penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra...
TRANSCRIPT
Penanaman Nilai-Nilai Religius pada Anak-Anak Usia Pra-
Sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK IT) Az-
Zahra Sragen
(TINJAUAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)
s k r i p s i
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam Program Strata 1
Dalam Ilmu Dakwah jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
AGUNG SETYOKO
NIM : 1199069
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2004
2
Nota Pembimbing
Lamp. : 5 (lima) eksemplar
Hal : Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada.
Yth. Bapak Dekan Fakultas Da’wah
IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami
menyatakan bahwa skripsi saudari :
Nama :
NIM :
Fak/Jur :
Judul Skripsi :
Agung Setyoko
1198086
Dakwah/BPI
“Penanaman Nilai-Nilai Religius pada Anak-Anak Usia Pra-
Sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK IT) Az-
Zahra Sragen (Tinjauan Bimbingan dan Konseling Islam)
Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian, atas
perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, Maret 2004
Pembimbing,
Bidang Substansi Materi Bidang Metodologi & Tatatulis
Drs. H. A. Ghofier Romas Abdul Sattar, M.Ag.
3
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai salah satu sasaran dakwah merupakan aset besar dalam
pembentukan generasi yang berkualitas. Hal yang paling mendasar pada masa
kanak-kanak adalah masa yang rawan dan sensitif. Alam bawah sadarnya
terbuka dan sangat responsif. Daya menghafal dan memorinya mencapai
intensitas paling besar dan kuat.1 Apa yang ditangkap masa kanak-kanak akan
mudah terserap oleh mereka, apalagi cara memberikannya sesuai dengan
kebutuhan jiwa anak. Oleh karena itu prosentase kegiatan dakwah pada anak
seharusnya menempati urutan teratas.
Religiusitas berkembang semenjak usia dini melalui proses perpaduan
antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri
manusia. Perkembangan religiusitas anak, mempunyai peran yang sangat
penting, baik bagi perkembangan anak pada usia itu maupun pada usia
selanjutnya.2 Penanaman nilai-nilai keagamaan menyangkut konsep tentang
ketuhanan, ibadah dan moral yang berlangsung semenjak usia dini mampu
membentuk religiusitas anak mengakar secara kuat dan mempunyai pengaruh
sepanjang hidup.3
1 Kartini Kartono, Psikologi Anak, Bandung, Alumni, 1979, hlm. 141. 2 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1970, hlm. 59. 3 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Alih Bahasa dr. Med. Meilasari Tjanana,
Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 1989, hlm. 113.
4
Perkembangan religiusitas tidak dapat dilepaskan dari lingkungan yang
membentuk anak tersebut, baik keluarga, masyarakat maupun sekolah yang
membinanya. Peranan terbesar dalam pengembangan religiusitas ada pada
keluarga karena interaksi pertama dan utama yang dialami oleh anak adalah
keluarga. Pada perkembangan selanjutnya banyak diwarnai oleh masyarakat
dan sekolah yang membinanya.
Mula-mula dari ibu-bapak yang membimbing anak sejak lahir ke
dunia, mulailah ia menerima didikan-didikan dan perlakuan-perlakuan,
semuanya itu akan menjadikan dasar-dasar pembentukan kepribadiannya.4
Inti pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama adalah penjiwaan
dalam pribadi si terbimbing atau si tersuluh sehubungan dengan usaha
pemecahan problema dalam hidupnya. Ia di bimbing sesuai tingkat dan situasi
psikologinya.
Bimbingan dan penyuluhan harus bisa diterapkan pada semua bidang
dan bisa bertempat pada sekolah, masjid, instansi maupun yayasan. Dari sudut
pandangan ini, maka nampak jelas bahwa keberadaan bimbingan dan
penyuluhan agama sangat dibutuhkan sebagai psikoterapi dalam upaya
pemecahan masalah.
Tulisan ini akan mencoba melihat peran sebuah lembaga pendidikan
sekolah terhadap penanaman nilai religius bagi anak-anak pra-sekolah yang
mana untuk penelitian ini mengambil lokasi di Taman Kanak-Kanak Islam
Terpadu ( TKIT ) Az-Zahra Sragen.
4 Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Haji Mas Agung, hlm. 127.
5
Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen adalah
suatu taman kanak-kanak Islam yang di luar pendidikan ilmu pengetahuan
umum, juga memberikan pendidikan agama Islam sebagai pondasi atau dasar
dalam pembentukan kepribadiannya. Dari kedua ilmu tersebut anak didik
diharapkan mempunyai kepribadian yang Islami serta memiliki pengetahuan
yang luas dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “PENANAMAN NILAI-NILAI
RELIGIUS PADA ANAK-ANAK USIA PRA-SEKOLAH DI TAMAN
KANAK-KANAK ISLAM TERPADU (TKIT) AZ-ZAHRA SRAGEN
(TINJAUAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM).“
B. Pengertian dan Penegasan Judul
Untuk menghindari kesalahpahaman dan perbedaan pandangan dan
sekaligus pijakan dalam pembahasan selanjutnya, maka dipandang perlu untuk
memberikan batasan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini. Istilah-istilah tersebut adalah :
1. Nilai-nilai Religius
Nilai-nilai religius berarti : suatu batasan akan sikap dan perilaku ritual
(ibadah) serta aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.5
2. Anak Pra-Sekolah
Anak pra-sekolah berarti : anak yang berusia antara 3-6 tahun, dan pada
umumnya mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan- 5 tahun)
5 Djamaludin Ancok, Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem-
Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. II, 1995, hlm. 76.
6
dan kelmpok bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun
mengikuti program Taman Kanak-Kanak.6
3. Bimbingan dan Konseling Islam
Bimbingan Islam berarti : bantuan yang diberikan kepada seseorang untuk dapat hidup sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah, agar seseorang tersebut dapat mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.7 Konseling Islam berarti : suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal fikirannya, kejiwaannya, keimanan, dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada al-Qur'an dan as-Sunnah Rasulullah saw.8
Jadi pembahasan skripsi ini adalah tentang proses pembinaan atau
pendidikan dalam rangka mentransfer hal-hal yang penting atau berguna yang
berhubungan dengan agama bagi anak-anak yang belum memasuki jenjang
usia sekolah serta untuk membantu anak yang mempunyai permasalahan guna
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibatasi pada pokok
permasalahan yang ingin penulis angkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-
sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen
ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam ?
6 Sumiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 2003, hlm.
19. 7 Musnamar, Op. Cit., hlm. 5.
7
2. Bagaimana pengamalan nilai-nilai regius pada anak-anak usia pra-sekolah
di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen ?
3. Apa saja faktor penghambat dan penunjang dalam penanaman nilai-nilai
religius pada anak di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-
Zahra Sragen ?
D. Alasan Pemilihan Judul
Ada beberapa pertimbangan atau alasan yang menjadi dasar dipilihnya
judul “PENANAMAN NILAI-NILAI RELIGIUS PADA ANAK-ANAK
USIA PRA-SEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU
(TKIT) AZ-ZAHRA SRAGEN (TINJAUAN BIMBINGAN KONSELING
ISLAM)”, antara lain :
1. Mengingat pentingnya penanaman nilai-nilai religius atau agama pada
anak sejak dini sebagai dasar atau pondasi bagi perkembangan mereka
selanjutnya. Dengan demikian mereka diharapkan mampu
mempergunakan pengetahuan tersebut secara efektif di dalam menghadapi
dan mengatasi berbagai permasalahan hidupnya secara bertanggung jawab.
2. Melihat adanya keistimewaan dan daya tarik Taman Kanak-kanak Islam
Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen sebagai lembaga pendidikan yang
memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan beragama anak-anak
didiknya.
8 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam, Yogyakarta, Fajar
Pustaka Baru, 2001, hlm. 137.
8
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan penanaman nilai-nilai regius pada anak-
anak usia pra-sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-
Zahra Sragen di tinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam
2. Untuk mengetahui pengamalan religius pada anak-anak usia pra-sekolah di
Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen.
3. Untuk mengetahui faktor penghambat dan penunjang dalam penanaman
nilai-nilai religius pada nak-anak usia pra-sekolah di Taman Kanak-Kanak
Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen.
F. Signifikansi Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :
1. Secara teori, bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan dakwah dan khasanah keilmuan dibidang dakwah.
2. Bahwa penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran atau saran
dalam upaya penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak.
G. Telaah Pustaka
Sebelum tulisan ini, ada beberapa karya yang nampaknya memiliki
fokus kajian yang hampir serupa, antara lain :
Dalam karya yang berjudul : ”Bimbingan dan Penyululuhan Agama
Islam terhadap Kehidupan Keagamaan Anak (Study Kasus di Panti Asuhan
Nurussa’adah Desa Wringinjajar Mranggen)”, Mahmudun menyatakan bahwa
9
Bimbingan Penyuluhan Agama Islam sangat penting dalam menumbuhkan
keberagamaan anak dan membiasakan anak dalam berperilaku sehari-hari
mengedepankan nilai-nilai agama serta memberikan kecerahan dalam
kehidupan anak baik masa sekarang terutama dimasa yang akan datang.9
Kemudian ada lagi karya yang berjudul “ Pembinaan Keagamaan Anak
dalam Keluarga di Kecamatan Tegowano Kabupaten Grobogan”.karya yang di
tulis Dhuka tahun 1993 ini menegaskan bahwa keluarga merupakan faktor
utama dalam pembinaan keagamaan anak sehingga anak-anak mampu
menerima dan mengamalkan ajaran agama yang akhirnya anak merasakan
nyaman, tenang dan bahagia serta matang pengetahuan agamanya.10
Selanjutnya karya yang ditulis oleh Sri Pujiati tahun 2002 dengan judul
“Pengaruh Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam terhadap Perkembangan
Jiwa Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Semarang”. Karya ini bertujuan
untuk dapat menciptakan generasi muda yang mampu memahami, meyakini
dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan baik dan benar. Perkembangan
jiwa anak adalah merupakan hasil yang ingin dicapai dari pelaksanaan
bimbingan dan penyuluhan agama.11
Karya lain adalah tulisan Inni Hikmatin Dwi Muryadewi tahun 1997,
dengan judul “Perencanaan dan Pengembangan Strategi Dakwah pada Taman
Kanak-Kanak Al-Qur’an di Kodia Semarang”. Karya ini bertujuan untuk
9 Mahmudun, Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam terhadap Kehidupan Keagamaan
Anak (Study Kasus di Panti Asuhan Nurussa’adah desa Wringinjajar Mranggen), Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1999.
10 Dhuka, Pembinaan Keagamaan Anak dalam Keluarga di Kecamatan Tegowano Kabupaten Grobogan”. Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1993.
10
dapat memberikan gagasan atau ide-ide dalam perencanaan dan strategi
dakwah yang baik dan menyasar di Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an dalam
rangka penyebaran dakwah Islam.12
Dari beberapa karya tersebut, ternyata memiliki obyek serta tempat
yang berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Tidak satupun dari
karya-karya itu yang membahas tentang penanaman nilai-nilai religius pada
anak pra-sekolah.
H. Metodologi Penelitian
1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.13 Adapun yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak didik yang ada
di TKIT Az-Zahra Sragen yang berjumlah 130 anak.
Untuk memudahkan generalisasi penelitian, maka penulis
mengambil sebagian dari populasi. Inilah yang kemudian disebut dengan
sampel. Jadi sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti.14
Dalam skripsi ini penulis mengambil sampel sebesar 50% dari
jumlah tersebut yaitu sebanyak 65 anak, yang pengambilannya dilakukan
secara acak (random sampling).
Cara pengambilan seperti ini sesuai dengan pendapat Dr.
Suharsimi Arikunto yang mengatakan bahwa apabila subyeknya kurang
11 Sri Pujiati, Pengaruh Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam terhadap
Perkembangan Jiwa Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Semarang, Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 2002.
12 Inni Hikmatin Dwi Muryadewi, Perencanaan dan Pengembangan Strategi Dakwah pada Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an di Kodia Semarang, Skripsi, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang,1997.
11
dari 100 maka lebih baik diambil semua, dan jika jumlah subyeknya lebih
besar dapat diambil antara 10% sampai 15% atau 20% sampai 25% atau
lebih besar dari itu.15
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode
penelitian lapangan atau field research.
Metode field research ialah suatu pengumpulan data yang
dilakukan dengan terjun langsung ke kancah penelitian untuk
mendapatkan data yang kongkrit, dengan menggunakan metode :
a. Wawancara
Penulis akan mengadakan tanya jawab secara langsung kepada
responden. Agar pemahaman arti di atas jelas, penulis kutipkan dari
pendapat Kartini Kartono tentang wawancara. Wawancara adalah
metode yang dilakukan secara langsung yang berupa percakapan yang
dengan sengaja dicurahkan kepada permasalahan tertentu.16
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data-data
tentang proses pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius anak dengan
jalan mewawancarai kepala sekolah, pendidik, orang tua dan anak.
b. Metode Observasi
Dalam metode observasi penulis akan mengadakan
pengamatan terhadap obyek penelitian melalui pemusatan perhatian.
13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hlm. 102. 14 Ibid, hlm. 104. 15 Ibid, hlm. 107.
12
Sedangkan menurut H. Muhammad Ali dikatakan bahwa metode
observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan
pengamatan terhadap obyek baik secara langsung maupun tidak
langsung.17
Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data tentang
proses penanaman nilai-nilai religius secara langsung dan untuk
mengetahui hasil penanamannya dengan cara ikut berkecimpung
dalam dunia anak-anak.
c. Metode Angket
Penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan tertentu
kepada responden. Jadi metode angket adalah suatu metode yang
digunakan dalam upaya memperoleh informasi melalui daftar
pertanyaan tentang topik tertentu yang diberikan kepada subyek baik
individual maupun kelompok.18
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang hasil
penanaman nilai-nilai religius pada anak melalui pernyataan dari orang
tua dan juga anak.
d. Metode Dokumentasi
Untuk melengkapi data, selanjutnya penulis mencari dokumen
penting dari Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra
16 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset dan Sosial, Bandung, Mandar Maju,
1990, hlm. 187. 17 Muhammad Ali, Srategi Penelitian pendidikan, Bandung, Angkasa, 1993, hlm. 72. 18 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1996, hlm. 181.
13
Sragen. Dokumentasi yang penulis maksud adalah metode kumpulan
data verbal yang berbentuk tulisan.19
Metode ini penulis gunakan untuk mengetahui sejarah
berdirinya TKIT Az-Zahra, letak geografis, sarana dan prasarana
keadaan guru serta anak didik.
3. Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisa
data. Dalam menganalisa data dipergunakan analisis kualitatif diskriptif,
teknik analisis yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status
fenomena secara sistematis dan rasional atau logis.20
Metode ini digunakan untuk menggambarkan proses penanaman
nilai-nilai religius di TKIT Az-Zahra Sragen, dengan cara mengemukakan
data-data yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai religius yang
dilakukan di lingkungan TKIT, kemudian dianalisa kekurangan dan
kelebihannya agar hasil dari penelitian dapat menjadi sumbangsih yang
positif bagi TKIT pada khususnya dan bagi lembaga-lembaga pendidikan
yang lain pada umumnya. Dalam proses ini, cara berfikir induktif dan
deduktif dapat diterapkan sekaligus.
