penelitian mandirieprints.ulm.ac.id/6330/7/7. penelitian mandiri_bp anang... · 2019. 8. 29. ·...
TRANSCRIPT
-
PENELITIAN MANDIRI
JUDUL PENELITIAN
PROBLEMATIKA SEPUTAR PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP
PUTUSAN PRAPERADILAN DI INDONESIA
Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.
NIDN: 0002107901
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS HUKUM
MARET 2019
-
i
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN MANDIRI
-
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan Dan Kegunaan Penulisan.............................................. 7
D. Metode Penulisan ...................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 11
A. Pengertian Praperadilan........................................................................... 11
B. Pengertian Peninjauan Kembali .............................................................. 14
C. Pengertian Penangkapan ......................................................................... 21
D. Pengertian Penahanan ............................................................................. 23
E. Pengertian Penghentian Penyidikan ........................................................ 25
F. Pengertian Penghentian Penuntutan ........................................................ 26
G. Pengertian Permohonan Praperadilan ..................................................... 27
H. Pengertian Putusan Praperadilan ............................................................. 28
BAB III ANALISIS MASALAH ............................................................................ 30
A. Putusan Praperadilan Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali ................. 30
B. Dasar Pemohon Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Praperadilan .. 37
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 49
A. Kesimpulan.............................................................................................. 49
B. Saran ........................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 51
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berawal dari lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau yang
populer disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai maha karya (masterpiece) anak bangsa yang sebagai tolak ukur bahwa
anak bangsa juga dapat menciptakan sebuah kodifikasi hukum acara sendiri
dalam artian tidak bergantung lagi dengan kitab undang-undang peninggalan
kolonial Belanda. Salah satu yang menonjol dari KUHAP adalah terdapatnya
sebuah lembaga pengawas kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tindakan yang dikenal sebagai lembaga Praperadilan. Lembaga Praperadilan
merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan tersangka, sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka. Walaupun terdapat
sarana kontrol seperti tersebut diatas namun dalam pelaksanaannya masih
terdapat kelemahan dalam hal perlindungan hak asasi manusia hal tersebut
terlihat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menyatakan
gugur permohonan praperadilan dengan alasan mulai diperiksanya perkara
pidana pokok terhadap terdakwa.
Kebijakan Lembaga Praperadilan berkaitan dengan pelanggaran atas
hak asasi manusia bertujuan untuk menciptakan dan memberi rasa keadilan dan
kepastian hukum bagi seseorang yang mengalami tindakan upaya paksa dari
-
2
aparat penegak hukum. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa dikenal dengan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP, ada beberapa hal yang
baru bila dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yaitu Herziene
Indiesche Reglement (HIR), yaitu :
1. Hak-hak tersangka dan terdakwa (pasal 50 sampai dengan pasal 68
KUHAP)
2. Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69 sampai
dengan pasal 74 KUHAP).
3. Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi
(pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP)
4. Pengawasan Pelaksanaan putusan Hakim (pasal 277 sampai dengan
pasal 283 KUHAP).
5. Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni praperadilan
(Pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP).
Dilihat dari hal-hal yang baru dalam KUHAP, tergambar jelas bahwa
KUHAP sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia terutama hak-hak dari
tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Sebagaimana diketahui pada masa berlakunya HIR, banyak tersangka yang
ditangkap dan ditahan tanpa batas waktu yang jelas hingga disidangkan. Apalagi
bila orang yang ditangkap tersebut ternyata tidak bersalah tidak ada upaya bagi
tersangka atau orang yang ditangkap atau ditahan untuk melakukan tuntutan,
dengan kehadiran KUHAP, masalah ini telah ditampung.
-
3
Perlindungan hak-hak terhadap tersangka yang diberikan oleh KUHAP
tidak terlepas dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah mengalami perubahan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tersebut disebutkan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sebelum adanya putusan Pengadilan yang dinyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
KUHAP sebagai kitab suci para praktisi hukum pidana dalam
menegakkan hukum pidana tentunya diharapkan memiliki semua fasilitas atau
dengan kata lain dapat mengakomodir semua rasa keadilan bagi pihak yang
terlibat di dalamnya. Seperti juga kita ketahui bahwa KUHAP lahir pada tahun
1981 yang kalau kita rasakan umurnya sudah 34 tahun, dimana kalau kita
persamakan dengan usia manusia maka dapat dikatakan memasuki usia dewasa.
Kedewasaan KUHAP selama ini dapat ditandai dengan tetap bertahannya
KUHAP sebagai dasar penegak hukum dan pencari keadilan dalam berperkara
pidana walaupun terdapat tambal sulam disana sini berupa peraturan pelaksana
maupun berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung untuk memberikan
kesempurnaan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keberadaan lembaga Praperadilan dalam sistem peradilan di Indonesia
merupakan sebagai sarana kontrol oleh Hakim terhadap tindakan-tindakan
hukum selama proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh
-
4
Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam sistem Peradilan Pidana terpadu yang
dianut oleh Hukum Acara Pidana mengandung arti hubungan antara Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakaatan harus merupakan
hubungan yang sinkron sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih. Hukum
Acara Pidana merupakan suatu sarana dalam pembinaan keseluruhan komponen
diatas, dalam arti bahwa Hukum Acara Pidana haruslah dapat memberikan
pengaturan sedemikian rupa sehingga diantara komponen tersebut tidak terjadi
saling tumpang tindih, serta masing-masing komponen mengetahui tempatnya
serta fungsi dalam suatu rangkaian keseluruhan sistem.
Sistem Peradilan Pidana terpadu ini (intregrited Criminal justice
System) memiliki tujuan adalah untuk dapat mengatasi kejahatan. Sebagaimana
diketahui masing-masing lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah
Agung dan Lembaga Pemasyarakatan memiliki undang-undangnya sendiri,
sehingga bila masing-masing lembaga tersebut berjalan sendiri-sendiri untuk
mengatasi kejahatan, maka apa yang menjadi tujuan bisa saja tidak tercapai.
Oleh karena itu Lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawas oleh Hakim
terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian maupuan Kejaksaan
akan mewujudknya tercapainya apa yang dikehendaki oleh sistem peradilan
pidana terpadu tersebut.
Apabila kita bandingkan dengan HIR dan RBg maka lembaga sejenis
praperadilan ini tidak ditemukan, boleh dikatakan lembaga praperadilan ini
sebagai terobosan bagi penegakan hukum pidana di Indonesia, karena lembaga
praperadilan pada pokoknya adalah lembaga pengawas atau control yang
mengawasi tindakan penegak hukum apakah sudah benar atau tidak.
-
5
Praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tertuang dalam Pasal 77 dikatakan: Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Sehingga bagi para pihak yang merasa dirugikan atau menganggap
sebuah penangkapan atau peneahan tidak sah dapat mengajukan Praperadilan
ke Pengadilan Negeri setempat.
