pendidikan abk di slb-ab bukesra ulee kareng

47
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Dalam percakapan sehari-hari dikalangan guru dan mahasiswa jurusan PLB masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah menggunakan istilah anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan 1

Upload: tjoetnyak-izzatie

Post on 12-Aug-2015

615 views

Category:

Automotive


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus

yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada

ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain:

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak

berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan

hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang

disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra

mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu

berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

Dalam percakapan sehari-hari dikalangan guru dan mahasiswa jurusan PLB

masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah menggunakan

istilah anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian

orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak

penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab

pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-

anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di

dalamnya anak-anak penyandang cacat). Mereka memerlukan layanan yang

bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan

sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.

Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis

pendidikan bagi Anak

1

Page 2: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

Umumnya guru memiliki catatan atau rekaman tentang perkembangan masing-

masing siswa, bagaimana kondisinya dan kebutuhan pendidikan apa yang diperlukan,

terlebih untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Untuk mengenali anak-anak berkebutuhan khusus dapat dimulai dengan

melakukan identifikasi. Identifikasi dalam pengertian ini, dimaksudkan adalah usaha

untuk mengenali atau menemukan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan ciri-ciri

yang ada. Dalam kamus kontemporer dijelaskan bahwa yang dimaksud identifikasi

adalah pengenalan, penyamaan, dan tanda bukti pengenal, menemukenali anak-anak

berkebutuhan khusus sudah barang tentu membutuhkan perhatian serius. Ada anak-

anak dengan mudah dapat dikenali sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi ada juga

yang membutuhkan pendekatan dan peralatan khusus untuk menentukan, bahwa anak

tersebut tergolong anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang mengalami kelainan

fisik misalnya, dapat dikenali dengan keberadaannya, sebaliknya untuk anak-anak

yang mengalami kelainan dalam segi intelektual maupun emosional memerlukan

instrument dan alasan yang rasional untuk dapat menentukan keberadaanya.1

1.2. Analisis Stuasi

Anak berkebutuhan khusus mempunyai ciri yang perlu dikenal dan

diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya karena membutuhkan pelayanan

pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan

medik, latihan-latihan terapetik, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan

untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.

Prevalensi anak berkebutuhan khusus semakin hari semakin meningkat. Data

yang didapatkan dari SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh. Jumlah Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) khususnya di Yayasan BUKESRA Ulee kareng Banda

Aceh, sejumlah 57 Orang, dari 57 orang tersebut terdiri dari , tunagrahita, tuna netra,

1 http://wahyupgsd10.blogspot.com/2013/07/layanan-pendidikan-anak-berkebutuhan.html

2

Page 3: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

tuna rungu, dan tuna daksa termasuk cacat bawaan lahir, contohnya seper lahir dengan

tampa kaki sebelah dan kaki pendek sebelah.

Di luar data tersebut tentu masih banyak anak berkebutuhan khusus yang

belum teridentifikasi dengan jelas jenis kelainan dan belum mendapatkan layanan

yang sesuai dengan kebutuhan anak. Terbatasnya pengetahuan masyarakat mengenai

anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu penyebab permasalahan tersebut. Oleh

karena itu, perlu adanya sosialisasi serta identifikasi anak berkebutuhan khusus di

masyarakat maupun sekolah umum.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang muncul adalah :

a. Apa itu ABK ( Anak berkebutuhan Khusus) ?

b. Apa pengertian dan pembagian Tunagrahita ?

c. Bagaimana keadaan dan pendidikan anak berkebutuhan khusus pada SLB-AB

BUKESRA Ulee kareng Banda Aceh Khususnya bagi anak tuna Grahita?

1.3. Tujuan Identifikasi

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan identifikasi terhadap anak

ABK di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh adalah:

a. Mengetahui pengertian ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

b. Mengetahui pengertian Tunagrahita dan pembagiannya

c. Mengetahui bagaimana cara mendidik anak yang menderita tunagrahita ringan

pada SD-LB Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh

3

Page 4: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Pengetian Pendidikan ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus)

Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis

pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1)

UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan

pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan

Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki

kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan

pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan

Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang

pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.

Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di

Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu,

SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk

tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

Seharusnya Pemerintah dapat memberikan perlakuan yang sama kepada Anak

Indonesia tanpa diskriminasi, kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA

Negeri untuk anak bukan ABK, maka juga harus berani mendirikan SD-LB Negeri,

SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi

Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berani mendirikan

4

Page 5: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

SLB-AB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri

sebagai satuan pendidikan formal.

