penatalaksanaan sepsis um

Upload: ridho-kurnia

Post on 08-Jul-2015

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2007 PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM

PANEL AHLI Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta TIM TEKNIS Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota dr. N. Soebijanto, SpPD Anggota dr. Suginarti, M.Kes Anggota dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota dr. Melani Marissa Anggota dr. Titiek Resmisari Anggota dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1 Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world s mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terja di karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5 Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode JanuariSeptember 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%.8 Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendoro ng terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain. berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan

kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain.9 Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10 1.2. Permasalahan Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi. Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singka t. Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibioti k spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsi s neonatorum. Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena i tu, pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, bai k antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sak it menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi nosokomial.8,11 Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa

kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan dan kerugiannya. Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di Indonesia. Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui da n dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kond isi Indonesia. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidencebased medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan sepsis neonatorum. 2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.

BAB II METODOLOGI PENILAIAN 2.1. Strategi penelusuran kepustakaan Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Jou rnal of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-200 6) serta World Health Organization tentang Neonatal Problems tahun 2003. Kata kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in newborn, SGB (Group B Streptococcus). 2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai de ngan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research. Tingkat pembuktian (Level of evidence) Ia. Meta-analisis randomized controlled trials. Ib. Minimal satu randomized controlled trials. IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials. IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol. IIIa. Studi cross-sectional. IIIb. Seri kasus dan laporan kasus. IV. Konsensus dan pendapat ahli. Tingkat rekomendasi A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib. B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb. C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.

BAB III SEPSIS NEONATORUM 3.1. Definisi Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok sept ik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16 3.2. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5 Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19 Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20, 21 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizont al. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi20

Dini Lambat Awitan Sumber infeksi 72 jam Lingkungan (nosokomial)

Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6. Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi ti dak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingku ngan sekitar (SAL).9 3.3. Etiologi Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini , kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum.23 Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 199 9 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram nega tif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24 Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobac ter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26 Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu 26

1975-1980 1985-1990 1995-2003 RSCM/FKUI (Monintja, 1981; Amir Aminullah 1993, I 2003) Amerika Serikat (Texas Univ.; CDC Atlanta) (Shattuck 1992; Schuchat 1997) Inggris (Health PT 2003) Salmonella sp Klebsiella sp Group B Strep. E. coli Listeria sp Pseudomonas sp Klebsiella sp E. coli Group B Strep. Listeria sp Enterovirus Group B Strep. E. coli Listeria sp Enterovirus Acinetobacter sp Enterobacter sp Pseudomonas sp Serratia sp E. coli Group B Strep Listeria sp Strep. Pneumoniae Group B Strep Listeria sp E. coli Enterovirus

Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2 004 Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Lister ia monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagula senegative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Kolo nikoloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva , dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang invasif.4 Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dar i survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000 terhadap 5447 pasien BBLR (BL60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi O2 Suhu tubuh tidak stabil (37.5C) Waktu pengisian kapiler > 3 detik Hitung leukosit 34000x109/L CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8 >70pg/ml 16 S rRNA gene PCR : Positif . FIRS/ SIRS Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam Tabel 5. . SEPSIS Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal . SEPSIS BERAT Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat inotropik

. SYOK SEPTIK

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal . SINDROM DISFUNGSI MULTIORGAN

. KEMATIAN

Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9 Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5 dan 6).29 Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven).30 Tabel 5. Kriteria SIRS 29 Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per menit Laju napas per menit Jumlah leukosit X 103/mm3 Usia 0-7 hari >38,5C atau 180 atau 50 >34 Usia 7-30 hari >38,5C atau 180 atau 40 >19,5 atau 60 atau 37.7C or 60 breaths/min. .Severe chest indrawing .Nasal flaring .Grunting .Reduced movements .Crepitations .Lethargic or unconscious .Convulsions .Bulging fontanelle .Cyanosis .Reduced digital capillary refill time .Pus draining from the ear .Redness around umbilicus extending to the skinSumber: VergnanoS et al. Neonatal sepsis: an international perspectiveNON SPECIFIC

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang 3.6.3.1 Laboratorium 3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman A. Kultur Darah . Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58 Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masingmasing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. . Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas. Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml dengan hitung koloni 38. Korioamnionitis Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit Ketuban berbau

Risiko minor 1. 2. C 3. 4. 5. 6. 7. 8. Ketuban pecah > 12 jam Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 ) Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram. Usia gestasi < 37 minggu. Kehamilan ganda. Keputihan pada ibu. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.

Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90 Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebi h efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76 Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjut nya dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar ata u sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan diagnosis sepsis awitan lambat.77 Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal77 Penemuan Skor Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem per nafasan, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit). Jumlah leukosit total 25 mg/100 mL) Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78 Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79 Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neon atorum awitan dini dan lambat80 Penemuan Skor Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat. Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun. Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) = 0,3 Jumlah imatur PMN meningkat. Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (=5000/mm3 atau =25.000, 30.000, da n 21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari). Terdapat perubahan degeneratif pada PMN =3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan badan Dohle. Jumlah trombosit =150.000 / mm3. 1 1 1 1 1 1 1

Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7 Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor =3 maka sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79 Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang menunjang sistem skoring tersebut.79

Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesu ai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfus i jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16 Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16 Variabel Klinik . Suhu tubuh tidak stabil . Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit . Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen . Letargi . Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L ) . Intoleransi minum Variabel Hemodinamik . TD < 2 SD menurut usia bayi . TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari ) . TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan ) Variabel Perfusi Jaringan . Pengisian kembali kapiler > 3 detik . Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel Inflamasi . Leukositosis ( > 34000x109/L ) . Leukopenia ( < 5000 x 109/L ) . Neutrofil muda > 10% . Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2 . Trombositopenia 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal . Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal . IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL . 16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9 3.7. Penatalaksanaan Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut sege ra diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suport if (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut bel um terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intraveno us

immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan.5 3.7.1 Pemberian antibiotik Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan kematian.17,80 Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setel ah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuai kan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibi otik harus dihentikan.187 Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dal am pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neona tal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52 Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu, mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19 ,82 Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif sepe rti Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococ cus aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53, 83 Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kir a 50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilintazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul (kira-kira 20%).53 Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan

Enterobacter sp.84 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai angka prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp. menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FK UIRSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua (sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini k etiga (imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococc us sp. masih sensitif terhadap amikasin.82 Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut. 86 Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53 Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87 Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak e fektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu bera rti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi koloni sasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, t etapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87

3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria monocytogenes.18 Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.18,22 Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.18 3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobrami sin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain.18 Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon d an seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih akt if terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.18 Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsi s karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida. Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin genera si ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibi otik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) d an aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin re sisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18 Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendakny a disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik. 3.7.2 Terapi suportif (adjuvant) Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi , gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain. 3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG) Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk. melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92 Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT) didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga

terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis, angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang a da belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setel ah pemberian IVIG poliklonal.94 Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96 3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GMCSF) Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GMCSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktiv itas kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis neonatorum.99 Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat.100 Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.100,101 Oleh karena itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klin ik menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90 Dari Cochrane review disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95 Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tin ggi.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanju t dan membutuhkan biaya yang mahal.89 3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT) Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial, sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan. Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.102,103,104,105 Tujuan T T pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki keadaan umum pasien.88,102,104 Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya sert a jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distre s pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersamasama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien ) dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleedin g diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh dara h kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.106 TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival da ri beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan

juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.107 Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT108 Peneliti Survival (n) (%) Dilakukan TT Tidak dilakukan TT Prodhom et al, 1974 7/8 (88) 0/8(0) Tollner et al, 1977 10/10 (100) 5/10(50) Pearse et al, 1978 13/19(68) 7/17(41) Belohradsky et al, 1978 37/74 (50) 60/132 (45) Countney et al, 1979 23/34 (68) 4/14 (29) Lemos, 1981 8/8 (100) 0/14 (0) Bassi et al, 1981 12/22 (55) 7/13 (54) Narayanan et al, 1984 8/20 (40) 2/20 (10)

Xanthou et al, 1985 25/44 (57) 18/62 Gross et al, 1987 7/11 (64) 8/11 (73) Total 150/250 (60) 111/311 (35.69)

Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002 3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena (Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam menghindarkan efek samping pemberian FFP.97 3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane

review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.108 3.7.2.6 Pemberian Melatonin Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi se psis neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari. Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontr ol. Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sam pel yang lebih besar.109 3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic inflammatory response syndrome" (SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut sebelumnya. Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi. Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan risiko, dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis banyak dilakukan untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara adalah dengan menurunkan aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-a. Dalam suatu stu di eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF-a dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan terhadap aktivitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1 ra) ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakteremia dan endotoksemia.13,110,111 Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa pengurangan tingkat sirkulasi TNF-a dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah perkembangan kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan penggunaan terapi antisitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok septik pada pasien sepsis. Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF-a p ada penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini

dapat dilakukan pada pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana pasien akan menjadi lebih optimal.25 3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi unt uk mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang sangat dominan sebagai antiinflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai bahaya yang menyertainya.112 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.113 Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikost eroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,114 Sebuah meta-analisis memperkua t hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan. 115 3.7.2.9 Dukungan Nutrisi Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energ i meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase ak ut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pad a keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pa da bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/ hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan un tuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enter al diberikan setelah bayi lebih stabil.116