Diawal tahun 2015, kita juga dihebohkan oleh putusan Praperadilan
yang dipimpin oleh hakim Sarpin Rizaldi terhadap permohonan praperadilan
dari tim kuasa hukum Komjen Budi Gunawan yang dianggap oleh sebagian
pakar hukum telah melanggar asas legalitas karena melampaui dari kewenangan
yang telah tertuang di dalam ketentuan KUHAP. Cerita bermuara dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus
dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai
Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri
periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Budi lantas menggugat
penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim
Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka
oleh KPK tidak sah. Dengan demikian, penyidikan terhadap Budi di KPK harus
dihentikan. Sementara itu, KPK tidak memiliki dasar hukum untuk
-
6
menghentikan penyidikan. Oleh karena itu, KPK melimpahkan penanganan
perkara yang melibatkan Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Hakim
memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah
secara hukum. Hakim Sarpin memberikan putusan tersebut setelah menimbang
berbagai hal yang mencakup dalil gugatan pihak Budi Gunawan selaku
pemohon, jawaban atas gugatan KPK sebagai termohon, bukti dan saksi-saksi
yang diajukan kedua pihak.1
Kemudian muncul wacana dari KPK untuk melakukan upaya hukum
luarbiasa yakni Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan tersebut,
tetapi dengan pertimbangan dari petinggi KPK sendiri akhirnya peninjauan
kembali tersebut batal dilakukan. Kalau ditarik ke belakang pernah terjadi di
tahun 2008 di Jawa Barat tepatnya di Pengadilan Negeri Bandung. Putusan
Praperadilan Pengadilan Negeri Bandung No. 04/PID/PRA/2008/PN.Bdg.
tanggal 26 September 2008. Diajukan permintaan peninjauan kembali Putusan
Peninjauan Kembali (PK) Nomor 18 PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang
membatalkan putusan praperadilan PN Bandung No.
04/PID/PRA/2008/PN.BDG. tanggal 26 September 2008. MA menilai judex
facti praperadilan salah dalam pemeriksaan perkara dan proses pembuktian
dengan masuk ke substansi pokok perkara. Hakim praperadilan telah melanggar
ketentuan proses pembuktian di dalam sidang praperadilan. Pembuktian dalam
sidang praperadilan adalah pembuktian administratif. Pada prinsipnya
pembuktian administratif memfokuskan mengenai tata cara prosedur dalam
1 Anonim. http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-
praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00. Diakses Tanggal 12 April
2015.
http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00
-
7
melakukan tindakan penahanan atau penangkapan, penghentian penyidikan atau
penuntutan oleh Penyidik atau penuntut umum. Bahwa pemeriksaan
praperadilan bukan memeriksa pada pokok perkara tetapi pada pembuktian
administratif. Maka pemohon peninjauan kembali dalam perkara itu yakni polda
Jabar dimenangkan.
Atas dasar ini penulis berminat untuk menulis sebuah penelitian dengan
judul “PROBLEMATIKA SEPUTAR PENINJAUAN KEMBALI
TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN DI INDONESIA”
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terhadap Putusan Praperadilan dapat dilakukan Peninjauan Kembali?
2. Apakah dasar yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali terhadap
putusan praperadilan ?
C. Tujuan Penulisan Dan Kegunaan Penulisan
1. Untuk mengetahui apakah terhadap Putusan Praperadilan dapat dilakukan
Peninjauan Kembali.
2. Untuk mengetahui dasar yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali
terhadap putusan praperadilan.
Adapun kegunaan yang akan didapatkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang terkait dengan permasalahan
Praperadilan khususnya mengenai Peninjauan Kembali.
2. Sebagai usaha dalam membantu memberikan informasi kepada masyarakat
dan pejabat atau instansi yang berwenang tentang upaya luarbiasa peninjauan
kembali terhadap putusan Praperadilan.
-
8
D. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan untuk memperoleh bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier berkaitan
dengan masalah yang diangkat dalam penulisan ini yang menyangkut
mengenai hal-hal tentang apakah dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa
peninjauan kembali dalam putusan praperadilan dan siapa aja yang dapat
mengajukannya.
2. Sifat Penelitian
Penulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penulisan yang bertujuan
menggambarkan maupun memaparkan dan menjelaskan suatu keadaan yang
didasarkan pada gejala-gejala serta fakta-fakta yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat. Dalam hal ini yang diangkat ialah tentang
apakah dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa peninjauan kembali dalam
putusan praperadilan dan siapa aja yang dapat mengajukannya.
3. Tipe Penelitian
Tipe dalam penelitian ini adalah adanya kekaburan hukum tentang apakah
dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa peninjauan kembali dalam putusan
praperadilan dan siapa aja yang dapat mengajukannya dalam KUHAP dan
peraturan perundangan yang terkait.
-
9
4. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini merupakan hasil
penelitian kepustakaan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder serta bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok Kehakiman.
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4) SEMA NO 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum
Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Pengadilan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yang diperoleh melalui literatur, buku
ajar, artikel dalam majalah atau jurnal hukum, maupun artikel dalam
internet yang berkaitan dengan praperadilan dan peninjauan kembali.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang diperoleh dari Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.
5. Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk menjawab permasalahan yang ada, maka penulis melakukan
pengumpulan bahan hukum melalui alat pengumpul data yang berupa studi
dokumen atau bahan pustaka. Studi kepustakaan (library research) meliputi
-
10
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang
dikumpulkan berdasarkan permasalahan yang diangkat, yaitu tentang
praperadilan dan upaya hukum luarbiasa yakni peninjauan kembali.
6. Pengelolaan Dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diolah dan dianalisa
dengan langkah berpikir sistematis. Pembahasan dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai buku-buku, literatur-literatur serta peraturan
perundang-undangan yang terkait penjiauan kembali terhadap putusan
praperadilan.
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Praperadilan
Praperadilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP.
Bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain, seperti limitasi atas proses
penangkapan/penahanan.2 Dalam penjelasan mengenai kata penghentian
penuntutan dalam rumusan Pasal 77 huruf a dan huruf b KUHAP dikatakan,
bahwa yang dimaksud dengan penghentian penuntutan itu tidak termasuk
pengesampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang dari
Jaksa Agung. Wewenang memeriksa dan memutus tuntutan ganti rugi
merupakan sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya tuntutan
ganti rugi, baik ia ditujukan kepada perseorangan maupun kepada pemerintah,
sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu diperiksa dan diputus oleh
hakim perdata.3 Praperadilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara
pidana Indonesia. Walaupun dapat dipandang sebagai tiruan lembaga hakim
komisaris (recht commissaris) di negeri Belanda dan juge d” Instruction di
Prancis, namun tugas praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris
di Eropah itu.4 Jadi, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan pra-peradilan
dalam KUHAP, adalah untuk melakukan “pengawasan secara horizontal” atas
segala tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum
kepada tersangka selama dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar
2 Luhut M.P. Pangaribuan. 2008. Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advokat. Jakarta: Djambatan. Hlm. 39. 3 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.223. 4 Andi Hamzah. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
hlm. 188.
-
12
benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
dan undang-undang yang berlaku.5
Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang
masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara
materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji
proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja.
Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut,
misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi. Dalam
praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah
masalah tata cara penyidikannya. Contohnya: ketika menangkap tersangka
korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana
dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah
penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya,
apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai
tindakan penangkapan dan tindakan penahanan. Dalam pelaksanaan persidangan
praperadilan diatur dalam pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP
yang memberikan pengertian praperadilan yang berbunyi sebagai berikut.
Pengadilan Negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, mengenai :
a. Sah atau tidaknya penangkappan, penahanan, penghentian, penyidikan
atau penghentian penuntutan.
5 Andi Sofyan, Abdul Azis. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta:
Prenadamedia Group, hlm. 185.
-
13
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jadi, menurut ketentuan di atas bahwa praperadilan adalah media untuk
menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang penegakan
hukum terutama penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)
apabila melakukan tindakan hukum yang berupa penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.
