pendidikan cinta kasih perspektif...
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN CINTA KASIH PERSPEKTIF
JALALUDDIN RUMI
TESIS
Oleh:
Hisnuddin
21160110000014
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1441 H
ABSTRAK
Nama Penulis : Hisnuddin
N I M : 21160110000014
Judul Tesis : Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi
Tujuan penelitian ini ialah untuk menelaah pendidikan ruhani yang berbasis cinta kasih
dari Jalaluddin Rumi dan mengungkapkan konstribusi pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi
dalam dunia pendidikan agama Islam. Penelitian ini menggunakan studi pustaka (Library
Research) yang mengkaji pemikiran Rumi yang menekankan pentingnya cinta kasih sebagai
ruh pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan karya-karyanya sebagai rujukan, seperti;
Matsnawi, Diwan-i Syams Tabrizi, Rubaiyat, dan Fihi Ma fihi. Di akhir penelitian ini
diperoleh hasil bahwa cinta yang dimaksud Rumi berbeda dengan konsep cinta pada
umumnya. Rumi lebih jauh berbicara tentang cinta sebagai nilai tertinggi kepada Tuhan,
melalui ajaran dari guru spiritualnya Syamsuddin at-Tabriz. Penulis menemukan konsep
pendidikan ruhani Jalaluddin Rumi sebagai ajaran tentang pengalaman sufi yang menekankan
cinta sebagai penggerak utama manusia menuju Allah.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Miswari (2018) Senandung Cinta Penuh
Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi; Syamsul Ma’arif (2017) Konsep Mahabbah
Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan Konseling Islam; Syamsun Ni’am
(2001) al-Hubb al-Ilahi: Studi Perbandingan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin
Rumi. Sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang sama mengenai konsep
pendidikan cinta kasih menurut Rumi. Dapat dikatakan penelitian ini masih sangat baru dan
relevan untuk dikaji.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis teks. Sumber
data primer didapatkan dari pemahaman makna yang terdapat pada setiap bait-bait syair, kata,
dan hikayat. Hasil dari pemahaman makna secara keseluruhan dilakukan penafsiran dan
pengkategorian yang terkandung dalam karya-karya Rumi. Berdasarkan dari hasil penelitian
bahwa konsep pendidikan cinta kasih dalam perspektif Rumi yaitu; Pertama, mahabbah
sebagai kendaraan menuju Allah, yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah; Kedua,
‘isyq yaitu mahabbah dalam tingkat lebih tinggi yang membakar kerinduan murid untuk
segera berjumpa dengan Allah; Ketiga, fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu keadaan
hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, dan berhasil membersihkan dirinya
dari segala kotoran sehingga hanya ada Allah semata.
Kata Kunci: Pendidikan, Cinta Kasih, Rumi.
ملخص
: ِحصن الدين الباحث
3220122111112رقم القيد:
عنوان الرسالة: تربية احلب من منظور جالل الدين الرومي
جالل الدين حية ادلبنية على احلب الذي قّدموإىل الكشف عن الًتبية الرو ىدفت ىذه الدراسةالدراسة البحث ادلكتيب الذي استخدمتفية يف رلال الًتبية اإلسالمية. والكشف عن إسهام أفكاره الصو الرومي
كما أهنا على أمهية احلب باعتباره روح الًتبية اإلسالمية. تتركز حيثجالل الدين الرومي بحث يف أفكار يكتب ادلثنوي، وديوان الشمس التربيزي، ورباعيات، وفيو ما فيو. يف النهاية من مرجعا ذلا، وؤلفاتاستخدمت م
خيتلف عن مفهوم احلب يف جالل الدين الرومي قدّموتوصلت ىذه الدراسة إىل النتيجة أن مفهوم احلب الذي ومثل ،اعترب احلب بأنو القيمة العليا عند الربأبعد عن ذلك حيث إنو عن احلبحتدث فهومفهومو العام،
ىذا ادلفهوم تناولو الرومي من مربيو الروحي مشس الدين التربيز. إضافة إىل ذلك وجد الباحث أن مفهوم الًتبية زلّرك الناس الروحية عند جالل الدين الرومي يعترب من تعاليم اخلربة الصوفية اليت تؤكد على احلب باعتباره
الرئيسي جتاه اهلل.
يف حبثو حتت العنوان م( 3122ختتلف ىذه الدراسة عن دراسة مسواري ) Senandung Cinta Penuh
Makna: Analisis Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi بالعنوان: م(3122ودراسة مشس ادلعارف )، Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan
Konseling Islam حتت العنوام( 3112، ودراسة مشس النعم ) al-Hubbu al-Ilahi: Studi
Perbandingan antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi نظرا إىل ذلك، فلم جيد . الذي قّدمو البحث منظور الرومي. وديكن القول إنيف مفهوم تربية احلب من تحبثنفس الدراسة اليت الباحث
.دراستوا وىاما لجديدحبثا يعترب الباحث
فهو حبث نوعي من نوع دراسة حتليل النص أو البحث ادلستخدم يف ىذه األطروحةمدخل وأما والكلمات وأما مصادرىا األولية فتم احلصول عليها من فهم ادلعاين اليت حيتوي عليها أبيات الشعر، احملتوى.
. وقد توصل ىذا البحث إىل النتائج، حيتوي عليها مؤلفات الرومي واحلكايات.مث يتم تفسري وتصنيف ادلعاين اليت عتربي ، : العشقثانيايف عبادة اهلل. شخصتعترب مركبا جتاه اهلل. وىي عبارة عن كمال الاليت : احملبةأوالأمهها: الفناء )احتاد النفس :ثالثايف أقرب وقت ممكن.و للقاء اهلل اليت حترق الشخص ةيمن احملبة يف ادلرتبة الثان العشق
القلب اجملرد من األمراض الروحية والناجح يف تزكية النفس من كل الشوائب حىت ال يكون باهلل( وىو عبارة عن سوى اهلل.معو
الًتبية، احلب، الرومي الكلمات األساسية:
ABSTRACT
Name : Hisnuddin
Student ID : 21160110000014
Thesis Title : Love Education in the Perspective of Jalaluddin Rumi
The purpose of this study is to examine the spiritual education based on
love from Jalaluddin Rumi and to reveal the contribution of the thoughts of Sufism
of Jalaluddin Rumi in the world of Islamic religious education. This study employed
library research that examined Rumi's thoughts, which emphasized the importance
of love as: Matsnawi, Diwan-i Syams Tabrizi, Rubaiyat, and Fihi Ma fihi. This
research also found that the love referred to by Rumi was different from the concept
of love in general. Rumi further spoke of love as the highest value to God, through
the teachings of his spiritual teacher, Syamsuddin at-Tabriz. The author discovered
the concept of spiritual education of Jalaluddin Rumi as teaching about Sufism
experiences that emphasized love as the prime stimulus of man towards Allah.
This research is different from research by Miswari (2018) Senandung
Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi Jalaluddin Rumi; Syamsul Ma’rif
(2017) Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan
Konseling Islam; Syamsun Ni’am (2001) al-Hubb al-Ilahi: Studi Perbandingan
antara Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. So far, the author have not
found yet, any similar research regarding the concept of love education according to
Rumi. It can be said that this research is still very new and relevant.
This research method used was a qualitative approach with text analysis.
Primary data sources obtained from understanding the meaning contained in each
verse verses, words, and saga. The result of understanding the meaning as a whole
is done by means of interpretation and categorization contained in Rumi's works.
The results of this research revealed that the concepts of love education in Rumi's
perspective are: first, mahabbah as a vehicle to God, namely the totality of students
in serving God; secondly, 'isyq, which is a higher level of mahabbah which ignites
the desire of the students to immediately meet Allah; third, fana (self-amalgamation
in God) is the condition of the disciple's heart that has been empty of all heart
disease, and successfully cleansed himself of all impurities so that there is only
Allah alone.
Keywords: Education, Love, Rumi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan
A. Transliterasi
Tabel sistem transliterasi Arab-Latin
dari Institute of Islamic Studies, McGill University.
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
1. Pendek: a = ´ ; i = ِ ; u = ِ
2. Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
3. Diftong: ay = ا ي ; aw = ا و
4. Kata ال ditulis dengan al- seperti الحم
5. Nama orang, istilah hukum dan nama-nama yang sudah dikenal di Indonesia tidak
terikat pada pedoman ini. Contoh: Fatimah, Shalat, Zakat.
B. Singkatan
H = Hijriyah
M = Masehi
Saw = S}alla> Alla>hu ‘Alayhi wa Sallam Swt = Subhana>hu wa Ta’a>la> a.s = ‘Alayhi al-S}ala>m
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. Sang
Kekasih sejati Yang Maha Indah. Sang pemberi limpahan rahmat, hidayah, inayah, nikmat
dan karunia kepada para pencinta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
baginda, sang revolusioner sejati yang menuntun umatnya menuju jalan cinta kasih penuh
kedamaian dan keridhaan Allah swt. yaitu baginda Nabi Muhammad saw. Dan kepada
keluarganya, para sahabatnya, tabi’at tabi’in, ulama salafussholih, para syuhada, para
awliya, para ahlushuffah dan seluruh kaum muslimin sampai kepada umatnya saat ini.
Mudah-mudahan di akhirat kelak kita semua mendapatkan ridha dan berjumpa dengan
Allah swt. dan diberi syafaat Nabi Muhammad saw. Amin.
Penyelesaian tesis ini merupakan prasyarat untuk menyelesaikan studi pada Program
Magister Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan
dan kesulitan yang dihadapi. Namun berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak,
hambatan dan kesulitan tersebut dapat terlewati. Dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan berupa arahan, bimbingan, dan lainnya selama proses penyelesaian
tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya tersebut penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany
Burhanuddin Umar Lubis, M.A.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.
Sururin, M.Ag.
3. Ketua Program Magister Pendidikan Agama Islam, Dr. Sapiudin Shidiq, M. Ag.
beserta jajarannya, yang telah memberikan pelayanan akademik dengan baik.
4. Pembimbing, Dr. Yayah Nurmaliah, M.A yang telah memberikan bimbingan,
arahan, wawasan dan nasehat dengan penuh kesabaran, ketekunan serta
keikhlasan.
5. Seluruh Dosen Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu baik secara intelektual maupun spiritual kepada penulis.
6. Ustadz Muhammad Nur Jabir, selaku direktur Rumi Institute yang telah bersedia
meluangkan waktunya dengan penulis dalam mengkaji pemikiran Maulana
Jalaluddin Rumi.
7. Ayahanda Dr. KH. Baharuddin Abd Safa, M.A, dan Ibunda Hj. Nurhaedah Djibo,
saudara saya Nahdhiyah, Dhiyauddin, Raisuddin, dan Khadimuddin, serta seluruh
keluarga tercinta yang selalu memberikan cinta kasih, semangat, pelajaran hidup,
nasihat, dan dukungan lainnya baik dari segi material maupun spiritual.
8. Seluruh sahabat-sahabat Magister Pendidikan Agama Islam angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menjadi teman
diskusi, memberi masukan, semangat dan motivasi saat berada di bangku
perkuliahan kepada penulis. Terkhusus kepada Harisal, dan Syaukat.
9. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan di Komunitas Lingkar Santri Cendekia
(LSC) Ciputat, yang telah memberikan gagasan-gagasan menyejukkan dalam
beragama, dan memberi semangat serta motivasi saat menulis tesis ini.
10. Seluruh sahabat dan pengurus Komunitas Al-Filosufiyah Institute dan
Foucaultfreire Institute, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian tesis ini.
ix
11. Kepada buah hatiku tercinta Hudzaifah Ainun Nadjib, yang selalu mengganggu
dan menemani penulis di saat menyelesaikan tesis ini.
12. Kepada semua pihak yang turut andil dan telah berkontribusi dalam penyelesaian
tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya kepada mereka yang telah penulis sebutkan, hanya doa yang dapat
dipanjatkan kepada Sang Kekasih Sejati, semoga Allah swt. akan membalasnya dengan
balasan cinta kasih dan ridha-Nya. Amin.
Jakarta, 22 Januari 2020
Hisnuddin
x
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 9
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 10
D. Batasan Masalah ................................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 10
F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 11
G. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................................... 11
BAB II PENDIDIKAN CINTA KASIH
1. Pengertian Pendidikan ..................................................................... 14
2. Tujuan Pendidikan ........................................................................... 22
3. Konsep Pendidikan Cinta Kasih ....................................................... 25
4. Tujuan Pendidikan Cinta Kasih ........................................................ 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Sumber Bahan ....................................................................................... 36
B. Metode Penelitian .................................................................................. 37
C. Jenis Penelitian ..................................................................................... 38
D. Metode Pengumpulan Data ................................................................... 38
E. Analisis Data ........................................................................................ 39
BAB IV KONSEP PENDIDIKAN CINTA KASIH JALALUDDIN RUMI
A. Biografi Jalaluddin Rumi
1. Riwayat Hidup Jalaluddin Rumi ............................................... ........ 40
2. Pendidikan Jalaluddin Rumi ............................................................ 45
3. Tarekat Jalaluddin Rumi .................................................................. 49
4. Karya-Karya Jalaluddin Rumi ......................................................... 53
B. Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi
1. Konsep Pendidikan Cinta Kasih Rumi ............................................. 58
2. Implementasi Pendidikan Cinta Kasih Rumi............................ ......... 66
3. Langkah Pembinaan Pendidikan Cinta Kasih
dalam Karya-Karya Rumi ................................................................. 74
4. Kontribusi Pemikiran Jalaluddin Rumi dalam Dunia Pendidikan ....
Agama Islam ................................................................................... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 124
B. Saran ................................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 128
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks pendidikan Indonesia, sangat banyak fenomena yang
memprihatinkan terkait karakter, etika, moral, akhlak yang telah hilang
dalam kehidupan sosial. Robert M. Hutchins mengatakan bahwa pendidikan
sebagai pengembangan kekuatan intelektual manusia, sedangkan
moral/ruhaniah hanya ada di wilayah keluarga dan lembaga keagamaan
seperti gereja (Hutchins, 2015 112). Dengan demikian pendidikan menjadi
liberal yang hanya mengembangkan kemampuan nalar sehingga
mengabaikan kekuatan hati, dan kelembutan rasa. Peradaban modern pada
dasarnya bersifat individualistik yang memberi tekanan pada egoisme.
Bahkan, sistem pendidikan hari ini terus-menerus dirancang untuk
menonjolkan kepribadian individualistik. Akibatnya muncul perilaku main
hakim sendiri, praktik korupsi, prostitusi, seks bebas, narkoba, tawuran antar
pelajar di lingkungan sekolah maupun di luar, serta merebaknya fitnah,
hoax, adu domba, saling menghujat, truth claim, salvation claim baik di
dunia nyata maupun di media sosial. Gagalnya pendidikan Islam juga terlihat
pada rentetan kasus bom bunuh diri di Indonesia, seperti: Bom Bali 2002,
Bom JW Marriot 2003, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom
JW Marriot dan Ritz-Carlton 2009, Bom Kalimalang 2010, Bom Masjid
Cirebon 2011, Bom Gereja Solo 2011, Bom Mapolres Poso 2013, Bom
Sarinah 2016, Bom Terminal Kampung Melayu 2017, Bom di tiga Gereja di
Surabaya 2018, Bom di Polrestabes Surabaya 2018, dan Bom di Rusunawa
Wonocolo Sidoarjo 2018. Nampaknya pendidikan Islam kehilangan ruhnya
yaitu cinta kasih kepada sesama manusia dan alam semesta. Jalaluddin Rumi
berseru: “Cinta adalah api yang akan mengubahku menjadi air kalau aku
sebuah batu yang keras”(Schimmel, 2005: 158). Oleh karena itu, Rumi
2
berpandangan bahwa karena tiadanya cinta kasih di dalam diri, maka
manusia menjadi keras seperti sebuah batu yang akan memicu lahirnya
watak dan tindakan intoleran, terorisme, fitnah, hoax, caci-maki, dan
sebagainya. Dengan tertanamnya cinta kasih, akan melahirkan kemurahan
hati (sakha> ), rasa malu (haya>), kesabaran (shabr), lapang dada (musa>mahah),
merasa cukup (qana>’ah), kecermatan, ketelitian, kesenangan menolong orang
lain (musa>’adah), keceriaan (zharf), dan ikhlas.
Di Indonesia terjadi banyak kekerasan atas nama agama dan Tuhan,
seseorang berani melakukan bom bunuh diri demi membunuh orang yang
berbeda keyakinannnya. Doktrin bom bunuh diri sering diartikan sebagai
jihad (holy war) dalam membela agama Allah. Bahkan bom bunuh diri
dianggap salah satu cara agar bisa mati sebagai syuhada> agar menerima
sekian imbalan bidadari di surga. Seorang sufi adalah ia yang berangkat
mencari Tuhan, karena dahaganya kepada Dia tak pernah reda, maka dia
menempuh jalan yang jelas dan terang yang di atasnya terdapat cinta,
kerendahan hati, dan persaudaraan (Bentounes, 2003:24). Pendidikan cinta
kasih perlu ditanamkan kepada murid dengan memahami jihad sebagai
perjuangan batin secara terus-menerus bukan perang mengangkat senjata.
Dalam syairnya Rumi berdendang: “Berjihadlah agar cinta semakin
meningkat” (Jabir, 2019). Rumi bermaksud agar kita tidak terpaut pada
bentuk lahiriah semata, tetapi ambillah apa yang ada pada batin seseorang
yaitu kebaikan dan cinta yang ia tebarkan kepada sesama dalam mewujudkan
kedamaian dan ketentraman hidup.
Di satu sisi agama memang menganjurkan perdamaian, sebagaimana
tujuan pendidikan karakter melahirkan budi pekerti yang luhur, moral dan
etika kepada sesama manusia. Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi murid
3
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Agama juga satu
sisi ia mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu bergotong-royong,
menghargai perbedaan, mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Tanpa
cinta kasih, manusia bisa lebih berbahaya dibanding binatang, manusia akan
melakukan pengrusakan, dan pertumpahan darah. Bahkan tiga dari empat
Khalifah ar-Rasyidin menjadi korban pembunuhan: Umar bin Khattab (w.
644), Ustman bin Affan (w. 656), dan Ali bin Abi Thalib (w. 661). Belum
lagi korban yang berjatuhan akibat perang saudara sesama muslim seperti
Perang Shiffin, Perang Jamal, tragedi mihna>h, hingga sekarang konflik
Israel-Palestina, Irak, Suriah, Nigeria, Rohingya, dan juga di Indonesia
dengan beragam ormas, kelompok, mazhab dan aliran kepercayaan. Melihat
fenomena di atas bisa dianggap sebagai kegagalan pendidikan Islam karena
esensi pendidikan adalah spiritualitas dan humanistik yang di dalamnya
melibatkan dosen, guru, da‟i yang bertugas menyebarkan nilai-nilai
kebajikan kepada para murid.
Konflik paling fenomenal adalah antara penganut Katolik dan Protestan
di Eropa, antara Yahudi dan Kristen, Hindu dan Islam di India, Buddha dan
Islam di Myanmar dan lain sebagainya. Di kalangan internal Islam sendiri,
konflik antara Sunni dan Syiah merupakan sejarah lama yang tidak
ditemukan resolusinya. Rumi berkata: “Perang antar manusia tak lebih
seperti bocah yang berkelahi, semua pihak merugi tak memperoleh makna
dan arti.” (Djamaluddin, 2015: 69). Dengan hilangnya cinta kasih, akan
mengantarkan seseorang pada sikap intoleran yang menjerumuskan pada
klaim diri sebagai yang paling benar, paling suci, paling selamat, paling
ukhrawi, dan semacamnya. Seseorang yang melakukan truth claim, dan
4
salvation claim, serta menganggap pihak yang berbeda dari mereka harus
dilawan, diperangi dan halal darahnya, tidak sesuai dengan ajaran cinta kasih
dalam setiap agama. Dengan demikian, pendidikan harus menumbuhkan
kesadaran murid tentang kebhinekaan atas dasar cinta kasih agar menjadi
kekuatan untuk bersikap toleran, moderat, inklusif, open minded kepada
sesama sehingga mampu menyelesaikan masalah yang kompleks baik secara
sosial-keagamaan maupun sosial-kebangsaan.
Dalam hal ini, Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai fithra>h
majbula>h, fitrah yang tertanam kokoh dalam diri manusia, yaitu hati nurani.
Kekuatan alam bawah sadar yang terpatri kuat dalam hati nurani tentang
kepelbagaian dan inklusivitas tersebut, pada saat yang diperlukan berubah
menjadi energi spiritual yang mampu meredam benih-benih perpecahan yang
sewaktu-waktu muncul ke permukaan (Abdullah, 2014: 197). Kerangka pikir
dan sikap intoleran berakar pada realitas manusia yang hanya membelah dua
kutub yang saling berlawanan: benar-salah, hitam-putih, gelap-terang, halal-
haram, suci-kotor, dan seterusnya. Akibatnya, kesadaran setiap penganut
agama dipenuhi oleh cara pandang yang primordialisme untuk meneguhkan
dirinya sendiri paling benar dan selamat, sementara menghabisi pihak lain
yang diposisikan sebagai musuhnya atau yang berbeda dengannya. Sejalan
dengan tesis Bernard Lewis (w. 2018), yang dikutip oleh Farid Muttaqin, hal
ini disebabkan karena telah terjadi apa yang dia sebut sebagai the cosmic
clash: benturan kosmik yang dualis, kebaikan dan keburukan, tertib dan
khaos, kebenaran dan kepalsuan, Tuhan dan lawan-Nya (Muttaqin, 2001:14).
Di sisi lain, kemajuan teknologi dan sains yang tadinya dianggap bisa
menjadi penopang kebahagiaan hidup, justru meninggalkan kehampaan
secara psikologis dan spiritual yang membawa manusia tidak terkendali
akibat obesitas informasi dari internet, dan media sosial. Semua itu
5
menyebabkan lahirnya perasaan teralienasi yang cenderung membuat
masyarakat menjadi depresi, yang pada akhirnya tidak punya lagi waktu dan
energi untuk mengkaji pemikiran dan ajaran Islam secara lebih mendalam,
kemudian pada saatnya ia akan berusaha mencari pegangan keyakinan secara
instan. Akibatnya, ada kecenderungan yang semakin kuat pada penafsiran
keagamaan secara syariahistis (serba hukum) yang sempit, kaku, jumud,
tekstual, close minded. Maka, menjadi tugas setiap pendidik untuk
menawarkan suatu pemahaman keagamaan yang mampu melahirkan escape
terhadap pemahaman demikian. Dalam konteks ini penulis menekankan pada
pendidikan cinta kasih sebagai alternatif yang efektif, karena sifatnya yang
menekankan pada pembinaan spiritual yang bermuara pada kedekatan
manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan
alam, dan manusia dengan Tuhan. Dengan jalan cinta kasih, dapat
menumbuhkan perasaan yang damai, tenteram, bahagia, welas asih, dan
rendah hati kepada sesama yang akan melahirkan sikap inklusif, cinta, kasih
sayang, menghargai perbedaan, menyebarkan perdamaian, moderat, dan
toleran. Rumi mengingatkan bahwa masyarakat yang sedang mengalami
krisis multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari
agama, bukan hanya bentuk formal dan ritual doa, yaitu dengan pendekatan
cinta kasih sebagai ruh agama-agama dunia.
Pendidikan sufistik atau pendidikan cinta kasih sebagai pendidikan
ruhani mampu melahirkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah, serta
menjauhkan diri dari sikap radikalisme, eksklusivisme dalam beragama,
terutama dalam dunia pendidikan modern. Menurut kaum sufi, tujuan
tertinggi kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebenaran, dan
kebahagiaan sejati bersama al-Haqq (Nasr, 2010:46). Menurut Said Aqil
Siradj, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan
6
inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi
dalam masyarakat (Siradj, 2012:54). Dalam sebagian besar wacana tentang
Tuhan yang Rumi narasikan, pendidikan seharusnya menumbuhkan cinta
kepada alam semesta dan kepada manusia yang bermuara pada Tuhan. Bagi
Rumi, “Hanya dengan sayap-sayap cinta sakral itulah seorang hamba
benar-benar dapat memasuki istana cinta Sang Kekasih. Hanya cinta yang
memungkinkan orang dapat terbang ke arah langit, mengoyakkan selubung
yang memisahkan antara pencinta dan Kekasih” (Zaprulkhan, 2016: 184).
Dengan demikian, seorang pendidik sangat berperan dalam mewujudkan
revolusi moral-spiritual dalam proses kegiatan pembelajaran. Pendidikan
seharusnya membawa kebahagiaan sejati bagi manusia, khususnya manusia
modern saat ini yang terbelenggu oleh kehidupan dan pesona duniawi yang
semakin hari menjauhkan manusia dari hakikat dirinya, yakni kebebasan
dalam mengekspresikan cintanya yang diwujudkan kepada sesama manusia
tanpa ada kekerasan dan pertumpahan darah.
Miswari dalam penelitiannya mengatakan “In hateful times, falsely accusing
each other, claiming their own true beliefs, so that humans become very easy
to hate each other and hostile, the gnosis taught by Jalaluddin Rumi
becomes indispensable to mankind today as the foundation for building unity
and harmonization in life” (Dalam zaman yang penuh kebencian, saling
menuduh sesat, mengklaim keyakinan sendiri yang paling benar, sehingga
manusia menjadi sangat mudah untuk saling membenci dan memusuhi,
ajaran tasawuf falsafi yang dianut Jalaluddin Rumi menjadi sangat
dibutuhkan umat manusia dewasa ini sebagai landasan membangun
persatuan dan harmonisasi dalam berkehidupan) (Miswari, 2018). Rumi
berpendapat bahwa seseorang yang ingin memahami kehidupan dan asal usul
ketuhanan dari dirinya, ia dapat melakukannya melalui jalan cinta, tidak
7
semata-mata melalui jalan pengetahuan. Cinta adalah keinginan yang kuat
untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi menyamakan cinta
dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan,
yang hasilnya ialah haqq al-yaqi>n, keyakinan yang total kepada yang Tuhan.
Cinta sejati, kata Rumi dapat membawa seseorang mengenal alam hakikat
yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk lahiriah kehidupan, karena cinta
dapat membawa kita menuju kebenaran tertinggi. Rumi menganggap
cintalah yang sebenarnya yang merupakan sarana dalam transendensi diri,
yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Haqq (Hadi W.M,
2004: 183).
Sepideh Hozhabrossadat, mengatakan “Rumi transfers the image of
the cave and the bull from the world of mythology to the arena of Sufism by
referring to the bull as a human‟s ego that needs to be sacrificed
figuratively for the attainment of Fanā” (Rumi menggunakan gambar gua
dan banteng dari dunia mitologi ke arena tasawuf dengan mengacu pada
banteng sebagai kiasan untuk ego manusia yang perlu dikorbankan demi
mencapai kondisi Fanā). “Furthermore, the cave is replaced by the Sufi‟s
heart, in which all Divine revelations occur” (Sedangkan gua sendiri di
artikan sebagai hati atau jiwa Sufi, di mana semua Ilahi wahyu terjadi). “The
message is that a true Sufi, and every human being as far as Rumi is
concerned, should gaze inside his/her heart and sacrifice whatever is a
barrier on his/her way toward the beloved” (Pesan dari Rumi adalah seorang
sufi sejati dan setiap manusia harus melihat ke dalam hatinya yang paling
dalam dan mengorbankan apapun yang menghalanginya dalam
perjalanannya menuju Tuhan) (Hozhabrossadat, 2018).
Cinar Kaya, menggambarkan Rumi sebagai “Rumi was a renowned Sufi,
spiritual teacher, and poet who has attracted both scholarly and non-
8
scholarly attention all over the world” (Rumi adalah seorang sufi terkenal,
guru spiritual, sekaligus penyair yang menarik minat banyak orang baik
dalam hal ilmiah dan non-ilmiah di seluruh dunia) (Kaya, 2016). Rumi
adalah tokoh sufi yang banyak menginspirasi generasi selanjutnya, karya-
karyanya terus dikaji seolah tak pernah kering. Konsep yang diajarkan oleh
Rumi ialah pendidikan ruhani yang mengantarkan seseorang ke jalan cinta
ilahi, maka seorang guru harus selalu mendidik murid agar mampu
menumbuhkan sifat cinta kasih, dan tercipta nilai-nilai luhur dalam
mewujudkan kasih sayang, karakter yang baik, keadilan pada sesama, akhlak
mulia, dan toleran. Rumi menunjukkan jalan “Cinta Ilahi” sebagai jalan
alternatif yang lebih ramah terhadap kehidupan dunia namun tidak
melupakan kehidupan akhirat.
Pendidikan seharusnya melahirkan karakter ramah, welas asih, dan
lembut justru belakangan banyak melahirkan murid yang emosional, sumbu
pendek, kaku, jumud, berpikir sempit, dan berwatak keras, sehingga Islam
distigmatisasi sebagai agama yang penuh dengan kebencian karena
penganutnya meninggalkan esensi ajarannya yaitu cinta kasih, yang pada
akhirnya menjadi sebuah stigma bahwa semua itu di akibatkan oleh
kegagalan dunia pendidikan Islam. Selain mengajak menuju jalan cinta,
Rumi melalui karya-karyanya mengajak umat kepada persaudaraan sesama
manusia (ukhuwah basyariyyah) tanpa memandang suku, bangsa, agama,
dan warna kulit. Sebagaimana dalam syairnya, Rumi berkata: “Sungguh
engkau masih penyembah berhala bila pada bentuk-bentuk engkau
terpenjara. Tanggalkan wujud, lihatlah hakikat di baliknya. Bika kau hendak
berangkat haji, maka carilah teman di jalan haji ini, tak usah kau peduli
apakah ia orang hindi, turki atau arabi. Tak usah lihat bentuk atau warna
kulitnya, tapi lihatlah tekad tujuannya.” (Djamaluddin, 2015: 69).
9
Pendidikan yang baik akan melahirkan perilaku yang baik, semakin baik
kualitas pendidikan, maka semakin baik moral dan akhlak seseorang. Rumi
menyinggung dengan bertanya, “Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat
orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama
menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit
dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit
merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai
kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara
yang merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas
kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam
tindakan dan muamalah?”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut:
a. Politisasi pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang
ambigu.
b. Kurangnya perhatian pada ajaran sufisme.
c. Pengetahuan agama diperoleh secara instan dan cenderung
mengabaikan dimensi batiniah.
d. Kurangnya ilmu pengetahuan orang tua dalam mendidik.
e. Sedikitnya tokoh yang konsen pada pendidikan cinta kasih.
f. Maraknya kekerasan atas nama agama hingga terorisme.
g. Literatur paham keagamaan yang cenderung tekstualis dan
mengabaikan dimensi mistik.
10
C. Batasan Masalah
Berdasarkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi di atas, maka
hal yang akan dibatasi dalam penelitian ini meliputi:
Penulis akan membatasi pembahasan penelitian ini dengan menelaah
dan mengkaji pendidikan cinta kasih dalam konsep pemikiran tasawuf
Jalaluddin Rumi, dan hubungannya dengan Pendidikan Agama Islam dalam
menumbuhkan sifat mahabbah bagi peserta didik. Selanjutnya, penulis akan
menggunakan studi pustaka dari berbagai sumber rujukan utama berupa
karya-karya Jalaluddin Rumi; Matsnawi, Fihi Ma Fihi, Rubaiyat, Diwan-i
Syamsi Tabriz, dan karya ilmiah, jurnal, serta buku-buku yang relevan
dengan penelitian tersebut.
D. Rumusan Masalah
Dalam penelitian kajian pustaka ini, rumusan masalah merupakan
fokus penelitian. Berdasarkan uraian di atas penulis akan merumuskan
masalah yang akan dijadikan penelitian, sebagai berikut:
1. Mengapa konsep cinta kasih Jalaluddin Rumi penting dalam dunia
pendidikan agama Islam?
2. Bagaimana cinta kasih diimplementasikan dalam diri seorang
murid?
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Proses penelitian ini diharapkan memenuhi beberapa tujuan dan
diharapkan dapat bermanfaat. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui:
a. Menjelaskan mengapa konsep pendidikan cinta kasih Jalaluddin
Rumi penting dalam dunia pendidikan agama Islam.
11
b. Mengungkapkan bagaimana cara mengimplementasikan ajaran cinta
kasih dalam diri murid.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian terdiri dari
kegunaan teoretis dan praktis:
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk menambah khazanah pengetahuan bagi penulis dan pembaca
lainnya tentang pendidikan cinta kasih berbasis tasawuf.
2) Sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya yang ada
kaitannya dengan pendidikan berbasis sufistik dikalangan dosen,
pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum.
b. Manfaat Praktis
1) Menjadi bahan masukan bagi para orang tua, pendidik, generasi muda
secara khusus, maupun masyarakat pada umumnya untuk
menginternalisasikan nilai-nilai ajaran tasawuf agar tercipta
masyarakat yang berkarakter, toleran, moderat, menyejukkan,
terbuka, cinta kasih pada sesama dan dalam hubungannya dengan
manusia, alam semesta dan Allah swt.
2) Menjadi bahan kontemplasi bagi penulis dan pembaca agar mampu
lebih memahami secara mendalam tujuan hidup dan lebih mengenal
hakikat diri sebelum mengenal Kekasih Sejati.
c. Manfaat Akademis
1) Untuk menghindari stigma negatif pada ajaran tasawuf dan
memberikan kontribusi terhadap konsep pendidikan agama Islam
dalam dunia pendidikan nasional sebagai peningkatan generasi muda
untuk mengkaji dan menelaah pendidikan berbasis sufistik.
12
2) Sebagai bahan rujukan bagi akademisi dalam membumikan nilai-nilai
sufistik pada universitas-universitas, agar supaya dapat menangkal
gerakan-gerakan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Pembahasan tesis ini, secara akademik bahwa sudah ada hasil
penelitian baik yang berupa buku maupun karya ilmiah yang membahas
tentang pendidikan karakter. Namun dari karya ilmiah yang ada terdapat
perbedaan baik dari sudut pandang hasil pembahasan maupun objek
penelitiannya.
