan
tujuan agar pembelajarn lebih variatif.
Setelah membagikan teks fabel pada
masing-masing kelompok, siswa selanjutnya
membaca dan mengamati cerita fabel yang
didapatkannya. Siswa kemudian diminta
untuk membuat pertanyaan berkaitan dengan
isi yang ada pada setiap teks fabel tersebut.
Selain membuat pertanyaan siswa juga
diminta untuk menjawab pertanyaan yang
sudah dibuatnya untuk memudahkan siswa
dalam menyimpulkan isi dan bercerita
berantai di depan kelas. Pertanyaan dan
jawaban yang telah dibuat siswa selanjutnya
dijadikan sebagai rangkuman bagi siswa
dalam bercerita berantai. Ketika bercerita di
depan kelas, guru juga memberikan
pertanyaan kepada siswa, seputar teks fabel
yang dipresentasikan atau disampaikan
untuk mengetahui seberapa besar
pemahaman siswa terhadap teks fabel yang
dibahas.
Kegiatan penutup pada setiap
pertemuan dilakukan dengan guru
mengulang pertanyaan yang diberikan oleh
guru kepada siswa. Guru mengulas kembali
teks fabel yang sudah diceritakan oleh siswa
dengan tujuan untuk menguji pemahaman
siswa terkait pembelajaran yang dilakukan
pada setiap pertemuan. Guru juga
menjelaskan materi pembelajaran yang akan
disampaikan pada pertemuan selanjutnya
agar siswa mempersiapkan diri untuk
pembelajaran selanjutnya.
PEMBAHASAN
Kelancaran Penceritaan
Dalam praktik berbicara di depan
kelas, kelancaran berbicara mendapatkan
penilaian yang paling utama. Hal ini
dikarenakan setiap siswa harus lancar dalam
membawakan cerita yang akan disampaikan
kepada siswa lain atau dipresentasikan di
depan kelas. Kelancaran penceritaan
berdampak pada cerita yang disampaikan
dapat dipahami oleh siswa-siswi yang lain.
Sebaliknya, pembawaan cerita yang kurang
lancar atau bahkan tidak lancar akan
berpengaruh pada siswa-siswi sulit untuk
memahami cerita yang dibawakan di depan
kelas. Terkadang, beberapa siswa sering
mengalami grogi ketika berbicara di depan
kelas atau di hadapan teman-temannya
dalam situasi formal. Akibatnya, ketika
siswa sedang bercerita, sering ditemui
senyapan atau keseleo lidah ataupun
kekeliruan dalam melafalkan huruf.
Beberapa kecelakaan kecil tersebut seakan
menjadi momok bagi para siswa ketika
berbicara di depan kelas tanpa menggunakan
teks.
Perhitungan di atas merupakan hasil
penilaian pada aspek kelancaran penceritaan.
Angka 98 didapatkan dari total poin
keseluruhan yang diperoleh oleh satu kelas
dan kemudian dibagi dengan angka 116
yang merupakan skor maksimum yang harus
diperoleh pada setiap poin. Hasil bagi
selanjutnya dikalikan dengan 100 dan
menunjukkan nilai akhir 84.48. Hasil di atas
menunjukkan bahwa pada aspek kelancaran
penceritaan dapat dikatakan baik atau
mendekati angka sempurna. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penilaian yang
menunjukkan angka 84.48 dan menunjukkan
predikat baik (B). Dari hasil penilaian
tersebut dapat dikatakan bahwa dalam
bercerita tentang teks fabel siswa telah
mampu menceritakannya dengan lancar.
Siswa telah memahami isi cerita yang
dibacanya. Meskipun demikian masih
ditemukan beberapa siswa yang masih
kurang lancar dalam bercerita di depan
dikarenakan faktor grogi. Penyebabnya,
beberapa siswa kurang tampil percaya diri di
depan kelas dan merasa nerveous.
Ketepatan Isi dengan Cerita yang Dibaca
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
261
Dalam bercerita secara berantai,
siswa-siswi perlu memperhatikan ketepatan
isi cerita yang akan diceritakan di depan
kelas dengan teks fabel yang sudah dibaca
dan dipahaminya. Ketepatan isi cerita ini
harus mengacu pada kesesuaian setiap alur
cerita yang sudah didapatkan dan sudah
dipelajari bersama rekan kelompoknya.
