penelitian ispa

50
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Febris atau yang biasa disebut dengan demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas batas normal biasa, yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit- penyakit bakteri, tumor otak atau dehidrasi. Tidak hanya pada pasien anak-anak, tetapi pada pasien dewasa maupun lansia febris juga dapat sering terjadi tergantung dari sistem imun. Febris pada anak tidak ada perbedaan insidens dari segi ras atau jenis kelamin. Pasien dengan gejala febris dapat mempunyai diagnosis definitif bermacam-macam atau dengan kata lain febris merupakan gejala dari banyak jenis penyakit. Febris dapat berhubungan dengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik maupun penyakit lain. UNICEF (2012) telah memainkan peranan yang besar dalam memperingatkan dunia mengenai beban yang sangat berat akibat penyakit dan kematian yang dialami oleh anak – anak di dunia. Bagaimanapun, dalam beberapa dekade penanganan masalah ini diperkirakan bahwa di seluruh dunia 12 juta anak mati setiap tahunnya akibat penyakit dan malnutrisi yang paling sering gejala awalnya demam. 1 1

Upload: syibz

Post on 30-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hubungan ISPA dan demam pada anak balita

TRANSCRIPT

Page 1: Penelitian ISPA

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Febris atau yang biasa disebut dengan demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh

diatas batas normal biasa, yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh

zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak

atau dehidrasi. Tidak hanya pada pasien anak-anak, tetapi pada pasien dewasa maupun lansia

febris juga dapat sering terjadi tergantung dari sistem imun. Febris pada anak tidak ada

perbedaan insidens dari segi ras atau jenis kelamin.

Pasien dengan gejala febris dapat mempunyai diagnosis definitif bermacam-macam

atau dengan kata lain febris merupakan gejala dari banyak jenis penyakit. Febris dapat

berhubungan dengan infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik maupun

penyakit lain.

UNICEF (2012) telah memainkan peranan yang besar dalam memperingatkan dunia

mengenai beban yang sangat berat akibat penyakit dan kematian yang dialami oleh

anak – anak di dunia. Bagaimanapun, dalam beberapa dekade penanganan masalah ini

diperkirakan bahwa di seluruh dunia 12 juta anak mati setiap tahunnya akibat penyakit

dan malnutrisi yang paling sering gejala awalnya demam.1

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Valerie D’Acremont dkk dari Department

of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical School (2000), terdapat 19-30%

anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam. Sebagian besar demam

berhubungan dengan infeksi yang dapat berupa infeksi lokal atau sistemik.2

Menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas tertinggi

pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi saluran pernapasan akut yakni sebanyak

86 dari 100 balita yang diikuti oleh demam yang tidak diketahui sebabnya yakni sebesar

41 dari 100 balita kemudian diikuti dengan diare dan gastroenteritis sebesar 33 dari 100

balita.3

1

Page 2: Penelitian ISPA

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mariati U, dkk dalam Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional (2011), penyebab kematian anak balita di Sumatera Barat adalah

demam sebesar 18,9%, kejang 13,5%, diare 10,8% dan gizi buruk 5,4%.4

Saat ini belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2. Tingginya angka

kejadian demam pada anak balita yang datang untuk berobat di Puskesmas Jatipulo 2

jumlahnya lebih dari 30% dari total anak balita yang datang ke Puskesmas untuk berobat.

Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah

Jakarta Barat.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 UNICEF (2012) telah memperkirakan dalam beberapa dekade terakhir, di seluruh

dunia 12 juta anak mati setiap tahunnya akibat penyakit dan malnutrisi, dimana

gejala awal yang paling sering adalah demam.

1.2.2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Valerie D’Acremont, dkk dari Department

of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical School (2000), terdapat 19-

30% anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam. Sebagian besar

demam berhubungan dengan infeksi yang dapat berupa infeksi lokal atau sistemik.

1.2.3 Menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas tertinggi

pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi saluran pernapasan akut yakni

sebanyak 86 dari 100 balita yang diikuti oleh demam yang tidak diketahui sebabnya

yakni sebesar 41 dari 100 balita kemudian diikuti dengan diare dan gastroenteritis

sebesar 33 dari 100 balita.

1.2.4 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mariati U, dkk dalam Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional (2011), penyebab kematian anak balita di Sumatera Barat adalah

demam sebesar 18,9%, kejang 13,5%, diare 10,8% dan gizi buruk 5,4%

1.2.5 Belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada

anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah Jakarta Barat.

2

Page 3: Penelitian ISPA

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita

di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September

2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahuinya sebaran Demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan

Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

1.3.2.2 Diketahuinya sebaran Infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di

Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan

September 2015.

1.3.2.3 Diketahuinya sebaran Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada anak balita di

Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan

September 2015.

1.3.2.4 Diketahuinya hubungan antara Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita di Puskesmas

Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September

2015.

1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara Jenis kelamin, Usia dan Status gizi terhadap

kejadian demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2

Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

1.3.2.6 Diketahuinya hubungan Jenis kelamin,usia, status gizi, dan Infeksi saluran

pernapasan akut dengan kejadian demam pada anak balita di Puskesmas

Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September

2015.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi Peneliti

1.4.1.1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapatkan saat kuliah

dan membandingkannya dengan keadaan sebenarnya dalam masyarakat.

3

Page 4: Penelitian ISPA

1.4.1.2. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan

penelitian.

1.4.1.3. Mengembangkan minat, daya nalar, dan kemampuan dalam bidang

penelitian.

1.4.1.4. Melatih kemampuan kerjasama dalam tim.

1.4.1.5. Memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

terjadinya demam pada anak balita pada Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2

Kecamatan Palmerah Jakarta Barat

1.4.2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1.4.2.1. Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau

tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,

penelitian, dan pengabdian bagi masyarakat.

1.4.2.2. Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di

bidang kesehatan.

1.4.2.3. Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa/i dan staf

pengajar.

1.4.3. Manfaat bagi Masyarakat

1.4.3.1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita.

1.4.3.2. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita.