Ada beberapa karya tulis yang telah ada sebelumnya diantaranya:
1. Penelitian ini ditulis oleh Sepideh Hoshabrossadat dengan judul
Sacrificing the Bull: Conceptualisations of Fana> (Spiritual Death) in
Rumi‟s Mathnavi pada tahun 2018 dalam International Journal of
English and Literature di Monash University, Melbourne. Studi ini
meneliti konseptualisasi fana>. Rumi menggunakan simbol gua dan
Banteng dari dunia mitologi ke arena tasawuf dengan mengacu pada
Banteng sebagai kiasan untuk ego atau nafsu manusia yang perlu
dikorbankan untuk mencapai kondisi fana>, dan gua di artikan sebagai
hati atau jiwa manusia. Sedangkan penulis akan menelaah konsep
pendidikan cinta kasih dalam pemikiran Rumi, seperti adab antara
murid-guru dalam Diwan-i Syams at-Tabriz.
2. Penelitian ini ditulis oleh Miswari dalam Jurnal Penelitian Sosial
Agama, berjudul Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis
Puisi Jalaluddin Rumi pada tahun 2018 di IAIN Langsa. Miswari
menemukan ajaran Rumi yaitu tentang kebahagiaan sejati yang hanya
bisa dirasakan melalui pengalaman langsung. Sejalan dengan penulis
yang menemukan konsep mahabbah atau cinta kasih sebagai karakter
13
tertinggi dalam pemikiran Rumi sebagai dasar untuk merasakan
kebahagiaan sejati.
3. Penelitian ini ditulis oleh Syamsul Ma‟arif, berjudul konsep
Mahabbah Jalaluddin Rumi dan Implementasinya dalam Bimbingan
Konseling Islam pada tahun 2017 di Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang. Penelitian ini terfokus pada ajaran cinta Rumi
yang diimplementasikan dalam bimbingan konseling Islam. Di mana
bimbingan konseling Islam merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk menangani masalah manusia. Dalam hal ini cinta
digunakan sebagai pendekatan dalam proses pelaksanaannya.
Sedangkan penulis fokus untuk menggali pendidikan cinta kasih
perspektif Jalaluddin Rumi.
4. Tesis ini ditulis oleh Syamsun Ni‟am berjudul al-Hubb al-Ilahi: Studi
Perbandingan antara Rabi‟ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi
pada tahun 2001 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan
hasil penelitian ini di simpulkan bahwa cinta menurut Rumi terbagi
dua, yaitu kepada manusia dan alam, serta tujuan cinta yaitu
tercapainya kebahagiaan tertinggi apabila dapat melihat Allah.
Pada dasarnya penelitian penulis memiliki karakteristik tersendiri
yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Karena penelitian ini lebih
terfokus untuk menggali nilai-nilai pendidikan cinta kasih dalam pemikiran
tasawuf Jalaluddin Rumi.
14
BAB II
PENDIDIKAN CINTA KASIH
A. Pengertian Pendidikan
Term pendidikan menjadi sangat populer di kalangan masyarakat,
khususnya bagi mereka yang mengabdikan dirinya sebagai guru, dosen,
maupun tenaga kependidikan lainnya. Secara leksikal, kata pendidikan
berasal dari kata “didik” yang diberi prefiks “pen” dan sufiks “an”, yang
dimaknai sebagai proses, perbuatan, dan cara mendidik (Damopolii, 2011:
42). Dalam bahasa Inggris, kata yang sering disepadankan dengan
pendidikan adalah education, bukan teaching (pengajaran), dan dalam
bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah ta’li>m. Athiyah al-Abrsayi,
menyepadankan kata tarbiyah dengan pendidikan, tetapi Syeh Naquib al-
Attas menyepadankan kata pendidikan dengan istilah ta’di>b yang berarti
pembentukan tindakan atau tatakrama yang sasarannya hanya manusia.
Sementara itu, kata pendidikan disepadankan dengan istilah ta’li>m
sebagaimana tercermin dalam judul buku karya Burhan al-Din al-Zarnuji,
Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Damopilii, 200: 42).
Sedangkan, menurut M. Djumransjah pendidikan adalah usaha manusia
untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi bawaan, baik jasmani
maupun rohani, sesuai nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
kebudayaan (Djumransjah, 2004: 22).
Pendidikan juga dapat diartikan upbringing (pengembangan),
teaching (pengajaran), instruction (perintah), pedagogy (pembinaan
kepribadian), breeding (memberi makan), dan raising (menumbuhkan).
Dalam bahasa Arab, kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata al-
tarbiyah yang dapat diartikan proses menumbuhkan dan mengembangkan
potensi yang terdapat pada diri seseorang, baik secara fisik, psikis, sosial,
15
mupun spiritual. Kata al-tarbiyah juga mencakup pengertian al-taklim
(pengajaran tentang ilmu penegtahuan), al-ta’dib (pendidikan budi pekerti),
al-tahdzib (pendidikan tentang karakter), al-mau’idzah (nasihat), al-
riyadhah (latihan spiritual), al-tazkiyah (penyucian diri), al-talqin
(bimbingan atau arahan), al-tadiris (pengajaran), al-tafaqquh (memberikan
pemahaman atau pendalaman), al-tabyin (penjelasan), al-tazkirah
(memberikan peringatan), dan al-irsyad (memberikan bimbingan) (Nata,
2016: 15).
Pendidikan adalah suatu proses pemberian berbagai macam situasi
kepada manusia yang bertujuan untuk memberdayakan diri manusia.
Dalam arti bahwa masih banyak persoalan yang perlu direalisasikan
menyangkut pendidikan sebagai proses pencerahan seperti pengenalan,
penyadaran, pemberdayaan, serta perubahan perilaku para siswa yang
menjalani proses tersebut. Menurut Nanang Rahmat, pendidikan juga
sebuah cara/tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu titik keteraturan
yang elegan dan bersifat dinamis. Pendidikan berarti sebuah proses
pengembangan diri pada individu untuk mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan secara akademis maupun non-akademis yang dikembangkan
dalam lingkungan pendidikan, baik secara formal, non-formal, maupun
informal (Rahmat, 2017: 46-47).
Doni Kusuma Albertus menggambarkan pemikiran filsuf bernama
Niccolo Machiavelli (w. 1527 M) mengenai pendidikan yang menjelaskan
sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dan terus-
menerus selama manusia tersebut hidup di muka bumi ini (Albertus, 2010:
52). Dengan demikian dari pemikiran Machiavelli dapat dipahami bahwa
pendidikan berlangsung secara kontinu, dan pendidikan bukanlah
merupakan sebuah hal yang baru terjadi pada proses kehidupan baik
16
individu maupun kelompok manusia, melainkan sebuah hal yang muncul
sejak awal adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah komunitas,
maka di situlah proses pendidikan terjadi, karena pendidikan merupakan
fenomena antropologis yang usianya sama dengan sejarah peradaban umat
manusia. Sedangkan menurut al-Ghazali (w. 1111 M), pendidikan adalah
upaya untuk tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah agar merasakan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dalam konsepnya, al-Ghazali mengartikan akhlak sebagai suatu
sikap mental yang mendorong seseorang untuk berbuat baik tanpa berpikir
panjang (Ardani, 2005: 27). Senada dengan Muhammad Iqbal (w. 1938 M),
yang menjelaskan bahwa pendidikan sesungguhnya bertujuan untuk
membentuk manusia sejati atau insan al-kami>l (Rahman, 1995: 67). Sebab
menurut Iqbal, tipologi humanistik yang harus dicapai oleh pendidikan
Islam adalah; Pertama, ketaatan pada hukum Ilahi. Kedua, pengendalian
diri yang merupakan penjauhan dari keinginan atas material. Ketiga,
perwakilan Tuhan, di mana pemikiran dan tindakan insting (hati), dan
rasionalitas (akal) menjadi satu.
Pendidikan seyogianya berlangsung sepanjang hayat (life ling
education) yang memiliki nilai sangat tinggi dalam membangun peradaban
sebuah bangsa. Perjuangan untuk mencari ilmu pengetahuan merupakan
tugas mulia bagi setiap manusia yang ingin menemukan pencerahan Ilahi.
Bukti kuat tentang pentingnya mencari ilmu ditemukan dalam al-Qur‟an
surah Al-Mujadilah ayat 11, Allah swt. berfirman:
17
Artinya: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Bukti signifikan juga terdapat pada ayat pertama yang Allah
wahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dimulai dengan perintah Iqra’
“bacalah” yang berarti juga “mengkaji”. Ayat ini menunjukkan perintah
kepada umat manusia untuk mengkaji, mendalami, memahami, bahkan
mencintai alam semesta, manusia, dan Tuhan dengan suatu jalan aktivitas
intelektual yaitu membaca, belajar, dialog, menulis, riset, dan menulis
buku. Pendidikan merupakan persoalan kehidupan yang sangat penting
bagi kelangsungan ajaran nilai-nilai luhur, hendaknya dikembangkan oleh
masyarakat yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup sesama manusia
dan hubungan kepada alam semesta, dan pencipta. Dengan demikian, bisa
dipahami dari arti hidup itu sendiri dalam bahasa Arab disebut dengan al-
hayah. Makna al-hayah adalah al-harakah (bergerak/kegiatan), dan al-
harakah adalah al-barkah (beraktifitas yang mendatangkan berkah), dan al-
barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah
(kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan).
Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan
keterampilan hidup seseorang harus bisa mendatangkan berkah,
kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup (Muhaimin, 2008: 39).
Bassam Tibi lebih memandang pendidikan sebagai sistem sosial yang
dapat membentuk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total
(Tibi, 1991: 113). Sementara itu, Napoleon Hill memaknai pendidikan
bukan sekadar tindakan menyampaikan pengetahuan (the act of importing
knowledge) atau transfer pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Hill
memaknai pendidikan dari akar katanya, yaitu dari bahasa Latin educo
18
yang berarti “to develop from within, to draw out, to go through the law of
use” (mengembangkan dari dalam, mendapatkan, mendidik, melaksanakan
hukum kegunaan) (Sutrisno & Albarobis, 2012: 19). Oleh karenanya,
pendidikan sesungguhnya berarti pengembangan potensi diri yang
melahirkan nilai, bukan sekadar mengumpulkan infromasi dan
mengklasifikasikan pengetahuan. Pendidikan dari segi masyarakat adalah
pewarisan kebudayaan dan pemberdayaan dari generasi tua kepada generasi
muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan, dan pendidikan dari segi
individu adalah pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan
tersembunyi di dalam diri setiap manusia. Oleh sebab itu, pendidikan dapat
diartikan sebagai pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang nanti akan mampu
menemukan potensi-potensi yang tersembunyi tersebut. Konsep pendidikan
Muhammaq Iqbal (w. 1938 M), yaitu untuk membentuk manusia sejati atau
yang biasa disebut insan kami>l dengan ciri-ciri yang diungkapkan sebagai
hamba dan khalifah Allah di muka bumi, dengan cara menggali potensi-
potensi yang tersimpan di dalam diri manusia (Sutrisno & Albarobis, 2012:
30).
Proses pendidikan yang sesungguhnya ialah proses pembebasan
dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran, kemampuan,
kemandirian, atau memberikan kekuasaan terhadap dirinya sendiri untuk
menjadi individu agar mampu menggali potensi tersembunyi yang ia miliki.
Para pendidik harus memahami kondisi dan kecenderungan muridnya
sebelum memberikan pengajaran, agar ilmu yang diberikan bisa sampai
pada murid. Di samping itu, pendidik harus menanamkan terlebih dahulu
etika-etika sebelum proses pembelajaran berlangsung, yakni;
membersihkan hati, membangun niat luhur dalam mencari ilmu, sabar,
mencintai ilmu, tidak makan dan minum secara berlebihan, bersikap wara‟
19
(waspada), tidak mengonsumsi jenis makanan yang dapat menghambat
kecerdasan, tidak banyak tidur, menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak
bermanfaat, dan cinta kepada Allah. Sehingga dengan terapi itu, murid
akan memperoleh ilmu sekaligus berkah dalam menuntut ilmu yang
melahirkan pencerahan intelektual dan spiritual yang digunakan untuk
menebarkan cinta kasih kepada alam semesta dan masyarakat.
Persoalan pendidikan pada dasarnya berhubungan erat dengan
dimensi kehidupan manusia yang terus berubah, berinovasi, dan terus
mengalami kemajuan seiring berkembangnya zaman, tentu perubahan ini
perlu dibarengi dengan kualitas karakter manusia agar tidak tergerus oleh
era modern yang serba instan. Pendidikan akhlak merupakan hal yang
sangat penting dalam dunia pendidikan yang diharapkan kelak
menumbuhkan ketakwaan, keadaban, kebahagiaan, dan sifat cinta kasih
dalam diri murid. Sejalan dengan pendidikan yang dikehendaki Zainuddin
Abdul Majid (w. 1997 M), yaitu pendidikan yang berusaha mengantarkan
umat manusia menjadi individu yang beriman, bertakwa, dan berilmu, baik
ilmu agama maupun umum yang berlandaskan Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Nabi saw (Sapiuddin, 2014: 219).
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih diklaim oleh sebagian
masyarakat kurang mampu menjawab tantangan, perubahan, dan tuntutan
masyarakat. Pendidikan yang selama ini diyakini mampu menciptakan
kehidupan agar lebih baik dan mampu membantu para peserta didik
mempersiapkan kebutuhan masa depannya dalam menghadapi perubahan
zaman, namun masih sangat jauh dari harapan. Hal ini terjadi karena
pendidikan belum membebaskan peserta didik untuk menemukan jati
dirinya, pendidikan selalu saja menjadi suatu alat yang digunakan untuk
memelihara praktik sistem feodalisme. Pendidikan seharusnya digunakan
20
untuk memelihara kelanjutan hidup baik sebagai individu maupun
masyarakat. Pendidikan harus memayungi sikap toleransi, moderat, cinta
damai dari berbagai suku, ras, dan agama sebagai modal kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Sistem pendidikan haruslah menjadi
penyadar dan pembebas umat manusia, sebab pendidikan harus
memerdekakan, bukan penjinakan sosial-budaya karena manusia adalah
makhluk yang merdeka yang berhak mengembangkan, membina, serta
mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimilikinya.
Menurut Mansour Fakih (w. 2004 M), pendidikan harus mampu
menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan sosial menuju sistem sosial yang lebi adil, karena tujuan
pendidikan adalah menjadikan manusia yang berkesadaran kritis untuk
menuju transformasi sosial (Fakih, 2014: 233). Dalam artian, pendidikan
seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis murid disamping sifat cinta
kasih, sehingga tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungannya, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, sains dan
teknologi, pendidikan, maupun agama. Proses pembelajaran diharapkan
membangkitkan kesadaran kritis dengan menempatkan murid sebagai
subjek dan pusat kegiatan pendidikan. Dengan demikian, orientasi setiap
murid adalah menghayati dan mencintai visi dan misi pendidikan mereka,
sehingga pendidikan yang berlangsung bukan lagi proses belajar mengajar
yang bersifat monoton atau satu arah, melainkan terjadinya proses
dialektika-komunikatif dalam berbagai bentuk kegiatan seperti diskusi
kelompok, bermain peran dan sebagainya.
Pendidikan yang sehat adalah praktik yang menempatkan murid
sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk
merencanakan arah, memilih bahan, dan materi yang dianggap bermanfaat,
21
memikirkan cara yang baik dalam belajar, menganalisis dan menyimpulkan
serta mengambil manfaat pendidikan itu sendiri (Fakih, 2014: 242).
Dengan menggunakan pendekatan tersebut, guru memandang murid
sebagai orang dewasa yang memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk
merespon dan memproses pengalaman mereka sendiri yang pada akhirnya
mampu mengambil manfaat dari pelajaran. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran untuk mengembalikan
kemanusiaan manusia. Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi
setiap individu. Sebagaimana Rumi yang menempatkan manusia pada
hakikatnya, yaitu sebagai seorang pencinta dan untuk dicintai. Sebab bagi
Rumi, manusia adalah inti dari alam semesta dan himpunan sifat alam. Di
dalam tubuh yang kecil itu tersimpan banyak kebaikan, keajaiban dan
keindahan (An-Nadwi, 1993: 49).
Pendidikan juga sebagai sarana penumbuhan dan pengembangan
dimensi-dimensi kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang
memosisikan manusia pada derajat kemanusiaannya yang hakiki
(Nuryadin, 2014: 247). Pendidikan seyogianya adalah upaya mencapai
kemerdekaan, pembebasan, dan kesetaraan bagi setiap individu maupun
kelompok yang terlibat dalam pendidikan, terutama bagi peserta didik.
Maka, pendidikan ialah sebuah proses di mana manusia bergumul dalam
suatu nilai, sikap, dan pandangan yang mengantarkannya pada suatu
kemerdekaan lahir dan batin, sebab tujuan pendidikan ialah melahirkan
manusia-manusia yang unggul, kreatif, mandiri, dan berjiwa ksatria.
Dengan demikian, output dari pendidikan akan menghasilkan sebuah warna
baru bagi kehidupan, yaitu murid yang memiliki kecerdasan intelektual,
kebaikan moral-spiritual, dan disertai dengan kekayaan amal saleh yang
mengantarkan murid menuju insan kami>l.
22
B. Tujuan Pendidikan
Menurut Hasan Langgulung, salah satu tujuan pendidikan ialah
sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga
tahap, yaitu tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan
akhir (aims) (Langgulung, 1995: 21). Bagi penulis, tujuan khusus ialah
tercapainya kesempurnaan akal intelek, dan tujuan umum ialah tercapainya
kebaikan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
serta tujuan akhir ialah tercapainya ridha Allah swt. Pada dasarnya, tujuan
pendidikan ialah mencerdaskan anak didik sekaligus membentuk karakter
baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan sosial. John Dewey
berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia agar
menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah harus
diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam
masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara
(Purwanto, 2011: 24). Sedangkan di dalam Undang-Undang nomor 12 tahun
1954 pasal 3 berbunyi: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
(Purwanto, 2011: 27). Dengan demikian, tujuan pendidikan ialah membentuk
manusia-manusia susila yang berkepribadian demokratis, toleran, moderat,
empati, terbuka dan peduli dalam lingkungan sosial masyarakat serta
mengabdi, menjaga, dan melestarikan tanah air.
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam
membentuk masyarakat sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya
pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat diwujudkan melalui
siswa didik sebagai generasi masa depan sebuah bangsa (Abdullah Idi, 2011:
69). Abdul Muhyi Batubara mengemukakan bahwa pendidikan telah menjadi
23
sektor strategis dalam sistem pembangunan suatu bangsa. Banyak negara
telah menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor utama atau unggulan
dalam program pembangunan. Jepang menjadi negara maju dikarenakan
pendidikan menjadi perhatian utama dalam kebijakan pembangunan
pendidikan sejak 1945 (Muhyi Batubara, 2004: 5). Oleh karena itu, tujuan
pendidikan adalah sebagai salahsatu untuk memajukan sebuah bangsa, baik
dari segi ekonomi, budaya, sumber daya manusia, dan alam. Sebab tujuan
pendidikan adalah terciptanya perubahan sosial yang lebih baik dalam
rangka mencerdaskan kehidupan individu, masyarakat dan bangsa. Di
samping itu, pendidikan juga bertujuan untuk melahirkan budi pekerti atau
karakter yang mulia agar siswa didik dapat dikembalikan kepada lingkungan
tempat ia tinggal, untuk mengabdi kepada masyarakat dan tanah air.
Sebagaimana pendapat Cahyoto yang dikutip oleh Nurul Zuriah, bahwa
tujuan pendidikan budi pekerti ialah agar siswa dapat dikembalikan kepada
harapan masyarakat terhadap sekolah yang menghendaki siswa memiliki
kemampuan, kecakapan berpikir, bermanfaat, dan memiliki kemampuan
yang terpuji sebagai anggota masyarakat (Zuriah, 2015: 65).
Menurut Said Hamid Hasan, pendidikan pada dasarnya adalah upaya
sosial-budaya, yaitu upaya mempersiapkan generasi untuk kelangsungan
hidup keluarga, komunitas, dan masyarakat (Hamid Hasan, 2012: 136).
Dengan demikian, pendidikan bertujuan untuk melahirkan generasi yang
mampu memberi kontribusi kepada keluarga, dan masyarakat demi
kelangsungan hidup sebuah bangsa. Menurut hasil Kongres Pendidikan
Islam Sedunia ke-2, pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai
keseimbangan pertumbuhan dari pribadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra.
Pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia
24
seperti spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasanya,
baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-aspek itu
ke arah kebaikan dan ke arah pencapaian kesempurnaan hidup (Sutrisno &
Muhyidin Albarorbis, 2012: 30-31). Sementara itu, Fazlur Rahman
merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam dua bagian, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan secara umum adalah untuk memungkinkan
manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia
dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.
Sementara tujuan secara khusus adalah untuk mengembangkan manusia
sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada
keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif (Rahman, 1967).
Di sisi lain, keberhasilan sebuah pendidikan juga diukur dari seberapa
besar siswa didik mampu hidup dalam kemajemukan, keharmonisan,
kerukunan, toleran, dan terbuka kepada orang lain. Sebagaimana tujuan
pendidikan multikultural dalam pandangan Arif R dikutip oleh Munzier
Suparta, bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan kondisi yang
kondusif bagi masyarakat majemuk, menumbuhkan kesadaran anak atas
kultur (Suparta, 2010: 42). Adapun menurut Sonia Nieto, bahwa tujuan
pendidikan adalah sebagai dasar anti-rasisme untuk semua siswa didik yang
menyebar ke semua wilayah sekolah, yang dikarakterkan oleh sebuah
komitmen untuk keadilan sosial (Sonia Nieto, 1996: 60). Dengan demikian,
pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan karakter siswa didik yang
terbuka, moderat, adil, cinta kasih, toleran, dan tidak rasis kepada siapa pun
dalam rangka untuk mewujudkan keadilan sosial dan ketertiban dunia. Hal
ini sejalan dengan tesis Nurul Ikhsan Saleh dikutip oleh Ahmad Nurcholish,
bahwa tujuan pendidikan membantu peserta didik mencapai pemikiran
bahwa perdamaian adalah jalan kehidupan dan kultur universal yang
25
memiliki kontribusi untuk mengembangkan landasan kerja sama dengan
masyarakat dan budaya yang berbeda. Dalam hal ini, pendidikan menjadi
dasar pembentukan kultur perdamaian kepada peserta didik. Dengan
demikian, peace education memberikan pemahaman kepada peserta didik
mengenai akar kekerasan. Kemudian, peserta didik diberi pengetahuan
tentang isu kritis sebagai jalan alternatif dengan cara menciptakan
perdamaian (peace making), menjaga perdamaian (peace keeping), dan
membangun perdamaian (peace building) (Nurcholish, 111-112). Oleh
karena itu, tujuan pendidikan ialah dalam rangka menumbuhkan kesadaran
peserta didik agar supaya turut andil dalam menciptakan perdamaian,
menjaga perdamaian, membangun perdamaian, dan melestarikan perdamaian
dalam rangka untuk melahirkan keadilan, keteraturan, ketentraman, dan
kesejahteraan sosial dalam sebuah negara.
C. Konsep Pendidikan Cinta Kasih
Pendidikan cinta kasih adalah sebuah usaha untuk mendidik anak
(peserta didik) agar dapat menginternalisasikan sifat cinta kasih dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan pendidikan cinta kasih diharapkan terwujud
karakter pada peserta didik yang mengandung komponen pengetahuan,
kesadaran individu, tekad serta adanya kemauan untuk melaksanakan nilai-
nilai yang baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan bangsa sehingga terwujud insa>n kami>l (Mansir, 2018: 47). Oleh karena
itu, pendidikan cinta kasih akan melahirkan sikap tasamuh, moderasi,
menghargai perbedaan, memberi rasa aman dan nyaman kepada orang lain,
lingkungan, dan sesama makhluk hidup.
Pendidikan cinta kasih hendaknya berkisar pada dua dimensi nilai,
yakni nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah. Penanaman nilai-nilai
ilahiyah sebagai dimensi pertama hidup dimulai dengan pelaksanaan
26
kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadah. Penanaman nilai-nilai
ilahiyah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan
dan kebesaran Tuhan melalui perhatian kepada alam dan segala isinya serta
lingkungan sekitar. Sedangkan nilai insaniyah tidak dapat dipahami secara
terbatas hanya kepada pengajaran, maka keberhasilan pendidikan bagi
peserta didik tidak cukup diukur hanya dari kognitif saja. Pendidikan cinta
kasih menurut ajaran Islam ditujukan terutama untuk menciptakan manusia
yang berakhlak mulia. Sejalan dengan tujuan pendidikan al-Qur‟an, menurut
M. Quraish Shihab yaitu membina manusia secara pribadi dan kelompok
sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-
Nya guna membangun dunia sesuai konsep yang ditentukan oleh Allah swt
(Shihab, 172-173: 2004).
Bagi umat Islam berdasarkan kitab suci dan sunnahnya justru lebih
penting mengetahui seberapa jauh telah tertanam nilai-nilai kemanusian
mulia yang berwujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari
peserta didik. Takwa dan budi pekerti luhur memiliki keterkaitan yang
sangat erat, sama halnya keterkaitan antara iman dan amal shaleh, shalat dan
zakat, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Sejalan
dengan konsep pendidikan holistik-komprehensif yang disampaikan oleh
Abuddin Nata, yaitu pendidikan yang bertujuan memberikan kebebasan
peserta didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tetapi
juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan
sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu
mengangkat harkat bangsa (Nata, 2011: 136).
Pendidikan cinta kasih merupakan gerakan kultural yang dalam
pandangan Abdurrahman Wahid, menampilkan watak kosmopolitan yang
diimbangi rasa keagamaan yang kuat, pluralis, dan toleran, serta kesediaan
27
terbuka dengan perubahan dalam masyarakat, tetapi tetap berpijak pada
kekuatan dasar masyarakat tradisional untuk mempertahankan keutuhan
(Wahid, 196: 2007). Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar
untuk membebaskan manusia dari segala belenggu yang menutupi
kemanusiaannya. John Rawls, menolak pandangan etis yang menjadikan
manusia sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan tertentu meski ia
akan menghasilkan manfaat yang besar atau untuk kepentingan yang lebih
besar (Rawls, 2009: 25). Manusia adalah tujuan pada dirinya, bukan sarana
untuk mencapai tujuan. Dengan pandangan demikian, Rawls hendak
menekankan paham deontologis Kant yang memahami kebenaran tindakan
bukan pada hasil (output), tetapi pada tindakan (proses) itu sendiri. Dengan
kata lain, proses kegiatan belajar mengajar, seorang pendidik harus menilai
murid dalam sebuah proses untuk mencari kebenaran dan jati dirinya bukan
sekadar hasil semata.
Cinta kasih adalah kehidupan yang sesungguhnya yang perlu dicapai
dan bila hilang maka hidup tidak lagi memiliki nilai, cinta juga laksana obat
penawar bagi hati dan kegelisahan bila kehilangannya. Cinta kasih juga
membangkitkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam manusia
sekaligus membebaskan manusia dari problem-problem kehidupan. Mukmin
sejati mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada apa dan
siapa saja. Al-Qur‟an menyebut cinta ‚hubb‛ dan derivasinya 83 kali,
sedangkan lawan katanya, yaitu benci ‚bugd-bagda‛ sebanyak 5 kali. Kata
yang berdekatan dengan bugd ialah sukht dan disebut 4 kali. Lawan katanya
adalah ridha dan terulang sebanyak 73 kali (Siradj, 2013).
Hubb dan mahabbah seakar habb yang berarti biji atau inti. Hubb
disebut habbat al-qalb, yaitu biji atau inti hati, karena keserupaan
aktivitasnya. Jika dikatakan, “Aku mencintai seseorang” berarti, “aku
28
menemukan inti hatinya” sama dengan “aku jadikan hatiku sebagai sasaran
dan tujuan cintanya.” (Siradj, 2013). Cinta itu sendiri dalam bahasa Arab
diungkap dalam tiga karakteristik, yaitu apresiatif (ta’dzim), penuh
perhatian (ihtimaman), dan cinta (mahabbah). Tiga karakteristik itu
terkumpul dalam ungkapan mahabbah; orangnya disebut habib, habibah,
atau mahbub. Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebutnya dengan 60
istilah cinta, seperti ‘isyqun (menjadi asyik), hilm (ketanangan/
kelembutan), gharam (asmara), wajd (kemabukan), syawq (kerinduan), dan
lahf (kesedihan) (Siradj, 2013). Dalam tasawuf, kecintaan kepada Allah
adalah puncak pencapaian dan perjalanan manusia atau puncak dari seluruh
maqam (kedudukan atau tahapan). Setelah mahabbah, tidak ada lagi maqam
lain, kecuali buah dari mahabbah itu seperti syawq (kerinduan), uns
(keintiman), dan ridha (kerelaan).
Para guru-guru sufi mengajarkan kepada murid-murid mereka bahwa
kewajiban mereka adalah memenuhi hak Allah bukan karena rasa takut
melainkan karena rasa cinta. Sebab inti dari pengabdian ialah mencintai-Nya
secara mutlak meskipun seorang murid masih merasakan penderitaan dalam
hidup. Dengan demikian, cinta juga mengandung unsur kognitif yaitu
bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah makrifat dan kasyf,
tersingkapnya penglihatan batin karena kebaikan, kebersihan, atau kesucian
hati murid dari segala penyakit hati. Di sini seorang murid yang telah
mencapai hakikat akan mampu melihat realitas yang tersembunyi di dalam
segala sesuatu yang sebenarnya hanya satu, yaitu wujud dari keindahan,
keagungan, dan cinta-Nya semata. Imam al-Ghazali berkata bahwa cinta
meliputi rindu (syawq), karena pencinta selalu merindukan untuk tetap
bersama dengan yang dia cintai, sehingga dia akan selalu berkomunikasi
29
(dzikr) dengan yang dicinta dan merasa puas (ridha) hanya kepada-Nya
(Smith, 2000: 197).
Di samping itu, cinta pada manusia terbagi dalam dua bagian, yaitu
cinta mistikal atau cinta sejati yang hanya tertuju kepada Allah dan cinta
alami atau metafor yang tertuju hanya kepada manusia (guru/pembimbing).
Sebab, cinta mistikal merupakan kecenderungan yang tumbuh dengan
sendirinya dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih sempurna
darinya dan dalam Al-Qur‟an Allah telah menyebut kedudukan manusia
sebagai khalifah-Nya dan hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya. Ibnu
Abbas menafsirkan perkataan “supaya beribadah kepada-Ku”, yaitu
“supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui jalan cinta)”. Jalan cinta
menuju Allah ialah melalui Kekasih-Nya yaitu, nabi Muhammad saw.
Sebagaimana dalam Al-Qur‟an, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku. Allah akan mencintai kamu dan mengampuni segala dosamu.
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 31).
Cinta kasih memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan
individu dan masyarakat terutama dalam dunia pendidikan Islam. Ia
memiliki kekuatan dahsyat yang mampu mengubah sifat malas jadi rajin,
sifat buruk jadi baik, sifat keras jadi lembut, sifat marah jadi pemaaf, dan
sifat merasa paling benar jadi sifat terbuka dengan perbedaan, dan
sebagainya. Cinta mampu melawan nafsu jahat yang selalu mengajak
manusia pada kemaksiatan yang akan menjerumuskannya kepada kehinaan.
Hubungan antara penghambaan manusia kepada Allah ialah cinta kasih,
begitupula antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta,
serta seorang guru dan murid. Meskipun defenisi tentang cinta itu rumit dan
beragam, namun ia tetap nyata dan hadir disetiap hati manusia, dan hanya
bisa didefinisikan oleh orang yang tenggelam dalam cinta. Rumi berkata,
30
“Segalanya adalah cinta dan cinta adalah segalanya, tidak ada yang bisa
menjelaskan cinta, namun cintalah yang menjelaskan segalanya”. (Chittick,
2003: 325).
Menurut Syaikh Ramadhan al-Buthy (w. 2013 M), cinta adalah
kebergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan di
hati saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah saat jauh darinya (al-
Buthy, 2013: 13). Allah memuliakan manusia tanpa memandang bentuk dan
jenisnya, inilah bukti cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya, oleh karenanya
seorang guru mesti memandang semua murid sama, sebab dengan cinta
kasih melahirkan keadilan kepada sesama. Seorang guru harus
menginternalisasikan sifat cinta kasih kepada murid, agar supaya murid juga
mampu menerapkan sifat tersebut untuk mewujudkan keharmonisan, akhlak
yang baik, sopan santun, toleran, dan sebagainya kepada sesama murid dan
guru. Namun, sebelum cinta memasuki diri seorang murid, ia harus melalui
tahap menyucikan diri atau maqam taubat, sebagaimana Allah swt
berfirman; “Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai
orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222). Sebab, mustahil Allah
menganugerahkan cinta kepada hamba-Nya bila di dalam diri seorang murid
itu masih ada penyakit hati yang belum dibersihkan dengan jalan taubat,
maka tugas gurulah yang membimbing murid untuk membersihkan cermin
hatinya agar mampu memantulkan cahaya ilahi dengan sempurna. Dengan
demikian, seorang murid yang memperoleh cinta dari Allah dapat dilihat
dari keimanan dan ketakwaannya yang terus bertambah dari waktu ke
waktu, ibadahnya kian meningkat, lebih fokus melaksanakan kewajiban dan
menjauhi larangan-Nya, memperbanyak zikir, dan senantiasa merasa selalu
diawasi oleh-Nya, sehingga murid tidak akan berbuat sesuatu yang
menghinakan diri-Nya dihadapan Allah dan sesama manusia.
