penataan kepemilikan tanah pertanian secara absentee ... · pendekatan yang digunakan ialah...

54
ABSTRAK Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 menyatakan adanya larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah 1). bagaimana keberadaan KTP-el terhadap larangan kepemilikan tanah secara absentee? 2). bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah secara absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan dengan program pengampunan pajak? Jenis penelitian dalam tesis ini ialah penelitian hukum normatif karena beranjak dari kekosongan norma terkait dengan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu pada Pasal 3 PP Nomor 224 tahun 1961. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan historis yang berkaitan dengan tesis ini. Sumber bahan hukum pada tesis ini berupa sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan tesis ini. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara membaca dan mencatat liteatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan kemudian akan disajikan dengan deskripif analitis. Hasil Penelitian terhadap permasalahan yang dikaji adalah Berlakunya KTP-el mencegah dan menanggulangi adanya kepemilikan tanah pertanian secara Absentee. Setiap penduduk hanya bisa memiliki 1 NIK. Terbitnya KTP-el memberikan kejelasan mengenai domisili seseorang, sehingga panitia yang bertugas untuk mengawasi program landreform khususnya mengenai program absentee akan mudah untuk mendata tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara absentee. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara absentee dapat didistribusikan kepada petani dalam rangka landreform. Program pengampunan pajak akan membantu mendata adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Setelah data-data mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee sudah didapat, tanah-tanah pertanian tersebut dapat dikontribusikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan adanya Program pengampunan pajak dapat menertibkan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Kata kunci : Kepemilikan, tanah pertanian, pengampunan pajak, kartu tanda penduduk. ABSTRACT

Upload: truongdung

Post on 16-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee Melalui

Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk

Elektronik (KTP-el)

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan

Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 menyatakan adanya larangan kepemilikan tanah

pertanian secara absentee. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis

ini adalah 1). bagaimana keberadaan KTP-el terhadap larangan kepemilikan tanah

secara absentee? 2). bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah secara

absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan dengan program pengampunan pajak?

Jenis penelitian dalam tesis ini ialah penelitian hukum normatif karena

beranjak dari kekosongan norma terkait dengan larangan kepemilikan tanah

pertanian secara absentee yaitu pada Pasal 3 PP Nomor 224 tahun 1961. Pendekatan

yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan

pendekatan historis yang berkaitan dengan tesis ini. Sumber bahan hukum pada

tesis ini berupa sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan

tesis ini. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara membaca dan

mencatat liteatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan kemudian akan

disajikan dengan deskripif analitis.

Hasil Penelitian terhadap permasalahan yang dikaji adalah Berlakunya

KTP-el mencegah dan menanggulangi adanya kepemilikan tanah pertanian secara

Absentee. Setiap penduduk hanya bisa memiliki 1 NIK. Terbitnya KTP-el

memberikan kejelasan mengenai domisili seseorang, sehingga panitia yang

bertugas untuk mengawasi program landreform khususnya mengenai program

absentee akan mudah untuk mendata tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara

absentee. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka tanah-tanah pertanian yang

dimiliki secara absentee dapat didistribusikan kepada petani dalam rangka

landreform. Program pengampunan pajak akan membantu mendata adanya

kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Setelah data-data mengenai

kepemilikan tanah pertanian secara absentee sudah didapat, tanah-tanah pertanian

tersebut dapat dikontribusikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan adanya

Program pengampunan pajak dapat menertibkan kepemilikan tanah pertanian

secara absentee.

Kata kunci : Kepemilikan, tanah pertanian, pengampunan pajak, kartu tanda

penduduk.

ABSTRACT

Arrangement of Agricultural Land Ownership in Absentee Through

Tax Amnesty Program and Electronic Identity Card (KTP-el)

Article 3 paragraph (1) of Government Regulation No. 224 of 1961 jo.

Government Regulation No. 41 of 1964 states the existence of prohibition of

agricultural land ownership in absentee.The formulation of the problem to be

discussed in this thesis is 1). How is the existence of KTP-e to the prohibition of

absentee land ownership? 2). How is the existence of a prohibition of absentee

ownership of land in the presence of KTP-el associated with tax amnesty program?

The type of research in this thesis is normative legal research because it

departs from the void of norms related to the prohibition of agricultural land

ownership in absentee that is in Article 3 PP No. 224 year 1961. Approach used is

approach of legislation, approach of concept and approach of history Which relates

to this thesis. The source of legal material in this thesis is the source of primary and

secondary legal materials related to this thesis. The technique of collecting legal

materials is done by reading and recording lites related to the problem and then it

will be presented with analytical descriptive.

The results of the research on the issues studied are the enactment of KTP-

el to prevent the absentee ownership of farmland. Each resident can only have 1

NIK. KTP-el also can overcome the absentee ownership of agricultural land. The

issue of KTP-el gives clarity about the domicile of a person, so that the committee

in charge of supervising the landreform program especially regarding the absentee

program will be easy to record the farms owned by the absentee. Once these data

are obtained, the absentee owned farms can be distributed to the farmers in the

framework of land reform. The tax amnesty program will help to record the

absentee ownership of farmland. After data on absentee farm ownership have been

obtained, the farms can be contributed in accordance with the prevailing rules.

With the tax amnesty program can curb the ownership of agricultural land in

absentee.

Keywords: Ownership, agricultural land, tax amnesty, identity card.

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis dan berjudul Penataan Kepemilikan Tanah Pertanian

secara Absentee Melalui Program Pengampunan Pajak dan Kartu Tanda Penduduk

Elektronik (KTP-el). Bab I menguraikan latar belakang masalah yang berasal dari

adanya kekosongan norma Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961

menyatakan adanya larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dalam

prakteknya, kepemilikan tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk asli wilayah

tempat tanah pertanian tersebut sudah berpindah ke pihak lain, diluar dari tempat

kedudukan tanah tersebut. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka

pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan yaitu bagaimana

keberadaan KTP-el terhadap larangan kepemilikan tanah secara absentee dan

bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah secara absentee dengan adanya

KTP-el dikaitkan dengan program pengampunan pajak,tujuan penulisan, manfaat

penulisan, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan.

Bab II sebagai penjabaran dari kajian pustaka yang membahas mengenai

hak atas tanah, pengertian tanah absentee, tujuan larangan kepemilikan tanah

pertanian secara absentee, sanksi atas kepemilikan tanah pertanian secara absentee,

pengertian pengampunan pajak, subjek pengampunan pajak, objek pengampunan

pajak, prosedur perolehan pengampunan pajak, dan pengertian kartu tanda

penduduk eletronik, tujuan adanya kartu tanda penduduk elektronik. Bab III

merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan permasalahan

pertama sub bab pertama menguraikan fungsi KTP-el dalam mencegah kepemilikan

tanah pertanian secara absentee, sub bab kedua menguraikan mengenai fungsi KTP-

el dalam menanggulangi kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan permasalahan

kedua yang diuraikan dalam tiga sub bab, pertama keterkaitan program KTP-el

dengan program pengampunan pajak dalam menertibkan kepemilikan tanah. Kedua

menguraikan fungsi program pengampunan pajak dalam menertibkan kepemilikan

tanah pertanian secara absentee, ketiga hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

penertiban kepemilikan tanah pertanian secara absentee melalui program KTP-el

dan Pengampunan Pajak.

