penatalaksanaan anestesi nephroktomi
DESCRIPTION
Operasi Pengangkatan GinjalTRANSCRIPT
K A M I S 2 3 A G U S T U S 2 0 0 7
Penatalaksanaan anastesi pada Pasien Nephrektomi Kiri
Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki berbagai macam
fungsi. Fungsi utamanya adalah filtrasi plasma dan eksresi produk sisa,
mempertahankan homestasis air, osmolalitas, elektrolit dan asam basa. Ginjal
mensekresi renin yang berperan pada pengaturan tekanan darah dan keseimbangan
cairan, dan juga mensekresi eritropoietin. Ginjal berperan besar dalam eksresi
berbagai macam obat-obatan1.
Nephrektomi dapat hanya mengangkat sebagian kecil dari ginjal atau bahkan bisa
juga mengangkat ginjal dengan jaringan sekitarnya. Pada nephrektomi parsial hanya
bagian ginjal yang mengalami infeksi saja yang diangkat. Pada nephrektomi radikal
ginjal diangkat beserta bagian ureter, kelenjar adrenal dan jaringan lemak yang
mengelilingi ginjal. Nephrektomi simpel dilakukan untuk tujuan transplantasi dengan
mengangkat ginjal dan ureter3.
Anastesiologi adalah ilmu kedokteran yang awalnya berprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi ini
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang
ditegakkan oleh oleh The American Board of Anesthesiology pada tahun 1989 ialah
mencakup semua kegiatan profesi atau praktek yang meliputi hal-hal berikut:
1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anastesi4.
2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau
pada saat dilakukan tindakan diagnostik terapeutik4.
3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan pada pasien
dalam keadaan kritis4.
4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri4.
5. Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru4.
6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan4.
Tujuan tersebut tentunya dapat diterapkan pada setiap tindakan yang memelukan
anastesi, termasuk juga pada tindakan pembedahan untuk operasi nephrektomi.
A. Klasifikasi
Tergantung pada indikasi nephrektomi, sebagian atau seluruh bagian dari ginjal atau
keduanya akan diangkat:
1.Nephrektomi parsial, sebagian dari ginjal diangkat.
2.Nephrektomi simpel, seluruh bagian dari satu ginjal diambil5. Nephrektomi simpel
dilakukan pada pasien dengan kerusakan ginjal irreversibel yang disebabkan oleh
infeksi kronik, obstruksi, penyakit kalkulus atau trauma berat. Selain itu juga indikasi
pada hipertensi renovaskular yang diakibatkan oleh penyakit arteri renalis tak
terkoreksi atau kerusakan unilateral parenkim karena nephrosklerosis,
pyelonephritis, refluks dysplasia atau displasia kongenital ginjal6.
3.Nephrektomi radikal, semua bagian dari salah satu ginjal diambil bersama-sama
dengan kelenjar adrenalnya dan nodi limphatika5. Nephrektomi radikal merupakan
terapi pilihan pada pasien dengan karsinoma sel renal. Juga indikasi pada pasien
dengan metastase, sebagai bagian protokol imunoterapi atau sebagai prosedur
paliative pada kasus nyeri dan perdarahan6.
4.Nephrektomi bilateral, kedua ginjal diangkat5.
B. Indikasi
1.Ginjal dengan tumor ganas. Biasanya memerlukan radikal nephrektomi6.
2.Ginjal rusak karena infeksi, batu, obstruksi aliran urine dan kista6.
3.Pasien dengan hipertensi berat disebabkan oleh stenosis arteri renalis. Pada
kondisi ini gangguan pada arteri menyebabkan kerusakan pada salah satu ginjal6.
4.Trauma berat, seperti kecelakaan mobil6.
5.Seorang donor yang telah menyetujui untuk mendonorkan salah satu ginjalnya
untuk transplantasinya6.
6.Ginjal transplantasinya ditolak oleh tubuh resipien dan tidak berfungsi5.
C. Jenis operasi
1. Open nephrektomi
Pada open nephrektomi konvensional, ahli bedah mengambil ginjal melalui insisi
standar dengan panjang 8-12 inchi. Bila memungkinkan, insisi tersebut dibuat di
bagian pinggang untuk memberikan akses ahli bedah terhadap ginjal sehingga
kemungkinan untuk mengganggu organ lain minimal. Akan tetapi, insisi ini
tergantung indikasi berdasarkan kesehatan pasien itu sendiri, insisi dapat dibuat di
depan atau di belakang abdomen5.
2. Laparaskopi nephrektomi
Pada laparaskopi, 4 insisi kecil dibuat didinding abdomen. Dokter menggunakan
laparaskopi (suatu pipa dengan kamera didalamya untuk memvisualisasikan bagian
tubuh) sebagai panduan instrumen bedah dan untuk melepaskan ginjal5.
Open nephrektomi dan laparaskopi dilakukan dengan anatesi umum, sehingga
pasien tidak sadar selama operasi ini. Laparaskopi nephrektomi biasanya
menyebabkan nyeri yang lebih ringan selama periode recoveri daripada nephrektomi
konvensional. Akan tetapi, nephrektomi laporaskopi memerlukan waktu yang lama
daripada open nephrektomi dan memerlukan ahli bedah dengan kemampuan
laparaskopi. Laparaskopi nephrektomi tidak dilakukan pada pasien dengan scar
disekitar ginjal atau pada pasien yang akan dilakukan nephrektomi radikal5.
