penelitian mandirieprints.ulm.ac.id/6330/7/7. penelitian mandiri_bp anang... · 2019. 8. 29. ·...

55
PENELITIAN MANDIRI JUDUL PENELITIAN PROBLEMATIKA SEPUTAR PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN DI INDONESIA Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn. NIDN: 0002107901 UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS HUKUM MARET 2019

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENELITIAN MANDIRI

    JUDUL PENELITIAN

    PROBLEMATIKA SEPUTAR PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP

    PUTUSAN PRAPERADILAN DI INDONESIA

    Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.

    NIDN: 0002107901

    UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

    FAKULTAS HUKUM

    MARET 2019

  • i

    HALAMAN PENGESAHAN

    PENELITIAN MANDIRI

  • ii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... i

    DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

    BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7

    C. Tujuan Penulisan Dan Kegunaan Penulisan.............................................. 7

    D. Metode Penulisan ...................................................................................... 8

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 11

    A. Pengertian Praperadilan........................................................................... 11

    B. Pengertian Peninjauan Kembali .............................................................. 14

    C. Pengertian Penangkapan ......................................................................... 21

    D. Pengertian Penahanan ............................................................................. 23

    E. Pengertian Penghentian Penyidikan ........................................................ 25

    F. Pengertian Penghentian Penuntutan ........................................................ 26

    G. Pengertian Permohonan Praperadilan ..................................................... 27

    H. Pengertian Putusan Praperadilan ............................................................. 28

    BAB III ANALISIS MASALAH ............................................................................ 30

    A. Putusan Praperadilan Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali ................. 30

    B. Dasar Pemohon Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Praperadilan .. 37

    BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 49

    A. Kesimpulan.............................................................................................. 49

    B. Saran ........................................................................................................ 50

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 51

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Berawal dari lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau yang

    populer disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    sebagai maha karya (masterpiece) anak bangsa yang sebagai tolak ukur bahwa

    anak bangsa juga dapat menciptakan sebuah kodifikasi hukum acara sendiri

    dalam artian tidak bergantung lagi dengan kitab undang-undang peninggalan

    kolonial Belanda. Salah satu yang menonjol dari KUHAP adalah terdapatnya

    sebuah lembaga pengawas kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan

    tindakan yang dikenal sebagai lembaga Praperadilan. Lembaga Praperadilan

    merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

    tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan tersangka, sah

    atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan

    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka. Walaupun terdapat

    sarana kontrol seperti tersebut diatas namun dalam pelaksanaannya masih

    terdapat kelemahan dalam hal perlindungan hak asasi manusia hal tersebut

    terlihat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menyatakan

    gugur permohonan praperadilan dengan alasan mulai diperiksanya perkara

    pidana pokok terhadap terdakwa.

    Kebijakan Lembaga Praperadilan berkaitan dengan pelanggaran atas

    hak asasi manusia bertujuan untuk menciptakan dan memberi rasa keadilan dan

    kepastian hukum bagi seseorang yang mengalami tindakan upaya paksa dari

  • 2

    aparat penegak hukum. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

    tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa dikenal dengan Kitab Undang-

    undang Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP, ada beberapa hal yang

    baru bila dibandingkan dengan hukum acara pidana sebelumnya yaitu Herziene

    Indiesche Reglement (HIR), yaitu :

    1. Hak-hak tersangka dan terdakwa (pasal 50 sampai dengan pasal 68

    KUHAP)

    2. Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69 sampai

    dengan pasal 74 KUHAP).

    3. Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi

    (pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP)

    4. Pengawasan Pelaksanaan putusan Hakim (pasal 277 sampai dengan

    pasal 283 KUHAP).

    5. Wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, yakni praperadilan

    (Pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP).

    Dilihat dari hal-hal yang baru dalam KUHAP, tergambar jelas bahwa

    KUHAP sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia terutama hak-hak dari

    tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

    Sebagaimana diketahui pada masa berlakunya HIR, banyak tersangka yang

    ditangkap dan ditahan tanpa batas waktu yang jelas hingga disidangkan. Apalagi

    bila orang yang ditangkap tersebut ternyata tidak bersalah tidak ada upaya bagi

    tersangka atau orang yang ditangkap atau ditahan untuk melakukan tuntutan,

    dengan kehadiran KUHAP, masalah ini telah ditampung.

  • 3

    Perlindungan hak-hak terhadap tersangka yang diberikan oleh KUHAP

    tidak terlepas dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent)

    sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

    tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah mengalami perubahan berdasarkan

    Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan Undang-

    Undang Nomor 4 Tahun 2004, dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

    1970 tersebut disebutkan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

    dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah

    sebelum adanya putusan Pengadilan yang dinyatakan kesalahannya dan

    memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

    KUHAP sebagai kitab suci para praktisi hukum pidana dalam

    menegakkan hukum pidana tentunya diharapkan memiliki semua fasilitas atau

    dengan kata lain dapat mengakomodir semua rasa keadilan bagi pihak yang

    terlibat di dalamnya. Seperti juga kita ketahui bahwa KUHAP lahir pada tahun

    1981 yang kalau kita rasakan umurnya sudah 34 tahun, dimana kalau kita

    persamakan dengan usia manusia maka dapat dikatakan memasuki usia dewasa.

    Kedewasaan KUHAP selama ini dapat ditandai dengan tetap bertahannya

    KUHAP sebagai dasar penegak hukum dan pencari keadilan dalam berperkara

    pidana walaupun terdapat tambal sulam disana sini berupa peraturan pelaksana

    maupun berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung untuk memberikan

    kesempurnaan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

    Keberadaan lembaga Praperadilan dalam sistem peradilan di Indonesia

    merupakan sebagai sarana kontrol oleh Hakim terhadap tindakan-tindakan

    hukum selama proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh

  • 4

    Kepolisian maupun Kejaksaan. Dalam sistem Peradilan Pidana terpadu yang

    dianut oleh Hukum Acara Pidana mengandung arti hubungan antara Kepolisian,

    Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakaatan harus merupakan

    hubungan yang sinkron sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih. Hukum

    Acara Pidana merupakan suatu sarana dalam pembinaan keseluruhan komponen

    diatas, dalam arti bahwa Hukum Acara Pidana haruslah dapat memberikan

    pengaturan sedemikian rupa sehingga diantara komponen tersebut tidak terjadi

    saling tumpang tindih, serta masing-masing komponen mengetahui tempatnya

    serta fungsi dalam suatu rangkaian keseluruhan sistem.

    Sistem Peradilan Pidana terpadu ini (intregrited Criminal justice

    System) memiliki tujuan adalah untuk dapat mengatasi kejahatan. Sebagaimana

    diketahui masing-masing lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah

    Agung dan Lembaga Pemasyarakatan memiliki undang-undangnya sendiri,

    sehingga bila masing-masing lembaga tersebut berjalan sendiri-sendiri untuk

    mengatasi kejahatan, maka apa yang menjadi tujuan bisa saja tidak tercapai.

    Oleh karena itu Lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawas oleh Hakim

    terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian maupuan Kejaksaan

    akan mewujudknya tercapainya apa yang dikehendaki oleh sistem peradilan

    pidana terpadu tersebut.

    Apabila kita bandingkan dengan HIR dan RBg maka lembaga sejenis

    praperadilan ini tidak ditemukan, boleh dikatakan lembaga praperadilan ini

    sebagai terobosan bagi penegakan hukum pidana di Indonesia, karena lembaga

    praperadilan pada pokoknya adalah lembaga pengawas atau control yang

    mengawasi tindakan penegak hukum apakah sudah benar atau tidak.

  • 5

    Praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

    tertuang dalam Pasal 77 dikatakan: Pengadilan negeri berwenang untuk

    memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-

    undang ini tentang:

    a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

    atau penghentian penuntutan;

    b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara

    pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

    Sehingga bagi para pihak yang merasa dirugikan atau menganggap

    sebuah penangkapan atau peneahan tidak sah dapat mengajukan Praperadilan

    ke Pengadilan Negeri setempat.

