pendidikan tauhid di dalam keluarga (kajian tafsir qs. ash...

84
Pendidikan Tauhid di Dalam Keluarga (Kajian Tafsir Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-110) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Disusun Oleh : Rachma Meviliyanti NIM. 11150110000006 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019

Upload: others

Post on 09-Feb-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pendidikan Tauhid di Dalam Keluarga

(Kajian Tafsir Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-110)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi

Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh :

Rachma Meviliyanti

NIM. 11150110000006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2019

ABSTRAK

Nama : Rachma Meviliyanti, NIM : 11150110000006, PENDIDIKAN TAUHID DI

DALAM KELUARGA (KAJIAN TAFSIR QS. ASH-SHAFFAT AYAT 100-110).

Kata Kunci : Pendidikan Tauhid, Keluarga, Nabi Ibrahim.

Pengaruh keluarga mulai melemah karena perubahan sosial, politik, dan budaya.

Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan, karena kurangnya pemahaman

pendidikan tauhid yang diajarkan dan dibentuk sejak dini kepada anaknya, serta belum

adanya kesadaran orang tua tentang pendidikan tauhid dalam keluarga.

Pendidikan tauhid merupakan proses pemberian bimbingan kepada anak agar ia

menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar.

Tauhid merupakan bagian utama dan pertama yang harus ditanam secara utuh dan

integral dalam diri manusia, sebab dari konsep tauhid inilah kita akan memulai

perumusan hakikat dan tujuan pendidikan Islam, sebagaimana yang diinginkan al-

Qur‟an agar manusia mengabdi kepada Allah dengan cara menjalankan semua

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Bila dihubungkan masalah tauhid dengan al-Qur‟an maka akan banyak ayat yang

berhubungan dengan tauhid, karena al-Qur‟an adalah kitab tauhid terbesar dan

terlengkap umat Islam. Dan jika difokuskan masalah tauhid dengan Nabi Ibrahim,

dapat dilihat dalam qs.ash-shaffat ayat 100-110. Sosoknya yang luar biasa yang dapat

mendidik anak-anaknya menjadi jiwa-jiwa teguh terhadap agama Allah dapat kita

teladani dan mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Dalam ayat tersebut dapat

direnungkan betapa besar perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam

menjalankan perintah Allah.

Dalam tulisan ini akan diuraikan seperti apa para ulama memaknai qs. ash-shaffat

ayat 100-110. Pendapat-pendapat para ahli tentang pendidikan tauhid dalam ayat

tersebut. Pentingnya pendidikan tauhid bagi orang tua adalah karena orang tua

merupakan panutan dalam keluarga dan mempunyai tanggung jawab atas anak-

anaknya. Orang tua yang dapat memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya akan

dapat membentuk karakter anak menjadi anak yang bukan hanya taat pada dirinya

namun kepada Allah Subhanahuwata‟ala.

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahuwata‟ala atas rahmat, taufik dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

Pendidikan Tauhid di Dalam Keluarga (Kajian Tafsir Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-

110)

Sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar

Muhammad Sholallahu „alaihiwassalam, dari usaha beliaulah Islam berkembang

luas di seluruh belahan dunia, dan berkat beliau pulalah manusia dapat menemukan

jalan kebenaran yang dihiasi dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa

adanya dukungan, bantuan, dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada :

1. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Selaku Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Selaku Sekertaris Prodi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Yudhi Munadi S.Ag., M.A.g. Sebagai dosen pembimbing akademik, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi penulis.

4. Abdul Ghofur, M.Ag. Sebagai dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini,

yang telah banyak memberikan saran dan kritik guna menyelesaikan tulisan ini.

Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang diberikan serta dapat menjadi

orang yang berguna dalam masyarakat.

5. Semua dosen UIN Syarif Hidayatullah, yang telah menyumbangkan berbagai

ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang bidang studi Pendidikan Agama

Islam (PAI).

6. Ayahanda Abi Hurairah dan Ibu Husnul Khotimah tercinta, satu dari harapan

kalian telah aku penuhi. Semoga harapan-harapan yang lain dapat aku

wujudkan. Tiada kata yang pantas lagi penulis ucapkan selain ucapan

terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala pengorbanan kasih sayang dan

dukungan serta kesabaran yang tak terhingga.

7. Adik tersayang Syahrul Junialdi, yang selalu memberikan semangat bagi

penulis, semoga kita selalu menjadi anak-anak yang bisa membanggakan kedua

orang tua kita.

8. Kepada calon suamiku Ahmad Ari Pratama, SE. yang selama ini menjadi

penyemangat saat penulis merasa lelah dan putus asa. Terima kasih atas

dukungan, doa, dan setia menunggu dengan sabar hingga penulisan skripsi ini

dapat selesai.

9. Teman-teman seperjuangan PAI angkatan 2015, teman-teman ninja kampus,

teman-teman jama‟ah akhwat Ismail (Majlees „Ilm Community), teman-teman

akhwat ISC (Islamic Study Club) MAN 14 Jakarta, yang selalu memberikan

motivasi, pengalaman, pengetahuan, dukungan, dan doa pada penulis.

10. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu yang

telah ikhlas memberikan bantuan, dukungan, dan doa, sehingga penyusunan

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak demi perbaikan skripsi ini. Semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Aamiin

yarobbal „alamin.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Jakarta, 13 Oktober 2019

Penulis

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris

A A ا

B B ب

T T ت

Ts Th ث

J J ج

h h ح

Kh Kh خ

D D د

Dz Dh ذ

R R ر

Z Z ز

S S س

Sy Sh ش

S S ص

D D ض

T T ط

Z Z ظ

„ „ ع

Gh Gh غ

F F ف

Q Q ق

K K ك

L L ل

M M م

N N ن

W W و

H H ه

„ „ ء

Y Y ي

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau

monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, alih aksaranya

adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah ـــ

I Kasrah ـــ

U ḏammah ـــ

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــ ي

Ai a dan i

Au a dan u ـــ و

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ā a dengan topi di atas ا

Ī i dengan topi di atas ي

Ū u dengan topi di atas و

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dalam bahasa Indonesia dialih aksarakan menjadi huruf

“l”, baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan

ar-rijāl, al-diwān bukan ad-diwān.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tashdid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضرورة tidak

ditulis ad- darūrah melainkan al-darūrah.

Ta Marbutah

Jika huruf ta marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (h). Misalnya, ة قيطر (tariqah). Jika huruf

ta marbutah tersebut diikuti dengan kata benda, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf (t). Misalnya, وحدة الوجود (wahdat al-wujūd)

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenali, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

sandang maka yang ditulis dengan huruf kapital

tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya,

(contoh : Abū Hāmid Al- Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini. Misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring

(italic) atau tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ini ditulis dengan

cetakan miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian

seterusnya.

Terkait dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akan

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak Abd al-Samad al-Palīmbānī; Naruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-

Rānīrī.

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. v

DAFTAR ISI .................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identitas Masalah ............................................................................. 8

C. Pembatasan Masalah ........................................................................ 8

D. Perumusan Masalah ......................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9

F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 9

BAB II KAJIANTEORI .......................................................................... 10

A. Pendidikan Tauhid ......................................................................... 10

1. Pengertian Pendidikan Tauhid ................................................... 10

2. Tujuan Pendidikan Tauhid ......................................................... 12

3. Unsur-unsur Pendidikan Tauhid ................................................ 15

4. Metode PendidikanTauhid ......................................................... 19

5. Hikmah Mempelajari Pendidikan Tauhid .................................. 21

B. Keluarga ........................................................................................... 22

1. Pengertian Keluarga ................................................................. 22

2. Fungsi Keluarga........................................................................ 24

3. Kedudukan Keluarga dalam Pendidikan Tauhid ...................... 26

C. Hasil Penelitian yang Relevan ......................................................... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 31

A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 31

B. Metode Penelitian ............................................................................ 31

C. Fokus Penelitian .............................................................................. 34

D. Prosedur Penelitian .......................................................................... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................... 37

A. Teks Ayat dan Terjemahan Qs. Ash-Shaffat ayat 100-110 ............. 37

B. Sekilas Mengenai Qs. Ash-Shaffat .................................................. 38

C. Tafsir Surat Ash-Shaffat ayat 100-110 ............................................ 39

D. Nilai-nilai Pendidikan di Dalam Keluarga ......................................... 48

E. Analisis .................................................................................................... 50

BAB V PENUTUP .................................................................................... 51

A. Kesimpulan .................................................................................... 51

B. Saran ............................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam merupakan upaya untuk membawa umat Islam kembali

ke dasarnya yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama. Hal yang paling

mendasar dan sekaligus menjadi ciri khas dan identitasnya yang membedakan

prinsip pendidikan islam dengan pendidikan umumya adalah prinsip

pendidikan tauhid.

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI Abdurahman Mas‟ud, saat

membuka seminar Internasional Ulama Perempuan di kampus IAIN Syeh

Nurjati Cirebon. Abdurahman menjelaskan dari survei terhadap 930 keluarga

yang tersebar di 16 kabupaten/kota di lima provinsi, bahwa orang tua tidak

memperhatikan apakah anaknya sudah melaksanakan sholat atau belum.

Padahal, sholat adalah pondasi utama yang mempunyai pengaruh yang baik

untuk membentuk akhlak anak dan nation at large.1

1 Abdurahman, 61 Persen Orang Tua Tak Ajari Anaknya Shalat dan Mengaji, 2017,

(Republika.co.id.). Di publikasikan tanggal 25, April 2017 jam 15 : 35 WIB.

Abdurahman menambahkan, setiap anak juga mempunyai kedudukan yang

vital ditengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Tak hanya sebagai perhiasan

hidup bagi keluarga, anak-anak juga merupakan estafet khalifah fil ardh.

Pendidikan tauhid merupakan landasan utama seorang muslim, identitas

muslim ditentukan oleh ketauhidan yang benar. Tauhid ibarat sebuah pondasi

bangunan, kuat tidaknya suatu bangunan ditentukan oleh pondasinya, atau

ibarat akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya,

kuat rapuhnya akar pohon tersebut.

Ada beberapa kenyataan di Indonesia yang menunjukan sisi negatif dari

perilaku hampir seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, hal ini disebabkan

kurangnya kualitas keimanan (tauhid) yang mereka miliki sehingga kurang

pulalah kualitas keislamannya. Misalnya terjadi tawuran antar pelajar,

merebaknya wabah narkoba dan obat-obatan terlarang, seks bebas, dan

perilaku amoral dan asusila lainnya seolah-olah telah menjadi trend pada

kalangan remaja. Ditambah dengan berbagai kasus yang menjerat para

pemimpin di negeri ini, seperti korupsi dan mafia hukum.

Tawuran antar pelajar SMK Pijar Alam melawan SMK Karya Bahana

Mandiri yang terjadi di jalan raya Sumur Batu, Bantagerbang, kota Bekasi.

Berawal dari pelajar SMK KBM mengirim pesan WhatsApp kepada pelajar

SMK PA untuk melakukan tawuran pada Kamis, 16 Agustus 2018. Setelah

sepakat untuk bertemu dan melakukan tawuran.

Satuan Unit Reskrim Polsek Bantargerbang pun langsung melakukan

penyelidikan terhadap aksi tawuran tersebut. Hasilnya pada Minggu, 26

Agustus 2018, polisi menangkap lima pelaku yang berasal dari SMK Pijar

Alam.

Krisis multidimensi ini tentunya hanya bisa terselesaikan dengan jalan

pendidikan yang benar, sebab pendidikan sebagai salah satu elemen

pembangunan bangsa, yang secara langsung berkaitan dengan pembangunan

mental, moralitas, dan etika masyarakat.2

Dapat diketahui pula, bahwa masyarakat mulai disuguhi informasi-

informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-

informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran

Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-

cerita yang bertentangan dengan ketauhidan, seperti majalah mistis. Ditambah

lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya

sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang

dikatakan angker, harus dirawat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih

percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan

kekuatan dan kekuasaan Allah Subhanahu wata‟ala.