Setiap kelompok diberikan kesempatan
untuk membaca cerita fabel yang sudah
didapatkannya. Selain itu mereka juga
diminta untuk berdiskusi menentukkan alur
cerita fabel yang sudah dibaca. Dengan
demikian cerita yang dibacakan di depan
kelas akan sesuai dan tepat dengan cerita
pada teks fabel. Setiap siswa harus mampu
menceritakan isi teks fabel. Setiap siswa
boleh meringkas cerita yang telah dibacanya
langsung kepada isi cerita atau konflik yang
ditampilkan. Dalam penilaian pada aspek ini,
pemilihan diksi atau bahasa penceritaan
yang dibawakan oleh siswa-siswi tidak harus
sama persis dengan bahasa yang digunakan
pada teks cerita fabel yang sudah dibaca atau
didapatkannya. Artinya, siswa boleh
melakukan improvisasi gaya bercerita atau
bahkan bercerita dengan bahasanya sendiri
tanpa harus terpaku pada bahasa asli teks
cerita fabel. Siswa yang berani untuk
bercerita dengan bahasanya sendiri lebih
mendapatkan apresiasi nilai tinggi dari pada
siswa yang penceritaannya sama persis
dengan yang terdapat dalam teks fabel.
Perhitungan di atas menunjukkan
hasil penilaian nilai akhir pada aspek
ketepatan isi dengan cerita yang dibaca. Dari
hasil perhitungan nilai di atas dapat
dikatakan sangat baik. Artinya, bahwa dalam
bercerita di depan kelas terjadi ketepatan isi
cerita yang disampaikan dengan cerita yang
telah dibaca oleh setiap siswa. Hal ini
menandakan bahwa siswa sangat memahami
maksud ataupun alur dari setiap cerita fabel
yang didapatkannya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa adanya ketepatan isi cerita
yang disampaikan di depan kelas dengan
teks yang dibaca sehingga memperoleh
perhitungan nilai sempurna, yaitu 100. Hasil
ini diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan
pada aspek ini yaitu 116 poin kemudian
dibagi 116 sesuai nilai maksimal yang harus
diperoleh setiap aspek. Hasil bagi
selanjutnya dikalikan dengan 100 dan
menunjukkan nilai akhir 100 serta
menunjukkan predikat sangat baik (A).
Cerita fabel yang dibawakan oleh setiap
kelompok sudah sesuai dengan cerita asli
yang dibagikan oleh guru. Dalam hal ini,
guru juga sudah memahami rangkaian
seluruh cerita yang dibagikan kepada
masing-masing kelompok. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa siswa mampu
memahami isi cerita ataupun teks yang
dibacanya dengan tepat dan cermat. Hal ini
sudah tidak diragukan lagi sebab dalam
memahami isi cerita, tentu setiap siswa
mampu menyimpulkan dengan tepat
sehingga mendapat nilai sempurna.
Intonasi dan Kejelasan Lafal
Intonasi dan kejelasan lafal bukan
hanya terdapat pada penilaian praktik
berbicara seperti membaca puisi, berpidato,
ataupun praktik berbicara yang lainnya.
Akan tetapi dalam praktik berbicara cerita
berantai materi teks fabel ini juga perlu
untuk memperhatikan penilaian intonasi dan
kejelasan lafal. Kejelasan lafal dan intonasi
akan berdampak pada pemahaman siswa-
siswi yang lain (pendengar) dalam
memahami cerita yang disampaikan oleh
pembicara atau yang bercerita. Penilaian
intonasi mencangkup tinggi rendahnya nada,
penggunaan tanda baca titik maupun koma
yang terkadang dilalaikan oleh siswa-siswi.
Pada aspek lafal, siswa-siswi perlu
mengucapkan pola huruf vokal maupun
konsonan dengan jelas.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai
di atas menunjukkan bahwa penilaian pada
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
262
aspek lafal dan intonasi belum menunjukkan
hasil yang signifikan. Hal ini dapat dilihat
dari hasil perhitungan yang menunjukkan
nilai 82.75, jauh dari harapan. Hasil ini
diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada
aspek ini yaitu 96 poin kemudian dibagi 116
sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh
setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya
dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai
akhir 82.75 serta menunjukkan predikat baik
(B). Seharusnya pada aspek ini, peserta didik
mendapatkan nilai yang sangat baik.
Penyebabnya, beberapa siswa masih terlihat
malu-malu ataupun kurang yakin dalam
bercerita meskipun sebenarnya mereka
mampu. Siswa masih ragu-ragu dalam
bercerita ataupun beberapa siswa dalam
berbicara memang kurang keras sehingga
lafal dan intonasi terdengar kurang jelas.
Dengan demikian beberapa kesalahan kecil
yang dilakukan oleh siswa tersebut
berdampak pada penilaian pada aspek ini
yang dinilai masih jauh dari angka yang
diharapkan.