    Diawal tahun 2015, kita juga dihebohkan oleh putusan Praperadilan

    yang dipimpin oleh hakim Sarpin Rizaldi terhadap permohonan praperadilan

    dari tim kuasa hukum Komjen Budi Gunawan yang dianggap oleh sebagian

    pakar hukum telah melanggar asas legalitas karena melampaui dari kewenangan

    yang telah tertuang di dalam ketentuan KUHAP. Cerita bermuara dari Komisi

    Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus

    dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai

    Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri

    periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Budi lantas menggugat

    penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim

    Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka

    oleh KPK tidak sah. Dengan demikian, penyidikan terhadap Budi di KPK harus

    dihentikan. Sementara itu, KPK tidak memiliki dasar hukum untuk

  • 6

    menghentikan penyidikan. Oleh karena itu, KPK melimpahkan penanganan

    perkara yang melibatkan Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Hakim

    memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah

    secara hukum. Hakim Sarpin memberikan putusan tersebut setelah menimbang

    berbagai hal yang mencakup dalil gugatan pihak Budi Gunawan selaku

    pemohon, jawaban atas gugatan KPK sebagai termohon, bukti dan saksi-saksi

    yang diajukan kedua pihak.1

    Kemudian muncul wacana dari KPK untuk melakukan upaya hukum

    luarbiasa yakni Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan tersebut,

    tetapi dengan pertimbangan dari petinggi KPK sendiri akhirnya peninjauan

    kembali tersebut batal dilakukan. Kalau ditarik ke belakang pernah terjadi di

    tahun 2008 di Jawa Barat tepatnya di Pengadilan Negeri Bandung. Putusan

    Praperadilan Pengadilan Negeri Bandung No. 04/PID/PRA/2008/PN.Bdg.

    tanggal 26 September 2008. Diajukan permintaan peninjauan kembali Putusan

    Peninjauan Kembali (PK) Nomor 18 PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009 yang

    membatalkan putusan praperadilan PN Bandung No.

    04/PID/PRA/2008/PN.BDG. tanggal 26 September 2008. MA menilai judex

    facti praperadilan salah dalam pemeriksaan perkara dan proses pembuktian

    dengan masuk ke substansi pokok perkara. Hakim praperadilan telah melanggar

    ketentuan proses pembuktian di dalam sidang praperadilan. Pembuktian dalam

    sidang praperadilan adalah pembuktian administratif. Pada prinsipnya

    pembuktian administratif memfokuskan mengenai tata cara prosedur dalam

    1 Anonim. http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-

    praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00. Diakses Tanggal 12 April

    2015.

    http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00http://kabar24.bisnis.com/read/20150216/16/402929/hasil-putusan-sidang-praperadilan-budi-gunawan-versi-kpk-pengacara-bg-hari-ini-pukul-10.00

  • 7

    melakukan tindakan penahanan atau penangkapan, penghentian penyidikan atau

    penuntutan oleh Penyidik atau penuntut umum. Bahwa pemeriksaan

    praperadilan bukan memeriksa pada pokok perkara tetapi pada pembuktian

    administratif. Maka pemohon peninjauan kembali dalam perkara itu yakni polda

    Jabar dimenangkan.

    Atas dasar ini penulis berminat untuk menulis sebuah penelitian dengan

    judul “PROBLEMATIKA SEPUTAR PENINJAUAN KEMBALI

    TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN DI INDONESIA”

    B. Rumusan Masalah

    1. Apakah terhadap Putusan Praperadilan dapat dilakukan Peninjauan Kembali?

    2. Apakah dasar yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali terhadap

    putusan praperadilan ?

    C. Tujuan Penulisan Dan Kegunaan Penulisan

    1. Untuk mengetahui apakah terhadap Putusan Praperadilan dapat dilakukan

    Peninjauan Kembali.

    2. Untuk mengetahui dasar yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali

    terhadap putusan praperadilan.

    Adapun kegunaan yang akan didapatkan dari hasil penelitian ini adalah:

    1. Sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang terkait dengan permasalahan

    Praperadilan khususnya mengenai Peninjauan Kembali.

    2. Sebagai usaha dalam membantu memberikan informasi kepada masyarakat

    dan pejabat atau instansi yang berwenang tentang upaya luarbiasa peninjauan

    kembali terhadap putusan Praperadilan.

  • 8

    D. Metode Penulisan

    1. Jenis Penelitian

    Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum

    normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan untuk memperoleh bahan

    hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier berkaitan

    dengan masalah yang diangkat dalam penulisan ini yang menyangkut

    mengenai hal-hal tentang apakah dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa

    peninjauan kembali dalam putusan praperadilan dan siapa aja yang dapat

    mengajukannya.

    2. Sifat Penelitian

    Penulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penulisan yang bertujuan

    menggambarkan maupun memaparkan dan menjelaskan suatu keadaan yang

    didasarkan pada gejala-gejala serta fakta-fakta yang berkaitan dengan

    permasalahan yang diangkat. Dalam hal ini yang diangkat ialah tentang

    apakah dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa peninjauan kembali dalam

    putusan praperadilan dan siapa aja yang dapat mengajukannya.

    3. Tipe Penelitian

    Tipe dalam penelitian ini adalah adanya kekaburan hukum tentang apakah

    dapat dilakukan upaya hukum luarbiasa peninjauan kembali dalam putusan

    praperadilan dan siapa aja yang dapat mengajukannya dalam KUHAP dan

    peraturan perundangan yang terkait.

  • 9

    4. Jenis Bahan Hukum

    Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini merupakan hasil

    penelitian kepustakaan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

    sekunder serta bahan hukum tersier.

    a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

    dari :

    1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

    2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok Kehakiman.

    3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

    Kehakiman.

    4) SEMA NO 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum

    Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman

    Pelaksanaan Tugas Pengadilan.

    b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

    mengenai bahan hukum primer, yang diperoleh melalui literatur, buku

    ajar, artikel dalam majalah atau jurnal hukum, maupun artikel dalam

    internet yang berkaitan dengan praperadilan dan peninjauan kembali.

    c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

    yang diperoleh dari Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.

    5. Pengumpulan Bahan Hukum

    Untuk menjawab permasalahan yang ada, maka penulis melakukan

    pengumpulan bahan hukum melalui alat pengumpul data yang berupa studi

    dokumen atau bahan pustaka. Studi kepustakaan (library research) meliputi

  • 10

    bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang

    dikumpulkan berdasarkan permasalahan yang diangkat, yaitu tentang

    praperadilan dan upaya hukum luarbiasa yakni peninjauan kembali.

    6. Pengelolaan Dan Analisis Bahan Hukum

    Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diolah dan dianalisa

    dengan langkah berpikir sistematis. Pembahasan dilakukan dengan cara

    mengumpulkan berbagai buku-buku, literatur-literatur serta peraturan

    perundang-undangan yang terkait penjiauan kembali terhadap putusan

    praperadilan.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Pengertian Praperadilan

    Praperadilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP.

    Bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain, seperti limitasi atas proses

    penangkapan/penahanan.2 Dalam penjelasan mengenai kata penghentian

    penuntutan dalam rumusan Pasal 77 huruf a dan huruf b KUHAP dikatakan,

    bahwa yang dimaksud dengan penghentian penuntutan itu tidak termasuk

    pengesampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang dari

    Jaksa Agung. Wewenang memeriksa dan memutus tuntutan ganti rugi

    merupakan sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya tuntutan

    ganti rugi, baik ia ditujukan kepada perseorangan maupun kepada pemerintah,

    sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu diperiksa dan diputus oleh

    hakim perdata.3 Praperadilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara

    pidana Indonesia. Walaupun dapat dipandang sebagai tiruan lembaga hakim

    komisaris (recht commissaris) di negeri Belanda dan juge d” Instruction di

    Prancis, namun tugas praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris

    di Eropah itu.4 Jadi, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan pra-peradilan

    dalam KUHAP, adalah untuk melakukan “pengawasan secara horizontal” atas

    segala tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum

    kepada tersangka selama dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar

    2 Luhut M.P. Pangaribuan. 2008. Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh

    Advokat. Jakarta: Djambatan. Hlm. 39. 3 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu

    Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.223. 4 Andi Hamzah. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,

    hlm. 188.

  • 12

    benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum

    dan undang-undang yang berlaku.5

    Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang

    masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara

    materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji

    proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja.

    Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut,

    misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi. Dalam

    praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah

    masalah tata cara penyidikannya. Contohnya: ketika menangkap tersangka

    korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana

    dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah

    penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya,

    apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai

    tindakan penangkapan dan tindakan penahanan. Dalam pelaksanaan persidangan

    praperadilan diatur dalam pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP

    yang memberikan pengertian praperadilan yang berbunyi sebagai berikut.

    Pengadilan Negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus sesuai

    dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, mengenai :

    a. Sah atau tidaknya penangkappan, penahanan, penghentian, penyidikan

    atau penghentian penuntutan.

    5 Andi Sofyan, Abdul Azis. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta:

    Prenadamedia Group, hlm. 185.

  • 13

    b. Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara pidananya

    dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

    Jadi, menurut ketentuan di atas bahwa praperadilan adalah media untuk

    menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang penegakan

    hukum terutama penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)

    apabila melakukan tindakan hukum yang berupa penangkapan, penahanan,

    penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.