2.2. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan

(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social,

emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-

anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus

yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada

ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain:

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak

berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan

hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang

disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra

mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu

berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.2

Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan

tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak

memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan

kebutuhan khusus.3

Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, tetapi khusus

untuk keperluan pendidikan inklusi, anak dengan kebutuhan khusus akan

dikelompokkan menjadi 9 jenis. Berdasarkan berbagai studi, ke 9 jenis ini paling

2 http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus3 http://nanaplb11.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-jenis-jenis-abk.html

5

Page 6: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

sering dijumpai di sekolah-sekolah reguler. Jika di luar 9 jenis tersebut masih dijumpai

di sekolah, maka guru dapat bekerjasama dengan pihak lain yang relevan untuk

menanganinya, seperti anak-anak autis, anak korban narkoba, anak yang memiliki

penyakit kronis, dan lain-lain.

Namun anak yang Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk

menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan

khusus yang memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan yang lainnya (Delphie,

2006:1).

ABK terdiri atas beberapa kategori. Kategori cacat A (tunanetra) ialah anak

dengan gangguan penglihatan, kategori cacat B (tunawicara dan tunarungu) ialah anak

dengan gangguan bicara dan gangguan pendengaran. Kategori ini dijadikan satu

karena biasanya antara gangguan bicara dan gangguan pendengaran terjadi dalam satu

keadaan, kategori cacat C (tunagrahita) ialah anak dengan gangguan intelegensi

rendah atau perkembangan kecerdasan yang terganggu, kategori cacat D (tunadaksa)

ialah anak dengan gangguan pada tulang dan otot yang mengakibatkan terganggunya

fungsi motorik, kategori cacat tunalaras ialah anak dengan gangguan tingkah laku

sosial yang menyimpang, kategori anak berbakat ialah anak dengan keunggulan dan

kemampuan berlebih (IQ tinggi), dan kategori anak berkesulitan belajar ialah anak

dengan ketidakberfungsian otak minimal (Somantri, 2006:65-193).

Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus,

seperti disability, impairment, dan Handicap. Menurut World Health Organization

(WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:

1. Disability : keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari

impairment) untuk menamilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih

dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu.

6

Page 7: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

2. Impairment: kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau

struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.

3. Handicap : Ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari impairment

atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang

normal pada individu.

Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus

yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada

ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

2.3. Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita merupakan asal dari kata tuna yang berarti “merugi” sedangkan

grahita yang berarti “pikiran”. Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental

(Mental Retardation) yang artinya terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki

istilah- istilah sebagai berikut :

1. Lemah fikiran (feeble minded)

2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)

3. Bodoh atau dungu (idiot)

4. Cacat mental

5. Mental Subnormal, dll.

Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi

dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency

mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya

di bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan

mengalami kesulitan dalam “Adaptive Behavior” atau penyesuaian perilaku. Hal ini

berarti anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran

(standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga

7

Page 8: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan

kelompok usia sebaya.

Anak- anak yang sulit berkomunikasi tidak selamanya itu adalah anak

tunagrahita. Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara

autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang

diberikan pun harus berbeda. Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami

gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris,

pola bermain, dan emosi 4. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak

sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa- biasa saja. Survei

menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke

atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang. Adapun tunagrahita

adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah

rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan

tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak

sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika

dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.

Anak tunagrahita kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat

abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau

tidak berhasil bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-

lamanya dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya. Lebih-

lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan

symbol-simbol berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga

mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pendapat diatas sejalan dengan definisi yang ditetapkan AAMD yang dikutip

oleh Grossman (Kirk & Gallagher, 1986:116), yang artinya bahwa ketunagrahitaan

4 http://annesdecha.blogspot.com/2010/03/pengertian-tunagrahita.html

8

Page 9: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

mengacu pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama

kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :

1. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa

dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.

2. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa

perkembangan

3. Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan social

4. Mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga

menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi

5. Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami

kesulitan dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception) dan

suara (audiotary perception)

6. Keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita

menyebabkan mereka tidak dapat berperilaku sesuai dengan usianya.

