penataan kewenangan mpr dan penegasan sistem presidensiil

12
Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil Oleh Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH 1) Fakultas Hukum Universitas Udayana Struktur ketatanegaraan termasuk sistem presidensiil, mekanisme penyelenggaraan pemerintahan RI pasca amandemen DUD NRI Tahun 1945 dewasa ini secara konstitusional, telah tertata. Namun, demikian amandemen UUD NRI tersebut masih menimbulkan sejumlah masalah antara lain, terkait masi mengambangnya wewenang MPR dan belum sempumanya sistim presidensiil. Atas dasar itu, pengkajian dalam makalah ini terfokus pada dua hal terkait penataan wewenang MPR dan penegasan sistem presidensiil. l.Penataan Kewenangan MPR. > Kewenangan MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara(GBHN). Konseluensi amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengakibatkan perubahan struktur kelembagaan negara, sehigga berdampak mengurangi wewenang MPR. Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amademen, hanya memposisikan kedudukan MPR sebagai lembaga Negara seperti halnya lembaga-lembaga negara lainnya. Padahal sebelum amandemen, MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi Negara. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) DUD 1945 sebelum amandemen, "Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan tersebut, memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Pemegang 1 Makalah ini Disampaikan Dalam,FGD Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil, Diselenggarakan MPR Beketjasama Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hotel Pradise Sanur,1 Dcsember 20 16. 1

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Oleh

Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH 1)

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Struktur ketatanegaraan termasuk sistem presidensiil, mekanisme penyelenggaraan

pemerintahan RI pasca amandemen DUD NRI Tahun 1945 dewasa ini secara konstitusional,

telah tertata. Namun, demikian amandemen UUD NRI tersebut masih menimbulkan sejumlah

masalah antara lain, terkait masi mengambangnya wewenang MPR dan belum sempumanya

sistim presidensiil. Atas dasar itu, pengkajian dalam makalah ini terfokus pada dua hal terkait

penataan wewenang MPR dan penegasan sistem presidensiil.

l.Penataan Kewenangan MPR.

> Kewenangan MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara(GBHN).

Konseluensi amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengakibatkan perubahan struktur

kelembagaan negara, sehigga berdampak mengurangi wewenang MPR. Dalam UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amademen, hanya memposisikan kedudukan MPR

sebagai lembaga Negara seperti halnya lembaga-lembaga negara lainnya. Padahal sebelum

amandemen, MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi Negara. Menurut ketentuan Pasal 1

ayat (2) DUD 1945 sebelum amandemen, "Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan tersebut, memposisikan MPR

sebagai lembaga tertinggi negara dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Pemegang

1 Makalah ini Disampaikan Dalam,FGD Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil, Diselenggarakan MPR Beketjasama Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hotel Pradise Sanur,1 Dcsember 20 16.

1

Page 2: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

kedaulatan rakyat, bukan berarti semata-mata kedaulatan ada di tangan MPR, melainkan

kedaulatan tetap di tangan rakyat dan MPR sebagai institusi tertinggi dalam mewakili

kepentingan rakyat.

Pasca amandemen ketentuan Pasal 1 ayat (2) DUD NRI 1945, berubah "Kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Memposisikan UU Dasar

NRI 1945 sebagai hukum dasar / tertinggi yang befungsi membatasi wewenang MPR. Sistem

konstitusi (hukum dasar) menempatkan konstitusi sebagai instrumen hukum tertinggi yang

memiliki kedaulatan (supremasi ), mengingat konstitusi berfungsi untuk 2

a.menentukan pembataan kekuasaan. b.memberikan ligitimasi kekuasaan. c.sebagai instrumen (dasar) pengalihan kekuasaan. d.sebagai kepala negara simbolik:

1.konstitusi sebagai simbol persatuan (symbol of unity)) 2.lambang identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (symbol of

Majesty of the nation). 3.Puncak atau pusat kehikmatan uapacara (centre of ceremony).

e.sebagai kitab suci simbolik dari suatu agama(symbolic of civil relegion): 1.konstitusi sebagai dokumen pengendali. 2.konstitusi sebagai dokumen perekayasaan.

