penanganan persalinan normal
DESCRIPTION
Penanganan Persalinan NormalTRANSCRIPT
Bab I
Pendahuluan
Proses kelahiran adalah periode dari saat kontraksi uterus reguler sampai kelahiran
plasenta. Seluruh proses ini disebut persalinan yaitu sebuah pernyataan dari konteks
kebidanan yang mengandung beberapa konotasi dalam bahasa Inggris. Berdasarkan The
New Shorter Oxford English Dictionary (1993): masalah, penderitaan, terlebih lagi
kesakitan, dan hasil dari keseluruhan proses itu adalah karakteristik pada persalinan yang
berimplikasi pada proses kelahiran. Dari semua pengertian di atas, setiap wanita
membutuhkan perhatian dan support dalam proses melahirkan, salah satunya yang paling
efektif yaitu untuk mengurangi rasa sakit.(1)
Bab II
Penanganan Persalinan Normal
Fisiologi Persalinan
Persalinan adalah suatu proses fisiologik yang memungkinkan serangkaian perubahan
yang besar pada ibu untuk dapat melahirkan janinnya melalui jalan lahir. Ini
didefenisikan sebagai pembukaan serviks yang progresif, dilatasi, atau keduanya, akibat
kontraksi uterus teratur yang terjadi sekurang-kurangnya setiap 5 menit dan berlangsung
30 sampai 60 detik.(2)
Selama kehamilan, terjadi perubahan yaitu hipertrofi dan hiperplasia otot uterus serta
pembesaran uterus. Pada hamil aterm, panjang uterus sekitar 35 cm termasuk serviks dan
fundus. Uterus berbentuk lengkung ovoid. Kanalis servikalis teraba tebal, kuat, terisi
1
lendir dan kadangkala bagian atas terbuka dan bergabung dengan segmen bawah rahim,
pada saat istirahat tertutup, khususnya pada kehamilan aterm pada primigravida.
Kontraksi uterus selama persalinan: selama kehamilan, terdapat kontraksi uterus
spasmodik ritmik involunter yang sakitnya sedikit dan tidak berefek pada dilatasi serviks.
Karakteristik dari kontraksi uterus berubah seiring onset pada persalinan. Pemicu
kontraksi uterus mungkin disebabkan oleh regio ostim tuba dimana gelombangnya
menyebar ke bawah. Ketika terdapat bermacam-macam variasi pada frekuensi, intensitas
dan durasi kontraksi, sisanya biasanya dalam batas normal dan mengikuti pola sebagai
berikut:
- Terdapat sinkronisasi yang baik pada gelombang kontraksi
- Terdapat dominasi fundus dengan gelombang kontraksi yang perlahan-lahan berkurang
dari tengah ke segmen bawah selama 10-20 detik.
- Gelombang kontraksi mengikuti pola yang teratur.
- Tekanan intraamniotik meningkat sekitar 20 mmHg dengan onset dari persalinan
selama kontraksi.
- Relaksasi yang baik terjadi antara kontraksi yang mengakibatkan tekanan intraamniotik
turun menjadi 8 mmHg. Selama relaksasi terjadi perlahan-lahan dan dengan simultan,
dan kontraksi pertama meliputi fundus dan melewati zona tengah, sangatlah jelas
bahwa kontraksi di fundus lebih lama daripada area tengah.
Selama kontraksi, uterus menjadi keras sehingga panjang axis uterus makin panjang dan
axis pelvik makin pendek. Pasien merasakan sakit terus-menerus akibat rangsangan pada
regio hipogastrik kadang menjalar ke paha. Penyebab sakit ini disebabkan oleh
menegangnya ganglia yang berdekatan dengan uterus atau yang lebih mungkin lagi
karena terjadi iskemik. Jadi, rasa sakit pada saat uterus berkontraksi disalurkan oleh
nervus kutaneus T10-L1. Rasa sakit pada dilatasi serviks dan penegangan menjalar ke
punggung melalui plexus sakralis.