Tunagrahita/Cacat Ganda adalah kelainan dalam pertumbuhan dan

perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi / dalam

kandungan atau masa bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik

biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan ciri-

ciri dan klasifikasi sebagai berikut.5

Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang

mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Somantri,2006:103). Istilah

lain untuk siswa (anak) tunagrahita dengan sebutan anak dengan hendaya

perkembangan. Diambil dari kata Children with developmental impairment. Kata

impairment diartika sebagai hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya

5 http://made688.wordpress.com/pengertian-tuna-grahita/

9

Page 10: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

kemampauan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas (American Heritage

Dictionary,1982: 644; Maslim.R.,2000:119 dalam Delphie:2006:113).

10

Page 11: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

BAB III

METODE IDENTIFIKASI

3.1. Ruang Lingkup

Identifikasi yang dilakukan untuk mengetahui bagai pendidikan, keadaan dan

perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng

Banda Aceh, yang khususnya penulis teliti pada anak yang mengalami/ menderita

Tunagrahita Ringan, berorientasi pada ciri-ciri atau karakteristik ada pada sesorang

anak, yang mencakup kondisi fisik, kemampuan intelektual, komunikasi, maupun

sosial emosional.

1. Kondisi fisik, ini mencakup keberadaan kondisi fisik secara umum (anggota

tubuh) dan kondisi indera seorang anak, baik secara organic maupun

fungsional, dalam artian apakah kondisi yang ada mempengaruhi fungsinya

atau tidak, misalnya apakah ada kelainan mata yang mempengaruhi fungsi

penglihatan. Ini juga mencakup mekanisme gerak-gerak motorik seperti

berjalan, duduk, menulis, menggambar atau yang lainnya.

2. Kemampuan intelektual, dalam konteks ini adalah kemampuan anak untuk

melaksanakan tugas-tugas akademik di sekolah. Kesanggupan mengikuti

berbagai pelajaran akademik yang diberikan guru, seperti pelajaran bahasa dan

matematika (menghitung, membedakan bentuk, dsb).

3. Kemampuan komunikasi, kesanggupan seorang anak dalam memahami dan

mengekspresikan gagasannya dalam berinteraksi terhadap lingkungan

sekitarnya, baik secara lisan/ucapan maupun tulisan.

4. Sosial emosial, mencakup aktivitas sosial yang dilakukan seorang anak dalam

kegiatan interaksinya dengan teman-teman ataupun dengan gurunya serta

11

Page 12: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

perilaku yang ditampilkan dalam pergaulan kesehariannya, baik di lingkungan

sekolah maupun di lingkungan lainnya

3.2. Teknik Idektifikasi

Pada hakekatnya ada banyak metode atau teknik yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar pada

yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh. Beberapa teknik khusus akan sangat

diperlukan untuk menemukenali anakanak yang berkebutuhan khusus. Hal ini

diperlukan, mengingat adanya karakteristik atau ciri-ciri khusus yang ada pada

mereka, yang tidak dapat diidentifikasi secara umum.

Namun demikian, pada kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa teknik

identifikasi secara umum, yang memungkinkan bagi guru-guru untuk melakukannya

sendiri di sekolah, yaitu; observasi; wawancara; tes psikologi; dan tes buatan sendiri.

Secara lebih jelas keempat teknik tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Observasi,

Observasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk

melakukan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu dengan cara mengamati

kondisi atau keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas atau di

sekolah secara sistematis. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak

langsung. Secara langsung, dalam arti melakukan observasi secara. langsung terhadap

obyek atau siswa dalam lingkungan yang wajar, apa adanya dalam aktivitas

kesehariannya. Sedang observasi tidak langsung, dilakukan dengan menciptakan

kondisi yang diinginkan untuk diobservasi, misalnya anak diminta untuk melakukan

sesuatu, berbicara, menulis, membaca atau yang lainnya untuk selanjutnya diamati dan

dicatat hasilnya. Sebenarnya apabila dilihat dari kedudukan observer, observasi dapat

pula dilakukan secara partisipan dan nonpartisipan.

12

Page 13: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

Partisipan dalam artian apabila orang yang melakukan observasi turut

mengambil bagian pada situasi yang diobservasi. Sedang nonpartisipan, apabila orang

yang melakukan observasi berada di luar situasi yang sedang diobservasi, ini

dimaksudkan agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi anak yang diobservasi.

Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memperoleh data yang

lengkap, namun hal ini akan lebih baik dan lebih mudah dilakukan oleh guru-guru di

sekolah, dibandingkan dengan teknik lainnya. Melalui observasi ini pula akan

diperoleh data individu anak yang lebih lengkap dan utuh baik kondisi fisik maupun

psikologisnya. Guru di sekolah akan memiliki kesempatan yang luas untuk melakukan

observasi dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari.