Pembatasan kekuasaan dimaksud untuk mencegah lembaga MPR dan lembaga-lambaga

tinggi negara lainnya, agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya (de toumement

de povoir/abuse of power), pelanggaran HAM, korupsi, kolusi,nepotisme, kejahatan dan bentuk­

bentuk pelanggaran hukum lainnya. Hal tersebut sejalan dengan tujuan amandemen UUD NRI

1945 yaitu:

l.adanya kejelasan pengaturan terkait pembagian kekuasaan. 2.adanya kejelasan pengaturan terkait saling mengawasi dan

mengimbangi (checks and balances) antar lembaga negara. 3.Pembentukan lembaga-lambaga baru untuk mengakomodir

perkembangan kemajuan bangsa.3

2 Prof.DrJimly Asshiddiqie,Tantangan Pelaksanaan UUD 1945 Pascaperubahan, Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1-Desember 2007,Jakarta, hal.9.

3 Prof.Dr.Yohanes Usfunan, Drs.,SH.,MH,Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1

Jurnal Hukum, Panta Rei, No.1 - Desember 2007,Jakarta, hal.25

2

Page 3: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 menentukan:

1. Majelis Pennusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang

Dasar.

2. Majelis Pennusyawaratan Rakyat melantik Presiden danlatau Wakil Presiden

3. Majelis Pennusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden danlatau Wakil

Presiden dalam masajabatannya menurut UUD.

Ketentuan tersebut, mengalami perubahan karena rumusan Pasal 3 sebelum amandemen

yaitu, MPR menetapkan DUD dan GBHN. Perubahan ketentuan dalam Pasall ayat (2) dan Pasal

3 tersebut mengamputasi wewenang MPR terkait posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara

dan kewenangan menerbitkan Ketetapan MPR. Belakangan ini ada waeana perlunya MPR

diberikan kembali wewenang untuk menetapkan instrumen hukum dalam bentuk Ketetapan

(TAP) MPR terkait Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bersifat mengatur dan TAP

MPR lainnya yang bersifat besehking.

Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Paraturan

Perundang-Undangan menempatkan, Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat dalam

hierarki kedua setelah UUD NRI Tahun 1945. Menurut penjelasan ketentuan ini, yang dimaksud

dengan "TAP MP adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku segaimana dimaksud

dalam Pasa12 dan Pasa14 TAP MPR No.: VMPRl2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan

Status Hukum TAP MPRS/MPRTahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus

2003.

Menurut Tap MPR No.V2003 ini, maka Tap MPRS dan Tap MPR yang berjumlah 139

dikelompokan dalam 6 kategori yaitu: Pertama, kategori TAP MPRS/MPR yang dieabut dan

3

,

t. l­I

Page 4: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

umum pembangunan nasional. Meskipun kedudukan MPR hanya sebagai lembaga Negara

(bukan lembaga tertinggi versi DUD 45 sebelum amendemen), namun kedudukan MPR tetap

istimewa dan strategis karena memiliki wewenang mengubah DUD NRI Tahun 1945.

Wacana pemberian wewenang menetapkan Tap MPR tentang GBHN memunculkan

pandangan yang setuju maupun pandangan yang kontra. Pandangan yang kontra memberi alasan:

l.Wewenang MPR menetapkan GBHN mengesankan seolah-olah MPR posisinya lebih

tinggi dari Presiden.

2.Konsekuensinya tidak sejalan dengan sistem Presidensiil.

Menurut hemat saya, untuk menJamman kepastian hukum dalam penyelenggaraan

pemerintahan dalam arti luas, maka dari perspektif hukum tata negara / hukum pemerintahan

mulai sekarang MPR perlu menggunakan wewenang secara langsung menerbitkan TAP MPR

yang bersifat penetapan terkait hal-hal yang bersifat seremonial. Menurut hemat saya :

l.Tap MPR sebagai instrumen hukum berfungsi sebagai dasar hukum bagi

MPR dalam mengangkat maupun memberhentikan Presiden!Wakil Presiden.