31
Al-Ghazali mendefiniskan cinta sebagai kecenderungan naluriah
kepada sesuatu yang menyenangkan (al-Ghazali, 1995: 60). Sedangkan Abu
Yazid al-Busthami (w. 280 H) mengatakan, “hakikat cinta adalah apabila
telah terjadi ittihad (penyatuan)” (Mahmud, 1967: 314). Menurut Syaikh
Junaid al-Baghdadi (w. 910 M) “cinta adalah merasuknya sifat-sifat sang
Kekasih yang mengambil alih dari sifat-sifat pencinta” (al-Qusyairi, 1999:
321). Sementara Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M) membagi
mahabbah menjadi tiga tingkatan: Pertama, mahabbah al-‘ammah (orang
umum), yaitu mahabbah yang timbul dari belas kasih dan kebaikan Allah
kepada hamba-Nya; Kedua, mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqqiqin,
yaitu mahabbah yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap
kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah; Ketiga,
mahabbah ash-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari
penglihatan dan ma’rifah mereka terhadap Qadim-Nya kecintaan Allah yang
tanpa ‘illat (pamrih) (Ni‟am, 2001: 114).
Mencintai dan memuliakan guru bukanlah tujuan, melainkan hanya
sarana, sebab tujuannya ialah Allah swt karena Dia-lah yang
menganugerahkan cinta. Seorang murid harus dibimbing untuk beribadah
kepada-Nya dengan rasa cinta bukan karena rasa takut akan siksa-Nya,
dengan ini murid akan merasakan inti dalam beribadah yang menumbuhkan
ketenangan dan kesejukan spiritual ketimbang menyembah-Nya dengan
harapan ingin masuk surga dan takut masuk neraka. Seorang murid yang
cinta kepada gurunya akan melakukan kewajiban-kewajiban yang
diperintahkan kepadanya dengan penuh keikhlasan, seperti seorang hamba
yang hatinya diselimuti cinta kepada Allah akan melaksanakan segala
kewajiban tanpa berpikir panjang, karena cinta yang tulus kepada-Nya.
Inilah dampak cinta kasih yaitu menundukkan egoisme atau keakuan kepada
32
orang yang dicintai, dan nantinya akan melahirkan apa yang disebut oleh
Badiuzzaman Said Nursi, yaitu al-fana> fi al-ikhwa>n (melebur dalam
persaudaraan) sehingga tidak ada lagi kata “aku” yang ada hanya “kita”.
Sebab, tujuan cinta kasih ialah menundukkan ego murid sebagai jalan untuk
sampai kepada-Nya.
Al-Qur‟an telah mewanti-wanti manusia agar ia tidak menjadikan
cintanya kepada yang lain melebihi atau sepadan dengan cinta kepada Allah,
sebagaimana Allah berfirman; “Dan di antara manusia ada orang yang
menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai
seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar
cintanya kepada Allah..” (QS. Al-Baqarah: 165). Cinta murid kepada
gurunya atau sebaliknya hanyalah cinta metafor, sebab cinta sejati hanya
untuk Allah semata sehingga ketaatan sejatinya hanya kepada-Nya melalui
perantara bimbingan seorang mursyid (guru atau pembimbing spiritual).
Meskipun Allah tidak menuntut hamba-Nya untuk mencintai Allah semata
dengan meniadakan cinta-cinta yang lain, karena bagaimana mungkin Allah
menuntut hamba-Nya untuk menghilangkan cinta kepada anak, istri,
keluarga dan kehidupan ini, sedangkan Dia-lah yang menyemai rasa cinta
itu ke dalam hati manusia.
Cinta bagi Rumi, adalah segala-galanya, alam semesta ini adalah
alam cinta dan apa yang terjadi dalam proses kehidupan ini adalah muncul
dari cinta. Bahkan grafitasi bumi pun terjadi karena cinta. Rumi
mengatakan, “Andai tidak ada cinta, maka alam ini tidak lagi mempesona,
kicauan burung tidak lagi merdu, panorama alam tidak lagi indah, bahkan
dunia akan membeku tanpa makna” (Nicholson, 1993: 98). Dengan cinta
kasih akan melahirkan karakter baik yang dimaknai sebagai cara berpikir
dan berperilaku khas pada individu untuk hidup dan bekerja sama baik
33
dalam ruang lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan alam semesta. Bagi
Rumi, tidak ada sesuatu apapun yang ada di realitas eksternal, terkecuali
cinta hadir di dalam dirinya. Sejalan dengan Plotinus, bahwa cinta mengalir
dalam seluruh realitas, dan berdasarkan cinta tersebut, akan menyebabkan
gerak kembali kepada asalnya menuju hakikat dirinya yang sejati. Bahkan
bagi sufi, istilah buraq ialah cinta. Namun, cinta sendiri tidaklah indah,
sebab yang indah ialah kebergantungan mendalam kepada Tuhan yang
memberikan keindahan. Ketika fokus seseorang masih pada cinta, maka
pada saat itu cinta hanya menjadi hijab dari-Nya (Jabir, 2018: 48-49).
D. Tujuan Pendidikan Cinta Kasih
Menurut Aboebakar Atjeh, bahwa tujuan sufi mengenai pendidikan
manusia terutama diletakkan dalam menanam rasa kebencian kepada dunia
yang dianggapnya merupakan sumber kebinasaan dan kekacauan bagi
kehidupan perdamaian manusia, dan oleh karena itu dalam mengajarkan
akhlak kepada manusia ditekankan melepaskan diri dari keserakahan dunia
(Aboebakar Atjeh, 1985: 19). Dengan demikian, tujuan pendidikan cinta
kasih melepaskan diri dari segala bentuk keserakahan terhadap dunia yang
mengakibatkan kekacauan kehidupan manusia yang adil, damai, tenang, dan
aman. Pendidikan cinta kasih bertujuan menumbuhkan rasa empati kepada
sesama manusia untuk mewujudkan keharmonisan dan kedamaian hidup
yang mengantarkan seorang murid menjadi manusia yang seutuhnya (insan
kamil). Tujuan pendidikan selain berfungsi sebagai pengembangan fisik, dan
intelektual (kognitif) juga bertujuan melahirkan akhlak mulia atau budi
pekerti yang luhur yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Sebagaimana
menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan ialah mengarahkan pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang
34
sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti (Marimba,
1990: 2).
Tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat
atau sebuah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seorang guru
dapat merumuskan suatu tujuan, apabila ia mampu memahami secara filsafat
(Nata, 2000: 81). Menurut Imam Ghazali, pendidikan yang baik merupakan
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat (Jallaludin & Usman Said, 1996: 139). Oleh
karena itu, tujuan pendidikan ialah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat yang pada puncaknya ialah berjumpa dengan Allah swt. Sedangkan
jalan yang ditempuh ialah dengan jalan cinta kasih untuk mencapai tujuan
tersebut. Pendidikan adalah suatu lembaga yang juga sangat menentukan
tercapainya sebuah tujuan berbangsa dan tujuan utama manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan pendidikan diharapkan mampu mewujudkan tujuan
umat manusia dalam berbangsa, beragama, dan bertuhan. Menurut Abdul
Fattah Jalal, bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang
‘abid, yang menghambakan diri kepada Allah swt. Maksud ‘abid di sini ialah
beribadah kepada Allah tidak hanya sebatas ritual saja seperti shalat, puasa,
zakat, haji, melainkan seluruh aspek kehidupan berupa perkataan, perbuatan,
pemikiran, dan perasaan yang dipertautkan kepada Allah swt (Fattah Jalal,
1988: 123-124). Sedangkan menurut Ali Ashraf, tujuan akhir pendidikan
Islam adalah perwujudan penyerahan diri kepada Allah secara mutlak, dan
pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya (Ali
Ashraf, 1996: 2). Dengan demikian, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk
memasuki kesadaran ruhani sebagai hamba yang menyerahkan dirinya
kepada Allah swt. secara mutlak dan pengabdian kepada kemanusiaan pada
umumnya.
35
Menurut Seyyed Hossein Nasr, tujuan pendidikan adalah untuk
menyempurnakan dan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki
anak didik untuk mencapai pengetahuan tertinggi tentang Tuhan yang
merupakan tujuan hidup manusia (Nasr, 1994: 150). Nasr, menambahkan
sistem pendidikan Islam klasik, yang selama berabad-abad telah
menghasilkan filosof-filosof, ilmuan-ilmuan, teolog-teolog, sastrawan dan
para pakar di berbagai bidang keilmuan harus dijadikan contoh model bagi
pengembangan pendidikan modern, agar pendidikan tidak kehilangan daya
mobilitasnya (Nasr, 1994: 142). Dengan demikian, tujuan pendidikan ialah
untuk menyempurnakan potensi murid agar mampu mencapai pengetahuan
dan pengenalan tentang Allah yang berimplikasi kepada kebaikan moral,
ketenangan jiwa, dan kelembutan budi. Dalam pandangan Ibnu Qayyim al-
Jauziyah bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah menjaga kesucian
(fitrah) manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan
serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah swt
(Al-Jauziyah, 2009: 8). Ibnu Qayyim menguatkan bahwa Allah tidaklah
menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. jadi,
pendidikan ialah sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt dengan
dasar cinta dan kasih sayang. Mengenai tujuan pendidikan, al-Zarnuji
mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah ditujukan untuk meraih
keridhaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat, berusaha memerangi
kebodohan kepada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan
melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah (Iqbal, 2015: 379).
Dengan demikian, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk membentuk sikap
dan ucapan murid dengan landasan cinta dan kasih sayang. Sebab, cintalah
yang menyatukan segala perbedaan, kasihlah yang menjernihkan segala
kekeruhan. Tanpa cinta dan kasih, tiadalah penyatuan dan kejernihan.
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian
1. Sumber Bahan
Dalam penyusunan tesis ini penulis mengambil data dari pendapat
para ahli yang dikemukakan baik dalam bentuk jurnal penelitian, buku-buku,
maupun laporan ilmiah terdahulu. Sumber data primer penelitian ini terdapat
pada karya Rumi yaitu Al-Matsnawi Al-Ma‟nawi karya Rumi yang paling
terkenal berbahasa Persia berisi delapan jilid yang pernah diterjemahkan oleh
Reynold A. Nicholson pada tahun 1925-1940, yaitu berisi karangan bersajak
tentang makna-makna terdalam ajaran agama melalui puisi dan kisah-kisah
penuh hikmah. Setiap bait memiliki rima, yaitu bunyi-bunyi yang
ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait dalam puisi.
Kumpulan syair besar ini terdiri atas enam buku, yang seluruhnya memuat
sekitar 25.000 bait. Diwan Syams Tabrizi merupakan kitab yang berisi
ghazal-ghazal, kalam-kalam penuh makna. Kitab ini menyajikan keindahan
ajaran kebajikan, welas asih, cinta, dan spiritualitas. Diwan ini berisi 3500
syair berbahasa Persia, Rumi menyusunnya dalam beberapa langgam syair
yang berbeda-beda. Jumlah baitnya mencapai 43.000 bait. Kitab ini
mengungkapkan hubungannya dengan sang guru, Syamsuddin at-Tabriz
karena telah terjadi penyatuan antara jiwa guru dan murid. Al-Rubaiyat
adalah sebuah antologi puisi Rumi yang terdiri dari 3318 bait yang memuat
pesan-pesan tasawuf yang begitu mendalam melalui puisi, dan meliputi 1659
ruba>’iyah (kumpulan empat bait dalam bentuk sajak). Rumi
menginterpretasikan dirinya sebagai seorang penyair sufi yang agung. Kitab
ini semula termaktub pada bagian akhir dari Diwan Syams Tabrizi.
Kemudian, Fihi Ma Fihi karya Rumi berbentuk esai. Dalam buku ini
37
merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang disampaikan kepadanya
dalam berbagai kesempatan. Buku ini memperjelas pendapatnya dengan
berbagai contoh dan kisah yang menjadi pelengkap untuk membantu banyak
dalam memahami pemikiran sufisme Rumi. Buku ini memuat 71 pasal.
Masing-masing pasal hanya menyebutkan nomor, tanpa disertai judul. Enam
pasal di antaranya ditulis dalam bahasa Arab (pasal 22, 29, 34, 43, dan 48).
Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari sumber buku dan
jurnal yang mengkaji pemikiran Rumi. Data ini menjadi penting dalam
penelitian ini karena menjadi rujukan utama dalam membangun kerangka
berpikir.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research).
Oleh karena itu, penulis menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu
bahan-bahan data yang koheren dengan objek penelitian yang dimaksud.
Data yang ada didalam kepustakaan tersebut dikumpulkan serta melakukan
analisis lanjutan terhadap hasil data dengan menggunakan kaidah-kaidah,
teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan
tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah. Penelitian
kepustakaan memiliki beberapa ciri khusus; pertama, penelitian ini
berhadapan langsung dengan teks, bukan dengan lapangan atau saksi mata
(eyewitness), berupa kejadian atau benda-benda lain. Kedua, data bersifat
siap pakai (readymade), artinya peneliti tidak pergi kemana-mana, kecuali
hanya berhadapan langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan.
Ketiga, data di perpustakaan umumnya adalah sumber data sekunder, dalam
arti bahwa peneliti memperoleh data dari tangan kedua bukan asli dari
tangan pertama dilapangan. Keempat, kondisi data di perpustakaan tidak
dibagi oleh ruang dan waktu (Mestika Zed, 2004).
38
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sesuai dengan objek
kajian tesis ini, maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
kepustakaan (library research), yaitu; pertama, dengan mencatat semua
temuan mengenai pendidikan cinta kasih yang didapatkan dalam literatur dan
sumber; kedua, memadukan segala temuan; ketiga, menganalisis segala
temuan dari berbagai bacaan dan sumber; keempat, mengkritisi atau
memberikan gagasan dari setiap wacana (syair) yang berkaitan dengan
pendidikan cinta kasih. Menurut Kaelan, dalam penelitian kepustakaan
kadang memiliki deskriptif dan juga memiliki ciri historis (Kaelan, 2010:
134). Dikatakan memiliki ciri historis karena banyak penelitian semacam ini
memiliki dimensi sejarah, termasuk di dalamnya penelitian tentang agama,
naskah tertentu, tokoh dan lain sebagainya.
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya
(Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 2009: 4). Sementara studi kepustakaan
(library research) adalah penelitian yang data-datanya diperoleh dari kajian
literatur melalui riset kepustakaan yang dikaji secara deskriptif-analitik.
Dengan menggunakan data-data dari berbagai referensi baik primer maupun
sekunder. Data-data tersebut dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, yaitu
dengan jalan membaca (text reading), mempelajari, mengkaji, dan mencatat
literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tesis ini.
4. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan
cara mengumpulkan data-data yang relevan dengan penelitian serta diambil
kesimpulan dari data yang terkumpul. Peneliti menggunakan metode ini
39
untuk memperoleh data dari berbagai sumber teks, seperti buku, jurnal, dan
artikel ilmiah yang relevan dengan penelitian yang sedang dikerjakan.
5. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari lapangan dan literatur-literatur. Selain itu analisis
data bertujuan menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat
dipahami (Sitorang, 2010: 9). Senada dengan Nana Sudjana, menurutnya
analisis data merupakan proses pencarian dan penyusunan secara sistematis
terhadap transkip wawancara, dan bahan-bahan lain yang terkumpul. Hal ini
dilakukan dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang data serta
menyajikan apa yang telah ditemukan kepada orang lain (Sudjana, 1989: 64).
Karena menganalisa pemikiran tokoh yang pernah hidup di masa yang telah
lewat, maka secara metodologis penelitian ini akan menggunakan tinjauan
kesejarahan yang dikenal dengan istilah historical approach (Notosusanto,
1978: 36). Dengan pendekatan ini, dimaksudkan untuk merekonstruksi
kejadian-kejadian masa lampau yang mungkin mempengaruhi pemikiran
Jalaluddin Rumi.
40
BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN CINTA KASIH JALALUDDIN RUMI
A. Biografi Jalaluddin Rumi
1. Riwayat Hidup Jalaluddin Rumi
Nama asli Jalaluddin Rumi adalah Muhammad Jalaluddin.
Kemudian ia lebih dikenal dengan sebutan maulana (mevlevi) Rumi.
Namun orang-orang Afghan dan Persia tetap lebih suka memanggilnya
dengan sebutan Jalaluddin al-Balkhi, karena keluarganya tinggal di
Balkhi sebelum berhijrah ke arah Barat (Schimmel, 2016: 25). Balkh
adalah sebuah kota kuno di Asia Tengah yang pernah menjadi pusat
Buddhisme dan Zoroasterisme. Marcopolo mengatakan, bahwa Balkh
sebagai “noble and great city” (Djamaluddin, 2015: 14). Balkh terkenal
sebagai pusat peradaban, posisi Balkh yang strategis membuatnya
menjadi tempat berkumpul tiga tradisi besar, yakni peradaban
Transoksiana, Persia, dan Hindia. Oleh karena itu, Balkh dijuluki sebagai
ummul bilad (ibu berbagai negeri). Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabi‟ul
Awwal 604 H atau tanggal 30 September 1207 M di Balkh, termasuk
wilayah kerajaan Khawarizm, di Persia Utara (Ni‟am, 2001: 30).
Ayahnya bernama Bahauddin Walad dan Kakek Rumi bernama Husen
al-Katibi. Kakek Rumi ini yang kemudian menikah dengan putri raja
Alauddin Muhammad al-Khawarizmi. Garis keturunan ayah Rumi
sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dan jalur dari pihak Ibu, Rumi
bertemu dengan Ali bin Abu Thalib (Ni‟am, 2001: 31). Ayahnya,
Bahauddin Walad adalah seorang khatib, faqih, dan sufi terhormat juga
terkenal yang silsilah spiritualnya bersambung kepada Syaikh Ahmad al-
Ghazali. Ia digelari “sultan al-ulama” dan Bahauddin ialah pengikut
41
Sunni yang sangat setia mempertahankan nilai-nilai tradisional Islam,
dan termasuk pengikut aliran Asy‟ariyah.
Rumi dianggap sebagai seorang penulis yang memperoleh ilham
di antara para mistikus Islam. Dikisahkan bahwa ia mendiktekan sajak-
sajaknya dalam keadaan gairah dan mabuk ruhani (sukr) (Schimmel,
2000: 402). Rumi adalah seorang manusia yang dilahirkan untuk seluruh
umat manusia yang berbicara dengan bahasa cinta, murid-murid Rumi
telah memandangnya sebagai jendela untuk melihat Nabi Muhammad
dan Allah swt. Pada saat yang sama, orang-orang Nasrani melihat Rumi
sebagai Nabi Isa dan Nabi Musa bagi orang-orang Yahudi. Pada 1219
Masehi, pasukan Mongol melakukan invasi ke Balkh, sehingga memaksa
orang tua Rumi beserta keluarganya hijrah menuju Mekah. Sedangkan
pendapat lain mengatakan, bahwa sebab hijrahnya adalah karena
Bahauddin tengah perang dingin dengan seorang ulama teolog, bernama
Imam Fakhruddin ar-Razi. Namun pendapat yang kedua ini ditolak oleh
Annemarie Schimmel (Zaairul Haq, 2011: 14). Pada kenyataanya, di
dalam kitab Fihi Ma Fihi Rumi menjelaskan bahwa raja Khawarizmi
menolak orang-orang Mongol dan membunuh beberapa pedagang
Mongol. Akibat tindakan raja Khawarizmi, Jengis Khan mengirim
pasukannya untuk menaklukkan Iran dan sekitarnya. Sedangkan menurut
Mulyadhi Kartanegara, hijrahnya Bahauddin dan keluarga ke Mekah
karena memang didasari niat untuk melaksanakan ibadah haji. Namun
tidak kembali lagi karena ayah Rumi telah mendengar kabar tentang
invasi pasukan Mongol ke arah Balkh (Zaairul Haq, 2011: 15).
Pada saat Rumi berusia 12 tahun, ayahnya tiba-tiba bersama
keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan ke berbagai
kota. Kota pertama yang dia singgahi ialah Nishapur, dan di sinilah Rumi
42
bertemu dengan Fariduddin al-Attar pengarang kitab tasawuf Mantiq at-
Tayr dan Tadzkirah al-Awliya. Pada saat rombongan Rumi bersiap-siap
pergi melanjutkan perjalanannya, Rumi berjalan dibelakang ayahnya, dan
Attar berkata, “Perhatikan situasi aneh ini, lautan mengalir diikuti
samudra” (Jamnia, 1997: 140). Attar telah melihat samudra pada diri
Rumi muda, dan karena rasa simpatinya kepada Rumi, Attar memberikan
sebuah karya mistisnya sebagai hadiah, yaitu “Asrar Nameh” (Kitab
Rahasia), dan meramalkan masa depan Rumi sebagai tokoh spiritual
yang agung. Attar berkata pada ayah Rumi, “Sebentar lagi putramu akan
menjadi api yang membakar para pencinta di seluruh jagat.” (Zaairul
Haq, 2011: 17). Karya tulis Attar itu mengajarkan nilai-nilai sufisme
melalui kisah dan fabel, yang dikemudian hari menjadi salah satu kitab
yang banyak memengaruhi karya-karya Rumi. Kemudian, keluarga Rumi
pindah ke Baghdad dan terus ke Mekah. Dari Mekah mereka pindah ke
Malthiyah dan tinggal di sana selama empat tahun. Lalu mereka ke
Laranda (kini Kerman), dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di kota
ini, di mana Ibu Rumi, Mu‟min Khatun meninggal dunia. Pada saat itu
Rumi berusia 19 tahun dan menikahi seorang putri Lala Syarafuddin as-
Samarkandi, bernama Jauhar Katun (Kartanegara, 1986: 19).
Pernikahannya dengan Jauhar Katun, Rumi mempunyai anak yang
bernama Sultan Walad dan Alauddin, setelah Jauhar Katun meninggal
dunia, Rumi menikah lagi dengan seorang janda bernama Karra Katun,
darinya Rumi memiliki anak yang bernama Amir Muzaffar al-Chelebi
(Subhan, 2018).
Kemudian dari Laranda lalu pindah ke Qunyah (Konya), yang
pada saat itu menjadi ibukota Dinasti Bani Saljuk di Asia dengan
sultannya Alauddin as-Saljuqi. Di kota inilah ayah Rumi wafat di tahun
43
628 H (Ahmed, 1994: 127). Pada tahun 634 H. Rumi kembali ke Konya,
dan aktif sebagai pengajar, memberikan kuliah dan fatwa. Di madrasah
yang dipimpin Rumi ramai, tidak kurang 4.000 murid belajar di situ.
Pada tahun Jumadil Akhir 642 H, seorang laki-laki beraliran sufi dari
Tabriz namanya Muhammad bin Ali bin Malik Da‟ad, tetapi lebih
dikenal dengan Syamsuddin at-Tabriz datang berkunjung pada Rumi.
Dan mulai saat itu Rumi belajar kepada Syams at-Tabriz, dan
diriwayatkan Rumi selama enam bulan mengasingkan dirinya di dalam
kamar Shalahuddin Zarkub ad-Dukak (Ni‟am, 2001: 35). Kedatangan
Syams di Konya menurut Aflaki, terjadi pada tanggal 29 November 1244
(Okuyucu, 2018: 37). Bagi Rumi, Syams at-Tabriz adalah segala-
galanya. Dalam sajaknya Rumi mengatakan, “Sesungguhnya Syams
Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang
mempertebal keyakinan dan keimananku” (An-Nadwi, 1997: 3).
Sebelumnya Syams telah melayani Syaikh Abu Bakar al-Salabaf,
dan dia bertemu dengan banyak tokoh sufi meski tidak memuaskan
pengetahuannya. Di Damaskus, dia mengungkapkan kekecewaannya
terhadap Awhaduddin Kirmani dan dia diragukan oleh Muhyiddin Ibnu
„Arabi. Saat itu Syams berusia 60 tahun dan terus mengembara mencari
sebuah api yang besar untuk bersenyawa dengan api yang ada di dalam
dirinya sendiri (Okuyucu, 2018: 36). Kemudian, setelah dipertemukan
dengan Rumi, Syams merasa Rumi-lah yang dapat memahami dirinya,
dan semakin hari persahabatannya dengan Rumi semakin akrab dan
menimbulkan kecemburuan pada sahabat dan murid-murid Rumi yang
merasa diabaikan. Sehingga Syams pergi meninggalkan Rumi secara
diam-diam pada tanggal 21 Syawal 643 H/19 Juni 1246 M. selama
tinggal bersama 16 bulan lamanya (Ni‟am, 2001: 36). Perpisahan ini
44
menyusahkan Rumi dan menimbulkan tekanan batin yang begitu
mendalam dan timbullah rasa rindu sehingga Rumi mulai menulis surat
dan syair-syair kepada Syams at-Tabriz, dan dikenal sekarang dengan
kitab Diwan-i Syamsi Tabrizi.
Sebagai seorang sufi, Rumi menempa dirinya dengan ibadah yang
ketat, kehidupannya yang zuhud, dan akhlaknya yang mulia, patut
diteladani oleh setiap muslim. Rumi sangat zuhud (tidak cinta dunia),
beberapa kali sultan memberinya hadiah, namun hadiah-hadiah itu dia
bagikan kepada orang lain. Rumi juga sangat wara‟ dan senantiasa
menjaga dirinya dari harta yang syubhat apalagi yang haram. Dikisahkan
pula Rumi memiliki hubungan yang baik dengan beberapa pejabat seperti
Mu‟inuddin Parwani, namun ia tidak suka memanfaatkan hubungannya
itu untuk menjilat. Bahkan tak ditemukan satu pun dalam syair-syairnya
puja puji kepadanya (Djamaluddin, 2015: 64-64). Dalam suatu riwayat,
Abu al-Hasan an-Nadwi berkata; bahwa Rumi tidak mau membangunkan
seekor anjing yang tidur di tengah sempitnya gang yang hendak ia lewati.
Ia tidak ingin menganggu dan menyakiti anjing tersebut, sehingga ia
lebih memilih untuk menunggu hingga anjing itu bangun dengan
sendirinya (an-Nadwi, 1974: 14). Demikianlah, kasih sayang Rumi
kepada makhluk ciptaan Allah, bahkan yang dianggap najis sekalipun.
Seorang sahabat Rumi, bernama Sabah Salar berkata: “Saya sama sekali
tidak pernah melihatnya memiliki sehelai hamparan alas tidur dan
tongkat, kalau rasa kantuk menyerangnya, ia bisa lelap dalam keadaan
duduk.” (an-Nadwi, 2015: 11).
Pengaruh Syams sangatlah besar bagi kehidupan spiritual Rumi,
bahkan Rumi mendesak Syams agar dia tinggal serumah dan
mengawinkannya dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam
45
keluarganya (anak angkat Rumi bernama Kimya) (Schimmel, 2016: 33).
Seandainya Syams tidak pernah hadir di hadapan Rumi, maka tidak akan
pernah ada Matsnawi di tangan Rumi. Syams tidak pernah kembali lagi,
dan Rumi menyadari bahwa ia memang gagal menemukan gurunya itu,
namun ia akhirnya berhasil menemukan sesuatu yang lebih berharga
dalam hidupnya, yaitu pencerahan spiritual di dalam dirinya.
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H/17 Desember 1273 M.,
dalam usia sekitar 66 tahun Rumi meninggalkan dunia yang fana ini, dan
setiap orang di Konya, baik Kristen, Yahudi maupun Muslim menghadiri
pemakamannya, seperti yang dikatakan putranya Sultan Walad:
“Penduduk kota, tua dan muda semuanya meratap, menangis, mengeluh
keras. Orang-orang desa, orang-orang Turki dan Yunani, mereka
mencabik-cabik pakaian mereka karena perasaan sedih atas
meninggalnya orang yang agung ini. Ia adalah Musa, kata orang-orang
Yahudi”. Kucing Rumi pun sedih dan bunyi meongnya diterjemahkan
sebagai suatu ekspresi kerinduan seekor binatang akan tempat asalnya.
Kucing itu tidak mau makan setelah Rumi wafat, dan ia pun mati
seminggu kemudian. Malika Khatun, putri Rumi yang menguburkannya
di dekat makam ayahnya (Schimmel, 2016: 50). Dalam Matsnawi, Rumi
mengatakan: “Aku sudah terlepas dari tubuh ini, tubuh sebagai karya
dari imajinasi. Sekarang, aku berayun ke atas, menikmati kesenangan
dari pertemuan kembali.” (Okuyucu, 2018: 71).
2. Pendidikan Jalaluddin Rumi
Pada awalnya Rumi belajar di bawah asuhan ayahnya Bahauddin
Walad (w. 1231 M). Al-Aflaki dalam Manaqib al-‘Arifin mengatakan
bahwa Bahauddin Walad memiliki pengaruh yang sangat kuat, kalimat-
kalimatnya yang fasih dan menyentuh membuat masyarakat
46
mencintainya dan menaati nasihat-nasihatnya. Setelah memberikan
nasihat, Bahauddin menuju sebuah kamar khusus pada malam harinya
untuk qiyamul lail, berzikir dan membaca wirid-wirid rutinnya (Iblagh
al-Afghaniy, 1987: 63). Bahauddin Walad adalah seorang sufi besar,
seorang murid utama dari Syaikh Najmuddin Kubra, pendiri Tarekat
Kubrawiyah. Hal ini karena kitab Bahauddin, al-Ma’arif memiliki
banyak kesamaan dengan karya-karya Syaikh Najmuddin Kubra, dan di
sisi lain Bahauddin pernah menjadi mursyid Tarekat Kubrawiyah (Syatta,
1996). Demikianlah, Rumi lahir dan tumbuh dalam keluarga ulama yang
terkenal dengan kealiman dan kezuhudannya.
Sepeninggal ayahnya, Rumi lalu belajar kepada sahabat ayahnya
bernama Burhanuddin Muhaqqiq at-Tirmidzi (w. 1245 M). Kedatangan
Burhanuddin menjadi kabar gembira bagi Rumi, ia mendapat guru yang
ahli dalam ‘irfan (ilmu tasawuf). Rumi pun mendapat banyak petunjuk
dari Burhanuddin, khususnya ketika membaca kembali karya ayahnya,
al-Ma’arif (Syatta, 1996: 12). Burhanuddin juga membawa Rumi
mempraktikkan jalan tasawuf dalam tradisi arba’iniyyah (berkhalwat
kepada Allah selama 40 hari tanpa putus). Di samping itu, Burhanuddin
juga memperkenalkan syair-syair Hakim as-Sana‟i untuk mengasah
kelembutan hatinya (Syatta, 1996: 13). Ketika Rumi pergi ke Damaskus
tempat sufi besar tinggal Muhyiddin Ibnu „Arabi, namun tidak ada
riwayat yang menjelaskan pertemuan Rumi dengan Ibnu „Arabi.
Meskipun ada yang menceritakan, bahwa ketika dari Haleb, Rumi pindah
ke Damaskus dan di sana ia memasuki sekolah al-Muqaddasiyah. Di sini
ia bertemu dengan Ibnu „Arabi, Sa‟aduddin al-Hamawi, Utsman ar-
Rumi, Awhaduddin al-Kirmani, dan Sadruddin al-Qunawi (An-Nadwi,
1997). Setelah Burhanuddin Muhaqqiq meninggal dunia, Rumi pun
47
menggantikannya sebagai guru di Konya. Di bawah bimbingan dan
anjuran Burhanuddin, Rumi melanjutkan pengembaraan intelektualnya
ke Aleppo (Haleb) dan Damaskus. Di sini Rumi tinggal di Madrasah
Halawiyah dan diasuh dibawah bimbingan Kamaluddin bin al-„Azhim
(Kartanegara, 1986: 20).
Jalaluddin Rumi-lah yang kemudian menggantikan ayahnya dan
menjadi penerusnya dalam mengajar teologi tradisional, dan
membentangkan dakwah, mempopulerkan nasihat dan keputusan hukum
(Schimmel, 2016: 28). Seorang penguasa bernama Badruddin Kahartasy,
kemudian membangun sekolah untuk Rumi, nama sekolah itu
khadawandahar (Hudavendigar). Pada tahun Jumadil Akhir 642 H,
Rumi bertemu dengan seorang sufi dari Tabriz namanya Muhammad bin
Ali bin Malik Da‟ad, tetapi lebih dikenal dengan Syams at-Tabriz. Dan
mulai saat itu Rumi belajar kepada Syams at-Tabriz, dan diriwayatkan
Rumi selama enam bulan mengasingkan dirinya di dalam kamar
Shalahuddin Zarkub ad-Dukak (Ni‟am, 2001: 35). Bagi Rumi, Syams at-
Tabriz adalah segala-galanya, dialah matahari Rumi yang mencairkan
kebekuan intelektual dan spiritual Maulana Rumi. Rumi pun terinspirasi
dengan seorang penyair sufi Sana‟i dari Ghazna, karyanya Hadi>qah al-
Haqi>qah merupakan contoh dari semua Matsnawi> yang bersifat mistik.
Rumi bahkan mengambil sebaris dari karya Sana‟i dan mengerjakannya
kembali menjadi sebuah nyanyian sedih mengenai sang guru yang telah
meninggal dunia lebih dari seratus tahun sebelumnya (Schimmel, 2016:
29).
Setelah Rumi tenggelam dalam jiwa Syams, Rumi memasuki
masa ketenangan spiritual dan dia memerlukan sahabat yang bisa diajak
berbagi pengalaman spiritual. Rumi bertemu dengan Sadruddin al-
48
Qunawi (w. 1274 M), anak tiri Ibnu „Arabi sekaligus murid
kesayangannya dan pengulas terbaik karya-karya Ibnu „Arabi seperti
Futuhah al-Makkiyah dan Fusush al-Hikam. Sadruddin lebih tua
beberapa tahun dari Rumi, mereka saling menghormati dan saling
berbagi pengalaman spiritual sejak pertemuannya itu. Pada suatu ketika,
Rumi berjalan-jalan di suatu pasar pembuat emas, dan ketika suara palu
terdengar di telinganya, membuat Rumi mengalami ekstase (mabuk
spiritual). Pembuat emas itu ialah Shalahuddin Zarkub (w. 1258 M), guru
sekaligus sahabat lama Rumi (Schimmel, 2016: 40). Shalahuddin
Zarkub, juga ialah murid dari Burhanuddin Muhaqqiq, namun ia kembali
ke kampung halamannya. Pertemuan antara Rumi dan Syams kadang-
kadang terjadi di rumah atau di tokonya. Shalahuddin yang buta huruf ini
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual Rumi, yang ia
anggap sebagai cermin sejati untuk menemukan kembali diri yang sejati.