1.5. Sasaran

Anak Balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan

Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

4

Page 5: Penelitian ISPA

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Definisi Anak Balita

Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang

sampai dengan waktu penghitungan usia. Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) tahun

2009, balita adalah usia 0 - 5 tahun, sedangkan anak balita adalah usia 1 - 5 tahun. Menurut

karakteristik, anak balita terbagi dalam dua kategori yaitu batita (usia 1 – 3 tahun) dan anak

usia prasekolah (>3 – 5 tahun).5

2.1.2 Demam

2.1.2.1 Definisi Demam

Menurut kamus kedokteran Stedman’s edisi ke-26, demam adalah peningkatan suhu

tubuh diatas normal (98,6o F/ 370 C). Demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap

penyakit yang di perantarai oleh sitokin dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh

dan aktivitas kompleks imun. Dalam protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice

Call Center definisi demam untuk semua umur, demam didefinisikan temperatur rektal diatas

380 C, aksilar diatas 37,50 C dan diatas 38,2o C dengan pengukuran membran timpani,

sedangkan demam tinggi bila suhu tubuh diatas 39,50 C dan hiperpireksia bila suhu diatas

41,10C.6

2.1.2.2 Epidemiologi Demam

American Academy of Pediatrics dalam Clinical Report—Fever and Antipyretic Use

in Children pada tahun 2011 menyatakan bahwa dari seluruh kunjungan anak ke tempat

pelayanan kesehatan, satu pertiga daripadanya mengeluh demam.7 Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Valerie D’Acremont, dkk dari Department of Ambulatory Care and

Prevention, Harvard Medical School (2000) menemukan terdapat 19-30% anak balita yang

berkunjung ke dokter mengeluh demam.2 Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak

berusia kurang dari 2 tahun mengalami 4 sampai 6 kali serangan sakit yang memiliki gejala

5

Page 6: Penelitian ISPA

demam. Selain itu, demam pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun seringkali merupakan

manifestasi dari penyakit yang serius.

2.1.2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Demam

Demam merupakan akibat kenaikan set point atau oleh adanya ketidakseimbangan

antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam terjadi apabila terbentuknya pirogen

eksogen tertentu (seperti bakteri) atau pirogen endogen (Interleukin-1, Interleukin-6, tumor

necrosis factor). Zat ini bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase

membentuk prostaglandin. Prostaglandin ini akan melintasi sawar darah-otak dan mencapai

pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang kemudiannya memberikan respon dengan cara

meningkatkan suhu. Dengan set point yang telah ditentukan, hipotalamus akan mengirimkan

sinyal simpatis ke pembuluh darah perifer. Pembuluh darah akan berespon dengan cara

vasokonstriksi dan mengurangi heat loss dari kulit.6,8

Kemampuan anak untuk bereaksi terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi

klinis demam sangat tergantung pada umur. Semakin muda usia anak, semakin kecil

kemampuan untuk merubah set point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena

infeksi berat tanpa disertai dengan gejala demam.

Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh karena aliran

darah makin cepat sehingga oksigenasi semakin lancar. Heat shock protein (HSP) merupakan

sejenis protein yang diproduksi selama keadaan demam dan penting untuk kelangsungan

hidup sel selama stres. Protein ini memiliki efek anti-inflamasi dengan cara menurunkan

kadar sitokin pro inflamasi. Demam juga memicu aktivitas fagosit, meningkatkan efek

bakterisid neutrofil serta meningkatkan efek sitotoksik limfosit. Bakteri akan menjadi lebih

lemah dan tumbuh lebih lambat pada suhu tubuh yang lebih tinggi.8

Namun begitu, demam yang terlalu tinggi akan memacu metabolisme yang sangat

cepat, jantung dipompa lebih kuat dan cepat, dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat.

Dehidrasi dapat terjadi akibat penguapan kulit disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit,

yang mendorong suhu makin tinggi. Kerusakan jaringan akan terjadi bila suhu tubuh lebih

tinggi dari 410 C, terutama pada jaringan otak dan otot yang bersifat permanen. Kerusakan

tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak, terjadinya kejang, koma sampai

kelumpuhan.9

Penyebab terbanyak dari demam pada anak terutama demam yang berlangsung

kurang dari tujuh hari adalah infeksi (>50%). Sedangkan demam yang bersifat non-infeksius

6

Page 7: Penelitian ISPA

memerlukan pemeriksaan khusus, dan dipikirkan setelah kemungkinan infeksi disingkirkan.

Sebagian besar penyebab demam infeksius adalah virus (>80%), dan selebihnya disebabkan

oleh bakteri.9

Menurut World Health Organization (WHO) (2010) dalam Integrated Management of

Childhood Illness (IMCI), penyebab tersering demam pada anak adalah malaria, ISPA,

infeksi telinga, dan diare.10

Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar Indonesia (2013), penyebab morbiditas

tertinggi pada anak balita seluruh Indonesia adalah infeksi, dimana penyebab utamanya

adalah infeksi saluran pernafasan akut yakni sebanyak 86 dari 100 balita, diikuti oleh demam

yang tidak diketahui sebabnya yakni sebesar 41 dari 100 balita, kemudian diikuti dengan

diare sebesar 33 dari 100 balita.2

2.1.2.3.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections

(ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi

adalah masuk dan berkembang biaknya agen infeksi pada jaringan tubuh manusia yang

berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis. Saluran pernafasan adalah

organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga

telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14

hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung

sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap

bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.11 ISPA bagian atas adalah infeksi yang

menyerang hidung sampai bagian faring, sedangkan ISPA bagian bawah adalah infeksi yang

menyerang mulai dari bagian epiglotis sampai ke alveolus.

Faktor yang meningkatkan morbiditas adalah anak usia di bawah 2 bulan, gizi kurang,

berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) tidak memadai, polusi udara,

kepadatan dalam rumah, dan imunisasi tidak lengkap.12

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.

Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada

permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu

tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan

epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut

7

Page 8: Penelitian ISPA

menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan

menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran

nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan

cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala

ISPA yang paling menonjol adalah batuk.13

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.

Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan

mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga

memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti

streptococcus pneumonia, haemophilus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa

yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah

banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga

menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-

faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat

menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,

demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri

bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya

ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi

paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.13

WHO (2010) memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang adalah 15 - 20%

pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, 13 juta anak balita di dunia meninggal

setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana

pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak

balita setiap tahun.14 Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab

kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10

penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun

2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia

dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.12

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Van Gageldonk-Lafeber dkk dari

Department of Infectious Diseases Epidemiology di Belanda (2000-2003), insidens ISPA

tertinggi adalah pada kelompok umur 1- 4 tahun, dan dari keseluruhan diagnosis ISPA

8

Page 9: Penelitian ISPA

tersebut, sebesar 87% datang dengan keluhan demam.15 Penelitian lain yang dilakukan oleh

Valerie D, dkk dari Geneva Medical School (2008) terhadap 1005 orang balita di Afrika

menemukan sebesar 62,2% dari jumlah balita yang demam didiagnosis dengan ISPA. Dari

jumlah balita yang menderita ISPA tersebut, jumlah anak balita yang menderita ISPA tanpa

komplikasi lebih banyak yakni sebanyak 78% dibandingkan dengan anak balita yang

menderita ISPA dengan komplikasi yakni sebanyak 22%.16 Penelitian lain yang dilakukan

oleh Bryndis B (2009) dari University of Iceland menyatakan bahwa dari 454 anak balita

yang menderita ISPA, anak laki-laki lebih banyak yakni sebanyak 251 anak balita

dibandingkan dengan anak balita perempuan yakni sebanyak 203 anak balita.17

2.1.2.3.2 Diare

Diare adalah buang air besar lembek atau cair dengan frekuensinya tiga kali atau lebih

dalam sehari dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Diare akut berlangsung kurang dari 14

hari. Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi),

makanan dan faktor psikologis.18

a. Faktor infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-

jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:18

1) Infeksi oleh bakteri : Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae (kolera),

dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti

pseudomonas.