Ligamentum rotundum semakin memendek, fundus mengarah ke depan sehingga sumbu
rahim searah dengan sumbu jalan lahir. Ligamentum juga menahan uterus sehingga tidak
naik ke atas. Perubahan pada serviks yaitu terjadi pembukaan dan pendataran. (3)
2
Mekanisme yang bertanggungjawab atas permulaan persalinan masih belum diketahui
secara pasti. Terdapat beberapa hal yang penting, pertama, lamanya usia kehamilan
dipengaruhi oleh genotip fetus dan yang kedua yaitu pengaruh dari prostaglandin.(4)
Sebab terjadinya partus sampai kini masih merupakan teori-teori yang kompleks. Faktor-
faktor humoral, pengaruh prostaglandin, struktur uterus, sirkulasi uterus, pengaruh saraf
dan nutrisi disebut sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan partus mulai. Perubahan-
perubahan dalam biokimia dan biofisika telah banyak mengungkapkan mulai dan
berlangsungnya partus, antara lain penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron.
Seperti diketahui progesteron merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Menurunnya
kadar kedua hormon ini terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar
prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke 15 hingga aterm meningkat, lebih-lebih
sewaktu partus.
Seperti telah dikemukakan, ”plasenta menjadi tua” dengan tuanya kehamilan. Villi
korialis mengalami perubahan-perubahan, sehingga kadar estrogen dan progesteron
menurun.
Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-
otot uterus. Hal ini merupakan faktor yang dapat mengganggu sirkulasi uteroplasenter
sehingga plasenta mengalami degenerasi. Teori berkurangnya nutrisi pada janin
dikemukakan oleh Hippocrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang
maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan. Faktor lain yang dikemukakan ialah
tekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser yang terletak di belakang
serviks. Bila ganglion ini tertekan, kontraksi uterus dapat dibangkitkan.
Selanjutnya dengan berbagai tindakan, persalinan dapat pula dimulai (induction of labor)
misalnya 1) merangsang pleksus Frankenhauser dengan memasukkan beberapa gagang
laminaria dalam kanalis servikalis, 2) pemecahan ketuban, 3) penyuntikan oksitosin
(sebaiknya dengan jalan infus intravena), pemakaian prostaglandin dan sebagainya.
Dalam hal mengadakan induksi persalinan perlu diperhatikan bahwa serviks sudah
3
matang (serviks sudah pendek dan lembek) dan kanalis servikalis terbuka untuk satu jari.
Untuk menilai serviks dapat juga dipakai Skor Bishop, yaitu bila nilai bishop lebih dari 8,
induksi persalinan kemungkinan besar akan berhasil.(5,6)
Berlangsungnya persalinan normal
Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10
cm. Kala I dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut pula kala pengeluaran oleh
karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin didorong ke luar sampai lahir.
Dalam kala III atau kala uri, plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV
mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Dalam kala itu diamati apakah terjadi
perdarahan postpartum.(5)
1. Penanganan kala I
Klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah
ini berasal dari lendir kanalis servikalis karena serviks mulai membuka atau
mendatar. Sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada
di sekitar kanalis servikalis itu pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks
membuka. Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada multigravida pun
terjadi demikian, akan tetapi fase laten, fase aktif dan fase deselerasi terjadi lebih
pendek.(5,7,8)
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara pada primigravida dan multigravida.
Pada awal kehamilan, panjang serviks sekitar 2,5 cm, tertutup tetapi pada akhir
kehamilan, serviks menjadi lembek, pendek, membuka, ostium uteri internum
menghilang dan kanalis servikalis menjadi segmen bawah rahim. Pada primigravida,
ostium uteri internum akan membuka lebih dahulu, sehingga serviks akan mendatar
dan menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Pada multigravida
ostium uteri internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum
serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama. Penyebab
4
membukanya serviks yaitu tarikan otot serviks pada pinggir ostium, regangan serviks
dan SBR oleh janin dan air ketuban.
Ketuban akan pecah dengan sendirinya ketika pembukaan hampir atau telah lengkap.
Tidak jarang ketuban harus dipecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah
lengkap. Bila ketuban telah pecah sebelum mencapai pembukaan 5 cm, disebut
ketuban pecah dini. Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap.
Pada primigravida kala I berlangsung kira-kira 13 jam, sedangkan pada multipara
kira-kira 7 jam.
