pemutusan hubungan kerja oleh pt budi bakti prima...
TRANSCRIPT
i
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH
PT BUDI BAKTI PRIMA PALEMBANG
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 773K/
Pdt.Sus-PHI/2018)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FATIHATUL MAKIYYAH YAKUB
NIM : 11150480000081
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
v
ABSTRAK
Fatihatul Makiyyah Yakub, NIM 11150480000081, “Pemutusan Hubungan
Kerja oleh PT Budi Bakti Prima Palembang (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 773 K/Pdt.Sus-PHI/2018)”, Strata Satu (S-1), Konsentrasi
Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme penting dalam
melakukan pemutusan hubungan kerja serta mengetahui kesesuaian pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 773 K/Pdt.Sus-PHI/2018 dengan Hukum
Ketenagakerjaan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research, dalam arti mengkaji kasus yang terjadi dengan mengaitkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk mendukung hasil suatu penelitian.
Metode analisis yang digunakan adalah normatif Empiris dengan menggunakan
bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan serta mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 773
K/Pdt.Sus-PHI/2018, dilengkapi dengan bahan hukum sekunder yang terdiri dari
publikasi tentang hukum mengenai pemutusan hubungan kerja yang meliputi
buku-buku, kamus hukum, jurnal hukum, maupun opini-opini atas kasus-kasus
yang terjadi sesudahnya. Data tersiser sebagai bahan tambahan untuk mencari data
hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas data primer dan
sekunder, seperti website, ensiklopedia, atau sumber hukum lain yang mencakup
permasalahan materi .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor
773 K/Pdt.Sus-PHI/2018 tidak jauh berbeda dan memberikan kekuatan atas
Putusan Tingkat Pertama Nomor 5/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Plg. Bahwa mekanisme
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Budi Bakti Prima tersebut terlihat
tidak adil bagi pihak korban PHK. Dan dalam putusan Nomor 773 K/Pdt.Sus-
PHI/2018 Majelis Hakim dalam pertimbangannya cukup adil dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap pekerja yang di PHK, untuk memenuhi kompensasi
hak-hak pekerja yang semestinya harus diterima sesuai dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Kata Kunci: Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja.
Pembimbing : Hidayatulloh, M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1985-2018
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia yang tidak terhingga. Selawat dan salam semoga tetap tercurahkan
pada Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya yang serta hingga akhir zaman. Dengan mengucap
Alhamdulillahi Robbil „alamin peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Pemutusan Hubungan Kerja oleh PT Budi Bakti Prima
Palembang Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 773 K/Pdt.Sus-
PHI/2018”.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, tidak terlepas dari pengetahuan
keilmuan yang peneliti dapatkan dari beberapa sumber, Selain itu tidak
lupa pula terima kasih atas bimbingan, bantuan, nasehat, dan
dukungannya. yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang sudah
memberikan masukan atas penyusunan skripsi.
3. Hidayatulloh, M.H. pembimbing skripsi, Dr. JM. Muslimin, M.A.
pembimbing akademik yang telah bersedia menyediakan waktu,
tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran dan masukan terhadap
proses penyusunan skripsi ini.
4. Direktori Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang
memuat koleksi salinan putusan elektronik yang bisa di akses secara
publik.
vii
5. Pimpinan Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah
menyediakan bahan-bahan pustaka untuk kelancaran penulisan skripsi.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kalangan
akademis, masyarakat, dan pembaca kalangan umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Mei 2019
Peneliti,
Fatihatul Makiyyah Yakub
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK…………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................. ................ 6
D. Metode Penelitian .................................................................. 7
E. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB III : KAJIAN PUSTAKA TENTANG PENGATURAN
KETENAGAKERJAAN ............................................................. 11
A. Kerangka Konseptual ............................................................ 11
B. Kerangka Teori ...................................................................... 14
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 18
D. Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian Kerja……………... 20
E. Hak dan Kewajiban Pemberi Kerja dan Pekerja……………. 22
F. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja dan Jenis-Jenis
Pemutusan Hubungan Kerja………………………………… 24
BAB III : DATA DAN MODEL PENELITIAN ....................................... 27
A. Pengertian Data……………………………………………... 27
B. Profil PT. Budi Bakti Prima .................................................... 27
C. Visi dan Misi PT. Budi Bakti Prima………………………… 27
D. Kronologi Kasus…………………………………………….. 28
E. Model Penelitian ..................................................................... 33
ix
BAB IV : ANALISIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PT
BUDI BAKTI PRIMA PALEMBANG ..................................... 34
A. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja dalam Ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan…………………………….. 34
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018…………………………….. 56
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 5/Pdt.Sus
PHI/2018/PN.Plg ..................................................................... 59
D. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 773 K/Pdt.Sus-
PHI/2018…………………………………………………….. 65
BAB V : PENUTUP ................................................................................... 72
A. Kesimpulan ........................................................................... 72
B. Rekomendasi ......................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang,
karena dilihat dari segi upaya pemerintah yang berusaha melaksanakan
segala pembangunan diberbagai bidang terutama dalam bidang ekonomi.
Ekonomi adalah salah satu ilmu yang mempelajari aktivitas manusia yang
berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang
dan jasa. Manusia dalam memenuhi kebutuhan perlu adanya bantuan dari
pemerintah, karena pemerintah berperan memberi kebijaksanaan untuk
dapat mendirikan suatu usaha yang sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut Molengraaff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan
yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk
mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang,
menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian
perdagangan. Di sini Molengraaff memandang perusahaan dari sudut
“ekonomi.”1
Terkadang pertumbuhan dan perkembangan suatu perusahaan itu
tidak selalu stabil, karena banyak faktor masalah yang akan timbul
didalamnya sehingga menyangkut kepada para pekerja, produksi,
pemasaran dan lain sebagainya. Istilah pekerja menurut undang-undang
ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Tujuan melakukan suatu pekerjaan adalah
mendapatkan upah untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri maupun
kebutuhan keluarganya.
Pengusaha adalah orang perorangan atau badan hukum yang
menjalankan kegiatan usaha baik usaha jual-beli maupun usaha
1 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2007), h. 15
2
memproduksi dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Seorang pekerja
apabila melakukan pelanggaran terhadap aturan perusahaan akan
mendapatkan sanksi/hukuman, dan pada akhirnya akan diakhiri hubungan
kerjanya karena dianggap telah merugikan perusahaan. Jadi baik pemberi
pekerja maupun yang diberi pekerjaan harus terkendali atau harus
menundukan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus
bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai
dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan
selalu terwujud.2
Banyak pengusaha yang melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap para pekerja secara tidak manusiawi atau tidak sesuai dengan
hukum yang berlaku. Semua itu disebabkan karena para pekerja dianggap
tidak mengetahui peraturan tentang pemutusan hubungan kerja, sehingga
ketika para pekerja di PHK oleh pihak perusahaan maka pekerja begitu
mudah untuk dapat menerima keputusan PHK tersebut dengan hanya
perasaan kecewa. Padahal ada hak dan kewajiban yang timbul atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang tercantum di dalam
perjanjian kerja secara tertulis.3
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta menjelaskan
“Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja”. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perusahaan harus
mengambil langkah untuk menemukan cara agar pemutusan hubungan
kerja tidak terjadi, sehingga tidak menimbulkan kerugian maupun sengketa
yang terjadi antara pengusaha dan pekerja.4 Akibat dari pemutusan
hubungan kerja dapat ditinjau dari pihak pengusaha dan pihak pekerja.
2 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h.160
3 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 3
4 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 187
3
Pihak pengusaha dapat menyebabkan terganggunya proses produksi yang
akibatnya perusahaan merugi, pengeluaran biaya tambahan akibat harus
memberikan pesangon dan perusahaan dapat kehilangan tenaga yang
terampil. Jika dilihat dari sudut pekerja, timbulnya PHK dapat
mengakibatkan kehilangan nafkah dan kehilangan status.5
Pemutusan Hubungan Kerja salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh para
pekerja/buruh yang masih aktif bekerja. Berakhirnya suatu hubungan kerja
dapat terjadi secara otomatis pada jangka waktu hubungan kerja yang
ditentukan oleh para pihak buruh atau pekerja dengan pihak pengusaha
yang tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak.6
Namun hakikatnya, PHK bagi pekerja merupakan awal dari
penderitaan, berakhirnya pekerjaan sehingga tidak mampu membiayai
keperluan kehidupan sehari-hari baginya dan keluarganya. Oleh karena itu
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah mengatur pedoman dan tata
cara pemutusan hubungan kerja secara rinci. Dengan demikian, Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini mengatur pemutusan hubungan kerja
pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, badan usaha milik
orang perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum baik swasta
maupun milik Negara, dan usaha-usaha sosial dan lainnya yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.7
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha sering kali terjadi, hal
ini biasanya karena perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu
rasionalisasi atau pengurangan jumlah pekerja. Pemutusan hubungan kerja
juga bisa dilakukan apabila pekerja telah melakukan kesalahan, baik
5 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 66
6 Aloysius Uwiyono, Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
136
7 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 179
4
kesalahan yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam peraturan
perusahaan, perjanjian kerja, atau perjanjian kerja bersama.
Seperti kasus seorang pekerja bernama Heri Jaya, Warga Negara
Indonesia, Karyawan PT Budi Bakti Prima, Alamat : Tanjung Lubuk RT.
005 RW. 001 Kel. Tanjung Lubuk Kec. Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Hery mulai bekerja di PT Budi Bakti Prima yang
berkedudukan di Jalan Parameswara Bay Pas No.51.A RT. 042 RW. 013
Kelurahan Bukit Lama Kec. Ilir Barat I Palembang pada Tanggal 01
Agustus 2011. Secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan tanpa
musyawarah perundingan, perusahaan PT Budi Bakti Prima melakukan
pemutusan hubungan kerja secara sepihak pada tanggal 31 Januari 2017
dengan alasan bahwa tidak ada lagi proyek yang dikerjakan. Selain itu,
selama Hery bekerja di PT Budi Bakti Prima tidak diikuti dalam program
jaminan hari tua, perusahaan tidak memberi upah sejak Februari 2017, dan
juga tidak memberikan pesangon yang layak.
Pada prinsipnya, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
penetapan (izin) dari lembaga PPHI karena PHK tanpa izin adalah batal
demi hukum, dalam arti pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja
yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak-hak yang
seharusnya diterima olehnya.8
Dari berbagai uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti
kasus “Pemutusan Hubungan Kerja oleh PT Budi Bakti Prima
Palembang (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 773K/Pdt.Sus-
PHI/2018)” sebagai bentuk pelanggaran dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti akan
mendeskripsikan tentang permasalahan yang mencakup tiga hal yang
saling terkait dan harus ditulis sesuai urutannya.