Jalaluddin Rumi memiliki hubungan dengan Fakhruddin Iraqi
(w. 1289 M), seorang penyair sufi yang tinggal selama dua puluh lima
tahun di Multan, Punjab Selatan. Fakhruddin telah sampai di Konya pada
1267, dan menjalin hubungan yang akrab dengan Shadruddin Qunawi.
Syair-syair Persianya telah menggerakkan Rumi dalam beberapa ghazal
Rumi (Schimmel, 2016: 48). Syams meninggalkan Rumi saat Rumi
berusia 40 tahun, usia yang biasa dianggap sebagai simbol dari
kematangan spiritual, juga karena pada usia itu Muhammad diangkat
sebagai Nabi. Syams menemani Rumi selama tiga tahun, meski sumber
lain mengatakan empat tahun. Coleman Barks menyebutkan bahwa
Syams menghilang (meninggalkan Rumi) pada 5 Desember 1248
(Subhan, 2018: 6). Syams sengaja meninggalkan Rumi karena merasa
Rumi telah mencapai kematangan spiritual dan dengan jalan
49
perpisahanlah Rumi akan menemukan kesejatian diri. Menurut Leslie
Wines, bahwa hubungan Rumi dan Syams merupakan suatu tradisi dalam
ilmu tasawuf yang lahir dari rasa cinta spiritual Rumi kepada gurunya
(Wines, 2004: 18). Emerson (w. 1882 M) dalam sajaknya Give All to
Love, menggambarkan perpisahan ini dengan berkata: “Ketika ia yang
setengah dewa pergi, dewa pun memunculkan diri.”
3. Tarekat Jalaluddin Rumi
Setelah Rumi wafat, sahabat sekaligus muridnya Husamuddin
Chelebi diangkat menjadi pemimpin tarekat, dan putra Rumi, Sultan
Walad menjadi pimpinan tarekat setelah Husamuddin wafat pada 1284
M, dan dialah yang mengorganisasikan murid-murid menjadi sebuah
tarekat sufi yang sejati dan menyusun aturan untuk tarian mistik atau
whirling dervish (sama>). Sultan Walad membuka pondok sufi Mevlevi
(khanaqah atau zawiya) di Konya dan beberapa daerah di Anatolia.
Golongan ini terus berkembang pada periode Ottoman dan tersebar di
seluruh Anatolia, Semenanjung Balkan, dan Semenanjung Arab
(Okuyucu, 2018: 99). Ketika Husamuddin wafat pada 1312 M, tarekat
Maulawiyah sudah mempunyai bentuk yang baku dan dalam waktu yang
singkat telah menjadi salah satu tarekat sufi yang sangat berpengaruh di
Turki, dan pemimpinnya berhak melantik setiap sultan Utsmani yang
baru (Schimmel, 2016: 51). Dalam tarekat Maulawiyah, dikenal dengan
istilah Syab-i Aru>s yaitu perkawinan spiritual, sebutan untuk hari
peringatan wafatnya seorang waliyullah., dan dimulai dengan tarian
mistik (sama>). Ritual Maulawi ini dilarang sejak Mustafa Kemal Ataturk
menutup pondok-pondok sufi pada 1925. Tarian mistik ini dilakukan
oleh laki-laki yang berputar-putar seolah mengitari matahari
50
(melambangkan Syams at-Tabriz), kadang juga disebut sebagai tarian
langit (sama>-i sama>wi>).
Dengan berdirinya tarekat Maulawi ini, pembacaan kitab
Matsnawi dijadikan aktivitas rutin. Kaum Maulawi dikenal sebagai
darwis-darwis yang berputar. Tarian sufi yang diiringi musik dengan
berputar-putar sebenarnya bukanlah ciptaan Maulana Rumi. Sebenarnya
kaum sufi sudah mulai mengadakan tarian ini pada awal paruh kedua di
abad ke-19, ketika balairung pertama untuk sama> didirikan di Baghdad.
Kecintaan Rumi pada musik disebutkan dalam banyak hikayat sufi. Di
kisahkan ketika Rumi masuk ke kamarnya, dia melihat murid-muridnya
sedang membahas kitab opus Ibnu „Arabi, Futu>ha>h al-Makiyyah.
Kemudian Abu Bakar pemain raba>b masuk lalu memainkan raba>b-nya,
Rumi kemudian tersenyum dan berkata: “Bukankah Futu>ha>h
(pembukaan)-nya Abu Bakar raba>bi> lebih baik dibanding Futu>ha>h al-
Makkiyyah?” (Schimmel, 2016: 257). Bagi Rumi, pengalaman langsung
ilahiah melalui suara musik itu lebih dekat dengan hatinya dibanding
membaca karya agung Ibnu „Arabi.
Sama>’ (tarian mistik) membuka pintu gerbang surga. Oleh karena
itu, sama>’ menjadi aspek terpenting bahkan menjadi poros utama dari
syair Rumi. Kekuatan rahasia yang ada di balik sama>’ adalah kehadiran
badani dan ruhani seorang pencinta. Dalam syair Rumi, sama>’ tampil
dalam pakaian berbagai amsal. Sama>’ adalah perumpamaan dari tangga
menuju langit, yaitu tangga yang dapat digunakan jiwa yang merindu
untuk mencapai penyatuan dengan Sang Kekasih. Rumi berkata: “Jibril
menari karena cinta pada keindahan Tuhan, Jin paling hina, Ifrit juga
menari karena cinta kepada jin perempuan” (Schimmel, 2016: 259).
Penciptaan itu sendiri bahkan digambarkan oleh Rumi sebagai tarian
51
mistis makhluk-makhluk, karena merindukan eksistensialisasi walaupun
masih berada di alam universal. Bagi Rumi, hati setiap individu juga
mulai menari ketika Sang Kekasih menatapnya. Rumi mengatakan:
“Ketika Syamsi Tabriz menatap kitab al-Qur‟an, tanda-tanda baca mulai
menari menjejak-jejakkan kakinya” (Schimmel, 2016: 259).
Kebanyakan tradisi religius memang memandang tarian sebagai
jalan untuk melepaskan diri dari gravitasi bumi dan untuk menunggal
dengan dunia metafisik. Ritual tarekat Maulawiyah, mengajarkan para
darwis berputar mengelilingi poros mereka yaitu guru (mursyid), yang
menggambarkan butir-butir atom atau debu yang bergerak mengitari
matahari. Para darwis ditarik dan disatukan oleh kekuatan gravitasi dari
wujud cahaya sentral dan mengumpulkan mereka sedemikian rupa
sehingga menjadi satu gerakan tunggal, yang sepenuhnya bergantung
pada Sang Matahari. Sebagaimana menurut Zaki Sitoprak, bahwa tarian
berputar Rumi muncul karena adanya pandangan tentang kondisi dasar
semua yang ada di dunia ini ialah berputar. Begitu pun dengan manusia
yang berputar dari yang tidak ada, menjadi ada, dan kelak tidak lagi ada
(Andriyani, 2017: 93). Oleh karena itu, keadaan kemabukan cinta yang
dibangun Rumi dengan berputar-putar menandakan sikap kepasrahan
dalam cinta Ilahi namun tetap mempertahankan kepatuhan. Margareth
Smith mengatakan bahwa Rumi adalah pencinta yang menciptakan
gerakan-gerakan mistis yang merupakan simbol revolusi planet-planet
yang mengitari matahari, yang pada akhirnya menjadi pencetus
berdirinya „Tarekat Darwis-Darwis yang Menari‟ atau The Brethren of
Love (Persaudaraan Cinta) (Zaairul Haq, 2011: 62).
Dalam sama>’ juga menyimbolkan gerakan bumi dan benda-benda
angkasa mengitari kutubnya (heliocentric). Sama>’ juga diinterpretasikan
52
sebagai tarian kematian dan kebangkitan. Para darwis awalnya memakai
jubah hitam panjang, lalu berjalan tiga kali mengitari meydan, tempat
sang guru berada untuk mencium tangannya. Kemudian, begitu karakter
musik berubah, para darwis pun melepaskan jubah hitam mereka,
lambang jasad lempung yang fana‟ dan muncul gaun putih sebagai
lambang jasad spiritual. Sama>’ merupakan lambang kematian dan
kebangkitan dalam Cinta, suatu proses kembali ke Mata Air Kehidupan,
yang dimulai dengan lagu pujian kepada baginda Nabi Muhammad saw,
di mana orang kepercayaannya yang paling dekat ialah Syams at-Tabriz,
dan diakhiri dengan doa yang panjang serta seruan mengucapkan Hu>
(Dia), sebagai pengakuan bahwa Dia-lah satu-satunya yang hidup, yang
dari-Nya cinta datang, segalanya datang dan kepada-Nya segalanya akan
kembali. Menurut Golpinarli, Husamuddin Chelebi yang menjadi
mursyid tarekat Maulawi selama 39 tahun yang memberikan bentuk
terakhir sama’ seperti yang terlihat sampai hari ini (Okuyucu, 2018:
103).
Dalam ritual tarekat Maulawiyah, keempat salam pada sama’
menandai empat fase yang berbeda: pertama, pengenalan posisi
seseorang sebagai hamba Allah; kedua, penyembahan di hadapan
kebesaran Allah; ketiga, transformasi dari kekaguman cinta Ilahi dan
penyerahan total kepada Allah; dan keempat, kembali ke tujuan
penciptaan yaitu sebagai hamba Allah (Okuyucu, 2018: 105).
Singkatnya, sama’ ialah keadaan seorang hamba yang menanggalkan diri
jasmaniahnya dan memusnahkan egonya dalam ego (diri) Tuhan.
Seorang pakar psikologi humanistik, Helen Graham menyebut sama’
sebagai salah satu meditasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat
53
terhadap pelakunya, di mana penari “kehilangan” dirinya, dan dengan
demikian menyatu dengan segala sesuatu (Zaairul Haq, 2011: 37).
4. Karya-Karya Jalaluddin Rumi
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam pengantarnya untuk The
Sufi Doctrine of Rumi, bahwa Rumi tidak menulis eksposisi metafisis
langsung seperti yang dilakukan oleh Ibnu „Arabi atau Sadruddin al-
Qunawi. Namun Rumi, adalah seorang ahli metafisika tingkat tinggi dan
menggarap hampir semua pertanyaan metafisik dalam bentuk
perumpamaan, narasi atau bentuk lain dari perangkat sastra dan simbol
puitis (Bagir, 2019: 19). Memang dalam banyak kesempatan, Rumi
menyatakan dengan jelas bahwa tujuannya ialah membimbing, bukan
untuk menjelaskan.
Rumi telah meninggalkan sejumlah karya yang sangat berharga,
khususnya dalam dunia spiritualisme Islam. Menurut, Dr. Muhammad
Sa‟id Jamaluddin, sebelum bertemu dengan Syams at-Tabriz, Rumi sama
sekali belum pernah menghasilkan karya berupa sajak. Meskipun pada
saat itu Rumi telah membaca sajak-sajak al-Attar dan as-Sana‟i
(Jamaluddin, 2008: 30). Rumi mencapai puncak spiritualnya ketika
ditinggalkan oleh Syams at-Tabriz, dan terlihat melalui karya-karyanya.
Annemarie Schimmel menggambarkan Rumi sebagai berikut, “Setiap
batu dan pohon tampak menafsirkan pesan-pesan Rumi ke dalam
bahasanya sendiri, bagi orang yang mempunyai pendengaran dan
penglihatan” (Schimmel, 2016: 54). Sementara menurut Nicholson,
dalam diri Rumi-lah kecakapan mistik orang-orang Persia mencapai
keunggulan ekspresinya. Bagi orang-orang Barat, secara perlahan telah
menyadari kemampuan Rumi yang begitu besar, karena pengaruh
54
perumpamaannya, gagasan dan bahasanya dirasakan sangat indah dan
kuat selama beberapa abad berturut-turut (Nicholson, 2008).
Karya warisan Rumi yang terbesar adalah Matsnawi yang dipuji
sebagai al-Qur‟an yang berbahasa Parsi (Iqbal, 1983: 175). Karya ini
terdiri dari lebih kurang 2.500 lirik, dalam enam jilid buku Matsnawi
sekitar 25.000 bait syair menurut Nicholson, sedang menurut Iqbal
terdapat 25.700. Adapun Bayat dan Jamnia hanya mengatakan lebih dari
15.700 bait syair (Ni‟am, 2001: 48). Syair-syair di dalamnya merupakan
filsafat etik dan moral yang bersifat praktis dengan tujuan membawa
kebahagiaan (Arberry, 1970: 626). Ceritanya memiliki tiga tingkatan;
naratif, moral dan metafisik (Hodgson, 1974: 246). Matsnawi
memberikan kepada para pembacanya apa yang dia kehendaki. Idries
Shah berkata, bahwa Matsnawi memberikan puisi bagi yang memilih
puitiknya, memberikan hiburan bagi yang menyukai ceritanya, dan
memberi semangat intelektual bagi orang yang menghargai keilmuan
(Shah, 1999).
Maulana Rumi sendiri menggambarkan Matsnawi sebagai
berikut: “Matsnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin
mencapai kebenaran, memahami rahasia-rahasia ilahi, dan menjadi
terbiasa dengan rahasia-rahasia tersebut.” (Topbas, 2015: 13). Matsnawi
adalah personifikasi puitis Jalaluddin Rumi dari alam batinnya yang
terefleksikan dalam sajak-sajak dan merupakan kitab yang penuh berkah
dan anugerah. Mastnawi adalah sebuah lautan dengan kedalaman tidak
berujung, makna yang tidak terbatas, dan kandungan rahasia yang tidak
terhitung. Terdapat kisah mistis yang menarik dari Syaikh al-Islam Ibnu
Kemal Pasha tentang Matsnawi. Dia menceritakan bahwa di dalam
tidurnya ia bermimpi melihat Rasulullah saw. Beliau memegang kitab
55
Matsnawi dan berkata: “Begitu banyak buku spiritual yang ditulis.
Namun, di antara buku-buku tersebut, tidak ada yang sebanding dengan
Matsnawi.” (Topbas, 2015: 12). Marshall G.S. Hodgson mengatakan
bahwa; “Matsnawi merupakan rangkaian anekdot (cerita) tanpa akhir
yang diselingi dengan pandangan-pandangan moral (spiritual), suatu
bentuk yang sangat mirip dengan gaya al-Qur‟an. Kekuatannya bukan
hanya terletak pada keindahan kata-kata yang dipilihnya, namun juga
pada perubahan alur cerita dan arti yang menantang yang harus
dipahami” (Hodgson, 1974: 246).
Secara rinci, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat diklasifikasikan
oleh Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya Renungan Mistik Jalaluddin
Rumi, yang terdiri dari enam buah karya. Karya-karya tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Matsnawi Jalaluddin Rumi, merupakan masterpiece Rumi (enam
jilid), berisi lebih kurang 25.700. karya ini digarap selama lima belas
tahun terakhir dari hidupnya, dan murid Rumi, Husamuddin Chelebi
yang menuliskannya (didiktekan oleh Rumi). Penulisan Matsnawi
dimulai sekitar 1256, dan setelah wafat istri Husamuddin, terjadi
kevakuman selama empat tahun. Baru pada tahun 1262, dibuat
volume kedua. Matsnawi memuat ajaran-ajaran pokok tasawuf yang
sangat mendalam, yang disampaikan secara puitis dan kreatif melalui
anekdot, fabel, legenda dan sebagainya.
2. Maqalat Syams-i Tabrizi (wejangan-wejangan Syams Tabriz), yang
merupakan buah perkataan Rumi dengan Syams yang intim. Karya
ini berisi dialog mistis antara Rumi dan Syams yang bertindak
sebagai guru Rumi.
56
3. Diwan-i Syams-i Tabrizi (lirik-lirik Syams Tabriz), karya ini disusun
oleh Rumi pada saat detik-detik perpisahannya dengan Syams dan
untuk mengenang sahabat sekaligus guru yang sangat dicintainya itu.
Karya ini merupakan kumpulan-kumpulan bait mistis, yang
mengandung sekitar 2.500 lirik. Menurut Seyyed Hossein Nasr, karya
ini secara khusus berisi beberapa sajak yang indah dan mendalam
dalam bahasa Parsi tentang tugas dan fungsi guru spiritual dan
tentang hubungan antara guru dan murid (Nasr, 1972: 46).
4. Fihi ma Fihi (inilah Apa yang Sesungguhnya), karya ini merupakan
kumpulan ceramah tasawuf Maulana Rumi kepada para pengikutnya
yang tergabung dalam tarekat Maulawiyah. Buku ini memuat 71
pasal dalam memperjelas pendapatnya dengan berbagai contoh dan
kisah yang menjadi pelengkap untuk membantu banyak dalam
memahami pemikiran sufisme Rumi.
5. Ruba‟iyyat adalah karya puitis Rumi. Sebuah antologi puisi Rumi
yang terdiri dari 3318 bait yang memuat pesan-pesan tasawuf yang
begitu mendalam melalui puisi, dan meliputi 1659 ruba>’iyah
(kumpulan empat bait dalam bentuk sajak).
6. Maktubat (korespondensi), karya ini berupa kumpulan surat-surat
Rumi kepada rekan-rekan sahabatnya, para pengikutnya, dan
keluarganya. Meski sebagian besar suratnya ini ditulis kepada para
penguasa untuk menyampaikan tuntutan atas kebutuhan masyarakat.
Versi surat-surat Rumi ini yang paling dipercaya ialah yang
diterbitkan oleh Taufik Subhani, pada tahun 1992 (Okuyucu, 2018:
119).
7. Kwarizm adalah karya Rumi yang menggambarkan rumah masa
kecilnya, muncul sebagai metafor yang melambangkan kemiskinan
57
spiritual (faqr), hati sang pencari yang terpuji, dan rumah yang begitu
indah. Karya ini ditulis sebagai kenangan Rumi ketika ayahnya hijrah
ke Samarkand, meninggalkan ibunya yang sudah tua, dan pada saat
yang sama kota itu kemudian dikepung oleh Khwarizmsyah yang
ingin memperluas wilayahnya ke seluruh Transoksiana sampai ke
Hindu Kusy (Schimmel, 2016: 26).
8. Al-Majalis as-Sab‟ah adalah karya Rumi berbentuk prosa. Kitab ini
merupakan kumpulan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan
nasehatnya di berbagai majelis keagamaan, sebelum ia bertemu
dengan Syams at-Tabriz (Djamaluddin, 2015: 78).
9. Al-Makatib juga karya Maulana Rumi yang berbentuk puisi dan
prosa. Kitab ini menghimpun surat-surat Rumi kepada para sahabat
dekatnya, khususnya kepada Shalahuddin Zarkub, sehingga beberapa
kalangan juga menyebut kitab ini dengan judul ar-Rasa’il (surat-
surat). Dalam kitab ini Rumi lebih banyak mengungkapkan
kehidupan spiritualnya sebagai seorang sufi, dan juga menyampaikan
nasihat-nasihatnya kepada para muridnya yang hendak mendalami
ilmu tasawuf (Djamaluddin, 2015: 78).
Selain buku-buku tersebut, ada dua buku doa yang dianggap telah
disusun oleh Rumi: Awradi Kabir dan Awradi Saghiri Hazreti Mevlana
(Okuyucu, 2018: 119). Demikianlah sekilas tentang karya-karya Maulana
Jalaluddin Rumi. Puisi-puisi Rumi hadir menemui siapapun dan kapanpun
tanpa batas kategorisasi. Di Barat, pembaca Rumi terus meningkat sampai
melampaui Rubaiyat Umar Khayyam, sementara Annemarie Schimmel
dalam pengantar buku Me & Rumi: The Autobiography of Syams-i Tabrizi
mengatakan bahwa Rumi menjadi salah satu penyair terlaris di Amerika
Utara. Puisi-puisi Rumi dijadikan lirik-lirik lagu, tarian-tariannya
58
dipelajari, dan bahkan ditemukan puisi-puisi Rumi dalam wujud kartu
Tarot (Subhan, 2018: 4). Secara umum yang ingin disampaikan dalam
beberapa karya Rumi ialah Cinta sebagai penggerak utama manusia dalam
menuju Tuhannya. Muhammad Iqbal, memuji Rumi dengan berkata:
“Rumi benar-benar wujud cinta dan api. Dan aku adalah debu dari api
ini”. Irene Melikoff, juga memuji karya Rumi: “Jika bangsa-bangsa di
dunia menerjemahkan karya-karya Rumi ke dalam bahasa mereka sendiri
dan membacanya, tidak akan ada perang, dendam, atau pun kebencian di
dunia ini.” (Okuyucu, 2018: 120 & 122).
B. Pendidikan Cinta Kasih Perspektif Jalaluddin Rumi
1. Konsep Pendidikan Cinta Kasih Rumi
Menurut Muhammad Iqbal, Rumi ialah Raushan Damir, yaitu orang
yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu membaca
rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tersembunyi,
dan dari Rumi seseorang dapat memetik pelajaran tentang bagaimana
membenahi umat yang sedang kusut, sebab pikiran-pikiran Rumi yang
profetik (mengandung pesan kenabian) memiliki tenaga pembebasan dan
pencerahan (Hadi, W.M, 2013). Pada dasarnya, konsep tasawuf Rumi adalah
taraqqi ilalla>h (mendaki menuju Allah). Rumi berpandangan bahwa untuk
mengenal (makrifah) Allah harus ditempuh dengan jalan cinta (mahabbah).
Membaca Rumi memang rumit bila tidak dengan hati, Rumi selalu
mengantarkan kepada penyingkapan-penyingkapan pemahaman akan
rahasia-rahasia yang pada dasarnya sangat nyata di depan mata namun sering
terlalaikan oleh pandangan karena tebalnya debu yang menyelubungi hati.
Franklin Lewis dalam bukunya Rumi; Past and Present, East and West,
menyatakan bahwa Rumi salah satu tokoh yang paling digemari di dunia
Barat, terkhusus di Amerika (Jabir, 2018: 12). Karya agung Jalaluddin Rumi,
59
Matsnawi dikenal sebagai lautan makna tidak bertepi yang sarat dengan
mutiara-mutiara hikmah bagi salik (murid) yang rindu kepada ilahi.
Matsnawi adalah sebuah lautan dengan kedalaman yang tidak berujung,
maknanya tidak terbatas, dan kandungan rahasia yang tidak terhitung.
Melalui berbagai kisah, syair, dan persoalan-persoalan spiritual yang sulit
dipahami akal dapat mengisi kedalaman hati orang yang membacanya.
Matsnawi adalah personifikasi puitis dari alam batin Rumi yang
terefleksikan dalam sajak-sajak dan merupakan kitab hikmah yang penuh
berkah. Rumi sendiri menggambarkan Matsnawi sebagai “Jalan cahaya bagi
mereka yang ingin mencapai kebenaran, memahami rahasia-rahasia ilahi,
dan menjadi terbiasa dengan rahasia-rahasia tersebut”. Rumi mewariskan
sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia dengan merekam
perjalanan spiritualnya yang dipenuhi cahaya dan cinta kasih dalam bentuk
buku. Dalam Matsnawi Rumi bersenandung: “Jika engkau memiliki hati,
bertawaflah mengelilinginya. Secara spiritual, Ka‟bah sejati adalah hati,
bukan bangunan fisik dari batu dan tanah. Allah mewajibkan tawaf
mengelilingi fisik Ka‟bah untuk mendapatkan Ka‟bah hati yang bersih dan
murni” (Topbas, 2015: 14).
Konsep pendidikan ruhani Rumi; Pertama, mahabbah atau
determinisme cinta (kemutlakan cinta) sebagai kendaraan menuju Allah,
yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah dengan jalan cinta;
Kedua, ‘isyq yaitu mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi yang
membakar kerinduan murid untuk segera berjumpa dengan-Nya, sehingga ia
bersedia menempuh perjalanan jauh demi bersatu dengan Kekasihnya yaitu
Allah swt; Ketiga, kondisi fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu
keadaan hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, karena
berhasil membersihkan dirinya dari segala kotoran dan hanya ada Allah
60
semata. Dengan demikian, setelah murid melalui ketiga tahapan tersebut
barulah dia merasakan buah dari mahabbah, yaitu syauq (kerinduan), al-Uns
(keintiman), ridha (rela). Sebagaimana Ruzbihan al-Baqli, yang menjelaskan
cinta sebagai salah satu sifat Tuhan. Para sufi menyakini bahwa seluruh
realitas tercipta karena hubbu dz-dzat (cinta Ilahi atas Dzat diri-Nya sendiri)
(Jabir, 2018: 47).
Rumi memang mengungkapkan pemikirannya melalui syair, dan
nyanyian dari dalam jiwanya dengan menggunakan musik dan tarian, yang
paling terkenal adalah sajak pembukaan dalam Matsnawi “Nyanyian
Rumpun Bambu”. Seruling bambu mengeluh bahwa ia telah dipotong dari
rumpunnya dan rindu akan pulang ke rumahnya, menceritakan tentang
rahasia kesatuan ilahi dan kebahagiaan abadi kepada siapa saja yang ingin
berjumpa dengan-Nya. Oleh karena itu, Annemarie Schimmel mengatakan
bahwa kekuatan kata-kata dalam syair Rumi itu terbentuk karena kenyataan
bahwa baginya segala sesuatu mengandung keagungan Tuhan (Schimmel,
2016). Bagi penulis, kekuatan Rumi adalah kasihnya, suatu pengalaman
eksistensial dalam makna manusiawi yang didasarkan pada Tuhan, sebab
cinta yang mendalam bagi Rumi adalah penyatuan dengan Sang Kekasih.
Rumi berseru: “Dari mana asal cinta, lihatlah ke dalam hatimu dan kau
akan paham dari mana asal cinta. Itu adalah kebenarannya, bukan tentang
apa yang mereka katakan” (Barks, 2003: 6).
Rumi mengajak kita untuk melihat ke dalam diri bukan di luar diri,
dengan demikian pendidikan cinta kasih adalah upaya untuk menjadikan
seseorang mengenal hakikat dirinya dan menginternalisasi cinta kasih
sehingga seseorang memiliki perasaan yang halus sebagai pecinta yang akan
mengarah kepada al-Insa>n al-Kami>l (manusia paripurna). Jalaluddin Rumi
mengajak manusia memasuki dimensi spiritual yang tidak mampu dipahami
61
hanya dengan menggunakan analisis logika formal, namun diperlukan
adanya pendekatan intuitif (spiritual tasting). Inilah yang disebut
determinisme cinta yang menjadi al-Ilm> dzauqi>, rasa dan pengetahuan
spiritual. Oleh karena itu, pendekatan sufisme bersifat intuitif berbeda
dengan pendekatan filsafat yang bersifat analisis.
Syekh Hisyam Kabbani mengaitkan istilah sufisme dengan ahl al-
Shuffa>h (penghuni serambi), yaitu mereka yang tinggal di serambi masjid
Nabi saw selama beliau masih hidup. Merekalah yang dirujuk dalam al-
Qur‟an surah al-Kahfi ayat 28: “(Wahai Muhammad), bersabarlah bersama
orang-orang yang selalu menyeru Tuhan mereka di siang dan malam hari
semata-mata mengharapkan rida-Nya. Jangan memalingkan pandangan
dari mereka karena mengharap kemewahan dunia, dan jangan mengikuti
orang-orang yang hatinya Aku biarkan lalai dari mengingat-Ku dan lebih
mengikuti ajakan nafsunya sehingga perbuatannya melampaui batas”
(Kabbani, 2015: 16-17). Ayat tersebut menegaskan betapa orang beriman
harus menjaga dirinya tetap dalam keadaan mengingat Allah dengan lisan,
pikiran, dan hatinya.
Sufisme juga disebut sebagai tazkiyatun nafs, yakni membersihkan
diri dari dosa, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-
sifat tercela. Singkatnya, mengamalkan sufisme berarti memberikan
perhatian penuh pada diri untuk berupaya mensucikan jiwa dari penyakit hati
dan menjalin hubungan cinta kasih kepada Allah swt. Rumi berseru: “Dalam
cahayaMu, aku belajar mencintai. Dalam keindahanMu, aku tahu cara
membuat puisi. Kau menari di dalam dadaku dimana tak seorangpun
melihatnya, tapi terkadang aku melakukannya dan itulah yang kusebut seni”
(Barks, 2003: 7). Dengan pendidikan cinta kasih mengajak murid
menanamkan akhlak mulia berlandaskan cinta dan kasih sayang kepada
62
sesama dan kesabaran dalam menanggung beban orang lain untuk mencapai
ridha Allah. Sebagaimana Rumi berseru: “Pusat menuntun pada cinta, jiwa
membuka inti penciptaan. Mempertahankan rasa sakit kita, hal itu dapat
membawa kita pada Tuhan” (Barks, 2003: 51). Dengan menanggung
penderitaan ketika sulitnya belajar dan menanggung beban orang lain,
seorang murid akan dituntun menuju jalan cinta yang akan membawanya
sampai kepada Allah swt.
Jalaluddin Rumi berkata: “Semua penderita penyakit tertentu
mengharapkan kesembuhan, kecuali para penderita sakit cinta, justru
mereka ingin terus menanggungnya” (an-Nadwi, 2015: 46). Bagi Rumi, cinta
adalah penyakit, dan cinta memang termasuk jenis penyakit yang mampu
menyembuhkan segala penyakit. Jika manusia ditimpa penyakit ini, maka ia
selamanya tidak akan pernah tertimpa penyakit apa pun. Ketika cinta ilahi
telah menguasai diri seseorang maka tidak ada apa pun selain Dia, sehingga
ke manapun mereka menghadap di situ ada Allah yang Maha Indah. Para
sufi adalah orang yang berkonsentrasi pada batin dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Kaum sufi adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh
umat manusia, kebanyakan orang mencari karunia Tuhan, sementara sufi
mencari Dia semata, yang lain puas dengan pemberian-Nya, kaum sufi hanya
puas dengan Dia (Javad Nurbakhsh, 2002:4). Tujuan pendidikan cinta kasih
adalah membantu murid agar mampu memasuki realitas batinnya, dan
menjadikan cinta sebagai nilai utama murid dalam menjalani kehidupan,
serta menjauhkan dirinya dari segala bentuk intoleransi, fanatisme,
radikalisme, esktrimisme, terorisme, kekerasan, kebencian, dan permusuhan
di antara manusia.
Penanaman cinta kasih akan melahirkan siswa didik yang bermental
sufi yaitu seseorang yang moderat, terbuka, tasamuh, tawazun, dan ramah,
63
terhadap orang lain. Sebab hampir tidak ada peristiwa peperangan antara
kelompok sufi atau tarekat dengan kelompok tarekat lainnya. Demikian para
sufi yang menjunjung tinggi cinta kasih, cinta kepada sesama ciptaan Tuhan.
Jalaluddin Rumi (w. 1273) menggambarkan dahsyatnya cinta dalam
syairnya: “Melalui cinta langit-langit dalam keselarasan, tanpa cinta
bintang-bintang akan lenyap” (Schimmel, 2005: 130). Menurut Mulyadi
Kartanegara, Rumi adalah salah satu wali-sufi yang menyakini bahwa cinta
adalah makhluk Tuhan yang pertama kali diciptakan, cintalah yang
memberikan kesatuan pada partikel-partikel materi. Cinta juga yang
membuat hewan bergerak dan berkembang biak (Kartanegara, 1986:53).
Dimensi cinta dalam tasawuf inilah yang melahirkan banyak penyair sufi
yang menjadi sumber inspirasi para pecinta sejak dulu hingga nanti, seperti;
Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 801), Ahmad al-Ghazali (w. 1126), Sana‟i (w.
1131), al-Atthar (w. 1221), Ibnu Arabi (w. 1240), dan Ibnu Faridh (w. 1234),
Rumi (w. 1273).
Sufisme adalah ruh kehidupan Islam, sufisme adalah tindakan dan
realisasi yang merupakan proses penyucian jiwa yang menumbuhkan cinta
kasih sebagai jalan menuju Allah. Rumi berkata: “dalam ragamu ada harta
tak ternilai, sebuah hadiah dari Yang Selalu Bermurah Hati. Carilah hadiah
itu di dalam dirimu” (Johnson, 2005: 79). Seluruh sasaran pencarian
manusia adalah hadiah yang tak ternilai itu yang ada di dalam tubuh. Dalam
tubuh setiap manusia, menurut Rumi tersimpan hadiah penyatuan yang tak
ternilai sebagai penggerak kesadaran menuju ilahi. Dengan kesadaran ini,
murid diajak berupaya untuk menemukan hadiah yang berharga yang
tersimpan di dalam tubuhnya agar mampu mencapai penyatuan, kemudian
mampu mewujudkan sifat ilahi ke dalam dirinya agar tercipta proses belajar
yang berimplikasi pada kebaikan akhlak, moral, karakter dalam kehidupan
64
bermasyarakat, berbangsa dan beragama. Sebab, tujuan akhir dalam
kehidupan seorang sufi adalah mewujudkan akhlak Allah menjadi akhlak diri
sendiri. Satu-satunya yang menjadi sumber pemahaman murid hanyalah
Allah dan apabila ia berfikir hanya tentang Allah maka pikirannya
tersucikan, dan di sinilah ia mendapati dirinya bersatu dengan Allah (ittihad)
dan hubungannya dengan hal-hal lain terputus kecuali dengan Allah semata
(fana’ fillah).