His adalah gelombang kontraksi ritmis otot polos dinding uterus yang dimulai dari
daerah fundus uteri, awal gelombang tersebut didapat dari “pacemaker” yang terdapat
di dinding uterus daerah tersebut. Resultante efek gaya kontraksi tersebut dalam
keadaan normal mengarah kearah lokus minoris yaitu daerah kanalis servikalis yang
membuka, untuk mendorong isi uterus keluar.(5)
Pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan. Untuk mendapatkan hasil akhir
kehamilan yang optimal, harus dibuat program yang tersusun rapi untuk memberikan
surveilans ketat tentang kesejahteraan ibu dan janin selama persalinan. Semua
observasi harus dicatat secara cepat. Frekuensi, intensitas dan lamanya kontraksi
uterus, serta respon denyut jantung janin terhadap kontraksi tersebut harus
diperhatikan benar. Aspek-aspek ini dapat dievaluasi dengan tepat dalam urutan yang
logis.
American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians dan
Gynecologists (2002) merekomendasikan bahwa selama persalinan kala I, bila tidak
ditemukan adanya kelainan, jantung janin harus harus diperiksa segera setelah
kontraksi setidaknya setiap 30 menit, kemudian setiap 15 menit pada persalinan kala
II. Jika dilakukan pemantauan elektronik kontinu, grafik dinilai sekurangnya setiap 30
menit selama persalinan kala I dan setidaknya setiap 15 menit selama persalinan kala
II. Untuk ibu hamil yang beresiko, auskultasi dilakukan setiap 15 menit selama
5
persalinan kala I dan setiap 5 menit selama persalinan kala II. Pemantauan elektronik
kontinu dapat dipergunakan dengan penilaian grafik setiap 15 menit selama
persalinan kala I dan setiap 5 menit selama persalinan kala II.
Kontraksi uterus. Dengan melakukan penekanan ringan oleh telapak tangan di atas
uterus, pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya kontraksi. Intensitas kontraksi
diukur berdasarkan derajat ketegangan yang dicapai uterus. Pada puncak kontraksi
efektif, jari atau ibu jari tangan tidak dapat menekan uterus. Selanjutnya, dicatat
waktu ketika kontraksi tersebut menghilang. Urutan ini diulang untuk untuk
mengevaluasi frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi uterus.(1)
Pemantauan dan penatalaksanaan ibu selama persalinan
Tanda vital ibu. Suhu, denyut nadi dan tekanan darah ibu dievaluasi setidaknya setiap
4 jam. Jika selaput ketuban telah pecah lama sebelum awitan persalinan, atau jika
terjadi kenaikan suhu ambang, suhu diperiksa tiap jam. Selain itu, bila tejadi pecah
ketuban yang lama, lebih dari 18 jam disarankan untuk memberikan antibiotik
profilaksis terhadap infeksi streptokokus grup B.
Pemeriksaan vagina selanjutnya. Pada persalinan kala I, perlunya pemeriksaan vagina
selanjutnya untuk mengetahui status serviks dan station serta posisi bagian terbawah
akan sangat bervariasi. Bila selaput ketuban pecah, pemeriksaan hendaknya diulang
secara cepat jika pada pemeriksaan sebelumnya kepala janin belum cakap(engaged).
Frekuensi denyut jantung janin harus diperiksa segera dan pada kontraksi uterus
berikutnya untuk mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak diketahui. Di Parkland
Hospital, pemeriksaan panggul sering dilakukan secara periodik dengan interval 2-3
jam untuk menilai kemajuan persalinan.
Asupan oral. Makanan harus ditunda pemberiannya selama proses persalinan aktif.
Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat proses persalinan
berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai akibatnya, makanan dan sebagian
6
besar obat yang dimakan tetap berada di lambung dan tidak diabsorbsi, melainkan
dapat dimuntahkan dan teraspirasi.
Cairan intravena. Meskipun telah menjadi kebiasaan di banyak rumah sakit untuk
memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal persalinan, jarang ada ibu
hamil normal yang benar-benar memerlukannya, setidaknya sampai analgesik
diberikan. Sistem infus intravena menguntungkan selama masa nifas dini untuk
memberikan oksitosin profilaksis dan seringkali bersifat terapeutik ketika terjadi
atonia uteri. Selain itu, dengan persalinan yang lebih lama, pemberian glukosa,
natrium dan air untuk wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan antara 60
sampai 120 ml per jam, efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis.