D. Posisi pasien
Posisi pasien dalam operasi nephrektomi adalah posisi flank. Dilakukan dengan posisi
pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, jadi pada
nephrektomi kiri pasien miring ke lateral kanan dengan sisi kiri diatas. Indikasi posisi
flank adalah penyakit ginjal inflamasi, kalkuli, abses perinephric, hidronephrosis dan
penyakit ginjal kistik,7.
E. Tekhnik operasi
1. Nephrektomi simpel
Dilakukan dengan cara menginsisi di pinggang sesuai dengan ginjal yang akan
dilakukan nephrektomi, posisi pinggang tersebut letaknya diatas dengan arah
membuat sudut tajam. Dengan posisi ini meregangkan pinggang pasien dan
membuat ginjal lebih mudah dicapai oleh tim bedah6.
2. Nephrektomi radikal
Prosedurnya mirip dengan nephrektomi simpel, kecuali insisi sering dibuat di
abdomen bagian depan dan dapat meluas kearah dada bagin bawah. Insisinya
biasanya lebih besar daripada nephrektomi simpel, terutama jika pembedahan itu
diperlukan untuk mengeluarkan tumor ginjal besar yang meliputi bagian atas ginjal.
Pada nephrektomi radikal limponodi dan kelenjar adrenal sekitarnya diangkat juga
bersamaan dengan ginjalnya6.
3. Nephrektomi laparaskopi
Pasien ditempatkan dalam posisi flank dengan posisi batang tubuh 45 derajat lateral
dekubitus dan terfiksasi dengan meja operasi8.
E. Komplikasi
Ginjal merupakan organ yang sangat vaskular dan perdarahan merupakan resiko
yang nyata dari kondisi ini. Perdarahan dapat terjadi dari arteri renalis, vena kava
inferior atau dari arteri aberrant. Resiko lebih tinggi pada terdapatnya proses
keganasan atau infeksi dimana ginjal dapat melekat pada struktur lain. Cara untuk
mengurangi kebutuhan transfusi darah seperti cell salvage, hemodilusi
normovolemik akut dan obat anti fibronolitik dapat dipakai jika dibutuhkan.
Perdarahan sekunder yang terjadi post operasi jarang terjadi, tapi mungkin
mengharuskan re-laparatomi untuk mengidentikasi penyebabnya1.
PENATALAKSANAAN OPERASI
A. Penilaian Preoperatif
Selain penilaian anastesi rutin, perhatian terutama di fokuskan pada fungsi ginjal.
Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit ginjal adalah riwayat medik.
Pemeriksaan fisik sering hanya minimal saja yang didapatkan. Hipertensi baru
nampak setelah penyakit ginjalnya berkembang menjadi lanjut9.
Gagal ginjal kronik sering menyebabkan hipertensi, melalui peningkatan aktivitas
sistem renin-angiotensin. Udema disebabkan proteinuria dan hipoalbuminemia atau
gagal jantung1.
Urinalisis merupakan pemeriksaan laboratorium yang murah, informatif dan
tersedia1. Metode urinalisis ini cukup untuk mengindentifikasi penyakit ginjal jika
tidak terdapat riwayat kelainan urogenital9 Hematuria, silinder, bakteri dan leukosit
dapat ditemukan pada pemeriksaan urin secara mikroskopik. Berat jenis urin
merupakan indeks dari fungsi tubulus ginjal. Kemampuan untuk mengeksresi urin
(berat jenis > 1.030) mencerminkan fungsi tubulus yang baik, sedangkan jika
osmolalitasnya seperti plasma (berat jenis 1.010) mengindikasikan penyakit ginjal.
Proteinuria > 150 mg/ hari abnormal dan mengindikasikan terjadi peningkatan
konsentrasi protein plasma. Glykosuria mengindikasikan diabetes melitus1. Jika
penyakit ginjal telah nampak, pemeriksaan yang lain untuk memeriksa fungsi ginjal
dibutuhkan9.
Hitung darah lengkap dapat menghasilkan anemia (normositik, normokromik) karena
terjadi perdarahan yang luas atau pengurangan produksi eritropoetin. Kreatinin
plasma dan ureum memberikan informasi yang baik tentang fungsi ginjal. Klearens
kreatinin dapat dipakai untuk menentukan Glumerolus filtration rate (GFR).
Klirens Creatinin = u x v/p
Keterangan:
u = Konsentrasi kreatinin urin (mg/ 100mL)
p = Konsentrasi kreatinin plasma (mg/ 100mL)
v = Volume urin (mL/ min)
Tes yang dilakukan biasanya 2 jam, tetapi untuk lebih akurat dilakukan tes 24 jam.
Nilai normal 85-125 ml/ menit pada wanita dan 95- 140 ml/ menit pada laki-laki.
Klirens1.
Jika terdapat dugaan terdapat gangguan fungsi ginjal, pemeriksaan serum elektrolit
dilakukan, tetapi nilai ini tetap normal sampai benar-benar penyakit ginjalnya
memberat1.
Pada gagal ginjal berat, pemeriksaan analisa gas darah dapat menghasilkan asidosis
metabolik karena adanaya gangguan eksresi asam oleh ginjal1.