Puluhan kru televisi Indonesia membeberkan rahasia produksi di balik

reality show misteri. Arzia dan teman-teman sekolahnya meniru acara reality

show misteri di televisi, melakukan „uji nyali‟ di taman dekat rumah, di Kota

Bandung. Hingga kini, istilah „uji nyali‟ dan “lambaikan tangan ke kamera”

telah menjadi semacam lelucon turun-temurun, bahkan bagi generasi yang

tidak mengalami sendiri jayanya program-program misteri.

Salah satunya yang paling terkenal adalah Dunia Lain, program di stasiun

televisi Trans TV. Sosok pembawa acaranya yaitu Harry Panca, memiliki aura

mistis. Generasi milineal yang menghabiskan masa kecil di awal 2000-an,

pasti memiliki kenangan masing-masing dengan acara „setan-setanan‟ di

televisi. Ketika Arzia semakin dewasa, ia pun bertanya-tanya, “Memangnya

itu betulan?”, “Ada rekayasa atau tidak?”.

Arzia pun menemui tiga orang mantan kru acara Dunia Lain, mereka

adalah Noni Nandini, Dea Sinuhaji, dan Sulaeman Anwar. Ia melakukan

wawancara mengenai acara tersebut. Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan

2 Usup Romli, “Model Pendidikan Tauhid”, Jurnal Tarbawi, Vol. 1, 2012, h. 2.

penting berikut, “Bagaimana proses di balik layar dari reality show misteri

yang bombastis itu?”, “Apakah acara ini direkayasa?”, “Apa yang sebetulnya

dilakukan paranormal di lokasi? Benarkah mereka melakukan hal-hal mistis?”.

“Bagaimana kita bisa merekayasa makhluk-makhluk itu? Itu tidak bisa

direkayasa,” kata Dea Sinuhaji, perempuan berdarah Batak, mantan tim kreatif

Dunia Lain. Dia tegas membantah spekulasi adanya rekayasa visual dan

keterlibatan kru tudingan yang marak dibahas di forum Internet agar acaranya

terlihat lebih seram. Dia juga menampik ada peserta yang dibayar berakting

kesurupan.3

Tayangan-tayangan yang mengangkat hal-hal di luar jangkauan indrawi

merebak di semua stasiun televisi, Walaupun ada beberapa tayangan yang

menggunakan trik kamera sampai yang minus rekayasa. Rasa ketakutan, tetapi

disukai penonton dan sesuai rumus dagang, iklan pun berdatangan. Namun,

orang tua jadi korban. Karena dengan adanya acara tersebut, anak-anak takut

dan ada pula yang berani menirukannya disekitar rumah. Munculnya

fenomena tayangan mistis di layar kaca, menurut pengamat televisi, tak lain

karena ketatnya persaingan di antara TV-TV swasta untuk mendapatkan

pesanan iklan.

Jika kita melihat fakta tersebut, masalah-masalah gaib kini menjadi topik

dalam beberapa tayangan televisi seperti jin, hantu, pohon angker, dan

pesugihan. Meskipun tayangan tesebut memberikan informasi bagi para

penontonnya, tidak jarang kegemaran menonton acara tersebut akan

mengiringi menuju kemusyrikan terlebih jika mereka tidak memahami aqidah

Islam dengan benar. Karena orang-orang awam akan beranggapan bahwa

setan, jin, atau makhluk halus lainnya berkuasa mutlak untuk mendatangkan

bencana sehingga mereka merasa takut kepada jin dari pada takut kepada

Allah.

3Arzia Tivany Wargadiredja, Kru Televisi Indonesia Membeberkan Rahasia Produksi di

Balik Reality Show Misteri, 2016, (vice.com). Dipublikasikan tanggal 8 Desember 2016 jam 09:38

AM.

Untuk itu betapa pentingnya pendidikan Islam dan pendidikan agama yang

terdiri dari tauhid, fiqih, dan akhlak terutama bagi keluarga. Sehingga tauhid

itu menjadikan seorang muslim hanya tunduk, patuh pasrah kepada Allah.

Pengakuan tersebut harus dicerminkan dengan keyakian teguh dalam hati,

diucapkan secara lisan, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.

Tidak adanya tauhidullah dalam diri seorang muslim tidak hanya

berdampak pada aspek keimanan dan keyakinan semata, namun sangat

berpengaruh pula pada seluruh atifitas keseharian. Di zaman yang terus

berkembang, pola pikir dan penyimpangan yang manusia lakukan semakin

lama semakin meluas. Bentuk berhala yang dibuat manusia tidak lagi

berbentuk patung atau hal gaib saja, tapi juga harta, jabatan, kekuasaan dan

kemewahan dunia telah manusia jadikan sebagai “tuhan”. Hal itu disebabkan

karena manusia telah diperbudak hawa nafsu yang hanya mengejar

kesenangan sesaat.4

Ketauhidan membawa manusia kepada kebebasan sejati terhadap apapun

yang ada, menuju kepada ketundukan terhadap Allah Subhanahu wata‟ala.

Manusia juga membutuhkan petunjuk dan peta jalan kehidupan yang

benar, baik, indah, dan membahagiakan. Manusia hidup karena ada yang

Maha hidup dan mengidupkan, yaitu Allah Subhanahu wata‟ala.5

Hanya dengan keluarga-keluarga yang memegang prinsip akidah

ketauhidan, dapat melahirkan generasi-generasi berkepribadian Islam sejati,

yang dijadikan Allah Subhanahu wata‟ala sebagai awal dan tujuan akhir

segala aktivitas lahir dan batin bagi kehidupan.

Keluarga adalah unsur sosial terkecil dalam kehidupan umat manusia

sebagai makhluk sosial, ia merupakan unsur utama dalam masyarakat. Maka

disitulah tahap awal terbentuknya proses sosialisasi dan perkembangan

4Ibid., h. 2.

5 Muhbib Abdul Wahab, Memaknai Akidah Tauhid, 2015,

(republika.co.id.cdn.ampproject.org). Dipublikasikan tanggal 02 Mei 2015 jam 16 : 31WIB.

individu. “Keluarga adalah „umat kecil‟ yang memiliki pimpinan dan anggota,

mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-

masing anggotanya.6

Dalam Islam keluarga itu penting sekali baik dilihat dari pandangan

individu maupun menurut pandangan masyarakat. Menurut pandangan

individu merupakan simbol bagi ciri yang mulia seperti keimanan yang teguh

kepada Allah yang dibuktikan dengan pengorbanan, kesetiaan, dan hal-hal lain

yang baik menurut kaidah Islam. Sedangan menurut pandangan masyarakat

keluarga merupakan institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial

yang utama.7

Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan

anaknya. Pendidik pertama dan utama adalah orang tua. Orang tua lah yang

memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan anaknya, karena

sukses tidaknya anak tergantung pengasuh, perhatian, dan pendidikannya.

Salah satu yang harus menjadi perhatian utama orang tua dalam mendidik

anak-anaknya adalah keimanan (ketauhidan). Keluarga merupakan lingkungan

pertama bagi pembentukan ketauhidan seorang muslim. Orang tua adalah

unsur utama bagi tegaknya tauhid dalam keluarga, sehingga setiap orang wajib

memiliki tauhid yang baik, sehingga dapat membekali anak-anaknya dengan

ketauhidan dan materi-materi yang mendukung, disamping itu pula anaknya

dapat melihat orang tuanya sebagai tauladan yang memberikan pengetahuan

sekaligus pengalaman, dan pengarahan.8

Salah satunya yang dapat diambil ibrah yakni kisah Nabi Ibrahim

„Alahissalam dalam al-Qur‟an surat Ash-Shaffat ayat 100-110. Sifatnya yang

sabar, teguh pada pendirian, dan taqwanya kepada Allah Subhanahu wata‟ala,

dapat dicontoh. Terutama untuk mendidik anak menjadi anak yang sholeh.

6Sahlani, “Hakekat, Sumber, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Aqidah Islamiyah di

Lingkungan Keluarga”, Jurnal Edukasi, Vol. 9, 2015, h. 748. 7Ibid., h. 749.

8Ibid.

Berdasarkan fenomena dan permasalahan yang telah dipaparkan, maka

penulis tertarik untuk mengangkat dan menulis skripsi dengan judul

“Pendidikan Tauhid di dalam Keluarga (Kajian Tafsir Qs. Ash-Shaffat

Ayat 100-110)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, penulis mengidentifikasi masalah

sebagai berikut :

1. Pengetahuan awal yang lemah, yang diajarkan dan dibentuk sejak dini

kepada anak oleh orang tua di didalam keluarga.

2. Adanya perselisihan manusia yang disebabkan kurangnya pendidikan

tauhid.

3. Mendangkalkan aqidah seseorang, terutama kalangan anak-anak yang

merasa takut kepada makhluk ghaib dari pada takut kepada Allah.

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari luasnya pembahasan penelitian ini, maka penulis

hanya membatasi penelitian pada

1. Pendidikan tauhid yang dimaksud adalah proses bimbingan yang dapat

dilakukan oleh orang tua terhadap kemampuan dan perkembangan

ketauhidan anak-anaknya, yaitu pendidikan tauhid yang dijelaskan

didalam Qs. Ash-Shaffat ayat 100-110.

2. Didalam keluarga yang dimaksud adalah keluarga kecil yakni ayah,

ibu, dan anak.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis ingin

mengetahui,

1. Bagaimana pendidikan tauhid didalam keluarga yang terkandung

dalam Qs. Ash-Shaffat ayat 100-110 ?

2. Bagaimana implementasi pendidikan tauhid didalam keluarga?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mendeskripsikan pendidikan tauhid didalam keluarga

berdasarkan tafsir Qs. Ash-Shaffat ayat 100-110.

2. Untuk mengungkapkan sejauh mana orang tua mengarahkan

perkembangan ketauhidan bagi anak-anaknya.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai :

1. Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan sumbangan

pemikiran tentang pendidikan tauhid didalam keluarga, khususnya

didalam keluarga, khususnya di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

2. Sebagai informasi bagi setiap orang tua keluarga bagaimana memberikan

pendidikan tauhid dan materi yang disampaikan kepada anak-anak

mereka.

3. Pola dalam membentuk masyarakat yang bertauhid sebagai modal untuk

membangun bangsa, serta sebagai solusi alternatif terhadap masalah yang

dihadapi bangsa.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Tauhid

1. Pengertian Pendidikan Tauhid

Pendidikan tauhid merupakan cabang dari pendidikan agama Islam.

Pendidikan tauhid lebih menekankan pada pengenalan Allah sebagai

Tuhan semesta Alam. Sedangkan pendidikan Islam memiliki ruang

lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam dibandingan pendidikan

tauhid. Pendidikan Islam di sekolah terdiri dari beberapa macam

pembelajaran, diantaranya yaitu, tafsir al-Qur‟an, akidah, hadist, fiqih,

akhlak, serta sejarah kebudayaan Islam. Oleh karenanya di sekolah,

pendidikan tauhid dimasukan kedalam satu kategori, yaitu pendidikan

Islam.

Secara sederhana pendidikan tauhid atau pendidikan Islam mempunyai

arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan

kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah.

Pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia

muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk

mewujudkan dan merealisasi tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah

Subhanahu wata‟ala, baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama

makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada

ajaran al-Qur‟an dan Hadist.9

Pendidikan yang dimaksud ialah agar manusia dapat menggunakan

serta memanfaatkan instrumen-intrumen yang dipinjamkan Allah kepada

hamba-hamba-Nya. Yaitu akal pikiran, hati, dan tubuh secara bersama-

9 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers,

2002), h. 40.

sama menjalankan apa yang dikehendai Penciptanya, dan menjauhi apa

yang dilarang-Nya.

Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau mengembangkan

potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah ini, akan menanamkan

keikhlasan pada diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan

pengabdiannya”.10 Sehingga, manusia akan senantiasa berserah diri hanya

kepada Allah atas segala karunia baik ataupun buruk yang menimpanya

dalam hidup.

Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia hamba,

bukan menjadi manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling

mengasihi, tolong menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada

mereka yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan

manusia zalim, dapat berlaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara‟ serta

sebagainya.

Dengan demikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat

kita pahami sebagai upaya untuk menampakan atau mengaktualisasikan

potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya

potensi ini disebut dengan (fitrah). Salah satu fitrah manusia adalah fitrah

beragama, maka dari itu pendidikan tauhid lebih diarahkan pada

pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai manusia tauhid.