Bab V sebagai bab pentutup yang menguraikan mengenai simpulan dan

saran. Adapun simpulan pembahasan diatas adalah Berlakunya KTP-el mencegah

adanya kepemilikan tanah pertanian secara Absentee. Satu orang penduduk tidak

dapat memiliki lebih dari satu KTP-el, karena data-data kependudukan seperti NIK,

nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan,

golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku,

tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, tandatangan pemegang KTP-el, sidik jari

dan iris mata. Setiap penduduk hanya bisa memiliki 1 NIK. Dengan demikian

kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat dicegah dengan adanya KTP-el.

Selain mencegah adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee, KTP-el juga

dapat menanggulangi adanya kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

Terbitnya KTP-el memberikan kejelasan mengenai domisili seseorang, sehingga

panitia yang bertugas untuk mengawasi program landreform khususnya mengenai

program absentee akan mudah untuk mendata tanah-tanah pertanian yang dimiliki

secara absentee. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka tanah-tanah pertanian

yang dimiliki secara absentee dapat didistribusikan kepada petani dalam rangka

landreform. Pembeli yang hendak membeli tanah pertanian dengan menggunakan

KTP-el dengan domisili yang berbeda dengan tempat keberadaan tanah pertanian,

akan ditolak permohonan proses jual-beli dan pemindahan hak miliknya. Program

pengampunan pajak akan membantu mendata adanya kepemilikan tanah pertanian

secara absentee. Setiap wajib pajak yang mengikuti program wajib pajak harus

meyerahkan surat pernyataan yang berisikan data identitas diri dan harta-harta yang

dimiliki, sehingga dapat terekam apakah ada tanah pertanian yang dimiliki secara

absentee. Setelah data-data mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee

sudah didapat, tanah-tanah pertanian tersebut dapat dikontribusikan sesuai dengan

aturan yang berlaku. Dengan adanya Program pengampunan pajak dapat

menertibkan kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Sehingga program

landreform mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat

terwujud dengan baik. Sebagai saran Kepada Notaris/PPAT sebaiknya penggunaan

surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah tidak lagi digunakan untuk

mencegah timbulnya pemilikan-pemilikan tanah absentee baru, sesuai dengan

ketentuan larangan pemilikan tanah absentee sehingga tujuan yang dari larangan

pemilikan tanah absentee dapat tercapai. Bagi pemerintah dan badan legislatif,

perlu dikaji kembali peraturan-peraturan mengenai kepemilikan tanah pertanian

secara absentee. Penggunaan surat keterangan domisili harus dipertegas untuk tidak

digunakan lagi dalam proses jual-beli tanah pertanian. Harus ada peraturan baru

yang dibuat mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

Program pengampunan pajak dan KTP-el harus ikut disesuaikan dalam pengaturan

yang baru mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

DAFTAR ISI

SAMPUL

DEPAN ......................................................................................................................

i

SAMPUL

DALAM .....................................................................................................................

ii

PRASYARAT GELAR MAGISTER

KENOTARIATAN ....................................................................................................

iii

LEMBAR

PENGESAHAN .........................................................................................................

iv

PENETAPAN PANITIA

PENGUJI ...................................................................................................................

v

PERNYATAAN BEBAS

PLAGIAT ...................................................................................................................

vi

UCAPAN TERIMA

KASIH .......................................................................................................................

vii

ABSTRAK .................................................................................................................

x

ABSTRACT ...............................................................................................................

xi

RINGKASAN ............................................................................................................

xii

DAFTAR

ISI ...............................................................................................................................

xiv

BAB

I PENDAHULUAN ....................................................................................

1

1.1. Latar Belakang

Masalah ......................................................................................................................

1

1.2. Rumusan

Masalah ......................................................................................................................

22

1.3. Tujuan

Penelitian ....................................................................................................................

22

1.3.1. Tujuan

Umum .........................................................................................................................

22

1.3.2. Tujuan

Khusus ........................................................................................................................

23

1.4. Manfaat

Penelitian ....................................................................................................................

23

1.4.1. Manfaat

Teoritis .......................................................................................................................

23

1.4.2. Manfaat

Praktis .........................................................................................................................

23

1.5. Landasan

Teoritis .......................................................................................................................

24

1.6. Metode

Penelitian ....................................................................................................................

36

1.6.1. Jenis

Penelitian ....................................................................................................................

36

1.6.2. Jenis

Pendekatan .................................................................................................................

37

1.6.3. Sumber Bahan

Hukum ........................................................................................................................

37

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan

Hukum ........................................................................................................................

41

1.6.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan

Hukum ........................................................................................................................

42

BAB II TINJAUAN UMUM LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH

PERTANIAN SECARA ABSENTEE, PENGAMPUNAN PAJAK,

DAN KARTU TANDA PENDUDUK ELEKTRONIK (KTP-

EL) ............................................................................................................ 44

2.1. Kepemilikan Tanah Pertanian secara

Absentee .....................................................................................................................

44

2.1.1. Hak Atas

Tanah ..........................................................................................................................

44

2.1.2. Pengertian Tanah Pertanian

Absentee .....................................................................................................................

53

2.1.3. Tujuan Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian secara

Absentee ....................................................................................

70

2.1.4. Sanksi atas Kepemilikan Tanah Pertanian secara

Absentee ....................................................................................

73

2.2. Pengampunan

Pajak ...........................................................................................................................

75

2.2.1. Pengertian Pengampunan

Pajak ..........................................................................................

75

2.2.2. Subjek Pengampunan

Pajak ..........................................................................................

81

2.2.3. Objek Pengampunan

Pajak ..........................................................................................

84

2.2.4. Prosedur Perolehan Pengampunan

Pajak ..........................................................................................

93

2.3. Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-

el)................................................................................................................................

99

2.3.1. Pengertian Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-

el) ..............................................................................................

99

2.3.2. Tujuan adanya Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-

el) ..............................................................................................

101

BAB III KEBERADAAN KTP-EL TERHADAP LARANGAN

KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA

ABSENTEE .............................................................................................. 104

3.1. Fungsi KTP-el dalam Mencegah Kepemilikan Tanah Pertanian

secara

Absentee ..............................................................................................

104

3.2. Fungsi KTP-el dalam Menanggulangi Kepemilikan Tanah

Pertanian secara

Absentee ..............................................................................................

114

BAB IV KEBERADAAN LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH

PERTANIAN SECARA ABSENTEE DENGAN ADANYA KTP-EL

DIKAITKAN DENGAN PROGRAM PENGAMPUNAN

PAJAK ...................................................................................................... 120

4.1. Keterkaitan Program KTP-el dengan Program Pengampunan Pajak

dalam Menertibkan Kepemilikan Tanah Pertanian secara

Absentee ..............................................................................................

120

4.2. Fungsi Program Pengampunan Pajak dalam Menertibkan

Kepemilikan Tanah secara

Absentee ..............................................................................................

132

4.3. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Penertiban Kepemilikan

Tanah Pertanian secara Absentee melalui Program KTP-el dan

Pengampunan

Pajak ...................................................................................................

139

BAB V

PENUTUP ................................................................................................

143

5.1.

Simpulan..................................................................................................

143

5.2. Saran-

Saran ........................................................................................................

144

DAFTAR

PUSTAKA ................................................................................................................. 146

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tanah adalah satu kesatuan wilayah yang spesifik dari permukaan bumi.

Dalam hukum adat, tanah adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan

persekutuannya dengan manusia. Tanah memiliki beragam makna dari makna

filosofis, makna sosiologis, dan makna ekonomis. Secara filosofis, hubungan tanah

dengan manusia merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius.