Pemeriksaan lain seperti rontgen thorax dan EKG diperlukan tergantung dari
symptom yang ditunjukan pasien1
Kondisi pasien seoptimal mungkin diperbaiki sebelum pembedahan. Hipertensi dapat
dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Infeksi saluran kemih diterapi dengan
antibiotik yang tepat1.
Untuk pembedahan elektif terapi besi atau eritropoetin dipakai untuk menaikkan
kadar hemoglobin. Pasien dengan gagal ginjal berat dapat terjadi gangguan cairan
dan elektrolit. Keadaan ini harus diperbaiki sedapat mungkin, dapat dilakukan
dialisis1.
Diabetes mellitus merupakan penyebab yang umum dari gangguan ginjal dan
managemen yang tepat harus benar-benar diterapkan pada pasien tersebut1.
Pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah diperlukan pada pasien dengan
gangguan fungsi paru6.
B. Efek obat-obat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
Terminasi aksi dari sebagian besar obat-obat anastesi adalah redistribusi dan
metabolisme. Biotransformasi dari obat-obat tersebut menghasilkan bentuk inaktif
yang larut air dan dikeluarkan lewat urin. Penumpukan zat tersebut karena
kegagalan eksresi ginjal tidak berbahaya1.
Beberapa obat-obatan dieliminasi dalam bentuk tanpa mengalami perubahan dalam
urin. Pada obat pelumpuh otot non depolarisasi sebagian besar dieksresi oleh ginjal.
Terminasi aksi dari dosis tunggal kecil dari obat tersebut adalah dengan redistribusi
daripada eksresi. Akan tetapi ketika dosis pemeliharaan digunakan, dosis harus lebih
kecil pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal daripada pasien dengan ginjal
normal dan interval dosis antara harus ditingkatkan. Monitor klinis fungsi
neuromuskular seperti train-of-four nerve stimulator harus digunakan jika tersedia1.
Kecuali atracurium dan cisatracurium yang dirusak oleh enzim ester hidrolisis dan
oleh non enzim alkaline degradasi (eliminasi Hofmann) menjadi produk yang tidak
aktif dan tidak tergantung eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya1.
Suksinilkolin (suxamethonium) di metabolisme oleh pseudokolinesterase dan
meskipun tingkat enzim dikurangi pada uremia, nilai jarang rendah yang
menyebabkan bloknya memanjang. Pemberian suksinilkolin tidak menyebabkan
peningkatan serum potasium yang dapat berbahaya pada pasien dengan gangguan
ginjal berat dengan peningkatan potasium. Eksresi ginjal berperan penting dalam
eliminasi inhibitor kolinesterasi (misal neostigmin) dan eksresinya terlambat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal1.
Obat-obat lainnya yang dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan adalah
atrofin dan glycopyrrolat, dosis tunggal tidak menyebabkan gangguan keadaan klinis.
Dosis pemeliharaan digoksin harus dikurangi pada gangguan fungsi ginjal dan tingkat
darah adalah pas untuk terapi1.
Obat-obat yang berikatan kuat dengan albumin, seperti obat-obat induksi akan
dipengaruhi oleh pengurangan kadar albumin pada pasien uremia. Sehingga
menghasilkan fraksi bebas dari obat tersebut dan mengurangi dosis yang dibutuhkan
untuk menghasilkan efek anastesi1.
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya
melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan
merubah obat-obat tersebut. Enflurane dan sevoflurane mengalami biotranformasi
menajadi florida inorganik,meskipun kadar dalam plasma yang dihasilkan dibawah
kadar nephrotoksis. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme di
hepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis1.
Opioid di metabolisme di hepar. Akan tetapi morpin dan meperidin (petidin)
mempunyai metabolit aktif yang dieksresi lewat ginjal dan dapat diakumulasi pada
gagal ginkal. Dosis dari kedua obat tersebut jarus dikurangi atau dibatasi1.
C. Obat-obat untuk premedikasi
1. Barbiturat
Kini barbiturat jarang digunakan untuk premedikasi, kecuali phenobarbital yang
masih dipakai pada pasien epilepsi anak-anak dan dewasa. Sebanyak 24 persen
phenobarbital di eksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan9.
2. Belladonna Alkaloids (beserta substitusinya)
Sekitar 20-50 persen dosis atrofin ditemukan dalam tanpa mengalami perubahan di
urin atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal yang sama juga ditemukan pada
glycopyrrolat. Sehingga dapat terjadi akumulasi obat-obat tersebut pada pasien
dengan gagal ginjal, pada dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis.
Skompolamin hanya 1/10 yang ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin . Karena
efek terhadap sistem syaraf pusat yang tidak menguntungkan, skopolamin sebaiknya
tidak digunakan sebagai pengganti atrofin atau glycopyrrolate saat dosis tinggi atau
dosis ulangan obat anti muskarinik diperlukan. Sebagai premedikasi skopolamin
memuaskan untuk pasien gagal ginjal9.
3. Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin
Phenothiazin dan derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum dieksresi.
Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang
berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum daripada efek
spesifik obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin adalah blokade alpha
adrenergik, sehingga dapat menyebabkan ketidak stabilan kardiovaskular pada
pasien yang baru menjalani dialisa yaitu terjadi hipovolemi.9.
4. Opioids
Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Masalah ini
tidak mengakibatkan suatu perubahan penting dalam fraksi bebas morfin, karena
biasanya ikatan protein hanya kecil (23-42%) dengan volume distribusi yang besar.
Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu
glukoronida, yang diekstresikan lewat urin.Sehingga pemberian pada pasien dengan
gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang
memanjang. Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan
kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal
8 mg. Distribusi, ikatan protein dan eksresi meperidin mirip dengan morfin.
Akumulasi metabolit normeperidin dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf
pusat yaitu terjadinya konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 %
dieksresi tanpa mengalami perubahan diurin. Ikatan dengan protein plasma moderat
(fraksi bebas, 19 persen) dan volume distribusinya besar. Sehingga fentanyl cocok
untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal. Farmakokinetik dan
farmakodinamik sufentanil dan alfentanil tidak berbeda secara signifikan pada pasien
dengan pengurangan fungsi ginjal dibandingkan dengan individu normal9.
D. Obat-obat untuk induksi
Induksi anastesi dapat dengan intravena atau dengan inhalasi1.
1. Obat-obat anastesi inhalasi
Semua obat anestesi inhalasi mengalami biotransformasi sampai taraf tertentu,
dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan
tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini
tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak akan
mempengaruhi respon terhadap obat tersebut9.
Methoxyfluran merupakan obat anastesi yang pada tahun 1960 dan 1970an kontra
indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menajadi
nephrotoksik florida inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami
biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya
19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara
signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga
dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar
flurida dari isoflurana adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan,
sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis9.
Desfluran dan sevofluran, berbada dalam stabilitas molekular dan
biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime
dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minmal. Konsentrasi rata-rata
setelah pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah
kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal
normal9.
Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan dekomposisi.
Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran. Terdapat laporan konsentrasi
inorganik plama mencapai kadar nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan
inhalasi sevofluran. Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal
manusia9.
Anastesi inhalasi menyebabkan depresi reversibel pada fungsi ginjal. GFR, aliran
darah ginjal, keluaran urin dan eskresi sodium di urin menurun. Mekanisme dalam
pengurangan aliran darah ginjal, mungkin karena faktor neurohormonal (hormon
antidiuretik, vasopressin, renin) atau respon neuroendrokrin. Meskipun sebagian
besar anastesi inhalasi mengurangi GFE dan eksresi sodium urin, efek pada aliran
darah ginjal masih merupakan kontroversi. Hal ini dapat dijelaskan karena perbedaan
dari metodologi eksperimental. Data menyatakan bahwa aliran darah ginjal
dipelihara oleh halotan, isofluran dan desfluran tetapi diturunkan oleh enfluran dan
sevofluran9.
Pasien dengan penyakit ginjal berat kadar hemoglobinnya 6-8 g/ 100mL. Meskipun
kapasitas pengangkutan oksigen adekuat pada keadaan tidak teranastesi, shunt
intrapulmonal dan pengurangan cardiac output dapat terjadi pada anastesi umum.
Sehingga untuk menghidari hipoksemia intra anastesi, di sarankan tidak memberikan
konsentrasi tinggi N2O9.
2. Obat-obat anastesi intravena
Efek reversibel terhadap sistem saraf pusat setelah pemberian ultrashort-acting
barbiturat, seperti thiopental dan methohexital, terjadi sebagai akibat redististribusi,
metabolisme hepar merupakan jalur eliminasi obat-obat tersebut. Thiopental 75-85
persen terikat albumin, konsentrasi tersebut berkurang pada uremia. Karena
ikatannya tinggi, pengurangan ikatan dapat menyebabkan pemberian dosis
thiopental yang tinggi untuk dapat mencapai reseptor. Thiopental merupakan asam
lemah dengan nilai pKa pada nilai fisiologis, asidosis akan terjadi pada keadaan tidak
terionisasi, tidak terikat, thiopental aktif. Pada kombinasi bentuk tersebut dapat
meningkatkan fraksi bebas thiopental dari 15 persen pada pasien normal menjadi 28
persen pada pasien gagal ginjal. Karena metabolime thiopental tidak mengalami
perubahan pada gangguan ginjal, jumlah thiopental untuk anastesi dikurangi9.
Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila dibandingkan dengan
thiopental dan tampaknya gagal ginjal berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya.
Redistribusi dan metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek
anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan di urin11.
Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang
dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada
pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal
ginjal11.
Kelompok benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik
meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan
efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial
diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik.
Sebagai contoh 60-80 persen midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit
hydroxy, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada
gagal ginjal11.
E. Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan musle relaksan biasa digunakan pada pembedahan ginjal
terbuka atau laparaskopi.
Suksinilkolin telah dipakai pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal tanpa
kesulitan. Suksinilkolon dimetabolisme dengan bantuan pseudokolinesterase
menghasilkan produk non toksik yaitu asam suksinik dan kolin. Prekusor metabolik
dari dua senyawa tersebut adalah suksinilmonokolin di eksresi oleh ginjal. Sehingga
pemberian dosis tinggi suksinilkolin karena pemberian panjang perinfus sebaiknya
dihindari pada pasien gagal ginjal. Terdapat laporan bahwa pseudokolinesterase
dikurangi pada keadaan uremia. Akan tetapi nilainya jarang rendah untuk
memperpanjang waktu pemblokan. Hemodialisis dilaporkan tidak mempunyai efek
terhadap kadar kolinesterase11.