    Hal perlu diperhatikan dalam gugatan praperadilan ini adalah tentang sah

    tidaknya tindakan di atas dilakukan. Pengertian sah tidaknya itu berkaitan

    dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi apa tidak, jika resmi harus

    dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang berupa surat tugas yang jelas

    menyangkut tugas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

    apakah petugas-petugas yang melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu

    telah dilengkapi dengan surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan

    hukum. Dalam kenyataannya permasalahan praperadilan telah berkembang

    bukan hanya semata-mata masalah penangkapan, penahanan dan penghentian

    saja, melainkan masalah tembusan penangkapan dan penahanan juga ikut

    mewarnai adanya gugatan praperadilan.

    Dalam dunia praperadilan yang selama ini berlaku, yang sering terlibat

    dalam praperadilan atau yang menjadi termohon atau tergugat dalam

    praperadilan adalah institusi kepolisian negara republik Indonesia dan institusi

    kejaksaan republik Indonesia. Bagaimana dengan institusi pegawai negeri

    sipilnya (PPNS), apakah institusi ini juga dapat digugat atas nama praperadilan.

    Yang menjadi dasar gugatan praperadilan itu adalah masalah penahanan,

  • 14

    penangkapan dan penyidikan, apabila PPNS tersebut telah melakukan upaya

    paksa secara hukum yang berupa penyidikan, maka institusi sipil itu dapat

    digugat praperadilan. Misalnya yang terjadi antara institusi Komisi

    Pemberantasan Korupsi sebagai PPNS yang menetapkan seorang anggota Polri

    Budi Gunawan sebagai tersangka, yang kemudian pihak Budi Gunawan

    menuntut intitusi komisi pemberantasan korupsi di sidang praperadilan. Sidang

    praperadilan yang dilangsungkan oleh Budi Gunawan dan pihak institusi komisi

    pemberantasan korupsi, dimenangkan oleh pihak Budi Gunawan.

    Jika di dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS itu diduga

    tidak ada surat-surat yang berkaitan dengan tugasnya, misalnya surat tugas

    penyidikan, surat tugas penyitaan, surat tugas penggeledahan dan tidak

    dilanjutkan atau dihentikan, maka institusi yang di dalamnya terdapat PPNS

    yang menangani perkara itu dapat saja digugat atau dimohonkan untuk sidang

    praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

    Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan

    perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri,

    termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

    perundang-undangan yang berlaku.

    B. Pengertian Peninjauan Kembali

    Disamping pemeriksaan tingkat banding dan kasasi yang merupakan

    upaya hukum biasa sebagaimana diuraikan di atas, maka KUHAP telah

    mengatur pula tentang upaya hukum luarbiasa yang merupakan pengecualikan

    dari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVIII Bagian kesatu

  • 15

    dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi

    kepentingan umum dan Bagian kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269

    KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah

    memperoleh kekuatan hukum tetap.6 Adanya PK dalam KUHAP minimbulkan

    perbedaan pendapat di anatara para pakar. Yang menyetujui adanya PK,

    mengutarakan bahwa para Hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari

    kekhilafan, karena manusia tidak sempurna. Para pakar yang tidak menyetujui

    adanya PK berpendapat bahwa mustahil Jaksa/penuntut umum dan hakim yang

    terdiri dari 3 (tiga) orang di Pengadilan Negeri, 3 (tiga) orang di Pengadilan

    Negeri, dan 3 (tiga) orang di Mahkamah Agung, semuanya khilaf. Yang penting,

    baik jaksa maupun para hakim dapat bekerja profesional, sehingga benar-benar

    secara seksama memahami perundang-undangan sehingga dapat menerapkannya

    dengan tepat.7

    Dimasukkannya lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar

    biasa di dalam KUHAP merupakan keputusan dari pembentuk KUHAP, yang

    patut dipuji yang menyadari bahwa bagaimanapun terpericinya tindakan yang

    harus dilakukan oleh para hakim itu telah diatur di dalam KUHAP.

    Bagaimanapun juga terperincinya undang-undang telah menentukan peraturan

    dengan maksud menjamin kebebasan terdakwa atau dengan maksud menjamin

    perlakuan yang bersifat manusiawi terhadap terdakwa, sehingga sejauh mungkin

    6 Ibid. Hlm. 287. 7 Leden Marpaung. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara

    Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 71-72.

  • 16

    dapat dicegah terjadinya kekeliruan-kekeliruan seperti itu masih saja dapat

    terjadi.8

    Peninjauan Kembali (PK) atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan

    istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana,

    untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang

    telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal ini sesuai

    dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya menyebutkan bahwa

    PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh

    kekuatan hukum tetap. PK dapat dimintakan/diajukan kepada Mahkamah Agung

    (MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA setelah semua upaya hukum

    biasa berupa banding dan kasasi telah tertutup untuk dilakukan. PK dapat

    dimintakan/diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik Pengadilan

    Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung (MA), dengan

    persyaratan bahwa putusan instansi pengadilan sebagaimana tersebut di atas

    telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan PN dapat dimintakan/diajukan

    PK dengan syarat bahwa putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan hukum

    tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT.

    Demikian pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan

    telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Demikian

    pula terhadap putusan MA dapat diajukan PK, setelah putusan MA tersebut telah

    mempunyai kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti

    telah dibacakan putusan pengadilan (vonis) terhadap terdakwa didepan sidang

    8 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang. 2010. Op. Cit. Hlm. 528.

  • 17

    terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya secara

    sah putusan pengadilan tersebut kepada terdakwa, maka sejak saat itu terbuka

    jalan untuk meminta/mengajukan PK, baik terhadap putusan PN, PT maupun

    MA. PK tidak dapat dimintakan/diajukan apabila putusan instansi pengadilan

    tersebut menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan

    hukum (onslaag rechts vervolging). Dasar pertimbangan bahwa putusan bebas

    dan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan/diajukan PK adalah

    bahwa upaya hukum luar biasa PK adalah semata-mata untuk kepentingan

    terpidana untuk membela hak-haknya agar terpidana tersebut terlepas dari

    kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. Alasan atau syarat dapat

    diajukannya suatu PK adalah adanya keadaan/bukti baru (novum).

    Keadaan/bukti baru yang menjadi landasan dimintakan/diajukannya PK tersebut

    adalah yang mempunyai sifat dan kualitas "menimbulkan dugaan kuat" :

    Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan

    dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan

    untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan

    hukum. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang

    berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang

    menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Dapat dijadikan

    alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan

    pidana yang lebih ringan.

    Yang berhak mengajukan PK disebutkan dalam Pasal 263 ayat (1)

    KUHAP yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari terpidana dan ahli

    warisnya, maka permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima.

  • 18

    Mengenai kedudukan prioritas (yang lebih diutamakan) dalam

    meminta/mengajukan PK antara terpidana dengan ahli warisnya, undang-undang

    tidak menyebutkan siapa yang lebih diutamakan antara terpidana dengan ahli

    warisnya dalam meminta/mengajukan PK. Walaupun terpidana masih hidup dan

    sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung meminta/mengajukan PK.

    Hak ahli waris untuk meminta/mengajukan PK bukan merupakan "hak

    substitusi" yang hanya dapat diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak

    ahli waris dalam meminta/mengajukan PK adalah"hak orisinal" yang diberikan

    undang-undang kepada ahli waris terpidana demi untuk membela

    kepentingan/hak-hak terpidana sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun

    apabila yang meminta/mengajukan PK tersebut adalah terpidana sendiri,

    kemudian sebelum PK tersebut diputus oleh MA, terpidana meninggal dunia,

    maka menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, hak untuk meneruskan

    permintaan/pengajuan PK tersebut "dilanjutkan" oleh ahli waris. Dalam

    peristiwa yang seperti tersebut inilah kedudukan ahli waris menduduki

    kedudukan "hak substitusi" dari terpidana. Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini bukan

    hanya berlaku pada tahap permintaan/permohonan PK berada di MA, tetapi

    berlaku juga pada permintaan/permohonan PK yang masih berada pada tahap

    pemeriksaan sidang PN, atau pada tahap permintaan/permohonan PK belum

    dikirimkan PN kepada MA. Bahwa proses hukum permintaan/permohonan PK

    ini dapat dikuasakan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada kuasa hukumnya.

    Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang

    terpidana untuk mohon peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan

    hukum tetap dan final. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau

  • 19

    pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung RI yang telah

    berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). KUHAP sebagai hukum

    acara pidana hanya membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak

    yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Pasal 263

    ayat (1) KUHAP). Adapun alasan-alasan untuk dapat mengajukan peninjauan

    kembali adalah sebagai berikut (Pasal 263 ayat (2) KUHAP): 1. Apabila ada

    "keadaan baru" atau novum; 2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling

    pertentangan; 3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan.

    Perintah KUHAP sudah jelas bagi seorang terpidana yang dihukum salah

    diberi kesempatan terakhir atau paling akhir untuk menempuh upaya hukum luar

    biasa peninjauan kembali. Ini didasarkan pemikiran bahwa dalam negara hukum

    (rechsstaat), di mana negara dan individu ditempatkan sejajar (equality before

    the law) mengingat negara diberi kekuasaan untuk menjalankan hukum termasuk

    menghukum terpidana melalui putusan pengadilan, maka hak mengajukan upaya

    peninjauan kembali itu hanya diberikan kepada seorang terpidana. Sebelum

    putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dijatuhkan yang menghukum

    seorang terdakwa atau terpidana, instansi lain yaitu kepolisian sudah melakukan

    penyelidikan dan penyidikan terhadapnya yang disusul dakwaan dan tuntutan

    oleh kejaksaan serta pemenjaraan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dengan

    perangkat tadi dan kewenangan menghukum dan memenjarakan seorang

    terpidana, negara telah diberi kekuasaan dan kewenangan begitu besar untuk

    memenjarakan seseorang, yang berarti merampas dan membatasi kemerdekaan

    seseorang demi hukum berdasarkan putusan pengadilan yang tetap.

  • 20

    Konsep kesetaraan antara individu dan negara di dalam negara hukum

    inilah yang harus dipegang teguh dalam perdebatan tentang apakah jaksa boleh

    mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang telah berkekuatan hukum

    tetap. Kalau jaksa memaksakan untuk mengajukan peninjauan kembali maka

    asas keseimbangan (audi et alteram partem) sebagaimana yang dianut KUHAP

    telah dilanggar, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum

    (rechtonzekerheid).

    Sebagai suatu upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali tidak boleh

    sembarangan diberikan kepada seorang terpidana karena terdapat syarat-syarat

    yang ketat sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Semakin

    banyak peninjauan kembali dikabulkan oleh Mahkamah Agung RI, menandakan

    bahwa putusan pengadilan banyak yang keliru, khilaf dan salah. Demi kepastian

    hukum dan keadilan (asas kesetaraan antara individu dan negara) maka

    peninjauan kembali oleh jaksa harus ditolak dalam sistem peradilan pidana kita.

    Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk

    menanggulangi kejahatan terdiri dari empat subsistem yaitu Polisi, Jaksa dan

    Hakim serta Petugas Lembaga Pemasyarakatan sudah diberi kekuasaan dan

    kewenangan yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka

    seorang yang diancam hukuman atau sedang menjalani hukuman perlu diberi

    hak untuk membela diri yang terakhir atau paling akhir agar ada keseimbangan

    dan keadilan bagi individu yang diancam hukuman atau sedang menjalankan

    hukuman. Oleh karena itu KUHAP tidak mengatur mengenai batasan waktu

    untuk pengajuan peninjauan kembali. KUHAP hanya membolehkan terpidana

    atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali (Pasal 263 ayat (1)

  • 21

    KUHAP). Ketentuan hukum formal tersebut tidak boleh ditafsirkan lain karena

    dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtonzekerheid). Kalau aturan

    main yang diatur KUHAP dilanggar, maka akan menimbulkan kekacauan

    hukum (legal disarray) seperti yang dialami kita sekarang. Dengan demikian, ke

    depan jangan sampai ada lagi penerimaan peninjauan kembali yang diajukan

    oleh jaksa atas putusan yang berkekuatan hukum tetap, di mana hal tersebut

    dapat menimbulkan ketidakpastian bagi terpidana.

    Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa dan bukan

    pengadilan tingkat empat. Jaksa sudah diberi kesempatan dan kewenangan luas

    untuk menuntut dan membuktikan terdakwa bersalah, kalau itu tidak dilakukan

    secara profesional dan serius, maka kekeliruan dan kesalahan itu tidak boleh

    dibebankan kepada terpidana dengan Jaksa mengajukan peninjauan kembali,

    dengan demikian Jaksa harus menanggung segala akibatnya.9

    C. Pengertian Penangkapan

    Menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan

    penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara

    waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

    kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta

    menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penangkapan merupakan

    sebagian dari bentuk upaya paksa yang diatur dalam KUHAP yang

    pelaksanaannya diberikan batasan yang sifat mencegah agar penggunaannya

    tidak mengesampingkan HAM, namun tetap dalam koridor keseimbangan antara

    9 Anonim. http://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-

    luar-biasa. Diakses 22 Desember 2015.

    http://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-luar-biasahttp://www.antikorupsi.org/id/content/peninjauan-kembali-sebagai-upaya-hukum-luar-biasa

  • 22

    kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepentingan tersangka

    dan kepentingan pemeriksaan. Dalam hukum acara kita terdapat dan diatur

    tentang dasar hukum untuk suatu penangkapan yaitu harus adanya dugaan keras

    berdasarkan bukti yang cukup bahwa seseorang melakukan perbuatan pidana

    yang diancam dengan pidana lima tahun ke atas, kecuali perbuatan pidana

    tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang, disamping itu, harus pula ada

    dasar lain yaitu dasar yang dilandasi atas keperluan (urgensi).10

    Pengertian

    Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupaka pengekangan kebebasan

    sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk

    kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dengan ketentuan

    yang diatur di dalam UU. Setiap orang dapat melakukan penangkapan jika

    pelaku kejahatan tertangkap tangan. Jangka waktu penangkapan tidak memakan

    waktu yang lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat

    dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka

    sampai ke pos polisi terdekat. Ketika telah diserahkan sampai di kantor polisi

    atau penyidik. Ditahap ini polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang

    dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan. Penangkapan merupakan

    bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan,

    penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat

    luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Definisi

    penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik

    berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa

    10

    Andi Sofyan, Abdul Azis. Op. cit, hlm. 126.

  • 23

    apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan

    atau peradilan.

    Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu

    1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian

    maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih

    dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti

    permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat

    formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya.

    Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak

    ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk

    segera dilepaskan.

    Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan

    terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

    permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari

    “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya

    tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan

    bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,

    tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

    D. Pengertian Penahanan

    Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan

    penahanan adalah “penetapan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh

    penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta

    menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi masalah penahanan

  • 24

    bukan hanya wewenang yang dimiliki oleh penyidik saja (Polri), tetapi juga

    meliputi wewenang yang diberikan undang-undang kepada semua instansi dan

    tingkat peradilan (penuntut umum dan hakim).11

    Oleh karena itu, penahanan

    dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan

    hal-hal fatal bagi penahan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal

    95 disamping kemungkinan digugat pada praperadilan. Ganti rugi dalam

    masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.12

    Pengertian

    Penahanan adalah perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.

    Dalam hal penahan ini terdapat pertentangan antara 2 (dua) asas, yaitu asas

    mengenai hak bergerak seseorang yang merupakan HAM (Hak Asasi Manusia)

    yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain

    pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari

    perbuatan jahat tersangka. Ketentuan Hukum Acara Pidana dapat menyingkirkan

    asas-asas yang diakui secara universal yaitu HAM khususnya hak kebebasan

    orang seorang. Ketentuan yang demikian terutama mengenai penahanan di

    samping yang lain seperti pembatasan hak milik karena penyitaan, juga pada

    pembukaan rahasia surat (terutama yang terdapat dalam delik korupsi dan

    subversi) dan lain sebagainya.

    Penahanan dapat dilakukan jika dikhawatirkan tersangka akan melarikan

    diri dan kedua ialah ada alasan kuat bahwa keamanan masyarakat menuntut agar

    dilakukan penahanan segera. Alasan lain dilakukan penahanan yaitu karena

    dikhawatirkan tersangka akan merusak atau menghilangkan alat bukti atau

    11

    Ibid. hlm. 138. 12 Andi Hamzah. Op.cit. hlm. 130.

  • 25

    mengulangi tindak pidana dikemudian hari. Begitu juga pada tersangka yang

    tidak diketahui tempat tinggal atau kediamannya, jika ia tidak ditahan maka akan

    menyulitkan pemanggilannya dan menimbulkan tunggakan yang bertumpuk.

    Semua alasan penahanan ini diatur di dalam Undang-Undang.

    E. Pengertian Penghentian Penyidikan

    Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada

    penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang

    telah dimulainya, hal ini ditegaskan Pasl 109 ayat (2) yang memberi wewenang

    kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.

    Barangkali rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian ini antara lain :

    - Untuk menegakkan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, dan

    sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

    Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan

    penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka

    persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka.

    Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan

    penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri,

    terutama kepada tersangka dan masyarakat.

    - Supaya penyidikan terhidar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian,

    sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau

    alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi

  • 26

    hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan

    Pasal 95 KUHAP.13

    F. Pengertian Penghentian Penuntutan

    Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2)

    KUHAP yang menegaskan, penuntut umum “dapat menghentikan penuntutan”

    suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang

    disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan.

    Akan tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponering

    perkara pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara

    tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering)

    perkara yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15/1961 (sekarang Pasal 32

    huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1991) dan penjelasan Pasal 77 KUHAP.

    Malah pada penjelasan Pasal 77 telah ditegaskan “yang dimaksud dengan

    penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk

    kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.14

    Penuntut umum adalah instansi yang diberi wewenang oleh undang-

    undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan dan penetapan

    pengadilan. Salah satu wewenang utama penuntut umum melakukan tindakan

    penuntutan. Tentang apa yang dimaksud dengan penuntutan, merujuk kepada

    ketentuan Pasal 1 butir 3 dan Pasal 137. Dari kedua ketentuan tersebut dapat

    ditarik pengertian yang memberi gambaran dan lingkup penuntutan. Menurut

    rumusan Pasal 1 butir 7 :”penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk

    13

    M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan

    dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 150. 14

    Ibid. Hlm. 436.

  • 27

    melimpahkan perkara pidana ke pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal

    dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan

    supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan” Memperhatikan

    bunyi ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntutan, berarti

    tindakan penuntut umum:

    - Melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang.

    - Dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh

    hakim di sidang pengadilan.

    Kemudian apa yang dimaksud Pasal 1 butir 7, dipertegas lagi oleh Pasal

    137, yang berbunyi “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap

    siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya

    dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”15

    G. Pengertian Permohonan Praperadilan

    Hakim pengadilan negeri tidak akan memeriksa perkara praperadilan

    ketika belum ada masuk permohonan ataupun gugutan praperadilan yang

    ditujukan ke pengadilan negeri setempat. Permohonan praperadilan merupakan

    awalan dari pemeriksaan perkara pradilan di pengadilan negeri, sebagaimana

    sama dengan surat permohonan dalam perkara perdata yang berisikan identitas

    permohon dan termohon, posita dan petitum, surat permohonan dalam

    praperadilan lebih menekankan kepada peristiwa yang dilakukan oleh aparat

    penegak hukum yang telah salah menerapkan prosedur yang telah diatur dalam

    kuhap, mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

    penyidikan dan penghentian penuntutan. Oleh sebab itu isi dalam surat tuntutan

    15

    Ibid. hlm. 385.

  • 28

    harus benar-benar dapat dibuktikan oleh pemohon, jangan sampai pemohon

    tidak dapat menjelaskan apalagi membuktikan dengan alat bukti tentang apa-apa

    yang telah dimuat dalam surat tuntutan.

    H. Pengertian Putusan Praperadilan

    Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3

    macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah

    pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh

    hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara

    gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan

    dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk

    umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

    Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil

    musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan

    berlaku sebagai putusan. Dalam sebuah perkara tentunya harus terdapat sebuah

    ending atau akhiran atau dalam bahasa hukum disebut dengan putusan hakim.

    Putusan hakim dalam praperadilan memuat mengenai apakah permohonan tidak

    dapat diterima, ditolak dan dapat diterima. Masing-masing mempunyai

    konsekswensi masing-masing. Arti putusan menurut Gatot Soeparmono, adalah

    pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan

    kehakiman yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan di persidangan dan

    bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara.16

    Dalam pengadilan Agama,

    Putusan yaitu keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya

    16

    Gatot Soepramono. 2010. Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan.

    Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 5.

  • 29

    suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk

    pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa. Karena adanya 2 (dua) pihak

    yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat). Prof. Dr. Sudikno

    Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh

    hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan

    bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara

    para pihak”17

    Putusan itu dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan

    dan menentukan adalah fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah suatu

    alat. maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan

    hukumnya. sehingga mempunyai alasan yang objektif dan memiliki kekuatan

    hukum. agar putusan tersebut tidak dapat diubah lagi.

    17

    Soedikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty,

    hlm. 52.

  • 30

    BAB III

    ANALISIS MASALAH

    A. Putusan Praperadilan Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali

    Dari sejarah terbentuknya KUHAP kita mengetahui bahwa lembaga

    praperadilan ini merupakan lembaga yang luarbiasa pada waktu itu yang mana

    sebelumnya tidak terdapat dalam HIR, sebuah kebanggaan tentunya sistem

    hukum pidana Indonesia memiliki mekanisme kontrol terhadap aparat penegak

    hukum yang melakukan pelanggaran terhadap prosedurnya yang seharusnya

    mereka laksanakan. Sejarah juga mencatat bahwa masuknya lembaga

    praperadilan di dalam KUHAP tidak lepas dari trend internasional pada saat itu

    yang ramai meneriakan tentang perlindungan terhadap hak azasi manusia,

    sehingga hal ini juga diadopsi di dalam KUHAP. Disamping itu juga dosa masa

    lalu yang melakat dalam HIR sebagai hukum acara bawaan Belanda yang

    dirasakan sangat diskriminatif dan anti hak azasi manusia memang sudah

    selayaknya direformasi dan pada akhirnya akan mencerminkan rasa keadilan.

    Pada awal berlaku KUHAP memang dapat kita amati bahwa lembaga

    praperadilan bermanfaat dalam mengontrol kinerja aparat penegak hukum, tetapi

    perkembangan sekarang ini dimana seringkali lembaga praperadilan dijadikan

    sarana untuk melakukan tindakan yang seakan-akan menenggelamkan keadilan.

    Hal itu tejadi ketika kita amati ketentuan Pasal di dalam KUHAP tidak

    memberikan kesempatan kepada pihak yang dinyatakan kalah untuk melakukan

    upaya hukum terhadap putusan praperadilan.

  • 31

    Gerakan yang mengarahkan bahwa putusan peradilan harus diajukan

    praperadilan sudah banyak terjadi dan ada yang berhasil melakukannya

    diantaranya upaya hukum luarbiasa (peninjauan kembali) di Mahkamah Agung

    atas putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung yang menyatakan

    bahwa Polda Jabar menang dalam putusan peninjauan kembali. Menarik

    memang kalau kita bahas mengenai ini, sejauh mana hal ini dapat diterapkan

    dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Beberapa hal esensial yang perlu

    dikedepankan dalam menyelesaikan masalah ini yakni mengenai mana yang

    lebih didahulukan apakah peraturan yang bersifat prosedural yang terdapat

    dalam KUHAP ataukah rasa keadilan yang memang harus ditonjolkan dalam

    setiap sendi penegakan hukum (law enforcement) dengan kata lain ada

    pertentangan antara asas ketertiban dan asas keadilan dalam pengaturan upaya

    hukum baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luarbiasa terhadap

    putusan praperadilan.

    Bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem

    hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang

    memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Hal ini

    sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor

    Indonesie (AB) masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UU

    berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan: “Hakim harus

    mengadili berdasarkan Undang-Undang”. Pernyataan ini berarti, bahwa dalam

    hukum, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas

    pengaturannya. Namun bukan berarti hakim tidak bebas dalam menjalankan

  • 32

    kewenangannya, hakim tetap bebas sepanjang tidak melanggar ketentuan yang

    ada.

    Norma yang mengatur mengenai pembatasan terhadap putusan

    praperadilan terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) Terhadap putusan praperadilan

    dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak

    dapat dimintakan banding. Frase “tidak dapat dimintakan banding” ini

    menimbulkan makna ganda, secara gramatikal dapat diartikan bahwa upaya

    hukum banding sudah dengan terang benderang tidak dapat dilakukan, tapi

    bagaimana dengan upaya hukum kasasi maupun upaya hukum luarbiasa yakni

    peninjauan kembali. Disinilah inti masalah yang akan dianalisa penulis.

    Apabila kita merujuk kepada ketentuan yang mengatur mengenai

    peninjauan kembali, upaya hukum luarbiasa penijauan kembali dapat dilakukan

    terhadap putusan yang sudah inkracht (mempunyai kekuatan hukum yang tetap).

    Di dalam KUHAP mengenai peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (1)

    KUHAP, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

    yang tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,

    terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali

    kepada Mahkamah Agung. Sedangkan Pasal 263 ayat (2) Peninjauan kembali

    dilakukan atas dasar :

    a. Apabila terdapat keadaan baru yang meninbulkan dugaan kuat, bahwa jika

    keadaa itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya

    akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum

    atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu

    diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

  • 33

    b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

    terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang

    dinyatakan telah terbutki itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang

    lain.

    c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim

    atau suatu kekeliruan yang nyata.

    Penulis berpendapat bahwa saluran yang dapat ditempuh oleh pencari

    keadilan dalam memohonkan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan

    dapat dilakukan melalui saluran yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c

    KUHAP, yakni bersumber dari khilafan hakim dan kekeliruan yang nyata.

    Mengenai khilafan hakim ada beberapa pandangan yang beredar

    khususnya dalam putusan perdata yang akan dimintakan atau dimohonkan

    penijauan kembali. Dalam Pasal 67 butir f Undang-Undang No.5 Tahun 2004,

    Salah satu bentuk kelemahan dari penggunaan kata-kata yang membentuk

    kalimat dalam suatu peraturan perundang-undangan khususnya peraturan

    perundang-undangan yang memuat ketentuan bersifat hukum perdata formil atau

    hukum acara perdata, adalah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 67 Huruf F

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun

    2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

    Ketentuan Pasal 67 Huruf F tersebut merupakan ketentuan tentang peninjauan

    kembali atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum

    tetap dengan alasan adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata

    dalam putusan hakim. Dimana dalam ketentuan yang hanya memuat kalimat

    sederhana dan singkat serta tidak mengatur lebih lanjut tentang pengertian dari

  • 34

    alasan kekhilafan hakim atau pengertian dari suatu kekeliruan yang nyata dalam

    putusan hakim baik dari ketentuan pokok maupun penjelasan dari ketentuan

    tersebut, bahkan pengertian atau pengaturan lebih lanjut penerapan ketentuan

    tersebut juga tidak terdapat dalam Pasal-Pasal lainnya dalam Undang-Undang

    Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-

    Undang Nomor 3 Tahun 2009, atau Undang-Undang lainnya. Sehingga berpijak

    pada kelemahan bahasa dalam ketentuan Pasal 67 Huruf F Undang-Undang

    Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-

    Undang Nomor 3 Tahun 2009.

    Apabila kita kaitkan dengan kasus Gayus Tambunan Pengadilan Negeri

    Jakarta Selatan menggelar persidangan dengan memeriksa kelengkapan formil

    permohonan PK Gayus. Dipimpin Hakim Haryono, Gayus beserta kuasa

    hukumnya meminta permohonan PK dianggap sudah dibacakan di persidangan.

    Salah seorang kuasa hukum Gayus, Untung Sunaryo mengatakan alasan

    pengajuan PK Gayus adalah kekhilafan hakim yang nyata. Kuasa hukum Gayus

    yang lain, Firma Silalahi, mengungkapkan sejumlah kekhilafan atau kekeliruan

    hakim yang nyata dalam putusan kasasi No.1198K/Pid.Sus/2011 tertanggal 27

    Juli 2011. Majelis kasasi dinilai hanya mempertimbangkan hal-hal yang

    memberatkan dan tidak mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Sesuai

    ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, kuasa hukum berpendapat, majelis

    semestinya juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Majelis dalam

  • 35

    menguraikan hal-hal memberatkan tidak mengambil fakta-fakta dan keadaan

    yang terungkap di persidangan, melainkan dari luar persidangan.18

    Dari dua contoh mengenai paparan diatas penulis berpendapat

    permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan

    dengan dasar khilafan hakim dan kekeliruan yang nyata, dengan berpijak kepada

    Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK) Nomor 18

    PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009, Polri selaku pemohon PK dahulu termohon

    praperadilan melawan Eddy Wirawan selaku termohon PK dahulu pemohon

    praperadilan. Dalam amarnya telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri

    Bandung Nomor: 04/PID/PRA/ 2008/PN BDG tanggal 26 September 2008 yang

    didasarkan atas pertimbangan antara lain, upaya hukum PK dari pemohon akan

    dicapai keseimbangan aspek perlindungan bukan hanya terhadap pelaku

    perbuatan pidana, namun juga perlindungan terhadap korban kejahatan. Hakim

    praperadilan PN Bandung, disebutnya telah melakukan kekeliruan nyata dan

    fatal. Judulnya perkara praperadilan, tapi substansi yang diperiksa dan

    dipertimbangkan dalam putusan sudah memasuki substansi perkara. Hakim

    diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan dikala peraturan

    tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu

    kaidah hukum disaat terjadi kekosongan hukum. Pada hakekatnya, hakim

    dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.

    Alasan lain berkaitan dengan apakah Praperadilan layak untuk dilakukan

    Peninjauan Kembali, penulis berpendapat bahwa dapat dilakukan Penijauan

    18 Anonim. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-

    jadi-alasan-pk-gayus. Diakses tanggal 22 Desember 2015.

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-jadi-alasan-pk-gayushttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt507e8a41048bb/kekhilafan-hakim-jadi-alasan-pk-gayus

  • 36

    Kembali, mengapa demikian karena apabila kita lihat dari segi hakim yang

    memimpin praperadilan hanya satu orang saja mengakibatkan dapat saja terjadi

    human error dari hakim yang memimpin sidang tersebut, jumlah hakim yang

    hanya satu itu memiliki potensi hakim tidak menerima masukan dari hakim

    lainnya layaknya memimpin sidang untuk tindak pidana umum yang lain.

    Penulis berkeyakinan untuk menutupi celah hakim melakukan human error ini

    atau kehilafan maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol, yang dapat

    diterapkan apabila hakim dianggap melakukan human error ini. Dan yang paling

    tepat adalah melalui upaya hukum luarbiasa yakni Peninjauan Kembali. Dari

    pihak yang merasa dirugikan dengan putusan praperadilan itu sendiri

    mendapatkan saluran yang direstui oleh undang-undang (hukum positif)

    walaupun masih terlihat kabur, karena syarat PK dalam jenis tindak pidana biasa

    mencantumkan alasan peninjauan kembali adalah salah satunya “kehilafan

    hakim”. Keseimbangan dalam hal memberikan saluran bagi pihak yang

    dirugikan atau dikalahkan dari putusan praperadilan ini menjadi trend positif dan

    mengakomodir hak konstitusional dari warganegara, walau bagaimanapun juga

    harus adalah kontrol dari putusan praperadilan demi menghindari abuse of

    power dari hakim yang memimpin sidang praperadilan yang jumlahnya hanya 1

    (satu) tersebut.

    Selain itu di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: (1) Pengadilan dilarang

    menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

    dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

    memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita hubungkan dengan permohonan atau

  • 37

    permintaan peninjauan kembali dari pemohon, maka Mahkamah Agung sebagai

    lembaga pengadilan yang berhak menerima upaya hukum peninjauan kembali

    tidak mempunyai dasar untuk menolak memeriksa dan memutus permohonan

    atau permintaan peninjauan kembali dari putusan praperadilan.

    B. Dasar Pemohon Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Praperadilan

    Di dalam Pasal 263 KUHAP diatur mengenai dasar pengajuan atau

    permintaan Peninjauan Kembali. Pasal 263 ayat (2) permintaan peninjauan

    kembali dapat dilakukan atas dasar :

    a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

    keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya

    akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum

    atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu

    diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

    b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

    terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang

    dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang

    lain;

    c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim

    atau suatu kekeliruan yang nyata.

    Apabila kita lihat ada beberapa bentuk permohonan yang dapat diajukan

    praperadilan yakni mengenai menguji sah tidaknya, adalah :

    1. Penangkapan,

    2. Penahanan,

  • 38

    3. Penghentian penyidikan,

    4. Penghentian penuntutan.

    Dalam hal ini yang dikabulkan dari putusan yang pernah adalah menguji

    sah tidaknya penangkapan. Eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP) sebagai suatu instrumen umum (lex generalis) yang berfungsi

    untuk mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil

    memiliki peran yang penting dalam proses penegakan hukum yang didasarkan

    pada kerangka due process of law. Dirumuskannya KUHAP sebagaimana yang

    diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan realisasi konkrit

    dari konsep negara hukum (rechtstaat). Adanya perangkat perundang-undangan

    yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta adanya jaminan persamaan

    kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam

    pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk adanya kewajiban untuk

    menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik

    utama yang melekat pada konsep negara hukum. Terkait dengan kedudukannya

    sebagai kaidah hukum publik, maka KUHAP memiliki asas keseimbangan. Hal

    tersebut diartikan bahwa KUHAP selain mengatur mengenai kepentingan

    masyarakat (public interest) yang dilanggar juga mengatur secara seimbang

    kepentingan pihak yang berstatus sebagai pelaku.

    Selain itu, dalam kedudukannya sebagai kaidah hukum publik maka untuk

    melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP juga

    diperlukan institusi-institusi publik mulai dari tahap awal sampai dengan tingkat

    akhir, yang berupa tahap eksekusi termasuk pengawasan dan pengamatan

    pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan tugas dan peran dari masing-masing

  • 39

    institusi publik tersebut tentunya harus berpedoman pada prinsip diferensiasi

    fungsional dan prinsip saling koordinasi. Kedua prinsip tersebut bertujuan untuk

    dapat terwujudnya suatu sistem peradilan pidana terpadu atau yang lebih dikenal

    dengan istilah integrated criminal justice system. Pada dasarnya, lahirnya

    KUHAP didasakan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu

    ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang

    adil (fair trial) dan alasan adanya urgensi untuk menggantikan produk hukum

    acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Het

    Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP

    dijelaskan bahwa sebagai produk dari badan legislatif kolonial maka HIR belum

    memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia.

    Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional

    telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR. Dicantumkannya

    pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum

    pada semua tingkatan pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya

    paksa penangkapan atau penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang

    lebih lengkap sampai dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk

    pengawasan terhadap pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya

    tidak diatur dalam HIR.

    Pada hakikatnya, pencantuman hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan

    tersebut diatas bukan hanya merupakan bagian dari politik pembaruan terhadap

    ketentuan hukum positif an sich namun juga merupakan bagian dari pembaruan

    terhadap sistem hukum acara pidana yang menuju pada sistem nilai bangsa

    Indonesia dan sistim nilai-nilai universal. Dicantumkannya ketentuan tentang

  • 40

    praperadilan sebagai suatu lembaga yang memiliki beberapa kewenangan

    tertentu oleh KUHAP juga merupakan hal yang menambah perbedaan prinsipil

    antara KUHAP dengan HIR. Sebagai suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh

    KUHAP maka praperadilan bukan merupakan suatu lembaga yang berdiri

    sendiri.

    Dalam perkembangannya, lembaga praperadilan tersebut memiliki

    berbagai permasalahan dalam penerapannya. Mulai dari adanya limitasi

    pemeriksaan jenis upaya paksa yang berupa penangkapan dan penahanan saja

    dan tidak termasuk penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat sampai

    dengan ketidakjelasan mengenai interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan

    dalam mengajukan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah ada, maka hakim tidak

    memiliki interpretasi yang sama dalam mendefinisikan pihak ketiga yang

    berkepentingan. Walaupun KUHAP tidak memberikan penjelasan yang tegas

    mengenai definisi pihak ketiga yang berkepentingan namun hakim tidak boleh

    menolak memberikan putusan terhadap suatu perkara praperadilan dengan alasan

    tidak adanya ketentuan yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai

    pengertian pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan adanya ketidakjelasan

    tersebut maka hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum

    (rechtsvinding) dengan metode interpretasi.

    Mengenai permasalahan interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan

    dalam praktek praperadilan yang terjadi selama ini. Adapun pembahasan yang

    dilakukan oleh penulis bersifat terbatas dengan menggunakan empat contoh

    kasus mengenai praperadilan yang terkait dengan segi penerapan interpretasi

  • 41

    pihak ketiga yang berkepentingan. Walaupun pada saat ini terdapat usulan untuk

    menghapuskan lembaga praperadilan dan selanjutnya digantikan dengan konsep

    hakim komisaris sebagaimana yang terdapat dalam Revisi Rancangan Undang-

    Undang (RUU) KUHAP.

    Pada dasarnya, eksistensi lembaga praperadilan diatur dalam Bab I Pasal

    1 angka 10 dan Bab X Bagian Kesatu Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.

    Menurut etimologinya, praperadilan terdiri dari dua suku kata, yaitu pra dan

    peradilan. Kata “pra” itu sendiri diartikan sebelum, sedangkan kata “peradilan”

    diartikan sebagai suatu proses pemeriksaan atas tersangka, saksi-saksi dan

    barang bukti oleh pengadilan dalam rangka mencari kebenaran materil. Dengan

    demikian dapat disimpulkan bahwa praperadilan diartikan sebagai proses

    pemeriksaan voluntair yang dilakukan sebelum pemeriksaan terhadap pokok

    perkara berlangsung di pengadilan. Adapun yang dimaksud dengan pokok

    perkara dalam hal ini adalah suatu dakwaan tentang telah terjadinya suatu tindak

    pidana, yang sedang dalam tahap penyidikan atau penuntutan.

    Di Amerika Serikat, istilah praperadilan lebih dikenal dengan istilah pre

    trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga praperadilan dengan lembaga

    pre trial. Dalam lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk meneliti ada atau

    tidak adanya dasar hukum yang cukup untuk mengajukan suatu penuntutan

    terhadap suatu perkara pidana di depan pengadilan. Sementara itu, ruang lingkup

    praperadilan bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 77

    huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu sebagai berikut :

    1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan;

  • 42

    2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

    penghentian penuntutan ;

    3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi

    seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau

    penuntutan ;

    4. Memeriksa dan memutus terhadap tuntutan ganti kerugian yang diajukan

    oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta

    tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

    kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan ;

    5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh

    tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan

    undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

    diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.

    Berdasarkan ruang lingkup kewenangan tersebut maka pada dasarnya,

    lembaga praperadilan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pengawasan

    secara horisontal terhadap tindakan yang dilakukan oleh instansi kepolisian

    selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum. Oleh karena itu,

    praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir penyimpangan

    dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses

    penegakan hukum. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan

    horisontal dari lembaga praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan

    umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan

    hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law.

  • 43

    Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan tersebut

    pada dasarnya identik dengan lembaga Rechter Commisaris yang terdapat di

    Belanda atau lembaga Judge d’Instruction yang terdapat di Perancis. Kedua

    lembaga yang muncul dari sistem hukum civil law tersebut memiliki

    kewenangan melakukan pemeriksaan atas sah atau tidaknya upaya paksa.

    Sedangkan dalam sistem common law system, lembaga praperadilan identik

    dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan

    prinsip Habeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa dalam

    masyarakat beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan

    seseorang.

    Pada dasarnya, istilah pihak ketiga yang berkepentingan ini diatur secara

    tegas dalam ketentuan Pasal 80 KUHAP yang menerangkan bahwa permintaan

    untuk melakukan pemeriksaan mengenai sah atau tidak sahnya penghentian

    penyidikan (SP3) atau penghentian penuntutan (SKPP) dapat diajukan kepada

    Ketua Pengadilan Negeri dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar

    permintaan tersebut. Terdapat dua hal pokok yang menjadi dasar alasan bagi

    pihak ketiga yang berkepentingan untuk dapat mengajukan upaya praperadilan,

    yaitu adanya tindakan penghentian penyidikan oleh pihak penyidik atau adanya

    tindakan penghentian penuntutan oleh pihak penuntut umum.

    Penghentian penyidikan merupakan suatu tindakan dari penyidik untuk

    tidak melanjutkan proses pemeriksaan atas suatu perkara tindak pidana yang

    sedang ditanganinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut pasal 109

    ayat (2) KUHAP juncto Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak

    Pidana Kepolisian RI telah dijelaskan bahwa proses penyidikan atas suatu

  • 44

    perkara pidana dapat dihentikan dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai

    berikut :

    1. Tidak terdapatnya bukti yang cukup ;

    2. Peristiwa yang dilakukan penyidikan tersebut bukan merupakan tindak

    pidana ;

    3. Penyidikan dihentikan demi hukum dengan alasan sebagai berikut :

    a. Tersangka meninggal dunia ;

    b. Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa ;

    c. Pengaduan dicabut bagi delik aduan ;

    d. Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang

    berkekuatan hukum yang tetap dan pasti.

    Dalam hal penyidik telah menghentikan penyidikan maka berdasarkan

    ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP maka penyidik memberitahukan hal

    tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Oleh sebab itu,

    dapat dikatakan bahwa pasal tersebut memberikan jaminan kepastian hukum

    bagi tersangka.

    Penghentian penuntutan adalah suatu tindakan dari penuntut umum untuk

    tidak melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan dengan didasarkan pada

    alasan-alasan yang sah untuk itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut

    Pasal 140 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa penuntutan terhadap suatu tindak

    pidana dapat dihentikan dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :

    1. Tidak terdapat cukup bukti ;

    2. Peristiwa yang yang dituntut tersebut bukan merupakan tindak pidana

  • 45

    3. Perkara ditutup demi hukum, dengan didasarkan pada alasan penuntutan

    sudah daluarsa, adanya putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap

    (ne bis in idem) dan tidak adanya pengaduan dalam hal tindak pidana aduan.