3.8. Pencegahan dan Penanggulangan Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat dilakukan pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan postpartum. Intervensi pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 15.117 Tabel 15. Evidence of efficacy for interventions at different time periods 118 Intrapartum Amount of evidence Reduction (%)in all-cause neonatal mortality or morbidity/major risk factor if specified (effect range) Antibiotics for preterm premature rupture of membranes Corticosteroids for preterm labour Detection and management of breech (caesarian section) Labour surveillance (including partograph) for early diagnosis of complications Clean delivery practices IV IV IV IV IV Incidence of infections: 32%(13 .47%) 40%(25 .52%) Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%) Early neonatal death: 40% 58 .78% Incidence of neonatal tetanus:55 .99% Postpartum Amount of evidence

Resuscitation of newborn baby Breastfeeding Prevention and management of

hypothermia Kangaroo mother care (low birthweight infants in health facilities) Community-based IV V IV IV V 6 .42% 55 .87% 18 .42% Incidence of infections:51% (7.75%) 27%(18 .35%)

pneumonia case management

Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005 3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dap at menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilak sis. Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.118 3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : . Pemantauan yang berkelanjutan . Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien . Bentuk ruang perawatan . Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai . Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan . Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral . Pemakaian kateter vena sentral yang minimal . Pemakaian antibiotik yang rasional . Program pendidikan . Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.119 3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak dilakukan lagi. Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor i

bu

dan bayi. Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat 1500 g - Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III . Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) : - Level IIIA Level II + ventilasi mekanik - Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor - Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula, esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll) - Level IIID Tindakan bedah lanjut bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341 7 Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut : . Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan yang terbuka ke daerah luar. . Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki sekali pakai untuk cuci tangan yang benar . Menghindari terlalu banyak orang di ruang . jalan dan tidak ada jendela wastafel dengan kran yang dan sabun cair serta handuk sebelum masuk ruang bayi. bayi.

Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.

. Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus ada di dekat pintu masuk. . Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor. . Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi. Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi. . Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh dengan larutan hipoklorida 10%. . Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap inkubator. . Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator. . Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga inkubator. . Permukaan di ruang bayi harus dibersihkan dengan seksama sedikitnya sekali seminggu. . Pemisahan limbah dibagi atas : a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning) Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan tubuh. b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam) Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus, kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien. c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning) Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset, sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam. . Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary sewer dan digelontor dengan air. . Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan dan air. 3.8.2.6. Petugas Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada bayi dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. Th e

American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah

Tabel 20. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan 133 Level Neonatal Unit Jumlah Perawat Unit perawatan bayi normal (Level1) 1 perawat per 6-8 neonatus Unit Perawatan Transisi (Level II) 1 perawat per 3-4 neonatus Unit Perawatan Intensif (Level III) 1 perawat per 1-2 neonatus

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341 7 3.9. Komplikasi Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:5,133,134 . Meningitis . Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular. . Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS). . Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal. . Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental . Kematian 3.10. Prognosis Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2 4 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %).5,135

BAB IV DISKUSI Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum. Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai kea daan lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Oleh karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis secara dini dengan membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini, banyak sekali ditemukan berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di berbagai sarana kesehatan. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.77 Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko 77 Risiko mayor 6. Ketuban pecah > 24 jam 7. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38. C 8. Korioamnionitis 9. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit 10. Ketuban berbau Risiko minor 9. Ketuban pecah > 12 jam 10. Ibu demam; saat intrapartum suhu C 11. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 12. Bayi berat lahir sangat rendah ( 13. Usia gestasi < 37 minggu. 14. Kehamilan ganda. 15. Keputihan pada ibu. 16. Ibu dengan infeksi saluran kemih > 37,5. 5 , menit ke-5< 7 ) BBLSR ) < 1500 gram.

(ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.

Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90 Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesu ai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfus i jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16 Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16 Variabel Klinik . Suhu tubuh tidak stabil . Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit . Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen . Letargi . Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L ) . Intoleransi minum Variabel Hemodinamik . TD < 2 SD menurut usia bayi . TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari ) . TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan ) Variabel Perfusi Jaringan . Pengisian kembali kapiler > 3 detik . Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel Inflamasi . Leukositosis ( > 34000x109/L ) . Leukopenia ( < 5000 x 109/L ) . Neutrofil muda > 10% . Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2 . Trombositopenia 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal . Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal . IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL . 16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9 Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun anta r negara. Menurut survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000, pada SAD ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Grampositif (70,2%). Bakteri Gramnegatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP, Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 21. Pada dasarnya, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu : . Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP. . Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator. Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masingmasing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan. Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resiste nsi dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang jelas berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut . Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit lainnya di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri Gramnegatif tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak tela h terjadi peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter, kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur penggunaan antibiotik, sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap pelayanan persalinan. Di lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang t elah resisten terhadap antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan, peningkatan mortalitas, serta semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: . Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. . Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB). . Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

. Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda. 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan. Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. 4. Farmakokinetik antibiotik. 5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan t erapi antibiotik terdahulu). Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik: 1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai sebelum memulai terapi antibiotik. 2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin (piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin). 3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim, seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem). 4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi penggunaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk pengobatan empirik. 5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi. 6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis. 7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman dan tepat. 8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama. 9. Obati sepsis bukan kolonisasi. 10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan. Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dam pak positif antara lain :

. Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.95,96,97,108,109

Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya di luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan manfaatnya. Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat (SAL). . Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%.119 . Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : 1. Pemantauan yang berkelanjutan 2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien 3. Bentuk ruang perawatan 4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai 5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan 6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral 7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal 8. Pemakaian antibiotik yang rasional 9. Program pendidikan 10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120

Tabel 21. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum Pemeriksaan Penunjang Overview Sensitivitas Spesifisitas Possitive predictive value Negative predictive value Kelebihan Kekurangan Kultur darah 28,59,60 dapat dilakukan pada SAD maupun SAL

. standar baku emas . hasil baru dapat dilihat 48-72 jam . cara pengambilan spesimen khusus . jumlah darah yang diambil cukup banyak (1cc) . hasil positif palsu: kontaminasi dalam pengambilan

sampel . hasil negatif palsu: sampel terlalu sedikit Kultur urin 5,22,61 bila dicurigai terdapat infeksi saluran kemih

. cara pengambilan spesimen

khusus, yaitu: kateterisasi steril/ aspirasi suprapubik . dilakukan pada anak yang lebih besar . memberikan hasil yang lebih baik pada SAL Pewarnaan Gram62 membedakan kuman Gramnegatif atau positif

. dapat digunakan pada fasilitas lab yang terbatas . bermanfaat pada awal pengobatan

. terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus

Hitung trombosit 5

.

dapat mendeteksi dalam 2-3 hari pertama kehidupan. . mudah dilakukan . biaya murah

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit 5

. mudah dilakukan . biaya murah . pemeriksaan tidak spesifik

IT ratio menghitung rasio neutrofil imatur dan neutrofil total 60-90%

D-dimer 64,65,66,67,68 hasil pemecahan cross-linked fibrin

. tidak spesifik untuk sepsis CRP 72 protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan 60% 78,94% 48,77% 66,66% 99,7% (serial pada SAD)

98,7% (serial pada SAL) . biaya murah . tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis Procalcitonin Merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa, merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yg dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. 92,6% (SAD) 100% (SAL) 97,5% (SAD) 100% (SAL)

. bereaksi lebih cepat daripada CRP . biaya mahal Interleukin IL6, IL8

petanda infeksi yang

100%

. tidak direkomendasikan sebagai

disintesis oleh sel monosit, endotel dan imunitas

indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis PCR

96% 94% 88,9% 99,8% . mampu memberi-kan informasi jenis kuman secara cepat . dapat mendeteksi infeksi jamur invasif . hanya dapat dilakukan di RS Rujukan/ Pendidikan

BAB V ANALISIS BIAYA Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct co st, indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Sepsis Neonatorum di rumah sakit, meliputi: 1. Komponen Diagnostik . Pemeriksaan kultur darah . Pemeriksaan kultur urin . Pemeriksaan kultur LCS . Pewarnaan Gram . Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer, Fibrinogen, Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT, Analisis Gas Darah dan elektrolit) . Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins (C Reactive Protein, Procalcitonin) . Chemokines, cytokines and adhesion molecules (Interleukin 6 dan Interleukin 8) . Laktat . Gula darah . Pemeriksaan Radiografi Thorax . USG Abdomen . CT Scan . Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi 2. Komponen Terapi . Pemberian Antibiotik . Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar, pemberian fresh frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis neonatorum) 3. Jasa Tindakan Medik Saat ini sedang disusun Sistem Diagnosis Regiment Group) oleh Pemerintah sehingga diharapkan suatu penyakit tertentu dengan Case-mix dalam INA DRG (Indonesian Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk kategori atau kriteria yang sama.

BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.

NO JENIS KEGIATAN RSUPN CM RSUP Kariadi III II / I / UTAMA PRIVATE / VIP 1 KOMPONEN DIAGNOSTIK

- Pemeriksaan kultur darah Rp 180.000 Rp 122.500 Rp 145.000 Rp 152.000

- Pemeriksaan kultur urin Rp 180.000

Rp 88.000 Rp 125.000 Rp 132.000

- Pemeriksaan kultur jamur Rp 310.000 Rp 53.000 Rp 63.000 Rp 70.000

- Pewarnaan Gram Rp 26.000 Rp 20.500 Rp 31.000 Rp 32.500

- Pemeriksaan Hematologi

a. Darah perifer lengkap Rp 25.000 Rp 48.250 Rp 59.500 Rp 63.000

b. D-dimer Rp 134.000

Rp 218.000 Rp 237.000 Rp 245.000

c. Fibrinogen Rp 51.000 Rp 63.500 Rp 70.000 Rp 75.000

d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Rp 220.000 Rp. 138.500 Rp 167.000 Rp 175.000

e. PT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

f. APTT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

g. Analisis gas darah dan elektrolit Rp 150.000

Rp 142.500 Rp 165.000 Rp 173.500

h. IT ratio Rp 10.000

- Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins

a. C Reactive Protein Rp 30.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000

b. Procalcitonin Rp 500.000

- Chemokines, cytokines and adhesion molecules

a. Interleukin 224 USD

6

b. Interleukin 224 USD

8

- Laktat Rp 225.000 Rp 67.000 Rp 73.500 Rp 75.000

- Pemeriksaan rdiografi torax Rp 65.000 Rp 75.000 Rp 90.000 Rp 107.000

- USG kepala Rp 190.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000

- USG Abdomen Rp 210.000 Rp 216.000 Rp 235.000

Rp 285.000

- CT Scan

a. Tanpa kontras Rp 450.000 Rp 500.000 Rp 600.000 Rp 650.000

b. Dengan kontras Rp 600.000 Rp 868.000 Rp 1.007.000 Rp 1.115.000

- Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp 100.000 Rp 132.000 Rp 155.000 Rp 190.000

KOMPONEN TERAPI

2 - Pemberian Antibiotik

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021

b. Garamycin vial

- 20 mg Rp 28.000

- 60 mg Rp 58.000

- 80 mg Rp 70.000

c. Ceftazidim vial 1 gram Rp 18.500 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604

d. Piperacillin vial 4,5 gram Rp 363.000

- Terapi Suportif

a. Intravenous immune globulin Rp 750.000

b. Transfusi Tukar Rp. 1.142.400 Rp. 343.902 Rp. 343.902 Rp. 343.902

c. Pemberian Fresh Frozen Plasma Rp. 84.500 Rp. 44.056 Rp. 44.056 Rp. 44.056

JASA TINDAKAN MEDIK

- Untuk tindakan Transfusi tukar Rp 500.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000

- Untuk tindakan transfuse Rp 25.000

Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada berat ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu : . Sepsis Neonatorum Ringan / Suspek Neonatal Sepsis .

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000 .

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000 .

pewarnaan Gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000 .

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) =

Rp. 25.000 .

pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) = Rp. 30.000 .

pemeriksaan IT Rasio (untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa rutin ) untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan = Rp. 10.000 .

pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari . Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000 . Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000 - 80 mg Rp. 70.000 . Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500 . Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

. Sepsis Neonatorum Sedang

.

infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 4 hari) hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

.

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000 .

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000 .

pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000 .

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000 .

pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000 .

pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000 .

pemberian antibiotik selama 14 hari . Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000 . Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000 . Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500 . Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000

.

Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000 .

Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000 .

Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000

. Sepsis Neonatorum Berat

.

infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 7 hari) hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

.

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2x Rp.180.000) = Rp. 360.000 .

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000 .

pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000 .