8 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, … h. 70
5
1. Identifikasi Masalah
Suatu kegiatan penelitian untuk memfokuskan permasalahan
yang akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya
rumusan masalah akan memudahkan peneliti untuk melakukan
pembahasan searah dengan tujuan yang ditetapkan. Adapun
identifikasi dalam skripsi ini adalah :
a. PT Budi Bakti Prima melakukan pemutusan hubungan kerja secara
sepihak sejak 31 Januari 2017 dengan alasan (tidak ada proyek lagi
yang dikerjakan).
b. PT Budi Bakti Prima tidak memberikan upah kepada pekerja sejak
bulan Februari 2017.
c. Selama bekerja di PT Budi Bakti Prima, pekerja tidak diikuti
dalam program jaminan hari tua.
d. PT Budi Bakti Prima tidak memberikan uang pengakhiran
(pesangon) yang layak.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasanya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
peneliti. Di sini peneliti hanya akan membahas mengenai mekanisme
pemutusan hubungan kerja dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan dan pertimbangan majelis hakim dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pekerja berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian
ini terkait dengan ketentuan pemutusan hubungan kerja. Untuk
mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah
diuraikan di atas, maka dibuat rincian masalah utama dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
6
a. Bagaimana mekanisme pemutusan hubungan kerja dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan ?
b. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memberikan
perlindungan hukum bagi pekerja berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan
di atas, maka penelitian memiliki tujuan yaitu untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan
fakta yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah :
a. Untuk menjelaskan mekanisme pemutusan hubungan kerja dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Untuk menjelaskan pertimbangan majelis hakim dalam
memberikan perlindungan hukum bagi pekerja berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat memperluas ilmu
pengetahuan tentang hubungan industrial, dan terkait hubungan
yang harmonis dan seimbang sehingga dapat mewujudkan
peningkatan sikap kebersamaan dan keadilan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, kegunaan dari pembahasan ini adalah
sebagai tambahan bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat
memperluas ilmu pengetahuan, khususnya dalam memberikan
perlindungan dengan aturan main yang benar, sehingga tidak
menimbulkan kerugian baik dari pihak pengusaha maupun pekerja.
Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada umumnya dan
7
mahasiswa pada khususnya yang ingin mengetahui dan mendalami
masalah-masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi, agar kualitas sebuah penelitian dapat
dicapai maksimal, seorang peneliti harus teliti dan kritis dalam memilih
dan menentukan metode penelitiannya. Sub bab atau bab metode
penelitian harus memaparkan keseluruhan cara-cara dan teknik
pelaksanaan penelitian sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan
(Statute Approach), karena yang akan di teliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat Comprehensive, All-inclusive, dan Systematic.9
2. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan pendapat
penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) yaitu
penelitian hukum kepustakaan yang mengacu pada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.10
3. Data Penelitian
Data adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab
masalah penelitian. Dalam melakukan penelitian, sumber data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar seperti
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-
9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 302
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 23
8
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim11
yang mengikat
kepada masyarakat.
Sesuai pembahasan dalam penelitian ini, maka bahan
hukum primer yang digunakan terdiri dari Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018
menjadi salah satu bahan hukum primer relasi Peraturan
Perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam arti sempit pada umumnya
berupa buku-buku hukum yang berisi ajaran atau doktrin atau
treatises, terbitan berkala berupa artikel-artikel tentang ulasan
hukum, dan narasi tentang istilah, konsep, phrase, berupa kamus
hukum atau ensiklopedia hukum.
c. Bahan Hukum Lainnya
Perkembangan dunia maya yang sangat pesat belakangan
ini, situs-situs internet memiliki peranan penting dalam upaya
mencari bahan-bahan hukum. Dikatakan mempunyai peranan
penting karena: (a) bisa diakses dengan segera dibandingkan
pencarian di perpustakaan relatif lebih lama karena harus
menggunakan cara-cara tertentu, (b) dalam situs internet terdapat
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (c) dan hal yang
11 Ashrhofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 141
9
terakhir ini tentu sangat praktis dibandingkan membawa sekian
banyak buku atau jurnal secara fisik kemana-mana.12
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang di perlukan, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka terhadap bahan-
bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
maupun bahan hukum lainnya. Penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan,
maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut
dengan melalui media internet.13
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung dari
jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal
data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari
berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.14
Metode yang
digunakan dalam analisis data adalah analisis kualitatif, yaitu
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan analisis.15
6. Metode Penulisan
Dalam Penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada “Buku
12
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h.145-148
13 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 160
14 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 163
15 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya,
2004), h. 127
10
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.”
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami penelitian ini, peneliti
memaparkan dalam sistematika sebagai berikut :
BAB I : Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penelitian dan daftar pustaka.
BAB II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai kajian pustaka yang
membahas mengenai kerangka konseptual, kerangka teori,
dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III : Dalam bab ini akan dibahas mengenai data penelitian yang
dilakukan, deskripsi data penelitian harus ditampilkan
secara jelas dan lengkap. Detailnya menjelaskan profil,
konteks sosial-politik, demografis, dan kultural daerah
penelitian.
BAB IV : Dalam bab ini akan dibahas tentang Analisis dan
Interprestasi Temuan. Analisis data terutama dimaksudkan
untuk menjawab masalah penelitian terkait penyelesaian
hubungan industrial tentang terjadinya pemutusan
hubungan kerja yang dikaitkan dengan menganalisis
Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor : 5/Pdt.Sus-
PHI/2018/PN.Plg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor :
773 K/Pdt.Sus-PHI/2018.
BAB V : Bab penutup yang membahas kesimpulan hasil penelitian
yang merupakan jawaban terhadap inti masalah penelitian
berdasarkan data yang diperoleh.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG PENGATURAN
KETENAGAKERJAAN
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan konsep-konsep khusus yang ingin
diteliti dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan kerangka konseptual sebagai berikut:
1. Hubungan Industrial
Hubungan Industrial merupakan sistem hubungan yang
menempatkan kedudukan pengusaha dan pekerja sebagai hubungan
yang saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selain
unsur di atas, dalam tatanan sistem ketenagakerjaan Indonesia terdapat
pemerintah yang bersifat mengayomi dan melindungi para pihak.
Pemerintah mengeluarkan rambu-rambu berupa aturan-aturan
ketenagakerjaan demi terwujudnya hubungan kerja yang harmonis
antara pengusaha dengan pekerja.16
Sendjun H Manulang, memberikan pengertian tentang
Hubungan Industrial adalah sistem hubungan yang terbentuk antara
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa (pekerja/buruh,
pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang
merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas
kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.17
2. Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja adalah
16
Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial, (Jakarta: Inti Prima
Promosindo, 2008), h. 14
17 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1987), h. 145
12
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
3. Hubungan Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan
oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Subjek
hukum yang melakukan hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi
kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan kerja merupakan inti dari
hubungan industrial. Hubungan antara buruh dan majikan berakibat
timbulnya hak dan kewajiban antara buruh dan majikan.
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud hak disini adalah
sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari
kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah
suatu prestasi hak berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh
seseorang karena kedudukan atau statusnya.18
4. Pekerja dan Pemberi Kerja
Pengertian pekerja/buruh menurut Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa Pemberi kerja
adalah orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Objek hukum dalam hubungan kerja
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Dengan kata lain tenaga
18
Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), h. 22-23
13
yang melekat pada diri pekerja merupakan objek hukum dalam
hubungan kerja.19
5. Upah
Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dinyatakan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau dilakukan.
6. Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan
pengusaha.20
Dalam melakukan suatu pekerjaan, apabila seorang pekerja
melakukan pelanggaran terhadap aturan perusahaan maka akan
mendapatkan sanksi/hukuman, seperti pekerja yang melakukan
kesalahan berat sehingga pada akhirnya akan diakhiri hubungan
kerjanya karena dianggap telah merugikan perusahaan. Hal ini
merupakan salah satu pemicu timbulnya pemutusan hubungan kerja
dalam dunia pekerjaan.
7. Penyelesaian Konflik dalam Hubungan Industrial
Salah satu wujud implementasi dari kebijakan
pemerintah khususnya dibidang ketenagakerjaan dan penyelesaian
19
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), h. 39
20 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.
153
14
perselisihannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Pada intinya
pemerintah melalui kedua produk hukum tersebut ingin memberikan
perlindungan bagi pekerja/buruh dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. .
Upaya penyelesaian perselisihan terbaik yang dapat
memberikan perlindungan bagi pekerja adalah bipartit, karena hanya
melibatkan kedua belah pihak yang benar-benar mengetahui
permasalahan dan dapat secepatnya diselesaikan tanpa membutuhkan
waktu lama. Apabila dengan cara bipartit tidak mencapai kesepakatan
perdamaian, maka jalan yang ditempuh lainnya adalah pihak ketiga
yang netral baik dalam bentuk mediasi, konsiliasi maupun arbitrase
untuk mendamaikannya.
B. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan
Keadilan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah sama berat,
tidak berat sebelah, tidak memihak, keputusan hakim itu berpihak
kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak
sewenang-wenang.21
Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan
tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, jadi tidak
subjektif apalagi sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap
orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang
lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu
keadilan, hal itu tentunya harus relavan dengan ketertiban umum di
mana suatu skala keadilan diakui. Bagi kebanyakan orang keadilan
21
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat), h.10
15
adalah prinsip umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya
menerima apa yang sepantasnya mereka terima.”22
Teori keadilan menurut John Rawls, berdasarkan buku John
Rawls yang berjudul “ A Theory Of Justice‟, terdapat tiga (3) ide
pokok penting sebagai komponen adanya teori keadilan John Rawls,
yaitu : 1) Utilitarianisme Klasik, 2) Keadilan Sebagai Fairness, 3) Dua
Prinsip Keadilan.
Tiga ide pokok diatas adalah ide-ide pokok yang mempunyai
kaitan erat untuk menjelaskan teori keadilan dari sudut pandang John
Rawls. Selanjutnya apa itu Utilitarianisme Klasik, Keadilan Sebagai
Fairness, dan Dua Prinsip Keadilan akan dibahas sebagai berikut:
a. Utilitarianisme Klasik
Utilitarianisme adalah suatu paham atau aliran yang
menekankan pada aspek kegunaan atau kemanfaatan. Penganut
aliran utilitis ini menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata
untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-
besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.
b. Keadilan Sebagai Fairness
Seperti yang kita ketahui bahwa fairness (dalam bahasa
Inggris) adalah „kejujuran, kewajaran, kelayakan‟, jadi dengan kata
lain, keadilan itu suatu kejujuran, suatu kewajaran dan kelayakan.
Teori Rawls ini sering disebut Justice as fairness (keadilan sebagai
kelayakan). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang
paling fair, dan harus dipedomani “bahwa orang-orang yang
merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan
kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu
kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu
22
Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 197
16
merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki
perhimpunan yang mereka kehendaki.23
c. Dua Prinsip Keadilan
Menurut Rawls, ada dua prinsip dasar dari keadilan. Prinsip
yang pertama, dinamakan prinsip kebebasan. Prinsip ini
menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan
yang terbesar, sebesar kebebasan yang sama bagi semua orang,
sepanjang ia tidak menyakiti orang lain. Menurut prinsip
kebebasan ini, setiap orang harus diberikan kebebasan memilih,
menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir, kebebasan
memiliki kekayaan, dan sebagainya.
Prinsip keadilan kedua adalah ketidaksamaan (the principle
of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia,
dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa,
sehingga ketidaksamaan tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap
orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung
dan (2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka
bagi semua orang.
Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah
sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan lainnya. Hal itu tidak
mungkin, melainkan bagaimana ketidaksamaan tersebut diatur
sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan kerja sama dan kaitan
saling menguntungkan juga membutuhkan diantara mereka.24
Definisi teori keadilan menurut hukum adalah keadilan
yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan
23
E. Fernando Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Kompas, 2007), h.
99
24 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 281
17
kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan akan ditegakkan
lewat proses hukum, umumnya oleh pengadilan.25
.
2. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada warga masyarakat
agar tetap bisa menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Perlidungan hukum sebagai upaya yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan kenyamanan, baik secara pikiran
maupun fisik dari gangguan dan ancaman dari pihak manapun.26
Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagkerjaan menyebutkan perlindungan terhadap tenaga kerja
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan, serta perlakuan tanpa diskriminasi
atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan
dunia usaha.