2.Tap MPR berfungsi meletigimasi pengangkatan dan/atau pemberhentian Presiden dan

Wapres karenajabatannya berakhir (keadaan normal).

3.Tap MPR berfungsi sebagai dasar hukum pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden

setelah dinyatakan bersalah melanggar hukum dan pelanggaran lain oleh Mahkamah

Konstitusi.

4.Tap MPR berfungsi sebagai dasar hukum penyelenggaraan seremonial pelantikan dan!

seremoni pemberhentian karena masa jabatan berakhir atau pemberhentian tidak

dengan hormat (keadaan abnoffilal).

5

Page 5: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

) /

,I"

"

Sedangkan pembentukan Tap MPR terkait GBHN menurut hemat saya, dapat dilakukan

dengan opsi: pertama, diatur dalam UUD NRI 1945. Kedua, GBHN diatur dengan UU dan

ketiga, diatur dengan Tap MPRIPeraturan Istimewa MPR. Pengaturan GBHN dalam UUD

1945 membawa konsekuensi perlunya amandemen kelima sesuai Pasal 37 ayat (2) UUD NRI

1945, dengan mengusulkan pasal-pasal perubahan beserta alasan terkait GBHJ'l". Namun,

perubahan semacam hendaknya dilakukan secara cermat dan berhati-hati, agar tidak menyentuh

hal-hal fundamental, agar menutup kemungkinan masuknya ideologi lain yang berseberangan

dengan Pancasila, kebinekaan dan NKRI.

Kedua, kemungkinan GBHN diatur dengan UU berdasarkan kewenangan dele-o-;20-~ yE'1=':

diterima dari Pasal dalam UUD NRI 1945 tentang GB~ I kerrm.mft..- .:bbm. ............

kelima) . GBHN tersebut memuat Pob Cm:.;m p~ ~liIii:__.'; !IIIIlI&....... '! ' !

rangkaian kontin~UIa5 pnrgJ!£ll ~~, .. t ......--1li3...•...'1I!i;....__.·1'

sesuai pembnbm LTD 19-1S _~... J i;w ............. -u·__•.I !IIiM........

dalam UU karma GBHN. sebagai basil pt:i'."1$iMI ptn;MSJaw.......qI~.A¥A¥ ..... JIll

ini dikarenakan MPR merupakan lembaga yang ist:imewa (menetapkan Presiden "-apres.. dan .

memberhentikan Presiden / Wakil Presiden dan berwenang merubah DUD 1945).

Ketiga, GBHN diatur dengan Tap MPRIPeraturan Istimewa MPR.Oleh kerena

kharakter ketetapan (MPR) bersifat konkret, individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang/badan hukum perdata dan bersifat einmalig, kiranya tidak tepat GBHN diatur dengan

Ketetapan. Atas dasar itu, menurut hemat saya perlu dipertimbangkan/ diperdebatkan konsep

Peraturan Istimewa MPR sebagai pengganti Tap MPR. Alasanya:

6

Page 6: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Namun,

~

h:DsI , +

E

.....

Sedangkan pembentukan Tap MPR terkait GBHN menumt hemal 5aJ'''' dengan opsi: pertama, diatur dalam UUD NRl 1945. Kedua, GBHN dialm"" C

ketiga, diatur dengan Tap MPRiPeraturan lstimewa MPR. Pengaturan GBHN dalam UUD

1945 membawa konsekuensi perlunya amandemen kelima sesuai Pasal 37 ayat (2) UUD NRI

1945, dengan mengusulkan pasal-pasal perubahan beserta alasan terkait GBHN.

perubahan semacam hendaknya dilakukan secara cermat dan berhati-hati, agar tidak menyentuh

hal-hal fundamental, agar menutup kemungkinan masuknya ideologi lain yang berseberangan

dengan Pancasila, kebinekaan dan NKRI.

Kedua, kemungkinan GBHN diatur dengan UU berdasarkan kewenangan del~;:JSi Y'''"''::

diterima dari Pasal dalam UUD NRI 1945 tentang GBW\ ( kemunstin:m d&laIn

kelima) . GBHN tersebut memuat Pola Cmwn P~""'UmIl~..... ~

rangkaian kontinyutas program pembangunan ~~ j • _ j

sesuai pembukaan UUD 1945-. Meskipun dennban dabm '-asi __ GIIIDi IiIIIIk lisa

dalam UU karena GBHN, sebagai hasil pemmusan. pennusyawaratan dan tepdlilSMI MI'Il.IIaI

ini dikarenakan MPR merupakan lembaga yang istimewa (menetapkan Presiden\Vapres., dan !

memberhentikan Presiden / Wakil Presiden dan berwenang merubah DUD 1945).

Ketiga, GBHN diatur dengan Tap MPRIPeraturan lstimewa MPR.Oleh kerena

kharakter ketetapan (MPR) bersifat konkret, individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang/badan hukum perdata dan bersifat einmalig, kiranya tidak tepat GBH1V diatur dengan

Ketetapan. Atas dasar itu, menurut hemat saya perlu dipertimbangkan/ diperdebatkan konsep

Peraturan lstimewa MPR sebagai pengganti Tap MPR. Alasanya:

6

Page 7: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Pertama, penggunaan konsep Peraturan lebih tepat karena jangkauan pengaturan dari

instrumen hukum yang satu ini lebih luas, berlaku untuk setiap orang. Kedua, menggunakan

istilah Istimewa dibelakang Peraturan karena dikeluarkan oleh MPR sebagai lembaga negara

yang istimewa. Keistimewaan lain dari MPR tersebut dapat dipahami dari keanggotaannya terdiri

dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Dari perspektif wewenang, hanya MPR yang

memiliki wewenang "istimewa"untuk merubah UUD, menetapkan dan memberhentikan

Presiden/Wakil Presiden dalam situasi normal maupun abnormal. Kecuali itu, MPR juga

merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga, dengan menggantikan kC'Il...'4' ~~~ ~WR ~~ _*__ ...'..:Iii".~,."

tata urutan paraturan per;n.~JiETl:!,~J!!!iIriJmpa:~.t_".~~"_"1111

tersebut jPg:a ~. £ I IS-'."••I."

~--lJIIIlWl'j:-_-·....

r 2' dibedw'- SI:aIa jdB + U

Peraturan Gubemur, Petatlilau 8upIIi dsb_ .. 5 ... a

Paraturan Istimewa terkait GHN, maka hal itu tidak bmuri MPR ldJih IiBgzi dID Ptesith

Keenam, dengan menggantikan Ketetapan MPR dengan konsep Peraturan Istimewa MPR

berarti MPR memproduk instrumen hukum yang bersifat mengatur.

~ Kewenangan MPR melakukan Tafsir Konstitusi Dalam Pengujian UU Terhadap

UUD 945 Oleh Mahkamah Konstitusi.

7

Page 8: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

MPR sebagai 1embaga negara yang merupakan penje1maan se1uruh rakyat Indonesia

memi1iki wewenang atribusi untuk me1akukan interpretasi historis da1am hal pengujian UU

terhadap UUD 1945. Hal ini karena pertama, MPR memi1iki wewenang as1i untuk merubah

dan merumuskan pasa1-pasa1 da1am UUD 1945.Kedua, dari perspektif kapasitas dan

pengetahuan anggota MPR 1ebih memahami asa1 usu1 suatu ketentuan atau sejum1ah

ketentuan berupa pasa1, ayat-ayat atau bab dsb.