Banyak gejala atau fenomena anak berkebutuhan khusus di sekolah yang dapat

diamati oleh guru, yang itu menunjukkan adanya perbedaan atau penyimpangan dari

anak-anak pada umumnya. Apabila guru saat observasi mendapati seorang anak yang

selalu mendekatkan matanya saat menulis atau membaca, maka dimungkinkan anak

tersebut mengalami kelainan fungsi penglihatan. Jika kelainan anak tersebut tidak

dapat dikoreksi dengan kacamata, maka dia termasuk pada anak yang berkebutuhan

khusus. Demikian juga misalnya ada anak-anak sulit berkonsentrasi, suka

mengganggu temannya, sering membolos, jarang mencatat, dan masih banyak lagi

yang bisa diobservasi dan mengindikasikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus.

Untuk mempermudah pelaksanaan observasi dalam upaya identifikasi anakanak

berkebutuhan khusus, guru dapat mempersiapkan lembar observasi sederhana yang

dapat dirancang dan dikembangkan berdasarkan karakteristik yang dimiliki anak-anak

berkebutuhan khusus.

13

Page 14: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

2. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi

mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus, dalam upaya melakukan

penelitian. Apabila data atau informasi yang diperoleh melalui observasi kurang

memadai, maka guru dapat melakukan wawancara terhadap siswa, orangtua, keluarga,

teman sepermainan, atau fihak-fihak lain yang dimungkinkan untuk dapat

memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan anak tersebut. Saudara dapat

menggunakan materi instrumen observasi sebagai panduan dalam melakukan

wawancara. Hal ini akan mempermudah bagi guru dalam menfokuskan informasi

yang ingin diperoleh. Kendati demikian, saudara juga dapat mengembangkan

instrumen sebagai panduan dalam wawancara sesuai dengan tujuan yang lebih spesisif

yang ingin diperoleh informasinya, yang mungkin dapat melengkapi data observasi.

3. Tes

Teknik lain yang dapat dilakukan dalam idenditikasi anak-anak berkebutuhan

khusus di sekolah dasar adalah melalui tes yang dibuat sendiri oleh guru. Tes

merupakan suatu cara untuk melakukan penilaian yang berupa suatu tugas atau

serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak, yang akan menghasilkan suatu

nilai tentang kemampuan atau perilaku anak yang bersangkutan.

Bentuk tes berupa suatu tugas yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau perintah-

perintah yang harus dikerjakan anak, untuk selanjutnya dinilai hasilnya. Di dalam

konteks ini, untuk identifikasi anak berkebutuhan khusus tes dapat dilakukan dalam

bentuk perbuatan ataupun tulisan. Dalam bentuk perbuatan, misalnya guru dapat

meminta siswa yang diduga mengalami kelainan tertentu untuk melakukan sesuatu

yang terkait dengan kemungkinan terjadinya kelainan. Misalnya, untuk anak yang

diduga mengalami kelainan pendengaran diminta untuk menyimak beberapa jenis

14

Page 15: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

suara, kemudian ditanyakan suara apa itu, dari mana datangnya suara, dan sebagainya.

Sedang tes tertulis dapat diberikan kepada siswa-siswa yang diduga mengalami

kelainan untuk menilai kemampuannya. Dalam hal ini, soal atau pertanyaan-

pertanyaan dapat dibuat secara sederhana, sesuai dengan kondisi dan perkembangan

anak. Apabila anak mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan

usianya, maka materi tugas yang diberikan ditingkatkan sesuai dengan usia di atasnya,

sebaliknya bila anak tidak mampu mengerjakan, maka materi tugas di turunkan di

bawah usia anak yang bersangkutan. Hal ini dilakukan secara sistematis dan

terstruktur.

Melalui tes ini guru akan memperoleh informasi pendukung dalam

menafsirkan keberadaan seorang anak, apakah berkebutuhan khusus atau tidak. Untuk

itu sangat penting bagi saudara untuk kembali memperhatikan karakteristik anak-anak

berkebutuhan khusus, yang telah dibahas pada unit sebelumnya. Dengan demikian

saudara mendapat kemudahan dalam menginterpretasikan seseorang anak yang

berkebutuhan khusus.

15

Page 16: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

BAB IV

HASIL IDENTIFIKASI DAN PEMBAHASAN

4.1. Sejarah Singkat SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh

SLB-AB Ulee Kareng adalah sebuah sekolah dasar dibawah pimpinan kepala

sekolah yang bernama Munawarman A.Ma, yang mana sekolah tersebut terletak desa

Doy, Ulee Kareng Banda Aceh. SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng merupakan salah

satu bagian dari Yayasan BUKESRA (Badan Usaha Kesejahteraan Para Cacat), yang

mana yayasan tersebut memiliki 3 tingkat sekolah, yaitu tingkat SD, SMP, dan SMA.

Yang mana ketiga-tiganya merupaka sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (ABK).

4.2. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Untuk Anak Yang Mengalami

Tunagrahita di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh

Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual tidak statis. Kelompok tertentu,

termasuk beberapa dari down syndrome, memiliki kelainan fisik dibanding teman-

temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan,

terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita

16

Page 17: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

terdeteksi setelah masuk sekolah. Tes IQ mungkin dapat dijadikan indicator dari

kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya

tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan social

sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.

Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan

Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis.

Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat

merugikan anak karena dalam prakteknya seorang guru yang mengajar di SLB-AB

juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama

antara kepada siswa SLB-AB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran

juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan

karakteristik rentang usia.

Pada SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh para guru pendidik

sebagian besarnya merupakan guru honorer, sangat sedikit diantara para pendidiknya

tersebut merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditugaskan di SLB-AB

Tersebut. Tertapi walaupun kebanyakan dari para pendidik atau guru merupakan

honorer, mereka sangat membantu dalam mendidik para ABK untuk menjadikan

mereka seperti yang kita inginkan.

Tidak sedikit dari para ABK yang telah di didik memiki bakat yang sangat

menonjol, seperti, main gitar, bermain piano, sulam, dan lain sebagainya, diantara

mereka ada yang sangat berbakat dalam hal tersebut, contohnya seperti anak yang

mengalami tuna netra, ada diantara mereka yang sangat ahli dalam bermain piano

layaknya seperti orang yang normal, bahkan bisa dikatakan lebih berbakat mereka

yang mengalami cacat dibandingkan yang normal lainnya.

17

Page 18: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

Lain hal pada anak yang mengalami Tunagrahita , mereka didik dengan penuh

kesabaran sehingga emosi dan daya pikir mereka lebih berkembang. Kebiasaan anak

yang mengalami Tunagrahita sangat susah untuk dididik. Dikarenakan emosional

yang tidak stabil menjadi kendala utama dalam pendidikannya. Akan tetapi di SLB-

AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh pendidikan anak tunagrahita dikhususkan

dalam satu kelas yang berjumlah 7 orang siswa. Sehingga guru lebih mudah dalam

mendidiknya dikarenakan jumlah siswa yang akan dibimbingnya lebih sedikit.6

6 Hasil wawancara dengan salah satu wali murid SLB-AB Bukesra Ulee Kareng

18

Page 19: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

4.3. Daftar Kasus (Objek Penelitian)

Anak yang menderita tunagrahita di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda

Aceh, ia mempunya kelebihan tersendirinya. “Mungkin Tuhan mempunyai tujuan

sehingga Ia menkaruniakan anak seperti Putri kepada saya” . kata seorang juru masak

di Yayasan BUKESRA Ulee kareng kepada penulis, beliau adalah seorang ibu dari 3

orang anak, yang salah satu anaknya menderi tunagrahita ringan, yang mana anak

tersebut bernama Putri, dan 2 dari 3 anak ibu tersebut normal seperti yang lainnya.

Pada identifikasi ini penulis mengambil salah satu sample pada anak yang

belajar dan diasuh di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh, yang mana

biodata anak tersebut adalah sebagai berikut :

Nama : Putri Amelia

TTL : Lhoekseumawe , 29 Agustus 2003

Jenis kelamin : Perempuan

Agama :Islam

Anak ke : Pertama

Alamat : Yayasan BUKESRA

Kelas : 1 SD

Nama Ayah : M. Amin

Pekerjaan Ayah : Swasta

No hp : 085360411824

Nama Ibu : Eliani

Pekerjaan Ibu : Juru masak di Yayasan BUKESRA Ulee Kareng

Ket : Menderita tunagrahita ringan

19

Page 20: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

Adapun ciri-ciri Putri adalah sebagai berikut :