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan
memberikan tuntutan maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan
hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik, dan teknis serta sosial dan
ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu.27
Selain Satjipto Rahardjo dan Philipus M. Hadjon, perlindungan
tenaga kerja juga didefinisikan menurut Imam Soepomo yang
dilengkapi bersama Abdullah Sulaiman, menyatakan bahwa bentuk
25
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h.
118
26 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53
27 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 96
18
pola perlindungan perburuhan itu dibagi menjadi beberapa
perlindungan, diantaranya sebagai berikut:28
a. Perlindungan Ekonomis, sebagai perlindungan syarat-syarat kerja
atau syarat-syarat perburuhan diatur dalam peraturan mengenai
hubungan kerja atau perjanjian kerja.
b. Perlindungan Keselamatan Kerja, yakni pemberian perlindungan
kepada buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan
oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
c. Aturan mengenai keselamatan buruh ini dimuat dalam peraturan-
peraturan yang namanya disebut Peraturan Keselamatan Kerja.
d. Perlindungan Kesehatan Kerja, perlindungan ini akibat buruh hasil
teknologi industri dan non industri lainnya karena kadang kala
terjadi perlakuan majikan terhadap buruhnya yang semena-mena
dan kadang-kadang kurang berkeprimanusiaan terhadap beban
kerja buruh.
e. Perlindungan Hubungan Kerja terhadap pekerjaan dijalankan oleh
buruh untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima
upah.
f. Perlindungan Kepastian Hukum, yang berupa perlindungan hukum
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
sifatnya hukum sanksi pelanggaran perburuhan yang sifatnya
memaksa, sekeras-kerasnya, dan setegas-tegasnya terhadap sanksi
pidana yang berisi perintah dan larangan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-
penelitian terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan
dan kajian. Adapun hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan
tidak terlepas dari topik penelitian pemutusan hubungan kerja (PHK).
28
Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan Perburuhan Di Indonesia, (Jakarta:
Menteri Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Jakarta, 2018). h.57
19
1. Skripsi yang pernah dilakukan oleh Choirunisa, Instansi dari Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2018, dengan judul skripsi “Perlindungan Hukum
Terhadap Karyawan atas Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan di
DKI Jakarta (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 601
K/PDT.SUS/2010).” Skripsi ini membahas terkait perlindungan hukum
terhadap karyawan atas terjadinya pemutusan hubungan kerja sektor
pangan di DKI Jakarta. Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang
disusun oleh Choirunisa terletak pada nomor putusan Mahkamah
Agung dan perbedaan dalam subjek penelitiannya, sedangkan peneliti
lebih fokus membahas mekanisme pemutusan hubungan kerja dalam
Peraturan Perundang-undangan. Persamaannya adalah ringkasnya
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya secara general
membahas tentang hukum dalam ketenagakerjaan yaitu terkait
pemutusan hubungan kerja, dan sama-sama menganalisis suatu
putusan dengan menggunakan jenis penelitian secara hukum normatif.
2. Skripsi yang pernah dilakukan oleh Dina Firdaus, Instansi dari
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018, dengan judul skripsi “Pelaksanaan
Hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Lisan Terhadap
Pekerja PKWT atau PKWTT di Sektor Pelayaran oleh PT Internusa
Bahari Persada (Suatu Putusan Mahkamah Agung Nomor 52
K/PDT.SUS-PHI/2018).” Skripsi ini membahas terkait Pelaksanaan
hukum pemutusan hubungan kerja pada sektor pelayaran di Indonesia.
Persamaannya adalah sama-sama membahas PHK beserta
menganalisis dari suatu putusan Mahkamah Agung dengan yuridis
normatif. Perbedaannya terletak dari cara terjadinya pemutusan
hubungan kerja antara kasus PT Internusa Bahari Persada dengan PT
Budi Bakti Prima.
3. Buku berjudul Asas-Asas Hukum Perburuhan karangan Aloysius
Uwiyono menjelaskan bahwa berakhirnya suatu hubungan kerja bisa
20
terjadi secara otomatis pada saat jangka waktu hubungan kerja yang
ditentukan oleh para pihak buruh atau pekerja dengan pihak
pengusaha. Pemutusan hubungan kerja pada hakikatnya dapat juga
suatu pengakhiran sumber nafkah bagi pekerja dan keluarganya yang
dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerjanya atau buruhnya.
Pengakhiran sumber nafkah ini juga dapat disebabkan oleh kehendak si
buruh atau pekerjanya, dalam hal si buruh atau pekerjanya
mengundurkan diri. Dalam hal berakhirnya hubungan kerja diputuskan
oleh pihak ketiga yaitu Mediator, Konsiliator, Arbiter, atau Hakim,
jika para pihak memperselisihkan pemutusan hubungan kerja.
Berakhirnya hubungan kerja juga bisa merupakan hasil perundingan
atau kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersepakat mengakhiri
hubungan kerja.
4. Jurnal yang berjudul “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap
Karyawan Perusahaan”, yang ditulis oleh Sri Zulhartati, Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol.1. Universitas Tanjungpura,
Pontianak No.1.April 2010. Jurnal ini membahas terkait alasan
perusahaan dalam memberhentikan karyawan dan pengaruh
pemberhentian karyawan terhadap perusahaan. Berbeda dengan
peneliti yang nanti dalam tulisannya akan membahas mekanisme PHK
berdasarkan aturan yang berlaku serta menyinggung persoalan
pemenuhan hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi akibat pemutusan
hubungan kerja tersebut.
D. Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha
dan pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja
termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayarannya.
Perjanjian kerja merupakan sarana yang paling baik karena memuat
kesepakatan para pihak pada saat memulai hubungan kerja. Dengan
21
adanya perjanjian kerja, timbul hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak (pekerja dan pengusaha) yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.29
2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja
a. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat
menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal
1603 a yang berbunyi : “Buruh wajib melakukan sendiri
pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh
orang ketiga menggantikannya”.
a. Adanya Unsur Perintah
Pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah
pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
diperjanjikan. Pada dasarnya unsur perintah memiliki peranan
pokok, karena tanpa adanya perintah maka tidak adanya perjanjian
kerja.30
b. Adanya Upah31
Upah harus ada dalam setiap hubungan kerja, karena upah
buruh merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), di mana
dalam Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB yang
telah diratifikasi oleh Indonesia disebutkan bahwa upah buruh
29
Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial, (Jakarta: PT Hecca Mitra
Utama, 2005), h. 69
30 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, DSS Publishing Jakarta, 2006, h. 39
31 Trade Union Rights Centre, Advokasi Pengupahan di Daerah, (Jakarta: TURC, 2007),
h. 13
22
harus dapat digunakan untuk mencukupi kehidupan buruh dan
keluarganya secara layak. Upah adalah hak pekerja/buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan.
E. Hak dan Kewajiban Pemberi Kerja dan Pekerja
1. Hak dan Kewajiban Pemberi Kerja
Pemberi kerja berhak atas:
a. Keteraturan pelaksanaan pekerjaan yang diperintahkannya kepada
buruh yang bersangkutan, bahwa buruh tersebut melakukan tugas
pekerjaannya secara teratur menurut tempat, waktu, dan prestasi
yang seharusnya.
b. Perlakuan yang hormat, sopan dan wajar serta sikap tindak dan
tingkah laku yang sepantasnya dari buruhnya.
c. Ketertiban kerja para buruh.32
Pemberi kerja berkewajiban untuk:
a. Membayar imbalan kerja si buruh secara penuh sejak ia mulai
bekerja hingga berakhirnya hubungan kerja (Pasal 1602 a
KUHPer/BW), meskipun tenaga si buruh itu tidak dimanfaatkan
oleh si majikan secara efektif dan efesien. Mengurus pengobatan
dan perawatan buruh yang sakit atau menderita kecelakaan (Pasal
1602 x KUHPer/BW).
b. Memberikan surat keterangan atau surat pernyataan yang
menerangkan bahwa si buruh itu benar pernah bekerja padanya.
Surat keterangan atau surat pernyataan (Verklaring) tersebut wajib
32
A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), h. 46-47
23
diberikannya kepada si buruh yang bersangkutan pada waktu
hubungan kerja berakhir.33
2. Hak dan Kewajiban Pekerja
Seorang pekerja berhak atas:
a. Imbalan kerja (gaji, upah dan sebagainya) sebagaimana telah
diperjanjikan bila ia telah melaksanakan kewajibannya.
b. Perlakuan yang adil dan seimbang antara dirinya dan kawan-
kawannya, dalam tugas dan penghasilannya masing-masing dalam
angka perbandingan yang sehat.
c. Jaminan perlindungan dan keselamatan diri dan kepentingannya
selama hubungan kerja berlangsung.
d. Penjelasan dan kejelasan status, waktu, dan cara kerjanya pada
majikan.34
Seorang pekerja berkewajiban untuk:
a. Melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebagaimana telah
diperjanjikan sebelumnya menurut kemampuannya dan sebaik-
baiknya (Pasal 1603 KUHPer/BW).
b. Menaati segala peraturan kerja serta peraturan tata tertib yang
berlaku di perusahaannya yang telah ditetapkan majikan
berdasarkan undang-undang, perjanjian atau kebiasaan yang layak
(Pasal 1603 b KUHPer/BW).
c. Menaati peraturan tata tertib dan tata cara yang berlaku di rumah
majikan, bila ia bertempat tinggal di sana (Pasal 1603 c
KUHPer/BW).
d. Melaksanakan tugas dan segala kewajibannya secara layak dalam
arti menurut kepatutan dan kepantasan baginya untuk bertindak
menurut keperluannya (Pasal 1604 d KUHPer/BW).35
33
Rience G. Widyaningsih, Himpunan Materi Materi Penting Dalam Menunjang
Keberhasilan Studi Hukum Kerja, (Bandung: CV Amriko, 1982), h. 12
34 A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, … h. 45
24
F. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja dan Jenis-Jenis Pemutusan
Hubungan Kerja
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa PHK merupakan pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa perusahaan tidak boleh
seenakanya saja memPHK karyawannya, terkecuali karyawan/pekerja
yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran berat dan
dinyatakan oleh pengadilan telah melakukan kesalahan berat yang
mana putusan pengadilan tersebut dimaksud telah memiliki kekuatan
hukum yang tetap.
2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja
Secara teoritis, jenis pemutusan hubungan kerja di bagi menjadi 4,
yaitu:
35 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), h. 47
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
25
a. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Majikan/Pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan PHK
dimana berasal dari kehendak pengusaha karena adanya pelanggaran atau
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau karena faktor-faktor
lain, seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup, perubahan status
perusahaan, dan sebagainya.36
b. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh/Pekerja
Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha, karena pada prinsipnya buruh tidak boleh dipaksakan
untuk terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak menghendakinya.
c. Hubungan Kerja Putus Demi Hukum
Hubungan kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya
hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya sehubungan
dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan dan
buruh.37
d. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang
bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting.38
Biasanya
alasan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan didasarkan pada alasan
mendesak, karena keadaan pribadi atau bisa jadi karena perubahan
keadaan pekerjaan. Pasal 1603 v KUHPerdata menyebutkan tiap pihak
(buruh, majikan) setiap waktu, sebelum pekerjaan dimulai berwenang
berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan tertulis kepada
pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan
36 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, … h. 198
37 Soebekti, Hukum Perjanjian, (Bogor: PT Inter Masa, 1984), h. 19
38 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 188
26
perjanjian kerja putus. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
pengadilan atas permintaan pihak majikan itu tidak memerlukan izin dari
P4D atau P4P.