Kekompakan
Pada hakikatnya manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu dengan yang lainnya. Dengan demikian
kegiatan kelompok ini tidak lain juga
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
pada diri siswa sebagai makhluk sosial yang
harus saling bekerja sama. Siswa dituntut
untuk mampu bekerja sama ketika bercerita
dengan rekan kelompoknya. Dalam
penilaian cerita berantai ini, kegiatan
kelompok mengajarkan siswa-siswi untuk
melatih kekompakan. Hal ini berarti
penilaian tidak terpaku pada masing-masing
individu, akan tetapi harus dinilai secara
kelompok. Siswa diajak untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan masalah.
Permasalahan yang dihadapi dalam cerita
berantai ini adalah bagaimana siswa mampu
untuk membagi tugas setiap bagian yang
akan diceritakan oleh masing-masing
anggota kelompok. Selain itu, siswa-siswi
juga diajak untuk saling membantu dan
menolong ketika anggota kelompok maju di
depan kelas dan tiba-tiba grogi sehingga
lupa terhadap alur cerita yang akan
disampaikannya. Dalam hal ini maka
anggota kelompok yang lain dilatih untuk
saling menolong melengkapi kekurangan
cerita tersebut. Hal terpenting di sini adalah
siswa-siswi juga diajak untuk memahami
keberagaman karakteristik rekan-rekan
anggota kelompoknya yang mungkin
terkadang di antara mereka ada yang kurang
berani atau percaya diri, kurang tanggap atau
cepat dalam berpikir, bahkan terkadang ada
dari rekan kelompoknya yang sering
bermalas-malas.
Pada hakikatnya penilaian cerita
berantai adalah melatih kekompakan
antarsiswa. Dari hasil perhitungan nilai di
atas menunjukkan bahwa telah terbangun
kekompakan antarsiswa yang dibuktikan
dengan nilai akhir yang menunjukkan nilai
100 yang dapat dikatakan sebagai kategori
sangat baik. Hasil tersebut diperoleh dari
jumlah nilai keseluruhan pada aspek ini
yaitu 100 poin kemudian dibagi 116 sesuai
nilai maksimal yang harus diperoleh setiap
aspek. Hasil bagi selanjutnya dikalikan
dengan 100 dan menunjukkan nilai akhir
100 serta menunjukkan predikat sangat baik
(A). Penilaian ini dapat dilihat dari diri
antarsiswa yang telah terbentuk sikap peduli
dengan saling tolong menolong dan saling
menguatkan ketika anggota rekan kelompok
ada yang lupa atau ngeblang ketika bercerita
di depan kelas dikarenakan grogi. Dengan
demikian pembelajaran dengan cerita
berantai untuk meningkatkan kelompok
siswa berjalan berhasil.
Kepercayaan Diri
Bercerita atau berbicara di depan
kelas jelas sangat melatih kepercayaan dari
masing-masing siswa. Terkadang siswa-
siswi sering malu ketika diminta untuk ke
depan kelas oleh guru meskipun hanya
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
263
sekadar bercerita. Fenomena ini sangat
berbanding terbalik ketika siswa berbicara di
belakang yang terkadang sering mengobrol
dengan teman sebangku, celometan, dsb.
Mereka dengan lantang dan berani saling
berkomunikasi berbicara dan bercerita,
tetapi ketika diminta untuk maju ke depan
kelas mempraktikkan kegiatan berbicara,
rata-rata dari mereka tidak berani dengan
alasan kurang percaya diri. Dengan adanya
cerita berantai ini maka juga dapat
digunakan untuk melatih kepercayaan diri
siswa-siswi agar lebih berani ketika
berbicara di depan atau di depan orang lain.
Adanya penilaian pada aspek kepercayaan
diri ini diharapkan dapat melatih siswa untuk
mampu melakukan segala suatu tindakan
tanpa ragu-ragu sehingga mereka berani
mengambil keputusan secara cepat dan bisa
dipertanggungjawabkan serta tidak memiliki
rasa mudah putus asa. Selain itu, adanya
penilaian pada aspek kepercayaan diri ini
juga diharapkan bahwa siswa dapat
menunjukkan kemampuan yang dimiliki di
depan orang banyak serta dapat meng-
eksplore atau mencoba hal-hal yang baru
yang sebenarnya bisa dilakukannya.