Posisi ibu selama persalinan. Ibu yang dalam proses bersalin tidak perlu terus
berbaring di tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang nyaman mungkin
lebih bermanfaat secara psikologis dan mungkin juga secara fisiologis. Di tempat
tidur, ibu hendaknya diperbolehkan mengambil posisi yang dirasa enak, paling sering
adalah berbaring miring. Ibu tidak harus ditahan pada posisi telentang. Bloom, dkk
(1998) melakukan percobaan acak untuk berjalan selama persalinan pada 1000 wanita
dengan kehamilan resiko rendah. Mereka menemukan bahwa berjalan tidak
mempercepat atau mengganggu persalinan aktif dan tidak berbahaya.(1)
Apabila kepala janin belum turun ke dalam pintu atas panggul, sebaiknya wanita
tersebut berbaring terlentang, karena bila ketuban pecah, mungkin terjadi komplikasi-
komplikasi seperti prolaps tali pusat, prolaps tangan dan sebagainya. Apabila his
sudah sering dan ketuban sudah pecah, wanita tersebut harus berbaring.(5)
Pemeriksaan luar untuk menentukan letak janin dan turunnya kepala hendaknya
dilakukan untuk memeriksa kemajuan partus, dapat dilakukan pula pemeriksaan
rektal atau pervaginam. Hasil pemeriksaan pervaginam (pemeriksaan dalam) harus
menyokong dan lebih merinci apa yang dihasillkan oleh pemeriksaan luar.
7
Pemeriksaan dalam diperlukan untuk menilai:
1) Vagina, terutama dindingnya, apakah ada bagian yang menyempit.
2) Keadaan serta pembukaan serviks.
3) Kapasitas panggul.
4) Ada atau tidaknya penghalang (tumor) pada jalan lahir.
5) Sifat fluor albus dan apakah ada alat yang sakit seperti Bartholinitis, urethritis,
sistitis dan sebagainya.
6) Pecah tidaknya ketuban.
7) Presentasi kepala janin.
8) Turunnya kepala terhadap panggul.
9) Penilaian besarnya kepala terhadap panggul.
10) Apakah partus telah mulai atau sampai dimanakah partus telah berlangsung.
Pada kala I wanita in partu dilarang mengedan. Sebaiknya ia diberi klisma (enema)
dahulu supaya rektumnya kosong. Biasanya dimasukkan 20 sampai 60 ml gliserin ke
dalam rektum dengan sempritan klisma atau diberi suppositoria. Jika tidak diberi
klisma, skibala di rektum akan mengajak wanita tersebut mengedan sebelum
waktunya. Pada skibala di rektum akan menghalangi rotasi kepala yang baik dalam
kala I.(1)
2. Penanganan kala II
Seperti pada kala I, langkah-langkah tertentu harus dilakukan dalam penanganan
klinik pada kala II persalinan. Ibu dibiarkan untuk mengejan secara refleks ketika
serviks berdilatasi maksimal. Pengejanan yang belum waktunya dapat mengakibatkan
edem serviks dan keterlambatan kemajuan persalinan.(9)
Posisi ibu. Kecuali menghindari posisi terlentang, ibu dapat menerima setiap posisi
yang enak untuk mengejan yang efektif.
8
Mengejan. Pada tiap kontraksi ibu harus dianjurkan untuk mengejan dengan sekuat-
kuatnya. Ini sangat diperlukan bagi pasien dengan anestesi regional karena indera
refleksnya dapat terganggu.
Pemantauan janin. Selama kala II, frekuensi denyut jantung hendaknya dipantau
terus-menerus atau setelah tiap kontraksi. Perlambatan frekuensi denyut jantung
(kompresi kepala) yang kembali pulih setelah kontraksi rahim mungkin terjadi selama
tahap ini.
Pemeriksaan vagina. Kemajuan harus dicatat selama sekitar 30 menit selama kala II.