Tinggi : 140 CM

Berat badan : 35 Kg

Kulit : Sawo Matang

Rambut : Lurus

Kelainan dari Putri adalah :

- Suka menangis pada hal yang tidak jelas

- Suka diam

- Suka menyendiri

4.4. Penanganan Tunagrahita di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda

Aceh

Penyandang tunagrahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai

kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu, adakalanya

cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut cacat ganda Misalnya,

cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan

(cacat pada mata), ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran. Adanya

cacat lain yang dimiliki selain cacat intelegensi inilah yang menciptakan istilah lain

untuk anak tunagrahita yakni cacat ganda. Penanganan pada setiap ABK memiliki

cara tersendiri.Mulai dari segi akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya

disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental mereka.

Penanganan tunagrahita di yayasan Bukesra Ulee Kareng Banda Aceh sudah

mengahasilkan hasil yang bisa dikatakan dengan memuaskan, banyak anak yang

sudah bisa hidup mandiri berkat penangan para pendidik di SLB-AB tersebut. Salah

satunya seperti Putri, menurut penjelasan dari ibunya Putri, sebelumnya Putri

disekolahkan di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng sangat susah untuk diatur,

20

Page 21: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

emosinya sangat susah untuk ditangani, kadang kala ia menangis tampa sebab dan

juga sering mengangu temannya, seperti mengambil mainnan anak lainnya yang

bermain dikalangan rumah Putri ataupun yang melewari rumahnya. Tetapi berkat

penangan para pendidik di yayasan BUKESRA Ulee Kareng Banda aceh, Putri

menjadi anak yang mudah diatur dan hampir seperti anak normal lainnya.

Dalam hal belajar putri hampir mengenal semua huruf abjad termasuk juga

huruf Hijayyah. Menurut penjelasan dari ibu Putri, Putri sering mengalah dengan

adiknya yang berisia 2,5 tahun, putri mengerti bahwa adiknya masih kecil dan

biasanya putri sering menjaga adiknya ketika ibunya memasak untuk anak yang

tinggal di yayasan BUKESRA tersebut.

4.5. Klasifikasi Kecacatan Anak Menderita Tunagrahita SLB-AB BUKESRA

Ulee Kareng Banda Aceh

Di SLB-AB BUKESRA Ulee Kareng Banda Aceh Pegadungan jenis kecacatan

penyandang cacat grahita / cacat ganda terlantar dikelompokkan menjadi :

1. Debil, yaitu retardasi mental ringan.Penyandang cacat yang termasuk dalam

kelompok ini dapat dilatih dan dididik.

2. Embisil, yaitu retardasi mental sedang. Penyandang cacat yang termasuk dalam

kelompok ini mampu latih.

3. Idiot, yaitu retardasi mental berat. Penyandang cacat yang termasuk dalam

kelompok ini tidak dapat dilatih atau dididik karena tingkat kecerdasan (IQ)

sangat rendah, sehingga hanya mampu rawat.

4.6. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)

Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas.

Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai.

Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang

21

Page 22: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki

kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga

setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan

sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak

berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan

pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-

masing anak secara individual.

Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi

dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra

(temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak

yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh

faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena

trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman

traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh

intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini

memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang

disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di

sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai

kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan

pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.

Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan

dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa:

Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama

22

Page 23: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi

seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca

permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai

anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia

memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus).

Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang

tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak

yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat

internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang

kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan

dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan

emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang

bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.

Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari

anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang

luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan

khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak

berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang

cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak

berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan

pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan

pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

23

Page 24: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

Bagan Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus

4.7. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan ABK

Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan

karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan

layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu

dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang

seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang

didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra)

diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label

kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas

kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.

Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih

banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan

label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak

24

Page 25: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek

lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis

menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka

semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama

berdasarkan label dan karakteristiknya.

Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education),

anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang

bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk

hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and

development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul

dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar,

hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai

akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan

mengunakan asesmen.

Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan

belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan

dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan

khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan

dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan

khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-

kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai

akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang

disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).

Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-

faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan,

25

Page 26: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena

lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan

kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan

Pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan

belajar dan hambatan perkembangan. Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga

sangat penting untuk dipertimbang- kan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti

rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial,

kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan

kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan

memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang

diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar

dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang

luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap

individu anak.

Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting

untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada

setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami

hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus

menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-

kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat

dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.

4.8. Sebab-Sebab Timbulnya Kebutuhan Khusus

Terdapat tiga faktor yang dapat diidentifikasi tentang sebab musabab

timbulnya kebutuhan khusus pada seorang anak yaitu: 1) Faktor internal pada diri

26

Page 27: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

anak, 2) Faktor ekternal dari lingkungan dan, 3) Kombinasi dari factor internal dan

eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah kondisi yang dimiliki oleh anak yang

bersangkutan. Sebagai contoh seorang anak memiliki kebutuhan khusus dalam belajar

karena ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak mengalami

kesulitan untuk begerak. Keadaan seperti itu berada pada diri anak yang bersangkutan

secara internal. Dengan kata lain hambatan yang dialami berada di dalam diri anak

yang bersangkutan.

2. Faktor Ekternal

Faktor eksternal adalah Sesuatu yang berada di luar diri anak mengakibatkan

anak menjadi memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sehingga

mereka memiliki kebutuhan layanan khusus dalam pendidikan. Sebagai contoh

seorang anak yang mengalami kekerasan di rumah tangga dalam jangka panjang

mengakibatkan anak teresbut kehilangan konsentrasi, menarik diri dan ketakutan.

Akibantnya anak tidak tidak dapat belajar.

Contoh lain, anak yang mengalai trauma berat karena bencana alam atau

konflik sosial/perang. Anak ini menjadi sangat ketakutan kalau bertemu dengan

orang yang belum dikenal, ketakutan jika mendengar gemuruh air yang diasosiasikan

dengan banjir besar yang pernah dialaminya. Keadaan seperti ini

menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam belajar, dan memerlukan

layanan khusus dalam pendidikan.

27

Page 28: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual tidak statis. Kelompok tertentu,

termasuk beberapa dari down syndrome, memiliki kelainan fisik dibanding teman-

temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan,

terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita

terdeteksi setelah masuk sekolah. Tes IQ mungkin dapat dijadikan indicator dari

kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya

tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan social

sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.

Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan

Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis.

Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat

merugikan anak karena dalam prakteknya seorang guru yang mengajar di SLB-AB

juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang diberikan kadang sama

antara kepada siswa SLB-AB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas materi pelajaran

juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai perbedaan

karakteristik rentang usia.

5.2. Saran

Kepada guru atau pedidik khususnya untuk guru-guru yang mengajar di

sekolah Luar Biasa. Agar sudi kiranya lebih memahami cara mendidik dengan baik

sehingga menghasilkan hasil didik yang lebih optimal. Dikarena mendidik anak yang

berkebutuhan khusus (ABK) lebih susah dibandingkan mendidik anak yang normal

umumnya.

28

Page 29: Pendidikan ABK di Slb-AB Bukesra Ulee Kareng

DAFTAR PUSTAKA

Blackhurst, A. E & Berdine, HW (1981), An Intruduction to Special Education,

Boston: Little, Brown & Co.

Debaryshe, BD &Fryxell, D (1988), A Developmental Perspective on Anger: Family

and Peer Contexts, Journal Psychology in Schools, Voume 35, No 3.

Freeman, RD (1984), Can’t Your Child Hear? A Guide For Those Who Care About

Deaf Children, Baltimore: University Park Press.

Hallahan, DP & Kauffman, JM (1988), Exceptional Children, Introduction to Spesial

education, 4 th edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Hardman, ML, et .al (1990), Human Exceptionality, Boston: Allyn and Bacon, Inc.

IGAK Wardani, dkk (2002), Pengantar Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Pusat

Penerbitan Universitas Terbuka.

Johnson, BH & Skjorten, D Miriam (2004), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah

Pengantar, terjemahan, Bandung: Program Pascasarjana UPI

Kirk, Samuel A & Gallagher (1986), Educating Exceptional Children, Boston:

Houghton Mifflin company.

Learner, JW (1985) Learning Disabilities, Theories, Diagnosis, and Teaching

Strategies, 4 th edition, Boston: Houghton Mifflin Company.

Mercer, D Cecil & Mercer, R Ann (1989), Teaching Student with Learning Problems,

Columbus: Merrill Publishing Company A Bell & Howel Information

Company.

Moh Amin (1985), Ortopedagogik Anak Tunagrahita, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Polloway, EA & Patto, JR (1993), Strategies For Teachi

29