27
BAB III
DATA DAN MODEL PENELITIAN
A. Pengertian Data
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) “Data adalah
bukti yang ditemukan dari hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar
kajian atau pendapat”.
Pendapat lain menyatakan bahwa “Data adalah segala fakta dan
angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi.”39
B. Profil PT Budi Bakti Prima
PT. Budi Bakti Prima didirikan pada tanggal 01 Desember 1975 di
Tanjung Pandan, Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Sebelum
menjadi PT, PT Budi Bakti Prima ini awalnya menjadi CV, namun pada
tanggal 02 Juni 1983 berubah nama menjadi PT. Budi Bakti Prima.
PT Budi Bakti Prima ini bergerak di bidang usaha sipil,
dermaga/pelabuhan, jalan dan jembatan serta supplier. Sejalan dengan
perkembangan perusahaan, PT. Budi Bakti Prima telah memiliki cabang
dibeberapa daerah di Indonesia seperti di Palembang, Samarinda,
Belitung, dan Pangkal Pinang dengan kantor pusat berada di Jakarta.
Sesuai dengan Visi dan Misi, PT Budi Bakti Prima terus
melakukan perbaikan demi memberikan kepuasan kepada klien dengan
standar kualitas kerja tinggi dan sikap kerja yang professional.
C. Visi dan Misi PT Budi Bakti Prima
1. Visi
Menjadi perusahaan yang terpercaya serta memiliki keunggulan
kompetatif dan dapat diandalkan.
2. Misi
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 96
28
a. Memberikan kepuasan yang berkelanjutan kepada klien dengan
memberikan standar kualitas kerja tinggi, harga yang kompetitif,
dan hubungan yang baik.
b. Membuat manajemen perusahaan sesuai dengan standar
internasional.
c. Meningkatkan daya saing dengan mengandalkan sumber daya
manusia yang baik, teknologi, dan implementasi yang konsisten
dan efesien.
d. Berpartisipasi dalam pembangunan melalui jasa konstruksi.
e. Menyediakan jasa konstruksi yang dapat memberikan nilai tambah
bagi stakeholder.
f. Memberikan pelayanan dengan sikap profesional dan memenuhi
standar kesehatan, keselamatan kerja, dan perlindungan
lingkungan.
D. Kronologi Kasus
Heri Jaya adalah seorang Warga Negara Indonesia, yang bertempat
tinggal di Tanjung Lubuk RT. 005 RW. 001, Kel. Tanjung Lubuk, Kec.
Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering llir. Dalam hal ini Heri Jaya
menggugat PT Budi Bakti Prima yang diwakili oleh saudari Sujadi
Bunawan selaku seorang Direktur. PT Budi Bakti Prima juga memberi
kuasa kepada Marihot D Saing, S.H., M.Hum dan Burhayan, S.H., M.H.
selaku Advokat pada Kantor Hukum M.D Saing & Rekan yang beralamat
di Jalan Banten No. 403 RT. 06 RW. 02 Kelurahan 16 Ulu Kecamatan
Seberang Ulu II, Palembang, hal ini berdasarkan surat kuasa khusus pada
tanggal 12 Maret 2018.
Secara kronologis, Heri Jaya itu sudah bekerja sejak tanggal 01
Agustus 2011 sebagai buruh harian, ia bekerja di suatu perusahaan dalam
bidang usaha sipil, dermaga/pelabuhan, jalan dan jembatan serta supplier.
Jabatan terakhir Heri Jaya pada saat itu adalah sebagai Operator Finisher.
Selama sampai tanggal 31 Januari 2017, Heri Jaya selalu menjalankan
29
tugas maupun kewajibannya dengan baik tanpa pernah mendapatkan surat
peringatan dari pihak perusahaan, apalagi melakukan suatu kesalahan yang
dapat merugikan perusahaan. Tetapi kemudian, Heri Jaya secara
mendadak pada tanggal 31 Januari 2017 telah diberhentikan hubungan
kerjanya dengan alasan tidak ada lagi proyek yang dikerjakan,
sebagaimana semua itu dilakukan oleh pihak perusahaan tanpa adanya
pemberitahuan dan juga musyawarah perundingan terlebih dahulu.
Pada tanggal 02 Februari 2017, pemberhentian hubungan kerja
yang dilakukan PT Budi Bakti Prima adalah sudah secara kesepakatan
bersama, yang pada saat itu dari pihak perusahaan telah diwakili oleh
kepala bagian Sumber Daya Manusia/Umum atas nama Rudi Harsono.
Dan saat itu Heri Jaya telah menerima uang pisah darinya sebesar Rp.
4.320.000,- (empat juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah).
Berdasarkan fakta dan bukti yang ada, Surat Berita Acara
Pemutusan Hubungan Kerja yang dibuat pada tanggal 18 Februari 2017
sebagai bentuk Win-Win Solution telah dilakukan oleh kedua belah pihak
yaitu Heri Jaya dan juga pihak perusahaan. Jadi menurut perusahaan tidak
ada alasan untuk menyatakan bahwa hubungan kerja yang diakhirinya
dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Tetapi menurut keterangan
saksi dari pihak perusahaan atas nama Rudi Harsono, ia mengatakan pada
saat itu Heri Jaya tidak pernah menyetujui isi dari Berita Acara Pemutusan
Hubungan Kerja tanggal 18 Februari 2017 pada waktu itu, serta kwitansi
tanda penerima uang pesangon tambahan pada tanggal 17 Februari 2017
justru telah ditandatangani oleh saudari Sunardi tanpa adanya perintah dan
surat kuasa dari Heri Jaya.
Selanjutnya penerimaan upah yang telah diterima Heri Jaya
semenjak bekerja dengan PT Budi Bakti Prima nyatanya nilainya lebih
rendah, sebagaimana dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan “Pengusaha dilarang
membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89”. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor
30
693/KPTS/DISNAKERTRANS/2016 tanggal 14 November 2016 tentang
Upah Minimum Kota Palembang tahun 2017 sebesar Rp. 2.484.000.000,-
(dua juta empat ratus delapan puluh empat ribu rupiah). Maka dari itu
harusnya pihak perusahaan membayar upah sesuai dengan ketentuan di
atas.
Heri Jaya merasa selama bekerja juga tidak pernah diikuti dalam
program jaminan hari tua, namun hal tersebut telah dibantah oleh pihak
perusahaan. Jadi karena PT Budi Bakti Prima itu mendapatkan proyek
dalam bidang jalan dan jambatan, maka perusahaan membayar asuransinya
hanya melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, yang memang meliputi adanya Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Hari Tua, Pensiun dan juga Kematian. Semua itu
dibayarkan melalui Iuran Jasa Konstruksi yang langsung disetor oleh
tergugat ke dalam rekening Bank.
Saat pihak perusahaan melakukan PHK kepada Heri Jaya, pihak
perusahaan hanya mengirimkan uang kebijaksanaan perusahaan sebesar
Rp. 2.150.000,- (dua juta seratus lima puluh ribu rupiah), dan faktanya
uang tersebut dititipkan melalui rekan kerja Heri Jaya tanpa adanya dasar
kesesuaian.
Sebelumnya Heri Jaya telah berkonsultasi dengan Pengurus
Federasi Transportasi, Industri Umum & Angkatan Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia atau disingkat dengan (FTA KSBSI) untuk membuat
laporan pengaduan ke Dinas Tenagakerja Kota Palembang. Tetapi laporan
pengaduan itu tidak dapat diselesaikan di depan mediator pada saat
perundingan mediasi. Akhirnya Dinas Tengakerja Kota Palembang
mengeluarkan Surat Anjuran dengan Nomor : 576/230/Disnaker/2017
pada tanggal 05 April 2017, akan tetapi sampai sekarang pihak dari PT
Budi Bakti Prima nya tidak mematuhi dan juga tidak melaksanakan surat
anjuran tersebut.
Pada saat proses perundingan di Disnaker, pihak perusahaan telah
menitipkan uang tambahan lagi melalui rekan kerjanya Heri Jaya sebesar
31
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Dan ketika dihadapan mediator pihak
perusahaan telah bersedia untuk membayar uang tambahan lagi sebesar
Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah), namun pada saat itu Heri Jaya
menolaknya. Menurut Heri Jaya, pihak perusahaan ini tidak mengindahkan
sama sekali ketentuan peraturan yang ada di Pasal 155 Ayat (1), Ayat (2),
dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Memang pihak perusahaan mengatakan, bahwa sejak dulu ketika
tidak ada pekerjaan Heri Jaya dirumahkan, hal itu terjadi karena dari pihak
PT Budi Bakti Prima tersebut tidak ada kegiatan sama sekali, maka alasan
perusahaan tetap melakukan PHK itu semata-mata hanya untuk efesiensi
perusahaan, maka dengan itu perusahaan melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap beberapa pekerja. Hanya saja sebagai pihak korban Heri
Jaya merasa keberatan atas mekanisme PHK yang telah dilakukan oleh
pihak perusahaan.
Segala cara telah dilakukan tanpa mencapai kesepakatan,
selanjutnya untuk memperjuangkan rasa keadilan dan juga kepastian
hukum, Heri Jaya akhirnya mengajukan surat gugatan pada tanggal 21
Februari 2018 terkait Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada tanggal 26 Februari
2018 surat gugatan tersebut di terima di Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial Palembang dengan Nomor 5/Pdt.Sus-
PHI/2018/PN.Plg Sebagaimana timbulnya tuntutan terhadap pesangon atas
Heri Jaya untuk menunjukkan bahwa kesejahteraan hidup tenaga kerja
masih tergolong rendah, sehingga dibutuhkan penyelesaian yang bijak
untuk mengatasi suatu permasalahan, karena PT Budi Bakti Prima ini
kesannya tidak menghormati hak-hak yang harus di junjung tinggi, jika
saja saling menghargai serta menjunjung hak dan kewajiban masing-
masing maka hal seperti ini tidak akan terjadi.
32
Pada tanggal 25 April 2018 majelis hakim memberikan hasil
putusannya dan menyatakan bahwa gugatan-gugatan yang telah diajukan
oleh Heri Jaya ini ternyata masih mempunyai kelemahan-kelemahan dari
segi pembuktian, sehingga mengakibatkan gugatannya hanya dikabulkan
sebagian oleh Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Palembang.
PT Budi Bakti Prima nyatanya tidak terima dengan hasil putusan
Pengadilan Negeri Palembang, maka ia mengajukan permohonan kasasi
pada tanggal 14 Mei 2018, dan setelah itu pada tanggal 22 Mei 2018
sampai 08 Juni 2018 dilakukan terlebih dahulu untuk meneliti memori
kasasi dan kontra memori kasasi, dan pada tanggal 25 September 2018
majelis hakim telah memberikan hasil putusan dalam rapat musyawarah.