    Ditinjau dari sudut subyeknya, maka permohonan praperadilan mengenai

    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan hanya

    dapat diajukan oleh pihak-pihak tertentu, yaitu :

    1. Penyidik ;

    2. Penuntut umum ;

    3. Pihak ketiga yang berkepentingan.

    Terkait dengan perihal subyek tersebut maka KUHAP hanya

    memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang siapa yang dimaksud dengan

    penyidik dan penuntut umum. Namun sebaliknya, walaupun KUHAP hanya

    memberikan rekognisi mengenai adanya pihak ketiga yang berkepentingan

    dalam ketentuan Pasal 80, tetapi KUHAP tidak memberikan interpretasi yang

    jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang

    berkepentingan. Secara logika hukum yang sempit, maka yang dimaksud dengan

    pihak ketiga yang berkepentingan adalah saksi korban tindak pidana atau

    pelapor. Selain itu, muncul pendapat berbeda yang mengatakan bahwa

    pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tersebut harus diinterpretasikan

    secara luas. Dengan demikian, tidak hanya terbatas pada saksi korban atau

    pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini

    diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. atau Organisasi Masyarakat

    lainnya.

  • 46

    Perluasan interpretasi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa dampak

    yang muncul dari terjadinya suatu tindak pidana adalah berupa kerugian

    terhadap kepentingan publik (public interest), baik dalam arti individu sebagai

    bagian dari komunitas publik atau kelompok masyarakat secara keseluruhan.

    Dalam bagian ini penulis akan menggunakan empat contoh kasus praperadilan

    yang terkait dengan penerapan interpretasi mengenai pihak ketiga yang

    berkepentingan. Penulis akan mendeskripsikan secara singkat mengenai kasus

    posisi, pertimbangan hakim dan hasil putusan akhir dari masing-masing kasus.

    Dalam Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980

    ditemukan alasan-alasan bagi adanya herziening, yakni “conflict van rechtpraak”

    dari “novum”. Pasal 9 ayat 1 (a) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980

    menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan

    pidana yang mengandung pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum

    yang tetap, atas dasar alasan : apabila dalam putusan-putusan yang berlainan

    terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu

    sama lain bertentangan. Apabila dalam permohonan “request civiel” putusan-

    putusan bertentangan satu sama lain itu harus diajukan terhadap pihak-pihak

    yang sama, berdasarkan atas alasan yang sama dan dijatuhkan oleh hakim yang

    sama, maka dalam “herziening” dalam perkara-perkara pidana putusan-putusan

    yang bertentangan satu sama lain itu dapat berasal dari hakim yang berbeda-beda

    dan kadang-kadang misalnya mengenai beberapa tersangka yang berbeda. 19

    19

    Djoko Prakoso. 1987. Upaya Hukum Yang Diatur Di Dalam KUHAP. Jakarta: Aksara

    Persada. Hlm. 195.

  • 47

    Adanya PK dalam KUHAP menimbulkan perbedaan pendapat di antara

    para pakar. Yang menyetujui adanya PK, mengutarakan bahwa para hakim

    adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan, karena manusia tidak

    sempurna. Para pakar yang tidak menyetujui adanya PK berpendapat bahwa

    mustahil Jaksa/Penuntut Umum dan Hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang di

    Pengadilan Negeri, 3 (tiga) orang di Pengadilan Tinggi, dan 3 (tiga) orang di

    Mahkamah Agung, semuanya khilaf. Yang penting, baik jaksa maupun para

    hakim dapat bekerja profesional, sehingga benar-benar secara seksama

    memahami perundang-undangan sehingga dapat menerapkannya dengan tepat.20

    Selain itu di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: (1) Pengadilan

    dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara

    yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

    melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita

    hubungkan dengan permohonan atau permintaan peninjauan kembali dari

    pemohon, maka Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berhak

    menerima upaya hukum peninjauan kembali tidak mempunyai dasar untuk

    menolak memeriksa dan memutus permohonan atau permintaan peninjauan

    kembali dari putusan praperadilan.

    Penulis berkesimpulan alasan yang dapat diajukan pemohon

    Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan yang berdasarkan kepada

    khilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, seperti hakim yang salah

    menerapkan hukum yang digunakan dalam memutus praperadilan, salah

    20

    Leden Marpaung. 2004. Op Cit. hlm. 71-72.

  • 48

    menerapkan hukum disini seperti lebih kepada menekankan kepada

    pemeriksaan pokok perkara yang seharusnya adalah domain acara

    pemeriksaan biasa, sedangkan praperadilan berfokus kepada prosedural

    apakah sudah benar atau tidak.

  • 49

    BAB IV

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    1. Bahwa terhadap putusan praperadilan dapat dilakukan Peninjauan Kembali,

    di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

    Kekuasaan Kehakiman ayat (1) menyebutkan: Pengadilan dilarang menolak

    untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

    dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

    untuk memeriksa dan mengadilinya. Apabila kita hubungkan dengan

    permohonan atau permintaan peninjauan kembali dari pemohon, maka

    Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan yang berhak menerima

    upaya hukum peninjauan kembali tidak mempunyai dasar untuk menolak

    memeriksa dan memutus permohonan atau permintaan peninjauan kembali

    dari putusan praperadilan.

    2. Alasan yang dapat diajukan pemohon Peninjauan Kembali terhadap putusan

    praperadilan yang berdasarkan kepada khilafan hakim atau kekeliruan yang

    nyata, seperti hakim yang salah menerapkan hukum yang digunakan dalam

    memutus praperadilan, salah menerapkan hukum disini seperti lebih kepada

    menekankan kepada pemeriksaan pokok perkara yang seharusnya adalah

    domain acara pemeriksaan biasa, sedangkan praperadilan berfokus kepada

    prosedural apakah sudah benar atau tidak.

  • 50

    B. Saran

    1. Segera dilakukan revisi terhadap ketentuan Pasal dalam KUHAP mengenai

    Praperadilan agar tegas mengatur dan memperbolehkan diajukannya

    peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan, sehingga tidak terjadi

    multitafsir dalam pelaksanaan oleh pencari keadilan dan aparat penegak

    hukum.

    2. Dalam melakukan pemeriksaan peninjauan kembali, hakim agung harus

    mengedepankan asas keadilan dan menjunjung tinggi fair trail, tidak hanya

    melihat kepada prosedural saja tetapi lebih luas kepada substansi tersangka

    yang dilakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan

    penghentian penuntutan yang merupakan objek praperadilan.

  • 51

    DAFTAR PUSTAKA

    Hamzah, Andi. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia

    Indonesia. Cet. IV.

    Lemek, Jeremias. 2008. Penuntun Praktis Membuat Pledoi. Yogyakarta : New

    Merah Putih.

    Marpaung, Leden. 2000. Perumusan Memori Kasasi Dan Peninjauan Kembali

    Perkara Pidana. Cet. I. Jakarta : Sinar Grafika.

    Mertokusumo, Sudikno. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

    Liberty.

    Muhammad, H. Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Cet I. Bandung:

    PT. Citra Aditya Bakti.

    Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap:

    Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan. Cet III. Bandung:

    PT. Citra Aditya Bakti.

    Nasution. Karim. 1972. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta : PN

    Balai Pustaka.

    Ngani, Nico. 1985. Mengenal Hukum Acara Pidana Tentang Dan di sekitar

    Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Dan Mahkamah Agung

    Republik Indonesia. Seri III. Yogyakarta: Liberty.

    Pangaribuan, Luhut M.P.. 2008. Hukum Acara Pidana Surat-Surat Resmi di

    Pengadilan oleh Advokat. Cet V. Jakarta: Djambatan.

    Prakoso, Djoko. 1986. Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada

    Tahap Penyidikan. Jakarta : Ghalia Indonesia.

    ____________. 1988. Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing). Cet I. Yogyakarta:

    Liberty.

    Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Cet I.

    Bandung : Mandar maju.

    Samidjo. 1988. Hukum Acara Pidana. Bandung: CV. Armico.

    Sasangka, Hari dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.

    Cet I. Bandung : CV. Mandar Maju.

  • 52

    Satjipto, Rahardjo,. 1983. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni.

    ---------. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

    Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

    Soepramono, Gatot. 2010. Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan.

    Jakarta: Rineka Cipta.

    Soehadi, R. 1995. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Surabaya: Apollo.

    Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (prosedur penyelesaian perkara pidana

    me