Dengan kata lain, pendidikan tauhid adalah usaha mengubah tingkah

laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui

bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan

kepada Allah semata.

Hal ini sesuai dengan karakteristik ajaran Islam sendiri yaitu,

mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allah lah yang

10

M. Yusran Amuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Raja Grafndo Persada, 1993), h. 42.

mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah

yang berhak dan dimintai pertolongan-Nya.

Adapun pengertian lain tentang pendidikan tauhid, adalah suatu upaya

yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan,

mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa, hati, dan ruh kepada

pengenalan (ma‟rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah Subhanahu

wata‟ala. Dan melenyapkan segala sifat, af‟al, asma‟, dan dzat yang

negatif dengan yang positif (fana‟ fillah) serta mengekalkannya dalam

suatu kondisi dan ruang (baqa‟ billah).11

2. Tujuan Pendidikan Tauhid

Suatu usaha atau kegiatan dapat terarah dan mencapai sasaran sesuai

dengan yang diharapkan maka harus ada tujuannya, demikian pula dengan

pendidikan. Suatu usaha apabila tidak mempunyai tujuan tentu usaha

tersebut dapat dikatakan sia-sia. Tujuan, menurut Zakiah Daradjat ialah

suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan itu selesai.12

Secara khusus tujuan pendidikan tauhid adalah untuk meningkatkan

ketaqwaan kepada Allah yang Maha Esa dan untuk menginternalisasikan

nilai ketuhanan sehingga dapat menjiwai lahirnya nilai etika insani.13

Dalam hal ini Islam menghendaki agar manusia di didik supaya ia mampu

merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang digariskan oleh Allah.

Tujuan hidup manusia dalam Islam ialah beribadah. Pendidikan tauhid

sebagai salah satu aspek pendidikan Islam mempunyai andil yang sangat

penting dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. Menurut Zainuddin,

tujuan dari hasil pendidikan tauhid dapat dirumuskan sebagai berikut :

11

M. Hamdani B. DZ., Pendidikan Ketuhanan Dalam Islam, (Surakarta : Muhammadiyah

University Press, 2001), h. 10. 12

Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h. 29. 13

M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaa Pelajar,

1996), h. 72.

1. Agar manusia memperoleh kepuasan batin, keselamatan, dan

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dicita-

citakan. Dengan tertanamnya tauhid dalam jiwa manusia maka

manusia akan mampu mengikuti petunjuk Allah yang tidak mungkin

salah sehingga tujuan mencari kebahagiaan bisa tercapai.

2. Agar manusia terhindar dari pengaruh aqidah-aqidah yang

menyesatkan (musyrik), yang sebenarnya hanya hasil pikiran atau

kebudayaan semata.

3. Agar terhindar dari pengaruh faham yang dasarnya hanya teori

kebendaan (materi) semata. Misalnya kapitalisme, komunisme,

materialisme, kolonialisme, dan lain sebagainya.14

Tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga tidak terlepas dari tujuan

pendidikan Islam karena pendidikan tauhid dalam keluarga bagian dari

pendidikan Islam itu sendiri. Oleh sebab itu sebelum kita membicarakan

tujuan pendidikan tauhid dalam keluarga kita perlu mengetahui tujuan

pendidikan Islam terlebih dahulu.

Tujuan dari pendidikan tauhid adalah tertanamnya aqidah tauhid dalam

jiwa manusia secara kuat, sehingga nantinya dapat diaktualisasikan dalam

kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan

dari pendidikan tauhid pada hakikatnya adalah untuk membentuk manusia

tauhid. Manusia tauhid diartikan sebagai manusia yang memiliki jiwa

tauhid yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari melalui perilaku

yang sesuai dengan realitas kemanusiaannya dan manusia yang dapat

mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah.

Tujuan pendidikan Islam akan terlihat jelas jika kita melihat

definisinya kembali. Tujuan adalah salah satu faktor yang harus ada dalam

setiap kegiatan begitu pun dalam kegiatan pendidikan, termasuk aktivitas

14

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rinea Cipta, 1992), h. 8-9.

pendidikan Islam. Tentunya tujuan tersebut terwujud setelah seseorang

mengalami proses pendidikan Islam secara keseluruhan.

Dalam pernyataan lain menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam

bidang keimanan ialah :

1. Agar memiliki keimanan yang teguh kepada Allah, Rasul-rasul,

Malaikat, hari akhir, dan lain sebagainya.

2. Agar memiliki keimanan berdasarkan kepada kesadaran dan ilmu

pengetahuan, bukan sebagai “pengikut buta” atau taklid semata-mata.

3. Agar keimanan itu tidak mudah rusak apalagi diragukan oleh orang-

orang yang beriman.15

Adapun tujuan pendidikan agama menurut Sayid sabiq ialah :

1. Agar jiwa seseorang dapat terdidik secara sempurna.

2. Agar seseorang dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya karena

Allah.

3. Dapat berusaha untuk kepentingan keluarganya, dan kepentingan

masyarakatnya.

4. Serta dapat berkata jujur, dan berpihak kepada yang haq (benar).

5. Agar dapat menyebarkan benih-benih kebaikan pada manusia.16

Pendidikan Tauhid di dalam keluarga dalam skripsi ini bertujuan :

1. Agar menanamkan kesadaran kepada ayah, ibu, dan anak untuk

bersyahadat berdasarkan dorongan dalam dirinya sendiri.

2. Pembentukan sikapmuslim yang beriman dan bertakwa.

3. Agar ayah, ibu, dan anak mengetahui makna dan tujuan beribadah

kepada Allah.

4. Mengarahkan perkembangan keagamaan anak-anak.

15

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung,

1992), h. 23. 16

Sayid Sabiq, Anashirul Quwwah Fil Islam (Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam),

(Jakarta : PT. Intermasa, 1981), h. 5.

5. Agar anak selalu berpikir dan berperilaku positif.

3. Unsur-unsur Pendidikan Tauhid

a. Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah ialah percaya atau meyakini sepenuhnya bahwa Allah

lah yang berhak menerima semua peribadahan makhluk, dan hanya Allah

saja yang sebenarnya harus disembah. Atau tauhid ibadah, segala bentuk

amal dan ibadah manusia semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada

Allah Subhanahu wata‟ala.17

Seorang muslim yang di dalam hatinya tertanam Tauhid uluhiyah

dengan kokoh maka dalam jiwanya terpatri tekad yang bulat bahwa segala

pujian, doa, harapan, dan amal perbuatannya hanya semata-mata untuk

pengabdian dan bakti kepada Allah. Hanya Allah sajalah yang dituju oleh

makhluk-Nya untuk disembah.

Tauhid uluhiyah dalam pengertian sering diidentikkan degan tauhid

Ubudiyah, karena sesungguhnya adanya pengabdian yang hanya

ditunjukan kepada Allah merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa

tidak ada Tuhan selain Allah. Kata uluhiyah dinisbahan kepada kata Al-

llah, sedangan ubudiyah dinisbahan kepada abada.18

Manusia bersujud kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai tempat

meminta, tempat mengadu, dan tempat untuk menyadaran segala pujian

dan harapan. Semua yang berupa pengabdian, langsung ditujukan kepada

Allah dengan tanpa perantara (wasilah) dalam bentuk apapun seperti

manusia, berhala, dan makhluk-makhluk lainnya.

Allah Subhanahu wata‟ala berfirman,

17

M. Yusran Asmuni, Ilmu Kalam, (Jakarta : Rajawali Pres, 1996), h. 147. 18

Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998),

h. 29-31.

ون م ل س م و ل ن ون د ح وا م ك له وإ ا ن له إ

“Tuhan kami dan Tuan kamu itu satu, dan kami hanya kepada-Nya

berserah diri”. (Qs. Al-Ankabut ayat 46)

Allah sebagai satu-satunya tempat disembah, bukan berarti bahwa

Allah berhajat disembah oleh hamba-Nya karena Allah tidak

membutuhkan bakti, dari makhluk-Nya. Penyembuhan disini merupakan

wujud ketaatan dan kepatuhan hamba dengan Tuhan, antara makhluk

dengan Khaliknya.

Dengan demikian, baik beribadah yang langsung ke hadirat Allah

seperti salat, puasa, zakat, dan haji maupun beribadah yang tidak langsung

seperti membangun masjid, sarana pendidikan, dan sebagainya hendaklah

dilakukan karena Allah. Tauhid atau keyakinan semacam ini terlukis

dalam ucapan seorang muslim ketika ia membaca doa ifititah pada waktu

melaksanakan salat.

ي م ل ا ع ل ا رب لو ل ت وما ي ا ي وم ي ك س ون ت ل ص ن إ ل ق

“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk

Allah Rabbul Alamin”. (Qs. Al-An‟am Ayat 162)

b. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah ialah suatu keyakinan seorang muslim bahwa alam

semesta beserta isinya telah diciptakan Allah Subhanahu wata‟ala. Dan

selalu mendapat pengawasan dan pemeliharaan dari-Nya tanpa bantuan

siapa pun.19 Alam semesta dan segala sesuatu yang berada didalamnya

tidak ada dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan atau menjadikan

yaitu Allah.

19

Ibid., h. 27-29.

Allah Maha kuat, tidak ada kekuatan melainkan karena-Nya. Tauhid

Rububiyah yang tertanam pada dada seorang muslim akan menyadaran

seseorang sehingga dapat menghayati keagungan Allah Subhanahu

wata‟ala, kemudian hanya kepada Allah lah seseorang bertuhan, tidak

kepada yang lain. Tauhid Rububiyah juga diartikan sebagai pengakuan

bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rezeki, pengatur,

yang menghidupkan, dan mematikan.20

Allah Subhanahu wata‟ala berfirman,

خالق كل شيء فاعبدوه ل إلهو إل ىو لكم اللو ربكم ذه

وىو علىه كل شيء وكيل

“(Yang memiliki sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu,

Tidak ada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu maka sembahlah

Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”.

(Qs. Al-An‟am ayat 102)

يسبح لو ما لو الساء السنه ىو اللو الالق البارئ المصو ر

وىو العزيز الكيم ماوات والرض ف الس

“Dialah Allah Yang menciptakan, Yang Mengadakan, Yang

membentuk rupa, Yang mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-

Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana. (Qs. Al-Hasyr ayat 24)

Dalam firman Allah tersebut, kata Illah itu berarti Tuhan dan Rab

berarti Tuhan yang telah menciptakan, mengatur, dan mengurus alam

20

M. Yusran Asmuni. loc.cit

semesta. Sedangkan Rububiyah dinisbahkan kepada Rab. Jadi, Tauhid

Rububiyah ialah meyakini bahwa Allah Subhanahu wata‟ala. Sebagai

Tuhan satu-satunya yang menciptakan, mengurus, mengatur, serta

menguasai alam semesta ini. Tidak ada yang dapat menciptakan,

mengurus, mengatur, dan menguasai alam semesta ini selain Allah

Subhanahu wata‟ala.

Tauhid Rububiyah akan rusak manakala masih mengakui atau

meyakini adanya pihak-pihak lain yang ikut andil bersama Tuhan (Allah)

dalam mencipta, mengatur, memelihara, dan menguasai alam semesta.

Allah Subhanahu wata‟ala berfirman,

ا فسبحان اللو رب العرش عم لو كان فيهما آلة إل اللو لفسدتا

يصفون

“Sekiranya di langit dan di bumi ada beberapa Tuhan selain Allah,

tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang

mempunyai „Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”

(Qs. Al-Anbiya ayat 22)

c. Tauhid Al-asma wa al-shifat

Tauhid al-asma wa al-shifat, keimanan kepada nama-nama dan sifat-

sifat Allah sebagaimana tercantum di dalam al-Qur‟an, tanpa tamsil,

tasybih, dan takwil.21

Seorang muslim harus menyadari dan meyakini bahwa Allah

Subhanahu wata‟ala. Itu maujud yakni ada, dan Dia memiliki Asmaul

Husna (nama-nama yang terbaik) dan memiliki sifat-sifat yang luhur yang

menunjukan kesempurnaan-Nya yang mutlak.