Perhatian khusus harus ditujukan pada penurunan dan fleksi dari bagian yang
berpresentasi, tingkat putaran paksi dalam dan munculnya moulage atau kaput.(11)
Daya ekspulsif ibu. Pada sebagian besar kasus, mengejan merupakan refleks dan
spontan timbul pada persalinan kala II, tetapi kadang kala wanita tersebut tidak
mengerahkan daya ekspulsifnya dengan baik dan memerlukan bimbingan. Tungkai
sebaiknya berada dalam posisi setengah fleksi sehingga ibu dapat menolakkan
kakinya pada alas. Hendaknya diinstruksikan untuk mengambil nafas dalam segera
setelah kontraksi uterus berikutnya dimulai dan, sambil menahan nafas, mengejan
kuat ke bawah persis seperti ketika ibu sedang mengeluarkan feses. Ibu sebaiknya
tidak dianjurkan untuk ’mendorong’ setelah kontraksi uterus selesai. Sebaliknya, ibu
dan janin seharusnya dibiarkan beristirahat dan memulihkan diri dari efek-efek
gabungan kontraksi uterus, menahan nafas dan upaya fisik yang besar. Gardosi, dkk
(1989) telah merekomendasikan suatu posisi jongkok atau setengah jongkok dengan
menggunakan bantal khusus. Mereka mengatakan bahwa cara ini dapat
mempersingkat waktu persalinan kala II melalui peningkatan daya ekspulsif dan
diameter pintu bawah panggul. Eason, dkk (2000) melakukan suatu tinjauan yang
ekstensif terhadap posisi dan efeknya pada insidens trauma perineum. Mereka
menemukan bahwa posisi tegak dengan menopang tidak mempunyai kelebihan
dibandingkan posisi berbaring.
9
Biasanya mengejan menyebabkan penonjolan perineum yaitu akibat semakin
turunnya kepala janin. Ibu hendaknya diberitahu tentang kemajuan itu, karena
dukungan moral pada kala ini sangat penting. Pada masa mengejan aktif ini frekuensi
denyut jantung janin yang diauskultasi segera setelah kontraksi mungkin lambat,
tetapi pulih kembali ke tingkat normal sebelum daya ekspulsif berikutnya.
Ketika kepala menuruni panggul, ibu sering mengeluarkan feses. Saat kepala turun
lebih jauh, perineum mulai menonjol dan kulit yang menutupinya menjadi tegang dan
mengkilat.(1)
Bila kepala janin telah sampai di dasar panggul, vulva mulai membuka. Rambut
kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai teregang. Perineum
mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Perineum, bila tidak ditahan
akan robek (ruptur perinei), terutama pada primigravida. Perineum ditahan dengan
tangan kanan, sebaiknya dengan kain kasa steril.
Dianjurkan untuk melakukan episiotomi pada primigravida atau pada wanita dengan
perineum kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah menipis dan kepala
janin tidak masuk kembali ke dalam vagina. Ketika kepala janin akan melakukan
defleksi dengan suboksiput di bawah simfisis sebagai hipomoklion, sebaiknya tangan
kiri menahan bagian belakang kepala dengan maksud agar gerakan defleksi tidak
terlalu cepat. Dengan demikian, ruptur perinei dapat dihindarkan. Episiotomi ada:
a. Episiotomi mediana, dikerjakan pada garis tengah.
b. Episiotomi mediolateral, dikerjakan pada garis tengah yang dekat muskulus
spingter ani, dan diperluas ke sisi.
c. Episiotomi lateral, lebih sering menimbulkan perdarahan.