Pemberian suksinilkolin menyebabkan peningkatan cepat dari konsentrasi potasium
serum 0.5 mEq/ L. Peningkatan serum potasium berbahaya pada pasien uremia
dengan peningkatan kadar potasium, sehingga penggunaan suksinilkolin adalah
tidak dianjurkan kecuali kali pasien menjalani dialisis dalam 24 jam sebelum operasi.
Apabila pasien telah menjalani dialisis penggunaan suksinil kolin dilaporkan aman11.
Disposisi pelumpuh otot non depolasisasi telah dipelajari akhir-akhir ini. Pada pasien
dengan fungsi ginjal normal, fraksi ekresi dosis tinggi d-tubokurarun (dTc) ditemukan
diurin, eksresi dTc terlambat pada pasien gagal ginjal, kliren dikurangi dan distribusi
volume tidak berubah. Karena ikatan protein dan sensitivitas neuromuskular juntion
terhadap dTc sehingga tetap pada pasien dengan gagal ginjal. Konsekuensi dari
keterlambatan eksresi adalah memanjangnya aksi durasi. Tetapi tidak nyata pada
pemberian dosis tunggal rendah11.
Farmakokinetik dari metocurin dan gallamin berbeda secara kuantititif daripada
kulaitatif dengan dTc. Lebih dari 90 persen dosis injeksi gallamin dieliminasi tanpa
mengalami perubahan diurin dalam 24 jam. Sedangkan hanya 43 persen dosisi
metocurin dieksresi tanpa mengalami perubahan dalam waktu yang sama. Dosis
gallamin ditemukan dalam dosis yang kecil karena redistribusi sehingga secara teori
dapat dipakai pada penderita dengan pengurangan fungsi ginjal9.
Sekitar 40 – 50 persen pancuronum dieksresi diurin. Pancurinium memiliki waktu
paruh eliminasi akhir panjang pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal,
sehingga dalam pemberian harus hati-haru terutama ketika beberapa dosis
dibutuhkan9.
Dua pelumpuh otot nondepolarisasi yaitu atracurium dan vecuronium dikenalkan
pada praktek klinik tahun 1980an. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan
fungsi ginjal. Atracurium dan cisatracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam
oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan
tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya. Dapat diprediksi
waktu paruh eliminasi akhir dan tanda blok neuromuskular (onset, durasi dan
recovery) sama pada pasien normal dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal 9
Farmakokinetik dan farmakodinamik vecuronium pada pasien normal dan ganguan
ginjal adalah sekitar 30 persen dosis vecurium dieksresi oleh ginjal sehingga pada
pasien dengan gagal ginjal durasi blokade muskular pada pemberian vecurium dapat
lebih lama9.
Doxacurium durasi aksinya lebih panjang pada pasien gagal ginjal. Aksi durasi
pelumpu otot lainnya seperti pipecuronium bervariasi pada pasien gagal ginjal.
Mivacurium bersifat short acting dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Efeknya
memanjang sekitar 10 sampai 15 menit pada pasien stadium akhir penyakit ginjal.
Inhibitor kolinesterase yaitu neostigmin, pyridostigmin dan edrophium. Tidak ada
perbedaan menonjol diantara ketiga obat tersebut. Eksresi ginjal adalah penting
dalam mengeliminasi ketiga obat tersebut. Sekitar 50 persen neostigmin dan 70
persen pyridostigmin dan edrophonium dieksresi dalam urin. Eksresi semua inhibittor
kolin esterase lebih lambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Digoksin merupakan digitalis glikosida yang digunakan pada pasien uremia dan non
uremia. Sekitar 72 persen dosis parenteral dieksresi dalam bentuk yang tetap diurin.
Sehingga pemberian pada gangguan fungsi ginjal potensial berbahaya dan dosis
pemelihaaan harus dikurangi pada penyakit ginjal9..
F. Obat Vasopressor dan Antihipertensi
Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi ketidak
stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi masalah terutama
pada nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan hipertensi yang tidak
terkontrol1. Lebih dari 90 persen thiazid dan 70 persen furosemid dieksresi oleh
ginjal dan durasinya diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal9.
Propranolol hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar dan esmolol di biodegradasi
oleh estarase di sitosil sel darah merah, sehingga efeknya tidak diperpanjang pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal9.
Obat-obatan kalsium antagonis seperti nifedipin, verapamil dan diltiazem
dimetabolisme dihepar dan menghasilkan produk inert, dapat diberikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Metildopa mempunyai durasi panjang disebabkan dieksresi
dalam urin tanpa mengalami perubahan, mekanisme aksi metildopa adalah dengan
mengurangi kadar sentral dan perifer norepinephrin, berinteraksi dengan obat
anastesi sehingga menyebab kan pengurangan MAC. Guantihidin dieksresi hampir
sempurna oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk aktif, pemberiannya dapat
mengurangi kadar norepinephrin perifer tapi sentral tidak terpengaruh, MAC tidak
terpengaruhi juga 9.