TABEL 1: SUSUNAN KRONOLOGIS
No Tanggal Keterangan
1 01/08/2011 Heri Jaya mulai bekerja sebagai buruh harian
2 31/01/2017 Heri Jaya telah di PHK
3 02/02/2017 PHK tersebut dilakukan secara kesepakatan
bersama, namun pada saat itu perusahaan di
wakilkan oleh kepala bagian sumber daya manusia
atas nama Rudi Harsono
4 17/02/2017 Kwitansi tanda penerima uang pesangon tambahan
telah di tandatangani oleh saudara Sunardi tanpa
surat kuasa dari Heri Jaya
5 18/02/2017 Di buat Surat Berita Acara Pemutusan Hubungan
Kerja sebagai Win-Win Solution
6 05/04/2017 Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang
mengeluarkan Surat Anjuran dengan Nomor:
576/230/Disnaker/2017
7 21/02/2018 Heri Jaya mengajukan surat gugatan
33
8 26/02/2018 Surat itu diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial Palembang dengan Nomor:
5/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Plg
9 25/04/2018 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang
memberikan hasil putusan
10 14/05/2018 PT Budi Bakti Prima (Tergugat) mengajukan
permohonan kasasi
11 22/05/2018 s.d
08/06/2018
Meneliti memori kasasi dan kontra memori kasasi
12 25/09/2018 Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan
hasil putusan
E. Model Penelitian
Model Penelitian yang dipakai peneliti yaitu Studi Kasus yang
menyatakan bahwa case study adalah suatu model yang menekankan pada
eksplorasi dari suatu sistem yang saling terkait satu sama lain (bounded
system) pada beberapa hal dalam satu kasus secara mendetail, disertai
dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam
sumber informasi yang kaya akan konteks.
Case study adalah suatu model penelitian kualitatif yang terperinci
tentang individu atau suatu unit sosial tertentu. secara lebih dalam, case
study merupakan suatu model yang bersifat komprehensif, intens,
memerinci, dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk
menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer.
34
BAB IV
ANALISIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PT BUDI BAKTI
PRIMA PALEMBANG
A. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja dalam Ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Pada prinsipnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tentang apa saja keadaan dan
bagaimana mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK).
Alasan pemberhentian pekerjaan bisa terjadi karena dari
undang-undang, keinginan perusahaan, keinginan karyawan, pensiun,
kontrak kerja berakhir, kesehatan karyawan, meninggal dunia, maupun
perusahaan yang mengalami dilikuidasi. Terjadinya phk itu bisa
menimbulkan dampak positif dan negatif bagi masing-masing pihak
yaitu perusahaan dan karyawan.
Pasal 158 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menjelaskan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja dengan alasan sebagai berikut:40
a. Melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan.
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan.
c. Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan aditif lainnya di
lingkungan kerja.
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.
40 Halili, Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh, (Bandung: Bina Aksara, 1987), h.
45
35
e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan.
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara.
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara lima tahun atau lebih.
Kesalahan yang di jelaskan dalam Pasal 158 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus didukung dengan pembuktian
sebagai berikut:
a. Pekerja atau buruh (sedang) tertangkap tangan.
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh.
c. Ada bukti lain, laporan kejadian dari pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan (satpam) dan didukung oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.41
Pasal 159 menjelaskan apabila pekerja/buruh tidak menerima
pemutusan hubungan kerja dalam Pasal 158 Ayat (1) di atas,
pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 169 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga
41
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 212
36
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh.
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah di tentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh.
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di
luar yang diperjanjikan, atau
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerja
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan berikut:
a. Pekerja buruh sakit (sesuai surat keterangan dokter) selama dalam
waktu 12 bulan secara terus-menerus.
b. Pekerja buruh memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat
penjelasan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 jo
Pasal 93 Ayat (2) huruf d.
c. Pekerja buruh menjalankan ibadah (tanpa pembatasan pelaksanaan
ibadah yang keberapa, (biasanya ibadah yang pertama upah dibayar
penuh ), lihat Pasal 93 Ayat (2) huruf e.
d. Pekerja buruh menikah (lihat Pasal 93 Ayat (2) ).
e. Pekerja/buruh (perempuan) hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui bayinya (lihat Pasal 93 Ayat (2) huruf c jo. Pasal 82
dan Pasal 83).
37
f. Pekerja/buruh mempunyai hubungan (pertalian) darah dan
semenda, kecuali (terlebih dahulu) telah diatur dan ditentukan lain
dalam PK dan PP/PB.
g. Pekerja/buruh mengadukan pengusaha (kepada yang berwajib)
yang melaporkan mengenai suatu perbuatan tindak pidana
kejahatan.
h. Adanya perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
i. Pekerja/buruh cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja/hubungan
kerja yang menurut keterangan dokter jangka waktu
penyembuhannya tidak dapat ditentukan.
PHK karena alasan-alasan tersebut, adalah batal demi hukum
(batal dengan sendirinya) dan penguasaha wajib memperkejakan
kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Pada prinsipnya, apabila
terjadi PHK maka pengusaha diwajibkan membayar upah pesangon
(UP) dan/atau uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang
penghargaan hak (UPH) yang seharusnya di terima.42
Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang
tidak beralasan, yaitu :
a. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan
harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
b. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini
pekerja berhak memilih antara penempatan kembali pada
kedudukan semula.
Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan
menjelaskan: “Selama putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial belum di tetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja harus melaksanakan segala kewajibannya.” Perjanjian kerja
akan berakhir apabila pekerja meninggal dunia, berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja, adanya putusa pengadilan atau penetapan
42
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, … h. 70-71
38
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, adanya keadaan atau kejadian
tertentu yang tercantum dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya
hubungan kerja.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagan I : Tahapan dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang PPHI, perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena
adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan.43
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Penyelesaian
secara wajib harus dimulai dengan musyawarah mufakat antara pihak yang
43
Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Jala
Permata Aksara, 2009), h. 15
Bipartit
Mediasi
Konsiliasi
Arbitrase
Pengadilan Hubungan Industrial
Mahkamah Agung
Tripartit
Tr
39
berselisih (bipartite). Kemudian, kalau tidak selesai, baru dilanjutkan ke
pegawai perantara di kantor yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan seterusnya ke panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan daerah dan pusat. Kalau juga tidak selesai, salah satu pihak
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Selengkapnya akan diuraikan sebagai berikut:44
1. Penyelesaian di Luar Pengadilan
a. Perundingan Bipartit
Perundingan bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 Angka 10
UU PPHI). Perundingan bipartit dilakukan oleh para pihak secara
langsung, baik di dalam maupun di luar perusahaan paling lama
tiga puluh hari kerja. Sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 3
Ayat (1) UU PPHI bahwa penyelesaian perselisihan hubungan
industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah mufakat.
Lingkup penyelesaian melalui perundingan bipartit meliputi
empat jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
serikat pekerja/buruh lain hanya dalam satu perusahaan.
Prosedur penyelesaian secara bipartit menurut Undang-
Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai
berikut :45
1) Penyelesaian bipartit harus diselesaikan selambat-lambatnya 30
hari sejak tanggal dimulainya perundingan [ Pasal 3 Ayat (2) ].
44
Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 106
45 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
(Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2010), h. 110
40
2) Apabila upaya perundingan bipartit mencapai kesepakatan,
dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak
[ Pasal 7 Ayat (1) ]
3) Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak
yang melakukan perjanjian di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan
perjanjian bersama [Pasal 7 Ayat (3)].
4) Terhadap perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta
bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama [Pasal 7 Ayat
(4) ].
5) Apabila perjanjian bersama yang telah didaftar tidak
dilaksanakan oleh satu pihak, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah
perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi [Pasal 7 Ayat (5)].
6) Apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan,
tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipartit
dianggap gagal [Pasal 3 Ayat (3) ].
7) Apabila perundingan bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampir kan bukti-bukti upaya bipartit telah dilakukan [Pasal
4 Ayat (1)].
8) Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat agar
mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lamabat dalam
waktu 7 hari kerja sejak tanggal pengembalian berkas [Pasal 4
Ayat (2) ].
41
9) Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang
ditandatangani oleh para pihak [Pasal 6].
Dalam proses penyelesaian secara bipartit, perlu di buat
risalah hasil perundingan, daftar hadir perundingan, serta
permintaan dan pemberitahuan perundingan dari satu pihak.46
Perundingan Tripartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha
yang difasilitasi oleh mediator/konsiliator/arbiter sebagai tindak
lanjut dari gagalnya perundingan bipartit.
b. Mediasi
Menurut Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui
perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang
tidak memiliki kewenangan memutus.47
Lingkup penyelesaian
melalui mediasi meliputi empat jenis perselisihan hubungan
industrial, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh
lain hanya dalam satu perusahaan.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilaksanakan
oleh mediator, yakni pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri, yang
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan
46
Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, … h.
111
47 Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 12
42
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
(Pasal 1 Angka 12 UU PPHI).
Prosedur penyelesaian melalui mediasi menurut Undang-
Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai
berikut :
1) Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu 7 hari
kerja, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan
kepada mediator [Pasal 4 Ayat (4)].
2) Penyelesaian melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 8).
3) Apabila tercapai kesepakatan melalui mediasi, dibuat perjanjian
bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan oleh
mediator dan didaftar di pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri untuk mendapat akta bukti pendaftaran
[Pasal 13 Ayat (1) ].
4) Apabila tidak mencapai kesepakatan [Pasal 13 Ayat (2)]:
a) Mediator mengeluarkan anjuran tertulis.
b) Anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak
sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada
para pihak.
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis
kepada mediator, baik menyetujui maupun menolak
selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran
tertulis.
d) Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap
menolak.
e) Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, dalam
waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran
43
tertulis mediator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negara
untuk mendapat akta bukti pendaftaran.
5) Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan yang tidak terpisahkan dari
perjanjian bersama [Pasal 13 Ayat (3) huruf a].
6) Apabila perjanjian bersama yang telah didaftarkan tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi [Pasal 13 Ayat (3) huruf b].
7) Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para
pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri setempat (Pasal 14).
Guna keseragaman penanganan perselisihan hubungan
industrial khususnya pada tahap mediasi telah diterbitkan Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-
01/PHIJSK/1/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan
Perselisihan Hubungan Industrial sebagai Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004.
c. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata latin conciliatio atau
perdamaian yaitu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang
berkonflik guna untuk mencapai persetujuan bersama untuk
berdamai. Dalam proses pihak-pihak yang berkepentingan dapat
meminta bantuan pada pihak ketiga. Namun dalam hal ini pihak
ketiga tidak bertugas secara tuntas. Ia hanya memberi
44
pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik.48
Konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator
yang netral ( Pasal 1 Angka 13 UU PPHI).
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilaksanakan
oleh konsiliator, yakni seseorang atau lebih yang memenuhi syarat-
syarat sebagai konsiliasi ditetapkan oleh menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan (Pasal 1 Angka 14 UU PPHI).
Prosedur penyelesaian melalui konsiliasi menurut UU PPHI
sebagai berikut:
1) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 17).
2) Penyelesaian melalui konsiliasi selambat-lambatnya 30 hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 25).
3) Para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis
kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak
Pasal 18 Ayat (2).
4) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis,
konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja ke8
harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama (Pasal 20).
48
Alfitra, Konflik Sosial dalam Masyarakat Moderen, (Ponorogo: Wade Group, 2017), h.
148
45
5) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir
dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya [Pasal 21 Ayat (2) ].
6) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta dari siapa pun [ Pasal 22 Ayat (3) ].
7) Apabila tercapai kesepakatan melalui konsiliasi, dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan
disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri untuk mendapat
akta bukti pendaftaran [Pasal 23 Ayat (1)].
8) Apabila tidak mencapai kesepakatan [Pasal 23 Ayat (2)]:
a) Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.
b) Anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak
sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada
pada pihak
c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis
kepada konsiliator, baik menyetujui maupun menolak
selambat selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis.
d) Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap
menolak, dan
e) Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, dalam
waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran
tertulis konsiliator harus sudah selesai membantu para
pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian
didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan
negeri untuk mendapat akta bukti pendaftaran.