Nilai filosofis tanah itu bersifat universal, berlaku pada siapapun, dimanapun dan

kapanpun. Tanah dan manusia meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun

merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian

tata alam. Tanah secara luas memiliki pengertian meliputi semua unsur bumi, air,

udara, kekayaan alam, serta hubungan antara sesama manusia sebagai pusat,

maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.

Tanah menjadi sumber daya strategis sebagai kekayaan nasional, pemersatu

wilayah, karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk kemakmuran rakyat.

Kemakmuran itu dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai

tambah atau hasil yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat

yang berkeadilan.1 Secara sosiologis, tanah dapat dilihat dari unsur penguasaan atas

tanah dan bagaimana memperlakukan tanah. Kepemilikan tanah turut memberikan

status sosial bagi masyarakat.

1 Bernhard Limbong, 2014, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, h.26

2

Makna dari tanah tersebut berbeda-beda bagi masyarakat. Nilai suatu tanah

mengacu pada produktivitas dari tanah tersebut, semakin subur tanah atau semakin

produktif maka semakin tinggi nilainya.2 Secara ekonomis, tanah menonjolkan

fungsinya sebagai aset modal. Tanah lebih dilihat sebagai komoditas. Penguasaan

dan pemanfaatan tanah bergantung pada mekanisme pasar, sehingga menimbulkan

ketimpangan dalam struktur kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah hanya

berkonsentrasi pada sekelompok orang yang memiliki modal besar.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75) untuk

selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam pasal ini

mengandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur sumber

daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam

rangka menyejahterakan segenap rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan isi dari

pasal ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2043) untuk selanjutnya disebut UUPA, mengatur

mengenai hukum pertanahan yang sesuai dengan jiwa dari bangsa Indonesia.

Lahirnya UUPA disebabkan oleh adanya beberapa faktor, antara lain :

a. Karena hukum agraria yang berlaku sebelum UUPA, sebagian tersusun

berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian

2 Ibid, h.27-28

3

lainnya lagi dipengaruhi oleh pemerintah jajahan, hingga bertentangan

dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan

pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional

sekarang ini.

b. Karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum

agraria memiliki sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-

peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang

didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan berbagai

masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita

persatuan bangsa.

c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian

hukum.3

UUPA diundangkan dengan tujuan untuk: (1) meletakkan dasar-dasar bagi

penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran,

kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-

dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (3) meletakkan

dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi

seluruh rakyat. Tujuan UUPA tersebut menunjukkan bahwa pengaturan

penyediaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah atau tanah sebagai obyek

pengaturan dalam UUPA dengan jelas ditujukan untuk membawa kemakmuran,

kebahagian dan keadilan bagi negara dan bagi rakyat seluruhnya dalam rangka

3 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.32

4

tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pengaturan penggunaan dan peruntukkan

menurut UUPA dikenal dengan kebijakan pertanahan bersifat populis, karena

pengaturan peruntukan dan penggunaan tanahnya menjunjung tinggi hak dan

keutamaan rakyat kecil atas tanah yang diatur dalam UUPA maupun peraturan

pelaksananya. 4 Untuk mewujudkan tujuan UUPA tersebut ditindak lanjuti dengan

lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-

Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117), selanjutnya disebut UU

Landreform, yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para

petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan

pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila.5 Landreform meliputi perombakan mengenai kepemilikan dan

penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan

tanah. Dalam Pasal 7 UUPA menetapkan bahwa : “Untuk tidak merugikan

kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas

tidak diperkenankan.” Berdasarkan Pasal 7 UUPA tersebut, program landreform

lahir dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur dengan cara

pembatasan kepemilikan tanah pertanian. Tujuan landreform di Indonesia

dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU Landreform, yaitu :

4 Ida Bagus Agung Putra Santika, 2011, Kebijakan Peruntukan dan Penggunaan Tanah

Untuk Penanaman Modal di Bidang Pariwisata, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

Malang, h.87.

5 Effendi Perangin, 1986, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum, CV.Rajawali, Jakarta, h.122.

5

a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat

tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil

pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara

revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.

b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah

sebagai obyek spekulasi dan obyek pemerasan.

c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga

negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu

pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai

hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi

sosial.

d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus kepemilikan dan

penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan

menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap

keluarga. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan

kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan

ekonomi lemah.

e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya

pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan

bentuk gotong-royong lainnya untuk mencapai kesejahteraan yang merata

dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada

golongan tani.

6

Salah satu tujuan dari landreform yaitu mengadakan pembagian yang adil

dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga

dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

Tujuan landreform ini diwujudkan melalui penetapan luas minimum dan luas

maksimum kepemilikan tanah pertanian dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau

badan hukum. Tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh

pemerintah dengan ganti kerugian dan untuk selanjutnya akan dibagikan kepada

rakyat yang membutuhkan, dalam hal ini adalah petani yang tidak memiliki tanah

pertanian sendiri atau petani yang memiliki tanah di bawah batas minimum. Tanah-

tanah yang dibagikan tidak hanya terbatas pada tanah-tanah yang merupakan

kelebihan dari batas maksimum, tapi juga tanah-tanah yang karene pemiliknya

bertempat tinggal di luar daerah, tanah-tanah swapraja dan bekas swaparaja yang

beralih kepada negara dan tanah-tanah lain yang dikuasai oleh negara. Dalam

rangka mewujudkan tujuan dari UUPA dan landreform tersebut, undang-undang

yang mengatur mengenai landreform menguraikan mengenai program-program

dari landreform. Adapun Program tersebut antara lain:

a). Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

b). Larangan pemilikan tanah secara absentee;

c). Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-

tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan

tanah-tanah negara;

d). Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan

7

pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau

kecil.6

Larangan Kepemilikan Tanah pertanian secara absentee adalah larangan

pemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar daerah tempat tinggal pemiliknya.

Dalam Pasal 10 UUPA secara tegas melarang kepemilikan tanah secara absentee,

sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah

pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri

secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan;

(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan

peraturan perundangan;

(3) Pengecualian dari pada asas tersebut pada ayat (1) ini diatur dalam peraturan

perundangan.

Berdasarkan pada ketentuan di atas, UUPA memberi jaminan kepastian

hukum kepada setiap warga negara, tanpa membedakan kaya atau miskin untuk

mempunyai hak atas tanah pertanian. UUPA juga memberi perlindungan hukum

berupa mencegah terjadinya pemerasan oleh pemilik tanah yang kaya terhadap

rakyat miskin, seperti petani penggarap atau buruh tani dalam perjanjian bagi hasil

yang tidak adil dan menguntungkan pemilik tanah yang kaya tersebut, dengan

mewajibkan pemilik tanah untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri

tanahnya.

Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2322) untuk selanjutnya disebut PP No.224 tahun 1961,

6 Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, h.203.

8

menyatakan bahwa : “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar

Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan

hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah

ke kecamatan letak tanah tersebut”. Dalam Pasal 3 PP No.224 tahun 1961,

menentukan bahwa mereka-mereka yang mendapatkan pengecualian untuk

memiliki tanah secara guntai (absentee), yaitu:

a. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan

dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat

tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan

tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia landreform

daerah tingkat II.

b. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban

agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh

Menteri Agraria.

c. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang

dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.

Apabila seseorang ketahuan memiliki kelebihan tanah (absentee) maka

tanah tersebut harus dilepaskan atau sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban

diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan

di atas maka tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah untuk

kemudian didistribusikan dalam rangka landreform. Kepada bekas pemiliknya

diberikan ganti kerugian sesuai peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik

9

tanah tersebut. Tetapi, bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya

dari diambilnya oleh pemerintah antara lain dengan jalan :

1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi kecamatan

tersebut.