Selama anastesi, jika pengurangan tekanan darah diperlukan, beberapa obat dapat
dipakai dengan aman. Trimethapan (Arfonad) merupakan obat ganglionic bloking
yang diterminasi oleh enzim daripada di eksresi oleh ginjal. Nitrogliserin dapat
dipakai karena cepat dimetabolisme dengan kurang dari 1% dieksresi dalam urin
dalam bentuk yang tidak berubah. Sodium nitroprusida digunakan sebagai obat
hypotensi pada tahun 1920an. Sianida adalah suatu perantara metabolisme sodium
nitoprusida dengan thiosianat sebagai produk akhirnya. Mengingat toksisitas sianida
sebagai komplikasi terapi sodium nitroprussid telah dijelaskan. Thisianat juga
potensial toksik, waktu paruh thiosuanat normalnya lebih dari 4 hari dan memanjang
pada gagal ginjal. Hipoksia, nausea, tinnitus, spasme otot, disorientasi dan psycosis
telah dilaporkan pada kadar thiosianan melebihi 10 mg/ 100 mL. Sehingga sodium
nitroprussid sedikit diperlukan untuk pemberian lama daripada trimethapan atau
nitroglycerin. Hydralazin aksinya lebih lambat daripada ketiga obat tadi, tetapi sering
dipakai pada pengendalian tekanan darah sesudah operasi. Aksinya diakhiri oleh
hidroksilasi dan glukorondiase di hepar, 15 persen diekresi diurin tanpa mengalami
perubahan. Eliminasi waktu paruh hidralazine memanjang pada pasien uremia,
sehingga pada pemberiannya harus hati-hati9.
Pemberian dosis tunggal intravena labetolol 0,5 mg/ kg, volume distribusi, klirens
dan waktu paruh eliminasi sama pada pasien stadium terminal dengan orang normal.
Esmolol dimetabolime di sel darah merah yaitu oleh sitosol esterase9.
Jika diperlukan pemberian vasopressor dapat diberikan, obat yang menstimulasi
langsung alpha adrenergik seperti phenylephrin efektif. Sayangnya pemberian
vasopressor ini menyebabkan pengaruh terhadap sirkulasi ginjal. Meskipun obat-obat
beta adrenergik seperti isoproterenol mempertahankan perfusi ginjal dan otak tanpa
mengakibatkan vasokontriksi ginjal, tetapi juga meningkatkan irratabilitas
myocardial. Sehingga jika memungkinkan adalah dengan mengganti dengan volume
darah. Jika tidak adekuat obat stimulasi alpha adrenergik atau dopamin dapat
digunakan9.
G. Obat-obat Psikotropik
Inhibitor monoamin oksidase kadang-kadang dipakai pada pasien dengan penyakit
ginjal untuk menetralkan depresi mental. Ketidak stabilan kardiovaskular dapat
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat-obatan tersebut. Efek obat-obat
tersebut pada pasien uremia tidak diketahui9.
Pertimbangan umum untuk managemen nyeri pada nyeri urogenital adalah
prinsipnya sama dengan penanggulangan nyeri ditempat lain. Untuk nyeri akut non
maligna, managemen medis merupakan pilihan pertama. Pengobaran narkotik dan
non narkotik seperti asetaminopen, aspirin dan NSAID lainnya indikasi untuk
mengendalikan nyeri akut. Saat pemberian oral tidak memungkinkan, pemberian
parenteral narkotik dapat dipakai. Pasien dikontrol dengan anagesi epidural atau
infus epidural terus menurus mengahasilkan efek analgesi segmental dan mencegah
atelektasik9
Penggunaan narkotik lipofilik versus hydrofilik tergangung pada segmen kateter
epidural berada. Penggunaan analgesi intravena merupakan pilihan berikutnya.
Meperidn sebaiknya dihindari pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sebab
waktu paruh normeperidin (metabolit meporidin dengan ambang batas kejang
rendah dan menginduksi eksitabiltas sistem syaraf pusat) panjang. Hydromorphan
merupakan opiat semi sintetik dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal karena
tidak adanya metabolit. Efek antiprostaglandin dari NSAID mempengaruhi
pengaturan aliran darah ginjal pada pasien. Sehingga pada pasien yang memerlukan
NSAID dalam waktu panjang harus dimonitor fungsi ginjalnya9.
Untuk mengendalikan nyeri kronik non maligna dan maligna melalui tekhnik
intervensi. Infus terus menurus opiat secara epidural menyebabkan fluktuasi kadar
obat dalam cairan serebrospinal minimal. Sebelum pemasangang cateter epidural,
nyeri harus ditangani secara agresif dengan morfin, methadon dan fentanyl
transdermal9..
E. Obat untuk pemeliharaan
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya
melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan
merubah obat-obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan
dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis1.
F. Monitoring
Monitor sistem kardiovaskular dan respirasi penting karena resiko yang terjadi akibat
posisi pasien. Monitoring invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat
digunakan. Keputusan ini tergantung kondisi preoperatif pasien dan resiko
pembedahan1.
Posisi pasien untuk prosedur pembedahan sering merupakan kompromi antara posisi
yang dapat ditoleransi pasien, struktural serta phisiologi dan apa yang diperlukan tim
pembedahan untuk dapat mengakses target anatomi pembedahan10.
Tubuh memberi respon terhadap perubahan posisi adalah berdasarkan respon
terhadap gravitasi. Sebagian besar perubahan yang berhubungan dengan gravitasi
adalah pada darah dan distribusinya didalam sistem vena, paru dan arteri. Terdapat
efek penting pada mekanik dan perfusi paru yang berhubungan dengan gravitasi9.