Hasil hitung di atas merupakan nilai
rerata pada aspek percaya diri. Penilaian di
atas menunjukkan bahwa sikap kepercayaan
diri siswa belum terbentuk secara maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari masing-masing
siswa yang masih malu-malu
mengungkapkan gagasannya dalam bentuk
bercerita mengenai teks fabel yang sudah
dibacanya. Hasil perhitungan nilai tersebut
menunjukkan angka 70.68, yang
menunjukkan kategori cukup (C). Hasil ini
diperoleh dari jumlah nilai keseluruhan pada
aspek ini, yaitu 82 poin kemudian dibagi 116
sesuai nilai maksimal yang harus diperoleh
setiap aspek. Hasil bagi selanjutnya
dikalikan dengan 100 dan menunjukkan nilai
akhir 70.68. Meskipun demikian, hal ini
masih menjadi pekerjaan rumah bagi setiap
guru untuk membentuk rasa kepercayaan
diri setiap siswa.
Nilai Rerata Penerapan Cerita Berantai
Dari uraian yang telah dijabarkan
tersebut di atas dapat diambil pengertian
bahwa penerapan metode cerita berantai
berjalan dengan lancar dan hasil yang
diperoleh dari masing-masing aspek
penilaian dikatakan sempurna. Langkah
terakhir yang dilakukan oleh peneliti yaitu
melakukan perhitungan terhadap nilai akhir
yang bertujuan untuk melihat keberhasilan
penggunaan metode pembelajaran cerita
berantai pada pembelajaran teks fabel.
Adanya nilai akhir ini diharapkan dapat
menjadi tolok ukur keberhasilan penerapan
metode pembelajaran cerita berantai. Secara
keseluruhan perhitungan nilai tersebut dapat
dilihat sebagai berikut.
Dari perhitungan tersebut
menunjukkan hasil akhir bahwa penggunaan
metode pembelajaran cerita berantai dapat
dikatakan berhasil. Siswa tidak hanya
mampu menguasai keterampilan berbahasa
dalam menceritakan cerita fabel, tetapi juga
mampu menguasai seluruh aspek yang
dinilai dalam metode cerita berantai yang
meliputi kekompakan, percaya diri, dsb. Hal
ini dapat dilihat dari penilaian di atas yang
menunjukkan nilai 80.17, kategori baik (B),
sehingga nilai tersebut dapat dijadikan
sebagai tolok ukur bahwa penerapan metode
cerita berantai pada pembelajarn teks fabel
dapat dikatakan berhasil. Hasil ini diperoleh
dari jumlah nilai yang didapatkan siswa
secara keseluruhan yaitu 2325. Skor tersebut
kemudian dibagi 2900 poin sesuai nilai
maksimal yang harus diperoleh pada
penilaian seluruh aspek. Hasil bagi
selanjutnya dikalikan dengan 100 dan
menunjukkan nilai akhir 80.17.
PENUTUP
Pembelajaran dengan memanfaatkan
metode cerita berantai menjadi salah satu
Totobuang Vol.8, No.2, Desember 2020: 253—265
264
metode pembelajaran yang menyenangkan.
Pembelajaran tidak hanya terpaku pada
subjektif masing-masing peserta didik, tetapi
pembelajaran melibatkan agar mereka saling
bekerja sama. Hasil dari penerapan metode
ini menunjukkan adanya ketercapaian nilai
yang didapat pada masing-masing aspek.
Hal ini dilihat dari nilai pada masing-masing
aspek penilaian yang sudah menunjukkan
nilai rata-rata di atas KKM. Selain
menghitung nilai akhir dalam penelitian ini
juga dipaparkan menghitung nilai dari setiap
aspek penilaian. Tujuannya untuk melihat
nilai tertinggi dan terendah pada aspek
penilaian dan selanjutnya dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi bagi guru untuk
meningkatkan kemampuan siswa. Dari
beberapa aspek perhitungan nilai tersebut
menunjukkan bahwa nilai tertinggi pada
aspek kekompakan dan nilai terendah pada
aspek percaya diri. Sebagian siswa belum
menunjukkan sikap kepercayaan diri
sehingga teman yang lain saling membantu
dan memunculkan penilaian tertinggi pada
aspek kekompakan.
Dari hasil perhitungan nilai yang
telah dilakukan dapat dikatakan bahwa
penerapan metode pembelajaran cerita
berantai pada pembelajaran menceritakan
kembali teks fabel dalam kategori baik. Hal
ini mengacu pada nilai akhir yang
menunjukkan hasil 80.17. Perhitungan nilai
tersebut dihasilkan dari penjumlahan seluruh
nilai yang didapatkan oleh siswa dan dibagi
sesuai dengan jumlah nilai maksimum siswa
satu kelas.
DAFTAR PUSTAKA Agus, H., & Bagus, W. (2019). Pelatihan
Keterampilan Berbicara Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berbicara
Didepan Umum Pada Himpunan
Mahasiswa Progam Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Universitas Nahdlatul
Ulama Blitar Tahun 2019. BRILIANT:
Jurnal Riset Dan Konseptual, 4(1),
114–117.
Antara, I. N. P., M. G. Rini, K., & I Ngh.
Suadnyana. (2019). Pengaruh Model
Pembelajaran Talking Stick Berbantuan
Rubrik Surat Kabar Terhadap
Keterampilan Berbicara. International
Journal of Elementary Education, 3(4),
423–430.
Antari, N. M. W., Ni Wayan, A., & Made, S.
(2019). Pengaruh Model Pembelajaran
Word Square Berbantuan Media
Gambar Terhadap Keterampilan
Berbicara. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pendidikan, 3(3), 174–
182.
Astiningtyas, A., Naniek, S. W., & Tego, P.
(2019). Upaya Peningkatan
Keterampilan Berbicara Melalui PS-
MTTW dalam Pembelajaran Tematik
Terpadu Kelas IV SD. Jurnal Basicedu,
3(1), 33–42.
Hatma, S. (2017). Peningkatan Kemampuan
Siswa dalamMenceritakan Pengalaman
Pribadi melaluiMetode Cerita Berantai
pada Kelas IX.4 Semester 1 SMP
Negeri 30 Pekanbaru Tahun Pelajaran
2015/2016. Lectura: Jurnal Pendidikan,
8(2), 101–107.
Latifaha, S., & Gigit, M. (2020). & Gigit
MujiaInterelasi Keterampilan Berbicara
Terhadap Kemampuan Komunikasi
Peserta Didik di SMP Muhammadiyah
06 Dau Malang (Interelation of
Speaking Skills Towards
Communication Ability of Students in
SMP Muhammadiyah 06 Dau Malang).
TOTOBUANG, 8(1), 115–128.
Lawotan, Y. E. (2018). Penerapan Teknik
Cerita Berantai untuk Meningkatka
Keterampilan Berbicara pada Siswa
Kelas IV SD Inpres Nangameting. At-
Tadbir STAI Darul Kamal NW
Kembang Kerang, II(2), 39–51.
Mulyo, S., Mohammad, I., & Ahmad, R.
(2019). Pembelajaran Keterampilan
Berbicara dengan Metode Field Trip
Pada Peserta Didik Kelas IX SMP
Samarinda. Diglosia, 2(2), Halaman
115—126.
Nupus, M. H., & Desak, P. P. (2017).
Penerapan dan Kemampuan Teknik Cerita Berantai pada ….( Ferdian Achsani)
265
Peningkatan Keterampilan Berbicara
Melalui Penerapan Metode Show and
Tell Siswa SD Negeri 3 Banjar Jawa.
Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar. Vol.1,
1(4), 198–203.
Putra, I. N. T., Ida, B. S., & Ida, A. M. D.
(2017). Pemanfaatan Teknik Kata
Kunci untuk Meningkatkan
Kemampuan Menulis Teks Eksposisi
Siswa Kelas X MIPA 5 SMA N 1
Payangan. E-Journal Jurusan
Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia, 2(1).
Rahayu, D., Maryatin, & Retnowaty. (2018).
Kemampuan Berbicara Siswa MTs
Hidayatul Mustaqim Balikpapan
Melalui Kegiatan Menjadi Pembawa
Acara. BASA TAKA, 1(1), 22–29.
Rosita, F. Y. (2018). Pengembangan Model
Pembelajaran Timnas Untuk Menulis
Puisi Siswa SMP Kelas VIII.
KEMBARA: (Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, Dan Pengajarannya, 4(1), 35–
47.
Sari, N. R. (2017). Peningkatan
Keterampilan Berbicara Melalui Teknik
Cerita Berantai Siswa Kelas IV. Jurnal
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Edisi,
2(6), 157–165.
Segu. (2016). Meningkatkan Keterampilan
Bercerita dengan Metode Kamishibai.
AT-TURATS, 10(2), 103–117.
Simarmata, M. Y., & Sulastri, S. (2018).
Pengaruh Keterampilan Berbicara
Menggunakan Metode Debat dalam
Mata Kuliah Berbicara Dialektik pada
Mahasiswa IKIP PGRI Pontianak.
Jurnal Pendidikan Bahasa, 7(1), 49–62.
Wijanarko, A. G. (2019). Strategi Tua Tuo
Untuk Meningkatkan Ketrampilan
Berbicara (Tembang Macapat) Andrian
Gandi Wijanarko. IQRO: Journal of
Islamic Education, 4(1), 28–41.