Keuntungan episiotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan banyak dan
penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primum dan hampir tidak
berbekas. Bahayanya ialah dapat menimbulkan ruptur perinei totalis. Dalam hal ini
muskulus spingter ani eksternus dan rektum ikut robek pula. Perawatan ruptur perinei
10
totalis harus dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan timbul
inkontinensia alvi. Untuk menghindarkan robekan perineum kadang-kadang
dilakukan perasat Ritgen: bila perineum meregang dan menipis, tangan kiri menahan
dan menekan bagian belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan pada
perineum. Dengan ujung-ujung jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum
dicoba mengait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan
demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan keluar.(5)
Untuk mempermudah kelahiran kepala janin, dilakukan perasat Ritgen. Pada waktu
kepala meregangkan vulva dan perineum (selama kontraksi) sehingga cukup untuk
membuka introitus vagina hingga diameter 5 cm, tangan yang mengenakan sarung
tangan serta terbungkus handuk dapat digunakan untuk memberikan penekanan ke
depan pada dagu janin melalui perineum tepat di depan koksigis. Pada saat yang
bersamaan, tangan lainnya memberikan penekanan ke atas pada oksiput. Perasat atau
manuver ini memungkinkan dokter mengendalikan kelahiran kepala dan juga
membantu ekstensi sehingga kepala dilahirkan dengan diameter terkecilnya melewati
introitus dan perineum. Kepala dilahirkan secara perlahan dengan basis oksiput
berputar di tepi bawah simfisis pubis sebagai titik tumpu, sementara bregma
(fontanela anterior), dahi dan wajah berturut-turut terlihat di perineum.(1,8)
Setelah kepala lahir, diselidiki apakah tali pusat mengadakan lilitan pada leher janin.
Bila terdapat hal demikian, lilitan dapat dilonggarkan atau bila sukar, dilepaskan
dengan cara menjepit tali pusat dengan 2 cunam Kocher, kemudian diantaranya
dipotong dengan gunting yang tumpul ujungnya.
Setelah kepala lahir, kepala akan mengadakan putaran paksi luar ke arah letak
punggung janin. Usaha selanjutnya ialah melahirkan bahu janin. Mula-mula
dilahirkan bahu depan, dengan kedua telapak tangan pada samping kiri dan kanan
kepala janin. Kepala janin ditarik perlahan-lahan ke arah anus sehingga bahu depan
lahir. Tidak dibenarkan penarikan yang terlalu keras dan kasar oleh karena dapat
menimbulkan robekan pada muskulus sternokleidomastoideus. Kemudian kepala
janin diangkat ke arah simfisis untuk melahirkan bahu belakang. Setelah kedua bahu
11
janin dapat dilahirkan maka usaha selanjutnya adalah melahirkan badan janin,
trokanter anterior disusul oleh trokanter posterior. Usaha ini tidak sesukar usaha
melahirkan kepala dan bahu janin oleh karena ukuran-ukurannya lebih kecil. Dengan
kedua tangan di bawah ketiak janin dan sebagian di punggung atas, berturut-turut
dilahirkan badan, trokanter anterior dan trokanter posterior. Setelah janin lahir, bayi
sehat dan normal umumnya segera menarik napas dan menangis keras. Kemudian,
bayi diletakkan dengan kepala ke bawah kira-kira membentuk sudut 30 derajat
dengan bidang datar. Lendir pada jalan napas segera dibersihkan atau dihisap dengan
pengisap lendir. Tali pusat digunting 5 sampai 10 cm dari umbilikus. Caranya: 5
sampai 10 cm dari umbilikus, tali pusat dijepit dengan 2 cunam kocher. Bila ada
kemungkinan akan diadakan exchange transfusion pada bayi maka pemotongan tali
pusat diperpanjang sampai antara 10-15 cm. Diantara kedua cunam tersebut tali pusat
digunting dengan yang berujung tumpul. Ujung tali pusat bagian bayi didesinfeksi
dan diikat dengan kuat. Hal ini harus diperhatikan benar karena bila ikatan kurang
kuat, ikatan dapat terlepas dan perdarahan dari tali pusat masih dapat terjadi yang
bayi tersebut. Kemudian diperhatikan kandung kencing ibu. Bila penuh, dilakukan
pengosongan kandung kencing, sedapat-dapatnya wanita bersangkutan disuruh
kencing sendiri. Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan
mengganggu pelepasan plasenta, yang berarti menimbulkan perdarahan postpartum.(1)
3. Penanganan kala III
Setelah bayi lahir. Uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.
Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan
keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai
dengan pengeluaran darah.
Terdapat dua tingkat pada kelahiran plasenta:
1. Melepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus.
2. pengeluaran plasenta dari dalam kavum uteri.
12
Setelah janin lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang mengakibatkan
penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantasi plasenta. Akibatnya, plasenta
akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral
menurut Schultze), atau dari pinggir plasenta (marginal menurut Mathews-Duncan),
atau serempak dari tengah dan dari pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai
dengan oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina (tanda ini dikemukakan
oleh Ahlfed) tanpa adanya perdarahan per vaginam, sedangkan cara yang kedua
ditandai oleh adanya perdarahan dari vagina apabila plasenta mulai terlepas.
Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml. Bila lebih, maka hal ini patologik.
Apabila plasenta lahir, umumnya otot-otot segera berkontraksi, pembuluh-pembuluh
darah akan terjepit dan perdarahan segera berhenti.(5)
Pada keadaan normal menurut Caldeyro-Barcia, plasenta akan lahir spontan dalam
waktu ± 6 menit setelah anak lahir lengkap. Untuk mengetahui apakah plasenta telah
lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain:
1. Perasat Küstner. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali pusat.
Tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali
ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Perasat ini
hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta
terlepas, perdarahan banyak akan dapat terjadi.
2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregangkan atau menarik sedikit tali
pusat. Tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa getaran pada tali
pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta telah lepas dari dinding uterus.
3. Perasat Klein. Wanita tersebut disuruh mengedan. Tali pusat tampak turun ke
bawah. Bila pengedanannya dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke
dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Kombinasi dari tiga perasat ini baik dijalankan secara hati-hati setelah mengawasi
wanita yang baru melahirkan bayi selama 6 sampai 15 menit. Bila plasenta telah lepas
spontan, maka dapat dilihat bahwa uterus berkontraksi baik dan terdorong ke atas
13
kanan oleh vagina yang berisi plasenta. Dengan tekanan ringan pada fundus uteri
plasenta mudah dapat dilahirkan, tanpa menyuruh wanita tersebut mengedan.
Perasat Crede. Dengan cara memijat uterus seperti memeras jeruk agar supaya
plasenta lepas dari dinding uterus hanya dapat dipergunakan bila terpaksa misalnya
perdarahan. Perasat ini dapat mengakibatkan kecelakaan perdarahan postpartum. Pada
orang yang gemuk perasat Crede sukar atau tidak dapat dikerjakan.(5,9)
Manajemen aktif kala III
Penatalaksanaan aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu
menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif kala III
meliputi:
- Pemberian oksitosin dengan segera
- Pengendalian tarikan pada tali pusat, dan
- Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir.
Pemberian oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga mempercepat
pelepasan plasenta:
- Oksitosin dapat diberikan dalam 2 menit setelah kelahiran bayi.
- Jika oksitosin tidak tersedia, rangsang puting payudara ibu atau susukan bayi
guna menghasilkan oksitosin alamiah atau memberikan ergometrin 0,2 mg
IM.
Lakukan Penegangan Tali Pusat atau PTT (CTT/Controlled Cord Traction) dengan
cara:
Satu tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas
simfisis pubis. Selama kontraksi tangan menahan korpus uteri dengan gerakan
dorsokranial ke arah ke belakang dan ke arah kepala ibu.
Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5-6
cm di depan vulva.
14
Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya
kontraksi kuat (2-3 menit).
Selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat
yang terus-menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.
PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan
pada uterus merasakan kontraksi, ibu dapat juga memberi tahu dokter ketika ia
merasakan kontraksi, ketika uterus sedang tidak kontraksi, tangan dokter
dapat tetap berada pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi langkah-
langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.
Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan
menggerakkan tangan atau klem pada tali pusat mendekati plasenta, keluarkan
plasenta dengan gerakan ke bawah dan ke atas sesuai dengan jalan lahir.
Kedua tangan kemudian memegang plasenta dan perlahan memutar plasenta
searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.
Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase
fundus agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran
darah dan mencegah perdarahan pasca persalinan. Jika uterus tidak
berkontraksi kuat selama 10-15 detik, atau jika perdarahan hebat terjadi,
segera lakukan kompresi bimanual dalam. Jika atonia uteri tidak teratasi
dalam waktu 1-2 menit, ikuti protokol untuk perdarahan pasca persalinan.
Jika menggunakan manajemen aktif dan plasenta belum
juga lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit IM. Dosis kedua
dalam jarak waktu 15 menit dari pemberian oksitosin dosis pertama.