Beberapa kondisi khusus selama operasi salah satunya adalah posisi pembedahan
dapat menyebabkan kegagalan pertukaran gas karena menurunkan Cardiac output
sehingga menyebabkan hipoventilasi pada pasien yang bernafas spontan dan juga
dapat mengurangi kapasitas residual fungsional9.
Pada pasien nepherektomi posisi pasiennya adalah posisi Flank. Posisi flank adalah
posisi berbaring lateral dimana tungkai yang terletak dibawah di fleksikan dan
tungkai yang letak diatas flekstensikan9. Pada pasien dengan nephrektomi kiri, posisi
pasien adalah dengan miring ke kanan dengan ekstremitas yang di fleksi lateral pada
pinggul adalah kanan.
Jika ekstremitas bawah difleksikan lateral pada pinggul dan membiarkan posisinya
dibawah jantung, darah akan terkumpul pada pembuluh darah yang distensi dari
tungkai teruntai disebabkan gravitasi menginduksi peningkatan tekanan vena dan
akhirnya terjadi stasis vena. Membalut tungkai dan paha dengan pembalut adalah
metode yang umum untuk mengatasi penumpukan pada vena. Posisi fleksi pada
ekstremitas bawah di lutut dan pinggul dapat secara parsial atau seluruhnya
menyumbat aliran darah vena ke vena cava inferior yang disebabkan oleh angulasi
pembuluh darah pada ruang poplitea dan ligamentum inguinale atau oleh kompresi
paha pada perut yang gemuk10.
Pada posisi ini dapat terjadi penurunan volume hemithorak10 yang terletak dibawah
dalam hal ini pada nephrektomi kanan berarti hemithorax kanan yang terletak
dibawah. Gravitasi menyebabkan pergeseran struktur mediastinum mendorong
dinding dada ke bawah sehingga mengurangi volume paru dependen. Viscera
abdomen mendorong diafragma ke arah sisi bawah cephal jika aksis vertebra
horizontal10. Posisi ini berakibat pada sistem respirasi. Paru yang dependent (kanan)
terjadi penurunan sedang kapasitas residual fungsional dan dapat menyebabkan
atelektasis dimana paru non dependan (kiri) dapat terjadi peningkatan kapasitas
residual fungsional. Hasil keseluruhannya adalah terjadi peningkatan sedang pada
total kapasitas residual fungsional 9. Atelektasis yang terjadi dapat menyebabkan
hipoksemia. Dapat terjadi juga pneumothorax sehingga konsekuensinya terhadap
respirasi dan hemodinamik selama operasi berlangsung9.
Terdapat juga penurunan kompliance throrak, volume tidal, kapasitas vital
Permasalahan tersebut dapat diperburuk jika pada pasien telah ada penyakit
gangguan pernapasan sebelumnya . Saturasi oksigen yang rendah selama operasi
dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi inspirasi oksigen atau dengan menerapkan
sejumlah tekanan positif ekspirasi akhir (Positive end expiratory pressure)1.
Ventilasi spontan dapat secara parsial mengkompensasi perangangan diaframa pada
hemithorax dependen sebab efisiensi kontraktilitas serabut otot diafragma
ditingkatkan. Dasar paru dan zone 3 kongesti vaskular menurunkan komplience
sehingga menggangu distribusi gas selama tekanan ventilasi positif. elevated kidney
rest berada berlawanan terhadap sisi bawah costae atau panggul, sehingga
memperngaruhi pergerakan dari sisi bawah diafragma dan ventilasi dari paru yang
dependen10.
Bagian atas hemithorax tertekan lebih ringan dari pada sisi dependen, karena sisi
paru atas terletak diatas atrium maka kurang kongesti vaskularnya daripada sisi paru
yang bawah. Sebagai hasil, kecuali kalau fleksi kontra lateral meregangkan sisi atas
otot pinggul terhadap titik kekakuan dan membatasi penyimpangan dari sisi costa,
tekanan ventilasi positif secara langsung lebih memilih daerah paru bagian atas.
Kemungkinan terjadi ketidak seimbangan antasi ventilasi-perfusi adalah jelas
terutama pada pasien dengan penyakit paru10.
Penurunan tekanan darah tidak umum terjadi ketika ginjal diangkat. Dapat terjadi
penekanan dari vena cava inferior. Gangguan pada vena cava hepatic dan
pergesereran medisatinum dapat lebih mengurangi venous return dan stroke
volume. Pleksus servikal, pleksus brakhilais dan neuropathi peroneal dapat terjadi hal
ini dikarenakan terjadi peregangan atau kompresi nervus pada posisi lateral9
“Pematahan” meja operasi dapat mengkakukan atau menekan vena cava inferior,
terutama posisi lateral kanan sehingga menyebabkan penurunan venous return dan
akhirnya terjadi penurunan cardiac output1.
Gangguan hepatik pada vena cava dan pergeseran mediastinum dapat lebih
menurunkan venous return. Observasi yang teliti dilakukan untuk menilai
kardiovaskular selama pasien dalam posisi tersebut1.
Neuropathi pleksus servikal, pleksus brakhidal dan nervus peroneal lainnya dapat
terjadi pada posisi lateral disebabkan oleh peregangan atau kompresi nervus-nervus
tersebut. Harus diperhatikan untuk menghindari peregangan lateral berlebihan pada
leher dan kedua bahu sehingga sebaiknya posisinya netral1.