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000 .

pemeriksaan C Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000 .

pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000 .

pemberian antibiotik selama 14 hari . Amoxiclav vial @ 1 GramRp. 90.000 . Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000 - 60 mg Rp. 58.000 - 80 mg Rp. 70.000 . Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000

.

Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000 .

Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000 .

Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000 .

Pemeriksaan kultur jamur = Rp. 310.000

.

Pemeriksaan PT = Rp. 86.500 .

Pemeriksaan APTT = Rp. 86.500 .

.

Terapi Suportif

.

- Intravenous immune globulin = Rp. 750.000 .

- Transfusi Tukar = Rp. 1.141.560

.

- Pemberian Fresh Frozen Plasma = Rp. 223.000

KONDISI DI INDONESIA . Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal . Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi rendah nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal. Sistem ini belum terwujud dan terlaksana dengan baik . Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah Sakit. . Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan. . Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat. Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum adalah kemasan cairan dalam volume besar (500 cc) yang terlalu besar untuk kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol infus yang berulang kali yang menyebabkan infeksi.

BAB VI REKOMENDASI I. Bahwa sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B] II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (stake holder) berusaha untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis neonatorum, meliputi : 1. Penegakan diagnosis 2. Penatalaksaan 3. Pencegahan 2.1. Penegakan diagnosis : . Penegakan diagnosis sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor. . Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan penunjang. . Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi. . Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis atau dugaan sepsis sangat penting. . Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di tempat pelayanan kesehatan: . Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang konvensional dianjurkan untuk melakukan : . Skrining Infeksi maternal

. Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio. . Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR, prokalsitonin, dan lain-lain.

2.2. Penatalaksanaan Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut : Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: . Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. . Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB). . Beberapa mikroorganisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp). . Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain : . Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A]

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda. 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan. Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi

silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena

itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman. 4. Farmakokinetik antibiotik.

Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi antibiotik terdahulu). 2.3. Pencegahan Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan secara umum : o Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur. o Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi TORCH, infeksi saluran kemih, dll. o Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan. o Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan anemia. o Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman persalinan kurang bulan. o Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda. o Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari : . Persalinan yang bersih dan aman . Stabilisasi suhu . Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong . Pemberian ASI dini dan eksklusif . Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi o Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi

Pencegahan secara khusus Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat (SAL). a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis

neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. [Rekomendasi B] b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain:

1. Pemantauan yang berkelanjutan 2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien 3. Bentuk ruang perawatan 4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai 5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan 6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral 7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal 8. Pemakaian antibiotik yang rasional 9. Program pendidikan 10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol. [Rekomendasi A] III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk: . Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas. . Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan propinsi. . Melaksanakan program-proGramdi bidang kesehatan neonatal secara terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal. . Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain. . Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan sediaan cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada bayi baru lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100 125 cc. Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak cairan yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi parenteral total.

1 WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996. 2 Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidencebased, cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?. Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV] 3 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development. www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_ world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb] 4 Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12. 5 Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Diunduh dari: www.emedicine.com. Last updated August 18th 2006. cited at December 13th 2006. [Tingkat Pembuktian IV] 6 Shattuck KE, Chonmaitree T. The changing spectrum of neonatal meningitis over a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136. 7 Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care Med 2003;167:695-701. 8 Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 3243. [Tingkat Pembuktian IV] 9 Modul Sepsis 10 Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1202/MENKES/SK/VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2003. 11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial interleukin 6 measurement in the early diagnosis of neonatal sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71. 12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist an d interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical manifestation. Lancet 1998;352:1271-1277. DAFTAR PUSTAKA

13 Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumo ur necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697 702. [Tingkat Pembuktian Ib] 14 Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report). Abstract 12th National Congress of Child Health and 11th Asean Pediatric Federation Conference, Bali, 2002; p. 125. 15 Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90. 16 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Ca re Med 2005; 6: S45-9. 17 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants. Available at: URL: http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian Ia] 18 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17 -33. [Tingkat Pembuktian IV] 19 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O Sullivan MJ, et al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis : A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian IIb] 20 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6. 21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150. 22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 200 2; 31: 3-8. 23 Moodi N, Carr R. Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sep sis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153. 24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infa nts in developing countries. Curr Opin Infect Dis 2004.17:217-224.

25 Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31. [Tingkat Pembuktian IV] 26 Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidat o pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004. 27 Bellig LL, Ohning BL. Neonatal sepsis. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm 28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in veylowbirth-weight infants. Clin Microb Rev 2004, 641. 29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8 30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60. 31 Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723. 32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future. Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ 2003;326:262-266. 33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppresse d Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73. 34 Gauser, Crit Care