21

M. Yusran Asmuni. loc.cit

Yang dimasud dengan tauhid sifat (Esa dalam sifat) ialah bahwa sifat-

sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorang pun

yang mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah. Sifat-sifat luhur yang

dimiliki Allah merupakan penetapan dan kesempurnaan ketuhanan-Nya

serta Illahi-Nya.

Sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat manusia yang terbagi-bagi.

Kekuasaan Allah tidak terbagi-bagi, sedangkan kekuasaan manusia adalah

terbagi-bagi, demikian juga sifat-sifat lain yang ada pada manusia pun

terbagi-bagi.22

Dengan demiian, jelas bahwa segala pikiran yang mempersamakan

sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya adalah tidak benar.

Allah berfirman,

ا يصفون سبحانو وت عاله عم

“Mahasuci Allah dan Maha tinggi dari sifat-sifat yang mereka

berikan.” (Qs. Al-An‟am ayat 100).

4. Metode Pendidikan Tauhid

1. Pengertian Metode Pendidikan Tauhid

Dalam penggunaan metode pendidikan Islam (tauhid) yang perlu

dipahami adalah bagaimana seseorang pendidik dapat memahami

hakikat metode dalam relevansinya dengan tujuan utama pendidikan

Islam yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap

sedia mengabdi kepada Allah Subhanahu wata‟ala.

Tujuan diadakan metode adalah menjadikan proses dan hasil belajar

mengajar ajaran Islam lebih berguna dan berhasil, untuk menimbulkan

kesadaran peserta didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Islam

22

Muhammad Ahmad, op.cit., h.26-27.

melalui tenik motivasi yang menimbulkan gairah belajar peserta didik

secara mantab. Uraian itu menunjukkan bahwa fungsi metode

pendidikan Islam adalah mengarahkan keberhasilan belajar mengajar

antara pendidik dengan peserta didik.

2. Macam-macam Metode Pendidikan Tauhid

a. Metode Hiwar

Metode hiwar adalah pendidikan yang dilakukan dengan cara berdiskusi

“Bertanya dan lalu menjawab”23 sebagaimana yang digunakan oleh al-

Qur‟an dan hadist-hadist nabi.

b. Metode kisah

Metode kisah disebut juga metode cerita yakni cara mendidik dengan

mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan mengandalkan

pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakni al-Qur‟an dan Hadist.

c. Metode Perumpamaan

Metode ini, disebut pula metode “amsal” yakni cara mendidik dengan

“memberikan perumpamaan-perumpamaan yang diungkapkan al-

Qur‟an untuk diketahui dan diresapi peserta didik”24 sehingga mudah

dalam memahami suatu konsep. Metode ini memiliki tujuan psikologi

edukasi, yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian

maksudnya.

d. Metode Keteladanan

Metode ini, disebut juga metode meniru yakni suatu metode pendidikan dan

pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik

kepada anak didik.

e. Metode Ibrah dan Mau‟izhah

Metode ini disebut juga metode “nasehat” yakni suatu metode pendidik dan

pengajaran dengan cara pendidik memberikan motivasi.

f. Metode Pembiasaan

23

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang : UIN Malang Press,

2008) Cet ke-1, h. 144-145. 24

Ibid.

Metode ini digunakan pendidik dengan cara memberikan pengalaman yang

baik yang dialami para tokoh untuk ditiru dan dibiasakan.

g. Metode Targhib dan Tarhib

Metode ini, disebut pula metode “ancaman” dan atau “intimidasi” yakni

suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik

memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik.

5. Hikmah Mempelajari Pendidikan Tauhid

1. Jaminan kebahagiaan diperoleh, bila melaksanakan pedoman-

pedoman-Nya, tetapi nestapa dan kecelakaan akan menimpa bila kita

tidak mematuhi petunjuk-petunjuk-Nya. Kebaikan, keberkahan,

kebahagiaan dan hasil yang melimpah adalah berkat penerapan dan

pelaksanaan syariat yang bersumber dari pendidikan tauhid.25

2. Kemantapan dan ketetapan karena pendidikan tauhid datang dari sisi

Allah Subhanahu wata‟ala. Manusia bergerak, tumbuh, dan berkembang

dalam lingkaran tauhid yang tetap dan mantap serta mampu

menampung seluruh gerak dan langkah manusia. Jika manusia mencoba

ke luar dari lingaran itu maka mereka akan seperti bintang yang ke luar

dari jalur rotasinya dan menyimpang jauh yang pada gilirannya akan

berbenturan dengan benda-benda planet lainnya dan mengakibatkan

kehancurannya. Oleh karena itulah harus ada suatu wadah yang tetap

dan mantap sebagai tempat kembali manusia agar manusia tenang dan

tentram.

3. Ketetapan dan kemantapan pendidikan tauhid menjadikan Ad Dienul

Haq sebagai masdar dan sumber rujukan seluruh manusia, baik rakyat

jelata maupun pemimpin. Dengan pendidikan tauhid orang akan merasa

lega dan senang karena pemimpin tidak dapat semaunya melakukan

kezaliman terhadap rakyat.

25

Abdullah Azzam, Aqidah (Landasan Pokok Membina Ummat), (Jakarta : Gema Insani

Press, 1993), h. 52-57.

B. Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah suatu kerabat yang

paling mendasar dalam masyarakat yang terdiri dari bapak, ibu, dengan

anak-anaknya.26

Menurut Ibrahim Amini, keluarga adalah orang-orang yang secara

terus menerus atau sering tinggal bersamai si anak, seperti ayah, ibu,

kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan

pembantu rumah tangga diantara mereka di sebabkan mempunyai tangung

jawab menjaga dan memelihara si anak yang menyebabkan si anak terlahir

di dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang

lebih besar bagi pendidikan si anak.27

Para ahli pendidikan, mempunyai perbedaan dalam memberian definisi

keluarga, diantaranya adalah pendapat Ramayulis, menurutnya keluarga

dalam Islam adalah “Suatu sistem kehidupan masyarakat yang terkecil

yang dibatasi oleh adanya keturunan (nasab) atau disebut juga ummah

akibat oleh adanya kesamaan agama.”28

Salah satu tujuan syari‟at Islam adalah memelihara kelangsungan

keturunan melalui perkawinan yang sah menurut agama. Diakui oleh

undang-undang dan diterima sebagai dari budaya masyarakat. Keyakinan

ini sangat bermakna untuk membangun sebuah keluarga yang dilandasi

nilai-nilai moral agama. Pada intinya lembaga keluarga terbentuk melalui

pertemuan suami dan istri yang permanen dalam masa yang cukup lama,

sehingga berlangsung proses reproduksi. Dalam bentuknya yang paling

umum dan sederhana, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak.29

26

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta : Balai Pustaka, 1991), Cet ke-3, h. 471. 27

Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta : Al-Huda, 2006), Cet ke-1, h.107. 28

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : UIN press, 2005), Cet ke-1, h. 107. 29

Fuaduddin TM, Pengaruh Anak dalam Keluarga Islam, (Jakarta : Lembaga Kajian

Agama dan Jender, 1999), h. 4-5.

Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21

ها وجعل ومن آياتو أن خلق لكم من أن فسكم أزواجا لتسكنوا إلي

رون لك ليات لقوم ي ت فك إن ف ذه نكم مودة ورحة ب ي

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa

kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Qs. Ar-Rum ayat 21).

Keluarga dalam dimensi hubungan sosial ini mencakup keluarga

psikologi dan keluarga pendagogis, keluarga psikologis merupakan

sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan

masing-masing anggota memiliki pertautan batin sehingga terjadi saling

mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.

Sedangkan keluarga pendagogis adalah suatu persekutuan hidup yang

dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang

dikukuhkan dengan pernikahan, dengan maksud untuk saling

menyempurnakan diri. Menurut Ali Turkamani keluarga adalah “unit dasar

dan unsur fundamental masyarakat, yang dengan itu kekuatan-kekuatan

yang tertib dalam komunitas sosial dirancang dalam masyarakat”.30

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pasal 26 ayat 1

menyatakan bahwa tanggung jawab keluarga adalah31 : Pertama

mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak sesuai dengan

kemampuan, bakat, dan minatnya. Kedua, menumbuhkembangkan anak

sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Ketiga, mencegah

30

Ali Turkamani, Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, (Jakarta : Pustaka Hidayah,

1992), Cet ke-1, h.30. 31

Siti Aminatun, “Peran Keluarga Dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui

Program Keluarga Harapan ”, Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 4, 2016, h. 245.

terjadinya perkawinan pada usia anak. Keempat, orangtua tidak ada, atau

tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat

dilaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan

tanggung jawab beralih pada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keluarga menurut Islam dapat dibagi menjadi dua posisi, yaitu

keluarga utama (primary) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dan

keluarga tambahan (suplementary) adalah keluarga pada tingkatan kedua,

dari keluarga yang Islami atau keluarga muslim, yang mendasarkan

aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam,

yang memiliki pimpinan dan anggota serta mempunyai hak dan kewajiban

bagi masing-masing anggotanya, keluarga juga merupakan suatu sistem

kehidupan masyarakat yang terkecil yang dibatasi oleh adanya keturunan

atau akibat adanya kesamaan agama.32

2. Fungsi Keluarga

Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan

keinginan adalah hak yang komplek pengetahuan dan kecakapan yang

diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan

perkembangan diri seseorang, dan binasalah pergaulan seseorang bila

orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik.

Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan befungsi untuk

menciptakan suatu masyarakat yang aman, tentram, bahagia dan sejahtera,

yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial

terkecil. Fungsi disini mengacu pada kegunaan individu dalam sebuah

keluarga yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui

fungsi keluarga amat penting, sebab dari sinilah kemudian dapat terukur

dan terbaca keluarga yang harmonis. Dapat dipastikan bahwa munculnya

32

Sahlani, “Hakekat, Sumber, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Aqidah Islamiyah di

Lingkungan Keluarga”, Jurnal Edukasi, Vol. 9, 2015, h. 749.

krisis dalam rumah tangga adalah sebagai akibat tidak berfungsinya salah

satu fungsi keluarga.

Sekurangnya mempunyai 5 fungsi. Yaitu, fungsi biologis, fungsi

pemeliharaan, fungsi ekonomi, fungsi keagamaan, dan fungsi sosial.

a. Fungsi biologis bahwa sudah menjadi naluri semua makhluk hidup

untuk meneruskan keturunan, melalui lembaga merupakan perwujudan

daru norma yang berlaku dari generasi ke generasi untuk kelangsungan

hidup manusia. Fungsi biologis memberi kesempatan hidup pada setiap

anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat untuk memenuhi

kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-

syarat tertentu, sehingga keluarga memungkinkan dapat hidup

didalamnya, seurang-urangnya dapat mempertahankan hidup.33

b. Fungsi pemeliharaan didalamnya tercakup juga perlindungan agar

anak dapat tumbuh dengan wajar, secara lahir batin bebas dari segala

bentuk gangguan, hambatan, dan ancaman. Kebutuhan agar anak

sejahterah yaitu kebutuhan makan, kesehatan, perumahan, pendidikan,

perhatian, dan kasih sayang.

c. Fungsi ekonomi keluarga berhubungan dengan upaya ataupun usaha

guna mencukupkan kebutuhan hidupnya yang secara langsung

berhubungan dengan pekerjaan yang akan menjadikan keluarga kuat

memberikan perlindungan terhadap keluarganya.

d. Fungsi keagamaan menjadi penting sebagai pedoman dalam

kehidupan keseharian dan sebagai teladan bagi anak-anaknya untuk

berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya untuk kebaikan

hidupnya.34Keluarga mempunyai tugas untuk mendidik kebiasaan baik

agar anak mempunyai tabiat yang baik dan berakhlak/bermoral yang baik,

33

Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam dalam

Keluarga, (Jakarta : Akademik Permata, 203), Cet ke-1, h. 139. 34

Siti Aminatun, loc.cit.

karenanya fungsikeagamaan penting agar anak dapat membentengi dirinya

dari pengaruh negatif yang bisa menjerumuskan dirinya.

e. Fungsi sosial keluarga mencakup sosialisasi pendidikan mengenai

bagaimana harus berperilaku di lingkungan keluarga maupun di

masyarakat sesuai dengan norma yang berlaku agar anak-anak diterima

dalam kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial maka manusia selalu

membutuhkan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Fungsi keluarga

tersebut di atas bertujuan agar seluruh anggota keluarga mendapatkan

perlindungan baik secara fisik, psikis, dan sosial. Dengan demikian

keluarga merupakan tempat yang aman untuk tumbuh dan berkembang

secara wajar bagi anak-anaknya dan hidup dengan sejahtera yang diliputi

oleh rasa keselamatan, dan ketentraman lahir batin.35

3. Kedudukan Keluarga dalam Pendidikan Tauhid

Sejak seorang anak manusia dilahirkan ke dunia, secara kodrati ia

masuk kedalam lingkungan sebuah keluarga. Keluarga tersebut secara

kodrati juga mengambankan tugas mendidik dan memelihara anak, dengan

memenuhi kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani anak tersebut. Orang

tua secara direncanakan maupun tidak direncanakan akan menanamkan

nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak terutama dalam sikap atau perilaku serta

kepribadiannya. Selajutnya dengan disadari, anak membawa nilai-nilai

atau kebiasaan-kebiasaan keluarga itu dalam berinteraksi sosial di

lingkungan luar.