9) Perjanjian bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan yang tidak terpisahkan dari
perjanjian bersama [Pasal 23 Ayat (3) huruf a].
46
10) Apabila perjanjian bersama yang telah yang didaftarkan tidak
dilaksanakan oleh satu pihak, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri didaftar untuk dapat
mendapat penetapan eksekusi [Pasal 23 Ayat (3) huruf b].
11) Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para
pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan
penyelesaiain perselisihan di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri setempat (Pasal 24).
d. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak
yang bersengketa menyerahkan pertikaian mereka itu kepada pihak
lain yang netral guna mendapatkan keputusan yang menyelesaikan
sengketa.49
Menurut Subekti, arbitrase merupakan suatu penyelesaian
atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati
keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka
pilih atau yang ditunjuk.50
Penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase dilaksanakan oleh arbiter, yakni seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan
oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerjaa/serikut buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final (Pasal 1 Angka 16 UU PPHI).
49
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h.
287
50 Elsa Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: PT
Grasindo, 2008), h. 202
47
Prosedur penyelesaian melalui arbitrase menurut UU PPHI
sebagai berikut:
1) Penyelesaian perselisihan melalui arbiter dilakukan atas dasar
kesepakatan para pihak yang berselisih [Pasal 32 Ayat (1)].
2) Para pihak membuat surat perjanjian arbitrase sebagai dasar
untuk memilih dan menunjuk arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri [Pasal 32 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat
(1)].
3) Apabila para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter, atas
permohonan salah satu pihak ketua pengadilan dapat menunjuk
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri [Pasal
33 Ayat (6)].
4) Arbiter yang bersedia ditunjuk membuat surat perjanjian
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih. [Pasal
34 Ayat (1)].
5) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan daalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter [Pasal 40 Ayat (1)].
6) Pemeriksaan atas perselisihan harus mulai selambat-lambatnya
hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan
arbiter [Pasal 40 Ayat (2)].
7) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang
memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan 1 kali
perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja [Pasal 40 ayat
(3)].
8) Penyelesaian arbitrase diawali dengan upaya perdamaian [Pasal
44 Ayat (1)].
9) Apabila upaya perdamaian tercapai,arbiter wajib membuat akta
perdamaian yang ditandatangani para pihak dan arbiter[Pasal
44 ayat (2)].
48
10) Akta perdamaian didaftar di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri setempat untuk mendapat akta bukti
pendaftaran [Pasal 44 Ayat (3) dan (4) huruf a].
11) Apabila akta perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri setempat untuk mendapat penetapan
eksekusi [Pasal 44 Ayat (4) huruf b].
12) Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter meneruskan sidang
arbitrase [Pasal 44 Ayat (5)].
13) Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan,
keadilan, dan kepentingan umum (Pasal 49).
14) Putusan arbitrase berkekuatan hukum mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan bersifat final [Pasal 51
Ayat (1)].
15) Peraturan arbitrase didaftarkan di pengadilan hubungan
industrial pada pengadilan negeri setempat [Pasal 51 Ayat (2)].
16) Apabila putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
fiat eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri setempat agar putusan diperintahkan untuk
dijalankan [Pasal 51 Ayat (3)].
17) Perintah untuk menjalankan harus diberikan selambat-
lambatnya 30 hari kerja sejak permohonan fiat eksekusi
didaftarkan, tanpa memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase [Pasal 51 ayat (4)].
2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan hubungan industrial adalah forum penyelesaian
perselisihan melalui pengadilan. Yakni pengadilan khusus yang berada
49
di lingkungan peradilan umum (Pasal 55).51
Hukum acara yang berlaku
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali diatur secara khusus (Pasal 57).
Adapun tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial
menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, adalah memeriksa dan
memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja.
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Prosedur penyelesaian perselisihan di Pengadilan Hubungan
Industrial menggunakan hukum acara yang berlaku dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali beberapa hal yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, dibawah ini adalah beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang
mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan PHK melalui
Pengadilan Hubungan Industrial, antara lain sebagai berikut:52
a. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja (Pasal 81).
b. Pihak yang mengajukan gugatan, wajib untuk melampirkan risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang telah dilakukan
sebelumnya (Pasal 83).
51
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum
di Indonesia, 2014, h. 190
52 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, (Tangerang: Elpress, 2008), h.
37-41
50
c. Penggugat sewaktu-waktu dapat mencabut gugatannya sebelum
tergugat memberikan jawaban (Pasal 85 Ayat (1)).
d. Untuk nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah), pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan
biaya, termasuk biaya eksekusi (Pasal 58).
e. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat
bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87).
f. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah
menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim
sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai
Anggota Majelis (Pasal 88 Ayat (1)).
g. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah
melakukan sidang pertama (Pasal 89 Ayat (1)).
h. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua
Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya (Pasal 93 Ayat
(1)).
i. Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penundaan (Pasal 93 Ayat (2)).
j. Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan (Pasal 93
Ayat (3)).
k. Apabila para pihak hadir pada hari sidang yang ditetapkan, maka
prosesnya mengikuti tahapan persidangan sesuai ketentuan Hukum
Acara Perdata, mulai dari jawaban, duplik, replik, pembuktian
hingga pengambilan keputusan (Pasal 57).
51
l. Dalam hal pengusaha tidak memberikan upah dan hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja, maka Hakim Ketua Sidang harus
segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada
pengusaha untuk membayar upah serta hak-hak lainnya yang biasa
diterima pekerja (Pasal 96 Ayat (1) jo. Pasal 155 Ayat (3) UU No.
13 Tahun 2003).
m. Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya
50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama (Pasal
103).
n. Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis
Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan
putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang pengambilan
putusan (Pasal 105).
o. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan
putusan (Pasal 106).
p. Salinan putusan dimaksud sudah harus disampaikan ke pihak-pihak
yang berselisih selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterbitkannya putusan (Pasal 107).
q. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat
mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu,
meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal
108).
r. Terhadap putusan Majelis Hakim, dapat diajukan permohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak putusan dibacakan bagi
52
pihak yang hadir, dan sejak menerima pemberitahuan putusan bagi
pihak yang tidak hadir (Pasal 110).53
3. Kasasi ( Mahkamah Agung)
Upaya hukum kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak terhadap
putusan Pengadilan Hubungan Industrial, pemeriksaan kasasi hanya
meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukumnya.
Pihak yang menolak putusan Pengadilan Hubungan Industrial
dapat langsung mengajukan kasasi (tidak untuk banding) atas perkara
tersebut ke Mahkamah Agung (MA) untuk diputus.54
Prosedur pengajuan perkara Kasasi di Mahkamah Agung adalah
sebagai berikut:
a. Permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja: bagi pihak yang
hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang mejelis
hakim, bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal
menerima pemberitahuan putusan.
b. Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan
permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
c. Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua
Mahkamah Agung.
53 Edy Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, … h. 37-41
54 Sumanto, Hubungan Industrial:Memahami dan Mengatasi Potensi Konflik
Kepentingan Pengusaha Pekerja Pada Era Modal Global, (Jakarta:Center Of Academic
Publishing (CAPS), 2014), h. 235
53
d. Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan
hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan hubungan industrial
terkait pemutusan hubungan kerja semestinya diupayakan terlebih
dahulu secara musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Didalam
undang-undang sendiri, jika memang dengan musyawarah tidak bisa
menempuh titik penyelesaian, maka bisa meminta bantuan ke dinas
tenaga kerja setempat dan memilih cara penyelesaian menggunakan
mediasi atau konsiliasi. Namun jika proses itu tidak mampu
menyelesaikan perselisihan, maka upaya hukum selanjutnya bisa
dilakukan dengan menempuh jalur pengadilan.
Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum
hubungan kerjanya berakhir (putus). Maka pengusaha harus
mengupayakan cara untuk menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja. Pengusaha maupun pekerja beserta serikat pekerja
menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut sehinga tidak
terjadinya pemutusan hubungan kerja. Jika perundingan benar-benar
tidak menghasilkan kesepakatan, maka pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerjanya setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam
mengambil putusan, Majelis Hakim harus mempertimbangkan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan dan juga keadilan. Penetapan tersebut
tidak diperlukan jika pekerjanya sedang dalam masa percobaan dan
ketentuan lain yang dikecualikan. Oleh karena itu pengusaha harus
mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada pekerja
yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata tidak ditemukan
tidak adil.
54
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor:
KEP-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan
Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa
Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan
Dengan memperhatikan azas keseimbangan dan keadilan,
pekerja juga dapat mengajukan permohonan pengakhiran hubungan
kerja kepada Panitia Daerah dan atau Panitia Pusat, apabila pengusaha:
a. Melakukan penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja.
b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan undang - undang kesusilaan.
c. 3 (tiga) kali berturut - turut atau lebih tidak membayar upah tepat
pada waktu yang telah ditentukan.
d. Melalaikan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja.
e. Tidak memberikan pekerjaan secukupnya kepada pekerja yang
upahnya berdasarkan hasil pekerjaan.
f. Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang
diperjanjikan.
g. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan
kesehatan dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut
tidak diketahui pada waktu perjanjian kerja dibuat.
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana yang
dimaksud diatas, pekerja berhak mendapat uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja dan ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24.
Tabel 1: Uang Pesangon Berdasarkan Masa Kerja
Masa Kerja/Tahun Uang Pesangon
Masa kerja kurang dari 1 tahun 1 bulan upah
Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari
2 tahun
2 bulan upah
55
Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari
3 tahun
3 bulan upah
Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari
4 tahun
4 bulan upah
Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari
5 tahun
5 bulan upah
Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari
6 tahun
6 bulan upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih 7 bulan upah
Tabel 2: Uang Penghargaan Berdasarkan Masa Kerja
Masa Kerja/Tahun Uang Penghargaan Masa Kerja
Masa kerja 3 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 6 tahun
2 bulan upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 9 tahun
3 bulan upah
Masa kerja 9 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 12 tahun
4 bulan upah
Masa kerja 12 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 tahun
5 bulan upah
Masa kerja 15 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 18 tahun
6 bulan upah
Masa kerja 18 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 21 tahun
7 bulan upah
Masa kerja 21 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 24 tahun
8 bulan upah
Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
56
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 meliputi :
1) Ganti kerugian untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum
gugur.
2) Ganti kerugian untuk istirahat panjang bilamana di perusahaan yang
bersangkutan berlaku peraturan istirahat panjang dan pekerja belum
mengambil istirahat itu menurut perbandingan antara masa kerja
pekerja dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat mengambil
istirahat panjang.
3) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja diterim bekerja.
4) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
sebesar 15% (lima belas per seratus) dari uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerjanya telah memenuhi syarat untuk mendapatkan
uang penghargaan masa kerja.
5) Hal - hal lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 773K/Pdt.Sus-PHI/2018
Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan
orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar
mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.55
Tujuan perlindungan tenaga kerja adalah untuk menjamin berlangsungnya
sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari
pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Adapun obyek perlindungan tenaga kerja menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 diantaranya:
1. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja.
55
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53
57
2. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding
dengan pengusaha, dan mogok kerja.
3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang cacat.
5. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga
kerja, dan
6. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan kerja.
Terkait PHK dengan alasan tidak ada proyek lagi yang dikerjakan
atau dalam bahasa efesiensi, telah diatur secara rinci dan jelas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 Ayat (3) yang
menyatakan: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
tetapi karena perusahaan melakukan efesiensi, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (3) dan uang penghargaan hak sesuai ketentuan
Pasal 156 Ayat (4).”