2. Ditukarkan kepada penduduk setempat (yang berada diwilayah tempat

tanah berada).

3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal disekitar tanah itu

berada

4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa

wakaf atau hibah).

Pemerintah tidak semata-mata membuat peraturan atas larangan

kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Tujuan dari adanya larangan

mengenai tanah absentee, antara lain :

1. Agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat

dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan,

karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.

2. Ada kepentingan sosial dan perlindungan tanah, karena ada kekhawatiran

dari pemerintah kalau tanah absentee dibiarkan akan menjadi tanah yang

terlantar dan kurang produktif sebab tempat tinggal pemiliknya jauh. Untuk

itu pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan yaitu dengan

cara melarang pemilikan tanah secara absentee ini.

3. Tanah penggarapan menjadi tidak efisien, termasuk mengawasinya dan

pengangkutan hasil-hasilnya. Keadaan ini dapat menimbulkan pengisapan

10

dari orang-orang kota terhadap desa, baik dengan sistem sewa ataupun bagi

hasil. Dengan demikian keringat dan tenaga para petani juga dinikmati oleh

pemiliknya yang tidak berada didaerah tersebut.

Dalam prakteknya, kepemilikan tanah pertanian yang dimiliki oleh

penduduk asli wilayah tempat tanah pertanian tersebut sudah berpindah ke pihak

lain, diluar dari tempat kedudukan tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya

pergeseran pemikiran mengenai kegunaan tanah. Tanah pertanian dijadikan objek

investasi, baik untuk perumahan, industri, maupun pengembangan pariwisata.

Kepemilikan tanah pertanian secara absentee dapat terjadinya karena adanya jual-

beli tanah dan pewarisan. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut

PPAT) memiliki peranan penting dalam hal tersebut. PPAT bertugas pokok

melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai

bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Akta tersebut akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud antara lain : jual beli, tukar menukar,

hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,

pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak

Tanggungan, pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Tugas pokok

PPAT tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52) untuk

selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998. Seorang PPAT bertugas untuk

11

melayani permohonan-permohonan dari masyarakat untuk membuat akta-akta

tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan

pendaftaran tanah serta peraturan jabatan PPAT. PPAT wajib mengambil keputusan

untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. Apabila syarat

formil administrasi telah terpenuhi oleh masyarakat yang mengajukan permohonan,

maka PPAT tidak mempunyai kewenangan untuk mengecek keaslian data-data

yang diberikan oleh kliennya, karena PPAT tidak memiliki kewenangan secara

materiil dalam hal ini. Sepanjang para pihak mengatakan benar semisal Kartu

Tanda Penduduk ( selanjutnya disebut KTP), apakah itu KTP asli atau palsu,

ataupun klien tersebut memiliki KTP lain selain KTP yang diberikan kepada PPAT,

maka PPAT hanya menerima saja, tidak menyelidiki mengenai kebenaran

materiilnya. Kepemilikan tanah pertanian oleh orang-orang yang berada di luar

kecamatan tempat tanah pertanian tersebut dapat terjadi karena adanya pemalsuan

dokumen-dokumen kependudukan. Surat domisili sering dipalsukan oleh pembeli

agar dapat membeli dan memindahkan haknya terhadap tanah pertanian tersebut.

surat domisili dapat dipalsukan karena dahulu Kartu Tanda Penduduk masih

konvensional, sehingga orang-orang dapat menggandakan KTP untuk memalsukan

dokumen-dokumen. Hal ini disebabkan karena adanya kekosongan norma dalam

Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961. Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961 menyatakan bahwa

:

(1) Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak

tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya

kepada orang lain dikecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke

kecamatan letak tanah tersebut.

(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah

yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan

12

tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya

masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara effisien, menurut

pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka

jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat

kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun

berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik tanahnya kepada orang lain

yang bertempat tinggal di kecamatan itu.

(4) Ketentuan dalam ayat (1) dan (3) pasal ini tidak berlaku bagi mereka, yang

mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau dikecamatan sebagai

yang dimaksudkan dalam ayat (2) pasal ini, yang sedang menjalankan tugas

Negara, menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan khusus

lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai

negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka,

yang sedang menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini

terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas

maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut

Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

(5) Jika kewajiban tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal ini tidak dipenuhi, maka

tanah yang bersangkutan diambil oleh Pemerintah, untuk kemudian dibagi-

bagikan menurut ketentuan Peraturan ini.

(6) Kepada bekas pemilik tanah yang dimaksud dalam ayat 5 pasal ini diberi

ganti kerugian menurut Ketentuan Peraturan ini.

Dalam pasal tersebut tidak diatur secara tegas mengenai persyaratan

seseorang dapat memiliki tanah pertanian di kecamatan wilayah tempat tinggalnya.

Selain itu, pada Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961 ini tidak mengatur persyaratan apa

yang diperlukan untuk menentukan kebenaran dari domisili seseorang. Hal tersebut

menimbulkan celah untuk terjadinya penyelundupan hukum agar seseorang dapat

memiliki tanah pertanian secara absentee. Ketentuan tersebut sampai saat ini belum

dilakukan perubahan. Banyak kecurangan yang timbul dalam pelaksanaan

ketentuan mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini

akibat dari adanya kekosongan norma pada pasal tersebut.

Perkembangan pendataan kependudukan di Indonesia, melahirkan program

baru yaitu Kartu Tanda Penduduk Elektronik (selanjutnya disebut KTP-el).

13

Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) untuk selanjutnya

disebut UU Administrasi Kependudukan Perubahan) menyatakan bahwa : “Kartu

Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda

Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai

bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.” KTP-el merupakan program

pemerintah untuk mendata kependudukan yang bertujuan untuk terjaminnya

keaslian data kependudukan seseorang dan mempermudah pendataan

kependudukan di Indonesia. KTP-el adalah suatu identitas penduduk yang didesain

dengan autentifikasi dan pengaman data tinggi dengan menanamkan chip di dalam

kartu yang mempunyai kemampuan autentifikasi,enkripsi dan tanda tangan digital.

KTP-el memiliki fungsi antara lain:

1. Sebagai identitas jati diri.

2. Berlaku Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk

pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;

3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP,sehingga tercipta keakuratan

data penduduk untuk mendukung program pembangunan.

Dalam Pasal 63 ayat (3) UU Administrasi Kependudukan Perubahan

menyatakan bahwa : “KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara

nasional.” Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2013

tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009

14

tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan

Secara Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 257)

untuk selanjutnya disebut PerPres Nomor 112 Tahun 2013, pada Pasal 10B ayat (1)

huruf a dan huruf b dinyatakan bahwa KTP-el merupakan identitas resmi bukti

domisili penduduk dan KTP-el dapat digunakan sebagai bukti diri penduduk untuk

pengurusan kepentingan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

Berdasarkan penguraian pasal-pasal tersebut, maka adanya KTP-el dapat mencegah

adanya kepemilikan tanah secara absentee.

Berbicara mengenai tanah tidak terlepas dari adanya pajak. Pajak memiliki

peranan penting dalam pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan suatu negara.

