penelitian model budidaya kepiting soka ramah lingkungan dan stimulasi teknis penerapannya di tambak
TRANSCRIPT
1
PENELITIAN MODEL BUDIDAYA KEPITING SOKA RAMAH
LINGKUNGAN DAN STIMULASI TEKNIS PENERAPANNYA DI
TAMBAK
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan kepiting dunia baik kepiting bakau maupun rajungan
adalah komoditas ekspor yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data
yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan
kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat
saja mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat
dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi
budidaya yang masih sangat minim. Padahal, negara yang menjadi
tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang,
Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di
kawasan Eropa.
Baik kepiting bakau maupun rajungan adalah komoditas ekspor
yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen
Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari
pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton
setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan
hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat
minim.
Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan
kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah
kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan
Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12,
Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium
2
diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom,
juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Selain
itu, Fisheries Research and Development Corporation di Australia
melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung
22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6
(AA) yang begitu penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Bahkan kandungan asam lemak penting ini pada rajungan lebih tinggi
lagi. Dalam 100 gram daging rajungan mengandung 137 mg Omega-3
(EPA), 90 mg Omega-3 (DHA), dan 86 mg Omega-6 (AA).
Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena
kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama
kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat
pada kulit semuanya dapat dimakan. Bukan hanya dagingnya yang
mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar.
Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin,
chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri
sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan
tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri dan juga
digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar.
Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang
murah dan aman.
Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di
dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif
Indonesia (ZEEI) sekitar 5.8 juta kilometer persegi atau 75% dari total
wilayah Indonesia. Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.500 pulau
dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan
terpanjang di dunia setelah Kanada.
Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ±
1.2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 300.000 Ha.
(Dahuri, 2005). Sisanya masih tidur. Artinya, peluang membangunkan
3
potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka
lebar. Kepiting dapat ditemukan di sepanjang pantai Indonesia. Ada dua
jenis kepiting yang memiliki nilai komersil, yakni kepiting bakau dan
rajungan.
Di dunia, kepiting bakau sendiri terdiri atas 4 spesies dan
keempatnya ditemukan di Indonesia, yakni: kepiting bakau merah (Scylla
olivacea) atau di dunia internasional dikenal dengan nama “red/orange
mud crab”, kepiting bakau hijau (S.serrata) yang dikenal sebagai “giant
mud crab” karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor, S.
tranquebarica (Kepiting bakau ungu) juga dapat mencapai ukuran besar
dan S. paramamosain (kepiting bakau putih).
Kepiting soka atau kepiting cangkang lunak adalah kepiting
bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting dalam
fase ini memunyai keunggulan yaitu memunyai cangkang yang lunak
(soft shell mud crab) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh.
Pengembangan budidaya kepiting soka ini merupakan diversifikasi
produksi untuk menjawab tantangan pasar luar negeri.
Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan
Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran
sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Kepiting
tersebut diekspor dalam bentuk segar/hidup, beku, maupun dalam
kaleng. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil
tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim.
Harga kepiting cangkang lunak cukup menjanjikan antara Rp
40.000,00, hingga Rp 50.000,00,- per kilogram (kg). Di samping itu
usia panen cukup cepat antara 2 - 3 minggu setelah penyebaran
benih. Masa panen tidak berlangsung secara bersamaan, tapi yang
diambil adalah kepiting dalam fase tlungsumi atau ganti kulit, sedangkan
yang belum moulting dibiarkan saja menunggu sampai fase tersebut.
4
Melihat prospek pengembangan budidaya kepiting Soka tersebut
maka perlu dilakukan budidaya secara sederhana oleh petambak dalam
menghadapi era globalisasi tersebut. Disisi lain banyak terdapat tambak-
tambak yang tidak termanfaatkan akibat sulitnya budidaya udang yang
dirasakan akibat cemaran air dari industri, maupun buangan rumah
tangga. Oleh karena itu untuk memecahkan masalah tersebut kiranya
pemberdayaan pembudidaya kepiting soka pada lahan budidaya
bandeng atau lahan kurang produktif dianggap cukup efektif.
1.2. Tujuan
Untuk mempelajari, mengetahui dan menerapkan teknik budidaya
kepiting soka ramah lingkungan secara faktual kepada peternak kepiting
soka. Menemukan model dan mengaplikasikan cara-cara berbudidaya
yang ramah lingkungan sehingga budidaya yang dilakukan terhindar dari
ancaman penyakit yang dapat merugikan peternak kepiting.
1.3. Permasalahan
Budidaya kepiting soka yang mulai dikenal dan dilaksanakan oleh
kelompok peternak kepiting terbatas di Jawa Timur saat ini masih
bersifat konvensional, meniru-niru satu sama lain dan kurang berorientasi
pada proses budidaya yang saniter, higienis dan ramah lingkungan
sehingga potensi pencemaran begitu tinggi. Belum ditemukannya
prosedur tetap teknologi budidaya ramah lingkungan yang dapat
menjamin keberlangsungan budidaya kepiting soka dalam jangka
panjang sebagai penghasil devisa penting bagi negara.
Pola manajemen untuk mempertahankan kualitas air, pola sirkulasi,
perencanaan tebar panen secara periodik, asupan pakan serta
pengaturan jaringan inlet outlet distribusi air keluar masuk dalam
petakan tambak diyakini merupakan pemodelan yang harus dilakukan
dengan pola khusus. Untuk itu, upaya menemukan beberapa variasi
5
prosedur tetap pembudidayaan sebagai model budidaya kepiting ramah
lingkungan merupakan kebutuhan mendesak yang sangat diharapkan
oleh peternak kepiting soka agar mampu menghasilkan kepiting
berkualitas tinggi, sustainable serta produktivitasnya tinggi.
1.4. Hasil Yang Diharapkan
Ditemukannya model budidaya kepiting soka yang ramah
lingkungan, terhindar dari ancaman penyakit yang dapat menyebabkan
kerugian akibat tingkat kematian tinggi hingga gagal panen serta proses
produksi budidaya kepiting dapat berkelanjutan.
Budidaya kepiting soka ramah lingkungan merupakan tuntutan
pasar inernasional yang akan bermanfaat pada tumbuhnya kepercayaan
buyers terhadap produk ekspor hasil perikanan dari Indonesia.