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011
PHK dengan alasan efesiensi hanya sah dilakukan setelah perusahaan
tutup secara permanen, dengan kata lain, perusahaan yang hanya tutup
sementara tidak boleh memecat pegawainya.
PHK hanya dapat dilakukan sebagai pilihan terakhir sebagai upaya
untuk melakukan efesiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan cara-
cara lain sebagai bentuk pencegahan.
Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
yang terkait pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (Nomor
SE.907/MEN/PHI-PPHI/X/2004) yaitu:
1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, seperti Manajer
dan Direktur.
58
2. Mengurangi shift.
3. Membatasi/menghapuskan kerja lembur.
4. Mengurangi jam kerja.
5. Mengurangi hari kerja.
6. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk
sementara waktu.
7. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis
masa kontraknya, serta
8. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Dalam kasus PHK yang dilakukan PT Budi Bakti Prima terhadap
Heri Jaya adalah PHK sepihak. Hal ini dapat dilihat dalam putusan
Pengadilan Negeri Palembang dengan Putusan Nomor 5/Pdt.Sus-
PHI/2018/PN.Plg yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung
dengan Perkara Nomor 773 K/Pdt.Sus-PHI/2018 sebagaimana menolak
permohonan kasasi dari PT Budi Bakti Prima dalam hal sengketa
perselisihan pemutusan hubungan kerja. Majelis Hakim memerintahkan
PT Budi Bakti Prima untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang penggantian hak dengan total keseluruhan sebesar
Rp. 39.992.400,- dan membayar upah selama proses penyelesaian PHI
senilai Rp. 12.420.000.
Jika dianalisis, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Budi
Bakti Prima tersebut memang telah melanggar ketentuan dalam Pasal 61
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yaitu bahwa pekerja belum meninggal dunia, jangka
waktu perjanjian kerja belum berakhir, belum ada putusan pengadilan atau
penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dan tidak adanya atau kejadian tertentu
yang menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Dalam kasus ini hakim mempertimbangkan bahwa pekerja
menyatakan tidak keberatan, jika di PHK dengan catatan PT Budi Bakti
Prima ini harus membayar hak-hak normatif Heri Jaya sesuai dengan
59
ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hakim telah bertindak
memberikan keputusan akhir yang telah berlaku adil, karena hakim
memutus perkara tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridis melainkan
sosiologis yang mengarah pada latar belakang terjadinya perselisihan.
Sebagaimana hakim dalam mempertimbangkan putusan sudah melihat
secara cermat kesesuaian fakta-fakta yang ada dan juga alat bukti yang
dihadirkan dalam persidangan.
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 5/Pdt.Sus-
PHI/2018/PN.Plg
Problematika ketenagakerjan/perburuhan sepanjang masa tidak
pernah selesai dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan,
perselisihan hubungan industrial, pembinaan, dan juga pengawasan
ketenagakerjaan.56
Salah satunya adalah Perselisihan PHK, artinya
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK.57
Tindakan perusahaan yang melakukan PHK terhadap pekerja tanpa
adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial yang mana diatur dalam Pasal 151 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa:
“Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.
Penjelasan Pasal 151 Ayat (1):
“Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini
adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain
56
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 142
57 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : Tata
Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 38-39
60
pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja,
dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh”.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
telah mengatur ketentuan-ketentuan pengusaha dalam melakukan PHK
yang menyatakan pihak perusahaan dapat melakukan PHK dalam berbagai
kondisi dibawah ini:
1. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana selama 6 (enam)
bulan berakhir dan pekerja dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang
bersangkutan.
2. Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.
3. Pekerja yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-
turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti
yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut
dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.58
Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja”.
Surat Keputusan Pengakhiran Hubungan Kerja dikeluarkan tanpa
adanya penetapan dari LPPHI, sehingga batal demi hukum. Pasal 151 Ayat
(2 dan 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
58
Sudibyo Aji, Implementasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Terhadap Pekerja
Status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pada PT X di Kota Malang, Vol. 2015, 2, h. 211-
212
61
“(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja /buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh”.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial”.
Dalam kasus tersebut, Heri Jaya itu memang seorang pekerja
harian yang cukup lama dari tanggal 01 Agustus 2011 sampai 31 Januari
2017. Sebagaimana Di jelaskan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
bahwasanya dalam BAB V Ayat (3) dalam hal menjelaskan:
“Pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian
kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT”.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan, menjelaskan:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan”.
Sedangkan berdasarkan putusan MK No. 100/PUU-X/2012
menyatakan:
62
“Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang
buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja.
Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu, upah dan
segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah
merupakan hak milik pribadi yang tidak boleh diambil alih oleh
siapapun baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan
perundang-undangan”.
Membayar upah merupakan kewajiban utama dari seorang pemberi
kerja/pengusaha dalam suatu hubungan kerja. Jika kewajiban membayar
upah itu tidak ada, hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Sistem
upah jangka waktu pembayaran dilakukan dengan sistem jangka waktu
tertentu, misalnya harian, mingguan, dan bulanan. Namun demikian,
dalam hal tertentu untuk perhitungan pembayaran iuran jaminan sosial
tenaga kerja, yang selalu menjadi patokan adalah pembayaran upah secara
bulanan. Oleh karena itu:
1. Jika upah dibayarkan secara harian, upah sebulan sama dengan upah
sehari dikalikan tiga puluh.
2. Jika upah dibayarkan secara borongan atau satuan, upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata tiga bulan terakhir.
3. Jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca yang upahnya didasarkan
pada upah borongan, upah sebulan dari upah rata-rata dua belas bulan
terakhir. 59
Adapun cara perhitungan upah lembur diatur dalam Pasal 8 sampai
dengan 11 Kepmenakertrans No. KEP.102/MEN/VI/2004. Perhitungan
59
Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 33-
34
63
upah lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah sejam
adalah 1/173 kali upah sebulan.60
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, bahwasanya Setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib
menjadi peserta program Jaminan Sosial. Sebagaimana dalam Pasal 5 Ayat
(2) BPJS dibentuk menjadi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Sebagaimana dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2)
menjelaskan bahwa:
“BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
Ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan”.
“BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 Ayat (2) huruf b menyelenggarakan program: jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian”.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, dalam Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa
jaminan sosial adalah”
“Suatu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak”.
Membayar iuran setiap bulan pengusaha sudah tidak lagi
direpotkan masalah resiko kecelakaan pekerja. Oleh karena itu, mari kita
sama-sama menyadari akan pentingnya program ini dan dukung
pemerintah melindungi warganya. Mendaftarkan pekerja ke BPJS
bukanlah sebuah tindakan yang merugikan, karena suatu ketika pengusaha
akan memperoleh manfaat yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
60 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), h. 113
64
Pengusaha bisa saja di pidanakan karna mengabaikan keselamatan serta
hak pekerja untuk mendapatkan perlindungan kecelakaan yang layak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dalam menyelesaikan
suatu perselisihan dalam hubungan industrial, dapat ditempuh melalui 3
(tiga) tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama : Perundingan Bipartit
2. Tahap Kedua : Penyelesaian di luar Pengadilan, yaitu
Mediasi atau Konsiliasi atau Arbitrase
3. Tahap Ketiga : Penyelesaian melalui Pengadilan
Penyelesaian Perselisihan yang pertama kali ditempuh dalam kasus
ini adalah mediasi. Mediasi ini salah satu cara penyelesaian PHK melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.61
Pada proses mediasi yang difasilitasi Kepala Dinas Tenaga Kerja
Kota Palembang nyatanya tidak dapat diselesaikan, serta dengan Surat
Anjuran dengan Nomor: 576/230/Disnaker/2017 tertanggal 5 April 2017
juga tidak menemui titik temu, sehingga Heri Jaya selaku Penggugat
akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Palembang.
Sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal penyelesaian melalui Konsiliasi dan Mediasi
tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Hubungan
Industrial”.
Sesuai Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
61
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : Tata
Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan …, h. 70
65
“Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak
memenuhi ketentuan Pasal 151 Ayat (3) dan Pasal 168, Kecuali
Pasal 158, Pasal 160 Ayat (3), Pasal 162 dan Pasal 169 batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh
yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang
seharusnya diterima”.
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Palembang, majelis hakim mengabulkan gugatan sebagian
berdasarkan fakta dan bukti yang ada. Karena pemutusan hubungan kerja
yang terjadi kepada Heri Jaya, telah dilakukan secara tidak patut terhadap
aturan hukum yang ada. Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai perlakuan
yang merugikan pihak pekerja, sebagaimana sudah selayaknya pihak
pekerja yang telah di PHK mendapatkan hak-hak yang semestinya.
Keadilan menurut hukum adalah keadilan yang telah dirumuskan
oleh hukum dalam bentuk hak dan juga kewajiban, dimana pelanggaran
terhadap keadilan akan ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh
pengadilan.62
D. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 773 K/Pdt.Sus-PHI/2018
Menurut Tritaamidjaja, kasasi adalah suatu jalan hukum yang
gunanya untuk melawan keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat
tertinggi yaitu keputusan yang tidak dapat dilawan ataupun tidak dapat
dimohon banding, baik karena kedua jalan hukum yang tidak
diperbolehkan oleh undang-undang maupun didasarkan karena telah
dipergunakan.
Dalam kronologi kasus, yang menjadi alasan permohonan kasasi
yaitu karena melampaui batas wewenang atau dikarenakan adanya
kesalahan dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, maka
yang diharapkan PT Budi Bakti Prima selaku pemohon kasasi,
62
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h.
118
66
bahwasanya majelis hakim pada Mahkamah Agung bisa mengoreksi
kesalahan yang ada di peradilan bawahan atau bisa menyelesaikan
kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum.
Berdasarkan keterangan informasi di atas, maka secara yuridis
Mahkamah Agung ini tidak menemukan kesalahan penerapan hukum oleh
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang
perkara Nomor 5/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Plg. Oleh karena itu, Mahkamah
Agung menolak atas pengajuan kasasi yang dilakukan oleh PT Budi Bakti
Prima yang dahulu sebagai tergugat. Suatu penyelesaian dalam sengketa
Hubungan Industrial merupakan perkara Perdata Khusus yang diatur dan
diterapkan dengan berbagai Undang-Undang yang mengatur secara
khusus, jadi tidak murni menggunakan ketentuan dalam kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, hal ini merujuk pada asas “Lex specialis derogret
lex generali” yang artinya menurut kamus hukum adalah Undang-Undang
yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum.63
Berdasarkan asas tersebut, maka Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 5/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Plg (Judex facti) tidak salah
dalam menerapkan hukum dan menolak Permohonan Kasasi dari PT Budi
Bakti Prima, hal ini menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri
Palembang sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkrach).
Pada tingkat kasasi, peneliti menganalisis dari tiga pilar utama
dalam hukum, yaitu sisi nilai keadilan hukum, sisi nilai kegunaan atau
kemanfaatan hukum dan sisi nilai kepastian hukumnya. Penjelasannya
akan diuraikan sebagai berikut:
1. Sisi Nilai Keadilan Hukum
Menurut teori keadilan John Rawls, berdasarkan buku John
Rawls yang berjudul “ A Theory Of Justice‟, terdapat tiga (3) ide
pokok penting sebagai komponen adanya teori keadilan John Rawls,
yaitu : 1) Utilitarianisme Klasik, 2) Keadilan Sebagai Fairness, 3) Dua
Prinsip Keadilan.