Pajak menjadi salah satu sumber pemasukan kas negara. Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) untuk selanjutnya disebut UU

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan

bahwa : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah:

“Peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai

15

pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan

sumber utama untuk membiayai public investment.”7

Pajak merupakan penerimaan negara yang terbesar dalam Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pajak dipungut dari warga negara sebagai

kewajiban dan dapat dipaksakan penagihannya, serta tidak memiliki manfaat

langsung untuk pihak yang membayarkannya, akan tetapi manfaat yang diterima

oleh masyarakat berupa pembangunan infrastruktur, fasilitas umum dan dana

sosial. Penerimaan pajak setiap tahunnya selalu mengalami penurunan, sehingga

pemerintah berupaya mengeluarkan program, yaitu program pengampunan pajak

(tax amnesty). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 131 tahun 2016, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5899) selanjutnya disebut UU Pengampunan Pajak, disebutkan bahwa:

“Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak

dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,

dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.” Program pengampunan pajak memiliki beberapa

tujuan yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pengampunan Pajak yaitu :

1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan

harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas

domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penukaran suku bunga, dan

peningkatan investasi.

7 Adrian Sutendi, 2011, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, h.2

16

2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih

berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid,

komprehensif, dan terintegrasi.

3. Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk

pembiayaan pembangunan.

Setiap wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak, harus

mengungkapkan seluruh harta yang dimilikinya. Harta yang dimaksud menurut

Pasal 1 angka 3 UU Pengampunan Pajak adalah akumulasi tambahan kemampuan

ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan

untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Tanah termasuk dalam harta yang diungkap oleh wajib pajak

pada saat mengajukan pengampunan pajak, termasuk di dalamnya apabila wajib

pajak memiliki tanah pertanian yang dimiliki secara absentee. Adanya

pengungkapan harta yang dimiliki oleh wajib pajak, dapat menunjukkan apakah

harta tersebut dimiliki sah secara hukum atau dengan adanya penyeludupan hukum.

Program KTP-el dan pengampunan pajak dapat menunjang program

pemerintah mengenai larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

Dengan adanya program KTP-el, dapat mencegah adanya kepemilikan tanah

pertanian secara absentee, sedangkan dengan adanya program pengampunan pajak,

akan terdata tanah-tanah pertanian yang dimiliki secara absentee. Melalui kedua

program tersebut, diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari program landreform.

Untuk menjamin orisinalitas penulisan tesis ini, penulis membandingan dengan

17

penelitian lain. Pertama penulis membandingkan dengan tesis Mahasiswa Magister

Kenotariatan Universitas Udayana atas nama Putu Lasmini Ariestya Dewi pada

tahun 2013, tesis Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

atas nama Artha Rumondang Siburian, dan tesis Mahasiswa Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro atas nama Ariska Dewi.

ORISINALITAS PENELITIAN

NO. PENELITI JUDUL RUMUSAN

MASALAH

HASIL

PENELITIAN

1. Putu Lasmini

Ariestya

Dewi,

Magister

Kenotariatan,

Fakultas

Hukum,

Universitas

Udayana,

tahun 2013

Penggunaan

Surat

Keterangan

Domisili

dalam

Pengaturan

Hukum

Pemilikan

Tanah

Absentee

Berkaitan

dengan

Praktek Jual-

Beli Tanah.

1. Apakah

penggunaan surat

keterangan

domisili dalam

jual-beli tanah

pertanian yang

pembelinya

bertempat tinggal

di luar kecamatan

letak tanah yang

dibeli, sudah

sesuai dengan

filosofi yang

terkandung dalam

ketentuan tentang

pemilikan tanah

absentee?

2. bagaimana

kebijakan

Penggunaan surat

keterangan domisili

dalam jual-beli tanah

pertanian yang

pembelinya

bertempat tinggal di

luar kecamatan letak

tanah yang dibeli,

tidak sesuai dengan

filosofi yang

terkandung dalam

ketentuan tentang

pemilikan tanah

absentee. Hal ini

ditunjukkan dengan

tidak produktifnya

tanah pertanian yang

dibeli dengan

menggunakan

18

penggunaan surat

keterangan

domisili dalam

transaksi jual-beli

tanah pertanian

dimaknai oleh

pejabat terkait?

3. bagaimana

peruntukan dari

pemilikan tanah

secara absentee

dalam

kenyataannya?

identitas diri berupa

surat keterangan

domisili, karena

pembeli tersebut

tidak benar-benar

bertempat tinggal di

letak kecamatan

tanah pertaniannya.

Peruntukan dari

pemilikan tanah

secara absentee

dalam kenyataannya

dijumpai sebagian

besar sebagai tanah-

tanah pertanian yang

tidak produktif dan

tidak dikerjakan

secara optimal oleh

karena pemiliknya

tidak bertempat

tinggal di

kecamatam letak

tempat tanah

pertaniannya.

2. Artha

Rumondang

Siburian,

Magister

Kenotariatan,

Eksistensi

Larangan

Kepemilikan

Tanah secara

Latifundia

1. Bagaimana latar

belakang

timbulnya

kepemilikan

tanah secara dan

Latar belakang

timbulnya

kepemilikan tanah

secara latifundia dan

absentee karena

19

Fakultas

Hukum,

Universitas

Sumatra

Utara, Tahun

2009.

dan

Absentee

(Guntai)

Studi Kantor

Pertanahan

Kabupaten

Deli Serdang

absentee

(guntai)?

2. apakah

pelaksanaan

peraturan

larangan

kepemilikan

tanah latifundia

dan absentee

(guntai) masih

efektif

dioperasionalka

n dalam

pelaksanaan

restrukturisasi

pemilikan tanah

pertanian di

Kabupaten Deli

Serdang?

3. Bagaimana

peranan Kantor

Pertanahan

Kabupaten Deli

Serdang

terhadap

pelaksanaan

larangan

kepemilikan

tanah secara

latifundia dan

mudahnya untuk

mendapatkan Kartu

Tanda Penduduk

(KTP) dan adanya

penggunaan kuasa

mutlak. Dalam

praktek yang sering

terjadi adalah adanya

sebidang tanah

pertanian yang

dimiliki oleh

seseorang dalam

kenyataannya sudah

tidak dikuasainya

lagi karena telah

beralih secara diam-

diam ke tangan

orang lain yang

berdomisili di luar

kecamatan letak

tanah tersebut.

Pelaksanaan

peraturan tentang

kepemilikan tanah

latifundia dan

absentee sudah tidak

sesuai lagi dengan

perkembangan

zaman sekarang ini

sehingga banyak

peraturan-peraturan

20

absentee

(guntai)?

yang perlu direvisi

atau diganti. Kantor

Pertanahan

Kabupaten Deli

Serdang hanya

sekedar dalam

memberikan

kontribusi terhadap

larangan pemilikan

tanah secara

latifundia dan

absentee dengan

memberikan

penyuluhan kepada

masyarakat akan

pentingnya

pendaftaran tanah

yang efektif dan

efisien sebagai

upaya dalam

memberikan

jaminan kepastian

hukum dan

perlindungan hukum

bagi pemegang hak

atas tanah.

3. Ariska Dewi,

Magister

Kenotariatan,

Peran Kantor

Pertanahan

dalam

1. Faktor-faktor apa

sajakah yang

menyebabkan

Faktor penyebab

terjadinya

kepemilikan tanah

21

Universitas

Diponegoro,

tahun 2008

Mengatasi

Kepemilikan

Tanah

Absentee/Gu

ntai di

Kabupaten

Banyumas

terjadinya

kepemilikan tanah

secara

absentee/guntai di

Kabupaten

Banyumas?

2. Bagaimanakah

peran Kantor

Pertanahan

Kabupaten

Banyumas dalam

mengatasi atau

menyelesaikan

masalah tanah-

tanah

absentee/guntai?

pertanian secara

absentee antara lain :

faktor kurangnya

kesadaran hukum,

faktor pewarisan,

faktor sarana dan

prasarana, faktor

penegakan hukum,

faktor ekonomi,

sanksi yang tidak

tegas.