2) Infeksi basil (disentri),

3) Infeksi virus rotavirus,

4) Infeksi parasit oleh cacing,

5) Infeksi jamur,

6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan,

7) Keracunan makanan.

b. Faktor malabsorpsi

9

Page 10: Penelitian ISPA

Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak.

Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula

dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit

di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak

yang disebut trigliserida. Trigliserida, dengan bantuan kelenjar lipase, akan memecah lemak

sehingga siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare

dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik.

c. Faktor makanan

Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun,

terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi

jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita.

d. Faktor psikologis

Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis.

Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.

Gejala klinis diare adalah sebagai berikut :18

a. Tinja encer, dapat/tanpa disertai lendir atau darah

b. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah

c. Demam

d. Lecet pada anus

e. Penurunan berat badan akibat intake (asupan) makanan berkurang

f. Muntah

g. Tanda dehidrasi (seperti ubun-ubun besar cekung, mata cekung, turgor kulit kembali

lambat).

Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka

kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk, dengan jumlah kasus 10.980

penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%). Di Indonesia dilaporkan terdapat 1,6

sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehingga secara keseluruhan diperkirakan 10

Page 11: Penelitian ISPA

kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000-

400.000 balita.19

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk dari Geneva Medical School

(2008) terhadap 1005 anak balita yang demam di Afrika menemukan sebesar 10,3% dari

jumlah tersebut didiagnosis dengan diare.16 Penelitian lain yang dilakukan oleh Titis

Widowati, dkk dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada/RS Drs Sardjito Yogyakarta (2012) menunjukkan bahwa dari 353 balita yang

didiagnosis dengan diare, sebanyak 35,7% mengalami demam.20

2.1.2.3.3 Otitis Media Akut (OMA)

Otitis media adalah radang telinga tengah, suatu penyakit yang paling banyak

ditemukan pada masa anak-anak, setelah mengalami infeksi saluran pernapasan. Otitis media

dapat terjadi karena :21

a. Sumbatan tuba Eustachius

Obstruksi tuba Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media

akut. Oleh sebab itu, hilanglah sawar utama terhadap invasi bakteri karena pertahanan tubuh

pada silia mukosa tuba terganggu.

b. Perubahan tekanan udara secara tiba-tiba

c. Alergi

d. Infeksi

Kuman penyebab utama pada otitis media akut adalah bakteri piogenik seperti

Streptococcus sp., Staphilococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang-kadang

ditemukan juga Haemophillus influenza, Escherichia coli, Streptococcus anhemolitikus,

Proteus Vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa. Haemophillus influenza sering ditemukan

pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.

e. Sumbatan

Sumbatan dapat berupa sekret, tampon, dan tumor.

11

Page 12: Penelitian ISPA

Dalam prakteknya, gejala klinis OMA sesungguhnya tidak terlalu khas, namun antara lain

bisa didapati gejala seperti:22

a. Pada perjalanan yang biasa, anak yang menderita infeksi saluran pernapasan

atas beberapa hari secara mendadak menderita otalgia, demam, tidak enak

secara menyeluruh.

b. Pada bayi, gejala tersebut kurang terlokalisasi dan meliputi iritabilitas, diare,

muntah, anak gelisah dan sukar tidur, kejang-kejang, dan kadang memegang

telinga yang sakit, dan malaise serta suhu tubuh tinggi dapat sampai 38,5oC.

c. Terdapat riwayat batuk pilek.

d. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat

pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang

dengar.

e. Apabila terjadi ruptur membran timpani, sekret mengalir ke liang telinga, suhu

turun, dan anak sudah lebih tenang.

Hampir 85% anak mempunyai paling sedikit episode otitis media akut pada umur 3

tahun dan 50 % anak akan mempunyai dua episode atau lebih serangan otitis media. Bayi dan

anak kecil beresiko paling tinggi untuk otitis media. Frekuensi insidennya adalah 15-20%

pada puncak usia bayi sekitar 6-36 bulan dan puncak usia anak sekitar 4-6 tahun. Anak yang

menderita otitis media pada tahun pertama mempunyai resiko rekurens atau kronis.22

Penelitian oleh Utami TF, dkk dari Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok,

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menemukan 82% pasien mengeluh demam

sebelum muncul gejala telinga.23 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Palandeng W,dkk

di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, didapatkan penderita terbanyak OMA adalah anak

berusia di bawah 5 tahun, namun hanya 2% daripadanya mengeluh demam.24 Penelitian lain

yang dilakukan oleh Bakry BA,dkk dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia RS Dr. Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa dari 100

pasien anak yang dirawat dengan demam berkepanjangan, sebesar 6% didiagnosis dengan

OMA, dimana 5% daripadanya adalah balita.25

2.1.2.3.6 Infeksi Saluran Kemih

12

Page 13: Penelitian ISPA

Infeksi saluran kemih (urinary tract infection, UTI) adalah bertumbuh dan

berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. ISK

merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung pada umur dan

jenis kelamin.11

Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang

merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak. Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan

darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih,

muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada

tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna diperiksa untuk

melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau sinekie vagina pada

perempuan. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting.11 Oleh

sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.

American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada anak umur 2

bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK

harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin.

Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada

anak laki. Pada anak dengan demam berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%. Data

studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia

dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2009) memperlihatkan insidens ISK pada anak berkisar

antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus pediatri yang dirawat.35 Di ruang anak RSCM Jakarta,

dalam periode 3 tahun (2003-2005) didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru setiap

tahunnya.26

Penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk terhadap 1005 orang balita yang

demam di Afrika pada tahun 2008 oleh Geneva Medical School menemukan sebesar 5,9%

daripadanya didiagnosis dengan infeksi saluran kemih.16 Penelitian lain yang dilakukan oleh

Bakry BA,dkk dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia RS Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2008 menemukan bahwa dari 100 pasien anak

yang dirawat dengan demam berkepanjangan, 23% daripadanya didiagnosis dengan infeksi

saluran kemih.25

2.1.2.3.7 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

13

Page 14: Penelitian ISPA

Pada tahun 1997, WHO Expanded Program on Imunization (EPI) merekomendasikan

vaksinasi hepatitis B pada bayi-bayi di seluruh dunia. Sejalan dengan EPI, di Indonesia

vaksin hepatitis B termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada tahun 1997.

Vaksinasi difteri, tetanus dan pertusis (DPT) mulai dikenal di dunia pada tahun 1941. Vaksin

ini mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1976 dan merupakan vaksin PPI sejak tahun

1977. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) kedua vaksin ini wajib diperhitungkan, apakah

reaksi akibat vaksin ini terhadap balita. KIPI pada DPwT diketahui berhubungan dengan

komponen vaksin pertusis, sedangkan KIPI pada hepatitis B minimal.27

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jong DM,dkk di RS Dr. Cipto Mangunkusumo

pada tahun 2001 menunjukkan bahwa KIPI tersering adalah demam (59,2%), diikuti dengan

rewel (31,5%) dan demam tinggi (16,1%). Gejala demam timbul pada 1-4 jam pertama

(56,7%) setelah diberi imunisasi. Lama gejala demam umumnya 1-4 jam (35,9%). Sekitar

50% dari kejadian demam tinggi (suhu > 38.0oC) timbul pada 5-12 jam setelah pemberian

vaksin kombinasi ini. Lama timbul demam tinggi 1-4 jam (36,1%).28

2.1.2.3.8 Status Gizi

Status gizi tidak berhubungan secara langsung dengan angka kejadian demam pada

balita, namun dapat berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi. Pembentukan antibodi

dalam tubuh memerlukan protein, kalori, vitamin dan mineral. Apabila asupan gizi ini kurang

pada anak, status gizi anak menurun, sedangkan untuk melawan serangan infeksi, tubuh harus

mempunyai persediaan dan cadangan zat gizi yang cukup.11 Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Kholisah N,dkk (2008) dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto

Mangunkusumo terhadap 103 orang balita menemukan bahwa 56,3% dari balita yang

didiagnosis ISPA adalah balita dengan status gizi kurang.14

Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Sinaga

P,dkk di kecamatan Balige kabupaten Toba Samosir tahun 2014 terhadap 61 orang balita,

dimana hasil menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan

kejadian ISPA pada balita.29

2.1.2.3.9 Usia

14

Page 15: Penelitian ISPA

Secara teoritis, kemampuan anak untuk bereaksi terhadap infeksi dengan timbulnya

manifestasi klinis demam sangat tergantung pada usia. Semakin muda usia anak, semakin

kecil kemampuan untuk merubah set point dan memproduksi panas. Terdapat beberapa

penelitian yang telah mengkaji hubungan antara usia dengan angka kejadian penyakit.

Namun, belum ada penelitian yang mengkaji hubungan langsung antara usia dengan kejadian

demam pada anak balita. Satu penelitian yang dilakukan Valerie D,dkk (2008) di Tanzania

menemukan bahwa kejadian ISPA lebih tinggi (64%) pada kelompok umur 1 sampai 3 tahun

berbanding 56% pada anak di atas usia 3 tahun. Begitu juga dengan kejadian diare, dimana

sebesar 15% anak usia 1-3 tahun menderita diare berbanding 6% anak usia di atas 3 tahun.

Untuk kejadian infeksi saluran kemih, sebesar 6% terdiri dari anak usia 1-3 tahun sedangkan

hanya 2% anak usia di atas 3 tahun. Namun hal yang sebaliknya terjadi pada kejadian demam

tifoid dimana sebesar 22% anak berusia lebih dari 3 tahun sedangkan hanya 10% anak usia 1-

3 tahun menderita demam tifoid.16

2.1.2.3.10 Jenis Kelamin

Menurut teori imunologi, terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

demam, dimana beberapa sitokin dan hormon gonad berpengaruh terhadap pengaturan suhu

tubuh. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pada jenis kelamin perempuan, kejadian

demam yang diinduksi oleh interleukin-1B adalah lebih tinggi berbanding laki-laki. Studi ini

juga menemukan bahwa hormon estradiol dan progesteron meningkatkan kejadian demam

pada perempuan.8 Namun teori ini hanya menggambarkan kejadian demam pada perempuan

setelah usia pubertas. Pada golongan anak sebelum pubertas, tidak ada perbedaan kejadian

demam dengan jenis kelamin, karena tidak dipengaruhi oleh hormon gonad.

Kerangka Teori

15

Page 16: Penelitian ISPA

Kerangka Konsep

16

ISPA

Jenis kelamin Usia Status gizi

DEMAM

Non Infeksi:Kejadian ikutan pasca

imunisasi

Struktur anatomi berbeda

Infeksi saluran kemih

Kemampuan merubah set point dan

memproduksi panas

Pertahanan tubuh

Diare

OMA

Malabsorpsi, keracunan makanan, stress

Page 17: Penelitian ISPA

Bab III

17

Demam:

Subfebris Febris

ISPA: Tanpa

komplikasi Dengan

komplikasi

Jenis Kelamin

Usia

Status gizi

Page 18: Penelitian ISPA

Metodologi Penelitian

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan cross-

sectional terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam pada anak balita

di Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Jakarta Barat, bulan September 2015.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan

Palmerah, Jakarta Barat tanggal 05 Oktober 2015.

3.3. Sumber Data dan Instrumen Penelitian

Sumber data merupakan data sekunder yang diambil dari Rekam Medis anak balita

yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, bulan September

2015.

3.4. Populasi

3.4.1. Populasi Target

Semua anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan

Palmerah, Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.

3.4.2. Populasi Terjangkau

Anak balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan

Palmerah, Jakarta Barat bulan September 2015, dengan jumlah 130 anak.

3.5. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi:

Data rekam medis Anak Balita yang didiagnosis Infeksi Saluran Pernapasan Akut

yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II bulan September 2015.

3.5.2. Kriteria Eksklusi:

18

Page 19: Penelitian ISPA

Data rekam medis anak balita yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II

bulan September 2015 yang tidak lengkap datanya dari segi diagnosis,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang (bila dibutuhkan).

Data rekam medis anak balita yang telah dihitung kunjungan pertamanya ke

Puskesmas Kelurahan Jatipulo II pada bulan September 2015.