1.5. Manfaat
Bagi masyarakat akan diperoleh sumber gizi yang sehat serta
munculmya produk pangan berkualitas tinggi yang tidak hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhasn gizi loal saja melainkan berpotensi sebagai
penghasil devisa negara.
Bagi peternak kepiting soka diyakini akan ditemukannya prosedur
tetap budidaya kepiting yang dapat menjamin keberlanjutan usaha
mereka.
Bagi Pemerintah merupakan upaya konkret dalam membantu
memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat peternak kepiting
soka sekaligus menumbuhkan produk baru untuk pemenuhan kebutuhan
gizi masyarakat serta bernilai ekonomis tinggi dan berpotensi penghasil
devisa negara.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peluang Budidaya Kepiting Soka
Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi baik di pasar
domestic (dalam negeri) maupun pasar mancanegara (luar negeri),
terutama Kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa serta
gemuk.
Sementara benih kepiting bakau masih mengandalkan pasokan dari
alam karena teknologi pembenihan kepiting belu dikuasai dengan baik.
Oleh karena itu, aktivitas penangkapan masih intensif, terutama di
daerah penghasil kepiting bakau di muara-muara sungai dan kawasan
hutan mangrove.
Nilai ekonomis kepiting yang terus meningkat merangsang para
petani untuk membudidayakannya di tambak. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya ekspor kepiting dari Sulawesi Selatan dari tahun ke tehun.
Ekspor kepiting dari Sulawesi Selatan sebesar 5.200 kg pada tahun 1989
meningkat menjadi 1.567.527 kg pada tahun 1994. konsumen kepiting
tertinggi di dunia adalah Amerika Serikat yang mencapai 55% dari total
kepiting dunia dengan peningkatan rata-rata 10,4 per tahun
(Departemen Perdagangan, 1990). Negara pengimpor kepiting lainnya
adalah Australia, Benelux, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea
Utara, dan Korea Selatan. Umumnya, Negara-negara tersebut
mengimpor kepiting berukuran 350 g/ekor atau 3ekor/kilogram dengan
harga berkisar US$5 – US$8 perkologram
Berdasarkan data diatas, kita dapat memanfaatkan peluang pasar
tersebut dengan cara meningkatkan produktivitas kepiting bakau, baik
kuantitas maupun kualitas yang memenuhi standar pasar Internasional.
Sementara di Indonesia jumlah petani dan nelayan yang
membudidayakan relatif sedikit. Petani nelayan cenderung melakukan
7
penangkapan di alam, padahal sumber daya alam berlimpah, termasuk
hutan mangrove yang menjasi habitat kepiting bakau (lihat Tabel 2).
Mengingat tidak ada satu lokasi yang sempurna, maka sangat
memungkinkan adanya perekayasaan. Perekayasaan merupakan cara
menciptakan tambak yang sesuai dengan sifat biologis kepiting bakau.
Dalam segi ekonomis, perekayasaan tersebut juga perlu diperhitungkan
karena tinggi rendahnya teknologi yang akan diterapkan pada tahap
rekayasa tambak berkaitan dengan besar kecilnya biaya yang diperlukan.
Untuk itu, tambak harus direkayasa sesuai dengan kebutuhan bagi
pertumbuhan benih kepiting bakau. Sarana-sarana lain yang tidak atau
kurang berkaitan dengan usaha sebaiknya tidak diadakan.
2.2. Kandungan Nutrisi Kepiting Soka
Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan
kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah
kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan
Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12,
Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium
diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom,
juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Selain
itu, Fisheries Research and Development Corporation di Australia
melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung
22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6
(AA) yang begitu penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Bahkan kandungan asam lemak penting ini pada rajungan lebih tinggi
lagi. Dalam 100 gram daging rajungan mengandung 137 mg Omega-3
(EPA), 90 mg Omega-3 (DHA), dan 86 mg Omega-6 (AA).
Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena
kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama
kandungan chitosan dan carotenoid yang biasanya banyak terdapat pada
8
kulit semuanya dapat dimakan. Bukan hanya dagingnya yang
mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar.
Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin,
chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri
sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain.
Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti
bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan
mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan
pengawet makanan yang murah dan aman.
Benjakul dan Sophanodera (1993) : Cangkang crustacea yang
berkulit keras mengandung 13 – 20% kitin, 75 % CaCO3 dan sisanya
protein, sedang yang berkulit lunak mengandung kitin 15 – 30 % dan
CaCO3 sebesar 13 – 14 %.
Pemanfaatan kitin dan turunannya, dikenal hingga 3 generasi :
Generasi I : kitin digunakan untuk penanganan limbah, pengolahan
pangan, pengikat logam
Generasi ke II : untuk industri kosmetik (shampo, lotion, pasta gigi)
membran, Food aditive
Generasi ke III : Bidang gizi, immunologi, medical aids dan farmasi.
2.3. Teknologi Budidaya Kepiting
Bila ingin menjadikan kepiting sebagai komoditas andalan maka
penangkapan dari alam saja tidaklah cukup. Bahkan penangkapan yang
berlebihan dapat mengancam kelestarian hewan ini. Karena itu,
budidaya adalah pilihan yang tepat. Ada beberapa teknologi yang
mendukung kegiatan budidaya tersebut, yakni: pembenihan,
pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi
kepiting lunak/soka.
9
Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang mempunyai cirri-ciri biologis sebagai berikut.
A. Ciri-Ciri Morfologi
Kepiting bakau (Scylla sp) memiliki ukuran lebar karapas lebih besar
daripada ukuran panjang tubuhnya dan permukaannya agak licin. Pada
dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan di samping
kanan dan kirinyamasing-masing terdapat sembilan buah duri.
Kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen
bagian bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting
bakau betina melebar.
B. Klasifikasi Kepiting Bakau
Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla
serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica dengan klasifikasi
sebagai berikut.
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacean
Ordo : Decapoda
Family : Sotrunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla sp.
Untuk produksi kepiting lunak/soka kepiting yang dijadikan bahan
baku dapat dari semua spesies dengan ukuran lebar karapas 5-7 cm.
Setelah molting atau berganti kulit, ukuran kepiting akan bertambah
sekitar 30%.
Kriteria lokasi yang ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah
daerah air payau atau air asin dengan kadar garam antara 15-30 promil.