Menurut Sutrisno Hadi, cara berfikir induktif ialah menarik suatu
kesimpulan yang berangkat dari fakta-fakta khusus dalam peristiwa-
19 Koentjaranngrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1983,
hlm. 46. 20 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 126.
14
peristiwa kongkrit kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat
umum.21
Cara berfikir ini penulis gunakan dalam memberikan pernyataan
tentang yang dialami oleh beberapa anak yang dipilih sebagai sampel
dalam penelitian ini dengan melalui observasi, yang kemudian dijadikan
suatu pijakan dalam memberikan pernyataan akhir yang mencakup secara
keseluruhan yakni anak di lingkungan TKIT.
Sedangkan cara berfikir deduktif adalah proses pendekatan yang
berangkat dari kebenaran umum untuk mengetahui suatu fenomena dan
menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa yang berciri
sama dengan fenomena yang bersangkutan.22
Cara berfikir ini digunakan dalam memberikan pernyataan yang
bersifat umum yang kemudian diambil suatu simpulan akhir yang bersifat
khusus. Misalkan pernyataan tentang
I. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah dalam memahami dan mengetahui pokok
bahasan skripsi ini, maka penulis susun sesuai dengan urutan bab I sampai bab
V yaitu :
Bab I : Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, penegasan
judul, perumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan
penelitian, signifikansi penelitian, telaah pustaka, metodologi
21 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yogyakarta, Yayasan Penerbit Fak. Psikologi
UGM, 1986, hlm. 42. 22 Saifudin Azwar, Op.Cit., hlm. 40.
15
penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Berupa landasan teori tentang Bimbingan dan Konseling Islam
dan Religiusitas Anak.
Pertama : Tinjauan tentang Bimbingan dan Konseling Islam,
yang mencakup masalah pengertian bimbingan dan
konseling Islam, dasar-dasar pelaksanaan, prinsip-
prinsip, macam –macam bimbingan serta fungsi dan
tujuan bimbingan dan konseling Islam.
Kedua : Religiusitas anak yang meliputi, pengertian
religiusitas dan pengamalan religius anak.
Bab III : Penyajian data tentang eksistensi Taman Kanak-Kanak Islam
Terpadu (TKIT) Az-Zahra Sragen dan pelaksanaan nilai-nilai
religius. Bab ini meliputi dua pembahasan, yaitu :
Pertama : Gambaran umum Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu
(TKIT) Az-Zahra Sragen yang meliputi tinjauan
historis, letak geografis, struktur organisasi dan
keadaan TKIT dan anak didik.
Kedua : Pelaksanaan dan hasil penanaman serta faktor
penunjang dan penghambat penanaman nilai-nilai
religius.
Bab IV : Bab ini berisi analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan
kerangka landasan teori yang mencakup analisa terhadap
pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius, pengamalan nilai-
16
nilai religius serta faktor penghambat dan penunjang
Bab V : Bab terakhir penulis isi dengan kesimpulan dan saran-saran.
17
BAB II
BIMBINGAN KONSELING ISLAM DAN
PENGAMALAN AGAMA ANAK
A. Bimbingan Konseling Islam
1. Pengertian Bimbingan Konseling Islam
Di pandang dari segi terminologi, ada dua macam istilah yaitu bimbingan dan
konseling. Istilah bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “guidance”, dan
istilah konseling dari kata bahasa Inggris “counseling” yang dalam bahasa Indonesianya
berarti penyuluhan.
a. Bimbingan Islami
Istilah bimbingan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris yaitu
“guidance” yang berasal dari kata kerja to guide yang berarti menunjukkan, memberi
jalan atau menuntun orang lain ke arah tujuan yang lebih bermanfaat bagi hidupnya
di masa kini dan akan datang.23
Dalam kamus Arab-Indonesia, bimbingan diungkapkan dengan kata الرشد
yang artinya pengarahan, bimbingan dan juga bisa berarti menunjukkan atau
membimbing.24
Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah surat Al-Kahfi: 10, yang
berbunyi:
إذ أوى الفتية إلى الكهف فقالوا ربنا آتنا من لدنك رحمة
)١٠:الكهف (نا رشداوهيئ لنا من أمر
Artinya :“Ingatlah tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami
23 M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta, PT
Golden Terayon, Press, 1994, hlm. 1. 24 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Unit
pengadaan buku-buku ilmiah keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984, hlm. 535.
18
berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (al-Kahfi: 10)25
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli
tentang definisi bimbingan secara umum:
1) Menurut Bimo Walgito
“Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya agar individu atau sekumpulan individu-individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.”26
2) Rumusan yang diberikan oleh Priyatno dan Erman Anti.
“Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.”27
3) Bruce Shretzer and Shelly C. Stone mengemukakan guidance adalah
“Guidance is the process of helping individuals to understand themselves and their world.” 28
Artinya: “Bimbingan adalah sebuah proses menolong individu untuk
memahami dirinya dan dunianya ”
Dari beberapa pengertian bimbingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, agar mampu mengembangkan
potensi (bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri,
mengatasi persoalan-persoalan sehinggga mereka dapat menentukan sendiri jalan
hidupnya secara bertanggung jawab tanpa bergantung kepada orang lain).
25 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV. Toha Putra, 1989, hlm. 444. 26 Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta, Andi Offset, 1995,
hlm. 4. 27 Priyatno, Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta, PT. Bineka
Cipta, 1999, hlm. 99. 28 Bruce Shretzer and Shelly C. Stone, Fundamental of Guidance, Chichago, Purdue
University, 1966, hlm. 40.
19
Setelah mengetahui pengertian bimbingan dari sudut pandang umum,
maka perlu dikemukakan juga pengertian bimbingan dari sudut pandang Islam yang
dirumuskan oleh Thohari Musnamar sebagai berikut :
“Bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”29
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
dalam proses pemberian bantuan terhadap individu, namun dalam bimbingan Islam
konsepnya bersumber pada Al-Qur'an dan Al-Hadist.
b. Konseling Islami
Konseling berasal dari bahasa Inggris yaitu counseling. Sedangkan kata
counseling dari kata to counsel yang artinya memberikan nasehat atau memberi
anjuran kepada orang lain secara face to face (berhadapan muka satu sama lain) dan
juga bisa diartikan advice, yang artinya nasehat atau petuah.30
Sebagaimana pengertian bimbingan (guidance), maka di dalam pengertian
konseling secara umum dan Islami juga terdapat beberapa pendapat, antara lain:
1) Hasan Langgulung, mengatakan
“Konseling adalah proses yang bertujuan menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang belum sampai pada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya.”31
2) Menurut Priyatno dan Erman Anti.
“Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (disebut klien), yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.”32
29 Thohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami,
Yogyakarta, UII Press, 1992, hlm. 5. 30 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia,
1992, hlm. 150. 31 Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1986,
hlm. 452. 32 Priyatno, Erman Anti, Op. Cit. hlm. 105.
20
3) Menurut Bruce Shretzer and Shelly C. Stone
“Counseling is an interaction process which facilitate meaningful understanding of self and environment and result in the establishment, and/or clarification of goals and values for future behavior.”33
Artinya: “Konseling adalah suatu proses interaksi yang memudahkan pengertian
diri dan lingkungan serta hasil-hasil pembentukan dan atau klarifikasi tujuan-
tujuan dan nilai-nilai yang berguna bagi tingkah laku yang akan datang.”
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konseling adalah
suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu
yang sedang mengalami masalah, agar individu dapat mengatasi permasalahan yang
dihadapinya.
Setelah mengetahui pengertian konseling dari sudut pandang umum, maka
perlu dikemukakan juga pengertian konseling dari sudut pandang Islam yang
dirumuskan oleh M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky dalam bukunya “Psikoterapi dan
Konseling Islam”
“Konseling Islam berarti: suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal fikirannya, kejiwaannya, keimanan, dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah saw.”34
Sama seperti bimbingan, dalam konseling dilihat dari sudut pandang
umum dan Islam, tidak ada perbedaan dalam proses pemberian bantuan terhadap
individu, namun dalam konseling Islam konsepnya bersumber pada Al-Qur'an dan
Hadist.
Secara prinsip, antara bimbingan dengan konseling memiliki perbedaan
kajiannya yakni bimbingan diberikan kepada individu yang telah atau belum memiliki
problem, dapat diberikan secara individu maupun kelompok, dengan lisan maupun
33 Bruce Shretzer and Shelly C. Stone, Fundamental of Counseling, Chichago, Purdue
University, 1968, hlm. 26. 34 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam, Yogyakarta, Fajar
Pustaka Baru, 2001, hlm. 137.
21
tulisan, meliputi kegiatan preventive, preservative, corrective, curative dan development
serta bimbingan bersifat luas. Sedangkan konseling diberikan kepada individu yang telah
memiliki problem, dapat secara individu maupun kelompok, dengan wawancara tatap
muka, diberikan sebagai usaha corrective, curative dan bersifat sempit (merupakan
bagian dari bimbingan)35.
Dengan demikian, istilah bimbingan dan konseling merupakan dua rangkaian
kata yang saling berhubungan erat dalam melaksanakan kegiatannya. Demikian besarnya
peran konseling diantara keseluruhan bentuk-bentuk pelayanan bimbingan, sampai-
sampai konseling dianggap sebagai jantung hatinya bimbingan.
2. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling Islam
Dasar utama bimbingan dan konseling Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah
Rasul, sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat
Islam.36 Al-Qur'an dan Sunnah Rasul adalah landasan ideal dan konseptual bimbingan
dan konseling Islami. Dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul itulah gagasan, tujuan dan
konsep-konsep bimbingan dan konseling Islami bersumber.
a. Dasar Bimbingan Islami
Dasar yang memberi isyarat kepada manusia untuk memberi petunjuk
(bimbingan) kepada orang lain dapat dilihat dalam surat Al-An’am ayat 154 yang
berbunyi:
ثم آتينا موسى الكتاب تماما على الذي أحسن وتفصيال لكل شيء
)١٥٤:األنعام (وهدى ورحمة لعلهم بلقاء ربهم يؤمنون
Artinya :“Kemudian kami telah memberikan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa untuk
menyempurnakan (nikmat kami) kepada orang yang berbuat kebaikan,
dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan
35 Sayekti Pujosuwarno, Bimbingan dan Konseling Keluarga, Yogyakarta, Menara Mas
Offset, 1994, hlm. 83-84. 36 Thohari Musnamar, Op.Cit, hlm. 5.
22
rahmat agar mereka beriman (bahwa) mereka akan menemui Tuhan
mereka”. (QS. Al-An’am : 154)37
b. Dasar Konseling Islami
Dasar yang memberi isyarat kepada manusia untuk memberi nasehat
(konseling) kepada orang lain dapat dilihat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Sebagaimana firman Allah surat Al-Ashr yaitu :
)١ (والعصر )٢ (إن الأنسان لفي خسر لا الذين آمنوا وعملوا إ
)٣ (الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
Artinya :“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan
nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-
menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS. Al-Ashr: 1-3) 38
Sedangkan hadits Nabi SAW sebagai berikut :
)رواه حاآم(سنتى ترآت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما آتاب اهللا و 39
Artinya : “Aku tinggalkan sesuatu bagi kalian semua yang jika kalian selalu
berpegang teguh kepadanya niscaya selama-lamanya tidak akan pernah
salah langkah tersesat jalan; sesuatu itu yakni Kitabullah dan sunnah
Rasulnya”. (H.R. Hakim).
3. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam
a. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam
Fungsi bimbingan dan konseling Islam ditinjau dari kegunaan atau
manfaat, ataupun keuntungan-keuntungan apa yang diperoleh melalui pelayanan
tersebut, dapat dikelompokkan menjadi empat :
37 Soenarjo, Op, Cit., hlm. 215. 38 Ibid, hlm. 1099. 39 Imam Jalaluddin Abdul Rahman, Jami’ Al-Shaghir, Bandung, Syarikah Ma’arif, t.th.
hlm. 130.
23
1) Fungsi preventif : yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya
masalah bagi dirinya.
2) Fungsi kuratif atau korektif : yakni membantu individu memecahkan masalah
yang sedang dihadapi atau dialaminya.
3) Fungsi preservatif : yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi
yang semula tidak baik (mengandung masalah) yang telah menjadi baik
(terpecahkan) itu kembali menjadi tidak baik (menimbulkan masalah kembali).
4) Fungsi developmental atau pengembangan ; yakni membantu individu
memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap
baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab
munculnya masalah baginya.40
b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam
Tujuan umum bimbingan dan konseling Islami secara implisit sudah ada
dalam batasan atau definisi bimbingan dan konseling Islam, yakni yang ingin dicapai
dengan bimbingan dan konseling ialah mewujudkan individu menjadi manusia
seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan bimbingan dan konseling Islam yang dikemukakan oleh M.
Hamdani Bakran Adz-Dzaky adalah sebagai berikut : 41
1) Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan serta kebersihan
jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak, damai (muthmainnah), bersikap
lapang dada (radhiyah) dan mendapatkan pencerahan taufik hidayah Tuhannya
(mardhiyah).
2) Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesopanan tingkah laku yang
dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga,
lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
40 Thohari Musnamar, Op.Cit., hlm. 34. 41 M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Op. Cit, hlm. 167-168.
24
3) Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul
dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong-menolong dan rasa kasih
sayang.
4) Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul
dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan
mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya.
Sedangkan tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran
tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang
dialami oleh individu yang bersangkutan sesuai kompleksitas permasalah itu.42
Dengan demikian tujuan bimbingan dan konseling Islam dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum seperti
yang tersirat dalam definisi bimbingan dan konseling sedangkan tujuan secara khusus
merupakan penjabaran dari tujuan umum yang berkaitan dengan permasalahan yang
berhubungan langsung dengan masalah yang dihadapi individu.
Salah satu tujuan dari bimbingan dan konseling Islam adalah mengarahkan
kepada individu untuk mempunyai mental atau jiwa yang sehat.43 Untuk mencapai
tujuan bimbingan dan konseling Islam, maka dibutuhkan sebuah langkah operasional
untuk mengarahkan individu untuk mempunyai mental atau jiwa yang sehat.
4. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Yang dimaksud dengan prinsip adalah patokan atau landasan praktis yang
harus dilaksanakan atau diikuti dalam pelaksanaan bimbingan dan pelaksanaan
agama, prinsip-prinsip bimbingan dan penyuluhan disini menurut Prof. Dr. Bimo
Walgito meliputi :
1. Bimbingan dan penyuluhan dimaksudkan untuk anak-anak, orang dewasa dan
orang-orang yang sudah tua.
42 Priyatno, Erman Anti, Op. Cit, hlm. 115. 43 Ibid, hlm. 109.
25
2. Usaha-usaha bimbingan dalam prinsipnya harus menyeluruh kesemua orang
karena semua orang tentu mempunyai masalah-masalah yang butuh
pertolongan.
3. Supaya bimbingan dapat berhasil baik, maka dibutuhkanlah pengertian yang
mendalam mengenai orang yang dibimbing. Oleh karena itu perlu diadakan
evaluasi atau penilaian dan penyelidikan-penyelidikan individual.
4. Fungsi dari bimbingan ialah menolong orang supaya berani dan dapat memikul
tanggung jawab sendiri dalam mengatasi kesulitannya, sehingga hasilnya dapat
berupa kemajuan dari pada keseluruhan pribadi yang bersangkutan.44
Sedangkan menurut Drs. H.M. Arifin M. Ed. Prinsip-prinsip bimbingan
dan penyuluhan agama meliputi :
1. Setiap individu adalah makhluk yang dinamis dengan kelainan-kelainan
kepribadian yang bersifat individual serta masing-masing memiliki
kemungkinan-kemungkinan berkembang dam penyesuaian diri dengan situasi
sekitar.
2. Suatu kepribadian yang bersifat individual tersebut terbentuk dari dua faktor
pengaruh yakni pengaruh dari dalam yang berupa bakat dan ciri-ciri keturunan
baik jasmaniah maupun rohaniah, dan faktor pengaruh yang diperoleh dari
lingkungan, baik lingkungan masa sekarang maupun lingkungan masa lampau.
3. Setiap individu adalah organisasi yang berkembang dan bertumbuh. Dalam
keadaan yang senantiasa berubah, perkembangannya dapat dibimbing kearah
pola hidup yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat
sekitar.
4. Tiap individu dapat memperoleh keuntungan dengan pemberian bantuan dalam
hal melakukan pilihan-pilihan, dalam hal memajukan kemampuan penyelesaian
diri serta dalam mengarahkan kepada kehidupan yang sukses.
44 Bimo Walgito, Op.Cit., hlm. 4.
26
5. Setiap individu diberi hak yang sama serta kesempatan yang sama dalam
mengembangkan pribadinya masing-masing tanpa memandang perbedaan suku
bangsa, agama, ideologi dan sebagainya.45
Disamping itu Muhammad Hatta juga memberikan prinsip-prinsip layanan
bimbingan dan konseling agama yang meliputi:
1. Bimbingan dan Konseling dilakukan secara sistematis dan berhubungan dengan
perkembangan individu.
2. Bimbingan dan konseling berorientasi kepada bentuk kerja sama, bukan bentuk
paksaan.
3. Bimbingan dan konseling didasarkan pada penghargaan atas martabat dan nilai-
nilai individu.
4. Setiap individu harus diberi hak dan kesempatan yang sama dalam
mengembangakan pribadinya masing-masing tanpa memandang perbedaan suku,
bangsa dan lainnya.
5. Dalam memberikan bantuan si terbimbing diusahakan agar dapat berdiri sendiri
dan semakin mampu mengatasi masalah hidupnya.
6. Harus disadari bahwa setiap individu memiliki fitrah beragama, yang dapat
berkembang dengan baik bila diberi kesempatan dengan bimbingan yang baik.46
Dari beberapa prinsip diatas, diharapkan dapat membantu seorang
konselor dalam melaksanakan tugasnya dalam membimbing konseli, sehingga dapat
dengan sistematis mengerti apa yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu seorang
konselor harus mengetahui beberapa prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan
bimbingan dan konseling agama Islam.
5. Macam-Macam Bimbingan dan Konseling Islam
45 M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama di
Sekolah dan diluar Sekolah, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, hlm. 18. 46 Mohammad Hatta, Citra Dakwah di Abad Informasi, Medan, Pustaka Wijaya Sarana,
1995, hlm. 115.
27
Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu bimbingan yang bertujuan untuk
membantu memecahkan problem seseorang dengan melalui keimanan menurut
agamanya. Dengan menggunakan pendekatan keagamaan dalam konseling tersebut, klien
dapat diberi kesadaran terhadap adanya hubungan sebab akibat dalam rangkaian
problema-problema yang dialami dalam pribadinya yang dihubungkan dengan nilai
keimanannya.
Dalam kaitannya dengan ini, maka bimbingan dan konseling Islam menurut
Drs. H.M. Arifin M. Ed. dapat dibagi menjadi beberapa bidang yaitu:
a. Bidang Kependidikan
Bidang kependidikan yaitu pemberian bimbingan yang menyangkut
tentang pengambilan keputusan mengenai lapangan study yang akan dipilih. Dalam
hal ini ada hubungannya dengan kurikulum di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi
serta fasilitas lainnya.47
Dalam bidang kependidikan ini menyediakan kesempatan sebaik-baiknya
kepada anak didik untuk menemukan minat, bakat serta kecakapan-kecakapannya
dalam bidang study dan mendorong mereka agar suka meminta bimbingan dan
nasehat kepada guru atau pembimbing agama dalam saat tertentu dimana mereka
merasakan adanya problem. Usaha anak didik yang demikian ini memang
dikehendaki oleh Allah. Seperti dalam firman-Nya :
قل آل يعمل على شاآلته فربكم أعلم بمن هو أهدى سبيال
)٨٤:االسراء(
Artinya :“katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaanya masing-masing.
Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang benar jalannya”. ( Q.S.
al-Isra: 84 )48
Arti kata keadaanya diatas adalah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya.49
47 M. Arifin, Teori-Teori Konseling Umum dan Agama, Jakarta, PT. Golden Terayon
Press, 1996, hlm. 18. 48 Soenarjo, Op.Cit., hlm. 437.
28
Bidang kependidikan dapat dilakukan dengan cara memberikan
bimbingan dan penyuluhan agama terhadap masalah yang berkaitan dengan
pendidikan, hal ini dapat menumbuhkan minat dan dorongan anak untuk menjadi
orang yang berderajad tinggi disertai dengan keimanan yang tangguh kepada
Tuhannya. Sebagaiman firman Allah :
...يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات ...
)١١: المجادلة(
Artinya :“... Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat...”.(Q. S. Al Mujadalah: 11)50
Pemilihan pendidikan tersebut didasarkan pada kemampuannya masing-
masing terbimbing, hal ini perlu mendapatkan perhatian agar dikemudian hari tidak
menimbulkan frustasi serta kegagalan dalam kehidupannya.
b. Bidang Kesehatan Jiwa
Yaitu suatu bimbingan atau penasehatan keagamaan yang bertujuan
untuk menghilangkan faktor yang menimbulkan gangguan jiwa klien, sehingga dia
memperoleh ketenangan hidup rohaniah yang sewajarnya sebagaimana yang
diharapkan.51 Sebagaimana firman Allah :
)١٠:الشمس( وقد خاب من دساها) ٩ (قد أفلح من زآاها
Artinya :“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya dan
merugilah orang-orang yang mengotorinya. (Q. S. As Syams: 9-10) 52
Dalam usaha memperoleh klarifikasi rohaniah, konselor kadang-kadang
memerlukan pendekatan-pendekatan psikoterapi atau penyembuhan jiwa,
49 M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran, Op.Cit., hlm. 98. 50 Soenarjo, Op.Cit., hlm. 910-911. 51 M. Arifin, Teori-Teori Konseling Umum dan Agama, Op.Cit., hlm. 18.
29
psikoanalisis atau penganalisaan jiwa, klinis dan juga pendekatan yang berpusat pada
keadaan pribadi klien53.
c. Bidang Sikap dan Nilai-Nilai
Bidang ini menyediakan kesempatan bagi anak untuk dapat
mengembangkan sikap dan nilai-nilai sesuai dengan idealitas Pancasila, berjiwa
agama yang mendalam sehingga menjadi pola dasar hidup keagamaan yang dapat
diharapkan menjadi pengontrol segala aktivitas hidupnya dalam masyarakat.54
Maka dari itu sikap berhubungan dengan Tuhan dan sikap berhubungan
dengan masyarakat atau lingkungan hidup perlu dikembangkan melalui wibawa
seorang konselor dalam berbagai peristiwa dan lapangan hidup. Pendekatan
psikologis pada anak terutama saat menghadapi kesulitan hidup sangat berpengaruh
bagi perkembangan sikap dan nilai-nilai dalam pribadi mereka masing-masing.
B. Pengamalan Religiusitas Anak
1. Pengertian Religiusitas Anak
a. Religiusitas
Religiusitas berasal dari bahasa Inggris “religiusity” dari akar kata
“religion” yang berarti agama. Religiusity merupakan kata bentuk dari “religius”
yang berarti agama.55 Berdasarkan arti kata tersebut, dapat dipahami bahwa
religiusitas berkaitan dengan keberagamaan seseorang. Dalam khasanah psikologi,
istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Religi
atau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan atau
kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah
dihayati oleh individu didalam hati.
b. Dimensi-Dimensi Religiusitas
52 Soenarjo, Op.Cit., hlm. 1064. 53 M. Arifin, Teori-Teori Konseling Umum dan Agama, Loc.Cit. 54 M. Arifin, Pokok-pokok Pikiran, Op.Cit., hlm. 103. 55 John M. Echols dan Hasan Sadily, Op.Cit., hlm. 476.
30
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai kehidupan
manusia. Bukan hanya sekedar melakukan ritual (peribadatan) saja, namun juga
segala aktivitas yang didorong oleh kekuatan supra natural. Oleh karena itu
keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi,
sebagaimana menurut Glock & Stark (dalam Robertson, 1988) yang dikutip oleh
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, yaitu :
1) Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian
ruang lingkup dan isi keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-
agama, tetapi seringkali antara tradisi-tradisi dalam agama.
2) Dimensi Praktik Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang
dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Dimensi ini dibagi menjadi dua, yakni ritual (mengacu pada seperangkat ritus,
tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan
para pemeluk melaksanakan, seperti perkawinan) dan ketaatan (hal ini terwujut
tatkala ritual dipenuhi).
3) Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-
perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau
didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (suatu masyarakat) yang melihat
komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan,
kenyataan terakhir, dengan otoritas transcendental.
4) Dimensi Pengetahuan Agama
31
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengensi dasar-
dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
5) Dimensi Pengalaman atau Konsekuensi
Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari.56
Dimensi-dimensi tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang tentang dimensi
aqidah, syari’ah dan akhlak. Dimensi aqidah sejajar dengan dimensi keyakinan, dan
dimensi syari’ah sejajar dengan dimensi peribadatan, sedangkan dimensi pengalaman
sejajar dengan dimensi akhlak.57
c. Anak
Anak adalah masa dalam periode perkembangan dari berakhirnya masa bayi
hingga menjelang masa pubertas.58 Chaplin mengemukakan bahwa anak adalah
seorang individu di antara kelahiran dan masa pubertas atau seorang individu di
antara masa kanak-kanak (masa pertumbuhan, masa kecil) dan masa pubertas.59
Selain itu anak-anak disebut pula sebagai stadium perkembangan dari masa
bayi hingga masa dewasa muda.60 Anak juga dianggap manusia dewasa dengan
ukuran kecil.61
Adapun pengertian anak juga dapat di lihat dari segi perkembangannya,
yakni :
1) 0 – 7 tahun, disebut sebagai masa anak kecil, masa bermain
2) 7 – 14 tahun, masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah.
56 Djamaludin Ancok, Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem-
Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. II, 1995, hlm. 76-78. 57 Ibid., hlm. 80. 58 M. Sastra Pradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Usaha Nasional, Surabaya,
1981, hlm. 23. 59 Chaplin J.P, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Rajawali Press, 1997, hlm. 83. 60 Sudarsono, Kamus Konseling, Jakarta, Renika Cipta, 1997, hlm. 9. 61 Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan, Edisi IV, Yogyakarta, Rekarsin, 1990,
hlm. 5.
32
3) 14 – 21 tahun, masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi
orang dewasa.62
Aristoteles juga menyebutkan fase-fase perkembangan anak sebagaimana
yang di kutip oleh Agus Suyanto sebagai berikut :
1) Umur 0,0-7,0 tahun adalah masa kecil, masa bermain.
2) Umur 7,0-14,0 tahun adalah masa anak, masa belajar.
3) Umur 14,0-21,0 tahun adalah masa pubertas, yaitu menuju dewasa.63
Sedangkan Prof. Dr. Zakiyah Daradjat berpendapat bahwa masa kanak-
kanak (±0-12 tahun), masa remaja (±13-21 tahun) dan masa dewasa di atas umur 21
tahun. 64
Dalam setiap perkembangannya, anak selalu terpengaruh oleh lingkungan
tempat ia hidup. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kartini Kartono, setiap
fenomena (gejala) perkembangan anak merupakan produk dari kerjasama dengan
pengaruh timbal balik di antara potensialitas hereditas dengan faktor-faktor
lingkungannya. 65
1) Ciri dan Sifat Anak
Anak pada masa sekolah dapat diperinci lagi menjadi dua fase dan
masing-masing fase memiliki ciri-ciri dan sifat, yaitu :
a) Sifat khas pada masa kelas rendah (6/7-9/10 tahun), yaitu sekolah dasar.
Beberapa sifat khas pada masa yang pertama ini antara lain:
(1) Adanya korelasi yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi
sekolah. Terbukti perlunya kebutuhan-kebutuhan biologik itu terpenuhi
secara layak.
(2) Tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional.
(3) Adanya kecendrungan memuji diri sendiri.
62 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung, CV. Mandar
Maju, 1995, hlm. 28. 63 Agus Suyanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Aksara Baru, 1982, hlm. 59. 64 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 130.
33
(4) Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dan ada kecenderungan
meremehkan anak lain.
(5) Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal tidak di anggap
penting.
b) Sifat khas masa sekolah tinggi (9/10-13 tahun), beberapa sifat khusus pada
masa ini adalah :
(1) Adanya perhatian kepada kehidupan praktek sehari-hari yang kongkrit.
Hal ini membawa kecenderungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan
praktis.
(2) Amat realistis, ingin tahu dan ingin belajar.
(3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus.
(4) Anak memandang nilai rapor sebagai ukuran yang tepat mengenai
prestasi sekolah.
(5) Gemar membentuk kelompok-kelompok sebaya untuk dapat bermain
bersama-sama. Dalam permainan ini anak-anak kerap kali tidak terikat
pada peraturan tradisional, mereka membuat peraturan sendiri. 66
2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agama Anak
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek
rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
direfleksikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat
hablumminallah maupun hablumminannas. Maka dari itu faktor yang
mempengaruhi perkembangan keberagamaan seseorang itu terbagi atas dua
bagian yaitu : faktor pembawaan (internal) dan faktor lingkungan (eksternal).67
a) Faktor pembawaan (internal)
65 Kartini Kartono, Op.Cit., hlm. 33. 66 Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 119-120. 67 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1992, hlm. 136.
34
Perbedaan hakiki antara manusia dengan hewan adalah manusia
mempunyai fitrah (pembawaan) beragama (homo religious).
Setiap anak yang lahir ke dunia, baik yang lahir di negara
komunis maupun kapitalis, baik yang lahir dari orang tua yang saleh
maupun jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman.
Menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau
keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang
mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
Dalam perkembangannya fitrah beragama ini ada yang berjalan
secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para Rasul
Allah SWT. Keyakinan bahwa manusia mempunyai fitrah atau kepercayaan
kepada Tuhan didasarkan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat
127, Ar-Rum ayat 30 dan Asy-Syamsu ayat 8.
b) Faktor lingkungan (eksternal)
Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang
mempunyai kecenderungan untuk berkembang, namun perkembangan itu
tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang
memberikan rangsangan atau stimulus yang memungkinkan fitrah itu
berkembang dengan sebaik-baiknya, faktor eksternal itu tiada lain adalah
lingkungan dimana anak itu hidup. Lingkungan itu ialah keluarga, sekolah
dan masyarakat. 68
c) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak,
oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak
sangatlah dominan. Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menumbuhkan fitrah keberagamaan anak.
68 Ibid. hlm. 138-139.
35
Menurut Hurlock, keluarga merupakan “Training Centre” bagi
penanaman nilai-nilai. Perkembangan fitrah atau jiwa beragama anak,
seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadian anak, yaitu sejak
lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini
didasarkan pengamatan para ahli ilmu jiwa terhadap orang-orang yang
mengalami gangguan jiwa; ternyata mereka itu dipengaruhi oleh keadaan
emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam
kandungan.
Oleh karena itu sebaiknya pada saat bayi masih berada dalam
kandungan, orang tua (terutama ibu) seyogyanya lebih meningkatkan amal
ibadah kepada Allah, seperti melaksanakan sholat wajib dan sunnat,
berdo’a, berdzikir, membaca Al-Qur’an dan memberi sedekah.
Dalam mengembangkan fitrah beragama anak dalam lingkungan
keluarga, disamping upaya-upaya yang telah dilakukan di atas, maka dalam
beberapa hal lagi yang perlu menjadi kepedulian (perhatian) orang tua
yaitu sebagai berikut :
(1) Karena orang tua merupakan pembina yang pertama bagi anak, dan
tokoh yang ditiru anak, maka seyogyanya dia memiliki kepribadian
yang baik atau berakhlaqul karimah (akhlaq yang mulia)
(2) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik.
(3) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar
anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan anak
dengan anak). Hubungan yang harmonis, penuh pengertian dan kasih
sayang akan menumbuhkan perkembangan perilaku anak yang baik.
(4) Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau melatihkan
ajaran agama terhadap anak, seperti sholat, wudlu, do’a-do’a, bacaan
Al-Qur’an, lafaz dzikir dan akhlaq terpuji.
36
Pentingnya peranan orang tua dalam mengembangkan fitrah
beragama anak ini, dalam Al-Qur’an dan Hadits telah dinyatakan secara
jelas dalam surat At-Tahrim ayat 6 :
... يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا )٦:التحريم(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah / jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.69
Dan sabda Nabi SAw bersabda :
رة ى الفط د عل د اال يول ن مول ا م ه او م واه يهودان واب
}رواه بخارى ومسلم{ ينصرانه او يمجسانه 70
Artinya : “Tidak ada seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah
(suci), kedua orang tuanyalah yang menjadikan orang Yahudi,
Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari dan Muslim).
d) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai
program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan
latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan
potensinya.
Pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak
sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-
guru substitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama
para siswa (anak), maka sekolah terutama dalam hal ini guru agama
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlaq yang mulia dan
sikap apresiatif terhadap ajaran agama.
69 Soenarjo, Op. Cit., hlm. 951. 70 Imam Abi Husain Muslim, Jamius Shohih, Juz. VII, Libanon, Beirut, t.th., hlm. 52.
37
Agar dapat melaksanakan tugas tersebut di atas, maka guru
agama dituntut untuk memiliki karakteristik sebagai berikut :
(1) Kepribadian yang mantap (akhlaq mulia), seperti jujur, berkomitmen
terhadap tugas, kreatif, disiplin dalam segala hal, bertanggung jawab
dan respek terhadap siswa.
(2) Menguasai disiplin ilmu dalam bidang studi pendidikan agama Islam.
Guru agama memiliki pemahaman yang memadai tentang bidang studi
yang diajarkan, sesuai kurikulum.
(3) Memahami ilmu-ilmu yang lain yang relevan atau menunjang
kemampuannya dalam proses belajar mengajar.
e) Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau
kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh
terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu.
Dalam masyarakat, individu (terutama anak-anak dan remaja) akan
melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota
masyarakaat lainnya. Apabila teman sepergaulannya itu menampilkan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlaq mulia), maka anak
pun cenderung berakhlaq baik, namun apabila temannya menampilkan
perilaku yang kurang baik, amoral atau melanggar norma-norma agama,
maka akan cenderung terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh
perilaku tersebut. Hal ini akan terjadi apabila anak kurang mendapatkan
bimbingan agama dalam keluarga71.
2. Pengamalan Agama Anak
Pertumbuhan jiwa agama anak, diperlukan pengalaman-pengalaman keagamaan
yang didapat sejak lahir dari orang-orang terdekat dalam hidupnya, seperti ibu, bapak,
71 Zakiyah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, Gunung Agung,
2001, hlm. 59-60.
38
saudara atau anggota keluarga lain bahkan masyarakat sekitar atau guru-guru agamanya
pada waktu itu. Pengalaman keagamaan tersebut merupakan unsur yang akan menjadi
bagian dari pribadinya dikemudian hari. Menurut perhitungan kedokteran bahwa ibu yang
sedang mengandung, gizi makanannya menentukan kecerdasan dan kemampuan anak
dalam bidang kecakapan dan ketrampilannya nanti. Karena pada bulan-bulan terakhir dari
janin tersebut, telah mulai terbentuk jaringan-jaringan otaknya, maka makanan ibu yang
cukup akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi janin dalam kandungan ibu.
Sehingga dapatlah tumbuh jaringan-jaringan otak secara wajar dan baik. Dengan
demikian anak yang akan lahir dapat diharapkan mempunyai kemampuan otak yang
wajar.72
Anak mulai mengenal tuhan melalui orang tua dan lingkungannya. Sikap,
tindakan dan perbuatan anak merupakan simbul kepercayaan pertama bagi anak dari ibu
bapak, atau pengasuh penting lainnya, yang memberikan pengertian tentang Tuhan.
Abin Syamsuddin Makmun, menjelaskan bahwa pada masa kanak-kanak, sikap
keagamaannya yang ditandai dengan sikap yang represif, meskipun banyak bertanya dan
bersifat anthropomorph (dipersonifikasi) serta pemahaman yang bersifat ideosincritic
(menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih
bersifat egocentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya sendiri)73
Dengan kondisi psikologis yang sudah tumbuh pikiran logisnya, maka orang tua
berkewajiban untuk menyuruh anak-anaknya menjalankan kegiatan agama. Faktor
pembiasaan, ajakan dan himbauan sangat positif untuk mendukung perkembangan
keagamaannya. Akar penyebab perlunya pemberian motivasi adalah karena pertimbangan
kondisi kejiwaan anak yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang tua atau
belum tumbuh kesadaran dan kemandirian dalam kreatifitas sesuai dengan ciri-ciri yang
72 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta, Bulan Bintang,
1998, hlm. 110-111. 73 Abin syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2002, hlm, hlm. 109.
39
mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas conceptan
authority (konsep keagamaan yang dipengaruhi dari luar).74
Apabila pengalaman diwaktu kecil itu, banyak didapat nilai-nilai agama, maka
kepribadiannya akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Demikian sebaliknya, jika
nilai-nilai yang diperoleh jauh dari agama, maka unsur-unsur kepribadiannya akan jauh
pula dari agama dan akan menjadi goncang, karena nilai-nilai agama akan sering
mengalami perubahan.
Karena itulah mental (kepribadian) yang hanya terbina dari nilai-nilai sosial dan
moral yang mungkin berubah dan goncang itu, akan membawa kepada kegoncangan jiwa,
apabila perubahan kemudian terjadi.75
Berdasarkan pengalaman-pengalaman keagamaan pada anak tersebut, kemudian
akan dipraktekkan dalam kesehariannya seperti berdo’a setiap hari, membaca al-Qur’an,
jujur dan sebaginya. Akan tetapi, pengamalan anak tentang nilai-nilai religius yang
diperolehnya tidak akan mampu berkembang dan terwujud dalam pengamalan secara
nyata, apabila tanpa peran aktif orang tua dan lingkungan lainnya untuk membantu
mengamalknnya.
Berkaitan dengan peran orang tua tersebut terdapat hadits nabi yang
mengisyaratkan hal tersebut yakni :
انه ه او ينصرانه او يمجس واه يهودان ى الفطرة واب ما من مولد اال يولد عل
}رواه بخارى ومسلم{ 76 Artinya : “Tidak ada seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci), kedua
orang tuanyalah yang menjadikan orang Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa seorang anak akan menjadi kafir ataupun
muslim itu semua tergantung orang tuanya dalam mengasuh dan mendidik anaknya sewaktu kecil.
74 Jalaluddin, Op.Cit., hlm. 68. 75 Zakiah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Hajimas
Agung, Cet. 16, 2001, hlm. 85.
40
Lebih lanjut, hadits Nabi yang berbunyi :
بع الة لس روااوالدآم بالص ر , م م عليهالعش ربو ه د (واض رواه أحم
)وأبوداودوالحاآم 77 Artinya : “Peringatkanlah anak kalian untuk melakukan shalat jika mereka) berumur tujuh
tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat jika berumur
sepuluh tahun”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Hakim).
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa anak haruslah diajarkan shalat pada usia tujuh
tahun, dan apabila usia sepuluh tahun anak belum mau mengerjakan shalat, maka orang tua boleh
memukulnya (“menghukumnya”).
Akan tetapi, hal ini akan menyulitkan bagi orang tua maupun anaknya, apabila pada usia sebelum
tujuh tahun anak belum pernah dikenalkan tentang agama (seperti shalat dan sebagainya). Oleh
karenanya penting bagi orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya sejak usia sebelum tujuh
tahun (pra-sekolah) kepada hal-hal yang berkaitan dengan agama (ibadah seperti shalat dan
sebagainya).
Oleh karena itu, pengamalan-pengamalan agama anak sangat ditentukan oleh orang tuanya, apakah
orang tua melatihnya untuk beribadah (shalat, puasa, zakat, dan ibadah dalam arti luas), atau justru
sebaliknya. Hal tersebut sangat menentukan pengamalan-pengamalan agama anak pada
perkembangannya di masa-masa yang akan datang.
76 Imam Abi Husain Muslim, Loc.Cit. 77 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Pent. Bahrun
Abu Bakar Ihsan, Cet. II, Bandung, CV. Diponegoro, 1993. hlm. 88.
41
BAB III
EKSISTENSI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TEPADU
AZ-ZAHRA SRAGEN
A. Situasi Umum Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Az-Zahra Sragen
1. Sejarah Berdirinya
Bermula dari wacana untuk mengembangkan dakwah Islam di lingkungan
masyarakat Sragen, maka beberapa pemuka agama setempat berkumpul mengadakan
pertemuan untuk membahas pengembangan dakwah Islam yang belum maksimal di
Sragen. Berdasarkan pertemuan tersebut diperoleh kesepakan untuk membentuk suatu
lembaga dakwah yang bernama Lembaga Bakti Muslim AL-FALAH dengan Akte
Notaris No. 38 tgl. 24 Dessember 1996 dan NPWP No. 1.915.306.3-526 yang beralamat
di Jl. Beringin No. 7-9 Kebun Asri Sragen. Awal mula lembaga ini bergerak dalam
bidang sosial dan dakwah, seperti pasar murah, penyembelihan hewan qurban,
pendistribusian zakat dan lain sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, Lembaga Bakti Muslim Al-Falah ingin
mewujudkan insan-insan ulul albab yang antara lain di tempuh melalui jalur pendidikan
keluarga maupun formal yang berorientasi pada keterpaduan konsep tersebut dari tingkat
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Peran keluarga sebagai media pembentukan insan ulul albab ini sangat dominan.
Namun pendidikan awal yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga ini sering
tidak terwujud, sebagian besar karena kesibukan orang tua menjadi kendala dalam
mewujudkannya.
Anak-anak merupakan tumpuan harapan agama dan negara, yang keberadaannya
diharapkan menjadi penerus yang mempunyai nilai lebih pada keimanan dan
intelektualitasnya. Terdapat potensi jasmani, rohani dan akal budi dalam diri mereka yang
harus dikembangkan, agar mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin komplek
dan berat.
42
Pada tahun 1999, Lembaga Bakti Muslim Al-Falah mulai tertarik kepada
pendidikan yang memadukan antara ilmu pengetahuan, teknologi dan agama. Karena
tertarik terhadap perpaduan pendidikan tersebut, maka lembaga ini mengikuti berbagai
pertemuan yang diadakan oleh ALPIT (Asosiasi Lembaga Pendidikan Islam Terpadu) di
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Tepatnya pada tanggal 28 Mei 2000, LBM (Lembaga
Bakti Muslim) mendirikan sebuah lembaga pendidikan yaitu Taman Kanak-Kanak Islam
Terpadu (TKIT) Az-Zahra dengan status terdaftar pada Departemen Agama No. WK/5-
6/RA/40/pgm/2000 dan tergabung juga dalam JSITI (Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Indonesia).78
TKIT Az-Zahra ini merupakan alternatif untuk menumbuh kembangkan,
membina fitrah, potensi dan bakat anak sejak dini secara optimal. Kurikulum pada TKIT
Az-Zahra merupakan perpaduan dari kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang
menekankan pada unsur edukatif dan pengembangan intelektualitas dengan kurikulum
Departemen Agama yang menekankan unsur religiusitas (keagamaan). Dengan perpaduan
tersebut diharapkan terbentuk suatu universalitas keilmuan yang serasi antara ilmu dan
agama.
Untuk melihat lebih jauh tentang sejarah berdirinya Taman Kanak-Kanak Islam
Terpadu (TKIT) Az-Zahra, maka perlu penulis kemukakan tentang dasar dan tujuan
didirikannya. Adapun dasar dan tujuan tersebut adalah :
a) Meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan akhlak, pengetahuan, ketrampilan dan
daya cipta yang diperlukan anak untuk hidup di lingkungan masyarakat sehingga
dapat mengembangkan diri sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan serta
memberikan bekal kemampun dasar perkembangan anak secara utuh.
b) Memberikan bekal dasar bagi anak untuk menjadi generasi yang mencintai Al-
Qur’an sehingga Al-Qur’an menjadi bacaan dan pandangan hidup sehari-hari.
78 Wawancara dengan bapak Jumadi sebagai konsultan kependidikan TKIT Az-Zahra
Sragen, 14 oktober 2003.
43
c) Membekali anak dengan nilai-nilai Qur’ani sedini mungkin agar terbentuk
kepribadian Islami yang memiliki aqidah yang lurus, ibadah yang baik, berilmu
pengetahuan, kuat jasmani dan berakhlak mulia.
d) Menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan serta amal shaleh sesuai dengan
taraf perkembangan yang dilalui oleh anak.
e) Membantu perkembangan fisik, psikis, intelektual dan sosial yang optimal searah
dengan perkembangan anak dan selaras dengan syariat Islam.
2. Letak Geografis
Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-Zahra terletak di Jl. Beringin
No. 7-9 Kebun Asri Sragen. Adapun batas lokasi TKIT Az-Zahra (terlampir).
3. Sruktur Organisasi
STRUKTUR ORGANISASI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU AZ-ZAHRA SRAGEN
Keterangan79
a. Yayasan LBM Al-Falah : Anggoro Sutrisno, SE.
b. Badan Pembina : Dedy Endriyatno
c. Komite PG dan TKIT : Sahal
d. Bag. Administrasi : Minarti
YAYASAN LEMBAGA BAKTI MUSLIM
BADAN PEMBINA
KEPALA PG DAN TKIT
Bag. ADMINISTRASI
KOMITE PG DAN TKIT
PLAY GROUP TK ISLAM TERPADU
44
e. Kepala Sekolah : Yuni Nur Hidayati, S.Pd.
Ustadzah :
a. Dewi Susiati, Amd
b. Riyana Nawangsari
c. Mimin Wulandari
d. Siti Amanah
e. Minarti
f. Tri Handayani
g. Normawati
h. Endah Farhati A., S.Ag.
i. Wiwin Sugianti
j. Murniati
k. Tutik Dwi Lestari
l. Warsiti, S.Pd.
Klinik Sekolah dan Biro Konsultasi
a. Psikologi : Yuni Nur Hidayati, S.Pd.
b. Kesehatan : dr. Maryati
c. Pendidikan : Jumadi
4. Keadaan TK dan anak didik
a. Keadaan TKIT Az-Zahra
1) Sarana dan Prasarana
a) Gedung
Sebagai ruang tempat berlangsungnya proses penanaman nilai-nilai
religius pada anak-anak usia pra-sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam
Terpadu Az-Zahra Sragen di lengkapi dengan berbagai peralatan untuk
79 Wawancara dengan Ibu Yuni Nur Hidayati sebagai Kepala Sekolah TKIT Az-Zahra
Sragen, 23 Oktober 2003.
45
menunjang kegiatan tersebut. Adapun ruang gedung ini terbagi menjadi
beberapa ruang sesuai dengan fungsinya antara lain :
(1) Ruang Kantor
Digunakan untuk aktifitas yang berhubungan dengan
keadministrasian dan juga untuk menerima tamu.
(2) Ruang Kelas
Di TKIT Az-Zahra terdapat 6 kelas untuk kegiatan penanaman
nilai-nilai religius pada anak-anak. Adapun setiap ruang terdapat alat-
alat seperti : meja kursi untuk anak, papan tulis dan rak buku untuk
menyimpan alat-alat pengajaran.
(3) Ruang serba guna
Ruang serba guna ini berisi seperangkat komputer yang
digunakan untuk keperluan yayasan atau TKIT sendiri, juga sebagai
tempat silaturahmi wali murid.
b) Dapur
Digunakan untuk memasak dalam penyediaan makan anak,
katering LBM dan kegiatan makan bersama.
c) Gudang
Gudang ini digunakan untuk menyimpan alat-alat permainan atau
perabot yang sudah tidak dapat digunakan.
d) Halaman
Halaman sekolah yang cukup luas memudahkan anak dapat
bermain dengan bebas.
e) Persediaan air
Untuk cuci tangan, berwudhu, mandi, memasak dan kegiatan-
kegiatan yang diatur oleh TKIT
f) Macam-macam perabotan
46
Macam-macam perabotan yang tersedia antara lain : meja, kursi,
rak buku tas dan sepatu, rak obat-obatan, almari, tape recorder, kipas angin,
komputer, timbangan anak, dsb.
g) Alat permainan luar
Yakni meliputi : bola dunia, jungkit-jungkit, ayunan, papan luncur
(prosotan), bola sepak, busur lingkar, papan titian, jaring-jaring panjat, besi
gantung dan sebagainya.
h) Alat permainan di dalam
Alat kesenian (angklung), peralatan masak, puzzle, lesi, balok,
boneka tangan dan lain-lain.
2) Keadaan Guru
TKIT Az-Zahra saat ini mempunyai guru berjumlah 13 orang, yang
semuanya adalah wanita (ustadzah). Masing-masing bertanggung jawab penuh
atas satu kelas yang diasuhnya. Adapun jenjang pendidikan terakhir ustadzah di
TKIT Az-Zahra bermacam-macam, yaitu sarjana psikologi, D3, D2, D1 dan
SMA, paling tidak mempunyai dasar ke-TK-an.
b. Keadaan Anak Didik
1) Jumlah Anak didik
Anak didik TKIT Az-Zahra Sragen berjumlah 130 anak. Anak didik tersebut
bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar, tetapi juga berasal dari dari berbagai
kecamatan yang ada di kabupaten Sragen.
2) Agama Anak-Anak
Para anak didik TKIT Az-Zahra semuanya beragama Islam, namun tingkat
agamanya tidak sama, karena mereka mempunyai latar belakang yang berbeda. Ada
yang sudah mengenal agama Islam dan ada pula yang belum mengenal, sehingga
kadar agamanya berbeda.
3) Proses Penerimaan Murid
47
Dengan dasar dan tujuan tersebut di atas, maka ditentukan kriteria bagi anak-anak
agar bisa menjadi anak didik di TKIT Az-Zahra Sragen. Adapun syarat atau kriteria
tersebut adalah :
a) Berusia taman kanak-kanak
b) Lulus seleksi atau tes
(1) Psikologi
Tes ini bertujuan untuk mengetahui motorik halus dan kasar anak.
(2) Kesehatan
Untuk mengetahui kesehatan anak, apakah anak tersebut mempunyai
penyakit bawaan atau tidak.
(3) Kemampuan Dasar
Untuk mengetahui sejauh mana anak mengetahui atau mengenal angka,
huruf dan doa-doa yang dimiliki.
(4) Intervew Wali
Untuk mengetahui kesiapan dan kesanggupan orang tua atau wali murid
dalam pendidikan anak.
B. Pelaksanaan Penanaman Nilai-Nilai Religius
1. Penanaman nilai-nilai Religius Anak di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT) Az-
Zahra Sragen
Taman kanak-kanak sebagai lembaga pendidikan pra-sekolah merupakan bagian
penting dari serangkaian upaya mengantarkan anak untuk memasuki jenjang pendidikan
dasar. Pada jenjang pendidikan taman kanak-kanak potensi anak-anak yang berhubungan
dengan kecerdasan (intellegence), ketrampilan (skill), bahasa (language) maupun perilaku
dalam bersosialisasi (social behaviour) mulai tumbuh.
Bimbingan dan bantuan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara
profesional mutlak diperlukan agar kemampuan dan ketrampilan anak-anak pada usia ini
dapat berkembang secara maksimal. Untuk mecapai maksud tersebut perlu didukung oleh
guru yang berkualitas, profesional, berwawasan ke-TK-an serta berwawasan ke-Islaman
48
yang luas dalam menanamkan nilai-nilai Aqidah Islamiyah, Akhlaqul karimah, syari’ah,
ibadah dan muamalah.
Secara rinci kegiatan belajar mengajar di TKIT Az-Zahra adalah sebagai berikut
:
Senin-Kamis : Materi nasional, sesuai dengan GBPKB TK 1994 yang dipadukan
dengan kurikulum dari Depag maupun kurikulum dari TKIT itu
sendiri.
Jum’at : Keagamaan (siroh nabi dan khot)
Sabtu : Life skill dan ekstra kurikuler
Setiap hari selain hari Jum’at juga diselipkan atau disisipkan materi-materi
keagamaan seperti hafalan do’a, hafalan al-Qur’an, ibadah, akidah dan akhlak serta
qiro’ati yang diadakan disela-sela sebelum dan sesudah materi nasional. Sedangkan
kegiatan proses belajar mengajar di TKIT Az-Zahra dimulai pada pukul 07-30 WIB dan
selesai sampai pukul 13.30 WIB.
Adapun kegiatan harian yang dilaksanakan di TKIT AZ-Zahra adalah sebagai
berikut :
07.30-08.00 : Kegiatan awal
- Berbaris
- Pembacaan ikrar, syahadat dan kesegaran jasmani
08.00-09.00 :
Inti I
- Masuk kelas, berdo’a dan absensi
- Diisi kegiatan bahasa seperti bercerita, bercakap-cakap, Tanya
jawab dan menyanyi.
Inti II (±30 Menit)
- Diisi ketrampilan/daya fikir
09.00-09.45 : Istirahat I (±60 Menit)
- Diisi bermain, cuci tangan dan qiro’ati
49
09.45-10.00 : Do’a makan, makan dan do’a sesudah makan
10.00-11.00 : Inti III (± 60 Menit)
Diisi dengan kegiatan ketrampilan dan daya piker
11.00-12.30 : Istirahat II (± 120 Menit)
- Shalat berjamaah
- Makan siang
- Bermain
- Membaca dan qiro’ati
12.30-13.15 : Materi tambahan (menulis dan berhitung)
13.15-13.30 : Penutup (± 15 Menit)
- Tanya jawab
- Mengulang materi
- Do’a penutup
- Pulang
Sebagai bentuk penilaian dari guru (ustadzah), setiap hari dinilai perkembangan
anak-anak melalui buku komunikasi yang diberikan kepada orang tua anak (wali).
Sedangkan unsur-unsur yang dinilai oleh ustadzah meliputi hasil pemberian tugas, hasil
pengamatan (observasi), tes perbuatan, sikap perilaku dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi kajian penulis adalah aspek keagamaan
yang diterapkan pada anak-anak di TKIT Az-Zahra. Oleh karenanya, akan dipaparkan
secara rinci penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di Taman
Kanak-Kanak Islam Terpadu Az-Zahra Sragen meliputi :80
a. Qiro’ati
80 Hasil Wawancara dengan Ibu Yuni Nur Hidayati sebagai Kepala Sekolah TKIT Az-
Zahra Sragen, 23 Oktober 2003.
50
Qiro’ati merupakan panduan belajar dalam mengenalkan anak pada tulisan
arab (Al-Qur’an), dengan tujuan agar anak dapat membaca Al-Qur’an dengan baik
dan benar.
Langkah awal dalam pengenalan huruf hijaiyah ini merupakan langkah yang
sangat tepat, apabila didasarkan pada kondisi anak yang asal mulanya belum
pernah/kurang mengenal huruf-huruf hijaiyah (arab).
Metode yang diterapkan ini merupakan awal yang menentukan dalam proses
belajar mengajar dalam bidang al-Qur’an selanjutnya. Hal ini dikarenakan, dalam
belajar Qiro’ati di samping mengenalkan huruf-huruf hijaiyah, namun juga lebih
menekankan pada kefasihan dan kelancaran dalam membaca khususnya Qiro’ati dan
nantinya membaca Al-Qur’an.
b. Hafalan ayat-ayat pilihan (Al-Qur’an)
Hafalan ayat-ayat Al-Qur'an merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan daya ingat anak akan kemampuan dan kecerdasan anak dalam hal
menghafal surat-surat pendek dan surat-surat pilihan dalam Al-Qur'an. Lebih dari itu,
salah satu tujuan dari program mata pelajaran hafalan ayat-ayat pilihan Al-Qur'an
tersebut adalah untuk melatih dan mendidik anak-anak memelihara ayat-ayat suci
dan mulia dalam ingatannya.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang diajarkan dalam TKIT Az-Zahra antara lain :
1) Surat Al-Fatihah sampai surat Al-Bayyinah
2) Surat Al-Baqoroh ayat 255 dan ayat 256 serta ayat 257.
c. Do’a sehari-hari
Penanaman nilai-nilai religius pada anak dengan cara mengajarkan pada
anak-anak do’a sehari-hari dengan disertai artinya yakni do’a yang berkaitan dengan
kegiatan sehari-hari, dengan tujuan agar anak dapat memahami dan menghayati serta
mengamalkan do’a-do’a tersebut.
Do’a sehari-hari yang diajarkan di TKIT Az-Zahra meliputi :
51
1) Do’a sebelum dan sesudah belajar, do’a sebelum dan sesudah makan, do’a
sebelum dan sesudah tidur, do’a masuk dan keluar kamar kecil, do’a ketika
masuk dan keluar rumah.
2) Do’a memintakan ampun orang tua, do’a dunia akhirat dan do’a pembuka hati.
3) Do’a bercermin, ketika berpakaian dan melepas pakaian.
4) Do’a ketika turun hujan dan do’a ketika melihat petir.
5) Do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a berbuka puasa, sesudah adzan dan
sesudah wudhu.
6) Do’a ketika menjenguk orang sakit, ketika sakit, ditimpa musibah, dan ketika
ta’ziah.
7) Do’a melihat pagi dan sore
d. Siroh Nabawiyah
Siroh Nabawiyah merupakan mata pelajaran yang mengupas tentang sejarah
kehidupan para Nabi-Nabi utusan Allah, terutama Nabi Muhammad. Tujuan dari
pelajaran Siroh Nabawiyah tersebut adalah agar anak-anak mengetahui bagaimana
sejarah para nabi tersebut, lebih dari itu diharapkan dengan sejarah tersebut anak-
anak dapat mencontoh akan segala perilaku utusan-utusan Allah tersebut (menjadi
suri tauladan yang baik).
Siroh Nabawiyah yang diajarkan pada anak-anak antara lain :
1) Nabi Muhammad, meliputi : (kisah ababil, kelahiran, penyusuan, shiddiq atau
kejujuran saat berdagang, datangnya wahyu, al-Amin dan ceritanya termasuk
amanah dan fathonah serta cerita hajar aswad)
2) Nabi Sulaiman (yakni cerita tentang kekayaan, keahlian berbahasa dan sebagai
raja yang arif dan bijaksana).
3) Nabi Yusuf (tentang ketampanan dan ketika menjadi raja)
4) Nabi Ibrahim (tidak terbakar api)
5) Nabi Musa (tongkat menjadi ular)
52
Selain itu juga diajarkan tentang sejarah sahabat-sahabat nabi deperti : Abu
Bakar (ketika mendapat gelar As-Shiddiq), Umar Bin Khottob (ketika masuk Islam),
Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib (menggantikan Nabi tidur) dan juga Khadijah
(isteri Nabi Muhammad), Fatimah Az-Zahra (pemurah), Hamzah Bin Abdul
Mutholib (singa padang pasir)
e. Ibadah
Ibadah memiliki cakupan yang luas, namun dalam TKIT Az-Zahra ini yang
menjadi kajian ibadah meliputi :
1) Wudhu (mengenal dan praktek)
2) Adzan dan Iqamah (mengenal dan praktek)
3) Shalat meliputi
a) Mengenal bacaan dan gerakan shalat
b) Mengenal tempat dan perlengkapan shalat
c) Mengenal waktu dan jumlah shalat
d) Mengenal dzikir sesudah shalat
e) Mempraktekkan atau menjalankan shalat
4) Shaum (puasa) yakni membahas tentang arti dan cara shaum, mengetahui shaum
ramadhan dan amalan-amalan ramadhan.
5) Zakat meliputi pengertian dan tujuan zakat.
6) Haji, yakni kewajiban bagi orang-orang yang mampu.
f. Aqidah dan Akhlak
Aqidah dan Akhlak merupakan rangkaian pelajaran yang diterapkan dalam
TKIT Az-Zahra meliputi : Syahadat, Asma’ul Husna, malaikat beserta tugasnya,
Nabi dan Rosul, Kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan keutamaan
membaca, nama surat dalam Al-Quran, surga dan neraka, Akhlaq terhadap sesama,
takbir, tahmid, tahlil dan istiqhfar.
g. Baca Tulis Al-Qur’an.
53
Materi ini meliputi cara membaca yang benar, menulis yang benar ayat-ayat
Al-Qur’an (yakni mewarnai, menebalkan huruf dan menulis atau menyalin)
Tujuan yang diharapkan dari materi baca tulis Al-Qur’an ini yakni agar anak
dapat membaca dan menulis Al-Qur’an dengan baik, tartil dan benar.
h. Hadits
Materi ini membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ucapan
dan perilaku serta ketetapan dari nabi. Materi hadits yang diterapkan pada TKIT Az-
Zahra meliputi salam, kebersihan, marah, menutup aurot, kasih sayang, keutamaan
belajar Al-Qur’an, meuntut ilmu, keindahan, senyum, berbuat baik, adab makan,
sesama muslim berasaudara, silaturrahmi, meninggalkan hal yang tidak berguna,
berkata baik, keharusan bersyukur, larangan memutus silaturrahmi, keutamaan
berdo’a, menjaga lisan, mengasihi sesama makhluk Allah, adab bersin, shalat, sabar,
adab bertetangga, membantu saudara dan menyayangi yang lebih kecil.
i. Pesantren Kilat
Di samping proses belajar mengajar atau penanaman nilai-nilai religius yang
bersifat harian, pada bulan Ramadhan diadakan pesantren kilat untuk
menyemarakkan bulan Ramadhan juga demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
pada diri anak.
j. Manasik Haji
Kegiatan lain yang dilaksanakan dalam penanaman nilai-nilai religius pada
anak-anak usia pra-sekolah di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Az-Zahra Sragen
adalah manasik haji. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan anak dalam pelaksanaan
ibadah haji.
Berdasarkan uraian materi-materi keagamaan yang diterapkan dalam TKIT Az-
Zahra Sragen tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal yakni : aqidah, syari’ah
54
dan muamalah. Lebih dari itu, materi di atas diharapkan agar anak dapat mengamalkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai kebiasaan yang baik. 81
Materi-materi di atas disampaikan dengan menggunakan cara atau metode
sebagai berikut :
a. Metode Pemberian Tugas
Yaitu metode yang memberikan kesempatan kepada anak untuk
melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah dipersiapkan oleh
guru sehingga anak memahami secara nyata dan melaksanakan secara tuntas.
Contoh : pemberian tugas melipat kapal.
Tujuan metode pemberian tugas :
1) Guru dapat memberikan batasan tugas terhadap anak didik sesuai dengan
kemampuan yang diharapkan dicapai.
2) Anak dapat memahami tugas, menerapkan dan mengkomunikasikan isi tugas
tersebut dengan benar melalui perbuatan. Misalnya, daya pikir menyebut urutan
bilangan 1-10.
b. Metode Proyek
Yaitu metode yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
menggunakan alam sekitarnya.
Tujuan metode proyek
1) Membangun rasa keterikatan anak.
2) Agar anak dapat belajar dari sebuah kegiatan yang khusus.
3) Mengembangkan pengetahuan sehingga anak mampu mengamati dan
mengklasifikasikan (memperjelas).
4) Membuat anak tertarik dalam kegiatan belajar mengajar.
5) Mempunyai sikap yang baik
81 Wawancara dengan Ibu Yuni Nur Hidayati sebagai Kepala Sekolah TKIT Az-Zahra
Sragen, 23 Oktober 2003.
55
Contoh : anak diajak mengamati salah satu tanaman.
c. Metode Bermain Peran
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara memperagakan suatu kegiatan
secara singkat.
Tujuan metode bermain peran
1) Melatih anak berbicara lancar.
2) Membantu perkembangan intelegensi anak.
3) Menciptakan suasana yang menyenangkan.
Contoh : bermain peran, tugas dokter menolong orang sakit.
d. Metode Bercakap-Cakap
Yaitu suatu cara mengajar dengan menggunakan percakapan antara guru
dengan anak.
Tujuan metoda bercakap-cakap :
1) Menyampaikan kecepatan dan keberanian anak untuk menyampaikan pendapat
kepada orang lain.
2) Memperbaiki lafal dan ucapan anak.
3) Mengembangkan intelegensi anak.
4) Menambah perbendaharaan kosakata
Contoh : guru memperagakan gambar, kemudian anak dimintai pendapatnya.
e. Metode Karya Wisata
Yaitu suatu cara mengajar dengan memberi kesempatan kepada anak untuk
memperoleh pengalaman langsung sehingga mempertinggi minat belajar dan
membuktikan kebenaran pengertian yang diperoleh secara teori di dalam kelas.
Tujuan metode karya wisata
1) Anak dapat mengenal dan melihat secara langsung obyek yang dikunjungi.
2) Menambah perbendaharaan kata dan kecerdasan.
3) Memperoleh pengamatan secara langsung.
4) Menambah rasa cinta lingkungan.
56
5) Memupuk kerja sama.
6) Menciptakan situasi belajar yang menyenangkan.
Contoh : mengunjungi suatu tempat
f. Metode Bercerita
Yaitu suatu cara atau teknik menuturkan atau menyampaikan cerita secara
lisan.
Tujuan metode bercerita :
1) Melatih daya tangkap, daya pikir dan daya kosentrasi anak.
2) Membantu perkembangan fantasi atau imajinasi
3) Menciptakan suasana yang menyenangkan dan akrab didalam kelas
g. Metode Sosiodrama atau Dramatisasi
Yaitu suatu cara memainkan peran dalam cerita tertentu yang menuntut
intelegensi antara pemerannya.
Tujuan metode sosiodrama atau dramatisasi :
1) Menyalurkan eksperimen ke dalam kegiatan yang menyenangkan.
2) Menghilangkan rasa malu, rendah diri, murung dan segan
3) Mengajarkan anak saling membantu dan bekerja sama.
h. Metode Demontrasi
Yaitu suatu teknik penyampaian pelajaran yang penyajiannya
mengutamakan penonjolan peragaan.
Tujuan metode demontrasi :
1) Melatih pendengaran, penglihatan dan intelektual yang terkonsep.
2) Melatih kemampuan anak melaksanakan tugas yang diberikan.
3) Merangsang anak untuk aktif mengamati dan menyesuaikan antara teori dengan
kenyataan.
i. Metode Eksperimen
Yaitu cara menyajikan pelajaran dimana anak melakukan percobaan dengan
mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari.
57
Tujuan metode eksperimen :
1) Menjelaskan proses terjadinya sesuatu
2) Memberikan pengalaman kepada anak tentang terjadinya sesuatu.
3) Ingin membuktikan tentang keberadaan sesuatu,
Contoh : menanam kacang
j. Metode Tanya Jawab
Yaitu metode tanya jawab yang dilaksanakan dengan cara memberikan
pertanyan yang dapat memberi rangsangan agar anak aktif untuk berpikir.
Tujuan metode tanya jawab :
1) Ingin mengetahui pengalaman atau kemampuan yang telah dimiliki anak.
2) Untuk membangkitkan perhatian dan semangat belajar anak pada saat keadaan
lesu.
3) Untuk mendorong keberanian anak mengungkapkan pendapatnya.
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan metode tersebut disesuaikan
dengan materi yang diberikan dan juga melihat kebutuhan dari anak-anak didik.82
2. Hasil Penanaman Nilai-Nilai Religius Anak di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu
(TKIT) Az-Zahra Sragen
Untuk mengetahui gambaran tentang hasil pelaksanaan penanaman nilai-nilai
religus pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra, beberapa langkah yang
penulis lakukan :
a. Buku Komunikasi (penilaian ustadzah)
Berdasarkan buku komunikasi atau buku penilaian dari guru (ustadzah)
diperoleh data bahwa tingkat perkembangan atau pengamalan nilai-nilai yang di
terapkan oleh pihak TK dapat dikatakan berhasil dan baik. Hal ini didasarkan atas
grafik peningkatan terhadap perkembangan anak khususnya dibidang keagamaan
(nilai-nilai religius).
82 Wawancara dengan Ibu Yuni Nur Hidayati sebagai Kepala Sekolah TKIT Az-Zahra
Sragen, 23 Oktober 2003.
58
b. Observasi
Melalui observasi yang peneliti lakukan beberapa hari di TKIT Az-Zahra,
peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengamalan nilai-nilai religius pada anak-anak
di TKIT Az-Zahra sangat baik.
Hal ini didasarkan pada perilaku anak kesehariannya di lingkungan TKIT
sangat mencerminkan pada nilai-nilai keagamaan. Suatu misal mengucapkan salam,
mendahulukan yang kanan dari yang kiri, membaca do’a dalam setiap mengawali
kegiatan, shalat berjamaah, membaca al-Qur’an (qiro’ati) dan lain sebagainya.
c. Angket
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan angket yang diperuntukkan
kepada anak. Berdasarkan hasil angket yang diisi oleh anak dengan pertanyaan
tentang kegiatan sehari-hari anak di luar lingkungan TKIT Az-Zahra dalam
melaksanakan apa yang mereka dapat di TKIT Az-Zahra adalah sebagai berikut :
TABEL
PENGAMALAN NILAI-NILAI RELIGIUS ANAK-ANAK PRA SEKOLAH DI TKIT AZ-ZAHRA SRAGEN
No Indikasi Frekuensi % 1 Suka mengamalkan 58 89,23 2 Kurang Suka mengamalkan 7 10,76 3 Tidak Suka mengamalkan 0 0
Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dipahami bahwa tingkat pengamalan
nilai-nilai religius anak yang diperoleh dari TKIT Az-Zahra Sragen sangatlah
memuaskan. Terbukti dari 65 anak yang diteliti hanya 7 anak atau 10,76 % jarang/
kurang suka mengamalkan, sedangkan 58 anak atau 89,23 % sering mengamalkan
nilai-nilai religius yang didapat dari TKIT Az-Zahra Sragen. Akan tetapi hal ini tidak
luput dari peran serta orang tua dalam pengamalan nilai-nilai religius anak tersebut.
Lebih lanjut akan diuraikan peranan orang tua dalam membantu pengamalan
nilai-nilai religius anak melalui tabel berikut ini.
59
TABEL MOTIVASI ORANG TUA DALAM PENGAMALAN NILAI-NILAI RELIGIUS
ANAK
No Indikasi Frekuensi % 1 Selalu memotivasi 46 70,76 2 Jarang Memotivasi 19 29,23 3 Tidak Memotivasi 0 0
Berdasarkan hasil tabel di atas dapat dipahami bahwa tingkat pengamalan
nilai-nilai religius anak yang diperoleh dari TKIT Az-Zahra Sragen tidaklah terlepas
dari peran aktif orang tua dalam membantu dan mengarahkan serta memotivasi anak-
anaknya dalam menjalankan atau mengamalkan nilai-nilai religius yang didapatnya.
Hal ini terbukti bahwa 65 orang tua anak (wali) yang menjadi responden, hanya 19
orang tua atau 29,23 % yang kurang memotivasi dan 46 orang tua atau 70,76 %
selalu memotivasi dan membantu anak dalam pengamalan nilai-niali religius yang
diperolehnya dari TKIT Az-Zahra Sragen.
d. Wawancara
Sementara itu, dari hasil wawancara dengan orang tua wali, diperoleh data
bahwa beraneka ragam cara dan bentuk dalam mengarahkan dan membantu serta
memotivasi anak-anaknya dalam pengamalan nilai-nilai religius tersebut, antara lain :
dengan teladan (perilaku) orang tua sehari-hari, memberikan pendidikan tambahan
bagi anak-anaknya seperti mengaji setiap ba’da maghrib di masjid dan mendatangkan
guru privat ke rumah.
Lebih dari itu, guru atau ustadzah melakukan kunjungan ke rumah anak,
apabila terjadi penurunan prestasi anak dalam mengikuti program belajar mengajar.
Hal ini menjadi salah satu upaya yang yang dilakukan oleh pihak TKIT Az-Zahra
untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas anak didik.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengamalan nilai-nilai
religius anak dalam kesehariannya sangat baik, terlepas apakah dengan bantuan dan
pengarahan orang tua ataupun tidak sama sekali.
60
C. Faktor Penghambat dan Penunjang dalam Pelaksanaan Nilai-nilai Religiusitas Pada
Anak-Anak Usia Pra-Sekolah di TKIT Az-Zahra.
Penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra
Sragen tentunya ada faktor-faktor yang dapat menunjang dan faktor-faktor yang menghambat
jalannya proses penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-
Zahra Sragen.83
1. Faktor Penunjang
Berkaitan dengan faktor penunjang penanaman nilai-nilai religius pada anak-
anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen di antaranya adalah :
1. Intelegensi anak
Faktor intelegensi anak merupakan faktor yang berasal dari anak itu sendiri.
Faktor ini sebagai salah satu penentu bagi mudah atau tidaknya anak dalam
menerima proses penanaman nilai-nilai religius dari TKIT Az-Zahra Sragen.
2. Faktor Guru (ustadzah)
Faktor penunjang yang sangat menentukan yang pertama adalah faktor guru.
Mengapa ? karena guru (ustadzah) merupakan subjek yang memiliki tujuan untuk
menyampaikan pesan (materi) kepada siswa (anak). Dalam proses penyampaian
pesan (materi) kepada anak haruslah didukung dengan kemampuan yang khusus,
terlebih lagi objeknya adalah seorang anak yang memiki keterbatasan dan dunia
sendiri. Oleh karena itu seorang guru haruslah mampu menyelami dunia anak-anak
agar tujuan dan harapan yang diinginkan akan tercapai. Selain itu seorang guru
haruslah memiliki sikap sabar, penyayang serta cinta kasih dalam memberikan
pengertian dan pelajaran kepada anak-anak.
3. Faktor Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TKIT Az-Zahra Sragen dapat
dikatakan cukup mendukung proses belajar mengajar, termasuk juga dalam
83 Hasil Wawancara dengan Ibu Yuni Nur Hidayati sebagai Kepala Sekolah TKIT Az-
Zahra Sragen, 23 Oktober 2003.
61
penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra
Sragen. Hal inilah yang menjadikan salah satu faktor yang menunjang bagi
kesuksesan proses belajar mengajar di TKIT.
4. Suasana kerja
Suasana kerja yang terjalin di antara ustadzah dengan Kepala Sekolah,
hubungan ustadzah dengan lingkungan setempat (yakni orang tua atau wali, para
pejabat instansi/tokoh-tokoh masyarakat dan dengan yayasan/LBM) yang baik, akan
berpengaruh positif bagi tercapainya tujuan dalam penanaman nilai-nilai religius
pada anak-anak.
2. Faktor Penghambat
Di samping memiliki faktor penunjang, ada pula faktor-faktor yang dapat
menghambat proses penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di
TKIT Az-Zahra Sragen yakni faktor motivasi orang tua.
Peran orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak menuju waladun
salihun tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu lembaga pendidikan formal apapun
tidak akan dapat meraih kesuksesan dalam proses belajar mengajar tanpa dukungan dan
bantuan baik berupa material maupun nonmaterial yang berarti.
Penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-
Zahra Sragen, tidak seluruhnya orang tua (wali) memberikan dukungan, meski hanya 10
% dari keseluruhannya, namun hal tersebut bukannya tidak memberikan pengaruh yang
signifikan, sebab dari segelintir orang tua yang acuh akan anaknya tersebut dapat
menghambat proses secara keseluruhan.
62
BAB IV
ANALISIS
PENANAMAN NIALI-NILAI RELIGIUS PADA ANAK-ANAK
USIA PRA-SEKOLAH DI TKIT AZ-ZAHRA SRAGEN dALAM PERSPEKTIF
BIMBINGAN DAN KONSELING Islam
Berdasarkan pemaparan tentang pelaksanaan penanaman dan hasil penanaman serta
faktor penghambat dan penunjang penanaman niali-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah
di TKIT Az-Zahra Sragen, maka dalam bab IV ini akan dianalisa dengan menggunakan sudut
pandang Bimbingan dan Konseling Islam.
A. Penanaman Nilai-Nilai Religius Pada Anak-Anak Usia Pra-Sekolah di TKIT Az-Zahra
Sragen.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutannya, banyak keluarga atau orang
tua yang meremehkan tugas mulia yakni tidak menghiraukan akan kebutuhan anaknya, baik
kebutuhan akan perhatian maupun kasih sayang. Oleh karenanya jangan heran kalau di
lingkungan masyarakat sekitar, muncul berbagai insiden yang melibatkan anak, seperti anak
membunuh orang tua, anak nakal, anak mengkonsumsi narkoba dan sebagainya.
Salah satu cara yang efektif dalam menanggulangi problem tersebut adalah
menanamkan nilai-nilai religius kepada anak sebagai bekal untuk mengahadapi perkembangan
zaman.
Penanaman nilai-nilai religius yang diterapkan pada TKIT Az-Zahra Sragen sangat
membantu bagi orang tua ataupun keluarga dalam mencetak atau membentengi calon-calon
penerus bangsa dan negara ini dengan benteng yang kokoh, yakni agama.
Berdasarkan kebutuhan-kebutuhan tersebut, TKIT Az-Zahra dalam proses belajar
mengajar menerapkan beberapa materi atau bahan yang mengandung nilai-nilai religius.
Materi tersebut meliputi : qiro’ati, hafalan ayat-ayat pilihan (yakni surat Al-Fatihah
sampai surat Al-Bayyinah dan surat Al-Baqoroh ayat 255 dan ayat 256 serta ayat 257), baca
63
tulis Al-Qur’an dan hadits, do’a sehari’hari, cerita atau sejarah nabi, aqidah, akhlak, ibadah,
pesantren kilat pada bulan Ramadhan dan Manasik haji.
Berdasarkan materi atau bahan penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia
pra-sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen, dapat dipahami bahwa keseluruhan materi tersebut
telah sesuai dengan esensi ajaran agama Islam yakni : aqidah, syari’ah dan akhlak.
Materi-materi tersebut diterapkan oleh pihak TKIT setiap hari, bahkan khusus pada
hari jum’at keseluruhannya diisi dengan materi keagamaan. Dengan setiap harinya anak
didoktrin sebagaimana di atas, secara tidak langsung itu merupakan pembiasaan atau latihan
bagi anak-anak.
Melalui penanaman nilai-nilai religius tersebut diharapkan anak-anak dapat
memahami pentingnya nilai-nilai agama, baik bagi individu maupun masyarakat, yang
bertujuan akhir mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai Allah SWT.
Anak-anak yang biasa mengikuti penanaman nilai-nilai religius di TKIT Az-Zahra
berbeda dengan anak-anak yang tidak mengikuti penanaman nilai-nilai religius, baik dari segi
tingka laku, sikap dan adat, hal tersebut sebagai pengaruh pada diri anak dalam mengikuti
penanaman tersebut.
Berkaitan dengan penanaman nilai-nilai religius pada anak usia dini (pra-sekolah),
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin sebagaimana dikutip oleh Zainuddin, dkk.,
menjelaskan bahwa anak haruslah dibiasakan dengan melaksanakan ibadah kepada Allah
seperti shalat, berdo’a, berpuasa pada bulan Ramadhan, agar anak pada waktu dewasanya
menjadikan kebiasaannya diwaktu kecil tersebut sebagai kebutuhan yang tidak dapat
ditinggalkan. Hal ini relevan dengan pandangannya mengenai fitrah setiap manusia yang
dibawanya sejak dari kandungan yakni iman kepada Allah.84
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 172 :
}١٧٢: االعراف {... قالوا بلى شهدناقلىالست بربكم ...
84 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Bandung,
1991, hlm. 66.
64
Artinya :”...Bukankah Aku ini Tuhanmu ? mereka menjawab Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi...”. (QS. Al-A’raaf : 172) 85
Sementara itu, Zakiyah Daradjat menegaskan bahwa latihan-latihan ibadah seperti
sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an (menghafalkan ayat-ayat atau surat-surat pendek)
sembahyang berjamaah di sekolahan, masjid atau mushala, serta tidak kalah pentingnya
akhlak dan ibadah sosial agar anak-anak terbiasa melakukannya. Lebih dari itu anak haruslah
diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan seperti ikut aktif dalam sandiwara agama,
membagikan atau mengantarkan daging korban, zakat fitrah dan sebagainya. Hal ini karena
secara spikologi anak senang melakukan sesuatu secara bersama-sama.86
Muhammad Ali Quthb menegaskan bahwa lima tonggak yang harus ditanamkan
pada anak yakni aqidah dan agama, ketaatan, kejujuran, dan amanah serta qona’ah.87
Aspek yang harus diperhatikan dalam menanamkan nilai-nilai religius pada anak usia
dini yaitu: ibadah, pokok-pokok ajaran Islam, membaca al-Qur'an, akhlakul karimah dan
aqidah Islamiyah.88
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa materi atau bahan keagamaan yang
harus ditanamkan pada diri anak-anak usia pra-sekolah secara umum adalah meliputi aspek
aqidah, syari’ah dan akhlak. Hal ini sesuai dengan materi atau bahan nilai-nilai religius yang
diterapkan oleh TKIT Az-Zahra kepada anak-anak usia pra sekolah.
Di sisi lain, upaya untuk menciptakan anak-anak yang mampu menjadi harapan
semua pihak, bahkan mendapat kemuliaan dalam kehidupannya kelak yakni dengan jalan
menjauhkan anak-anak dari tempat yang buruk (baik buruk untuk jiwanya, moralnya,
mentalnya maupun buruk untuk fisiknya dalam artian membahayakan dirinya) dengan cara
memperhatikan dan menjaga lingkungan pergaulan anak (jauhkan dari pergaulan dengan
teman-teman yang berakhlak buruk, karena cepat ataupun lambat anak akan terseret
kedalamnya), serta jangan sekali-kali membebani anak-anak dengan pelajaran, tugas dan
85 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, semarang, 1989, hlm. 250. 86 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 63-64. 87 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, CV.
Diponegoro, Bandung, 1993. hlm. 79-83.
65
tanggung jawab yang belum saatnya diberikan, walaupun anak tersebut menyatakan
sanggup.89
Sementara itu, bimbingan dan konseling Islam memandang bahwa sejak kecil,
seorang anak harus dibiasakan mengenal ajaran agama sebagai pedoman dasar bagi
kehidupannya kemudian. Ajaran agama yang bukan saja berisikan ubudiyah, melainkan juga
aspek hubungan kemanusiaan dan segi kehidupan yang lain.90
Lebih dari itu, dalam perspektif bimbingan dan konseling Islam materi atau bahan
penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah yang dilaksanakan di TKIT
Az-Zahra Sragen dapat berfungsi :
Pertama, untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan
jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (muthmainah), bersikap lapang dada
(rodhiyah) dan mendapatkan pencerahan taufik hidayah Tuhannya (mardiyah).
Kedua, untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku
yang dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja
maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
Ketiga, untuk menghasilkan kecerdasan pada rasa (emosi) individu sehingga muncul
dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong menolong dan rasa kasih sayang.
Keempat, untuk menghasilkan kecerdasan spritual pada diri individu sehingga
muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan
mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya. 91
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa upaya penanaman nilai-nilai
religius pada anak usia pra-sekolah di TKIT Az-zahra Sragen, sesuai dengan prinsip dan
88 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 12. 89 Abdur Rozak Husain, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Terj. Azwir Butun),
Cet. I, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 1992, hlm.96-97. 90 Aunur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling dalam Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001,
hlm. 76. 91 M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam,Yogyakarta, Fajar
Pustaka Baru, 2001, hlm. 167-168.
66
tujuan dari bimbingan dan konseling. Secara jelas dapat diperoleh bahwa dengan penanaman
nilai-nilai religius tersebut dapat dijadikan upaya preventif, kuratif, dan developmental.
Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius
pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Sragen relevan dengan konsep bimbingan dan
konseling Islam.
B. Pengamalan Nilai-Nilai Religius Pada Anak-Anak Usia Pra-Sekolah di TKIT Az-Zahra
Sragen
Secara psikologis, anak itu tidak hanya berusaha mempertahankan keseimbangan
dirinya secara lahir maupun batin saja, akan tetapi dia justru mencari ketidak-imbangan
(disequilibrium). Dia ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, bereksperimen dan
menjelajahi arena asing guna mencoba potensinya dan mengetest bakat barunya.92
Upaya pengembangan terhadap keagamaan anak, tidak dapat lepas dari peran aktif
lingkungan (baik orang tua, sekolah maupun lingkungan masyarakat). Segala pengalaman
anak diperolehnya dengan bertanya dan melihat serta mendengarkan apa yang ada di
sekelilingnya, begitu halnya dengan pengalamannya tentang agama.
Barkaitan dengan pengamalan anak tentang agama, Ramayulis menegaskan bahwa
konsep keagamaan pada diri anak dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka dengan cara
melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka akan melihat dan
akan mengikuti segala apa yang diajarkan dan dilakukan oleh orang dewasa (orang tua
maupun guru). Dengan demikian ketaatan terhadap agama atau pengamalan tentang nilai-nilai
agama yang mereka peroleh merupakan kebiasaan saja, walaupun apa yang mereka terima
belum sepenuhnya disadari.93
Berdasarkan pendapat Ramayulis di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan
keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, yakni lingkungan keluarga
maupun lingkungan sekolah. Salah satu alasannya yakni bahwa sifat dasar dari anak itu
sendiri adalah senang meniru dan mencontoh segala yang dia lihat, dengar dan diajarkan
92 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Mandar Maju, Bandung,
1995, hlm. 22.
67
kepadanya. Walupun tingkat pelaksanaannya masih sebatas meniru dan mencontoh tanpa
pemahaman arti yang sesungguhnya, akan tetapi lambat laun kebiasaan semacam ini akan
menjadi kesadaran yang akan muncul akibat dorongan kebutuhan dari dalam dirinya sendiri.
Keteladanan sebagai salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai religius pada anak
menjadi suatu cara yang efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak yang memiliki
moral, spiritual dan sosial yang matang. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam
pandangan anak, segala perilaku, tindak tanduknya, tata santunnya, yang disadari ataupun
tidak akan ditiru oleh anak-anaknya. Lebih dari itu, segala tingkah laku dan tindakan orang tua
akan meresap dan bahkan tercatat dalam jiwa dan perasaan anak, baik dalam ucapan atau
perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui.94
Dari sini, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak,
karena bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan ke arah kebaikan anak dan
bagaimanapun suci beningnya potensi/fitrah anak, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-
prinsip kebaikan dan pokok pendidikan utama selama para pendidik dilihat tidak menjadi
teladan nilai-nilai moral yang tinggi. Artinya, apabila orang tua, guru pendidik atau pembina
anak berharap akan kesuksesan atas semua yang diusahakan, maka haruslah disertai dengan
sikap dan tindakan sehari-harinya yang baik.
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat At-Tahrim ayat : 6 sebagai berikut
:
)٦:التحريم(... ا قوا أنفسكم وأهليكم نارا يا أيها الذين آمنو
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.(Q.S. At-Tahrim :6)95
Ayat di atas dapat dipahami bahwa langkah awal seseorang dalam mengajak dan
membina akhlak siapa saja (termasuk anak-anak), maka haruslah dimulai dari dirinya sendiri
(yakni pendidik atau orang tua).
93 Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 48. 94 Abdullah Nashih UIwan, Tarbiyah – Aulad Fil Islam, Penerj. Drs. Saifullah Karnadi,
Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, CV. Asy-syifa’, Semarang, 1993, hlm. 2. 95 Soenarjo, Op.Cit., hlm. 951.
68
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengamalan nilai-nilai religius
anak tidak terlepas pada keteladan guru (ustdzah) TKIT Az-Zahra. Oleh karena itu sikap dan
perilaku guru (ustadzah) TKIT Az-Zahra yang baik menjadi kunci utama keberhasilan
penanaman nilai-nilai religius anak.
C. Faktor-Faktor Penghambat dan Penunjang Pelaksanaan Penanaman Nilai-Nilai Religius Pada
Anak-Anak Usia Pra-Sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen
Keberhasilan dan tercapainya tujuan dalam proses pelaksanaan penanaman nilai-nilai
religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen tentunya didukung
dengan berbagai faktor-faktor yang menunjang lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Di
sisi lain, kesuksesan memerlukan perjuangan yang berat unutk meraihnya, termasuk dalam
menanggulangi hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindari.
Pada sub bab ini akan dianalisa faktor-faktor yang dapat menunjang dan juga dapat
menghambat proses pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak.
Faktor penunjang keberhasilan penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia
pra-sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen, meliputi : faktor intelegensi, motivasi dari orang tua,
faktor guru, sarana dan prasarana serta faktor suasana kerja yang terjalin dalam proses belajar
mengajar.
Faktor intelegensi anak memiliki peran yang signifikan dalam proses pelaksanaan
belajar mengajar pada anak di TKIT Az-Zahra Sragen. Tingkat intelegensi yang berbeda
menuntut perhatian yang berbeda dan materi serta metode yang berbeda dan harus disesuaikan
dengan tingkat kemampuan anak.
Beragamnya tingkat intelegensi anak, (yakni ada anak yang ediot, sub normal,
normal, super normal) menjadikan guru (ustadzah) sulit dalam memberikan pelajaran. Untuk
mengatasi hal yang tidak diinginkan ini, TK Az-Zahra memberikan kriteria-kriteria atau ujian
bagi anak yang akan masuk.
Faktor guru juga memberikan sumbangan penunjang bagi pelaksanaan penanaman
nilai-nilai religius anak. Menurut Zakiyah Daradjat, guru haruslah memiliki sikap ; Pertama,
pembina pribadi, sikap dan pandangan hidup anak. Oleh karena itu setiap guru agama
69
(ustadzah) harus membekali dirinya dengan segala persyaratan sebagai guru, pendidik dan
pembina hari depan anak. Kedua, guru harus memahami betul-betul perkembangan jiwa anak
dengan cara yang cocok dan sesuai dengan umur anak. Ketiga, dalam memberikan atau
menanamkan nilai-nilai religius haruslah lebih banyak percontohan dan pembiasaan.
Keempat, guru harus memahami latar belakang anak yang menimbulkan sikap tertentu pada
anak.96
Berdasarkan gambaran Zakiah Daradjat di atas terkesan seorang guru memiliki
tanggung jawab yang luar biasa bagi lancar dan tidaknya proses pelaksanaan nilai-nilai
religius bagi anak. Kemampuan, kecakapan, keuletan dan kesabaran kasih sayang haruslah
menyatu pada diri seorang guru (ustadzah).
Selain itu, contoh yang diberikan oleh guru maupun orang tua akan menjadi lebih
penting daripada seribu kata yang mereka berikan. Oleh karena itu guru agama hendaknya
mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama, yang akan diajarkannya
kepada anak-anak didiknya. Kemudian sikapnya dalam melatih anak tentang kebiasaan-
kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak
kaku97.
Faktor pendukung selanjutnya adalah peran aktif orang tua atau keluarga dalam
memberikan dorongan, arahan, bimbingan dan dukungan bagi anak agar senantiasa dapat
menjalankan dan mengamalkan nilai-nilai yang telah mereka dapatkan di TK Az-Zahra.
Zakiah Daradjat menegaskan bahwa orang tua adalah pembina pribadi yang pertama
dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup orang tua merupakan unsur-
unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi
anak yang sedang berkembang. Sikap anak terhadap guru dan pendidikan agama di sekolah
sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua dan guru agama terhadap agama yang diajarkannya.98
96 Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm. 68. 97 Ibid., hlm. 64. 98 Ibid., hlm. 56.
70
Orang tua memiliki peran terhadap berhasil dan tidaknya pendidikan dan pembinaan
yang dilaksanakan baik di lingkungan sekolah maupun rumah. Orang tua merupakan pendidik
utama dan pertama bagi anak-anak mereka.
Faktor sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TKIT juga merupakan faktor yang
sangat penting. Tanpa adanya sarana dan prasarana (seperti gedung, alam sekitar, alat peraga
dan sebagainya), sudah barang tentu proses pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius pada
anak tidak akan lancar dan berhasil, oleh karena itu kebutuhan akan sarana dan prasarana
mutlak diperlukan. Sementara itu, sarana dan prasarana yang dimiliki TKIT Az-Zahra dapat
dikatakan memadai, sehingga dapat mendukung proses belajar mengajar.
Faktor suasana kerja baik guru, anak, keluarga, kepala sekolah, masyarakat sekitar,
apabila memiliki hubungan timbal balik dan kerja sama yang baik akan menjadi kontribusi
yang baik bagi keberhasilan penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak pra-sekolah.
Sementara itu, secara keseluruhan Jalaluddin, mengklasifikasikan faktor pendukung
menjadi dua yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang dapat menjadi
penghambat dan penunjang proses pelaksanaan belajar mengajar meliputi konstitusi tubuh,
struktur dan bakat khusus, seperti intelegensi yang tinggi, hambatan mental, bakat khusus dan
emosionalitas. Sedangkan faktor ekstern meliputi keluarga, sekolah dan kebudayaan.99
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang dapat
menunjang proses pelaksanaan nilai-nilai religius anak ada dua yakni faktor intern dan
ekstern. Ternyata kedua faktor tersebut mencakup di dalamnya seluruh faktor-faktor seperti
yang telah diuraikan diatas.
Penanaman nilai-nilai religius pada anak akan berjalan dengan lancar dan sukses
mencapai tujuannya, jika suasana sekolah secara keseluruhan membantu. Guru-guru yang
lain, alat-alat pelajaran, peraturan yang berlaku dan perhatian kepala sekolah, hendaknya tidak
bertentangan dengan tujuan penanaman nilai-nilai religius yang ingin dicapai.100 Begitu
99 Jalaluddin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 108. 100 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Kesehatan Mental, Bulang Bintang,
Jakarta, 1982, hlm. 120.
71
sebaliknya, apabila salah satu unsur di atas tidak dapat terpenuhi, maka proses penanaman
nilai-nilai religius menjadi terhambat.
Haruslah disadari bahwa pendidikan yang diterima anak seharusnya sejalan antara
sekolah dan rumah. Oleh karena itu, apabila anak-anak bersekolah di tempat yang mempunyai
keyakinan agama berbeda dengan keyakinan orang tuanya, akan terjadilah kegoncangan pada
jiwa anak, terutama pada usia pertumbuhan.
Tatkala si anak mulai masuk ke lingkungan pendidikan, maka pengaruh masyarakat
dan lingkungan sekelilingnya mulai bekerja. Apa yang dilihatnya dalam masyarakat, baik
yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan, baik yang buruk maupun yang baik,
keseluruhannya akan ikut serta mempengaruhi pelaksanaan pembinaan nilai-nilai religius
yang dilaksanakan di rumah maupun di sekolah.
Dengan demikian, segala unsur-unsur yang bertentangan dengan agama, yang
terdapat dalam masyarakat, akan menghambat pertumbuhan moral bahkan mungkin
menghancurkannya sama sekali. Oleh karena, kalau ingin membina moral anak-anak sesuai
dengan kehendak agama, maka ketiga lembaga pendidikan/ pembinaan (rumah, sekolah dan
masyarakat) harus berfungsi dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, baik dari aspek penanaman nilai-nilai religius anak dan
pengamalan nilai-nilai religius anak serta faktor penghambat dan penunjang dalam
pelaksanaan nilai-nilai religius, dapat diketahui bahwa proses penanaman nilai-nilai religius
pada anak-anak usia pra-sekolah di TKIT Az-Zahra Sragen, dapat dinilai cukup berhasil.
72
A. BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penanaman nilai-nilai religius pada anak-
anak pra-sekolah di TK IT Az-Zahra Sragen dalam perspektif bimbingan dan
konseling Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia pra-sekolah di TK IT Az-
Zahra Sragen meliputi materi yang di dalamnya terkandung esensi ajaran agama Islam,
yakni aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Sementara itu, dalam konteks bimbingan dan
konseling Islam, ternyata TK IT Az-Zahra telah berhasil menanamkan nilai-nilai religius
pada anak (aqidah, syari’ah dan mua’malah) yang secara efektif memiliki fungsi
mencegah (preventif) : yakni mencegah kerusakan moral yang lebih tinggi dan mengobati
(kuratif) yakni : mengobati kerusakan moral yang dialami oleh anak, serta dapat berfungsi
pengembangan (developmental) yakni : mengembangkan nilai-nilai yang telah tertanam
dalam diri anak supaya tetap tertanam dan bahkan lebih dapat mengembangkan nilai-nilai
yang tertanam pada diri anak.
2. Pengamalan nilai-nilai religius dapat dilihat dari aktivitas anak di lingkungan TK IT
maupun di luar lingkungan TK IT (keluarga masyarakat). Pengamalan nilai-nilai religius
anak meliputi : perilaku setiap hari seperti shalat, puasa, berdo’a, mengaji, adab
kesopanan, kejujuran dan lain sebagainya. Dari sudut ini, TK IT cukup berhasil
melakukan perannya sebagai lembaga pendidikan yang dapat diandalkan.
3. Faktor yang dapat menjadi penunjang penanaman nilai-nilai religius pada anak-anak usia
pra-sekolah di TK IT Az-Zahra Sragen adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi konstitusi tubuh, struktur dan bakat khusus, seperti intelegensi anak,
bakat khusus dan emosionalitas. Sedangkan faktor eksternalnya berasal dari unsur
kecakapan atau keahlian guru dalam menerapkan materi yang disajikan dan suasana kerja
dilingkungan TK IT Az-Zahra serta sarana dan prasarana yang memadai.
73
Sebaliknya, faktor penghambatnya adalah adanya orang tua yang acuh akan
pendidikan anaknya, baik secara material maupun nonmaterial.
B. Saran-Saran
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan.
1. Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Az-Zahra Sragen
Agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai lebih maksimal, selayaknya pihak TK IT lebih
menambah dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas dari sarana dan prasarana agar lebih
dapat dirasakan manfaatnya bagi anak-anak. Lebih dari itu, tenaga pendidik (guru) diharapkan
benar-benar yang berkualitas dan berwawasan luas agar dapat menyelami dunia anak-anak,
sehingga kemungkinan keberhasilan sangat tinggi.
2. Orang Tua (wali) murid Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Az-Zahra Sragen.
Dalam upaya memberikan hasil yang terbaik kepada anak, sebaiknya orang tua tidak
begitu saja menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non
formal, akan tetapi harus pula secara langsung ikut serta mengarahkan dan mendidik anak-anaknya
dengan kasih sayang.
3. Untuk kedua belah pihak
Diharapkan kedua belah pihak (antara orang tua dan Taman Kanak-Kanak) harus saling
bekerja sama, saling mendukung baik material maupun imaterial. Dan harus pula dapat
menyelesaikan segala faktor penghambat bagi kesuksessan yang ingin dicapai secara bersama-
sama.
C. Penutup
Alhamdulillah, puji syukur yang tidak mampu terucapkan, penulis panjatkan pada
Allah SWT semata. Kasih sayang-Nya, keridhoan-Nya, hidayah-Nya dan segala macam
nikmat yang penulis tidak akan pernah bisa menghitungnya telah penulis rasakan baik sadar
maupun tidak selama penulisan skripsi ini sampai selesai.
74
Skripsi ini adalah hasil maksimal yang dapat penulis sajikan. Untuk lebih
menyempurnakan skripsi ini, penulis berharap akan saran dan masukan yang konstruktif dari
semua pihak, sehingga lebih dapat dirasakan manfaatnya.
75
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran ,Psikoterapi dan Konseling Islam, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001.
Ahmad, Amrullah, ed., Dakwah Islam dan Sosial Budaya, Yogyakarta, PLPM UGM, 1982.
Ali, Muhammad, Srategi Penelitian pendidikan, Bandung, Angkasa, 1993.
Arifin, M, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta, PT. Golden Terayon Press, 1994.
_____ , Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama di Sekolah dan diluar Sekolah, Jakarta, Bulan Bintang, 1976.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta, 1993.
Badan Pembinaan dan Pengembangan Keagamaan, Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta, UII Perss, 1985.
Daradjat, Zakiyah, Pendidikan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, Bulang Bintang, 1982.
_____ , Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta, Bulan Bintang, 1998.
_____ ,Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1970.
_____ , Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Haji Mas Agung, 1988.
_____ , Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Hajimas Agung, Cet. 16, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1999.
Dhuka, Pembinaan Keagamaan Anak dalam Keluarga di Kecamatan Tegowano Kabupaten Grobogan”. Skripsi, Semarang, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1993.
Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan Konseling dalam Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001.
Hadjar, Ibnu, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
76
Hatta, Mohammad, Citra Dakwah di Abad Informasi, Medan, Pustaka Wijaya Sarana, 1995.
Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak, Alih Bahasa dr. Med. Meilasari Tjanana, Jilid 2, Jakarta, Erlangga, 1989.
Husain, Rozak Abdur, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Terj. Azwir Butun), Cet. I, Jakarta, PT. Fikahati Aneska, 1992.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset dan Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990.
_____ , Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung, CV. Mandar Maju, 1995.
_____ , Psikologi Anak, Bandung, Alumni, 1979.
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1983.
Langgulung, Hasan, Teori-Teori Kesehatan Mental, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1986.
Mahmudun, Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam terhadap Kehidupan Keagamaan Anak (Study Kasus di Panti Asuhan Nurussa’adah desa Wringinjajar Mranggen), Skripsi, Semarang, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1999.
Makmun, Syamsudin Abin, Psikologi Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Unit pengadaan buku-buku ilmiah keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.
Muryadewi, Inni Hikmatin Dwi, Perencanaan dan Pengembangan Strategi Dakwah pada Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an di Kodia Semarang, Skripsi, Semarang, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1997.
Muslim, Imam Abi Husain, Jamius Shohih, Juz. VII, Libanon, Beirut, t.th.
Musnamar, Thohari, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta, UII Press, 1992.
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1982.
77
Priyatno, Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta, PT. Bineka Cipta, 1999.
Pujiati, Sri, Pengaruh Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam terhadap Perkembangan Jiwa Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Semarang, Skripsi, Semarang, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 2002.
Quthb, Muhammad Ali, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1993.
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, 2002.
Shadily, Hasan dan Jhon M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia, 1992.
Shelly C. Stone, Shelly, and Bruce Shretzer, Fundamental of Counseling, Chicago, Purdue University, 1966
_____ , Fundamental of Counseling, Chicago, Purdue University, 1968
Slim, Yenny dan Peter Salim, Kamus Umum Bahasa Indonesia Kontenporer, Jakarta, Modern English Press, 1991
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV. Toha Putra, 1989.
Sudarsono, Kamus Konseling, Jakarta, Renika Cipta, 1997.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Perkembangan, Edisi IV, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1990.
Suyanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Aksara Baru, 1982.
Syah, Jdatinus, Kamus Enggris lengkap, Jakarta, Renika Cipta, 1993.
Thoha, Chabib Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1997.
UIwan, Nasih Abdullah, Tarbiyah – Aulad Fil Islam, Penerj. Drs. Saifullah Karnadi, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, Semarang, CV. Asy-syifa’, 1993.
Walgito, Bimo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta, Andi Offset, 1995.
78
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bandung, Bumi Aksara, 1991.
79