3.6. Sampel

3.6.1. Perhitungan Besar Sampel

Besar sampel minimal diambil dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

n1 = (Zα)2 x p x q

L2

Keterangan :

n1 = Besar sampel minimal

Zα = Standar variasi, ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada α = 0,05; Zα =1,96

p = Proporsi variabel yang diteliti

q = 1 – p

L = Derajat ketepatan yang diinginkan, dalam hal ini diambil 10 %.

Proporsi yang diambil adalah dari data WHO (2010) mengenai insidensi ISPA setiap tahun

sebanyak 20%.

Berdasarkan rumus didapatkan angka :

n1 = Zα 2 . p. q = (1.96 ) 2 . 0.2 . 0.8

L2 0.01

n1 = 0.6147

0.01

n1 = 61.47

Untuk menjaga kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out maka dihitung

n2 = n1 + (10% . n1)

n2 = 61.47 + (10% . 61.47)

n2 = 67.617 (Dibulatkan menjadi 68 subyek penelitian)

3.6.2. Teknik Pengambilan Sampel

19

Page 20: Penelitian ISPA

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik

Purposive Sampling

3.7. Cara Kerja

a. Peneliti mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.

b. Peneliti melapor, meminta ijin dan persetujuan dari Kepala Puskesmas Jati Pulo

II, Jakarta Barat untuk melakukan penelitian terhadap Anak Balita yang datang

berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, Jakarta

Barat.

c. Peneliti menghubungi Dokter Pembimbing Puskesmas, di Kelurahan Jati Pulo II

yang menjadi lokasi penelitian untuk melaporkan tujuan diadakannya penelitian

di daerah tersebut.

d. Peneliti menghubungi staf administrasi Puskesmas agar dapat membantu kegiatan

penelitian.

e. Peneliti melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan rekam medis

anak balita yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan

Palmerah, bulan September 2015. Pemilihan sampel menggunakan metode

purposive sampling sehingga jumlah sampel memenuhi jumlah sampel minimal

yang diperlukan yaitu 76 anak balita.

f. Peneliti melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data.

g. Penulisan laporan penelitian.

h. Pelaporan penelitian.

3.8. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini digunakan variabel tergantung (dependen) dan variabel bebas

(independen). Variabel tergantung berupa angka kejadian demam pada anak balita. Variabel

bebas berupa Jenis kelamin, Usia, Status gizi, ISPA.

3.9. Definisi Operasional

3.9.1. Subjek Penelitian

Subjek adalah anak balita yang datang berobat ke Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II,

Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, bulan September 2015.

3.9.2. Jenis Kelamin20

Page 21: Penelitian ISPA

Definisi : suatu karakteristik pada individu dimana terdapat perbedaan pada struktur

biologis dan peran reproduktif

Alat ukur : Rekam Medis

Skala : Nominal

Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan

Kode 0 : perempuan

Kode 1 : laki-laki

3.9.2. Usia

Definisi :Lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan sampai saat penelitian

dilakukan, yang dihitung dari tanggal, bulan dan tahun penelitian

dikurangi tanggal, bulan dan tahun lahir yang tertera di rekam medis.

Bila terdapat kelebihan usia kurang dari 15 hari dibulatkan kebawah,

dan bila terdapat kelebihan usia lebih atau sama dengan 15 hari

dibulatkan keatas.

Alat Ukur : Rekam medis

Skala : Ordinal

Hasil Ukur : Kategori usia anak balita dalam satuan bulan.

Kode 0 : usia 12 – 36 bulan

Kode 1 : usia 37 – 60 bulan

3.9.3. Status Gizi

Definisi : Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan

zat – zat gizi

Alat ukur : Kartu Menuju Sehat (KMS)

Skala : Nominal

Kode 0 : Gizi cukup

Kode 1 : Gizi kurang

3.9.4. Demam

Definisi : Peningkatan suhu tubuh dengan temperatur rektal diatas 380 C, aksilar

diatas 37,50 C dan diatas 38,20C dengan pengukuran membran timpani.

Tingkat demam diklasifikasikan menjadi subfebris dan febris. Subferis

21

Page 22: Penelitian ISPA

jika suhu tubuh berkisar 37,5 0C-37,90C dan febris jika suhu tubuh ≥

380C .

Alat Ukur : Rekam medis

Skala : Nominal

Hasil Ukur : Kategori suhu anak balita dalam satuan derajat Celcius

Kode 0 : Tidak demam

Kode 1 : Subfebris

Kode 2 : Febris

3.9.5. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

Definisi: : Infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari,

dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di

setiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.

Alat Ukur : Rekam medis

Skala : Nominal

Kode 0 : Tanpa komplikasi

Kode 1 : Dengan komplikasi

3.10. Manajemen Data dan Analisis Data

3.10.1. Pengumpulan Data

Data sekunder yang diambil dari Rekam Medis anak balita yang berobat ke

Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah, bulan September 2015.

3.10.2. Pengolahan Data

Data-data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, verifikasi dan

coding, kemudian data diolah dengan menggunakan program komputer yaitu program SPSS.

3.10.3. Penyajian Data

Data yang didapat disajikan secara tekstular dan tabular.

3.10.4. Interpretasi Data

Data diinterpretasi secara deskriptif antara variabel-variabel yang telah ditentukan.

3.10.5. Pelaporan Data22

Page 23: Penelitian ISPA

Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan

dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana pada bulan Oktober 2015 dalam

Forum Pendidikan Ilmu Kesehatan Komunitas FK UKRIDA.

3.10.6. Etika Penelitian

Pada penelitian ini, hasil data rekam medis yang diambil dijamin kerahasiannya.

3.11. Sarana Penelitian

3.11.1. Tenaga

Penelitian dilakukan oleh 3 orang mahasiswa kepaniteraan ilmu kedokteran

masyarakat, dengan dibantu oleh satu orang pembimbing yaitu dosen IKM.

3.11.2. Fasilitas

Fasilitas yang tersedia berupa ruang perpustakaan, ruang diskusi, komputer, printer,

internet, dan alat tulis.

BAB IV

23

Page 24: Penelitian ISPA

Hasil Penelitian

Proses pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 05 Oktober 2015, didapatkan sampel sebanyak 76 anak Balita di Kelurahan Duri Kepa Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, bulan September 2015. Berikut adalah hasil penelitian yang disajikan dalam tabel.

  Demam Frekuensi (anak) Persentase (%)

tidak demam 25 32.9%

subfebris 32 42.1%

febris 19 25.0%

Tabel 4.1. Distribusi Kejadian Demam pada Anak Balita yang Datang Berobat di

Puskesmas Kelurahan Jati Pulo II Kecamatan Palmerah Jakarta Barat, Bulan

September 2015

Tabel 4.2. Distribusi Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

  ISPA Frekuensi (anak) Persentase (%)

Tanpa Komplikasi 40 52.6

Dengan Komplikasi 36 47.4

Tabel 4.3. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

24

Page 25: Penelitian ISPA

Variabel Frekuensi (anak) Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 39 51.3

Perempuan 37 48.7

Usia12-36 bulan 42 55.3

37-60 bulan 34 44.7

Status Gizi

gizi cukup 73 96.1

gizi kurang 3 3.9

Tabel 4.4. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

Jenis Kelamin Usia Status Gizi Ispa Tanpa Ispa Dengan

25

Page 26: Penelitian ISPA

Komplikasi (anak) Komplikasi (anak)

Laki-laki 12-36 bulan Gizi cukup 9 11

Gizi kurang 1 0

37-60 bulan Gizi cukup 12 5

Gizi kurang 1 0

Perempuan 12-36 bulan Gizi cukup 10 10

Gizi kurang 1 0

37-60 bulan Gizi cukup 6 10

Gizi kurang 0 0

Tabel 4.5. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

Jenis Kelamin Usia Status Gizi

Tidak Demam

(anak) Subfebris (anak)

Febris

(anak)

Laki-laki 12-36 bulan Gizi cukup 6 10 4

Gizi kurang 0 0 1

37-60 bulan gizi cukup 5 8 4

gizi kurang 0 0 1

Perempuan 12-36 bulan gizi cukup 8 7 5

gizi kurang 0 0 1

37-60 bulan gizi cukup 6 7 3

gizi kurang 0 0 0

Tabel 4.6. Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi, Infeksi Saluran Pernapasan Akut dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

Jenis Kelamin Usia Status Gizi ISPA  TIDAK SUBFEBRIS FEBRIS

26

Page 27: Penelitian ISPA

DEMAM (anak) (anak) (anak)

Laki-laki

12 - 36 Bln

GCITK 3 5 1IDK 3 5 3

GKITK 0 0 1IDK 0 0 0

37 – 60 Bln

GCITK 4 6 2IDK 1 2 2

GKITK 0 0 1IDK 0 0 0

Perempuan

12 – 36 Bln

GCITK 6 3 1IDK 2 4 4

GKITK 0 0 1IDK 0 0 0

37 – 60 Bln

GCITK 5 1 0IDK 1 6 3

GKITK 0 0 0IDK 0 0 0

*Keterangan:GC= Gizi cukup

Gk= Gizi Kurang

ITK= Ispa Tanpa Komplikasi

IDK= Ispa Dengan Komplikasi

BAB V

Pembahasan

27

Page 28: Penelitian ISPA

5.1 Distribusi Kejadian Demam pada Anak Balita yang Datang Berobat di Puskesmas

Jati Pulo II, Kecamatan Palmerah Jakarta Barat, Bulan September 2015.

Berdasarkan tabel penelitian 4.1, dari total jumlah anak balita sebanyak 76 anak,

didapatkan sebanyak 51 anak balita dengan persentase 67.1% datang dengan keluhan demam,

dan sebanyak 25 anak balita dengan persentase 32.9% tidak demam. Dari 51 anak balita yang

demam tersebut, sebanyak 19 anak balita dengan persentase 25% memiliki suhu tubuh febris

(>38oC) dan sebanyak 32 anak balita dengan persentase 42.1% memiliki suhu tubuh

subfebris (37.5oC- 37.9oC). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Valerie

D’Acremont, dkk dari Department of Ambulatory Care and Prevention, Harvard Medical

School (2000), terdapat 19-30% anak balita yang berkunjung ke dokter mengeluh demam.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Van Gageldonk-Lafeber dkk dari

Department of Infectious Diseases Epidemiology di Belanda (2000-2003), dimana dari

keseluruhan diagnosis ISPA, sebesar 87% datang dengan keluhan demam.

5.2 Distribusi Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita di Puskesmas

Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

Berdasarkan tabel penelitian 4.2, dari total jumlah anak balita sebanyak 76 anak,

didapatkan sebanyak 40 anak dengan persentase 52.6% menderita ISPA tanpa komplikasi

sedangkan sebanyak 36 anak balita dengan persentase 47.4% menderita ISPA dengan

komplikasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Valerie D, dkk dari Geneva

Medical School (2008) terhadap 1005 orang balita di Afrika menemukan sebesar 62,2% dari

jumlah balita yang demam didiagnosis dengan ISPA. Dari jumlah balita yang menderita

ISPA tersebut, jumlah anak balita yang menderita ISPA tanpa komplikasi lebih banyak yakni

sebanyak 78% dibandingkan dengan anak balita yang menderita ISPA dengan komplikasi

yakni sebanyak 22%.

5.3 Distribusi Jenis kelamin, Usia dan Status Gizi pada anak balita di Puskesmas

Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat bulan September 2015.

Berdasarkan tabel penelitian 4.3, didapatkan 39 anak balita dengan persentase 51.3%

adalah laki-laki dan sebanyak 37 dengan persentase 48.7% adalah perempuan. Hal ini sesuai

dengan penelitian Bryndis B (2009) dari University of Iceland bahwa dari 454 anak balita

28

Page 29: Penelitian ISPA

yang menderita ISPA, anak laki-laki lebih banyak yakni sebanyak 251 anak balita

dibandingkan dengan anak balita perempuan yakni sebanyak 203 anak balita.

5.4 Distribusi Jenis Kelamin, Usia, dan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada

Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta Barat

bulan September 2015.

Berdasarkan tabel penelitian 4.4 didapatkan bahwa dari 39 anak balita berjenis

kelamin laki-laki, sebanyak 21 anak berusia 12-36 bulan dari jumlah tersebut 20 anak

memiliki status gizi cukup sedangkan 1 anak memiliki status gizi kurang. Dari anak dengan

status gizi cukup, 9 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dan sebanyak 11 anak menderita

ISPA dengan komplikasi. Anak yang memiliki status gizi kurang tersebut menderita ISPA

tanpa komplikasi. Dari 18 anak balita laki-laki yang berusia 37-60 bulan, sebanyak 17 anak

memiliki status gizi cukup, sedangkan satu anak balita memiliki status gizi kurang. Dari

jumlah anak dengan status gizi cukup, 12 anak menderita ISPA tanpa komplikasi sedangkan

5 orang menderita ISPA dengan komplikasi. Anak yang memiliki status gizi kurang

menderita ISPA tanpa komplikasi.

Dari 37 anak balita berjenis kelamin perempuan, sebanyak 21 anak balita berusia 12-

36 bulan dan dari jumlah tersebut 20 anak memiliki status gizi cukup dan satu anak memiliki

status gizi kurang. Dari anak dengan status gizi cukup, 10 anak menderita ISPA tanpa

komplikasi dan 10 anak menderita ISPA dengan komplikasi. Anak dengan status gizi kurang,

menderita ISPA tanpa komplikasi. Dari 16 anak balita yang berusia 37-60 bulan semuanya

memiliki status gizi cukup. Dari 16 anak tersebut sebanyak anak menderita ISPA tanpa

komplikasi dan sebanyak 10 anak menderita ISPA dengan komplikasi.

Hasil ini menunjukkan bahwa pada anak balita berusia 12-36 bulan, tidak ada

perbedaan angka kejadian ISPA pada anak laki-laki maupun perempuan, sedangkan pada

anak balita yang berusia 37-60 bulan, terdapat perbedaan antara angka kejadian ISPA dimana

jumlah anak laki-laki yang terkena ISPA lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.

Teradapat lebih banyka anak laki-laki yang memiliki status gizi kurang dibanding anak

perempuan tetapi semua anak ini menderita ISPA tanpa komplikasi.

29

Page 30: Penelitian ISPA

5.5 Distribusi Jenis Kelamin, Usia, dan Status Gizi dengan Kejadian Demam

pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2 Kecamatan Palmerah Jakarta

Barat bulan September 2015.

Berdasarkan tabel penelitian 4.5, didapatkan bahwa dari 20 anak laki-laki usia 12-36

bulan dengan status gizi cukup sebanyak 6 anak tidak demam, sebanyak 10 anak memiliki

suhu subfebris, sebanyak 4 anak memilik suhu febris dan sebanyak 1 anak dengan status gizi

kurang memiliki suhu febris. Dari 17 anak laki –laki berusia 37-60 bulan dengan status gizi

cukup, sebanyak 5 anak tidak demam, sebanyak 8 anak memiliki suhu subfebris dan

sebanyak 4 anak memiliki suhu febris dan sebanyak satu anak dengan gizi kurang memiiki

suhu febris.

Dari 20 anak perempuan berusia 12-36 bulan dengan status gizi cukup sebanyak 8

anak tidak demam, sebanyak 7 anak memiliki suhu subfebris, sebanyak 5 anak memiliki suhu

febris dan sebanyak satu anak dengan status gizi kurang memilik suhu febris. Dari 16 anak

balita perempuan usia 37-60 bulan dengan status gizi cukup sebanyak anak tidak demam,

sebanyak 7 anak memiliki suhu subfebris, dan sebanyak 3 anak memiliki suhu febris.

Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian demam lebih banyak pada anak laki-laki

dibandingkan dengan anak perempuan baik pada usia 12-36 bulan maupun pada usia 37-60

bulan. Kejadian demam pada anak balita berusia 12-36 bulan lebih banyak dibandingkan

pada anak balita berusia 37-60 bulan baik pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini tidak

sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada anak yang lebih kecil, kejadian demam

lebih rendah. Hal ini mungkin dapat terjadi karena dari seluruh anak balita yang berusia 12-

36 bulan, jumlah anak balita yang usianya diatas 30 bulan lebih banyak sehingga pangaturan

set point tubuh sudah lebih tinggi dan dapat mengekspresikan panas tubuh lebih baik.

5.6 Distribusi Jenis kelamin, Usia, Status Gizi, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut

dengan Kejadian Demam pada Anak Balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo 2

Kecamatan Palmerah Jakarta Barat Bulan September 2015.

30

Page 31: Penelitian ISPA

Berdasarkan tabel penelitian 4.6, dari 20 anak balita laki-laki berusia 12-36 bulan

dengan status gizi cukup, sebanyak 9 anak menderita ISPA tanpa komplikasi, dimana

sebanyak 3 anak tidak demam. 5 anak dengan suhu subfebris dan satu anak dengan suhu

febris, dari sebelas anak yang menderita ISPA dengan komplikasi sebanyak 3 anak tidak

demam, sebanyak anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 3 anak dengan suhu febris.

Sebanyak satu anak laki-laki usia 12-36 bulan memiliki status gizi kurang menderita ISPA

tanpa komplikasi dan memiliki suhu febris. Dari 17 anak balita laki-laki berusia 37-60 bulan

dengan status gizi cukup sebanyak 12 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dimana

sebanyak 4 orang anak tidak demam, sebanyak 6 anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 2

anak dengan suhu febris, sebanyak 5 anak menderita ISPA dengan komplikasi dimana satu

anak tidak demam, sebanyak 2 anak dengan suhu subfebris dan 2 anak dengan suhu febris.

Satu anak laki-laki berusia 37-60 bulan dengan status gizi kurang yang menderita ISPA tanpa

komplikasi memiliki suhu febris.

Dari 20 anak balita perempuan berusia 12-36 bulan dengan status gizi cukup,

sebanyak 10 orang menderita ISPA tanpa komplikasi dimana sebanyak 6 orang tidak demam,

sebanyak 3 anak dengan suhu subfebris dan sebanyak 1 anak dengan suhu febris, dari 10 anak

yang menderita ISPA dengan komplikasi sebanyak 2 anak tidak demam, sebanyak 4 anak

dengan suhu subfebris dan sebanyak 4 anak dengan suhu febris. Satu anak balita perempuan

berusia 12-36 bulan dengan status gizi kurang menderita ISPA tanpa komplikasi dan

memiliki suhu febris Dari 16 anak balita perempuan berusia 37-60 bulan yang memiliki

status gizi cukup, sebanyak 6 anak menderita ISPA tanpa komplikasi dimana sebanyak 5

anak tidak demam dan sebanyak 1 anak dengan suhu subfebris. Dari 10 anak yang menderita

ISPA dengan komplikasi, sebanyak satu anak tidak demam, sebanyak 6 anak dengan suhu

subfebris dan sebanyak 3 anak dengan suhu febris.