Peran Kantor

Pertanahan dalam

mengatasi

kepemilikan tanah

pertanian secara

absentee yaitu :

penertiban secara

administrasi dan

penertiban hukum.

Setelah Penulis bandingkan dengan ketiga tesis tersebut, maka penelitian ini

tidak ada kemiripan antara judul dan rumusan masalah yang penulis buat dengan

kedua tesis tersebut sehingga bebas dari penjiplakan atau plagiat. Berdasarkan latar

belakang diatas akan dibahas dalam karya ilmiah yang berjudul: “PENATAAN

KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE MELALUI

PROGRAM PENGAMPUNAN PAJAK DAN KARTU TANDA PENDUDUK

ELETRONIK (KTP-EL).”

1.2. Rumusan Masalah

22

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis mencoba

merumuskan permasalahan sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang

akan diteliti. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimana keberadaan KTP-el terhadap larangan kepemilikan tanah

pertanian secara absentee?

2. Bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara

absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan dengan program pengampunan

pajak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dibagi 2 (dua) yaitu tujuan yang bersifat umum

dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan yang dimaksud sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan

menganalisa, mengenai penataan kepemilikan tanah pertanian secara absentee

melalui program pengampunan pajak dan kartu tanda penduduk elektronik (ktp-el).

Dengan kata lain, penulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa

keterkaitan, larangan kepemilikan tanah secara absentee, pengampunan pajak dan

KTP-el.

1.3.2. Tujuan Khusus

23

Selain tujuan yang bersifat umum, penelitian ini juga memiliki tujuan

khusus. Berdasarkan pada permasalahan yang dibahas, maka yang menjadi tujuan

khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai keberadaan KTP-el terhadap

larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai keberadaan larangan

kepemilikan tanah pertanian secara absentee dengan adanya KTP-el

dikaitkan dengan program pengampunan pajak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dibagi

menjadi 2 (dua). Manfaat tersebut antara lain manfaat secara teoritis dan manfaat

secara praktis yang akan diuraikan sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi,

tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum pajak dan hukum agraria.

Penelitian untuk menambah pengetahuan mengenai keterkaitan kebijakan

pengampunan pajak dan kepemilikan tanah pertanian secara absentee setelah

berlakunya KTP-el.

1.4.2. Manfaat Praktis

Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga mampu

memberikan manfaat secara praktis. Adapun manfaat praktis dari penelitian ini

antara lain:

24

1. Bagi Akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menambah

wawasan dalam melakukan penelitian lebih lanjut terhadap fungsi

pengampunan pajak terhadap kepemilikan tanah pertanian secara absentee

setelah berlakunya KTP-el.

2. Bagi Notaris, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan

menambah informasi dalam menjalankan profesinya terkait dalam membuat

akta mengenai kepemilikan tanah pertanian.

3. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

pengkajian pembentukan suatu undang-undang yang berkaitan dengan

agraria dan landreform.

1.5. Landasan Teoritis

Dalam membahas dan menganalisis tesis ini yang berjudul, “Penataan

Kepemilikan Tanah Pertanian secara Absentee melalui Program Pengampunan

Pajak dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik” akan digunakan beberapa teori, asas,

pendapat sarjana, dan konsep sebagai acuan dasarnya. Adapun teori dan konsep

yang digunakan adalah: teori negara hukum, teori kepastian hukum, teori penemuan

hukum, teori hukum sebagai sarana pembaharuan, konsep tanah absentee, konsep

pengampunan pajak, dan konsep KTP-el.

1. Teori Negara Hukum

Teori negara hukum menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang

menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat.8Negara

8 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Perizinan Berwawasan

Lingkungan, Pustaka Sutra, Bandung, h.56.

25

Indonesia telah menyatakan diri sebagai Negara hukum, demikian pula dijelaskan

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Negara hukum adalah Negara yang

berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya. Segala kewenangan

dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata mata berdasarkan

hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.9 Secara teoritis

pelaksanaan pemerintahan negara dilandasi oleh ketentuan dalam konstitusi.

Konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara yang memuat hal-hal yang

fundamental dalam suatu negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara

hukum “rechtstaat”, menurut Burkens, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut :

a. Asas legalitas, artinya setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan

peraturan perundang-undangan (Wettelijke Grondslag). Dengan landasan

ini, undang-undang dalam arti formal, dan undang-undang sendiri

merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hubungan ini

pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.

b. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan

negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

c. Hak-hak dasar (grondrechten) dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentuk undang-undang.

9 Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h.111.

26

d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.10

Pemikiran tentang negara hukum sudah ada sejak jaman Yunani dari

pemikiran Plato, yang mengatakan bahwa dalam negara ideal (politeia)

penyelenggara negara yang baik tidak cukup dilakukan oleh para filsuf, melainkan

juga harus berdasarkan pada hukum yang baik yang disebut dengan nomoi.11 Ide

negara hukum muncul kembali dengan berkembangnya aliran liberal dengan cara

pandang yang individualistik, yang melahirkan negara hukum liberal, atau lebih

dikenal dengan nama Negara Jaga Malam (nachwakerstaat). Menurut aliran ini

bahwa tugas pokok negara adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi

golongan rulling class.12 Salah satu ciri penting dari konsep negara hukum ini

adalah sifat pemerintahan yang pasif, artinya bahwa pemerintah hanya sebagai

penjaga keamanan dan ketertiban, tidak turut dalam urusan kesejahteraan

warganya.

Pelopor Negara Hukum Liberal adalah Immanuel kant yang melahirkan

konsep Rechstaats, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Frederick Julius

Stahl yang mengemukakan bahwa unsur-unsur negara hukum adalah : 1).

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, 2).Adanya pembagian

kekuasaan berdasarkan prinsip dalam trias politika, 3).Pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan undang-undang, 4).Adanya peradilan administrasi.13

10 Burkens M. et.al., 1990, Beginselen can de Democratiche Rechtsstaat, Dalam Yohanes

Usfunan, Kebebasan Berpendapat Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program

Pascasarjana UNAIR, Surabaya, h.111. 11 JH Rapar, 1988, Filsafat Politik Plato, Rajawali Press, Jakarta, h.90. 12 Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Loc.Cit. 13 Muhammad Tahir Azhary, 2003, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Medinah dan Masa Kini,

Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, h.89.

27

Konsep negara hukum ini juga identik dengan konsep Rule of Law yang

berkembang di Negara Anglo Saxon.

Seiring dengan perkembangan paham sosialisme yang menghendaki

pembagian kesejahteraan secara merata, gagasan yang membatasi kekuasaan

pemerintah mengurus kepentingan warganya bergeser ke gagasan bahwa

pemerintahan harus bersifat pro aktif untuk mensejahterakan warganya

(bestuurzorg), karena itulah kemudian muncul konsep negara kesejahteraan

(walfare state). Teori negara hukum material (welfare state) ini tidak saja

diimplementasikan pada negara kerajaan tetapi juga pada negara republik seperti:

Inggris, Belanda, Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, India dan

juga Indonesia.14

Berdasarkan penjabaran di atas jika dikaitkan dengan Penataan kepemilikan

tanah pertanian secara absentee melalui program pengampunan pajak dan kartu

tanda penduduk elektronik (KTP-el) adalah bagaimana keberadaan KTP-el

terhadap larangan kepemilikan tanah secara absentee. Asas legalitas merupakan

syarat dari suatu negara hukum. Setiap tindakan pemerintah dan masyarakat harus

berlandaskan pada peraturan yang telah dibentuk. Teori negara hukum dalam tesis

ini akan digunakan dalam pembahasan permasalahan pertama dan kedua.