Dalam konsepsi Islam, keluarga “adalah penanggung jawan utama

terpeliharanya fitrah anak.Dengan demikian penyimpangan-penyimpangan

35

Siti Aminatun , op.cit., h. 246.

yang dilakukan oleh anak-anak disebabkan oleh ketidakwaspadaan

orangtua atau pendidik terhadap perkembangan anak”.36

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, karena

antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai terdidik terdapat

hubungan darah. Karena itu kewenangannya pun bersifat kodrati pula.

Sifat yang demikian, membawa hubungan antara pendidik dan terdidik

menjadi sangat erat.kedudukan keluarga terhadap pendidikan, antara lain

yaitu :

1. Merupakan pengalaman pertama pada masa kanak-anak, lembaga

pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang

merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak.

2. Di dalam keluarga menjamin kehidupan emosi anak, kehidupan

emosional ini merupakan salah satu fator yang penting didalam

membentuk pribadi seseorang.

3. Menanamkan dasar pendidikan moral, di dalan keluarga juga

merupakan penanaman utama dasar-dasar moral bagi anak, yang

biasanya tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai

teladan yang dapat dicontohi anak.

4. Memberikan dasar pendidikan sosial, di dalam kehidupan keluarga,

merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan dasar-dasar

pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan

lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

5. Peletak dasar-dasar keagamaan, masa kanak-kanak “adalah masa

yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama.

Anak-anak dibiasakan ikut serta ke masjid bersama-sama untuk

36

Abdurrahaman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1996), Cet ke-2, h. 144.

menjalankan ibadah, mendengar ceramah keagamaan kegiatan

seperti ini besar sekali pengaruhnya terhadap keperibadian anak.”37

Ada pula beberapa kedudukan keluarga dalam pendidikan tauhid bagi

anaknya, yaitu :

1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah tanggung jawab

yang sederhana bagi orang tua dan merupakan dorongan alami

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

2. Melindungi dan menjamin, baik jasmani maupun rohani dari

gangguan kehidupannya yang menyimpang dari falsafah hidup dan

agama yang dianutnya.38

3. Memberi pengajaran dalam arti luas, sehingga anak memperoleh

peluang untuk memiliki pengetahuan seluas dan setinggi mungkin

yang dapat dicapainya.

4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan

tujuan Muslim.

Diharapkan dari keempat kedudukan ini dapat dijadikan acuan bagi

pihak berwenang, terutama bagi orang tua yang dibebani tanggung jawab

sebagai pendidik utama dan pertama dalam proses pembinaan akhlak

anak-anak dalam keluarga di manapun mereka berada.39

37

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h.

39-43. 38

Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2013), Cet ke-1, h. 39. 39

Ibid.,h. 40.

c. Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/disertai

diperpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa yang membahas

tentang Pendidikan Tauhid didalam Keluarga (Kajian Tafsir Qs. Ash-

Shaffat Ayat 100-110) belum penulis temukan secara khusus. Namun yang

menggunakan istilah pendidikan tauhid, terdapat sebuah skripsi milik

Muhammad Nizar (2006), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan

Tafsir Hadist, yang berjudul “Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya‟ub

terhadap anak-anaknya dalam Al-quran (Analisa atas Penafsiran Sayyid

Quthb dalam Surat al-Baqarah ayat 132-133”. Dia menjelaskan sedikit

tentang tauhid, kemudian dia menyatakan bahwa orang tua atau keluarga

adalah faktor yang paling penting dalam pembentuk tauhid anak. Nabi

Ibrahim dan Nabi Ya‟kub yang merupakan satu silsilah keturunan

memerankan adegan wasiat aqidah kepada anaknya karena orang tua

memiliki tangung jawab untuk terus memelihara kelangsungan dan

keutuhan akidah anak sampai akhir hayat.

Skripsi saudari Masanah (2015), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul “Pendidikan

Agama dalam Keluarga dan Korelasinya dengan Akhlak Siswa di

Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hikmah Jakarta Barat”. Dia menjelaskan

bahwa pendidikan agama Islam dalam Keluarga yang meliputi :

pembinaan iman dan tauhid, pembinaan akhlak, pembinaan ibadah dan

agama, dan pembinaan kepribadian dan sosial anak. Jika dilihat dari hasil

penelitian yang dilakukan saudari Masanah, inventori pendidikan agama

Islam dalam keluarga, sebagian besar orang tua siswa memperoleh kriteria

sedang. Hal ini disebabkan sebagian besar orang tua siswa tingkat

pendidikannya menengah ke bawah. Demikian juga dilihat dari mata

pencahariannya kebanyakan yang menjadi buruh yang tidak memiliki

penghasilan tetap. Tentunya lebih menutamakan kebutuhan hidup yang

mendesak ketimbang melakukan banyak bimbingan agama yang sudah

jelas diserahkan kepada sekolah. Hal tersebut tentu berdampak pada

pengalaman agama putra-putrinya dalam kehidupan sehari-hari.

Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan

skripsi-skripsi di atas secara teori, dan objek, penelitian pada tulisan yang

difokuskan untuk mencari Pendidikan Tauhid didalam keluarga (Kajian

Tafsir Qs. Ash-Shaffat ayat 100-110).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pendidikan Tauhid di dalam Keluarga

(Kajian Tafsir Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-110)” ini dilaksanakan dalam

waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut : bulan

Desember 2018 sampai dengan bulan juli 2019 digunakan untuk

mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari

buku teks yang ada diperpustakaan, serta sumber lain yang mendukung

penelitian, terutama yang berkaitan dengan Pendidikan tauhid didalam

keluarga, metode,dan materi dari sumber sebagai sumber primer.

B. Metode Penelitian

al-Qur‟an sebagai wahyu Allah dan sumber utama syariat Islam

bersifat terbuka untuk menerima interprestasi dari siapapun, dari sudut

manapun dan dalam bentuk apapun, selama penafsiran tidak bertentangan

dengan kaedah-kaedah penafsiran yang sudah ditetapkan oleh para ulama.

Karena keterbukaan al-Qur‟an untuk menerima berbagai macam

penafsiran terhadapnya itu, maka cara-cara penafsiran yang dilakukan oleh

para mufassir pun tidak selamanya sama. Para ulama telah menulis dan

mempersembahkan karya-karya mereka dibilang tafsir ini, dan

menjelaskan metode-metode yang digunaan oleh masing-masing tokoh

penafsir. Sebagian ulama membagi metode tafsir menjadi metode tahlili,

metode ijmali, metode muqaran, metode maudhu‟i.40

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan

metode tafsir tahlili, yaitu metode yang menjelaskan arti dan maksud ayat-

ayat ditinjau dari berbagai aspeknya, penafsiran dilakukan ayat per ayat

40

Nida‟ Al-Qur‟an, “MetodePenafsiran Al-Qur‟an”, Jurnal Kajian Al-Qur‟an dan Wanita,

Vol. 3, 2005, h. 115-116.

dan surat per surat sesuai dengan urutan ayat dan surat seperti yang ada di

dalam al-Qur‟an. Atau bisa dikatakan bahwa metode tahlili ialah metode

penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang dilakukan dengan cara

mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat

al-Qur‟an dengan mengikuti tertib susunan/urutan surat-surat dan ayat-ayat

al-Qur‟an itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di

dalamnya.41

Terlihat bahwa penafsiran al-Qur‟an dengan metode tahlili adalah

penafsiran yang sangat luas dan menyeluruh, penafsiran analitis ini bisa

dilakukan dari berbagai segi dan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu.

Metode inilah yang banyak digunakan oleh para penafsir.42

Metode tahlili mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain :

1. Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan seluas mungkin dengan

tinjauan dari berbagai sudut dan aspeknya.

2. Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan secara tuntas, baik dari

sudut bahasa, latar belakang turunnya, munasabah dengan ayat atau

surat yang lain maupun substansi ayat dan kandungan mananya.

3. Pada saat melakukan penafsiran, mufassir dapat memfokuskan

perhatian kepada suatu ayat tertentu saja tanpa “harus” mencari atau

menghubungkannya dengan ayat membicarakan masalah yang sama,

sehingga fokus perhatiannya bisa terarah.

Disamping beberapa keistimewaan, metode tahlili juga memiliki

kelemahan-kelemahan di antaranya :

1. Metode ini tidak bisa menyelesaikan secara tuntas suatu pokok

bahasan, sebab “sering kali suatu pokok bahasan diuraikan sisinya atau

kelanjutannya pada ayat lain, sehingga terasa sekali bahwa metode ini

41

Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2013) Cet

ke-. 1, h. 379. 42

Nida‟ Al-Qur‟an, op.cit., h. 116-117.

tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan

yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar

metodologi yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirrnya.

2. Metode ini sering digunakan oleh penafsir sebagai alat untuk

melegitimasi pendapat-pendapatnya sendiri dengan ayat-ayat al-

Qur‟an.

3. Pembahasan-pembahasan yang dilakukan melalui metode ini terasa

seakan-akan “mengikat” generasi berikut, karena penafsirannya

bersifat umum dan teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran

terhadap persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh para mufassir

dalam masyarakat mereka. Akibatnya, penafsiran tersebut

mengesankan seolah-olah itulah pandangan al-Qur‟an untuk setiap

waktu dan tempat.43

Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengumpulkan

bahan kepustakaan dengan cara membaca, menelaah buku-buku, jurnal,

surat kabar, majalah, dan bahan-bahan informasi lainnya terutama yang

berkaitan dengan Pendidikan tauhid di dalam keluarga dan beberapa

sumber. Sumber-sumber tersebut terdiri dari data primer dan data

sekunder. Diantaranya sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Dengan mengacu pada metode penelitian, sumber pokok yang menjadi

acuan utama sebagai data penelitian karya ilmiah ini adalah tafsir al-

Qur‟an diantaranya sebagai berikut :

1. Tafsir Al-Azhar karya Abdul Malik Abdul Karim Amrullah

2. Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab

3. Tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi

4. Tafsir Fi Zilalil Qur‟an karya Sayyid Qutub

43

Ibid, 117-118.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber data

primer, adapun data sekunder dalam penulisan skripsi ini yaitu :

1. Al-Qur‟an dan Tafsirnya jilid VIII karya Departemen Agama RI

2. Tafsir Al-Qurthubi karya Syekh Al-Qurthub

3. Persepektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid karya Abudin

Nata

4. Ilmu Tauhid karya M. Yusran Amuni

5. Ilmu Tauhid Lengkap karya Zainuddin

6. Adab al-Alimwa al-Muta‟allim karya Hasyim Asy‟ari

7. “Peran Keluarga Dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak

Melalui Program Keluarga Harapan”, Jurnal Penelitian

Kesejahteraan Sosial karya Siti Aminatun

8. “Hakekat, Sumber, Dasar, dan Tujuan Pendidikan Aqidah Islamiyah

di Lingkungan Keluarga”, Jurnal Edukasi karya Sahlani.

Semua data diatas masih bersifat sementara dan masih terus

memungkinkan untuk ditambah dari sumber-sumber data lain yang

mengandung keterkaitan dengan pembahasan penelitian ini.

C. Fokus Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus,

yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum. Oleh karena itu,

dalam membahas skripsi ini, penulis hanya fokus menelusuri kandungan

al-Qur‟an surat Ash-Shaffat ayat 100-110. Dengan melihat penafsirannya,

serta menganalisa dengan merujuk kepada penafsiran para ulama, untuk

kemudian dijadikan sebagai referensi dalam penelitian dan penulisan

skripsi ini.

Pemilihan ayat yang terkandung dalam al-Qur‟an surat Ash-Shaffat

ayat 100-110 ini, menyatakan bahwa pada ayat tersebut tersimpan dasar-

dasar ilmu pendidikan, yaitu pendidikan tauhid. Dan dalam ayat tersebut

tersimpan pelajaran yang banyak, tentang bagaimana membebaskan jiwa

dari penyembahan dan tunduk selain Allah, membentuk pribadi manusia

yang tangguh khususnya di lingkungan keluarga, dan merupakan sumber

keamanan bagi manusia.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar

yang besifat alamiah, yakni peneliti menelusuri keaslian suatu gejala

sosial, kemudian dengan cermat penelitian menelusuri apakah fenomena

tersebut mengakibatkan fenomena lain atau tidak, dan sejauh mana suatu

fenomena sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain.

Dalam metode tahlili, para mufassir menguraikan makna yang

dikandung oleh al-Qur‟an ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai

urutan di dalam mushaf. Uraian ayat tersebut termasuk berbagai aspek

yang dikandung oleh surat Ash-Shaffat ayat 100-110 yang ditafsirkan

dengan makna kosa kata, Asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat),

kaitannya dengan ayat yang lain, baik sebelum sesudahnya (munasabah

ayat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan

tafsiran surat Ash-Shaffat ayat 100-110, baik yang disampaikan oleh

Nabi, sahabat, para Tabi‟in maupun tafsir lainnya.44

Dan adapun dari penjelasan lainnya, mengenai beberapa prosedur

atau langkah yang harus diperhatikan ketika ia menafsirkan al-Qur‟an

dengan metode tahlili ini, yaitu :

1. Memberikan penjelasan tentang arti kata-kata yang terkandung di

dalam suatu ayat yang ditafsirkan.

2. Menjelaskan latar belakang ayat tersebut diturunkan

44

NasruddinBaidan, MetodologiPenafsiran Al-Qur‟an, (Yogyaarta :PustakaPelajar, 1998),

h. 71.

3. Mengemukakan antara satu dengan ayat yang lain dan hubungannya

dengan surat-surat yang lain baik surat sebelumnya maupun

sesudahnya.

4. Menjelasan hal-hal yang bisa diistimbatkan dari ayat tersebut, baik

yang berkaitan dengan hukum fikih, tauhid, akhlaq, maupun beberapa

hal lain.45

Dari penjelasan prosedur penelitian tersebut, maka penulis akan

meneliti dengan menguraikannya sebagai berikut :

1. Isi surat al-Qur‟an beserta artinya

2. Sekilas mengenai Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-110.

3. Tafsir pendidikan tauhid didalam keluarga yang terkandung dalam

surat Ash-Shaffat ayat 100-110.

4. Analisa pendidikan didalam keluarga yang terkandung dalam surat

Ash-Shaffat ayat 100-110.

45

Ibid.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Teks Ayat dan Terjemah Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-110

رناه بغلم حليم )٠١١من الصالي )ىب ل رب (٠١٠( ف بش

عي قال يا ب ن إن أرى ف المنام أن أذبك فانظر ماذا ا ب لغ معو الس ف لم

ابرين ) ت رى قال يا أبت اف عل ما ت ؤمر ستجدن إن شاء اللو من ( ٠١١الص

ا أسلما وت لو للجبي ) ( قد ٠١٣( ونادي ناه أن يا إب راىيم )٠١٢ف لم

قت الرؤيا إنا كذل ( إن ىذا لو البلء ٠١٤) ك نزي المحسني صد

( وت ركنا عليو ف الخرين ٠١٦) عظيم وفدي ناه بذبح ( ٠١٥المبي )

(٠٠١(كذلك نزي المحسني )٠١٨) ( سلم على إب راىيم٠١٧)

100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk

orang-orang yang shaleh.

101. Maka kami berikan dia kabar gembira dengan seorang anak yang

amat sabar.

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha

bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku

melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa

pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang

diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk

orang-orang yang sabar"

103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan

anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

104. Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim.

105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya

106. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata

107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar

108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) dikalangan

orang-orang yang datang kemudian

109. (yaitu) kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim

berbuat baik.

110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang

berbuat baik.

B. Sekilas Mengenai Qs. Ash-Shaffat

Surat Ash-Shaffat terdiri dari 182 ayat, dan termasuk golongan surat

Makkiyah. Surat ke-37 dari susunan mushaf Usmani ini bernama ash-shaffat

yang berarti “berbaris-baris”. Ada hubungannya dengan perkataatn ash-shaffat

yang terletak pada ayat permulaan surat ini, yang mengemukakan bagaimana

para malaikat yang berbaris dihadapan Tuhannya yang bersih jiwanya, tidak

dapat digoda oleh syaitan. Hal ini yang menjadi I‟tibar bagi manusia dalam

menghambakan dirinya kepada Allah.

Dari ayat 1 sampai 10 malaikan adalah makhluk Allah yang paling dekat

dengan Allah, paling taat melaksanakan perintah Allah, mereka patuh dan

setia terhadap perintah Ilahi. Dan dari ayat-ayat itu pula dapat diketahui bahwa

jin-jin makhluk halus yang lain yang asal kejadiannya dari api adalah makhluk

yang rendah mertabatnya.

Lalu diuraikan pula perjuangan beberapa orang Nabi dan Rasul yang

berjuang keras melakukan dakwah epada aumnya masing-masing. Mereka

telah melakukan tugas yang amat berat. Dalam surat ash-shaffat ini terdapat

tujuh Nabi yang ditonjolkan, yaitu : Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Luth,

Ilyas, dan Yunus yang teramat menarik perhatian ialah tentang wahyu yang

diterima Nabi Ibrahim yang berupa perintah mengurbankan putranya yan

tertua Ismail.46

C. Tafsir Surat Ash-Shaffat Ayat 100-110.

Untuk memahami dan menjelaskan tafsir surat Ash-Shaffat ayat 100-110,

dapat mengambil beberapa kosa kata sebagai berikut :

1. Ayat 100

ىب ل من الصالي رب

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk

orang-orang yang shaleh”.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim menuju kepada Rabbnya,

dan ia mengumumkan bahwa dia pergi kepada-Nya. Ibrahim pergi kepada-

Nya untuk meminta diberikan keturunan yang beriman dan berakhlak shalih.47

Dalam tafsir lain, Allah menceritakan bahwa Nabi Ibrahim dalam perantauan

memohon kepada Allah kiranya dia dianugerahi seorang anak yang shaleh lagi

taat yang dapat menolongnya dan menyampaikan da‟wah dan

mendampinginya dalam perjalanan dan menjadi kawan dalam kesepian.

46

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzz XXIII , (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 86-87. 47

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur‟an Juz XXIII, (Jakarta : Gema Insani Press,

2001), h. 429.

,yang maha kuasa, yang pencipta, pembentuk rupa, mendengar (dzat) رب

melihat, luas kebaikan-Nya, pemberi nikmat, pemurah, maha memberi dan

semua nama rububiyah lainnya yang berhak dimiliki-Nya dari (kandungan)

nama-nama-Nya yang maha indah.48

Pembagian sifat rububiyah Allah ada dua macam, yaitu : pertama,

rububiyah umum yang mencakup semua makhluk, baik yang taat maupun

yang selalu berbuat maksiat, yang beriman maupun kafir, yang berbahagia

maupun celaka, yang mendapat petunjuk maupun yang sesat. Rububiyah ini

berarti memberi rezeki, mengatur, melimpahkan berbagai macam nikmat. Ini

semua berlaku umum untuk seluruh makhluk-Nya. Kedua, rububiyah yang

khusus dan orang-orang yang dicintai-nya, yaitu dengan menjaga taufik

kepada mereka untuk beriman dan melasanakan ketaatan kepada-Nya.49

2. Ayat 102

عي قال يا ب ن إن أرى ف المنام أن أذبك فانظر ا ب لغ معو الس ف لم

ماذا ت رى قال يا أبت اف عل ما ت ؤمر ستجدن إن شاء اللو من

ابرين الص

48

Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Badai‟ul Fawa‟id Jilid 2, (Dar Alamil Fawaid

Arab Saudi), h. 475. 49

Syaih Abdurrohzzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Fiqhul Asmail Husna, (Dar

Alamiyyah Mesi), h. 80-81.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama

Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi

bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab:

"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu

akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

عي ا ب لغ معو الس ف لم

Maka tatkala ia, yakni sang anak itu telah mencapai usia yang menjadikan ia

mampu berusaha bersamanya yakni bersama Nabi Ibrahim,50 maksudnya

menginjak dewasa dan tumbuh besar serta dapat bepergian bersama ayahnya dan

berjalan bersamanya, sewaktu-waktu ingin pergi untuk menemui anak dan istrinya

di negeri Faran dan melihat keadaan keduanya.

Menurut Ibnu „Abbas. Mujahid, „Ikrimah, Sa‟id bin Jubair, „Atha‟ al-

Khurasani, Zaid bin Aslam, dan lain-lain, bahwa makna ayat 102 yakni menginjak

masa remaja, dewasa, dan mampu mengerjakan pekerjaan Ibrahim, berupa usaha

dan pekerjaan.51

Anak yang sudah dapat berjalan bersama ayahnya ialah di antara usia 10-15

tahun. Keadaan itu ditonjolkan dalam ayat ini, untuk menunjukkan betapa

tertumpahnya kasih sayang Ibrahim kepada anak itu. Di kala anak berusia sekitar

10 dengan 15 tahun memanglah seorang ayah bangga sekali jika dapat berjalan

bersama anaknya itu. Suatu waktu dibawalah Ismail oleh Ibrahim berjalan

bersama-sama. Di tengah perjalanan, Ibrahim berkata :

“Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelih

engkau. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu!”.

Dalam pertanyaan ini Allah telah membayangkan kepada kita bagaimana

seorang manusia yang terjadi dari darah dan daging, sebab itu merasa juga sedih

dan rawan, tetapi tidak sedikit juga ragu atau bimbang bahwa dia adalah Nabi.

52Ubaid bin Umar juga mengatakan bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu.53

50

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol.12, h. 62. 51

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul

Ghoffar, h. 72-73. 52

Ibid., h. 143.

Menurut Quthb, mimpi untuk menyembelih Ismail hanya merupakan Isyarat,

bukan merupakan perintah yang sifatnya langsung dan jelas. Meskipun demikian,

Nabi Ibrahim menerimanya harus menyembelih anak satu-satunya. Penerimaan

Ibrahim atas perintah Allah ini dengan penuh kerelaan sepenuh hati.54

Disuruhnya anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudian diharapkannya

anaknya menyatakan pendapat. Tentu Ismail sejak dari mulai tumbuh akal telah

mendengar, baik dari ibunya sendiri Hajar, atau dari orang lain di sekelilingnya,

khadam-khadam dan orang-orang yang mengelilingi ayahnya, sebab ayahnya pun

seorang yang mampu, telah didengarnya juga siapa ayahnya. Tentu sudah

didengarnya bagaipun dimasukinya api yang sedang nyala itu, karena dia yakin

bahwa pendirian yang dia pertahankan adalah benar. Demikian pula mata-mata

rantai dari percobaan hidup yang dihadapi oleh ayahnya, semuanya tentu sudah

diketahuinya. Dan tentu sudah didengarnya juga bahwasanya mimpi ayahnya

bukanlah semata-mata apa yang disebut rasian, yaitu khayalan kacau tak tentu

ujung pangkal yang dialami orang sedang tidur. Oleh sebab itu tidaklah sama

Ismail merenungkan dan tidak lama dia tertegun buat mengeluarkan pendapat.

Sesudah

mendengarkan perintah Allah itu dengan segala kerendahan hati berkata

kepada ayahnya agar melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepadanya.

Dia akan taat, rela, dan ikhlas menerima ketentuan Allah serta menjunjung tinggi

segala perintah-Nya lagi pasrah kepada-Nya. Ismail yang masih sangat muda itu

mengatakan lagi kepada orang tuanya bahwa dia tidak akan gentar menghadapi

cobaan itu, tidak akan ragu-ragu menerima qadha dan qadhar Allah dan dia

dengan tabah dan sabar menahan derita penyembelihan itu.55

3. Ayat 103

ا أسلما وت لو للجبي ف لم

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas

pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)”.

53

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul majid An-Nur, h. 3469 3470. 54

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilail Qur‟an Juz XXIII, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 13. 55

Departemen Agama RI, op.cit., 326.

Ayat sebelum ini menguraikan kesediaan anak untuk disembelih atas

perintah Allah. Maka tanpa ragu dan menunda-nunda, tatkala eduanya elah

berserah diri dan pasrah secara penuh dan tulus kepada Allah Subhanahu

wata‟ala, dan Ibrahim. Siap menyembelih dan anaknya siap mentaati orang

tuanya, maka ketika itu terbuktilah kesabaran keduanya, pisau yang demiian

tajam, atas kuasa Kami tidak melukai anak sedikitpun.56

Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas, dan Ali Radhiallahu „anhu menjelaskan bahwa

yang dimaksud ا أسلما yaitu, “menyerahkan urusannya kepada Allah”. Ibnu ف لم

Abbas berkata, “Istalamaa (menyerahkan diri)”. Qatadah berkata, “Ibrahim

berserah diri kemudian anaknya ikut berserah diri”.

dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah“ وت لو للجبي

kesabaran keduanya)”. Qatadah berkata, “mengahadapkan wajah ke kiblat”.

Menurut ulama Bashrah, perkiraan maknanya “Tatkala keduanya telah berserah

diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya)” maka Kami

menebusnya dengan seekor kibas.57

4. Ayat 104 dan 105

قت الرؤيا إنا كذل ٠١٣ونادي ناه أن يا إب راىيم ) ك نزي ( قد صد

(٠١٤) المحسني

Dan Kami melalui malaikat memanggilnya, “Hai Ibrahim, sungguh engkau telah

membenaran mimpi itu”. Yakni apa yang dimaksud dari mimpimu telah tercapai

dengan tindakanmu membaringkan anakmu untuk disembelih,58 dan engkau telah

melaksanakannya dengan sekuat batas kemampuanmu, seandainya tidak ada

panggilan itu, tentu ia akan terus berupaya sehingga terpenuhi perintah Allah

56

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 12, h. 64. 57

Syaikh Imam Al-Qurtubi, Tafsir Qurtubi Jilid 15, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2009), h. 243. 58

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, op.cit., h. 74.

Subhanahu wata‟ala. Oleh karena itu Kami (Allah) memberimu ganjaran dengan

menjadikanmu Iman dan teladan bagi orang-orang bertakwa.59

Maksudnya, demikianlah Kami (Allah) menghindarkan orang-orang yang

mentaati Kami dari orang-orang dari berbagai macam hal yang tidak disukai dan

dari kesusahan. Dan kami jadikan bagi mereka kelapangan dan jalan keluar

urusan mereka.

5. Ayat 106

memanglah suatu percobaan yang nyata”, kalau“ إن ىذا لو البلء المبي

seseorang yang sangat mengharapkan mendapatkan keturunan yang shalih, setelah

dalam usia 86 tahun baru keinginan itu disampaikan Allah, lalu sedang anak yang

ketika itu masih satu-satunya itu disuruh kurbankan pula dalam mimpi. Namun

perintah itu dilaksanakan juga dengan tidak ada keraguan sedikit juga pun, baik

pada si ayah, ataupun pada sianak. Lantaran Ibrahim dan puteranya sama-sama

menyerah (aslamaa), tidak takut menghadapi maut, karena maut untuk

melaksanakan perintah Ilahi adalah maut yang paling mulia, maka sudah pula

sepantasnya jika Allah menjelaskan bahwa kedua orang itu, ayah, dan anak

“minal muhsiniin”, termasuk orang-orang yang hidupnya adalah berbuat

kebajikan, maka pantaslah mendapatkan penghargaan di sisi Allah.60

Allah tidak akan memberi ujian kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Allah

memberikan ujian yang teramat sulit untuk dilakukan oleh orang biasa, namun

karena Allah ingin menguji hambanya yang shaleh maka Allah memberikan ujian

yang nyata kepada Nabi Ibrahim dan putranya Ismail.

6. Ayat 107

وفدي ناه بذبح عظيم

59

M. Quraish Shihab, op.cit., h. 64. 60

Hamka, op.cit., h. 144.

Ibnu Abbas berkata, “Kibas itu adalah dipersembahkan oleh Habil untuk

mendekatkan diri kepada Allah, yang dipelihara di surga sehingga dipakai

menebus Ismail”.61

Pada tafsir lain dijelaskan bahwa setelah Allah memanggil Ibrahim

memberitahukan bahwa bunyi perintah Allah dalam mimpi telah dilaksanakannya

dan tangannya telah ditahan oleh Jibril sehinga pisau yang tajam itu tidak sampai

tercecah keatas leher Ismail, maka didatangkanlah seekor domba besar, sebagai

ganti dari anak yang nyaris disembelih itu.

Menurut riwayat Ibnu Abbas, yang diakuatkan dengan sumpah “Demi Allah

yang menguasaiaku dalam genggaman tangan-Nya”, bahwa sampai kepada

permulaan timbulnya agama Islam masih didapati tanduk domba tebusan

Ismail itu digantungkan oleh orang Quraisy di dinding Ka‟bah, sebagai suatu

barang yang bernilai sejarah. Setelah pada satu waktu menjadi kebaaran pada

Ka‟bah, barulah tanduk yang telah digantungkan beratus-ratus tahun itu turut

hangus karena kebakaran itu.62

7. Ayat 108

Dan kami kekalkan untuk Ibrahim pujian yang baik وت ركنا عليو ف الخرين

dikalangan manusia di dunia, sehingga dia menjadi orang yang dicintai

dikalangan semua orang dari agama dan aliran manapun. “Orang-orang Yahudi

mengagungkannya, orang-orang Nasrani mengagungkannya, orang-orang

Islam mengagungkannya, dan orang-orang musyrik sekalipun tetap

menghormatinya. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya, sekalipun kami

menganut agama Ibrahim, Bapak kami”.63

Tafsir lainnya menjelaskan bahwa Ibrahim disebut sepanjang generasi dan

masa. Ia adalah satu umat. Ia adalah nenek moyang para Nabi. Ia adalah nenek

moyang umat ini. Dan umat ini adalah pewaris agamanya. Allah telah

menetapkan bagi umat ini dan menugaskannya untuk memimpin umat

61

Syaikh Imam Al Qurtubi, op.cit., h. 248-249. 62

Hamka, op.cit., h. 144-145. 63

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al Maragi Juzz XXIII, Ter. Dari Tafsir Al-Maragi oleh Badrun

Abu Bakar dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet ke-2, h. 132.

manusia di dunia sesuai dengan agama Ibrahim. Dan Allah menjadikan umat

ini sebagai penerus dan nasab Ibrahim hingga hati Kiamat.64

8. Ayat 109

سلم على إب راىيم

“(yaitu) kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim berbuat baik.”

Pada ayat 109 ini dijelaskan bahwa, “Dan kami katakan kepada Ibrahim,

Salam sejahtera kepadamu dikalangan para malaikat, manusia dan jin”.65

Karena keshalehan yang luar biasa Allah mengangkat tinggi derajat Nabi

Ibrahim. Bukan saja ia dikenang pada zamannya namun Allah menjamin sampai

zaman yang akan datang dan tidak dijelaskan sampai mana ia akan dikenang

mungkin sampai akhir zaman.

Bukan saja manusia tapi jin dan malaikat menyalaminya, bukan hanya umat

Islam namun orang Yahudi, Nasrani dan musyrikpun turut mengaguminya.

Pada tafsir yang lain dijelaskan bahwa kesejahteraan baginya dari Rabbnya.

Kesejahteraan yang dicatat dalam Kitab-Nya yang kekal. Dan dipahat dalam

lembaran wujud yang besar.66

9. Ayat 110

dijelaskan bahwa seperti itulah Kami balas merekaكذلك نزي المحسني

dengan ujian, selanjutnya penunaian, penyebutan, kesejahteraan, dan

pemuliaan.67

Allah menyebutkan penghargaan kepada Ibrahim, bahwa Dia memberikan

salam kesejahteraan kepadanya, dan salam kesejahteraan untuk Ibrahim ini

terus hidup di tengah-tengah ummat manusia bahkan juga di kalangan

64

Sayyid Quthb, op.cit., h. 16. 65

Al-Maragi, op.cit., h. 132. 66

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur‟an Juz XXIII, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h.16. 67

Ibid., h. 16.

malaikat. Dengan demikian ada tiga ganjaran yang telah dianugerahkan Allah

kepadanya, kedua pengabdian keharuman namanya sepanjang masa, dan

ketiga ucapan salam sejahtera dari Allah dan manusia.68

D. Nilai-nilai Pendidikan di Dalam Keluarga

Didalam al-Qur‟an surat ayat 102-107 berisi tentang perintah Allah terhadap

Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail, kemudian di sini akan diuraikan

nilai-nilai pendidikan yang terkandung didalamnya, yaitu :

1. Sikap Demokratis di dalam keluarga. Nilai tersebut ada pada ayat 102.

عي قال يا ب ن إن أرى ف المنام أن أذبك فانظر ماذا ا ب لغ معو الس ف لم

ت رى قال يا أبت اف عل ما ت ؤمر

Nabi Ibrahim telah memberikan tawaran terlebih dahulu terhadap Nabi Ismail

sebelum perintah (penyembelihan) tersebut dilaksanakan. Hal ini

menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim bersikap demokratis agar perintah tersebut

bisa diterima oleh Nabi Ismail dengan penuh kesiapan.

2. Sikap Sabar yang tertanam di dalam keluarga.

ابرين ستجدن إن شاء اللو من الص

Nabi Ibrahim adalah seorang yang penyabar, yang mana atas ketaatan,

kesabaran, keuletan, dan ketegaran tersebut adalah salah satu kunci

keberhasilan dalam pelaksanaan perintah tersebut, sehingga siapapun pendidik

seperti orang tua yang mempunyai mental seperti Nabi Ibrahim sebagai

seorang ayah, maka akan berhasil dalam melasanakan pendidikannya di dalam

keluarga.

3. Kemantapan spiritual yang kuat di dalam keluarga

68

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnyajilid VIII, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,

1991), h. 329.

ا أسلما وت لو للجبي ) (٠١٣اىيم )( ونادي ناه أن يا إب ر ٠١٢ف لم

Ayat ini merupakan proses berlangsungnya penyembelihan. Hal ini tidak

akan terjadi manakala tidak mempunyai kemantapan spiritual yakni keimanan

yang kuat.

4. Ujian dan rintangan

إن ىذا لو البلء المبي

Ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah Allah, yang diberikan kepada

Nabi Ibrahim adalah merupakan ujian yang nyata. Sehingga untuk mencapai

keberhasilan harus bisa melewati suatu ujian atau rintangan. Dan

ujian yang dilalui Nabi Ibrahim adalah menyembelih putranya sendiri

yakni Nabi Ismail.

5. Reward atau Targhib dan Tarhib

(٠١٤) ك نزي المحسني إنا كذل

(٠١٦) وفدي ناه بذبح عظيم

Ayat tersebut berisi tentang tebusan atau hadiah atas berhasilnya ujian yang

telah dilalui oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Adapun tebusan atau hadiah

tersebut berupa seekor sembelihan yang besar.

(٠٠١(كذلك نزي المحسني )٠١٨) سلم على إب راىيم

Ayat tersebut berisi tentang tebusan atau hadiah atas berhasilnya ujian yang

telah dilalui oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Adapun tebusan atau hadiah

tersebut berupa kesejahteraan bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang berbuat

baik.

E. Analisis Pendidikan Tauhid di dalam Keluarga Qs. Ash-Shaffat Ayat 100-

110

Setelah menelusuri tafsir dari para ulama, maka dapat dianalisis bahwa

pendidikan tauhid didalam keluarga yang diajaran dalam al-Qur‟an surat Ash-

Shaffat ayat 100-110 adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan Keimanan yang kuat di dalam Keluarga

Perintah penyembelihan sangat berhubungan dengan hak hidup pribadi Ismail.

Untuk melaksanakan perintah itu tidak saja melibatkan kesiapan emosional, tetapi

juga kemantapan spiritual dengan kata lain penuh dengan keimanan. Kesiapan

emosional diekspresikan dengan bentuk ketegaran dan kesabaran yang didasarkan

pada keimanan dan kepatuhan kepada Allah. Pendidikan untuk menanaman

keyakinan (pendidikan keimanan) adalah seharusnya mendapatan prioritas

pertama dan utama dalam proses pendidikan tauhid, baik pendidikan yang

berlangsung di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dengan pendidikan

keimanan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku yang terpuji dalam

kehidupan sehari-hari sebagai amal shaleh.

Hal ini berarti dibalik materi penyembelihan, terdapat materi pendidikan

terkait, yaitu aspek keimanan dan emosional. Pada aspek keimanan secara implisit

berarti uji kepatuhan terhadap perintah Allah dan sekalipun menjadikan nyawa

sebagai taruhan. Pada tahapan ini, Ismail telah menunjukkan dedikasi yang tinggi

dengan totalitas kesiapan emosionalnya, sehingga lulus dari bahaya kematian.

2. Sikap Demokrasi Dipahami sebagai Kompetensi Pendidik (Orang Tua)

Di dalam Islam prinsip musyawarah dan persatuan kesatuan umat merupakan

salah satu sendi yang lain. Seperti, tolong-menolong, tenggang rasa, dan

sebagainya mendapatkan perhatian yang serius dan harus dikembangkan dalam

kehidupan umat Islam, khusunya di dalam keluarga.

Nabi Ibrahim telah meminimalisasi sikap otoritatif (pemaksaan) dalam

pendidikan, yaitu dengan memahami kesiapan mental Ismail. Hal itu terjadi

karena Ibrahim berusaha memahami siapa dan bagaimana kesanggupan anak

didik yang dihadapinya. Pada saat itu, usia Ismail menurut Al-Farra‟ masih 13

tahun, atau dalam istilah Ibnu Abbas menginjak usia pubertas (ihtilam).

Demokratisasi Ibrahim dalam mendidik Ismail merupakan kearifan pendidik

yang professional. Kearifan itu telah muncul, karena mempertimbangkan sikap

mental dan kejiwaan anak didik. Demikian halnya kearifan disebabkan yang

selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan yang dilakukan.

3. Sikap Sabar yang Diwujudkan dengan Metode Dialogis

Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana dikutip Miftahul Huda dan Muhammad

Indris, cara dialog atau komunikasi bertujuan untuk melatih berargumentasi,

kesabaran, ketangguhan, dan keteguhannya untuk patuh kepada Allah dan taat

kepada orang tua.69

Pada ayat tersebut, Ibrahim memberitahu Ismail tentang mimpinya agar

dapat dipahami oleh Ismail yang masih kecil. Untuk memahamkan misi

pendidikan itulah Ibrahim mensosialisasikan melalui upaya dialog atau

komunikasi untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan melalui dialog.

Dengan dialog, akan ditemukan kesamaan persepsi tentang visi dan misi

pendidikan yang dilaukan. Metode dialogis membangun interaksi pendidikan

menjadi harmonis.

4. Sikap patuh seorang anak sebagai kunci keberhasilan atas ujian yang

dihadapi

Ibrahim telah menerapkan demokratisasi dalam pendidikan dengan

meninggalkan sikap otoriter. Hal ini bagi Ismail berarti bentuk kebebasan yang

harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Implikasinya,

menunjukkan sikap patuh dan tunduk atas perintah penyembelihan itu.

Kebebasan memilih, yang ditawarkan Ibrahim kepada Ismail tidak

membuat Ismail mengedepankan interest pribadinya untuk menyelamatkan

69

Miftahul Huda, Muhammad Idris, Nalar Pendidikan Anak, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), h.

154.

diri dari maut. Sebaliknya, dengan bangga dan penuh rasa hormat

memperislahkan sang ayah untuk melaksanakan perintah tersebut. Hal ini

terjadi karena dalam diri Ismail terdapat keyakinan akan keberhasilan apa yang

dilakukannya. Ismail yakin akan dapat melampaui ujian itu, seraya

mendapatkan kemenangan yang gemilang, karena termasuk orang-orang yang

sabar.

5. Reward

Reward dalam pendidikan, tidak bisa dipisahkan dari tujuan pendidikan itu

sendiri. Manusia yang bertakwa selalu menjadi salah satu kunci dalam rumusan

tujuan pendidikan dalam Islam. Karena pendidikan pada dasarnya adalah

proses menuju kesempurnaan idividu.

Pada peristiwa penyembelihan tersebut, Allah memberi tebusan atau

hadiah (reward) atas keberhasilan dalam ujian tersebut berupa seekor

sembelihan yang besar. Dengan demikian nilai pendidikan tersebut merupakan

rujukan penting memberikan inspirasi sehingga peserta didik tidak hanya

mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, akan tetapi lebih jauh dalam

mentransfer nilai-nilai luhur darinya. Untuk melandasi metode reward dalam

pendidikan terkhusus di dalam keluarga. Beberapa prinsip sebagai berikut :

1. Kesabaran, keuletan, dan ketegaran.

2. Pemaaf, tanpa dendam dan dengi kepada orang lain yang berbuat kesalahan

kepadanya.

3. Mencintai dan menyayangi

Reward memang sudah seharusnya diterapkan dalam proses belajar-

mengajar, terlebih ketika materialisme sering mengalahkan prinsip-prinsip

keagamaan. Reward tidak harus dalam bentuk materi, tetapi merangsang

kecerdasan anak, memperhalus budi pekerti, dan mempertajam spiritual

keagamaan mereka.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah melakukan pembahasan dan menganalisis pada bab

sebelumnya, maka dapat penulis simpulan, yaitu :

1. Pandangan mufassir tentang surat Ash-Shaffatayat 100-110 pada

umumnya berpendapat sama dalam menafsirkan ayat tersebut. Di dalam

ayat tersebut Allah Subhanahuwata‟ala memberikan ujian kepada Nabi

Ibrahim untuk mengorbankan anak kandung-Nya sendiri yakni Ismail,

pada kejadian itu Nabi Ismail pun menyetujui pendapat ayah-Nya karena

perintah tersebut datangnya dari Allah. Dengan kejadian tersebut keluarga

Ibrahim diangkat derajatnya oleh Allah dan dijadikan pelajaran untuk

umat-umat setelahnya bahwa kecintaan kepada Allah Subhanahuwata‟ala

tidak boleh melebihi kecintaan kepada makhluk.

2. Surat Ash-Shaffat ayat 100-110 ini mempunyai tema yang mencangkup

ada pendidikan tauhid yaitu, pendidikan keimanan dimana keimanan

sendiri terdiri dari keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada

Kitab- kitab, kepada Rasul, kepada hari akhir serta keimanan kepada

qadha dan qadhar. Ada punmaksud dari pendidikan keimanan ini

merupakan cikal bakal pendidikan tauhid yang akan ditanamkan kepada

anak.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan tentang pendidikan tauhid di

dalam keluarga (kajian tafsir surat ash-shaffat ayat 100-110), penulis akan

memberikan saran dan masukan yang ditujukan kepada pendidik terutama

orang tua dalam bidang pendidikan tauhid, khususnya bagi penulis sendiri.

Adapun saran-sarannya adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya orang tua sudah menanamkan ketauhidan kepada anak

sejak ia lahir.

2. Anak yang baik dan patuh, tunduk kepada perintah Allah berasal

dari orang tua yang kuat imannya pula, oleh karena itu orang tua

diharapkan bisa menjadi manusia yang taat untuk mencetak anak

yang taat pula.

3. Orang tua harus senantiasa menanamkan kesabaran dan keikhlasan

dalam dirinya, agar permasalahan-permasalahan yang dihadapinya

dimanapun ia berada dapat diatasi dengan baik dan benar.

4. Orang tua semestinya memberikan pendidikan yang terbaik kepada

anak dengan memasukan kelembaga pendidikan yang berlandaskan

Islam. Dengan pendidikan yang seperti itu diharapkan dapat

menjadi bekal kehidupannya, di dunia maupun di akhirat.

5. Yang paling terpenting orang tua harus mengiringi setiap langkah

anak dengan doa dan harapan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Kajian Komprehensif Aqidah Ahlusunnah Wal Jama‟ah. Yogyakarta :

Titian Ilahi Press, 1995.

Abdurrohzzaq, Syaih. Fiqhul Asmail Husna. Dar Alamiyyah Mesi.

Al-Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir. Krapyak Yogyakarta : Unit

Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.

Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia, 1998.

Aimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya : Pustaka

Pelajar, 2003.

Al Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Al Imam. Badai‟ul Fawa‟id Jilid 2. Dar Alamil

Fawaid Arab Saudi.

Al Qurtubi, Syaikh Imam. Tafsir Qurtubi Jilid 15. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al Maragi Juzz XXIII. Ter. Dari Tafsir Al-

Maragi oleh Badrun Abu Bakar dkk, Semarang : Toha Putra, 1993.

Aminatun, Siti. Peran Keluarga Dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak

Melalui Program Keluarga Harapan, Jurnal Penelitian Kesejahteraan

Sosial. Vol. 4, 2016.

Amini, Ibrahim. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta : Al-Huda, 2006.

Asy‟ari, Hasyim. Adab al-Alim wa al-Muta‟allim. Jombang : Matabah al-Thurast

al-Islami.

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat

Pers, 2002.

Asmuni,Yusran. Ilmu Kalam,. Jakarta : Rajawali Pres, 1996.

Aziz, Erwati. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Solo : Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, 2003.

Azzam, Abdullah. Aqidah (Landasan Pokok Membina Ummat). Jakarta : Gema

Insani Press, 1993.

Al-Misriy, Al-Afriqiy, Ibnu Mansur. Lisan Al-Arab.

Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an. Yogyaarta : Pustaka

Pelajar, 1998.

Djamarah, Bahri, Syaiful. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Eduatif.

Jakarta : Renika Cipta, 2000.

Daradjat, Zakiah dkk., Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya jilid VIII. Yogyakarta: PT.

Dana Bhakti Wakaf, 1991.

Ehols, M John dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia,

2001.

Fikr, Rausyan. “Model Pendidikan Tauhid”, Jurnal Pemikiran & Pencerahan

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang. Vol.

1, 2012.

Fuaduddin, Pengaruh Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta : Lembaga Kajian

Agama dan Jender, 1999.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

Hawi, Akmal. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam.

Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013.

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzz.XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.

Hamdani, Muhammad. Pendidikan Ketuhanan Dalam Islam. Surakarta :

Muhammadiyah University Press, 2001

https://m.republika.co.id/amp/ooyiiy396#referrer=https://www.google.com

https://amp.kompas.com/megapolitan/read/2018/08/28/16225911/kronologi-tawuran-

antar-pelajar-smk-pa-vs-smk-bm-yang-tewasan-satu

https://www.vice.com/id_id/article/z4ny95/kru-televisi-indonesia-membeberkan-rahasia-

produksi-di-balik-reality-show-misteri

https://m.republika.co.id/amp/nnpufo

Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta : LPPI, 2004.

Nida‟ Al-Qur‟an, “Metode Penafsiran Al-Qur‟an”, Jurnal Kajian Al-Qur‟an dan

Wanita. Vol. 3, 2005.

Mahmud, Gunawan, Heri, Yulianingsih, Yuyun. Pendidikan Agama Islam dalam

Keluarga. Jakarta : Akademik Permata, 2003

Nasution. Kurikulum Dan Pengajaran. Jakarta : Fakultas MIPA UNJ, 1989.