63
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: RIineka Cipta, 2015), h. 249
67
a. Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah suatu paham atau aliran yang menekankan
pada aspek kegunaan atau kemanfaatan.
b. Keadilan Sebagai Fairness
Keadilan itu suatu kejujuran, suatu kewajaran dan kelayakan.
c. Dua Prinsip keadilan
yaitu prinsip yang pertama dinamakan prinsip kebebasan, setiap
orang harus diberikan kebebasan memilih, menjadi pejabat,
kebebasan berbicara dan berfikir, kebebasan memiliki kekayaan,
dan sebagainya. Sedangkan prinsip keadilan kedua adalah
ketidaksamaan, bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia,
dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa,
sehingga ketidaksamaan tersebut dapat menguntungkan setiap
orang.
Selain John Rawls, Aristoteles juga membagi keadilan menjadi
dua yaitu keadilan distributif dan komutatif. Penjelasannya:
a. Keadilan Distributif
Keadilan distributif menuntut bahwa setiap orang mendapat apa
yang menjadi hak atau jatahnya, jatah ini tidak sama untuk setiap
orang, tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan,
kemampuan, dan sebagainya. Sifatnya adalah proporsional. Jadi
keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan
pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat
dengan negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh
negara kepada warganya.64
b. Keadilan Komutatif
Keadilan Komutatif memberi kepada setiap orang sama
banyaknya. Dalam pergaulan di masyarakat, keadilan komutatif
merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Di sini
64
Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Hukum dan Keadilan Dari Pemikiran
Klasik Sampai Pemikiran Modern, Fakultas Hukum Universitas Jambi, h.6
68
yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil ialah apabila setiap
orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan
sebagainya. Tujuannya untuk memelihara ketertiban masyarakat
dan kesejahteraan umum.65
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Palembang mempunyai kekuatan hukum tetap yang memberikan rasa
keadilan, bahwa secara fakta Heri Jaya telah bekerja dengan baik
selama kurang lebih 5 tahun tanpa pernah melakukan kesalahan yang
merugikan perusahaan, dan harus diputus hubungan kerjanya karena
alasan perusahaan tidak ada kegiatan sama sekali dalam arti tidak ada
proyek lagi yang harus dikerjakan Heri Jaya. Sebagaimana alasan
tersebut bisa dibenarkan dan berkaitan dengan alasan ekonomis yang
menurutnya hasil produksi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
merosotnya kapasitas suatu produksi perusahaan atau bisa jadi
menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan.66
Maka dengan begitu, pemutusan hubungan kerja tersebut akan
menimbulkan buruh telah kehilangan mata pencaharian, kehilangan
biaya hidup untuk diri dan keluarganya, serta perlu biaya untuk
mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.67
Sesuai Pasal 156
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menjelaskan:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
2. Sisi Nilai Kegunaan atau Kemanfaatan
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
65
Suprima Ollifica Pratasis, Implementasi Teori Keadilan Komutatif Terhadap Pelaku
Pemerkosaan Menurut Pasal 285 KUHP, Lex et Societatis, Vol II No.5, Juni 2014, h.55-57 66
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, …, h. 104
67 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 178
69
Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan
hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Sehingga justru karena hukumnya tidak dilaksanakan atau ditegakkan
malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.68
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Palembang yang memutuskan pemberian pesangon kepada Heri Jaya
akan memberikan manfaat untuk dirinya dan keluarganya sehingga
setelah Heri Jaya di putus hubungan kerjanya, Heri Jaya dapat
merencanakan masa depan untuk menjalankan usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Setidak-tidaknya hasil kompensasi yang diterima
Heri Jaya bisa memenuhi kebutuhan jaminan pendidikan untuk anak-
anaknya, dan disamping itu bisa juga digunakan sebagai modal usaha
bagi Heri Jaya dan keluarga dalam melanjutkan kebutuhan hidup.
Sehingga mereka tidak termasuk kedalam kategori Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam arti, seseorang, keluarga
atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau
gangguan sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya secara
memadai.
3. Sisi Nilai Kepastian Hukum
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kewenengan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini
berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran
pemikiran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum
68 Mohamad Aunurrohim, Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia,
Universitas Negeri Yogyakarta, 2015, h. 7
70
sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut
aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.69
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari
keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak
hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya
sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan taukejelasan akan hak dan kewajiban menurut
hukum.
Maka dalam gugatan Heri Jaya atas terjadinya pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha dinyatakan sesuai hukum dalam hal
perundingan yang tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Dilihat dari Aspek Hak Asasi Manusia, pemberhentian Heri
Jaya oleh PT Budi Bakti Prima telah menodai hak asasi manusia di
dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 (D) bahwa “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja”.70
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia dalam Pasal 38 menyatakan sebagai berikut:
1. Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan
kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
69
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h.
23
70 Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012), h.
251
71
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang
adil.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan
yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta
syarat-syarat perjanjian kerja yang sama, dan setiap orang baik pria
maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan
martabat kemanusiaannya berhak atasupah yang adil.
Menurut Mahkamah Agung, Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang tidak salah
menerapkan hukum, sebagaimana Putusan tingkat kasasi ini
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Palembang yang
sependapat dengan pertimbangan hakim pada Pengadilan tingkat
pertama.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan bab-bab yang telah diuraikan sebelumnya dan
berdasarkan hasil pembahasan pada analisa penelitian tersebut, maka dapat
diambil kesimpulan, bahwa:
1. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja dalam Ketentuan Peraturan
Perundangan
Ketentuan hukum dalam peraturan perundangan tentang
ketenagakerjaan, dalam aturannya menjelaskan untuk melindungi
pekerja dari tindakan kesewenang-wenangan dari pihak yang berkuasa
atau membentuk keseimbangan antara pengusaha dan pekerja demi
tercapainya suatu keadilan dengan berlandaskan pada peraturan yang
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-
150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan. Sebagaimana setiap pihak baik pengusaha
maupun pekerja berhak melakukan pemutusan hubungan kerja, baik
atas dasar keinginan sendiri maupun segala kejadian yang beralasan
didalamnya dengan tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku.
2. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Berdasarkan Putusan Nomor 773K/Pdt.Sus-
PHI/2018
Proses pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT Budi
Bakti Prima memang telah melanggar peraturan ketenagakerjaan.
Sebagaimana hakim Pengadilan Negeri Palembang memberikan hasil
putusannya berdasarkan fakta dan data bahwa PT Budi Bakti Prima
73
harus memenuhi kompensasi hak-haknya Heri Jaya. Sebagaimana hal
tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap pekerja untuk
mewujudkan kesejahteraan sebagai pekerja.
Selanjutnya pertimbangan hakim Mahkamah Agung pada
dasarnya sama dengan model pertimbangan Pengadilan Negeri
Palembang dengan memberikan putusan yang tidak jauh berbeda,
sebagaimana hakim mempertimbangkannya sesuai dengan aspek
sosiologis maupun filosofisnya.
B. Rekomendasi
Sebelum skripsi ini peneliti akhiri, terlebih dahulu peneliti ingin
memberikan sedikit rekomendasi yang dapat bermanfaat bagi kita semua
untuk dijadikan bahan pikiran dari terselenggaranya supremasi hukum di
Indonesia antara lain:
1. Pengusaha diharapkan lebih menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang ketenagakerjaan yang mengatur mengenai
pemutusan hubungan kerja, sehingga tidak menimbulkan perselisihan
di kemudian hari.
2. Meningkatkan komunikasi antara pengusaha dengan pekerja, terutama
perusahaan harus lebih banyak mensosialisasikan terkait peraturan
perusahaan ataupun hal lainnya agar tidak terjadi kesalahan dalam
informasi.
3. Mengupayakan terlebih dahulu cara-cara yang dapat dilakukan dalam
rangka mengantisipasi terjadinya pemutusan hubungan kerja. Dan
yang lebih utama adalah pengusaha harus diwajibkan untuk tetap
memenuhi kompensasi hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.
74
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Alfitra, Konflik Sosial dalam Masyarakat Moderen, Ponorogo: Wade
Group, 2017.
Ali, Ahmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Asikin, Zainal. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Asyhadie, Zaeni. Pemutusan Hubungan Kerja, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.
Asyhadie, Zaeni. Peradilan Hubungan Industrial, Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Burhan, Ashrhofa. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Damanik, Sehat. Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, DSS
Publishing Jakarta, 2006.
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008.
E. Manullang, Fernando. Menggapai Hukum Berkeadilan, Jakarta:
Kompas, 2007.
75
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2010.
Gultom, Sri Subiandini. Aspek Hukum Hubungan Industrial, Jakarta: Inti
Prima Promosindo, 2008.
Halim, Ridwan. Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Halili, Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh, Bandung: Bina
Aksara, 1987.
Halim, A. Ridwan dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan
Aktual, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1987.
H. Manulang, Sendjun. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1987.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006.
Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi Keempat, 2008.
Khakim, Abdul. Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2010.
Miru, Ahmadi. Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya, 2004.
M. Hadjon, Philipus. Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1987.
76
ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Niewenhuis, J.H. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Surabaya, 1985.
Pasek Diantha, I Made. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam
Justifikasi Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Prints, Darwan. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000.
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta: Djambatan, 2007.
Pujiyo, dan Ugo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial : Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa
Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Rahmadi, Takdir. Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan
Mufakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers,
Rights Centre, Trade Union .Advokasi Pengupahan di Daerah, Jakarta:
TURC, 2007.
Sadi Is, Muhammad. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2015.
Sari, Elsa Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum dalam Ekonomi,
Jakarta: PT Grasindo, 2008.
Sidabutar, Edy Sutrisno. Pedoman Penyelesaian PHK, Tangerang:
Elpress, 2008.
Soebekti, Hukum Perjanjian, Bogor: PT Inter Masa, 1984.
77
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu
injauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: RIineka Cipta, 2015.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Sulaiman, Abdullah. Hukum Ketenagakerjaan Perburuhan Di Indonesia,
Jakarta Menteri Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Jakarta, 2018.
Sumanto, Hubungan Industrial:Memahami dan Mengatasi Potensi Konflik
Kepentingan Pengusaha Pekerja Pada Era Modal Global,
Jakarta:Center Of Academic Publishing (CAPS), 2014.
Suparman, Supomo. Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial,
Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.
Syarbaini, Syahrial. Pendidikan Pancasila, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012.
Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Aditya, 1999.
Tiena Masriani, Yulies. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Uwiyono, Aloysius. Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
Widyaningsih, Rience G. Himpunan Materi Materi Penting Dalam
Menunjang Keberhasilan Studi Hukum Kerja, Bandung: CV
Amriko, 1982.
78
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan
Bantuan Hukum di Indonesia, 2014.
B. JURNAL
Aji, Sudibyo. Implementasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Terhadap
Pekerja Status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Pada PT
X di Kota Malang, Vol. 2015.
Aunurrohim, Mohamad. Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 2015.
Johan Nasution, Bahder. Kajian Filosofis Tentang Hukum dan Keadilan
Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Fakultas
Hukum Universitas Jambi.
Maringan, Nikodemus. Tinjauan Yurisid Pelaksanaan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak Oleh Perusahaan Menurut
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3 , Volume 3 , 2015.
Pratasis, Suprima Ollifica. Implementasi Teori Keadilan Komutatif
Terhadap Pelaku Pemerkosaan Menurut Pasal 285 KUHP, Lex et
Societatis, Vol II No.5, Juni 2014.
Silambi, Erni Dwita. Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau Dari Segi
Hukum ( Studi Kasus PT Medco Lestari Papua), Universitas
Musamus Merauke,
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
79
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-
150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan