penanganan koagulasi intravaskular diseminta akut dan kronik

17
1 PENANGANAN KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINTA AKUT DAN KRONIK Heny Syahrini Lubis, Savita Handayani, Dairion Gatot, Ricky Rivalino Sitepu Divisi Hematologi Onkologi Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak semua KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID kronik dengan derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun perlu di waspadai bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant sehingga memerlukan pengobatan segera. Pada makalah ini akan dibahas mengenai perbedaan pada penanganan antara KID akut maupun kronik. Definisi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan [1]. Koagulasi Intravaskular Diseminta Akut dan Kronik Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan manifestasi klinis yang berbeda.

Upload: lekhanh

Post on 19-Dec-2016

262 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

PENANGANAN KOAGULASI INTRAVASKULAR

DISEMINTA AKUT DAN KRONIK

Heny Syahrini Lubis, Savita Handayani, Dairion Gatot, Ricky Rivalino Sitepu

Divisi Hematologi Onkologi Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan

medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. Tetapi tidak

semua KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID fulminan atau akut sedang KID

kronik dengan derajat rendah atau terkompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun

perlu di waspadai bahwa KID derajat rendah dapat berubah menjadi KID fulminant

sehingga memerlukan pengobatan segera. Pada makalah ini akan dibahas mengenai

perbedaan pada penanganan antara KID akut maupun kronik.

Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan suatu sindrom

patologiklinis yang menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi

sistemik jalur menuju dan mengatur koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi

bekuan fibrin yang dapat menyebabkan kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi

trombosit dan faktor koagulasi yang dapat mengakibatkan klinis perdarahan [1].

Koagulasi Intravaskular Diseminta Akut dan Kronik

Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan

manifestasi klinis yang berbeda.

2

a. DIC akut

DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan) memasuki

sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga beberapa hari),

sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan predisposisi

pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia, trauma jaringan

luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau terlepasnya jaringan

plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan hipotensi atau syok oleh

berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke luas, atau serangan jantung

[2].

b. DIC kronik

Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga

stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk

mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit. DIC kronik biasanya

berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan

dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik.

DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta,

dan penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor resiko

yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada tumor.

Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma paru,

payudara, prostat atau kolorektal [3].

Etiologi

Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun

dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.

DIC akut:

3

– Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV,

varicella, CMV, hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma), parasit (malaria)

– Keganasan : Hematologi (AML), Metastase (mucin secreting

adenocarcinoma)

– Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.

– Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute hepatic

failure, luka bakar.

DIC kronik:

– Keganasan : rumor solid, lekemi,

– Obstetri : intrauterin fetal death, abrasio plasenta

– Hematologi : sindrom mieloproliferatif

– Vaskular : rematoid artritis, penyakit raynaud

– Cardiovascular - infark miokard

– Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis

Pada kasus infeksi, sepsis, endotoksin mengaktivasi system koagulasi merangsang

pelepasan sitokin tumor necrosis alpha (TNF -α), interleukin (IL-1) dan komplemen

yang menyebabkan gangguan/ kerusakan endotel. Pada viremia, mekanisme yang

berkaitan dengan DIC adalah reaksi antigen-antibodi yang mengaktivasi faktor XII,

reaksi pelepasan trombosit atau pengelupasan endotel dengan melibatkan kolagen sub

endotel dan membrana basalis [4].

Pada kasus keganasan terutama tumor padat, keadaan ini disebabkan oleh penekanan oleh

tumor tersebut, factor jaringan dan factor koagulan yang dilepaskan oleh sel tumor

tersebut atau melalui aktivasi sel endotel oleh sitokin (IL1, vascular endothelial growth

factor/VEGF, TNF) [5].

Pada pasien dengan kasus obstetri seperti solusio plasenta, jaringan atau enzim dari

plasenta dilepaskan ke dalam uterus dan sirkulasi sistemik, menyebabkan aktivasi sistem

koagulasi [6].

4

Beberapa penyakit autoimun, penyakit kardiovaskular dapat menyebabkan DIC derajat

ringan (low-grade DIC) atau DIC kompensata. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi

mungkin disebabkan oleh syok, hipoksia, dan asidosis yang mengakibatkan gangguan

endotel aktivasi faktor pembekuan [6].

Patofisiologi

Patofisiologi dasar DIC adalah terjadinya : [5, 7, 8]

1. Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)

2. Depresi prokoagulan

3. Defek Fibrinolisis

Pembentukan fibrin secara sistemik terjadi akibat peningkatan pembentukan trombin,

bersamaan dengan mekanisme supresi antikoagulan fisiologis dan destruksi fibrin yang

terlambat, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fibrinolisis.

Hampir semua respon inflamasi sistemik , gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada DIC

dimediasi oleh beberapa sitokin proinflamasi. Mediator yang terlibat dalam aktivasi

koagulasi terutama interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis factor (TNF) secara tidak

langsung mempengaruhi pengaktifan koagulasi karena efeknya pada IL-6 dan merupakan

mediator yang penting dalam disregulasi jalur antikoagulan fisiologis dan defek

fibrinolisis.9 Ada 3 proses yang terlibat dalam terjadinya DIC, yaitu sebagai berikut :

Pembentukan Trombin

Pembentukan trombin sistemik pada binatang percobaan dengan DIC menunjukkan

bahwa secara eksklusif, proses ini diperantarai oleh jalur ekstrinsik yang melibatkan

faktor jaringan (TF) dan faktor VIIa. Trombin di dalam sirkulasi memecah

fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga merangsang agregasi trombosit,

mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator plasminogen yang

membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin membentuk produk degradasi fibrin

dan selanjutnya menginaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin yang berlebihan

5

mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor koagulasi,

dan fibrinolisis, yang mengakibatkan perdarahan difus [5].

Defek pada Inhibitor Koagulan

Antikoagulan fisiologis terdiri atas antithombin III, protein C, dan tissue factor–

pathway inhibitor (TFPI). Kadar antitrombin III dalam plasma menurun akibat

koagulasi berkelanjutan, degradasi oleh elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang

teraktivasi, dan gangguan sintesis antitrombin III.

Gangguan pada sistem protein C dapat mengganggu regulasi aktivitas koagulasi.

Penurunan aktivitas protein C disebabkan oleh gabungan gangguan sintesis protein,

penurunan aktivitas trombomodulin endotel yang diperantarai sitokin, dan kurangnya

kadar fraksi bebas protein S (kofaktor penting protein C). Protein C diubah menjadi

protease aktif oleh trombin setelah terikat pada trombomodulin. Tissue factor yang

merupakan pencetus DIC dihambat oleh tissue factor-pathway inhibitor (TFPI) [7].

Defek Fibrinolitik

Penelitian pada binatang percobaan dengan DIC mengindikasikan bahwa sistem

fibrinolitik sebagian besar tertekan pada saat aktivasi koagulasi maksimal. Inhibisi ini

disebabkan oleh peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1)

yang menetap. Penelitian klinis menunjukkan bahwa supresi fibrinolisis diperantarai

oleh PAI-1 dan walaupun ada beberapa aktivitas fibrinolitik dalam respon terhadap

pembentukan fibrin, tingkat aktivitas ini terlalu rendah untuk mengimbangi deposisi

fibrin sistemik [8].

6

Gambar 1. Patogenesis terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) [4]

DIC mempunyai dua akibat : (1) Endapan fibrin yang meluas dalam mikrosirkulasi.

Keadaan ini meyebabkan iskemi alat-alat vital tubuh yang terkena lebih parah atau lebih peka

dan menimbulkan hemolisis karena eritrosit mendapat trauma sewaktu melewati anyaman

fibrin (anemia hemolisis mikroangiopati). (2) Diatesis perdarahan terjadi jika trombosit dan

faktor pembekuan diboroskan. Keadaan menjadi lebih buruk kalau pembekuan ekstensif

mengaktifkan plasminogen. Plasmin tidak hanya dapat memecah fibrin (fibrinolisis), tetapi

juga mencerna faktor V dan VIII, sehingga lebih lanjut mengurangi konsentrasinya.

Disamping itu fibrinolisis berakibat pembentukan produk degradasi fibrin yang mempunyai

dampak menghambat pengendapan trombosit, memiliki aktivitas antitrombin dan merusak

polimerasi fibrin. Semua keadaan ini dapat menyebabkan kegagalan hemostasis [5].

7

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan

penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi

organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang luas pada kulit dan

membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa peteki, purpura,

ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan atau tempat infusa

tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga bisa masif dan

membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata.

Sedangkan pasien dengan DIC kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit

dan mukosa. Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria

dapat menyertai.

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat

berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat

terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat

berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari- jari, genitalia dan hidung,

iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress

síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran [9].

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain [9]:

Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik

Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma, Perdarahan

Intrakranial

Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer

Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas yang

dapat menyebabkan kematian.

Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia

Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

8

Gambar 2. Manifestasi pada kulit yang ditemukan pada DIC. A. Perdarahan pada kulit

(purura dan equimosis) B. Tampak lesi pregangren pada daerah tangan, semua jari dan

telapak tangan tampak kehitaman.C.Tampak ekimosis pada anggota gerak bawah D. Tampak

lesi gangren berwarna hitam pada kedua tungkai.

Diagnosis

Untuk membuat diagnosis DIC dari berbagai tingkat dapat dikemukakan proses

terjadinya gangguan koagulasi. Ada juga sistem scoring untuk DIC ysng dikemukakan

pada pertemuan Scientific and Standarization committee International Society on

9

Thrombosis and Homeostasis yang paling banyak dianut [5]. Langkah-langkah

mendiagnosis DIC sebagai berikut:

1. Penentuan risiko : apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan

DIC? Jika tidak, Penilaian tidak dianjurkan

2. Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer)

3. SKOR : Liat gambar 3

Gambar 3. Langkah-langkah dalam menegakkan DIC

10

Tabel 1. Temuan Karakteristik pada DIC akut dan Kronik

DIC akut DIC kronik

Hitung trombosit Rendah Rendah

APTT dan PT Memanjang Bervariasi

Fibrinogen Rendah Bervariasi

Produk degradasi fibrin Tinggi Tinggi

Inhibitor koagulasi (AT, PC,

PS)

Rendah Rendah

Plasminogen Rendah Rendah

Aktivator Plasminogen

Jaringan

Tinggi Tinggi

Inhibitor activator

plasminogen -1 (PAI -1)

Tinggi Tinggi

Anemia Ada Ada

Hemostasis Oozing (merembes)

persisten

Trombosis

Terapi

Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC dan juga

derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu dengan lainnya.

Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya pada

kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan

kerugian dari pengobatan [10].

Meskipun pengelolaan DIC berbeda tiap kasusnya, fokus utama dari pengobatan ialah

untuk menterapi penyebab utama terjadinya koagulasi yang berlebihan. Pada beberapa

kasus, penyebab DIC tidak dapat ditangani secara langsung (contoh: kasus malignasi).

Oleh karenanya diperlukan penanganann khusus untuk mencegah terjadinya trombosis

11

dan juga perdarahan. Terapi DIC dibagi menjadi terapi substitusi, antikoagulasi,

pemulihan anticoagulation pathway, dan pemberian agen lainnya (dapat dilihat pada

tabel) [2].

Tranfusi komponen darah

Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan komponen

darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi penggantian hanya

digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis perdarahan dan tidak digunakan

untuk mengobati pasien dengan kelainan laboratorium tanpa adanya klinis perdarahan

[2, 4]. Fresh frozen plasma (FFP) merupakan pilihan utama karena memiliki faktor-

faktor koagulasi yang lebih lengkap [5]. Dosis untuk setiap komponen darah

dirangkum dalam tabel dibawah.

Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien DIC akut maupun

kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya perdarahan tidak anjurkan untuk

dilakukan substitusi [11].

12

Tabel 2. Terapi substitusi komponen darah [2]

13

Antikoagulasi

Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi koagulasi

yang berlebihan pada DIC. Tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang terlihat.

Untuk pasien yang secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk

pendarahan sebelum manfaat potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC

akut (yang mencakup 95% atau lebih pasien) terapi heparin belum terbukti

berguna dan mungkin berbahaya. Heparin telah terbukti memiliki efek yang

menguntungkan dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan koagulasi

intravaskular diseminata, tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol [12].

Meskipun kontroversi, heparin dapat digunakan dalam kasus DIC kronis, di mana

trombosis mendominasi (contoh: purpura fulminans, tumor padat, hemangioma,

sindrom janin mati). Heparin biasanya diberikan pada dosis yang relatif rendah (5-

10 unit / kg berat badan / jam) dengan infus intravena kontinu atau injeksi

subkutan untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Dosis rendah heparin subkutan

tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif daripada dosis yang lebih besar

dari heparin intravena di DIC. Namun demikian, harus dilakukan dengan sangat

hati-hati bila menggunakan heparin, dan itu harus dihentikan pada sedikit sedikit

memburuk pendarahan [2].

Sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa low molecular weight heparin

(LMWH) pada dosis 1 mg/kg/12 jam lebih unggul dari unfractionated heparin

(UFH) dalam mengobati DIC, menunjukkan bahwa penggunaan LMWH lebih

disukai dibandingkan UFH pada DIC [13].

c. Antifibrinolotik

Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah

degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada pasien

DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis (gambar 4). Akan tetapi, obat ini dapat

meningkatkan risiko terjadinya trombosis sehingga penggunaan heparin

diindikasikan. Terapi ini sangat berguna pada beberapa pasien DIC akut dimana

resiko perdarahan lebih besar dibandingkan terjadinya tombosis [12].

14

Gambar 4. Tahap-tahap hemostasis. (1), (2) Hemostasis primer. (3) Hemostasis sekunder.

dan (4), (5) Hemostasis tersier

Natural protease inhibitor

Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi (gambar 1). Pemberian

protease inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan fisiologis sehingga

jumlah trombin yang berlebihan dapat dicegah. Natural protease inhibitor yang

dapat diberikan pada pasien DIC berupa anti thrombin dan protein C.

Antitrombin (AT) adalah inhibitor utama trombin, penggunaannya dalam DIC

tentu sangat rasional. Antitrombin juga memiliki sifat anti-inflamasi (mengurangi

protein C-reaktif dan IL-6) yang sangat bermanfaat pada DIC. Beberapa uji klinis

kecil pada manusia telah menunjukkan efek menguntungkan dari segi peningkatan

15

parameter koagulasi dan fungsi organ. Dosis yang digunakan biasanya antara

1500-3000 unit/hari [14].

Pada pasien DIC biasanya terjadi defisiensi protein C. Pemberian konsentrat

activated protein C (APC) dari 12μg / Kg / jam sampai 30 ug / Kg / jam pada

pasien dengan sepsis berat yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien

[15].

Pemulihan jalur antikoagulasi sangat direkomendasikan pada DIC kronik dimana

biasanya terjadi kegagalan fungsi organ akibat thrombosis yang berlebihan.

Sedangkan pada DIC akut biasanya tidak memiliki manfaat yang terlihat.

Agen anti-Xa

Agen anti-Xa seperti Fondaparinux® dan Danaparoid sodium® masih tergolong

baru. Agen anti-Xa mengaktifkan AT khusus untuk menghambat Xa (gambar 5).

Pengobatan dengan Fondaparinux® dianjurkan untuk profilaksis DVT setelah

operasi; Namun, ada sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya pada pasien

DIC. Ada sedikit bukti yang menunjukkan manfaat penggunaan agen ini pada

pasien dengan DIC, dan tidak dianjurkan pada kondisi akut dengan perdarahan.

Obat ini juga tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal [12].

Gambar 5. Regulasi dari system koagulasi

16

Secara singkat, terapi-terapi yang direkomendasikan untuk DIC akut ataupun kronis

dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 3. Terapi pada DIC

Terapi DIC akut DIC kronis

Pengobatan penyakit

penyebab DIC

Direkomendasikan Direkomendasikan

Transfusi komponen darah Pada pasien dengan

perdarahan

Pada pasien dengan

perdarahan

Heparin Tidak direkomendasikan Direkomendasikan

Antifibrinolitik Direkomendasikan Tidak direkomendasikan

Protease inhibitor Tidak direkomendasikan Direkomendasikan

Anti-Xa Tidak direkomendasikan direkomendasikan

Kesimpulan

Dari makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa DIC dapat dikategorikan menjadi akut

dan kronis. DIC akut dapat berupa perdarahan spontan dan perdarahan massif, sedangkan

DIC kronis dapat berupa kegagalan fungsi organ maupun asimptomatis. Penanganan DIC

harus dibedakan berdasarkan gejalan klinis yang ada.

17

Daftar Pustaka

1. Taylor, F., et al., Towards definition, clinical and laboratory criteria, and a scoring system for disseminated intravascular coagulation. THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS-STUTTGART-, 2001. 86(5): p. 1327-1330.

2. Kusuma, B. and T.K. Schulz, Acute Disseminated Intravascular Coagulation. Hospital Physician, 2009. 45: p. 35-40.

3. Green, D. and C.A. Ludlam, Fast Facts: Bleeding Disorders2004: Health Press. 4. Levi, M. and H. Ten Cate, Disseminated intravascular coagulation. New England Journal of

Medicine, 1999. 341(8): p. 586-592. 5. Franchini, M., G. Lippi, and F. Manzato, Recent acquisitions in the pathophysiology, diagnosis

and treatment of disseminated intravascular coagulation. Thromb J, 2006. 4(4): p. 1-9. 6. Bick, R.L., Disseminated intravascular coagulation: a review of etiology, pathophysiology,

diagnosis, and management: guidelines for care. Clinical and applied thrombosis/hemostasis: official journal of the International Academy of Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis, 2002. 8(1): p. 1-31.

7. Ten Cate, H., et al., Disseminated intravascular coagulation: pathophysiology, diagnosis, and treatment. New horizons (Baltimore, Md.), 1993. 1(2): p. 312-323.

8. Saba, H.I. and G.A. Morelli, The pathogenesis and management of disseminated intravascular coagulation. Clin Adv Hematol Oncol, 2006. 4(12): p. 919-926.

9. Levi, M., et al., Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation. British journal of haematology, 2009. 145(1): p. 24-33.

10. Levi, M., E. de Jonge, and T. van der Poll, New treatment strategies for disseminated intravascular coagulation based on current understanding of the pathophysiology. Annals of medicine, 2004. 36(1): p. 41-49.

11. Labelle, C.A. and C.S. Kitchens, Disseminated intravascular coagulation: treat the cause, not the lab values. Cleve Clin J Med, 2005. 72(5): p. 377-8.

12. Wada, H., T. Matsumoto, and Y. Yamashita, Diagnosis and treatment of disseminated intravascular coagulation (DIC) according to four DIC guidelines. Journal of Intensive Care, 2014. 2(1): p. 15.

13. Sakuragawa, N., et al., Clinical evaluation of low-molecular-weight heparin (FR-860) on disseminated intravascular coagulation (DIC)-a multicenter co-operative double-blind trial in comparison with heparin. Thrombosis research, 1993. 72(6): p. 475-500.

14. Okajima, K. and M. Uchiba. The anti-inflammatory properties of antithrombin III: new therapeutic implications. in Seminars in thrombosis and hemostasis. 1997.

15. Bernard, G., et al., Recombinant human activated protein C (rhAPC) produces a trend toward improvement in morbidity and 28 day survival in patients with severe sepsis. Critical Care Medicine, 1999. 27(1): p. 33A.