Ketiga, karena a1asan memiliki wewenang dan kapasitas, maka MPR wajib diberikan

kesempatan menyampaikan pendapat dan atau I melakukan interpretasi historis terhadap

setiap pengujian UU terhadap UUD 1945. Keempat, dalam pasal 54 UU No.24/2003 yang

telah dirubah dengan UU No.8/2011 tentang MK, hanya memberikan wewenang diskresi

kepada MPR,DPR,DPD daniPresiden.Wewenang diskresi tersebut lercennin dari rumill53D

MK dapat meminta keterangan atau risalah rapat...dst.

II. Peoegasao Sistem Presideosiil.

Pembahasao dalam bagiao ioi terkait, *) Penyederhanaan Parpol Konsekuensi Terhadap

Pembentukan fraksi Di DPR, *) Hak Veto Presideo, *) DPR diberikan kewenangan untuk

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap hak Presiden dalam hal pengangkatan

pejabat Negara, *) Kedudukan dan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) da1am fungsi

legislasi dan fungsi anggaran.

Da1am bagian ini dipaparkan dua pandangan yang re1evan sebagai acuam terkait, sistem

pemerintahan presidensiil. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensii1.6

6 Rod Hague, dalam Supannan, Perbadingan Lembaga Kepresidenan Rl & Amerika Serikat, Usaha Nasional Surabaya,1982,h.121

8

Page 9: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

l

a. Presiden memangkujabatan sebagai kepa1a pemerintahan dan kepa1a negara. b. Presiden dip1ih me1a1ui pemi1u 1angsung oleh rakyat c. Anggota 1egis1atif dipi1ih 1angsung oleh rakyat me1a1ui pemi1ihan umum (pemi1u) d. Presiden mempunyai hak prerogratif listimewa untuk mengangkat dan memberhentikan

menteri-menteri. e. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. f. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Parlemen karena tidak dipi1ih oleh Parlemen. g. Parlemen memi1iki kekuasaan 1egis1atif sebagai 1embaga perwaki1an. h. Presiden tidak berada di bawah pengawasan 1angsung parlemen. i. Kekuasaan eksekutiftidak bertanggungjawab kepada Parlemen. j. Kekuasaan eksekutiftidak dapat dijatuhkan Par1emen.

Namun demikian secara hakiki, menurut hemat saya pembatasan wewenang Presiden

sesuai UUD NRI Tahun 1945 harus jelas mengingat kemungkinan sistem pemerintahan

presidensii1 menga1ami kegaga1an da1am pe1aksanaannya karena :

~ Kemungkinan timbulnya demokrasi Caesarisme I IDenlf'L~ koous;axr ek...~

, a-twi" -1IIlI2111- ".'_.AL

1. The Assembly remains an as Assemb(v on(v. 2. Die executive is not divided but is a President elected by the people for a definite term at

the time ofAssembly elections. 3. The Head ofGovernment is Head ofState. 4. The President appoints heads ofdepartments who are his subordinates. 5. The President is sole executive. 6. Members of the Assembly are not eligible for office in the administration and vice versa. 7. The executive is responsible to the constitution. 8. The President cannot dissolve or coerce the Assembly. 9. The Assembly is ultimately supreme over the other branches ofgovernment and there is

no fusion ofthe executive and legislative branches as in a parliament.

7 Verney, dalam C.F Strong, 1966, Modern and Political Constitutions. An Introduction To The Comparative Study ofTheir Historv and Existing Form, The English Language Book Society and Sidwick & Jackson Limited, London..

9

Page 10: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

I ,/

/

10. The executive is directly responsible to the electrorate. 11. There is no focus ofpower in the political system.

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, dapat dideskripsi dan dianalisis sbb.:

~ Majelis tetap sebagai majelis saja.

Dalam sistem parlementer memberi jalan pada majelis dan eksekutif dilebur ke dalam

satu lembaga yang dikenal dengan Parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan

presidensial dituntut agar legslatif tetap terpisah dengan eksekutif sesuai teori trias

politika.

~ Eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang Presiden yang dipilih 01eh cl"!-:n unr~

masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih

_~.b ~A:J[ 7"";'. 1!N'DICii"i!!c.lIIn.]_~p.JIIII8__"""_"'."'1III

i~i"'-'''_''''''''''''''''' __ .aa ~ - ... pm-p.-.... 8.J~ bp* • §AM jIIp ."qlr-l'!a',,-=-.aM:iI...IDi+_·I.. ,.,' C,. dalam presidensial kepala pemerintahan yang juga kepala negara. tetapi presiden dipilih

oleh rakyat, para pemilih memilih pemimpin politik: untuk masa jabatan yang telah

ditentukan secara pasti dalam konstitusi.

~ Presiden mengangkat Kepala Departemen yang merupakan bawahannya.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, Perdana Menteri mengangkat rekannya di

Majelis untuk membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem presidensial, kepala

pemerintahan (Presiden) mengangkat pembantunya sebagai kepala departemen, seperti di

10

Page 11: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

Amerika Serikat dimintakan persetujuan Senat dan di Philipina dimintakan persetujuan

komisi pengangkatan j abatan.

>- Presiden adalah eksekutif tunggal.

Dalam sistem pemerintahan parlementer bersifat kolektif dan perdana menteri setara

dengan menteri nya. Sedangkan pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual

dan para menteri merupakan pembantu presiden.

>- Anggota Majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya.

Dalam sistem pemerintahan parlementer seseorang dapat duduk di ekselLltif dan legislatif

sekaligus, pada pemerintahan presidensial tidak boleh meran~kap jaba.tan d:i .iua ~

tersebut.

~ :Jt& lee!' & a • ' E • niSL

Jh X .... ' a =........11111111. ,

7 • 'Ja-- 41·111·.....- _.1iI • 7 .....C11I.'.. "j - ..-- 11''''0_.-- --- ,, a. '2"'--11:. .l1li__ 7

Presiden. Tanggung jawab politik dalam kaitan hubWlgan keIja sehari-hari antara

pemerintah dengan Maje1is.

>- Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa Majelis

Majelis tidak dapat memberhentikan Presidendari jabatannya, begitu pula Presiden tidak

dapat membubarkan Majelis. Mereka tidak saling memaksa, sehingga para ahli

menyebutnya check and baances system. Sistem pemerintahan presidensial

11

Page 12: Penataan Kewenangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensiil

memperlihatkan hubungan saling membutuhkan antara

eksekutif, dan yudisial.

Y

cabang kekuasaan legislative,

Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintah lain dan tidak ada

peleburan bagian eksekutif dan legislative seperti dalam sebuah parlemen.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, eksekutif dan majelis tidak berkedudukan lebih

tinggi, karena keduanya merupakan bagian institusi parlemen. Dalam sistem

pemerintahan presidensial, peleburan kekuasaan legislatif dan eksekutif digantikan

dengan pemisahan kekuasaan, masing-masing memiliki ruang lingkup tugas sendiri­

sendiri. Tindakan mereka dapat dinyatakan inskonstitusional oleh yudisial. Dalam hal ini,

kedudukan konstitusi memiliki tempat yang sangat sentral untuk sebuah kepastian.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, konstitusi dapat diubah oleh eksekutif dan

Majelis yang bertindak sebagai parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan

presidensial Majelis dapat mengubah konstitusi dengan keterlibatan dari Presiden.

Y Eksekutifbertanggungjawab langsung kepada para pernilih,

Pernerintah dalarn sistern pernerintahan parlernenter diangkat oleh kepala negara, rnereka

tidak dipilih, sebaliknya presidensial tergantung kepada suara rakyat dan presiden (dan

Wakil Presiden) dipilih oleh badan pernilih, sehingga kedua lembaga dapat rnengklairn

diri bahwa ia rnewakili rakyat.

Y Tidak ada fokus kekuasaan dalarn sistern politik.

Kegiatan politik pada sistern pemerintahan parlernenter berturnpu kepada Parlernen,

kepala negara, pernerintah, wakil rakyat, partai, kelornpok kepentingan, dan para pernilih

rnengakui Supremasi Parlernen. Dalarn sistern pernerintahan presidensial tidak ada

12