Pasien sebaiknya diletakkan dimeja operasi dengan bantalan dipunggung dan
difiksasi untuk meyakinkan bahwa posisi pasien tidak berubah selama pembedahan1.
Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal dengan monitoring tekanan vena
sentral dapat membantu dalam menentukan kebutuhan cairan. Akan tetapi akses
tekanan vena sentral dapat lebuh sulit pada pasien-pasien yang sebelumnya
menjalani saluran dialisis yang disisipkan di vena leher. Panduan dengan ultrasound
dapat digunakan jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat menyebabkan
perdarahan banyak dan monitoring infasif pada keadaan ini dianjurkan1
Pembedahan ginjal dapat berjam-jam sehingga perhatian terhadap temperatur
pasien harus dilakukan sedapat mungkin. Cairan intravena hangat, . Penutup hangat
dan matras hangat dapat dipakai1.
F. Keseimbangan cairan
Puasa dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi terutama pasien orang tua.
Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal yang menjalani dialisis juga
kekurangan cairan sebelum operasi. Resusitasi cairan yang tepat diberikan pada
pasien dengan tanda-tanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi
anastesi. Selain itu penggantian cairan untuk mengkompensasi puasa preoperasi
harus diberikan sebelum pembedahan1.
Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan,
pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat terjadi
kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan cairan
selama operasi menjadi tinggi1.
Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan. Cairan yang mengandung potasium dihindari
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi
perdarahan. Pasien dapat mengalami anemia sebelum operasi sehingga mereka
dapat mentoleransi kehilangan darah yang sedikit daripada pada pasien dengan
kadar hemoglobin yang tinggi. Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma,
cryopresipitat dan platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang masif1.
Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai
untuk menilai penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/
Jam pada fungsi ginjal normal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai
masalah dengan keseimbangan cairan. Pasien anuria hanya kehilangan dan
pemeliharaan yang digantikan cairannya, dialisis digunakan pada post operasi jika
terdapat elemen cairan yang belebihan1.
G. Penatalaksanaan nyeri sesudah operasi
Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi.
Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi
komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan campuran dosis rendah anastesi
lokal dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang terbaik, meskipun pemberian
secara bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk
pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat
dipakai dengan hati-hari, pengurangan pada dosis dan intervak waktu diantara dua
dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg
bolus dengan interval waktu 10 menit)1.
Pembedahan laparaskopi berkaitan dengan pengurangan kehilangan darah, trauma
jaringan yang lebih sedikit, nyeri post operasi yang lebih ringan dan lebih
memperpendek masa perawatan di rumah sakit1. Analgesi epidural tidak diperlukan
meskipun infiltrasi anastesi loka pada luka saat akhir pembedahan dapat membantu.
Pasien dikontrol dengan analgesia, meskipun kebutuhan akan opiat rendah. Pada
semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai. Sayangnya penggunaan obat
analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi relatif karena memiliki efek
nephretoksik1. Sebagian besar pasien yang menjalani laparaskopi memerlukan dosis
opiat (morphin atau petidin) untuk malam pertama setelah operasi. Untuk
nephrektomi radikan diperlikan 35 mg12.
DAFTAR PUSTAKA
1.Hart, E. M., 2006, “ Anaesthesia for Renal Surgery”, University hospitals of
Leicester NHS trust, UK, http://www.anaesthesiauk.com/
2.Martin, P. A. F., 1997, Nephrectomy,
http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/transform.jsp?
requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/nephrectomy.jsp&mode=print
3.Gallo, H., 2005, Laparoscopic nephrectomy (including nephroureterectomy),
National Institute for Clinical Excellence, http://www.nice.org.uk/page.aspx?
o=IPG136guidance
4.Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., 2002, Fisiologi Ginjal dalam buku
Petunjuk praktis Anestesiologi, Cetakan kedua, Bagian anastesiologi dan Terapi
intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
5.Anonim, 2004, Nephrectomy, National Kidney Foundation,
http://www.intelihealth.com/IH/ihtPrint/WSIHW000/9339/20754.html?
hide=t&k=basePrint
6.Santucci, R. A., 2004, Nephrectomy, Radical, http://www.emedicine.com
7.Schwartz, Spencer, S., Galloway, D. F, 1999, Principles of Surgery,
seventh edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.
8.Fabrizio, M. D., Ratner, L. E., Montgomery, R. A., Kavoussi, L. R., 1998, Laparoscopic
Live Donor Nephrectomy, John Hopkins Medical Institute, http://urology.jhu.edu/
9.Miller, R. D., 2000, Anesthesia, Fifth edition, Churchil Livingstone
10.Martin, J. T., Warner, W. A., 1997, Patient Positioning dalam The Lippincoltt-Raven
Interactive Anesthesia Library on CD-ROM Version 2.0.
11.Monk, T. G., Weldon, B. G., 1997, The Renal System and Anesthesia for Urologic
Surgery alam The Lippincoltt-Raven Interactive Anesthesia Library on CD-ROM
Version 2.0.
12.Conacher, I. D., Soomro, N. A., Rix, D., 2004, Anaesthesia for laparoscopic
urological surgery, British Journal of Anaesthesia 2004 93(6):859-864,
http://bja.oxfordjournals.org/