Hal perlu diperhatikan dalam gugatan praperadilan ini adalah tentang sah
tidaknya tindakan di atas dilakukan. Pengertian sah tidaknya itu berkaitan
dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi apa tidak, jika resmi harus
dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang berupa surat tugas yang jelas
menyangkut tugas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
apakah petugas-petugas yang melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu
telah dilengkapi dengan surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum. Dalam kenyataannya permasalahan praperadilan telah berkembang
bukan hanya semata-mata masalah penangkapan, penahanan dan penghentian
saja, melainkan masalah tembusan penangkapan dan penahanan juga ikut
mewarnai adanya gugatan praperadilan.
Dalam dunia praperadilan yang selama ini berlaku, yang sering terlibat
dalam praperadilan atau yang menjadi termohon atau tergugat dalam
praperadilan adalah institusi kepolisian negara republik Indonesia dan institusi
kejaksaan republik Indonesia. Bagaimana dengan institusi pegawai negeri
sipilnya (PPNS), apakah institusi ini juga dapat digugat atas nama praperadilan.
Yang menjadi dasar gugatan praperadilan itu adalah masalah penahanan,
-
14
penangkapan dan penyidikan, apabila PPNS tersebut telah melakukan upaya
paksa secara hukum yang berupa penyidikan, maka institusi sipil itu dapat
digugat praperadilan. Misalnya yang terjadi antara institusi Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai PPNS yang menetapkan seorang anggota Polri
Budi Gunawan sebagai tersangka, yang kemudian pihak Budi Gunawan
menuntut intitusi komisi pemberantasan korupsi di sidang praperadilan. Sidang
praperadilan yang dilangsungkan oleh Budi Gunawan dan pihak institusi komisi
pemberantasan korupsi, dimenangkan oleh pihak Budi Gunawan.
Jika di dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS itu diduga
tidak ada surat-surat yang berkaitan dengan tugasnya, misalnya surat tugas
penyidikan, surat tugas penyitaan, surat tugas penggeledahan dan tidak
dilanjutkan atau dihentikan, maka institusi yang di dalamnya terdapat PPNS
yang menangani perkara itu dapat saja digugat atau dimohonkan untuk sidang
praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan
perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri,
termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Pengertian Peninjauan Kembali
Disamping pemeriksaan tingkat banding dan kasasi yang merupakan
upaya hukum biasa sebagaimana diuraikan di atas, maka KUHAP telah
mengatur pula tentang upaya hukum luarbiasa yang merupakan pengecualikan
dari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVIII Bagian kesatu
-
15
dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi
kepentingan umum dan Bagian kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269
KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.6 Adanya PK dalam KUHAP minimbulkan
perbedaan pendapat di anatara para pakar. Yang menyetujui adanya PK,
mengutarakan bahwa para Hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari
kekhilafan, karena manusia tidak sempurna. Para pakar yang tidak menyetujui
adanya PK berpendapat bahwa mustahil Jaksa/penuntut umum dan hakim yang
terdiri dari 3 (tiga) orang di Pengadilan Negeri, 3 (tiga) orang di Pengadilan
Negeri, dan 3 (tiga) orang di Mahkamah Agung, semuanya khilaf. Yang penting,
baik jaksa maupun para hakim dapat bekerja profesional, sehingga benar-benar
secara seksama memahami perundang-undangan sehingga dapat menerapkannya
dengan tepat.7
Dimasukkannya lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar
biasa di dalam KUHAP merupakan keputusan dari pembentuk KUHAP, yang
patut dipuji yang menyadari bahwa bagaimanapun terpericinya tindakan yang
harus dilakukan oleh para hakim itu telah diatur di dalam KUHAP.
Bagaimanapun juga terperincinya undang-undang telah menentukan peraturan
dengan maksud menjamin kebebasan terdakwa atau dengan maksud menjamin
perlakuan yang bersifat manusiawi terhadap terdakwa, sehingga sejauh mungkin
6 Ibid. Hlm. 287. 7 Leden Marpaung. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 71-72.
-
16
dapat dicegah terjadinya kekeliruan-kekeliruan seperti itu masih saja dapat
terjadi.8
Peninjauan Kembali (PK) atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan
istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana,
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya menyebutkan bahwa
PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. PK dapat dimintakan/diajukan kepada Mahkamah Agung
(MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA setelah semua upaya hukum
biasa berupa banding dan kasasi telah tertutup untuk dilakukan. PK dapat
dimintakan/diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik Pengadilan
Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung (MA), dengan
persyaratan bahwa putusan instansi pengadilan sebagaimana tersebut di atas
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan PN dapat dimintakan/diajukan
PK dengan syarat bahwa putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT.
Demikian pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Demikian
pula terhadap putusan MA dapat diajukan PK, setelah putusan MA tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti
telah dibacakan putusan pengadilan (vonis) terhadap terdakwa didepan sidang
8 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang. 2010. Op. Cit. Hlm. 528.
-
17
terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya secara
sah putusan pengadilan tersebut kepada terdakwa, maka sejak saat itu terbuka
jalan untuk meminta/mengajukan PK, baik terhadap putusan PN, PT maupun
MA. PK tidak dapat dimintakan/diajukan apabila putusan instansi pengadilan
tersebut menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslaag rechts vervolging). Dasar pertimbangan bahwa putusan bebas
dan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan/diajukan PK adalah
bahwa upaya hukum luar biasa PK adalah semata-mata untuk kepentingan
terpidana untuk membela hak-haknya agar terpidana tersebut terlepas dari
kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. Alasan atau syarat dapat
diajukannya suatu PK adalah adanya keadaan/bukti baru (novum).
Keadaan/bukti baru yang menjadi landasan dimintakan/diajukannya PK tersebut
adalah yang mempunyai sifat dan kualitas "menimbulkan dugaan kuat" :
Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan
dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan
untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang
berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Dapat dijadikan
alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
Yang berhak mengajukan PK disebutkan dalam Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari terpidana dan ahli
warisnya, maka permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima.
-
18
Mengenai kedudukan prioritas (yang lebih diutamakan) dalam
meminta/mengajukan PK antara terpidana dengan ahli warisnya, undang-undang
tidak menyebutkan siapa yang lebih diutamakan antara terpidana dengan ahli
warisnya dalam meminta/mengajukan PK. Walaupun terpidana masih hidup dan
sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung meminta/mengajukan PK.
Hak ahli waris untuk meminta/mengajukan PK bukan merupakan "hak
substitusi" yang hanya dapat diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak
ahli waris dalam meminta/mengajukan PK adalah"hak orisinal" yang diberikan
undang-undang kepada ahli waris terpidana demi untuk membela
kepentingan/hak-hak terpidana sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun
apabila yang meminta/mengajukan PK tersebut adalah terpidana sendiri,
kemudian sebelum PK tersebut diputus oleh MA, terpidana meninggal dunia,
maka menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, hak untuk meneruskan
permintaan/pengajuan PK tersebut "dilanjutkan" oleh ahli waris. Dalam
peristiwa yang seperti tersebut inilah kedudukan ahli waris menduduki
kedudukan "hak substitusi" dari terpidana. Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini bukan
hanya berlaku pada tahap permintaan/permohonan PK berada di MA, tetapi
berlaku juga pada permintaan/permohonan PK yang masih berada pada tahap
pemeriksaan sidang PN, atau pada tahap permintaan/permohonan PK belum
dikirimkan PN kepada MA. Bahwa proses hukum permintaan/permohonan PK
ini dapat dikuasakan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada kuasa hukumnya.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang
terpidana untuk mohon peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dan final. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau
-
19
pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung RI yang telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). KUHAP sebagai hukum
acara pidana hanya membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak
yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Pasal 263
ayat (1) KUHAP). Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan peninjauan
kembali adalah sebagai berikut (Pasal 263 ayat (2) KUHAP): 1. Apabila ada
"keadaan baru" atau novum; 2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling
pertentangan; 3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.
Perintah KUHAP sudah jelas bagi seorang terpidana yang dihukum salah
diberi kesempatan terakhir atau paling akhir untuk menempuh upaya hukum luar
biasa peninjauan kembali. Ini didasarkan pemikiran bahwa dalam negara hukum
(rechsstaat), di mana negara dan individu ditempatkan sejajar (equality before
the law) mengingat negara diberi kekuasaan untuk menjalankan hukum termasuk
menghukum terpidana melalui putusan pengadilan, maka hak mengajukan upaya
peninjauan kembali itu hanya diberikan kepada seorang terpidana. Sebelum
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dijatuhkan yang menghukum
seorang terdakwa atau terpidana, instansi lain yaitu kepolisian sudah melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadapnya yang disusul dakwaan dan tuntutan
oleh kejaksaan serta pemenjaraan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan
perangkat tadi dan kewenangan menghukum dan memenjarakan seorang
terpidana, negara telah diberi kekuasaan dan kewenangan begitu besar untuk
memenjarakan seseorang, yang berarti merampas dan membatasi kemerdekaan
seseorang demi hukum berdasarkan putusan pengadilan yang tetap.
-
20
Konsep kesetaraan antara individu dan negara di dalam negara hukum
inilah yang harus dipegang teguh dalam perdebatan tentang apakah jaksa boleh
mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Kalau jaksa memaksakan untuk mengajukan peninjauan kembali maka
asas keseimbangan (audi et alteram partem) sebagaimana yang dianut KUHAP
telah dilanggar, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtonzekerheid).
Sebagai suatu upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali tidak boleh
sembarangan diberikan kepada seorang terpidana karena terdapat syarat-syarat
yang ketat sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Semakin
banyak peninjauan kembali dikabulkan oleh Mahkamah Agung RI, menandakan
bahwa putusan pengadilan banyak yang keliru, khilaf dan salah. Demi kepastian
hukum dan keadilan (asas kesetaraan antara individu dan negara) maka
peninjauan kembali oleh jaksa harus ditolak dalam sistem peradilan pidana kita.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan terdiri dari empat subsistem yaitu Polisi, Jaksa dan
Hakim serta Petugas Lembaga Pemasyarakatan sudah diberi kekuasaan dan
kewenangan yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka
seorang yang diancam hukuman atau sedang menjalani hukuman perlu diberi
hak untuk membela diri yang terakhir atau paling akhir agar ada keseimbangan
dan keadilan bagi individu yang diancam hukuman atau sedang menjalankan
hukuman. Oleh karena itu KUHAP tidak mengatur mengenai batasan waktu
untuk pengajuan peninjauan kembali. KUHAP hanya membolehkan terpidana
atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali (Pasal 263 ayat (1)
-
21
KUHAP). Ketentuan hukum formal tersebut tidak boleh ditafsirkan lain karena
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Kalau aturan
main yang diatur KUHAP dilanggar, maka akan menimbulkan kekacauan
hukum (legal disarray) seperti yang dialami kita sekarang. Dengan demikian, ke
depan jangan sampai ada lagi penerimaan peninjauan kembali yang diajukan
oleh jaksa atas putusan yang berkekuatan hukum tetap, di mana hal tersebut
dapat menimbulkan ketidakpastian bagi terpidana.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa dan bukan
pengadilan tingkat empat. Jaksa sudah diberi kesempatan dan kewenangan luas
untuk menuntut dan membuktikan terdakwa bersalah, kalau itu tidak dilakukan
secara profesional dan serius, maka kekeliruan dan kesalahan itu tidak boleh
dibebankan kepada terpidana dengan Jaksa mengajukan peninjauan kembali,
dengan demikian Jaksa harus menanggung segala akibatnya.9
C. Pengertian Penangkapan
Menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penangkapan merupakan
sebagian dari bentuk upaya paksa yang diatur dalam KUHAP yang
pelaksanaannya diberikan batasan yang sifat mencegah agar penggunaannya
tidak mengesampingkan HAM, namun tetap dalam koridor keseimbangan antara
9 Anonim. http://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-
luar-biasa. Diakses 22 Desember 2015.
http://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-luar-biasahttp://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-luar-biasa
-
22
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepentingan tersangka
dan kepentingan pemeriksaan. Dalam hukum acara kita terdapat dan diatur
tentang dasar hukum untuk suatu penangkapan yaitu harus adanya dugaan keras
berdasarkan bukti yang cukup bahwa seseorang melakukan perbuatan pidana
yang diancam dengan pidana lima tahun ke atas, kecuali perbuatan pidana
tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang, disamping itu, harus pula ada
dasar lain yaitu dasar yang dilandasi atas keperluan (urgensi).10
Pengertian
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupaka pengekangan kebebasan
sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dengan ketentuan
yang diatur di dalam UU. Setiap orang dapat melakukan penangkapan jika
pelaku kejahatan tertangkap tangan. Jangka waktu penangkapan tidak memakan
waktu yang lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat
dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka
sampai ke pos polisi terdekat. Ketika telah diserahkan sampai di kantor polisi
atau penyidik. Ditahap ini polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang
dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan. Penangkapan merupakan
bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan,
penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat
luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Definisi
penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
10
Andi Sofyan, Abdul Azis. Op. cit, hlm. 126.
-
23
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan
atau peradilan.
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu
1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian
maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih
dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti
permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat
formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya.
Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak
ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk
segera dilepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari
“bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan
bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,
tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
D. Pengertian Penahanan
Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan
penahanan adalah “penetapan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi masalah penahanan
-
24
bukan hanya wewenang yang dimiliki oleh penyidik saja (Polri), tetapi juga
meliputi wewenang yang diberikan undang-undang kepada semua instansi dan
tingkat peradilan (penuntut umum dan hakim).11
Oleh karena itu, penahanan
dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan
hal-hal fatal bagi penahan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal
95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Ganti rugi dalam
masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.12
Pengertian
Penahanan adalah perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.
Dalam hal penahan ini terdapat pertentangan antara 2 (dua) asas, yaitu asas
mengenai hak bergerak seseorang yang merupakan HAM (Hak Asasi Manusia)
yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain
pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari
perbuatan jahat tersangka. Ketentuan Hukum Acara Pidana dapat menyingkirkan
asas-asas yang diakui secara universal yaitu HAM khususnya hak kebebasan
orang seorang. Ketentuan yang demikian terutama mengenai penahanan di
samping yang lain seperti pembatasan hak milik karena penyitaan, juga pada
pembukaan rahasia surat (terutama yang terdapat dalam delik korupsi dan
subversi) dan lain sebagainya.
Penahanan dapat dilakukan jika dikhawatirkan tersangka akan melarikan
diri dan kedua ialah ada alasan kuat bahwa keamanan masyarakat menuntut agar
dilakukan penahanan segera. Alasan lain dilakukan penahanan yaitu karena
dikhawatirkan tersangka akan merusak atau menghilangkan alat bukti atau
11
Ibid. hlm. 138. 12 Andi Hamzah. Op.cit. hlm. 130.
-
25
mengulangi tindak pidana dikemudian hari. Begitu juga pada tersangka yang
tidak diketahui tempat tinggal atau kediamannya, jika ia tidak ditahan maka akan
menyulitkan pemanggilannya dan menimbulkan tunggakan yang bertumpuk.
Semua alasan penahanan ini diatur di dalam Undang-Undang.
E. Pengertian Penghentian Penyidikan
Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada
penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang
telah dimulainya, hal ini ditegaskan Pasl 109 ayat (2) yang memberi wewenang
kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.
Barangkali rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian ini antara lain :
- Untuk menegakkan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, dan
sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan
penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka
persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka.
Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan
penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri,
terutama kepada tersangka dan masyarakat.
- Supaya penyidikan terhidar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian,
sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau
alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi
-
26
hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan
Pasal 95 KUHAP.13
F. Pengertian Penghentian Penuntutan
Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2)
KUHAP yang menegaskan, penuntut umum “dapat menghentikan penuntutan”
suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang
disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan.
Akan tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponering
perkara pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara
tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering)
perkara yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15/1961 (sekarang Pasal 32
huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1991) dan penjelasan Pasal 77 KUHAP.
Malah pada penjelasan Pasal 77 telah ditegaskan “yang dimaksud dengan
penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk
kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.14
Penuntut umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan dan penetapan
pengadilan. Salah satu wewenang utama penuntut umum melakukan tindakan
penuntutan. Tentang apa yang dimaksud dengan penuntutan, merujuk kepada
ketentuan Pasal 1 butir 3 dan Pasal 137. Dari kedua ketentuan tersebut dapat
ditarik pengertian yang memberi gambaran dan lingkup penuntutan. Menurut
rumusan Pasal 1 butir 7 :”penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
13
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 150. 14
Ibid. Hlm. 436.
-
27
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan” Memperhatikan
bunyi ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntutan, berarti
tindakan penuntut umum:
- Melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang.
- Dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.
Kemudian apa yang dimaksud Pasal 1 butir 7, dipertegas lagi oleh Pasal
137, yang berbunyi “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”15
G. Pengertian Permohonan Praperadilan
Hakim pengadilan negeri tidak akan memeriksa perkara praperadilan
ketika belum ada masuk permohonan ataupun gugutan praperadilan yang
ditujukan ke pengadilan negeri setempat. Permohonan praperadilan merupakan
awalan dari pemeriksaan perkara pradilan di pengadilan negeri, sebagaimana
sama dengan surat permohonan dalam perkara perdata yang berisikan identitas
permohon dan termohon, posita dan petitum, surat permohonan dalam
praperadilan lebih menekankan kepada peristiwa yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum yang telah salah menerapkan prosedur yang telah diatur dalam
kuhap, mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan dan penghentian penuntutan. Oleh sebab itu isi dalam surat tuntutan
15
Ibid. hlm. 385.
-
28
harus benar-benar dapat dibuktikan oleh pemohon, jangan sampai pemohon
tidak dapat menjelaskan apalagi membuktikan dengan alat bukti tentang apa-apa
yang telah dimuat dalam surat tuntutan.
H. Pengertian Putusan Praperadilan
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3
macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah
pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil
musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan
berlaku sebagai putusan. Dalam sebuah perkara tentunya harus terdapat sebuah
ending atau akhiran atau dalam bahasa hukum disebut dengan putusan hakim.
Putusan hakim dalam praperadilan memuat mengenai apakah permohonan tidak
dapat diterima, ditolak dan dapat diterima. Masing-masing mempunyai
konsekswensi masing-masing. Arti putusan menurut Gatot Soeparmono, adalah
pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara.16
Dalam pengadilan Agama,
Putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya
16
Gatot Soepramono. 2010. Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan.
Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 5.
-
29
suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk
pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa. Karena adanya 2 (dua) pihak
yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat). Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan
bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
para pihak”17
Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan
dan menentukan adalah fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah suatu
alat. maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan
hukumnya. sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki kekuatan
hukum. agar putusan tersebut tidak dapat diubah lagi.
17
Soedikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
hlm. 52.
-
30
BAB III
ANALISIS MASALAH
A. Putusan Praperadilan Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali
Dari sejarah terbentuknya KUHAP kita mengetahui bahwa lembaga
praperadilan ini merupakan lembaga yang luarbiasa pada waktu itu yang mana
sebelumnya tidak terdapat dalam HIR, sebuah kebanggaan tentunya sistem
hukum pidana Indonesia memiliki mekanisme kontrol terhadap aparat penegak
hukum yang melakukan pelanggaran terhadap prosedurnya yang seharusnya
mereka laksanakan. Sejarah juga mencatat bahwa masuknya lembaga
praperadilan di dalam KUHAP tidak lepas dari trend internasional pada saat itu
yang ramai meneriakan tentang perlindungan terhadap hak azasi manusia,
sehingga hal ini juga diadopsi di dalam KUHAP. Disamping itu juga dosa masa
lalu yang melakat dalam HIR sebagai hukum acara bawaan Belanda yang
dirasakan sangat diskriminatif dan anti hak azasi manusia memang sudah
selayaknya direformasi dan pada akhirnya akan mencerminkan rasa keadilan.
Pada awal berlaku KUHAP memang dapat kita amati bahwa lembaga
praperadilan bermanfaat dalam mengontrol kinerja aparat penegak hukum, tetapi
perkembangan sekarang ini dimana seringkali lembaga praperadilan dijadikan
sarana untuk melakukan tindakan yang seakan-akan menenggelamkan keadilan.
Hal itu tejadi ketika kita amati ketentuan Pasal di dalam KUHAP tidak
memberikan kesempatan kepada pihak yang dinyatakan kalah untuk melakukan
upaya hukum terhadap putusan praperadilan.
-
31
Gerakan yang mengarahkan bahwa putusan peradilan harus diajukan
praperadilan sudah banyak terjadi dan ada yang berhasil melakukannya
diantaranya upaya hukum luarbiasa (peninjauan kembali) di Mahkamah Agung
atas putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung yang menyatakan
bahwa Polda Jabar menang dalam putusan peninjauan kembali. Menarik
memang kalau kita bahas mengenai ini, sejauh mana hal ini dapat diterapkan
dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Beberapa hal esensial yang perlu
dikedepankan dalam menyelesaikan masalah ini yakni mengenai mana yang
lebih didahulukan apakah peraturan yang bersifat prosedural yang terdapat
dalam KUHAP ataukah rasa keadilan yang memang harus ditonjolkan dalam
setiap sendi penegakan hukum (law enforcement) dengan kata lain ada
pertentangan antara asas ketertiban dan asas keadilan dalam pengaturan upaya
hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luarbiasa terhadap
putusan praperadilan.
Bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem
hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang
memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesie (AB) masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UU
berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan: “Hakim harus
mengadili berdasarkan Undang-Undang”. Pernyataan ini berarti, bahwa dalam
hukum, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas
pengaturannya. Namun bukan berarti hakim tidak bebas dalam menjalankan
-
32
kewenangannya, hakim tetap bebas sepanjang tidak melanggar ketentuan yang
ada.
Norma yang mengatur mengenai pembatasan terhadap putusan
praperadilan terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) Terhadap putusan praperadilan
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak
dapat dimintakan banding. Frase “tidak dapat dimintakan banding” ini
menimbulkan makna ganda, secara gramatikal dapat diartikan bahwa upaya
hukum banding sudah dengan terang benderang tidak dapat dilakukan, tapi
bagaimana dengan upaya hukum kasasi maupun upaya hukum luarbiasa yakni
peninjauan kembali. Disinilah inti masalah yang akan dianalisa penulis.
Apabila kita merujuk kepada ketentuan yang mengatur mengenai
peninjauan kembali, upaya hukum luarbiasa penijauan kembali dapat dilakukan
terhadap putusan yang sudah inkracht (mempunyai kekuatan hukum yang tetap).
Di dalam KUHAP mengenai peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (1)
KUHAP, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung. Sedangkan Pasal 263 ayat (2) Peninjauan kembali
dilakukan atas dasar :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang meninbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaa itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
-
33
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbutki itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Penulis berpendapat bahwa saluran yang dapat ditempuh oleh pencari
keadilan dalam memohonkan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan
dapat dilakukan melalui saluran yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c
KUHAP, yakni bersumber dari khilafan hakim dan kekeliruan yang nyata.
Mengenai khilafan hakim ada beberapa pandangan yang beredar
khususnya dalam putusan perdata yang akan dimintakan atau dimohonkan
penijauan kembali. Dalam Pasal 67 butir f Undang-Undang No.5 Tahun 2004,
Salah satu bentuk kelemahan dari penggunaan kata-kata yang membentuk
kalimat dalam suatu peraturan perundang-undangan khususnya peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan bersifat hukum perdata formil atau
hukum acara perdata, adalah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 67 Huruf F
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Ketentuan Pasal 67 Huruf F tersebut merupakan ketentuan tentang peninjauan
kembali atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dengan alasan adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
dalam putusan hakim. Dimana dalam ketentuan yang hanya memuat kalimat
sederhana dan singkat serta tidak mengatur lebih lanjut tentang pengertian dari
-
34
alasan kekhilafan hakim atau pengertian dari suatu kekeliruan yang nyata dalam
putusan hakim baik dari ketentuan pokok maupun penjelasan dari ketentuan
tersebut, bahkan pengertian atau pengaturan lebih lanjut penerapan ketentuan
tersebut juga tidak terdapat dalam Pasal-Pasal lainnya dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009, atau Undang-Undang lainnya. Sehingga berpijak
pada kelemahan bahasa dalam ketentuan Pasal 67 Huruf F Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Apabila kita kaitkan dengan kasus Gayus Tambunan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menggelar persidangan dengan memeriksa kelengkapan formil
permohonan PK Gayus. Dipimpin Hakim Haryono, Gayus beserta kuasa
hukumnya meminta permohonan PK dianggap sudah dibacakan di persidangan.
Salah seorang kuasa hukum Gayus, Untung Sunaryo mengatakan alasan
pengajuan PK Gayus adalah kekhilafan hakim yang nyata. Kuasa hukum Gayus
yang lain, Firma Silalahi, mengungkapkan sejumlah kekhilafan atau kekeliruan
hakim yang nyata dalam putusan kasasi No.1198K/Pid.Sus/2011 tertanggal 27
Juli 2011. Majelis kasasi dinilai hanya mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan tidak mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Sesuai
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, kuasa hukum berpendapat, majelis
semestinya juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Majelis dalam
-
35
menguraikan hal-hal memberatkan tidak mengambil fakta-fakta dan keadaan
yang terungkap di persidangan, melainkan dari luar persidangan.18
Dari dua contoh mengenai paparan diatas penulis berpendapat
permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan
dengan dasar khilafan hakim dan kekeliruan yang nyata, dengan berpijak kepada
Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK) Nomor 18
PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009, Polri selaku pemohon PK dahulu termohon
praperadilan melawan Eddy Wirawan selaku termohon PK dahulu pemohon
praperadilan. Dalam amarnya telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Bandung Nomor: 04/PID/PRA/ 2008/PN BDG tanggal 26 September 2008 yang
didasarkan atas pertimbangan antara lain, upaya hukum PK dari pemohon akan
dicapai keseimbangan aspek perlindungan bukan hanya terhadap pelaku
perbuatan pidana, namun juga perlindungan terhadap korban kejahatan. Hakim
praperadilan PN Bandung, disebutnya telah melakukan kekeliruan nyata dan
fatal. Judulnya perkara praperadilan, tapi substansi yang diperiksa dan
dipertimbangkan dalam putusan sudah memasuki substansi perkara. Hakim
diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan dikala peraturan
tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu
kaidah hukum disaat terjadi kekosongan hukum. Pada hakekatnya, hakim
dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.
Alasan lain berkaitan dengan apakah Praperadilan layak untuk dilakukan
Peninjauan Kembali, penulis berpendapat bahwa dapat dilakukan Penijauan
18 Anonim. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-
jadi-alasan-pk-gayus. Diakses tanggal 22 Desember 2015.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-jadi-alasan-pk-gayushttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-jadi-alasan-pk-gayus
-
36
Kembali, mengapa demikian karena apabila kita lihat dari segi hakim yang
memimpin praperadilan hanya satu orang saja mengakibatkan dapat saja terjadi
human error dari hakim yang memimpin sidang tersebut, jumlah hakim yang
hanya satu itu memiliki potensi hakim tidak menerima masukan dari hakim
lainnya layaknya memimpin sidang untuk tindak pidana umum yang lain.
Penulis berkeyakinan untuk menutupi celah hakim melakukan human error ini
atau kehilafan maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol, yang dapat
diterapkan apabila hakim dianggap melakukan human error ini. Dan yang paling
tepat adalah melalui upaya hukum luarbiasa yakni Peninjauan Kembali. Dari
pihak yang merasa dirugikan dengan putusan praperadilan itu sendiri
mendapatkan saluran yang direstui oleh undang-undang (hukum positif)
walaupun masih terlihat kabur, karena syarat PK dalam jenis tindak pidana biasa
mencantumkan alasan peninjauan kembali adalah salah satunya “kehilafan
hakim”. Keseimbangan dalam hal memberikan saluran bagi pihak yang
dirugikan atau dikalahkan dari putusan praperadilan ini menjadi trend positif dan
mengakomodir hak konstitusional dari warganegara, walau bagaimanapun juga
harus adalah kontrol dari putusan praperadilan demi menghindari abuse of
power dari hakim yang memimpin sidang praperadilan yang jumlahnya hanya 1
(satu) tersebut.
Selain itu di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: (1) Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita hubungkan dengan permohonan atau
-
37
permintaan peninjauan kembali dari pemohon, maka Mahkamah Agung sebagai
lembaga pengadilan yang berhak menerima upaya hukum peninjauan kembali
tidak mempunyai dasar untuk menolak memeriksa dan memutus permohonan
atau permintaan peninjauan kembali dari putusan praperadilan.
B. Dasar Pemohon Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Praperadilan
Di dalam Pasal 263 KUHAP diatur mengenai dasar pengajuan atau
permintaan Peninjauan Kembali. Pasal 263 ayat (2) permintaan peninjauan
kembali dapat dilakukan atas dasar :
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Apabila kita lihat ada beberapa bentuk permohonan yang dapat diajukan
praperadilan yakni mengenai menguji sah tidaknya, adalah :
1. Penangkapan,
2. Penahanan,
-
38
3. Penghentian penyidikan,
4. Penghentian penuntutan.
Dalam hal ini yang dikabulkan dari putusan yang pernah adalah menguji
sah tidaknya penangkapan. Eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai suatu instrumen umum (lex generalis) yang berfungsi
untuk mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil
memiliki peran yang penting dalam proses penegakan hukum yang didasarkan
pada kerangka due process of law. Dirumuskannya KUHAP sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan realisasi konkrit
dari konsep negara hukum (rechtstaat). Adanya perangkat perundang-undangan
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta adanya jaminan persamaan
kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam
pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk adanya kewajiban untuk
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik
utama yang melekat pada konsep negara hukum. Terkait dengan kedudukannya
sebagai kaidah hukum publik, maka KUHAP memiliki asas keseimbangan. Hal
tersebut diartikan bahwa KUHAP selain mengatur mengenai kepentingan
masyarakat (public interest) yang dilanggar juga mengatur secara seimbang
kepentingan pihak yang berstatus sebagai pelaku.
Selain itu, dalam kedudukannya sebagai kaidah hukum publik maka untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP juga
diperlukan institusi-institusi publik mulai dari tahap awal sampai dengan tingkat
akhir, yang berupa tahap eksekusi termasuk pengawasan dan pengamatan
pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan tugas dan peran dari masing-masing
-
39
institusi publik tersebut tentunya harus berpedoman pada prinsip diferensiasi
fungsional dan prinsip saling koordinasi. Kedua prinsip tersebut bertujuan untuk
dapat terwujudnya suatu sistem peradilan pidana terpadu atau yang lebih dikenal
dengan istilah integrated criminal justice system. Pada dasarnya, lahirnya
KUHAP didasakan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu
ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang
adil (fair trial) dan alasan adanya urgensi untuk menggantikan produk hukum
acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP
dijelaskan bahwa sebagai produk dari badan legislatif kolonial maka HIR belum
memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia.
Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional
telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR. Dicantumkannya
pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum
pada semua tingkatan pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya
paksa penangkapan atau penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang
lebih lengkap sampai dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya
tidak diatur dalam HIR.
Pada hakikatnya, pencantuman hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut diatas bukan hanya merupakan bagian dari politik pembaruan terhadap
ketentuan hukum positif an sich namun juga merupakan bagian dari pembaruan
terhadap sistem hukum acara pidana yang menuju pada sistem nilai bangsa
Indonesia dan sistim nilai-nilai universal. Dicantumkannya ketentuan tentang
-
40
praperadilan sebagai suatu lembaga yang memiliki beberapa kewenangan
tertentu oleh KUHAP juga merupakan hal yang menambah perbedaan prinsipil
antara KUHAP dengan HIR. Sebagai suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh
KUHAP maka praperadilan bukan merupakan suatu lembaga yang berdiri
sendiri.
Dalam perkembangannya, lembaga praperadilan tersebut memiliki
berbagai permasalahan dalam penerapannya. Mulai dari adanya limitasi
pemeriksaan jenis upaya paksa yang berupa penangkapan dan penahanan saja
dan tidak termasuk penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat sampai
dengan ketidakjelasan mengenai interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan
dalam mengajukan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah ada, maka hakim tidak
memiliki interpretasi yang sama dalam mendefinisikan pihak ketiga yang
berkepentingan. Walaupun KUHAP tidak memberikan penjelasan yang tegas
mengenai definisi pihak ketiga yang berkepentingan namun hakim tidak boleh
menolak memberikan putusan terhadap suatu perkara praperadilan dengan alasan
tidak adanya ketentuan yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai
pengertian pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan adanya ketidakjelasan
tersebut maka hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding) dengan metode interpretasi.
Mengenai permasalahan interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan
dalam praktek praperadilan yang terjadi selama ini. Adapun pembahasan yang
dilakukan oleh penulis bersifat terbatas dengan menggunakan empat contoh
kasus mengenai praperadilan yang terkait dengan segi penerapan interpretasi
-
41
pihak ketiga yang berkepentingan. Walaupun pada saat ini terdapat usulan untuk
menghapuskan lembaga praperadilan dan selanjutnya digantikan dengan konsep
hakim komisaris sebagaimana yang terdapat dalam Revisi Rancangan Undang-
Undang (RUU) KUHAP.
Pada dasarnya, eksistensi lembaga praperadilan diatur dalam Bab I Pasal
1 angka 10 dan Bab X Bagian Kesatu Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.
Menurut etimologinya, praperadilan terdiri dari dua suku kata, yaitu pra dan
peradilan. Kata “pra” itu sendiri diartikan sebelum, sedangkan kata “peradilan”
diartikan sebagai suatu proses pemeriksaan atas tersangka, saksi-saksi dan
barang bukti oleh pengadilan dalam rangka mencari kebenaran materil. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa praperadilan diartikan sebagai proses
pemeriksaan voluntair yang dilakukan sebelum pemeriksaan terhadap pokok
perkara berlangsung di pengadilan. Adapun yang dimaksud dengan pokok
perkara dalam hal ini adalah suatu dakwaan tentang telah terjadinya suatu tindak
pidana, yang sedang dalam tahap penyidikan atau penuntutan.
Di Amerika Serikat, istilah praperadilan lebih dikenal dengan istilah pre
trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga praperadilan dengan lembaga
pre trial. Dalam lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk meneliti ada atau
tidak adanya dasar hukum yang cukup untuk mengajukan suatu penuntutan
terhadap suatu perkara pidana di depan pengadilan. Sementara itu, ruang lingkup
praperadilan bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 77
huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu sebagai berikut :
1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan;
-
42
2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan ;
3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan ;
4. Memeriksa dan memutus terhadap tuntutan ganti kerugian yang diajukan
oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan ;
5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
Berdasarkan ruang lingkup kewenangan tersebut maka pada dasarnya,
lembaga praperadilan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pengawasan
secara horisontal terhadap tindakan yang dilakukan oleh instansi kepolisian
selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum. Oleh karena itu,
praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses
penegakan hukum. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan
horisontal dari lembaga praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan
umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan
hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law.
-
43
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan tersebut
pada dasarnya identik dengan lembaga Rechter Commisaris yang terdapat di
Belanda atau lembaga Judge d’Instruction yang terdapat di Perancis. Kedua
lembaga yang muncul dari sistem hukum civil law tersebut memiliki
kewenangan melakukan pemeriksaan atas sah atau tidaknya upaya paksa.
Sedangkan dalam sistem common law system, lembaga praperadilan identik
dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan
prinsip Habeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa dalam
masyarakat beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan
seseorang.
Pada dasarnya, istilah pihak ketiga yang berkepentingan ini diatur secara
tegas dalam ketentuan Pasal 80 KUHAP yang menerangkan bahwa permintaan
untuk melakukan pemeriksaan mengenai sah atau tidak sahnya penghentian
penyidikan (SP3) atau penghentian penuntutan (SKPP) dapat diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar
permintaan tersebut. Terdapat dua hal pokok yang menjadi dasar alasan bagi
pihak ketiga yang berkepentingan untuk dapat mengajukan upaya praperadilan,
yaitu adanya tindakan penghentian penyidikan oleh pihak penyidik atau adanya
tindakan penghentian penuntutan oleh pihak penuntut umum.
Penghentian penyidikan merupakan suatu tindakan dari penyidik untuk
tidak melanjutkan proses pemeriksaan atas suatu perkara tindak pidana yang
sedang ditanganinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut pasal 109
ayat (2) KUHAP juncto Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak
Pidana Kepolisian RI telah dijelaskan bahwa proses penyidikan atas suatu
-
44
perkara pidana dapat dihentikan dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai
berikut :
1. Tidak terdapatnya bukti yang cukup ;
2. Peristiwa yang dilakukan penyidikan tersebut bukan merupakan tindak
pidana ;
3. Penyidikan dihentikan demi hukum dengan alasan sebagai berikut :
a. Tersangka meninggal dunia ;
b. Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa ;
c. Pengaduan dicabut bagi delik aduan ;
d. Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
berkekuatan hukum yang tetap dan pasti.
Dalam hal penyidik telah menghentikan penyidikan maka berdasarkan
ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP maka penyidik memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa pasal tersebut memberikan jaminan kepastian hukum
bagi tersangka.
Penghentian penuntutan adalah suatu tindakan dari penuntut umum untuk
tidak melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan dengan didasarkan pada
alasan-alasan yang sah untuk itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut
Pasal 140 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa penuntutan terhadap suatu tindak
pidana dapat dihentikan dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :
1. Tidak terdapat cukup bukti ;
2. Peristiwa yang yang dituntut tersebut bukan merupakan tindak pidana
-
45
3. Perkara ditutup demi hukum, dengan didasarkan pada alasan penuntutan
sudah daluarsa, adanya putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap
(ne bis in idem) dan tidak adanya pengaduan dalam hal tindak pidana aduan.
Ditinjau dari sudut subyeknya, maka permohonan praperadilan mengenai
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan hanya
dapat diajukan oleh pihak-pihak tertentu, yaitu :
1. Penyidik ;
2. Penuntut umum ;
3. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Terkait dengan perihal subyek tersebut maka KUHAP hanya
memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang siapa yang dimaksud dengan
penyidik dan penuntut umum. Namun sebaliknya, walaupun KUHAP hanya
memberikan rekognisi mengenai adanya pihak ketiga yang berkepentingan
dalam ketentuan Pasal 80, tetapi KUHAP tidak memberikan interpretasi yang
jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan. Secara logika hukum yang sempit, maka yang dimaksud dengan
pihak ketiga yang berkepentingan adalah saksi korban tindak pidana atau
pelapor. Selain itu, muncul pendapat berbeda yang mengatakan bahwa
pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tersebut harus diinterpretasikan
secara luas. Dengan demikian, tidak hanya terbatas pada saksi korban atau
pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini
diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. atau Organisasi Masyarakat
lainnya.
-
46
Perluasan interpretasi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa dampak
yang muncul dari terjadinya suatu tindak pidana adalah berupa kerugian
terhadap kepentingan publik (public interest), baik dalam arti individu sebagai
bagian dari komunitas publik atau kelompok masyarakat secara keseluruhan.
Dalam bagian ini penulis akan menggunakan empat contoh kasus praperadilan
yang terkait dengan penerapan interpretasi mengenai pihak ketiga yang
berkepentingan. Penulis akan mendeskripsikan secara singkat mengenai kasus
posisi, pertimbangan hakim dan hasil putusan akhir dari masing-masing kasus.
Dalam Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980
ditemukan alasan-alasan bagi adanya herziening, yakni “conflict van rechtpraak”
dari “novum”. Pasal 9 ayat 1 (a) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980
menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan
pidana yang mengandung pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, atas dasar alasan : apabila dalam putusan-putusan yang berlainan
terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu
sama lain bertentangan. Apabila dalam permohonan “request civiel” putusan-
putusan bertentangan satu sama lain itu harus diajukan terhadap pihak-pihak
yang sama, berdasarkan atas alasan yang sama dan dijatuhkan oleh hakim yang
sama, maka dalam “herziening” dalam perkara-perkara pidana putusan-putusan
yang bertentangan satu sama lain itu dapat berasal dari hakim yang berbeda-beda
dan kadang-kadang misalnya mengenai beberapa tersangka yang berbeda. 19
19
Djoko Prakoso. 1987. Upaya Hukum Yang Diatur Di Dalam KUHAP. Jakarta: Aksara
Persada. Hlm. 195.
-
47
Adanya PK dalam KUHAP menimbulkan perbedaan pendapat di antara
para pakar. Yang menyetujui adanya PK, mengutarakan bahwa para hakim
adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan, karena manusia tidak
sempurna. Para pakar yang tidak menyetujui adanya PK berpendapat bahwa
mustahil Jaksa/Penuntut Umum dan Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang di
Pengadilan Negeri, 3 (tiga) orang di Pengadilan Tinggi, dan 3 (tiga) orang di
Mahkamah Agung, semuanya khilaf. Yang penting, baik jaksa maupun para
hakim dapat bekerja profesional, sehingga benar-benar secara seksama
memahami perundang-undangan sehingga dapat menerapkannya dengan tepat.20
Selain itu di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: (1) Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita
hubungkan dengan permohonan atau permintaan peninjauan kembali dari
pemohon, maka Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berhak
menerima upaya hukum peninjauan kembali tidak mempunyai dasar untuk
menolak memeriksa dan memutus permohonan atau permintaan peninjauan
kembali dari putusan praperadilan.
Penulis berkesimpulan alasan yang dapat diajukan pemohon
Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan yang berdasarkan kepada
khilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, seperti hakim yang salah
menerapkan hukum yang digunakan dalam memutus praperadilan, salah
20
Leden Marpaung. 2004. Op Cit. hlm. 71-72.
-
48
menerapkan hukum disini seperti lebih kepada menekankan kepada
pemeriksaan pokok perkara yang seharusnya adalah domain acara
pemeriksaan biasa, sedangkan praperadilan berfokus kepada prosedural
apakah sudah benar atau tidak.
-
49
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa terhadap putusan praperadilan dapat dilakukan Peninjauan Kembali,
di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita hubungkan dengan
permohonan atau permintaan peninjauan kembali dari pemohon, maka
Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berhak menerima
upaya hukum peninjauan kembali tidak mempunyai dasar untuk menolak
memeriksa dan memutus permohonan atau permintaan peninjauan kembali
dari putusan praperadilan.
2. Alasan yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali terhadap putusan
praperadilan yang berdasarkan kepada khilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata, seperti hakim yang salah menerapkan hukum yang digunakan dalam
memutus praperadilan, salah menerapkan hukum disini seperti lebih kepada
menekankan kepada pemeriksaan pokok perkara yang seharusnya adalah
domain acara pemeriksaan biasa, sedangkan praperadilan berfokus kepada
prosedural apakah sudah benar atau tidak.
-
50
B. Saran
1. Segera dilakukan revisi terhadap ketentuan Pasal dalam KUHAP mengenai
Praperadilan agar tegas mengatur dan memperbolehkan diajukannya
peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan, sehingga tidak terjadi
multitafsir dalam pelaksanaan oleh pencari keadilan dan aparat penegak
hukum.
2. Dalam melakukan pemeriksaan peninjauan kembali, hakim agung harus
mengedepankan asas keadilan dan menjunjung tinggi fair trail, tidak hanya
melihat kepada prosedural saja tetapi lebih luas kepada substansi tersangka
yang dilakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan yang merupakan objek praperadilan.
-
51
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia. Cet. IV.
Lemek, Jeremias. 2008. Penuntun Praktis Membuat Pledoi. Yogyakarta : New
Merah Putih.
Marpaung, Leden. 2000. Perumusan Memori Kasasi Dan Peninjauan Kembali
Perkara Pidana. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad, H. Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Cet I. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap:
Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan. Cet III. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Nasution. Karim. 1972. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Ngani, Nico. 1985. Mengenal Hukum Acara Pidana Tentang Dan di sekitar
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Dan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Seri III. Yogyakarta: Liberty.
Pangaribuan, Luhut M.P.. 2008. Hukum Acara Pidana Surat-Surat Resmi di
Pengadilan oleh Advokat. Cet V. Jakarta: Djambatan.
Prakoso, Djoko. 1986. Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada
Tahap Penyidikan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
____________. 1988. Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing). Cet I. Yogyakarta:
Liberty.
Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Cet I.
Bandung : Mandar maju.
Samidjo. 1988. Hukum Acara Pidana. Bandung: CV. Armico.
Sasangka, Hari dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Cet I. Bandung : CV. Mandar Maju.
-
52
Satjipto, Rahardjo,. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni.
---------. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soepramono, Gatot. 2010. Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soehadi, R. 1995. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Surabaya: Apollo.
Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (prosedur penyelesaian perkara pidana
me