2. Teori Kepastian Hukum

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana tentang kepastian

hukum. Kepastian hukum berarti hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari

14 Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, UMM Press, Malang, h.14.

28

hukum, dalam hal-hal yang konkret. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen)

ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia

memperoleh dengan perkara.15 Selanjutnya Achmad Ali mengatakan bahwa

kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak

terhadap kesewenang-wenangan hakim.16 Maria SW. Sumardjono sebagaimana

dikutip oleh Irawan Soerjono, menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum

itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara

operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan

peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan

konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.17

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama

adanya suatu aturan hukum yang bersifat umum bagi individu dimana aturan hukum

tersebut dibuat untuk mengetahui perbuatan mana yang boleh atau tidak boleh

dilakukan, sedangkan yang kedua teori kepastian hukum berupa keamanan hukum

bagi individu dari kesewenangan pemerintah, sehingga individu dapat mengetahui

dan mengontrol apa saja yang boleh dibebankan dan dilakukan pemerintah atau

negara terhadap individu.18

Berdasarkan penjabaran di atas jika dikaitkan dengan Penataan kepemilikan

tanah pertanian secara absentee melalui program pengampunan pajak dan kartu

15 Van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h.105. 16 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Fiosofis Dan Sosiologis),

Chandra Pratama, Jakarta, h.134. 17 Irawan Soerdjono, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola.,

Jakarta, h.177.

18Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 158.

29

tanda penduduk elektronik (KTP-el) adalah bagaimana keberadaan larangan

kepemilikan tanah secara absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan dengan

program pengampunan pajak. Kekosongan norma dalam Pasal 3 PP 224 Tahun

1961 tidak memberikan kepastian hukum terhadap adanya kepemilikan tanah

pertanian secara absentee. Kepastian hukum berarti hukum harus memberikan

kejelasan atas tindakan pemerintah dan masyarakat sehingga memberikan kepastian

hukum, dan tidak menimbulkan multitafsir atas aturan hukum tersebut. Dengan

penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan kepastian hukum terhadap

Penataan kepemilikan tanah pertanian secara absentee melalui program

pengampunan pajak dan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Teori kepastian

hukum dalam tesis ini akan digunakan dalam pembahasan permasalahan pertama.

3. Teori Penemuan Hukum

Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses pembentukan hukum oleh

hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan

hukum umum pada suatu peristiwa hukum yang konkret. Paul Scholten berpendapat

bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan

peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sering terjadi

bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun

dengan analogi atau dengan penghalusan/pengkonkretan hukum.19 Penemuan

hukum merupakan kewajiban bagi hakim, hal ini dinyatakan dalam Pasal 28 ayat

(1) jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004

19 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika, Jakarta, h.21.

30

tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004

Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358

selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 ayat (1)

menyebutkan bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal 16 ayat (1) yang

berbunyi, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Teori

penemuan hukum dalam tesis ini akan digunakan dalam pembahasan permasalahan

kedua.

4. Teori Fungsi Hukum

Roscoe Pound berpendapat yang dikutip oleh Munir Fuady mengenai

hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu:

“Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah sarana untuk

memperbaharui atau merekayasa masyarakat). Pendapat Roscoe Pound tersebut

menyatakan bahwa perubahan hukum dapat mempengaruhi perkembangan

masyarakat. Hubungan antara perubahan sosial dengan sektor hukum tersebut

merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial

terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan hukum dapat mempengaruhi

perubahan sosial sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yaitu fungsi hukum

sebagai saran perubahan sosial atau sarana merekayasa masyarakat. Sebelum suatu

produk hukum diubah baik oleh pemerintah, parlemen, atau pengadilan, terlebih

dahulu sudah ada kebutuhan dalam masyarakat akan perubahan tersebut. Semakin

31

cepat hukum merespon suara pembaharuan atau perubahan hukum dalam

masyarakat, semakin besar pula peran yang dimainkan oleh hukum untuk

pembaharuan masyarakat tersebut.20 Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam

Shidarta berpendapat bahwa di Indonesia, pengertian hukum sebagai sarana lebih

luas dari pada hukum sebagai alat (tool). Alasannya antara lain:

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaruan hukum

lebih menonjol, misalnya jika dibanding dengan Amerika Serikat, yang

menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada

tempat lebih penting.

2. Konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh

berbeda dari penerapan legisme sebagaimana pernah diasakan pada zaman

Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan

masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.

3. Apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep

hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh

sebelum konsep ini diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum

nasional.21

Hukum tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana pembaharuan

masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa

ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang

diinginkan, bahkan dianggap bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat

20 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta,

h.251. 21 Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV

Utomo, Jakarta, h.415.

32

mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan

pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang

berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum

yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang lain dalam masyarakat

sebenarnya. Berdasarkan penjabaran di atas jika dikaitkan dengan Penataan

kepemilikan tanah pertanian secara absentee melalui program pengampunan pajak

dan kartu tanda penduduk elektronik (ktp-el) adalah bagaimana keberadaan

larangan kepemilikan tanah secara absentee dengan adanya KTP-el dikaitkan

dengan program pengampunan pajak. Dengan dikaitkan dengan teori hukum

sebagai sarana perubahan masyarakat, adanya kepemilikan tanah secara absentee

dapat diatasi dengan adanya program KTP-el dan pengampunan pajak. Teori fungsi

hukum akan digunakan dalam menjawab permasalahan kedua.

5. Konsep Tanah Absentee

Larangan Kepemilikan Tanah secara absentee adalah pemilikan tanah yang

letaknya di luar daerah tempat tinggal pemiliknya. Dalam Pasal 10 UUPA secara

tegas melarang kepemilikan tanah secara absentee, sebagaimana dinyatakan

sebagai berikut:

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah

pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri

secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan;

(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan

peraturan perundangan;

(3) Pengecualian dari pada asas tersebut pada ayat (1) ini diatur dalam peraturan

perundangan.

Dalam Pasal 3 ayat (1) PP No.224 tahun 1961, menyatakan bahwa :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak

33

tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada

orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah

tersebut”. Dalam pasal 3 PP No.224 tahun 1961, menentukan bahwa mereka-

mereka yang mendapatkan pengecualian untuk memiliki tanah secara guntai

(absentee), yaitu:

a. Bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan

dengan kecamatan tempat letak tanah, dengan syarat jika jarak antara tempat

tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan untuk mengerjakan

tanah tersebut secara efisien menurut pertimbangan panitia landreform

daerah tingkat II.

b. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban

agama atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh

Menteri Agraria.

c. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang

dipersamakan dengan mereka yang sedang menjalankan tugas negara.

Apabila seseorang ketahuan memiliki kelebihan tanah (absentee) maka

tanah tersebut harus dilepaskan atau sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban

diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan

di atas maka tanah yang bersangkutan akan diambil oleh pemerintah untuk

kemudian didistribusikan dalam rangka landreform. Kepada bekas pemiliknya

diberikan ganti kerugian sesui peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah

tersebut. Tetapi, bagi pemilik tanah absentee dapat menyelamatkan haknya dari

diambilnya oleh pemerintah antara lain dengan jalan :

34

1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi kecamatan

tersebut.

2. Ditukarkan kepada penduduk setempat (yang berada diwilayah tempat

tanah berada).