Sufi selalu memfokuskan hatinya kepada Allah, sejatinya manusia
selalu merindukan penyatuan kepada kekasihnya sejak diciptakan,
sebagaimana pasangan suami-istri jika cinta meluap, maka akan muncul rasa
ingin menyatu. Manusia sempurna dalam tasawuf disebut insa>n al-kami>l atau
Nei dalam bahasa Rumi. Nei adalah simbol dari manusia sempurna, juga
sebagai seruling bambu yang mengalami keterpisahan dari rumpun bambu
(asal-muasalnya, yakni Allah swt). Dengan demikian, Rumi berkata:
“Dengarkanlah Nei ini yang sedang melirih atas kisah derita
keterpisahannya” (Jabir, 2018: 31). Seorang sufi telah mengalami
penderitaan karena keterpisahan dari Sang Kekasih, dan sesungguhnya
manusia selalu rindu untuk bertemu dengan-Nya. Akan tetapi, jiwa tertutupi
oleh debu yang semakin tebal sehingga tidak nampak secara jelas apa yang ia
rindukan. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik harus berusaha membuka
jalan kepada murid untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel
dihatinya, agar nampak segala keindahan-Nya yang akan melahirkan
keluhuran budi dalam diri murid, serta memancarkan cinta dan kasih sayang,
welas asih (compassion), berakhlak mulia kepada sesama manusia, alam, dan
diri sendiri.
Dalam Matsnawi Rumi berseru: “Bagaikan pintu gerbang kebenaran,
matsnawi terbuka bagi semua orang untuk selama-lamanya. Tetapi, jika
65
mata seseorang tertutup, dia tetap saja tidak melihatnya. Dan yang membuat
mata tertutup adalah perban hawa nafsu pembalut keinginan” (Krishna,
2000: 2). Maksud Rumi adalah “keinginan untuk memamerkan
pengetahuan”. Jika seseorang sudah mulai menikmati kondisi seperti itu, dia
tidak akan punya waktu untuk mengalami spiritualitas. Waktu dia akan
tersita sepenuhnya untuk memamerkan pengetahuannya, yang sebenarnya
belum menjadi pengalamannya. Dengan demikian, bila mata hati murid
tertutup oleh perban hawa nafsu, maka ia tidak akan mampu melihat gerbang
kebenaran Ilahi dengan terang dan jelas, begitu pun dengan seorang guru
yang berbangga diri pada ilmunya, sehingga setiap penyampaiannya kepada
murid tidak akan sampai dengan baik. Dengan cinta kasih akan melemahkan
hawa nafsu, seperti hilangnya kehendak anak dihadapan ibunya karena tidak
ada sesuatu yang lebih mulia selain cinta yang bersinar dalam diri seseorang.
Sebagaimana Rumi berseru: “Cinta adalah cara pembawa pesan, misteri
cinta bercerita tentang banyak hal. Cinta adalah ibu dan kami adalah anak-
anaknya. Dia bersinar dalam diri kita, antara (cahaya-Nya) nampak atau
tidak. Karena ketika kita merasa kehilangan, ia akan dapat tumbuh lagi”
(Barks, 2003: 89).
Rumi menggambarkan kehidupannya yang meliputi tiga fase dalam
tiga ungkapannya: “Aku mentah, aku ditempa, dan aku lebur terbakar”.
Dalam tasawuf, ungkapan yang terakhir ini biasa disebut “fana fillah” (lebur
dalam Allah) dan “baqa’ billah” (abadi bersama Allah) (Topbas, 2015: 24).
Seorang salik yang berada pada kondisi “fana’ fillah” sepenuhnya harus
meninggalkan egonya yang membawa kepada sifat keburukan. Sedangkan,
pada level “baqa’ fillah” memasuki kondisi cinta terhadap Allah yang
menguasai seluruh isi hati, dan cahaya Ilahi menyinari hati setiap hamba
yang berada pada tingkatan ini. Manusia adalah manifestasi Ilahi di muka
66
bumi yang memancarkan keagungan-Nya, karena manifestasi kemurahan
hati Tuhan yang tak terbataslah sehingga beberapa individu diberikan
kemampuan untuk mendekati zona keagungan eksistensi kemanusiaannya.
Oleh karena itu, ungkapan Rumi “Aku mentah” ialah kondisi dimana Rumi
belum memperoleh pencerahan ruhani (belum berjumpa dengan Syamsuddin
at-Tabriz), lalu “Aku ditempa” Rumi telah memasuki penyucian batin dengan
riyadhah atau latihan-latihan spiritual di bawah bimbingan gurunya,
kemudian “Aku lebur terbakar” Rumi mengalami kondisi ekstase atau
mabuk ruhani yang membuatnya fana>’.
Rumi berkata: “Aku tadinya mati tetapi menjadi hidup, aku tadinya
air mata tetapi menjadi senyum, aku mengarungi lautan cinta, dan aku
meraih kebahagiaan abadi” (Topbas, 2015: 20). Dengan mengarungi lautan
cinta, murid akan meraih kebahagiaan yang memunculkan keterampilan
reflektif (husn al-tadbi>r), ketepatan pemahaman (jaudat al-dzihn), ketajaman
pikiran (tsaqa>bat al-ra’i), kebenaran pendirian (isha>bat al-zhann), dan
kecerdasan menangkap realitas keburukan-keburukan jiwa yang
tersembunyi. Sedangkan, tanpa mengarungi lautan cinta, muncullah
kecurangan, penipuan, kebohongan, kelicikan, kebodohan, sikap ceroboh,
dan kegilaan. Oleh karena itu, pendidikan cinta kasih bertujuan untuk
membentuk sikap dan ucapan murid dengan landasan cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian, cintalah yang menyatukan segala perbedaan, kasihlah
yang menjernihkan segala kekeruhan. Tanpa cinta dan kasih, tiadalah
penyatuan dan kejernihan.
2. Implementasi Pendidikan Cinta Kasih Rumi
Cinta adalah sesuatu yang kita cari dalam hidup dan yang paling
pertama kita cari. Seperti lautan, cinta memandu kita dan membawa diri ke
suatu tempat yang agung. Dengan bimbingan cinta, kita akan berjalan
67
menuju tempat di mana kita berasal dan cinta membawa jiwa kita untuk
selalu fokus pada apa yang dituju. Bagi Rumi, cinta haruslah bebas, tanpa
kebebasan cinta bukanlah cinta melainkan tugas dan kewajiban. Seperti kata
Rumi, “Cinta tidak mengenal perhitungan” (Breton, 2003: 32). Dalam
beribadah kepada Allah, hanya mengharapkan cinta-Nya bukan karena ingin
mendapatkan amal ibadah dan mengharap surga-Nya. Seorang murid harus
memiliki kesadaran Ilahi, sehingga dalam setiap aktivitas belajar, murid
hanya mengharapkan ridha Allah semata bukan untuk mendapatkan nilai
yang tinggi.
Implementasi dari konsep cinta kasih Rumi, ialah memperoleh
hubungan langsung dengan Allah swt. Sebab, tujuan perjalanan spiritual
Rumi ialah semata-mata untuk memperoleh kedekatan dan keintiman dengan
Allah. Adapun kesadaran kedekatan manusia dengan Allah ini mengambil
tiga bentuk, yaitu ittiha>d (penyatuan), hulu>l (peleburan), mahabba>h (cinta).
Perwujudan dari tiga bentuk hanya bisa diperoleh melalui pengasingan diri
(uzlah) atau berkontemplasi, tanpa terapi ini sulit kiranya untuk
mendapatkan keintiman dengan Allah swt. Persoalan cinta (mahabba>h)
adalah menyangkut aspek esoterisme (batin) yaitu upaya untuk
membersihkan diri dari penyakit hati seperti riya‟, sum‟ah, iri hati, dengki,
sombong, dan merasa mulia daripada orang lain. Menumbuhkan aspek
esoterik adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan
mahabba>h ini merupakan tingkatan tertinggi dalam pencapaian menuju
singgasana-Nya. Seorang murid harus membersihkan segala penyakit hati,
sehingga yang ada hanya cinta kasih yang berimplikasi pada kebaikan
karakter, moral-spiritual kepada sesama.
Dalam memasuki kehidupan spiritual, seorang murid harus memiliki
guru yang membimbingnya dalam menghindari godaan dan hambatan dalam
68
perjalanannya. Sebab sejatinya murid bagaikan seekor elang yang siap
terbang, dan guru membantu memutus rantai yang mengikat kakinya agar
mampu terbang menuju cakrawala. Dalam sajaknya Rumi berkata,
“Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang telah menunjuki aku jalan
kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku” (An-
Nadwi, 1997: 3). Oleh karena itu, betapa pentingnya guru bagi Rumi,
sekiranya Rumi tidak pernah berjumpa dengan Syams Tabriz, mungkin ia
tidak akan pernah menggubah syair dan tidak akan pernah ada kitab
Matsnawi. Sebagaimana kata William Chittick, “Pengaruh Syams-lah yang
melahirkan berbagai bentuk keadaan kontemplatif batiniah Rumi dalam
bentuk puisi dan menggerakkan samudera wujudnya yang menghasilkan
gelombang besar yang mengubah sejarah kesusastraan Persia” (Chittick,
1983: 3).
Perwujudan dari cinta kasih haruslah melalui proses yang panjang,
yaitu melalui banyak maqam (tingkatan) seperti yang dinyatakan oleh Imam
al-Ghazali (w. 1111 M), bahwa cinta kepada Allah adalah maqam yan paling
tinggi dari seluruh derajat yang paling luhur. Setelah mahabba>h tidak ada
lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya, seperti rindu
(syauq), intim (uns), dan ridha. Adapun tahapan pertama sebelum memasuki
cinta ialah taubat yaitu membersihkan diri dari segala dosa dan berjanji tidak
mengulanginya. Para sufi mengatakan bahwa taubat adalah bagian penting
dalam kehidupan spiritual. Al-Hujwiri (w. 1077 M) mengatakan, “Tidak ada
ibadah yang benar apabila tidak disertai dengan rasa pertobatan”. Taubat
adalah tahap pertama di dalam jalur ini. Ia berpendapat bahwa terdapat tiga
hal yang termasuk dalam taubat: Pertama, taubat karena ketidaktaatannya,
kedua, memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi, dan ketiga, segera
meninggalkan perbuatan dosa itu (al-Hujwiri, 2015: 285).
69
Menurut Ibnu „Arabi (w. 1240 M), mahabba>h itu akan menjadi
sempurna bila mengetahui tujuh objek pengetahuan; yaitu Pertama,
mengetahui Asma’ Ilahi; Kedua, mengetahui Tajalli Ilahi; Ketiga,
mengetahui taklif Tuhan terhadap hamba-Nya; Keempat, mengetahui
kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta; Kelima, mengetahui diri
sendiri; Keenam, mengetahui akhirat; Ketujuh, mengetahui sebab dan obat
penyakit batin (Ali, 1997: 3). Rumi pernah berkata, “Hanya mereka yang
berhati bersih dan mengenal kebenaran yang diizinkan menyentuh
Matsnawi”. Di sisi lain, untuk menemukan Rumi memang harus menjadi
Rumi terlebih dahulu yaitu menemukan diri sendiri dengan jalan cinta yang
di dalamnya ada penderitaan dan kebahagiaan, karena orang awam tidak
akan bisa memahami ucapannya, sebab kekasih hanya bisa dibaca oleh
kekasih juga. Seorang murid harus menempuh perjalanan spiritual ini
berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mencapai
tingkatan mahabba>h.
Rumi sendiri telah melalui proses yang panjang hingga sampai
melihat alam semesta sebagai perwujudan dari cinta itu sendiri, ia melihat
alam sebagai medan kegiatan kreatif Tuhan, sehingga alam berada dalam
keadaan terus-menerus berubah dan diperbaharui setiap saat. Menurut Rumi,
yang pertama diciptakan Tuhan adalah cinta. Cinta itulah yang bertanggung
jawab atas pertumbuhan alam dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih
tinggi. Cintalah yang memberi kesatuan pada partikel materi, yang membuat
tumbuh-tumbuhan berkembang dan yang menyebabkan hewan bergerak dan
berkembang biak (Nicholson, 1996: 55). Oleh karena itu, alam menurut
Rumi adalah sebuah media untuk mengenal Allah, tanpa alam tampaknya
sulit untuk mengenal-Nya. Sejalan dengan konsep Ibnu „Arabi yang
70
memandang bahwa cinta adalah sebab dari penciptaan alam, karena atas
dasar cintalah Tuhan ber-tajalli pada alam (Ni‟am, 2001: 83).
Bagi Rumi, perwujudan cinta kasih harus dimulai pada tahap
Pertama, yaitu taubat; jika seorang murid belum membersihkan dirinya dari
dosa, sulit baginya untuk menumbuhkan cinta kasih di dalam dirinya. Kedua,
sabr; seorang murid perlu melatih dirinya untuk sabar dalam menjalani
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, syukur; murid harus selalu
bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan kepadanya dan bersyukur
atas apa yang telah ada maupun yang belum ada. Keempat, raja’; seorang
murid hatinya harus terpaut kepada sesuatu yang diinginkannya dan
bergantung kepada Allah, sebab tanda ketaatan ialah adanya harapan kepada
Allah bukan sekain-Nya. Kelima, khauf; murid harus mengendalikan dirinya
dari setiap keinginan berbuat maksiat dan merasa selalu diawasi oleh Allah.
Keenam, faqr; murid hendaknya merasa fakir dan butuh hanya kepada Allah,
serta tidak memohon kepada siapa pun selain kepada-Nya. Ketujuh, zuhud;
seorang murid harus menolak segala bentuk gemerlap kenikmatan dunia
yang melalaikannya untuk sampai kepada-Nya. Kedelapan, mahabbah
ma’rifah; pada tahap inilah seorang murid mencapai maqom tertinggi yaitu
hati yang dipenuhi oleh cinta kepada Allah dan mengenal hakikat-Nya secara
sempurna (Ni‟am, 2001). Oleh karena itu, bagi Rumi cinta adalah perjalanan
akhir bagi murid yang ingin mengenal hakikat Allah swt. dengan cintalah
seorang murid mampu membakar semua nafsu dan keinginan duniawi yang
ada di hati mereka. Sebagaimana Rabi‟ah al-Adawiyah yang telah sampai
kepada tahapan mahabbah, maka dia sekaligus juga berada pada tahap
ma’rifah kepada Allah swt. Oleh karena itu, mahabbah adalah puncak ajaran
Rabi‟ah (Ni‟am, 2001: 75).
71
Hal ini senada dengan pendapat Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w.
1111 M) dalam karyanya Minhajul „Abidin yang membagi tujuh tahapan
bagi murid untuk memperoleh mahabba>h; yaitu dengan ilmu, taubat, khauf,
raja‟, muhasabah, muraqabah, dan syukur (al-Ghazali, 2016). Sedangkan
menurut Syekh Ibrahim bin Ismail al-Zarnuji (w. 1223 M), bahwa
keberhasilan dalam mencari ilmu yaitu cerdas, rasa ingin tahu yang tinggi,
sabar, biaya, petunjuk dari guru, dan waktu yang lama. Sebagaimana dalam
syairnya berbunyi: “Tidak akan berhasil seseorang dalam mencari ilmu
kecuali dengan enam syarat, maka akan aku sampaikan kepadamu
keseluruhan syarat-syarat tersebut dengan jelas; cerdas, rasa ingin tahu
yang tinggi, sabar, mempunyai harta, adanya petunjuk dari seorang guru,
dan dalam waktu yang lama” (Iqbal, 2015: 381).
Hal ini juga senada dengan pemikiran KH. Hasyim Ays‟ari (w. 1947
M), dalam karya monumentalnya berjudul Adab al-„Alim wa al-Muta‟alim
yang menjadi pedoman murid dalam mencari ilmu dan perjalanan menuju
Allah; Pertama, membersihkan hati terlebih dahulu sebelum mengawali
proses mencari ilmu (taubat); Kedua, membangun niat yang luhur; Ketiga,
rela, sabar, dan menerima keterbatasan dalam masa-masa pencarian ilmu
(qanaah), baik menyangkut makanan, minuman, dan pakaian; Keempat,
bersikap wara‟ (waspada); Kelima, menjauhkan diri dari pergaulan yang
tidak baik; Keenam, tidak banyak tidur; Ketujuh, memuliakan guru;
Kedelapan, beretika dalam menggunakan literatur yang merupakan alat
belajar. Sementara menurut Sa‟id Hawwa (w. 1989 M), dalam perjalanan
menuju Allah, seorang murid harus menempuh jalan; ilmu pengetahuan,
riyadhah (latihan-latihan spiritual), wirid, mujahadah al-nafs, uzlah
(mengasingkan diri), al-Shamt (diam), al-Ju’ (menahan lapar), al-Sahr (tidak
tidur di waktu malam), berjama‟ah, al-Insyad (bersenandung), dan menelaah
72
buku-buku tasawuf atau kisah-kisah orang saleh (Hawwa, 2006). Sementara
menurut KH. Abdurrahman Wahid (w. 2009 M), perjalanan spiritual
ditempuh dengan berbagai kedisiplinan diri, anatara lain; bertauhid,
pengosongan diri (fana>’), taubat, shalat malam, dzikir langgeng, mencintai
Nabi, pelayanan (futuwwah), ziarah makam, ikhlas, sabar dan syukur,
memaafkan, tawakkal, qana‟ah, cinta dan kasih sayang, serta mengambil
berkah dari guru (ngalap berkah) (Ridwan, 2013 :11).
Secara umum, langkah untuk mewujudkan karakter cinta kasih pada
murid adalah dengan proses bertakhalli dengan membersihkan hati dari sifat
keburukan dan keterikatan pada dunia melalui taubat atau juga disebut
dengan penarikan diri (menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan
perhatiannya dari Allah), lalu bertahalli sebagai proses pengisian hati yang
telah dikosongkan tersebut, hati ini diisi dengan sabar, syukur, qana‟ah
(hidup sederhana), tawadhu, zuhud, tawakkal, ridha, dan tahalli juga adalah
berhias dengan sifat-sifat Allah. Kemudian pada puncaknya murid mencapai
tajalli> yaitu tahapan kebahagiaan yang sejati karena telah dibukakan tabir
antara dirinya dengan Tuhan atau penyingkapan diri, yaitu Allah
menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada mahkluk-Nya.
Menurut Rumi, sesungguhnya cinta hanya dapat dirasakan, tidak
dapat diberikan. Rumi sendiri mengatakn, “Apapun yang kuceritakan tentang
cinta, ketika kualami sendiri cinta itu, aku malu lantaran pemberian itu.”
Cinta bagi Rumi itu dapat dirasakan dan dihayati oleh setiap orang yang
sudah masuk ke dalam domain cinta tersebut, sehingga hakekat cinta baginya
tidak dapat didefinisakan (Kertanegara, 1986: 79).
Bagi Rumi, seorang murid harus melalui empat tahap mahabbah
untuk memperoleh cinta itu sendiri, yaitu pertama, mencintai Allah, dengan
mencintai Allah seorang murid akan selalu merasa diawasi oleh-Nya dan
73
akan selamat dari siksa-Nya; kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Jika belum mampu mencintai Allah, seorang murid bisa mencintai terlebih
dahulu apa-apa yang dicintai oleh Allah seperti Nabi dan Rasul-Nya, para
Kekasih-Nya, hamba-Nya dan alam semesta, sebab barangsiapa yang
mencintai kebaikan, keadilan, kebenaran dan keselamatan, berarti ia telah
mencintai Allah swt; ketiga, cinta untuk Allah dan kepada Allah, cinta ini
merupakan perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah
swt. Hendaknya seorang murid menumbuhkan rasa cinta untuk dan kepada
Allah semata dalam setiap aktivitasnya; keempat, cinta kudus, yaitu murid
telah menyucikan lahir dan batinnya dari segala sesuatu kecuali Allah.
Segala perbuatan lahirnya dinisbatkan kepada-Nya dan batinnya hanya
merasakan Dia semata. Dengan demikian, seorang murid akan mencapai
puncak mahabbah dan menjadi insan kami>l (perfect man).
Jalan menuju cinta pada dasarnya adalah jalan menuju Allah, karena
Allah Maha Pengasih, Penyayang dan juga Maha Cinta. Karena Allah adalah
Tuhan Yang Maha Suci, maka seorang murid yang ingin mendekati-Nya
juga harus dalam keadaan suci lahir dan batin. Suci secara lahiriah, ialah
seorang murid harus senantiasa membersihkan jasmaninya dari segala
kotoran, sedangkan suci secara batiniah, yaitu murid harus membersihkan
diri dari segala macam penyakit hati, seperti iri hati, sombong, riya‟, tamak
terhadap dunia, ghibah, dan sebagainya. Selama sifat-sifat tercela itu masih
menempel pada diri seorang murid, maka akan sulit untuk sampai kepada
maqam cinta, yang menghalanginya bertemu dengan Allah swt. Dengan
demikian, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengabdikan diri
kepada Allah swt. yaitu dengan jalan mencintai-Nya dengan cara
membersihkan lahir dan batin dari segala sesuatu kecuali Dia. Rumi
menempuh jalan cinta melalui proses yang panjang dan cukup melelahkan
74
dengan berusaha menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh materi keduniaan,
dan membangun serta menjaga kesuburan jiwanya, agar Allah menyirami
jiwanya dan kebun mahabbah dapat tumbuh dengan subur di dalam diri
Rumi.
3. Langkah Pembinaan Pendidikan Cinta Kasih dalam Karya-Karya
Rumi
a. Matsnawi al-Maknawi
Al-Matsnawi ini merupakan karya Rumi yang terbesar, baik dalam
arti ketebalan bukunya maupun kedalaman isinya. Tebalnya mencapai
sekitar 2.000 halaman yang terbagi menjadi enam jilid. Matsnawi ini ditulis
untuk memenuhi permintaan Husamuddin Chelebi, seorang murid sekaligus
sahabat termuka Rumi. Sebagian orang menyebut Matsnawi dengan Husami
Namah (Kitab Husam) (Djamaluddin, 2015: 73). Manuskrip Matsnawi
memiliki beberapa versi, sehingga membuat pengkaji berbeda pendapat
tentang jumlah baitnya. Dalam buku Life and Works of Rumi (1956), Afzal
Iqbal menyebut Matsnawi terdiri dari 25.000 bait, sedangkan Encyclopaedia
Britanica (Vol. XIX, 1952) menyebutkan terdiri dari 40.000 bait. Sedangkan
Nicholson, menyebut 25.632 bait. Namun, manuskrip yang paling dapat
dipercaya ialah yang jumlah baitnya tidak lebih dari 25.000 bait
(Djamaluddin, 2015: 73-74). Matsnawi juga diterjemahkan oleh para sarjana
Eropa. Di antaranya George Rosen (menerjemahkan jilid I ke dalam bahasa
Jerman pada 1849), Sir James Redhouse (menerjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, pada 1881), Edward Henry Whinfield (menerjemahkan 6 jilid ke
dalam bahasa Inggris pada 1887), dan yang paling terkenal ialah Reynold A.
Nicholson yang menghabiskan 25 tahun untuk mengkaji Rumi
(menerjemahkan 6 jilid ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1925) (al-
Kafafiy, 1966: 55).
75
Manusia sempurna dalam tasawuf disebut insa>n al-kami>l atau Nei
dalam bahasa Rumi. Nei adalah simbol dari manusia sempurna, juga sebagai
seruling bambu yang mengalami keterpisahan dari rumpun bambu (asal-
muasalnya, yakni Allah). Rumi berkata: “Dengarkanlah Nei ini yang sedang
melirih atas kisah derita keterpisahannya” (Jabir, 2018: 31). Rumi
menggambarkan Seruling bambu yang mengeluh karena ia telah dipisahkan
dari rumpunnya dan rindu pulang ke rumahnya. Dengan jalan cinta, manusia
akan dituntun untuk sampai kepada-Nya. Sebab, setiap manusia mengalami
derita keterpisahan, oleh karena itu ia selalu merindukan kampung
halamannya, yaitu Allah swt.
Al-Qur‟an memulai dengan Iqra’ „Bacalah‟. Sedangkan Jalaluddin
Rumi, memulai Matsnawi dengan ucapan Nei „Dengarkanlah‟. Baik
Nicholson maupun Abdurrahman al-Jami, memaknai Nei sebagai manusia
sempurna atau Ruh al-A’zam. Jadi, makna dari nei ialah „dengarkanlah insan
kamil‟ (Jabir, 2018: 31). Sebagian penafsir mengatakan bahwa seluruh kisah
dalam Matsnawi sesungguhnya hanya menceritakan tentang hakikat insan
kamil. Imam al-Ghazali dan Sana‟i juga selalu menggunakan kata Nei. Nei
atau seruling bambu ditengahnya kosong (terdapat lubang). Dengan
demikian, di dalam diri insan kamil harus kosong dari hawa nafsu, sehingga
melahirkan kata-kata indah dari kebun hatinya ketika ditiup (diberi ilmu).
Namun, apabila di tengah seruling bambu terdapat suatu benda atau
penghalang (hawa nafsu), tentu tidak akan mengeluarkan suara yang indah.
Seorang guru harus membersihkan lubang yang ada pada diri seorang murid,
agar dapat memiliki karakter dan ucapan yang baik, yang lahir dari hati yang
bersih.
Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab
Matsnawi, sebagai berikut:
76
a. Menumbuhkan Sikap Toleran
Rumi mengajak setiap murid agar memiliki sikap toleran dan
menyakini keberagamaan. Sebagaimana dalam syairnya: “Jangan tanya apa
agamaku. Aku bukanlah Yahudi, Zoroaster, Nasrani, bukan pula Islam.
Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti
yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.” (Jabir, 2018: 15). Rumi
memandang agama dalam perspektif batiniahnya yang hanya bisa dipahami
melalui hati yang suci, sebab inti agama ada pada batin agama tersebut. Dan
pada sisi batin agama, manusia akan akan menemukan korelasi diantara
agama-agama yang ada. Oleh karena itu, inti dari semua agama ialah Tuhan,
dan Tuhan hanya bisa dirasakan di dalam hati yang suci, dan dengan melalui
jalan cinta. Seorang murid yang telah mencapai kesucian hati akan
menampakkan cinta dan kasih sayang, sehingga ia memandang semua
manusia adalah baik dan berlaku lemah lembut serta rendah hati kepada
sesama, sebagaimana Rumi mengingatkan: “Betapa bahagia orang yang
memandang rendah nafsunya. Lihatlah sebuah gunung, memandang rendah
sekitar dan menilai tinggi dirinya. Ketahuilah, itu bentuk dari kesombongan,
menganggap rendah orang lain adalah racun yang mematikan. Dan orang-
orang bodoh meneguk anggur beracun itu sampai mabuk.” (Tarhan, 2016:
130). Seorang guru harus menumbuhkan sikap toleran murid, sebab
perbedaan adalah rahmat dan suatu keindahan yang Allah telah tetapkan
sejak azali. Rumi berpesan: “Mendengarlah dengan telinga yang toleran,
melihatlah dengan mata belas kasihan, dan berbicaralah dengan bahasa
cinta.”. Allah swt berfirman:
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Q.S. Al-
Kafirun: 6).
77
b. Tidak Rakus Terhadap Dunia
Rumi mengajak murid agar tidak rakus dengan kenikmatan dunia
yang dapat melalaikan seseorang dari Allah. Rumi berkata: “Mata orang-
orang rakus takkan pernah penuh. Betul, jika kerang tak pernah merasa
cukup dari air hujan, kerang takkan pernah dipenuhi mutiara.” (Jabir, 2018:
64). Kerang pada musim hujan dan dengan kondisi hujan tertentu, kerang
akan naik ke pinggir pantai dan membiarkan dirinya terhujani. Kerang tidak
menerima air hujan secara sembarangan, ada satu jenis hujan yang memiliki
spesifikasi tertentu yang nantinya akan menghasilkan mutiara. Jadi, Rumi
mengambil satu perumpamaan untuk menggambarkan sifat qana’ah atau
sifat merasa cukup yang harus dimiliki seorang murid, dan tidak
sembarangan menerima ilmu pengetahuan dari guru yang tidak ahli dalam
bidangnya. Sehingga, seorang murid yang merasa cukup dan tidak rakus
akan memperoleh mutiara (hikmah) di dalam dirinya, dan juga murid harus
membatasi dirinya untuk tidak rakus terhadap makanan, dan hanya memakan
makanan yang baik saja untuk menjaga kesucian jiwanya. Oleh karena itu,
hendaklah seorang murid menjaga dirinya dari sikap berlebih-lebihan untuk
menjaga kondisi spiritualnya. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar
berlebihan.” (Q.S Al-Aadiyat: 8).
c. Meluruskan Niat dalam Belajar
Dalam memperoleh pengetahuan sejati, seorang murid harus terlebih
dahulu meluruskan niat, sebab pencapaian seseorang tergantung dari apa
yang ia niatkan. Rumi memberi nasihat kepada muridnya, dalam syairnya
beliau berkata: “Lihatlah dua jenis Tawon dengan makanan yang sama.
78
Tawon yang satu memberikan madu, dan Tawon yang lain memberikan
sengatan.” (Jabir, 2018: 94). Oleh karena itu, seorang guru tidak boleh
mengatakan semua murid sama, karena niat setiap murid berbeda-beda, ada
yang belajar karena ingin memperoleh nilai, ada pula karena ingin naik
kelas, juga karena mengharap ridha Allah swt. Seperti tawon, minum dari
bunga yang sama namun yang satu menghasilkan madu dan yang lain
menghasilkan sengatan, demikian juga dua orang murid yang makan dengan
makanan yang sama, murid yang satu menjadi hina, sedang murid yang lain
menjadi mulia, karena yang satu makan dengan niat ingin kenyang,
sedangkan yang lain dengan niat memenuhi hak tubuh karena khawatir tidak
bisa menjalankan kewajiban kepada Allah. Sehingga setiap murid harus
menyandarkan segala aktivitasnya dengan niat yang tulus dan hanya
mengharap ridha Allah swt, agar memperoleh kesuksesan di dunia maupun
di akhirat. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Perumpamaan kedua golongan (orang kafir dan mukmin),
seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan
mendengar. Samakah kedua golongan itu? Maka tidaklah kamu mengambil
pelajaran?” (Q.S. Hud: 42).
d. Pengorbanan Diri
Dalam memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah, seorang murid
harus siap merelakan dirinya untuk bersusah payah dalam menuntut ilmu
pengetahuan. sebab, tanpa pengorbanan diri sulit kiranya untuk memperoleh
cahaya ilmu. Seorang murid yang tidak siap menanggung derita lelahnya
belajar, akan menanggung perihnya kebodohan di kemudian hari. Rumi
79
berkata: “Jalan jiwa awalnya akan meremukkan badan, selanjutnya akan
menyuburkannya. Orang yang membuat rumah dari batu, pertama akan
meruntuhkan batu, selanjutnya menyusunnya kembali dengan indah.” (Jabir,
2018: 101). Seseorang yang ingin menikmati nasi, harus merelakan beras
terlebih dahulu untuk menjadi nasi. Seorang murid tidak akan memperoleh
cahaya ilmu jika tidak menempa dirinya dalam lelahnya belajar, dan
kesabaran secara total. Benar kata Rumi, bahwa “Obat derita ada di dalam
derita”, yaitu terdapat cahaya (obat) yang tersembunyi dibalik setiap derita
(sakit). Pada hakikatnya, seorang manusia memiliki harta yang tersembunyi
di dalam dirinya hanya saja tertutupi oleh debu yang semakin tebal. Seorang
murid yang fasik tentu ia telah mencampakkan dirinya sendiri dan telah
tertipu oleh hawa nafsu. Sebagaimana Rumi menasihati: “Murid yang fasik
telah merusak hati mereka dan hanya mempelajari tipu daya. Mereka
mencampakkan harta sejati; kesabaran, pengorbanan diri, dan kemurahan
hati.” (Rahman, 2012: 149). Oleh karena itu, salah satu riyadhah (latihan
jiwa) yang bisa dilakukan seorang murid agar tidak merusak hatinya ialah
dengan berpuasa, sebab dalam puasa terdapat cahaya, begitu mulut (fisik)
ditutup maka mulut yang lain akan terbuka (mulut ruhani). Rumi berkata,
“Tahanlah air sejenak agar saluran air mudah dibersihkan” (Rumi, 2004:
138). Allah swt berfirman:
Artinya: “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun
dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah.
80
Yang demikian itu adalah lebih baik bagiku jika mengetahui.” (Q.S. At-
Taubah: 41).
e. Menjaga Kondisi Hati
Rumi mengajak murid untuk berjalan dengan hati, sebab jalan
menuju Tuhan bukan di langit, melainkan di hati. Bagi Rumi, perjalanan
ruhani bukan berjalan ke luar, namun perjalanan itu menuju ke dalam (hati).
Rumi berkata: “Bersihkanlah kolam hati, maka badan akan bersih dengan
sendirinya, penuhilah kolam itu dengan hal-hal yang baik. Dengan begitu
hilanglah rasa malu, keburukan pun akan lenyap dengan sendirinya.”
(Tarhan, 2016: 145). Seorang murid tidak akan menyakiti siapa pun jika ia
selalu menjaga kondisi hatinya dengan baik, dan murid selalu menyakini
bahwa hati adalah rumah Allah, sehingga ia tidak akan menyakiti atau
merendahkan makhluk-Nya. Ketika seorang murid telah mampu menjaga
kondisi hatinya, maka ia akan tersucikan dari sifat sombong, tamak, merasa
paling benar, merasa ahli surga, dan ia pun akan memperoleh kedamaian
yang sejati. Seorang guru yang sejati tentu akan selalu membimbing murid
agar menjaga kondisi hatinya, sehingga ia mencapai insan kami>l (perfect
man). Oleh karena itu, seorang murid hendaknya menjaga hati dan tidak
memiliki ruang sedikitpun untuk membenci orang lain. Rumi menasihati:
“Tetaplah bersama mereka yang memiliki ruang dalam hati. Mereka yang
memiliki dendam padamu, mengubahmu menjadi seorang murid baru.”
(Rumi, 2018: 269). Bagi Rumi, seorang murid seharusnya menjalin
hubungan dengan orang-orang yang memiliki hati, dan apabila di antara
mereka ada yang dendam, yang demikian itu hanyalah menjadi sebuah
pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih sabar bagi murid, karenanya
Rumi berkata, “Mereka yang memiliki dendam padamu, akan mengubahmu
menjadi seorang murid baru”. Oleh karena itu, setiap murid harus menjaga
81
kebersihan hatinya agar kelak Allah menerimanya. Sebagaimana Allah swt
berfirman:
Artinya: “(Ingatlah) ketika dia datang kepada Tuhannya dengan hati
yang suci.” (Q.S. Ash-Shaffat: 84).
f. Memurnikan Tauhid
Seorang murid harus memurnikan tauhidnya kepada Allah, sebelum
memperoleh kedudukan yang mulia. Sebab, kunci utama dalam proses
pembelajaran ialah menyucikan diri dari segala sesuatu selain Allah swt.
Rumi berkata: “Dalam diri-Nya tak menampung dua aku, kau mengatakan
aku, Dia juga mengatakan Aku. Maka hanya ada dua pilihan, apakah
engkau mati dalam diri-Nya atau Dia yang mati di dalam dirimu. Tetapi,
karena Dia adalah hakikat hidup yang tak pernah mati, karena itu
engkaulah yang mati di sisi-Nya.” (Jabir, 2018: 116). Penyatuan dengan
Allah hanya bisa ditempuh dengan cara fana’ yaitu peniadaan diri atau
peniadaan ego, sehingga yang ada hanya akhlak dan perbuatan Allah swt.
Seorang murid harus menyerahkan diri sepenuhnya dihadapan bimbingan
seorang guru, seperti mayit dihadapan orang yang memandikannya, dan
sepenuhnya bergantung pada kehendak guru, sebab guru dianggap sebagai
perantara sebelum sampai kepada Yang Maha Suci. Seorang murid harus
mematikan egonya dihadapan seorang guru, agar lebih mudah memperoleh
ilmu pengetahuan, seperti seorang pencinta dihadapan kekasih-Nya. Kata
Rumi: “Bagaimanakah cara memperoleh tauhid? Membakar diri dan
mensirnakan diri di sisi Tuhan yang absolut, jika engkau mengiginkan bagai
siang yang terang benderang, bakarlah eksistensimu yang seperti malam
gelap gulita.” (Jabir, 2018: 155). Sebagaimana Allah swt berfirman:
82
Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5).
g. Mencari Guru yang Kompeten
Dalam tradisi sufisme, seorang mursyid atau pembimbing ruhani
sangat diperlukan. Bagi Rumi, seorang murid yang berjalan tanpa
bimbingan seorang guru akan tersesat, sebab perjalanan seorang murid akan
menemui banyak cobaan yang sarat dengan kepalsuan. Dalam
perjalanannya itu, seorang murid akan menemukan “fatamorgana
kebenaran” yang pada hakikatnya merupakan jalan setan. Dengan adanya
seorang guru, maka perjalanannya akan selalu terarah, karena guru
merupakan orang yang mengetahui setiap wilayah spiritual yang harus
dijelajahi oleh murid (Zaairul Haq, 2011: 56). Rumi berpesan kepada
muridnya agar segera mencari guru (pembimbing spiritual), sebab jalan
menuju Allah banyak rintangan, godaan, dan tipu muslihat setan,
sebagaimana Rumi berkata: “Seorang yang buta tidak akan tahu berapa
jauh jalan yang telah ia tempuh, meskipun dia telah berjalan seratus
tahun.” (Tarhan, 2016: 183). Oleh karena itu, seorang murid membutuhkan
kehadiran mursyid untuk membimbingnya menuju Allah, sebab seorang
mursyid meresapkan firman ilahi ke dalam dirinya. Tanpa bimbingan
seorang mursyid, perjalanan dua hari mungkin akan ditempuh oleh murid
selama dua puluh tahun. Sebagaimana dalam syairnya, Rumi berkata:
“Apabila bayangan ilahi (mursyid) menjadi pengasuhnya, pemburu itu
(murid) akan terbebaskan dari segala imajinasi dan bayangan. Bayangan
ilahi adalah hamba ilahi, ia telah mati dengan dunia dan menemukan
kehidupan bersama Tuhan. Segerakanlah dirimu berada dalam
pangkuannya, tak perlu ragu agar kau bebas dari fitnah akhir zaman.”
83
(Rumi, 171: 2004). Setiap manusia tidak dapat menyaksikan akhir dari
suatu perbuatan, bisa saja ia akan terpeleset dan terperangkap dalam
kehinaan yang ia sangka itu adalah jalan yang benar. Rasulullah saw
bersabda; “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya
maka tunggulah kehancurannya. (HR. Imam Bukhari)”. Oleh karena itu,
seorang guru harus ahli dalam bidangnya dalam meniti karir seorang murid
untuk meraih kesuksesan di dunia dan keselamatan di akhirat. Di sisi lain,
bagi Rumi, marah seorang guru adalah bentuk keindahan dan kasih sayang
kepada murid, sebagaimana amarah Allah kepada hamba-Nya adalah
teguran dan kepedulian Allah karena rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
Rumi berkata: “Duhai Kekasih, amarahmu lebih indah dari segala musik,
sema, nada dan kecapi.” (Jabir, 2018: 170). Dalam syair Rumi yang lain
disebut bahwa marah Allah lebih indah dari segala kenikmatan dan
keindahan dunia. Sebab bagi para sufi, apa pun yang datang dari Allah
bahkan siksa sekalipun nampak indah. Oleh karena itu, seorang murid yang
memiliki konsentrasi tersebut, akan melihat segala hinaan yang datang
padanya sebagai sebuah keindahan semata. Sebagaimana Allah swt
berfirman:
Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu
adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina),
mereka mengucapkan, “salam”.” (Q.S. Al-Furqan: 63).
84
h. Tidak Makan dan Minum Secara Berlebihan
Aflaki mengatakan bahwa Rumi makan sekali setiap tiga hari,
kadang seminggu sekali, dan dia menarik diri dari kehidupan sosial
dalam waktu yang lama untuk menunjukkan penghambaan sejati kepada
Allah (Okuyucu, 2018: 75). Dalam menempuh perjalanan spiritual, puasa
merupakan terapi yang baik untuk seorang murid. Makan dan minum
secara berlebihan bagian dari cinta dunia yang akan memberatkan murid
dalam perjalanan spiritualnya. Oleh karena itu, Rumi berpesan: “Rasa
manis yang tersembunyi ditemukan di dalam perut yang kosong ini.
Ketika perut kecapi telah terisi ia tidak dapat berdendang, baik dengan
nada rendah ataupun tinggi. Jika otak dan perutmu terbakar karena
puasa, api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam
dadamu. Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab
dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam
hasratmu” (Zaairul Haq, 2011: 213). Kenikmatan dalam kekosongan
perut akan melahirkan cahaya hikmah. Secara jasmani orang yang
berpuasa terpenjara, namun secara ruhani sayap-sayap jiwanya
menembus cakrawala. Bagi Rumi, dengan berpuasa akan membakar
segala hijab yang telah menghalangi masuknya cahaya Ilahi. Para sufi
menyakini bahwa tidak akan terbuka rahasia alam ruhani bagi orang yang
perutnya dalam keadaan kenyang. Sebab, rasa lapar menjadi kendaraan
yang mengantarkan tersingkapnya kegaiban di alam ruhani dan tubuh
yang ringan akan memudahkan seorang murid untuk melakukan
perjalanan menuju Allah. Sebagaimana Syaikh Junaid al-Baghdadi
berkata: “Bagaimana mungkin seorang yang menjadikan perutnya
keranjang makanan akan bisa merasakan lezatnya mengingat Allah?”
(Zaprulkhan, 73: 2015). Allah swt berfirman:
85
Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus
pada setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan.” (Q.S. Al-A‟raf: 31).
i. Memfokuskan Diri pada Batin
Rumi mengajak murid untuk tidak terlena pada penampilan luar
semata, sebab inti seorang manusia ada pada sisi batinnya. Sebagaimana
Allah swt hanya melihat hati hamba-Nya, bukan penampilan fisiknya
semata. Rumi berkata: “Jika menjadi manusia cukup dengan segala hal
yang hanya berhubungan dengan penampilan luar, Muhammad dan Abu
Jahal tidak akan berbeda.” (Okuyucu, 2018: 132). Secara fisik Nabi
Muhammad dan Abu Jahal memiliki tangan, kaki, kepala dan bentuk tubuh
yang mungkin terlihat sama, namun kondisi batinlah yang membedakan
keduanya, Nabi Muhammad adalah cahaya, sedang Abu Jahal adalah
kegelapan. Begitupula perbedaan antara Musa dan Fir‟aun, secara fisik
sama, namun Musa berada di tempat yang tinggi di surga, sedang Fir‟aun
berada di tempat yang terendah di neraka. Oleh karena itu, seorang guru
harus membimbing murid untuk selalu memperhatikan aspek batiniahnya,
dan tidak hanya terfokus pada penampilan luar. Sebab, jalan menuju Allah
tidak cukup dengan memperhatikan kondisi fisik semata. Allah swt
berfirman:
86
Artinya: “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga
hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar?
Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di
dalam dada.” (Q.S. Al-Hajj: 46).
j. Tidak Lalai dengan Kenikmatan Dunia
Rumi mengingatkan agar seorang murid tidak lalai dengan segala
godaan dunia yang bersifat sementara. Sebab, hamba yang sejati tidak akan
menukar emas dengan batu biasa, yaitu menukar akhiratnya dengan dunia.
Seorang murid harus sabar untuk tidak tenggelam dalam kenikmatan
duniawi, sebab kenikmatan yang sejati telah menunggu dirinya di akhirat.
Rumi mengingatkan: “Wahai kalian yang tidak bisa menunjukkan cukup
kesabaran untuk menahan diri dari kesenangan duniawi. Bagaimana bisa
kalian menanggung kehidupan, yang merampas kehidupan akhiratmu dan
yang berhubungan dengan Sang Sahabat (Tuhan).” (Okuyucu, 2018: 157).
Bagi Rumi, dunia adalah kesenangan yang semu dan tipu muslihat, oleh
karena itu, mustahil seorang murid yang ingin bertemu dengan Allah
sementara di dalam dirinya terdapat cinta selain cinta kepada Allah swt.
Seorang murid hanya mengambil seperlunya di dunia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan tidak berlebih-lebihan dalam makan, minum, dan
pakaian, sehingga ia menjadikan dunia menguasai hatinya dan akhirnya
terhijab hingga lupa kepada-Nya. Rumi berkata: “Keduniawian berarti
menjadi lupa dengan Yang Maha Kuasa, bukan berarti memiliki pakaian,
uang, atau keluarga.” (Okuyucu, 2018: 163). Bagi Rumi, bersifat duniawi
ialah menjadi lupa kepada Allah. Maka seorang murid boleh saja memiliki
pakaian, uang, dan keluarga. Akan tetapi, hatinya tidak boleh dikuasai oleh
segala perhiasan dunia, hingga terhijab dari Allah swt. Seorang murid
hendaknya tidak ambisius dan tamak terhadap dunia, sebagaimana Rumi
87
menasihati: “Orang yang ambisius dan tamak adalah orang yang buta dan
tuli! Tidak ada alasan apa pun untuk keserakahan!” (Tarhan, 2016: 124).
Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan
senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-
orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (Q.S. Al-An‟am: 32).
b. Rubaiyat
Kitab ini mencakup sajak-sajak Maulana Rumi yang ditulis dalam
bentuk ruba‟i. Walaupun tidak setenar Matsnawi dan Diwan Syams Tabriz,
namun sajak-sajak dalam Rubaiyat ini juga sangat indah dan mendalam.
Menurut Badiuzzaman Farauzanfar, Rubaiyat Rumi terdiri dari 3.318 bait
puisi yang terkumpul dalam 1659 ruba‟i (puisi dalam empat bait)
(Djamaluddin, 2015: 77). Rubaiyat salah satu antologi puisi, di mana Rumi
menginterpretasikan dirinya sebagai seorang penyair sufi yang agung.
Kedalaman pesan dan keindahan bahasanya begitu mempesona. Dengan
demikian, wajar jika Rumi menjadi simbol kemajuan sastra Persia sekaligus
sosok yang sangat populer di kalangan sufisme.
Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab
Rubaiyat, sebagai berikut:
a. Mengisi Hari dengan Kebaikan
Seorang murid harus mengisi setiap hari-harinya dengan berbagai
amal saleh dan kebaikan, tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga
kepada hewan dan tumbuhan, sehingga sifat cinta kasih akan melekat pada
dirinya. Rumi berkata: “Di jalan Cinta, lihatlah aku menyala seperti lilin,
88
momen yang satu itu mungkin selubungi seluruh momen hari-hariku.”
(Rumi, 2018: 15). Bagi Rumi, seseorang yang berada di jalan cinta akan
melihat dirinya seperti lilin yang terus menerus menyala hingga ia menutupi
momen hari-harinya yang lain (yang tidak berhubungan dengan cinta).
Dengan menyebarkan kebaikan secara kontinu, seorang murid akan
mencapai tingkatan atau kondisi mahabba>h. Oleh karena itu, seorang guru
wajib mengingatkan setiap muridnya agar selalu konsisten menebar cinta dan
kasih sayang untuk seluruh alam, hingga murid akan menghabiskan harinya
untuk berbuat kebaikan hingga hatinya menyala seperti lilin, yang akan
menerangi orang lain dengan cahaya cinta dan kasih sayang Allah. Dengan
demikian, seorang murid hendaklah menjaga dirinya dari sesuatu yang tidak
mendatangkan kebaikan dan amal saleh kepada diri sendiri dan orang di
sekitarnya sehingga ia lalai dari Allah swt. sebagaimana Allah swt
berfirman:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.
Al-Hasyr: 18).
b. Menyadari Potensi Diri
Rumi mengajak setiap manusia untuk menggali potensi dirinya yang
tersembunyi. Sebab, manusia adalah alam saghir (mikrokosmos), dan
makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Rumi berkata: “Kita adalah
harta karun misteri agung Tuhan. Lautan di mana sungguh bertempat
89
mutiara-Nya yang menolak hitungan.” (Rumi, 2018: 24). Bagi Rumi,
manusia ialah misteri agung Allah dan lautan yang di dalamnya terdapat
mutiara yang tidak bisa dihitung. Setiap manusia adalah tajalli> (penampakan)
Allah di muka bumi, yang menampakkan keindahan wajah-Nya. Oleh karena
itu, seorang guru perlu membimbing murid untuk membuka hatinya, karena
setiap murid sejatinya adalah cermin Ilahi (mir’ah Alla>h) yang dapat
memantulkan mutiara-mutiara keindahan Allah, dan hanya dengan melalui
jalan kesucian, mutiara itu bisa disingkapkan. Dengan demikian, antara
murid dan guru harus saling memantulkan keindahan Allah, sebab manusia
ialah manifestasi ilahiyah yang berasal dari keagungan Allah yang hanya
dapat dipahami oleh hati yang suci atau yang tercerahkan. Sebagaimana
Allah swt berfirman:
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur‟an itu adalah benar. Tidak
cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
(Q.S. Fushilat: 53).
c. Menerima Setiap Ujian Hidup
Rumi mengajak seorang murid untuk selalu menyiapkan diri dalam
menerima setiap ujian dalam hidup, sebab setiap ujian pasti mengandung
hikmah dan pelajaran. Semakin berat ujian hidup, maka semakin besar
keuntungan yang dapat diperoleh. Rumi berkata: “Tidaklah kain satin yang
menawan atau kekayaan kami pedulikan. Kami santai saat mengalami duka
lara, rasa derita sungguh kami suka.” (Rumi, 2018: 49). Bagi Rumi,
90
keindahan dan kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dipedulikan oleh
setiap murid yang menapaki jalan spiritual (walaupun kaya juga baik), justru
keberhasilan dalam hidup bisa diraih ketika murid menyukai (menerima)
setiap derita dan cobaan hidup yang datang padanya, dan menerima dengan
sikap santai setiap duka lara yang menghampiri, seperti menerima datangnya
kebahagiaan. Sebab, semakin seorang murid mengalami penderitaan, ia
semakin memperoleh pencerahan ruhani. Banyak murid yang pintar secara
akademik, dan memiliki nilai yang tinggi namun ketika ujian hidup
menempa dirinya, ia tidak mampu menyelesaikannya dan menjaga adab
kepada Allah hingga membuatnya mengalami depresi, bahkan bunuh diri.
Seorang guru perlu menyadarkan setiap murid bahwa setiap ujian hidup
mengandung hikmah dan mutiara. Bagi sufi, cobaan hidup seperti seorang
tamu yang datang berkunjung yang hanya mampir sejenak, dan tidak akan
tinggal lama. Hendaklah seorang murid belajar untuk menerima apa saja
yang datang dari Allah secara lapang dada, sebab semua yang datang dari-
Nya semuanya pasti baik dan indah. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan
hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji?”
(Q.S. Al-Ankabut: 2).
d. Menemukan Diri Sendiri
Perjalanan seorang murid menuju Tuhan pada dasarnya ialah
perjalanan menuju diri sendiri, sebab diri ialah cermin atau manifestasi
(bayangan) Allah di muka bumi, dan Nabi Muhammad saw ialah cermin
yang paling sempurna untuk memantulkan wajah Ilahi. Rumi berkata: “Kau
adalah satu bagian dalam kitab ilahi, cermin bagi kekuatan yang
91
menciptakan semesta ini. Apa pun yang kau inginkan, mintalah pada dirimu
sendiri. Apa pun yang kau cari, hanya di dalam dirimu bisa ditemukan.”
(Rumi, 2018: 64). Bagi Rumi, manusia ialah penampakan wajah Allah di
alam semesta. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah adalah rahasia
manusia, dan rahasia itu ditemukan di dalam diri sendiri bukan di luar diri.
Sebab, barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal
Tuhannya, dan barangsiapa mengenal Tuhannya, ia akan mengetahui
rahasia-rahasia-Nya. oleh sebab itu, seorang guru perlu membimbing murid
untuk menemukan hakikat dirinya yang sejati, dan jalan untuk menemukan
hakikat diri bukanlah dengan jalan kepandaian dan kekayaan materi,
melainkan dengan jalan kesucian batin dan cinta kasih kepada sesama. Murid
sejati tidak mencari Allah di luar dari dirinya, sebab ia menyadari bahwa
Allah itu dekat dari urat leher, hanya saja tertutupi oleh debu yang semakin
tebal, sehingga tidak nampak apa yang ia rindukan. Tugas seorang guru-lah
yang akan membantu murid untuk membersihkan debu yang ada pada
cermin hatinya agar murid mengetahui hakikat dirinya sebagai hamba Allah.
Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat: 56).
e. Tidak Membuang-buang Waktu
Rumi mengingatkan seorang murid untuk tidak larut dalam kesedihan
yang mendalam, sehingga ia membuang-buang waktunya yang berharga.
Larut dalam kesedihan bukanlah sesuatu yang disukai oleh Nabi, kecuali
larut dalam mencintai Allah swt. Rumi berkata: “Jangan membuang waktu
dengan rindu akan masa lalu. Jangan terus menyesal akan beragam hal
92
yang terjadi pada zaman dahulu. Jika kau biarkan masa lalu pergi, kau akan
menjadi seorang sufi.” (Rumi, 2018: 66). Bagi Rumi, seorang murid
seharusnya tidak membuang waktunya dengan rindu akan masa lalu yang
bisa membuatnya lalai dari mengingat Allah, dan tidak menyesali beragam
hal yang terjadi pada masa kemarin yang membuatnya putus asa menghadapi
masa depan. Jika seorang murid tidak terpenjara oleh masa lalu, maka ia bisa
menjadi seorang sufi. Sebab, sufi ialah anak waktu, yaitu seorang yang tidak
terpenjara oleh masa lalu, namun tetap optimis menatap ke depan dengan
menghabiskan waktu hanya kepada Allah semata. Seorang guru harus
mengajak muridnya agar tidak tenggelam dalam kesedihan (duniawi), dan
tidak menyesali apa saja yang tidak terjadi pada masa kemarin yang sangat
diinginkan oleh murid, dan membuatnya lupa kepada Allah. Sebagaimana
Allah swt berfirman:
Artinya: “Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling
menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Q.S.
Al-Ashr: 1-3).
f. Tawadhu Kepada Guru
Bagi Rumi, tidak ada keberkahan apabila seorang murid merasa
sombong dan pintar dari gurunya, murid yang merasa lebih hebat dari
gurunya tidak akan pernah memperoleh berkah dan kebaikan apa pun.
Seorang murid tidak akan mencapai maqam mahabbah jika ia berlagak
hebat dan pintar di hadapan gurunya, sebab salah satu syarat untuk
memasuki tingkatan mahabbah, yaitu dengan merendahkan diri di hadapan
93
seorang guru. Rumi mengingatkan: “Jangan jadi cendekia, jadilah bodoh
disebabkan cinta. Jika kau adalah rembulan di angkasa, jatuhlah dan
jadilah lumpur di jalan raya.” (Rumi, 2018: 75). Rumi menasihati murid
yang ingin memperoleh cinta, dengan cara merasa bodoh (tawadhu) di
hadapan gurunya dan jadilah debu di telapak kaki seorang guru, sebagaimana
seorang sufi yang menganggap dirinya hanyalah debu di jalan Mustofa
Muhammad saw. Dengan demikian, merasa bodoh berarti mengosongkan
diri, dan dengan cara demikian seorang murid siap untuk menerima ilmu
pengetahuan dari seorang guru. Seorang murid yang mampu menanamkan
sikap tawadhu akan memperoleh keberkahan dan cahaya ilmu dari guru,
hingga ia akan menjadi istimewa di dalam diri gurunya. Jika guru tersebut
termasuk kekasih Allah yang dipandangi hatinya oleh Allah, maka seorang
murid pun akan memperoleh cipratan keberkahan dari Allah swt. Seorang
murid juga harus tawadhu, tidak merasa suci dari murid lain (orang lain),
agar dapat mencapai hakikat ilmu pengetahuan, sebab tidak akan bisa
memperoleh pengetahuan apabila seorang murid selalu merasa dirinya suci
dari yang lain. Allah swt berfirman:
Artinya: “Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah
engkau menanyakan padaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku
menerangkannya kepadamu.” (Q.S. Al-Kahfi: 70).
g. Menjaga Ibadah Malam
Bagi para sufi, salah satu jalan menuju Allah ialah dengan
melaksanakan ibadah-ibadah di sepertiga malam, sebab hanya hamba sejati
yang merelakan tidur lelapnya demi berjumpa dengan Sang Kekasih. Rumi
berkata: “Cinta tak pernah istirahat, tidak juga tertidur lelap. Cinta tak
94
pernah mencari mereka yang tertidur nyenyak.” (Rumi, 2018: 97). Bagi
Rumi, cinta Ilahi juga diperoleh dengan melaksanakan ibadah malam, yaitu
dengan shalat tahajud. Seorang murid yang ingin memperoleh cinta Ilahi
harus merelakan tidur lelapnya, sebab cinta hanya mencari orang-orang yang
terjaga dari kantuknya sehingga ia tidak lalai dari pertemuannya dengan
Allah swt. Seorang pencinta sejati tidak akan melewatkan satu malam pun
tanpa perjumpaan dengan Allah, sebab kunci kebahagiaan dan kesuksesan
ialah menjalin hubungan cinta kasih dengan Allah, yaitu dengan
melaksanakan ibadah-ibadah malam. Selain murid, seorang guru pun harus
merelakan tidur panjangnya demi memperoleh kedudukan yang terpuji di sisi
Allah. Memang perjalanan menuju hakikat sejati awalnya tidaklah
menyenangkan. Namun, jika seseorang terus menelusurinya, ia akan
merasakan manisnya. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud
(sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra: 79).
h. Melapas Keinginan-Keinginan Hawa Nafsu
Rumi mengingatkan agar murid melepas segala keinginan-keinginan
hasrat dunianya, agar supaya ia tidak menjadi budak bagi dirinya sendiri.
Dunia ialah sesuatu yang lain, sedang cinta ialah sesuatu yang lain lagi. Jika
hati seorang murid dikuasai oleh dunia, maka cinta kepada Allah akan sulit
tumbuh, sebaliknya apabila hati seorang murid tidak dikuasai oleh dunia,
maka cintanya kepada Allah akan terus berkembang dan terbebas dari hawa
nafsu. Rumi berkata: “Jika kau biarkan Tuhan memburumu, kau akan bebas
dari segala dukamu. Tetapi jika kau sibuk memburu hasratmu, kau akan
95
tetap menjadi budak bagi dirimu.” (Rumi, 2018: 116). Seorang murid yang
sibuk mengejar hasrat dunianya akan selalu menjadi budak bagi hawa
nafsunya sendiri, yang akan membuat dirinya sulit memahami keagungan
dan keindahan Allah. Dalam perjalanan mencari ilmu, murid hendaknya
tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya, dan tidak ambisius untuk meraih
kesuksesan dan kedudukan dunia secara instan. Rumi mengingatkan: “Hai
kalian semua! Orang yang ambisius tidak akan mendapat apa-apa. Jangan
berlari seperti mereka para ambisius yang mengejar duniawi. Berjalanlah
pelan.” (Tarhan, 2016: 118). Seorang guru harus membimbing muridnya
agar tidak berangan-angan pada urusan duniawi yang akan berbahaya bagi
nasib spiritualnya. Salah satu latihan jiwa ialah dengan memperbanyak puasa
dan sedekah, dengan begitu seorang murid tidak tenggelam dalam cinta
dunia. Bagi Rumi, ketika seorang murid beribadah kepada Allah dengan
sungguh-sungguh, maka rahmat Allah akan mendatangi (memburu) dirinya,
dan segala duka akan terbebas dari hidupnya, sebagaimana Rumi katakan,
“Jika kau biarkan Tuhan memburumu (mendatangi), kau akan bebas dari
segala dukamu”. Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh
surgalah tempat tinggalnya.” (Q.S. An-Nazi‟at: 40-41).
i. Meniadakan Diri di Hadapan Allah
Rumi menasihati muridnya agar tidak menganggap diri mampu dan
hebat dalam segala hal, terlebih merasa alim dan pintar di hadapan Allah swt.
Bagi Rumi, manusia ibarat debu yang beterbangan di muka bumi, dan hanya
96
mengharap kasih sayang dari Allah, sekiranya bukan karena Allah, tentu
keimanan dan kecerdasan tidak akan bisa diperoleh. Segala sesuatu
bergantung pada Ilahi, bahkan seorang Nabi sekalipun tidak berdaya tanpa
pertolongan Allah. Seorang murid yang sedang melaksanakan proses belajar
seharusnya menundukkan egonya, hingga meniadakan dirinya di hadapan-
Nya, sebab Allah yang akan memberi pemahaman dan pencerahan kepada
dirinya. Rumi berkata: “Aku terbang menuju-Mu tanpa sayap sama sekali.
Setangkai jerami, itulah aku. Di dalam cahaya-Mu tenggelamlah aku.”
(Rumi, 2018: 118). Bagi Rumi, seorang murid yang sedang berjalan menuju
Allah, harus melepas sayapnya (egonya), sebab murid bagaikan setangkai
jerami. Apabila seorang murid telah meniadakan dirinya di hadapan Allah,
maka ia akan tenggelam di dalam cahaya-Nya (rahmat-Nya). Oleh karena
itu, pada dasarnya seorang murid ibarat gelas kosong, yang berharap
mendapatkan air kasih-Nya, jika gelas itu penuh maka ia mungkin tidak akan
lagi memperoleh kasih-Nya. Dengan meniadakan diri, seorang murid akan
mencapai kondisi fana’ hingga mencapai baqa’ dengan Allah. Allah swt
berfirman:
Artinya: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar
ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” (Q.S. Al-Anfal: 17).
c. Fihi Ma Fihi
Kitab ini mengandung banyak hikayat, metafora, penafsiran al-
Qur‟an maupun uraian atas hadits Nabi. Berbeda dengan Matsnawi yang
cukup rumit untuk dipahami, Fihi Ma Fihi ditulis dengan bahasa yang lebih
ringan. Seakan-akan kitab ini sengaja ditulis oleh Rumi untuk kalangan
97
umum dan para pemula di jalan sufi. Kitabini merupakan kumpulan
ceramah-ceramah Rumi atau percakapan kepada sahabatnya dan nasehat
untuk murid-muridnya, terkhusus tentang persoalan tasawuf. Kitab Fihi Ma
Fihi sangat indah makna-maknanya, jika ditelusuri segala rahasianya, maka
akan ditemukan mutiara-mutiara yang sangat berharga. Al-Allamah
Badiuzzaman mengungkapkan bahwa kata Fihi Ma Fihi diyakini diambil
dari syair Ibnu „Arabi.
Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab
Fihi Ma Fihi, sebagai berikut:
a. Sabar Menanggung Penderitaan Hidup
Rumi mengatakan bahwa rasa sakit mengantarkan Maryam kepada
pohon. Pohon yang kering itu seketika berbuah. Bagi Rumi, tubuh bagaikan
Maryam, setiap manusia memiliki Isa dalam dirinya. Jika timbul rasa sakit
dalam diri maka lahirlah Isa kita. Rumi berkata: “Ruh dalam penderitaan,
sementara tubuh dalam kemakmuran. Setan muntah-muntah karena
kenyang, sementara raja tidak memiliki bahkan sepotong roti.” (Rumi, 2016:
60). Seorang murid harus siap menanggung setiap cobaan dalam
perjalanannya mencari ilmu, sebab murid yang tidak memiliki cobaan, maka
ia tidak akan memperoleh suatu pelajaran atau hikmah. Sekiranya Maryam
tidak memperoleh penderitaan, ia tidak akan menuju pohon yang diberkahi
itu oleh Allah swt. Sabar berarti tabah menjalani penderitaan dan nestapa
ketika menghadapi berbagai kejadian yang sulit untuk dihadapi dan sulit
untuk dihindari (Fethullah Gulen, 2014: 189). Rumi berkata: “Hamba sejati
adalah yang memikul banyak musibah. Kayu yang bagus adalah yang
dibakar dengan baik” (Fethullah Gulen, 2014: 196). Oleh karena itu, seorang
murid di dalam perjalanannya tidak menemukan kesulitan, maka ia tidak
akan pernah berusaha untuk belajar bersabar, bersyukur, dan bertawakkal
98
kepada Allah. Sebab, manusia yang tidak memiliki rasa sakit, maka tidak
akan muncul suatu gairah yang akan menuntun dirinya mendapatkan sesuatu
yang belum ia ketahui. Seorang murid akan memperoleh pencerahan ruhani,
apabila ia telah ditempa oleh beragam ujian dan penderitaan hidup seperti
yang terjadi pada Maryam. Allah swt berfirman:
Artinya: “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya
(bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai,
betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak
diperhatikan dan dilupakan.” (Q.S. Maryam: 23).
b. Melihat Kekurangan Pada Diri Sendiri
Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Jika seorang
murid melihat kekurangan atau aib pada orang lain, hendaklah ia menyadari
bahwa ia juga memiliki aib dan cukuplah ia merahasiakannya. Tuntunlah
seekor gajah ke sumber air agar ia bisa minum, lalu gajah itu akan melihat
dirinya di dalam air, kemudian lari. Ia mengira bahwa ia melihat gajah lain,
tanpa menyadari bahwa ia lari dari dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki
sifat yang sombong, kikir, iri, dengki, ia merasa biasa saja. Namun, saat
melihat sifat-sifat itu pada orang lain, ia akan lari menjauhinya. Seorang guru
harus menyadarkan muridnya agar selalu melihat kekurangan-kekurangan
dirinya sendiri, bukan sibuk melihat kekurangan orang lain. Sebab, murid
akan dimintai pertanggungjawaban atas semua sifat-sifat baik dan buruknya
oleh Allah swt. Rumi menasihati: “Engkau lebih bernilai ketimbang dunia
dan akhirat. Apa yang dapat aku lakukan jika engkau tidak mengerti nilai
dirimu? Jangan jual dirimu dengan harga murah. Karena di mata Allah
99
engkau sangat berharga.” (Rumi, 2016: 71). Setiap murid tidak boleh saling
mengisi rapor, sebab tugas gurulah yang memberi nilai. Oleh karena itu,
hendaklah murid sibuk dalam memperbaiki dirinya sendiri, hingga ia tidak
punya waktu untuk mencari-cari kekurangan murid lainnya, sebab murid
harus mengetahui nilai dirinya, bukan nilai orang lain dan janganlah ia
mencela dirinya sendiri karena merendahkan orang lain, sebab di mata Allah
setiap manusia sangat berharga, dan hendaklah seorang murid memohon
perlindungan kepada Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan kamu sama sekali tidak dapat melepaskan diri (dari
azab Allah) baik di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan
penolong bagimu selain Allah.” (Q.S. Al-Ankabut: 22). c. Mengikuti Pendapat Diri Sendiri
Rumi mengajarkan seseorang untuk tidak tenggelam pada taklid buta,
yaitu mengikuti sesuatu tanpa mengetahui ilmunya. Sebagaimana Rasulullah
bersabda; “Mintalah pendapat pada hati kalian, meski banyak orang yang
telah memberi pendapat kepada kalian.” Setiap murid memiliki kebenaran
yang ada di dalam dirinya sendiri, sehingga ia hanya mendiskusikan
pendapatnya kepada guru agar bisa mengikuti pendapat yang sesuai dengan
kebenaran yang ada di dalam dirinya itu. Sebab, setiap diri manusia ada
“dokter”nya yang bisa menyembuhkan segala penyakitnya. Namun, apabila
dokter itu lemah, maka ia membutuhkan dokter lain untuk menyembuhkan
dan menguatkan dirinya, yaitu para guru adalah dokter yang menawarkan
bantuan kepada seorang murid. Rumi berkata: “Ruh manusia mampu
menyingkap segala yang gaib, seperti air bening yang menampakkan segala
100
sesuatu di dasarnya seperti batu, lumpur dan mencerminkan segala hal di
atasnya. Ini sesuatu yang alami. Tidak membutuhkan terapi atau
pengajaran. Namun, saat air itu tercampur debu atau warna-warna lain
maka sifat khas tersebut akan hilang dan terlupakan.” (Rumi, 2016: 112).
Bagi Rumi, manusia ialah makhluk yang agung juga sebagai alam al-shagi>r
(alam mikrokosmos), yang di dalam dirinya telah tertulis segala sesuatu.
Namun, karena terhijab oleh debu, maka cahaya tersebut tidak dapat
terpancar dengan sempurna, sehingga tidak dapat membaca apa yang ada di
dalamnya. Hijab kegelapan bisa berupa kesombongan ilmu dan amal, tamak,
iri hati, merasa suci dan lain-lain. Oleh karena itu, tugas seorang guru ialah
membimbing murid untuk menjaga dan membersihkan jiwanya dari debu
dan noda yang akan menutupinya. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10).
d. Memuliakan Guru
Bagi Rumi, salah satu syarat bagi murid agar mudah memperoleh
ilmu pengetahuan ialah memuliakan dan menghormati gurunya. Sebab,
memuliakan guru ialah kunci keberhasilan seorang murid dalam
perjalanannya mencari ilmu dan hikmah. Seorang murid harus memposisikan
gurunya sebagai representasi dari ilmu itu sendiri. Dengan memuliakan guru
akan menjadi wasilah atau perantara bagi seorang murid dalam mengenal
Nabi dan Allah swt. Apabila seorang murid tidak memuliakan gurunya,
maka ia akan jauh dari keberhasilan dan keberkahan hidup. Rumi berkata:
“Ketika Bani Israil taat kepada Nabi Musa, dibukakan jalan-jalan untuk
mereka, bahkan lautan terbelah hingga mereka bisa melaluinya. Ketika
mereka mulai menentang, mereka jadi terlunta-lunta bertahun-tahun di
101
tengah padang pasir.” (Rumi, 2016: 115). Ketika Bani Israil mulai
menentang Nabi Musa, mereka kehilangan berkah dan akhirnya mengalami
kesengsaraan hidup selama bertahun-tahun. Seorang murid bisa saja
mengalami hal seperti itu apabila ia tidak memuliakan gurunya. Sebab, kunci
kemudahan dalam memahami ilmu ialah dengan cara memuliakan guru.
Menurut KH. Hasyim Asy‟ari dalam karyanya berjudul Adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim menyatakan bahwa sudah seharusnya seorang murid
memuliakan gurunya, karena setiap yang mengajari pengetahuan dan akhlak
wajib untuk dimuliakan, dan dari rasa memuliakan inilah, seorang akan
mendapatkan keberkahan ilmu (Hariyanto, 2018). Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43).
e. Bersikap Tawadhu
Rumi mengajarkan seorang murid untuk selalu memelihara sifat
tawadhu. Seorang murid akan merasakan manisnya iman, apabila ia tawadhu
kepada siapa pun yang ia temui, tawadhu akan menjaga kondisi hati seorang
murid agar tidak merasa sombong dan tahu segala hal. Rumi berkata:
“Jadilah tanah supaya kau bisa menumbuhkan bunga-bunga beraneka
warna. Selama ini kau telah menjadi batu yang mematahkan hati. Sesekali,
cobalah untuk menjadi tanah!” (Rahman, 2012: 38). Seorang murid yang
ingin memperoleh ilmu pengetahuan harus menganggap dirinya tidak tahu
apa-apa dihadapan guru. Semakin banyak ilmu yang diperoleh, semakin
102
murid tawadhu kepada siapa pun. Namun, jika semakin banyak ilmu yang
diperoleh, membuat dirinya sombong, maka ia akan terputus dari hakikat
ilmu tersebut. Rumi berkata: “Jika dahan sebuah pohon digelantungi banyak
buah maka buah-buahan itu akan membuatnya merendah, sementara dahan
yang tidak berbuah akan tetap tegak. Ketika buah pada dahan itu sangat
banyak, orang akan memasang tiang penopang di bawahnya agar tidak
roboh.” (Rumi, 2016: 208). Rasulullah saw adalah manusia yang sangat
rendah hati karena buah dunia dan buah akhirat berkumpul pada dirinya.
Sehingga tidaklah beliau berjumpa dengan orang lain, kecuali beliau
mengucapkan salam terlebih dahulu. Seorang murid harus mengikuti
Rasulullah dalam hubungan sosial, yaitu mengucapkan salam kepada siapa
pun. Seorang murid yang memiliki ilmu harus selalu merendahkan dirinya
kepada orang lain, semakin banyak buah yang ia peroleh, semakin rendahlah
dirinya. Sementara, murid yang tidak tawadhu ialah dia yang tidak memiliki
ilmu pengetahuan sama sekali dan ia akan berjalan dengan kepala tegak
(bangga diri). Bagi Rumi, murid yang telah mampu memelihara sikap
tawadhu, akan dihormati dan dimuliakan oleh orang lain, sebagaimana
ucapan Rumi, “Ketika buah pada dahan itu sangat banyak, orang akan
memasang tiang penopang di bawahnya agar tidak roboh”. Seorang murid
akan mendapatkan perlakuan, pertolongan dan perlindungan khusus, dan
dijaga oleh orang karena sifat tawadhu, hal demikian merupakan karunia
yang Allah anugerahkan kepada murid melalui perantara hamba-Nya. Allah
swt berfirman:
103
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia
(karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
(Q.S. Luqman: 18).
f. Bermunajat kepada Allah
Rumi mengatakan bahwa: “Allah akan mendatangkan pertolongan
jika kita bersungguh-sungguh memohon dan bermunajat kepada-Nya.”
(Tarhan, 2016: 152). Rumi mengingatkan murid untuk selalu terhubung
kepada Allah, agar hati merasakan kedekatan dan keintiman. Berdoa kepada
Allah bukan semata-mata untuk mengharap pengabulan, melainkan hanya
untuk menjalin komunikasi secara terus-menerus, adapun pengabulan hanya
sebagai buah dari keintiman dengan-Nya. Bermunajat kepada Allah bukan
karena mengharap sesuatu, namun sebagai tanda kelemahan dan
ketidakberdayaan di hadapan-Nya. Rumi berkata: “Kadang kenikmatan batin
lenyap jika tidak merintih, tergantung keadaan. Jika tidak begitu, tentu Al-
Haqq tidak akan berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang
banyak merintih (berdoa) dan penyantun. (QS. Al-Taubah: 114).” (Rumi,
2016: 293). Bagi Rumi, seorang murid harus banyak merintih sebab Allah
sangat menyukai suara rintihan hamba-Nya. seorang murid perlu menjaga
koneksi dengan Allah swt, sebab kenikmatan batin bisa saja akan lenyap jika
ia terputus dari mengingat-Nya. Oleh karena itu, berdoa akan mendatangkan
kenikmatan batin, sebagaimana Nabi Ibrahim yang selalu merintih kepada
Tuhan-Nya. Ketika seorang murid menyakini Allah maha pemberi, maka
seharusnya ia meminta hanya kepada-Nya, dan apabila seorang murid
mengalami kesulitan dalam memahami suatu ilmu, hendaklah meminta
kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu agar diberikan pemahaman
yang mendalam. Sebagaimana Allah swt berfirman:
104
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman; “Berdoalah kepada-Ku, niscaya
akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong
tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka jahannam dalam keadaan
hina dina.” (Q.S. Ghafir: 60).
g. Berbuat Kebaikan kepada Sesama
Rumi mengingatkan bahwa ketika seorang manusia membicarakan
kebaikan manusia lain, pada hakikatnya kebaikan itu akan kembali kepada
dirinya sendiri. Seorang murid yang berbuat kebaikan kepada orang lain
ibarat seorang yang berkebun dan menanam bunga di sekitar rumahnya, ia
akan menikmati keharuman dan keindahannya setiap kali ia mendatangi
kebunnya. Sebaliknya, ia yang berbuat jahat seperti seseorang yang
mengembara siang dan malam di gurun pasir penuh ular. Rumi berkata:
“Setiap orang yang menyebut kami dengan kata-kata yang baik, alam pun
akan menyebutnya dengan kata-kata yang baik pula.” (Rumi, 2016: 371).
Bagi Rumi, membenci orang lain hakikatnya ialah membenci diri sendiri,
sebab segala yang dilakukan oleh manusia hakikatnya akan kembali kepada
dirinya sendiri. Ketika seorang murid melakukan kebaikan untuk orang lain,
ia akan menjadi temannya, dan kapan pun ia berpikir tentang dirinya, ia akan
melihatnya sebagai seorang teman dan pikiran seorang teman akan
memberikan kedamaian bagaikan bunga di taman. Sebaliknya, ketika ia
berbuat keburukan kepada orang lain, maka ia akan berteman dengan
keburukan dan setiap ia melihatnya, tidak akan mendatangkan kedamaian di
dalam hati. Di jalan cinta, murid yang terbaik ialah yang bermanfaat bagi
murid lainnya, sebagaimana Rumi mengatakan: “Manusia terbaik adalah
105
mereka yang membantu orang lain. Saat Anda menjadi hamba sejati
pelayanan, Cahaya membelai Anda, dan Anda pun memancar! Anda
menjadi lampu ilahi. Anda tidak khawatir apakah Anda berada di posisi
tinggi atau rendah.” (Rahman, 2012: 213). Seorang murid harus selalu
menolong dan melayani orang lain, hingga ia menjadi lampu Ilahi. Allah swt
berfirman:
Artinya: “Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya)
untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya)
menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak
menzalimi hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushilat: 46).
d. Diwan-i Syams Tabrizi
Menurut William C. Chittick, Diwan Syams Tabrizi ialah pantulan
dari kilauan cahaya kehidupan spiritual Rumi. Setiap puisinya merupakan
gambaran simbolis kondisi sufistik yang dialami dalam mencapai jalan
menuju Tuhan (Kusuma Jaya, 2016). Diwan adalah istilah untuk menyebut
buku yang berisi kumpulan puisi. Oleh karena itu, Diwan Syams Tabriz
berarti kumpulan puisi Syams Tabriz atau nyanyian cinta Rumi terhadap
Syams. Rumi menisbatkan judul kitabnya dengan nama gurunya, tidak lain
karena rasa hormat dan cintanya kepada Syams at-Tabriz yang telah
membuka mata batinnya. Dengan Diwan-nya itu, Rumi menunjukkan jalan
“Cinta Ilahi” sebagai jalan alternatif yang lebih ramah terhadap kehidupan
dunia namun tidak melupakan kehidupan akhirat. Kitab ini terdiri dari
36.000 bait puisi, namun Badiuzzaman Farauzanfar, seorang ulama Persia
yang fokus pada kajian tentang Rumi, menyebut jumlah bait Diwan Syams
Tabriz mencapai 42.000 bait (Djamaluddin, 2015: 73). Sosok Syams-lah
yang memberikan pengaruh yang kuat terhadap perubahan Rumi sehingga ia
106
dikenal sebagai penyair sufi terbesar sepanjang sejarah sufisme. Syams
Tabriz membimbing Rumi dan mengajarkannya ilmu hakikat sehingga
mengubah kehidupannya. Hubungan Syams dan Rumi menggambarkan
keterikatan antara guru dan murid dalam perjalanan mencari Allah. Coleman
Barks dalam bukunya berjudul The Books of Love: Poems of Ecstacy and
Longing, mengatakan bahwa hubungan antara Rumi dan Syams tidak dapat
dipastikan siapakah yang murid dan siapakah yang guru. Mereka tampaknya
sering bertukar posisi sebagai guru dan murid (Subhan, 2018: 1). Pengaruh
Syams at-Tabriz begitu besar terhadap Rumi, dialah yang menyebabkan
Rumi berubah dari seorang ahli hukum yang tenang menjadi seorang
pencinta yang mabuk. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada yang
mengatakan bahwa tanpa kehadiran Syams, Rumi tidak akan pernah dikenal
(Chittick, 2003: 4).
Adapun nasihat-nasihat Jalaluddin Rumi kepada murid dalam kitab
Diwan-i Syams Tabrizi, sebagai berikut:
a. Taklid kepada guru
Rumi menasihati murid untuk menenggelamkan dirinya di hadapan
seorang guru, hanya dengan cara itu murid akan memperoleh hikmah. Sebab,
tidak ada hikmah tanpa pengabdian yang tulus. Rumi berkata: “Tutuplah
mulutmu seperti seorang penyelam di kedalaman samudra, hanya di bawah
airlah seekor ikan tetap bebas merdeka.” (Rumi, 2018: 23). Bagi Rumi,
murid ibarat seorang penyelam dan guru ibarat samudra, seorang murid
harus menutup mulutnya (egonya) di hadapan guru, sebab dengan cara
seperti ini murid akan memperoleh hikmah. Dalam tradisi sufisme, guru
dianggap sebagai manifestasi Ilahi yang akan membimbing seorang murid
agar dapat sampai kepada-Nya. Tanpa seorang pembimbing, murid akan
kesulitan atau bahkan tersesat dari jalan. Apabila seorang murid tidak
107
menemukan guru yang dapat membimbingnya, maka ia harus kembali pada
hatinya sendiri, sebab hati adalah pembimbing yang juga sangat dibutuhkan
dalam menempuh perjalanan ruhani. Oleh karena itu, seorang murid yang
merelakan egonya di hadapan seorang guru akan menemukan dirinya yang
baru, sebab ruhnya telah terbang dalam cinta dan pengabdian tanpa batas.
Bagi Rumi, guru adalah pembawa kesembuhan dan kesenangan dari rasa
sakit yang dipikul murid, dan akan merasa aman dan nyaman jika
menenggelamkan dirinya dalam cinta kepada guru. Robert Frager
mengatakan bahwa guru merupakan matahari dan para murid adalah planet.
Guru juga merupakan sebuah cermin atau pemancar yang senantiasa
memancarkan cahaya dan rahmat yang pada hakikatnya bersumber dari
Allah (Frager, 2002). Rumi berkata: “Kau adalah rajaku, kau adalah
rembulanku juga. Kau adalah perhiasan dan sumber yang memberiku
sayap.” (Rumi, 2018: 102). Rumi menjadikan dirinya sebagai budak dan
Syams sebagai rajanya (guru), yang dia anggap dapat membawanya menuju
singgasana Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43).
b. Zuhud dari Dunia
Dalam sufisme, zuhud ialah menarik diri dari kenikmatan duniawi
yang melalaikan, seorang murid harus meninggalkan segala pesona dunia
yang membuatnya lupa kepada Allah swt, seperti makan, pakaian, dan harta
108
yang berlebihan. Rumi mengingatkan: “Tinggalkan semua rembulan di
belakang sana, keluarkan gula dari dalam pikiranmu. Segera pada-Nya dan
yang lain kau akan temukan. Dia membuat jenis butir yang lain.” (Rumi,
2018: 34). Bagi Rumi, Allah telah menyediakan kenikmatan yang lain bagi
hamba-Nya yang segera menuju kepada-Nya. Oleh karena itu, seorang murid
yang meninggalkan pesona dunia (rembulan) dan tidak memikirkan segala
kenikmatan dunia (mengeluarkan gula dari dalam pikirannya), akan
memperoleh jenis kenikmatan lain yang telah Allah siapkan untuknya, yaitu
kenikmatan ruhani (batin) dan penyaksian (melihat Allah) di akhirat kelak.
Seorang murid sejati tidak menghabiskan waktunya dalam panjang angan
dan tidak ambisius dalam mengejar harta, perhiasan, dan kedudukan
duniawi, sebagaimana Rumi berpesan; “Orang-orang yang membisiki ambisi
kepadamu bagaikan suara serigala yang sedang menggigit mangsanya.”
(Tarhan, 2016: 110). Seorang guru, harus selalu membimbing murid untuk
tidak terpesona dengan keindahan semu, dan segera kembali kepada
keindahan sejati, yaitu Allah. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Katakanlah; Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala
turut berperang), dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.” (Q.S. An-Nisa:
77).
c. Berguru Kepada Guru Yang Lembut
Dalam perjalanan ruhani, seorang murid hendaknya mencari guru
yang memiliki hati yang lembut yang terpancar dari wajahnya. Sebab, buah
akan menjadi rusak apabila disimpan pada suhu yang panas. Rumi berkata:
“Jika yang kau cari adalah rumah jiwa, lihatlah pada cermin wajah yang
109
lembut.” (Rumi, 2018: 43). Dengan demikian, tidak ada yang bisa diperoleh
dari seorang guru yang kasar dalam ucapan dan keras dalam tindakan. Sebab
bagi Rumi, seorang murid yang mencari rumah jiwa, harus melalui guru
yang menampilkan kelembutan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, janganlah
seorang murid mempercayai seorang guru yang berganti dari cinta jadi benci,
dari lembut jadi kasar, dari kedamaian jadi permusuhan. Sebab, jalan menuju
Sang Kekasih tidak ditempuh dengan cara kekerasan, permusuhan, dan
kekasaran, melainkan ditempuh dengan kelembutan, perdamaian, dan cinta.
Allah swt berfirman:
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku
lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras dan berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.” (Q.S. Ali Imran: 159).
d. Menenggelamkan Diri Pada Aspek Ruhani
Dalam dunia sufisme, pengetahuan intuitif (dzauq) lebih
mendapatkan porsi ketimbang pengetahuan yang diperoleh melalui nalar.
Akal memang sangatlah terbatas, sedang ruh tidaklah terbatas, ia mampu
menembus alam realitas fisik dan mencapai alam metafisik. Bagi Rumi,
110
seorang murid harus selalu berupaya mendayagunakan kemampuan
intuisinya yang lebih menekankan pada aspek batin (esoterisme). Rumi
berkata: “Tutuplah mata yang kritis, mohonlah pada penglihatan ruhani.
Dari dirimu sendiri pergilah cepat, Sang Kekasih akan muncul dekat.”
(Rumi, 2018: 104). Dengan pendekatan rasional (eksoterik), tentu akan sulit
bagi seorang murid untuk memperoleh pencerahan ruhani, kecuali dengan
melatih diri dalam pendekatan rasa (esoterik). Sebab, akal sangatlah terbatas
dan sesuatu yang terbatas tidak akan mampu mencapai Dzat Yang Maha Tak
Terbatas, oleh karena itu dengan penglihatan ruhani-lah seorang murid bisa
menempuh jalan spiritual ini dan mampu merasakan kehadiran-Nya dalam
kondisi apapun. Seorang gurulah yang akan membimbing murid untuk
membuka penglihatan ruhaninya, dengan riyadhah, mujahadah, dan ibadah
secara disiplin. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka
Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu
pada hari ini sangat tajam.” (Q.S. Qaf: 22).
e. Membersihkan Hati
Rumi mengingatkan murid agar senantiasa membersihkan hatinya
dari segala kotoran dan penyakit hati, yang menghambat dirinya dalam
menempuh perjalanan spiritual. Hati ibarat air di permukaan sungai, jika air
itu jernih, maka ia dapat memantulkan segala hal yang ada di dalamnya.
Sebaliknya, jika air itu keruh, maka segala yang ada di dalamnya akan sulit
terlihat. Rumi berkata: “Kau tidak akan melihat rembulan atau langit pada
air yang keruh. Mentari dan rembulan bersembunyi ketika udara menjadi
gelap.” (Rumi, 2018: 128). Bagi Rumi, seorang murid yang hatinya terdapat
debu dan kotoran tidak akan bisa memantulkan keindahan Allah, terlebih
111
ketika hatinya telah gelap, maka sedikitpun tidak akan mampu memancarkan
cahaya-Nya. Akibatnya, dia tidak akan mampu membedakan antara
kebenaran dan kebatilan. Dengan demikian, seorang murid harus
memperoleh bimbingan dari guru untuk membersihkan hatinya dari segala
penyakit hati seperti; iri hati, sombong, cinta dunia, riya, rakus, kufur
nikmat, tidak sabar, dan lain-lain. Seorang murid dapat mengobati penyakit
hati dengan cara taubat, memperbanyak zikir, memohon ampun, berdoa, dan
berpuasa. Dalam sufisme, dikenal istilah takhalli> sebelum memasuki tahalli>
dan tajalli>, yaitu upaya untuk membersihkan dan mengosongkan diri dari
sifa-sifat tercela baik secara lahir maupun batin untuk memperoleh
pencerahan spiritual dari-Nya. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai
orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222).
f. Menjaga Silaturahim Kepada Sesama
Dalam ajaran Islam, tentu menjaga silaturahim akan memanjangkan
umur dan memudahkan rezeki seseorang. Bagi Rumi, seorang murid
memerlukan pergaulan, selama pergaulan itu bermanfaat bagi nasib
spiritualnya. Seorang murid seharusnya tidak membuang-buang waktunya
dalam bergaul, jika di dalamnya tidak ada pembicaraan tentang ilmu dan
Allah swt., sebab itu termasuk kelalaian. Pergaulan yang baik hanya untuk
dakwah dan dalam rangka menyampaikan ilmu pengetahuan, nasihat cinta
dan perdamaian. Pada dasarnya, semua manusia bersaudara dan lahir dari
satu sumber, yaitu Allah. Namun, dalam perkembangannya sebagian menjadi
lalai, sewenang-wenang, keras, sombong, saling bermusuhan, saling bertikai
dan lain-lain sehingga melupakan kesejatian dirinya yaitu, menyebar rahmat
112
kepada sesama. Rumi berkata: “Jika gambar-gambar itu tahu mereka semua
lahir dari Pena yang sama, tentu mereka akan bergaul baik satu sama
lainnya.” (Rumi, 2018: 159). Rumi mengingatkan manusia untuk berlaku
baik satu sama lain, sebab mereka berasal dari sumber yang satu. Seorang
murid dengan murid lainnya tidak boleh saling bertikai, memfitnah, adu
domba, dan menebar kebencian hingga terjadi perang dan kerusakan yang
akan mencederai kemanusiaan, bangsa dan agama. Seorang guru harus
membuka pandangan murid tentang kesejatian dirinya, bahwa semua
manusia bersaudara dan saling tolong menolong dan bekerjasama dalam
kebaikan, tanpa melihat latar belakang suku, bangsa, ras dan agama demi
tercapainya kedamaian dan kerukunan antar sesama. Sebagaimana Allah swt
berfirman:
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al-
Hujurat: 13).
g. Menjaga Zikir
Bagi sufi, tidak ada kesenangan yang melebihi kesenangan dalam
mengingat Allah swt. Seorang murid yang hatinya sibuk dengan pesona
dunia, akan lalai dari kenikmatan dalam mengingat Allah. Sebaliknya, murid
yang tenggelam dalam kenikmatan mengingat Allah, hatinya tidak akan
terpaut oleh kenikmatan duniawi. Rumi berkata: “Laba-laba yang sibuk
113
menganyam jaringnya, tak akan memiliki kesenangan apapun selain
kesenangan menganyam jaring laba-labanya.” (Rumi, 2018: 272). Rumi
memberikan perumpamaan dengan seekor laba-laba yang sibuk menganyam
jaringnya hingga ia tidak memiliki kesenangan apapun selain menganyam
jaringnya tersebut. Seorang murid yang hatinya sibuk mengingat Allah, akan
menemukan suatu kondisi di mana ia tidak akan memikirkan hal yang lain
kecuali Allah semata. Dalam dunia sufisme, seseorang yang menyibukkan
dirinya pada satu hal, maka ia akan memasuki kondisi ekstase, yaitu
kemabukan spiritual karena tenggelam dalam pesona Allah dan secara
otomatis akan melupakan sesuatu yang lain (lawannya). Apabila seorang
murid tenggelam dalam mengingat Allah, maka ia akan lupa dengan selain-
Nya, sebaliknya jika ia tenggelam dengan cinta dunia, maka ia akan lalai dari
mengingat-Nya. Oleh karena itu, seorang guru harus membimbing murid
untuk selalu menjaga kondisi hatinya agar tidak lalai dalam mengingat Allah.
Sebab, siapa saja yang hati dan pikirannya dipenuhi oleh Allah, maka ia akan
senantiasa merasa dalam pengawasan Allah dan akan dijauhkan dari
perbuatan-perbuatan yang tercela. Sebagaimana Allah swt berfirman:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra‟d: 28).
4. Kontribusi Jalaluddin Rumi dalam Pendidikan Agama Islam
Jalaluddin Rumi ialah seorang sufi sekaligus penyair besar yang
membaktikan hidupnya untuk mencari kebenaran sejati dan menuangkan
pikiran-pikirannya melalui syair-syair mistis. Di setiap karyanya, Rumi
menyebarkan gagasan, dan renungannya dalam bentuk untaian sajak yang
indah, menggunakan metafora, sastra, kisah-kisah, dan perumpamaan
114
(tamsil). Diakui atau tidak, karya-karya Rumi adalah kontribusi besar bagi
dunia sastra, budaya, dan pendidikan khususnya pada dunia Islam. Melalui
karyanya, Rumi mengajak seorang murid bahwa untuk mencapai Allah tidak
semata-mata dengan kerja fisik, melainkan diraih melalui kerja batin, yaitu
cinta kasih. Dalam berbagai kesempatan, Rumi pun mengingatkan bahwa
Tuhan merupakan satu-satunya tujuan dan tidak ada yang menyamai-Nya.
Will Johnson dalam pengantar buku The Rubais of Rumi: Insane With
Love, mengatakan bahwa mengapa Rumi tetap populer karena ia
mengungkapkan kebenaran paling kuat dan rumit dalam bahasa yang paling
indah dan sederhana. Kebenaran ini dianggap sebagai obat untuk hati dan
jiwa. Rumi menunjukkan jalan kepada manusia agar dapat sembuh dari
kekecewaan, dan kegelisahan serta mengajak manusia untuk kembali kepada
diri mereka sendiri (Abdul Kholiq, 2016). Lantas apa kontribusi dan
relevansi karya-karya Rumi bagi dunia modern, khususnya bagi umat Islam
yang ada di Indonesia? Abdul Hadi W.M dalam artikelnya berjudul “Pesan
Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rumi” mengemukakan jawaban
dari apa yang ia kutip dalam sajak Muhammad Iqbal “Kepada Matahari
Yang Menerangi Dunia”, di mana Iqbal menyebut Rumi sebagai Rausan
Damir, yaitu orang yang memiliki rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa
kemanusiaan yang tersembunyi, dan dari Rumi manusia dapat memetik
pelajaran tentang bagaimana membenahi jiwa yang sedang hancur (Hadi,
W.M, 2013).
Bagi dunia modern, tampaknya nasihat-nasihat spiritual Maulana
Rumi untuk kembali ke jalan cinta menjadi sebuah kebutuhan yang
mendesak, khususnya di dalam dunia pendidikan Islam kita di Indonesia.
Rumi telah berjuang untuk menyebarkan keindahan dan kebijaksanaan
selama hidupnya di dalam karya-karyanya. Tujuan utama Rumi ialah
115
memanusiakan manusia agar mencapai kesejatian diri yang akan
mengantarkannya mencapai cinta Ilahi. Para sufi menjalani kehidupan
dengan penuh gairah demi penyaksian keagungan Allah yang selalu
menggetarkan jiwanya, mereka menanggung derita untuk menjemput
kebahagiaan sejati hingga ditelan oleh cinta Ilahi. Bagi Andrew Harvey,
“Tradisi sufi tidak hanya menawarkan kesaksian dahsyat tentang ekstase dan
gairah jalan cinta, tapi juga memadukan esktase dan gairah dengan tuntutan
hidup sehari-hari. Peleburan kemabukan dan ketenangan, ialah jenis makrifat
tertinggi dan paling hebat dengan pemahaman tentang bagaimana
memadukan keseharian dengan Kebenaran Ilahiah. Itulah yang membuat
sufisme menjadi salah satu tradisi mistik yang paling dicari di dunia, tradisi
yang menawarkan segalanya bagi para pencari dari bermacam-macam
kalangan, khususnya di zaman modern.” (Harvey, 2018).
Jalaluddin Rumi menegaskan bahwa cintalah yang mengubah
segalanya, yang mengubah air yang kotor menjadi air yang jernih, yang
mengubah orang yang berwatak keras menjadi lembut, mengubah orang
yang lemah tidak berdaya menjadi kuat dan bersemangat. Energi cinta
sedemikian dahsyat dalam mengubah dan memengaruhi kehidupan manusia.
Rumi mengajak manusia untuk lebih menggunakan rasa dalam
menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab bagi Rumi, cinta
ialah pintu masuk untuk memahami eksistensi Tuhan, yang berimplikasi
dengan kebaikan moral manusia. Oleh karena itu, dengan konsep cinta Rumi,
seseorang bisa menyadari hakikat sejati dari Islam itu sendiri, yaitu
ketundukan mutlak dan kedamaian dalam cinta kepada sesama manusia,
alam semesta, binatang, tumbuhan dan kepada Tuhan. Sebagaimana
Annemarie Schimmel mengungkapkan bahwa seluruh karya Rumi lebih
banyak menjelaskan soal cinta, sebab cinta digunakan oleh Rumi sebagai
116
dasar utama untuk melukiskan misteri-misteri Ilahi (Muhibbuddin, 2018:
220). Bagi Rumi, siapa pun yang telah memasuki jalan cinta dan tenggelam
dalam kemabukan cinta, maka ia akan menjadi manusia sempurna atau insan
kamil di mata Allah swt.
Jalaluddin Rumi berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan
asal-usul kewujudan dirinya, manusia mesti menggunakan jalan cinta, bukan
hanya dengan jalan pengetahuan (Zaairul Haq, 2011: 48). Sebab, cinta
menurut pandangan Rumi merupakan cahaya kehidupan dan nilai
kemanusiaan. Cinta itu kekal dan hanya harus dipersembahkan kepada Yang
Maha Kekal, dan tidak layak diberikan kepada sesuatu yang fana>‟ atau
binasa. Disinilah Rumi menekankan pentingnya seorang murid bergerak ke
ranah batin, bukan bergerak di ranah fisik semata, sebab kebenaran yang
sejati tidak didasarkan pada logika. Seorang murid tetap tidak boleh
mengabaikan tugasnya dalam bekerja dan mencari penghidupan, namun
hatinya tetap bergantung pada Allah. Seorang guru sangatlah penting dalam
membimbing murid untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sebab
kehadiran manusia spiritual dapat menciptakan perubahan pada diri murid,
walaupun pada awalnya seorang guru membimbing murid, dan setelah
memungkinkan bagi murid untuk berjalan sendiri, guru melepaskan agar ia
mampu memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja
dirinya (Shah, 2000: 129).
Dalam dunia pendidikan Islam, Rumi hendak membawa seorang
salik (murid) ke dalam suatu kesadaran ruhani atau pemahaman tentang
dimensi batiniah yang ada di luar realitas fisik, dengan memberikan konsep
jalan cinta atau determinisme cinta (kemutlakan cinta). Rumi mengajarkan
bahwa setiap murid sebenarnya tidak mengetahui apa sebenarnya yang
mereka inginkan, mereka hanya menduga bahwa semua yang ia inginkan
117
dianggap sebagai kebutuhan mereka (Shah, 2000: 131). Oleh karena itu,
pendidikan dan guru sangatlah dibutuhkan untuk membantu setiap murid
dalam menemukan kesejatian dirinya, dan pendekatan konsep mahabbah
sebagai alternatif bagi Rumi dapat diterapkan dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, disinilah letak ruh pendidikan agar mampu berjalan sesuai
visi dan misi agama Islam. Rumi memandang bahwa segala sesuatu perlu
dilihat dari aspek batiniahnya, sebab aspek batinlah sebagai penggerak utama
untuk menumbuhkan kebaikan moral pada aspek lahiriah.
Jalaluddin Rumi memproyeksikan ajaran-ajaran mistiknya melalui
seni, seperti musik, tarian, dan puisi yang digunakan dalam berbagai
pertemuan dalam tarekatnya. Pengubahan melalui berbagai latihan mental
dan fisik dirancang untuk membuka pikiran murid agar dapat membuka
potensinya yang lebih besar (Shah, 2000: 140). Dengan pendekatan seni,
seorang murid akan memasuki realitas batin yang lebih dalam, sebab dalam
seni ada musik dan bunyi yang dapat mengantarkan seseorang pada
ketenangan dan kebahagiaan. Sebagaimana Hazrat Inayat Khan mengatakan
bahwa, “Semakin kita menembus misteri bunyi, semakin kita mampu melacak
kaitan yang menghubungkan segala bunyi. Hubungan inilah yang disebut
oleh pemusik sebagai harmoni, dan dalam harmoni ini tersembunyi rahasia
ketenangan dan kebahagiaan” (Inayat Khan, 2002: 32). Pemanfaatan musik
bagi Rumi sangatlah berpengaruh bagi nasib spiritual seorang murid. Sebab,
di antara banyak jalan dalam pengembangan kecerdasan otak dan batin, para
sufi menggunakan metode ini, yang bagi Rumi disebut sebagai sama’ atau
tari sufi (whirling dervish). Dengan pendekatan sama‟, seorang murid akan
memasuki keadaan mistikal yang akan membuka jiwa dan ruhnya pada
kelembutan dan ketenangan, karena musik menyentuh mereka dengan cara
yang berbeda yaitu menyentuh kedalaman diri mereka (Inayat Khan, 2002:
118
73-74). Oleh karena itu, bagi Rumi, pada hakikatnya seluruh kehidupan
dalam segala aspeknya ialah sebuah musik dan murid yang mampu
menyelaraskan dirinya dengan harmoni musik secara sempurna adalah
sebuah pencapaian spiritual yang sejati.
Menurut Hartoyo Andangjaya, bahwa latar belakang keulamaan
Rumi yang kuat membukakan baginya kepustakaan yang luas di luar sastra
dan puisi. Ia pun sangat akrab dengan al-Qur‟an dan tafsirnya, hadits nabi,
hukum agama dan pengurai-pengurainya yang piawai, belum disebut pula
ilmu-ilmu asing, termasuk filsafat dan riwayat hidup serta ajaran para wali
dan para sufi, semua itu terbias dalam puisi Rumi (Andangjaya, 2017).
Pesan-pesan Rumi membawa kedamaian bagi pembacanya baik di bagian
Timur maupun Barat, hingga badan PBB untuk pendidikan, kebudayaan, dan
ilmu pengetahuan (UNESCO) menetapkan 2007 sebagai tahun Rumi, yang
bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahirannya (Okuyucu, 2018: 4).