Jika menggunakan manajemen aktif dan plasenta belum
juga lahir dalam waktu 30 menit:
periksa kandung kemih dan lakukan kateterisasi jika kandung kemih
penuh.
periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta
berikan oksitosin 10 unit IM dosis ketiga, dalam jarak waktu 15 menit dari
pemberian oksitosin dosis pertama
15
Bila semua berjalan lancar dan baik, maka luka episiotomi harus diteliti, dijahit dan
diperbaiki. Demikian pula bila ada ruptur perinei.(4)
Setelah plasenta lahir, harus diteliti benar, apakah kotiledon-kotiledon lengkap atau
masih ada sebagian yang tertinggal dalam kavum uteri. Begitu pula apakah pada
pinggir plasenta masih didapat hubungan dengan plasenta lain, seperti adanya
plasenta suksenturiata. Selanjutnya harus pula diperhatikan apakah korpus uteri
berkontraksi baik. Harus dilakukan massage ringan pada korpus uteri untuk
memperbaiki kontraksi uterus. Apabila perlu, karena kontraksi uterus kurang baik,
dapat diberikan uterotonika seperti pitosin, metergin, ermetrin dan sebagainya,
terutama pada partus lama, grande multipara, gemelli, hidramnion dan sebagainya.(5,9)
4. Penanganan kala IV
1. Periksa fundus setiap 15 menit pada jam pertama
dan setiap 20-30 menit selama jam kedua. Jika kontraksi tidak kuat, masase uterus
sampai menjadi keras dan berikan uterotonika: metergin, ermetrin dan pitosin..
Apabila uterus berkontraksi, otot uterus akan menjepit pembuluh darah untuk
menghentikan perdarahan. Hal ini dapat mengurangi kehilangan darah dan
mencegah perdarahan pasca persalinan.
2. Periksa tekanan darah, nadi, kandung kemih dan
perdarahan setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit selama jam
kedua.
3. Anjurkan ibu untuk minum demi mencegah
dehidrasi.
4. Bersihkan perineum ibu.
5. Bayi berada pada ibu untuk meningkatkan
hubungan ibu dan bayi. Menyusui membantu uterus berkontraksi.
Tujuh pokok penting yang harus diamati sebelum meninggalkan wanita postpartum
apakah ada perdarahan postpartum yaitu(1,3)
16
1) Kontraksi uterus harus baik. Baik atau tidak dapat diketahui dengan palpasi.
Bila perlu lakukanlah massage dan berikan uterotonika: metergin, ermetrin
dan pitosin.
2). Tidak ada perdarahan dari vagina atau perdarahan-perdarahan dalam alat
genital lainnya.
3). Plasenta dan selaput ketuban harus sudah lahir lengkap.
4). Kandung kencing harus kosong, kalau penuh, ibu disuruh kencing dan kalau
tidak bisa lakukan kateter.
5). Luka-luka pada perineum terawat dengan baik dan tidak ada hematoma.
6). Bayi dalam keadaan baik.
7). Ibu dalam keadaan baik.
Daftar Pustaka
1. Cunningham F.Gary. Williams Obstetrics. 22nd ed. United States of America:
The McGraw Hill Companies, 2005 p: 410-440.
2. Hacker Neville. F& More J. George. Esensial Obstetri dan Ginekologi.
Philadelphia, Pennsylvania: W.B Saunders Company. 2001. hlm 133-148.
3. Konar, Hiralal. Textbook of Obstetrics. 4th ed. India: Chintamoni Das Lane,
Calcutta. p: 122-152.
17
4. Campbell, Stuart and Less, Christoph. Obstetrics by Ten Teachers. 17th ed.
Astra Zeneca.
5. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002. hlm 182-200.
6. Steer, Philips and Flint, Caroline. ABC of Labour Care: Physiology and
Management of Normal Labour. British Medical Journal, volume 318. March,
20th,1999..
7. Mochtar, Rustam, Prof,dr, MPH. Sinopsis Obstetri. Jilid I edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998. hlm 101-112.
8. http://www.patient.co.uk/showdoc/40000167/
9. Callander, R and Miller, A. Obstetrics Illustrated. 4th ed. Edinburgh, London,
Melbourne and New York: Churchill Livingstone. 1989. p: 276-281.
10. Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2002. hlm N7-N22.
11. http://www.bithjourney.com/thirdstagemaze.php
18