3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal disekitar tanah itu

berada

4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa

wakaf atau hibah).

6. Konsep Pengampunan Pajak

Pengampunan pajak merupakan salah satu program pemerintah Republik

Indonesia dalam upaya meningkatkan penerimaan pendapatan negara pada sektor

pajak. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengampunan Pajak, disebutkan bahwa:

“Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak

dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,

dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.” Tujuan dari program pengampunan pajak yang

disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pengampunan pajak, antara lain :

1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan

harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas

domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penukaran suku bunga, dan

peningkatan investasi.

35

2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih

berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid,

komprehensif, dan terintegrasi.

3. Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk

pembiayaan pembangunan.

Setiap wajib pajak yang mengungkapkan harta yang dimiliknya melalui

dalam surat pernyataan, kecuali bagi wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan

dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, dalam proses

peradilan, menjalani hukum pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. Objek

dari pengampunan pajak meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai

dengan akhir tahun pajak terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan

oleh wajib pajak. Kewajiban perpajakan tersebut terdiri atas kewajiban Pajak

Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan

Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN PPBM).

7. Konsep Kartu Tanda Penduduk Eletronik (KTP-el)

KTP-el adalah kartu tanda penduduk yang dibuat secara elektronik, dalam

artian baik dari segi fisik maupun penggunaanya berfungsi secara komputerisasi.

Program KTP-el diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

pada Bulan Februari tahun 2011. Menurut Pasal 1 angka 14 UU Administarsi

Kependudukan, menyatakan bahwa: “Kartu Tanda Penduduk Elektronik,

selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip

yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh

Instansi Pelaksana.” KTP-el merupakan program pemerintah untuk mendata

36

kependudukan yang bertujuan untuk terjaminnya keaslian data kependudukan

seseorang dan mempermudah pendataan kependudukan di Indonesia. KTP-el

memiliki fungsi antara lain:

1. Sebagai identitas jati diri.

2. Berlaku Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk

pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;

3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP,sehingga tercipta keakuratan

data penduduk untuk mendukung program pembangunan.

1.6. Metode Penelitian

Metodelogi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari penelitian

ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari

prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode

penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodoligis, dan konsisten.22 Adapun

metode penelitian yang digunakan adalah :

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam rangka penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum

normatif yang berangkat dari adanya kekosongan norma terkait pengaturan

program pengampunan pajak dan larangan kepemilikan tanah pertanian secara

absentee setelah berlakunya KTP-el yaitu pada Pasal 3 PP No.224 Tahun 1961.

Dalam pasal tersebut tidak diatur secara tegas mengenai persyaratan seseorang

22 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, h.17.

37

dapat memiliki tanah pertanian di kecamatan wilayah tempat tinggalnya sehingga

menimbulkan celah untuk terjadinya penyelundupan hukum agar seseorang dapat

memiliki tanah pertanian secara absentee. Penelitian hukum normatif menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.23 Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.24

1.6.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif dikenal ada beberapa metode pendekatan

yakni : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual research), pendekatan historis (historical approach).25 Dalam

penelitian ini akan digunakan ketiga cara pendekatan untuk menganalisa

permasalahan, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan

pendekatan historis. Hal ini juga dikemukakan oleh Cambell and Glasson bahwa :

“there is no single technique that is magically rights for all problem”.26

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan

bersumber dari data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka. Data sekunder dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :

23 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media

Publishing Malang, Jawa Timur, h.57. 24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h.23. 25 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta

(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h.93. 26Ibid, h.137.

38

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari

kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan. Bahan hukum

yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat, traktat dan bahan hukum dari

penjajahan Belanda yang masih berlaku. Dalam penelitian ini sumber bahan

hukum primer adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R.Subekti dan R Tjitrosudibio.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor

124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang

Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131,

Tahun 2016, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5899).

39

7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 174 Tahun 1960,Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2117).

8. Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 41 tahun 1964 (Lembaran Negara Nomor 280 Tahun 1961,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 2322).

9. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor

10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59)

11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1998 Nomor 52).

12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2013 tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang

Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan

Secara Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

257).

13. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118/PMK.03/2016

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang

40

Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor

1043).

14. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 tentang

Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

15. Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang

Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi Objek

landreform.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer, yaitu pendapat para sarjana yang terkemuka. Artinya

bahan sekunder ini adalah bahan yang sudah tertulis oleh suatu lembaga seperti

buku dan jurnal.

c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk,

penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang

pada dasarnya mencakup :

1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang

hukum atau bahan rujukan bidang hukum,contohnya seperti abstrak

perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi

hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan lainnya.

2. Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang di luar bidang hukum,

misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat,

41

dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk

melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.27

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dimulai dengan kegiatan inventarisasi,

dengan pengkoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu

informasi sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum

tersebut. Bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan

melakukan pencatatan terhadap sumber bahan hukum primer dan sekunder, dan

kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara

pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu. Kartu-kartu

diklasifikasikan atas : (1) Kartu Kutipan, yakni mengutif sumber bahan bacaan

yang dipergunakan; (2) Kartu Ikhtisar, yakni membuat ikhtisar dari bahan bacaan

yang dipergunakan; (3) Kartu Ulasan, yakni mencatat tanggapan-tanggapan

ataupun kritikan-kritikan dari bahan bacaan yang dipergunakan; (4) Kartu

Bibliografi, yakni mencatat sumber bacaan yang dipergunakan. Masing-

masingkartu diberikan identitas sumber bahan yang dikutip, topik yang dikutip dan

halaman dari sumber kutipan. Disamping itu diklasifikasikan menurut sistematika

rencana tesis, sehingga ada kartu untuk bahan pada Bab I, II dan seterusnya, kecuali

untuk bagian penutup.

1.6.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, h.33.

42

Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini

yang dianalisis bukanlah data, akan tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat

penelusuran dengan metode sebagaimana disebutkan di atas. Analisis bahan hukum

yang berhasil dikumpulkan akan dilakukan secara : deskripsi, sistematis, evaluatif,

argumentatif dan menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk

kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga

memudahkan interpretasi bahan hukum dan pemahaman hasil analisa

komprehensif, artinya analisa dilakukan secara mendalam dan berbagai aspek

sesuai dengan lingkup penelitian.

Analisa bahan hukum dilakukan dengan teknik deskriptif, teknik evaluatif

dan argumentatif. Teknik deskriptif adalah memaparkan apa adanya tentang suatu

peristiwa hukum atau kondisi hukum.peristiwa hukum adalah peristiwa yang

beraspek hukum, terjadi di suatu tempat tertentu pada saat tertentu. Teknik

deskriptif dalam kondisi hukum dilakukan terhadap norma hukum primer seperti

peraturan perundang-undangan dalam posisi netral atau undang-undang tersebut

belum mendapat komentar dari pihak manapun.28

Dalam teknik evaluatif digunakan beberapa penafsiran yaitu penafsiran

gramatikal, penafsiran sistematikal, penafsiran historikal, dan penafsiran

teleologikal.29 Pada teknik argumentatif, penulis berargumentasi untuk menjawab

permasalahan penelitiannya. Argumentasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

merupakan kelanjutan dari bekerjanya teknis analisis komparisi dan evaluasi,

28 I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi

Teori Hukum, Kencana, Jakarta, h.152. 29 Ibid, h.154.

43

kemungkinan sama dengan salah satu pandangan yang pro-kontra tetapi alasan

berbeda atau penambahan alasan, kemungkinan berbeda dengan pandangan yang

pro dan yang kontra dengan memberi alasan tersendiri.30

30 Ibid, h.155-156