Dalam khazanah kesusastraan Islam, nama Rumi dianggap sebagai salah satu
penyair atau mistikus Islam terbesar, bahkan dunia Barat pun terpesona pada
syair-syairnya. Karya-karya Rumi telah diterjemahkan dan dibaca oleh
banyak orang diberbagai negara. Rumi berhasil menembus batas-batas genre,
dan visinya tentang cinta ilahi atau cinta universal berhasil membawa angin
segar bagi dunia modern saat ini. Bahkan seorang orientalis memuji karya
Rumi, Irene Melikoff dengan berkata: “Jika bangsa-bangsa di dunia
menerjemahkan karya-karya Rumi ke dalam bahasa mereka sendiri dan
membacanya, tidak akan ada perang, dendam, atau pun kebencian di dunia
ini.” (Okuyucu, 2018: 122).
Salah satu kontribusi berharga Rumi bagi dunia Islam ialah Rumi
berhasil menyegarkan kembali keindahan Islam pada dunia, khususnya di
Barat yang terkena virus Islamphobia. Dengan Perayaan Shab-i Arus (tahun
119
wafatnya Rumi), Rumi mampu menyatukan orang-orang dari berbagai latar
belakang agama, suku, budaya, dan bangsa dalam sebuah keindahan,
keragaman, dan toleransi. Hal inilah sesungguhnya yang hendak ingin
disampaikan oleh ajaran agama Islam kepada masyarakat dunia, bahwa
kerukunan, toleransi, keragaman sebagai ruh dari ajaran Islam dan misi
diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Sedangkan kepada murid, Rumi tampaknya berpesan agar fokus spiritual
kepada Allah akan memperkuat hubungan antar sesama manusia. Dalam
berbagai karya Rumi, seorang murid diajak untuk melihat dan menghargai
keindahan dan keagungan ciptaan Allah swt. Sebab bagi Rumi, seorang
murid yang ingin menikmati keindahan ciptaan Allah harus memiliki cinta
yang terpancar dari dalam hati, dan murid yang bisa merasakan kedamaian
tersebut akan mampu melihat keindahan di seluruh sudut bumi mana pun.
Sebaliknya, jika seorang murid menumbuhkan dendam dan benci dalam
dirinya, maka sejauh ia memandang hanya akan melihat keburukan semata.
Oleh karena itu, dengan pendekatan mahabbah, Rumi telah berhasil
memberikan suatu konsep dalam beragama, yaitu dengan cinta Ilahi sebagai
nilai dasar pergerakan dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil,
toleran, moderat, damai, dan terbuka.
Dalam dunia pendidikan Islam, yang menjadi tujuan utama dan
ukuran keberhasilan sebuah universitas, lembaga atau sekolah ialah
melahirkan peserta didik atau murid yang mampu menerapkan nilai-nilai
cinta kasih, seperti saling menghormati, terbuka, memberi rasa aman, adil,
toleran dan moderat kepada alam semesta dan sesama manusia yang
berlandaskan cinta kepada Allah swt. Bagi Rumi, seorang murid tidak dapat
didorong menjadi aktif tanpa ada yang disebut sebagai sukr atau junon, yaitu
keadaan jiwa dan pikiran yang diliputi rasa mabuk kepayang atau
120
anthusiasme ketuhanan (gottesfulle), sebagai keadaan jiwa dan pikiran yang
menguasai diri seorang murid yang keduanya timbul akibat dorongan cinta
yang kuat, sehingga ia menjadi berani menggapai cita-citanya walaupun
harus menempuh berbagai kesulitan serta menuntut pengurbanan diri (Hadi,
W.M, 2013). Sebab, cinta ialah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu,
yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (berjumpa dengan
Allah swt). Oleh karena itu, Rumi mengajarkan bahwa pikiran yang tidak
bermanfaat ialah apabila tidak didasari oleh spiritualitas. Seorang murid yang
tidak memperoleh ketenteraman spiritual, tidak akan disebut berhasil
meskipun ia mencapai kesuksesan di dunia.
Rumi mengingatkan bahwa masyarakat yang sedang mengalami
krisis multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari
agama, bukan hanya bentuk formal dan ritual doa, yaitu dengan pendekatan
cinta kasih sebagai ruh agama-agama dunia. Sebagaimana Happold (1960)
memasukkan Rumi sebagai tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan
mistis (unio mystical). Konsep mistisisme Rumi ialah berusaha
membebaskan manusia dari rasa terpisah dengan menyatukan diri dengan
alam dan Tuhan, yang akan membawa rasa damai dan kepuasan pada jiwa
(Hadi W.M, 2013). Bagi Rumi, seorang mistikus cinta berusaha
meninggalkan „diri fisik‟ yang rendah dan pergi menuju „diri batin‟ yang
tinggi. Sebab, tujuan mistikus cinta ialah melakukan perjalanan ruhani
menuju hakikat dirinya, di mana Tuhan bersemayam. Rumi sebagaimana
berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan,
seorang murid dapat melakukannya dengan jalan cinta, tidak semata-mata
dengan jalan pengetahuan. Sebab, Rumi menyamakan cinta dengan
pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang
pada puncaknya ialah haqq al-yaqi>n atau keyakinan yang penuh kepada
121
Allah. Cinta yang sejati dapat membawa seorang murid mengenal hakikat
sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik
bentuk-bentuk formal kehidupan (Hadi, W.M, 2013). Bagi Rumi, apabila
seseorang telah terjebak pada bentuk-bentuk formal kehidupan dan berhenti
menjadi makhluk ruhani, maka ia akan mudah dilanda nihilisme dan
keputusasaan apabila krisis datang, sebab ia telah kehilangan kesejatian
dirinya.
Rumi berprinsip bahwa kata-kata yang benar dan kuat bagaikan
pohon yang akarnya tertanam di bumi, dan daun-daunnya melambai indah di
angkasa. Kata-kata yang benar adalah yang menunjuk sumbu kehidupan,
sumbu penciptaan, yaitu Allah swt (Hadi W.M, 2016: 18-19). Melalui puisi-
puisinya, Rumi mengatakan bahwa pemahaman terhadap dunia hanya bisa
dipahami melalui jalan cinta, bukan semata-semata dengan kerja rasional.
Rumi juga menyatakan bahwa Tuhan sebagai satu-satunya tujuan, hanya bisa
dialami melalui sentuhan spiritual. Menurut Rumi, manusia senantiasa dalam
keadaan tidak puas, nafsu selalu mengajak untuk memenuhi segala macam
kenikmatan duniawi. Karena itu, hanya dengan cinta Ilahi, seorang manusia
baru memperoleh kepuasan dan kebahagiaan sejati. Cinta Ilahi yang
dimaksud Rumi di sini ialah kesatuan sempurna dengan Sang Kekasih,
sehingga ia lenyap dari keinginan-keinginan semu dan beralih ke dalam
kebahagiaan yang abadi, yaitu bersama Allah swt.
Jalaluddin Rumi merupakan seorang tokoh yang mengajarkan
kebijaksanaan yang tidak diragukan keilmuan dan kealimannya. Pengaruh
positif bagi masyarakat dan budaya pada masa itu terus membekas sampai
sekarang, dan dampak positif itu sangat kuat sehingga membentuk pola pikir
dan kedalaman emosi (olah rasa) yang berpengaruh kepada masyarakat
(Tarhan, 2016: 20). Secara praksis, Rumi telah berhasil menjawab
122
pertanyaan dan permasalahan yang muncul pada zamannya, juga
permasalahan-permasalahan pada zaman sekarang ini melalui puisi-puisinya.
oleh karena itu, karya-karya Rumi mempunyai hikmah dan manfaat yang
sangat besar bagi dunia Islam, khususnya pendidikan dan kebudayaan
sebagai pusat informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Barat dan
kebijaksanaan Timur. Rumi berhasil memberikan suatu sistem berpikir, yaitu
berpikir ke dalam diri, bagi orang-orang yang ingin berkembang secara
spiritual. Sebab, hanya dengan melakukan seperti itu manusia dapat
menyelam dan menemukan mutiara-mutiara kemanusiaan dan spiritualitas
yang selama ini terpendam. Dengan membaca secara utuh karya-karya Rumi,
seseorang akan menemukan bahwa pikiran-pikiran Rumi didasarkan pada
pengetahuan tentang pengenalan diri sendiri (Tarhan, 2016: 28).
Kontribusi Maulana Jalaluddin Rumi dalam dunia pendidikan Islam
terlihat jelas dalam karyanya yang berjudul Diwan Syams Tabriz, di mana
Rumi mengajak seorang murid untuk menempatkan guru di tempat yang
mulia, sebab guru ialah cermin untuk melihat keindahan Tuhan. Bagi Rumi,
hubungan murid dan guru juga merupakan hubungan persahabatan spiritual
(suhbah) yang penuh dengan cinta Ilahi. Di sisi lain, Rumi mengajarkan
seorang murid untuk menjalin keakraban dengan murid yang lain,
sebagaimana tercermin dalam persahabatannya dengan Shalaluddin Zarkub,
yang mampu mengantarkan Rumi pada penulisan karya-karyanya yang
indah. Oleh karena itu, guru dan sahabat sangat diperlukan untuk mencapai
kematangan ruhani, sebab dalam diri seorang guru dan sahabat, seorang
murid dapat menerima pantulan keindahan Ilahi. Bagi Rumi, memang
seorang sahabat bisa menjadi guru yang menjadi cermin pemantul cinta ilahi.
Dalam hubungan persahabatannya dengan Husamuddin, Rumi berhasil
menyelesaikan kitab Matsnawi, sekiranya tidak pernah ada Husamuddin,
123
tentu karya besar itu tidak pernah ada. Sebab, Husamuddin-lah yang
menyarankan kepada Rumi untuk menuliskan syair-syairnya. Sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Ashad Kusuma Jaya bahwa petunjuk pencerahan
sufistik bisa saja lahir dari seorang sahabat, dan di dalamnya tidak tercermin
wujud “penyembahan” murid pada sang guru yang sangat feodalistik.
Hubungan guru-murid bagi Rumi merupakan kisah percintaan dua sahabat
yang di dalamnya murid dan guru saling meniadakan dirinya hanya untuk
mencintai Allah (Kusuma Jaya, 2016). Sedangkan bagi guru-guru palsu yang
menyesatkan murid, menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa penggunaan akal
sangat dibutuhkan sebelum menerima pengajaran dari seseorang yang bukan
ahlinya, karena hal itu dapat merusak ruhani juga membuka jiwa terhadap
pengaruh-pengaruh setan yang sangat berbahaya. Terkait dengan guru palsu,
Rumi mengatakan: “Manusia rendah mencuri kata-kata kaum darwis untuk
menipu orang-orang yang berpikiran sederhana.” (Kusuma Jaya, 2016).
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan pada bab empat, serta melihat
perumusan masalah mengenai konsep pendidikan cinta perspektif Jalaluddin
Rumi, maka dapat disimpulkan:
Menurut penulis, konsep pendidikan cinta kasih Jalaluddin Rumi
sebagai ajaran tentang pengalaman sufi yang menekankan cinta sebagai
penggerak utama manusia menuju Allah swt. Sebab bagi Rumi, tasawuf
bukan lari dari dunia, zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, karena fokus
spiritual adalah hati yang harus terisi oleh cinta Ilahi. Oleh karena itu,
pendidikan cinta kasih bertujuan untuk membentuk sikap dan ucapan murid
dengan landasan cinta dan kasih sayang kepada Allah swt. dan Rasulullah
saw. Sebab, tujuan pendidikan cinta kasih adalah membantu murid agar
mampu memasuki realitas batinnya, dan menjadikan cinta sebagai nilai
utama murid dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, dengan metode
penyucian jiwa (takhalli>) dari penyakit hati, lalu pengisian nilai-nilai
kebaikan (tahalli>), seorang murid akan memperoleh pencerahan ruhani
(tajalli>). Proses ini tidaklah diraih secara instan dan mudah, akan tetapi harus
melalui proses riyadhah (latihan-latihan spiritual) yang membutuhkan
banyak waktu dan pengorbanan serta dalam bimbingan seorang guru
spiritual (mursyid).
Dengan pendekatan mahabbah, Rumi telah berhasil memberikan suatu
konsep dalam beragama, yaitu dengan cinta Ilahi sebagai nilai dasar
pergerakan dan perjuangan batin untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan
yang adil, toleran, moderat, damai, dan terbuka. Sebab, dalam dunia
pendidikan Islam yang menjadi tujuan utama dan ukuran keberhasilan
125
sebuah universitas, lembaga atau sekolah ialah melahirkan peserta didik atau
murid yang mampu menerapkan nilai-nilai cinta kasih, seperti saling
menghormati, terbuka, memberi rasa aman, adil, toleran dan moderat. Bagi
Rumi, karena tiadanya cinta kasih di dalam diri, maka manusia melahirkan
watak yang keras atau sumbu pendek yang akan memicu tumbuhnya
tindakan intoleransi, radikalisme, anarkisme, esktrimisme, hingga terorisme.
Konsep pendidikan cinta kasih Rumi; Pertama, mahabbah atau
determinisme cinta (kemutlakan cinta) sebagai kendaraan menuju Allah,
yaitu totalitas murid dalam mengabdi kepada Allah dengan jalan cinta;
Kedua, ‘isyq yaitu mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi yang
membakar kerinduan murid untuk segera berjumpa dengan-Nya, sehingga ia
bersedia menempuh perjalanan jauh demi bersatu dengan Kekasihnya yaitu
Allah swt; Ketiga, kondisi fana>’ (peleburan diri dalam diri Allah) yaitu
keadaan hati murid yang telah kosong dari segala penyakit hati, karena
berhasil membersihkan dirinya dari segala kotoran dan hanya ada Allah
semata. Dengan demikian, setelah murid melalui ketiga tahapan tersebut
barulah dia merasakan buah dari mahabbah, yaitu syauq (kerinduan), al-Uns
(keintiman), ridha (rela).
Langkah untuk mewujudkan sifat cinta kasih pada murid adalah
dengan cara bertakhalli dengan membersihkan hati dari sifat keburukan dan
keterikatan pada dunia melalui taubat atau juga disebut dengan penarikan diri
(menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah),
lalu bertahalli sebagai proses pengisian hati yang telah dikosongkan tersebut,
hati ini diisi dengan sabar, syukur, qana‟ah (hidup sederhana), tawadhu,
zuhud, tawakkal, ridha, dan tahalli juga adalah berhias dengan sifat-sifat
Allah. Kemudian pada puncaknya murid mencapai tajalli> yaitu tahapan
kebahagiaan sejati karena telah dibukakan tabir antara hamba dan Tuhan atau
126
penyingkapan diri, yaitu Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada
mahkluk-Nya.
Pendidikan cinta kasih ialah jalan alternatif yang efektif, karena
sifatnya yang menekankan pada pembinaan spiritual yang bermuara pada
kedekatan manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri,
manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Dengan jalan cinta kasih,
dapat menumbuhkan perasaan yang damai, tenteram, bahagia, welas asih,
dan rendah hati kepada sesama yang akan melahirkan sikap inklusif, cinta,
kasih sayang, menghargai perbedaan, menyebarkan perdamaian, moderat,
dan toleran.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan
berupa saran-saran di bawah ini sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat, khususnya bagi orang tua sebagai pendidik utama
anak dalam keluarga, dan guru/dosen sebagai pendidik kedua dalam
sekolah/universitas yang berperan penting dalam membentuk
karakter anak didik. Penulis menitikberatkan kepada orang tua dan
guru untuk mengenalkan anak didik pada dunia tasawuf dan
menyampaikan kisah-kisah hikmah para tokoh sufi seperti Rumi,
Ibnu Arabi, Imam al-Ghazali, Syaikh Ibnu Athaillah, Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani dan lain-lain. Dengan demikian, anak didik akan
memperoleh kesadaran spiritual yang akan melahirkan sifat toleran,
welas asih, cinta kasih dan ketenangan jiwa.
2. Bagi sekolah dan universitas, bahwa konsep pendidikan karakter
berbasis sufistik sangat layak dijadikan sebagai salah satu model dan
program unggulan untuk mengisi kekosongan dalam dunia
pendidikan Islam, khususnya di Indonesia yang kerap melahirkan
127
anak didik yang berwatak keras, kaku, close minded, merasa paling
benar dan selamat, sumbu pendek, eksklusif, intoleran dan radikal.
3. Bagi pemerintah, bahwa perlu mengeluarkan kebijakan terkait
pengembangan pendidikan karakter berbasis sufistik di setiap sekolah
atau universitas-universitas sebagai pengarusutamaan konten
moderat-pluralistik untuk membendung gerakan intoleran-radikalistik
demi menjaga kebhinekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Penulis mengajak setiap mubaligh, da‟i, ustadz, guru/dosen atau
pendidik lainnya membaca tesis penulis ini untuk menambah
wawasan terkait konsep, model, dan metode dalam menerapkan
pendidikan cinta kasih berbasis sufistik.
5. Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang dilakukan ini sangatlah
terbatas, mengingat ada ribuan syair-syair Jalaluddin Rumi yang
tertuang dalam karya-karyanya, dan kiranya peneliti-peneliti yang
lain akan melanjutkan apa yang tidak sempat dikaji oleh penulis.
128
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islam dan Keindonesiaan dalam Buku Kontroversi
Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. (Cet I; Bandung: Mizan, 2014).
Abdullah, Idi. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan
Pendidikan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011).
Abdul, Kholiq. Pengantar The Meaningful Life with Rumi. (Cet I;
Yogyakarta: Forum, 2016).
Aboebakar Atjeh. Pendidikan Sufi: Sebuah Upaya Mendidik Akhlak
Manusia. (Cet II; Semarang: CV. Ramadhani, 1985).
Ahmed, Nur. Forty Great Men and Women in Islam. (Delhi:
Shandarmarket, Chitli Qabar, 1994).
Albertus, Doni Kusuma. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik
Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo, 2010).
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
Ali, Yunasril. Cinta Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn
Arabi oleh al-Jili. (Jakarta: Paramadina, 1997).
Al-Buthy, Syaikh Ramadhan. Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih
Sang Pencipta. (Cet. I; Jakarta: Noura Books, 2013).
Al-Ghazali. Kimia Kebahagiaan, Terj. Haidar Bagir. (Cet XIII;
Bandung: Mizan, 1995).
Al-Ghazali. Minhajul „Abidin, Terj. M. Rofiq. (Cet I; Yogyakarta:
Diva Press, 2016).
Al-Hujwiri, Ali Ibn Usman Al-Jullabi. Keajaiban Sufi. (Cet I;
Jakarta: Diadit Media, 2008).
Al-Hujwiri, Ali Ibn Usman Al-Jullabi. Kasyful Mahjub. (Cet I;
Bandung: Mizan Pustaka, 2015).
129
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Miftah Darus Sa‟adah, terj. Abdul Matin
dan Salim Rusydi Cahyono. (Solo: Tiga Serangkai, 2009).
Al-Kafafiy, Muhammad Abdussalam. Matsnawi Jalaluddin Rumi.
(Beirut: Maktabah „Ashriyyah, 1966).
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. Risalah al-Qusyairiyah: Induk Ilmu
Tasawuf. (Cet III; Surabaya: Risalah Gusti, 1999).
Andangjaya, Hartoyo. Kasidah Cinta Jalaluddin Rumi. (Cet I;
Yogyakarta: Narasi, 2017).
An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.
Terj. M. Adib Bisri (Cet II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.
Terj. M. Adib Bisri (Cet III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
An-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar.
Terj. M. Adib Bisri (Cet XI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015).
An-Nadwi, Abu al-Hasan. Maulana Jalaluddin Rumi. (Cet II; Kairo:
al-Mukhtar al-Islami, 1974).
Andriyani, Chindi. Jejak Langkah Sang Sufi Jalaluddin Rumi. (Cet I;
Yogyakarta: Mueeza, 2017).
Anwar, M. Syafi‟i. Kata pengantar “Membingkai Potret Pemikiran
Politik KH. Abdurrahman Wahid” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
(Cet I; Jakarta: The Wahid Institute, 2006).
Arberry, A.J. Mysticism, dalam P.M Holt, The Cambidge History of
Islam, Vol. II, (Cambridge: Cambridge at The University Press, 1970).
Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam
Ibadat dan Tasawuf. (Cet II; Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005).
Bagir, Haidar. Dari Allah menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi.
(Cet I; Jakarta: Noura Books, 2019).
130
Baidhawy, Zakiyuddin. Ambivalensi Agama Konflik dan
Nirkekerasan. (Cet I; Yogyakarta: LESFI, 2002).
Barks, Coleman. Rumi: The Book of Love. (HarperCollins e-Books,
2003).
Bentounes, Syekh Khaled. Tasawuf Jantung Islam: Nilai-Nilai
Universal dalam Tasawuf. (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003).
Breton, Denise. Cinta, Jiwa, dan Kebebasan di Jalan Sufi: Menari
Bersama Rumi. (Cet I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2003).
Chittick, William C. The Sufi Path of Love: The Spiritual Teaching of
Rumi. Terj. M. Sadad Ismail dan Achmad Nidjam. (Cet V; Yogyakarta:
Penerbit Qalam, 2003).
Damopolii, Muljono. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim
Modern. (Cet I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011).
Djamaluddin, Mahbub. Jalaluddin Rumi: Sang Maestro Cinta Ilahi.
(Cet I; Jakarta: Senja Publishing, 2015).
Djumransjah, M. Pengantar Filsafat Pendidikan. (Malang:
Bayumedia Publishing, 2004).
Ernst, Carl W. Ajaran dan Amaliah Tasawuf. (Cet I; Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003).
Fakih, Mansour. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis
Pemikiran Tokoh Pendidikan. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).
Fattah Jalal, Abdul. Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer
Ali. (Bandung: Diponegoro, 1988).
Fethullah Gulen, Muhammad. Tasawuf Untuk Kita Semua. (Cet I;
Jakarta: Republika, 2014).
Frager, Robert. Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi untuk Transformasi.
(Jakarta: Serambi, 2002).
131
Hadi W.M, Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas.
(Yogyakarta: Matahari, 2004).
Hadi W.M, Abdul. Matsnawi: Senandung Cinta Abadi Jalaluddin
Rumi. (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013).
Hamid Hasan, Said. “Pendidikan Indonesia: Untuk Siapa dan Mau
Ke Mana?” dalam Pendidikan Nasional: Arah Ke Mana?. (Jakarta: Kompas,
2012).
Hariyanto, Nur Budi. Mengapa Kita Harus Memuliakan Guru?.
https://islami.co/mengapa-kita-harus-memuliakan-guru dimuat pada 3
Desember 2018. Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda
Indonesia, edisi 46/Jum‟at, 30 November 2018.
Harvey, Andrew. Seribu Ilham Kearifan Sufi. (Cet I; Jakarta: Alifia
Books, 2018).
Hawwa, Sa‟id. Pendidikan Spiritual Terj Abdul Munip M Ag. (Cet.
I; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006).
Hutchins, Robert Mayhand. Pendidikan Liberal Sejati dalam buku
Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. (Cet
VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam, Vol. II, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1974).
Hozhabrossadat, Sepideh. Sacrificing the Bull: Conseptualisations of
Fana (Spiritual Death) in Rumi‟s Mathnavi. (Monash University:
International Jurnal of English and Literature, 2018).
Iblagh al-Afghaniy, Inayatullah. Jalaluddin ar-Rumi baina ash-
Shufiyyah wa „Ulama al-Kalam. (Kairo: Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah,
1987).
132
Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. (Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Iqbal, Afzal. The Life and Work of Jalaluddin Rumi. (London: The
Octagon Press, 1983).
Inayat Khan, Hazrat. The Heart of Sufism. (Cet I; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002).
Inayat Khan, Hazrat. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. (Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2002).
Jabir, Muhammad Nur. Road to Return: Tafsir Sufistik Syair-Syair
Maulana Jalaluddin Rumi. (Cet I; Makassar: Rumi Press, 2018).
Jabir, Muhammad Nur. Kado Cinta Rumi. (Cet I; Makassar: Rumi
Press, 2019).
Jallaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Pengembangan Pemikirannya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Jamaluddin, Muhammad Sa‟id. Tahqiq fi Qashaid al-Mukhtarah min
Diwan Syams Tabriz. (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-„Ammah lil Kitab,
2008).
Jamnia, Muhammad Ali. Tales From The Land of The Sufis, Terj.
M.S. Nasrullah, Negeri Sufi: Kisah-Kisah Terbaik. (Cet I; Jakarta: Lentera,
1997).
Johnson, Will. Rumi: Menatap Sang Kekasih. (Cet I; Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2005).
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Tasawuf dan Ihsan. (Cet III;
Jakarta: Serambi, 2015).
Kaelan. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner.
(Yogyakarta: Paradigma, 2010).
133
Kartanegara, Mulyadi. Renungan Mistik Jalaluddin Rumi. (Cet I;
Jakarta: Pustaka Jaya, 1986).
Kaya, Cinar. Rumi from the Viewpoint of Spiritual Psychology and
Counseling. (Marmara University: Jurnal Spiritual Psychology and
Counseling, 2016).
Khan, Yahya. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. (Cet I;
Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010).
Krishna, Anand. Masnawi: Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki
Pintu Gerbang Kebenaran. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).
Kusuma Jaya, Ashad. Pengantar Kisah Keajaiban Cinta:Renungan
Sufistik Mutiara Diwan-i Syams-i Tabriz. (Cet VIII; Bantul: Kreasi Wacana,
2016).
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan. (Cet III; Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995).
Mahmud, Abdul Qadir. Al-Falsafah ash-Shufiyah fil-Islam. (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1967).
Mansir, Firman. Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Islam (Studi Pada UMI dan UIN Alauddin Makassar). (Cet I; Cirebon: Nusa
Litera Inspirasi, 2018).
Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Al-
Ma‟arif, 1990).
Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2004).
Miswari. Senandung Cinta Penuh Makna: Analisa Filosofis Puisi
Jalaluddin Rumi. (Al-Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama Vol. 3 No. 1
2018).
134
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Cet. IV; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008).
Muhibbuddin, Muhammad. Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia:
Menyelami Rahasia Cinta Para Sufi Dunia. (Cet I; Yogyakarta: Araska,
2018).
Muhyi Batubara, Abdul. Sosiologi Pendidikan. (Jakarta: PT Ciputat
Press, 2004).
Muttaqin, Farid. Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-
Islam. (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2001).
Nasution, Harun. Falsafah Islam dan Mistisisme dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 1992.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000).
Nata, Abuddin. Menggagas Pendidikan Islam Holistik dalam Jurnal
Didaktika Islamika: Jurnal Kependidikan dan Keguruan. (Jakarta: Jurusan
Kependidikan Islam, Vol. XI, No.2 Desember 2011).
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. (Cet III; Jakarta: Kencana,
2016).
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Kancah Dunia Modern, terj.
Lukman Hakim. (Cet I; Bandung: Pustaka, 1994).
Nasr, Seyyed Hossein. Sufisme Persia Awal. (Cet I; Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein, The Garden of Truth: The Vision and Promise
of Sufism, Islam‟s Mystical Tradition. (Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka,
2010).
135
Nasr, Seyyed Hossein. Living Sufism. (London: Unwin Paperbacks,
1972).
Ni‟am, Syamsun. Tasawuf Studies. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014).
Ni‟am, Syamsun. Cinta Ilahi: Perspektif Rabi‟ah al-Adawiyah dan
Jalaluddin Rumi. (Cet I; Surabaya: Risalah Gusti, 2001).
Nicholson, Reynold A. Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman
Sufi. Terj. Sutejo (Cet I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Nicholson, Reynold A. Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman
Sufi. Terj. Sutejo (Cet XI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer.
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978).
Nurbakhsh, Javad. Ciri-ciri Khas Sufisme dalam Periode Awal Islam,
dalam Warisan Sufi; Sufisme Persia Klasik dari Permulaan hingga Rumi
(700-1300 M). (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002).
Nurcholish, Ahmad. Peace Education dan Pendidikan Perdamaian
Gus Dur. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015).
Okuyucu, Cihan. Rumi: Biography and Message. Terj. Eka Oktaviani
(Cet I; Yogyakarta: Basabasi, 2018).
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. (Cet XX;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011).
Rahman, Fazlur. “The Qur‟anic Solution of Pakistan‟s Educational
Problems” dalam Islamic Studies, Vol. 6, Nomor 4.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi
Intelektual. (Bandung: Pustaka Mizan, 1995).
136
Rahman, Jamal. The Fragrance of Faith: The Enlightened Heart of
Islam, Terj. Satrio Wahono, Wajah Sejuk Agama. (Cet I; Jakarta: Zaman,
2012).
Rawls, John. A Theory of Justice. (Cambridge, Massachusetts: The
Belknap Press, 1999; Harvard University Press, 2009).
Ridwan, Nur Khalik. Suluk Gus Dur: Bilik-Bilik Spiritual Sang Guru
Bangsa. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013).
Riyadi, Abdul Kadir. Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia
Spiritual dan Pengetahuan. (Cet I; Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014).
Rumi, Jalaluddin. Samudra Rubaiyat: Menyelami Pesona Magis dan
Rindu. Terj. Cep Subhan. (Cet. I; Yogyakarta: Forum, 2018).
Rumi, Jalaluddin. Kitab Fihi Ma Fihi. Terj. Abu Ali dan Taufik
Damas. (Cet. I; Jakarta: Zaman, 2016).
Rumi, Jalaluddin. Matsnawi Maknawi Vol I, Pensyarah Karim
Zamani. (Cet. I; Teheran: Ittila‟at, 2004).
Sapiuddin. Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran
Tokoh Pendidikan. (Cet I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000).
Schimmel, Annemarie. Menyingkap Yang Tersembunyi: Misteri
Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. (Cet I; Bandung: Mizan, 2005).
Schimmel, Annemarie. Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan
Karya Jalaluddin Rumi. (Cet I; Bandung: Mizan, 2016).
Shah, Idries. Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma‟rifat. (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999). Judul Asli: The Way of the Sufi (The Octagon Press
Ltd., London N6 4EW, England; Third Impression, 1989).
137
Shah, Idries. Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi. (Cet I;
Surabaya: Risalah Gusti, 2000).
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an. (Bandung: Mizan
Pustaka, 2004).
Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. (Cet. IV; Jakarta:
SAS Foundation, 2012).
Siradj, Said Aqil. Pengantar Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih
Sang Pencipta. (Cet. I; Jakarta: Noura Books, 2013).
Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali.
(Cet. I; Jakarta: Riora Cipta, 2000).
Subhan, Cep. Matahari Diwan Syams Tabrizi. (Cet. I; Yogyakarta:
Forum, 2018).
Suparta, Mundzier. Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi
atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia. (Cet II; Jakarta: Al-Fatihah,
2010).
Sutrisno & Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem
Sosial. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).
Sokhi, Huda. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah.
(Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2008).
Sonia Nieto. Affirming Diversity: The Sosiopolitical Context of
Multicultural Education. (New York: Longman, 1996).
Syatta, Ibrahim ad-Dasuqiy. Matsnawi Maulana Jalaluddin ar-Rumi.
(Kairo: al-Hai‟ah „Ammah li Syu‟un al-Mathabi‟ al-Amiriyyah, 1996).
Tarhan, Nevzat. Terapi Matsnawi. (Cet. I; Jakarta: Qaf, 2016).
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 1152.
138
Tibi, Bassam. Islam and the Cultural Accomodation of Social
Change. (Boluder: Westview Press, 1991).
Topbas, Osman Nuri. Tears of The Heart (Ratapan Kerinduan Rumi).
(Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka, 2015).
Trimingham, Spencer. The Sufi Order In Islam. (New York: Oxford
University, 1971).
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan. (Jakarta: The Wahid
Institute, 2007).
Waters, Stewart. The Case for Character Education: A
Developmental Approach, Journal of Research in Character Education
(2009), Vol.7. No.1.
Wibowo, Tri. Akulah Debu di Jalan Al-Musthofa: Jejak-Jejak Awliya
Allah. (Jakarta: Prenada Media, 2015).
Wijaya, Aksin. Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia; Kritik
Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan. Kata pengantar; Sakralisasi
Kemanusiaan, Religionisasi Perdamaian. (Cet. I; Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2018).
Wines, Leslie. Menari Menghampiri Tuhan: Biografi Spiritual Rumi.
(Cet I; Bandung: Arasy Mizan, 2004).
Zaairul Haq, Muhammad. Jalaluddin Rumi: Terbang Menuju
Keabadian Cinta hingga Makna di Balik Kisah. (Cet I; Bantul: Kreasi
Wacana, 2011).
Zainul Bahri, Media. Tasawuf Mendamaikan Dunia. (Cet I; Jakarta:
Erlangga, 2010).
Zaprulkhan. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. (Cet I; Jakarta:
Rajawali Pers, 2016).
139
Zaprulkhan. Mukjizat Puasa: Menggapai Pencerahan Spiritual
Melalui Ibadah Puasa dan Ramadhan. (Jakarta: PT Gramedia, 2015).
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti secara
Kontekstual dan Futuristik. (Jakarta: Bumi Aksara, 2015).
RIWAYAT HIDUP
Hisnuddin, lahir di Makassar 13 Juni 1992. Ayahanda Dr. KH. Baharuddin
HS. M.A. dan Ibunda Hj. Nurhaedah Djibo. Riwayat pendidikan penulis
tamat di TK Nurul Qalam, lalu menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri
Tamalanrea Makassar. Kemudian penulis melanjutkan SMP dan MA selama
6 tahun di Pondok Pesantren Modern Pendidikan Al-Qur’an IMMIM Putra
Makassar dan tamat pada 23 April 2010. Pada tahun yang sama penulis
terdaftar sebagai Mahasiswa angkatan 2010 pada Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, dan menyelesaikan program Magister pada jurusan yang sama
Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis pernah menjadi anggota PMII Gowa Komisariat UIN
Alauddin Makassar, dan sekarang penulis aktif di beberapa lembaga kajian,
seperti Rumi Institute, Gusdurian, Nurcholish Madjid Society, Islam
Nusantara Center, Nasaruddin Umar Office, Lingkar Santri Cendekia,
Majelis Masyarakat Maiyah, dan sekarang menjabat sebagai direktur
Alfilosufiyah Institute dan Foucaultfreire Institute.
Diskusi melalui: Instagram @Alfilosufiyah_Institute