Bab VI

Kesimpulan dan Saran

6.1. Kesimpulan

31

Page 32: Penelitian ISPA

Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

demam pada anak balita di Puskesmas Kelurahan Jatipulo II Kecamatan Palmerah Jakarta

Barat bulan September 2015, sebanyak 76 anak yang menderita ISPA. Hasil penelitian kami

menujukkan bahwa kejadian ISPA dengan komplikasi lebih banyak dibandingkan dengan

kejadian ISPA tanpa komplikasi dimana balita berusia 12-36 bulan cenderung memiliki ISPA

dengan komplikasi dibandingkan dengan balita berusia 37-60 bulan. Hasil ini juga

menunjukkan bahwa tidak semua anak yang menderita ISPA akan mengalami demam baik

pada usia 12-36 bulan maupun pada usia 37-60 bulan. Anak yang menderita ISPA dengan

komplikasi, cenderung demam baik dengan suhu subfebris ataupun febris dibandingkan anak

yang menderita ISPA tanpa komplikasi. Kejadian demam pada ISPA dengan komplikasi

lebih banyak terjadi pada anak usia 12 sampai 36 bulan dibandingkan dengan anak berusia

37-60 bulan pada jenis kelamin laki-laki, namun hal yang sebaliknya terjadi pada anak

dengan jenis kelamin perempuan, dimana kejadian febris pada ISPA dengan komplikasi lebih

banyak terjadi pada anak usia 37-60 bulan dibandingkan dengan anak usia 12-36 bulan. Hasil

ini juga menunjukkan bahwa anak dengan gizi kurang lebih cenderung memiliki suhu febris

dibanding dengan anak dengan status gizi cukup. Hal ini sesuai dengan teori yang

mengatakan bahwa pembentukan antibodi bergantung pada asupan gizi, sehingga pada anak

dengan status gizi kurang tubuh tidak memiliki zat gizi yang cukup untuk membentuk

antibodi yang berguna untuk melawan infeksi sehingga angka kejadian demam akibat infeksi

akan meningkat.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, kami menyarankan agar

Puskesmas Kelurahan Jatipulo II ataupun tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan

ataupun informasi kepada masyarakat di wilayah kerjanya mengenai faktor- faktor yang

dapat menyebabkan terjadinya ISPA khususnya penyuluhan mengenai gizi pada anak balita

agar masyarakat mendapat informasi yang cukup sehingga dapat mengurangi angka kejadian

ISPA yang nantinya akan mengurangi angka kejadian demam.

Daftar Pustaka

1) UNICEF. Report on the Summative External Evaluation of the Integrated Health

System Strengthening Programme. 2014. Diunduh dari:

32

Page 33: Penelitian ISPA

http://www.unicef.org/evaldatabase/files/Multi _C ountry_CI_IHSS_Summative_Evalu

ation_Report_Final.pdf pada 15 Oktober 2015 .

2) Jonathan AF, Cindy L, Christiansen D, Richard P. Fever in pediatric primary care:

occurrence, management, and outcomes. Pediatrics 2000;105:260 –266.

3) Riset Kesehatan Dasar. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013.

Diunduh dari: www.litbang.depkes.go.id pada 8 Oktober 2015.

4) Mariati U, Agus Z, Sulin D, et al. Studi kematian ibu dan kematian bayi di provinsi

Sumatera Barat: faktor determinan dan masalahnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat

2011; 5(6): 243-9.

5) Departemen Kesehatan Indonesia. Anak Balita. Diunduh dari: www.depkes.go.id

pada 8 Oktober 2015.

6) Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr.

Jun 2003;42:383.

7) Janice ES, Henry CF. Clinical report—fever and antipyretic use in children. Pediatrics

2011; 127(3):580-7.

8) Sinclair JC. The control of body temperature and the pathogenesis of fever:

developmental aspects. Dalam: Annales Nestle: Fever in children. Switzerland: Nestle

Nutrition SA; 2004.h.1-10.

9) Kliegman RM, Behrman RE. Fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson

WE, Vaughn VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 14. Philadelphia:

WB Saunders; 2002.h.647-56.

10) World Health Organization. Integrated management of childhood illness. 2010.h.1-10.

11) Garna H et al. Pedoman diagnosis dan tatalaksana pada anak. Edisi 4.

Bandung:Universitas Padjajaran Bandung;2010.h203-63.

12) Nana S, Tinah. Hubungan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga dengan

kejadian ISPA pada balita. Jurnal Kebidanan 2012; 4(1): 1-10.

13) Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Anak: Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI;2002.h.176-208.

14) Kholisah N et al. Infeksi saluran napas akut pada balita di daerah urban Jakarta. Sari

Pediatri 2009;11(4):223-8.

33

Page 34: Penelitian ISPA

15) Van Gageldonk-Lafeber et al. A case-control study of acute respiratory tract infection

in general practice patients in the Netherlands. Clinical Infectious Diseases 2005;

41:490–7.

16) Valerie D et al. Beyond malaria — causes of fever in outpatient Tanzanian children.

N Engl J Med 2014;370:809-17.

17) Bryndis B. Upper airway infections in preschool children. Scandinavian Journal of

Primary Health Care 2009;11(3):197-201.

18) Zubir, Juffrie, M, Wibowo, T. Faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35

bulan (batita) di kabupaten Bantul. Sains Kesehatan 2006; 19(3):319-332.

19) Wibowo T, Soenarto S, Pramono D. Faktor-faktor risiko kejadian diare berdarah pada

balita di kabupaten Sleman. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat 2004; 20(1):41-48.

20) Titis W, Mulyani NS, Nirwati H, Soenarto Y. Diare rotavirus pada anak. Sari Pediatri

2012;13(5):340-5.

21) Haddad J. The ear. Dalam: Berhman RE, Kliegma RM, Arvin AM, penyunting.

Nelson Textbook of Pediatri. Ed.18. Philadelphia: Sauders Elsevier; 2007.h.2617-40.

22) William M. Pedoman klinis pediatri. Dalam:. Nyeri telinga. Jakarta: EGC;

2004.p.299.

23) Utami TF, Sudarman K, Rianto BUD, et al. Rinitis alergi sebagai faktor resiko otitis

media supuratif kronik. Cermin Dunia Kedokteran; 2010:425-9.

24) Palandeng W, Palealu O, Mengko S. Otitis media supuratif akut di poliklinik THT-

KL BLU RSU Prof. Dr. RD Kandou Manado periode Januari 2010- Desember 2012.

25) Bakry BA, Tumbelaka AR, Chair I. Etiologi dan karakteristik demam berkepanjangan

pada anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri 2008;10(2):83-88.

26) Pardede SO, Tambunan T, et-al. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak. Jakarta:

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.1-6.

27) Diana M, Adji S, Hartono G,et al. Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksin kombinasi

DPwT (Sel Utuh) dan Hepatitis B. Sari Pediatri 2001;3(2).

28) Jong DM, Tumbelaka AR, Latief A. Adverse events following immunization of

combined diphtheria, whole-cell pertussis, tetanus, and hepatitis B (DPwT/HB)

vaccine. Paediatrica Indonesiana 2004;44:209-214.

29) Sinaga P, Lubis Z, Siregar MA. Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernafasan akut pada balita di wilayah kerja puskesmas Soposurung kecamatan Balige

Kabupaten Toba Samosir tahun 2014.h.1-9.

34

Page 35: Penelitian ISPA

35