pendidikan multikultural
DESCRIPTION
pengantar ilmu pendidikanTRANSCRIPT
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, KONSEP DAN PENERAPANNYA DI
SEKOLAH MENENGAH
(disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan)
Oleh :
ARIFINA YULIA W. (080210103030)
LINA DWI SELVITASARI (090210102030)
CYNTHIA NOVARINDA (090210102068)
YAYUK SUSENO (120210201028)
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU MPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan
ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan
berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan,
perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk
menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturisme tersebut.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung
konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada
dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial
budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain
sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
"multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultur" tersebut berhadapan
dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan
nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya tersebut.
Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam,
yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya
yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.
Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh
perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang
pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat,
mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau
perbedaan SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik
berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk
masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus
untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi,
budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga
pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya
untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya,
agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang
berwawasan multikultural akan membantu siswa mengerti, menerima dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-
institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi
generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan
kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu
juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan
masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama
dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat
diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang
mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendidikan multikultural?
2. Apa peran pendidikan multicultural ?
3. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural dalam negara Indonesia?
4. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural dalam kegiatan
pembelajaran?
5. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural di tingkat sekolah
menengah?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Menegetahui pengertian pendidikan multikultural.
2. Mengetahui peran pendidikan multikultural
3. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural dalam negara Indonesia.
4. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural dalam kegiatan
pembelajaran.
5. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural di tingkat sekolah
menengah.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan
dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk
seluruh siswa. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah pendidikan
multicultural masih dipandang asing bagi masyarakat umum, bahkan
penafsiran terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multicultural juga
masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan.
Seperti pendapat Andersen dan Cusher (1994) sebagaimana dikutip
Mahfud ( 2008 ), bahwa pendidikan multicultural diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez (1989 ), mengartikan
pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial,
politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam
pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,
status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan.
Ahli lain, Sleeter dan Grant ( 2007,2009 ) dan Smith ( 1998 ) sebagaimana
dikutip Zamroni (2011) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai suatu
pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara
holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan,
kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia
pendidikan( Zamroni, 2011: 144)
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan
lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan
multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang
bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa
memandang latar belakang yang ada.
Prinsip kedua: pendidikan multikultural mengandung dua dimensi:
pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak
bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang
komprehensif
Prinsip ketiga: pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan
yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem
kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam
pendidikan.
Prinsip keempat: berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan
multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh
kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki
Prinsip kelima: pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik
untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.
Konsep multikulturakisme menekankan pentingnya memandang dunia dari
bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai
kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global.
Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan sekolah di mana
berbagai perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual,
keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai
sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses
yang rumit dan kompleks, karena tidak semua faktor yang terlibat bisa
dikendalikan oleh guru. Dalam analisisnya, Maurianne Adams and Barbara J.
Love (2006). Menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam
proses pembelajaran, yaitu :
1). Faktor bawaan siswa,
2) Faktor bawaan guru,
3) Faktor pedagogy, dan
4) Faktor isi kurikulum.
Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki
bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat
sangat pribadi.
2. Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri,
ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi.
3. Ketiga; kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk
setiap individu siswa.
4. Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan
dampak yang berbeda pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh
seorang guru dalam suatu proses.
Kegagalan dalam proses meramu guru menyebabkan siswa dengan status
sosial ekonomi rendah tidak dapat mengikuti pembelajaran sebagaimana
mereka siswa yang datang dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Demikian pula
halnya bagi siswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan
gagal beradaptasi dalam proses pembelajarannya.
Pendidikan multikultural merupakan suatu proses transformasi yang
tentunya membutuhkan waktu panjang untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Menurut Zamroni ( 2011 ) disebutkan beberapa tujuan yang akan
dikembangkan pada diri siswa dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
1. Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah
dipelajari.
2. Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas fihak lain yang
dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta
terus mengkaji bagaimana cara menghilangkannya
3. Siswa memahami bahwa setiap ilmu pengetahuan bagaikan sebuah
pisau bermata dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau
meningkatkan keadilan sosial.
4. Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan
yang dimiliki dalam kehidupan.
5. Siswa merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan
ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
6. Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan
apa yang dipelajari.
7. Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan
berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.
Sehingga Pendidikan Multikultural dapat diartikan proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses,
perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas secara humanistik.
Pada pembelajaran dapat berarti proses pendidikan yang
diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu
mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya
pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak
mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan
berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku
bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.
2.2 Peran Pendidikan Multikultural
1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa
ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain
dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya
beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya
secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya.
Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada
pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama
berbeda.
Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau
menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak
mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun,
karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama
dengan orang lain yang berbeda agama.
2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah
Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa
yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat
bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di
sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap
ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan
terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh
mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca
ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap
apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang
ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai
teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan
berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.
3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah
Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender
dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap
siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan
jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan
sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik
tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia
yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun
yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik
terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.
4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta
perbedaan sosial
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh
mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status
sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah.
Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang
ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan
perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang
kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki.
Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun
saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan
saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu
waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti
asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga
sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan.
Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan
material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun
yang menjadi obyek empati.
5. Membangun sikap antideskriminasi etnis
Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai
etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis
mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis
yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif
terhadap etnis yang berbeda.
6. Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam
psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik
dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana
orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal
masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian
warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang
meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu
sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang
lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga
bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah
akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya
dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas
agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya
tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang
memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh
teman-temannya.
7. Menghargai perbedaan umur
Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan
kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini,
terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai
umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya
siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan
dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada
deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah
dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan
ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai. Seharusnya yang
lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan,
demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang
muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang
lebih tua.
2.3 Penerapan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku
bangsa, golongan maupun budaya lokal perlu menyusun konsep
pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat
identitas nasional, Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah
diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan
memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah
kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang
selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Dengan demikian,
pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada
siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap
multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur,
agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa
membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama
membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan
global dan nation dignity yang kuat.
Menurut Hamid Hasan (2000), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia
memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan
ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan
guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam
menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses,
belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan
sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang
memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum,
baik sebagai proses maupun sebagai hasil.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan
pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat
prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan
filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan
berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan
evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai pendidikan
tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan
objek studi harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat,
kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah
dan nasional.
2.4 Penerapan Pendidikan Multikultural dalam Kegiatan Pembelajaran
Dari aspek metode strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek
penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis
buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana
dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai
“praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.”
Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146)
menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu:
a) Lingkungan fisik (physical environment),
b) Lingkungan sosial (human environment), dan
c) Gaya pengajaran guru (teaching style).
Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang
aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman,
guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan
kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar
belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif
untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat
diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar
siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Dalam
proses pembelajaran guru tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan lain-
lain.
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran
guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru
merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru
dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a
teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat
berpengaruh bagi ada tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan
membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter,
demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak
memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang
diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya
kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk
menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang
menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan
sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas.
Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih
cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004:
3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam
strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan
penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru
misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain
dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga
dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga
dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara itu,
melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan
diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam
pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan
kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai
agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi
dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di
masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang
terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan
mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan
memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman
dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk
melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural
dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan
empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar
berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik
sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan
beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki
status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan
anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan
kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh
kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas
harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa.
Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi:
a) Guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai
manusia,
b) Guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda
otoriter, demokratis, dan bebas untuk meningkatkan hak-hak siswa,
c) Guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan
sipil, dan
d) Guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi
hak-hak minoritas.
Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak
mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui
bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru
memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994:
6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu:
a. Memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas,
b. Terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,
c. Siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan
gender;
d. Memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas,
e. Mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan
f. Berorientasi pada program dan masa depan.
Selain itu, ada beberapa aspek lain menurut James A. Bank, pendidikan
multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu : Aspek konsep, gerakan,
dan proses.
1. Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide
yang memandang semua siswa tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial
mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural
lainnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas.
2. Aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai
usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan
sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok
kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang
dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti
metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah.
3. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami
sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai
oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan
tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus.
Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap
(attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan
kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap
responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi
konflik.
Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek
pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang
bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan
menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran
perspektif kultural.
Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan
pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi,
stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan
media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan
perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi
antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan
teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika
kultural.
Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan
pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman
nilai-nilai tersebut hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di
dalam proses pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran.
Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah
Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air,
Menghargai prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta damai, Percaya Diri,
Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.
Beberapa contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada
proses pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang
kuliah untuk menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru
atau dosen (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif),
pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas atau ruang kuliah
(nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika
pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara
bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan
Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti sosial
pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-
lain.
Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi
untuk diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam
kurikulumnya, kegiatan-kegiatan siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran
ataupun perkuliahan.
2.5 Penerapan pendidikan multikultural ditingkat Sekolah Menengah
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan
kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui
pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi
hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk
membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan
memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah
terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif
dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma
keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.
Pendidikan multikultur melalui pendidikan kewarganegaran dan
Pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design
perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau
penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses
pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati
hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan
budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur
harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes,
non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan
portofolio siswa. Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat
dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:
1. Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-
perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur
masyarakatnya
2. Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik,
multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi
dan kekuatan bangsa
3. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu
warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa
dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik
dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan
budaya mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara
untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga
pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.
5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan
mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa
membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Adanya kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka pembelajaran
multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap
dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua
anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa,
bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil
dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.
Sejalan dengan konsepsi ini, Jhon Dewey merekomendasikan tiga hal yang
harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum. “Pertama,
hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan
masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk
mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin
hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”.
Agar pendidikan multikultur ini dapat menghasilkan output atau lulusan
yang tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada pada setiap
institusi pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga
mampu menerapkan nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan
menghargai keberadaan perbedaan yang ada maka penanaman nilai-nilai ini
tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama saja
tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran lain. Dimana penanaman
nilai multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau pendidik baik dalam
pembelajaran di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari.
Adapun contoh penanaman nilai multikultur antara lain tidak membeda-
bedakan siswa, membentuk kelompok diskusi secara heterogen, pengambilan
keputusan secara demokratis, memberi kebebasan bagi siswa dalam
mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai budaya dan bahasa serta
juga dapat dimasukkan ke dalam ekstra kurikuler seperti ekskul Bahasa
Indonesia dan Karya Ilmiah Remaja, Pembinaan Pribadi dan adapula yang
memberikan film (acara nonton film bersama) namun sasarannya hanya pada
siswa yang bermasalah dan suka “ngegeng”.
Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam
sebuah design pengembangan kurikulum yang integratif, sequentif dan
didukung dengan lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan
kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur.
Pendidikan multikultur, secara substantif harus bisa menjadi bagian
integral baik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan
mata pelajaran Pendidikan Agama, ekstrakurikuler ataupun mata pelajaran
lain sebagai pendidikan nilai. Tema-tema multikultur harus disajikan
dalam skope yang komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai
kompetensi yang telah disepakati dan ditetapka
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan dapat menjadi
solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat. Dengan
kata lain pendidikan multikultural menjadi sarana alternatif pemecahan konflik
sosial budaya.
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik pendidikan multikultural
juga signifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercabut dari akar budaya
yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas sosial budaya di era
globalisasi. Oleh karena itu, sebagai landasan pengembangan kurikulum
pendidikan nasional dalam melaksanakan kurikulum sebagai titik tolak dalam
proses belajar mengajar atau memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang
harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, maka pendidikan
melalui landasan kurikulum multikultural menjadi sangat penting. Dengan
demikian, pendidikan multikultural ini bisa dimasukkan secara integral dalam
semua mata pelajaran. Walaupun dalam format kurikulum nasional belum
menjadi suatu mata pelajaran yang mandiri (berdiri sendiri), tetapi bersifat
integratif dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan
Agama.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat disempurnakan pada pemakalah selanjutnya.
Karena dalam makalah ini mungkin terdapat kesalahan baik dalam penulisan kata
maupun yang lain yang belum dapat penulis temukan. Selain itu Agar tujuan
pendidikan multikltural dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran dan
dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil
kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan kurikulum dengan
pendekatan multikultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu
memahami konsep pendidikan multikultural dalam perspektif global agar nilai-
nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus
dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan melalui
pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik akan lebih mudah
memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku
humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta didik diharapkan
menjadi “generasi multikultural” di masa yang akan datang untuk menghadapi
kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan kedisiplinan,
kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran dalam berperilaku
sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Praksis Pendidikan di Indonesia, dapat diakses secara online di
http://ulilalbabjong.wordpress.com/2012/01/23/implementasi-pendidikan-
multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/
Buchori, Mochtar.Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara online di
http://paramadina.wordpress.com/2007/03/04/pendidikan-multikultural/
Dixon,Gloria M. Ameny dan Mc Neese.Pendidikan Multikutyural. Dapat diakses
asecara online di http://shiningallspark.web.id/pendidikan-multikultural-di-
sekolah.html
Hanum, Farida. Pentingnya Pendidikan Multikultural dalam Mewujudkan
Demokrasi di Indonesia, dapat diakses secara online di
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/
pentingnya-pendidikan-multikultural-dalam-mewujudkan-demokrasi-di-
indonesia.pdf
Hasan, Hamid S. Multikulturalisme Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional,
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses 3 Oktober 2012.
Larasati ayu , Minten. Pengertian Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara
online di http://.kompasiana.com/2012/01/31/pengertian-pendidikan-
multikultural/
Larasati ayu , Minten. Tujuan Pendidikan Multikultural, dapat diakses online di
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/22/tujuan-pendidikan-multikultural/
Mahfud, Choirul, 2009, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, 2008, Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi, Jogjakarta: A-Ruzz Media.
Nogo welan, kamelia. Makalah Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara
online di http://kameliaq.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-
multikultural.html
Saifudin, Miftachul. Implementasi pendidikan Multikultural di Indonesia, dapat
diakses online di http://id.shvoong.com/books/dictionary/2177284-
implementasi-pendidikan-multikultural-di-indonesia/