Nilai pH air berkisar antara 7,2-7,8. Suhu air yang ideal adalah 23-32 oC,
dan lokasi memiliki jenis tanah liat berpasir dengan tipe dan tekstur
10
tanah baik, ketersediaan pakan cukup, lokasi dekat dengan sarana dan
prasarana produksi serta daerah pemasaran. Pakan untuk kepiting tidak
susah karena hewan ini memakan segala jenis makanan, namun yang
umum diberikan dalam budidaya adalah ikan rucah, usus ayam, kulit
sapi, kulit kambing, bekicot, keong sawah, dan kepiting-kepiting non
ekonomis. Juga telah dikembangkan pakan buatan untuk kepiting.
Lama pemeliharaan tergantung tujuan budidaya. Bila benih yang
ditebar berukuran 20-50 g untuk tujuan pembesaran maka panen
biasanya dapat dilakukan setelah 3 bulan pemeliharaan dengan ukuran
panen ± 300 g. Tetapi untuk penggemukan dan produksi kepiting
bertelur, kepiting yang dipelihara biasanya sudah berukuran ekspor (250-
300 g/ekor) namun masih kurus/keropos atau belum bertelur. Lama
pemeliharaan tipe ini sekitar 20-30 hari.
2.4. Pemodelan Ramah Lingkungan
Pemodelan ramah lingkungan merupakan rekayasa dalam proses
perencanaan budidaya kepiting soka, yang memperhatikan faktor-faktor
teknis budidaya seperti: pengaturan inlet dan out let, sumber air tawar
maupun air asin serta teknis pencampurannya menjadi air payau,
penataan pakan dan sumber pakan, pola sirkulasi air harian maupun
penentuan juklak teknis yang harus dipatuhi dalam standar operasional
budidaya kepiting soka oleh palaksana teknis di lapangan. Hal ini akan
mempengaruhi hasil budidaya khususnya kualitas dan kuantitas out
produk kepiting soka.
Untuk itu, tambak harus direkayasa sesuai dengan kebutuhan bagi
pertumbuhan benih kepiting bakau. Sarana-sarana lain yang tidak atau
kurang berkaitan dengan usaha sebaiknya tidak diadakan.
Kebiasaan kepiting mentoleransi suhu dan salinitas ini merupakan
pedoman untuk memodifikasi air pemeliharaan jika kepiting tersebut
dibudidayakan dan dibenihkan. Namun, kisaran suhu dan salinitas yang
11
dapat ditoleransi kepiting bervariasi, tergantung pada keadaan suhu dan
salinitas perairan ketika kepiting bakau tersebut beruaya.
Petak-petak tambak untuk penyesuaian (adaptasi) sebaiknya dibuat
dari bahan semen berukuran kecil (sekitar 15 - 20 m2), dengan dinding
yang licin. Dasar tambak berlumpur dengan tebal 5 – 15 cm. Petak-petak
tambak ini tidak memerlukan penghawaan (aerasi), tetapi cukup diberi
aliran air yang dimasukkan dari dasar tambak. Pengontrolan air pada
musim panas dapat dilakukan melalui penggantian air dengan pompa
atau sipon dan sebagian atau seluruhnya diberi peneduh.
Salinitas air pada petak-petak tambak adaptasi dipertahankan
sekitar 10 promil selama dua minggu, dan secara bertahap dinaikkan
sesuai dengan tingkat perkembangan kepiting muda. Bila salinitas air laut
yang dimasukkan ke dalam tambak tinggi, maka harus diturunkan
terlebih dahulu dengan cara menambahkan air tawar ke dalam tambak
sampai salinitas yang diperlukan tercapai, kemudian baru benih
dimasukkan.
Pada prinsipnya, makanan diberikan sekenyangnya (ad libitum),
dua sampai tiga kali sehari. Makanan sisa yang tidak dimakan jangan
dibiarkan berada dalam petak tambak adaptasi terlalu lama karena dapat
memperburuk kualitas air. Benih kepiting yang telah mencapai C-3 ke
atas (lebar karapas 1 cm atau lebih) dapat segera dipindahkan ke tambak
pembesaran tanpa menggunakan air.
12
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu
Kegiatan dilaksanakan di Desa Sekardangan Kecamatan Sidoarjo
Kota Kabupaten Sidoarjo yang merupakan kawasan pertambakan
tradisional penting di Jawa Timur. Uji coba rekayasa teknologi
dilaksanakan di laboratorium lapangan dan tambak milik peternak
kepiting sehingga hasil perlakuan terbaik serta pemahaman terhadap
teknologi budidaya ramah lingkungan dapat langsung
diadopsi/diterapkan kepada masyarakat.
Kegiatan pasca penelitian berupa sosialiasi, pelatihan dan stimulasi
dilaksanakan di ruang pelatihan bersama para tim peneliti dan instruktur
yang terlatih; sedangkan kegiatan pendampingan hingga 2 siklus pendek
masa budidaya diberikan kepada beberapa kelompok pembudidaya
kepiting yang terpilih.
Kegiatan direncanakan berlangsung selama 2,5 (dua setengah)
bulan atau 75 (tujuh puluh lima) hari kerja efektif.
3.2. Desain Percobaan dan Stimulasinya
Metode penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif
maupun kuantitatif, untuk memperoleh data akurat dari hasil uji di
lapangan dilakukan analisis-analisis dan desk evaluasi yang mendukung
akurasi hasil.
Pendekatan kualitatif berupa analisis mendalam dengan teknik
pencatatan secara mendetail segala perubahan yang terjadi dalam setiap
aspek budidaya kepiting soka, sesuai prosedur standar yang berlaku
secara umum di kalangan petambak kepiting.
Stimulasi teknis penerapannya berupa penggalangan, demplot dan
pendampingan terhadap kelompok-kelompok pembudidaya kepiting
13
soka hingga dapat menerapkan dengan baik teknologi budidaya yang
ramah lingkungan.
3.3. Metode Budidaya Kepiting Soka (Soft Shell Mud Crab)
Produksi kepiting soft shell mud crab sangat potensial
dikembangkan. Beberapa metode wadah yang digunakan sebelumnya
masih dianggap besar terutama penyediaan wadah perawatan. Dalam
upaya menanggulangi hal tersebut perlu pemanfaatan potensi yang ada
dengan nilai harga yang relatif kecil. Sedangkan pengambilan data
dilakukan dengan sengaja di lokasi produksi. Hasil kajian menunjukkan
bahwa usaha produksi soft shell mud crab dengan menggunakan wadah
yang terbuat dari bambu lebih murah dibanding menggunakan wadah
basket plastik dan karet.
Budidaya kepiting soft shell mud crab pada kegiatan ini dilakukan
dengan beberapa inovasi dan modifikasi sarana. Metode budidaya
produk nantinya diharapkan memberikan hasil akhir yang maksimal
dengan biaya yang efektif dan efisien. Adapun modifikasi sarana yang
akan dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut :
a. Modifikasi wadah dilakukan dengan menggunakan bambu yang
dibelah dan dibentuk rak berukuran 2.5x1.25 m tg 10/15 cm terdiri
dari 32 kotak, 1 kotak 30x30 cm dengan alas waring hitam
dibawahnya ditempatkan benih SS size 10–20.
b. Pakan rucah yang awalnya sebagai asupan pakan dapat diganti
dengan trisipan yang melimpah di inlet–outlet dan petakan kawasan
yang pada umumnya banyak melimpah terutama tambak di daerah
berlumpur atau tambak ex budidaya udang. Bahkan merupakan
makanan utama dan sekaligus washing net di kotak pemeliharaan.
Dosis pemberian pakan 5–10% dari berat biomasa. Trisipan direbus
dan dibuka dari cangkang untuk pakan kepiting sedangkan yang masih
hidup diletakan di kotak untuk membersihkan jaring dari lumut yang
14
menempel sehingga sirkulasi air dari dasar maksimal. Pemberian pakan
rucah maupun trisipan ini, dilakukan pencatatan khusus untuk
memonitor peningkatan berat badan dan kecepatan ganti kulit.
Disamping itu, efek terhadap proses ramah lingkungan yang
diharapkan dari proses pemberian pakan adalah adanya analisa pada
kualitas air selama proses pemberian pakan, sehingga dapat
ditentukan waktu untuk mengganti/sirkulasi air maupun pengaturan
prosedur lainnya.
c. Pemeliharaan soft shell antara 14 – 24 hari
d. Jenis kepiting bakau yang akan dikembangkan menjadi kepiting soft
shell ada empat jenis kepiting yakni jenis Scylla serrata, Scylla
olivacea, Scylla trangquberica dan Scylla paramosain.
Stimulasi penerapan pola ramah lingkungan adalah dengan
pemanfaatan tanaman mangrove sebagai hiperakumulator maupun
biokondisioner untuk menjaga kualitas air senantiasa baik dan kualitas
tanah dalam petakan budidaya kepiting soka tidak tercemar oleh residu
pakan maupun gas-gas H2S serta senyawa metabolit toksik lainnya.
Selain itu, pola ramah lingkungan juga dilakukan dengan
menerapkan manajemen kualitas air imbibisi pada inlet maupun out let,
pengaturan tata letak pintu air, perencanaan sirkulasi harian air,
pencampuran air, penumbuhan pakan alami, teknik asupan pakan
tambahan serta perbaikan dan penyempurnaan prosedur pembilasan
yang menerapkan prinsip bilas bersih air buangan petak budidaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dicatat dalam analisis siklus harian
budidaya kepiting soka.
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lahan pertambakan tradisional di desa
Sekardangan pada luas petak tambak 2000 sampai dengan 5000 meter
persegi. Inlet untuk pintu pemasukan air digunakan untuk memasukkan
dari air payau yang mengalir di sungai Kepetingan dengan salinitas
harian selama pelaksanaan penelitian berkisar 8 promil sampai dengan
17 promil.
Suhu air harian di dalam petak tambak berkisar 28oC sampai
dengan 31oC pada siang hari dan berkisar 23
oC sampai dengan 25
oC
pada malam hari. Suhu terendah tercatat pada pagi hari berkisar antara
18oC sampai dengan 20
oC terjadi saat hujan turun di malam harinya.
Pengukuran suhu dilaksanakan secara periodik pada internal 8 jam setiap
dua hari sekali atau diukur secara purposive sampling pada saat terjadi
perubahan cuaca yang ekstrem untuk memperoleh gambaran aktual
perubahan suhu air di tambak.
Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan alat
termometer raksa dan termokoppel untuk membandingkan data hasil
pengukuran yang terbaik. Data dari kedua alat tersebut kemudian di
rata-rata untuk disajikan dalam bentuk data suhu harian air di tambak.
Pengukuran suhu dilakukan pada permukaan air tambak pada bagian
fotik dengan kedalaman 15 sampai 20 centimeter untuk memperoleh
gambaran konkret atas suhu aktual yang dialami oleh kepiting soka
dalam keranjang budidaya tersebut.
Kecerahan air selama penelitian tercatat berkisar antara 10 sampai
dengan 17 centimeter diukur pada pagi hari pukul 08.00 dan meningkat
menjadi 14 sampai dengan 22 centimeter pada pukul 12.00 siang hari
16
kemudian turun mencapai 6 sampai 11 centimeter pada sore hari pukul
17.00. Warna air pada umumnya kuning tua kehijauan dengan populasi
dominan adalah zoo plankton dan algae jenis Diatomae.
Fisiologi kepiting saat bulan purnama dan bulan perbani
mengalami peningkatan aktivitas gerak dan nafsu makan. Kepiting dalam
box hitam menunjukkan aktivitas gerak yang lebih dinamis bila
dibandingkan dengan kepiting dalam box berwarna (hijau, biru dan
merah). Pada saat bulan purnama, nafsu makan kepiting meningkat dua
kali lipat dibandingkan hari biasanya; oleh karena itu perlu penambahan
porsi makanan agar kepiting tidak menjadi kurus dan lambat moulting.
Bibit kepiting yang akan dibudidayakan untuk menjadi kepiting
soka merupakan hasil penangkapan kepiting dari alam; oleh karena itu,
budidaya kepiting soka mutlak memerlukan dukungan sumberdaya alam
lestari dari hutan-hutan mangrove di sekitar pesisir sebagai habitat utama
kehidupan kepiting.
Syarat lain sebagai bibit soka maka kepiting harus gesit, anggota
badannya (capit, kaki jalan dan kaki renangnya) masih utuh serta
menunjukkan responsi yang baik saat dirangsang dengan gangguan fisik
langsung menunjukkan respon mencapit. Kepiting yang lemah, lemas
dan anggota badannya tidak lengkap kurang baik apabila dibudidayakan
menjadi kepiting soka.
Untuk menjaga kualitas air dengan pemodelan ramah lingkungan,
maka harus dihindari pemakaian bahan-bahan kimia baik untuk tujuan
pemupukan, asupan gizi dan pakan maupun untuk menjaga kualitas air.
Penggunaan probiotik dan pakan alami merupakan satu-satunya upaya
penting untuk menjaga agar pemodelan dalam budidaya memenuhi
persyaratan ramah lingkungan. Fluktuasi penurunan kualitas air dalam
petakan tambak dapat berlangsung sangat cepat dan terjadi beberapa
kali dalam sehari apabila kepadatan tebar per meter persegi dalam lahan
17
budidaya relatif padat. Hal ini disebabkan residu dan sisa pakan yang
tidak termakan oleh kepiting serta kotoran yang dikeluarkan oleh
kepiting itu sendiri akan menambah jumlah cemaran dan polutan dalam
dasar tambak. Tujuan utama penggunaan probiotik dan pakan alami
yang ditumbuhkan dari zoo plankton dalam siklus makanan dalam air
adalah untuk meminimalisir terjadi pencemaran air dan dasar perairan
dalam tambak; sehingga racun alami yang dapat menyebabkan kematian
kepiting dapat dihindari secara alami pula.
4.2. Pemodelan Budidaya Kepiting Soka
Budidaya Kepiting dengan pola percepatan sirkulasi air terbukti
dapat menghasilkan angka kehidupan kepiting soka selama pemeliharaan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan petakan budidaya yang tidak
menggunakan percepatan sirkulasi air. Dari 300 ekor kepiting dalam crab
boxes pada petak tanpa percepatan sirkulasi air diperoleh angka
kehidupan selama kurun pengamatan 30 hari sejumlah 264 ekor atau
hidup sebanyak 88 %.
Sedangkan kepiting soka yang dibudidayakan dalam petakan yang
menggunakan pola percepatan sirkulasi air dengan penambahan
pemakaian pompa air (luas petakan 2000 meter persegi untuk budidaya
300 ekor kepiting soka) diperoleh angka kehidupan selama kurun
pengamatan 30 hari sejumlah 292 ekor. Berarti kepiting yang mati
sejumlah 8 ekor saja dan yang hidup serta dapat melakukan proses
moulting dengan sempurna mencapai 97,3 %.
Budidaya kepiting dengan pola keseimbangan pakan alami dan
pakan asupan merupakan model pengelolaan pakan untuk budidaya
yang mutlak dilakukan untuk menghasilkan proses budidaya kepiting
soka ramah lingkungan. Keseimbangan pakan asupan berupa ikan rucah
18
atau daging trisipan dengan pakan alami berupa implementasi teknik
bioteknologi dengan menggunakan probiotik agar populasi dan
kepadatan plankton di air menjadi stabil terbukti menghasilkan angka
kehidupan kepiting yang lebih baik. Pada petakan yang menggunakan
pola percepatan sirkulasi air dikombinasikan dengan penerapan
probiotik untuk menstabilkan siklus biologis di air selain angka
kehidupannya mencapai 97, 3 % maka tingkat stress kepiting dalam crab
boxes sangat rendah.
Budidaya kepiting dengan keranjang tunggal dari bahan plastik juga
telah terbukti lebih efektif bila dibandingkan dengan budidaya kepiting
soka dalam keranjang yang berisi lebih dari satu ekor. Uji coba yang
dilakukan pada petak pengamatan yang lain menunjukkan bahwa;
pemakaian keranjang tunggal menghasilkan kepiting yang utuh karena
dalam keranjang (crab boxes) tidak ada pemangsa. Sebaliknya, dalam
keranjang pemeliharaan yang lebih besar dan berisi lebih dari satu ekor
kepiting (uji coba dilakukan pada keranjang plastik ukuran 20 x 60 x 45
cm) dengan kepadatan 10 ekor kepiting membuktikan bahwa pada saat
pengamatan umur 30 hari hanya tersisa 4 ekor saja. Hal ini diduga
akibat sifat kanibalisme yang terjadi dalam keranjang dimana kepiting
yang mengalami fase moulting akan menjadi mangsa (makanan) bagi
kepiting yang sehat.
Budidaya kepiting dengan pola mutilasi dan pola alami
menunjukkan hasil pengamatan yang berbeda tidak signifikan. Hasil uji
coba menunjukkan bahwa mutilasi yang dilakukan dengan menggunting
atau memotong kaki hingga capit kepiting hanya akan menghasilkan
cacat pada pertumbuhan berikutnya, nafsu makan kepiting menjadi lebih
rendah, serta aktivitas dalam boxes menjadi berkurang. Dengan pola
alami nafsu makan kepiting akan terjaga tetap tinggi serta aktivitasnya
tinggi sehingga akan mengalami moulting tepat pada waktunya.
19
Kecepatan moulting sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor stressor
lingkungan (dalam hal ini kualitas air tambak), tingginya nafsu makan,
aktivitas dalam kotak serta umur (kulit luar/cangkang) kepiting itu sendiri
pada saat dimasukkan kedalam crab boxes. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa rata-rata kepiting pada kotak yang dimutilasi akan
berganti kulit pada umur budidaya 14 sampai 17 hari sedangkan kepiting
yang tidak dimutilasi akan mengalami fase ganti kulit pada umur
budidaya 16 sampai 18 hari.
4.3. Analisis Perlakuan Warna Pada Crab Boxes
Crab boxes hitam; menunjukkan hasil interaksi yang terbaik
diantara crab boxes berwarna lainnya. Sifat alami kepiting yang suka
terhadap lumpur dan suasana gelap (taksis negatif) akan membantu
kepiting untuk meningkatkan nafsu makannya sehingga cepat mengalami
fase ganti kulit (moulting). Hasil pengamatan selama penelitian
menunjukkan bahwa:
a. Tingkat kehidupan; kepiting yang dibudidayakan dalam kotak
berwarna hitam ini menghasilkan angka kehidupan mencapai 95 %.
Dari 200 ekor kepiting dalam kotak selama satu siklus purnama dan
perbani (30 hari) hanya terdapat rata-rata 8 ekor yang mengalami
kematian sebelum dipanen. Kepiting yang mati diganti dengan
kepiting yang baru dan dicatat tanggal dan saat memasukkannya ke
dalam box hingga saat panen.
b. Nafsu makan; kepiting dalam kotak yang berwarna hitam ternyata
merupakan komunitas yang paling cepat menghabiskan makanannya.
Dengan takaran pakan yang sama yaitu daging ikan rucah tawar 30
gram per sekali makan (pemberian ransum pakan sebanyak 3 kali
sehari yaitu pada pukul 7 pagi, pukul 15 sore hari dan pukul 11
20
malam hari) rata-rata akan dihabiskan dalam waktu sekitar 4 menit
saja.
c. Kepekaan terhadap rangsang; kepiting yang dipelihara sampai fase
moulting dalam kotak hitam menunjukkan perilaku yang sangat
reaktif terhadap faktor eksternal. Hasil uji untuk memperoleh data
mengenai kepekaan (responsi) terhadap gangguan dengan
menggunakan potongan kayu pada saat pemberian pakan
menunjukkan bahwa seluruh kepiting langsung bereaksi untuik
mencapit potongan kayu dengan kedua sisi bagian capitnya.
d. Laju kecepatan moulting; kepiting dalam kotak berwarna hitam rata-
rata mencapai fase moulting dalam waktu 14 hari.
Crab boxes hijau; menunjukkan hasil interaksi yang cukup baik
diantara crab boxes berwarna lainnya. Sifat alami kepiting yang suka
terhadap lumpur dan suasana gelap (taksis negatif) dalam kotak
berwarna hijau kurang dapat memenuhi kondisi sebagaimana yang
diharapkan oleh kepiting sehingga kurang dapat meningkatkan nafsu
makannya. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa:
a. Tingkat kehidupan; kepiting yang dibudidayakan dalam kotak
berwarna hijau ini menghasilkan angka kehidupan mencapai 90 %.
Dari 200 ekor kepiting dalam kotak selama satu siklus purnama dan
perbani (30 hari) hanya terdapat rata-rata 11 ekor yang mengalami
kematian sebelum dipanen. Kepiting yang mati diganti dengan
kepiting yang baru dan dicatat tanggal dan saat memasukkannya ke
dalam box hingga saat panen.
b. Nafsu makan; kepiting dalam kotak yang berwarna hijau termasuk
relatif cepat menghabiskan makanan (pakan) yang diberikan. Dengan
takaran pakan yang sama yaitu daging ikan rucah tawar 30 gram per
sekali makan (pemberian ransum pakan sebanyak 3 kali sehari yaitu
pada pukul 7 pagi, pukul 15 sore hari dan pukul 11 malam hari) rata-
21
rata akan dihabiskan dalam waktu sekitar 7 menit atau lebih lama 3
menit dibandingkan dengan kepiting yang dipelihara dalam kotak
berwarna hitam.
c. Kepekaan terhadap rangsang; kepiting yang dipelihara sampai fase
moulting dalam kotak hijau menunjukkan perilaku yang reaktif
terhadap faktor eksternal. Hasil uji untuk memperoleh data mengenai
kepekaan (responsi) terhadap gangguan dengan menggunakan
potongan kayu pada saat pemberian pakan menunjukkan bahwa
mayoritas kepiting langsung bereaksi untuik mencapit potongan kayu
dengan kedua sisi bagian capitnya. Beberapa kepiting merespon
dengan capitnya setelah diganggu selama lebih dari 10 detik.
d. Laju kecepatan moulting; kepiting dalam kotak berwarna hijau rata-
rata mencapai fase moulting dalam waktu 19 hari.
Crab boxes biru; menunjukkan hasil interaksi yang kurang baik
diantara crab boxes berwarna lainnya. Sifat alami kepiting yang suka
terhadap lumpur dan suasana gelap (taksis negatif) untuk meningkatkan
nafsu makannya sehingga cepat mengalami fase ganti kulit (moulting)
terbukti tidak dapat dipenuhi oleh karakter warna biru dari kotak.
Diduga; warna biru memberikan efek yang cerah terhadap suasana
dalam kotak, sehingga kepiting yang dibudidayakan tidak dapat merasa
nyaman dalam wadahnya. Hasil pengamatan selama penelitian
menunjukkan bahwa:
a. Tingkat kehidupan; kepiting yang dibudidayakan dalam kotak
berwarna biru ini menghasilkan angka kehidupan relatif terendah
diantara kotak berwarna lainnya yaitu hanya 80 %. Dari 200 ekor
kepiting dalam kotak selama satu siklus purnama dan perbani (30
hari) hanya terdapat 39 ekor yang mengalami kematian sebelum
dipanen. Kepiting yang mati diganti dengan kepiting yang baru dan
22
dicatat tanggal dan saat memasukkannya ke dalam box hingga saat
panen.
b. Nafsu makan; kepiting dalam kotak yang berwarna biru ternyata juga
merupakan komunitas yang cukup cepat menghabiskan makanannya.
Dengan takaran pakan yang sama yaitu daging ikan rucah tawar 30
gram per sekali makan (pemberian ransum pakan sebanyak 3 kali
sehari yaitu pada pukul 7 pagi, pukul 15 sore hari dan pukul 11
malam hari) rata-rata akan dihabiskan dalam waktu 5 menit saja.
c. Kepekaan terhadap rangsang; kepiting yang dipelihara sampai fase
moulting dalam kotak biru menunjukkan perilaku yang sangat reaktif
terhadap faktor eksternal. Hasil uji untuk memperoleh data mengenai
kepekaan (responsi) terhadap gangguan dengan menggunakan
potongan kayu pada saat pemberian pakan menunjukkan bahwa
seluruh kepiting langsung bereaksi untuik mencapit potongan kayu
dengan kedua sisi bagian capitnya. Akan tetapi, penggunaan kotak
biru yang menghasilkan responsi sangat cepat oleh kepiting diduga
didominasi oleh faktor stressor lingkungan yang dialami oleh kepiting
akibat suasana dalam wadah yang tercipta oleh nuansa warna biru.
d. Laju kecepatan moulting; kepiting dalam kotak berwarna biru rata-
rata mencapai fase moulting dalam waktu 19 hari.
Crab boxes merah; menunjukkan hasil interaksi yang terbaik
diantara crab boxes berwarna lainnya. Sifat alami kepiting yang suka
terhadap lumpur dan suasana gelap (taksis negatif) akan membantu
kepiting untuk meningkatkan nafsu makannya sehingga cepat mengalami
fase ganti kulit (moulting). Hasil pengamatan selama penelitian
menunjukkan bahwa:
e. Tingkat kehidupan; kepiting yang dibudidayakan dalam kotak
berwarna hitam ini menghasilkan angka kehidupan mencapai 95 %.
Dari 200 ekor kepiting dalam kotak selama satu siklus purnama dan
23
perbani (30 hari) hanya terdapat rata-rata 8 ekor yang mengalami
kematian sebelum dipanen.
f. Nafsu makan; kepitng dalam kotak yang berwarna hitam ternyata
merupakan komunitas yang paling cepat menghabiskan makanannya.
Dengan takaran pakan yang sama yaitu daging ikan rucah tawar 30
gram per sekali makan (pemberian ransum pakan sebanyak 3 kali
sehari yaitu pada pukul 7 pagi, pukul 15 sore hari dan pukul 11
malam hari) rata-rata akan dihabiskan dalam waktu sekitar 4 menit
saja.
g. Kepekaan terhadap rangsang; kepiting yang dipelihara sampai fase
moulting dalam kotak hitam menunjukkan perilaku yang sangat
reaktif terhadap faktor eksternal. Hasil uji untuk memperoleh data
mengenai kepekaan (responsi) terhadap gangguan dengan
menggunakan potongan kayu pada saat pemberian pakan
menunjukkan bahwa seluruh kepiting langsung bereaksi untuik
mencapit potongan kayu dengan kedua sisi bagian capitnya.
h. Laju kecepatan moulting; kepiting dalam kotak berwarna hitam rata-
rata mencapai fase moulting dalam waktu 14 hari.
4.4. Analisis Perlakuan Sirkulasi Air
Sirkulasi dengan pasang surut air sungai mengikuti pola pasang
purnama dan pasang perbani. Model sirkulasi ini memiliki kelemahan
dan berbagai kelebihan yang mana dalam penelitian ini nampak bahwa:
dalam usaha budidaya kepiting soka, maka sirkulasi air dalam petakan
harus selalu dijaga untuk kepentingan meningkatkan kadar oksigen
terlarut (DO/Dissolved Oksigen); nilai kebutuhan oksigen untuk
kehidupan secara biologis di air (BOD/Biologycal Oksigen Demand);
nilai komponen kimia air (COD/Chemical Oksigen Demand) dan
24
keseimbangan siklus biologis (N, P, K dan rantai makanan) dalam petak
air tambak tempak budidaya kepiting soka.
Kelemahan dari sirkulasi dengan pasang surut adalah keterbatasan
waktu dalam memasukkan dan mengeluarkan air (sirkulasi) karena harus
mengikuti pola pasang surut. Disamping itu juga apabila kualitas air
untuk sirkulasi pada saat dikehendaki ternyata memburuk, maka
petambak kepiting tidak mempunyai banyak pilihan kecuali memasukkan
atau tidak air dari sungai/laut.
Kelebihan dari sirkulasi air dengan pasang surut adalah upaya
menghemat biaya tenaga kerja, menghemat investasi karena cukup
hanya mengandalkan teknis pekerjaan memasukkan-mengeluarkan air
melalui pintu air saja (tumpang) serta dalam sirkulasi ini dapat diperoleh
debit dan volume air dalam jumlah yang relatif besar dalam waktu yang
lebih singkat.
Sirkulasi rutin dengan menggunakan pompa air nampaknya
memberikan hasil yang lebih baik dalam budidaya kepiting soka. Untuk
mendukung siklus kimia maupun biologis dalam air tambak maka
pemakaian pompa air akan sangat membantu keberlanjutan siklus
tersebut karena air dari sungai atau laut yang dibutuhkan dapat
diperoleh setiap saat.
Hasil penelitian secara teknis terhadap hasil perolehan kepiting soka
selama budidaya 30 hari menunjukkan bahwa petakan yang sirkulasi
airnya diberikan secara rutin dengan menggunakan pompa air
menghasilkan kepiting soka yang lebih cepat mengalami fase ganti kulit
(moulting), menekan angka kematian hingga 5 % saja serta stabilitas
kimia maupun biologis air relatif stabil yang dibuktikan dengan
parameter kecerahan, warna air dan kepadatan serta pertumbuhan jenis
plankton yang ada di air.
25
4.5. Analisis Kelayakan Usaha
Hasil analisis diperoleh bahwa untuk menghasilkan satu kilogram
soft shelling crab hanya dibutuhkan biaya wadah sebesar Rp 200,-,
dibanding dengan menggunakan wadah plastik dan karet dibutuhkan
biaya Rp 1,500,- dan Rp 525,-. Oleh karena itu, dengan menggunakan
wadah bambu dapat menambah keuntungan, sehingga pengembalian
biaya invertasi pembudidaya lebih cepat.
Budidaya kepiting soka ramah lingkungan sangat layak
dikembangkan untuk usaha rakyat skala kecil dan menengah dengan
perputaran modal dasar usaha berkisar 10 hingga 50 juta rupiah. Model
budidaya ramah lingkungan dilaksanakn dengan memperhatikan faktor-
faktor keseimbangan lingkungan selama kegiatan budidaya berlangsung.
Faktor keseimbangan lingkungan yang harus diperhatikan dalam
menerapkan model budidaya kepiting soka ramah lingkungan adalah:
a. Model sirkulasi air seyogyanya memperhatikan sirkulasi dengan
pola alami mengikuti pasang surut air laut pada pasang purnama
maupun pasang perbani. Cara memperoleh air adalah dengan
memasukkan air ke dalam petak tambak pada saat air pasang sudah
mulai mencapai ketinggian pasang lebih dari 60 % dan
polutan/kotoran di aliran air sungai dapat dipastikan tidak ikut
masuk ke dalam petakan tambak.
b. Model pemberian pakan sebaiknya memperbanyak pakan ikan
segar untuk mengurangi efek pencemaran. Upaya menumbuhkan
pakan alami berupa zoo plankton juga sangat penting dilakukan
untuk mempercepat proses pembentukan kepiting soka.
c. Model pemakaian wadah dari plastik sebaiknya menggunakan
plastik berwarna hitam dengan rongga yang relatif besar untuk
sirkulasi air agar tidak terjadi akumulasi kotoran dalam wadah (crab
boxes).
26
4.6. Visualisasi Kegiatan Penelitian
Rangkaian kegiatan penelitian mengenai model budidaya kepiting
soka ramah lingkungan dan stimulasi teknis penerapannya di tambak
yang dilakukan selama 75 hari di tambak eks tambak udang intensif di
pesisir wilayah kabupaten Sidoarjo telah berhasil menunjukkan kepada
masyarakat terutama para petambak/petani ikan akan peluang usaha
baru dalam bidang pertambakan.
Budidaya kepiting untuk menghasilkan kepiting soka (kepiting
cangkang lunak) terbukti dapat dilakukan pada lahan atau petakan yang
kecil dengan produktivitas yang tinggi. Proses penelitian yang melibatkan
keikutsertaan masyarakat untuk bersama-sama melakukan pekerjaan
teknis sesuai prosedur/metodologi; mengikuti proses pengamatan dan
pencatatan tahapan-tahapan budidaya serta melakukan FGD terhadap
kinerja penelitian diyakini telah memberikan wacana adaptif pola
penerapan budidaya kepiting soka sekaligus menjadi stimulasi bagi
masyarakat untuk segera mengimplementasikan inovasi dalam budidaya
kepiting soka.
Lokasi uji coba penelitian model
budidaya kepiting soka ramah
lingkungan dan stimulasi teknis
penerapannya di tambak.
Persiapan crab boxes dengan
perlakuan berbagai warna (biru,
merah, hijau dan hitam).
27
Pembentukan kualitas air dengan
indikator warna air untuk
keseimbangan siklus biologi di air
dalam petakan. Warna air yang
baik adalah kuning kehijauan.
Bibit kepiting yang akan
dibudidayakan menjadi kepiting
soka.
Pemasangan crab boxes dan
pengaturan line crab boxes untuk
memudahkan kontrol dan
pemberian pakan.
Line crab boxes berwarna hitam,
merah, biru dan hijau
Tim monitoring mengamati
berbagai perlakuan berbeda
Kepiting soka hasil budidaya
ramah lingkungan yang siap
dipasarkan.
28
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian dan pengembangan model budidaya kepiting soka
ramah lingkungan berikut stimulasi teknis penerqapannya di tambak
yang telah dilaksanakan dalam serangkaian kegiatan ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Budidaya kepiting soka dapat dilaksanakan pada petak tambak yang
relatif kecil dengan pola sirkulasi air yang baik.
b. Perlakuan sirkulasi air yang baik dikombinasikan dengan pola
keseimbangan pakan alami dan pakan asupan terbukti dapat
menghasilkan angka kehidupan kepiting soka mencapai 97,3 % atau
292 ekor kepiting hidup dan moulting dengan sempurna dari total
300 ekor yang diamati.
c. Budidaya pola keranjang tunggal sebaiknya dilakukan pada
keranjang (crb boxes) berwarna hitam karena menghasilkan angka
kehidupan lebih dari 95 % selama pengamatan. Kepiting dalam
keranjang hitam tidak mengalami stress dan masa budidaya untuk
mencapai moulting lebih pendek yaitu berkisar antara 14 sampai
dengan 17 hari saja.
5.2. Rekomendasi
Dari hasil penelitian dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut:
Budidaya kepiting soka dapat disosialisasikan dan dikembangkan
sebagai upaya fasilitasi Pemerintah dalam memberikan solusi kepada
masyarakat petani ikan/petambak untuk mendayagunakan tambaknya
pasca pertambakan udang intensif yang rawan penyakit.
29
Budidaya sebaiknya dilakukan dengan model manajemen sirkulasi air
yang baik serta pemberian pakan alami dan pakan asupan yang
seimbang.
Perlunya penelitian lanjutan yang inovatif dan implementatif
sebagaimana diharapkan masyarakat mengenai model manajemen
pengelolaan budidaya kepiting dengan pendekatan manajemen
sumberdaya lestari (maximum sustainable yield) sehingga akan dapat
ditemukan berapa angka sebenarnya yang dapat memadukan
keseimbangan alam sebagai faktor daya dukung lahan dengan
produktivitas (kepadatan tebar kepiting per meter persegi luas
budidaya).
30
REFERENSI DAN KEPUSTAKAAN
Avnimelech, Y. 1999. Carbon and nitrogen ratio as a control element in
aquaculture system. Aquaculture. 176 : 227 – 235.
Boyd, A.W. and A.W. Arlo. 1992. Pond monitoring and management. In.
Fast, A.W. and Lester L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and
Practices, pp. 497 - 514.
Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. LISPI. Jakarta.
FAO. 2008. Ikan Dalam Rantai Pangan Dunia. Disadur dari bahan presentasi
FAO pada World Seafood Congress ke- 7 di Dublin, Irlandia September
2007
Hargreaves, J.A. 1988. Nitrogen biogeochemistry of aquaculture pond.
Aquaculture. 166 : 181 – 212.
Muskar, Yushinta Fujaya. 2008. Pedoman teknis budidaya kepiting di tambak.
Fakultas Perikanan Universitas Hasanudin. Makasar.
Tjahjadi,M.R., S.I. Angka. and A. Soewanto. 1994. Isolation and evaluation of
marine bacteria for biocontrol of luminous bacterial disease in tiger
shrimp larvae (Penaeus monodon Fab.). Asian Pasific Journal of
Molecular Biology and Biotechnology. 2(4) : 347 – 352.
Wisjnuprapto. 1996. Bioremidiasi. Manfaat dan pengembangannya. Dalam P.
Citroreksoko, A. Setiana, M.A. Subroto dan D. Tisnadjaja (Eds). Peranan
Bioremidiasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Puslitbang Bioteknologi
LIPI. Cibinong Bogor. P. 173 – 185.